Rasek menatap musuh yang tidak dicari-cari itu. Semakin dipandang semakin
ia teringat kepada kakaknya yang sudah lama tidak pernah bertemu.
“Apakah ia saudaraku itu,” tanya Rasek dalam hatinya dengan ragu. “Kalau
saudaraku mengapa ia datang tidak untuk membantuku, tetapi sebaliknya
berpihak pada buronanku? Sungguh terlalu orang ini dan aku ingin memberikan
sedikit pelajaran kepada tamu yang tidak sopan ini.”
“Kau siapa sebenarnya? Aku tidak kenal padamu! Tetapi datang-datang seperti
ingin mencari musuh denganku,” ujar Rasek menahan hati.
“Ooo, baiklah! Aku akan jelaskan kepadamu,” jawab orang itu dengan
tersenyum, “Aku ini adalah prajurit Sultan Hasanuddin dari Banten yang
berjuang bahu membahu dengan adikku mengusir Belanda dari tanah tumpah darah
ini.
“Tetapi sayang adikku kini telah memilih jalan terburuk bagi sejarah
hidupnya sekaligus juga bagi keturunan ayah dan ibunya. Ia menjual harga
dirinya demi kepentingan orang kulit putih yang membunuh dan menjajah
bangsanya. Bukankah itu sangat memalukan, Kawan?”
Rasek terkesima sejenak. Kenangannya melayang jauh di masa ia menjadi
prajurit setia Sultan Hasanuddin.
“Kalau begitu orang yang berdiri di hadapanku dengan pongah ini adalah
saudaraku.”
“Jadi, apa maksudmu?” tanya Rasek tetap berpura-pura tidak kenal bahwa yang
berdiri di depannya itu adalah kakaknya sendiri.
“Aku hendak mengajak kau kembali ke jalan yang benar!” ujar pendekar
berbaju hitam itu dengan tegas, “Tinggalkan segera loji orang kulit putih
yang bukan tempatmu,” tambah orang itu tegas.
“Kalau aku tak mau?” Rasek bersikeras.
“Agaknya kau benar-benar telah berubah, lebih mementingkan dirimu sendiri
daripada kepentingan tanah air dan bangsamu,” ujar pendekar itu dalam mata
yang mulai berapi-api.
“Jadi, kalau aku tak mau mendengar khotbahmu itu, kau mau apa?” tantang
Rasek yang juga mulai kesal.
“Aku ingin menagih sumpah pengawal Hasanuddin, yang pernah kau ucapkan di
depan kitab suci setahun yang lalu. Kalau sumpah itu tak kau penuhi aku akan
membunuhmu,” ancam pendekar tersebut sambil menyerang dengan cepat.
“Caaat!”
Rasek melejit dengan cepat sambil melakukan gerakan salto di atas untuk
kemudian dapat menyerang lawannya dari belakang. Sementara ia melejit itu ia
sempat melepaskan kata, “Aku jemu menjadi pengikut Sultan Hasanuddin yang
fanatik itu!”
“Karena kau silau dengan gemercing uang Belanda!” jawab pendekar yang
tangguh itu sambil berkelit memutar badannya dengan cepat sehingga sasaran
tendangan Rasek sama sekali tidak mengena.
Akhirnya terjadilah suatu pertempuran seru antara abang adik kembar tapi
berbeda prinsip itu, yang semula sama-sama menjadi pengawal Sultan
Hasanuddin dari Banten. Alam sekitarnya menjadi porak poranda akibat terkena
angin pukulan tenaga dalam dari kedua pendekar yang sama-sama tangguh
itu.
Jaka Sembung dan Bajing Ireng menyaksikan pertempuran ini dari jauh di
semak-semak belukar.
Ketika pertempuran itu berlangsung semakin hebat, tiba-tiba pasukan kecil
serdadu kompeni Belanda di bawah pimpinan Leonard muncul. Yan van Eissen
yang matanya cukup jeli meskipun sudah tua, sepintas lalu berhasil menangkap
sekelebat bayangan yang diperkirakan tidak lain dari Roijah dan
penolongnya.
Dengan gerak reflek ia segera membidik dan melepaskan suatu tembakan. Nasib
Roijah belum naas. Roijah berhasil dengan cepat menjatuhkan diri ke tanah
sambil dengan cepat pula melemparkan goloknya ke arah Belanda gendut
itu.
Hasilnya sungguh sangat memuaskan, golok Roijah tepat menancap di hulu hati
Yan van Eissen sehingga pistol yang digunakan untuk menembak Bajing Ireng
terjatuh, serentak dengan dirinya rubuh pula.
“Papi!” seru Leonard memburu ke dekatnya, tetapi ia tertegun karena sesosok
tubuh melesat ke arahnya.
Pistol yang ada di tangannya dengan cepat diarahkan ke tubuh Parmin, tapi
sebelum senjata itu berhasil meletus tongkat besi Parmin telah melayang ke
mukanya dan pistolnya terpental jauh.
