LIMA
Sementara itu, di suatu tempat tidak jauh dari Kadipaten Sangkal Putung,
tepatnya di Bukit Kedaung, Eyang Puger duduk bersila di tanah yang tertutup
jerami kering. Dinding dinding batu yang melingkarinya sangat tinggi, hitam
dan berlumut tebal. Tidak ada sedikit pun lubang. Ruangan kecil ini terasa
lembab. Hanya sebuah pelita kecil yang meneranginya dari luar pintu besi
yang kokoh. Pintu itu hanya terdapat lubang kotak kecil yang tidak bisa
dimasuki tangan.
Eyang Puger mengangkat kepalanya ketika mendengar suara pintu terbuka.
Cahaya pelita langsung menerobos masuk, bersamaan dengan masuknya dua orang
bertubuh kekar dengan golok terselip di pinggang. Dua orang berwajah
beringas dan kasar itu kemudian mengangkat tubuh Eyang Puger, dan memaksanya
berdiri. Lalu dengan kasar salah seorang mendorongnya keluar.
"Cepat, jalan!" bentaknya kasar. Eyang Puger melangkah tertatih-tatih
keluar dari ruangan sempit berdinding batu itu. Dia terus berjalan menyusuri
lorong batu yang cukup panjang dan berliku diiringi dua orang di
belakangnya. Laki-laki tua kurus kering itu berhenti tepat di depan sebuah
pintu yang terbuat dari besi baja yang kokoh dan rapat. Salah seorang
mengetuk pintu itu, yang langsung terbuka lebar. Cahaya matahari seketika
menerobos masuk, membuat mata Eyang Puger mengerjap-ngerjap karena
silau.
Salah seorang mendorong punggungnya, dan Eyang Puger kembali melangkah ke
luar. Sejenak dipandanginya keadaan di luar. Tampak sebuah bangunan besar
dan megah bagai sebuah istana kecil, berdiri megah di depan pintu penjara
bawah tanah ini. Beberapa orang bersenjata, tampak menjaga bangunan itu.
Eyang Puger melangkah menuju ke bangunan besar itu, mengikuti salah seorang
yang membawanya. Sedangkan seorang lagi berjalan di belakang.
Lantai marmer yang putih, halus dan licin terasa dingin begitu kaki kurus
laki-laki tua itu menginjaknya. Eyang Puger terus dibawa masuk ke dalam
bangunan besar dan megah itu. Sebuah tangan kasar mendorongnya dengan keras,
sehingga laki-laki tua itu jatuh tersungkur ke lantai. Pelahan-lahan Eyang
Puger mengangkat kepalanya, dan matanya langsung membeliak lebar begitu
melihat seorang laki-laki muda berwajah tegang dengan garis-garis kekerasan,
berdiri tegak berkacak pinggang di depannya. Di belakangnya terlihat sebuah
singgasana yang indah.
Ada empat orang di sebelah kiri pemuda berbaju indah dari bahan sutra halus
berwarna hijau muda itu. Di sebelah kanannya juga terdapat empat orang. lalu
dibelakangnya, di samping singgasana duduk seorang berpakaian hitam dengan
wajah tertutup cadar hitam yang tipis. Juga ada seorang wanita berwajah
cantik mengenakan baju gemeriapan yang ketat sehingga membentuk tubuhnya
yang indah. Di punggungnya tersandang sebilah pedang yang gagangnya dihiasi
batu mutiara. Yang membuat Eyang Puger terbeliak, justru laki-laki muda
berwajah keras itu.
"Balaga...," desis Eyang Puger, agak tertahan suaranya.
"Selamat datang di istanaku, Ayah," ucap laki-laki yang dikenali Eyang
Puger bernama Balaga itu.
"Phuih! Tidak pantas kau menyebut ayah padaku, Balaga!" dengus Eyang Puger
ketus.
"Bagaimanapun juga kau adalah mertuaku."
"Siapa sudi punya menantu sepertimu? Cucuku bunuh diri gara-gara kau,
Manusia iblis!"
"Ah, sayang sekali. Seharusnya dia bisa menunggu. Tapi sudahlah, itu memang
kemauannya."
"Iblis kau, Balaga! Kubunuh kau...!" geram Eyang Puger memuncak
amarahnya.
Tapi belum juga laki-laki tua itu bergerak, sebilah golok sudah menempel di
lehernya. Laki-laki yang membawanya dari dalam penjara bawah tanah
menatapnya tajam seraya menempelkan goloknya di leher laki-laki tua
itu.
Golok itu menjauh setelah Balaga memberi isyarat dengan tangannya. Tapi
Eyang Puger tidak bisa berbuat apa apa lagi. Dua orang bersenjata golok kini
telah mengapitnya, dan menekannya agar tetap duduk di lantai
"Ketahuilah, Eyang Puger. Aku membawamu ke sini agar kau tidak terlibat
dengan si pemberontak keparat itu. Dia pelarian, dan aku harus menyerahkan
kepalanya pada Gusti Adipati. Tapi sayang, dia juga bermaksud buruk padaku.
Terpaksa nyawanya harus melayang," ringan sekali kata-kata Balaga.
Eyang Puger hanya diam dengan geraham bergelemetuk menahan geram.
"Aku juga tidak akan segan-segan memenggal kepalamu jika kau tetap keras
kepala!" kali ini terasa dingin nada suara Balaga.
"Kau pikir aku takut mendengar ancamanmu, bocah setan!" dengus Eyang Puger
sinis.
"Jelas kau tidak takut mati, karena kau memang sudah bau tanah! Tapi bukan
itu yang kuinginkan..."
"Bicaramu berbelit-belit, tapi hatimu tetap busuk!" ucap Eyang Puger
geram.
"Ha ha ha...! Kau tidak akan berkata begitu kalau tahu siapa yang membawamu
ke sini, Eyang Puger," kata Balaga seraya tertawa terbahak-bahak.
Eyang Puger menatap orang yang berbaju serba hitam dan memakai cadar hitam
pula. Masih memperdengarkan suara tawanya, Balaga berbalik dan melangkah
menghampiri orang yang duduk di samping singgasana itu. Ditepuk-tepuknya
bahu orang itu yang ramping. Dan pelahan-lahan orang itu mengangkat cadar
yang menutupi seluruh wajahnya.
"Kau...!" Eyang Puger terbeliak begitu melihat wajah orang itu.
"Ha ha ha...!"
***
Sementara itu di tempat lain yang cukup jauh dari Kadipaten Sangkal Putung,
Bayu Hanggara dan Randu Watung masih terus berjalan menuju kadipaten itu.
Mereka berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh. Menurut Randu
Watung, setelah melewati sebuah sungai yang besar, mereka akan sampai
diwilayah Kadipaten Sangkal Putung.
Sekarang sungai besar yang airnya mengalir deras itu sudah terlihat Tampak
sebuah rakit bersandar di tepi sungai. Di dalamnya duduk seorang tukang
rakit menunggu penumpang. Bayu bergegas menuju rakit itu, karena dilihatnya
di seberang sungai sana juga ada beberapa orang hendak menyeberang.
'Tukang rakit, tunggu...!" teriak Bayu saat melihat tukang rakit itu hendak
menuju ke seberang.
Tukang rakit itu menoleh, dan menunggu. Bayu bergegas melompat naik diikuti
Randu Watung. Rakit dari bambu itu bergerak pelahan menuju ke seberang
sungai. Bayu berdiri paling ujung di depan. Pandangannya lurus tidak
berkedip ke depan. Di belakangnya berdiri Randu Watung. Wajah pemuda itu
kelihatan gelisah. Seberang sungai sana adalah wilayah Kadipaten Sangkal
Putung. Itu berarti dia harus siap menyabung nyawa di tanah kelahirannya
sendiri.
Tidak berapa lama kemudian, rakit itu pun merapat ke tepi, Bayu bergegas
melompat diikuti Randu Watung. Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan
sekeping uang perak yang langsung ditangkap tukang rakit dengan tangkas.
Kedua bola matanya membeliak lebar begitu melihat uang di dalam
genggamannya. Hampir tidak dipercayainya dengan apa yang dilihatnya ini.
Sungguh besar sekali pembayaran yang diterimanya. Bisa dua bulan penuh tidak
akan habis uang ini meskipun dia tidak lagi mengayuh rakit menyeberangkan
orang di sungai ini. Sementara orang-orang yang menunggu akan menyeberang,
sudah naik ke rakit itu.
"Yihuiii...!" si tukang rakit berteriak gembira seraya berjingkrakan bagai
anak kecil.
Tidak dipedulikannya lagi orang-orang yang akan menyeberang. Dengan cepat
dia melompat dari rakitnya dan berlari kencang. Tinggal orang-orang yang
sudah menunggu terbengong-bengong keheranan. Tukang rakit itu berlari-lari
berjingkrakan sambil berteriak teriak gembira.
"Kenapa dia?"
"Sudah gila, barangkali."
'Terus, rakit ini...?"
Enam orang di atas rakit saling berpandangan.
"Hei...! Tukang rakit...!" teriak salah seorang memanggil.
"Buat kalian saja rakitnya...!" teriak si tukang rakit keras. "Aku tidak
jadi tukang rakit lagi! Aku sudah kaya...! Ha ha ha...!"
"Beleguk!"
"Dasar edan...!"
Orang-orang yang sudah berada di atas rakit mengumpat kesal melihat tingkah
orang yang selalu berada di sungai menjual jasa itu. Sebentar mereka saling
berpandangan, lalu salah seorang mengambil kayuh, dan mulai mengayuh rakit
itu ke seberang. Tidak ada lagi yang mempedulikan si tukang rakit yang
dianggap sudah gila itu.
Sementara Pendekar Pulau Neraka dan Randu Watung sudah demikian jauh
meninggalkan sungai. Mereka terus berjalan cepat melintasi hutan kecil yang
menjadi pembatas kota kadipaten dengan perbatasan sungai besar itu. Bayu
menghentikan langkahnya sekitar beberapa tombak lagi jaraknya memasuki pintu
gerbang kota kadipaten. Randu Watung juga ikut berhenti melangkah. Mereka
memandang pintu gerbang perbatasan yang dijaga dua orang prajurit
kadipaten.
"Kau ragu-ragu, Randu?" Bayu menoleh menatap Randu Warung.
"Aku merasa ada yang aneh, Bayu. Tidak biasanya gerbang Utara ini dijaga,"
kata Randu Watung setengah bergumam.
Bayu kembali mengalihkan pandangannya. Saat itu seorang penjaga sudah
berjalan menghampiri., Tombak panjang tergenggam erat di tangan kanannya.
Dia berhenti setelah jaraknya tinggal beberapa langkah lagi Dan begitu
melihat Randu Watung, langsung membungkuk memberi hormat.
"Raden...," ucap penjaga itu, agak tersendat suaranya. Kepalanya menoleh ke
kanan dan ke kiri, seperti takut ada orang lain yang melihatnya.
"Kenapa Raden kembali?"
"Siapa yang menugaskanmu di sini?" Randu Watung malah balik bertanya.
"Gusti Mata Iblis, perintah langsung dari si Caping Maut," sahut prajurit
penjaga itu.
"Bukan Gusti Adipati?"
