Mereka berdua dengan diikuti oleh beberapa mund Koh
Tiong, kemudian pindah tempat menuju ke halaman be-
telah berganti pakaian khas Cina, dan sebelumnya ia
sempat membakar dupa dihadapan potret gambar
leluhurnya itu sambil menyembah-nyembah, mungkin
minta doa keselamatan.
Tidak berapa lama kedua jagoan bela diri itu nampak
telah bersiap diri saling berhadapan. Tanpa ada wasit
yang memimpin pertandingan, pertarungan itu pun ter-
jadi. Koh Tiong dengan gesit memperagakan jurus-jurus
ilmu bela dirinya yang bergerak dengan cepat sulit ter-
tangkap indera mata orang awam. Terutama bagi mereka
yang tidak biasa bertarung, tentu akan kewalahan meng-
hadapi gerakan lincah berputar-putar demikian cepatnya
kian kemari itu.
Warok Wulunggeni mengandalkan pada ilmu -kedig-
dayaan yang sangat ditopang oleh kemampuan daya lebih
yang mengalir pada seluruh tubuhnya. Beberapa jurus
serangan telah dilemparkan Koh Tiong ke berbagai arah
yang mematikan di bagian-bagian vital Warok Wulung-
geni, namun nampaknya Warok Wulunggeni yang ber-
tubuh tinggi besar dan memiliki berbagai simpanan ilmu
bela diri itu tidak mudah untuk dijadikan sasaran seran-
gan yang bertubi-tubi datangnya itu. Nampak belum ada
satu orang pun yang terkena sentuhan jurus-jurus lawan-
nya. '
Sudah beberapa lama berjaian belum kelihatan ada tanda-
tanda siapa yang lebih unggul di antara kedua jagoan itu.
Selanjutnya, ada hal-hal yang cukup ngeri bakat terjadi.
Nampaknya kedua laki- laki itu ingin segera membuat
perubahan perimbangan posisi. Koh Tiong sudah
mengeluarkan senjata tajam andalannya berupa pedang
kembar, sedangkan Warok Wulunggeni pun juga segera
mencabut 'motek' semacam golok yang dilambari dengan
racun warang yang mematikan.
Kedua senjata dari dua laki-laki itu berputar-putar kian
kemari ingin menerobos sasaran pada lawan tandingnya.
Kelibatan berkilau tersentuh cahaya yang memancar dari
kedua senjata tajam itu, seperti terkena pantulan sinar dari
berbagai jurusan nampak sangat membahayakan apa-
bila sampai mengenai tubuh korban yang kurang
waspada dalam mengatur pertahanan diri menghadap:
lawan tandingnya itu. |
Dalam suatu gerakan yang cepat, tiba-tiba tubuh Koh
Tiong itu menjadi ringan seperti melayang di udara dan
hinggap di dinding tembok ruangan itu, rupanya ia telah
melakukan jurus 'gingkhang' untuk menyerang lawan
dari arah atas. Warok Wulunggeni rupanya tidak begitu
siap menerima serangan yang datang begitu tiba-tiba
mendadak dari arah atas itu, dengan gerak spekulasi
Warok Wulunggeni segera mengembangkan gerakan
pertahanan tanpa mengindahkan risiko yang mungkin
terjadi. "Blarrmr", rupanya benturan dahsyat tak terhin-
darkan. Keduanya terpental ke belakang beberapa
langkah.
Bagi posisi Warok Wulunggeni, walaupun sebenarnya ia
telah mengerahkan daya lebih yang dimilikinya itu,
ternyata ia pun ikut terpental ke belakang beberapa
langka lantaran ketepatan jurus tendangan yang
dikembangkan Koh Tiong sangat akurat dapat
mengenai sasaran dengan tepat yaitu pada hulu hati
Warok Wulunggeni.
Hanya saja, kebetulan yang dihadapi Koh Tiong itu
adalah Warok Wulunggeni yang bukan orang sem-
barangan. Warok yang satu ini ternyata memiliki
kemampuan bertahan tenaga dalam yang berlipat, se-
lingga benturan yang mematikan itu tidak membuatnya
ia tergelepar. Kalau saja tendangan maut Koh Tiong iti
mengenai orang biasa, mungkin sudah mati berdiri. Akan
tetapi Wulunggeni bukan tandingan bagi orang yang
sudah mendapat gelar warok ini.
