1
BERGURU DI LODAYA
SORE hari hampir senja, Warok Wulunggeni baru sampai di
perguruan Padepokan Lodaya yang terletak di dekat paritai laut
pasir berterbangan menandakan sebentar lagi akan turun hujan
lebat.
Pemimpin begal yang dikenal bernama Tanggorwereng
gama rombongannya itu bertindak sebagai penunjuk jalan bagi
Warok Wulunggeni. Mereka hanya mengantarkan sampai ha-
laman pintu gerbang paling depan. Itu pun ia hanya memper-
hatikan dari kejauhan sambil berlindung di balik semak-semak
yang rimbun agar tidak ketahuan kedatangannya oleh Eyang
Guru Lodaya.
Tanggorwereng takut ketahuan oleh Guru Lodaya yang se-
benarnya masih terhitung sebagai Eyangnya sendiri. Ia tidak
mau masuk ke dalam gapura yang terukir indah agak berlu-
mutan kehijauan itu lantaran takut kena amarah eyangnya,
karena dulu ia pernah kabur dari Pedepokan Lodaya itu.
Setelah memberikan salam perpisahan kepada Warok Wu-
lunggeni, Tanggorwereng dan anak buahnya segera beranjak
dari tempat itu kembali ke hutan untuk menjalankan pekerjaan
sehari-harinya sebagai begal.
Dua orang pemuda yang berpakaian serba hitam menyong-
song kedatangan Warok Wulunggeni yang juga berpakaian
serba hitam itu. Hanya mereka itu memiliki ciri-ciri yang
berbeda. Pakaian hitam orang Ponorogo dan pakaian hitam
orang Blitar selatan itu tidak sama. Mereka masing-masing
memiliki filosofis sendiri-sendiri disesuaikan menurut
kegunaannya, dan demi membantu kelancaran kegiatan
hidup sehari-harinya.
Pakaian khas Warok Ponorogo seperti halnya yang digu-
nakan oleh Warok Wulunggeni itu berwarna hitam legam,
celana longgar sebatas lutut dengan ikat pinggang besar serta
kolor putih 'nglewer' sebesar lengan yang memakainya,
dilengkapi pakaian baju penadon, ikat kepala yang disebut
'udeng', sebilah pedang pendek yang disebut ' motek? terselip
diikat pinggangnya.
“Bapak hendak bertemu siapa,” sapa salah seorang pemuda
yang berpakaian serba hitam itu dengan sopan-santun,
menerima kedatangan Warok Wulunggeni ketika ia telah
berada di halaman pekarangan komplek perguruan Padepokan
Lodaya itu.
"Boleh aku bertemu dengan Eyang Guru Lodaya,"
“Bapak bernama siapa, dan dari mana asalnya ?".
"Namaku Wulunggeni. Asal dari Ponorogo."
“Kalau boleh tahu. Ada keperluan apa, kok sampai jauh-jauh
begin datang ke Padepokan Lodaya ini."
“Saya ingin berguru kepada'Eyang Lodaya."
“Sebaiknya Bapak silahkan tunggu di ruang sebelah sentong
kiri sana. Kami akan haturkan terlebih dahulu kepada Eyang
Guru."
"Baik, terima kasih."
Kedua pemuda yang berpembawaan sangat santun itu ke-
mudian memasuki pintu besar berwarna hitam pekat, nampak
berwibawa. Sementara itu Warok Wulunggeni duduk
menunggu di tempat yang ditunjukkan oleh kedua pemuda
tadi. Tidak berapa lama kemudian kedua pemuda itu kembali
lagi menemui Warok Wulunggeni.
"Bapak dipersilahkan masuk, ditunggu Eyang Guru di ruang
tengah,"
"Terima kasih."
Kemudian, Warok Wulunggeni dengan dikawal oleh kedua
pemuda tegap tadi, memasuki rumah utama yang terdiri dari
bangunan besar terbuat dari kayu jati yang nampak kokoh.
Setelah melalui lorong yang bercahaya remang-remang, lalu
memasuki sebuah pintu besar dari kayu jati yang nampak
kokoh, kemudian di dalamnya terhampar ruangan yang berbau
dupa menyengat. Di tengah-tengah terdapat sebuah kursi besar
dan seorang tua berambut panjang yang terikat oleh kain hitam
sedang duduk dengan sikap tenang di situ. Laki- laki tua itu
menyambut kedatangan Warok Wulunggeni ity dengan
senyuman ramah kebapakan.
"Silahkan duduk orang jauh," kata orang tua itu mem-
persilahkan Warok Wulunggeni untuk mengambil tem-
pat duduk dihadapannya.
Warok Wulunggeni kemudian hanya bisa menyembah lalu
mengambil tempat duduk di hamparan tikar mendong yang
kelihatan bersih terpelihara. Ia duduk di tengah diapit oleh
kedua pemuda yang mengantarkan tadi.
Dihadapan Guru Lodaya, Warok Wulunggeni merasa dirinya
menjadi kecil. Mungkin kalah wibawa dengan guru yang kaya
akan ilmu kedigdayaan itu.
"Siapa namamu, Dimas," tanya Guru Lodaya memecahkan
kesunyian.
"Nama hamba, Wulunggeni, Eyang Guru".
"Nama yang bagus. Lalu, dari mana asalmu, Dimas Wulung,"
tanya Guru Lodaya itu lagi. Walaupun sebenarnya Guru Lo-
daya itu sudah tahu nama dan asal-usul Warok Wulunggeni itu,
tetapi untuk pembuka pembicaraan ditanyakan kembali jati diri
Warok Wulunggeni itu.
"Hamba datang dari Ponorogo, Eyang Guru."
“Ponorogo. Wah, ini aku tidak suka sama sekali terhadap
orang- orang Ponorogo. Sangat tidak aku sukai," kata Guru
Lodaya itu sambil manggut-manggut. Tampak pada raut
mukanya yang tiba-tiba berubah menjadi bengis. Warok Wu-
lunggeni hanya terdiam menunduk dengan takjim, tidak tahu
harus bilang apa.
"Engkau masih turun raja atau berasal dari rakyat jelata," lanjut
Guru Lodaya itu kemudian.
"Hamba dari rakyat biasa, Eyang Guru."
"Rakyat biasa. Bagus. Syukurlah. Kalau engkau masih turun
raja, sekarang juga aku usir engkau dari hadapanku ini. Untung
saja engkau datang dari rakyat biasa. Jadi aku masih menaruh
setitik simpati kepadamu. Engkau tahu, Dimas Wulung. Apa
sebabnya demikian."
"Tidak tahu Eyang Guru."
"Beberapa puluh tahun yang lalu, muridku yang menjadi raja
di Kerajaan Lodaya bergelar Prabu Singobarong itu, telah
dibuat malu oleh rajamu si Kelana Swandana itu. Masak, raja
disuruh menari- nari dengan dicengkerami burung merak, di-
ikuti tetabuhan macam- macam untuk hadiah hiburan calon
permaisurinya putri Doho: Kediri, Dewisri Sanggalangit itu.
Aku tidak terima perlakuan Raja Swandana dari kerajaan
Bantaran Angin Ponorogo itu. Maka sejak itu aku putuskan
untuk tidak menyukai turun raja Ponorogo itu. Kalau kebetulan
kamu berasal dari rakyat biasa, sebagai turun rakyat jelata.
Nah, orang semacam engkau ini yang malahan aku cari. Aku
ingin sekali mempunyai ikatan hubungan dengan rakyat
Ponorogo seperti engkau ini Dimas Wulung. Tetapi bukan
menjalin ikatan hubungan dengan turun raja Ponorogo.
Sama sekali aku tidak sudi. Áku tidak mau mempunyai
urusan dengan turun raja Ponorogo. Itulah semua latar be-
lakangnya, Dimas Wulung."
Suasana menjadi hening sejenak. Guru Lodaya itu batuk-batuk
kecil menandakan usianya yang telah lanjut dengan rambutnya
yang memutih semua sepanjang bahu yang terikat rapi.
"Lalu, apa perlumu datang kemari jauh-jauh, Dimas Wu-
lung."
"Hamba ingin 'ngangsu kaweruh”. Ingin menimba ilmu dari
Eyang Guru untuk bekal kelanggengan hidup."
"Ilmu itu ‘angel le nemu”. Maka harus diupayakan dengan
mati- matian untuk memperolehnya. Ilmu apa yang akan
engkau cari, Dimas Wulung."
"Ilmu kedalaman bathin, dan ketangguhan ilmu kanuragan,
Eyang Guru."
"Bagus. Bagus sekali. Semua ilmu yang Dimas cari itu, me-
mang gudangnya ada di sini. Di perguruan Pedepokan Lodaya
ini." kata Eyang Guru Lodaya itu agak membanggakan diri
dihadapan orang Ponorogo itu. Ia nampak senang, ada orang
Ponorogo yang mau menuntut ilmu kadigdayanan kepadanya.
Selama ini daerah Ponorogo juga sangat termashur namanya
sebagai gudangnya ilmu kanuragan, ilmu kedigdayanan, dan
gudangnya ilmu kedalaman bathin, tetapi toh masih ada orang
tangguh seperti Warok Wulunggeni ini yang mau menjelajahi
perguruan-perguruan keilmuan di mana pun saja beradanya.
“Tidak salah lagi, Dimas Wulung. Sangat tepat kalau Dimas
Wulung bersedia jauh-jauh datang kemari untuk keperluan
memperdalam ilmu-ilmu penjaga kehidupan itu. Tetapi aku
musti uji dahulu kemampuan dasarmu. Apakah engkau harus
nya. Apakah engkau sanggup mengikuti petunjuk-petunjukku,
Dimas Wulung. Terutama engkau harus terlebih dahulu
mengucapkan sumpah kebaktian untuk tidak sembarangan
menggunakan ilmu-ilmu barumu yang akan engkau terima.
Engkau dapatkan dari perguruan Padepokan Lodaya ini.
Apakah engkau akan sanggup memenuhi segala yang aku
syaratkan ini, Dimas Wulung."
"Atas seijin Eyang Guru. Hamba sanggup memenuhi segala
hal yang dipersyaratkan, Eyang Guru. Dan hamba meng-
haturkan sembah bhakti. Demikian juga hamba bersedia
mengangkat sumpah untuk memegang janji-janji terhadap
segala yang Eyang Guru tetapkan."
"Bagus. Bagus sekali. Aku senang atas keteguhan sikapmu.
Engkau nampaknya orang yang memang suka belajar dan
pemburu ilmu. Aku senang bertemu orang seperti Dimas Wu-
lung ini. Orang yang aku cari. Ini baru namanya orang
Ponorogo yang memiliki keuletan hati. Mempunyai ketegaran
tekad yang kuat. Aku suka semuanya ini. Nah. untuk semen-
tara, karena Dimas Wulung baru datang dari perjalanan jauh,
demikian juga hari telah malam, maka sebaiknya hari ini
engkau pergunbakan untuk istirahat dahulu. Esuk hari, pagi-
pagi ketika ayam jantan berkokok engkau harus sudah bersiap
din di sini, Sekarang engkau akan diantar cantrikku ke tempat
peristirahatan di sebelah kidul sungai di belakang bangunan
rumah bambu di sebelah sana itu. Dimas Wulung dapat gu-
nakan untuk pemondokan selama tinggal di padepokan ini."
"Matur nuwun. Terima kasih. Eyang Guru.”
"Cantrik, antarkan tamu baru kita ini ke tempat peristirahatan
kidul sungai sana."
"Siap menjalankan dawuh Eyang Guru," jawab kedua cantrik
yang masih muda-muda itu hampir berbarengan.
Tidak berapa lama, nampak Warok Wulunggeni dengan
diiringi oleh kedua pemuda yang berpenampilan tegap-
tegap itu keluar dari rumah besar tempat kediaman Eyang
Guru Lodaya yang terkenal sakti mandraguna itu. Mereka
menuju ke arah selatan ke tempat pemondokan yang diperun-
tukkan khusus bagi Warok Wulunggeni, sebagai murid baru
Eyang Guru Lodaya pada hari itu.
Tempat pemondokan yang terbuat dari kayu dan bambu.
Warok Wulunggeni mendapat tempat tersendiri terpisah dari
tempat para murid yang lain. Letaknya pun agak berjauhan dari
murid-murid yang lain, terkesan merupakan tempat pemon-
dokan yang sengaja dibuat menyendiri. Di dekat pemondokan
itu mengalir air sungai yang terus menuju ke muara laut kidul.
Bunga-teratai banyak mengapung di kolam ikan di sebelah
belakang rumah pemondokan Warok Wulunggeni itu. Suara
kodok bersautan seakan-akan menyambut kedatangan tamu
baru dari Ponorogo yang sengaja di tempatkan di tempat yang
sunyi, gelap gulita hanya diterangi oleh lampu obor yang di
pasang di tiang kayu depan rumah pondokan itu. Di dalam
ruangan hanya diterangi oleh lampu minyak kelapa yang
menyala cukup sempurna.
Sesampai di rumah pemondokan itu Warok Wulunggeni
segera diperkenalkan tempat-tempat, baik itu kolam mandi dan
air pancuran alam, kamar dengan tempat tidur dari bambu yang
berbantal kayu balok, dan lain sebagainya. Setelah Warok
Wulunggeni mandi dan berganti pakaian khas pakaian pergu-
ruan Padepokan Lodaya yang disiapkan oleh para cantrik itu,
sekembali dari mandi ke ruang tengah pemondokan itu, ia
dikagetkan ternyata telah disediakan makanan dalam tampah
oleh para cantrik tadi. Nasi putih hangat, 'jangan bobor',
"kulupan', ikan laut, dan "kendi? untuk minum. Dalam keadaan
lapar berat, Warok Wulunggeni segera bersantap sendirian.
Setelah itu ia membersihkan segala bekas tempat makannya.
Kemudian ia bersemedi beberapa saat, dan terus mengambil
tempat tidur untuk mempersiapkan diri menerima pelajaran
esuk hari.
2
PENDADARAN KEILMUAN
PAGI hari sebelum ayam jantan berkokok, Warok Wulunggeni
telah bersiap diri di ruang khusus yang kemarin sore diperin-
tahkan oleh Eyang Guru Lodaya untuk datang kembali ke
tempat itu.
"Dimas Wulung, bersiaplah. Aku akan menguji kemampuan
dasar ilmu kanuraganmu," suara Eyang Guru Lodaya tiba-tiba
muncul dari balik pintu besar yang berwarna hitam pekat itu
siap dengan pakaian berlaga hitam pekat dengan ikat kepala
yang tertata apik nampak teguh.
Kemudian, tanpa banyak tanya lagi Warok Wulunggeni begitu
melihat kesiapan Guru Lodaya itu, maka ia pun segera mem-
persiapkan diri seperti yang diperintahkan oleh Guru Lodaya
itu. Warok Wulunggeni kemudian -memasang kuda-
kudanya. Menyiagakan kewaspadaan seluruh inderanya.
Konsentrasinya pun terus-menerus dikembangkan. Ia kini
dalam keadaan yang siap siaga segalanya.
