Kabat dan Gandik saling berpandangan. Sementara Gapar dan Sito membantu
kedua temannya berdiri. Keadaan mereka tampak parah, karena mengalami luka
dalam akibat hajaran Bayu yang cukup keras tadi. Padahal tidak disertai
pengerahan tenaga dalam sepenuhnya. Tapi hajaran itu cukup membuat kedua
pemuda anak buah Ki Mangir harus beristirahat sedikitnya tiga hari, untuk
memulihkan kesehatan tubuhnya. Mereka tertatih-tatih menjauhi tempat itu,
dan berhenti setelah berada di tempat yang cukup aman. Bayu sempat melirik
ke arah empat pemuda itu.
"Anak muda! Boleh kutahu, ada hubungan apa antara kau dengan Minarti?"
tanya Gandik
"Minarti tunanganku! Dan kalian tidak berhak mengganggunya. Jelas...?!"
sahut Bayu, tegas.
Jawaban tegas Pendekar Pulau Neraka itu tentu saja membuat Kabat dan Gandik
jadi melongo terkejut. Sungguh tidak disangka kalau anak muda yang
mengenakan baju kulit harimau ini tunangan Minarti.
"Kau jangan mendustai kami, Anak Muda," sentak Gandik tidak percaya.
"Dia tidak dusta...!" tiba-tiba saja terdengar suara keras yang
lantang.
Bukan hanya Gandik dan Kabat yang terkejut, tapi Bayu juga tersentak kaget
mendengar suara yang begitu keras dan lantang dari arah rumah kecil di
pinggiran Desa Jati Laksa ini. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan
rumah kecil itu sudah berdiri seseorang bertubuh ramping mengenakan baju
serba hitam. Seluruh kepalanya pun terselubung kain hitam pula. Hanya dua
lubang kecil saja di bagian matanya, sehingga membuat sepasang bola mata
bening bercahaya terlihat dari balik selubung kain hitamnya.
"Perawan Pembawa Maut...," desis Gandik langsung mengenali.
Gandik teringat peristiwa yang menimpa Ki Mangir malam itu. Meskipun hanya
melihat sekilas ketika wanita itu menyatroni rumah Ki Mangir, tapi dia cepat
bisa mengenali. Dan Ki Mangir sendiri pernah mengatakan kalau orang yang
dihadapi menyebutkan julukannya sebagai Perawan Pembawa Maut
"Katakan pada majikanmu. Hentikan nafsu gilanya. Dan jangan coba-coba lagi
mengganggu Minarti. Gadis itu sudah punya tunangan yang akan melindunginya!"
tegas wanita berbaju serba hitam itu lagi, dengan suara lantang.
"Bagaimana...?" tanya Kabat berbisik dekat di telinga Gandik.
"Sebaiknya kita pergi saja dulu," sahut Gandik.
"Yah Keadaan memang tidak menguntungkan," Kabat langsung menyetujui.
"Hubungi yang lain. Kita kumpul di tepi sungai," ujar Gandik lagi.
Setelah berkata demikian, Gandik cepat berbalik dan melesat pergi. Kabat
pun bergegas mengikuti jejak temannya. Demikian pula keempat anak muda yang
sudah babak belur. Mereka tentu saja tidak bisa bergerak cepat, tapi tetap
berusaha meninggalkan tempat ini dengan sisa-sisa kekuatan yang ada.
Sementara Bayu sudah memutar tubuhnya dan melangkah mendekati wanita berbaju
serba hitam yang masih tetap berdiri di depan rumah Minarti.
"Terima kasih, kau membantuku mengusir mereka," ucap Bayu seraya menjura
membungkukkan tubuhnya.
"Jangan berterima kasih kepadaku. Dan itu memang sudah tugasku untuk
melindungi Minarti. Seperti juga kau," sergah wanita berbaju serba hitam
yang sudah dikenal berjuluk si Perawan Pembawa Maut.
"Kalau boleh kutahu, siapa sebenarnya Nisanak ini...?" tanya Bayu
sopan.
"Belum saatnya kau tahu siapa aku, Pendekar Pulau Neraka," sahut wanita
itu.
Belum juga gema suara Perawan Pembawa Maut habis, tubuhnya sudah melesat
cepat. Bayu sejenak terkesiap.
"Hei...?! Tunggu...!"
Tapi wanita berbaju serba hitam itu sudah lebih cepat sampai ke atas atap
rumah. Kemudian, tubuhnya langsung meluruk turun ke bagian belakang.
Sebenarnya, Bayu bisa saja mengejar. Tapi, pikirannya langsung tertuju pada
keselamatan Minarti. Padahal dalam benaknya timbul segudang pertanyaan yang
tentu saja tidak mungkin bisa terjawab saat ini.
Pendekar Pulau Neraka kemudian mengayunkan kakinya memasuki beranda depan
rumah ini. Sebentar matanya melirik lantai beranda yang jebol. Kakinya terus
terayun melangkah masuk, lalu berhenti begitu melewati pintu Tampak Minarti
tengah duduk saja di kursi yang ada di tengah-tengah ruangan depan rumah
ini. Ternyata gadis ini tidak kurang suatu apa pun juga. Malah bibirnya
menyunggingkan senyum, kemudian bangkit berdiri begitu melihat Bayu.
Bergegas dituangnya air dingin dari dalam kendi ke dalam gelas bambu, dan
dihampirinya Pendekar Pulau Neraka.
"Terima kasih," ucap Bayu sambil menerima gelas bambu berisi air dingin
dari tangan gadis ini.
Bayu meneguknya hingga tak bersisa lagi. Diletakkannya gelas bambu itu di
atas meja, lalu tubuhnya dihempaskan di balai-balai bambu yang hanya
beralaskan selembar tikar anyaman daun pandan. Minarti kembali duduk di
kursi yang tadi ditempatinya. Gadis ini kelihatan begitu tenang seperti
tidak pernah terjadi apa-apa.
"Cepat atau lambat, mereka pasti akan datang lagi," kata Bayu, agak
mendesah suaranya.
"Maaf, aku telah menyusahkanmu," ucap Minarti.
"Tidak ada yang perlu disesah, Minarti. Aku sudah berjanji pada ayahmu
untuk melindungimu, selama ayahmu masih memulihkan keadaan dirinya," tegas
Bayu.
"Seharusnya, kejadian ini tidak perlu ada, kalau saja...," Minarti tidak
melanjutkan kata-katanya.
Bayu tidak memperhatikan sama sekali. Tubuhnya terasa begitu lelah setelah
bertarung melawan empat orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi tadi.
Pendekar Pulau Neraka mengakui kalau keempat anak muda itu cukup tangguh.
Kalau mereka bertarung tenang, pasti akan lebih berbahaya lagi. Sayangnya,
tadi terlihat kalau mereka sudah gentar terlebih dahulu sebelum masuk ke
dalam pertarungan. Dan ini yang membuat mereka jadi kurang mengendalikan
diri. Sehingga, Bayu bisa mudah mengalahkannya, meskipun harus sedikit
menguras tenaga.
"Minarti, kau tahu wanita berbaju hitam yang tiba-tiba muncul tadi...?"
tanya Bayu teringat pada wanita berbaju hitam yang dikenal berjuluk si
Perawan Pembawa Maut.
"Wanita yang mana?" Minarti malah balik bertanya.
"Kau tadi memperhatikan ke depan, bukan...?"
Minarti mengangguk.
"Tentu kau melihat ada wanita berbaju hitam yang muncul di depan rumah
tadi. Ku dengar salah seorang dari mereka menyebutnya si Perawan Pembawa
Maut Siapa dia, Minarti...?" desak Bayu lagi.
Entah kenapa, Pendekar Pulau Neraka jadi tertarik terhadap wanita aneh yang
dijuluki si Perawan Pemawa Maut itu. Bayu jadi melupakan orang-orangnya Ki
Mangir yang sudah beberapa kali mencoba membawa paksa gadis ini.
"Aku melihatnya, tapi.... Aku tidak tahu siapa dia," sahut Minarti.
"Tampaknya, tujuannya sama denganku. Hm..., mengapa harus pakai
sembunyi-sembunyi segala...?" Bayu agak bergumam, seperti bicara pada diri
sendiri.
Sedangkan Minarti hanya diam saja. Gadis itu kemudian bangkit dari
duduknya, dan melangkah perlahan menuju kamar yang pintunya terbuka. Hanya
sedikit saja Bayu melirik Minarti yang melangkah melewati kamar itu. Dan
sebelum pintu kamarnya ditutup, Minarti menjulurkan kepalanya keluar.
"Kau tidak tidur, Kakang...?" lembut sekali suara Minarti.
"Tidurlah dulu. Aku ingin bersemadi sebentar," sahut Bayu.
Minarti menarik kepalanya ke dalam. Lalu ditutupnya pintu kamar itu.
Seketika terdengar suara pintu terkunci. Sementara Bayu sudah mengambil
sikap bersemadi. Kedua telapak tangannya diletakkan di lutut yang tertekuk
melipat. Perlahan jalan napasnya diatur, kemudian kelopak matanya mulai
terpejam. Seluruh jiwanya dikosongkan untuk menyatukan diri dengan alam dan
sang Pencipta. Perlahan tubuhnya terasa jadi ringan, seperti melayang di
angkasa. Aliran darahnya pun begitu perlahan dan tenang, disertai tarikan
napas yang teratur.
Sementara Bayu tengah bersemadi, Minarti masih duduk di tepi pembaringan.
Sebentar matanya menatap pintu kamarnya yang tertutup rapat, kemudian
beralih pada jendela yang sedikit terbuka. Gadis itu bangkit dari
pembaringan, lalu melangkah ke jendela kamarnya. Kemudian dibukanya pintu
jendela lebar-lebar.
"Hm...," terdengar Minarti bergumam perlahan.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Sedangkan bulan bersinar redup
menggantung di langit cerah, tanpa awan sedikit pun menghalangi. Suasana
begitu sunyi, sehingga desir angin yang halus pun terdengar jelas.
***
Malam masih merayap semakin larut. Suasana di sekitar Gunung Banjaran
begitu sunyi. Terlebih lagi, keadaan Desa Jati Laksa. Tak terlihat seorang
pun berada di luar rumah. Begitu sunyinya, sehingga desiran angin terdengar
jelas mengusik dedaunan yang menghitam dan bermandikan titik embun yang
memantulkan sinar bulan.
Sementara itu di tepi sebuah sungai yang mengalir bagai membelah Desa Jati
Laksa menjadi dua bagian, terlihat sembilan orang tengah berkumpul. Mereka
adalah anak buah Ki Mangir yang ditugaskan menculik Minarti, tapi sampai
saat ini belum berhasil melaksanakan tugas itu. Minarti ternyata dalam
lindungan dua orang yang berkepandaian tinggi, melebihi kepandaian yang
mereka miliki.
