Ayunan kaki Pendekar Pulau Neraka terhenti ketika melihat seorang wanita
mengenakan baju biru, berdiri menghadang. Sebentar Bayu mengamati wanita
berparas cantik yang sudah dikenalnya. Kemudian kembali berjalan
menghampiri. Pendekar Pulau Neraka menghentikan langkah setelah jaraknya
tinggal sekitar tiga langkah lagi di depan wanita pemilik kedai di Pesisir
Pantai Selatan ini.
“Aku turut menyesal atas kejadian ini,” ucap wanita cantik yang dikenali
Bayu bernama Nyai Sinah.
“Terima kasih,” ucap Bayu seraya tersenyum getir.
“Sebenarnya ada persoalan apa antara Paman Jangir dengan Juragan Basra?”
tanya Nyai Sinah ingin tahu.
“Hanya persoalan biasa saja,” sahut Bayu.
“Juragan Basra memang orang paling berkuasa di sini. Tidak ada seorang pun
yang berani menentangnya. Dia menguasai apa saja yang ada di sini. Paman
Jangir bukanlah korban pertama, tapi sudah banyak korban kekejamannya,”
pelan sekali suara Nyai Sinah.
Bayu mengamati wajah janda cantik ini. Raut wajahnya begitu mendung. Dan
dari tekanan nada suaranya, Pendekar Pulau Neraka bisa memastikan kalau Nyai
Sinah menyimpan suatu duka. Atau lebih tepat dikatakan sebagai sebuah dendam
yang tersimpan dalam di lubuk hatinya.
“Sudah berapa lama dia berbuat seperti ini?” tanya Bayu lagi.
“Entahlah. Yang jelas sudah lama sekali,” sahut Nyai Sinah.
Bayu tercenung. Dia memang sudah lama tidak menginjakkan kakinya lagi di
Pesisir Pantai Selatan ini. Pertama kali keluar dari Pulau Neraka, memang
tempat inilah yang dipijaknya. Dan itu pula yang terakhir kali hingga sampai
sekarang ini dia berada di Pantai Selatan. Waktu itu dia sama sekali tidak
sempat memperhatikan sekelilingnya. Saat itu dia hanya punya satu tujuan,
membalas kematian ayahnya. Dan setelah semuanya terlaksana, dia langsung
pergi mengembara.
Yang pasti, saat itu Juragan Basra memang sudah berkuasa di daerah
ini.
“Belum lama ini ada yang mencoba menghentikan perbuatan Juragan Basra.
Tapi...,” Nyai Sinah tidak meneruskan.
Bayu memandang janda cantik itu dalam-dalam. Meskipun tidak diucapkan, dari
sinar matanya dapat diketahui kalau Pendekar Pulau Neraka ingin meminta Nyai
Sinah meneruskan ucapannya. Dan rupanya Nyai Sinah bisa mengerti arti
pandangan pemuda berbaju kulit harimau ini.
“Dia seorang pemuda, mungkin sebaya denganmu, Bayu....”
Nyai Sinah memang sudah diperkenalkan pada Bayu oleh Paman Jangir ketika
mereka mengunjungi kedai wanita ini. Dan kunjungan Pendekar Pulau Neraka
yang pertama mendapat suasana yang tidak me-ngenakkan dari Juragan
Basra.
“Sebaiknya kita bicara di rumah saja, Nyai,” ajak Bayu merasa tidak enak
berdua dengan seorang wanita di tempat sepi seperti ini.
“Terlalu banyak kesulitan kalau di rumah, Bayu,” Nyai Sinah menolak.
Bayu mengedarkan pandangannya berkeliling. Kemudian mengajak wanita ini ke
tempat yang lebih nyaman. Hutan ini memang tidak begitu lebat, karena
penduduk di sekitar Pesisir Pantai Selatan memperoleh kayu bakar dari sini.
Dan memang beberapa kali terlihat orang mencari kayu bakar, atau keluar
sehabis berburu.
Mereka kemudian berjalan bersisian. Sambil berjalan, Nyai Sinah
menceritakan tentang pemuda yang tadi dikatakan pernah mencoba menentang
kelaliman Juragan Basra. Dan Bayu sendiri jadi tertarik, setelah teringat
dengan cungkup makam yang berada di tengah-tengah hutan tepi pantai ini.
Bisa jadi pemuda yang dikatakan Nyai Sinah itu adalah Hanggara.
***
“Siapa nama pemuda itu, Nyai?” tanya Bayu.
“Hanggara,” sahut Nyai Sinah.
“Hanggara...?!”
Sebenarnya Bayu memang sudah menduga. Tapi toh akhirnya dia terkejut juga
saat Nyai Sinah menyebut nama pemuda yang tewas di tangan anak buah Juragan
Basra, akibat hendak menghentikan aksi juragan kaya itu. Namun Bayu cepat
menyembunyikan rasa terkejutnya, sebelum Nyai Sinah bisa mengetahui.
“Sebenarnya Kakang Hanggara tidak kalah. Tapi Juragan Basra berlaku
curang,” lanjut Nyai Sinah.
“Curang? Curang bagaimana, Nyai?” Bayu minta penjelasan lagi.
“Dia menyanderaku, dan mengancam akan membunuhku kalau Kakang Hanggara
tidak mau menyerah. Sebenarnya aku sudah meminta Kakang Hanggara jangan
menghiraukan aku, tapi dia menyerah juga. Juragan Basra memenggal kepalanya
hingga...,” Nyai Sinah tidak melanjutkan kata-katanya.
Janda cantik ini mendongakkan kepalanya, karena tidak sanggup membayangkan
peristiwa mengerikan yang terjadi di depan matanya. Tanpa disadari, setetes
air bening bergulir di pipinya. Namun dia cepat menyadari, dan memalingkan
muka sambil menghapus air matanya. Meskipun begitu, Bayu sempat melihat
setitik air bening yang bergulir di pipi halus itu.
“Kau menangis, Nyai...?” lembut suara Bayu.
“Tidak...,” sahut Nyai Sinah tetap membelakangi Pendekar Pulau
Neraka.
Namun suaranya jelas terdengar tersendat. Dengan lembut sekali, Bayu
membalikkan tubuh wanita itu. Dan Nyai Sinah tidak dapat membendung air
matanya lagi. Dia jatuh terduduk, sambil menangis sesenggukan.
Satu kelemahan yang dimiliki Bayu. Dia paling kebingungan kalau menghadapi
wanita yang sedang menangis. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Pendekar Pulau Neraka hanya bisa menunggu sampai tangis Nyai Sinah
reda.
Agak lama juga Bayu terdiam menunggu tangis Nyai Sinah reda. Dan selama
menunggu, dia hanya diam saja. Karena memang tidak mampu melakukan apa-apa
untuk menghibur. Apalagi menghentikan tangis. Memang, selama tinggal di
Pulau Neraka bersama Eyang Gardika, dia tidak pernah melihat air mata
menitik. Apalagi mendengar suara tangis. Yang ada hanya kekerasan alam. Dan
lagi, Eyang Gardika tidak pernah mengatakan kalau makhluk yang bernama
wanita itu mudah sekali menangis. Sehingga tidak mengherankan kalau Bayu
tidak mengetahui cara menghentikan tangis seorang wanita.
“Maafkan aku, Bayu. Aku...,” suara Nyai Sinah terputus-putus.
“Sudahlah...,” hanya itu yang bisa diucapkan Bayu.
“Aku sudah mencoba untuk melupakan, dan berusaha tabah. Tapi sulit. Sulit
sekali melupakan Kakang Hanggara. Dia satu-satunya laki-laki yang
memperhatikanku, dan rela berkorban demi keselamatanku,” lanjut Nyai Sinah
masih dengan suara tersendat
Bayu hanya bisa diam mendengarkan. Dugaannya kalau di antara Nyai Sinah dan
Hanggara terjadi suatu hubungan istimewa mulai terlihat jelas. Rasanya tidak
mungkin kalau Juragan Basra memanfaatkan wanita ini untuk menghentikan
perlawanan Hanggara tanpa alasan kuat.
“Aku dan Kakang Hanggara sudah merencanakan untuk berumah tangga. Tapi
Kakang Hanggara tidak bisa melihat perlakuan Juragan Basra dan tukang-tukang
pukulnya yang selalu memerasku. Makan seenaknya di kedaiku, dan mengambil
apa saja tanpa membayar. Bahkan uang daganganku juga mereka rampas. Dua
orang tukang pukul Juragan Basra tewas oleh Kakang Hanggara. Dan inilah yang
membuat Juragan Basra marah. Tidak sedikit tukang pukulnya tewas, setiap
kali mencoba menangkap Kakang Hanggara. Hingga akhirnya aku diculik. Kakang
Hanggara terpaksa menyerah demi keselamatanku,” sambung Nyai Sinah
panjang-lebar.
“Lalu, suamimu yang dulu?” tanya Bayu.
“Juga tewas oleh Juragan Basra. Suamiku tidak ingin menjual perahunya.
Waktu suamiku ke laut, perahunya ada yang bakar. Suamiku tewas bersama tiga
orang temannya di dalam perahu.”
Bayu kembali terdiam. Sudah cukup berat pen-deritaan yang dialami Nyai
Sinah. Dan pasti penderitaan serupa juga dialami sekian banyak penduduk
Pesisir Pantai Selatan ini. Nyai Sinah sendiri tidak tahu, kenapa Juragan
Basra selalu saja mencari perkara setiap ada laki-laki yang mencoba
mendekatinya. Hingga akhirnya baru tadi malam dia tahu kalau Juragan Basra
sebenarnya ingin mem-persunting dirinya.
Sudah barang tentu, Nyai Sinah menolak lamaran laki-laki gemuk yang sudah
tidak terhitung lagi istrinya. Tersebar hampir di seluruh pelosok Pesisir
Pantai Selatan ini. Bahkan sampai ke desa-desa lain. Tapi tak satu pun dari
istri-istrinya yang diperhatikan. Kehidupan mereka sama sengsaranya dengan
yang lain. Dan tidak ada seorang laki-laki yang berani mendekati, karena
sekali mencoba, pasti tewas di tangan tukang-tukang pukulnya yang
kejam.
“Bayu...,” pelan sekali suara Nyai Sinah.
Bayu hanya menggumam saja.
“Aku datang menemuimu, sebenarnya bukan untuk mengatakan semua ini,
tapi....”
“Tapi apa, Nyai?”
“Aku disuruh merayumu, lalu meracunimu,” sahut Nyai Sinah pelan. Begitu
pelannya suara wanita itu, sehingga hampir tidak terdengar.
Mendengar pengakuan Nyai Sinah, Bayu sempat terlonjak karena terkejut.
Dipandanginya wajah yang tertunduk lesu itu dalam-dalam. Seakan-akan mencari
kejujuran dari kata-kata yang baru saja didengarnya.
“Siapa yang menyuruhmu?” tanya Bayu.
“Juragan Basra.”
“Keparat..!” desis Bayu menggeram.
Wajah Pendekar Pulau Neraka langsung memerah menahan kemarahan yang
tiba-tiba saja menggelegak di dalam dada. Belum pernah dia menghadapi
manusia licik dan pengecut seperti Juragan Basra. Memanfaatkan orang lain
untuk melaksanakan maksud busuknya.
