"Tampaknya ada orang tertentu yang menginginkan kerajaan ini runtuh...,"
kata Eyang Wanari saat dalam perjalanan kembali setelah menengok salah
seorang panglima yang tewas dengan cara mengerikan. Dan panglima itu baru
kemarin bicara pada laki-laki tua pertapa ini. Dia mati dengan seluruh tubuh
penuh lubang tusukan, dan dadanya hancur. Hanya bagian kepala saja yang
kelihatan masih utuh. Sama seperti korban-korban lainnya, yang mencoba
mencari tahu tentang semua peristiwa ini. Mendung benar-benar menyelimuti
Kerajaan Balungan.
"Aku harus mencari keterangan, siapa dalang semua ini...," gumam Eyang
Wanari bicara sendiri.
"Jangan punya pikiran buruk, Eyang Wanari...!"
"Heh...?!"
Eyang Wanari tersentak kaget ketika tiba-tiba saja terdengar suara menggema
mengejutkan. Laki-laki tua pertapa itu menghentikan ayunan kakinya. Suara
itu jelas sekali terdengar, dan seakan-akan datang dari segala penjuru mata
angin. Eyang Wanari mengedarkan pandangan ke sekeliling, namun memang
kelihatan sepi. Tak ada seorang pun yang terlihat di sekitarnya.
"Hm..., siapa kau?" terdengar dalam nada suara Eyang Wanari.
"Sudah lima orang yang jadi korban. Dan aku tidak ingin kau ikut jadi
korban, Eyang Wanari," kembali terdengar suara tanpa ujud.
Eyang Wanari menajamkan telinga. Matanya juga tajam, memandang sekitarnya.
Jelas, itu suara seorang wanita. Dan nampaknya, suara itu dikeluarkan lewat
pengerahan tenaga dalam tinggi, sehingga bisa menggema. Seakan-akan suara
itu datang dari segala penjuru mata angin. Eyang Wanari segera meningkatkan
kewaspadaannya. Dia sadar kalau orang yang mengeluarkan. suara itu memiliki
kepandaian tinggi sekali. Dia telah mampu mengeluarkan suara, tanpa
diketahui dari mana asalnya.
"Sebaiknya kembali saja ke pertapaan, Eyang Wanari. Dan Jangan sekali-kali
ikut campur masalah ini," terdengar lagi suara keras menggema.
Tunjukkan dirimu, Nisanak!" teriak Eyang Wanari.
"Ha ha ha...! Apa kau tidak bisa mengetahui, di mana aku berada, Eyang
Wanari? Atau memang kau sudah pikun, sehingga sama sekali tidak bisa
melihatku...?"
Eyang Wanari memutar tubuhnya. Maka laki-laki tua itu terkejut bukan main.
Karena, tahu-tahu tidak jauh darinya sudah berdiri seseorang mengenakan baju
serba hitam. Yang membuat mata laki-laki tua pertapa ini terbeliak, karena
wajah orang itu menghitam hangus seperti baru saja terbakar. Di dalam hati,
Eyang Wanari mengagumi kepandaian orang itu. Dia bisa hadir tanpa diketahui.
Dan ini sudah memberi satu peringatan padanya untuk tetap berwaspada
penuh.
"Nisanak, siapa kau? Dan apa tujuanmu mengacau Kerajaan Balungan?" tanya
Eyang Wanari, agak perlahan suaranya.
"Untuk apa bertanya begitu, Eyang Wanari?? Kau sudah tahu, siapa aku, dan
apa tujuanku berbuat begini," sahut wanita serba hitam itu agak sinis nada
suaranya.
"Kau yang bernama Nini Anjar...?" Eyang Wanari ingin meyakinkan.
"Semua orang memanggilku begitu. Tapi kau lebih tahu, siapa aku sebenarnya,
Eyang Wanari," sahut wanita itu tetap sinis.
"Wajahmu hitam sekali. Dan aku tidak mungkin bisa mengenalimu. Hm.... Siapa
kau sebenarnya, Nisanak?"
"Kau lihat ini, Eyang Wanari."
"Heh...?!"
Eyang Wanari terkejut setengah mati ketika wanita berwajah hitam itu
mengeluarkan sebuah benda dari balik lipatan bajunya. Begitu terkejutnya,
sampai-sampai laki-laki tua itu terlompat ke belakang sejauh tiga langkah.
Seketika kedua bola matanya terbeliak, seakan tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya.
"Kau...?"
"Ha ha ha...!"
Wanita berwajah hitam hangus bagai terbakar itu tertawa terbahak-bahak
Sedangkan Eyang Wanari seperti tidak percaya dengan penglihatannya. Dia
hanya dapat terpaku. Matanya terbeliak, dan mulutnya terbuka lebar. Tawa
wanita berwajah hitam itu semakin keras dan panjang.
***
LIMA
"Ha ha ha....'"
Sukar dipercaya bagi Eyang Wanari. Laki-laki itu tidak akan pernah
melupakan benda berbentuk keris kecil berwarna keemasan yang berada dalam
gengga-man tangan wanita berwajah hitam ini. Dan sampai ajal datang pun,
tidak akan mungkin bisa terlupakan
"Jadi..., kau..," terputus suara Eyang Wanari.
"Sekarang kau sudah tahu siapa aku, Eyang Wanari. Maka sebaiknya kembali
saja ke pertapaan dan jangan campuri urusanku!" dingin sekali nada suara
wanita berwajah hitam itu.
"Bagaimana mungkin kau bisa hidup lagi. Nyai Legok?" masih terbata suara
Eyang Wanari.
Dia masih belum yakin kalau wanita berwajah hitam yang berdiri sekitar tiga
tombak di depannya adalah Nyai Legok, seorang wanita yang sangat dikenalnya.
Dan Eyang Wanari tahu, siapa Nyai Legok itu. Dia dulunya adalah seorang
penari berwajah cantik, dan bertubuh sintal menggiurkan. Setiap lelaki yang
memandangnya, pasti tidak akan melewatkan begitu saja untuk
menatapnya.
Dan semua lelaki pasti berangan-angan bisa mendapatkannya. Namun Nyai Legok
juga membuat setiap wanita merasa iri dan sakit hati. Terlebih lagi wanita
yang sudah mempunyai suami. Karena suami-suami mereka selalu lupa daratan
apabila melihat Nyai Legok menari. Menyadari kalau dirinya menjadi pusat
perhatian banyak laki-laki, maka Nyai Legok memanfaatkannya.
Akibatnya tidak sedikit rumah tangga berantakan karena ulahnya. Bahkan
kecantikan perempuan itu sampai mengusik hati Prabu Wijaya. Nyai Legok tak
mampu berkutik, ketika Prabu Wijaya memintanya agar menari di istana. Bahkan
selama tiga tahun, Nyai Legok tinggal di istana menjadi selir Prabu
Wijaya.
Namun entah kenapa, diam-diam perempuan itu selalu membawa laki-laki lain
ke dalam kamarnya. Tidak sedikit pembesar kerajaan, para pangeran, dan
pejabat-pejabat kerajaan lainnya, tergila-gila pada wanita ini. Akibatnya
anak dan istri mereka telantar. Bahkan mereka sampai tidak peduli kalau Nyi
Legok adalah selir Prabu Wijaya.
Kebiasaan Nyi Legok membawa laki-laki lain ke dalam kamarnya, ternyata
tercium juga oleh Prabu Wijaya. Dan pada suatu malam, dia tertangkap basah
ketika tengah bermesraan di dalam kamarnya dengan salah seorang putra
pembesar yang masih belia usianya. Kemarahan Prabu Wijaya tidak tertahankan
lagi. Dengan keris kecil berwarna emas, Prabu Wijaya menikam dada wanita
itu, lalu merusak wajahnya. Tidak sampai di situ saja. Prabu Wijaya juga
membakar Nyi Legok lalu membuangnya ke sungai deras.
"Mustahil...," desis Eyang Wanari seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Dia masih belum percaya kalau wanita yang berada di depannya adalah Nyai
Legok. Dulu Legok begitu cantik. Tapi wanita di depannya wajahnya begitu
mengerikan. Hitam pekat bagaikan arang. Apakah mungkin dia Nyai Legok, dan
sekarang membalas dendam atas perbuatan Prabu Wijaya? Pertanyaan ini masih
menjadi teka-teki yang sukar diungkapkan.
***
"Seharusnya kau tidak perlu berbuat seperti ini Nyai Legok," ujar Eyang
Wanari.
"Sudah kukatakan, jangan ikut campur urusanku, Eyang Wanari!" dengus wanita
berwajah hitam itu.
"Semula aku sudah ingin melupakan. Tapi laki-laki itu malah hendak membunuh
anaknya sendiri."
"Membunuh anak sendiri... ? Apa maksudmu, Nyai Legok?"
"Kau hanya seorang pertapa. Sebaiknya, tidak perlu mencampuri urusan dunia.
Kembali saja ke pertapaanmu." terdengar kasar nada suara Nyai Legok.
"Kata-katamu sudah mulai kasar, Nyai Legok, " Eyang Wanari
tersinggung.
"Kau yang menginginkan, dan aku sebenarnya tidak ingin berlaku kasar
padamu."
"Hm...," Eyang Wanari menggumam kecil.
Laki-laki tua pertapa itu memandangi Nyai Legok dalam-dalam. Meskipun sudah
menyebut perempuan berwajah hitam itu dengan nama Nyai Legok, namun
dihatinya masih belum yakin kalau dia benar-benar Nyai Legok. Karena
dilihatnya sendiri, bagaimana Prabu Wijaya menikamkan keris kecil berwarna
emas ke dada wanita itu. Juga disaksikannya, bagaimana mayat Nyi Legok
dihanyutkan ke sungai yang berair deras. Rasanya memang tidak mungkin kalau
seseorang yang sudah tertikam senjata, lalu dihanyutkan ke dalam sungai,
masih bisa hidup.
"Kukatakan sekali lagi, Eyang Wanari. Kembalilah ke pertapaan, dan jangan
mencampuri urusan ini," kembali Nyai Legok memberi peringatan.
"Maaf. Aku harus menangkap orang yang telah membunuh muridku, dan
mengadilinya di depan sidang kerajaan," sahut Eyang Wanari tegas.
"Itu berarti kau harus berhadapan denganku, Eyang Wanari."
Setelah berkata demikian, Nyai Legok menggeser kakinya ke kanan tiga
langkah. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Keris kecil berwarna
kuning keemasan, masih tergenggam di tangan kanannya.
"Kau yang memaksa, Eyang Wanari," desis Nyai Legok dingin.
"Hm...," Eyang Wanari hanya menggumam kecil saja. "Bersiaplah. Kita
tentukan, siapa yang lebih dahulu meninggalkan dunia ini.
Hiyaaat..!"