Seterusnya, nampak bahwa Eyang Guru Lodaya yang juga
sejak tadi telah bersiap diri dengan pakaian hitam kelamnya
itu, tidak banyak bicara lagi, tiba-tiba ia menyerang menerjang
pertahanan Warok Wulunggeni. Dengan cepat Eyang Guru
Lodaya itu berloncat- loncat kian-kemari, gerakannya seperti
muncul dari berbagai jurusan yang berkebat sangat cepat ham-
pir sulit ditangkap oleh indera penglihatan Warok Wulung-
geni. Bayangan hitam yang melingkar-lingkar di udara itu
seperti siap sewaktu-waktu menerkam tubuh Warok Wulung-
geni yang juga terus bergerak cepat mempertahankan diri di
ruas tengah putaran kedudukan kuda- kudanya. Perubahan
kedudukan masing-masing sangat bergeser. Sangat dibu-
tuhkan kemampuan untuk menangkap tiap kali perubahan
gerakan yang dikembangkan oleh pihak lawan. Apabila salah
satu di antara mereka itu ada kurang cermat melakukan gerak
perubahan, maka niscaya sudah dapat diperkirakan akan
terkena sambaran terjangan jurus serangan lawannya.
Melihat situasi serangan-serangan maut yang dilancarkan oleh
Eyang Guru Lodaya yang sedemikian rupa itu, Warok Wu-
lunggeni segera memasang jurus-jurus sapu bersih, baik per-
tahanan bawah, tengah, maupun atas. Cara demikian
diterapkan dengan harapan agar ia dapat terhindar dari
serangan yang bertubi-tubi datang dari Eyang Guru Lodaya
yang sangat kaya variasi gerak dan berpengalaman bertanding
itu. Dengan menerapkan jurus sapu bersih itu Warok Wulung-
geni agak tertolong posisinya. Sehingga nampaknya, belum
ada satu serangan pun yang dilancarkan oleh Eyang Guru
Lodaya itu yang dapat mengenai sasaran. Tidak ada satu
serangan pun yang dapat mengenai tubuh Warok Wulung-
geni yang gagah perkasa itu.
Melihat kecekatan gerak Warok Wulunggeni itu, Eyang Guru
Lodaya itu kemudian nampak mundur surut beberapa langkah,
dan terlihat pada mulutnya sedang bergerak komat-kamit entah
mantra apa yang sedang dibacanya. Kemudian, tidak berapa
lama, terlihat pada tangan-tangan Eyang Guru Lodaya itu
berubah kulit. Pada wajah raut mukanya mulai terlihat ditum-
buhi oleh munculnya banyak bulu- bulu yang dengan cepat
merata ke seluruh tubuhnya. Pada pantatnya pun kemudian
keluar ekor panjang. Eyang Guru Lodaya itu telah berubah
menjadi macan tutul. Kemudian dengan mengeluarkan
suara menggeram, macam tutul itu tiba-tiba meloncat
gesit menyerang Warok Wulunggeni yang masih agak
terbengong menyaksikan perubahan pada tubuh Eyang
Guru Lodaya, baru kali ini seumur hidupnya, Warok Wu-
lunggeni melihat keanehan ilmu kanuragan yang dimiliki
oleh guru padepokan yang sakti mandraguna itu.
Terjadilah pergumulan sengit. Suara keras macan tutut itu,
mengerang-ngerang dengan tujuan untuk mengganggu saraf
pendengaran bagi lawannya. Namun nampaknya, Warok Wu-
lunggeni pun memiliki jurus untuk menghalau getaran suara
yang dapat mengganggu saraf dan membuyarkan konsentrasi
lawan itu, sehingga usaha untuk mempengaruhi kekuatan in-
dera pendengaran lawan melalui suara raungan macan tutul itu
kurang berhasil. Akan tetapi, kekuatan jurus-jurus serang yang
dilancarkan oleh macan tutul itu sangat bervariasi, dan
memiliki kecepatan gerak yang begitu gesit. Sehingga,
kekuatan macan tutul itu tidak saja berusaha meruntuhkan
kekuatan indera tetapi juga ditopang oleh kekuatan bathin dan
daya ‘linuwih’ yang tersimpan pada tiap ujung kuku dan
taringnya. Oleh karena itu kemudian telah mengubah perge-
seran perimbangan kekuatan. Posisi Warok Wulunggeni
makin terjepit. Tidak berapa lama kemudian daya kesiagaan
indera Warok Wulunggeni menjadi lengah, sehingga membuat
dirinya terjatuh beberapa kali bergelimang sulit menghadapi
terkaman macan tutul yang begitu lincah itu.
Walaupun dalam beberapa kali terkaman nampaknya macan
tutul itu mempunyai kesempatan untuk menggigit dan men-
cakar tubuh Warok Wulunggeni dengan kukunya, tetapi ru-
panya hal itu tidak pernah dilakukan. Mungkin saja, macan
tutul dari jadian Eyang Guru Lodaya itu tidak ingin melukai
calon muridnya itu, hanya mau memberikan pengujian
ketangkasan saja. Sehingga ia tidak menggigit dan mencakar
seperti yang seharusnya dilakukan oleh macan yang menggu-
nakan naluri hewaninya. Walaupun wujud bentuknya macan
tutul, tetapi perangai dan perilakunya tetap sebagaimana
layaknya manusia biasa.
Warok Wulunggeni berusaha mengerahkan ilmu bathin dan
kemampuan ilmu kanuragan yang dimilikinya. Dengan
mengerahkan kekuatannya itu, Warok Wulunggeni pada
akhirnya dapat berhasil menjerat macan tutul itu. Dengan
sigap Warok Wulunggeni menggunting perut macan tutul
itu, dan mencekik lehernya, berusaha untuk mengunci
kekuatan gerak macan tutul itu dengan menerapkan jurus-
jurus kuncian yang diandalkan. Akan tetapi seketika itu,
macan tutul itu telah terkunci, sehingga sulit bergerak, tiba-
tiba macan tutul itu berubah bentuk menjadi macan loreng
yang lebih besar. Kuncian yang dipasang oleh Warok Wulung-
geni untuk mematikan gerakan macan tutul itu seketika ter-
lepas. Warok Wulunggeni terlempar keras beberapa langkah
ke belakang hampir tergelepar. Begitu dahsyat kekuatan ma-
can loreng itu seakan-akan telah berubah menjadi kekuatan dua
kali lipat dari kekuatan macan tutul sebelumnya.
Belum sempat Warok Wulunggeni mengatur peredaran
darahnya yang agak terhenti akibat lemparan tenaga dalam
macan loreng itu, tiba-tiba macan loreng besar itu nampaknya
telah siaga akan menyerang kembali. Warok Wulunggeni
segera mencoba menerapkan aji-aji samber bledek yang meru-
pakan senjata andalannya yang kalau seseorang tidak
menguasai ilmu perangkat daya lebih, maka bila terkena
aji-aji andalan itu pasti langsung mati tergelepar.
Macan loreng yang sedianya akan menerkam itu, kemudian
surut kembali beberapa langkah ke belakang. Ia agaknya
sangat maklum dan mengerti benar akan kehandalan ilmu
aji-aji samber bledek itu yang bisa mematikan lawan yang
terkena. Maka kemudian macan loreng jadian dari Eyang Guru
Lodaya itu tiba-tiba berubah menjadi macan gembong besar.
Walaupun tubuhnya begitu besar, namun gerakannya tidak
mudah tertangkap oleh indera penglihatan orang awam.
Gerakannya begitu cepat dengan didukung oleh kekuatan yang
juga begitu dahsyat seperti badai lewat. Warok Wulunggeni
nampaknya sampai tidak sempat melepaskan ilmu aji-aji sam-
ber bledeknya itu ketika tiba-tiba macan gembong itu
dengan cekatan menerkam tubuhnya. Ia kalah cepat daripada
gerakan macan gembong besar itu. Belum-belum Wulunggeni
sudah berada dalam cengkeraman macan gembong besar itu.
Daya dorong tubuhnya terbelenggu oleh kekuatan dahsyat
macan gembong itu, sehingga Warok Wulunggeni tidak ber-
daya untuk bergerak. Macan gembong itu dalam posisi sedang
mengunci gerak Warok Wulunggeni yang nampak mulai sulit
bergerak, menjadi tidak berdaya. Dan tidak berapa lama, ma-
can gembong itu berubah menjadi Eyang Lodaya kembali.
Perkelahian untuk menguji kemampuan Warok Wulunggeni
itu kemudian diakhiri oleh Eyang Guru Lodaya yang nampak
juga terengah-engah menahan nafas. Baju hitam legamnya itu
nampak basah kuyup terguyur keringatnya yang mencucur
deras. Guru Lodaya itu kemudian memasuki ruang biliknya
untuk berganti pakaian barunya. Demikian juga yang di-
lakukan oleh Warok Wulunggeni, ia nampaknya juga telah
disediakan pakaian barunya untuk mengganti baju hitamnya
yang juga sudah basah kuyup itu.
Setelah mereka berdua berganti pakaian barunya itu, nampak
kedua laki-laki jantan itu kemudian duduk bersama di ruang
tengah yang luas itu. Tidak berapa lama kemudian muncul
seorang dayang, perempuan berpenampilan luwes berumur
setengah baya dengan tingkah laku yang amat bersopan santun
yang mendalam, memasuki ruangan itu sambil membawa dua
cangkir minuman hangat, dan teko besar yang terbuat dari
tanah liat. Berisi wedang jahe beserta singkong rebus yang
masih hangat nampak mengepul asapnya.
"Bagus. Bagus Dimas Wulung. Engkau memiliki perbenda-
haraan ilmu kanuragan yang cukup bisa diandalkan, dan penuh
bervariasi. Aku kagum juga atas kecerdikanmu mengolah seni
gerak ilmu kanuragan ini. Luar biasa penerapan teknik-teknik
pengendalian jurus- jurusnya. Aku hampir kewalahan meng-
hadapi jurus-jurus perangkap tipuan itu. Kalau aku tidak
waspada betul, mungkin aku sudah masuk ke dalam jurus
perangkapmu itu. Engkau mempunyai kemampuan mengolah
berbagai kombinasi ilmu bela diri. Aku yakin engkau pun
dalam waktu yang tidak lama juga akan dapat menguasai ilmu
andalan dari lodaya ini," kata Eyang Guru Lodaya memberikan
pujian terhadap kehebatan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh
Warok Wulunggeni itu.
"Terima kasih, Eyang Guru. Hamba hanya berusaha mem-
peragakan apa saja yang hamba punya agar Eyang Guru
dapat mengetahui tingkat pengetahuan hamba," jawab
Warok Wulunggeni setelah duduk bersila dihadapan Eyang
Guru Lodaya itu.
"Dasar-dasar keilmuan macan jadian ini nantinya ada titik
singgungnya dengan daya alam. Ilmu kemampuan mengolah
kekuatan daya alam untuk saling bersinggungan dengan daya
yang ada pada tubuh diri kita sebagai manusia ini. Kekuatan
yang terpadu antara unsur kemanusiaan dan alam. Unsur-unsur
kehidupan, ciptaan Sang Hyang Tunggal, yaitu manusia yang
paling sempurna, kemudian makhluk hewani, dan seterusnya
tumbuh-tumbuhan itu. Semuanya itu adalah ilmu kehidupan.
Kita memiliki beberapa unsur yang sebagian menyerupai bi-
natang yaitu kemampuan bergerak cepat yang dinamis. Se-
dangkan ilmu macan kita perdalam karena mengambil gerak
yang cepat dan dinamis itu. Dasar tenaga dalamnya seperti
biasa adalah unsur pengendalian pernafasan secara baik.
Menghirup udara bersih yang dihasilkan oleh tumbuh-tum-
buhan, kita tahan dalam tubuh, dan kemudian kita melepaskan
kembali udara kotor agar diserap kembali oleh tumbuh-tum-
buhan. Kemudian oleh tumbuh- tumbuhan diolah keluar kem-
bali menjadi udara bersih yang merupakan daya pendorong
bagi kehidupan manusia," demikian bunyi pelajaran pertama
yang diwejangkan oleh Eyang Guru Lodaya dihadapan Warok
Wulunggeni seorang diri di pagi hari yang berudara sejuk itu.
"Hayo silalkan sambil diminum wedang hangatnya ini, Di-
mas Wulung. Kita istirahat sejenak dulu. Nanti kita mulai
lagi beberapa dasar keilmuannya, dan langkah-langkah lan-
jutan pengembangannya."
"Terima kasih, Eyang Guru," kata Warok Wulunggeni sambil
mengangkat cangkir wedang hangat itu, kemudian menghirup
pelan- pelan wedang jahe, juga mencicipi singkong rebus
hangat yang gembur merekah itu.
Pintu-pintu ruangan itu kemudian dibuka oleh para dayang-
dayang yang bertugas tiap hari untuk pekerjaan harian itu.
Ternyata hari telah pagi. Para cantrik terlihat dari jendela
ruangan itu sudah banyak yang membersihkan tempat-tempat
pemondokan mereka. Dan sebagian dari mereka terlihat se-
dang melakukan senam pernafasan di pagi hari yang berudara
segar itu. Tidak ketinggalan para murid, baik murid laki-laki
maupun perempuan yang mempunyai kewajiban menjalankan
latihan pemanasan di pagi hari dengan tekun mereka pun
berlatih bersama secara serius.
Eyang Guru Lodaya dan Warok Wulunggeni kemudian
nampak berjalan- jalan memutari komplek padepokan itu
sambil masih terlihat Guru Lodaya itu memberikan we-
jangan-wejangan yang didengarkan dengan seksama oleh
Warok Wulunggeni yang dengan tekun pula mengikuti
segala petuah pelajaraan yang baru saja diterima itu lang-
sung dari guru panutannya itu.
3
KEHIDUPAN PADEPOKAN
KEHIDUPAN di Pedepokan Lodaya itu nampak sangat
tenang. Suasana yang nyaman dengan keramahan para
penghuni padepokan itu nampak terasa membuat kerasan
bagi para penghuninya. Bila siang hari terdengar tetabuhan
gending dan suara tembang 'uyon-uyon' yang berirama halus
melantunkan tembang-tembang yang bersyair berisi pelajaran
dan falsafah hidup yang mendalam, memberikan gairah hidup
bagi mereka yang mendengarkan, dibawakan oleh para murid-
murid perguruan Pedepokan Lodaya itu.
Tiap murid mendapatkan jatah kamar berupa bilik-bilik yang
tertata apik. Mereka masing-masing menjaga kebersihan
biliknya sendiri-sendiri. Tiap bilik ukurannyatidak sama. Ada
bilik berukuran besar yang diisi oleh penghuni secara beramai-
ramai terutama diperuntukan bagi para murid tingkat pemula.
Sedangkan bagi murid tingkat lanjutan atau yang sebelumnya
telah menguasai dasar-dasar keilmuan yang mencapai ilmu
tingkat tinggi, mereka mendapat jatah bilik sendiri-sendiri
yang letaknya agak terpisah jauh berada di pinggir aliran
sungai yang mengalir tenang pengelilingi lingkungan pede-
pokan itu.
Demikian juga bagi posisi seperti Warok Wulunggeni ini,
begitu diterima sebagai murid, langsung mendapatkan tempat
bilik khusus karena ia dianggap sudah memiliki dasar-dasar
keilmuan tinggi sebelumnya. Ia datang sebagai murid untuk
proses penambahan dan pengembangan ilmunya, maka ia
mendapatkan tempat khusus itu agar tiap kali ia bisa leluasa
melakukan meditasi sendiri tanpa ada gangguan dari orang
lain, dan juga terlepas dari bimbingan guru. Ia dapat
melakukan latihan sendiri di biliknya itu agar tidak terganggu
oleh orang lain.
