4
BERLATIH
Sejak peristiwa yang naas malam itu. Sudah beberapa hari
ini Warung Randil ditutup. Banyak tamunya, para pedagang
mereka menggedor-gedor pintu depan warung ini, tidak ada
yang membukanya. Mereka penasaran tidak seperti biasanya,
apabila ada hajat segera mampir dengan gampang ke warung
nakal ini sewaktu-waktu. Kali ini para langganan merasakan
tersiksa dengan ditutupnya warung ini. Tidak ada lagi tempat
ysng cocok untuk melampiaskan hasrat laki-lakinya yang
sudah terbiasa berlangganan di warung tengah sawah ini.
Mereka rupanya banyak yang mulai menyadari, betapa makin
berharganya warung Randil di tengah sawah ini. Apabila
ditutup mereka pada kelabakan. Mau pergi kemana lagi untuk
menyalurkan hasrat kelaki-lakiannya itu. Hanya bagi mereka
yang tekun mempelajari ilmu kanuragan dan para warok yang
jalan hidupnya tidak pernah terikat oleh soal penyaluran hasrat
seksual secara liar kepada perempuan nakal yang merasa aman
dari berbagai gangguan kejiwaan yang menyiksa itu. Lantaran
umumnya mereka terikat oleh keyakinan pada kehebatan
ilmunya, sehingga harus berpantang mendekati perempuan.
Apalagi untuk berhubungan dengan perempuan nakal, sama
sekali harus dijauhkan dari pikiran mereka.
Bagi sebagian para pedagang dan petani yang hidupnya
mendambakan untuk mendapatkan kesenangan harta.
Beberapa di antaranya sangat gemar "berjajan" mendatangi
warung-warung nakal yang kalau malam hari berlampu merah
remang-remang ini. Namun sejak warung ini tutup, mereka
merasakan siksaan yang amat sangat berat. Kepalanya pusing
tujuh keliling, dan jalannya terkekeh-kekeh menahan beban
belakangan ini.
Rupanya perempuan-perempuan yang dinanti, dan biasa sebagai
tempat penyaluran hasrat laki-laki macam itu, mereka kini sedang
rajin pada berkumpul di halaman belakang warung untuk
bergiat diri berlatih bela diri ilmu kanuragan di bawah asuhan
Joko Manggolo yang kimi kesehatannya nampak telah pulih
kembali.
"Mbrot, kamu ini kebesaran pantat, makanya tendanganmu
tidak pernah lurus. Pantat kamu itu dihilangkan dulu, baru
berlatih ilmu kanuragan,” ledek Watik kepada rekan di
sebelahnya Sarijah gembrot yang dikenal mempunyai bokong
paling besar itu.
"Huss, kamu sendiri nendang tidak karuan. Lubang tengah
kamu itu yang perlu diatur dulu biar dapat nendang tegak,"
balas Sarijah gembrot tidak kalah buasnya.
"Enak saja kamu ngomong. Rusuh itu. Didengar kangmas
Manggolo. Malu, kan," bentak Watik.
“Habis kamu sendiri yang memulai."
“Baiklah tenang dulu mbakyu-mbakyu," kata Joko Manggolo
berusaha menenangkan perempuan-perempuan yang pada
cerewet saling ledek itu, "Semua bentuk tubuh kita ini
mempunyai kelebihan, dan kelemahan, atau keunggulan dan
kekurangan masing-masing. Tiap jurus ilmu kanuragan ini
dapat disesuaikan menurut keadaan tubuh penggunanya.
Seseorang yang bertubuh besar dapat menggunakan jurus-jurus
yang memang memerlukan tenaga kuat. Sedangkan yang
bertubuh kecil, mungil, dapat menggunakan jurus-jurus lentur
yang mengandaikan pada gerakan hindaran, liukan, dan
kelincahan penyerangan."
Pengarahan Joko Manggolo itu hanya ditanggapi oleh para
perempuan itu dengan senyum-senyum geli tidak dipahami
maknanya.
"Misalnya saja seperti Mbakyu Sarijah ini yang bertubuh berat
dan punya bokong besar merekah, dapat menggunakan jurus-
jurus gajah, tandukan badak, kerbau liar, dan harimau. Misalnya
jurus kibasan belalai, sabitan, pitingan, jepitan, terkaman,
tangkapan, kuncian, dan patahan. Atau jurus bantingan,"
semua perempuan yang mendengarkan keterangan-keterangan
Joko Manggolo itu pada ketawa geli cekikikan.
"Sedangkan Mbakyu Srintil yang bertubuh kecil mungil, kerus
njenges, berpentat tepos, kaki lurus kering, juga dapat meng-
gunakan jurus-jurus yang dengan kondisi tubuhnya,
misalnya jurus katak loncat, monyet bergantung, ketupai
berjingkat, atau jurus ular-ularan. Jadi semua jurus dapat
disesuaikan dengan kondisi tubuh masing-masing. Justeru itulah
gunanya berlatih ilmu kanuragan untuk menutup kelemahan
tubuh kita dan melipatgandakan keunggulan yang ada pada
tubuh yang kita punyai," kata Joko Manggolo menerangkan
dasar-dasar jurus ilmu kanuragan yang diajarkannya itu sambil
memperagakan din untuk memberikan contoh-contohnya
yang diikuti suara cekikikan perempuan-perempuan yang
sedang berlatih itu, kelihatan sambil pada bercanda. Namun
Joko Manggolo, tetap serius mengajarkannya nampak tidak
terpengaruh oleh canda ria para perempuan yang selama ini
sudah terbiasa bergaul akrab dengan banyak laki-laki itu.
Pada hari yang kedua puluh, nampaknya mereka sudah mulai
menguasai dasar-dasar jurus. Mampu melakukan gerak
langkah, dan gerakan bela diri taktis untuk sekedar memberikan
pembekalan bela diri ringan, terutama untuk melepaskan diri
dari serangan cengkeraman lawan. Namun belum masuk
sampai pada dasar-dasar jurus sabung, baru berlatih cara
"pasang", sikap bertarung untuk memulai mempertahankan
diri dari serangan dan kemudian melakukan pembalasan.
"Mbakyu-mbakyu, rupanya latihan jurus-jurus dasar sudah
mulai dikuasai. Tinggal pengembangan lebih lanjut. Sebagai
pengetahuan kita, nantinya kita perlu memperdalam cara-cara
melakukan sambut serang yaitu apabila suatu saat ada serangan
mendadak kita harus memberikan perimbangan perlawanan
dengan berbagai kemungkinan, antara lain menangkis,
mengelak, membuat langkah mundur untuk menghindar, atau
maju menyamping untuk memanfaatkan kekuatan lawan agar
lawan terjerumus oleh daya kekuatannya sendiri. Istilahnya
menggunakan kekuatan atau kelebihan lawan untuk
menjatuhkan lawan itu sendiri. Namun itu merupakan
pelajaran sulit untuk tingkat tinggi yang sangat diperlukan
ketekunan latihan mendalam. Apalagi kita akan mempelajari
cara-cara merubuhkan lawan dan kemudian melakukan
kuncian, sangat diperlukan ketelitian dan kecepatan serta
ketahanan daya tubuh," begitu Joko Manggolo dengan teliti
berusaha memberikan dasar-dasar pengetahuan ilmu kamuragannya
kepada perempuan-perempuan itu yang nampak mulai
ditanggapi sungguh-sungguh oleh mereka setelah mengetahui
kemanfaatan dan kehebatan mempelajari ilmu kanuragan itu.
Kemajuan yang lumayan itu, menurut Joko Manggolo sudah
cukup memadai, paling tidak sudah bisa digunakan untuk
usaha pertahanan diri sewaktu-waktu. Baik secara perorangan
maupun keroyokan.
Sesuatu yang tiba-tiba terjadi perubahan pada karakter para
perempuan itu, mereka kini lebih memiliki kepribadian.
Mereka mulai mengenal jati dirinya dan kepercayaan pada diri
sendiri makin tumbuh kuat. Dan yang lebih luar biasa, mereka
tidak ada gairah lagi untuk membuka warung nakalnya itu.
Mereka merencanakan akan kembali ke kampungnya masing-
masing, ingin hidup secara wajar. Tidak sudi lagi menjajakan
diri untuk melayani kepentingan laki-laki hidung belang. Atau
masih ada yang bersemangat meneruskan usaha warung ini
tetapi tidak untuk melayani laki-laki hidung belang, tapi khusus
untuk membuka warung makan dan minum saja.
Pengaruh falsafah yang diajarkan sebagai seorang yang telah
menguasai ilmu kanuragan itu telah mengubah pula pandangan
hidup mereka yang selama ini, hanya tahu soal kebutuhan
materi dan ingin mendapatkannya secara gampang dengan cara
melacurkan diri. Kini mereka benar-benar telah berubah.
Mereka lebih yakin pada diri sendiri bahwa mendapatkan uang
dengan bekerja wajar pun akan dapat diperoleh hasil yang
banyak. Selama ini mereka selalu berpikir tidak ada lowongan
pekerjaan yang paling ungkinkan kecuali menjual diri.
