SAPTA SIAGA adalah perkumpulan detektif cilik.
Anggota anggotanya Peter, Janet, Pam, Colin,
Kalau SAPTA SIAGA berkumpul, selalu ada saja
petualangan seru yang mereka alami.
SAPTA SIAGA ingin melacak jejak pencuri kalung
mutiara Lady Lucy Thomas. Sayang petunjuk yang
ada hanya sedikit... dan membingungkan! Jejak
bundar di pekarang Milt'on Manor, sehela benang biru
dengan benang merah halus terjalin di dalamnya dan
sebuah peci butut.
Buku Ini mengisahkan petualangan mereka yang
kedua.
SAPTA SIAGA : RAHASIA JEJAK BUNDAR
I
Rapat Sapta Siaga
SERIKAT SAPTA SIAGA akan mengadakan rapat
mingguannya Tempatnya seperti biasa daiam sebuah gu
dang tua yang terletak di belakang kebun rumah Peter dan
Janet. Di pintu gudang itu nampak huruf-huruf S S dtulis
dengan cat hijau.
Peter dan Janet sudah menunggu di situ Janet sedang
sibuk memeras jeruk dan menuangkannya ke dalam se-
buah kendi, la membuat limun untuk dihidangkan daiam
apat nanti Kecuali itu ia juga menyediakan kue-kue dan
sepotong bskuit
Biskuit disediakan khusus untuk Skippy anjing spanil
mereka yang berbulu kuning keemasan Mata Skippy tak
lepas memandang piring yang berisi kue kue. Seolah-olah
anjing itu khawatir, kalau-kalau biskuitnya terbang dan
menghilang!
'Nah. itu teman-teman datang'" ujar Peter yang sedari
tadi memandang terus ke luar jendela Betul, itu mereka:
Colin,George. Barbara. Pam dan Jack Ditambah dengan
kita berdua, lengkaplah Sapta Siaga."
Skippy menggonggong, karena merasa disisihkan
"Sayang, kau bukan anggota. Skip." ujar Peter. "Kau ini
cuma ikut-ikutan saja. Tapi kau anjing yang manis!"
Tok-tok-tok ! Pinitu diketuk dan luar
"Sebutkan dulu kata semboyan kita! seru Peter la tak
pernah mau membukakan pintu sebelum teman yang ber-
ada di luar menyebut kata pengenal perkumpulan mereka.
"Kelinci" sahut Colin. Sesudah itu barulah pintu dibuka
kan oleh Pete» Kei ma anggota yang datang masuk bertu-
rut-turut. tentunya sesudah menyebutkan kata semboyan
"Kelinci". Itulah kata semboyan Sapta Siaga yang paling
baru. Mereka selalu menggantinya setiap mtnggu untuk
berjaga aga apabi a ada orang lain yang kebetulan
mendengarnya.
Ketika para anggota sudah duduk semua. Peter
memperhatikan mereka dengan saksama "Kenapa kau tak
memaka lencana. Jack?" tanyanya.
Aduh, maaf," ujar Jack dengan agak gelisah, len-
canaku hilang. Pasti Susi lagi yang mengambil. Padahal
sudah kusembunyikan dalam laci. Tapi sewaktu kucari ta
di pagi, tahu-tahu lencana itu sudah tidak ada lagi Ka-
dang-kadang kelakuan si Susi mejengke kan sekali.
Susi adalah adik Jack Anak perempuan itu ingin sekali
menjadi anggota Sapta Siaga, tapi tenitu saja keingin
annya itu tak mungkin terkabulkan. Berulang-ulang Jack
menerangkan dengan sabar bahwa Serikat Sapta Siaga
sudah beranggotakan tujuh orang. Mengingat Sapta ber
arti tujuh, maka tak mungkin mereka menerima anggota
baru.
"Memang, adikmu itu sangat bandeli " ujar Peter. "Kau
harus berusaha untuk mendapat lencanamu kembali, Jack.
Lain kali jangan kausembunyikan lagi dalam laci atau di
tempat-tempat lain, melainkan sebaiknya kausamarkan
saja ke baju tidurmu. Pokok ya lencanamu harus selalu
kaupakai, agar jangan sampai jatuh lagi ke tangan Susi."
"Baiklah ’ jawab Jack la memandang berkeliling. Ter-
nyata semua anggota lainnya mengenakan lencana ma-
sing-masing, sebuah kenop kecil yang dihiasi dengan dua
buah huruf: S.S Kejengkelan Jack terhadap Susi semakin
bertambah.
Nah. bagaimana — ada laporan tentang kejadian yang
menarik?" tanya Peter sambil membagi-bagikan kue pada
teman teman Skippy juga tidak dilupakan olehnya.
Dengan sigap anjing itu menyambar biskuit yang dilem-
parkan ke arahnya. Tak lama kemudian semua sudah sibuk
mengunyah kue masing-masing.
Tapi tak seorang pun membawa laporan yang menarik.
Barbara memandang Peter
"Sudah empat minggu tak ada laporan yang menarik."
ujarnya dengan kesa "Bosan rasanya kalau begini terus
menerus. Untuk apa kita mengadakan Serikat Rahasia,
apabila kita tidak berbuat apa-apa. Seharusnya kita ini
sibuk membongkar rahasa. atau mengalami sesuatu hal
yang mengasyikkan! Suaitu petualangan!
"Kaukira gampang saja mengetahui suatu penstwa
ahasia atau menemukan petualangan," balas Peter
dengan serta merta.
Janet menuangkan limun ke dalam gelas-gelas yang
sudah tersedia Aku juga ingin mengalami kejadian yang
mengasyikkan ” ujarnya "Bagaimana kalau kita sendiri
saja yang membuat kejad an yang seru, supaya jangan me-
rasa hosan?"
"Apa maksudmu?" tanya Colin. Tiba tiba mukanya
menggerenyit. Wah, limun ini asam sekali rasanya!"
"Sin>. ku tambahi gula sedikit." jawab Janet. "Maksudku
tadi, bagaimana kalau kita bermain menjadi orang Indian
dan berlatih membuntuti orang tanpa diketahui Aku dan
Peter mempunyai pakaian Indian. Bagus sekal pakaian
tu.
Ketujuh anggota Sapta Siaga sibuk membicarakan ga-
gasan itu Ternyata mereka semua memiliki pakaian In-
diaan, kecuali Colin.
"Aku tahu akal." ujar George. ' Kita mengenakan pa
kaian Indian, lalu pergi beramai-ramai ke Hutan Semak.
Sesampai di sana kita membentuk dua kelompok Ma-
sing-masing kelompok bersiap di tepi hutan, lalu kita
berlomba siapa yang lebih dulu berhasi mencan jejak Colin
dan menangkapnya. Colin kita jadikan musuh. karena
hanya dia sendiri yang tak mengenakan pakaian Indian.
Wah pasti akan asyik permainan tu!" Mata George ber
sinar sinar.
Ah tidak mau!" tukas Colin memprotes. "Aku tak mau
dikejar-kejar oleh kaiian berenam, untuk kemudian diser-
gap.
"Kita kan cuma main main saja!" balas Janet. "Tool
benar kau ini —"
"Ssst — dengar! Ada orang datang ujar Peter memo
tong pertengkaran tu. Betullah, di luar terdengar bunyi
langkah orang menghampiri gudang Kemudian pintu dige-
dor dengan keras, sehingga ketujuh anak yang duduk di
daiam gudang melonjak dari tempat duduk mereka karena
terkejut.
Kata semboyan!" seru Peter Rupanya ia begitu terke-
jut sehingga tak ingat bahwa semua anggota Sapta Siaga
sudah hadir. Jadi tak mungkin datang jawaban yang tepat
dari luar. Tapi apa yang terjad ?
"Kelinci!" terdengar jawaban dari luar.
"Iitu Susi!" seru Jack dengan marah Seketika itu juga ia
lari ke pintu dan membukanya dengan cepat. Benarlah!
Susi berdiri di depan pintu. Adik Jack yang bandel itu
mengenakan lencana S.S. di bajunya.
"Aku anggota!" seru anak perempuan itu Aku menge-
tahui kata semboyan kalian, dan aku juga memakas len-
cana!"
Anak-anak yang di dalam gudang berlompatan bangkit
dengan marah. Melihat gelagat yang tidak baik itu Susi la-
ri sambil tertawa cekikikan. Muka Jack merah padam ka-
rena marahnya.
"Kukejar dia ” tukasnya. "Sekarang kita harus pula
memikirkan kata semboyan yang baru, karena yang lama
sudah ketahuan oleh Susi!"
"Kita pakai kata semboyan 'Indian'!" seru Peter pada
Jack yang sudah lari mengejar adiknya. "Kita berkumpul
lagi pukul setengah tiga nanti !"
II
Indian-Indianan
PUKUL setengah tiga siang, semua anggota Sapta Sia-
ga sudah siap berkumpul di gudang. Jack yang paling dulu
datang. Di dadanya sudah terpasang lagi lencana perkum-
pulan yang berhasil direbutnya kemba dan Susi.
"Awas! Nanti aku datang lagi menggedor pintu, dan
meneriakkan semboyan kaitan keras-keras." ujar adiknya
itu menantang, sewaktu Jack berhasil mengejar dan
mengambil lencananya kembali,
'Ah. percuma saja," balas Jack tak peduli 'Kami sudah
menggantinya dengan semboyan lain "
Karena itu sewaktu hendak memasuki gudang, anak-
anak menyebutkan semboyan dengan hati-hati. Mereka
khawatir, jangan jangan Susi sudah memasang kuping la-
gi sambil bersembunyi.
"Indian!"
"Indian!" begtulah bisik mereka berturut-turut, sampai
lengkap ketujuh anggota berada dalam godang. Semua
membawa pakaian Indian, lengkap dengan penghias
kepala yang terbuat dar bulu ayam. Hanya Colin saja yang
datang dengan tangan kosong, karena dia tidak mempu-
nya pakaian Indian. Tak lama kemudian enam anggota
Sapta Siaga sudah menjelma menjadi perajurit-perajurit
Indian.
"Sekarang kita berangkat ke Hutan Semak ujar Peter
sambil menandak-nandak seperti seorang Indian yang se-
dang melakukan tari perang. Diacung-acungkannya kapak
Perangnya. Seram sekali kelihatannya! Untung saja kapak
itu terbuat dari kayu.
"Aku sekelompok dengan Janet dan Jack," kata Peter
lagi. "George, kau bertiga dengan Barbara dan Pam, Kita
berlomba mencari dan kemudian menawan Colin."
"Tapi aku tak mau kalau diikatkan ke pohon, lalu dija
dikan sasaran panah kalian,” tuntut Colin dengan tegas
"Mungkin untuk kalian mengasyikkan, tapi aku tak mau!
Mengerti?"
Kecuali Colin, semua mengecat muka mereka coreng-
moreng dengan cat air. Jack menggenggam sebuah pisau
karet, yang berulang kali pura-pura hendak dtusukkannya
ke arah Skippy. Wah, mereka benar-benar kelihatan seperti
sepasukan Indian yang perkasa!
Mereka be jalan menuju ke Hutan Semak. Tempat Iitu
merupakan sebuah hutan kecil, penuh semak belukar.
Letaknya kurang lebih setengah mil dari rumah Pete dan
Janet, di seberang ladang. Di tepi hutan itu ada sebuah
rumah besar yang dikelilingi dengan pagar tembok yang
tinggi. Pemiliknya seo ang bangsawan.Seperti kebiasaan-
nya dengan rumah-rumah bangsawan, gedung besar itu
juga bernama, yaitu Milton Manor.
' Nah. sekarang kita mulai bermain," ujar Peter ketika
mereka sudah sampa di Hutan Semak. "Kami bertiga mu
lai dari tepi sebelah sini George. kau bersama kelompok-
mu bergerak dari ujung hutan sebelah sana. Sedang Colin
mulai dari tengah-tengah. Kita menghtung dulu sampai
seratus, sambil menutup mata. Sementara itu Colin
bersembunyi. Kalau htungan sudah sampai seratus, ba-
rulah kita mulai mencari dia."
Tapi kalau aku melihat salah seorang di antara kalian
lalu kupanggil namanya, maka dia harus menunjukkan
diri " balas Colin. "Karena berhasil kulihat, artinya d
ia mati dan tak boleh ikut mencari lagi"
"Dan kalau ada di antara kami yang berhasil menyeli-
nap dan kemudian menyergap tanpa berhasil kaulihat le-
bih dulu, maka kau menjadi tawanannya." kata Peter.
"Wah, pasti akan asyik permainan kita ini! Hutan Semak
memang sangat cocok untuk permainan begini!"
Memang benar katanya tu. Semak belukar memenuhi
tempat d! seta-se a pohon besar dan kecil Di sana sini
tumbuh rumput t nggi Banyak sekal tempat yang baik un-
tuk dijadikan persembunyian.
Kedua kelompok yang bermain sebagai Indian berpisah,
dan menuju ke tempat masing-masing di tepi hutan. Tepi
yang satu dibatasi dengan pagar sedang tembok peka-
rangan Milton Manor menjulang tinggidi tepi yang lain
Hebat sekal Colin. ka au a sampai berhasl sampai ke
salah satu tempat itu tanpa tertangkap terlebih dulu !
Colin berdiri di tengah hutan. DItunggunya sampaI ka-
wan kawannya mulai menghtung sampai seratus dengan
mata tertutup Beg itu ia melihat Peter melambaikan sapu
tangan sebagai tanda bahwa para pengejar sudah mulai
menghtung, dengan segera Colin lari menuju ke sebatang
pohon. Dengan cepat ia memanjat sampai ke tengah daun-
daun yang rimbun lalu duduk di atas sebuah dahan yang
besar. Colin tertawa meringis
"Sekarang mereka boleh menyelinap ke sana ke mari.
Past aku takkan berhasl mereka temukan di smi!" pikir-
nya dalam hati. Nanti kalau mereka sudah bosan mencari
dan menyerah barulah aku turun '
Para pengejar sudah selesai menghtung sampai sera-
tus Enam pe ajurit Indian memencar dan mulai mencari
sambil menyelinap di antara semak dan rumput Kadang-
kadang Colin melihat di mana mereka sedang berada, ka-
rena nampak beluka bergerak-gerak, la mengintip dan
celah-celah ranting, sambil tertawa dalam hati. Senang ra-
sanya melihat teman-teman repot mencari sedang ia sen-
diri enak-enak duduk di atas pohon.
Tapi tiba-tiba Colin terkejut Sewaktu kebetulan meman-
dang ke arah tembok tinggi yang melingkungi pekarangan
Milton Manor. Dilihatnya ada orang di atas tembok tu. Ta-
pi hanya sekejap saja, karena detik berikutnya orang itu
sudah menghilang. Masih terdengar sebentar bunyi kayu
dalam belukar berderak derak. Sesudah itu sepi kembali.
Aneh! Siapakah orang tu? Kenapa dia memanjat pa-
gar ? Colin bngung, tak tahu apa yang harus diperbuatnya.
Permainan belum selesai, jadi ia tak mungkin dapat
memanggil teman-teman dari tempatnya bersembunyi.
Tiba-tiba dilihatnya salah seorang dari mereka menyelinap
di tengah semak, dekat sekali pada tempat orang tadi
menghilang Dilihat dari atas, kelihatannya seperti Peter.
Memang Peter yang sedang merangkak dalam beiukar
tu. ia mendengar bunyi gemerisik di depannya.
"Pasti itu Colin. sedang merangkak ke arah sini!'
katanya dalam hati, sambil terus merangkak menuju ke se-
buah semak rimbun yang sedang berbunga. Dengan hati
hati disingkapkannya ranting-ranting yang menghalangi
pandangan.
Alangkah terkejutnya Peter. ketika ia menatap wajah se-
seorang yang tak dikenalnya! Ternyata sama sekali bukan
Colin yang bersembunyi di situ
Orang tak dikenal itu pun terkejut setengah mati, ka-
rena sekonyong-konyong menatap muka penuh coreng-
moreng. Apalagi ketika dilihatnya kapak yang sudah siap
untuk diayunkan. Ia sama sekali tak menduga bahwa
senjata itu hanya permainan dari kayu belaka.
Tanpa pikir panjang lagi, orang itu bangkit dari per-
sembunyiannya lalu lari pontang-panting. Peter pun sangat
terkejut sehingga tak terpikir sama sekali olehnya untuk
mengejar.
III
Colin terkejut
SEWAKTU Peter bangkit untuk melihat orang itu sudah
tak kelihatan lagi
"Sialan!" kata Peter seorang diri, la jengkel sekali. In-
dian macam apa aku ni? Orang yang berdiri tepat di
depanku pun tak dapat ku ikuti jejaknya. Ke mana dia ta-
di?"
Peter mencari kian ke mari. Tak lama kemudian teman-
temannya pun mengetahui bahwa telah terjadi sesuatu di
luar rencana, karena melihat Peter berkelaran sambil
berjalan tegak
"Ada apa Peter? Kenapa kau tidak bersembunyi? Nanti
kelihatan oieh Colin!" seru mereka padanya.
"Tadi ada orang bersembunyi di balik semak." jawab
Peter "Entah kenapa dia di stu. Tahu-tahu ia berdiri, lalu
lari pontang-panting. Ada di antara kalian yang melihat ke
mana orang itu lari?"
Ternyata tak seorang pun melihatnya. Mereka berkum-
pul mengelilingi Peter, bingung menghadapi keadaan aneh
itu
"Tak seorang pun diantara kita melihat orang itu lari,
padahal kita bertujuh merangkak-rangkak dalam hutan
Ini." ujar Pam. "Dan Colin pun tak berhasil kita temukan."
"Sudahlah! Kita berhenti saja bermain," kata Peter
memutuskan, la tak mau kalau tiba-iiba salah seorang
anak perempuan berjumpa dengan orang yang ber-
sembunyi tu. Pasti mereka akan ketakutan nanti. Kta
panggiI saja Colin!"
Mereka pun berteriak teriak memanggil teman mereka
tu.
"Colin! Colin, keluarlah! Kau tak perlu bersembunyi la-
gi. Kita berhenti bermain!"
Mereka menunggu Colin muncul dari persembunyi-
annya. Tapi seruan mereka tak di jawab dan Colin juga
tidak manampakkan diri. Karena itu mereka memanggil
sekali lagi.
"Coln!" seru mereka. "Keluarlah!"
Tapi Colin tetap tak kelihatan. Bahkan menjawab saja
pun tidak. Aneh.
"Sudahlah, jangan main-main!" teriak George "Per-
mainan sudah bubar Ds mana engkau?"
Sebetulnya Colin masih tetap berada di per
sembunyiannya di atas pohon. Kenapa ia tidak berteriak
untuk membalas panggilan teman-temannya? Kenapa dia
tidak meluncur turun, dan menggabungkan diri kembali
dergan teman-temannya? Bukankah sebenarnya Colin ha-
rus merasa puas karena teman teman tidak berhasil
menemukan jejaknya?
Ternyata Colin tak dapat menjawab panggilan teman-te
mannya dan juga tak menampakkan diri, ka ena ia ke
takutan.
