SATU
"Hiyaaat..!" Trang!
Malam yang seharusnya sunyi, tiba-tiba dipecahkan oleh suara pertarungan di
halaman depan sebuah rumah besar yang dikelilingi pagar balok kayu tinggi
dan berujung runcing. Di sekitar tempat pertarungan itu orang-orang
bersenjata terhunus berdiri mengelilingi. Mereka menyaksikan dua orang
laki-laki bertarung, menggunakan kepandaian tingkat tinggi.
Melihat banyaknya keringat yang bercucuran dan debu yang melekat di badan,
dapat dipastikan kalau pertarungan itu sudah berjalan cukup lama. Sementara
malam sudah demikian larut, sedangkan pertarungan dua laki-laki itu masih
berlangsung sengit. Seakan-akan pertarungan itu tidak akan berhenti dalam
waktu singkat.
Dua orang yang bertarung itu sudah sama-sama berusia lanjut. Yang seorang
mengenakan jubah putih panjang, dan berambut putih tergelung ke atas.
Sedangkan seorang lagi mengenakan jubah warna biru tua. Rambutnya panjang
meriap hampir menutupi wajahnya. Mereka sama-sama menggunakan tongkat. Namun
yang berjubah putih hanya menggunakan tongkat kayu biasa tanpa bentuk,
sedangkan lawannya menggunakan tongkat berbentuk ular kobra yang
mengembangkan lehernya.
Pertarungan itu berjalan cepat, sehingga yang terlihat hanya dua bayangan
berkelebat saling sambar. Setiap kali tongkat-tongkat mereka beradu,
seketika timbullah ledakan keras disertai percikan bunga api yang menyebar
ke seluruh penjuru. Meskipun tongkat yang dipegang orang berjubah putih
hanya tongkat kayu biasa, namun kekuatannya melebihi tongkat baja yang
keras. Bahkan hantaman tongkatnya mampu menghancurkan batu sebesar
kerbau.
"Hiyaaat...!"
Trak!
"Akh...!"
Tiba-tiba saja laki-laki berjubah putih memekik keras tertahan, dan tampak
terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dadanya. Darah segar merembes
keluar dari sela-sela jari tangan yang keriput. Pada saat itu, orang yang
berbaju biru gelap melompat cepat bagai kilat sambil tongkatnya melayangkan
satu pukulan keras. Begitu kerasnya sehingga menimbulkan suara angin menderu
bagai topan.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Des!
"Aaa...!"
Kembali laki-laki tua berjubah putih itu menjerit. Hantaman tongkat
berbentuk ular kobra itu tepat mengenai kepala laki-laki tua berjubah putih.
Terdengar suara berdetak, dan seketika laki-laki berjubah putih itu ambruk
ke tanah dengan kepala remuk. Darah mengucur dari dada dan kepalanya. Orang
berbaju biru gelap itu berdiri pongah sambil memutar-mutar tongkatnya.
"Hayo! Siapa lagi yang ingin menyusul ke neraka!" teriak orang berjubah
biru itu, keras menantang.
Dari sekian banyak orang yang mengelilingi halaman, tak seorang pun yang
berani membuka mulut. Laki-laki tua bertongkat ular itu mengedarkan
pandangannya ke sekeliling. Sebentar kemudian dihampirinya laki-laki tua
yang tergeletak tengah meregang nyawa di tanah. Ditekan ujung tongkatnya ke
dada yang berlumuran darah itu.
"Anom Sura! Di mana kau sembunyikan peti itu?" dingin nada suara laki-laki
bertongkat ular itu.
Tapi orang berjubah putih itu tidak menjawab, dan hanya mengerang merasakan
sakit yang amat sangat pada dada dan kepalanya. Darah semakin banyak
keluar.
"Baiklah. Mungkin kau lebih senang mati. Tapi aku masih bisa mendapatkan
kotak itu dari putrimu!" dengus orang itu dingin. "Hih...!"
"Aaa...!"
Tanpa berkedip sedikit pun, orang bertongkat ular itu menghunjamkan ujung
tongkatnya hingga menembus dada laki-laki tua berjubah putih yang dipanggil
Anom Sura. Sambil menarik kembali tongkatnya, orang itu langsung melesat
pergi. Begitu cepatnya, sehingga sekejap saja sudah lenyap tak
berbekas.
"Guru...!"
"Paman...!"
Mereka yang berkerumun mengelilingi halaman itu berhamburan memburu
laki-laki tua berjubah putih yang tergeletak di tanah bersimbah darah. Salah
seorang berbaju hijau yang pedangnya tergantung dipinggang bergegas
mengangkat kepala Ki Anom Sura dan menopang dengan pahanya.
"Paman...."
"Adilangu. Cepatlah pergi ke Gunung Cakal. Jemput adikmu dan bawa ke sini,"
kata Ki Anom Sura lemah.
"Paman...."
"Akh...! Rasanya aku tidak kuat lagi. Adilangu, cepatlah pergi dan katakan
agar Rampita..., akh!"
"Paman...!"
"Adilangu, bawa kotak yang ada di bawah balai semadiku. Berikan pada
putriku..., akh...!"
"Paman...!"
"Guru...!"
Namun Ki Anom Sura sudah terkulai. Adilangu memeluk laki-laki tua itu.
Diusapkan tangannya ke wajah Ki Anom Sura. Sebentar diedarkan pandangannya
ke sekeliling, menatap wajah-wajah yang tertunduk dalam tanpa cahaya di
sekelilingnya. Kemudian Adilangu mengangkat tubuh laki-laki tua itu dan
membawanya masuk ke dalam rumah besar yang tampak terang benderang
Tak ada sedikit pun suara yang terdengar. Semua orang yang berkerumun di
depan rumah itu hanya diam sambil menundukkan kepala. Laki-laki itu
membaringkan tubuh Ki Anom Sura di atas dipan kayu, kemudian duduk bersila
di lantai. Semua orang yang berada di belakangnya ikut duduk bersila. Secara
bersamaan mereka merapatkan tangannya di depan hidung, memberi penghormatan
terakhir pada laki-laki tua itu.
***
Adilangu memacu cepat kudanya bagai dikejar setan. Sepanjang jalan yang
dilalui, meninggalkan kepulan debu karena tersepak kaki-kaki kuda hitam itu.
Tak peduli ada kubangan berlumpur, pohon tumbang melintang menghadang jalan,
pemuda itu terus memacu kudanya dengan kecepatan tinggi. Sebuah buntalan
kain di punggung berguncang-guncang mengikuti tubuhnya yang tidak bisa diam
di atas punggung kuda.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Adilangu semakin keras menggebah kudanya. Tidak dipedulikan lagi jalan yang
mulai sulit dilalui karena semakin rapatnya pepohonan. Terlebih lagi jalan
itu mendaki, sedangkan kuda hitam yang ditungganginya semakin terseok
kewalahan. Binatang tunggangan itu mendengus-dengus kelelahan. Seharian
dipacu cepat tanpa beristirahat sebentar saja. Namun pemuda itu terus
menggebah kudanya agar tetap berlari kencang.
Wus...!
Tiba-tiba saja sebatang anak panah meluncur deras ke arahnya. Adilangu
terperanjat, lalu cepat-cepat menarik tali kekang kudanya. Akibatnya,
binatang itu meringkik keras sambil mengangkat kedua kaki depannya
tinggi-tinggi.
"Hup! Hiyaaa...!"
Adilangu melentingkan tubuhnya dan berputaran beberapa kali di udara
sebelum kakinya menjejak tanah. Sementara, anak panah itu menancap di sebuah
pohon tidak jauh dari tempatnya mendarat. Sedangkan kuda hitam itu langsung
berlari tanpa mempedulikan majikannya yang tertinggal. Adilangu mendengus
seraya menatap tajam ke sekeliling.
Srak! Srak...!
Adilangu langsung meraba gagang pedangnya di pinggang ketika tiba-tiba saja
di sekitarnya berlompatan sekitar sepuluh orang bersenjatakan golok
terhunus. Mereka langsung mengepung pemuda itu. Pemuda itu menatap seorang
laki-laki berusia sekitar empat puluh tahunan saat mendengar tawa keras
menggelegar dari atas dahan pohon.
"Ha ha ha...!"
Adilangu hanya mendesis kecil. Laki-laki berwajah penuh berewok yang
berdiri di atas pohon itu terus tertawa terbahak-bahak, seakan-akan tengah
menyaksikan suatu pertunjukan yang mengocok perutnya. Dia mengenakan baju
hitam, dan celana hitam sebatas lutut. Tampak gagak golok berwarna gading
menyembul dipinggang. Tubuhnya besar dan kekar, tapi anehnya dahan kecil itu
tidak melengkung menahan beban tubuhnya. Adilangu sadar kalau orang itu
pasti memiliki ilmu meringankan tubuh yang cukup tinggi. Dan tentu saja,
sepuluh orang yang mengepungnya juga bukan orang kosong.
"Siapa kalian? Mengapa menghadang jalanku?" tanya Adilangu ketus.
"He he he...! Anak Muda, aku tahu asalmu. Dan tentu saja aku tahu apa yang
kau bawa. Demi keselamatanmu, tinggalkan saja mainan itu. Dan kau boleh
pergi dengan selamat!" ujar laki-laki di atas pohon. Suaranya besar dan
terdengar berat sekali.
"Hmmm..., kau pasti Barong Codet," desis Adilangu menatap wajah laki-laki
itu.
Memang pada pipi kiri laki-laki berewok itu terdapat luka memanjang bagai
lintah menempel. Luka itu hampir menyentuh sebelah matanya. Adilangu
mengenali orang itu, karena pernah melihat pamannya bertarung dengannya.
Luka di pipi kirinya juga akibat tergores ujung tongkat Ki Anom Sura.
"Kau sudah tahu siapa diriku, Adilangu. Dan aku tidak segan-segan
membunuhmu! Tak ada lagi yang bisa melindungimu. Si tua bangka itu sudah
tenang dineraka! Ha ha ha...!"
Adilangu mendesis geram, tapi juga heran. Dari mana Barong Codet mengetahui
kematian Ki Anom Sura? Padahal baru kemarin Ki Anom Sura tewas ditangan
seseorang yang tidak dikenalnya. Dan tentu saja berita kematian Ketua
Padepokan Tongkat Sakti itu belum tersebar sampai keluar.
"Dari mana kau tahu, Barong Codet?" tanya Adilangu tidak bisa menahan
keingintahuannya.
"Ha ha ha...! Semua orang sudah tahu kalau si tua bangka itu sudah mampus!"
sahut Barong Codet. "Kini tak ada lagi penghalang untuk membalas
kekalahanku! Padepokan Tongkat Sakti harus musnah, dan mainan itu harus
menjadi milikku! Ha ha ha...!"