"Gusti Adipati sudah tiada, Raden. Sekarang ini istana kadipaten dalam
keadaan kosong. Kami semua mengharapkan Raden, tapi tidak bisa berharap
terlalu banyak. Bahkan seharusnya Raden tidak kembali pada saat seperti ini.
Terlalu berbahaya, Raden...."
Randu Watung menatap Pendekar Pulau Neraka yang hanya diam saja dengan
kening agak berkerut. Randu Watung bisa mengetahui kalau Bayu minta
penjelasan tentang sikap prajurit penjaga itu. Tapi sekarang ini tidak ada
waktu untuk menjelaskan.
"Prajurit kau harus melupakan pertemuan ini. Jangan katakan pada siapa pun
kalau aku sudah kembali. Percayalah, Kadipaten Sangkal Putung. Sebentar lagi
akan kembali seperti semula," pesan Randu Watung.
"Baik, Raden," sahut prajurit itu seraya membungkuk hormat.
"Kembalilah ke tempatmu, katakan pada temanmu itu. Jaga rahasia ini."
"Hamba laksanakan, Raden."
Saat prajurit itu berbalik, Randu Watung mencolek tangan Bayu. Dan secepat
kilat mereka melompat melewati kepala prajurit penjaga itu, langsung
menerobos pintu gerbang memasuki kota kadipaten. Begitu cepatnya mereka
bergerak, sehingga dua orang prajurit itu hanya bisa bengong terlolong
dengan mulut terbuka lebar.
Bayu dan Randu Watung terus berlari cepat menggunakan ilmu meringankan
tubuh. Kalau mau, sebenarnya Pendekar Pulau Neraka itu bisa jauh
meninggalkan Randu Watung. Tapi hal itu tidak dilakukannya karena dia tidak
tahu seluk-beluk kadipaten ini. Dan sikap penjaga gerbang Utara itu masih
menjadi bahan pemikirannya. Tidak mungkin penjaga itu membungkuk hormat
kalau Randu Watung bukan seorang putra yang disegani. Terlebih lagi penjaga
itu menyebutnya Raden.
"Randu, sebaiknya jangan sekarang. Tunggu sampai malam," kata Bayu seraya
menghentikan langkah kakinya.
Randu Watung menghentikan langkahnya. Sebentar ditatapnya Pendekar Pulau
Neraka itu. Kemudian ditolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu
mengajak Bayu pergi, mencari tempat yang aman. Kedua pemuda itu melangkah
cepat menembus pepohonan yang sangat rapat
***
Malam sudah merambat jatuh ke dalam pelukan bumi. Seluruh permukaan Bukit
Kedaung terselimut kegelapan. Tapi di salah satu tempat tampak terang oleh
cahaya obor dan pelita. Tempat yang sangat indah dengan bangunan megah bagai
sebuah istana kecil di puncak bukit.
Pintu gerbang benteng yang tinggi dan kokoh, terkuak memperdengarkan suara
berderit dari engsel berkarat Terlihat seorang laki-laki tua berjubah putih
kumal berjalan tertatih-tatih keluar dari gerbang benteng istana itu. Pintu
yang terbuat dari kayu jati tebal, kembali tertutup. Orang tua berambut
putih semua itu berhenti sebentar. Dipalingkan wajahnya memandang bangunan
yang megah di belakangnya. Kemudian pelahan-lahan kakinya kembari terseret
melangkah pergi. Tongkat kayu tanpa bentuk membantu langkahnya yang terseret
lesu.
Tanpa disadari, dua pasang mata mengamati sejak laki-laki tua itu keluar
dari pintu gerbang benteng bangunan megah itu. Dua pasang mata itu terus
mengikuti sampai jauh meninggalkan bangunan tersebut Dan tiba-tiba mereka
muncul di depan, sehingga membuat laki-laki tua itu terkejut setengah
mati.
"Eyang, ini aku..., Bayu."
"Oh...," laki-laki tua yang ternyata Eyang Puger mendesah panjang.
Orang yang mengamati sejak tadi ternyata memang Bayu dan Randu Watung.
Keduanya langsung mendekati dan menuntun Eyang Puger menjauhi tempat yang
terbuka itu. Mereka berhenti di depan sebuah mulut goa yang tidak begitu
besar. Kemudian masuk ke dalam goa itu dengan tubuh agak membungkuk. Randu
Watung menyalakan pelita dari buah jarak. Keadaan goa yang tadinya gelap
gulita, seketika jadi terang.
"Eyang tidak apa-apa?" tanya Bayu sambil membawa orang tua itu duduk di
atas jerami kering.
"Tidak," sahut Eyang Puger seraya menarik napas panjang.
Randu Warung duduk bersila di depan laki-laki tua kurus itu. Sedangkan Bayu
duduk di dekat mulut goa. Sesekali matanya memandang ke luar, mengamati
keadaan di luar sana. Nyala lampu pelita yang kecil, cukup menerangi goa
meskipun samar-samar. Bayu memperhatikan wajah Eyang Puger yang murung
dengan pandangan mata kosong menekun lantai goa.
"Mereka menyakitimu, Eyang?" tegur Bayu. Eyang Puger hanya menggeleng
lemah. Pandangannya sayu mengarah pada Pendekar Pulau Neraka yang duduk
dekat mulut goa.
"Randu, kau bisa menjaga di luar?" Randu Watung menoleh sebentar pada Bayu
kemudian bangkit berdiri. Dia tahu kalau ada sesuatu yang tidak boleh
diketahuinya. Pemuda itu melangkah ke luar goa. Bayu menggeser duduknya
mendekati Eyang Puger. Dia merasa ada sesuatu yang hendak diungkapkan
laki-laki tua itu, tapi begitu berat untuk mengucapkannya.
"Eyang, aku tahu ada yang ingin kau katakan," kata Bayu selembut
mungkin.
"Sulit, Bayu. Sepertinya aku sudah mati...," keluh Eyang Puger sendu. "Ada
apa sebenarnya, Eyang? Apa yang mereka lakukan padamu?" tanya Bayu
mendesak.
Eyang Puger terdiam seraya menundukkan kepalanya menekun lantai goa yang
lembab. Jelas sekali kalau ada sesuatu yang terasa berat untuk diucapkan.
Hal ini membuat Bayu semakin penasaran. Pendekar Pulau Neraka itu menggeser
duduknya semakin mendekat. Sementara cahaya pelita bertambah suram
nyalanya.
"Eyang...," lembut suara Bayu. Digenggamnya jari-jari tangan orang tua itu
yang kurus kering.
"Bayu, waktu kau menemukan mayat Wurati, apa kau yakin dia itu...," suara
Eyang Puger terputus. Kepalanya menggeleng-geleng beberapa kali, sepertinya
tidak sanggup untuk berkata-kata lagi.
"Eyang, apa maksudmu berkata begitu? Aku menemukan Wurati saat dia mau
terjun ke jurang. Aku berusaha mencegahnya, tapi dia tetap nekad melompat ke
jurang. Kepalanya pecah, wajahnya hancur. Sukar untuk dikenali lagi. Tapi
aku yakin kalau dia Wurati, cucumu Eyang. Aku sempat bicara padanya," kata
Bayu meyakinkan.
"Kau tidak mengatakan itu padaku, Bayu," nada suara Eyang Puger agak
menyesali.
"Maaf, Eyang. Saat itu kau terpukul sekali. Aku tidak sanggup
mengatakannya," ujar Bayu.
Eyang Puger menarik napas panjang. Ditatapnya dalam-dalam wajah Pendekar
Pulau Neraka. Kemudian digenggamnya erat erat tangan pemuda itu, seolah-olah
hendak mencari kekuatan pada diri Bayu.
"Bayu, kau tahu bahwa Wurati sebenarnya bukan cucuku asli. Dia datang
padaku dalam keadaan yang mengenaskan sekali. Aku menerimanya, mengasihi dan
menganggapnya sebagai cucuku sendiri. Dia begitu baik, penurut, dan rajin.
Aku mencintainya, Bayu. Tapi...," kembali suara laki-laki tua itu terputus.
Ada sedikit isakan di sela kata-katanya.
'Tapi kenapa, Eyang?"
"Aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi, Bayu. Aku...."
Belum habis Eyang Puger berkata, tiba-tiba muncul Randu Watung dengan
tergopoh-gopoh. Bayu langsung menggelinjang bangkit dan menghampiri Randu
Watung.
"Celaka! Mereka menuju ke sini...!" kata Randu Watung sebelum ada yang
bertanya.
"Mereka siapa?" Tanya Bayu.
"Orang-orang si Mata Iblis."
Jagat Dewa Batara" keluh Eyang Puger lirih.
***
ENAM
Bayu tidak sempat lagi bersuara, karena di depan goa sudah terdengar
teriakan keras menggelegar menyuruh Randu Watung dan Eyang Puger ke luar.
Kedua orang yang disebut namanya itu saling berpandangan. Sedangkan Pendekar
Pulau Neraka sudah merapat di bibir goa. Diperhatikannya sekeliling mulut
goa. Agak terkejut juga begitu dilihatnya goa ini sudah dikepung puluhan
orang bersenjata terhunus.
"Aku tahu kau di dalam Randu. Keluarlah, sebelum goa itu hancur!" teriakan
keras dari luar goa terdengar lagi.
"Bagaimana, Bayu?" tanya Randu Watung.
"Kau tetap di sini, jaga Eyang Puger," kata Bayu tenang.
"Kau sendiri?"
"Aku akan ke luar. Mudah-mudahan mereka bisa pergi tanpa kekerasan," sahut
Bayu tetap tenang.
"Jangan, Bayu. Berbahaya. Jumlah mereka terlalu banyak. Mereka orang-orang
kejam," cegah Randu Watung.
"Jaga saja Eyang Puger. Keselamatannya ada di tanganmu," Bayu tidak
menghiraukan cegahan itu. Belum sempat Randu Watung berkata, Pendekar Pulau
Neraka itu sudah melompat cepat ke luar. Randu Watung bergegas berlari
mendekati mulut goa. Dari balik batu, dia mengintip ke luar. Tampak Bayu
berdiri tegak seraya melipat tangan di depan dada.
Tidak jauh di depannya berdiri seorang laki-laki muda berbaju indah. Namun
garis garis kekerasan terlihat jelas di wajahnya. Di sekeliling Pendekar
Pulau Neraka itu sudah mengepung puluhan orang bersenjata golok terhunus.
Mereka semua mengenakan ikat kepala berwarna merah dengan bulatan hitam pada
keningnya.
"Balaga...," desis Bayu tertahan begitu mengenali laki-laki di
depannya.
Bayu mengenali orang itu, karena memang laki-laki itulah yang dicarinya.
Orang itu harus dibunuhnya untuk membalas budi pada Eyang Puger yang telah
menolongnya dari luka-luka yang dideritanya ketika bertarung. Dan Balaga
adalah cucu menantu, seorang kepala perampok berhati kejam.
Dengan memperalat istrinya, dia berhasil mencuri kitab berharga milik Eyang
Puger. Kitab yang berisi ramu-ramuan obat-obatan dan segala jenis racun.
