SATU
“Perempuan setan Kubunuh kau
Hiyaaat..”
Terdengar bentakan penuh kemarahan dari seorang pemuda.
“Hik hik hik...”
Namun belum juga pemuda tampan itu bisa berbuat sesuatu, sudah terlihat kilatan
selendang kuning keemasan menyambar ke arah lehernya.
Bet
Cras
“Aaa...”
Dan anak muda itu langsung, terpaku dengan mata mendelik, disertai jeritan panjang memilukan. Tampak darah mengalir deras dari batang lehernya yang menganga, akibat sambaran selendang kuning yang bagai sebilah pedang. Hanya sesaat saja dia masih mampu berdiri, kemudianlimbung di depan seorang wanita bertubuh ramping, yang baru saja mengebutkan selendang kuningnya. Tak lama kemudian pemuda itu ambruk, dan menggelepar bersama empat tubuh lain yang sudah sejak tadi tergeletak tidak bernyawa dengan tubuh bersimbah darah.
“Hik hik hik...”
Suara tawa mengikik kembali terdengar nyaring mengerikan, mengiringi berkelebatnya tubuh ramping terbalut pakaian kuning keemasan, meninggalkan lima sosok tubuh yang bergelimpangan di dalam ruangan depan sebuah rumah diDesa Caringin.
Belum lama suara tawa mengikik itu menghilang dari pendengaran, sudah terlihat orang-orang berdatangan sambil membawa obor dansenjata dari berbagai macam bentuk dan ukuran. Mereka mendatangi rumah yang agak terpencil di Desa Caringin ini. Para penduduk desa ini begitu terkejut melihat darah berceceran di depan pintu rumah yang terbuka lebar itu. Jelas sekali terlihat kalau daun pintuitu hancur, seperti diterjang kerbau mengamuk.
Lebih terkejut lagi, setelah melihat ke dalam. Tampak tubuh-tubuh bergelimpangan tak bernyawa lagi dengan darah menggenang di sekitarnya. Tidak ada seorang pun yang tahu kejadiannya. Para penduduk ini datang setelah mendengar jeritan dan tawa yang panjang mengikik tadi. Dan mereka tahu, siapa penghuni rumah yang terkena bencana ini. Tidak ada seorang pun yang masih kelihatan hidup. Namun entah kenapa, wajah para penduduk kelihatan gembira melihat mayat-mayat yang bergelimpangan memenuhi ruangan depan ini.
“Mereka patut menerima ganjaran seperti ini,” gumam salah seorang, seraya melangkah pergi meninggalkan rumah ini.
Yang lainnya pun ikut melangkah pergi tanpa mempedulikan mayat-mayat di dalam rumah itu. Hingga akhirnya, hanya tinggal seorang saja yang tetap berada di depan pintu yang sudah hancur itu. Dia tadi memang kebetulan lewat, tepat ketika para penduduk itu sudah menimbrung di depan rumah itu. Karena merasa tertarik, kakinya langsung melangkah mendekati, ikut melihat apa yang terjadi.
Dia adalah seorang pemuda tampan berbaju dari kulit harimau. Seekor monyet kecil berbulu hitam tampak bertengger di pundak kanannya. Dipandanginya mayat-mayat itu dengan kelopak mata tidak berkedip. Dan kepalanya baru berpaling ke belakang, ketika mendengar suara langkah kaki mendekati.
Ternyata yang datang menghampiri adalah seorang laki-laki tua berjubah putih. Sebatang tongkat kayu rupanya ikut membantu ayunan langkah kakinya. Tubuhnya juga sudah kelihatan terbungkuk. Meskipun usianya kelihatan sudah begitu lanjut, tapi sinar wajahnya tampak begitu bersih dan bercahaya. Sinar matanya juga mencerminkan gairah hidup yang menyala-nyala.
Ayunan langkahnya begitu ringan, pertanda orang tua ini memiliki kepandaian yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Hentakan ujung tongkatnya pada tanah pun tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Pemuda tampan berbaju kulit harimau itu menggeser kakinya sedikit ke tepi pintu, seakan memberi kesempatan pada orang tua ini untuk melihat ke dalam.
“Kau tidak pergi seperti mereka, Anak Muda...?” terdengar lembut sekali suara orang tua itu.
Sedikit orang tua itu menjulurkan kepalanya ke dalam, melongok keadaan di dalam rumah ini. Kemudian matanya kembali menatap wajah tampan pemuda yang tetap berdiri di samping pintu. Pemuda itu hanya diam saja, seakan tidak mendengar pertanyaan orang tua ini tadi.
“Siapa namamu, Anak Muda?” tanya orang tua itu lagi.
“Bayu,” sahut pemuda berbaju kulit harimau itu singkat, memperkenalkan namanya.
Dia memang Bayu Hanggara yang di dalam rimba persilatan lebih dikenal sebagai Pendekar Pulau Neraka. Sementara orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala. Bibirnya yang hampir tertutup kumis putih kelihatan menyunggingkan senyum tipis yang begitu ramah. Bayu membalas dengan anggukan kepala sedikit, disertai ulasan senyuman kecil di bibirnya.
“Dan kau siapa, Ki?” tanya Bayu dengan suara dan sikap ramah.
“Orang-orang selalu memanggilku Dewa Bayangan Putih. Kau juga boleh memanggilku begitu, Anak Muda,” sahut orang tua yang mengaku berjuluk Dewa Bayangan Putih.
“Nama aslimu?” tanya Bayu ingin tahu lagi.
“Entahlah.... Aku sendiri sudah lupa namaku yang sebenarnya,” sahut si Dewa Bayangan Putih, agak mendesah.
Bayu bisa memaklumi. Memang begitu banyak orang yang berkecimpung dalam rimba persilatan, namun sudah tidak lagi peduli nama sebenarnya. Bahkan mereka selalu melupakannya. Mereka lebih senang menggunakan julukan daripada nama sebenarnya. Tapi, buat Bayu malah sebaliknya. Dia selalu memperkenalkan diri dengan nama sebenarnya. Bahkan begitu sulit untuk menyebutkan julukannya, kalau tidak terpaksa sama sekali. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengenalnya sebagai Pendekar Pulau Neraka.
“Kau kenal siapa mereka, Anak Muda?” tanya Dewa Bayangan Putih seraya melirik ke dalam rumah.
“Tidak,” sahut Bayu seraya menggeleng. “Aku hanya kebetulan saja lewat di desa ini, Ki. Aku tidak tahu sama sekali, apa yang terjadi. Juga tidak mengerti sikap mereka yang tidak ambil peduli terhadap orang-orang malang ini.”
“Kau tidak bisa menyalahkan mereka, Anak Muda.”
“Kenapa, Ki?”
Orang tua itu tidak langsung menjawab. Tubuhnya lalu diputar berbalik, dan terus saja melangkah meninggalkan rumah ini. Sementara, kening Bayu jadi berkerut. Pemuda berbaju kulit harimau itu benar-benar tidak mengerti sikap semua orang di desa ini. Bahkan orang tua yang mengaku berjuluk Dewa Bayangan Putih itu juga seakan tidak peduli. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka diam termenung, kemudian bergegas melangkah menyusul orang tua itu. Sebentar saja ayunan langkahnya sudah di samping si Dewa Bayangan Putih.
***
Malam terus merayap semakin larut, menyelimuti seluruh Desa Caringin.
Sementara, suasana desa sudah kembali sunyi, tanpa seorang penduduk pun yang
kelihatan berada di luar. Hanya Bayu dan Dewa Bayangan Putih saja yang masih
kelihatan berjalan membelah jalan tanah di desa itu. Bulan yang tertutup awan
hitam, seakan tidak ingin memperlihatkan cahayanya di sana. Sehingga, membuat
keadaan di desa itu semakin sunyi bagai berada di tengah-tengah kuburan.
“Seharusnya kita kuburkan mereka, Ki. Toh, mereka juga manusia. Bukan
binatang,” usul Bayu setelah cukup lama berdiam diri.
“Untuk apa...?” terdengar ringan sekali nada suara Dewa Bayangan Putih. Seakan,
sedikit pun tidak ada beban pada mereka yang mati di rumah itu.
“Aku belum tahu kejahatan apa yang mereka lakukan, hingga semua orang begitu
membenci. Sampai-sampai mereka mati pun tidak ada yang sudi mengurusnya,” jelas
sekali terdengar nada ketidaksenangan kata-kata Bayu.
“Kau bukan orang sini, Anak Muda. Sebaiknya, jangan campuri urusan mereka. Aku
berkata begini, demi dirimu juga. Terutama, keselamatan mu,” sergah Dewa
Bayangan Putih tanpa menghentikan langkah sedikit pun.
“Kelihatannya kau sudah tahu apa yang terjadi, Ki,” duga Bayu bernada curiga.
“Hm...,” Dewa Bayangan Putih hanya menggumam saja sedikit.
“Kau bersedia menjelaskannya padaku, Ki...?” pinta Bayu langsung.
“Untuk apa?” Dewa Bayangan Putih malah balik bertanya.
Pendekar Pulau Neraka hanya mengangkat bahu saja sedikit Dia sendiri tidak
tahu, untuk apa mengetahui semua urusan berdarah ini. Cepat disadari kalau
dirinya memang tidak ada hubungannya dengan persoalan yang sama sekali tidak
diketahuinya ini.
“Ke mana tujuanmu, Anak Muda?” tanya Dewa Bayangan Putih mengalihkan
pembicaraan.
“Ke mana saja kakiku melangkah, Ki,” sahut Bayu seenaknya.
“Kau pengembara?” tanya Dewa Bayangan Putih lagi.
Bayu hanya menganggukkan kepala sedikit saja.
“Sebaiknya, kita berpisah di sini saja, Anak Muda. Kalau kau akan mencari
penginapan, ada di ujung jalan ini,” ujar Dewa Bayangan Putih seraya menunjuk
ke depan. Bayu membuang pandangannya ke arah yang ditunjuk Dewa Bayangan Putih.
Di ujung jalan ini memang terdapat sebuah rumah yang besar. Dan kelihatannya,
rumah itu lebih terang dan ramai daripada yang lain. Saat Pendekar Pulau Neraka
itu berpaling kembali, dia jadi terkejut. Ternyata orang tua berjubah putih itu
sudah tidak ada lagi di sampingnya. Entah ke mana dan kapan perginya, sama
sekali tidak diketahuinya.
“Ke mana dia pergi...?” gumam Bayu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati. Bayu
jadi tertegun juga memikirkan orang tua yang baru dikenalnya. Sikapnya memang
aneh dan menimbulkan begitu banyak pertanyaan. Tapi, tampaknya dia tahu banyak
terhadap semua yang terjadi di Desa Caringin ini. Pendekar Pulau Neraka menarik
napas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat, mencoba menghalau semua
pikiran yang timbul dalam benaknya. Kakinya kembali terayun melangkah menuju
rumah penginapan yang ditunjukkan Dewa Bayangan Putih tadi. Sementara, monyet
kecil yang ada di pundaknya sudah sejak tadi mendengkur, melingkarkan tangannya
ke leher pemuda ini.
Namun baru beberapa langkah Bayu berjalan, ayunan langkah kakinya tiba-tiba
saja terhenti. Dan kening Pendekar Pulau Neraka jadi kelihatan berkerut.
Tiba-tiba saja tubuhnya berbalik. Lalu dengan kecepatan bagai kilat, Bayu
melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat
sempurna. Begitu cepat lesatannya, hingga yang terlihat hanya kelebatan bayangan
tubuhnya saja.
Sebentar saja Pendekar Pulau Neraka sudah kembali berada di depan rumah yang
kelihatan sunyi, setelah seluruh penghuninya terbantai tadi. Bayu menghentikan
larinya tepat sekitar tiga langkah lagi di depan pintu yang tetap terbuka ini.
Sunyi sekali keadaan sekitarnya, tidak seorang pun terlihat Bahkan gerit
bintang malam pun tidak terdengar. Hanya desir angin saja yang terdengar
mengusik gendang telinga.
“Hm...,” Bayu menggumam kecil. Perlahan Pendekar Pulau Neraka mengayunkan
kakinya, mendekati pintu yang sudah hancur. Dan dia berhenti tepat di ambang
pintu. Namun, seketika itu juga kedua bola matanya jadi terbeliak lebar. Hampir
Bayu tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Memang sulit bisa dipercaya,
karena mayat-mayat yang ada di dalam rumah ini kini sudah lenyap tidak
meninggalkan bekas sama sekali. Bahkan darah yang tadi begitu banyak menggenang
di lantai, juga tidak terlihat setetes pun. Tanpa sadar, Bayu menarik kakinya
kebelakang beberapa langkah. Namun baru saja bergerak sekitar lima langkah....
Wusss...
“Heh...? Hup”
***
Cepat Bayu melenting ke atas dan berputaran dua kali, tiba-tiba dari
belakangnya terdengar suara desingan disertai hempasan angin yang begitu kuat
hampir menerpa tubuhnya. Tampak sebuah benda bercahaya kuning keemasan
tiba-tiba melesat begitu cepat bagai kilat di bawah tubuhnya.
“Hap”
Sungguh ringan gerakan Pendekar Pulau Neraka saat kakinya menjejak kembali di
tanah. Memang begitu sempurna ilmu meringankan tubuhnya, sehingga sama sekali
tidak terdengar suara saat mendarat tadi. Sementara kilatan cahaya kuning
keemasan itu terus menghantam tiang penyangga beranda rumah di belakang
Pendekar Pulau Neraka.
Brak
Seketika, atap beranda rumah ini roboh terhantam kilatan cahaya kuning keemasan
itu. Bayu sempat melompat ke depan, menghindari potongan kayu yang berpentalan
di sekitarnya. Kembali kakinya menjejak mantap di tanah dan berdiri tegak
dengan tangan kanan tersilang didepan dada. Seakan cakra mautnya yang menempel
di pergelangan tangan kanan ingin diperlihatkan pada penyerang gelapnya.
“Siapa kau...?!” teriak Bayu membentak keras.
Begitu keras suara yang dikeluarkan Pendekar Pulau Neraka, hingga menggema ke
segala arah. Tapi tidak terdengar sahutan sedikit pun. Keadaan di sekitarnya
tetap sunyi, bagai berada di tengah-tengah hutan yang sedang lelap dalam tidur.
Pandangan Bayu beredar ke sekeliling dengan sorot mata tajam. Tetap tidak
terlihat seorang pun di sekitarnya. Begitu sunyi, hingga membuat bulu-bulu
halus di sekujur tubuhnya jadi meremang berdiri.
Dan belum juga Bayu sempat berpikir panjang, terdengar suara tawa mengikik yang
begitu keras dan menggema di sekelilingnya. Seakan, suara tawa itu datang dari
segala arah. Jelas sekali kalau suara itu dikeluarkan lewat pengerahan tenaga
dalam tinggi. Bayu mencoba untuk mencari arah sumber suara itu, tapi sulit
untuk bisa menduga arahnya.
Dan ini membuatnya jadi kebingungan sendiri, karena tidak dapat menentukan dari
mana datangnya suara yang membingungkan ini. Di saat Pendekar Pulau Neraka itu
tengah kebingungan, mendadak saja....
Slap!
“Heh...?!”
Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar, begitu tiba-tiba dari depan
berkelebat cahaya kuning keemasan yang begitu cepat bagai kilat.
“Hup!”
Cepat Bayu melenting dan berputaran atas dua kali, menghindari terjangan cahaya
kuning keemasan itu. Sehingga, serangan itu lewat sedikit saja di bawah
tubuhnya. Manis sekali Bayu menjejakkan kaki kembali di tanah. Namun pada saat
itu juga...
Wusss...!
“Edan! Hup...!”
Kembali Bayu terpaksa harus berjumpalitan diudara, begitu mendapat serangan
cahaya kuning keemasan lagi. Memang sulit bagi Pendekar Pulau Neraka untuk
menghadapi serangan yang tidak ketahuan arahnya. Cahaya kuning keemasan itu
bagai memiliki nyawa saja, selalu menyerang dari arah yang sulit dengan kecepatan
bagai kilat. Dan mau tak mau, Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus
berjumpalitan di udara untuk menghindarinya.
“Setan! Hih...!”
Pendekar Pulau Neraka jadi berang juga mendapat serangan yang tidak berwujud
ini. Begitu mendapat kesempatan, cepat tubuhnya sedikit merunduk. Dan tangan
kanannya langsung dikibaskan ke depan, tepat di saat kilatan cahaya kuning
keemasan itu meluruk deras ke arahnya dari depan.
Dan....
Plash!
“Hap...!”
Cepat Bayu mengangkat tangan kanannya keatas kepala, begitu Cakra Maut yang
dilepaskannya kembali ke arahnya. Seketika senjata persegi enam itu kembali
menempel di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Sementara saat itu juga
cahaya kuning keemasan itu segera lenyap, setelah berbenturan dengan Cakra Maut
senjata andalan Pendekar Pulau Neraka tadi.
“Hm.... Siapa pun dia, pasti memiliki kepandaian tinggi sekali,” gumam Bayu
perlahan, bicara pada diri sendiri.
Kembali keadaan menjadi sunyi, tanpa terdengar suara sedikit pun. Bayu
mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari orang yang menyerangnya tadi
begitu gencar. Tapi, sulit untuk bisa melihat jelas di dalam kegelapan malam
yang begitu pekat. Sementara, bulan terus menyembunyikan diri di balik awan
yang menggumpal hitam. Dan angin pun terasa semakin keras menerpa wajah Pendekar
Pulau Neraka. Lama juga Bayu menunggu, tapi tidak ada satu pun serangan yang
datang. Dan suasana di sekitarnya semakin terasa sunyi mencekam.
“Kau pergi dulu, Tiren,” ujar Bayu seraya menurunkan monyet kecil yang sejak
tadi berada di pundaknya.
“Nguk!”
Seperti tahu kalau sedang menghadapi bahaya, monyet kecil yang bernama Tiren
itu segera berlari mendekati pohon yang tidak jauh dari Pendekar Pulau Neraka.
Ringan sekali gerakannya saat naik ke atas pohon itu. Dan binatang itu duduk
diam di cabang pohon. Sementara, Bayu tetap berdiri tegak dengan tangan kanan
berada di depan dada. Sorot matanya terlihat begitu tajam memandangi
sekitarnya.
Suasana tetap sunyi, tanpa terdengar suara sedikit pun. Perlahan kaki Bayu
terayun ke depan. Matanya lalu melirik sedikit pada monyet kecilnya yang kini
sudah berada di tempat aman. Agak tenang juga hatinya melihat Tiren berada di
tempat yang aman, cukup jauh dari jangkauan serangan yang mungkin saja datang
secara tiba-tiba nanti. Ayunan kakinya baru berhenti setelah berjalan sekitar
lima langkah.
“Siapa pun kau, keluarlah...! Tunjukkan dirimu...!” teriak Pendekar Pulau
Neraka dengan sua-ra lantang menggelegar, disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi.
Belum juga hilang suara Pendekar Pulau Neraka, kembali dikejutkan oleh
munculnya satu bayangan putih yang berkelebat begitu cepat bagai kilat Dan
tahu-tahu, di depan Pendekar Pulau Neraka sudah berdiri seorang laki-laki tua
berjubah putih, dengan sebatang tongkat kayu berada dalam genggaman tangan
kanan.
“Dewa Bayangan Putih...,” desis Bayu langsung mengenali orang tua ini.
“Kau benar-benar mencari susah, Anak Muda. Untuk apa datang lagi ke sini,
heh...?!” terdengar begitu dingin nada suara Dewa Bayangan Putih.
Kata-kata orang tua itu membuat Bayu jadi tersentak kaget Sungguh tidak
disangka kalau orang tua itu akan berkata demikian, seakan-akan tidak
menghendaki kehadirannya di sini. Bayu jadi bertanya-tanya sendiri dalam hati,
“Mengenai orang tua aneh ini. Dia selalu muncul tiba-tiba, dan pergi juga tanpa
diketahui arahnya.”
“Kau yang tadi menyerangku, Ki?” tanya Bayu langsung, dengan nada curiga tanpa
disembunyikan lagi.
“Untuk apa aku menyerangmu...?” Dewa Bayangan Putih jadi mendelik mendengar
pertanyaan Pendekar Pulau Neraka.
“Justru kedatanganku untuk menyelamatkan nyawamu yang hanya selembar itu, Anak
Muda. Pergilah sebelum kau menyesali kebodohanmu!”
“Heh...?! Kenapa...?” Bayu jadi terkejut.
“Jangan banyak tanya! Cepat pergi sebelum kau menyesal!”
Tapi belum juga habis kata-kata Dewa Bayangan Putih dari pendengaran, sudah
terlihat kilatan cahaya kuning keemasan meluruk deras kearah mereka berdua.
“Awas...!” teriak Dewa Bayangan Putih sambil cepat melompat ke belakang.
“Hup!”