Adilangu terdiam. Disadari dan diketahui betul siapa Barong Codet itu. Dia
adalah pemimpin gerombolan begal yang paling ditakuti di sekitar Lembah
Bunga ini. Bahkan sampai ke Kaki Gunung Cakal nama Barong Codet sangat
ditakuti. Tingkat kepandaian yang dimiliki juga sangat tinggi. Dan Adilangu
sadar kalau kemampuannya belum bisa mengimbangi laki-laki beringas itu.
Tapi, kotak yang dibawanya tidak mungkin begitu saja dilepaskan. Benda ini
harus sampai pada Rampita, sesuai amanat yang diberikan pamannya sebelum
ajal menjemput.
"Cepat, berikan mainan itu, Adilangu!" bentak Barong Codet tidak sabar
lagi.
'Tidak semudah itu, Barong Codet Kau harus melangkahi dulu mayatku!" sahut
Adilangu nekad, meskipun sadar tidak akan mampu menghadapinya. Tapi baginya
lebih baik mati daripada menjadi pengecut.
"Bocah setan! Bunuh bocah itu...!" seru Barong Codet menggeram marah.
Serentak sepuluh orang bersenjata golok yang mengepung Adilangu berlompatan
menyerang. Pemuda itu langsung mencabut pedangnya, menyambut serangan
sepuluh orang bersenjata golok. Suatu pertarungan yang tidak seimbang
terjadi. Satu lawan sepuluh orang memang bukan pertarungan yang menarik Dan
sudah dapat diduga hasilnya.
Baru beberapa gebrakan saja, Adilangu sudah tampak kewalahan menghadapi
lawan-lawannya. Beberapa kali tubuhnya harus menerima pukulan dan tendangan,
sehingga membuatnya harus jatuh bangun bergulingan di tanah. Tapi pemuda itu
tidak mengenal menyerah, dan terus bertahan walaupun menyadari tidak akan
bisa bertahan lebih lama lagi.
Serangan sepuluh orang bersenjata golok itu kian gencar, dan membuat ruang
gerak Adilangu semakin menyempit. Terlalu sukar bagi pemuda itu untuk bisa
meloloskan diri. Memberi serangan balasan pun sudah sukar sekali. Sekali pun
bisa, itu pun tidak ada artinya sama sekali. Serangan yang dilakukan selalu
dapat dimentahkan sebelum sampai pada sasaran.
"Ha ha ha...!" Barong Codet tertawa terbahak-bahak melihat Adilangu semakin
tak sanggup lagi bertahan.
Dari mulut dan hidung pemuda itu sudah mengucurkan darah. Seluruh tubuhnya
terasa remuk. Bahkan untuk mengangkat pedang saja sudah tidak sanggup lagi.
Tubuhnya terlontar dari satu orang ke orang lainnya. Adilangu benar-benar
dijadikan bola, ditendang ke sana kemari tanpa mampu membalas. Bahkan
pedangnya kini sudah terlepas dari genggaman tangan. Pemuda itu tidak tahu
lagi, sudah berapa banyak tendangan dan pukulan mendarat di tubuhnya.
Kepalanya semakin terasa pening. Rasanya tubuh Adilangu sudah tidak bisa
lagi merasakan pukulan maupun tendangan yang mampir di tubuhnya.
Slap!
Tiba-tiba saja ketika Adilangu terpental akibat tendangan keras, sebuah
bayangan menyambar tubuhnya dan membawa keluar dari kepungan sepuluh orang
itu. Seketika tawa Barong Codet terhenti, dan kontan menggeram dahsyat.
Sementara itu sepuluh orang anak buahnya langsung memutar tubuhnya.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu Adilangu sudah berada di atas pundak
seorang pemuda berwajah tampan mengenakan baju kulit harimau. Pemuda itu
mengedarkan pandangannya berkeliling, merayapi sepuluh orang yang kini sudah
mengepungnya. Tatapan tajamnya langsung tertuju pada Barong Codet yang masih
berada di atas dahan pohon.
"Biadab! Mengeroyok orang yang tidak berdaya sama sekali!" desis pemuda
berbaju kulit harimau itu dingin dan datar.
"He, bocah! Jangan campuri urusanku!" bentak Barong Codet geram.
"Sama sekali aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu, Kisanak. Tapi rasanya
tidak bisa kubiarkan jika kalian seenaknya saja menyiksa orang yang sudah
tidak punya daya!" sahut pemuda itu lantang.
"Setan alas! Keparat...! Seraaang...!" maki Barong Codet seraya memberi
perintah.
"Maaf, aku tidak punya waktu untuk menghadapi tikus macam kalian!
Hup!"
Bagai kilat pemuda berbaju kulit harimau itu melesat ke atas dan langsung
lenyap seketika itu juga. Barong Codet memaki habis-habisan. Diperintahkan
seluruh anak buahnya untuk mencari dan mengejar. Tanpa membantah sedikit pun
sepuluh orang itu segera berlari berpencar. Sedangkan Barong Codet sendiri
langsung melompat turun dan menghentak-hentakkan kakinya sambil memaki-maki
tidak karuan.
***
Sementara itu di dalam sebuah gua batu yang letaknya di Tebing Jurang
Lembah Bunga, Adilangu merintih sambil menggeleng gelengkan kepalanya.
Dikerjapkan matanya, dan kontan tersentak begitu menyadari dirinya berada di
tempat yang sangat asing. Tapi begitu hendak bangun, sebuah tangan mencegah
dadanya.
"Jangan bangun dulu. Berbaringlah sebentar lagi," terdengar suara dari arah
samping Adilangu menoleh. Tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau
tersenyum sambil menjauhkan tangannya dari dada Adilangu yang sudah
berbaring lagi.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Adilangu.
"Aku Bayu. Dan aku telah melihatmu tengah dikeroyok orang. Lalu kau kubawa
ke sini. Tenang sajalah. Tak ada seorang pun yang tahu tempat ini," jelas
pemuda berbaju kulit harimau itu setelah memperkenalkan dirinya. Dia memang
Bayu yang dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka.
"Oh...," Adilangu mendesah panjang seraya memejamkan matanya. Sebentar
kemudian Adilangu kembali membuka matanya. Kini dia ingat. Dalam perjalanan,
dirinya telah dihadang Barong Codet dan sepuluh orang anak buahnya, dan tak
mampu menghadapi keroyokan mereka. Mungkin saat itu Adilangu sudah jatuh
pingsan ketika Bayu muncul dan menyelamatkannya dari maut. Dipandanginya
pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Kisanak,"
"Nama ku Adilangu " Adilangu memperkenalkan diri.
"Bayu.... Panggil saja Bayu," pinta Bayu diiringi senyuman.
"Oh, iya. Hmmm..., di mana ini?" tanya Adilangu seraya bergerak hendak
bangkit berdiri.
Bayu membiarkan saja Adilangu bergerak, walaupun hanya mampu duduk bersila.
Diedarkan pandangannya ke sekeliling, dan baru disadari kalau dirinya berada
dalam sebuah gua yang tidak begitu besar dan dalam. Adilangu memandang ke
mulut gua, dan menjadi terkejut karena langsung melihat tebing seberang dari
sebuah jurang. Langsung dipandanginya Pendekar Pulau Neraka yang tampaknya
asyik memutar-mutar daging bakar di atas perapian.
'Tempat ini masih berada di Lembah Bunga," jelas Bayu.
"Di Jurang Kematian...?!" desis Adilangu ragu-ragu.
"Benar," ringan sekali jawaban Bayu.
"Oh...," lagi-lagi Adilangu mendesah.
"Kenapa? Tampaknya kau takut mendengar nama jurang ini Itu hanya sebuah
nama saja, dan tidak ada yang perlu ditakuti di jurang ini," kata
Bayu.
"Belum ada seorang pun yang bisa keluar dari jurang ini. Itu sebabnya
dinamakan Jurang Kematian," desah Adilangu.
Adilangu menatap dalam-dalam pemuda berbaju kulit harimau itu. Hatinya jadi
menduga-duga, siapa sebenarnya pemuda ini? Mengapa menolong dan membawanya
ke jurang yang terkenal angker dan menyeramkan? Semua orang lebih baik
memutar daripada harus melewati jurang ini. Sekali saja terpeleset, dan
jatuh ke dalam jurang ini tidak akan bisa kembali lagi. Bahkan mayatnya pun
lenyap begitu saja.
"Apa itu?" tanya Adilangu menunjuk daging bakar di atas api.
"Hanya daging rusa. Mau?" sahut Bayu seraya menawarkan.
Adilangu tampak ragu-ragu.
"Di dasar jurang ini memang banyak kerangka manusia dan mayat-mayat
membusuk. Tapi aku belum pernah memakan daging manusia. Masih banyak
binatang yang bisa diburu dan dimakan," kata Bayu seperti bisa membaca
keraguan Adilangu.
Bayu menyodorkan sekerat daging yang ditusuk sebatang ranting. Adilangu
menerimanya meskipun masih diliputi keraguan. Dia belum mengenal pemuda
berbaju kulit harimau, meskipun sudah disebutkan namanya. Baru sekali ini
pemuda berbaju kulit harimau itu dilihatnya, dan itu pun di Jurang Kematian.
Inilah yang mengganggu pikirannya. Tapi kelihatannya Bayu tenang saja
menikmati daging panggang. Adilangu menelan ludahnya yang kering.
Sebentar pemuda itu memandangi sekerat daging di tangannya, kemudian
mencoba memakannya sedikit. Alisnya terangkat naik begitu merasakan daging
panggang ini. Lidahnya bisa membedakan rasa daging meskipun hanya dibakar
saja. Jelas kalau ini daging rusa, bukan seperti yang ada dalam pikirannya.
Adilangu kembali menggigit dan mengunyahnya. Bahkan mengambil satu kerat
lagi. Perutnya memang sudah lapar. Sejak pergi dari Padepokan Tongkat Sakti,
perutnya belum terisi makanan sedikit pun.
"Siapa mereka yang mengeroyokmu?" tanya Bayu setelah cukup lama berdiam
diri.
"Ceritanya panjang...," sahut Adilangu.
"Hmmm..., kelihatannya mereka ingin membunuhmu. Kenapa?"
"Aku sendiri tidak tahu. Tapi pemimpin mereka menghendaki barang yang
kubawa ini," sahut Adilangu seraya menepuk buntalan kain di
sampingnya.
"Apa itu?"
"Hanya sebuah kotak kayu. Aku sendiri tidak tahu isinya. Aku hanya mendapat
amanat untuk menyampaikan kotak ini pada pemiliknya."
"Kalau begitu, sebaiknya besok pagi saja kau berangkat. Lukamu tidak ada
yang terlalu berarti."
"Besok pagi...?"
"Iya, kenapa?"
Adilangu memandang keluar. Sungguh tidak disadari kalau hari ini sudah
malam. Itu berarti cukup lama juga dirinya tidak sadarkan diri. Adilangu
diam membisu memandang keluar gua. Memang aneh gua ini. Kelihatan terang
seperti masih siang saja, padahal sudah malam.