"Selamat pagi, Kangmas," tiba-tiba terdengar suara perem-
puan dari balik pintu depan biliknya. Rupanya yang datang Sri
Wiji Darmini nama seorang perempuan berparas cantik
menawan yang tiap kali selalu setia mengantarkan jatah
makanan bagi para penghuni bilik- bilik khusus bagi mereka
yang telah menguasai ilmu tinggi itu.
"Oh, Jeng Wiji. Mari Jeng, silahkan masuk," kata Warok
Wulunggeni dengan mimik muka yang ramah penuh simpatik
menyambut kedatangan perempuan yang amat dikenalnya itu.
Sri Wiji Darmini adalah perempuan yang berwajah melur,
berkulit kuning langsat, bertingkah halus gemulai ini selalu
menampakkan senyum manisnya yang mudah membuat ber-
desir hati tiap laki-laki yang memandang keelokan wajahnya
itu. Namun bagi Wulunggeni yang adalah seorang warok
menurut aturannya tidak mudah melepaskan dirinya terkesima
oleh perempuan secantik apa pun. Itu pantangannya yang
berkaitan dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya dari
Ponorogo.
"Kangmas Wulung sedang semedi too."
"Oh tidak kok, Jeng. Hanya ini ada kegiatan kecil, baru saja
bersemedi, dan ini sedang menghafalkan mantra-mantra yang
tadi malam diajarkan oleh Eyang Guru."
"Rupanya Eyang Guru sangat sayang yah, sama Kangmas
Wulung.”
"Tentunya tidak saya saja to Jeng yang disayang Eyang Guru.
Semua penghuni padepokan ini disayang oleh Eyang Guru.
Kalau tidak disayang mana mungkin Eyang Guru mau mem-
berikan bimbingan kepada kita semua ini di sini," kata Warok
Wulunggeni sambil tersenyum ramah pula kepada tamunya
yang masih dari lingkungan dalam padepokan ini.
Nampak kedua laki-laki dan perempuan itu seperti layaknya
sebagai saudara dekat yang sudah lama kenal. Sekali-kali
terdengar tertawa ria penuh kebahagiaan. Mereka nampak
semakin akrab saja dibuatnya. Walaupun Sri Wiji Darmini
sebenarnya tergolong perempuan yang berstatus janda.
Suaminya dulu, juga berasal dari salah seorang murid Guru
Lodaya yang mati tidak tahan terhadap ujian yang berat ketika
menempuh pendadaran pengujian tahap penyempumaan ilmu
itu, Oleh karena itu, untuk meneruskan persaudaraan di antara
kalangan pedepokan ini, isterinya ini pun akhirnya mengabdi-
kan diri di Padepokan Lodaya ini.
Selain menjadi murid di pedepokan Lodaya ini, Sri Wiji
Darmini juga mendapat tugas untuk mengurus makan bagi
kalangan murid yang berilmu telah mencapai kesempurnaan,
termasuk Warok Wulunggeni ini. Sedangkan bagi murid pe-
mula, untuk mengurus segala keperluannya, termasuk makan-
nya harus diurus masing-masing.
"Jeng Wiji, pagi ini kok kelihatan makin cantik saja," kata
Warok Wulunggeni mencoba menggoda.
"Ach Kangmas Wulung, ada saja." kata Wiji Darmini sambil
tersenyum-senyum di kulum nampak juga senang mendapat-
kan pujian dari Warok Wulunggeni yang selalu bersikap ramah
kepadanya itu.
"Benar lo, Jeng. Saya saja jadi terkagum-kagum."
"Kangmas sendiri yang kelihatan makin gagah saja."
"Ach. Apa benar,"
"Menurut Wiji, beberapa bulan belakangan ini Kangmas Wu-
lung makin kelihatan gagah saja. Terutama sejak tinggal di
padepokan ini, lo."
"Oh, berarti tergantung yang merawat dan yang mengasih
makan."
“Iyah.. hi... hi." kata Wiji Darmini sambil tertawa kalem.
"Berarti selama saya di sini makin ada kemajuan. Belum
pemah ada orang yang mau memuji saya sebelum saya datang
ke padepokan ini. Apalagi yang memuji perempuan secantik
Jeng Wiji ini,” goda Warok Wulunggeni makin berani.
"Ach, Kangmas. Masak, orang jelek seperti begini kok di-
katakan cantik. Kangmas Wulung sendiri yang suka memuji
Wiji”
"Lho, ini bukan memuji. lho, Jeng. Mengatakan yang se-
benarnya saja...ha...ha...” kata Warok Wulunggeni sambil
tertawa ceria,
"Jadi, kalau tidak ada kemajuan, mana mungkin Kangmas
ditempatkan di bilik khusus bagi orang-orang yang telah
menguasai ilmu tinggi ini di bilik sini seperti Kangmas
Wulung ini." "
"Ini barangkali lantaran kebaikan Eyang Guru saja to, Jeng."
"Bukan soal kebaikan Eyang Guru. Di bilik ini khusus
diperuntukkan dihuni hanya oleh orang-orang istimewa
yang sudah sangat menguasai ilmu-ilmu bathin dan ilmu
kanuragan tinggi."
"Ach, masak to, Jeng."
"Ehhh, Kangmas Wulung ini bagaimana kok belum mengerti
juga. Kalau bukan bagi penghuni berilmu tinggi mana mungkin
Wiji yang mengurus makannya. Kalau masih murid rendahan
harus tinggal di bilik ramai-ramai dan mengurus makan
sendiri. Bukan Wiji yang mengurus makan mereka."
"Wah, kalau demikian saya harus berhutang budi kepada Jeng
Wiji.”
"Bukan hutang budi, Kangmas. Wong ini sudah menjadi ke-
wajiban saya untuk mengurus bilik-bilik khusus ini."
"Waduh. Hebat juga. Saya benar-benar berterima kasih sama
Jeng Wiji."
"Jangan berterima kasih kepada Wiji. Berterima kasih kepada
Sang Hyang Tunggal yang telah memberi anugerah ketinggian
ilmu kepada Kangmas Wulung. Begitu kan yang baik," kata
Wiji Darmini sambil tersenyum manis yang membuat hati
Warok Wulunggeni makin kesengsem saja.
Lama-lama nampak kedua insan itu tertawa lepas kelihatan
bahagia penuh canda ria.
"Kangmas, kalau sudah selesai berguru dari padepokan ini,
apakah Kangmas Wulung akan menetap di sini terus atau
pulang ke Ponorogo".
"Mungkin pulang ke Ponorogo.
"Mengapa tidak menetap saja di sini".
"Ada persoalan berat yang harus saya selesaikan di Ponorogo".
"Persoalan apa, Kangmas. Kalau boleh tahu".
"Yah, Biasa. Persoalan antar laki-laki".
"Berebut soal perempuan".
"Hah. Apa. Berebut perempuan. Mana ada ceriteranya berebut
soal perempuan dibuat sampai begitu mendalam".
"Lalu, apa kira-kira, Kangmas".
"Soal harga diri sebagai laki-laki".
"Apa itu maksudnya".
"Suatu saat aku ingin menuntut kehormatan. Harga diriku
pemah terinjak-injak di muka umum".
"Jadi soal perkelahian".
"Iyah. Jeng”.
"Ohh, begitu".
"Oleh karena itu, pada suatu saat aku harus tetap kembali ke
Ponorogo".
"Wiji boleh ikut, Kangmas Wulung".
"Hahh. Apa saya tidak salah dengar".
"Tidak, Kangmas. Apa Wiji boleh ikut ke Ponorogo".
"Apa nanti tidak dimarahi oleh Eyang Guru. Siapa yang akan
mengurus orang-orang di sini".
"Kalau yang mengajak Kangmas Wulung, pasti diijinkan oleh
Eyang Guru".
"Ach, jangan, Jeng. Saya takut kena marah Eyang Guru".
"Takut kena marah, atau takut saya ikuti".
Keduanya lalu tertawa ceria kembali.
"Jeng Wiji. Tadi malam saya mendapat petuah dari Eyang
Guru untuk melakukan puasa. Ada banyak jenis puasa yang
harus saya lakukan mulai besuk. Eyang Guru mengatakan tadi
malam agar saya memberikan daftar waktu-waktu puasaku ini
untuk diberikan kepada Jeng Wiji, sebab yang akan mengatur
makannya katanya Jeng Wiji."
“Memang benar, Kangmas. Wiji yang selama ini diberi tugas
untuk mengatur makan bagi para murid tingkat tinggi yang
akan melakukan puasa".
"Ini daftarnya, Jeng Wiji. Aslinya telah aku simpan dan ini
tulisanku yang aku salin untuk Jeng Wiji".
Setelah secarik tulisan yang tertulis di atas daun lontar itu
dibaca oleh Sri Wiji Darmini, ia nampak terkejut.
"Wah banyak sekali puasa yang harus Kangmas lakukan".
"Begitulah perintah Eyang Guru".
"Coba aku baca satu per satu petuah Eyang Guru ini, Kangmas.
Pertama, Kangmas harus melakukan puasa ' Ngrowor", berpan-
tang makan nasi, pantang makanan rasa manis, pedas, dan asin.
"Memang benar Kang Mas Wulung, Wiji yang selama ini diberi
tugas mengatur makan bagi para murid yang berilmu tingkat
tinggi yang akan melakukan puasa," kata Wiji Darmini itu.
Setelah itu selesai dikerjakan, harus dilanjutkan melakukan
Puasa 'Ngidang', hanya boleh makan dedaunan saja dengan
tangan diikat rapat di bambu kuning, tiap kali akan makan
harus langsung menggunakan dengan mulutnya tidak boleh
dengan tangan atau kaki. Puasa 'Mendem', tinggal di dalam
lubang tanah, tidak boleh kena sinar matahari atau sinar apa
pun, seperti orang mengubur diri. Lalu, harus melakukan puasa
"Pati Geni", harus bertapa di dalam bilik, tidak boleh melihat
api, tidak dibolehkan minum, tidak boleh makan, tidak boleh
tidur sepanjang sehari semalam. Kemudian, harus melakukan
puasa ‘Mutih’, hanya boleh makan nasi putih, tidak boleh
disertai lauk-pauk, minum hanya boleh air putih dari sumur tua
di samping bilik yang ada tanaman pohon kamboja putih, mulai
"Ngalong', bolehnya hanya makan buah-buahan, semalaman
tidak boleh tidur, mata tidak boleh terpejam, harus melotot
seperti kalong. Puasa ‘Ngasrep’, hanya boleh minum air putih
dingin tanpa boleh dicampur apa pun, dan makan makanan
yang sudah dingin. Puasa 'Ngepe?', boleh makan nasi dengan
cara dikepeli sebanyak per angka ganjil. Lalu puasa 'Nge-
bleng', tidak boleh makan minum jenis apa pun, tidak boleh
tidur semalam suntuk kecuali saat akan terbit matahari, tidak
boleh keluar dari bilik meskipun hanya untuk keperluan berak
dan kencing, tetap dilarang keluar bilik. Waduh, bagaimana ini
Kangmas, kalau sudah kebelet banget pengin mau berak apa
bisa tahan tidak dikeluarkan".
"Yah harus dilakukan demikian sesuai petunjuk Eyang
Guru. Semua harus dilakukan di dalam bilik lo Jeng.
Mudah-mudahan saya kuat menjalankan semua urut-urutan
puasa itu semua".
"Wah, berat juga ya bagi orang yang mau menjalani mencari
ilmu ini".
"Benar, Jeng Wiji. Maka orang kita sering menyebut
"Ngelmu' yang maksudnya ' Angel lek nemu’. Sukar untuk
mendapatkannya. Nah itu tadi. Makanya saya diharuskan
untuk menjalani banyak jenis puasa yang begitu berat itu".
4
MEMPERDALAM
ILMU KADIGDAYAN
SORE hari Warok Wulunggeni diperintah oleh Eyang Guru
Lodaya untuk pergi ke pesisir pantai laut kidul. Ia harus men-
cari tempat sepi yang sekiranya belum pernah ada orang yang
menjamah tempat angker itu. Daerah wingit yang 'gung liwang
liwung".
Setelah beberapa lama berjalan menyelusuri pantai seorang
diri, memutari tempat-tempat di daerah pesisir itu, Warok
Wulunggeni kemudian menemukan tanah gundukan vang di-
tumbuhi pohon rindang tepat menghadap ke arah laut kidul.
Di tanah gundukan itu, setelah Warok Wulunggeni
melepaskan semua pakaiannya, ia kemudian bersila
mengheningkan cipta. Pikirannya ditujukan kepada
bayangan kekuatan mahkluk halus yang datang dari
arah laut kidul yang terbentang luas penuh dengan
gelombang ombak yang mengganas itu.
Sebelumnya memang ia telah melakukan puasa ‘pati geni ',
berpantang selama empat puluh hari empat puluh malam ber-
turut- turut. Setelah membaca mantra-mantra yang pernah
diajarkan oleh Eyang Guru Lodaya itu. Pada malam hari itu
sesajen yang dibawanya dari Pedepokan Lodaya itu
diarungkan ke dalam laut dengan menggunakan bambu apus.
Ombak seketika datang menggelombang, timbul getaran
gelombang dan cahaya remang-remang yang menandakan se-
sajen itu telah dijemput oleh penguasa laut kidul yang
menerima persembahan sesajen itu. Isi sesajen yang terdiri dari
telur berjumiah ganjil, ayam cemani atau ayam hitam yang
seluruh tubuhnya hitam disajikan dengan dipanggang, ayam
hitam ini mempunyai kekuatan magis yang sangat ampuh
konon mampu memberikan pengaruh yang dahsyat, serta ja-
janan pasar beraneka rupa.
Suara ombak laut itu tiba-tiba bergemuruh hebat seakan-akan
menggetarkan bumi tempat berpijak manusia di alam jagat
raya ini. Dari arah laut kidul tiba-tiba muncul bayang-bayang
singa laut yang sangat besar dengan taringnya yang runcing
mengaum-ngaum. Warok Wulunggeni terus berkonsentrasi
penuh. Lamat-lamat terdengar suara lembut yang datang dari
arah laut kidul itu.
"Wulunggeni, engkau kini telah kemasukan daya lebih dari
pecahan kekuatan ilmu singa laut yang kini induknya berada
bersemayam di tubuh gurumu Pertapa Lodaya itu. Teruskan
usahamu untuk menyempurnakan ilmu kekuatan bathin ini
agar engkau mendapat ketangguhan dalam dirimu. Kembalilah
sekarang ke padepokan Pertapa Guru Lodaya."
Suara itu tiba-tiba menghilang seketika. Tubuh Warok Wu-
lunggeni tiba-tiba terasa ringan seperti terbang. Kemudian ia
kembali ke alam kesadarannya seperti semula. l
Pagi harinya, Warok Wulunggeni sepulang dari pantai kidul,
langsung menemui gurunya untuk melaporkan hasi! medi-
tasinya di pesisir laut kidul semalam.
"Dimas Wulung. Pada dirimu akan terus-menerus dilakukan
pengujian. Sekarang pergilah ke Bilik Angsa di sebelah sana
itu. Bakarlah dupa dan kemenyan agar datang para iblis jahat.
Mereka akan menyerangmu. Coba hadapi dan uji kemampuan
menghadapi raja iblis jahat itu dengan menggunakan aji-aji
keilmuanmu," ujar Eyang Guru Lodaya itu memberikan
pengarahan selanjutnya.
"Sendika Eyang Guru. Hamba akan segera melaksanakan".