Nyai Legok langsung melompat memberi serangan cepat bagai kilat. Eyang
Wanari yang sudah bersiap sejak tadi, segera mengegoskan tubuhnya sedikit
untuk menghindari pukulan dahsyat bertenaga dalam tinggi yang dilepaskan
perempuan berwajah hitam itu. Pertarungan pun tidak dapat dielakkan lagi.
Dan mereka langsung melakukan pertarungan tingkat tinggi. Jurus-jurus yang
digunakan begitu dahsyat dan mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat
tinggi.
Dan setiap kali tangan mereka berbenturan, selalu menimbulkan ledakan
dahsyat menggelegar. Pertarungan berjalan semakin sengit. Jurus demi jurus
berlalu cepat namun belum nampak tanda-tanda ada bakal yang terdesak. Dan
Eyang Wanari sendiri tidak sempat untuk bermain-main. Disadari betul kalau
lawan yang dihadapinya memiliki tingkat kepandaian tinggi. Diakui, sukar
baginya untuk mengetahui, sampai di mana tingkat kepandaian perempuan
berwajah hitam ini. Karena memang baru sekali ini mereka melakukan
pertempuran.
"Uts!"
Hampir saja keris di tangan Nyai Legok menembus dada laki-laki tua pertapa
itu. Untung saja Eyang Wanari segera berkelit dengan menarik tubuhnya ke
samping. Namun sebelum bisa menegakkan tubuhnya, satu tendangan menggeledek
menyamping telah cepat dilepaskan Nyai Legok.
"Yeaaah...!"
"Heh!"
Eyang Wanari terkejut. Cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang. Namun tanpa
diduga sama sekali, Nyai Legok mampu melenting sedikit tanpa menarik kembali
tendangannya. Akibatnya, Eyang Wanari jadi semakin terkejut. Tak ada lagi
kesempatan baginya untuk menghindari tendangan itu. Sehingga....
Buk!
"Akh...!"
Eyang Wanari menjerit keras tertahan. Tendangan yang dilepaskan Nyai Legok
telak menghantam dada laki-laki tua pertapa itu. Tak pelak lagi, tubuh tua
berjubah putih itu terpental deras ke belakang. Tendangan yang dilancarkan
Nyai Legok memang dahsyat bukan main. Terlebih lagi, tendangan itu disertai
pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi.
Bruk!
Keras sekali tubuh Eyang Wanari menghantam tanah. Dua kali laki-laki tua
pertapa itu bergulingan di tanah, kemudian cepat melompat bangkit berdiri.
Namun tubuhnya terhuyung, dan dari mulutnya mengeluarkan gumpalan darah
kehitaman.
"Hiyaaa...!"
Saat itu Nyai Legok sudah kembali melompat memberi serangan. Sementara
Eyang Wanari belum mampu menguasai tubuhnya. Dadanya masih terasa sesak, dan
jalan nafasnya seakan tersumbat, akibat tendangan yang mendarat telak di
dadanya.
"Modar...!"
Des!
"Akh...!"
kembali Eyang Wanari menjerit keras. Satu pukulan yang dilepaskan Nyai
Legok dapat lagi dihindari, meskipun Eyang Wanari berusaha berkelit. Namun
gerakannya memang sudah lamban, akibat pernafasannya belum sempurna.
Seketika, tubuh laki-laki tua pertapa itu kembali terlontar jauh ke
belakang, sekitar lima batang tombak. Di saat Eyang Wanari tengah
bergulingan di tanah, Nyai Legok sudah kembali melompat sambil menghunus
keris kecil berwarna kuning keemasan di tangan kanan. Memang tidak ada lagi
kesempatan menghindar bagi Eyang Wanari. Pukulan yang dilepaskan Nyali
Legok, membuatnya benar-benar tidak berdaya lagi.
"Mampus kau, Eyang Wanari! Hiyaaat..!"
Namun begitu ujung keris hampir saja menghunjam dada Eyang Wanari, mendadak
saja....
Slap!
Plak!
"Ah...!"
***
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sebuah bayangan kuning kehitaman
berkelebat cepat menjegal maksud Nyai Legok. Perempuan berwajah hitam itu
terpental balik sambil memekik keras. Namun keseimbangan tubuhnya cepat
dikuasai, dengan berputaran beberapa kali di udara. Dengan manis sekali
kakinya mendarat di tanah. Kini di depan Eyang Wanari, berdiri seorang
pemuda tampan mengenakan baju kulit harimau. Pada saat itu, dari balik
sebuah pohon yang cukup besar, muncul seorang pemuda lain yang mengenakan
baju putih. Dia bergegas berlari, menghampiri Eyang Wanari.
"Eyang..., Eyang tidak apa-apa...?" tanya pemuda itu seraya membantu Eyang
Wanari duduk.
"Oh! Terimakasih, Prayoga," ucap Eyang Wanari gembira melihat Raden Prayoga
membantunya duduk.
Laki-laki pertapa tua itu memandang pemuda lain yang mengenakan baju kulit
harimau. Pemuda itu berpaling sedikit, lalu memberi senyuman. Kemudian
perhatiannya kembali dipusatkan pada perempuan berwajah hitam di
depannya.
"Siapa dia, Prayoga?" tanya Eyang Wanari pelan.
"Bayu, Eyang. Temanku," sahut Raden Prayoga.
Eyang Wanari mengangguk-anggukkan kepala. Dia memandangi pemuda berbaju
kulit harimau itu. Bibirnya kemudian mengembang, membentuk senyuman. Namun
sebentar kemudian terbatuk, lalu memuntahkan darah kental agak kehitaman.
Raden Prayoga terkejut. Dia ingin melakukan sesuatu, tapi keburu dicegah
laki-laki tua pertapa ini.
"Aku tidak apa-apa. Hanya sesak sedikit di dada."
"Tapi Eyang terluka. Sebaiknya Eyang ke tempat yang lebih teduh
lagi."
"Baiklah. Bantu aku berdiri."
Sementara Raden Prayoga membantu Eyang Wanari pindah dari tempat itu, Bayu
melangkah hendak kedepan. Sedangkan Nyai Legok sudah menguasai penuh keadaan
dirinya. Ludahnya disemburkan, sambil menatap tajam Pendekar Pulau
Neraka.
"Heh! Siapa kau?! Berani benar mencampuri urusanku!" bentak Nyai Legok
geram.
"Aku bukan siapa-siapa. Aku hanya tidak suka ada orang menganiaya orang
yang sudah tua," sahut Bayu kalem.
"Apa pedulimu, heh?!" bentak Nyai Legok makin geram.
"Memang tidak ada. Tapi kurasa, tidak ada baiknya kau menganiaya orang tua,
Nisanak," tetap kalem suara Bayu.
"Kau terlalu banyak mulut!" desis Nyai Legok menggeram.
Kemudian perempuan itu menatap Raden Prayoga yang kini berada di tempat
yang cukup aman bersama Eyang Wanari. Dan kini, tatapannya kembali pada
Bayu. Bibirnya yang hitam, menyunggingkan senyuman menyeringai.
"Apakah kau salah seorang jawara dari istana terdengar sinis nada suara
Nyai Legok.
"Bukan," sahut Bayu.
"Kau datang bersama bocah ingusan itu. Pasti kau adalah seorang jawara yang
mengawalnya. Bagus....
Jika memang demikian, aku bisa memusnahkan sekalian keturunan tidak syah
Prabu Wijaya. Dan kau....berani menghalangi, aku tidak segan-segan membuatmu
jadi dendeng!" Nyai Legok menuding Bayu.
"Nisanak! Kenapa kau menyangka aku jawara istana? Aku tidak ada hubungan
dengan orang orang istana manapun juga."
"Tidak ada waktu bersilat lidah, Kisanak! Jika kau masih melindungi orang
tua itu dan Raden Prayoga, maka kau harus berhadapan denganku!"
"Raden Prayoga...?" Bayu benar-benar tidak mengerti. Pendekar Pulau Neraka
melirik Raden Prayoga. Sungguh dia tidak tahu kalau pemuda berbaju putih itu
ternyata seorang putra mahkota. Baru beberapa saat Pendekar Pulau Neraka
mengenalnya. Dan lagi, Raden Prayoga memang tidak pernah mengatakan tentang
dirinya yang sebenarnya.
"Sebaiknya kau menyingkir, Kisanak!" bentak Nyai Legok. Sehabis berkata
demikian, Nyai Legok langsung melompat ke arah Eyang Wanari dan Raden
Prayoga yang tengah duduk di bawah pohon. Bayu tersentak kaget. Cepat-cepat
Pendekar Pulau Neraka melompat, mencoba menghadang arus wanita serba hitam
itu.
"Hiyaaa...!"
"Uts! Keparat..!"
Kalau saja Nyai Legok tidak cepat melentingkan tubuh ke belakang dan
berputaran dua kali, terjangan Bayu yang memotong itu akan melanda tubuhnya
kembali. Sambil mendengus geram, perempuan berwajah hitam itu menatap tajam
Pendekar Pulau Neraka. Dia begitu marah, karena maksudnya sudah dua kali
terhalang oleh tindakan pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Keparat! Rupanya kau ingin lebih dahulu ke neraka, heh!" bentak Nyai
Legok.
"Hm...," Bayu hanya menggumam perlahan saja.
"Hih!" Nyai Legok melintangkan keris kecil keemasan yang berada di dalam
genggaman, di depan dadanya. Sorot matanya begitu tajam, langsung menusuk
mata Pendekar Pulau Neraka. Perlahan-lahan kakinya bergeser ke kanan.
Sementara Bayu hanya memperhatikan tanpa berkedip, setiap gerakan kaki
perempuan berwajah hitam itu.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Nyai Legok melompat cepat bagai kilat dengan
keris terhunus ke depan. Bayu segera menarik kakinya ke belakang. Lalu,
cepat sekali tubuhnya melenting ke udara, menyambut serangan wanita berwajah
hitam itu. Bayu mengegoskan tubuhnya sedikit ke kanan, lalu secepat itu pula
tangannya dihentakkan, langsung menyodok ke arah dada. Namun Nyai Legok.
cepat bergerak gesit. Sodokan tangan Pendekar Pulau Neraka itu ditangkis
dengan tangan kiri, sementara hunjaman kerisnya tidak bisa mengenai
sasaran.
Plak!
Dua tangan yang dialiri tenaga dalam tingkat tinggi, beradu keras di udara.
Saat itu terdengar pekikan keras agak tertahan. Kemudian, mereka sama-sama
memutar tubuh ke belakang, lalu meluruk turun manis sekali. Hampir bersamaan
kaki mereka menjejak tanah. Begitu mendarat, Bayu langsung memberi satu
pukulan lurus ke arah dada. Melihat hal itu Nyai Legok cepat berkelit,
memiringkan tubuhnya. Begitu pukulan Bayu lewat, segera diberikannya
serangan balasan. Kerisnya langsung dihunjamkan ke arah perut,
"Uts! Yeaaah...!"
