Pagi-pagi sekali Pramana sudah menemui Eyang Paladi di balai latihan yang
berada di samping kanan rumah utama Padepokan Mega Kiting ini. Eyang Paladi
yang sedang melatih tenaga dalam, agak terkejut juga melihat kedatangan
cucunya pagi-pagi begini. Dihentikan latihannya, lalu duduk bersila di
lantai bangsal latihan ini.
"Duduk, Pramana," ujar Eyang Paladi.
Pramana menjura memberi hormat, kemudian duduk bersila di depan laki-laki
pemimpin Padepokan Mega Kiting ini.
'Tidak biasanya pagi-pagi begini sudah bangun. Ada yang ingin kau bicarakan
denganku, Pramana?" Eyang Paladi langsung menuju pada pokok
persoalannya.
"Benar," sahut Pramana singkat.
"Katakan saja. Di tempat ini tidak ada rahasia."
"Semalam aku mendengar ada tamu. Siapa dia, Eyang?" Pramana langsung saja
pada pokok pembicaraannya.
"Kau mencuri dengar pembicaraanku, Pramana?" agak terkejut juga Eyang
Paladi mendengar pertanyaan cucunya ini.
'Tidak begitu jelas. Tapi aku seperti pernah mendengar suara tamu itu. Yang
jelas, bukan suara murid-murid di sini, Eyang," Pramana berhenti sebentar.
"Bukan maksudku untuk usil, Eyang. Tapi aku seperti pernah mengenalnya.
Barangkali saja bisa mengenal lebih jauh. Atau mungkin malah temanku
sendiri."
"Dia Bayu, lebih dikenal berjuluk Pendekar Pulau Neraka. Sengaja kuundang
ke sini untuk meminta bantuan mengatasi manusia bertopeng muka babi. Desa
ini sudah seperti neraka, Pramana. Lebih dari separuh muridku tewas, dan
semua penduduk semakin dicekam ketakutan. Terlebih lagi para kerabat
keluarga pendiri padepokan ini."
"Bayu...," desis Pramana menggumamkan nama Pendekar Pulau Neraka.
Baru semalam Rawuni menyebut nama itu. Nama dari seseorang yang pernah
menolongnya dari jeratan jaring jebakan di dalam hutan. Ternyata orang itu
memang pendekar tangguh. Tidak mungkin Eyang Paladi meminta bantuannya kalau
tidak memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Dan yang pasti, persoalan yang
dihadapi sudah tidak mampu lagi ditanganinya sendiri.
"Kau kenal dengannya, Pramana?" tegur Eyang Paladi.
"Sekali pernah bertemu," sahut Pramana.
"Kalau ingin menemuinya, dia ada di bangsal belakang. Mungkin masih tidur,"
kata Eyang Paladi lagi.
"Nanti saja, Eyang. Aku ingin jalan-jalan dulu, melihat-lihat suasana di
desa," tolak Pramana halus.
"Hati-hatilah. Kalau perlu, bawa beberapa orang muridku."
'Terima kasih, Eyang. Aku bisa jaga diri."
"Aku percaya padamu, Pramana. Tapi aku tidak ingin melibatkan dirimu dan
adikmu dalam kemelut ini."
"Mudah-mudahan tidak," sahut Pramana seraya bangkit berdiri.
Pramana menjura memberi hormat, kemudian berbalik melangkah keluar dari
bangsal latihan ini. Sementara Eyang Paladi kembali melanjutkan latihannya.
Tapi belum juga jauh berlatih, muncul seorang pemuda berbaju dari kulit
harimau. Pemuda itu membungkukkan tubuhnya sedikit dan duduk di depan Eyang
Paladi.
"Aku lihat ada yang baru keluar dari sini," kata pemuda itu.
"Cucuku, Bayu," sahut Eyang Paladi.
"Hmmm...," pemuda berbaju kulit harimau yang memang tidak lain adalah Bayu
si Pendekar Pulau Neraka itu hanya bergumam kecil.
"Ada apa? Kau pernah bertemu dengannya?" tanya Eyang Paladi melihat raut
wajah Pendekar Pulau Neraka agak berubah.
"Sekali. Tapi rasanya tidak penting," sahut Bayu.
"Kalau begitu, ada apa kau ke sini menemuiku pagi-pagi begini?"
"Hanya ingin lebih jelas lagi, Eyang," sahut Bayu.
"Ya.... Semua memang harus dijelaskan dari awal kepadamu, meskipun aku
yakin kau sudah menyelidiki terlebih dahulu sebelum menemuiku semalam. Tapi
aku sungguh berterima kasih karena kau bersedia membantuku. Juga membantu
mengeluarkan penduduk desa ini dari kobaran api neraka," kata Eyang Paladi.
Bayu hanya tersenyum saja.
***
LIMA
Dua buah bayangan terlihat berkelebat cepat dan menyelinap ke tiap
rumah-rumah penduduk Desa Kiting, lalu berhenti di belakang sebuah rumah
yang tidak begitu besar. Mereka saling bertatapan sebentar, lalu salah
seorang melangkah pelahan mendekati pintu belakang yang sedikit terbuka.
Pelahan sekali tangannya mendorong pintu itu. Suara berderik terdengar dari
pintu yang terkuak pelahan.
"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam. Tak ada sahutan sedikit pun.
Orang berbaju serba gelap yang wajahnya tertutup topeng muka babi itu
mengibaskan tangannya cepat, ketika tiba-tiba dari bagian dalam rumah ini
muncul seseorang. Secercah cahaya melesat cepat bagai kilat ke arah orang
yang baru muncul itu.
"Akh...!" terdengar suara pekikan tertahan. Seketika itu juga sesosok tubuh
terjungkal dengan dada berlubang. Ternyata itu adalah sosok tubuh wanita
setengah baya, yang kemudian langsung tewas seketika. Dari dadanya mengalir
darah segar.
"Ibu...!" terdengar jeritan melengking.
"Hih!"
Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup topeng itu kembali mengibaskan
tangannya. Secercah cahaya kembali berkelebat cepat Cahaya itu terpancar
dari sebilah pisau kecil yang tipis. Tapi orang yang menghambur ke arah
mayat wanita setengah baya itu cepat menjatuhkan diri, sehingga pisau kecil
itu lewat di atas tubuhnya.
Namun pisau kecil itu terus meluruk dan menancap dalam di dada seorang anak
berusia sekitar delapan tahun yang baru saja terbangun dari dipan. Anak itu
menjerit keras, dan langsung ambruk tidak bangun-bangun lagi.
Orang berbaju gelap yang wajahnya tertutup topeng itu, melompat cepat
Langsung dihantamkan satu pukulan keras bertenaga dalam tinggi pada
orang-orang yang baru terbangun. Kembali dua jeritan melengking terdengar,
disusul tergeletaknya dua sosok tubuh. Yang seorang masih kecil, sedangkan
seorang lagi sudah menginjak remaja. Orang itu berbalik, kemudian menatap
seorang wanita muda berusia sekitar delapan belas tahun yang tergeletak
pingsan di samping mayat wanita setengah baya. Dia sudah mengangkat
tangannya hendak melontarkan satu pukulan, tapi....
"Tahan!"
Bersamaan dengan terdengarnya suara cegahan, muncul seorang berbaju gelap
dan wajahnya ditutupi topeng yang sama persis dengan orang yang sudah
menewaskan empat orang dalam waktu singkat.
"Kita membutuhkan keterangannya. Biarkan dia hidup untuk beberapa saat
saja," kata orang yang baru datang.
"Hmm.., baiklah."
Orang yang baru masuk tadi segera mengangkat tubuh wanita muda yang
tergeletak pingsan, kemudian cepat sekali melompat keluar, diikuti yang
seorang lagi. Kesunyian kembali menyelimuti seluruh rumah itu. Orang
bertopeng yang melompat belakangan, sempat menyambar pelita dan
melemparkannya ke dalam rumah. Suara letupan kecil terdengar, kemudian api
kontan berkobar besar melahap isi rumah itu. Lidah api terus menjilat
dinding yang terbuat dari belahan papan.
"Kebakaran...! Kebakaran...!"
Tidak berapa lama kemudian terdengar teriakan-teriakan ribut, kemudian
terdengar kentongan bambu dipukul bertalu-talu. Sebentar saja di sekitar
rumah itu sudah banyak orang. Tanpa ada yang memerintah, mereka berusaha
memadamkan api yang semakin mengganas dengan menggunakan peralatan apa saja.
Beberapa orang bersenjata golok di pinggang, menerobos masuk ke dalam.
Mereka keluar lagi sambil membawa tubuh-tubuh tak bernyawa lagi.
***
Jauh di suatu tempat di luar perbatasan Desa Kiting sebelah Timur, tampak
dua orang berpakaian serba gelap tengah berdiri tegak memandangi gadis muda
yang tergolek pingsan. Kedua orang bertopeng muka babi itu saling
berpandangan.
"Sebaiknya kau kembali. Jangan sampai ada yang mencurigakan," usul salah
seorang.
"Kalau ada yang menanyakanmu?"
"Bilang saja aku sedang berlatih di bukit. Katakan, kalau itu kebiasaanku!
Selalu berlatih di tengah malam buta."
"Baiklah, aku pergi dulu. Tapi jangan terlalu lama di sini. Tempatnya tidak
aman, sewaktu-waktu mereka bisa datang."
"Jangan khawatir. Justru kaulah yang harus dicemaskan."
"Sudahlah! Aku pergi dulu."
"Cepat! Sebelum ada yang menyadari."
"Baik."
Salah satu dari orang bertopeng muka babi itu segera melesat pergi. Begitu
cepatnya melesat, sehingga dalam sekejap saja bayangan tubuhnya telah lenyap
dari pandangan. Sementara orang bertopeng yang satu lagi, duduk bersila di
samping tubuh gadis yang belum juga sadarkan diri. Jari-jari tangan orang
bertopeng itu bergerak lincah di beberapa bagian tubuh gadis itu, kemudian
ditunggunya dengan sabar sambil berdiam diri.
Tidak lama berselang, gadis itu mulai siuman. Dia merintih lirih. Kepalanya
bergerak menggeleng kanan dan ke kiri. Pelahan-lahan sekali dibuka kelopak
matanya. Gadis itu kontan menjerit begitu melihat wajah persis seekor babi
berada di dekatnya. Dia berusaha menggelinjang, tapi seluruh tubuhnya sukar
digerakkan.
"Jangan takut! Aku tidak akan melukaimu kalau kau bersedia menjawab terus
terang beberapa pertanyaanku," tegas orang bertopeng muka babi itu.
"Siapa kau?" agak bergetar suara gadis yang ternyata adalah Parti, putri
sulung Dalaga.
"Sebut saja aku sesuka hatimu. Aku tidak punya nama," sahut orang bertopeng
itu.
"Kau.... Kau yang membunuh keluargaku! Kau kejam...! Pembunuh...!" Parti
berusaha melepaskan totokan orang itu, tapi sungguh kuat totokan itu.
Parti memang pernah belajar ilmu olah kanuragan dari ayahnya. Meskipun
tidak begitu tinggi, tapi pengerahan hawa murni dan tenaga dalam terus
dilatihnya setiap hari.
"Makilah sepuasmu, Manis. Toh sebentar lagi kau akan menyusul yang lain ke
neraka," ujar orang bertopeng itu kalem.