Mereka tampak gelisah, karena sampai larut malam begini belum juga bisa
menemukan cara untuk melaksanakan tugas yang diberikan Ki Mangir. Sudah
berbagai cara dilakukan, tapi belum juga memperoleh hasil yang
diinginkan.
"Seharusnya kalian menculik Minarti, selagi kami melawan anak muda itu!"
dengus Gandik. Matanya tampak tajam menatap tiga orang laki-laki
berperawakan aneh.
"Minarti tidak ada di dalam rumahnya," sahut si Golok Setan tidak mau
disalahkan
"Mustahil...!" dengus Gandik.
"Aku sendiri dan Kakang Jerangkong Hidup masuk ke dalam. Sedangkan Kakang
Cambuk Api menunggu di belakang," jelas si Golok Setan lagi.
"Kalau tidak ada di dalam, lalu ke mana...?" selak Kabat seperti bertanya
pada dirinya sendiri.
"Kalau kalian tidak percaya, sebaiknya kita datangi lagi. Biar kami yang
mengurus anak muda itu!" dengus si Jerangkong Hidup jadi kesal karena
disalahkan terus-menerus.
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Kabat.
Gandik tidak langsung menjawab. Matanya melirik empat pemuda yang babak
belur dihajar Pendekar Pulau Neraka tadi. Tampak Kalil dan Majan tergeletak
di tanah berumput kering dengan napas tersengal satu-satu. Keadaan mereka
kelihatan cukup parah. Sedangkan Gapar dan Sito tengah duduk bersemadi,
mencoba memulihkan keadaan tubuhnya.
"Biarkan mereka di sini," ujar si Cambuk Api seakan-akan mengerti apa yang
sedang dipikirkan Gandik. "Bagaimana keadaan mereka?" tanya Gandik seraya
menatap Kabat yang mencemaskan keadaan keempat anak muda itu.
"Gapar dan Sito tidak begitu parah. Tapi Kalil dan Majan cukup
mengkhawatirkan. Mereka terluka dalam cukup parah, dan harus dibawa ke
tabib," jelas Kabat.
"Hhh...! Untung saja tidak ada yang tewas," desah Gandik.
"Bagaimana, Gandik...? Apa harus di sini semalaman?" tegur si Golok Setan
tidak sabar.
"Kalian saja yang pergi. Aku akan menjaga mereka," elak Gandik.
"Mereka bukan anak kecil lagi, Gandik. Luka dalam pertarungan itu biasa,"
dengus si jerangkong Hidup sengit melihat sikap Gandik.
Gandik jadi terdiam. Kata-kata yang diucapkan si Jerangkong Hidup barusan
memang tidak bisa dibantah lagi. Jangankan hanya mendapat luka, mati pun
tidak akan menjadi masalah di dalam pertarungan. Teriebih lagi hidup mereka
semua memang dari mengandalkan kekuatan dan kepandaian dalam ilmu olah
kanuragan.
Sebentar Gandik memperhatikan keempat anak muda itu, kemudian mengayunkan
kakinya perlahan meninggalkan tepian sungai ini. Kabat bergegas mengikuti,
disusul tiga orang laki-laki berperawakan aneh itu. Mereka terus berjalan
tanpa mengeluarkan kata-kata.
"Sebenarnya, apa sih yang diinginkan Ki Mangir, Kakang...?" tanya Kabat
yang berjalan di samping kanan Gandik.
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu," jawab Gandik, agak mendesah
suaranya.
"Rasanya, tidak mungkin kalau Ki Mangir hanya ingin memperistri Minarti,"
duga Kabat lagi. "Aku yakin, pasti ada sesuatu yang tersembunyi dari rencana
ini"
"Apa perkiraanmu, Kabat?" Gandik malah balik bertanya.
"Belum lama ini, Ki Mangir selalu pergi berdua dengan Eyang Palagan,
sebelum pertapa itu menghilang selama sebulan lebih ini. Keinginan Ki Mangir
begitu tiba-tiba, tepat saat Eyang Palagan menghilang entah ke mana. Apa kau
tidak merasakan adanya keanehan, Kakang...?" Kabat mengutarakan
kecurigaannya.
Gandik hanya terdiam saja. Memang sekitar dua bulan yang lalu, Ki Mangir
selalu terlihat pergi bersama Eyang Palagan. Tidak ada yang tahu, ke mana
tujuan mereka. Bahkan sampai beberapa hari tidak pulang. Dan baru sebulan
ini Eyang Palagan menghilang, tanpa kabar beritanya lagi. Bersamaan dengan
itu, Ki Mangir sering datang menemui Minarti. Dan baru belakangan ini,
laki-laki setengah baya itu mengatakan ingin memperistri Minarti. Bahkan
mereka semua sekarang ditugaskan menculik gadis itu dengan cara apa pun
juga.
Sebenarnya, Gandik juga sudah merasakan keanehan itu sejak semula. Tapi hal
itu tidak pernah diutarakannya pada siapa pun juga. Terlebih lagi belakangan
ini muncul orang aneh yang dijuluki si Perawan Pembawa Maut. Bahkan ditambah
dengan seorang pemuda berbaju kulit harimau yang mengaku tunangan Minarti.
Padahal mereka tidak pernah melihat pemuda itu sebelumnya. Dan kini, ada dua
orang yang tidak dikenal melindungi gadis itu.
"Aku yakin, ada suatu rahasia yang disembunyikan Ki Mangir," duga Kabat
menduga-duga lagi.
"Apa pun tujuannya, yang penting sekarang ini kita harus berhasil membawa
Minarti pada Ki Mangir," tegas Gandik menyembunyikan perasaannya
sendiri.
"Aku tidak yakin bisa berhasil, Kakang. Minarti punya pelindung yang
tangguh. Dan kemampuan mereka pasti berada di atas kita semua," Kabat jadi
ragu-ragu.
"Kenapa kau punya pikiran begitu, Kabat...?"
"Kenyataannya, Kakang. Sudah beberapa kali kita mencoba, tapi tidak pernah
berhasil. Bahkan kita semua hanya dijadikan pecundang saja," nada suara
Kabat terdengar agak kesal.
Gandik kembali diam saja.
"Huh! Kalau bukan Ki Mangir yang menyuruh, tidak bakalan aku mau!" dengus
Kabat.
"Sudahlah.... Jangan menggerutu terus."
Kabat langsung diam. Mereka terus saja berjalan semakin cepat menuju rumah
Minarti yang tidak seberapa jauh dari sungai. Tinggal satu belokan lagi,
mereka tiba di rumah kecil gadis itu. Dan mereka baru berhenti melangkah
setelah melihat rumah kecil itu yang terletak di antara lebatnya pepohonan,
namun bagian halaman depannya cukup luas. Tentu saja halaman itu bisa
dijadikan tempat berlatih, seperti berada di sebuah padepokan.
"Kalian bertiga terus saja. Aku dan Kabat berputar dari belakang," perintah
Gandik.
"Beri tanda kalau sudah berhasil mendapatkan gadis itu," kata si Golok
Setan.
"Kalau kalian mendengar suara burung, itu berarti kami berhasil," jelas
Gandik lagi.
"Baik. Cepatlah kalian memutar ke belakang rumah itu," sahut si Golok Setan
lagi.
Gandik segera mengajak Kabat berputar menuju belakang rumah kecil itu.
Sementara si Golok Setan, Cambuk Api, dan Jerangkong Hidup terus mengayunkan
kaki mendekati bagian depan rumah kecil di tepian hutan ini. Mata mereka
tidak berkedip, menatap ke arah pintu depan yang tertutup rapat. Sementara
Gandik dan Kabat sudah tidak terlihat lagi.
***
ENAM
Sementara itu Bayu yang tengah bersemadi di dalam ruangan depan rumah
Minarti, langsung membuka mata begitu mendengar suara-suara langkah kaki
yang halus dan ringan mendekati rumah ini. Bergegas Pendekar Pulau Neraka
menggerinjang turun dari balai-balai bambu yang hanya beralaskan tikar daun
pandan. Telinganya langsung ditajamkan Dia merasa yakin ada tiga orang yang
bergerak perlahan dan ringan sekali mendekati rumah ini.
Pada saat itu, pintu kamar Minarti terbuka. Dan dari balik pintu, menyembul
sebuah kepala seorang gadis berwajah cantik. Sebentar kemudian, seluruh
tubuh gadis itu benar-benar keluar dari pintu. Minarti melangkah mendekati
Bayu yang berdiri tegak di tengah-tengah ruangan.
"Ada apa, Kakang?" tanya Minarti setelah berada di samping Pendekar Pulau
Neraka.
"Mereka datang lagi," sahut Bayu pelan, hampir tidak terdengar
suaranya.
"Berapa orang?" tanya Minarti.
"Tiga...," sahut Bayu "Hm..., tidak. Lima orang. Yang dua, dari arah
belakang."
"Mereka pasti begundal-begundalnya Ki Mangir," dengus Minarti
mendesis.
"Sebaiknya kau di kamar saja, Minarti. Aku akan keluar," ujar Bayu
lagi.
"Hati-hati, Kakang. Mereka pasti sudah nekat," Minarti
memperingatkan.
Bayu hanya tersenyum saja. Kemudian diserahkannya Tiren pada gadis ini. Dan
kini kakinya melangkah tegap mendekati pintu depan. Sedangkan Minarti
bergegas masuk ke dalam kamarnya lagi. Ditutupnya kamar itu, lalu
dikuncinya. Sedangkan Bayu sudah membuka pintu depan rumah ini. Dia berdiri
tegak di ambang pintu yang dibuka lebar-lebar.
Tampak di tengah-tengah halaman berdiri tiga orang berperawakan aneh.
Sebentar Bayu memperhatikan ketiga orang itu, kemudian dengan tenang
mengayunkan kakinya ke luar. Tangannya sempat menutup pintu kembali.
Pendekar Pulau Neraka baru berhenti melangkah setelah jaraknya tinggal
sekitar enam langkah lagi di depan ketiga orang ini.
"Hebat...! Kau bisa mengetahui kedatangan kami, Anak Muda," puji si Golok
Setan, agak sinis nada suaranya.
"Apa maksud kalian datang lagi ke sini?" tanya Bayu tegas.
"Aku rasa, kau sudah tahu jawabannya, Anak Muda," sahut si Cambuk Api
diiringi senyuman sinis tidak bersahabat.
"Sayang sekali, aku tidak yakin kalian bisa mendapatkannya," tandas Bayu,
sudah bisa mengerti keinginan ketiga orang di depannya ini.
"Mungkin... Tapi aku juga tidak yakin kau bisa terus melindunginya," sambut
si Golok Setan, semakin sinis nada suaranya.
"Aku juga tidak percaya kalau kau tunangannya. Kau pasti bukan dari Desa
Jati Laksa, atau desa-desa lain di sekitar Gunung Banjaran ini. Berapa kau
dibayar untuk melindunginya...?" sambung si Cambuk Api.