Pendekar Pulau Neraka juga cepat-cepat melenting berputar ke belakang menghindari
terjangan cahaya kuning keemasan itu. Dan kilatan cahaya kuning keemasan itu
pun hanya menghantam tepat di tengah-tengah antara Bayu dan Dewa Bayangan Putih
tadi berdiri. Dan seketika itu juga, terdengar ledakan yang begitu dahsyat!
Tanah yang terhantam kontan terbongkar, hingga menyembur sampai ke atas bagai
ledakan gunung berapi.
Bayu yang baru saja bisa menjejakkan kakinya di tanah, jadi tersentak kaget.
Sungguh tidak disangka kalau serangan itu dahsyat luar biasa.
“Edan...! Bagaimana jadinya kalau cahaya itu menghantam tubuhku...?” desis Bayu
dalam hati.
Sementara, Dewa Bayangan Putih sudah kembali melesat mendekati Pendekar Pulau
Neraka. Dan langsung kakinya menjejak di samping pemuda berbaju kulit harimau
ini. Tangannya cepat mencekal pergelangan tangan Bayu. Dan....
“Hey...?!”
Bayu jadi kaget setengah mati, begitu tiba-tiba tubuhnya terasa tersentak
keras. Dan belum lagi bisa menyadari apa yang terjadi, Dewa Bayangan Putih
sudah melesat dengan kecepatan bagai kilat tanpa dapat dicegah lagi. Belum juga
Bayu mengucapkan sesuatu, tahu-tahu sudah berada begitu jauh dari tempat yang
membingungkan dirinya. Begitu tiba di suatu tempat, mereka berhenti. Pendekar
Pulau Neraka langsung berdiri di depan Dewa Bayangan Putih dengan tangan masih
tercekal erat. Dewa Bayangan Putih baru melepaskan, setelah mendapatkan tatapan
yang begitu tajam dari Pendekar Pulau Neraka.
***
DUA
“Apa yang kau lakukan padaku,
Ki?” tanya Bayu meminta penjelasan.
“Kau seharusnya berterima kasih padaku, Anak Muda. Itu berarti aku sudah
menyelamatkanmu,” sahut Dewa Bayangan Putih dingin, tanpa tekanan sedikit pun
pada suaranya.
“Kau selamatkan aku? Selamat dari apa...?” Bayu kembali meminta penjelasan.
“Kematian yang sia-sia,” sahut Dewa Bayangan Putih singkat dan datar.
“Jangan mengada-ada, Ki. Aku masih sanggup menghadapi serangan gila seperti
itu. Bahkan yang lebih gila pun pernah kuhadapi,” dengus Bayu jadi kesal juga
menghadapi orang tua aneh ini.
“Kau tidak akan bisa menghadapinya, Anak Muda. Bukan manusia yang kau hadapi tadi.
Tapi, iblis dari neraka.”
“Aku..., aku semakin tidak mengerti...,” Bayu kelihatan kebingungan sekali
mendengar kata-kata Dewa Bayangan Putih.
“Dengar, Anak Muda. Kau sekarang berada dalam neraka yang sewaktu-waktu bisa
menghancurkan seluruh kehidupanmu. Hanya dalam pandanganmu saja sepertinya kau
berada di sebuah desa. Tapi, sebenarnya desa itu adalah neraka bagi semua orang
sepertimu. Termasuk aku ini...,” Dewa Bayangan Putih mencoba menjelaskan.
Tapi penjelasan orang tua itu malah membuat Bayu semakin bertambah bingung.
Benar-benar sulit dimengerti semua yang diutarakan Dewa Bayangan Putih barusan.
Dan dia juga tidak tahu, apa yang sedang terjadi di sekitarnya selama ini. Baru
siang tadi Pendekar Pulau Neraka sampai di Desa Caringin, tapi sudah beberapa
kejadian aneh dan membingungkan yang ditemuinya. Bahkan baru saja mengalami
peristiwa aneh yang membuat kepalanya semakin dipenuhi segala macam pertanyaan
yang sulit dijawab untuk sekarang ini.
“Sudah lebih dari tiga purnama ini aku terus membayanginya. Dan sudah beberapa
kali aku bentrok dengannya. Tapi, sampai sekarang belum juga bisa kuhentikan
semua perbuatan iblisnya. Bahkan sepak terjangnya semakin ganas. Walaupun,
semua yang menjadi korbannya bisa dikatakan bukan orang baik-baik. Hanya saja,
dia tidak memandang, sampai sejauh mana kejahatan yang dilakukan korbannya.
Memang banyak orang yang senang akan tindakannya. Tapi, bagiku semua yang
dilakukannya di luar batas kemanusiaan. Dan aku tidak menyukai tindakan yang
tanpa aturan seperti itu,” keluh Dewa Bayangan Putih seakan sedang mengeluarkan
segala kekesalan yang terpendam dalam hatinya.
“Siapa orang itu, Ki?” tanya Bayu.
“Entahlah.... Sampai saat ini aku sendiri belum tahu, siapa dia sebenarnya,”
sahut Dewa Bayangan Putih agak mendesah nada suaranya. “Walaupun sudah beberapa
kali bentrok dengannya, tapi belum pernah wajahnya bisa kulihat dengan jelas.
Setiap kali muncul dia selalu berpakaian seperti terbuat dari emas. Dan semua
senjata yang digunakannya juga bagai terbuat dari emas.”
Bayu terdiam dengan kening berkerut. Dari cerita Dewa Bayangan Putih tadi,
sedikitnya sudah bisa dimengerti apa yang tengah terjadi di Desa Caringin ini.
Bayu bisa langsung menduga kalau orang yang melakukan semua pembunuhan itu
menyimpan dendam mendalam. Dan mungkin dia bertekad membunuh siapa saja yang
pernah melakukan kejahatan. Entah dendam apa yang ada dalam hatinya, hingga
membantai semua orang yang pernah berkecimpung dalam dunia hitam. Bahkan mereka
yang sudah lama meninggalkan dunia kelam pun tak lepas dari incarannya.
Di dalam hatinya, Bayu langsung sependapat dengan Dewa Bayangan Putih. Apa pun
alasannya, tindakan hantam kromo seperti itu tidak dapat dibenarkan. Dan Bayu
jadi semakin ingin mengetahui, bahkan kalau bisa menghentikan segala pembunuhan
liar seperti itu. Walaupun, yang menjadi korbannya sudah jelas mereka yang
berjalan dalam dunia hitam.
“Ada satu lagi yang menjadi pertanyaan di dalam hatiku sampai sekarang ini,
Anak Muda,” kata Dewa Bayangan Putih.
“Apa itu, Ki?” tanya Bayu ingin tahu.
“Dia selalu muncul di malam hari. Dan tidak pernah keluar dari Desa Caringin
ini. Bahkan semua penduduk desa, seakan-akan begitu senang atas kemunculannya,
karena segala bentuk kejahatan memang tidak pernah tenggelam di desa ini,”
jelas Dewa Bayangan Putih lagi.
“Apa tidak mungkin orang itu juga penduduk Desa Caringin ini, Ki?” Bayu
langsung menduga.
“Dugaan seperti itu sudah ada sejak sepak terjangnya kuamati, Anak Muda. Tapi
sampai sekarang ini, aku belum punya bukti kuat untuk memastikannya. “
“Aku akan mencoba menyelidikinya, Ki,” tegas Bayu.
“Tidak semudah apa yang kau kira, Anak Muda. Kau pasti akan mendapat kesulitan
dari penduduk desa ini. Mereka tidak akan mau mengatakan siapa dan di mana
orang itu.”
“Tapi perbuatannya harus segera dihentikan, Ki. Bukannya tidak mungkin, hal itu
akan menjadi kebiasaan. Sehingga, bisa saja dia membunuh siapa saja tanpa
pandang bulu.”
Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Entah kenapa, matanya jadi memandangi
Pendekar Pulau Neraka dengan sinar yang begitu sukar diartikan. Sedangkan Bayu
malah mengarahkan pandangan ke Desa Caringin yang masih tetap lelap dalam
buaian malam. Dan saat itu, terdengar jerit seekor monyet Bayu jadi tersentak.
Langsung ingatannya tertuju pada Tiren yang ditinggalkannya.
Tapi belum juga Pendekar Pulau Neraka bisa berbuat sesuatu, terlihat seekor
monyet kecil berlari-lari sambil mencerecet ribut menghampiri. Bayu langsung
mengulurkan tangannya. Dan monyet kecil berbulu hitam itu pun melompat naik ke
pundak Pendekar Pulau Neraka, langsung memeluk erat leher seakan ingin
mengatakan sesuatu pada pemuda ini. Bayu hanya menepuk kepala monyet kecil itu
dengan lembut, seakan ingin menenangkannya.
“Maaf, aku tadi terpaksa memisahkan kalian berdua,” ucap Dewa Bayangan Putih.
Tidak apa, Ki. Tiren selalu tahu, di mana aku berada,” sahut Bayu seraya
tersenyum, dan mengelus kepala monyet kecilnya.
Dewa Bayangan Putih juga tersenyum melihat Tiren merapatkan tubuhnya ke leher
Pendekar Pulau Neraka. Tangannya yang kecil melingkari leher pemuda ini, seakan
ingin melindungi diri dari terpaan angin yang semakin terasa dingin di tengah
malam ini. Sementara bulan perlahan mulai menampakkan cahayanya dari gumpalan
awan hitam yang semakin terlihat menipis di angkasa. Cahayanya yang keemasan
mulai menyirami Desa Caringin.
“Biasanya tidak akan ada kejadian lagi setelah lewat tengah malam. Sebaiknya,
kau beristirahat di tempatku saja, Anak Muda,” ajak Dewa Bayangan Putih,
menawarkan.
“Kau punya tempat tinggal di sini, Ki?” tanya Bayu.
“Hanya gubuk kecil yang kubangun di luar desa. Tidak jauh dari sini,” sahut
Dewa Bayangan Putih.
Bayu mengayunkan kakinya, begitu Dewa Bayangan Putih juga melangkah
meninggalkan tempat ini. Mereka berjalan bersisian sambil terus membicarakan
peristiwa yang tengah terjadi diDesa Caringin. Mereka terus menyusuri tepian
hutan yang melingkari desa ini, bagai sebuah benteng pertahanan untuk
berlindung dari serangan orang luar.
***
Rumah yang ditempati Dewa Bayangan Putih memang tidak begitu besar. Hanya ada
satu kamar tidur dan ruangan depan yang menyatu dengan ruangan tengah, yang
hanya dipisahkan oleh selembar kain tipis berwarna merah muda. Tidak ada yang
bisa dilihat di dalam rumah ini. Bahkan untuk tidur pun hanya berupa sebuah
balai bambu beralaskan selembar tikar daun pandan yang sudah lusuh.
“Kau bisa tidur di dalam. Aku cukup di sini saja,” kata Dewa Bayangan Putih,
seraya menunjuk hamparan tikar yang menggeletak di sudut ruang tengah.
“Terima kasih, Ki. Sebaiknya, aku saja yang tidur di sini,” sahut Bayu menolak
halus.
“Kau tamuku, Anak Muda. Sudah sepantasnya aku memberi yang terbaik untukmu.”
“Bukannya aku menolak, Ki. Tapi aku sudah terbiasa tidur beratap langit Dan aku
sudah berterima kasih sekali bisa berada dalam ruangan tertutup, jauh dari
gangguan embun.”
Dewa Bayangan Putih mengangkat bahunya sedikit, tidak dapat lagi memaksa Bayu
agar mau tidur di dalam kamar. Sedangkan Pendekar Pulau Neraka sendiri sudah
merebahkan dirinya di sudut ruangan yang hanya beralaskan selembar tikar saja.
Tak lama Dewa Bayangan Putih mengambil selembar tikar lagi yang tergulung di
sudut lain dari ruangan ini. Digelarnya tikar itu, tidak jauh dari Pendekar
Pulau Neraka.
“Kenapa tidak di dalam saja, Ki?” tegur Bayu melihat orang tua itu merebahkan
dirinya di dalam ruangan ini juga.
“Kau dan aku sama, Anak Muda. Sudah terbiasa tidur beratap langit. Rumah ini
memang sudah kosong waktu aku datang. Tidak pantas kalau ada perbedaan di antara
kita di dalam rumah ini,” kilah Dewa Bayangan Putih lembut.
Bayu menggeliatkan tubuhnya sedikit, kemudian duduk bersila. Sedangkan Tiren
sudah mendengkur di sebelahnya dengan tubuh melingkar memeluk lututnya sendiri.
Sementara, Dewa Bayangan Putih tetap telentang melipat kedua tangannya di bawah
kepala. Pandangannya lurus, menatap langit-langit ruangan ini. Beberapa saat
mereka terdiam, tidak ada yang membuka pembicaraan lebih dulu. Begitu sunyinya,
sehingga tarikan napas dan detak jantung mereka berdua jadi terdengar jelas.
“Sejak kapan kau menempati rumah ini, Ki?” tanya Bayu memecah kebisuan yang
terjadi di antara mereka.
“Sejak mengintai wanita itu,” sahut Dewa Bayangan Putih.
“Wanita...?”
“Ya! Dia seorang wanita. Dan semua orang selalu menyebutnya Perempuan Bertopeng Emas,” kata Dewa Bayangan Putih
menjelaskan lagi.
“Nama yang penuh teka-teki...,” desis Bayu perlahan.
“Memang. Dan, sangat cocok dengan perbuatannya. Dia seperti baru bangkit dari
alam kubur, lantas membantai orang-orang yang sepertinya terkait dengan
kematiannya,” sambung Dewa Bayangan Putih juga pelan suaranya, seakan bicara
pada diri sendiri.
“Tentunya kau sudah cukup banyak tahu tentang dirinya, Ki. Sudah cukup lama kau
mengintainya,” ujar Bayu lagi.
“Bisa dikatakan begitu, Anak Muda. Tapi sayangnya, apa yang kuketahui selama
ini belum cukup untuk mengetahui tentang dia sebenarnya,” sahut Dewa Bayangan
Putih mengakui kekurangannya.
“Dia selalu muncul seperti hantu, Ki?” tanya Bayu lagi.
“Sulit untuk memperkirakannya, Anak Muda. Memang gerakannya seperti hantu.
Muncul dan menghilang begitu saja, tanpa dapat diikuti jejaknya. Seakan, dia
tidak pernah menapak tanah. Berkali-kali aku selalu mendapat kesukaran untuk
mendapatkan jejaknya!” jelas Dewa Bayangan Putih lagi.
Bayu terdiam membisu. Keningnya terlihat berkerut begitu dalam, seakan tengah
memikirkan sesuatu. Sementara Dewa Bayangan Putih sudah memejamkan matanya.
Tarikan napasnya terdengar begitu halus dan teratur. Sedangkan Bayu masih sulit
memejamkan matanya. Pikirannya terus menerawang, mencerna semua cerita Dewa
Bayangan Putih.
Pendekar Pulau Neraka merasakan hatinya begitu tergerak untuk menyingkap tabir
yang menyelimuti seluruh Desa Caringin ini. Terutama sekali, tabir teka-teki
yang menyelimuti wanita yang selama ini dikenal berjuluk Perempuan Bertopeng
Emas itu. Wanita yang sudah meminta korban cukup banyak, dari orang-orang yang
berkecimpung dalam dunia hitam.
“Aneh...,” gumam Bayu, bicara pada diri sendiri. Beberapa kali kepala Pendekar
Pulau Neraka bergerak menggeleng dan keningnya semakin dalam berkerut Beberapa
kali pula terdengar suara decakan dari bibirnya yang terus merapat.
Sementara malam terus merayap menjelang pagi. Angin yang bertiup menerobos
lubang-lubang dinding rumah ini, menyebarkan udara dingin yang cukup membuat
tubuh menggigil. Dan Pendekar Pulau Neraka semakin sulit memejamkan matanya.
Entah berapa kali matanya melirik Dewa Bayangan Putih yang dengkurnya sejak
tadi sudah terdengar halus. Orang tua itu pasti sudah terlelap dalam buaian
mimpi.
***
Desa Caringin memang bukan desa kecil, walaupun dikelilingi hutan yang lebat
dan bukit Penduduknya sangat padat, dengan rumah-rumah yang hampir merapat
letaknya. Bayu sendiri sempat heran melihat semua penduduknya. Mereka seperti
tidak merasa kalau ada seorang pembunuh liar yang hampir setiap malam selalu
meminta korban nyawa. Memang tidak ada alasan untuk merasa takut atau cemas,
karena pembunuh itu hanya mengambil korban dari orang-orang yang hidupnya
berada dalam lembah hitam.
Sejak matahari mulai terbit tadi, Bayu sudah mengelilingi desa ini untuk
mengamati keadaan dan suasananya. Semua ini memang membuat dirinya semakin
diselimuti berbagai macam pertanyaan. Semua orang yang dijumpai, tidak satu pun
yang menampakkan wajah takut atau kecemasan terhadap kemunculan Perempuan
Bertopeng Emas itu. Bahkan sampai matahari berada di atas kepala, sama sekali
tidak terdengar ada seorang pun yang membicarakan wanita itu.
Bahkan korban-korbannya mereka lupakan begitu saja. Kejadian semalam pun tidak
ada yang membicarakannya. Dan ini yang membuat Bayu jadi bertanya-tanya sendiri
dalam benaknya.
“Nguk!”
“Kau sudah lapar, Tiren?” tanya Bayu sambil berpaling menatap monyet kecil di
pundaknya.
“Nguk!” Tiren mengangguk kecil, seakan mengerti apa yang dikatakan Pendekar
Pulau Neraka.
“Sebentar kita cari kedai dulu,” ujar Bayu seraya tersenyum.
“Nguk!”
Senyuman Bayu semakin lebar, melihat Tiren menunjuk ke depan. Dan memang, tidak
jauh terlihat sebuah kedai yang pengunjungnya tidak begitu ramai. Sebuah kedai
yang tidak begitu besar dan cukup terbuka, terletak di bawah pohon beringin
yang sangat besar. Hingga, keadaannya terlihat begitu damai dan menyejukkan.
Bayu langsung mengarahkan kakinya menuju ke kedai itu. Pendekar Pulau Neraka
berhenti sebentar, begitu berada di depan kedai ini. Hanya ada lima pengunjung
yang semuanya berada dalam satu meja. Tapi dari pakaian dan senjata yang
dibawa, jelas sekali kalau mereka dari kalangan persilatan. Bayu segera
melangkah memasuki kedai itu. Salah seorang dari pengunjung melirik ke arahnya
sedikit, tapi kemudian tidak mempedulikannya.
Pemuda berbaju kulit harimau itu mengambil tempat agak ke sudut. Tidak berapa
lama, seorang wanita berwajah cantik dan berbaju biru muda agak ketat yang
membungkus tubuh rampingnya, datang menghampiri. Senyumnya langsung terkembang
begitu manis, membuat setiap mata laki-laki yang memandangnya pasti tidak akan
berkedip. Bayu membalas senyuman itu sedikit saja.
“Mau makan, Den...?” sapa wanita itu dengan suara lembut.
“Ya,” sahut Bayu singkat.
“Makan apa?”
“Apa saja yang ada di sini. Juga, sediakan sesisir pisang untuk sahabatku ini,”
sahut Bayu sambil menempatkan Tiren di atas meja.
“Sebentar disiapkan, Den.”
Wanita itu kembali meninggalkannya. Tapi hanya sebentar saja, dia sudah kembali
lagi bersama seorang laki-laki tua yang membawa sebuah baki cukup besar, penuh
berisi makanan serta seguci arak. Dengan sikap lembut disertai senyum manis
tersungging di bibir, wanita itu menyiapkan hidangan yang dipesan Bayu di atas
meja di depannya. Sementara Bayu hanya memperhatikan saja sekilas.
“Silakan, Den,” ucap wanita itu setelah selesai dengan pekerjaannya.
“Terima kasih,” ucap Bayu seperti tidak peduli.
Tapi ketika wanita itu hendak pergi meninggalkannya, cepat Bayu menangkap
pergelangan tangan kirinya. Seketika wanita itu agak terperanjat. Sementara,
laki-laki tua yang datang bersamanya tadi sudah tidak terlihat lagi di dalam
ruangan kedai yang terbuka ini.
“Kau bisa menemaniku makan di sini...?” Bayu langsung menawarkan.
Wanita itu tersenyum manis sekali. Tanpa bicara sedikit pun juga, dia langsung
saja duduk di sebelah kiri Pendekar Pulau Neraka. Bayu sempat mencium bau harum
tubuh wanita yang berwajah cantik ini. Sementara, lima orang yang sudah ada di
kedai ini sejak tadi menatap Bayu dengan sorot mata memancarkan
ketidaksenangan. Bahkan salah seorang langsung menyemburkan ludahnya dengan
sikap sengit. Tapi pemuda berbaju kulit harimau itu sama sekali tidak
mempedulikannya. Malah duduknya dirapatkan pada wanita di sebelahnya ini.
“Boleh aku tahu namamu, Nisanak...?” tanya Bayu.
“Tarsih,” sahut wanita itu memperkenalkan diri. “Nama yang cantik, secantik
orangnya,” puji Bayu.