“Maafkan aku, Bayu. Seharusnya aku tidak perlu mengatakannya padamu,” ucap
Nyai Sinah, tetap pelan suaranya.
“Kau tidak salah, Nyai. Tidak perlu meminta maaf,” kata Bayu.
Nyai Sinah tetap saja tertunduk. Dengan tangan gemetar, dikeluarkannya
sebuah bungkusan kain hitam dari balik lipatan kainnya. Bayu menerima
bungkusan kain hitam itu. Kemudian membukanya. Wajah Pendekar Pulau Neraka
semakin memerah. Mulutnya mendesis geram begitu melihat bubuk putih
kekuningan di dalam bungkusan kain. Lalu Bayu melipat kain hitam itu, dan
membuangnya ke laut. Sesaat kemudian bungkusan kain hitam tadi langsung
digulung ombak, dan lenyap ditelan ombak yang menggunung.
“Sudah sore. Sebaiknya kau pulang saja, Nyai,” kata Bayu.
Sebentar Nyai Sinah menatap pemuda berbaju kulit harimau itu, kemudian
bangkit berdiri bergegas membantunya berdiri Nyai Sinah memandangi wajah
Bayu lekat-lekat, seakan masih ada lagi yang hendak disampaikan.
Semula wanita cantik ini ingin sekali mengatakan perbuatan Juragan Basra
padanya semalam. Tapi hati kecilnya tidak mengizinkan untuk mengatakan pada
pemuda berbaju kulit harimau ini.
“Bayu...,” agak ragu-ragu suara Nyai Sinah.
“Ada apa lagi?” tanya Bayu, lembut.
“Juragan Basra mengira kau adalah saudara Kakang Hanggara yang ingin
menuntut balas,” Nyai Sinah memberi tahu.
“Hm..., dari mana dia bisa menduga begitu?” tanya Bayu seperti untuk
dirinya sendiri.
“Monyet itu,” sahut Nyai Sinah.
Bayu menatap Tiren yang duduk tenang di pundak-nya. Kemudian pandangannya
kembali dialihkan kepada wanita di depannya.
“Apakah kau memang saudaranya, Bayu?” tanya Nyai Sinah ingin tahu.
“Benar, aku adalah kakaknya,” sahut Bayu.
“Oh, benarkah...?”
Bayu mengangguk.
“Kalau begitu, kau datang untuk membalas kematian Kakang Hanggara?”
Lagi-lagi Bayu mengangguk. Memang tidak ada lagi yang dapat dikatakan
Pendekar Pulau Neraka. Dia memang sengaja mengaku saudara Hanggara. Dan ini
dimaksudkan untuk memancing perhatian Juragan Kasra terpusat padanya. Dia
yakin, kalau Juragan Basra akhirnya akan menanyai wanita ini. Dan itulah
yang diharapkannya.
“Nyai, kalau Juragan Basra bertanya padamu tentang diriku, katakan saja
begitu,” pinta Bayu.
“Tapi..., itu sangat berbahaya. Kau bisa dibunuhnya, Bayu,” ada kecemasan
di dalam suara Nyai Sinah.
“Jangan cemas. Tidak mudah mereka membunuhku begitu saja. Percayalah, aku
pasti bisa menghentikan juragan keparat itu untuk selama-lamanya.”
Nyai Sinah tersenyum. Saat itu juga wajahnya kembali cerah. Ada terbersit
satu harapan pada sinar matanya. Satu harapan yang pasti juga diharapkan
oleh seluruh penduduk Pesisir Pantai Selatan.
***
Bayu mengantar Nyai Sinah sampai ke rumahnya yang juga merangkap sebagai
kedai. Hari ini kedai Nyai Sinah memang tidak buka. Dan keadaannya juga
masih serba berantakan. Pintu depan, meja dan beberapa perabotan hancur
berantakan, berserakan di lantai tanah. Mereka kemudian kembali terlibat
dalam suatu percakapan panjang. Dan kali ini Bayu lebih sering bertanya.
Terutama perihal Hanggara.
Pendekar Pulau Neraka ingin tahu lebih banyak perihal anak muda sebayanya
yang bernama Hanggara. Tapi ada satu yang sangat disayangkan. Nyai Sinah
tidak mengetahui asal-usul Hanggara. Nyai Sinah sendiri pernah menanyakan,
tapi hanya dijawab dari tempat yang jauh. Hanya itu saja jawaban Hanggara
setiap kali Nyai Sinah menanyakan asalnya. Juga tujuannya ke Pesisir Pantai
Selatan ini tidak diketahui oleh siapa pun.
Hampir larut malam, Bayu baru keluar dari rumah janda pemilik kedai itu.
Semula Bayu ingin kembali rumah Paman Jangir, tapi segera membatalkannya.
Rupanya dia tidak ingin kembali teringat dengan laki-laki tua itu. Akan
menambah kepedihan di hatinya saja, bila teringat peristiwa kemarin malam.
Pendekar Pulau Neraka terus berjalan, ke mana saja kakinya melangkah.
“Ha ha ha...!”
“Heh...?!”
Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba saja mendengar tawa keras menggelegar
di belakangnya. Pendekar Pulau Neraka segera memutar tubuhnya. Sungguh dia
tidak tahu kalau kini di depannya sudah berdiri orang-orang bertampang
beringas dengan golok terhunus di tangan. Mereka berjumlah delapan orang.
Dan seorang di antara mereka sudah dikenal Bayu. Laki-laki berbaju hitam
yang dikenalkan Paman Jangir sebagai Calong.
“Hm..., mana tiga orang lainnya...?” gumam Bayu bertanya-tanya di dalam
hati.
Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangan berkeliling. Dia kembali
bergumam, berbicara di dalam hati sendiri. Begitu ke luar dari rumah Nyai
Sinah tadi, Bayu memang terus melamun, memikirkan semua peristiwa yang
terjadi di daerah Pantai Selatan ini. Sehingga tidak sempat mem-perhatikan
sekelilingnya. Dan tahu-tahu di sekitarnya sudah mengepung puluhan orang
yang tadi ber-sembunyi dari balik rerimbunan semak-semak.
“Tampaknya keadaanku tidak menguntungkan,” kembali Bayu bergumam dalam
hati.
Pendekar Pulau Neraka memang sudah diperingatkan Nyai Sinah kalau
orang-orang Juragan Basra tidak terhitung jumlahnya. Dan mereka semua adalah
orang-orang kasar haus darah. Tapi Bayu tidak men-jadi gentar. Dari
pengalamannya, dia tahu kalau orang-orang semacam ini hanya tampangnya saja
yang seram. Padahal kemampuannya kosong. Mereka hanya bisa main gertak pada
orang-orang lemah. Sebenarnya nyalinya kecil.
“Kami tahu, siapa sebenarnya kau, Bayu. Sebaik-nya cepatlah pergi dan dan
jangan kembali lagi ke sini. Kalau tidak, nasibmu sama seperti adikmu,” kata
Calong, lantang suaranya.
“Hm...,” Bayu hanya bergumam perlahan.
Sungguh Pendekar Pulau Neraka tidak menyangka kalau mereka akan tahu
secepat ini. Apakah pertemuannya dengan Nyai Sinah memang sudah dikuntit?
Dan mereka langsung menanyai wanita itu setelah kepergiannya. Hal itu memang
bisa saja terjadi. Dan mereka punya cukup waktu untuk menanyai Nyai Sinah.
Apalagi kemunculan Calong dan anak buahnya dari arah belakang.
“Hanya ada satu pilihan bagimu, Bayu. Tinggalkan tempat ini, atau kau mati
di sini,” kata Calong lagi, masih dengan suara yang lantang.
“Aku akan pergi setelah membunuh kalian semua. Terutama Juragan Basra!”
sahut Bayu, tegas dan lantang juga.
“Phuih! Kau akan menyesal, Bayu...!” dengus Calong seraya menyemburkan
ludah.
Saat itu juga, Calong menghentakkan tangannya. Dan seketika tujuh orang di
belakangnya langsung berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka sambil
berteriak-teriak dan mengacung-acungkan golok di atas kepala. Bayu tersenyum
melihat cara mereka menyerang yang seperti gerombolan begal saja.
Sesungguhnya mereka memang begal, pemeras rakyat.
“Hiyaaa...!”
Cepat bagai kilat, Bayu melenting ke udara begitu tujuh orang pengeroyok
itu mendekat. Lalu dengan kecepatan tinggi dan sukar diikuti mata biasa,
Pendekar Pulau Neraka meluruk deras. Kedua tangannya bergerak cepat
menyambar tujuh orang yang tengah kebingungan, karena tiba-tiba Bayu
menyerang mereka dari atas.
Plak! Plak...!
Gerakan Bayu memang cepat luar biasa, sehingga tujuh orang yang hanya
bermodal tampang seram itu tidak sempat lagi berbuat sesuatu. Tahu-tahu
mereka merasakan kepalanya bagai dihantam sebuah palu baja yang besar.
Jeritan-jeritan melengking terdengar saling sambut, disusul dengan
bergelimpangannya tujuh orang itu. Mereka mengerang, dan merintih sambil
memegangi kepala masing-masing. Bahkan tiga orang di antaranya langsung
tidak berkutik lagi.
Bayu langsung mendarat sekitar lima langkah lagi di depan Calong. Tentu
saja Calong terperanjat setengah mati. Dia sampai melompat mundur sejauh
tiga tindak. Kedua matanya terbelalak, seperti melihat hantu.
“Sebenarnya aku malas berurusan dengan cacing-cacing macam kalian,” kata
Bayu, dingin menggetarkan.
“Huh! Kau tidak akan bisa keluar dari sini hidup-hidup, Bayu!” dengus
Calong berusaha meng-hilangkan rasa gentarnya.
Pada saat itu, dari balik semak dan pepohonan, bermunculan orang-orang
bersenjata golok. Jumlah mereka sekitar tiga puluh orang. Rata-rata
tampangnya mirip para begal jalanan. Bayu hanya tersenyum tipis begitu
menyadari dirinya sudah terkepung. Tiga orang mendekati Calong. Mereka sudah
dikenal Bayu ketika tempo hari memaksa Paman Jangir menjual ikannya dengan
harga sangat rendah sekali.
“Sudah kukatakan, kau akan menyesal, Bayu,” kata Calong sinis.
Saat itu, tujuh orang yang tadi menyerang Bayu sudah bisa bangkit berdiri.
Tapi, Bayu memang hanya ingin memberi mereka sedikit pelajaran. Sama sekali
dia tidak berniat membunuh mereka.
“Seraaang...!” teriak Calong memberi perintah.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Mereka yang sudah mengepung, seketika itu juga menyerang Bayu. Sebentar
pemuda berbaju kulit harimau itu mendengus, kemudian melentingkan tubuh ke
udara. Lalu meluruk deras sambil melontarkan beberapa pukulan cepat Pendekar
Pulau Neraka memang sengaja tidak mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalam.
Meskipun begitu, tidak sedikit yang terkena pukulan Pendekar Pulau Neraka,
langsung menggeletak pingsan.
