DELAPAN
Bayu berdiri tegak di tengah-tengah Puncak Bukit Sidayu. Di sampingnya Rara
Wanti kelihatan gelisah. Sebentar-sebentar dilayangkan pandangannya ke arah
kaki bukit. Dari situ memang terlihat jelas sungai yang mengalir menuju Desa
Pekacangan. Dari sanalah nanti Awijaya datang bersama Ki Praba.
"Kok lama, ya...?" gumam Rara Wanti semakin gelisah, karena tidak melihat
tanda-tanda Awijaya bakal muncul.
"Sabar.... Dia pasti datang," kata Bayu menenangkan.
"Kalau gagal?"
"Aku yakin tidak."
Rara Wanti menatap dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka itu. Pada saat yang
sama, Bayu juga memalingkan mukanya menatap gadis itu. Sesaat mereka tidak
berbicara, dan hanya saling tatap saja. Pelahan Rara Wanti mendekat, lalu
melingkarkan tangannya ke leher Bayu. Tubuh mereka merapat. Tak ada jarak
lagi yang merenggang. Wajah mereka begitu dekat, sehingga terasa hangat
desah napas masing-masing.
"Kakang, sebenarnya aku lebih suka bersama mu. Kau lebih segala-galanya
daripada Kakang Awijaya," kata Rara Wanti pelan.
"Awijaya orang yang bertanggung jawab, Rara. Aku yakin, kau akan hidup
bahagia di sampingnya."
"Hhh...! Seandainya ada waktu...," desah Rara Wanti.
"Jangan ulangi lagi, Rara. Padaku, atau pada siapa saja. Kau akan menyesal
nanti. Hargailah dirimu sendiri," ujar Bayu seraya melepaskan pelukan gadis
itu di lehernya.
"Hanya Kakang Awijaya dan kau saja yang bisa menjamahku, Kakang. Aku janji.
Kapan saja kau datang, aku selalu menyediakan waktu untukmu, Kakang. Ini
hanya untuk kita berdua."
Bayu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa? Aku mencintaimu, Kakang. Aku menyukaimu. Meskipun sekarang ada
Kakang Awijaya, tapi aku tetap mencintaimu. Separuh hatiku milikmu,
Kakang."
"Aku harap pikiranmu bisa berubah kelak," desah Bayu setengah
bergumam.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mundur. Tapi tiba-tiba Rara Wanti
menarik tangan pemuda itu, dan memeluknya erat-erat. Bayu jadi gelagapan,
karena cepat sekali Rara Wanti sudah mengulum bibirnya penuh gairah yang
menggelora.
"Rara...," kata Bayu begitu bibirnya terlepas dari pagutan gadis itu. Tapi
pelukan Rara Wanti masih sulit dilepaskan.
"Kakang Awijaya tidak akan datang malam ini, Kakang. Bersediakah kau
memberiku untuk yang terakhir, Kakang?" bujuk Rara Wanti sambil
mendesah.
"Jangan sekarang," Bayu benar-benar kewalahan menghadapi gadis itu. Harus
dicarinya jalan agar benar-benar terlepas dari lingkaran jerat asmara Rara
Wanti.
"Kapan?"
"Nanti, kalau semuanya sudah tenang,"
"Kau rela menyediakan waktu untukku, Kakang?"
"Tentu, kalau sudah tenang nanti."
"Sungguh?"
Bayu terpaksa mengangguk. Untuk meyakinkan Rara Wanti, dikecupnya bibir
gadis itu. Rara Wanti tersenyum senang. Wajahnya kembali cerah, dan
melepaskan pelukannya pelahan-lahan. Bayu tersenyum getir, kemudian
melayangkan pandangannya ke arah kaki bukit yang dialiri sungai kecil jernih
menuju ke Desa Pekacangan.
Sementara malam semakin bertambah larut. Pantulan cahaya bulan pada riak
air sungai bagai untaian mutiara memanjang membelah hutan yang cukup lebat
Sungguh indah pemandangan dari puncak bukit ini. Dan Bayu menikmati
keindahan itu dengan benak dipenuhi berbagai pikiran. Ada sedikit kecemasan
karena Awijaya belum juga kembali. Sementara Rara Wanti sudah tidak gelisah
lagi. Hatinya merasa tenang meskipun Awijaya tidak akan kembali lagi.
Apalagi setelah mendengar janji yang diucapkan Bayu tadi.
********************
Semalaman penuh Bayu tidak memejamkan matanya. Sedangkan Rara Wanti sempat
tidur, meskipun hanya sebentar saja. Pagi telah menyingsing, dan sinar
matahari telah menghangatkan Puncak Bukit Sidayu ini. Saat berdiri tegak
sepanjang malam, tadi, Bayu menyempatkan untuk bersemadi dan melatih
pengembangan hawa mumi. Meskipun tidak tidur, tapi rasanya sudah cukup.
Bahkan berlebihan dalam menjaga kondisi tubuhnya.
"Hm...," Bayu menggumam kecil ketika pandangannya menangkap ada gerakan
halus di bawah sana. Pendekar Pulau Neraka itu menajamkan penglihatannya.
Tampak gerakan itu menuju puncak bukit ini. Begitu halus dan cepat, hampir
tidak terlihat.
Semakin lama gerakan itu semakin terlihat jelas. Bayu tersenyum ketika
melihat tiga orang bergerak mendaki bukit. Dia hanya melirik sedikit saat
menyadari Rara Wanti berdiri disampingnya. Gadis itu juga sudah tahu
kedatangan tiga orang yang kini tengah mendaki bukit.
"Mereka datang, Kakang," bisik Rara Wanti.
"Aku tahu. Biarkan saja sampai ke sini," sahut Bayu.
Tidak beberapa lama, tiga orang yang dilihatnya mendaki bukit telah tiba di
puncak. Tampak Awijaya berada di antara mereka. Pemuda itu langsung berjalan
cepat menghampiri Rara Wanti yang berdiri di samping Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan dua orang lagi tidak lain dari Ki Praba dan Jantar. Jelas sekali
wajah Ki Praba memancarkan keberangan melihat Rara Wanti tampak segar
bersama seorang pemuda berbaju dari kulit harimau.
"Heh.... Kau rupanya yang membawa lari, anak muda," ujar Ki Praba
sinis.
"Tidak salah. Tapi sekarang dia senang bersamaku," sahut Bayu kalem, namun
bernada tegas.
"Bagus! Itu berarti kalian semua harus mati di sini!" dengus Ki
Praba.
"Begitu mudah mengucapkan kata mati, tapi sukar melakukannya. Aku khawatir
malah kau yang dulu terbang ke neraka, Ki Praba," sambut Bayu
memanasi.
"Ha ha ha...!" Ki Praba tertawa terbahak-bahak.
"Tertawalah sepuasnya sebelum terbang ke neraka!"
"Jantar!" Ki Praba menghentakkan tangannya.
"Hait...!" Jantar langsung melompat ke depan, membuka jurus serangan. Bayu
hanya tersenyum saja memperhatikan Jantar yang berpentilan membuka kembangan
jurus penyerangan. Dan tiba-tiba saja Jantar melompat cepat dibarengi
lontaran dua buah pisau kecil yang sangat tipis.
Pendekar Pulau Neraka yang sudah menyadari sebelumnya, segera mengegoskan
tubuhnya ke samping. Ditarik kakinya bergeser dua tindak. Cerat sekali
digerakkan tangan, dan ditangkap dua pisau yang dilepaskan Jantar. Secepat
itu pula dia melompat ke atas melewati kepala Jantar yang meluruk memberikan
serangan cepat.
Jantar terkejut, karena dua pukulannya hanya mengenai angin saja. Dan belum
lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja dia terpekik. Tubuhnya langsung
tersuruk jatuh ke depan mencium tanah. Satu pukulan keras tanpa pengerahan
tenaga dalam dilepaskan Bayu pada punggung pemuda itu.
"Huh!" Jantar mendengus, langsung bergegas melompat bangkit berdiri.
"Kau perlu pisaumu? Nih! Kukembalikan!" sentak Bayu
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan pisau-pisau Jantar.
Sesaat Jantar terkesiap, dan buru-buru melompat menghindari sambitan
pisaunya sendiri. Pisau itu menghunjam dalam di tanah, tepat di tempat kaki
Jantar tadi berpijak.
"Keparat! Hup, hiyaaa...!"
Jantar kembali melompat menerjang, dan kali ini tidak lagi menganggap remeh
lawannya. Serangannya cepat dan dahsyat. Setiap pukulannya mengandung tenaga
dalam cukup tinggi. Namun Pendekar Pula Neraka tidak mudah dirobohkan begitu
saja. Setiap serangan yang datang, dengan manis selalu di dihindari. Bahkan
serangan balasannya membuat Jantar kelabakan.
"Sudah cukup kita bermain! Bersiaplah...!" seru Bayu keras.
Setelah berkata demikian, Pendekar Pulau Neraka langsung melompat ke atas,
lalu dengan cepat menukik turun diikuti hentakan tangan kanannya. Cakra Maut
berkelebat cepat mengarah ke bagian leher Jantar. Sesaat pemuda itu
terkesiap, lalu buru-buru menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dan bergulingan
beberapa kali. Tapi begitu melompat bangkit, satu tendangan keras tidak bisa
dihindari lagi.
"Akh...!" Jantar me mekik tertahan. Tubuh pemuda itu langsung terdorong
kebelakang. Dan belum lagi dapat menguasai dirinya, mendadak saja secercah
kilat keperakan menyambar cepat. Jantar tidak mampu berkelit lagi.
dan....
"Aaa...!" Jantar memekik keras melengking tinggi. Tampak dadanya berlubang
tertembus Cakra Maut hingga tembus sampai ke punggung. Senjata bersegi enam
itu berputar balik, dan langsung menempel pada pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka. Sebentar Jantar masih mampu berdiri. Sesaat kemudian
tubuhnya limbung, dan ambruk menggelepar ke atas tanah. Darah bersimbah dari
dadanya yang berlubang. Hanya sebentar Jantar mampu bergerak, kemudian diam
dengan nyawa terbang dari tubuhnya.
Bayu memutar tubuhnya menghadap Ki Praba yang terlongong menyaksikan
kematian Jantar begitu cepatnya. Namun laki-laki setengah baya itu tidak
bisa berlama-lama memandangi tubuh pengawal pribadinya yang berlumuran darah
segar. Ternyata Bayu Hanggara sudah berteriak keras sambil mengebutkan
senjata mautnya.
"Uts...!" Ki Praba mengegoskan kepalanya sedikit ke kanan, dan Cakra Maut
itu melesat lewat di samping kepalanya. Tapi Cakra itu berputar balik. Mau
tidak mau Ki Praba melompat ke samping.
Bayu mengangkat tangan kanannya keatas, maka Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan tangannya. Serangan tadi memang sengaja tidak diarahkan ke
sasarannya secara langsung. Lemparan cakranya sengaja dimelencengkan hanya
untuk menggugah Ki Praba saja.
"Jangan berbangga dulu bisa mengalahkan Jantar, anak muda!" dengus Ki
Praba.
"Sebentar lagi kau akan menyusul," balas Bayu dingin.
"Sombong! Hih...! Terima seranganku! Hiyaaa...!"
Ki Praba melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun
terjangan itu manis sekali mampu dihindari. Kembali Bayu harus bertarung
melawan Ki Praba. Kali ini Bayu menyadari kalau Praba jauh lebih tinggi
tingkat kepandaiannya dibanding Jantar. Dan Pendekar Pulau Neraka itu harus
bersikap hati-hati melayaninya.
Tidak mudah bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menjatuhkan Ki Praba.
Laki-laki setengah tua itu memiliki tingkat kepandaian yang tinggi juga.
Jurus-jurusnya luar biasa, dan tenaga dalamnya juga hampir mencapai taraf
kesempurnaan. Jurus demi jurus berlalu cepat, tapi belum ada tanda-tanda
pertarungan bakal berakhir. Beberapa kali Bayu melepaskan senjatanya yang
terkenal maut itu, tapi Ki Praba mampu berkelit manis menghindarinya.
Pertarungan terus berlangsung semakin sengit.
Sementara di tempat lain, Awijaya dan Rara Wanti menyaksikan dengan
perasaan cemas. Hanya Awijaya yang kelihatan sedikit tenang, karena telah
sering mendengar kehebatan Pendekar Pulau Neraka. Entah kenapa, hatinya
begitu yakin kalau Bayu pasti dapat mengalahkan Ki Praba. Tapi tidak
demikian dengan Rara Wanti. Dia khawatir betul kalau Bayu akan tewas di
tangan ayah angkat yang sangat dibencinya. Rara Wanti lebih senang kalau Ki
Praba yang tewas.
"Sebaiknya kau bantu dia, Kakang," kata Rara Wanti tidak bisa
menyembunyikan kecemasannya.
"Tenang saja, Rara. Bayu pasti bisa mengatasi," sahut Awijaya.
"Tapi, sudah lebih dari dua puluh jurus...."
Awijaya diam saja. Memang pertarungan itu sudah memakan lebih dari dua
puluh jurus, tapi belum ada yang terdesak. Tapi me masuki jurus ke tiga
puluh, kelihatan kalau Ki Praba mulai kerepotan menghadapi serangan-serangan
Pendekar Pulau Neraka. Dia sudah jatuh bangun, dan bahkan beberapa kali
menerima pukulan serta tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tapi Ki Praba
masih juga mampu bertahan, meskipun darah sudah mengucur dari mulutnya.
Bagian pelipis telah sobek mengeluarkan darah. Dan bahu kirinya juga sobek
terkena sambaran Cakra Maut.
Keadan Ki Praba sudah tidak menguntungkan lagi. Tubuhnya jadi bulan-bulanan
Pendekar Pulau Neraka. Jatuh bangun tanpa mampu membalas. Darah semakin
banyak membanjiri tubuhnya. Tapi Bayu tidak juga berhenti. Hingga pada
pukulannya yang terakhir....
"Akh...!" Ki Praba memekik keras tertahan. Pukulan yang keras bertenaga
dalam sangat tinggi itu tepat mengenai dada Ki Praba. Akibatnya, laki-laki
setengah baya itu terpental jauh ke belakang. Sebuah pohon besar tumbang
terlanda tubuhnya. Ki Praba menggeliat-geliat berusaha bangun. Meskipun
tubuhnya sudah dipenuhi luka, tapi masih juga mampu berdiri. Dengan tubuh
limbung, laki-laki setengah baya itu berjalan menghampiri Pendekar Pulau
Neraka.
"Grrr...!" Ki Praba menggeram bagai seekor binatang buas.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Langkahnya terhenti setelah jaraknya
tinggal sekitar tiga batang tombak lagi di depan Pendekar Pulau Neraka.
Sesaat dia hanya diam saja menatap tajam, kemudian tiba-tiba sekali tangan
kanannya bergerak mengibas ke samping. Dan puluhan jarum berwarna keperakan
melesat deras ke arah Rara Wanti dan Awijaya.
"Awas...!" seru Bayu keras.
Tapi Awijaya dan Rara Wanti hanya terbeliak terperangah. Memang tidak
disangka kalau Ki Praba akan berbuat curang begitu. Dan sebelum kedua anak
muda itu bisa melakukan sesuatu, secepat kilat Bayu mengibaskan tangan
kanannya.
Wut...!
Cakra Maut melesat bagai kilat melebihi anak panah yang terlepas dari
busurnya. Senjata lingkaran bersegi enam berwarna keperakan itu meluncur me
motong arah jarum-jarum yang dilepaskan Ki Praba. Sungguh tidak diduga sama
sekali, jarum-jarum itu meluruk ke arah Cakra Maut, dan menempel pada
senjata itu. Bayu menghentakkan tangannya ke atas, maka Cakra Maut melesat
balik ke arahnya setelah seluruh jarum keperakan melekat pada permukaan
bagian atas senjata bersergi enam Itu.
"Hap! Yaaah...!"
Secepat Cakra Maut melekat di pergelangan tangan, secepat itu pula Pendekar
Pulau Neraka mengibaskannya lagi. Dan Cakra Maut kembali melesat cepat bagai
kilat ke arah Ki Praba. Tampak, jarum-jarum yang melekat di senjata itu
rotok luruh ke tanah. Saat itu Ki Praba sudah tidak bisa lagi bergerak cepat
Maka tak pelak lagi, Cakra Maut menghunjam dadanya hingga tembus ke
punggung.
"Aaa...!" Ki Praba menjerit melengking t inggi.
"Hap!" Bayu mengangkat tangannya ke atas. Begitu senjata bersegi enam itu
melekat di pergelangan tangannya, dengan cepat Bayu melompat sambil
menghentakkan kakinya ke depan. Tendangan yang disertai pengerahan tenaga
dalam sempurna itu tepat menghantam kepala Ki Praba. Kembali laki-laki tua
itu menjerit melengking. Hanya sesaat mampu berdiri, kemudian limbung, lalu
ambruk menggelepar di tanah. Darah mengalir deras dari dada yang berlubang
dan kepala hancur berantakan.
Bayu menarik napas panjang. Dia berdiri tegak memandangi mayat Ki Praba
yang membujur kaku bersimbah darah. Sebentar ditariknya napas panjang,
kemudian berbalik memandang Awijaya dan Rara Wanti yang masih berdiri di
tempatnya. Kedua anak muda itu seperti terkesima melihat kematian Ki Praba
begitu tragis.
Bayu melangkah tegap menghampiri kedua anak muda yang masih berdiri terpaku
pada tempatnya. Rara Wanti terlebih dahulu yang mengangkat wajahnya menatap
Pendekar Pulau Neraka itu. Entah apa yang ada di dalam sinar mata gadis itu.
Bayu sendiri sukar untuk mengartikannya. Pendekar Pulau Neraka itu berhenti
melangkah setelah jaraknya tinggal lima langkah lagi di depan kedua anak
muda itu.
"Aku rasa semuanya sudah selesai..," tegas Bayu pelan.
"Tunggu, kau akan kemana?" tanya Awijaya mencegah kepergian Bayu.
Bayu hanya tersenyum saja, dan langsung berbalik dan melangkah pergi. Tapi
baru saja berjalan beberapa langkah, Rara Wanti mengejar, dan menghadangnya.
Bayu menoleh menatap Awijaya yang tetap berdiri di tempatnya.
"Kakang, kau tetap akan pergi juga...?" agak tertahan suara Rara
Wanti.
"Kau sudah menemukan laki-laki impianmu, Rara. Kuharap kau bahagia berada
di sampingnya," kata Bayu lembut.
"Tapi.... Kau akan kembali lagi, bukan?"
Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Kemudian berbalik dan
melangkah pergi. Sebentar ditatapnya Awijaya, dan ditepuknya pundak pemuda
berbaju merah muda itu. Awijaya tidak bisa berkata-kata lagi, dan hanya
memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Ada sedikit penyesalan
terselip di hatinya karena telah menyangka buruk pada pendekar muda
itu.
Ternyata kabar cerita yang pernah di dengarnya tentang Pendekar Pulau
Neraka tidak semuanya benar. Buktinya Awijaya tidak melihat kekejaman pada
pendekar muda itu. Bahkan kata-katanya selalu lembut, dan segala tindakannya
tenang. Hanya saja, Bayu memang tidak pernah mau berkompromi pada setiap
lawannya yang diyakini harus tewas di tangannya.
Bayu terus berjalan semakin jauh. Sementara Awijaya sudah berada di samping
Rara Wanti. Pemuda itu melingkarkan tangannya di pundak Rara Wanti. Gadis
itu pun merebahkan kepala di bahu pemuda di sampingnya. Mereka memandangi
kepergian Pendekar Pulau Neraka dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di
dalam dada.
"Ayo kita pergi, Rara," ajak Awijaya setelah tubuh Pendekar Pulau Neraka
tidak terlihat lagi.
"Ke mana?" tanya Rara Wanti agak lesu. Rara Wanti masih menatap ke arah
kepergian Bayu, meskipun Pendekar Pulau Neraka itu tidak terlihat lagi.
Gadis itu merasakan sekeping hatinya terbawa pergi oleh Bayu Hanggara.
Bagaimanapun juga tidak akan bisa dilupakan pengalamannya bersama pemuda
yang telah merenggut sekeping hatinya. Pemuda yang telah memberikan
kebahagiaan tersendiri.
"Kita cari dulu ibumu, baru menemui ibuku. Kita akan hidup bersama tanpa
harus bergelimang kekerasan dan darah lagi," jelas Awijaya lembut.
Rara Wanti tidak menyahuti, membalikkan tubuhnya menghadap pemuda itu.
Mereka saling berpelukan, dan saling melempar pandang.
"Oh, Kakang...," desah Rara Wanti lirih.
Awijaya semakin erat memeluk gadis itu. Sebentar ditatap dalam-dalam bola
mata yang bening indah depannya. Kemudian pelahan-lahan sekali ditundukkan
kepalanya, dan sesaat bibir mereka sudah menyatu rapat. Erat sekali Awijaya
mendekap tubuh ramping itu, seakan-akan tidak ingin melepaskannya
kembali.
Sementara siang sudah beralih, menggulir menuju senja. Matahari sudah
semakin condong ke arah Barat Sinarnya yang redup memberikan bayang-bayang
bagi sepasang insan menyatu dalam raga dan jiwa di Puncak Bukit
Sidayu.
S E L E S A I
ISTANA IBLIS
Gadis Buronan
Published by Sonny Ogawa 22 August 2016
Serial Pendekar Pulau Neraka
Episode Gadis Buronan
Karya Teguh S
Penerbit Cintamedia, Jakarta
SATU
"Hiya! Hiya...!"
Seorang pemuda berbaju merah muda menggebah kudanya dengan kecepatan
tinggi. Kuda coklat belang putih itu berpacu bagai kesetanan. Setiap kali
tangan pemuda itu menepuk pinggul kudanya, terdengar ringkikan keras, maka
kuda itu pun semakin cepat berpacu. Debu mengepul diudara, menambah sesaknya
siang yang panas menyengat ini.
Kuda coklat belang putih itu tiba-tiba saja meringkik keras sambil
mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Pemuda yang menunggangnya,
cepat-cepat menarik tali kekangnya kuat-kuat Tapi kuda itu semakin liar,
berjingkrakan sambil meringkik keras. Sukar untuk mengendalikan lagi. Dan
ketika kuda itu melompat dan mengangkat kaki depannya tinggi-tinggi ke
udara, pemuda itu kehilangan keseimbangan. Dia jatuh bergulingan di
tanah.
"Hup!"
Bergegas pemuda itu bangkit, dan melompat ke punggung kudanya ke mbali.
Tapi kuda coklat itu ma lah berlari kencang, sehingga pemuda itu terbanting
keras ke tanah dan kembali bergulingan. Bergegas dia bangkit, namun kudanya
sudah begitu jauh meninggalkannya sendirian.
"Kuda sialan!" umpat pe muda itu kesal.
"Jangan salahkan kuda, dasar kau saja yang tidak becus!" tiba-tiba
terdengar suara mengguma m, namun terdengar keras mengejutkan.
"Heh! Siapa kau...?" pemuda itu terkejut, langsung berbalik menatap ke
suatu arah.
"He he he...!"
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan pemuda berbaju merah muda itu
telah berdiri seorang laki-laki tua berjubah biru tua. Sebatang tongkat
menyangga tubuhnya yang agak bungkuk. Laki-la ki tua itu tertawa
terkekeh-kekeh seraya bergerak mengha mpiri, dan baru berhenti setelah
jaraknya sekitar lima langkah lagi.
"Siapa kau?" dengus pemuda Itu masih dihinggapi perasaan kesal karena dit
inggalkan kudanya bergitu saja.
"He he he...," laki-laki tua berjubah biru tua itu hanya terkekeh
saja.
Dan belum lagi hilang suara tawanya, tiba-tiba laki-laki tua itu melompat
cepat sambil mengibaskan tongkatnya ke arah kepala pemuda itu. Tentu saja
serangan yang demikian cepat dan mendadak itu, membuat pemuda berbaju merah
muda kelabakan. Tapi dengan cepat dirundukkan kepalanya, dan langsung
digeser kakinya ke kanan.
Belum juga pe muda itu bisa mengangkat kepalanya kembali, laki-laki tua itu
sudah kembali menyerang lebih cepat Kali ini tongkatnya diputar dari atas ke
bawah, mengarah ke kaki. Serangannya begitu cepat dan sukar diikuti mata
biasa.
"Hait..!"
