SATU
Matahari belum lagi tepat di atas kepala ketika mereka beristirahat di tepi
hutan. Tapi panasnya bukan main. Sejak tadi Tiren terus berjingkrakan sambil
menjerit beberapa kali. Kemudian hewan kecil berbulu hitam kecoklatan itu
melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon yang lain ketika dilihatnya
Bayu menangkap seekor kelinci untuk makan siangnya.
"Kaaaakh...!"
"Hei...!"
Bayu terkejut mendengar suara itu, Dan menggelengkan kepala ketika
dilihatnya Tiren kembali sambil menenteng daun pisang kering yang dibuat
seperti keranjang. Di dalamnya penuh berisi buah-buahan segar. Wajah hewan
kecil itu tampak meringis sambil menahan berat bawaannya…
"Makanya, kalau untuk urusan perut jangan serakah...."
"Nguk! Nguuuk…!"
"Daging kelinci ini kan cukup untuk kita berdua."
"Kaaakh...!"
Tiren jungkir balik di tanah setelah meletakkan bawaannya. Kemudian
menuding-nuding Bayu dan daging kelinci yang sedang dipanggang
bergantian.
"Ha ha ha ha...!"
"Nguk!"
"Maaf Tiren, aku cuma bercanda. Kau tentu tak suka daging kelinci ini
bukan?"
Tiren menganggukkan kepala, kemudian mulai menggerogoti buah-buahan yang
tadi dibawanya. Dilemparnya beberapa buah ke arah Bayu.
"Hup!"
"Aaaah, segar betul rasanya...."
Bayu menepuk-nepuk perutnya. Daging kelinci tadi telah tandas semua. Dan
setelah habis buah-buahan mereka berdua, Bayu merebahkan tubuh di bawah
sebuah batang pohon besar. Tiren sendiri tampak masih bergelantungan di
cabang-cabang pohon sambil bermain-main. Angin bertiup semilir membuat
suasana siang yang terik itu menambah rasa kantuk Bayu.
"Keaaakh...!"
"Heh?!"
Bayu tersentak kaget. Tiren berdiri di depannya sambil berjingkrak-jingkrak
dengan. suara ribut. Tangannya menunjuk pada satu arah.
"Ada apa Tiren?"
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren menarik-narik lengan Bayu seperti hendak menunjukkan sesuatu. Dengan
malas Bayu bangkit dan mengikuti langkah Tiren.
"Nguk!"
"Sebentar, mataku masih mengantuk. Ada apa buru-buru? Seperti dikejar
harimau saja kau ini."
Tapi Tiren seperti tak perduli. Monyet kecil itu terus menarik-narik tangan
Bayu sambil terus melompat ke cabang pohon. Bayu cepat mengerti. Dia segera
menggenjot tubuh, dan sebentar saja telah melesat dari satu cabang pohon ke
cabang pohon lain seperti berlomba dengan monyet kecil itu.
Tiba di satu dataran yang agak luas, Bayu terkejut. Belasan ekor burung
nazar berkeliling di angkasa. Di bawahnya terlihat pemandangan yang
mengenaskan dari puluhan orang yang tergeletak tanpa nyawa.
"Astaga! Apa yang telah terjadi pada mereka?!"
"Nguk!"
Bayu langsung mendekat sambil memeriksa mayat-mayat yang bergelimpangan itu
satu persatu. Tubuh mereka terkoyak-koyak seperti dicabik binatang buas.
Dari pakaian serta beberapa gerobak yang terdapat di situ dia menduga mereka
adalah para pengantar barang.
"Hus... hus!"
Diusirnya beberapa ekor burung pemakan bangkai yang akan mematuk-matuk
mayat-mayat itu sambil terus memeriksa kalau saja ada di antara mereka yang
masih hidup.
"Nguk! Nguuuk...!"
"Ada apa Tiren?"
Bayu mendekat pada sebuah gerobak yang ditemukan Tiren. Di antara tumpukan
barang terlihat seorang bocah kecil berusia sekitar tujuh tahun merintih
lemah. Buru-buru Bayu menggendong bocah itu dan dibawanya ke luar. Ternyata
bocah itu perempuan.
"Tiren, coba kau carikan air untuknya. Agaknya bocah ini masih bisa
diselamatkan."
"Nguuuk...!" Tiren monyet kecil cerdik itu cepat menjalankan
perintah.
***
Bayu mengurut-urut beberapa bagian tubuh bocah perempuan itu beberapa saat
kemudian. Ketika bocah itu mulai menggeliat lemah, buru-buru dituangkan
beberapa teguk air.
"Gluk! Aaaaah...!"
"Ayo bocah, minum air ini yang banyak agar tubuhmu terasa lebih
segar."
Bocah perempuan itu membuka kelopak matanya. Yang pertama dilihatnya
seorang pemuda berambut gondrong berwajah tampan dan keras.
"Siapa...?"
"Jangan takut, Bocah. Namaku Bayu, dan ini kawanku, Tiren," jelas Bayu
sambil tersenyum ramah.
"Nguk! Nguuk!"
Monyet kecil itu melompat-lompat di tanah sambil menyeringai lebar
menunjukkan tanda persahabatannya.
"Mana Paman-paman yang lain?"
"Paman? Siapa yang kau maksud dengan Paman-pamanmu? Apakah mereka yang
tewas itu?"
"Apa? Mereka telah tewas?!" Bocah perempuan itu segera bangkit dan
memperhatikan ke sekitarnya.
"Paman! Paman!" panggilnya sambil berlari kecil ke arah mayat-mayat yang
bergelimpangan itu.
"Ooh, kenapa jadi begini? Bangun, Paman...! Bangun...!"
"Sudahlah adik manis, mereka tak mungkin bangkit lagi," bujuk Bayu menarik
lengan bocah perempuan itu yang berusaha berontak.
"Tidak! Tidaaak! Mereka harus bangun, Paman! Mereka harus bangun dan
mengantarkan ku pulang!"
"Pulang? Memangnya rumahmu di mana? Biar Paman yang akan mengantarkanmu
pulang."
Bocah perempuan itu menatap wajah Bayu beberapa saat kemudian.
Wajah itu menunjukkan ketabahan luar biasa. Bola matanya jernih
berbinar-binar. Dan rasanya bocah ini adalah bocah periang sebelum kejadian
ini. Kasihan, seharusnya dia kini sedang bersuka ria sambil tertawa-tawa.
Walau tak merasa takut terhadap Bayu, namun ada rasa curiga di hatinya
terhadap orang asing di hadapannya itu.
"Paman melarangku untuk percaya pada orang yang tidak dikenal. Banyak orang
yang bermaksud baik tapi sebenarnya berhati jahat...."
"Kalau demikian biarlah aku yang bermaksud jahat tapi berhati baik? Kau
tentu percaya bukan?"
Bocah perempuan itu berdiam sesaat, kemudian tersenyum manis.
"Orang yang bermaksud jahat biasanya sering melakukan niat jahatnya itu.
Mungkin Paman juga akan begitu nantinya...." sahut bocah yang kelihatan
cerdik itu.
Bayu menggelengkan kepala sambil terkekeh kecil.
"Kau cerdik sekali adik manis, tapi ingat, setiap orang yang akan bermaksud
jahat pada kita pasti ada sesuatu yang diinginkannya. Entah berupa harta
benda atau tebusan kepada orang tuanya. Tapi kalau Paman ingin berbuat jahat
padamu, apa yang Paman incar? Paman tidak tahu orang tuamu kaya atau miskin,
Paman juga tidak melihat ada benda berharga yang kau bawa. Nah, mana mungkin
Paman akan berniat jahat padamu?"
Bocah kecil itu sejak pembicaraan mereka tak henti-hentinya menatap Bayu.
Seolah ingin meyakinkan pada hatinya sendiri akan kebaikan hati Bayu.
Kemudian kembali ia tersenyum gemas.
"Sungguhkah Paman akan mengantarkan ku pulang?"
"Tentu saja."
"Tapi bagaimana dengan barang-barang ini?"
"Nanti akan kita bawa bersama. Eh, ngomong-ngomong kau belum memperkenalkan
nama adik kecil. Siapa namamu?"
"Namaku Juminten, Paman."
"Juminten?" Bayu berpikir sejenak. Melihat penampilan dan caranya berbicara
bocah perempuan ini bukan berasal dari kaum petani. Paling tidak dia anak
seorang hartawan. Tapi kok namanya Juminten Seperti nama anak petani?
"Baiklah, Juminten. Mari kita berangkat sekarang." Bayu bersiap-siap menuju
gerobak yang dianggapnya masih baik dan memindahkan isi gerobak lain ke
situ. Tapi Juminten masih ragu dan mematung di tempatnya tadi. Terpaksa Bayu
menghampirinya kembali.
"Ada apa lagi? Kau tidak mau pulang?"
"Bukan. Tapi bagaimana dengan nasib Paman-paman ini?" tunjuknya pada
mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
"Nanti juga ada yang mengurusinya."
"Siapa? Apakah burung-burung pemakan bangkai itu? Aku tak akan pergi
sebelum kita menguburkan mayat-mayat ini!" sentak Juminten.
Bayu menghela nafas. Buatnya tak jadi masalah, apakah mayat-mayat itu harus
dikubur atau tidak. Yang jadi masalah hanya bila dia mengubur mayat-mayat
itu tentu tenaganya banyak terkuras, dan hal itu akan sangat menjengkelkan.
Bagaimana tidak? Mayat-mayat itu saja jumlahnya tak kurang dari tiga belas
orang.
"Mereka satukan saja dalam satu lubang besar ya?"
"Tidak, Paman! Aku tak tega mereka berhimpit-himpitan!"
"Orang yang sudah mati tak akan merasakan apa-apa, adik kecil."
"Pokoknya tidak mau! Mereka harus dikubur sendiri-sendiri!" bantah
Juminten.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kesal. Tiren sendiri sudah sejak
tadi menjerit kecil berkali-kali sambil melompat kesatu cabang pohon dan
menggaruk-garuk kepalanya, bahkan Tiren seperti tahu akan kekesalan hati
Bayu. Dia berulang kali mendekat dan menarik-narik lengan baju Pendekar
Pulau Neraka seperti hendak mengajaknya untuk cepat-cepat pergi saja dari
situ. Bayu bukannya tak mengerti, tapi dia betul-betul tak tega meninggalkan
Juminten seorang diri di tempat ini.
"Ayolah, Paman. Kita kuburkan mereka satu persatu. Aku kuat menggali lubang
buat mereka!"
"Kau kuat? Nah, buatlah lubangnya dulu baru nanti Paman yang angkat
mereka." sahut Bayu sekenanya.
Juminten cemberut dengan wajah kesal.
"Aku kuat kalau untuk mengeluarkan tanahnya sedikit-sedikit, tapi yang
membuat lubang yah harus Paman!"
"Memangnya mereka itu apamu?"
"Paman-paman ku! Bukankah tadi sudah kuceritakan pada Paman?"
"Heh?!"
Bayu tiba-tiba saja tersentak ketika ingat sesuatu.
"Juminten, kau belum menceritakan padaku, kejadian apa yang menimpa mereka?
Apakah kalian dibegal oleh sekawanan Perampok atau diserang harimau
buas?"
Mendengar pertanyaan itu, Juminten terdiam beberapa saat lamanya. Rasa
ketakutan mulai membayang diwajahnya, dan bocah perempuan itu seperti
tergagap ketika mulutnya bergetar hebat.
"Tenang Juminten, kau aman bersamaku. Ceritakanlah, apa yang telah menimpa
kalian?" bujuk Bayu meyakinkan bocah kecil itu.
"Paman, aku takut sekali...." Juminten tiba-tiba memeluk tubuh kekar itu
sambil berusaha meleburkan ketakutan hatinya di pelukan Bayu. Bayu sendiri
mengelus-elus rambut Juminten sambil terus berusaha menenangkan
hatinya.
"Kau tak perlu takut. Paman akan menjagamu sampai kau tiba di rumah orang
tuamu. Nah, sekarang ceritakanlah. Apa sebenarnya yang terjadi dengan
rombongan kalian?"
Perlahan-lahan Juminten melepaskan pelukannya sambil menghapus airmata yang
tadi merembang dikedua kelopak matanya.
"Kami... kami dihadang oleh...."
"Ha ha ha ha...!"
Terdengar tawa yang menggelegar menghentikan kata-kata Juminten. Keduanya
tersentak kaget. Tiren sampai mencelat ke pundak Bayu. Tak jauh dari mereka
berdiri tiga sosok tubuh kekar. Wajah mereka garang dan tak bersahabat. Dua
orang memegang sebilah golok besar, dan seorang lagi terlihat sebuah keris
terselip di pinggang kiri.
"Siapa kalian, Kisanak. Dan ada keperluan apa datang dengan tiba-tiba?"
tanya Bayu dengan nada datar.
Walau batinnya mengatakan mereka bermaksud buruk, tapi Bayu mencoba
bersikap bersahabat.
"Namaku Reksopati, dan kedua orang ini adalah anak buahku, Drupala dan
Drupali. Kami bertiga terkenal dengan gelar Jagal Maut Alas Roban. Siapa pun
yang memasuki kawasan hutan ini harus membayar upeti kalau ingin nyawanya
selamat!" jelas orang yang berada di tengah.
Sikap orang itu sombong sekali kelihatannya. Apalagi ketika dia berkacak
pinggang. Sepasang matanya melotot garang dengan kumis tipis yang turun naik
seirama dengan nada suaranya. Orang inilah yang memiliki senjata keris di
pinggangnya.
"Hem, kalian rupanya yang punya gelar hebat itu?" sindir Bayu sambil
tersenyum kecil.
"Apa yang kalian mau dari kami?"
"Serahkan isi gerobak-gerobak itu!"
Bayu melirik ke arah Juminten, kemudian katanya sambil berbisik.
"Apakah isi gerobak-gerobak itu barang-barang berharga, Juminten?"
"Kalau pun bukan barang-barang berharga, tapi barang-barang itu harus
sampai pada pemiliknya yang sah. Kalau tidak usaha paman ku nanti tak akan
dipercaya orang lagi." sahut Juminten tegas.
"Kau benar, Juminten. Lagipula orang-orang itu sombong sekali. Baiknya kita
hajar saja ya...?"
Juminten memandang pemuda itu yang tersenyum kecil padanya. Dasar bocah
nakal, dia malah mengangguk setuju sambil berseru girang.
"Iya, Paman. Hajar saja orang itu! Aku pun sebal melihat tingkahnya yang
sombong."
"Nah, Kisanak. Kalian dengar bukan? Kami keberatan memberikan barang-barang
ini begitu saja, kecuali kau bisa melangkahi mayatku," teriak Bayu pada
ketiganya.
Mendengar itu tampak wajah ketiganya semakin garang. Orang yang
bersenjatakan keris itu mengaku bernama Reksopati langsung memberi isyarat
pada temannya untuk menghabisi kedua orang yang mereka anggap menghalangi
niatnya.
"Kalau begitu mampuslah kalian!"
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Bayu berkelit sambil mendorong tubuh Juminten menjauh. Bocah perempuan itu
agaknya tak takut melihat pertarungan. Dengan tenang dia duduk tak jauh dari
pertarungan ditemani oleh Tiren.
"Ayo Paman, hajar mereka! Hajar mereka biar tahu rasa!" teriaknya sambil
bertepuk tangan.
"Kaaakh...!"
Melihat tingkah bocah itu Tiren berteriak nyaring sambil ikut-ikutan
bertepuk tangan. Monyet kecil itu kemudian jungkir balik berkali-kali.
"Monyet kecil, kau yakin Paman Bayu akan berhasil menghajar mereka?"
"Nguk! Nguuuk...!" Tiren menyeringai lebar, kemudian dia menggerak-gerakkan
sebelah tangan ke atas. Kedua kakinya melompat-lompat sambil menginjak-injak
sebatang ranting kecil. Melihat itu Juminten terkekeh.
"Ha ha ha ha...! Kau benar. Tentu sebentar lagi mereka akan bertekuk lutut
di kaki Paman Bayu." sahut Juminten seperti mengerti apa yang dimaksud
monyet kecil itu.
Sebenarnya kata-kata Juminten tanpa diucapkan pun akan terbukti, sebab
dalam beberapa gebrakan saja Bayu dapat merasakan bahwa mereka hanya
memiliki ilmu silat kacang. Kalau pun tadi Bayu memuji kehebatan nama
mereka, itu hanya untuk menyindir belaka. Tapi agaknya mereka salah terima
dan menganggap Bayu itu menjadi takut.
"Hiyaaa...."
"Plak! Plak!"
"Hughk!"
Kedua orang itu terdesak dengan mata melotot keluar. Dalam satu serangan
mendadak, kedua tangan Bayu menghantam masing-masing pergelangan tangan
mereka hingga senjatanya terpental jauh. Kemudian dengan gerakan yang tak
terduga, kedua kakinya berputar sambil mengapung di udara dan tepat
menghantam kerongkongan keduanya.
"Horeee...! Paman menang! Paman menang!" teriak Juminten girang kemudian
bertepuk tangan lebih kencang.
Tiren yang ada di sebelahnya pun tak mau tinggal diam. Dia jungkir balik
beberapa kali, kemudian mengangkat kedua tangan ke atas sambil bertepuk
tangan.
Sementara itu Reksopati bukan main garang melihat kedua temannya dapat
dijatuhkan dengan begitu mudah. Padahal dia yakin betul, pemuda berbaju
kulit harimau itulah yang dalam sekejap akan tewas.
"Bedebah! Kau harus membayar perbuatanmu itu, bocah!" makinya garang.
