1
Cirebon di akhir abad ke-XVII.......
Hari itu, matahari pagi bersinar cerah. Embun yang semalam menyirami
rumput-rumput di halaman Gedung Karesidenan Cirebon tampak dari jauh
berkilau-kilau seperti butiran intan, satu per satu perlahan-lahan bergulir
jatuh ke tanah, terusir oleh kehangatan surya pagi.
Di sana-sini kelihatan kupu-kupu beterbangan kian ke mari di atas rumput
hijau yang laksana permadani. Kupu-kupu bersayap indah itu, seakan-akan
riang ceria menyambut suasana baru pergantian pejabat tinggi Belanda dari
Letnan Jenderal Leonard Van Eisen yang tewas di Kandanghaur dengan Letnan
Jenderal Van den Smooth.
Di pagi yang cerah itu, dua orang pejabat Belanda berpakaian preman tampak
di bagian belakang gedung Karesidenan sedang menuju ke tempat penyimpanan
kuda. Mereka ialah Letnan Jenderal Van den Smooth dengan seorang tamunya,
perwira tinggi.
“Goed! Kowe orang kerja rajin!” puji Van den Smooth sambil mendekati kacung
perawat kudanya. Anak muda yang sedang bekerja memandikan kuda itu kaget. Ia
menoleh ke arah datangnya sapaan itu.
Ketiga pendekar wanita itu maju lebih dahulu sambil menahan Sri Ayuningrum
dan Kaswita dengan tangannya. “Ssst! Itu dia penjaga-penjaga tengik, biar
aku yang membereskan mereka, kalian bersembunyi, lekas!” perintah Kepala
Kembar Tiga Melati dengan tegas tanpa ragu.
Begitu perintah selesai diucapkan, kedua anggota Kembar Melati lainnya
menyelinap dengan cepat tanpa suara.
Tidak begitu jauh dari situ, terlihat tiga orang pendekar bayaran yang
bekerja untuk Kumpeni Belanda mundar-mandir seperti ada firasat jelek. Salah
seorang di antara mereka berkata dengan nada curiga.
“Panjul! Rasa-rasanya ada suatu yang tidak beres, bersiaplah!”
“Siap!” sahut kedua kawannya dengan serentak.
Seorang pendekar bayaran yang tinggi tegap, dengan waspada memasang telinga
dan mata, mengawasi tiap bunyi dan gerak, tetapi tiba-tiba ia menjerit
dengan keras karena punggungnya terbacok golok dari belakang. Setelah itu ia
rubuh ke tanah tidak berkutik lagi
“Itu imbalan setimpal untuk penghianat bangsa,” bentak seorang pendekar
wanita dengan geram, sambil menendang pendekar busuk itu dengan jijik.
Tidak lama kemudian terjadilah hiruk-pikuk di gedung Karesidenan.
Serdadu-serdadu Kumpeni Belanda dan pendekar sewaan mulai kalang kabut
dengan senjata di tangan. Mereka terus berusaha mengepung pendekar-pendekar
si Kembar Tiga Melati.
Salah seorang di antara tiga pendekar Wanita tersebut, benar-benar
terkepung. Berbagai senjata diarahkan kepadanya. Teriakan “Maling! Maling!
Bunuh dia! Bunuh!” Terdengar terus-menerus.
Tetapi, apa yang terjadi? Ketika sang pendekar itu melejit ke atas, puluhan
senjata yang diarahkan kepadanya, namun dengan kecepatan yang luar biasa,
tak satu pun senjata-senjata itu mengenai tubuh mereka.
“Alhamdulillah!” ucap pendekar wanita tersebut sambil melejit kembali ke
atas tembok.
“Bangsat awewe, Setan!” serapah pendekar-pendekar bayaran dengan kesal dan
marah. Mereka terus mencoba hendak menangkap pendekar-pendekar wanita itu,
tetapi gerakan mereka benar-benar seperti angin.
Baru saja terlihat dari depan, tiba-tiba berkelebat yang lain dari
belakang. Banyak korban yang jatuh dari serdadu-serdadu jaga dan tidak
kurang pula pendekar bayaran yang sama sekali tidak berkutik menghadapi
gerakan silat Tiga Melati.
Sementara itu, Kaswita dan Sri Ayuningrum menyelinap perlahan-lahan ke
kamar tahanan, tempat Jaka Sembung ditahan. Tetapi sebelum tiba di tempat
yang dituju, terdengar suatu bentakan keras, “Hei, siapa kau?”
Sri Ayuningrum tidak menjawab, tetapi serentak dengan membalik tubuhnya
yang ramping, suatu tusukan pedang menusuk tembus di jantung pengawal yang
membentaknya. Pengawal itu rubuh seketika dan tidak bangun lagi.
Sri tersenyum puas dan berbalik kembali untuk menuju ke kamar tahanan.
Tetapi, tanpa diduga dari mana datangnya, sebuah tombak berdesing di dekat
telinganya, tetapi ia berhasil berkelit cepat. Ketika ia melihat ke arah
datangnya tombak, tiba-tiba terdengar teriakan Kaswita, “Kak Sri, kau
dibokong dari belakang!”
Tetapi, Sri Ayuningrum tidak sempat mengelak lagi. Namun Tuhan belum
menakdirkan pendekar wanita itu harus tewas di tangan orang jahat. Ayunan
beliung bermata dua milik Kaswita telah mampir lebih dahulu membabat leher
si pembokong itu.
Sri Ayuningrum secepat itu pula menggunakan kesempatan untuk menuju ke
kamar tahanan Jaka Sembung.
“Belok ke kanan, Kak Sri!” Kaswita memberi petunjuk kepada kakaknya.
Sementara itu, di luar terdengar suara derap sepatu serdadu Kumpeni Belanda
yang makin lama makin tambah banyak. Mereka menuju ke bagian belakang gedung
tempat terjadinya bentrokan berdarah.
Ketika tiba di sebuah gang, serdadu-serdadu itu menjadi sangat terperanjat
ketika melihat munculnya sesosok tubuh dengan tiba-tiba.
“Hei! Siapa itu?” tanya seorang pendekar yang membantu serdadu
Belanda.
Pertanyaan itu tidak terjawab, hanya dari balik kegelapan malam itu, tampak
sepasang mata dengan sorot tajam dan mengancam. Kemudian muncul
perlahan-lahan di suatu tempat yang terang.
“Ha!?” seru para pendekar bayaran sambil mengepung tamu yang tidak diundang
itu.
“He, kakinya buntung!” teriak salah seorang pengepungnya.
Pendekar buntung itu mulai bergerak dibantu oleh tongkat penyangga di
sebelah kakinya yang buntung. Melihat pendekar buntung itu, makin lama makin
mendekat, tiba-tiba dengan gerak serentak para pengawal menyerbu untuk
menyergap pendekar cacat itu.
Tetapi, sebelum sempat mereka menjamah badan pendekar buntung, satu persatu
mereka jatuh terkulai dengan senjata tajam menancap di badan. Rupanya
senjata-senjata itu berasal dari tongkat penyangga pendekar buntung.
“Hebat sekali!” bisik seorang serdadu Kumpeni Belanda yang melihat kejadian
tersebut.
