SATU
SENJA SUDAH mulai turun menyelimuti permukaan bumi. Sinar matahari sudah
tidak lagi menyengat, namun masih cukup untuk menerangi mayapada ini. Di
tengah pancaran matahari senja ini, tampak serombongan orang berkuda tengah
meniti jalan tanah berdebu di pinggiran jurang. Sebuah jurang yang tidak
begitu dalam, namun terlihat cukup besar.
Dinding-dindingnya terdiri dari batu-batu cadas yang keras dan runcing.
Sekitar dua puluh orang berkuda bergerak perlahan-lahan, mengawal sebuah
pedati berukuran cukup besar yang dikendalikan oleh seorang laki-laki yang
sudah lanjut usia. Kendati telah berumur, namun masih kelihatan cekatan
dalam mengendalikan empat ekor kuda yang menarik pedati ini.
Para pengawal dibagi menjadi dua bagian. Sepuluh orang berkuda di depan,
dan sepuluh orang lagi berkuda di belakang pedati. Mereka bergerak hati-hati
sekali, karena jalan yang dilalui cukup licin dan sempit. Di sebelah kanan,
terdapai jurang yang menganga. Sedangkan di sebelah kiri, dinding bukit yang
sangat terjal dan tinggi. Apalagi, jalan yang dilalui ini masih kelihatan
cukup jauh. Tidak ada seorang pun dari mereka yang berbicara. Mereka seperti
harus memusatkan seluruh perhatian pada jalan yang dilalui. Sedikit saja
tergelincir, jurang yang menganga sudah menanti.
Namun kenyataannya, jalan seperti itu tidak terlalu panjang. Belum juga
matahari benar-benar tenggelam di balik peraduannya, jalan yang cukup
berbahaya itu sudah terlewati. Dan kini rombongan berkuda itu memasuki
tepian sebuah hutan yang tampaknya tidak begitu lebat. Bahkan terlihat
banyak pohon yang sudah ditebang. Salah seorang penunggang kuda yang paling
depan mengangkat tangannya ke atas kepala, maka rombongan berkuda itu
langsung berhenti.
"Istirahat di sini! Dirikan tenda...!" teriak penunggang kuda yang berada
paling depan, memberi perintah.
Mereka semua segera berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing.
Tiga orang bergegas menghampiri pedati, dan masuk ke dalamnya. Tidak berapa
lama, terlempar beberapa gulungan kain berwarna putih. Kemudian satu orang
melompat keluar dari dalam pedati. Sementara yang lain segera mengambil
barang-barang yang dilemparkan ke luar dari dalam pedati itu. Tanpa ada yang
memerintah lagi, mereka langsung bekerja mendirikan tiga buah tenda
berukuran cukup besar ditepian hutan ini.
Sementara, penunggang kuda terdepan yang tampaknya adalah pemimpin
rombongan, masih tetap duduk di atas punggung kudanya. Tak lama dia
dihampiri oleh laki-laki tua yang menjadi kusir pedati dengan tubuh
terbungkuk-bungkuk. Laki-laki tua itu langsung merapatkan kedua telapak
tangan di depan dada. Tubuhnya sedikit dibungkukkan setelah berada dekat
dengan laki-laki berusia setengah baya yang masih tetap berada di atas
punggung kuda putihnya.
"Gusti... Tempat ini kurang baik untuk bermalam, sebab masih berada di
wilayah Kerajaan Jenggala," ujar orang tua itu dengan sikap sangat
hormat.
"Mereka tidak akan mungkin mengejar sampai sejauh ini, Ki Manik. Kalaupun
tetap mengejar, tidak akan sampai ke sini. Dan beberapa orang akan
kuperintahkan untuk menjaga ujung jalan itu. Kalau mereka kelihatan, hujani
saja dengan anak panah," sahut laki-laki setengah baya yang dipanggil
gusti.
"Tapi, Gusti. Bukan hanya itu saja jalan satu-satunya. Mereka bisa memutari
bukit di sebelah sana untuk menuju ke sini," sergah orang tua yang dipanggil
Ki Manik, sambil menunjuk sebuah bukit yang tidak begitu tinggi.
Namun belum juga ada jawaban, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah
jalan yang dilalui tadi. Tak lama, terlihat kepulan debu membubung tinggi ke
angkasa. Dan bumi terasa bergetar bagai diguncang gempa.
"Celaka, Gusti Panglima. Mereka benar-benar mengejar...," desis Ki
Manik.
"Cepat ambil kuda kalian, dan hadang mereka di ujung jalan...!" seru orang
berkuda yang dipanggil panglima ini.
Dan memang, laki-laki setengah baya itu adalah seorang panglima. Walaupun
sekarang tidak mengenakan baju panglima perang. Di Kerajaan Jenggala, dia
dikenal sebagai Panglima Gagak Sewu. Sementara itu mereka yang tengah
bekerja mendirikan tenda, bergegas berlompatan ke kuda masing-masing.
Lima orang di antaranya langsung menyambar busur dan beberapa kantung anak
panah. Tanpa diperintah dua kali, mereka langsung bergerak cepat menggebah
kudanya ke jalan yang dilalui tadi. Sedangkan Panglima Gagak Sewu sudah
sejak tadi memacu cepat kudanya sambil menyambar sebuah busur dan sekantung
anak panah.
"Hup!"
Dengan gerakan ringan dan tangkas sekali, panglima berusia setengah baya
itu melompat turun dari punggung kudanya, tepat di ujung jalan yang diapit
jurang dan bukit batu. Sementara di depan sana, tampak berpacu puluhan orang
berkuda yang berpakaian seragam prajurit. Batu-batu jalan itu langsung
berguguran tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu cepat.
Panglima Gagak Sewu berdiri tegak di tengah ujung jalan ini. Busurnya sudah
terentang, siap melepaskan anak panah. Saat itu, lima orang yang juga
membawa panah sudah siap di sampingnya. Mereka menanti sampai para prajurit
itu dekat.
"Serbuuu...!" teriak Panglima Gagak Sewu lantang menggelegar.
Seketika itu juga, anak anak panah berhamburan cepat sekali, begitu
orang-orang berkuda itu mulai dekat. Dan seketika itu juga, terdengar
jeritan-jeritan panjang dan melengking tinggi, disertai ringkikan kuda.
Tampak para prajurit yang berkuda paling depan terjungkal ambruk ke tanah
tertembus anak panah. Panglima Gagak Sewu dan lima orang lainnya terus
menghujani panah ke arah para prajurit yang baru datang. Jeritan-jeritan
menyayat melengking tinggi pun terus terdengar semakin sering dan saling
susul.
Tubuh-tubuh berpakaian seragam prajurit terus bergelimpangan di antara
kuda-kuda yang mulai sulit dikendalikan lagi. Bahkan tidak sedikit yang
terlempar masuk ke dalam jurang. Sementara, Panglima Gagak Sewu terus
berteriak memberi perintah untuk terus memanah. Memang hebat serangannya.
