LIMA
Siang ini matahari bersinar terik sekali, seakan-akan hendak membakar
seluruh permukaan bumi..Begitu teriknya hingga daun-daun berguguran, dan
seluruh penghuni hutan di Gunung Waru berlomba-lomba mencari sumber mata
air. Tapi tidak demikian halnya dengan seorang gadis berpakaian serba putih
yang menunggang kuda menyusuri lereng gunung sebelah Timur.
Kuda putih yang ditungganginya mendengus-dengus, dan mulutnya terbuka
mengucurkan liur. Binatang itu tampak kelelahan, tapi penunggangnya tidak
peduli Dia terus menggebah kudanya agar berlari cepat. Wajah gadis itu juga
sudah memerah. Keringat tampak membanjir di sekujur tubuhnya. Sesekali di
sekanya keringat di leher yang putih jenjang.
"Hop..." gadis itu menghentikan laju kudanya. Pandangannya lurus ke depan,
ke arah sebuah bangunan besar yang dikelilingi pagar tinggi dari batang
pohon yang bagian atasnya runcing. Dia melompat turun dari punggung kudanya.
Gerakannya ringan sekali, pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang
cukup tinggi. Gadis itu berdiri tegak di depan kudanya.
"Sepi...," gumam gadis itu pelan. Pelahan kakinya terayun mendekati
bangunan besar itu. Sinar matanya tajam tak berkedip meraya sekitarnya.
Ayunan langkah kakinya begitu ringan, menimbulkan suara sedikit pun. Dia
semakin me kari bangunan besar bagai benteng pertahanan itu. Tapi baru juga
sampai setengah jalan, mendadak saja...
"Hiyaaa..."
"Yeaaah..."
Tiba-tiba terdengar teriakan keras, disusul bermuculannya manusia-manusia
dari balik pepohonan. Gadis itu terkejut, langsung memutar tubuh dan menata
ke sekelilingnya. Hatinya sungguh terkejut bukan main, karena di sekitarnya
sudah dikelilingi orang bersenjata pedang terhunus. Jumlahnya begitu banyak,
lebih dari lima puluh orang.
"Selamat datang di Padepokan Sangga Langit, Anggrek Jingga," tiba-tiba
terdengar suara lembut
"Heh...?" gadis itu terkejut dan langsung berpaling. Pandangan gadis itu
seketika tertumbuk pada seorang laki-laki tua berjubah putih yang tahu-tahu
sudah berdiri di depan orang-orang yang mengepungnya. Entah dari mana
datangnya, tahu-tahu sudah ada di sana.
"Eyang Palandara...," desis gadis itu mengenali .laki-laki tua yang berdiri
sekitar dua batang tombak di depannya.
"Kenapa kau datang sendiri, Pinanti? Mana gurumu?" tanya Eyang Palandara.
Suaranya begitu lembut, namun mengandung kewibawaan.
"Kau tahu tentang diriku, Eyang Palandara...?" tanya gadis berbaju putih
yang memang bernama Pinanti, salah seorang murid Kandita si Anggrek
Jingga.
"Aku tahu siapa-siapa saja orang-orang dari Anggrek Jingga. Bahkan sebelum
kalian muncul di Desa Coket aku sudah tahu. Malah kedatanganmu ke sini juga
sudah kuketahui. Jadi, jangan heran jika aku menyambut kedatanganmu," jelas
Eyang Palandara.
"Dari mana kau tahu?" tanya Pinanti mendengus. Gadis itu agak terkejut
juga, tapi cepat-cepat menyembunyikan keterkejutannya. Hatinya jadi
bertanya-tanya, dari mana Eyang Palandara mengetahui semua tentang Anggrek
Jingga? Padahal selama ini gerakan Anggrek Jingga begitu tersembunyi, bahkan
tidak ada yang tahu berapa jumlah anggota Anggrek Jingga sebenarnya.
"Jika tidak keberatan, aku ingin mengundangmu melihat-lihat Padepokan
Sangga Langit," ajak Eyang Palandara ramah.
"Hm.... Kau tidak ingin memperdayaku, Eyang Palandara?" Pinanti jadi
curiga.
"Kedatanganmu bermaksud mengetahui kekuatan padepokanku, bukan? Nah
Marilah, kuperlihatkan seluruh kekuatan Padepokan Sangga Langit. Dan kau
bisa melaporkannya pada Kandita," kata Eyang Palandara tenang dan
ramah.
Pinanti jadi berpikir seribu kali. Sungguh tidak disangka kalau
kedatangannya ke sini sudah diketahui. Bahkan sekarang Ketua Padepokan
Sangga Langit itu sendiri yang menyambutnya, dan hendak memperlihatkan
seluruh kekuatan padepokannya. Bukankah ini sesuatu yang sangat janggal?
Mereka satu sama lain berdiri berhadapan sebagai musuh, tapi sikap Eyang
Palandara yang begitu ramah membuat Pinanti tidak bisa memahaminya.
"Kau terlalu curiga terhadap maksud baikku, nanti," tebak Eyang Palandara
seperti mengetahui jalan pikiran gadis itu. Pinanti merayapi murid-murid
Padepokan Sangga Langit di sekelilingnya. Saat itu Eyang Palandara
menjentikkan jari tangannya, maka semua murid depokan itu bergerak masuk ke
dalam benteng padepokan yang terbuat dari kayu gelondongan yang di tancapkan
berkeliling ke tanah, membentuk cincin raksasa. Bangunan besar di
tengah-tengah lingkaran benteng itulah yang menjadi tujuan mereka.
"Mari...," ajak Eyang Palandara setelah semua muridnya masuk ke dalam
benteng.
"Sikapmu membuatku curiga, Eyang Palandara," tegas Pinanti berterus
terang.
"Ha ha ha..." Eyang Palandara tertawa terbahak-bahak. Sepertinya kata-kata
Pinanti tadi membuat tenggorokannya tergelitik.
"Kenapa tertawa, Eyang Palandara?" dengus Pinanti kurang senang.
"Aku tentu tidak akan bersikap begini jika bukan kau yang datang, Pinanti,"
kata Eyang Palandara setelah reda tawanya.
"Kenapa? Apakah ada perbedaan antara aku dan yang lainnya?" tanya Pinanti
tidak mengerti, sehingga jadi bingung juga dibuatnya."
Tentu saja ada perbedaannya. Marilah, kita bicarakan hal ini di dalam,"
ujar Eyang Palandara seraya merentangkan tangannya. Sejenak Pinanti
ragu-ragu. Tapi mendadak saja hatinya diliputi rasa penasaran akan sikap
laki-laki tua berjubah putih ini. Terlebih lagi perkataannya yang terakhir.
Berbagai macam pertanyaan terlintas di benaknya. Sejenak Pinanti memandangi
orang tua itu, kemudian menatap ke arah bangunan besar Padepokan Sangga
Langit Pintu gerbang benteng padepokan itu terbuka lebar, seakan-akan
sengaja dibuka untuknya.
"Baiklah. Tapi jika kau hanya menjebakku saja, aku akan membunuhmu, Eyang
Palandara" kata Pinanti tajam.
"Silakan, Pinanti," sambut Eyang Palandara ramah diiringi senyuman. Pinanti
memantapkan hatinya, kemudian mengayunkan kakinya menuju dalam benteng
Padepokan Sangga Langit Sedangkan Eyang Palandara sudah lebih dahulu
berjalan di depannya. Dua orang terlihat menjaga di ambang pintu gerbang.
Mereka membungkuk memberi hormat saat Eyang Palandara melintasinya. Dan
pintu itu ditutup setelah kedua orang yang saling bermusuhan itu berada di
dalam.
***
Pinanti memandangi ruangan besar yang dikelilingi jendela besar terbuka
lebar, sehingga memberi keleluasaan pada matahari untuk menerangi ruangan
ini dengan sinarnya yang memancar terik. Di setiap sudut ruangan terlihat
senjata-senjata berjajar rapi dari berbagai bentuk. Pinanti tahu kalau
ruangan ini merupakan balai latihan bagi murid-murid Padepokan Sangga
Langit. Gadis itu duduk di lantai beralaskan tikar anyaman daun pandan. Di
depannya, duduk Eyang Palandara. Tak ada lagi orang lain di ruangan ini
mereka berdua.
"Ruangan ini sebagai pusat latihan semua murid Padepokan Sangga Langit. Kau
lihat sendiri, segala macam senjata harus mereka kuasai dengan baik," jelas
Eyang Palandara.
"Kenapa kau tunjukkan semua ini padaku?" tanya Pinanti.
"Bukankah itu yang hendak kau ketahui, Pinanti? Aku tahu, kedatanganmu ke
sini sengaja untuk menyelidiki kekuatan Padepokan Sangga Langit. Sudah
beberapa hari ini aku melihatmu berada di sekitar padepokan," ujar Eyang
Palandara.
"Aku ingin tahu alasanmu berbuat semua ini padaku, Eyang Palandara" agak
ketus nada suara Pinanti.
"Agar kau tidak bersusah payah menyelidikinya," jawab Eyang Palandara
kalem.
"Itu bukan jawaban yang kuinginkan, Eyang."
"Tapi itulah jawabannya."
"Kau pasti tidak akan berbuat begini jika bukan aku yang melakukannya,
bukan?" selidik Pinanti curiga.
"Tentu," sahut Eyang Palandara seraya mengangkat alisnya.
"Kenapa?" desak Pinanti.
"Karena kau murid termuda dari si Anggrek Jingga," sahut Eyang Palandara
tetap tenang.
"Maaf Aku tidak ada waktu untuk bermain-main, Eyang" dengus Pinanti gusar.
Dia bergegas bangkit berdiri.
"Tunggu dulu, Pinanti. Duduklah...," cegah Eyang Palandara cepat.
"Kau tidak bisa seenaknya mempermainkan aku, Eyang" rungut Pinanti tidak
senang.
"Duduklah dulu, nanti akan kujelaskan semuanya," bujuk Eyang
Palandara.
"Untuk sekali ini, Eyang .Sekali lagi kau mempermainkan aku, pertarungan
menjadi keputusanku yang terakhir. Aku tidak peduli kalau saat ini berada di
tempatmu dan dikelilingi murid-muridmu yang setiap saat bisa merajamku"
suara Pinanti terdengar bersungguh-sungguh.
"Tidak akan terjadi pertarungan di sini, Pinanti. Duduklah, tenangkan
dirimu dulu."
Pinanti kembali duduk. Wajahnya memerah dan sorot matanya tajam menusuk
langsung bola mata orang tua di depannya. Sedangkan Eyang Palandara
kelihatan tenang. Bibirnya tampak selalu menyunggingkan senyuman
lebar.
"Pinanti, apakah kau pernah berpikir tentang dirimu sendiri? Tentang siapa,
dan dari mana asalmu?" tanya Eyang Palandara, nada suaranya terdengar
sungguh-sungguh.
"Untuk apa kau tanyakan itu?" dengus Pinanti kurang senang. Tapi keningnya
terlihat berkerut juga. Pinanti memang mengakui bahwa selama ini tidak
pernah terpikirkan tentang dirinya sendiri. Bahkan tidak pernah mau tahu,
darimana asalnya, dan siapa dirinya sebenarnya. Yang diketahui, dirinya
berada di sebuah tempat bersama wanita-wanita dan harus patuh pada seorang
wanita cantik Kandita yang menjadi gurunya.
"Sebenarnya kesempatan seperti ini sudah kunantikan. Aku sendiri tidak
mengerti tujuan Kandita yang memberimu tugas untuk menyelidiki aku, kekuatan
Padepokan Sangga Langit ini," sahut Eyang Palandara agak mendesah.
"Tampaknya kau sudah cukup banyak mengetahui tentang Anggrek Jingga, Eyang
Palandara," dengus Pinanti.
"Lebih dari yang kau ketahui," sahut Eyang Palandara.
Pinanti tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya. Sungguh tidak
disangka kalau laki-laki tua ini mengetahui banyak tentang Anggrek Jingga.
Bahkan mengakui lebih dari yang diketahuinya sendiri selama ini.