Sewaktu ia melihat ada orang meloncat dari atas tem-
bok pekarangan Milton Manor, Colin sangat terkejut
Dilihatnya orang itu lari menghilang di tengah semak, la
lebih terkejut lagi ketika orang itu tiba-tiba muncul dari
balik semak, lalu berlari ke arah pohon tempatnya bersem-
bunyi.
Kemudian terdengar bunyi, seperti ada orang memanjat
cepat-cepat. Masya Ailah, ternyata orang itu memanjat
pohon yang dijadikan persembunyian oleh Colin. Jantung
anak itu berdebar keras. Wah. gawat! Bagaimana jika
orang itu tahu-tahu muncul di depannya?
Orang itu memanjat terus. Tetapi ketika sudah hampir
mencapa dahan tempat Colin duduk, ia berhenti. Me
mang, dahan itu terlaiu kecil untuk diduduki orang dewa
sa, meski masih cukup kuat menahan-beban seorang anak.
Orang aneh itu meringkuk di percabangan batang tak
jauh di bawah tempat Colin. Kalau anak itu mau. dan be
rani, pasti akan dapat disentuhnya kepala orang itu dengan
kakinya. Tapi tenitu saja Colin tidak berani !
Napas orang itu terengah-engah, karena lelah meman
jat. Tapi dijaganya desah napas supaya tidak terlalu nya-
ring. Peter berada tak jauh dari pohon, jadi kalau tarikan
napasnya terlalu keras, ada kemungkinan anak itu akan
mendengarnya.
Colin duduk terpaku, seolah-olah disihir menjadi batu.
Siapakah orang yang tak dikenal tu? Kenapa dia melon
cati tembok Milton Manor? Dan kenapa ia lantas bersem-
bunyi di Hutan Semak? Past hal itu takkan dilakukannya,
kalau ia tahu bahwa anak-anak anggoia Sapta Siaga se-
dang bermain-main di situ i
Sekarang ia malahan bersembunyi di pohon per-
sembunyian Colin. Jangan-jangan ia menengadah, dan
melihat Colin duduk di dahan di atas kepalanya. Karena
tulah Colin ketakutan setengah mati !
Anak itu mendengar teman-temannya memanggil
manggil.
"Colin. Keluarlah dari persembunyianmu, kita tidak ber-
main lagi!"
Colin yang malang! la tak berani menampakkan diri, dan
ia pun tak berani berteriak menjawab panggilan itu la
bahkan hampir-hampir tak berani bernapas. Mudah
mudahan saja ia tidak tiba-tiba bersin, atau terbatuk.
Colin hanya dapat duduk terpaku, sambil menungg apa yang
akan teradi berikutnya.
Orang yang bersembunyi di bawahnya juga duduk
dengan diam, sambil mengintip dari sela daun-daunan un-
tuk memperhatikan gerak-gerik keenam anak yang
berkeliaran di tanah. Colin merasa menyesal kenapa Skippy
tidak diajak serta tadi. Kalau anjing itu ada di stu,
pasti akan tercium olehnya jejak orang itu dan akan langsung
berlari ke bawah pohon.
Tapi Skippy memang sengaja tak diajak karena selalu ri-
but kalau anak-anak bermain sembunyi-sembunyian. Ka-
rena hidungnya yang tajam, anjing itu selalu berhasil
menemukan persembunyian. Dan kalau sudah begitu
Skippy lalu ribut menggonggong, sehingga persembunyi-
an itu ketahuan oleh anak-anak yang mencari.
Anak-anak yang mencari Colin sambil memanggil-
manggil, akhirnya putus asa. Mereka memutuskan untuk
pulang saja ke rumah.
"Pasti Colin berhasil meloloskan diri, dan sudah pulang
sekarang,” kata Peter "Sebaiknya kita pulang juga. Orang
tadi juga tak berhasiI kita cari. Terus terang saja, aku se-
benarnya tak begitu kepingin bertemu lagi dengan dia.
Siapa tahu mungkin dia orang jahat.
Colin merasa gelisah, ketika melihat teman-temannya
pergi meninggalkan Hutan Semak. Orang yang di ba-
wahnya juga melihat mereka pergi. Sambil mendengus
puas, ia turun dari pohon persembunyiannya.
Sebetulnya Colin tak sempat melihat orang itu dengan
jelas. la hanya melihat ubun-ubun dan telinganya saja. Dan
sewaktu orang itu menyelinap pergi menyusuri semak,
Colin masih tetap tak dapat melihatnya. Satu hal sudah
jelas: orang itu lebih pantas menjadi Indian kalau diban-
dingkan dengan ketujuh anggota Sapta Siaga! Ia pandai
sekali menyelinap.
Sekarang — apakah keadaan sudah aman? Dapatkah
Coiin turun dari pohon tanpa mengalami bahaya? la tak
kepingin meringkuk seorang diri di atas pohon sepanjang
malam.
IV
Apakah yang sebenarnya terjadi ?
COLIN turun dari pohon. Ia memandang be keliling
dengan hati hati Tap tak seorang pun yang nampak.
Orang itu ternyata benar benar sudah menghilang.
"Sebaiknya aku lari saja cepat cepat. Mudah-mudahan
saja selamat." pikir Colin. la pun berlari sekuat tenaga.
Tapi tak ada orang memanggil dan tak ada pula yang men-
coba menahannya. Ia merasa agak malu ketika tiba di jalan
yang memotong ladang, karena ternyata ia ketakutan tan-
pa alasan. Seekor sapi yang sedang makan rumput,
memandangnya dengan neran.
Colin berjalan menuju rumah petani tempat tinggal
Peter dan Janet Barangkali saja Sapta Siaga masih
berkumpul dalam gudang, untuk berganti pakaian dan
membe sihkan muka kembal'. Orang tua mereka pasti
takkan senang apab la mereka pulang dengan muka co-
reng moreng 1
Colin berlari lagi kafi ini menuju ke gudang. Seperti bta
sa. pintu gudang tertutup Tapi dar dalam terdengar sua*a
anak-anek berbicara Colin mengetuk pintu.
"Buka pintu.’ serunya. "Aku yang datang!"
Tapi dari dalam tak terdengar jawaban. Pinitu tetap ter-
tutup. Dengan tidak sabar, Colin menggedor pintu.
"Ayo bukakan pintu!" serunya "Kalian kan tahu aku
yang datang!"
Pinitu tetap tak dibuka. Baru saat itu Colin teringat,
bahwa ia harus menyebutkan kata semboyan perkumpul-
an! Nah, apa lagi kata semboyan yang baru? Untung saja
ia ingat kembali, ketika melihat bulu-bulu ayam berwarna
merah nyala bergerak di balik jendela gudang.
"Indian!’ pekiknya. Seketika itu juga pintu dibuka dari
dalam.
"Sekarang semua orang pasti mengetahui kata sem-
boyan rahasa kita." tukas Peter. "Jadi kita terpaksa lagi
mencari yang lain. Ayo, masuklah! Ke mana saja engkau
tadi? Sampai serak suara kami memanggil-manggil dalam
hutan tadi!".
"Aku tahu. Aku juga mendengar panggilan kalian." ja-
wab Colin sambil masuk ke dalam gudang. "Maaf ya, aku
tadi meneriakkan kata semboyan kita keras-keras. Tak ter-
pikir olehku bahwa orang lain tak boleh mendengarnya.
Tapi maklumlah, ada persoalan lain yang lebih penting.”
"Persoalan apa ?" tanya teman-temannya. Mereka ber-
henti membersihkan muka.
"Bukankah tadi Peter tiba-tiba berdiri lalu berteriak?
Katanya ia menjumpai orang yang sedang bersembunyi,"
ujar Colin. "Nah. pada saat itu aku tak jauh dari tempat-
nya. Aku bersembunyi di atas pohon."
"Wah, licik!" seru George "Iitu kan bukan permainan In-
dian-Indianan. Kau seharusnya menyelinap diantara
semak belukar, seperti kami juga!"
"Siapa bilang?" Colin tidak mau mengalah. "Aku berani
tanggung. orang Indian juga memanjat pohon dan bukan
merangkak rangkak saja bisanya. Pokoknya aku berada di
atas pohon dekat tempat Peter berdiri. Eh, tahu-tahu orang
yang ditemukan oleh Peter berlari ke pohon persembuny -
anku, lantas memanjat ke atas!"
"Wah!” seru George dengan kaget. "Lalu, apa yang
kaulakukan?"
"Aku diam saja," jawab Colin. "Untungnya ia tidak naik
sampai ke dahan tempatku duduk. Jadi aku diam saja, tak
berani berkutik. Sebetulnya aku melihatnya lebih dulu dari
Peter. Aku melihatnya di atas tembok pekarangan Milton
Manor dan kemudian dia meloncat ke bawah, lantas
menghilang di tengah semak-semak."
"Lalu, apa yang terjadi kemudian?' tanya Janet. Anak
perempuan itu sudah tak sabar lagi, ingin diketahuinya
siapa orang tak dikenal tu.
"Sesudah kalian pergi, orang itu turun dari pohon lalu
menghilang." jawab Colin. "Pokoknya aku tak melihatnya
lagi. Aku pun cepat-cepat turun, dan lari ke mari. Terus te
rang saja, aku tadi agak ketakutan."
"Apa yang dilakukan orang itu di hutan, sehingga harus
menyembunyikan diri?" tanya Jack heran. "Orangnya
seperti apa rupanya?"
"Sayang aku cuma melihat ubun-ubun dan telinganya
saja." balas Colin. "Kau tadi jelas atau tidak melihatnya.
Peter?"
"Lumayan juga." kata Peter. "Tapi rupanya seperti orang
biasa saja — mukanya dicukur bersih, berambut hitam —
pokoknya biasa saja. Tak ada yang aneh, jadi sukar untuk
mengingatnya."
"Pasti kita tak bertemu lagi dengan orang itu " ujar Bar
bara. "Sayang, sekali lagi kita gagal menemukan peng-
alaman yang mungkin akan mengasyikkan. Sekarang kita
takkan bisa mengetahui lagi, apa yang dilakukan oleh
orang itu dalam hutan, dan kenapa dia bersembunyi."
"Satu hal sudah pasti, permainan kita dikacaukan oleh
nya." ujar Pam. "Tapi sebenarnya kita juga tak mungkin
berhasil menemukan Colin tadi karena dia bersembunyi di
atas pohon. Lain kali kalau kita bermain Indian lagi harus
ada peraturan yang melarang naik ke atas pohon untuk
bersembunyi."
"Sudahlah, jangan diributkan lagi persoalan tu. Seka-
rang, kapan kita mengadakan rapat lagi? Dan kita pun ha-
rus mencari kata semboyan baru." usul Janet.
"Kita bertemu lagi malam Jumat nanti," kata Peter.
"Dan jangan lupa pasang mata dan telinga baik-baik, ba
rangkali saja ada kejadian yang menarik, atau merupakan
rahasia. Pokoknya kita harus mengadakan petualangan la-
gi. Bosan rasanya kalau begini terus." Peter mengeluh.
"Sayang, orang tadi tidak berhasil kita tangkap — atau se-
tidak-tidaknya mengetahui lebih banyak tentang tindak-
tanduknya dalam hutan. Aku yakin dia tadi berniat jahat."
"Bagamana dengan kata semboyan yang baru?" desak
Janet sekali lagi.
"O ya — kita ambil saja kata 'Petualangan'!" ujar Peter
memutuskan. Kan baru saja kita gagal menemukan pe
tualangan baru."
Sesudah itu anak-anak pulang ke rumah masing-ma-
sing. Mereka sudah tidak ingat lagi pada orang aneh yang
dijumpai dalam hutan. Hanya Colin saja yang kadang-ka-
dang masih bergidik, kalau di ngatnya bahwa ia nyaris
berhadapan muka dengan orang tu. Pasti ia akan celaka,
orang itu benar-benar jahat!
Tetapi warta berita di radio maiam tu, menyebabkan ke-
tujuh anggota Sapta Siaga teringat kembali ! Penyiar
membacakan berita rentang pencurian besar.
"Tadi siang, kalung mutiara yang indah dan sangat
berharga milik Lady Lucy Thomas dicuri dari kamar tidur
nya di Milton Manor," kata penyiar radio. Lady Lucy
Thomas adalah nama nyonya bangsawan yang memiliki
gedung besar di tepi Hutan Semak. Penyiar melanjutkan
pengumumannya. "Sayang tidak ada yang melihat atau
mendengar pencuri itu masuk ke dalam rumah, sehingga
penjahat itu berhasil melarikan diri."
Mendengar berita tu. Peter dan Janet meloncat dengan
serempak dari kursi.
"Past itu orang yang kulihat tadi siang!' seru Peter.
"Masya Allah! Aku melihat pencuri kalung Lady Lucy. Ayo
Janet! Tulis undangan pada para anggota Sapta Siaga
akan mengadakan rapat besok! Janet, kita menghadapi pe
tualangan baru!"
V
Pertemuan penting
MALAM itu para anggota Sapta Siaga tak dapat tidur
nyenyak, sesudah menerima berita dari Peter dan Janet.
Mereka berdua memasukkan surat undangan ke kotak pos
rumah teman-temannya.
"Pertemuan pukul setengah sepuluh besok. PENTING!
S.S.S.". Demikianlah isi surat tu. S.S.S. adalah singkatan
dari Serikat Sapta Siaga
Colin dan George tidak mengetahui, persoalan penting
apa yang menyebabkan mereka dipanggil berapat besok
pagi. Kebetulan maiam fitu mereka tidak menyeteS radio.
Tapi ketiga teman lainnya mendengar berita tentang pen-
curian kalung mutiara mil k Lady Thomas. Karena me eka
anak anak yang cerdik dengan sege a mereka menge-
tahui bahwa lapat itu d adakan untuk merencanakan usaha
menangkap pencurinya!
Pukul setengah sepuluh pagi, anggota anggota Sapta
S aga sudah lengkap semua di gudang Berulang kali pintu
diketuk dari luar Dan berulang kali pula. Peter berseru
dengan suara garang dar dalam gudang
"Kata semboyan!"
"Petualanganl”
"Petualangan!"
"Petualangan!" begtulah terdengar berturut-turut
Semua menyebutkannya dengan suara setengah berbisik.
Mereka masih tetap mengkhawatirkan kemungkinan ter-
dengarnya kata itu oleh Susi yang sangat tajam
pendengarannya. Akhirnya mereka berkumpul juga dalam
gudang, tanpa mengalami gangguan apa pun juga.
"Mana Susi adikmu yang bandel tu?" tanya Peter pa-
da Jack "Mudah-mudahan saja dia tdak muncul untuk
mengganggu kta karena pertemuan kal ini sangat pen-
ting Kau tidak lupa memakai lencana?"
'Tenitu saja tidak!" Jack agak ters nggung "Sehari ini
kita aman, karena Susi pergi. Pokoknya, ia tak mengenal
kata semboyan kita yang baru."
"Untuk apa sebetulnya kita mengadakan rapat ini?"
tanya Colin. Ia masih belum mendengar perkara pencurian
kalung."Aku tahu, ada sesuatu yang penting. Janet
kelihatannya sudah tak sabar lagi, ingin cepat cepat bica-
ra!"
"Kalau kau tahu pasti akan bangga." jawab Janet "ka-
ena hanya kau dan Peter saja yang melihat pencuri yang
akan kita cari. Jadi perananmu akan sangat penting!"
Colin dan George melongo, karena tak mengerti per-
soalannya. Memang, Janet terlalu buru buru ngin berceri-
ta sehingga ia mulai dan tengah tengah. Tapi untung Pe-
ter cepat menerangkan.
"Kalian masih ingat atau tidak, orang yang dilihat oleh
Colin memanjat tembok pekarangan MiIton Manor?" ujar
Jack. "Dan aku melihatnya bersembunyi dalam semak.
Sudah itu ia menghilang dan ternyata bersembunyi di atas
pohon di mana Colin juga berada. Kita kan tidak tahu,
kenapa orang itu bersembunyi dalam Hutan Semak. Nah,
tadi malam kami mendengar warta berita di radio. Ka-
barnya ada seorang pencuri masuk ke kamar tidur Lady
Thomas dan mencuri seuntai kalung mutiara yang indah
dan sangat berharga.
'Wah. gawat pekik Pam. "Pasti dialah orang yang kali
an lihat kemarin!"
"Ya, mestnya dialah pencurinya." jawab Peter. "Per
soalannya sekarang, apa yang akan kita lakukan? Kalau
kita berhasil menemukan orang itu apalagi jika sekaligus
juga berhasil menemukan kalung mutiara yang dicuri —
wah — pasti hebat nama Sapta Siaga kita nantinya!"
Sejenak tak ada yang berbicara. Semua sibuk berpikir.
"Tapi baga mana caranya bagi kita untuk menemukan
orang tu?" tanya Pam sesudah tu. "Maksudku, yang
melihatnya kan cuma kau dan Colin saja. Peter — dan itu
pun hanya untuk sekejap —"
"Dan jangan lupa yang kelihatan olehku cuma ubun-
ubun dan telinganya belaka," sambung Colin. "Aku kepi-
ngin tahu, baga mana aku mungkin dapat mengenali
orangnya, kalau cuma itu saja yang kulihat. Masakan aku
harus melonjak-lonjak, untuk melihat ubun-ubun orang!"
Janet tertawa, membayangkan Colin meloncat-loncat
seperti jangkerik.
"Kenapa tidak kaubawa saja tangga ke mana-mana."
usul anak perampuan tu. Anak-anak tertawa mendengar
usul tu.
"Apakah tidak lebih baik persoalan ini kita laporkan saja
pada polisi?"tanya George.
"Tenitu saja." jawab Peter. "Tapi rasanya keterangan
kita belum banyak artinya. Walau begtu, memang tulah
yang pertama-tama harus kita lakukan. Barangkali saja se-
sudah itu kita bisa membanitu polisi. Setidak-tidaknya kita a
kan berusaha menemukan jejak pencuri tu, atau
menemukan tanda-tanda yang penting."
"Kalai begitu sekarang saja kita menghadap ke kantor
polisi,"ajak George. "Wah asyik! Pasti Pak Inspektur akan
terkejut kalau kita nanti masuk berbondong-bondong."
Mereka ketua dari gudang, dan berjalan bersama-sama
menuju ke tengah kota. Pegawai polisi muda yang berada
dalam kantor polisi melongo keheranan, ketika melihat
tujuh orang anak masuk ke dalam beramai-ramai.
"Eh. ada apa ini?" tanyanya.
"Bolehkah kami berjumpa sebentar dengan Pak Inspek-
tur?" tanya Peter. "Kami membawa kabar untuknya,
mengenai pencuri kalung mutiara Lady Lucy."
Sebelum pegawai poisi itu sempat menjawab, kepala
Pak Inspektur sudah tersembul dari balik pintu kamar
kerjanya. Rupanya ia tadi mendengar derap langkah ramai
di luar, dan menjenguk karena ingin tahu siapa yang da-
tang.
"Wah, tamu agung!" serunya dengan gembira, "Ini dia,
Sapta Siaga! Apa kata semboyan kalian kali ini?"
Tenitu saja ketujuh anak itu tidak mengatakannya, ka
rena bukankah kata semboyan rahasia tak boleh diketahui
orang lain? Peter tertawa meringis.