Cepat sekali pemuda itu melompat menghindari tebasan tongkat itu. Dan pada
kesempatan yang sedikit, dengan kecepatan kilat dihentakkan kakinya ke
depan, langsung diarahkan ke dada laki-laki tua itu.
"Uts!"
Laki-laki tua itu menyilangkan tongkatnya, memapak tendangan yang
menggeledek dan cepat itu. Tak dapat dihindarkan lagi. Kaki pemuda itu
menghantam tongkat yang menyilang di depan dada. Tapi pemuda itu cukup
cerdik. Dengan menggunakan tenaga pinjaman, dia melompat ke belakang.
Tubuhnya berputar tiga kali di udara, dan mendarat lunak di tanah
Sret!
Pemuda berbaju merah muda itu mencabut pedang yang tergantung di
pinggangnya. Disilangkan pedang itu di depan dadanya. Tatapan matanya begitu
taja m menusuk.
"Kisanak, kenapa kau menyerangku?" tanya pemuda itu bernada kesal.
"He he he.... Karena kau keras kepala, Awijaya!" sahut laki-laki tua itu
diiringi suara tawanya yang terkekeh.
"Heh! Kau tahu nama ku?! Siapa kau sebenarnya?" tanya pemuda yang ternyata
bernama Awijaya.
Tentu saja Awijaya terkejut, karena dia merasa dirinya sudah berubah jauh
dengan banyaknya luka goresan di wajahnya. Belum lagi rambutnya yang kasar
memenuhi wajahnya, membuat penampilan Awijaya jauh berubah dari tiga tahun
yang lalu.
"Kau tak perlu tahu siapa aku, Awijaya. Aku hanya ingin mengatakan, jangan
kau teruskan pekerjaanmu. Dia bukan milikmu!" sahut lelaki tua itu
dingin.
"Jangan berbelit-belit, Kisanak! Apa keinginanmu sebenarnya?" dengus
Awijaya semakin kesal.
"He he he..," laki-laki tua itu hanya terkekeh saja. Tiba-tiba saja dia
melesat cepat, dan langsung lenyap dari pandangan.
"Hey...! Tunggu...!" teriak Awijaya terkejut
Tapi bayangan lelaki tua aneh dan tak dikenal itu sudah lenyap. Tak tahu
lagi ke mana perginya. Tinggal suara tawanya saja yang masih terdengar,
kemudian menghilang terbawa angin. Awijaya bersungut kesal, karena kini
harus berjalan kaki. Kudanya kabur entah ke mana, dan kini ada lelaki tua
yang tak diketahui maksudnya. Tahu-tahu muncul dan menyerang. Bahkan
meninggalkan kata-kata yang sama sekali tak dimengertinya.
"Huh! Orang tua edan...!" dengus Awijaya menggerutu kesal.
********************
Senja baru saja turun ke dalam pelukan bumi. Cahaya matahari tidak lagi
terik menyengat Sinarnya nampak kemerahan menyemburat di ufuk Barat. Bola
merah raksasa itu terlihat agak tenggelam, seakan hendak mengucapkan selamat
tinggal. Di jalan setapak berdebu, tampak Awijaya berjalan pelahan-lahan.
Wajahnya bersimbah keringat, dan bajunya kotor berdebu. Pandangannya lurus
ke depan ke arah sebuah desa yang nampak tenang.
Angin bertiup tidak terlalu kencang. Sebagian rambutnya tergulung ke atas
diikat pita merah muda. Sedangkan sebagian lagi melambai-lambai mengikuti
alunan tiupan angin senja ini. Awijaya terus melangkah me masuki desa yang
belum diketahui namanya. Beberapa penduduk yang kebetulan berpapasan, sempat
memperhatikannya. Namun mereka tidak peduli. Desa ini tidak terlalu kecil,
tapi suasananya begitu damai tentram. Awijaya mengayunkan kakinya menuju
sebuah rumah yang bertuliskan. "Rumah Penginapan dan Kedai Nyai Supit" di
atas pintunya.
Seorang perempuan bertubuh gemuk menyambut kedatangan Awijaya. Dengan
senyum lebar dan sikap ramah, dipersilahkan pemuda itu masuk, Awijaya dibawa
kesalah satu tempat yang terdapat meja bundar dan dua buah kursi. Ada
beberapa meja dan kursi sejenis tertata rapih di ruangan yang cukup besar
ini. Awijaya duduk tenang, seraya mengamati keadaan ruangan kedai ini.
"Pesan apa, Den?" tanya perempuan gemuk itu ramah.
"Aku perlu kamar untuk menginap," sahut Awijaya langsung tanpa basa-basi
lagi.
"Tidak makan dulu, Den?" perempuan gemuk itu menawarkan.
"Minum saja."
"Arak?"
"Iya."
"Sebentar, Den."
Perempuan tua itu tergopoh-gopoh meninggalkannya. Sementara Awijaya kembali
mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Tidak banyak orang di kedai ini.
Satu orang duduk menghadapi makanan yang begitu banyak. Sepertinya tidak
akan habis dimakan oleh tubuhnya yang kecil kurus itu. Di pojok lain ada
empat orang laki-laki berwajah beringas yang juga tengah menikmati
makanannya. Mereka bicara ribut sekali, seolah-olah tidak mempedulikan
pengunjung lainnya.
Masih ada lagi beberapa orang. Dan pandangan Awijaya tertuju pada enam
orang wanita yang duduk menghadapi satu meja. Mereka hanya minum arak ringan
dan makanan kecil yang terhidang di atas meja. Dari punggungnya yang membawa
pedang, keenam wanita muda itu pasti dari kalangan rimba persilatan. Mereka
masih muda dan cantik. Yang menarik perhatian Awijaya adalah gambar sekuntum
bunga yang tersulam di bagian dada sebelah kiri mereka.
"Hm..., ada apa mereka datang ke sini?" gumam Awijaya dalam hati.
Pertanyaan Awijaya belum terjawab, karena perempuan gemuk itu datang lagi
sambil membawa seguci arak manis dan sepiring makanan kecil. Dengan sikap
yang ramah, diletakan pesanan itu diatas meja, lalu dipersilahkan Awijaya
untuk menikmatinya. Kemudian dia berbalik meninggalkan tergopoh-gopoh,
karena ada lagi orang yang datang.
Orang yang baru datang itu sungguh menarik perhatian semua pengunjung kedai
ini, karena pakaiannya berbeda dari biasanya. Dia seorang pemuda dengan
garis-garis kekerasan yang tersirat pada wajahnya yang tampan. Tubuhnya
tinggi tegap dan berotot, terbungkus baju dari kulit harimau. Dipilihnya
tempat di bawah jendela besar yang terbuka, dan berjeruji dari kayu bulat
Dia hanya memesan arak, tanpa ada makanan lain.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Awijaya mengenali pemuda berbaju kulit
harimau yang baru masuk tadi. "Hm..., mudah-mudahan kedatangannya hanya
sekadar singgah. Bisa runyam nanti urusannya kalau dia tahu."
Senja terus merayap semakin jauh. Suasana jadi semakin remang-remang.
Perempuan gemuk pemilik kedai ini menyalakan beberapa pelita, sehingga
ruangan kedai ini jadi terang benderang. Satu per satu tamu di dalam kedai
ini beranjak pergi, dan kebanyakan masuk kebagian be lakang. Mungkin
menginap di tempat ini juga.
"Sini...!" Awijaya melambaikan tangannya pada perempuan gemuk yang bernama
Nyai Supit
"Ada apa, Den?" Nyai Supit menghampiri tergopoh-gopoh.
"Masih ada kamar untukku?" tanya Awijaya langsung.
"Ada, Den. Banyak," sahut Nyai Supit.
"Hm.... Kulihat banyak sekali tamumu. Aku khawatir tidak ada lagi kamar
penginapan di sini."
"Jangan khawatir, Den. Ada dua puluh kamar yang bisa disewa. Dan baru
separuhnya terisi."
"Kalau begitu, siapkan kamar satu untukku."
"Baik, Den."
Nyai Supit berbalik dan pergi, tapi Awijaya mencegahnya. Perempuan gemuk
itu kembali berbalik menghadap pemuda itu. Sikapnya masih ramah disertai
senyum yang tidak pernah lepas mengembang dari bibirnya.
"Ada apa, Den?"
"Nyai, apakah mereka pendatang juga?" tanya Awijaya setengah berbisik, dan
kepala disorongkan kedepan.
"Benar, Den. Beberapa hari ini banyak sekali orang datang ke sini Mungkin
karena berita itu," sahut Nyai Supit.
Awijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Raden juga ingin ikut?" tanya Nyai Supit. "Sebaiknya jangan, Den. Tidak
mungkin berhasil. Sudah banyak yang mencoba, tapi tidak ada yang pernah
kembali lagi. Mendengar namanya saja, sudah tidak lagi. Mungkin mati, atau
hilang."
"Perjalananku masih panjang. Nyai. Aku tidak tertarik sama sekali," kata
Awijaya tersenyum kecut.
"Syukurlah kalau begitu. Raden masih muda, lebih baik cari gadis lain.
Masih banyak yang cantik. Di Desa Munding ini juga banyak gadis cantik,
Den."
Awijaya hanya tersenyum saja, kemudian bangkit berdiri. "Mana kamarku,
Nyai?"
"Mari, Den. Ikuti aku."
********************
Suasana di Desa Munding hari ini tidak seperti biasanya. Keramaian begitu
menyolok. Dari segala penjuru orang-orang berdatangan menuju sebuah rumah
besar yang memiliki halaman luas bagai lapangan. Keramaian seperti ini tentu
saja menguntungkan para pedagang musiman. Sejak pagi-pagi buta tadi, mereka
sudah mengambil tempat yang dianggap tepat. Tak tertinggal anak-anak
berlarian bermain tanpa mengerti maksud keramaian ini. Sedangkan beberapa
kelompok pemuda berceloteh menggoda gadis-gadis. Tidak jarang gadis-gadis
yang digoda malah membalas dengan menyakitkan.
Di depan kedai Nyai Supit yang terletak tidak jauh dari rumah besar yang
berhalaman luas dan kini dipenuhi orang itu, tampak berdiri Awijaya. Di
sampingnya. Nyai Supit duduk di balai bambu yang merapat pada dinding
kedainya. Orang-orang yang keluar masuk kedainya tidak dipedulikan lagi.
Hari ini semua pekerjaannya diserahkan pada pelayannya.
"Tidak ke sana, Den?" tegur Nyai Supit yang agak heran juga melihat Awijaya
hanya berdiri saja memandangi keramaian itu.
"Malas," sahut Awijaya kelihatan enggan. Tapi matanya terus memandang ke
arah sana.
"Pasti ramai. Soalnya, banyak orang sakti mengadu ilmu di sana," kata Nyai
Supit lagi.
"Manusia diadu seperti ayam!" dengus Awijaya tanpa sadar.
"Benar, Den. Tapi memang wataknya Ki Praba begitu!" sambut Nyai Supit. "Dia
pikir, cuma dirinya saja yang tinggi ilmunya.... Padahal banyak orang yang
lebih tinggi kepandaiannya. Biar saja, nanti juga kena batunya!"
Awijaya melirik pada perempuan gemuk itu. Bibirnya menyunggingkan senyum
tipis yang penuh arti, namun tidak mudah untuk dilukiskan. Rasanya terlalu
hambar dan pahit sekali. Tapi Nyai Supit tidak memperhatikan, dan terlalu
sibuk memperhatikan keramaian itu.
Tiba-tiba saja senyum di bibir Awijaya lenyap. Dan kini pandangannya
terpaku pada seorang laki-laki tua berjubah biru tua yang berdiri di bawah
pohon kemuning. Tongkat hitam berkeluk tujuh menyangga tubuhnya yang agak
bungkuk. Pada saat yang sama, laki-laki tua itu memandang ke arah Awijaya.
Bibirnya yang tipis dan hampir tertutup kumis putih, menyunggingkan senyuman
lebar.
Awijaya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Tapi sesekali dilirik juga
laki-laki tua itu yang tetap saja memandangnya disertai senyuman lebar
mengandung ejekan. Entah kenapa, Awijaya jadi mual, dan muak melihat senyum
laki-laki yang pernah menghadang dan menyerangnya tanpa alasan itu.
"Kau kenal orang tua itu. Den?" tiba-tiba Nyai Supit menegur.
"Oh!" Awijaya tersentak kaget. Langsung ditatapnya perempuan tua gemuk di
sa mpingnya.
"Ki Praba pasti kena batunya hari ini kalau dia ikut," kata Nyai Supit
lagi.
"Hm.... Tampaknya kau kenal dengannya, Nyai," kata Awijaya bernada
menyelidik. Dia memang penasaran sekali terhadap laki-laki tua yang membuat
perutnya jadi mual.
"Semua orang di sini pasti mengenalnya, Den. Namanya, Ki Sampar Watu.
Kepandaiannya sangat tinggi, sukar dicari tandingannya," jelas Nyai
Supit
"Tampaknya kau begitu banyak mengetahui tentang dunia persilatan," ujar
Awijaya setengah bergumam.
"Tida k seluruhnya, Den. Hanya sedikit saja," Nyai Supit mengakui terus
terang.
"O...?!" Awijaya berkerut keningnya, sampai alisnya hampir bertaut.
"Suamiku dulu seorang pendekar. Tapi sayang, meninggal terlalu cepat..,"
ada kesenduan pada nada suara Nyai Supit. Awijaya memperhatikan kalau
perempuan tua gemuk itu menatap tajam laki-laki tua berjubah biru yang
bernama Ki Sampar Watu itu.
Ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapannya yang tajam. Dan Awijaya
jadi ingin tahu, tapi tidak ingin terlalu gegabah dan terburu nafsu.
Terutama mengenai laki-laki tua berjubah biru itu.
"Siapa yang menewaskannya, Nyai?" tanya Awijaya hati-hati.
"Ah! Kau terlalu cepat tanggap, Raden," desah Nyai Supit.
"Aku juga sedikit mengerti tentang dunia persilatan. Nyai. Biasanya seorang
pendekar yang meninggal begitu cepat, karena kalah bertarung."
"Suamiku memang bertarung, dan kalah," pelan suara Nyai Supit.
"Kenapa mesti bertarung?"
"Persoalan yang sama dengan sekarang."
"Ohhh...!" lagi-lagi Awijaya mengerutkan keningnya.
Kata-kata Nyai Supit semakin menarik hati Awijaya, dan jadi semakin ingin
tahu saja. Pemuda itu menghampiri dan duduk di sebelah Nyai Supit. Sebentar
sempat dilirik ke arah Ki Sampar Watu. Tapi laki-laki tua berjubah biru itu
sudah tidak ada di tempatnya lagi. Di bawah pohon ke muning itu sudah diisi
oleh tukang dawet. Awijaya sempat pula mengedarkan pandangannya, dan masih
melihat Ki Sampar Watu melangkah terseok-seok menyibak kerumunan banyak
orang. Jelas kalau tujuannya ke rumah besar yang semakin padat itu. Tapi
pada bagian tengah halamannya tampak kosong, karena ada sebuah panggung
besar berdiri kokoh.
"Nyai, apakah Ki Praba masih mempertaruhkan anaknya?" tanya Awijaya semakin
hati-hati.
"Kau sudah tahu rupanya, Raden."
"Sudah lama aku tahu, Nyai."
"Memang begitu. Padahal sampai sekarang ini, Rara Wanti tidak pernah ke
luar. Bahkan tidak ada seorang pun yang melihatnya."
"Hhh..., itulah...," desah Awijaya tanpa sadar.
"Kau juga ada urusan dengannya. Raden?" Nyai Supit menatap tajam.
"Terus terang, iya."
"Sebaiknya jangan, Raden. Ki Praba itu sangat kejam. Dia tidak segan-segan
membunuh siapa saja yang mencoba menantangnya. Suamiku dulu pun tewas karena
berusaha mempertahankan sebidang tanah milik orang tuanya yang direbut paksa
olehnya. Yaaah.... Memang bukan dirinya sendiri yang melakukan, tapi orang
lain yang dibayar mahal, dan dijanjikan akan mendapatkan anak gadisnya. Tapi
sampai sekarang janjinya tidak pernah dipenuhi."
"Sayang sekali, Nyai. Justru kedatanganku ke desa ini untuk membawa pergi
Rara Wanti," kata Awijaya terus terang.
"Oh...!" Nyai Supit tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya.
Perempuan gemuk itu menatap dalam-dalam, langsung ke bola mata Awijaya.
Bibirnya yang kecil hampir tertutup pipi itu bergerak-gerak bergetar,
seolah-olah ingin mengucapkan sesuatu. Sesaat lamanya mereka tidak
berkata-kata.
"Tidak..., tidak mungkin! Kau pasti bukan dia. Sudah tiga tahun menghilang
setelah pe...," kata-kata Nyai Supit terhenti.
"Aku Awijaya, Nyai. Putra asli desa ini! Aku datang justru untuk
menyelesaikan persoalan kami!" tegas kata-kata Awijaya.
"Ohhh...," Nyai Supit mendesah panjang sambil menggeleng beberapa
kali.
"Maaf, kalau selama ini aku berpura-pura tidak tahu," sambung
Awijaya.
"Sebaiknya kita masuk. Ayo! Jangan sampai ada orang yang mengetahuimu,"
kata Nyai Supit langsung beranjak bangkit.
Perempuan gemuk itu menarik tangan Awijaya, sehingga pemuda itu tidak bisa
lagi menolak. Mereka masuk kedalam kedai, dan langsung menuju bagian
belakang. Nyai Supit mencekal tangan pemuda itu erat-erat seakan-akan tidak
ingin melepaskan lagi. Dan Awijaya sendiri seperti kerbau dicucuk hidungnya,
menurut saja tanpa membantah lagi.
********************
DUA
Awijaya terlonjak kaget, dan langsung melompat keluar melalui jendela. Nyai
Supit juga bergegas keluar. Meskipun tubuhnya gemuk, tapi gerakannya begitu
ringan. Dengan sekali lompat saja tubuhnya sudah ada di luar. Tampak orang
yang jumlahnya lebih dari seratus berlarian sambil berteriak-teriak.
"Ada apa?" tanya Awijaya seperti bertanya pada dirinya sendiri.
"Lihat, Awijaya!" seru Nyai Supit menunjuk ke tengah-tengah halaman rumah
Ki Praba.
Awijaya langsung mengarahkan pandangannya ke rumah Ki Praba. Tampak seorang
laki-laki tua tengah mengamuk membabi buta, menghajar siapa saja yang berada
di dekatnya. Tidak jauh dari laki-laki tua berjubah biru yang mengamuk itu,
juga terlihat seorang laki-laki berbaju indah dikelilingi puluhan orang
bersenjata Mereka berusaha bergerak masuk ke dalam rumah. Hampir lima puluh
orang mencoba menghadang amukan orang tua berjubah biru itu.
"Ki Sampar Watu..., apa yang dilakukannya di sana?" gumam Awijaya seolah
bertanya pada dirinya sendiri.
"Dia ingin menagih haknya," celetuk Nyai Supit. "Hak...?"
"Seharusnya Ki Praba menyerahkan Rara Wanti padanya untuk dijadikan
istri."
"Apa...?!" Awijaya terkejut bukan main. "Ini tidak boleh didiamkan. Orang
tua gila itu harus dicegah!"
"Awijaya...!"
Tapi Awijaya sudah lebih dulu cepat melompat, melewati beberapa kepala
orang yang sedang berlarian menyelamatkan diri. Dua kali pemuda itu berputar
di udara, lalu meluruk langsung menghadang Ki Sampar Watu yang baru saja me
mbabat buntung tiga kepala sekaligus.
"Orang tua edan! Hentikan...!" bentak Awijaya keras menggelegar.
Ki Sampar Watu langsung berhenti mengamuk Dia menggeram,ketika melihat
Awijaya sudah berdiri berkacak pinggang di depannya. Sementara ada sekitar
tiga puluh orang bersenjata golok dan tombak mengepung. Tampak ditangga
depan rumah besar, Ki Praba berdiri memperhatikan, dikawal sekitar dua puluh
orang bersenjata terhunus.
"Jantar, siapa anak muda jelek itu?" tanya Ki Praba.
"Nampaknya orang asing," sahut seorang pemuda berusia sekitar dua puluh
lima tahun yang berdiri di samping kanan Ki Praba.
"Hm...," Ki Praba bergumam dengan alis bertaut menjadi satu.
Laki-laki setengah baya itu terus memperhatikan tanpa berkedip pemuda yang
berkacak pinggang di depan Ki Sampar Watu, kemudian melangkah me nuruni
anak-anak tangga beranda rumahnya yang besar bagai istana itu. Dua puluh
anak buahnya mengikuti disertai sikap berjaga-jaga. Ki Praba berhenti
melangkah di ujung tangga beranda.
"Aku seperti pernah melihatnya...," gumam Ki Praba seperti bicara pada
dirinya sendiri.
"Sepertinya...."
Belum juga Jantar meneruskan ucapannya, mendadak saja mereka semua
dikejutkan suara teriakan keras menggelegar dari Ki Sampar Watu. Ternyata
laki-laki tua itu tengah melesat cepat bagaikan kilat menerjang Awijaya.
Namun terjangan yang cepat dan dahsyat itu dapat mudah sekali dielakkan
pemuda itu.
Pertarungan sengit tidak dapat dihindarkan lagi. Ki Sampar Watu bertarung
bagai kesetanan. Tidak sedikit pun Awijaya diberi kesempatan untuk balas
menyerang. Pemuda itu hanya berlompatan berkelit menghindari setiap serangan
yang datang begitu gencar. Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi
menahan napas.
"Menyingkirlah, bocah! Kau akan mampus di tanganku!" bentak Ki Sampar Watu
keras sambil mengirimkan satu pukulan menggeledek.
"Seharusnya kau yang menyingkir! Orang tua tidak tahu diri!" balas Awijaya
seraya melompat ke belakang menghindari pukulan laki-laki tua itu.
"Bocah keparat! Mampus kau! Hiyaaat..!"
Ki Sampar Watu tidak bisa lagi menahan amarahnya. Langsung digerakkan
tongkatnya cepat, menusuk ke arah dada Awijaya. Namun lewat suatu gerakan
Indah dan sukar diikuti mata, Awijaya cepat berkelit, dan langsung melompat
tinggi melewati kepala laki-laki tua itu. Dan begitu dijajakkan kakinya di
tanah, tepat di belakang Ki Sampar Watu, dengan cepat diputar tubuhnya
sambil mencabut pedang.
Sret!
"Haittt..!"
"Uis!"
Ki Sampar Watu bergegas menjulurkan tongkat ke belakang punggungnya,
sehingga pedang Awijaya menghantam tongkat itu. Pijaran api memercik begitu
dua benda beradu keras. Tampak Awijaya melompat mundur, dan Ki Sampar Watu
membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya yang memegang tongkat itu agak
menyilang di depan dada. Sementara Awijaya tampak meringis, dan tangan
kanannya bergetar.
"Uh!" Awijaya mengeluh pendek. Pemuda berbaju merah muda itu menyadari
kalau tenaga dalamnya kalah jauh dibanding laki-la ki tua itu. Adu senjata
yang terjadi tadi sudah bisa dijadikan ukuran kekuatan dan ketinggian tenaga
dalam masing-masing.
"He he he...!" Ki Sampar Watu tertawa terkekeh.
********************
Tak ada seorang pun yang memperhatikan kalau di balik sebuah pohon
beringin, seorang pemuda berbaju kulit harimau menyaksikan semua kejadian
itu. Agaknya hatinya begitu tertarik akan kegigihan Awijaya. Meskipun tahu
kalau tingkat kepandaiannya masih kalah jauh. Tapi tetap menantang Ki Sampar
Watu. Hanya saja yang lebih menarik perhatian pemuda berbaju kulit harimau
itu adalah Ki Praba.
"Hm.... Tampaknya aku harus mempercayai kata-katanya," laki-laki berbaju
kulit harimau itu menggumam pelan.
Sementara itu Awijaya sudah melompat kembali menerjang Ki Sampar Watu.
Dengan pedang di tangan, Awijaya bertarung semakin sengit.
Serangan-serangannya sangat cepat dan berbahaya. Beberapa kali pedangnya
hampir menembus tubuh Ki Sampar Watu, tapi laki-laki tua agak bungkuk itu
masih mampu menghindari. Bahkan tidak jarang juga memberi serangan yang
tidak kalah dahsyatnya.