Setelah beberapa saat mereka mengatur persiapan
gerakan lanjutan, mereka berdua mulai menyadan ada
yang tidak beres pada diri mereka masing-masing. Kedua
laki-laki itu ternyata sama-sama terluka. Warok Wulung-
geni terkena sabetan pedang kembar Koh Tiong pada
lengan kanannya, demikian juga Koh Tiong terkena sa-
betan pedang pendek Warok Wulunggeni yang mengan-
dung warang beracun itu pada paha kirinya. Pertarungan
sengit itu telah menghasilkan luka-luka di antara kedua
tokoh bela diri itu. Untuk itu pertarungan segera
disepakati untuk dihentikan.
Koh Tiong segera mengambil kotak obat-obatannya. Ia
dengan gesit memperagakan cara pengobatan luka-luka
itu, baik bagi pengobatan dirinya sendiri maupun untuk
Warok Wulunggeni yang tercecer darah kental merah
membasahi pakaiannya yang hitam pekat itu. Setelah
kedua laki-laki itu sama-sama terluka dan terobati, ke-
mudian mereka duduk bersama sambil menghirup minu-
man ramuan dedaunan yang disediakan oleh Koh Tiong.
Para murid Koh Tiong yang baru saja menyaksikan ke-
hebatan pertarungan yang sengit itu hanya bisa ternganga
terheran-heran. Dan baru merasa lega ketika melihat per-
tarungan telah usai.
"Saya mengaku kalah, Tuang Walok Wulunggeni”, tiba-
tiba terdengar suara Koh Tiong memecahkan kesunyian.
"Lho, kamu masih kuat meneruskan pertandingan to Koh.
Kita belum ada yang kalah. Kita masih sama-sama kuat.
Kita sama-sama terkena senjata", balas Warok Wulung-
geni.
"Kalena saya teluka, belalti saya kalah, Tuang Walok
Wulunggeni”.
"Ach. Jangan merendahkan diri begitu, Koh Ti ong. Aku
sebenarnya kagum sama permainanmu itu. Luar biasa
Baru kali ini aku mendapat lawan yang tangguh. Sehebai
kamu, Koh. Aku memujimu. Engkau adalah pendekar
sejati" |
"Ach jangan memuji begitu. Tidak usah, Tuang Walok.
Saya telus telang mengaku kalah. Sebab dalam ilmu Cina,
sehalusnya kami tidak teluka. Tetapi telnyata saya teluka.
Itu belalti kami halus mengakui kehebatan ilmu Tuang
Walok Wulunggeni. Dan mulai esuk kami akan menutup
peiguluan ini. Mengenai soal mempelajali cala pengo-
batan Cina itu, Tuang boleh belajal kapan saja semau
Tuang. Dengan senang hati kami akan membelikan, apa
saja yang bisa kami belikan untuk Tuang Wulunggeni",
kata Koh Tiong kepada Warok Wulungggeni.
Mendengar kata-kata pengakuan yang tulus dari Koh
Tiong yang begitu rendah hati itu, hati Warok Wulung-
geni jadi 'renyuh”.
"Koh Tiong. Perguruanmu ini sebaiknya jangan ditutup.
Soal ucapanku tadi, hanya main-main. Jangan dipikirkan.
Teruskan saja dibuka perguruan ini. Banyak pemuda di
sint yang membutuhkan ilmu bela din Cina ini untuk
menjaga diri dari banyak gangguan di daerah yang panas
seperti Bonorogo ini. Teruskan saja dibuka. Koh. Aku
tidak ingin menghalangi usahamu ini. Aku hanya seorang
penuntut iimu. Jadi keinginanku hanya untuk mencari
dan mengembangkan ilmu. Entah itu ilmu dari mana
datangnya, aku akan cari terus. Jadi jangan hanya karena
aku, engkau menutup perguruan ini. Jangan lakukan itu,
Koh. Aku sudah cukup gembira dapat berkenalan dengan
orang seperti kamu yang menguasai ilmu bela diri dan
Ilmu ketabibab Cina ini. Semuanya akan berguna bagi
menambah pengetahuanku"
"Telima kasih, Tuang Wulunggeni. Akan tetapi saya
halus tetap mengholmati peljanjian kita tadi. Aku kalah,
dan aku halus menepati janji untuk menutup pelguruan,
int untuk umum".