Bayu mendesis geram mendengar kata-kata yang mulai menyinggung perasaannya.
Tapi kemarahannya dicoba untuk tidak terpancing. Disadari kalau orang-orang
ini tengah memancing amarahnya, yang membuatnya lemah. Bayu sadar kalau
kemarahan bisa mengurangi kewaspadaan. Dan dia tidak ingin terpancing
sedikit pun.
"Atau barangkali dia dibayar dengan kemolekan tubuhnya," sambung si Cambuk
Api diiringi suara tawanya yang keras.
"Ki Mangir pasti murka kalau tahu telah mendapatkan barang bekas," celetuk
si Jerangkong Hidup yang sejak tadi diam saja.
Ketiga orang itu tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Bayu hanya diam saja
dengan muka memeah. Gerahamnya mulai terdengar bergelemeletuk menahan geram,
tapi tetap berusaha bertahan agar tidak terpancing amarahnya. Padahal
kata-kata yang terlontar semakin menyakitkan telinga.
"Aku hanya meminta satu kali. Dan jika kalian tidak segera angkat kaki dari
sini, jangan katakan aku tidak bisa bersikap hormat!" desis Bayu
menggeram.
"Ha ha ha...! Rupanya bisa galak juga bocah ini. Aku ingin tahu, apa
pukulannya juga segalak kata-katanya," ejek si Golok Setan.
"Kalau kalian ingin merasakan, aku tidak akan sungkan memberikan," sambut
Bayu dingin.
"Phuih! Bocah sombong! Rasakan ini! Hiyaaat...!"
Ternyata si Golok Setan sendiri yang tidak bisa menahan diri. Cepat sekali
tubuhnya melompat mener-jang Pendekar Pulau Neraka. Goloknya yang besar dan
bertangkai panjang berkelebat cepat beberapa kali ke arah tubuh pemuda
berbaju kulit harimau ini.
"Hup! Yeaaah...!"
Bayu cepat-cepat meliukkan tubuhnya, menghindari serangan golok berukuran
besar itu. Lalu, tubuhnya cepat melenting ke udara, melewati atas kepala si
Golok Setan. Begitu kakinya mendarat di tanah, cepat dilontarkannya satu
tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaan.
"Yeaaah...!"
"Uts!"
Si Golok Setan cepat menarik tubuhnya ke kanan, sehingga tendangan Bayu
hanya meleset sedikit dari tubuhnya. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu
cepat memutar tubuhnya, sambil mengebutkan golok besar dan bertangkai
panjang itu ke arah kepala Pendekar Pulau Neraka.
"Hih!"
Bayu cepat mengangkat tangan kanannya, mencoba menangkis golok berukuran
sangat besar itu dengan pergelangannya. Sehingga....
Trang!
"Ikh...!?"
"Hup...!"
"Setan...!"
***
Si Golok Setan mengumpat berang. Maka dia cepat melompat mundur begitu
tangannya terasa bergetar hebat ketika goloknya berbenturan dengan Cakra
Maut yang menempel di pergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau
itu. Sedangkan Bayu sendiri tetap berdiri tegak sambil menyunggingkan senyum
melihat wajah si Golok Setan jadi berubah memerah, kemudian memucat.
"Kau serang dari atas, aku dari bawah!" ujar si Cambuk Api berbisik
"Bagaimana dengan Golok Setan?" tanya si Jerangkong Hidup. "Biarkan dia
mengisi bagian yang kosong," sahut si Cambuk Api. "Baik, kalau begitu. Ayo
kita
serang!" "Hiyaaat..!" "Yeaaah...!"
Ctar!
Bet!
"Ufs!"
Bayu cepat melompat ke belakang begitu dua orang itu langsung melesat cepat
menerjangnya. Si Cambuk Api mengebutkan pecut buntut kudanya ke arah kepala
pemuda berbaju kulit harimau itu. Sedangkan Jerangkong Hidup menyerang
bagian bawah, dengan jurus-jurus tangan kosong.
Kesepuluh jari tangan Jerangkong Hidup yang kurus dan panjang, tampak
terkembang lebar seperri cakar burung elang, berkelebat cepat mengincar kaki
Pendekar Pulau Neraka. Mendapat serangan secara bersamaan begini, Bayu
terpaksa berjumpalitan menghindarinya.
Sukar bagi Pendekar Pulau Neraka untuk melancarkan serangan balasan, karena
si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup menyerang cepat secara bergantian dari
bawah dan atas. Beberapa kali pecut buntut kuda si Cambuk Api hampir
menghantam kepalanya. Tapi sampai saat ini, Bayu masih sempat
menghindarinya. Padahal cambuk itu selalu mengeluarkan percikkan bunga api
bila dikebutkan.
"Phuh...!"
Bayu mendengus begitu mencium bau busuk yang tidak sedap, akibat
kebutan-kebutan pecut buntut kuda si Cambuk Api. Jadi, cambuk itu tidak saja
mengeluarkan api, tapi juga menyebarkan bau busuk yang tidak sedap dan
memualkan sekali. Bayu terpaksa menutup jalan pernafasannya di hidung, lalu
cepat memindahkannya ke perut. Dia menjaga kalau-kalau bau busuk itu
mengandung racun mematikan.
Plak!
"Akh...!"
Tiba-tiba saja Bayu tersentak dan memekik agak tertahan ketika tiba-tiba
saja punggungnya terhantam satu tamparan keras. Pendekar Pulau Neraka
terjungkal ke depan, dan cepat menggulirkan tubuhnya ketika si Jerangkong
Hidup sudah mencecar dengan sambaran-sambaran jari mautnya. Bayu sempat
melirik si Golok Setan yang tadi membokongnya dari belakang.
"Licik...!" umpat Bayu jadi geram.
"Hup!"
Bergegas Pendekar Pulau Neraka melentingkan tubuhnya, bangkit berdiri
begitu mendapat kesempatan. Tapi begitu kakinya menjejak tanah, si Cambuk
Api sudah mengebutkan pecutnya dengan keras ke arah dada.
Ctar!"Uts!"Pendekar Pulau Neraka cepat-cepat menarik tubuhnya ke belakang,
sehingga ujung cambuk yang mengeluarkan bunga api itu hanya sedikit saja
lewat di depan dadanya. Dan kini tubuhnya cepat dimiringkan agak membungkuk,
dan tangan kanannya bergerak cepat mengebut ke depan.
"Yeaaah...!"
Bet!
Wut..!
Seketika Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan pemuda
berbaju kulit harimau itu melesat cepat bagai kilat ke arah si Cambuk Api.
Tapi belum juga senjata maut itu bisa menyentuh tubuh si Cambuk Api,
mendadak saja berkelebat secercah cahaya keperakan dari golok berukuran
besar dengan tangkai panjang. Langsung disampoknya senjata cakra bersegi
enam itu.
Trang!
"Hap!"
Bayu cepat mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, ketika senjatanya
terpental balik saat membentur senjata si Golok Setan. Cakra Maut kembali
menempel di pergelangan Pendekar Pulau Neraka. Lalu, dua langkah pemuda
berbaju kulit harimau itu menarik kakinya ke belakang.
"Hiyaaa...!"
Saat itu si Golok Setan sudah melompat cepat menerjang Pendekar Pulau
Neraka. Satu kebutan goloknya langsung diarahkan ke kepala pemuda itu.
Begitu cepat serangannya, sehingga membuat Bayu terkesiap untuk beberapa
saat
"Hup!"
Bayu cepat-cepat merundukkan kepala, menghindari tebasan golok berukuran
besar itu. Seketika dirasakan adanya hembusan hawa dingin yang menyusup
langsung ke tulang, begitu golok berukuran besar itu lewat di atas
kepalanya. Dan sebelum Bayu sempat menarik kepalanya tegak kembali, si
Jerangkong Hidup sudah memberi serangan cepat
Bet!
Laki-laki tua bertubuh kurus jangkung itu mengebutkan tangan kanan ke
punggung Bayu. Belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa melakukan sesuatu, si
Cambuk Api sudah mengebutkan senjata ke arah dada. Jadi, cukup sulit baginya
untuk menghindari dua serangan yang datang secara bersamaan ini.
"Hiyaaa...!"
Tak ada pilihan lain lagi. Pendekar Pulau Neraka cepat melentingkan tubuh
ke udara, menghindari dua serangan yang dilancarkan dari arah belakang dan
depan secara bersamaan. Tapi tanpa diduga sama sekali si Jerangkong Hidup
cepat menarik tangannya, dan langsung melesat mengikuti Pendekar Pulau
Neraka. Seketika satu pukulan keras dilepaskan begitu berada di belakang
pemuda berbaju kulit harimau ini
"Yeaaah...!"
Dug!
"Akh...!" untuk kedua kalinya Bayu terpekik keras.
Pendekar Pulau Neraka terpental deras ke depan, langsung menghantam
sebatang pohon yang cukup besar. Tubuhnya langsung melorot jatuh di bawah
pohon itu. Pukulan yang dilepaskan si Jerangkong Hidup tadi tepat menghantam
punggungnya. Bayu cepat melompat bangkit berdiri. Mulutnya meringis,
merasakan nyeri pada tulang punggungnya.
"Mampus kau malam ini, Bocah! Hiyaaat..!" teriak si Golok Setan lantang
menggelegar.
Cepat sekali laki-laki bertubuh tinggi besar itu melompat menyerang Bayu.
Goloknya yang berukuran besar dan bertangkai panjang itu berputar cepat di
atas kepalanya. Lalu bagaikan kilat dikebutkan dari atas ke bawah, seakan
ingin membelah tubuh Bayu jadi dua bagian.
"Hup!"
Sungguh sukar dipercaya. Sama sekali Pendekar Pulau Neraka tidak berusaha
menghindar. Bahkan ketika golok itu hampir membelah kepalanya, dengan cepat
sekali jemari tangan kanannya langsung menjepit senjata berukuran besar
itu.
"Heh...?!"
Si Golok Setan terkejut setengah mati. Dicobanya menarik goloknya yang
terjepit jemari tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau ini. Tapi goloknya
seakan-akan terasa terjepit catut baja yang begitu kuat Bahkan goloknya sama
sekali tidak bergerak di dalam jepitan jemari tangan Pendekar Pulau
Neraka.
"Hih!"
Lagi-lagi si Golok Setan mencoba menarik senjatanya.
Seluruh kemampuan tenaga dalamnya dikerahkan. Tapi Bayu hanya tersentak
sedikit saja. Dan sebelum si Golok Setan bisa melepaskan senjatanya,
"Hiyaaa...!" Bet!
Tanpa melepaskan jepitannya pada golok besar itu, Pendekar Pulau Neraka
melesat cepat ke udara sambil menghantam kepala si Golok Setan dengan kaki
kanannya! tiba-tiba saja Bayu berteriak keras menggelegar. Seketika tubuhnya
melesat cepat ke udara, tanpa melepaskan jepitannya dari golok besar
itu.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Prak!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking tinggi terdengar, tepat ketika kaki kanan
Bayu menghantam kepala si Golok Setan. Begitu kerasnya tendangan yang
dilakukan Bayu, sehingga membuat kepala si Golok Setan jadi retak. Darah
langsung muncrat dari kepala itu.