Hanya dia dan lima orang pengikutnya, sudah mampu menghambat arus prajurit
prajurit berkuda itu.
"Munduuur..!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan keras menggelegar. Maka prajurit-prajurit
berkuda itu segera memutar, lalu memacu cepat kudanya menjauhi ujung jalan.
Melihat hal ini Panglima Gagak Sewu segera mengangkat tangannya ke atas
kepala..Maka, lima orang pengikutnya segera menghentikan serangan panahnya.
Sementara, prajurit-prajurit berkuda itu terus bergerak semakin menjauh,
hingga akhirnya lenyap tak terlihat lagi.
"Kalian tetap di sini. Jaga jangan sampai ada seorang pun yang lolos," kata
Panglima Gagak Sewu.
"Baik, Gusti," sahut lima orang yang kelihatannya masih berusia muda itu,
serentak.
Panglima Gagak Sewu kembali naik ke punggung kudanya, dan cepat berpacu
kembali ke perkemahan. Begitu sampai di depan sebuah tenda yang paling
besar, panglima itu langsung melompat turun dari kudanya. Tampak Ki Manik
yang diapit dua orang prajurit sudah menunggu di depan tenda. Laki-laki tua
yang berbaju jubah panjang warna putih itu bergegas menghampiri.
"Bagaimana keadaan Gusti Putri, Ki Manik?" tanya Panglima Gagak Sewu
langsung.
"Sudah mulai membaik, Gusti Panglima," sahut Ki Manik dengan sikap
hormat.
"Lukanya...?"
"Tidak mengkhawatirkan lagi. Emban Girika sudah membalut lukanya dengan
kain. Dan darahnya juga sudah tidak keluar lagi. Tapi, keadaannya masih
lemas. Hhh..., kasihan Gusti Putri. Mengapa dia harus menderita begitu...?"
desah Ki Manik.
"Inilah kehidupan, Ki. Kita semua tidak akan menyangka bakal seperti ini
jadinya," Panglima Gagak Sewu juga mendesah, seraya menghempaskan tubuhnya
dan duduk di atas rerumputan.
Ki Manik juga ikut duduk bersila di depan panglima yang sudah berusia
sekitar lima puluh tahun ini. Sesaat mereka terdiam membisu.
"Aku heran, Ki. Kita semua sudah menyamar, dan tidak ada yang berseragam
prajurit lagi. Tapi, masih saja bisa dikenali? Bahkan mereka terus mengejar.
Jadi, bagaimana mereka bisa tahu, Ki...?" tanya Panglima Gagak Sewu seperti
bicara pada diri sendiri.
"Sudah barang tentu mereka akan terus mengejar, Gusti. Mereka sudah pasti
tahu tujuan kita. Dan ini yang kukhawatirkan, Gusti "
"Apa yang kau cemaskan. Ki?"
"Karena tujuan kita sudah diketahui, aku khawatir mereka mengambil jalan
lain dan mencegat di depan. Kalau sudah begitu, rasanya dua puluh orang
prajurit tidak akan mampu menghadapi lagi. Kita sudah terlalu banyak
kehilangan prajurit, Gusti Panglima."
"Yaaah... Memang tinggal hanya dua puluh orang prajuritku yang masih hidup.
Tapi, aku tidak akan menyerah begitu saja, Ki. Gusti Putri Arum Winasih akan
tetap kubawa sampai ke tujuan. Apapun yang terjadi, akan tetap kuhadapi.
Nyawaku taruhannya, Ki," tegas Panglima Gagak Sewu.
Kembali mereka terdiam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing.
Sementara dari dalam tenda, keluar seorang wanita bertubuh gemuk terbungkus
baju kemben warna biru. Dia langsung berlutut di depan Panglima Gagak Sewu,
dengan merapatkan telapak tangan di depan hidung.
"Ada apa, Emban Girika?" tanya Panglima Gagak Sewu langsung.
"Ampun, Gusti Panglima. Gusti Putri memanggil," sahut perempuan gemuk yang
dipanggil Emban Girika.
Panglima Gagak Sewu bergegas bangkit berdiri. Langsung kakinya melangkah
cepat mendekati tenda yang berdiri paling besar, di antara tiga tenda yang
lain. Segera dibukanya penutup tenda itu, dan masuk ke dalam. Sementara, Ki
Manik dan Emban Girika tetap duduk menunggu di luar.
Di dalam tenda yang cukup besar ini. terlihat seorang wanita muda dan
cantik. Tapi wajahnya kelihatan pucat, tengah berbaring beralaskan beberapa
lembar kain dan kulit yang lembut. Kepalanya dipalingkan sedikit, begitu
Panglima Gagak Sewu masuk. Panglima Gagak Sewu bergegas mendekati, saat
tangan gadis cantik itu bergerak lemah memanggilnya.
"Ada apa, Gusti Putri?" tanya Panglima Gagak Sewu setelah duduk dekat di
samping gadis ini.
"Paman, berapa jauh lagi perjalanan ini?" tanya Putri Arum Winasih dengan
suara terdengar sangat lemah.
"Tidak jauh lagi, Gusti Putri. Tinggal setengah hari saja. Besok pagi, kita
lanjutkan perjalanan ini," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Paman, kudengar mereka terus mengejar. Benar...?"
"Benar, Gusti Putri. Tapi, mereka sudah dihalau di ujung jalan dekat
jurang. Dan kini, lima orang prajurit sudah menjaga di sana. Jadi tidak
mungkin mereka bisa sampai ke sini, Gusti. Tempat ini sangat terlindung, dan
sulit dijangkau. Lagi pula, perbatasan tidak jauh lagi. Besok, pasti kita
semua sudah aman, berada di luar Kerajaan Jenggala."
"Aku menjadi bebanmu saja, Paman."
"Ah.... Jangan berkata begitu, Gusti Putri. Semua yang hamba lakukan hanya
sekadar pengabdian."
"Mereka hanya menginginkan aku, Paman. Kalau aku menyerahkan diri, kau dan
yang lain bisa bebas pergi. Sebaiknya, tinggalkan saja aku di sini, Paman,"
kata Putri Arum Winasih lirih.
"Apa pun yang terjadi, hamba tetap akan melindungi Gusti Putri. Ah...
sudahlah, Gusti Putri. Jangan terlalu banyak bicara dulu. Hamba akan keluar
mengatur penjagaan," kata Panglima Gagak Sewu.
Setelah memberi hormat, Panglima Gagak Sewu keluar dari dalam tenda ini.
Sementara, Putri Arum Winasih tetap berbaring dengan tubuh lemah. Dan tidak
lama Panglima Gagak Sewu keluar, Emban Girika masuk ke dalam tenda ini, dan
segera duduk di samping gadis itu.