"Apa? Kau ingin semaput seperti mereka?" sahut Bayu pura-pura tuli sambil
tersenyum mengejek.
"Bangsat!"
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Bayu berkelit cepat ketika ujung keris Reksopati nyaris merobek
tenggorokannya. Tangan kirinya coba menghantam ke pergelangan tangan lawan,
namun orang yang memiliki mata juling itu cepat berkelit. Bahkan secara tak
terduga mengirim satu tendangan kilat ke selangkangan Pendekar Pulau
Neraka.
"Uts, haaa...!"
Dengan gerakan manis tubuh Bayu mencelat ke atas setinggi setengah tombak.
Gerakan itu ternyata berputar, hingga posisinya terbalik dengan kepala di
bawah dan kedua kaki di atas.
"Mampus kau!" bentak Reksopati menghunuskan keris melihat peluang baik
itu.
"Kaulah yang akan mampus!" desis Bayu dengan penuh kejengkelan. Dua jari
tangan kanannya menjepit keris lawan dengan kuat, dan tangan kirinya
menghantam ke arah dada.
"Begkh!"
"Hugkh!"
Seperti kedua temannya, tubuh Reksopati sempoyongan dan ambruk sambil
mendekap dada. Nafasnya megap-megap dan terasa sesak. Bayu memang belum
bermaksud menghabisi mereka bertiga. Tapi kali ini kejengkelannya telah
memuncak. Dan bersiap mengangkat tangan untuk menghabisi ketiga orang
itu.
"Paman, hentikan!" teriak Juminten berlari kecil menghampiri.
"Ada apa Juminten?"
"Ng... sebaiknya jangan dibunuh Paman. Kata orang membunuh sesama manusia
itu tidak baik. Lagipula mereka masih berguna untuk kita."
"Juminten, mereka orang jahat. Kalau tidak kita bunuh sekarang, mungkin
nanti mereka yang akan membunuh kita di saat kita lengah."
"A... Aden, ampunilah kami. Kami... berjanji tak akan melakukan itu
padamu...." Reksopati memohon sambil merangkak kedekat Bayu.
Bayu jadi ragu menghabisi mereka. Lebih lebih ketika Juminten kembali
angkat bicara.
"Paman, ampunilah mereka. Menghadapi kehebatan Paman tentu mereka tak akan
berani macam-macam. Kalau Paman masih bisa dikelabui oleh mereka, tentu
Paman masih bodoh dan merekalah yang pintar."
"Sial...!" dengus Bayu dalam hati.
Bayu berpikir sesaat. Kata-kata Juminten ada benarnya walau terasa
memanas-manasi hatinya. Siapa sudi disebut orang bodoh? Apalagi dibandingkan
dengan ketiga cecurut itu.
"Baiklah. Tapi apa gunanya mereka buat kita?"
"Paman, kita cuma punya seekor kuda yang masih hidup, sedangkan
barang-barang ini belum tentu bisa diangkut dengan satu gerobak...."
"Aku mengerti maksudmu!" potong Bayu cepat.
"Syukurlah...." sahut Juminten terkekeh.
"Nah, kalian dengar bukan? Kali ini kuampuni nyawa kalian, tapi sebagai
gantinya kalian harus menarik sebuah gerobak berisi barang-barang itu. Awas,
jangan coba-coba kabur! Kalau tidak ingin mampus."
"Ba... baik, Den...." sahut ketiganya serentak. Walau gondok dan kesal,
namun ketiganya terpaksa melakukan apa yang diperintahkan Bayu, yaitu
menarik sebuah gerobak seperti seekor kuda saja. Hanya kali ini beban mereka
agak ringan karena dipikul bertiga.
***
DUA
Ratna Puspa termenung di beranda depan. Pikirannya menerawang jauh tiada
terhingga. Gadis berusia sekitar tujuh belas tahun itu baru tersentak kaget
ketika pamannya berdehem keras.
"Ehhh.... Paman."
"Sudah lama kau berada di sini? Memikirkan siapa? Kedua orang tuamu lagi?
Atau... Pandu Sukma?" selidik laki-laki separuh baya itu sambil tersenyum
kecil.
"Ah, Paman bisa saja. Kalau memikirkan kedua orang tuaku itu sudah tentu,
tapi kalau... Kakang Pandu...." suara gadis itu agak ragu melanjutkan
kata-katanya.
"Kalau Pandu kenapa, Ratna?" Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya.
Seharusnya rombongan itu sudah pulang. Jarak yang mereka tempuh adalah empat
hari perjalanan pulang pergi. Itupun sudah termasuk beristirahat selama di
perjalanan, tapi ini sudah hari yang kelima. Mungkinkah mereka mendapat
halangan di jalan?
"Betul kan? Kali ini kau tidak lagi memikirkan kedua orang tuamu yang cerai
berai entah di mana, tapi memikirkan Pandu yang tak kunjung pulang juga...."
goda Paman Patisena lagi.
"Paman, sudahlah! Aku tak mau dengar lagi!" seru Ratna sambil berlari ke
dalam. Wajahnya tampak bersemu merah.
Laki-laki separuh baya itu menghela nafas pendek. Senyum kecilnya
menghilang. Kalau Ratna memikirkan pujaan hatinya, itu tak salah. Tapi dia
pun punya beban pikiran yang hampir sama. Beberapa hari berselang Pandu
Sukma dipercayakan untuk memimpin rombongan pengantar barang yang merupakan
pegawai-pegawai Patisena, atau Paman dari Ratna Puspa. Pemuda itu sudah lama
bekerja padanya, dan kali ini Patisena percaya akan keberanian dan
kejujurannya. Tapi mereka seharusnya sudah tiba kemarin. Dan paling lambat
sore harinya. Tapi menjelang sore hari ini tak juga terlihat tanda-tanda
kehadiran mereka. Patisena mulai was-was. Apakah mereka mengalami hambatan?
Atau...?
"Tak mungkin Pandu berkhianat!" bantahnya menghalau praduga buruk tentang
pemuda itu.
"Selama ini dia begitu jujur padaku dan teman-temannya. Tapi...?"
"Paman mencurigai Kakang Pandu?" Terdengar pertanyaan halus menusuk dari
belakang. Patisena tersentak. Ratna Puspa telah berdiri lagi di belakangnya
dengan tatapan dingin.
"Paman tidak bermaksud demikian, Ratna."
"Ratna telah mendengar kata-kata Paman tadi...." potong gadis itu dengan
suara halus.
"Dengarlah dulu, Ratna. Paman tak bermaksud menuduhnya. Tapi barang-barang
itu sangat berharga. Kemungkinan saja orang bisa khilaf, atau dia dan
teman-temannya mengalami halangan. Entah itu dari perampok-perampok atau
yang sebangsanya...."
"Kakang Pandu bukan orang yang lemah, Paman. Dia pasti bisa mengatasi
perampok-perampok itu!"
"Paman pun berharap begitu. Tapi tak semua perampok berilmu rendah. Ada
juga yang berasal dari tokoh-tokoh persilatan golongan sesat. Pandu memang
berilmu tinggi, tapi...."
"Maksud Paman, dia tak mampu mengungguli mereka?"
Patisena mengangguk pelan.
"Ohhh...."
Ratna Puspa tiba-tiba teringat sesuatu. Tadi malam dia bermimpi aneh
sekali. Mereka berkejar-kejaran berdua, lalu Pandu terpeleset dan
berguling-gulingan hingga jatuh ke jurang yang tak ketahuan dasarnya. Dia
cuma bisa menjerit-jerit sampai akhirnya terjaga. Dan pagi ini kata-kata
Pamannya semakin membuat hatinya resah. Walau Pandu berilmu tinggi, tapi di
luar sana masih banyak mereka yang berilmu lebih tinggi. Kalau salah seorang
di antara mereka yang merampok rombongan yang dipimpin Pandu... ohhh, apakah
dia bisa selamat?
Lalu kalau Pandu sampai celaka dan tewas, siapa lagikah kini yang paling
memperhatikannya setelah kedua orang tuanya pergi entah ke mana?
Cuma ada Paman Patisena. Tapi laki-laki itu terlalu sibuk dengan usahanya,
dan tak punya banyak waktu untuk memperhatikannya. Ratna Puspa tersentak.
Dari kejauhan terlihat abu mengepul di udara. Wajahnya seketika
gembira.
"Paman, mereka kembali!" teriak Ratna Puspa girang.
Patisena cuma mengangguk sambil tersenyum. Dilihatnya gadis itu
berlari-lari kecil menyongsongnya. Namun semakin dekat jarak mereka,
jantungnya berdetak terasa berdetak lebih kencang. Yang terlihat justru
pemandangan yang sangat aneh. Tiga orang bertampang seram sedang menarik
gerobak yang paling depan sambil berlari. Dan di belakangnya mengikuti
gerobak lain yang ditarik seekor kuda. Saisnya seorang pemuda berwajah
tampan dan keras dengan seorang bocah perempuan mungil. Bocah perempuan itu
langsung berteriak begitu mengetahui siapa yang sedang menyongsong
mereka.
"Kak Ratna!"
"Roro Intan...?!"
Bocah kecil itu tiba-tiba melompat ketika gerobak yang dinaikinya berjalan
pelan. Pemuda tampan di sebelahnya langsung menarik tali kekang.
"Heaaah...!"
Diperhatikannya mereka sesaat sebelum dia melangkah ke gerobak yang berada
di depan dan menyuruh ketiga orang penariknya pergi dari tempat itu.
"Te... terima kasih, Den...." kata mereka serentak sambil berjalan
tertatih-tatih memegang punggungnya yang lecet.
"Hmmm...."
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara alias si Pendekar Pulau Neraka itu
cuma bergumam kecil memperhatikan mereka. Kemudian dia bersandar dan
mengalihkan perhatian pada bocah kecil yang masih berangkulan dengan seorang
gadis berwajah jelita.
"Ehem!"
"Ehhh...."
"Maaf mengagetkan Kisanak. Siapakah anda dan apa yang terjadi dengan
mereka?" tanya Patisena yang tadi mendehem mengagetkan Bayu.
"Kisanak siapa?"
"Namaku Patisena, dan gerobak-gerobak ini adalah milikku. Gadis kecil itu
adalah keponakanku. Nah, Kisanak...."
"Namaku Bayu, Paman Patisena," sahut Bayu memotong kata-kata
Patisena.
"Oh, Bayu. Kalau boleh tahu, apa yang terjadi dan di mana mereka
sekarang?"
"Maaf Paman. Aku sendiri tak tahu apa yang telah terjadi. Saat kutemukan,
mereka telah menjadi mayat.
Dan kini ku tumpuk di gerobak ini...."
Belum habis kata-kata Bayu, tiba-tiba gadis berwajah jelita itu berteriak
histeris sambil berlari kecil ke arah gerobak di dekatnya.
"Kakang Pandu...!"
***
Bayu tak mengerti ketika gadis itu tiba-tiba menyeruak ke dalam gerobak dan
memeriksa mayat-mayat di dalamnya satu per satu. Tapi ketika gadis itu
menemukan sesosok mayat yang agaknya telah ditemukannya gadis itu menangis
semakin keras sambil meratapinya. Bayu mulai mengerti. Saat dilihatnya
laki-laki yang tadi juga bercakap-cakap dengannya seperti hanyut dalam
suasana itu, perlahan-lahan dia meninggalkan tempat itu.
"Paman...!"
Bayu menoleh. Dilihatnya bocah perempuan yang tadi bersamanya berdiri tegak
dengan wajah sedih menatap kepergiannya.
"Ada apa Juminten?"
"Paman mau ke mana?"
"Aku harus pergi...."
"Pergi ke mana?"
"Ke mana saja kaki melangkah tentunya."
"Aku ikut, Paman...."
Wajah bocah perempuan itu tampak sendu. Perlahan-lahan dia mendekat dan
menundukkan kepala ketika telah berada dekat di depan Bayu.
"Aku ikut denganmu, Paman. Bawalah aku pergi ke mana saja...."
Bayu berjongkok dan mengangkat wajah Juminten sampai mereka saling
bertatapan.
"Perjalanan Paman jauh dan melelahkan. Kau tentu tak kuat. Bukankah di sini
kau cukup aman? Ada Pamanmu dan... gadis itu yang akan merawatmu...."
"Aku tak punya kawan. Paman selalu sibuk, dan Kak Ratna tak pernah lagi
memperhatikan sejak berkawan dengan Kakang Pandu...."
"Siapa Kakang Pandu itu? Apakah mayat yang sedang diratapinya itu?"
Juminten mengangguk pelan. Bayu menghela nafas pendek. Kemudian ditatapnya
kembali wajah bocah itu.
"Tapi kini dia pasti akan lebih memperhatikanmu. Asalkan kau tidak nakal,
selalu bersikap baik dan jujur."
"Aku selalu melakukan itu, tapi tetap saja mereka tak sayang!"
"Betul?"
"Betul!"
"Nah, sekarang saja kau telah berbohong, bagaimana mungkin seorang
pembohong bisa berbuat baik?"
"Aku tak bohong, Paman!" bantah Juminten.
"Baiklah. Kalau kau tidak bohong, kenapa kau memperkenalkan dirimu dengan
nama Juminten, sedangkan tadi kakakmu memanggil dengan sebutan Roro
Intan?"
"Itu... itu...."
"Ayo, bukankah kau tak mau berbohong? Kalau kau memberi jawaban bohong
berarti telah dua kali kau lakukan. Dan aku paling benci dengan anak yang
suka membohong."
"Dia tidak berbohong. Yang ada cuma salah pengertian...." Lagi-lagi Paman
Patisena ikut bicara.
"Persoalannya panjang, Nak Bayu. Kalau tak keberatan, mampirlah ke pondok.
Kami tentu akan senang sekali menjamu Anda."
"Terima kasih, Paman. Tapi...."
Sebenarnya Bayu hendak menolak ajakan laki-laki itu, namun ketika melihat
wajah Juminten atau Roro Intan yang menghiba, dia tak sampai hati. Bayu pun
akhirnya mengangguk. Setelah mereka menguburkan mayat-mayat itu satu
persatu, Patisena dan Bayu terlibat obrolan santai di ruang tengah. Malam
telah tiba, dan di luar terlihat beberapa orang berjaga-jaga. Kebanyakan
dari mereka adalah orang yang bekerja pada Patisena. Dan sebagian lagi
jago-jago bayaran yang khusus untuk mengawal barang-barang berharga. Usaha
yang dijalankan Patisena memang menuntut orang-orang seperti mereka.
"Menurut apa yang diceritakan Roro Intan, pelakunya cuma satu orang. Dia
sendiri tak melihat persis. Cuma terdengar auman dahsyat seperti harimau
mengamuk."
"Harimau?!"
Patisena mengangguk dengan wajah ragu. Diperhatikan pemuda di hadapannya
itu pun terlihat tak percaya.
"Memang mustahil, tapi itulah kenyataannya. Yang mengganggu perasaanku saat
ini, tak mungkin mereka bisa dilumpuhkan begitu mudah oleh seekor harimau.
Pasti ada seorang tokoh sakti yang bersenjatakan cakar berbentuk harimau
yang terbuat dari pisau-pisau tajam."
"Kenapa Paman berpikir begitu?"
"Pandu yang memimpin rombongan itu memang bukan termasuk tokoh kelas satu,
tapi dulu sebelum bergabung denganku dia adalah seorang pengembara dan
pernah menewaskan seekor harimau. Rasanya mustahil kali ini dia sampai tewas
oleh seekor harimau. Apalagi jumlah mereka cukup banyak."
Bayu menganggukkan kepala. Apa yang dikatakan Patisena mungkin bisa
diterima akal. Biasanya para pengawal barang seperti mereka memiliki ilmu
silat yang lumayan. Dan jumlah yang segitu banyak bukan tak mungkin
menaklukkan seekor harimau.
"Lalu siapa menurut Paman pelakunya?"
"Seingatku mungkin ada dua. Yang pertama ada yang ingin merampok
barang-barang yang mereka bawa, dan yang kedua adalah saingan kami dalam
usaha ini."
"Saingan? Apakah Paman punya saingan dalam menjalankan usaha ini?"
"Ada. Namanya Aria Menda."
"Aria Menda? Siapa orang itu?"
"Dia merupakan saingan kami yang utama. Orang itu ingin menguasai sendiri
usaha ini di wilayah bagian barat. Dia banyak menyewa jago-jago bayaran
tangguh. Tapi karena kami sering tepat waktu dan barang-barang selalu utuh
ditujuan, maka usaha kami lebih maju. Dulu dia pernah iri, dan mencari
gara-gara dengan mengancam beberapa orang-orangku. Dan barangkali ancamannya
di lakukan sekarang...."
"Apakah Paman yakin?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?!"
Bayu menghela nafas pendek. Diliriknya sekilas Roro Intan yang sedang
bercanda dengan Tiren. Wajah bocah itu tampak riang. Sesekali dia tertawa
lepas.
"Kasihan mereka...." gumam Patisena pelan.
"Ke mana orang tua mereka Paman?"
Paman Patisena menarik nafas agak panjang sebelum bercerita.
"Mereka telah lama berpisah sejak Ratna Puspa masih kecil dan Roro Intan
masih bayi. Keduanya adalah tokoh persilatan yang gila mendalami ilmu silat.
Mereka belum puas sebelum menguasai segala ilmu silat tingkat tinggi. Dan
puncaknya adalah saat kelahiran Roro Intan, mereka berpisah dan sampai
sekarang belum ketahuan lagi kabar beritanya," ujar Paman Patisena
mengakhiri ceritanya. Bayu menganggukkan kepalanya.