Serta ilmu-ilmu pukulan beracun yang sangat dahsyat dan mematikan. Balaga
menikahi Wurati, memang punya maksud tertentu untuk menguasai kitab itu.
Untung saja minuman untuk Eyang Puger yang diberi bubuk racun, tidak
mematikan laki-laki tua itu, hanya membuat tubuhnya habis seperti tinggal
tulang saja.
Kalau saja Eyang Puger tidak memiliki pengetahuan tentang racun mungkin
sekarang sudah tidak ada lagi. Dan Wurati sendiri setelah menyadari
kesalahannya mengambil keputusan yang nekad. Bunuh diri dengan menceburkan
dirinya ke dalam jurang berbatu cadas. Semua itu diketahui Bayu, bahkan saat
Wurati bunuh diri pun Pendekar Pulau Neraka itu melihatnya. Bahkan berusaha
mencegahnya.
"Sudah kuduga, kau pasti bersama monyet-monyet busuk itu, Bayu," dingin
nada suara Balaga.
"Aku memang sengaja mencarimu, Balaga," ujar Bayu tidak kalah
dinginnya.
"Ha ha ha...! Dulu kau boleh menang, Bayu. Tapi sekarang.... Kepandaianmu
tidak ada artinya bagiku!" kata Balaga jumawa.
"Hm..., tidak kusangka kau bisa cepat menguasai isi kitab itu," sahut Bayu
sinis.
"Ha ha ha...!" Balaga tertawa congkak.
"Kau harus mengembalikan kitab itu, Balaga!" dengus Bayu dingin.
"Sudah kubakar!" sahut Balaga lantang.
"Keparat! Manusia macam kau tidak patut lagi hidup lebih lama!" ujar Bayu
tidak bisa lagi menahan amarahnya. Tapi tetap berusaha untuk tidak
terpancing, meskipun darahnya sudah mendidih sampai ke kepala.
"Kau lihat, Bayu. Orang-orangku yang akan mencincangmu!"
Setelah berkata begitu, Balaga langsung menjentikkan jarinya Dan seketika
itu juga orang-orang bersenjata golok terhunus berlompatan menerjang
Pendekar Pulau Neraka. Namun Bayu yang sudah siap sejak tadi, tidak bisa
menahan diri. Langsung digunakannya jurus 'Kelelawar Maut'. Satu jurus yang
dahsyat
"Hiya! Hiya...!"
Pendekar Pulau Neraka berlompatan cepat bagai kilat Tangannya berkelebatan
menghajar setiap penyerang yang mencoba mendekatinya. Sungguh luar biasa
pukulan Pendekar Pulau Neraka itu. Kepala dan dada hancur terkena pukulan
mautnya! Belum lagi' jari-jari tangannya yang setajam mata pisau, mampu
mengoyak tubuh manusia hingga berkelojotan meregang nyawa.
Setiap pukulan, sabetan tangan Pendekar Pulau Neraka dari jurus 'Kelelawar
Maut' mengandung racun yang langsung mematikan. Jurus-jurus pukulan Bayu
memang sudah lebih disempurnakan lagi dalam pengembaraannya, sehingga terasa
dahsyat akibatnya. Tidak ada seorang pun yang mampu bangkit lagi jika
terkena pukulannya.
Dalam waktu tidak berapa lama saja, terlihat sudah lebih dari dua puluh
orang menggeletak tidak bernyawa lagi. Dan mereka yang masih hidup, jadi
gentar. Serangan-serangannya kacau, tidak beraturan lagi. Dan ini membuat
Bayu semakin ganas.
Melihat orang-orangnya banyak yang tewas, Balaga jadi geram setengah
mati.
"Mundur...!" teriak Balaga keras.
Seketika itu juga orang-orangnya berlompatan mundur. Jumlah mereka yang
semula ada sekitar tujuh puluh orang, kini tinggal sekitar empat puluh orang
lagi. Mayat mayat bergelimpangan bersimbah darah. Sedangkan Bayu berdiri
tegak dengan tangan terlipat di depan dada.
"Hup...!"
Balaga melompat cepat, dan mendarat di depan Pendekar Pulau Neraka sekitar
satu batang tombak jauhnya. Dia menyepak salah satu tubuh di dekat kakinya,
sehingga tubuh tak bernyawa lagi itu menggelinding menjauh.
"Kau harus mati malam ini, Bayu. Dulu kau hampir menggagalkan aku menguasai
kitab itu. Dan sekarang kau juga akan menggagalkan aku menguasai Kadipaten
Sangkal Putung. Phuih! Kau bermimpi bisa menghalangiku, Bayu!" kata Balaga
dingin.
"Hm...," Bayu hanya menggumam kecil saja. Namun tatapan matanya begitu
tajam menusuk.
"Bersiaplah untuk mati, Pendekar Pulau Neraka! Hiyaaa...!"
Bagaikan kilat Balaga melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Jari-jari
tangannya mengembang kaku, siap menerkam tubuh Bayu. Namun pemuda berbaju
kulit harimau itu sudah siap sejak tadi. Bergegas dimiringkan tubuhnya ke
kanan seraya menekuk lutut sedikit.
Serangan Balaga luput dari sasaran. Namun dia kembali menyerang lebih cepat
dan dahsyat. Bayu terpaksa berlompatan menghindari serangan-serangan itu.
Dan memang sepertinya Balaga tidak memberi kesempatan pada Pendekar Pulau
Neraka itu untuk balas menyerang. Mengambil napas saja tidak diberi
kesempatan lagi. Namun sampai beberapa jurus berganti, belum juga Balaga
mendesak. Bahkan sepertinya Bayu sengaja mempermainkan dengan lompatan
menghindar dan berkelit saja tanpa balas menyerang.
"Setan keparat! Kau mau mempermainkan aku, heh...!" dengus Balaga menyadari
kalau Bayu tidak pernah balas menyerang sekali pun.
"Ada orang yang lebih berhak menghukummu, Balaga," kata Bayu tenang seraya
menghindari satu pukulan cepat menggeledek.
"Huh, sombong! Mampus kau! Hiyaaat...!"
Balaga semakin memperhebat serangan-serangannya. Dan Bayu memang mengakui
kalau Balaga mengalami kemajuan yang pesat sekali. Angin pukulannya
mengandung racun yang dahsyat dan keras luar biasa. Bayu terpaksa harus
menahan napas, dan memindahkannya melalui pernapasan pusar. Dia tidak ingin
menghirup udara yang sudah tersebar racun dari serangan-serangan
Balaga.
"Ha ha ha...!" Balaga tertawa terbahak-bahak begitu melihat Bayu mulai
limbung menghindari serangan dahsyatnya.
"Sebentar lagi kau akan mampus, Pendekar Pulau Neraka!"
"Hm..., bicaralah sepuasmu, Balaga!" dengus Bayu dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka itu tidak berani membuka suara. Sekali saja bersuara,
maka udara penuh racun di sekitar pertarungan akan terhisap ke dalam
tubuhnya. Dan ini bisa membahayakan dirinya. Bayu memang sengaja menggunakan
jurus 'Dewa Mabok'. Satu jurus yang sungguh aneh gerakan-gerakannya.
Tubuhnya seperti sudah tidak berdaya lagi. Dan beberapa kali hampir jatuh
tersuruk, tapi semua itu memang merupakan jurusnya yang ganjil dan baru
sekali ini dikeluarkan dalam pengembaraannya mengarungi rimba
persilatan.
Wajah Balaga yang semula gembira, jadi berkerut karena dia tidak bisa
memasukkan salah satu pukulannya. Meskipun kelihatannya Bayu sudah limbung,
namun masih sukar baginya menjatuhkan Pendekar Pulau Neraka itu. Bahkan
beberapa kali Bayu mulai membalas serangan-serangan Balaga. Dan setiap
serangan balasan itu terlontar, Balaga jadi jumpalitan menghindarinya.
"Kadal...!" dengus Balaga menggeram.
***
Pertarungan antara Pendekar Pulau Neraka melawan Balaga masih berlangsung
sengit. Sudah beberapa kali Bayu memberikan serangan balasan. Dan entah
berapa kali pukulannya berhasil disarangkan di tubuh lawannya. Tapi pukulan
itu tidak disertai pengerahan tenaga dalam secara penuh, sehingga tidak
membuat Balaga terluka parah.
Selagi bertarung, Pendekar Pulau Neraka itu sempat melirik ke arah goa.
Tampak Eyang Puger dan Randu Watung berdiri di depan mulut goa. Mereka
menyaksikan pertarungan itu dengan serius. Sedangkan orang-orang dari Partai
Mata Iblis berada cukup jauh. Tidak ada seorang pun yang berani mendekat,
karena mereka tahu kalau Balaga mempergunakan jurus-jurus yang mengandung
racun. Dan sudah jelas udara disekitar pertarungan itu sudah tersebar racun
yang sangat mematikan.
"Eyang, tampaknya Bayu tidak bersungguh-sungguh," kata Randu Watung
setengah berbisik.
"Hm.... Aku tidak tahu, apa maksudnya," gumam Eyang Puger. "Mungkin dia
ingin menyerahkan Balaga hidup-hidup padamu, Eyang."
Eyang Puger menatap pemuda di sampingnya.
"Sedikit aku mengetahui tentang dirimu dan persoalanmu pada Balaga. Itulah
sebabnya mengapa aku mengajak Bayu ke sini, karena aku tahu kalau Balaga
adalah wakil utama dari Ketua Partai Mata Iblis," kata Randu Watung bisa
menangkap arti pandangan laki-laki tua ahli pengobatan dan racun itu.
"Dari mana kau tahu?" tanya Eyang Puger.
"Secara tidak sengaja pernah kudengar pembicaraanmu dengan Bayu. Maaf,
bukannya aku mau menguping. Aku tidak sengaja mendengarnya," sahut Randu
Watung.
Eyang Puger memalingkan wajahnya kembali, melihat pertarungan antara Bayu
dan Balaga. Dan Randu Watung juga sudah serius lagi memperhatikan
pertarungan itu. Tampak kalau kini keadaan telah berubah jauh. Kali ini
Balaga terpaksa jatuh bangun berusaha menghindari serangan-serangan Pendekar
Pulau Neraka itu.
Beberapa kali pukulan dan tendangan Bayu masuk telak di tubuhnya. Tapi
semua itu tidak mengandung tenaga dalam penuh, sehingga Balaga masih bisa
bertahan, meskipun darah sudah mengucur dari mulut dan hidungnya.
"Eyang! Beri dia hukuman yang pantas...!" teriak Bayu tiba-tiba.
Dan belum lagi hilang suara teriakan itu, tiba-tiba saja Bayu bergerak
cepat memutari tubuh Balaga, dan tahu-tahu satu tendangan keras menghantam
tubuh orang itu, hingga terjungkal jatuh, ambruk mencium tanah tepat di
depan kaki Eyang Puger. Balaga berusaha bangkit berdiri, tapi Randu Watung
sudah cepat mencabut pedangnya. Ujung pedang itu langsung ditekankan pada
leher Balaga. Tentu saja hal ini membuat Balaga tidak bisa berkutik lagi.
Dia hanya dapat memandang Eyang Puger dengan mata berapi-api.