Bayu cepat melompat ke belakang, menghindari tusukan keris kecil keemasan
itu. Namun Nyai Legok terus mencecar dengan hunjaman keris beberapa kali ke
arah Pendekar Pulau Neraka itu. Mau tak mau Bayu harus berjumpalitan,
berputaran ke belakang menghindari hunjaman keris yang datang secara
beruntun.
"Hup! Yeaaah...!"
Begitu mempunyai kesempatan, Bayu cepat melesat ke udara. Dan secepat itu
pula dilontarkan satu tendangan keras menggeledek, disertai pengerahan
tenaga dalam yang sudah mencapai tahap kesempurnaan. Namun tendangan
Pendekar Pulau Neraka dapat dielakkan Nyai Legok dengan memiringkan tubuh
kekanan. Dua kali Bayu berputaran di udara, kemudian mendarat manis dan
ringan sekali, sekitar satu tombak jauhnya di depan perempuan bermuka hitam
itu. Dan belum lagi Bayu menarik napas, Nyai Legok sudah kembali melompat
menyerang.
"Hiyaaa...!"
"Hait! Yeaaah...!?
***
ENAM
Hanya sedikit saja keris kecil keemasan di tangan Nyai Legok lewat di
samping tubuh Pendekar Pulau Neraka. Cepat pemuda berbaju kulit harimau itu
menarik tubuh ke samping, lalu tangannya bergerak cepat menyodok ke dada
wanita berwajah hitam itu. Sodokan yang begitu cepat dan tidak terduga,
membuat Nyai Legok jadi terperangah. Dia cepat berusaha menghindari. Namun
sebelum melakukan tindakan, sodokan tangan Bayu sudah mendarat telak sekali
di dadanya.
Des!
"Akh...!"
Nyai Legok terhuyung-huyung ke belakang sambil mendekap dadanya yang
terkena sodokan. Untung saja Bayu tidak penuh mengerahkan tenaga dalam,
sehingga hanya sesak saja yang dirasakan wanita bermuka hitam itu.
"Setan...!" geram Nyai Legok mendesis sengit.
Tatapan matanya begitu tajam menusuk langsung bola mata Pendekar Pulau
Neraka. Beberapa kali dia mendengus sambil menyemburkan ludah. Sebentar
kemudian ditatapnya Eyang Wanari dan Raden Prayoga yang berada di tempat
aman.
"Phuih! Satu saat kau akan menyesal, bocah keparat?!"
Setelah melontarkan ancaman, Nyai Legok segera berbalik, lalu cepat melesat
pergi. Begitu cepatnya sehingga dalam sekejapan saja bayangan tubuhnya sudah
lenyap tak berbekas lagi. Bayu menarik napas panjang, kemudian memutar
tubuhnya dan melangkah menghampiri Raden Prayoga dan Eyang Wanari.
"Bagaimana keadaanmu, Ki Tua?" tanya Bayu setelah dekat.
"Terima kasih. Aku tidak apa-apa," sahut Eyang Wanari seraya berdiri
dibantu Raden Prayoga.
Bayu melirik sedikit pemuda yang membantu Eyang Wanari bangkit berdiri.
Sedangkan yang dilirik seperti tidak mengetahui. Perhatian Bayu kembali
tertuju pada laki-laki tua yang terlihat tengah kepayahan. Tampak ada
bulatan hitam di dada Eyang Wanari.
"Kau mendapat luka, Ki," kata Bayu.
"Tidak apa-apa. Hanya luka biasa saja," sahut Eyang Wanari seraya melihat
noda hitam di dadanya.
"Maaf...."
Bayu meraba dada laki-laki tua itu sebentar. Kembali ditatapnya Eyang
Wanari, lalu menarik napas panjang. Dia tahu kalau noda hitam di dada
laki-laki tua itu akibat pukulan bertenaga dalam penuh dan mengandung racun.
Tapi rupanya Eyang Wanari sudah mencegahnya dengan menotok beberapa titik
jalan darah. Sehingga racun di dadanya tidak menyebar. Dan racun itu memang
tidak membahayakan. Hanya dengan semadi sebentar, lalu menyayat kulit
dadanya sedikit, racun itu bisa keluar.
"Sebaiknya jangan terlalu lama racun itu di dalam, Ki," kata Bayu
memperingatkan.
Eyang Wanari tersenyum. Ada rasa kagum terselip dihatinya mendengar
peringatan anak muda yang belum dikenalnya ini. Dia bisa tahu kalau luka itu
beracun, hanya dengan meraba saja. Rasa kagum Eyang Wanari terlihat jelas
dari sinar matanya tatkala memandang wajah tampan Pendekar Pulau
Neraka.
"Aku akan lakukan sekarang, Anak Muda. Eh, siapa namamu tadi...?" ujar
Eyang Wanari diiringi senyuman.
"Bayu," sahut Bayu memperkenalkan diri.
Eyang Wanari menepuk pundak Pendekar Pulau Neraka, kemudian berbalik dan
melangkah menuju kesebatang pohon yang cukup besar dan rindang. Raden
Prayoga tidak jadi membantu, karena Eyang Wanari sudah menolaknya. Terpaksa
pemuda itu hanya memandanginya saja.
"Kenapa kau tidak berterus terang padaku, Raden? Kenapa harus menutupi
kenyataan...?" Bayu langsung menegur Raden Prayoga.
"Maaf, Bayu. Dalam keadaan seperti sekarang ini, aku tidak bisa begitu saja
mengatakan sesuatu yang benar," sahut Raden Prayoga.
Bayu menarik napas panjang. Jawaban Raden Prayoga begitu tepat. Memang
tidak mungkin Raden Prayoga menceritakan suatu keadaan yang sebenarnya pada
seseorang yang baru saja dikenalnya. Keadaan memang perlu, dan Bayu
menyadari betul itu.
"Baiklah, Raden. Aku memang tidak punya urusan denganmu. Apalagi untuk tahu
tentang apa yang terjadi sesungguhnya. Tapi jika Raden percaya padaku
ceritakan saja. Apa sebenarnya yang sedang terjadi, mudah-mudahan, aku dapat
membantu menyelesaikannya," tegas Bayu, setelah menarik napas panjang.
"Aku memang memerlukan bantuan seseorang berkepandaian tinggi, Bayu. Kau
sudah mengalami sendiri. Orang yang sedang kami hadapi memiliki kepandaian
tinggi sekali. Bahkan Eyang Wanari sendiri tidak dapat mengatasinya," jelas
Raden Prayoga.
Bayu melirik Eyang Wanari yang sudah melakukan semadi di bawah pohon yang
cukup rindang. Tampak di dada laki-laki tua itu mengalir darah kental
kehitaman. Rupanya Eyang Wanari sudah menyayat kulit yang bernoda hitam
untuk mengeluarkan darah yang mengeram di dadanya. Cara yang dilakukan Eyang
Wanari, sama persis dengan apa yang dipikir Bayu sebelumnya.
"Mari, Bayu. Kita cari tempat yang lebih enak. Nanti kuceritakan semuanya
padamu. Aku percaya kau memiliki kemampuan tinggi dan dapat menandingi
perempuan berwajah hitam itu," ajak Raden Prayoga.
Bayu tidak menjawab. Diikutinya saja Raden Prayoga yang berjalan perlahan
mencari tempat tenang dan nyaman untuk menceritakan semua peristiwa
dikerajaannya.
***
Tepat setelah Raden Prayoga selesai menceritakan semua yang terjadi di
kerajaannya, Eyang Wanari juga selesai bersemadi. Laki-laki tua itu
menghampiri kedua anak muda ini. Raden Prayoga memperkenalkan Bayu pada
Eyang Wanari lebih jauh lagi. Begitu Raden Prayoga menyebutkan julukan Bayu,
Eyang Wanari jadi berkerut keningnya.
"Ada apa, Eyang?" tanya Raden Prayoga melihat Eyang Wanari mengamati Bayu
begitu dalam.
"Aku sering mendengar nama Pendekar Pulau Neraka. Tidak kusangka, ternyata
orangnya masih muda dan gagah," ungkap Eyang Wanari.
"Ah! Mungkin yang Eyang dengar sangat berlebihan," ucap Bayu
merendah.
Eyang Wanari memandangi pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Di situ,
menempel sebuah benda berbentuk cakra bersegi enam yang berkilat keperakan.
Bayu agak risih juga dipandangi demikian, tapi mendiamkan saja.
"Apakah itu Cakra Maut..?" tanya Eyang Wanari.
"Benar," sahut Bayu jadi heran.
"Apa hubunganmu dengan Gardika si Maut?" tanya Eyang Wanari lagi.
Bayu tersentak kaget mendengar pertanyaan dan tidak langsung menjawab.
Tatapan matanya berubah lain, dan memancarkan sinar kecurigaan. Pendekar
Pulau Neraka memang selalu curiga setiap kali ada orang yang mengenal
gurunya. Karena, dia sendiri juga mengembara untuk mencari orang-orang yang
telah membuat gurunya cacat dan sengsara di Pulau Neraka yang gersang dan
angker. Di samping itu, dia juga tetap berusaha mencari kabar tentang ibunya
yang katanya masih hidup dan entah ada mana.
"Dulu aku kenal seorang tokoh persilatan yang tangguh. Dia juga menggunakan
senjata seperti milikmu, Bayu. Julukannya si Cakra Maut," kata Eyang Wanari
mengenang.
"Apakah kau bermusuhan dengannya?" tanya Bayu.
"Jalan hidupku memang berbeda jauh dengan Cakra Maut. Tapi aku tidak pernah
mencampuri urusannya, selama dia tidak mencampuri urusanku. Jalan hidup kami
memang berbeda, tapi tetap bersahabat dan saling menghormati. Yaaah.... Aku
sendiri menyesalkan kejadian yang menimpa dirinya. Dan hingga sampai saat
ini, aku tidak pernah lagi mendengar kabarnya," kembali Eyang Wanari
mengenang.
Bayu terdiam. Tatapan matanya masih tetap mengandung kecurigaan. Hatinya
belum yakin kalau Eyang Wanari bersahabat dengan gurunya. Namun, sama sekali
Pendekar Pulau Neraka tidak menampakkan kecurigaannya terhadap laki-laki tua
ini. Bahkan berharap kalau Eyang Wanari bukan salah seorang da-ri mereka
yang membuat Eyang Gardika jadi cacat seumur hidup, dan harus menderita di
Pulau Neraka.
"Eyang, bagaimana kalau kita kembali dulu ke istana...?" selak Raden
Prayoga, mencoba mengusir kekakuan yang terjadi.
"Itu lebih baik lagi, Raden. Hm.... Bagaimana, Bayu? Kau bersedia ikut ke
istana? Nanti kita bisa bicara banyak di sana," sambut Eyang Wanari.
"Bagaimana, Bayu?" desak Raden Prayoga.
Bayu tidak bisa lagi menolak, dan hanya bisa mengangkat bahu untuk
menyetujui permintaan ini. Tanpa banyak membuang-buang waktu lagi, mereka
kemudian berangkat meninggalkan tempat itu menuju Istana Balungan.