"Sungguh kasihan mereka...." gumam Bayu.
Bayu tiba-tiba teringat akan keadaan dirinya sendiri. Sejak bayi pun dia
tak pernah tahu siapa ayah dan ibunya. Yang dikenalnya cuma Eyang Gardika
yang telah mengasuhnya dari bayi hingga dewasa. Mungkin apa yang dialami
Roro Intan saat ini sama dengan apa yang dirasakannya. Rasa rindu dan ingin
berjumpa dengan kedua orang tua yang melahirkannya. Kalau dia barangkali
hanya ada dalam bayangannya karena hal itu tak mungkin. Kedua orang tuanya
telah tiada, tapi Roro Intan masih ada harapan.
***
Pagi-pagi sekali Bayu terbangun, dia terkejut ketika melihat di halaman
depan rumah Paman Patisena telah ramai orang-orang berkumpul lengkap dengan
senjata masing-masing seperti akan terjadi pertarungan besar. Diintipnya
lewat lubang di dinding kamar, Patisena turun perlahan dari undakan tangga.
Belasan anak buahnya telah menunggu dan bersiap melindungi.
Sementara tak jauh di depan mereka tampak sekitar dua puluh orang telah
menunggu dengan sikap tak sabar. Salah seorang duduk di atas sebuah pedati
yang ditarik kuda. Tubuhnya besar dan berbaju mewah. Wajahnya ditumbuhi
cambang bawuk lebat. Orang inilah yang bernama Aria Menda, saingan usaha
Patisena.
"Pagi-pagi kau berada di sini sungguh kebetulan sekali. Apakah kau
bermaksud mohon ampunan dariku?" sindir Patisena dengan suara ditekan
sedemikian mungkin.
"Puih...! Patisena keparat! Jangan banyak omong kau! Hari ini ingin
kudengar pembelaanmu yang telah membantai anak buahku?!" sahut Aria Menda
dengan nada geram.
Mendengar itu bukan main panasnya hati Patisena. Dalam sangkaannya tentulah
Aria Menda bermaksud lempar batu sembunyi tangan, pura-pura menuduh untuk
lepas dari tuduhannya.
"Aria Menda, jangan keterlaluan kau! Apa maksudmu menuduh kami berbuat
begitu? Sudah jelas kalianlah yang telah melakukan pembantaian terhadap anak
buahku!"
"Dasar culas, tetap saja kali ini mau berkelit!" dengus Aria Menda semakin
garang dituduh demikian.
"Jangan sembarangan menuduh kau Aria Menda! Kau lihat kuburan-kuburan itu,
itulah mayat-mayat anak buahku yang kau bantai secara biadab!" tunjuk
Patisena pada beberapa gundukan tanah yang tak jauh dari situ.
Aria Menda cuma mendengus sinis melihat hal itu, kemudian kembali berpaling
masih dengan wajah berang.
"Huh, bisa saja kau melakukan tipu muslihat itu. Tapi untukku kau tak akan
lepas dari tanggung jawab. Saat ini juga kau harus mampus untuk menebus
kematian anak buahku!" Aria Menda menggerakkan sebelah tangannya.
Saat itu juga mencelat dua orang bertubuh besar dari samping pedatinya, dan
langsung menyerang Patisena dengan senjata golok masing-masing. Tapi dipihak
Patisena sendiri pun tak tinggal diam. Dua orang anak buahnya yang
terpercaya segera menghadang dan yang lainnya melindungi majikan
mereka.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
"Trak! Trak!"
Pertarungan di antara kedua belah pihak tak dapat dihindari lagi saat ini.
Keduanya betul-betul bernafsu untuk menghabisi lawannya. Tak heran bila
pertarungan semakin ramai ketika yang lainnya juga mencari lawan
masing-masing. Dalam keadaan demikianlah tiba-tiba terdengar bentakan yang
keras.
"Berhenti...!"
Semuanya tersentak kaget. Dan dengan sendirinya menghentikan pertarungan.
Tak jauh dari situ muncul seorang pemuda berambut gondrong berwajah tampan
dan keras, serta berbaju kulit harimau. Di pundak kanannya terdapat seekor
monyet kecil berbulu hitam menyeringai lebar pada mereka. Aria Menda yang
lebih dulu bertanya garang.
"Siapa kau?"
"Aku cuma seorang tamu di sini. Namaku Bayu Hanggara...!"
Aria Menda mungkin tak begitu mengenal nama itu, tapi para jago-jago
bayarannya yang terdiri dari orang-orang persilatan, tentu saja tahu betul
siapa tokoh yang bernama itu. Demikian juga halnya dengan anak buah
Patisena. Tanpa sadar mereka berdesis menyebut gelar pemuda itu.
"Pendekar Pulau Neraka...!"
***
TIGA
"Pendekar Pulau Neraka? Siapa sebenarnya pemuda itu?" tanya Aria Menda
berbisik pada salah seorang anak buahnya.
"Dia seorang tokoh hebat, Den. Ilmunya tinggi dan namanya belakangan ini
amat menggemparkan dunia persilatan."
"Hmmm... kalau dia ikut campur habisi saja!"
"A... aaa, tidak Den! Tidak! Kami lebih baik berhenti bekerja kalau Tuan
memaksa kami agar kami melawannya," sahut anak buahnya dengan tubuh
gemetar.
"Pengecut! Apa kau yakin dia tidak berbohong untuk mengelabui kita?"
"Pendekar Pulau Neraka selalu membawa-bawa monyet serta memiliki senjata
Cakra Maut di tangan kanannya. Ciri-ciri itu persis sama dengan pemuda
ini."
"Kenapa tidak kalian coba saja? Siapa tahu dia cuma pepesan kosong yang
mengaku-ngaku dengan nama pendekar itu."
"Ti... tidak, Den. Kami tidak berani. Pendekar itu terkenal ganas dan tak
kenal ampun. Kami tak mau mati sia-sia...."
"Brengsek! Kalian ku gaji bukan untuk menjadi pengecut, tapi untuk
melindungi serta barang-barang ku dan harus patuh pada perintahku!" dengus
Aria Menda kesal.
Sementara itu Bayu angkat bicara. Ditatapnya mereka satu persatu.
"Ki sanak semua, kudengar kalian saling tuduh menuduh tentang peristiwa
yang menimpa anak buah kalian. Aku tidak bermaksud memihak pada Paman
Patisena karena memang tiada guna menyelesaikan persoalan ini. Kedatanganku
ke sini justru membawa mayat-mayat anak buahnya yang tewas secara
mengenaskan. Akulah yang menjadi saksi atas tewasnya anak buah Paman
Patisena. Nah, jawaban apa yang kalian bisa berikan untuk melepaskan tuduhan
dari pihak Paman Patisena kalau bukan kalian pelakunya?"
"Kapan peristiwa itu terjadi?" tanya Aria Menda dengan nada masih tak
bersahabat.
"Kira-kira kurang dari dua hari yang lalu...." "Saat itu sebagian besar
anak buahku sedang mengantar barang ke tempat kediaman Bupati yang baru
diangkat baginda raja."
"Bagaimana kau membuktikannya?"
"Kau boleh tanyakan sendiri pada Kanjeng Bupati. Kalau ternyata aku
berdusta, penggallah leherku!"
"Hmmm...." Bayu bergumam pelan. Kemudian dia menatap ke arah
Patisena.
"Paman Patisena, aku percaya pada kata-kata orang ini. Dia tak melakukan
apa yang paman tuduhkan."
"Bagaimana kau bisa berkata demikian Bayu?"
"Kalau terbukti dia yang melakukannya, aku sendiri yang akan datang ke
tempatnya!" sahut Bayu meyakinkan.
Patisena tak bisa berkata apa-apa mendengar jawaban itu. Bayu pun kemudian
berpaling lagi pada Aria Menda.
"Nah, Ki sanak. Demikian juga halnya Paman Patisena. Beliau tidak melakukan
apa yang kau tuduhkan. Aku tidak berpihak. Jika ternyata kelak Paman
Patisena melakukan perbuatan keji itu aku pun akan datang kembali ke sini
dan meminta pertanggung-jawabannya."
"Bagaimana mungkin kami mempercayai omongan mu?" tanya Aria Menda masih
kurang puas.
Salah seorang anak buahnya pun menimpali.
"Ki sanak, bukankah kau yang bergelar Pendekar Pulau Neraka?"
"Tak salah. Demikianlah orang-orang menyebutku."
"Kami bukan tak percaya padamu. Tapi kau pergi mengembara ke mana-mana.
Bagaimana mungkin kau bisa menyelesaikan masalah ini dengan adil kalau kau
sendiri tak ada di tempat?"
"Siapa yang mengatakan aku tak ada di tempat? Aku akan turun tangan
menyelidikinya di samping kalian!" ujar Bayu tegas.
"Syukurlah kalau kau berniat begitu. Dengan adanya pendekar seperti kau
mudah-mudahan titik terang akan kita peroleh bersama dan si pelakunya dapat
ditangkap untuk dihukum sesuai dengan perbuatannya," sahut orang itu lagi
merasa lega.
Tak berapa lama Aria Menda dan anak buahnya kembali pulang. Bayu menghela
nafas pendek. Dia bermaksud meninggalkan tempat itu secepatnya ketika Paman
Patisena memanggilnya.
"Bayu, kami sangat berterima kasih atas apa yang kau lakukan. Tapi yakinkah
kau bahwa bukan mereka pelakunya?"
"Paman, aku pun belum yakin benar. Ini hanya dugaan. Melihat dari sikap dan
gerak-gerik mereka, tentulah mereka bukan sedang berpura-pura."
"Maksudmu mereka pun mengalami hal yang sama seperti kematian anak
buahku?"
Bayu mengangguk pelan.
"Siapa kira-kira orang keparat itu?" tanya Paman Patisena dengan wajah
geram.
"Aku sendiri pun tak tahu, Paman. Kita pun tak bisa menduga hal itu
dilakukan oleh manusia. Siapa tahu sekawanan serigala atau beruang."
"Tak mungkin Bayu!" bantah Paman Patisena cepat.
Patisena menjelaskan perbedaan antara cakaran harimau dengan serigala
maupun beruang dengan sesuatu cakar palsu yang terbuat dari bilah-bilah besi
tajam seperti pisau yang kuat. Bayu mengangguk mendengar penjelasan
itu.
"Mungkin juga. Tapi walau bagaimana pun aku telah berjanji akan
menyelidikinya. Mau tak mau hal ini harus kujalankan...."
"Terimakasih, Bayu. Kalau sudi bawalah beberapa anak buahku untuk
membantumu!"
"Tidak usah, Paman. Mereka lebih dibutuhkan disini untuk menjaga Paman,
Ratna dan Roro Intan. Oh ya, ke mana mereka? Sejak tadi aku tak
melihatnya?!"
"Aaaah... sungguh bandel anak-anak itu! Pasti mereka main lagi di kebun
belakang dekat sungai."
"Tak mengapa, Paman. Salam buat mereka. Aku pergi sekarang!" kata Bayu
sambil berlalu meninggalkan tempat itu.
Patisena hanya bisa menatap punggung pemuda bertubuh kekar itu yang semakin
lama semakin menjauh dan menghilang. Baru saja tiba di ujung jalan, Bayu
terkesiap. Dua sosok tubuh menunggunya di situ!
***
"Ratna! Roro...! Apa yang kalian kerjakan di sini?!" tanyanya kaget.
Keduanya memang orang yang sudah dikenal Bayu sebagai keponakan Paman
Patisena. Di pundak mereka masing-masing membawa buntalan seperti orang yang
siap merantau jauh.
"Apa yang kalian kerjakan di sini?" ulang Bayu ketika tak ada sahutan dari
mereka. Keduanya masih tetap menundukkan wajah.
"Roro, sedang apa di sini?" tanya Bayu pada bocah kecil itu sambil
berjongkok dan menjawil dagunya. Gadis itu melirik sekilas pada kakaknya,
kemudian menatap Bayu lekat-lekat.
"Roro mau ikut Paman, tapi Kak Ratna malah minta ikut juga...."
"Bohong! Kamulah yang minta ikut!" bantah Ratna cepat.
"Roro sudah bilang sebelumnya pada Paman ini...."
"Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan!"
"Kenapa tidak? Untuk apa tinggal di situ tanpa ada orang yang
menyayangi?"
"Kata siapa tak ada yang menyayangimu?"
"Tidak kata siapa-siapa, tapi Roro sendiri yang merasakannya!"
Mendengar kata-kata Roro Intan, Ratna Puspa seperti tersentak hatinya.
Ditatapnya Roro Intan dalam-dalam. Betulkah selama ini dia mengabaikan
adiknya?
Perlahan-lahan Ratna mendekat lalu berjongkok sambil mendekap pundaknya
ketika Bayu menepi.
"Roro, siapa bilang di rumah tak ada yang menyayangimu? Kakak sangat
menyayangimu!"
"Kakak selalu menyayangi Kakang Pandu!
"Tapi bukan berarti kakak melupakanmu.
"Bohong!"
"Roro, Kakak berkata yang sebenarnya. Kakak betul-betul
menyayangimu...."
"Bohong! Kalau kakak betul-betul sayang padaku, pulanglah kembali ke rumah
Paman Patisena dan biarkan aku ikut dengan Paman Bayu ke mana saja kakiku
melangkah."
Setelah berkata begitu, Roro melangkah ke arah Bayu dan bersembunyi di
belakang tubuh pemuda itu. Ratna baru saja akan mengejar kalau tak ingat
bahwa di situ ada Bayu. Dia salah tingkah dan membuang muka dengan wajah
gelisah. Bayu memang sengaja mendiamkannya saja karena dia belum mengerti
betul apa yang mereka ributkan. Yang sedikit diketahuinya adalah Roro
seperti kurang kasih sayang tinggal di rumah pamannya itu.
"Tuan pendekar...!" panggil Ratna dengan suara gemetar.
"Panggil saja namaku, Bayu!"
"Bayu... ng... eh, bisakah kita bicara tanpa diketahui Roro?"
"Tidak! Tidak mau! Kak Ratna tentu akan membujuk Paman Bayu agar aku tak
boleh ikut!" sentak Roro sambil mendekap kaki Bayu erat-erat.
"Tidak, Roro. Kakak hanya ingin bicara sedikit dengan Paman Bayu...." bujuk
Ratna Puspa.
"Bohong!"
Ratna menghela nafas dengan wajah kecewa. Tampaknya Roro Intan curiga
sekali bahwa dirinya akan mengakali agar dia tak ikut dengan Bayu.
"Roro, bukankah kau mau ikut dengan Paman?"
Gadis kecil itu mengangguk ketika Bayu bertanya sambil tersenyum.
"Nah, sekarang bermainlah dulu bersama Tiren. Paman berjanji tak akan
meninggalkanmu. Di mana ada Paman di situ ada Tiren. Paman tak mungkin pergi
tanpa Tiren. Kalau dia bermain denganmu, sudah pasti Paman akan menunggunya
kembali. Dengan begitu Paman tidak bisa menipumu bukan?"
Roro Intan adalah gadis yang cerdik. Sekilas saja dia dapat menangkap apa
yang dimaksud Bayu. Maka sambil mengajak Tiren bermain agak jauh dari tempat
itu, dia tersenyum kecil.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren pun agaknya senang juga dapat punya kawan seperti Roro Intan.
Terbukti dengan semangat dia mengikuti ajakan bocah kecil itu.
"Nah, apa yang ingin kau bicarakan padaku?" tanya Bayu setelah Roro sudah
berada agak jauh dari mereka berdua.
Ratna Puspa tak buru-buru menjawab. Dia menghela nafas beberapa kali sambil
membuang pandangan. Agaknya berat baginya mengatakan apa yang terkandung
dalam hati. Tapi akhirnya keluar juga meski dengan suara pelan.
"Kudengar Anda ingin membantu Paman Patisena menyelidiki peristiwa
itu?"
"Ya...!"
"Siapa pun adanya, dia harus mati di tanganku!" tekad Ratna Puspa dengan
sorot mata tajam berapi-api penuh dendam.
Bayu menatapnya sekilas. Wajah gadis ini cantik menawan. Lebih lagi bila
dia tersenyum. Dan dalam keadaan mendendam begini pun kecantikannya seperti
tak pudar. Tapi bukan hal itu yang membuatnya harus memandang gadis ini agak
lama, melainkan ingin meyakinkan atas dasar apa Ratna Puspa memiliki tekad
demikian?
"Kebathilan harus dilenyapkan di muka bumi ini! Bukankah begitu niat dari
setiap pendekar pembela kebenaran?" tangkisnya ketika Bayu menanyakan hal
itu.
"Betul apa yang kau katakan. Tapi niatmu bukan itu. Kau tidak usah menipu
dirimu sendiri. Tekadmu cuma sebatas ketidak relaan mu melihat nasib Pandu
yang tewas dengan cara demikian. Balas dendammu hanya akan mencelakakan
dirimu sendiri."
"Apa maksudmu?!"
"Lebih baik kau berada di rumah bersama Paman Patisena."
"Tidak. Walau bagaimana pun harus kucari orang itu!"
Bayu memandang Ratna Puspa sekilas, kemudian mengalihkan pandangan sambil
bersuit nyaring.
"Suiiit...."
Tak berapa lama terlihat Tiren, sahabat kecilnya itu berlari-lari kecil
menghampiri diikuti oleh Roro Intan. Begitu dekat, Tiren langsung melompat
ke atas pundak Bayu.
"Apakah kita akan pergi sekarang?" tanya Roro Intan.
Bayu tersenyum. Tubuhnya membungkuk, dan menjawil dagu gadis kecil
itu.