Sedangkan di tempat lain, terlihat Nyai Supit memperhatikan jalannya
pertarungan dengan perasaan cemas. Dia tahu betul kalau Ki Sampar Watu
seorang tokoh rimba persilatan yang sangat kejam. Laki-laki tua itu tidak
segan-segan membunuh siapa saja yang mencoba menantangnya. Bahkan
kesalahpahaman sedikit saja bisa mengakibatkan tangannya bernoda
darah.
"Hiyaaa...!" tiba-tiba Ki Sampar Watu berteriak keras. Dan saat itu juga
tubuhnya melompat cepat bagaikan kilat, langsung ke arah Awijaya seraya
cepat mengelebatkan tongkat Sesaat Awijaya terhenyak, namun dengan cepat
melompat mundur sa mbil me m-babatkan pedangnya kedepan.
Tring!
"Akh!" Awijaya memekik tertahan ketika pedangnya beradu dengan tongkat Ki
Sampar Watu.
Dan pada saat pedangnya terlontar balik, tanpa diduga sama sekali Ki Sampar
Watu menghunjamkan ujung tongkatnya yang runcing ke arah dada pemuda itu.
Namun pada saat yang sangat kritis, tiba-tiba saja Ki Sampar Watu memekik
keras, dan tubuhnya terlontar jauh ke belakang.
Semua orang yang berada di sekitar pertarungan Itu jadi terlongong tidak
mengerti. Ki Sampar Watu yang terbanting ketanah, langsung melompat bangun.
Tampak dari mulutnya mengucurkan darah kental. Tangan kirinya menekap dada
yang kurus, memamerkan tulang-tulangnya.
"Setan belang! Siapa yang berani main api denganku, heh?!" geram Ki Sampar
Watu berang. Bola mata yang cekung memerah itu menatap ke sekeliling. Tampak
orang-orang yang berada di sekitar tempat itu bergerak surut ke be lakang.
Tatapan mata Ki Sampar Watu begitu dalam menusuk, tak ada yang sanggup
menghadapinya. Ternyata tatapan itu langsung menerobos pada Ki Praba yang
didampingi tidak kurang dari dua puluh anak buahnya yang bersenjata
terhunus.
"Kau iblis keparat, Praba!" geram Ki Sampar Watu menuding Ki Praba dengan
ujung tongkatnya.
"Sampar Watu, sebaiknya kau segera pergi. Aku tidak mengundangmu ke sini,"
kata Ki Praba lantang.
"Ha ha ha... Sekarang kau dapat berkata begitu, Praba! Apa kau sudah lupa
sewaktu merengek memohon bantuan padaku?! Kau ingkari janjimu, Praba. Justru
aku datang karena kau sengaja mengumpulkan tokoh persilatan untuk
menghadapiku! Picik! Iblis kau Praba!"
"Sampar Watu, seharusnya kau sadar kalau dirimu sudah tua! Kau lebih tua
dariku, malah sepantasnya, Rara Wanti memanggilmu kakek!"
"Keparat! Kau pikir cuma anakmu saja yang cantik, heh?! Sepuluh gadis yang
lebih cantik dari anakmu bisa kuperoleh!" geram Ki Sampar Watu semakin
berang.
"Kenapa tidak kau lakukan? Paling-paling gadis tidak waras yang bisa kau
peroleh!" tantang Ki Praba mengejek.
"Setan belang! Aku bersumpah, kau dan anakmu harus mampus di tanganku!
Dengar sumpahku, Praba...!" lantang suara Ki Sampar Watu..
Setelah berkata demikian, Ki Sampar Watu melompat cepat meninggalkan tempat
itu. Tapi, mendadak saja terdengar suara jeritan melengking saling sambut.
Dan tampak tidak kurang dari sepuluh anak buah Ki Praba menggeletak dengan
kepala buntung. Sungguh tinggi kepandaian Ki Sampar Watu. Sambil melesat
pergi, masih sempat membantai begitu banyak orang tanpa diketahui
gerakannya. Dan kini laki-laki tua itu sudah lenyap dari pandangan.
Ki Praba menggeram menyaksikan kejadian itu, tapi tidak bisa berbuat
apa-apa lagi. Ki Sampar Watu sudah tidak terlihat lagi bayangannya. Sesaat
lamanya di halaman depan rumah yang luas itu menjadi hening. Tidak terdengar
suara apa pun. Hanya angin saja yang menderu menerbangkan daun-daunan
kering, membawa bau anyir darah yang membasahi rerumputan di halaman yang
luas ini.
Ki Praba melangkah menghampiri Awijaya yang sudah didampingi Nyai Supit.
Pemuda berbaju merah muda itu memperhatikan Ki Praba dengan tatapan mata
sukar diartikan. Ki Praba berhenti sekitar tiga langkah di depan Awijaya.
Nyai Supit menggeser kakinya agak ke belakang dari tubuh pemuda itu.
"Aku cukup kagum akan keberanianmu, anak muda. Tapi lain kali berpikirlah
dulu untuk menghadapinya," kata Ki Praba lunak suaranya.
"Terima kasih. Sebenarnya memang bukan dia sasaranku," kata Awijaya.
"Hm.... Aku seperti pernah bertemu denganmu, anak muda. Tapi entah di mana.
Siapa nama mu?" tanya Ki Praba setelah bergumam pelan.
"Awijaya," sahut Awijaya tegas.
Sret!
Tampak Jantar mencabut pedangnya begitu mendengar nama pemuda berbaju merah
itu. Tapi Ki Praba cepat-cepat memegang tangan pengawal pribadinya ini.
Jantar memasukkan kembali pedang ke dalam sarungnya di pinggang. Tapi
tatapan mata Jantar mengandung sejuta arti yang sangat dalam pada
Awijaya.
"Tiga tahun kau tidak pernah lagi ke lihatan. Rupanya sudah banyak
perubahan pada dirimu, Awijaya," ujar Ki Praba masih terdengar tenang nada
suaranya.
"Terima kasih," ucap Awijaya dingin. "Aku yakin kau tahu maksud
kedatanganku kali ini, Ki Praba!"
"Sayang, kau tidak akan mendapatkannya. Dia sudah tidak ada lagi di sini,"
jelas Ki Praba langsung dapat mengerti.
"Bajingan...!" geram Awijaya hampir tidak tertahankan ke marahannya.
"Kalau dengar pengumuman tadi, kau pasti sudah tidak disini lagi, Awijaya.
Kalau kau memang mencintainya, carilah sampai dapat. Aku tidak peduli lagi
terhadap nasibnya!" kata Ki Praba lagi.
Setelah berkata demikian, Ki Praba berbalik dan langsung melangkah pergi
Awijaya menggerang berusaha menahan amarahnya yang sudah sampai ke
ubun-ubun. Wajahnya memerah, dan matanya tajam menatap laki-laki setengah
baya yang sudah meniti anak tangga beranda rumahnya yang bagai istana
itu.
"Kita pergi, Awijaya," ajak Nyai Supit sambil menggamit tangan pemuda
itu.
Awijaya tidak menyahut, tapi mengikuti juga ajakan perempuan gemuk itu.
Meskipun masih diliputi kemarahan yang memuncak, namun dia harus
mendinginkan kepalanya. Disadarinya kalau tidak akan mungkin dapat melabrak
Ki Praba yang disegani dan ditakuti seluruh penduduk Desa Munding ini.
Awijaya duduk memeluk lutut di balai bambu depan kedai Nyai Supit Sudah dua
hari dia tinggal di salah satu kamar penginapan milik perempuan gemuk Itu.
Pikirannya jadi kacau, karena telah didengar kalau Rara Wanti sudah dua
bulan ini kabur dari rumahnya. Gadis itu telah memberontak dengan sikap
ayahnya yang selalu mengatur dan bersikap keras padanya.
Tiga tahun lamanya Awijaya harus menanti, dan sekarang kedatangannya untuk
membawa Rara Wanti pergi dari desa yang menurutnya bagaikan neraka ini. Tapi
selama penantiannya itu, akhirnya hanya kekecewaan dan kemarahan saja yang
diperoleh. Rara Wanti sudah pergi. Dan lagi, ayahnya yang bernama Ki Praba
itu malah mengumumkan pada semua orang bahwa Rara Wanti tidak diakui lagi
sebagai anaknya. Bahkan juga meminta kepada siapa saja untuk membawa kepala
gadis itu dengan hadiah yang sangat menggiurkan.
"Awijaya...."
Awijaya mengangkat kepalanya. Digeser duduknya begitu melihat Nyai Supit
sudah berada di dekatnya. Perempuan gemuk itu mendekati dan duduk di samping
pemuda itu.
"Dari tadi pagi kau duduk saja di sini. Sudah siang, makan dulu," ajak Nyai
Supit lembut, bagai seorang ibu pada anaknya.
"Aku belum lapar, Nyai," kata Awijaya pelan.
"Awi... Bisa kurasakan semua yang kau rasakan saat ini. Ibumu dulu sahabat
baikku. Demikian pula ayahmu. Sejak kecil kau selalu bermain di sini, sampai
kau dan seluruh keluargamu menghilang. Aku tahu betul apa yang terjadi pada
diri dan keluarga mu, Awijaya. Kuharap, jangan sungkan-sungkan lagi padaku,"
ujar Nyai Supit lembut.
"Terima kasih. Nyai begitu baik padaku," ucap Awijaya terharu.
"Sudahlah! Bagiku kau bukan orang lain lagi, Awijaya."
Getir sekali Awijaya membalas senyuman Nyai Supit. Meskipun sudah tiga
tahun tidak pernah lagi menginjak tanah kelahirannya ini, tapi masih segar
dalam ingatannya tentang Nyai Supit, dan orang-orang yang tinggal di Desa
Munding ini Orang-orang yang selama hidupnya tidak pernah mengenyam
kebahagiaan. Meskipun terkadang mereka bisa bergembira dan tertawa, tapi
semua itu hanyalah semu belaka.
Dulu Desa Munding adalah desa yang damai dan tentram. Tidak ada keluh
kesah, tidak ada penderitaan yang berantai. Tak ada darah menggenang hanya
karena persoalan yang sepele. Tapi semua itu berubah total setelah
kedatangan Ki Praba. Kedatangannya yang sebagai saudagar kaya, langsung me
mbe li tanah-tanah penduduk dengan harga kecil dan dengan cara paksa. Bahkan
kepala desa tewas terbunuh karena tidak bersedia menjual tanahnya.
Tidak sedikit penduduk desa yang tewas karena mempertahankan miliknya. Tapi
Ki Praba memang kuat Belum lagi tukang-tukang pukulnya, dan para pengawalnya
yang rata-rata memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan. Sedangkan Penduduk
Desa Munding hanya terdiri dari petani yang tidak mengerti ilmu olah
kanuragan. Memang ada beberapa yang memiliki ilmu olah kanuragan, tapi tidak
berdaya. Bahkan mereka tewas dengan cara menyedihkan di tangan jago bayaran
yang disewa Ki Praba, demikian pula Awijaya yang terpaksa pergi, karena
tidak tahan mendapat tekanan yang tak henti-hentinya. Termasuk suami Nyai
Supit ini.
Awijaya, ibunya, dan kedua adiknya pergi setelah terjadi peristiwa yang
membuat nyawa ayahnya lenyap di tangan tukang-tukang pukul Ki Praba. Itu
semua karena Awijaya dan Rara Wanti memadu asmara, lalu diketahui Ki Praba
yang menentang keras hubungan mereka. Masalahnya Rara Wanti selalu dijadikan
boneka dan barang pertaruhan bagi kegilaan ayah gadis itu dalam mengadu
jago-jago rimba persilatan.
Semua itu diketahui Awijaya dari Rara Wanti sendiri yang menceritakan semua
keluhannya. Untung saja, dalam peristiwa itu Awijaya berhasil diselamatkan
suami Nyai Supit. Tapi tak urung, wajahnya sempat tergores pedang salah
seorang tukang pukul Ki Praba, bahkan dibuat cacat. Dan Awijaya masih ingat
orangnya. Dia ada lah orang kepercayaan Ki Praba sendiri. Namanya
Jantar!
"Kutinggal dulu. Ada tamu," ucap Nyai Supit membangunkan lamunan
Awijaya.
Pemuda berbaju merah muda itu mengangkat kepalanya. Jantungnya hampir
berhenti berdetak seketika begitu melihat seorang pemuda berbaju kulit
harimau masuk ke dalam kedai. Awijaya tahu siapa pemuda itu. Dia sering
mendengar namanya. Bahkan pernah melihatnya ketika bertarung, meskipun dari
tempat yang sangat tersembunyi.
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Awijaya dalam hati. "Sudah beberapa hari
dia di sini Hm..., tentunya ada sesuatu. Seorang pendekar kelana berada di
suatu tempat sampai lebih tiga hari, pasti ada yang diinginkan. Atau...,"
Awijaya tidak melanjutkan pikirannya
Nyai Supit kembali keluar dari kedainya, dan menghampiri pemuda berbaju
merah muda itu. Awijaya memandangi.
"Ada yang menitipkan ini pada mu," kata Nyai Supit seraya memberikan
gulungan daun lontar terikat pita merah muda.
"Siapa yang memberi ini?" tanya Awijaya seraya menerima gulungan daun
lontar itu.
"Aku tidak kenal. Tapi pakaiannya menyolok sekali," sahut Nyai Supit.
Awijaya membuka gulungan daun lontar, lalu membaca sebaris kalimat yang
tertulis di situ. Seketika wajahnya berubah. Langsung ditatapnya dalam-dalam
Nyai Supit. Bergegas dia menggerinjang bangkit, menerobos masuk ke dalam
kedai. Sesaat dipandangi seluruh ruangan kedai itu, lalu kembali berbalik
keluar menemui Nyai Supit.
"Apakah orang itu yang baru masuk tadi, Nyai?" tanya Awijaya.
"Benar. Dia pakai baju dari kulit harimau," sahut Nyai Supit sedikit
keheranan melihat wajah Awijaya.
"Pendekar Pulau Neraka...," gumam Awijaya pelarian. "Di mana se karang,
Nyai?"
"Di dalam," sahut Nyai Supit.
"Tidak ada."
"Ah, masa...."
Nyai Supit tidak percaya. Dijulurkan kepalanya ke dalam kedai, lalu
sebentar diperhatikan ruangan kedainya. Memang ada beberapa pengunjung, tapi
tidak begitu banyak. Dan tidak terlihat seseorang yang memakai baju dari
kulit harimau disana. Nyai Supit menarik ke luar kembali kepalanya, tapi
jadi terkejut. Ternyata Awijaya sudah tidak ada lagi.
"He! Ke mana anak itu...?"
********************
TIGA
Malam sudah demikian larut. Bulan bergelayut penuh dilangit yang jernih.
Bintang bintang gemerlapan menambah indahnya pemandangan di angkasa sana.
Pemandangan malam ini semakin terasa indah jika dilihat dari puncak bukit
sebelah Timur Desa Munding. Tampak seorang gadis muda duduk menjuntai di
atas sebongkah batu hitam. Pandangannya lurus menatap Desa Munding di bawah
sana. Hanya kerlip lampu-lampu pelita saja yang terlihat di sela-sela
pepohonan lebat
"Kau belum tidur, Rara Wanti...."
"Oh...!" gadis itu tersentak kaget begitu mendengar suara lembut dari
belakangnya.
Gadis yang dipanggil Rara Wanti itu membalikkan tubuhnya. Kini di depannya
sudah berdiri seorang pemuda berwajah tampan, namun terlihat jelas
garis-garis ketegasan dan kekerasannya. Pemuda yang memakai baju kulit
harimau itu segera mendekati dan duduk di sampingnya
"Ada yang kau pikirkan, Rara Wanti?" tetap lembut suara pemuda itu.
"Mungkin...," desah Rara Wanti disertai hembusan napas panjang dan terasa
berat.
"Sudah dua bulan...."
"Terima kasih," potong Rara Wanti. "Memang seharusnya aku tidak
menggantungkan diri pada mu. Kau begitu baik, Kakang Bayu. Tidak seharusnya
membuatmu repot."
"Tidak ada masalah, jika kau berterus terang tentang kesulitanmu.
Barangkali saja dapat kubantu untuk memecahkannya," ujar pemuda berbaju
kulit harimau yang ternyata adalah Pendekar Pulau Neraka atau Bayu
Hanggara.
"Sebaiknya jangan. Aku tidak ingin menyeretmu! terlalu jauh. Aku sudah
terlalu banyak menyusahkanmu. Kau begitu baik. Mencegahku bunuh diri,
menemaniku, memberi petuah-petuah hidup yang sungguh tidak ternilai
harganya. Terus terang, aku merasa malu. Sungguh kecil diriku berada di
depanmu, Kakang."
"Kau terlalu merendahkan diri, Rara Wanti. Aku tahu, kau seorang gadis yang
tabah, berani, dan berpikiran sehat. Hanya saja mungkin persoalan yang kau
hadapi terlalu berat, sehingga berpikiran kotor ingin mengakhiri
hidup."
"Mungkin," desah Rara Wanti seraya tertunduk.
"Beberapa hari ini aku sering ke Desa Munding," jelas Bayu setelah berdiam
diri agak lama.
"Mau apa kau ke sana?" Rara Wanti tersentak, tidak bisa menyembunyikan
keterkejutannya.
"Hanya jalan-jalan. Yah..., sekadar melihat suasana disana," sahut Bayu
ringan.
"Kau tidak berusaha menyelidiki diriku, bukan?"
"Sama sekali tidak."
Rara Wanti menarik napas panjang, seperti hendak melonggarkan dadanya yang
terasa sesak seketika. Entah kenapa, dia tidak ingin Bayu mengetahui tentang
dirinya. Seperti ada sesuatu yang tidak boleh orang lain tahu. Dan yang
jelas, Rara Wanti tidak ingin keberadaannya di sini diketahui orang lain.
Ingin dilupa kan masa lalunya. Bahkan tidak ingin menjadi dirinya yang dulu.
Yang diinginkan adalah menjadi Rara Wanti seutuhnya.
"Oh...!" tiba-tiba Rara Wanti tersentak.
Gadis itu segera menggelinjang bangkit. Bayu juga berdiri, dan bergegas
melangkah begitu Rara Wanti berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Mereka
masuk ke dalam sebuah gua yang kecil mulutnya, tapi di dalam cukup lebar dan
hangat. Rara Wanti menutupi gua itu dengan pohon semak kering, dan sebongkah
batu yang cukup besar. Bayu hanya memperhatikan saja.
Tidak berapa lama berselang, terdengar suara langkah kaki dekat gua ini.
Rara Wanti dan Pendekar Pulau Neraka mengintip dari celah mulut gua yang
sudah tertutup dan tersamar rapih. Tampak wajah gadis itu berubah seketika
begitu melihat seorang laki-laki berdiri tegak tidak jauh dari gua ini. Dan
Bayu dapat melihat perubahan wajah gadis itu, tapi hanya diam saja.
Agak lama juga laki-laki muda itu berdiri tegak memandang sekitarnya.
Pelahan namun pasti, dia pergi dengan ayunan kaki lesu dan kepala tertunduk.
Rara Wanti menarik napas panjang, lalu menghenyakkan tubuhnya bersandar pada
dinding gua yang lembab berlumut. Bayu me mperhatikan seraya duduk.
Kemudian, dinyalakan api dari ranting-ranting kering yang sudah tersusun
pada batu berbentuk tungku.
"Ada apa, Rara?" tanya Bayu setelah gua itu dihiasi cahaya api.
"Tidak..., tidak apa-apa," sahut Rara Wanti seraya menggeser duduknya
mendekati api.
"Kau kelihatan gelisah sekali. Kau kenal orang itu?"
"Tid... tidak!" sahut Rara Wanti tergagap.
"Wajahmu pucat."
"Sudahlah, Kakang. Jangan mendesakku terus...," pinta Rara Wanti
memohon.
Bayu mengangkat bahunya, kemudian diam tidak berkata-kata lagi. Pendekar
Pulau Neraka itu merebahkan tubuhnya diatas tumpukan daun kering, tapi
matanya tetap memandangi Rara Wanti yang terus saja gelisah. Gadis itu
memainmainkan api dengan ranting kering, tepi kegelisahannya tak juga reda.
Bayu terus memperhatikan dengan mata setengah terpejam.
********************
Pagi-pagi sekali Bayu tersentak bangun dari tidurnya. Telinganya yang sudah
terlatih, mendengar suara-suara ringan. Agak terkejut juga hatinya ketika
melihat Rara Wanti mengendap-endap ke luar dari dalam gua ini. Pendekar
Pulau Neraka itu tidak langsung beranjak bangun, tapi malah sengaja
berpura-pura tidur. Bahkan dipejamkan matanya begitu Rara Wanti menengok
padanya.
Bayu baru menggerinjang bangun begitu Rara Wanti sudah berada di luar gua.
Bergegas dia melompat ke luar, dan melihat gadis itu berlari kencang menuju
ke Utara. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu
bergegas berlari mengejar, tapi sengaja menjaga jarak. Tubuhnya ke mudian
melompat ke atas pohon.
Bagai seekor burung, Pendekar Pulau Neraka itu berlompatan dari satu cabang
pohon ke cabang pohon lainnya. Matanya tidak lepas memperhatikan Rara Wanti
pergi. Bayu kagum juga melihat ilmu meringankan tubuh yang dimiliki gadis
itu. Gerakan berlarinya demikian ringan, bahkan sepertinya tidak menyentuh
tanah sama sekali.
"Heh...!" Bayu tersentak kaget begitu tiba-tiba melihat sebuah bayangan
biru berkelebat cepat menghadang arah lari Rara Wanti. Dan tiba-tiba saja di
depan gadis itu sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh kurus dan agak
membungkuk. Sebatang tongkat menyangga tubuhnya. Dia tertawa terkekeh.
Sedangkan Rara Wanti berhenti berlari, dan melangkah mundur beberapa
tindak.
"Ki Sampar Watu. Ada apa kau ke sini?!" dengus Rara Wanti mendahului.
"He he he..., mengapa kau selalu bersikap kasar padaku, Manis? Kau adalah
milikku, dan kau akan kubawa ke mana saja aku pergi. He he he...," Ki Sampar
Watu terkekeh mengge likan.
"Phuih! Tua bangka tidak tahu malu! Sudah bau tanah masih juga mencari
gadis muda!" dengus Rara Wanti sengit.
"Bukan aku yang mencari. Tapi, ayahmulah yang takut kehabisan laki-laki
untukmu."
"Jangan sebut-sebut ayahku! Dia bukan ayahku!" bentak Rara Wanti
berang.
"Peduli setan! Ayahmu atau bukan, yang jelas. Sekarang kau harus ikut aku.
Kau harus jadi gundikku!"
"Tua bangka keparat...!" geram Rara Wanti memuncak amarahnya.
Harga diri gadis itu sepertinya sudah terinjak-injak. Ini semua akibat ulah
ayahnya. Rara Wanti benar-benar geram, dilemparkan buntalan kain yang
dibawanya dengan pengerahan tenaga dalam cukup tinggi. Buntalan kain itu
meluncur deras ke arah Ki Sampar Watu. Namun sambil terkekeh, laki-laki tua
berjubah biru itu mengegoskan tubuhnya sedikit ke kiri. Maka, buntalan kain
itu lewat sedikit di samping tubuhnya. Dia tetap tertawa terkekeh
meremehkan.
"Untuk apa buang-buang tenaga percuma. Manis? Sebaiknya kau simpan saja
tenagamu untuk melayaniku," ujar Ki Sampar Watu.
"Kurang ajar! Kusobek mulut mu yang kotor itu, tua bangka!" gera m Rara
Wanti merah padam wajahnya.
Rara Wanti langsung melompat sambil mencabut pedangnya yang tersampir di
punggung. Cepat sekali gerakan gadis itu. Pedangnya berkelebatan bagai kilat
menyambar beberapa bagian tubuh Ki Sampar Watu. Namun laki-laki tua itu
manis sekali mengelakkan setiap serangan Rara Wanti. Bahkan tanpa diduga
sama sekali, tangannya bergerak cepat nyelonong ke bagian dada.
"Setan! Kurang ajar...!" geram Rara Wanti sambil melompat mundur. Wajahnya
semakin memerah bagai terbakar.
"Kau semakin cantik kalau marah begitu, Manis. Sungguh
menggairahkan...."