Jerit dan pekik kesakitan terdengar saling susul. Bayu berkelebat cepat
menyambar siapa saja yang berada dalam jangkauan pukulannya. Dan memang
dugaan Pendekar Pulau Neraka tidak meleset sama sekali. Mereka hanya
orang-orang yang meng-andalkan tampang seram, tapi tidak punya kemampuan
apa-apa. Sehingga Bayu tidak meng-alami kesulitan melumpuhkan mereka.
Dalam waktu sebentar saja, sudah lebih dari separuh pengeroyok
bergelimpangan tak sadarkan diri. Bayu memang sengaja membuat pengeroyoknya
tak berdaya saja. Karena mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa dan hanya
menjalankan perintah majikannya.
“Yeaaah...!”
Des!
“Akh...!”
Terdengar jeritan terakhir yang cukup panjang. Bayu berdiri tegak
memandangi tiga puluh enam tukang pukul Juragan Basra yang bergelimpangan di
sekitarnya. Memang tidak semuanya pingsan. Ada beberapa di antaranya masih
bisa bergerak, merintih lirih menahan sakit. Tapi tidak mampu lagi bangkit.
Pendekar Pulau Neraka menatap tajam Calong dan ketiga temannya. Mereka
tampak pucat melihat tiga puluh enam orang-orangnya dapat dilumpuhkan dalam
waktu singkat
“Kali ini aku beri kesempatan kalian untuk hidup, dan jangan coba-coba lagi
mencari perkara,” ancam Bayu, dingin menggetarkan.
“Ampun, Den.... Jangan bunuh kami...,” rintih Calong seraya berlutut.
“Hm.... Aku akan memaafkan jika kalian berjanji untuk meninggalkan semua
ini,” ujar Bayu.
“Kami janji, Den,” ucap keempat orang itu berbarengan.
“Nah! Pergilah sekarang!”
“Terima kasih, Den.”
“Ingat! Sekali lagi kulihat kalian memeras rakyat, aku tidak segan-segan
memenggal kepala kalian. Mengerti...?!” ancam Bayu tegas.
Calong dan ketiga temannya saling berpandangan. Kemudian tanpa berkata
apa-apa lagi, mereka langsung melesat pergi. Bayu tersenyum dan
meng-geleng-gelengkan kepalanya. Kemudian terus melanjutkan langkahnya,
tidak peduli pada tiga puluh enam pengeroyok yang masih
bergelimpangan.
“Tiren..., di mana kau?” Bayu teringat dengan sahabat kecilnya.
“Nguk, nguk...!”
Bayu tersenyum melihat monyet kecil itu bergantungan di pohon. Monyet kecil
berbulu coklat yan bernama Tiren itu melompat, dan langsung hingga di pundak
Pendekar Pulau Neraka. Dia mencericit ribut sambil berjingkrakan dan
bertepuk tangan. Seakan ingin menyatakan kegembiraan atas kemenangan
Pendekar Pulau Neraka.
“Jangan gembira dulu, Tiren. Biangnya belum kita dapatkan,” kata
Bayu.
“Nguk! Kraaakh...! Nguk!”
“Ha ha ha...!”
Bayu tertawa terbahak-bahak melihat tingkah monyet kecil yang tahu-tahu
melompat dari pundaknya dan berjumpalitan di tanah berpasir
halus.
***
ENAM
“Goblok...!”
Brak!
Juragan Basra marah bukan main mendengar laporan Calong yang gagal mengusir
Bayu. Bahkan sempat melumpuhkan tiga puluh enam orang-orang suruhannya
meskipun tidak ada yang tewas. Wajah Juragan Basra merah padam, bagai
kepiting rebus. Kedua bola matanya membelalak lebar, seakan-akan hendak
melompat keluar. Sedangkan di depannya duduk bersimpuh empat tukang pukulnya
dengan kepala tertunduk.
“Kalian benar-benar goblok! Mengurus satu orang saja tidak becus...!” geram
Juragan Basra.
“Ilmunya sangat tinggi, Juragan,” Calong mencoba membela diri.
“Lalu, kalau ilmunya tinggi, kenapa...?”
Calong tidak bisa menjawab. Di dalam hatinya, sebenarnya dia sudah tidak
berani lagi berhadapan dengan Bayu. Dan dia pun sadar kalau selama ini telah
membantu pihak yang salah. Juragan Basra tidak patut dibantu. Apalagi Calong
pun merasa tidak mungkin bisa mengalahkan pemuda berbaju kulit harimau itu.
Orang yang bisa melumpuhkan tiga puluh enam orang dalam waktu sebentar saja,
tentu memiliki tingkat kepandaian sangat tinggi dan sukar diukur.
“Calong, tadi kau kuperintahkan mengamati Nyai Sinah. Nah, apa yang kau
dapat dari perempuan itu, hah...?!” tanya Juragan Basra.
“Kata Nyai Sinah, Bayu adalah kakaknya Hanggara, Juragan. Dia memang datang
untuk membalas kematian Hanggara,” sahut Calong jujur. “Aku menemui Nyai
Sinah begitu dia pergi.”
“Sudah kuduga.... Dia pasti punya hubungan dengan Hanggara,” gumam Juragan
Basra. “Phuih...!”
Calong hanya diam saja dengan kepala tertunduk.
“Lalu, apa Nyai Sinah sudah meracuninya?” tanya Juragan Basra lagi.
“Belum,” sahut Calong.
“Belum...?” Juragan Basra mendelik.
“Kata Nyai Sinah, dia keburu ketahuan.”
“Mustahil... Ini tidak mungkin...!” bentak Juragan Basra. “Pasti Nyai Sinah
tidak mau meracuni si keparat itu. Huh...! Perempuan itu memang tidak bisa
dipercaya!”
“Apa tindakan kita selanjutnya, Juragan?” tanya Calong memberanikan diri
mengangkat kepala.
“Seharusnya kau sudah bisa menjawab, Calong!” sahut Juragan Basra
membentak.
Kembali Calong terdiam. Kalau saja diperintahkan menghadap Bayu lagi, pasti
dia akan berpikir seribu kali. Dia benar-benar sudah tidak mempunyai nyali
lagi untuk bertemu muka dengan pemuda berbaju kulit harimau itu. Firasatnya
mengatakan kalau dia akan babak belur lagi, seperti ketika Hanggara mengamuk
sewaktu dia menculik Nyai Sinah untuk memancing pemuda itu menyerah.
Menghadapi Hanggara saja dia tidak mampu, apalagi sekarang kakaknya...?
Begitu yang ada dalam pikiran Calong. Dia sudah beberapa kali melihat dan
merasakan kedigdayaan Bayu. Dan itu membuat nyalinya semakin kecil saja.
Calong teringat kata-kata Bayu yang terakhir. Dia sudah memastikan, sekali
lagi berhadapan, pasti Bayu tidak akan memberi ampun lagi.
“Pangkeng, Bancak...,” panggil Juragan Basra seraya memandang dua orang
yang duduk di dekat jendela.
Pangkeng dan Bancak segera bangkit. Mereka menghampiri laki-laki bertubuh
gemuk dengan kepala agak botak itu. Sikap mereka terlihat angkuh, karena
tingkat kepandaiannya memang lebih tinggi dari yang lain. Dan tidak
memandang sebelah mata pun kepada keempat orang yang duduk bersimpuh di
lantai.
“Apa pun caranya, kalian harus bisa mengusir si keparat itu. Kalau perlu,
penggal kepalanya,” perintah Juragan Basra.
“Akan kubawa kepalanya ke sini, Juragan,” sahut Bancak.
“Bagus,” Juragan Basra tersenyum senang.
“Kapan kami berangkat?” tanya Pangkeng.
“Lebih cepat, lebih baik,” sahut Juragan Basra.
“Kalau begitu, kami berangkat sekarang, Juragan,” pamit Bancak.
“Pergilah, dan bawa kepala si keparat itu padaku.”
Tanpa melirik sedikit pun pada Calong dan ketiga temannya, mereka langsung
melangkah keluar dari ruangan depan yang cukup luas ini.
“Kalian boleh pergi, dan perketat penjagaan,” kata Juragan Basra memberi
perintah.
Empat orang itu mengangguk. Lalu bangkit dan meninggalkan ruangan depan.
Kini tinggallah Juragan Basra yang masih berada di ruangan yang cukup besar
dan indah ini. Rumahnya memang besar, dan mewah seperti istana.
“Nyai Sinah.... Kau akan menyesal telah mengkhianatiku, Perempuan Laknat!
Huh...!” dengus Juragan Basra geram.
***
Juragan Basra memandang pedang yang tergantung di dinding kamarnya. Pedang
bergagang gading berbentuk kepala naga, dengan warangka berwarna keemasan.
Juragan Basra menjulurkan tangannya, mengambil pedang itu. Diamatinya
sesaat, lalu ditempelkannya gagang pedang itu di kening.
“Kali ini aku harus menggunakanmu,” ujar Juragan Basra pelan.
Laki-laki bertubuh gemuk ini segera menyelipkan pedangnya, di pinggang.
Baru juga selesai dia menyelipkan pedang, mendadak saja secercah cahaya
keperakan menerobos masuk melalui jendela kamar yang terbuka lebar.
“Heh...! Uts!”
Juragan Basra tersentak kaget. Cepat kepalanya diegoskan sedikit ke kanan.
Sehingga cahaya keperakan tadi lewat di samping kepalanya. Dan menancap di
dinding. Juragan Basra cepat melompat ke jendela. Tapi yang dilihat hanyalah
kegelapan malam saja. Sebentar pandangannya diedarkan ke luar, menembus
kegelapan malam. Namun sama sekali tidak melihat adanya sesuatu yang
mencurigakan.
Laki-laki gemuk berkepala setengah botak itu berpaling. Keningnya seketika
berkerut melihat sebuah benda berbentuk bintang bersegi enam keperakan
menancap di dinding. Bergegas dia menghampiri, kemudian mencabut benda
itu.
“Pendekar Pulau Neraka...,” desis Juragan Basra.
Saat itu juga dia teringat peristiwa yang menimbulkan beberapa korban.
Suatu peristiwa yang membuat gempar seluruh Pesisir Pantai Selatan ini.
Peristiwa yang terjadi beberapa waktu lalu, dan sampai sekarang masih lekat
dalam ingatan seluruh penduduk di sekitar tempat itu.
Dunia persilatan sempat geger dengan kemunculan seorang pendekar muda yang
berjuluk Pendekar Pulau Neraka yang datang dari sebuah pulau tak berpenghuni
dan sangat ditakuti oleh seluruh nelayan di Pesisir Pantai Selatan. Siapa
saja yang berarti masuk ke pulau itu, tidak ada yang pernah kembali lagi.
Kalaupun kembali, sudah hanyut terbawa ombak dalam keadaan mati
“Jagat Dewa Batara..., apakah Bayu adalah Pendekar Pulau Neraka...?” desah
Juragan Basra seraya mendongakkan kepalanya.