"Kami datang untuk memberi laporan, Pak Inspektur.
Kemarin kami melihat pencuri kalung Lady Lucy, sewaktu
ia memanjat tembok pekarangan Milton Manor." ujar anak
tu. 'Kemudian ia bersembunyi, mula-mula dalam belukar
dan sesudah itu naik ke atas pohon. Kebetulan Colin juga
bersembunyi di stu. Tapi cuma tulah yang kami ketahui."
Mula-mula Pak Inspektur agak bingung mendengar ke-
terangan sesingkat tu. Namun akhirnya ia tersenyum gem-
bira seteiah mendengar laporan yang diberikan oleh Peter.
Inspektur menggaruk-garuk kepala.
"Aku tidak mengerti, bagaimana Caranya pencuri itu
memanjat tembok." katanya. "Bukankah tembok itu
sangat tinggi! Pasti ia mahir memanjat seperti kucing,ka-
rena ia tak menggunakan tangga. Nah, Sapta Siaga, te
rima kasih atas laporan kalian! Sayang, kali ini tak banyak
yang dapat kalian lakukan. Tapi buka mata kalian lebar-lebar,
barangkali saja kalian akan berjumpa lagi dengan orang tu."
"Sayangnya, Colin hanya melihat ubun-ubunnya saja,
dan saya pun hanya sempat memandang mukanya sekejap
saja," kata Peter dengan agak ragu. "Lagipula, wajahnya
kelihatan biasa saja. Tapi walau begtu, kami akan tetap
berjaga saga."
Mereka meminta diri dari Pak Inspektur, lalu pergi ke
luar.
"Sekarang kita beramai-ramai pergi ke tempat, di mana
Colin melihat orang itu menuruni tembok,” ujar Peter se-
sudah mereka berada di jalan."Siapa tahu, barangkali saja
kita menemukan sesuatu di sana!"
VI
Penemuan aneh
Ketujuh anak itu pergi lagi mendatangi Hutan Semak, di
mana mereka bermain-main sehari sebelumnya.
"Nah! Sekarang tunjukkanlah, di mana tepatnya orang
itu kaulihat memanjat turun dari tembok," ujar Peter pada
Colin. Colin berpikir sebentar. Kemudian menunjuk ke arah
sebatang pohon yang berdaun runcing.
"Kau lihat pohon tu? Nah, orang itu menuruni tembok
antara pohon itu dan pohon eik kecil di sebelah sana. Aku
pasti, tulah tempatnya kemarin "
"Kalau begitu ayolah kita periksa ke sana," ujar Peter.
Dengan sikap gagah, Sapta Siaga merintis hutan menuju
ke tempat yang dtunjukkan oleh Colin. Tenitu saja mereka
bersikap gagah, karena bukankah mereka kini sudah mulai
bertualang lagi? Sesampai di tempat yang dtuju, mereka
berhenti lalu tengadah memandang tembok yang tinggi.
Jarak dari atas tembok sampai ke tanah paling sedikit ti-
ga sampai empat meter. Bagaimana mungkin bisa meman-
jat tembok setinggi tu, kalau tidak mempergunakan tang-
ga?
"Lihatlah — di sini tempat ia meloncat ke tanah," kata
Pam tiba-tiba, sambil menunjuk ke sebuah jejak yang da-
lam di tanah. Letaknya tak jauh dari pohon yang berdaun
runcing. Keenam anak lainnya berkerumun mendekat un-
tuk ikut melihat.
"Ya, betul! Mestinya jejak orang itu sewaktu meloncat
ke bawah.” ujar Peter. "Sayangnya jejak ini tak jelas.
Maksudku, kalau yang ada di sini ini benar benar berupa
jejak sepatu, rasanya banyak yang dapat kita lakukan
dengannya. Tapi yang kelihatan cuma sebuah lubang bela-
ka. Barangkali ini bekas tumit sepatunya "
"Aku kepingin melihat sebentar ke balik tembok ini." ka-
ta Pete dengan sekonyong-konyong. "Barangkali saja di
sana kita bisa menemukan jejak sepatu. Ayo kita minta
izin pada tukang kebun untuk masuk ke pekarangan. Aku
kenal padanya. Dia teman pemeliharaan sapi-sapi kami."
"Baik gagasanmu tu, Peter," ujar George menyetujui.
Mereka berbondong-bondong menuju ke depan. Tukang
kebun yang mereka cari sedang sibuk bekerja di halaman
depan, tak jauh dari pintu gerbang besi yang besar, ia
memandang ke arah anak-anak yang ribut memanggil-
manggil.
"Johns!" seru Peter. "Bolehkah kami masuk ke dalam?
Kami ngin melihat-lihat sebentar. Kami ingin memeriksa,
barangkali menemukan jejak pencuri kalung majikan An-
da! Kemarin kami melihatnya, sewaktu ia memanjat ke
luar lewat tembok. Kami sudah melaporkannya pada poli-
si. Kata Pak Inspektur, kami harus menajamkan mata. Ka-
rena itu kami ngin melihat-lihat ke dalam, barangkali saja
akan berhasil menemukan jejaknya."
Johns tertawa lebar. Orang itu memang ramah. Ger-
bang besi yang besar dibukanya.
"Yah, masuklah! Rasanya tak akan terjadi apa-apa,
kalau kalian kuantarkan." katanya. "Aku juga heran, ba-
gaimana pencuri itu bisa memanjat tembok setinggi ini.
Kemarin siang aku sibuk terus bekerja di pekarangan
depan. Jadi kalau sewaktu masuk dia lewat gerbang, pasti
aku melihatnya, tapi aku tak melihat seorang pun masuk.”
Dengan diantar oleh Johns, ketujuh anak itu mengitari
pekarangan sepanjang tembok. Di suatu tempat Colin
melihat pucuk pohon berdaun runcing, serta puncak pohon
eik menonjol di atas tembok, ia berhenti melangkah.
"Di sinilah tempat pencuri itu memanjat tembok," ujar-
nya. "Sekarang kita mulai saja mencari bekas kaki."
Di tanah sekitar situ terdapat beberapa bekas — tapi tak
satu pun di antaranya merupakan bekas kaki atau sepatu.
Para anggota Sapta Siaga membungkukkan badan, un-
tuk memperhatikan bekas-bekas tu.
"Aneh benar bekas-bekas ini," ujar Peter sambil meng-
geleng-geleng. la heran. "Kelihatannya rata dan bundar,
ukurannya sekitar tujuh sampai delapan sentimeter. Se-
olah-olah ada gagang sapu yang besar dihentak-hentak-
kan ke tanah. Menurut anda, apa yang mungkin menye
babkan adanya bekas bekas ini, Johns?"
"Entahlah," gumam Johns. Tukang kebun itu juga he
ran melihat bekas-bekas yang aneh di tanah tu. "Tapi
barangkali polisi akan berhasil mengetahuinya karena
bukankah mereka sekarang sudah tahu bahwa kalian
melihat pencuri meloncati tembok di tempat ini."
Mereka semua asyik meneliti tanah, memeriksa jejak-je-
jak yang berbentuk bundar. Tak ada yang tahu bekas apa
tu. Kelihatannya seperti ada tongkat sapu yang agak be
sar dipukui-pukuikan ke tanah. Tapi untuk apa sapu dipu-
kul-pukulkan ke tanah? Lagipula apa hubungan bekas-be-
kas tersebut dengan pencuri yang memanjat tembok?
"Satu hal dapat kupastikan, pencuri itu tidak memper-
gunakan tangga," ujar Johns menyatakan pendapatnya.
"Semua tanggaku tersimpan dalam gudang, yang pintunya
terkunci. Kuncinya ada dalam kantongku, jadi pasti tang-
ga-tangga itu masih lengkap di daiam. Aku benar-benar bi-
ngung bagaimana cara pencuri itu memanjat tembok se-
curam ini!"
"Rupanya dia itu seorang akrobat." ujar Janet sambil
menengadah memandang tembok. Tiba-tiba anak perem-
puan itu melihat sesuatu di atas. Dengan segera
dtunjukkannya jari ke benda yang dilihatnya tu.
"He — lihatlah — tu, kira-kira di pertengahan tembok!
Itu, tersangkut pada ujung baitu bata yang menonjol!
Apakah tu? ’
Semua memandang ke arah yang dtunjukkan oleh
Janet.
"Kelihatannya seperti segumpal benang wol," ujar Pam
sesudah menatap beberapa saat lamanya. "Mungkin ke-
tika pencuri memanjat tembok pakaiannya tersangkut pa-
da ujung yang menonjol tu. Dan benang itu terlepas, ke-
tika pencuri menarik badannya ke atas tembok."
"George, tolong naikkan aku ke atas," ujar Peter. "Aku
ingin mengambil benang tu. Barangkali saja merupakan
bukti penting."
George menjunjung Peter di atas pundaknya. Dengan
sekali sambar, Peter berhasil mengambil benang wol itu
lalu turun kembali. Dengan segera anak-anak berkerumun
memperhatikan.
Kelihatannya biasa saja — benang wol biru dengan
sehelai benang merah halus terjalin dalamnya. Anak-anak
memperhatikan penemuan mereka dengan saksama.
"Mungkin saja benang ini tercabut dan waju wol yang
dikenakan pencur, " ujar Janet pada akhirnya. "Sekarang
kita lihat saja, barangkali berjumpa dengan orang
mengenakan baju panas yang terbuat dari wol berwarna
biru, dengan benang merah terjalin dalamnya!"
Sesudah itu ada lagi yang ditemukan — sesuatu yang
jauh iebih menarik daripada benang woi biasa!
VII
Skippy menemukan sesuatu
Sebetulnya Skippy yang berhasil menemukan barang
bukti yang paling menarik. Karena tenitu saja anjing
spanil peliharaan Peter dan Janet itu diajak serta.
Dengan rajin anjing itu mengendus-endus kian ke mari,
seolah-olah sangat tertarik pada bekas-bekas bundar
yang aneh di tanah. Tapi tiba tiba Skippy menggonggong
dengan ribut, sehigga perhatian anak-anak beralih padanya.
"Ada apa, Skip? Kenapa kamu menggonggong?" tanya
Peter.
Skppy masih terus menggonggong Ketga anak pe-
rempuan anggota Sapta Siaga cepat-cepat memandang
berkeliling, dsngan agak ketakutan. Jangan-jangan ada
orang yang bersembunyi di balik semak.
Skippy menggonggong sambi menengadah. Ribut
sekal kedengarannya
"Sudah, diam!" ujar Peter dengan jengkel. "Lebih baik
kaukatakan saja apa yang kaulihat Skip! Diam, kataku!"
Aneh juga si Peter. Mana mungkin Skippy dapat mence-
ritakan apa yang dilihatnya. Anjing tak pandai bercerita,
bisanya hanya menggonggong saja. Karena itu Skippy
berhenti menyalak sebentar. Dipandangnya Peter seolah-
olah menyesali. Sudah itu Skippy menengadah kembali,
lalu mulai menggonggong lagi.
Semua ikut memandang ke atas, untuk melihat apa
yang menyebabkan Skippy begitu ribut. Ah. rupanya
anjing itu melihat sebuah peci tersangkut pada ranting
sebatang pohon di dalam pekarangan !
"Eh, lihatlah tu!" ujar Peter dengan heran. "Ada peci di
atas pohon! Mungkin kepunyaan pencuri."
"Kalau kepunyaannya, untuk apa dilempar ke atas
dahan?" tanya Janet. Ia agak ragu-ragu. "Masakan ada
pencuri yang meninggalkan barang seperti tu!"
Letak peci itu terlampau tnggi, sehingga tak dapat
dijangkau dengan tangan. Hampir sama tinggi dengan tepi
tembok sebelah atas. Tukang kebun pergi mencari seba
tang tongkat, untuk mengambil peci tu.
'Bisanya peci itu sampai di sana, pasti karena dilem-
parkan ke atas," ujar George. "Karena itu aku rasa
pemiliknya bukan si pencuri. Masakan dia melemparkan
pecinya ke atas, meninggalkan barang bukti yang begitu
penting!"
"Betui juga katamu!" kata Peter mengakui kebenaran
kata temannya. "Tak mungkin itu pecinya. Barangkali ada
gelandangan yang lewat di sini, iaiu mencampakkan pe-
cinya ke atas."
Sementara itu Johns sudah kembali dengan membawa
sebatang bambu. Dicongkelnya peci itu dari dahan, sehing-
ga terjatuh ke tanah. Dengan sigap Skippy menerkam.
"Ayo, lepaskan Skip! Lepaskan, kataku!" seru Peter
memerintah. Skippy menurut, meskipun sebenarnya ia
ingin bermain-main dengan barang yang ditemukan oleh-
nya tu.
Ketujuh anggota Sapta Siaga memperhatikan peci tua
tu. Barangnya terbuat dari kain tweed berkotak-kotak.
Mestinya sewaktu masih baru, warna kotak-kotak itu
sangat menyolok. Tapi sekarang sudah hampir-hampir tak
kelihatan lagi karena sangat kotor.
"lh, kotor sekali peci ini" ujar Janet sambil meman-
dang dengan perasaan jijik. "Pasti pemiliknya orang g
elandangan, yang karena sudah bosan memakai lantas men-
campakkannya ke dalam pekarangan gedung ini. Ternyata
tersangkut di dahan. Aku yakin peci ini bukan merupakan
barang bukti!"
"Mungkin benar juga katamu tu.” sambut Colin sambil
memutar-mutar peci ditangannya. "Kalau begitu kita lem-
parkan saja ke Hutan Semak. Sayang, Skip! Tentunya kau
tadi mengira teiah menemukan barang bukti yang maha -
penting."
Tangannya sudah siap hendak mencampakkan peci
rombengan tu, tapi sempat dicegah oleh Peter.
"He, he — jangan dibuang! Tidak ada salahnya bila pe-
ci ini kita simpan dulu. Siapa tahu kaau ternyata me
rupakan barang bukti, menyesal kita nantinya. Tapi se-
benarnya aku sependapat denganmu. Rasanya ini bukan
bukti."
"Terserahlah kalau begtu. Tapi kau saja yang menyim
pan barang bau ini," ujar Colin sambil menyerahkan peci
itu kepada Peter. "Tak mengherankan kalau sampai
dibuang oleh pemiliknya. Baunya bukan main."
Peter memasukkan peci ke dalam kantong. Sudah itu
diambilnya lembaran benang wol biru yang juga mereka
temukan, lalu diselipkannya dengan hati-hati di antara
halaman buku catatannya. Peter memandang ke tanah, di
mana nampak bekas-bekas jejak yang aneh.
"Sebaiknya kita juga mencatat bentuk dan ukuran jejak-
jejak ini." katanya mempertimbangkan. "Kau membawa
penggaris, Janet?"
Tenitu saja Janet tidak membawanya. Siapalah yang per-
gi ke hutan membawa penggaris! Tapi untung George
mempunyai seutas tali. Dengan tali itu ia mengukur garis
tengah bekas-bekas bundar yang kelihatan di tanah.
Sesudah diukur dengan tepat dipotongnya tali tu.
"Inilah ukuran garis tengah jejak-jejak ini." ujarnya sambil
menyerahkan potongan tali kepada Peter, yang dengan
hati-hati menyelipkannya ke daiam buku catatan.
"Entah kenapa, tapi menurut perasaanku bekas-bekas
aneh ini juga merupakan bukti," ujarnya sambil menyim-
pan buku catatannya. "Tapi aku tak bisa membayangkan,
jejak-jejak apa ini!"
Mereka mengucapkan terima kasih pada Johns, dan
kemudian pulang lewat ladang. Anak-anak tidak merasa
telah menemukan bukti-bukti penting. Peter berharap,
moga-moga saja petualangan mereka tidak berakhir sam-
pai di situ saja!
"Aku masih tetap berpendapat, hanya akrobat saja yang
sanggup memanjat tembok setinggi tu." ujar Janet berke-
ras. "Tak mungkin orang biasa dapat melakukannya!"
Pada saat ia berkata begtu, mereka sampai ke jalan be-
sar. Pada sebuah dinding di dekat situ terpasang sebuah
plakat besar. Anak anak memperhatikannya sepintas lalu.
Tapi tiba-tiba Peter berteriak sehingga teman-temannya
terkejut mendengarnya.
"Hai — coba lihat tu! Sebuah plakat rekLame sirkus.
Lihatlah, apa yang tertulis di sana — penjinak singa,
penunggang penunggang kuda yang gagah berani, be
ruang-beruang yang pandai menari — badut-badut dan
rombongan akrobat! Akrobat! Kalian akan lihat tidak? Ba-
rangkah saja —"
Anak-anak itu saling berpandangan. Barangkah saja Ja-
net benar! Mereka harus menyelidikinya dengan segera !
VIII
Berkunjung ke sirkus
PETER memandang ke arlojinya.
"Sialan!" ujarnya menyesal. "Sudah hampir saat makan
siang. Kita harus pulang secepat-cepatnya. Nanti pukul se
tengah tiga kita berkumpul lagi ya!"
"Wah. kami tak bisa datang," ujar Pam dan Barbara se-
rempak. "Kami diundang ke pesta ulang tahun."
"Janganlah mengadakan rapat tanpa kami" kata Pam
meminta.
"Aku pun tak bisa datang nanti." ujar George. "Bagai-
mana kalau besok saja kita mengadakan rapat. Apabila
pencurinya memang benar salah seorang akrobat dari sir
kus, maka tak mungkin dia akan sudah pergi sore ini.
Mestinya dia tinggal di sini, sampai sirkus pergi lagi
ke tempat lain ”
"Tapi itu kan hanya kemungkinan saja." sela Janet. "Aku
tadi mengatakan, hanya seorang akrobat saja yang mampu
memanjat tembok yang begitu tinggi. Aku sendiri juga tak
tahu pasti apakah memang pencuri itu seorang akrobat".
"Bagaimanapun juga tak ada salahnya jika kita menga
dakan penyelidikan," kata Peter memutuskan. "Begini
sajalah — kita berapat besok, pukul setengah sepuluh pa
gi. Sementara itu kalian memikirkan rencana yang dapat
disarankan dalam rapat tu. Pasti kta akan menemukan
jalan yang bagus!".
Hari itu semua anggota mengasah otak memkirkan ca
ra menyelidiki rahasa pencurian mutiara Lady Lucy.
Bahkan daiam pesta pun. Pam dan Barbara asyik berbisik-
bisik membicarakannya.
"Aku setuju, apabila kita pergi saja ke sirkus,"bisik Pam.
Bagaimana, baik atau tidak gagasan tu? Di sana akan
dapat kita lihat, apakah Pete dapat mengenali salah
seorang akrobat sebagai pencuri yang dilihatnya bersem-
bunyi dalam semak".
Keesokan harinya Sapta Siaga berkumpul lagi dalam gu-
dang sambil membisikkan kata semboyan mereka se-
wakitu hendak masuk. Ternyata semuanya membawa ga-
gasan yang sama seperti rencana Pam dan Babara.
George yang pertama-tama mengajukan usul Katanya,
"Kita harus perg ke tempat sirkus!"