“Ah, Aden bisa saja...,” Tarsih jadi tersipu, dan langsung menunduk mendapat
pujian.
Sedangkan Bayu mulai menikmati makanannya. Tiren juga seperti tidak
mempedulikan keadaan sekelilingnya. Binatang lucu ini begitu nikmat menyantap
pisang yang disediakan khusus untuknya. Sementara, Tarsih selalu menambahkan
arak ke dalam bambu yang selalu kosong dihirup Pendekar Pulau Neraka. Sementara
senyum manis tidak pernah terlepas dari bibirnya yang merah menggairahkan.
“Kau asli penduduk desa ini, Tarsih?” tanya Bayu lagi.
Tarsih hanya menganggukkan kepala saja.
“Dan yang tadi itu, ayahmu...?” tanya Bayu lagi.
“Dia bekas pelayan ayahku,” sahut Tarsih begitu lirih.
“Bekas pelayan...?” kening Bayu jadi berkerut, langsung menghentikan makannya.
“Iya. Hanya Ki Radut yang masih setia mengikutiku. Sedangkan yang lainnya sudah
tidak ada lagi sejak...,” Tarsih tidak melanjutkan.
“Orangtuamu sudah meninggal...?” tebak Bayu langsung.
Tarsih hanya menganggukkan kepala saja. Dan wanita ini jadi terus tertunduk
dengan wajah mencerminkan duka. Bayu merasa jadi tidak enak atas pertanyaannya
yang membuat wanita ini jadi berubah murung.
“Maaf, tidak seharusnya aku banyak bertanya,” ucap Bayu cepat-cepat.
“Ah, tidak apa-apa...,” sahut Tarsih kembali tersenyum.
Bayu membalas senyuman itu dengan manis.
“Sejak beberapa tahun ini, hanya kau yang baru menanyakan itu. Mereka semua
sudah melupakannya. Padahal, peristiwa itu selalu saja datang membayangiku,”
ujar Tarsih pelan suaranya, sehingga hampir tidak terdengar di telinga Pendekar
Pulau Neraka.
Baru saja Bayu membuka mulutnya hendak bertanya lagi, tiba-tiba saja....
“Tarsih...!”
“Oh...?!”
Tarsih jadi tersentak kaget, begitu terdengar suara yang keras menggelegar
memanggilnya. Wajahnya seketika jadi memucat, begitu melihat salah seorang dari
lima orang pengunjung kedai yang sejak tadi memperhatikan Bayu berdiri dengan
berkacak pinggang. Wajahnya kelihatan begitu garang, dengan sepasang bola mata
merah menyala. Kumis tebal menghiasi bibirnya yang besar. Kulitnya juga
kelihatan hitam terjemur matahari.
Sepasang gelang berwarna hitam berbentuk ular yang menggigit ekornya sendiri,
terpasang pada kedua pergelangan tangannya. Tarsih langsung bangkit berdiri
dengan tubuh bergetar. Sementara, Bayu hanya memperhatikan saja dengan kelopak
mata agak menyipit.
“Ke sini kau...!” bentak laki-laki bertubuh besar dan kekar dengan wajah garang
itu kasar.
“Iii.., iya. Sebentar, Kang...,” sahut Tarsih terbata.
Bergegas Tarsih menghampiri dengan sikap begitu takut. Sementara, Bayu terus
memperhatikan tanpa berkedip sedikit pun. Tarsih terbungkuk-bungkuk, begitu
sampai di depan laki-laki bertubuh besar dan kekar ini. Dan tiba-tiba saja....
Plak!
“Aouwh...!”
“Heh...?!”
Bayu jadi terlonjak begitu melihat tangan yang besar itu menampar wajah cantik
wanita pelayan kedai ini. Sementara, Tarsih langsung berputar dan jatuh menimpa
meja. Saat itu, laki-laki bertubuh kekar ini sudah melompat menghampiri.
Langsung dicengkeramnya batang leher Tarsih.
Seketika wanita itu jadi terpekik. Dan sebelum ada yang sempat menyadari,
tahu-tahu tubuh Tarsih sudah terangkat. Lalu....
“Perempuan rendah! Mampus kau! Hih...!”
Bruk!
“Akh...!”
***
TIGA
Kembali Tarsih terpekik, begitu
tubuhnya dilempar dengan keras sekali ke atas permukaan meja. Begitu kerasnya,
hingga meja itu hancur berkeping-keping. Sementara wanita itu jatuh bergulingan
di lantai kedai ini. Bayu yang menyaksikan semua itu kontan mendidih darahnya.
Tidak mungkin hatinya tak tersentuh melihat seorang wanita lemah tersiksa
begitu rupa. Langsung dia melompat, tepat di saat kaki yang besar dan berbulu
itu sudah terangkat hendak menginjak tubuh ramping yang tergeletak di lantai
tanah ini.
Seketika dilepaskannya tendangan keras ke arah kaki berbulu itu. Dan....
Plak!
“Akh...!”
Tiba-tiba saja laki-laki bertubuh besar itu memekik keras agak tertahan, begitu
kakinya terhantam kaki Pendekar Pulau Neraka. Dan tahu-tahu tubuhnya terpental
ke belakang hingga menghantam meja yang ditempatinya bersama empat orang
temannya. Mereka jadi begitu terkejut melihat meja yang ditempati hancur
tertimpa tubuh besar dan kekar.
Sementara, Tarsih bangkit berdiri dibantu Bayu yang tahu-tahu sudah berada di
dekatnya.
“Keparat..! Monyet buntung!” umpat laki-laki bertubuh kekar itu seraya bangkit
berdiri dengan beringas.
Kedua bola mata laki-laki itu semakin merah menyala, melihat Tarsih kini berada
dalam dekapan seorang pemuda tampan yang mengenakan baju dari kulit harimau
itu. Sedangkan empat orang lainnya sudah langsung mencabut senjata
masing-masing. Sedangkan laki-laki bertubuh kekar yang tadi tendangannya
dipapak Bayu, langsung mencabut goloknya yang besar dari balik ikat pinggangnya
yang terbuat dari kulit sapi.
“Menyingkirlah. Akan kuhadapi mereka,” ujar Bayu sambil mendorong pelan tubuh
wanita pelayan kedai itu.
Sambil meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya, Tarsih melangkah mundur
menjauhi Pendekar Pulau Neraka. Saat itu, dari belakang kedai muncul Ki Radut
Laki-laki tua itu bergegas menghampiri Tarsih, dan membawanya ke belakang.
Tapi, Tarsih berhenti begitu mencapai pintu yang memisahkan ruangan kedai ini
dengan bagian belakang. Sementara, Bayu sudah.dikelilingi lima orang yang
semuanya sudah menghunus senjata di tangan kanan.
“Monyet jelek! Kau belum tahu siapa kami, heh...?!” bentak laki-laki bertubuh
kekar itu menggeram marah.
“Aku tahu, siapa kalian semua. Kalian adalah tikus-tikus busuk yang beraninya
hanya pada perempuan lemah,” sahut Bayu begitu dingin nada suaranya.
“Beledek! Kau akan mampus di tangan Lima Begal Sungai Ular!” geram laki-laki
bertubuh kekar itu semakin berang.
“Sudah.... Jangan banyak bicara, Kakang. Bunuh saja manusia picik ini!” selak
salah seorang, tidak dapat lagi menahan kegeramannya. Dan saat itu juga....
“Mampus kau! Hiyaaat..!”
Sambil berteriak keras menggelegar, laki-laki bertubuh kekar itu langsung saja
melompat menerjang disertai ayunan goloknya yang besar, tepat mengarah ke
kepala pemuda berbaju kulit harimau ini.
Bet!
“Hap...!”
Tapi hanya dengan egosan kepala sedikit saja, tebasan golok itu bisa dihindari
Bayu dengan mudah. Bahkan tanpa diduga-duga, tangan kanan Pendekar Pulau Neraka
bergerak cepat Langsung dilepaskannya satu sodokan yang mengarah tepat ke
bagian tengah dada laki-laki ini.
Diegkh!
“Hegkh...!”
Laki-laki bertubuh kekar itu langsung terhuyung ke belakang dengan tubuh agak
terbungkuk. Melihat itu, empat orang lainnya jadi berang setengah mati. Tanpa
diperintah lagi, mereka yang berjuluk Lima Begal Sungai Ular langsung
berlompatan menyerang Pendekar Pulau Neraka.
“Hup! Yeaaah...!”
Tapi sebelum serangan sampai, Bayu sudah melesat cepat bagai kilat melewati
atas kepala mereka. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung melesat keluar dari kedai
itu. Indah sekali gerakannya saat berputar di udara, lalu ringan sekali kakinya
menjejak tanah. Pendekar Pulau Neraka langsung berdiri tegak, menanti Lima
Begal Sungai Ular.
Dan memang seperti yang diduga Pendekar Pulau Neraka, lima orang laki-laki bertampang
bengis itu berlompatan keluar mengejarnya. Dua orang langsung saja menyerang
dengan senjata golok yang besar ke arah kepala dan kaki. Tapi hanya sedikit
melompat dan merundukkan tubuh, serangan serentak itu berhasil dihindari Bayu
dengan manis. Bahkan begitu cepat sekali tubuhnya berputar sambil melepaskan
tendangan beruntun yang begitu keras disertai sedikit pengerahan tenaga dalam.
Begitu cepatnya tendangan yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka, sehingga dua
orang lawannya tidak dapat lagi menghindar.
Diegh! Dugh!
“Aaakh...!”
“Ugh!”
Dan kedua orang itu kontan menjerit begitu tubuhnya terpental akibat tendangan
yang sangat keras ini. Sementara, Bayu kembali berdiri tegak. Di pandangnya dua
orang lawannya yang bergulingan di tanah sambil mengerang menahan sakit di
tubuhnya.
“Serang! Bunuh monyet keparat itu…!”
“Hiyaaa…!”
“Yeaaah…!”
***
Pendekar Pulau Neraka cepat melenting ke atas, begitu kelima orang yang
menamakan diri Lima Begal Sungai Ular itu berlompatan menyerang secara
bersamaan. Dan pada saat itu juga, dengan gerakan cepat luar biasa Bayu
berputaran di udara. Seketika dilepaskannya pukulan beruntun beberapa kali
dengan kecepatan tinggi, disertai pengerahan tenaga dalam yang tidak penuh.
Begitu cepat pukulan-pukulannya, sehingga membuat Lima Begal Sungai Ular tidak
dapat menghindari lagi.
Plak plak plakkk...!
“Aaakh...!
“Ugh!”
Dan jeritan-jeritan keras pun terdengar saling sambut, mengiringi tubuh-tubuh
yang berpentalan dan jatuh bergulingan di tanah. Entah bagaimana caranya,
ditangan kanan Pendekar Pulau Neraka sudah tergenggam lima buah golok yang
dirampasnya dari tangan kelima orang lawannya. Pendekar Pulau Neraka berdiri
tegak memadangi Lima Begal Sungai Ular yang bergelimpangan sambil merintih
menahan sakit di sekujur tubuhnya, akibat terkena pukulan keras bertenaga dalam
tinggi.
Sambil meringis dan merintih, mereka bangkit berdiri. Tapi mereka jadi terkejut
setengah mati, begitu melihat senjata masing-masing sudah berpindah tangan
tanpa diketahui lagi.
“Sebaiknya kalian cepat angkat kaki dari sini, sebelum pikiranku berubah untuk
menghirup darah kalian!” terdengar begitu dingin suara Bayu. “Nih...!”
Sekali sentak saja, lima buah golok yang berada dalam genggaman tangan Bayu
terlempar kedepan, dan tepat jatuh menancap di depan kaki-kaki kelima orang
itu. Seketika mereka jadi terbeliak lebar dengan wajah kontan memucat Maka
tanpa mengeluarkan suara lagi, mereka bergegas mengambil golok masing-masing,
dan langsung berlarian meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
Bayu jadi tersenyum melihat lima orang laki-laki bertubuh kekar dengan wajah
garang itu berlarian seperti lima ekor kelinci melihat harimau. Sambil
tersenyum-senyum, Pendekar Pulau Neraka kembali melangkah masuk ke dalam kedai.
Sedangkan Tarsih dan pelayan tuanya langsung menyambutnya di pintu kedai.
Mereka membawa Pendekar Pulau Neraka kembali duduk di mejanya semula.
“Ada yang sakit...?” tanya Bayu langsung sambil menatap Tarsih yang duduk di
samping kirinya
“Tidak,” sahut Tarsih seraya menggeleng.
Bayu memperhatikan wanita itu beberapa saat. Deraan yang diterima Tarsih tadi
memang sangat menyakitkan bagi orang biasa. Tapi, kelihatannya Tarsih sama
sekali tidak merasakan sakit. Bahkan sedikit pun tidak terlihat luka di wajah
maupun tubuhnya. Wanita ini masih tetap kelihatan cantik, walaupun tadi sampai
terbanting menghantam meja hingga meja itu hancur berkeping-keping. Sementara
Bayu sempat melirik keluar. Dan saat itu juga, keningnya jadi berkerut.
“Aneh...,” desis Bayu tanpa sadar.
“Apanya yang aneh, Den?” tanya Ki Radut yang duduk di seberang meja.
Baca Juga :
“Ah, tidak apa-apa...,” sahut Bayu langsung mengambil lodong bambu, dan
meneguknya hingga tandas tak tersisa lagi.
Tarsih segera menuangkan kembali arak dari dalam guci ke dalam lodong bambu di
tangan Pendekar Pulau Neraka itu. Sementara Bayu kembali melirik keluar kedai.
Begitu banyak orang yang lalu-lalang di jalan depan kedai ini. Tapi, tidak ada
seorang pun yang peduli dengan pertarungan tadi. Seakan, mereka tidak mau tahu
dengan urusan orang lain. Bahkan tidak seorang pun yang melirik ke kedai ini.
“Mereka memang begitu, Kang,” ujar Tarsih, yang kini langsung tidak lagi
memanggil Raden pada Bayu.
Kelihatannya wanita itu tahu apa yang ada didalam kepala Pendekar Pulau Neraka.
Kata-kata Tarsih membuat kening Bayu jadi berkerut, memandang wajah cantik yang
duduk di sebelahnya.
“Semua orang di sini terlalu sibuk dengan diri sendiri. Jadi, tidak ada
perhatian sedikit pun dengan sekitarnya,” sambung Ki Radut.
Bayu hanya diam saja. Entah, apa yang ada dalam kepalanya saat ini. Diteguknya
sedikit arak dan diletakkannya lodong bambu itu ke atas meja. Sedangkan tangan
kirinya mengusap kepala Tiren. Monyet kecil itu hanya menyeringai,
memperlihatkan baris-baris giginya yang kecil dan sedikit runcing.
“Mereka tidak akan peduli dengan sekelilingnya, meskipun desa ini dibayangi
kehancuran,” sambung Ki Radut lagi.
“Kehancuran bagaimana, Ki?” tanya Bayu jadi ingin tahu.
“Raden sudah dengar pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di sini...?” Ki Radut
malah balik bertanya.
Bayu hanya diam saja. Wajahnya begitu datar, seakan tidak memperhatikan
pertanyaan yang dilontarkan laki-laki tua itu. Tapi tatapannya justru begitu
tajam, menembus langsung ke bola mata Ki Radut. Sehingga orang tua itu jadi
tidak menentu perasaannya.
“Sudah lebih dari dua purnama terjadi pembunuhan di desa ini, Den. Memang, yang
menjadi korban adalah orang-orang jahat. Tapi semua penduduk desa ini tidak
menyadari kalau sebenarnya juga terancam. Raden lihat sendiri, mereka begitu
tidak peduli, walaupun semalam satu keluarga habis terbantai. Bahkan mayat
mereka juga tidak bisa ditemukan lagi,” sambung Ki Radut.
“Apakah tidak ada orang yang berusaha menyelidikinya, Ki?” tanya Bayu.
“Tidak,” sahut Ki Radut seraya menggelengkan kepala.
“Mereka malah senang, Kang. Mereka menganggap pembunuh itu akan membuat desa
ini jadi tenteram. Tapi, malah sebaliknya...,” selak Tarsih yang sejak tadi
diam saja.
“Kalian merasa terganggu?” tanya Bayu lagi.
“Selama ini memang belum, Den. Tapi, aku merasa tidak lama lagi bencana akan
datang ke desa ini,” sahut Ki Radut.
“Bencana apa, Ki?”
“Pembunuh itu pasti akan membantai semua orang di sini satu persatu. Dan aku,
rasanya tinggal menunggu waktu saja,” sahut Ki Radut lagi.
Bayu jadi terdiam lagi. Kata-kata Ki Radut yang terakhir membuatnya jadi
tertegun. Perkiraan Ki Radut begitu sama dengan dugaannya yang sudah
dikemukakan pada Dewa Bayangan Maut semalam. Tapi, inilah yang membuat Bayu
jadi merasa aneh. Sejak datang ke desa ini kemarin, baru Ki Radut saja yang
mempunyai perasaan seperti itu. Sedangkan semua orang di desa ini sama sekali
tidak bisa melihat kalau akan ada bencana yang bakal datang menimpa.
Bayu merasa inilah saatnya bisa memperoleh keterangan lebih banyak lagi. Maka
semua yang belum diketahuinya terus ditanyakan pada Ki Radut. Hanya sesekali
saja Tarsih menambahkan cerita Ki Radut mengenai keadaan di Desa Caringin ini.
Tapi semakin banyak cerita yang masuk, semakin sulit bagi Bayu mencari jalan
untuk mengetahui, siapa wanita yang berjuluk Perempuan Bertopeng Emas itu.
***
Bayu tidak bisa lagi menolak ketika Tarsih memintanya untuk menginap di
kedainya yang juga menjadi tempat tinggalnya. Dan memang, saat itu matahari
sudah sejak tadi tenggelam di balik peraduannya. Suasana di Desa Caringin ini
kembali sunyi, tanpa seorang pun terlihat lagi berada di luar rumah. Wanita itu
menyediakan satu kamar yang letak jendelanya langsung menghadap keluar. Memang,
rumah wanita ini cukup besar, dan berada tepat di belakang kedainya.
Tapi, Bayu belum juga beranjak masuk ke dalam kamarnya. Pemuda berbaju kulit
harimau itu masih tetap duduk menghadapi meja di sudut kedai. Dan perhatiannya
tidak lepas dari jalan yang langsung menjadi sunyi, begitu matahari tenggelam
di ufuk barat. Keanehan memang begitu terasa di desa ini. Dan Bayu sangat
merasakannya. Tapi, sungguh tidak diketahuinya, apa yang menjadi sebab dari
semua keanehan ini.
Hatinya hanya dipenuhi berbagai macam pertanyaan yang sukar dijawab. Bayu
melirik sedikit, saat telinganya mendengar ayunan langkah kaki yang halus dari
sebelah kanan. Tampak Ki Radut datang menghampiri sambil membawa sebuah pelita
kecil di tangan ki-ri. Orang tua itu langsung saja duduk di depan Pendekar Pulau
Neraka, tanpa dipersilakan lagi. Diletakkannya pelita yang dibawa tepat di
tengah-tengah meja. Bayu hanya memperlihatkan saja dengan sudut ekor mata.
“Sudah malam. Tidak tidur, Den...?” tegur Ki Radut lembut.
Bayu hanya tersenyum saja menjawab sapaan lembut dan ramah itu. Ditariknya
napas sedikit, dan dihembuskannya dengan kuat. Ekor matanya sempat
memperhatikan Tiren yang sudah melingkar di sudut meja ini. Monyet kecil itu
memang mudah sekali jatuh tidur kalau perutnya sudah terasa kenyang.
“Boleh aku bertanya sesuatu padamu, Den...?” ujar Ki Radut lagi masih nada
suara sopan.
“Apa yang ingin kau tanyakan, Ki?”
“Boleh aku tahu dari mana asal Raden...?” tanya Ki Radut langsung.
Kembali Pendekar Pulau Neraka tersenyum, tidak langsung menjawab pertanyaan
itu. Baginya pertanyaan seperti ini tidak pernah didengar. Dan pemuda berbaju
kulit harimau itu sendiri tidak bisa menjawab pasti, dari mana asalnya.
Walaupun Bayu tidak bisa melupakan asal kelahirannya, tapi sudah lama mencoba
melupakannya. Dan dia tidak ingin kembali hanyut dalam duka yang mendalam
setiap kali teringat asal-usulnya sendiri. Memang begitu menyakitkan....
“Aku datang dari sebuah pulau yang jauh dari sini, Ki. Pulau yang tidak bernama
dan tidak ada penghuninya,” sahut Bayu mencoba memuaskan hati orang tua ini.
“Orangtua Raden...?” tanya Ki Radut lagi seperti sedang menyelidiki Pendekar
Pulau Neraka.
“Sudah lama tiada. Sejak aku masih bayi,” sahut Bayu pelan.
“Lalu, Raden diasuh siapa di pulau itu?”
“Kakek.”
Ki Radut mengangguk-angguk sambil memperdengarkan gumaman kecil bagai lebah.