"Yah. terserah saja pada kamu, Koh Tiong. Tetapi,
terus terang aku tetap nengharapkan agar engkau tetap
membuka kegiatan perguruan ilmu bela diri Cina int di
sini. Dan kalau menurut keyakinanmu harus ditutup,
Itu terserah. Itu bukan lantaran aku, lho”.
"Telima kasih, Tuang Warok Wulunggeni".
Sejak saat kejadian pertarungan itu, perguruan bela diri
khas Cina milik Koh Tiong itu akhirnya benar-benar
ditutup untuk umum. Akan tetapi, Warok Wulunggeni
rupanya dengan tekun menjadi murid pengobatan Koh
Tiong. Ia diam-diam tanpa banyak diketahu! orang, bela-
jar ilmu ketabiban itu kepada pendekar Cina Koh Tiong
itu. Sedangkan perguruan bela dirinya itu, sesuai perjan-
jian yang diyakini Koh Tiong dengan Warok Wulunggeni
itu, tetap ditutup. Berita mengenai ditutupnya usaha Koh
Tiong itu sampai ke telinga Warok Sawung Guntur seba-
gai penguasa keamanan Kadipaten.
"Lho, yang berhak menutup atau membuka setiap
kegiatan apa pun di daerah kekuasaan Ponorogo ini
kan penguasa Kadipaten, apa urusannnya Wulunggeni
mengatur usahanya orang", kata Warok Sawung Guntur
sebagai salah seorang penggede Kadipaten ketika men-
dengar laporan dart anak buahnya mengenai campur
tangannya Warok Wulunggeni terhadap usaha di Tu-
mah makan Kakung Cah milik Koh Tiong itu, nampak
ja menjadi berang.
"Ampung, Tuangku. Sebaiknya masaiah ini tidak pellu
dipelpanjang", kata Koh Tiong saat mendengar ucapan
Warok Sawung Guntur ketika mengunjungi rumah
makannya dan mendengarkan dari laporan yang tidak
mengenakkan itu dari anak buahnya di rumah makan itu
suatu siang hari.
"Tidak diperpanjang bagaimana, Koh Tiong. Di sini
yang berhak mengatur segala soal perijinan usaha ini,
Aku. Yang berkuasa itu, Aku. Bukan orang lain ter-
masuk si Wulunggeni itu bukan apa-apa. Orang sema-
cam dia itu tidak ada apa-apanya bagi penguasa
Kadipaten. Aku atas seijin Kanjeng Adipati yang me-
nentukan segalanya". ujar Warok Sawung Guntur
memperlihatkan muka marahnya.
"Ampung, Tuang penggede. Jangan salah paham. Yang
memang belmaksud menutup usaha ini saya sendili yang
punya mau, bukan lantalan Tuang Wulunggeni. Jadi kami
halap Tuang penggede tidak salah-paham. Kami hanya
menutup usaha pelguruan saja, kalena memang di sini
tidak ada lagi mulid yang mau ikut latihan. Sedangkan
usaha yang lain telmasuk rimah makan ini masih terus
dibuka".
"Ohh, jadi hanya perguruan bela dirinya yang ditutup.
Rumah makan tetap dibuka", kata Warok Sawung Guntur
mulai mengendor syarafnya.
"Benal. Benal Tuengku. Benal...benal demikian,
Tuangku", kata Koh Tiong berlogat cedal.
"Kalau memang demikian. Ya, tidak apa-apa. Jadi malahan
aku mau minta tolong kepada Koh Tiong, itu ilmu bela diri
Cina tolong diajarkan saja kepada para prajuritku. Para
punggawa keraton selain sudah mahir ilmu kanuragan
tradisional, tolong juga dilatih ilmu bela diri Cina itu, biar
mereka kaya menguasai berbagai ilmu".
"Ampung, Tuang. Kami belsedia menuluti pelintah tuang
penggede", kata Koh Tiong yang berbicara cedal sambil
badannya membungkuk- bungkuk tanda hormat kepada
Warok Sawung Guntur itu.
"Nah. Kalau demikian, mulai esuk hari, Koh Tiong boleh —
datang ke gladi pelatihan di Kadipaten untuk memberikan
dasar-dasar latihan ilmu bela diri Cina itu".
"Siap Tuang penggede".
"Baiklah kalau demikian, aku minta diri pulang dulu.