"Yaa — aku dan Pam juga hendak mengusulkannya,"
sambut Barbara.
"Pendapatku juga begtu," kata Colin "Memang tulah
yang sebaiknya kita lakukan. Bagaimana pendapatmu, Pe-
ter?"
"Aku pun setuju. Aku dan Janet sudah mencari iklan-
nya dalam surat kabar. Ternyata sirkus akan memulai per-
tunjukan sore ini,"jawab Peter. "Bagaimana kalau kita
semua pergi menonton? Terus terang saja, aku tak yakin
akan dapat mengenali muka pencuri itu lagi. Aku hanya
melihatnya sekilas saja. Tapi tak ada salahnya jika kita
coba."
"Katamu, orangnya berambut hitam, sedang mukanya
dicukur licin." ujar Colin. "Aku pun melihat bahwa rambut-
nya berwarna hitam, sedang ubun ubunnya botak sedikit.
Tapi sebagai bukti itu kan belum banyak?"
"Kita punya uang atau tidak?" tanya Pam. "Maksudku
untuk membeli karcis masuk. Aku sendiri tak punya sama
sekali, karena kemarin sudah habis kupakai untuk membe
li hadiah ulang tahun."
Keenam anak yang ditanya memeriksa isi kantong me-
reka. Uang yang ditemukan, dikumpulkan menjadi satu di
atas meja, lalu dihtung.
"Harga karcis untuk anak-anak tiga puluh penny." keluh
Peter. "Bayangkan, tiga puluh penny! Apakah mereka itu
mengira anak-anak semua kaya raya? Uang yang ada di
sini cuma satu pound dan dua puluh penny. Jadi hanya
empat orang saja dari kita yang bisa pergi.”
"Nanti dulu! Dalam kotak tabunganku ada enam puluh
penny." kata Janet.
"Dan aku juga masih punya dua puluh sembilan penny
di rumah," sambung Colin. "Masih kurang satu penny iagi.
Siapa yang punya satu penny?"
"Aku bisa meminjamnya dari Susi." kata Jack.
Tapi jangan sampai kausebutkan kata semboyan kita
sebagai penebusnya!" ujar Colin mengganggu, dan dibalas
dengan tendangan oleh Jack yang mendengus marah.
"Baiklah kalau begtu. Kita semua dapat pergi menon-
ton sirkus," kata Peter dengan gembira. "Nanti sore kita
berkumpul di lapangan sirkus sepuluh menit sebelum per-
tunjukan dimulai. Awas, jangan sampai ada yang terlam-
bat datang! Jangan lupa memperhatikan, barangkali saja
ada seseorang disana yang memakai baju wol biru semu-
semu merah."
Semua datang tepat pada waktunya. Dan semua mem-
bawa uang, kecuali Pam. Karena itu ia diberi secukupnya
oleh Peter, untuk membeii karcis. Mereka lalu menuju ke
loket penjualan karcis. Anak-anak itu sudah gelisah sekali.
Menonton sirkus selalu menyenangkan tetapi menonton
sambil mencari cari pencuri jauh lebih mengasyikkkan lagi.
Tak lama kemudian mereka sudah duduk di tempat ma-
sing-masing. Tujuh pasang mata memandang dengan
penuh perhatian ke arah gelanggang bundar yang ditaburi
serbuk gergaji di tengah tengah tenda yang lapang. Orkes
memainkan lagu gembira, ditingkahi genderang berden-
tam-dentam. Anak-anak menegakkan duduk mereka,
menatap dengan leher terjulur panjang.
Pertunjukan dimulai Seiringan kuda masuk dengan
langkah anggun, bulu-bulu penghias kepala mereka ter-
angguk-angguk. Kemudian menyusul rombongan badut,
jungkir balik sambil berteriak-teriak lucu. Sudah itu menyu-
sul barisan beruang, disambung oleh artis-artis selanjut-
nya. Semua masuk beruntun-runtun, memberi salam ke
pada para penonton dengan tersenyum.
Ketujuh anggota Sapta Siaga mencari-cari rombongan
akrobat. Tetapi mereka bercampur baur dengan para artis
lainnya. Peter dan kawan kawannya melihat lima orang
badut dan tukang sulap, dua orang artis yang berjalan
dengan sangat mahir dengan sepasang jangkungan, serta
lima orang naik sepeda yang aneh-aneh bentuknya. Sukar
sekali mengetahui apa saja di antara mereka itu yang
sebenarnya akrobat.
"Pertunjukan akrobat menurut programa akan tampil
nomor tiga." ujer Peter.
"Mula-mula pertunjukan kuda sesudah itu menyusul
badut-badut, dan kemudian tampil para akrobat."
Ketujuh detektif cilik itu menunggu, sambil menikmati
pertunjukan sirkus. Mereka bertepuk tangan melihat
kepandaian kuda kuda menari, dan sesudah itu tertawa
terbahak bahak memandang kejenakaan para badut yang
aneh aneh tingkah polahnya.
"Nah sekarang datang giliran para akrobat." bisik Peter
dengan gelisah. "Ayo, Colin — sekarang kita harus
memperhatikan dengan seksama!"
IX
Gagasan baik yang mengecewakan
PARA AKROBAT masuk ke gelanggang pertunjukan
sambil jungkir baiik dan meloncat-loncat tinggi ke atas.
Satu dari mereka berjalan dengan tubuh dilengkungkan be-
gitu jauh ke belakang, sehingga kepalanya memendang ke
depan di antara kedua belah kaknya. Wah,kelihatannya
aneh sekali!
Peter menyenggol Colin.
"Colin!" katanya setengah berbisik."Lihatlah! Itu, yang
kepalanya terselip di sela kaki. Mukanya tercukur licin,
seperti orang yang kulihat dalam semak — dan rambut
nya juga hitam"
Colin mengangguk.
"Ya — mungkin dia orangnya yang kata cari, karena
yang lain semuanya berkumis melintang. Kita awasi saja
dengan saksama, untuk melihat apakah dia benar-benar
sanggup meloncat ke atas tembok atau tidak."
Semua anggota Sapta Siaga menatapkan mata pada
akrobat yang satu tu. Mereka telah melihat bahwa akro-
bat-akrobat lainnya semua berkumis, sehingga tak ada
gunanya diawasi lebih lanjut. Tapi yang satu itu cocok.
Rambutnya hitam, dan mukanya tercukur licin.
Bagaimanakah kemampuannya meloncat? Apakah dia
bisa dengan mudah meloncat sampai ke atas tembok ting-
gi? Anak-anak mengikuti gerak-geriknya dengan penuh
perhatian.
Ternyata akrobat tak berkumis itu paling jago dari
semuanya. Geraknya ringan dan lincah sewaktu melon-
cat-loncat di tengah gelanggang, kakinya seolah-olah
sama sekali tak menyentuh tanah, ia pun sangat pandai
menari-nari di atas tali. Sebuah tangga yang panjang dite-
gakkan, lalu diikatkan ke kawat yang tergantung tinggi di
bawah atap tenda.
Anak-anak memandang dengan tekun. Akrobat itu
meloncat ke tangga dengan gerakan iincah, lalu menaiki-
nya dengan cepat. Begitu cekatan geraknya, sehingga
tangan dan kakinya seakan-akan tak menyentuh anak
tangga sedikit pun juga. Para anggota Sapta Siaga berpan-
dang-pandangan. Jika tangga dapat dinaiki olehnya
semudah itu maka pasti akrobat itu juga mampu melon-
cat ke atas tembok yang tingginya empat meter!
' Aku yakin, dialah pencurinya," bisik Janet pada Peter.
Peter mengangguk, karena ia juga merasa yakin. Anak itu
merasa begitu pasti bahwa akrobat yang sedang beraksi
tulah orang yang mereka cari, sehingga ia memutuskan
untuk mulai menikmati pertunjukan sirkus. Tak ada perlu-
nya lagi menajamkan mata mencari pencuri. Peter sudah
yakin, akrobat tulah yang mengambil kalung mutiara milik
Lady Lucy.
Pertunjukan yang mereka tonton memang sangat mena-
rik. Beruang-beruang yang sudah dijinakkan mendapat
giliran tampil. Kelihatannya binatang-binatang itu senang
mempertunjukkan kepandaian mereka bertinju sesama-
nya, dan bergulat dengan pelatih mereka. Seekor beruang
yang masih kecil nampaknya sangat sayang pada penga-
suhnya, sehingga tak mau melepaskan kaki pelatih itu yang
didekapnya erat-erat.
Janet sangat kepingin memiliki beruang kecil seperti tu,
untuk diajak bermain-main.
"Kelihatannya seperti beruang main-mainan yang besar
ya." katanya kepada Pam. Pam menganggukkan kepala.
Sesudah itu masuk lagi rombongan badut, disusul oleh
kedua artis yang berjalan dengan jangkungan beserta tiga
orang badut. Artis-artis jangkungan itu kelihatan kocak
sekali. Mereka mengenakan gaun panjang menutupi
jangkungan, sehingga kelihatannya seperti dua orang yang
sangat jangkung. Keduanya bergerak mondar-mandir
dengan kaku, mengejar badut-badut bertubuh kerdil yang
mengganggu dan mengejek ejek mereka.
Sesudah itu di tengah geanggang pertunjukan dipa
sang sebuah kandang besi yang kokoh. Sekawan singa
yang kelihatan galak digiring masuk ke dalamnya. Bina-
tang-binatang buas itu menggeram-geram dan mengaum,
nampak gigi yang runcing-runcing. Janet mengecilkan
tubuhnya.
"Aku tak senang melihat pertunjukan ini," katanya nge-
ri. "Singa itu binatang liar tak layak dijinakkan. Nah, nah
— lihat yang satu itu ! Dia tidak mau beranjak dari tempat
duduknya. Ih. aku takut! Pasti singa itu akan menerkam
pelatihnya." Janet menutup muka dengan kedua belah
tangannya.
Tapi tenitu saja singa itu tidak menerkam. Dengan sikap
angkuh, ia melakukan tugas menurut perintah pelatihnya!
Singa-singa itu teriatih baik. Selesai pertunjukan, raja-raja
hutan yang sudah dijinakkan itu masuk kembali beriring-
an, sambil menggeram-geram.
Sesudah itu datang seekor gajah yang besar, yang
mempertunjukkan permainan bola bersama pelatihnya.
Kelihatannya gajah itu senang bermain bola. Para penon-
ton bertepuk tangan ketika binatang yang berbadan besar
itu berhasil memukul bola enam kali berturut-turut ke arah
penonton.
Anak-anak menonton dengan asyik. Mereka agak kece
wa ketika pertunjukan selesai, dan mereka berada kem-
bali di lapangan luar.
"Wah, senang rasanya apabila kita selalu mencari pen
curi di sirkus," kata Janet. "Nah, bagaimana pendapatmu,
Peter? Apakah akrobat berambut hitam dan yang tercukur
licin mukanya itu pencuri yang kita cari? Karena dari para
akrobat, hanya dialah yang mungkin melakukannya."
Memang! Para akrobat yang lain berkumis semua-
nya." jawab Peter. "Enaknya apa yang kita lakukan seka-
rang, ya? Mungkin sebaiknya kita datangi saja dia, dan
mengajaknya mengobrol. Barangkali saja ia nanti terlan
jur mengatakan sesuatu, yang dapat kta jadikan pegangan."
'Tapi bagaimana caranya mendekati akrobat tu? Mesti-
nya kan ada alasan tertentu." ujar George.
"Ah, gampang saja! Kita minta saja tanda tangannya,"
jawab peter. "Untuk dia, pasti itu merupakan soal biasa."
Peter ditatap teman temannya dengan kagum. Cerdas
benar pemimpin mereka. Tak seorang pun berpikir ke stu.
"Sst, lihatlah." bisik Barbara. "Bukankah itu akrobat
yang hendak kita datangi? Itu, disana — yang sedang ber
cakap-cakap dengan pelatih beruang.Betul, memang dia.
Bagaimana Peter — sekarang kau dapat memperhatikan
nya dari dekat — mungkinkah dia orang yang kaulihat
dalam semak?"
Peter mengangguk.
"Mungkin saja,"jawabnya. "Ayolah kita beramai ramai
datang kepadanya, dan meminta tanda tangan. Ingat pa-
sang mata dan telinga baik-baik!"
Mereka berjalan menghampiri akrobat yang dimaksud.
Artis itu terkejut ketika melihat tujuh anak datang berbon-
dong-bondong.
"Nah — mau apa kalian ke mari?" tanyanya sambil ter-
tawa lebar. "Barangkali kepingin belajar berjalan di atas
tali?"
"Tidak, kami ingin meminta tanda tangan Anda,” jawab
Peter sambil menatap orang tu. Dari dekat, ternyata
kelihatan jauh lebih tua daripada sewaktu beraksi di tengah
gelanggang pertunjukan. Akrobat itu tertawa, sambil
mengusap dahinya dengan selembar sapu tangan besar
berwarna merah.
"Panas sekali hawa dalam tenda," katanya. "Tenitu saja
kalian akan kuhadiahi tanda tanganku. Tetapi sebelumnya
aku ingin membuka tutup kepalaku ini. Panas sekali ra-
sanya ubun-ubun karenanya!"
Dengan mata terbelalak, anak-anak memandang akro
bat itu menarik rambutnya yang hitam ke atas dan lang
sung mencabutnya. Masya Allah, ternyata akrobat itu
memakai rambut palsu! Dan d bawahnya nampak kepala-
nya yang botak. Aduh — sungguh-sungguh mengece
wakan sekali.
X
TRINKOLO
KETUJUH anggota Sapta Siaga terkejut menatap kepala
akrobat tu. Kepalanya botak sama sekali, kecuali bebe-
rapa lembar rambut beruban di ubun-ubun. Tak mungkin
dia pencuri yang dicari-cari. Colin jelas sekali melihat ubun-
ubun orang tu, ketika ia duduk d atasnya di pohon per-
sembunyiannya. Dan menurut kata Colin, pencuri itu
berambut hitam. Hanya ubun ubunnya saja yang agak bo
tak.
Colin mengambil rambut palsu itu lalu diperhatikannya
dengan teliti. Barangkali saja pencuri mengenakan rambut
palsu, ketika mencuri kalung mutiara. Tapi ternyata rambut
palsu itu lebat sekali. Sama sekali tak ada bagian yang
gundul, juga tidak di bagan ubun-ubun.
"Rupanya kau tertarik pada rambut palsuku." ujar akro
bat itu sambil tertawa. "Akrobat tidak pantas kalau
berkepala botak. Kami harus selalu kelihatan muda dan
tampan. Nah, sekarang kalian akan kuberi tanda tangan.
Tapi sesudah itu kalian harus pergi lagi.”
"Terima kasih." kata Peter, sambil menyodorkan kertas
beserta pinsil.
Beruang kecil yang disenangi oleh Janet datang sen-
dirian menghampiri sambil mendengus-dengus.
"Eh, lihatlah!"seru Janet gembira "Apakah dia hendak
datang ke tempat kita? Kemarilah, beruang manis."
Beruang itu datang beringsut, lalu menggosok-gosok-
kan badannya ke kaki Janet. Anak perempuan itu
memeluknya, lalu berusaha menjunjungnya ke atas — tapi
ternyata beruang itu terlalu berat
Seorang pemuda bermuka masam datang mengejar, lalu
menangkap bayi beruang pada tengkuknya.
"Beruang bandel!"bentaknya, dan dengan kasar digun
cang-guncangkannya tangan yang memegang tengkuk be-
ruang. Binatang yang masih kecil itu mengeluarkan suara
pelan, seolah-olah mengerang kesakitan.
"Aduh, janganlah dia dihukum," ujar Janet penuh belas
kasihan. "Beruang itu manis. Dia tidak apa-apa, hanya
ingin melihat kami dari dekat saja!"
Pemuda yang kasar itu berpakaian aneh. Ia mengenakan
korset yang biasa dipakai wanita. Korset itu penuh dengan
perhiasan yang berkelip kerlip. Kecuali itu ia juga
memakai topi perempuan, dihiasi dengan bunga-bungaan.
Tapi kakinya terbungkus celana panjang flanel yang
kelihatan kotor.
Peter memandangnya dengan heran, sewaktu pemuda
itu menggiring beruang pergi ke kandangnya.
"Apakah dia juga turut dalam pertunjukan?" tanya Pe-
ter. "Rasanya aku tak melihat dia tadi"
"Tenitu saja kau melihatnya — dia kan salah satu artis
yang beraksi di atas jangkungan,” jawab akrobat yarsg ma-
sih terus sibuk menuliskan tanda tangannya di atas kertas.
"Namanya Louis. Kecuali itu ia juga ikut membanitu
mengurus binatang. Kalian mau datang untuk melihat be
ruang dalam kandang mereka? Beruang itu jinak-jinak
semuanya. Dan Jumbo si gajah pasti akan senang sekali,
apabila kalian membawakan roti untuknya. Dia juga sangat
jinak."
"Tenitu saja kami mau datang" seru Janet sambil ber-
tepuk tangan. Ia sudah membayangkan, betapa asyiknyai a
nanti bermain-main dengan beruang kecil yang lucu.
"Bolehkah kami datang besok?"
"Baikiah kalian bisa datang besok pagi,"jawab akiobat.
"Katakan saja kalian mencari Trinkulo — tulah namaku.
Aku akan berada di sekitar sini."
Ketujuh anak itu mengucapkan terima kasih, lalu pergi
meninggalkan tempat tu. Mereka berdiam diri sampai
pembicaraan mereka tak mungkin lagi terdengar oleh
orang-orang sirkus.
"Lega rasanya hatiku karena pencuri yang kita cari ter
nyata bukan akrobat tadi," ujar Janet. "Dia sangat ramah.
Aku juga senang melihat mukanya yang lucu. Wah, aku ta-
di terkejut sekali sewaktu rambutnya yang hitam dicabut
dan terlepas."
"Aku juga terkejut," sambung Peter. "Mulanya kukira
aku masih dapat mengingat muka si pencuri. Sewaktu
kulihat muka Trinkulo, aku sungguh-sungguh yakin bahwa
dia mirip dengan si pencuri yang kita cari. Padahal sama
sekali tak serupa. Misalnya saja, orang yang kulihat dalam
semak jauh lebih muda dari dia."
"Menurut pendapatku, kita jangan lagi memperhatikan
muka," usul Colin. "Lebih baik kita berusaha menemukan
orang yang mengenakan baju wol biru dengan jalinan
benang merah."
"Kalau begitu kita kan terpaksa berkeliaran di seluruh
daerah sini mencari orang yang berpakaian begitu ,"
sanggah Pam. "Terus terang, seperti pekerjaan orang sin-
ting saja."
" Barangkali kau mempunyai usul yang lebih baik?" balas .
Colin.
Sayang, Pam tak tahu akal. Begitu juga halnya dengan
teman-teman yang lain.
"Kalau begitu kita sampa di jalan buntu." ujar Peter mu
rung. "Ah, rasanya tidak asyik rahasia ini. Setiap kali
kita mengira menemukan jejak — ternyata salah lagi!"