Setelah kejadian itu, pendekar buntung dengan langkah perlahan tetapi pasti
segera meninggalkan tempat itu. Ketika ia melewati tempat-tempat penjagaan,
sekali lagi pendekar ini dikepung untuk ditangkap.
“Kurung Iblis buntung itu!” teriak salah seorang serdadu. “Jangan kasih
peluang! Tangkap!” teriak yang lain dengan gemuruh.
Tetapi, pendekar tangguh itu tidak sedikit pun bergeming. Dengan tenang ia
melewati serdadu-serdadu yang mengepungnya.
“Serang!” Salah seorang pendekar bayaran memberikan perintah kepada
kawan-kawannya. Sejumlah pendekar kawakan maju menyerbu untuk menangkap
pendekar cacat itu. Tetapi, tahu-tahu, beberapa orang dari mereka rubuh ke
tanah tanpa gerakan yang berarti dari pendekar tersebut.
Bersamaan dengan peristiwa itu, Sri Ayuningrum dan adiknya Kaswita telah
berada di dekat kamar tahanan Jaka Sembung. Kedua adik Jaka Sembung itu
mengintip dengan sabar dari kedua sisi kamar.
Mereka menunggu kesempatan baik dengan penuh perhitungan. Sri Ayuningrum
dan Kaswita melihat dua orang serdadu jaga di kiri kanan pintu dengan
senapan masing-masing di tangan.
“Aku tak khawatir dengan bedil locok itu,” kata Kaswita dalam hati. Apa
yang diperkirakan oleh adiknya, Sri Ayuningrum pun beranggapan sama.
Kaswita segera memberikan isyarat agar kakaknya memulai serangan dan ia
sendiri mendobrak pintu tahanan. Sri Ayuningrum perlahan-lahan bergeser
setindak demi setindak ke samping serdadu jaga yang ada di sebelahnya.
Kemudian dengan tenang ia berkata setengah berbisik, “Jangan ngantuk,
Tuan!”
Tentu saja serdadu jaga itu sangat kaget, tetapi sebelum sempat ia membalik
badan, Sri Ayuningrum sudah lebih dahulu membeset perut serdadu yang malang
itu. Melihat serangan tersebut kawan jaganya segera mengangkat senapan
hendak membokong Sri Ayuningrum dari belakang, tetapi sebelum niatnya
kesampaian, Sri telah lebih dahulu menyilangkan pedangnya ke belakang tanpa
berbalik.
Tusukan pedang Sri Ayuningrum mengena sasarannya, tepat di jantung kedua
serdadu jaga itu, sebentar berkelojotan menahan sakit, kemudian meringkuk
dengan kedua tangannya menutup luka.
Sementara itu, tanpa menyia-nyiakan waktu, Kaswita segera membobol pintu
dengan senjata beliungnya yang ampuh. Ketika pintu telah terbuka, Kaswita
segera melompat ke dalam kamar tahanan, disusul dari belakang oleh Sri
Ayuningrum.
“Kosong, Kak!” seru Kaswita dengan kesal. Harapannya setinggi gunung untuk
membebaskan Jaka Sembung, ternyata sia-sia.
“Mereka mengelabui kita, Dik!”
“Mereka juga menjebak kita, Kak Sri!”
“Cepat keluar meninggalkan tempat ini, tidak ada gunanya lagi kita
berlama-lama di sini,” kata Sri Ayuningrum setengah perintah.
Kaswita dengan beliung di tangan melompat ke luar kamar tahanan. Di ujung
gang yang panjang sejumlah serdadu Belanda muncul sambil membentak dengan
suara keras,
“Godverdomme zeg!”
Kedua adik kakak, Kaswita dan Sri Ayuningrum segera membalik badan untuk
lari ke arah berlawanan, tetapi gang itu telah terkepung oleh serdadu
Belanda. Puluhan laras senjata bedil terarah kepada mereka.
“Jangan lari!” suatu teriakan keras terdengar, “Kalau kalian lari kami
tembak!”
Kaswita dan Sri Ayuningrum tertegun ragu. Kedua mereka memperhatikan
serdadu yang sedang mengepung.
“Hei, kau kacung Letnan Jenderal Van den Smooth, bukan?” tanya seorang
serdadu yang sempat mengenal Kaswita.
“Bagaimana, Kak?” bisik Kaswita.
“Tidak ada jalan lain, kecuali memberikan perlawanan,” jawab Sri
Ayuningrum, “Gunakan jurus Walang Sungsang!”
Begitu petunjuk Sri Ayuningrum selesai, kedua pendekar kakak beradik itu
berjumpalitan dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sehingga
senapan-senapan yang ditujukan kepada mereka, meletus tanpa sasaran.
Sementara itu, seorang serdadu yang berdiri terpisah segera membidik
senapannya, tetapi, “Hiyaat!”
Senjata beliung Kaswita telah mendahuluinya sehingga pelor yang dibidikkan
serdadu itu tidak pernah keluar dari larasnya sampai ia menghembuskan
nafasnya yang terakhir. Kaswita yang ahli berjumpalitan, beberapa waktu
terus bergerak di udara sehingga beberapa orang serdadu menerima tendangan
telak dari kaki pendekar muda itu.
Sementara itu, Sri Ayuningrum berkelebat turun di tempat yang diperkirakan
tidak berbahaya, tetapi dugaannya meleset. Begitu ia berada di tanah, dua
laras senapan dengan cepat mengarah ke dadanya.
“Menyerah Kowe orang!” bentak seorang serdadu Belanda siap untuk menembak,
tetapi Sri Ayuningrum dengan cepat mengayunkan pedangnya ke samping dan
tepat mengenai tangan serdadu yang ada di sebelah kanannya sehingga senapan
yang dipegangnya jatuh terpelanting.
Sementara serdadu, yang ada di samping kirinya mencoba menembak, tetapi
sia-sia. Sri Ayuningrum dalam posisi tidur memutar badannya seperti gasing
sambil menggaet kaki serdadu itu dengan cepat sehingga ia terjatuh.
Ketika serdadu itu hendak memungut kembali senapannya, tiba-tiba terus
diinjak dan suatu tendangan kuat yang dilakukan Sri Ayuningrum bersarang di
rahang bawahnya, sehingga ia terjengkang jatuh telentang dan tidak sadarkan
diri.
Sri Ayuningrum merasa lega terlepas dari kepungan. Pendekar muda itu tidak
menyadari dirinya sedang diikuti oleh sepasang mata yang mencari kesempatan
untuk membokongnya dari belakang. Tetapi, niat buruk itu tidak kesampaian.
Sebelum senapannya memuntahkan peluru ke tubuh pendekar itu, beliung Kaswita
telah lebih dahulu merobek tubuh serdadu itu.
Pertarungan antara serdadu Belanda dengan pengikut Jaka Sembung yang
berlangsung mulai tengah malam sampai menjelang subuh masih belum berhasil
dipadamkan oleh Kumpeni Belanda. Sementara itu, korban di pihak Kumpeni
Belanda semakin banyak berjatuhan, tetapi serdadu bantuan terus didatangkan
tidak henti-hentinya.
“Kak Sri! Kita harus cepat meninggalkan tempat ini, sebelum matahari
terbit. Tidak ada gunanya lagi mencari gara-gara dengan Kumpeni Belanda.