Parmin secepat kilat menyerang perwira tinggi Belanda itu dan dengan satu
tatakan di tengkuk melalui tangan kanan Parmin, ditambah suatu sodokan
dengan tangan kiri di ulu hati. Leonard ambruk muntah darah dan menemui
ajalnya seketika.
Pada waktu Parmin hendak meninggalkan tempat itu, ia mendadak kaget karena
laras senapan-senapan tertuju ke tubuhnya hanya tinggal ditarik pelatuknya
saja. Ajal Parmin belum ditentukan Tuhan di tangan mereka.
Parmin dengan tenang memandang mereka satu per satu. Kemudian berpura-pura
mengangkat tangannya ke atas, tetapi tiba-tiba tangan yang diangkat itu
dengan cepat menggebrak! Keempat serdadu Belanda itu sehingga keempat
senjatanya hendak ditembakkan kepadanya terpental jauh. Serdadu-serdadu yang
rubuh itu pun tidak pernah bangun lagi.
Keenam orang Belanda yang datang ke situ telah menemui ajalnya semua.
Parmin dan Roijah meneliti satu per satu tubuh lawan yang tergeletak
itu.
“Belanda ini yang memerintahkan aku digantung,” kata Parmin sambil menunjuk
dengan kakinya kepada Yan van Eissen.
“Tetapi, yang paling kejam, Kang, ini!” ujar Roijah yang berdiri dekat
Leonard.
“Dia ini yang merencanakan hukuman picis untuk. Kalau Akang tidak datang
mengeluarkan aku dari Rumah Tahanan Militer itu, hari ini aku sedang diseret
si jahat ini di sepanjang jalan desa.”
“O, ya bagaimana kau tahu hukuman seperti itu yang akan kau terima?” tanya
Parmin sambil menarik tangan Roijah ke tempat persembunyiannya semula.
“Nona Elsye adik kandung Leonard yang datang ke kamar tahanan ku sebelum
Akang datang.”
“Untuk apa?” tanya Parmin heran.
“Ia hendak menolong aku minggat dari tahanan.”
“Tetapi, mengapa tak jadi?”
“Keburu ketahuan oleh abangnya ini. Seorang Kepala Jaga yang bersekongkol
dengan Elsye ditembak di tempat. Elsye sendiri disiksa dan diseret di
sepanjang jalan mulai dari Rumah Tahanan sampai ke rumah van Eissen.
“Aneh juga! Apa yang mendorong gadis itu hendak menolongmu?” tanya
Parmin.
“Sederhana saja alasannya,” jawab Roijah. “Ia tidak sampai hati membiarkan
kaumnya diperlakukan di luar perikemanusiaan.”
“Lantas?” tanya Parmin, namun Roijah tak perlu menjawab. “Mari kita lihat
pertempuran sengit antara kedua orang Banten itu, Kang!”
Ketika itu, dari jauh terlihat kedua mereka itu tidak lagi bertarung fisik
dan kecekatan silat, tetapi sudah menggunakan pertarungan tenaga dalam dari
jarak jauh. Kedua pendekar yang sama-sama memiliki ilmu tinggi itu
mengeluarkan ilmu tenaga dalam masing-masing, sehingga pada titik
konsentrasi tertinggi kekuatan tenaga dalam itu mereka salurkan ke arah
lawan.
Rumput-rumput yang ada di antara jarak kedua mereka mendadak hangus
kekeringan. Tubuh mereka masing-masing bergetar hebat, tetapi tidak ada
seorang pun yang jatuh dan menderita luka dalam. Mereka sama kuat dan sama
tangguh.
Akhirnya mereka sampai pada kesimpulan bahwa salah seorang atau
kedua-duanya harus mati.
Pendekar berbaju hitam dan menyebut dirinya sebagai pengawal Sultan
Hasanuddin Banten, menyilangkan kedua belah tangannya di dada sampai
mencapai bahu, ia berkata, “Demi keagungan Sultan....... kau harus mati,
Rasek.”
Sedangkan Rasek sendiri dengan membentangkan kedua belah tangannya ke
samping, ia berkata: “Maafkan........ Matilah kau, Kakang!”
Dan apa yang terjadi?
Sejenak kedua mereka seperti menahan sakit yang luar biasa. Kemudian
tiba-tiba tubuh mereka ambruk. Di mulut mereka keluarlah darah hitam kental.
Melihat pendekar berbaju hitam itu ambruk, Parmin dan Roijah segera keluar
dari semak-semak.
Kedua pendekar muda itu datang melihat orang yang sudah menyelamatkan
mereka, yang kemudian mereka tahu orang itu pula yang telah menyelamatkan
Pak Kinong dari moncong harimau hutan Loyang.
“Kami sangat berterima kasih kepada Bapak,” ujar Parmin dengan rasa
terharu.
Roijah yang selama ini tidak pernah menangis, kini menangis di dalam hati.