Anggapan ite sekarang tidak lagi tepat.
Pada hari-hari berikutnya mereka nampak lebih telam berlatih.
Mereka makin serius, dan tidak lagi terdengar suara cekikikan
sebagaimana pada permulaan mereka berlatih dahulu. Mereka
kini telah berubah seperti postur perempuan-perempuan tangguh
yang tidak takut menghadapi kesulitan hidup, dan tidak gentar
menghadapi kematian.
Para laki-laki bekas langganannya dahulu pada kaget melihat
perubahan sikap perempuan-perempuan penghuni warung
Randil itu.
"Tik, saya sudah kangen banget sama kamu," kata salah
seorang bekas langganannya itu yang siang-siang itu datang
mampir ke Warung Randil itu.
"Kalau kangen, kawini saja aku secara baik-baik, jangan main
umpet-umpetan begini," kata Watik nampak tegas menghadapi
laki-laki itu, tanpa memperlihatkan senyum geniinya lagi.
Nampak begitu serius.
"Kenapa kamu sekarang kok jadi ketus begitu, Tik."
"Tidak ketus. Aku butuh laki-laki yang serius bertangung
jawab. Man meminangku dan menjadi isterinya secara baik-
baik. Tidak mau lagi aku hanya dijadikan kuda tumpakan
sakepenake wudelmu dewe, Sehabis dipakai, aku diterlan-
tarkan. Mulai sekarang aku tidak mau lagi."
"Wah. Kamu kan butuh uang, Tik. Aku akan bayar kamu
bilamana aku membutuhkan kamu. Mana mungkin aku
mentelantarkan, selalu memberi uang,"
"Tidak bisa. Aku tidak mau uangmu dengan cara begitu."
"Jangan begitu, Tik. Kita kan sudah langganan lama."
“Tidak ada lagi langganan mulai sekarang. Kalau kamu datang
kemari dengan niat mau mengambil aku sebagai isteri, kita bisa
bicarakan, kalan hanya mau main-main, Sudah sana pergi aku
tidak mau terima tamu yang hanya mau main-main."
“Wah...wah, Ini keterlaluan, Tik, Tega-teganya kamu mengusir
aku, Tik. Sudah berapa banyak nangku yang keluar untuk aku
berikan kepada kamu. Masak sekarang aku butuh kamu,
sikapmu jadi tidak enak begini. Ada apa sebenarnya, Tik.
Mengapa tidak seperti biasa-biasanya."
"Sudahlah. Aku hargai atas kedatanganmu mengunjungiku,
tetapi jangan harap engkau dapat menjamahku lagi dengan
uangmu itu,"
"Luar biasa. Aku masih sanggup membayar mahal, Tik. Berapa
aku harus bayar kamu,"
"Sudah aku katakan, aku tidak butuh uangmu itu. Kalau kamu
mau menyentuh aku. Pinang aku. Lamar aku. Dan kawini aku
dengan cara baik-baik."
"Aku kan sudah punya isteri, Tik. Mana mungkin aku mengawinimu."
"Ya sudah, Sana. Sentuh saja isterimu di rumah semau kamu.
Dan jangan cari perempuan lain kemari kalau hanya mau
main-main."
“Wah. Kenapa kamu jadi berubah begini, Tik. Aku jadi tidak
mengerti."
"Maaf, Kakang Trenggono. Kalau sekiranya keperluan
Kakang kemari sudah cukup, saya mau mohon diri. Banyak
pekerjaan di belakang yang harus aku kerjakan."
"Mengusir lagi, yah. Ini, Tik. Terima uang tiga ribu keping.
Ambil semua, tapi jangan perlakukan aku seperti itu, ya, Tik."
"Maaf. Aku bukannya tidak butuh uang. Tetapi untuk
memberikan imbalan atas uangmu ini aku sudah tidak bisa
lagi. Bawa lagi uang itu, aku tidak man terima."
"Enggak apa-apa. Ambil saja. Ini buat kamu. Kalau hari ini
kamu berhalangan, aku tidak apa-apa. Lain waktu aku mampir,
Aku berikan uang ini tanpa ikatan apa-apa. Aku hanya senang
saja sama kamu. Selama ini kamu telah memberikan kesenangan
kepadaku." |
"Tapi, aku tidak mau menerima uang...in...ini,” belum habis
kalimat Watik. Tiba-tiba laki-laki itu sudah berdiri dengan
tersenyum-senyum meninggalkan Watik, terus langsung
menuju ke dokar kuda yang di parkir di halaman warung Randi!
itu. Watik hanya memperhatikan tingkah laki-laki yang dulu
menjadi langganannya itu dengan terbengong-bengong.
"Ada-ada saja tingkah laku laki-laki itu," ujar Watik
sendirian.
"Ada apa, Tik. Kangmas Renggono tadi. Ia marah yah,” kata
Sanjah Gembrot keluar dari kamar depan.
"Ya, mungkin. Tetapi ini, uangnya ditinggalkan begitu saja.
Lalu, bagaimana ini. Uang sebanyak ini ditaruh begini saja."
"Apa kata dia tadi."
"Yah, maunya dia aku disuruh melayani. Tetapi aku tetap
menolaknya. Lalu dia bilang, biar uang ini untuk kamu saja Tik
sebagai ucapan terima kasihku selama ini. Lalu, ia pergi. Jadi
bagaimana menurut pendapatmu,”
"Ya sudah itu jadi uang kamu. Bukan salah kamu. Pakai saja.”
"Ach. Enggak mau. Jangan-jangan ini hanya untuk pancingan.
Suatu saat ia datang kembali minta dilayani. Kalau aku tidak
mau ia minta uangnya kembali bisa kacau. Sudah aku simpan
saja. Nanti kalau ia kembali lagi, mau ribut. Akan aku
lemparkan uang ini ke mukanya. Dikiranya kita bisa diperdaya
begitu saja dengan uangnya."
"Ya, Aku rasa benar juga pikiranmu itu, Tik. Hati-hati kelakuan
laki-laki itu. Yah, kamu simpan baik-baik saja uang itu untuk
jaga-jaga kalau ia banyak ulah nanti, kita hajar ganti dia,” kata
Sarijah Gembrot.
Sejak saat itu. Warung Randil ini hanya menerima orang yang
mau membeli makanan dan minuman. Tidak lagi ada pelayanan
untuk perempuan. Banyak para langganan lama yang kecewa,
pulang marah-marah. Tetapi kemudian beberapa hari lagi
_ mereka datang untuk meminta maaf dan berlaku sopan kepada
para perempuan penghuni warung makan ini
"Maaf, Tik. Atas kekasaranku tempo hari. Aku tidak sengaja
kehilangan keseimbangan diriku karena biasanya kamu bisa
sewaktu-waktu melayaniku, tetapi kali itu kamu lain. Berani
menolaknya. Jadi aku terbawa nafsu. Maaf ya, Tik" kata
Pak Dikun seorang pedagang kaya yang biasa berlangganan
kemari.
"Tidak apa-apa kok, Pak. Kami di sini yang justeru minta maaf
karena tidak bisa lagi melayani bapak seperti biasanya dahulu."
"Ya. Aku senang saja pada kalian jadi walaupun sekarang
warung merah kalian sudah tidak ada lagi, aku masih akan tetap
langganan makan di sini."
"Terima kasih, Pak Dikun", kata perempuan-perempuan itu
hampir berbarengan dengan muka ceria yang ramah.
Walaupun warung Randil ini sekarang sudah tidak melayani
laki-laki iseng lagi, tetapi tambah hari bukannya sepi pengunjung,
malahan makin ramai orang yang memerlukan makan minum
di tempat ini. Bahkan sekarang justeru banyak ibu-ibu kalau
kesiangan di jalan, memerlukan makan siang mampir makan
ke warung Randi mi
Penghidupan perempuan-perempuan penghuni warung makan
ini makin baik. Rejekinya terus berdatangan. Mereka masih
dengan tekun tiap hari belajar ilmu pencak silat yang diajarkan
oleh Joko Manggolo yang juga ikut membantu memajukan
warung makan itu.
Sudah berlangsung hampir empat bulan, terjadinya perubahan
warung di tengah sawah Dukuh Randil ini, maka pada suatu
hari Joko Manggolo berpamitan akan meneruskan
perjalanannya untuk tujuan mencari ayah-bundanya itu.
"Mengapa Kangmas Manggolo tidak tinggal di sini terus," kata
Watik yang nampak mulai menaruh hati kepada Joko Manggolo
itu.
"Aku masih mempunyai tugas berat. Untuk mendapatkan kembali
perjalanan panjang. Maafkan aku, Mbakyu Watik."
"Kalau nanti sudah ketemu ayah-ibunya, datang kemari lagi,
ya. kangmas Manggolo."
"Pasti itu. Saya tidak melupakan kebaikan Mbakyu-mbakyu di
sini."