Melihat pemimpinnya tidak berdaya lagi di bawah ujung pedang, orang-orang
Partai Mata Iblis langsung berlarian meninggalkan tempat itu. Dan Bayu
memang enggan mengejar. Kemudian dilangkahkan kakinya menghampiri Eyang
Puger yang masih memandangi Balaga yang terlentang dengan ujung pedang
berada di tenggokannya.
"Orang seperti dia tidak pantas dibiarkan hidup, Eyang," kata Randu Watung
dingin.
"Balaga, aku akan memaafkanmu kalau kau mau berkata terus terang," kata
Eyang Puger tidak menghiraukan kata-kata Randu Watung.
"Huh!" Balaga mendengus.
"Siapa orang yang mirip Wurati itu?" tanya Eyang Puger.
"Kau bisa tanya sendiri padanya, tua bangka!"' jawab Balaga ketus.
"Aku tidak main-main, Balaga. Kau boleh pergi dengan jaminanku kalau kau
berkata jujur," kata Eyang Puger, agak tertahan nada suaranya.
"Kau pikir aku bodoh? Begitu aku bilang, pedang ini pun akan langsung
memanggang leherku!
"Randu...,"- Eyang Puger menatap Randu Watung.
Dengan perasaan terpaksa, Randu Watung menyingkirkan pedangnya, dan
memasukkan kembali ke dalam sarungnya.
Balaga bergegas bangkit berdiri. Ditatapnya Randu Watung dan Bayu dengan
pandangan yang tajam menusuk. Sinar matanya memancarkan kebencian dan dendam
yang membara. Kemudian ditatapnya Eyang Puger. Pelahan kakinya bergerak
mundur tiga langkah.
"Siapa, Balaga?" desak Eyang Puger mengulangi pertanyaan yang belum
terjawab. Nada suaranya begitu berharap sekali.
"Dia itu Wurati yang asli! Aku sengaja menyusupkannya ke dalam
kehidupanmu," kata Balaga datar.
"Lalu, siapa wanita yang bunuh diri itu?" tanya Eyang Puger, semakin
tertahan suaranya.
"Perempuan bodoh yang kubuat gila dan kurubah wajahnya agar mirip Wurati.
Ha ha ha...!"
"Kau bohong, Balaga!" geram Eyang Puger. "Aku tahu kau tidak memiliki
kepandaian merubah wajah seseorang. Siapa orang yang kau bunuh itu?"
'Tanyakan saja pada Wurati!" sahut Balaga seraya melompat.
Dan secepat kilat tangannya mengibas ke arah Eyang Puger. Seleret cahaya
hijau meluncur deras dari tangan itu. Eyang Puger terkesiap. Namun belum
sempat cahaya hijau dari sebilah pisau kecil itu bisa menyambar tubuh Eyang
Puger, Bayu sudah bertindak cepat.
"Hiyaaa...!"
Wut!
Begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu mengibas, Cakra Maut berwarna
keperakan pun melesat cepat, dan menghantam pisau hijau yang dilepaskan
Balaga. Bayu menghentakkan tangannya kembali begitu cakra berwarna perak itu
kembali melesat cepat ke udara, dan langsung menancap dalam di dada laga
yang masih berada di udara.
"Aaakh...!" Balaga menjerit melengking.
Tubuhnya langsung meluruk deras jatuh ke tanah. Bayu menghentakkan tangan
kanannya ke atas kepala, dan Cakra Maut melesat keluar dari tubuh Balaga,
langsung menempel kembali di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
itu. Sesaat Balaga menggelepar dengan dada mengucurkan darah segar. Kemudian
diam tidak bergerak-gerak lagi. Kejadian yang begitu cepat, dan sukar
diikuti pandangan mata biasa.
"Tamat sudah riwayatmu, Balaga...," desah Bayu pelahan.
Bayu menatap Eyang Puger yang hanya diam mematung dengan pandangan kosong.
Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri dan mengambil tangannya, lalu
digenggamnya erat-erat. Eyang Puger menatap Pendekar Pulau Neraka itu
dalam-dalam.
"Bayu, aku mohon padamu. Cari tahu, apakah Wurati masih hidup atau memang
sudah mati. Aku melihatnya di istana di Bukit Kedaung," kata Eyang Puger
lirih.
Setelah berkata begitu, Eyang Puger melangkahi pergi tertatih-tatih.
Sebentar Bayu memandangi, kemudian berjalan cepat mengejar Randu Watung
mengikuti dari belakang.
"Eyang mau ke mana?" tanya Bayu.
"Pulang. Tidak ada gunanya aku berada di sini. Bayu, kuharap kau mau
membunuhnya kalau memang Wurati bermaksud buruk padaku, dan berkomplot
dengan Balaga. Tapi kalau dia seorang yang baik, suruh dia kembali padaku,"
kata Eyang Puger tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"Kita harus secepatnya ke sana, Bayu. Bangunan itu tempat
peristirahatan...," Randu Watung menghentikan kalimatnya.
"Kau harus berterus terang pada Bayu, Randu. Katakan dirimu yang
sebenarnya, dan tujuanmu berada di Kadipaten Sangkal Putung ini. Kuharap kau
bisa menyelesaikan tugasmu dengan baik," ujar Eyang Puger.
"Sampaikan salam maafku pada ayahmu karena aku tidak menyambut dan
mengenalimu dengan baik."
"Ada apa lagi ini...?!" sentak Bayu semakin kebingungan tidak mengerti.
Dipandanginya Randu Watung dan Eyang Puger bergantian.
"Kau bisa menjelaskannya, Randu. Aku pergi dulu. Kuharap kalian berdua bisa
memberantas mereka," kata Eyang Puger.
"Eyang...!" sentak Bayu.
Tapi Eyang Puger sudah lebih cepat melesat pergi. Begitu cepatnya, sehingga
dalam sekejap saja bayangan tubuhnya sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
Bayu menatap Randu Watung yang hanya diam saja dengan wajah yang sukar
diartikan.
"Kau masih juga mendustaiku, Randu...?!" dingin nada suara Bayu.
"Maaf, Bayu. Aku terpaksa. Semua ini kulakukan demi tugasku yang teramat
berat," kata Randu Watung meminta pengertian Pendekar Pulau Neraka
itu.
"Siapa kau sebenarnya?" desak Bayu, tetap dingin nada suaranya. "Aku
sebenarnya Putra Mahkota Kerajaan Mandureja. Kadipaten Sangkal Putung
termasuk wilayah Kerajaan Mandureja. Ayahanda Prabu menugaskanku untuk
menghentikan pemberontakan orang-orang dari Partai Mata Iblis yang ingin
menguasai Kadipaten Sangkal Putung ini. Bahkan mungkin akan menyebar ke
kadipaten-kadipaten lainnya," ungkap Randu Watung mulai berterus
terang.
"Bisa kupercaya ceritamu itu, Randu Watung?" Bayu masih sukar
mempercayainya. Meskipun dia teringat dengan penjaga perbatasan yang begitu
hormat dan memanggil Raden pada Randu Watung.
"Kali ini aku berkata terus terang, Bayu," Randu Watung meyakinkan.
"Dua kali kau berkata begitu padaku. Dan ini yang ketiga kalinya. Kalau kau
tetap berdusta juga, aku tidak segan-segan memenggal kepalamu!" ancam Bayu
tidak main-main.
"Kau boleh memenggal kepalaku, bahkan mencincang seluruh tubuhku, Bayu. Aku
akan membawamu ke istana kalau persoalan ini sudah selesai. Akan kuceritakan
jasamu, dan meminta Ayahanda Prabu agar kau menjadi saudara tuaku," nada
suara Randu Watung terdengar serius kali ini.
"Aku tidak mengharapkan semua itu. Aku cukup puas jika kau tidak
membiasakan diri mendustai orang!" tegas kata-kata Bayu.
"Bagaimanapun juga kau telah berjasa banyak, dan aku tidak akan melupakan
jasa-jasamu."
Bayu terdiam. Kembali dilangkahkan kakinya perlahan-lahan. Meskipun nada
suara Randu Watung terdengar serius, tapi Pendekar Pulau Neraka itu belum
bisa percaya penuh. Sudah dua kali Randu Warung bercerita bohong padanya.
Dan itu sudah lebih dari cukup untuk tidak bisa langsung percaya
lagi.
Tapi Bayu masih tetap membiarkan pemuda berbaju biru itu mengikutinya,
karena mereka punya tujuan yang sama, meskipun dengan maksud yang berbeda.
Bayu belum bisa meninggalkan tempat ini, sebelum pesan Eyang Puger
terlaksana seluruhnya. Dia harus mencari tahu apakah Wurati masih hidup,
atau sudah mati.
"Kau marah padaku, Bayu?" tegur Randu Watung merasa tidak enak, karena Bayu
diam saja.
"Tergantung dari sikap dan pembicaraanmu," sahut Bayu datar.
"Aku minta maaf," ucap Randu Warung.
"Maafmu bisa kau ucapkan nanti."
"Aku senang kalau kau mau memaafkanku."
"Sudahlah, sebaiknya kita cepat ke Bukit Kedaung," ujar Bayu enggan bicara
lagi.
"Sebaiknya jangan sekarang."
"Kenapa?"
"Mereka pasti melipatgandakan penjagaan. Ayo lah, kau ikuti saja
kata-kataku. Kita tunggu saja laporan telik sandiku Setelah yakin, baru kita
gempur mereka," kata Randu Watung.
"Hm .., mungkin kau benar. Tapi itu bukan berarti aku mulai percaya
padamu."
Randu Warung tersenyum lebar. Hatinya kembali senang karena Bayu mau
mengikuti kata-katanya, meskipun di hati Pendekar Pulau Neraka itu masih
tersimpan ketidakpercayaan. Tapi kesediaan Bayu mengikutinya sudah cukup
baginya.
***
TUJUH
Rumah yang ditempati mereka tidak begitu besar. Tapi Bayu mendapatkan
sebuah kamar yang cukup indah, bagai kamar seorang pembesar kerajaan. Bayu
jadi berpikir juga, karena dirumah ini selalu saja ada orang-orang yang
datang secara sembunyi-sembunyi. Dan di bagian depan terdapat kedai minum
yang selalu sepi dari pengunjung. Bahkan Bayu bisa melihat kalau laki-laki
tua yang katanya pemilik kedai dan rumah penginapan ini sikapnya begitu kaku
melayani pengunjung. Bahkan buku-buku tangannya nampak halus, seperti tidak
pernah bekerja berat.
Juga pelayan-pelayan lainnya sangat canggung membawa baki. Bayu menggeliat
bangun dari pembaringannya. Dia tersentak kaget, dan langsung menggelinjang
bangun begitu melihat Randu Watung sudah duduk di kursi dekat jendela kamar
ini. Sedangkan pintu masih tertutup rapat. Randu Watung tersenyum.
Pakaiannya sangat indah berhiaskan sulaman dari benang emas. Pemuda itu
sangat tampan, persis seorang putra mahkota. Bayu duduk di tepi pembaringan.
Disambarnya cawan berisi arak manis, dan langsung menenggaknya hingga
tandas.
"Tidurmu nyenyak sekali," ucap Randu Watung tidak terlepas dari
senyumannya.