Laki-laki bertubuh gemuk itu bergegas menutup jendela rapat-rapat. Kemudian
menghempaskan tubuh di kursi. Keringat sebesar biji-biji jagung, seketika
membasahi keningnya. Masih teringat jelas di kepalanya, saat Pendekar Pulau
Neraka mem-bantai kelompok Rengganis dengan tangan dingin. Dan dia tahu, apa
sebabnya pendekar muda itu membunuhi semua orang-orangnya Rengganis, bahkan
wanita itu sendiri tewas dengan mengerikan (Untuk lebih jelasnya, silakan
baca serial perdana Pendekar Pulau Neraka dalam episode, “Geger Rimba
Persilatan”).
“Bodoh...! Kenapa aku tidak mengenalinya sejak semula...?” umpat Juragan
Basra pada dirinya sendiri.
Bintang perak segi enam merupakan lambang maut Pendekar Pulau Neraka. Dan
itu merupakan suatu peringatan yang tidak bisa dianggap remeh. Hal seperti
ini pernah terjadi beberapa waktu yang lalu di Pesisir Pantai Selatan ini.
Saat itu juga, terbersit penyesalan di hati Juragan Basra.
Laki-laki tua ini menyesal karena tidak bisa mengenali dari semula, kalau
pemuda berbaju kulit harimau itu adalah Pendekar Pulau Neraka. Kini
penyesalan sudah tiada guna lagi. Bintang perak segi enam sudah memberi
pertanda maut padanya. Tidak ada seorang pun bisa lolos dari tangan Pendekar
Pulau Neraka kalau sudah menerima bintang perak segi enam ini.
“Apa yang harus kulakukan sekarang...?” desah Juragan Basra bertanya pada
dirinya sendiri.
Kali ini otaknya benar-benar buntu. Dipandanginya bintang perak segi enam
di telapak tangan kanannya. Entah untuk yang ke berapa kali, dia
meng-hembuskan napas panjang dan terasa berat.
“Kalau saja aku tahu....”
“Terlambat, Juragan Basra...!”
“Heh...?!”
Juragan Basra terlonjak kaget. Bahkan sampai melompat dari tempat duduknya.
Suara itu terdengar jelas sekali, seakan-akan berada dekat telinganya.
Laki-laki bertubuh gemuk itu terbeliak begitu memandang ke arah pintu. Di
sana tahu-tahu sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau. Entah
dari mana masuknya, dan kapan, tahu-tahu di kamar ini sudah ada Pendekar
Pulau Neraka.
“Pendekar Pulau Neraka...,” desis Juragan Basra, agak bergetar
suaranya.
“Kau terkejut, Juragan Basra...?” tanya Bayu sinis.
Juragan Basra semakin kelabakan. Keringat dingin semakin deras membasahi
sekujur tubuhnya. Per-lahan dia melangkah mundur sampai punggungnya
menyentuh dinding. Saat itu juga tenggorokannya terasa begitu kering dan
menyakitkan sekali Kemunculan Pendekar Pulau Neraka yang tiba-tiba dan
ditandai dengan bintang perak segi enam, mem-buat laki-laki gemuk ini
seperti kelinci kepergok serigala lapar.
“Kau kelihatan pucat sekali, Juragan Basra,” terasa sinis suara Bayu.
“Apa yang kau inginkan dariku? Aku tidak pernah berurusan denganmu,” jelas
sekali kalau suara Juragan Basra bergetar.
“Kau kenali sahabatku ini, Juragan Basra?” Bayu menunjuk seekor monyet
kecil berbulu coklat yang nangkring di atas palang kayu yang melintang di
atas kamar.
Juragan Basra terkesiap melihat Tiren. Tentu saja dia mengenai binatang
kecil berbulu coklat itu. Sedangkan Tiren duduk tenang dengan mata bulat
merah yang menyorot tajam pada Juragan Basra. Sorot matanya memancarkan
dendam yang amat sangat
“Jika kau mengenal sahabat kecilku itu, maka kau pasti ingat pada
pemiliknya,” kata Bayu kalem, namun terasa menusuk telinga Juragan
Basra.
“Ada hubungan apa kau dengan Hanggara?” tanya Juragan Basra.
Tentu saja laki-laki gemuk ini tahu kalau pemilik monyet kecil itu adalah
Hanggara. Pemuda yang berani menentangnya, dan tewas di tangannya sendiri.
Hanya karena dia tidak senang melihat ada laki-laki mendekati wanita yang
diinginkannya. Juragan Basra memang tidak segan-segan mem-bunuh siapa saja
yang dianggap sebagai penghalang. Dengan cara apa pun, dia akan
menyingkirkan untuk selama-lamanya.
“Dia adikku,” sahut Bayu dingin. “Dan dia tewas di tanganmu. Tidak perlu
kujelaskan lagi, untuk apa sekarang aku ada di sini, Juragan Basra. Bukan
hanya itu saja, kau juga telah membunuh pamanku, dengan perantaraan anak
buahmu...! Dan kau juga yang membakar pusara Hanggara, meskipun bukan oleh
tanganmu sendiri.”
Juragan Basra menelan ludahnya untuk mem-basahi tenggorokannya yang kering.
Memang tidak dapat dipungkiri, semua yang dituduhkan Bayu padanya memang
benar. Juragan Basra tidak dapat membantah lagi. Kini laki-laki gemuk itu
segera meng-geser kakinya ke kanan. Dan meraba gagang pedang yang
menggantung di pinggang.
Tok, tok, tok...!
Tiba-tiba saja terdengar suara pintu diketuk dari luar.
“Juragan...! Juragan..!”
“Kau beruntung malam ini, Juragan Basra. Rupanya Dewata belum mengizinkan
aku mencabut nyawamu,” desis Bayu merasa terganggu.
Selesai berkata begitu, Bayu langsung melenting ke atas. Kemudian menyambar
monyet kecil yang nangkring pada palang kayu. Juragan Basra mendongak,
ternyata atap kamar sudah berlubang. Dan sudah pasti kalau Pendekar Pulau
Neraka tadi masuk dari atap.
Kembali terdengar suara ketukan pintu, disusul panggilan keras. Juragan
Basra menarik napas lega. Bergegas dihampirinya pintu dan cepat
membukanya.
“Ada apa, Calong...?”
“Nyai Sinah, Juragan....”
“Nyai Sinah...? Ada apa dengan dia?” tanya Juragan Basra lagi.
“Nyai Sinah bunuh diri,” sahut Calong.
“Apa...?!”
Juragan Basra terbeliak kaget mendengar laporan Calong. Untuk beberapa saat
dia terpaku tidak percaya. Dan setelah berhasil menguasai perasaan-nya,
kemudian bergegas keluar kamarnya. Tapi baru beberapa langkah, laki-laki
gemuk itu berhenti. Sedangkan Calong masih tetap berdiri di ambang pintu
yang kini sudah tertutup kembali.
“Bagaimana mungkin dia bisa bunuh diri?” tanya Juragan Basra.
“Maaf, Juragan. Aku datang terlambat. Begitu aku datang, dia menikam
dadanya sendiri dengan pisau,” sahut Calong.
“Huh! Kau benar-benar goblok, Calong! Kenapa tidak kau cegah, heh...?!”
bentak Juragan Basra.
Calong hanya diam saja dengan kepala tertunduk.
“Mana yang lain?”
“Di depan, Juragan,” sahut Calong.
“Aku kan sudah bilang, cepat ke sana. Dan bawa perempuan itu ke sini....
Huh! Dasar bakul nasi! Kerjamu tidak ada yang becus...!” gerutu Juragan
Basra.
Calong tetap diam saja membisu. Bukan sekali ini dia mendapat dampratan
Juragan Basra, tapi sudah sering kali. Tapi Calong memang tidak bisa berbuat
apa-apa setiap kali kena marah. Tidak mungkin dia berani menentang
majikannya, sekalipun hatinya dongkol setengah mati.
“Sudah, sana pergi! Goblok...!” bentak Juragan Basra.
Calong bergegas pergi sebelum kena damprat lagi. Sedangkan Juragan Basra
kembali masuk ke dalam kamar. Sementara Calong terus berjalan cepat, keluar
dari rumah megah yang bagaikan sebuah istana kecil di tengah-tengah
perkampungan. Dan sesampainya di luar, dia langsung disambut ketiga
temannya. Mereka langsung mengerubungi, seperti lebah mendapatkan sari
bunga.
“Bagaimana...?” tanya Landar.
“Seperti biasa,” sahut Calong.
“Kau cari penyakit saja, Calong,” celetuk Winaya.
“Bukan penyakit, tapi keluar dari kesulitan,” bantah Calong.
“Tapi, bagaimana kalau Juragan Basra sampai tahu?” tanya Cagak.
“Dia tidak akan tahu.”
“Semua yang terjadi di Pesisir Pantai Selatan ini bisa diketahuinya dengan
cepat, Calong,” kata Winaya lagi, bernada memperingatkan.
“Kalau kalian tutup mulut, dia tidak akan tahu,” sahut Calong.
Ketiga temannya hanya saling pandang.
“Ke mana kau akan membawa pergi Nyai Sinah, Calong?” tanya Cagak.
“Ke mana saja, yang penting jauh dari sini,” sahut Calong.
“Aku heran, kenapa dia mau menurutimu, Calong?” tanya Landar ingin
tahu.
“Dasar bodoh...! Nyai Sinah itu kan adiknya Calong,” selak Winaya.
“Hah...?” Landar terkejut
“Hanya adik sepupu,” Calong menjelaskan.
“Pantas tidak sama. Kau jelek, dan Nyai Sinah cantik,” gurau Landar.
“Setan...!” sergah Calong.
“Sudah sana. Nanti keburu ketahuan,” Cagak memperingatkan agar Calong cepat
pergi sebelum Juragan Basra mengetahui rencana mereka.
“Kalian benar-benar tidak mau ikut?” tanya Calong.
“Jangan pikirkan kami, Calong. Saat ayam berkokok nanti, kami sudah tidak
ada di sini lagi,” sahut Cagak.
“Kalian akan pergi ke mana?” tanya Calong.
“Ke mana saja,” sahut Winaya.
“Baiklah, aku berharap kita bisa bertemu lagi,” ujar Calong.
“Sudah pergi sana, cepat..,” Winaya mendorong punggung Calong.
Sebentar Calong memandangi ketiga temannya. Mereka memang sudah lama
bersahabat, jadi perpisahan ini memang terasa berat. Dan itu harus mereka
lakukan untuk keselamatan mereka sendiri. Calong melompat naik ke punggung
kuda. Kemudian menggebah kudanya dengan cepat. Sementara ketiga temannya
hanya memandangi kepergiannya sampai lenyap ditelan kegelapan malam.
“Hhh..., kalau saja Pendekar Pulau Neraka tidak menyuruh kita pergi, pasti
kita semua sudah jadi mayat,” desah Winaya.
“Jangan menyesal, Winaya,” celetuk Cagak.
“Aku tidak menyesal, malah berterima kasih pada Pendekar Pulau Neraka,
karena masih memberi kesempatan pada kita untuk bertobat,” kata
Winaya.
“Sebaiknya aku pergi sekarang saja.”
“He...! Tidak mau melihat kematian Juragan Basra dulu?” Cagak ingin
mencegah.
“Tidak, aku tidak mau mati lebih dahulu.”