"Kubunuh kau, setan tua keparat! Hiyaaat...!"
Rara Wanti kembali menyerang ganas. Kali ini dikerahkan seluruh jurus
andalannya yang sangat dahsyat. Jurus permainan pedang yang diajarkan Ki
Praba padanya. Jurus pedang itu memang sungguh luar biasa. Pedang
ditangannya bagai memiliki mata yang berjumlah seribu, mengurung tubuh Ki
Sampar Watu.
Namun laki-laki tua itu malah terkekeh. Sampai sejauh ini, tidak satu pun
serangan Rara Wanti mengenai sasaran dengan tepat. Bahkan dupakan kaki Ki
Sampar Watu membuat gadis itu tersungkur.
"Auh..!" Rara Wanti terpekik tertahan.
Selagi tubuh Rara Wanti tergeletak di tanah, Ki Sampar Watu melompat hendak
menerkamnya. Gadis itu terbeliak, karena sukar menggerakkan tubuhnya lagi.
Disadari kalau tadi Ki Sampar Watu sempat menotok jalan darahnya, sehingga
jadi lumpuh seketika.
"Oh tidak...," rintih Rara Wanti lirih.
Gadis itu memejamkan matanya. Tapi ketika ditunggu-tunggu, terkaman Ki
Sampar Watu tidak kunjung datang. Bahkan didengarnya satu erangan tertahan.
Rara Wanti membuka matanya. Matanya semakin membeliak begitu melihat Ki
Sampar Watu tengah berusaha bangkit berdiri diantara reruntuhan pohon.
Tampak di depan gadis itu berdiri seorang pemuda berbaju dari kulit
harimau.
"Kakang Bayu...," desah Rara Wanti. Ada kelegaan dalam dadanya melihat ke
munculan Pendekar Pulau Neraka itu.
"Hm...," Bayu menggumam pelan, kemudian membungkuk. Dibukanya totokan Ki
Sampar Watu di tubuh Rara Wanti dengan totokan pula.
Rara Wanti menggerinjang bangkit. Dipungut pedangnya yang tergeletak.
Sementara itu Ki Sampar Watu menggerung kesal, tapi sudah bisa berdiri.
Matanya tajam memerah menatap Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tegak
sambil melipat tangan di depan dada. Sikap Bayu jelas-jelas melindungi Rara
Wanti.
"Bocah gendeng! Siapa kau? Berani mencampuri urusanku!" bentak Ki Sampar
Watu geram.
"Aku Pendekar Pulau Neraka. Sebelum pikiranku berubah, sebaiknya enyah dari
sini!" dingin nada suara Bayu.
"Setan keparat! Lidahmu perlu diberi pelajaran, agar bisa sedikit sopan
pada orang tua!"
"Adakalanya orang tua harus bertindak sopan pada yang lebih muda."
"Phuih! Lebih suka mampus rupanya kau, heh!"
"Mati dan hidupku bukan di tanganmu, tapi nyawamu ada di ujung
jariku!"
"Edan! Kampret...!"
Ki Sampar Watu mengumpat habis-habisan. Hatinya begitu geram mendengar
kata-kata yang menyakitkan telinga itu. Wajahnya semakin memerah, dan
gerahamnya bergemeletuk menahan amarah. Tanpa berkata-kata lagi, laki-laki
tua itu melompat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka.
"Mampus kau! Hiyaaat...!"
"Hup!"
Sebelum terjangan Ki Sampar Watu sampai, Bayu sudah melentingkan tubuhnya
ke atas sambil menyambar pinggang Rara Wanti. Manis sekali Pendekar Pulau
Neraka itu hinggap di dahan yang tinggi. Dan sebelum Ki Sampar Watu
menyadari, Bayu sudah meluruk turun meninggalkan Rara Wanti di atas pohon.
Kakinya yang kokoh tepat mendarat di depan Ki Sampar Watu.
"Hiyaaat.,"
Secepat Bayu mendarat, secepat itu pula kakinya melayang deras ke arah dada
Ki Sampar Watu. Tendangan kilat yang begitu cepat dan tiba-tiba itu tidak
mungkin lagi dihindari. Buru-buru Ki Sampar Watu mengibaskan tongkatnya
menyampok tendangan itu.
Trak!"
"Heh...!" Ki Sampar Watu terkejut bukan main dan buru-buru melompat mundur
ke belakang. Hampir tidak dipercaya dengan apa yang baru terjadi tadi. Kedua
bola matanya membeliak lebar memandangi tongkatnya yang terpotong jadi dua
bagian.
Sungguh sempurna tenaga dalam yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka. Tongkat
maut yang menjadi kebanggaan Ki Sampar Watu bisa terpotong jadi dua kena
tendangannya. Sedangkan Bayu sendiri tidak mengalami luka sedikit pun.
Bahkan kini malah berdiri dengan tangan melipat di depan dada.
"Aku masih memberimu kesempatan hidup, Kisanak," ucap Bayu dibuat
tenang.
"Phuih! Satu saat kau akan menyesal, bocah!" dengus Ki Sampar Watu geram.
Setelah berkata demikian, Ki Sampar Watu melesat cepat meninggalkan tampat
itu. Begitu cepatnya melesat, sehingga dalam sekejap saja sudah lenyap dari
pandangan mata.
Bayu memandang ke atas, lalu tersenyum melihat Rara Wanti duduk mencangkung
di dahan pohon yang cukup tinggi. "Dia sudah pergi! Turunlah, Rara!" seru
Bayi keras.
"Hup!" Rara Wanti meluruk turun dengan manisnya! Tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, gadis ini menjejak tanah tepat di depan Pendekar Pulau
Neraka!
"Kau hebat, Kakang. Bisa mengusir si tua bangka cabul itu!" puji Rara Wanti
agak tertekan nada suaranya pada bagian akhir.
"Kau pun bisa menandinginya kalau mampu, menahan sedikit kemarahanmu," kata
Bayu merendah.
"Kau hanya membesarkan hatiku saja, Kakang."
"Tidak! Aku berkata yang sebenarnya. Tadi kau terlalu dihinggapi amarah
yang meluap, sehingga tidak bisa mengontrol diri. Seorang yang tangguh
seperti apa pun akan mudah dikalahkan jika tidak bisa mengendalikan
amarahnya."
"Filsafat lagi."
"Bukan filsafat. Tapi semua orang akan menghadapi hal yang sama. Bukan
hanya dalam ilmu olah kanuragan, tapi juga dalam hal lain, ketenangan dan
pengontrolan diri, akan menghasilkan hasil yang memuaskan."
"Terima kasih, Empu...," goda Rara Wanti.
"Kunyuk! Bukannya didengarkan, malah meledek!" rungut Bayu seraya berbalik
dan melangkah pergi.
"Kakang, tunggu...!" Rara Wanti berlari mengejar, dan mensejajarkan
langkahnya di samping Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kenapa mengikutiku? Bukannya tadi kau akan pergi?" sindir Bayu.
"Tidak jadi," rungut Rara Wanti. Sindiran itu langsung mengena ke
hatinya.
"Lho...?!" Bayu menghentikan langkahnya. Dipandanginya wajah cantik gadis
itu.
"Pikiranku berubah," kata Rara Wanti tertunduk.
"Cepat sekali...? Belum pernah kutemukan seseorang yang begitu cepat
berubah pikiran."
"Aku serius, Kakang. Aku tidak jadi pergi sendirian. Aku akan ikut ke mana
pun kau pergi. Sungguh...," nada suara Rara Wanti terdengar begitu
berharap.
"Ha ha ha...!" Bayu tertawa terbahak-bahak.
"Huuuh...! Malah ketawa!" rungut Rara Wanti memberengut.
"Lucu...."
"Memangnya aku badut?!" Rara Wanti masih memberengut.
Bayu tersenyum-senyum geli, dan kembali melangkah. Rara Wanti mengikutinya,
dan mensejajarkan langkahnya disamping pemuda berbaju kulit harimau itu.
Mereka berjalan tidak berkata-kata lagi. Tanpa setahu mereka, seseorang
memperhatikan dari jarak yang cukup jauh. Orang itu bergegas pergi, berlari
kencang menuju Desa Munding. Sementara Bayu dan Rara Wanti terus berjalan
sambil berbicara ringan.
Mereka berjalan tanpa tujuan yang pasti. Ke mana kaki melangkah, ke situ
arah yang dituju. Tidak terasa! mereka sudah berjalan cukup jauh. Sementara
matahari sudah tinggi di atas kepala. Mereka berhenti di tepi sungai kecil
yang mengalir jernih. Rara Wanti membasuh wajahnya.
"Kau pasti sengaja mengikutiku tadi pagi," tebak Rara Wanti sambil
menghampiri Bayu yang duduk di atas batu dengan kedua kakinya terendam ke
dalam sungai.
"Iya," sahut Bayu kalem.
"Kenapa? Aku kan bukan adikmu, juga bukan apa-apamu," Rara Wanti ingin
tahu.
"Karena kau perlu seorang teman, dan aku rasa...."
"Kau orang yang tepat. Begitu kan?" potong Rara Wanti cepat.
"Mungkin. Itu pun kalau tidak berkeberatan "
"Tentu saja tidak. Aku merasa terlindung bersama mu. Kau hebat, bisa
mengalahkan si tua bangka cabul itu."
"Tidak selamanya aku harus melindungimu, Rara. Satu saat kau harus bisa
melindungi dirimu sendiri. Bukan untuk selamanya aku berada bersama
mu."
"Kau akan meninggalkanku, Kakang?"
"Aku tidak dapat menolak seandainya memang harus berpisah."
Rara Wanti terdiam. Matanya berputar merayapi wajah tampan di depannya,
seolah-olah hendak mencari sesuatu diwajah yang keras dengan garis-garis
ketegasan itu. Tapi hatinya jadi kecewa, karena tidak menemukan apa yang
dicarinya. Rara Wanti menarik napas panjang dan menghembuskannya
kuat-kuat
"Ada seseorang yang lebih berhak menjadi pelindung dan sandaran hidupmu,
Rara," ujar Bayu pelahan.
"Tidak ada!" sentak Rara Wanti cepat.
Bayu hanya tersenyum saja.
"Kenapa tersenyum?"
"Kau menyembunyikan perasaanmu, Rara. Aku tahu, didalam hati kecilmu kau
tengah mengharapkan seseorang. Entah siapa, yang jelas seseorang yang telah
menyebarkan bibit asmara di hatimu. Aku bisa merasakan itu, Rara. Dari sinar
matamu," lembut nada suara Bayu.
Rara Wanti terdiam membisu. Ucapan Bayu yang lembut itu terasa mengena
lubuk hatinya yang paling dalam. Memang tidak bisa dibantah. Dan secara
jujur memang diakui kebenaran kata-kata itu. Saat ini memang tengah
diharapkan kehadiran seseorang yang sangat dicintainya. Tapi juga dibenci
dan mengecewakan hatinya. Seseorang yang diharapkan akan mengeluarkannya
dari kurungan sangkar emas, ternyata menghilang begitu saja selama tiga
tahun. Tanpa kabar, tanpa berita, juga tanpa kata-kata perpisahan. Tiga
tahun bukan waktu yang sebentar. Menunggu dalam penantian, terkurung dalam
kemewahan yang semu.
Kini setelah muncul seorang pemuda yang begitu cepat menarik simpatinya,
tapi pemuda itu malah seperti menghindar. Memang tidak mungkin seorang gadis
mengemukakan perasaannya lebih dahulu, meskipun semua itu sudah ada di
hatinya. Bahkan hampir meledak. Tapi biar bagaimanapun setiap gadis pasti
akan menyimpannya rapat-rapat. Paling tidak menunggu pancingan yang tepat
mengoyak dinding hatinya.
"Melamun lagi. Perut tidak kenyang diisi lamunan terus," goda Bayu.
Rara Wanti tersenyum kecut.
"Bawa bekal?" tanya Bayu.
"Tidak," Rara Wanti menggeleng.
"Itu?" Bayu menunjuk buntalan kain di bahu kanan gadis itu.
"Hanya pakaian, dan sedikit uang serta perhiasan," sahut Rara Wanti.
"Terpaksa, kita harus berburu. Tidak ada kedai di tengah hutan
begini."
"Aku kenal daerah ini. Di hulu sungai ada sebuah desa. Tidak besar, tapi
kedai di sana cukup nyaman. Makanannya pun cukup enak," kata Rara
Wanti.
"Desa apa?" tanya Bayu.
"Desa Pekacangan."
"Pernah ke sana?"
"Pernah juga, tapi tidak sering."
"Baiklah. Perut juga sudah minta diisi nih."
Lagi-lagi Rara Wanti tersenyum. Kali ini senyumnya begitu manis dan lepas.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan menyusuri sungai menuju ke hulu.
Sepanjang jalan yang dibicarakan hanyalah hal-hal ringan saja. Dan setiap
kali Bayu menyinggung kehidupan pribadi gadis itu, Rara Wanti langsung
mengelak. Malah membelokkannya ke arah pembicaraan lainnya.
********************
EMPAT
Di dalam rumah besar di Desa Munding, Ki Praba tampak uring-uringan
mendengar laporan salah seorang anak buahnya yang melihat Rara Wanti dan
Pendekar Pulau Neraka di hutan Bukit Sidayu. Dikumpulkanlah semua tukang
pukulnya yang rata-rata memiliki tubuh kekar dan berkepandaian cukup
tinggi.
"Dengar! Siapa saja di antara kalian yang bisa membawa hidup-hidup anak
celaka itu akan kuberikan untuk kalian. Dan kalau kepalanya, seribu keping
uang emas sebagai hadiahnya!" kata Ki Praba mantap.
Perintah Ki Praba disambut gembira semua tukang pukulnya. Bahkan yang hanya
berkemampuan pas-pasan ikut menyambut penuh semangat. Siapa yang tidak
tergiur dengan seribu keping uang emas? Bahkan mereka bisa saja menikmati
dulu kemolekan tubuh Rara Wanti, lalu membawa kepalanya pada Ki Praba.
Berbagai macam bayangan indah berkecamuk di dalam lima puluh kepala anak
buah Ki Praba.
"Sekarang juga kalian bisa laksanakan!" lanjut Ki Praba.
Lima puluh orang yang menjadi tukang kepruk Ki Praba bergegas meninggalkan
ruangan depan yang luas itu. Sedangkan Ki Praba masih duduk di kursinya
bersama Jantar yang tetap menemani dengan raut wajah berubah-ubah.
"Aku rasa keputusanmu terlalu cepat, Ki," ujar Jantar hati-hati.
"Hm.... Apa maksudmu, Jantar?" gumam Ki Praba seraya menatap tajam
laki-laki berusia sekitar ilua puluh lima tahun itu.
"Kita belum tahu jelas, siapa pemuda yang bersama Rara Wanti. Laporan itu
masih samar-samar sama sekali. Seharusnya diselidiki dulu kebenarannya, baru
mengambil keputusan. Tapi jika Rara Wanti dibunuh, aku yakin masalah ini
belum tentu selesai, Ki. Ki Sampar Watu pasti tidak akan puas, dan tetap
menuntut janjimu."
"Hm...," Ki Praba hanya bergumam tidak jelas.
"Bukan hanya Ki Sampar Watu. Yang jelas masih banyak orang-orang yang harus
kita hadapi. Ada Muka Mayat, Kebo Ireng, dan yang terpenting Nyai Supit
sendiri. Sikapnya belakangan ini sangat mencurigakan terutama sejak
munculnya Awijaya yang menginap dirumahnya," lanjut Jantar.
"Kau berada di sini bukan untuk mengajariku, Jantar. Tugasmu hanya
mengawalku, lain tidak!" dingin nada suara Ki Praba.
"Maaf, Ki. Aku hanya mengemukakan pendapat."
"Kau berkata seperti takut menghadapi mereka. atau memang gentar?" sinis
ucapan Ki Praba.
"Tidak ada yang membuatku gentar, Ki. Aku hanya ingin menyampaikan kalau
keputusanmu terlalu cepat. Kau perintahkan semua anak buah kita pergi
mencari Rara Wanti, sementara kau juga tidak berpikir untuk menjaga tempat
ini," Jantar mengingatkan.
"Jangan cemas, Jantar. Besok sahabat sahabatku datang. Tiga orang ditambah
dirimu, aku rasa sudah cukup menghadapi mereka semua. Aku tidak butuh
tikus-tikus yang hanya bisa mengeruk gentong nasi tanpa bekerja yang becus.
Biar mereka pergi menemui ke matiannya. Toh mereka tidak akan sanggup
menandingi Rara Wanti."
"Terus terang, aku tidak mengerti tujuanmu, Ki"
Ki Praba hanya tersenyum saja, lalu bangkit berdiri dan melangkah masuk
kedalam ruangan tengah. Jantar hanya memandangi saja. Masih belum bisa paham
jalan pikiran Ki Praba. Keberadaannya di sini memang dibayar untuk mengawal
laki-laki angkuh di samping nyawanya pernah diselamatkan ketika hampir kalah
bertarung melawan seorang tokoh berkepandaian tinggi.
Dia merasa berhutang budi, bertekad untuk selalu mendampingi Ki Praba yang
biasanya sejalan dan sepikiran dengannya. Tapi, sekarang ini Jantar
sungguh-sungguh sukar mengerti jalan pikiran dan tujuan yang akan ditempuh
Ki Praba Bahkan sampai tidak habis mengerti, kenapa Ki Praba sampai tega
hendak membunuh anaknya sendiri?
********************
Entah dari mana awalnya, berita tentang Rara Wanti yang kini berjalan
bersama seorang pemuda berbaju kulit harimau sudah tersebar luas. Dan berita
itu pun juga telah sampai ke telinga Awijaya. Tentu saja pemuda itu sudah
menduga, dengan siapa Rara Wanti sekarang. Dan itulah yang membuat dirinya
kini jadi uring-uringan tidak menentu.
Disadari kalau tingkat kepandaiannya jauh di bawah Pendekar Pulau Neraka.
Apalagi dia tahu betul watak Rara Wanti yang mudah simpati terhadap pemuda
berkepandaian tinggi. Ditambah lagi, pemuda itu tampan, gagah, dan memiliki
kelebihan tertentu. Tapi yang jelas, Rara Wanti selalu mengagumi pemuda
berkepandaian tinggi. Lebih tinggi dari kepandaian yang dimiliki gadis itu.
Untuk menghadapi Rara Wanti, Awijaya memang bisa mengungguli. Tapi
menghadapi Pendekar Pulau Neraka?
Awijaya tidak tahu lagi, apa yang harus diakukannya. Tiga tahun menempa
diri dan memperdaalam ilmu olah kanuragan di tempat yang jauh dari desa ini
hanya untuk satu tujuan. Tapi semua usaha yang dilakukannya jadi terasa
sia-sia. Ada sedikit keputusasaan terselip dalam hatinya.
"Aku memang sering mendengar sepak terjang pendekar Pulau Neraka. Tapi
kalau mendengar petualangannya dalam memikat seorang gadis rasanya belum
pernah," kata Nyai Supit.
Awijaya hanya diam saja. Semua memang sudah diceritakannya pada perempuan
gemuk itu. Bahkan tentang tulisan yang dikirimkan Pendekar Pulau Neraka
padanya diperlihatkan pada Nyai Supit.
"Dari surat yang dikirimkan untukmu saja sudah jelas, kalau kau akan
dipertemukan dengan Rara Wanti. Bersabarlah, jangan menuruti darah muda dan
hawa nafsu yang tidak terkendali. Aku yakin kalau Pendekar Pulau Neraka
bermaksud baik untuk dirimu dan Rara Wanti," sambung Nyai Supit.
"Tapi Rara Wanti mudah sekali jatuh simpati pada setiap orang yang
berkemampuan tinggi, Nyai," tegas Awijaya.
"Rasanya aku masih ingat ketika seorang anak pembesar kadipaten mencoba
merebut Rara Wanti dari tanganmu. Meskipun kau berhasil dibuat babak belur,
dan ayahnya mendesak Rara Wanti untuk menerima pinangannya, tapi dia tetap
memilihmu. Aku rasa Rara Wanti juga tidak melihat kepandaian seseorang,
Awijaya. Kalau hanya sekadar simpati, aku juga selalu jatuh simpati kalau
melihat seseorang berkemampuan tinggi. Tapi itu bukan berarti mencintainya,"
Nyai Supit menasehati.
Awijaya hanya diam saja. Secara jujur diakui kebenaran pada ucapan Nyai
Supit. Tapi tetap saja hatinya merasa khawatir kalau Rara Wanti akan
terenggut darinya. Masalahnya, yang bersama gadis itu sekarang ini adalah
seorang pendekar muda dan tampan yang sudah kondang namanya. Tingkat
kepandaiainya pun sukar diukur, dan sulit dicari tandingannya
"Awijaya, kau seorang laki-laki. Usia mu sudah cukup matang, dan mampu
berpikir secara dewasa. Aku percaya kau bisa menghadapi persoalan ini dengan
kepala dingin," sambung Nyai Supit lagi. suaranya tetap terdengar
lembut.
"Tapi bagaimanapun juga aku harus pergi, Nyai. Aku harus menemuinya sebelum
orang-orang Ki Praba mendapatkannya," ujar Awijaya bertekad.
"Kalau maksudmu mulia, tentu akan kudukung. tapi kalau niatmu untuk
memusuhi Pendekar Pulau Neraka, dan membawa Rara Wanti secara paksa, itu
sama saja bunuh diri. Dan mungkin seumur hidupku tidak akan kulihat
kuburanmu," tegas kata-kata Nyai Supit.
"Aku tahu, Nyai. Meskipun kabar yang kudengar tentang Pendekar Pulau Neraka
tidak terlalu baik, tapi aku akan berusaha mengenalnya lebih dekat," janji
Awijaya
"Bagus, kapan kau akan berangkat?"
"Besok pagi."
"Akan kuserahkan kedai dan penginapan ini pada keponakanku."
"Nyai...!" Awijaya terkejut.
"Sudah waktunya aku istirahat, Awijaya. Aku ingin bersama-sama ibumu dan
adik-adikmu. Tapi sebelum itu ingin, kubalas sakit hati suamiku dulu."
"Itu berarti Nyai akan menantang Ki Praba?"
Nyai Supit hanya tersenyum saja.
"Meskipun Ayah mati karenanya, tapi aku tidak akan mendendam. Nyai. Biar
bagaimanapun, aku masih bisa menghargai perasaan Rara Wanti. Maaf kalau aku
tidak bisa membantumu, Nyai," ucap Awijaya agak menyesal.
"Percayalah, aku tidak akan melibatkanmu."
"Mudah-mudahan berhasil, Nyai."
Lagi-lagi Nyai Supit hanya tersenyum saja
********************
Hampir tengah malam Awijaya belum Juga bisa memicingkan matanya. Pikirannya
masih menerawang jauh, melayang tanpa batas akhir. Hatinya kelihatan gelisah
di pembaringan. Udara malam yang dingin, jadi terasa panas. Keringat
mengucur deras membasahi seluruh tubuhnya.
"Rara Wanti.... Akan sia-siakah harapanku selama ini...?" desah Awijaya
lirih.
Awijaya menggelinjang bangun, lalu duduk menjuntai ditepi pembaringan.
Pandangannya kosong menembus langsung ke luar melalui jendela yang terbuka
lebar. Sebentar ditarik napas panjang, dan di hembuskannya kuat-kuat
Pelahan-lahan tubuhnya bangkit berdiri. Namun belum juga berdiri tegak.
tiba-tiba....
"Akh...!"
"Heh...!" Awijaya tersentak kaget begitu mendengar suara pekikan
tertahan.
Pemuda yang selalu mengenakan baju merah muda itu melompat ke jendela.
Belum lagi hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba terlihat dua bayangan keluar
dari salah satu jendela kamar. Awijaya tersentak. Jelas itu adalah kamar
Nyai Supit.
"Hup!"
Tanpa berpikir panjang lagi, pemuda itu melompat keluar dari jendela
kamarnya, langsung menuju ke jendela kamar Nyai Supit yang tebuka lebar. Dua
bayangan yan berkelebat tadi sudah lenyap dari pandangan mata, hilang
ditelan kegelapan malam. Awijaya menerobos masuk ke kamar perempuan ge muk
itu.
"Nyai...!" Awijaya terpekik kaget begitu berada di dalam kamar itu.