"Ya, Paman harus pergi sekarang. Kau harus temani kakakmu dan Paman
Patisena ya...."
"Tidak! Aku akan ikut dengan Paman Bayu!"
"Roro, kau masih kecil. Perjalanan Paman jauh dan penuh bahaya. Tinggallah
di rumah, kapan-kapan Paman akan berkunjung lagi...."
"Tidak! Tidak mau!" teriak Roro Intan.
Gadis kecil itu berteriak histeris dan bermaksud memeluk tubuh Bayu. Tapi
dalam sekejapan mata Pendekar Pulau Neraka raib dari hadapannya.
Ratna Puspa sendiri kaget melihat kecepatan bergerak pemuda berambut
gondrong itu. Walau dia memiliki sedikit ilmu silat, rasanya sulit untuk
bergerak sedemikian cepat. Gadis itu baru tersentak sadar dari kekagumannya
ketika Roro Intan menjerit keras sambil berlari sekuat tenaganya menyusul
kepergian Bayu.
"Paman Bayu...!"
"Roro... kembali! Kembali...!" teriak Ratna Puspa ikut mengejar
adiknya.
"Roro, kembali...!"
"Paman Bayu...!"
"Roro, mari kita pulang!" teriak Ratna Puspa ketika sedikit lagi berhasil
mengejar lari adiknya.
"Tidak mau! Tidak mau! Aku mau menyusul Paman Bayu!" teriak Roro Intan
histeris dan berusaha berontak ketika Ratna Puspa sudah berhasil
menangkapnya.
"Paman Bayu sudah pergi, dan kau tak mungkin menyusulnya!"
"Aku tak perduli! Akan kucari ke mana pun Paman pergi!"
"Mau mencari di mana?"
"Di mana saja!"
"Roro, jangan membandel. Bukankah Paman Bayu telah mengatakan bahwa dia
akan mengunjungimu kapan-kapan...."
"Tidak mau! Pokoknya aku tak mau kembali lagi ke rumah, kalian tak ada yang
sayang padaku. Aku mau menyusul ayah dan ibu!"
"Roro, kau tak tahu di mana mereka sekarang...."
"Aku akan minta Paman Bayu mencarinya. Dia pasti mau!"
Ratna Puspa tak tahu lagi harus dengan cara apa dia membujuk adiknya
pulang. Dalam pada itulah entah dari mana datangnya serombongan orang yang
tiba-tiba saja telah mengelilingi mereka. Ratna Puspa tersentak kaget, dan
mundur beberapa langkah. Namun ketika dia menoleh ke belakang, tempat itu
seperti telah dipagar oleh barisan orang-orang tak dikenal. Salah seorang
gadis berambut panjang dengan wajah ayu mendekatinya perlahan. Bajunya
kembang-kembang merah dengan dasar putih, melekat erat hingga dadanya yang
membusung terlihat menonjol. Di punggungnya terselip sebatang pedang. Sorot
matanya tajam manakala menatap Ratna Puspa dari ujung kaki hingga
kepala.
"Hmmm... wajahmu amat ayu, bocah. Melihat dari caramu tentu kau anak desa
yang sedang ke sasar di hutan. Mari ikut dengan kami."
"Siapa kalian?" tanya Ratna Puspa curiga.
"Namaku Dewi Sukma Wening, dan mereka ini adalah anak buahku. Kami akan
mengantar kalian berdua pulang ke rumah," sahut wanita itu dengan senyum
genit.
Hal itu tentu saja menambah kecurigaan di hati Ratna Puspa. Wajah mereka
liar, dan sudah tentu bukan orang baik-baik. Lebih dari dua puluh orang
laki-laki mengelilingi tempat itu tak satu pun dilihatnya mencerminkan sikap
mereka sebagai orang baik-baik. Dan wanita ini dengan segala niat busuknya
bersembunyi dalam wajah cantiknya yang terkesan binal.
"Tidak, terimakasih. Kami bisa pulang sendiri..,.
"Ah, tidak baik menolak niat orang yang akan berbuat baik pada kalian.
Ayolah, mari ikut kami...."
"Jangan mendekat!" sentak Ratna Puspa ketika dilihatnya wanita itu
melangkah mendekati sambil mengulurkan tangan.
Mendengar itu paras wajah Dewi Sukma Wening berubah. Kini terlihat
kemarahannya.
"Sudahlah, Nini Dewi. Untuk apa membujuk segala. Kita tangkap dia lalu bawa
pergi dari sini, bereskan? Hitung-hitung sebagai hiburan karena buruan kita
belum juga ketemu!" sahut salah seorang anak buahnya yang kelihatan sudah
tak sabar.
Wajah Ratna Puspa semakin gelisah dan berubah pucat. Diliriknya orang itu
sekilas. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Orang itu menyeringai penuh
nafsu mengisyaratkan nafsu setannya yang berkobar-kobar. Ketika dia melirik
pada beberapa orang yang lain, rata-rata mereka pun memiliki niat yang sama.
Tak terasa tubuhnya semakin gemetar.
"Baiklah kalau kau tak mau diperlakukan secara baik, kami terpaksa
memaksamu. Seno, dan kau Kimung. Tangkap mereka! Bawa gadis molek itu dan
singkirkan bocah pentil itu!" perintah Dewi Sukma Wening.
"Siap...!"
Kedua orang yang bertubuh besar itu langsung melompat hendak menangkap
Ratna Puspa dan Roro Intan sambil menyeringai lebar. Namun saat itulah
terdengar bentakan nyaring yang menggema di sekitar tempat itu.
"Bajingan laknat! Hentikan niat kotor kalian!"
***
Sesosok bayangan tiba-tiba melesat di hadapan Ratna Puspa dan Roro Intan.
Seorang pemuda berambut gondrong berbaju kulit harimau berdiri tegak.
Wajahnya tampan dan keras. Di pundaknya terdapat seekor monyet kecil berbulu
hitam yang langsung menyeringai dengan sikap mengancam pada orang-orang
asing itu. Melihat siapa yang datang, Roro Intan langsung berteriak girang
sambil menghambur memeluk pemuda itu.
"Paman Bayu...!"
"Tenanglah, Roro. Mereka tak akan mengganggumu..." bujuk pemuda yang baru
muncul itu yang tak lain dari Bayu Hanggara.
"Paman, mereka akan berniat jahat pada kami."
Bayu menatap mereka satu per satu. Kedua orang tadi yang bersiap hendak
menangkap Ratna Puspa dan Roro Intan menghentikan langkah dan mendengus
dengan sikap mengancam.
"Siapa kau? Pergilah cepat dari sini sebelum kami merencahmu hidup-hidup!"
kata salah seorang yang bertubuh agak tinggi. Di tangannya tergenggam
sebatang pedang yang tajam berkilat.
"Siapa aku, bukan masalah. Sebaiknya kalianlah yang pergi dan jangan
mengganggu mereka!"
"Bedebah! Agaknya kau belum mengenal Persekutuan Iblis Merah. Cepat
tinggalkan tempat ini dan jangan campuri urusan kami. Kalau tidak kau akan
pulang tinggal nama!" gertak orang itu lagi.
Bayu tersenyum sinis.
"Kisanak, ancamanmu boleh juga. Tapi hanya pantas buat menakut-nakuti tikus
got. Tapi jangan coba-coba kalian lakukan padaku," sahut Bayu dingin.
"Keparat!"
"Hiyaaa...!"
Dua orang itu langsung menerjang Bayu dengan serangan kilat menebas leher
dan pinggangnya. Tapi Bayu hanya berkelit sedikit dan begitu merasakan
sambaran pedang mereka yang dianggapnya tak memiliki tenaga dalam hebat, dua
buah jari masing-masing tangannya langsung menangkap senjata lawan dan
menyentaknya kuat hingga terpental dalam keadaan patah dua.
"Hup!"
"Tak!"
Keduanya tersentak. Waktu yang sekian detik cukup bagi Bayu untuk menghajar
mereka satu persatu.
"Begkh!"
"Duk!"
"Aaaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan. Tubuh keduanya terlempar dua tombak sambil
muntah darah. Bukan main murkanya Dewi Sukma Wening melihat hal itu.
Sepasang matanya menatap tajam ke arah Pendekar Pulau Neraka dari atas
sampai ke bawah seolah hendak mengukur sampai di mana kemampuan pemuda
berambut gondrong itu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan suara lunak.
"Kalian tak perlu tahu siapa aku. Sebaiknya cepat tinggalkan tempat ini!"
sahut Bayu dingin nada mengancam.
Dewi Sukma Wening tersenyum sinis.
"Tak sembarangan orang boleh menghina Persekutuan Iblis Merah. Kau akan
kena batunya, Ki sanak!"
Selesai berkata demikian Dewi Sukma Wening langsung memberi isyarat. Dan
saat berikutnya lima orang dari mereka mengepung Bayu dengan sikap
menyerang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Melihat mereka langsung menyerangnya dengan ganas, Bayu tak tinggal diam.
Begitu tubuh mereka bergerak, dia langsung menerjang dengan kecepatan
tinggi.
"Trak! Trak!"
"Begkh!"
"Des!"
Tiga orang langsung terjungkal dengan pedang di tangan terpental entah ke
mana. Tubuh mereka melayang sejauh dua tombak sambil menjerit ke-sakitan dan
muntah darah. Dua orang lagi segera menyusul. Bukan main kagetnya Dewi Sukma
Wening melihat kedahsyatan sepak terjang Bayu. Dalam waktu sekejap mata dia
mampu menumbangkan lima anak buahnya tanpa mengalami kesulitan.
Wanita itu mulai ragu apakah dia mampu meneruskan niatnya untuk menangkap
Ratna Puspa dan menyingkirkan Roro Intan dengan terlebih dahulu menghabisi
pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Pergilah sebelum aku bertambah muak melihat tampang kalian!" bentak Bayu
mulai jengkel.
"Huh! Baru punya kepandaian segitu saja hendak berlagak di hadapanku.
Jangankan cuma seorang, sepuluh orang sepertimu pun aku tak akan lari!"
desis Dewi Sukma Wening geram.
Roro Intan yang mendengar percakapan itu sejak tadi, dan menyaksikan
kehebatan Bayu, tiba-tiba saja menimpali dengan suara mengejek.
"Hi hi hi hi...! Kuntilanak jelek, mana mungkin kalian bisa menandingi
Pamanku. Jangankan kalian, lebih banyak dari ini pun Pamanku dengan mudah
membunuh kalian semua!"
"Nguk! Nguuuk...!"
"Betulkan Tiren?"
"Kaaakh...!"
Dewi Sukma Wening geram bukan main mendengar kata-kata bocah itu. Ingin
rasanya saat itu juga diremasnya mulut mungil yang bijak itu. Tapi tiba-tiba
terlintas satu ingatan dalam benaknya. Ditatapnya Bayu sekali lagi seolah
ingin memastikan, bahwa pemuda di hadapannya ini adalah tokoh yang namanya
menggetarkan rimba persilatan belakangan ini.
"Ki sanak, kalau tak salah bukankah kau yang bergelar Pendekar Pulau
Neraka?!"
"Nah, setelah tahu gelar Pamanku, apakah kuntilanak sepertimu berani
mengganggu kami lagi?" bentak Roro Intan dengan sikap nakal.
Kembali Dewi Sukma Wening bertambah geram mendengar kata-kata bocah itu.
Tapi diam-diam di hatinya timbul sedikit rasa cemasnya. Apalagi ketika Bayu
kemudian mengangguk.
"Tak salah dugaanmu. Begitulah orang-orang memanggilku...."
"Hmmm, kalau begitu ternyata kami sedang berhadapan dengan seorang pendekar
kesohor. Maaf Ki sanak, mataku buta tak melihat gunung Mahameru menjulang
tinggi di mata. Kalau demikian, biarlah persoalan ini selesai sampai di sini
saja, dan kami akan berlalu...."
"Huh, enak saja mau pergi! Kalian pikir Pamanku akan membiarkan begitu
saja?!" sentak Roro Intan.
"Heh?!"
Dewi Sukma Wening berbalik dan mendengus geram pada bocah itu. Tapi Bayu
buru-buru menimpali.
"Begitu lebih baik daripada membuat perselisihan yang tak ada
guna...."
"Tapi paman, orang jahat seperti mereka tak boleh dibiarkan begitu saja!"
protes Roro Intan kesal.
"Nguk!" Tiren menimpali.
"Sudahlah, Roro. Biarkan mereka pergi. Kalau mereka sudah tidak lagi
berniat jahat tak perlu lagi menghukum mereka," sahut Bayu.
Mendengar jawaban itu Roro Intan hanya bisa cemberut sambil memalingkan
wajah. Bayu menghela nafas, kemudian berpaling pada Ratna Puspa yang
menundukkan wajah.
***
"Kenapa kalian tak juga pulang?"
"Aku akan pulang setelah menemukan pembunuh biadab itu!" sahut Ratna Puspa
pelan dengan nada pasti.
"Itu pekerjaan sia-sia. Kalian seperti menghadang bahaya besar di depan
mata."
"Aku tak perduli!"
"Apakah kau juga tak perduli dengan keselamatan Roro?"
Ratna Puspa terdiam beberapa saat kemudian.
"Mari kuantar kalian pulang," ajak Bayu.
"Tak perlu! Kalau anda mau berbaik hati, antarlah Roro pulang. Aku akan
terus pada niatku semula!" sahut Ratna Puspa berkeras.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kesal.
"Kau masih muda, masih punya masa depan yang terbentang. Paman kalian juga
baik. Apakah hal seperti itu akan kau sia-siakan?"
"Apa pedulimu pada masa depanku?"
"Memang tak ada sangkut pautnya, tapi mana bisa aku mendiamkan kalian
mendapat bahaya begitu saja."
"Kalau begitu kenapa Paman tidak mengijinkan kami ikut denganmu saja?" sela
Roro Intan.
Bayu menghela nafas. Tatapannya jauh ke depan. Rombongan yang tadi
menamakan dirinya sebagai Persekutuan Iblis Merah telah tak nampak batang
hidungnya. Mereka pergi satu per satu. Pikirannya saat ini agak bingung.
Kalau mereka di ajaknya, tentu perjalanannya akan terhambat, tapi kalau
tidak diajaknya, tentu keselamatan mereka tidak terjamin. Walau dia tak
pernah berkata akan melindungi mereka di hadapan Patisena, setidaknya saat
dia kembali untuk melaporkan peristiwa yang akan diselidikinya itu, mana
mungkin dia akan membawa berita buruk tentang mereka berdua.
"Baiklah, kalian boleh ikut denganku..." kata Bayu pelan.
"Horeee...!" Roro Intan bersorak girang.
"Nguk! Nguuuk...!" Tiren pun bersorak sambil bertepuk tangan di atas
kepalanya. Agaknya monyet kecil itu memang suka sekali bermain dengan Roro
Intan.
"Tapi harus ada syaratnya..." potong Bayu cepat.
"Apa paman?"
"Kalau nanti Kakakmu pulang, kau pun harus pulang. Bagaimana?"
"Ah, tidak mau! Aku mau ikut Paman terus!" "Kalau begitu Paman tidak
bersedia mengajakmu sekarang!"
Roro Intan melirik kakaknya beberapa saat. Dan belum memberi jawaban sampai
Bayu mengalihkan pandangan ke arah Ratna Puspa.
"Bagaimana? Kalian boleh ikut denganku, tapi setelah persoalan ini selesai,
maka kau harus mengajak adikmu pulang?"
Ratna Puspa mengangguk cepat.
"Baiklah, mari kita berangkat!"
Mereka baru berjalan kurang lebih dua puluh langkah ketika terdengar
jeritan nyaring yang sayup-sayup terdengar.
"Paman, apa itu?!"
"Sebaiknya coba kita lihat ke sana. Mari Roro!" sahut Bayu sambil menyambar
tubuh Roro dan berlari cepat.
Tapi Bayu terpaksa memperlambat larinya ketika melihat Ratna Puspa
terengah-engah jauh di belakang. Bayu terpaksa menunggu sambil menggelengkan
kepala.
***
Arah jeritan itu datangnya dari tepi hutan yang agak lebat. Ketika mereka
tiba di sana, terlihat pemandangan yang mengerikan. Sebagian besar anak buah
Persekutuan Iblis. Merah yang memang mengambil jalan ke arah ini terkapar
dalam keadaan mengenaskan. Tubuh mereka rusak berat seperti tercakar
binatang buas. Sementara dua orang yang masih tersisa tampak berusaha
menyelamatkan diri dari serangan seorang yang tampak bergerak amat
cepat.
"Paman, orang itu... orang itu..." tunjuk Roro dengan wajah pucat.
"Siapa orang itu, Roro?"
"Orang itu yang membunuh kakang Pandu dan Paman-paman yang lain..." sahut
Roro gemetar.
Belum lagi habis kata-kata Roro Intan, Bayu telah melesat dengan kecepatan
tinggi ke arah orang itu.
"Yeaaah...!"
Namun orang asing yang rambutnya terurai bebas itu tak kalah gesit.
Nalurinya cepat mengetahui sesuatu ketika tubuhnya langsung berbalik
menyambut serangan Bayu, Pendekar Pulau Neraka dan meninggalkan dua lawan
terakhirnya yang terluka parah.
"Graungrrr...!"
"Plak! Plak!"
Bayu tersentak kaget ketika tangannya beradu. Kulit orang itu keras bagai
baja. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi adalah sambaran kuku-kuku
tangannya yang panjang dan runcing. Kuku-kuku itu seperti bukan layaknya
kuku seorang manusia, tapi lebih menyerupai cakar harimau dengan bentuk yang
lebih panjang serta lebih kuat.