Cahaya terang itu ternyata berasal dari batu yang banyak tersebar di
tebing-tebing jurang ini. Batu-batu itu memantulkan cahaya bulan, sehingga
membuat keadaan jurang ini terang meskipun malam hari. Sungguh tidak diduga
sama sekali, baru kali ini Adilangu menyaksikan Jurang Kematian pada malam
hari.
***
DUA
Dengan hanya sedikit mengerahkan ilmu meringankan tubuh, Adilangu sudah
berhasil mencapai tepi Jurang Kematian. Pemuda itu sendiri tidak menyangka
akan begitu mudah keluar dari jurang yang sudah terkenal angker ini. Memang
sesuatu yang dikatakan angker dan berbahaya belum tentu menakutkan. Dan
sekarang Adilangu tahu kalau Jurang Kematian sebenarnya tidaklah seangker
cerita-cerita yang didengar sebelumnya. Bahkan jurang ini terlihat begitu
indah, tak nampak sedikit pun keangkerannya.
Hanya saja hati Adilangu masih diliputi berbagai macam tanda tanya tentang
pemuda berbaju kulit harimau yang menyelamatkannya dari tangan maut si
Barong Codet Meksipun pemuda itu sudah memperkenalkan diri, tapi Adilangu
masih juga bertanya-tanya, siapa sebenarnya Bayu itu.
"Gunung Cakal masih terlalu jauh dari sini. Tapi kau bisa menyusuri bibir
jurang ini dan terus berjalan ke arah Timur," jelas Bayu.
"Kau tidak ikut ke sana?" tanya Adilangu.
Padahal, Adilangu berharap agar pemuda berbaju kulit harimau itu bersedia
mengantarnya sampai ke Gunung Cakal. Terus terang, hatinya masih khawatir
akan gerombolan si Barong Codet yang pasti masih mencari dan ingin merebut
kotak kayu yang dibawanya ini. Adilangu memandangi Bayu dalam-dalam dengan
satu harapan agar yang dinanti-nantikannya terkabul.
"Rasanya aku tidak ada keperluan di Gunung Cakal. Jadi, kau bisa
melanjutkan perjalanan sendiri. Aku yakin, jika menyusuri bibir jurang,
tidak ada yang mencegatmu lagi," kata Bayu kalem.
Adilangu mengangkat bahunya. Tidak mungkin pemuda berbaju kulit harimau ini
didesak terus agar ikut bersamanya ke Gunung Cakal. Setelah mengucapkan
terima kasih dan berbasa-basi sebentar, Adilangu kemudian berjalan menuju
arah Timur, menyusuri bibir jurang.
Ayunan langkah kakinya begitu pelan, seakan-akan tidak ada gairah untuk
melanjutkan perjalanannya kembali. Dia menyesal karena tidak membawa teman
seorang pun dalam perjalanan yang banyak menempuh rintangan dan bahaya ini.
Padahal bisa saja separuh murid pamannya dibawa. Adilangu memalingkan
mukanya ke belakang. Langkahnya seketika terhenti karena tidak melihat lagi
pemuda berbaju kulit harimau di sana.
"Hmmm..., ke mana dia?" Adilangu bergumam pelan bertanya pada diri
sendiri.
Pemuda itu mengangkat sedikit bahunya, kemudian kembali melanjutkan
perjalanan. Rasanya tepian jurang yang menyeramkan ini ingin
ditinggalkannya. Namun mengingat gerombolan Barong Codet dan pesan Bayu,
Adilangu jadi memantapkan hati untuk terus menyusuri jalan yang tidak pernah
dilalui orang ini.
"Ha ha ha...!"
Adilangu tersentak ketika tiba-tiba mendengar tawa menggelegar di
sekitarnya. Tawa itu seperti datang dari segala arah, dan itu pertanda
pemilik suara memiliki kemampuan tenaga dalam tinggi. Adilangu langsung
menghentikan langkahnya. Diedarkan pandangannya ke sekeliling, namun tak
seorang pun yang dilihatnya. Wajah pemuda itu mulai terlihat memucat
Pikiran-pikiran buruk mulai menghantui benaknya.
"Jangan-jangan.... Hihhh...," Adilangu bergidik.
Tanpa berpikir panjang lagi, pemuda itu langsung berlari kencang Namun,
suara tawa itu masih juga terdengar. Bahkan seakan-akan mengikuti setiap
ayunan kaki pemuda itu. Dan ini membuatnya semakin kencang berlari.
"Ah...!" tiba-tiba Adilangu terpekik kaget.
Seketika pemuda itu menghentikan larinya. Entah dari mana datangnya,
tahu-tahu di depan pemuda itu sudah berdiri seorang laki laki tua berbaju
hitam panjang. Tangannya memegang tongkat berbentuk ular kobra yang lehernya
terkembang. Wajah Adilangu seketika memucat, dan seluruh tubuhnya gemetar
bersimbah keringat sebesar butiran jagung.
Adilangu tahu betul, siapa orang tua berjubah hitam ini. Dialah yang telah
membunuh pamannya. Meskipun pemuda itu belum mengetahui nama dan urusan
orang tua itu dengan Ketua Padepokan Tongkat Sakti Itu, tapi diyakini kalau
dia pasti menginginkan kotak yang dibawanya.
"Mau apa kau menghadangku?!" bentak Adilangu, memberanikan diri.
Orang tua bertongkat ular kobra itu hanya tertawa kecil. Bibirnya tersenyum
kecil, namun sorot matanya begitu tajam menusuk, memancarkan sinar merah
membara bagai hendak membakar hangus seluruh tubuh pemuda di depannya.
Sedangkan Adilangu beringsut mundur beberapa langkah, tubuhnya bergidik
ngeri. Tatapan mata laki-laki tua itu demikian tajam, membuat jantungnya
serasa berhenti berdetak
"Kuakui keberanianmu, Anak Muda. Tapi sayang, aku harus memaksamu. Mungkin
juga bisa membunuhmu...!" dingin sekali suara orang tua bertongkat ular
kobra itu.
"Apa yang kau inginkan dariku...?" tanya Adilangu agak bergetar
suaranya.
"Aku tahu kau berasal dari Padepokan Tongkat Sakti. Dan tentu saja aku juga
tahu kalau kau adalah keponakan si tua bangka pengkhianat Anom Sura. Maka,
jika ingin dirimu selamat, tunjukkan padaku dimana si tua bangka pengkhianat
itu menyimpan kotaknya!" tak ada nada pada suara laki-laki tua bertongkat
ular kobra itu.
Adilangu menelan ludahnya. Pemuda cerdas itu langsung mengerti kalau orang
tua kejam ini tidak mengetahui dirinya tengah membawa kotak kayu aneh dan
misterius itu. Seketika otak Adilangu bekerja keras. Ada sedikit harapan
untuk bisa lolos dari cengkeraman laki-laki tua ini.
"Aku tidak tahu," sahut Adilangu.
"Ha ha ha...! Kau pikir aku mudah percaya begitu saja, monyet jelek! Aku
tahu kau pergi dari Padepokan Tongkat Sakti, dan tujuanmu adalah Gunung
Cakal. Hmmm.... Apa yang kau bawa itu, monyet?!"
"Pakaian," sahut Adilangu bergetar suaranya. Pupus sudah harapan pemuda itu
untuk bisa lolos dari tangan orang tua berkepandaian tinggi ini. Namun
Adilangu masih juga mencari jalan, dan otaknya berputar keras agar bisa
lolos tanpa memeras keringat Kalau pun dia terpaksa bertarung, paling-paling
mati. Hanya itu yang ada dalam pikirannya. Baginya lebih baik mati daripada
harus menyerah begitu saja.
"He he he...," orang tua bertongkat ular kobra itu terkekeh. Dilangkahkan
kakinya pelan menghampiri pemuda di depannya.
"He! Mau apa kau...?!" sentak Adilangu bergegas mundur.
"Berikan itu padaku!" bentak orang tua itu keras dan dingin.
'Tidak! Ini hanya pakaianku saja. Tidak ada gunanya buatmu!"
"Heh! Jangan paksa aku untuk menggunakan kekerasan, bocah setan!" dengus
orang tua bertongkat ular kobra itu dingin.
Adilangu menelan ludah untuk ke sekian kalinya, sambil terus bergerak
mundur sambil mendekap buntalan kain erat-erat Matanya jelalatan mencari
jalan agar bisa lari dan terlepas dari orang tua berwajah bengis ini. Tapi,
tak ada jalan keluar untuknya. Di sebelah kiri jurang yang cukup dalam terus
menganga, siap menelan tubuhnya. Sedangkan di sebelah kanannya adalah
dinding batu cadas yang cukup tinggi, licin, dan berlumut tebal. Untuk
berbalik dan lari, rasanya tidak mungkin lagi. Orang tua ini pasti dengan
mudah bisa mengejar.
'He he he.... Kau tidak akan bisa lolos dariku, bocah! Jika masih sayang
nyawa, berikan itu padaku!" geram orang tua bertongkat ular kobra itu.
"Tidak!" sentak Adilangu keras.
"Bocah setan! Kau memaksaku bermain keras, heh...?!" geram orang itu.
Adilangu benar-benar nekat Dicabut pedangnya dan dilintangkan di depan
dada. Buntalan kain lusuhnya disampirkan di punggung, dan diikat kuat-kuat
Tak ada pilihan lain bagi Adilangu selain mencoba melawan semampunya.
Walaupun tindakannya ini mengandung resiko yang amat tinggi, tapi dia tidak
peduli. Mati lebih baik daripada harus menyerah dan mengkhianati
pamannya.
***
"Hih! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja orang tua bertongkat ular kobra itu berteriak keras sambil
melompat bagai kilat Tongkatnya dikibaskan ke arah kepala Adilangu. Secepat
itu pula Adilangu melompat mundur sambil menghentakkan pedangnya.
Trang!
"Akh...!" Adilangu terpekik keras.
Seluruh tangan kanannya bergetar hebat sedangkan pedangnya terlontar jauh
begitu membentur tongkat ular kobra itu. Dan sebelum Adilangu bisa menyadari
apa yang terjadi, mendadak saja satu tendangan keras mendarat di
dadanya.
Kembali pemuda itu berteriak keras, dan tubuhnya terpental deras ke
belakang. Punggungnya tertahan sebatang pohon cemara hingga tumbang Adilangu
bergulingan di tanah berbatu, dan hampir saja masuk ke dalam jurang kalau
saja tangan kurus orang tua itu tidak mencekal tangannya. Dan hanya sekali
hentak saja, pemuda itu kembali terpental menghantam dinding batu di tepi
jurang itu.
"Akh...!" lagi-lagi Adilangu memekik keras. Pemuda itu melorot turun.