Bergegas Awijaya memburu sosok tubuh gemuk yang menggeletak berlumuran
darah di atas pe mbaringan. Suasana di dalam kamar itu benar-benar
berantakan. Meja kursi, lemari, dan perabotan lain bergelimpangan hancur
berantakan.
"Nyai...," agak tertahan suara Awijaya.
Bola mata pemuda itu berputar, merayapi darah yang mengucur deras dari dada
dan leher Nyai Supit Pemuda itu sempat melihat adanya gerakan lemah dari
kepala wanita gemuk itu.
"Ki Praba...," hanya itu yang bisa diucapkan Nyai Supit.
Seketika itu juga kepalanya terkulai, tidak bergerak-gerak lagi. Awijaya
mengguncang-guncangkan tubuh tambun itu. Tapi nyawa Nyai Supit sudah
menghilang, terbang dari raganya. Awijaya terduduk lemas. Wajahnya sebentar
memerah, sebentar memucat pasi Dadanya bergemuruh hebat, kemudian bangkit
berdiri.
"Nyai, aku akan membalas kematianmu. Ki Praba harus mati. Aku janji,
Nyai...!" agak tersendat suara Awijaya.
Secepat kilat pemuda berbaju merah muda itu melesat keluar melalui jendela
kamar yang terbuka berantakan. Dalam sekejap saja dia sudah berlari kencang
menembus kegelapan malam. Tujuannya jelas kediaman Ki Praba yang tidak
berapa jauh dari rumah penginapan dan kedai Nyai Supit. Tanpa menghentikan
larinya, Awijaya melompat melewati pagar batu yang cukup tinggi seperti
benteng. Langsung didaratkan kakinya ringan di tengah-tengal halaman yang
luas bagai lapangan. Keadaannya sangat sunyi, tidak terlihat seorang pun di
sekitarnya. Bahkan hanya ada sebuah pelita saja yang menyala di bagian
beranda depan. Selebihnya hanya kegelapan yang ada.
"Ki Praba! Keluar kau...!" teriak Awijaya lantang. Sepi. Tidak ada sahutan
sedikit pun. Hanya angin malam yang dingin menyahuti teriakan pemuda itu
Awijaya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tetap sunyi. Tidak terlihat
seorang pun di sekitar rumah besar ini
"Pengecut!" geram Awijaya.
Pemuda berbaju merah muda itu melompat dan berputaran dua kali di udara.
Dan dengan manis sekali, tanpa menimbulkan suara sedikit pun kakinya
mendarat di beranda depan. Kembali dia berteriak keras, menyuruh Ki Praba
keluar. Tapi tetap saja tidak ada sahutan. Awijaya semakin kesal tak
tertahankan. Dirampasnya pelita yang tergantung di beranda. Dengan kemarahan
yang meluap, pemuda itu melemparkan pelita ke dalam rumah. Seketika saja api
berkobar besar melahap bagian dalam ru
Awijaya melompat ke atas atap, dan terus berlari ke bagian belakang. Ringan
sekali tubuhnya melunak turun, tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Pemuda
itu mendarat lunak dibagian belakang rumah besar ini. Sebuah pelita yang
menempel di dinding direnggut secara kasar, lalu dilemparkannya ke dalam
rumah. Kembali api berkobar membesar begitu pelita itu pecah
berantakan.
"Huh!" Awijaya mendengus menyemburkan ludahnya.
Tanpa menghiraukan api yang semakin membesar melahap rumah besar itu,
Awijaya melentingkan tubuhnya keluar, kembali ke halaman depan. Betapa
terkejutnya dia begitu kakinya mendarat. Tampak penduduk berbondong-bondong
membawa obor, lalu melemparkannya ke rumah besar yang selama ini
dibencinya.
Tindakan Awijaya membuat para penduduk yang selama ini hanya diam tertekan
penderitaan, benar-benar ingin melampiaskan segala tekanan batinnya pada
rumah besar itu. Api semakin besar berkobar melahap setiap bagian rumah
besar bagai istana itu. Awijaya memandanginya tanpa berkedip. Ada sedikit
keharuan di hatinya ketika melihat para penduduk bersorak-sorai gembira
menyaksikan rumah yang dianggap sebagai sumber neraka dan malapetaka kini
dilahap api dengan ganasnya.
Awijaya membalikkan tubuhnya, dan melangkah meninggalkan tempat yang terang
benderang dilahap api Dia berjalan sambil menyibakkan kerumunan penduduk
yang memadati halaman besar rumah itu. Ada kegembiraan, kesedihan, dan
keharuan di dalam hatinya. Bermacam perasaan berkecamuk, sukar untuk
diungkapkan dengan untaian kalimat. Tak ada seorang yang memperhatikan
pemuda berbaju merah muda yang terus melangkah semakin jauh.
"Siapa sebenarnya yang membunuh Nyai Supit? Kemana Ki Praba
pergi...?"
Tak sedikit pertanyaan yang mengganggu pikiran Awijaya Pemuda itu pergi
tanpa tujuan dengan membawa hati yang panas, terselimut dendam
membara.
Hanya satu dalam pikirannya. Mencari Ki Praba. Dia yakin betul kalau
laki-laki itulah yang membunuh Nyai Supit. Meskipun dalam keadaan gelap,
masih sempat dikenali salah satu bayangan yang berkelebat cepat keluar dari
kamar Nyai Supit malam itu.
********************
Sementara itu, di sebelah Utara Bukit Sidayu, tampak Ki Praba duduk
mencangkung di atas batu. Kedua kakinya terendam kedalam sungai yang kecil
berair jernih. Didekatnya berdiri Jantar. Pandangan mata pemuda itu menatap
lurus ke tanah di tepi sungai kecil ini.
"Ki...," panggil Jantar, seraya berjongkok menekuri tanah berair.
"Ada apa?" tanya Ki Praba menghampiri.
"Ada jejak kaki dua orang. Arahnya menuju kehulu," jelas Jantar.
"Hm...," Ki Praba menggumam pelahan. Dia mati jejak-jejak kaki yang hampir
tenggelam. Kelihatan masih jelas membekas di tanah.
"Jelas kalau ini jejak kaki laki-laki dan perempuan, Ki," tegas Jantar
seraya berdiri dan melangkah pelan-pelan mengikuti jejak-jejak kaki yang
tertera cukup jelas di tanah tepi sungai ini.
"Belum ada yang ke hulu melalui tepi sungai ini...," gumam Ki Praba.
"Kecuali Rara Wanti," sambung Jantar.
"Benar. Ayo kita ke sana!" seru Ki Praba.
Kedua laki-laki itu bergegas mengayunkan kakinya mengikuti jejak yang
menuju ke hulu. Mereka tahu kalau di bagian hulu sungai ini ada sebuah desa
kecil. Desa Pekacangan yang kerap didatanginya. Di desa itu Ki Praba juga
mempunyai teman yang setiap saat bisa membantunya. Ki Praba semakin
bersemangat Memang kepala Rara Wanti dan orang yang membawanya ingin segera
dipenggalnya.
"Kenapa bergegas, Ki Praba...?" tiba-tiba terdengar suara teguran
lunak.
Ki Praba dan Jantar tersentak kaget. Mereka langsung berhenti melangkah,
dan menoleh kearah datangnya suara tadi Tampak seorang laki-laki yang masih
muda usianya tengah duduk bersila di atas sebatang pohon tumbang. Pakaiannya
putih panjang, hampir menutupi kakinya. Rambutnya putih. Dan yang paling
menonjol adalah raut wajahnya yang pucat bagai mayat. Ki Praba kenal betul,
kalau laki-laki itu adalah si Muka Mayat, salah seorang musuhnya.
"Sukar dipercaya kalau Ki Praba rela turun tangan hanya untuk memburu
seseorang. Ah..., mungkin pamornya sudah hilang, sehingga berjalan kaki
tergesa-gesa hanya ditemani seekor anjing geladak," pelan kata-kata si Muka
Mayat, tapi sanggup membuat wajah Jantar merah padam.
"Muka Mayat! Apa pedulimu dengan urusanku?!" bentak Ki Praba sengit.
"Tentu saja aku peduli kalau kau tetap memburu Rara Wanti," sahut si Muka
Mayat kalem.
"Phuih! Dia anakku, tida k ada urusannya denganmu!"
"Anakmu...? Ha ha ha...!" si Muka Mayat tertawa tergelak-gelak. Namun suara
tawanya begitu sumbang dan tidak enak didengar. "Sejak kapan kau punya anak,
Ki Praba? Bukankah Rara Wanti itu hanya budak pajanganmu? Lambang hadiahmu?
Sungguh dunia sudah terbalik...!"
"Tutup mulutmu, keparat!" geram Ki Praba gusar, lalu melirik Jantar.
"Ha ha ha...!" si Muka Mayat semakin keras tergelak. Perutnya yang agak
buncit terguncang-guncang menahan rasa geli yang menggelitik
tenggorokannya.
"Keparat..! Mampus kau! Hiyaaat..!"
Ki Praba tidak bisa lagi menahan amarahnya, dan langsung melompat cepat
bagai kilat menerjang laki-laki muda yang usianya sekitar tiga puluh tahun
itu. Secepat itu pula Ki Praba melontarkan dua pukulan dahsyat bertenaga
dalam tinggi secara beruntun.
"Hait..!"
Namun dengan manis sekali si Muka Mayat berkelit melambungkan dirinya ke
atas, kemudian berputaran di udara melewati kepala Ki Praba. Dan sebelum
kakinya menjejak tanah, satu tendangan menyamping diarahkan ke punggung
laki-laki setengah baya itu. Tapi belum juga tendangannya sampai pada
sasaran, mendadak dua buah pisau kecil meluncur deras ke arahnya.
"Ikh! Curang!" dengus si Muka Mayat seraya melentingkan tubuhnya ke
belakang.
Dan begitu kaki si Muka Mayat mendarat di tanah, kembali dua buah pisau
tipis meluncur bagai kilat ke arahnya, disusul tebasan sebilah pedang ke
arah leher. Menghadapi dua serangan kilat dan dahsyat itu, si Muka Mayat
tidak punya pilihan lain lagi. Secepat kilat dilepaskan sabuknya, dan
langsung diputarnya bagai baling-baling.
Trang! Tring!
Baik Ki Praba maupun Jantar terkejut saat senjata-senjatanya berbenturan
dengan sabuk si Muka Mayat Sabuk yang kelihatan lemas itu ternyata sangat
kuat melebihi baja. Senjata Ki Praba sampai terpental hampir terlepas dari
tangan. Sedangkan pisau-pisau yang dilepaskan Jantar mental balik kearah
pemiliknya.
"Hup!"
Jantar menggerakkan tangannya cepat, dan tangkas sekali menangkap
pisau-pisau itu. Si Muka Mayat tertawa terkekeh. Sementara Ki Praba dan
Jantar saling berpandangan sejenak, ke mudian serempak menyerang menggunakan
senjata masing-masing dari dua arah yang berlawanan.
LIMA
Ki Praba dan Jantar benar-benar tidak lagi memberi kesempatan si Muka Mayat
untuk tetap hidup. Mereka menyerang secara beruntun dan bergantian. Sedikit
pun tidak memberi peluang lawan untuk balas menyerang. Hal ini tentu saja
membuat si Muka Mayat kelabakan setengah mati. Beberapa pukulan dan
tendangan bertenaga dalam tinggi bersarang di tubuhnya. Beberapa kali dia
berusaha kabur, tapi selalu dapat terkejar.
Tempat pertarungan sudah berpindah pindah, dan semakin menjauhi sungai.
Tanpa disadari, justru mereka semakin dekat ke hulu. Daerah sekitar
pertarungan itu benar-benar porak-poranda. Pohon-pohon bertumbangan,
batu-batu pecah berantakan. Tapi pertarungan itu masih terus berlangsung
sengit.
"Jantar, ambil kaki...!" tiba-tiba Ki Praba berseru nyaring.
"Baik, Ki!" sahut Jantar. "Hiyaaat...!"
Jantar tidak membuang waktu lagi, dan langsung menyusur mempergunakan jurus
'Ular Melibat Bukit'. Sasaran yang diincar tentu saja kaki lawan. Hal ini
membuat si Muka Mayat harus berpelantingan ke atas menghindari serangan yang
tidak pernah berpindah itu. Tapi laki-laki muda itu jadi tersentak, karena
Ki Praba justru mengarahkan serangan ke bagian dada dan kepala.
"Modar...!" seru Ki Praba tiba-tiba. Seketika itu juga Ki Praba menggedor
tangannya ke arah dada si Muka Mayat, namun masih juga bisa dihindari. Tapi
si Muka Mayat tidak bisa lagi menghindari sabetan tangan Jantar pada
betisnya, dan....
"Akh...!" si Muka Mayat me mekik tertahan. Tulang betis si Muka Mayat
langsung remuk seketika, dan tubuhnya jatuh bergulingan di atas tanah. Pada
saat itu, Ki Praba menghunjamkan pedangnya ke arah dada si Muka Mayat
"Mampus kau! Hiyaaat..!"
Cleb!
"Aaakh...!" si Muka Mayat menjerit keras melengking. Darah langsung muncrat
begitu pedang Ki Praba ditarik keluar. Dan laki-laki setengah baya itu belum
juga puas meskipun lawannya sudah menggelepar meregang nyawa. Maka
dibabatkan pedangnya ke arah leher, hingga kepala si Muka Mayat terpisah
dari tubuhnya.
"Tamat riwayatmu, Muka Mayat!" desis Ki Praba diiringi desahan napas
panjang.
Ki Praba memasukkan kembali pedangnya kedalam sarungnya di punggung.
Kakinya melangkah menghampiri Jantar, yang sudah berdiri tegak mengatur
jalan napasnya. Sebentar mereka saling berpandangan, kemudian melangkah
menuju ke Desa Pekacangan yang tidak berapa jauh lagi. Mereka berjalan tanpa
berkata-kata lagi.
Tapi tiba-tiba saja Jantar berhenti melangkah, lalu menatap tajam pada Ki
Praba. Dan Ki Praba juga menghentikan langkahnya. Agak heran juga laki-laki
setengah baya ketika melihat tatapan mata yang begitu tajam menusuk.
"Ada apa, Jantar?" tanya Ki Praba.
"Benarkah yang dikatakan si Muka Mayat tadi, Ki?" Jantar balik bertanya.
Suaranya datar, bernada minta penjelasan.
"Kata-kata yang mana?"
"Tentang Rara Wanti. Benarkah dia bukan anakmu?"
"Ha ha ha...!" Ki Praba tertawa terbahak-bahak.
"Benar Rara Wanti bukan anakmu, Ki?" tanya Jantar mengulangi pertanyaan.
Ada sedikit tekanan pada nada suara pemuda itu.
"Tidak usah kau hiraukan, Jantar. Rara Wanti itu anakku," jelas Ki Praba
seraya menepuk bahu kanan pemuda itu.
"Tapi kenapa kau akan membunuhnya?" tanya Jantar meminta penjelasan.
"Bagiku seorang pengkhianat harus dibunuh, tidak peduli apakah anak atau
bukan!" tegas jawaban Ki Praba.
Jantar terdiam. Jawaban tegas itu membuatnya teringat peristiwa beberapa
tahun yang laki. Ki Praba memenggal istri ketiganya tanpa bergeming sedikit
pun. Padahal hanya karena istri ketiganya berbicara berdua dengan seorang
lelaki ditegalan. Bahkan tega-teganya Ki Praba memancang kepalanya di atas
tonggak bambu selama tujuh hari. Katanya, itu sebagai peringatan bagi yang
lain agar berpikir dua kali kalau ingin mengkhianatinya. Tapi, benarkah Rara
Wanti berkhianat?
Jantar sendiri tak mengerti. Masalahnya hanya sepele. Rara Wanti kabur dari
rumah karena tak ingin terus-menerus dijadikan barang pajangan untuk
pertarungan yang selalu diingkari Ki Praba. Sudah beberapa kali Ki Praba
mengadakan adu kepandaian jago-jago rimba persilatan, yang berhadiah seribu
keping uang emas ditambah boleh memboyong Rara Wanti. Hadiah yang
menggiurkan, tapi Ki Praba tak pernah menepatinya.
Tentu saja hal ini membuat mereka yang sudah menang jadi sakit hati,
termasuk si Muka Mayat tadi. Juga, Ki Sampar Watu dan Kebo Ireng. Mereka
berusaha untuk mengambil Rara Wanti dan membunuh Ki Praba, tapi selalu
gagal. Hingga sekarang ini, Rara Wanti jadi seorang gadis buronan.
"Ayo, jalan lagi," ajak Ki Praba Jantar kembali melangkah meskipun jawaban
yang diberikan Ki Praba belum memuaskan hatinya.
Tapi hal itu tidak berani ditanyakannya lagi. Masalahnya, sedikit saja Ki
Praba merasa tersinggung, kepala Jantar bisa terpisah seketika.
"Jantar, bagaimana kalau kutawarkan Rara Wanti untukmu?" ujar Ki Praba
setelah lama terdiam.
"Ah, Ki Praba bergurau," desah Jantar tidak percaya.
"Syaratnya hanya satu. Itu pun kalau kau terima, Jantar," kata Ki Praba
lagi.
"Rara Wanti terlalu cantik untukku, Ki. Lagi pula dia tidak bakal
mau."
"Semua bisa diatur, Jantar. Aku hanya menginginkan agar kau membunuh
laki-laki yang sekarang bersamanya. Hanya itu," tegas Ki Praba lagi.
"Lalu, bagaimana kalau Rara Wanti menolak?"
"Paksa!"
"Apa...?"
"Ha ha ha...!" Ki Praba tertawa terbahak-bahak melihat raut wajah Jantar
yang memerah tersipu malu.
Bicara Ki Praba memang selalu blak-blakan. Bahkan terlalu gamblang, tidak
mempedulikan perasaan orang lain. Meskipun usianya sudah cukup, tapi Jantar
belum pernah sekali pun bergaul dengan seorang gadis. Apalagi untuk
memaksakan kehendaknya pada wanita. Memang diam-diam Jantar selalu
mengimpikan bisa menyunting Rara Wanti. Bahkan sering juga mengintip gadis
itu jika mandi di sungai, atau berganti pakaian di kamarnya. Tapi hanya
segitu saja keberaniannya. Tidak lebih!
Jika sekarang mendapat tawaran demikian, maka Jantar merasakan seperti
mendapat durian runtuh. Sudah lama diinginkan tawaran seperti itu. Dan
secara jujur hatinya selalu berdebar jika ada seorang jago yang seharusnya
berhak memboyong Rara Wanti. Tapi akhirnya dia selalu dapat menarik napas
lega, karena sampai saat ini belum ada seorang laki-laki pun yang dapat
memboyong Rara Wanti. Hanya saja gadis itu kini bersama laki-laki lain. Dan
itu pun setelah Rara Wanti menjadi gadis buronan secara terbuka.
"Bagaimana, Jantar. Kau terima?" desak Ki Praba.
"Sulit untuk menjawabnya, Ki!" Jantar masih merendahkan diri.
"Tidak perlu dijawab. Asal kau tunjukkan keinginanmu, aku sudah bisa
mengerti. Pokoknya, bunuhlah laki-laki itu, kemudian kau boyong putriku.
Kemudian kita bisa kembali ke Desa Munding, dan menguasai desa itu
selamanya. Ha ha ha...!"
Jantar hanya tersenyum dikulum. Meskipun senang, tapi hati kecilnya masih
diliputi keraguan. Bukan satu atau dua tahun bersama Ki Praba. Tentu sudah
kenal betul wataknya. Bisa saja dia bertarung mati-matian, tapi hati
kecilnya melarang untuk lebih banyak lagi mengharap. Tidak akan mungkin Rara
Wanti bisa didapat kecuali dibawa pergi, dan bersama-sama menjadi buronan Ki
Praba. Itu pun kalau Rara Wanti mau. Sulit bagi Jantar untuk bisa bergembira
dulu sekarang ini.
********************
Sementara itu, tidak jauh dari Desa Pekacangan, Bayu Hanggara tengah
disibuki tingkah Rara Wanti yang selalu membuntuti dan ingin ikut
bersamanya. Bukannya tidak melihat kecantikan dan kemolekan gadis itu, tapi
Bayu tahu kalau ada seorang pemuda yang lebih berhak terhadap Rara Wanti.
Dan hal ini sudah diutarakan pada Nyai Supit untuk mengembalikan Rara Wanti
pada Awijaya.
"Ini kan jalan ke Desa Munding...," gumam Rara Wanti begitu mengenali jalan
yang ditempuhnya.
"Memang," sahut Bayu kalem.
"Mau apa ke sana?" Rara Wanti membeliak, dan langsung berhenti
melangkah.
"Aku ada janji dengan seseorang di sana," sahut Bayu masih tetap
kalem.
"Janji sama siapa?" tanya Rara Wanti. Nada suaranya sedikit ditekan.
"Teman," sahut Bayu singkat, seraya kembali melangkah.
"Wanita?" tebak Rara Wanti kembali berjalan di samping Pendekar Pulau
Neraka itu.
"He-eh."
"Cantik?"
Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Dari nada suaranya, Bayu
sudah bisa menebak apa yang diingini gadis ini. Tapi justru itulah yang
tidak diinginkannya. Bayu selalu menjaga jarak, meskipun beberapa kali sikap
Rara Wanti seperti sengaja memancingnya.
"Cantik mana dia denganku?"
Terkejut juga Bayu mendengar pertanyaan itu, sehingga langsung berhenti
melangkah. Ditatapnya dalam-dalam bola mata yang bulat, bening dan indah
itu. Rara Wanti bukannya memalingkan muka, tapi malah membalasnya dengan
tajam pula. Sepertinya gadis ini sudah nekad, sehingga tidak bisa lagi
memendam terus perasaannya pada pendekar muda yang tampan dan sangat tinggi
kepandaiannya ini. Memang sudah menjadi wataknya bahwa Rara Wanti selalu
mengagumi pemuda yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Terlebih lagi
pemuda itu berwajah tampan dan tegap berisi.
"Sudah sore, sebaiknya kita cari tempat bermalam," kata Bayu tidak ingin
melanjutkan.
"Kau belum menjawab pertanyaanku, Kakang," desak Rara Wanti.
"Nanti juga kau akan tahu...," ucapan Bayu terputus.
Telinga Pendekar Pulau Neraka yang tajam dan terlatih, tiba-tiba mendengar
langkah kaki yang halus, tidak beberapa jauh dari tempat ini Tanpa
membuang-buang waktu lagi, Bayu menarik tangan Rara Wanti, dan langsung
melompat tinggi keatas. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Pendekar Pulau
Neraka itu hinggap bersama Rara Wanti di atas dahan yang tinggi.
"Ada apa?" bisik Rara Wanti.
"Ssst...!" Bayu menutup bibir gadis itu dengan jari telunjuknya.
Rara Wanti malah memegang jari itu dan menciumnya lembut. Sejenak Bayu
menatap, ke mudian menarik tangannya tanpa membuat hati gadis itu
tersinggung. Dan belum lagi Rara Wanti mengucapkan sesuatu, terlihat dua
orang laki-laki berjalan cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh.
Hampir saja Rara Wanti memekik begitu mengenali dua orang yang berjalan di
bawah pohon ini. Untung saja Bayu cepat-cepat membekap mulutnya. Dua orang
laki-laki itu terus saja berjalan cepat tanpa ada suara sedikit pun yang
ditimbulkannya. Bayu baru melepaskan bekapannya setelah kedua orang itu
tidak terlihat lagi.
"Ayah..., mau apa dia?" tanya Rara Wanti untuk dirinya sendiri.
"Arahnya ke Desa Pekacangan," kata Bayu.
"Ayah pasti ke rumah Paman Praraga. Celaka, Bayu!" sentak Rara Wanti
langsung pucat wajahnya.
"Kenapa?" Bayu menatap dalam-dalam bola mata gadis itu.
"Paman Praraga sangat tinggi ilmunya, dan kejam sekali. Dia satu-satunya
kerabat Ayah yang tidak pernah menyukaiku," jelas Rara Wanti singkat.
"Hm..., Pasti ada sebabnya, bukan?" gumam Bayu.
"Ya. Aku telah menolak pinangan anaknya."
"Kenapa?"
"Aku tidak suka terhadap laki-laki lemah. Sekali pukul saja pasti sudah
mampus. Dia kutu buku, lebih senang mempelajari ilmu sastra dari pada ilmu
olah kanuragan. Lagaknya saja seperti perempuan!" terdengar sengit nada
suara Rara Wanti.