"Bagaimana kalau besok kita datang lagi ke tempat sir-
kus?" tanya Pam. "Bukan untuk mencari pencuri, karena
sekarang kita sudah tahu bahwa orang yang kita cara bukan
akrobat. Maksudku, kita datang untuk melihat binatang-
binatang mereka."
"O ya. aku setuju! Aku senang pada beruang kecil tadi,"
sambut Janet. "Aku pun kepingin melihat Jumbo dari
dekat. Gajah termasuk bnatang yang kusenangi."
"Mungkin aku tidak ikut,"kata Barbara. "Aku agak takut
melihat gajah. Badan mereka sebesa raksasa."
"Aku juga segan datang," kata Jack "Kau bagaimana
George? Kita kan sudah berjanji besok akan tukar menu-
kar perangko."
"Betul juga — kalau begitu kami tak bisa ikut," sahut
George."Kau kan tidak marah Peter? Karena bermain-
main dengan beruang dan gajah sama sekali tak ada
hubungannya dengan tugas kita selaku anggota Sapta
Siaga."
"Baiklah, kalau begitu yang pergi hanya aku, Janet, Pem
dan Colin." ujar Peter. "Tapi jangan lupa kita mencari
orang yang mengenakan baju wol biru semu-semu merah.
Siapa tahu, barangkal saja kalian berjumpa dengannya —"
XI
Pam menemukan tanda bukti
KEESOKAN HARINYA Peter datang lagi ke lapangan
tempat sirkus bermain, dengan disertai oleh Janet, Colin
dan Pam. Skippy tidak diajak, karena mereka takut Jumbo
akan marah apabila anjing itu mengendus-endus dekat
kakinya. Skippy sangat kesa ditinggalkan sendiri. Sewaktu
mereka sudah jauh pun, masih terdengar loiongannya
"Kasihan si Skippy," ujar Janet. "Aku sebetulnya kepi-
ngin mengajak dia, tapi jangan-jangan nanti masuk ke kan
dang singa. Skippy memang terlalu ingin tahu!"
Tidak lama kemudian mereka sampai ke tempat sirkus
bermain. Mereka melintasi lapangan, sambil memperhati-
kan orang orang sirkus dengan penuh minat. Lain benar
nampaknya, kalau mereka berpakaian biasa! Kalau se-
dang beraksi di tengah gelanggang, nampak sangat me-
narik tetapi sekarang seperti manusia-manusia biasa saja
kelihatannya.
Beberapa orang di antara mereka menyalakan api ung-
gun di tengah lapangan, dan nampak sedang sibuk mema-
sak sesuatu dalam belanga hitam yang digantungkan di
atas api. Bau masakan sangat sedap, sehingga Peter me-
rasa lapar dibuatnya.
Mereka berhasil menemukan Trinkulo. Ternyata akrobat
itu menepati janji. Diajaknya anak-anak berkenalan dengan
Jumbo, gajah besar yang pandai bermain bola. Gajah itu
bersuara riang, kedengarannya seperti bunyi terompet.
Kemudian diliiitkannya beialai yang panjang ke tubuh
Janet, lalu anak perempuan itu diangkat dan diletakkan-
nya di atas pundak yang lebar. Janet berseru karena terke-
jut bercampu senang.
Kemudian mereka pergi mendatang beruang kecil, yang
senang sekali melihat anak anak tu. Diulurkannya kaki
depan dan ceiah celah terali kandangnya. Rupanya ingin
menjangkau tangan mereka. Trinkulo membuka pintu kan-
dang dan mengeluarkan beruang kecil tu. Dengan segera
binatang itu berjalan mendekat, lalu mendekapkan kedua
belah kaki depannya ke betis Trinkulo. Matanya yang
jenaka menatap keempat anak yang mengerumuni.
"Sayang badannya terlampau berat," sesal Janet. Anak
perempuan itu selalu ingin menjunjung setiap binatang
yang disenangi olehnya untuk d peluk peluk."Kalau diper-
bolehkan, aku kepingin membelinya."
"Wah, bagaimana si Skippy nanti apabila kita pulang
membawa beruang?" tanya Peter.
Sesudah itu mereka diajak oleh Trinkulo melihat-lihat ke
kandang singa. Pemuda bermuka masam yang bernama
Louis ada disitu bersama seorang lagi. Mereka berdua se
dang bekerja, membersihkan kandang. Louis tetap ber-
muka masam, tetapi teman kerjanya tertawa ramah ketika
melihat keempat anak tu. Seekor singa mengaum sehing-
ga Janet terlompat ke belakang karena terkejut.
"Jangan takut," kata orang yang mengajak tersenyum
tadi Rupanya ia pelatih singa-singa tu. "Singa-singa ini
tidak apa-apa. Mereka hanya berbahaya dalam keadaan
lapar. Tapi walau begitu jangan berdiri terlalu dekat, Nak!
He, Louis — air dalam palung ini sudah kotor sekali. Isilah
dengar air yang bersih."
Perintah itu dilakukan oleh Louis. Anak-anak
memperhatikan pemuda itu menumpahkan isi palung yang
sudah kotor lalu mengisinya kembali dengan air bersih.
Kelihatannya ia sama sekali tak takut terhadap singa si-
nga yang berada d dekatnya. Janet kurang suka terhadap
pemuda tu. Tapi harus diakuinya bahwa Louis pernberani.
Sayang, mereka tidak dapat terus- menerus di stu. Peter
dan ketiga anak lainnya meminta diri pada Trinkuio sambil
mengucapkan terima kasih. Sesudah menepuk-nepuk be-
ruang kecil sekali lagi mereka berempat berjalan ke tem-
pat Jumbo ditambatkan. Kaki gajah yang besar seperti
tiang ditepuk-tepuk oleh mereka. Lalu mereka pun berjalan
menuju pintu ke luar, melalui deretan kereta-kereta tempat
tinggal orang orang sirkus. Kereta-kereta itu dicat berwar
na warni. Beberapa orang penghuni kereta-kereta itu
kelihatan sedang sibuk mencuci. Pakaian yang sudah ber
sih mereka bentangkan di rumput supaya kering. Ada pula
beberapa orang yang merentangkan tali jemuran. Macam-
macam yang digantungkan di stu, melamba -lambai di-
tiup angin.
Keempat anak itu lewat sambil melihat-lihat sepintas
lalu. Tiba-tiba Pam berhenti berjalan. Matanya menatap
sesuatu yang tergantung pada tali jemuran. Kemudian ia
berpaling memandang teman-temannya. Kelihatannya
sepert habis melihat sesuatu yang penting, sehingga ke
tiga temannya buru-buru datang mendekat.
"Ada apa?" tanya Peter. "Kenapa mukamu menjadi me-
rah ?"
"He — nanti dulu, ada yang memperhatikan kita atau ti-
dak?" tanya Pam setengah berbisik. Ternyata orang-orang
sirkus sedang sibuk dengan pekerjaan masing- masing.
"Nah Peter — cepatlah Perhatikan kaos-kaos kaki yang
bergantungan pada tali jemuran tu. Kau teringat pada apa
kalau melihatnya ?"
Teman-temannya memandang ke arah cucian yang ter-
gantung pada tali jemuran. Ada sapu tangan yang sudah
robek, beberapa potong baju rok anak anak, begitu pula
kaos-kaos kaki. Sejenak Peter mengira bahwa Pam tadi
melihat baju wol berwarna biru.
Tapi pada tali jemuran itu sama sekali tak kelihatan
tergantung baju wol biru. Jadi apa sebetulnya yang mena-
rik perhatian Pam! Kemudian baru terlihat olehnya benda
yang dimaksudkan oleh temannya tu.
Pandangan Pam tertatap pada sepasang kaos kaki wol
berwarna biru. Tidak biru polos, tetapi dengan sejalur
benang merah terjalin memanjang. Seketika itu juga Peter
tenngat kepada benang wol yang terselip dalam buku ca
tatannya. Mungkinkah benang tersebut be asal dari kaos
wol yang tergantung di jemuran?
Dengan segera Pete mengeluarkan buku catatan dari
sakunya, lalu mengambil benang wol yang masih terselip
di dalamnya. Benang itu didekatkan ke kaos yang tergan
tung untuk diperbandingkan. Warna birunya cocok. Me-
rahnya juga sama. Sedang kelihatannya benang wolnya
juga sejenis.
"Dan ini — lihatlah!" ujar Pam bersungguh-sungguh.
"Kaos ini nampaknya pemah tersangkut — ini, di sini —
ada benangnya yang tercabut, sehingga kelihatan berlu-
bang kecil. Sekarang aku yakin betul, Peter! Benang biru
yang kita temukan berasal dari kaos kaki inil"
Peter juga berperasaan begtu. Tapi sebelum mereka
sempat memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya
tahu-tahu muncul seorang perempuan tua. Perempuan itu
mengusir mereka, sambil marah-marah.
"Mau apa kalian di sini! Awas, jangan pegang kaos-kaos
tu!" katanya.
Karena perempuan tua itu sudah marah-marah, Peter
tidak berani lagi menanyakan nama pemilik kaos kaki yang
menarik minat mereka tu. Sayang! Karena kalau ia
mengetahui nama orang tu, maka dengan segera ia pun
akan mengetahui siapa pencuri kalung mutiara milik Lady
Lucy !
XII
William yang berkaki palsu
PEREMPUAN TUA semakin marah, ketika melihat anak-
anak tidak segera pergi. Pam ditolakkannya sedikit, sehing-
ga anak perempuan itu terdorong ke depan.
"Kalian tuli rupanya 1 Ayo pergi!" pekiknya. Dengan
cepat anak-anak menyingkir, karena takut kalau-kalau pe-
rempuan itu mengamuk nantinya. Dengan cepat mereka
meninggalkan lapangan tempat sirkus. Semuanya ber-
diam diri tapi nampak bahwa mereka sibuk memikirkan
tanda bukti yang baru saja mereka temukan. Dan begitu
mereka berada di jalan besar, ketujuh anak itu berebutan
hendak berbicara.
Cobalah selama ini kita sibuk mencari-cari baju wol.
Siapa mengira bahwa benang itu berasal dari kaos kaki !"
"Tapi sudah pasti benang itu dari kaos kaki yang kita
lihat tadi. Warna benangnya persis sama dengan benang
yang kita temukan tersangkut pada permukaan tembok."
"Aduh, sayang kita tak berani menanyakan nama
pemirik kaos itu !"
"Ya. coba kita berani tadi — pasti sekarang kita tahu
siapa pencurinya !"
Anak-anak itu lari cepat-cepat ke arah rumah Peter dan
Janet karena mereka ingin membicarakan tindakan selan-
jutnya. Ketka mereka membuka pintu gudang yang tak
terkunci, ternyata Jack, George dan Barbara sudah
menunggu di dalam! Ketiga anak itu tak memberi ke
sempatan kepada keempat teman mereka untuk bercerita
perihal kaos kaki.
"Peter! Janet!" ujar Jack, begitu ia melihat Peter beser-
ta rombongan muncul di pintu. "Kalian masih ingat pada
bekas-bekas aneh berbentuk bundar yang kita lihat di
tanah dalam pekarangan Milton Manor? Kami menemu-
kan bekas-bekas yang persis seperti itu di tempat Sain!"
"Di mana kalan melhatnya?" tanya Peter.
"Di tempat yang agak becek dekat sebuah pondok yang
bobrok" kata Jack lagi. "Kebetuan aku lewat disitu ber
sama George. Begitu kami melihat bekas-bekas aneh itu di
tanah, dengan segera kami pergi menjemput Barbara.
Sesudah itu kami ke mari, untuk menceritakannya pada
kalian. Dan hebatnya, Barbara tahu benda apa yang
meninggalkan jejak sepert itu di tanah!"
"Pasti kalian takkan bebas menebaknya" ujar Barba
ra dengan bangga.
"Ayo, jangan main teka teki lagi. Katakanlah." desak
Janet tak sabar. Ia sudah lupa pada kaos kaki biru yang
mereka lihat terjemur pada tali di lapangan sirkus.
"Aku pun mula-mula tak tahu jejak jejak rata dan bundar
yang kamu lihat itu bekas apa,"kata Barbara. "Tapi kemu-
dian aku teringat siapa yang tinggal dalam pondok tua di
dekat stu. Dan seketika itu juga aku tahu bekas apa yang
kami lihat itu ”
"Bekas apa ?" tanya Peter cepat-cepat. Ia sudah tak sa
bar lagi.
"Kau tahu siapa yang tinggal di pondok tua tu?" tanya
Barbara. Ketika ia melihat mata Peter mulai membelalak,
lekas-lekas disambungnya, "Kau tak tahu rupanya. Orang
yang tinggal di situ bernama Willam. Dia dulunya pelaut.
Kakinya buntung sebelah karena disambar ikan hiu. Seka
rang dia memakai kaki palsu, yang terbuat dari kayu. Apa
bila ia berjalan di tanah yang lembek, kaki palsunya itu
meninggalkan bekas-bekas yang bundar bentuknya. Per-
sis seperti bekas-bekas yang kita lihat di dekat tembok
dalam pekarangan Milton Manor. Jadi mestinya Pak tua
William tulah pencuri yang kita cari !"
Anak-anak duduk sambil memikirkan kemungkinan tu.
Tapi kemudian Peter menggelengkan kepala.
"Tidak! Tidak mungkin," katanya tegas. "Tak mungkin
Pak tua Wiiliam yang mencuri. Dengan kakinya yang palsu
sebelah, mana mungkin dia bisa memanjat tembok yang
tinggi! Lagi pula pencuri yang kita cari mengenakan sepa-
sang kaos, hal mana berarti kedua belah kakinya masih
lengkap"
"Eh! Dari mana kau tahu bahwa dia memakai kaos
kaki?" tanya Barbara dengan heran. Lalu Peter bercerita,
bahwa mereka melihat sepasang kaos wol biru tergantung
pada jemuran di lapangan tempat sirkus. Barbara berpikir
sejenak. Sesudah itu ia berkata lagi.
"Kalau begitu pencuri yang kita cari memang masih
lengkap kedua kakinya. Tetapi kenapa Pak tua Wiiliam tak
mungkin ikut dalam pencurian tu? Pokoknya bekas-bekas
yang kami lihat dekat pondoknya, persis sama dengan tan-
da-tanda bundar yang kelihatan di pekarangan Milton
Manor! Dia kan bisa saja menolong, misalnya saja untuk
menjunjung pencuri sewaktu hendak memanjat tembok ke
daiam. Kalau tidak, untuk apa Pak tua William Iitu ada di
sana?"
"Itulah yang harus kita selidiki sekarang." jawab Peter
sambil bangkit. "Ayolah! Kita pergi ke sana, untuk
mengajukan beberapa pertanyaan padanya, dan untuk
melihat jejak-jejak yang kalian lihat. Sama sekali tak terpi
kir olehku bahwa bekas bekas di tanah itu disebabkan oleh
kaki kayu!"
Mereka pun berjalan menuju ke pondok tua tempat ting
gal bekas pelaut tu. Tanah didepan rumah itu agak be
cek. Dan benarlah, di situ nampak jeias jejak-jejak berben-
tuk bundar. Persis seperti yang dilihat anak-anak itu di
pekarangan Milton Manor! Peter membungkuk untuk
menelitinya lebih dekat lagi. Agak lama juga ia meng-
amat-amati bekas-bekas di tanah becek tu. Akhirnya ia
menggeleng
"Hm — tidak! Bekas-bekas ini tidak persis sama seperti
yang kita lihat dulu. Ukurannya lebih kecil. Lihatlah sen-
diri !" Sambi berkata begtu, Peter mengeluarkan benang
biru dari buku catatannya, dan melintangkannya di atas
salah satu jejak yang dihadapinya. Benarlah! Benang itu
lebih panjang kira-kira dua senti dari garis tengah jejak.
"Aneh!" seru George. "Kalau begitu bukan Pak tua
Wiiliam yang meninggalkan bekas-bekas kak palsunya di
dalam pekarangan Milton Manor. Mungkinkah masih ada
orang lain di daerah sini, yang juga berkaki palsu? Mesti-
nya kaki palsu itu agak lebih besar dari yang ini !"
Anak-anak sibuk mengingat-ingat. Tapi tak seorang pun
mengenal orang lain yang juga berkaki kayu. Benar-benar
menjengkelkan !
’Kita ini selalu mengira telah berhasil memecahkan per-
soalan, tapi kemudian ternyata keliru lagi." ujar Peter
dengan kesal. "Aku yakin, seorang berkaki kayu ikut serta
dalam pencurian. Tapi orang itu bukan Pak tua Wiiliam. Se-
dang kita juga tahu bahwa pencuri yang kita cari tak
mungkin hanya berkaki satu, karena sudah jelas ia
mengenakan sepasang kaos kaki.
"Kaos kaki pencuri sudah kita temukan, tapi orangnya
sendiri belum kita ketahui!" ujar Jane. "Rahasia ini
semakin rumit saja jadinya. Kita menemukan hal-hal yang
semakin menyulitkan persoalan!"
"Menurut pendapatku, kita sebaiknya kembali saja be-
sok ke lapangan tempat sirkus. Kita coba menyelidiki siapa
pemilik kaos kaki tu," ujar Peter. "Walau kita tak berani te
rang-terangan menanyakan, tapi kita masih dapat
memperhatikan siapa yang memakainya!"
"Betul," ujar Colin menyetujui. "Jadi besok kita berkum-
pul di sana pukul sepuluh pagi. Setiap kaos yang dipakai
orang di lapangan itu harus kita perhatikan dengan sak
sama."
XII
Jas yang cocok dengan peci
KEESOKAN HARINYA pukul sepuluh pagi, para anggota
Sapta Siaga sudah berkumpul di lapangan sirkus. Seba
gai alasan kedatangan mereka, mereka mencari-cari Trin-
kulo. Tapi akrobat itu tak kelihatan batang hidungnya.
"Kalian mencari Trinkulo? Dia pergi ke kota," kata salah
seorang akrobat yang mereka jumpa. "Mau apa kalian
mencari dia ? "
"Ah, bukan untuk apa apa. Kami hanya ingin meminta
ijin padanya, untuk melihat lihat disini," jawab Jack. "Kami
kepingin melihat gajah, singa. beruang —"
"Masuk sajalah!" kata akrobat tu, lalu pergi sambil
jungkir balik menuju ke kereta tempat tinggalrya. Anak-
anak memandang kesigapan orang itu dengan penuh keka-
guman.
"Hebat benar akrobat akrobat itu." ujar Pam memuji.
"Pandai sekal mereka jungkir balik, kelhatannya seperti
roda berputar putar!"
"Kenapa tidak kaucoba saja?" tanya Peter sambil me
ringis. Pam mencobanya. Tapi baru saja tangannya me
nyentuh tanah, badannya ikut menyusul sehingga Pam
terjerembab. Anak anak tertawa melihatnya. Untung Pam
bukan anak yang cepat tersinggung, ia pun ikut tertawa.
Saat itu seorang anak perempuan yang masih kecil le-
wat di dekat mereka. Rupanya anak itu termasuk dalam
rombongan sirkus. Ia tertawa melihat kecanggungan Pam,
lalu memamerkan kepandaiannya. Anak itu jungkir balik,
silih berganti kaki dan tangannya menyentuh tanah berpu-
tar-putar sekeliling lapangan.