Pagi buta dengan berbeka! sekampluk makanan dan bahan
pangan yang telah disediakan perempuan-perempuan penghuni
warung makan itu, Joko Manggolo pergi meninggalkan warung
itu dengan diiringi tangis haru para perempuan itu. Satu per
satu mereka memeluk tubuh Joko Manggolo yang tegap
perkasa itu untuk mengucapkan selamat jalan.
5
TRAGEDI
AWAN mendung sejak sore nampak menyelimuti Dukuh
Pupus Aren. Suatu perkampungan diperbukitan yang
penuh gejolak. Nampak terdapat perbedaan yang menyolok
antara golongan masyarakat yang berpunya dan yang terbe-
lakang. Masyarakat miskin yang kelihatan makin tersingkir ke
arah pelosok perbukitan yang makin jauh ke dalam. Mereka
mengandalkan nafkah hidupnya menjadi buruh dan pembantu
rumah tangga bagi keluarga-keluarga berpunya di daerah
perkampungan dukuh Pupus Aren Kadipaten Ponorogo ini
Kalangan yang berkemampuan ekonomis di Dukuh Pupus
Aren, kebanyakan mempunyai usaha perkebunan pohon aren
yang diolah menghasilkan gula aren, juga beberapa orang yang
terpandang sebagai orang kayanya mempunyai perkebunan
tebu di beberapa daerah dataran rendah yang kemudian diolah
sebagai produksi gula tebu. Produksi yang dihasilkan itu selain
dipasarkan ke kota Kadipaten Ponorogo, juga dikirim ke kota
Trowulan, ibukota kerajaan Majapahit pada waktu itu.
Penduduk dukuh Pupus Aren dikenal luas sebagai orang-orang
yang keras, Keras dalam bekerja, keras hatinya, keras bersikap,
kebanyakan orang dari luar dukuh Pupus Aren, melihat cara
mereka berbicara tiap hari seperti orang yang sedang
bertengkar, padahal itu biasa bagi telinga mereka. Bahasa
yang mereka gunakan ngoko, tidak dikenal perbedaan bahasa
halus, walaupun itu pembantu terhadap majikannya, tiap hari
berbicara ngoko seperti tidak pernah ada perbedaan antara,
siapa majikan dan siapa kawulo. Perbedaan itu, baru akan
terlihat dari pakaian yang disandangnya, Bagi majikan, jelas
berpakaian lebih bagus dan terlihat berharga mahal, sedangkan
bagi pembantunya lebih lusuh dan kelihatan harga murahan.
Dukuh Pupus Aren dipimpin oleh Lurah Mangunprayogo,
ilmu kanuragan, kesaktian dan kedigdayaan. Tetapi ia belum
bergelar Warok Mangunprayogo. Cuma itu tadi, ia biasa bicara
keras dan ceplas-ceplos terhadap siapa saja orang yang ditemui.
Maksudnya barangkali ingin menunjukkan dirinya sebagai
orang yang terbuka, tidak ada tedeng aling-aling, akan tetapi
sering disalahtafsirkan orang yang kemudian banyak yang
sakit hati hanya lantaran diomongkan yang tidak enak ditelinga
itu. Oleh karena itu masyarakat belum pemah menyebutnya
sebagai warok.
Rumah kelurahan yang ia diami bersama keluarganya, dibangun
mentereng di tengah-tengah perkampungan warga yang
dipimpinnya. Tiap malam diadakan penjagaan ronda dan
rumahnya sendiri itu selalu dijaga ketat oleh para pamong yang
nampak juga terlatih dalam berlaga.
Pada suatu hari keluarga Pak Lurah ini kedatangan rampok.
Seperti orang sedang njarak, sengaja mencoba kemampuan
Pak Lurah ini. Gerombolan perampok dengan gesit mem-
bekuk, penjaga-penjaga rumah Pak Lurah Mangunprayogo
satu per satu dilumpuhkan, walaupun mendapat perlawanan
keras dari para penjaga yang tangguh-tangguh itu, tetapi
nampaknya perampok kali ini bukan gerombolan sembarangan.
Sungguh aneh, perampokan itu hanya terjadi di rumah Pak
Lurah saja. Rumah penduduk lainnya, dan tetangga paling
dekat dengan rumah Pak Lurah tidak dijamah sama sekali.
Padahal rumah-rumah yang dekat dengan rumah Pak Lurah ini
rata-rata milik orang kayanya di kampung ini. Bahkan ada
rumah yang lebih baik daripada rumah Pak Lurah, tidak terkena
sasaran perampokan ini. Tetapi memang, sedekat apa pun
tetangga rumah Pak Lurah itu, temyata masih di belah oleh
aliran sungai atau semacam jurang kecil sebab jarang ada
airnya, hanya musim penghujan terlihat mengalir airnya yang
deras kemudian habis lagi, jurang kecil ini yang memisahkan
antara rumah Pak Lurah dengan rumah tetangga-tetangganya,
sehingga jarah yang memisahkan ini yang membuat kesan
rumah Pak Lurah nampak agak menyendiri. Walaupun berada
di tengah padukuhan yang dikelilingi rumah-rumah penduduk
yang tersebar itu, tidak menunjukkan suasana rumah Pak Lurah
itu berada akrab dengan penduduknya. Suasana rumah yang
nampak menyendiri itu yang rupanya memudahkan bagi para
perampok itu segera dapat memasukinya tanpa diketahui oleh
para tetangga dekatnya. Terkecuali para penjaga yang sengaja
digilir mengamankan rumah Pak Lurah itu.
Perampok yang tidak diketahui dari mana aslanya, telah
berhasil menguasai para penjaga yang sepanjang malam
berjaga berkeliling di rumah Pak Lurah. Sebelas orang telah
dihabisi, tidak ada satu pun yang hidup ketika terjadi pertarungan
sengit dengan gerombolan perampok yang menyerbu serentak.
Seorang petugas yang seharusnya dapat membunyikan kentongan,
ketika ia berlari mau menabuh kentongan itu, belum sampai telah
tersambar sebilah senjata tajam motek yang mengenai pung-
gungnya ketika dilempar oleh salah seorang perampok yang
memergokinya.
Pak Lurah ketika mendengar keributan di halaman rumahnya
yang besar itu, ia segera waskito, pasti ada sesuatu yang tidak
beres terjadi di lingkungan rumahnya yang luas ini, Ja segera
berganti pakaian laganya berupa seragam hitam-hitam, kolor
besar panjang yang telah diisi jampi-jampi sebagai kekuatan
pertahanan tubuhnya, dan tidak lupa sebilah motek senjata
tajam khas Ponorogo itu disambarnya. Isterinya yang sedang
enak-enak tidur terlentang itu tidak berapa lama kemudian ikut
terjaga. Masih setengah mengantuk, dilihatnya suaminya
mengenakan pakaian laga ia agak terheran, tetapi ketika
terdengar suara gaduh di luar ia memakluminya. Ia sendiri
segera melompat dan mengenakan pakaian laga juga.
"Ada apa, Kangmas," tanya isterinya di tengah membetulkan
pakaian laganya itu.
"Entahlah. Sepertinya ada gerombolan liar yang sengaja
mengincar nyawaku." jawab Pak Lurah kepada isterinya
Endang Sri Sumilir, perempuan cantik berkulit kuning langsat
yang dinikahinya sudah hampir dua puluh tahun yang lalu itu.
Kelihatannya, Pak Lurah Mangunprayogo ini amat sayang
kepada isterinya yang supe! kepada siapa saja, sehingga
sekasar apa pun perangai Pak Lurah, namun lain bahasa yang
digunakannya terhadap isterinya, terasa sangat halus walaupun
dengan nada bicara tinggi. Mungkin menunjukkan kecintaannya
yang mendalam itu.
"Kalau yang diinginkan nyawa, Kangmas. Apakah tidak
sebaiknya, Kangmas segera kabur saja lewat pintu belakang."
"Tidak ada tempat lari lagi, Diajeng. Mereka pasti sudah
mengenali seluk beluk rumah kita ini. Kelihatannya mereka itu
bukan gerombolan sembarangan. Mereka berilmu tinggi. Jadi
tidak ada gunanya kita lari. Kita harus bisa melawan.
Sebaiknya Diajeng, bangunkan segera putri kita si Senduk."
Kata Pak Lurah kepada isterinya. Nama lengkap putri Pak
Lurah itu sebenarnya Gianti Gayatri, tapi bagi kebanyakan
orang Ponorogo memanggil nama kesayangan anak perem-
puannya dengan panggilan Senduk. "Bersembunyilah di
belakang kandang ayam yang aku siapkan itu," lanjut Pak
Lurah kepada isterinya "Kalau mereka akan mencari kalian
berdua, pasti akan bertemu dengan ayam-ayam aduan kita.
Mendengar kokok ayam dan bahu kotoran ayam, pasti mereka
akan mengurungkan niatnya mencari kalian berdua. Sementara
aku berharap, kalau aku tidak mampu menandingi mereka akan
segera datang bantuan dari penduduk.”