Parti terdiam membisu. Bola matanya menatap tajam, lurus ke bola mata yang
cukup tersembunyi di balik topeng bermuka babi itu. Pelahan-lahan rasa
takutnya mulai hilang. Timbul kebencian dan dendam karena mengenali orang
bertopeng inilah yang membunuh ayahnya. Bahkan malam tadi baru menewaskan
semua adik dan ibunya.
"Apa yang kau ingin ketahui dariku?" tanya Parti mencoba mengalah. Disadari
kalau kondisinya saat ini tidak memungkinkan untuk berdebat dan berkeras
kepala.
"Katakan, di mana Jruda berada?" tanya orang bertopeng itu.
"Aku tidak tahu," sahut Parti.
"Jangan coba-coba berdusta! Aku tahu kau ponakan Jruda. Di mana dia
sekarang?!" bentak orang itu mulai gusar.
"Aku tidak tahu!" sahut Parti.
"Rupanya kau keras kepala juga, Manis. Baiklah. Mungkin bisa mengaku dengan
caraku ini."
"Heh...! Apa yang kau lakukan?!"
Bret!
"Au...!" Parti terpekik kaget.
Kasar sekali orang bertopeng itu merenggut baju bagian dada Parti, sehingga
koyak. Dada yang membusung indah itu terbuka lebar tanpa penutup lagi. Wajah
gadis itu jadi pucat pasi. Dia berusaha melepaskan totokan di tubuhnya.
Tapi, tetap saja tidak berhasil meskipun sudah mengerahkan hawa murni di
dalam tubuhnya. Dengan tenaga dalam pun tidak kunjung berhasil juga.
"Jangan...!" pekik Parti.
"Katakan, di mana pamanmu berada?" dingin nada suara orang bertopeng
itu.
"Aku tidak tahu.... Aku mohon, lepaskan aku...," Parti mulai merintih
memohon belas kasihan.
Bret!
"Auwh...!" kembali Parfi memekik tertahan.
Tubuh gadis itu semakin lebar terbuka. Air mata mulai berlinang membasahi
pipinya yang ranum. Hampir seluruh tubuh Parti terbuka, sehingga menampakkan
lekuk-lekuk tubuhnya yang indah terbungkus kulit putih mulus tanpa cacat.
Hanya bagian pinggul ke bawah saja yang masih tertutup. Tapi sepasang paha
yang gempal sudah mencuat keluar.
"Aku tidak main-main, Manis. Tubuhmu menggairahkan sekali. Katakan, di mana
pamanmu sekarang berada!"
"Tidak..., jangan lakukan itu...," rintih Parti, semakin deras air matanya
mengalir.
Jari-jari tangan orang bertopeng itu mulai bermain-main di tubuh yang
berkulit putih mulus itu. Sementara Parti merintih memohon belas kasihan.
Tapi rintihannya malah membuat orang bertopeng itu semakin liar.
Direnggutnya kain yang menutupi bagian pinggul ke bawah. Kembali Parti
memekik dan menangis, merintih memohon agar orang itu melepaskannya.
"Ah...," orang itu mendesah.
Tampak bola mata yang terlindung di balik topeng itu berkilat menjilati
tubuh yang terbuka tanpa penutup lagi. Tangannya semakin liar merayapi
lekuk-lekuk tubuh yang menggiurkan itu. Parti memejamkan matanya ketika jari
tangan orang itu menyentuh bagian paling berharga pada tubuhnya.
"Jangan lakukan itu.... Aku mohon jangan," rintih Parti.
"Terlambat Manis," desah orang itu.
Keputus asaan sudah menghinggapi hati gadis yang sudah tidak berdaya lagi
itu. Tubuhnya tertotok, sukar untuk digerakkan. Sedangkan orang bertopeng
itu semakin liar saja menggerayanginya. Air mata semakin deras mengalir. Dan
Parti tidak sanggup lagi membuka matanya, seakan-akan sudah pasrah dengan
apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Akh...!" tiba-tiba saja orang bertopeng itu memekik keras tertahan.
Entah bagaimana kejadiannya, tahu-tahu tubuh orang bertopeng itu terpental,
langsung menghantam sebatang pohon hingga tumbang. Parti membuka matanya,
dan langsung mendelik begitu melihat seorang pemuda berbaju kulit harimau
tahu-tahu sudah berdiri didekatnya. Pemuda itu memungut kain yang teronggok
di tanah, lalu menutupi tubuh gadis itu. Dibukanya totokan jalan darah di
tubuh Parti, sehingga gadis itu bisa bergerak kembali. Bergegas Parti
bangkit, dan cepat melilitkan kain itu ke tubuhnya.
Sementara itu orang bertopeng muka babi segera melompat bangkit berdiri.
Dia menggeram keras. Sepasang bola matanya memerah menatap tajam pemuda
berbaju kulit harimau itu.
"Iblis keparat..!" geram orang bertopeng itu. "Kurasa kaulah iblis itu,"
dingin nada suara pemuda berbaju kulit harimau.
"Phuih! Mampus kau! Hiyaaat..!"
Pemuda berbaju kulit harimau yang memang adalah Pendekar Pulau Neraka itu
menggeser kakinya sedikit ke samping begitu orang bertopeng itu melompat
menerjang. Dan saat pukulan orang bertopeng muka babi luput, Pendekar Pulau
Neraka mengibaskan tangannya ke depan, langsung menghantam perut lawannya
dengan keras.
"Hugh!" orang itu mengeluh pendek. Tubuhnya sedikit membungkuk. Selagi
tubuhnya terbungkuk, Pendekar Pulau Neraka melayangkan satu pukulan ke
wajahnya. Orang bertopeng muka babi itu memekik tertahan. Kepalanya
terdongak ke atas. Topengnya pun terlepas, mental ke udara.
"Keparat kau, Bayu!" geram orang itu.
Dan selagi Pendekar Pulau Neraka agak terpana, orang itu melesat cepat
melarikan diri. Memang, tidak sempat lagi untuk dikejar, karena bayangan
orang itu lenyap seketika. Bayu memungut topeng muka babi yang tergeletak
ditanah. Sebentar dipandangi benda yang selama ini menjadi momok menakutkan
seluruh penduduk Desa Kiting. Bayu membalikkan tubuhnya, menghadap Parti
yang berdiri saja dengan tubuh yany sudah terbungkus selembar kain.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Bayu seraya melangkah mendekati gadis itu.
"Tidak. Tidak apa-apa, terima kasih," sahut Parti.
"Aku Bayu," Pendekar Pulau Neraka memperkenalkan diri.
"Parti," gadis itu juga memperkenalkan diri.
"Sebaiknya kau cepat pulang. Di mana rumahmu? Mari kuantar kau pulang,"
kata Bayu lagi.
"Aku dari Desa Kiting. Rasanya tidak jauh dari sini."
"Aku tahu desa itu."
Parti mengayunkan kakinya pelahan-lahan. Dan Pendekar Pulau Neraka juga
berjalan di samping gadis itu. Tangannya menenteng topeng berbentuk wajah
babi berwarna biru tua, hampir kehitaman. Mereka berjalan tanpa berkata-kata
lagi. Terlebih lagi Parti. Gadis itu masih dihinggapi berbagai macam
perasaan setelah terlepas dari cengkeraman orang bertopeng muka babi.
Sedangkan Bayu sendiri belum ingin banyak tanya. Bisa dipahami kebisuan
gadis di sebelahnya.
***
Bayu melemparkan topeng berbentuk muka babi ke depan Jruda. Laki-laki
berbaju putih yang sudah kumal itu terkejut. Dipungutnya topeng itu, lalu
dipandanginya beberapa saat. Kemudian diangkat kepalanya, langsung menatap
Pendekar Pulau Neraka yang berdiri saja di depannya.
"Dari mana kau dapatkan ini, Bayu?" tanya Jruda.
"Yang punya," sahut Bayu kalem.
"Kau bertemu si topeng keparat itu...?!" Jruda terhenyak setengah tidak
percaya.
"Ya, Tapi dia sempat kabur. Hanya benda ini yang tertinggal," sahut
Bayu.
"Bayu, kau lihat wajahnya?" tanya Jruda lagi. Bayu hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya. Malam itu memang gelap sekali. Apalagi orang
bertopeng itu sangat cepat gerakannya. Sukar untuk melihat wajah orang itu
yang sesungguhnya.
Jruda juga terdiam. Entah apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Kembali
dipandangi topeng berbentuk muka babi di tangannya. Manusia bertopeng inilah
yang membuat petaka bagi seluruh penduduk Desa Kiting. Terutama pada
keluarga dan sanak saudaranya. Entah sudah berapa nyawa
melayang.
Jruda mengangkat kepalanya menatap Pendekar Pulau Neraka. Sejak pertemuan
pertama kali, mereka memang selalu berhubungan. Terlebih lagi saat ini, Bayu
memang diminta Eyang Paladi untuk menangkap manusia bertopeng yang telah
menjadikan Desa Kiting bagai neraka. Sedangkan Jruda sendiri sudah
menceritakan semuanya.
"Bayu! Kau diminta Eyang Paladi untuk mencari manusia bertopeng muka babi
ini. Tentunya Eyang Paladi memerintahkanmu untuk menangkapku...," kata Jruda
pelan suaranya.
'Tidak. Sedikit pun Eyang Paladi tidak menyebut-nyebut namamu," sahut
Bayu.
"Lucu...!"
"Kenapa?"
"Justru Eyang Paladi yang mencurigaiku. Bahkan juga mengusirku dari Desa
kiting. Memang tidak secara kasar, tapi sudah membuatku sakit."
"Kulihat Eyang Paladi adalah orang yang bijaksana. Aku yakin dia punya
maksud tersendiri, sehingga memintamu meninggalkan desa itu untuk
sementara," Bayu mencoba menengahi.
"Aku kenal Eyang Paladi sejak aku masih kecil dulu. Puluhan tahun aku
mengenalnya. Sedangkan kau baru beberapa hari saja. Aku tahu persis siapa
dia, Bayu...," ada sedikit tekanan pada nada suara Jruda.
Bayu mengerutkan keningnya. Dirasakan tekanan suara Jruda tadi bernada
kecewa. Ada sesuatu yang tertahan di dalam hatinya. Dan Pendekar Pulau
Neraka bisa merasakannya, walaupun belum tahu maknanya. Yang jelas, Bayu
merasakan peristiwa yang terjadi di Desa Kiting ini bagai lingkaran rantai
setan. Saling berkait, dan tidak mudah dipisah-pisahkan. Sukar dicari
penyelesaiannya.
Saat Pendekar Pulau Neraka disibukkan oleh pikirannya, Jruda mengeluarkan
sebuah rantai berwarna merah menyala. Rantai itu saling bertaut, sehingga
membentuk lingkaran yang menyatu. Cincin-cincin rantai itu berjumlah sepuluh
buah. Jruda meletakkan rantai itu di tanah, tepat di depan Pendekar Pulau
Neraka.
"Keparat itu selalu meninggalkan benda ini pada korban-korbannya," kata
Jruda.
Bayu hanya melirik sedikit pada benda yang pernah dilihatnya dari Eyang
Paladi. Laki-laki tua pemimpin Padepokan Mega Kiting juga menyimpannya.
Bahkan sudah menceritakan hal itu dengan jelas kepada Pendekar Pulau
Neraka.
"Berhari-hari aku mencoba memecahkan arti rantai itu," sambung Jruda
lagi.