Air matanya setitik demi setitik mengalir ke pipinya kemudian jatuh ke baju
hitam pendekar kesatria itu. Sebelum ia menutup mata terakhir ia sempat
berpesan kepada Parmin.
“Teruskan perjuanganmu melawan penjajah dalam bentuk apapun, anak muda.
Karena kalian berdua merupakan harapan rakyat yang lemah dan memerlukan
pembelaanmu.”
Sejenak terdiam. Nafasnya turun naik dengan kencang, kemudian biasa
kembali. Ketika dia meneruskan pula pesannya,
“Aku telah mendengar namamu yang kesohor, Jaka Sembung. Kau jangan
khawatir, seluruh rakyat Banten berdiri di belakangmu dan doa mereka tidak
habis-habisnya untuk kalian,” sampai di sini pesan itu terhenti lagi.
Parmin yang selama ini seperti berhati baja, tidak pernah menyerah dalam
kedukaan apa pun, kali ini tanpa terasa air matanya menetes juga.
Keharuannya yang mendalam telah menyebabkan ia sadar, bahwa dirinya juga
tidak terlepas dari perasaan dan kelemahan.
“Jaka Sembung dan Bajing Ireng, kepadamu ku gantungkan harapan agar para
pendekar tangguh di setiap daerah Nusantara kita bersatu untuk mengusir
penjajah. Semoga Tuhan melindungi perjuangan kita........” sampai di situ ia
berpesan, perlahan-lahan kepalanya lunglai ke samping kanan.......
“Ia telah meninggalkan kita,” ujar Parmin sambil membuka ikat kepalanya
menutup wajah pendekar yang baik hati itu. “Inna lillahi wa innailaihi
roojiuun........”
Parmin dan Roijah bangkit perlahan-lahan. Hati mereka seperti
tersayat-sayat.
“Sayang orang gagah dan setia seperti ini harus meninggalkan kita,” ujar
Jaka Sembung dengan nada haru.
Angin petang berhembus lembut seperti membawa cerita damai yang mengakhiri
peperangan. Seluruh padang luas itu bermandikan sinar matahari sementara
beberapa pohon rindang seperti mengundang orang untuk berteduh di
bawahnya.
“Kita berteduh di bawah pohon itu, yuk!” ajak Parmin seraya menarik tangan
Roijah.
“Belum waktunya bersantai, Kang! Keamanan diri kita belum terjamin lagi,”
kata Roijah menolak dengan halus.
“Itulah yang hendak kita rencanakan, Dik!” jelas Parmin tersenyum.
“Apa rencana kita sekarang, Kang?” tanya Roijah sambil duduk di rumput
hijau.
“Menurut Ijah apa?” Parmin balas bertanya.
Roijah tidak menjawab. Matanya memandang lurus jauh ke depan.
“Aku ingin dengar rencanamu, Ijah!” kata Parmin, tapi Roijah justru bangun
dari duduknya seperti ada sesuatu yang terlihat dari jauh.
“Tunggu, Kang!” ujarnya dengan sungguh-sungguh.
“Ada apa?” Parmin setengah berbisik.
“Kelihatannya ada seorang gadis yang sedang menangis di sana!”
Parmin bangkit perlahan-lahan dari duduknya Kemudian memejamkan matanya
sejenak untuk menangkap suara yang dibawa angin.
“Benar! Ia berbicara bahasa Belanda dan menyebut-nyebut Papi.”
“Tidak salah lagi, Kang! Itu dia Elsye!” kata Roijah sambil mengangkat kaki
hendak berlari ke tempat itu.
“Tunggu dulu, Ijah! Mungkin itu sebuah perangkap untuk kita,” jelas Parmin
berpandangan jauh.
Roijah segera mengurungkan maksudnya dan perlahan-lahan duduk
kembali.
Apa yang terlihat oleh Roijah memang benar. Seorang serdadu yang berhasil
lolos datang menemui Elsye membawa berita kematian orang tuanya dan
kakaknya. Dengan hati yang gundah dan pikiran kacau, gadis yang baik hati
itu langsung menuju ke tempat yang diberitahukan oleh serdadu itu. Begitu
melihat Papinya yang sudah tidak bernyawa lagi, ia memeluk dan mencium serta
meratap sejadi-jadinya.
“Papi! Mengapa kau meninggalkan Ik sendiri di negeri orang yang memusuhimu?
Mengapa Papi memilih kematian yang tidak terhormat di negeri yang rakyatnya
lemah lembut dan sopan terhadap siapa pun. Ike tidak mampu menyalahkan
mereka....... bagaimana pun mereka tetap benar karena mereka mempertahankan
haknya di negerinya sendiri.”
Kemudian Elsye menoleh pula ke arah mayat abangnya.