***
Semalaman penuh Panglima Gagak Sewu tidak memicingkan matanya sekejap pun.
Dia terus berjaga-jaga bersama dua puluh orang prajuritnya. Dan pagi-pagi
sekali, di saat matahari baru saja menampakkan diri, mereka sudah berangkat
meninggalkan tepian hutan ini. Mereka kini harus menerobos masuk ke dalam
hutan yang tidak begitu lebat. Panglima Gagak Sewu yang berkuda paling depan
sesekali berpaling ke belakang.
Kenyataannya, hutan yang dilalui memang tidak terlalu luas. Hingga ketika
matahari berada di atas kepala, mereka sudah berada di tepi hutan. Panglima
Gagak Sewu mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, maka rombongan itu
berhenti. Kini di depan mereka tampak berdiri sebuah bangunan batu berbentuk
sebuah puri kecil. Inilah yang menandakan perbatasan Kerajaan Jenggala
dengan Kerajaan Karang Setra. Setelah memasuki perbatasan itu, mereka berada
di dalam Kerajaan Karang Setra.
Panglima Gagak Sewu memutar kudanya, lalu menghampiri pedati yang
dikendalikan Ki Manik. Disibakkannya tirai kain penutup pedati itu. Tampak
Putri Arum Winasih terbaring ditunggui Emban Girika.
"Gusti Putri, perbatasan sudah terlihat. Tidak lama lagi, kita berada di
wilayah Kerajaan Karang Setra. Mereka pasti tidak akan mungkin mengejar
sampai ke Karang Setra," lapor Panglima Gagak Sewu.
Putri Arum Winasih tersenyum saja. Meskipun wajahnya kelihatan pucat, tapi
sinar matanya memancarkan kegembiraan mendengar laporan panglimanya.
"Teruskan, Paman. Langsung saja ke istana. Kita harus segera menemui Kakang
Prabu Rangga di Karang Setra," ujar Putri Arum Winasih.
"Baik, Gusti Putri."
Setelah memberi hormat, Panglima Gagak Sewu bergegas ke depan lagi. Segera
diberinya isyarat tangan kanan untuk terus berjalan. Maka rombongan itu pun
kembali bergerak, tidak terlalu tergesa-gesa menuju perbatasan Kerajaan
Karang Setra. Namun belum juga sampai di perbatasan, tiba-tiba saja...
"Aaa...!"
"Heh...?! Apa itu...?!" Panglima Gagak Sewu jadi tersentak begitu tiba-tiba
terdengar jeritan dari belakang.
Begitu berpaling ke belakang, tampak seorang prajuritnya tersungkur ke
tanah, tertancap sebatang anak panah. Dan yang lebih mengagetkan lagi, di
belakang sana, dalam jarak jangkauan anak panah, tampak serombongan prajurit
berkuda berpacu cepat mengejar rombongan yang dipimpin Panglima Gagak Sewu
ini. Satu pasukan prajurit Kerajaan Jenggala yang berjumlah cukup
besar!
"Ki Manik! Bawa Gusti Putri ke perbatasan. Aku akan menghadang mereka.
Cepat...!" perintah Panglima Gagak Sewu.
"Baik, Gusti Panglima," sahut Ki Manik yang mengendarai pedati "Hiya!
Hiyaaa...!"
Ki Manik langsung saja menghentakkan tali kendali, sehingga pedati yang
cukup besar ukurannya ini segera berpacu cepat dan berguncang-guncang
memperdengarkan suara berderak. Sementara, Panglima Gagak Sewu sudah memutar
kudanya untuk kembali ke belakang. Sedangkan lima orang prajurit yang
membawa busur dan panah sudah siap menunggu perintah.
"Kalian sepuluh orang, cepat mengawal Gusti Putri!" perintah Panglima Gagak
Sewu.
Sepuluh orang yang berada di belakang Panglima Gagak Sewu, segera memutar
kudanya dan mengejar pedati yang dipacu cepat menuju perbatasan Karang
Setra. Sementara, Panglima Gagak Sewu dan delapan orang prajuritnya tetap
berada di punggung kuda menanti prajurit Kerajaan Jenggala yang berjumlah
cukup besar. Tampak di depan mereka, seorang prajurit menggeletak tidak
bernyawa lagi dengan panah menembus punggungnya.
"Panah...!" seru Panglima Gagak Sewu memberi perintah.
Wus!
Slap!
Lima orang prajurit yang memegang busur langsung melepaskan anak-anak
panahnya, begitu prajurit prajurit Kerajaan Jenggala sudah cukup dekat.
Panah-panah itu langsung menerjang, menembus prajurit yang berada di depan.
Saat itu juga, terdengar jeritan-jeritan panjang melengking tinggi, disusul
ambruknya beberapa prajurit berkuda. Sementara, Panglima Gagak Sewu juga
cepat melepaskan anak-anak panahnya, membuat arus para prajurit Jenggala itu
jadi terhambat.
"Munduuur...!" teriak Panglima Gagak Sewu memberi perintah lagi.
Semua prajurit yang berada di belakang Panglima Gagak Sewu segera
menghentakkan tali kekang kudanya. Langsung kuda mereka dipacu cepat
menyusul pedati yang ditumpangi Putri Arum Winasih, tepat di saat para
prajurit dari Kerajaan Jenggala sudah memasang panahnya.
"Hiyaaa...!"
Panglima Gagak Sewu cepat-cepat menggebah kudanya, begitu melepaskan anak
panahnya yang terakhir. Sementara di belakang dengan jarak beberapa tombak,
para prajurit Kerajaan Jenggala langsung menggebah cepat kudanya. Bahkan
beberapa prajurit melepaskan panahnya. Panglima Gagak Sewu cepat-cepat
merunduk, hingga dua batang anak panah lewat di atas kepalanya.
Tapi...
Jleb!
"Aaakh...!"
Satu orang prajurit yang berada di samping Panglima Gagak Sewu tiba-tiba
menjerit, begitu sebatang anak panah menembus punggungnya. Dan keseimbangan
tubuhnya tidak bisa lagi dikendalikan. Seketika itu juga dia jatuh
terbanting dari kudanya. Tubuhnya bergelimpangan beberapa kali, lalu
mengejang kaku dan diam tak bernyawa lagi.
"Hiya! Hiyaaa...!"
Panglima Gagak Sewu terus cepat menggebah kudanya. Sementara, tampak pedati
dan sepuluh orang prajuritnya sudah melewati perbatasan yang ditandai oleh
sebuah bangunan batu berbentuk sebuah puri yang tidak besar ukurannya. Saat
itu, kembali terdengar jeritan panjang yang disusul ambruknya seorang
prajurit lagi yang berada di sebelah kanan Panglima Gagak Sewu.
Sudah tiga orang prajurit Panglima Gagak Sewu terjungkal dari kudanya,
dengan sebatang anak panah menembus punggung. Sementara perbatasan Karang
Setra sudah semakin dekat, tapi prajurit-prajurit Kerajaan Jenggala yang
mengejar juga semakin dekat.