"Lhatlah anak itu," ujar George dengan agak iri.
"Sedang anak-anak mereka pun pandai jungkir balik se-
perti roda. Kita harus berlatih dengan rajin, supaya
sepandai mereka !"
Sewaktu mereka mendatangi beruang kecil, ternyata
binatang manja itu sedang tidur nyenyak dalam kandang-
nya. Kemudian dengan hati hati ketujuh anak itu berjalan
mendekati tempat menjemur pakaian. Tapi kaos-kaos kaki
yang mereka lihat kemarin, sudah tak tergantung lagi pa-
da tali jemuran. Nah! Kalau begtu, mungkin kaos itu sudah
dipakai orang. Dan pemakainya tenitu pencuri yang me
reka cari.
Anak-anak berkeliaran lagi di lapangan. Dengan sem-
bunyi-sembunyi mereka memperhatikan pergelangan kaki
setiap orang laki-laki yang dijumpa. Tapi anehnya hari
itu seolah-olah tak ada orang sirkus yang mengenakan kaos
kaki. Kesal sekali anak-anak karenanya.
Kemudian mereka melihat Louis berjalan di depan me-
reka. Pemuda bermuka masam itu menuju ke kandang
singa. Dibukanya pintu kandang, lalu ia masuk ke dalam
untuk membersihkan lantai. Singa-singa yang sedang ber
baring dianggap sepi olehnya, dan kawanan raja rimba itu
juga tak mempedulikannya. Janet kagum sekali melihat ke
beranlan Louis. Enak saja pemuda itu mengayunkan sapu
dekat kaki singa.
Louis mengenakan celana flanel kotor yang sudah
dipakainya kemarin. Celana itu digulung sampai setinggi
lutut, ia hanya memakai sepaitu karet yang kotor, tanpa
kaos kaki. Warna gelap yang dilihat anak-anak bukanlah
warna kaos, melainkan kotoran yang melekat ke kakinya.
Beberapa saat lamanya anak-anak memperhatikan
pemuda itu bekerja. Pada wakitu mereka berpaling hendak
pergi, ada lagi orang datang. Dengan cepat mereka melirik
pergelangan kakinya. Sial orang situ juga tak mengenakan
kaos kaki.
Tetapi Jack melihat sesuatu yang menarik perhatian.Ia
berhenti berjalan sambil menatapkan matanya pada orang
itu. Orang yang diperhatikannya mengerutkan dahi. Rupa
nya agak kesal karena ditatap terus-menerus.
"Kenapa aku kautatap terus-menerus?" tukasnya
dengan jengkel "Barangkali ada yang tak beres? Ayo, li-
hat ke tempat lain."
Dengan cepat Jack memalingkan muka. Didorongnya
teman-teman supaya berjalan terus. Begiitu mereka sudah
agak jauh dari orang yang marah itu, Jack berbisik.
"Kalian melihat jas yang dipakai orang tu? Bahannya
persis seperti peci yang kita temukan tersangkut di atas
dahan. Cuma bedanya, jas itu tak begitu kotor. Tapi aku
yakin bahannya persis sama.
Ketujuh anak itu berpaling ke belakang. Orang yang
dimaksudkan oleh Jack kelihatan sedang mengecat bagi-
an luar dari kandang singa. Jasnya dibuka dan digan-
tungkannya pada pegangan pintu kandang. Anak-anak
ingin sekali memperbandingkan jas itu dengan peci yang
mereka temukan, untuk melihat apakah benar-benar sama
bahannya.
"Kau membawa pecinya?" bisik Pam pada Peter. Peter
mengangguk sambil menepuk-nepuk kantong jaketnya.
Tiba-tiba datang kesempatan baik Dari jauh terdengar
suara memanggil. Orang yang sedang mengecat itu meno-
leh ke arah datangnya suara, lalu meletakkan kuas di
atas kaleng cat. Ia pergi dengan meninggalkan jasnya yang
masih tergantung pada pegangan pintu kandang. Tanpa
menunggu lama-lama, anak anak itu datang mengham-
piri.
"Kalian pura-pura mempehatikan singa-singa." ujar Pe-
ter setengah berbisik. "Sementara itu aku memper-
bandingkan peci dengan jasnya." Dengan segera anak-
anak berkerumun didepan kandang, sambil bercakap-ca-
kap mengenai singa. Peter mengeluarkan peci dari kan-
tong jaketnya, lalu didekatkan ke jas yang tergantung.
Dengan cepat peci dimasukkan kembali ke kantong. Tak
mungkin keliru lagi jas dan peci dibuat dan bahan yang
tepat sama. Kalau begitu mungkinkah orang yang sedang
mengecat kandang itulah yang menjadi pencuri kalung?
Tapi kenapa ia sampai melemparkan pecinya ke atas
pohon? Kenapa penutup kepala itu ditinggalkannya di
sana? Perbuatan itu tak masuk akal.
Sementara itu pemilik jas datang iag sambil bersiul-siul.
Setibanya di depan kandang, ia membungkukkan badan
untuk mengambil kuas yang diletakkan di atas kaleng cat.
Colin menatapkan mata ke ubun-ubun orang itu.
Anak-anak pergi berbondong-bondong. Semuanya ingin
tahu, bagaimana hasil perbandingan yang diakukan oleh
Peter. Cocokkah peci dengan jas orang itu ? Sewaktu me
eka sudah agak jauh sehingga pembicaraan mereka tak
mungkin lagi terdengar oleh orang tu, Peter mengangguk.
"Ya, jas dan peci terbuat dari bahan sama," katanya.
'Jadi mungkin orang itu pencuri yang kita cari. Kita harus
waspada mengamat-amatinya."
"Ah, tak perlu." ujar Colin tiba-tiba. Keenam temannya
memandang dengan heran, karena itu ia melanjutkan ke-
terangan. "Aku tadi sempat memandang ubun-ubunnya.
Dia bukan orang yang kulihat dalam Hutan Semak.
Memang, rambutnya hitam, tetapi tak ada bagian yang
agak botak di ubun-ubunnya!"
XIV
Nampak lagi jejak-jejak aneh
KETUJUH ANGGOTA Sapta Siaga yang malang itu
duduk di batang pagar yang mengelilingi lapangan sirkus.
Mereka merasa putus asa.
"Bayangkanlah, kita sudah berhasil menemukan orang
memakai jas yang sama bahannya dengan peci kita. Seka
rang ternyata pencurinya tak mungkin orang itu, karena dia
tidak botak di bagian ubun-ubunnya," keluh Pete.
"Nanti kalau kita berhasil menemukan orang memakai
kaos kaki biru yang menurut kita adalah kepunyaan pen
curi, tahu tahu kita akan salah tebak lagi." ujar Janet. "Ba
rangkai saja kaos itu d pakai oleh bibinya, atau oleh orang
lain lagi". Anak-anak tertawa mendengar ucapan tu.
"Sebetulnya kita tidak tahu pasti, apakah memang benar
peci yang di kantongku ini ada hubungannya dengan pen-
curian kalung mutiara." kata Peter sambil berpikir. "Kita
kan hanya menemukannya saja, tersangkut di dahan yang
tak jauh letaknya dari tempat pencuri memanjat tembok.
"Entah kenapa, tapi menurut perasaanku peci itu ada
hubungannya dengan pencurian tersebut," balas George.
Sesudah itu mereka berdiam diri lagi. Masing-masing
termenung memikirkan persoalan yang sukar itu. Tiba-tiba
Janet terpekik.
"Ada apa Janet? Kau menemukan jalan baru?" tanya
Peter.
"Tidak. Tapi aku melihat sesuatu." jawab Janet sambil
menunjuk ke suatu tempat di sebelah kanan mereka. Anak-
anak mengikuti arah telunjuknya — dan mata me eka
langsung terpaku di stu!
Tanah di sekitar tempat yang dtunjuk oleh Janet agak
lembab. Dan di tempat itu nampak jejak jejak sesuatu.
Bentuknya bundar, seperti yang nampak dekat pondok Pak
tua William, dan juga seperti bekas bekas aneh di peka-
rangan Milton Manor!
"Menurut perkiraanku, ukuran bekas-bekas ini persis
seperti yang kita lihat dekat tembok," ujar Peter sambil
meloncat turun dari pagar. Kelihatannya agak lebih besar
dari jejak kaki palsu Pak tua W lliam. Sebaiknya kuukur
saja." Sambil berkata begitu Peter mengeluarkan benang
biru yang masih disimpannya, lalu dengan hati-hati di ta-
ruhnya melintang di atas jejak yang nampak.
'Lihatlah," ujarnya dengan gembira. "Persis sama be-
sar. Jejak-jejak yang kelihatan di sini semuanya sama be-
sar dengan yang kita lihat di Milton Manor!"
"Wah, kalau begitu mestinya di sirkus ini juga ada orang
berkaki palsu," kata Colin "Dia bukan pencurinya, karena
tak mungkin bsa memanjat tembok yang tmgg Tapi
mungkin saja dia ikut membantu".
"Kita harus mencari orang tu," kata George. "Kalau kita
berhasil mengetahui dengan siapa dia bersahabat atau
temannya tinggal sekereta, maka kita akan menemukan
pencuri yang dicari-cari. Dan tanggung orang itu mengena
kan kaos kaki biru. Nah, mulai ketahuan sekarang per-
soalannya ".
Peter memanggil anak perempuan yang tadi jungkir
balik memamerkan kepandaiannya.
"He, Dik — ke marilah sebentar" seru Peter. "Kami
ingin bicara sebentar dengan orang berkaki palsu, yang ikut
dalam sirkus kalian. Di kereta mana ia tinggal?"
'Kau ini gila rupanya." ujar gadis itu dengan seenaknya.
"Di sini tak ada orang yang kakinya buntung. Apa yang
dicarinya di sirkus! Kaki kami semuanya sehat dan kami
memerlukan sepasang kak yang sehat. Ada-ada saja kau
ini !"
"Nanti dulu." balas Peter dengan suara tegas. "Kami
tahu, di sini ada seorang yang satu kakinya palsu Kam
ingin berjumpa dengan orang itu. Ini kuberi coklat — apa-
bila kaukatakan di mana tinggalnya. "
Dengan cepat anak perempuan kecil itu menyambar co-
klat yang disodorkan oleh Peter. Kemudian ia tertawa
mengejek.
"Coklatmu hilang percuma ! Kau memang sinting. Tadi
kan sudah kukatakan, di sini tak ada orang yang kakinya
buntung ."
Sebelum Peter sempat berbuat apa apa, anak pe-
rempuan itu sudah pergi menjauh sambil jungkir balik.
"Bisa saja kalian mengejar dan kemudian memukul anak
itu," seru seorang wanita yang sedang berdiri di depan se-
buah kereta tempat tinggal,"tapi tetap tak ada gunanya. Di
sini memang tak ada orang yang berkaki palsu."
Sehabis bicara, wanita itu masuk ke dalam keretanya
sambil menutup pintu. Para anggota Sapta Siaga berdiri
dengan bingung. Tak tahu lagi mera yang harus
dilakukan sekarang.
"Mula muia kita menemukan jejak-jejak bundar di
depan pondok Pak tua William. Kita sudah yakin, bahwa
orang yang meninggalkan jejak-jejak itu pasti pencuri yang
kita cari." ujar Peter berkeluh kesah. Tapi ternyata duga
an kita keliru — karena Pak tua Wlliam sama sekaji tsk
ada hubungannya dengan kejadian yang sedang kita seli-
diki, karena jejak-jejak kaki palsunya terlalu kecil. Seka
rang kita menemukan jejak yang tepat ukurannya — tapi
dikatakan di sini tak ada orang yang berkaki palsu.Pusing
kepalaku jadinya!"
"Kita ikuti saja jejak-jejak ini," usul Janet. "Di tengah
rumput tinggi memang tak nampak jelas, tapi barangkali
masih cukup kelihaian."
Ternyata mereka memang berhasil mengikuti jejak je-
jak bundar itu. sampai ke sebuah kereta yang tidak besar
ukurannya Kereta itu letaknya tak jauh dari kandang singa.
Louis sedang duduk-duduk di tangga kereta sebelah.
Dengan heran diperhatikannya anak-anak yang datang
terbungkuk-bungkuk mengikuti jejak yang tak begitu jelas.
Anak anak itu naik ke atas tangga kereta kecil, lalu
mengintip ke dalam. Kelihatannya kereta itu tak ditinggali
orang karena isinya penuh dengan bermacam-macam per-
alatan sirkus.
Sebutir baitu melayang, dan jatuh di dekat kaki mereka.
Anak-anak itu meloncat karena kaget.
"Ayo pergi! Untuk apa kalian mengintip di stu!" seru
Louis sambil memungut sebutir batu lagi. Tangannya
sudah siap melempar. "Ayo pergi! Kalau tidak, kulempar
dengan baitu ini !"
XV
Salah masuk
KETUJUH ANGGOTA Sapta Siaga meninggalkan
lapangan sirkus dengan terburu-buru. George mengusap-
usap pergelangan kakinya, yang kena lemparan batu.
"Jahat benar si Louis itu!" gerutunya. "Kenapa kita tak
diperbolehkannya mengintip ke dalam kereta kecil tadi?
Padahal isinya kan cuma peralatan sirkus saja!"
"Mungkin kalung mutiara disembunyikan di situ oleh
pencurinya," ujar Janet sambil tertawa.
Mendengar kelakar adik perempuannya tu. Peter lantas
berpikir sejenak. Keningnya berkerut.
"Mungkin katamu itu ada benarnya, Janet.” katanya
kemudian. "Sekarang kita sudah yakin, bahwa pencuri
yang kita cari ada di sirkus ini. Jadi mestinya kalung
utiara juga ada di sini. Dan kenapa Louis marah ketika
kita hanya menjenguk sebentar ke dalam kereta tadi?"
"Alangkah baiknya, apabila kita bisa memeriksa isinya."
ujar Colin. "Tapi aku tak tahu bagaimana caranya."
"Aku tahu" sambut Peter. "Colin, malam ini kita beedua
menonton pertunjukan sirkus lagi. Tapi di tengah-tengah-
pertunjukan, apabila semua artis sudah berada di dalam
tenda, kita menyelinap ke luar. Kita aksn memeriksa
kereta kecil itu, untuk melihat apakah mutiara disembu
nyikan di sana."
"Masakan pencuri menyembunyikannya di tempat itu?"
tanya Pam. la kurang percaya. "Kan di situ gampang ke-
tahuan!"
Tapi Peter tetap bersikeras.
"Entah kenapa, tapi aku kepingin memeriksa tempat
itu." katanya. "Bukankah jejak-jejak bundar menuju ke
sana? Itu kan sudah cukup aneh!"
"Memang aneh." tukas Barbara. "Jejak seseorang
berkaki palsu. Tetapi orangnya tidak ada ! Ah, petualang-
an kita kali ini sia-sia belaka!"
"Bukan sia-sia." ujar George membetulkan, "tapi menye-
rupai teka teki yang rumit. Mula-mula semuanya mem-
bingungkan tapi kalau sudah banyak yang diketahui, maka
persoalannya menjadi mudah."
"Benar juga katamu. Selama ini kita telah mengumpul-
kan berbagai bukti yang sebenarnya saling berpautan. Kita
saja yang belum berhasil menemukan hubungannya." ka-
ta Pam. "Sepotong benang wol yang ternyata tercabut da
ri kaos kaki, yang kita lihat tergantung pada tali jemuran,
sebuah peci yang terbuat dari bahan yang sama dengan
sebuah jas. Tapi jas itu dikenakan oleh orang yang sudah
pasti bukan pencurinya. Begitu pula jejak-jejak aneh yang
kelihatan di berbagai tempat, tapi tak menolong kita
memecahkan rahasia pencurian ini !"
"Sudahlah, kita pulang saja," ujar Jack sambii meman-
dang ke arlojinya. "Hampir waktunya makan siang. Sepagi
ini kita hanya membuang-buang waktu. Menurut pen
dapatku, kita sudah bekerja dengan sia-sia belaka selama
ini !"
"Hari ini kita tidak mengadakan rapat lagi," ujar Peter
daiam perjalanan pulang." Malam ini aku akan ke sirkus la
gi dengan Colin. Jangan lupa bawa senter Colin! Wah,
bayangkan apa jadinya, apabila kita nanti menemukan
kalung mutiara dalam kereta kecil itu”.
"Ah, tak mungkin,"bantah Colin. "Aku heran, kenapa
kau masih tetap berkeras hendak memeriksa kereta itu.
Tapi baikiah, kita bertemu nanti malam di depan pintu ma-
suk."
Ternyata Colin lebih dulu tiba. Tak lama kemudian Peter
datang beriari-lari. Mereka masuk bersama-sama Sambil
mengeluh, dikeluarkan lagi uang enam puluh penny guna
membayar karcis masuk.
"Padahal kita hanya menonton sampai setengahnya
saja." bisik Peter dengari agak kesal. Keduanya masuk ke
dalam tenda, dan mencari tempat duduk yang jauh di se
belah belakang. Dengan begitu mereka nanti akan dapat
dengan mudah menyelinap ke luar, tanpa diketahui orang
lain.
Pertunjukannya sangat menarik. Para badut, artis-artis
dengan jangkungan serta para akrobat seolah-olah ber-
main lebih baik lagi dari sebelumnya. Karena itu dengan ra-
sa agak menyesal kedua anak itu menyelinap keluar se
belum pertunjukan selesai.
Setibanya di luar tenda, kedua anak itu tertegun seben
tar. Lapangan sirkus gelap, karena itu mereka harus men-
cari jalan terlebih dulu.
"Di sana," ujar Peter sambil memegang lengan Colin.
"Lihatlah, bukankah itu kereta kecil yang tadi?"
Dengan hati-hati mereka bergerak menuju ke arah yang
dtunjukkan oleh Peter. Mereka tak berani menyalakan sen
ter, karena khawatir terlihat orang. Jangan-jangan nanti
ditanyakan, kenapa mereka berkeliaran di lapangan Sirkus
pada malam hari. Peter tersandung pada anak tangga
paling bawah dari kereta yang mereka datangi, lalu naik ke
atas.
"Ayolah." bisiknya pada Colin. "Di sini tak ada orang.
Dan pintu juga tak terkunci. Kita menyelinap ke dalam,
lalu memeriksa seluruh ruangan. "
Kedua anak itu merayap masuk ke kereta. Mereka
menubruk sebuah benda. Entah apa, mereka tidak tahu —
karena dalam kereta itu gelap sekali.
"Bolehkah aku menyalakan senter?" tanya Colin sambil
berbisik.
"Ya. Aku tak mendengar bunyi yang mencurigakan."
balas Peter juga dengan berbisik. Dengan hati-hati me
reka menyalakan senter yang cahayanya mereka tutupi
dengan tangan.
Alangkah terkejutnya kedua anak itu ketika mereka
memandang berkeliling! Ternyata mereka keliru masuk.
Sama sekali tak kelihatan peralatan sirkus di stu. Mereka
memasuki kereta tempat tinggal orang. Ya ampun! Ba-
gaimana kalau mereka sampai ketahuan?