"Tidak kusangka! Ternyata begitu banyak laki-laki yang menyukaimu, Rara
Wanti," ujar Bayu tersenyum tipis.
"Huh! Aku benci mereka semua. Hanya melihat dari kecantikan saja. Mereka
memilikiku bukan karena cinta dan kasih sayang, tapi karena nafsu. Aku tidak
suka laki-laki seperti itu."
"Tapi masih ada yang mengharapkanmu bukan karena nafsu, tapi didasarkan
pada cinta yang tulus dan murni," potong Bayu cepat.
Rara Wanti menatap dalam-dalam pemuda itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia
melompat turun. Gerakannya sungguh ringan dan indah. Jelas, gadis itu
memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Bayu bergegas mengikuti, dan
menjejak tanah hampir berbarengan dengan gadis itu.
"Aku berharap orang itu juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Bukan
hanya cinta yang kubutuhkan, tapi perlindungan dari seorang laki-laki
jantan, pemberani, dan berkepandaian tinggi," mantap kata-kata Rara
Wanti.
"Kalau ternyata tidak ada laki-laki seperti harapanmu?" Bayu coba ingin
tahu.
"Lebih baik tidak kawin."
"Ha ha ha...!" Pendekar Pulau Neraka tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa tertawa?" rungut Rara Wanti memberengut.
"Aku tidak yakin kalau kau berkata sungguh-sungguh, Rara," sahut Bayu masih
tersenyum.
"Aku serius!"
"Tidak ada di dunia ini yang memiliki kepandaian tinggi dan tidak
terkalahkan. Gunung yang begitu tinggi, tapi masih ada yang lebih tinggi
lagi. Begitu juga kepandaian manusia. Tidak ada orang yang lebih tinggi dan
sempurna segala-galanya. Walaupun hanya sekecil biji sawi, pasti ada
kekurangannya. Begitu juga kau, Rara Wanti. Kau cantik, menarik, dan selalu
menggairahkan. Bahkan juga cerdas, berani, tangkas, dan berkemampuan tinggi.
Tapi di balik kesempurnaannya pasti ada kekurangan yang mungkin saja tidak
kau sadari. Termasuk juga aku," kata Bayu.
"Huh! Filsafat lagi. Aku bosan mendengar segala macam filsafat!" dengus
Rara Wanti.
"Bukannya Filsafat, tapi untuk cermin kehidupan."
Rara Wanti mengangkat bahunya, kemudian melangkah kembali. Pendekar Pulau
Neraka mengikuti berjalan di samping gadis itu. Tak ada kata-kata lagi yang
terucap. Tapi di dalam hati Rara Wanti, semakin mekar rasa kagumnya pada
Bayu Hanggara. Dia memang tidak pernah menyukai kata-kata filsafat
kehidupan. Tapi setiap kali Bayu yang mengucapkan! selalu menyentuh
sanubarinya. Dan setiap kali itu pula rasa kagumnya bertambah. Rara Wanti
tidak dapat mengelak kalau sudah jatuh hati pada Pendekar Pulau Neraka
ini.
********************
Malam sudah larut, jatuh ke dalam pelukan bumi. Kegelapan menyelimuti
sebagian permukaan bumi. Bulan bersinar penuh cahayanya begitu lembut,
mencoba menghalau kegelapan. Bintang-bintang bergemerlapan menambah
semaraknya angkasa yang kelam menghitam. Bayu duduk memeluk lutut menghadapi
api unggun kecil di bawah sebatang pohon beringin. Di sampingnya duduk Rara
Wanti.
Kebisuan menyelimuti mereka berdua. Masing-masing sibuk dengan pikirannya.
Sesekali Rara Wanti melirik pemuda tampan di sampingnya. Pelahan gadis itu
menggeser tubuhnya agar lebih merapat lagi. Semakin rapat, semakin berkurang
jarak di antara mereka. Bayu menoleh begitu merasakan sentuhan kulit yang
halus lembut pada tangannya.
"Dingin, ya...," desah Rara Wanti seraya memandangi wajah Pendekar Pulau
Neraka.
"Hhh...!" Bayu hanya menghembuskan napas panjang.
Bayu hanya diam saja saat Rara Wanti menjatuhkan kepala di bahunya. Bahkan
tangan gadis itu melingkar memeluknya erat. Darah dalam tubuh Pendekar Pulau
Neraka itu serasa lebih cepat mengalir. Bahkan jantungnya juga berdetak
kencang tidak menentu. Bayu menggeser duduknya, lalu mengangkat kepala gadis
itu dengan jari menopang dagu yang runcing.
"Kenapa? Kau tidak suka aku sedikit bermanja?' lembut suara Rara
Wanti.
Bayu tidak bisa menjawab. Secara jujur, hatinya memang tertarik melihat
kecantikan gadis ini. Tapi mengingat ada seorang pemuda yang begitu
mencintainya, dan rela berkorban apa saja untuk memperoleh cintanya kembali,
Bayu harus bisa menekan segala perasaannya sendiri. Selama beberapa kali ke
Desa Munding, dia tahu semua yang terjadi dari Nyai Supit. Wanita gemuk yang
begitu ramah dan mengetahui semua yang terjadi di desa itu.
Bayu mempercayai wanita itu, karena selalu berterus terang dan menjawab
semua pertanyaannya apa adanya. Terlebih lagi setelah menyangkut persoalan
yang melibatkan Rara Wanti. Bayu pun tahu hubungan yang pernah terjadi
antara Rara Wanti dengan Awijaya. Dia juga sudah tahu pemuda itu, meskipun
belum pernah bertegur sapa. Pernah sekali Bayu mencoba mempertemukan
keduanya, tapi gagal. Masalahnya Rara Wanti tidak ingin menemuinya, bahkan
kelihatan membencinya.
Pendekar Pulau Neraka itu tersentak kaget ketika tiba-tiba dirasakan satu
kecupan lembut mendarat di bibirnya. Dan lebih kaget lagi begitu menyadari
kalau Rara Wanti sudah melingkarkan tangannya ke leher. Bayu berusaha
melepaskannya, tapi pelukan gadis itu demikian kuat Bahkan kini mulut mereka
sudah menyatu rapat.
"Rara...," desah Bayu begitu Rara Wanti melepaskan mulutnya dari bibir
pemuda itu.
"Kenapa? Kau belum pernah bercinta?" tetap lembut nada suara Rara
Wanti.
"Bukan. Bukan itu masalahnya," bantah Bayu dengan nada tegas.
"Lalu? Apa aku tidak pantas bercinta denganmu?" Rara Wanti semakin berani.
Memang tidak bisa lagi ditahan geloranya yang mengaduk-aduk se luruh rongga
dadanya.
Untuk sesaat Bayu tidak bisa menjawab. Ditelan ludahnya untuk membasahi
kerongkongannya yang kering mendadak. Dipandanginya wajah yang begitu dekat.
Sedemikian dekatnya, sehingga desah napas Rara Wanti terasa hangat menerpa
kulit wajah Pendekar Pulau Neraka.
Rara Wanti menggerakkan tubuhnya sedikit. Entah disengaja atau tidak,
belahan baju pada bagian dadanya sedikit terbuka. Tentu saja dua buah
tonjolan yang ranum terbalut kulit putih sedikit tampak oleh mata telanjang.
Bayu tidak bisa mencegah matanya untuk melirik ke arah pemandangan indah
itu. Dadanya semakin keras berdebar. Beberapa kali ditelan ludahnya untuk
membasahi tenggorokan yang terasa semakin kering kerontang.
"Peluk aku, Kakang. Cumbulah sepuasmu...,! desah Rara Wanti agak tertahan
suaranya.
Bayu jadi serba salah. Pikirannya kacau tidak menentu. Ada dua kutub yang
saling bertentangan, dan begitu kuat menarik dirinya. Pendekar Pulau Neraka
itu tidak mampu lagi menolak saat jari-jari tangan yang lentik dan halus
menggerayangi tubuhnya. Dan pertahanan Bayu semakin rapuh begitu Rara Wanti
secara sengaja menyingkap pahanya.
"Ah...," Bayu mendesah panjang melihat sebentuk daging putih yang mulus dan
indah tanpa cacat, Tangannya tak mungkin bisa ditahan lagi.
Rara Wanti mendesis lirih merasakan halusnya belaian tangan Pendekar Pulau
Neraka pada bagian pahanya yang gempal. Semakin lama jari-jari tangan itu
semakin merayap naik. Hilang sudah pertahanan Bayu Dibaringkan tubuh Rara
Wanti dengan lembut, dan melumat bibir gadis itu disertai gairah yang
menggelegak dalam dada. Rara Wanti merintih, desis, dan menggeliat-geliatkan
tubuhnya.
"Oh..., Kakang...," desis Rara Wanti lirih.
********************
ENAM
Bayu menggelinjang bangun ketika merasakan kehangatan pada tubuh yang
tersiram sinar matahari pagi. Bergegas dia bangkit duduk, dan merapihkan
pakaiannya. Pendekar Pulau Neraka itu menarik napas panjang. Tatapannya
langsung tertuju pada Rara Wanti yang tengah duduk, memanggang seekor ikan
yang cukup besar. Gadis itu tersenyum manis.
"Kau tidur nyenyak sekali," ujar Rara Wanti lembut
"Hm...," Bayu hanya menggumam saja.
"Kenapa? Kok murung begitu?"
"Tidak apa-apa," sahut Bayu seraya bangkit berdiri. Digerak-gerakkan
tubuhnya untuk melemaskan otot-otot yang kaku.
"Kau kecewa semalam, Kakang?" pelan suara Rara Wanti
Bayu tidak menyahuti, lalu kembali duduk dan bersandar pada pohon beringin
yang menaunginya dari sengatan matahari. Dipandanginya gadis cantik tidak
jauh di depannya. Saat itu, Rara Wanti juga tengah menatap dengan sinar mata
redup. Bayu menarik napas panjang, seakan-akan ingin melonggarkan rongga
dadanya.
Apa yang terjadi semalam, memang tidak pernah diduga sama sekali
sebelumnya. Sukar bagi Bayu untuk bisa memahami. Desahan dan rintihan lirih
Rara Wanti dalam pelukannya memang mampu membangkitkan gairahnya sebagai
seorang laki-laki normal. Tapi yang sulit dimengerti, ternyata Rara Wanti
sudah.... Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dicobanya untuk melupakan
semua yang telah terjadi semalam.
"Ada apa, Kakang? Kenapa wajahmu murung begitu?" tanya Rara Wanti seraya
mendekati. Gadis itu duduk di depan Bayu, dan tidak lagi mempedulikan ikan
bakarnya.
"Seharusnya kau berterus terang semalam, Rara," desah Bayu menyesali.
"Kau menyesal karena aku sudah...."
"Tidak," potong Bayu cepat
"Lalu ?"
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang. Sukar sekali lidahnya diajak berterus
terang. Rasanya tidak tega membuat hari gadis itu terluka.
"Aku tahu, kau menyesal kerena aku sudah tidak gadis lagi. Iya, kan?" tebak
Rara Wanti langsung. Ringan dan tidak ada nada bersalah pada suaranya.
"Kenapa sampai kau lakukan itu?" tanya Bayu pelan.
"Karena aku mencintainya. Aku tidak ingin ada laki-laki lain yang tidak
kucintai menjamah tubuhku! Yang penting aku rela melakukan untuknya. Jadi
kalau sekarang ini ada laki-laki lain yang menjamah tubuhku, aku tidak
menyesal lagi. Karena semua sudah kuserahkan padanya," tenang sekali
kata-kata Rara Wanti.
"Kau mencintainya, tapi kenapa tidak menemui nya?" tanya Bayu ingin
tahu.
"Dulu aku memang mencintainya, tapi sekarang tidak! Dia telah membuatku
kecewa. Tidak kusangka kalau dia seperti laki-laki lain yang punya hati
kecil dan berjiwa kerdil. Merasa puas setelah merenggut dari menghirup
manisnya madu, tapi tidak lagi peduli dengan sepahnya. Aku dicampakkannya
begitu saja bagai sampah kotor tak berguna!" agak keras suara Rara
Wanti.
"Kau yakin penilaianmu itu benar?"
"Yakin sekali! Tiga tahun kutunggu, tapi dia menghilang begitu saja.
Pertamanya saja manis, berani berkorban meskipun nyawa taruhannya. Ternyata
dia hanya seorang pengecut yang tidak bisa lepas dari lindungan ketiak
ibunya!"
"Mungkin dia punya pertimbangan lain," Bayu terus memancing perasaan gadis
ini.
"Pertimbangan.. ? Pertimbangan apa? Dia lari bersama ibu dan adiknya.
Padahal, ayahnya setengah mati mempertahankan nyawa dari orang-orang bayaran
ayahku. Seharusnya dia membela, meskipun hanya memiliki kepandaian sedikit.
Aku lebih senang melihatnya mati membela hak dan kehormatan orang tuanya,
daripada ikut kabur mengungsi selama tiga tahun. Tanpa kabar, tanpa berita
sama sekali. Menghilang begitu saja. Tidak lagi menghiraukan diriku yang
terus-menerus menanti dan diliputi kecemasan, karena Ayah selalu
menjadikanku boneka pajangan dan piala pertarungan. Kalau saja aku seorang
wanita yang lemah, mungkin sudah dari dulu bunuh diri. Tapi semua tidak
kulakukan itu. Aku mau membalas perlakuan Ayah padaku, meskipun aku tahu
resikonya. Lari...!"
"Hm. Jadi itu sebabnya kau lari dari rumah?" Bayu mulai mengerti jelas
persoalannya sekarang.
"Masih banyak lagi. Tapi tidak bisa kuutarakan pada mu, Kakang. Hanya satu
yang bisa kukatakan padamu, kalau aku ini sebenarnya bukan anak Ki
Praba!"
"Oh...!" Bayu tersentak kaget.
"Sudah kuduga, kau pasti tidak percaya."
"Bagaimana kau bisa memastikan semua itu, Rara?" tanya Bayu ingin
tahu.
"Banyak yang berkata seperti itu padaku. Salah seorang yang bisa kupercaya
hanya Nyai Supit. Meskipun suaminya mati dibunuh orang bayaran Ayah, tapi
hatinya tetap bersih. Tidak tersimpan dendam di hatinya. Dialah yang
menceritakan semua tentang diriku. Dia tahu semuanya tentang diriku sejak
aku dilahirkan, lalu diambil Ki Praba, hingga sampai sekarang ini," jelas
Rara Wanti singkat.
"Orang tuamu masih ada?" tanya Bayu.
"Hanya Ibu. Tapi aku juga tidak tahu di mana sekarang. Ayah sudah meninggal
sejak aku masih bayi. Ki Praba jugalah yang membunuh. Sudah lama Ki Praba
menginginkan Ibu untuk jadi istrinya, sejak Ibu masih gadis. Tapi Ibu
memilih Ayah. Hal ini membuat Ki Praba tidak senang. Maka dibunuhlah Ayah
dan seluruh keluarga. Untungnya Ibu masih bisa menyelamatkan diri bersama
adik laki-lakinya, tapi tidak sempat membawaku. Ki Praba mengetahui kalau
aku bayi perempuan, lalu mengambil dan merawatku sampai besar...."
"Jadi Ki Praba itu masih dendam, dan ditumpahkan padamu. Begitu?" Bayu
mulai mengerti.
"Benar. Semuanya harus kutanggung sendiri. Ki Praba selalu menambah ilmu
dan menyempurnakannya. Jago-jago rimba persilatan dianggap sebagai musuhnya.
Dulu sebelum memiliki ilmu olah kanuragan, semua orang yang punya selalu
mencela dan memandangnya rendah. Maka kini dilampiaskan dendam masa mudanya
dulu dengan mengundang jago-jago persilatan. Mereka diadu seperti ayam, dan
aku sebagai taruhannya. Tapi semua itu hanya akal liciknya saja. Ki Praba
tidak pernah menyerahkan semua hadiah yang dijanjikan, termasuk aku yang
selalu dipertahankannya. Hatinya senang sekali melihat orang-orang saling
bunuh. Dia puas dapat mengadu orang-orang berilmu. Dia gila, Kakang. Dia
bukan lagi manusia waras."
"Aku tahu, Rara. Hanya saja yang tidak kumengerti, kenapa baru sekarang ini
kau memberontak? Kenapa tidak dari dulu saja?" tanya Bayu.
"Kau pikir mudah keluar dari sangkar emas itu? Ke mana saja aku pergi,
selalu diikuti tidak kurang dua puluh orang bersenjata lengkap."
"Lalu, bagaimana caranya bisa keluar tanpa diketahui?" tanya Bayu lagi
semakin ingin tahu.
"Dengan bantuan pelayanku. Dialah yang memberi jalan. Aku menyamar menjadi
dirinya, memakai pakaiannya, menutupi kepala dan wajahku dengan kerudung.
Aku bisa lolos tanpa mendapat hambatan apa pun. Tapi kasihan, pelayan itu
mati dipenggal lehernya. Memang hal itu tidak kulihat, tapi semua orang
berkata begitu. Dan aku hanya bisa melihat mayatnya yang terpancang dengan
kepala terpisah ditiang."
"Hhh...!" Bayu menarik napas panjang dan berat.
"Sekarang kau sudah tahu siapa dan bagaimana diriku sebenarnya. Aku tidak
akan marah atau tersinggung kalau kau membenciku. Rasanya tidak ada salahnya
jika aku menginginkan seorang laki-laki yang bisa menjadi pelindungku," kata
Rara Wanti mengakhiri kisah hidupnya.
"Aku bisa mengerti, Rara," desah Bayu pelan.
"Terima kasih. Hanya kau satu-satunya laki-laki yang bersedia mengerti
tentang diriku," ujar Rara Wanti tersenyum tipis.
"Masih ada satu lagi."
"Oh...! Siapa?" Rara Wanti terkejut.
"Awijaya."
"Siapa...?!"
Sepanjang jalan Rara Wanti hanya membisu saja, meskipun Bayu sudah
mengatakan semua yang diketahuinya. Juga pertemuannya dengan Nyai Supit pun
sudah diceritakannya. Juga semua cerita-cerita perempuan tua itu. Dia tahu
tentang Awijaya juga dari perempuan gemuk pemilik kedai dan rumah penginapan
itu.
Bayu sendiri tidak bisa menebak, apa yang sedang terjadi dalam diri Rara
Wanti saat ini. Yang jelas, sekarang gadis itu hanya diam membisu seperti
tidak mendengar semua yang dikatakan Bayu. Ayunan kakinya pelahan, dan
kepalanya selalu tertunduk menekuri ujung jari kakinya di jalan setapak
berumput kering.
"Bukan maksudku ingin mencampuri semua urusanmu, Rara. Terlebih lagi urusan
pribadimu. Aku hanya ingin mengatakan kalau, sebenarnya Awijaya selalu
berjuang untuk membebaskanmu dari cengkeraman Ki Praba. Dia sudah tahu semua
tentang dirimu, bahkan bertekad untuk mencari ibumu. Selama tiga tahun ini
diperdalam kepandaiannya untuk menghadapi ayah angkatmu, dan membawamu
pergi," kata Bayu berusaha menyakinkan hati Rara Wanti.
"Kenapa kau katakan semua itu, Kakang?" tanya Rara Wanti seraya mengangkat
kepalanya, menatap jauh ke depan.
"Karena aku mengagumimu. Pokoknya aku tidak ingin kau merusak kekagumanku
dengan bersikap masa bodoh seperti itu," sahut Bayu mantap.
"Bukan karena kau iba padaku, Kakang?"
"Tidak! Aku tahu kau tidak suka dikasihani. Dan lagi aku memang tidak
pernah kasihan terhadap penderitaanmu selama ini. Sama sekali tidak! Justru
aku kagum akan ketabahanmu"
Rara Wanti menghentikan langkahnya. Diputar tubuhnya menghadap Pendekar
Pulau Neraka. Ditatapnya dalam-dalam wajah tampan di depannya, seakan-akan
hendak mencari sesuatu pada sorot mata yang selalu tajam itu.
"Kau berkata yang sebenarnya, Kakang?" pelan suara Rara Wanti.
"Tentu," sahut Bayu mantap.
"Sungguh? "
Bayu mengangguk pasti. "Oh, Kakang...."
Bayu jadi gelagapan begitu tiba-tiba Rara Wanti memeluknya erat-erat.
Ragu-ragu Bayu membalas pelukan itu. Entah kenapa, mendadak saja dirasakan
dadanya jadi longgar. Hatinya terasa lapang, bagai tersiram setetes air yang
begitu menyejukkan. Tapi, semua yang dirasakan itu hanya sesaat, karena tiba
tiba saja terdengar suara bentakan keras mengejutkan! "
Rara...! Keparat..!"
Rara Wanti langsung melepaskan pelukannya, lalu berbalik ke arah datangnya
suara bentakan tadi Tampak di situ berdiri seorang pemuda berwajah penuh
luka dan berewokan. Bajunya merah muda dengan sebilah pedang tergantung di
pinggangnya. Bayu juga mengarahkan pandangannya ke sana, dan langsung
mengenali pemuda itu.
"Kakang Awijaya...," desis Rara Wanti bergetar.
Rara Wanti jadi serba salah. Sebentar ditatapnya Awijaya, dan sebentar
beralih pada Pendekar Pulau Neraka. Entah kenapa, tiba-tiba. Sudah jelas
kalau pemuda itu tadi melihatnya tengah berpelukan.
"Kakang, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rara Wanti memecah kebisuan
yang terjadi beberapa saat lamanya.
"Seharusnya aku yang bertanya begitu pada mu, Rara!" dingin nada suara
Awijaya.
"Aku... aku tidak melakukan apa-apa," bergetar dan tergagap kata-kata Rara
Wanti.
"Kau pikir mataku buta! Aku belum buta, Rara Aku belum tuli! Aku tahu semua
yang kau lakukan bersama keparat penculik itu!" Awijaya menuding Pendekar
Pulau Neraka.
"Kau salah sangka. Aku tidak menculik Rara Wanti, Kisanak," sergah Bayu
berusaha tenang.
"Diam! Aku tidak bicara denganmu!" bentak Awijaya kasar.
Bayu langsung diam, tapi tatapan matanya tajam menusuk.
"Sabar, Kakang. Akan kujelaskan semuanya padamu," kata Rara Wanti
buru-buru.
"Tida ada yang perlu dijelaskan lagi, Rara. Menyesal aku bersusah payah,
jauh-jauh datang ke sini untuk menerima kekecewaan. Seharusnya aku tahu,
kalau kau memang bukan seorang gadis.... Ah! Keparat kau, Rara!" geram
Awijaya.
"Kakang...!" sentak Rara Wanti memerah wajahnya.
Rara Wanti yang sudah mulai menyadari kekeliruannya tadi, dan mencoba untuk
bersikap sabar dan lunak, menjadi berang mendapat perkataan kasar itu.
Wajahnya merah padam, gerahamnya bergemelutuk menahan amarah. Tapi gadis itu
masih berusaha untuk tetap tenang. Semua kata-kata dan nasehat Pendekar
Pulau Neraka sudah merasuk dalam hatinya. Yang jelas, dia ingin menjadi
seorang wanita yang tabah, tenang, dan berpikiran luas.
"Minggir kau Rara! Aku sudah bersumpah untuk memenggal siapa saja yang
berada di belakangmu Termasuk kau, Pendekar Pulau Neraka keparat!" keras dan
lantang suara Awijaya.
Setelah berkata demikian, Awijaya langsung melompat secepat anak panah
terlepas dari busurnya! Tangan kirinya mendorong tubuh Rara Wanti, sedangkan
tangan kanannya melepaskan pukulan keras bertenaga dalam tinggi ke arah
Pendekar Pulau Neraka
"Ah...!" Rara Wanti terperanjat tubuhnya terdorong sejauh tiga batang
tombak ke belakang.
Pada saat yang sama, Bayu Hanggara terkesiap. Kelihatannya sulit untuk
menghindari terjangan yang cepat dan tidak terduga itu. Pukulan yang keras
bertenaga dalam tinggi telak menghantam dadanya.
"Akh!" Bayu memekik tertahan. Tubuhnya terlontar cukup jauh.
Tiga batang pohon kontan tumbang terlanda tubuh Pendekar Pulau Neraka itu.