"Cepat, Gusti Panglima. Cepat...!" teriak Ki Manik dari atas pedati memberi
semangat.
Sementara Panglima Gagak Sewu dan enam orang prajuritnya yang tersisa terus
menggebah kudanya dengan kecepatan tinggi. Sedangkan prajurit-prajurit
Kerajaan Jenggala juga semakin dekat saja. Namun Panglima Gagak Sewu dan
enam orang prajuritnya ternyata berhasil juga melewati gerbang
perbatasan.
Mereka segera menghentikan lari kudanya setelah dekat dengan pedati yang
dikendalikan Ki Manik. Saat itu juga, para prajurit dari Kerajaan Jenggala
menghentikan pengejaran. Tampak seorang laki-laki berusia setengah baya yang
berpakaian panglima, kelihatan kesal melihat buruannya sudah berhasil
melewati perbatasan.
"Phuuuh...!" Panglima Gagak Sewu menghembuskan napas panjang.
Panglima setengah baya itu tetap duduk di punggung kudanya, menatap tajam
pada panglima dari Kerajaan Jenggala yang juga memandangnya dengan sorot
mata memerah tajam.
"Ayo, tinggalkan mereka," ajak Panglima Gagak Sewu.
Kini rombongan yang sudah berkurang empat orang itu melanjutkan perjalanan,
meninggalkan perbatasan dan para prajurit dari Kerajaan Jenggala yang terus
memandangi dengan sorot mata kesal. Sementara, Panglima Gagak Sewu
memalingkan mukanya sedikit ke belakang. Bibirnya tampak tersenyum, karena
sudah berhasil lolos dari kejaran prajurit-prajurit itu. Tapi, hatinya juga
belum bisa tenang.
Meskipun sudah berada di wilayah Kerajaan Karang Setra, bukan berarti
bahaya sudah lewat begitu saja. Di dalam hatinya, Panglima Gagak Sewu
khawatir juga kalau-kalau orang-orang dari Kerajaan Jenggala menyelusup ke
Karang Setra dengan cara menyamar untuk mencari mereka. Terutama, Putri Arum
Winasih. Mereka tentu tidak akan tinggal diam begitu saja, sebelum bisa
melenyapkan putri cantik itu.
"Hhh...!" Panglima Gagak Sewu menghembuskan napas panjang-panjang.
***
DUA
Tepat di saat matahari hampir tenggelam di ufuk barat, rombongan kecil yang
dipimpin Panglima Gagak Sewu tiba di depan bangunan Istana Karang Setra.
Sebuah bangunan yang sangat megah, tapi kelihatan begitu terbuka, hingga
bentuk istana itu terlihat jelas dari jalan yang cukup besar dan selalu
ramai ini. Mereka langsung menuju pintu gerbang yang dijaga empat orang
prajurit berusia muda bersenjatakan sebatang tombak berukuran dua kali
panjang tubuh mereka, masing-masing di tangan kanan.
Seorang prajurit penjaga menghampiri Panglima Gagak Sewu yang masih tetap
duduk di punggung kudanya. Panglima berusia setengah baya itu melompat
turun, begitu prajurit yang masih berusia muda ini dekat di depannya.
"Siapa kalian? Dan, ada perlu apa datang ke sini?" tanya prajurit itu,
ramah.
"Kami dari Kerajaan Jenggala. ingin bertemu Gusti Prabu Rangga," sahut
Panglima Gagak Sewu
"Kau seorang utusan?"
Panglima Gagak Sewu tidak menjawab, dan hanya tersenyum saja.
"Ayo, ikuti aku," ajak prajurit itu.
Panglima Gagak Sewu menuntun kudanya, mengikuti prajurit penjaga itu.
Sedangkan yang lain cepat turun dari punggung kudanya. Dan mereka berjalan
mengikuti prajurit yang berada paling depan. Sedangkan Ki Manik tetap berada
di atas pedatinya, sambil menjalankan perlahan-lahan di belakang yang
lain.
"Kalian tetap di sini dulu," ujar Panglima Gagak Sewu setelah sampai di
depan tangga masuk ke istana.
Tidak ada yang menjawab. Mereka semua hanya menganggukkan kepala saja.
Panglima Gagak Sewu menatap sebentar ke arah pedati, tepat ketika Emban
Girika sedikit menjulurkan kepala ke luar. Kemudian, panglima itu melangkah
meniti anak-anak tangga mengikuti prajurit penjaga yang terus berjalan di
depan.
"Tunggu dulu di sini," kata prajurit itu, setelah tiba di ruangan yang
sangat luas dan megah.
Panglima Gagak Sewu hanya mengangguk saja. Sementara prajurit muda itu
terus berjalan menyeberangi ruangan ini, dan menghilang di balik pintu yang
berukuran sangat besar. Tapi tidak lama dia muncul lagi bersama seorang
pemuda tampan, berbaju merah muda dari bahan sutera halus.
"Panglima Gagak Sewu...!" seru pemuda itu begitu melihat Panglima Gagak
Sewu.
"Senang sekali bisa bertemu denganmu lagi, Danupaksi," ujar Panglima Gagak
Sewu seraya tersenyum.
Pemuda tampan itu memang Danupaksi, adik tiri Rangga yang dikenal berjuluk
Pendekar Rajawali Sakti, yang juga raja di Karang Setra ini. Danupaksi
bergegas menyongsong Panglima Gagak Sewu. Dan mereka berpelukan dengan
hangat, membuat prajurit penjaga yang mengantarkan Panglima Gagak Sewu tadi
jadi terlongong bengong tidak mengerti.
"Prajurit, kembali ke tempatmu," perintah Danupaksi.
"Hamba, Gusti," sahut prajurit itu seraya memberi sembah hormat.
"Mari, Paman," ajak Danupaksi ramah.
"Sebentar, Danupaksi," ujar Panglima Gagak Sewu.
"Ada apa?"
"Aku datang tidak sendiri, Danupaksi."
"Oh..."
"Ada Gusti Putri Arum Winasih."
"Oh, ya...?! Kenapa tidak masuk saja?"
"Gusti Putri sedang sakit."
"Oh...?!"
Danupaksi terperanjat bukan main mendengar kedatangan Putri Arum Winasih.
Dan lebih terkejut lagi, begitu mendengar Putri Arum Winasih sedang sakit.
Bergegas pemuda itu keluar dari ruangan ini, diikuti Panglima Gagak Sewu.
Danupaksi jadi tertegun begitu melihat mereka yang datang bersama Panglima
Gagak Sewu.
Saat itu juga, Danupaksi baru menyadari kalau Panglima Gagak Sewu tidak
mengenakan pakaian seorang panglima, tapi memakai pakaian biasa seperti
orang kebanyakan. Dan mereka semua juga tidak mengenakan pakaian prajurit.