Jangan lupa mengenai latihan itu besuk. Usahakan tertib
waktu. Soal teknis kegiatannya, nanti akan diatur ber-
sama oleh para senopati Kadipaten".
"Siap, Tuang penggede",
Tidak berapa lama rombongan Warok Sawung Guntur
yang sedang melakukan inspeksi keliling kota itu men-
inggalkan rumah makan Kangkung Cah pada sore
harinya setelah disuguh makan-minum sepuasnya di ru-
mah makan yang beken di kota itu.
TERJADI PERUBAHAN PESAT
SETELAH hampir sepuluh tahun berjalan sejak ber-
dirinya Kadipaten Ponorogo di bawah kepemimpinan
Kanjeng Raden Adipati Sampurnoaji Wibowo Mukti,
nampak bahwa daerah Kadipaten Ponorogo ini makin
maju. Perdagangan antar daerah berjalan lancar. Arus
barang banyak yang keluar masuk daerah ini. Demikian
juga banyak pendatang dari luar daerah yang kemudian
berminat mendirikan usaha di daerah Kadipaten
Ponorogo yang terus berkembang pesat di sini.
Kali Sekayu yang terletak di sebelah barat ibukota Kadi-
paten Ponorogo, merupakan alur strategis sebagai pusat
berkembangnya perdagangan yang amat bernilai bagi
masyarakat setempat. Oleh Karena itu, Kali Sekayu makin
memegang peranan penting sejak kegiatan ekonomi pen-
duduk daerah kadipaten Ponorogo mulai maju. Di sepan-
jang pinggir sungai ini, apabila di situ dijumpai kampung,
maka hampir dapat dipastikan akan menggunakan sarana
air sungai itu untuk menunjang kegiatan usahanya.
Barang-barang dagangan banyak dibawa dengan meng-
gunakan alat angkut 'getek? terdiri dari bambu-bambu
yang diapungkan untuk membawa pedagang- pedagang
lokal yang penuh barang dagangan menyeberangi sungai
itu. Oleh karena itu, roda perekonomian rakyat Ponorogo
-nampak makin bergairah maju.
Para pembuat grabah yang bahannya diambilkan dengan
cara mengolah dari tanah lempung, kemudian setelah
dibentuk beraneka ragam peralatan, antara lain kendi
untuk tempat air minum, lepek untuk menuangkan kopi
panas agar cepat dingin, kendil, wajan gorengan, dan
sebagainya. Selain grabah, juga dibuat tikar mendong.
Semua usaha kerajinan itu banyak dihasilkan oleh pen-
duduk di desa-desa yang kemudian dipasarkan ke kota
kadipaten menyeberang sungai, antara kali Sekayu itu
dengan menggunakan rakit bambu 'Gerek”
Banyak rakyat yang kemudian patuh membayar upeti,
terutama upeti dari hasil bumi yang disetorkan ke
penguasa Kadipaten, dan kemudian oleh penguasa
Kadipaten sebagian besar disampaikan sebagai
persembahan kesetiaan kepada junjungan pemerintahan
pusat Kerajaan Majapahit di Trowulan.
Daerah Ponorogo juga dikenal maju oleh adanya per-
tanian rakyatnya. Pertanian dapat berkembang pesat yang
membawa hasil penen berlimpah ruah pada tiap tanun-
nya. Ponorogo waktu itu juga dikenal sebagai penghasil
produksi gula rakyat. Baik itu gula aren dari pohon aren,
gula kelapa dari buah kelapa, maupun gula dari bahan
batang tebu. Di kampung-kampung, banyak tumbuh in-
dustri tradisional pembuatan gula rakyat yang diusa-
hakan oleh masyarakat setempat yang merupakan mata
pencaharian sampingan selain bertani padi dan tumbuhan |
palawija.
Perkebunan tebu yang merupakan bahan untuk diolah
menjadi gula, kemudian banyak diusahakan oleh petani-
petani Ponorogo dengan pengolahan secara tradisional.
Menggunakan peralatan peras yang ditarik dengan tenaga
lembu, sapi, kemudian hasilnya dimasak dicetak dengan
lemper tanah, kemudian dibungkus dengan daun-daun
kering tebu untuk dipasarkan ke daerah-daerah Kadipaten
lain di tanah Jawa. |
Kemajuan perekonomian daerah Ponorogo sebenarnya
juga tidak terlepas dari kemajuan hubungan dagang yang
terjadi di Trowulan, pusat kekuasaan kerajaan Majapahit.