***
Selama dua hari Bayu tinggal di Istana Balungan, tidak ada satu pun
peristiwa yang terjadi. Namun Pendekar Pulau Neraka sempat mendapat suatu
kesan janggal dari Permaisuri Retna Nawangsih. Kesan yang sukar dikatakan,
karena perempuan setengah baya itu seperti tidak menyukai kehadirannya di
lingkungan istana ini.
Bukan hanya Bayu saja yang merasakan ketidaksenangan Permaisuri Retna
Nawangsih, tapi Eyang Wanari yang merasakan demikian. Bahkan sikap
Permaisuri Retna Nawangsih terhadap Eyang Wanari juga berubah. Sempat juga
Permaisuri Retna Nawangsih menegur keras Eyang Wanari, agar tidak terlalu
dekat dengan Bayu. Malah laki-laki tua diminta untuk melarang Raden Prayoga
banyak bicara dengan Pendekar Pulau Neraka.
Hal ini membuat Eyang Wanari jadi tidak mengerti. Dan dia berpendapat, hal
ini harus dibicarakan terlebih dahulu pada Bayu, sebelum bicara pada Raden
Prayoga. Karena Bayu sendiri sudah berterus terang, dirinya adalah murid
Eyang Gardika, sahabat Eyang Wanari. Bayu membuka rahasia setelah merasa
yakin kalau Eyang Wanari bukan orang yang telah membuat gurunya menderita
cacat seumur hidup. Saat senja telah menyelimuti seluruh bumi Kerajaan
Balungan, Eyang Wanari sudah berada di depan pintu kamar yang disediakan
untuk Bayu menginap diIstana Balungan ini. Pintu yang tertutup rapat itu
diketuk perlahan, seakan-akan takut ada orang lain yang mengetahuinya.
"Siapa...?" terdengar suara dari balik pintu.
"Aku," sahut Eyang Wanari.
Pintu itu terbuka sedikit. Muncul seraut wajah tampan dari baliknya. Begitu
mengetahui siapa yang berada di depan pintu, pemuda tampan berbaju kulit
harimau itu membuka pintu lebar-lebar. Eyang Wanari bergegas masuk, lalu
menutup kembali pintu kamar itu. Segera didekatinya jendela yang terbuka
lebar, dan melongok keluar. Sedangkan Bayu hanya memperhatikan saja dengan
kening berkerut.
"Ada apa, Eyang?" tanya Bayu heran melihat tingkah laki-laki tua pertapa
yang demikian aneh.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya tidak ingin ada orang lain yang tahu aku
berada di sini," sahut Eyang Wanari seraya menghempaskan dirinya di
kursi.
"Kenapa harus takut?" tanya Bayu. Dia duduk di tepi pembaringan.
"Dalam keadaan seperti ini, aku tidak bisa mempercayai seorang pun di dalam
istana ini."
Bayu mengangkat bahunya. Bisa dimengerti, mengapa Eyang Wanari begitu
khawatir. Laki-laki tua pertapa itu sudah mengatakan kecurigaannya pada
Pendekar Pulau Neraka. Dia curiga kalau semua peristiwa yang terjadi di
Kerajaan Balungan didalangi Permaisuri Retna Nawangsih. Bagi Bayu sendiri,
kecurigaan itu memang beralasan. Ini setelah Eyang Wanari menceritakan
riwayat Permaisuri Retna Nawangsih, hingga sampai menjadi seorang
permaisuri, mendampingi Prabu Wijaya memerintah kerajaan ini.
"Ada sesuatu yang hendak kau bicarakan denganku, Eyang?" tanya Bayu setelah
melihat raut wajah Eyang Wanari mulai agak tenang.
"Ya, dan penting sekali," sahut Eyang Wanari.
"Masalahnya...?"
"Terus terang, Bayu. Ini menyangkut keselamatanmu sendiri. Bahkan bukannya
tidak mungkin, keberadaanmu di sini menimbulkan ketidaksenangan seseorang,"
pelan sekali suara Eyang Wanari, seperti khawatir kalau ada orang lain yang
mendengar.
"Maksud Eyang, Gusti Permaisuri tidak menyukai kehadiranku?" tebak Bayu
langsung.
"Aku tidak mengatakan demikian, Bayu. Tapi perasaanku mengatakan begitu,"
kata Eyang Wanari.
"Mungkin dari situlah aku bisa memulai, Eyang. Atau mungkin itu merupakan
suatu petunjuk yang nyata untuk mencari pembunuh Prabu Wijaya," jelas Bayu
kalem.
"Bagaimana kau bisa berpendapat demikian, Bayu?" tanya Eyang Wanari tidak
mengerti.
Bayu tidak segera menjawab, dan hanya senyum saja. Segera Pendekar Pulau
Neraka bangkit dari pembaringan, lalu melangkah mendekati jendela. Dia
berdiri memandang ke luar, menikmati udara senja ini dan menikmati harumnya
bunga-bunga yang bermekaran di bawah jendela. Sementara Eyang Wanari terus
menunggu jawaban pemuda berbaju harimau ini.
"Hal yang sangat mudah, Eyang. Kegelisahan seseorang, merupakan satu
petunjuk berarti yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Rasanya sangat tidak
beralasan bila Gusti Permaisuri tidak menyukai kehadiranku. Kalau dia merasa
kehilangan atas kematian suaminya, tentu sangat berharap dapat menemukan
pembunuhnya. Tapi apa yang dilakukan malah sebaliknya. Bahkan seperti
melupakan begitu saja, dan terus mendesak Raden Prayoga naik tahta," Bayu
mencoba menjelaskan pengamatannya.
"Hebat..! Sungguh aku tidak pernah berpikir sampai ke sana, Bayu," puji
Eyang Wanari, tulus.
"Kecurigaan Eyang Wanari yang membuatku berpikir ke sana," Bayu
merendah.
"Sebaiknya teruskan saja hasil pengamatan mu, Bayu," pinta Eyang Wanari.
Dia tahu kalau Pendekar Pulau Neraka tidak ingin dipuji.
"Dari pengamatanku selama dua hari ini, tidak ada seorang pun pembesar
istana yang terlibat. Dan peristiwa ini bukan bertujuan untuk meruntuhkan
Kerajaan Balungan, tapi lebih tepat bila dikatakan sebuah balas dendam,"
lanjut Bayu.
"Maksudmu...?" Eyang Wanari meminta penjelasan.
Secara rinci, Bayu menjelaskan hasil pengamatannya selama dua hari berada
di Istana Balungan ini. Sementara Eyang Wanari mendengarkan penuh perhatian.
Dan mereka terus mengobrol sampai jauh malam. Pembicaraan itu berkisar dari
peristiwa yang terjadi di istana ini. Bahkan Eyang Wanari secara gamblang
membuka semua rahasia keluarga istana. Baik tentang sebuah kutukan yang
datang dari para Dewata terhadap Prabu Wijaya, maupun asal-usul Permaisuri
Retna Nawangsih, dan kedua putranya. Mereka saling bertukar keterangan
selama di Kerajaan Balungan. Dan ini membuat mereka menemukan suatu
kesimpulan yang sangat mengejutkan.
***
TUJUH
Hingga jauh malam, Eyang Wanari berada dalam kamar Pendekar Pulau Neraka.
Walaupun laki-laki tua pertapa itu telah membeberkan riwayat Prabu Wijaya
serta Permaisuri Retna Nawangsih dan kedua anaknya, tapi Bayu belum begitu
yakin akan hal ini. Masih sulit dipercaya kalau Prabu Wijaya melakukan
persekutuan dengan iblis, hanya untuk menutupi rasa malu karena tidak
mendapatkan keturunan.
Setelah kokok ayam jantan terdengar, Eyang Wanari baru keluar dari kamar
itu. Bayu mengantarkannya sampai di depan pintu. Laki-laki tua pertapa itu
sempat memberi pesan agar Pendekar Pulau Neraka berhati-hati. Dan Bayu
menanggapinya dengan senyuman saja. Eyang Wanari melangkah menuju kamarnya
sendiri. Namun begitu sampai di depan pintu kamarnya, dia tidak jadi membuka
pintu.
"Aku ingin berjalan-jalan sebentar," desah Eyang Wanari. Kembali kakinya
melangkah, tidak jadi masuk ke dalam kamar yang disediakan untuk
istirahatnya. Laki-laki tua pertapa itu melangkah ke bagian belakang
bangunan istana. Dia terus berjalan sambil menikmati udara segar di pagi
buta ini. Suara kokok ayam jantan semakin ramai terdengar, ditambah kicauan
burung yang merdu, menyambut datangnya pagi.
"Hhh...! Kejadian ini membuatku selalu merasa tegang. Udara bersih, kicauan
burung, membuat jernih pikiranku," kembali Eyang Wanari bergumam, bicara
sendiri.
"Akan lebih jernih lagi bila ditemani, Eyang Wanari...."
"Heh...?!" Eyang Wanari terperanjat ketika tiba tiba saja terdengar suara
dari belakang.
Begitu tubuhnya diputar berbalik, mendadak sebuah bayangan hitam berkelebat
menerjangnya. Eyang Wanari semakin terkejut, dan tidak sempat lagi bertindak
menghindar. Hingga....
Begkh!
"Akh...!"
Eyang Wanari terpekik. Tubuh laki-laki tua berjubah putih itu terpental
deras kebelakang. Seketika punggungnya menghantam sebongkah batu sebesar
perut kerbau. Namun dia cepat melompat bangkit berdiri. Kepalanya
digeleng-gelengkan untuk mengusir rasa pening yang tiba-tiba saja menyerang
kepala. Ditambah lagi, dadanya jadi terasa sesak, sukar untuk
bernapas.
Pada saat itu, kembali terlihat satu bayangan hitam berkelebat cepat
menyambarnya. Eyang Wanari bergegas menjatuhkan tubuh ke tanah, lalu
bergulingan beberapa kali untuk menghindari terjangan bayangan hitam itu.
Kemudian dia cepat melompat bangkit berdiri, sebelum bayangan hitam itu
menyerang kembali.
"Hap!"
Eyang Wanari segera bersikap menyambut serangan lawan. Namun orang berbaju
hitam itu malah berdiri saja di atas sebatang dahan pohon yang cukup tinggi.
Dia berdiri membelakangi laki-laki tua pertapa itu, seakan-akan tidak ingin
wajahnya dikenali.
"Kau sudah diperingatkan, Eyang Wanari. Tapi kau terlalu keras kepala.
Terpaksa aku harus membunuh-mu!" terdengar dingin suara orang itu.
Dari nada suaranya, Eyang Wanari sudah mengetahui kalau orang itu adalah
wanita. Dan sebelum bisa memastikan siapa yang berdiri di atas dahan pohon,
mendadak saja orang berbaju hitam itu sudah melentingkan tubuhnya. Dia
berputaran di udara, lalu meluruk deras ke arah laki-laki tua pertapa
itu.