"Siapa kau sebenarnya? Dan apa maksudmu melakukan pembantaian selama ini?"
tanya Bayu ketika tubuhnya terpental, namun dengan manis hinggap di atas
kedua telapak kakinya.
"Graungrrr...!"
Bukannya jawaban yang diberikan orang asing itu, tapi malah menerjangnya
sambil melompat dengan gaya seekor harimau menerkam mangsa. Aumannya
terdengar dahsyat. Bahkan lebih dahsyat dibandingkan dengan harimau biasa.
Bayu, si Pendekar Pulau Neraka sempat terkejut ketika memperhatikan
lawannya. Tubuhnya biasa saja, dengan rambut gondrong sebatas punggung di
lepas serta mengenakan pakaian serba hitam. Tapi bukan itu yang membuatnya
terkejut, melainkan melihat sepasang mata yang merah nyalang penuh nafsu
membunuh. Dua buah taring terlihat disudut bibirnya kala dia menyeringai
buas dengan air liur yang bertetesan. Tubuhnya agak membungkuk ketika dia
bersiap menyerang lawan.
"Hup!"
"Begkh!"
"Ukh...!"
Sosok tubuh yang tingkah lakunya mirip dengan seekor harimau mengeluh pelan
ketika tubuhnya kena dihantam Bayu. Meski terhuyung-huyung, dia cepat
bangkit dan kembali melompat menerkam lawan.
"Astaga! Manusia macam apa dia ini?" tanya batin Bayu seperti tak percaya
bahwa pukulannya tadi yang mampu melumpuhkan banteng liar hanya membuat
lawannya terhuyung-huyung.
"Auuum...!"
"Heh?!"
"Cras!"
Bayu mengeluh pelan ketika lengan kirinya disambar dengan cepat oleh cakar
lawan. Masih untung dia terus jungkir balik menghindari serangan berikutnya.
Kaki kanannya menendang ke kepala lawan, namun dengan gesit orang itu
menghindar. Lalu dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa, cakar
tangan kirinya menghantam dada Pendekar Pulau Neraka.
"Uts, haaa...!" Dengan tidak terduga, tubuh Bayu mencelat ke atas kaki
kirinya kembali menghantam telak ke dada lawan.
"Thak!"
Akibat tendangan itu sungguh hebat terlihat. Lawannya terjungkal sejauh dua
tombak, namun mampu berdiri di atas kedua kakinya meski dengan tubuh
limbung. Sepasang matanya bertambah nyalang menatap ke arah Bayu.
Saat itu pula Bayu telah bersiap menghantamkan pukulan yang berisi tenaga
dalam kuat ketika terdengar teriakan nyaring dari arah sampingnya.
"Hiyaaa...!"
"Ratna, jangaaaan...!" teriak Bayu kaget dan bermaksud mencegah Ratna Puspa
berbuat nekad dengan menyerang lawannya.
Tapi peringatan itu agaknya sedikit terlambat. Melihat ada orang mendekat
dengan sikap mengancam, manusia siluman langsung menerkam sambil
mengeluarkan auman dahsyat. Walaupun Bayu masih sempat menyelamatkan nyawa
Ratna, namun tak urung satu sabetan cakar lawan berhasil merobek pinggang
Ratna Puspa.
"Cras!"
"Begkh!"
"Aaaakh...!"
Ratna Puspa menjerit. Pedang yang tadi sempat dipungutnya untuk menyerang
lawan terpental entah ke mana. Bersamaan dengan itu Roro Intan berteriak
sambil berlari kecil menghampiri Ratna Puspa, Kakaknya.
Sedangkan Bayu dan lawannya masing-masing terhuyung-huyung setelah keduanya
saling menyarangkan pukulan. Tangan kiri Bayu memapaki pergelangan tangan
lawan yang hendak mencakar lawan, sedang tinju kanannya bersarang di dada
lawan. Walau demikian sebelah tangan lawan yang bebas sempat merobek kulit
dadanya.
"Hiyaaa...!"
Meski dalam keadaan terhuyung-huyung, lawan langsung berbalik dan melompat
hendak menyambar Ratna Puspa kembali. Dalam pada itu tak ada waktu lagi bagi
Bayu untuk menyelamatkan gadis itu. Tangan kanannya langsung dikibaskan ke
atas.
"Zwiiing!"
Seberkas sinar keperakan dari Cakra Maut langsung menghantam ke arah
lawan.
"Thakr !
"Hei...?!"
Bayu tersentak kaget. Cakra Maut itu sama sekali tak berhasil melukai
lawan. Bahkan ketika senjata itu kembali melesat dan menghantam, tetap saja
tak berhasil menggores kulit lawan. Bukan main herannya Pendekar Pulau
Neraka. Selama ini senjatanya malang melintang di dunia persilatan dan
menjadi momok yang menakutkan. Jarang ada yang lolos dari sambarannya. Tak
heran bila telah banyak tokoh yang tewas oleh senjata itu.
"Graungrrr...!"
Walau pun tak mampu melukai kulit tubuh lawan namun Cakra Maut itu cukup
merepotkannya. Tenaga dorongan senjata itu mampu membuatnya
terhuyung-huyung. Bukan mustahil bila keadaannya terus begitu dia akan
kerepotan sendiri. Belum lagi Bayu yang mulai bangkit dan mencecarnya
habis-habisan.
"Hiyaaa...!"
"plak!"
"Bekgh!"
"Hugkh...!"
Satu pukulan telak yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka menghantam dada
lawan. Manusia siluman itu terdorong sejauh tiga tombak. Terlihat kali ini
dari sudut bibirnya menetes darah kental. Bayu tak mau menyia-nyiakan
kesempatan. Begitu tangannya terkibas ke atas, Cakra Maut kembali melesat ke
arah lawan. Bersamaan dengan tubuhnya mengikuti dari belakang dengan satu
serangan yang mengandung tenaga dalam kuat.
"Graungrrr...!"
Dengan tak disangka-sangka lawan melompat tinggi dan terus kabur dari
tempat itu.
"Keparat! Jangan harap kau bisa kabur seenaknya!" bentak Bayu geram.
"Paman...! Paman...." Roro Intan berteriak memanggil dengan suara
cemas.
Mau tak mau terpaksa Bayu membatalkan niatnya mengejar Manusia Siluman itu.
Roro Intan menangis terisak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ratna Puspa
yang sudah tak sadarkan diri karena kehilangan banyak darah. Buru-buru Bayu
menghampiri dan menotok beberapa jalan darah di tubuh Ratna Puspa untuk
menghentikan pendarahan yang terlalu banyak lagi.
"Paman... apakah Kak Ratna masih bisa di tolong?" tanya Roro Intan
cemas.
"Tenanglah Roro.... Kakakmu pasti akan sembuh!" Bayu berusaha menenangkan
hati Roro Intan. Sebenarnya dia pun tak tahu, apakah gadis itu bisa
tertolong atau tidak. Keadaannya sangat kritis karena darahnya banyak
terkuras. Tengah Bayu merenung, dua orang yang tersisa dari gerombolan
Persekutuan Iblis Merah mendekat ke arahnya.
***
LIMA
"Terima kasih atas pertolongan Anda, Kisanak..." kata salah seorang di
antara mereka.
Bayu melirik sekilas. Yang berkata itu adalah seorang gadis cantik dengan
baju ketat. Dialah yang memimpin Persekutuan Iblis Merah. Mereka pun agaknya
tak luput dari luka akibat cakaran lawannya tadi. Bisa jadi mereka memiliki
ilmu silat dan tenaga dalam yang lumayan sehingga mampu bertahan.
"Kalau kalian setuju, ikutlah dengan kami. Ketua kami punya seorang tabib
yang mungkin bisa mengobati luka teman gadismu itu..." lanjut wanita itu
menawarkan jasa.
Bayu berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju.
"Paman, mereka orang jahat. Kenapa Paman mau saja ikut mereka?" protes Roro
Intan dengan wajah masam.
"Tidak semua orang selamanya akan menjadi jahat, bukan? Kalau mereka
berniat baik mau menolong, apakah kita harus curiga? Hal itu tidak baik,
Roro. Paman yakin mereka benar-benar bermaksud baik kali ini," jelas
Bayu.
Meski Roro Intan itu nampaknya kurang senang, namun ketika mereka melangkah
dia mengekor juga dari belakang. Bayu memondong tubuh Ratna Puspa sementara
wanita anggota Persekutuan Iblis Merah yang tak lain Dewi Sukma Wening itu
berjalan di sebelahnya. Roro sendiri tampak enggan beriringan dengan yang
lainnya. Untunglah ada Tiren yang menemaninya hingga membuatnya sedikit
terhibur.
"Dia muncul begitu saja dan langsung menyerang kami tanpa sebab..." jelas
Dewi Sukma Wening tanpa diminta ketika dalam perjalanan mereka lebih banyak
membisu.
Bayu meliriknya sekilas. Wajah cantik itu kini lebih berbinar kalau dia
bersikap lemah lembut seperti ini. Kesan binalnya yang tadi tampak seolah
sirna. Bayu cuma tersenyum sendiri.
"Kalau Anda tak muncul, entah apa yang akan terjadi pada kami. Mungkin kami
akan gagal menjalankan tugas, tapi... ahh, sebenarnya kali ini pun kami
telah gagal menjalankan tugas dari beliau..." lanjut Dewi Sukma Wening itu
lirih.
"Tugas apa yang diberikan ketua kalian?"
"Beberapa hari lalu sepuluh anggota kami tewas dengan seluruh tubuh
terkoyak seperti di cakar harimau...."
"Jadi kalian ditugaskan untuk menangkap harimau itu?"
"Tidak. Ketua kami yakin bahwa itu bukan perbuatan binatang, melainkan
seorang tokoh persilatan yang menggunakan senjata seperti cakar harimau.
Tapi tak disangka setelah bertemu dengannya kami tak bisa berbuat apa-apa.
Ilmu silatnya hebat dan gerakannya pun amat cepat. Lebih dari itu dia tak
mempan senjata tajam," kata Dewi Sukma Wening.
"Hmmm... jadi kalian yakin dia pelakunya?" "Ya...!" Bayu terdiam sejenak
dengan wajah geram.
Agaknya perubahan wajah Pendekar Pulau Neraka itu tak luput dari perhatian
gadis itu.
"Apakah Anda punya urusan dengannya?"
"Ya. Dia telah membunuh banyak anak buah Paman bocah ini. Aku berjanji
padanya untuk menyelesaikan urusan ini sampai tuntas!"
"Kalau saja kita bisa bekerjasama...." Dewi Sukma Wening tak melanjutkan
kata katanya.
"Kenapa?"
"Ehhh... tidak!"
"Kalian ingin aku bekerja sama?"
Dewi Sukma Wening tak langsung menjawab. "Ka... kalau Anda tak keberatan,
ketua kami tentu akan merasa senang dan merasa dihormati sekali...."
"Hmmm...!"
"Tapi tentu saja kami tak akan memaksa..." buru-buru Dewi Sukma Wening
melarat ketika mendengar Bayu bergumam.
"Siapa ketua kalian?"
"Beliau dikenal sebagai si Selendang Maut...."
Bayu bergumam. Nama itu pernah dikenalnya sebagai seorang tokoh wanita yang
berilmu tinggi. Setiap kali kemunculannya, ilmu silatnya seperti bertambah.
Entah sekarang barangkali kepandaiannya mungkin berlipat ganda. Terutama
senjata utamanya berupa selendang yang mampu kaku bagai sebilah pedang
panjang, dan kembali lemas bagai tak bertenaga.
"Kenapa? Apakah Anda pernah mengenalnya?"
"Ya. Beliau termasuk tokoh hebat...."
"Anda terlalu melebihkan, Ki sanak. Di banding dengan nama Pendekar Pulau
Neraka mungkin beliau tak ada apa-apanya," sahut Dewi Sukma Wening itu
sedikit merendah.
Bayu tersenyum.
"Kepandaianku tak seberapa di banding dengan yang lain, masih banyak
tokoh-tokoh yang berilmu tinggi dan sulit diukur. Eh, rasanya lebih baik
Anda memanggilku dengan sebutan Bayu saja...."
"Bayu...? Hmm, baiklah kalau memang anda tak keberatan. Anda pun cukup
memanggilku dengan Dewi. Namaku Dewi Sukma Wening...."
"Dewi Sukma Wening...? Nama yang bagus," puji Bayu.
Gadis itu tersenyum manis di puji demikian. Belum lama mereka berjalan,
tiba-tiba terlihat seseorang yang mendekat dari arah samping. Seorang
laki-laki separuh baya dengan wajah bersih berkesan ramah. Rambutnya yang
sebagian telah memutih di gelung ke atas. Melihat Bayu memondong tubuh
seorang gadis yang terluka parah, laki-laki itu langsung menegur dengan
sikap ramah.
***
"Kisanak, kulihat kawanmu terluka parah? Namaku Jaladara dan mengerti
sedikit soal obat-obatan. Kalau tak keberatan biarlah ku coba untuk
mengobatinya."
Sepasang alis Pendekar Pulau Neraka berkerut. Laki-laki ini tak sedikit pun
mengesankan bahwa dia mempunyai maksud-maksud tertentu dari niat baiknya
itu. Beda halnya dengan Dewi Sukma Wening. Gadis itu menaruh curiga melihat
ada orang yang tak di kenal dengan tiba-tiba saja menawarkan jasa baiknya.
Tapi dia tak berkata apa-apa ketika melihat bahwa Bayu sedikit percaya
dengan orang ini.
"Paman Jaladara, kalau kau mampu mengobatinya aku akan sangat berterima
kasih sekali. Tapi...."
"Apakah kalian curiga padaku? He he he..., itu memang kusadari. Kita baru
saling mengenal dan dunia ini penuh dengan tipu muslihat manusia, tapi
percayalah, aku bermaksud baik. Pengetahuanku tentang obat-obatan harus ku
sumbangkan untuk kepentingan orang banyak. Kalau tidak demikian rasanya
hidupku tiada guna menyimpan kepandaian sendiri sementara orang lain banyak
yang menderita," sahut Jaladara.
Mendengar itu mau tak mau Bayu mesti percaya. Paling tidak untuk
keselamatan Ratna Puspa sendiri. Kalau mesti mengikuti Dewi Sukma Wening ke
markasnya, belum tentu keadaan Ratna Puspa akan lebih baik. Apalagi
perjalanan mereka agak jauh. Sementara ada orang lain yang menawarkan jasa
dan kelihatannya yakin mampu menyembuhkan luka Ratna Puspa, apa salah di
coba?
"Baiklah..." sahut Bayu.
"Bayu, apakah kau akan percaya begitu saja pada kata-katanya? Siapa tahu
dia bermaksud lain," sergah Dewi Sukma Wening tanpa basa-basi lagi.
Agaknya tadi dia berpikir bahwa Bayu punya pikiran yang sama dengannya
tentang laki-laki itu, yaitu menaruh curiga dan menolak niatnya itu. Tapi
dengan tiada di sangka ternyata pemuda itu malah menyambut baik niat
laki-laki bernama Jaladara itu.
"Dewi, seperti aku percaya dengan niat baikmu, begitu juga aku percaya pada
Paman Jaladara. Nyawa Ratna Puspa harus ditolong secepatnya. Siapa tahu
beliau mampu menolongnya, sahut Bayu.
"Terserah padamu saja. Tapi kami akan meneruskan perjalanan ke markas.
Selamat jalan, mudah-mudahan temanmu itu cepat sembuh."
Bayu mengangguk. Diliriknya gadis itu sejenak sebelum mereka melangkah
pergi. Dewi Sukma Wening pun agaknya berbuat hal yang sama. Setelah
melangkah beberapa tindak, dia melirik ke arah Bayu sambil tersenyum.
Kemudian berlalu tanpa menoleh lagi.
"Temanmu itu agaknya terlalu menaruh curiga pada orang lain," gumam Paman
Jaladara.
Bayu tak menyahut. Paman Jaladara tersenyum, kemudian mengajak mereka ke
pondoknya yang tak jauh dari tempat itu. Sebenarnya tuduhan Dewi Sukma
Wening tak benar bila Bayu sendiri pun tak menaruh curiga pada Paman
Jaladara. Tapi dia lebih mengutamakan keselamatan Ratna Puspa. Walau
demikian dia sama sekali tak melepaskan perhatian terhadap gerak-gerik
laki-laki itu. Namun sejauh ini tak terlihat tanda-tanda bahwa orang itu
punya niat buruk.
Jaladara ternyata memang tabib yang hebat. Tak berapa lama setelah
mencekoki Ratna Puspa dengan ramuan obatnya, gadis itu mulai siuman.
"Ohhh... di manakah aku ini...?"
"Ratna... kau berada di dekat kami, jangan banyak bergerak dulu. Lukamu
sedang dibalut." kata Bayu pelan.
"Kak Ratna...!" panggil Roro Intan lirih.
Ratna Puspa menatap satu persatu. Ketika terakhir menatap laki-laki separuh
baya yang mengobatinya, wajahnya membias ragu. Bayu melihat perubahan di
wajah Ratna, lalu cepat menjelaskannya.
"Paman Jaladara inilah yang mengobatimu...."
"Terima kasih, Paman...."
"Sudahlah... ini sudah menjadi kewajiban manusia untuk saling tolong
menolong bukan? Ehh.... Kisanak..." panggil Paman Jaladara ragu.
"Panggil saja saya Bayu, Paman...."
"Bayu... begini. Luka temanmu ini akan mengering beberapa hari lagi. Kalau
kalian sudi, kalian boleh tinggal di sini selama beberapa hari menungguinya.