Tidak berapa lama, Warok Wulunggeni sudah berada di dalam
sebuah bilik khusus yang diberi nama Bilik Angsa itu. Hanya
bagi murid pada tingkatan tertentu saja yang dapat
diperkenankan boleh memasuki bilik angker itu. Konon di
tempat itu merupakan kediaman istana raja iblis jahat yang
memang diperkenankan oleh Guru Lodaya untuk menempati
bilik besar itu. Tujuannya adalah untuk memberikan latihan
bagi murid-muridnya yang telah mencapai tingkatan lanjutan
untuk berlaga melawan raja iblis jahat itu dan para pengikutnya
yang jumlahnya ribuan.
Bau bakaran dupa dan kemenyan segera terasa menyengat
hidung yang datang dari arah bilik dimana Warok Wulunggeni
telah terkungkung di dalamnya itu. Iblis jahat itu mempunyai
kegemaran menyantap asap bebauan. Nampak bayangan ber-
gentayangan di atas langit- langit bilik itu menandakan iblis
jahat itu sedang asyik bersantap menikmati makanannya itu.
Tanpa basa-basi, Warok Wulunggeni memasang jurus
perangkapnya untuk mengganggu iblis jahat yang sedang
enak-enaknya menghisap makanan kegemarannya itu. Merasa
diganggu oleh Warok Wulunggeni, iblis jahat itu murka besar.
Matanya mencorong tajam memelototi ke arah Warok Wu-
lunggeni yang telah berdiri tegar di hadapannya itu.
"Kurang ajar manusia tidak tahu budi. Orang lagi enak-enak
bersantap makanan lezat, mau bikin gara-gara. Berani meng-
gangguku, yah,” tanpa banyak kata lagi raja iblis jahat itu
langsung menyerang Warok Wulunggeni. Tidak berapa lama
segeralah terjadi pertempuran sengit antara kedua mahkluk
yang berlainan alam kedudukannya itu. Hanya bagi orang yang
'linuwih' berilmu tinggi seperti Warok Wulunggeni itu yang
dapat menangkap gelombang getaran kehadiran mahkiuk
halus itu.
Pergumulan seru itu sudah tak terelakkan lagi. Akhirnya raja
Iblis jahat itu kalah, kemudian kabur meninggalkan bilik itu,
entah kemana larinya, ia lepas begitu saja menerobos dinding-
dinding bilik itu bersama para anak buahnya yang terdiri dari
ribuan Iblis jahat yang tadi ikut mengeroyok Warok Wulung-
geni itu.
"Ha...ha... Wulung... Wulung....tanggu pembalasanku...Wu-
lung..." masih terdengar suara ketawa nyaring menakutkan
raja iblis ita, membuat berdiri butu kuduk para murid penghuni
Pedepokan Lodaya yang masih berilmu pemula. Namun bagi
mereka yang telah berilmu tinggi, kejadian seperti itu diang-
gapnya sebagai hal yang biasa saja.
Warok Wulunggeni yang tidak berpakaian sama sekali ketika
bertarung melawan raja Iblis itu, nampak sekujur tubuhnya
basah kuyup oleh mengalirnya keringat yang terus mengucur.
Setelah ia berkonsentrasi kembali untuk mengembalikan kese-
imbangan bathinnya, kemudian ia menyeka peluh yang me-
leleh di dahinya itu dengan membaca rnantra-mantrà agar
dirinya tertutup dari serangan licik yang mungkin tiba-tiba
datang kefika Warok Wulunggeni lengah.
Begitu keluar dari dalam bilik itu, dihadapan Warok Wulung-
geni telah berdiri Eyang Guru Lodaya itu dengan diiringi oleh
lima orang pembantu utamanya, dan tidak jauh dari tempat itu
berderet para murid yang lain yang duduk bersila mulutnya
berkomat-kamit membaca mantra-mantra tolak bala.
"Selamat kepadamu, Dimas Wulung. Engkau telah lulus satu
langkah lagi ujian beratmu. Selanjutnya, datanglah enga ke
Lembah Sedayu, di sana mengalir air sungai yang meng-
hanyutkan. Lembah wingit yang banyak dihuni oleh setan-
setan ganas. Daerah lembah itu berudara panas. Hati-hatilah.
Pasang jurus "Tujum" yang telah aku ajarkan kepadamu itu.
Apabila engkau tidak mampu menghadapi, panggil aku dengan
junis 'telepatimu” itu. Tetapi aku perkirakan engkau mampu
menaklukkan kekuatan magis mereka. Sekarang berangkat-
lah."
"Sendika Eyang Guru."
Tanpa banyak bicara lagi, Warok Wulunggeni berangkat me-
nelusuri arah lembah yang di situ mengalir sungai bersuasana
wingit. Konon di tempat itu banyak dihuni oleh roh-roh jahat
yang bergentayangan suka mengganggu manusia yang lewat
daerah wingit itu: Warok Wulunggeni diperintah oleh gurunya
harus berani dan mampu berhadapan dengan mahkluk-
mahkluk halus yang jumlahnya ribuan itu, tidak sampai oleh
hitungan manusia biasa. Warok Wulunggeni harus bertarung
dikeroyok banyak mahkluk halus itu. Pertarungan sengit ter-
jadi, lama-lama mahkluk halus menjauh dan menghilang tidak
tahan menghadapi kekuatan daya lebih yang dimiliki Warok
Wulunggeni itu.
Setelah Warok Wulunggeni lolos dari macam-macam gang-
guan yang berasal dari kekuatan mahkluk halus itu, maka pada
saatnya Guru Lodaya mengajarkan dasar-dasar yang hakiki
dari ilmu macan jadian itu.
"Dimas Wulung, engkau kini telah terisi kekuatan bathinmu
magis bersumber dari roh-roh dan mahktuk-mahkluk halus
harus mampu mengubah dirimu, wadah kasar yang ada pada
dirimu itu berganti menjadi wadah kasar seekor harimau,"
suara Guru Lodaya itu terhenti sejenak, ia nampak sedang
menarik nafas dalam-dalam, menahannya beberapa saat dan
kemudian melepaskan pelan-pelan.
"Pada hakikatnya, lanjut Eyang Guru Lodaya itu "Wadah
kasar dari manusia maupun binatang itu merupakan wujud
benda. Dengan perantaraan kekuatan yang telah engkau
kuasai, penciptaan pikiran itu akan mampu mengubah wadah
kasar itu menjadi daya kekuatan. Kemudian daya kekuatan itu
akan dapat diubah kembali menjadi wadah kasar. Jadi se-
benarnya perubahan itu karena terjadi dalam pikiranmu itu.
Wadah kasar harimau engkau pinjam, engkau simpan yang
sewaktu-waktu dapat engkau gunakan untuk mengalihkan
wadah kasarmu berpindah ke wadah kasar harimau itu. Namun
harus diingat, semua kejadian ini berada dalam kontrol penuh
dipikirammu, jangan sampai terlepas kalau tidak ingin menda-
patkan celaka. Apakah engkan sudah mengerti segala uraianku
ini, Dimas Wulung".
"Mengerti, Eyang Guru".
"Bagus. Sekarang saatnya engkau untuk melakukan latihan-
latihan mempraktekkan jurus-jurusnya. Ciptakan dalam
pikiranmu, macan tutul itu. Konsentrasikan. Dan datanglah".
Warok Wulunggeni beberapa kali belum berhasil melakukan
konsentrasi itu. Namun karena terus dilatih berulang-ulang
sampai beberapa minggu terus menerus, maka akhirnya lambat
laun ia mulai merasakan muncul kemampuannya. Berbulan-
bulan berlatih terus, dan tiba pada bari yang dimungkinkan ia
telah berhasil menguasai ilmu macan jadian. Semula macan
yang kecil dan tidak buas, kemudian berkembang menjadi
macan tutul, lebih maju lagi sampai menjadi macan loreng
yang buas bertaring panjang, dan cengkeraman kuku- kukunya
yang tajam.
"Bagus, Dimas Wulung. Engkau telah berhasil menguasai
ilmuku itu. Aku turut gembira atas ketekunan dan kemam-
puanmu ini. Terakhir sekali nanti engkau akan aku ajarkan
jurus-jurus penutup sebagai penyempurnaan terhadap
penguasaan ilmumu secara keseluruhan. Sekarang beris-
tirahatlah sejenak. Kapan-kapan akan aku pilihkan hari
baik agar membawa hasil yang juga baik," perintah Guru
Lodaya itu nampak puas melihat kemajuan muridnya
yang satu ini.
5
PAMIT PULANG KAMPUNG
SETELAH hampir lima tahun, Warok Wulunggeni belajar
dengan tekun ilmu macan jadian di perguruan Padepokan
Lodaya yang terletak di daerah Blitar Selatan itu, maka kini ia
okeh Eyang Guru Lodaya dianggap telah merampungan pela-
jarannya. Warok Wulunggeni dinyatakan sudah bisa
menguasai ilmu lodaya itu walaupun penguasaannya
belum setinggi gurunya, tetapi ia dianggap telah hampir
satu taraf di bawah tingkatan gurunya.
Warok Wulunggeni, memang ia termasuk salah seorang murid
yang beruntung, karena ia tidak belajar mulai dari tingkat
bawah. Oleh Guru Lodaya, ia langsung dibawa naik masuk
pada tingkatan ilmu- ilmu yang lebih tinggi untuk jenjang
keilmuan di Padepokan Lodaya. Pertimbangan Guru Lodaya
itu mungkin karena Warok Wulunggeni telah dianggap
memiliki dasar-dasar kemampuan keilmuan kanuragan yang
juga cukup tinggi sebelumnya.
Berhubung telah dinyatakan lulus ujian dalam mengikuti pen-
dadaran akhir terhadap penguasaan ilmunya, maka pada suatu
hari Warok Wulunggeni berpamit diri untuk pulang kembali
ke kampung halamannya di Ponorogo.
"Eyang Guru, berhubung Eyang Guru telah mengakhiri pela-
jaran bagi diri hamba. Mohon berkenan Eyang Guru mengi.
er hamba untuk kembali pulang ke kampung halaman
"Yah. Baik Dimas Wulung. Hanya pesanku, jangan sem-
bronoan dalam menggunakan ilmu macan loreng yang telah
engkau kuasai itu. Sebab sangat berbahaya. Apabila engkau
tidak mampu menguasai emosimu, akan membawa celaka
RIA eua Gunakan ilmu itu benar- benar hanya
un iri. Untuk mempertahankan diri, dan membela
pada kebenaran." Ca bela
"Akan hamba ingat selalu pesan dan segala nasehat Eyang Guru"
"Bersiaplah agar engkau di perjalanan nanti tidak mengalami
kesulitan. Bawalah perbekalan secukupnya yang engkau per-
lukan. Sri Wiji Darmini, mintai tolong untuk mempersiapkan
bekal makanan dan minuman secukupnya. Dan aku akan
menyelenggarakan acara pamitanmu itu nanti malam mengun-
dang semua murid di padepokan pada acara makan malam
nanti."
"Matur nuwun. Terima kasih, Eyang Guru."
Setelah semalaman diadakan acara perpisahan Warok Wu-
pengelola padepokan, dan Eyang Guru Lodaya sendiri, pada
pagi harinya Warok Wulunggeni sudah terlihat akan mening-
galkan Padepokan Lodaya itu dengan mengendarai kudanya.
Sudah hampir lima tahun ini ia hidup di lingkungan padepokan
yang tenang, keramahan para penghuninya, kini ia harus ber-
pisah. Tidak terasa air mata Warok Wulunggeni bercucuran
mengalir. Rasa harunya timbul seketika, Ia merasa berhutang
budi kepada seluruh penghuni padepokan ini, terutama atas
kebaikan Eyang Guru di Padepokan yang dengan tekun dan
ihklasmau membimbing dan menurunkan ilmunya kepadanya,
walaupun ia orang asing dari luar daerah, dan ada sejumlah
persoalan masa lalu di masa pemerintahan Kerajaan Bantaran
Angin dan Kerajaan Lodaya. Namun semua hal itu untungnya
tidak menimbulkan sentimen bagi para penghuni padepokan
itu yang ternyata orang-orangnya adalah sangat berbaik hati,
lapang dada, dan luas pandangan.
Ketika ia hendak menaiki kudanya, tiba-tiba terdengar ada
suara lirih perempuan menyapanya dari belakang. Suara yang
amat dikenalnya selama ini, Sri. Wiji Darmini. Orang yang
selalu sabar mengatur dan menyediakan makanan serta
minuman bagi keperluan Warok Wulunggeni selama ia men-
jalani hidup di Padepokan Lodaya ini.
"Kangmas Wulung".
"Oh Jeng Wiji," kata Warok Wulunggeni sambil mengikat
kembali kudanya pada pohon sawo kecik itu mengurungkan
niatnya mau menaiki kuda itu.
"Kangmas jadi berangkat pagi ini".
"Iyah, Jeng," jawab Warok Wulunggeni dengan berusaha
tersenyum seramah mungkin.
“Apa saya boleh ikut, Kangmas".
"Lho. Kenapa. Jangan. Nanti bisa membuat tidak enak Eyang
Guru. Jangan, Jeng. Nanti tidak lama lagi saya juga akan
kembali lagi kemari. Saya sudah menganggap pedepokan ini
seperti kampung halaman sendiri. Kita hidup bersaudara di
sini. Saya amat bahagia dan berterima kasih banyak kepada
Jeng Wiji atas segala kebaikannya selama saya tinggal di
sini."
Suasana menjadi sunyi. Nampak perempuan itu menundukan
kepalanya. Dari pelupuk matanya mulai mengalir air matanya.
Warok Wulunggeni berusaha mendekat dengan perasaan yang
juga tidak menentu. Harus bersikap bagaimana untuk mengen-
dalikan perasaannya yang bercampur tidak karuan.
"Jeng Wiji, apa yang terjadi terhadap diri Jeng Wiji".
"Kangmas apa tidak 'tresno' sama Wiji”.
"Yah..yah..sangat sayang sama Jeng Wiji. Maafkan saya,
Jeng. Barangkali selama ini saya terlalu banyak membuat
kesalahan"
Suasana kembali sunyi senyap. Hanya sekali-kali terdengar
kokok ayam jantan yang menandakan datangnya pagi hari.
Suara cicit burung-burung mulai terdengar bersautan gembira
menyambut datangnya pagi hari yang indah, berudara sejuk
berembun ini.
"Kangmas berjanji akan kembali".
"Tentu. Tentu, Jeng Wiji. Aku akan kembali,”
"Tetapi kembali untuk Eyang Guru atau untuk Wiji".
"Untuk semuanya".
"Lho kok semuanya. Apa Kangmas tidak punya perhatian
sama Wiji".
"Yah tentu sangat perhatian to, Jeng. Bagaimana tidak perha-
tian sama Jeng Wiji. Selama saya hidup di sini siapa lagi yang
mengurus makan minum saya kalau bukan Jeng Wiji. Tentu
saja saya sangat berterima kasih dan berhutang budi kepada
Jeng Wiji. Dan sangat perhatian kepada Jeng Wiji”.
"Kangmas. An...an...anu...maaf..maaf yah Kangmas kalau
Wiji terlalu lancang”.
"Ach. Tidak apa. Yah. Ada apa, katakan saja Jeng Wiji. Ada
apa".
"Witing tresno jalaran soko kulino. Tolong, ambil Wiji men-
jadi isteri Kangmas".