Tapi yang membuat Danupaksi jadi tertegun, jumlah mereka hanya enam belas
orang saja, selain Ki Manik dan Putri Arum Winasih yang berada di atas
pedati.
"Paman...," ujar Danupaksi terputus, seraya menatap Panglima Gagak Sewu
yang berdiri di sampingnya.
"Nanti akan kujelaskan, Danupaksi. Sekarang tolong beri perawatan dulu pada
Gusti Putri," kata Panglima Gagak Sewu cepat-cepat.
Panglima Gagak Sewu memang sudah dikenal baik dalam lingkungan keluarga
besar Istana Karang Setra. Bahkan sebenarnya dia sendiri kelahiran Karang
Setra. Tapi begitu menginjak remaja, panglima itu pergi ke Kerajaan
Jenggala, karena ayahnya memang dari kerajaan itu dan menjadi panglima di
sana. Hingga akhirnya, dia menggantikan kedudukan ayahnya, untuk mengabdi di
Kerajaan Jenggala. Memang, antara Panglima Gagak Sewu dengan keluarga Istana
Karang Setra terjalin persahabatan yang sangat erat. Bahkan antara Kerajaan
Karang Setra dengan Kerajaan Jenggala juga menjalin hubungan persahabatan
yang erat. Maka tidak heran kalau mereka semua diterima dengan baik.
Tapi yang membuat Danupaksi jadi heran, kedatangan mereka tidak seperti
layaknya seorang pembesar kerajaan. Bahkan Putri Arum Winasih sendiri
berpakaian tidak sebagaimana layaknya seorang putri raja. Bukan hanya
Danupaksi saja yang heran. Cempaka, Ki Lintuk, Paman Wirapati, dan seluruh
pembesar Kerajaan Karang Setra juga tidak mengerti melihat keadaan
tamu-tamunya ini.
Sementara, Putri Arum Winasih sudah mendapat perawatan dan kamar yang baik.
Sedangkan Panglima Gagak Sewu dan semua prajuritnya berkumpul di ruangan
Balai Sema Agung, bersama Danupaksi serta seluruh pembesar utama Kerajaan
Karang Setra. Saat itu, malam sudah datang menyelimuti seluruh wilayah
Kerajaan Karang Setra ini. Dan kegelapan begitu jelas terlihat di luar, dari
jendela yang seluruhnya terbuka lebar.
"Aku yakin, kedatangan Paman ke sini bukan karena diutus Prabu Gandaraka,"
ujar Danupaksi memecah kesunyian di dalam ruangan Balai Sema Agung ini
"Ceritakan, Paman. Apa sebenarnya yang terjadi...?"
"Hhh...!"
Panglima Gagak Sewu menghela napas dalam-dalam. Terasa begitu berat tarikan
napasnya. Dan raut wajahnya kelihatan berselimut mendung, membuat Danupaksi
yang duduk tepat di depannya jadi mengerutkan kening. Adik tiri Raja Karang
Setra ini semakin yakin kalau ada sesuatu yang telah terjadi di Kerajaan
Jenggala, sehingga membuat Putri Arum Winasih, Panglima Gagak Sewu, dan
beberapa orang prajurit yang datang ke Karang Setra ini berpakaian seperti
orang kebanyakan.
"Ceritakan, Paman. Apa yang terjadi...?" desak Danupaksi.
"Aku malu untuk mengatakannya, Danupaksi. Aku merasa seperti tidak ada
gunanya lagi...," terdengar lirih sekali suara Panglima Gagak Sewu.
"Kenapa kau berkata begitu, Paman...?"
"Hhh...!"
Entah sudah berapa kali Panglima Gagak Sewu menarik napasnya dalam-dalam
dan menghembuskannya kuat-kuat, seakan-akan tengah mencari kekuatan untuk
mengatakan peristiwa yang telah terjadi di Kerajaan Jenggala.
"Terjadi pemberontakan di Jenggala, Paman...?" tebak Danupaksi,
langsung.
"Yaaah.... Telah terjadi pemberontakan di Sana. Dan mereka sekarang
berhasil menggulingkan takhta," desah Panglima Gagak Sewu lirih.
Danupaksi menghembuskan napas panjang-panjang. Memang sudah diduga sejak
pertama kali Panglima Gagak Sewu datang bersama Putri Arum Winasih dan
beberapa orang prajurit berpakaian biasa. Ternyata, dugaannya tepat. Memang
tidak mungkin seorang putri raja keluar dari wilayahnya tanpa pengawalan
cukup. Terlebih lagi, panglima dan prajurit-prajurit yang mengawalnya tidak
berpakaian prajurit yang lengkap.
Kerajaan Jenggala memang bukanlah kerajaan besar. Bahkan tidak memiliki
prajurit tangguh. Luas wilayahnya sendiri hanya sepertiga dari luas wilayah
Kerajaan Karang Setra. Tak heran kalau pertahanannya sangat rapuh, hingga
mudah diserang musuh. Dari beberapa panglima yang ada di Kerajaan Jenggala,
Danupaksi tahu kalau hanya Panglima Gagak Sewu saja yang memiliki kepandaian
tinggi. Sedangkan yang lain, bisa disamakan dengan para punggawa di Karang
Setra ini.
"Paman, kapan itu terjadi?" tanya Danupaksi setelah terdiam beberapa
saat.
"Lima hari yang lalu," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Lalu, bagaimana keadaan Gusti Prabu Gandaraka?" tanya Danupaksi
lagi.
"Aku tidak tahu, bagaimana keadaannya sekarang. Gusti Prabu Gandaraka
memerintahkan aku untuk menyelamatkan Gusti Putri Arum Winasih. Dan aku
hanya bisa membawa tiga puluh prajurit pilihanku. Tapi yaaah..., hanya
tinggal mereka saja yang masih hidup. Sebagian prajuritku telah gugur
menghadang pengejaran prajurit-prajurit yang memberontak," pelan sekali
suara Panglima Gagak Sewu.
Panglima setengah baya itu memandangi para prajuritnya yang duduk di
belakangnya. Sedangkan para pembesar Karang Setra sepertinya tidak ada yang
membuka suara. Mereka merasa begitu prihatin atas keadaan yang terjadi di
Kerajaan Jenggala.
"Siapa yang mendalangi makar itu, Adi Gagak Sewu?" tanya Ki Lintuk yang
sejak tadi diam saja.
"Raden Banyugara," sahut Panglima Gagak Sewu.
"Siapa...?!"
Danupaksi sampai terlonjak, begitu mendengar dalang pemberontakan di
Kerajaan Jenggala. Bahkan semua pembesar Karang Setra yang ada di dalam
ruangan ini juga kaget setengah mati. Mereka seperti tidak percaya pada apa
yang didengar barusan. Mereka semua tahu, siapa Raden Banyugara itu. Jelas
sulit dipercaya kalau yang mendalangi itu justru kakak sepupu Putri Arum
Winasih sendiri, yang berarti keponakan Prabu Gandaraka.