Seluruh tulang-tulangnya terasa remuk. Adilangu berusaha.bangkit berdiri
sambil meringis menahan sakit, dan akhirnya berhasil berdiri meskipun dalam
keadaan limbung. Dia tidak tahu lagi, di mana pedangnya. Mungkin terjatuh ke
dalam jurang di sana. Sementara orang tua bertongkat ular kobra itu berdiri
tegak menatap tajam padanya. Dengan punggung merapat pada dinding batu,
Adilangu berusaha bergeser, walaupun seluruh tubuh nyeri dan kakinya
gemetar.
"Aku bisa saja membunuhmu semudah membalikkan telapak tangan, bocah!" ancam
orang bertongkat ular kobra itu mendesis.
"Phuih! Lebih baik aku mati daripada harus menyerah padamu!" balas Adilangu
nekad.
"Pilihan tolol!"
Mendadak saja dengan satu kecepatan luar biasa, orang tua bertongkat ular
kobra itu mengecutkan tongkatnya ke arah kepala Adilangu. Begitu cepatnya,
sehingga menimbulkan suara angin menderu bagai topan.
Adilangu terperangah dengan mata membelalak dan mulut ternganga lebar.
Rasanya tak mungkin lagi pemuda itu mengelakkan tongkat yang melayang deras
ke arahnya itu. Namun mendadak saja, begitu kepala tongkat hampir menghantam
kepalanya, sebuah bayangan berkelebat menahan tongkat itu Seketika tongkat
itu disentakkannya hingga terpental balik.
"Heh...?!" orang tua berjubah hitam itu terkejut
Kalau saja tongkatnya tidak cepat diputar, mungkin senjatanya itu sudah
terlepas dari tangannya. Hentakan bayangan itu demikian keras. Apalagi,
orang tua bertongkat ular kobra itu tidak mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya, karena begitu yakin kalau Adilangu akan tewas dalam sekali pukul
saja.
"Bayu...," desah Adilangu, begitu melihat seorang pemuda berbaju kulit
harimau tahu tahu sudah berdiri di depannya.
"Beludak edan...!" malu orang tua bertongkat ular kobra itu geram.
Tatapan matanya merah membara dan tajam sekali menusuk langsung bola mata
Pendekar Pulau Neraka. Sementara Adilangu buru-buru menyingkir dari tempat
itu. Kemunculan Bayu yang begitu tiba-tiba memberi harapan Adilangu untuk
bisa menyelamatkan kotak kayu yang menjadi tanggung jawabnya.
"Bocah gendeng! Siapa kau?!" bentak orang tua bertongkat hitam itu
gusar.
"Kau sendiri siapa, Orang Tua?" Bayu balas bertanya. "Monyet! Aku yang
tanya padamu!" bentak laki-laki tua bertongkat ular kobra itu garang.
"Aku juga bertanya padamu,' terang sekali suara Bayu membalikkan kata-kata
oranh tua itu.
"Phuih! Kau cari penyakit, bocah setan!"
Bayu hanya tersenyum saja. Digeser kakinya sedikit ke samping, kemudian
berpaling melirik Adilangu.
"Pergilah kau! Biar orang tua itu kuberi sedikit tata krama," kata Bayu
kalem.
"Oh, iya. Hati-hati, Bayu," sahut Adilangu.
Bergegas Adilangu berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Kesempatan yang
baik ini tidak ingin disia-siakan begitu saja. Sementara orang tua
bertongkat ular kobra itu jadi menggereng marah. Tiba-tiba saja dikibaskan
tangan kirinya ke arah Adilangu. Seketika itu juga sebuah benda bulat
berwarna hitam melesat dari tangannya.
Wusss!
"Adilangu, awas...!" seru Bayu keras.
Adilangu membalikkan tubuhnya. Tapi belum juga melakukan sesuatu, benda
hitam itu sudah menghantam dadanya.
"Aaa...!" Adilangu menjerit keras melengking. Tubuh pemuda itu terpental ke
belakang, dan ambruk keras sekali ke tanah berbatu. Darah mengucur deras
dari dada yang berlubang kecil sebesar ibu jari. Pemuda itu menggelepar
sambil merintih.
"Biadab...!" desis Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu melesat menghampiri Adilangu yang masih
menggelepar.
"Adilangu...."
"Bayu, tolong selamatkan benda ini. Berikan pada Rampita di Gunung
Cakal.... Akh!"
"Adilangu...!"
Tapi Adilangu sudah terkulai Dari mulutnya mengalir darah kental agak
kehitaman. Pemuda dari Padepokan Tongkat Sakti itu tewas setelah dadanya
tertembus benda hitam yang dilontarkan orang tua bertongkat ular kobra.
Pelahan Bayu bangkit berdiri Diperhatikannya tubuh Adilangu yang mulai
membiru,.kemudian berubah hitam. Pelahan-lahan tubuh anak muda itu membusuk,
lalu mencair bagai lilin terbakar. Bergegas Bayu mengambil buntalan kain,
dan mengikatkan ke bahu kirinya.
Seluruh tubuh Adilangu benar-benar mencair, dan yang tinggal hanya tulang
belulang teronggok. Pendekar Pulau Neraka mendesis. Diputar tubuhnya
menghadap orang tua bertongkat ular kobra yang terkekeh. Bayu menggeretakkan
rahangnya geram. Kekejaman orang tua itu membuat darahnya mendidih
seketika.
"Ha ha ha...! Nasibmu tidak akan jauh berbeda dengan monyet tolol itu, jika
berani menentang Sureng Rana si Kobra Hitam! Ha ha ha...!" orang tua
bertongkat itu tertawa tergelak-gelak.
Buat Pendekar Pulau Neraka tidak akan peduli dengan siapa berhadapan.
Baginya, yang penting kekejaman yang terjadi di depan matanya tidak bisa
didiamkan begitu saja. Dia lahir ke dunia ini memang ditakdirkan untuk
memberantas keangkaramurkaan.Darah Pendekar Pulau Neraka menggolak mendidih.
Gerahamnya bergemeletuk menahan geram.
Sementara laki-laki tua bertongkat hitam,yang mengaku bernama Sureng Rana
masih tertawa terbahak-bahak. Dia juga dikenal berjuluk si Kobra Hitam.
Suatu julukan yang bisa membuat orang merinding dan berpikir seribu kali
untuk menghadapinya. Tapi bagi Bayu tidak ada bedanya sama sekali, dan tidak
akan undur setapak pun.
"Anak Muda, aku yakin kau bukan dari Padepokan Tongkat Sakti. Lalu untuk
apa bersusah payah mencampuri urusan ini, heh?!" dengus Sureng Rana
dingin.
"Aku memang tidak ada hubungan dengan siapa saja. Tapi, kekejamanmu yang
membuatku tidak bisa berdiam diri!" balas Bayu tidak kalah dinginnya.
"Kau akan menyesal membela pengkhianat, Anak Muda!"
"Akan lebih menyesal lagi jika membiarkan kekejamanmu terus
berlangsung!"
"Phuih! Ternyata kepalamu keras juga, bocah! Tapi aku ingin tahu, apa
kepalamu juga sekeras batu itu!
Yeaaah...!"
Sureng Rana menghantamkan tongkatnya ke sebuah batu sebesar anak kerbau di
sampingnya. Ledakan terdengar dahsyat, dan seketika batu itu hancur
berkeping-keping. Melihat hal itu, Bayu hanya tersenyum tipis. Tak ada yang
aneh baginya jika hanya memecahkan sebongkah batu saja. Sambil tersenyum
mengejek, Pendekar Pulau Neraka itu menghampiri sebongkah batu yang lebih
besar dua kali lipat. Kemudian....
"Hiyaaa...!"
Sekali pukul saja batu itu hancur berantakan menimbulkan kepulan debu
membumbung tinggi ke angkasa. Sureng Rana sampai terlonjak dua langkah ke
belakang. Sungguh tidak disangka kalau pemuda berbaju dari kulit harimau itu
mampu menghancurkan sebongkah batu yang amat besar, hanya sekali pukul.
Bahkan dengan tangan kosong.
"Pertunjukan anak kecil!" dengus Sureng Rana mencoba menghilangkan
keterkejutannya.
"Jika kau ingin yang lebih besar, majulah!" tantang Bayu.
"Ha ha ha...!" Sureng Rana tertawa terbahak-bahak.
Begitu suara tawanya menghilang, secepat kilat laki-laki tua bertongkat
ular kobra itu melesat menerjang Bayu. Tongkatnya bergerak cepat menimbulkan
suara angin menderu-deru bagai topan. Saat itu juga Bayu mengegoskan
tubuhnya menghindari sabetan tongkat ular kobra itu. Tapi Pendekar Pulau
Neraka itu agak terkejut juga, karena tubuhnya hampir terpelanting terkena
angin tebasan itu.
Buru-buru Bayu melompat mundur tiga tindak. Tapi Sureng Rana kembali
menerjang ganas. Pendekar Pulau Neraka itu menghadapinya dengan jurus-jurus
pendek, namun gerakan kakinya begitu lincah. Itu pun masih diimbangi gerakan
tubuh yang meliuk-liuk lentur untuk menghindari setiap tebasan maupun
tusukan tongkat berbentuk ular kobra itu.
Jurus-jurus berlalu cepat. Pertarungan nampaknya masih akan berlanjut cukup
lama. Sampai sejauh ini Sureng Rana belum mampu mendesak pemuda itu. Dan
tentu saja hal ini membuatnya jadi geram bercampur heran. Belum pernah dia
berhadapan dengan seorang pemuda yang mampu menandinginya setelah lima jurus
dikerahkan. Secara jujur Sureng Rana mengakui ketangguhan Pendekar Pulau
Neraka ini. Laki-laki tua ini semakin penasaran, karena setelah lewat
sepuluh jurus belum juga berhasil mendesak lawannya.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Sureng Rana melompat ke belakang sejauh dua batang tombak.
Dihentakkan ujung tongkatnya ke tanah, tepat di ujung jari kakinya.
Pandangan matanya tajam menusuk dan bibirnya terkatup rapat Ditekan
tongkatnya ke tanah dengan kedua tangan di bagian kepala tongkat berbentuk
ular itu.
"Hm Kenapa berhenti, Orang Tua?" sinis nada suara Bayu.
"Siapa gurumu, bocah?" Sureng Rana balik bertanya dengan suara datar.
"Untuk apa kau tahu guruku? Kalau tidak sanggup menandingiku, pergilah!"
ketus sekali nada suara Bayu.
"Aku tidak akan membunuh orang sebelum kuketahui siapa orang itu!"
"Baiklah. Namaku Bayu, dan berasal dari Pulau Neraka. Dan kau tidak perlu
tahu siapa guruku. Jelas...!" tegas kata-kata Bayu.