Sebentar si Golok Setan masih mampu berdiri. Dan begitu Bayu melepaskan
satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna ke dada,
tubuh si Golok Setan seketika terpental deras ke belakang tanpa mampu
bersuara lagi. Goloknya yang berukuran besar terpental entah ke mana. Keras
sekali tubuh tinggi besar itu jatuh berdebuk di tanah tanpa ada gerakan
lagi.
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup terlongong melihat si Golok Setan tewas
begitu cepat. Mereka seperti tidak percaya dengan apa yang disaksikannya
ini. Sedangkan Bayu sudah melangkah menghampiri dua orang berperawakan aneh
itu. Raut wajah Bayu kelihatan begitu kaku. Sinar matanya tajam, menyorot
langsung pada dua orang yang masih terpana seperti tidak percaya dengan
semua yang disaksikan.
Bayu berhenti sekitar satu batang tombak lagi di depan si Cambuk Api dan
Jerangkong Hidup. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan keras
melengking tinggi, disusul terpentalnya satu sosok tubuh menjebol atap rumah
Minarti. Dan tak berapa lama berselang, satu sosok tubuh lagi terbanting
menjebol dinding rumah itu.
"Heh...?!"
"Gandik..., Kabat..?!"
***
Untuk kedua kalinya si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup terkejut melihat
Gandik dan Kabat tergeletak di tanah sambil meringis mengerang. Dan sebelum
lenyap keterkejutan mereka, tiba-tiba saja dari dalam rumah itu melesat
sebuah bayangan hitam. Tahu-tahu, di depan tubuh Gandik dan Kabat sudah
berdiri seorang wanita berbaju serba hitam dengan seluruh kepala terselubung
kain hitam pula. Di tangannya tergenggam sebilah pedang terhunus yang
ujungnya menempel di tenggorokkan Gandik.
"Bangun kau, Bangsat..!" bentak wanita itu geram.
Sambil meringis menahan sakit, Gandik merayap bangkit berdiri. Kabat yang
belum disuruh, juga bergegas berdiri. Kakinya cepat-cepat bergeser ke
belakang Gandik Ujung pedang masih menempel di leher laki-laki setengah baya
itu. Sementara Bayu sudah memutar tubuhnya, menyaksikan peristiwa yang sama
sekali tidak diduga ini.
"Baiknya kita apakan bangsat-bangsat ini, Pendekar Pulau Neraka...?" tanya
wanita berselubung kain hitam itu seraya melirik Bayu sedikit.
Bayu tidak menjawab, tapi malah menatap tajam wanita berselubung kain hitam
itu. Sementara diam-diam, si Jerangkong Hidup dan Cambuk Api meninggalkan
tempat itu. Mereka tidak mau menanggung akibat yang terlalu besar. Dan
begitu punya kesempatan, mereka cepat melesat pergi, tanpa seorang pun yang
sempat menyadari.
Tapi gerakan mereka rupanya diketahui Bayu. Cepat Pendekar Pulau Neraka
memutar tubuhnya, namun dia jadi geram. Ternyata kedua orang ini sudah
lenyap tak terlihat lagi.
"Pengecut..!" dengus Bayu.
Kembali Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya, dan melangkah menghampiri
wanita berbaju serba hitam, dengan kepala terselubung kain hitam. Dia
berhenti sekitar tiga langkah lagi di samping wanita berbaju serba hitam
itu. Dipandanginya Gandik dan Kabat dengan sorot mata tajam. Wajah kedua
laki-laki separuh baya itu jadi semakin pucat
"Jauhkan pedangmu, Nisanak," ujar Bayu tanpa berpaling sedikit pun.
Wanita berbaju hitam ini menuruti permintaan Bayu. Pedangnya segera
dijauhkan dari leher Gandik, dan dimasukkan kembali ke dalam warangka di
pinggang. Gandik menarik napas panjang begitu ujung pedang tidak lagi
menempel di lehernya.
"Kenapa kalian begitu ingin menculik Minarti?" tanya Bayu dingin.
"Kami hanya disuruh," sahut Kabat sebelum Gandik membuka mulutnya.
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Bayu, meskipun sudah tahu siapa orang
yang berada di belakang semua ini.
"Ki Mangir," sahut Kabat lagi.
"Kalian tahu, kenapa Ki Mangir menginginkan Minarti?" tanya Bayu
lagi.
Kabat dan Gandik saling berpandangan, kemudian sama-sama menggelengkan
kepala. Mereka memang tidak tahu tujuan yang sebenarnya, karena hanya
mendapat perintah untuk menculik Minarti. Dan mereka hanya tahu kalau Ki
Mangir ingin memperistri gadis itu. Hanya itu saja yang diketahui. Dan ini
dikatakan Gandik tanpa ditanya lagi.
"Kalian boleh pergi!" dengus Bayu.
"Oh...?!"
Gandik dan Kabat terlongong seperti tidak percaya dengan pendengarannya
barusan. Mereka jadi bengong dengan mulut terbuka seperti kerbau
kehausan.
"Tunggu apa lagi...?! Cepat pergi, sebelum fikiranku berubah!" bentak
Bayu.
Seperti cacing terinjak, mereka menggeliat dan cepat-cepat kabur mengambil
langkah seribu. Bayu hanya memandangi saja sampai kedua orang itu lenyap.
Wajahnya baru berpaling menatap wanita berbaju serba hitam yang seluruh
kepalanya terselubung kain hitam.
"Kenapa kau tidak bunuh mereka saja?" tanya wanita itu seperti kurang
senang atas tindakan Bayu.
"Tidak ada gunanya membunuh mereka," sahut Bayu. "Mereka hanya cecunguk
yang menjalankan perintah."
"Kau percaya pada keterangan mereka tadi?" tanya wanita yang berjuluk si
Perawan Pembawa Maut ini lagi.
Bayu hanya tersenyum saja. Kakinya melangkah menuju beranda depan rumah
kecil itu, dan menghempaskan dirinya duduk di pinggiran lantai beranda yang
terbuat dari belahan papan. Sedangkan wanita berbaju serba hitam itu masih
tetap berdiri tegak di tempatnya. Kemudian dihampirinya Bayu, dan duduk agak
jauh di samping Pendekar Pulau Neraka itu.
"Kenapa kau tadi kelihatannya hanya bermain-main?" tanya wanita itu
lagi.
"Hanya ingin tahu saja kekuatan mereka," sahut Bayu seenaknya.
Sesaat mereka terdiam.
"Aku yakin ada sesuatu yang diinginkan Ki Mangir, selain ingin memperistri
Minarti," kata wanita itu lagi, setengah bergumam nada suaranya, seperti
berbicara pada diri sendiri.
"Apa perkiraanmu?" tanya Bayu seakan-akan menyelidik
"Terlalu dini untuk menduga, Pendekar Pulau Neraka," sahut si Perawan
Pembawa Maut
Bayu terdiam. Dipandanginya wanita berbaju serba hitam yang duduk agak jauh
di sampingnya ini. Tiba-tiba saja Pendekar Pulau Neraka teringat Minarti
yang tadi ditinggalkan di dalam rumah ini. Bergegas Pendekar Pulau Neraka
melompat masuk ke dalam, tapi tidak lama kemudian sudah keluar lagi.
Seketika hatinya jadi terkejut karena si Perawan Pembawa Maut sudah tidak
berada lagi di beranda ini. Wanita itu sudah menghilang selagi Bayu berada
di dalam.
"Hm.... Ke mana dia...?" Bayu bertanya-tanya sendiri dalam hati.
Pendekar Pulau Neraka jadi tercenung. Di dalam rumah ini Minarti tidak
ditemukan. Sudah semua kamar dimasuki Bahkan di dalam kamarnya sendiri, juga
tidak ditemukan. Selagi Bayu terdiam sendiri, tiba-tiba dari arah samping
muncul Minarti memeluk Tiren di dadanya.
"Minarti...," desis bayu seraya bergegas menghampiri.
Minarti mengulas senyuman di bibirnya. Monyet kecil berbulu hitam yang
berada di dalam dekapan dada gadis itu menggeliat, kemudian melompat
berpindah ke pundak kanan Pendekar Pulau Neraka. Tangannya yang berbulu
hitam halus, memeluk leher pemuda berbaju kulit harimau ini
"Dari mana kau?" tegur Bayu.
"Aku sembunyi," sahut Minarti.
Bayu memandangi gadis ini. Sinar matanya tampak penuh selidik. Pendekar
Pulau Neraka seperti tidak percaya atas jawaban Minarti barusan. Sedangkan
yang dipandangi kelihatan tidak peduli, malah melangkah masuk ke dalam
rumahnya. Bayu bergegas mengikuti sampai di dalam rumah kecil ini Mereka
lalu duduk di balai-balai bambu yang hanya beralaskan tikar daun pandan agak
lusuh.
"Aku tadi keluar lewat pintu samping. Terus sembunyi," Minarti mencoba
menjelaskan.
Bayu hanya diam saja memandangi gadis ini
"Kau tidak percaya, Kakang...?" tegur Minarti merasa kalau Pendekar Pulau
Neraka tidak percaya dengan keterangannya.
Bayu menghembuskan napas panjang.
"Minarti, katakan yang sebenarnya. Mengapa Ki Mangir ingin menculikmu? Aku
yakin, bukan karena dia ingin memperistrimu," desah Bayu
Minarti tidak langsung menjawab, tapi malah menatap dalam-dalam Pendekar
Pulau Neraka.
"Apa ayah tidak mengatakannya padamu?" Minarti malah bertanya.
"Tidak," sahut Bayu.
"Hhh...! Dia ingin memperistriku memang ada alasannya," jelas Minarti
perlahan.
"Boleh aku tahu?" pinta Bayu.
"Dia menginginkan Pedang Sangkal Ireng."
"Aku tidak mengerti maksudmu, Minarti," Bayu meminta penjelasan.
"Aku sudah pernah cerita padamu. Beberapa bulan yang lalu, sebelum ayah
mendapat musibah, ayah dan Ki Mangir sering jalan bersama. Mereka sebenarnya
mencari Pedang Sangkal Ireng. Senjata itu memang jatuh ke tangan ayah, namun
Ki Mangir tidak menerima kekalahannya," jelas Minarti.
"Kekalahan...?"
"Mereka bertaruh. Siapa yang berhasil mendapatkan Pedang Sangkal Ireng,
akan menguasai seluruh daerah ini. Dan yang kalah harus mengabdi seumur
hidup."
"Sebenarnya pedang itu punya siapa?"
"Seorang pertapa yang sudah muksa puluhan tahun lalu."