Dan mereka semua tahu, bagaimana Raden Banyugara itu. Dia adalah seorang
pemuda pendiam dan tidak banyak bicara kalau tidak ditanya. Bahkan banyak
yang tahu kalau Raden Banyugara tidak suka mempelajari ilmu olah kanuragan
dan kesaktian. Yang disukainya adalah menekuni ilmu-ilmu sastra dan
ketatanegaraan. Bahkan Raden Banyugara bisa dikatakan sebagai pemuda lemah.
Jadi memang sulit bisa dipercaya kalau pemuda yang kelihatan lemah dan tidak
memiliki kepandaian ilmu olah kanuragan sedikit pun, bisa memimpin sebuah
pemberontakan.
"Raden Banyugara.... Kenapa hal itu dilakukannya...? Apa yang diinginkannya
dari pemberontakan...?" desah Paman Wirapati, seperti bicara pada diri
sendiri.
"Kenapa dia melakukan pemberontakan itu, Adi Gagak Sewu?" tanya Ki Lintuk
setelah hilang rasa keterkejutannya.
"Inilah yang membuatku tidak mengerti, Kakang Lintuk, Waktu itu sedikit pun
tidak ada tanda-tanda akan terjadi pemberontakan. Semua itu terjadi
tiba-tiba saja. Dan yang lebih mengherankan lagi, sebagian besar prajurit
dan seluruh panglima memihak padanya. Hanya sedikit saja prajurit yang setia
pada Gusti Prabu Gandaraka. Bahkan sebagian besar prajuritku sendiri, ikut
bergabung dengan mereka. Aku benar-benar tidak tahu, mengapa semua itu
dilakukan...," sahut Panglima Gagak Sewu masih terdengar pelan
suaranya.
Dan mereka semua terdiam, tanpa ada yang bicara sedikit pun juga. Hingga
keadaan begitu sunyi, sampai-sampai suara tarikan napas dan detak jantung
hampir terdengar.
"Danupaksi! Kedatanganku ke sini bukannya hendak meminta bantuan prajurit,
tapi hanya ingin agar Gusti Putri Arum Winasih mendapatkan perlindungan. Aku
merasa, hanya di sinilah tempat yang aman bagi Gusti Putri. Aku mohon pada
kalian semua, sampai aku dapat mengumpulkan kembali kekuatan dan merebut
lagi takhta yang sudah terguling," kata Panglima Gagak Sewu, setelah cukup
lama berdiam diri.
"Karang Setra selalu terbuka untuk para sahabat, Paman Gagak Sewu," sambut
Danupaksi, sambil merentangkan tangannya.
"Terima kasih," ucap Panglima Gagak Sewu, merasa lega.
Danupaksi memberi senyuman persahabatan yang manis sekali.
"Tapi sayang...." desah Panglima Gagak Sewu.
"Ada apa, Paman?" tanya Danupaksi.
"Aku tidak bisa bertemu langsung dengan Gusti Prabu Rangga."
"Aku sudah memerintahkan Paman Wirapati agar menyebar telik sandi untuk
mencari Kakang Rangga. Aku yakin, tidak lama lagi Kakang Rangga pasti
datang," jelas Danupaksi.
"Ah! Semoga saja cepat datangnya," harap Panglima Gagak Sewu.
"Memang sudah terlalu lama Kakang Rangga dan Kak Pandan meninggalkan
istana. Aku merasa, mereka tidak lama lagi datang ke sini," ujar Danupaksi,
bernada menghibur.
Panglima Gagak Sewu hanya tersenyum saja. Dia tahu, Danupaksi hanya memberi
ketenangan pada hatinya saja. Masalahnya, Rangga yang bergelar Pendekar
Rajawali Sakti dan sekaligus Raja Karang Setra sering bepergian meninggalkan
istananya. Dan memang sudah pasti, sebagai seorang pendekar kelana, dia
tidak akan mungkin bisa hidup di dalam lingkungan istana.
Hanya sesekali saja Rangga berada di istana ini. Itu pun tidak bertahan
lama. Paling lama hanya lima hari. Dan seterusnya, Pendekar Rajawali Sakti
akan mengembara lagi. Akan dijelajahinya alam yang luas dan ganas ini, untuk
mengabdikan diri sebagai pendekar penegak keadilan.
***
Tiga hari sudah Panglima Gagak Sewu, Putri Arum Winasih, dan beberapa
prajurit berada di Istana Karang Setra. Kesehatan Putri Arum Winasih juga
semakin membaik. Untung saja panah yang menembus punggungnya tidak begitu
dalam, hingga tidak sampai membahayakannya.
Cempaka yang selalu menjenguk Putri Arum Winasih setiap saat, sore ini juga
sudah berada di dalam kamar tamu Kerajaan Karang Setra itu. Kelihatan cantik
sekali Putri Arum Winasih sore ini. Pipinya sudah kelihatan memerah. Dan
matanya juga sudah kelihatan cerah, bagai telaga bertaburkan butir-butir
mutiara. Putri Arum Winasih menyambut kedatangan Cempaka dengan senyum
tersungging di bibir. Begitu manis senyumnya.
"Kau kelihatan cantik sekali, Putri," puji adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti itu, tulus.
"Ah! Jangan memanggilku begitu, Kak Cempaka. Aku lebih muda darimu. Panggil
saja aku Arum," pinta Putri Arum Winasih tersipu.
"Tapi, bagaimanapun juga kau tetap seorang putri raja. Jadi tidak pantas
kalau aku memanggilmu begitu," balas Cempaka, merasa sungkan.
"Kak Cempaka juga."
"Aku...?"
Cempaka jadi tertawa. Entah kenapa, ucapan Putri Arum Winasih jadi
menggelitik hatinya. Tapi tawanya yang merdu itu tidak berlangsung lama.
Adik tiri Rangga itu melangkah menghampiri Putri Arum Winasih yang duduk
dekat jendela. Diambilnya tempat di samping putri dari Kerajaan Jenggala
itu. Pandangannya diarahkan ke depan, merayapi taman belakang istana yang
tertata indah. Tampak beberapa gadis bermain-main di dalam taman itu. Begitu
riang, seakan tidak ada beban sedikit pun pada diri mereka.
Dan kedua gadis itu jadi terdiam. Sama-sama memandang ke luar, menikmati
indahnya suasana senja. Matahari tampak memerah anggun, membias di balik
puncak bukit yang melatari istana ini. Angin pun berhembus lembut,
menyebarkan udara sejuk, membuat suasana senja semakin bertambah
indah.
"Hhh...!" Cempaka menarik napas dalam-dalam, dan menghembuskannya
kuat-kuat.