Orang yang ingin kita bebaskan pun sudah tak ada di sini,” kata Kaswita
setengah berbisik.
“Memang! Suasananya pun semakin berbahaya. Belanda terus menerus
mendatangkan bala bantuan,” tanggap Sri Ayuningrum.
Begitu perkataan Sri Ayuningrum selesai, begitu pula kedua pendekar muda
itu melesat ke udara. Sebentar kemudian mereka sudah berada di atas tembok
pekarangan gedung. Serentak dengan itu, terdengar suara tembakan
bertubi-tubi memekakkan telinga.
Dalam hujan peluru yang deras itu, mereka menghilang tanpa seorang pun tahu
ke mana perginya.......
***
2
Baru sebentar Kaswita dan Sri Ayuningrum tiba di gubuk mereka yang
terpencil itu, dari kejauhan terdengar suara adzan Subuh sayup-sayup, di
selingi kokok ayam.
Setelah istirahat sebentar, mereka pun melakukan sholat Subuh. Dalam sholat
itu, mereka memanjatkan doa kepada Tuhan semoga Jaka Sembung
dilindungi-Nya.
“Apa rencana kita sekarang, dik?” tanya Sri sambil menatap wajah adiknya
dengan tatapan lesu.
“Aku tak tahu, Kak!” jawab Kaswita dengan nada sedih. “Tetapi, yang jelas,
kita harus berbuat sesuatu dalam usaha membebaskan Kang Parmin.”
Sejenak kedua pendekar itu mencoba mencari jalan keluar. “Apakah tidak
mungkin Kang Parmin sudah dinaikkan ke atas kapal?” kata Kaswita seperti
bertanya pada dirinya.
“Kita ke pantai,” ujar Sri Ayuningrum sambil menghela pedangnya yang
terletak di atas tempat tidur. Kedua mereka segera bergegas menuju
pantai.
Dalam suasana remang-remang itu, para nelayan sudah mulai ramai. Ada yang
baru kembali dari laut dengan membawa ikan hasil tangkapannya, ada pula yang
sedang bersiap-siap untuk turun ke laut.
“Dik!” bisik Sri Ayuningrum kepada Kaswita yang jalan seiring, “Buka
matamu. kalau-kalau ada serdadu Kumpeni Belanda yang memata-matai
kita.”
Kaswita mengangguk. Mereka terus menuju ke tepi pantai.
“Mang!” Sri Ayuningrum tiba-tiba berhenti dan bertanya kepada seorang
nelayan yang sedang menatap jauh ke laut,
“Kapalnya sudah berangkat?”
Nelayan yang ditanya dengan tiba-tiba itu kaget. Kemudian dengan nada ramah
menjawab,
“Sudah, Neng!”
“Sudah lama?”
“Kira-kira setengah jam yang lalu.”
“Banyak membawa penumpang?” Kaswita menyeling.
“Kali ini tidak membawa penumpang umum, tetapi hampir semuanya serdadu
Kumpeni Belanda.”
Nelayan itu menjelaskan dengan jujur apa yang diketahuinya.
“Mungkin mereka membawa tahanan barangkali........” kata Kaswita acuh tak
acuh untuk memberikan kesan apa yang ditanya itu tidak penting.
“Memang! Kulihat ada seorang tahanan berperawakan tinggi kekar dikawal
serdadu Kumpeni Belanda ketika naik tangga dengan tangan dirantai.”
“Terima kasih, Mang!” ucap Sri Ayuningrum sambil menatap Kaswita dengan
pandangan berarti.
“Tidak salah lagi, Kak! Tahanan yang dikatakan Mamang tadi pasti Kang
Parmin alias Jaka Sembung,” ujar Kaswita dengan hati panas.
Apa yang diceritakan nelayan tadi kepada Sri Ayuningrum dan Kaswita memang
benar. Menjelang Subuh kapal berukuran besar itu mengangkat sauh dan
mengembangkan layar.
Kemudian kapal tersebut berangkat menuju laut lepas dengan membawa
tahanannya, Jaka Sembung. Akal licik dan tipu muslihat Kumpeni. Belanda
memang terkenal di mana-mana, terutama di negeri-negeri jajahannya.
Sejak Jaka Sembung dijadikan tahanan melalui siasat licik, pemerintah
Kumpeni Belanda sudah memperkirakan apa yang bakal terjadi. Mereka sudah
menyangka, penahanan Jaka Sembung di gedung Karesidenan itu, sama artinya
dengan mengundang pendekar-pendekar kawakan untuk membuat onar. Dugaan itu
segera menjadi suatu kenyataan.
Malam itu, sebelum peristiwa berdarah terjadi di gedung Karesidenan, Letnan
Van den Smooth sudah lebih dahulu mendapat informasi dari penyelidiknya
bahwa akan ada suatu penyerbuan untuk membebaskan Jaka Sembung dari
sekelompok pendekar yang simpatisan kepadanya. Karena itu, Van den Smooth
segera memerintahkan orang-orangnya untuk mengamankan Jaka Sembung di sebuah
tempat yang sangat dirahasiakan.
Sebuah, kapal dagang Belanda yang kebetulan sedang berlabuh di pelabuhan
Cirebon, dicarter oleh penguasa setempat. Ketika penyerbuan para pendekar
simpatisan Jaka Sembung berlangsung, Jaka Sembung dipindahkan ke kapal
setelah mereka merasa serbuan itu hampir-hampir tidak terbendung oleh
serdadu-serdadu jaga yang begitu banyak jumlahnya.
Semula Letnan Jenderal Van den Smooth hendak menjadikan serbuan
pendekar-pendekar tersebut sebagai suatu perangkap untuk menangkap semua
pendekar simpatisan Jaka Sembung, tetapi pejabat tinggi itu tidak
membayangkan betapa hebatnya sepak terjang rekan-rekan Jaka Sembung itu. Van
den Smooth sangat kecewa, dan salah perhitungan.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Kaswita.
“Sabar, dik! Kita harus melakukan sesuatu, tetapi tentu dengan pertimbangan
yang matang,” jawab kakaknya tersenyum.
Menjelang matahari terbit di sebelah Timur, tampak sebuah perahu nelayan
merapat ke pangkalan dan membongkar muatan.
“Tuh, ada perahu,” ujar Sri Ayuningrum sambil menarik tangan Kaswita yang
sedang melamun. Mereka segera berlari-lari menuju ke pangkalan.
“Pak! Tolong pinjamkan kami perahu,” cetus Kaswita dengan kaku, tanpa
berbasa-basi sedikit pun.
Sri Ayuningrum merasakan sikap kaku adiknya itu sehingga sempat menatapnya
dengan kesal.
Pemilik perahu tertegun sejenak sambil memandang Kaswita dengan pandangan
tersinggung. “Apa katamu, anak muda. Pinjam perahu? Ada-ada saja,” gumam
nelayan itu dengan kesal, “Aku belum pernah melihat tampang kalian,
datang-datang mau pinjam perahu, apa-apaan ini?”
“Maafkan dia, Pak!” potong Sri Ayuningrum, “Dia adik saya.”
“Apa maksud kalian sebenarnya?” tanya nelayan itu lembut.
“Kalau mungkin kami mau menyewa perahu Bapak untuk beberapa waktu,” jelas
pendekar wanita itu dengan ramah.