Sementara Bayu mengarahkan pandangan lurus ke depan, menembus malam yang begitu
pekat tanpa disinari cahaya bintang maupun bulan. Malam ini, langit kelihatan
hitam tertutup awan tebal bergulung-gulung. Sehingga membuat suasana malam di
desa ini semakin terasa mencekam.
“Sejak tadi aku tidak melihat Tarsih. Di mana dia, Ki?” tanya Bayu mengalihkan
pembicaraan.
“Dia selalu berada dalam kamarnya kalau sudah malam, Den. Baru besok pagi dia
keluar dari kamarnya,” sahut Ki Radut.
“Kasihan dia. Sepertinya batinnya begitu tertekan,” desah Bayu perlahan, seakan
bicara pada diri sendiri.
“Begitulah keadaannya, Den. Kedua orangtua dan seluruh saudaranya mati dibantai
perampok. Bahkan rumahnya dibakar bersama semua keluarganya yang mati. Masih
untung dia bisa selamat Yah..., kejadian itu memang sudah lama, Den. Ketika
Tarsih sendiri juga masih kecil dan tidak tahu apa-apa. Tapi, dia menyaksikan
semua kekejaman yang dialami keluarganya. Akulah yang membawanya pergi dari
rumah ketika peristiwa itu terjadi. Tapi yang lebih menyakitkan lagi, semua
penduduk di sini tidak ada yang mau menolongnya. Mereka malah hanya menyaksikan
saja tanpa berbuat apa-apa, sampai api menghancurkan rumah orangtuanya Tarsih,”
tutur Ki Radut dengan suara begitu pelan, mengisahkan kehidupan Tarsih.
“Menyakitkan sekali...,” desis Bayu tanpa sadar.
“Memang sangat menyakitkan, Den. Tapi aku tidak pernah memberi kesempatan
padanya untuk melampiaskan dendam. Bahkan aku memelihara dan membesarkannya
seperti layaknya seorang wanita. Yah..., kami hidup dari membuka kedai ini
saja, Den. Kedai ini kubangun sendiri, di atas bekas reruntuhan rumahnya
sendiri,” sambung Ki Radut menceritakan.
“Tapi aku lihat, kedai ini selalu sepi saja, Ki. Tidak seperti kedai-kedai
lainnya,” ujar Bayu. Jelas sekali kalau nada suaranya menyelidik.
“Itulah yang membuatku selalu sedih, Den. Sejak membuka kedai ini, tidak ada
seorang penduduk pun yang mau datang ke sini. Entah kenapa, mereka seperti
merasa jijik makan di sini. Hanya pengembara dan pendatang saja yang singgah
disini. Dan kini belum tentu dapat tamu satu atau dua orang dalam sehari. Aku
sendiri sebenarnya sudah tidak tahan, Den. Tapi, Tarsih tidak mau meninggalkan
desa ini. Dia tetap bertekad untuk hidup di desa ini, walaupun semua orang
tidak mau memandangnya, “ sambung Ki Radut dengan bola mata berkaca-kaca.
Sesaat Pendekar Pulau Neraka jadi diam tertegun. Keningnya kelihatan berkerut
dengan kelopak mata agak menyipit memandangi wajah orang tua yang duduk di depannya.
Entah apa yang ada dalam pikiran Pendekar Pulau Neraka. Sambil menghembuskan
napas panjang, Bayu bangkit berdiri dari kursinya. Sedangkan Ki Radut sempat
melirik memperhatikannya.
“Aku mau jalan-jalan dulu, Ki,” ujar Bayu berpamitan.
“Sebaiknya jangan, Den. Bahaya...,” cegah Ki Radut sambil berdiri dari
duduknya.
“Kenapa...?” tanya Bayu memancing.
“Apa Raden tidak ingat, ada pembunuh kejam berkeliaran di desa ini...?”
“Aku tahu, Ki. Aku percaya, dia tidak akan mencelakakan aku. Dia hanya mencari
orang-orang yang hidup dalam kejahatan saja,” sahut Bayu seraya tersenyum.
Setelah Pendekar Pulau Neraka menepuk lembut pundak laki-laki tua itu, kakinya
terayun melangkah. Sekilas matanya sempat melirik Tiren yang masih tetap tidur
lelap di atas meja.
“Tolong jaga sahabatku, Ki,” pinta Bayu berpesan.
“Hati-hati, Den. Kembali lagi ke sini, sebelum tengah malam,” pesan Ki Radut.
Bayu hanya tersenyum saja. Sementara kakinya terus terayun melangkah keluar
dari dalam kedai ini. Ki Radut sendiri bergegas meninggalkan kedai, sambil
menggendong Tiren yang masih saja terlelap dalam tidurnya. Sementara, Bayu
terus mengayunkan kakinya semakin jauh meninggalkan kedai itu. Dia menyusuri
jalan tanah yang berdebu dan membelah Desa Caringin ini bagai menjadi dua.
***
EMPAT
Belum jauh berjalan meninggalkan
kedai Ki Radut, Bayu sudah dikejutkan oleh terdengarnya jeritan panjang yang
begitu tinggi dan melengking dari arah timur. Tanpa membuang-buang waktu lagi,
Pendekar Pulau Neraka langsung melesat cepat mempergunakan ilmu meringankan
tubuh tingkat sempurna. Begitu sempurnanya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Pendekar Pulau Neraka itu, sehingga larinya bagaikan terbang di atas angin.
Kedua telapak kakinya bagai tidak menyentuh tanah sedikit pun. Dan yang
terlihat hanya bayangan kuning yang berkelebat di antara rumah-rumah penduduk
Desa Caringin ini.
“Heh...?!”
Bayu sampai terhenyak, begitu melihat seseorang bertubuh ramping terbungkus
pakaian kuning bagai terbuat dari emas. Sosok bertubuh wanita itu tengah
bertarung sengit menghadapi tiga orang laki-laki berbadan besar dan kekar
bersenjatakan golok. Terlihat dua orang tubuh laki-laki bertubuh kekar telah
tergeletak tidak jauh dari tempat pertarungan dengan darah menggenang di
sekitarnya. Dan pada saat Pendekar Pulau Neraka bisa mengenali lawan wanita
berpakaian serba kuning keemasan itu, sudah kembali terdengar jeritan panjang
melengking tinggi dari salah seorang akibat lehernya terlilit selendang emas.
Dan ketika selendang itu ditarik oleh wanita berpakaian serba kuning itu dengan
kuat...
Brolll...!
Tidak ada lagi terdengar jeritan di saat kepala orang itu tertarik buntung dari
lehernya. Darah seketika menghambur keluar dengan deras sekali dari leher yang
buntung tak berkepala lagi. Hanya sebentar saja dia masih mampu berdiri tanpa
kepala, kemudian tubuhnya ambruk begitu kepalanya jatuh dari belitan selendang
kuning keemasan itu.
Sementara, dua orang lainnya yang tersisa jadi terpaku tidak percaya. Wajah
mereka pucat-pasi seperti mayat, melihat tiga orang temannya sudah menggeletak
jadi mayat dengan darah menggenang di sekitar tubuhnya. Tapi hanya sebentar
saja mereka terpaku bagai tersihir, kemudian....
“Perempuan setan! Kubunuh kau!
Hiyaaat..!”
“Yeaaah...!”
Serentak mereka berlompatan menyerang wanita bertopeng kuning keemasan ini
dengan golok yang berkelebatan begitu cepat Tapi saat itu juga, wanita
bertopeng kuning keemasan ini juga sudah cepat mengebutkan selendang mautnya.
Dan....
Bet!
Bret! Cras!
“Akh!”
“Aaa...!”
Jeritan panjang melengking mengiringi kematian kembali terdengar saling sambut,
disusul ambruknya dua orang laki-laki kekar yang dikenali Bayu sebagai dua dari
Lima Begal Sungai Ular. Mereka ambruk menggelepar di tanah dengan leher hampir
buntung mengucurkan darah segar begitu deras, sebelum bisa berbuat lebih banyak
lagi.
Sementara, sosok tubuh ramping berpakaian serba kuning emas itu berdiri tegak
sambil membelitkan selendang di pinggangnya yang ramping. Sedangkan Bayu
seperti terpana, menyaksikan semua kejadian yang begitu cepat ini. Dalam waktu
tidak berapa lama saja, Lima Begal Sungai Ular sudah tidak ada lagi yang
bergerak. Mereka mati secara mengerikan sekali. Beberapa saat Bayu berdiri
tegak bagai tersihir, memandangi sosok tubuh ramping berpakaian serba kuning
emas itu.
“Kau tidak termasuk dalam hitunganku, Bayu. Jangan coba-coba mencampuri
urusanku....”
“Heh...?!”
Bayu jadi tersentak kaget mendengar kata kata yang jelas dikeluarkan oleh
wanita berbaju kuning itu. Tapi bukan itu yang membuat Bayu jadi terkejut.
Ternyata yang mengenakan topeng pada wajahnya itu sudah mengenal namanya.
Padahal, rasanya mereka belum pernah bertemu. Dan mungkin baru kali ini
berhadapan muka.
“Siapa kau sebenarnya, Nisanak?” tanya Bayu langsung begitu bisa menguasai
diri.
“Kau tidak perlu tahu siapa aku, Bayu. Kau juga tidak perlu mencampuri urusan
ini. Lebih baik lagi, cepatlah tinggalkan desa ini, sebelum tubuhmu
kuhancurkan!” sahut wanita bertopeng emas itu dingin menggetarkan.
“Hm...,” Bayu jadi menggumam perlahan.
Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka memperhatikan wanita berpakaian serba
kuning keemasan di depannya. Tapi memang sulit bisa mengenali jelas wajahnya,
karena tertutup topeng berbentuk wajah seorang wanita berwarna kuning emas.
“Dari mana kau tahu namaku, Nisanak?” terdengar agak datar nada suara Bayu.
“Aku tahu nama semua orang yang ada di desa ini, walaupun baru datang beberapa
saat yang lalu,” sahut wanita itu, masih datar nada suaranya.
“Hm...,” kembali Bayu menggumam perlahan.
“Maaf, aku ada urusan lain yang lebih penting,” ucap wanita itu, seraya
membalikkan tubuhnya.
“Tunggu...!” Bayu cepat mencegah, begitu melihat wanita berpakaian serba kuning
keemasan yang dikenal berjuluk Perempuan Bertopeng Emas itu hendak pergi
meninggalkannya. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung melompat mendekati. Hanya
sekali lesat saja, dia sudah berada sekitar lima langkah lagi di depan
Perempuan Bertopeng Emas ini.
“Mau apa kau...?!” terdengar ketus nada suara wanita ini.
“Kenapa kau lakukan semua ini? Apa kau ingin membunuh habis semua orang di desa
ini...?” tanya Bayu langsung, tanpa menunggu waktu lagi.
“Itu urusanku, Bayu. Sebaiknya jangan ikut campur! Atau, kau ingin kusamakan
dengan mereka...?!” bentak Perempuan Bertopeng Emas terdengar kesal suaranya.
Dan begitu kata-katanya selesai, Perempuan Bertopeng Emas ini langsung saja
melesat cepat sekali, meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
“Hey! Tunggu...!” teriak Bayu, mencoba mencegah.
“Hup...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Pendekar Pulau Neraka langsung saja melesat
mengejar wanita berpakaian serba kuning keemasan ini. Tapi, Bayu jadi kelabakan
juga. Baru beberapa saat wanita itu melesat pergi, ternyata sudah lenyap tidak
terlihat lagi. Dan Bayu terpaksa menghentikan pengejarannya. Dirayapinya
keadaan sekitarnya, tapi bayangan Perempuan Bertopeng Emas memang sudah tak
terlihat lagi. Sungguh cepat sekali menghilangnya, bagaikan hantu saja.
“Ilmu meringankan tubuhnya begitu sempurna, hingga bisa cepat menghilang tanpa
diketahui lagi jejaknya. Hm..., benar apa kata Dewa Bayangan Putih. Dia
benar-benar seperti hantu yang baru bangkit dari alam kubur,” desis Bayu
menggumam pelan, bicara pada diri sendiri.
Beberapa saat Bayu masih mengedarkan pandangan ke sekeliling, memperhatikan
sekitarnya. Sorotan matanya sangat tajam, bagai hendak menembus kegelapan malam
yang begitu pekat ini.
“Sebaiknya aku kelilingi saja desa ini,” gumam Bayu mengambil keputusan.
Pendekar Pulau Neraka mengayunkan kakinya kembali sambil memperhatikan
sekitarnya tanpa berkedip. Kakinya terus melangkah, mencari kalau-kalau Perempuan
Bertopeng Emas itu terlihat lagi. Rasa penasarannya semakin membakar menyulut
hatinya. Ayunan langkah kaki Pendekar Pulau Neraka berhenti, setelah tiba di
ujung jalan yang bercabang.
“Hm.... Kalau ke kiri kembali ke rumah Tarsih. Dan ke kanan..., ini jalan
menuju pondok yang ditempati Dewa Bayangan Putih,” gumam Bayu bicara sendiri.
Dan setelah Pendekar Pulau Neraka sudah mengambil keputusan, kakinya terayun ke
kiri. Tapi baru saja berjalan beberapa langkah, tiba-tiba saja....
“Aaa...!”
“Heh...?!”
***
Bayu tersentak kaget setengah mati, begitu tiba-tiba terdengar jeritan panjang
melengking dari sebuah rumah yang berada tepat di sebelah kirinya. Dan belum
lagi hilang rasa keterkejutannya, terlihat sebuah bayangan kuning keemasan
melesat cepat bagai kilat, keluar menembus jendela samping rumah itu.
“Hey...!”
Kedua bola mata Bayu seketika terbeliak melihat si Perempuan Bertopeng Emas
keluar dari rumah, menyusul terdengarnya jeritan panjang melengking tadi. Tanpa
berpikir panjang lagi, Bayu langsung saja melesat mengejar wanita berpakaian
serba kuning keemasan itu. Seluruh ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai tingkat kesempurnaan langsung dikerahkan, hingga bagaikan terbang
saja. Dia melesat begitu cepat, melintasi beberapa atap rumah penduduk.
“Hup! Yeaaah...!”
Sambil berteriak keras menggelegar, Pendekar Pulau Neraka mengempos seluruh
kepandaiannya mengejar wanita yang dijuluki Perempuan Bertopeng Emas. Beberapa
kali tubuhnya berputaran di udara, kemudian cepat bagai kilat meluruk deras ke
arah punggung wanita ini. Tapi begitu jaraknya tinggal sekitar satu batang
tombak lagi....
Bet!
Siap...!
“Heh...?! Hup...!”
Cepat Bayu memutar tubuhnya. Langsung dihindarinya kilatan cahaya kuning
keemasan yang tiba-tiba saja melesat ke arahnya, bersamaan dengan berputarnya
tubuh Perempuan Bertopeng Emas itu. Kilatan cahaya kuning keemasan itu hanya
lewat sedikit saja di bawah tubuh Pendekar Pulau Neraka.
“Yeaaah...!”
Kembali Bayu berteriak keras menggelegar, dengan tubuh terus meluruk deras ke
arah wanita berpakaian serba kuning keemasan itu. Dan seketika itu juga, satu
pukulan yang disertai pengerahan tenaga dalam sempurna dilepaskan dengan
kecepatan sangat tinggi. Namun hanya meliukkan tubuhnya sekali, wanita ini
berhasil menghindari pukulan Pendekar Pulau Neraka.
“Hih! Hiyaaa...!”
Rrrt!
“Haiiit..!”
Bayu cepat-cepat mengegoskan tubuhnya ke kanan, begitu Perempuan Bertopeng Emas
ini melepaskan selendang kuningnya. Selendang itu meluruk deras bagaikan seekor
ular naga ke arah Pendekar Pulau Neraka. Untung saja Bayu cepat mengegos,
sehingga hanya sedikit saja ujung selendang lewat di samping tubuhnya. Namun
pada saat itu juga, selendang kuning keemasan itu kembali meliuk cepat, dan
langsung meluruk kearah leher Pendekar Pulau Neraka.
“Hap!”
Tidak ada lagi kesempatan bagi Bayu untuk berkelit Maka dengan cepat sekali
tangan kirinya diangkat Lalu....
Tap!
“Ikh...?!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik kaget, tidak menyangka kalau Bayu bisa
menangkap ujung selendang emasnya. Saat itu juga, selendangnya dihentakkan
dengan pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hih!”
Bayu jadi tersentak juga. Tubuhnya sampai terlonjak ke depan sedikit, tapi
cepat mengerahkan tenaga dalamnya. Segera ditahannya tarikan selendang emas
yang berada dalam genggaman tangan kirinya ini. Namun pada saat itu juga,
tangan kiri Perempuan Bertopeng Emas mengibas ke depan. Maka seketika itu juga
dari telapak tangannya melesat tiga buah benda bulat berwarna kuning keemasan
yang begitu cepat, bagai anak panah lepas dari busur.
“Hup! Yeaaah...!”
Cepat Bayu melenting ke atas tanpa melepaskan ujung selendang emas itu dari
genggaman tangan kirinya. Dan tiga buah benda berwarna kuning keemasan pun
melesat lewat di bawah telapak kaki Pendekar Pulau Neraka. Namun pada saat Bayu
berada di udara, tiba-tiba saja Perempuan Bertopeng Emas itu melesat cepat
bagai kilat, langsung memberikan satu pukulan menggeledek dengan tangan kiri.
“Hiyaaa...!”
“Upths...!”
Terpaksa Bayu melepaskan ujung selendang emas itu. Lalu, tubuhnya cepat
berputar dua kali ke belakang, menghindari pukulan tangan kiri wanita
berpakaian serba kuning keemasan ini. Saat itu juga si Perempuan Bertopeng Emas
melesat cepat meninggalkan Pendekar Pulau Neraka.
“Jangan lari kau! Hiyaaa...!”
Bayu tidak mau lagi membuang-buang waktu. Didukung oleh pengerahan ilmu
meringankan tubuhnya yang sudah sempurna, tubuhnya langsung saja melesat
mengejar Perempuan Bertopeng Emas itu. Dan kini kejar-kejaran pun terjadi di
antara rumah-rumah penduduk Desa Caringin.
Bahkan mereka sesekali terlihat berlompatan dari satu atap, ke atap rumah
lainnya. Dan ketika tiba di jalan dekat rumah Tarsih, mendadak saja Perempuan
Bertopeng Emas itu menghilang dari pandangan Pendekar Pulau Neraka.
“Heh...?! Ke mana dia...?” desis Bayu jadi celingukan. Terpaksa Bayu menghentikan
pengejarannya.
Kini Pendekar Pulau Neraka berdiri tegak di tengah-tengah jalan, tepat di depan
kedai Tarsih. Beberapa saat pandangannya beredar ke sekitarnya dengan sinar
mata begitu tajam. Tapi, sedikit pun tidak terlihat bayangan wanita berpakaian
serba kuning keemasan itu. Bahkan tidak ada seorang penduduk pun yang keluar
dari dalam rumahnya.
Padahal jelas sekali kalau malam yang sunyi ini tadi sudah terpecah oleh
jeritan melengking kematian dan teriakan-teriakan Bayu yang keras saat mengejar
si Perempuan Bertopeng Emas. Tapi, keadaan di desa ini tetap sunyi seperti
tidak pernah terjadi apa-apa.
“Hm...,” perlahan Bayu menggumam. Dan kaki Pendekar Pulau Neraka segera terayun
melangkah menghampiri kedai, saat melihat titik cahaya lampu pelita keluar dari
bagian belakang kedai itu.
***
“Raden.... Syukurlah, kau tidak apa-apa,” ujar Ki Radut yang baru keluar dari
dalam kedai membawa pelita yang nyala apinya begitu kecil.
“Aku tadi mendengar jeritan, kemudian teriakan-teriakan seperti orang bertarung.”
“Aku mengejar wanita itu, Ki,” jelas Bayu.
“Oh, Perempuan Bertopeng Emas...?” desis Ki Radut agak terbeliak kedua bola
matanya.
Laki-laki tua itu jadi kelihatan bergetar tubuhnya. Cepat-cepat dihampirinya
Pendekar Pulau Neraka, dan langsung ditariknya masuk ke dalam kedai. Bayu tidak
membantah. Diturutinya saja ajakan Ki Radut. Mereka kemudian duduk menghadapi
sebuah meja di dalam kedai yang gelap keadaannya ini. Ki Radut meletakkan
pelitanya di atas meja. Sesaat dipandanginya wajah Bayu yang terus saja
mengarahkan pandangan ke depan jalan.
“Dia menghilang di sekitar sini, Ki,” ujar Bayu memberitahu lagi tanpa
berpaling sedikit pun.
“Di sini...?!” kembali kedua bola mata Ki Radut terbeliak lebar.
“Kau tidak melihatnya, Ki?” tanya Bayu.
“Tidak...,” sahut Ki Radut agak bergetar suaranya.