Winaya cepat melompat ke punggung kudanya. Dan langsung menggebah cepat.
Tinggallah kini Cagak dan Landar. Mereka saling berpandangan. Semua orang di
rumah ini sudah pergi, begitu Pendekar Pulau Neraka memperingatkan mereka.
Dan memberi kesempatan untuk tetap hidup. Tapi jika mereka membandel, pemuda
berbaju kulit harimau itu tidak segan-segan lagi menjatuhkan tangan
maut.
“Bagaimana?” tanya Landar.
“Bagaimana lagi...? Ayo, kita pergi sekarang,” sahut Cagak mengajak.
Landar kelihatan ragu-ragu.
“Semua orang sudah pergi, Landar.”
“Dan kalian juga akan segera pergi, Pengecut..!”
“Heh...?!”
***
TUJUH
Cagak dan Landar terkejut bukan main ketika tiba-tiba saja terdengar suara
dari arah belakang. Seketika wajah mereka pucat begitu melihat Pangkeng dan
Bancak tahu-tahu sudah berada di belakang. Bergegas mereka berbalik dan
melangkah mundur beberapa tindak.
Ctar!
Bancak melecut cambuknya ke atas. Mendengar suara cambuk, Cagak dan Landar
tersentak kaget Wajah mereka semakin pucat pasi, dan seluruh tubuhnya
gemetar. Mereka langsung menyadari kalau kedua orang kepercayaan Juragan
Basra itu sudah mengetahui rencana ini. Dan keduanya pasti sudah tahu kalau
semua orang sudah pergi. Tinggal mereka saja yang ada selain Juragan Basra
sendiri.
“Apa yang kalian rencanakan, heh? Mau kabur?” suara Bancak terdengar
sinis.
Cagak dan Landar tidak menjawab. Sejenak mereka saling berpandangan. Mereka
tahu kalau dua orang kepercayaan Juragan Basra ini memiliki kepandaian yang
jauh lebih tinggi. Di dalam hati, keduanya sangat menyesal mengapa tidak
segera pergi sejak tadi.
“Kalau kalian mau pergi, silakan,” kata Bancak lagi.
“Tapi kalian akan menghuni lubang terakhir,” sambung Pangkeng.
Kembali Cagak dan Landar saling berpandangan. Kemudian mereka berbalik dan
berlari cepat selagi masih ada kesempatan. Sedangkan Pangkeng dan Bancak
tertawa terbahak-bahak melihat dua orang itu berlari kencang seperti dikejar
setan.
“Hup!”
“Yeaaah...!”
Mendadak Pangkeng dan Bancak melesat cepat bagaikan kilat mengejar dua
orang yang berlari sekencang-kencangnya itu. Ringan sekali lompatan mereka.
Tapi tiba-tiba saja mereka lenyap di balik sebatang pohon yang sangat besar
dan tinggi. Sementara Cagak dan Landar terus berlari kencang, tanpa menoleh
ke belakang lagi.
“Cagak, berhenti...!” sentak Landar tiba-tiba.
Cagak menghentikan larinya. Sedangkan Landar sudah sejak tadi berhenti.
Laki-laki berbaju biru itu menghampiri Cagak.
“Lihat..!” Landar menunjuk ke depan.
“Heh...?!”
Bukan main terkejutnya Cagak begitu memandang ke arah yang ditunjuk Landar.
Tampak di kiri kanan sepanjang jalan setapak ini, terdapat lubang-lubang
yang berjajar. Sebentar mereka saling berpandangan. Kemudian melangkah
perlahan mendekati lubang pada baris pertama.
Mereka terkesiap begitu melihat di dalam lubang terbaring mayat seseorang.
Mereka kemudian meneliti lubang-lubang lain. Kedua mata mereka semakin
terbelalak lebar, karena semua lubang yang berjajar di kiri kanan jalan,
berisi mayat-mayat yang mereka kenal.
“Cagak..., sini!” seru Landar tiba-tiba.
Cagak bergegas menghampiri.
“Winaya...,” desis Cagak terperanjat begitu melihat ke dalam lubang yang
ditunjuk Landar.
Di dalam lubang itu memang terbujur tubuh Winaya. Dari dada dan lehernya
masih mengucur darah segar. Kedua laki-laki itu bergegas melihat ke lubang
di sebelahnya. Kembali mereka terperanjat begitu melihat di dalam lubang
berisi mayat Calong. Darah segar juga masih mengucur keluar dari dada dan
leher yang terbelah lebar.
“Ha ha ha...!”
Kedua orang itu terperanjat begitu tiba-tiba mendengar tawa keras
menggelegar. Begitu ter-peranjatnya, sehingga mereka sampai terlompat ke
belakang sejauh tiga langkah.
Dan belum lagi rasa terkejut Cagak dan Landar hilang, tiba-tiba berkelebat
dua buah bayangan. Dan tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri dua orang
laki-laki berwajah bengis. Mereka adalah Pangkeng dan Bancak.
Ctar!
Bancak mengebutkan cambuknya. Lecutan cambuk yang menggelegar membuat Cagak
dan Landar terlonjak kaget. Bahkan sampai melompat dua langkah ke belakang.
Wajah keduanya yang sudah memucat, menjadi semakin terlihat pucat bagai tak
dialiri darah. Mereka sama-sama melirik dua buah lubang yang berada tidak
jauh di samping kanan. Mereka sama-sama menelan ludah, untuk membasahi
tenggorakan yang tiba-tiba saja terasa kering.
“Kalian boleh pilih, masuk ke lubang itu, atau kembali pada Juragan Basra?”
Bancak memberikan pilihan.
Landar dan Cagak kembali saling melemparkan pandangan.
“Bagaimana, Cagak?” tanya Landar.
“Apa pun yang terjadi, aku tidak akan kembali lagi ke sana. Aku tidak mau
lagi hidup dibenci orang,” sahut Cagak tegas.
“Tapi mereka akan membunuh kita, Cagak.”
“Sekarang atau nanti, pasti kita akan mati.”
Landar menggeser kakinya sedikit ke samping, menjauhi Cagak. Ditatapnya
Bancak dan Pangkeng yang tersenyum-senyum menyeringai. Sedangkan Cagak
nampak sudah tidak peduli, seandainya harus mati menyusul yang lain di
tempat ini. Kata-kata Pendekar Pulau Neraka kembali terngiang. Dan dia sudah
merenungkannya dalam-dalam.
Selama ini Cagak memang hidup dalam ketidakpastian. Hidup yang tidak
nyaman, meskipun ditakuti semua orang. Tapi memang benar apa yang dikata-kan
Pendekar Pulau Neraka. Lebih baik dihormati daripada ditakuti. Cagak sudah
menyadari kalau selama ini dia telah salah jalan, dan tidak ingin
mengulanginya lagi.
“Kalau kau ingin kembali, menyingkirlah,” kata Cagak tegas pada
Landar.
“Kau akan mati, Cagak,” kata Landar mencoba membujuk.
Cagak malah tersenyum sinis. Sejak semula, Landar memang ragu-ragu
mengambil keputusan. Hal ini bisa dimaklumi, karena selama hidupnya, Landar
selalu tergantung pada orang lain. Dia tidak bisa hidup sendiri di alam
bebas. Apalagi mengembara dengan bekal kepandaian yang tanggung. Landar
tidak berani mengambil risiko. Dan lebih senang ikut orang lain yang lebih
kuat sebagai tempat bergantung.
“Sebaiknya kau kembali saja, Cagak. Kau tidak perlu takut pada Pendekar
Pulau Neraka. Kau berlindung saja di balik ketiak Juragan Basra. Ha ha
ha...!”
“Aku bukan pengecut!” geram Cagak seraya menatap Bancak tajam-tajam.
Kata-kata Bancak tadi memang sangat menyinggung dan menyakitkan. Darah
Cagak seketika mendidih karena merasa terhina dengan kata-kata Bancak
tadi.
“Kau pikir aku takut padamu, heh...?!” dengus Cagak.
“Ha ha ha...!” Bancak semakin keras tawanya.
“Hiyaaat...!”
Sret!
Cagak sudah tidak peduli lagi. Meskipun sadar kalau dirinya tidak bakal
menang menghadapi Bancak, namun hatinya benar-benar sudah ter-singgung. Dia
langsung mencabut goloknya, dan menyerang Bancak yang bersenjata cambuk dan
pedang.
***
“Uts!”
Cepat Bancak memiringkan tubuh ke kanan, sehingga tebasan golok Cagak hanya
lewat sedikit saja di samping tubuhnya. Dia langsung menarik kakinya dua
tindak ke belakang, begitu lolos dari serangan Cagak. Dan dengan cepat
sekali, tangan kirinya dihentakkan ke depan, menyodok ke arah perut
Bet!
Tapi Cagak sudah lebih cepat lagi mengibaskan goloknya ke depan perut.
Bancak agak terkejut juga. Buru-buru dia menarik pulang tangannya, sehingga
selamat dari tebasan golok yang berkilat mengerikan.
Cagak terus menyerang dengan goloknya yang berkelebatan cepat bagaikan
kilat, mengurung bagian-bagian tubuh Bancak yang mematikan. Namun dengan
manis dan indah sekali, Bancak masih mampu menghindari setiap serangan yang
dilancarkan Cagak. Bahkan beberapa kali dia sempat memberikan serangan
balasan. Walaupun selalu dapat dipatahkan Cagak dengan cepat. Hal ini tentu
saja membuat Bancak agak terperanjat juga. Sungguh tidak disangka kalau
Cagak memiliki kepandaian yang lumayan.
Padahal sebenarnya Cagak melakukan itu karena didorong kenekatan dan rasa
marah akibat hatinya tersinggung tadi. Dia sudah tidak peduli lagi meskipun
harus mati malam ini. Tapi paling tidak, dia masih mampu memberi perlawanan,
daripada mati sia-sia tanpa perlawanan sama sekali.
“Hiyaaa...!”
Tiba-tiba saja Bancak melenting ke atas, begitu golok Cagak membabat ke
arah kakinya. Dua kali tubuhnya berputaran di udara, lalu meluruk deras ke
arah kepala Cagak. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Bancak, sehingga
Cagak jadi kelabakan.
“Uts...!”
Bergegas Cagak membanting tubuhnya dan bergulingan beberapa kali di tanah.
Dan bersamaan dengan mendaratnya Bancak, dia pun cepat melompat bangkit. Dan
sebelum Cagak bisa melakukan sesuatu, Bancak sudah melecutkan cambuknya,
disertai pengerahan seluruh tenaga dalam.
Ctar!
Ujung cambuk hitam berduri halus menggeletar dahsyat, menimbulkan percikan
bunga api yang membelah udara. Cagak tersentak kaget. Dia men-coba
menghindar dengan melompat ke belakang, tapi....
Ctar!
Ctar!
“Akh...!”
Gerakan Cagak memang terlambat. Ujung cambuk hitam berduri halus berhasil
menyayat kulit dadanya. Cagak jatuh bergulingan di tanah. Dia tidak
menyadari kalau dirinya semakin mendekati salah satu lubang yang belum
terisi. Dan begitu dia mencoba bangkit berdiri, mendadak saja....
“Hiyaaa...!”