"Yaaah.... Aku sendiri tidak tahu, ilmu apa yang digunakan Kandita sehingga
kau melupakan dirimu sendiri...," ujar Eyang Palandara terdengar
mengeluh.
"Eyang, apa sebenarnya yang hendak kau bicarakan?" Pinanti jadi tidak
mengerti.
"Yang kuinginkan hanyalah agar kau mengetahui siapa dirimu sebenarnya,
Pinanti," sahut Eyang Palandara.
"Aku...?" Pinanti tersedak.
Gadis itu tampak bingung, terlebih lagi begitu melihat bola mata Eyang
Palandara berkaca-kaca. Bibir yang hampir tertutup kumis, tampak bergetar,
seperti hendak mengucapkan sesuatu. Tapi, tak ada satu suara pun yang keluar
dari bibirnya itu. Entah Kanapa, tiba-tiba saja Pinanti merasakan ada
sesuatu yang tersembunyi pada diri Eyang Palandara.
"Kau jangan coba-coba mempengaruhiku, Eyang. Aku tahu siapa diriku. Dan kau
tidak bisa berbuat licik padaku," tegas Pinanti ketus.
"Pinanti Dengar dulu..., Anakku...."
"Cukup" sentak Pinanti langsung bangkit berdiri. Gadis cantik itu cepat
berbalik dan melangkah ke luar. Eyang Palandara buru-buru bangkit dan
mengejar.
"Pinanti, tunggu..." Tapi Pinanti terus berjalan cepat Beberapa murid
Padepokan Sangga Langit memandangi disertai sinar mata penuh kecurigaan.
Tapi gadis itu diam saja tidak peduli. Dia terus berjalan cepat melintasi
halaman berumput yang cukup luas. Segera dilentingkan tubuhnya melompati
pintu gerbang. Cepat dan ringan sekali gerakannya, dan sebentar saja sudah
lenyap di balik benteng padepokan ini. Sementara Eyang Palandara hanya bisa
terpaku memandangi dari ambang pintu bangunan besar padepokan itu. Dia tidak
mencoba mengejar, dan hanya memandang dengan mata berkaca-kaca.
Pelahan dibalikkan tubuhnya, laki melangkah masuk kembali. Beberapa
muridnya hanya memandangi disertai berbagai macam pertanyaan. Pinanti memacu
cepat kudanya menyusuri Lereng Gunung Waru. Raut wajahnya kelihatan tegang.
Kudanya digebah bagai dikejar setan saja. Padahal kuda putih itu telah
mendengus-dengus kelelahan. Namun Pinanti tidak peduli. Sudah cukup jauh
Padepokan Sangga Langit ditinggalkannya, tapi kecepatan kudanya belum juga
dikendorkan.
"Yeaaah Hiyaaa..."
Pinanti semakin mempercepat lari kudanya, namun tiba-tiba saja kuda itu
meringkik keras dan berhenti sambil mengangkat kedua kaki depannya tinggi
tinggi. Pinanti terkejut, dan buru-buru menarik kekang kudanya, mencoba
mengendalikan kuda putih yang mendadak jadi liar ini. Dan belum juga gadis
itu bisa menguasai kudanya yang jadi liar, tiba-tiba terlihat secercah
cahaya keperakan meluruk deras ke arahnya. Sejenak gadis itu terkesiap, lalu
cepat melentingkan tubuhnya ke udara. Kuda putih itu terlonjak, langsung
berlari cepat. Pinanti berkelit dengan berputaran dua kali di udara, maka
cahaya keperakan itu lewat sedikit di bawah telapak kakinya. Dengan gerakan
yang manis, didaratkan kakinya di tanah.
"Ha ha ha..."
"Hm...," Pinanti menggumam kecil ketika tiba-tiba terdengar suara tawa
menggelegar. Gadis itu melirik ke arah datangnya suara tawa itu, tapi
mendadak jadi kebingungan. Ternyata suara tawa itu arah datangnya
berpindah-pindah. Pinanti melayangkan pandangannya ke arah lesatan cahaya
keperakan tadi Pandangannya tertumbuk pada sebatang pohon yang hangus. Pada
batang pohon itu tertancap sebuah benda bulat pipih yang sisinya bergerigi
berwarna keperakan.
"Kakek Iblis Perak...," desis Pinanti, agak bergetar nada suaranya.
"Hehehe..."
Pinanti langsung memalingkan mukanya ke depan begitu mendengar tawa
terkekeh. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan gadis itu sudah
berdiri seorang laki-laki tua bertubuh kurus dan berambut putih bagai perak.
Dia mengenakan jubah panjang juga berwarna perak. Tak ada senjata yang
tergenggam. Laki-laki tua yang dikenal Pinanti berjuluk Kakek Iblis Perak
itu memang tidak menggunakan senjata selain bintang-bintang bulat bergerigi
berwarna perak. Namun di balik jubahnya tersimpan sebuah senjata bulat pipih
berwarna perak yang seluruh sisinya bergerigi. Senjata itu berlubang pada
bagian tengahnya. Memang, senjata Kakek Iblis Perak itu sangat ditakuti
kalangan rimba persilatan.
"He he he.... Kau masih mengenalku, Pinanti?" serak suara Kakek Iblis Perak
itu.
"Mengapa kau mencegatku di sini?" dengus Pinanti.
Tentu saja Pinanti ingat betul pada laki-laki tua serba perak ini. Mereka
pernah satu kali bentrok. Saat itu Pinanti bersama ketiga teman dan gurunya,
sehingga Kakek Iblis Perak tidak mampu menghadapinya. Laki-laki tua itu
kabur sebelum menjadi lebih parah keadaannya dalam menghadapi lima wanita
cantik yang berjuluk Anggrek Jingga. Dan kini dia muncul menghadang salah
seorang dari Anggrek Jingga, nanti sudah bisa menduga apa maksudnya. Pasti
dendam Dan gadis itu sadar kalau dirinya mungkin menghadapi Kakek Iblis
Perak sendirian.
"He he he.... Sebenarnya aku ingin membunuhmu, Pinanti. Tapi ternyata ada
yang lebih dari keinginanku," ujar Kakek Iblis Perak dengan suaranya yang
serak dan kering.
"Apa keinginanmu, Iblis Perak?" dengus Pinanti.
"Aku lihat kau tadi keluar dari Padepokan Sangga Langit He he he...," Kakek
Iblis Perak terkekeh seraya melangkah mendekati gadis itu.
Pinanti mengerutkan keningnya. Pikirannya menduga-duga, apa yang diinginkan
Kakek Iblis Perak ini sebenarnya. Dia juga sedikit terkejut, karena
laki-laki tua itu mengetahui kalau dirinya baru saja dari Padepokan Sangga
Langit.
"Pinanti, aku tahu kalau gurumu ingin melenyapkan si tua Palandara. Dan itu
merupakan keinginanku yang sudah lama terpendam. Si tua keparat itu memang
harus mampus, agar semua perbuatan kita tidak ada lagi yang menghalangi. Dan
kita bisa menguasai seluruh daerah di sekitar Gunung Waru ini He he he...,"
ujar Kakek Iblis Perak diiringi tawanya yang terkekeh.
"Aku tidak mengerti maksudmu, Iblis Perak."
"He he he.... Kau akan mengerti jika kau mempertemukan aku dengan gurumu,
Pinanti."
"Huh,.. Tadi Eyang Palandara bermaksud mempengaruhiku, sekarang kau juga
ingin membujukku" dengus Pinanti.
"Jangan salah duga, Pinanti. Aku tidak akan memperpanjang persoalan lama.
Bahkan sudah lama kulupakan," kata Kakek Iblis Perak mencoba membuat gadis
itu mengerti.
"Katakan saja terus terang, untuk apa kau ingin bertemu guruku?" Belum juga
Kakek Iblis Perak menjawab pertanyaan Pinanti, tiba-tiba terdengar derap
langkah kaki kuda. Mereka sama-sama berpaling ke arah datangnya suara kuda
itu. Dan tak berapa lama kemudian, muncul empat ekor kuda yang ditunggangi
gadis-gadis cantik berpakaian aneka warna. Baik Kakek Iblis Perak maupun
Pinanti mengenali, siapa empat wanita cantik yang menunggang kuda itu.
Mereka adalah Kandita dan ketiga muridnya, yang kemudian langsung
berlompatan turun begitu dekat.
"Orang tua iblis... Apa yang kau lakukan pada muridku?" bentak Kandita
berang.
"Aku..., aku...," Kakek Iblis Perak jadi tergagap mendengar bentakan keras
itu. Dan sebelum laki-laki tua itu sempat menjelaskan, Kandita sudah
mengegoskan kepalanya memberi isyarat Seketika itu juga Ranti dan Dewi
berlompatan cepat sambil mencabut pedangnya. Kedua gadis itu langsung
menyerang ganas si Kakek Iblis Perak.
"He, tunggu..." sentak Kakek Iblis Perak. "Kali ini kau harus mampus, tua
bangka keparat Hiyaaa..." teriak Dewi lantang.
"Yeaaah..."
"Hup"
Trang
Serangan-serangan yang dilancarkan kedua gadis itu sungguh dahsyat dan
berbahaya sekali. Maka Kakek Iblis Perak tidak punya pilihan lain lagi
Dikeluarkan senjata anehnya dari balik jubahnya yang panjang. Sebuah senjata
seperti tameng berbentuk bulat pipih yang sisinya bergerigi tajam. Dia
memegang pada bagian tengahnya yang berlubang dengan bagian pegangan
melintang di tengah-tengah lingkaran lubang.
Dengan senjata maut di tangan, Kakek Iblis Perak memang sukar ditaklukkan.
Beberapa kali kelebatan pedang Dewi maupun Ranti berhasil ditangkis. Dan
setiap kali senjata mereka berbenturan, terlihat kemampuan tenaga dalam yang
dimiliki kedua gadis itu masih berada di bawah si Kakek Iblis Perak.
"Mundur kalian... Hiyaaat.."
Melihat kedua muridnya kewalahan, Kandita langsung berteriak lantang seraya
melompat menerjang menggantikan kedua gadis itu. Terjunnya Kandita membuat
Kakek Iblis Perak jadi gelagapan. Dia tahu betul kalau kemampuannya masih di
bawah wanita cantik ini.
"Kandita, tunggu. Akan kujelaskan..." seru Kakek Iblis Perak sambil
berkelit menghindari pukulan si Anggrek Jingga itu.
"Tidak ada lagi penjelasan bagimu, tua bangka keparat Hiyaaa" Kandita
rupanya tidak mau kompromi lagi. Kandita terus menyerang dengan jurus-jurus
dahsyat dan cepat luar biasa. Hal ini membuat Kakek Iblis Perak jadi
kelabakan setengah mati, dan sekuat tenaga berusaha menghindar. Dicobanya
untuk menggunakan senjatanya. Tapi setiap kali menggunakan senjata berbentuk
aneh itu, Kandita langsung cepat dapat meredamnya.
Hal ini membuat Kakek Iblis Perak semakin kelabakan Kakek Iblis Perak
mengakui dalam hati kalau Kandita mengalami kemajuan yang pesat sekali.
Jurus-jurusnya semakin mantap dan dahsyat. Belum lagi angin sambaran
pukulannya sangat luar biasa. Jika lawan yang dihadapi hanya memiliki ilmu
tenaga dalam tanggung, dapat dipastikan tidak akan mampu bertahan walau
hanya terkena sambaran angin pukulannya saja.
Laki-laki tua itu saja selalu limbung manakala berhasil menghindari pukulan
Kandita. Disadari kalau tenaga dalamnya masih satu tingkat di bawah si
Anggrek Jingga ini. Kakek Iblis Perak memutar otaknya agar bisa lolos dari
pertarungan ini. Dia yakin, Kandita tidak akan mungkin diajak kompromi
lagi.
"Hiyaaa..."
Kakek Iblis Perak langsung melesat ke atas ketika kaki Kandita melayangkan
satu sampokan melingkar ke arah kaki Dan kesempatan ini tidak disia-siakan
Kakek Iblis Perak. Cepat dia melesat hendak kabur. Namun sungguh sukar
diduga Belum juga niatnya berhasil, Kandita sudah cepat mengecutkan tangan
kanannya.