Pendekar Pulau Neraka kembali terdiam. Sementara pandangannya terus beredar ke
jalan yang masih tetap sunyi tanpa seorang pun terlihat di sana. Sementara
bulan di langit mulai memancarkan cahayanya, setelah awan hitam yang
menutupinya tersingkap tertiup angin. Siraman cahaya bulan membuat penglihatan
Bayu semakin leluasa mengamati jalan di depan kedai ini.
“Sebaiknya kau tidur saja, Ki. Kalau perlu, lihat Tarsih. Apa dia masih ada di
dalam kamarnya atau tidak,” ujar Bayu seraya berpaling menatap orang tua yang
duduk di seberang meja.
“Baik..., baik. Aku lihat Tarsih dulu,” sahut Ki Radut jadi tergagap.
Bergegas laki-laki tua itu melangkah meninggalkan Pendekar Pulau Neraka seorang
diri di dalam kedai. Ayunan langkah kakinya agak tergesa. Dan Bayu sempat
memperhatikannya. Seketika keningnya jadi berkerut, melihat ayunan langkah kaki
Ki Radut yang begitu ringan, seperti seorang tokoh peralatan berkepandaian
tinggi. Bahkan Bayu hampir tidak mendengar hentakan kakinya pada lantai kedai
yang hanya dari tanah ini.
Namun belum juga Bayu bisa membuka mulutnya untuk memanggil, Ki Radut sudah
menghilang di balik pintu yang menghubungkan kedai dengan rumah tinggal.
Terpaksa mulutnya dikatupkan lagi. Tapi entah kenapa, perasaan hatinya
mengatakan lain. Sambil menghembuskan napas yang terasa begitu berat, pemuda
berbaju kulit harimau itu bangkit berdiri dari duduknya. Sebentar pandangannya
dilayangkan ke depan.
Kemudian kakinya terayun, melangkah masuk ke bagian belakang kedai ini. Cukup
gelap keadaan di dalam, karena tidak satu pelita pun menyala. Hanya cahaya
bulan redup saja yang menerangi dari lubang-lubang diatas jendela dan pintu
rumah ini. Bayu terus melangkah melintasi ruangan yang cukup luas. Dan ketika
baru saja melewati pintu, tiba-tiba saja....
“Eh...?!”
“Oh...?!”
“Tarsih...,” desis Bayu terkejut.
Hampir saja mereka bertabrakan, kalau saja Bayu tidak cepat menarik kakinya
selangkah ke belakang. Tarsih sendiri juga kelihatan terkejut sekali bertemu
Pendekar Pulau Neraka di ruangan ini. Namun rasa keterkejutannya bisa cepat
disembunyikan, dan cepat memberi senyum yang begitu manis. Dan ini membuat Bayu
terpaksa harus menelan air liurnya sendiri melihat senyuman yang begitu manis
dari wanita cantik ini. Entah kenapa, mendadak saja Bayu merasakan hatinya jadi
tidak menentu.
“Kau belum tidur, Tarsih?” tanya Bayu mengurangi ketidakmenentuan hatinya.
“Aku baru dari pergi,” sahut Tarsih. “Ini baru mau ke kamar lagi. Kakang
sendiri, kenapa belum tidur?”
“Udara panas malam ini. Aku sulit memejamkan mata,” sahut Bayu sekenanya.
“Memang beberapa hari ini cukup panas udaranya. Mungkin sebentar lagi akan
datang musim hujan,” balas Tarsih.
Entah sengaja atau tidak, Tarsih mengipaskan dadanya dengan belahan bajunya
sendiri. Sehingga, dua gundukan putih yang begitu indah jadi sedikit terbuka.
Maka seketika tatapan mata Bayu jadi tidak berkedip menyorotinya. Kembali
Pendekar Pulau Neraka terpaksa harus menelan ludahnya sendiri.
“Tidurlah...,” ujar Bayu seraya hendak melangkah meninggalkan wanita ini.
Tapi belum juga mengayunkan kakinya, Tarsih sudah mencekal pergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka itu. Dan seketika itu juga mereka jadi saling
berpandangan dengan sorot mata yang begitu sukar diartikan. Perlahan Tarsih
mendekati pemuda ini, hingga tubuhnya begitu dekat hampir merapat. Saat itu
juga, Bayu mencium bau harum yang menyebar dari tubuh wanita ini. Dan
jantungnya pun semakin bertambah cepat berdetak.
“Kakang...,” terdengar desah suara Tarsih.
Perlahan Tarsih mulai mendekatkan wajahnya ke wajah tampan Pendekar Pulau
Neraka. Dan hembusan napasnya mulai terasa hangat, menerpa kulit wajah Bayu.
Dan pemuda itu merasakan tenggorokannya jadi kering seketika.
Tarsih memang cantik. Bentuk tubuhnya juga bisa membuat setiap mata laki-laki
yang memandangnya tidak akan berkedip. Dalam pandangan mata laki-laki, Tarsih
memang sangat menggairahkan. Dan Bayu tidak memungkiri kelebihan yang ada pada
diri wanita ini.
Tapi ketika Tarsih hendak melingkarkan tangannya ke leher, Bayu cepat mencekalnya
dan menurunkan tangan itu lagi. Kakinya segera ditarik ke belakang satu
langkah, hingga terdapat jarak yang cukup untuk menghentikan rayuan wanita ini.
“Aku tamu di sini, Tarsih. Tidak baik berbuat seperti itu,” ujar Bayu mencoba
menolak halus.
“Kenapa...? Semua laki-laki selalu menginginkan begitu padaku. Apa aku sekarang
tidak cantik lagi, Kakang...?” jelas sekali kalau nada suara Tarsih tersinggung
atas penolakan Pendekar Pulau Neraka.
“Kau sangat cantik. Bahkan tidak ada wanita lain di desa ini yang bisa
menandingi kecantikanmu,“ puji Bayu tidak ingin membuat wanita itu semakin
merasa tersinggung.
“Tapi, kenapa kau menolakku, Kakang?” tanya Tarsih ingin tahu.
“Bukannya menolakmu, Tarsih. Tapi aku...,aku...,” terasa sulit bagi Bayu untuk
mengemukakannya.
“Ayo ke kamarku, Kakang. Tidak ada yang bisa mengganggu di sana,” bujuk Tarsih
mengajak.
Wanita itu kembali mencekal pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka. Dan entah
kenapa, kali ini Bayu jadi sulit menolak lagi ajakan wanita ini. Seperti kerbau
yang dicucuk hidungnya, Bayu mengikuti saja ayunan langkah kaki wanita ini. Dan
mereka pun masuk ke dalam kamar yang langsung tertutup pintunya.
***
LIMA
Pendekar Pulau Neraka menggeliat
saat merasakan kehangatan sinar matahari yang menyirami seluruh tubuhnya.
Seketika Bayu jadi terkejut, begitu membuka matanya. Ternyata dirinya telah
berada di dalam sebuah kamar yang sangat indah, bagai kamar seorang putri
bangsawan. Cepat pemuda berbaju kulit harimau ini menggerinjang bangkit dari
pembaringan yang beralaskan kain sutera merah muda itu.
Dan ketika kakinya hendak terayun keluar, pintu kamar itu sudah terbu-ka.
Ternyata dari luar kamar ini Tarsih muncul bersama senyumnya yang manis
tersungging di bibir. Wanita itu langsung masuk dan menutup kembali pintunya.
“Kau sudah bangun, Kakang...?” tegur wanita itu lembut.
Bayu hanya diam saja memandangi. Sedangkan yang dipandangi seperti tidak
peduli. Diambilnya guci arak dari atas meja kecil di sudut kamar ini. Lalu
isinya dituangkan ke dalam mangkuk perak. Dengan bibir yang selalu merah terus
menyunggingkan senyum, mangkuk perak itu disodorkan pada Pendekar Pulau Neraka.
“Minumlah, Kakang. Arak ini bisa memulihkan kembali tenagamu, setelah terkuras
semalam,” ujar Tarsih tetap lembut suaranya.
Bayu menerima mangkuk perak itu, dan langsung meneguk habis isinya. Dan Tarsih
mengambil gelas yang sudah kosong itu, lalu meletakkannya di atas meja kecil di
sudut ruangan. Kemudian dia duduk di tepi pembaringan. Sengaja tangannya
menyingkapkan kain yang dikenakan, hingga menampakkan sepasang paha yang
berkulit putih dan indah sekali.
Bayu sempat melirik sedikit ke arah paha yang menantang itu. Seketika terbayang
kembali semua yang sudah dilakukannya di dalam kamar ini semalam bersama
Tarsih. Wanita itu bukan hanya memiliki wajah cantik dan tubuh indah
menggairahkan, tapi juga memiliki gairah yang begitu menggelora. Bahkan Bayu
merasakan dirinya bagai berada dalam taman kayangan para dewi yang dikelilingi
ribuan bidadari cantik.
Bayu memang sulit untuk bisa melupakannya, bagaimana terlena dalam belaian
asmara yang dibangkitkan wanita ini semalam. Dan memang, Tarsih begitu
menggairahkan. Bahkan pagi ini juga kelihatan lebih cantik dan menggairahkan.
Detak jantung Bayu jadi semakin tidak beraturan, saat Tarsih mulai membuka
bagian atas pakaiannya. Sehingga, belahan dadanya terlihat begitu jelas dan
indah.
“Kau begitu gagah sekali semalam, Kakang. Rasanya aku ingin selalu dekat bersamamu,”
ujar Tarsih lembut, disertai senyum menggairahkan tersungging di bibir yang
selalu basah memerah.
“Hhh...!” Bayu hanya menghembuskan napas panjang saja. Pendekar Pulau Neraka
tidak tahu lagi, apa yang harus dilakukannya terhadap wanita ini. Ingin rasanya
dia melawan gairah yang mulai menggelora dalam rongga dadanya. Tapi semakin
keras berusaha memberontak, semakin besar nyala api gairahnya.
Dan tiba-tiba saja, Bayu merasakan pandangannya jadi nanar. Kepalanya pun
terasa jadi pening. Tubuhnya terasa jadi limbung. Dan belum juga bisa menyadari
apa yang tengah terjadi, kesadarannya pun seketika menghilang. Yang ada pada
dirinya kini hanya gairah yang begitu membara, menggelegak dalam dada.
Kini Bayu tidak kuasa lagi bertahan. Kakinya mulai terayun menghampiri wanita
yang kini sudah terbaring di atas ranjang dengan pakaian setengah terbuka.
“Ayo, Kakang. Kita ulangi lagi kenikmatan semalam...,” desah Tarsih pelan.
Sebentar saja Bayu berdiri di sisi pembaringan ini, kemudian menjatuhkan
dirinya di atas pembaringan. Terlihat bergetar tangannya saat bergerak
menyusuri sebentuk paha putih yang mulus tanpa cacat. Sementara Tarsih mulai
merintih dan mendesah, merasakan lembutnya belaian jari-jari tangan pemuda ini
yang merayap semakin naik mendekati pangkal pahanya.
“Ah, Kakang...,” desah Tarsih lirih.
Wanita itu tidak dapat lagi menguasai gejolak gairahnya. Langsung direngkuhnya
tubuh Pendekar Pulau Neraka ke dalam pelukannya. Sementara, Bayu sendiri sudah
tidak lagi ingat akan dirinya. Seluruh tubuh dan pikirannya sudah tertutup
gejolak gairah yang begitu membara tanpa dapat dibendung lagi. Dan di dalam
kamar ini, peristiwa semalam kembali terulang. Tidak ada lagi kata-kata yang
terucap. Semua berganti desahan dan rintihan lirih, disertai dengusan napas
memburu bagai kuda pacu.
***
“Oh....”
Bayu merintih lirih sambil memegangi kepalanya yang terasa begitu berat dan
pening. Beberapa kali kepalanya digelengkan, mencoba mengusir rasa pening yang
menyengat seluruh kepalanya. Dan perlahan kelopak matanya mulai di buka.
Seketika Pendekar Pulau Neraka jadi tersentak kaget setengah mati, begitu
mendapati dirinya ki-ni berada di dalam sebuah kamar berdinding bilik bambu.
Dan tubuhnya terbaring di atas dipan bambu, hanya beralaskan selembar tikar
lusuh.
“Kau sudah bangun, Bayu...?”
“Oh...?!”
Bayu kembali terkejut begitu mendengar suara yang sudah tidak asing lagi di
telinganya. Cepat kepalanya berpaling ke arah datangnya suara itu. Bergegas
pemuda itu bangkit duduk begitu melihat seorang laki-laki tua berjubah putih
duduk di atas kursi bambu tidak jauh dari dipan ini.
“Ki Dewa Bayangan Putih...,” desis Bayu lirih, langsung mengenali orang tua
berjubah putih itu.
“Jangan banyak bicara dulu, Bayu. Kerahkan hawa murnimu. Atur seluruh peredaran
darahmu. Bersemadilah barang sebentar,” ujar Dewa Bayangan Putih memberi
petunjuk.
Bayu menuruti saja kata-kata orang tua itu. Segera diambilnya sikap bersemadi.
Dan kelopak matanya langsung terpejam rapat. Beberapa kali ditariknya napas
panjang panjang dan dihembuskannya perlahan-lahan. Seluruh pikiran dan jiwanya
dikosongkan. Perlahan Bayu merasakan peredaran darahnya kembali pulih seperti
semula.
Dan rasa pening pun berangsur menghilang, begitu hawa murninya dikerahkan dari
pusat tubuhnya. Hanya sebentar saja Bayu bersemadi untuk memulihkan keadaan
tubuhnya. Dan kelopak matanya kembali dibuka. Pandangannya langsung tertuju
pada Dewa Bayangan Putih yang masih tetap duduk di kursi, dekat pintu kamar
berdinding bilik bambu ini. Sebentar Bayu mengedarkan pandangan, mengamati
kamar ini. Dia ingat, kalau sekarang berada di rumah yang ditempati Dewa
Bayangan Putih, dan letaknya tidak jauh dari Desa Caringin.
“Apa yang terjadi padaku, Ki?” tanya Bayu langsung ingin tahu.
“Seharusnya kau sudah tahu, apa yang terjadi pada dirimu, Bayu. Aku menemukanmu
tergeletak di tepi hutan. Hampir saja tubuhmu habis dimakan burung-burung
bangkai. Untung saja aku segera datang dan membawamu ke sini,” ujar Dewa
Bayangan Putih.
Bayu jadi terdiam. Dicobanya untuk mengingat semua peristiwa yang sudah
dialaminya selama ini.
“Ingat-ingatlah, Bayu. Apa saja yang kau alami selama berada di Desa Caringin,”
ujar Dewa Bayangan Putih, mencoba membantu ingatan Pendekar Pulau Neraka.
Sedikit demi sedikit, Bayu mulai bisa merangkai satu persatu peristiwa yang
dialaminya sela-ma berada di Desa Caringin. Dan yang terakhir diingatnya, dia
berada di dalam sebuah kamar indah bersama Tarsih, wanita cantik pemilik kedai
di ujung jalan Desa Caringin. Hanya sampai di situ saja Bayu bisa mengingatnya.
Selebihnya, dia tidak tahu lagi apa yang telah terjadi pada dirinya.
“Di mana Tiren, Ki?” tanya Bayu begitu teringat monyet kecilnya.
“Aku hanya menemukan dirimu saja, Bayu. Aku tidak tahu, di mana monyet kecilmu
itu,” sahut Dewa Bayangan Putih.
“Oh...,” Bayu melenguh panjang sambil memegangi kepalanya.
“Ada apa, Bayu?” tanya Dewa Bayangan Putih.
“Tiren pasti masih bersama mereka,” ujar Bayu pelan, seperti bicara untuk diri
sendiri.
“Siapa mereka?” tanya Dewa Bayangan Putih lagi.
“Tarsih dan pelayan tuanya,” sahut Bayu masih dengan suara pelan.
“Tarsih...?”
“Ya..., wanita pemilik kedai yang ada di ujung jalan desa. Aku sempat menginap
semalam di sana. Dan Tiren kutinggalkan di sana waktu mengejar Perempuan
Bertopeng Emas. Ah...! Aku tidak tahu lagi, apa yang terjadi pada diriku...,”
terdengar lirih suara Bayu.
“Barangkali monyetmu itu masih ada di sana, Bayu. Sebaiknya, cepat kembali ke
sana sebelum terjadi sesuatu padanya. Kau sangat menyayanginya, bukan...?” ujar
Dewa Bayangan Putih mendorong semangat Pendekar Pulau Neraka.
“Aku memang harus ke sana, Ki,” sahut Bayu mantap.
Cepat Pendekar Pulau Neraka turun dari dipan bambu ini. Dewa Bayangan Putih
juga bangkit berdiri dari kursinya. Sebentar Bayu mengamati keadaan dirinya.
Hatinya jadi lega begitu melihat Cakra Maut masih tetap menempel di pergelangan
tangan kanannya. Senjata itu memang tidak boleh tercecer sembarangan dari
Pendekar Pulau Neraka.
“Aku pergi dulu, Ki,” pamit Bayu.
“Hati-hatilah. Mungkin kau akan mendapat rintangan di sana,” ujar Dewa Bayangan
Putih menasihati.
Bayu tersenyum dan menganggukkan kepala sedikit Kemudian dia melangkah keluar
dari dalam kamar, dan terus berjalan keluar dari rumah kecil yang begitu
sederhana ini. Sementara, Dewa Bayangan Putih mengantarkan hanya sampai
diambang pintu saja. Dan Bayu sendiri terus berjalan menuju Desa Caringin tanpa
menoleh lagi.
Sementara Dewa Bayangan Putih masih tetap berdiri di ambang pintu memandangi
kepergian Pendekar Pulau Neraka ke Desa Caringin. Sampai punggung pemuda itu
lenyap dari pandangan, Dewa Bayangan Putih masih tetap berada di ambang pintu
rumah kecil yang ditempatinya.
“Anak Muda...,” desah Dewa Bayangan Putih seraya menggelengkan kepala sedikit
beberapa kali.
Perlahan orang tua itu memutar tubuhnya berbalik dan hendak masuk kembali ke
dalam rumah ini. Tapi belum juga kakinya terayun melangkah, mendadak saja....
Wusss...!
“Heh...?! Hap!”
Dewa Bayangan Putih cepat memiringkan tubuhnya ke kiri, begitu terasa adanya
hembusan angin yang cukup kencang dari arah belakang. Dan seketika itu juga,
tongkatnya bergerak cepat ke sebelah kanannya. Tepat pada saat itu, terlihat
kilatan cahaya kuning keemasan meluncur deras dari arah belakang orang tua ini.
Dan....
Trak!
“Hup...!”
Dewa Bayangan Putih cepat melompat ke belakang sambil berputaran dua kali di
udara, begitu tongkatnya terasa membentur sebuah benda yang sangat keras dan
berwarna kuning keemasan. Sedangkan benda berbentuk bulat sebesar mata kucing
itu kembali terpental balik ke belakang. Dan tepat ketika benda itu menghantam
pohon hingga tumbang, Dewa Bayangan Putih manis sekali menjejakkan kakinya di
depan rumah yang ditempatinya selama ini.
“Hik hik hik...!”
“Perempuan Bertopeng Emas...,” desis Dewa Bayangan Putih, begitu tiba-tiba
terdengar tawa mengikik yang menggema bagai datang dari segala arah.
Dan belum lagi orang tua itu bisa berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja terlihat
sebuah bayangan kuning keemasan berkelebat begitu cepat bagai kilat Tahu-tahu,
di depan Dewa Bayangan Putih sudah berdiri sesosok tubuh ramping berbaju kuning
keemasan. Wajahnya tertutup topeng berwarna kuning seperti terbuat dari emas,
sehingga sulit dikenali.
“Mau apa kau datang ke sini?” terasa begitu dingin nada suara Dewa Bayangan
Putih.
“Seharusnya kau sudah tahu, untuk apa aku datang ke sini Dewa Bayangan Putih,”
sahut Perempuan Bertopeng Emas tidak kalah dingin.
Dewa Bayangan Putih jadi terdiam. Sudah bisa ditebak, kemunculan Perempuan
Bertopeng Emas ini tentu untuk mencabut nyawanya. Tapi tentu saja selembar
nyawanya tidak ingin diserahkan begitu saja. Walaupun disadari kalau kepandaian
Perempuan Bertopeng Emas itu belum bisa diperkirakannya.
“Kau belum pantas menantangku, Nisanak. Kepandaian yang kau miliki hanya untuk
cacing-cacing tanah tak berguna,” sengaja Dewa Bayangan Putih memanasi.
“Hik hik hik...!”
Tapi kata-kata Dewa Bayangan Putih hanya ditanggapi dengan suara tawa mengikik
kecil. Sementara, Dewa Bayangan Putih sendiri sudah menggenggam erat tongkatnya
di tangan kanan. Sementara ujung tongkatnya menekan kuat ke tanah, tepat di
ujung jari kakinya. Sorot matanya terlihat begitu tajam, tidak berkedip
memandangi wanita bertopeng kuning keemasan yang berada sekitar setengah batang
tombak di depannya.