Namun dengan cepat Bayu melompat bangkit berdiri. Bibirnya meringis
merasakan nyeri pada tulang-tulang rongga dadanya. Tampak dari sudut
bibirnya mengalir darah kental. Bayu menggerak-gerakkan tangannya di depan
dada untuk menyalurkan hawa murni agar rasa nyeri yang menyesakkan dadanya
terusir.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras, Awijaya sudah kembali menerjang selagi Bayu
berusaha memulihkan kondisi tubuhnya. Meskipun rasa nyeri masih menghinggapi
dadanya, tapi Bayu cepat-cepat berkelit. Dibanting tubuhnya ke tanah dan
bergulingan beberapa kail Bergegas Pendekar Pulau Neraka itu bangkit
berdiri, langsung bersiap menghadapi serangan berikutnya.
Dan memang, Awijaya begitu cepat berbalik. Bahkan kini langsung menyerang
kembali dengan dahsyatnya. Setiap lontaran pukulannya mengandung tenaga
dalam yang cukup tinggi dan sangat berbahaya. Bayu harus sedikit
berhati-hati. Sudah dirasakan betapa hebatnya tenaga dalam yang dimiliki
Awijaya, meskipun masih kalah jauh bila dibandingkan dengannya. Kalau saja
pukulan tadi mengenai orang yang berkepandaian setingkat Awijaya, pati sudah
tidak bisa bangun lagi.
Tapi untuk Pendekar Pulau Neraka, pukulan itu hanya mengakibatkan nyeri dan
sesak sebentar. Karena, secara naluriah tenaga dalam dan hawa murni Pendekar
Pulau Neraka langsung bekerja begitu menerima hentakan tenaga dalam dari
luar tubuh. Meskipun tidak secara penuh kerjanya, tapi itu sudah membantu
menjaga perlindungan diri.
Pertarungan terus berlanjut semakin sengit. Namun dapat dilihat kalau
Pendekar Pulau Neraka hanya berkelit tidak membalas sama sekali. Sementara
di tempat lain, tampak Rara Wanti menyaksikan disertai perasaan cemas. Dia
tidak menginginkan salah satu dari kedua pemuda itu ada yang cedera.
TUJUH
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Awijaya menghentakkan kedua tangannya ke depan sambil
berteriak keras menggelegar. Tampak kedua telapak tangan pemuda berbaju
merah muda itu berwarna merah membara bagai terbakar.
"Hap!"
Secepat kilat Bayu menyatukan tangannya dalam jarinya terkepal rapat. Semua
tangannya menyatu rapat, sehingga kedua siku bertemu, ditekuk ke atas di
depan mukanya. Kedua kakinya terpentang lebar agak tertekuk. Kini dinantikan
serangan Awijaya yang sudah meluncur deras dengan kedua tangan terbuka lebar
ke depan.
"Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
"Blarrr...!"
Ledakan keras menggelegar terjadi begitu telapak tangan Awijaya membentur
kedua tangan Pendekar Pulau Neraka yang menyatu rapat di depan mukanya.
Tampak tubuh Awijaya terpental jauh hingga lima batang tombak. Dua pohon dan
sebongkah batu besar hancur berkeping-keping terlanda tubuhnya.
Sementara itu Bayu masih tetap pada tempatnya, tidak bergeming sedikit pun.
Pelahan-lahan diturunkan tangannya, dan dirapatkan kakinya kembali. Matanya
lurus menatap Awijaya yang masih menggeletak di atas reruntuhan bebatuan
yang hancur terlanda tubuhnya.
"Kakang...!" jerit Rara Wanti langsung menghambur menghampiri
Awijaya.
"Oh, Hughk...!" Awijaya mengeluh pendek, kemudian berdahak memuntahkan
darah kental.
Rara Wanti menghambur menubruk dan memeluk tubuh pemuda itu. Diangkat dan
disandarkan tubuh pemuda itu ke tubuhnya. Darah di mulut Awijaya dihapus
dengan jari-jarinya yang lentik dan halus. Sementara Bayu hanya memandangi
saja, lalu pelahan-lahan melangkah menghampiri.
"Kakang...," rintih Rara Wanti lirih.
Bagaimanapun bencinya gadis itu pada Awijaya yang telah dianggap mengecewa
kan dirinya, tapi benih cinta masih juga tertinggal di dalam hatinya. Tanpa
dapat dicegah lagi, Rara Wanti menitikkan air mata melihat keadaan Awijaya
yang begitu lemah. Napasnya tersengal pelahan, dan sinar matanya redup.
Hampir tidak bercahaya. Diangkat kepalanya, dan ditatapnya wajah cantik yang
sudah dipenuhi air mata itu. Sementara Bayu sudah berlutut di depan Rara
Wanti.
"Rara...," lemah suara Awijaya.
"Oh.... Kenapa kau lakukan itu, Kakang? Aku mencintaimu, dan selalu
mengharapkan dirimu. Seharusnya kau dengarkan semua penjelasanku dulu,"
ratap Rara Wanti menyesali.
"Maafkan aku, Rara. Aku.... Hoekh...!"
"Kakang...!" Rara Wanti menjerit, mengguncang-guncangkan tubuh Awijaya yang
sudah diam dengan kepala terkulai setelah memuntahkan darah kental. Bayu
segera meletakkan jari tangannya di leher dekat rahang pemuda berbaju merah
muda itu.
"Hanya pingsan," ujar Bayu pelan.
"Oh, Kakang...," rintih Rara Wanti memeluk dan menciumi wajah Awijaya
disertai linangan air mata seperti tanggul jebol.
"Sudah, Rara. Biarkan dia berbaring. Aku akan menyadarkannya," bujuk Bayu
lembut.
"Tolong sembuhkan, aku mencintainya. Jangan biarkan dia mati...," rintih
Rara Wanti seraya menatap Bayu.
"Tenanglah. Akan kucoba menyembuhkannya," sahut Bayu.
Rara Wanti melepaskan pelukannya pada tubuh yang diam tak bergerak-gerak
lagi Bayu mengangkatnya, dan memindahkannya ketempat yang teduh dan cukup
nyaman. Dibaringkan Awijaya di bawah pohon beringin. Sebentar jari-jari
tangannya bergerak lincah menotok beberapa bagian jalan darah di tubuh
pemuda berbaju merah muda itu.
Selagi Pendekar Pulau Neraka mencoba menyadarkan dan menyembuhkan luka
dalam Awijaya, Rara Wanti hanya duduk memandangi. Disusut air matanya dengan
ujung bajunya. Sesekali masih terdengar suara isaknya yang tertahan. Agak
lama juga Bayu menyadarkan Awijaya dari ketidaksadarannya. Dan setelah
Awijaya membuka matanya, baru Pendekar Pulau Neraka itu mencoba menyembuhkan
luka dalam pmuda itu.
"Hoehk...!" lagi-lagi Awijaya memuntahkan darah kental, dan kali ini
berwarna kehitaman.
Dua kali Awijaya memuntahkan darah kental. Dan pada muntahan yang ketiga,
kembali jatuh pingsan. Bayu menyadarkan kembali dengan memberikan rangsangan
pada urat-urat syarafnya. Awijaya kembali sadar, belum bisa bergerak. Hanya
matanya saja yang redup memandangi wajah Rara Wanti dan Bayu secara
bergantian. Sedikit pun tak terucap kata, meskipun bibirnya bergetar.
"Kakang...," lirih suara Rara Wanti. Gadis itu menyeka darah yang masih
melekat di sekitar bibir Awijaya. Rara Wanti berusaha tersenyum, meskipun
terasa hambar dan bergetar. Pelahan-lahan tangan Awijaya terangkat, dan
membelai pipi gadis itu.
"Oh...," Rara Wanti mendesah lirih. Gadis itu mendekati tangan itu dan
menciuminya. Pelahan sekali Awijaya tersenyum. Matanya sebentar terpejam,
kemudian kembali terbuka. Langsung ditatapnya Bayu yang duduk bersila di
samping kanannya! Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum dan menepuk punggung
tangan Awijaya.
"Bersemadilah dengan berbaring," ujar Bayu lembut.
Awijaya tidak menyahuti, namun sinar matanya begitu banyak menyiratkan
kata-kata. Bayu beranjak! bangkit berdiri dan melangkah menjauh, sengaja
memberi kesempatan pada Rara Wanti untuk berdua saja dengan
kekasihnya.
********************
Suatu suara mendesing membangunkan Bayu dari semadinya Pendekar Pulau
Neraka itu menarik kepalanya kebelakang, maka sebatang ranting kering
melesat cepat didepan mukanya. Belum lagi Bayu menarik pulang kepalanya,
tiba-tiba terdengar suara tawa terkekeh.
"He he he...!"
Bayu kontan melompat berdiri. Sempat diliriknya ke arah Awijaya yang sudah
bisa duduk bersemadi di dampingi Rara Wanti. Gadis itu juga tampak terkejut,
dan menatap Pendekar Pulau Neraka. Suara tawa terkekeh masih juga terdengar
menggema, seakan-akan datang dari segala penjuru.
"Hm...," Bayu menggumam pelahan.
Pendekar Pulau Neraka itu menggerakkan tangannya, memberi isyarat agar Rara
Wanti jangan bergerak. Gadis itu tidak jadi bangkit. Sebentar ditatapnya
Awijaya yang masih saja duduk bersemadi sambil memejamkan mata. Raut wajah
pemuda itu sudah kelihatan segar kembali, dan napasnya pun sudah teratur
baik.
Rara Wanti kembali mengarahkan pandangannya pada Pendekar Pulau Neraka.
Seketika dia terkejut, karena tahu-tahu di depan Bayu sudah berdiri seorang
laki-laki bertubuh gemuk bulat pendek bagai bola. Kepalanya kecil gundul.
Dia mengenakan jubah berwarna biru gelap yang hampir menutupi seluruh
tubuhnya. Rara Wanti kenal betul orang bulat seperti bola itu Dia adalah
Kebo Ireng. Kulitnya memang hitam hangus seperti kayu terbakar jadi
arang.
"Sungguh beruntung kau bisa memboyong Rara Wanti, anak muda," ucap Kebo
Ireng disertai tawanya yang terkekeh.
"Hm...," Bayu hanya menggumam tidak jelas.
"Tapi sayang, gadis itu sudah jadi milikku. Akulah yang pertama kali
memenangkannya jauh sebelummu, anak muda," lanjut Kebo Ireng.
"Rara Wanti bukan milikku, juga bukan milikmu. Dia sudah punya calon
suami!" tegas Bayu.
"He he he...! Siapa pun calon suaminya, harus berhadapan denganku dulu. Dia
sudah dipertaruhkan, dan akulah pemenangnya!" sambut Kebo Ireng.
Merah padam wajah Rara Wanti. Kata-kata Kebo Ireng sungguh merendahkan
martabatnya sebagai seorang wanita. Kalau saja Bayu tidak cepat-cepat
memberi isyarat, pasti Rara Wanti sudah melompat menerjang laki-laki gemuk
bulat dan pendek bagai bola itu.
"Kisanak, calon suami Rara Wanti sedang sakit. Jika tidak keberatan, aku
akan mewakilinya," kata Bayu tegas.
"He he he.... Kau terlalu muda untuk menandingiku, bocah," Kebo Ireng
meremehkan.
"Dan kau terlalu jelek untuk Rara Wanti!" balas Bayu dingin.
"He he he.... Berani juga umbar bacot di depanku, bocah!" agak memerah
wajah Kebo Ireng.
"Mengapa tidak? Memecahkan kepala mu yang gundul saja aku berani!" tantang
Bayu.
"Edaan.. phuih!" Kebo Ireng menyemburkan ludahnya.
"Bagaimana? Kau berani menghadapiku. Kalau tidak, lebih baik angkat kaki
saja sebelum kugantung," Bayu memanasi.
"Bocah edan!" dengus Kebo Ireng menggeram. "Terima ini!
Hiyaaat..!" Kebo Ireng langsung mengebutkan tangan kanannya kedepan.
Seketika dari balik lengan bajunya, meluncur beberapa benda kecil berwarna
hitam pekat.
"Hait...!" Bayu segera memiringkan tubuhnya ke samping, dan menariknya ke
belakang. Lalu cepat diangkat tangan kanannya ke atas, sejajar kepala.
Slap! Slap...!
Kebo Ireng membeliak melihat jarum-jarum hitamnya menempel pada Cakra yang
berada di pergelangan tangan kanan pemuda itu. Dan belum lagi hilang dari
keterkejutannya, mendadak saja Bayu mengibaskan tangan kanannya.
"Nih, kukembalikan barangmu!"
Wut!
"Hup...!"
Kebo Ireng berlompatan menghindari jarum-jarumnya sendiri yang berbalik
arah menyerangnya. Senjata-senjata kecil hitam pekat itu meluncur deras
bagai kilat, melewati tubuh gemuk cebol yang berjumpalitan menghindarinya.
Dan begitu kakinya menjejak tanah, Bayu sudah melompat cepat sambil
melepaskan pukulan keras bertenaga dalam sempurna.
"Kadal! Hih...!"
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Kebo Ireng. Segera diangkat tangannya
untuk menerima pukulan Pendekar Pulau Neraka itu. Tak dapat dihindari lagi,
dua tangan beradu keras sehingga menimbulkan ledakan keras
menggelagar.
"Akh...!" Kebo Ireng memekik tertahan. Tubuh yang gemuk cebol seperti bola
itu terpental sejauh satu batang tombak. Sedangkan Bayu mendarat di bekas
tempat Kebo Ireng berdiri tadi. Pendekar Pulau Neraka itu melipat tangannya
di depan dada.
"Bagaimana, Cebol?" ejek Bayu disertai senyuman sinis.
"Huh!" Kebo Ireng mendengus berat Sebentar digerak-gerakkan tangannya di
depan dada. Kemudian sambil berteriak keras, Kebo Ireng melompat menyerang
Pendekar Pulau Neraka. Kali ini laki-laki gemuk pendek itu tidak lagi
memandang enteng pada anak muda lawannya ini. Pertarungannya kini pun
memperguna kan jurus-jurus yang aneh, tapi sangat dahsyat dan mengandung
tenaga dalam tinggi. Namun Pendekar Pulau Neraka hanya melayaninya dengan
tenang.
Beberapa kali serangan balik Bayu Hanggara membuat Kebo Ireng harus
berjumpalitan dan bergelimpangan di tanah untuk menghindarinya. Bahkan tidak
jarang dia memekik keras menerima pukulan atau tendangan yang keras
bertenaga dalam tinggi. Walaupun Bayu mengerahkan tenaga dalamnya tidak
penuh tapi sudah membuat Kebo Ireng kerepotan setengah mati.
Jurus demi jurus dilalui cepat. Dan Kebo Ireng menyadari kalau tidak
mungkin dapat mengungguli pemuda itu. Hingga pada satu kesempatan, laki-laki
bulat pendek itu melompat mundur. Tampak seluruh wajahnya memerah bersimbah
keringat. Napasnya mendengus-dengus bagai kuda baru saja habis dipacu
cepat.
"Kenapa berhenti?" tegur Bayu diiringi senyum lebar. Dilipat tangannya di
depan dada.
"Anak muda, siapa namamu?" Kebo Ireng malah balik bertanya.
"Bayu. Tapi aku lebih dikenal dengan nama Pendekar Pulau Neraka," sahut
Bayu kalem.
"Pendekar Pulau Neraka...!" sentak Kebo Ireng membeliak matanya.
"Kenapa? Kau seperti melihat hantu saja."
"Kisanak, sebaiknya persoalan ini dilupakan saja. Aku mohon diri," ujar
Kebo Ireng seraya membungkukkan badannya.
Bayu jadi keheranan, tapi membalas juga penghormatan Kebo Ireng dengan
membungkuk sedikit.
"Tunggu...!" cegah Bayu begitu Kebo Ireng berbalik.
Laki-laki cebol seperti bola itu memutar tubuhnya kembali. "Rasanya tidak
ada yang perlu dibicarakan lagi, Kisanak. Akan kukatakan pada yang lain
untuk tidak mengganggu Rara Wanti lagi. Aku mengaku kalah, dan berjanji akan
menghadapi siapa saja yang mencoba mengganggu Rara Wanti. Saat itu juga dia
menjadi anak angkatku," jelas Kebo Ireng tegas sebelum Bayu mengucapkan
sesuatu.
Dan belum juga Bayu membuka suaranya, laki-laki gemuk cebol itu sudah
melesat cepat. Begitu cepatnya, tahu-tahu sudah lenyap dari pandangan mata.,
Bayu menarik napas panjang, lalu menoleh begitu mendengar suara langkah kaki
menghampiri. Tampak Rara Wanti berjalan tergesa-gesa mendekati.
"Jangan katakan apa-apa. Kau sudah dengar semua kata-katanya tadi," kata
Bayu mendahului.
"Tapi bukan hanya dia yang berusaha merebutku, Kakang," ada nada kecemasan
dalam suara Rara Wanti.
"Mudah-mudahan saja janjinya ditepati," kata Bayu.
"Aku tidak percaya, Kakang. Bisa saja dia gentar begitu mengetahui nama mu,
tapi akan datang lagi untuk merebutku setelah kau tidak ada. Dia itu licik
dan kejam, Kakang."
"Janji seorang tokoh persilatan harus dipegang kuat. Dia tidak akan
mendapatkan tempat dalam dunia persilatan jika melanggar janjinya sendiri.
Aku percaya dengan kata-katanya tadi."
"Kalau ingkar janji, bagaimana?"
"Aku yakin, Awijaya akan melindungimu," sahut Bayu.
"Tentu...!" tiba-tiba ada suara dari arah belakang.
"Kakang...!" desis Rara Wanti. Rara Wanti bergegas menghampiri Awijaya yang
sudah selesai bersemadi, tapi masih tetap duduk bersila. Bayu juga melangkah
menghampiri, dan duduk bersila di depannya. Sedangkan Rara Wanti berada di
sisi Awijaya.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bayu.
"Terima kasih," ucap Awijaya. "Aku merasa malu pada diriku sendiri."
"Ah, sudahlah. Anggap saja itu hanya kejadian kecil," desah Bayu.
"Tapi sangat berharga bagiku. Merupakan satu pelajaran yang tidak pernah
kulupakan."
Bayu tersenyum meringis. Entah kenapa, dirasakan ada kelainan pada dirinya.
Di sini, dia rasanya benar-benar seorang pendekar. Tidak tega rasanya
menjatuhkan tangan kejam pada lawan. Bahkan selalu saja bisa ditahan
kesabarannya, meskipun darah sudah menggelegak mendidih. Mungkin juga karena
dirinya sudah banyak menerima pelajaran dari beberapa tokoh golongan putih
yang sempat ditemui, sehingga membentuk pribadi baru dalam dirinya. Atau
mungkin juga karena pengaruh Rara Wanti. Entahlah! Yang jelas Bayu merasa
adanya keganjilan pada dirinya saat ini. Ya..., sejak bertemu Rara Wanti
tiga bulan yang lalu.
"Apa rencana kalian selanjutnya?" tanya Bayu.
Awijaya tidak langsung menjawab. Demikian pula Rara Wanti. Mereka malah
saling berpandangan, dan masing-masing melemparkan senyuman. Kemudian
sama-sama berpaling menatap Pendekar Pulau Neraka. Bayu merasakan adanya
siratan lain dari tatapan mata Rara Wanti, tapi sulit untuk
mengartikannya.
"Mungkin aku akan berkelana mencari ibu kandung Rara Wanti Setelah itu,
terserah dia sendiri," kata Awijaya seraya melirik gadis disampingnya.
"Kok, terserah aku sih...?" Rara Wanti merasa tidak enak.
Mereka tertawa lepas bergerai. Dan memang baru hari ini bisa tertawa begitu
lepas, setelah menghadapi berbagai macam peristiwa yang membuat otak terasa
kaku, dan otot mengejang. Mereka kemudian mengisi dengan pembicaraan ringan.
Sesekali terdengar tawa kalau ada hal-hal yang lucu. Sementara hari terus
merambat semakin tinggi. Dan siang pun berlalu, berganti senja. Suasana
mulai meremang. Sebentar lagi malam akan datang menjelang.
"Rara, bagaimana dengan ayah angkatmu?" tanya Bayu tiba-tiba
Rara Wanti tidak langsung menjawab, tapi malah menatap Awijaya yang juga
menatapnya.
"Maaf, bukannya hendak mencampuri urusan pribadi kalian berdua. Masalahnya
aku banyak mendengar tentang Ki Praba. Dan rasanya tidak mungkin membiarkan
kalian berdua menghadapinya. Menghindar pun rasanya tidak akan membuat
tenang. Ki Praba pasti akan mencari kalian sampai kapan pun. Terlebih lagi
kau sudah membakar tempat tinggalnya, Awijaya," kata Bayu.
Awijaya memang sudah menceritakan semua peristiwa yang dialami. Juga
dikabarkannya tentang kematian Nyai Supit. Meskipun malam itu gelap, tapi
masih sempat melihat dan mengenali Jantar. Dia memang salah seorang yang
keluar cepat dari kamar Nyai Supit Hanya dua orang, dan yang pasti seorang
lagi adalah Ki Praba.
Dan belum sempat ada yang membuka suara lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan
suara langkah dahsyat menggelegar. Bumi rasanya berguncang hebat. Ketiga
anak muda itu langsung melompat bangkit Belum lagi hilang rasa terkejut,
mereka kembali dikejutkan oleh munculnya puluhan anak panah dari segala
penjuru.
"Awas panah...!" seru Bayu keras.
Ketiga anak muda itu berlompatan. Awijaya serta Rara Wanti langsung
mencabut pedangnya. Sedangkan Bayu hanya mengandalkan kelincahan dan
kecepatan gerak tubuh saja menghindari hujan panah itu. Hanya sebentar
memang hujan panah itu, tapi cukup membuat repot juga. Mereka berdiri saling
beradu punggung.
"Jangan berpisah dariku," bisik Bayu.
"Baik,' sahut Rara Wanti dan Awijaya berbarengan.
Bayu segera menggerak-gerakkan tangannya, lalu kakinya dibuka agar
terpentang lebar sedikit tertekuk. Kemudian, dihentakkan tangannya ke
samping lebar-lebar. Tiba-tiba saja bertiup angin kencang, yang semakin lama
semakin dahsyat. Pohon-pohon mulai tercabut dan beterbangan. Batu-batu
terangkat ke udara. Di antara deru angin topan yang dahsyat itu, terdengar
suara jeritan melengking saling sahut. Disusul beterbangannya tubuh-tubuh
manusia.
Cukup lama juga Bayu mengerahkan ajiannya yang tidak pernah digunakan
sebelumnya. Aji 'Badai Dewa Murka', adalah ajian yang sangat dahsyat
sehingga bisa menimbulkan badai. Tapi, di sekitar Pendekar Pulau Neraka itu
berdiri, tidak terasa adanya angin berhembus. Bahkan Rara Wanti dan Awijaya
jadi keheranan sendiri. Tapi mereka tidak berani bergerak, karena sudah
dipesan sebelumnya.
"Hop!"
Bayu merapatkan tangannya di depan dada, maka seketika itu juga badai topan
berhenti. Sungguh dahsyat luar biasa akibat Aji 'Badai Dewa Murka' itu.
Sekitar tempat itu jadi berantakan tidak karuan. Pohon-pohon besar kecil
bertumbangan. Batu-batu berpindah tempat. Bahkan terlihat mayat-mayat
bergelimpangan dalam segala bentuk. Kebanyakan mereka tertimpa pohon dan
bebatuan. Semua orang yang menyerang secara gelap itu mati terhantam Aji
'Badai Dewa Murka'.
"Hhh...! Mereka tukang pukul Ayah," desah Wanti bergumam pelan. Begitu
pelannya hampir tidak terdengar.
"Itu berarti dia memang benar-benar ingin memenggal kepala mu, Rara," kata
Awijaya.
"Hhh...!" Rara Wanti menarik napas panjang.
"Kudengar, Ki Praba menyediakan seribu keping uang emas dan dirimu sendiri
sebagai hadian jika ada yang berhasil membawa mu kepadanya," lanjut
Awijaya.
"Hebat...!" desis Bayu bernada sinis.
"Dia memang gila!" dengus Rara Wanti. "Kalau saja aku mampu, sudah kubunuh
dari dulu!"
"Selama Ki Praba masih hidup, ke mana pun kita pergi, tidak akan dapat
tenang. Memang benar kata mu, Bayu. Apa pun yang terjadi, harus kuhadapi!
Meskipun nyawa taruhannya!" tegas Awijaya mantap.