Mendengar ucapan yang terus terang tanpa 'tedeng aling-
aling’ itu, Warok Wulunggeni dibuatnya menjadi terga-
gap seketika. Ia seperti tidak. percaya mendengar
pengakuan perempuan yang selama ini memang amat
diperhatikan itu.
"An...anu.. Jeng. Maafkan saya, Jeng. Bukan karena apa. Atau
jangan disalah mengerti. Anu. Beg...begi. Begini, Jeng. Saya
ini sebagai orang Ponorogo. Masyarakat di daerahku mem-
beriku gelar sebagai warok. Orang-orang di kampungku
menamainya demikian. Sudah menjadi kebiasaan bagi para
warok yang ingin memegang ilmu kanuragannya. Ia harus
menjauhi berhubungan intim dengan perempuan. Harus hidup
membujang sepanjang hidupnya. Caranya para warok itu
mengambil anak laki-laki untuk dijadikan 'gemblakan' se-
bagai pengganti isteri. Nah, persoalan ini yang menjadikan
kesulitan bagi saya sebagai warok. Tidak mungkin untuk
mengambil isteri Jeng Wiji, walaupun betapa sayang dan
cinta saya kepada Jeng Wiji”.
"Ohhh. Begitu. Memang benar begitu, Kangmas. Jadi Kang-
mas Wulung tidak akan kawin selamanya”.
"Ehhh.. begitulah kira-kira".
"Kalau demikian, maafkan Wiji lo, Kangmas. Wiji tidak tahu
tata krama ini semua bagi Warok Ponorogo".
"Tidak mengapa. Saya senang kok mendengarkan ucapan Jeng
Wiji itu tadi. Saya juga ikut lega. Akan tetapi yah itu tadi.
Halangannya ada. Yah, kalau ingin tahu banyak tentang ke-
hidupan para warok Ponorogo mengenai soal kehidupannya
yang menyangkut hubungan dengan perempuan ini, tolong
tanyakan sendiri kepada Eyang Guru, beliau sangat tahu ban-
yak mengenai adat kebiasaan-kebiasaan hidup orang-orang
Ponorogo yang sudah menyandang gelar warok itu," kata
Warok Wulunggeni yang sebenarnya dalam hatinya ia pun
'renyuh' harus berkata bohong kalau ia belum mempunyai
isteri. Apalagi ia sebenarnya termasuk warok yang beraliran
ilmu putih, berpikiran lebih maju, bukan termasuk warok yang
menganut pendirian hidup membujang, ia termasuk pemegang
ilmu kedigdayaan yang tidak mengharuskan menjauhi hidup
berumah tangga, atau ia tidak termasuk warok yang memiliki
ilmu harus memelihara 'gemblakan”. Ia adalah seorang warok
yang 'nglakoni urip sarwo opo enekke'. Wajar sebagai
manusia yang membutuhkan makan dan minum, membu-
tuhkan isteri, dan mempunyai anak sebagaimana umumnya
manusia biasa. Tetapi apa mau dikata. Cara harus mengatakan
sedikit berbohong demi kebaikan itu, inilah salah satu kele-
mahan sifat orang Jawa. Lebih baik mengambil sikap berbo-
hong demi untuk menyenangkan hati orang lain. Mengenakan
bagi telinga orang yang mendengarkannya. Orang Jawa itu
paling sulit untuk berkata menyakitkan hati orang lain, maka
untuk tidak menyakitkan hati orang lain lebih baik berkata
bohong daripada harus mengatakan yang sesungguhnya tetapi
tidak enak didengar. Hal ini tercermin dalam praktek hubungan
persaudaraan maupun dalam pergaulan sehari-hari, baik di
lingkungan masyarakat luas maupun di lingkungan kekeluar-
gaan dekat.
"Kalau demikian, maafkan Wiji ya Kangmas. Wiji ini orang
bodoh. Tidak tahu adat sopan santun, dan berani lancang
mendahului mengatakan apa yang terlintas dalam benak”.
"Tidak usah dipikirkan Jeng. Semua itu pasti akan ada
kebaikannya. Niat yang baik tentu akan menghasilkan
kebaikan pula".
“Kalau Kangmas Wulung sudah selesai urusan di Ponorogo,
kembali lagi kemari yah Kangmas".
"Tentu, Tentu, saya harus kembali lagi kemari. Saya sangat
berhutang budi kepada semua penghuni padepokan ini. Teru-
tama nanti tentu sangat rindu ketemu Jeng Wiji".
"Benar ini, Kangmas",
“Benarrrr”.
"Yah kalau begitu hati saya sudah lega”.
“Sekarang, saya mohon pamit dulu yah, Jeng”.
"Yah, Kangmas. Selamat jalan yah Kangmas Wulung. Sekali
lagi jangan lupa sama Wiji yah".
"Yah, tentu. Selamat tinggal Jeng Wiji".
"Selamat jalan, Kangmas Wulung".
Kemudian Warok Wulunggeni menaiki kudanya diiringi lam-
baian tangan halus Sri Wiji Darmini perempuan cantik jelita
yang halus budi itu nampak tersenyum manis melepaskan
kepergian Warok Wulunggeni walaupun diiringi tetesan air
matanya yang terus mengalir sejak tadi itu.
6
PERJALANAN
PULANG KAMPUNG
SETELAH menempuh perjalanan selama sehari semalam,
Warok Wulunggeni sampai di daerah perbatasan antara Kadi-
paten Blitar dan Kadipaten Tulungagung. Di daerah ini, Warok
Wulunggeni sengaja menyempatkan diri untuk mampir me-
nengok ke tempat persinggahan kenalan lamanya, Tang-
gorwereng. Akan tetapi Warok Wulunggeni tidak dapat
menemui Tanggorwereng sahabat baiknya itu. Rumah Tang-
gorwereng kelihatan kosong, dan sudah berganti ,
baru. Penghuni
Di tempat ini, Warok Wulunggeni mendapat kabar dari orang-
orang bekas tetangga Tanggorwereng di situ, bahwa Tang-
gorwereng sudah lama pindah. Bahkan menurut kabar terakhir,
keadaan Tanggorwereng sekarang sudah jauh berubah dari-
pada dulu pertama kali dikenalnya. Tanggorwereng kini telah
hidup sejahtera di Dukuh Sawo yang merupakan daerah per-
batasan antara Kadipaten Ponorogo dan Kadipaten Treng-
galek. Menurut penuturan para bekas tetangganya itu, kini
Tanggorwereng sudah hidup berumah tangga, sudah kawin
mendapatkan isteri dari orang Dukuh Sawo itu.
Setelah memperoleh keterangan perihal kehidupan baru Tang-
gorwereng kenalan lamanya itu, Warok Wulunggeni kemudian
melanjutkan perjalanannya mengarah ke barat. Ia terus menuju
ke Kadipaten Trenggalek untuk menjumpai kenalan lamanya
yang lain, Raden Mas Poerboyo, pengusaha beken di kota
Kadipaten Trenggalek itu.
Warok Wulunggeni singgah beberapa saat di rumah teman
kenalan lamanya Raden Mas Poerboyo di Trenggalek ini, akan
tetapi sayang ternyata beliau juga tidak ada di rumah, sehingga
Warok Wulunggeni tidak bisa ketemu. Hanya bertemu dengan
para penjaga rumahnya. Katanya, menurut orang yang men-
jaga rumah itu, juragannya Raden Mas Poerboyo sekeluarga
sedang bepergian ke Kadipaten Tulungagung.
Setelah dijamu makan dan minum oleh para pelayan Raden
Mas Poerboyo yang sudah sangat mengenai baik Warok Wu-
lunggeni selama dahulu pemah tinggal di sini, maka ke-
mudian Warok Wulunggeni berpamitan untuk melanjutkan
perjalanannya. Sebelumnya ia tidak lupa menitipkan salam
kepada kenalan lamanya itu yang disampaikan lewat para
pengawal rumahnya itu.
"Tolong, sampaikan salam hangat saya kepada juragan Raden
Mas Poerboyo," pesan Warok. Wulunggeni:
"Apakah Juragan Wulung tidak sebaiknya menginap saja di
sini, sambil istirahat dan menunggu kedatangan juragan Poer-
boyo," kata salah seorang penjaga rumah yang berperawakan
tinggi besar berwama kulit hitam kelam itu. Nampaknya kini
Raden Mas Poerboyo sudah mulai memperhitungkan penja-
gaan diri dengan mernasang para pengawalnya sejak peristiwa
naib yang hampir membuat celaka dirinya lima tahun yang
telah silam itu. Kini terlihat banyak penjaga rumahnya tidak
seperti dahulu ketika Warok Wulunggeni beberapa saat tinggal
di sini, masih nampak lenggang dari penjagaan rumahnya.
"Terima kasih. Di. Aku rasa lain kali saja. Soalnya per-
jalananku masih jauh, Aku pengin buru-buru menengok
rumah dulu di Ponorogo. Sudah lima tahun ini aku mening-
galkan keluargaku. Lain waktu aku pengin berkunjung ke-
mari lagi. Salamku saja, tolong disampaikan kepada Juragan
Poerboyo. Dan juga tolong sampaikan mohon maaf saya
sebesar-besarnya lantaran tidak bisa menunggu kedatangan
beliau. Saya harus buru-buru kembali pulang ke Ponorogo."
“Baik kalau demikian Juragan. Akan kami sampaikan salam
Juragan Wulung kepada Juragan Poerboyo."
"Yah, terima kasih. Sampai bertemu lagi ya, Di."
Kemudian Warok Wulunggeni bersiap diri akan menaiki
kudanya yang ditambatkan di bawah pohon mahoni di halaman
rumah besar itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar ada suara
"Juragan. Juragan Wulung. Mohon tunggu sebentar dahulu,”
teriak seorang perempuan setengah baya itu yang ternyata
Mbok Inah, seorang pembantu setia Juragan Raden Mas Poer-
boyo yang bertugas menyediakan masakan dan menghi-
dangkahnya kepada para tamunya. Selama ini ia sangat
mengenal masakan kesukaan Warok Wulunggeni ketika dulu
Warok Wulunggeni pernah tinggal beberapa bulan di rumah
besar ini.
"Maaf juragan, ini sekedar bingkisan untuk bekal Juragan
di perjalanan," kata Mbok Inah sambil menyerahkan bingkisan
besar kepada Warok Wulunggeni yang menerimanya dengan
suka cita. Memang bekal makanan seperti demikian ini yang
saat seperti sekarang ini sangat diperlukan oleh Warok Wu-
lunggeni untuk bekal menempuh perjalanan selanjutnya.
"Wah repot-repot amat Mbok Inah. Terima kasih. Terima kasih
sekali yah, Mbok Inah. Maafkan saya, tidak sempat bawa
oleh-oleh buat Mbok Inah, malahan saya dibawakan bingkisan
begini besarnya,” kata Warok Wulunggeni sambil menerima
bingkisan besar yang diserahkan oleh Mbok Inah itu, mungkin
berisi makanan-makanan kering. Mbok Inah nampak
tersenyum-senyum gembira melihat Warok Wulunggeni mau
menerima pemberian bingkisan makanan itu.
"Lho, Mbok Inah, bagaimana keadaannya juragan ayu Ajeng
Sarimbi, apa baik-baik saja," tanya Warok Wulunggeni
menanyakan keselamatan isteri Raden Mas Poerboyo yang
dulu bersama Mbok Inah sering yang selalu rajin menyediakan
masakan makanan yang disukainya selama Warok Wulung-
geni tinggal di rumah ini.
"Baik-baik saja juragan. Malahan sekarang Juragan Ayu se-
dang hamil tua, sudah kelihatan besar perutnya. Selama lima
tahun sepeninggal Juragan Wulung, Juragan Ayu sudah ber-
tambah lagi putranya tiga.”
“Ohhh, begitu. Kalau demikian, tolong ini ada racikan jamu
godogan. Saya membawa bahan-bahan dedaunan. Sangat baik
untuk menjaga kesehatan perempuan yang sedang hamil tua.
Dan biasanya kalau rajin minum jamu racikan ini, sewaktu
melahirkan nanti tidak begitu terasa sakit. Sebentar mbok Inah,
aku akan ambilkan di kampluk pelana kudaku itu." Tidak
berapa lama Warok Wulunggeni telah kembali dengan mem-
bawakan sebungkus racikan dedaunan yang dapat dijadikan
tua.
"Ini Mbok, tolong disampaikan kepada Juragan Ayu. Tiap hari
di minum dengan cara diseduh dengan air hangat. Dan ini
semua sudah ada catatan untuk cara meramunya. Tinggal
mengikuti petunjuk dalam catatan-catatan yang aku tulis ini.”
"Terima kasih, Juragan Wulung. Pasti Juragan Ayu senang
menerima ini."
"Yah, sudah aku pamit dulu yah Mbok. Sekali lagi sampaikan
salamku kepada Juragan Poerboyo dan Juragan Ayu. Maafkan
saya tidak sempat menunggu kedatangan beliau berdua. Lain
waktu saja aku akan sempatkan berkunjung kemari lagi. Yah
sudah Mbok, aku pamit."
Tidak berapa lama kemudian, nampak kuda Warok Wulung-
geni itu telah meninggalkan halaman yang luas rumah ge-
dongan milik juragan Raden Mas Poerboyo itu.
Warok Wulunggeni kemudian melanjutkan menempuh per-
jalanannya menuju ke arah barat. Naik turun bukit. Memasuki
hutan lebat belukar yang sepi dari jamahan orang. Kadang-
kadang harus menerjang jurang yang curam dengan tujuan
mengarah ke daerah Dukuh Sawo. Ia bermaksud perlu me-
nengok terlebih dahulu kenalan lamanya si Tanggorwereng
itu yang dikabarkan telah pindah alamat, kini telah hidup
berumah tangga di daerah Dukuh Sawo itu.
Setelah menempuh perjatanan panjang, Warok Wulunggeni
baru dapat memasuki Dukuh:Sawo. Ia bertanya kepada be-
berapa orang, sampai berkali-kali tanya kepadatiap orang yang
dijumpai di jalan. Rupanya nama Tanggorwereng kini sudah
menjadi orang beken di daerah Sawo ini.
"Bapak mau ketemu Warok Tanggorwereng. Beliau ru-
mahnya di sebelah sana. Itu yang berwarna hijau lumut,
rumah beliau,” kata orang tua penjual sapu lidi di pojok jalan
itu dengan mantab ketika ditemui Warok Wulunggeni di
belokan jalan itu.
Pikir Warok Wulunggeni "Sejak kapan si bedebah Tang-
gorwereng itu dapat menyandang gelar kehormatan sebagai
Warok. Barangkali telah terjadi perubahan besar pada diri
Tanggorwereng selama lima tahun belakangan ini."
Sesampainya di halaman rumah besar yang ditunjukkan orang
tua tadi, tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh kekar mengham-
pirinya dengan menunjukkan sikap keramahannya: Rupanya
orang itu sudah lama mengenal Warok Wulunggeni sebelum-
nya. Laki-laki itu yang selama ini dikenal bernama Sanggrok
Dempal, sambil tersenyum lebar menyambutnya dengan
ramah kedatangan Warok Wulunggeni ke rumah besar ini.
"Kangmas Wulung, sudah lama baru kelihatan sekarang," sapa
orang itu yang kemudian menjabat tangan Warok Wulunggeni.