"Sudah diperoleh pemecahannya?" tanya Bayu ingin tahu. "Belum," sahut
Jruda.
"O..."
'Tapi aku sedikit memahami maksudnya."
"Apa?"
"Jumlah rantai yang sepuluh. Itu pertanda jumlah keluargaku. Sampai
sekarang ini sudah tujuh orang yang tewas. Dan yang telah kudengar, dua
orang sudah meninggalkan Desa Kiting. Aku sendiri tidak tahu kapan dan ke
mana perginya. Yang kuketahui, mereka pergi waktu malam," jelas Jruda.
"Sepuluh.... Tujuh tewas, dua pergi...," gumam Bayu pelan. "Itu berarti
tinggal kau sendiri yang masih ada di sekitar desa ini,"sambung Bayu
"Benar," sahut Jruda.
Bayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Semua korban adalah sanak saudaraku, Bayu. Memang ada beberapa penduduk
dan murid Padepokan Mega Kiting yang menjadi korban. Tapi itu bukan
tujuannya karena beberapa penduduk dan murid Padepokan Mega Kiting memergoki
dan berusaha menangkapnya. Yang sebenarnya diincar orang bertopeng muka babi
itu hanyalah keluarga dan sanak saudaraku. Hhh...! Aku sendiri masih belum
mengerti, untuk apa dia membantai habis semua saudaraku...?" ada sedikit
keluhan pada nada suara Jruda.
Bayu terdiam. Keluhan Jruda membuat benaknya bekerja keras. Memang satu hal
yang tidak mungkin, jika seseorang membunuh tanpa alasan yang jelas. Bayu
jadi teringat gadis yang ditolongnya dari cengkeraman nafsu iblis orang
misterius itu. Tidak banyak yang diceritakan gadis itu, dan nampaknya Parti
tidak tahu banyak tentang peristiwa yang sedang terjadi diDesa Kiting. Tapi
gadis itu sempat mengatakan kalau semua keluarganya tewas. Sedangkan masih
ada satu yang hidup, tapi entah di mana.
"Jruda, apakah ada keluargamu yang bernama Parti?" tanya Bayu.
"Oh! Di mana kau bertemu dengannya?" Jruda tersentak kaget.
"Semalam, di hutan di kaki bukit ini. Dia nyaris diperkosa. Ibu dan
adik-adiknya tewas semalam.'
"Biadab keparat...!" desis Jruda menggeram.
"Dia sudah tenang di rumahnya. Ada Eyang Paladi yang menjaga," lanjut
Bayu.
"Aku harus menemuinya. Hanya dia yang masih bisa selamat. Keluargaku tidak
boleh musnah. Harus ada yang hidup!" tegas kata kata Jruda.
"Bagaimana kau akan menemuinya? Kau sendiri mengatakan kalau tidak akan
kembali lagi ke desa itu sebelum orang bertopeng muka babi itu
lenyap."
"Bayu! Bisakah kau membawa Parti ke sini? Aku mohon, Bayu. Bukannya takut
tapi aku masih menghormati Eyang Paladi. Aku tidak ingin kembali sebelum
manusia keparat itu lenyap dari muka bumi."
'Tidak terlalu sulit."
"Terima kasih, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka hanya tersenyum saja.
***
ENAM
Malam telah demikian larut. Sengaja Bayu berada di rumah Parti. Gadis itu
tampak lelap tertidur di pembaringan. Bayu keluar dari kamar itu, dan
langsung menuju ke belakang. Bagaikan seekor burung, Pendekar Pulau Neraka
itu melesat naik ke atas atap. Dan pada saat itu, terlihat dua bayangan
berkelebat masuk ke dalam rumah.
"Aaa...!" tiba-tiba terdengar jeritan dari dalam rumah.
"Hup!" Bayu langsung melompat turun. Tepat ketika kakinya menjejak tanah,
sebuah bayangan gelap berkelebat menerjangnya. Pendekar Pulau Neraka itu
membanting tubuh ke tanah, lalu dengan cepat melompat masuk menerjang
jendela. Tampak di dalam kamar, Parti tengah berusaha memberontak dari
seretan seseorang yang berbaju gelap dan seluruh kepala tertutup kain
hitam.
"Hiaaat...!"
Bayu kontan melompat, dan menghantamkan tendangan ke punggung orang itu.
Orang berbaju gelap itu terjungkal keras menabrak dinding hingga jebol.
Cekalannya pada tangan Parti terlepas. Bayu bergegas membangunkan gadis yang
telah menangis sesenggukan.
"Kau diam di sini, jangan ke mana-mana," kata Bayu memperingatkan. Parti
hanya mengangguk saja.
"Hup!"
Bagai kilat, Pendekar Pulau Neraka itu melesat keluar. Tapi belum juga
kakinya menjejak tanah, sudah disambut oleh dua orang berpakaian gelap.
Jelas terlihat yang seorang mengenakan topeng berbentuk wajah babi.
Sedangkan seorang lagi hanya mengenakan selubung kain berwarna biru gelap.
Bayu melentingkan tubuhnya ke atas, melewati dua kepala itu. Dengan manis
kakinya mendarat ditanah. Langsung diputar tubuhnya sambil dilayangkan satu
tendangan berputar menyamping.
Dug! Bug!
Dua tubuh hitam berwajah tidak jelas, terpental tersapu tendangan yang
keras bertenaga dalam tinggi. Pekikan-pekikan tertahan terdengar. Dua orang
itu jatuh bergelimpangan di tanah. Bayu kembali melompat dan segera
mengirimkan beberapa pukulan keras bertenaga dalam sangat tinggi. Bahkan
bisa dikatakan mencapai taraf kesempurnaan. Tapi dua orang bertopeng itu
masih mampu berkelit cepat.
Pukulan Pendekar Pulau Neraka menghantam tanah, hingga terbongkar membentuk
lubang yang cukup dalam dan besar. Pendekar Pulau Neraka segera berbalik.
Dimiringkan tubuhnya sedikit agak membungkuk, lalu dengan cepat tangan
kanannya dikebutkan.
"Hiyaaa...!"
Wut!
Secercah cahaya keperakan melesat cepat dari pergelangan tangan Pendekar
Pulau Neraka. Cahaya keperakan yang berasal dari senjata Cakra Maut itu
segera melesat cepat bagai kilat menyambar tubuh orang yang mengenakan
selubung kain.
"Awas...!" terdengar seruan peringatan.
"Hap...!"
Orang berselubung kain itu cepat membanting diri ke tanah, tapi ujung Cakra
Maut masih sempat merobek bahu kanannya. Terdengar pekikan tertahan, dan
orang itu bergelimpangan, kemudian cepat-cepat bangkit berdiri. Sedangkan
yang seorang lagi melompat cepat, menyambar tubuh temannya. Seperti kilat,
mereka melesat kabur demikian cepat. Bayu tidak sempat lagi mengejar.
Dihentakkan tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali menempel di
pergelangan tangan kanannya.
Bayu bergegas masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamar Parti. Gadis itu
masih menangis, duduk di tepi pembaringan. Pendekar berbaju kulit harimau
itu menghampiri dan duduk di samping gadis itu. Direngkuhnya bahu Parti dan
dibiarkan gadis itu menangis dalam pelukannya.
"Mereka sudah pergi. Kau tidak apa-apa, Parti?" lembut suara Bayu.
Parti masih sulit menjawab, tapi kepalanya mengangguk. Diangkat wajahnya
dan ditatapnya pemuda yang masih merengkuhnya dalam pelukan. Pelahan gadis
itu melepaskan pelukan Bayu, dan menyusut air mata dengan ujung
bajunya.
"Mereka pasti datang lagi, Kakang," ujar Parti di sela isak
tangisnya.
"Bukan malam ini," sahut Bayu.
"Kakang...," terputus suara gadis itu.
"Apa yang ingin kau katakan? Katakanlah," pinta Bayu tetap lembut
suaranya.
"Jangan tinggalkan aku, Kakang. Aku takut sendirian."
"Kau tidak sendirian, karena masih ada pamanmu. Dia menunggumu, Parti,"
jelas Bayu.
"Paman Jruda...?" tebak Parti langsung.
"Benar."
"Paman Jruda masih hidup?" 'Tentu saja."
"Oh..., di mana sekarang?"
Kesedihan Parti langsung hilang seketika itu juga. Seberkas cahaya harapan
muncul dalam sinar matanya, kala mendengar pamannya masih hidup. Semula
disangka kalau tinggal dirinya yang tersisa. Semua sanak saudaranya sudah
tewas terbantai dua orang bertopeng muka babi. Parti benar-benar gembira
saat ini.
"Berkemaslah. Sekarang juga kau akan kubawa ke sana," kata Bayu seraya
bangkit berdiri.
"Baik, sebentar."
Gadis itu bergegas membereskan beberapa potong pakaian, kemudian
membungkusnya dengan selembar kain yang sudah lusuh, sehingga bisa
dijinjing. Tidak seberapa berat. Hanya buntalan baju saja yang dapat dibawa,
ditambah sedikit bekal peninggalan orang tuanya. Bayu melangkah keluar,
diikuti gadis itu.
"Maaf, aku harus menggendongmu," kata Bayu setelah berada di depan pintu
rumah ini.
"Eh!" Parti terkejut.
Tapi belum sempat gadis itu berkata sesuatu, Pendekar Pulau Neraka sudah
menyambar tubuhnya, langsung melesat cepat menembus kegelapan malam. Sekejap
saja bayangan tubuh mereka lenyap tanpa bekas.
***
Suara ketukan pintu terdengar berulang-ulang. Eyang Paladi menunggu di
depan pintu yang tertutup rapat. Kembali tangannya mengetuk pintu. Tidak
lama kemudian terdengar ayunan kaki terseret mendekati pintu, maka pintu itu
pun terbuka. Dari dalam muncul seraut wajah cantik berambut panjang
terkepang menyampir ke bahu. Gadis itu membuka pintu lebar-lebar.
"Kenapa kakakmu, Rawuni?" tanya Eyang Paladi begitu melihat luka di bahu
Pramana.
"Oh..., eh," Rawuni tergagap.
"Jatuh dari kuda, Eyang," buru-buru Pramana menjawab.
"Hm...," gumam Eyang Paladi tidak jelas.
Laki-laki tua berjubah putih itu melangkah masuk, seraya memandang jendela
yang terbuka lebar. Kemudian ditatapnya wajah kedua cucunya. Tampak Rawuni
hanya menundukkan kepala saja. Sedangkan Pramana terus memegangi bahunya
yang masih mengucurkan darah. Eyang Paladi menghampiri Pramana, dan melihat
luka di bahu pemuda itu. Dua kali diberikan totokan, maka darah berhenti
mengalir seketika.
"Sejak tadi aku di luar rumah, tapi tidak melihat kau berkuda. Malam-malam
begini mau apa berkuda?" nada suara Eyang Paladi terdengar curiga.
Pramana hanya diam saja. Tatapannya tertuju pada adiknya yang juga diam
agak tertunduk. Rawuni bergegas melangkah menghampiri jendela untuk menutup
jendela itu. Tapi Eyang Paladi lebih dulu mencegahnya. Laki-laki tua itu
melangkah menghampiri jendela yang masih terbuka. Sebentar dia memandang
keluar. Sedangkan kakak beradik itu saling berpandangan dengan bibir
terkunci rapat.