Wut
"Ikh..." Kakek Iblis Perak tersentak kaget Cepat dikibaskan senjatanya
ketika sekuntum bunga anggrek jingga meluruk deras ke arahnya. Dua senjata
seketika beradu keras, menimbulkan percika api ke segala arah. Kakek Iblis
Perak yang berada di udara, jadi kehilangan keseimbangan. Dia terpental
jatuh dan bergulingan di tanah.
"Yeaaah..."
Secepat kilat Kandita melompat sambil mencabut pedangnya. Pedang berwarna
putih keperakan itu berkelebat cepat mengarah ke leher si Kakek Iblis
Perak
"Jangan..." tiba-tiba Pinanti berteriak lantang. Seketika ayunan pedang si
Anggrek Jingga terhenti di udara. Wanita berbaju merah itu melompat mundur,
dan langsung menatap Pinanti yang bergegas menghampiri si Kakek Iblis Perak.
Gadis itu membantu Kakek Iblis Perak berdiri. Tampak darah menetes ke luar
dari sudut bibirnya. Beradunya senjata tadi memang sungguh dahsyat, karena
masing-masing mempergunakan kekuatan tenaga dalam. Sehingga, kekuatan tenaga
dalam Kakek Iblis Perak yang satu tingkat di bawah si Anggrek Jingga,
menjadikan bagian dalam tubuhnya sedikit terguncang.
"Pinanti, apa-apaan kau ini...?" bentak Kandita gusar.
"Nini Guru, mohon sarungkan kembali pedangnya," pinta Pinanti.
"Pinanti...?"
"Aku mohon, Nini Guru. Semua ini hanya salah paham saja. Sungguh, hanya
salah paham...," Pinanti mencoba meminta pengertian gurunya. Kandita
memandangi Pinanti dalam-dalam. Sungguh tidak dimengerti sikap murid yang
termuda ini, tapi disarungkan juga pedangnya ke dalam warangkanya di
pinggang. Sedangkan ketiga gadis lainnya yang berada di belakang Kandita
juga menyarungkan pedangnya.
"Jelaskan, Pinanti. Aku tidak ada waktu untuk bermain-main," pinta Kandita
tegas.
"Baik, Nini Guru...."
***
ENAM
Kandita menatap dalam-dalam Kakek Iblis Perak. Sinar matanya begitu tajam,
seakan-akan tidak percaya meskipun Pinanti sudah menjelaskan semuanya dengan
gamblang. Bahkan Kakek Iblis Perak sendiri membenarkan dan mengutarakan
niatnya untuk bergabung menghancurkan Padepokan Sangga Langit.
"Bisa kupercaya kata-katamu, Iblis Perak...?" desis Kandita bernada tidak
percaya.
"Leherku jaminannya, Kandita," sahut Kakek Iblis Perak tegas.
"Setelah semua ini selesai, di antara kita tidak ada lagi perselisihan.
Bahkan akan saling bantu dalam segala hal."
"Hm.... Kenapa kau berubah begitu cepat Iblis Perak?" ada nada kecurigaan
pada suara Kandita.
"Setiap orang bisa berubah dengan sendirinya, Kandita. Dan kusadari kalau
sebenarnya tujuan kita sama. Tidak ada ruginya jika bergabung demi tercapai
apa yang kita inginkan. Bukan begitu, Pinanti?" Kakek Iblis Perak meminta
pendapat Pinanti.
Pinanti tidak menjawab, dan hanya mengangkat bahunya saja.
"Baiklah, aku terima. Tapi jika kau berani berbuat macam-macam, aku tidak
segan-segan memenggal kepalamu. Ingat itu, Iblis Perak" tajam sekali nada
suara Kandita.
"He he he.... Kau tidak perlu meragukan aku, Kandita."
Kandita menyuruh keempat muridnya naik ke punggung kuda. Sementara Pinanti
jadi kebingungan, karena tidak lagi memiliki kuda.
"Kau denganku, Pinanti," kata Ranti. Pinanti langsung melompat naik ke
belakang Ranti. Sedangkan tinggal Kakek Iblis Perak yang kebingungan, karena
tidak mungkin mengikuti keempat wanita itu hanya dengan jalan kaki. Dan
rupanya kebingungan Kakek Iblis Perak diketahui Kandita.
"Kau bisa menyusul kami, Iblis Perak. Datanglah ke Candi Laksa. Di sanalah
kami tinggal untuk sementara," kata Kandita.
"Candi Laksa...?" Kakek Iblis Perak terlongong.
"Kenapa?"
"Bukankah Candi Laksa tempat tinggal Eyang Binarong?"
"Tidak lagi, Iblis Perak. Sudah beberapa hari ini dia berada di neraka,"
tenang sekali jawaban Kandita.
"Ah, kau...?" Kakek Iblis Perak semakin terbeliak. Kandita tertawa renyah.
Dihentakkan tali kekang kudanya, maka murid-muridnya pun mengikutinya.
Tinggal Kakek Iblis Perak masih terlongong. Mulutnya ternganga lebar dan
matanya mendelik tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.
Sementara si Anggrek Jingga bersama murid-muridnya sudah jauh meninggalkan
tempat itu.
"Ah, benarkah Eyang Binarong dapat dikalahkannya...?" Kakek Iblis Perak
bertanya-tanya sendiri. Laki-laki tua itu menggeleng-gelengkan kepalanya,
karena masih belum yakin kalau si Anggrek Jingga bisa mengalahkan Eyang
Binarong. Bahkan sekarang menguasai Candi Laksa, sebuah tempat yang
dikeramatkan dan disucikan oleh semua orang yang tinggal di sekitar Gunung
Waru ini.
Candi Laksa merupakan tempat pemujaan bagi dewata. Tempat suci yang tidak
sembarang orang bisa menginjakkan kaki di dalamnya. Tapi sekarang, Kandita
yang dikenal berjuluk si Anggrek Jingga sudah menguasainya. Kakek Iblis
Perak sukar untuk mempercayainya, karena tahu betul kalau Eyang Binarong
memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali. Bahkan sukar dicari tandingannya,
sehingga Eyang Palandara sendiri belum tentu bisa menaklukkannya.
"Aku harus membuktikannya" dengus Kakek Iblis Perak jadi penasaran.
"Bagaimana mungkin dia bisa menaklukkan Eyang Binarong secepat ini..?
Sungguh mengagumkan kalau sampai hal itu menjadi kenyataan. Seluruh rimba
persilatan pasti akan gempar"
Kakek Iblis Perak bergegas berlari cepat< mempergunakan ilmu meringankan
tubuh. Begitu cepatnya, sehingga dalam waktu sebentar saja bayangan tubuh
laki-laki tua itu sudah lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Saat itu terlihat
sepasang mata mengawasi dari balik gerumbul semak. Pemilik mata itu keluar
dari tempat persembunyiannya. Dipandanginya arah kepergian si Kakek Iblis
Perak sebentar, kemudian langsung berlari ke arah yang berlawanan. Tujuannya
jelas, ke Padepokan Sangga Langit.
***
Brak
"Mustahil..." desis Eyang Palandara menggeram. Meja kayu jati tebal di
sampingnya terbelah jadi dua terhantam kepalan tangan laki-laki tua itu.
Wajahnya terlihat memerah pertanda sedang menahan kemarahan yang amat sangat
Namun sinar matanya memancarkan ketidakpercayaan dengan apa yang baru saja
didengarnya.
"Apa kau tidak salah dengar, Odang?" agak dalam nada suara Eyang Palandara.
Tatapannya lurus pada seorang laki-laki muda berusia sekitar dua puluh satu
tahun.
"Tidak, Eyang. Aku mendengar sendiri," sahut pemuda yang dipanggil Odang
itu. Eyang Palandara terdiam. "Si Anggrek Jingga mengatakan kalau Candi
Laksa sekarang sudah dikuasainya. Bahkan telah membunuh Eyang Binarong.
Jelas sekali aku mendengarnya, Eyang. Aku bersembunyi di dalam semak, tidak
jauh jaraknya," sambung Odang.
"Mustahil Eyang Binarong dapat ditaklukkan perempuan iblis itu," desis
Eyang Palandara tidak percaya.
"Eyang, sebaiknya kita periksa saja dulu kebenarannya," usul Odang.
"Baiklah. Kau bawa beberapa temanmu, dan pergi ke Candi Laksa. Segera
kabarkan apa saja yang kau ketahui di sana padaku," perintah Eyang
Palandara.
"Segera, Eyang." Odang bergegas meninggalkan ruangan itu.
Sementara Eyang Palandara berjalan mondar-mandir, dan wajahnya tampak
muram. Memang, masih belum bisa dipercayai kalau Eyang Binarong bisa
dikalahkan si Anggrek Jingga. Semua orang tahu, siapa Eyang Binarong itu.
Seorang pertapa yang sangat sakti seperti dewa. Sukar diukur tingkat
kepandaiannya. Pendeknya, Eyang Binarong bagaikan manusia setengah dewa.
Saat itu seorang murid Padepokan Sangga Langit ini masuk. Eyang Palandara
berbalik. Murid yang berusia muda itu membungkuk memberi hormat.
"Ada apa?" tanya Eyang Palandara.
"Ki Dampil ingin bertemu, Eyang," ujar pemuda itu penuh rasa hormat.
"Persilakan masuk."
"Segera, Eyang."
Pemuda itu bergegas keluar, dan tak lama kemudian datang lagi bersama
seorang laki-laki tua. Seorang Pemuka Desa Coket yang sudah dikenal baik
oleh semua murid Padepokan Sangga Langit ini. Eyang Palandara menggerakkan
tangannya sedikit, maka pemuda itu menjura memberi hormat lalu keluar dari
ruangan itu. Eyang Palandara mempersilakan tamunya duduk. Ki Dampil
mengambil tempat, duduk lantai beralaskan permadani tebal. Eyang Palandara
duduk bersila di depannya.
Ruangan ini memang tidak memiliki perlengkapan meja atau kursi. Bahkan
seluruh ruangan di dalam bangunan besar padepokan ini tidak memiliki
perabotan. Hanya beberapa lemari yang menyimpan peralatan serta pakaian saja
yang terlihat.
"Tampaknya ada sesuatu yang penting, sehingga jauh-jauh datang ke sini, Ki
Dampil," ujar Eyang Palandara ramah.
"Benar, Eyang. Aku ingin menanyakan apakah ada seorang pemuda berbaju kulit
harimau datang ke sini?" Ki Dampil langsung menuju pokok pembicaraan.
"Pemuda berbaju kulit harimau...?" Eyang Palandara mengerutkan
keningnya.
"Benar, Eyang. Namanya Bayu."
"Tidak...," sahut Eyang Palandara heran.
"Tidak...? Padahal sudah tiga hari dia pergi. Dan katanya, hendak ke sini
menemuimu, Eyang."
"Tunggu dulu, Ki. Siapa pemuda yang kau maksudkan? Rasanya namanya pernah
kudengar...."
"Bayu, Dia seorang pengembara, Eyang. Dan telah menyelamatkannya...."
"Sebentar" potong Eyang Palandara cepat.
"Kau tadi bilang pemuda itu mengenakan baju kulit harimau...?"
"Benar, Eyang. Ada apa...?" sekarang malah terbalik, Ki Dampil yang
keheranan.
"Apakah tangannya memakai gelang dari kulit harimau juga, dan di
pergelangan tangannya ada sebuah benda berbentuk cakra?"
"Tidak salah, Eyang."
"Pendekar Pulau Neraka...," desis Eyang Palandara.
"Eyang mengenalnya? Kalau begitu dia sudah sampai di sini?" kejar Ki
Dampil.
"Tidak. Dia tidak ke sini. Tapi aku memang pernah mendengar namanya.
Seorang pendekar digdaya yang sukar dicari tandingannya saat ini. Tingkat
kepandaiannya sukar diukur. Hm.... Kau bilang dia akan ke sini? Untuk
apa...?"
"Aku yang memintanya ke sini, Eyang. Untuk mengetahui apakah Ki Sampar
datang ke sini atau tidak," sahut Ki Dampil.
"Heh...? Kau datang membawa berita apa lagi ini..?" sentak Eyang Palandara
terkejut.