Ketika itu banyak para pedagang Cina yang menggu-
nakan kapal-kapal dagang besar datang berlabuh di pela-
buhan Gresik pantai pesisir utara laut Jawa. Para
pedagang asal negeri Tiongkok itu membawa banyak
barang dagangan yang kemudian bermitra dagang dengan
para pedagang Cina lokal yang sudah lama tinggal di
pusat kekuasaan kerajaan Majapahit itu. Bahkan
konon, Raja Prabu Brawijaya juga banyak menerima
persembahan putri-putri Cina yang cantik-cantik jelita
untuk dijadikan selir Raja Agung Benantara itu. Oleh
karena itu, perhubungan dagang antara negeri Cina
daratan dan kerajaan Majapahit juga telah membawa
pengaruh pada perubahan situasi perdagangan pada
daerah-daerah kadipaten yang di bawahinya.
Kadipaten Ponorogo yang juga di bawah kekuasaan kera-
jaan Majapahit ternyata juga menjadikan daya tarik bagi
pedagang- pedagang dari luar daerah yang datang untuk
menjajakan barang dagangan, dan kemudian kebalikan-
nya mereka membeli hasil bumi dan daerah Ponorogo.
Tidak terkecuali bagi para bangsa Cina yang datang untuk
berdagang, mereka datang ke Ponorogo untuk mendin- -
kan rumah makan, membangun tempat hiburan, dan
memperkenalkan cara berjudi moderen kepada
masyarakat sekeliling yang didiaminya itu.
Selama ini masyarakat Ponorogo belum mengenal per-
mainan judi. Mereka hanya mengenal cara taruhan
melalui *botohan’ sabung ayam jago jantan, atau adu
orang kuat antar jago yang dipertarungkan. Para orang
kuat yang diadu itu kemudian istilahnya 'dikalmg di
tengah-tengah arena pertarungan yang dikelilingi oleh
para petaruhnya, yaitu orang-orang yang menjagokan
jagonya itu sebagai bahan taruhan.
Ayam jago yang kalah bertarung, biasanya lalu disembe-
lih oleh pemiliknya untuk dijadikan sebagai bahan
masakan sate. Maka sejak saat itu orang Ponorogo suka
membuat makanan sate dari ayam jantan. Sate Ponorogo
kemudian makin dikenal rasanya lezat. Ada anggapan
pada masa itu bahwa bagi mereka yang mau makan sate
ayam jantan Ponorogo, maka ia akan menjadi petarung
hebat seperti kehebatan ayam jantan sabungan. Maka
kemudian makanan sate ayam jantan itu menjadi berkem-
bang sebagai makanan yang populer sampai ke Trowulan
pusat kerajaan Majapahit yang merupakan makanan khas
dari orang-orang Ponorogo waktu itu.
Kepandaian memasak sate ayam itu kemudian dikem-
bangkan, ditekuni, dan dimonopoli hanya oleh dua dinasti
yang saling berebut pengaruh di Ponorogo yaitu Dinasi
Brang Kidul yang biasa mangkal di pojok Ngepos, tempat
pusat berkumpul para pedagang asal dari luar kota
Ponorogo, dan Brang Lor di Pasar Legi yang biasa seba-
gai tempat berkumpul para pedagang lokal asal dan
Ponorogo asli.
Biasanya para pedagang sate ini banyak mangkal di po-
jok-pojok jalan tengah kota yang banyak dikerumuni
orang-orang yang sedang menyaksikan sabung ayam
jago atau pertarungan antar orang-orang kuat yang di-
jagokan dengan menggunakan taruhan uang keping.
Bahkan, sejak masuknya pendatang Cina, cara ber-
taruh itu makin menjadi-jadi. Pertaruhan mulai
berkembang mengarah pada permainan judi yang
menggunakan sarana kartu, domino, dadu, dan seba-
gainya.
Bandar-bandar judi yang dikelola oleh orang-orang Cina
itu makin meramaikan suasana kehidupan malam di kota
Ponorogo pada masa itu. Juga kebiasaan hidup jelek
orang-orang Cina ikut menulari bangsa pribumi di
Ponorogo, seperti madat, menghisap ganja, dan minum-
minuman arak yang memabukan.