Putri Arum Winasih berpaling sedikit, melirik adik tiri Pendekar Rajawali
Sakti ini. Tapi sebentar kemudian pandangannya sudah diarahkan ke puncak
gunung yang mulai diselimuti kabut. Rona merah masih membias begitu indah di
sana.
"Indah sekali sore ini. Kau mau berjalan-jalan bersamaku, Arum...?" ujar
Cempaka lembut, seraya melirik sedikit pada gadis cantik di
sebelahnya.
"Aku menunggu tawaranmu sejak tadi, Kak Cempaka," sambut Putri Arum Winasih
tersenyum.
"Kenapa tidak bilang dari tadi...?"
"Aku tidak ingin merepotkanmu, Kak. Kau sudah terlalu repot mengurusku. Aku
tidak ingin menambah bebanmu lagi. Tapi, aku senang kalau berjalan-jalan
bersamamu. Ada rasa aman...," ujar Putri Arum Winasih.
"Ah, kau...," Cempaka jadi tersipu.
Mereka kemudian melangkah ke luar dari dalam kamar ini, langsung menuju ke
taman belakang istana yang megah. Dua orang penjaga pintu taman membungkuk
memberi hormat. Dan beberapa gadis yang ada di taman itu segera berlutut,
memberi sembah hormat dengan merapatkan kedua telapak tangan di depan
hidung.
Kedua gadis berparas cantik itu terus saja melangkah perlahan-lahan seakan
tidak peduli pada mereka yang ada di sekelilingnya ini. Udara senja yang
sejuk ini memang sangat menyegarkan. Tanpa terasa, mereka berjalan sudah
cukup jauh ke tengah taman yang luas ini. Kini, tidak terlihat seorang pun
lagi di tempat ini. Mereka berhenti di pinggir sebuah kolam yang cukup
besar, dengan bunga-bunga teratai bermekaran di tengah-tengah kolam yang
berair jernih ini. Kedua gadis itu lalu duduk di sebuah bangku taman yang
terbuat dari batu.
"Kalau ingat kejadian yang kualami, rasanya aku ingin belajar ilmu olah
kanuragan. Supaya kuat sepertimu, Kak Cempaka," ujar Putri Arum Wina
sih.
"Tapi ada ruginya juga, Arum," kata Cempaka.
"Apa ruginya, Kak?"
"Sulit mendapat jodoh."
Kedua gadis itu jadi tertawa renyah. Mereka terus bercengkerama, dan
sesekali diseling tawa lepas berderai. Sampai keadaan mulai temaram, mereka
masih tetap duduk di bangku taman itu. Entah apa yang dibicarakan. Tapi,
tampaknya seringkali terdengar gurauan yang membuat mereka tertawa lepas
berderai. Sementara, matahari terus merayap semakin tenggelam ke dalam
peraduannya. Kedua gadis itu baru meninggalkan taman ini, setelah keadaan
benar-benar gelap.
***
TIGA
Malam terus merayap semakin larut. Kini kegelapan menyelimuti seluruh
wilayah Kerajaan Karang Setra. Namun di dalam kota, tampak begitu gemerlap
oleh lampu-lampu yang terpasang di rumah-rumah dan pada hampir seluruh sudut
jalan. Orang-orang pun seakan tidak peduli kalau langit sudah menjadi gelap.
Mereka masih saja terlihat hilir mudik di jalan-jalan Kotaraja Karang
Setra.
Di antara hilir mudiknya orang-orang di jalan ini, tampak dua orang anak
muda tengah melangkah tidak tergesa-gesa di pinggiran jalan. Mereka
seakan-akan tengah menikmati indahnya Kotaraja Karang Setra. Dan bila
dilihat dari pakaian yang rapi dan terbuat dari bahan sutera halus, jelas
sekali kalau mereka bukan orang sembarangan. Terlebih lagi, di pinggang
masing-masing tersandang sebilah pedang.
"Ramai sekali di sini, Kakang Rasik." ujar salah seorang yang berbaju biru
agak ketat, hingga membentuk tubuhnya yang kekar dan berotot. Wajahnya juga
sangat tampan, namun sorot matanya terlihat begitu tajam.
"Ya," sahut seorang lagi yang dipanggil Rasik tadi.
Rasik juga bertubuh tegap dan berotot, terbungkus baju merah muda yang juga
ketat. Wajahnya pun terlihat tampan, dengan kumis tipis menghiasi bagian
atas bibirnya. Selembar kain berwarna putih mengikat kepalanya. Tampak
tangan kanannya tidak henti-hentinya memainkan dua buah benda bulat berwarna
putih keperakan.
"Sayang, kita punya tugas yang sangat penting di sini," keluh Rasik lagi.
"Kau tahu, Wirya. Kabarnya gadis di Karang Setra ini cantik-cantik."
"Masih banyak waktu Kakang. Kenapa tidak mencari hiburan saja dulu...?
Urusan tugas, bisa ditunda. Toh, tidak ada yang tahu, Kakang," kata pemuda
yang bernama Wirya seraya tersenyum.
"Tugas kita tidak ringan, Wirya."
"Aku tahu, Kakang. Tapi tidak ada salahnya kalau mencari sedikit hiburan.
Sayang kalau dilewatkan begitu saja."
Rasik hanya tersenyum saja. Dia tahu, Wirya memang gemar sekali mencari
hiburan berupa gadis-gadis cantik. Di dalam hatinya, ada sedikit penyesalan
juga memulai bicara tentang gadis-gadis Karang Setra yang kecantikannya
memang sudah terkenal. Tapi, mereka juga tahu kalau tidak mudah mencari
gadis-gadis penghibur di kota ini. Kalaupun ada, tempatnya sangat
tersembunyi dan sulit dicari. Terutama, yang baru datang ke kota ini. Bahkan
penduduk kota ini sendiri tidak semuanya yang tahu.
Segala macam hiburan yang menyediakan gadis-gadis penghibur memang dilarang
di kota ini. Apalagi ancaman hukumannya sangat berat. Maka tak heran akan
kesulitan mencari hiburan yang menyediakan gadis cantik di sini. Tapi
memang, kota ini jadi aman. Hingga, hampir tidak terdengar adanya
keributan.
"Itu ada kedai, Kakang," tunjuk Wirya.
"Kau sudah lapar?" tanya Rasik.
"Sejak tadi, Kakang."
Rasik kembali tersenyum. Mereka kemudian menuju kedai yang kelihatannya
sangat ramai. Seorang laki-laki setengah baya yang merupakan pemilik kedai
menyambut mereka dengan senyum ramah tersungging di bibir. Ditunjukkannya
sebuah meja dengan dua kursi yang terletak agak ke sudut. Cukup besar juga
kedai ini. Dan pengunjungnya juga cukup banyak.
"Mau pesan apa, Den?" tanya pelayan itu ramah.
"Arak dan makanan yang paling enak di sini," sahut Rasik.