Saat itu Ki Dampil jadi tertegun. Sungguh tidak disangka kalau Eyang
Palandara begitu terkejut . Padahal belum begitu jelas mengutarakan
maksudnya. Tapi nurani laki-laki tua itu sudah bisa merasakan, berita apa
yang dibawa Ki Dampil.
"Eyang, sudah lebih dari satu pekan Ki Sampar pergi meninggalkan Desa
Coket. Sudah setiap tempat yang biasa dikunjungi didatangi, tapi tidak juga
ditemukan," jelas Ki Dampil.
"Kebetulan ada Bayu, yang bersedia mencari ke sini. Tapi setelah beberapa
hari ditunggu-tunggu, pemuda itu tidak juga kembali. Itu sebabnya kususul
sampai ke sini, sambil mencari barangkali bertemu Ki Sampar."
"Hhh... Apa lagi yang diperbuat Ki Sampar. .?" keluh Eyang Palandara.
"Itulah yang membuatku tidak habis mengerti, Eyang. Sudah semua tempat
dijelajahi, tapi Ki Sampar seperti lenyap ditelan bumi"
"Dan sekarang kau juga kehilangan pemuda itu?"
"Benar, Eyang. Padahal dia sangat kuharapkan, dan sudah berjanji hendak
membantu seluruh warga desa untuk menyelesaikan kemelut ini Eyang, sebagian
warga desa sudah pindah mencari tempat yang aman, karena selama ini tersebar
desas-desus kalau si Anggrek Jingga akan membumihanguskan Desa Coket"
"Itu berita bohong, Ki Dampil. Dia sengaja memancing agar aku keluar"
sentak Eyang Palandara.
"Oh..." Ki Dampil mengeluh memandangi Ketua Padepokan Sangga Langit itu
dalam-dalam.
"Ah Ini persoalan lama, Ki Dampil. Dan bukannya aku tidak berani menghadapi
perempuan iblis itu. Tapi yang kupikirkan adalah nasib dan kelangsungan
Padepokan Sangga Langit ini. Meskipun...,"
Eyang Palandara tidak melanjutkan. Digeleng gelengkan kepalanya. Wajahnya
tampak murung seperti terselimut kabut Ki Dampil memandangi dalam-dalam.
Sulit dimengerti, apa sebenarnya yang sedang terjadi. Sejak Santika didapati
telah tewas, kemudian menghilangnya Ki Sampar, dan sekarang disusul
tersebarnya desas-desus kalau si Anggrek Jingga hendak membumihanguskan
seluruh Desa Coket, semua kejadian itu belum bisa dipikirkan dan
dimengerti.
Terlalu pelik bagi otak tuanya untuk bisa cepat memahami. Sekarang Ki
Dampil dihadapkan pada satu teka-teki lagi. Sungguh tidak diketahui kalau
Eyang Palandara sebenarnya sudah mengetahui tentang si Anggrek Jingga itu.
Dan sama sekali tidak disangka, kalau kemunculan si Anggrek Jingga ada
hubungannya dengan Padepokan Sangga Langit, terutama Eyang Palandara
sendiri.
"Ki Dampil, apakah kau sudah mencari ke Candi Laksa?" tanya Eyang Palandara
setelah beberapa saat terdiam.
"Belum," sahut Ki Dampil.
"Tapi..., rasanya tidak mungkin Ki Sampar datang ke sana. Sudah dua tahun
ini candi itu tidak pernah dikunjungi lagi, Eyang."
"Aku yakin, dia pasti menemui Eyang Binarong Dan...."
Eyang Palandara tersentak, dan baru teringat kalau baru saja menerima
laporan kalau Candi Laksa kini dikuasai si Anggrek Jingga. Kalau memang hal
itu benar, sudah tentu Ki Sampar berada di tangan mereka. Eyang Palandara
yakin betul kalau Ki Sampar pasti pergi ke Candi Laksa jika sedang
menghadapi sesuatu yang tidak bisa diatasinya sendiri. Antara Eyang Binarong
dengan Ki Sampar terjalin hubungan sangat erat. Memang, Ki Sampar adalah
murid pertapa sakti itu.
Eyang Palandara sungguh tidak menyangka. Dan kini pikirannya baru bisa
terbuka. Dia tahu mengapa Anggrek Jingga membunuh Santika. Jelas ini karena
Santika adalah putra Ki Sampar. Dan pemuda itu berguru kepada Eyang
Palandara di Padepokan Sangga Langit. Sementara Ki Sampar sendiri murid Ki
Binarong. Sedangkan antara Eyang Palandara dengan Eyang Binarong adalah
kakak adik. Dan si Anggrek Jingga adalah musuh besar Padepokan Sangga
Langit. Jadi tidak mustahil kalau....
"Oh, tidak..." sentak Eyang Palandara seraya menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Eyang, ada apa?" Ki Dampil terkejut Eyang Palandara tidak menyahut tapi
malah segera berdiri dan melangkah cepat keluar dari ruangan ini. Ki Dampil
jadi kebingungan. Bergegas diikuti dan dikejarnya Ketua Padepokan Sangga
Langit itu.
"Eyang, tunggu Ada apa ini...?" seru Ki Dampil. Tapi Eyang Palandara terus
berjalan cepat ke luar.
***
Sementara itu, Odang dan empat orang temannya sudah sampai di pelataran
Candi Laksa. Mereka terkejut begitu melihat Ki Sampar duduk bersimpuh di
depan pintu candi itu. Pakaiannya kotor tak terurus, seperti sudah beberapa
hari duduk di situ. Bergegas Odang menghampiri. Namun belum juga mendekat
mendadak saja dari atas bangunan candi itu bertebaran bunga-bunga anggrek
berwarna Jingga.
"Awas..." seru Odang sambil mencabut pedangnya.
Tring
Trang
Empat orang yang berada di belakang Odang juga segera cepat bertindak.
Mereka memutar pedang bagaikan kilat sambil berlompatan menghindari serbuan
anggrek-anggrek Jingga yang bertebaran di sekitarnya bagai hujan.
"Akh"
"Aaa..."
Dua kali pekikan melengking terdengar, disusul ambruknya dua orang teman
Odang. Tubuh mereka tertembus beberapa kuntum bunga anggrek Jingga. Odang
dan dua orang teman lainnya tidak bisa lagi memperhatikan. Mereka segera
berlompatan mundur sambil cepat mengibaskan pedang. Namun belum juga mereka
keluar dari jangkauan anggrek-anggrek Jingga itu, mendadak saja....
"Aaa..."
Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak satu orang terjungkal roboh
dengan dada tertembus tiga kuntum bunga anggrek. Darah menyemburat keluar
dari dada yang berlubang tiga. Odang langsung melentingkan tubuhnya dan
berputaran ke belakang beberapa kali di udara. Sementara temannya yang
tinggal seorang lagi bergerak menyusul. Mereka keluar dari jangkauan
serangan anggrek Jingga itu. Seketika hujan anggrek berhenti.
"Keparat.." desis Odang menggeram.
"Apa yang harus kita lakukan, Kakang?" tanya temannya.
"Tidak ada," sahut Odang. Kedua pemuda murid Padepokan Sangga Langit Itu
memandang ke arah Candi Laksa yang tetap berdiri anggun pada tempatnya.
Sedangkan di depan pintu candi itu Ki Sampar masih tetap duduk bersila.
Sedikit pun Kepala Desa Coket itu tidak bergeming. Seolah-olah telinganya
sudah tertutup, meskipun tadi beberapa kali terdengar teriakan-teriakan
keras membahana di belakangnya.
"Mereka benar-benar sudah menguasai Candi Laksa ini," dengus Odang.
"Kakang, sebaiknya kita kembali saja. Laporkan semua ini pada Eyang Guru,"
usul temannya.
"Benar. Kau saja yang kembali Aku menunggu di sini," sahut Odang. 'Tapi,
Kakang...."
"Tidak ada waktu untuk berdebat Cepatlah, sebelum mereka membunuh kita
semua di sini" bentak Odang.
"Baik, Kakang."
Bergegas pemuda murid Padepokan Sangga Langit itu melompat naik ke punggung
kudanya, dan secepat itu pula digebah kudanya . Kuda coklat itu berpacu
cepat meninggalkan pelataran Candi Laksa. Sementara Odang berdiri tegak
memandangi sekitarnya. Pandangannya langsung terpaku ketika dari dalam candi
melesat sebuah bayangan biru. Dan saat itu juga di depan Odang sudah berdiri
seorang gadis cantik mengenakan baju biru ketat, sehingga membentuk tubuhnya
yang ramping dan menggairahkan.
Namun Odang tidak sempat berpikir untuk merayapi tubuh dan wajah
menggairahkan itu, karena telah tahu siapa gadis di depannya ini. Dia itu
salah seorang dari si Anggrek Jingga yang telah menghebohkan dan menimbulkan
banyak korban nyawa. Gadis berbaju biru itu memang Ranti, murid tertua si
Anggrek Jingga.
"Kenapa kau tidak pergi saja sekalian? Di sini bukan tempatmu lagi"
terdengar dingin nada suara Ranti.
"Kau yang seharusnya pergi, perempuan iblis" bentak Odang sengit.
"Hhh Kau tampan, tapi bicaramu sungguh menyakitkan. Apa yang kau andalkan,
heh?" geram Ranti memerah mukanya.
"Ini" Odang menghunus pedangnya ke depan, langsung ditujukan ke wajah
Ranti. Gadis berbaju biru itu tertawa renyah, memperlihatkan baris-baris
giginya yang rapi dan indah. Odang sempat menelan ludahnya mendengar tawa
merdu dan menggairahkan itu. Terlebih lagi pada saat tertawa, Ranti
kelihatan semakin cantik. Dada yang membusung indah itu terguncang-guncang,
membuat mata Odang sempat terpatri pada dua tonjolan indah berkulit putih
mulus itu.
"Setan..." Odang menggeram. Pemuda itu mencoba melawan daya tarik yang
dimiliki gadis di depannya. Disadari kalau gadis berbaju biru itu tidak
patut dikagumi, meskipun kecantikannya bagai bidadari yang baru turun dari
kahyangan. Odang menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mendesis. Tiba-tiba
dia berteriak keras melengking, langsung berlari sambil menghunus ujung
pedangnya ke arah dada Ranti.
"Hiyaaat.."
"Uts"
Ranti cepat-cepat memiringkan tubuhnya ke kanan. Maka pedang Odang lewat
sedikit di depan dada gadis itu. Secepat kilat Ranti memberi satu sodokan
tangan kiri ke arah perut. Namun Odang lebih tangkas lagi. Cepat-cepat
ditarik tubuhnya ke belakang, dan pedangnya dikibaskan cepat
"Setan" dengus Ranti. Cepat gadis itu menarik tubuhnya ke belakang hingga
doyong, maka pedang itu lewat di atas tubuhnya. Pada saat itu, Odang
melayangkan satu tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi. Tendangan
yang datang secara tiba-tiba dan tidak terduga itu tak dapat dihindari lagi
Terlebih-lebih, posisi tubuh Ranti memang tidak memungkinkan untuk
menghindar.
Dughk
"Ugh..." Ranti mengeluh pendek. Seketika tubuh gadis itu limbung,
terhuyung-huyung ke belakang. Cepat-cepat digerak-gerakkan tangannya,
mencoba mengusir rasa mual akibat tendangan Odang yang bersarang di
perutnya. Pada saat itu Odang sudah melompat memberi serangan lagi.
Pedangnya berkelebatan cepat sambil berteriak keras melengking tinggi.
"Hiyaaa..."
"Hup Hiyaaa..."
Cepat Ranti menggeser kakinya ke samping. Dan sebelum ujung pedang Odang
berhasil mengenai sasaran, Ranti sudah lebih dahulu bertindak. Dikibaskan
tangannya ke arah pergelangan tangan kanan pemuda itu.
"Akh..." Odang memekik tertahan. Pukulan Ranti begitu keras, karena
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Odang meringis, merasakan
pergelangan tangannya patah. Pedangnya tidak mampu dipertahankan lagi, dan
jatuh ke tanah. Sebelum murid Padepokan Sangga Langit itu bisa menyadari apa
yang terjadi, Ranti sudah memberi satu tendangan menggeledek ke arah
dada.