"Ya, Kakangmas. Akan segera aku laksanakan. Hati-hatilah,
Kakangmas,” kata isterinya nampak memperlihatkan
kekhawatirannya yang mendalam.
"Ya, Jaga diri kalian berdua baik-baik."
Terlihat Pak Lurah itu memeluk erat isterinya, yang bernama
Endang Sri Sumilir itu, perempuan molek yang dulu
sebenarnya sebelum diambil isteri Pak Lurah berprofesi
sebagai penari gambyong. Banyak laki-laki, dan para warokan
yang menaksirnya, tetapi entah mengapa, Pak Lurah berhasil
menggactnya, dientaskan dan dunia “glamour"nya orang-
orang Ponorogo itu untuk diangkat menjadi perempuan baik-
baik sebagai isteri Pak Lurah. Dari sini ceritera berkembang,
banyak laki-laki yang dulu pernah menaksirnya pada sakit hati.
Hai itu yang kemudian membuat Pak Lurah jadi banyak musuh
dari gerombolan-gerombolan sakit hati itu yang rupanya hendak
menebus rasa harga dirinya, Ingin mencabut nyawa Pak Lurah.
Malam itu, setelah Pak Lurah merasa telah mempersiapkan
segala sesuatunya untuk menghadapi medan laga, ia segera
meloncat keluar kamar lewat samping serambi rumah. Tidak
lupa ia mencabut tombak andalan kelurahan Dukuh Pupus
Aren yang terkenal dengan sebutan "Kyai Bedor" sebagai
perlambang tombak kemakmuran Dukuh Pupus Aren di daerah
kulon kadipaten Ponorogo itu.
Ketika dilihat oleh Pak Lurah para penjaga rumah kelurahan
itu banyak yang tergelepar di berbagai tempat sudut rumah itu,
bahkan kedua pembantu perempuannya juga telah tergeletak
tidak bernyawa, dan kemudian di seberang tembok itu terlihat
ada seseorang yang berewokan sedang mengendap-endapkan
badannya, Pak Lurah segera bersiaga dengan memasang seluruh
daya kekuatannya untuk mengetahui gerakan-gerakan
perampok itu. Sewaktu ia membalikkan badannya terlihat tiga
orang laki-laki yang kelihatan berangasan telah melihat
keberadaan Pak Lurah. Ketiga laki-laki berewokan itu
segera menyerang Pak Lurah yang telah bersiaga menghadapi
segala kemungkinan penyerangan mendadak dari para perampok
itu. Dengan gesit, Pak Lurah memainkan tombak "Kyai
Bedor"nya itu berputar-putar kian kemari. Ketiga perampok
tangguh itu pun tidak kalah lincahnya, dengan menggunakan
senjata morek mereka nampak mahir bergerak cepat merdesak
Pak Lurah terus ke arah sudut ruangan. Kilatan senjata-senjata
mereka dan suara keras ketika senjata-senjata mereka beradu.
Beberapa kali sabetan mofek para perampok itu mengenai
tubuh Pak Lurah, akan tetapi rupanya tidak mempan melukai
tubuh Pak Lurah yang sakti itu. Demikian juga tombak Pak
Lurah yang beberapa kali menusuk bagian-bagian tubuh
perampok-perampok itu hanya menimbulkan goresan-goresan
yang mengeluarkan darah kental bercucuran tidak seberapa
lantaran ternyata para perampok itu pun juga bukan lemah yang
tidak mempunyai kesaktian. Pak Lurah dan para perampok itu
walaupun termasuk sama-sama orang yang sakti, tetapi
rupanya mereka kurang terlatih dalam melakukan gerakan.
sejadinya. Namun, walaupun Pak Lurah sebenarnya memiliki
Ilmu kanuragan untuk menangkal berbagai senjata tajam, ia
tidak tedas bacok, akan tetapi ia lengah konsentrasinya ketika
terdengar suara jerit putri dan isterinya dari arah kandang
belakang. Rupanya, isteri dan putrinya yang sedang sembunyi
di balik kandang ayam itu beteriak minta tolong sewaktu
ditemukan oleh seorang perampok yang mencurigai tempat
kandang itu. Sebenarnya perampok itu sebelumnya tidak dapat
melihat persembunyian mereka berdua ketika ia membolak
balik mencari pintu masuk kandang itu yang terus terkena
sambaran kokok ayam jantan peliharaan keluarga Pak Lurah
itu. Namun, putri Pak Lurah yang sedang ketakutan berat
ketika melihat ada perampok di dekatnya yang sedang
berusaha mencarinya itu, ia tanpa sadar terduduk ndoprok,
menggigil ketakutan, kemudian ngompol, terkencing-kencing
"sirrrrrrrr" bunyi keras suara perempuan kencing sambil
terkentut-kentut keras "Tiut, preer?” karena ketakutan. Perampok
itu makin curiga ketika mendengar ada suara perempuan kencing
disertai seperti suara orang kentut keras itu. Ia lalu mulai yakin
ada perempuan yang berada tidak jauh dari kandang ini. Benar
juga sebilah papan besar yang menjadi pelindung persembunyian
kedua perempuan itu ketika dibongkar terlihat ada dua orang
melihat laki-laki yang memergokinya itu, tanpa sadar ia
menjerit nyaring "Tolonnnnggegggg",
Dan "Blukkkk. Brakk” perampok itu rupanya terkena tendangan
keras dari salah seorang perempuan itu yang ternyata tendangan
maut dari isteri Pak Lurah, pendekar Endang Sri Sumilir.
Rupanya, isteri Pak Lurah yang memiliki dasar-dasar ilmu
kanuragan itu langsung menerjang laki-laki brewokan yang
berusaha bangun dari jatuh terpental ke belakang karena
terkena tendangannya itu.
"Mati aku. Kurang ajar, perempuan tidak tahu diri," teriak laki-
laki itu sambil berusaha berdiri. Namun rupanya, isteri Pak
Lurah yang ternyata juga sangat mahir mengeluarkan jurus-jurus
ilmu kanuragannya itu, mampu memberikan perlawanan keras
terhadap laki-laki dungu itu. Serangan yang terus bertubi itu
tidak dapat dielakkan oleh laki-laki berewokan perampok itu,
ia terus terdesak ke belakang. Namun naas, rupanya suara
teriakan putri Pak Lurah yang tadi terdengar sampai di samping
rumah joglo itu telah membuat sekawanan perampok lainnya
berhamburan mendatangi arah suara itu. Begitu melihat temannya
sedang dihajar oleh seorang perempuan itu, segera mereka
menolong mengeroyok perempuan itu. Tidak berapa lama,
Isteri Pak Lurah itu sudah tidak berkutik menghadapi
perlawanan keroyokan itu, walaupun ia berjuang keras untuk
merubuhkan satu per satu para laki-laki yang mengeroyoknya
itu, namun akhirnya ia kewalahan juga, dan ia berhasil
diringkus para perampok itu sekaligus bersama putri Pak
Lurah itu.
Pak Lurah yang begitu kaget mendengar jerit anaknya itu tadi,
ta menoleh lengah ke arah datangnya suara putrinya itu, dan ia
belum sempat menghidupkan tenaga dalamnya yang
menopang ilmu kedigdayaannya ketika tiba-tiba ia diserang
menghadapi kekuatan dahsyat, serangan aji-aji yang
dilemparkan dari jarak jauh. Seseorang dari anggota gerom-
bolan itu, mungkin ia yang menjadi pemimpinnya, tanpa
diketahui Pak Lurah telah mempersiapkan aji-aji "Lembur
Sumyur, Pak Lurah terkena serangan tenaga dalam laki-laki
yang menyembunyikan dirinya di balik tumpukan kayu-kayu
mahoni itu. Pak Lurah langsung tergeletak. Akan tetapi, ia
masih sempat mengucapkan beberapa mantra penolak racun,
dan pengedar darah dalam tubuhnya, kemudian ia sudah tidak
ingat lagi.