Begkh?
“Aaakh...!”
Tanpa dapat dihindari lagi, satu tendangan yang diiepaskan Bancak mendarat
telak di dada Cagak. Tubuh laki-laki bertubuh tegap itu langsung terpental
ke belakang, menuju salah satu lubang yang belum terisi. Dan selagi tubuh
Cagak berada di udara, Bancak sudah kembali melompat sambil mencabut pedang,
setelah memindahkan cambuknya ke tangan kiri terlebih dahulu.
“Hiyaaa...!”
Bet! Bet!
Crab! Cras...!
“Aaa...!”
Dua kali Bancak menyabetkan pedangnya. Cagak tak mampu lagi menghindari
tebasan yang begitu cepat Dia hanya bisa menjerit, kemudian jatuh ke dalam
lubang yang sudah tersedia di pinggir jalan. Rupanya tebasan pedang Bancak
tepat merobek dada dan leher. Hanya sebentar saja Cagak mampu menggeliat.
Kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
“Ha ha ha...!” Bancak tertawa terbahak-bahak sambil menyarungkan pedangnya
kembali di pinggang.
Sementara itu, Landar yang melihat kematian Cagak yang begitu tragis,
semakin gemetar seluruh tubuhnya. Kini semua teman-temannya sudah tewas, dan
berada di dalam lubang kubur masing-masing di tepi kiri dan kanan jalan.
Tinggal dia saja sendiri yang masih hidup. Sementara itu Bancak dan Pangkeng
sudah menghampiri. Landar semakin gemetar saja. Dia benar-benar tidak
sanggup lagi menentang tatapan mata mereka yang bengis.
“Kita apakan kunyuk jelek ini, Pangkeng?” tanya Bancak bernada sinis.
“Rasanya dia sama sekali tidak berguna,” sahut Pangkeng malas.
“Lalu...?” tanya Bancak lagi.
“Masih tersisa satu lubang lagi.”
“Eh, apa...?!” Landar terkejut setengah mati.
“Ha ha ha...! Rupanya kunyuk satu ini takut mati juga, Pangkeng. Aku
serahkan dia padamu.”
“Eh, ja....”
“Yeaaah...!”
“Akh...!”
Mendadak Pangkeng menghentakkan tangannya ke dada Landar. Dan laki-laki
berbaju biru itu tidak dapat lagi menghindar. Dia hanya bisa menjerit keras,
sementara tubuhnya terlempar jauh ke belakang.
Selagi tubuh Landar melayang di udara, Pangkeng sudah melompat cepat
mengejar. Dan secepat itu pula senjatanya yang berupa sepasang trisula
keemasan dicabut. Cepat sekali senjatanya digerakkan ke tubuh Landar.
“Aaa...!”
Satu lengkingan panjang mengiringi kematian Landar. Tubuhnya langsung masuk
ke dalam lubang yang memang masih tersisa satu lagi. Begitu tubuhnya
menyentuh tanah, langsung tidak bergerak lagi. Dari dada dan lehernya
mengucur darah segar.
“Ha ha ha...!”
Bancak tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Pangkeng membersihkan darah yang
melekat pada ujung senjatanya. Kemudian menyelipkan kembali di balik sabuk
pinggangnya. Perlahan tubuhnya diputar, menghadap ke arah Bancak yang masih
tertawa terbahak-bahak.
“Aku merasa ada yang kurang, Bancak,” kata Pangkeng.
“Apa lagi?” tanya Bancak langsung berhenti tawanya.
“Lubang.”
“Maksudmu?”
“Lubangnya kurang satu.”
“Untuk siapa lagi?”
“Pendekar Pulau Neraka.”
“Ha ha ha...!” Bancak kembali tertawa terbahak-bahak. “Aku tidak akan
membuatkan lubang untuk-nya. Dia lebih pantas dibuang ke laut. Biar
ikan-ikan berpesta pora menikmati tubuhnya.”
“Ah, sebaiknya kau buat saja satu lubang lagi, Bancak.”
“Baiklah. Akan kubuatkan satu lubang lagi.”
“Bukan satu, tapi dua...!”
“Eh!”
“Hei...?!”
Pangkeng dan Bancak terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba saja terdengar
suara keras menggema. Sejenak mereka saling pandang, lalu cepat mengedarkan
pandangan berkeliling. Tapi tidak ada seorang pun yang terlihat di
sekitarnya. Sedangkan tadi, suara itu demikian terdengar jelas, seakan-akan
begitu dekat di telinga.
“Siapa kau...?” bentak Pangkeng keras menggelegar.
“Aku...!” terdengar jawaban dari belakang kedua orang itu.
Cepat mereka memutar tubuhnya berbalik. Dan terkejut setengah main begitu
tahu-tahu sudah berdiri seorang pemuda berbaju kulit harimau, tidak jauh di
depan mereka. Betapa tidak terkejut..? Pemuda berbaju kulit harimau itu
tidak ketahuan datangnya. Dan tahu-tahu saja sudah ada di tempat ini.
“Pendekar Pulau Neraka...,” desis Bancak.
Pemuda berbaju kulit harimau itu memang Bayu. Atau lebih dikenal berjuluk
Pendekar Pulau Neraka. Dan sebelum kedua orang itu hilang rasa terkejutnya,
mendadak saja Pendekar Pulau Neraka melesat cepat. Begitu cepatnya, sehingga
dalam sekejap sudah lenyap dari pandangan.
“Hei...!? Di mana dia...?” sentak Bancak.
“Di sini,” terdengar sahutan dari belakang.
Tentu saja mereka benar-benar terkejut, karena tahu-tahu Pendekar Pulau
Neraka sudah berada di belakang. Dan begitu mereka berbalik, pemuda berbaju
kulit harimau itu kembali melesat cepat. Bayu seakan-akan sedang memamerkan
ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tahap kesempurnaan. Pendekar
Pulau Neraka yang terus ber-pindah-pindah tempat dengan cepat, tentu saja
membuat Bancak dan Pangkeng kebingungan.
Mereka terpaksa berputar berbalik setiap kali mendengar suara Bayu yang
selalu berpindah-pindah tempat dengan cepat. Hal ini tentu saja membuat
kepala mereka pening, karena harus selalu berputar mengikuti setiap
perpindahan yang dilakukan Bayu. Seakan-akan Pendekar Pulau Neraka ada di
mana-mana.
“Keparat...!” geram Bancak yang merasa di permainkan.
“Yeaaah...!”
Ctar!
Bancak langsung melecutkan cambuk dengan cepat begitu Bayu berada di
depannya. Namun sebelum ujung cambuk sampai, Bayu sudah kembali melesat. Dan
tahu-tahu Pendekar Pulau Neraka sudah berada di belakang mereka kembali. Hal
ini tentu saja semakin membuat Bancak dan Pangkeng geram setengah
mati.
“Kau ke kanan, Bancak,” kata Pangkeng berbisik.
“Baik,” sahut Bancak.
“Hiyaaa...!”
“Yeaaah...!”
Kedua orang kepercayaan Juragan Basra itu berlompatan menyebar. Bancak ke
kanan, sedangkan Pangkeng melompat ke kiri. Sementara Bayu berada di
tengah-tengah mereka. Sehingga Pendekar Pulau Neraka tidak mungkin lagi
berpindah-pindah tempat
“Sekarang kau tidak bisa lagi mempermainkan kami, Keparat!” dengus Bancak
menggeram sengit
“Hm...,” Bayu hanya tersenyum tipis.
Pendekar Pulau Neraka mengakui kecerdikan Pangkeng yang mengambil posisi
menyebar seperti ini. Bayu menepuk-nepuk kaki monyet kecil yang dengan setia
nangkring di pundaknya. Monyet kecil berbulu coklat yang bernama Tiren itu
mencericit ribut sambil berjingkrakan.
“Menyingkir dulu, Tiren,” kata bayu.
Sambil mencericit ribut, Tiren melompat ke pohon terdekat yang berada di
sebelah kanan Bayu. Monyet kecil berbulu coklat itu langsung hinggap di
sebatang dahan yang cukup kuat, dan duduk diam memperhatikan. Tidak lagi
mencericit ribut seperti tadi. Sementara Bayu mengayunkan kakinya ke depan
beberapa langkah, menjauhi pohon tempat Tiren nangkring.
“Mengapa kalian membantai mereka yang memilih jalan benar?” tanya Bayu
dengan suara dingin.
“Itu bukan urusanmu, Bayu!” jawab Bancak sinis.
“Sekarang jadi urusanku, karena mereka menyadari kesalahannya atas
saranku!” sentak Bayu keras.
Dari sinar matanya yang tajam dan memerah, sudah dapat dipastikan kalau
Pendekar Pulau Neraka begitu marah. Bayu sudah memberikan kesempatan pada
orang-orang yang kini terbaring tak bernyawa di dalam lubang untuk kembali
ke jalan yang benar. Tapi maksud baiknya kini pupus, karena ulah dua orang
ini. Dan itu sudah pasti membuatnya marah bukan kepalang. Namun tampaknya
Bayu masih mencoba meredam kemarahan. Dia harus bersikap tenang, agar tidak
terjerat oleh nafsu amarahnya sendiri.
“Hiya! Yeaaah...!”
Tiba-tiba Bayu menghentakkan kedua tangannya dua kali ke depan. Seketika
dari telapak tangannya yang terbuka lebar, berhembus angin kuat bagaikan
badai topan. Hembusan angin itu menghantam tanah, hingga menimbulkan ledakan
yang menggelegar. Seketika debu mengepul tinggi ke angkasa. Dan begitu mulai
sirna, tampak dua buah lubang menganga lebar dan cukup dalam, sekitar satu
tombak di depan Pendekar Pulau Neraka.
Baik Pangkeng maupun Bancak, terkejut setengah mati melihat Bayu membuat
lubang hanya dengan mengerahkan ilmu pukulan jarak jauh. Dari situ saja,
sudah dapat dipastikan kalau tingkat kepandaian Pendekar Pulau Neraka jauh
lebih tinggi dari kedua orang ini.
“Itu untuk kalian,” kata Bayu dingin.
“Phuih! Yeaaah...!”
Ctar!
Glarrr!
Bancak melecutkan cambuknya dengan keras disertai pengerahan seluruh tenaga
dalam. Ujung cambuk itu menghantam tanah di depannya. Dan seketika itu juga
terdengar ledakan dahsyat. Kembali debu berkepul tinggi ke angkasa. Ketika
debu mulai menipis, terlihat sebuah lubang yang cukup besar menganga di
depan Bancak.
“Itu untukmu, Pendekar Pulau Neraka,” sambut Bancak tidak kalah
dingin.
Bayu tersenyum tipis melihat Bancak juga melakukan hal yang sama dengannya.
Hanya saja Bancak mempergunakan cambuk untuk membuat lubang. Hal ini tentu
saja memberi isyarat pada Bayu, kalau tingkat kepandaian yang dimiliki
Bancak tidak bisa dipandang enteng.
“Kau serang kepalanya, Bancak...! Hiyaaa...!” seru Pangkeng tiba-tiba dan
keras sekali.