"Apa yang terjadi padamu, Pramana?" tanya Eyang Paladi seraya membalikkan
tubuhnya.
Pramana diam saja, tidak menjawab sedikit pun.
"Aku tahu kau tidak mungkin jatuh dari kuda, dari dulu kau pandai berkuda.
Kenapa bahumu?" desak Eyang Paladi lagi.
'Tidak apa-apa, Eyang," sahut Pramana berusaha tenang.
"Kau bertarung?" desak Eyang Paladi.
'Tidak," sahut Pramana lagi.
'Puluhan tahun aku berkecimpung di dalam dunia persilatan, jadi aku tahu
betul macam-macam luka. Tidak ada gunanya berbohong padaku, Pramana. Kau
bertarung?" desak Eyang Paladi tetap tidak percaya jawaban cucunya.
"Hanya latihan denganku tadi, Eyang," celetuk Rawuni cepat-cepat. "Hm...,"
Eyang Paladi menatap tajam pada Rawuni
Sedangkan Rawuni buru-buru menunduk Rasanya tidak sanggup balas menatap
laki-laki tua itu. Dari sikap kedua cucunya, Eyang Paladi sudah bisa meraba
kalau mereka menyimpan sesuatu. Dan luka di bahu Pramana sudah jelas akibat
tergores senjata tajam. Meskipun tidak begitu dalam, tapi cukup membuatnya
beristirahat selama dua hari.
"Kalian menyembunyikan sesuatu dariku...!" desis Eyang Paladi dingin.
Pramana dan Rawuni hanya diam saja. Mereka saling berpandangan beberapa
saat. Sementara Eyang Paladi menatap tajam ke arah mereka secara bergantian.
Dia begitu yakin kalau kedua cucunya menyembunyikan sesuatu. Entah apa yang
disembunyikan. Yang jelas, di bahu yang terluka itu sudah menunjukkan kalau
kedua cucunya mempunyai persoalan.
"Baiklah. Jika tidak berterus terang, kalian akan kukirim kembali pada
pamanmu," tegas Eyang Paladi. "Aku paling tidak suka pada orang yang
menyimpan rahasia di depanku."
Setelah berkata demikian, Eyang Paladi langsung melangkah keluar. Laki-laki
tua itu menutup kembali pintu kamar ini. Sedangkan Rawuni dan Pramana hanya
saling tatap saja tanpa berkata-kata sedikit pun.
"Eyang kelihatan marah sekali, kakang," ujar Rawuni pelarian. Hampir tidak
terdengar suaranya.
"Kau akan mengatakan padanya, Rawuni?" agak kurang senang nada suara
Pramana.
"Sebaiknya memang berterus terang saja, Kakang," kata Rawuni tetap
pelan.
'Tidak!" sentak Pramana tegas.
'Tapi..., Eyang Paladi pasti mengirim utusan ke Paman Darwala. Masalahnya,
suatu saat pasti Eyang Paladi akan tahu juga."
'Tidak akan terjadi, Rawuni. Tidak ada utusan yang akan sampai ke sana.
Percayalah padaku! Tidak ada yang dapat mengetahui semua ini, termasuk Eyang
Paladi."
"Kakang...," agak bergetar suara Rawuni.
"Jangan gentar, Rawuni. Semua yang kita lakukan karena hak leluhur kita
yang terinjak-injak. Ingat, Rawuni! Kita berdua sudah bersumpah di depan
pusara Ayah. Apa pun yang terjadi, harus...."
"Kakang...," potong Rawuni cepat.
Pramana langsung diam. Pada saat itu, terdengar suara halus di atas atap
kamar ini. Kedua kakak beradik itu terdiam karena mendengar suara langkah
kaki yang begitu halus berjalan di atap. Dengan tatapan mata, mereka
mengikuti suara langkah itu. Pramana menatap Rawuni ketika tidak lagi
mendengar suara itu. Tepat berhenti di tengah-tengah atap kamar ini.
Pramana memberi isyarat dengan jari telunjuknya. Rawuni mengangguk
mengerti. Seketika itu juga, dia melesat keluar melalui jendela kamar yang
masih terbuka lebar. Pramana cepat melompat begitu Rawuni sudah berada di
luar. Mereka langsung melesat ke atas atap.
"Siapa kau...!" bentak Rawuni keras, begitu kakinya menjejak atap.
Seseorang yang tubuhnya merapat di atap, terkejut setengah mati. Dia
langsung menggelinjang, melompat bangkit. Tapi belum juga kakinya menjejak
atap, Pramana sudah menerjang dari arah samping. Orang itu tidak sempat lagi
untuk mengelak. Dihentakkan kedua tangannya ke samping, dan membentur
tendangan Pramana yang mengandung kekuatan tenaga dalam cukup tinggi.
Dug!
"Akh...!" orang itu terpekik tertahan Seketika itu juga tubuhnya terpental
jatuh ke bawah. Rawuni dan Pramana bergegas meluruk turun mengejar. Tapi
orang itu lebih cepat lagi melesat kabur. Kedua anak muda cucu Eyang Paladi
itu berusaha melompat mengejar. Tapi belum juga bertindak,
tiba-tiba....
"Awas...!" seru Rawuni keras.
Orang itu berbalik cepat. Seketika dari tangan yang terkebut meluncur
beberapa benda kecil memancarkan cahaya kemerahan. Benda-benda kecil bulat
itu meluruk deras ke arah dua orang itu. Rawuni dan Pramana dibuat
jumpalitan menghindari terjangan benda-benda bulat berwarna merah itu. Pada
saat mereka tengah kewalahan, orang yang mengenakan baju warna merah muda
itu melesat cepat melompati pagar kayu yang tinggi dan kokoh, langsung
lenyap ditelan gelap.
"Phuih!" Pramana menyemburkan ludahnya kesal. Rawuni menghampiri kakaknya,
menatap pemuda itu dalam-dalam. Pramana membalas tatapan adiknya.
"Sudah ada yang tahu, Kakang," kata Rawuni pelan.
"Huh!" Pramana hanya mendengus saja, kemudian berbalik. Dia melompat masuk
ke dalam kamarnya melalui jendela. Rawuni masih berdiri beberapa saat
memandang ke arah kepergian orang yang menghilang tanpa diketahui jejaknya.
Gadis itu kemudian melompat masuk melalui jendela kamar
kakaknya.
Sesaat kemudian , suasana jadi sunyi sepi, tak terdengar suara sedikit pun.
Tampak dari balik pagar kayu yang bagian ujung atasnya runcing, menyembul
sebuah kepala. Seraut wajah yang masih muda dengan bibir menyunggingkan
senyuman tipis, menatap langsung ke arah jendela kamar yang terlihat terang
terbuka.
***
Pramana memacu kudanya cepat. Kuda hitam tinggi tegap itu beriari bagai
dikejar setan. Debu mengepul membumbung tinggi ke udara, tersepak kaki-kaki
kuda yang dipacu berkecepatan tinggi. Pandangan pemuda itu tidak lepas ke
arah seekor kuda yang juga dipacu cepat di depannya.
"Hoi..., tunggu...!" seru Pramana keras. Tampak penunggang kuda di depan
itu menoleh. Segera ditarik tali kekang kudanya, hingga berhenti seketika
Pramana menghampiri, dan menghadang di depan. Kuda hitamnya mendengus-dengus
kelelahan.
"Oh, Den Pramana. Ada apa Raden menghalangi jalanku?" tegur laki-laki muda
salah seorang murid utama Eyang Paladi di Padepokan Mega Kiting.
"Kau akan ke Gunung Damalaya?" tanya Pramana langsung.
"Benar, Raden. Eyang Paladi yang memerintahkan," sahut orang itu.
"Untuk apa?" 'Tidak tahu, Raden. Eyang Paladi hanya menitipkan surat
Katanya, harus disampaikan segera dan ditunggu jawabannya."
"Coba kulihat suratnya."
"Oh! Maaf, Raden...."
"Berikan surat itu!" bentak Pramana.
Murid Padepokan Mega Kiting itu jadi kebingungan, sebab dia sudah dipesan
untuk tidak memberikan surat ini pada orang lain, kecuali pada Paman
Darwala, ketua padepokan di Gunung Damalaya. Melihat utusan itu seperti
tidak bersedia memberikan surat Eyang Paladi, Pramana semakin gusar.
"Aku bisa main kasar, tahu!" ancam Pramana.
"Maaf, Raden. Aku tidak bisa memberikan surat ini pada siapa pun."
"Setan...!" geram Pramana.
Seketika itu juga Pramana mencabut pedangnya. Bagai kilat, dikibaskan
pedang itu ke arah leher urusan murid Padepokan Mega Kiting. Tapi yang
dihadapi adalah murid utama pilihan Eyang Paladi. Dengan manis sekali
ditarik kepalanya kebelakang, sehingga tebasan pedang Pramana luput dari
sasaran. Namun pemuda itu sudah kembali mengibaskan pedangnya, kali ini
menebas leher kuda utusan itu hingga buntung seketika.
"Hup!"
Utusan itu melompat begitu kudanya menggelepar rubuh dengan kepala buntung.
Pramana juga bergegas melompat, kembali menyerang mempergunakan jurus-jurus
pedang yang sangat dahsyat.
Utusan itu tampak ragu-ragu menghadapinya. Dia hanya berlompatan dan
berkelit menghindari setiap serangan yang datang. Tapi menghadapi kenyataan
bahwa serangan itu tidak main-main, utusan itu jadi geram juga.
"Raden, hentikan...!" seru utusan itu mencoba menyadarkan Pramana.
"Kau tinggal pilih, surat itu atau nyawamu!" dengus Pramana.
"Uts!"
Utusan itu merundukkan kepalanya ketika pedang Pramana berkelebat menyambar
ke arah kepalanya. Tapi belum juga dapat mengangkat kepalanya kembali,
mendadak saja satu tendangan keras menghantam dadanya. Murid utama Padepokan
Mega Kiting itu mengeluh pendek. Tubuhnya terjejer ke belakang beberapa
langkah. Maka Pramana tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Selagi utusan itu
limbung, dengan cepat dihunjamkan pedangnya ke dada.
Dan....
"Aaakh...!" utusan itu menjerit melengking tinggi.
"Hih!"
Pramana mencabut pedangnya yang terbenam di dada murid Padepokan Mega
Kiting itu. Lalu dengan keras dilontarkan satu pukulan bertenaga dalam
tinggi ke dada yang mengucurkan darah segar.
Bruk!
Tak pelak lagi, utusan itu ambruk ke tanah keras sekali. Sebentar dia
menggeliat, lalu diam tak berkutik lagi. Pramana memasukkan pedangnya
kembali ke dalam sarungnya di pinggang. Seketika digeledah tubuh orang itu,
lalu ditemukanlah gulungan daun lontar terikat pita biru muda. Cepat-cepat
Pramana melompat ke punggung kudanya lalu digebahnya kuat-kuat.
Kuda hitam itu meringkik keras sambil mengangkat kaki depannya
tinggi-tinggi. Seketika itu juga binatang itu melesat cepat bagai anak panah
lepas dari busurnya. Kuda hitam itu berlari cepat membawa Pramana di
punggungnya, meninggalkan mayat seekor kuda dan seorang murid utama
Padepokan Mega Kiting.
***
"Kakang, dipanggil Eyang Paladi!" ujar Rawuni seraya menyembulkan kepalanya
dari pintu kamar kakaknya.