"Ya, sampai kesiangan bangun," sahut Bayu.
"Kau tidur terlalu larut, bahkan menjelang pagi."
Bayu tersentak kaget. Ditatapnya lekat-lekat wajah Randu Watung yang masih
juga tersenyum. Pemuda yang bajunya dari sutra berwarna biru itu
memain-mainkan cawan perak di tangannya. Sudah tiga hari ini, Randu Watung
selalu memakai baju dengan warna yang sama. Kalau tidak biru tua, selalu
biru muda.
"Memang tidak ada perlunya aku mengetahui setiap kegiatanmu, Bayu. Tapi
dengan ke luar setiap malam secara diam-diam, itu bisa membahayakan dirimu
sendiri," kata Randu Watung dengan nada yang sangat lain dari biasanya.
Suaranya begitu empuk dan mengandung kewibawaan yang sangat besar. Bayu
sendiri hampir tidak percaya dengan pendengarannya.
Sepertinya Bayu tidak menghadapi Randu Watung yang dianggapnya sebagai
pembual, pengarang cerita saja. Seolah-olah Bayu berhadapan dengan orang
lain yang belum dikenalnya sama sekali. Sungguh sangat berbeda sekali, jauh
dari yang selama ini dikenalnya.
"Aku berterima kasih sekali padamu, karena selama tiga hari ini telah
mengurangi separuh dari jumlah mereka. Beberapa telik sandiku melaporkan
bahwa jumlah anggota Partai Mata Iblis sudah berkurang lebih dari
setengahnya. Dan itu berarti mengurangi kekuatan mereka, meskipun masih ada
yang tangguh. Terutama pemimpinnya," lanjut Randu Warung.
"Jangan membuatku bingung, Randu Watung. Aku tidak mengerti dengan semua
yang kau bicarakan," selak Bayu.
"Memang sukar menyelami jiwa seorang pendekar," kata Randu Warung kembali
tersenyum lebar.
"Randu Watung, setiap malam aku memang ke luar. Aku ingin menyelidiki
sendiri keadaan dan kekuatan mereka. Tapi tidak pernah bentrok dengan
mereka, apalagi sampai membunuh begitu banyak anggota Partai Mata Iblis.
Tidak sekali pun aku bentrok dengan mereka!" kata Bayu tegas.
"Kau terlalu merendah, Bayu."
"Aku berkata yang sebenarnya, Randu. Tidak seperti kau, yang selalu
membual!" dengus Bayu sedikit kesal juga
"Hm...," gumam Randu Watung pelan.
Sedangkan Bayu hanya diam menatap tajam, langsung menusuk ke bola mata
pemuda tampan di depannya.
"Kalau bukan kau yang mengurangi jumlah mereka, lalu siapa...?" Randu
Watung seperti bertanya untuk dirinya sendiri. "Belum pernah aku bermain
seperti itu. Bagiku, menyerang, lalu menghilang tanpa jejak bukan sifat
seorang ksatria. Aku lebih suka bertarung secara terbuka!" kata Bayu
tegas.
"Kalau bukan kau, tentu ada orang lain," gumam Randu Watung pelan.
"Huh! Seharusnya aku tidak bertemu denganmu, Randu. Persoalan ini semakin
bertambah rumit saja!" keluh Bayu bersungut-sungut.
"Bukan kita yang menginginkannya, tapi Dewata,"! ucap Randu Warung.
"Ah, sudahlah. Apa pun katamu, yang jelas aku tidak pernah membantai
mereka. Aku sendiri heran dengan jumlah mereka yang semakin berkurang,"
potong Bayu cepat.
"Aku percaya padamu, Bayu. Tapi siapa pun orangnya, dia pasti punya tujuan
yang sama, meskipun dengan jalan berbeda. Atau mungkin juga punya tujuan
lain yang kita tidak tahu," kata Randu Watung tetap lembut nada suaranya,
meskipun Bayu bernada sengit setiap kali berbicara dengannya. Dan Randu
Watung bisa memakluminya. Tidak ada seorang pun yang rela dirinya didustai
sampai dua kali berturut-turut.
Randu Watung bangkit berdiri, dan melangkah mendekati pintu. Dibukanya
pintu itu, tapi belum juga kakinya melangkah ke luar, dia sudah berbalik
lagi dengan pintu tetap terbuka lebar. Sedangkan Bayu masih tetap duduk di
tepi pembaringannya.
"Kau mau makan di sini, atau di depan?" tanya Randu Warung.
"Nanti saja, aku belum lapar," sahut Bayu seraya bangkit berdiri.
"Aku tunggu kau di kedai depan, Bayu."
"Hm...."
Randu Watung melangkah ke luar, dan menutup kembali pintu kamar itu.
Sementara Bayu melangkah ke jendela, dan membukanya lebar-lebar. Sebentar
ditatapnya keadaan di luar, kemudian berbalik dan melangkah ke pintu.
Tangannya membuka pintu, kemudian melangkah ke luar dari kamar ini.
Dibiarkannya saja pintu itu tetap terbuka.
***
Sejak matahari tenggelam, Bayu sudah berada tidak jauh dari bangunan megah
dikelilingi tembok benteng yang tinggi dan kokoh, di Puncak Bukit Kedaung.
Pendekar Pulau Neraka itu berada cukup terlindung dari penglihatan orang.
Tatapan matanya sangat tajam, dan tidak berkedip mengamati sekitar bangunan
megah itu. Seperti seekor burung, dia duduk di atas dahan yang cukup besar
dengan daun-daun rimbun hampir menutupi tubuhnya.
Pandangan mata Pendekar Pulau Neraka itu tertuju langsung ke bagian Timur
gedung megah itu. Tampak sebuah bayangan berkelebatan menyelinap di antara
pepohonan dan tembok batu benteng gedung itu. Cukup jauh jaraknya, sehingga
Bayu tidak bisa melihat jelas. Tapi mendadak saja, Pendekar Pulau Neraka itu
dikejutkan oleh sebuah suara melengking tinggi.
Dan belum lagi hilang rasa terkejutnya, mendadak di bagian Timur bangunan
itu, terlihat beberapa tubuh berpentalan di udara. Jerit pekik menyayat
terdengar saling susul. Bayu dapat melihat kalau bayangan itu bergerak cepat
membantai orang-orang dari Partai Mata Iblis. Juga dilihatnya puluhan orang
berlarian keluar dari dalam bangunan itu. Dan bayangan itu langsung
berkelebat cepat melompati tembok benteng langsung lenyap di dalam
hutan.
"Aku harus tahu, siapa dia!" gumam Bayu dalam hati. "Hup!"
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka melesat cepat ke arah bayangan itu
lenyap. Ilmu meringankan tubuhnya sudah mencapai taraf kesempurnaan,
sehingga yang terlihat hanya bayangan kuning berkelebatan di antara
pepohonan. Sementara di dalam benteng bangunan megah itu terjadi keributan
besar, karena tidak kurang dari dua puluh orang tewas diserang orang yang
tidak jelas tadi.
Dengan tatapan mata yang setajam mata elang, Pendekar Pulau Neraka mampu
melihat di kegelapan malam. Cepat sekali dapat dilihatnya bayangan putih
berkelebatan menyelinap diantara pepohonan. Bayu menggenjot tubuhnya,
melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali. Lalu indah sekali kakinya
menotok sebuah dahan, lalu melesat kembali dengan kecepatan yang sangat
sukar diikuti pandangan mata biasa.
"Hap...!"
Manis sekali Pendekar Pulau Neraka hinggap di dahan pohon setelah melewati
orang yang dikejarnya. Dan dia memandangi terus, mengikuti arah larinya
orang itu. Lalu....
"Berhenti...!"
Sambil berteriak keras, Pendekar Pulau Neraka melompat turun, langsung di
depan orang berbaju putih longgar. Bayu terkesiap begitu mengenali orang
tersebut. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka itu hanya bisa terdiam dengan
mulut sedikit terbuka. Sedangkan didepannya berdiri seorang laki-laki tua
yang rambut dan janggutnya memutih semua. Jubahnya yang panjang putih, sudah
kumal agak kekuningan. Tangan kanannya menggenggam sebatang tongkat yang
tidak karuan bentuknya. Dia juga terkejut begitu tiba-tiba di depannya
menghadang seorang pemuda berbaju kulit harimau.
"Eyang Puger...," desis Bayu setengah tidak percaya.
"Apa yang kau lakukan di sini, Bayu?" tanya Eyang Puger setelah hilang dari
rasa keterkejutannya.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, Eyang. Untuk apa kau lakukan
semua ini? Membantai mereka, lalu menghilang seperti musang," ujar Bayu
seraya melangkah menghampiri laki-laki tua kurus kering itu.
"Aku tidak perlu menjelaskan lagi, Bayu. Kau pasti sudah tahu, kenapa aku
begitu dendam pada mereka. Bagiku, dendam ini tidak akan pupus sebelum
mereka musnah dari muka bumi," datar nada suara Eyang Puger.
"Aku mengerti, Eyang. Mereka memang orang-orang berhati iblis. Tapi dengan
caramu seperti itu akan membuat kesulitan bagi dirimu sendiri," kata
Bayu.
"Aku sudah tua, Bayu. Mati pun aku tidak menyesal kalau manusia keparat itu
sudah mampus! Sampai ke neraka sekalipun aku tidak akan bisa mengampuninya.
Dia telah menyakiti hatiku, Bayu. Belum pernah aku merasa terpedaya seperti
kerbau begini. Aku malu, sakit hati...!" agak tertahan suara Eyang
Puger.
"Eyang, apa sebenarnya yang telah terjadi padamu?" tanya Bayu tidak
mengerti.
"Kau terlalu baik, Bayu. Sudah banyak aku menyusahkanmu. Rasanya tidak
pantas kalau kukatakan hal ini padamu," terdengar pelan suara Eyang
Puger.
"Katakan, Eyang. Mungkin akan membantu meringankan beban batinmu. Kau perlu
seseorang yang bisa diajak bicara. Aku bersedia mendengar semua keluhanmu,"
desak Bayu.
"Bayu, kau ingat kata-kata Balaga waktu itu?"
"Ya," Bayu mengangguk.
"Apa yang dikatakannya, sebagian memang benar. Aku sengaja tidak kembali,
karena aku penasaran dan ingin tahu kebenarannya. Tiga hari ini aku selalu
menyelidiki mereka, mengurangi jumlah mereka agar Raden Randu Watung mudah
menyelesaikan tugas beratnya. Oh.... Sungguh memalukan!" Eyang Puger
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hm...!" kening Bayu berkerut.
"Aku benar-benar malu pada diriku sendiri, Bayu. Kalau si keparat itu belum
mati, tidak bakalan aku berani hidup di dunia ramai Sungguh
memalukan!"
"Begitu jauhkah?" Bayu masih kurang mengerti kata-kata Eyang Puger yang
berbelit-belit menyesali dirinya. "Kau tidak akan berkata begitu kalau sudah
melihatnya sendiri, Bayu."
'"Melihatnya? Melihat apa?" tanya Bayu.
"Wurati. Dia masih hidup dan sekarang ada di bangunan benteng itu."
"Apa...!?"