Untung ketika malam kejadian naas di rumah Pak Lurah itu,
Joko Manggolo yang kemalaman di perjalanannya, ia sedang
memasuki Dukuh itu. Terlihat suasana sepi perkampungan itu,
hanya sekali-kali terdengar suara orang yang sedang meronda
membunyikan kentongannya. Joko Manggolo dapat
menangkap angin yang kurang beres terjadi di perkampungan
yang sunyi senyap mi, Ia segera berkonsentrasi untuk mencari
dari arah mana datangnya "hawa buruk" malam begini ini. Ia
terus menelusuri sesuai aliran petunjuk dalam bathinya. Tidak
berapa lama, ia segera mendapatkan rumah Pak Lurah, terlihat
seorang penjaga tergeletak di depan pintu masuk. Joko Manggolo
terus ke dalam, dan ditemukan lebih banyak lagi korban-korban
yang berjatuhan disana-sini. Kemudian ia mengelilingi rumah
Joglo besar itu barangkali masih ada orang yang tersisa. Tidak
dijumpai makhluk yang masih hidup. Lalu ia, melihat
seseorang yang perkasa tergeletak di tangga dalam, melihat
pakainya yang lumayan bagus itu, tentunya ia itu seorang
ningrat. Mungkin beliau ini Pak Lurahnya, Tubuh Pak Lurah
segera dibopongnya. Ia memperkirakan jiwa Pak Lurah itu
dapat tertolong, masih ada tanda-tanda kehidupan yang
memungkinkan ia segera siuman dari pingsannya. Joko
Manggolo segera menolong Pak Lurah itu yang kemudian
membawanya masuk ke dalam rumahnya ditaruh di atas tempat
tidur. Kemudian, Joko Mangolo segera ke dapur mencari
beberapa dedaunan, yang kemudian diracik dan diusapkan ke
wajah Pak Lurah dan pada bagian tubuh-tubuh lainnya yang
penting. Benar juga Pak Lurah lambat-laun dapat membuka
matanya, dan temyata ia masih hidup. Ja memperhatikan wajah
Joko Manggolo, seorang pemuda asing yang belum pemah
dikenali sebelumnya.
"Ter...terima...terima kas...kasih, anak muda, Engkau telah
menolongku," kata Pak Lurah terbata-bata.
"Siapakah yang melakukan semua ini, Pak." tanya Joko Manggolo.
"Ak .ak...aku tidak begitu mengenalnya. Mungkin mereka
belum jauh dari sini. Tapi, lamat-lamat aku mengenalinya.
Coba tolong anak muda, nama perampok itu kalau tidak salah
dari gerombolan Brojol Mangun yang terkenal memiliki ilmu
ajian Sempur Ungu dan Lembur Sumyur.”
"Biarkan, aku sendiri di sini anak muda. Tolonglah kejar
mereka. Cepatlah, tinggalkan aku sendiri, anak muda. Aku
sudah bisa menguasai diri."
“Bab...ba...baik, Pak. Hamba berangkat mencoba mengejar
mereka."
"Ak...aku...aku restui anak muda, berhati-hatilah."
Joko Manggolo segera mengejar ke arah larinya gerombolan
itu. Sebelum ia berangkat iatelah menemukan beberapa barang
perampok yang tertinggal tercecer disana-sini. Dari petunjuk
barang yang tertinggal, kemudian Joko Manggoolo bisa mencium
baunya, lalu membaca mantra-mantra untuk mengetahui arah
larinya orang yang memiliki barang tersebut. Diketahui larinya
ke arah tenggara Dukuh Pupus Aren ini, Segera Joko Manggolo
lari mengejamya dengan menggunakan kuda milik kelurahan
Dukuh Pupus Aren itu yang terparkir tidak jauh dari tempat
ini.
Tengah malam, Joko Manggolo dapat memergoki sebuah
rumah gubug yang tertata agak lumayan rapi di tengah hutan.
Penuh dengan peliharaan ayam jantan aduan. Joko Manggolo
segera menghendap-endap, samar-samar terdengar suara ketawa
banyak laki-laki, dan teriakan histeris seorang perempuan
setengah baya yang ketakutan menghadapi banyak laki-laki
begajul itu.
Setelah Joko Manggolo berhasil mendekati ramah pondok itu,
ia mengintip ke dalam lubang sela-sela dinding bambu dan
kayu jati itu. Memang, terlihat banyak laki-laki di dalam yang
nampak sedang menghitung uang jarahannya, sambil mabuk-
mabukan minum arak. "Bagaimana aku bisa menghadapi
sebegitu banyak laki-laki sakti ini seorang diri. Aku harus cari
akal," begitu pikir Joko Manggolo.
Tiba-tiba terdengar ada salah seorang laki-laki keluar
pondoknya. Rupanya ia akan buang air kecil. Joko Manggolo
segera mendekatinya. Tanpa banyak waktu terbuang lagi, laki-
laki itu terus segera disekapnya dari belakang. Perutnya ditusuk
dengan motek., Sebelum melakukan pekerjaan ini Joko Manggolo
terlebih dahulu membaca mantra-mantra agar aman, khawatir
laki-laki itu orang sakti yang tidak tedas tusuk. Rupanya laki-
laki itu sedang lengah setengah mabuk kepayang, sehingga
dengan mudah Joko Manggolo menghabisinya dengan
membungkam mulutnya agar tidak mengeluarkan suara. Dari
mulut laki-laki korbannya itu diketahui oleh Joko Manggolo
bau arak. Rupanya laki-laki itu sudah mabuk berat. Dari sini
baru timbul pikiran Joko Manggolo, "Sebaiknya aku membe-
baskan perempuan ini setelah para laki-laki itu pada mabuk
masuk.Menunggu sampai mereka tidak sadarkan diri, baru aku
serang masuk.”
Joko Manggolo hanya bisa mengintip terus menerus keadaan
di dalam rumah itu. Nampak satu per satu laki-laki itu tergeletak.
Mungkin sudah kelelahan karena baru bertarung di rumah Pak
Lurah tadi. Sudah pada ngantuk ketiduran karena hari sudah
larut malam. Atau mabuk kebanyakan minum tuak. Terlihat
kedua perempuan itu diikat erat dengan seutas tali besar di
palang pojok ruangan.
Beberapa lama Joko Manggolo menunggu keadaan sampai
aman betul, baru ia mengendap-endap mencoba memasuki
pondok itu lewat pintu belakang. Sesampai di ruang tengah
dimana perempuan itu disekap, ketika melihat kedatangan
Joko Manggolo perempuan itu agak terperanjat. Tetapi setelah
diperhatikan wajah Joko Manggolo yang kelhatannya orang
baik-baik, muka perempuan berubah ceria seperti ada harapan
akan tertolong jiwanya. “St”, Joko Manggolo memberi
isyarat agar perempuan itu tenang. Pelan-pelan, Joko Manggolo
mendekati perempuan itu dan melepaskan ikatan tali-tali itu,
kemudian pelan-pelan ia dibawa ke luar lewat pintu belakang,
dan segera dinaikkan ke atas kuda. Namun rupanya nasib baik
belum berpihak kepada Joko Manggolo, salah seorang perampok
itu terbangun, ia rupanya kepengin kencing. Ia keluar lewat
pintu depan, dan ketika ia melihat ada kuda yang sedang
dinaikki perempuan dan di sebelahnya ada seorang laki-laki,
masih dalam keadaan ngantuk, mabuk dan setengah tidak
sadar, laki-laki itu terus meloncat menyerang Joko Manggolo
sambil berteriak lantang, "Kurang ajar, mau kau bawa kemana
perempuan ini."
Joko Manggolo yang tidak mengira datangnya serangan itu, ia
terkena tendangan tepat di rusuk sebelah kanan, dan terjatuh
terjungkal. Terjadilah perkelahian sengit. Walaupun Joko
Manggolo kelihatan dapat menguasai keadaan, tetapi tiba-tiba
muncul lagi dua laki-laki yang berjalan dengan gontai,
mungkin masih setengah mabuk kemudian ikut menyerang
mengeroyok Joko Manggolo. Melihat perimbangan kekuatan
yang tidak sepadan ini. Tanpa diduga, perempuan yang
dibebasakan Joko Manggolo tadi yang temyata isteri Pak
Lurah, Endang Sri Sumilir yang telah duduk di atas kuda itu
dengan tangkas mencabut molek Joko Manggolo yang sudah
ditaruh di atas kuda itu tadi, dilemparkan kepada salah seorang
laki-laki setengah mabuk itu. "Blessss”, mengenai tepat di ulu
hati laki-laki perampok itu langsung terpelanting mengelepar
tidak bernyawa lagi.
Kedua kawanan perampok itu demi melihat salah seorang
kawannya itu telah terbunuh, mereka tidak sadar menghentikan
penyerangan terhadap Joko Manggolo dan menghampiri
mayat temannya itu. Kesempatan baik itu segera dimanfaatkan
Joko Manggolo dengan meloncat ke atas kudanya dan
memacunya kencang. Kuda itu segera melaju cepat ke arah
Dukuh Pupus Aren.
Melihat Joko Manggolo kabur dengan membawa perempuan
lainnya yang rupanya masih tergeletak tertidur di dalam pondok.
Mereka kemudian bangun ketika mendengar teriakan temannya
itu, tergopoh-gopoh keluar pondok mendatangi arah teriakan
teman- temannya.
“Seorang laki-laki berkuda telah membawa kabur itu. Dan si
Brenggolo mati terbunuh," teriak laki-laki yang sedang
merawat temannya yang terbunuh itu memberitahu kepada
ketiga laki-laki yang baru muncul itu.
“Kurang ajar, siapa laki-laki itu, berani-beraninya ikut campur
urusan orang lain. Aku akan beresi."
"Lalu, bagaimana kita sebaiknya."
"Kita bikin perhitungan lain waktu saja. Hari sudah akan pagi.
Tidak mungkin kita kembali menyerang ke Dukuh Pupus Aren.