"Hiyaaa..."
Des
"Aaakh..."
Tubuh pemuda itu melambung tinggi ke angkasa begitu dadanya terkena
tendangan keras bertenaga dalam tinggi Pada waktu berada di angkasa, Ranti
mengibaskan tangannya dua kali. Seketika dua kuntum bunga anggrek berwarna
Jingga meluncur deras, langsung menghantam dada Odang. Kembali terdengar
jeritan melengking tinggi.
"Aaakh..."
"Ha ha ha..."
***
TUJUH
Sementara itu, di dalam salah satu ruangan Candi Laksa, Bayu masih
terbaring tak berdaya. Pendekar Pulau Neraka sudah mengerahkan daya upaya
untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan pada pusat jalan darahnya. Tapi
rupanya totokan itu begitu kuat, karena dilakukan oleh orang yang sudah
memiliki tenaga dalam pada tingkat kesempurnaan.
Bayu tidak mengira kalau Kandita memiliki tenaga dalam yang sedemikian
tinggi. Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan mukanya ketika mendengar gerit
pintu terbuka. Muncul seorang gadis berbaju putih dari balik pintu itu, yang
kemudian melangkah masuk. Dan dengan hati-hati, ditutupnya pintu kembali.
Bayu memperhatikan gadis itu hingga sampai mendekat.
"Mau apa kau ke sini?" tanya Bayu ketus.
"Ssst.., jangan berisik," bisik gadis itu.
"Hm.... Kau yang bernama Pinanti, bukan?"
"Iya. Aku datang untuk menolongmu," sahut Pinanti masih berbisik.
"Menolongku...?" Bayu mengerutkan keningnya, bingung.
"Sudah kubilang, jangan berisik Nanti ada yang tahu."
"Kenapa kau ingin menolongku?" tanya Bayu berbisik suaranya.
"Karena aku tahu, kau perlu ditolong," jawab Pinanti enteng.
"Pasti ada alasan khusus, bukan?" desak Bayu lagi.
"Sudahlah diam, ingin bebas atau tidak?" dengui Pinanti.
"Baik Cepat bebaskan totokan di tubuhku."
"Di mana kau ditotok?" tanya Pinanti.
"Di sekitar dada, tiga kali banyaknya. Juga di pangkal lengan dan paha.
Tapi kau harus hati-hati, terutama di tengah dada. Bisa-bisa kau
menghentikan jantungku," jelas Bayu seraya memperingatkan.
"Persoalan mudah," Pinanti tersenyum. Cepat sekali jari-jari tangan gadis
itu bergerak memberi totokan pada tempat-tempat yang disebutkan Pendekar
Pulau Neraka tadi. Bayu agak terpekik sedikit, tapi seketika dirasakan
sekujur tubuhnya menegang, lalu pelahan aliran darahnya terasa kembali
normal. Bayu cepat menggelinjang bangkit berdiri begitu bisa menggerakkan
jari-jari tangannya. Namun Pinanti cepat mencekal tangan pemuda berbaju
kulit harimau itu, lalu menariknya kembali ke pembaringan. Bayu tersentak
kaget, dan kehilangan keseimbangan tubuh. Pemuda itu jatuh kembali ke atas
pembaringan.
"He Ap...?"
Cepat Pinanti membekap mulut Pendekar Pulau Neraka itu. Bayu jadi tidak
mengerti akan sikap gadis ini. Pinanti merapatkan tubuhnya ke tubuh Bayu,
seakan-akan hendak mencumbu Pendekar Pulau Neraka. Bayu jadi menggelinjang,
namun Pinanti cepat cepat memeluk erat tubuhnya.
"Ssst.., diam. Ada yang datang. Kau harus pura pura masih tertotok," bisik
Pinanti dekat di telinga Bayu. Sebelum Bayu bisa membuka suara, Pinanti
sudah menyumpal mulut pemuda itu dengan bibirnya. Pada saat itu terdengar
suara pintu bergerit terbuka, dan muncul Kandita
"Pinanti Apa yang kau lakukan...?" bentak Kandita terkejut melihat Pinanti
memeluk Bayu dan melumat bibir pemuda itu.
"Oh..." Pinanti tersentak, langsung melompat bangkit dari pembaringan.
Sedangkan Bayu tetap terbaring, dan hanya berpaling menatap Kandita yang
menghampiri Pinanti Tampak gadis itu berlutut dengan kepala tertunduk.
"Apa yang kau lakukan, Pinanti?" tanya Kandita tajam.
"Aku.... Aku...," jawab Pinanti tergagap.
"O... Kau tertarik pada ketampanannya, ya...?" terdengar sinis nada suara
Kandita.
"Maaf, Nini Guru," ucap Pinanti.
"Dengar, Pinanti. Selama urusan kita belum selesai, kau tidak berhak
atasnya. Kau tahu, dia itu milikku Mengerti?"
"Mengerti, Nini Guru," sahut Pinanti.
"Aku memberimu tugas untuk menjaganya, bukan mencumbunya"
"Iya, Nini Guru."
"Jalankan tugasmu. Aku tidak suka lagi melihatmu mencumbunya"
"Baik, Nini Guru." Kandita menatap Bayu yang masih terbaring di
pembaringan. Sementara Bayu membalas tajam tatapan itu. Sebenarnya Pendekar
Pulau Neraka ingin menerjang wanita berhati iblis itu. Tapi mengingat
Pinanti masih ada di ruangan ini, niatnya harus ditahan.
"Dan kau, jangan coba-coba memanfaatkan kesempatan ini" ancam
Kandita.
Bayu hanya diam saja. Kandita membalikkan tubuh dan melangkah ke luar. Bayu
menggelinjang bangkit, duduk di tepi pembaringan. Sedangkan Pinanti bergegas
menghampiri pintu. Dibukanya sedikit, lalu diintip keluar dan ditutup lagi.
Dia berbalik memandang Bayu yang duduk di tepi pembaringan. Pendekar Pulau
Neraka itu juga memandangi gadis yang sedang melangkah menghampirinya.
Sesaat mereka saling melempar pandang.
Pelahan Pinanti menundukkan kepalanya. Bayu bangkit berdiri dan mengangkat
kepala gadis itu.
"Kenapa kau lakukan ini padaku, Pinanti?" tanya Bayu "Kau bisa celaka
nanti."
"Aku harus melakukannya. Aku tahu, hanya kaulah yang mampu mengalahkannya,"
sahut Pinanti lirih.
"Kau muridnya, kenapa ingin melenyapkan gurumu sendiri?" tanya Bayu tidak
mengerti.
"Kau tidak mengerti, Bayu. Terlalu sulit untuk menjelaskannya. Ini
kulakukan karena terpaksa. Aku ingin dia lenyap selama-lamanya, tapi aku
tidak punya daya sama sekali. Juga...," Pinanti menghentikan
ucapannya.
"Teruskan, Pinanti," pinta Bayu.
"Kau harus cepat keluar dari sini, Bayu. Dia akan membunuhmu kelak," jelas
Pinanti cepat
"Kau belum menjelaskan semuanya, Pinanti," desak Bayu.
"Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah keluar. Sebentar lagi Candi Laksa ini
akan digenangi darah. Kau harus membantu mereka menghadapi si Anggrek
Jingga. Aku tidak ingin tempat suci ini banjir darah. Cepatlah keluar, cegah
pertumpahan darah itu," Pinanti memohon penuh harap.
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan, Pinanti," ujar Bayu.
"Tidak ada waktu lagi, Bayu. Cepatlah Tidak lama lagi pasti ada yang
menggantikanku. Aku yakin itu. Cepat pergi...." Bayu jadi ragu-ragu.
"Bagaimana denganmu sendiri?"
"Kau bisa menotok jalan darah, bukan?"
"Aku tidak mengerti maksudmu, Pinanti."
"Lakukan, Bayu."
"Pinanti...."
"Lakukan, kataku. Apa tidak kau dengar ada langkah kaki menghampiri? Cepat
Atau kita berdua akan mati di sini..." desak Pinanti.
Bayu benar-benar tidak bisa memahami maksud gadis ini. Tapi telinganya
memang mendengar langkah kaki halus mendekati ruangan ini. Cepat Bayu
menggerakkan jari-jari tangannya ke tubuh Pinanti, dan seketika itu juga
Pinanti roboh lunglai ke lantai. Secepat kilat Bayu melompat mendekati
jendela batu yang berjeruji kayu.
"Hih Yaaah..."
Bayu melompat cepat menerobos jendela berjeruji kayu itu. Tubuhnya melesat
keluar memporakporandakan jeruji kayu jendela itu. Pada saat yang sama,
pintu ruangan terbuka. Muncul seorang gadis mengenakan baju biru.
"Oh, tidak... Pinanti..." jerit gadis itu terkejut. Gadis berbaju biru yang
ternyata memang Ranti, langsung memburu menghampiri Pinanti yang terkulai di
lantai. Matanya juga langsung terpaku ke jendela yang jebol
berantakan.
"Keparat..." Ranti mendesis geram. Gadis itu berteriak memanggil guru dan
teman-temannya. Sebentar kemudian di ruangan itu sudah bermunculan
wanita-wanita cantik Mereka terkejut melihat Pinanti tergeletak di lantai.
Dan lebih terkejut lagi, manakala mengetahui tawanan mereka sudah kabur
dengan menjebol jendela.
"Setan..." geram Kandita memerah wajahnya.
"Kejar... Bunuh keparat itu"
"Baik, Nini Guru."
Tiga gadis segera berhamburan ke luar ruangan. Sementara Kandita
menghampiri Pinanti yang terkulai lemas tak berdaya di lantai. Sebentar
diamati tubuh gadis berbaju putih itu, kemudian diperiksanya. Dia mendesis,
gerahamnya bergemeletuk menahan kemarahan yang amat sangat
"Hih..." Kandita menggerak-gerakkan jari tangannya ke beberapa bagian tubuh
Pinanti. Pelahan gadis berbaju putih itu mulai mengeluh lirih seraya membuka
mata nya. Pinanti menggerinjang bangkit begitu melihat gurunya, dan langsung
berlutut.
"Guru.... Ampun,, Guru. Aku bersalah, hukumlah aku...," rintih Pinanti
lirih.
"Bangun, Pinanti" desis Kandita.
Pelahan Pinanti bangkit berdiri. Kepalanya masih tetap tertunduk. Sedangkan
Kandita mengamati sekujur tubuh gadis berbaju putih itu.
***
"Kenapa kau lakukan ini, Pinanti?" desis Kandita tajam, begitu datar nada
suaranya.
"Melakukan apa, Nini Guru?" Pinanti pura-pura tidak mengerti, namun
suaranya jelas terdengar.
"Kau yang membebaskan Bayu, bukan? Lalu kalian bersandiwara. Kau biarkan
jalan darahmu ditotok. Benar begitu, Pinanti?" Kandita langsung
mendesak.
Pinanti jadi tergagap, tidak bisa lagi menjawab.
"Kenapa kau lakukan itu, Pinanti? Kenapa kau khianati aku?" bentak Kandita
gusar.
Sementara Pinanti semakin gemetar. Wajah Kandita yang memerah sudah
menandakan kalau dirinya begitu marah. Pinanti tidak mengerti, kenapa
gurunya ini bisa cepat mengetahui. Padahal sandiwara yang dilakukannya
begitu sempurna.
"Tidak ada yang bisa bebas dari totokanku, meskipun hawa murni dan tenaga
dalamnya sudah sempurna. Dan kau telah sengaja membebaskannya, Pinanti.
Kenapa kau lakukan itu padaku, Pinanti? Kenapa...?" setengah menjerit suara
Kandita.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja Pinanti jadi punya keberanian.
Diangkat kepalanya untuk menentang tatapan si Anggrek Jingga. Dia melangkah
ke belakang tiga tindak.
"Karena kau musuh ayahku" desis Pinanti.
"Heh...? Apa yang kau katakan...?" Kandita terkejut.