"Ayo cepat, kita keluar lagi!" ujar Peter. Tapi pada saat
itu juga Colin menyambar lengannya. la mendengar sua-
ra suara di luar. Sesudah itu kedengaran langkah orang
menaiki tangga kereta di mana mereka sedang berada.
Apakah yang harus mereka perbuat sekarang ?
XVI
Terjebak !
"CEPAT! Kau bersembunyi d bawah dipan itu. Aku di
sini!" bisik Peter kebingungan. Mereka menyembunyikan
diri di bawah dua buah bangku yang dipakai sebagai tem-
pat tidur. Selimut yang terhampar di atasnya ditarik menu-
tupi lobang kolong Mereka berbaring menunggu dengan
badan gemetar.
Dua orang masuk ke dalam kereta. Seorang di anta-
ranya membawa lampu. Masing-masing duduk di atas se-
buah bangku. Maka mereka tak nampak oleh Peter. Ia
hanya melihat sepatu kedua orang itu serta pergelangan
kaki mereka.
Tiba-tiba Peter terkejut. Orang yang duduk di atas dipan
persembunyian Colin menarik kaki celananya agak ke atas.
Dan Peter menatap sepasang kaos kaki terbuat dari wol
biru dengan selembar benang merah terjalin memanjang !
Masya Allah! Orang yang tersangka keras telah men-
curi kalung mutiara milik Lady Lucy, sedang enak-enak
duduk di depannya. Tapi Peter tak dapat melihat muka
nya. Siapakah orang tu?
"Aku akan pergi dari sini malam ini juga, " ujar orang
yang duduk di dipan di atas Peter. "Aku sudah bosan
dengan sirkus ini karena selalu terjadi pertengkaran. Ke
cuali itu, aku juga khawatir kalau pada suatu waktu polisi
akan datang memeriksa."
"Ah, kau memang penakut," tukas orang yang berkaos
kaki biru. "Beri saja kabar nanti kapan aman saatnya untuk
mengantarkan mutiara itu ke tempatmu. Kalau perlu,
kalung itu bisa kita biarkan berbulan-bulan di Tempat per-
sembunyian."
"Kau yakin tempat itu aman?" tanya orang yang satu la
gi. Temannya yang berkaos kaki biru tertawa, lalu menga
takan sesuatu yang aneh bagi telinga kedua anak yang ber-
sembunyi.
"Kan ada singa?" katanya, ia tertawa lagi.
Peter dan Colin mendengarkan pembicaraan itu dengan
perasaan takut bercampur bingung. Sudah jelas pencuri
mutiara ada dalam kereta itu. Dialah orang berkaos kaki bi-
ru! Sayang mukanya tak dapat mereka lihat. Begitu pula
sudah jelas bahwa ia menyembunyikan mutiara itu di sua-
itu tempat. Mereka juga mendengar ucapan temannya yang
ketakutan dan ingin lari malam itu juga. Tapi apa hubung-
an singa dengan pencurian kalung mutiara? Pete dan
Colin menajamkan telinga.
"Kaukatakan saja pada mereka aku kurang enak ba-
dan. Karena itu aku tak bisa tampil lagi ke gelanggang
malam ini," ujar orang yang hendak lari, sesudah berdiam
diri beberapa saat. "Sebaiknya sekarang saja aku pergi
sementara semua sedang sibuk di tenda. Tolong pasang-
kan kudaku!"
Orang yang berkaos kaki biru pergi ke luar. Peter dan
Colin berharap-harap, mudah mudahan orang yang satu
lagi juga menyusul. Kalau dia tak ada dalam kereta,
mungkin mereka berdua bisa melarikan diri. Tapi orang itu
tak beran;ak dari tempatnya.Ia tetap duduk sambil menge-
tuk-ngetukkan jarinya. Nyata sekali orang itu gelisah dan
ketakutan.
Di luar terdengar bunyi-bunyi pakaian kuda yang se
dang dipasang. Tak lama kemudian orang berkaos kaki bi
ru berseru dan bawah tangga.
'Siap! Keluarlah, kau sudah bisa pergi sekarang. Sampai
ketemu lagi!"
Orang yang di bangku persembunyian Peter bangkit da
h duduknya, lalu pergi ke luar. Tapi kedua anak yang se
dang ketakutan itu semakin takut lagi ketika ternyata
orang itu mengunci pintu dari luar. Sesudah itu ia menuju
ke depan kereta, laki duduk di tempat kusir. Dicepak-
kannya bibir menyuruh kuda berjalan, dan kereta itu pun
mulai bergerak melintasi lapangan.
"Wah. bagaimana kita sekarang?" bisik Colin dengan
agak bingung. "Pinitu di kuncinya dari !uar. Kita terjebak!"
"Ya — nasib kita memang sial," jawab Peter sambil me-
rangkak ke luar dari persembunyiannya yang sesak itu.
"Kau melihatnya juga tadi? Satu di antara mereka
mengenakan kaos kaki wol berwarna biru! Pasti dialah
pencuri yang kita cari. Sialnya, justru dia yang tidak pergi
dengan kereta ini."
"Tapi banyak juga yang kita dengar tadi." ujar Colin
sambil ikut merangkak ke luar dari bawah dipan. "Seka
rang kita mengetahui, bahwa mutiara yang dicuri disem-
bunyikan dalam sirkus. Cuma apa yang dimaksudkan orang
tadi dengan singa?"
"Entahlah." jawab Peter." Atau mungkin maksudnya
kalung itu disembunyikan dalam kandang singa. Barang
kali ditaruh di bawah papan lantai kandang itu."
Dengan berhati-hati kedua anak itu mengintip lewat
jendela sebelah depan, untuk melihat ke mana perginya ka
reta yang menjadi tempat kurungan mereka itu. Tepat saat
itu kereta lewat di bawah lentera jalan yang bersinar te-
rang. Peter menyenggol Colin.
"Lihatlah," bisik Peter. " Orang yang menjalankan kere-
ta ini memakai jas dari bahan tweed. Bahannya sama
dengan peci yang kita temukan di atas pohon. Jadi mes-
tinya dia orang yang kita lihat sedang mengecat kandang
singa!"
"Betul! Mungkin si pencuri meminjam pecinya. Mereka
kan tinggal dalam satu kereta, jadi itu bisa saja terjadi,"
jawab Colin. "Nah, dengan begitu sebagian dan teka-teki
kita sudah terjawab.
Kedua anak itu berusaha membuka jendeia, tapi tak
berhasil. Semua tertutup rapat. Napas Colin terdengus, ke-
tika ia mengerahkan tenaga sekuat-kuatnya untuk memak-
sa jendela terbuka. Mendengar dengusan itu, orang yang
duduk di tempat kusir menoleh ke belakang. Mestinya ia
sempat melihat muka salah seorang dari kedua anak itu
diterangi lampu jalan, karena seketika itu juga ta menyen-
takkan tali-tah kendal sehingga kuda berhenti berjalan.
Orang itu melompat turun, lalu lari ke arah belakang,
"Habis riwayat kita sekarang." ujar Peter berputus asa.
"Ia mendengar kita ribut-ribut di sini. Lekas, bersembunyi-
lah! la sudah membuka pintu!"
XVII
Untung lolos
TERDENGAR bunyi kunci diputar dan detik berikutnya
pintu dibuka dan luar. Orang yang masuk menyalakan lam-
pu senter, lalu mengarahkan cahayanya yang terang ke
sekeliling ruangan kereta.
Tapi Pete, dan Colin tak nampak, karena mereka sudah
bersembunyi lagi di bawah dipan. Walau begitu, orang ter-
sebut tahu pasti bahwa ia tadi melihat muka seseorang
yang tak dikenal di dalam kereta. Karenanya ia
menyingkapkan selimut di atas dipan yang terjela sampai
ke lantai. Dengan segera nampak Peter yang meringkuk di
bawahnya.
Orang itu berteriak Marah sekali kedengarannya. Peter
ditariknya keluar dan persembunyian lalu diguncang-gun-
cang dengan keras. Peter menjerit kesakitan. Seketika itu
juga Colin menerjang ke luar dari bawah dipan tempatnya
bersembunyi. Walau takut tapi ia harus menolong Peter!
"Ah, rupanya kalian ada berdua," bentak orang tu. "Apa
yang kalian lakukan di sini ? Sudah berapa lama kalian
berada dalam kereta?"
"Belum lama," balas Peter. "Sebetulnya kami tadi salah
masuk. Kami hendak masuk ke kereta lain. Tapi karena
gelap, kami keliru jalan.
"Omong kosongi!" tukas orang itu. "Kalian ini perlu diha-
jar, biar tak berani lagi seenaknya masuk ke dalam kereta
tempat tinggal orang lain!"
Sambil berkata diletakkannya lampu senter di atas rak
sehingga cahayanya menerangi seluruh ruangan. Dengan
sikap mengancam orang itu menyingsingkan lengan baju
nya.
Melihat gelagat yang tidak baik itu, Colin mendorong
bahunya membentur rak, sehingga lampu senter terpelan-
ting ke lantai Seketika itu juga cahayanya padam, diiringi
bunyi barang pecah Ruangan menjadi gelap gulita.
"Cepat Peter. sambar kakinya!" seru Colin sambil
menubruk. Maksudnya hendak menangkap kaki orang
yang hendak memukul mereka, tapi karena tempat itu
gelap, tubrukannya meleset. Colin terdorong ke luar pintu,
terguling-guling di tangga dan akhirnya terbanting ke
jalan.
Peter merasa kepalanya kena tempeleng lalu cepat-ce-
pat mengelak, la juga menyambar kaki orang itu dan ter
tangkap olehnya sebelah. Sewakitu orang itu meng-
ayunkan pukulan sekali lagi, ia kehilangan keseimbangan
karena kakinya yang satu dipegang erat-erat oleh Peter.
Orang itu terhuyung-huyung, lalu jatuh terjerembab. Peter
merangkak menuju ke pintu. Ia terpeleset, tersungkur di
tangga dan jatuh membentur pagar tanaman di pinggir
jalan.
Karena pergumulan yang terjadi dalam kereta, kuda
penghela ketakutan dan lari menderap. Kereta sirkus itu
terombang-ambing ditariknya. Pasti orang yang berada di
dalamnya terkejut setengah mati!
"Kamu di mana, Colin?" seru Peter. "Ayolah, lekas. Ke-
sempatan baik ini harus kita pergunakan."
Ternyata Colin juga bersembunyi dalam semak-semak
pagar itu. Tergesa-gesa ia keluar, dan kedua anak itu
kemudian berlari sekencang-kencangnya. Ketika sudah
agak jauh, Colin agak memperlambat lannya.
"Huhh — sekali ini petualangan kita serba sial." desah-
nya. "Masuk ke kereta yang benar saja pun kita tidak bisa."
"Ya — tapi dengan begitu kita berhasil mengumpulkan
beberapa keterangan lagi." ujar Pete menenangkan
temannya yang sedang kesal itu. "Kita tahu bahwa yang
mengenakan kaos kaki biru adalah pencuri yang dicari.
Sayang kita masih tetap belum tahu siapa orang itu. Aneh
— rasanya aku mengenal suaranya."
"Tahukah kamu di mana kita berada sekarang ?" tanya
Colin sementara berlari terus. "Maksudku, kita ini berlari ke
arah pulang atau tidak? Maklumlah, selama ini kita sial te-
rus. Jadi aku takkan heran, apabila saat ini, kita berlari menjauhi rumah.
"Ah, tidak." balas Peter. "Arah kita sudah benar. Seben-
tar lagi akan sudah sampai di lapangan tempat sirkus. Ba-
gaimana pendapatmu, jika kita menyelinap lagi ke dalam?
Aku kepingin tahu, siapakah orang yang mengenakan kaos
kaki biru tadi!"
Tapi Colin tidak mau, karena petualangan sesore itu
sudah cukup mendebarkan hati. Walau begitu, apabila
Peter sangat kepingin masuk lagi, Colin akan menunggu
saja di luar pintu gerbang.
Peter menyelinap masuk lewat pagar, lalu berjalan
menuju ke tempat di mana lampu-lampu menyala terang.
Pertunjukan sudah bubar, dan para pengunjung sudah
pulang ke rumah masing-masing. Saat itu orang orang sir-
kus sedang makan malam. Cahaya lentera dan nyala api
unggun menyemarakkan suasana.
Beberapa orang-anak masih asyik bermain-main. Se
orang dari mereka kelihatan sangat jangkung. Ketika diper-
hatikan dengan lebih saksama oleh Peter, ternyata anak itu
berjalan di atas jangkungan. Dialah anak perempuan ban-
del yang mengatakan bahwa di sirkus tak ada orang
berkaki buntung. Anak itu berjalan menuju ke kereta di
dekat mana Peter sedang be diri. Perhatian anak pe
rempuan itu sepenuhnya dipusatkan pada keseimbangan
badannya di atas jangkungan, sehingga tak nampak Peter
olehnya.
Setelah anak perempuan itu lewat, Peter memandang
pada sesuatu yang nampak di tanah di depannya. Ma
tanya menatap jejak-jejak jangkungan yang dipakai oleh
anak bandel itu. Bentuknya rata dan bundar. Persis seperti
jejak-jejak yang nampak di pekarangan Miiton Manor.
"Wah, rupanya kami buta selama ini" ujar Peter pada
dirinya sendiri. "Jejak dekat tembok Milton Manor ternya-
ta bukan berasal dan kaki palsu melainkan merupakan je
jak-jejak angkungan Kenapa selama ini tak terpikirkan
kemungkinan itu?"
XVI
Peter bercerita
PETER memandang jejak-jejak bundar yang nampak di
tanah. Kemudian dialihkannya pandangan, menatap ke
arah anak perempuan yang berjalan mengongkang-ong-
kang dengan jangkungan. Tak salah lagi, ke mana pun kayu
jangkungan dilangkahkan, kemudan nampak bekasnya
yang bundar dan rata di tanah.
'Hm, rupanya pancuri kalung memakai jangkungan,"
ujar Peter dalam hati. "Dengan tongkat-tongkat yang pan-
jang itu ia naik ke atas tembok. Aku harus segera mence-
ritakannya pada Colin !’
Peter berlari dengan segera menuju ke gerbang luar, di
mana Colin menunggunya.
'Colin! Sekarang aku tahu jejak-jejak apa lubang-lu-
bang bundar yang kita lihat di tanah dalam pekarangan
Milton Manor !" ujarnya begitu sampai di luar. "Ternyata
bukan jejak kaki palsu."
"Kalau begtu jejak apa?" tanya Colin dengan heran.
"Jangkungan!" jawab Peter. "Pencuri kalung mutiara
Lady Lucy memakai jangkungan! Kan dengan begitu ia
dapat mudah sekali memanjat tembok." Tapi Colin tak be
gitu memperhatikan kata-kata temannya itu.
"Sudahlah Peter, kita pulang saja ke rumah," ujarnya
sambil menguap iebar-lebar. "Hari sudah arut malam. Aku
past kena marah nanti. Aku pun sudah sangat mengan-
tuk."
"Aku juga." sambut Peter. "Baiklah, kita takkan mem
bicarakan persoalan itu lagi malam ini. Besok saja kita
mengadakan rapat. Akan kuminta Janet untuk memanggiI
teman-teman. Aku sekarang sudah tahu, bagaimana ca
ranya pencuri masuk ke pekarangan dan mengambil
kalung mutiara dari kamar tidur Lady Lucy.
Jawaban yang datang dari Colin, hanya berupa mulut
yang sekali lagi terkuap lebar-lebar. Anak itu benar-benas
merasa tak mampu lagi berpikir malam itu. Tubuhnya
memar karena jatuh dari kereta, dan kepalanya agak pu-
sing karena terbentur ke tanah. Saat itu hanya satu saja
keinginannya, yaitu lekas-lekas masuk ke tempat tidur.
Sewaktu Peter sampai di rumah, Janet sudah tidur lelap.
Karena itu Peter tidak membengunkannya. Ia pun cepat-
cepat masuk ke tempat tidur. Niatnya hendak memikirkan
hal-hal yang dilihat serta didengarnya malam itu. Tapi rasa
mengantuknya tak tertahan lagi. Begitu kepalanya me-
nyentuh bantal, saat itu pula ia sudah tertidur.
Keesokan harinya, ketika Janet menanyakan, Peter tak
mau bercerita dulu mengenai pengalamannya bersama
Colin pada malam sebelumnya. Ia menyuruh adik pe-
rempuannya itu mendatangi teman-teman, untuk
memanggil mereka berapat. Anak-anak itu berdatangan,
semua ingin tahu apa yang telah tejadi. Mereka masuk sa-
tu per satu ke dalam gudang, sambi! membisikkan kata
'Petualangan'. Colin datang paling akhir. Katanya,ia ke-
siangan bangun! Kelima teman yang lain sudah tidak sa-
bar lagi menunggu.
"Apa yang teriadi kemarin malam? Berhasilkah kalian
menemukan kalung mutiaia yang dicuri ? Kalian sekarang
sudah tahu, siapa pencurinya?" tanya Pam bertubi-tubi.
"Kalau mutiaranya sendiri belum kami temukan. Tapi
persoalan lain-lainnya sudah kami ketahui semua," Ujar Pe
ter bangga.
"O ya ?" seru Colin kaget. "Kita sudah mengetahui
semuanya? Mungkin kamu mengetahunya, Peter - tapi
aku tidak ! Sekarang pun aku masih tetap mengantuk."
"Ayo, ceritakanlah Peter !" kata George meminta.
"Kami kepingin mendengarnya."
"Sebaiknya kita pergi saja ke Hutan Semak. Di sana
akan kutunjukkan bagaimana cara pencuri naik ke atas
tembok." balas Peter. Menurut perasaannya, akan lebih
menarik apabila keterangan diberikan di tempat terjadi
pencurian.
"Kau kan bisa saja menceritakannya di sini saja," ujar
Janet dengan perasaan kecewa.
"Tidak, nanti saja! Sekarang kita ke Hutan Semak.”
balas Peter tegas. Mau tidak mau, keenam anggota Sapta
Siaga yang lainnya terpaksa ikut ke tempat itu. Mereka
langsung menuju pintu gerbang Milton Manor. Johns
tukang kebun nampak sedang sibuk bekerja merawat
tanaman bunga di samping jalan masuk.
"Johns! Selamat pagi! Bolehkah kami masuk lagi?"
seru Peter dari luar. "Kami takkan mengusik tanaman atau
merusak kebun."
Sambil tertawa lebar. Johns membukakan pintu ger-
bang.
"Nah, ada hasil penyelidikan kalian ? ” tanyanya pada
anak-anak yang be desak-desakan masuk.
"O ya — banyak sekali." jawab Peter la mendahului
berjalan menuju ke dekat tembok, di mana Colin melihat
pencuri itu meloncat ke bawah, sewaktu anak-anak ang
gota Sapta Saga main sembunyi-sembunyian dalam
Hutan Semak. "Anda ikut saja dengan kami, Johns. Nanti
akan kuceritakan hal hal yang kami temui selama ini !"