"Iyah. Bagaimana kabar kalian, apa semua selamat, sehat-
walafiat,” sambut Warok Wulunggeni sambil menyalami laki-
laki bertubuh kekar itu:
"Berkat doa, Kangmas saja. Kita semua di sini dalam keadaan
sehat walafiat: Mari silahkan masuk, Kangmas," kata laki-laki
kekar itu menyilahkan Warok Wulunggeni memasuki rumah
besar itu.
“Lho, ini rumah siapa. Apakah ini rumah Dimas Sanggrok,
atau rumah Dimas Wereng," tanya Warok Wulunggeni setelah
duduk di kursi besar di pendopo rumah besar yang nampak asri
itu.
"Ini rumah Kangmas Wereng."
"Sekarang di mana beliau."
"Beliau sedang ke Ponorogo. Tetapi, ssstttt, Kangmas, jangan
heran dulu yah,” kata laki-laki kekar itu sambil bicaranya
dipelankan membisikan sesuatu ke telinga Warok Wulung-
geni, "Sekarang Kangmas Wereng sudah bergelar sebagai
Warok Tanggorwereng. Ia kawin dapat anaknya Pak Lurah
Sawo. Beliau sekarang punya usaha dagang mondar-mandir
dari Sawo ke Ponorogo, atau kadangkala pergi ke Trenggalek.
Bahkan sampai ke Tulunggagung dan Blitar," kata laki-laki
yang dipanggil Sanggrok Dempal itu.
"Wah. Luar biasa, Bagus sekali itu. Suatu kemajuan besar,"
sambut Warok Wulunggeni dengan menunjukkan muka gem-
bira.
"Tetapi, Kangmas Wulung. Ini ada rahasianya. Mau men-
jaga rahasia, Kangmas: Wulung. Dan juga ada seriusnya.
Ada ceritera di balik berita...ha...ha..."
"Wah apa ini. Kelihatannya makin menarik. Kok pakai rahasia
segala," kata Warok Wulunggeni dengan mimik muka yang
jenaka.
"Memang ini masalah serius, dan juga mengandung canda
ría...ha...ha...ha."
"Apa itu. Serius dan bercanda," tanya Warok Wulunggeni
yang kadang lucu itu.
"Apakah Kangmas Wulung, berani berjanji untuk meraha-
siakan sesuatu. Kalau berani berjanji untuk merahasiakan, baru
akan aku beritahu sesuatu yang penting."
"Yah. Aku janji menjaga rahasia. Ada apa to sebenarnya," kata
Warok Wulunggeni dengan muka berubah dibuat serius.
"Kangmas, jangan ngomong-ngomong yah. Benar ini. Se-
benamya banyak orang di daerah sini yang pada tidak tahu
kalau sesungguhnya Kangmas Tanggorwereng, dan kami ini
semua dulu bekas begal."
“Ohhh, begitu," sahut Warok Wulunggeni sambil mengang-
guk- anggukan kepalanya.
"Benar, Kangmas. Ini rahasia antar kita saja. Termasuk isteri
Kangmas Tanggorwereng, tidak tahu-menahu latar belakang
kita semua ini."
"Ohhhh. Begitu. Ini yang dikatakan rahasia itu tadi."
"Iya, Kangmas."
“Baiklah. Aku akan merahasiakan rapat-rapat."
"Kalau tidak dirahasiakan akan kasihan Kangmas Wereng."
"Iyah, iyah, aku mengerti. Aku tidak akan ngomong apa-apa
kepada siapa pun. Aku janji ini."
"Nah ini yang kami harapkan, Kangmas." kata laki-laki anak
buah Warok Tanggorwereng itu sambil memukul keras-keras
pundak Warok Wulunggeni yang kekar itu sebagai tanda
keakraban mereka,
"Sebenarnya. Aku juga ikut senang mendengar perubahan
kalian ini semua. Lalu kau sendiri, sekarang tinggal dimana,
dan apa pekerjaanmu, Dimas Sanggrok," kata Warok Wulung-
geni.
"Aku dan semua kawan-kawan lama masih tetap mem-
bantu Kangmas Wereng...," tiba-tiba laki-laki kekar itu
telunjuk tangannya menutup mulutnya sambil matanya
melirik ke kiri dan ke kanan, dan kemudian melanjutkan
kata-katanya "Akan tetapi, Kangmas, Sseeetttttt," sambil
membisikan ke telinga Warok Wulunggeni, "Dengar Kang-
mas Wulung. Sebenarnya pekerjaan kami yang mbegal dan
merampok itu sampai sekarang masih tetap berjalan. Hanya
bedanya, pekerjaan itu tidak beroperasi di daerah sini. Kita
beroperasi di daerah Ponorogo selatan, barat, utara, dan luar
daerah lainnya. Semuanya berkedok dagang. Tetapi mohon hal
ini tetap Kangmas Wulung rahasiakan juga."
"Iyah, iyah. Aku akan jaga rahasia kalian ini semua. Sepertinya
kok serba rahasia begitu," kata Warok Wulunggeni manggut-
manggut dengan muka berseri-seri kelihatan ia geli mendengar
ceritera—ceritera yang semuanya serba mengandung rahasia
itu.
"Kalau Dimas Brendel Gepuk apakah juga masih ikut Dimas
Wereng."
"Masih. Ia sejak dulu adalah tangan kanan Kangmas Wereng.
Kemana saja Kangmas Wereng pergi, Kangmas Brendel selalu
ada di sampingnya."
"Wah hebat juga. Kalau Dimas Sanggrok sendiri posisinya di
mana."
"Saya urusan bagian belakang. Mengurus keamanan rumah ini
menjadi tanggung jawab saya, Kangmas.”
"Tetapi kan malah enak."
"Yah, enaknya jarang ikut berkelahi. Kalau Kangmas Brendel
Gepuk selalu menangani urusan soal berkelahi. Malahan se-
belum Kangmas Wereng yang maju, Kangmas Brendel Gepuk
yang harus maju dulu, baru kemudian diikuti yang lain. Kalau
kalah kuat menghadapi lawan, baru terakhir sekali Kangmas
Wereng yang maju. Saya bagian paling akhir. Itu aturan di
gerombolan kita, Kangmas...ha...ha..."
"Bagus. Bagus itu ada aturannya segala," jawab Warok Wu-
lunggeni yang diiringi ketawa Sanggrok Dempal lantaran
merasa mendapat pujian dari: Warok Wulunggeni sebagai
orang sakti yang amat disegani itu.
Tidak berapalama kemudian, dari balik pintu tengah rumah itu
tiba-tiba muncul seorang perempuan yang berparas cantik
jelita. Dilihat dari raut muka wajahnya masih kelihatan beru-
mur muda belia. Mengerakan kebaya ketat berwama putih,
sampai terlihat lekuk-lekuk tubuhnya, dadanya nampak
menonjol, perutnya membumbung besar kelihatan sedang bun-
ting tua. Jalannya walaupun nampak gesit tetapi agak terkekah-
kekah menahan beban di perutnya yang melembung besar itu.
"Siapa tamunya, Kangmas Sanggrok," tanya perempuan muda
itu sambil tersenyum ramah kepada Warok Wulunggeni,
menanyakan kepada laki-laki kekar yang bernama Sanggrok
Dempal, anak buah Warok Tanggorwereng itu, sambil
kepalanya mengangguk 'memberikan hormat kepada Warok
Wulunggeni.
"Oh, beliau ini sahabat Kangmas Tanggorwereng, Mbakyu.
Bernama Kangmas Warok Wulunggeni asal dari Ponorogo.
Dan perkenalkan Kangmas Wulung, beliau ini isteri Kakang-
mas Tanggorwereng bernama Mbakyu Warti.”
"Ohh, mohon maaf, Kangmas Wulung. Kangmas Wereng
sudah sering berceritera banyak tentang Kangmas Wulung.
Perkenalkan nama saya Warti.”
“Nama saya Wulunggeni,” kata Warok Wulunggeni sambil
menyambut uluran tangan perempuan itu. Menyalaminya
dengan baik sambil berdiri dan membungkuk membalas
memberi hormat juga untuk memperkenalkan dirinya.
"Asal saya sebenarnya dari Blitar tetapi sudah lama pindah ke
Dukuh Sawo sini ini,” lanjut Warti, isteri Tanggorwereng itu
setelah mengambil tempat duduk di sebelah Sanggrok Dempal
yang mendengarnya sambil tersenyum-senyum ramah pula.
"Sejak ibu saya kawin lagi dengan Pak Martojo sebagai lurah
di Sawo di sini ini, maka saya ikut pindah kemari menjadi
penduduk di Dukuh Sawo ini. Ayah kandung saya sudah
lama meninggal di Blitar. Jadi Pak Lurah Sawo ini ayah tiri
saya lho, Kangmas Wulung,” kata perempuan muda isteri
Warok Tanggorwereng itu berceritera meriah mengenai
asal-usul dirinya.
"Ohhh, begitu,” kata Warok Wulunggeni sambil mengangguk-
anggukan kepalanya.
"Kangmas Wulung, rencananya akan tinggal lama di sini to.
Tentunya sangat lelah dari perjalanan jauh. Apakah tidak Be-
baiknya, Kangmas Wulung istirahat dulu di kamar sambil
menunggu kedatangan Kangmas Wereng. lyah begitu kan,
Kangmas Wulung."
"Ohhh. Maaf, Jeng Warti. Jangan repot-repot. Justeru, seharus-
nya saya ingin buru-buru segera sampai ke rumah. Jadi tolong
saja sampaikan salam saya kepada Dimas Wereng. Saya hanya
ingin singgah sebentar untuk silaturahmi, sambil berbagi ke-
selamatan bersama keluarga di sini.”
"Kenapa buru-buru, Kangmas. Apakah tidak sebaiknya
menunggu dulu sampai Kangmas Wereng datang."
"Lain kali saja, Jeng. Saya sekarang dalam keadaan terburu-
buru. Pengin segera menengok keadaan keluarga di rumah."
"Oh, begitu."
"Yah. Maafkan saja"
"Sebentar Kangmas Wulung. Minum dulu yah. Saya akan
ambilkan minum dulu. Maaf sebentar," kata perempuan, isteri
Warok Tanggorwereng yang perutnya sedang membuncit be-
sar itu, ia segera bergegas ke belakang, gerakannya nampak
masih, cekatan. Warok Wulunggeni segera dapat membaca,
melihat cara gerak perempuan muda itu, ia sebenarnya juga
memiliki ilmu isian kanuragan yang lumayan. Perempuan
muda ini tentu juga tekun mengisi kemampuan ilmu kanura-
gannya.
Tidak berapa lama lagi Jeng Warti itu telah kembali tagi
dengan membawa baki dan cangkir-cangkir berisi air putih,
kopi panas, dan air degan kelapa muda, juga sajian kueh-kueh
hangat yang nampak masih baru digoreng.
"Silahkan, Kangmas Wulung. Pilih sendiri. Mau minum
wedang kopi yang hangat, atau air dingin, atau degan kelapa.
Juga kuch- kuehnya. Semuanya bikinan sendiri. Maaf lho
Kangmas, adanya hanya ini," kata perempuan muda itu dengan
senyum keramahannya.
“Terima kasih. Terima kasih, Jeng Warti," kata Warok Wu-
lunggeni sambil mengambil cangkir yang berisi air putih
dingin yang baru saja dituangkan dari “kendi? itu agar menjadi
segar tenggorokan Warok Wulunggeni yang kering baru me-
nempuh perjalanan panjang di panas terik matahari sepanjang
hari itu.
"Nampaknya waktu kelahiran putranya sudah dekat to, Jeng
Warti. Kok perutnya sudah kelihatan besar sekali,” kata Warok
Wulunggeni memecahkan kesunyian.
"Iyah, Kangmas, mungkin beberapa hari ini. Menurut Mbok
Dukun Bayi, tidak lebih dari "sepasar', satu minggu lagi
diperkirakan akan lahir,” kata perempuan cantik itu sambil
mengelus-elus perutnya yang buncit itu.
"Ini calon putra yang nomor ke berapa, Jeng Warti."
"Baru pertama kali ini kok, Kangmas. Jadi belum ber-
pengalaman melahirkan. Aduh beratnya membawa bayi
dalam perut ini. Kalau mau perlu mondar-mandir kesana
kemari, sepertinya membawa beban berat begini."
"Yah. Yah, tetapi kan senang juga sebagai calon ibu to."
"Yah, memang selain beban juga menyenangkan ..:hi...hi," kata
Warti itu sambil tertawa kecil: Warok Wulunggeni dan Sang-
grok Dempal hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan.
Mereka nampak ikut gembira.
"Kalau sudah lahir tolong dikasih kabar, yah. Nanti
mudah-mudahan isteri saya juga biar bisa ikut menengok
kemari. Kalau belum sempat berkenalan kemari, se-
belumnya kami sekeluarga ikut mengucapkan selamat
mudah-mudahan bayinya sehat walafiat."
"Atas doa Kangmas Wulung, mudah-mudahan semuanya se-
lamat."
"Tentu selamat. Wong bapak dan ibunya sehat-sehat begini."
Ketiga orang itu kemudian terdengar tertawa ceria. Sanggrok
Dempal pun ikut tertawa mengikuti tawa lepas Warok Wu-
lunggeni.
"Saya ada beberapa racikan dedaunan yang bisa Jeng Warti
minum tiap hari menjelang kelahiran bayi. Khasiatnya waktu
melahirkan rasa sakitnya akan berkurang, bahkan kalau ke-
betulan beruntung akan bisa menghilangkan rasa sakit sama
sekali tergantung keadaan masing-masing ibunya, Sebentar
saya ambilkan." Kata Warok Wulunggeni sambil merogoh
kampluknya itu dan mengeluarkan beberapa bungkus, ke-
mudian di pilih-pilih dan yang satu diserahkan kepada Jeng
Warti itu.
"Kemarin lusa ketika saya mampir kepada kenalan lama di
Trenggaiek, saya juga menyerahkan bingkisan ini. Menurut
para pembantunya, katanya isteri kenalan saya Raden Mas
Poerboyo yang isterinya bernama Ajeng Sarimbi itu juga se-
dang hamil tua. Barangkali Jeng Warti kenal nama-nama itu.
Jadi ini hanya tinggai sedikit Jeng. Tetapi, Jeng Warti juga
dapat meramu sendiri. Ini ada catatan soal jamu-jamu itu. Jeng
Warti bisa membuat sendiri kalau racikan daun-daun ini sudah
habis.” Kata Warok Wulunggeni sambil menyerahkan tulisan
berisi cara adonan membuat jamu bagi perempuan hamil tua.
Jeng Warti menerima catatan cara membuat jamu itu dengan
suka cita.
"Terima kasih banyak iho, Kangmas Wulung. Untung Kang-
mas Wulung sempat singgah kemari. Jadi ada pengetahuan
baru soal jamu-jamu ini bagi saya."
"Nah, baiklah, Jeng Warti. Karena hari sudah makin dekat sore.
Saya mohon diri untuk pamit dulu. Sekali lagi, tolong sampai-
kan salam saya buat Dimas Wereng. Kabar selamat dari saya.
Demikian juga saya titip kabar bahwa saya telah selesai me-
nempuh pelajaran Eyang Guru Lodaya. Telah selama hampir
lima tahun ini berguru di Lodaya, dan sudah dinyatakan
lulus oleh Eyang Lodaya. Ini semua juga atas berkat jasa
pertolongan Dimas Wereng yang telah menunjukkan jalan
ke arah kediaman eyangnya Guru di Padepokan Lodaya itu,"
jelas Warok Wulunggeni dengan penuh ramah.