“Kau Leonard sombong dan angkuh di negeri ini, padahal semua yang kau makan
dan kau minum hasil bumi negeri ini! Hasil keringat rakyat di sini, tetapi
kau bertindak terlalu kasar dan ondankbaar terhadap mereka bahkan kepadaku
adikmu sendiri. Sekarang apa yang ku takuti tentang diri kalian semua sudah
terjadi.
“Patah sudah tempat aku bergantung, hilang sudah tempat aku berpijak. Tak
ada tempat aku berharap kasih lagi. Satu-satunya jalan yang terbaik untukku
ialah menyusulmu Papi.”
Ratap Elsye sambil mencoba menjangkau sebuah pistol yang tergeletak tidak
jauh dari mayat Leonard. Tetapi, tiba-tiba tangannya terhalang oleh sebuah
kaki bersepatu. Elsye menjadi heran sehingga pandangannya perlahan-lahan
diangkat ke atas.
“Elsye, kekasihku,” terdengar suatu suara.
“Oh, James! Kau masih hidup?” tanya Elsye seperti bermimpi.
“Aku pernah dirawat, tetapi seorang kawanku yang dekat dengan Leonard
mengatakan, jika aku hidup aku akan diadili dan dihukum berat karena
bersekongkol dengan ekstrimist,” cerita James dengan sedih.
“Lantas?” tanya Elsye tak sabar karena apa yang menimpa diri James tidak
lepas dari kesalahannya juga.
“Klinik yang merawatku menaruh kasihan kepadaku. Dia seorang kawan karibku
yang pernah ku bela dan kuselamatkan dari maut. Tanpa setahuku ia membuat
laporan resmi kepada Leonard. Dalam laporan itu ia menyatakan aku telah
meninggal akibat luka yang ku derita!
“Leonard sebagai perwira tinggi yang terlalu sibuk, laporan kawanku tanpa
diperiksa lalu di-acc saja. Badanku yang kelihatan seperti mayat akibat
bius, segera diamankan oleh kawan-kawanku dengan bantuan pribumi sehingga
aku selamat seperti yang kau lihat sekarang ini,” James menutup ceritanya
sambil tersenyum.
“Oh, James! Kini aku sebatangkara, tidak punya siapa-siapa lagi, kecuali
kau,” kata Elsye pasrah.
“Jangan bersedih, sayang! Aku akan menemanimu dan menjagamu untuk
selama-lamanya,” ujar James turut terharu.
Semua percakapan James dengan Elsye disadap oleh kedua pendekar Jaka
Sembung dan Bajing Ireng melalui penginderaan yang sudah terlatih. Kini
mereka tahu pasti, James bukan lagi berstatus serdadu Belanda, tetapi orang
asing sipil yang menyimpan rahasia tersendiri.
Rahasia James berada di tangan mereka. Karena itu, Parmin dan Roijah tak
ragu datang mendekati mereka untuk menyatakan rasa belasungkawanya kepada
Elsye.
“Maafkan kami, Elsye!” kata Roijah lembut sambil melirik ke arah James yang
kelihatan salah tingkah.
“Roijah?” tanya Elsye kaget. Ia menatap Bajing Ireng dengan heran.
Roijah mengangguk perlahan, “Terima kasih atas kebaikan Nona, yang
menyebabkan Nona banyak mendapat kesulitan,” ucap Roijah dengan tulus.
Ketulusan itu terasa ke hati Elsye. Ia bangkit perlahan-lahan dari sisi
James sambil mengulurkan tangan kepada Roijah dan Parmin. Mereka bersalaman
dengan penuh rasa haru.
James pun segera mengulurkan tangan kepada Parmin dan Roijah.
“Benar kata-katamu yang terakhir kepadaku di rumah tahanan malam itu,
Elsye, bahwa rasa kemanusiaan itu akan mampu membuat bangga yang berlainan
dan berbeda kulit hidup bersahabat,” kata Roijah dengan tersenyum.
“Kau masih ingat saja, Roijah?”
“Memang tak ingin kulupakan, apalagi kata-kata mutiara itu baru pernah
kudengar dari mulutmu.”
“Tetapi, maafkan kami Elsye dan James!” tukas Parmin.
“Tentang apa?” tanya James ramah, berubah sikap.
“Tuan Yan van Eisein menemui ajalnya bukan karena niat kami ingin membalas
dendam, tetapi dialah yang mula-mula mencoba membunuh Roijah dengan
tembakan, sehingga akhirnya untuk membela diri Roijah tidak punya pilihan
lain,” jelas Parmin si Jaka Sembung.
“Begitu pula dengan Tuan Leonard,” jelas Roijah. “Ia sangat menaruh dendam
pada Jaka Sembung ini.”
James dan Elsye begitu kaget ketika mengetahui, yang berdiri di depan
mereka adalah orang yang pernah dihukum gantung oleh kompeni beberapa waktu
yang lalu.
“Bagaimana mungkin ia masih hidup?” pikir James seperti tidak percaya.
Pikiran yang sama juga melintas di benak Elsye, tetapi kedua mereka belum
berani bertanya dengan terus terang.