"Kau tidak mungkin lagi mengelabuiku, Kandita. Aku sudah tahu semuanya. Kau
sengaja menculikku, mencuci otakku dengan ramuan-ramuanmu. Kau buat aku jadi
tidak mengenal lagi diriku, dan dari mana asalku. Tapi sekarang, aku sudah
tahu. Aku adalah anak Eyang Palandara, laki-laki yang hendak kau bunuh. Kau
memanfaatkan aku untuk membunuh ayahku. Kau kejam, Kandita. Kau
iblis..."
"Tutup mulutmu, Pinanti" bentak Kandita geram. "Kau tidak bisa lagi
mengelabuiku, Kandita. Kau harus membunuhku terlebih dahulu, sebelum
membunuh ayahku"
"Kurang ajar. Siapa yang berkata begitu padamu, heh?" geram Kandita.
"Aku...."
"Heh...?"
Bukan main terkejutnya Kandita begitu tiba-tiba di ambang pintu sudah
berdiri seorang laki-laki tua berjubah kumal. Tubuhnya kurus kering bagai
tulang terbungkus kulit. Seluruh rambutnya sudah memutih. Bahkan kumis dan
jenggot yang menyatu panjang juga sudah berwarna putih.
"Kau..., Binarong..." Kandita terbeliak begitu melihat laki-laki tua
itu.
"Benar. Aku Binarong. Kau terkejut Kandita?" lembut sekali suara Eyang
Binarong.
"Tidak. Kau sudah mati..." sentak Kandita.
"Aku mengakui kecerdikanmu, Kandita. Tapi sayang, racun yang kau campurkan
pada minumanku belum cukup untuk membunuhku. Kau memang ahli dalam segala
jenis racun maupun ramuan. Tapi seharusnya kau gunakan semua keahlianmu
untuk menolong, bukan untuk mencelakakan orang lain."
"Aku tidak butuh nasihatmu" sentak Kandita sengit.
"Hatimu sudah tertutup bisikan iblis, Kandita. Tapi aku yakin, kau masih
bisa menyadari dan memperbaiki kesalahanmu," lembut sekali suara Eyang
Binarong.
"Tua bangka keparat.. Kubunuh kau. Hiyat.." Kandita jadi geram bukan main,
dan tidak bisa lagi menahan amarahnya. Cepat sekali si Anggrek Jingga itu
melompat menerjang Eyang Binarong. Laki laki tua itu memiringkan tubuhnya
sedikit, maka pukulan Kandita yang keras disertai pengerahan tenaga dalam
sempurna itu luput dari sasaran. Kepalan tangan yang halus itu menghantam
dinding batu Candi Laksa ini hingga bergetar hebat. Beberapa batu mulai
berguguran, dan pukulan Kandita membuat dinding batu candi ini jebol
berantakan. Sementara Eyang Binarong menyambar tangan Pinanti yang berdiri
terpaku, dan secepat kilat melesat sambil membawa gadis itu.
"Jangan lari kau, keparat.." geram Kandita berteriak lantang.
Tapi Eyang Binarong sudah lebih cepat melesat ke luar. Sementara ruangan
itu terus bergetar, dan batu-batuan mulai berjatuhan. Kandita segera melesat
keluar dari ruangan itu. Seketika batu-batu atap ruangan ini berhamburan
jatuh menimbulkan suara bergemuruh dahsyat. Runtuhnya ruangan itu rupanya
merembet ke ruangan-ruangan lain di seluruh Candi Laksa ini. Batu-batu
dinding dan atap candi ini berguguran. Sudah dapat dipastikan, sebentar lagi
seluruh bangunan Candi Laksa akan runtuh.
Sementara Kandita terus berlompatan berlari cepat mempergunakan ilmu
meringankan tubuh. Dia melesat keluar, tepat saat bangunan candi itu runtuh.
Suara bergemuruh terdengar memekakkan telinga. Debu mengepul membumbung
tinggi ke angkasa begitu seluruh bangunan candi yang terbuat dari batu itu
ambruk. Kandita memandangi sekitarnya yang sepi. Ditatapnya candi yang
hancur tak berbentuk lagi. Tampak debu masih berkepul di sekitarnya.
Gadis itu menatap seorang laki-laki tua yang duduk bersila di dekat candi
yang sudah runtuh. Dia tahu kalau orang tua itu adalah Ki Sampar, Kepala
Desa Coket yang ingin bertemu Eyang Binarong. Hanya sayangnya keinginannya
tidak kesampaian. Kandita menghampiri dan menyentuh pundak laki-laki itu.
Tapi Ki Sampar malah jatuh terguling Tampak di dadanya tertancap lima buah
anggrek berwarna Jingga. Rupanya ketika murid-murid si Anggrek Jingga
menyerang murid-murid Padepokan Sangga Langit, beberapa buah anggrek
Jingganya mengenai Ki Sampar, sehingga laki-laki tua itu tewas dalam
penantiannya yang tidak terlaksana.
"Huh" dengus Kandita. Wanita itu menyepak tubuh Ki Sampar hingga terguling
sampai sejauh dua tombak. Kandita merayapi empat mayat yang bergelimpangan
di sekitar pelataran Candi Laksa ini. Tempat yang suci dan dikeramatkan ini
benar-benar bergelimang darah. Dan memang, inilah yang sebenarnya
dikehendaki Kandita. Dia ingin semua orang tahu kalau Candi Laksa yang
disucikan dan dikeramatkan bisa juga bergelimang darah manusia.
"Hm... Ke mana perginya keparat itu...?" desis Kandita pelan.
***
Sementara itu tidak jauh dari pelataran Candi Laksa, tampak Bayu berdiri
tegak memandangi dua sosok tubuh yang berlarian cepat ke arahnya. Setelah
dekat, baru terlihat jelas kalau mereka adalah Eyang Binarong dan Pinanti.
Bayu menyambutnya disertai senyuman tersungging di bibir.
"Syukur, kalian selamat," ucap Bayu.
"Oh, kalian sudah kenal?" tanya Pinanti.
"Benar. Anak muda inilah yang mengeluarkan aku dari peti mati," jawab Eyang
Binarong.
"Aku bisa tahu dari Kandita sendiri. Dialah yang bercerita, membanggakan
dirinya telah berhasil melumpuhkan orang terkuat di Gunung Waru ini,"
sambung Bayu.
"Tidak ada yang terkuat di dunia ini, Anak Muda," Eyang Binarong
merendah.
"Bayu, namaku Bayu," Bayu memperkenalkan diri.
"Aku Eyang Binarong," Eyang Binarong juga memperkenalkan diri.
Bayu menatap Pinanti yang masih berusaha mengatur jalan napasnya. Sedangkan
Eyang Binarong tidak tampak sedikit pun kelelahan. Bahkan tak ada satu titik
pun keringat di wajahnya. Namun Bayu cepat maklum. Jelas kalau tingkat
kepandaian yang dimiliki mereka jauh berbeda. Eyang Binarong tentu sudah
sampai pada tahap yang paling sempurna. Memang semua orang menyebut dirinya
manusia setengah dewa, karena ilmunya begitu sempurna.
"Oh Kalian harus cepat-cepat kembali ke Candi Laksa. Aku yakin, sebentar
lagi, Ayahku dan murid-muridnya tiba di sana," jelas Pinanti
mengingatkan.
Bayu hendak bergerak cepat, tapi Eyang Binarong sudah keburu mencekal
lengan pemuda itu. Pendekar Pulau Neraka mengurungkan niatnya, lalu
memandang Eyang Binarong dalam-dalam.
"Tidak perlu tergesa-gesa. Biarkan mereka menyelesaikan persoalannya. Semua
ini sudah digariskan Hyang Widi Wasa. Jangan sampai kita merusak ketentuan
takdir," ujar Eyang Binarong lembut dan bijaksana.
"Tapi, pertumpahan darah ini harus dicegah, Eyang" sentak Pinanti.
"Tidak ada yang bisa menentang kehendak Sang Dewata Agung, Cucuku. Meskipun
kalian berusaha keras, tapi pertumpahan darah tidak akan bisa dicegah.
Biarlah semua terjadi menurut suratan takdir Hyang Widi Wasa."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Eyang?" tanya Bayu.
"Mantapkan hatimu, Anak Muda. Tetapkan, harus berpihak pada siapa? Jika
melihat ada yang perlu di bantu, maka bantulah dia. Tapi jika tidak, jangan
memaksakan diri."
"Aku mengerti, Eyang," sahut Bayu langsung bisa menangkap maksud Eyang
Binarong.
"Kau benar-benar seorang pemuda cerdas," puji Eyang Binarong tulus.
"Terima kasih," ucap Bayu tersipu.
"Ayolah, Eyang. Kita kembali ke Candi Laksa," ajak Pinanti.
"Baik. Tapi jangan terburu-buru. Napasmu bisa habis nanti," goda Eyang
Binarong. Pinanti memberengut.
Diayunkan kakinya menuju Candi Laksa. Eyang Binarong tertawa kecil, dan
juga mengayunkan langkahnya mengikuti gadis itu. Sedangkan Bayu berjalan di
samping pertapa tua itu.
"Eyang, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Bayu meminta.
"Silakan. Apa saja boleh kau tanyakan selagi bisa kujawab dengan
jujur."
"Eyang, aku membebaskanmu setelah Pinanti kutotok jalan darahnya. Bagaimana
mungkin kau bisa mempengaruhinya begitu cepat?" tanya Bayu ingin tahu.
"Sebelum menjawab pertanyaanmu, aku ingin tanya dulu. Siapa yang
membebaskanmu?"
"Kau tahu aku ditawan?" Bayu terkejut.
"Pinanti yang mengatakannya padaku."
"Jadi...?" Bayu geleng-geleng kepala.
"Dia datang padaku sebelum kau, Anak Muda."
"Kenapa Eyang masih berpura-pura ketika aku...," Bayu tidak melanjutkan
ucapannya. Pendekar Pulau Neraka itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia
benar-benar kagum pada kedigdayaan pertapa tua ini. Sementara mereka terus
berjalan, sedangkan Pinanti berjalan sekitar tiga tombak di depan.
"Waktu Pinanti menyediakan minuman untukku, saat itu aku sudah bisa mencium
adanya racun yang mematikan dalam minuman itu. Aku juga sudah curiga, karena
kudengar Pinanti diculik, dan tiba-tiba saja muncul. Sikapnya juga aneh,
seperti berpura-pura dan sama sekali tidak mengenaliku. Padahal sebelumnya
dia sering mengunjungiku sebelum diculik," Eyang Binarong mulai
menceritakan.
"Tapi kau minum juga minuman itu, Eyang?" tanya Bayu ingin tahu.
"Benar. Tapi itu setelah kututup seluruh jaringan saluran darah di
tubuhku"
"Dan kau berpura-pura mati?" tebak Bayu.
"Kau cerdik sekali, Bayu."
"Tapi kenapa Pinanti tahu kalau kau belum mati, Eyang?"
"Secara bertahap, aku selalu mengeluarkan hawa murni setiap kali dia
mengunjungiku dan meraba detak jantungku. Dan kemarin.... Oh, tidak. Tadi,
dia datang lagi. Aku langsung bangun dan menotok jalan darahnya. Di situ
pengaruh si Anggrek Jingga kuenyahkan dari dirinya. Hal itu bisa kulakukan
karena aku yakin kalau pengaruh itu berasal dari ramuan, bukan dari
perlakuan batin."
"Hebat," puji Bayu tulus.
"Dan selanjutnya kau tentu sudah bisa menebak sendiri," kata Eyang
Binarong.
"Ah Ternyata aku terlambat, Eyang," Bayu tersipu.
"Tidak, kau tidak terlambat. Kau tahu, Kandita berniat menguburku hari ini.
Itu sebabnya aku dimasukkan ke dalam peti mati. Kalau saja kau tidak cepat
datang membebaskanku, tentu aku sudah terkubur."
"Hanya sebuah peti kayu, Eyang pasti bisa mudah mendobraknya."
"Hal itu tidak akan kulakukan, karena aku tidak ingin melakukan kekerasan
dan paksaan. Kalaupun jadi dikubur, itu tentu sudah menjadi kehendak Sang
Dewata."