"Yeaaah...!"
"Hup! Hiyaaa...!"
Tubuh Eyang Wanari cepat melenting ke udara. Dan secara bersamaan, mereka
menghentakkan kedua tangannya ke depan dengan jari-jari tangan terbuka
lebar. Tak pelak lagi, dua pasang telapak tangan beradu keras di udara,
hingga menimbulkan ledakan keras menggelegar.
Glarrr...!
Mereka sama-sama terpental balik ke belakang, lalu berputaran di udara
sebelum mendarat kembali ditanah. Eyang Wanari agak terhuyung ke belakang.
Sedangkan wanita berbaju hitam itu mendarat manis di tanah. Dan dengan
kecepatan tinggi, tubuhnya kembali melompat menerjang laki-laki tua pertapa
itu.
"Hiyaaat..!"
Bet!
Mendadak saja wanita berbaju hitam itu mencabut sebilah pedang dari balik
lipatan baju, dan secepat itu pula dikibaskan ke arah leher Eyang Wanari.
Namun laki-laki tua pertapa itu cepat bertindak, dengan menarik kepala ke
belakang. Maka tebasan pedang keperakan yang tipis dan pendek itu hanya
lewat sedikit di depan tenggorokannya.
"Hup!"
Cepat Eyang Wanari melentingkan tubuh ke belakang, lalu berputaran dua kali
sebelum mendarat kembali di tanah. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, orang
berbaju serba hitam itu sudah kembali menyerang. Bahkan kini di kedua
tangannya tergenggam sepasang pedang yang tipis, sepanjang tiga jengkal.
Serangan-serangan yang dilakukan orang itu cepat luar biasa, membuat Eyang
Wanari agak kewalahan menghadapinya.
Namun berkat pengalamannya bertarung dalam rimba persilatan, ditambah lagi
tingkat kepandaiannya yang tinggi, laki-laki tua itu masih mampu meredam
setiap serangan yang datang mengancam nyawanya. Hingga suatu ketika, Eyang
Wanari melentingkan tubuh ke udara, tepat saat sebuah pedang berkelebat
mengarah ke kaki. Bagaikan kilat, tangan laki-laki tua itu bergerak cepat
menjambret kain yang menutupi kepala orang itu.
Bret!
"Auw...!"
Orang berbaju hitam itu terpekik kaget. Cepat tubuhnya berjumpalitan ke
belakang tiga kali. Penutup kepalanya telah terenggut, dan kini berada di
tangan Eyang Wanari. Kini wajah orang itu dapat jelas terlihat. Eyang Wanari
terperanjat begitu dapat melihat muka orang itu.
"Heh...! Kau...?"
Belum lagi hilang keterkejutannya, mendadak saja wanita berbaju hitam itu
sudah melontarkan satu pedangnya cepat bagai kilat. Eyang Wanari yang tengah
terpana, tidak dapat lagi berkelit. Dan....
Bles!
"Aaakh...!"
Pedang itu menancap tepat di dada yang kurus kerempeng tertutup jubah putih
panjang. Eyang Wanari menjerit melengking tinggi. Begitu dalamnya pedang itu
menembus dada Eyang Wanari, hingga ujungnya mencuat sampai ke punggung. Dan
sebelum Eyang Wanari menyadari apa yang terjadi, wanita berbaju hitam itu
sudah melompat cepat bagaikan kilat disertai teriakan keras menggetarkan
jantung.
"Hiyaaat...!"
Bet!
Cras!
Darah langsung muncrat keluar begitu satu pedang lagi dibabatkan ke leher
laki-laki tua pertapa itu. Eyang Wanari tidak dapat bersuara lagi. Hanya
sebentar dia mampu berdiri tegak. Dan begitu wanita berba-ju hitam itu
mencabut pedang yang tertanam dalam di dadanya, tubuh Eyang Wanari ambruk ke
tanah. Kepalanya terpisah dari leher. Darah seketika menyembur deras sekali
dari leher yang terpenggal buntung.
"Kau tidak akan mati kalau menuruti kata-kataku, Eyang Wanari," desis
wanita itu dingin.
Dibersihkannya darah yang melekat pada pedang, kemudian disimpannya kembali
di balik lipatan baju. Kepalanya langsung terdongak begitu mendengar
langkah-langkah kaki yang berlarian cepat menuju kearahnya. Tampak sekitar
dua puluh prajurit berlarian mengikuti Raden Prayoga menuju ke tempat
ini.
"Hup!"
Wanita berbaju hitam itu cepat melentingkan tubuh, meninggalkan mayat Eyang
Wanari yang terbujur tak bernyawa dengan kepala terpisah dari leher.
Bersamaan dengan lenyapnya bayangan tubuh hitam itu, Raden Prayoga dan
prajurit-prajurit yang mengikuti tiba. Mereka terkejut begitu melihat tubuh
Eyang Wanari terbujur kaku tak berkepala lagi.
"Eyang...!" pekik Raden Prayoga terkesiap.
***
Sementara itu, jauh di sebelah Timur Istana Balungan, seseorang berpakaian
serba hitam berlari mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang tinggi
tingkatannya. Begitu cepatnya berlari, seaakan kedua kakinya tidak menjejak
tanah sama sekali. Dia terus berlari cepat, menerobos hutan yang ada di
sebelah Timur perbatasan kota kerajaan ini. Sedikitpun kecepatan larinya
tidak dikurangi, meskipun sudah berada di dalam hutan yang cukup lebat dan
gelap. Pagi ini matahari memang belum menampakkan diri, meskipun kokok ayam
jantan dan kicauan burung sudah sejak tadi memanggilnya.
Setelah cukup jauh masuk ke dalam hutan, ayunan kakinya berhenti. Sebentar
kepalanya menoleh kebelakang, seakan-akan takut kalau ada yang membuntuti.
Kemudian pandangannya beredar ke sekeliling. Kakinya kembali terayun
beberapa tindak, mendekati semak belukar. Tangannya menyibakkan semak itu.
Tampak sebuah mulut gua yang cukup besar berada dibalik semak belukar
kering. Bergegas dimasukinya gua itu.
"Siapa itu...?" terdengar suara dari dalam gua.
"Aku," sahut orang berbaju serba hitam itu.
Gua ini tidak terlalu panjang, tapi cukup besar. Seonggok api unggun
terlihat menyala di bagian tengah, membuat gua ini terasa hangat dan terang.
Tampak di salah satu sudut, duduk seorang wanita yang juga mengenakan
pakaian hitam. Seluruh kulit tangan, kaki, dan wajahnya mengelupas, seperti
bekas terkena api. Juga terdapat benjolan-benjolan seperti bisul di
wajahnya. Dan di sudut lain, tampak seorang gadis tengah berbaring dengan
tangan terikat merentang. Di samping gadis itu berdiri seorang pemuda
berwajah cukup tampan. Bajunya indah dari bahan sutra halus berwarna biru
muda.
"Ibu...," ucap pemuda itu seraya bergegas menghampiri orang berbaju hitam
yang baru saja datang.
"Bagaimana dia?" tanya wanita berbaju serba hitam itu seraya. melirik gadis
yang terbaring dengan tangan terikat.
"Tadi menjerit-jerit. Terpaksa dia kuberi totokan," sahut pemuda itu.
"Dan kau, Anjar?" wanita berbaju hitam itu memandang gadis berwajah
buruk.
"Tidak ada masalah. Hanya saja mungkin wajahku tetap begini," sahut wanita
itu yang ternyata adalah Nini Anjar.
"Maaf, kau harus menanggung semuanya."
"Ah! Jangan berkata seperti itu, Gusti Permaisuri. Semua ini aku lakukan
demi membalas budi Gusti Permaisuri yang begitu besar. Gusti telah
menyelamatkan ayahku dari hukuman gantung, menjadi hukuman buang"
"Tapi aku belum bisa mendapat kabar tentang ayahmu yang menjalankan hukuman
buang.
"Tidak mengapa, Gusti. Aku sudah tidak memikirkannya lagi."
Wanita berbaju serba hitam yang ternyata memang Permaisuri Retna Nawangsih,
kembali mengalihkan pandangan pada pemuda tampan di depannya. Pemuda ini
tadi memanggil dirinya dengan sebutan ibu. Sebenarnya, Nini Anjar memang
orang suruhan Permaisuri Retna Nawangsih. Untuk melaksanakan niat permaisuri
itu, wanita berwajah buruk itu diharuskan menyebarkan kutukan kepada seluruh
rakyat. Itulah sebabnya, dia dihukum bakar oleh Prabu Wijaya. Namun, di luar
dugaan Nini Anjar bisa bebas, walaupun juga menderita luka bakar.
"Sebentar lagi kau akan jadi raja, Widura. Wajahmu mirip sekali dengan
Prayoga. Dan dengan sedikit perubahan saja, tidak ada seorang pun yang bisa
membedakan antara kau dan Prayoga," ujar Permaisuri Retna Nawangsih.
Pemuda yang dipanggil Widura itu hanya tersenyum saja. Dia memang mirip
sekali dengan Raden Prayoga. Hanya sedikit saja perbedaannya. Kalau Raden
Prayoga memiliki kumis tipis di atas bibirnya, Widura sama sekali tidak
mempunyai. Dan kalau dia memiliki kumis, tidak ada seorang pun yang bisa
membedakan antara pemuda ini dengan Prayoga.
"Kapan aku akan menduduki tahta, Bu?" tanya Widura.
"Sehari setelah penobatan Prayoga, kau akan menggantikannya. Dan untuk
selamanya kau akan menjadi raja di Balungan."
"Tapi, bukankah Prayoga juga anak Ibu...?'
"Kenapa kau selalu menanyakan hal itu, Widura? Prayoga bukanlah anakku.
Waktu aku mengandung dirimu, ada seorang selir yang juga mengandung. Dan
kami melahirkan dalam waktu berselisih satu hari saja. Mungkin karena
kehendak Yang Maha Kuasa, wajahmu begitu mirip Prayoga, Anakku."
"Tapi, kenapa Ibu harus melakukan semua ini. Juga kenapa aku diasingkan.
Bahkan Ibu mengangkat Prayoga sebagai anak?" kembali Widura meminta
penjelasan.
"Karena kau juga bukan putra Prabu Wijaya, Anakku. Seperti juga Prayoga
yang lahir dari selir. Dia juga bukan putra Prabu Wijaya. Kau tahu, Anakku.
Prabu Wijaya tidak akan mendapatkan keturunan. Dia mendapat kutukan dari
Dewata, karena telah membunuh anak seekor ular jelmaan Dewa. Seumur hidup,
dia tidak akan memiliki keturunan. Itulah sebabnya, kenapa aku mau melakukan
penyelewengan hingga kau lahir."
"Tapi, bukankah Ayahanda Prabu Wijaya tahu?"