“Sebutlah nama leluhurmu sebelum kau terbang ke neraka, Dewa Bayangan Putih,”
desis Perempuan Bertopeng Emas sinis.
“Aku khawatir, justru kau yang akan menggali lubang kuburmu sendiri, Nisanak,”
sambut Dewa Bayangan Putih, tidak kalah sinisnya.
“Hik hik hik! Ajalmu sudah tiba, Dewa Bayangan Putih. Bersiaplah, yeaaah...!”
Sambil membentak nyaring, Perempuan Bertopeng Emas langsung saja mengebutkan
selendangnya yang berwarna kuning keemasan dengan kecepatan begitu tinggi.
Selendang yang kelihatan halus dan lembut itu meluruk deras bagai seekor naga
menyambar ke arah kepala Dewa Bayangan Putih.
“Haiiit...!”
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, ujung selendang itu lewat di
samping kepala Dewa Bayangan Putih. Lalu cepat sekali tongkat putihnya
diangkat, dan langsung disabetkan ke bagian tengah selendang itu. Tapi tanpa
diduga sama sekali, selendang itu bisa meliuk indah menghindari sabetan tongkat
kayu orang tua ini. Dan dengan kecepatan sukar diikuti pandangan mata biasa,
selendang kuning keemasan itu melesat bagai kilat mengarah ke kaki orang tua
ini.
“Hup! Yeaaah...!”
***
Dewa Bayangan Putih cepat melesat ke atas, menghindari sambaran selendang
kuning keemasan. Tapi begitu berada di atas tanah, tangan kiri Perempuan
Bertopeng Emas sudah bergerak cepat, mengibas ke depan. Maka seketika itu juga,
tiga buah benda bulat sebesar mata kucing berwarna kuning keemasan, melesat ke
arah tubuh orang tua ini.
“Hap! Yeaaah...!”
Dewa Bayangan Putih cepat memutar tongkatnya. Sehingga tiga buah benda bulat
kuning keemasan itu berpentalan balik, begitu membentur putaran tongkat orang
tua ini. Manis sekali Dewa Bayangan Putih meluruk turun, dan menjejakkan
kakinya kembali di tanah. Namun belum juga tubuhnya bisa ditegakkan, Perempuan
Bertopeng Emas sudah menyerang cepat bagai kilat dengan selendangnya lagi.
“Hiyaaa...!”
Bet!
Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Dewa Bayangan Putih untuk menghindari
serangan selendang kuning keemasan itu. Maka langsung tongkatnya diputar dan
dihantamkannya tepat dibagian ujung selendang itu.
Rrrt...!
“Heh...?!”
Dewa Bayangan Putih jadi terkejut setengah mati, begitu tiba-tiba tongkatnya
terbelit ujung selendang emas. Cepat tongkatnya ditarik disertai pengerahan
tenaga dalam tinggi. Tapi sungguh tidak diduga sama sekali, belitan selendang
itu demikian kuat. Sehingga sulit dilepaskannya. Dan belum juga Dewa Bayangan
Putih bisa menguasai tongkatnya, Perempuan Bertopeng Emas sudah melesat cepat
seperti kilat sambil berteriak nyaring.
“Hiyaaat..!”
“Upths...!”
Cepat-cepat Dewa Bayangan Putih membanting tubuhnya ke tanah. Dan dia langsung
bergulingan beberapa kali menghindari tendangan menggeledek yang dilepaskan
Perempuan Bertopeng Emas.
“Hup!”
Kembali dengan gerakan cepat Dewa Bayangan Putih melompat bangkit berdiri.
Namun pada saat itu juga, selendang yang masih membelit tongkatnya bergerak
memutar begitu cepat, sehingga Dewa Bayangan Putih tidak sempat lagi
menyadarinya. Dan....
Rrrt!
“Ikh...!”
Dewa Bayangan Putih jadi terpekik kaget setengah mati, begitu tahu-tahu seluruh
tubuhnya sudah terlilit selendang Perempuan Bertopeng Emas ini. Dan pada saat
itu juga, wanita ini sudah melompat sambil melepaskan satu pukulan menggeledek
yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
“Hiyaaa...!”
Diegkh!
“Akh...!”
Dewa Bayangan Putih kontan
menjerit, begitu pukulan yang mengandung pengerahan tenaga dqalam tinggi
menghantam tepat di dadanya. Seketika tubuhnya, terpental jauh ke belakang
dengan tubuh masih terbelit selendang yang begitu kuat Beberapa kali orang tua
itu bergulingan di tanah.
Dan belum juga bisa membebaskan diri dari libatan selendang, Perempuan
Bertopeng Emas sudah melancarkan serangan dahsyat lagi, sambil berteriak keras
menggelegar.
“Mampus kau! Yeaaah...!”
Prak!
“Aaa...!”
Seketika jeritan panjang yang menyayat pun terdengar, begitu pukulan yang
dilancarkan si Perempuan Bertopeng Emas menghantam kepala Dewa Bayangan Putih.
Tampak kepala orang tua itu retak, dan darah mengucur keluar dengan deras
sekali. Dewa Bayangan Putih menggelepar di tanah dengan tubuh masih terlilit
selendang. Sedangkan darah semakin banyak keluar dari kepalanya yang pecah.
Sementara, Perempuan Bertopeng Emas itu sudah mengambil ujung selendangnya. Dan
hanya sekali sentakan saja, libatan selendang pada tubuh Dewa Bayangan Putih
terlepas seketika.
“Hih! Yeaaah...!”
Perempuan Bertopeng Emas tidak berhenti sampai di situ saja saat melihat
lawannya masih bisa bergerak, walaupun sudah tidak mungkin dapat bangkit
berdiri lagi. Sambil membentak nyaring, selendangnya dikebutkan. Seketika ujung
selendang itu tepat menghantam batang leher Dewa Bayangan Putih.
Bret!
Tidak ada lagi jeritan yang terdengar. Tampak leher laki-laki tua itu
terpenggal hingga hampir buntung, membuat darah makin deras keluar. Dewa
Bayangan Putih semakin keras menggelepar bagai ayam disembelih. Namun hanya
sebentar saja bergerak, sesaat kemudian sudah mengejang kaku dan diam tidak
bergerak-gerak lagi. Darah terus mengucur menggenangi tanah di sekitar
tubuhnya.
“Hik hik hik...!”
Perempuan Bertopeng Emas tertawa mengikik melihat lawannya dapat mudah
ditaklukkan. Lalu selendangnya dililitkan kembali di pinggangnya yang ramping.
Kemudian dengan ayunan kaki yang tenang sekali, dia melangkah meninggalkan Dewa
Bayangan Putih yang kini sudah tergeletak diam tidak bernyawa lagi.
“Hik hik hik...!”
Suara tawa wanita yang selalu bertopeng warna emas dengan seluruh pakaian juga
berwarna kuning keemasan itu terus terdengar mengiringi ayunan langkahnya
meninggalkan mayat lawannya. Dan suara tawa itu terus terdengar, walaupun tubuh
wanita itu sudah tidak terlihat lagi, lenyap ditelan lebatnya pepohonan di
pinggiran Desa Caringin yang berbatasan langsung dengan hutan ini.
Sementara, Dewa Bayangan Putih masih tergeletak kaku dengan darah menggenang di
sekitarnya. Kematian yang begitu mengenaskan bagi Dewa Bayangan Putih. Dan
suasana pun kembali sunyi. Hanya desir angin saja yang terdengar mempermainkan
dedaunan. Suara tawa mengikik itu pun sudah tidak terdengar lagi, begitu tubuh
si Perempuan Bertopeng Emas tidak terlihat lagi di tepian hutan ini.
***
ENAM
Sementara itu, Bayu yang sudah
kembali berada di Desa Caringin, langsung menuju kedai milik Tarsih. Namun
tidak ada seorang pun yang datang mengunjungi kedai itu. Keadaannya terlihat
begitu sunyi, walaupun di jalan depan kedai terlihat orang-orang hilir-mudik.
Mereka seakan-akan tidak tahu kalau ada kedai di pinggiran jalan itu. Bayu
langsung menerobos masuk ke dalam kedai.
Kali ini bukan Tarsih, tapi Ki Radut yang menyambutnya dengan tergopoh-gopoh.
Orang tua itu langsung saja menarik tangan Pendekar Pulau Neraka, dan
mengajaknya duduk agak ke sudut dari ruangan kedai yang cukup terbuka ini.
“Den, wanita itu sudah mulai membunuh satu keluarga penduduk,” tutur Ki Radut
langsung memberitahu, begitu mereka duduk berseberangan meja.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja sedikit sambil memandangi wajah laki-laki
tua yang duduk di seberang mejanya.
Memang Pendekar Pulau Neraka sudah menduga sejak semalam, kalau korban
Perempuan Bertopeng Emas itu adalah satu keluarga penduduk yang sehari-harinya
hanya berladang, tanpa mengenal ilmu olah kanuragan. Tapi, Perempuan Bertopeng
Emas itu juga semalam sudah membunuh Lima Begal Sungai Ular, sebelum mendapat
korban satu keluarga penduduk Desa Caringin ini.
“Tidak lama lagi, desa ini akan rata dengan tanah. Wanita itu pasti akan
membunuh habis semua penduduk Desa Caringin ini,” sambung Ki Radut.
“Kau kelihatannya malah senang atas kejadian ini, Ki...,” ujar Bayu, agak
mendesis suaranya. Jelas sekali kalau kata-kata Pendekar Pulau Neraka
mengandung kecurigaan pada orang tua ini.
“Mereka patut mendapat ganjaran yang setimpal seperti itu, Den,” sahut Ki
Radut, agak datar nada suaranya.
Kening Bayu jadi semakin dalam berkerut mendengar jawaban orang tua ini.
Sungguh tidak disangka kalau Ki Radut menyukai tindakan si Perempuan Bertopeng
Emas. Semula Bayu mengharapkan Ki Radut akan memberi jawaban yang lain. Tapi,
kata-kata orang tua itu malah membuatnya semakin bertambah curiga.
“Mana Tarsih, Ki?” tanya Bayu langsung teringat pada wanita cantik yang menjadi
pelayan dikedai ini.
“Pergi,” sahut Ki Radut.
“Ke mana?” desak Bayu.
Belum juga Ki Radut bisa menjawab, dari bagian belakang kedai ini muncul Tarsih
disertai senyuman manis tersungging di bibir. Bayu langsung mengarahkan
pandangan pada wanita berwajah cantik itu.
“Aku tidak ke mana-mana, Kakang. Sejak tadi, aku ada di belakang,” kata Tarsih
langsung, sambil menempatkan diri di samping Pendekar Pulau Neraka.
Saat itu, muncul Tiren dari belakang kedai sambil mencerecet ribut. Monyet
kecil itu langsung melompat naik ke pundak dan memeluk erat leher Pendekar
Pulau Neraka, seakan tidak ingin dilepaskan lagi. Dengan halus Bayu melepaskan
pelukan monyet kecilnya.
“Dia terus-menerus ribut mencarimu, Den,” jelas Ki Radut.
“Hm...,” Bayu hanya menggumam saja sedikit. Beberapa saat mereka jadi terdiam
membisu.
Sementara, Bayu terus memandang Ki Radut dan Tarsih bergantian. Entah apa yang
dicari Pendekar Pulau Neraka pada wajah mereka berdua. Namun jelas sekali
terlihat kalau raut wajah mereka begitu datar, sulit diterka artinya. Bayu lalu
mengarahkan pandangannya ke luar. Tampak matahari sudah condong ke arah barat.
Sinarnya yang semula terasa terik, kini begitu lembut menyapu seluruh permukaan
Desa Caringin ini. Sedikit Bayu menghela napas, kemudian dia bangkit berdiri.
“Kau mau ke mana, Kakang?” tanya Tarsih langsung ikut berdiri.
“Pergi,” sahut Bayu singkat. Kaki Pendekar Pulau Neraka terus saja terayun
melangkah keluar dari dalam kedai ini. Sementara Tarsih yang ingin mengejar,
cepat dicegah Ki Radut dengan mencekal pergelangan tangannya.
Terpaksa Tarsih tidak jadi mengejar Pendekar Pulau Neraka. Hanya dipandanginya
saja sampai Bayu tidak terlihat lagi, menghilang di tikungan jalan.
“Biarkan dia pergi, Tarsih,” ujar Ki Radut sambil melepaskan cekalannya pada
pergelangan tangan wanita itu.
“Tapi, Ki....”
“Sudahlah.... Jangan turutkan kata hatimu, Tarsih,” selak Ki Radut cepat,
sebelum Tarsih bisa melanjutkan ucapannya.
“Sudah kau selesaikan pekerjaanmu?”
“Sudah,” sahut Tarsih seraya mengangguk.
“Bagus,” sambut Ki Radut dengan bibir menyunggingkan senyum. “Masih banyak
pekerjaan lain yang harus kau selesaikan di sini, Tarsih. Dan kuminta hanya
sekali itu saja kau keluar pada siang hari”.
Tarsih hanya menganggukkan kepala saja, lalu kembali duduk menghadapi meja.
Raut wajahnya kelihatan begitu datar, dengan pandangan menekuri permukaan meja
dari kayu ini. Sementara Ki Radut sudah kembali ke belakang kedai.
***
Malam sudah jatuh menyelimuti seluruh permukaan bumi. Suasana di Desa Caringin
kembali sunyi, bagaikan tidak berpenghuni lagi. Sementara tidak jauh di
pinggiran desa, tampak Bayu berdiri tegak di depan gundukan tanah yang masih
kelihatan baru. Tidak jauh di belakangnya terlihat sebuah rumah kecil
berdinding bilik bambu. Entah, apa yang ada dalam hati Pendekar Pulau Neraka
ini, mendapati Dewa Bayangan Putih sudah mati dengan luka begitu mengerikan.
Kepalanya retak, dengan leher terobek hampir buntung.
Bayu menemukan orang tua itu tergeletak mati tidak jauh di depan rumah yang
ditempatinya. Sedangkan darah yang menggenang sudah mengering. Kelihatannya
kematian Dewa Bayangan Putih sudah cukup lama. Malah, beberapa saat setelah
ditinggalkannya.
“Tapi, siapa yang bisa membunuh Dewa Bayangan Putih...?” pertanyaan ini yang
terus mengganggu pikiran Bayu. Tapi Pendekar Pulau Neraka bisa langsung
menduga, siapa pelakunya.
“Hhh! Aku tidak bisa mendiamkan ini terus berlangsung. Perempuan itu harus
menanggung akibatnya!” dengus Bayu memuntahkan kekesalan hatinya.
Sebentar Bayu masih berdiri memandangi kuburan Dewa Bayangan Putih, kemudian
tubuhnya berbalik. Segera kakinya melangkah pergi meninggalkan tempat
peristirahatan terakhir tokoh tua itu. Bayu terus mengayunkan mantap kakinya
menuju Desa Caringin lagi. Di dalam hatinya, dia bertekad akan membuat
perhitungan kepada si Perempuan Bertopeng Emas yang sudah membunuh Dewa
Bayangan Putih!
Tanpa disadari, Bayu berjalan sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang
tingkatannya sudah sempurna sekali. Hingga dalam waktu tidak berapa lama saja,
Pendekar Pulau Neraka sudah tiba ke Desa Caringin yang selalu sunyi jika malam
telah datang menyelimuti.
Sungguh menyolok perbedaannya bila pada siang hari yang selalu ramai. Jika
malam sudah datang, desa ini bagaikan mati. Tidak seorang pun terlihat berada
di luar rumahnya. Terlebih lagi, semalam satu keluarga yang dikenal semua
penduduk hanya sebagai petani biasa, mati menjadi korban si Perempuan Bertopeng
Emas.
Kejadian itu membuat seluruh penduduk Desa Caringin jadi tidak berani keluar
rumah, dan benar-benar dicekam ketakutan yang amat sangat Mereka kini sadar,
kalau kematian telah menghantui. Kalau hari-hari sebelumnya mereka merasa
senang karena yang dibunuh adalah tokoh-tokoh hitam atau penjahat biasa, tapi
kini ternyata yang dibunuh oleh Perempuan Bertopeng Emas juga para penduduk biasa
seperti mereka.
Biasanya kalau sehabis ada pembantaian, para penduduk desa ini berani keluar
rumah, untuk melihat tokoh siapa yang tewas dibunuh. Tapi sekarang, mereka
lebih memilih tinggal di rumah dengan hati was-was, jangan-jangan diri mereka
yang mendapat giliran menjadi korban.
Ada apakah ini? Apakah pembunuhan-pembunuhan terdahulu hanya sebagai siasat
untuk melenyapkan para penduduk Desa Caringin?
Memang masih terlalu dini untuk menjawabnya. Sementara itu, Bayu memperlambat
ayunan kakinya, setelah sampai di tengah-tengah desa. Kedua bola matanya
dipentang lebar, mengamati keadaan sekitarnya yang begitu sunyi. Sehingga,
gerit binatang malam pun seakan enggan memperdengarkan suaranya. Hanya desir
angin saja yang terdengar, mengusik telinga Pendekar Pulau Neraka.
Perlahan-lahan Bayu mengayunkan kakinya menyusuri jalan yang membelah desa ini.
Sementara, Tiren terus berada di pundak Pendekar Pulau Neraka tanpa
memperdengarkan suara sedikit pun. Seakan monyet kecil itu juga bisa merasakan
kesunyian yang begitu mencekam di sekitarnya.
“Kita terpaksa tidak tidur malam ini, Tiren,” ujar Bayu pelan.
“Nguk.”
“Malam ini, aku harus bisa mendapatkan wanita iblis itu. Akan kuhajar dia
seperti yang dilakukannya pada Ki Dewa Bayangan Putih!” tegas Bayu lagi, dengan
nada agak ditekan.
Tiren hanya diam saja. Binatang itu seperti tahu kalau Pendekar Pulau Neraka
sedang menyimpan kemarahan yang amat sangat dalam dadanya. Dan memang, saat itu
Bayu menyimpan kemarahan menggelegar. Ini bisa terlihat jelas dari raut wajahnya
yang memerah, dengan sorot mata tajam menyala bagai bola api hendak membakar
hangus seluruh Desa Caringin ini.
Sementara, malam terus merayap semakin larut Dan kesunyian semakin terasa
begitu mencekam. Bayu terus melangkahkan kakinya, mengelilingi desa yang selalu
sunyi di malam hari.
***
Sampai jauh tengah malam, Bayu belum juga bisa menemukan adanya si Perempuan
Bertopeng Emas. Sedangkan kakinya sudah terasa penat, terus-menerus berjalan
mengelilingi Desa Caringin yang cukup luas. Sedikit pun tidak ada tanda tanda
kalau Perempuan Bertopeng Emas itu bakal muncul malam ini. Bayu berhenti
melangkah, tidak jauh dari rumah Tarsih. Entah kenapa, hatinya begitu tergerak
untuk mengamati rumah yang bagian depannya dijadikan kedai. Sengaja Bayu
berdiri dekat pohon di pinggir jalan, sehingga cahaya bulan tidak sampai
meneranginya.
“Hm....”
Bayu menggumam sedikit, ketika melihat seseorang seperti akan keluar dari
samping rumah itu. Hanya kepalanya saja yang terlihat menyembul keluar, menoleh
ke kanan dan ke kiri. Seakan dia sedang mengamati keadaan sekitarnya. Kepala
yang diyakini Bayu adalah Ki Radut kembali tenggelam masuk ke dalam rumah. Dan
tidak lama setelah itu....
“Heh..?!”
Kedua bola mata Bayu jadi terbeliak lebar begitu tiba-tiba melihat sebuah bayangan
kuning keemasan melesat keluar dari samping rumah itu. Begitu cepat lesatannya,
sehingga dalam sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan.
Sementara, Bayu masih terpaku, seperti tidak percaya dengan apa yang dilihatnya
barusan. Bayangan kuning keemasan yang diyakininya adalah si Perempuan
Bertopeng Emas, keluar dari rumah yang sedang diamatinya. Dan pada saat itu,
pintu samping rumah itu tertutup lagi, setelah sebelumnya terlihat kepala Ki
Radut sedikit keluar mengamati keadaan sekitarnya yang masih kelihatan sunyi.
Tampaknya, laki-laki tua itu tidak menyadari kalau dari tempat yang sangat
tersembunyi Bayu terus memperhatikan.
“Sebaiknya aku tunggu saja sampai dia kembali di sini. Aku tidak tahu, ke mana
dia pergi,” gumam Bayu dalam hati, bicara pada diri sendiri.
Memang tidak mungkin bagi Pendekar Pulau Neraka untuk mengejar si Perempuan
Bertopeng Emas yang sudah tidak terlihat lagi. Entah, ke arah mana perginya
wanita itu. Tapi Bayu sudah begitu yakin, kalau Perempuan Bertopeng Emas itu
adalah Tarsih, wanita cantik yang menjadi pelayan di kedai itu.
Bayu mengambil Tiren dari pundaknya, dan menyuruhnya untuk naik ke atas pohon.
