SATU
Bayu duduk diam bersila memandangi Dewi Beruang Putih yang juga duduk
bersila dengan sikap bersemadi. Kedua telapak tangan gadis berpakaian putih
compang-camping dan penuh tambalan itu menempel rapat di depan dada. Kedua
matanya terlihat terpejam. Sedangkan tidak jauh di belakang Dewi Beruang
Putih, terlihat seekor beruang berbulu putih seperti kapas mendekam diam dan
memperhatikan gadis itu juga.
Sesekali binatang bertubuh raksasa ini memandang pada pemuda berbaju kulit
harimau yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka. Entah sudah
berapa lama Dewi Beruang Putih duduk bersila dan bersemadi sejak bertarung
dengan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Sedangkan Bayu tidak bisa lagi
berbuat sesuatu. Dan, memang Dewi Beruang Putih tidak menginginkan
pertolongan Pendekar Pulau Neraka. Dia masih bisa mengatasi keadaan dirinya
sendiri dengan cara bersemadi.
"Heh! Panas sekali udara di sini," keluh Bayu, perlahan.
Begitu pelan suara Pendekar Pulau Neraka, hingga hanya dia sendiri yang
mendengarnya. Dan, memang Bayu merasakan udara di sekitarnya menjadi terasa
begitu panas. Bahkan, semakin lama semakin bertambah menyengat, bagaikan
berada dekat dengan tungku api pembakaran. Keringat mulai terlihat menitik
di kening Pendekar Pulau Neraka.
Udara terasa semakin bertambah panas. Bahkan, rerumputan dan dedaunan mulai
kelihatan menguning kering. Pohon-pohon pun mulai menggugurkan daunnya. Bayu
sendiri mulai merasa tidak tahan dengan udara yang semakin panas menyengat
ini. Sambil menghembuskan napas panjang, dia kemudian bangkit berdiri.
Sebentar pandangannya tertuju pada Dewi Beruang Putih yang masih duduk
bersemadi ditemani Beruang Putih peliharaannya.
Ketika kepala Pendekar Pulau Neraka sedikit mendongak ke atas, keningnya
langsung berkerut. Karena, meskipun saat itu matahari sedikit tertutup oleh
awan, udara di sekitar Bayu terus bertambah panas dan menyengat, seakan-akan
ingin membakar seluruh kulit tubuhnya. Hawa panas yang dirasakan Pendekar
Pulau Neraka semakin lama semakin menggila saja.
Bayu hampir tidak tahan lagi. Namun, baru saja dia hendak mengerahkan hawa
murni untuk menahan sengatan hawa panas itu, mendadak terjadi perubahan yang
begitu cepat. Hawa panas yang dirasakan begitu menyengat ini mendadak
menghilang. Dan, langsung berganti dengan udara dingin yang
menggigilkan.
"Ugkh...!"
Bayu langsung teringat ketika dirinya berada di pinggiran Jurang Setan.
Ketika itu dia merasakan hal yang sama dengan yang dialaminya sekarang ini.
Hawa panas dan dingin yang bergantian itu begitu cepat membuat peredaran
darahnya terganggu (Baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga
Pengemis Sakti").
Tubuh Pendekar Pulau Neraka terlihat bergidik dan menggigil kedinginan.
Pandangannya tertuju lurus pada Dewi Beruang Putih yang masih tetap diam,
duduk bersila dengan sikap bersemadi. Cukup lama juga Bayu merasa tersiksa
dalam udara yang begitu dingin menggigilkan ini. Dari langit pun turun
gumpalan-gumpalan putih seperti kapas. Dan, sebentar saja sekitar hutan itu
dipenuhi oleh gumpalan-gumpalan putih yang menyebarkan udara dingin
membekukan tulang.
"Hep!"
Tidak ada jalan lain bagi Bayu. Dia segera menyalurkan hawa murni ke
seluruh tubuhnya. Hawa murni yang terasa hangat membuat tubuhnya tidak lagi
menggigil kedinginan. Pendekar Pulau Neraka kembali duduk bersila. Kedua
telapak tangannya dirapatkan didepan dada. Dia merasakan, semakin kuat hawa
murni dikerahkannya, semakin keras pula hawa dingin itu merasuk ke dalam
tubuhnya. Hal itu membuat darahnya bergolak, seakan-akan ada pertentangan di
dalam tubuhnya.
***
Entah berapa lama Pendekar Pulau Neraka duduk bersila dengan sikap
bersemadi melawan hawa dingin yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Bahkan,
kini gumpalan-gumpalan putih bagai kapas sudah menutupi hampir seluruh
tubuhnya. Hanya bagian leher dan kepalanya yang masih terlihat. Sementara
itu, Dewi Beruang Putih masih tetap bersemadi.
"Hup!"
Tiba-tiba saja gadis berbaju putih dan compang-camping penuh tambalan itu
melompat bangkit berdiri. Sebentar dia melakukan beberapa gerakan yang indah
dan lembut. Kemudian tubuhnya berdiri tegap, sedangkan matanya memandang ke
arah matahari yang saat itu mulai terlihat condong ke arah Barat.
"Oh...?!"
Dewi Beruang Putih tampak terkejut. Dia melihat, tidak jauh di depannya,
seorang pemuda berwajah tampan duduk bersila dengan seluruh tubuh terbungkus
gumpalan putih seperti kapas. Bergegas gadis itu menghampiri sambil terus
mengamati. Sedangkan pemuda tampan yang tak lain adalah Bayu tetap diam
dengan mata terpejam rapat.
"Hep...!"
Cepat-cepat Dewi Beruang Putih menghentakkan kedua tangannya kedepan,
sambil duduk bersila di depan Pendekar Pulau Neraka. Dan, seketika itu juga
dari kedua telapak tangannya memancar cahaya merah bagai api yang berkobar.
Cahaya merah itu langsung menyelubungi seluruh tubuh Pendekar Pulau
Neraka.
"Hup...!"
Hanya sebentar, kemudian Dewi Beruang Putih sudah melompat ke belakang
sejauh tiga langkah. Dan, saat itu juga Bayu membuka kelopak matanya. Tidak
ada lagi gumpalan putih yang menyelimuti tubuhnya. Perlahan Pendekar Pulau
Neraka bangkit berdiri. Pandangannya langsung tertuju pada gadis berbaju
putih compang-camping dan penuh tambalan di depannya. Gadis itu juga
memandangi wajah Pendekar Pulau Neraka dengan sinar mata yang kelihatan
cukup tajam, sedikit terlindung oleh rambutnya yang meriap tak
beraturan.
Entah berapa lama mereka berdiam diri dan bertatapan saja dengan sinar mata
yang cukup tajam. Kemudian Dewi Beruang Putih menggerakkan kepalanya
perlahan. Pandangannya mengarah ke sekeliling tempat ini. Dia melihat, tidak
jauh darinya tergeletak dua sosok tubuh tak bernyawa lagi. Dan, di atas
sebatang pohon terlihat pula sesosok tubuh tersampir di sebatang cabang yang
cukup besar dan kuat. Dia tahu, mayat-mayat itu adalah Ki Laksa dan dua
orang dari si Perampok Tiga Nyawa.
"Kau yang membunuh mereka...?" tanya Dewi Beruang Putih. Nada suara gadis
itu terdengar begitu dingin. Bahkan, tak ada tekanan nada sedikit pun pada
suaranya. Pandangannya kembali tertuju tajam pada Pendekar Pulau
Neraka.
"Kenapa kau bertanya begitu?" Bayu malah balik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka tahu, gadis berpakaian pengemis ini sesungguhnya
sudah tahu bahwa dialah yang menewaskan ketiga laki-laki tua itu. Dan, kalau
tidak ada Bayu, mungkin gadis ini dan beruang putih raksasanya sudah tewas
di tangan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa (Baca serial Pendekar Pulau
Neraka dalam kisah "Dewi Beruang Putih").
Tapi, entah kenapa Dewi Beruang Putih bersikap seakan-akan tidak tahu apa
yang telah terjadi di tempat ini tadi.
"Mereka bukan orang-orang sembarangan. Kalau kau bisa membunuh mereka
semua, itu berarti kau memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari mereka,"
kata Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang terdengar datar dan
dingin.
"Lalu...?" Bayu sengaja memancing.
"Kau sudah mengalahkan dan membunuh mereka. Kau juga harus bisa mengalahkan
aku kalau ingin menguasai Keris Naga Emas," desis Dewi Beruang Putih,
semakin dingin.
Bayu tersenyum tipis. Dia menggeser kakinya ke kanan dua tindak.
Pandangannya masih tetap tak berkedip, tertuju lurus ke bola mata yang
hampir tertutup rambut hitam acak-acakan itu. Kata-kata Dewi Beruang Putih
barusan sudah membuktikan, bahwa sebenarnya dia memang mengetahui semua yang
telah terjadi di dalam hutan ini. Itulah yang membuat Bayu tersenyum.
Beberapa saat mereka kembali terdiam, tak berbicara lagi.
Sedikit Bayu melirik pada beruang putih raksasa yang masih mendekam diam di
bawah pohon, tidak jauh di belakang Dewi Beruang Putih ini, dengan jarak
hanya sekitar dua batang tombak.
"Sebaiknya kau serahkan saja keris itu padaku, Kisanak. Karena, akulah yang
berhak memegang keris pusaka itu," kata Dewi Beruang Putih lagi.
"Memang yang berhak memegang keris ini adalah seorang wanita. Tapi aku
tidak yakin kalau kau pewarisnya," ujar Bayu, yang tetap bersikap
tenang.
"Huh!"
Dewi Beruang Putih mendengus kesal mendengar kata-kata pemuda berbaju kulit
harimau itu. Tapi, dia cepat menyadari, memang tidak mudah membuktikan bahwa
dirinyalah pewaris tunggal Keris Naga Emas yang sekarang berada di tangan
Pendekar Pulau Neraka itu. Dia juga menyadari, dirinya sendiri baru sekarang
ini muncul ke dunia luar, setelah selama lima belas tahun tinggal
bersama-sama dengan Tiga Pengemis Sakti di dalam dasar Jurang Setan.
Terlebih lagi, dengan keadaannya yang seperti ini, tidak mungkin ada orang
yang bisa mengenalinya lagi. Bahkan, semua orang menyangka kalau dia sudah
mati tercebur ke dalam Jurang Setan saat usianya baru empat tahun.
"Kisanak, kau tahu siapa nama pewaris Keris Naga Emas itu?" tanya Dewi
Beruang Putih, kemudian seakan-akan tengah menguji Pendekar Pulau
Neraka.
"Ya," sahut Bayu mantap. "Namanya Intan Kumala. Dan dia putri tunggal Ki
Satria, tapi memang kuakui, aku belum pernah bertemu dengannya. Dan aku akan
terus berusaha menemuinya kalau dia memang benar-benar masih hidup sekarang
ini."
"Ketahuilah, Kisanak. Akulah yang bernama Intan Kumala. Dan aku putri
tunggal Ki Satria," kata Dewi Beruang Putih dengan tegas.
"Hm..."
Bayu hanya mengerutkan keningnya. Kelopak matanya tampak menyipit.
Diperhatikannya seluruh tubuh gadis berpakaian pengemis di depannya ini.
Jelas sekali dari sinar matanya, Pendekar Pulau Neraka tidak percaya dengan
pengakuan yang diucapkan Dewi Beruang Putih barusan.
"Baiklah kalau kau tidak percaya, Kisanak. Aku akan buktikan bahwa akulah
pewaris tunggal Keris Naga Emas itu," kata Dewi Beruang Putih lagi, dengan
suara yang masih tetap terdengar tegas.
"Bagaimana kau akan membuktikannya?"
"Menemukan ibuku yang hilang. Hanya ibuku yang tahu semua duduk
persoalannya."
"Hm...."
"Kita akan bertemu lagi, Kisanak"
Kemudian dengan cepat sekali Dewi Beruang Putih melesat masuk ke dalam
hutan. Bersamaan dengan itu, Beruang Putih yang sejak tadi mendekam di bawah
pohon juga ikut melompat cepat. Begitu cepat gerakan mereka, hingga dalam
sekejap mata keduanya sudah lenyap tak terlihat lagi.
Sementara itu Bayu masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Kedua matanya
memandang lurus ke arah kepergian gadis pengemis dan beruang putih raksasa
itu. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka berdiri diam. Kemudian, dia memutar
tubuhnya dan melangkah ringan meninggalkan daerah padang rumput di
tengah-tengah hutan ini. Ayunan kakinya begitu ringan, seakan-akan tidak
menjejak tanah. Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah jauh meninggalkan
tempat ini, sekaligus meninggalkan dua sosok mayat yang menggeletak di tanah
dan satu lagi di atas pohon.
***
"Wulan...!" seru Bayu lantang, di depan mulut gua yang cukup besar dan
hampir tertutup oleh semak belukar.
Belum lagi suara teriakan Pendekar Pulau Neraka menghilang dari
pendengaran, seorang gadis cantik berbaju merah muda agak ketat muncul dari
dalam gua. Gadis itu tampak menyibakkan semak belukar yang menutupi mulut
gua. Seekor monyet kecil berada di pundak kanannya. Monyet kecil itu cepat
melompat turun dan berlari-lari menghampiri Pendekar Pulau Neraka.
Bayu mengulurkan tangannya. Diraihnya monyet kecil berbulu hitam itu, lalu
ditaruh di atas pundak kanannya. Sedang gadis cantik berbaju merah muda agak
ketat itu sudah berada di depan Pendekar Pulau Neraka. Kedua tangannya
kelihatan kotor, penuh dengan lumpur yang melekat.
"Kenapa tanganmu, Wulan?" tanya Bayu.
"Aku baru saja selesai menguburkan si Nyawa Biru," sahut Ratna Wulan.
"Di sana ada sungai. Cuci dulu tanganmu," kata Bayu sambil menunjuk ke arah
kanan.
Tanpa berkata-kata sedikit pun, Ratna Wulan melangkah mengikuti arah yang
ditunjuk Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu tetap berdiri memperhatikan.
Hanya sebentar, gadis itu telah menghilang di dalam lebatnya pepohonan. Dan,
tak lama kemudian dia muncul lagi dengan tangan yang sudah bersih dari noda
tanah berlumpur.
"Ke mana saja kau pergi tadi, Kakang?" tanya Ratna Wulan setelah dekat di
depan Pendekar Pulau Neraka.
"Membereskan mereka," sahut Bayu, kalem.
"Terus...?" desak Ratna Wulan, ingin tahu lebih jauh.
"Yaaah..., mereka tidak mungkin bisa muncul lagi."
"Kau menewaskan mereka semua?"
Bayu hanya menganggukkan kepala. Kakinya terayun melangkah. Ratna Wulan
mengikuti, lalu mensejajarkan ayunan kakinya di sebelah kiri Pendekar Pulau
Neraka.
"Lalu, apa lagi yang terjadi...?" tanya Ratna Wulan lagi saat melihat ada
sesuatu yang lain pada raut wajah Pendekar Pulau Neraka.
"Kau ingat ketika berada di dasar Jurang Setan...?" Bayu malah balik
bertanya.
Ratna Wulan mengerutkan keningnya tidak mengerti. Dipandanginya wajah
Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam. Sedangkan kakinya terus terayun melangkah
mengikuti irama ayunan langkah kaki pemuda tampan berbaju kulit harimau di
sebelah kanannya ini.
"Beruang putih raksasa itu muncul lagi ketika aku sedang terdesak," lanjut
Bayu.
"Beruang putih...?"
Ratna Wulan langsung teringat saat dia dan Pendekar Pulau Neraka berada di
dasar Jurang Setan. Mereka memang sempat dihadang seekor beruang putih
bertubuh raksasa. Beruang Putih itu langsung saja menyerang, tapi kemudian
juga dengan mendadak berhenti menyerang. Bahkan, langsung pergi begitu saja.
Dan, sekarang Beruang Putih itu berada di sini, dihutan yang dekat dengan
perbatasan Desa Gebang.
Ratna Wulan hampir tidak percaya mendengarnya. Tapi, dia yakin bahwa Bayu
tidak mungkin berbohong padanya.
"Tadi dia muncul tidak sendirian, Wulan," lanjut Bayu dengan suara yang
terdengar pelan.
"Maksudmu...?" Ratna Wulan semakin tidak mengerti.
"Dia datang bersama pemiliknya," sahut Bayu, masih pelan.
"Pemiliknya...?!"
Ratna Wulan tidak bisa lagi menyembunyikan keterkejutannya. Dia memang
benar-benar terkejut mendengar beruang putih raksasa itu muncul lagi, bahkan
kali ini bersama pemiliknya. Walaupun sejak berada didasar Jurang Setan dia
sudah menduga bahwa beruang putih raksasa itu dipelihara orang, tetap saja
gadis ini tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Dia bukan saja mempunyai urusan dengan Ki Laksa dan si Perampok Tiga
Nyawa. Tapi dia juga menginginkan Keris Naga Emas. Bahkan dia pun mengaku
bernama Intan Kumala, pewaris Keris Naga Emas itu, Wulan," sambung Bayu,
tanpa menghiraukan keterkejutan gadis di sebelahnya itu.
"Oh...," Ratna Wulan mendesah panjang.
"Ada apa, Wulan?" tanya Bayu sambil memperhatikan wajah gadis ini
lekat-lekat.
Ratna Wulan diam saja. Dia terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Bayu
menghentikan ayunan langkahnya. Dia terus memperhatikan Ratna Wulan yang
tidak juga menghentikan ayunan kakinya. Sesaat kemudian barulah Bayu kembali
melangkah dan mensejajarkan jalannya di samping gadis ini. Pendekar Pulau
Neraka mengerutkan keningnya. Dipandanginya raut wajah Ratna Wulan yang
tampak berubah. Sedangkan pandangan mata gadis itu tetap tertuju lurus ke
depan. Sedikit pun Ratna Wulan tidak membuka suara.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Wulan?" Pertanyaan Bayu kali ini bernada
mendesak. Dia memang benar-benar ingin tahu, kenapa tiba-tiba sikap Ratna
Wulan berubah setelah dia menceritakan semua peristiwa yang dialaminya
tadi.
"Entahlah...," desah Ratna Wulan, perlahan. Gadis cantik berbaju merah itu
seakan-akan tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Hal ini membuat kening
Bayu semakin dalam berkerut. Dia yakin, ada sesuatu yang dipikirkan gadis
ini. Tapi, entah apa...?
Sedangkan Ratna Wulan sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja seperti ada
sesuatu yang terlintas di dalam kepalanya. Hanya sekelebatan saja pikiran
itu melintas, hingga dia tidak yakin dengan apa yang ada di dalam kepalanya
saat ini.
"Kakang, aku jadi lupa, siapa nama gadis pewaris Keris Naga Emas itu?"
tanya Ratna Wulan, setelah cukup lama berdiam diri membisu.
"Intan Kumala," sahut Bayu singkat.
"Lalu, gadis pemilik beruang putih itu, siapa namanya?"
"Semula dia mengaku bernama Dewi Beruang Putih. Tapi setelah dia melihat
Keris Naga Emas, langsung dia mengaku bernama Intan Kumala. Bahkan dia juga
menyebutkan bahwa nama ayahnya adalah Ki Satria. Tapi aku belum percaya
kalau Dewi Beruang Putih itu adalah Intan Kumala, Wulan. Dan aku tidak mau
menyerahkan keris pusaka yang dititipkan padaku ini pada sembarang orang.
Aku harus menyerahkannya pada orang yang benar-benar tepat," kata Bayu,
tegas.
"Aku merasa, memang dialah pewarisnya, Kakang," gumam Ratna Wulan perlahan,
seakan-akan bicara dengan dirinya sendiri.
"Apa yang kau bilang, Wulan...?!" sentak Bayu kaget.
Ratna Wulan tidak menjawab. Dia kembali diam dan terus melangkah tanpa
bicara lagi. Sedangkan Bayu terus memandangi wajah cantik di sampingnya ini.
Sungguh dia tidak mengerti, apa maksud dari kata-kata yang diucapkan Ratna
Wulan barusan. Kata-kata yang bernada menggumam itu seakan-akan keluar bukan
dari bibir gadis ini.
Sementara itu tanpa disadari, mereka berjalan menuju ke Desa Gebang. Saat
ini matahari sudah jauh condong ke ufuk Barat. Cahayanya yang semula terik
mulai terasa begitu lembut dan berwarna merah jingga. Sungguh indah
pemandangan senja ini. Tapi, keindahan yang tersirat itu tidak bisa
dinikmati Bayu maupun Ratna Wulan.
Mereka terus sibuk dengan berbagai macam pikiran yang berkecamuk di dalam
benaknya masing-masing. Entah apa yang ada di dalam kepala mereka saat ini.
Hanya mereka sendiri yang tahu.
***
DUA
Malam sudah turun menyelimuti seluruh permukaan bumi Desa Gebang. Kesunyian
begitu terasa menemani sang dewi malam yang memancar lembut dengan sinarnya
yang indah keperakan. Tidak jauh dari perbatasan sebelah Timur, tampak
seorang gadis berbaju putih, compang-camping, dan penuh tambalan berdiri
tegak di depan puing-puing reruntuhan sebuah rumah yang berhalaman
luas.