Pramana yang tengah membaca surat pada daun lontar, menoleh memandang
adiknya. Buru-buru dlli pat surat itu dan disimpannya di balik lipatan baju.
Pemuda itu melompat turun dari pembaringan, dan melangkah menghampiri
Rawuni. Dibukanya pintu lebar lebar. Lalu keluar tanpa berkata apa-apa lagi.
Rawuni mengikutinya. Gadis itu sempat menutup kembali pintu kamar
kakaknya.
"Ada apa Eyang memanggilku?" tanya Pramana terus saja melangkah di samping
adiknya.
"Tidak tahu. Eyang menunggu di bangsal latihan," sahut Rawuni.
Pramana tidak bertanya lagi. Mereka segera menuju bangsal latihan yang ada
di samping bangunan utama Padepokan Mega Kiting. Mereka melihat Eyang Paladi
duduk bersila beralaskan permadani tebal yang lembut berwarna biru muda.
Eyang Paladi memberi isyarat pada kedua cucunya untuk duduk. Mereka
mengambil tempat di depan laki-laki tua itu, duduk bersila di lantai.
'Pramana, kau tahu kenapa dipanggil ke sini?" tanya Eyang Paladi langsung
pada pokok persoalannya.
Pramana hanya menggelengkan kepalanya saja.
"Seorang murid utamaku tewas terbunuh di perbatasan. Padahal dia kuberi
tugas penting, dan tidak ada seorang pun yang tahu," kata Eyang Paladi
disertai tatapan mata tajam menusuk langsung kepada Pramana. Sedangkan yang
ditatap hanya menunduk saja. Demikian pula dengan Rawuni.
"Aku pernah mengatakan sesuatu pada kalian, dan ini ada hubungannya dengan
tugas muridku," lanjut Eyang Paladi.
"Eyang mencurigai kami...?" Pramana mengangkat kepalanya.
"Aku tidak berkata begitu, Pramana. Kau tahu, apa yang kutugaskan pada
muridku?"
Pramana menggelengkan kepalanya.
"Rawuni?"
"Tidak," sahut Rawuni seraya menggeleng.
"Ada sesuatu yang hilang darinya, dan itu sangat penting bagiku. Hmmm...,
sudahlah. Itu urusanku," kata Eyang Paladi.
Pramana dan Rawuni saling berpandangan.
"Pergilah, kembali ke kamarmu," kata Eyang Paladi.
Pramana dan Rawuni bangkit berdiri, dan sama-sama menjura sedikit memberi
hormat. Mereka lalu berbalik dan berjalan keluar. Setelah kedua orang itu
meninggalkan bangsal latihan ini, dari pintu lain muncul seorang pemuda
tampan berbaju kulit harimau. Eyang Paladi memberi isyarat agar duduk.
Pemuda itu duduk bersila di depan laki-laki tua itu.
"Aku belum bisa menemukan jawaban kecurigaanmu, Bayu. Mereka cucu-cucuku
yang baik, penurut, dan tidak pernah membantah perintah orang tua. Sukar
bagiku untuk mempercayai kalau mereka adalah manusia-manusia bertopeng muka
babi itu," kata Eyang Paladi pelan.
"Aku belum menuduh mereka, Eyang. Hanya curiga saja," ujar Bayu.
"Kau punya bukti?"
"Sedikit. Aku lihat Pramana membunuh salah seorang muridmu di perbatasan.
Itu sebabnya aku ke sini." "
"Kau tidak salah, Bayu?"
"Semalam Jruda mendengar mereka merencanakan sesuatu di dalam kamarnya.
Mereka mengetahui, tapi untungnya Jruda bisa menghindar."
"Jruda...?!" Eyang Paladi nampak terkejut. "Benar. Bahkan kini Parti
bersamanya. Maaf, kalau selama ini tidak pernah kuceritakan tentang mereka,"
ucap Bayu.
'Tidak mengapa, Bayu. Aku sengaja menyuruhnya pergi dari desa ini agar
tidak ikut tewas. Aku juga menyesal tidak terlalu memperhatikan keselamatan
Parti."
"Mereka menghargai maksud baikmu, Eyang. Percayalah, mereka mencoba mencari
manusia bertopeng muka babi itu tanpa ada prasangka buruk terhadapmu. Mereka
tahu betul kalau kau tidak tahu apa-apa, bahkan berniat baik," Bayu
meyakinkan.
"Bayu, bisa kau antar aku untuk bertemu mereka?" pinta Eyang Paladi.
"Sayang sekali, Eyang. Mereka saat ini tidak ingin ditemui siapa pun. Demi
keselamatan mereka sendiri."
"Aku mengerti."
Mereka kembali berbincang-bincang sampai hari menjelang senja. Banyak yang
dibicarakan, terutama tentang dua orang bertopeng yang sampai saat ini masih
berkeliaran. Eyang Paladi sendiri bermaksud mengetahui tentang kedua cucunya
itu. Dan diam-diam diutus seorang muridnya lagi ke Gunung Damalaya untuk
menemui Paman Darwala. Dia ingin tahu, apakah benar Pramana dan Rawuni sudah
berpamitan untuk tinggal di sini.
***
TUJUH
Kegemparan kembali melanda seluruh Desa Kiting. Malam yang seharusnya
hening sunyi, mendadak hiruk pikuk. Hampir semua penduduk desa itu keluar
dari rumahnya. Tampak dua orang berbaju biru gelap berlompatan dari satu
atap ke atap rumah lainnya. Mereka membawa obor untuk membakar rumah-rumah
penduduk. Maka Desa Kiting seketika jadi lautan api. Di mana-mana api
berkobar melahap rumah-rumah yang sebagian besar terbuat dari belahan papan
dan beratapkan daun rumbia.
Eyang Paladi tampak sibuk memerintahkan seluruh muridnya untuk memadamkan
api. Delapan murid utama Padepokan Mega Kiting, berusaha menghadang dua
orang berbaju biru gelap yang masih berlompatan membakar rumah lainnya. Dua
orang itu bagai kemasukan setan. Tangan kiri memegang obor, dan tangan kanan
menggenggam pedang.
Delapan orang murid utama Eyang Paladi itu berusaha mendesak kedua orang
bertopeng. Tapi, kemampuan mereka berada di bawah dua orang itu. Dalam
sebentar saja, tiga orang telah tergeletak tewas berlumuran darah. Eyang
Paladi tampak gusar melihat tiga muridnya tewas dalam waktu sebentar
saja.
"Mundur...!" tiba-tiba terdengar bentakan keras menggelegar.
Lima orang murid Padepokan Mega Kiting berlompatan mundur. Tapi salah
seorang berhasil terbabat lehernya hingga buntung. Tak ada jeritan. Tubuh
tanpa kepala itu langsung ambruk dan tewas seketika. Tampak seorang pemuda
berbaju kulit harimau melompat menghadang dua orang berbaju biru gelap. Yang
seorang memakai topeng bermuka babi, sedangkan seorang lagi hanya mengenakan
selubung kain pada kepalanya.
"Bayu...," desah Eyang Paladi melihat kemunculan Pendekar Pulau
Neraka.
Laki-laki tua berjubah putih itu langsung melompat, dan mendarat ringan di
samping kiri Bayu Hanggara. Sementara dua orang yang menjadi momok
menakutkan selama ini, saling berpandangan sejenak, kemudian sama-sama
mengangguk..
"'Seribu Pisau Terbang'...!" tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak
keras
"Heh...!" Eyang Paladi tersentak kaget.
Tapi belum lagi rasa keterkejutan laki-laki tua itu hilang, tiba-tiba kedua
orang yang dijuluki si Topeng Muka Babi itu mengibaskan tangannya cepat.
Maka seketika itu juga pisau kecil beterbangan bagai hujan. Pendekar Pulau
Neraka berlompatan menghindari serbuan pisau-pisau terbang itu. Demikian
juga Eyang Paladi. Beberapa pisau yang nyasar, menancap pada orang-orang
yang tidak bisa menghindari lagi. Jerit dan pekik melengking terdengar
saling sambut.
"Keparat..!" geram Bayu melihat tidak kurang dari sepuluh penduduk dan
beberapa murid Eyang Paladi terjungkal tewas tersambar pisau yang
nyasar.
"Akh...!"
Tiba-tiba saja terdengar pekikan tertahan. Bayu menoleh sedikit, dan
menjadi terkejut ketika melihat Eyang Paladi terhuyung-huyung dengan sebilah
pisau tertanam pada dadanya. Belum lagi Pendekar Pulau Neraka itu bisa
bertindak, tiba-tiba saja....
"Hiyaaat...!"
Seorang yang memakai kain selubung pada kepalanya melompat cepat sambil
menusukkan pedangnya ke arah dada Eyang Paladi. Dan seorang lagi melontarkan
pisau pisau kecil yang tipis pada Pendekar Pulau Neraka. Saat itu Bayu tidak
bisa berbuat apa apa. Apalagi untuk menolong Eyang Paladi. Dia sendiri sibuk
menghindari serbuan pisau-pisau terbang itu yang seperti tidak ada
habisnya.
"Aaa...!" Eyang Paladi menjerit melengking tinggi.
"Eyang...!" seru Bayu terperanjat.
Tampak orang berselubung kain pada kepala menghentakkan pedangnya yang
tertanam dalam pada dada laki-laki tua itu. Darah langsung muncrat keluar
dari dada yang bolong. Belum lagi Eyang Paladi bisa menutup lukanya, satu
tendangan keras menggeledek menghantam kepalanya.
Kembali Eyang Paladi menjerit keras. Tubuhnya limbung, lalu ambruk ke
tanah. Kepalanya retak, dan darah mengalir deras. Bayu kontan melompat
memburu, tapi orang berselubung kain hitam itu sudah lebih cepat melompat
menghindar. Maka seketika itu juga dua orang yang dijuluki si Muka Topeng
Babi itu melesat kabur bagai kilat, dan dalam sekejap saja sudah hilang dari
pandangan mata.
"Eyang...," desis Bayu sambil berlutut di samping tubuh laki-laki tua yang
terbujur berlumuran darah.
"Eyang...," Bayu mengguncang-guncang tubuh Eyang Paladi.
Tapi laki-laki tua itu tetap diam. Tidak ada lagi nyawa di tubuhnya. Bayu
mengangkat kepalanya, lalu bangkit berdiri setelah merebahkan tubuh tua itu.
Tiga orang murid Padepokan Mega Kiting bergegas maju dan menggotong tubuh
gurunya.
"Bawa ke padepokan," perintah Bayu. Tanpa membantah sedikit pun, mayat
Eyang Paladi dibawa ke Padepokan Mega Kiting. Sementara penduduk dan
beberapa murid padepokan lainnya masih sibuk memadamkan api. Bayu berdiri
tegak meman dang sekitarnya. Beberapa wanita tampak menangis. Ada yang
menangisi anaknya, atau suaminya yang tewas. Ada juga yang menangisi
rumahnya yang habis terbakar. Bayu mendesah panjang. Kakinya terayun
melangkah menuju Padepokan Mega Kiting.
***
Sementara itu jauh di perbatasan Utara Desa Kiting, tampaklah dua orang
berpakaian gelap tengah berdiri tegak memandangi kobaran api yang masih
membesar melahap rumah-rumah penduduk. Seluruh kepala dan wajahnya
terselubung kain dan topeng. Salah seorang membuka topengnya, tampak di
baliknya tersembunyi seraut wajah cantik. Sedangkan yang seorang lagi,
membuka selubung kain di kepalanya. Seraut wajah tampan terlihat begitu
selubungnya terbuka.