Sambil berteriak, Pangkeng langsung melompat cepat sambil mencabut
senjatanya. Dan secepat itu pula senjatanya dikibaskan ke arah perut
Pendekar Pulau Neraka. Pada saat yang sama, Bancak juga melompat seraya
melecutkan cambuknya ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka. Serangan mereka
begitu cepat luar biasa. Namun Bayu yang sudah siap sejak tadi, bertindak
cepat dengan melompat mundur sambil memutar tubuh dan berjumpalitan beberapa
kali di udara.
Namun Bancak dan Pangkeng terus mencecar Pendekar Pulau Neraka. Secara
bergantian, mereka menyerang dari atas dan bawah, membuat Bayu harus
berlompatan, dan berjumpalitan menghindar. Tak sedikit pun mereka memberi
kesempatan Pendekar Pulau Neraka untuk memberikan serangan balasan. Bahkan
untuk menarik napas, hampir-hampir sama sekali tidak ada
kesempatan.
***
DELAPAN
Meskipun menghadapi dua orang yang berkepandaian cukup tinggi, namun Bayu
masih mampu melayaninya. Serangan-serangan yang dilakukan Bancak dan
Pangkeng, tidak satu pun yang mengenai sasaran Bayu selalu dapat mematahkan
serangan mereka dengan manis sekali. Bahkan beberapa kali Pendekar Pulau
Neraka memberikan serangan yang membuat mereka jadi kelabakan.
Sudah beberapa kali pula Pangkeng dan Bancak terkena pukulan bertenaga
dalam tinggi yang dilepaskan Bayu. Tapi mereka masih tetap bertahan dan
terus menyerang. Darah sudah merembes ke luar dari sudut bibir mereka.
Sementara pertarungan mereka sudah menghabiskan puluhan jurus. Dan sampai
sejauh itu belum satu pun serangan yang dapat disarangkan ke tubuh
Bayu.
“Lepas...! Yeaaah...!” tiba-tiba saja Bayu berteriak keras.
Dan bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kirinya,
menyambar pergelangan tangan kanan Pangkeng. Begitu cepat hentakan tangan
itu, sehingga Pangkeng tidak sempat menghindar lagi.
Plak!
“Akh...!” Pangkeng memekik tertahan. Trisula keemasan yang tergenggam di
tangan kanannya terpental jauh ke angkasa. Dan sebelum Pangkeng sempat
menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu Bayu sudah menghentakkan tangan kanan,
sambil memiringkan tubuhnya sedikit ke samping.
Bet! Sing...!
Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau
Neraka melesat cepat ke arah Pangkeng. Begitu cepatnya Cakra Maut melesat,
sehingga Pangkeng tidak mampu menghindar lagi.
Crab!
“Aaa...!” kembali Pangkeng menjerit keras.
Cakra Maut menghunjam dalam di leher Pangkeng yang memegang satu trisula di
tangan kiri. Bayu cepat melompat ke atas sambil menghentakkan tangan
kanannya ke atas kepala. Cakra Maut kembali melesat keluar dari leher
Pangkeng. Seketika itu juga darah menyembur deras.
Hanya sebentar, Pangkeng masih mampu berdiri. Saat berikutnya, dia sudah
menggelepar-gelepar di tanah. Itu pun hanya sebentar saja. Sesaat kemudian,
Pangkeng mengejang kaku. Tak bergerak-gerak lagi untuk selamanya.
“Keparat kau...!” geram Bancak melihat temannya tewas, dengan leher hampir
putus.
Saat itu Bayu sudah kembali berdiri tegak. Dan Cakra Maut juga sudah
menempel kembali di pergelangan tangan kanannya. Pendekar Pulau Neraka hanya
tersenyum tipis. Tatapan matanya begitu tajam, menusuk langsung ke bola mata
Bancak.
“Giliranmu segera menyusul, Bancak,” terasa dingin menggetarkan suara
Bayu.
“Setan...! Hiyaaat..!”
Bancak yang sebenarnya sudah gentar, menjadi merah mukanya mendengar
ancaman Bayu. Dia tidak peduli lagi, meskipun sadar kalau dirinya tidak
bakal menang menghadapi Pendekar Pulau Neraka. Kini dia kembali menerjang
sambil melecutkan cambuk ke arah dada pemuda berbaju kulit harimau
itu.
Namun Bayu tidak bergeming sedikit pun. Tampaknya memang sengaja menunggu
ujung cambuk yang meluruk deras ke arah dadanya. Dan begitu dekat, cepat
tangan kirinya digerakkan, menangkap ujung cambuk.
Rrrt..!
“Hih...!”
Bancak berusaha menarik cambuknya. Namun cambuk hitamnya sama sekali tidak
bergerak. Meskipun sudah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga dalamnya, namun
tetap saja cambuk itu tidak bergerak.
“Eh...!”
Bughk...!
Setelah sekian lama terjadi tarik-menarik, tahu-tahu Bayu melepas
genggamannya pada cambuk Bancak. Karuan saja tubuh Bancak terlempar ke
belakang. Daya luncur tubuhnya baru terhenti setelah menabrak sebatang pohon
sepuluh tombak di belakangnya.
“Setan...! Hih!”
Sret!
Bancak bergegas bangkit dan langsung mencabut pedangnya. Secepat pedangnya
dicabut, secepat itu pula ditebaskan ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka.
Namun pemuda berbaju kulit harimau itu hanya menarik kepalanya ke belakang.
Sehingga ujung pedang Bancak hanya lewat sedikit di depan wajah Pendekar
Pulau Neraka.
Dan sebelum Bancak sempat menarik pedangnya kembali, Bayu sudah
menghentakkan tangan kanannya ke depan. Cakra Maut yang menempel di
pergelangan tangan kanannya, seketika melesat cepat. Mata Bancak terbelalak
lebar, tapi tidak ada kesempatan lagi untuk menghindar, karena jarak mereka
terlalu dekat.
Crab!
“Aaa...!”
Bancak menjerit nyaring begitu Cakra Maut menghunjam dalam di dadanya. Pada
saat yang hampir bersamaan, Bayu melepaskan satu tendangan menggeledek ke
arah kepala. Tendangan Pendekar Pulau Neraka yang demikian keras, membuat
tubuh Bancak melintir, dan ambruk ke tanah. Sebentar tubuhnya menggeliat
sambil mengerang. Kemudian diam tak berkutik lagi.
“Hhh...!” Bayu menarik napas panjang.
Pendekar Pulau Neraka membalikkan mayat Bancak, dan mencabut Cakra Maut
yang tertanam dalam di dada. Lalu memasang senjata andalannya itu ke
pergelangan tangan kanan.
“Kaaakh...!”
“Kemari, Tiren,” kata Bayu seraya menoleh pada monyet kecil yang
berjingkrakan di atas dahan.
Monyet kecil berbulu coklat itu meluncur turun. Kemudian berlarian
menghampiri Bayu. Dan langsung melompat naik ke pundak Pendekar Pulau
Neraka. Bayu menepuk-nepuk kepala binatang itu dengan penuh kasih
sayang.
“Tinggal satu lagi, Tiren. Setelah itu terserah kau, mau ikut aku terus,
atau kembali ke alam bebas,” kata Bayu.
“Nguk...!”
“Ayo, kita pergi.”
***
Sementara itu, di rumah Juragan Basra, laki-laki bertubuh gemuk itu tampak
kebingungan. Karena tidak melihat seorang pun anak buahnya di rumah yang
besar ini. Berkali-kali dia sudah mengelilingi rumah, dan memeriksa setiap
kamar, tapi tidak ada seorang pun anak buahnya yang ditemui. Laki-laki gemuk
berkepala setengah botak itu berdiri bertolak pinggang di depan
beranda.
“Setan! Ke mana mereka...?” umpat Juraga Basra gusar bercampur heran.
Pandangannya diedarkan berkeliling. Tapi, hanya kegelapan yang didapatkan.
Kesunyian begitu mencekam. Tak terdengar suara apa pun, selain desir angin
yang mengusik gendang telinga. Begitu sunyinya, sehingga suara binatang
malam pun tak terdengar.
Juragan Basra mulai gelisah. Disadari kalau dirinya sudah ditinggalkan oleh
orang-orangnya. Dan dia juga sudah bisa menebak, siapa yang membuat
orang-orangnya meninggalkan dirinya.
“Pendekar Pulau Neraka...,” desis Juragan Basra menggeram.
Laki-laki gemuk itu tidak pernah membayangkan akan berurusan dengan seorang
pendekar digdaya yang sudah menggemparkan dunia persilatan. Seorang pendekar
muda yang selalu bertindak tegas pada lawan-lawannya. Pendekar yang sangat
disegani, baik oleh kawan maupun lawan. Juragan Basra jadi teringat dengan
peristiwa beberapa waktu yang lalu, ketika Pendekar Pulau Neraka membalas
kematian ayahnya pada Rengganis dan komplotannya.
Dia jadi bergidik ngeri membayangkan peristiwa itu. Satu peristiwa
menggemparkan, dimana Pendekar Pulau Neraka baru saja menginjakkan kakinya
di dunia luar. Dan segala tindakannya masih belum terkendali. Dia membantai
habis orang-orang yang tersangkut dalam pembunuhan orang tuanya. Tidak
peduli apakah mereka hanya orang suruhan yang tidak tahu permasalahannya.
Dan tentu saja Juragan Basra tidak tahu, kalau selama dalam pengembaraannya,
Bayu mendapat banyak pengalaman yang sedikit banyak telah merubah wataknya
yang ganas dan tidak mengenal ampun.
Slap...!
“Heh...?!”
Juragan Basra tersentak kaget ketika tiba-tiba saja sebuah benda berwarna
keperakan berkelebat cepat ke arahnya. Cepat-cepat ditarik tubuhnya ke
kanan, sehingga benda berwarna keperakan itu lewat sedikit di samping
tubuhnya, dan langsung menancap pada tiang beranda rumah. Sebuah benda
berbentuk bintang segi enam berwarna keperakan.
“Pendekar Pulau Neraka...,” desis Juragan Basra begitu mengenali benda
berbentuk bintang perak segi enam yang tertancap di tiang beranda.
“Kau sudah siap, Juragan Basra...?”
“Heh...?!”
Lagi-lagi Juragan Basra terkejut begitu mendengar suara yang begitu dalam
dan menggema. Seakan-akan suara itu datang dari segala penjuru. Begitu
terkejutnya, sampai terlompat ke belakang dua langkah. Dan belum lagi rasa
terkejutnya lenyap, mendadak saja berkelebat sebuah bayangan kuning
kehitaman dari atas atap. Bayangan itu melewati kepala Juragan Basra, dan
tahu-tahu di depan laki-laki gemuk berkepala setengah botak itu telah
berdiri tegak seorang pemuda tampan berbaju kulit harimau.
“Pendekar Pulau Neraka...,” desis Juragan Basra, agak bergetar
suaranya.
Memang sudah sejak tadi Juragan Basra merasa gelisah ketika mendapatkan
bintang keperakan segi enam di dalam kamarnya. Dan kegelisahannya semakin
bertambah tatkala teringat sepak terjang pemuda berbaju kulit harimau itu
sewaktu membalas kematian ayahnya pada komplotan Rengganis.