Atau kalau hendak mengantarkannya pulang, aku mempunyai sebuah pedati.
Kalian bisa memakainya...."
"Terima kasih, Paman. Ini sungguh merepotkan. Biarlah dia kugendong saja,"
sahut Bayu.
"Yah, terserah saja...."
"Paman akan menggendong Kak Ratna?" Roro tersenyum malu.
"Kenapa?!"
"Tidak apa-apa...." Roro masih tersenyum lucu. Bocah itu memalingkan wajah
ke Ratna Puspa, kakaknya.
"Kakak nanti di gendong Paman Bayu saja, ya?" Ratna Puspa tak memberikan
jawaban. Wajahnya terlihat jengah dan ragu. Bayu tersenyum kecil.
"Ya, ya... baiklah. Kalau Paman Jaladara tak keberatan, kami bermaksud
meminjam pedatimu saja. Nanti sekembalinya akan ku pulangkan lagi ke
sini."
"Tentu saja aku tak keberatan. Bukankah tadi telah kutawarkan pada
kalian?"
"Terima kasih, Paman...?"
***
Wanita itu tadinya sudah menunjukkan sikap garang. Namun setelah Dewi Sukma
Wening menceritakan seluruh kejadian yang mereka alami, perlahan-lahan
terlihat parasnya berubah datar.
"Aku memang salah, Nini, dan tak becus apa-apa. Kalau Nini bermaksud
menghukum, aku pun siap menerimanya," kata Dewi Sukma Wening pasrah.
"Sudahlah. Aku tak akan bertindak begitu kejam pada anak buahku sendiri.
Ceritakanlah lagi padaku tentang mereka, dan apa saja yang kau ketahui
tentang orang itu?" kata wanita itu dengan nada sedikit memerintah yang
berusia sekitar empat puluh tahun itu.
"Raut wajah orang itu seperti harimau, Nini. Pada jari-jari kaki dan
tangannya, tumbuh kuku-kuku yang kuat lagi runcing. Tubuhnya tak mempan
senjata tajam. Bahkan Cakra Maut pun tak melukainya."
"Jadi dengan cara bagaimana si Pendekar Pulau Neraka mengalahkannya?"
"Pertarungan mereka belum selesai. Pendekar Pulau Neraka berhasil mendesak
orang itu. Namun dia terpaksa membiarkan lawannya kabur karena teman
gadisnya terluka parah." jelas Dewi Sukma Wening.
"Tadi kau katakan orang itu memiliki ilmu silat yang hebat, bahkan mampu
menghajar si Pendekar Pulau Neraka. Bagaimana mungkin akhirnya dia yang
terdesak dan kabur?"
"Benar, Nini. Walau Cakra Maut pendekar itu tak mampu melukai lawan, namun
dia dan senjatanya lambat laun mendesak dan merepotkan orang itu. Aku yakin,
kalau pertarungan mereka dilanjutkan lawannya itu pasti mampu
ditaklukkannya.
Wanita setengah baya yang dalam dunia persilatan di kenal sebagai Selendang
Maut itu menganggukkan kepala.
"Kalau si Pendekar Pulau Neraka berhasil mendesaknya, dia tentu harus
mampus di tanganku!" desis wanita itu geram.
"Nini...!"
"Kenapa? Kau meragukan kemampuanku? Apa kau beranggapan si Pendekar Pulau
Neraka memiliki ilmu silat lebih tinggi di bandingkan denganku?!"
"Bukan begitu, Nini. Tapi lawan kita kali ini bukan orang sembarangan.
Dalam pertarungan itu bukan saja tubuhnya kebal terhadap senjata tajam,
bahkan pukulan-pukulan si Pendekar Pulau Neraka yang menggunakan tenaga
dalam hebat pun seperti tak berarti apa-apa baginya...."
"Diam kau, Dewi! Tak seorang pun boleh meremehkan kemampuan si Selendang
Maut!" bentak wanita itu sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Ampun Nini...!"
"Sudah! Sekarang siapkan anak buahmu yang lain. Biar kali ini aku yang
pimpin langsung rombongan. Kau tak becus dan selalu menuruti kemauan anak
buahmu. Melihat gadis cantik saja, kalian langsung lupa pada tujuan
semula!"
"Sebenarnya aku tak bermaksud demikian, Nini...."
"Ya, ya... aku tahu. Kau hanya bermaksud menyenangkan anak buahmu bukan?
Tapi itu tindakan salah. Kalau kau senang, ya urusi dirimu sendiri baru anak
buahmu kau pikirkan. Bukankah selama ini mereka selalu mampu mencari
kepuasan sendiri? Mereka bukan anak kecil yang selalu harus di suapi."
"Iya, Nini!"
Dewi Sukma Wening langsung meninggalkan tempat itu dan mengumpulkan anak
buahnya yang lain. Setelah berkumpul, mereka langsung berangkat untuk
mencari orang yang di maksud. Selendang Maut sebenarnya bukan semata-mata
geram pada orang yang telah menewaskan beberapa anak buahnya, melainkan ada
maksud tertentu.
Selama malang melintang di dunia persilatan, tak seorang pun yang pernah
mengalahkannya. Namanya amat di segani dan di takuti bukan saja karena
ketinggian ilmu silatnya tapi juga karena kesadisannya dalam membunuh lawan.
Sudah lama sekali dia mendengar sepak terjang Pendekar Pulau Neraka dan
bermaksud menjajal kepandaian pendekar itu.
Namun belum ada kesempatan untuk bertemu dengannya. Mendengar bahwa
pendekar itu terlibat dalam usaha pencarian terhadap tokoh yang menewaskan
anak buahnya, si Selendang Maut bersemangat untuk menemuinya dengan memimpin
sendiri anak buahnya.
Kalaupun dia tak bertemu dengan pendekar itu, tapi tokoh yang diceritakan
Dewi Sukma Wening mampu menandingi pendekar itu. Ini sudah merupakan
tantangan yang tak bisa dielakkannya sebagai orang yang merasa kepandaiannya
tiada yang menandingi.
***
ENAM
Ratna Puspa dan Roro Intan sebenarnya tak suka mereka dikembalikan kepada
Paman Patisena. Tapi Bayu tak punya pilihan lain. Dalam kondisi tubuh yang
lemah, Ratna Puspa lebih banyak menghambat perjalanannya ketimbang
memperlancar.
"Tapi Paman sudah janji mau mengajak Roro...." kata Roro Intan dengan wajah
cemberut.
"Bagaimana kalau kapan-kapan saja? Kali ini Paman menghadapi tugas yang
bisa mencelakakan mu nantinya."
"Paman bohong!" bantah Roro Intan sambil berlari ke kamarnya.
Bayu menghela nafas pendek. Dia segera mohon pamit setelah segala
sesuatunya beres. Namun tanpa diketahuinya, Ratna Puspa kembali menyelinap
lewat jalan belakang dan mengikuti langkahnya dari jarak jauh. Bayu sendiri
sebenarnya merasa ada seseorang yang mengikutinya dari jarak yang jauh tapi
tak terpikir kalau itu langkah kaki seorang gadis yang dikenalnya.
Menjelang sore hari Bayu sampai di tepi hutan tempat tabib itu berada.
Setelah mengembalikan pedati yang dipinjamnya tadi, Bayu mulai mengitari
daerah sekitar hutan itu. Agaknya dia menduga bahwa orang yang dicarinya
bersembunyi tak jauh dari tempat itu. Tapi sampai malam tiba, yang dicarinya
tak kunjung terlihat.
"Ahhh... sebaiknya kita istirahat di sini dulu Tiren. Kau tentu lelah
bukan?" tanyanya pada monyet kecil sahabatnya yang selalu berada di
dekatnya.
"Nguk! Nguuuk...!"
"Nah, istirahatlah. Aku akan membuat api dan menangkap kelinci hutan untuk
mengisi perutku yang sudah keroncongan."
"Kaaakh...!"
"Hush, jangan ribut!"
Tiren langsung mencelat ke salah satu cabang pohon dan menghilang ke cabang
pohon yang lain untuk mencari buah-buahan pelengkap santap malam mereka.
Malam hampir larut ketika Tiren tiba-tiba mencelat ke arah Bayu dan mencolek
pemuda itu.
"Ada apa?" tanya Bayu pelan ketika melihat Tiren menyeringai lebar.
"Nguk!" Tiren menunjuk ke satu arah. Bayu cepat mengerti dan memberi
isyarat padanya untuk tidak berisik.
"Ssssst... jangan berisik. Nanti dia lari!"
Tiren mengangguk pelan. Dengan segera Bayu mematikan api unggun, lalu
bersamaan melesat ke arah yang tadi ditunjuk Tiren.
"Hiyaaa...!"
"Krusaaak!"
"Auw...!"
Bayu tersentak kaget ketika sesosok tubuh yang tadi dicengkeramnya dari
balik semak-semak menjerit keras seperti suara seorang wanita. Cepat-cepat
Bayu menghampiri asal suara itu dan....
"Ratna Puspa?! Apa yang kau lakukan malam-malam di sini?"
"Aku.... Aku...."
Ratna Puspa tergagap dan tak mampu melanjutkan kata-katanya. Bayu
menggelengkan kepala dan langsung mengajaknya ke tempat tadi dia menyalakan
api unggun, lalu mulai menyalakan lagi api yang sempat dimatikannya.
"Ada apa kau sampai ke sini? Bukankah tabib itu mengatakan kau harus banyak
istirahat? Lukamu belum kering, kalau kau banyak bergerak lukamu bukan
semakin membaik tapi bisa bertambah parah!"
"Aku tak perduli...!"
"Jadi apa yang kau pedulikan?"
"Orang itu harus mati di tanganku!" desis Ratna Puspa geram.
Bayu Hanggara menggelengkan kepala mendengar kata-kata itu.
"Ratna, kau bicara apa? Dengan keadaanmu yang sehat saja kau tak akan mampu
melawannya, apalagi dengan tubuhmu yang lemah seperti sekarang ini. Itu sama
saja artinya kau mengantarkan nyawa secara percuma."
"Aku rela mengorbankan nyawa asalkan si keparat itu juga mati!"
"Nyawamu belum cukup untuk membuat kematiannya."
"Aku tak perduli! Hidupku pun toh sudah tak berarti lagi. Untuk apa
lama-lama menderita kalau tiada guna? Lebih baik mati tapi berguna bagi
orang banyak."
"Kematianmu tak akan merubah apa-apa bagi kebaikan, malah kau akan
meninggalkan penderitaan bagi orang lain seperti Roro dan Pamanmu, Patisena,
yang menyayangimu."
"Mereka tak menyayangiku!"
"Kau salah. Mereka justru teramat sayang padamu. Roro Intan, tak mungkin
dia berkeras ingin ikut denganku kalau saja kasih sayangnya padamu terbalas.
Paman Patisena, mana mungkin dia tak sayang padamu karena sejak kecil telah
mengurus kalian. Sekarang pikirkan olehmu baik-baik, dengan dasar apa
kenekatanmu ini kau lakukan? Apakah bukan karena kekasihmu yang tewas di
tangan orang itu, sehingga kau rela mengorbankan orang-orang yang
mencintaimu, menyayangimu, masa depanmu, serta segalanya yang masih mampu
kau raih di depan mata?!"
Ratna Puspa terdiam beberapa saat lamanya mendengar kata-kata Bayu. Lama
dia menundukkan wajah ketika kembali terdengar Bayu berkata.
"Sadarlah, Ratna. Jangan turuti hawa nafsu yang membabi buta seperti itu.
Pulanglah, dan hidup bahagia bersama Paman dan adikmu. Biar orang satu ini
menjadi urusanku...."
"Aku tak akan pulang...!"
"Kenapa? Kau belum tahu juga bahwa masih ada sesuatu yang lebih baik kau
lakukan daripada memikirkan soal dendam yang sebetulnya bukan
urusanmu."
"Bukan begitu...."
"Lalu?"
"Paling tidak aku dapat melihat kematiannya. Itu sudah membuat hatiku
lega."
"Dengan cara bagaimana?"
Ratna Puspa menatap Bayu sekilas, kemudian mengalihkan pandangan pada api
unggun di depannya. Terdengar suara lirih.
"Bukankah kau bermaksud untuk mengejar dan menyelesaikan persoalan ini
sampai tuntas?"
"Ya...?"
"Dan itu berarti kau harus bertarung dengannya. Aku yakin kau mampu
mengatasi. Dan....
"Dan kenapa?"
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin melihat saat itu....
"Itu sama saja kau mengikutiku!"
"Aku sudah mengatakan, kalau kau tak keberatan. Kalau kau merasa bahwa
nanti aku membebani langkahmu, biarlah kau tak usah peduli dengan
keselamatanku dan jangan larang aku untuk mengikutimu...."
Bayu berpikir keras. Mendengar kata-kata Ratna Puspa, agaknya niat gadis
itu tak bisa dihalangi lagi. Selama dia bisa diatur, barangkali tak begitu
menyulitkan.
"Baiklah... kau boleh ikut denganku dengan syarat, harus mengikuti
perintahku!" ujar Bayu akhirnya. Ratna Puspa tersenyum dan mengangguk
cepat.
***
Geger yang dilakukan oleh seorang tokoh yang tingkah lakunya mirip harimau
liar itu sungguh hebat. Banyak sudah yang menjadi korbannya, namun tak
seorang pun yang mampu menaklukkannya. Kemunculannya selalu tiba-tiba, dan
menghilang bagai sapuan angin tanpa seorang pun yang mengetahuinya. Begitu
juga halnya tentang asal-usul tokoh itu. Tak sepatah kata pun keluar dari
mulutnya tentang siapa dan apa tujuannya menewaskan banyak orang begitu.
Tokoh ini tak pernah bicara, karena dia langsung menyerang orang yang
menjadi sasarannya tanpa sebab.
Sudah tentu hal ini membuat gentar beberapa kalangan yang merasa ilmu silat
mereka tak seberapa, dan sekaligus membuat geram beberapa tokoh persilatan
yang merasa orang terdekat mereka menjadi korban.
Sementara itu nama Tabib Jaladara lambat laun mulai terkenal karena
keampuhannya mengobati tokoh-tokoh yang terluka akibat keganasan tokoh yang
tingkah lakunya menyerupai harimau itu. Dalam waktu singkat saja
berduyun-duyun orang datang kepadanya untuk berobat, yang pada akhirnya
tidak cuma terbatas pada luka akibat serangan tokoh itu tapi juga
penyakit-penyakit yang lain.
Siang ini terlihat beberapa orang tampak sedang melakukan perjalanan di
dekat hutan. Daerah itu tak begitu jauh dari kediaman Tabib Jaladara. Tiga
orang menunggang kuda di bagian depan. Wajah mereka seram dengan
masing-masing golok besar di punggungnya. Sementara di bagian belakang
terdapat sebuah pedati yang berjalan lambat. Dari dalam terdengar suara
erangan orang yang kesakitan.
"Diamlah kau, Kudungga! Sebentar lagi kita akan sampai ke tempat tabib
itu," kata salah seorang penunggang kuda yang paling depan.
"Guru, aku khawatir...." ujar orang yang ada di samping kiri.
"Kenapa?"
"Pada hari ini biasanya Tabib Jaladara tak mau diganggu. Banyak orang yang
sudah tahu hal ini."
"Hmmm... kalau saja dia tak mau mengobati anakku, akan kupenggal
kepalanya!" desis orang yang dipanggil guru tadi dengan geram.
"Tapi guru...."
"Tidak usah banyak bicara lagi. Diam saja!"
Si penunggang kuda yang berada di sebelah kirinya itu terdiam dan tak
bicara sepatah kata lagi. Pikirannya menerawang jauh. Memang putra bungsu
gurunya ini tengah sakit parah hampir sebulan lamanya. Dia selalu
mengerang-ngerang tanpa tahu di mana letak rasa sakitnya. Untuk itulah
ketika mendengar nama Tabib Jaladara yang telah banyak menyembuhkan berbagai
penyakit, mereka langsung berangkat. Tapi hari ini seperti biasanya Tabib
Jaladara tak mau menerima pasien. Dan hal itu dipatuhi betul oleh mereka
yang hendak berobat. Apa jadinya kalau setibanya di sana mereka memaksa
tabib itu?
"Masih jauh lagi tempat tabib itu, Gondar?" tanya orang yang di
depan.
"Sebentar lagi kita sampai, Guru," sahut penunggang kuda yang berada di
sebelah kirinya yang dipanggil Gondar.
"Hmmm... apa yang kau takutkan? Kau takut pada tabib itu?!" tanya orang
pertama yang dipanggil Gondar dengan sebutan Guru, seperti mengetahui apa
yang sedang berkecamuk dipikiran muridnya.
"Ti... tidak, Guru...!"
"Jawabanmu tak memuaskanku. Kau dengar Gondar, nama Tunggadewa amat
disegani di rimba persilatan. Begitu juga halnya dengan perguruan kita
Rajawali Perak. Jadi untuk apa takut? Tujuan kita benar. Kalau si tabib tak
mau mengobati anakku, berarti dia bukanlah orang pemurah yang membiarkan
orang menderita di depan matanya begitu saja. Sangat tidak sesuai dengan apa
yang kau dengar tentang kemurahan hatinya, bukan?"
Gondar cuma mengangguk. Dia tahu betul, gurunya yang bernama Tunggadewa ini
memang agak sombong dan sering sesumbar tentang kehebatannya. Tak ada
gunanya berdebat, toh dia tak akan menyurutkan niatnya semula. Dalam pada
itu tiba-tiba melesat satu sosok bayangan di depan mereka. Gerakannya ringan
dan langsung menyerang diiringi auman dahsyat bagai seekor harimau
lapar.