"Seharusnya kau tidak membunuh Eyang Paladi, Kakang," terdengar desahan
pelan bernada menyesal.
"Terpaksa! Aku tidak ingin rahasia kita terbongkar, Rawuni. Eyang Paladi
mengenali jurus 'Seribu Pisau Terbang'."
"Hhh...!"
Mereka memang Pramana dan Rawuni, dua orang cucu Eyang Paladi. Kini
keduanya terdiam dengan mata langsung mengarah ke desa yang masih membara
oleh kobaran api yang melahap beberapa rumah. Kembali terdengar tarikan
napas panjang dari bibir mungil Rawuni. Pramana memperhatikan adiknya
lekat-lekat.
"Apa yang kau pikirkan, Rawuni?" tegur Pramana. "Tidak ada," sahut Rawuni
seraya mendesah panjang.
"Rawuni..., janganlah kau turuti kata hati. Kita sama-sama sudah berjanji
di depan pusara Ayah untuk membalas kematiannya," tegas Pramana.
"Aku tidak menyesal karena memang sudah tekad kita, Kakang," sahut
Rawuni"
"Tinggal dua orang lagi, Rawuni. Setelah itu, selesai sudah semuanya,"
Pramana mengingatkan.
"Aku sangsi, Kakang...," pelan suara Rawuni. "Hey...!" Pramana tersentak
kaget. Langsung ditatapnya dalam-dalam wajah adiknya.
"Pendekar Pulau Neraka itu, Kakang...."
"Jangan hiraukan manusia keparat itu, Rawuni. Kalau perlu, bunuh
sekalian!"
"Kepandaiannya sangat tinggi, Kakang. Rasanya sulit untuk menandinginya.
Aku yakin, dia bukan orang sembarangan. Apakah dia orang bayaran yang disewa
Eyang Paladi? Aku seperti pernah mendengar julukannya itu," kata Rawuni
setengah bergumam.
"Sudahlah! Hanya satu orang saja, dan bisa kita kelabui. Ayo, kita kembali
ke padepokan, sebelum ada yang mencurigai kita," ajak Pramana.
'Tidak perlu ke sana, Kakang," cegah Rawuni.
"Kenapa?" tanya Pramana tidak mengerti.
"Aku merasakan kalau Pendekar Pulau Neraka sudah mengetahui tentang diri
kita."
"Hm...," gumam Pramana tidak jelas.
"Kau ingat panggilan Eyang Paladi siang tadi?"
'Tentu! Kenapa?"
"Aku punya firasat lain, Kakang. Sepertinya panggilan Eyang Paladi sengaja
untuk memancing kita. Aku bisa melihat ada bayangan dari pintu lain. Seperti
seseorang yang sengaja bersembunyi sambil mendengarkan. Sikap Eyang juga
terasa aneh," kata Rawuni mengemukakan kecurigaannya.
Pramana terdiam membisu. Memang diakui kalau Rawuni lebih cerdas dan lebih
tajam penglihatannya. Dan lagi firasatnya tidak pernah meleset.
"Kau tahu, Kakang. Waktu kau membunuh utusan itu, aku juga melihat ada
seseorang di balik sebuah pohon tengah mengawasimu. Aku memang tidak
memberitahumu, karena kukira hanya orang biasa saja. Tapi aku jadi mulai
curiga dengan panggilan dan pertanyaan-pertanyaan Eyang Paladi pada kita,"
kata Rawuni lagi.
"Kau mengikuti aku, Rawuni?"
"Untuk berjaga-jaga, Kakang."
Kembali Pramana terdiam membisu. Keningnya berkerut dalam, pertanda sedang
berpikir keras. Dua kali ditariknya napas panjang dan berat. Kemudian
pandangannya kembali beralih ke arah Desa Kiting. Api masih terlihat
berkobar, meskipun tidak sebesar tadi.
"Kakang, sebaiknya kita tidak kembali ke desa itu. Biarkan suasana jadi
tenang sambil mengamati kalau-kalau Jruda dan Parti muncul. Aku tidak ingin
mengorbankan penduduk lagi. Sudah cukup rasanya membuat mereka sengsara.
Biar mereka ingat kesengsaraan sangat pedih!" kata Rawuni.
"Baiklah. Kita tunggu selama beberapa hari sampai keadaan kembali tenang,"
akhirnya Pramana mengalah juga.
***
Suasana mendung menyelimuti seluruh wajah Desa Kiting. Tidak ada lagi orang
yang bisa dijadikan panutan. Satu-satunya orang yang dihormati dan selalu
menjadi pedoman telah tewas terbunuh. Padepokan Mega Kiting dalam keadaan
kosong, tidak memiliki pemimpin lagi.
Sudah dua hari Bayu terpaksa tinggal di Padepokan Mega Kiting. Keyakinannya
semakin bertambah, bahwa yang selama ini membuat kerusuhan adalah dua orang
cucu Eyang Paladi sendiri. Hanya saja Bayu belum bisa mengetahui, mengapa
Pramana dan Rawuni melakukan hal itu...? Bayu hanya menunggu kedatangan
Paman Darwala. Hanya orang itu yang mungkin bisa menjelaskan semuanya.
Siang ini langit terselimut awan tebal menghitam, seakan-akan alam turut
berduka atas kematian Eyang Paladi dan beberapa orang lainnya hanya dalam
waktu semalam saja. Bayu berdiri di beranda depan pada bangunan utama
Padepokan Mega Kiting. Di sampingnya berdiri Jruda dan Parti. Pendekar Pulau
Neraka itu memang sengaja membawa mereka ke padepokan ini, demi keselamatan.
Di samping itu mereka memang hendak ke sini begitu mendengar kematian Eyang
Paladi.
"Kau yakin Paman Darwala akan datang hari ini Bayu?" tanya Jruda ingin
memastikan.
"Keterangan dari utusan memang begitu," sahut Bayu kalem.
"Hhh.... Aku tidak habis mengerti, mengapa Pramana dan Rawuni melakukan
itu?" gumam Jruda.
"Semasih hidup, Eyang Paladi pernah cerita padaku. Padepokan ini dibangun
oleh dua orang pendekar. Tapi yang seorang tewas secara misterius dengan
meninggalkan dua orang anak. Yang seorang laki-laki, dan seorang lagi
perempuan. Usia mereka baru sekitar sepuluh dan tujuh tahun...," kata Bayu
pelan.
"Mereka adalah ayahku dan ayahnya Pramana," sambut Jruda. "Tapi, apa
hubungannya...?"
"Mungkin," desah Bayu.
"Pramana dan Rawuni dibawa pamannya setelah kematian ayahnya. Memang,
sampai saat ini tidak diketahui siapa yang menewaskannya.
Hanya sebuah rantai...," mendadak Jruda menghentikan ceritanya.
"Kenapa, Jruda?" tanya Bayu.
"Ya...! Rantai merah...! Kini aku ingat! Di lehernya terikat rantai
berwarna merah. Dan itu...," kembali Jruda terdiam memutuskan
kata-katanya.
"Ada apa dengan rantai merah itu, Jruda?" tanya Bayu ingin tahu.
"Aku tidak tahu, Bayu. Waktu itu aku masih kecil, jadi belum tahu apa-apa.
Memang akulah yang menemukan mayatnya pertama kali, kemudian baru ayahku.
Leher mayat itu terbelit rantai berwarna merah darah. Rantai merah itu
diambil Ayah dan disimpannya. Sampai Ayah meninggal, rantai itu tetap
terkubur membelit pinggangnya. Dan itu memang sudah amanatnya. Hhh...!
Sekarang rantai itu muncul lagi. Terpotong-potong menjadi sepuluh lingkaran
yang sama ditemukan pada setiap korban. Lingkaran Rantai Setan...," Jruda
mendesis pada akhir kata-katanya.
"Lingkaran Rantai Setan...? Apa maksudmu?" tanya Bayu.
"Sukar dijelaskan, Bayu. Itu hanya sebuah kata-kata kiasan dari seseorang
yang memiliki dendam pada ayah-ayah kami. Aku dan Pramana. Mereka
mengabadikannya dengan membuat sebuah rantai berwarna merah darah. Mereka
ingin keturunannya selalu ingat, bahwa dendam itu bukan suatu penyelesaian
akhir dari suatu masalah. Rantai itu disimpan ayahku. Tapi ditemukan
membelit leher ayah Pramana," Jruda mencoba untuk menjelaskan lebih
rinci.
"Ada orang lain lagi yang melihatnya waktu itu?" tanya Bayu.
"Eyang Paladi dan Paman Darwala," sahut Jruda.
'Tepat...!" sentak Bayu tiba-tiba.
"Apa maksudmu, Bayu?" tanya Jruda tidak mengerti.
Bayu tidak menjawab. Diambilnya rantai yang tergantung pada tiang beranda
padepokan ini. Benda itulah yang selalu dijadikan lambang oleh Padepokan
Mega Kiting. Tapi sampai sekarang tidak ada yang menyadari artinya, baik
murid-murid padepokan itu sendiri. Hanya orang-orang tertentu saja yang tahu
maknanya. Bayu menimang-nimang rantai merah itu, lalu meletakkan kembali
pada tempatnya semula. Sementara itu Parti hanya diam saja mendengarkan
tanpa berkata sedikit pun. Gadis itu masih belum bisa memahami semua
pembicaraan tersebut. Dia memang masih terlalu muda dan tidak tahu
permasalahannya.
"Ada berapa rantai yang dibuat ayahmu?" tanya Bayu setelah cukup lama
berdiam diri. "Hanya satu yang asli. Itu pun telah terkubur bersama Ayah,"
sahut Jruda.
"Dan kau pernah bertemu Pramana setelah dibawa pamannya?" tanya Bayu
lagi.
"Hanya sekali, tapi tidak secara langsung. Pramana tidak mengenaliku sama
sekali. Hanya tahu namaku saja."
"Pantas.... Dia tidak mengenalimu ketika kau gantung," gumam Bayu.
"Sejak terjadi peristiwa ini, dan munculnya Pramana, sudah kuduga kalau
dialah biang keladinya. Itu sebabnya aku ingin membunuhnya, tapi gagal.
Kepandaiannya jauh lebih tinggi dariku."
"Persoalannya sudah jelas, sekarang tinggal menunggu Paman Darwala saja.
Mudah-mudahan dia bersedia membantu menyadarkan keponakannya," kata
Bayu.
"Hanya kematian yang bisa menyadarkannya, Bayu."
"Hilangkan rasa dendam di hatimu, Jruda."
"Mereka telah membunuh banyak orang! Hanya hukuman mati yang pantas untuk
mereka, Bayu."
Pendekar Pulau Neraka hanya mengangkat bahu saja.
***
DELAPAN
Empat ekor kuda berpacu cepat keluar dari Padepokan Mega Kiting, menuju ke
sebelah Utara Desa Kiting. Paling depan sekali terlihat seorang laki-laki
berusia hampir mencapai tujuh puluh tahun. Dialah Paman Darwala. Di
belakangnya tiga orang laki-laki juga berkuda. Tampak di antara mereka
adalah Pendekar Pulau Neraka, Jruda, dan seorang murid utama Padepokan Mega
Kiting.