“Perahu ini bukan punyaku, Neng! Aku hanya menyewanya dari Cukong dengan
cara bagi hasil,” tolak nelayan itu dengan halus.
“Kalau begitu, Bapak jual saja perahu ini kepada kami. Berapa harganya
bukan soal, akan kami bayar sekarang juga,” kata Sri Ayuningrum dengan penuh
basa-basi.
“Aku tidak dapat memberikan harganya, Neng!”
“Ah, sudah, jangan bertele-tele! Ini uangnya,” kata Kaswita yang masih
tetap bernada kaku karena ia memang telah terlanjur kaku.
Nelayan pemilik perahu itu segera menyambut pundi-pundi yang berisi uang
tersebut.
“Berapa jumlahnya?”
“Cukup untuk beli 100 ekor kerbau!” jawab Kaswita ketus.
Tanpa menunggu jawaban boleh atau tidak dari nelayan itu, Kaswita melompat
ke dalam perahu sambil ngedumel, “Habis gajiku selama menjadi kacung
Belanda!”
Tanpa sedikit pun menyia-nyia waktu, Sri Ayuningrum turun ke perahu dan
langsung memegang dayung, sementara Kaswita membelok haluan perahunya dengan
cekatan dan meninggalkan pangkalan.
“Hei, anak muda! Kalian mau ke mana?” teriak nelayan itu dengan
gembira.
“Mau berlayar!” jawab Kaswita seenaknya.
“Jangan! Segera balik!” Nelayan tua itu memberi isyarat “Sebentar lagi akan
turun angin putaran. Heeei! Kembali kalian!”
Tetapi Kaswita sedikit pun tidak menggubris, meskipun nelayan tua itu
berteriak sekuat-kuatnya.
“Rupanya, mereka sangat khawatir akan keselamatan kita,” kata Sri
Ayuningrum yang dapat merasakan sikap baik nelayan tua itu. Kaswita dan Sri
Ayuningrum segera mengayuh perahunya ke tengah.
“Ke mana arah kita, Dik?”
“Tenang saja, Kak! Segalanya akan beres!”
“Beres bagaimana?” tanya Sri Ayuningrum ragu-ragu.
“Aku banyak pengalaman tentang berlayar, Kak! Kakak terus berdayung dan aku
pegang kemudi,” jawab Kaswita mulai bisa tersenyum lagi.
“Baik, Tuan Nakhoda!” Sri Ayuningrum bergurau dengan adiknya.
“Sekarang Kakak berdayung terus sampai ke tengah! Kemudian layar kita
kembangkan.”
“Ya, tetapi di mana letak pulau Papua yang kau ceritakan itu?”
“Dari sini ke Timur dan terus ke Timur sampai kita ketemu dengan kapal
Belanda yang membawa Kang Parmin.”
“Wah! Sederhana sekali kalau begitu,” ujar Sri Ayuningrum mulai ragu,
“Bagaimana kita tahu arah Timur, jika matahari sudah tenggelam nanti?”
“Saya Tuan,” ujarnya dengan gugup. Ia menatap wajah pejabat Belanda itu
sepintas, kemudian menunduk dan meneruskan pekerjaannya sambil menyikat
bulu-bulu kuda serta membersihkan lumpur yang melekat di celah-celah
kukunya.
“Pendeknya mudah, Kak!” kata Kaswita sok tahu.
“Hei, jangan semua dipermudah! Nanti salah-salah bisa kita nyasar ke
mana-mana.”
“Tidak, Kak! Jika malam hari, arah bisa kita ketahui dengan melihat
‘Bintang Gubuk Penceng’.”
“Bintang Gubuk Penceng?” ulang Sri Ayuningrum mulai percaya pada kemampuan
Kaswita.
Ketika matahari terbit di sebelah Timur, mereka telah jauh meninggalkan
pantai. Kaswita dengan sigap mulai mengembangkan layar. Perahunya pun melaju
dengan kencang beberapa mil.
“Kalau begini terus lajunya, kita akan cepat dapat menyusul kapal keparat
itu,” ujar Sri Ayuningrum sambil berhenti mendayung sementara.
Tetapi, tiba-tiba angin bertiup kencang. Langit yang tadinya biru, kini
berangsur-angsur berubah menjadi hitam pekat dan mendung seperti menggantung
di atas kepala mereka.
“Lihat itu ombaknya semakin besar!” keluh Sri Ayuningrum dengan rasa
khawatir, “Kalau salah-salah ombak itu dapat membalikkan perahu kita,
Dik!”
“Tenang, Kak! Berdoalah kepada Tuhan karena Dia-lah juru selamat kita
satu-satunya.”
Kata-kata Kaswita ternyata benar-benar merupakan penangkal keraguan
kakaknya.
Sri Ayuningrum dengan tenang menjaga keseimbangan perahunya sambil berdoa
dalam hati dan pasrah kepada Tuhan. Sementara itu terlihat Kaswita dengan
cekatan menurunkan layar untuk menjaga perahu tidak sampai terbalik.
Ombak raksasa mulai bergulung-gulung dan sekali-sekali mengangkat perahu
kecil yang ditumpangi kedua kakak-beradik itu tinggi-tinggi. Kemudian
perlahan-perlahan terhempas kembali bersama gelombang yang memecah.
“Jangan gugup, Kak! Jaga keseimbangan!”
Hanya itu yang selalu diperingatkan oleh Kaswita. Sri Ayuningrum semakin
tabah menghadapi ancaman alam yang semakin dahsyat itu. Sementara itu, ombak
kelihatan mulai jinak kembali dan perahu kecil yang tahan bantingan bergerak
lagi dengan tenang.
“Alhamdulillah!” ucap Sri Ayuningrum dengan penuh rasa syukur, tetapi
begitu ucapan itu selesai, tiba-tiba di depan mereka terlihat segulungan
ombak yang tinggi menjulang menyongsong perahu kecil mereka. Perahu itu
seperti terlempar ke atas dan air laut seperti menghempas badan Sri
Ayuningrum ke luar perahu.
“Kakak!” seru Kaswita dengan keras sambil menyambar tubuh kakaknya yang
tercebur ke laut. Tetapi, ia tidak berhasil. Ia hanya melihat sepintas lalu
tangan yang menggapai-gapai di permukaan air, agaknya jauh dari perahu.
Kemudian tubuh itu kelelap hilang dari pandangan. Gadis pedalaman ini
rupanya memang tidak pandai berenang.
Kaswita menjadi panik. Dengan harap-harap cemas ia menanti munculnya tangan
kakaknya itu ke permukaan air kembali. Harapannya itu menjadi
kenyataan.
Rupanya Tuhan belum menentukan ajal Sri Ayuningrum harus mati di dasar
laut. Kaswita segera menyambar tangan itu dengan sigap dan mengangkat tubuh
kakaknya itu ke dalam perahu.
“Alhamdulillah!” ucap Kaswita sambil menelungkupkan badan Sri
Ayuningrum.
Kini laut kembali berangsur-angsur menjadi tenang. Angin yang memacu ombak
perlahan-lahan berhenti sementara langit sedikit demi sedikit cerah
kembali.
“Bagaimana Kak?” tanya Kaswita ketika melihat kakaknya bergerak
perlahan-lahan mengangkat kepala.