"Itulah yang ingin kuselidiki kebenarannya. Dan semakin jauh kuketahui,
semakin sakit rasa hatiku. Kau pasti tidak akan percaya kalau Wurati
benar-benar belum mati."
"Bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi, Eyang?" tanya Bayu masih belum
percaya. "Jelas aku melihatnya sendiri, bahkan sempat membujuknya agar tidak
bunuh diri. Mustahil kalau dia masih hidup!"
"Kenyataannya begitu, Bayu. Wurati sengaja datang padaku dengan satu maksud
buruk. Sebenarnya dia adalah istri Balaga. Mereka memang punya maksud untuk
menguasai kitabku. Kau pasti tahu bagaimana pentingnya kitab itu bagiku.
Perlu dua puluh tahun menyusunnya kembali. Mereka kini menguasainya, dan
sudah mempelajarinya. Kitab itu sudah dibakar, " ada nada keluhan pada
kata-kata terakhirnya. "Wurati harus mati, Bayu. Dia telah menghancurkan
seluruh kehidupanku. Semua yang kulakukan selama hidupku. Semuanya
hancur...!"
Bayu diam saja. Masih belum bisa dipahami dan dipercayainya kalau Wurati
belum mati. Memang sebelumnya Eyang Puger sudah memberitahu, agar dia
menyelidiki kebenaran dari kematian Wurati. Tapi belum bisa berbuat banyak.
Dan sekarang Eyang Puger bertindak sendiri, bahkan begitu yakin kalau Wurati
masih hidup.
"Hi hi hi...!" tiba-tiba saja terdengar suara tawa mengikik.
Belum lagi Bayu bisa menghilangkan rasa keterkejutannya, tiba-tiba sebuah
bayangan hitam berkelebat cepat, langsung menyerang Eyang Puger. Laki-laki
tua renta itu berusaha menghindar seraya membanting tubuhnya ke tanah. Tapi
gerakannya begitu lamban, dan entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu tubuh
kurus kering itu terpental.
"Aaa...!"
Eyang Puger menjerit keras melengking. Tubuh kurus kering itu membentur
sebongkah batu sebesar kerbau. Dan batu itu pun hancur berkeping-keping
memperdengarkan suara ledakan menggemuruh. Eyang Puger berusaha bangkit
berdiri, namun bayangan hitam itu sudah berbalik dan hendak menyerang
kembali. Namun pada saat bayangan hitam itu meluruk deras, secepat kilat
Bayu mengebutkan tangannya, dan dia sendiri juga melesat ke arah Eyang
Puger.
"Hiaaat...!"
"Hop!"
***
Seleret cahaya perak mendesing bagai kilat menyambar ke arah sosok tubuh
hitam yang melesat di udara. Untungnya dia cepat-cepat memutar tubuhnya,
sehingga Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka tidak sampai
mengoyak tubuhnya. Dan pada saat yang bersamaan, Bayu menubruk Eyang Puger.
Secepat itu pula seberkas sinar merah meluncur bagai kilat menghantam tanah
di mana Eyang Puger tadi berdiri. Satu ledakan keras menggelegar menghantam
tanah yang merekah berhamburan ke sekitarnya.
'Tunggu di sini, Eyang," kata Bayu setelah menempatkan Eyang Puger di
tempat yang cukup aman.
"Hati-hati, Bayu," ujar Eyang Puger. Bayu hanya menggumam kecil. Kemudian
melompat menghadapi orang berbaju serba hitam mengenakan caping besar yang
menutupi seluruh kepalanya. Belum sempat Pendekar Pulau Neraka itu membuka
suara, mendadak saja disekeliling mereka bermunculan orang-orang berikat
kepala merah dengan senjata terhunus. Jumlah mereka tidak kurang dari lima
puluh orang. Tampak di antara mereka terdapat Nyakra, dan seorang perempuan
muda dan cantik dengan pedang bertengger di punggungnya.
Wanita cantik itu mendekati orang berbaju hitam dengan caping bambu yang
lebar bertengger di kepalanya Sedangkan Nyakra menggerakkan tangannya,
memberi isyarat pada semua orang pengikutnya untuk bersiaga. Bayu
memperhatikan dengan mata tidak berkedip.
"Kalau hanya satu orang, tidak perlu mengerahkan banyak anggota, Caping
Maut," kata wanita itu setengah berbisik.
"Dia bukan orang sembarangan, Kaniten. Kepandaiannya sangat tinggi," sahut
si Caping Maut.
"Hm...," wanita yang dipanggil Kaniten melirik pemuda berbaju kulit
harimau. "Boleh aku coba, Caping Maut?"
"Hati-hatilah! Terutama dengan senjatanya."
"Senjatanya...? Aku tidak melihat dia membawa senjata."
"Kau lihat pergelangan tangan kanannya, Kaniten?"
"Ya."
"Cakra itulah senjata mautnya."
Kaniten tertawa mendengar penjelasan si Caping Maut. Sama sekali dia tidak
memandang sebelah mata pada Pendekar Pulau Neraka. Sementara Bayu yang
mendengar semua pembicaraan itu hanya diam saja. Sempat diliriknya Eyang
Puger yang berada di atas pohon yang cukup tinggi, dan terlindung
tempatnya.
Entah mereka tahu atau tidak, yang jelas tidak ada seorang pun yang
memperhatikan Eyang Puger. Semua perhatian mereka tercurah pada Pendekar
Pulau Neraka.
"Aku mau tahu, seperti apa kehebatan senjata yang kau takutkan itu, Ketua,"
kata Kaniten, nada suaranya sinis mengejek.
"Aku lebih tahu daripadamu, Kaniten. Beberapa kali aku bentrok dengannya.
Kau akan menyesal tidak menghiraukan peringatanku," kata si Caping Maut agak
tersinggung.
"Kita lihat saja. Kalau aku berhasil mengalahkannya, kau harus mundur dari
jabatanmu sebagai Ketua Partai Mata Iblis!" kata Kaniten tandas.
"Kuharap kau bisa menyadari kepongahanmu, Kaniten."
Wanita cantik yang menyandang pedang di punggungnya itu, hanya mendengus
mencibirkan si Caping Maut. Sama sekali tidak dihiraukan peringatan Ketua
Partai Mata Iblis itu. Dengan sikap seenaknya, dia melangkah maju mendekati
Bayu. Bibirnya masih menyunggingkan senyuman meremehkan.
Sedangkan Pendekar Pulau Neraka memperhatikan dengan mata tidak berkedip.
Dia sudah malang-melintang di dalam rimba persilatan, dan sudah banyak
bertemu dengan tokoh-tokoh sakti rimba persilatan. Sikap Kaniten yang
meremehkannya, sama sekali tidak dipandang enteng.
"Enggan aku berkata banyak. Bersiaplah, Kisanak!" kata Kaniten langsung
membuka jurus.
Bayu masih berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada. Namun tatapan
matanya begitu tajam memperhatikan gerak-gerak kaki dan tangan Kaniten yang
membuka jurus-jurus kembangan untuk memulai pertarungan.
"Tahan seranganku! Hiyaaat...!"
Cepat sekali Kaniten melompat sambil melontarkan dua pukulan sekaligus.
Namun Bayu hanya sedikit memiringkan tubuhnya, sehingga serangan wanita itu
berhasil dielakkan dengan mudah. Bahkan kakinya tidak dipindahkan sedikit
pun. Dan Kaniten terus menyerang dengan cepat dan dahsyat
.
"Hup!"
***
DELAPAN
Bayu terpaksa melompat ketika satu sepakan kaki Kaniten mengarah ke
kakinya. Dan pada waktu Pendekar Pulau Neraka berada di udara, Kaniten
dengan cepat mencabut pedangnya, dan langsung dikibaskan ke arah perut. Bayu
terkesiap sesaat, tidak menyangka kalau Kaniten akan menyerang dengan
pedangnya secepat itu. Tidak ada waktu lagi untuk berkelit Cepat sekali Bayu
menghentakkan tangan kanannya, memapak tebasan pedang itu.
Tring!
"Ikh!"
Kaniten memekik kaget. Buru-buru ditarik pulang pedangnya. Wajah wanita itu
jadi memerah, bibirnya meringis merasakan nyeri pada jari-jari tangannya.
Sungguh tidak diduga kalau tenaga dalam Pendekar Pulau Neraka begitu
dahsyat, dan pedangnya tadi hampir saja terpental ketika membentur Cakra
Maut yang menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau
itu.
Dua kali Kaniten melangkah mundur. Tatapan matanya begitu tajam menusuk
langsung ke pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Sementara itu
Bayu sudah berdiri tegak dengan tangan melipat di depan dada tidak jauh dan
arena pertarungan itu, tampak si Caping Maut tersenyum. Diangkatnya sedikit
caping yang menutupi wajahnya, sehingga bagian bibirnya dapat
terlihat.
"Sudah kubilang, hati-hati dengan senjatanya, Kaniten'" seru si Caping
Maut
"Huh!" dengus Kaniten kesal. Wanita cantik itu kembali menggerakkan
pedangnya di depan dada. Lalu sambil berteriak keras, dia melompat
mengibaskan pedangnya beberapa kali, mengarah pada bagian-bagian tubuh
Pendekar Pulau Neraka yang mematikan. Namun gesit sekali Bayu berkelit
menghindari serangan-serangan yang cepat dan dahsyat itu. Bahkan dia masih
mampu membalas dengan tidak kalah dahsyatnya.
Pertarungan semakin meningkat. Tampak sekali kalau Kaniten sudah
mengeluarkan jurus-jurusnya yang ampuh dan sangat berbahaya. Sedangkan
sampai saat ini, Bayu belum punya kesempatan menggunakan senjata mautnya.
Dia tidak punya jarak yang cukup untuk melontarkannya. Kaniten seperti sudah
tahu saja, dia bertarung rapat tanpa memberi kesempatan pada Pendekar Pulau
Neraka untuk merenggangkan jarak.
"Pecah kepalamu, keparat!" bentak Kaniten tiba-tiba.
"Hiat..!"
Cepat sekali Kaniten mengibaskan pedangnya ke kepala Pendekar Pulau Neraka.
Dan kesempatan ini tidak disia-siakan begitu saja. Dengan cepat Bayu
mengangkat tangan kanannya ke atas, melindungi kepalanya dari tebasan pedang
itu.
Tring!
"Hait...!"
Begitu dua senjata beradu, cepat-cepat Bayu melentingkan tubuhnya ke
belakang, dan secepat kilat dikebutkan tangan kanannya. Secercah cahaya
keperakan melesat cepat bagai kilat dari pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka. Saat itu Kaniten terperangah, namun secepat kilat dikebutkan
pedangnya menghalau Cakra Maut yang meluncur deras mengancam tubuhnya.
Tring!
"Akh...!" Kaniten memekik tertahan. Pedang di tangannya terpental ke udara
begitu membentur Cakra Maut yang dilepaskan Bayu. Pada saat itu, Bayu cepat
melompat sambil menghunjamkan satu pukulan bertenaga dalam sangat sempurna.
Serangan yang cepat itu tidak dapat dihindarkan lagi, sehingga....