Bayu hanya mendesah saja. Jiwa Eyang Binarong tentu sudah jauh dari
keinginan duniawi. Maka tidak heran kalau disebut Manusia Setengah Dewa. Dan
Bayu sudah bisa menduga, tentu Eyang Binarong tidak ingin tangannya berlumur
darah, karena hal itu akan mengotori kesuciannya. Dan tentu saja, apa yang
dilakukannya bertahun-tahun akan lenyap begitu saja.
***
DELAPAN
Saat itu di pelataran Candi Laksa, Eyang Palandara dan murid-muridnya sudah
dihadang Anggrek Jingga dan ketiga murid-muridnya. Bahkah masih ditambah
beberapa tokoh rimba persilatan golongan hitam yang dibawa Kakek Iblis
Perak. Orang tua itu bisa dengan cepat mengumpulkan tokoh rimba persilatan
golongan hitam, karena memang sudah merencanakan semuanya secara rapi untuk
menghancurkan para penghalangnya.
Pertumpahan darah di pelataran Candi Laksa tidak bisa dihindari lagi. Kini
darah benar-benar menggenang di Candi Laksa. Jerit pekik melengking menyayat
hati terdengar saling bersahutan, ditingkahi pekik pertempuran dan denting
senjata beradu. Sungguh tidak diduga kalau murid-murid Padepokan Sangga
Langit memiliki kemampuan rata-rata yang cukup tinggi.
Mereka terlihat bertarung penuh semangat. Terlebih lagi begitu melihat
Candi Laksa sudah hancur tak berbentuk lagi. Meskipun banyak jatuh korban,
namun murid-murid Padepokan Sangga Langit tidak gentar sedikit pun. Mereka
sadar kalau yang dihadapi adalah orang-orang rimba persilatan yang sudah
kenyang segala macam bentuk pertempuran.
"Ayah..." seru Pinanti begitu sampai. Tampak Eyang Palandara berdiri di
garis belakang sambil mengawasi murid-muridnya bertarung. Eyang Palandara
menoleh. Pinanti berlari cepat dan langsung menjatuhkan diri berlutut
memeluk kaki ayahnya. Gadis itu menangis, tapi Eyang Palandara cepat-cepat
membangunkan gadis itu.
"Jangan menangis, Anakku," ucap Eyang Palandara. Pinanti menyeka air
matanya cepat-cepat, lalu berpaling memandang Bayu dan Eyang Binarong.
Sesaat Eyang Binarong dan Eyang Palandara saling bertatapan, kemudian
berpelukan sebentar. Bayu hanya menyaksikan saja semua itu, tapi hanya
sebentar. Dia memang lebih tertarik pada pertarungan yang sedang
berlangsung.
"Aku tidak yakin kalau kau tewas oleh seorang bocah, Kakang," ujar Eyang
Palandara.
"Dia bukan bocah lagi, Adi Palandara. Dia sudah jadi seorang wanita
tangguh," jelas Eyang Binarong.
"Ya Dan dia hendak menuntut balas kematian orang tuanya padaku"
"Sayang sekali Anak itu juga mengambil jalan sesat" gumam Eyang
Binarong.
Pada saat itu pertarungan semakin terlihat sengit. Tapi sudah banyak orang
bawaan Kakek Iblis Perak yang tewas maupun melarikan diri. Juga tidak
sedikit murid Padepokan Sangga Langit yang gugur. Pertarungan sengit
berjalan tidak seimbang, karena murid-murid Padepokan Sangga Langit tidak
mampu membendung gempuran Kakek Iblis Perak dan si Anggrek Jingga serta
ketiga muridnya.
"Hiyaaa..."
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke arah si Anggrek Jingga.
"Mundur semua..." seru Bayu keras menggelegar.
Murid-murid Padepokan Sangga Langit yang sedang mengeroyok Anggrek Jingga
langsung berlompatan mundur. Pendekar Pulau Neraka mendarat dengan manis di
depan wanita cantik.
"Eyang Binarong dan Eyang Palandara akan memaafkanmu jika kau bersedia
bertobat dan menghentikan semua ini, Kandita," bujuk Bayu.
"Cerewet Jangan banyak omong kau. Hiyaaa..." Rupanya Kandita sudah tidak
bisa. lagi diajak berdamai, dan langsung melompat menerjang Pendekar Pulau
Neraka. Wanita cantik berbaju merah itu mengibaskan cepat pedangnya beberapa
kali. Dan beberapa kali pula Bayu terpaksa menangkisnya dengan Cakra Maut
yang berada di pergelangan tangan kanannya.
Tring
Setiap kali dua senjata itu berbenturan, mereka bergidik menggeletar. Dan
mereka tahu kalau tenaga dalam yang dimiliki hampir seimbang. Sementara
pertarungan terus berlangsung sengit. Tampak Pinanti sudah terjun dalam
kancah pertempuran. Sedangkan Eyang Binarong dan Eyang Palandara hanya
menyaksikan saja dari tempat yang cukup aman.
"Hiya Yeaaah..."
Kandita semakin meningkatkan serangan-serangannya. Beberapa kali wanita
berbaju merah itu hampir berhasil menyarangkan pedangnya ke tubuh Pendekar
Pulau Neraka. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu berhasil mengelak dengan
kelitan manis. Bahkan tidak jarang serangan balik yang dilakukan Bayu
membuat wanita itu kelabakan juga.
"Aaakh..." Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara jeritan
kecil tidak jauh darinya. Tampak Pinanti terjajar terhuyung-huyung ke
belakang sambil mendekap dadanya. Pada saat itu terlihat Kakek Iblis Perak
melompat sambil mengibaskan tangannya yang memegang senjata berbentuk tameng
yang sisinya bergerigi tajam.
"Hiyaaat..."
Sebelum senjata kakek kurus itu berhasil merobek tubuh Pinanti, mendadak
saja Eyang Palandara melompat cepat bagaikan kilat sambil mengibaskan
pedangnya menyampok senjata Kakek Iblis Perak.
Tring
"Akh..."
Kakek Iblis Perak memekik tertahan. Sebelum kakek itu sempat menyadari apa
yang terjadi, Eyang Palandara sudah bergerak cepat memberi satu tendangan
keras mengandung tenaga dalam sempurna ke dada orang tua itu.
Dughk
"Hughk"
Kakek Iblis Perak mengeluh pendek. Tubuh berjubah perak itu, terjajar ke
belakang. Pada saat itu, salah seorang murid Padepokan Sangga Langit yang
kebetulan berada di belakangnya, langsung menusukkan pedangnya ke punggung
Kakek Iblis Perak hingga tembus ke dada.
"Aaakh..."
Kakek Iblis Perak menjerit melengking tinggi. Tapi sebelum ambruk ke tanah,
kakek itu berhasil memenggal orang yang menusuknya dari belakang. Leher
pemuda itu langsung buntung, dan kepalanya menggelinding ke tanah tepat saat
tubuhnya ambruk. Kakek Iblis Perak masih berhasil merobohkan seorang lagi
sebelum menggelepar di tanah dengan pedang menembus punggung hingga ke dada.
Dia tewas seketika itu juga.
***
Kematian Kakek Iblis Perak membuat kegemparan bagi orang-orang yang
berpihak padanya. Mereka langsung lari tak tentu arah menyelamatkan diri.
Beberapa murid Padepokan Sangga Langit hendak mengejar, tapi keburu dicegah
Eyang Binarong dengan suaranya yang menggelegar.
"Jangan dikejar..."
Kaburnya orang-orang golongan hitam itu, membuat ketiga murid Anggrek
Jingga jadi kelabakan. Terlebih lagi jumlah murid Padepokan Sangga Langit
masih begitu banyak. Apalagi mereka sadar tidak mungkin bisa menghadapinya.
Tapi ketiga orang wanita cantik itu tidak bisa lagi melarikan diri, karena
murid-murid Padepokan Sangga Langit sudah menyerangnya dengan ganas. Mereka
terpaksa melayani sekuat tenaga. Belum begitu lama, terdengar jeritan
melengking tinggi.
"Aaa..."
"Dewi..." jerit Ranti begitu melihat Dewi terhuyung sambil mendekap dadanya
yang sobek berlumuran darah. Dan belum juga gadis berbaju kuning itu bisa
melakukan sesuatu, kembali sebilah pedang membabat punggungnya. Dia menjerit
keras. Darah langsung muncrat dari punggung yang terbelah cukup besar. Dan
kini, satu tusukan tidak bisa dihindari lagi. Dewi benar-benar tidak berdaya
lagi. Entah, berapa tusukan dan sabetan pedang mampir di tubuhnya. Dia tewas
sebelum ambruk ke tanah dengan tubuh tercincang.
Kematian Dewi membuat Ranti dan Saras jadi panik. Tanpa berbicara lagi,
mereka membuang pedangnya dan menyerah. Puluhan pedang langsung
mengurungnya. Dua orang menghampiri membawa tambang, lalu mengikat dua orang
gadis murid si Anggrek Jingga itu. Sementara pertarungan antara Anggrek
Jingga melawan Pendekar Pulau Neraka terus berlangsung sengit Meskipun
wanita itu mengetahui tinggal sendirian, tapi tidak juga menyerah. Bahkan
serangan-serangannya semakin dahsyat dan berbahaya.
"Keparat busuk Mampus kau Hiyaaa..." Kandita memaki-maki sambil
berteriak-teriak, dan bertarung bagai kesetanan. Dia benar-benar tidak
peduli lagi begitu menyadari tinggal sendirian. Hal ini membuat pikirannya
tidak terpusat pada lawan. Namun demikian serangan-serangannya jadi semakin
dahsyat. Kandita mengeluarkan seluruh kemampuannya. Tangan kanan yang
memegang pedang berkelebat cepat membabatkan pedangnya, mengurung Pendekar
Pulau Neraka. Sedangkan tangan kirinya memberi pukulan-pukulan keras
bertenaga dalam cukup sempurna.
"Hiyaaat Yeaaah..."
Kandita bertarung sambil memutar-mutar tubuhnya. Pada saat itu, tangan
kirinya berkelebat cepat menyebarkan bunga-bunga anggrek Jingga ke segala
penjuru mata angin. Bunga-bunga anggrek jingga itu bertebaran cepat, dan
seketika terdengar jerit dan pekikan melengking menyayat Beberapa orang
murid Padepokan Sangga Langit berjatuhan tersambar anggrek-anggrek jingga
yang ditebarkan Kandita.
"Mundur..." teriak Eyang Palandara keras.
Mereka yang masih bisa menyelamatkan diri, langsung berlompatan mundur
menjauh dari jangkauan bunga-bunga anggrek jingga. Tapi rupanya Kandita
malah sengaja bertarung sambil mendekati mereka, dan terus melontarkan
bunga-bunga mautnya.
"Keparat licik..." geram Bayu murka menyaksikan kelicikan lawannya
ini.
Pendekar Pulau Neraka itu langsung melentingkan tubuhnya ke belakang.
Dan begitu kakinya mendarat cepat dibungkukkan tubuh ke kiri. Secepat kilat
dikibaskan tangan kanannya. Dan senjata andalan Pendekar Pulau Neraka yang
berupa Cakra Maut seketika melesat cepat bagai kilat karena dilontarkan
dengan pengerahan tenaga dalam penuh.
Saat itu Kandita yang tengah melontarkan bunga-bunga anggrek jingga ke arah
murid-murid Padepokan Sangga Langit jadi terkesiap. Tampak sebuah benda
keperakan meluncur deras ke arahnya. Cepat-cepat dilentingkan tubuhnya ke
belakang sambil berputaran beberapa kail Kandita menyangka kalau senjata itu
sudah lewat. Tapi begitu menjejakkan kakinya di tanah, mendadak saja dari
arah samping kanannya Cakra Maut menyambar tiba.
"Akh..."
Kandita memekik tertahan. Gadis itu begitu terkejut setengah mati.
Buru-buru ditarik tubuhnya ke belakang, maka Cakra Maut itu melesat lewat
sedikit di depan dadanya. Tapi kembali dia jadi terkesiap, karena tiba-tiba
saja senjata itu berhenti, dan....
Crab
"Aaa..."
Kandita menjerit melengking tinggi. Sukar dikatakan Hanya dengan
menggerak-gerakkan tangannya saja, Bayu dapat mengendalikan senjata mautnya.