“Perutku serasa kembung dan kepalaku pusing,” jawab Sri Ayuningrum.
Kemudian kepalanya tergolek kembali. Sehari penuh hari itu mereka bertempur
melawan keganasan alam.
Sementara itu, matahari yang sudah condong ke Barat, perlahan-lahan
tenggelam di kaki langit, digantikan oleh ratu malam. Itulah malam pertama
dari petualangan mereka. Ketika itu langit tampak berwarna biru muda.
Bintang-bintang bertaburan di sana-sini, berkelip-kelip dari kejauhan
seperti taburan mutiara yang berkilauan. Sri Ayuningrum sudah
berangsur-angsur sehat kembali.
“Kita makan, dik!” ajak sang kakak merasa berhutang budi. Sri Ayuningrum
membuka bagian bawah perahu. Ia mengeluarkan sebuah keranjang makanan yang
berisikan bekal selama dalam perjalanan.
Mereka pun santap bersama dengan penuh rasa nikmat karena perut mereka
memang sedang dalam keadaan lapar. Sementara itu, perahu kecil ini terus
berlayar di tengah lautan dengan tenang, dikayuh perlahan-lahan oleh Sri
Ayuningrum.
“Kak! Lihatlah bintang itu,” seru Kaswita sambil menunjuk ke sebuah
bintang.
“Mengapa?” tanya kakaknya berhenti mendayung, sementara perahu melaju terus
didorong ombak dari belakang, “Itulah bintang Gubuk Penceng yang kuceritakan
Kakak siang tadi.”
“Yang mana?”
“Itu yang berbentuk salib!”
Sri Ayuningrum mengangguk-angguk pertanda mengerti. “Dialah bintang sahabat
nelayan, yang selalu berbaik hati menuntun mereka ke arah tujuan,” jelas
Kaswita.
Malam itu laut begitu tenangnya. Ombak kecil-kecil seperti
berkejar-kejaran. Air terlihat berkelip-kelip seperti hendak mengatakan
hidup itu laksana lautan sebentar bergejolak, sebentar tenang.
Perahu Kaswita melaju dengan tenang. Angin mendorong dari belakang lewat
layar yang dipasang oleh nahkoda muda, pendekar Kaswita. Malam itu tak
banyak masalah! Pada waktu dinihari, perahu itu telah memasuki laut
Flores.
“Kakak tidur nyenyak sekali!” ujar Kaswita yang terus semalaman memegang
kemudi.
“Aku terlalu lelah, Dik,” kata Sri Ayuningrum, “Dan perutku pun terasa
lapar.”
“Makanan semalam masih ada, Kak?”
“Mengapa? Kau juga lapar?”
Kaswita mengangguk sambil tersenyum. Merekapun menyantap bersama makanan
yang tersisa kemarin.
“Persiapan makanan kita habis!” kata Sri Ayuningrum sambil membuang
bungkusan yang sudah kosong ke laut.
“Jangan khawatir, Kak! Di laut banyak makanan. Di air ada ikan dan di udara
ada burung,” ujar Kaswita sambil menunjuk beberapa ekor burung camar yang
terbang tenang pagi itu.
“Daging burung enak sekali,” tambah Kaswita sambil menelan air liur. “Kalau
Kakak suka, gunakanlah pedang mata dua Kakak itu.”
“Tetapi, bagaimana makannya, mentah-mentah begitu saja?” tanya Sri
Ayuningrum seperti enggan.
“Apa boleh buat! Di sini tidak ada api! Tak ada pula tetangga yang lewat
yang boleh diminta,” jawab Kaswita dengan mata masih saja menatap ke
burung-burung camar yang terbang rendah. Malam kedua telah pula dilewati
dengan mulus.
Pagi hari ketika mereka telah tiba di laut Banda. “Oh, lihat air laut di
sini jernih sekali,” kata Sri Ayuningrum setengah heran. “Ikan-ikannya jinak
dan berkawan-kawan.”
Kaswita turut juga menyaksikan keadaan laut Banda yang sama sekali belum
pernah dikunjungi, meskipun ia pernah mengikuti kapal sebagai seorang kelasi
yang menjelajahi pulau-pulau di Nusantara.
Pagi itu cuaca terang benderang. Matahari mengirimkan sinar lembutnya ke
permukaan laut. Sementara angin pagi berhembus sepoi-sepoi seperti membelai
kedua tubuh pendekar muda yang sedang menggenggam sebuah tekad untuk
membebaskan saudara mereka dari tangan besi penjajah Belanda. Laut Banda
yang tenang dan jernih itu tampak bersahabat dengan mereka.
Layar yang sejak semalam terpasang sangat membantu tugas Sri Ayuningrum.
Gadis muda yang cantik dan cekatan itu duduk dengan tenang sambil menatap
jauh ke depan.
Hatinya berlari jauh lebih cepat dari perahu sehingga di wajahnya membayang
rasa ketidak sabaran. Ingin saja cepat-cepat dapat mencegat kapal Belanda
yang menyandera kakaknya Jaka Sembung.
Kaswita yang memegang kemudi, sekali-sekali menoleh kepada kakaknya dan
diam-diam seperti merasakan ada sesuatu yang sedang menjadi lamunan
saudaranya itu.
“Kakak melamun?” tanya Kaswita penuh perhatian.
“Tidaaak,” jawab Sri Ayuningrum, mencoba menyembunyikan perasaan hatinya,
“Tetapi kira-kira berapa lama lagi pelayaran kita ini?”
“Mengapa, Kak? Kakak sudah tidak sabar?” tukas Kaswita dengan tersenyum
mencoba menghibur kakaknya. “Itu sangat tergantung pada cepat lambatnya
perahu kita ini dapat mengejar kapal besar itu,” jelas pemuda itu.
Ketika mereka sudah melewati laut Banda sejauh beberapa mil, dari depan
kelihatan langit mulai mendung dan perlahan-lahan menghitam. Angin
sekali-sekali datang dengan tiba-tiba disertai gelombang besar.
“Mungkin badai akan datang lagi,” seru Kaswita, “Kakak berhati-hati!”
Sri Ayuningrum diam membisu. Matanya terus menerus mengawasi suasana alam
sekitarnya yang dia sendiri tidak tahu untuk apa? Sementara Kaswita mulai
repot dengan kemudi yang selalu dipertahankan harus tetap ke Timur.
Dalam kesibukan demikian, Kaswita masih sempat memberikan semangat untuk
kakaknya, “Biar sejuta badai mengamuk, Kak, kita harus tetap sampai ke
tempat tujuan!”
Begitu selesai kata-kata itu lepas dari mulutnya, di atas mereka terlihat
sesuatu pusaran angin yang berbentuk kerucut seperti mengebor air laut yang
akan mereka lalui sehingga tidak jauh dari perahu mereka ternganga sebuah
jurang air laut dalam yang sangat mengerikan.
“Puting beliung!” teriak Kaswita yang tetap setia pada kemudi. Lembah air
laut yang dibuat angin puting beliung itu sudah terlalu dekat dengan perahu
mereka dan tidak mungkin dielakkan lagi.
Ketika perahu mereka berputar-putar seperti sabut dan terseret ke dalam
pusaran air itu, Kaswita hanya sempat berteriak keras, “Berpegang kuat-kuat
Kak!”