"Aaa...!" Kaniten menjerit keras melengking. Tubuh ramping itu terpental
jauh ke belakang terkena pukulan keras bertenaga dalam sangat sempurna. Dan
sebelum tubuh Kaniten jatuh ke tanah, Pendekar Pulau Neraka sudah
menghentakkan tangan kanannya secara keras ke depan. Senjata cakra yang baru
saja mau balik menempel, langsung melesat kembali, dan....
"Aaahk!"
Untuk kedua kalinya Kaniten menjerit melengking tinggi. Tampak Cakra Maut
menghunjam dalam di dada yang membusung indah itu. Kaniten menggelepar di
tanah Darah mengucur deras dari dadanya begitu Cakra Maut kembali menghentak
balik pada pemiliknya. Hanya sebentar wanita itu mampu bergerak, sesaat
kemudian diam dengan nyawa melayang dari tubuhnya.
Gumaman-gumaman tertahan terdengar dari orang-orang anggota Partai Mata
Iblis. Mereka semua tahu kalau Kaniten memiliki kepandaian yang sukar dicari
tandingannya. Tapi sekarang menggeletak tidak bernyawa di tangan seorang
pemuda berbaju kulit harimau. Pemuda yang belum dikenal, meskipun sudah
malang-melintang di dalam rimba persilatan.
"Seraaang...!" tiba-tiba Nyakra berteriak keras. Belum lagi hilang suara
Nyakra, seketika itu juga terdengar seruan-seruan keras, disusul
berlompatannya orang-orang bersenjata golok memakai ikat kepala merah dengan
bulatan hitam pada keningnya. Mereka berlompatan menyerbu Pendekar Pulau
Neraka. Hampir semua anggota Partai Mata Iblis berlompatan menyerang dengan
golok terhunus berkelebatan.
***
Bayu tidak punya pilihan lain lagi. Dia belum mau mati tercincang sia-sia.
Dengan mengerahkan jurus 'Kelelawar Sakti', Pendekar Pulau Neraka itu
mengamuk bagai banteng terluka! Paling tidak disukainya menghadapi keroyokan
seperti ini. Terlebih lagi para penyerangnya bertarung serabutan tidak pakai
aturan sama sekali. Memang menguntungkan, tapi Bayu sendiri jadi sukar untuk
menghadapinya.
Satu orang bisa terhajar, tiga atau lima orang menyerang serentak dari
segala jurusan. Pekik pertempuran berbaur menjadi satu dengan jeritan
kematian. Setiap pukulan dan tendangan Pendekar Pulau Neraka, selalu membawa
korban. Tapi Bayu tidak terlalu sering menyerang, karena sudah disibukkan
dengan serangan yang beruntun, sehingga harus lebih banyak terpusat pada
penghindaran.
Sungguh suatu keadaan yang tidak menguntungkan bagi Pendekar Pulau Neraka.
Untuk bisa lolos saja rasanya sudah tidak mungkin lagi. Pengepungan pada
dirinya begitu rapat. Bahkan mereka seperti orang kemasukan setan, tidak
lagi takut mati. Terus merangsek meskipun sudah banyak yang tewas berlumuran
darah. Malam yang seharusnya hening, kini jadi hiruk-pikuk oleh pertempuran
yang tidak seimbang
"Huh! Kalau begini terus, bisa habis napasku!" dengus Bayu menggerutu dalam
hati.
Tapi Pendekar Pulau Neraka itu tidak punya kesempatan lagi untuk keluar
dari keroyokan ini. Jumlah mereka tadi terlihat hanya sekitar lima puluh
orang. Tapi entah dari mana datangnya, tahu-tahu jumlah mereka jadi tiga
kali lipat banyaknya. Namun demikian, Bayu masih sempat melirik ke tempat
Eyang Puger tadi berada. Dan hatinya jadi terkesiap, karena di sana tidak
lagi dilihatnya laki-laki tua itu. Bayu jadi cemas, begitu diketahuinya
kalau Eyang Puger tengah jungkir balik, jatuh bangun menghadang serangan si
Caping Maut.
Bayu jadi geram melihat keadaan seperti ini. Dan begitu ada kesempatan,
dilontarkan Cakra Maut-nya dengan cepat Senjata berbentuk bintang yang
ujung-ujungnya bengkok itu melesat cepat memutar, membabat orang orang yang
berada di sekitar Pendekar Pulau Neraka itu. Secepat kilat, Pendekar Pulau
Neraka itu melompat melewati beberapa kepala. Namun belum jauh melompat,
puluhan batang tombak sudah beterbangan menghujani tubuhnya.
"Kampret!" Bayu mengumpat geram.
Terpaksa Bayu harus berjumpalitan di udara menghindari terjangan
tombak-tombak itu. Dan berhasil ditangkapnya satu tombak. Dengan tombak di
tangan, Pendekar Pulau Neraka itu meluruk turun, lalu mengamuk membuka jalan
mendekati pertarungan antara Eyang Puger melawan si Caping Maut. Sementara
senjata Cakra Maut terus bergerak beterbangan bagai seekor burung.
Menghantam orang-orang Partai Mata Iblis yang jadi panik, menghadapi senjata
yang bisa bergerak sendiri dengan kecepatan bagai kilat
Tiba-tiba saja di bagian lain terjadi kegaduhan. Tampak Randu Watung
beserta orang-orang berjumlah lebih dari seratus orang menyerbu masuk ke
dalam kancah pertarungan. Mereka semua mengenakan seragam prajurit dengan
senjata pedang dan tombak panjang. Tampak orang-orang dari Partai Mata Iblis
kocar-kacir tidak beraturan.
"Hap!"
Bayu langsung melompat sambil menghentakkan tangannya ke atas. Dan Cakra
Maut pun melesat bagai kilat menempel kembali di pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka itu. Bagaikan seekor burung walet Pendekar Pulau
Neraka melesat cepat ke arah Eyang Puger.
"Eyang! Mundur...!" seru Bayu keras.
Pada saat itu, satu pukulan telak dari si Caping Maut bersarang di dada
yang kurus kering itu. Eyang Puger memekik keras, tubuhnya terlontar jauh ke
belakang seraya memuntahkan darah segar dari mulutnya. Bayu langsung meluruk
ke arah laki-laki tua itu dan menyangganya sebelum Eyang Puger jatuh ke
tanah.
"Eyang...," nada suara Bayu terdengar cemas.
"Aku tidak apa-apa..., uhk!" kembali Eyang Puger memuntahkan darah kental
kehitaman.
"Kau terkena racun, Eyang," kata Bayu semakin cemas.
Pada saat itu, si Caping Maut sudah melompat menerjang sambil melepaskan
satu pukulan yang mengandung hawa panas menyengat Serangan yang sangat
cepat, dan tidak mungkin dihindari lagi!
Namun tanpa diduga sama sekali, Eyang Puger nekad melompat menghadang
serangan itu. Tak pelak lagi, pukulan itu bersarang di dada laki-laki tua
itu.
Dug!
"Akh...!" Eyang Puger memekik keras.
"Eyang...!" seru Bayu terkejut.
Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu melompat, dan menghambur menangkap tubuh
kurus kering yang melayang di udara. Lalu dia mendarat lunak, dan
membaringkan Eyang Puger di bawah pohon. Tampak dari mulut, hidung dan
telinga Eyang Puger mengucurkan darah. Napasnya tersendat, dan matanya
setengah terpejam.
"Eyang...."
"Hati-hati menghadapinya, Bayu. Dia punya pukulan beracun yang sangat
langka dan dahsyat," kata Eyang Puger lemah.
Bayu menggeram marah. Sementara si Caping Maut berdiri bertolak pinggang
dengan angkuhnya. Caping bambu yang lebar masih menutupi sebagian wajahnya.
Terlihat bibirnya yang merah menyunggingkan senyuman tipis mengejek.
"Bayu..., dia itu Wurati. Dia tidak mati di dasar jurang. Itu memang sudah
direncanakan bersama Balaga.... Dia sengaja melompat ke dalam jurang
sementara Balaga menunggu dengan mayat perempuan yang memakai baju sama
persis dengan Wurati. Mereka sengaja merusak wajahnya agar tidak dikenali...
uhk uhk!" kata-kata Eyang Puger tersendat-sendat Dan dia terbatuk-batuk
disertai muntahan darah kental kehitaman. "Lenyapkan dia, Bayu. Dia sangat
berbahaya kalau sudah menguasai seluruh kitabku. Rebut kembali kitab itu
dari tangannya...uhk!" lanjut Eyang Puger.
"Eyang...!"
Eyang Puger terkulai lemah. Matanya terpejam. Namun dadanya masih bergerak
gerak, meskipun sangat sedikit dan satu-satu. Bayu membaringkan tubuh tua
itu, kemudian berdiri dan melangkah maju beberapa tindak. Tatapan matanya
tajam, menusuk langsung pada tubuh berbaju hitam dengan caping bambu yang
lebar menutupi wajahnya.
'Tidak perlu kau menutupi wajahmu, Wurati!" dengus Bayu.
"Bagus! Rupanya si tua bangka bodoh itu sudah bercerita banyak padamu!"
sahut wanita berbaju hitam itu sambil tetap berdiri tenang.
Bibirnya yang merah selalu menyunggingkan senyuman tipis bernada mengejek.
Bayu menggeser kakinya lebih mendekat Dan baru berhenti setelah jaraknya
tinggal sekitar dua batang tombak lagi. Sementara itu para prajurit
Kadipaten Sangkal Putung di bawah pimpinan Randu Watung, masih bertarung
sengit melawan orang-orang Partai Mata Iblis.
***
Bayu sempat melirik Randu Watung yang bertarung sengit melawan Nyakra. Dan
orang-orang dari Partai Mata Iblis sudah kelihatan terdesak. Bahkan beberapa
di antaranya sudah berhasil melarikan diri. Sementara si Caping Maut yang
kini menjadi pimpinan Partai Mata Iblis, menggantikan Balaga, sudah
bersiap-siap melakukan penyerangan.
"Hiyaaat..!" si Caping Maut berteriak keras seraya melompat
menerjang.
"Hait!"
Seketika itu juga Bayu melesat ke atas, dan tangannya menghentak ke depan
dengan jari-jari tangan terbuka lebar. Tanpa dapat dicegah lagi, dua tangan
saling berbenturan di udara dengan kerasnya, sehingga menimbulkan satu
ledakan keras menggelegar! Dua orang itu terpental ke belakang dan sama-sama
jatuh bergulingan di tanah.
"Hup!" .
Namun Bayu langsung mampu melompat bangkit berdiri. Sedangkan si Caping
Maut memuntahkan darah segar dua kali. Dengan agak terhuyung, Wurati bangkit
berdiri. Tangan kirinya menekap dada, dengan bibir meringis.
"Kematianmu sudah dekat, Wurati!" dengus Bayu dingin.
"Phuih! Kau pikir aku mudah kalah begitu saja? Lihat ini!" bentak Wurati
tidak kalah dinginnya.
Cepat sekali wanita berbaju hitam itu melepaskan caping bambu yang selama
ini menutupi seluruh kepa lanya. Dan bagaikan kilat dilemparkannya caping
itu ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Wut!
"Hiyaaa...!"