"Memang benar. Dan aku terbebas dari hukuman setelah berjanji tidak akan
berbuat lagi. Maka aku terpaksa membunuh ayah kandungmu yang sebenarnya. Dia
adalah salah seorang pembesar istana. Hal ini kulakukan demi kau. Agar kau
bisa menjadi Raja Balungan. Sebab untuk menghindari hal hal yang tak
diinginkan, Prabu Wijaya menunjuk Prayoga menjadi putra mahkota. Di lain
hal, Prabu Wijaya memang sudah tidak kuat lagi menanggung malu karena tidak
memiliki keturunan.
Bahkan dia juga tidak melakukan tugasnya sebagai seorang suami. Itu pula
sebabnya, kenapa selir-selirnya selalu melakukan penyelewengan. Tapi mereka
yang merasa hamil, langsung bunuh diri sebelum dihukum mati Prabu Wijaya.
Hanya satu yang bisa hidup. Dan itu karena aku memintanya agar membiarkan
selir itu melahirkan Prayoga. Meskipun nantinya aku harus mengasingkan mu.
Karena anak selir itu, harus menggantikan mu sebagai anakku."
"Lalu, gadis itu...?"
"Empat tahun setelah kau dan Prayoga lahir, ada lagi seorang selir yang
hamil. Aku meminta pada Prabu Wijaya untuk mengasingkan saja selir itu.
Kemudian aku berpura-pura mengandung hingga selir itu melahirkan"
"Untuk apa Ibu melakukan hal itu?"
"Karena banyak orang yang tidak percaya kalau Prabu Wijaya bisa memiliki
keturunan. Apalagi semua pembesar kerajaan tahu, kalau Prabu Wijaya tidak
mungkin memiliki keturunan karena dikutuk Dewata. Dengan cara begini,
keraguan semua orang jadi terhapus. Sebagai ungkapan rasa terima kasih Prabu
Wijaya padaku, dia memperbolehkan aku merawat dan mengangkat Prayoga serta
Dian Lestari sebagai anak. Tanpa seorang pun yang mengetahuinya, kecuali
Eyang Wanari. Tapi dia sudah bersumpah untuk tidak membocorkan rahasia ini
pada siapa pun juga. Dan jika rahasia ini diceritakan pada orang lain, maka
dia dan orang itu harus mati."
"Tapi dia telah menceritakan semuanya pada Pendekar Pulau Neraka, Gusti
Permaisuri," selak Nini Anjar.
"Hm, dari mana kau tahu?" tanya Permaisuri Retna Nawangsih.
"Maaf, Gusti Permaisuri. Dalam beberapa hari ini aku sudah bisa ke luar.
Dan aku juga pernah bertemu pemuda itu. Bahkan sempat bertarung melawan
Eyang Wanari."
"Kenapa kau lakukan itu, Anjar?"
"Aku merasa harus membantumu, Gusti. Karena kudengar mereka mulai
mencurigaimu. Terutama sekali Eyang Wanari. Maafkan aku, Gusti. Semua ini
kulakukan demi membalas kebaikanmu. Aku banyak berhutang budi padamu. Bukan
saja kau menyelamatkan ayahku dari hukuman mati. Tapi juga merawat dan
membesarkan ku, setelah Prabu Wijaya membunuh ibuku dan menghanyutkannya ke
sungai. Aku pun rela menanggung derita setelah menyebarkan kutukan itu pada
rakyat"
"Ah! Sudahlah. Kau tidak perlu mengingat-ingat itu lagi. Biarkan Nyai
Legok, ibumu itu tenang. Dan setelah ini, jika kau mau, kau bisa mencari
ayahmu."
"Terima kasih, Gusti. Rasanya aku tidak ingin lagi bertemu ayahku."
"Kenapa? Karena sekarang wajahmu rusak?"
Nini Anjar tidak menjawab, dan hanya diam saja. Memang setelah Prabu Wijaya
menjatuhi hukuman bakar padanya, dia merasa tidak ada gunanya lagi bertemu
ayahnya kembali, yang kini berada di mana. Apalagi tubuhnya sempat terjilat
api. Untung saja Permaisuri Retna Nawangsih cepat menyelamatkannya, tanpa
sepengetahuan siapa pun.
"Jika kau ingin memulihkan wajahmu kembali, aku kenal seorang tabib yang
bisa mengembalikan kecantikanmu, Anjar," jelas Permaisuri Retna Nawangsih,
bisa merasakan apa yang kini tengah dirasakan gadis itu.
"Seperti aku. Wajahku bisa berubah menjadi apa saja. Bahkan aku sempat
mengecoh orang-orang istana dengan menyamar sebagai Nyai Legok. Dengan
begitu, mereka akan mengira kalau ibumu masih hidup. Jadi, tidak ada yang
memusatkan perhatian padamu, atau padaku."
"Terima kasih, Gusti Permaisuri," ucap Nini Anjar.
"Nah! Apa kau masih juga merasa tidak pantas mencari ayahmu?"
Nini Anjar hanya diam saja. Baginya, tidak mungkin bisa memulihkan keadaan
wajah dan kulit tubuhnya yang telah rusak begini, akibat terbakar.
"Pergilah ke Gunung Parungu. Temui Nyai Kempala, seorang ahli obat-obatan.
Aku pernah belajar beberapa ilmu pengobatan padanya. Aku yakin, kau akan
diterima baik dan bisa kembali seperti semula. Katakan saja kalau kau adalah
muridku. Dan dia pasti tahu," kata Permaisuri Retna Nawangsih memberi
tahu.
"Aku akan ke sana setelah Adi Widura naik tahta, Gusti," sahut Nini
Anjar.
"Terima kasih, Nini Anjar. Kau baik sekali," ucap Widura.
Nini Anjar hanya tersenyum saja.
"Sudah pagi. Kalian pasti belum tidur semalaman, tidurlah. Aku akan kembali
ke istana. Aku tidak ingin ada yang tahu, kalau aku keluar dari
kamar."
"Hati-hati, Ibu."
"Jaga Dian baik-baik. Jangan sampai dia terluka. Aku tidak ingin dia jadi
korban. Cukup sampai di situ saja pengorbanannya. Hm.... Maafkan aku, Dian.
Terpaksa aku harus mencari seseorang yang bisa kujadikan boneka hidup," kata
Permaisuri Retna Nawangsih.
"Akan kuperhatikan pesan Ibu," sahut Widura.
Permaisuri Retna Nawangsih tersenyum, kemudian memutar tubuhnya. Dia
langsung cepat melesat pergi. Widura juga bergegas mengikuti, dan merapikan
semak yang menutupi mulut gua ini. Dia segera kembali, lalu melirik Nini
Anjar yang sudah membaringkan tubuhnya, di atas selembar permadani cukup
tebal.
"Bangunkan aku tengah hari nanti, Widura," Nini Anjar berpesan.
"Kau akan keluar lagi?" tanya Widura.
"Aku penasaran pada pemuda itu."
"Pendekar Pulau Neraka...?"
"Benar. Aku ingin tahu, sejauh mana hubungannya dengan Raden
Prayoga."
"Mungkin juga hanya teman biasa saja."
"Aku merasa kalau dia bukan hanya sekadar teman. Tampaknya dia telah tahu
banyak, dan membahayakan kita semua."
"Jangan menduga terlalu jauh, Kak Anjar."
"Aku hampir saja mati olehnya di hutan ini. Untung saja kau cepat
menolongku, Widura. Aku yakin dia sudah tahu banyak. Aku akan menghentikan
segala pekerjaannya."
"Apa tidak sebaiknya dibicarakan dulu pada ibu? Widura memberikan
saran.
"Ibumu tidak akan mengizinkan. Biar semua ini aku tangani sendiri," Nini
Anjar menolak.
"Terserah kau sajalah, asal hati-hati. Tampaknya dia memiliki kepandaian
yang jauh lebih tinggi darimu. Aku sendiri mungkin tidak akan mampu
menghadapinya, meskipun ilmu meringankan tubuhku hampir setara dengan
ibu."
"Terima kasih. Kau tidak perlu khawatir tentang aku, Widura," ucap Nini
Anjar.
"Selama ini hanya kau yang kukenal. Tidak ada salahnya jika aku mencemaskan
mu, Kak."
Nini Anjar hanya tersenyum saja. Ada sedikit keharuan di hatinya mendengar
kata-kata pemuda ini. Dia menilai kalau sebenarnya Widura tidaklah seburuk
yang disangka orang. Dan pemuda ini pernah mengemukakan isi hatinya, kalau
sebenarnya tidak menyetujui tindakan ibunya. Tapi demi bakti terhadap orang
tua, dia tidak bisa menolak dan tetap akan membela ibunya. Apa pun yang akan
terjadi nanti.
"Tidur saja, Kak. Semalam aku sempat tidur."
Tapi Nini Anjar memang sudah tidur. Dengkurnya begitu halus dan lembut
sekali. Dia pasti lelah, karena semalaman tidak memejamkan mata sedikit pun.
Sedangkan Widura hanya duduk saja di dekat api unggun. Beberapa kali matanya
melirik Dian Lestari yang tampak tertidur lelap.
"Kau cantik sekali, Dian. Sayang, Ibu tidak mengizinkan aku terlalu dekat
denganmu," desah Widura.
***
DELAPAN
Permaisuri Retna Nawangsih terkejut ketika membuka pintu kamarnya. Ternyata
di dalam kamar sudah berkumpul Raden Prayoga, Pendeta Suratmaja, Patih
Laksana, Panglima Pangkar dan Pendekar Pulau Neraka, serta sepuluh orang
prajurit. Juga ada beberapa pembesar lainnya.
Sementara buat Panglima Pangkar sendiri, sudah bisa menghapus kecurigaan
Pendeta Suratmaja yang menyangka dirinya menyimpan rahasia dalam kemelut
ini. Ini dibuktikan di hadapan Raden Prayoga dan Pendekar Pulau Neraka.
Pembuktian itu berupa sumpah setia dengan ancaman hukuman bakar. Dan pada
kenyataannya, Panglima Pangkar selalu bersama-sama dengan Raden Prayoga.
Jadi, tak ada alasan bagi Pendeta Suratmaja mencurigai Panglima
Pangkar.
Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih lebih terkejut lagi, karena di
belakangnya kini sudah berdiri berjajar sekitar lima puluh orang prajurit
bersenjata tombak dan pedang terhunus.
"Prayoga! Ada apa ini? Kenapa mereka berkumpul semua di sini?" tanya
Permaisuri Retna Nawangsih.
"Maaf, Bu. Aku terpaksa menangkapmu," jelas Raden Prayoga perlahan. Nada
suaranya agak tertahan, dan matanya sedikit merembang berkaca-kaca.
"Menangkapku...? Kau jangan gila, Anakku. Aku ini ibumu. Kenapa kau ingin
menangkapku...?" agak keras suara Permaisuri Retna Nawangsih.
"Kenapa Ibu masih menyebutku anak?" Raden Prayoga balik bertanya.
"Prayoga...!" sentak Permaisuri Retna Nawangsih, langsung memerah
wajahnya.