Bayu mengangguk-anggukkan kepala. Kini baru dimengerti semua persoalannya.
Ternyata Ki Mangir gagal dengan cara halus. Dan sekarang, dia sudah
menggunakan cara kasar. Ki Mangir memang tidak tahu kalau ayah gadis ini
masih hidup, dan Minarti sudah mengetahui semuanya. Sehingga, gadis ini
tidak bisa ditundukkan begitu saja.
"Tidurlah. Besok, kau bangun kesiangan," ujar Bayu.
"Boleh aku tidur bersama Tiren...?" pinta Minarti.
Bayu mengambil monyet kecil di pundaknya, lalu memberikannya pada gadis
ini. Minarti menerima dengan senyuman manis tersungging di bibir, kemudian
melangkah masuk ke dalam kamarnya. Sebentar Bayu masih memperhatikan sampai
pintu kamar itu tertutup rapat Pendekar Pulau Neraka kemudian duduk bersila,
dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas lutut yang terlipat Sebentar
kemudian, dia sudah mulai bersemadi.
***
TUJUH
Selama dua hari ini tidak terjadi sesuatu terhadap diri Minarti. Tak ada
seorang pun tukang-tukang pukul Ki Mangir yang mencoba menculik gadis itu
lagi Keadaan begitu tenang. Bahkan Minarti bersikap seperti tidak pernah
terjadi sesuatu pada dirinya. Seperti hari-hari sebelumnya, dia selalu mandi
dan mencuci di sungai. Juga mencari kayu bakar di hutan. Minarti tetap
melakukan pekerjaan rutinnya, tanpa sedikit pun ada rasa khawatir.
Sementara selama dua hari ini, Bayu terus menyelidiki keadaan rumah Ki
Mangir yang berukuran cukup besar. Bahkan lebih besar dari rumah kepala desa
sendiri. Ternyata Bayu pun juga tidak menemukan sesuatu yang menarik di
sekitar rumah itu. Keadaannya tampak wajar, seperti rumah-rumah saudagar
kaya lainnya, yang selalu dipenuhi tukang pukul yang menjaga rumah
ini.
Seperti malam ini, Bayu kini sudah berada tidak jauh dari rumah Ki Mangir,
setelah keramaian yang terjadi setiap malam di desa ini berhenti. Desa Jari
Laksa ini memang bagaikan surga yang begitu banyak menjanjikan kesenangan
bagi semua orang. Tidak heran, jika hampir setiap hari selalu ada pendatang
yang memasuki desa ini.
"Hm.... Siapa itu yang datang...?" gumam Bayu ketika melihat sebuah
bayangan berkelebat cepat, dan menghilang di dekat pagar tembok sebelah
kanan dari rumah yang sedang diawasinya.
Bayu terus mengamati dan menunggu, tapi bayangan itu tidak kunjung muncul
juga. Hal ini membuatnya jadi penasaran. Maka cepat-cepat tubuhnya melesat
ke bagian kanan rumah Ki Mangir. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya,
sehingga dalam waktu singkat saja Pendekar Pulau Neraka sudah sampai di
tempat bayangan yang tadi dilihatnya menghilang.
"Tidak ada siapa-siapa di sini...," gumam Bayu lagi dalam hari.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengedarkan pandangan ke sekeliling.
Memang sepi, tak terlihat seorang pun di sekitarnya. Pandangan Bayu
tertumbuk pada tanah berumput di depannya. Perlahan-lahan kakinya melangkah
menghampiri, sambil merundukkan tubuhnya meneliti rumput yang rebah seperti
baru terinjak kaki.
Bayu memeriksa jejak-jejak kaki yang begitu jelas tertera di tanah berumput
lembab ini. Jejak kaki itu menghilang tepat di dekat tembok pagar yang cukup
tebal dan tinggi. Dan kini, tak ada lagi jejak yang didapatkannya. Bayu
berdiri tegak memandangi tembok pagar yang terbuat dari baru merah ini. Dan
rasanya, tak terlalu sulit melompatinya.
"Apakah orang itu melompati tembok ini...?" lagi-lagi Bayu menggumam
bertanya pada diri sendiri.
Selagi Pendekar Pulau Neraka mengamati tembok ini, tiba-tiba saja di atas
tembok muncul beberapa kepala. Bayu terkejut, dan cepat melompat mundur.
Tapi hatinya jadi tersentak, karena di belakangnya juga bermunculan
orang-orang bersenjata berbagai macam bentuk terhunus di tangan.
"Heh...?!"
Kembali Pendekar Pulau Neraka tersentak ketika orang-orang yang berada di
atas tembok menebarkan sebuah jaring berwarna hitam pekat. Cepat-cepat Bayu
melompat ke samping, menjatuhkan dirinya ke tanah. Tubuhnya menggelimpang
beberapa kali, dan cepat melompat bangkit berdiri. Tapi pada saat itu,
beberapa batang tombak meluncur ke arahnya.
"Hiyaaa...!"
Bayu cepat-cepat melentingkan tubuh ke udara, menghindari serbuan
tombak-tombak yang meluruk deras mengancam nyawanya. Tapi begitu berada di
udara, tiba-tiba saja sebuah jaring hitam kembali menebar ke arah dirinya.
Dan kali ini Bayu tidak punya kesempatan menghindar lagi.
Rrrt!
"Oh...!"
Bruk!
Pendekar Pulau Neraka jatuh terguling di tanah berumput lembab. Seluruh
tubuhnya sudah tergulung jaring hitam. Ada enam orang di atas tembok
memegangi tambang yang mengikat jaring itu. Mereka serempak berlompatan
turun, membuat Bayu yang berada di dalam jaring terangkat ke atas, dan
langsung melewati tembok baru yang cukup tinggi ini.
Srak!
"Akh...!" Bayu memekik agak tertahan. Keras sekali tubuhnya terbanting ke
dalam semak, dan terus terseret tanpa mampu berbuat sesuatu. Bayu menggeliat
dan menggelepar di dalam belitan jaring yang kenyal dan kuat ini. Sementara,
enam orang itu terus berlari ke arah belakang rumah sambil memegangi tambang
yang menyeret Pendekar Pulau Neraka. Dan mereka baru berhenti berlari
setelah sampai di halaman belakang.
Tanpa ada yang mengeluarkan kata-kata sedikit pun, mereka melemparkan
tambang-tambang itu ke atas tiang yang melintang cukup tinggi, lalu
berlompatan menyambar ujung tambang itu. Dan begitu turun menjejak tanah,
Bayu terangkat naik Kini tubuhnya menggantung seperti hewan buruan yang tak
memiliki daya lagi untuk melepaskan diri. Mereka mengikat ujung tambang itu
menjadi satu ke pohon. Sementara Bayu tetap tergantung sekitar setengah
batang tombak jaraknya dari tanah.
"Keparat..!" desis Bayu menggeram.
***
"He he he...!"
Bayu menatap tajam seorang laki-laki separuh baya yang berjalan menghampiri
diikuti sekitar tiga puluh orang laki-laki bersenjata. Di antara mereka
terlihat Gandik, Kabat, Jerangkong Hidup, Cambuk Api, dan empat anak muda
yang beberapa kali pernah bertarung dengannya. Mereka berhenti tidak jauh di
bawah Bayu yang tergantung di dalam jaring hitam.
"Selamat datang di istanaku, Pendekar Pulau Neraka," ucap laki-laki separuh
baya yang ternyata Ki Mangir.
"Kuharap kau menyukai sambutan ini."
Bayu hanya diam saja. Sorot matanya tetap tajam tertuju langsung ke wajah
laki-laki separuh baya itu. Sudah diduganya kalau laki-laki inilah yang
dipanggil Ki Mangir. Pendekar Pulau Neraka menaruh tangan kanannya ke
belakang, mencoba memutuskan jaring-jaring yang membelenggu tubuhnya dengan
ujung Cakra Maut Sungguh hatinya masih bersyukur, karena senjata andalannya
ini masih melekat di pergelangan tangannya.
"Kau terlalu banyak ikut campur urusanku, Pendekar Pulau Neraka. Jadi,
terpaksa harus menyingkirkanmu lebih dahulu," kata Ki Mangir lagi.
Bayu masih tetap diam membisu, namun terus berusaha memutuskan tali-tali
jaring hitam ini. Cukup lama juga satu tali jaring yang kenyal dan kuat ini
bisa diputuskan. Dia tidak tahu, jaring ini terbuat dari apa. Begitu kuat
sehingga kekuatan tenaga dalamnya terpaksa harus disalurkan ke Cakra Maut
untuk memutuskannya.
"Turunkan dia!" perintah Ki Mangir.
Dua orang bergegas melepaskan ikatan tambang di pohoa Kemudian ikatan itu
dilepaskan begitu saja, sehingga Bayu terbanting cukup keras ke tanah. Hanya
terdengar sedikit keluhan yang agak mendengus dari hidung Pendekar Pulau
Neraka.
"Ikat..!" perintah Ki Mangir lagi.
Dua orang yang melepaskan tambang itu bergegas melaksanakan perintah
laki-laki separuh baya ini. Mereka mengikat seluruh tubuh Bayu dengan
tambang yang cukup besar dan kuat Pendekar Pulau Neraka kini benar-benar
tidak berdaya lagi, dan tidak mungkin bisa melepaskan diri dari belenggu
ini. Dan dia hanya bisa mengeluh dalam hati.
"Ikat dia ke pohon!" perintah Ki Mangir lagi.
Enam orang pemuda bergegas melaksanakan perintah itu. Mereka menyeret Bayu
ke pohon dan mengikatnya di sana. Ki Mangir menghampiri Gandik dan
Kabat.
"Kalian jemput Minarti sekarang juga. Ingat..! Jangan sampai sedikit pun
kulitnya tergores!" perintah Ki Mangir.
"Baik, Ki," sahut Gandik cepat
Tanpa menunggu perintah dua kali, Gandik dan Kabat bergegas meninggalkan
halaman belakang ruah ini. Ki Mangir memerintahkan orang-orangnya untuk
memperketat penjagaan di sekitar rumahnya, kemudian melangkah masuk ke dalam
rumah yang berukuran cukup besar itu. Sedangkan si Cambuk Api dan Jerangkong
Hidup mengikutinya dari belakang. Masih ada enam orang bersenjata golok
terselip di pinggang menjaga Bayu yang terikat di pohon, dengan seluruh
tubuh terbelenggu jaring hitam.
"Setan benar-benar licik dia...!" dengus Bayu mengumpat dalam hati.
***
Sementara itu Gandik dan Kabat yang mendapat perintah menculik Minarti,
sudah sampai di depan rumah gadis itu. Mereka mengamati keadaan sekitarnya
beberapa saat kemudian hati-hati sekali melangkah menghampiri rumah yang
kecil di tepian hutan ini. Keadaannya begitu sunyi, seakan tidak ada
penghuninya. Tapi belum juga mereka menginjakkan kaki di beranda, tiba-tiba
saja dari dalam rumah itu melesat sebuah bayangan hitam.