Penduduk pasti sudah pada bangun. Berat kita melawan seluruh
penduduk," kata laki-laki yang kelihatannya sebagai pemimpin
mereka.
Ketika Joko Manggolo kembali memasuki Dukuh itu dengan
membawa isteri Pak Lurah yang pingsan dibopongnya, ia
dihadang oleh orang-orang kampung dengan senjata lengkap.
Mereka mengira Joko Manggolo yang menjadi pelaku peram-
pokan itu. Isteri Pak Lurah itu rupanya tidak bisa bicara karena
lemas dan masih meninggalkan trauma ketakutan, nampak
lunglai, lalu pingsan yang kemudian oleh Joko Manggolo
diserahkan kepada orang-orang yang berkerumun itu untuk
diangkut ke dalam rumah. Sementara itu Joko Manggolo harus
berhadapan dengan orang-orang kampung yang nampak
beringas melihat kedatangan orang asing, Joko Manggolo ini
Terjadilah perkelahian keroyokan.
Untunglah ketika berlangsung pertarungan sengit itu, Pak Lurah
yang sedang tidur sakit terkena ilmu tenaga dalam perampok
itu segera mendapat laporan dari Pak Catik mengenai pemuda
yang membawa isteri Pak Lurah itu.
“Hentikan pengeroyokan itu. Pemuda itu yang telah menolong
saya. Dia bukan perampoknya. Persilakan pemuda itu masuk
kemari, dan jamu dengan baik," perintah Pak Lurah seketika
sambil berdiri menahan sakit. Namun ia merasa gembira ketika
dilihatnya isterinya telah berada di kamarnya di situ juga di
sebelah tempat tidurnya, dengan ditunggui oleh tiga perempuan
baya yang dikenal sebagai ahli pengobatannya di dukuh Pupus
Aren mi. Walaupun perempuan itu masih belum siuman dari
pingsannya, Pak Lurah terlihat sangat gembira. Bungah. . Isteri
itu lalu dipeluknya erat-erat, memperlihatkan kasih sayangnya
yang mendalam sebaga: seorang suami yang baik.
Pak Cank serta-merta segera berlari keluar rumah Pak Lurah,
dan berteriak-teriak keras.
"Hentikan, hentikan perkelahian. Ini perintah Pak Lurah."
Seketika itu juga, orang-orang kampung yang sedang berjuang
keras menaklukkan Joko Manggolo itu menghentikan serangan
keroyokannya.
"Ada apa, Pak Carik," tanya salah seorang pemuda yang nampak
telah berlumuran darah pada tubuhnya, tetapi kelihatan masih
memperlihatkan semangatnya yang keras untuk meneruskan
perkelahian dengan Joko Manggolo, pemuda asing itu.
"Pemuda ini yang justeru menolong, Pak Lurah, dan Bu Lurah.”
"Hah, dia ini. Apa benar!.”
"Iya. Ini perintah, Pak Lurah. Pokoknya hentikan saja perkelahian
ini. Sekali lagi ini perintah Pak Lurah.”
Semua orang yang tadi habis bertarung seru itu tercenung.
Mereka memperhatikan Joko Manggolo yang nampak berdiri
tegap. Ia tidak mencabut senjata tajamnya sejak tadi. Jadi
orang-orang yang berlumuran darah itu lantaran terkena bacok
oleh senjata teman-temannya sendiri.
"Baik, kalau demikian. Mari konco-konco. Kita bubar," masih
teriak pemuda gagah itu.
“Marilah masuk, anak muda," kata Pak Carik sambil mendekati
Joko Manggolo, kemudian menyalaminya. Tak lama
kemudian diikuti oleh orang-orang yang lainnya, satu per satu
memberikan salam memperkenalkan diri termasuk pemuda
yang berlumuran darah itu.
"Maafkan, atas kekeliruan ini, anak muda," kata salah seorang
penduduk yang tadi juga ikut terlibat bertarung keroyokan itu.
Joko Manggolo hanya memberikan senyum penuh ketulusan.
"Maafkan saya juga bapak-bapak," kata Joko Manggolo
kemudian.
"Mari. Mari, anak muda ikuti aku masuk ke dalam," kata Pak
Carik kemudian. Tanpa banyak tanya, tangan Pak Carik itu
langsung menarik tangan Joko Manggolo. Mereka terus
berjalan memasuki rumah kelurahan diikuti oleh beberapa
yang lain, sisanya penduduk Dukuh Pupus Aren memenuhi
halaman rumah Pak Lurah sambil duduk-duduk berjaga-jaga
kalau ada serangan kembali dari gerombolan liar ttu. Sementara
itu kaum ibu-ibu, dan para anak perawannya memasak di dapur
ramah Pak Lurah untuk menjamu orang-orang kampung yang
berkumpul di halaman rumah itu.
" Aku sangat berterima kasih kepadamu anak muda," kata Pak
Lurah dihadapan Joko Manggolo yang sedang disuguh makan
dan minum di kamar tidur Pak Lurah itu. Kebetulan memang
Joko Manggolo sedari sore belum makan, oleh karena itu terasa
lapar sekali. Apalagi, tenaganya juga baru terpakai bertarung
menghadapi para perampok di hutan itu, kemudian menyusul
menghadapi penduduk Dukuh Pupus Aren yang salah paham
itu tadi. Oleh karena itu, ketika disediakan makan itu, begitu
dipersilakan segera disantapnya banyak-banyak. Dihabiskan.
Orang-orang kampung dan Pak Lurah yang melihat Joko
Manggolo bersantap dengan lahap itu hanya bisa tersenyum-
senyum geli.
Tiba-tiba terdengar rintihan kecil ternyata datangnya dari Bu
Lurah Endang Sri Sumilir, lalu katanya.
"Kangmas, anak kita si Senduk...”
"Hah, mana si senduk." Pak Lurah matanya terbelalak kaget.
Ia baru ingat sejak tadi tidak melihat si senduk putrinya itu.
"Ia dibawa kabur sama pimpinan perampok itu," kata Bu Lurah
kembali.
"Lho, kenapa tadi ibu tidak memberitahu saya," kata Joko
Manggolo juga ikut kaget. Dia tidak tahu kalau putri Pak Lurah
juga dibawa kabur.
"Kalau aku beritahu tadi, Dimas tidak mungkin menyelamatkan
aku. Kekuatan mereka berlipat ganda. Maka aku tidak tahan,
Ingat memikirkan nasib si Senduk, dan mungkin aku tadi terus
pingsan sejak di atas kuda itu."
"Ohhhh....” Pak Lurah dan Joko Manggolo dan para peggede
kelurahan lainnya seperti memaklumi keadaan yang rumit
ini.
"Baiklah kalau demikian," kata Pak Lurah, "Sekarang, Pak
Carik dan Pak Jogoboyo. Bersiaplah kalian semua, pagi-pagi
buta, kita berangkat mengejar mereka. Bawa orang-orang
andalan kita." Kata Pak Lurah kemudian.
Joko Manggolo hanya termangu-mangu, merasa pekerjaannya
menyelamatkan keluarga Pak Lurah ini tidak tuntas benar. Ia
benar-benar tidak tahu kalau yang dibawa lari itu termasuk
putri Pak Lurah.
"Kenapa Pak Lurah tadi tidak pesan kalau putri Bapak juga
dibawa kabur," kata Joko Manggolo kemudian.
"Aku sendiri juga tidak tahu kejadian berikutnya, Anakmas.
Aku juga tidak ingat lagi sampai tadi anakmas menolongku,
baru aku tersadar. Lupa tidak memberitahu anakmas kalau
putriku Senduk juga dibawa jari mereka."
Suasana menjadi hening. Terdiam semua. Nampak mereka
sedang berpikir, ana yang akan bisa mereka perbuat untuk
menyelamatkan si Senduk Gianti Gayatri, putri tunggal Pak
Lurah kepala Dukuh Pupus Aren ini.
6
PEMBEBASAN SI SENDUK
Pagi hari, rombongan Pak Lurah Mangunprayogo beserta
para pamong dengan bersenjata lengkap mengendarai
kuda, nampak mereka beriringan telah berangkat meninggalkan
Dukuh Pupus Aren. Rombongan ini mengikuti petunjuk Joko
Manggolo, menelusuri jejak larinya perampok tadi malam
yang masih membawa si Senduk Gianti Gayatri, putri tunggal
Pak Lurah, menuju ke arah tenggara.
Karena Joko Manggolo semalam yang mengetahui persem
bunyian perampok itu di tengah hutan, sebuah gubug kecil
digunakan untuk mengikat Bu Lurah Endang Sri Sunulir
maka rombongan Pak Lurah ini pertama kahi yang dituju ke
arah gubug itu.
Tidak berapa lama rombongan Pak Lurah telah sampai di
tengah hutan. Menemukan gubug itu. Dengan kewaspadaan
tinggi mereka memeriksa tempat sekeliling gubug, dan
kemudian memeriksa ke dalamnya. Nampak kosong telah
ditinggalkan penghuninya. Di sana-sini masih terlihat bekas
minuman arak, suasananya porak-poranda. Di halaman rumah
itu ditemukan dua buah kuburan yang nampak masih baru.