Sunyi sekali di sekitarnya. Tak ada seorang pun yang terlihat di tempat ini
selain gadis berpakaian pengemis itu. Entah sudah berapa lama dia berada di
dekat puing-puing reruntuhan rumah itu. Sinar matanya yang begitu tajam
tampak tak berkedip sedikit pun memandangi reruntuhan rumah itu. Memang, ada
sesuatu yang sedang dikenangnya, sesuatu yang tak akan mungkin bisa
dilupakannya seumur hidup.
Di dalam pandangannya, seakan-akan dia melihat rumah itu masih berdiri
tegak dan begitu indah. Bibirnya kemudian tersenyum saat melihat seorang
bocah perempuan berusia sekitar empat tahun tengah berlari-lari kecil sambil
tertawa riang mengelilingi taman yang tertata sangat indah. Di belakang
gadis kecil itu, seorang wanita cantik mengikutinya dengan bibir tersenyum
manis.
"Jangan kencang-kencang larinya, Intan. Nanti jatuh...!" seru wanita cantik
berpakaian indah bagai permaisuri raja itu, dengan suara yang terdengar
lembut sekali.
Gadis kecil yang memang bernama Intan Kumala itu berhenti berlari. Dia
berbalik memandangi wanita cantik yang tak lain adalah ibunya ini. Senyuman
manis yang begitu lucu menyungging di bibirnya yang merah. Dari pintu taman,
terlihat pula seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh tahun yang
kelihatan gagah dan tampan berdiri tersenyum-senyum memandangi.
Begitu ceria wajah-wajah mereka. Namun, keceriaan mereka mendadak sirna
ketika tiba-tiba terlihat sebatang anak panah meluncur deras ke arah gadis
kecil itu. Laki-laki setengah baya yang berdiri di ambang pintu taman cepat
sekali melesat. Secepat kilat pula tangan kanannya tampak dikibaskan ke
depan. Dan, langsung disambarnya anak panah yang hampir menghunjam ke dada
gadis kecil itu.
"Hap!"
Manis sekali laki-laki setengah baya itu menjejakkan kakinya di tanah,
tepat di depan Intan Kumala. Saat itu juga, wanita yang tadi mengikuti gadis
kecil itu bergegas berlari dan langsung mengambil gadis kecil itu ke dalam
gendongannya.
"Cepat kau bawa masuk ke dalam, Rayi," kata laki-laki setengah baya itu
sambil memperhatikan anak panah yang berada dalam genggaman tangan
kanannya.
Tanpa diperintah dua kali, wanita itu bergegas meninggalkan taman yang
indah ini. Namun, belum juga dia sampai di pintu taman, mendadak sebuah
bayangan terlihat berkelebat begitu cepat. Dan, tahu-tahu didepan wanita
cantik itu sudah berdiri seorang perempuan tua bertubuh bungkuk yang
mengenakan jubah panjang berwarna hitam. Di tangan kanan perempuan tua itu
tergenggam sebatang tongkat, dengan bagian ujung atasnya berbentuk tengkorak
kepala manusia.
"Oh...?!"
"Hup!"
Laki-laki setengah baya yang juga merupakan ayah gadis kecil itu segera
melompat. Begitu ringan gerakannya. Tahu-tahu dia sudah, berada di samping
kanan istrinya yang memeluk Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
"Siapa kau?" bentak ayah Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
Perempuan tua bertubuh bungkuk itu hanya tertawa terkikik. Suara tawanya
terdengar sangat kering dan mengerikan. Matanya yang memerah dan bersinar
tajam menatap langsung ke bola mata lelaki setengah baya itu. Kemudian
pandangannya berpindah pada Intan Kumala yang berada di dalam gendongan
ibunya.
"Tidak lama lagi, Satria. Hik hik hik..
Tidak lama lagi kau akan hancur, Satria...!"
"Perempuan tua, siapa kau? Apa maksudmu datang ke sini?" bentak ayah Intan
Kumala yang bernama Ki Satria itu dengan suaranya yang tajam.
"Hik hik hik...!"
Cepat sekali tangan keriput yang terulur ke depan itu bergerak hendak
menyambar Intan Kumala. Tapi, sebelum tangan perempuan tua itu menyentuh
Intan Kumala, Ki Satria sudah cepat bertindak.
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Ikh...!"
Cepat-cepat perempuan tua menarik kembali tangannya ketika Ki Satria
mengebutkan tangan kanannya begitu cepat dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dua langkah perempuan tua itu melompat mundur. Dirasakannya angin
kebutan tangan kanan Ki Satria yang mengandung hawa panas begitu
menyengat.
"Kau benar-benar tidak sayang dengan puterimu, Satria. Aku datang justru
ingin menyelamatkan keturunanmu!" bentak perempuan tua itu sambil mendesis
dingin.
"Katakan dulu, siapa kau? Apa maksudmu berkata begitu?" ujar Ki Satria
dengan tidak kalah dinginnya.
"Aku Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Aku terpaksa keluar dari istanaku karena
ingin menyelamatkan keturunanmu, Satria. Kau dalam bahaya. Kehancuran sudah
dekat di depan matamu," sahut perempuan tua itu dengan nada suara yang masih
tetap dingin.
"Jangan coba-coba menggertak ku, Nisanak. Sebaiknya pergi saja kau. Dan,
jangan coba-coba mengganggu ketenteraman keluargaku!" bentak Ki Satria, yang
tidak percaya dengan kata-kata perempuan tua itu.
"Heh! Kau benar-benar bodoh, Satria!" dengus perempuan tua yang mengaku
bernama Ratu Mayat Bukit Tengkorak itu.
"Cepat pergi! Atau kau ingin aku panggil para pengawalku, heh...!" bentak
Ki Satria lagi.
Sebentar Ratu Mayat Bukit Tengkorak memandangi Ki Satria. Dia melangkah
mundur beberapa tindak, kemudian tanpa berkata sedikit pun melesat pergi
dengan cepat sekali. Begitu cepat gerakannya. Dalam sekejap mata, tubuhnya
pun sudah lenyap tak terlihat lagi, bagaikan hilang tertelan bumi.
"Mari, Rayi Sebaiknya kita masuk saja," ajak Ki Satria sambil merangkul
pundak istrinya.
***
Ajakan Ki Satria membawa istri dan anaknya masuk ke dalam rumah ternyata
sama sekali tidak menghilangkan ketegangan yang terjadi dengan tiba-tiba di
taman tadi. Kedua bola matanya kini terbeliak lebar begitu melihat
orang-orangnya yang berada di dalam rumah sudah terkapar tak bernyawa lagi.
Darah bercucuran menggenangi lantai. Ki Satria cepat-cepat membawa anak dan
istrinya ke dalam kamar.
"Kau jangan ke mana-mana, Rayi," pesan Ki Satria.
"Kakang...," kata wanita itu dengan suara bergetar.
"Tenanglah, aku akan kembali secepatnya. Jaga anak kita," kata Ki Satria,
mencoba menenangkan istrinya.
Bergegas Ki Satria keluar dari kamar itu setelah lebih dulu berpesan kepada
istrinya untuk mengunci pintu dan jendela. Dengan langkah yang lebar dan
tergesa-gesa, Ki Satria menyusuri lorong yang tidak seberapa panjang. Dia
langsung masuk ke dalam ruangan tengah yang berukuran cukup luas. Kembali
bola matanya terbeliak lebar begitu melihat mayat-mayat bergelimpangan di
dalam ruangan ini.
"Hup!"
Bagaikan seekor kijang, Ki Satria melompati mayat-mayat yang bergelimpangan
hampir memenuhi lantai ruangan ini. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
laki-laki setengah baya itu langsung menjejakkan kakinya di ambang pintu,
yang berhubungan langsung dengan ruangan depan. Cepat dia menerobos masuk ke
dalam ruangan depan.
"Keparat...!" desis Ki Satria, geram.
Hampir laki-laki setengah baya itu tidak percaya dengan apa yang
disaksikannya sekarang ini. Dia merasa seperti mimpi. Seperti halnya ruangan
tengah tadi, ruangan depan ini pun dipenuhi oleh mayat-mayat yang tampaknya
masih baru. Darah yang menggenangi lantai pun masih terlihat segar dan
hangat. Sambil berjingkat, Ki Satria terus menuju ke pintu depan.
Diperiksanya beberapa orang yang menggeletak tak bernyawa lagi itu.
Keningnya langsung berkerut. Kemudian dipandanginya sekalian semua tubuh
yang bergelimpangan saling tumpang tindih itu.
"Hm, aneh..., tak ada luka sedikit pun. Tapi kenapa banyak darah...?" gumam
Ki Satria pada dirinya sendiri.
Memang, tidak ada sedikit pun luka di tubuh mereka. Meskipun darah yang
menggenang dan memenuhi lantai itu jelas sekali tampak keluar dari mulut,
hidung, serta telinga. Kematian yang sangat aneh ini membuat Ki Satria
bertanya-tanya sendiri di dalam hati. Tak ada sedikit pun tanda-tanda bekas
terjadi pertarungan. Dan, tak ada luka sedikit pun di tubuh mereka
semua.
"Hup!"
Ringan sekali Ki Satria melompat keluar. Sedikit pun tak ada suara yang
ditimbulkan. Ini pertanda bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah
mencapai pada tingkatan yang tinggi. Begitu ringan kedua kakinya mendarat di
lantai beranda depan. Sebentar dia mengedarkan pandangannya berkeliling.
Tapi, tetap tak ada seorang pun yang terlihat. Hanya mayat-mayat yang tampak
bergelimpangan saling tumpang tindih dihalaman depan rumah yang berukuran
besar bagai sebuah istana kecil ini.
"Setan keparat! Bagaimana ini bisa terjadi...!" desis Ki Satria,
geram.
Darah lelaki setengah baya itu langsung mendidih ketika melihat tak ada
seorang pun pengawalnya yang masih hidup. Semua sudah bergelimpangan tak
bernyawa lagi. Dia juga tidak tahu, kapan semua ini terjadi. Padahal, sejak
tadi dia berada di taman belakang bersama anak dan istrinya. Dan, sama
sekali tidak didengarnya suara pertarungan sedikit pun tadi. Tapi, kini
orang-orangnya terlihat sudah menggeletak tak bernyawa lagi. Darah
menggenang dihampir setiap sudut tempat tinggalnya yang megah ini.
"Laksa...! Rahun...!"
Ki Laksa berteriak keras memanggil dua orang kepercayaannya. Tapi, tak ada
sahutan sedikit pun yang terdengar. Suaranya yang keras karena dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi itu menggema sampai terdengar ke
seluruh penjuru mata angin. Dan, hanya gemerisik dedaunan yang menyahuti
teriakan laki-laki gagah berusia setengah baya ini.
"Hm, ke mana mereka? Apakah mereka juga sudah mati...?" gumam Ki Satria,
bertanya-tanya sendiri.
Kembali Ki Satria mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tidak juga
ada seorang pun yang dilihatnya hidup. Semua yang dilihatnya hanyalah
mayat-mayat bergelimpangan saling tumpang tindih, Bau anyir darah begitu
tajam menyeruak rongga hidung. Kemudian perlahan Ki Satria bergerak hendak
melangkah keluar dari beranda depan rumahnya ini. Tapi, baru saja kakinya
menjejak tanah, mendadak...!
Wusss...!
"Hup!"
Cepat sekali Ki Satria melentingkan tubuhnya begitu mendengar desiran angin
yang sangat halus dari arah kanannya. Dan, secepat itu pula dia mengebutkan
tangan kanannya.
Tap!
"Hap!"
Manis sekali Ki Satria menjejakkan kakinya di tanah, di antara tubuh-tubuh
yang bergelimpangan tak bernyawa lagi. Perlahan tangan kanannya yang
terkepal bergerak terbuka. Dan, kedua bola matanya langsung terbeliak lebar
begitu melihat di dalam telapak tangannya terdapat sebuah benda berbentuk
kapak kecil berwarna merah.
"Perampok Tiga Nyawa...," desis Ki Satria.
Tapi, belum juga Ki Satria sempat berpikir jauh, mendadak terlihat tiga
buah bayangan berkelebatan meluruk turun dari atas atap. Ki Satria
cepat-cepat melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Manis sekali
gerakannya. Dan, tanpa menimbulkan suara sedikit pun, kakinya kembali
menjejak tanah.
Tap!
"Keparat...!" bentak Ki Satria.
Lelaki setengah baya yang masih kelihatan gagah itu mendesis ketika melihat
tiga orang laki-laki berusia muda sudah berada sekitar dua batang tombak di
depannya. Ketiga lelaki muda itu mengenakan baju dengan potongan yang sama,
tapi dengan warna yang ber-beda. Mereka memang jelas masih tergolong muda.
Paling tidak, usia mereka baru sekitar tiga puluh tahun.
Tampak di tangan kanan mereka masing-masing tergenggam sebilah kapak yang
berukuran sangat besar. Dan, kilatan cahaya membersit dari mata kapak di
tangan kanan ketiga pemuda itu. Ki Satria tahu, mereka adalah tokoh-tokoh
persilatan yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa.
"Pasti kalian yang membantai para pengawalku," desis Ki Satria, dingin
menggetarkan.
"Keparat...! Apa maksud kalian membunuhi orang-orangku, heh...?"
"Tidak terlalu sulit menidurkan mereka, Ki Satria," kata salah seorang dari
ketiga pemuda itu, yang mengenakan baju berwarna merah menyala.
"Hanya dengan ini...," sambung pemuda satunya lagi, yang mengenakan baju
biru. Pemuda berbaju biru itu melemparkan sesuatu yang diambil dari dalam
saku bajunya. Ki Satria cepat melompat dan berputaran beberapa kali di
udara, lalu kakinya kembali menjejak tanah. Benda yang dilemparkan pemuda
berbaju biru itu ternyata berupa serbuk berwarna kuning, yang langsung
menguap menja di asap.
"Upfhs...!"
Cepat-cepat Ki Satria menutup seluruh aliran darah dan memindahkan
pernafasannya ke perut. Dia tahu bahwa serbuk kuning yang menguap menjadi
asap itu adalah serbuk racun yang sangat berbahaya dan mematikan. Kembali
tubuhnya melenting ke udara dan berputaran beberapa kali. Lalu, kembali pula
kakinya menjejak tanah setelah jaraknya sudah mencapai sekitar tiga batang
tombak.
"Phuuuh...! Edan...!" dengus Ki Satria disertai hembusan nafasnya yang
berat.
***
Sementara itu di dalam kamar, istri Ki Satria yang bernama Nyai Wandari
kelihatan cemas. Dia tidak melepaskan putrinya dari pelukan. Gadis kecil itu
juga seperti bisa merasakan kecemasan ibunya. Dia memeluk dan menyembunyikan
kepalanya di dada yang membusung indah itu.
Tok! Tok! Tok..!
"Oh...?!"
Nyai Wandari tersentak kaget ketika mendengar suara ketukan di pintu.
Pandangannya langsung tertuju ke arah pintu yang tertutup rapat. Ketukan itu
sebentar saja sudah menghilang. Tapi, tak lama kemudian terdengar lagi.
Perlahan-lahan wanita itu bangkit dari pembaringan.
"Siapa..?!" tanya Nyai Wandari, agak keras.
"Aku, Nyai...," sahut suara seorang laki-laki dari balik pintu.
"Siapa?" tanya Nyai Wandari lagi.
"Rahun."
"Oh, Rahun...."
Bergegas Nyai Wandari menghampiri pintu kamar ini. Dia langsung membukanya.
Dan, seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun terlihat
berdiri tegak di ambang pintu. Tampak rambutnya yang panjang tergelung ke
atas kepala.
"Ada apa, Rahun?"
"Ki Satria meminta ku untuk membawa Nyai dan Rara Putri Intan."
"Oh...?! Apa yang terjadi sebenarnya, Rahun? Di mana suamiku?" tanya Nyai
Wandari, tidak bisa lagi menyembunyikan kecemasannya.
"Keadaan gawat, Nyai. Sebaiknya Nyai bergegas...," sahut Ki Rahun,
terputus.
"Sebentar."
Nyai Wandari kembali menutup pintu. Sedangkan Ki Rahun tetap menunggu di
depan pintu. Nyai Wandari mengambil bungkusan kain putih dari dalam kotak
kayu yang ada di meja kecil dekat jendela. Dia menyelipkan bungkusan kain
putih yang tampak berisi sebilah pisau kecil itu ke balik ikat pinggangnya.
Tak berapa lama kemudian, dia sudah keluar lagi sambil tetap menggendong
putrinya.
"Ke mana kau akan membawaku, Rahun?" tanya Nyai Wandari sambil terus
berjalan mengikuti orang kepercayaan suaminya ini.
"Mengungsi ke tempat yang aman," sahut Ki Rahun, tanpa menghentikan
langkahnya.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang tidak begitu panjang menuju ke
bagian belakang rumah besar dan megah ini. Ki Rahun membuka pintu yang ada
di ujung lorong. Kemudian dipersilahkannya Nyai Wandari untuk masuk lebih
dulu. Nyai Wandari tahu, pintu ini merupakan pintu kamar semadi suaminya.
Dan, di dalam kamar ini terdapat sebuah pintu rahasia yang langsung menuju
keluar melalui jalan di bawah tanah.
Setelah berada di dalam kamar semadi itu. Ki Rahun menggeser sebongkah baru
besar yang sering digunakan untuk bersemadi. Di bawah baru yang berbentuk
pipih itu terdapat lubang yang cukup besar. Tanpa banyak bicara lagi, Nyai
Wandari bergegas masuk ke dalam lubang itu. Ki Rahun mengikuti dari
belakang. Batu pipih itu pun kembali bergerak menutup setelah mereka
melewatinya.
"Ke mana suamiku menyuruh mengungsi, Rahun?" tanya Nyai Wandari.
"Ke gua penyimpanan senjata pusaka," sahut Ki Rahun. "Di sana sudah
menunggu dua puluh orang pengawal, Nyai."
"Lalu, di mana suamiku?"
"Menghadapi mereka bersama yang lain."
"Mereka...? Siapa mereka, Rahun?"
"Aku tidak tahu, Nyai. Mereka tiba-tiba saja datang dan menyerang. Sudah
banyak yang menjadi korban," jelas Ki Rahun dengan singkat.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia terus berjalan di depan sambil tetap
memeluk putrinya dalam gendongan. Sedangkan Ki Rahun mengikuti dari
belakang. Tampak sebentar-sebentar dia menoleh ke belakang. Lorong rahasia
di bawah tanah ini cukup panjang juga. Tapi, keadaannya sangat terang,
karena banyak obor terpasang di dinding. Ki Rahun bergegas mendahului
setelah mereka sampai di ujung lorong bawah tanah ini.
Dia mendorong sebongkah batu yang cukup besar. Sedikit demi sedikit batu
itu pun tergeser. Dan, tampaklah dengan nyata bahwa tempat ini merupakan
ujung lorong. Mereka langsung bergegas keluar. Dan, ternyata mereka sudah
ditunggu oleh sekitar dua puluh orang pemuda bersenjata golok. Tanpa banyak
bicara lagi, semuanya bergegas berjalan dan langsung masuk ke dalam
hutan.
Nyai Wandari sendiri tidak banyak bertanya lagi. Dia terus mengikuti
pemuda-pemuda yang dia kenali sebagai para pengawal suaminya. Sedangkan Ki
Rahun selalu berada di belakang wanita itu, sambil sesekali berpaling ke
belakang. Tak ada seorang pun yang membuka suara lagi. Semuanya terdiam dan
terus berjalan merambah hutan yang cukup lebat ini.
"Rahun, bukankah ini jalan menuju ke Jurang Setan...?"
Nyai Wandari baru membuka suara ketika sadar bahwa jalan yang ditempuh
mereka bukan menuju ke gua tempat penyimpanan senjata.
"Memang benar, Nyai," sahut Ki Rahun.
"Tapi tadi kau bilang, kita akan ke gua penyimpanan senjata pusaka."
"Ini hanya siasat saja, Nyai. Untuk mengelabui mereka," sahut Ki
Rahun.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia bisa menerima alasan yang diberikan
Ki Rahun barusan. Memang, mereka bisa saja melalui pinggiran Jurang Setan
ini untuk menuju ke gua penyimpanan senjata pusaka. Walaupun, tentu saja
mereka harus memutar dan berjalan lebih jauh. Tapi, Nyai Wandari tidak
mengeluh dan tidak mau bertanya lagi. Dia terus saja berjalan mengikuti para
pengawalnya yang berjumlah sekitar dua puluh orang itu. Sedangkan Ki Rahun
tetap berjalan di belakangnya.
***
TIGA
Sementara itu Ki Satria tengah bertarung menghadapi tiga orang lawannya
yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga Nyawa. Pertarungan yang semula
berlangsung di halaman rumah berangsur-angsur berpindah. Dan, tanpa
disadari, mereka bergerak ke arah hutan yang langsung berbatasan dengan
bagian belakang rumah. Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi pertarungan
itu tampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti.