"Awas...!" seru Gandik langsung melompat berputar ke belakang.
"Hup!"
Kabat cepat-cepat membanting tubuh ke kanan, dan bergulingan beberapa kali.
Dia bergegas bangkit berdiri dan berbalik. Sementara Gandik cepat melompat
mendekati temannya. Dan di depan mereka kini sudah berdiri seseorang
bertubuh ramping mengenakan baju serba hitam. Seluruh kepalanya juga
terselubung kain hitam.
'"Perawan Pembawa Maut..," desis Gandik, agak bergetar suaranya.
"Kalian benar-benar mencari mampus!" desis wanita berbaju serba hitam yang
dijuluki si Perawan Pembawa Maut itu dingin menggetarkan.
Sret!
Cring!
Gandik dan Kabat segera mencabut pedang, langsung menyilangkannya di depan
dada. Perlahan mereka menggerakkan kakinya, menyebar ke samping. Mata mereka
tidak berkedip menatap wanita berbaju serba hitam ini.
"Kenapa masih juga nekat heh...?! Apa yang kalian peroleh dari si Buaya Tua
itu..?" desis si Perawan Pembawa Maut dingin.
"Kau sendiri, kenapa melindungi Minarti? Apa yang kau peroleh dari Eyang
Palagan?" Gandik malah balik bertanya ketus.
"Itu urusanku!" bentak si Perawan Pembawa Maut gusar.
"Sama...! Aku menculik Minarti juga urusanku!" balas Gandik tidak kalah
ketusnya.
"Setan...! Kalian benar-benar manusia hina yang pantas mampus!" geram
wanita berbaju serba hitam itu.
"Mungkin malah kau sendiri yang akan mati di tanganku!" sambut Gandik
sinis.
"Barangkali nasibnya ingin sama seperti Pendekar Pulau Neraka," celetuk
Kabat yang sejak tadi diam saja.
"Keparat..! Apa yang kalian lakukan pada Ka...?" ucapan si Perawan Pembawa
Maut jadi terputus.
Si Perawan Pembawa Maut jadi mendesis geram begitu mendengar nama Pendekar
Pulau Neraka disebut Dugaan buruk tiba-tiba saja muncul di kepalanya.
"Kalian harus mampus! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat wanita berbaju serba hitam itu tiba-tiba saja melompat
sambil mencabut pedang, dan langsung dikebutkan ke arah dada Gandik yang
berdiri di depan.
Begitu cepatnya serangan yang dilakukan si Perawan Pembawa Maut ini,
sehingga membuat Gandik jadi terperangah. Tapi cepat-cepat dia melompat ke
belakang tanpa menyadari kalau Kabat berada di belakangnya.
"Heh...?!"
Tak pelak lagi kedua laki-laki ini jatuh bergulingan. Dan itu membuat nyawa
Gandik bisa selamat dari ujung pedang si Perawan Pembawa Maut Mereka
cepat-cepat melompat bangkit berdiri.
"Setan! Kenapa kau di belakangku...?!" rungut Gandik geram.
"Awas, Kang...!" teriak Kabat tidak menghiraukan makian Gandik.
Bet!
"Uts!"
Gandik cepat-cepat merundukkan kepala, begitu tiba-tiba secercah cahaya
keperakan berkelebat cepat di atas kepalanya. Seketika darahnya jadi
mendesir, merasakan kebutan angin yang begitu keras lewat di atas kepalanya.
Dan sebelum Gandik bisa menyadari apa yang terjadi, mendadak saja dadanya
terasa terkena satu pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam
tinggi.
Diegkh!
"Akh...!" Gandik terpekik kaget.
Tubuhnya mencelat ke belakang sejauh dua batang tombak. Keras sekali Gandik
menghantam tanah dan bergulingan beberapa kali di tanah yang berumput basah
oleh embun. Pada saat itu, wanita berbaju serba hitam sudah melompat cepat.
Ujung pedangnya tertuju lurus mengancam dada Gandik yang tergeletak di
tanah.
"Oh, mati aku..!" desis Gandik pasrah.
Tapi belum juga ujung pedang itu berhasil menyentuh kulit dadanya,
tiba-tiba saja berkelebat satu kilatan cahaya keperakan membabat pedang si
Perawan Pembawa Maut
Trang!
Kilatan bunga api memercik begitu dua pedang beradu keras. Gandik
cepat-cepat menggulirkan tubuhnya ke samping beberapa kali, lalu bergegas
melompat bangkit berdiri. Dadanya terasa begitu sesak, membuat napasnya jadi
agak tertahan
"Setan...!" geram si Perawan Pembawa Maut Wanita berbaju hitam itu menatap
tajam pada Kabat yang telah menggagalkan serangannya pada Gandik tadi.
Sambil berteriak nyaring melengking tinggi, si Perawan Pembawa Maut melompat
cepat sambil membabatkan pedang ke arah dada Kabat.
"Hait..!"
Tapi dengan manis sekali, Kabat meliukkan tubuhnya. Maka, serangan wanita
itu tidak mengenai sasaran. Sambil menarik tubuhnya tegak kembali, Kabat
langsung mengibaskan pedang ke depan, tepat ke arah perut wanita berbaju
serba hitam itu.
Bet!
Si Perawan Pembawa Maut mengebutkan pedangnya untuk menangkis pedang Kabat
Kembali memercik bunga api begitu dua pedang beradu keras di depan perut
wanita berbaju serba hitam ini. Dua langkah wanita itu menarik kakinya ke
belakang, lalu cepat sekali melentingkan tubuhnya ke atas. Dan satu kebutan
cepat disertai pengerahan tenaga dalam tinggi dilancarkan mengarah ke kepala
Kabat.
"Hap!"
Kabat cepat-cepat mengangkat pedangnya, melindungi kepala dari tebasan
pedang wanita berbaju serba hitam itu
Trang!
Lagi-lagi senjata mereka beradu keras. Tapi sebelum Kabat bisa menguasai
pedangnya akibat benturan itu, tiba-tiba saja si Perawan Pembawa Maut sudah
mendarat di belakang tubuhnya. Langsung kaki wanita itu dihentakkan ke
punggung laki-laki setengah baya ini.
Des!
"Aaakh...!" Kabat memekik keras.
Dia jatuh tersungkur mencium tanah. Sementara si Perawan Pembawa Maut sudah
kembali melompat, dan langsung mengarahkan pedangnya ke dada Kabat Tak ada
lagi kesempatan bagi laki-laki itu untuk bisa menghindar. Tapi begitu ujung
pedang wanita ini hampir menikam jantungnya, entah dari mana datangnya
muncul seorang laki-laki tua berjubah putih yang langsung menjepit pedang
itu dengan kedua jari tangannya.
"Hentikan..!"
"Oh...?!"
Si Perawan Pembawa Maut terkejut setengah mati melihat kemunculan laki-laki
tua berjubah putih yang begitu tiba-tiba. Dia cepat melompat mundur beberapa
langkah, begitu pedangnya terlepas dari jepitan jari tangan laki-laki itu.
Sementara Kabat bangkit berdiri, dibantu orang tua berjubah putih panjang
ini. Sedangkan Gandik yang masih mencoba mengatur jalan napasnya, bergegas
menghampiri Kabat dan orang tua yang sudah dikenal dengan baik
***
"Eyang Palagan...."
Gandik dan Kabat cepat-cepat berlutut di depan laki-laki tua berjubah putih
panjang ini Mereka terkejut dan senang atas kedatangan orang tua ini. Dan
dia memang Eyang Palagan yang selama ini menghilang tanpa diketahui kabar
beritanya.
"Bangunlah kalian," ujar Eyang Palagan lembut.
Perlahan Gandik dan Kabat beranjak bangkit berdiri. Mereka menyingkir ke
samping setelah menjura membungkukkan badan. Sedangkan Eyang Palagan
melangkah maju beberapa tindak mendekati wanita berbaju serba hitam itu. Si
Perawan Pembawa Maut ini sudah menyarungkan pedangnya kembali ke dalam
warangka di pinggang.
"Kalian pulanglah...," ujar Eyang Palagan pada Gandik dan Kabat tanpa
berpaling sedikit pun
"Tapi, Eyang.... Perempuan ini sangat berbahaya," bantah Gandik.
"Aku bisa mengatasinya. Pulanglah kalian Sekalian sampaikan salamku pada Ki
Mangir," kata Eyang Palagan lagi, tanpa sedikit pun berpaling.
Gandik dan Kabat saling berpandangan sejenak, kemudian mereka membungkuk
memberi hormat pada orang tua berjubah putih panjang ini. Bergegas mereka
meninggalkan tempat itu, dan terus berlari cepat tanpa menoleh lagi.
Sebentar saja bayangan tubuh kedua laki-laki separuh baya itu sudah tidak
terlihat lagi.
Si Perawan Pembawa Maut segera menjatuhkan diri berlutut, begitu dua anak
buah Ki Mangir tidak terlihat lagi. Kedua telapak tangannya ditempelkan ke
tanah berumput yang basah oleh embun. Eyang Palagan menghampiri dengan bibir
menyunggingkan senyum. Ditepuknya pundak wanita berbaju serba hitam itu
dengan lembut sekali.
"Bangunlah, Anakku," ujar Eyang Palagan dengan suara lembut
"Maafkan aku, Ayah...," ucap si Perawan Pembawa Maut seraya bangkit
berdiri.
Kepalanya masih tetap tertunduk meskipun sudah berdiri di depan orang tua
berjubah putih panjang ini. Perlahan tangan Eyang Palagan bergerak membuka
kain hitam yang menyelubungi seluruh kepala wanita itu. Dan di balik
selubung kain hitam, ternyata tersembunyi seraut wajah cantik yang memiliki
sinar mata indah bagai langit bertaburkan bintang.
"Kenapa kau lakukan ini, Minarti...?" tanya Eyang Palagan, tetap lembut
nada suaranya.
Si Perawan Pembawa Maut yang ternyata Minarti, hanya diam saja. Perlahan
kakinya terayun menuju rumah kecil yang tampak berantakan. Beberapa
dindingnya masih terlihat jebol. Bahkan lantai beranda depannya juga
berlubang cukup besar. Sementara Eyang Palagan memperhatikan saja sambil
ikut melangkah. Mereka kemudian duduk di pinggiran lantai beranda yang
terbuat dari papan.
"Sudah beberapa kali orang-orang Ki Mangir mencoba menculikku. Jadi,
terpaksa aku harus melakukan ini, Ayah," Minarti mencoba menjelaskan.
"Aku tahu, Minarti. Tapi dia sangat berbahaya. Dengan kepandaianmu sekarang
ini, kau tidak mungkin bisa menandinginya. Ingatlah, Minarti. Ki Mangir
hampir membunuhku dengan licik Kalau saja orang-orangnya tidak membokongku,
dan meruntuhkan bebatuan padaku, tidak bakalan aku bisa dikalahkan," jelas
Eyang Palagan agak mendesis.