"Auuum...!"
***
"Awasss...!" Tunggadewa memberi peringatan pada murid-muridnya. Namun walau
dia telah memberi peringatan, tak urung seorang muridnya yang berada di
sebelah kanan terkena sambaran.
"Cras!"
"Aaaakh...!"
"Badar!" teriak Gondar cemas melihat sahabatnya menjerit kesakitan sambil
memegangi dadanya yang robek lebar.
Tapi Gondar tak sempat lagi memperhatikan temannya karena orang asing itu
kembali melesat menyerang mereka berdua dengan kecepatan tinggi.
"Sreeet!"
Tunggadewa dan Gondar langsung mencabut senjata dan langsung membabat
menyerang ke tubuh lawannya.
"Thak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Tunggadewa terperanjat kaget. Pedang mereka tak mampu melukai lawan sedikit
pun. Bahkan dengan sekali kibas, tubuh Gondar terjengkang sejauh tiga tombak
dengan dada remuk. Ketua Perguruan Rajawali Perak itu mulai khawatir. Dengan
waktu singkat dua muridnya tidak ketahuan nasibnya apakah masih hidup atau
sudah tewas karena dia sendiri tak sempat untuk melihat keadaan mereka.
Menyesal dia mengapa tak membawa murid-muridnya yang lain.
"Siapa kau? Kau akan menyesal berhadapan denganku!" bentak Tunggadewa keras
dengan nada tak senang.
Namun sosok Manusia Siluman yang sepintas mirip seekor harimau itu tak
menyahut, melainkan terus menerjang ke arahnya sambil mengaum keras.
"Graungrrr...!"
"Hup!"
"Bangsat!"
Tunggadewa bukan main kesalnya melihat hal itu. Percuma saja dia bertanya
dan memaki-maki, tapi lawan tetap diam membisu dan terus menyerangnya dengan
tiada henti.
Dua jurus baru berlangsung dan Tunggadewa merasa bahwa nyawanya sedang
berada di ujung tanduk. Beberapa kali ujung kuku-kuku tangan dan kaki lawan
yang runcing bagai mata pisau menyambar kulit tubuhnya. Beberapa bagian
tubuhnya luka hebat. Hanya karena ilmu peringan tubuhnya yang telah mencapai
tingkat sempurna yang menyelamatkan nyawanya sesaat. Tapi itu tak
berlangsung lama. Keadaannya terus terdesak. Rasanya lima kali gerakan lagi
dia berkelit, kuku-kuku lawan akan menembus jantung dan perutnya.
"Auuum...!"
Manusia siluman itu mengaum hebat ketika lompatannya dapat dihindari lawan
dengan untung-untungan. Sepasang matanya yang merah menyala-nyala
memancarkan dendam dan kebencian, serta nafsu membunuh.
"Itu dia! Itu dia...!"
"Serang...!"
Pada saat kritis bagi Tunggadewa, tiba-tiba muncul banyak orang di tempat
itu. Melihat dari cara berpakaian, agaknya mereka adalah tokoh-tokoh
persilatan. Beberapa orang di antara mereka sempat dikenalnya.
"Ruksadana, kau pun ada di sini?!" serunya pada seorang laki-laki tua yang
bersenjatakan arit.
"Ya, kita punya urusan yang sama. Si keparat ini punya hutang nyawa. Dia
telah banyak membunuh murid-muridku!" geram laki-laki tua bernama Ruksadana,
atau lebih dikenal sebagai Clurit Sakti Bulan Terbelah.
"Kalau demikian, mari kita bahu membahu!" sahut Tunggadewa
bersemangat.
"Bagus! Jahanam itu mesti mampus hari ini juga!"
"Tapi jangan gegabah. Ilmu silatnya hebat dan gerakannya pun luar biasa.
Lebih dari itu dia tak mempan senjata tajam, dan waspada terhadap kuku-kuku
kaki dan tangannya!" Tunggadewa memberikan nasehatnya.
Tapi agaknya dia terlambat memberi peringatan pada yang lain. Karena pada
saat itu juga terdengar jeritan menyayat. Dua orang pengeroyok Manusia
Siluman itu tewas dengan dada robek. Seorang lagi menyusul begitu tubuhnya
melesat sambil melompat dan mengaum keras. Agaknya sosok makhluk itu semakin
murka saja melihat kedatangan orang-orang yang bermaksud
mengeroyoknya.
"Hiyaaa...!"
Ruksadana melompat sambil membabatkan arit ke leher lawan. Bersamaan dengan
itu tubuh Tunggadewa pun mencelat sambil membabatkan golok besarnya ke
pinggang lawan.
"Graungrrr...!"
"Thak! Thaaak...!"
"Cres! Cress!"
"Ukhhh...!"
Ruksadana dan Tunggadewa mengeluh pelan. Senjata mereka tak mampu melukai
lawan. Dengan seenaknya lawan menangkis dan tangannya yang lain menyambar
dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa ke perut keduanya.
"Yeaaah...!"
Beberapa orang pengeroyoknya yang lain langsung menghadang dan menyerang ke
arah lawannya. Dengan demikian selamatlah nyawa Ruksadana dan Tunggadewa
dari serangan berikut yang dilancarkan tokoh yang tengah mereka keroyok
itu.
"Bedebah! Dia seperti bukan manusia saja!" desis Ruksadana.
"Sulit rasanya bagi kita untuk membunuhnya. Selain tak mengenal lelah,
gerakan serta kekuatannya seperti tidak pernah berkurang," sahut
Tunggadewa.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ruksadana.
"Sebaiknya kita serang lagi sambil mencari kelemahannya."
"Baiklah...!"
Keduanya kembali melompat dan menggabungkan diri dengan yang lainnya
menyerang lawan. Di antara sekian banyak pengeroyok itu memang terlihat
bahwa kepandaian Ruksadana dan Tunggadewa lebih menonjol. Ujung golok besar
Tunggadewa mencecar ke arah mata, sementara arit Ruksadana mengarah ke
bagian tenggorokan.
"Hiyaaa...!"
Namun walau begitu terlihat Manusia Siluman itu begitu tangkas melindungi
sepasang matanya, dan ketika senjata Ruksadana beberapa kali sempat
menghantam leher tetap tak berhasil melukai. Bahkan serangan balik dari
Manusia Siluman itu yang secara tak terduga membuat keduanya kembali
terlempar dengan luka-luka akibat cakaran yang lebih parah.
"Graungrrr...!"
"Cres! Cras!"
"Aaaa...!"
Tiga orang termasuk Tunggadewa dan Ruksadana robek perutnya dihajar cakaran
orang asing itu. Kali ini agaknya dia tak memberi kesempatan sekali lagi
pada mereka berdua untuk menyelamatkan diri. Sebelum keduanya menyentuh
tanah, Manusia Siluman itu kembali melompat dengan auman dahsyat.
"Auuuum...."
"Yeaaa...!"
"Bekgh!"
***
TUJUH
Secara tak terduga tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. Bersamaan dengan
itu menderu angin kencang ke arah Manusia Siluman itu dan membuatnya jungkir
balik di udara. Namun dengan gesit dia bersalto dan hinggap di tanah dengan
kedua kaki dalam posisi berdiri. Sepasang matanya tajam menatap pada
rombongan baru yang muncul tiba-tiba. Berdiri paling depan adalah seorang
wanita berusia sekitar empat puluh tahun dengan selendang panjang warna
hitam melilit di pinggang.
"Huh, inikah orangnya yang sangat menghebohkan itu?" desis wanita itu yang
tak lain dari si Selendang Maut beserta anak buahnya.
Berbeda dengan lawan-lawan sebelumnya, Manusia Siluman itu tak menyerang
langsung. Dia terdiam beberapa saat menatap ke arah wanita itu dengan
seksama, sehingga kali ini semua yang berada di situ dapat melihat dengan
jelas. Wajahnya yang berkerut dengan sepasang mata merah yang nyalang mirip
seekor harimau. Pada kedua ujung bibirnya tampak sepasang taring. Rambutnya
yang sebagian memutih dibiarkan lepas begitu saja sepanjang punggung.
Berdirinya agak bungkuk, dan kedua tangannya terus membentuk cakar dengan
kuku-kuku yang runcing serta kelihatan keras.
"Ayo, seranglah aku! Bukankah kau terkenal ganas dan memiliki ilmu yang
tiada tandingan?!" ejek si Selendang Maut sambil tersenyum sinis.
"Grrr...!"
"Kenapa? Apakah kali ini kau takut menghadapiku? Atau kebiasaanmu cuma
mengaum?"
"Nini Selendang Maut, hati-hati! Dia ganas dan tak kenal ampun sama
sekali!" teriak Tunggadewa memperingatkan.
"Huh, ingin kulihat sampai di mana keganasannya?" dengus si Selendang Maut
sambil meloloskan selendang di pinggangnya.
"Ctar!"
Si Selendang Maut melecutkan selendangnya ke arah lawan. Suaranya terdengar
nyaring bagai petir membelah angkasa. Manusia Siluman itu sempat terkejut
dan mundur beberapa langkah. Namun sesudahannya dia menggeram dahsyat.
"Graungrrr...!"
"Ayo, seranglah aku! Pergunakan cakar-cakar mu yang hebat itu untuk
merencah tubuhku?" ejek si Selendang Maut sambil melecutkan kembali
senjatanya.
Kali ini tantangan wanita itu agaknya diterima si orang asing. Dengan
didahului auman dahsyat, tubuhnya melompat dengan kecepatan bagai kilat
menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
"Ctar!"
Selendang di tangan wanita itu menghajar telak tubuh Manusia Siluman itu.
Jangankan tubuh manusia yang terdiri dari daging dan tulang, sebongkah batu
besar sebesar kerbau pun mungkin akan hancur dihantam ujung selendang yang
disalurkan tenaga dalam hebat itu. Tapi orang asing itu cuma menggeram
ketika tubuhnya kembali terlontar ke belakang. Dan ketika kedua kakinya
menjejak tanah, secepat itu pula dia kembali menyerang.
"Graungrrr...!"
"Hmmm... kebal juga badanmu. Coba sekarang kau tahan pukulanku ini!"
"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Plak!"
Dengan selendang di tangan kanan yang meliuk-liuk menyambar tubuh lawan,
telapak tangan kirinya siap menghantam. Tapi lawan kali ini ternyata telah
memperhitungkannya. Tubuhnya bergerak lincah menghindari sambaran senjata
lawan. Lalu ketika telapak kiri si Selendang Maut menghantam ke arah dada,
tubuh orang asing itu mencelat ke atas. Kaki kanannya menghantam wajah
lawan. Masih untung si Selendang Maut mampu berkelit dan menghantamkan tinju
kanan untuk menangkis.
"Sialan! Rupanya kau bukan manusia biasa. Kulitmu keras seperti batu!"
umpat si Selendang Maut sambil mengeluh pelan merasakan tangan kanannya yang
kesemutan.
Tapi agaknya si Selendang Maut kali ini tak memberi kesempatan sedikit pun
untuk berleha-leha. Manusia Siluman itu menyerang seperti tiada henti.
Sambaran kedua cakarnya nyaris merobek kulit tubuh lawan kalau saja
Selendang Maut tidak cepat berkelit. Untuk beberapa saat si Selendang Maut
dibuat kewalahan.
Memasuki jurus kedua terlihat si Selendang Maut menggeram sambil
mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Selendang di tangannya kini bukan lagi
semata-mata seperti lecutan sebuah cambuk, namun sekali-kali berubah kaku
bagai pedang panjang yang menyapu dalam sekejap berubah lemas meliuk-liuk,
ujungnya menyambar seperti hendak melilit.
"Graungrrr...!"
Dengan satu lompatan manis, Manusia Siluman itu menerjang ke arah lawannya.
Si Selendang Maut terkesiap dan tak menyangka makhluk itu mampu bergerak
begitu cepat, dan...
"Cras!"
"Begkh!"
"Ukhhh...!"
Bahu kiri si Selendang Maut robek dicakar Manusia Siluman itu. Dia meringis
kesakitan. Namun satu pukulan telak tinju kanannya berhasil menghantam perut
Manusia Siluman itu dan membuatnya terjungkal beberapa tombak. Ketika dia
bangkit sambil menggeram, terlihat dari sudut bibirnya menetes darah kental.
Agaknya pukulan yang dibarengi tenaga dalam sepenuhnya itu mampu melukai
tubuh lawan.
"Nini...!" teriak Dewi Sukma Wening yang sejak tadi berdiam diri sambil
memburu ke arah Selendang Maut.
"Jangan mendekat! Kembali ke tempatmu. Aku tak apa-apa!" bentak Selendang
Maut.
"Tapi Nini... kau terluka!"
"Kukatakan kembali ke tempatmu semula!" bentak Selendang Maut lagi.
Dewi Sukma Wening tak bisa membantah lagi selain kembali ke tempatnya
semula. Sudah menjadi kebiasaan ketuanya itu bahwa dia tak suka dibantu bila
sedang bertarung. Kecuali oleh suatu sebab, misalnya dia tewas barulah anak
buahnya boleh turun tangan.
"Auuum...!"
Manusia Siluman itu telah kembali melompat ke arah Selendang Maut,
sementara si Selendang Maut telah bersiap pula dengan
senjatanya.
***
"Ctar!"
"Beeet!"
"Kreeet...!"
Ujung selendang wanita itu berhasil melibat tubuh Manusia Siluman itu dan
menyentaknya hingga tubuhnya melambung jauh. Namun pada saat itu juga orang
asing itu berhasil merobek selendang lawan. Si Selendang Maut terkejut
sambil terhuyung ke belakang.
Selama ini tak seorang pun yang berhasil merobek senjata andalannya itu.
Selain terbuat dari serat sutra halus yang kuat, senjata itu pun
dipergunakan dengan pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau ada yang berhasil
merobek Selendang Mautnya, sama artinya berhasil memukul tenaga dalamnya.
Dan hal itu yang telah dilakukan oleh Manusia Siluman itu.
"Tap!"
"Graungrrr...!"
Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, se cepat itu pula Manusia Siluman
yang tingkahnya menyerupai harimau itu kembali melesat menyerang lawan
setelah mencabik-cabik sebagian Selendang Maut yang melilit tubuhnya.
"Nini...!" jerit Dewi Sukma Wening cemas melihat keadaan ketuanya. Tapi
terlambat. Cakar Manusia Siluman itu berhasil merobek perut si Selendang
Maut.
"Aaaa...!"
"Graungrrr...!"
"Seraaaang...!" perintah Dewi Sukma Wening ketika melihat Manusia Siluman
itu bermaksud melancarkan serangan berikutnya.
"Ayo, Ruksadana! Ini kesempatan kita untuk menghajar Manusia Siluman itu
kembali!" teriak Tunggadewa.
Sebenarnya tanpa dikomando pun tubuh Ruksadana telah melesat begitu ucapan
Tunggadewa selesai. Bersama dengan yang lain, kembali mereka mengerubuti
orang asing itu.
"Auuum...!"
"Cras! Crass!"
"Aaaa...!"
Namun kali ini terlihat Manusia Siluman semakin liar. Sekali dia berkelebat
paling tidak dua atau tiga orang tewas dalam keadaan yang mengerikan. Kalau
tidak dada robek, maka perut dengan isinya yang terburai keluar atau leher
yang nyaris putus. Tak heran bila dalam sekejap saja korban banyak
berjatuhan.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu melesat cepat ke arah Tunggadewa yang langsung memapaki
dengan kelebatan golok besarnya.
"Tunggadewa, awas...!" teriak Ruksadana memperingatkan.
"Tak!"
"Cras!"
"Aaaa...!"
Golok di tangan Tunggadewa ditangkis oleh sebelah tangan Manusia Siluman
itu, sementara tangan yang lain menghantam leher lawan. Tunggadewa tak
sempat terpekik ketika lehernya robek dicakar Manusia Siluman itu
"Biadab!" maki Ruksadana sambil terus mencelat membabatkan aritnya.
Bersamaan dengan itu Dewi Sukma Wening pun melompat menghajar lawan beserta
beberapa orang anak buahnya yang masih tersisa.
"Hiyaaa...!"
"Tak! Tak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Kedua senjata Ruksadana dan Dewi Sukma Wening menghantam telak di punggung
dan tengkuk lawan. Tapi percuma saja, sebab tak sedikit pun mampu menggores
kulit tubuh lawan. Apalagi sampai melukainya. Namun serangan balasan yang
diluncurkan dari Manusia Siluman itu sungguh mengagetkan. Cakar mautnya
kembali meminta korban. Perut Ruksadana kena disabet hingga terlihat isinya
yang terburai keluar. Ruksadana meraung kesakitan. Sementara tiga orang
lainnya mengalami nasib yang sama. Termasuk Dewi Sukma Wening yang sedikit
beruntung kehilangan lengan kirinya tidak sampai merenggut nyawanya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali menggeram dan mengamuk sejadi-jadinya pada sisa
sisa pengeroyoknya. Jerit kematian kembali terdengar ketika beberapa tubuh
melayang dalam keadaan terkoyak.
"Keparat! Kali ini aku akan mengadu jiwa denganmu!" desis si Selendang Maut
sambil membalut pinggangnya yang robek dengan selendang.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring wanita itu melompat cepat mengirim satu pukulan
jarak jauh. Di seputar tempat itu terasa angin menderu kuat tertuju ke arah
Manusia Siluman tersebut. Cabang-cabang serta dedaunan pada pohon-pohon yang
berada di dekatnya bergoyang kencang bagai disapu angin topan.
"Argkhhh...!"