Akhirnya, pertarungan itu sampai di dekat Jurang Setan, yang tampak sangat
besar dan dalam. Begitu dalam jurang ini, sampai-sampai dasarnya pun sangat
sulit dilihat. Apalagi, kabut yang sangat tebal selalu menutupinya. Pada
saat yang hampir bersamaan, Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh orang
pengawalnya juga sampai di jurang ini. Nyai Wandari begitu terkejut ketika
melihat suaminya sedang bertarung sengit dengan tiga lelaki yang
masing-masing bersenjatakan kapak.
"Rahun, cepat bantu suamiku!" perintah Nyai Wandari.
"Tidak mungkin, Nyai. Ki Satria tidak akan senang kalau pertarungannya
dicampuri," tolak Ki Rahun.
"Tapi...," Nyai Wandari tidak melanjutkan ucapannya.
Memang, alasan yang dikemukakan Ki Rahun tidak bisa dibantah lagi. Ki
Satria pasti tidak akan senang kalau pertarungannya dicampuri orang lain.
Nyai Wandari tahu betul watak suaminya. Lelaki tua gagah itu lebih memilih
mati dalam pertarungan daripada harus dicampuri orang lain. Meskipun ada
orang yang benar-benar bermaksud membantunya, Ki Satria tidak akan berterima
kasih. Bahkan, dia bisa marah besar.
"Ayo, Nyai. Sebaiknya kita menyingkir dari sini," ajak Ki Rahun.
Nyai Wandari memperhatikan pertarungan itu beberapa saat. Kemudian dia
bergegas mengikuti Ki Rahun yang sudah lebih dulu berjalan menjauhi
pertarungan. Dua puluh orang yang mengawal mereka juga bergegas mengikuti.
Tidak ada seorang pun yang berani ikut terjun ke dalam pertarungan itu.
Tapi, belum juga mereka jauh, tiba-tiba....
"Berhenti kalian semua...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Bukan main terkejutnya mereka ketika tiba-tiba saja terdengar bentakan yang
sangat keras dan menggelegar bagai guntur di siang hari. Mereka langsung
berhenti melangkah. Pada saat itu, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat
begitu cepat. Dan, tahu-tahu di depan mereka sudah berdiri seseorang yang
berjubah putih panjang dan longgar. Wajah orang itu sulit dikenali, karena
tertutup oleh topeng kayu berwarna hitam. Tampak di tangan kanannya
tergenggam sebatang tongkat kayu yang runcing pada bagian ujungnya.
"Kau tidak akan bisa lolos dariku, Nyai Wandari," ujar orang berjubah putih
dan bertopeng kayu hitam itu dengan nada suara yang terdengar begitu
dingin.
"Siapa kau?" bentak Nyai Wandari.
"Ha ha ha...!"
Orang bertopeng hitam itu hanya tertawa terbahak-bahak. Begitu keras dan
menggelegar suara tawanya. Telinga yang mendengarnya pun terasa sakit,
seperti tertusuk jarum. Nyai Wandari cepat-cepat menutup telinga
putrinya.
"Kalian semua harus mampus! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, orang bertopeng hitam itu melompat dan langsung menerjang
ke arah Nyai Wandari. Tapi, belum juga dia sampai, mendadak terlihat sebuah
bayangan hitam berkelebat begitu cepat memotong arus terjangan orang
bertopeng itu.
"Uts...!"
Untung saja orang bertopeng hitam itu cepat melenting ke belakang, sehingga
terhindar dari suatu benturan keras. Beberapa kali tubuhnya berputaran di
udara. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak tanah, sekitar dua batang
tombak jauhnya dari Nyai Wandari, yang masih didampingi Ki Rahun dan dua
puluh orang pengawalnya.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan Nyai Wandari sudah berdiri
seorang perempuan tua bertubuh bungkuk, dengan tongkat berkepala tengkorak
tergenggam pada tangan kanannya. Nyai Wandari langsung mengenali, perempuan
tua itulah yang datang menemuinya di taman dan hendak meminta anaknya
tadi.
"Tidak ada gunanya kau menutupi wajahmu dengan topeng jelek, Laksa," desis
perempuan tua bungkuk yang dikenali Nyai Wandari bernama Ratu Mayat Bukit
Tengkorak itu, dengan suara yang terdengar begitu kering dan dingin.
"Laksa...?" desis Nyai Wandari, terkejut.
"Phuih!"
Orang bertopeng hitam itu mendengus berat. Dengan kasar sekali dia membuka
topeng kayu berwarna hitam yang menutupi wajahnya. Kini tampaklah di balik
topeng kayu itu, seraut wajah seorang laki-laki yang agaknya berusia lima
puluh tahun lebih. Sorot matanya tampak tajam berapi-api. Dan, wajah itu
sangat dikenali oleh Nyai Wandari.
"Laksa...!" desis Nyai Wandari, hampir tidak percaya.
Tapi, Nyai Wandari tidak sempat lagi bertanya-tanya ataupun berpikir
panjang. Karena, tiba-tiba saja Ki Laksa sudah melompat begitu cepat
melakukan serangan.
"Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Ratu Mayat Bukit Tengkorak ternyata juga
melentingkan tubuhnya. Disambutnya serangan laki-laki berjubah putih itu.
Dan secara bersamaan keduanya melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang
mengandung pengerahan tenaga dalam tingkat tinggi. Begitu cepat pukulan yang
dilepaskannya, hingga mereka sama-sama tidak dapat lagi menghindari benturan
dua tenaga dalam yang tinggi tingkatannya itu.
Plak!
Seketika itu juga tubuh mereka sama-sama terpental balik ke belakang.
Namun, dengan manis sekali keduanya berhasil menjejakkan kaki di tanah
secara bersamaan. Dan, tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka sudah
berlompatan kembali saling menyerang. Pertarungan pun tak lagi terhindarkan,
seakan-akan menyaingi pertarungan seru yang sedang terjadi antara Ki Satria
dan tiga orang lawannya yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga
Nyawa.
Pertarungan antara Ratu Mayat Bukit Tengkorak dan Ki Laksa terlihat semakin
sengit. Keduanya mengeluarkan jurus-jurus yang begitu dahsyat dan sangat
berbahaya. Pukulan-pukulan yang mereka lontarkan mengandung pengerahan
tenaga dalam yang sangat tinggi. Sehingga setiap pukulan yang tidak mengenai
sasaran akan menimbulkan ledakan dahsyat jika menghantam pohon atau bebatuan
hingga hancur berkeping-keping.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat Ki Laksa melompat ke
udara. Dan, secepat kilat pula tongkatnya yang berujung runcing dikebutkan
ke arah kepala Ratu Mayat Bukit Tengkorak Begitu tinggi tenaga dalam yang
disalurkan ke dalam kebutan tongkat Ki Laksa, sehingga menimbulkan suara
angin menderu yang disertai hempasan hawa panas menyengat.
"Uts...! Hap!"
Cepat-cepat Ratu Mayat Bukit Tengkorak melompat ke belakang. Dan, secepat
itu pula dia menghentakkan tongkatnya. Ditangkisnya kibasan tongkat Ki
Laksa.
Trakkk!
Dua senjata tongkat beradu begitu keras sampai menimbulkan percikan bunga
api yang menyebar ke segala arah. Tampak Ratu Mayat Bukit Tengkorak
terdorong ke belakang dua langkah. Dan, pada saat itu pula terlihat Ki Laksa
memutar tubuhnya di udara. Lalu, tanpa diduga sama sekali, lelaki tua itu
melepaskan satu tendangan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam
yang begitu tinggi tingkatannya.
"Hiyaaa...!"
"Oh...?!"
Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak terperangah setengah mati. Cepat-cepat
dia menggeser kakinya ke samping sambil meliukkan tubuh menghindari
tendangan menggeledek yang dilepaskan laki-laki berjubah putih itu. Tapi
dengan gesit dan cepat sekali Ki Laksa bisa memutar balik kakinya. Dan,
secepat kilat kembali dia menghentakkan kaki kanannya ke depan dengan
setengah berputar. Begitu cepatnya serangan yang dilancarkan laki-laki
berjubah putih itu, sehingga Ratu Mayat Bukit Tengkorak tidak sempat lagi
menghindar. Dan....
Des!
"Akh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan Ki Laksa mendarat di dada kiri Ratu Mayat
Bukit Tengkorak. Akibatnya, tubuh perempuan tua yang agak kurus itu
terpental cukup jauh ke belakang. Dan, sebongkah batu sebesar kerbau yang
sangat kokoh langsung hancur berkeping-keping seketika begitu tubuh si Ratu
Mayat Bukit Tengkorak menghantamnya.
"Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun, Ki Laksa cepat melompat ke arah
Nyai Wandari. Tapi, tiba-tiba saja wanita cantik itu mengebutkan tangan
kirinya dengan cepat. Dan, tahu-tahu di tangan kirinya sudah tergenggam
sebilah pisau kecil yang sangat tajam dan berkilatan, yang dicabutnya dengan
cepat tadi dari balik ikat pinggangnya.
"Heh...?! Uts!"
Ki Laksa terperanjat setengah mati begitu tiba-tiba sekelebatan cahaya
keperakan hampir saja membelah dadanya. Cepat-cepat dia melentingkan
tubuhnya ke belakang dan berputaran beberapa kali. Pada saat itu, Ratu Mayat
Bukit Tengkorak sudah bisa berdiri lagi. Dia segera menghampiri Nyai Wandari
yang masih menggendong putrinya.
"Berikan anakmu padaku, Nyai. Dia harus diselamatkan," kata Ratu Mayat
Bukit Tengkorak cepat-cepat.
Nyai Wandari memandangi perempuan tua berwajah buruk penuh keriput itu
beberapa saat. Kemudian dia menyerahkan Intan Kumala kepadanya. Dan,
cepat-cepat perempuan tua itu meraih Intan Kumala dari gendongan Nyai
Wandari, lalu bergegas melesat pergi dengan cepat sekali. Namun, belum juga
dia pergi jauh, tiba-tiba tangan kanan Ki Rahun bergerak cepat tanpa seorang
pun sempat mengetahuinya. Dan, saat itu juga terlihat beberapa benda halus
seperti jarum berhamburan dengan deras sekali ke arah si Ratu Mayat Bukit
Tengkorak.
Ratu Mayat Bukit Tengkorak, yang tidak menyadari akan mendapat serangan
gelap yang begitu cepat itu, tidak dapat lagi menghindarkan diri.
Dan....
Crap!
"Akh...!"
Beberapa benda halus seperti jarum itu langsung menembus tubuh Ratu Mayat
Bukit Tengkorak Perempuan tua itu pun jatuh terguling ke tanah. Dan Intan
Kumala yang berada dalam gendongannya seketika terlepas dan langsung
melayang jauh menuju ke arah jurang.
"Intan...!" jerit Nyai Wandari, benar-benar terperanjat.
***
Cepat-cepat Nyai Wandari melompat hendak meraih anaknya yang melayang ke
arah jurang. Tapi belum juga dia bergerak jauh, Ki Laksa sudah bertindak
cepat. Tongkatnya yang berujung runcing segera dikebutkan ke arah lambung
wanita cantik itu.
Bet!
"Ikh...!"
Hampir saja lambung Nyai Wandari robek. Untung saja dia cepat-cepat
berkelit meliukkan tubuhnya tadi menghindari sabetan tongkat yang berujung
runcing itu. Sedangkan Intan Kumala terus meluncur deras ke arah
jurang.
"Ibuuu...!" jerit Intan Kumala, ketakutan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Nyai Wandari kembali melesat mengejar anaknya, begitu kakinya menjejak
tanah. Tapi, baru saja dia melesat, kembali Ki Laksa menghadang dengan
cepat. Satu pukulan keras yang disertai dengan pengerahan, tenaga dalam
tinggi langsung dilepaskannya dengan cepat sekali ke arah dada.
"Hap!"
Nyai Wandari cepat-cepat melentingkan tubuhnya dan berputaran ke belakang
menghindari pukulan itu. Dan, begitu kakinya menjejak tanah kembali,
tahu-tahu Ki Laksa sudah melepaskan satu tendangan keras menggeledek yang
begitu cepat. Benar-benar cepat tendangan yang dilepaskan laki-laki berjubah
putih itu. Nyai Wandari pun tidak sempat lagi menghindar, terlebih lagi
pikirannya tengah tercurah pada putrinya yang sedang menghadapi maut.
Des!
"Akh...!"
Nyai Wandari terpental deras ke belakang, lalu jatuh bergulingan beberapa
kali di tanah. Sementara itu Intan Kumala terus meluncur dan mulai masuk ke
dalam jurang. Jeritannya yang panjang melengking terdengar begitu
menggiris.
"Ibuuu...!"
"Intan...!"
Nyai Wandari tidak mempedulikan dadanya yang terasa sesak akibat terkena
tendangan Ki Laksa tadi. Cepat-cepat dia melompat bangkit berdiri hendak
mengejar lagi anaknya yang sudah mulai tercebur ke dalam Jurang Setan.
Jeritan bocah kecil itu masih juga terdengar, meskipun semakin jauh.
"Intan...!"
Nyai Wandari berteriak-teriak memanggil nama anaknya sambil terus berlari
menghampiri jurang. Tapi, begitu dia sampai di tepi jurang, tubuh Intan
Kumala sudah tidak terlihat lagi. Hanya kabut tebal yang terlihat kini
menyelimuti seluruh bagian dalam jurang itu.
"Oh, Intan...."
Jeritan Intan Kumala dan Nyai Wandari sempat juga mempengaruhi perhatian Ki
Satria yang sedang bertarung melawan si Perampok Tiga Nyawa. Dia sempat
berpaling ke arah Jurang Setan. Dan pada saat itu juga si Perampok Tiga
Nyawa yang mengenakan baju biru melepaskan satu pukulan keras disertai
pengerahan tenaga dalam yang tinggi tingkatannya.
"Hiyaaa...!"
Ki Satria yang tengah lengah tidak sempat lagi menghindari pukulan itu.
Akibatnya, dadanya telah terkena pukulan yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi itu.
Degkh!
"Akh...!"
Ki Satria memekik tertahan. Tubuhnya langsung terpental ke belakang sejauh
dua batang tombak. Dan tubuh kekar itu baru berhenti melayang setelah
menghantam sebatang pohon yang cukup besar hingga hancur
berkeping-keping.
"Hiyaaa...!"
Saat itu juga si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju kuning melompat
cepat sambil mengebutkan kapaknya yang berukuran sangat besar.
Wuk!
"Hih...!"
Ki Satria cepat-cepat menggulirkan tubuhnya ke samping. Dihindarinya
hantaman kapak yang berkilatan itu. Kemudian, dengan cepat dia melompat
bangkit berdiri sambil mendekap dadanya yang terasa begitu sesak.
"Yeaaah...!"
Belum lagi pijakan kaki Ki Satria sempurna, datang lagi serangan berupa
tendangan kaki kiri dari si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju merah.
Kembali Ki Satria masih bisa menghindar dengan mengegoskan tubuhnya ke
kanan. Namun, begitu kaki kanan salah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa
itu terayun cepat sambil memutar ke arah lambung, Ki Satria tidak dapat lagi
menghindar. Dan....
Des!
"Akgh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Satria terpekik. Kembali dia jatuh bergulingan di
tanah beberapa kali. Belum lagi dia sempat bangkit berdiri, si Perampok Tiga
Nyawa yang mengenakan baju biru sudah mengayunkan kapaknya dengan deras
sekali sambil melompat dan berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaat.:.!"
Wuk!
"Uts...!"
Cepat-cepat Ki Satria menggulirkan tubuhnya ke samping.
Crab!
Hantaman kapak itu hanya mengenai tanah yang kosong. Namun, secepat kilat
pemuda berbaju merah itu kembali mengayunkan kapaknya sambil berteriak-keras
menggelegar. Dan, pada saat yang bersamaan pemuda yang mengenakan baju
kuning juga melakukan serangan dengan kapaknya dari arah lain.
"Hup!"
Ki Satria cepat-cepat melompat menghindari dua serangan yang datang secara
bersamaan itu. Tapi begitu berada di udara, mendadak pemuda yang mengenakan
baju biru mengebutkan tangan kanannya. Saat itu juga terlihat serbuk
berwarna kuning tersebar langsung ke wajah Ki Satria. Begitu cepat serangan
kali ini, sehingga ki Satria tidak sempat lagi menghindarinya.
"Ukgh...!"
Ki Satria langsung terhuyung dan terbatuk. Wajahnya seketika membiru.
Serbuk racun yang ditebarkan si Perampok Tiga Nyawa yang berbaju biru itu
langsung merasuk ke dalam hidung Ki Satria dan terus merembes dengan cepat
ke dalam dada. Napas Ki Satria terasa bagai tersumbat batu yang sangat
besar.
"Ugkh! Ugkh...!"
Ki Satria semakin terhuyung, lalu tubuhnya ambruk menggelepar di tanah.
Mulut, hidung, dan telinganya mulai kelihatan mengeluarkan darah. Dia terus
menggelepar sambil mengerang meregang nyawa, hingga akhirnya diam tak
bergerak gerak lagi. Seluruh tubuh lelaki tua itu langsung membiru. Dan,
darah terus bercucuran keluar dari mulut, hidung, dan telinganya.
Sementara itu Nyai Wandari masih berdiri mematung sambil terus memandang ke
dalam Jurang Setan yang selalu berkabut itu. Dia kini sudah didampingi Ki
Rahun dan dua puluh orang pengawalnya, yang semuanya menyandang golok
terhunus di tangan kanan.
"Ayo, Nyai. Kita cepat tinggalkan tempat ini," ajak Ki Rahun.
Sebentar Nyai Wandari memandangi Ki Rahun. Tapi, wanita cantik itu
tampaknya sama sekali belum tahu bahwa laki-laki di hadapannya ini telah
mengkhianatinya. Kemudian Nyai Wandari segera melangkah menjauhi bibir
jurang diikuti para pengawalnya. Sedangkan Ki Laksa dan si Perampok Tiga
Nyawa hanya diam memandang dengan bibir mengulum senyum. Keempat lelaki itu
terus memperhatikan Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh orang pengawalnya
yang semakin jauh meninggalkan tempat ini.
"Bagaimana sekarang, Ki?" tanya si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju
merah.
"Tunggu sampai mereka jauh dulu. Aku tidak ingin Nyai Wandari mengetahui
rencanaku. Juga Ki Rahun itu. Dia bisa berbahaya nantinya," sahut Ki
Laksa.
"Ternyata tidak sulit, Ki. Tidak perlu mengerahkan orang-orang kita," kata
si Perampok Tiga Nyawa yang berbaju merah lagi.
"He he he...!" Ki Laksa hanya terkekeh kekeh.
"Ayo...."
Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh orang pengawalnya terus bergerak
cepat menerobos lebatnya hutan. Dan, tidak ada seorang pun yang tahu kalau
Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa terus membuntuti dari jarak yang cukup
jauh. Akhirnya, sampailah mereka di gua tempat penyimpanan senjata. Ki Rahun
segera membuka pintu gua yang terbuat dari batu. Mereka cepat-cepat masuk ke
dalam gua itu. Kemudian, begitu pintu ditutup, Ki Laksa dan si Perampok Tiga
Nyawa muncul di sana.
"Bagaimana, Ki?" tanya si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju
biru.
"Hancurkan gua itu," perintah Ki Laksa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang pemuda yang dikenal dengan
julukan si Perampok Tiga Nyawa itu langsung melepaskan pukulan-pukulan jarak
jauh yang begitu dahsyat. Tak pelak lagi, gua itu pun tak lama kemudian
hancur seiring dengan terdengarnya ledakan-ledakan dahsyat menggelegar yang
menggetarkan bumi.
"Ha ha ha...!" Ki Laksa tertawa terbahak-bahak melihat gua itu telah hancur
tak berbentuk lagi.
***
LIMA
Glarrr!
"Oh...?!"
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh tambalan itu tersentak kaget
ketika tiba-tiba terdengar ledakan keras menggelegar, Lamunannya buyar saat
itu juga. Dia segera menengadahkan kepalanya ke atas. Tampak langit begitu
kelam, tersaput awan hitam yang menggumpal tebal. Gadis itu kemudian kembali
memandangi reruntuhan puing rumah di depannya.
"Ayah, Ibu.... Walaupun bukan aku yang melakukannya, kini sakit hatimu
sudah terbalas. Tapi aku masih punya satu persoalan. Aku belum bisa
mendapatkan keris pusaka mu. Aku janji, Ayah. Aku akan mendapatkan keris
itu."
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh tambalan itu berkata-kata
dengan suara yang terdengar pelan sekali. Dan, tanpa disadari, setitik air
bening menitik keluar dari sudut matanya. Tapi, cepat dia menyadari, lalu
cepat-cepat menghapus air matanya dengan punggung tangan.
Sebentar kemudian kakinya mulai bergerak melangkah mendekati reruntuhan
puing rumah di depannya ini. Namun, baru beberapa langkah dia berjalan,
mendadak...
Srek!
"Heh...?!"
Cepat dia berhenti dan langsung memutar tubuhnya ketika tiba-tiba terdengar
suara gemerisik dari arah belakang. Saat itu, terlihat sebuah bayangan
berkelebat cepat menyelinap di antara lebatnya pepohonan yang menghitam
kelam.
"Hup...!"