"Baiklah! Tapi kalian berjalan saja lebih dulu, karena aku
harus membuka gerbang agar mobil itu bisa masuk," ujar
tukang kebun. Ternyata sebuah mobi besar berwarna hi-
tam menunggu di luar. Pengemudinya membunyikan klak-
son. Dengan buru buru Johns membukakan pinitu ger-
bang.
Sementara itu anak anak sudah sampai ke tempat yang
sudah mereka kenal sebelumnya.
"Nah, sekarang dengarkan baik-baik." ujar Peter. "Akan
kuterangkan bagaimana pencuri bisa masuk ke dalam. Ia
memakai tongkat jangkungan! Tongkat dibawanya sampai
ke dekat tembok. Sesampai di situ ia lantas berdiri di atas
jangkungan menyender ke tembok, laiu duduk di atasnya.
Jangkungan diangkatnya ke seberang tembok, lalu diper-
gunakannya lagi untuk berjalan di tanah yang lembek ini.
Sesampai di jalan berkerikil, ia turun dari jangkungan, ka-
rena di situ tak nampak bekas kakinya. Sedang tongkat
penolong disembunyikan dalam semak pagar jalan."
"Sesudah itu ?" tanya Janet dengan mata bersinar-sinar.
"Pencuri masuk ke dalam rumah mengambil kalung
mutiara, lalu kembali ke tempat di mana tongkat jangkung-
an disembunyikan," sambung Peter. Dengan tongkat itu
ia berjalan lagi sampai ke tembok. Karena itulah di sini
banyak kelihatan jejak jejak bundar!"
"Masya Aliah — rupanya lubang-lubang ini bekas tong-
kat jangkungan!" seru Pam.
" Betul." ujar Peter membenarkan. "Tapi sewaktu ia se-
dang melangkahkan kaki hendak naik ke atas tembok, pe
ci yang dipinjamnya dari teman sejawatnya di sirkus ter-
sangkut pada sebuah dahan. Peci itu d biarkannya saja di
situ karena ia tak mau membuang-buang wakitu lagi.
Sewaktu ia duduk di atas tembok, kaos kakinya tercantol
pada ujung batu bata yang agak menonjol. Disentakkan-
nya kaki ke atas, dan kemudian dengan cepat meloncat ke
seberang serta menghilang di Hutan Semak."
"Dan tepat pada saat itu aku melihatnya." kata Colin.
"Tapi anehnya, aku tak melihat tongkat jangkungan sama
sekali. Diapakannya tongkat-tongkat itu ?"
XIX
Di manakah kalung mutiara disembunyikan?
"KAU INGIN mengetahui apa yang terjadi dengan
jangkungan yang dipergunakan pencuri untuk memanjat
tembok ini?" tanya Peter. "Terus terang saja, aku juga
tidak tahu. Tapi menurut perkiraanku, mestinya tongkat itu
sesudah lak diperlukannya lagi, kemudian dicampakkan ke
suatu tempat yang tersembunyi. Barangkali ke dalam
semak belukar.
"Betul juga,” kata Pam. "Tapi susahnya semak yang
mana?"
Anak anak itu mencari ke sana ke mari, memeriksa se-
tiap semak dan rumpun di dekat situ. Tiba-tiba Colin ber-
seru sambil menunjuk ke arah seberang tembok.
"Aku tahu di mana jangkungan itu disembunyikan, "
uiarnya "Dalam semak yang tajam daun-daunnya. Aku
ingat, di luar ada semak seperti tu. Di sana memang per-
sembunyian yang baik karena siapalah yang mau menyu-
sup ke dalam semak yang penuh duri !"
Ayolah jangan membuang-buang wakitu lag;" kata
Peter. Ia bergegas ke luar dari pekarangan gedung besar
itu, lalu berlari mengitari tembok sebelah luar. Colin lang-
sung menuju ke semak yang dimaksudkan olehnya.
Sakit rasanya kulit anak-anak itu teriris daun-daunan
yang tajam. Tapi tak mereka pedulikan, karena ingin
memecahkan rahasia pencurian yang sudah lama memu-
singkan kepala itu. Mereka menerobos terus sampai ke
tengah semak.
Ternyata ketabahan itu membawa hasil. Benarlah, di
tengah-tengah daun-daunan berduri mereka menemukan
sepasang tongkat jangkungan. Dengan cepat Peter dan
Colin menarik kedua batang itu ke luar.
"Ternyata kau benar, Peter," seru Janet. "Pintar benar
kamu ini. Sekarang semua sudah kita ketahui hubungan-
nya peci tua yang tersangkut di atas dahan, benang wol
biru di tembok, jejak-jejak aneh berbetuk bundar. Dan
yang paling penting kita juga mengetahui bagaimana cara
pencuri memanjat tembok yang tinggi ini. Menurut pen-
dapatku, Sapta Siaga memang hebat sekal!"
"Pendapatku juga begitu," terdengar suara di belakang
mereka. Ketujuh anak itu menoleh. Dibelakang mereka
berdiri teman baik anak-anak itu yaitu Pak Inspektur. Pe-
tugas polisi itu berwajah merah sedang napasnya agak
terengah-engah. Rupanya ia berlari tadi. Sedang Johns
tukang kebun, kelihatan bergegas pula menghampiri.
"Ah. Pak Inspektur,"ujar Peter. Tak dikiranya petugas
polisi itu ada di Milton Manor. "Anda tadi mendengar apa
yang kukatakan?"
"Ya." jawab Pak Inspektur dengan suara sesak. Tapi
wajahnya berseri-seri. "Aku yang tadi datang naik mobi! hi
tam. Begitu Johns membukakan pintu gerbang langsung
diceritakannya pula bahwa nampaknya kalian berhasil
memecahkan rahasia pencurian kalung. Dan ketika kami
melihat kalian bergegas ke luar dari pintu gerbang segera
pula kami ketahui bahwa kalian menemukan suatu bukti
penting. Nah ceritakanlah selengkapnya! Pasti kali ini kali-
an lebih tangkas dari pada polisi !"
Peter tertawa mendengar pujian itu.
"Persoalannya begini," ujar anak itu berendah hati.
"Kami bisa berkeliaran mencari keterangan dalam sirkus
tanpa menimbulkan kecurigaan. Tapi bayangkan, apabila
Anda menugaskan tujuh orang polisi ke sana Pasti pen
curi akan timbul kecurigaannya.
"Betul juga katamu itu," ujar Pak Inspektur. Dipungut-
nya kedua tongkat jangkungan lalu diperhatikannya
dengan saksama. 'Memang pintar, memanjat tembok ting
gi dengan mempergunakan jangkungan. Tapi sudah
tahukah kalian siapa pencurinya?"
Yang jelas, ia seorang artis Sirkus yang biasa menga-
dakan pertunjukan dengan jangkungan," kata Peter.
"Menurut pendapatku, orangnya bernama Louis. Kalau Pak
inspektur pergi ke sirkus sekarang, barangkali akan
menjumpai orang itu, dengan kaos kaki biru yang ada se
trip merahnya."
"Dan rambutnya hitam, sedang ubun-ubunnya agak bo
tak,” sambung Colin. "Maksudku, kalau betul dia pencuri-
nya — karena orang yang kulihat bersembunyi dalam
hutan ini ciri-cirinya begitu. "
"Banyak benar yang kalian ketahui!” ucap Pak Inspektur
kagum, "Jangan-jangan kalian juga mengetahui warna
piamanya. Maukah kalian ikut mencari orang itu? Dalam
mobil ada dua orang pegawaiku. Kita semua bisa pergi
bersama-sama."
"Wah !" ujar Pam. Dibayangkannya para anggota Sapta
Siaga muncul di tempat sirkus, bersama tiga orang polisi.
"Pak Inspektur — apakah orang-orang sirkus nanti tidak
takut melihat kita datang?"
"Hanya orang-orang bersalah saja yang mempunyai
alasan untuk merasa takut." jawab Pak Inspektur. "Ayolah,
kita berangkat sekarang. Aku kepingin melihat apakah
benar pencuri itu botak ubun-ubunnya. Luar biasa, banyak
sekali- yang kalian ketahui!"
Dengan mengendarai mobil, mereka berangkat menuju
ke tempat sirkus. Orang-orang di situ terheran-heran
melihat tiga orang polisi keluar dari mobil diiringi tujuh
orang anak.
"Iitu dia orang yang bernama Louis." ujar Peter sambil
menunjuk ke arah pemuda berwajah masam, yang sedang
berdiri dekat kandang singa. "Sialan, ia tidak memakai
kaos kaki!"
"Kalau begtu, kita memperhatikan ubun-ubunnya saja.”
kata Colin
Louis agak gelisah ketika dilihatnya Pak Inspektur
menghampiri.
"Anda memakai kaos kaki atau tidak?" tanya petugas
polisi itu. Louis agak bingung mendengar pertanyaan se-
aneh itu. Tapi Pak Inspektur tetap berkeras "Tariklah kaki
celana ke atas,"perintahnya. Dengan cepat Louis menarik
celananya ke atas.
Ternyata dia tak memakai kaos kaki, seperti yang sudah
dilihat oleh Peter.
"Pak Inspektur, " ujar Colin. "suruh dia membungkuk."
Louis semakin heran saja mendengar permintaan ini.
"Ayo membungkuk" kata Pak Inspektur. Louis menu-
rut saja. Ia membungkukkan badan, seolah-olah sedang
memberi hormat. Alangkah terkejutnya, ketika mendengar
Colin berseru.
"Ya. betul — dialah orang yang kita cari. Lihatlah ubun-
ubunnya agak botak. Dialah orang yang kulihat bersem-
bunyi di atas pohon, tepat di bawah tempatku duduk!"
"Untunglah jika begtu." kata Pak Inspektur. Ia merasa
lega, kaiena berhasil menangkap pencuri yang sangat li-
cin. Ia memandang kembali ke arah pemuda itu. "Seka
rang aku ingin bertanya dimanakah kausembunyikan
kalung mutiara yang kaucuri?"
XX
Penyelesaian yang menakjubkan
LOUIS menatap mereka sambil merengut.
"Kalian sudah gila rupanya!" ujarnya bersungut-sungut.
"Macam-macam saja permintaan dan pertanyaan yang
diajukan : celanaku harus ditarik ke atas, sesudah itu aku
disuruh membungkuk. Dan sekarang Anda berbicara ten-
tang kalung mutiara. Kalung mutiara yang mana? Aku
tidak mengerti! Aku tak tahu-menahu mengenai kalung
mutiara."
"Ah, sudah — jangan bohong lagi." tukas Pak inspek-
tur. "Rahasiamu sudah kami ketahui semuanya. Bukankah
engkau memakai jangkungan untuk meloncati tembok
yang mengelilingi pekarangan MiIton Manor? Kau masuk
ke dalam kamar tidur Lady Lucy, mencuri kalung mutiara
yang berharga dan sesudah itu pergi lagi ke dekat tem-
bok. Kau berdiri kembali di atas jangkungan, untuk naik
ke atas tembok dan meloncat ke luar."
"Aku tak tahu maksud Pak Inspektur." gumam Louis
sambil memberungut. Tapi mukanya menjadi pucat.
"Baiklah, akan kusegarkan kembali ingatanmu," ujar Pak
Inspektur lagi. "Jejak tongkat jangkungan yang kaupakai
terlihat jelas di tanah dekat tembok Kecuali itu masih ada
pula peci yang tersangkut di dahan, serta selembar benang
wol biru yang berasal dari kaos kakimu Masih belum jelas
juga? Kami pun berhasil menemukan sepasang jangkung
an yang kau sembunyikan dalam semak yang daun-daun-
nya tajam. Masakan semua itu kaulakukan untuk bermain
main saja! Sekarang kutanyakan sekali lagi — di manakah
kalung mutiaranya?"
"Cari sendiri,"tukas Louis. "Barangkali abangku sudah
melarikannya dengan kereta sirkus. Pokoknya dia tak ada
lagi disini!'
"Tapi dia mengatakan, mutiara itu masih ada di sini "
ujar Peter menyela pembicaraan. "Sewaktu kalian berdua
berbicara mengenainya, kebetulan aku ada dalam kereta."
Louis terkejut mendengar ucapan Peter itu. Dipandang-
nya anak itu dengan marah, tapi ia tak mau meniawab.
"Dan kau mengatakan mutiara itu aman — karena ada
singa." sambung Peter. Louis masih tetap membisu.
"Kalau begtu, kita menanyakan saja pada singa-singa."
ujar Pak nspektur. Dengan segera ia berjalan menuju kan-
dang binatang-binatang buas itu, dengan diikuti oleh ke-
tujuh anggota Sapta Siaga serta kedua petugas polisi. Ke-
cuali itu ikut pula, sekitar tiga puluh orang sirkus yang ingin
tahu apa yang terjadi serta beruang kecil kesayangan
Janet. Entah dengan jalan bagaimana, beruang kocak itu
berhasil keluar dari kandangnya, lalu berkeliaran dengan
seenaknya. Pak Inspektur minta dipanggilkan pemelihara
singa.
"Siapa nama Anda?" tanya Pak Inspektur padanya ke-
tika ia sudah datang.
"Riccardo " jawab pemelihara singa. Ia heran, kenapa ti-
ba-tiba ada polisi yang ingin mengetahui namanya.
"Kenapa ?"
"Soalnya begini, Tuan Riccardo," jawab Pak inspektur
lagi. "Ada kemungkinan, singa-singa peliharaan Anda
dipakai pencuri sebagai penjaga mutiara yang dicurinya
dari kamar tidur Lady Lucy Thomas."
Alangkah terkejutnya Riccardo mendengar ucapan Pak
Inspektur. Matanya terbelalak, sikapnya seolah-olah kurang
mempercayai kata-kata yang baru saja didengar.
"Sekarang saya minta pada Anda untuk membuka pin-
tu, lalu masuk ke dalam kandang." ujar Pak Inspektur.
"Tolonglah periksakan di bawah papan-papan yang long-
gar atau pada tempa tempat yang bisa dijadikan tempat
menyembunyikan mutiara tu."
Riccardo membuka pintu kandang. Pemelihara singa itu
masih tetap belum dapat berkata apa-apa. Begitu heran
dia mendengar berita yang mengejutkan itu. Kawanan
singa yang ada di dalam memperhatikan dia masuk.
Seekor di antaranya mengeluarkan bunyi seperti kucing,
tapi jauh lebih nyaring,
Riccardo mengetuk-ngetuk papan lantai, tapi tak se-
buah pun terdengar longgar. Pemelihara singa itu berpaling
menghadap orang-orang yang sedang asyik memperhati-
kan.
"Pak Inspektur melihat sendiri, kandang ini kosong.
Isinya cuma kawanan singa ini saja.” katanya. "Dan tak
mungkin kalung itu disembunyikan pada tubuh mereka,
atau pada rambut leher, karena pasti akan digaruk-garuk
sehingga terlepas."
Peter melirik ke arah Louis. Pemuda itu kelihatan geli-
sah, matanya berulang kali memandang bak tempat air
minum singa. Denqan segera ia menyenggol Pak Inspek-
tur.
"Suruhlah Tuan Riccardo memeriksa bak tempat minum,”
usulnya.
Riccardo menghampiri bak yang dimaksudkan oleh Pe-
ter. lalu dtumpahkan air yang ada di dalamnya.
"Coba Tuan tunggingkan bak itu.” ujar Pak Inspektur.
Riccardo melakukannya, memandang dasar bak — dan ti-
ba-tiba berseru kaget.
"He ! Dasar bak ini ada dua.” katanya. "Ini, Tuan —
Anda lihat saja sendiri."
Riccardo memperlihatkan dasar bak tempat minum itu
pada orang-orang yang berkerumun di depan kandang.
Benarlah! Di dasar bak kelihatan sebuah kotak lagi yang
disoldir ke dasar yang asli. Pemelihara itu mencongkel ko-
tak tersebut, sehingga terlepas. Pada saat itu terdengar
bunyi benda terjatuh ke lantai.
"Itu dia kalung mutiara yang hilang!" seru anak-anak se-
rempak. Sinqa-singa mulai gelisah mendengar suara ribut
itu.Riccardo memungut kalung mutiara yang tergeletak di
lantai kandang, lalu diulurkannya lewat jari-jari besi untuk
diserahkan ke tangan Pak Inspektur. Sesudah itu ia berpa-
ling untuk menenangkan singa-singa peliharaannya. Be-
ruang keci! yang sementara itu sudah berada di dekat
Janet, mendengus ketakutan mendengar singa-singa
menggeram. Janet mencoba menjunjung binatang ke-
sayangannya itu. Tapi ia masih tetap terlampau berat.
"Lega aku rasanya, karena perkara ini berhasil terbong-
kar, " ujar Pak Inspektur sambil mengantongi kalung mutia-
ra. Anak-anak mendengar bunyi yang mencurigakan, lalu
cepat-cepat berpaling. Ah, rupanya tidak ada apa-apa,
bunyi itu berasa! dari borgol yang dikenakan ke pergelang-
an tangan Louis. Kemudian pemuda itu digiring pergi oleh
kedua petugas polisi. Mereka lalu di dekat tali penjemur
pakaian. Kaos kaki biru, yang telah ikut membantu Sapta
Siaga dalam penyelidikan mereka, sudah tergantung lagi di
sana. Kaos itu melambai kian ke mari ditiup angin.
"Sekarang kalian ikut dengan aku," ujar Pak Inspektur
sambil mendorong ketujuh pembantu eriknya supaya
berjalan. "Kita berama-ramai datang ke rumah Lady Lucy
Thomas. Disana kalian centakan pengalaman mencari
kalung mutiaranya. Pasti wanita bangsawan itu akan
memberikan hadiah pada kalian, jadi pikirkanlah mulai da-
ri sekarang apa yang kalian ingini. Kau, Janet — kau akan
meminta apa padanya?"
"Ah,. saya rasa Lady Lucy takkan memberikan seekor be-
ruang kecil padaku," ujar Janet sambil memandang be-
ruang lucu yang masih berjalan mengikuti. "Sebenarnya
aku kepingin sekali mempunyai beruang kecil. Seperti
beruang ini, tapi lebih kecil — supaya aku kuat menggen-
dongnya. Pam juga kepingin memiliki seekor.”
Pak Inspektur tertawa terbahak-bahak mendengar
keinginan kedua anak perempuan itu.
"Ha ha ha — Janet, cobalah ajukan permintaanmu itu
padanya," ujar Pak Inspektur disela-sela tertawanya, "ha
ha ha! Sapta Siaga, mintalah beruang kalau kalian meng-
inginkannya. Mintaiah seluruh sirkus pada Lady Lucy.
Sudah sepantasnya kalian mendapat apa saja yang kalian
inginkan! Sungguh, aku tak tahu apa yang harus kuper
buat, kaiau tak ada Sapta Siaga yang membantu! Lain kali
kalian mau memberikan bantuan lagi, bukan ?"
"Tentu saja!" seru ketujuh anggota Sapta Siaga serempak.
TAMAT
EPISODE SELAJNUTNYA
Scanned hook (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku
dari kemusnahan dan membiasakan anak-anak kita
membaca buku melalui komputer.
DILARANG MENGKOMERSILKAN atau
hidup anda mengalami ketidakhahagiaan.
BBSC
Emoticon