"Dari mana Ibu sepagi ini?" tanya Raden Prayoga lagi. "Untuk apa kau
bertanya seperti itu?" sentak Permaisuri Retna Nawangsih, balik
bertanya.
Dipandanginya orang-orang yang berada di dalam kamarnya. Dia mulai merasa
kalau segala apa yang telah dilakukannya, pasti sudah terbongkar. Tatapan
matanya langsung tertuju pada Pendekar Pulau Neraka yang berdiri di samping
Raden Prayoga. Sorot mata penuh kebencian tersirat jelas saat menatap pemuda
berbaju kulit harimau itu. Permaisuri Retna Nawangsih yakin kalau Pendekar
Pulau Nerakalah yang telah membongkar semua kepalsuan dan keinginannya untuk
menguasai Kerajaan Balungan secara penuh.
"Keluar kalian semua!" bentak Permaisuri Retna Nawangsih.
Namun tidak ada seorang pun yang beranjak. Permaisuri Retna Nawangsih mulai
mengepalkan tangannya. Disadari kalau tidak mungkin lagi bisa berdalih. Dan
pasti mereka semua telah menunggunya kembali dari hutan.
"Mereka pasti sudah tahu kalau aku yang membunuh Eyang Wanari," gumam
Permaisuri Retna Nawangsih dalam hati. "Ini pasti perbuatan anak muda
keparat itu...!"
Kembali Permaisuri Retna Nawangsih menatap tajam Pendekar Pulau Neraka.
Sedangkan yang ditatap, membalas tidak kalah tajam.
"Kenapa ini harus terjadi, Bu? Apakah Ibu tidak sadar, kalau niat buruk
pasti akan ketahuan juga...?" terdengar jelas kalau suara Raden Prayoga
semakin tersendat.
"Membalas kematian adikku!" sahut Permaisuri Retna Nawangsih tegas.
Dia merasa tidak ada gunanya lagi menutup-nutupi. Dan ini memang sudah
diperkirakan sejak semula. Tapi sama sekali tidak disangka kalau akan
terbongkar begitu cepat, sebelum maksud utamanya menguasai seluruh wilayah
Kerajaan Balungan terlaksana. Di samping itu, dia ingin menempatkan putranya
sebagai raja di kerajaan ini.
"Prabu Wijaya telah membunuh adikku yang bernama Nyai Legok. Dan aku sudah
bersumpah untuk, membalas dendam. Nah! Kau sudah puas, Prayoga...?" tetap
lantang suara Permaisuri Retna Nawangsih.
Semua orang yang berada di ruangan itu terkejut mendengar pengakuan
Permaisuri Retna Nawangsih. Mereka tidak menyangka sama sekali kalau wanita
ini adalah kakak Nyai Legok, seorang penari yang diangkat selir oleh Prabu
Wijaya. Tapi Nyai Legok melakukan penyelewengan, sehingga Prabu Wijaya
sendiri yang memberikan hukuman mati. Lalu, panglimanya diperintahkan
membuangnya ke sungai. Selama itu memang tidak ada yang tahu tentang
asal-usul Nyai Legok. Bahkan tidak ada yang tahu kalau penari yang diangkat
selir itu sudah mempunyai anak, yaitu Nini Anjar.
"Maaf, Bu. Aku harus menangkapmu. Dan sebaiknya ibu jangan melakukan
perlawanan, agar hukumannya lebih ringan," kata Raden Prayoga, dengan
perasaan berat.
"Ha ha ha?! Tidak semudah itu menangkapku, Prayoga!"
Selesai berkata demikian, Permaisuri Retna Nawangsih seketika bergerak
cepat. Tubuhnya diputar sambil mencabut pedang kembarnya yang tersembunyi di
balik lipatan baju. Wanita separuh baya ini sudah berganti baju, tidak lagi
mengenakan pakaian hitam-nya.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Begitu cepat gerakan yang dilakukan Permaisuri Retna Nawangsih, sehingga
tidak ada seorang pun yang sempat menyadari. Dan tahu-tahu terdengar
jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul ambruknya beberapa
prajurit di belakang perempuan separuh baya itu. Dan sebelum ada yang sempat
berbuat sesuatu, perempuan separuh baya itu sudah melompat cepat keluar dari
kamar ini.
Hihaaa....'"
Brak!
Jendela kamar seketika hancur berantakan diterjang Permaisuri Retna
Nawangsih. Di saat tubuh perempuan separuh baya itu melesat dengan menerobos
jendela, saat itu juga Bayu melesat cepat mengejar, Gerakan Pendekar Pulau
Neraka demikian cepat sehingga tidak ada seorang pun yang
mengetahuinya.
"Kenapa kalian diam saja...? Kejar...!" teriak Panglima Pangkar, yang lebih
dahulu tersadar yang lainnya. Mereka semua tersentak kaget mendengar
bentakan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung berlompatan
menerobos jendela yang sudah hancur untuk mengejar Permaisuri Retna
Nawangsih.
"Bayu.... Heh! Di mana Bayu...? Kalian melihatnya...?" Raden Prayoga
tersentak bangun dari keterpanaannya, sehingga langsung menanyakan Pendekar
Pulau Neraka. Lima orang prajurit dan seorang panglima yang masih tinggal
menemani, tidak ada yang menjawab. Mereka juga baru tersadar, kalau Pendekar
Pulau Neraka tidak ada lagi di ruangan besar dan megah ini.
"Ke mana yang lainnya...?" tanya Raden Prayoga lagi. Dia seperti orang
kebingungan saja.
"Mengejar Gusti Permaisuri, Raden. Dan kami harus menjaga keselamatan Raden
di sini," sahut panglima yang sudah berusia sekitar empat puluh tahun
lebih.
"Ke mana perginya?"
"Ke arah Timur."
Raden Prayoga tidak bertanya lagi. Sejenak ditatapnya jendela yang jebol
berantakan. Tanpa berkata apa pun lagi, pemuda yang senang mengenakan baju
warna putih itu melesat cepat menerobos jendela kamar ini. Lima orang
prajurit dan seorang panglima yang berada di dalam kamar ini bergegas
berlompatan mengikuti Raden Prayoga. Sebentar saja, kamar itu sudah sepi.
Tak terlihat seorang pun, selain dua orang prajurit penjaga pintu kamar
ini.
***
Sementara itu Permaisuri Retna Nawangsih sudah jauh meninggalkan Istana
Balungan. Dia terus menuju ke arah Timur wilayah Kerajaan Balungan ini.
Beberapa kali kepalanya menoleh ke belakang. Tampak beberapa orang berlari
cepat mengejarnya. Jarak mereka memang terlalu jauh.
"Hiyaaa.,.!"
Permaisuri itu melompat indah begitu sampai dihutan tempat persembunyiannya
selama ini. Tubuhnya langsung lenyap ditelan lebatnya pepohonan. Wanita
separuh baya itu berlompatan dari satu pohon ke pohon lain. Dia sengaja
tidak berlari untuk menghi-langkan jejak dari para pengejarnya.
"Hup....'"
Permaisuri Retna Nawangsih meluruk turun sampai di sebuah tempat yang penuh
semak kering. Tempat ini agak sedikit lapang, dan pepohonan juga tidak
begitu rapat. Sebentar kepalanya menoleh ke kenan dan ke kiri, lalu kakinya
terayun menuju sebuah gerumbul semak kering tepat di depannya. Ayunan
kakinya begitu cepat, dan tampak kalau amat tergesa-gesa sekali.
Srek!
"Cukup nyaman juga tempat ini...."
"Heh...?!"
Permaisuri Retna Nawangsih terkejut bukan main begitu menyibakkan semak,
terdengar suara dari arah belakangnya. Cepat tubuhnya berputar. Kedua bola
matanya semakin terbeliak begitu melihat Pendekar Pulau Neraka tahu-tahu
sudah berada di tempat ini. Bisa saja tadi pagi aku menangkapmu. Tapi aku
ingin pihak kerajaan sendiri yang menangkapmu, Permaisuri Retna Nawangsih,"
kata Bayu, terdengar sinis nada suaranya.
"Phuih! Kau pikir begitu mudah menangkapku Pendekar Pulau Neraka...?" desis
Permaisuri Retna Nawangsih geram.
"Semudah membalikkan telapak tangan."
"Setan..! Hiyaaa...!"
Permaisuri Retna Nawangsih tidak bisa lagi mengendalikan kemarahannya. Kini
benar-benar jelas. Ternyata Pendekar Pulau Neraka menguntitnya tadi pagi
hingga sampai ke tempat ini. Dan sekarang pemuda berbaju kulit harimau itu
sudah menunggu disini. Hal itu membuat kemarahannya semakin bertambah.
Langsung diserangnya Pendekar Pulau Neraka itu dengan jurus-jurus pedang
yang ampuh, dan dahsyat luar biasa.
"Hup! Yeaaah...!"
Kali ini Permaisuri Retna Nawangsih benar benar tidak lagi memberi
kesempatan bagi Bayu. Pendekar Pulau Neraka itu terus dicecarnya, tanpa
memberi sedikit pun kesempatan untuk mengambil napas. Sepasang pedang tipis
kecil di tangan perempuan separuh baya itu berkelebatan cepat. Begitu
cepatnya, sehingga hanya kilatan sinar keperakan saja yang terlihat
mengurung tubuh Pendekar Pulau Neraka.
Pertarungan itu berjalan semakin sengit, karena Permaisuri Retna Nawangsih
langsung mengerahkan jurus-jurus mautnya. Akibatnya Pendekar Pulau Neraka
agak kewalahan menghadapinya. Beberapa kali pedang lawan hampir bersarang di
tubuhnya, namun pemuda berbaju kulit harimau itu masih mampu mengelakkannya.
Bahkan mampu pula memberi serangan balasan yang tidak kalah dahsyat. Dan
beberapa kali pula Bayu terpaksa menangkis tebasan pedang itu dengan Cakra
Maut yang berada dipergelangan tangan kanannya.
Setiap kali senjata beradu keras, selalu menimbulkan percikan bunga api
disertai ledakan keras menggelegar, dentingan dua logam beradu. Suara ribut
pertarungan itu membuat Widura dan Nini Anjar yang berada di dalam gua yang
tertutup semak belukar keluar dari persembunyiannya. Mereka terkejut bukan
main melihat Permaisuri Retna Nawangsih tengah bertarung. Dan pada saat itu,
Permaisuri Retna Nawangsih mulai kewalahan menerima serangan-serangan yang
dilancarkan Pendekar Pulau Neraka.
"Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu berteriak nyaring melengking tinggi. Dan seketika itu
juga, tubuhnya meliuk ke kanan. Lalu dengan tubuh agak berputar sedikit,
Pendekar Pulau Neraka memberi satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam
penuh. Serangan yang dilakukan Bayu begitu cepat bagaikan kilat. Sehingga,
Permaisuri Retna Nawangsih tidak dapat lagi menghindar, karena baru saja
menghindari satu tendangan pancin-gan yang dilakukan Pendekar Pulau
Neraka.