Kedua orang perampok itu yang tadi malam berhasii dibunuh
oleh Joko Manggolo, dan satunya terkena lemparan motek
yang dilakukan oleh Bu Lurah Endang Sri Sumilir, kuburan
kedua perampok itu yang berada di halaman rumah gubup
tengah hutan ini nampak seperti baru dikubur dengan terburu-
buru.
Rombongan Pak Lurah kemudian menemukan ceceran darah
segar yang nampak terus meninggalkan tempat di sekitar
gubug ini. Atas petunjuk ceceran darah ini, mereka sepakat
untuk menelusuri kemana berhentinya cucuran darah itu yang
diperkirakan orangnya sedang luka terkena bacok motek Joko
Manggolo tadi malam. Tempat ini kemudian ditinggalkan
Sudah beberapa lama berjalan menelusuri jalan setapak di
pinggiran hutan, masih terlihat cucuran darah terus menetes di
atas permukaan tanah kering. Rupanya orang-orang yang
terluka itu terus pergi membelok ke arah timur. Nampak
mereka tidak ada berhentinya terus berjalan. Kelihatan orang-
orang yang terluka itu terburu-buru dibawa lari oleh teman-
temannya, rupanya takut keburu mati kehabisan darah.
Ketika, kemudian cucuran darah itu berhenti di tepi sungai.
jejak. Akhirnya semua dikerahkan untuk memeriksa di
seberang sungai, barangkali orang-orang yang terluka itu
menyeberang sungai dan pergi lagi meninggalkan sungai di
seberang sananya. Agak lama juga mereka meneliti menelusuri
jejak itu. Namun, kemudian berhasil ditemukan kembali jejak
cucuran darah itu agak jauh di sana. Rombongan Pak Lurah ini,
kemudian meneruskan perjalanan mengikuti cucuran darah itu
lagi ke arah timur.
Tengah hari baru sampa di Dukuh Sumoroto. Rupanya orang-
orang yang terluka itu memasuki Dukuh Sumoroto ini pada
hari hampir pagi. Setelah diikuti terus, cucuran darah itu mem-
belok ke sebuah rumah antik di pinggir dukuh itu.
"Berhenti," kata Pak Lurah memberi aba-aba kepada rombongannya
"Bagaimana, Pak Lurah. Apakah kita akan memasuki rumah
itu," tanya Pak Jogoboyonya, orang kepercayaan Pak Lurah
yang dapat diandalkan kesaktiannya.
"Sebentar kita atur siasat."
"Ini rumah siapa, Pak Lurah," tanya Joko Manggolo.
"Rumah Pak Dukun Mantri Jopomontro. Rupanya perampok-
perampok yang luka itu dibawa berobat kemari."
Mendengar sebutan Pak Dukun Jopomontro itu, /amat-lamat
Joko Manggolo teringat sewaktu masih kecil, katanya ayahnya
Pak Kartosentono dulu meninggal di rumah ini ketika pulang
dari pesta di kadipaten. Tapi waktu itu ia tidak tahu persis
kejadian yang sebenarnya menimpa ayahandanya, karena
masih bocah dan hanya dengar dari pembicaraan antara ibunya
dengan para orang tua di kampungnya dulu di Bubadan itu.
"Sebaiknya, kamu saja yang masuk, Brotojoyo.” kata Pak
Lurah kepada seorang pengawalaya yang dipanggil Brotojoyo
itu. "Kamu kelihatannya belum dikenal oleh mereka. Coba
selidiki, apakah ada orang-orang yang terluka itu di dalam
rumah itu. Kalau bisa bisiki Pak Dukun Jopomontro, mintakan
keterangan. Katakan dari aku," perintah Pak lurah.
"Sendika, Pak Lurah," jawab Brotojoyo dan terus memacu
kudanya dengan tegar memasuki halaman rumah antik itu.
Tidak berapa tama dari kejauhan terlihat Brotojoyo itu sudah
menghilang dipersilakan masuk ke rumah itu oleh Pak Dukun
Jopomontro. Sementara itu, Pak Lurah memerintahkan kepada
semua anak buahnya berpencar mengepung rumah antik itu.
Pak Lurah dan Joko Manggolo, matanya seperti tidak pernah
berkedit, terus-menerus mengawasi pintu masuk rumah antik
itu. Tidak berapa lama kemudian, orang yang dipanggil Brotojoyo
itu, nampak keluar kembali dan terus menaiki kudanya.
"Sutt, bagaimana," tanya Pak Lurah menghentikan kuda
Brotojoyo dari sembunyiannya di balik semak-semak pinggir
jalan itu. Brotojoyo menoleh ke kiri kanan mencari datangnya
suara Pak Lurah itu.
“Pak, mereka ada di dalam," kata Brotojoyo itu sambil turun
dari kudanya ikut sembunyi di balik semak itu.
"Berapa orang jumlah mereka."
"Dua orang terluka, nampaknya ia terkena warangan senjata
motek Kangmas Joko Manggolo. Tapi yang celaka, putri Bapak
juga ada di sana tidak sadarkan diri. Kata Pak Dukun, putri
bapak bisa ditolong tetapi kelihatannya jiwanya sangat
terpukul dan terus pingsan-pingsan. Para perampok lainnya,
tadi malam begitu menaruh teman-temannya yang luka
bersama putri Bapak “Mungkin mereka mengira putri Bapak
sudah meninggal, maka dibiarkan begitu saja di sana. Lalu,
mereka segera bergegas pergi. Begitu keterangan Pak Dukun
Jopomontro tadi."
"Bagus, sekarang kamu kembali lagi ke sana. Memberitahu
kepada Pak Dukun. Kami akan menyerang mereka dari
belakang rumah Pak Dukun dan mau meringkus orang-orang
yang luka itu, untuk membebaskan si Senduk."
"Siap, Pak." Brotojoyo kemudian dengan gesit menaiki
kudanya kembali menuju ke rumah Pak Dukun Jopomontro itu.
Sementara itu rombongan Pak Lurah yang terpencar itu segera
diberi kode aba-aba untuk bergerak maju. Tapi, tidak berapa
lama terlihat dari pintu depan rumah Pak Dukun Jopomontro,
Brotojoyo yang tadi diutus Pak Lurah itu tiba-tiba terpental dari
pintu depan rumah, Brakkkk suara keras, Brotojoyo jatuh ke
belakang berguling-guling. Kemudian tidak lama muncul dua
orang laki-laki, walaupun nampak badan mereka masih dilulur
dengan ramu-ramuan penahan luka, tetapi mereka terus menyerang
Brotojoyo. Mereka rupanya mengenali siapa Brotojoyo itu.
tadi ketika pertama kali Brotojoyo datang mereka masih
tertidur. Kemudian terbangun sewaktu terdengar ada suara
Orang pergi meninggalkan rumah Pak Dukun Jopomontro itu,
dan kedua laki-laki itu sempat melihat muka Brotojoyo. Kedua
laki-laki itu rupanya dulu pemah menjadi pembantu Pak Lurah,
sudah agak lama memang, mereka meninggalkan Dukuh
Pupus Aren karena sakit hati terhadap Pak Lurah, oleh karena
itu mereka sangat mengenal orang-orang dekat Pak Lurah
termasuk Brotojoyo ini
Setelah terjatuh terpental ke belakang berguling, Brotojovo
segera berusaha tegak berdiri dan membangun kedudukan
kuda- kudanya melakukan sikap "pasang" untuk menghadapi
segala kemungkinan serangan dari kedua perampok yang
sebenarnya masih terluka dengan tubuh berwarna kuning-kuning
bekas polesan lulur ramuan. Kedua perampok itu rupanya
merupakan laki-laki yang tangguh juga dengan sekali membuka
serangan telah membuat kewalahan Brotojoyo yang berusaha
mempersiapkan jurus-jurus hindaran, dengan cara meliuk ke
kiri ke kanan, dan beberapa kali membuka serangan balasan,
tapi tidak ada satu pun serangan yang dilemparkan Brotojoyo
mengenai sasarannya. Sehingga beberapa kali ia nampak
kehilangan keseimbangannya lantaran menerjang angin
kosong di ruang hindaran kedua perampok itu.
Pak Lurah beserta beberapa pengawalnya telah berhasil
memasuki rumah antik itu dan mendapatkan Pak Dukun Mantri
Jopomoniro, segera dibawa ke ruang tengah untuk menemui
putrinya Si Senduk Gianti Gayatri. Begitu dilihat putrinya yang
masih dirawat tertidur di atas amben tengah itu, langsung Pak
Lurah bersimpuh dan memeluk putrinya itu. Beberapa saat
kemudian, putrinya itu membuka matanya.
"Bap...bapak...," kata Senduk (nanti Gayatri, putri Pak Lurah
itu. Kedua orang, bapak dan putrinya itu berpelukan erat.