Begitu cepat dan ringan gerakannya saat melompat. Dan, tahu-tahu gadis itu
sudah berada di atas cabang pohon yang cukup tinggi. Saat itu sekilas dia
melihat kembali sebuah bayangan berkelebat tidak jauh darinya.
"Hup!"
Kembali dia melompat turun dan langsung meluruk deras ke arah menghilangnya
bayangan itu. Setelah sedikit ujung jari kakinya menyentuh tanah, kembali
tubuhnya melenting tinggi ke udara. Beberapa kali dia melakukan putaran di
udara, lalu dengan manis sekali meluruk deras begitu melewati atas kepala
seseorang yang berlari cepat menyelinap di antara pepohonan.
"Berhenti kau...!"
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis berbaju putih compang-camping
dan penuh tambalan itu menjejakkan kakinya pada jarak setengah batang tombak
dari seorang laki-laki setengah baya. Gadis berbaju putih compang-camping
dan penuh tambalan yang tak lain adalah si Dewi Beruang Putih itu tampak
menyipitkan kelopak matanya saat memperhatikan laki-laki setengah baya di
depannya.
"Siapa kau, Kisanak? Kenapa kau memata-matai ku?" tegur Dewi Beruang
Putih.
Suara gadis itu terdengar dingin dan datar. Tatapan matanya yang begitu
tajam menembus langsung ke bola mata lelaki di hadapannya yang kelihatan
agak memerah. Sedangkan laki-laki setengah baya yang mengenakan baju kuning
agak ketat itu beberapa saat terdiam. Tampak dia memindahkan tongkat kayunya
dari tangan kanan ke tangan kiri. Lalu dua tindak dia melangkah ke depan.
Sinar matanya yang memerah terlihat begitu tajam membalas tatapan mata si
Dewi Beruang Putih.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nisanak. Untuk apa kau datang dan
memperhatikan bekas rumah Ki Satria...?" ujar laki-laki setengah baya itu
dengan nada suara yang terdengar dingin sekali.
"Heh...?! Siapa kau ini sebenarnya, Kisanak?" balas si Dewi Beruang Putih
yang tampak terkejut.
"Orang-orang selalu memanggilku Ki Gaduk..."
"Paman Gaduk..?!" desis Dewi Beruang Putih, langsung memutuskan ucapan
laki-laki setengah baya itu.
"Heh...?!"
Kali ini laki-laki setengah baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama Ki
Gaduk itulah yang terperanjat, saat gadis berpakaian pengemis itu
menyebutnya paman. Dia langsung memperhatikan gadis didepannya ini
dalam-dalam, seakan-akan mencari sesuatu pada diri gadis berpakaian pengemis
ini.
"Oh...! Kau... kau pasti sudah tidak mengenaliku lagi, Paman. Lima belas
tahun memang bukan waktu yang pendek," kata si Dewi Beruang Putih dengan
nada suara yang terdengar agak mendesah.
"Nisanak, siapa kau ini?" tanya Ki Gaduk, yang tampak penasaran.
"Paman, aku... aku Intan, Paman. Intan Kumala...," jawab Dewi Beruang
Putih, agak tersendat.
"Intan Kumala...?!"
Ki Gaduk tampak semakin terperanjat saat gadis itu memperkenalkan dirinya.
Dia sampai menarik kakinya ke belakang tiga langkah. Dan, kelopak matanya
terlihat menyipit memperhatikan gadis berpakaian pengemis di depannya ini.
Kelihatannya lelaki tua ini tidak percaya kalau gadis itu bernama Intan
Kumala.
"Tidak...," desis Ki Gaduk kemudian sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Aku benar-benar Intan, Paman. Intan Kumala..., putri tunggal Ki Satria dan
Nyai Wandari," selak si Dewi Beruang Putih, mencoba meyakinkan.
"Tidak.... Intan Kumala sudah mati...," desis Ki Gaduk sambil terus
menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oh..., kenapa kau menyangka begitu, Paman?" keluh Dewi Beruang
Putih.
"Kenapa semua orang menyangka aku sudah mati? Padahal aku masih hidup,
walaupun...."
Dewi Beruang Putih tidak melanjutkan kata-katanya. Dia memandangi Ki Gaduk
dalam-dalam. Gadis itu ingat, Ki Gaduk adalah salah seorang pengawal yang
ikut dengan ibunya ketika Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa menghancurkan
rumah ayahnya. Dia juga tahu, Ki Laksa telah mengambil alih kedudukan Ki
Satria sebagai orang kepercayaan kerajaan yang bertugas mengantar
barang-barang berharga ataupun mengawal anggota keluarga istana dan para
pembesar lainnya. Gadis itu pun masih ingat, bukan hanya Ki Gaduk, melainkan
masih ada dua puluh orang lagi yang bersama dengan Nyai Wandari ketika
itu.
"Aku tahu, memang tidak mudah untuk mempercayai ku begitu saja. Aku memang
tidak mungkin bisa meyakinkanmu bahwa aku benar-benar Intan Kumala. Tidak
mengapa, Paman. Aku tidak menyalahkanmu. Tapi aku akan membuktikan kalau aku
adalah Intan Kumala, putri tunggal Ki Satari," kata Dewi Beruang Putih
dengan nada suara agak tertahan.
Setelah berkata demikian, Dewi Beruang Putih memutar tubuhnya berbalik,
lalu segera melangkah pergi dengan ayunan kaki perlahan-lahan. Sedangkan Ki
Gaduk masih tetap diam memandangi. Entah apa yang ada di dalam kepalanya
saat itu. Bahkan dia masih tetap berdiri diam mematung walaupun si Dewi
Beruang Putih yang mengaku bernama Intan Kumala sudah tidak terlihat lagi,
tertelan pekatnya malam ya dingin ini.
"Oh, benarkah dia Intan Kumala...?" desah Ki Gaduk perlahan, bertanya-tanya
pada dirinya sendiri.
***
Entah berapa lama Ki Gaduk berdiri diam mematung di dalam gelapnya malam.
Kemudian dia memutar tubuhnya dan cepat berlari sambil mengerahkan ilmu
meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya dia
berlari, sehingga sebentar saja sudah jauh. Dan Ki Gaduk terus berlari
menembus lebatnya hutan. Dia tampak sudah mengenali daerah hutan ini. Tidak
ada sedikit pun halangan baginya, meski malam begitu pekat dan bulan
tersaput awa hitam yang tebal menggumpal.
Cras!
Glarrr!
Sesekali terlihat cahaya kilat menyambar di angkasa, disertai dengan
ledakan guntur menggelegar bagai hendak membelah alam. Namun, Ki Gaduk terus
berlari semakin jauh masuk ke dalam hutan. Dia baru berhenti setelah sampai
di depan sebuah bangunan cukup besar yang dikelilingi pagar tinggi dari
balok-balok kayu bulat. Di depan pintu, terlihat dua orang laki-laki berusia
sekitar dua puluh lima tahun. Mereka masing-masing membawa tombak dan golok
yang terselip di pinggang. Salah seorang langsung membuka pintu begitu
melihat Ki Gaduk.
"Jangan biarkan siapa pun masuk," pesan Ki Gaduk saat melewati dua orang
penjaga pintu itu.
"Baik, Ki," sahut mereka bersamaan. Salah seorang penjaga cepat-cepat
menutup pintu setelah Ki Gaduk berada di dalam. Pada saat itu juga, dari
balik sebatang pohon muncul seorang gadis berpakaian putih penuh tambalan
dan compang camping. Dari pakaiannya, jelas dia adalah si Dewi Beruang
Putih. Rupanya dia mengikuti Ki Gaduk sampai ke tempat yang menyerupai
sebuah benteng ini. Dengan ayunan kaki yang ringan dan tenang, dia melangkah
mendekati pintu yang dijaga dua orang pemuda itu.
"Berhenti...!" bentak salah seorang pemuda itu sambil menyilangkan
tombaknya di depan dada.
"Biarkan aku masuk ke dalam!" desis si Dewi Beruang Putih, dingin.
"Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan masuk," sahut salah seorang
penjaga itu, tegas.
"Hm, kenapa...?"
"Itu perintah dari Ki Gaduk. Dan sebaiknya kau cepat tinggalkan tempat
ini."
Dewi Beruang Putih menyipitkan kelopak matanya. Dipandanginya dua orang
pemuda penjaga pintu itu. Dan, tiba-tiba....
"Hih!"
Cepat sekali dia melompat sambil mengebutkan kedua tangannya secara
bergantian. Begitu cepat gerakannya, sehingga dua orang pemuda itu tampak
terhenyak. Dan, sebelum mereka bisa berbuat sesuatu tahu-tahu....
"Hegkh!"
"Ugkh...!"
Kedua pemuda itu langsung jatuh tersuruk begitu terkena totokan halus di
bagian dada sebelah kiri. Sedangkan Dewi Beruang Putih berdiri tegak di
depan pintu. Dia hanya melirik sedikit pada dua orang pemuda penjaga pintu
yang menggeletak tak sadarkan diri setelah jalan darahnya tertotok.
"Kalian tidak akan bersikap begitu kalau tahu siapa aku," desis Dewi
Beruang Putih. Kemudian gadis berpakaian compang camping mendorong pintu
yang terbuat dari gelondongan kayu. Perlahan-lahan pintu terkuak. Sedikit
dia menjulurkan kepalanya melongok ke dalam. Setelah yakin tidak ada seorang
pun yang terlihat, cepat dia melompat masuk ke dalam. Tapi, baru saja dia
menjejakkan kakinya, mendadak bermunculan orang-orang bersenjata tombak dan
golok. Dan, sebentar saja Dewi Beruang Putih sudah terkepung oleh tidak
kurang dari tiga puluh orang yang masih muda-muda.
"Hm...."
Dewi Beruang Putih hanya menggumam perlahan. Dia mengedarkan pandangannya
berkeliling. Dirayapinya orang-orang yang telah rapat mengepungnya dengan
senjata masing-masing terhunus di tangan. Kemudian pandangannya tertuju ke
arah sebuah bangunan rumah besar yang terbuat dari kayu. Tampak di beranda
depan rumah yang sangat besar berdiri seorang wanita berusia setengah baya.
Di samping wanita itu, berdiri pula seorang laki-laki berbaju kuning yang
dikenal oleh Dewi Beruang Putih sebagai Ki Gaduk.
Walaupun sudah berusia setengah baya, garis-garis kecantikan masih terlihat
jelas pada raut wajah wanita itu. Wanita cantik setengah baya itu kemudian
melangkah perlahan dengan anggun sekali keluar dari beranda. Ki Gaduk pun
mengikuti dari belakang. Dewi Beruang Putih memandangi wajah wanita setengah
baya yang masih kelihatan cantik. Kemudian pandangannya berpindah ke
beranda. Di situ terlihat seorang gadis berdiri tidak jauh dari pintu. Gadis
itu tampak amat cantik, dengan baju biru muda ketat, yang membentuk
lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping dan indah. Tampak pula sebilah pedang
berukuran panjang tergantung di pinggangnya yang ramping.
Sementara itu, Ki Gaduk dan wanita setengah baya itu sudah sampai begitu
dekat di depan Dewi Beruang Putih. Jarak mereka tinggal sekitar enam
langkah. Sedangkan sekitar tiga puluh orang bersenjata tombak dan golok
masih tetap mengepung dengan sikap siap menerima perintah. Tak ada seorang
pun yang membuka suara. Suasana pun menjadi hening dan begitu mencekam.
Detak-detak jantung begitu terasa jelas terdengar. Entah kenapa, sorot mata
Dewi Beruang Putih dan wanita setengah baya yang cantik itu saling
bertemu.
Mereka sama-sama merasakan adanya getaran di dalam dada. Dan, getaran itu
semakin lama semakin bertambah kuat. Kedua wanita itu terus terpaku dari
mematung diam. Cukup lama juga keduanya berpandangan, seperti tengah
berbicara di antara hati masing-masing.
"Kau yang mengaku bernama Intan Kumala...?
Wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu terlebih dulu
tersadar. Dia langsung bertanya dengan suara yang agak tertekan.
"Aku memang Intan Kumala," sahut Dewi Beruang Putih.
"Terus terang, aku memang kehilangan seorang anak perempuan lima belas
tahun yang lalu. Dan kalau memang masih hidup, dia tentu sudah sebesar mu.
Tapi aku ingin bukti kalau kau benar-benar Intan Kumala," kata wanita itu,
tegas.
Dewi Beruang Putih langsung terdiam. Dia memang tidak mempunyai bukti satu
pun yang bisa menunjukkan bahwa dirinya adalah Intan Kumala, putri tunggal
Ki Satria. Tapi di dalam hatinya dia merasa yakin kalau wanita yang berdiri
di depannya ini adalah ibunya, ibu kandungnya yang sudah lima belas tahun
terpisah. Ingin rasanya dia bersimpuh dan memeluk kaki wanita di hadapannya
ini. Tapi, karena sikap wanita itu jelas sekali menunjukkan keragu-raguan,
Dewi Beruang Putih harus menahan rasa kerinduan selama lima belas tahun
ini.
"Nisanak, kalau kau memang anakku Intan Kumala, kau pasti tahu nama ayah
dan ibumu," kata wanita setengah baya itu lagi, yang jelas hendak
menguji.
"Ayahku bernama Ki Satria. Sedangkan ibuku Nyai Wandari," sahut Dewi
Beruang Putih, tegas.
"Lalu, bagaimana kau bisa sampai terpisah dari kedua orang tuamu?"
"Ayah dikhianati oleh Paman Laksa yang dibantu Perampok Tiga Nyawa. Ayah
tewas dalam pertarungan, sedangkan aku tidak tahu bagaimana nasib ibuku,
setelah aku terlempar masuk ke dalam Jurang Setan. Hanya itu yang aku
ingat," jelas Dewi Beruang Putih dengan singkat.
Wanita setengah baya yang tak lain memang Nyai Wandari itu hanya bisa
menggigit-gigit bibirnya mendengar penuturan gadis berpakaian pengemis itu.
Dan tampak jelas kedua bola matanya berkaca-kaca. Degup detak jantungnya
begitu jelas terdengar. Sedangkan tarikan nafasnya juga begitu kuat memburu.
Di hadapannya, Dewi Beruang Putih tetap berdiri diam memandangi dengan
perasaan yang tidak menentu.
"Apa yang kau katakan memang benar, Nisanak. Tapi apakah kau tahu kalau ada
seorang lagi yang berkhianat?" tanya Nyai Wandari lagi.
Dewi Beruang Putih hanya menggeleng gelengkan kepalanya. Dia memang tidak
tahu kalau masih ada satu orang lagi yang mengkhianati ayahnya. Yang dia
tahu, hanya Ki Laksa yang berkhianat. Dan, lelaki itu telah merebut
kedudukan Ki Satria menjadi orang kepercayaan kerajaan.
"Seorang lagi telah berkhianat dan mencuri senjata pusaka suamiku. Itu
sebabnya, kenapa suamiku sampai mudah dikalahkan. Nisanak, jika kau memang
benar Intan Kumala, aku hanya ingin bukti lewat pusaka itu. Kalau kau bisa
membawa pusaka itu padaku, kau memang anakku yang hilang lima belas tahun
lalu," kata Nyai Wandari, dengan suara agak tersendat.
Dewi Beruang Putih hanya diam memandangi. Dia tahu, pusaka apa yang
dimaksudkan wanita setengah baya ini. Dan dia juga tahu, siapa yang
memegangnya sekarang. Inilah yang membuatnya diam terpaku. Dia justru
mencari wanita ini karena ingin merebut kembali Keris Naga Emas dari tangan
Pendekar Pulau Neraka.
Tapi sekarang wanita yang diyakini sebagai ibunya ini malah memintanya
untuk membawa Keris Naga Emas kepadanya. Dewi Beruang Putih tidak bisa lagi
berbicara. Dia harus membawa Keris Naga Emas agar bisa berkumpul kembali
dengan ibu kandungnya ini.
Tanpa berkata-kata sedikit pun, dia memutar tubuhnya dan langsung melangkah
keluar dari bangunan besar berbentuk benteng pertahanan ini. Dua orang
pemuda yang memegang senjata tombak cepat-cepat membuka pintu gerbang. Dewi
Beruang Putih terus melangkah keluar tanpa berpaling lagi sedikit pun.
Sedangkan Nyai Wandari yang terus didampingi Ki Gaduk masih berdiri
memandangi sampai pintu gerbang ditutup kembali.
"Gaduk...," kata Nyai Wandari pelan sekali.
"Iya, Nyai," sahut Ki Gaduk.
"Kau ikuti dia. Dan bantu sebisa mu untuk mendapatkan Keris Naga Emas,"
ujar Nyai Wandari, memberi perintah.
"Tapi, Nyai...," kata Ki Gaduk, seperti hendak menolak.
"Gaduk, perasaanku mengatakan, dia memang Intan Kumala," selak Nyai
Wandari, memotong cepat.
"Ikuti dia, jangan sampai ketahuan."
"Baik, Nyai," sahut Ki Gaduk, tidak bisa membantah lagi.
Nyai Wandari bergegas memutar tubuhnya dan melangkah cepat-cepat ke rumah
besar tempat tinggalnya selama ini. Dia berhenti setelah sampai di depan
pintu. Sedikit dia melirik pada seorang gadis cantik yang sejak tadi berdiri
saja di samping pintu. Gadis itu juga memandangnya dengan sinar mata yang
begitu sukar diartikan.
"Bu..., benarkah aku masih punya kakak...?" ujar, gadis itu,
ragu-ragu.
"Ayo masuk, Ibu ceritakan semuanya di dalam? kata Nyai Wandari.
"Tapi, benarkah aku masih punya kakak, Bu?' desak gadis itu.
Nyai Wandari tersenyum, lalu merengkuh bahu gadis itu. Mereka kemudian
melangkah masuk ke dalam rumah yang berukuran besar dan terbuat dari kayu
ini. Keduanya duduk di balai-balai dari bambu yang beralaskan permadani
lembut berwarna biru muda. Dengan tutur kata yang lembut dan perlahan-lahan,
Nyai Wandari kemudian menceritakan semua peristiwa yang terjadi lima belas
tahun yang lalu, di saat dia tengah mengandung sekitar dua bulan. Gadis
cantik itu tampak mendengarkan dengan penuh perhatian. Sedikit pun dia tidak
menyelak sampai Ny Wandari selesai dengan ceritanya.
Lama juga kedua wanita itu terdiam. Gadis cantik berbaju biru muda itu
masih tetap diam, meskipun ibunya sudah tidak bercerita lagi. Dia memandangi
wajah yang sudah mulai keriput itu dalam-dalam. Entah apa yang dirasakannya
saat ini setelah mendengar semua cerita menyedihkan yang terjadi lima belas
tahun lalu itu.
"Begitulah ceritanya, Rara Anting. Sampai sekarang ini aku tidak tahu,
bagaimana nasib kakakmu,� kata Nyai Wandari agak mendesah, setelah cukup
lama berdiam diri.
"Bu, apa mungkin Kak Intan Kumala masih bisa hidup di dalam Jurang
Setan...?" tanya gadis cantik yang dipanggil Rara Anting itu, dengan suara
yang pelan sekali dan terdengar ragu-ragu.
"Entahlah, Anakku. Belum pernah aku mendengar ada orang yang bisa hidup
setelah jatuh ke dalam Jurang Setan," sahut Nyai Wandari, mendesah
perlahan.
"Tapi, siapa gadis itu tadi, Bu?" tanya Rara Anting, terus mendesak.
"Aku tidak tahu, Rara Anting. Tapi dia mengaku sebagai Intan Kumala."
"Ibu percaya?"
Nyai Wandari hanya menggeleng gelengkan kepalanya. Bibirnya terlihat
mengukir sebuah senyum. Tapi, terasa getir sekali senyum itu. Perlahan-lahan
memalingkan kepalanya, lalu menatap keluar melalui jendela yang dibiarkan
terbuka lebar. Raut wajahnya terlihat menyiratkan kedukaan yang begitu
dalam. Rara Anting beringsut mendekati dan langsung memeluk bahu
ibunya.
"Bu..., aku senang sekali kalau Kak Intan masih hidup," ujar Rara Anting,
berbisik pelan.
"Aku juga berharap begitu, Anting. Siang malam aku selalu memohon pada
Hyang Widi untuk melindungi Intan Kumala dan mempertemukan aku dengannya
kembali," sahut Nyai Wandari, yang juga berbisik pelan.
"Jika Ibu mengizinkan, aku akan mencarinya," kata Rara Anting.
Nyai Wandari langsung menatap dalam dalam ke bola mata anak gadisnya ini.
Terlihat jelas adanya kesungguhan pada sinar mata Rara Anting. Nyai Wandari
tidak dapat lagi mengendalikan diri. Dia langsung menarik gadis itu dan
merengkuhnya ke dalam pelukan. Tak dapat lagi dia menahan air matanya yang
jatuh menitik. Sedangkan Rara Anting hanya diam saja, tidak tahu harus
berbuat apa lagi. Dia takut kalau ucapannya tadi membuat hati ibunya
terluka.
Lama juga Nyai Wandari memeluk putrinya. Kemudian perlahan-lahan dia
melepaskan pelukannya dan memandangi wajah Rara Anting begitu dalam. Dengan
punggung tangannya dia menyeka air mata yang mengalir membasahi
pipinya.