Des!
"Akh...!" Permaisuri Retna Nawangsih terpekik keras agak tertahan.
Pukulan yang dilepaskan Bayu tepat menghantam dada perempuan separuh baya
itu, hingga terlempar sejauh tiga batang tombak ke belakang.
"Ibu...!" seru Widura terperanjat.
Sebentar pemuda itu memandang Permaisuri Retna Nawangsih, lalu mendesis
menatap Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat! Kau sakiti ibuku...! Hiyaaat..!
"Widura, jangan...!" teriak Permaisuri Retna Nawangsih.
Namun Widura sudah keburu melompat menerjang Pendekar Pulau Neraka.
Pedangnya langsung dicabut, dan ditebaskan ke arah leher Bayu. Namun manis
sekali Pendekar Pulau Neraka menarik kepala ke belakang, sehingga tebasan
pedang Widura hanya lewat sedikit di depan tenggorokannya. Sebelum Widura
bisa menarik pulang pedangnya, Bayu sudah memberi satu sodokan keras ke arah
perut. Widura terperanjat. Sungguh tidak disangka kalau Bayu bisa melakukan
serangan cepat di saat tengah menghindari satu serangan.
Begkh!
"Hegk...!"
Widura mengeluh pendek. Sodokan tangan kiri Bayu tepat mendarat di perut
Widura, sehingga membuat pemuda itu terbungkuk. Dan pada saat itu, Bayu
cepat melontarkan satu pukulan keras ke wajah pemuda itu. Tak pelak lagi,
Widura meraung keras begitu pukulan yang dilepaskan Bayu menghantam
wajahnya.
"Hiyaaa...!"
Bayu tidak tanggung-tanggung lagi. Langsung memberikannya satu tendangan
keras menggeledek ke tubuh Widura. Akibatnya pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahunan itu deras sekali terpental jauh belakang, diiringi
jeritan panjang melengking tinggi.
"Hiyaaat..!"
Belum lagi bisa menarik napas lega, Nini Anjar sudah melompat menyerang
cepat bagai kilat. Pada saat yang sama, Permaisuri Retna Nawangsih yang
sudah bisa bangkit juga kembali menerjang Pendekar Pulau Neraka. Kali ini
Bayu harus menghadapi dua serangan sekaligus. Namun dua orang wanita itu
memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap enteng.
Hal ini terbukti dari serangan-serangan yang datang, sehingga membuat Bayu
benar benar kewalahan dibuatnya. Pada saat Bayu benar-benar kewalahan,
datang para panglima, patih, dan prajurit Balungan yang tadi mengejar
Permaisuri Retna Nawangsih. Kedatangan mereka membuat kedua wanita yang
tengah menyerang itu menjadi terkejut. Bahkan kini serangan-serangan mereka
tidak terkendali lagi. Kesempatan itu dimanfaatkan Bayu untuk balas memberi
serangan.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Cepat tubuh Bayu melenting ke udara. Dan secepat itu pula, Pendekar Pulau
Neraka meluruk deras sambil melontarkan beberapa pukulan beruntun yang
disertai pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Nini Anjar berhasil
menghindari serangan yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka dengan
memiringkan tubuh ke kanan. Tapi Permaisuri Retna Nawangsih terlambat
bertindak. Sehingga satu pukulan keras yang dilancarkan Pendekar Pulau
Neraka bersarang didadanya.
Begkh!
"Akh...!"
Permaisuri Retna Nawangsih menjerit kencang. Perempuan setengah baya itu
kembali terlontar deras ke belakang. Pada saat itu, Panglima Pangkar
melompat cepat meluruk ke arah Permaisuri Retna Nawangsih yang tengah
bergulingan di tanah. Tapi sebelum pedangnya sempat dihunjamkan ke tubuh
perempuan separuh baya itu, Widura sudah lebih dahulu melompat. Pedangnya
langsung dibabatkan ke pedang Panglima Pangkar.
Trang!
"Hup!"
Panglima Pangkar cepat melompat ke belakang dua tindak. Belum lagi panglima
itu melakukan sesuatu, dua puluh prajurit ditambah tiga panglima lain serta
dua orang patih, sudah meluruk menyerang Widura. Sedangkan yang lainnya
langsung meluruk ke arah Permaisuri Retna Nawangsih yang sudah mampu berdiri
kembali.
"Kalian selamatkan Dian di dalam gua...!" teriak Bayu lantang. Pendeta
Suratmaja dan Patih Laksana yang dengar teriakan Bayu, bergegas masuk ke
dalam gua, Sementara Bayu terus menghadapi Nini Anjar. Namun gadis itu
kelihatan mulai goyah setelah melihat sekelilingnya sudah terkepung puluhan
prajurit bersenjata lengkap.
"Aaa...!" terdengar jeritan panjang melengking" tinggi dan menyayat.
"Ibu...!" teriak Widura begitu melihat ibunya terkapar bersimbah
darah.
Sebatang pedang seorang panglima, telah menghunjam dalam di dada Permaisuri
Retna Nawangsih. Jeritan Widura ternyata membuat Nini Anjar lengah. Gadis
itu tidak bisa menghindar lagi ketika Pendekar Pulau Neraka memberi satu
pukulan keras bertenaga dalam penuh ke dadanya.
Dieghk!
"Aaakh...!" Nini Anjar menjerit.
"Hiyaaa...!"
Di saat tubuh Nini Anjar terpental ke belakang, Bayu cepat menghentakkan
tangan kanannya. Seketika itu juga Cakra Maut yang menempel di pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu meluncur deras. Dan....
Crab!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang mengiringi kematian Nini Anjar begitu dadanya
tertembus Cakra Maut. Bayu menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala.
Maka Cakra Maut kembali melesat balik dan menempel dipergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka. Begitu Cakra Maut terlepas, darah langsung muncrat
dari dada Nini Anjar.
"Hiyaaa...!"
Bayu langsung melompat ke arah Widura. Sempat disambarnya pedang salah
seorang prajurit. Satu tendangan dilepaskan Pendekar Pulau Neraka itu.
Widura yang tengah terguncang perasaannya akibat kematian ibunya di tangan
salah seorang panglima, tak dapat lagi menghindari tendangan Bayu.
Degkh!
"Akh...!"
Tendangan Pendekar Pulau Neraka tepat menghantam dada Widura, hingga
terpental ke belakang. Bayu cepat memburu. Ditempelkannya ujung pedang ke
leher Widura, sehingga tidak mampu berkutik lagi. Dua orang prajurit
bergegas mendekat langsung meringkus pemuda itu. Widura benar-benar tak
berdaya lagi. Dia hanya bisa memandang lesu mayat ibunya yang tergeletak
dengan pedang menembus dada. Tepat di saat Pendeta Suratmaja dan Patih
Laksana membawa keluar Dian Lestari, Raden Prayoga, seorang panglima dan
prajurit pengawalnya sampai di tempat ini. Raden Prayoga bergegas
menghampiri gadis yang kelihatan lemah dan pucat itu.
"Oh! Syukurlah kau selamat, Rayi...," ujar Raden Prayoga.
Dian Lestari hanya tersenyum tipis dan lemah sekali. Pendeta Suratmaja
tetap memapahnya agar bisa berdiri. Raden Prayoga memandangi mayat
Permaisuri Retna Nawangsih dan mayat Nini Anjar. Kemudian, pandangannya
beralih pada Widura. Dia agak terkejut melihat wajah Widura mirip
dengannya.
"Siapa dia?" tanya Raden Prayoga.
"Namanya Widura. Anak kandung Gusti Permaisuri Retna Nawangsih," sahut
Patih Laksana.
"Ooo.... Jadi dia ini yang akan dijadikan raja?" terdengar sinis nada suara
Raden Prayoga. "Bawa dia pergi, dan masukkan ke penjara!"
Widura digiring dengan tangan terikat tambang. Raden Prayoga kemudian
menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Ditepuk-tepuknya pundak Bayu dengan
hangat, kemudian dipeluknya bagai seorang saudara.
Sementara Bayu membiarkan saja.
"Terima kasih. Tanpa mu, mungkin saat ini aku sudah mati," ucap Raden
Prayoga.
"Ah! Ini semua berkat kesigapan mereka juga, Raden," Bayu merendah.
"Mari. Kau jadi tamu kehormatanku di istana. Kau tidak ingin menolaknya,
kan...?"
Bayu tidak mungkin lagi menolak, karena tawaran Raden Prayoga bernada
memaksa. Raden Prayoga tersenyum senang melihat Bayu mengangguk. Setelah
memerintahkan beberapa prajurit untuk menguburkan mayat Permaisuri Retna
Nawangsih dan Nini Anjar, kemudian Bayu dan Dian diajak untuk kembali ke
istana.
"Bayu, apakah aku pantas menduduki tahta?" tanya Raden Prayoga
berbisik.
"Tentu saja, Raden. Bagaimanapun juga, kau putra Prabu Wijaya," sahut
Bayu.
"Tapi aku anak selir yang menyeleweng."
"Tidak ada yang tahu, Raden. Dan rahasia ini akan terbawa bersama
kepergianku."
"Kau akan meninggalkan Balungan?"
Bayu mengangguk pasti. Raden Prayoga hanya mengangkat bahunya saja.
Pendekar Pulau Neraka tidak mungkin ditahan untuk tetap tinggal di Istana
Balungan. Dia tahu, seorang pendekar kelana tidak akan bisa menetap pada
satu tempat.
"Kuharap kau sudi berkunjung suatu saat, Bayu," pinta Raden Prayoga penuh
harap.
"Akan ku usahakan, Raden."
"Aku akan mengangkat saudara padamu. Dan itu akan ku umumkan pada hari
penobatan ku nanti. Untuk itu, Kau harus tetap berada di istana sampai pada
hari penobatan. Setelah itu, aku tidak bisa lagi menahan jika memang
pengembaraanmu hendak kau lanjutkan. Hanya itu yang kuminta, Bayu. Sebagai
rasa terima kasihku padamu."
Bayu diam saja. Pendekar Pulau Neraka tidak bisa cepat memutuskan
permintaan Raden Prayoga. Dan sebenarnya dia ingin terus melanjutkan
pengembaraannya. Namun hati kecilnya tidak ingin membuat Raden Prayoga
kecewa.
"Akan ku pikirkan dulu, Raden," ujar Bayu.
"Ya. Aku juga tidak memaksamu"
Bayu hanya tersenyum saja. Sementara mereka terus berjalan menuju Kotaraja
Balungan. Sepanjang perjalanan mereka, matahari ikut mengiringi. Mendung
telah terhapus dari langit Balungan. Seluruh rakyat bisa bernapas lega. Dan
mereka tinggal menunggu saat penobatan raja baru mereka yang sempat
gagal.
TAMAT
Episode Selanjutnya:
Emoticon