"Harus ada cara untuk menghadapinya," gumam Bayu perlahan, seperti untuk
dirinya sendiri.
"Benar! Kau punya rencana, Bayu?" sambut Awijaya.
Bayu terdiam beberapa saat. Dipandangi Awijaya dalam-dalam. Sementara Rara
Wanti hanya diam saja memperhatikan. Agak lama juga Bayu hanya berdiam
sambil terus menatap dalam-dalam Awijaya. Sepertinya sedang mencari sesuatu
dalam tatarannya itu.
"Kau tahu di mana Ki Praba sekarang berada, Awijaya?" tanyanya Bayu.
"Dia pasti ada di Desa Pekacangan, di rumah Paman Praraga," celetuk Rara
Wanti.
"Temui dia. Katakan kalau kau tahu di mana Rara Wanti berada. Lalu, bawa
dia ke puncak Bukit Sidayu. Aku dan Rara Wanti akan menunggu di sana," ujar
Bayu mengemukakan rencananya.
"Mustahil! Ki Praba sudah mengenaliku!" dengus! Awijaya.
"Itu lebih bagus lagi!" seru Bayu gembira.
"Apanya yang bagus? Begitu aku muncul, dia pasti sudah lebih dulu
menyerang!"
"Tidak! Asal saja kau berikan alasan yang kuat."
"Bagaimana caranya?" tanya Awijaya.
"Katakan kalau kau sudah bertemu Rara Wanti, dan akan mengajaknya pergi.
Tapi Rara Wanti membangkang, dan kau sempat bertarung denganku. Katakan saja
kalau aku menantangnya di Puncak Bukit Sidayu. Aku yakin, dia pasti datang,"
Bayu mengemukakan rencananya.
"Lalu?" tanya Awijaya lagi.
"Dia pasti percaya kata-katamu, asal kau bisa bermimik marah dan sakit
hati. Wajahmu yang babak belur itu, sudah cukup memberi alasan kuat."
Awijaya meraba mukanya yang memang membiru pada bagian mata kiri. Bibirnya
yang pecah pun masih terasa nyeri. Belum lagi pakaiannya kotor dan agak
koyak.
"Di samping itu, mintalah hadiahnya yang seribu keping uang emas. Dengan
hadiah itu kalian bisa hidup tenang dan bisa mencari ibu kandungmu, Rara,"
lanjut Bayu.
"Ki Praba pasti tidak bakal menyediakan hadiah itu. Apalagi memberikannya
padaku!" ujar Awijaya yakin.
"Aku yakin pasti dia setuju. Bagaimana caranya, itu terserah padamu
sendiri," sahut Bayu.
"Baiklah, kapan aku mulai?"
"Sekarang juga!"
********************
DELAPAN
Bayu berdiri tegak di tengah-tengah Puncak Bukit Sidayu. Di sampingnya Rara
Wanti kelihatan gelisah. Sebentar-sebentar dilayangkan pandangannya ke arah
kaki bukit. Dari situ memang terlihat jelas sungai yang mengalir menuju Desa
Pekacangan. Dari sanalah nanti Awijaya datang bersama Ki Praba.
"Kok lama, ya...?" gumam Rara Wanti semakin gelisah, karena tidak melihat
tanda-tanda Awijaya bakal muncul.
"Sabar.... Dia pasti datang," kata Bayu menenangkan.
"Kalau gagal?"
"Aku yakin tidak."
Rara Wanti menatap dalam-dalam Pendekar Pulau Neraka itu. Pada saat yang
sama, Bayu juga memalingkan mukanya menatap gadis itu. Sesaat mereka tidak
berbicara, dan hanya saling tatap saja. Pelahan Rara Wanti mendekat, lalu
melingkarkan tangannya ke leher Bayu. Tubuh mereka merapat. Tak ada jarak
lagi yang merenggang. Wajah mereka begitu dekat, sehingga terasa hangat
desah napas masing-masing.
"Kakang, sebenarnya aku lebih suka bersama mu. Kau lebih segala-galanya
daripada Kakang Awijaya," kata Rara Wanti pelan.
"Awijaya orang yang bertanggung jawab, Rara. Aku yakin, kau akan hidup
bahagia di sampingnya."
"Hhh...! Seandainya ada waktu...," desah Rara Wanti.
"Jangan ulangi lagi, Rara. Padaku, atau pada siapa saja. Kau akan menyesal
nanti. Hargailah dirimu sendiri," ujar Bayu seraya melepaskan pelukan gadis
itu di lehernya.
"Hanya Kakang Awijaya dan kau saja yang bisa menjamahku, Kakang. Aku janji.
Kapan saja kau datang, aku selalu menyediakan waktu untukmu, Kakang. Ini
hanya untuk kita berdua."
Bayu tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa? Aku mencintaimu, Kakang. Aku menyukaimu. Meskipun sekarang ada
Kakang Awijaya, tapi aku tetap mencintaimu. Separuh hatiku milikmu,
Kakang."
"Aku harap pikiranmu bisa berubah kelak," desah Bayu setengah
bergumam.
Pendekar Pulau Neraka itu melangkah mundur. Tapi tiba-tiba Rara Wanti
menarik tangan pemuda itu, dan memeluknya erat-erat. Bayu jadi gelagapan,
karena cepat sekali Rara Wanti sudah mengulum bibirnya penuh gairah yang
menggelora.
"Rara...," kata Bayu begitu bibirnya terlepas dari pagutan gadis itu. Tapi
pelukan Rara Wanti masih sulit dilepaskan.
"Kakang Awijaya tidak akan datang malam ini, Kakang. Bersediakah kau
memberiku untuk yang terakhir, Kakang?" bujuk Rara Wanti sambil
mendesah.
"Jangan sekarang," Bayu benar-benar kewalahan menghadapi gadis itu. Harus
dicarinya jalan agar benar-benar terlepas dari lingkaran jerat asmara Rara
Wanti.
"Kapan?"
"Nanti, kalau semuanya sudah tenang,"
"Kau rela menyediakan waktu untukku, Kakang?"
"Tentu, kalau sudah tenang nanti."
"Sungguh?"
Bayu terpaksa mengangguk. Untuk meyakinkan Rara Wanti, dikecupnya bibir
gadis itu. Rara Wanti tersenyum senang. Wajahnya kembali cerah, dan
melepaskan pelukannya pelahan-lahan. Bayu tersenyum getir, kemudian
melayangkan pandangannya ke arah kaki bukit yang dialiri sungai kecil jernih
menuju ke Desa Pekacangan.
Sementara malam semakin bertambah larut. Pantulan cahaya bulan pada riak
air sungai bagai untaian mutiara memanjang membelah hutan yang cukup lebat
Sungguh indah pemandangan dari puncak bukit ini. Dan Bayu menikmati
keindahan itu dengan benak dipenuhi berbagai pikiran. Ada sedikit kecemasan
karena Awijaya belum juga kembali. Sementara Rara Wanti sudah tidak gelisah
lagi. Hatinya merasa tenang meskipun Awijaya tidak akan kembali lagi.
Apalagi setelah mendengar janji yang diucapkan Bayu tadi.
********************
Semalaman penuh Bayu tidak memejamkan matanya. Sedangkan Rara Wanti sempat
tidur, meskipun hanya sebentar saja. Pagi telah menyingsing, dan sinar
matahari telah menghangatkan Puncak Bukit Sidayu ini. Saat berdiri tegak
sepanjang malam, tadi, Bayu menyempatkan untuk bersemadi dan melatih
pengembangan hawa mumi. Meskipun tidak tidur, tapi rasanya sudah cukup.
Bahkan berlebihan dalam menjaga kondisi tubuhnya.
"Hm...," Bayu menggumam kecil ketika pandangannya menangkap ada gerakan
halus di bawah sana. Pendekar Pulau Neraka itu menajamkan penglihatannya.
Tampak gerakan itu menuju puncak bukit ini. Begitu halus dan cepat, hampir
tidak terlihat.
Semakin lama gerakan itu semakin terlihat jelas. Bayu tersenyum ketika
melihat tiga orang bergerak mendaki bukit. Dia hanya melirik sedikit saat
menyadari Rara Wanti berdiri disampingnya. Gadis itu juga sudah tahu
kedatangan tiga orang yang kini tengah mendaki bukit.
"Mereka datang, Kakang," bisik Rara Wanti.
"Aku tahu. Biarkan saja sampai ke sini," sahut Bayu.
Tidak beberapa lama, tiga orang yang dilihatnya mendaki bukit telah tiba di
puncak. Tampak Awijaya berada di antara mereka. Pemuda itu langsung berjalan
cepat menghampiri Rara Wanti yang berdiri di samping Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan dua orang lagi tidak lain dari Ki Praba dan Jantar. Jelas sekali
wajah Ki Praba memancarkan keberangan melihat Rara Wanti tampak segar
bersama seorang pemuda berbaju dari kulit harimau.
"Heh.... Kau rupanya yang membawa lari, anak muda," ujar Ki Praba
sinis.
"Tidak salah. Tapi sekarang dia senang bersamaku," sahut Bayu kalem, namun
bernada tegas.
"Bagus! Itu berarti kalian semua harus mati di sini!" dengus Ki
Praba.
"Begitu mudah mengucapkan kata mati, tapi sukar melakukannya. Aku khawatir
malah kau yang dulu terbang ke neraka, Ki Praba," sambut Bayu
memanasi.
"Ha ha ha...!" Ki Praba tertawa terbahak-bahak.
"Tertawalah sepuasnya sebelum terbang ke neraka!"
"Jantar!" Ki Praba menghentakkan tangannya.
"Hait...!" Jantar langsung melompat ke depan, membuka jurus serangan. Bayu
hanya tersenyum saja memperhatikan Jantar yang berpentilan membuka kembangan
jurus penyerangan. Dan tiba-tiba saja Jantar melompat cepat dibarengi
lontaran dua buah pisau kecil yang sangat tipis.
Pendekar Pulau Neraka yang sudah menyadari sebelumnya, segera mengegoskan
tubuhnya ke samping. Ditarik kakinya bergeser dua tindak. Cerat sekali
digerakkan tangan, dan ditangkap dua pisau yang dilepaskan Jantar. Secepat
itu pula dia melompat ke atas melewati kepala Jantar yang meluruk memberikan
serangan cepat.
Jantar terkejut, karena dua pukulannya hanya mengenai angin saja. Dan belum
lagi hilang keterkejutannya, tiba-tiba saja dia terpekik. Tubuhnya langsung
tersuruk jatuh ke depan mencium tanah. Satu pukulan keras tanpa pengerahan
tenaga dalam dilepaskan Bayu pada punggung pemuda itu.
"Huh!" Jantar mendengus, langsung bergegas melompat bangkit berdiri.
"Kau perlu pisaumu? Nih! Kukembalikan!" sentak Bayu
Cepat sekali Pendekar Pulau Neraka itu melemparkan pisau-pisau Jantar.
Sesaat Jantar terkesiap, dan buru-buru melompat menghindari sambitan
pisaunya sendiri. Pisau itu menghunjam dalam di tanah, tepat di tempat kaki
Jantar tadi berpijak.
"Keparat! Hup, hiyaaa...!"
Jantar kembali melompat menerjang, dan kali ini tidak lagi menganggap remeh
lawannya. Serangannya cepat dan dahsyat. Setiap pukulannya mengandung tenaga
dalam cukup tinggi. Namun Pendekar Pula Neraka tidak mudah dirobohkan begitu
saja. Setiap serangan yang datang, dengan manis selalu di dihindari. Bahkan
serangan balasannya membuat Jantar kelabakan.
"Sudah cukup kita bermain! Bersiaplah...!" seru Bayu keras.
Setelah berkata demikian, Pendekar Pulau Neraka langsung melompat ke atas,
lalu dengan cepat menukik turun diikuti hentakan tangan kanannya. Cakra Maut
berkelebat cepat mengarah ke bagian leher Jantar. Sesaat pemuda itu
terkesiap, lalu buru-buru menjatuhkan tubuhnya ke tanah, dan bergulingan
beberapa kali. Tapi begitu melompat bangkit, satu tendangan keras tidak bisa
dihindari lagi.
"Akh...!" Jantar me mekik tertahan. Tubuh pemuda itu langsung terdorong
kebelakang. Dan belum lagi dapat menguasai dirinya, mendadak saja secercah
kilat keperakan menyambar cepat. Jantar tidak mampu berkelit lagi.
dan....
"Aaa...!" Jantar memekik keras melengking tinggi. Tampak dadanya berlubang
tertembus Cakra Maut hingga tembus sampai ke punggung. Senjata bersegi enam
itu berputar balik, dan langsung menempel pada pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka. Sebentar Jantar masih mampu berdiri. Sesaat kemudian
tubuhnya limbung, dan ambruk menggelepar ke atas tanah. Darah bersimbah dari
dadanya yang berlubang. Hanya sebentar Jantar mampu bergerak, kemudian diam
dengan nyawa terbang dari tubuhnya.
Bayu memutar tubuhnya menghadap Ki Praba yang terlongong menyaksikan
kematian Jantar begitu cepatnya. Namun laki-laki setengah baya itu tidak
bisa berlama-lama memandangi tubuh pengawal pribadinya yang berlumuran darah
segar. Ternyata Bayu Hanggara sudah berteriak keras sambil mengebutkan
senjata mautnya.
"Uts...!" Ki Praba mengegoskan kepalanya sedikit ke kanan, dan Cakra Maut
itu melesat lewat di samping kepalanya. Tapi Cakra itu berputar balik. Mau
tidak mau Ki Praba melompat ke samping.
Bayu mengangkat tangan kanannya keatas, maka Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan tangannya. Serangan tadi memang sengaja tidak diarahkan ke
sasarannya secara langsung. Lemparan cakranya sengaja dimelencengkan hanya
untuk menggugah Ki Praba saja.
"Jangan berbangga dulu bisa mengalahkan Jantar, anak muda!" dengus Ki
Praba.
"Sebentar lagi kau akan menyusul," balas Bayu dingin.
"Sombong! Hih...! Terima seranganku! Hiyaaa...!"
Ki Praba melompat cepat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun
terjangan itu manis sekali mampu dihindari. Kembali Bayu harus bertarung
melawan Ki Praba. Kali ini Bayu menyadari kalau Praba jauh lebih tinggi
tingkat kepandaiannya dibanding Jantar. Dan Pendekar Pulau Neraka itu harus
bersikap hati-hati melayaninya.
Tidak mudah bagi Pendekar Pulau Neraka untuk menjatuhkan Ki Praba.
Laki-laki setengah tua itu memiliki tingkat kepandaian yang tinggi juga.
Jurus-jurusnya luar biasa, dan tenaga dalamnya juga hampir mencapai taraf
kesempurnaan. Jurus demi jurus berlalu cepat, tapi belum ada tanda-tanda
pertarungan bakal berakhir. Beberapa kali Bayu melepaskan senjatanya yang
terkenal maut itu, tapi Ki Praba mampu berkelit manis menghindarinya.
Pertarungan terus berlangsung semakin sengit.
Sementara di tempat lain, Awijaya dan Rara Wanti menyaksikan dengan
perasaan cemas. Hanya Awijaya yang kelihatan sedikit tenang, karena telah
sering mendengar kehebatan Pendekar Pulau Neraka. Entah kenapa, hatinya
begitu yakin kalau Bayu pasti dapat mengalahkan Ki Praba. Tapi tidak
demikian dengan Rara Wanti. Dia khawatir betul kalau Bayu akan tewas di
tangan ayah angkat yang sangat dibencinya. Rara Wanti lebih senang kalau Ki
Praba yang tewas.
"Sebaiknya kau bantu dia, Kakang," kata Rara Wanti tidak bisa
menyembunyikan kecemasannya.
"Tenang saja, Rara. Bayu pasti bisa mengatasi," sahut Awijaya.
"Tapi, sudah lebih dari dua puluh jurus...."
Awijaya diam saja. Memang pertarungan itu sudah memakan lebih dari dua
puluh jurus, tapi belum ada yang terdesak. Tapi me masuki jurus ke tiga
puluh, kelihatan kalau Ki Praba mulai kerepotan menghadapi serangan-serangan
Pendekar Pulau Neraka. Dia sudah jatuh bangun, dan bahkan beberapa kali
menerima pukulan serta tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tapi Ki Praba
masih juga mampu bertahan, meskipun darah sudah mengucur dari mulutnya.
Bagian pelipis telah sobek mengeluarkan darah. Dan bahu kirinya juga sobek
terkena sambaran Cakra Maut.
Keadan Ki Praba sudah tidak menguntungkan lagi. Tubuhnya jadi bulan-bulanan
Pendekar Pulau Neraka. Jatuh bangun tanpa mampu membalas. Darah semakin
banyak membanjiri tubuhnya. Tapi Bayu tidak juga berhenti. Hingga pada
pukulannya yang terakhir....
"Akh...!" Ki Praba memekik keras tertahan. Pukulan yang keras bertenaga
dalam sangat tinggi itu tepat mengenai dada Ki Praba. Akibatnya, laki-laki
setengah baya itu terpental jauh ke belakang. Sebuah pohon besar tumbang
terlanda tubuhnya. Ki Praba menggeliat-geliat berusaha bangun. Meskipun
tubuhnya sudah dipenuhi luka, tapi masih juga mampu berdiri. Dengan tubuh
limbung, laki-laki setengah baya itu berjalan menghampiri Pendekar Pulau
Neraka.
"Grrr...!" Ki Praba menggeram bagai seekor binatang buas.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk. Langkahnya terhenti setelah jaraknya
tinggal sekitar tiga batang tombak lagi di depan Pendekar Pulau Neraka.
Sesaat dia hanya diam saja menatap tajam, kemudian tiba-tiba sekali tangan
kanannya bergerak mengibas ke samping. Dan puluhan jarum berwarna keperakan
melesat deras ke arah Rara Wanti dan Awijaya.
"Awas...!" seru Bayu keras.
Tapi Awijaya dan Rara Wanti hanya terbeliak terperangah. Memang tidak
disangka kalau Ki Praba akan berbuat curang begitu. Dan sebelum kedua anak
muda itu bisa melakukan sesuatu, secepat kilat Bayu mengibaskan tangan
kanannya.
Wut...!
Cakra Maut melesat bagai kilat melebihi anak panah yang terlepas dari
busurnya. Senjata lingkaran bersegi enam berwarna keperakan itu meluncur me
motong arah jarum-jarum yang dilepaskan Ki Praba. Sungguh tidak diduga sama
sekali, jarum-jarum itu meluruk ke arah Cakra Maut, dan menempel pada
senjata itu. Bayu menghentakkan tangannya ke atas, maka Cakra Maut melesat
balik ke arahnya setelah seluruh jarum keperakan melekat pada permukaan
bagian atas senjata bersergi enam Itu.
"Hap! Yaaah...!"
Secepat Cakra Maut melekat di pergelangan tangan, secepat itu pula Pendekar
Pulau Neraka mengibaskannya lagi. Dan Cakra Maut kembali melesat cepat bagai
kilat ke arah Ki Praba. Tampak, jarum-jarum yang melekat di senjata itu
rotok luruh ke tanah. Saat itu Ki Praba sudah tidak bisa lagi bergerak cepat
Maka tak pelak lagi, Cakra Maut menghunjam dadanya hingga tembus ke
punggung.
"Aaa...!" Ki Praba menjerit melengking t inggi.
"Hap!" Bayu mengangkat tangannya ke atas. Begitu senjata bersegi enam itu
melekat di pergelangan tangannya, dengan cepat Bayu melompat sambil
menghentakkan kakinya ke depan. Tendangan yang disertai pengerahan tenaga
dalam sempurna itu tepat menghantam kepala Ki Praba. Kembali laki-laki tua
itu menjerit melengking. Hanya sesaat mampu berdiri, kemudian limbung, lalu
ambruk menggelepar di tanah. Darah mengalir deras dari dada yang berlubang
dan kepala hancur berantakan.
Bayu menarik napas panjang. Dia berdiri tegak memandangi mayat Ki Praba
yang membujur kaku bersimbah darah. Sebentar ditariknya napas panjang,
kemudian berbalik memandang Awijaya dan Rara Wanti yang masih berdiri di
tempatnya. Kedua anak muda itu seperti terkesima melihat kematian Ki Praba
begitu tragis.
Bayu melangkah tegap menghampiri kedua anak muda yang masih berdiri terpaku
pada tempatnya. Rara Wanti terlebih dahulu yang mengangkat wajahnya menatap
Pendekar Pulau Neraka itu. Entah apa yang ada di dalam sinar mata gadis itu.
Bayu sendiri sukar untuk mengartikannya. Pendekar Pulau Neraka itu berhenti
melangkah setelah jaraknya tinggal lima langkah lagi di depan kedua anak
muda itu.
"Aku rasa semuanya sudah selesai..," tegas Bayu pelan.
"Tunggu, kau akan kemana?" tanya Awijaya mencegah kepergian Bayu.
Bayu hanya tersenyum saja, dan langsung berbalik dan melangkah pergi. Tapi
baru saja berjalan beberapa langkah, Rara Wanti mengejar, dan menghadangnya.
Bayu menoleh menatap Awijaya yang tetap berdiri di tempatnya.
"Kakang, kau tetap akan pergi juga...?" agak tertahan suara Rara
Wanti.
"Kau sudah menemukan laki-laki impianmu, Rara. Kuharap kau bahagia berada
di sampingnya," kata Bayu lembut.
"Tapi.... Kau akan kembali lagi, bukan?"
Bayu tidak menjawab, tapi hanya tersenyum saja. Kemudian berbalik dan
melangkah pergi. Sebentar ditatapnya Awijaya, dan ditepuknya pundak pemuda
berbaju merah muda itu. Awijaya tidak bisa berkata-kata lagi, dan hanya
memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Ada sedikit penyesalan
terselip di hatinya karena telah menyangka buruk pada pendekar muda
itu.
Ternyata kabar cerita yang pernah di dengarnya tentang Pendekar Pulau
Neraka tidak semuanya benar. Buktinya Awijaya tidak melihat kekejaman pada
pendekar muda itu. Bahkan kata-katanya selalu lembut, dan segala tindakannya
tenang. Hanya saja, Bayu memang tidak pernah mau berkompromi pada setiap
lawannya yang diyakini harus tewas di tangannya.
Bayu terus berjalan semakin jauh. Sementara Awijaya sudah berada di samping
Rara Wanti. Pemuda itu melingkarkan tangannya di pundak Rara Wanti. Gadis
itu pun merebahkan kepala di bahu pemuda di sampingnya. Mereka memandangi
kepergian Pendekar Pulau Neraka dengan berbagai perasaan yang berkecamuk di
dalam dada.
"Ayo kita pergi, Rara," ajak Awijaya setelah tubuh Pendekar Pulau Neraka
tidak terlihat lagi.
"Ke mana?" tanya Rara Wanti agak lesu. Rara Wanti masih menatap ke arah
kepergian Bayu, meskipun Pendekar Pulau Neraka itu tidak terlihat lagi.
Gadis itu merasakan sekeping hatinya terbawa pergi oleh Bayu Hanggara.
Bagaimanapun juga tidak akan bisa dilupakan pengalamannya bersama pemuda
yang telah merenggut sekeping hatinya. Pemuda yang telah memberikan
kebahagiaan tersendiri.
"Kita cari dulu ibumu, baru menemui ibuku. Kita akan hidup bersama tanpa
harus bergelimang kekerasan dan darah lagi," jelas Awijaya lembut.
Rara Wanti tidak menyahuti, membalikkan tubuhnya menghadap pemuda itu.
Mereka saling berpelukan, dan saling melempar pandang.
"Oh, Kakang...," desah Rara Wanti lirih.
Awijaya semakin erat memeluk gadis itu. Sebentar ditatap dalam-dalam bola
mata yang bening indah depannya. Kemudian pelahan-lahan sekali ditundukkan
kepalanya, dan sesaat bibir mereka sudah menyatu rapat. Erat sekali Awijaya
mendekap tubuh ramping itu, seakan-akan tidak ingin melepaskannya
kembali.
Sementara siang sudah beralih, menggulir menuju senja. Matahari sudah
semakin condong ke arah Barat Sinarnya yang redup memberikan bayang-bayang
bagi sepasang insan menyatu dalam raga dan jiwa di Puncak Bukit
Sidayu.
S E L E S A I
Ikuti petualangan berikutnya dalam "ISTANA IBLIS"
Emoticon