"Dunia luar begitu kejam, Anakku. Sedangkan bekal yang kau miliki belum
cukup untuk mengarungi ganasnya rimba belantara," kata Nyai Wandari, agak
tersendat.
"Tapi, Bu...."
"Aku sudah memerintahkan Paman Gaduk untuk mencari keterangan tentang
kakakmu. Sebaiknya kau di sini saja bersamaku, Anting. Tidak ada lagi yang
aku miliki sekarang ini selain kau," selak Nyai Wandari, cepat-cepat
memotong ucapan putrinya.
"Bu, orang-orang mungkin masih ada yang mengenali Paman Gaduk. Tapi tidak
ada seorang pun yang bisa mengenaliku. Izinkan aku mencari kak Intan,
Bu...," rengek Rara Anting.
"Jangan, Anting....Aku tidak mau kehilangan mu."
"Aku janji, Bu. Hanya satu pekan saja. Setelah itu, aku tidak akan keluar
dari tempat ini. Berikan aku kesempatan, Bu. Aku akan mencari tahu kabar Kak
Intan," desak Rara Anting.
Nyai Wandari terdiam. Memang sulit baginya untuk mencegah Rara Anting jika
gadis itu sudah menginginkan sesuatu. Gadis ini memang keras. Dan, wataknya
yang keras ini mengingatkan Nyai Wandari pada mendiang suaminya. Agaknya,
tidak ada sedikit pun yang terbuang dari watak watak Ki Satria pada diri
Rara Anting.
"Baiklah...," desah Nyai Wandari, mengalah.
"Oh, terima kasih, Bu...," ucap Rara Anting sambil langsung memeluk wanita
yang melahirkannya ini.
"Tapi ingat, Anting. Satu pekan saja. Setelah itu kau jangan keluar lagi
dari tempat ini," pesan Nyai Wandari, mengingatkan.
"Aku janji, Bu. Satu pekan saja," sahut Rara Anting dengan gembira.
"Dan sebaiknya pula kau membawa teman," usul Nyai Wandari.
"Untuk apa...?"
"Bekalmu belum cukup, Anting."
"Tapi, di antara yang lain, aku tidak pernah terkalahkan, Bu. Mereka semua
masih berada di bawah kepandaianku. Hanya Paman Gaduk dan Ibu yang tidak
bisa aku kalahkan," tolak Rara Anting, tegas.
"Hhh...!"
Nyai Wandari hanya menghembuskan napas panjang. Memang sulit baginya untuk
bisa berdebat dengan Rara Anting. Gadis itu tidak akan mau mengubah
pendiriannya. Kalau sudah mengatakan sesuatu, selamanya dia tidak akan
mengubah atau menarik lagi ucapannya.
Nyai Wandari pun tidak bisa lagi mendesak. Dia hanya bisa berpesan agar
anak bungsunya ini berhati-hati, karena akan sangat banyak rintangan dan
bahaya yang akan dihadapinya, di alam bebas nanti.
***
LIMA
Intan Kumala duduk memeluk lutut sambil memandang ke arah Desa Gebang dari
atas ketinggian bukit batu. Angin yang bertiup kencang sore ini membuat
rambutnya yang dibiarkan meriap melambai-lambai mengganggu penglihatannya.
Tapi, gadis yang dikenal selalu menggunakan nama Dewi Beruang Putih itu
tetap diam tak bergeming sedikit pun. Kedua matanya tidak berkedip memandang
lurus ke arah Desa Gebang, desa tempatnya dilahirkan.
Tring!
"Heh...?! Apa itu...?"
Intan Kumala terhenyak kaget ketika tiba-tiba telinganya mendengar
dentingan halus. Cepat dia terlonjak bangkit berdiri. Sebentar dia
menengadahkan kepalanya sedikit. Dicobanya untuk mendengarkan lebih jelas
lagi suara yang membuatnya terkejut tadi.
"Suara pertarungan...," gumamnya, perlahan.
Beberapa saat Intan Kumala mencoba menentukan arah datangnya suara yang
didengarnya barusan. Kemudian tubuhnya melesat begitu cepat bagai kilat.
Sungguh ringan gerakannya, bagaikan daun kering tertiup angin. Dewi Beruang
Putih terus berlari cepat disertai ilmu meringankan tubuhnya menuruni lereng
bukit batu ini. Begitu ringan dan cepat larinya, sehingga kedua telapak
kakinya bagaikan tidak menyentuh tanah sama sekali. Dan, sebentar saja dia
sudah sampai di kaki bukit batu ini.
Tampak di sebuah padang rumput yang tidak seberapa luas, seorang gadis
berbaju biru muda tengah bertarung melawan empat orang laki-laki bertubuh
tinggi kekar yang masing-masing menggunakan senjata berupa golok. Gadis itu
tampak kewalahan menghadapi serangan-serangan empat orang lawannya.
"Akh...!"
Jelas sekali terlihat gadis itu terpental sambil memekik keras begitu
dadanya terkena tendangan salah seorang lawannya. Dia tersuruk jatuh mencium
tanah. Dan, pada saat itu, seorang lawannya lagi sudah melompat sambil
mengibaskan goloknya dengan cepat. Pada saat itu juga....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Intan Kumala cepat melompat. Langsung dia
melepaskan satu pukulan keras disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang
sudah mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya serangan yang dilakukan Intan
Kumala, sehingga laki-laki bertubuh tinggi tegap yang mengenakan baju hitam
itu tidak dapat lagi menghindar.
Diegkh!
"Akh...!"
Keras sekali pukulan yang dilontarkan Intan Kumala. Akibatnya, laki-laki
berbaju hitam itu terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Tubuhnya
menghantam tanah dengan keras, lalu bergulingan beberapa kali. Tapi, dia
cepat melompat bangkit berdiri, meskipun agak sedikit terhuyung. Sedangkan
Intan Kumala sudah mendarat tepat di samping gadis berbaju biru muda yang
mulai bergerak bangkit berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Intan Kumala sambil berpaling sedikit.
"Hanya dadaku sesak. Terima kasih...," sahut gadis itu, setelah bisa
berdiri kembali.
Tangan kanan gadis berbaju biru muda itu terus memegangi dadanya yang
sesak, akibat terkena tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi dari
lawannya tadi.
Sementara itu, empat laki-laki bertubuh tinggi tegap dan kekar dengan wajah
kasar yang mencerminkan kebengisan sudah bergerak mengepung dari empat arah.
Golok-golok mereka bergerak-gerak perlahan melintang di depan dada.
"Kalau ada kesempatan, menyingkirlah. Biar mereka aku yang tangani," kata
Intan Kumala.
Gadis cantik berbaju biru muda itu hanya menganggukkan kepalanya. Dia
memang menyadari, tidak akan mungkin dirinya bisa bertahan lebih lama lagi
kalau meneruskan pertarungan ini. Dadanya yang terkena tendangan keras
bertenaga dalam cukup tinggi tadi masih terasa sangat nyeri dan sesak.
Nafasnya pun tersendat-sendat.
"Sakit..?" tanya Intan Kumala sambil memandangi gadis di sampingnya
ini.
"Iya," sahut gadis itu sambil meringis menahan sakit di dadanya.
Sebentar Intan Kumala memandangi gadis itu. Kemudian, tiba-tiba saja dia
bergerak cepat menyambar pinggang gadis berbaju biru muda itu. Dan, secepat
kilat pula dia melompat tinggi ke udara. Begitu cepat dan ringan gerakannya.
Keempat orang pengepung pun tidak sempat lagi menyadari. Tahu-tahu, Intan
Kumala sudah berada di luar kepungan, lalu segera menurunkan gadis berbaju
biru muda yang berada dalam kepitannya. Pada saat itu, keempat orang
laki-laki bertampang kasar dan bengis itu baru menyadari keadaan yang
terjadi. Dan, mereka langsung berlompatan hendak mengepung kembali.
"Hiyaaat..!"
Pada saat yang bersamaan, Intan Kumala sudah begitu cepat bertindak, Sambil
melompat dan berteriak nyaring, gadis yang menjuluki dirinya si Dewi Beruang
Putih itu melontarkan beberapa pukulan secara beruntun yang begitu cepat,
disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Tapi, empat orang laki-laki
bertampang kasar itu memang bukanlah lawan yang sembarangan. Dengan manis
sekali mereka berhasil menghindari serangan cepat yang dilancarkan Dewi
Beruang Putih.
"Hup! Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Intan Kumala menjatuhkan tubuhnya ke tanah, lalu bergulingan
beberapa kali. Dan, begitu melompat bangkit, secepat kilat dia mengibaskan
tangan kanannya dengan cepat sekali sambil memutar tubuhnya. Tampak
rumput-rumput kering, yang dicabutnya tadi ketika bergulingan, berhamburan.
bagai anak-anak panah yang terlepas dari busurnya.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Keempat lawan Dewi Beruang Putih kelabakan setengah mati menghindari
rumput-rumput kering yang berhamburan bagai serbuan anak panah itu. Mereka
mengebutkan goloknya dengan cepat untuk menyampok rumput-rumput yang berubah
menjadi senjata mematikan itu. Dan, pada saat itu pula, Intan Kumala kembali
dengan cepat melentingkan tubuhnya.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali Dewi Beruang Putih melesat. Dan, secepat itu pula dia
melepaskan satu pukulan keras menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam
yang tinggi ke arah salah seorang lawannya. Begitu cepatnya serangan yang
dilancarkan Dewi Beruang Putih itu, sehingga sulit sekali diikuti dengan
pandangan mata biasa.
Dan....
Des!
"Aaakh...!"
"Hiyaaa.,.!"
Begitu berhasil menjatuhkan seorang lawan, Intan Kumala cepat melompat
kembali dan melepaskan satu tendangan keras bertenaga dalam tinggi pada
seorang lawan lainnya. Sungguh cepat luar biasa gerakan yang dilakukan Dewi
Beruang Putih. Laki-laki tinggi besar dan berwajah kasar itu pun sulit untuk
bisa menghindari lagi.
Begkh!
"Akh...!"
***
Gerakan-gerakan yang dilakukan Intan Kumala memang sangat sulit diikuti
dengan pandangan mata biasa. Satu persatu dia menjatuhkan lawan-lawannya
hingga berpelantingan sambil memekik keras. Pukulan serta tendangan yang
dilontarkan Dewi Beruang Putih juga mengandung pengerahan tenaga dalam yang
sudah mencapai tingkat tinggi. Dan, akibatnya sungguh luar biasa. Keempat
laki-laki berwajah kasar itu langsung terjungkal dan tak mampu bangkit lagi
setelah memperdengarkan erangan kecil.
"Hup...!"
Dengan sekali lesatan saja, Intan Kumala sudah berada dekat di depan gadis
cantik berbaju biru muda. Sedangkan keempat laki-laki yang mengeroyoknya
tadi sudah tidak ada lagi yang bisa berdiri. Keempat laki-laki bertubuh
besar itu menggeletak tak bergerak-gerak lagi. Tapi, dari gerakan halus di
dada masing-masing bisa dipastikan mereka masih hidup. Memang, pukulan serta
tendangan yang dilepaskan Intan Kumala tidak sampai mematikan, walaupun
disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi tingkatannya. Karena,
Intan Kumala sengaja tidak melakukannya pada bagian tubuh yang mematikan.
Dia hanya ingin membuat keempat orang itu tidak sadarkan diri.
"Bagaimana dadamu? Masih sakit...?" tanya Intan Kumala.
"Sedikit," sahut gadis berbaju biru muda itu.
"Coba aku periksa."
Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, si Dewi Beruang Putih segera
menempelkan telapak tangan kanannya di dada gadis ini. Saat itulah dia
menyalurkan hawa murni, yang membuat dada gadis itu terasa hangat. Hanya
sebentar Intan Kumala menempelkan telapak tangan kanannya. Dia kemudian
melangkah mundur dan duduk bersila di bawah pohon. Sedangkan gadis berwajah
cantik yang mengenakan baju biru muda itu mengambil tempat di depan Dewi
Beruang Putih. Dia merasakan dadanya tidak lagi sesak dan nyeri.
"Sepertinya aku pernah melihatmu...," kata Intan Kumala, agak
ragu-ragu.
"Memang, kau pernah melihatku di padepokan ibu," sahut gadis itu.
"Padepokan ibu...?" Intan Kumala menyipitkan keningnya.
"Kau yang datang kemarin malam," kata gadis itu lagi.
Intan Kumala langsung terlonjak berdiri begitu teringat bahwa gadis inilah
yang dilihatnya di rumah yang didatanginya kemarin malam. Dia ingat, gadis
ini berdiri di dekat pintu ketika dia sedang berusaha meyakinkan Nyai
Wandari kalau dia adalah anaknya.
"Aku sengaja keluar dari padepokan untuk bertemu denganmu, Kak Intan," kata
gadis cantik berbaju biru muda yang tak lain adalah Rara Anting ini.
"Eh...?! Kenapa kau memanggilku Kak Intan...?" sentak Intan Kumala.
"Aku yakin kalau kau adalah kakakku. Kau adalah Intan Kumala, kakakku yang
hilang lima belas tahun yang lalu," kata Rara Anting, mantap.
"Siapa namamu?" tanya Intan Kumala.
"Rara Anting."
Intan Kumala memandangi gadis cantik yang sesungguhnya baru berusia sekitar
lima belas tahu ini. Tapi, tubuh Rara Anting yang bongsor memang membuatnya
tampak sudah berusia lebih dari delapan belas tahun. Hanya sorot matanya
yang masih menampakkan kekanak-kanakannya. Intan Kumala kembali duduk.
Punggungnya di sandarkan ke batang pohon. Namun, pandangannya tetap tertuju
pada gadis cantik yang masih tetap duduk di depannya ini.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa aku kakakmu?" tanya Intan Kumala
lagi.
"Waktu itu aku memang belum lahir, Kak. Aku masih berada di dalam kandungan
ibu. Jadi aku bisa memaklumi kalau kau tidak bisa mengenaliku," jelas Rara
Anting.
"Rara Anting, sebaiknya kau kembali saja kepada ibumu. Tidak ada gunanya
kau menemuiku. Ibumu sendiri tidak mau mengakui aku sebagai anaknya," kata
Intan Kumala, dengan suara agak tertahan.
Dewi Beruang Putih tampak menggigit-gigit bibirnya sendiri saat mengatakan
bahwa ibunya tidak mau mengakui dia sebagai anaknya yang hilang lima belas
tahun lalu. Saat itu Rara Anting menggeser duduknya lebih dekat, sehingga
jaraknya hanya tinggal satu langkah lagi di depan Dewi Beruang Putih.
"Aku akan membantumu mencari pusaka itu, Kak. Kita akan bersama-sama
menyerahkannya kepada ibu," kata Rara Anting, mantap.
"Tidak..," desah Intan Kumala seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak..?"
"Kau tidak tahu bahayanya mendapatkan Keris Naga Emas, Rara Anting," kata
Intan Kumala. "Keris itu sekarang berada di tangan orang yang memiliki
tingkat kepandaian sangat tinggi. Aku sendiri belum tentu bisa memperolehnya
dengan mudah. Kecuali, aku bisa mengalahkannya. Dan itu juga sulit, Rara
Anting. Sebaiknya kau kembali saja ke padepokan. Biar aku sendiri yang
berusaha merebut keris itu, ini persoalanku, kau tidak perlu melibatkan
diri."
"Tapi, Kak..."
"Sudahlah, Rara Anting. Ibumu pasti cemas memikirkan mu. Jangan kau buat
ibu menderita lagi. Sudah terlalu banyak penderitaan yang dialaminya",
potong Intan Kumala dengan cepat.
Rara Anting tidak bersuara lagi. Entah kenapa, dia tidak bisa membantah
semua ucapan yang dikatakan oleh Dewi Beruang Putih. Padahal, biasanya dia
tidak mau kalah. Sementara itu Intan Kumala sudah berdiri lagi. Dia
melangkah beberapa tindak menjauhi Rara Anting. Pandangannya tertuju lurus
ke arah Desa Gebang yang terlihat begitu kecil dari kaki bukit batu
ini.
"Pulanglah, Anting. Masih banyak yang harus aku kerjakan," kata Intan
Kumala tanpa berpaling sedikit pun.
"Kak...."
Tapi, Intan Kumala sudah melesat begitu cepat, sehingga Rara Anting tidak
sempat lagi meneruskan kata-katanya. Gadis itu hanya bisa diam.
Dipandanginya arah kepergian Dewi Beruang Putih, yang dengan cepat sekali
melesat bagai menghilang tertelan bumi.
"Aku yakin, kau adalah Intan Kumala, Kakakku," desah Rara Anting sambil
bangkit berdiri.
Sebentar gadis cantik berbaju biru muda itu masih memandang ke arah
kepergian Intan Kumala. Dia kemudian perlahan-lahan mengayunkan kakinya
meninggalkan tepian hutan ini. Rara Anting pun terus berjalan
perlahan-lahan. Dan, tanpa disadari dia justru berjalan menuju ke Desa
Gebang.
***
Sementara itu Intan Kumala sendiri sudah berada di Desa Gebang. Pakaiannya
yang compang-camping dan penuh tambalan tentu saja membuatnya menjadi
perhatian semua orang di desa yang cukup besar ini. Tapi, Intan Kumala tidak
mau peduli. Dia terus mengayunkan kakinya perlahan-lahan. Disusurinya jalan
tanah berdebu yang seakan-akan membelah Desa Gebang ini menjadi dua
bagian.
Ayunan kaki Dewi Beruang Putih tiba-tiba terhenti ketika melihat seorang
pemuda tampan berbaju kulit harimau berada di dalam sebuah kedai kecil tidak
jauh dari tempatnya berdiri. Di depan pemuda itu, tampak duduk seorang gadis
cantik yang mengenakan baju berwarna merah muda. Dan, sebilah gagang pedang
menyembul di punggung gadis itu. Seekor monyet kecil berbulu hitam terlihat
pula duduk nangkring di pinggiran meja.
Pada saat itu, pemuda berbaju kulit harimau yang tak lain adalah Bayu dan
lebih dikenal dengan julukan Pendekar Pulau Neraka itu menoleh ke arah
jalan. Sesaat darah Pendekar Pulau Neraka terkesiap begitu melihat Intan
Kumala berada di seberang jalan. Cepat dia berdiri dari kursinya. Bersamaan
dengan itu, gadis cantik berbaju merah yang berada di depannya juga melihat
ke arah jalan, lalu cepat-cepat berdiri mengikuti Pendekar Pulau
Neraka.
"Sebentar aku kembali," kata Bayu, seraya mengambil Tiren dan meletakkan
dipundak kanannya. Lalu, bergegas dia keluar dari kedai.
Intan Kumala, yang melihat Pendekar Pulau Neraka melangkah menghampirinya,
segera mengayunkan kakinya cepat-cepat. Dia langsung menyeruak di antara
kerumunan banyak orang yang hampir memadati jalan tanah berdebu ini.
Sedangkan Bayu terus berjalan cepat dengan langkahnya yang lebar-lebar
mengejar gadis berbaju compang-camping itu. Dan, di belakangnya tampak Ratna
Wulan mengikuti.
"Nisanak, tunggu...!" seru Bayu seraya mempercepat langkahnya.
Namun, Intan Kumala malah semakin mempercepat langkah. Bahkan, kini dia
berlari menghindari kejaran Pendekar Pulau Neraka. Tanpa berpikir panjang
lagi, Bayu pun segera berlari semakin cepat. Tapi ketika sampai di
perbatasan desa sebelah Timur, Bayu kehilangan gadis berpakaian pengemis
yang dikejarnya itu. Dewi Beruang Putih tiba-tiba saja menghilang setelah
melewati perbatasan Desa Gebang ini.
"Hhh! Ke mana dia...?" keluh Bayu sambil menghentikan langkahnya.
Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi, tetap
saja dia tidak melihat Dewi Beruang Putih. Bahkan, bayangannya gadis itu pun
tidak terlihat sama sekali. Intan Kumala benar-benar seperti lenyap tertelan
bumi. Sementara itu, Ratna Wulan sudah berada di samping pemuda berbaju
kulit harimau ini.
"Sudahlah, Kakang. Tidak perlu kau bersusah payah mencari dia," kata Ratna
Wulan.
Bayu tidak menyahut. Dia terus mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi,
si Dewi Beruang Putih benar-benar lenyap begitu saja seperti tertelan bumi
di perbatasan sebelah Timur Desa Gebang ini.
"Kau pasti terpengaruh oleh cerita perempuan tua di kedai kemarin, Kakang,"
kata Ratna Wulan lagi.
"Hampir semua orang di Desa Gebang ini bilang, anak gadis Ki Satria lima
belas tahun lalu jatuh tercebur ke dalam Jurang Setan. Bukan hanya perempuan
tua yang aneh itu saja yang bilang, Wulan," kata Bayu.
"Tapi...."
"Aku yakin, dia memang Intan Kumala, yang lima belas tahun lalu tercebur ke
dalam Jurang Setan," potong Bayu cepat.