"Lalu, mengapa kau membela orang-orang Padepokan tongkat Sakti?" tanya
Sureng Rana ingin tahu.
"Karena aku muak melihat kekejamanmu!" sahut Bayu dingin.
"Hmmm.... Ternyata kau belum tahu persoalannya, bocah. Sebaiknya jangan
ikut campur dalam masalah ini. Aku tidak ingin ada orang luar ikut campur.
Ini persoalan keluarga, bocah. Kutegaskan sekali lagi, ini persoalan
keluarga dan jangan membuang-buang tenaga percuma!" tegas sekali suara
Sureng Rana.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja.
Pendekar Pulau Neraka itu mengamati perawakan laki-laki tua berjubah hitam
yang menggenggam tongkat berbentuk ular kobra yang tengah mengembangkan
lehernya. Kemudian diliriknya Adilangu yang sudah menjadi seonggok kerangka.
Seluruh tubuh pemuda itu mencair dan lenyap merembes ke dalam tanah.
"Bocah! Apakah kau tahu apa yang ada di dalam buntalan kain itu?" Sureng
Rana menunjuk buntalan kain yang tersampir di pundak Bayu.
'Tidak," sahut Bayu terus terang.
"Buntalan itu berisi kotak kayu milikku yang dicuri Ketua Padepokan Tongkat
Sakti. Aku mencoba merebutnya kembali, tapi si bangsat Anom Sura
mempertahankannya. Tidak ada pilihan lain bagiku, kecuali membunuhnya. Tapi
kotak itu berhasil dilarikan Adilangu," jelas Sureng Rana memberitahu isi
buntalan kain yang ada pada Pendekar Pulau Neraka sekarang ini.
"Hm.... Adilangu sudah berpesan agar aku menyerahkan benda ini pada
pemiliknya. Tapi bukan kau, Orang Tua. Maaf," tegas Bayu.
"Dia bohong, Anak Muda!" geram Sureng Rana.
"Aku tidak mau tahu. Kau atau Adilangu yang bohong, itu urusan kalian!
Tapi, yang jelas, aku harus menyampaikan amanatnya dulu. Jika kau memang
ingin memilikinya, sebaiknya kau minta dan jelaskan pada pemiliknya nanti,"
kata Bayu tenang dan tegas terdengar.
Sureng Rana menggereng geram, tapi tidak punya pilihan lain lagi. Ucapan
seseorang yang menjelang ajal memang tidak mungkin bisa diganggu-gugat lagi.
Orang lebih percaya pada kata-kata orang menjelang ajal daripada yang masih
hidup sehat. Meskipun kata-kata menjelang ajal bisa juga mengakibatkan
malapetaka.
"Baiklah, bocah. Berikan saja benda itu pada pemiliknya. Dan aku akan
memintanya kembali, karena benda itu sebenarnya memang milikku!" kata Sureng
Rana.
"Bagus!" sambut Bayu tersenyum. Tanpa berkata apa-apa lagi, Pendekar Pulau
Neraka itu berbalik dan melangkah tenang meninggalkan laki-laki tua
bertongkat ular kobra. Sementara Sureng Rana sendiri masih berdiri tegak
memandangi punggung pemuda berbaju kulit harimau itu.
"Hhh...! Aku harus menggunakan akal. Berbahaya sekali kalau anak muda itu
ikut campur. Kepandaiannya sangat tinggi. Sukar rasanya bagiku untuk
menandinginya," keluh Sureng Rana dalam hati.
***
TIGA
Bayu memandangi Gunung Cakal yang berdiri angkuh dengan puncaknya yang
tertutup kabut tebal nampak seperti menantang langit Udara di sekitar gunung
ini sejuk sekali, bahkan bisa dikatakan dingin. Sepanjang mata memandang
hanya kehijauan yang tampak. Hampir seluruh permukaan tanahnya ditumbuhi
pepohonan yang rapat Gunung Cakal bagai tak pernah terjamah kaki-kaki
manusia. Pelahan-lahan Bayu mengayunkan kakinya mendaki Lereng Gunung Cakal.
Sesekali tubuhnya bergeletar merasakan angin dingin berhembus menerpa
tubuhnya. Saat ini senja sudah mulai turun, matahari hampir tenggelam di
balik cakrawala belahan Barat.
Udara begitu dingin menggigilkan. Entah kalau malam hari, mungkin tak akan
sanggup bertahan tanpa penghangat. Namun Pendekar Pulau Neraka itu terus
mengayunkan kakinya melangkah tanpa menghiraukan dingin yang semakin
menggigilkan.
"Hmmm..., tempat yang cocok untuk melatih ilmu olah kanuragan," gumam Bayu
dalam hati.
Sambil terus berjalan, Pendekar Pulau Neraka itu melatih pengerahan hawa
murni. Udara dingin seperti ini memang sangat cocok untuk melatih kekuatan
yang berpusat di dalam tubuh. Bayu merasakan ayunan kakinya begitu ringan,
bahkan sepertinya tidak menjejak tanah. Tak ada suara sedikit pun terdengar
setiap kali kakinya terayun melangkah. Semakin tinggi hawa murni dan tenaga
dalam yang dikerahkan, semakin ringan tubuhnya. Bahkan Bayu jadi khawatir
kalau-kalau akan terbawa angin seperti daun kering.
Tanpa terasa, Pendekar Pulau Neraka itu tiba di Puncak Gunung Cakal. Ilmu
tenaga dalam yang dikerahkan membuat pemuda berbaju kulit harimau itu tidak
merasa kalau baru saja habis mendaki sebuah gunung yang sangat tinggi.
Gunung yang seluruh puncaknya terselimut kabut tebal. Bahkan juga tertimbun
salju abadi yang tak akan cair sepanjang jaman. Hawa di puncak gunung ini
demikian dingin, seakan-akan hendak membekukan tubuh Pendekar Pulau Neraka
itu. Kalau saja tidak mengerahkan hawa murni, mungkin sudah sejak tadi Bayu
mati kaku.
Bayu mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sepanjang mata memandang,
hanya salju dan pohon-pohon cemara yang terlihat. Seluruh permukaan puncak
gunung ini bagai terselimut gumpalan kapas putih yang hampir membenam kaki
pemuda berbaju kulit harimau itu. Keraguan mulai mengganggu Pendekar Pulau
Neraka. Semakin jauh melintasi puncak gunung ini, semakin sulit kakinya
terayun. Bayu seperti berjalan di dalam lautan lumpur, namun dingin
membekukan. Seluruh tubuhnya tak lagi terasa hangat, bahkan aliran darahnya
terasa membeku.
"Hmmm..., rasanya tidak mungkin ada orang yang hidup di sini," gumam Bayu
dalam hati.
Meskipun hati diliputi keraguan, namun Pendekar Pulau Neraka itu tetap
mengayunkan langkahnya. Padahal langkahnya semakin sulit saja diayunkan.
Permukaan salju di puncak gunung ini bertambah tebal. Kedua kakinya hampir
terbenam melewati lutut. Sedangkan hawa dingin semakin terasa membekukan
tulang Namun Bayu terus berjalan dengan mata menerawang jauh.
Sementara malam sudah jatuh, dan seluruh alam terselimut kegelapan. Semakin
sukar bagi Bayu untuk terus berjalan. Tapi tidak mungkin lagi untuk kembali,
karena sudah sampai lebih dari setengah perjalanan. Pendekar Pulau Neraka
seperti terjebak di dalam kubangan lumpur salju. Kalau saja pengerahan hawa
murninya belum mencapai taraf kesempurnaan, tidak akan mungkin mampu
bertahan. Tapi hati pemuda berbaju kulit harimau itu ragu pada keadaan alam
yang tidak ramah ini.
"Uh, dinginnya...," keluh Bayu menggigil. Semakin jauh berjalan, semakin
sukar ditempuh perjalanan ini. Selain udara yang begitu dingin, salju sudah
membenam sampai ke paha. Bayu tidak tahu lagi, apakah kakinya sudah membeku.
Karena kakinya terasakan sukar sekali digerakkan. Pendekar Pulau Neraka itu
mendongakkan kepala. Tampak gumpalan-gumpalan salju turun bagai kapas putih
melayang ditebarkan dari langit. Sementara angin semakin bertiup kencang,
dan udara pun semakin terasa dingin membekukan tulang
"Uh! Aku tidak bisa bertahan di sini terus!" dengus Bayu.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengedarkan pandangannya ke sekeliling.
Sudah sangat jarang pepohonan yang ada. Kalau pun ada, hanya pohon cemara.
Itu pun jaraknya sangat berjauhan. Pendekar Pulau Neraka itu menatap
sebatang pohon cemara yang tidak jauh di depannya. Dalam jarak yang cukup
jauh lagi, masih ada sebatang pohon cemara tua.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu mengerahkan seluruh tenaga dalamnya. Dan seketika itu juga, dikerahkan
ilmu meringankan tubuhnya. Bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melesat
keluar dari timbunan salju yang semakin menebal. Pemuda berbaju kulit
harimau itu meluruk deras, dan hinggap di pohon cemara tua. Hampir saja
pohon itu tumbang menahan berat badannya, kalau saja tidak buru-buru
mengerahkan ilmu meringankan tubuh. Namun begitu pohon cemara yang sudah tua
ini masih juga bergoyang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Kembali Bayu melentingkan tubuhnya menembus hujan salju. Bagai seekor
burung elang, pemuda itu meluruk deras berputaran beberapa kali di udara
sebelum kembali hinggap di pohon cemara satunya lagi. Dengan sebelah tangan,
dipeluknya batang pohon itu. Diedarkan pandangannya berkeliling. Hatinya
menggerutu. Karena sepanjang mata, yang terlihat hanya gumpalan putih bagai
tak bertepi Dia tidak tahu, berapa luasnya Puncak Gunung Cakal ini. Sungguh
tidak disangka kalau akan menemukan keadaan alam yang sangat ganjil dan baru
pertama kali ini dialami. Untunglah, kini matanya melihat sesuatu.
"Hm..., tampaknya ada gua di sana," gumam Bayu pelan.
Tanpa menunggu waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka itu melentingkan tubuhnya
melesat menuju mulut gua yang dilihatnya. Bayu tidak mau mengambil resiko
lagi, dan terus berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya. Dan dalam
waktu tidak berapa lama saja, Pendekar Pulau Neraka sudah tiba di depan
sebuah mulut gua kecil yang hampir tertutup salju. Disibakkan mulut gua itu,
lalu merangkak masuk ke dalam. Dingin sekali udara di dalam gua ini
Sambil meraba-raba dinding gua, Pendekar Pulau Neraka itu terus berjalan
masuk lebih ke dalam. Atap gua ini cukup tinggi, sehingga bisa berdiri tegak
tanpa takut kepalanya terantuk batu. Bayu terus berjalan sambil merayap
meraba-raba dinding gua. Sungguh tidak disangka kalau gua yang kelihatan
kecil ini ternyata sangat panjang, dan keadaannya juga lapang. Udara di
dalam gua ini cukup dingin, tapi tidak sedingin di luar sana.