Dan Cakra Maut bersegi enam itu amblas ke dada Kandita hingga tembus sampai
ke punggung Darah langsung muncrat keluar deras sekali. Bayu mengangkat
tangan kanannya ke atas, maka Cakra Maut melesat dan langsung menempel di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka itu.
***
"Bayu..."
Pinanti menghambur dan memeluk Pendekar Pulau Neraka. Tentu saja pemuda
berbaju kulit harimau itu jadi gelagapan dibuatnya. Buru-buru Bayu
melepaskan pelukan gadis itu.
"Kau tidak apa-apa, Bayu?" tanya Pinanti tidak mempedulikan rona wajah
pemuda itu yang memerah menahan malu.
Tidak," sahut Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu memalingkan mukanya menatap
dua orang gadis yang terikat dijaga beberapa orang murid Padepokan Sangga
Langit. Bayu menghampiri, dan berdiri sekitar tiga langkah lagi di depan
kedua gadis itu. Ditatapnya dalam-dalam wajah Ranti, gadis yang mengenakan
baju biru. Bayu teringat ketika Ranti menjaganya pada malam hari. Darahnya
jadi menggolak mendidih kala teringat betapa liarnya gadis ini mencumbu
dirinya dalam keadaan tidak berdaya karena pusat jalan darahnya
tertotok.
Pandangan Bayu beralih pada Saras. Gadis berbaju hijau itu juga
memperlakukan dirinya seperti seekor binatang. Saras lebih liar lagi,
sehingga Pendekar Pulau Neraka merasa muak. Seluruh wajahnya memerah, dan
matanya bersorot tajam. Belum pernah dirinya diperlakukan seperti itu.
Jelas, Bayu merasa terhina, dan tak akan bisa melupakannya seumur hidup.
Pendekar Pulau Neraka akan terus merasa terhina dan malu jika kedua gadis
ini masih dibiarkan hidup.
"Kau harus mampus, perempuan iblis..." desis Bayu menggeram.
Tiba-tiba saja, Pendekar Pulau Neraka itu mencabut pedang dari pinggang
Pinanti yang berdiri di sampingnya. Cepat sekali Begitu pedang tercabut,
langsung dibabatkan ke leher kedua gadis itu.
Cras
"Aaa..."
"Aaakh..."
"Bayu..." sentak Eyang Palandara terkejut.
"Dewata Yang Agung...," desah Eyang Binarong.
Kedua gadis itu langsung terjungkal jatuh dengan kepala hampir terpisah
dari badan Bayu menyerahkan pedang berlumuran darah itu pada Pinanti. Gadis
itu menerima dan memasukkan kembali ke dalam sarungnya. Pelahan Pendekar
Pulau Neraka itu memutar tubuhnya seraya memandangi wajah-wajah yang
terlongong menatap ke arahnya. Pandangan Bayu terhenti pada dua laki-laki
tua.
"Maaf, aku harus membunuhnya," ujar Bayu. Setelah berkata demikian, Bayu
mengayunkan kakinya berjalan pergi. Semua orang hanya bisa bengong tidak
mengerti terhadap tindakan Pendekar Pulau Neraka yang begitu tega membunuh
dua orang gadis dalam keadaan terikat. Hanya Pinanti yang bisa mengerti
perasaan pemuda itu, dan langsung berlari mengejar.
"Bayu, tunggu..."
Bayu menghentikan langkahnya ketika Pinanti sudah menghadang di depannya.
Sejenak mereka hanya saling berpandangan saja. Pinanti mengambil tangan
pemuda itu dan menggenggamnya hangat-hangat. Bayu mencoba melepaskan, tapi
gadis itu malah membawanya ke dada. Dan kini mereka berpelukan erat
seakan-akan gadis itu ingin agar Bayu dapat merasakan debaran
jantungnya.
"Aku tahu perasaanmu, Bayu. Mereka memang pantas untuk mati," ujar Pinanti
pelan, hampir berbisik.
"Seandainya kau juga berbuat yang sama seperti mereka, aku tidak peduli
meskipun ayahmu seorang ketua padepokan besar," desis Bayu datar.
"Tapi aku bukan mereka, Bayu."
Bayu memandang lurus ke bola mata gadis itu.
"Kenapa waktu itu kau menciumku?" desis Bayu.
"Terpaksa," sahut Pinanti.
Seketika wajah Pinanti menyemburat merah. Sungguh, seumur hidup dia belum
pernah mencium seorang pemuda. Saat itu memang terpaksa dilakukannya, karena
tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan pemuda ini. Dan diakui, hatinya
sempat bergetar juga waktu itu.
"Bayu, aku belum pernah melakukannya. Aku hanya ingin menyelamatkanmu saja.
Percayalah, aku bukan mereka."
Bayu terdiam. Dilepaskan tangannya dengan halus dari pelukan gadis itu.
Memang diakui, waktu itu Pinanti terasa kaku. Dan Bayu juga mengakui kalau
debaran jantung Pinanti terasa begitu hebat. Tidak seperti yang lainnya.
Bayu memang bisa merasakan kalau ada rasa keterpaksaan pada diri gadis itu
saat menciumnya.
"Aku percaya padamu, Pinanti," tegas Bayu.
"Oh Terima kasih, Kakang," ucap Pinanti lega.
Gadis itu tersenyum senang, karena Bayu mau mempercayai dirinya. Dan pemuda
berbaju kulit harimau itu juga memberikan senyum, meskipun terasa agak
hambar. Pendekar Pulau Neraka itu melirik orang-orang yang tengah sibuk
mengumpulkan mayat teman-temannya, dan dimasukkan ke dalam tandu yang
diikatkan pada kuda.
Bayu memutar tubuhnya ketika Eyang Binarong menghampiri. Sedangkan Eyang
Palandara tengah sibuk mengatur murid-muridnya untuk membawa murid-murid
lain yang tewas dalam pertempuran. Dan sebagian lagi menguburkan mayat-mayat
lawannya. Bagaimanapun juga, mereka semua adalah manusia, dan patut mendapat
perlakuan sebagaimana layaknya manusia pada umumnya.
"Bayu, boleh aku bicara padamu sebentar?" pinta Eyang Binarong. Bayu
menganggukkan kepalanya.
"Terus terang, sebenarnya aku menyesalkan tindakanmu tadi," kata Eyang
Binarong langsung berterus terang.
"Maaf kalau itu membuatmu tidak senang," ucap Bayu.
"Aku bisa memahami, kau pasti punya alasan kuat sehingga berbuat sekejam
itu pada mereka. Tapi itu tidak baik pengaruhnya terhadap nama besarmu. Kau
harus ingat, mereka yang bernaung di bawah panji Padepokan Sangga Langit
adalah calon pendekar yang akan menggantikan orang-orang tua sepertiku ini.
Mereka pasti tidak akan melupakan perbuatanmu. Mereka adalah manusia, dan
aku tidak percaya kalau mereka akan diam saja. Paling tidak mereka pasti
akan bercerita pada orang lain," jelas Eyang Binarong gamblang, membuka
perasaan hatinya.
Bayu hanya diam saja. Diakui kebenaran kata-kata orang tua ini. Tapi
gadis-gadis itu memang tidak bisa dibiarkan hidup. Akan lebih parah lagi
kalau mereka sampai bebas dan menyebarkan cerita buruk tentang dirinya. Tapi
dengan kejadian barusan, memang mungkin orang akan menganggap dirinya kejam,
berdarah dingin, dan tidak mengenal belas kasihan.
Bahkan bisa juga kaum persilatan menggolongkannya ke dalam aliran hitam.
Tapi Bayu tidak peduli, karena dia yang mengalami mendapat perlakuan seperti
binatang. Kewibawaannya dipermalukan sedemikian rupa tanpa dapat berbuat
apa-apa. Orang lain memang bisa menuding. Tapi jika mereka mengalami, pasti
akan berbuat yang sama dengan yang dilakukannya pada kedua gadis itu.
"Aku hanya bisa berpesan padamu, Bayu. Kau harus bisa menempatkan diri, dan
menghapus dampak buruk atas kejadian ini," kata Eyang Binarong lagi.
"Terima kasih, Eyang," ucap Bayu. Eyang. Binarong menepuk pundak Pendekar
Pulau Neraka itu, kemudian meninggalkannya.
Pinanti segera menghampiri setelah Eyang Binarong pergi. Gadis itu
memandangi wajah tampan di depannya lekat-lekat.
"Kenapa tidak kau ceritakan saja yang sebenarnya, Bayu?" tanya
Pinanti.
"Biar itu semua menjadi rahasia pribadiku, Pinanti," sahut Bayu.
"Kau begitu luhur, Bayu," puji Pinanti tulus.
Bayu hanya tersenyum saja, lalu berbalik dan mengayunkan kakinya
meninggalkan tempat itu. Pinanti memandangi kepergian Pendekar Pulau Neraka
itu. Dipandangi ayahnya yang masih sibuk memberi perintah dan mengatur
murid-muridnya. Sedangkan Eyang Binarong sedang berlutut di samping mayat Ki
Sampar. Tak ada yang memperhatikan.
Semua sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Pinanti langsung melompat
mengejar Bayu yang hampir tenggelam ditelan lebatnya hutan di Lereng Gunung
Waru ini. Cepat sekali gadis itu melompat. Hanya beberapa lompatan saja, dia
sudah bisa mengejar Pendekar Pulau Neraka itu. Pinanti langsung berdiri
menghadang di depan Bayu.
"Pinanti, mau apa lagi kau?" tanya Bayu. Pinanti tidak menjawab, dan hanya
memandangi pemuda berbaju kulit harimau itu dalam-dalam. Saat ini mereka
sudah cukup jauh dari pelataran Candi Laksa. Tak ada yang bisa melihat,
karena mereka terhalang pepohonan dan semak yang rapat bertautan. Bayu jadi
tidak mengerti akan sikap gadis ini.
"Ada apa, Pinanti?" tanya Bayu lembut.
"Kau akan meninggalkanku begitu saja, Kakang?" Pinanti balik
bertanya.
"Aku memang harus pergi. Masih banyak yang harus kukerjakan, Pinanti," Bayu
mencoba meminta pengertian gadis ini.
"Tanpa memberi sesuatu yang berarti padaku?"
Bayu semakin tidak mengerti. Dan sebelum Pendekar Pulau Neraka sempat
memahami maksud gadis itu, tiba-tiba saja Pinanti sudah menghambur
memeluknya erat-erat. Gadis itu melingkarkan tangannya di leher. Kepalanya
mendongak dengan bibir merah sedikit terbuka. Bayu menelan ludahnya sendiri
melihat bibir merah yang menantang itu.
"Berikan aku sesuatu yang berarti untuk dikenang, dan kau boleh pergi,
Bayu," ujar Pinanti agak mendesah.
"Aku...." Belum habis Bayu bicara, Pinanti sudah menyumpal bibir pemuda itu
dengan bibirnya. Sebentar Bayu gelagapan, tapi akhirnya melingkarkan
tangannya di pinggang ramping gadis itu. Bayu membalas, memagutnya penuh
gairah.
"Ohhh...," rintih Pinanti lirih.
"Kau gadis nakal yang pernah kujumpai, Pinanti."
"Ya, dan kau tidak akan bisa melupakanku."
Bayu tersenyum, dan Pinanti juga tersenyum. Kemudian mereka kembali
berpagutan penuh gairah menggelora dalam dada. Bibir mereka menyatu rapat
bagai tak akan terpisahkan lagi. Desah napas dan rintihan lirih terdengar.
Mereka tidak peduli pada suara Eyang Palandara yang berteriak memanggil
gadis itu.
"Pinanti..., di mana kau...?"
"Jangan hiraukan, Kakang," desah Pinanti ketika Bayu melepaskan pagutannya.
Pinanti langsung memagut bibir pemuda itu lagi, dan Bayu pun jadi tidak
peduli. Dibalasnya pagutan itu dengan hangat pula. Semakin ketat pelukannya,
dan semakin menggelora lumatannya pada bibir gadis itu. "Ohhh...."
TAMAT
Episode Selanjutnya:
Emoticon