"Nduk, duh nasibmu, Nduk. Sabar. Sing sabar, Nduk" kata Pak
Lurah dengan air matanya yang tiba-tiba meleleh di pipinya.
Sementara itu kedua pengawal Pak Lurah itu terus berjaga-jaga
sambil memeriksa ruangan sekeliling bersama Pak Dukun
Mantri Jopomontro.
“Tadi kedua laki-laki itu menyimpan senjata mereka di sini.
Tapi sekarang tidak ada. Apakah, mereka telah ambil untuk
digunakan berkelahi diluar itu, atau telah dipindahkan ke tempat
lain, saya kurang tahu lagi Angger," kata Pak Dukum Mantri
Jopomontro.
Sementara itu pertarungan sengit antara Brotojoyo dengan
kedua perampok itu masih terus berlangsung seru. Beberapa
kali Brotojoyo, terjungkal terkena tendangan maut kedua
perampok yang mengeroyoknya itu. Untung kemudian, Joko
Manggolo dan Pak Jogoboyo segera datang membantu Brotojoyo
yang sudah babak belur dihajar kedua perampok itu. Melihat
datang bantuan, apalagi yang datang Joko Manggolo yang tadi
malam sudah dikenal kehandalan ilmu kanuragannya, kedua
perampok itu nampak bersiap untuk melarikan diri. Tapi
sebelum niat melarikan diri itu terlaksana, Joko Manggolo dan
Pak Jogoboyo yang telah menyebar di samping kiri dan ke
kanan berhasil mengurung kedudukan kedua perampok itu,
sehingga mereka sulit melarikan diri terkecuali terpaksa harus
melawannya.
Pertarungan itu dengan mudah dikendalikan oleh Joko Manggolo
dan Pak Jogoboyo. Sementara itu beberapa pengawal Pak
Lurah pun telah tiba berada di pelataran rumah antik Pak
Dukun Mantri Jopomontro itu, segera mengalang mengepung
mereka berdua. Dalam kondisi yang masih luka itu, walaupun
kedua perampok itu berusaha memberikan perlawanan sejadinya,
namun tidak mampu mengimbangi kekuatan Joko Manggolo,
Pak Jogoboyo, dan beberapa pengawal Pak Lurah itu.
Akhirnya, kedua perampok itu dapat diringkus setelah dihajar
habis-habisan oleh Pak Jogoboyo dan Joko Manggolo
berbarengan. Kemudian mereka diikat kedua tangnnya, dan
digiring dengan dikawal oleh para pengawal Pak Lurah dibawa
beriringan pulang ke Dukuh Pupus Aren.
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Pak Dukun Mantri
Jopomontro, Pak Lurah beserta rombongan, dengan membawa
serta putrinya si Senduk Giant Gayatri yang masih lemah itu,
langsung kembali ke kampungnya, Dukuh Pupus Aren.
Bu Endang Sri Sumilir, isteri Pak Lurah begitu bungah gembira,
begitu melihat kedatangan suaminya, Pak Lurah telah berhasil
membawa kembali putri tunggalnya si Senduk Gianti Gayatri
yang walaupun masih lemah kondisiya, tetapi telah kembali
selamat ke rumahnya.
Pak Lurah segera memerintahkan kepada para pembantunya
untuk menyiapkan upacara selamatan ala kadamya. Hidangan
berbagai jenis masakan khas kampung Dukuh Pupus Aren
disuguhkan kepada para tamu yang hadir di pendopo kelurahan
itu. Dihadapan para warga kampung, Pak Lurah memanjatkan
doa dan mengucapkan terima kasih kepada warga atas segala
bantuannya menjaga kembali ketenteraman Dukuh Pupus
Aren, yang berada di daerah perbukitan ini. Tidak lupa kepada
Joko Manggolo, tamu asing yang telah membantu menun-
taskan masalah di kampung ini, berkali-kali Pak Lurah
memberikan pujiannya dan ucapan terima kasih. Tapi,
rupanya masih ada masalah besar, belum tertangkapnya
biang keladi perusuh yang sampai hari ini belum tahu di mana
keberadaannya, yaitu pemimpin perampok yang bernama Brojol
Mangun yang terkenal memiliki ilmu ajian Sampur Ungu dan
Lembur Sumyur itu. Masih menimbulkan kengerian penduduk
apabila mereka membalas dendam dan datang kembali
menyerang untuk membebaskan kedua anak buahnya yang
disekap di dukuh ini.
"Apabila dipercaya, hamba akan usahakan untuk mencari dan
menangkap biang keladi kerusuhan si Brojol Mangun yang
terkenal itu. Pak Lurah," kata Joko Manggolo, "Bila hamba
berhasil menangkapnya, akan hamba segera bawa kemari untuk
hamba persembahkan kepada Pak Lurah dan warga di Dukuh
Pupus Aren di sim agar bisa mengadilinya."
“Bagus. Bagus sekali, ananda Manggolo. Aku sangat berterima
kasih kepada ananda Manggolo," kata Pak Lurah nampak
mukanya berseri-seri.
Bu Lurah menyodok pelan lengan Pak Lurah yang duduk di
sampingnya itu, Mereka berdua kelihatan berbisik-bisik. Apa
yang mereka bisikkan itu tidak terdengar yang hadir. Namun
apa yang dibisikkan kedua orang itu dapat ditangkap oleh
indera pendengaran Joko Manggolo yang telah membaca
jampi-jampi mantera, ilmu kedalaman bathin sehingga indera
pendengaran menjadi sangat peka, menjadi tajam mendengarkan
suara jarak jauh.
"Kangmas, sebaiknya, Anakmas Manggolo kita jodohkan saja
dengan si Senduk," kata Bu Lurah.
"Hah, bagaimana aku harus katakan. Nanti saja di dalam,
jangan di depan umum begini," kata Pak Lurah.
"Tidak mengapa, Kangmas: Biar semua warga kita tahu, dan
ikut mendengarkan. Mereka tentu akan mendukung usulan kita
ini sebagai i tanda terima kasih."
“Tidak baik Diajeng. Nanti saja kita rembug lagi di dalam."
“Ya, terserah, Kangmas saja."
Mendengar dari suara bathin percakapan kedua orang, Pak
Lurah dan Bu Lurah itu, Joko Manggolo hanya tersenyum-simpu!
di dalam hati.
"Pak Lurah dan Bu Lurah, karena Dukuh kita ini telah kembali
tenang. Perkenankanlah, hamba mohon pamit untuk
meneruskan perjalanan hamba sambil mencari tahu
keberadaan pemimpin gerombolan perampok itu, Si Brojol
Mangun," kata Joko Manggolo kemudian.
Pak Lurah dan Bu Lurah, jadi terperanjat, terbengong begitu
mendengar ucapan mohon pamit Joko Manggolo yang tidak
disangka-sangka itu.
"Seb...sebentar, anakmas Manggolo," kata Bu Lurah, "Apakah
tidak sebaiknya, anakmas Manggolo beristirahat dahulu,
barang satu minggu atau satu bulan di kampung sini."
“Terima kasih, Bu Lurah. Pada saatnya nanti hamba akan
kembali ke Dukuh Pupus Aren yang menawan ini, Bu Lurah.
Sekarang, sudah saatnya hamba harus pergi. Dan kepada bapak-
bapak dan ibu-ibu yang hadir, kami memohon maaf apabila
kehadiran hamba selama di sini membuat kesalahan dan
merepotkan semuanya."
"Ach, tidak merepotkan," kata seorang ibu yang duduk di
depan.
"Kita semua senang atas kehadiran, Kangmas Manggolo di
kampung kami," kata seorang pemuda tegap yang duduk di
belakang. Dan sambutan pun menjadi meriah. Semua meng-
harapkan Joko Manggolo bisa tinggal lebih lama lagi di sini
Namun, kemudian, Joko Manggolo tiba-tiba maju ke depan
sungkem di pangkuan Pak Lurah dan Bu Lurah untuk mohon
pamit, juga menyalami si Senduk Gianti Gayain, putri tunggal
Pak Lurah yang mukanya kelihatan masih pucat pasi itu, tapi
tetap berusaha tersenyum manis kepada Joko Manggolo sang
penolong itu.
"Mohon maaf bapak-bapak, ibu-ibu, kangmas-kangmas.
mbakyu-mbakyu kami mohon pamit, dan akan kami usahakan
untuk menangkap orang-orang yang telah membuat kerusuhan
di Dukuh Pupus Aren ini. Sekali lagi mohon maaf dan mohon
pamit."
Maka, Joko Manggolo kemudian pergi meninggalkan Dukuh
Pupus Aren itu untuk meneruskan perjalanan selanjutnya.
Mencari pemimpin perampok si Brojol Mangun yang
membuat kerusuhan di Dukuh Pupus Aren yang semula
merupakan perkampungan yang tenang ini. Ia terus berjalan,
berkelana tanpa tahu kapan ia harus menghentikan perjalanannya
BERSAMBUNG
Emoticon