Mereka berhenti setelah tiba di luar perbatasan desa sebelah Utara. Masing
masing penunggang melompat turun dari punggung kudanya. Paman Darwala
memandangi sekitarnya. Bayu dan Jruda menghampiri.
'Bagaimana Paman bisa memastikan mereka ada di sini?" tanya Jruda.
"Ayah mereka dimakamkan di sini. Aku yakin mereka ada di sekitar tempat
ini," jawab Paman Darwala.
Jruda tidak bertanya lagi. Dia juga mengedarkan pandangannya berkeliling.
Tempat ini sunyi sekali, tidak ada seorang pun yang teriihat kecuali mereka
berempat. Jruda melirik Bayu yang tengah melangkah mendekati sebuah makam
yang kelihatan tidak terawat. Sebentar Pendekar Pulau Neraka itu memandangi,
kemudian berbalik menghampiri yang lainnya.
"Aku hampir tidak percaya kalau mereka yang melakukan semua kekejaman ini.
Meskipun mereka muridku dan sekaligus keponakanku, tapi perbuatan mereka
tidak bisa diampuni. Aku tidak pernah mengajarkan pada mereka untuk berbuat
seperti ini," tegas Paman Darwala menyesali tindakan Pramana dan
Rawuni.
Jruda hanya diam saja. Demikian pula Bayu dan seorang murid Padepokan Mega
Kiting yang ikut serta.
"Aku menyesal telah menceritakan semua peristiwa yang menimpa ayah mereka.
Tapi sungguh, dalam hatiku tidak bermaksud menyulut api dendam. Apalagi
dendam terhadap keluargamu, Jruda. Antara keluarga kita terjalin
persaudaraan yang kuat. Aku sendiri tidak percaya kalau ayahmu yang membunuh
adikku," sambung Paman Darwala.
"Semua sudah terjadi, Paman," ujar Jruda.
"Ya! Semua karena kesalahanku yang tidak mampu mendidik mereka dengan
baik," Paman Darwala menyesali.
"Bukan kesalahan Paman, tapi karena kutukan. Dan itu baru terjadi
sekarang."
"Jruda, aku mohon padamu. Sebaiknya serahkan mereka padaku. Biar aku
sendiri yang akan memberi hukuman padanya. Mereka adalah keponakanku,
sekaligus murid-muridku. Aku mohon padamu, Jruda?" ujar Paman Darwala penuh
harap.
Jruda menarik napas berat. Memang sukar untuk memenuhi permintaan Paman
Darwala. Tapi begitu mendapat lirikan dari Pendekar Pulau Neraka, Jruda
mengangguk.
'Terima kasih, Jruda. Kebaikan hatimu tidak akan kulupakan," ucap Paman
Darwala.
"Ah! Sudahlah, Paman. Sebaiknya kita segera menemukan mereka. Aku tidak
ingin lagi melihat darah orang-orang tidak berdosa menyirami bumi," kata
Jruda.
Tidak ada lagi yang bicara. Semua melangkah menyibak hutan yang tidak
seberapa lebat. Mereka tidak tahu kalau sepasang mata sejak tadi selalu
mengamati dari tempat yang cukup tersembunyi. Dan pemilik sepasang mata itu
melesat cepat begitu empat orang itu semakin masuk ke dalam hutan.
***
Rawuni terkejut melihat kakaknya datang tergesa-gesa dengan napas memburu.
Keringat membasahi seluruh wajah dan leher Pramana. Pemuda itu langsung
menarik tangan adiknya, dan membawanya keluar dari gua.
"Ada apa, Kakang?" tanya Rawuni tidak mengerti.
'Tinggalkan tempat ini cepat" ajak Pramana menyuruh adiknya naik ke
kuda.
Dengan keadaan masih kebingungan, Rawuni naik juga ke punggung kudanya.
Pramana bergegas melompat ke kuda hitamnya yang tinggi dan kekar. Kedua
orang itu menggebah kudanya masing-masing. Rawuni masih bertanya-tanya,
mensejajarkan langkah kaki kudanya di samping Pramana.
"Ada apa, kakang? Kenapa buru-buru?" tanya Rawuni masih penasaran akan
sikap kakaknya.
"Mereka mengetahui tempat ini," kata Pramana sambil terus memacu cepat
kudanya.
"Mereka siapa?"
"Jruda dan Pendekar Pulau Neraka. Bahkan Paman Darwala juga bersama
mereka," sahut Pramana.
Mendengar penjelasan kakaknya, Rawuni segera menghentikan lari kudanya.
Pramana bergegas menarik tali kekang kudanya. Kuda hitam itu meringkik, dan
kontan berhenti seketika. Pramana memutar tubuh kudanya, menghadap gadis
itu.
"Aku tidak suka jadi buronan seperti ini!" dengus Rawuni agak keras
suaranya. "Mereka akan membunuh kita, Rawuni," kata Pramana.
"Aku tidak ingin jadi pengecut! Semua yang kulakukan, harus
kupertanggungjawabkan. Kalau kau ingin pergi, pergilah!" tegas kata-kata
Rawuni.
"Rawuni...!" sentak Pramana terkejut
"Beberapa hari ini aku selalu memikirkan semua perbuatan kita, Kakang.
Terus terang, aku masih ragu akan kebenaran dari semua perbuatan kita...,"
pelan nada suara Rawuni, namun mengandung ketegasan.
"Kau ini bicara apa, Rawuni? Sudahlah, ayo kita pergi!" ajak Pramana.
"Tidak! Aku akan menunggu mereka di sini!" sentak Rawuni tegas.
"Kau gila, Rawuni. Ada Paman Darwala bersama mereka!"
"Sungguh tidak kusangka kalau kakakku seorang pengecut. Menyesal aku
mengikutimu, Kakang. Seharusnya aku tahu kalau semua yang kita lakukan bukan
karena membalas kematian ayah. Tapi karena napsu setanmu yang ingin membunuh
Jruda. Kau sakit hati karena gadis yang kau sukai lebih memilih Jruda untuk
jadi suaminya. Kau pengecut Kakang! Melampiaskan sakit hatimu dengan dalih
membalas kematian Ayah!"
"Cukup, Rawuni!" bentak Pramana memerah wajahnya.
"Akuilah, Kakang. Aku lebih senang kalau kau mengakui semuanya. Kau ingin
membalaskan sakit hatimu, bukan?" desak Rawuni yang mulai menyadari kalau
semua perbuatannya hanya karena bujukan kakaknya yang ingin membalas sakit
hati.
Rawuni baru menyadari semuanya setelah mendengar Pramana mengigau dalam
tidurnya semalam. Sungguh mati, gadis itu tidak menyangka ada maksud
tertentu dari semua rencana gila ini. Dan Rawuni sangat menyesal, karena
Pramana justru malah mengotori nama ayah mereka sendiri. Menodai
persaudaraan yang telah dibangun sekian puluh tahun lamanya.
"Aku memang sakit hati terhadap Jruda. Aku sudah bersumpah untuk
membunuhnya dan semua keturunannya!" ujar Pramana mengakui dengan
tegas.
"Tapi, kenapa kau membunuh semuanya? Bahkan mereka yang tidak tahu apa-apa
ikut jadi korban. Kenapa, Kakang...?" Rawuni meminta penjelasan.
"Semua itu termasuk bagian dari rencanaku, Rawuni. Padepokan Mega Kiting
harus kita kuasai. Aku tidak ingin padepokan itu nantinya jatuh ke tangan
mereka!"
"Tapi, bukankah itu sudah keputusan Ayah"? Memang Jruda yang akan mewarisi
padepokan itu. Dan kita sendiri sudah diwarisi padepokan milik Paman
Darwala. Kenapa kau ingin menguasai Padepokan Mega Kiting, Kakang? Padepokan
itu kecil, tidak ada artinya sama sekali."
"Bukan itu yang kuinginkan, Rawuni. Tapi daerahnya. Kau mengerti
maksudku?"
"Oh...," Rawuni mendesah sambil menggelengkan kepala beberapa kali. Gadis
itu tidak menyangka kalau pikiran kakaknya sepicik itu. Memang, Desa Kiting
memiliki aliran sungai yang mengandung biji emas. Rupanya Pramana
menginginkan semua itu untuk memperkaya diri. Yang pasti bukan hanya karena
itu. Rawuni juga bisa mengetahui adanya tujuan tertentu. Jelas, Pramana
ingin menjadikan Desa Kiting menjadi wilayah kekuasaannya, seperti yang
pernah dilakukan ayah mereka ketika masih hidup.
"Dengar, Rawuni. Aku akan membangun desa itu menjadi lebih besar, dan akan
berkuasa di sana. Ingin kutunjukkan pada Ayah, kalau aku dapat melebihinya.
Itu sebabnya aku ingin menguasai padepokannya terlebih dahulu, dan
melenyapkan semua orang yang bisa menjadi duri dalam diriku. Kau mengerti,
Rawuni?
Meskipun aku tahu kalau Ayah terbunuh oleh orang yang tidak dikenal, tapi
aku tidak ingin ada orang lain menguasai padepokan itu. Terutama Desa
Kiting!" tegas kata-kata Pramana.
"Sungguh tidak kuduga kalau kau punya pikiran picik seperti itu, Kakang.
Kalau tahu sejak dulu, tidak bakalan aku ikut. Membantai mereka yang tidak
berdosa, membuat neraka pada mereka. Aku menyesal, Kakang. Benar-benar
menyesal...!" keluh Rawuni setelah mengetahui semua yang ada di balik
rencana kakaknya ini.
"Tidak ada kata penyesalan, Rawuni. Bagaimanapun juga kau telah ikut dalam
permainan ini, dan tidak bisa menghindar begitu saja," kata Pramana tenang
diiringi senyuman lebar.
"Kau menjebakku, Kakang!" desis Rawuni tidak senang.
"Sudahlah, Rawuni. Tidak ada gunanya berdebat. Sebaiknya kita jalan lagi.
Untuk sementara kita tinggalkan tempat ini," bujuk Pramana.
'Tidak! Aku akan kembali pada Paman Darwala, dan memohon ampun padanya!"
keras pendirian Rawuni.
"Rawuni...!"
"Dia benar, Pramana...," tiba-tiba terdengar suara.
Pramana dan Rawuni tersentak kaget. Kedua orang itu cepat melompat turun
dari punggung kudanya masing-masing. Tatapan mereka tajam menusuk langsung
ke arah datangnya suara tadi. Tampak seorang pemuda berbaju kulit harimau
tahu-tahu sudah berdiri tegak di atas sebongkah batu cadas yang hitam
berkilat
***
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Pramana mengenali pemuda berbaju kulit
harimau itu. Belum lagi hilang sepenuhnya rasa terkejut kakak beradik itu,
dari balik batu muncul Paman Darwala, Jruda, dan seorang murid Padepokan
Mega Kiting Bayu melompat turun dari atas batu. Mereka melangkah lebih
mendekat lalu berhenti setelah jaraknya sekitar dua batang tombak lagi di
depan Pramana dan Rawuni.
"Rawuni, menjauhlah dari kakakmu!" perintah Paman Darwala tegas.
"Kau tetap di sini, Rawuni!" sentak Pramana sambil mencekal tangan
adiknya.
"Tidak!" sentak Rawuni mengibaskan cekalan kakaknya.
Rawuni segera berlari menjauh begitu terlepas dari cekalan kakaknya.
"Rawuni...!" bentak Pramana gusar.