Perahu kecil itu beserta dua orang pendekar muda yang ada di dalamnya
mendadak lenyap dari permukaan laut tanpa bekas. Sementara suasana di
sekitarnya tenang kembali seperti tak pernah terjadi apa-apa. Tidak lama
kemudian, terlihat perahu naas itu muncul kembali perlahan-lahan ke
permukaan air dalam keadaan telungkup.
“Kak Sri! Kak Sri, di mana Kakak?” seru adiknya ketika ia menyadari dirinya
telah berada kembali di permukaan laut.
“Di sini, Dik! Di sini!” jawab Sri Ayuningrum sambil mendongakkan kepala ke
atas dan melihat Kaswita ada di depannya.
“Syukur Alhamdulillah, kita diselamatkan Allah,” kata Ayuningrum sambil
memejam mata. Kemudian ia meminta kepada adiknya, “Apa yang harus kita
lakukan dalam keadaan begini, Dik!”
“Aku belum tahu, Kak! Mari kita pasrahkan diri kepada Tuhan,” ujar Kaswita
seraya merapatkan pipinya dengan sisi perahu.
Tetapi, tiba-tiba Sri Ayuningrum mendengar sesuatu di sekitarnya. Ia
memperhatikan keadaan di sekelilingnya dan apa yang tampak olehnya?
Sekeliling mereka terlihat sirip ikan hiu yang muncul ke permukaan
air.
“Cepat naik ke atas, Kak! Ikan-ikan itu sangat berbahaya,” kata Kaswita
yang sedikit banyak tahu tentang laut. “Hati-hati Kak!”
Sebagai pendekar, untuk melejit ke punggung perahu dalam posisi terbalik
itu bukanlah suatu yang sukar. Ketika kedua penumpang perahu itu terlihat
bergerak, seekor ikan hiu kuning meluncur dengan cepat menyambar kaki Sri
Ayuningrum, tetapi ia hanya berhasil menelan seember air laut asin yang
tidak diperlukan.
Merasa gagal, akhirnya ikan-ikan hiu itu terlihat memukul-mukul air dengan
ekornya sambil mengelilingi perahu telungkup itu. Kaswita dan kakaknya
berdiri tegak di punggung perahu dengan mulut yang komat-kamit berdoa kepada
Tuhan agar selamat dari malapetaka yang ngeri itu.
Tetapi, belum selesai dari malapetaka yang satu, malapetaka lain mengancam
pula. Perahu kecil yang menjadi tumpuan harapan itu bocor. Dari lubang bocor
itu, memancar air ke atas seperti air mancur.
“Wah, Kak! Sewaktu-waktu perahu ini bisa tenggelam,” kata Kaswita yang
memang tanggap dalam semua hal.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan?”
“Tak ada yang harus kita lakukan, kecuali menjaga keseimbangan,” jawab
Nahkoda Kaswita yang tidak pernah kehabisan akal.
“Maksudmu supaya tidak terbalik?” tanya Sri Ayuningrum.
“Ini sudah terbalik!” kata Kaswita melucu. Dalam keadaan begitu mencekam,
anak muda itu masih sempat bercanda.
“Maksudmu supaya tidak tenggelam?”
“Ya!” Sri Ayuningrum menatap adiknya sejenak. Diam-diam dalam hatinya mulai
merasa lucu. “Apa tidak bisa kebocoran itu ditutup?” saran Sri
Ayuningrum.
“Tidak mungkin, Kak! Kita tidak punya alat apa pun, kecuali menutupnya
dengan kaki,” ujar Kaswita yang secara tidak sadar telah memberikan
jalan.
“Ya, kita tutup saja dengan kaki, sekedar mengurangi kebocoran itu,” potong
Sri Ayuningrum.
“Bagus usul Kakak!” puji Kaswita kagum.
Karena kebocoran itu ada di tengah-tengah, kaki kiri Kaswita dan kaki kiri
kakaknya dirapatkan menghadap ke Timur, akhirnya lubang kebocoran yang tidak
begitu lebar tertutup rapat oleh telapak kaki mereka.
Demikianlah dengan tekad dan semangat baja, kedua adik-kakak membiarkan
diri mereka terkatung-katung di tengah lautan luas sambil berdoa dan berdoa
kepada Tuhan.
“Kalau begini terus, kita tidak akan dapat mencapai tujuan. Karena perahu
kita hanyut begitu saja mengikuti arus,” kata Kaswita.
“Jadi bagaimana baiknya?” Sri Ayuningrum seperti menyerah.
“Sekarang kebocoran itu tidak kita tutup dengan telapak kaki, tetapi kita
sumbat dengan kain, kemudian kita duduk di atasnya,” kata Kaswita mendapat
gagasan baru.
“Sebagai kemudi sekaligus sebagai pendayung mungkin pedangku bisa,” tambah
Sri Ayuningrum melengkapi gagasan adiknya.
“Tetapi, mana kain untuk menutup bocornya?” tanya Sri Ayuningrum.
“Itu kain batik, Kak!”
Sang Kakak melihat kepada kain yang terbelit di pinggangnya.
“Tidak apa,” pikirnya, “Toh aku masih memiliki celana ketat yang melekat di
badanku.”
Dengan kain batik Sri Ayuningrum, lobang kebocoran itu segera ditutup. Air
yang tadinya memuncrat ke atas lewat kebocoran sekarang sudah tidak
lagi.
Kini semangat mereka marak kembali. Sri Ayuningrum dengan menggunakan
pedang bermata duanya mulai mendayung perlahan-lahan, sementara Kaswita
duduk di belakang menggunakan senjata beliung sebagai kemudi.
Papan tempat berpijak itu mulai beringsut sehasta demi sehasta secara
terarah. Untuk pengganjal perut, mereka menyantap ikan-ikan yang kebetulan
melompat ke atas punggung perahu.
“Sampai kapan kita terus begini, Dik?” tanya Sri Ayuningrum dengan nada
haru, tanpa berhenti berdayung.
Kaswita tertegun sejenak dan matanya menatap jauh ke depan, kemudian dengan
lesu berkata, “Sampai kita berhasil membebaskan Kang Parmin!”
Sementara itu, papan tumpangan yang berwujud perahu terbalik itu terus
bergerak dengan tetap dan pasti. Tiba-tiba Kaswita agak kaget ketika ia
melihat jauh ke depan sebuah bayangan kapal besar yang sedang
berlayar.
“Kak! Lihatlah itu!” Kaswita menunjuk jauh ke depan.
“Kapal?”
“Ya, aku yakin itu kapal Belanda yang sedang kita kejar.”
“Kalau ya apa yang harus kita lakukan, Dik?”
“Kita atur siasat mulai sekarang. Bagaimana caranya kita bisa naik ke
kapal?”
“Bukankah itu mudah untuk kita! Sekali melejit kita sudah berada di
geladak,” kata Sri Ayuningrum tersenyum.
“Ya! Cuma kita harus hati-hati! Jangan sampai kehadiran kita ini sempat
diketahui oleh Belanda-belanda licik itu.”
Mata Sri Ayuningrum tidak lepas-lepasnya mengikuti bayangan kapal besar itu
dengan penuh penasaran.
“Kang Parmin! Tunggulah kami datang! Kami pasti akan membebaskanmu,” gumam
pendekar wanita itu pada dirinya.