"Itu sebabnya, dia harus kubunuh, Ayah," tegas Minarti.
"Jangan, Minarti. Dia itu ular. Kau tidak bisa sembarangan menghadapinya.
Dia manusia licik dan serakah. Kalau dia sampai tahu tentang dirimu dalam
keadaan seperti ini, bukannya tidak mustahil kau akan dibunuh, seperti yang
dilakukannya padaku. Untung saja, Bayu bisa menyelamatkan dari himpitan
batu. Kalau tidak, pasti aku sudah menjadi santapan cacing tanah. Tidak
seharusnya kau bertindak begini, Minarti. Bukankah aku sudah meminta tolong
pada Bayu untuk..?"
"Kakang Bayu...? Oh...!" tiba-tiba Minarti tersentak
"Ada apa, Minarti?" tanya Eyang Palagan.
Minarti tidak menjawab, lalu cepat mengenakan kembali selubung kain hitam
di kepalanya. Dan tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu cepat melesat pergi.
Begitu cepatnya, sehingga sebentar saja bayangan tubuhnya sudah lenyap
ditelan kegelapan.
"Minarti, mau apa kau...?!" seru Eyang Palagan terkejut
Tapi Minarti sudah tidak terlihat lagi dari pandangan. Sejenak Eyang
Palagan tertegun, lalu cepat mengempos tubuhnya. Dan seketika dia lenyap
bagai melesak masuk ke dalam bumi. Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
orang tua pertapa itu memang sudah mencapai tingkat sempurna, sehingga bisa
melesat cepat bagai menghilang saja.
***
DELAPAN
Saat itu Bayu masih berusaha melepaskan diri dari belenggu yang mengikatnya
di pohon. Sesekali matanya melirik enam orang yang menjaganya. Mereka tampak
duduk melingkari api yang sedikit menghangatkan udara malam. Entah apa yang
dibicarakan, Bayu tidak mempedulikan. Perhatiannya terpusat pada usahanya
untuk bisa melepaskan belenggu yang mengikatnya ini.
"Nguk...!"
"Oh...?!"
Bayu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara halus dari atas
kepalanya. Kepalanya mendongak, dan bibirnya tersenyum melihat Tiren
tahu-tahu sudah berada di dahan, tepat di atas kepalanya. Monyet kecil itu
hati-hati sekali meluruk turun mendekati Pendekar Pulau Neraka.
"Lepaskan ikatan ini, Tiren," pinta Bayu dengan suara berbisik
perlahan.
Pendekar Pulau Neraka melirik sedikit pada enam orang yang menjaganya.
Tampaknya keenam orang itu tidak menyadari kehadiran monyet kecil ini.
Sementara, Tiren mengerti apa yang diinginkan Bayu. Cepat badannya berputar
ke belakang pohon Monyet kecil itu menggaruk-garuk kepalanya, memandangi
tambang besar yang mengikat Pendekar Pulau Neraka di pohon ini.
"Cepat, Tiren. Gunakan gigimu...," bisik Bayu tidak sabar.
"Nguk!"
Tiren bergegas menggigit tambang itu menggunakan gigi-giginya yang runcing
dan tajam. Sementara Bayu terus mengawasi enam orang itu. Sesekali matanya
melirik monyet kecil yang terus berusaha memutuskan tambang-tambang. Satu
ikatan saja, namun cukup sulit bagi Tiren. Dan monyet kecil ini terus
berusaha menggigiti tambang itu.
Sedikit demi sedikit hasilnya mulai tampak Tambang itu mulai genting, dan
akhirnya putus juga. Bayu cepat-cepat melepaskan diri dari ikatan ini.
Dibukanya jala hitam yang menyelubunginya. Saat itu, salah seorang penjaga
memergokinya.
"Hei...?!" seru orang itu terkejut
Lima orang lainnya juga tersentak kaget Tapi sebelum mereka sempat
melakukan sesuatu, Bayu sudah melemparkan jala hitam yang tadi
membelenggunya.
"Hiyaaa...!"
Rrrt
Enam orang itu tidak dapat berbuat apa-apa lagi, dan langsung terbungkus
jala hitam yang dilemparkan Bayu. Seketika Pendekar Pulau Neraka langsung
melemparkan tambang yang mengikat jala itu ke atas tiang. Sambil mengerahkan
kekuatan tenaga dalam, tambang itu ditariknya. Akibatnya, enam orang yang
terkurung di dalam jala terangkat dari tanah dan langsung berteriak-teriak
keras minta tolong. Bayu mengikatkan ujung tambang ke pohon.
"Nguk!
hraaak..!"
Tiren melompat kegirangan dan berjingkrakan di atas pundak Bayu Saat itu
terdengar tepukan tangan dari arah belakang. Bayu cepat memalingkan wajah ke
belakang. Entah kapan datangnya, tahu-tahu di belakang Pendekar Pulau Neraka
sudah berdiri seorang wanita mengenakan baju serba hitam, dan kepalanya
terselubung kain hitam juga.
"Perawan Pembawa Maut..," desis Bayu pelan, langsung mengenali sosok wanita
berbaju serba hitam itu.
Pendekar Pulau Neraka memutar tubuhnya berbalik. Kim mereka saling
berhadapan dengan jarak tidak lebih dari dua batang tombak.
"Hebat..! Akan kau apakan mereka, Pendekar Pulau Neraka?" puji si Perawan
Pembawa Maut
Bayu hanya tersenyum saja.
"Sayang aku datang terlambat Tapi, tampaknya kau tidak memerlukan bantuan,"
kata si Perawan Pembawa Maut lagi.
"Mungkin... Jika mereka tidak keburu datang," sahut Bayu kalem.
Wanita berbaju serba hitam itu cepat memutar tubuhnya berbalik. Dan
tampaklah sekitar tiga puluh orang berlarian ke arah ini. Mereka semua sudah
menghunus senjata masing-masing yang rata-rata berbentuk golok dan pedang.
Tapi ada juga yang membawa tombak. Di antara mereka terlihat Gandik dan
Ka-bat yang berlari paling depan. Sedangkan di belakang sekali, terlihat Ki
Mangir di damping si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup tengah melangkah ringan
dan tenang. Tampaknya kita harus memeras keringat malam ini," kata
Bayu.
"Mungkin mereka yang harus memeras darah," sambut si Perawan Pembawa Maut,
agak sinis nada suaranya.
"Awas...!" seru Bayu tiba-tiba.
Sebatang tombak berukuran cukup panjang meluncur deras ke arah wanita
berbaju serba hitam itu. Tapi hanya mengegoskan tubuhnya sedikit, si Perawan
Pembawa Maut berhasil mengelakkannya. Dan dengan cepat sekali tangannya
bergerak menangkap bagian tengah tombak itu, begitu lewat di samping
tubuhnya.
"Yeaaah...!"
Cepat sekali gerakannya memutar tombak itu, dan langsung dilemparkan ke
depan Tombak itu meluncur balik dengan kecepatan luar biasa. Satu jeritan
panjang melengking tinggi terdengar begitu tombak bertangkai panjang itu
menembus dada salah seorang yang berada di depan.
"Hiyaaat..!"
Sret!
Cring!
***
Bayu sempat tertegun melihat si Perawan Pembawa Maut sudah melesat lebih
dulu menyambut anak buah Ki Mangir. Entah kapan dia mencabutnya, tahu-tahu
pedang keperakan yang berkilat itu sudah berada di dalam genggaman
tangannya. Secepat kilat pedangnya dikebutkan beberapa kali, membabat tubuh
orang-orang yang berada di dekatnya.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika terdengar saling susul.
Sementara Bayu juga sudah sibuk menghadapi beberapa orang yang
mengeroyoknya. Pertarungan memang tidak dapat dihindari lagi. Sebentar saja
tubuh-tubuh berlumuran darah sudah terlihat bergelimpangan. Bayu sempat
melirik wanita berbaju serba hitam yang mengamuk dahsyat, seperti banteng
liar.
"Gila...! Dia seperti kesetanan..!" dengus Bayu dalam hari.
"Bisa habis orang-orang ini dibantainya."
Meskipun menghadapi keroyokan sekitar sepuluh orang, tapi Bayu masih sempat
memperhatikan wanita berbaju serba hitam itu. Dan sebenarnya Pendekar Pulau
Neraka tidak mengerti atas sikap wanita yang dijuluki si Perawan Pembawa
Maut itu. Dia seperti kesetanan, menghajar orang-orang yang berada di
dekatnya. Sama sekali lawan-lawannya tidak diberi kesempatan mendekat
Jeritan-jeritan menyayat semakin sering terdengar membelah malam yang
seharusnya sunyi tenang ini.
"Mundur semua...!" tiba-tiba saja terdengar bentakan keras
menggelegar.
Seketika itu juga orang-orang yang bertarung mengeroyok si Perawan Pembawa
Maut, berlompatan mundur begitu mendengar bentakan keras menggelegar tadi.
Pada saat yang sama, sepuluh orang yang bertarung melawan Pendekar Pulau
Neraka juga berlompatan mundur, tanpa seorang pun yang terluka. Tapi mereka
yang melawan wanita berbaju serba hitam itu sudah lebih dari separuhnya
tergeletak tak bernyawa lagi. Yang tersisa hanya delapan orang lagi.
"Hup...!"
Ki Mangir yang sejak tadi hanya menonton saja, melompat cepat ke depan si
Perawan Pembawa Maut Sedangkan mereka yang tadi bertarung, bergegas
menyingkir menjauh. Sementara Bayu masih tetap berdiri di tempatnya.
Diperhatikannya si Cambuk Api dan Jerangkong Hidup yang belum turun ke arena
pertarungan. Sama sekali Gandik dan Kabat yang berkumpul bersama yang
lainnya tidak dipedulikan.
"Siapa kau sebenarnya, Nisanak?" tanya Ki Mangir dengan suara dingin agak
ditekan.
"Apa itu perlu untukmu, Buaya Tua...?" si Perawan Pembawa Maut malah balik
bertanya dengan sinis.
"Kau tiba-tiba muncul, dan langsung memusuhiku. Apa sebenarnya yang kau
inginkan dariku?"
"Aku hanya ingin meminta wadah dari benda ini," kata si Perawan Pembawa
Maut sambil menunjukkan sebuah benda hitam berbentuk pedang pendek dari
balik pinggangnya.
"Sangkal Ireng...," desis Ki Mangir terbelalak melihat pedang pendek
berwarna hitam sudah di tangan wanita itu.
"Kau tidak pantas menyimpan warangkanya, Ki Mangir. Sebaiknya berikan
warangka Sangkal Ireng, sebelum aku mematahkan batang lehermu," ancam si
Perawan Pembawa Maut semakin dingin suaranya.