Ratna Wulan tidak bisa bicara lagi. Dia tahu, Pendekar Pulau Neraka sudah
merasa pasti bahwa si Dewi Beruang Putih adalah Intan Kumala, gadis yang
sudah dicarinya selama ini. Dan, gadis itulah satu-satunya pewaris Keris
Naga Emas, yang diserahi oleh Ki Rahun dulu kepada Bayu (Baca serial
Pendekar Pulau Neraka dalam kisah Tiga Pengemis Sakti).
"Kalau ternyata bukan dia pewarisnya, apa kau akan terus mencari pewaris
Keris Naga Emas yang sebenarnya, Kakang?" tanya Ratna Wulan, ingin
kepastian.
"Aku tidak bisa mengabaikan pesan orang yang sudah meninggal, Wulan. Sampai
kapan pun, aku akan tetap mencari pewaris Keris Naga Emas. Bahkan kalau
perlu aku akan berusaha mencari istri Ki Satria, yang belum kita ketahui
nasibnya sampai saat ini. Sahut Bayu, tegas.
Trek!
Tiba-tiba saja terdengar suara ranting patah terinjak. Bayu cepat memutar
tubuhnya. Ratna Wulan mengikuti gerak Pendekar Pulau Neraka. Dan, mereka
langsung terkejut begitu melihat si Dewi Beruang Putih tahu-tahu sudah
berdiri di atas punggung seekor ruang putih raksasa.
***
ENAM
"Hup!"
Dengan gerakan yang begitu ringan dan indah, si Dewi Beruang Putih melompat
turun dari punggung beruang raksasa berbulu putih itu. Dan, tanpa
menimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah tepat sekitar satu
batang tombak di depan Pendekar Pulau Neraka. Dia seakan-akan ingin
memamerkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi.
Sedangkan beruang raksasa berbulu putih itu tetap diam tak bergerak sedikit
pun. Namun, sorot matanya yang begitu tajam tertuju langsung ke bola mata
Pendekar Pulau Neraka.
"Kisanak, aku pernah mengatakan padamu bahwa aku akan membuktikan kalau
diriku adalah Intan Kumala. Aku sudah bertemu dengan ibuku. Tapi aku tidak
diakuinya sebelum mendapatkan bukti. Dan aku harus menyerahkan Keris Naga
Emas sebagai bukti bahwa aku adalah anaknya. Kau mengerti maksudku,
Kisanak..?" ujar Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang terasa dingin
sekali.
Bayu tersenyum, lalu melangkah beberapa tindak mendekati Dewi Beruang
Putih. Dia berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar lima langkah. Dan, dari
balik sabuk yang membelit pinggangnya, dikeluarkannya sebilah keris yang
berwarna kuning emas dan bercahaya indah.
"Memang tidak ada alasan lagi bagiku untuk tidak mempercayaimu, Nisanak.
Terimalah pusaka warisan mu ini," kata Bayu dengan suara yang terdengar
begitu lembut.
"Heh...?!"
Si Dewi Beruang Putih tampak terkejut. Sungguh dia tidak menyangka kalau
pemuda berbaju kulit harimau itu bisa begitu cepat sekali mengubah
pendiriannya. Bahkan, dia mau menyerahkan Keris Naga Emas begitu saja. Intan
Kumala bukannya menerima keris yang disodorkan itu, tapi malah memandangi
Bayu, seakan-akan tidak percaya kalau pemuda berbaju kulit harimau ini
benar-benar mau menyerahkan keris itu.
"Ambillah.... Keris Naga Emas ini memang milikmu, Intan Kumala," kata Bayu
sambil tetap menyodorkan Keris Naga Emas itu.
Intan Kumala masih, belum juga mau menerima keris itu. Dia benar-benar
tidak mengerti akan perubahan sikap Bayu yang begitu cepat ini. Padahal,
semula Bayu tidak percaya kalau dia adalah putri Ki Satria, pewaris tunggal
Keris Naga Emas. Tapi sekarang, dengan mudah sekali Bayu ingin menyerahkan
keris itu. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam benak
Dewi Beruang Putih.
Wusss!
"Awaaas...!"
"Heh...?!"...
Teriakan Intan Kumala yang begitu keras dan tiba-tiba membuat Bayu
tersentak kaget. Cepat-cepat dia melompat ke belakang ketika melihat sebuah
bayangan hitam berkelebat begitu cepat ke arahnya. Pada saat yang bersamaan,
Intan Kumala juga melompat ke belakang dan berputaran dua kali di
udara.
"Hap!"
Indah sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali di tanah setelah melakukan
tiga kali putaran di udara. Tapi, mendadak dia langsung tersentak kaget
setengah mati. Keris Naga Emas yang tadi berada dalam genggaman tangannya
ternyata sudah tidak ada lagi.
"Hik hik hik...!"
"Oh...?!"
Bukan hanya Bayu yang tampak terkejut. Intan Kumala dan Ratna Wulan pun
tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar suara tawa yang terkikik kering
mengerikan. Suara tawa itu terdengar menggema, seakan-akan datang dari
segala penjuru mata angina. Jelas, tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan
tenaga dalam yang tinggi sekali tingkatannya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke arah sebatang pohon beringin yang sangat
besar, tidak jauh dari Intan Kumala berdiri. Begitu cepatnya gerakan
Pendekar Pulau Neraka, sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata
biasa.
Srak!
Baru saja Pendekar Pulau Neraka menembus daun-daun pohon yang rimbun itu,
mendadak dia sudah terpental keluar dengan deras sekali. Beberapa kali
pemuda berbaju kulit harimau itu melakukan putaran di udara. Dan, dengan
manis sekali kedua kakinya menjejak tanah. Tepat pada saat itu, dari
kerimbunan daun pohon meluncur sesosok tubuh berbaju serba hitam yang
longgar. Cepat sekali sosok tubuh hitam itu meluncur turun dari atas
pohon.
Dan, tahu-tahu di depan Bayu sudah berdiri seorang perempuan tua yang
berjubah panjang dan longgar berwarna hitam pekat. Sebatang tongkat
berkepala tengkorak tampak tergenggam di tangan kanannya. Sedangkan tangan
kirinya memegang Keris Naga Emas. Wajahnya yang berkeriput terlihat pucat
seperti mayat. Namun, sinar matanya yang merah bersorot begitu tajam.
Sementara itu Intan Kumala tertegun diam memandangi perempuan tua bungkuk
berjubah hitam yang tiba-tiba muncul itu. Ingatannya langsung kembali ke
masa lima belas tahun silam, di saat dia baru berusia sekitar empat tahun.
Perempuan tua inilah yang datang memperingatkan ayahnya dan hendak
mengambilnya sebelum terjadi peristiwa yang menewaskan Ki Satria. Intan
Kumala ingat, perempuan tua bungkuk dan berjubah hitam itu adalah Ratu Mayat
Bukit Tengkorak.
"Nek, bukankah kau yang bernama Ratu Mayat Bukit Tengkorak...?" tanya Intan
Kumala, ingin meyakinkan hatinya.
"Heh...?! Dari mana kau tahu...?" sentak perempuan tua berjubah hitam itu,
agak terkejut.
"Aku tahu siapa kau, Nek. Kau yang datang pada ayahku dan hendak mengambil
ku lima belas tahun yang lalu. Tapi..., bukankah kau sudah mati oleh senjata
rahasia...?" ujar Intan Kumala, agak ragu-ragu.
"Hik hik hik...! Tidak kusangka, rupanya kau masih hidup, Bocah. Hik hik
hik...! Bagus, aku senang melihat kau masih hidup. Itu berarti kau bisa
mewarisi ilmu-ilmuku, Intan Kumala." Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak
gembira.
Dia kemudian melangkah menghampiri Dewi Beruang Putih. Tawanya yang
terkekeh terus terdengar sumbang menyakitkan telinga. Sementara itu Intan
Kumala masih tetap diam dan tak bergeming sedikit pun. Sedangkan Bayu dan
Ratna Wulan hanya bisa memandang dengan sinar mata yang memancarkan
ketidakmengertian.
"Senjata-senjata rahasia itu memang mengandung racun. Tapi tidak ada
artinya bagiku, Intan. Waktu itu aku hanya pingsan sebentar," kata Ratu
Mayat Bukit Tengkorak. "Sayang.... Kalau saja ayahmu mau mendengar
kata-kataku, tidak akan mungkin terjadi malapetaka itu."
Saat itu Intan Kumala tampak gembira, karena masih ada orang yang
mengenalinya. Dia melirik sedikit pada Pendekar Pulau Neraka yang berdiri
tidak jauh darinya. Saat itu Bayu juga tengah memandang pada Dewi Beruang
Putih yang sesungguhnya berwajah cantik. Dan, tanpa disadari, pandangan mata
mereka bertemu pada satu titik. Entah kenapa, saat itu juga Intan Kumala
merasakan adanya desiran pada aliran darahnya. Tapi cepat-cepat dia segera
memalingkan mukanya dan memandang kembali pada Ratu Mayat Bukit
Tengkorak.
"Ini milikmu. Terimalah...." Ratu Mayat Bukit Tengkorak menyerahkan Keris
Naga Emas yang tadi dirampasnya dari tangan Bayu.
Tapi, Intan Kumala tidak langsung menerima senjata pusaka warisan terakhir
ayahnya itu. Dia malah melirik lagi pada Pendekar Pulau Neraka. Dan, rupanya
pemuda berbaju kulit harimau itu bisa mengetahui lirikan Dewi Beruang Putih
ini. Sambil tersenyum, dia menganggukkan kepalanya sedikit. Hampir tidak
terlihat gerakan pada anggukan kepala Pendekar Pulau Neraka itu.
"Terima kasih," ucap Intan Kumala seraya menerima Keris Naga Emas dari
tangan perempuan tua bertubuh bungkuk itu.
Sebentar Dewi Beruang Putih memandangi keris bergagang kepala naga dan
berwarna kuning keemasan itu. Kemudian diselipkannya keris itu ke balik ikat
pinggangnya. Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak tersenyum-senyum melihat
Keris Naga Emas sudah tersimpan di balik ikat pinggang Intan Kumala.
"Kau sudah bertemu dengan ibumu, Intan?" tanya Ratu Mayat Bukit
Tengkorak.
Intan Kumala tidak langsung menjawab. Kepalanya bergerak tertunduk saat
mendengar pertanyaan perempuan tua berwajah pucat seperti mayat itu. Namun,
tak berapa lama kemudian dia sudah mengangkat kepalanya kembali. Sebentar
ditatapnya wajah keriput yang pucat itu. Kemudian kepalanya dianggukkan
sedikit.
"Lalu?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala masih belum juga membuka mulutnya. Saat itu juga dia merasakan
lidahnya menjadi kelu, sulit untuk diajak bicara. Entah apa yang akan
dikatakannya pada perempuan tua ini. Karena, tidak mungkin baginya untuk
mengatakan bahwa ibunya tidak mau menerima dirinya tanpa membawa Keris Naga
Emas.
"Ada apa, Intan?" tanya Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Kelopak mata perempuan tua itu tampak menyipit ketika melihat raut wajah
Dewi Beruang Putih yang kelihatan murung. Sementara itu Bayu, yang sejak
tadi juga memperhatikan, merasakan ada sesuatu yang tersembunyi yang membuat
Intan Kumala tampak murung begitu. Perlahan-lahan pemuda tampan itu
mendekati, lalu berdiri di samping Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan
perempuan tua berjubah hitam yang wajahnya pucat bagai mayat itu hanya
melirik sedikit pada Pendekar Pulau Neraka.
"Katakan padaku, Intan. Kau sudah menemui ibumu, bukan...?" desak Ratu
Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala menganggukkan kepalanya.
"Lalu, apa yang terjadi?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak lagi.
"Ibu tidak mau menerima kehadiranku," jawab Intan Kumala, pelan
sekali.
"Heh...?! Benar begitu...?" sentak Ratu Mayat Bukit Tengkorak,
terkejut.
Bukan hanya perempuan tua itu yang terkejut mendengar pengakuan Dewi
Beruang Putih. Tapi, Bayu yang sejak tadi diam saja juga tersentak kaget
mendengarnya. Dia sampai memandangi wajah gadis itu dalam-dalam, seakan-akan
ingin mencari kesungguhan dari ucapannya barusan. Sedangkan Intan Kumala
hanya mengangguk. Lalu kepalanya kembali tertunduk menekuri ujung jari
kakinya.
Keheningan langsung menyelimuti mereka semua. Tak ada lagi yang membuka
suara. Bukan hanya Ratu Mayat Bukit Tengkorak yang tidak mengerti dengan
sikap Nyai Wandari. Bayu juga tidak habis mengerti, kenapa Nyai Wandari
tidak mau mengakui Intan Kumala sebagai anaknya. Apakah perpisahan yang
begitu lama telah menjadikan Nyai Wandari lupa pada anak gadisnya ini?
Sulit untuk mencari jawaban dari semua pertanyaan yang bergayut di kepala
mereka saat itu. Sedangkan Intan Kumala sendiri hanya diam, seperti menerima
saja semua yang telah terjadi pada dirinya.
***
Nyala api unggun yang cukup besar membuat udara malam yang dingin ini
sedikit terusir. Tidak jauh dari api unggun itu, terlihat Ratu Mayat Bukit
Tengkorak tengah berbincang-bincang dengan Ratna Wulan. Dan seekor monyet
kecil tampak duduk di pangkuan Ratna Wulan sambil menikmati pisang.
Sementara itu agak jauh di suatu tempat yang cukup gelap dan padat
ditumbuhi pepohonan, tampak Bayu berdiri tegak di depan Intan Kumala. Gadis
berjuluk Dewi Beruang Putih itu tidak lagi kelihatan kumal dan kotor.
Meskipun pakaian putih yang dikenakannya masih tetap compang-camping dan
penuh tambalan, terlihat rambutnya tidak lagi dibiarkan meriap tak teratur.
Dan, kecantikannya kini sudah bisa jelas dipandang.
"Kenapa kau tidak mengatakan hal yang sebenarnya pada Ratu Mayat, Intan?"
ujar Bayu, dengan suara yang terdengar pelan.
"Entahlah.... Aku sepertinya belum percaya penuh padanya," sahut Intan
Kumala, agak mendesah.
"Tapi, kenapa kau mengatakannya padaku?"
Intan Kumala tidak bisa menjawab. Entah kenapa, si Dewi Beruang Putih jadi
begitu mudah mempercayai Pendekar Pulau Neraka. Bahkan, dia telah
menceritakan semua tentang pertemuannya dengan ibunya, termasuk permintaan
ibunya agar dia membawa Keris Naga Emas kalau ingin diakui sebagai anak. Hal
inilah yang tidak diceritakan Intan Kumala kepada Ratu Mayat Bukit
Tengkorak.
"Lalu, kau akan ke sana lagi dan menyerahkan Keris Naga Emas itu kepada
ibumu?" tanya Bayu lagi.
"Aku..., aku jadi ragu-ragu," sahut Intan Kumala, bimbang.
"Kenapa?"
"Aku memang merasakan adanya getaran saat melihatnya, Bayu. Tapi aku merasa
asing, dan...," ucapan Intan Kumala terputus.
"Kau merasa, ada sesuatu yang lain pada ibumu, Intan?" tanya Bayu
lagi.
"Entahlah.... Aku tidak tahu," sahut Intan Kumala dengan suara tetap
mendesah.
Tiba-tiba saja Intan Kumala terisak. Bayu langsung terkejut melihat gadis
yang selama ini dikenalnya begitu tegar dan keras tiba-tiba saja
mengeluarkan air mata. Dan, tidak ada yang bisa dilakukan Pendekar Pulau
Neraka selain merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.
Namun, tangisan Intan Kumala bukannya berhenti, tapi malah menjadi-jadi.
Dia menyembunyikan wajahnya di dada Bayu yang bidang dan sedikit berbulu.
Dan, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Bayu. Dia membiarkan saja
dadanya dibasahi air mata, Cukup lama juga Pendekar Pulau Neraka membiarkan
Intan Kumala menangis di dadanya. Dia baru melepaskan pelukannya setelah
tidak lagi mendengar isak tangis gadis itu.
"Rasanya tidak ada lagi gunanya aku hidup. lbu kandungku saja tidak mau
menerimaku sebagai anaknya," keluh Intan Kumala, setelah bisa menguasai
dirinya lagi.
"Tidak, Intan. Masih banyak yang bisa kau lakukan," hibur Bayu.
Intan Kumala memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Begitu dekatnya
wajah mereka, sehingga desah napas mereka terasa begitu hangat menerpa kulit
wajah. Beberapa saat keduanya terdiam dan hanya saling pandang.
"Bayu..., boleh aku memanggilmu dengan sebutan Kakang...?" pinta Intan
Kumala.
"Kenapa tidak? Aku senang kalau kau mau memanggilku begitu," sambut Bayu
seraya memberikan senyumnya yang manis.
Intan Kumala tersenyum kecil. Jarak mereka masih begitu dekat, seakan-akan
sama-sama tidak mau menjauh. Intan Kumala sendiri seperti tidak menyadari
bahwa sejak tadi tangannya digenggam Pendekar Pulau Neraka. Dan, genggaman
itu membuatnya seperti mendapat kekuatan dihati. Kehangatan genggaman tangan
Bayu membuat Intan Kumala kembali tegar. Isak tangisnya pun benar-benar
hilang. Hanya sisa-sisa air matanya yang masih terlihat membasahi
wajahnya.
"Kakang, boleh aku tahu kenapa kau selalu mencari dan memperhatikan
aku...?" tanya Intan Kumala setelah beberapa saat terdiam.
"Aku mendapat pesan dari seseorang untuk menyerahkan Keris Naga Emas pada
pemiliknya. Orang itu hanya menyebutkan nama Intan Kumala. Dan dari sekian
banyak orang yang aku tanyai, aku merasa pasti kalau kau adalah pewaris
Keris Naga Emas. Itu sebabnya kenapa aku selalu mencarimu, Intan," jelas
Bayu dengan suara yang lembut.
"Sekarang Keris Naga Emas sudah ada padaku. Lalu, apa yang akan kau
lakukan?"
Bayu hanya mengangkat bahunya. Dia tidak segera menjawab pertanyaan Dewi
Beruang Putih. Saat ini lelaki berbaju kulit harimau itu memang tidak tahu,
apa yang akan dilakukannya. Mungkin dia akan melanjutkan pengembaraannya
lagi. Dan, dia akan melakukan perjalanan yang tiada ujung akhirnya, yang
begitu panjang dan melelahkan. Tapi, memang sudah demikianlah garis
perjalanan hidup seorang pendekar kelana seperti Pendekar Pulau Neraka.
Pendekar kelana seperti ini tidak akan pernah bisa hidup dalam satu tempat.
Dia akan selalu berpindah-pindah dan selalu menentang maut.
"Kakang, kau tadi bilang bahwa Keris Naga Emas kau dapatkan dari seseorang.
Boleh aku tahu siapa orangnya...?" Intan Kumala kembali membuka suara.
"Ki Rahun," sahut Bayu.
"Paman Rahun...?!" Intan Kumala tampak agak terkejut mendengar nama yang
barusan disebut Bayu.
"Iya, dia mengaku bernama Ki Rahun. Kau kenal dia, Intan...?"
"Paman Rahun adalah salah seorang pekerja ayahku yang sudah dipercaya. Dia
yang membawa aku dan ibu keluar dari rumah. Oh... kenapa Keris Naga Emas ada
padanya...?"
"Katanya, dia mencuri keris itu dari ayahmu. Tapi dia akhirnya menyadari
kalau dirinya hanya diperalat oleh Ki Laksa. Dia mencoba membalas, karena
dia pun kemudian dikhianati. Tapi nasib menentukan lain. Ki Rahun tewas
akibat luka-lukanya terlalu parah, Sayang..., aku tidak bisa
menyelamatkannya," ujar Bayu, pelan.
"Akh..., kenapa begitu banyak orang yang berkhianat...?" keluh Intan Kumala
dengan nada suara yang terdengar mendesah.
Bayu diam saja. Dan, keduanya kembali terdiam. Namun mata mereka kini
berpandangan. Perlahan-lahan Bayu melingkarkan tangannya ke pinggang yang
ramping ini, kemudian merengkuhnya dengan lembut ke dalam pelukan. Sama
sekali Intan Kumala tidak menolak. Dan, saat itu dia merasakan dadanya
menggemuruh.
"Mhhh...."
Perlahan-lahan kedua kelopak mata Intan Kumala terpejam saat Bayu mulai
mendekatkan wajahnya. Semakin dekat ke wajah Bayu, semakin terasa pula
kehangatan dari desah nafasnya. Dan, tiba-tiba saja seluruh tubuh gadis itu
menggeletar ketika merasakan sentuhan lembut dan hangat di bibirnya.
"Ohhh...," desah Intan Kumala.
Merasakan tidak ada perlawanan dari gadis ini, Bayu langsung melumat bibir
yang selalu merah menggairahkan itu. Sedangkan Intan Kumala hanya mendesah
dan menggumam kecil. Dia merasakan ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya,
sesuatu yang sangat asing dan belum pernah dirasakannya selama ini. Tapi,
seperti ada suatu dorongan kuat di dalam dirinya yang membuat dia
melingkarkan tangannya di leher Pendekar Pulau Neraka.