Kegusaran Pramana bertambah melihat Paman Darwala menyongsong menyambut
gadis itu. Dan seketika itu juga, Pramana mengecutkan tangannya. Secercah
cahaya berkelebat cepat keluar dari tangannya. Tampak dua buah pisau kecil
tipis meluncur ke arah Rawuni.
"Rawuni, awas...!" seru Paman Darwala terkejut.
Tapi Rawuni tidak sempat lagi untuk menghindar. Namun Pendekar Pulau Neraka
sudah menghentakkan tangan kanannya. Seketika itu juga Cakra Maut melesat
dari pergelangan Pendekar Pulau Neraka. Cakra Maut menghantam dua pisau yang
hampir saja menembus punggung Rawuni. Pada saat yang sama, gadis itu
menjatuhkan tubuhnya ke tanah dan bergulingan beberapa kali.
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut kembali melesat
balik, lalu menempel kembali pada pergeiangan tangan kanannya. Pramana
menggeram gusar melihat Pendekar Pulau Neraka menggagalkan maksudnya.
"Kau terlalu banyak ikut campur, pendekar setan! Mampus kau!
Hiyaaat...!"
Pramana tidak bisa lagi menahan gejolak hatinya yang tengah disulut api
dendam membara. Bisikan iblis sudah merasuki hati pemuda itu. Dia melompat
cepat bagai kilat menerjang Pendekar Pulau Neraka. Namun manis sekali Bayu
mengelakkan serangan itu. Bahkan tanpa diduga sama sekali, tangan kirinya
menyodok ke arah perut.
"Hughk...!" Pramana mengeluh pendek. Pemuda itu terhuyung-huyung ke
belakang sambil memegangi perutnya. Kalau saja sodokan itu disertai
pengerahan tenaga dalam, pasti semua isi pertunya sudah ambrol keluar. Tapi
sodokan tenaga luar itu mampu membuat bola mata Pramana berputar, dan
perutnya terasa mual.
Hanya sebentar Pramana mengatur napas untuk mengusir rasa mual pada
perutnya, kemudian sudah kembali menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan
jurus-jurus pendek yang cepat dan dahsyat.
Bayu bisa merasakan kalau setiap pukulan dan tendangan Pramana mengandung
pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi. Memang sudah bisa diukur sampai
di mana ketinggian tenaga dalam Pramana Hingga ketika satu pukulan keras
menggeledek meng arah kedadanya, dengan cepat Bayu menyodokkan tangan kanan,
menyambut pukulan itu.
Trak!
"Akh!" Pramana memekik tertahan. Pemuda itu kontan melompat mundur tiga
tindak. Bibirnya meringis merasakan sakit di seluruh tangan kirinya yang
beradu dengan tangan kanan pendekar muda itu. Pramana menyadari kalau tenaga
dalamnya masih dibawah Pendekar Pulau Neraka. Cepat pemuda itu mencabut
pedangnya yang tergantung di pinggang.
Sret!
"Hm...," Bayu menggumam melihat pedang sudah terhunus dalam genggaman
Pramana. PendekarPulau Neraka menggeser kakinya ke samping beberapa tindak.
Sementara itu semua orang yang ada di situ memperhatikan dengan perasaan
tegang. Mereka tidak berkedip memandangi dua orang yang saling berhadapan,
siap melakukan pertarungan tingkat tinggi.
"Hiyaaa...!"
"Hait..!"
Pramana melompat cepat bagai kilat sambil membabatkan pedangnya beberapa
kali ke arah bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan. Dan Bayu yang sudah
siap sejak tadi, mengerahkan jurus 'Kelelawar Maut' Jurus Bayu itu didapat
dari seorang pendekar yang bergelar Pendekar Kelelawar dari Selatan. Jurus
andalan ini jarang digunakan. Bayu bertarung dengan kedua tangan sering
mengembang. Gerak tubuhnya begitu lentur, meliuk-liuk menghindari setiap
tebasan dan tusukan pedang Pramana yang dahsyat dan mengandung tenaga dalam
tinggi.
***
Pertarungan antara Pramana melawan Pendekar Pulau Neraka berjalan sengit.
Tapi baru saja lima jurus terlewati, sudah kelihatan kalau Pramana tidak
mampu lagi menahan gempuran Bayu Hanggara. Beberapa kali tubuhnya harus rela
menerima pukulan pendekar muda itu. Pramana sudah jatuh bangun, tapi masih
tetap tidak undur barang sedikit pun. Dia tahu kalau setiap pukulan yang
diterimanya tidak mengandung tenaga dalam, tapi cukup nyeri juga. Dan ini
membuat Pramana merasa terhina.
"Phuih!" Pramana menyemburkan ludahnya. Cepat sekali Pramana menyerang
kembali dengan jurus-jurus andalannya. Namun baru beberapa gebrakan saja,
tanpa diduga sama sekali satu pukulan telak Pendekar Pulau Neraka membuat
pemuda itu terjungkal ke belakang, menghantam sebongkah batu besar hingga
hancur berantakan.
"Keparat! Hiyaaat...!" Pramana mengumpat, langsung melompat bangkit dan
menyerang.
Wut! Wut!
Dua kali tebasan pedang Pramana berhasil dihindari Pendekar Pulau Neraka.
Kegigihan Pramana membuat hati Bayu kagum, tapi juga gusar karena sifat
keras kepalanya. Sudah diberikan keringanan untuk mundur, malah semakin liar
saja. Menyerang membabi buta tanpa menghiraukan lagi norma-norma ilmu olah
kanuragan yang benar.
"Hih! Hyaaa...!"
Bayu melentingkan tubuhnya ke atas, ketika satu tebasan pedang Pramana
mengincar kakinya. Pendekar Pulau Neraka itu melewati kepala Pramana, dan
kakinya langsung mendupak kepala pemuda itu.
"Akh...!" Pramana memekik keras tertahan. Dupakan kaki Pendekar Pulau
Neraka tepat menghantam kepalanya. Pramana jadi limbung. Dan pada saat tu,
satu pukulan telak bertenaga dalam penuh, dilepaskan Bayu. Pukulan itu tidak
terbendung lagi, langsung menghantam dada Pramana.
"Aaakh...!" lagi-lagi Pramana menjerit keras.
"Kakang...!" teriak Rawuni seketika.
Tubuh Pramana terbanting keras ke tanah. Pemuda itu menggelepar merasakan
sakit yang amat sangat di bagian dada. Mulut dan hidungnya mengucurkan
darah. Pelipisnya pun sobek cukup lebar. Pramana berusaha bangkit berdiri,
tapi tubuhnya limbung. Dengan menahan sakit pada ronga dada dan kepalanya,
Pramana berlari cepat sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi ke atas
kepala.
"Hiyaaat..!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Bayu menghentakkan tangan kanannya ke depan, maka seketika itu juga dari
pergelangan tangan kanannya meluncur Cakra Maut. Senjata andalan Pendekar
Pulau Neraka itu tepat menghunjam dada Pramana, hingga tembus ke punggung.
Cakra Maut terus melesat dan berputar balik begitu Bayu mengangkat tangannya
ke atas. Cakra Maut berwarna keperakan itu kembali menempel di pergelangan
tangan Pendekar Pulau Neraka.
Sementara itu Pramana semakin limbung. Darah mengucur deras dari luka-luka
di tubuhnya, terutama pada bagian dada dan punggungnya yang berlubang. Hanya
sebentar Pramana mampu bangkit berdiri, kemudian ambruk menggelepar di
tanah.
"Kakang...!" seru Rawuni keras. Gadis itu akan memburu, tapi tangannya
keburu ditangkap Paman Darwala. Rawuni berbalik dan menangis dalam pelukan
pamannya. Semua yang menyaksikan kejadian itu hanya diam membisu. Semua mata
terpaku pada Pramana, biang keladi keonaran di Desa Kiting. Itu semua karena
rasa sakit hatinya pada Jruda. Paman Darwala membawa Rawuni meninggalkan
tempat itu.
Gadis itu masih menangis, melangkah dalam pelukan pamannya. Sementara Jruda
dibantu salah seorang murid Padepokan Mega Kiting mengangkat tubuh Pramana
yang sudah membujur mayat. Mereka menaruhnya di atas kuda hitam, milik
Pramana sendiri. Murid Padepokan Mega Kiting menuntun kuda itu dengan tangan
kanannya, sedangkan tangan kiri menuntun kuda milik Rawuni. Jruda memandangi
Pendekar Pulau Neraka, yang kemudian datang menghampirinya.
"Aku tidak tahu, harus mengucapkan apa kepadamu, Bayu," kata Jruda
pelahan.
"Hhh...!" Bayu hanya menarik napas panjang saja.
"Kuharap kau bersedia singgah dulu di padepokan. Meskipun kita semua sudah
mendengar pengakuan Pramana, tapi Paman Darwala pasti meminta Rawuni untuk
mengatakan semuanya. Aku tidak tahu, hukuman apa yang akan dijatuhkan
terhadap Rawuni," kata Jruda lagi.
"Kalau bisa, jangan terlalu berat. Biarkan dia menikmati kehidupan ini. Aku
yakin, dia gadis yang baik," ujar Bayu memberi saran.
"Ini permintaanmu, Bayu?"
"Katakanlah begitu."
"Akan kusampaikan pada Paman Darwala nanti. Aku juga tidak menginginkan
jika Rawuni dijatuhi hukuman yang berat. Malah dia akan kuajak membangun
kembali Padepokan Mega Kiting, dan akan kuselidiki kematian ayahnya. Kalau
pun memang terbukti ayahku yang melakukannya, biar aku yang menanggung
semuanya," kata Jruda mantap.
Bayu tersenyum dan menepuk bahu Jruda, kemudian berbalik dan melangkah
pergi. Jruda memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka itu. Segera
dibalikkan tubuhnya, dan kembali menuju Desa Kiting. Sementara Paman Darwala
dan yang lainnya sudah menunggu di atas kuda. Jruda langsung melompat naik
ke punggung kudanya.
"Apa yang dikatakannya padamu, Jruda?" tanya Paman Darwala.
"Dia menginginkan aku dan Rawuni membangun kembali Padepokan Mega Kiting,
dan berharap dari padepokan itu muncul pendekar pembela kebenaran," sahut
Jruda.
"Sungguh mulia hatinya. Bagaimana denganmu, Rawuni?" Paman Darwala
memandang pada keponakannya.
"Aku harus menjalani hukuman lebih dahulu, Paman," sahut Rawuni
lirih.
"Hukumanmu tetap ada."
"Aku rasa, aku tidak sanggup lagi ke Desa Kiting, Paman. Kalau boleh,
biarkan aku mengembara untuk menebus segala dosa-dosaku dengan memberantas
ketidakadilan," pinta Rawuni.
Paman Darwala tersenyum terharu. Ditepuknya pundak gadis itu, lalu
dihentakkan tali kekang kuda nya. Mereka semua bergerak menuju kembali ke
Desa Kiting. Tapi di persimpangan jalan, mereka berpisah Paman Darwala dan
Rawuni langsung menuju ke tempat asal mereka sambil membawa mayat Pramana.
Sedangkan Jruda dan murid Padepokan Mega Kiting kembali ke padepokan.
"Kasihan kau, Rawuni. Terjebak dalam Lingkaran Rantai Setan...," desah
Jruda dalam hati.
TAMAT
Episode Berikutnya:
Emoticon