"Siapa kau sebenarnya, Nisanak? Kenapa Pedang Sangkal Ireng berada di
tanganmu...?" tanya Ki Mangir, agak keras suaranya.
Wanita berbaju hitam itu tidak menjawab. Kemudian tangan kirinya diangkat
setelah menyimpan kembali Pedang Sangkal Ireng ke balik pinggangnya.
Perlahan-lahan kain hitam yang menyelimuti kepalanya dilepaskan.
"Kau...?!"
Ki Mangir terbeliak melihat seraut wajah cantik di balik selubung kain
hitam itu. Dan bukan hanya Ki Mangir yang terkejut tapi Pendekar Pulau
Neraka dan semua orang yang ada di situ jadi terbelalak tidak menyangka
kalau wanita berselubung kain hitam itu ternyata adalah Minarti. Dialah
putri Eyang Palagan yang selama ini dikenal lemah lembut dan tidak memiliki
sedikit kepandaian ilmu olah kanuragan. Tapi, justru Minarti sendirilah yang
membuat Ki Mangir jadi kelabakan selama ini.
"Keparat..! Kau telah mempermainkan aku, Minarti...," desis Ki Mangir jadi
berang.
"Kau harus menerima akibatnya!"
"Aku khawatir, malah sebaliknya kau yang akan menyesal, Ki Mangir," kata
Minarti sinis.
"Setan...! Tahan seranganku! Hiyaaat..!"
"Haitt"
***
Minarti cepat-cepat melompat ke belakang begitu Ki Mangir melepaskan satu
pukulan keras mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi. Menyadari kalau
gadis ini memiliki kepandaian cukup tinggi, Ki Mangir tidak lagi
tanggung-tanggung melakukan serangan. Pukulan-pukulan yang dilepaskannya
mengandung pengerahan tenaga dalam dahsyat luar biasa.
Minarti terpaksa berjumpalitan menghindari setiap serangan yang datang
cepat dan beruntun itu. Lima jurus cepat berlalu. Dan Minarti semakin
kewalahan saja menghadapi serangan-serangan yang dilancarkan laki-laki
separuh baya ini. Beberapa kali dia terpaksa harus membanting dirinya ke
tanah, dan beberapa kali pula harus melenting ke udara. Tapi, rupanya Ki
Mangir tidak akan membiarkan gadis ini. Ke manapun Minarti mencoba menjauh,
selalu cepat dikejar dan dilontarkan beberapa pukulan bertenaga dalam
tinggi.
"Lepas!" tiba-tiba Ki Mangir berseru keras menggelegar.
Dan seketika itu juga tangan kanannya bergerak cepat menampar pergelangan
tangan kanan Minarti yang agak menjulur ke depan. Begitu cepatnya, sehingga
Minarti tidak sempat lagi menarik tangannya pulang. Maka....
Plak!
"Akh...!" Minarti terpekik agak tertahan.
Pedang yang tergenggam di tangan kanannya, seketika mencelat tinggi ke
angkasa. Minarti cepat melompat hendak mengejar senjatanya, tapi Ki Mangir
sudah lebih cepat lagi melesat ke udara. Dan laki-laki separuh baya itu
cepat menghentakkan tangan kanannya, langsung mengarah ke dada gadis
ini.
"Yeaaah...!"
Des!
"Akh...!" lagi-lagi Minarti memekik tertahan.
Gadis itu terpental ke belakang, dan jatuh keras sekali ke tanah. Beberapa
kali tubuhnya bergulingan, tapi cepat mencoba bangkit berdiri. Minarti
terhuyung-huyung sambil mendekap dadanya yang terkena pukulan Ki Mangir. Dua
kali mulutnya memuntahkan darah agak kental dari mulutnya.
Sementara itu Ki Mangir sudah berhasil menangkap pedang Minarti yang
melayang di udara, lalu cepat sekali meluruk deras ke arah gadis itu sambil
mengarahkan pedang terhunus lurus ke depan. Begitu cepat gerakannya sehingga
tidak ada lagi kesempatan bagi Minarti untuk mengelak. Mata gadis itu hanya
bisa membeliak lebar melihat ujung pedangnya sendiri mengancam ke arahnya.
Tapi belum juga ujung pedang itu menyentuh kulit tubuh gadis ini, tiba-tiba
saja secercah cahaya keperakan berkelebat cepat menyambar ujung pedang
itu
Trang!
"Heh...?!"
Ki Mangir tersentak kaget setengah mati. Hampir saja pedang itu terlepas
dari genggaman. Seketika dia cepat-cepat melompat mundur beberapa langkah.
Pada saat itu, sebuah bayangan kuning berkelebat cepat, dan tahu-tahu di
depan Minarti sudah berdiri Pendekar Pulau Neraka. Pemuda berbaju kulit
harimau itu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala. Maka, Cakra Maut yang
dilemparkannya untuk melindungi Minarti tadi, kembali menempel di
pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Neraka.
"Tidak sepatutnya kau menganiaya seorang gadis, Ki Mangir," desis Bayu
tidak senang atas tindakan laki-laki setengah baya ini.
"Setan keparat..! Mampuslah kau, hiyaaat..!"
Ki Mangir jadi berang setengah mati. Seketika, dia langsung melompat cepat
menyerang Pendekar Pulau Neraka. Pedang Minarti yang berada di tangannya,
dikebutkan cepat sekali ke arah leher pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi
dengan menarik kepalanya ke belakang sedikit saja, Bayu berhasil mengelakkan
serangan. Dan tubuhnya cepat melenting ke udara begitu serangan Ki Mangir
lewat
Dua kali Bayu berputaran di udara melewati atas kepala Ki Mangir. Lalu,
manis sekali kakinya menjejak tanah, tepat di belakang laki-laki separuh
baya ini
"Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melepaskan satu pukulan disertai pengerahan tenaga dalam
yang sempurna ke punggung Ki Mangir. Tapi, rupanya laki-laki setengah baya
ini bukanlah orang sembarangan. Tanpa memutar tubuhnya, pukulan Bayu dari
arah belakang berhasil dihindari dengan memiringkan tubuhnya ke kanan.
Ki Mangir cepat memutar tubuhnya begitu pukulan Bayu lewat di sampingnya.
Langsung pedangnya ke arah perut Pendekar Pulau Neraka. Dan Bayu terpaksa
harus menarik kakinya ke belakang dua tindak Maka ujung pedang itu hanya
sedikit saja lewat di depan perutnya.
Ki Mangir tidak berhenti sampai di situ saja. Merasa mendapat kesempatan,
terus dilancarkannya serangan-serangan susulan yang cepat dan dahsyat luar
biasa. Bahkan pergantian jurus pun cepat sekali dilakukan, tanpa dapat
diduga sebelumnya. Dia benar-benar tidak memberi kesempatan sedikit pada
Pendekar Pulau Neraka untuk balas menyerang.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa, pertarungan telah berlangsung
lebih dari dua puluh jurus. Dan Bayu mulai bisa melakukan serangan-serangan
balasan, meskipun hanya sesekali saja. Tapi setiap kali Pendekar Pulau
Neraka melakukan serangan balasan, Ki Mangir sudah kelabakan menghindarinya.
Semua orang yang menyaksikan pertarungan jadi terpaku bengong. Pertarungan
memang berlangsung menggunakan jurus-jurus tingkat tinggi yang sedap
disaksikan, tapi juga mengandung maut yang setiap saat mengincar.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuhnya ke belakang, dan melakukan
putaran beberapa kali. Dan begitu kakinya menjejak tanah, cepat tubuhnya
dimiringkan agak sedikit membungkuk ke kanan, sebelum Ki Mangir mengejar.
Begitu laki-laki setengah baya itu melompat hendak menerjang, Pendekar Pulau
Neraka cepat mengebutkan tangan kanannya ke depan sambil berseru keras
menggelegar.
"Hiyaaa...!"
Wusss!
"Heh...?!"
Ki Mangir jadi tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau akan mendapat
serangan seperti ini. Dan kelihatannya, sukar baginya untuk bisa menghindar
dalam keadaan di udara seperti ini. Ki Mangir cepat-cepat membanting
tubuhnya ke bawah, tapi gerakannya sudah terlambat sehingga....
Cras!
"Aaakh...!" Ki Mangir menjerit keras melengking.
Cakra Maut yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka menyobek kulit bahunya.
Seketika darah muncrat keluar dari bahu kiri Ki Mangir yang robek cukup
besar dan dalam ini. Laki-laki setengah baya itu terhuyung-huyung ke
belakang begitu kakinya menjejak tanah, sambil mendekap bahu kirinya yang
sobek mengucurkan darah.
"Hap! Yeaaah...!"
Begitu Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanannya, Bayu
kembali cepat melontarkannya ke arah laki-laki setengah baya itu. Serangan
yang dilancarkan Pendekar Pulau Neraka demikian cepat sekali, sehingga Ki
Mangir yang masih belum bisa? menguasai keseimbangan tubuhnya, tak mampu
lagi berbuat sesuatu. Dan....
Crab!
"Aaa...!"
Satu jeritan panjang melengking dan menyayat mengiringi tubuh Ki Mangir
yang terjungkal ke belakang akibat terhantam Cakra Maut yang dilepaskan
Pendekar Pulau Neraka. Dari dadanya yang berlubang cukup besar, seketika
menyembur darah segar. Beberapa saat Ki Mangir menggelepar dan mengerang,
kemudian meregang kaku. Mati!
Sementara Pendekar Pulau Neraka segera mengangkat tangan kanannya ke atas
kepala, maka Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan
kanannya.
Tampak Minarti berlari-lari kecil menghampiri pemuda berbaju kulit harimau
ini. Dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar dua langkah lagi di depan
Bayu.
"Bagaimana dengan mereka, Kakang?" tanya Minarti seraya melirik orang-orang
yang berada di sekitar tempat ini.
Bayu mengedarkan pandangan merayapi wajah-wajah yang memucat bagaikan mayat
itu. Keningnya jadi berkerut, karena tidak melihat lagi si Cambuk Api dan
Jerangkong Hidup. Rupanya, dua orang itu sudah melarikan diri begitu melihat
Ki Mangir tidak mampu lagi menghadapi Pendekar Pulau Neraka.
"Kita tunggu saja ayahmu. Biar dia yang memutuskan," ujar Bayu.
"Kau tahu kalau ayahku datang.,.?" tanya Minarti agak terperanjat
"Kalau janjinya tepat, seharusnya sudah ada di sini malam ini," sahut
Bayu.
"Sebentar pasti ayah datang," jelas Minarti.
"Kau sudah mendapatkan warangka Sangkal Ireng, Minarti?" tanya Bayu.
"Aku tidak tahu bentuknya. Hanya ayah yang tahu," jawab Minarti.
"Hhih! Hanya sebuah benda, harus mengorbankan nyawa," desah Bayu
perlahan.
SELESAI
EPISODE SELANJUTNYA
EPISODE SELANJUTNYA
Emoticon