“Pangkeng...! Bancak...!” teriak Juragan Basra memanggil tukang
pukulnya.
“Mereka sudah tidak ada lagi, Juragan Basra.”
“Heh...?! Apa yang kau lakukan pada mereka?” tanya Juragan Basra tersentak
kaget
“Mereka memilih jalannya sendiri,” sahut Bayu kalem.
“Kau..., kau...,” suara Juragan Basra terputus. Wajahnya yang bulat,
semakin kelihatan pucat
Sret!
Juragan Basra mencabut pedangnya. Tapi dia memegang pedangnya dengan tangan
gemetar. Sementara Bayu hanya tersenyum saja. Pemuda ini tahu kalau
laki-laki gemuk ini hanya memiliki sedikit kepandaian ilmu dan kanuragan.
Hanya karena kekayaan dan kekuasaannya saja, maka dia mampu membayar
jago-jago berkemampuan cukup tinggi, yang membuat dirinya jadi orang kuat di
Pesisir Pantai Selatan ini. Hal itu diketahui Bayu dari Paman Jangir sebelum
tewas.
“Hiyaaat..!”
Juragan Basra langsung berlari cepat sambil membabatkan pedang ke arah
leher Bayu. Namun pemuda berbaju kulit harimau itu kelihatan tenang. Dan
dengan bibir mengulas senyuman, dia menunggu dengan tenang tanpa bergeming
sedikit pun.
“Hap!”
Begitu ujung pedang berada di dekat leher, dengan cepat sekali Bayu
menggerakkan tangan kanannya.
Tap!
Hanya dengan dua jari tangan, Pendekar Pulau Neraka menjepit ujung pedang
Juragan Basra. Kelihaian Bayu ini tentu saja membuat laki-laki gemuk itu
terbeliak. Dia mencoba menarik pedangnya kembali. Namun pedang itu seperti
terjepit oleh jepitan baja. Sedikit pun tidak bergerak, meskipun sudah
mengerahkan seluruh tenaganya.
“Hih!”
Bayu menghentakkan tangan kanannya.
Trak!
“Heh...?!”
Juragan Basra terkejut bukan main begitu melihat pedangnya patah hanya
dengan sekali hentakan tangan saja. Tubuhnya terdorong dua langkah ke
belakang. Melihat pedangnya buntung setengah, tentu saja laki-laki bertubuh
gemuk itu semakin ciut nyalinya.
“Kaaakh...!”
Tiba-tiba saja monyet kecil di pundak Bayu menerjang Juragan Basra sambil
memekik keras. Mata Juragan Basra membelalak lebar, tidak dapat lagi
melakukan apa-apa. Bayu sendiri juga tersentak kaget, melihat binatang kecil
berbulu coklat itu menerjang Juragan Basra.
“Tiren, jangan...!” seru Bayu.
Tapi Tiren sudah lebih dahulu menerjang Juragan Basra.
“Aaakh...!” Juragan Basra menjerit, meraung keras begitu Tiren mencakar
wajahnya.
Laki-laki bertubuh gemuk itu jatuh berdebum di tanah berpasir putih.
Sedangkan Tiren mencericit ribut sambil mencakar seluruh wajah Juragan
Basra. Giginya yang bertaring tajam, mengoyak leher dan dada laki-laki gemuk
itu. Sebentar saja, seluruh wajah, leher, dan dada Juragan Basra sudah
berlumuran darah. Sementara Bayu tidak dapat berbuat apa-apa.
Juragan Basra meraung-raung, menggebat ke sana kemari mencoba melepaskan
diri dari serangan Tiren. Tapi monyet kecil berbulu coklat itu malah semakin
ganas saja. Suaranya bukan lagi mencericit ribut, tapi menggerung bagai
gorila buas.
“Tiren, kemari...!” benta Bayu keras.
Tiren menghentikan aksinya. Lalu melompat cepat, dan hinggap di atas rumah
Juragan Basra. Sedangkan laki-laki gemuk itu menggerung-gerung dan
bergulingan di tanah sambil menutupi wajahnya yang berlumuran darah.
Bayu hanya bisa memandangi saja. Hatinya benar-benar terkejut dengan
perbuatan Tiren. Sungguh tidak diduga kalau Tiren akan berbuat seperti ini.
Melampiaskan dendam, karena majikannya tewas oleh Juragan Basra.
“Ampun..., jangan bunuh aku. Tolong, jangan bunuh aku. Apa saja yang kau
inginkan, akan kuturuti, Bayu,” rintih Juragan Basra seraya berlutut di
depan kaki Pendekar Pulau Neraka.
“Sebenarnya aku benci melihat tingkahmu selama ini, Juragan Basra,” ujar
Bayu agak dingin. Tapi akhirnya dia merasa iba juga melihat laki-laki gemuk
ini berlutut dan merintih memohon belas kasihan.
“Aku tidak akan melakukan lagi. Aku janji...,” ujar Juragan Basra.
“Aku tidak yakin janjimu bisa dipegang.”
“Aku bersumpah, Bayu. Asal kau biarkan aku tetap hidup,” rengek Juragan
Basra tetap berlutut
“Hm, bagaimana kalau kau ingkar?”
“Kau boleh memenggal leherku, Bayu.”
“Jangan percaya omongannya, Kakang...!”
Bayu perpaling ketika terdengar suara dari arah kanan. Tampak Nyai Sinah
sudah berada tidak jauh darinya. Tangan kiri wanita itu menggenggam sebilah
pedang. Bayu agak terkejut juga melihat wanita yang tampak lemah itu
memegang pedang.
Nyai Sinah menghampiri Juragan Basra yang masih tetap berlutut di depan
Bayu. Ditatapnya tajam-tajam laki-laki bertubuh gemuk dan berkepala setengah
botak yang kini berlumuran darah itu. Kemudian mencabut pedang yang
tergenggam di tangan kiri.
“Orang semacam dia harus mampus,” desis Nyai Sinah dingin.
“Hiyaaat..!”
“Nyai, tunggu...!” sentak Bayu terkejut. Tapi terlambat Nyai Sinah sudah
keburu mengayunkan pedangnya, dan....
Cras!
“Aaa...!”
Juragan Basra menjerit menyayat hati begitu mata pedang Nyai Sinah menebas
lehernya. Meskipun pedang itu berkilat tajam, tapi karena digunakan oleh
tenaga wanita yang tidak terlatih, maka tidak sampai memenggal putus leher
Juragan Basra. Namun hal ini sudah cukup membuat laki-laki gemuk itu
menggelepar.
Nyai Sinah melepaskan pedang yang masih tertanam di leher Juragan Basra
dengan tangan gemetar. Kemudian melangkah mundur dengan wajah berubah pucat.
Sepertinya dia tidak percaya kalau sudah memenggal leher orang.
Sementara itu, Juragan Basra sudah tidak bergerak-gerak lagi. Sudah terlalu
banyak darah yang keluar dari lehernya. Bayu cepat mencabut pedang yang
tertanam di leher laki-laki gemuk itu. Perlahan diambilnya sarung pedang
yang masih tergenggam di tangan Nyai Sinah, dan memasukkan pedang itu ke
dalam sarungnya. Sedangkan Nyai Sinah hanya ber-diri terpaku saja.
“Oh, apa yang telah aku lakukan...?” agak bergetar suara Nyai Sinah.
“Dendammu sudah terbalas, Nyai,” sahut Bayu lembut
“Aku..., aku telah membunuhnya...?” Nyai Sinah seperti tidak percaya kalau
dia mampu melenyapkan nyawa seseorang.
Janda cantik itu memandangi Bayu dan mayat Juragan Basra bergantian.
Pancaran matanya masih belum percaya kalau laki-laki gemuk itu tewas di
tangannya.
“Aku telah membunuhnya.... Aku jadi pembunuh.... Oh, tidak...,” Nyai Sinah
menggeleng-gelengkan kepalanya.
Pada saat itu, dari rumah-rumah di sekitar kediaman Juragan Basra,
bermunculan orang-orang. Mereka memang sejak tadi sudah mendengar dan
melihat keributan yang terjadi, tapi tidak berani keluar dari dalam rumah.
Dan sekarang mereka baru berani keluar setelah Juragan Basra tewas di tangan
Nyai Sinah.
“Bukan kau yang membunuhnya, Nyai,” kata Bayu, pelan dan lembut sekali
suaranya.
“Benarkah...?” Nyai Sinah masih tidak percaya.
“Kau hanya perantara dari ketidakpuasan Hanggara. Bicaralah di depan
pusaranya. Aku yakin, Hanggara pasti akan tenang di alam sana,” kata Bayu
lagi.
Sebentar Nyai Sinah memandang pemuda berbaju kulit harimau itu. Kemudian
berbalik dan melangkah perlahan. Sedangkan Bayu memperhatikan saja. Dia bisa
memaklumi kalau wanita itu seperti orang linglung setelah menghunjamkan
pedang ke leher Juragan Basra. Nyai Sinah bukanlah pendekar wanita. Dia
hanya wanita biasa yang baru kali ini memegang pedang. Bayu memandangi
pedang di tangannya. Pada gagang pedang itu terukir sebuah nama.
“Hanggara... Apakah tadi arwah Hanggara menyusup ke dalam tubuh Nyai
Sinah...?” gumam Bayu.
Pendekar Pulau Neraka kembali memandangi Nyai Sinah yang sudah jauh
berjalan. Sementara di sekitar tempat ini sudah semakin banyak berkumpul
orang-orang yang ingin menyaksikan kematian Juragan Basra. Dari raut wajah
dan sinar mata mereka, terpancar rasa senang melihat laki-laki gemuk itu
terkapar mandi darah.
“Aku harus mengembalikan pedang ini pada pemiliknya,” kata Bayu bicara
sendiri.
“Ayo Tiren...!”
“Nguk...!”
Tiren langsung meluncur turun dan hinggap di pundak Pendekar Pulau Neraka.
Sebentar Bayu memandangi orang-orang yang berkerumun semakin dekat. Mereka
semua seakan-akan ingin mengucapkan terima kasih, tapi tidak ada yang
mengucapkannya. Karena bagi mereka, Bayu sangat asing dan tidak dikenal di
daerah Pesisir Pantai Selatan ini.
Bayu bergegas mengayunkan kakinya meninggal-kan halaman depan rumah Juragan
Basra. Kakinya melangkah cepat, menyusul Nyai Sinah yang sudah jauh. Dan
begitu keluar dari kerumunan orang banyak, segera dikerahkan ilmu
meringankan tubuh-nya. Begitu cepat dan sempurnanya ilmu meringan-kan tubuh
yang dimiliki Pendekar Pulau Neraka, sehingga dalam sekejap saja sudah tidak
terlihat bayangan tubuhnya lagi.
Sementara itu di ufuk Timur, menyemburat cahaya merah jingga. Sebentar lagi
matahari akan menampakkan diri. Sinar matahari yang akan membawa lembaran
kehidupan baru bagi seluruh penduduk di Pesisir Pantai Selatan ini. Seluruh
wajah mereka begitu cerah, secerah cahaya matahari yang semakin menampakkan
diri.
SELESAI
EPISODE SELANJUTNYA
Emoticon