"Wah hebat, Kangmas Wulung ini, masih juga mau mengejar
ilmu terus," kata perempuan yang bernama Warti itu nampak
ikut menyambutnya dengan gembira.
"Yah, karena supaya ada kegairahan hidup saja kok Jeng. Nah,
saya mau mohon pamit dahulu agar tidak kemalaman di jalan."
"Wah, jadi buru-buru amat... Sebentar Kangmas. Tunggu se-
bentar saja," kata perempuan isteri Tanggorwereng itu, ia
buru-buru pergi ke belakang. Tidak berapa lama, ia telah
kembali lagi dengan membawa bungkusan besar.
"Kangmas, maaf tidak ada apa-apa. Ini hanya untuk bekal di
jalan, dan sekedar oleh-oleh untuk Mbakyu di rumah."
"Wah, repot-repot amat. Terima kasih banyak kalau begitu
Jeng Warti, dan sekali lagi salam buat Dimas Wulung. Dan
kamu, Dimas Sanggrok, sempatkan main-main ke rumahku
yah kalau lewat Dukuh Dawuan."
"Yah, Kangmas Wulung. Aku akan cari kesempatan baik
untuk sowan ke rumah Kangmas di Dawuan nanti."
"Baik, aku tunggu. Terima kasih. Sekarang, saya mohon pamit
dulu."
“Selamat jalan, Kangmas Wulung."
Setelah diantar oleh Sanggrok Dempal dan Jeng Warti isteri
Warok Tanggorwereng itu, sampai di halaman depan rumah,
Warok Wulunggeni terus memacu kudanya pada siang hari
yang hampir masuk sore hari itu. Warok Wulunggeni melaju
ke arah barat. Dalam menempuh perjalanan ini agaknya Warok
Wulunggeni, ternyata tidak ingin buru-buru terus pulang ke
rumahnya di Dukuh Dawuan di daerah Ponorogo selatan, akan
tetapi ia tiba-tiba ingat pada salah seorang, sehingga ia
menyempatkan diri untuk mampir menengok kenalan lama
lainnya di Dukuh Sirah Keteng.
Di dukuh Sirah Keteng ini, Warok Wulunggeni bahkan sempat
bermalam sampai dua malam lantaran ketika ia mau buru-buru
pulang, dicegah oleh kenalan lamanya yang bemama Bardjo
Genggem, seorang petani di Dukuh ini yang meminta tolong
kepada Warok Wulunggeni agar mau tinggal lama di kam-
pungnya itu.
Banyak tetangga Bardjo Genggem, bahkan Pak Lurah Dukuh
Sirah Keteng itu sendiri yang menyempatkan diri datang ke
rumah Bardjo Genggem demi mendengar tamunya yang
datang bermalam di rumah Bardjo Genggem itu adalah Warok
Wulunggeni. Mereka dengan suka cita berkenalan dengan
Warok Wulunggeni yang nampak gagah perkasa ini sebagai
orang yang diharapkan dapat membantu penduduk Dukuh
Sirah Keteng itu dari gangguan keamanan.
Dari penuturan orang-orang Dukuh ini yang disanipaikan oleh
seorang penduduk kepada Warok Wulunggeni ternyata sedang
ada masalah serius yang menyangkut keamanan di daerah ini.
Sedang terjangkit merajalela banyak kejahatan, perampokan,
pembunuhan, dan penganiayaan yang sering terjadi di daerah
ini.
Kepada para penduduk, yang kemudian diperkenalkan oleh
kenalan lamanya, Bardjo Genggem itu bahwa Warok Wulung-
geni termasuk jagoan yang bisa diandalkan, maka kemudian
mereka mengharapkan kepada Warok Wulunggeni agar hen-
daknya dia mau menanggulangi merajalelanya kejahatan di
daerah itu.
"Tolongtah, Dimas Wulung. Bagaimana sebaiknya menang-
gulangi keamanan di daerah Dukuh kami ini," kata Pak Lurah
yang nampak berusia makin tua itu ketika diperkenalkan oleh
sahabatnya, Bardjo Genggem itu, tentang kehebatan ilmu
kanuragan yang dimiliki oleh Warok Wulunggeni di dunia
pergolakan para jagoan di daerah Ponorogo itu.
"Yah, saya akan usahakan sebisa saya, Pak Lurah. Tetapi
saya harus buru-buru pulang dulu ke Dukuh Dawuan untuk
menengok keluarga."
"Baiklah Dimas Wulung, sepulang menengok keluarga,
segeralah Dimas Wulung kembali ke Dukuh Sirah Keteng.
Kami semua di sini sangat memerlukan bantuan Dimas Wu-
lung."
"Terima kasih, Pak Lurah."
Setelah berpamitan dengan para warga Dukuh Sirah Keteng,
Warok Wulunggeni masih harus menempuh perjalanan yang
panjang untuk sampai kembali ke kampung halamannya di
Dukuh Dawuan di daerah Ponorogo selatan itu. Selepas dari
Dukuh Sirah Keteng, Warok Wulunggeni merasa ada beberapa
orang yang mengikuti perjalanannya. Akan tetapi Warok Wu-
lunggeni nampak tidak peduli. Ia sekali-kali memperkencang
jalan kudanya, namun orang-orang yang mengikutinya itu juga
memperkencang kudanya mengikuti kecepatan lari kuda
Warok Wulunggeni. Ketika Warok Wulunggeni menghenti-
kan kudanya, gerombolan orang-orang yang mengikutinya itu
pun juga ikut berhenti di kejauhan. Melihat situasi yang men-
curigakan itu, Warok Wulunggeni hanya mengambil sikap
waspada terhadap orang-orang asing yang berusaha membun-
tutinya sejak kemarin lusa ia meninggalkan Dukuh Sawo itu.
Tepat di belokan gundukan batu padas, Warok Wulunggeni
berpapasan dengan lima orang berkuda yang nampaknya
mereka itu sengaja menunggu kedatangan Warok Wulunggeni
yang akan melewati daerah sangar itu.
“Berhenti dulu, Sobat," teriak salah seorang dari kelima orang
laki-laki yang nampak bertampang paling berangasan itu.
Warok Wulunggeni pun serta-merta menghentikan kudanya
tepat dihadapan mereka. Satu per satu tampang kelima orang
yang menghadang di tengah jalan itu ditatapnya tajam-ta-
jam oleh Warok Wulunggeni yang matanya juga tidak kalah
mehcorongnya dengan mata para rombongan gerombolan
liar itu.
"Siapa namamu, dari mana asalmu, dan mau pergi kemana,"
tanya salah seorang laki-laki berkulit hitam bermata men-
corong itu dengan geram.
"Namaku Wulunggeni. Aku tadi baru dari Dukuh Sirah
Keteng. Sekarang aku akan pergi ke Dukuh Dawuan di
Ponorogo selatan."
"Tiga hari yang lalu, aku lihat kamu memasuki Dukuh Sawo
ada perlu apa kamu ke sana."
"Aku perlu menemui sahabat lamaku, namanya Warok Tang-
gorwereng."
"Warok Tanggorwereng."
"Ya."
“Apa buktinya kamu mengenal Warok Tanggorwereng, So-
bat," tanya laki-laki yang mukanya 'mencereng” itu penuh
selidik.
Mendengar pertanyaan itu, Warok Wulunggeni kebingungan.
Mesti harus menjawab apa. Sebab ia tidak punya bukti apa-apa
yang memperkuat ia masih ada hubungan persahabatan dengan
Warok Tanggorwereng itu. Akan tetapi, ia tiba-tiba teringat
akan bingkisan yang tempo hari diberikan oleh Nyi Warti isteri
Warok Tanggorwereng itu kepadanya.
"Aku membawa bingkisan ini pemberian Nyi Warti isteri
Warok Tanggorwereng."
"Ha...ha...ha...bagaimana aku bisa percaya kalau bingkisan itu
pemberian isteri Warok Tanggorwereng, Sobattttt," ejek laki-
laki yang mukanya 'mencereng” itu sambil tertawa sinis.
Tanpa disadari, tangan Warok Wulunggeni membuka
bingkisan yang katanya tempo hari berisi bahan-bahan
pangan untuk oleh-oleh keluarga di rumah itu. Setelah
dibuka bingkisan itu, selain terdapat bahan-bahan pangan
terdapat sebilah keris kecil sebesar kelingking yang dii-
kat dengan janur kuning yang sudah mulai mengering.
Keris itu kemudian dikeluarkan dan diperlihatkan kepada
orang-orang yang mencegatnya itu.
"Ini isinya bingkisan yang tempo hari diberikan oleh Nyi Warti
isteri Warok Tanggorwereng itu," kata Warok Wulungoeni.
Mata para begal itu melototi barang-barang yang ada
dalam bingkisan itu. Kemudian nampak kepala mereka
pada mengangguk- angguk. Mungkin sebagai tanda
mereka memahami maknanya.
"Yah, Benar. Sekarang aku baru bisa percaya kalau engkau
masih orangnya Warok Tanggorwereng. Simpan baik-baik
benda keris terikat janur kuning itu, Sobat. Kalau kamu nanti
ketemu gerombolanku di tengah jalan. Perlihatkan keris kecil
itu. Kami semua tidak akan mengganggumu. Keris kecil itu
sebagai tanda bahwa orang-orangnya yang membawanya
adalah orang-orang yang dekat dengan Warok Tanggorwereng
dan kami semua tidak akan mengganggunya."
"Terima kasih," jawab Warok Wulunggeni singkat.
"Maafkan kami atas kekasaran kami tadi. Kami semua
mengenal nama Warok Tanggorwereng itu. Orang-orang dia
juga mengenal siapa kami ini semuanya."
"Terima kasih," jawab Warok Wulunggeni. Ia sempat berpikir
sejenak, mengapa Nyi Warti tidak memberitahu mengenai
kegunaan keris kecil ini. Apakah mungkin ia lupa memberitahunya
karena ia buru-buru pamit pulang ketika itu. Atau mungkin ia segan
memberitahunya, sebab orang setangguh Warok Wulunggens ini apa
tidak tersinggung kalau dalam. perjalanannya melalui daerah
kekuasaan Warok Tanggorwereng harus dilindungi oleh keris kecil
sebagai pertanda bahwa orang yang bersangkutan itu tidak boleh
dengan Warok Tanggorwereng. Belum sempat ia mencema makna
ini semua, suara laki-laki berwajah 'cengkereng” itu menyadarkan
kembali pikiran Warok Wulunggeni.
"Kalau demikian, silakan jalan, Sobat."
"Sebelumnya, saya ingin tanya, Sobat. Apa maksud kalian
menghentikan aku di sini ini tadi," tanya Warok Wulunggeni
timbul rasa ingin tahunya lebih banyak.
hubungannya dengan Warok Tanggorwereng, maka kamu sudah aku
bikin mampus. Tetapi karena temyata kamu masih orangnya Warok
mengganggu orang-orangnya. Kami tidak akan mengganggu pen-
duduk Dukuh Sawo. Jadi, karena kamu datang ke Dukuh Sawo
sebagai orangnya Warok Tanggorwereng, yah sekarang silahkan
"Kalau demikian, aku ucapkan terima kasih, Sobat,” kata
Warok Wulunggeni.
"Sampaikan saja salam kami ini semua kepada Warok Tang-
gorwereng. Pimpinan kami bernama Brojol Mangundro. Kami
semuanya sangat saling mengenalnya, dan sepakat untuk tidak
saling mengganggu."
"Saya akan sampaikan pesan kalian kepeda sahabatku Warok
Tanggorwereng."
"Yah, silahkan. Selamat jalan, Kangmas Wulung."
"Terimakasih."
Warok Wulunggeni kemudian melanjutkan perjalanannya
setelah melewati rombongan gerombolan penyamun yang
mencegat di tengah perbukitan yang berpohon belukar ganas
itu. “Untung saja si bedebah Tanggorwereng itu laku juga
namanya di daerah ini, kalau tidak. Aku musti melayani gang-
guan si monyet-monyet kerdil itu." Pikir Warok Wulunggeni
di dalam hati setelah terbebas dari gangguan para pencegat di
jalan itu.
Perjalanan pulang Warok Wulunggeni kali ini nampak lebih
nyaman, tidak sesulit ketika berangkatnya dahulu, Sebab, ia
telah tahu jalannya. Kalau waktu berangkat dulu sering kesasar
karena merupakan perjalanan baru sehingga ia sering bertanya
kepada orang yang ditemui di jalan, dan salah-salah yang
ditanya justeru penjahat yang memang mencari sasaran orang
asing yang tidak tahu jalan. Kalau sekarang ini, perjalanan
pulang Warok Wulunggeni itu terasa nyaman, tidak banyak
gangguan di jalan sehingga membuat hatinya berbunga-bunga.
Lain sekali dengan waktu berangkatnya dulu, ia masih
dalam suasana hati yang resah lantaran waktu itu sehabis
kalah tanding dengan Warok Surodilogo musuh bebuyutan-
nya itu. Kini Warok Wulunggeni seperti mendapatkan
penerangan bathin, dan makin luas wacananya, juga merasa
makin yakin akan kemampuan ilmu kanuragannya dengan
makin bertambahnya ilmu-ilmu barunya yang telah ditekun-
inya selama lima tahun terakhir ini di Blitar selatan.
7
KEMBALI KEPADA KELUARGA
KEPULANGAN Warok Wulunggeni malam itu ke rumahnya
yang masih di daerah Dukuh Dawuan, dari kepergiannya ber-
guru ke perguruan Pedepokan Lodaya Blitar selatan disambut
hangat oleh isterinya yang setia menunggunya selama ini.
Warok Wulunggeni meninggalkan kampung halamannya di
Dukuh Dawuan itu sudah hampir sekitar lima tahun ini.
Isterinya, Mbok Rukmini malam itu kebetulan sedang
duduk-duduk santai di serambi depan rumah sambil nginang
ditemani oleh keponakan perempuannya, bernama Milah
yang sedang 'metani' mencari kutu rambut Budenya itu.
Milah ikut serumah dengan keluarga Warok Wulunggeni
sejak kepergian Pakdenya Warok Wulunggeni lima tahun
yang lalu.
Mbok Rukmini agak terkejut ketika melihat ada tamu laki-laki
yang datang ke rumahnya malam-malam begini. Namun begitu
diketahui yang datang malam ini adalah suaminya yang siang
malam ditunggu-tunggu kedatangannya, maka ia segera
melompat menubruk tubuh suaminya itu, menyambutnya
dengan suka cita.
"Byuh...byuh. Bungahe hatiku Pakne, Aku sangat senang dan
bahagia sekali. Pakne sekarang sudah kembali lagi," kata
Mbok Rukmini sambil memeluk erat lama sekali suaminya,
kedua tangangnya melingkar erat-erat ke tubuh Warok Wu-
lunggeni yang gagah perkasa itu dengan rasa kasih sayang
yang mendalam.
"Bagaimana keadaanmu, Mbokne, baik-baik saja, to," tanya
Warok Wulunggeni kemudian sambil duduk di sebelah is-
terinya di amben ampyak depan rumah itu.
"Ya, baik. Sehat-walafiat. Pakne," jawab isterinya.
"Kamu, Milah. Sudah lama kamu hidup bersama Budemu di
sini," tanya Warok Wulunggeni kepada keponakannya Milah
yang juga nampak ikut gembira menyambut kedatangan Pak-
denya itu.