Seketika itu juga Bayu mengecutkan tangannya ke atas, dan dari pergelangan
tangannya melesat secercah sinar keperakan dari senjata Cakra Maut. Dua
benda yang meluncur deras itu langsung berbenturan di udara. Kembali satu
ledakan keras terdengar menggelegar. Kali ini ledakannya sangat dahsyat
sekali, sehingga menimbulkan getaran yang hebat, disertai hempasan angin
yang keras dan percikan bunga api. Beberapa orang yang terkena percikan api,
langsung menjerit keras. Tubuh mereka seketika hangus terbakar!
"Setan!" rutuk Wurati begitu melihat capingnya hancur
berkeping-keping.
Sedangkan Cakra Maut, senjata andalan Pendekar Pulau Neraka kembali melesat
balik pada pemiliknya. Bayu mengangkat tangan kanannya, dan senjata
kebanggaannya itu kembali menempel erat di pergelangan tangan kanannya.
Wurati bersungut-sungut memaki, dan menyumpah habis-habisan. Caping
kebanggaannya itu bukan saja untuk pelengkap, tapi juga sebagai senjata yang
sangat dahsyat. Tapi melawan Cakra Maut, caping itu hancur berantakan!
"Kau harus membayar mahal Caping Sakti ku, Pendekar Pulau Neraka!" geram
Wurati memuncak amarahnya.
"Hhh! Caping seperti itu, terlalu banyak dijual di pasaran, Wurati," ejak
Bayu sinis. "Kadal buduk! Kubunuh kau, keparat!
Hiyaaa...!"
Wurati tidak dapat lagi menahan amarahnya. Dia melompat seraya melontarkan
beberapa pukulan dahsyat mengandung tenaga dalam yang sangat tinggi.
Pukulannya mengandung hawa panas menyengat. Dan dari hawa itu tercium bau
racun yang kuat dan mematikan. Bayu cepat-cepat melompat mundur, lalu
seketika itu juga dikebutkan tangan kanannya ke depan.
Wut!
"Eh...!" Wurati tersentak kaget. Buru-buru gadis itu membanting tubuhnya ke
tanah. Namun gerakannya terlambat sedikit, dan ujung cakra yang melengkung,
berhasil merobek bahu kiri wanita berbaju serba hitam itu. Darah segar pun
langsung merembes ke luar. Wurati bergegas melompat bangkit kembali, tidak
dipedulikan luka di bahunya. Dia kembali melompat menerjang Pendekar Pulau
Neraka.
Tapi baru saja melompat, tahu-tahu dari arah belakang terdengar suara
mendesing yang keras mengagetkan. Wurati langsung menoleh. Bukan main
terkejutnya dia begitu melihat Cakra Maut berbalik bagaikan kilat
menyerangnya kembali. Mau tidak mau, secepat kilat si Caping Maut itu
melentingkan tubuhnya berputaran di udara menghindari terjangan senjata
dahsyat itu.
"Hiya...!"
Secepat Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangannya, secepat itu
pula Bayu melompat mengirimkan satu tendangan menggeledek ke tubuh si Caping
Maut. Serangan yang tidak terduga sama sekali, terlebih lagi pada saat itu
keseimbangan tubuh si Caping Maut belum sempurna akibat berusaha menghindari
terjangan Cakra Maut senjata andalan Pendekar Pulau Neraka itu.
Dug!
"Akh...!" Wurati menjerit keras. Tubuh ramping terbungkus baju hitam itu
meluncur deras ke tanah. Bersamaan dengan terbantingnya tubuh si Caping maut
Pendekar Pulau Neraka juga mendarat di tanah, dan secepat itu pula
dihentakkan tangannya ke depan seraya membungkukkan tubuhnya sedikit.
"Hiaaat..!"
Wut!
"Aaa...!"
Jeritan melengking tinggi terdengar menyayat. Tampak Wurati yang baru bisa
bangkit berdiri tegak dengan mata membeliak lebar. Sesaat kemudian, tubuhnya
ambruk ke tanah dengan kepala menggelinding terpisah dari lehernya!
Darah segar pun membasahi tanah. Bayu mengangkat tangan kanannya, dan Cakra
Maut pun kembali menempel pada tempatnya semula. Sebentar Pendekar Pulau
Neraka itu memandangi mayat Wurati atau si Caping Maut yang menjadi Ketua
Partai Mata Iblis. Kemudian dihampiri dan diperiksanya tubuh wanita
itu.
Dari balik lipatan baju pada bagian dadanya, Pendekar Pulau Neraka itu
menemukan sebuah kitab bersampul biru tua yang cukup tebal. Bayu tahu kalau
kitab itu milik Eyang Puger. Kemudian Bayu bergegas berbalik dan menghampiri
Eyang Puger yang masih menggeletak tidak sadarkan diri. Diselipkan kitab itu
di balik sabuk pinggang Eyang Puger, kemudian diangkat dan dipondongnya
tubuh kurus itu.
"Bayu...!"
***
Bayu yang hendak melangkah pergi, jadi tertahan langkahnya ketika mendengar
suara panggilan dari arah belakang. Pendekar Pulau Neraka itu berbalik, dan
tampaklah Randu Watung sedang berlari-lari kecil menghampirnya. Bayu sempat
melihat Nyakra menggeletak dengan leher hampir buntung. Rupanya Randu Watung
berhasil menghentikan perlawanan wakil ketua tiga Partai Mata Iblis itu.
Randu Watung berdiri setelah jaraknya tinggal sekitar tiga langkah lagi di
depan Bayu. Sementara itu pertarungan sudah berhenti. Sisa-sisa anggota
Partai Mata Iblis yang masih hidup sudah menyerah. Dan memang tidak sedikit
yang berhasil kabur.
"Kenapa Eyang Puger?" tanya Randu Watung bernada cemas.
"Terluka, aku harus segera membawanya pulang," sahut Bayu.
"Perjalanan ke sana cukup jauh, dan memerlukan waktu tiga atau empat hari,
Bayu. Sebaiknya kau bawa Eyang Puger ke istana kadipaten. Ada tabib ahli
yang mungkin bisa mengobati lukanya," kata Randu Watung.
Belum lagi Bayu bisa menjawab untuk menolak, Randu Watung sudah memanggil
seorang patih. Bayu sendiri tidak mengerti, karena seorang laki-laki
setengah baya bertubuh tinggi tegap membungkuk hormat pada Randu
Watung.
"Siapkan kuda secepatnya. Kemudian kirim utusan ke istana kadipaten untuk
menyiapkan kamar dan tabib," perintah Randu Watung. Nada suaranya tegas
berwibawa.
"Baik, Raden. Segera hamba laksanakan," sahut laki-laki setengah baya yang
dipanggil patih itu.
"Cepat, jangan buang-buang waktu!"
Patih itu bergegas pergi. Bayu masih bengong. Sedangkan tidak lama patih
itu sudah kembali bersama tiga orang prajurit berpangkat punggawa membawa
kuda. Randu Watung langsung melompat ke salah satu kuda.
"Ayo, Bayu Jangan buang-buang waktu!" kata Randu Watung.
Bayu masih diam memondong tubuh Eyang Puger. Tapi kemudian dilangkahkan
kakinya mendekati patih itu, dan diberikannya tubuh laki-laki tua itu. Patih
itu memondongnya dengan sikap ragu-ragu. Bayu melangkah mundur setelah Eyang
Puger sudah berpindah tangan.
"Aku harus pergi, salamkan saja pada Eyang Puger," kata Bayu.
"Hey! Kau mau ke mana?" sentak Randu Watung seraya melompat turun dari
kudanya. Dia sangat terkejut sekali dengan kata-kata Bayu tadi.
"Masih banyak yang harus kukerjakan. Satu saat nanti aku akan datang
menjenguk Eyang Puger," kata Bayu pelan.
"Kau harus ikut, Bayu. Aku akan memperkenalkanmu pada Ayahanda Prabu. Itu
sudah janjiku!" kata Randu Watung tegas.
'Terima kasih, bukannya aku menolak. Rasanya tidak pantas jika kuterima
anugerah sebesar itu. Sekali lagi, aku mohon maaf, Raden," ucap Bayu seraya
membungkuk memberi hormat.
"Aku percaya kau seorang putra mahkota. Maaf atas kekasaranku beberapa hari
ini," ucap Bayu lagi.
"Edan! Kau bicara apa?" sentak Randu Watung tidak suka.
"Mudah-mudahan kita bisa bertemu lagi, Raden. Sampaikan salamku pada Eyang
Puger," ucap Bayu seraya melompat cepat bagaikan kilat.
"Bayu !" seru Randu Watung keras, tapi bayangan Pendekar Pulau Neraka sudah
tidak terlihat lagi. Randu Watung berdiri mematung memandangi arah kepergian
Bayu. Entah apa yang ada di dalam benaknya saat ini. Yang jelas dia merasa
kehilangan seorang sahabat sejati. Tidak akan mungkin dia bisa melupakan
pertemuannya dengan Pendekar Pulau Neraka.
"Raden...," tegur laki-laki setengah baya yang memondong Eyang Puger.
"Kau naik kuda bersama Eyang Puger. Bawa secepatnya ke istana kadipaten!"
perintah Randu Watung tegas.
"Baik, Raden."
Randu Watung juga bergegas melompat naik ke punggung kudanya. Dan begitu
patih itu melompat naik sambil membawa Eyang Puger, Randu Watung menggebah
kudanya cepat cepat. Diikuti patih yang masih memondong Eyang Puger di atas
punggung kuda. Sekitar seratus prajurit mengikutinya dari belakang. Mereka
juga menunggang kuda. Sedangkan ada sekitar lima puluh prajurit lagi
berjalan kaki membawa tawanan.
Randu Watung memacu kudanya dengan cepat di depan. Pikirannya masih tertuju
pada Pendekar Pulau Neraka. Rasanya belum tenang kalau tidak memberikan
sesuatu pada pendekar yang sudah begitu banyak jasanya. Randu Watung
bertekad di dalam hatinya untuk mencari tahu di mana Pendekar Pulau Neraka
berada.
"Randu, kitab pada Eyang Puger bisa menjadi petunjuk untuk mengobati
lukanya...!" tiba-tiba terdengar suara Bayu yang menggema.
"Heh!" Randu Watung terkejut, langsung dihentikan langkah kaki kudanya.
Begitu juga dengan yang lainnya. Mereka semua terkejut mendengar suara tanpa
ujud itu.
"Bayu! Di mana kau...?" teriak Randu Watung keras.
Sunyi, tidak ada seorang pun yang terlihat. Randu Watung mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Juga dipasang telinganya tajam tajam. Tetap saja
sunyi, tidak ada Bayu di dekat tempat itu. Randu Watung memerintahkan pada
patihnya untuk membawa Eyang Puger secepatnya ke istana bersama sebagian
prajurit. Dia sendiri masih belum beranjak meskipun patih itu bersama
sebagian prajurit sudah menggebah kudanya.
Agak lama juga Randu Watung menunggu, tapi Bayu tidak juga muncul. Pemuda
yang ternyata putra mahkota itu mendesah panjang dan berat. Kemudian digebah
kudanya pelahan-lahan meninggalkan tempat itu.
TAMAT
Episode berikutnya :
Emoticon