“Alhamdulillah, Kak! Penderitaan kita tidak sia-sia. Apa pun yang akan
terjadi, Kang Parmin harus kita bebaskan, meskipun untuk itu aku harus
memberikan nyawaku sebagai tebusan,” ujar Kaswita dengan terharu sambil
memeluk kakaknya.
***
3
Matahari perlahan-lahan tenggelam di kaki langit sebelah Barat. Beberapa
perahu tidak jauh dari Pendekar Kaswita dan kakaknya Pendekar Ayuningrum
terlihat melaju dengan kencang seperti mengejar kapal besar yang terus
berlayar itu.
Selain itu terlihat pula sebuah perahu kecil bercadik. Perahu itu didayung
oleh sepasang tangan yang kukuh kuat. Sekali merengkuh, perahu itu melaju
jauh seperti terbang di permukaan air. Wajahnya berewokan dilengkapi dengan
kumis tebal yang berwibawa. Sorot matanya tajam seperti mata burung
rajawali.
Tidak jauh dari perahu itu, tampak pula sebuah rakit ‘koritiki’ yang berisi
tiga orang. Kelihatannya mereka semua menuju ke satu arah membuntuti kapal
Belanda yang besar itu.
“Hei, batasi, jangan terlalu dekat dengan kapal,” terdengar sebuah perintah
yang keluar dari salah seorang yang ada di atas rakit.
“Ya, kita berhenti agak jauh sedikit sambil menunggu malam,” tambah seorang
tokoh yang kelihatan agak lebih tua.
Sementara itu, sebuah perahu besar yang hampir semua berisikan
wanita-wanita remaja, memperlambat lajunya perahu. Seorang wanita cantik
yang duduk di buritan mengeluarkan perintah dengan suara nyaring.
“Turunkan layar! Berhenti pada jarak yang tidak terjangkau teropong!”
Begitu perintah itu selesai, terlihat kesibukan gadis-gadis itu
melaksanakan tugasnya masing-masing. Tidak lama kemudian, sesuai dengan
instruksi, perahu besar itu pun membuang jangkar menanti malam tiba.
Terpisah beberapa mil dari perahu besar itu, terlihat pula sebuah perahu
lain, yang juga membuntuti kapal Belanda yang membawa pendekar Jaka
Sembung.
“Turunkan layar!” kata yang duduk di buritan perahu.
Seorang wanita yang berada di dekat tiang layar segera melaksanakan
perintah itu.
“Akhirnya, bisa juga kita susul kapal Belanda laknat itu, Umang!” ujar
gadis yang sedang menurunkan layar.
“Ya, semua tergantung pada kesungguhan dan semangat kita, Mira.”
Laki-laki yang duduk di buritan perahu, yang disebut Umang terus menatap
kapal Belanda yang tidak jauh dari depannya berpura-pura seakan-akan ia
sedang memancing.
Ketika itu, kapal Belanda yang berhenti di tengah lautan, melakukan
pemeriksaan suasana di laut.
Dua orang Belanda berdiri di buritan kapal sambil meneropong jauh ke
belakang yang sudah diarunginya.
“Apa tidak mungkin, pendekar-pendekar simpatisan Jaka Sembung menyusul
kita, Kapten?” Pertanyaan itu muncul ketika pembantu Kapten melihat beberapa
perahu kecil lewat teropongnya.
“Nee!” jawab Kapten dengan singkat, “Terlalu berbahaya! Kalau juga mereka
melakukannya, perahu-perahu mereka pasti dipukul badai dan menjadi korban
ikan-ikan besar!”
“Tetapi, bukankah mereka orang-orang pribumi yang terkenal pandai
mengarungi samudera luas?”
“Mungkin, tetapi tidak semua inlanders pandai berlayar. Hanya orang-orang
Bugis saja yang dapat melakukan hal itu, sedangkan ekstremis yang ada di
kapal sekarang adalah orang Jawa atau Sunda,” jelas Kapten kapal yang
berpengalaman itu.
“Maaf, Kapten....... mereka itu bukan orang-orang biasa,” bantah sang
pembantu ingin mengorek pendapat, “Mereka pasti pendekar-pendekar yang punya
kemampuan dan kecekatan bertarung yang luar biasa seperti yang terjadi di
gedung Karesidenan Cirebon beberapa malam yang lalu.”
“Godverdomme zeg!” bentak Kapten itu ketika mendengar nada pembicaraan
pembantunya yang seperti memuji pendekar inlanders.
Sementara tamu Van den Smooth memperhatikan cara kerja dan ketelitian anak
muda itu. “Jij punya kacung yang rajin,” ujar perwira tinggi yang kurus
jangkung sambil tersenyum kepada jenderal itu, “U punya kuda kelihatan
sehat-sehat dan bersih!”
“Dank U Well! Dia orang inlander yang setia pada majikan, Ik senang dengan
kerjanya,” tanggap Van den Smooth. Ia menatap perawat kudanya itu dengan
simpatik. “Kelihatannya kuda yang satu itu berlumpur banyak,” komentar sang
tamu sambil menunjuk pada seekor kuda hitam kekar.
“Memang! Kuda itu baru melakukan perjalanan jauh ke Kandanghaur,” jelas Van
den Smooth, “Jalannya terlalu becek akibat hujan terus-menerus.”
“O, ya? Bagaimana dengan Jaka Sembung?”
“Beres! Semua siasat berjalan lancar. Ik berhasil memasang perangkap jitu
dengan membujuk dan mengundangnya ke Karesidenan untuk merundingkan status
otonomi.”
“Lantas?” usut perwira tinggi itu ingin tahu.
“Pemerintah Kerajaan Belanda, tentu tidak bodoh mau berunding dengan
pemberontak. Sesampai di Cirebon, begitu turun dari kereta kuda, ekstremis
itu langsung kita ringkus dan jebloskan ke dalam penjara tanpa ada
perlawanan.”
“Wah! Jij punya taktik sudah jempolan!” seru sang tamu sambil mengeluarkan
tangan, mengucapkan selamat. Yang dipuji merasa senang. Kedua mereka
berangkulan diakhiri dengan tawa terbahak-bahak.
“Apa rencana Jij selanjutnya terhadap gembong ekstremis itu, Jenderal?”
tanya perwira tinggi itu bersemangat.
“Jaka Sembung akan kita singkirkan ke sebuah pulau di sebelah Timur Hindia
Belanda.”
“Ke sebuah pulau?”
“Ya, sebuah pulau yang masih hutan belantara dengan penduduknya yang masih
liar,” jelas Van den Smooth terbuka.
“Pulau apa itu, Jenderal?”
“Pulau Papua!”
“Oh, ya, Ik ingat,” kata si kurus jangkung itu, “Kalau Ik tak salah,
penduduk pulau itu masih terlalu primitif dan ganas.”
“Pulau itulah yang paling ideal untuknya, bukan?”
Tamu itu mengangguk........ kemudian tertawa lagi dengan nada penuh
ejekan.
Anak muda, perawat kuda yang turut mendengar percakapan itu, baru mendapat
keterangan yang jelas tentang Jaka Sembung, kakak kandungnya yang sedang
dicari-carinya. Di satu segi, anak muda itu merasa senang karena orang yang
dicari masih hidup, tetapi di pihak lain ia sangat merasa khawatir akan
nasib saudara kandungnya yang akan dibuang oleh Belanda ke suatu pulau
terpencil di luar Jawa.