Manusia Siluman itu mengeluarkan suara kesakitan yang parau dari
kerongkongannya. Namun dengan cepat tubuhnya yang terpelanting kembali
melesat ke arah lawan saat menyentuh tanah.
"Graungrrr...!"
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Si Selendang Maut kembali menjerit kesakitan. Ketika dia bermaksud memapaki
serangan lawan, telapak tangan kanannya berhasil menghantam dada lawan.
Namun sebaliknya cakar lawan merobek perutnya. Keduanya terhuyung-huyung
beberapa saat.
"Auuum...!"
"Nini, awassss...!"
Dewi Sukma Wening berteriak memperingatkan sambil melesat menghadang
Manusia Siluman itu yang seperti tak merasakan sakit di tubuhnya. Padahal
saat itu si Selendang Maut tengah melilitkan selendangnya untuk menutupi
bagian pinggang serta perutnya yang robek. Keringat dingin mengucur di
sekujur tubuhnya yang gemetar melawan rasa sakit yang bukan kepalang. Namun
demikian sorot matanya masih memancarkan kegarangan serta dendam
membara.
Sementara itu walaupun Dewi Sukma Wening berusaha mencegah lawan untuk
membinasakan ketuanya, usahanya hanya sia-sia belaka. Tak banyak yang dapat
dia lakukan untuk mengulur-ulur waktu agar ketuanya dapat terhindar dari
kematian Manusia Siluman itu. Namun pada saat-saat kritis itu tiba-tiba
melesat satu bayangan yang bergerak bagai kilat memapaki serangan Manusia
Siluman itu.
"Hiyaaa...!"
***
DELAPAN
"Plak!"
"Ukh...!"
Terdengar keluh kesakitan. Keduanya terpental bersamaan. Dan seperti
biasanya Manusia Siluman itu kembali mendarat di atas kedua kakinya. Tak
jauh di hadapannya berdiri gagah seorang pemuda berambut gondrong dengan
baju rompi terbuat dari kulit harimau yang pernah dikenalnya beberapa hari
lalu dalam sebuah pertarungan.
"Grrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram. Seperti halnya berhadapan dengan si
Selendang Maut, kali ini dia pun tak langsung menyerang. Mungkin karena
pernah bertarung dan merasakan bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang
sempurna hingga membuatnya harus berhati-hati.
"Bayu, hati-hati...!" ingat Ratna Puspa yang juga sudah berada di tempat
itu.
Pendekar Pulau Neraka mengangguk pelan.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tampak Tiren melompat-lompat dengan wajah gelisah.
"Tenang Tiren, aku tak apa-apa. Kau jagalah Ratna Puspa baik-baik..." ujar
Bayu.
Walaupun sepasang matanya tak luput memperhatikan setiap gerakan yang
dibuat lawan, namun Bayu sempat melirik sekilas ke arah Dewi Sukma Wening.
Dilihatnya gadis itu tersenyum seperti mengucapkan kata terima kasih atas
pertolongannya di saat yang tepat tadi.
"Ayo, Kisanak? Bukankah kau ingin melumatkan setiap orang? Nah, kenapa kau
hanya diam saja?" tanya Bayu pada lawannya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram buas. Sepasang matanya menyipit seperti
menyiratkan kebencian luar biasa. Kemudian dengan satu lompatan ringan
tubuhnya mencelat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Auuum...!"
"Uta, haaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka dengan ringan berkelit ke samping dan kemudian
menghantamkan pukulan ke tengkuk lawan. Tapi Manusia Siluman itu mampu
menghindar dengan menekuk tubuhnya. Kemudian dengan tiba-tiba Manusia
Siluman itu balik berguling di udara, cakar tangan kanannya nyaris merobek
leher Bayu.
"Bet!"
Bayu mendengus geram. Nyaris saja dia terluka kalau tak buru-buru membuang
diri ke bawah. Namun gerakan lawan cepat bukan main. Rasanya Bayu belum
sempat mengatur nafas, tiba-tiba serangan lawan kembali menuju ke arahnya.
Pendekar Pulau Neraka melentik seperti ikan di darat. Tubuhnya mengapung
setinggi hampir dua tombak dalam keadaan berdiri.
"Graungrrr...!"
"Hiyaaa...!"
Manusia Siluman itu dengan cepat menyusul ke atas sambil menggeram buas.
Bersamaan dengan itu tubuh Bayu meluncur ke bawah memapaki dengan pengerahan
tenaga dalam kuat.
"Plak!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Ukh...!"
Pendekar Pulau Neraka meringis ketika kulit dadanya tercakar lawan. Namun
tinju kanannya pun sempat menghantam telak. Terlihat lawan menjerit
kesakitan dengan tubuh terlempar sejauh tiga tombak. Kali ini Manusia
Siluman jatuh tidak di atas kedua kakinya. Ketika berusaha bangkit terlihat
darah kental keluar dari mulutnya. Walau demikian sama sekali tak
memperdulikan rasa sakit yang diderita.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali mencelat menyerang Bayu. Bayu terkesiap.
Rasanya mustahil tubuh manusia mampu menahan pukulannya yang bertenaga dalam
kuat itu. Kalau pun dia memiliki tenaga dalam tinggi, paling tidak
gerakannya akan terhambat oleh rasa sakit yang dideritanya. Tapi Manusia
Siluman itu seperti tak terpengaruh oleh luka dalamnya sedikit pun.
Gerakannya masih tetap gesit seperti semula.
"Keparat! Manusia atau silumankah kau ini?" desis Bayu seperti tak percaya
pada penglihatannya sendiri. Pendekar Pulau Neraka langsung mengibaskan
tangan kanannya ke atas.
"Zwiing!"
"Tak!"
"Uts!"
Walau sadar bahwa Cakra Maut tak mampu melukai kulit lawan, tapi Bayu
mencoba mengarahkan senjata mautnya itu ke arah mata. Dengan sigap lawan
mengibaskan tangan menangkis, lalu tubuhnya meluncur menyambar wajah Bayu.
Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas, kemudian bersalto dengan gerakan
indah menyambar Cakra Mautnya. Pada saat itu pula lawan berbalik menyerang
setelah serangan pertamanya gagal.
"Auuum...!"
Justru pada saat itu si Selendang Maut mencuri kesempatan dan melesat
dengan gerakan cepat menghantam Manusia Siluman itu dengan sisa-sisa tenaga
yang dimilikinya.
"Yeaaa...!"
Dewi Sukma Wening terkejut dan berteriak memperingatkan.
"Nini...!"
***
"Graungrrr...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Manusia Siluman itu berbalik dan dengan gesit menangkis serangan Selendang
Maut. Wanita itu terpekik ketika perutnya robek di cakar lawan. Namun pada
saat yang bersamaan Pendekar Pulau Neraka menyarangkan pukulan keras ke dada
lawan. Kedua tubuh itu terpental jauh.
"Nini...?!" Dewi Sukma Wening memburu Selendang Maut yang sekarat menahan
menunggu ajal.
"De.... Dewi...!"
"Tenanglah Nini, aku akan memanggil Tabib Jaladara. Mudah-mudahan kau bisa
tertolong!"
"Ti... tidak perlu...." sahut si Selendang Maut terbata-bata.
"Tapi Nini...."
"Tak perlu... kau ingat-ingat saja pesanku ini. Ca...cari anak-anakku yang
tempo hari... ku ceritakan padamu." lanjut Selendang Maut.
Dewi Sukma Wening mendekatkan telinga ke bibir Selendang Maut mendengar
pesan-pesannya lebih lanjut. Sementara. itu Bayu semakin geram saja melihat
lawannya yang kuat luar biasa. Walaupun tubuhnya terlempar di hajarnya
dengan pukulan yang mengandung tenaga dalam kuat, namun dia masih bisa
bangkit dan menyerang kembali.
"Keparat! Kau terimalah ini!" desis Bayu sambil mengibaskan Cakra Maut di
tangannya.
"Zwiiing!"
Senjata berwarna keperakan itu mendesing ke arah Manusia Siluman. Kali ini
Bayu berharap bahwa senjatanya itu mampu mencari titik kelemahan lawan,
sebab dirasakannya betul. Berada pada jarak dekat dengan lawan amat
membahayakan. Maka ketika lawan menyerang ke arahnya, Bayu lebih banyak
menghindar sambil terus menghajar dengan Cakra Maut.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram dahsyat. Sepertinya dia mengerti bahwa kali
ini lawan tak bermaksud mengadakan kontak tubuh pada jarak dekat dengannya,
maka dia berusaha mendekat ke arah Bayu. Tapi Cakra Maut yang saat ini terus
menghantam pada setiap juru pada tubuhnya membuat dia agak kerepotan.
"Hiyaaa...!"
Bayu melompat cepat ke bawah tubuh lawan ketika Manusia Siluman itu
menerjang ke arahnya. Sambil bergulingan di tanah dia mengibaskan Cakra Maut
kembali. Dengan berharap penuh Bayu menghantam pada telapak kaki lawan.
Kalau kali ini tak berhasil juga, tipis sudah harapannya sebab seluruh tubuh
yang lain sama sekali kebal terhadap senjatanya. Malah pada sepasang mata
lawan terlihat tak begitu ketat dilindungi seperti memberi isyarat bahwa di
bagian itu bukan merupakan titik kelemahannya.
"Crab!"
"Aaaa...!"
"Hei...?!"
Bayu tersentak kaget. Lawannya menjerit setinggi langit dan ambruk di tanah
sambil menggelepar-gelepar. Darah mengucur deras dari sebelah telapak
kakinya yang di tembus Cakra Maut. Bayu tak menyia-nyiakan kesempatan ini.
Sebelum lawan berusaha bangkit, kembali Cakra Maut melesat dan menghantam
telapak kaki yang satunya lagi. Dan saat itu juga terdengar lolongan
panjang.
"Mampuslah kau bersama dengan dosa-dosa-mu!" desis Bayu geram.
Namun Bayu sempat terkesima. Diperhatikannya dengan seksama, tubuh Manusia
Siluman itu berubah perlahan-lahan. Wajahnya yang tadi berkerut sadis dan
menyeramkan mirip seekor harimau liar, berubah menjadi bersih dengan senyum
ramah. Matanya tak lagi merah dan memancarkan kegarangan, tapi kembali
normal sebagaimana layaknya manusia biasa. Kedua taring di sudut bibirnya
pun kembali menjadi biasa. Lalu kuku-kukunya yang runcing dan kuat berubah
menjadi kuku biasa. Dalam keadaan begitu Bayu betul-betul bisa mengenali
siapa orang itu.
"Tabib Jaladara?!" teriaknya kaget.
Mereka yang berada di situ tersentak kaget mendengar ucapan Pendekar Pulau
Neraka.
"Astaga?!" ucap Dewi Sukma Wening.
"Ooooh...!" desah Ratna Puspa sambil mendekat ke arah Bayu.
Bayu belum sempat bertanya ketika tiba-tiba terdengar panggilan lirih si
Selendang Maut.
"Wisnupaksi, kaukah itu...?"
Tabib Jaladara yang sedang sekarat itu menoleh pelan. Wajahnya terlihat
pucat.
"Sur.... Surtiningsih?! Kau... kau... ohh, apa yang kulakukan
padamu?"
Bayu belum paham melihat kenyataan itu. Begitu juga yang lain. Bayu hanya
menuruti saja ketika Tabib Jaladara minta didekatkan dengan Selendang Maut.
Kedua manusia yang tengah menjelang maut itu saling meremas jari sambil
tersenyum.
"Wisnupaksi akhirnya kita dipertemukan juga..." lirih suara Selendang Maut
yang dipanggil Surtiningsih itu.
"Ya... hanya keadaannya kini berubah lain. Maafkan aku Surti...."
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Kita sama-sama salah karena saling
mengagulkan kepandaian masing-masing. Semuanya jadi rusak karena nafsu ingin
menjadi orang yang tak tertandingi...."
"Begitu juga aku. Dalam pengembaraanku setelah kita berpisah, aku menemukan
sebuah kitab tentang ilmu yang mempelajari gerakan Siluman Harimau. Tapi
ternyata aku salah mempelajarinya. Ilmu itu tak mampu ku kendalikan.
Sewaktu-waktu aku menjelma dan merasakan diriku sebagai seekor harimau lapar
yang haus darah yang tak bisa ku tahan. Pada saat itu aku tak bisa mengenali
siapa-siapa...."
"Kenapa kau tak berusaha mencari jalan keluarnya?"
"Sudah. Baik dengan cara bertapa atau dengan ramuan obat. Itulah sebabnya
pada saat-saat sadar aku rajin mempelajari ilmu pengobatan dan mengganti
namaku menjadi Jaladara agar tak di kenali orang lain. Tapi hasilnya tetap
nihil...." Tabib Jaladara atau Wisnupaksi menggeleng lemah. Kemudian dia
menatap ke arah Selendang Maut sambil berkata lirih.
"Bagaimana nasib kedua anak kita...?"
"Itulah yang kusesalkan. Setelah kita berpisah karena masing-masing merasa
memiliki kepandaian yang hebat, aku menitipkannya pada Patisena. Kau masih
ingat bukan? Pembantu setia kita yang dipungut keluargaku ketika masih
kecil?"
"Ya, ya... aku ingat. Apakah kau sudah menemui mereka? Barangkali mereka
sudah besar sekarang, dan... dan Ratna Puspa tentu sudah menjadi gadis ang
sangat cantik sepertimu...."
"Kakang Wisnupaksi, sebenarnya ketika kau pergi aku sedang mengandung saat
itu. Dan lahir bayi perempuan yang mungil dan manis...."
"Ooooh... anakku...."
"Ya... aku memberinya nama Roro Intan!"
***
Ratna Puspa yang sejak tadi mendengarkan pembicaraan mereka tersentak
kaget. Buru-buru dia menunduk dengan wajah berbinar-binar.
"A... apakah yang kalian maksud aku dan adikku, Roro Intan yang dititipkan
pada Paman Patisena sejak kecil...?"
Keduanya menatap Ratna Puspa. Surtiningsih atau Selendang Maut yang lebih
dulu tersenyum dengan wajah penuh luapan kegembiraan.
"Kau... kau anakku Ratna Puspa?!"
"Ibu...!" pekik Ratna Puspa sambil memeluk tubuh wanita separuh baya
itu.
"Dan... dan apakah kau ayahku?" lanjutnya dengan wajah tak percaya.
"Aku ayahmu, Nak..." sahut Wisnupaksi lirih.
"Ayah...?" ragu-ragu Ratna memeluk lelaki itu. Selagi mereka melampiaskan
perasaan suka cita karena telah sekian tahun berpisah, Bayu meninggalkan
tempat itu secara diam-diam bersama Tiren. Tapi baru saja Bayu melangkah
beberapa tindak, seseorang menegurnya.
"Apakah kau tak bermaksud pamit pada mereka?"
"Dewi Sukma Wening...?" Dewi Sukma Wening menunduk sambil memandangi tangan
kirinya yang buntung.
"Mengharukan, bukan...? Beruntunglah mereka dibandingkan dengan diriku..."
lanjutnya lirih. Bayu merasakan kedukaan yang dalam pada nada bicara Dewi
Sukma Wening. Tanpa sadar dia mendekat dan duduk di sebelahnya.
"Ya... memang sangat mengharukan. Aku merasa bersalah...."
"Kenapa merasa begitu?"
"Kalau saja orang tua itu tak mati di tangan ku...."
"Kaulah yang akan mati di tangannya. Lagi pula dengan demikian mereka
selamanya tak akan pernah bertemu. Paling tidak kau punya jasa dalam
mempertemukan mereka."
"Entahlah... aku tak tahu. Tapi yang ku rasakan betul adalah kedukaan di
batin gadis itu. Baru saja dia bertemu dengan kedua orang tuanya, tak lama
lagi harus berpisah...."
"Itu sudah takdir. Aku pun bisa merasakan kehilangan kedua orang tuaku
sejak masih kecil..." lirih suara Dewi Sukma Wening.
Bayu tersenyum getir.
"Rasanya kehilangan kedua orang tua terlalu banyak di alami umat manusia.
Dahulu kukira cuma aku saja yang merasakannya...."
"Apakah kedua orang tuamu pun telah tiada?" Bayu tak sempat menjawab.
Ketika itu terdengar jerit tangis Ratna Puspa semakin keras. Keduanya
menoleh dan melihat bahwa dua insan yang saling menyintai telah meninggal
dalam pelukan Ratna Puspa dengan wajah tenang.
"Sebaiknya kau bujuk dia..." ujar Dewi Sukma Wening.
Bayu melangkah pelan. Tiren mengikuti dari belakang. Lama Bayu membujuk
gadis itu dan menentramkan hatinya. Tak lama kemudian mereka mengangkat
kedua mayat itu dan meletakkannya ke dalam pedati yang berada di situ. Bayu
telah berjanji pada Ratna Puspa untuk menemaninya beberapa hari di tempat
Paman Patisena. Sekaligus untuk menepati janjinya pada Roro Intan.
Pedati itu mulai Bergerak pelan. Bayu masih sempat melambaikan tangan pada
Dewi Sukma Wening yang tak bersedia ikut dengan mereka. Gadis itu bermaksud
mengembara mengikuti ke mana saja kakinya melangkah.
Dari jauh terlihat angin mempermainkan rambutnya bersama dengan dedaunan
kuning yang berguguran. Harumnya sampai di hati Pendekar Pulau Neraka. Bayu
tersenyum, dan menarik nafas pendek sambil melirik ke arah Ratna Puspa.
Kemudian menghela kudanya.
"Heaaa...!"
TAMAT
Episode selanjutnya :
Emoticon