“Roijah dan Jaka Sembung!” kata Elsye dengan tenang, “Aku mengerti semua
dari penjelasan kalian berikan tadi. Karena itu aku ingin melupakannya untuk
selama-lamanya, yang sudah biarlah berlalu.”
Sementara itu, matahari mulai tenggelam di ufuk Barat. Cahaya
kemerah-merahan seperti menunggang awan yang sedang berarak semakin lama
semakin menghilang dan akhirnya lenyap.
Suasana di tempat naas itu semakin remang.
“Elsye dan James, mari kita bersahabat, saling menghormati!” ujar Roijah
dengan penuh keikhlasan. “Kalian berdua akan kami lindungi sebagai warga
terhormat di Kandanghaur ini.
“Kalian tidak perlu khawatir, aku Parmin si Jaka Sembung dan ini Roijah si
Bajing Ireng menjadi jaminan atas keselamatan kalian berdua,” kata Parmin
selanjutnya.
“Aku tidak pernah meragukan kebaikan hati mereka,” bisik Elsye kepada
James. Ketika Jaka Sembung dan Bajing Ireng telah berlalu. “
“Aku juga, Els!” bisik James sambil merangkul pinggang Elsye dengan penuh
kemesraan.
◄Y►
5
Berita munculnya kembali Jaka Sembung dan Bajing Ireng, dengan kemenangan
mereka menghancurkan tirani tuan tanah asing yang memperalat para pendekar
pribumi untuk merampas tanah rakyat dan menimbulkan kesengsaraan di
Kandanghaur, telah tersebar luas dari mulut ke mulut. Rakyat yang selama ini
tertekan dan selalu dirundung rasa ketakutan, kini mulai bersemangat
lagi.
Gairah hidup mereka bangkit kembali. Bek Marto, ayah Roijah almarhum
mendapat tekanan dari tuan tanah Belanda, sehingga terpaksa melakukan
tindakan-tindakan yang sangat merugikan rakyat. Tetapi, rakyat Kandanghaur
yang sebagian besar terdiri dari para petani tidak dapat mendalami perasaan
Bek Marto itu.
Mereka hanya tahu, Bek Marto turut menekan rakyat. Kepala Desa itu
benar-benar dalam keadaan serba salah. Membela rakyat ia terancam oleh tuan
tanah yang disokong oleh Kompeni Belanda. Sebaliknya, membantu tuan tanah ia
jelek di mata rakyat. Kedudukannya benar-benar terjepit.
Kini hati Kepala Desa itu tiada lagi. Seandainya ia masih hidup, ia
menyambut calon menantunya itu dengan gembira.
Ketika Jaka Sembung dan Bajing Ireng muncul di Desa Kandanghaur, penduduk
desa menyambutnya dengan meriah. Setiap orang yang bertemu dengan kedua
pendekar itu, lupa tujuannya hendak ke mana.
Mereka pasti mengikuti dan mendampingi tamu agung yang pulang ke desa
membawa kemenangan. Mereka merasa bangga, Desa Kandanghaur memiliki pahlawan
rakyat. Sebelum Jaka Sembung dan Bajing Ireng tiba di rumah almarhum Bek
Marto, penduduk desa kelihatan berdatangan terus menerus dan bergabung
menjadi barisan yang panjang.
Mereka berteriak-teriak: “Hore, horee, horee!” tak henti-hentinya.
Ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak berhamburan ke luar rumah dan berdiri di
tepi pagar menunggu arakan panjang itu lewat dan sekaligus ingin menyaksikan
wajah Jaka Sembung dan Bajing Ireng, meskipun Bajing Ireng alias Roijah
sudah banyak yang kenal karena gadis itu dilahirkan dan dibesarkan di Desa
Kandanghaur. Sampai malam hari pawai kemenangan dan kegembiraan rakyat terus
berlangsung.
“Gagah orangnya, ya?” kata seorang gadis cantik ketika melihat Jaka Sembung
yang jalan berdampingan dengan Bajing Ireng.
“Calon istrinya juga cantik!” jawab yang ditanya.
“Dia Jaka Sembung, ya?”
“Ya, mengapa?”
“Kata ayahku, Jaka Sembung itu sangat sakti. Ia sudah digantung Belanda
sampai mati, tetapi hidup lagi,” kata seorang anak laki-laki gemuk yang
terus menerus matanya mengikuti arakan Jaka Sembung itu sampai jauh dan
akhirnya menghilang di sebuah kelokan.
Begitulah pandangan rakyat Desa Kandanghaur dari yang kecil sampai orang
dewasa yang akhirnya lambat-lambat laun menjadi legenda yang berkembang dan
terpatri dalam hati masyarakat daerah Cirebon.
Sementara arak-arakan itu berlangsung terdengar jel-jel yang meneriakkan,
“Hidup Pahlawan kita Jaka Sembung dan Bajing Ireng! Hidup Pemimpin kita!