Dia tidak mau monyet kecilnya terluka saat menyergap si Perempuan Bertopeng
Emas nanti. Seperti bisa mengerti kekhawatiran Bayu, Tiren segera naik ke atas
pohon. Dipilihnya dahan yang dirasakannya cukup enak untuk tempat bernaung.
Monyet kecil itu duduk mencangkung sambil memperhatikan Bayu yang tetap berada
di bawah pohon. Sedikit pun Tiren tidak memperdengarkan suara, sepertinya tahu
kalau saat seperti ini diperlukan kesunyian.
Belum juga lama Bayu menunggu, tiba-tiba terdengar jeritan yang begitu panjang
melengking dari arah selatan desa ini. Dan tidak lama, disusul dua kali jeritan
lainnya yang tidak kalah nyaringnya. Seketika, darah Bayu terasa bagai berhenti
mengalir mendengar jeritan-jeritan panjang yang menandakan kematian. Saat Bayu
tengah menduga apa yang sedang dilakukan Perempuan Bertopeng Emas di sebelah
selatan desa ini, tiba-tiba terlihat kobaran api yang begitu besar dari arah
selatan.
Kembali Pendekar Pulau Neraka jadi terkesiap. Dan matanya tidak berkedip
memandangi kobaran api yang semakin lama semakin besar. Selang beberapa saat
kemudian, terdengar teriakan-teriakan orang yang kalang-kabut melihat kobaran
api itu. Sementara, Bayu masih tetap bertahan. Pemuda ini tidak mau terpancing
dengan keributan yang terjadi di bagian selatan Desa Caringin. Sudah bisa
dibayangkan, kalau penduduk desa ini tengah berusaha memadamkan api yang
membakar rumah penduduk.
“Hm.... Itu dia datang....”
Tiba-tiba Bayu menggumam, ketika melihat sebuah bayangan kuning.keemasan
berkelebat begitu cepat dari arah selatan. Cepat Pendekar Pulau Neraka
mempersiapkan diri untuk menyergap bayangan kuning keemasan. Tapi belum juga
berbuat sesuatu, tiba-tiba saja bayangan kuning itu berkelebat begitu cepat ke
arah timur. Dan seketika itu juga, lenyap di antara rumah-rumah penduduk.
“Edan...! Ke mana lagi dia...?” desis Bayu jadi terperanjat tidak mengerti.
Begitu cepat sekali si Perempuan Bertopeng Emas itu berkelebat. Sehingga, dalam
sekejapan mata saja sudah lenyap dari pandangan Pendekar Pulau Neraka. Sulit
untuk bisa diterka lagi, ke mana arah tujuannya. Bayu jadi ragu-ragu untuk
mengejar dan menunggu di tempat ini. Dan disaat Pendekar Pulau Neraka tengah
berpikir, mendadak saja....
Wusss...!
“Heh...?!”
Bayu jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba terdengar hempasan angin yang
begitu kuat dari arah belakang. Dan ketika berpaling ke belakang, terlihat
sebuah benda bulat kecil seperti mata kucing berwarna kuning keemasan,
berkelebat begitu cepat bagai kilat menuju ke arahnya.
“Haiiit..!”
Cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kanan. Sehingga, benda kuning keemasan
sebesar mata kucing itu lewat di samping tubuhnya, dan langsung menghantam sebuah
pohon yang ada di seberang jalan. Seketika, pohon itu hancur berkeping-keping
memperdengarkan ledakan keras menggelegar bagai gunung memuntahkan lahar. Bayu
sempat terbeliak melihat benda sekecil itu mampu menghancurkan pohon yang cukup
besar!
“Hup...!”
Pendekar Pulau Neraka bergegas melompat ke tengah jalan, begitu bayangan kuning
keemasan itu terlihat berkelebat begitu cepat dari belakang. Langsung tubuhnya
merunduk, hingga bayangan kuning keemasan itu lewat di atas tubuhnya. Saat itu
juga, Bayu merasakan hempasan hawa panas yang begitu menyengat, bersamaan
dengan melintasnya bayangan kuning keemasan itu di atas tubuhnya tadi.
“Hup! Yeaaah...!”
Pendekar Pulau Neraka langsung melenting keatas dan berputaran beberapa kali,
sebelum kedua telapak kakinya kembali menjejak tanah jalan ini. Saat itu juga,
sekitar satu batang tombak di depannya sudah terlihat seseorang berdiri
menantang. Tubuhnya ramping mengenakan baju yang seluruhnya berwarna kuning
keemasan. Cahaya bulan yang memancar di langit, memantulkan warna kuning
keemasan dari topeng yang menutupi wajah orang itu.
Dari bentuk tubuhnya yang indah dan ramping, sudah dapat dipastikan kalau dia
seorang wanita. Sementara, Bayu memperhatikannya beberapa saat Sudah bisa
diduga kalau di balik topeng emas itu tersembunyi wajah Tarsih yang cantik.
“Aku sudah tahu, siapa kau sebenarnya, Nisanak. Dan kau tidak perlu lagi
bersembunyi di balik topeng,” ujar Bayu dengan suara dingin menggetarkan.
“Kau sudah terlalu banyak ikut campur, Bayu. Kau sama saja dengan Dewa Bayangan
Putih. Dan rasanya, kau sudah pantas kalau juga mendapat ganjaran sama,” tidak
kalah dinginnya suara Perempuan Bertopeng Emas itu.
“Sudah kuduga, pasti kau yang membunuhnya,” desis Bayu dengan rahang
menggeretak menahan geram.
“Hik hik hik.... Sudah sepantasnya dia mendapatkan itu, Bayu. Dan kau juga akan
mendapatkannya, kalau masih ikut campur urusanku,” ujar Perempuan Bertopeng
Emas dingin.
“Kau bisa saja membunuh Dewa Bayangan Putih. Tapi, jangan harap begitu mudah
melakukannya padaku, Nisanak,” tantang Bayu langsung.
“Hik hik hik...!” Perempuan Bertopeng Emas itu hanya tertawa saja mengikik.
Jelas sekali kalau sikap perempuan itu begitu meremehkan Pendekar Pulau Neraka.
Dia sama sekali tidak tahu kalau yang sedang dihadapinya seorang pendekar muda
yang sudah malang melintang menghadapi segala macam bahaya dan pertarungan
berat dalam rimba persilatan. Bahkan semua tokoh persilatan akan segan bila
berhadapan dengannya.
Tapi meskipun julukannya berada pada deretan atas tokoh persilatan, Bayu tidak
merasa dirinya paling tinggi. Bahkan sama sekali tidak memandang enteng
terhadap wanita bertopeng emas ini. Sudah beberapa kali Bayu menyaksikan
kehebatannya, dan harus hati-hati menghadapinya.
Perlahan Pendekar Pulau Neraka menggeser kakinya beberapa langkah ke kanan.
Sorot matanya begitu tajam, tanpa berkedip sedikit pun memperhatikan wanita
bertopeng emas di depannya. Sementara Perempuan Bertopeng Emas itu belum juga
bergerak. Dia malah tertawa mengikik, melihat Bayu sudah menyilangkan tangan
kanannya di depan dada.
“Kau akan menyesal datang ke desa ini, Bayu. Merataplah kau di neraka...!”
dengus Perempuan Bertopeng Emas dingin menggetarkan.
“Kita lihat saja, siapa yang lebih dulu terbang ke neraka,” sambut Bayu tidak
kalah dingin.
“Bersiaplah, Bayu.... Tahan selendang emasku! Yeaaah...!"
Rrrt..!
“Hup! Yeaaah...!”
***
TUJUH
Cepat Bayu melenting ke atas,
begitu Perempuan Bertopeng Emas mengebutkan selendangnya sambil membentak keras
menggelegar. Selendang tipis berwarna kuning keemasan itu meluruk deras, bagai
seekor naga mengarah ke bagian perut Pendekar Pulau Neraka. Cepat-cepat Bayu
bersalto. Dan ketika tubuhnya mendatar di udara....
“Hih! Shyaaa...!”
Tepat di saat selendang emas itu berada di bawah tubuhnya, dengan pengerahan
seluruh kekuatan tenaga dalamnya yang sudah sempurna, Bayu melepaskan satu
pukulan keras menggeledek ke bagian tengahnya. Begitu cepat pukulan yang
dilepaskannya, sehingga Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terkejut setengah
mati.
“Hap!”
Cepat wanita itu menghentakkan selendangnya, hingga bergerak cepat ke samping.
Dengan demikian, pukulan yang dilepaskan Bayu hanya sedikit saja melesat di
samping selendang emas itu. Dan ketika kaki Pendekar Pulau Neraka menjejak
tanah, si Perempuan Bertopeng Emas sudah menggerakkan tangannya yang
menggenggam selendang kuning keemasan itu.
Rrrt!
Bagai seekor ular, selendang emas itu meliuk begitu indah melingkari tubuh
Pendekar Pulau Neraka. Gerakan berputar yang begitu cepat, sempat membuat Bayu
jadi terperangah. Tapi dia cepat berputaran di udara, seraya langsung
mengibaskan tangan kanannya. Dan....
Slap!
“Heh...?!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi kaget setengah mati, tidak menyangka kalau benda
bersegi enam yang menempel di pergelangan tangan pemuda berbaju kulit harimau
itu ternyata sebuah senjata yang bisa dilemparkan, hanya dengan mengebutkan
tangannya saja. Dan belum juga sempat disadari, tahu-tahu Cakra Maut yang
dilepaskan Bayu sudah menghantam bagian tengah selendangnya.
Bret!
“Ikh...?!”
Kembali Perempuan Bertopeng Emas itu terkejut hingga terpekik. Ternyata
selendang kebanggaannya langsung terbelah menjadi dua bagian, terkena sambaran
senjata maut Pendekar Pulau Neraka. Sementara, Bayu sendiri sudah menjejakkan
kakinya kembali di tanah. Dan di saat tangan kanannya terangkat naik ke atas
kepala, Cakra Maut melesat balik, lalu kembali menempel kuat di pergelangan
tangan kanan pemuda ini.
“Setan...! Kubunuh kau...!” geram Perempuan Bertopeng Emas marah, mendapati
selendangnya tinggal sepotong lagi.
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita berpakaian serba kuning keemasan itu
berlompatan mengelilingi Pendekar Pulau Neraka. Dan seketika itu juga, puluhan
benda bulat kecil seperti mata kucing berwarna kuning keemasan, berhamburan di
sekeliling Pendekar Pulau Neraka. Cepat sekali benda-benda kuning keemasan itu
berhamburan bagai hujan.
“Hup! Yeaaah...!”
Tidak ada waktu lagi bagi Bayu untuk berpikir menghadapi serangan gencar
Perempuan Bertopeng Emas ini. Cepat tubuhnya melenting ke atas sambil
berputaran beberapa kali, menghindari benda-benda kecil yang sangat berbahaya
itu.
Dan seketika itu juga, terdengar ledakan ledakan keras menggelegar dari senjata
senjata maut Perempuan Bertopeng Emas yang saling berbenturan. Bahkan yang
jatuh ke bawah pun membuat tanah jadi terbongkar menimbulkan ledakan yang
begitu dahsyat menggelegar. Sehingga seluruh Desa Caringin jadi bergetar bagai
diguncang gempa.
Ledakan akibat pertarungan maut Pendekar Pulau Neraka dengan Perempuan
Bertopeng Emas, membuat seluruh penduduk Desa Caringin keluar dari dalam rumah.
Tapi mereka langsung menyingkir menjauh, begitu melihat wanita berpakaian serba
emas yang selama ini dianggap sebagai dewi pelindung, namun sudah meminta
korban penduduk biasa itu, bertarung melawan seorang pemuda yang pernah
terlihat menghajar Lima Begal Sungai Ular di depan kedai Tarsih.
Sementara beberapa rumah penduduk yang berdekatan letaknya dengan tempat
pertarungan sudah mulai hancur terkena sambaran senjata-senjata maut yang
dilemparkan si Perempuan Bertopeng Emas. Bahkan tidak sedikit yang sudah
terbakar, hingga membuat keadaan di sekitar pertarungan jadi terang-benderang.
Dan suasana pun jadi berubah hangat oleh api yang kini berkobar besar, membakar
beberapa rumah. Sedangkan Bayu masih harus berjumpalitan di udara, menghindari
setiap benda-benda maut yang dilepaskan lawannya.
***
Serangan-serangan Perempuan Bertopeng Emas masih terus datang menghujani
Pendekar Pulau Neraka. Benda-benda kecil berwarna kuning keemasan itu bagai
tidak pernah habis, terus berhamburan di sekitar tubuh Bayu. Sedikit pun pemuda
berbaju kulit harimau itu tidak memiliki kesempatan balas menyerang. Tubuhnya
hanya bisa berputaran di udara dan terus menghindari serangan gencar lawannya.
Namun setelah cukup lama berlangsung, akhirnya Perempuan Bertopeng Emas
menghentikan serangannya juga. Tampak tarikan napasnya memburu cepat, bagai
kuda yang baru dipacu mendaki bukit terjal. Wanita itu berdiri tegak, menatap
tajam Pendekar Pulau Neraka dari balik lubang mata topeng emasnya.
Sementara, Bayu juga sudah berdiri tegak mengatur napasnya yang mulai terdengar
agak memburu. Keringat tampak menitik deras membasahi sekujur tubuh Pendekar
Pulau Neraka.
“Hhh...!” Bayu menghembuskan napas beratnya. Pendekar Pulau Neraka kali ini
melakukan pertarungan yang sangat berat dan menguras banyak tenaga. Lawan yang
dihadapinya memang tidak bisa dianggap sembarangan. Wanita itu memiliki
kepandaian yang begitu tinggi, sehingga sukar diukur tingkat kepandaiannya.
Bayu benar-benar tidak dapat lagi memandang sebelah mata pada wanita bertopeng
ini.
Sementara, orang-orang yang menyaksikan pertarungan semakin bertambah banyak.
Dan api yang membakar rumah juga semakin besar, merambat ke rumah-rumah lain.
Sudah dapat dipastikan kalau tidak lama lagi, Desa Caringin akan hangus
termakan api. Sedangkan di tengah-tengah jalan, Bayu tetap berdiri tegak
berhadapan dengan Perempuan Bertopeng Emas. Entah kenapa, mereka jadi terdiam
saling menatap tajam, seakan tengah mengukur tingkat kepandaian masing-masing.
“Kau memang tangguh, Bayu. Tapi, aku belum kalah. Malam ini juga, kau harus
mati di tangan-ku...,” desis Perempuan Bertopeng Emas dingin menggetarkan.
“Hm...,” Bayu pun hanya mengeluarkan gumaman sedikit
“Bersiaplah menerima kematianmu, Bayu,” desis Perempuan Bertopeng Emas lagi.
Setelah berkata demikian, wanita itu mencabut sebuah benda sepanjang dua
jengkal berwarna kuning emas dari balik sabuk yang membelit pinggangnya. Dan
ketika dikebutkan, benda itu menjadi panjang seperti tongkat Tampak bagian
ujungnya berbentuk mata tombak yang berkilatan begitu tajam. Namun Pendekar
Pulau Neraka sama sekali tidak merasa gentar melihat senjata wanita bertopeng
ini. Bahkan sikapnya kelihatan tenang, walaupun kelihatannya tidak ada satu
senjata pun yang tergenggam di tangan.
Sementara semua orang yang menyaksikan seperti mencemaskan pemuda berbaju kulit
harimau yang kelihatannya tidak memiliki senjata. Sedangkan lawannya kini sudah
memainkan senjata tombak emasnya. Putarannya tampak begitu cepat, hingga yang
terlihat hanya lingkaran bayangan kuning keemasan bagai sebuah perisai
melindungi dirinya.
“Tahan seranganku, Bayu! Hiyaaat..!”
Bersamaan dengan melompatnya Perempuan Bertopeng Emas itu dalam menyerang
Pendekar Pulau Neraka, semua orang yang melihat jadi menahan napas. Sementara,
Bayu sendiri tetap berdiri tegak dengan sikap begitu tenang. Hanya tatapan
matanya saja yang terlihat menyorot tajam, memperhatikan gerakan Perempuan
Bertopeng Emas yang meluruk deras dengan ujung tombak emas tertuju tepat ke
dada.
Tepat di saat ujung tombak berwarna kuning emas itu hampir menembus dada, cepat
Bayu mengangkat tangan kanannya terbalik ke depan dada. Maka ujung tombak itu
langsung menghantam Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan Pendekar Pulau
Neraka.
Tring!
“Ikh...!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi terpekik, begitu seluruh tangannya terasa
bergetar, ketika ujung tombaknya menghantam Cakra Maut dipergelangan tangan
Pendekar Pulau Neraka. Cepat dia melompat ke belakang beberapa langkah. Namun
pada saat yang sama, Bayu pun sudah membungkukkan tubuhnya sedikit agak miring
ke kiri. Dan dengan kecepatan bagai kilat tangan kanannya dikibaskan ke depan
sambil berteriak keras menggelegar.
“Yeaaah...!”
Wusss!
Cakra Maut seketika itu juga melesat bagai sebatang anak panah lepas dari
busur, tepat mengarah ke dada Perempuan Bertopeng Emas. Begitu cepat lesatannya
hingga membuat Perempuan Bertopeng Emas terbeliak dari balik topeng yang
menutupi wajahnya.
“Haiiit…!”
Bet!
Cepat wanita itu menghentakkan tongkat emasnya menyilang ke depan dada.
Sehingga Cakra Maut menghantam bagian tengah batang tombak kuning keemasan itu.
Demikian keras benturan Cakra Maut pada tombak itu, sehingga menimbulkan
percikan bunga api yang menyebar ke segala arah. Tampak Perempuan Bertopeng
Emas terdorong tiga langkah, akibat benturan keras Cakra Maut pada tombaknya.
“Gila...! Senjatanya tidak bisa dibuat main-main, “ dengus Perempuan Bertopeng
Emas dalam hati.
Wanita itu masih merasakan nyeri pada seluruh persendian tulang tangannya,
akibat dua kali terjadi benturan keras pada senjatanya tadi. Sementara, Bayu
berdiri tegak dengan tangan terlipat di depan dada. Sedangkan senjata mautnya
sudah kembali menempel di pergelangan tangan kanannya. Sikapnya seakan memberi
kesempatan pada lawannya untuk menyerang lagi. Bayu memang sengaja tidak mau
menyerang lebih dahulu, dan selalu memberi kesempatan lawannya menyerang lebih
dulu. Paling tidak, untuk mengukur sampai sejauh mana tingkat kepandaian yang
dimiliki lawannya.
***
“Kenapa kau diam, Nisanak...?” terdengar sinis nada suara Bayu.
“Huh!”
Perempuan Bertopeng Emas itu hanya mendengus saja dengan kesal. Dari balik
topeng emasnya, matanya menatap tajam dengan sinar memerah pada Pendekar Pulau
Neraka. Perlahan kakinya bergeser ke kanan. Dan belum juga bisa berbuat lebih
jauh lagi, tiba-tiba saja berkelebat sebuah bayangan hitam melintasi kepala
orang-orang yang berkerumun menyaksikan pertarungan maut ini
Dan bayangan hitam itu langsung meluruk deras ke arah Pendekar Pulau Neraka.
Dan pada saat yang bersamaan, sebuah benda bulat sebesar kepala terlempar ke
arah pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Hup...!”
Cepat Bayu melenting seraya berputaran ke belakang, menghindari benda hitam
yang dilemparkan ke arahnya. Benda bulat sebesar kepala itu tepat jatuh di
tempat Bayu tadi berdiri. Dan seketika itu juga, terdengar ledakan dahsyat
menggelegar. Sehingga, membuat seluruh tanah di Desa Caringin ini jadi bergetar
bagai diguncang gempa begitu dahsyat.
Tampak tanah yang terbongkar membumbung tinggi ke angkasa, bersama asap hitam
yang mengepul membentuk jamur raksasa. Sementara, Bayu sudah menjejakkan
kakinya kembali di tanah dengan dada berdebar keras. Tidak bisa dibayangkannya,
bagaimana jadinya kalau benda hitam itu tadi mengenai tubuhnya. Tanah jalan
yang tertimpa benda hitam itu kini terlihat berlubang besar seperti sumur.
“Hiyaaat..!”
Sementara, bayangan hitam itu terus meluruk deras ke arah Pendekar Pulau
Neraka. Dan pada saat itu juga, Bayu langsung menghentakkan kedua tangannya ke
depan dengan telapak tangan terbuka lebar, tepat di saat matanya melihat satu
pukulan kepalan tangan kanan yang meluncur deras mengarah dadanya. Hingga....
Glarrr...!
Kembali terdengar ledakan keras menggelegar begitu kedua telapak tangan Bayu
berbenturan dengan kepalan tangan orang berbaju serba hitam itu. Tampak orang
berbaju serba hitam itu berputaran beberapa kali ke belakang. Sementara, Bayu
sempat terdorong dua langkah ke belakang. Dan Pendekar Pulau Neraka langsung
membungkukkan tubuhnya sedikit agak miring ke kiri. Tepat di saat orang
berpakaian serba hitam itu menjejakkan kakinya di tanah, Bayu langsung
mengibaskan tangan kanannya ke depan sambil berteriak keras.