"Uh! Sebaiknya aku bermalam dulu di sini. Hmmm..., banyak ranting kering di
sini," gumam Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu mengumpulkan ranting kering yang banyak
berserakan di sekitar lantai gua. Kemudian dinyalakanlah api menggunakan dua
buah batu yang dibentur-benturkan. Percikan bunga api membakar
ranting-ranting kering itu. Keadaan gua yang gelap jadi terang oleh cahaya
api. Bayu duduk bersila di dekat api itu.
"Hhh..., lumayan...," desahnya sambil menggosok-gosok kedua telapak
tangannya.
***
"Grrr...!"
"Eh...!" Bayu tersentak kaget. Baru saja akan merebahkan diri, mendadak
terdengar suara menggereng, hingga membuat seluruh dinding gua ini bergetar.
Bayu buru-buru melompat bangkit berdiri. Matanya menatap lorong gua yang
panjang dan gelap. Cahaya api tidak mampu menerangi seluruh gua ini.
"Ghrrr...!"
"Hmmm...," Bayu menggumam begitu mendengar gerengan sekali lagi. Dan belum
sempat Pendekar Pulau Neraka itu berpikir jauh, tiba-tiba saja muncul
sesosok tubuh besar berwarna putih. Bayu terlonjak ke belakang beberapa
tindak. Hatinya terkejut bukan main melihat sesosok makhluk berbulu serba
putih dengan bentuk kepala seperti anjing. Tapi makhluk itu demikian besar,
dan sepasang bola matanya merah menatap liar.
"Beruang...?!" desis Bayu sambil melangkah mundur pelahan.
Belum pernah Bayu melihat beruang begini besar yang seluruh bulunya
berwarna putih bagai kapas. Beberapa kali Pendekar Pulau Neraka melihat
beruang, tapi tidak pernah yang seperti ini. Kaki pemuda berbaju kulit
harimau itu terus bergerak mundur, dan beruang putih itu terus bergerak maju
sambil menggerung-gerung memperlihatkan baris-baris gigi yang bertaring
tajam.
"Ghrauughk...!"
Beruang putih itu menggerung keras, membuat seluruh dinding gua bergetar
bagai hendak runtuh. Bahkan batu-batu di langit langit gua mulai berjatuhan.
Bayu melompat ke belakang sejauh dua batang tombak, dan hampir mencapai
mulut gua yang sedikit lagi tertutup salju tebal. Angin dingin menerpa
kencang punggungnya. Sementara beruang putih itu semakin mendekat sambil
menggerung-gerung memperlihatkan taring giginya.
"Maaf, aku tidak tahu kalau ini tempatmu," ucap Bayu mencoba
berdamai.
Tapi beruang putih itu malah menggeram keras menggetarkan. Mulutnya terbuka
lebar, memamerkan taring-taring giginya yang tajam bersembulan keluar. Bayu
menelan ludahnya yang terasa pahit. Binatang liar ini tidak mungkin bisa
diajak berdamai lagi. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka itu melakukan
sesuatu, mendadak saja....
"Ghrauuughk..!"
Bagai kilat beruang putih itu melompat menerjang.
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu tak punya pilihan lain lagi, dan langsung melesat keluar gua.
Diterjangnya gumpalan salju dan dinginnya udara yang membekukan tulang. Dua
kali Pendekar Pulau Neraka itu berjumpalitan di udara, kemudian manis sekali
hinggap di salah satu dahan pohon yang tidak seberapa jauh di depan mulut
gua.
"Ghraughk..!"
"Edan!" dengus Bayu.
Salju di sekitar mulut gua berhamburan diterjang beruang putih raksasa itu.
Bayu sampai ternganga takjub. Kedua matanya membeliak lebar begitu melihat
beruang putih itu berdiri sambil menggerung-gerung liar menggapai-gapaikan
tangannya. Sungguh tidak disangka, ternyata beruang itu tingginya hampir
menyamai pohon cemara. Dan sebelum Bayu bisa berpikir panjang, tiba-tiba
saja kuku-kuku binatang liar itu menyampok pohon tempat Bayu berada.
Prak!
"Hiyaaa...!"
Tepat saat pohon itu hancur, Bayu melentingkan tubuhnya. Tiga kali tubuhnya
berputaran di udara sebelum mendarat ringan di atas salju. Dengan
mempergunakan ilmu meringankan tubuh, Pendekar Pulau Neraka itu bisa berdiri
tegak di atas permukaan salju. Tak sedikit pun kakinya tenggelam. Kekaguman
masih meliputi wajahnya terhadap binatang raksasa itu.
"Sayang sekali kalau binatang langka ini harus mati," gumam Bayu dalam
hati.
Tapi jalan pikiran Pendekar Pulau Neraka itu belum sampai jauh, karena
beruang putih raksasa itu sudah kembali menerjang ganas. Terpaksa Bayu hanya
bisa berlompatan menghindari setiap terkaman binatang itu. Udara dingin
tidak lagi dihiraukan. Pikirannya tertuju penuh pada binatang raksasa liar
ini. Sepertinya beruang putih ini tidak mengenal putus asa, meskipun setiap
kali terkamannya tidak mengenai sasaran. Bahkan pohon-pohon yang terkena
terjangannya langsung hancur berkeping-keping. Bayu semakin kagum akan
kekuatan tenaga binatang putih ini.
"Ayo, serang terus. Aku ingin tahu, sampai di mana kekuatanmu!" tantang
Bayu.
"Ghraughk...!"
Beruang putih yang seperti mengerti tantangan Pendekar Pulau Neraka,
langsung meraung keras dan terus menerjang semakin ganas. Sedangkan Bayu
sengaja mempermainkan, dan hanya berlompatan menghindar tanpa membalas satu
kali pun. Ingin diketahui, sampai di mana kekuatan tenaga beruang putih itu.
Dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuh, tak ada masalah bagi Bayu,
meskipun udara dingin dan angin berhembus kencang. Salju lunak yang tebal
tidak menjadikan halangan berarti baginya. Gerakannya tetap lincah, bahkan
sering kali mengecoh binatang putih ini.
"Ha ha ha...! Kau mulai lemas, Sobat!" Bayu kesenangan melihat beruang
putih itu mulai melemah. Bahkan gerangannya tidak sedahsyat tadi. Bayu
memandangi beruang putih itu yang kini diam sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. Walaupun masih menggerung, tapi terdengar pelan, tak lagi keras
seperti semula.
"Ayo, Sobat Serang aku...!" tantang Bayu seraya berkacak pinggang.
Tapi beruang putih itu malah mendekam, memperdengarkan gerangan lirih.
Sedikit pun tidak dipedulikannya pemuda berbaju kulit harimau itu lagi.
Binatang itu hanya mencakar cakar salju di depannya. Melihat sikap beruang
putih itu, Bayu jadi bingung. Keningnya berkerut memperhatikan binatang
raksasa berbulu putih bersih bagai kapas itu. Pelahan Bayu bergerak
mendekati, tapi beruang itu tetap saja diam tak bergeming.
"Kenapa, Sobat? Takut...?" ejek Bayu.
"Dia tidak takut!"
"Heh...?!"
***
Bayu terkejut bukan main ketika tiba-tiba terdengar suara lembut dari arah
gua. Pendekar Pulau Neraka itu langsung memandang ke arah mulut gua, dan
semakin terperanjat begitu melihat di sana sudah berdiri seorang gadis
berbaju putih bersih bagai salju. Pakaiannya sangat ketat, sehingga
membentuk tubuhnya yang ramping dan indah. Kulitnya juga putih dengan kedua
pipi kemerahan bagai sepasang tomat ranum.
Bayu sampai tidak berkedip memandangi gadis itu. Seorang gadis yang
demikian cantik, seakan-akan bagai dewi yang baru turun dari kahyangan.
Gadis itu menjentikkan ujung jarinya. Dan sungguh aneh bin ajaib. Beruang
putih yang tingginya hampir menyamai pohon cemara itu seketika menggerung,
lalu dengan malas bangkit dan melangkah masuk ke dalam gua. Sebentar
binatang itu menoleh memandang Bayu, kemudian terus melangkah masuk ke dalam
gua.
Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa memahami, gadis cantik itu
mengangkat kedua tangannya ke atas tinggi-tinggi Seketika dihentakkan
tangannya ke bawah setengah merentang. Dan pelahan-lahan telapak tangannya
dirapatkan ke depan dada.
"Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja gadis itu merentangkan tangannya ke samping. Dan dalam
sekejap saja angin berhenti berhembus, dan keajaiban pun terjadi. Semua
salju dipermukaan Gunung Cakal ini tiba-tiba saja lenyap. Dan seluruh
permukaan tanah kini ditumbuhi rerumputan hijau. Bayu jadi tercengang.
Dipandanginya gadis cantik yang masih berdiri di depan mulut gua. Dia
melipat kedua tangannya di depan dada.
"Hebat..,", puji Bayu tanpa sadar. Seketika saja pujian terlontar dari
mulutnya.
"Apa maksudmu datang ke sini?" tanya gadis cantik berbaju putih itu dingin,
sedingin tatapan matanya.
"Oh! Eh..., aku mencari seseorang," sahut Bayu agak tergagap.
"Apa kau tidak tahu kalau daerah ini sangat terlarang? Sebaiknya segera
angkat kaki dari sini sebelum sahabatku melumat tubuhmu!" ujar gadis itu
setengah mengancam.
"Maaf. Sungguh aku tidak tahu. Tapi aku mendapat amanat untuk menemui
seseorang di sini," kata Bayu sopan.
"Orang yang kau cari tidak ada di sini. Sebaiknya cepat pergi!"
Bayu mengangkat bahunya. Tapi belum juga berbalik, terlintas satu pikiran
di benaknya.
"Apa lagi yang kau tunggu?" sentak gadis itu ketus.
"Maaf, boleh bertanya?" pinta Bayu ramah.
"Katakan, sebelum aku berubah pikiran untuk membunuhmu!"
"Apakah ada orang yang tinggal di sekitar Gunung Cakal ini?" tanya Bayu
memanfaatkan kesempatan yang sedikit ini.
"Tidak!" sahut gadis itu singkat.
'Terima kasih."
Bayu langsung membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi.
"Huh! Tidak ada orang lain di sini. Sebaiknya aku kembali saja ke Padepokan
Tongkat Sakti!" dengus Bayu tanpa menghentikan ayunan kakinya.
"He! Tunggu...!" sentak gadis itu tiba-tiba.
Bayu menghentikan langkahnya, lalu berbalik menghadap ke arah gadis berbaju
putih itu kembali.
"Kau tadi bilang apa?" tanya gadis itu.