Kami akan selalu setia mengikuti perjuanganmu!”
Arak-arakan itu berakhir tengah malam di depan rumah Bek Marto. Dari situ,
penduduk satu per satu meninggalkan halaman rumah tersebut sesudah pamit
pada Jaka Sembung dan Bajing Ireng.
Seminggu kemudian, sesuai dengan rencana Jaka Sembung dan Bajing Ireng, Pak
Kinong dan Bu Kinong mempersiapkan suatu upacara ulang pernikahan Bajing
Ireng dengan Jaka Sembung yang pernah dahulu gagal akibat penyerbuan serdadu
kompeni Belanda di rumah Penghulu.
Menjelang waktu pernikahan tiba, rakyat dari berbagai desa datang membawa
beras, sayur mayur bahkan beberapa orang kaya di desa itu menyumbang
kambing, sapi dan kerbau. Pendeknya pesta yang akan berlangsung itu sama
sekali tidak membuat tuan rumah pusing kepala.
Pak Kinong dan Bu Kinong hanya mengatur orang yang bekerja dan menyiapkan
peralatan yang diperlukan untuk sebuah pesta besar.
Kalau pesta yang sering berlangsung di desa itu memilih-milih orang yang
diundang dan terbatas, pesta kali ini untuk merayakan hari pernikahan dan
perkawinan Jaka Sembung dan Bajing Ireng, sama sekali tidak dikeluarkan
undangan.
“Mengapa begitu, Kang?” tanya Roijah heran.
“Aku takut, Ijah, kalau ada orang-orang di desa ini yang terlupakan dan
luput dari undangan,” jelas Jaka Sembung.
“Jadi, bagaimana mereka tahu?”
“Aku sudah bicara pada Pak Kinong agar beliau menghubungi semua penduduk
desa Kandanghaur dan sekitarnya untuk hadir di pesta kita. Tak ada seorang
pun yang harus kita perlakukan istimewa, semua sama rata.
Hanya........”
“Hanya siapa, Kang?”
“Hanya Elsye dan James yang harus kita undang khusus karena mereka warga
terhormat dan istimewa di Kandanghaur,” jawab Jaka Sembung dengan tersenyum,
“Setuju kau……?”
“Sangat setuju, Kang.”
Hari Minggu yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Kesibukan di rumah keluarga
almarhum Marto memang luar biasa. Belum pernah terjadi suatu peralatan
perkawinan yang begitu besar, yang mengundang orang seluruh wilayah
Kandanghaur. Benar-benar sebuah pesta dari rakyat untuk rakyat.
Mulai pagi para undangan sudah berdatangan. Laki-laki perempuan hadir ke
pesta yang meriah itu. Semua yang hadir berpakaian indah dan baru. Bau kapur
barus dan minyak wangi yang keluar dari pakaian simpanan yang sudah lama
tidak dipakai campur aduk dalam ruangan.
Si kecil Kinong pun tampak dalam keramaian itu dengan riangnya. Dia adalah
anak tunggal Pak Kinong dan Bu Kinong.
Setiap tamu yang datang segera dilayani dengan makan. Mereka silih berganti
datang dan pergi tak henti-hentinya. Seksi tamu yang terdiri dari muda-muda
yang tangkas, dengan penuh pengorbanan bekerja tanpa mengenal lelah. Mereka
tampak gembira dan serba ramah.
Parmin dan Roijah yang bersanding di kursi pelaminan tampak tersenyum. Pak
Kinong dan Bu Kinong berdiri di samping Parmin dengan bangga, karena mereka
adalah pengganti orang tua kedua mempelai.
Sedangkan di samping Roijah tampak Elsye dan James yang tak kalah bangga,
karena menjadi warga khusus di Desa Kandanghaur.
Para undangan banyak yang heran melihat sepasang orang asing turut
memeriahkan perkawinan Parmin dan Roijah dengan suasana sangat
bersahabat.
“Banyak sekali yang hadir, Kang!” bisik Roijah dengan suara sangat
bahagia.
“Untung acara pernikahan sudah berlangsung semalam.” Parmin hanya
mengangguk. Matanya tertuju kepada seorang penari muda yang menari dengan
lemah gemulai seirama dengan gendang dan gung yang ditabuh.
“Kau bisa menari, Roijah?” tanya James yang berdiri di dekatnya.
Roijah mengangguk ramah, “Hampir semua gadis Jawa Barat dapat memainkan
kesenian daerahnya, James!”
“Bagus sekali!” puji pemuda Belanda itu sambil menoleh kepada Elsye.
Pesta perkawinan Jaka Sembung dengan Bajing Ireng berlangsung selama tujuh
hari, tujuh malam dan terus menerus dibanjiri oleh penonton yang datang dari
tiap penjuru desa tanpa habis-habisnya sehingga pesta itu hampir-hampir
mirip pasar malam. Bisa dimaklumi karena saat itu Desa Kandanghaur adalah
desa yang paling makmur di daerah Cirebon.