Dari kegiatan kota seperti itu semuanya, kemudian
penguasa Kadipaten dapat memungut upeti. Pajak judi,
pajak permainan, pajak minuman keras, pajak ganja,
pajak penghasilan rumah makan, pajak penginapan,
pajak hiburan, dan rupa-rupa jenis upeti lain yang tiap
hari dan malam mengalir ke kas daerah penguasa Kadi-
paten.
Kegiatan para pedagang Cina, misalnya seperti yang
dilakukan oleh Koh Tiong pemilik rumah makan
Kangkung Cah itu, yang ternyata juga memperkenalkan
ilmu bela diri Cina, Kungfu yang dilatihkan secara ter-
batas kepada para pungggawa prajurit Kadipaten,
barangkali tujuannya agar di antara mereka ada hubungan
kerjasama yang saling menguntungkan. Para pedagang
Cina itu butuh perlindungan politik, keamanan, dan peri-
jinan untuk menjalankan roda usahanya di daerah Kadi-
paten Ponorogo. Sedangkan, sebaliknya bagi para prajurit
punggawa Kadipaten itu, juga membutuhkan ilmu bela -
diri untuk menunjang kariernya di bidang keprajuritan
dan juga tambahan penghasilan pribadi dari hasil kontri-
busi para pedagang Cina itu kepada mereka
Latihan bela diri Kungfu Cina itu terutamabanyak diikuti
oleh para anak buah Warok Sawung Guntur, sejak pergu-
ruan bela diri itu ditutup untuk umum ketika pendekar
Cina Koh Tiong selesai adu tanding dengan Warok Wu-
lunggeni tempo bari itu. Di samping mereka telah
menguasai ilmu kanuragan tradisional khas Ponorogo,
mereka mendapatkan tambahan ilmu bela din dari
Cina itu. Oleh karena itu, dengan mudah mereka telah
terjalin hubungan vang erat antara orang-orang Cina
itu dengan Warok Sawung Guntur bersama anak
buahnya.
Para pedagang Cina itu hanya berani tinggai di kota
Kadipaten Ponorogo, kerena mendapatkan perlindungan
keamanan dari Warok Sawung Guntur itu. Hampir dapat
dikatakan tidak ada satu pun orang Cina yang berani
tinggal di kota kecil di luar kota Kadipaten, sebab sudah
jelas mereka akan menjadi sasaran perampokan para
Begal yang menyukai orang-orang asing kaya bagi tujuan
operasi mereka.
Orang-orang Cina yang berdagang di Ponorogo itu
umumnya mempunyai jaringan operasi dagang dengan
sesama orang Cina antar daerah. Terutama dengan
mereka yang tinggal di pusat pemerintahan kerajaan Ma-
japahut di Trowulan. Hal demikian ini, sehingga mereka
dapat bergerak secara leluasa karena kebijaksanaan pe-
merintahan Prabu Brawijaya menerapkan sistem perda-
gangan bebas. Banyak pedagang dari Tiongkok dapat
langsung mengadakan hubungan dagang dengan orang-
orang pribumi maupun dengan pemerintahan kerajaan
Majapahit.
Suasana yang serba memungkinkan tersebut telah mem-
buat makin banyaknya barang-barang dari Cina beredar
di pasaran. Di daerah Ponorogo, pedagang-pedagang
Cina itu umumnya menjual beraneka rupa pakaian, ba-
han-bahan kain, bahan dupa, kertas, lilin. rokok, arak,
kemenyan. garam, dan mercon. Sedangkan mereka mem-
beli hasil bumi dari penduduk setempat, terutama bahan-
bahan pengobatan seperti sirih, temu lawak, jahe, Kunyit,
daun-daunan lainnya lagi, tembakau, gula, dan seba-
gairiya untuk dibawa pulang ke negeri leluhurnya, daratan
Tiongkok sana.
Para pedagang Cina itu juga memperkenalkan berbagai
ilmu Cina kuno kepada masyarakat Ponorogo misalnya
soal ilmu ketabiban, juga yang amat beken adalah ilmu
cara meramal nasib, ilmu peramalan, ilmu tata letak
bangunan yang disebutnya 'hongsui', ilmu perbintangan,
ilmu sulap, ilmu perhitungan tahun misalnya tahun babi,
tahun monyet, tahun macan, dan segala rupa.