“Baik-baik saja, Pakde," kata perawan itu dengan manisnya.
"Maafkan. Pakdemu ini yah. Tidak sempat membawakan oleh-
oleh buat kamu, Milah. Pakde tidak tahu kalau kamu ikut
bersama Budemu di sini".
"Ach, tidak apa-apa kok, Pakde. Milah juga ikut senang,
sekarang Pakde sudah kembali pulang dengan selamat".
"Yah. Yah, berkat doamu juga, Milah. Pakde dapat pulang
dengan selamat”.
"Pakne, apa tidak ada halangan apa-apa selama di perjalanan,”
tanya isterinya kembali.
"Yah. Berkat doamu saja. Mbokne. Walaupun banyak juga
halangan di jalan. Syukur, aku masih bisa mengatasi dengan
baik. Aku selamat dan bisa kembali sekarang ke rumah ini juga
lantaran banyak kesulitan yang bisa diselesaikan dengan aman
di perjalanan".
"Lalu, apa sudah ada hasil, usahanya, Pakne".
"Berkat doamu saja, Mbokne. Banyak pengetahuan baru yang
dapat aku peroleh selama kepergianku ke Blitar ini".
"Pakne. Apa tidak sebaiknya kita masuk saja ke dalam rumah
sana. Udaranya mulai dingin. Aku akan bikinkan wedang jahe
kesukaanmu," kata Mbok Rukmini serambi terus ke dapur
diikuti keponakan perempuannya yang biasa rajin membantu
Budenya itu.
"Ini Mbokne, ada sedikit oleh-oleh. Hlanya ini saja oleh-
olehnya, sekampluk dari kenalan-kenalan lama yang memberi-
kan ini semua kepadaku ketika aku menengok mereka. Semua
isteri kenalan--kenalanku itu pada titip salam untuk kamu,
Mbokne." Kata Warok Wulunggeni sambil menyerahkan kam-
pluk besar. Mbok Rukmini dan Milah segera membuka isi
kampluk itu yang ternyata berisi macam- macam barang keper-
luan dapur, bahan makanan, dan lain-lain. Mbok Rukmini dan
Milah nampak gembira melihat itu semuanya.
"Aku tidak tahu, apa saja isinya kampluk-kampluk itu. Wong
itu semua pemberian mereka. Hanya makanan yang sudah
dimasak saja yang aku ambil untuk makan di jalan," kata
Warok Wulunggeni.
"Wah, baik sekali kenalan-kenalan kamu itu, Pakne".
"Yah, mereka hanya butuh persahabatan saja. Dan itu
sepertinya sebagai tanda mata persaudaraan untuk saling
memberikan perhatian sesamanya teman".
"Sebentar, Pakne. Aku akan siapkan makan dulu untuk kamu,
sepertinya kamu belum makan".
"Iyah, memang belum. Kamu masak makanan apa, Mbokne".
"Yah, itu ada lauk, "jangan lodeh”.
"Wah itu makanan kesukaanku. Sudah lama aku tidak men-
cicipi masakanmu, Mbokne. Tolong cepat disediakan, aku
sudah kepengin makan. Perut rasanya sudah lapar sekali".
"Yah, sabar dulu, Pakne. Aku panaskan dulu, biar kalau nanti
dimakan jadi enak”.
Setelah ngobrol beberapa saat sambil menunggu tersedianya
makanan yang sedang dihangatkan oleh Milah di dapur,
Warok Wulunggeni, menanyakan keadaan anak gadisnya,
Sri Wigati.
"Lho, sejak tadi kok tidak kelihatan Sri Wigati. Kemana anak
itu. Mbokne".
"Sabar dulu, Pakne".
Diceriterakan oleh isterinya bahwa anak perempuan satu-
satunya yang bernama Sri Wigati itu sekarang telah diambil
isteri oleh seorang perwira tinggi Kadipaten.
Sejak mendengar ceritera diambilnya anaknya, putri satu-
satunya itu menjadi isteri seorang punggawa Kadipaten itu,
remuk bati Warok Wulunggeni. Mukanya nampak merah
padam ketika mendengar penuturan isterinya demi diketahui
anak perempuan satu-satunya itu kini berada pada pihak Kadi-
paten yang dibencinya itu.
"Siapa nama laki-laki yang telah berani mengambil anak
perempuan kita itu, Mbokne," tanya Warok Wulunggeni
nampak geram.
"Namanya, Drajad Panuju. Pangkatnya katanya setingkat Tu-
menggung kerajaan begitu. Malahan katanya perkawinan putri
kita dengan Drajad Panuju itu atas restu langsung dari Kanjeng
Gusti Adipati. Jadi karena pada waktu itu, tidak ada Pakne, aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah aku katakan, tunggu persetu-
juan Bapaknya Sri Wigati. Tetapi sudah ditunggu, tahun ganti
tahun terus, Pakne tidak muncul-muncul juga, apakah Pakne
masih hidup apa sudah mati, tidak ada kabar beritanya. Lalu,
mereka memutuskan untuk mengawini anak kita itu. Dan aku
tidak bisa berbuat apa-apa. Begitu ceriteranya, Pakne," ujar
Mbok Rukmini, isteri Warok Wulunggeni itu nampak lesu.
"Byuh...byuh. Wah...wah...wah tatanan apa yang dipakai
ini. Aku ini kan Bapaknya. Orang tuanya. Berani-beraninya
mengambil anak orang, tidak pamit dulu kepada bapaknya.
Ini aturan mana. Apa kalau sudah pangkat tinggi itu, bisa
seenaknya sendiri melakukan apa saja. Aku merencanakan
anak kita, Sri Wigati itu sudah aku 'gadang-gadang' akan aku
kawinkan dengan laki-laki keturunan raja. Harus jadi per-
maisuri raja. Itu sudah jadi harapanku sejak lama. Kalau sudah
begini ini bagaimana. Inilah Mbokne yang jadi bikin tidak enak
hati. Aku tidak terima anakku hidup sengsara seperti kita.
Derajatnya selalu diinjak-injak sama orang yang kuasa. Kalau
anakku jadi permaisuri raja, derajat kita juga akan ikut naik
pamornya. Bagitu kan, Mbokne. Tetapi naas juga nasib anak
kita cuma dikawini sama punggawa Kadipaten," ujar Warok
Wulunggeni nampak mengeluh dalam. Terasa begitu menye-
sali diri tidak bisa menjaga anak perempuan satu-satunya
sehingga diambil laki-laki lain yang belum pernah diketahui
juntrungnya, asal- usulnya, dan perangainya.
“Sudah. Sudahlah, Pakne. Anak kita juga nampak sudah
senang hidup di lingkungan Kadipaten. Kelihatanya si Panuju
menantu kita itu anaknya baik. Jadi aku juga tidak banyak
mempersoalkan waktu itu ia melamar kemari. Anak kita kini
kelihatan hidup bahagia lo, Pakne," kata Mbok Rukmini
berusaha menenangkan suaminya yang kelihatan resah berat
itu,
Warok Wulunggeni, termenung sejenak setelah mendengar
kata-kata terakhir isterinya itu. Rupanya hatinya agak terhibur
juga dengan kata-kata anaknya kini sudah hidup bahagia.
"Jadi anak ini bukan menyepelekan aku sebagai bapaknya,
begitu to Mbokne," ujar Warok Wulunggeni selanjutnya.
"Ya, jelas tidak. Wong ia datang kemari dengan baik-baik dan
menunjukkan sikap sopan-santunnya. Beberapa kali menan-
yakan kamu. Ia mau meminang kepada kamu sebagai ba-
paknya, tetapi kamu tidak pernah ada. Lalu, bagaimana. Jadi
jelas tidak mungkin bermaksud menyepelekan kamu. Ia
senang kepada anak kita. Jadi menurutku, kita sebagai orang
tua ya tut wuri handayani saja to, Pakne," ujar Mbok Rukmini
nampak mulai merasa lega dapat memberikan pengertian
kepada suaminya yang terkenal suka naik darahnya kalau
melihat hal-hal yang tidak disukai:
"Yah, kalau demikian itu memang benar. Aku yang salah.
Tetapi yang masih menjadi ganjalan hatiku, mengapa anak itu
tidak sudi menunggu izinku. Menunggu sampai aku datang”.
"Izin. Bagaimana mungkin menunggu izinmu, wong kamu
tidak jelas beradanya dimana. Sampai kapan akan ketemu
Pakne. Perginya kemana, cara menghubungi dimana, tidak
diberitahu, mana mungkin aku dapat menyampaikan semua
kejadian ini kepada Pakne. Syukur Pakne masih hidup, kalau
sudah mati, terus ditunggu sampai kapan".
"Huss. Jangan ngomong ngawur saja. Sembarangan ngomong.
Kapan aku dikatakan mati. Warok Wulunggeni masih berjaya
perkasa. Siapa yang berani bikin mati aku, Mbokne. Malahan
sekarang aku memiliki ilmu macan loreng. Jangan kaget
Mbokne kalau tiba-tiba aku jadi macan, kamu harus tahu itu
macan jadianku," ujar Warok Wulunggeni membanggakan diri
dihadapan isteri setianya, nampaknya ia sudah mulai lupa pada
pembicaraan soal anaknya, ia baru ingat ingin pamer kepada
isterinya mengenai ilmu bela diri yang baru diperolehnya
selama lima tahun belajar di perguruan Padepokan Lodaya
Blitar Selatan itu.
"Hah, apa benar ini, Pakne," kata isterinya nampak terkejut.
"Benar. Coba sekarang aku akan peragakan dihadapanmu agar
kamu tidak kaget sewaktu-waktu melihat ada macan di rumah
kita ini. Itu aku yang jadi," ujar Warok Wulunggeni kelihatan
bangga.
"Jangan Pakne, aku takut. Nanti kamu tidak dapat berubah jadi
manusia lagi".
00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000"Ha. ba ba jangan khawatir. Jangan khawatir. Aku ini
sudah sangat menguasai ilmu ini. Selama lima tahun ini aku
menuntut ilmu macan loreng ini. Sudah sangat aku kuasai.
Sekarang, diamlah, Mbokne. Aku akan mulai berkonsentrasi,"
kata Warok Wulunggeni sambil menyilangkan tangannya ke
depan dan mendekap dadanya erat-erat, Mulutnya komat-
kamit nampak sedang membaca mantera. Tiba-tiba secara
pelan-pelan dan kemudian makin cepat dan tak lama kemudian
sekujur tubuh Warok Wulunggeni itu telah berubah menjadi
macan loreng yang perkasa. Taringnya nampak runcing, kuku-
kuku pada jarinya nampak menjulur tajam. Matanya men-
corong berkilap. Isterinya nampak ketakutan, terbayang betapa
ngerinya macan segede itu menerkamnya dengan ganas.
"Jangan takut, Mbokne," tiba-tiba ujar macan loreng besar
itu mengeluarkan suara yang masih suara suaminya, Warok
Wulunggeni. Hati isterinya menjadi tenteram kembali. Dan
lama-lama macan loreng itu berubah kembali pada asalnya
menjadi suaminya lagi setelah mulutnya nampak komat-
kamit membaca mantra. Lega sudah hati isterinya melihat
suami yang dicintainya itu kembali utuh berwujud manusia
seperti semula.
"Ha...ha...hebat bukan sekarang aku, Mbokne,” kata Warok
Wulunggeni membanggakan diri dihadapan isterinya.
"Pakne, pakne. Saya hampir pingsan melihat kamu jadi macan
garang seperti itu," kata Mbok Rukmini kepada suaminya:
"Sudah sana, mana makan kita, aku sudah lapar," kata Warok
Wulunggeni sambil membetulkan ikat pinggangnya yang ter-
buat dari kulit ular sawah, segede anak ular naga itu.
Di tengah pembicaraan sambil makan malam itu, Warok Wu-
lunggeni mengutarakan rencananya untuk pindah rumah ke
daerah Sirah Keteng.
"Mbokne, sepulangku dari Blitar ini, aku pengin 'tetirah ' dulu.
Istirahat. Sampai beberapa saat. Kalau rumah kita masih di
Dukuh Dawuan sini ini, hatiku tidak bisa tenteram. Aku
merencanakan untuk pindah saja dari Dukuh Dawuan ini.
Apa kamu setuju".
"Terserah, Pakne saja. Kemana saja Pakne mau pindah, aku
tidak keberatan".
"Sudah aku pikir lama. Bagaimana kalau kita pindah ke daerah
Sirah Keteng. Kita bertani di sana. Memelihara ikan, beternak
lembu, dan mungkin banyak pekerjaan yang bisa kita lakukan
di sana".
"Aku setuju saja, Pakne. Kapan rencana kita pindah".
"Esuk pagi".
"Mengapa terburu amat".
"Sebelum aku pulang kemari, kemarin aku sudah mampir ke
daerah Sirah Keteng itu. Seorang kawan lama telah
menawariku sebidang tanah yang luas. Aku disuruh mengo-
lahnya. Tanah itu langsung diberikan kepadaku, dengan syarat,
aku harus mau pindah ke sana”.
"Ach masak. Mana ada orang mau kasih begitu saja terhadap
tanah- tanahnya. Mungkin dipinjamkan, bukan dikasih".
"Dikasihkan. Ini surat-suratnya sudah disetujui Pak Lurah.
Lihat ini tulisan Pak Lurah. Aku sudah dikenalkan, sudah
ketemu, dan sudah diberi namaku terhadap tanah itu".
"Kenapa mereka mau berbaik hati begitu, Pakne".
"Di daerah Sirah Keteng, tanahnya subur, air gampang didapat.
Pertaniannya baik, maka banyak orang kaya di sana. Hanya
saja, penduduk di situ punya masalah. Banyak diganggu oleh
para perampok dan begal-begal. Nah di situ mereka meng-
harapkan kepadaku untuk mengurus soal gangguan para
perampok dan begal- begal itu. Jelas aku sanggupi saja soal
perlindungan pengamanan itu, wong menghadapi begal saja
apa susahnya. Maka mereka mengharapkan aku segera pindah
dan hidup di sana secepatnya".
"Ohhh, begitu. Ya, kalau demikian aku bersiap-siap sekarang.
Lantas, rumah kita ini bagaimana. Mau diapakan, Pakne".
"Rumah ini biar diurus oleh si Sarwo Dipo itu saja, Mbokne.
Dia itu kan dulu bekas anak buahku. Sejak dulu orang itu selalu
setia kepadaku. Apalagi ia kan sampai sekarang belum punya
rumah sendiri. Keluarganya biar diboyong kemari. Menempati
rumah kita ini. Itu kan cukup 'prayogo' to, Mbokne".
"Iyah, yah. Pakne. Aku cocok dengan rencanamu itu"
"Yah. Sudah. Kalau kamu juga setuju. Aku ikut senang.
Sekarang, aku mau istirahat dulu. Badan ini rasanya jadi capek
sekali sejak menempuh perjalanan jauh ini”
"Apa perlu aku pijat, Pakne".
"Ach, tidak usah. Kamu sendiri istirahatlah supaya kamu juga
terjaga kesehatanmu".
Setelah berbincang lama sampai larut malam, Kemudian, tam-
pak tidak terdengar lagi suara pasangan suami-isteri yang
sudah lama tidak berkumpul itu. Tidak berapa lama mereka
kelihatan sudah tidur berpelukan mesra di kamarnya seperti
layaknya penganten baru.
BERSAMBUNG
Emoticon