◄Y►
6
Malam itu desa Kandanghaur bermandikan cahaya bulan. Hamparan sawah yang
luas setantang mata sampai ke pantai Laut Jawa, memberikan suatu pemandangan
sejuk teram-temaram. Di setiap halaman rumah terlihat anak-anak bermain
galah atau kucing-kucingan.
Kadang-kadang terdengar nyanyian traditional yang mendayu-dayu dari
kejauhan, yang sekali-sekali ditingkahi oleh suara seruling yang merdu.
Parmin dan Roijah duduk berdua di sebuah balai-balai menikmati keheningan
alam dan panorama sawah yang membentang luas di sekitar tempat tinggal
mereka.
“Akang Parmin! Boleh aku tahu sesuatu yang aneh tentang dirimu?” ujar
Roijah sambil mendekatkan badannya ke bahu Parmin.
“Apa yang aneh padaku, Dik?” tanya Parmin si Jaka Sembung sambil
memperbaiki duduknya.
“Banyak keanehan yang belum pernah Akang ceritakan padaku,”
“Antaranya?”
“Tentang kau yang sudah menjalani hukuman gantung di tiang gantungan di
alun-alun pasar sampai mati, kok tiba-tiba hidup lagi! Ceritakan kepadaku,
Kang!”
“Eeeh, apa aku belum pernah ceritakan padamu?” tanya Parmin.
“Yah! Kalau Akang sudah ceritakan untuk apa aku tanya lagi?”
“Memang keterlaluan aku ini! Kukira hal itu sudah kuceritakan kepadamu,”
ujar Jaka Sembung yang kadang-kadang memang suka melucu.
“Ah, jangan berolok-olok lagi, Kang!” kata Roijah sambil mencubit tangan
suaminya.
“Untuk apa sih harus diceritakan, aku sendiri sudah lupa,” kata Jaka
Sembung tersenyum.
“Ceritakan, tidak?” desak Roijah sambil memperketat cubitannya.
“Aduh! Aduh! Sakit Roijah, sakit!”
“Hayo ceritakan!”
“Aduh, aduh, aduh....... Aduh! Ya, akan kuceritakan!”
“Tapi, syaratnya tidak boleh ceritakan orang lain, janji?”
“Ya, janji!”
“Dahulu, aku pernah mendaki Gunung Ciremai untuk mencari ilmu. Di gunung
itu, aku bertemu dengan seorang petapa bongkok tua yang wajahnya mirip
Begawan Dorna dalam dunia pewayangan. Ngomong-ngomong akhirnya pertapa sakti
ini mengangkat aku sebagai muridnya. Tentu saja aku tidak menolak karena
kehadiranku di puncak Gunung Ciremai itu memang untuk mencari ilmu,” sampai
di sini Jaka Sembung berhenti sejenak.
“Wah, Kang! Apa hubungannya dengan Akang tahan digantung?” tanya Bajing
Ireng tak sabar.
“Eeeh! Tak sabar benar nyonya ini!” Parmin bercanda, “Tak mau cerita lagi
ahk!” Parmin pura-pura beranjak dari balai.
“Teruskan, tidak?” ancam Roijah sambil mencubit lagi.
“Ya, ya aku cerita!”
“Beberapa waktu aku tinggal bersamanya di sebuah pondok. Di situ aku
mendapat pelajaran silat, ilmu menggunakan tongkat dan ilmu penginderaan
untuk mendengar percakapan orang dari jarak jauh yang Dik Roijah miliki
juga. Selain itu ada suatu ilmu khusus dan langka yang diberikan kepadaku
dan kuanggap sangat penting dan aneh ialah 'Ilmu Pernapasan Bebek'.”
“Ilmu Pernapasan Bebek? Aneh sekali namanya!” seling Roijah dengan kening
berkerut.
“Ya, kegunaannya pun aneh, digantung berjam-jam masih tidak mati,” ujar
Parmin sambil tersenyum.
“Jadi, Akang lolos gantungan karena ilmu itu?”
“Bukan? Tetapi karena pertolongan Tuhan lewat ilmu itu,” jawab Parmin
memperbaiki anggapan yang bersifat takabur.
“Aku masih merasa aneh dengan ilmumu itu, Kang!”
“Aneh? Mengapa harus merasa aneh? Secara akal saja pun dapat
dimengerti.”
“Secara akal, kata Akang?”
“Ya, coba dengar baik-baik! Jika seseorang membeli seekor bebek dari pasar,
orang pasti memegang lehernya, sehingga kakinya tergantung ke bawah,
kadang-kadang cukup lama. Tetapi, bebek itu tidak mati meskipun lehernya
tercekik dalam waktu yang lama. Sampai di rumah pembelinya, binatang itu
masih tetap hidup. Itulah kira-kira persamaannya!”