'Tidak. Aku hanya bicara sendiri," jawab Bayu. "Kalau tidak salah, kau tadi
menyebut-nyebut Padepokan Tongkat Sakti. Apakah kau berasal dari
sana?"
"Bukan. Bahkan aku sendiri tidak tahu tentang Padepokan Tongkat
Sakti."
"Kisanak, aku belum tuli dan mendengar jelas kalau kau ingin kembali ke
Padepokan Tongkat Sakti!" agak ketus nada suara gadis itu. "Katakan yang
sebenarnya, apa maksudmu datang ke sini?"
Bayu tidak langsung menyahuti. Diangkat bahunya dan diperhatikannya gadis
itu dari ujung kepala sampai ke ujung kaki. Pendekar Pulau Neraka itu jadi
teringat akan pesan Adilangu menjelang ajal. Kotak kayu yang berada di dalam
buntalan kain ini harus diberikan pada seseorang yang tinggal di Gunung
Cakal. Dia memang tidak tahu siapa orangnya, kecuali namanya saja.
"Kisanak! Jika kau memang berasal dari Padepokan Tongkat Sakti, kau pasti
hendak menemuiku," tegas gadis itu lagi.
"Hmmm...," Bayu hanya menggumam saja, dan belum mau percaya begitu saja
pada kata kata gadis ini.
"Atau kau hanya seorang utusan saja Katakan, apa yang kau bawa dari
Padepokan Tongkat Sakti?" desak gadis itu.
Bayu masih belum membuka mulut, dan malah semakin tajam memperhatikan gadis
ini. Sedangkan gadis berbaju putih itu semakin penasaran karena pemuda di
depannya belum juga mau menjawab setiap pertanyaannya. Sorot matanya
mencerminkan ketidaksabaran. Tapi tampaknya gadis itu masih berusaha menahan
diri.
"Nisanak, apakah kau yang bernama Rampita?" Bayu malah bertanya.
Entah kenapa, tiba-tiba saja gadis itu tertawa renyah. Begitu lepasnya
sehingga baris-baris gigi yang putih rapi terlihat jelas. Bayu sampai
menelan ludahnya memandangi kecantikan gadis di depannya ini. Begitu cantik
dan sempurnanya, seakan-akan tanpa cacat sedikit pun.
***
Bayu mengayunkan kakinya mengikuti langkah gadis itu yang masuk ke dalam
gua. Kalau saja gadis itu tidak memberi isyarat agar mengikutinya, Pendekar
Pulau Neraka itu tidak akan ikut masuk kembali ke dalam gua. Bukannya takut
bertemu lagi beruang putih raksasa itu, tapi tidak ingin mencelakakan
binatang cantik yang liar itu.
Bayu melangkah di belakang gadis itu. Diperhatikannya setiap relung gua
ini. Sebuah gua yang cukup panjang dan berliku. Bahkan banyak cabang yang
bisa membuatnya bingung jika harus keluar lagi seorang diri. Sepanjang
lorong yang dilewati bentuknya serupa, bahkan sukar dicari
perbedaannya.
Mereka berhenti melangkah setelah tiba disuatu rongga yang cukup luas dan
diterangi beberapa obor yang terpancang di setiap sudut. Ada sekitar lima
mulut cabang gua di dalam sini, dan keadaannya serupa persis. Bahkan yang
dilewatinya juga sama persis baik ukuran maupun bentuknya. Bayu menatap
sebuah batu pipih yang terletak di bagian tengah ruangan ini. Sementara
gadis itu lalu duduk di atas batu itu. Ditatap dan dipersilakannya Pendekar
Pulau Neraka itu agar duduk di sebuah batu yang terletak tidak jauh di
samping mulut gua yang tadi dilaluinya. Bayu kemudian duduk bersila di
sana.
"Kisanak Jika kau mencari Rampita, maka kini sudah bertemu orangnya," tegas
gadis itu lembut.
"Kau, Rampita...?" Bayu ingin menegaskan. "Benar. Aku Rampita."
"Bagaimana bisa kupercayai kalau kau benar-benar Rampita," Bayu meminta
bukti.
"Jika kau memang utusan Padepokan Tongkat Sakti, kau pasti kenal ayahku,"
tegas Rampita lagi.
Bayu hanya diam saja. Sebenarnya dia tidak tahu tentang Padepokan Tongkat
Sakti, tapi harus berpura-pura tahu untuk meyakinkan diri kalau gadis itu
memang benar Rampita.
"Padepokan Tongkat Sakti letaknya tidak jauh dari Lembah Bunga. Ayahku
bernama Anom Sura, Ketua Padepokan Tongkat Sakti. Nah, apakah sudah yakin
sekarang?"
"Kau tahu, kenapa aku datang ke sini?" tanya Bayu.
'Tidak," sahut Rampita.
Bayu kembali terdiam. Waktu itu dia hanya bertemu Adilangu. Dan menjelang
ajalnya, Adilangu hanya memberikan satu kalimat tanpa penjelasan rinci. Tapi
dari nada suaranya,Bayu bisa memastikan kalau Adilangu ingin menyerahkan
kotak kayu tanpa pemberitahuan lebih dahulu.
Pendekar Pulau Neraka itu melepaskan ikatan buntalan kain di bahu, lalu
meletakkan benda itu didepannya. Sementara Rampita hanya memandangi! saja
tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Terus terang, aku bukan dari Padepokan Tongkat Sakti. Dan aku sendiri
tidak tahu, di mana Padepokan Tongkat Sakti itu," kata Bayu.
"Lalu, mengapa kau ingin bertemu denganku?' tanya Rampita.
Bayu langsung menceritakan perjalanannya. Dari pertemuannya dengan
Adilangu, hingga pemuda itu tewas di tangan laki-laki tua berjubah hitam
yang mengaku bernama Sureng Rana atau berjuluk si Kobra Hitam. Sedikit pun
Pendekar Pulau Neraka itu tidak mengurangi atau melebihkan ceritanya.
Sementara Rampita hanya diam mendengarkan sampai pemuda berbaju kulit
harimau itu menyelesaikan ceritanya. Untuk sementara keheningan menyelimuti
mereka berdua.
"Pasti telah terjadi sesuatu, sehingga Ayah harus memberikan kotak pusaka
itu padaku," ujar Rampita memecahkan keheningan.
Rampita turun dari atas batu yang didudukinya, kemudian berjalan
menghampiri Bayu dan membungkuk mengambil buntalan kain di depan Pendekar
Pulau Neraka itu. Gadis itu kemudian berbalik sambil membawa buntalan kain
itu dan duduk kembali di tempatnya.
Hati-hati sekali gadis itu membuka ikatan kain. Dikeluarkannya sebuah kotak
kayu berukir yang sudah kelihatan tua, namun warnanya belum pudar. Rampita
tersenyum begitu membuka tutup kotak kayu itu, kemudian menutupnya kembali
dan meletakkan di sampingnya. Ditatapnya pemuda berbaju kulit harimau di
depannya.
"Kau tahu apa isi kotak kayu ini?" tanya Rampita.
"Tidak. Aku tidak membukanya sama sekali," jawab Bayu jujur.
"Hmmm..., sejak tadi aku belum mengetahui namamu. Siapa namamu?"
"Bayu."
"Ke mana tujuanmu setelah ini?" tanya Rampita lagi.
"Tidak ada tujuan. Aku pergi ke mana saja aku suka, mengikuti langkah
kakiku."
"Baiklah. Aku berterima kasih karena kau sudah bersusah payah mengantarkan
benda ini. Sebaiknya besok siang saja kau lanjutkan perjalananmu. Dan kau
boleh menginap di sini, tapi tempatnya tidak layak."
"Terima kasih, ini sudah lebih dari cukup." "Hmmm...," Rampita tersenyum
manis.
***
EMPAT
Pagi-pagi sekali Bayu sudah meninggalkan gua diPuncak Gunung Cakal. Sungguh
aneh sekali! Puncak gunung ini kini tidak ada salju sedikit pun, tidak
seperti kemarin. Tapi Bayu tidak ambil peduli. Bergegas ditinggalkannya
tempat itu sambil mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya. Sementara gadis
cantik berbaju putih ketat yang mengaku bernama Rampita mengantarkan sampai
di depan mulut gua.
Gadis itu mengangkat tangannya tinggi tinggi ke atas setelah bayangan tubuh
Pendekar Pulau Neraka itu tidak terlihat lagi. Dan ketika jari-jari
tangannya menjentik, mendadak saja bertiup angin kencang. Seketika seluruh
puncak gunung ini berselimut kabut. Tak berapa lama saja, dari langit
berhamburan benda-benda putih yang halus bagai kapas.
Dalam waktu tidak berapa lama, seluruh permukaan tanah di Puncak Gunung
Cakal ini sudah terselimut salju. Sepanjang mata memandang hanya warna putih
yang teriihat, bagai berada di ladang kapas yang sangat luas. Gadis itu
menyunggingkan senyum, kemudian memutar tubuhnya dan melangkah masuk ke
dalam gua.
Dengan langkah yang sangat ringan, gadis yang mengaku bernama Rampita itu
berjalan menyusuri gua tempat tinggalnya. Ayunan kakinya ringan sekali,
namun terlihat cepat Karena telah sangat hafal dengan liku-liku gua ini.
Maka dalam waktu tidak berapa lama saja dia sudah tiba di ruangan yang cukup
luas dan diterangi cahaya api obor yang tidak kunjung padam. Gadis itu duduk
kembali di batu pipih berwarna putih berkilat Diambil kotak kayu berukir dan
dibuka tutupnya.
"Huh! Pasti pemuda itu yang mengambilnya!" dengus Rampita sambil menutup
kotak itu.
Seketika dilemparkannya kotak itu, hingga hancur berkeping-keping begitu
menghantam dinding gua. Wajah gadis itu memerah, dan bibirnya terkatup
rapat. Gerahamnya bergemeletuk seakan menahan kemarahan. Matanya tajam
memandangi kotak kayu berukir yang sudah hancur berkeping-keping. Kini
tinggal kayu-kayu saja, tanpa ada satu benda lain.
Plok! Plok! Plok!
Tiga kali gadis itu menepuk tangan, maka tidak lama kemudian dari
mulut-mulut lorong gua bermunculan sekitar sepuluh orang wanita berpakaian
putih-putih. Di pinggang mereka melilit sehelai selendang berwarna biru. Di
punggung masing-masing tersampir sebilah pedang. Gadis-gadis itu berkumpul
dan duduk bersila di depan Rampita.
"Dengar! Aku tidak akan banyak bicara. Hari ini juga kalian turun gunung
dan bunuh laki laki bernama Bayu! Dia mengenakan baju kulit harimau, tanpa
membawa senjata apa pun juga. Kalian jangan banyak tanya. Bunuh saja
laki-laki itu dan hancurkan Padepokan Tongkat Sakti. Paham...!" tegas nada
suara Rampita.