“Jadi,” sambung Jenderal Van den Smooth, “Dengan dibuangnya Jaka Sembung
jauh ke seberang lautan, desa Kandanghaur kembali lagi ke tangan
kita.”
“Bagaimana dengan Kapten James?”
“Ia sudah dipindahkan ke Batavia, seminggu sebelum Jaka Sembung
ditangkap.”
“Itu tindakan yang tepat,” puji perwira tinggi itu dengan nada
sungguh-sungguh.
“Ik sudah lama mendengar, James memang sangat bersimpati terhadap
perjuangan pendekar Islam itu dalam menentang pemerintah Belanda,” komentar
sang tamu yang juga menguasai masalah.
Kacung yang sejak tadi memasang telinganya mendengar percakapan tersebut,
diam-diam berpikir keras. Hatinya semakin gemas dan khawatir terhadap
rencana jahat Belanda itu.
“Kalau begitu, Jaka Sembung telah ditipu mentah-mentah oleh Belanda jahat
itu karena mereka tak mampu menangkapnya dengan jalan kekerasan,” gerutu
anak muda itu sendirian.
“Aku harus segera memberitahukan hal ini kepada Kak Sri Ayuningrum,” ujar
adik Jaka Sembung dalam hatinya gelisah.
Malam itu juga, sesosok tubuh tampak ke luar mengendap-endap dari gedung
Karesidenan. Ia berlari dengan gesitnya menuju ke tempat Sri Ayuningrum
menginap.
Di sebuah gubuk terpencil ia berhenti dan mengetuk pintunya beberapa kali,
tetapi tidak ada jawaban dari dalam. Hatinya yang sedang cemas, mendadak
lebih cemas ketika suara dari dalam gubuk kakaknya tidak terdengar sama
sekali.
“Kak! Kak! Buka pintunya!” seru anak muda itu tak sabar. Keadaan di dalam
gubuk tetap sepi. Jawaban yang diharapkan dari kakaknya tidak juga
terdengar. Antara kesal dan khawatir sekali lagi ia mencoba.
“Kak! Kak! Buka pintu!” serunya dengan kuat setengah berteriak.
“Siapa?” tanya suara dari dalam.
“Aku Kak, Kaswita!”
Di celah-celah pintu menyembul kepala kakaknya dengan kepala masih memakai
mukena.
“Kakak sedang sembahyang?” tanya Kaswita dengan nada malu. “Maafkan aku,
Kak!”
“Ada apa, kau seperti dikejar-kejar?” tanya kakaknya heran.
“Celaka, Kak!”
“Celaka bagaimana?” Kakaknya tambah heran.
“Kang Parmin yang sedang kita cari, telah ditangkap Kumpeni Belanda,” lapor
Kaswita dengan gugup dan cemas. Sri Ayuningrum terdiam sejenak seperti
terpaku di depan pintu.
“Di mana Kang Parmin sekarang?” tanya Sri sambil membuka mukenanya.
“Dia ditahan di gedung Karesidenan dan dijaga ketat oleh serdadu dan
pendekar bayaran.”
“Ya, Allah! Jauh-jauh dari puncak gunung Ciremai kita ke mari ingin bertemu
dengannya, dia ditangkap,” gumam Sri Ayuningrum pada dirinya dengan sedih.
“Untuk apa ia ditangkap? Dan untuk apa ia ditahan?” tanya Sri tanpa tahu ke
mana pertanyaan itu diarahkan.
“Kang Parmin dianggap gembong ekstremis, Kak!”
“Lantas apa maunya?”
“Tak lama lagi, Kang Parmin akan diasingkan ke luar pulau Jawa,” jawab
Kaswita dengan nada lesu.
“Dari mana kau tahu?”
“Aku dengar sendiri percakapan Jenderal kunyuk itu tadi pagi, ketika aku
sedang membersihkan kudanya.”
“Gawat, kalau begitu!” gumam Sri setengah berbisik, “Apa akal kita,
Dik?”
“Satu-satunya jalan, kita harus berusaha membebaskan Kang Parmin dalam
waktu yang singkat, sebelum Kang Parmin dinaikkan ke kapal untuk diangkut ke
luar pulau Jawa ini,” jawab Kaswita dengan bernafsu.
Sri Ayuningrum, adik Jaka Sembung atau kakak Kaswita terdiam sejenak. Ia
berpikir keras bagaimana cara membebaskan kakaknya itu.
“Kak! Kita tidak akan dapat menyelesaikan masalah dengan berpikir terus,
tetapi kita harus bertindak cepat. Bagaimana hasilnya, bagaimana nanti,”
ujar Kaswita dengan tekad mantap.
“Jadi, bagaimana rencanamu, Dik! Aku ikut saja,” tukas Ayuningrum,
membenarkan pendapat adiknya.
“Tengah malam nanti, kita harus bertindak. Kita sudah tidak banyak
kesempatan lagi!”
“Baiklah aku setuju!”
Di luar gubuk suasana sepi. Cahaya bulan muda yang baru mengembang
mengirimkan sinarnya yang remang-remang. Angin malam yang berhembus tenang
dari pegunungan membawa rasa sejuk, sehingga hampir seluruh penduduk di kota
Cirebon terlena dalam tidurnya karena kelelahan.
Pada waktu yang sepi, dan sunyi itulah dua bayangan terlihat sedang
mereka-reka tingginya tembok yang mengelilingi gedung Karesidenan. Mereka
tidak lain dari Sri Ayuningrum bersama adiknya Kaswita, yang ingin segera
memanjat tembok tinggi itu untuk membebaskan kakak mereka, Jaka Sembung dari
tahanan Kumpeni Belanda.
“Dari sini kita loncat,” Terdengar bisik Kaswita, “Penjagaannya kosong,
Kak!”
Ayuningrum segera mendekati Kaswita. Mereka mengawasi suasana sejenak,
kemudian kedua bayangan itu melejit ke atas tembok dengan mudahnya. Tetapi,
begitu mereka muncul, mereka sangat terperanjat.
Tiga sosok bayangan mendekati mereka. Sri Ayuningrum secepat kilat
menghunus pedangnya dan ketika hendak menyerang dengan jurus maut,
terdengar.
“Ssst! Tunggu dulu, kita kawan!”
Sri Ayuningrum menahan pedangnya sambil bergumam, “Ha! Kawan? Siapa kalian
dan apa perlunya ke mari?”
“Sama dengan kalian untuk membebaskan Jaka Sembung,” jawab salah seorang di
antara mereka, “Kami si Kembar Tiga Melati!”
“Kalian wanita semua?”
“Mengapa? Tak ada beda wanita dengan pria dalam membela kebenaran dan
mengusir penjajah Belanda,” jawab Si Kembar Tiga Melati itu dengan
tegas.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Sri Ayuningrum bersahabat.
“Kalian berdua segera masuk menerobos ke kamar tahanan Jaka Sembung dan
kami bertiga siap menghadapi penjaga-penjaga itu,” perintah salah seorang
dari Kembar Tiga Melati tanpa membuang-buang waktu.
Emoticon