Intan Kumala pun semakin mendesakkan tubuhnya lebih ke dalam pada pelukan,
pemuda tampan itu. Sementara jari-jari tangan Bayu mulai bergerak
menjelajahi tubuh gadis itu, Intan Kumala menggelinjang di dalam pelukan
pemuda ini, sama sekali si Dewi Beruang Putih tidak menyadari kalau
jari-jari tangan Pendekar Pulau Neraka dengan lincah sekali mulai melepaskan
pakaiannya. Dan, ketika Bayu melepaskan pagutannya....
"Oh...?!"
Intan Kumala seketika tersentak. Dia langsung menyurukkan kepalanya ke dada
Bayu yang bidang dan tegap. Wajahnya seketika bersemu merah. Entah apa yang
ada di dalam dadanya. Seumur hidupnya, belum pernah dia merasakan hal
seperti tadi, sesuatu yang membuatnya menggeletar. Dia seperti tidak peduli
bahwa pakaiannya sebagian sudah terbuka hingga menampakkan kulit tubuhnya
yang putih dan halus. Baru saja Bayu mengecup pundak gadis itu,
tiba-tiba....
Srek!
***
Bayu segera menoleh ketika mendengar suara bergemerisik. Dan, dia tampak
terpana begitu tahu-tahu Ratna Wulan muncul dari kegelapan malam. Gadis itu
juga terbeliak lebar. Dia terkejut setengah mati melihat Intan Kumala berada
di dalam pelukan Pendekar Pulau Neraka. Beberapa saat Ratna Wulan terpaku
diam dengan mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Dia seakan-akan tidak
percaya dengan apa yang disaksikannya saat ini. Kemudian gadis itu
cepat-cepat memutar tubuhnya dan langsung berlari cepat menjauhi tempat
itu.
Pada saat itu juga, Intan Kumala baru melepaskan pelukannya. Dia sempat
melihat sedikit bagian belakang tubuh Ratna Wulan sebelum menghilang ditelan
kegelapan malam dan rimbunnya pepohonan. Bayu cepat-cepat melepaskan
pelukannya pada Intan Kumala. Tampak jelas sekali di wajahnya bahwa dia
begitu serba salah. Sebentar dia memandang Intan Kumala, dan sebentar
kemudian menatap ke arah Ratna Wulan yang sudah tidak terlihat lagi.
"Ayo kita kembali, Intan," ajak Bayu, langsung mengusir kekakuan yang
menghinggapi dirinya.
"Siapa itu tadi?" tanya Intan Kumala, yang memang tidak sempat melihat
jelas.
"Ratna Wulan," sahut Bayu.
Intan Kumala yang baru saja melangkah mengikuti Pendekar Pulau Neraka
seketika berhenti berjalan. Dan, Bayu juga ikut berhenti. Dia memutar
tubuhnya menghadap pada Dewi Beruang Putih. Pandangan mata mereka langsung
bertemu begitu dalam.
"Dia..., dia melihat...," suara Intan Kumala tergagap dan terputus.
"Mungkin," sahut Bayu seraya mengangkat bahunya sedikit.
Intan Kumala memandang Pendekar Pulau Neraka dalam-dalam. Kemudian dia
bergegas berlari meninggalkan pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Intan, tunggu...!" teriak Bayu.
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka mengejar. Sedangkan Intan Kumala sudah
jauh menembus lebatnya hutan yang gelap ini.
***
TUJUH
Bayu kelabakan setengah mati, karena pagi ini dia tidak melihat Ratna
Wulan. Padahal, semalam gadis itu masih terlihat tidur melingkar di dekat
Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Pendekar Pulau Neraka sudah mencari ke setiap
pelosok hutan ini, tapi tidak juga menemukan gadis itu. Ratna Wulan
benar-benar meninggalkannya tanpa pamit. Bayu terduduk lemas di samping
Intan Kumala. Sedangkan Ratu Mayat Bukit Tengkorak hanya diam memandangi
Pendekar Pulau Neraka, yang terus kelihatan gelisah dengan hilangnya Ratna
Wulan.
"Sudah kau cari ke sungai, Bayu?" tegur Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
"Sudah. Dia tidak ada di sana," sahut Bayu, lesu.
"Aneh.... Kenapa dia pergi begitu saja...?" desah Ratu Mayat Bukit
Tengkorak, seperti bertanya pada diri sendiri.
Tentu saja Bayu dan Intan Kumala tidak menjawab pertanyaan yang bernada
menggumam itu. Mereka hanya saling melemparkan pandang. Mereka tahu, kenapa
Ratna Wulan pergi tanpa pamit. Gadis itu pasti merasa marah, kecewa, dan
entah apa lagi, setelah melihat Intan Kumala berada di dalam pelukan Bayu
dalam keadaan setengah telanjang.
"Mungkin dia punya urusan sendiri yang tidak mau dicampuri, Bayu. Apa Ratna
Wulan pernah cerita sesuatu padamu, Bayu?" ujar Ratu Mayat Bukit
Tengkorak.
"Tidak. Dia jarang bicara, Nek," sahut Bayu tenang.
"Hm..., gadis itu memang pendiam. Dia jarang sekali bicara kalau tidak
ditanya," gumam Ratu Mayat Bukit Tengkorak, seperti bicara pada dirinya
sendiri.
Bayu dan Intan Kumala diam saja. Sambil menghembuskan napas panjang,
Pendekar Pulau Neraka kemudian bangkit berdiri. Dia mengulurkan tangan pada
Intan Kumala. Dibantunya gadis itu berdiri. Sedangkan Tiren langsung
melompat naik ke pundak Pendekar Pulau Neraka. Monyet kecil berbulu hitam
ini juga tidak bersikap seperti biasanya. Tidak terdengar sedikit pun
celotehnya yang ribut menyakitkan telinga. Dia seakan-akan mengetahui
kegundahan yang sedang terjadi pada diri Pendekar Pulau Neraka.
"Ayo, kita berangkat," ajak Bayu, memecah kebisuan yang terjadi di antara
mereka.
"Apa tidak sebaiknya kita cari Ratna Wulan dulu, Kakang...?" usul Intan
Kumala, yang merasa bersalah terhadap kepergian Ratna Wulan yang tanpa
pamit.
Bayu tidak menjawab. Dia menatap pada Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan
wanita tua itu malah mengarahkan pandangannya ke arah lain, seakan-akan
tidak ingin mencampuri urusan ini. Dia seperti membiarkan Pendekar Pulau
Neraka memutuskannya sendiri.
"Aku akan mencarinya kalau urusanmu sudah selesai," kata Bayu.
Intan Kumala hanya mengangkat bahunya sedikit. Sedangkan Bayu sudah
mengayunkan kakinya mengikuti Ratu Mayat Bukit Tengkorak yang sudah lebih
dulu berjalan tiga batang tombak di depan. Intan Kumala kemudian
mensejajarkan langkahnya di samping Pendekar Pulau Neraka. Tak ada yang
berbicara sedikit pun. Tapi, sesekali Intan Kumala terlihat melirik ke wajah
Pendekar Pulau Neraka di sampingnya.
"Kau masih memikirkannya, Kakang?" tegur Intan Kumala.
"Hm...."
Bayu hanya menggumam. Dia melirik pada gadis di sebelahnya ini. Kakinya
terus terayun melangkah dengan teratur. Sedangkan Intan Kumala terus
memandang wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Dia tahu kalau Bayu masih
memikirkan Ratna Wulan yang pergi begitu saja tanpa pamit. Entah kenapa, ada
perasaan tidak senang di hati Intan Kumala melihat Bayu diam saja dengan
kening terus berkerut.
Timbul dugaan di dalam kepalanya bahwa Pendekar Pulau Neraka masih terus
memikirkan Ratna Wulan. Rasa tidak senang gadis cantik pewaris Keris Naga
Emas ini timbul dan rasa cemburu. Intan Kumala sendiri tidak tahu, kenapa
dia bisa mencemburui Ratna Wulan. Padahal, baru semalam dia merasa begitu
dekat dengan pendekar tampan ini. Sedangkan sebelumnya, Bayu sudah
bersama-sama dengan Ratna Wulan.
"Dia tentu sangat berarti bagimu, Kakang," ujar Intan Kumala dengan nada
suara yang terdengar agak sinis.
"Aku merasa bertanggung jawab padanya, Intan," sahut Bayu, mencoba meminta
pengertian.
Pendekar Pulau Neraka merasakan adanya nada kecemburuan di dalam suara
Intan Kumala barusan. Bayu langsung menyadari bahwa gadis ini sudah terpikat
padanya. Entah terpikat karena apa. Mungkin karena ketampanannya, atau
mungkin karena tingkat kepandaian yang dimilikinya begitu tinggi. Tapi yang
jelas, Bayu tahu bahwa Intan Kumala mencemburui Ratna Wulan. Dan, itu jelas
sekali tersirat dari nada suaranya yang terdengar sinis tadi.
"Bagiku, Ratna Wulan bukan orang lain lagi. Dia kuanggap adikku sendiri.
Orang tua angkatnya menitipkan padaku sampai dia bisa bertemu kembali dengan
orang tua kandungnya. Aku sudah berjanji akan selalu menjaganya," ujar Bayu
mengatakan yang sebenarnya tentang Ratna Wulan.
"Oh, benarkah...?" desah Intan Kumala, setengah tidak percaya.
"Orang tua angkatnya adalah adik angkat ayahku. Jadi tidak berlebihan kalau
aku juga menganggapnya adik. Dan aku masih mempunyai tanggung jawab yang
tidak kecil. Dia harus kupertemukan dengan orangtua kandungnya," sambung
Bayu.
Intan Kumala terdiam. Bayu juga tidak bicara lagi. Mereka terus berjalan
mengikuti langkah kaki Ratu Mayat Bukit Tengkorak, yang berjalan sekitar
satu batang tombak di depan. Tidak ada lagi yang berbicara.
Dan, tidak ada yang tahu, apa yang ada di dalam hati masing-masing. Tapi,
sesekali tampak Intan Kumala melirik dan memandangi wajah Pendekar Pulau
Neraka yang berjalan di sampingnya. Entah apa yang ada di dalam kepalanya
saat ini, hanya dia sendiri yang tahu. Dan, dia sendiri juga tidak bisa
menebak isi hati Pendekar Pulau Neraka.
***
Matahari sudah berada di atas kepala. Bayu, Intan Kumala, dan Ratu Mayat
Bukit Tengkorak pun sudah sampai di depan sebuah bangunan besar yang
dikelilingi pagar gelondongan kayu. Bangunan besar ini menyerupai sebuah
benteng pertahanan. Di dalam bangunan seperti benteng itulah ibu kandung
Intan Kumala tinggal.
"Pertama kali aku datang ke sini, ada dua orang penjaga di depan pintu,"
gumam Intan Kumala. Tapi kenapa sekarang tidak ada penjaga seorang
pun...?"
Keadaan bangunan itu memang kelihatan sepi, seperti tidak berpenghuni.
Tapi, Bayu mendengar suara-suara orang dari dalam pagar benteng yang tinggi
dan kokoh itu. Pendengarannya memang tajam, sehingga bisa mengetahui kalau
di dalam pagar benteng itu ada orang.
"Coba, aku lihat dulu," kata Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Tapi, baru saja dia berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja dari atas
pagar benteng itu bermunculan orang-orang yang siap dengan anak panah
terpasang di busur. Perempuan tua bertubuh bungkuk dan berjubah hitam
panjang itu langsung menghentikan ayunan kakinya. Sekitar tiga puluh orang
di atas pagar benteng itu tampak mengarahkan panah kepadanya.
"Hm..., sikap mereka seperti menyambut musuh saja," gumam Bayu, agak
mendesis.
"Biar aku bicara dengan mereka, Kakang," kata Intan Kumala.
Belum juga Bayu menjawab, si Dewi Beruang Putih sudah melangkah ke depan.
Dilewatinya Ratu Mayat Bukit Tengkorak Sementara itu Bayu juga melangkah.
Tapi, dia berhenti setelah sampai di samping perempuan tua bungkuk berjubah
hitam itu. Sedangkan Intan Kumala sudah dekat sekali dengan pintu. Sekitar
satu batang tombak lagi jaraknya. Dan yang pasti, gadis itu sudah berada di
dalam jangkauan panah yang terarah kepadanya.
"Dengar...! Kami datang bukan sebagai musuh. Kami ingin bertemu dengan Nyai
Wandari...!"
Lantang sekali suara Intan Kumala. Tapi, tak ada sahutan sedikit pun dari
orang orang yang berada di atas pagar benteng itu. Mereka tetap mengarahkan
ujung anak panah masing-masing kepada Dewi Beruang Putih. Sedangkan gadis
itu tetap berdiri tegak dengan kepala agak menengadah ke atas. Dipandanginya
orang-orang yang berada di atas pagar benteng dengan anak panah terpasang
pada busurnya. Dan, tampaknya mereka tinggal menunggu perintah untuk
melepaskan anak-anak panah itu. Intan Kumala kemudian melangkah lagi
beberapa tindak.
"Katakan pada pimpinanmu. Aku... Intan Kumala yang datang membawa
pesanannya!" seru Intan Kumala lagi, masih tetap lantang karena disertai
dengan pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Begitu suara Intan Kumala menghilang dari pendengaran, tampak pintu gerbang
yang tebal dan kokoh itu bergerak terbuka perlahan-lahan. Dan, dari balik
pintu itu keluar seorang gadis cantik berbaju biru muda, yang didampingi
seorang laki-laki setengah baya. Di belakang mereka, terlihat sekitar
sepuluh orang yang menyandang senjata tombak, pedang, dan golok di pinggang.
Tapi, semuanya tetap berdiri di ambang pintu.
"Kak Intan, cepat masuk...!" seru gadis cantik berbaju biru muda itu
lantang. Intan Kumala berpaling ke belakang. Sebentar kedua matanya menatap
pada Ratu Mayat Bukit Tengkorak dan Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia
mengayunkan kakinya melangkah. Bayu dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak bergegas
mengikuti. Gadis cantik berbaju biru muda yang tak lain adalah Rara Anting,
itu pun bergegas memeluk Intan Kumala. Langsung saja dia memberikan ciuman
di pipi si Dewi Beruang Putih.
"Ayo masuk...," ajak Rara Anting.
Pintu gerbang itu segera tertutup kembali begitu mereka sudah berada di
dalam. Rara Anting dan lelaki setengah baya yang tak lain adalah Paman Gaduk
membawa mereka masuk ke bangunan utama yang berdiri di tengah-tengah pagar
benteng ini. Di dalam bangunan itu sudah menunggu Nyai Wandari. Perempuan
berusia setengah baya yang masih kelihatan cantik itu mempersilakan
tamu-tamunya ini duduk.
Tidak ada kursi ataupun meja di dalam ruangan yang berukuran cukup besar
ini. Mereka semua duduk bersila di lantai kayu yang beralaskan permadani
tebal berwarna merah muda yang lembut. Rara Anting duduk di samping si Dewi
Beruang Putih. Mereka duduk tepat di depan Nyai Wandari. Sedangkan Bayu dan
Ratu Mayat Bukit Tengkorak berada di sebelah kanan, agak di belakang Nyai
Wandari.
"Aku bawa Keris Naga Emas yang kau inginkan, Nyai," kata Intan Kumala
dengan nada suaranya agak ditekan.
Terasa canggung sekali suara dan sikap Dewi Beruang Putih. Gadis itu
mengeluarkan Keris Naga Emas dari balik ikat pinggangnya. Kemudian, keris
itu diletakkannya dengan hati-hati di depan Nyai Wandari. Perempuan setengah
baya yang masih kelihatan cantik itu menjumput Keris Naga Emas. Beberapa
saat dia memperhatikan, lalu bibirnya tampak tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian dia memandang Intan Kumala
dalam-dalam. Dan, tiba-tiba saja kedua bola matanya terlihat
berkaca-kaca.
"Anakku...," desis Nyai Wandari, mendesah.
"Oh, Ibu...."
Intan Kumala tidak dapat lagi menahan perasaan hatinya. Dia langsung
menghambur dan memeluk ibunya yang sudah lima belas tahun terpisah dengannya
ini. Saat itu juga, semua orang yang berada di dalam ruangan ini menundukkan
kepala. Mereka seakan-akan tidak sanggup menyaksikan pertemuan yang begitu
mengharukan ini. Rara Anting pun sampai menitikkan air mata, walaupun
bibirnya yang bergetar terlihat menyunggingkan senyum.
Entah berapa lama Intan Kumala dan ibunya berpelukan saling menumpahkan
seluruh kerinduannya yang selama ini terpendam dalam di hati. Perlahan-lahan
Nyai Wandari melepaskan pelukannya. Dipandanginya wajah Intan Kumala
dalam-dalam, seakan-akan ingin menuntaskan kerinduannya. Sedangkan Intan
Kumala mengusap air mata yang membasahi seluruh wajahnya. Dia kembali duduk
bersila di samping Rara Anting. Kesunyian masih terjadi beberapa saat
lamanya di dalam ruangan yang berukuran cukup besar ini.
***
"Intan, bagaimana kau bisa mendapatkan Keris Naga Emas ini?" tanya Nyai
Wandari setelah bisa menenangkan dirinya kembali.
"Keris itu ada pada Kakang Bayu," sahut Intan Kumala, sambil melirik pemuda
tampan berpakaian kulit harimau.
Nyai Wandari langsung menatap pada pemuda tampan berbaju kulit harimau itu.
Dan, sesaat kemudian pandangannya tertuju langsung pada perempuan tua
bertubuh bungkuk dan berjubah panjang hitam yang duduk di samping Bayu. Tapi
Nyai Wandari cepat-cepat mengalihkan pandangannya kembali kepada Bayu begitu
Ratu Mayat Bukit Tengkorak membalas tatapannya dengan tidak kalah
dalamnya.
"Terima kasih, Anak Muda," ucap Nyai Wandari.
Bayu hanya tersenyum. Kepalanya sedikit terangguk. Sedangkan Ratu Mayat
Bukit Tengkorak diam saja. Sedikit pun perempuan tua itu tidak membuka
suara. Dia masih tetap diam meskipun beberapa kali memergoki Nyai Wandari
memperhatikannya dengan begitu dalam. Dan, Ratu Mayat Bukit Tengkorak
menebak, Nyai Wandari pasti sedang berusaha mengingat-ingat perihal
dirinya.
"Anak muda, Boleh aku tahu bagaimana kau bisa mendapatkan Keris Naga Emas
ini?" tanya Nyai Wandari.
"Seseorang yang memberikannya kepadaku," sahut Bayu.
"Seseorang...? Siapa?" tanya Nyai Wandari.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Pulau Neraka menceritakan semuanya tentang
bagaimana dia memperoleh Keris Naga Emas itu. Juga, bagaimana di berusaha
untuk bisa menyelamatkan nyawa Ki Rahun yang akhirnya tidak bisa tertolong
lagi. Bayu bercerita. Ki Rahun hanya bisa menyerahkan Keris Naga Emas
kepadanya, sebelum menghembuskan napas terakhir. Bahkan, Ki Rahun sempat
pula memberikan pesan terakhir yang harus dikerjakan Pendekar Pulau Neraka.
Dan, pesan yang kelihatannya sangat menyenangkan itu ternyata membuat Bayu
terpaksa beberapa kali bertarung.
"Oh, jadi Rahun sudah meninggal...?" desah Nyai Wandari dengan suara agak
tertahan.
"Ya, aku tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Luka-luka akibat pertarungannya
dengan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa terlalu parah. Dia meninggal
setelah memberikan Keris Naga Emas sambil berpesan kepadaku," jelas Bayu
lagi. (Untuk lebih jelas lagi, baca serial Pendekar Pulau Neraka dalam
episode "Tiga Pengemis Sakti" dan "Dewi Beruang Putih")
"Lalu, bagaimana dengan Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa?" tanya Nyai
Wandari lagi, ingin tahu lebih dalam.
"Mereka sudah mati semua, Bu," sahut Intan Kumala.
"Oh, benarkah...?!"
Intan Kumala mengangguk meyakinkan. Tergurat kelegaan dalam hembusan napas
Nyai Wandari begitu mengetahui kalau orang yang mengkhianati dan membunuh
suaminya sudah tewas. Tapi, sesaat kemudian wajahnya langsung diselimuti
mendung.
"Kakang Bayu yang menewaskan mereka semua," kata Intan Kumala lagi, sambil
melirik pada Pendekar Pulau Neraka.
"Mereka orang-orang yang berkepandaian tinggi. Tentu kau memiliki tingkat
kepandaian yang sangat tinggi hingga bisa mengalahkan mereka, Anak Muda,"
kata Nyai Wandari.
Pada saat itu, masuk seorang anak muda dengan sebilah pedang tergantung di
pinggang. Pemuda itu membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Nyai Wandari
hanya menganggukkan kepalanya sedikit untuk membalas penghormatan anak muda
yang usianya sekitar dua puluh dua tahun itu.
"Ada apa?" tanya Nyai Wandari.
"Mereka sudah datang, Nyai. Jumlah mereka semakin bertambah banyak
saja."
"Hm...."
Nyai Wandari menggumam perlahan. Sebentar dia memandangi Bayu dan Ratu
Mayat Bukit Tengkorak bergantian, lalu beralih memandangi kedua anak
gadisnya, kemudian kembali menatap pada pemuda yang masih berdiri di ambang
pintu dengan tubuh agak membungkuk itu.