Rupanya segala sajian ilmu-ilmu aneh dari Cina itu ditang-
gapi dingin oleh masyarakat Ponorogo. Hanya beberapa
orang yang dapat dihitung jari berminat mau mempela-
jarinya. Selebihnya banyak yang lebih menyukai meng-
gunakan ilmu-ilmu yang digali dari daerah asli mereka
masing-masing yang kaya di daerah Ponorogo. Mereka
menganggap, Ponorogo gudangnya ilmu-ilmu gaib dan
segala rupanya itu. Dan ilmu Cina yang mengandung
kekuatan-kekuatan gaib yang mencoba di masyarakatkan
di Ponorogo, tidak mendapatkan pasaran. Mereka keban-
yakan masih lebih percaya kepada ilmu-ilmu yang tum-
buh berkembang dan berasal dari Ponorogo asli daripada
mempercayai ilmu-ilmu yang datang dari luar itu.
Terkecuali Warok Wulunggeni, satu-satunya orang
Ponorogo yang bisa menghargai dan mau mempelajari
segala rupa ilmu yang datangnya dari mana saja itu.
Babah Kongjie adalah nama orang Cina yang paling
beken mengembangkan usaha dagang rokok dan tem-
bakau di daerah Ponorogo. Ia banyak berhubungan da-
gang dengan para pedagang pribumi di kota Ponorogo itu.
Rumahnya yang terletak di pojok alun-alun kota
Ponorogo itu, siang-malam senantiasa kedatangan tamu-
tamunya untuk berhubungan dagang dengannya. Daerah
itu kemudian dinamakan Pecinan, lantaran makin han
makin banyak orang Cina pendatang yang berdiam di
daerah tersebut.
Babah Kongjie juga banyak mempekerjakan para jago-
jago kepruk pribumi yang biasanya sangat loyal menga-
mankan kepentingan kaum Cina dari gangguan para
perusuh pribumi yang merasa iri atas makin majunya
penguasaan pasar orang-orang Cina itu, sehingga meng-
geser peranan para pedagang pribumi yang sebelumnya
telah mencuat namanya.
Demikian juga para jago kepruk itu berfungsi juga seba-
gai tukang tagih. Orang-orang Cina mempunyai kebi-
asaan untuk meminjamkan uangnya kepada
pedagang-pedagang pribumi dengan bunga rente yang
tinggi. Oleh karena itu waktu itu sangat dikenal sebutan
"Cina Mendring", adalah para tengkulak Cina yang
merangkap menjadi renternir. Namun tidak sedikit yang
kemudian di antara mereka membentuk kongsi dagang
bersama para pedagang pribumi.
Dari situasi makin mendominasinya perdagangan
barang-barang Cina ini yang kemudian memunculkan
banyak begal-begal yang tujuannya adalah urituk mem-
boikot tersebarnya barang-barang Cina itu di kota-kota
kecil Ponorogo. Maka sejak saat itu daerah Ponorogo
juga diramaikan oleh banyaknya gangguan keamanan.
Begel-begal yang sewaktu-waktu siap menghadang di
jalan bagi para pedagang yang dicungai memperda-
gangkan barang-barang dan Cina itu.
Tidak jarang para begal itu ada yang berasal dari para
pemuda baik-baik yang lantaran kecintaannya kepada
rasa kepribumiannya mereka melancarkan operasi pem-
begalan kepada para pedagang pribumi yang memperda-
gangkan barang-barang Cina ke daerah-daerah. Namun
kemudian, banyak juga yang mulai ngawur, tidak saja
mempunyai sasaran kepada barang-barang Cina tetapi
barang apa saja yang dibawa pedagang dibegalnya.
Keadaan ini yang kemudian telah memancing perhatian
para warok yang tidak bisa menerima perlakuan para
bekal yang main hantam kromo ini. Kalau saja mereka
mempunyai sasaran hanya terhadap barang-barang Cina,
mereka nampaknya mendukungnya, tetapi ternyata ban-
yak laporan yang sudah mengarah makin brutal. Oleh
karena itu akhirnya, selain para petugas pengamanan dari
Kadipaten turun tangan, para warok yang menjadi ont-
pleng-omplengnya penduduk daerah setempat pun ikut
terjun menanggulagi masalah gangguan ini.