Roijah mengangguk-angguk. Ia mulai mengerti dan masuk akal.
“Mengapa bebek itu bisa bertahan meskipun lehernya tercekik?” tanya Roijah
dengan sungguh-sungguh sambil memperbaiki duduknya.
“Karena bebek mempunyai jalan pernapasan kedua yaitu melalui lubang
duburnya,” jelas Parmin.
“Bagaimana dengan Akang?” tanya Roijah ingin tahu.
“Prinsipnya sama. Ketika aku digantung, aku pun menggunakan cara bernafas
bebek. Aku tak mungkin bernapas dengan paru-paru karena jalan pernapasan ku
lewat leher sudah tercekik. Aku cepat-cepat menggunakan ilmu “Hening Cipta”
yaitu memusatkan perhatianku untuk bernafas dengan perut besar dan memompa
udara melalui lubang dubur.”
“Jadi dengan cara itu, Akang dapat terus bernafas?”
“Tentu! Tetapi cara bernapas yang demikian memerlukan latihan lama,” jelas
Parmin.
“Orang-orang Belanda mengira, Akang benar-benar sudah mati,” ujar Roijah
sambil mengajak Parmin masuk ke rumah.
“Kau juga mengira begitu, bukan?”
“Semua orang pun mengira begitu,” jawab Roijah.
“Karena itu, aku sangat kaget ketika Akang datang ke kamar tahanan ku
pagi-pagi buta itu.”
“Mengapa kau mau berpelukan dengan orang itu, padahal kau tahu aku telah
mati?” tanya Parmin menguji.
“Tidak! Aku yakin kau yang datang.”
“Mengapa kau yakin?”
“Suara Akang meyakinkan aku!”
“O, begitu?”
“Tapi, Kang! Menurut berita yang tersiar di Rumah Tahanan Militer itu yang
dapat kutangkap, jenazahmu telah dikuburkan oleh serdadu-serdadu kompeni di
hutan Loyang, tetapi bagaimana caranya kau dapat ke luar dari kuburan itu?”
tanya Roijah sambil menyediakan makan malam.
“Aku tidak pernah dikuburkan oleh serdadu-serdadu itu, tetapi aku
dicampakkan begitu saja ke dalam jurang, lantas mereka pulang. Ketika aku
dicampakkan dari atas jurang, aku segera menggunakan ilmu meringankan tubuh
sehingga ketika jatuh aku tidak mengalami luka yang berarti.”
“Lantas bagaimana, Kang?”
“Seekor harimau sebesar sapi, dengan mata yang melotot seperti obor
mendekati tubuhku yang sedang berpura-pura mati. Semakin lama semakin dekat
dengan tubuhku dan pada waktu ia mengaum keras hendak menerkam, suatu
tendangan keras ku arahkan ke moncongnya dan ia terpental jauh jatuh
terjerembab.
“Kemudian diam-diam binatang buas itu berlalu. Rupanya ia jera mendapat
calon korban yang sanggup membela diri.
“Tidak lama kemudian, di sana-sini di hutan Loyang terlihat obor-obor yang
menyala menerangi seluruh hutan. Suara hiruk-pikuk mulai terdengar. Rupanya
mereka orang-orang kampung yang datang ke hutan itu untuk mencari jenazah
ku.”
“Aneh!” seru seorang di antara mereka.
“Jangankan jenazahnya, suatu bekas pun tak ada yang dapat dijadikan
petunjuk untuk mencarinya,” kata salah seorang pemimpin rombongan.
“Ya,” potong yang lain, “Jika jenazah Jaka Sembung itu sudah dimakan
harimau, tentu sekurang-kurangnya ada bekas-bekas darah yang tercecer. Ini
sama sekali tidak ada,” celoteh mereka.
“Tetapi, bukankah banyak di antara penduduk yang mencari Akang itu,
menyangka Akang masih hidup karena mereka mendengar suara seruling
membawakan lagu sendu?”
“Ah, itu mungkin hanya perasaan mereka saja,” jawab Parmin.
Ia diam sejenak, kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Lucu juga kalau
kuingat-ingat, Ijah!” kata Parmin menutup ceritanya.
Angin malam yang sejuk berhembus sepoi-sepoi mengusap daun padi yang mulai
menguning membawa hawa dingin yang nyaman. Sementara nyanyian Bubui Bulan
yang mengalun di malam sepi itu terdengar sayup-sayup, dinyanyikan oleh para
remaja desa dari kejauhan seakan-akan mengantar kedua penganten baru itu ke
peraduan.
T A M A T
Pembaca yang budiman. Hanya sampai di sinilah kisah Jaka Sembung! Apakah
perjuangannya terhenti di sekitar desa Kandanghaur saja? Apakah semangat
pendekar kita itu tidak setegar dulu setelah menikah dengan Bajing Ireng?
Jawabannya akan Anda temukan pada episode selanjutnya, yaitu Badai di Laut Arafuru.
Emoticon