"Siapkan semua orang yang ada. Sebentar lagi aku keluar," kata Nyai
Wandari, tegas.
"Baik, Nyai," sahut pemuda itu seraya menjura memberi hormat.
Kemudian pemuda itu bergegas meninggalkan ruangan ini. Saat itu Nyai
Wandari bangkit berdiri dari duduknya, lalu diikuti Paman Gaduk. Dan, semua
yang berada di ruangan ini juga bergegas berdiri. Tapi, tidak ada yang
mendahului berjalan keluar dari rumah ini. Kemudian Nyai Wandari pun
melangkah keluar, setelah mengedarkan pandangannya berkeliling beberapa
saat.
"Siapa yang datang, Anting?" tanya Intan Kumala, berbisik perlahan di dekat
telinga Rara Anting.
"Mereka yang mau merebut tempat ini," sahut Rara Anting.
"Siapa mereka?" tanya Intan Kumala lagi.
Sementara itu Nyai Wandari dan Paman Gaduk sudah sampai di luar ruangan,
diikuti Bayu dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan Intan Kumala dan Rara
Anting masih tetap berada di dalam ruangan depan yang berukuran cukup luas
dan kelihatan begitu lapang ini, karena tidak ada satu pun barang di
dalamnya.
"Gerombolan perampok yang ingin menguasai hutan ini. Mereka tidak senang
dan merasa terganggu dengan berdirinya padepokan ini. Sudah beberapa kali
mereka berusaha menghancurkan dan merebutnya, tapi ibu dan semua
murid-muridnya berhasil menghalau mereka," Rara Anting menjelaskan dengan
singkat keadaan di dalam lingkungan benteng padepokan ini.
"Hm, kenapa ibu tidak menceritakan hal ini kepadaku...?" gumam Intan
Kumala, seperti berbicara pada diri sendiri. "Dan kau juga, Anting, kenapa
waktu itu tidak mengatakannya kepadaku?"
"Maafkan aku, Kak Aku memang dilarang ibu untuk menceritakan hal ini
kepadamu sebelum ibu merasa yakin kalau kau adalah Intan Kumala," sahut Rara
Anting.
Intan Kumala mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia bisa mengerti akan semua
yang diucapkan Rara Anting barusan. Kemudian dia mengajak adik satu-satunya
ini keluar. Tanpa membantah sedikit pun, Rara Anting melangkah mengikuti
kakaknya yang sudah lebih dahulu berjalan keluar.
***
DELAPAN
Intan Kumala bergegas menghampiri Bayu begitu sampai di luar. Sungguh dia
terkejut bukan main, karena sudah terjadi pertempuran yang begitu sengit
luar benteng bangunan padepokan ini. Jeritan jeritan melengking tinggi
terdengar begitu menyayat. Tampak murid-murid Nyai Wandari melepaskan
anak-anak panah dari atas pagar benteng. Sedangkan Nyai Wandari sendiri
terlihat berdiri di atas menara, didampingi Paman Gaduk.
Sementara itu, di halaman yang luas, terlihat lebih dari lima puluh orang
sudah siap dengan senjata. terhunus di tangan. Mereka semua berdiri dan
berbaris dengan rapi menghadap ke pintu gerbang.
Der! Der! Der!
Tampak pintu gerbang yang kokoh itu bergetar disertai dengan suara yang
begitu keras menggetarkan hati. Rupanya orang orang yang berada di luar
pagar benteng ini tengah berusaha untuk mendobrak pintu. Jeritan-jeritan
panjang melengking tinggi terus terdengar, disertai dengan
dentingan-dentingan senjata yang beradu dengan anak-anak panah.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuhnya ke udara. Begitu cepat dan ringan
gerakannya, sehingga dalam sekejap saja Pendekar Pulau Neraka sudah hinggap
di atas pagar benteng yang mengelilingi bangunan besar padepokan ini. Kening
pemuda, berbaju kulit harimau itu tampak berkerut ketika melihat begitu
banyak orang tengah berusaha menerobos masuk ke dalam benteng ini, meskipun
anak-anak panah terus menghujani tanpa henti.
Bayu berpaling sedikit saat merasakan ada orang mendarat tepat di sebelah
kanannya. Ternyata Nyai Wandari yang menghampirinya. Pendekar Pulau Neraka
kembali mengarahkan pandangan keluar benteng ini. Jelas sekali terlihat,
tidak sedikit dari orang-orang di luar sana yang sudah menggeletak tak
bernyawa tertembus panah.
"Siapa pemimpin mereka, Nyai?" tanya Bayu.
"Garang Dungkul," sahut Nyai Wandari. "Itu yang ada di bawah pohon
kenanga."
Bayu mengarahkan pandangannya mengikuti jari telunjuk Nyai Wandari. Di
bawah sebatang pohon kenanga, memang terlihat seorang laki-laki bertubuh
tinggi tegap dengan wajah yang kasar dan dipenuhi brewok. Sebilah golok yang
berukuran sangat besar tampak tersandang di pundaknya.
"Apakah dia memimpin mereka semua seorang diri saja, Nyai?" tanya
Bayu.
"Ya, dia memang memimpin sendiri," sahut Nyai Wandari.
"Hm...."
Bayu menggumam perlahan. Dia merasa aneh ada orang yang bisa memimpin
begitu banyak anak buah seorang diri saja. Biasanya, seorang pemimpin sebuah
kelompok selalu didampingi oleh wakil-wakil kepercayaan. Tapi, Garang
Dungkul sama sekali tidak didampingi seorang wakil pun. Sementara itu
teriakan-teriakan Garang Dungkul yang memberi perintah begitu keras
terdengar menggelegar. Suaranya mengalahkan teriakan-teriakan dan
jeritan-jeritan melengking dari orang-orangnya yang berjumlah begitu banyak,
yang terus berusaha menerobos masuk ke dalam benteng padepokan Nyai Wandari
ini.
"Kau jangan heran melihat kenekatan mereka, Bayu. Mereka orang-orang yang
tidak mengenal kata takut. Mereka tidak pernah peduli, meskipun sudah banyak
yang tewas," kata Nyai Wandari lagi.
"Hentikan pertumpahan darah ini, Nyai," kata Bayu, tegas.
"Apa...?!"
Nyai Wandari tampak terkejut mendengar permintaan Bayu yang tidak diduganya
sama sekali itu. Di pandanginya wajah tampan Pendekar Pulau Neraka
dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kesungguhan hati dari kata-katanya
barusan. Sedangkan yang dipandangi malah menatap pada Garang Dungkul dengan
sinar mata yang begitu tajam.
"Aku akan menantang pemimpinnya," kata Bayu lagi, dengan nada suara yang
tetap tegas.
"Kau jangan gila-gilaan, Bayu!" sentak Nyai Wandari.
Bayu tersenyum saja.
"Aku akan membuat perjanjian dengannya, Nyai. Aku akan mengusir mereka
tanpa harus mengeluarkan darah lebih banyak lagi," sambung Bayu.
Nyai Wandari masih belum percaya dengan kesanggupan Pendekar Pulau Neraka
ini untuk menantang Garang Dungkul, seorang pemimpin gerombolan perampok
yang sangat tinggi kepandaiannya. Selain itu, kekejamannya juga sudah begitu
terkenal. Dia tidak pernah membiarkan lawan-lawannya tetap hidup. Dia akan
membunuh siapa saja yang berani menantangnya.
"Perintahkan murid-muridmu menghentikan serangannya, Nyai," pinta Bayu,
tegas.
"Kau akan dilumatnya habis, Bayu," kata Nyai Wandari, masih mencoba
mencegah keinginan Bayu untuk menantang pemimpin gerombolan perampok
itu.
"Percayalah kepadaku, Nyai," ujar Bayu, berusaha meyakinkan Nyai
Wandari.
Sebentar Nyai Wandari termenung berpikir. Kemudian dia memerintahkan
murid-muridnya untuk berhenti menghujani perampok-perampok itu dengan anak
panah. Begitu terdengar teriakan keras dari Nyai Wandari, panah-panah itu
pun berhenti berhamburan. Saat itu juga Bayu hendak melompat turun. Tapi,
Nyai Wandari cepat mencegahnya.
"Bawa ini, Bayu," kata Nyai Wandari sambil menyerahkan Keris Naga
Emas.
Bayu hanya memandangi senjata pusaka berwarna kuning keemasan yang
berbentuk seekor naga itu.
"Aku sengaja mencari Keris Naga Emas ini untuk menghadapi Garang Dungkul.
Tapi karena kau yang akan menghadapinya, maka keris ini aku serahkan
padamu," kata Nyai Wandari lagi.
"Terima kasih, Nyai. Simpan saja pusaka itu. Aku tidak akan bisa
menggunakannya," tolak Bayu, halus.
Setelah berkata begitu, Bayu segera melompat keluar dari benteng padepokan
ini. Begitu indah dan ringan gerakannya. Nyai Wandari sendiri tidak dapat
lagi mencegahnya. Perempuan setengah baya itu pun menyimpan kembali Keris
Naga Emas ke balik lipatan bajunya.
Tepat di saat Pendekar Pulau Neraka mendarat ditanah, Intan Kumala dan Rara
Anting sampai di samping ibunya. Mereka tampak terkejut melihat Bayu sudah
berada di luar pagar benteng padepokan ini. Sedangkan perampok-perampok itu
juga menghentikan usahanya mendobrak pintu.
Mereka langsung bergerak mengepung Pendekar Pulau Neraka. Tampak pemuda
berbaju kulit harimau itu melangkah tegap menghampiri Garang Dungkul yang
masih tetap berdiri angkuh di bawah pohon kenanga.
"Mau apa Kakang Bayu ke sana, Bu?" tanya Intan Kumala.
"Menantang Garang Dungkul," sahut Nyai Wandari.
"Heh...?!"
Bukan hanya Intan Kumala yang terkejut, tapi Rara Anting juga tersentak
kaget mendengar jawaban ibunya. Saat itu juga tersirat kecemasan di wajah
Intan Kumala. Dia begitu cemas, karena Bayu akan menghadapi pemimpin
gerombolan perampok itu seorang diri saja. Tapi, saat itu Bayu sudah
melangkah menghampiri Garang Dungkul, dengan ayunan kaki yang tegap dan
mantap.
***
"Kau yang bernama Garang Dungkul?" tanya Bayu dengan nada suara yang agak
dalam begitu berada sekitar dua batang tombak lagi di depan laki-laki
bertubuh tinggi tegap dan berwajah kasar penuh brewok itu.
"Phuih!" Garang Dungkul menyemburkan ludahnya. "Benar, aku yang bernama
Garang Dungkul. Mau apa kau kemari?"
"Aku akan menantangmu bertarung, Garang Dungkul," sahut Bayu, tegas.
"Ha ha ha...!"
Garang Dungkul tertawa terbahak-bahak mendengar tantangan terbuka yang
diucapkan Pendekar Pulau Neraka. Sedangkan Bayu diam saja sambil menatap
tajam pada laki-laki berwajah kasar ini. Sementara itu semua anak buah
Garang Dungkul sudah membuat lingkaran mengepung tempat keduanya berdiri. Di
atas pagar benteng, terlihat Nyai Wandari dan kedua putrinya serta
murid-muridnya menyaksikan dengan hati berdebar cemas.
Tapi, tak ada seorang pun yang bisa berbuat sesuatu. Mereka hanya bisa
memohon perlindungan bagi Pendekar Pulau Neraka pada Sang Hyang Widi di
dalam hati.
"Dengar, Garang Dungkul. Kalau kau bisa mengalahkan aku, kau boleh
menduduki padepokan itu. Tapi kalau kau yang kalah, kau harus membawa pergi
semua anak buahmu. Dan jangan kembali lagi ke sini," kata Bayu, memberikan
penawaran.
"Phuih! Matamu sudah buta, Bocah! Apa kau tidak tahu siapa aku, heh...?!"
bentak Garang Dungkul, sengit.
"Justru karena aku tahu siapa kau, maka aku ingin menantangmu bertarung,
Garang Dungkul," sahut Bayu, mantap.
"Edan...! Apa yang kau andalkan, Bocah?"
"Keyakinan untuk mengalahkanmu."
"Phuih!"
Merah padam seluruh wajah Garang Dungkul mendengar kata-kata Pendekar Pulau
Neraka yang begitu tenang dan mantap. Dia merasa direndahkan dan tidak
dipandang sebelah mata. Baru kali ini dia ditantang oleh seorang pemuda yang
usianya jauh di bawahnya. Tapi, tantangan yang dilontarkan secara terbuka
ini tidak mungkin bisa ditolak lagi. Dia akan kehilangan muka kalau menolak
tantangan terbuka seperti ini.
"Baik, aku terima tawaranmu, Bocah. Tapi aku akan menambahkan tawaranmu,"
kata Garang Dungkul.
"Katakan," balas Bayu.
"Aku akan membantai semua yang ada di dalam sana. Dan kau harus menyaksikan
semua itu. Mengerti...?!"
Lantang sekali suara Garang Dungkul, sehingga sampai terdengar oleh mereka
yang berada di atas pagar benteng padepokan itu.
"Kau tidak akan bisa mengumbar nafsumu, Garang Dungkul," ujar, Bayu yang
nada suaranya kali ini terasa sinis.
"Keparat..!" geram Garang Dungkul, tak bisa lagi menahan
kemarahannya.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Garang Dungkul melompat sambil mengayunkan goloknya yang besar
ke arah kepala pemuda berbaju kulit harimau ini. Tapi, dengan gerakan yang
begitu manis, Bayu berhasil menghindari serangan itu. Dan, cepat-cepat dia
melompat ke belakang beberapa langkah.
"Hiyaaa...!"
Baru saja Bayu menjejakkan kakinya di tanah, Garang Dungkul sudah melakukan
serangan lagi secara beruntun dengan cepat sekali. Bayu pun terpaksa
berjumpalitan menghindarinya. Pendekar Pulau Neraka mencoba mencari peluang
untuk balas menyerang. Tapi, Garang Dungkul rupanya tidak mau memberi
kesempatan sedikit pun kepada lawannya untuk balas menyerang. Cepat sekali
dia kembali menyerang dengan goloknya yang besar dan berkilatan tajam. Bayu
pun harus berjumpalitan lagi. Tubuhnya meliukliuk menghindari setiap
serangan yang datang begitu cepat dan dahsyat luar biasa ini.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Semakin dahsyat saja serangan-serangan yang dilancarkan Garang Dungkul.
Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu pun tampak menahan napas. Dan,
gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kedua orang yang tengah bertarung ini
terlihat begitu cepat, sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa.
Hanya bayangan-bayangan yang terlihat berkelebatan begitu cepat.
Pertarungan itu berjalan begitu dahsyat. Garang Dungkul langsung
mengerahkan jurus-jurusnya yang dahsyat dan sangat berbahaya. Goloknya yang
berukuran raksasa berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuh Pendekar Pulau
Neraka. Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi tampaknya pertarungan itu
masih akan terus berlangsung dan semakin bertambah sengit saja.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
"Hap!"
Tepat ketika Garang Dungkul membabatkan goloknya ke dada, cepat sekali Bayu
mengatupkan kedua telapak tangannya di depan dada. Sehingga ujung golok yang
berkilatan tajam itu terjepit di antara kedua tangan yang merapat itu.
"Ihhh...!"
Garang Dungkul terkejut setengah mati. Cepat-cepat dia menarik senjatanya
disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi. Dan, pada saat itu
juga....
"Hih!"
Bayu malah menghentakkan kedua tangannya melepaskan jepitan pada golok itu.
Hingga tak pelak lagi, Garang Dungkul jadi tersentak. Dia langsung terhuyung
ke belakang, tidak bisa lagi menguasai keseimbangan tubuhnya. Dan, pada saat
itu pula, dengan kecepatan bagai kilat, Bayu melompat sambil melepaskan satu
tendangan keras menggeledek yang mengarah ke dada.
"Hiyaaa...!"
"Hih!"
Tanpa diduga sama sekali, Garang Dungkul malah mengebutkan goloknya ke
depan. Cepat-cepat Bayu memutar tubuhnya. Dihindarinya sambaran golok itu.
Lalu, beberapa kali Bayu melakukan putaran di udara. Dan, dengan manis
sekali dia menjejakkan kakinya di tanah, sekitar dua batang tombak di depan
Garang Dungkul.
"Hap!"
Cepat-cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri dan mendoyongkan sedikit ke
depan. Kedua kakinya dipentang lebar ke samping. Sorot matanya yang begitu
tajam terarah lurus ke bola mata laki-laki bertubuh tinggi besar dan
berwajah kasar penuh brewok itu.
"Hiya! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangan kanannya yang menyilang di depan
dada. Tangan kanan Pendekar Pulau Neraka itu terulur ke depan. Saat itu
juga, terlihat Cakra Maut yang selama ini menempel dipergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka meluncur deras.
"Hup!"
Garang Dungkul cepat-cepat melentingkan tubuhnya ke udara dan melakukan
putaran beberapa kali. Dihindarinya terjangan senjata maut Pendekar Pulau
Neraka itu. Tapi, baru saja dia menjejakkan kakinya di tanah, Bayu sudah
menghentakkan tangan kanannya. Cakra Maut kembali melesat begitu
cepat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil melompat ke udara, Garang Dungkul mengebutkan goloknya dengan cepat,
tepat di saat Cakra Maut hampir menembus dadanya. Dua senjata pun langsung
berbenturan begitu keras, sampai menimbulkan ledakan yang dahsyat luar
biasa, bagai ledakan gunung berapi yang murka akibat ulah manusia yang tidak
bertanggung jawab.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melenting ke udara sambil menghentakkan tangan kanannya
ke atas kepala. Cakra Maut kembali menempel di pergelangan tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka dengan cepat sekali. Dan, tahu-tahu pemuda berbaju
kulit harimau itu sudah melompat begitu cepat dan meluruk deras ke arah
Garang Dungkul.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat serangan yang dilancarkan Bayu kali ini. Akibatnya Garang
Dungkul, yang masih berusaha menguasai diri akibat benturan goloknya dengan
Cakra Maut tadi, tidak dapat lagi menghindari tendangan menggeledek yang
dilepaskan Pendekar Pulau Neraka dari udara.
Des!
"Akh...!"
Garang Dungkul memekik sedikit begitu tendangan yang dilepaskan Bayu
mendarat telak di dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke
belakang. Sebatang pohon yang terlanda tubuh besar itu langsung hancur
berkeping-keping. Dan, saat itu juga Bayu sudah kembali melompat
tinggi-tinggi ke udara.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Slap!
Kembali Cakra Maut melesat cepat begitu tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
mengibas ke depan. Cepat sekali senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu
meluncur, sehingga Garang Dungkul yang baru saja mencoba bangkit berdiri
tidak dapat lagi menghindari. Dan...
Crab!
"Aaa!"
Jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar menyayat
ketika Cakra Maut menembus dada Garang Dungkul. Laki-laki bertubuh tinggi
besar itu menggelepar di tanah. Darah langsung muncrat keluar begitu Cakra
Maut melesat balik dan kembali menempel dipergelangan tangan kanan Pendekar
Pulau Neraka.
"Hap!"
Ringan sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali di tanah. Begitu sempurna
ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya. Sehingga, tak sedikit pun terdengar
suara saat tubuhnya mendarat tidak jauh dari Garang Dungkul, yang
menggeletak dan menggelepar meregang nyawa di antara puing-puing kayu pohon
yang terlanda tubuhnya tadi.
"Kau..., kau...
Akh!"
Garang Dungkul tidak mampu lagi menyelesaikan ucapannya. Dia langsung
mengejang kaku dan tewas seketika dengan dada berlubang berlumuran darah.
Melihat pemimpinnya tewas, seketika itu juga orang-orang yang mengepung Bayu
langsung berlarian mengambil langkah seribu. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka
tersenyum saja melihat anak buah si Garang Dungkul berserabutan melarikan
diri.
Sementara itu dari dalam benteng, berhamburanlah semua murid Nyai Wandari.
Di antara mereka, terlihat pula Intan Kumala, Rara Anting, dan Nyai Wandari
sendiri. Mereka setengah berlari menghampiri Pendekar Pulau Neraka. Nyai
Wandari langsung menyodorkan tangan begitu sampai di dekat pemuda berbaju
kulit harimau ini. Dan, Bayu langsung menyambutnya dengan senyum tersungging
di bibir.
"Terima kasih, kau telah menyelamatkan padepokanku," ucap Nyai Wandari,
tulus.
"Sudah sepantasnya sesama makhluk hidup saling membantu, Nyai," sambut
Bayu, merendah.
"Bayu, sebagai ucapan rasa terima kasihku, maukah kau tinggal beberapa hari
di padepokanku," pinta Nyai Wandari.
Bayu belum bisa menjawab permintaan itu. Tapi, Intan Kumala sudah mendesak
dibantu adiknya. Pendekar Pulau Neraka pun tidak bisa lagi menolak
permintaan mereka. Dia hanya menganggukkan kepala saja. Dan Intan Kumala
tampak tersenyum cerah melihat anggukan kepala Pendekar Pulau Neraka.
***
TAMAT
Episode berikutnya :
Emoticon