“Hiyaaa...!”
Wusss!
Seketika itu juga, Cakra Maut yang selalu menempel di pergelangan tangan kanan,
Pendekar Pulau Neraka melesat cepat bagai kilat, mengarah langsung pada orang
berpakaian serba hitam yang tiba-tiba saja muncul dan langsung menyerang.
Begitu cepatnya Cakra Maut meluncur, sehingga orang berpakaian serba hitam itu
tidak sempat menyadarinya.
“Awas, Ki...!”
Cras!
Bersamaan terdengarnya teriakan nyaring memberi peringatan, orang berpakaian
serba hitam yang seluruh kepalanya tertutup kain hitam itu memiringkan tubuhnya
ke kiri. Tapi, gerakannya sudah terlambat Sehingga sisi Cakra Maut yang runcing
sempat merobek bahu kanannya.
“Akh...!”
Orang berpakaian serba hitam itu jadi terpekik kaget agak tertahan. Seketika,
darah mengucur deras dari bahunya yang terluka cukup lebar akibat tersambar
Cakra Maut tadi. Sementara, senjata Pendekar Pulau Neraka terus melesat. Dan
ketika Bayu menghentakkan tangan kanannya kebelakang, maka Cakra Maut langsung
berputar balik dari arah belakang orang berpakaian serba hitam itu. Demikian
cepatnya senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu berputar dan langsung melesat
balik, sehingga membuat orang berpakaian serba hitam yang masih dilanda
keterkejutan ini tidak sempat lagi menyadarinya. Dan....
Crab!
“Aaa...!”
“Ki...!”
Jeritan nyaring seketika terdengar melengking, begitu Cakra Maut menancap di
punggung orang berbaju serba hitam agak ketat ini. Bersamaan dengan itu pula,
terdengar teriakan nyaring dari si Perempuan Bertopeng Emas. Tampak orang
berbaju serba hitam itu terhuyung-huyung dengan Cakra Maut masih menancap
begitu dalam di punggungnya.
Begitu Pendekar Pulau Neraka menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala,
Cakra Maut melesat kembali ke arahnya. Maka darah seketika muncrat keluar dari
punggung orang berbaju serba hitam ini. Cakra Maut kini kembali menempel
dipergelangan tangan kanan pemuda berbaju kulit harimau itu.
“Hiyaaa...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Bayu langsung melompat cepat bagai kilat
sambil berteriak keras menggelegar. Dan saat itu juga, satu pukulan keras
menggeledek yang mengandung pengerahan tenaga dalam sempurna dilepaskan, tepat
ke kepala orang berpakaian serba hitam yang masih terhuyung-huyung. Serangan
Bayu yang begitu cepat ini, sama sekali tidak dapat dihindari lagi.
Prak!
“Aaa...!”
Kembali terdengar jeritan panjang melengking tinggi, begitu pukulan dahsyat
yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka menghantam tepat di kepala orang
berpakaian serba hitam itu. Tampak darah merembas keluar dari kain hitam yang
menyelubungi kepala. Sementara, Bayu kembali melenting ke belakang sambil mutar
tubuhnya. Dan tangannya sempat mengibas, menjambret kain selubung hitam yang
menutupi kepala orang itu.
Bret!
“Ki Radut..,” desis Bayu begitu kakinya menjejak tanah.
Tanpa selubung kain hitam, jelas sekali wajah orang berpakaian serba hitam itu.
Memang, orang itu adalah Ki Radut Dan Bayu sama sekali tidak terkejut lagi,
karena memang sudah menduga. Sementara Ki Radut sendiri sudah tidak dapat lagi
menguasai diri. Dengan punggung berlubang mengeluarkan darah, dan kepala retak
terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka, dia tidak mungkin lagi bisa
bertahan lebih lama.
Setelah beberapa saat tubuhnya gontai, laki-laki tua ini seketika ambruk ke
tanah dengan darah terus mengucur dari punggung dan kepalanya yang retak. Hanya
sebentar saja Ki Radut menggeliat di tengah jalan berdebu ini, kemudian
mengejang kaku sambil mengerang lirih. Lalu, tubuhnya diam tidak bergerak-gerak
lagi, membujur kaku tanpa nyawa.
“Keparat...! Kubunuh kau...!”
Perempuan Bertopeng Emas jadi geram melihat Ki Radut tewas begitu mengerikan di
tangan Pendekar Pulau Neraka. Sambil menggeram marah, wanita berpakaian serba
kuning emas itu langsung saja melangkah cepat, menghampiri pemuda berbaju kulit
harimau ini. Dan begitu jaraknya tinggal sekitar lima langkah lagi, langsung
tombak emasnya dikebutkan ke depan sambil melompat sedikit.
“Shyaaa...!”
“Haiiit...!”
Hanya sedikit saja Bayu menarik tubuhnya ke belakang, hingga ujung tombak yang
kuning dan runcing itu lewat di depan perutnya. Tapi belum juga Pendekar Pulau
Neraka bisa menegakkan tubuhnya kembali, Perempuan Bertopeng Emas sudah
melompat cepat sambil melepaskan satu tendangan menggeledek dengan kaki kiri.
“Yeaaah...!”
“Hap!”
***
DELAPAN
Bayu langsung menghentakkan
tangan kanannya, menyambut tendangan kaki kiri Perempuan Bertopeng Emas itu.
Begitu cepatnya gerakan yang dilakukan, hingga wanita berpakaian serba kuning
ini tidak dapat lagi menarik pulang serangannya. Maka benturan keras pun
seketika terjadi.
“Akh...!”
Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik agak tertahan, ketika kakinya
membentur tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Cepat-cepat tubuhnya melenting ke
belakang, dengan berputaran dua kali. Dan begitu kaki wanita itu menjejak
tanah, Bayu langsung melompat cepat bagai kilat sambil berteriak keras
menggelegar.
“Hiyaaa...!”
Seketika itu juga, tangan kanan Pendekar Pulau Neraka mengibas ke depan,
membuat Cakra Maut yang selalu berada di pergelangan tangan kanan melesat
menyerang si Perempuan Bertopeng Emas.
“Hup!”
Tidak ada jalan lain lagi bagi wanita itu untuk menghindar. Maka cepat tubuhnya
melenting keatas. Dan pada saat itu pula, tangan kiri Bayu berkelebat cepat ke
kepala. Begitu cepat gerakan tangan kirinya, sehingga Perempuan Bertopeng Emas
tidak dapat lagi menghindari. Terlebih lagi, dia harus menghindari serangan
senjata andalan Pendekar Pulau Neraka. Dan....
Bret!
“Aukh...!”
Perempuan Bertopeng Emas itu jadi terpekik kaget, ketika topeng yang
dikenakannya terampas tangan kiri Pendekar Pulau Neraka. Maka wajah yang sejak
tadi terlindung di balik topeng emas itu kini terlihat jelas di bawah siraman
cahaya bulan dan terangnya cahaya api yang masih membakar rumah-rumah penduduk
Desa Caringin ini.
“Tarsih....”
Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu jadi terperanjat, tidak mengira
kalau Perempuan Bertopeng Emas itu ternyata Tarsih. Memang, wanita pemilik
kedai ini tidak disukai penduduk, karena dulu ayahnya seorang pemeras rakyat
yang paling kaya di desa ini. Suatu ketika semua kekayaan orangtua Tarsih ludes
dirampok dan rumahnya dibakar habis. Bahkan semua penghuni rumah itu dibantai
habis, kecuali Tarsih dan Ki Radut saja yang bisa menyelamatkan diri.
Dan Ki Radut sendiri, dulunya adalah seorang tukang pukul orangtua Tarsih yang
paling kejam. Setelah berhasil menyelamatkan diri, Tarsih dengan diantar Ki
Radut, berguru di Perguruan Selendang Emas. Kebetulan, yang menjadi ketuanya
adalah paman Ki Radut sendiri. Dan ketika telah menguasai ilmu-ilmu tingkat
tinggi, Tarsih dan Ki Ridut kembali ke Desa Caringin, setelah terlebih dahulu
diwarisi senjata selendang emas.
Namun ketika mereka kembali, rupanya para penduduk yang dulu menjadi korban
ketamakan orangtua Tarsih, memasang wajah ketidaksenangan mereka. Inilah yang
menyebabkan Tarsih merasa harus membalas sikap mereka. Demikian pula terhadap
penjahat-penjahat atau tokoh-tokoh hitam yang telah merampok dan membantai
habis keluarganya!
“Bunuh saja dia...!”
“Bunuh perempuan setan itu...!”
Seketika seluruh penduduk Desa Caringin memuntahkan kemarahannya. Dulu mereka
benci terhadap orangtua Tarsih. Dan kini terhadap Tarsih sendiri. Terlebih lagi
sekarang ini mereka sudah kehilangan seluruh harta benda dan tempat berteduh.
Bahkan tidak sedikit yang kehilangan anggota keluarganya, yang tidak sempat
menyelamatkan diri dari dalam rumahnya yang terbakar. Dan dengan malam ini,
sudah dua keluarga yang dibantai Tarsih!
Tapi kemarahan mereka hanya pada lontaran kata-kata saja. Tidak ada seorang pun
yang berani mendekati, karena begitu takut pada senjata tombak yang masih
berada dalam genggaman Tarsih. Mereka tahu, wanita ini bukanlah wanita
sembarangan. Kepandaiannya begitu tinggi. Sehingga, entah sudah berapa puluh
orang yang menjadi korbannya selama memakai julukan Perempuan Bertopeng Emas.
***
“Sebaiknya kau menyerah saja, Tarsih. Demi keselamatanmu sendiri, kupersilakan
kau pergi dari desa ini. Dan, jangan coba untuk kembali lagi membuat
kekacauan,” ujar Bayu masih memberi kelonggaran pada Perempuan Bertopeng Emas
itu.
“Phuih! Aku lebih baik mati bersama hancurnya desa ini!” dengus Tarsih tidak
mau menyerah begitu saja.
“Tidak ada gunanya kau mengumbar amarah dan dendam. Rasa dendam tidak akan
pernah bisa padam, kalau kau sendiri tidak mau memadamkannya,” bujuk Bayu masih
mencoba melunakkan kekerasan hati wanita itu.
“Jangan banyak bicara kau, Bayu! Lawan aku! Hiyaaat..!”
Tarsih memang sudah merasa kepalang basah, sehingga sama sekali tidak mau
menyerah. Bahkan diiringi pengerahan seluruh kekuatan yang tersisa, segera dia
melompat cepat sekali menyerang Pendekar Pulau Neraka dengan senjata tombak
emasnya.
Bet!
Tombak berwarna kuning emas itu seketika berkelebat begitu cepat ke arah
tenggorokan Bayu. Tapi hanya sedikit saja menarik kepala ke belakang, Bayu bisa
menghindari hunjaman ujung tombak yang runcing. Dan segera kakinya ditarik ke
belakang dua langkah, begitu Tarsih cepat memutar tombaknya dan langsung
disodokkan ke perut Pendekar Pulau Neraka.
“Hap!”
Bayu langsung mengibaskan tangan kanannya, sambil memiringkan tubuh ke kiri.
Langsung ditangkisnya tusukan tombak emas itu.
Tring!
Cakra Maut yang berada di pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka tepat
membentur mata tombak emas ini. Sementara, Tarsih langsung menarik pulang
tombaknya. Tapi dengan kecepatan kilat, senjatanya kembali disodokkan ke arah
dada Pendekar Pulau Neraka.
“Upths!”
Cepat Bayu menarik tubuhnya ke kiri, menghindari tusukan tombak ke dadanya. Dan
begitu mata tombak emas itu lewat di depan dada, cepat tangan kirinya
dikibaskan. Maka....
Tap!
“Ikh...!”
Tarsih jadi terpekik kaget, begitu tiba-tiba batang tombaknya tertangkap tangan
kiri Pendekar Pulau Neraka. Maka cepat seluruh kekuatan tenaga dalamnya
dikerahkannya untuk menarik tombaknya. Tapi, genggaman tangan kiri Pendekar
Pulau Neraka begitu kuat. Sehingga, senjata yang seperti terbuat dari emas itu
tidak bergerak sedikit pun.
“Hiyaaa...!”
Belum juga Tarsih bisa menguasai senjatanya lagi, tiba-tiba saja Bayu sudah
membentak keras bagai guntur. Dan seketika itu juga, tubuhnya mencelat ke atas
sambil melepaskan satu tendangan keras menggeledek mengandung pengerahan tenaga
dalam sempurna. Begitu cepat serangannya, hingga membuat kedua bola mata Tarsih
jadi terbeliak lebar.
“Haiiit..!”
Tidak ada pilihan lain lagi bagi Perempuan Bertopeng Emas itu. Cepat tubuhnya
dibanting ketanah sambil melepaskan tombaknya yang masih berada dalam genggaman
tangan kiri Bayu. Beberapa kali tubuhnya bergulingan di tanah, hingga terhindar
dari tendangan dahsyat Pendekar Pulau Neraka. Tapi begitu melompat bangkit
berdiri, Bayu sudah melesat cepat sambil melepaskan satu pukulan menggeledek
dengan tangan kiri.
“Hiyaaa...!”
Begitu cepat serangan Pendekar Pulau Neraka, sehingga Tarsih tidak sempat lagi berkelit
menghindarinya. Dan....
Diegkh!
“Akh...!”
Tarsih jadi terpekik, begitu pukulan tangan kiri yang mengandung pengerahan
tenaga dalam tinggi itu menghantam tepat dadanya. Seketika, tubuhnya terpental
deras ke belakang, dan jatuh keras sekali menghantam tanah. Kembali tubuhnya
bergulingan di tanah beberapa kali, hingga berhenti begitu menabrak sebuah
pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Seketika pohon itu roboh terlanda tubuh
ramping si Perempuan Bertopeng Emas ini.
“Hoeeekh...!”
Tarsih langsung menyemburkan darah kental berwarna agak kehitaman dari
mulutnya, begitu mencoba bangkit berdiri. Seluruh rongga dadanya terasa bagai
hendak meledak akibat terkena pukulan dahsyat Pendekar Pulau Neraka tadi.
Sambil memegangi dadanya yang terasa remuk, Tarsih mencoba bangkit berdiri.
Dengan susah payah, akhirnya Perempuan Bertopeng Emas itu bisa juga berdiri.
Walaupun, tidak lagi bisa tegak. Darah masih terlihat menggumpal di seluruh
rongga mulutnya. Kembali disemburkannya gumpalan darah kental agak kehitaman. Sementara,
Bayu berdiri tegak memandangi dengan sinar mata sukar diartikan.
“Kau terluka parah, Tarsih. Sebaiknya tinggalkan saja desa ini,” bujuk Bayu
masih memberi kesempatan wanita itu untuk menyambung selembar nyawanya.
“Akan kubunuh kau, Bayu. Kubunuh kau...,” desis Tarsih agak tersedak suaranya.
Dengan tangan dan jari-jari bergetar, Perempuan Bertopeng Emas yang sekarang
tidak lagi mengenakan topeng itu menuding Pendekar Pulau Neraka. Walaupun
terluka begitu parah, tapi sorot matanya terlihat sangat tajam menusuk langsung
ke bola mata Pendekar Pulau Neraka.
Jelas sekali terlihat pada sinar matanya yang penuh memendam dendam ini. Dan
Bayu bisa menyadari ketidakpuasan wanita itu padanya. Tapi, dia tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Semua yang dilakukan hanya untuk menyelamatkan nyawa
orang banyak yang tidak berdosa, setelah semua persoalannya diketahuinya dari
awal. Tapi, Bayu masih saja memberi kesempatan pada Tarsih untuk tetap hidup.
Pemuda itu juga tidak memandang seluruh kesalahan ada pada wanita ini. Bahkan
Bayu merasa iba melihat persoalan Tarsih, yang memaksanya harus bertindak
seperti iblis dengan membantai siapa saja yang dianggapnya telah menyinggung
perasaannya.
“Pergilah, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempatan hidupmu yang hanya sekali ini.
Percayalah, padaku. Tidak ada seorang pun yang bisa mencegahmu pergi dari desa
ini,” bujuk Bayu lagi.
Tarsih hanya diam saja memandangi wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Sementara
darah masih terus keluar dari sudut bibirnya. Tapi, kali ini sinar matanya
tidak lagi terlihat tajam. Bahkan begitu redup dan berkaca-kaca memandangi
Pendekar Pulau Neraka.
Sementara, Bayu bisa merasakan semua yang tengah dirasakan wanita ini. Baginya,
jalan hidup Tarsih tidak berbeda jauh dengan jalan hidup yang ditempuhnya sejak
masih bayi. Bayu juga sudah kehilangan kedua orangtuanya, sejak masih bayi
Bahkan tidak sempat lagi melihat wajah kedua orangtuanya. Hingga, rasa sakit
dalam hatinya tidak seperti yang dirasakan Tarsih.
“Ayo, kuantar keluar dari desa ini,” ajak Bayu lagi, tetap membujuk.
Tarsih hanya diam saja. Dia jadi bimbang oleh ajakan Pendekar Pulau Neraka yang
begitu tulus. Di dalam hatinya, memang tersimpan kemarahan pada Bayu yang sudah
menggagalkan dendamnya. Tapi paling tidak, sebagian dari dendamnya sudah terbalas.
Walaupun, seluruh keinginannya untuk menghancurkan Desa Caringin bersama
penduduknya tidak terlaksana.
“Ayo, Tarsih. Jangan sia-siakan kesempatan ini,” bujuk Bayu lagi.
Bayu sudah hampir tidak sabar, melihat orang-orang sudah mulai menghampiri dengan
wajah memancarkan kemarahan pada Perempuan Bertopeng Emas itu. Sementara,
Tarsih hanya diam saja memandangi Pendekar Pulau Neraka tanpa berkedip sedikit
juga. Perlahan tubuhnya membungkuk, mengambil tombaknya yang tergeletak tidak
jauh di samping kiri kakinya. Dengan tangan gemetar digenggamnya tombak itu
erat-erat.
Sementara, semua orang sudah semakin dekat menghampiri dengan berbagai macam
senjata tergenggam di tangan.
“Aku tidak pantas hidup dengan semua kegagalan ini. Maafkan aku, Bayu. Kuhargai
semua kebaikanmu padaku,” ujar Tarsih.
Setelah berkata demikian, wanita itu cepat mengangkat tombaknya. Dan...
Bres!
“Tarsih...!”
Bayu jadi terkejut setengah mati, begitu melihat Tarsih menghunjamkan tombak ke
dadanya sendiri. Kuat sekali hunjaman tombak itu, hingga tembus ke punggung.
Bukan hanya Bayu saja yang terkejut. Bahkan semua orang yang melihat juga
tersentak kaget. Sungguh tidak disangka kalau Tarsih akan berbuat nekad seperti
itu.
Sementara Bayu pun tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya dipandanginya tubuh Tarsih
yang ambruk ke tanah dengan dada tertembus tombaknya sendiri. Wanita itu
langsung menghembuskan napas terakhir begitu tubuhnya ambruk dan menyentuh
tanah.
“Mereka tetap manusia seperti kalian. Makamkanlah seperti layaknya,” ujar Bayu
dengan suara agak tertahan.
Semua orang hanya diam saja. Mereka seperti tidak tahu, apa yang harus
dilakukan. Walaupun kebencian bersemayam dalam dada, tapi mendengar kata-kata
yang diucapkan Pendekar Pulau Neraka, beberapa orang sudah bergerak menghampiri
Tarsih dan Ki Radut. Dan mereka segera mengangkat kedua mayat itu untuk
dipindahkan ke tempat yang lebih nyaman.
Sementara, Bayu hanya memperhatikan saja. Kepalanya lalu berpaling sedikit,
begitu Tiren menghampiri. Monyet kecil itu naik ke pundak Pendekar Pulau
Neraka. Beberapa saat Bayu masih berdiri di tempatnya, memandangi orang-orang
yang mulai mengurus mayat-mayat yang berjatuhan di malam ini. Sementara, mayat
Tarsih dan Ki Radut ada bersama mereka.
“Ayo kita pergi, Tiren,” ajak Bayu pada monyet kecilnya yang sudah berada di
pundak sebelah kanan.
“Nguk.”
Perlahan Bayu mengayunkan kakinya, meninggalkan Desa Caringin. Di dalam
kepalanya, masih belum bisa dipahami sikap yang diambil Tarsih, dengan membunuh
dirinya sendiri. Malah, dengan senjatanya sendiri juga. Tapi, Bayu mengakui
kalau semua penderitaan yang dialami Tarsih begitu berat.
Memang tidak semua orang bisa menanggung derita seberat itu. Hanya saja sangat
disayangkan tindakan Tarsih yang nekat. Daripada hidup menanggung kekalahan dan
kegagalannya dalam melampiaskan dendam, baginya lebih baik bunuh diri!
IBLIS CEBOL PENDEKAR PULAU NERAKA
Emoticon