Penguasa Kadipaten agaknya sangat memprioritaskan
pengamanan hanya pada jalur utara. Sebab, jalur utara ini
yang langsung menghubungkan antara kota Ponorogo
dengan kota Trowulan. Berhubung ramainya lalu-lintas
yang menggunakan jalur utara ini, maka para petugas
pengamanan yang tangguh selalu disiagakan di sepanjang
perjalanan jalur utara ini. Banyak berdiri gardu-gardu
penjagaan. Patroli jalan yang dilakukan oleh prajunt
pilihan, mengawasi di sepanjang jalan yang menuju
kota Ponorogo dari arah kota Trowulan. Oleh karena itu
para pedagang, para utusan dari Majapahit yang akan
berkunjung ke kota Ponorogo mempunyai kesan sangat
aman untuk datang ke kota Ponorogo.
Lain halnya, untuk pengamanan daerah selatan, timur,
dan barat, penguasa Kadipaten hanya mengandalkan
kepada kemampuan para warok yang loyal kepada pe-
merintah Kadipaten' yang kemudian diangkat sebagai
kepala pengamanan daerah setempat. Kalaupun ada pa-
troli keamanan keliling yang diadakan oleh para prajunt
Kadipaten, biasanya terdiri dari rombongan pengawalan
dalam jumiah besar, dan hal itu jarang terjadi. Hanya
kadang-kadang, memang ada barisan penjagaan penga-
manan keliling yang dipimpin langsung oleh seorang
Senopati Kadipaten untuk memeriksa pengamanan tiap
daerah. Tetapi tidak terjadi tiap hari. Hanya pada daerah-
daerah yang dilaporkan rawan kejahatan, baru diturunkan
seorang Senopati beserta prajuritnya untuk membantu
pengamanan daerah bersangkutan. Rombongan Senopati
Kadipaten itu dalam menjalankan operasinya biasanya
mengadakan koordinasi terlebih dahulu dengan Warok
setempat yang bertugas sebagai kepala pengamanan
daerah bersangkutan itu.
Warok Sawung Guntur sebagai orang yang dijagokan
oleh Penguasa Kadipaten dalam menanggulangi setiap
kemelut keamanan yang terjadi di daerah. Namun oleh
Kanjeng Adipati, Warok Sawung Guntur justeru diberi
tugas yang tidak berhubungan dengan warok- warok
lainnya. Ia mendapat tugas khusus untuk menga-
mankan daerah jalur utara yang membawahi prajurit-
prajurit pengawalan andalan yang dilatih khusus untuk
keperluan itu.
Sawung Guntur sebagai warok justeru tidak diberi tugas
untuk membawai daerah-daerah selatan, timur dan barat,
dimana di tiap daerah telah diangkat kepala pengamanan
daerah diambilkan dari sosok seorang warok yang
disegani di masing-masing daerah di situ. Pengaturan ini
dilakukan oleh Kanjeng Adipati dengan pemahaman
bahwa bagi seorang warok sejati, ia tidak mau diperintah
atau dibawahi oleh warok lainnya. Harga dirinya akan
bangkit bila diungkit-ungkit soal bawahan atasan oleh
sesama warok itu. Oleh karena itu, atas pemahaman ini
Kanjeng Adipati cukup mengerti perangai para warok itu
yang tidak bisa diatur oleh sesama warok, maka dalam
koordinasi warok-warok di daerah itu langsung diasuh
oleh Patih Brojosento, sedangkan usulan pengangkatan
seorang warok menjadi kepala pengamanan daerah serta
pengawasan operasionalnya biasanya ditugaskan kepada
senopati- senopatinya. Selain itu, tugas bagi para senopati
juga dipersiapkan untuk memberikan tenaga perbantuan
apabila misalnya di suatu daerah terjadi kerawanan yang
memerlukan bantuan kekuatan tambahan
Meskipun Kanjeng Adipati telah bekerja dengan baik dan
telah mempertimbangkan segala sesuatunya dari berba-
gai seginya, terutama dalam hal soal pengaturan penga-
manan daerah Ponorogo ini, namun di beberapa daerah,
masih juga selalu terdengar berita mengenai terjadinya
kekacauan-kekacauan yang tidak ayal juga sering meli-
batkan adanya bentrokan antar para warok di daerah
bersangkutan.
BERSAMBUNG
Emoticon