"Paham, Gusti Ayu...," sahut sepuluh gadis itu serempak.
"Berangkatlah sekarang!"
Tanpa ada yang membantah, sepuluh gadis berbaju putih itu bergegas pergi.
Sedangkan Rampita masih tetap duduk di atas batu pipih. Ditariknya napas
panjang setelah sepuluh orang gadis itu tidak terlihat lagi
"Beruang Putih, kemarilah!" seru Rampita keras. "Grhauuughk...!"
Bersamaan terdengarnya gerungan keras, dari sebuah mulut gua di depan gadis
itu muncul seekor beruang berbulu putih bagai kapas. Binatang bertubuh besar
yang tingginya hampir menyamai pohon cemara itu mendekam di depan Rampita.
Suara genangannya terdengar pelan, bahkan bisa dikatakan lirih.
"Sudah saatnya kita hancurkan Padepokan Tongkat Sakti, Beruang Putih,"
tegas Rampita seraya bergerak turun dari atas batu.
"Ghrrr...!" beruang putih hanya menggerung pelan.
"Ayo!"
Sekali lesatan saja, Rampita sudah duduk di punggung binatang raksasa itu.
Kemudian beruang putih itu melompat meninggalkan tempat itu. Sungguh.cepat,
bagai kilat. Dalam sekejap saja, binatang itu sudah lenyap di lorong gua
menuju keluar.
Sementara itu Bayu baru saja sampai di Kaki Gunung Cakal. Pendekar Pulau
Neraka itu menghenyakkan tubuhnya duduk di bawah sebatang pohon yang cukup
rindang, sehingga melindungi dirinya dari sengatan cahaya matahari. Angin
berhembus lembut, membuat kelopak mata Pendekar Pulau Neraka itu terasa
berat. Kepalanya terangguk menahan rasa kantuk yang tiba-tiba menyerang
dahsyat.
"Oaaah..., kenapa berat sekali mataku ini," keluh Bayu seraya
menggosok-gosok matanya. Bayu menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba
mengusir rasa kantuk yang menyerang begitu dahsyat. Rasanya kantuknya tidak
kuat lagi ditahan. Baru kali ini Pendekar Pulau Neraka mengalami kantuk
demikian hebat. Padahal, semalaman dia tidur nyenyak dalam kehangatan
gua.
"Uh! Aku merasa ada kelainan...," dengus Bayu. Mendapat pikiran demikian,
Pendekar Pulau Neraka itu langsung saja menggerak gerakkan tangannya di
depan dada. Kemudian diletakkan kedua tangannya di depan dada dengan tangan
kanan berada di tangan kiri. Punggung telapak tangan menyatu rapat dan jari
telunjuk mengacung ke atas.
"Ufh! Hsss...!" Bayu mengatur jalan napasnya. Pelahan namun pasti, Pendekar
Pulau Neraka itu menyalurkan hawa murni ke seluruh urat syaraf. Dan
perasaannya semakin yakin kalau ada yang tidak beres di tempat ini.
Dirasakan adanya suatu perlawanan halus yang hampir tidak terasakan.
"Ilmu 'Sirep'...," desis,Bayu bisa mengenali adanya penyebaran suatu ilmu
di sekitarnya. Pendekar Pulau Neraka itu menolehkan kepalanya ke kanan, dan
tiba-tiba saja dihentakkan kedua tangannya ke samping kanan.
"Hiyaaa...!"
Satu hembusan angin keras muncul dari telapak tangan pemuda berbaju kulit
harimau itu. Dan seketika itu juga sebatang pohon yang cukup besar tumbang
terhantam pukulan jarak jauh yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka.
Tepat saat pohon itu tumbang, berkelebat satu bayangan putih ke angkasa.
Dan begitu Bayu melompat berdiri, dari balik pohon dan semak belukar
bermunculan gadis-gadis berbaju putih mengenakan selendang biru pada
pinggangnya. Gadis-gadis berwajah cantik itu langsung bergerak
mengepung.
"Hmmm..., siapa kalian?" tanya Bayu seraya mengamati sepuluh gadis cantik
yang kini sudah mengepungnya.
"Jangan banyak omong! Seraaang...!" salah seorang gadis berseru
keras.
"Hiyaaa! Yeaaah...!"
Seketika itu juga gadis cantik berbaju putih yang berjumlah sepuluh orang
itu berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka. Begitu cepat dan tiba-tiba
sekali, sehingga Bayu tidak sempat lagi menghalau. Bergegas diegoskan
tubuhnya ketika salah seorang yang berada di depan melontarkan satu pukulan
keras bertenaga dalam tinggi.
Dan belum juga pemuda berbaju kulit harimau itu bisa menarik pulang
tubuhnya, datang lagi serangan dari arah kiri. Terpaksa Pendekar Pulau
Neraka melompat ke belakang menghindari pukulan keras itu. Dan pada saat
yang hampir bersamaan, seorang gadis yang berada di belakangnya melontarkan
tendangan keras menggeledek Kali ini Bayu tak sempat lagi berkelit
Bughk!
"Ugh...!" Bayu melenguh pendek. Pendekar Pulau Neraka itu terhuyung ke
depan. Pada saat itu satu pukulan kembali datang dari arah depan. Dan Bayu
hanya bisa terpekik saat pukulan keras bertenaga dalam cukup tinggi itu
menghantam telak dadanya. Tak ampun lagi, tubuh Pendekar Pulau Neraka itu
terjungkal keras ke belakang, hingga bergulingan ditanah.
"Edan...!" dengus Bayu memalu. Belum juga Pendekar Pulau Neraka itu bisa
bangkit berdiri, salah seorang lawan sudah menghunus pedang dan membabatkan
ke tubuhnya. Terpaksa Bayu harus bergulingan di tanah menghindari tebasan
pedang itu. Pendekar Pulau Neraka benar-benar kewalahan, karena tidak diberi
kesempatan sama sekali untuk bangkit berdiri. Hunjaman pedang datang silih
berganti bagai hujan mengurung tubuhnya, sehingga terpaksa harus
bergelimpangan menghindar.
"Keparat! Hih...!"
Darah Pendekar Pulau Neraka itu langsung mendidih. Tepat ketika sebatang
pedang lawan mengarah ke dada, secepat kilat Pendekar Pulau Neraka itu
merapatkan kedua tangannya menjepit pedang itu kuat-kuat Dan pada saat
pemilik pedang itu menghentakkan senjatanya, Bayu mempergunakan kesempatan
yang hanya sedikit ini dengan baik. Tubuhnya dibuat ringan bagai kapas,
sehingga ikut terpental naik.
Pada saat yang tepat dengan kecepatan bagai kilat Bayu melepaskan satu
tendangan bertenaga dalam sempurna. Tendangan keras dan tiba-tiba itu tidak
dapat terhindari lagi. Gadis yang pedangnya terkunci ditangan Pendekar Pulau
Neraka itu kontan terpekik terkena tendangan keras bertenaga dalam
sempurna.
"Akh...!"
Gadis itu terpental jauh ke belakang sampai menabrak pohon. Bersamaan
dengan itu, Bayu menjentikkan pedang yang dirampasnya. Seketika pedang itu
meluncur deras ke arah gadis yang sedang melorot turun dengan punggung
menempel pada batang pohon. Tak pelak lagi, pedang itu menancap di dadanya
hingga tembus ke punggung.
"Aaa...!"
Jeritan melengking tinggi itu mengejutkan kesembilan gadis lainnya. Mereka
langsung berlompatan mundur, dan seketika terkejut melihat salah seorang
temannya tewas dengan dada tertembus pedangnya sendiri. Tubuh gadis itu
tertahan di pohon, karena pedang itu tembus hingga menancap di pohon.
"Siapa kalian? Kenapa menyerangku...?" Pendekar Pulau Neraka mengambil
kesempatan ini untuk bertanya.
Tak ada seorang pun dari sembilan gadis itu yang menjawab. Mereka hanya
mendesis bagai ular. Tatapan mereka begitu tajam, memancarkan amarah yang
menggelegak tak tertahankan lagi. Dan Bayu merasa tidak ada gunanya
bertanya. Siapa pun gadis-gadis ini, pasti berniat hendak membunuhnya.
Pendekar Pulau Neraka itu begitu yakin, karena tadi telah merasakan ilmu
'Sirep' yang hampir membuatnya tertidur.
"Seraaang...!" tiba-tiba salah seorang berteriak memberi perintah.
Sembilan orang gadis cantik berbaju putih itu kembali menyerang. Kali ini
serangannya semakin dahsyat dan tidak mengenal kompromi lagi Tapi untuk kali
ini persiapan Bayu sudah matang. Tubuhnya meliuk-liuk bagai belut
menghindari setiap tebasan dan tusukan pedang para pengeroyoknya. Kedua
kakinya bergerak lincah mengimbangi gerakan tubuh.
Pertarungan yang sebenarnya tidak seimbang, tapi Pendekar Pulau Neraka
bukanlah pemuda kosong. Tingkat kepandaiannya tinggi sekali, sehingga sukar
diukur. Berbagai macam pola serangan telah dijalankan gadis-gadis berbaju
putih itu, tapi tetap saja mengalami kesukaran mendesak pemuda itu. Bahkan
beberapa kali mereka kelabakan menerima serangan balik Pendekar Pulau Neraka
yang selalu datang tiba-tiba dan cepat luar biasa.
Trang!
Bayu menangkis satu sabetan pedang yang mengarah ke leher dengan
pergelangan tangan kanannya. Gadis yang pedangnya beradu dengan pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu tampak meringis dan tangannya
bergetar. Pada saat itu, Bayu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan
kecepatan luar biasa, pemuda berbaju kulit harimau itu melompat seraya
melontarkan satu tendangan kilat menggeledek.
"Hiyaaat..!"
Des!
"Aaakh...!" gadis itu menjerit keras melengking. Satu tendangan saja sudah
membuat lawannya terpelanting keras ke tanah. Dari mulutnya menyemburkan
darah kental berwarna merah segar. Hanya sebentar mampu menggeliat, sesaat
kemudian, gadis itu diam tak bergerak-gerak lagi. Dia tewas dengan dada
remuk terkena tendangan geledek bertenaga dalam sangat sempurna dari
Pendekar Pulau Neraka itu.
Kematian seorang temannya lagi tidak menyurutkan tekad yang lainnya. Bahkan
mereka malah semakin berang, dan terus melancarkan serangan gencar dan
berbahaya. Pedang-pedang berkelebatan di sekitar tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Sedangkan,pemuda berbaju kulit harimau itu tidak punya kesempatan
untuk menggunakan senjatanya yang terkenal dahsyat dan mematikan. Senjata
ditangan kanan itu hanya bisa dipergunakan untuk menangkis pedang yang tak
mungkin dihindari lagi.
***
Emoticon