"Sebentar, Den," ujar pelayan itu.
Laki-laki setengah baya yang masih kelihatan tegap itu meninggalkan kedua
pemuda ini. Sementara, Rasik merayapi keadaan sekelilingnya. Demikian pula
Wirya, yang tidak mau ketinggalan. Bibirnya tersenyum-senyum melihat pelayan
kedai ini ternyata terdiri dari gadis-gadis muda berparas cantik. Tapi
tingkah mereka tidak kelihatan genit dan mengundang dalam melayani
pengunjung kedai ini.
Laki-laki setengah baya tadi kini datang lagi bersama dua gadis muda
berparas cantik, sambil membawa dua baki berisi dua guci arak dan makanan
yang dipesan. Dengan sikap ramah dan senyum manis mereka meletakkan pesanan
itu di atas meja. Sementara, Wirya tidak henti-hentinya merayapi salah
seorang gadis pelayan yang berada di sebelahnya. Bau harum tubuh gadis itu
membuat cuping hidung Wirya jadi kembang-kempis.
"Cantik sekali kau. Siapa namamu...?" tanya Wirya tidak dapat lagi menahan
diri.
"Narti, Den," sahut gadis pelayan itu lembut.
"Nama yang cantik. Secantik orangnya," puji Wirya menggoda.
Gadis itu hanya tersenyum tersipu saja. Bergegas ditinggalkannya tempat itu
setelah menyelesaikan pekerjaannya. Sementara laki-laki setengah baya yang
menjadi pemilik kedai ini masih tetap berdiri di dekat meja itu.
"Silakan, Den," ujar laki-laki itu mempersilakan tamunya.
"Terima kasih, Ki," sahut Rasik.
Pemilik kedai itu hendak beranjak pergi, tapi Wirya sudah keburu mencegah
dengan mencekal tangannya.
"Ada apa. Den?"
"Apa di sini juga menyediakan penginapan, Ki?" tanya Wirya.
"Raden berdua ini pendatang?" pemilik kedai itu malah balik bertanya.
"Benar, Ki. Kami berdua datang dari jauh," sahut Rasik.
"Kedai ini memang menyediakan tempat untuk menginap, Den. Tapi, tidak
terlalu bagus. Dan biasanya, para pendatang seperti Raden berdua ini selalu
mencari tempat menginap yang bagus. Kalau mau, Raden bisa ke rumah
penginapan yang ada di ujung jalan ini. Di sana tempatnya bagus, Den,"
tunjuk pemilik kedai itu memberi tahu.
"Ada teman wanita tidak, Ki?" tanya Wirya setengah berbisik.
"Wah, kalau itu tidak tahu, Den. Tapi..."
"Tapi kenapa, Ki?"
"Kalau Raden mau, pemilik rumah penginapan itu bisa mencarikannya. Hanya
saja, harus diam-diam. Karena pekerjaan seperti itu sangat dilarang di kota
ini, Den. Bahkan hukumannya juga sangat berat kalau ketahuan. Jadi, harus
hati-hati saja, Den."
"Terima kasih, Ki," ucap Wirya seraya tersenyum.
"Permisi, Den."
"Ya...."
Laki-laki setengah baya pemilik kedai itu bergegas berlalu dengan
tergopoh-gopoh.
"Kau terlalu, Wirya. Seharusnya caranya jangan begitu," tegur Rasik.
"Kepalang basah, Kakang. Kalau tidak begitu, mana bisa kita mencari tahu di
kota yang besar begini...," sahut Wirya seenaknya.
"Hhh.... Terserah kau sajalah. Kalau ada apa-apa, tanggung sendiri
akibatnya."
"Jangan khawatir, Kakang. Aku sudah banyak tahu tentang keadaan di Karang
Setra ini," sahut Wirya, kalem.
Rasik tidak bicara lagi. Dituangnya arak dari dalam kendi ke gelas bambu
dan diteguknya hingga tandas tak bersisa dalam sekali tenggak saja.
Sementara Wirya sudah mulai menikmati makanannya. Sesekali matanya melirik
gadis pelayan yang tadi melayani dan memperkenalkan diri sebagai Narti. Dan
rupanya, gadis itu juga sudah beberapa kali melirik Wirya. Hingga satu saat,
lirikan mata mereka bertemu. Wirya langsung memberi senyumannya yang teramat
manis. Tapi, Narti cepat-cepat menyembunyikan wajahnya, dan berlalu dari
ruangan kedai ini. Sementara Wirya hanya dapat tertawa saja di dalam hati,
melihat tingkah gadis pelayan yang cukup cantik itu.
***
Penginapan yang ditunjukkan oleh pemilik kedai itu memang bagus sekali.
Tempatnya bersih, dan kamar-kamarnya juga cukup besar. Mereka mendapatkan
dua kamar terpisah. Wirya yang sejak di kedai tadi sudah mengincar gadis
pelayan yang bernama Narti, segera keluar dari kamarnya, setelah Rasik sudah
mendengkur dalam kamarnya sendiri. Bergegas pemuda itu beranjak dari
kamarnya, lalu pergi keluar. Dia langsung menuju tempat Narti bekerja
menjadi pelayan kedai. Sengaja Wirya menunggu tidak jauh di depan kedai,
mengamati keadaan yang semakin sepi.
Hingga menjelang tengah malam, kedai itu baru tutup, setelah semua
pengunjungnya pergi. Wirya terus menunggu dengan sabar. Kelopak matanya
seperti tak pernah berkedip, mengamati kedai yang semakin gelap. Kini kedai
itu hanya diterangi satu pelita saja di beranda depan. Tampak dari samping
kedai, serombongan gadis yang bekerja menjadi pelayan di sana meninggalkan
tempat pekerjaannya.
"Hm, mana dia...?"
Wirya mengamati satu persatu gadis-gadis yang keluar dari kedai itu, tapi
Narti tidak terlihat di antara mereka. Hatinya mulai tidak sabar. Padahal,
semua gadis pelayan kedai itu sudah pulang dan tidak kelihatan lagi seorang
pun. Saat Wirya mulai tidak sabar, terlihat seorang gadis keluar dari dalam
kedai, melalui pintu depan. Sedangkan laki-laki setengah baya pemilik kedai
itu tampak mengantarkan sampai ke pintu depan. Entah apa yang mereka
percakapkan, karena terlalu jauh bagi Wirya untuk mendengar. Tapi, tidak
lama gadis itu melangkah pergi. Sedangkan pemilik kedai itu menutup
pintunya. Wirya menunggu dengan sabar di bawah pohon yang cukup gelap.
Begitu gadis pelayan kedai yang dikenalinya bernama Narti sudah dekat,
barulah dia menampakkan diri.
"Oh...?!"
Narti nampak terkejut, begitu tiba-tiba Wirya muncul tepat di depannya.
Tapi begitu mengenali wajah Wirya yang tadi makan di kedai, gadis itu
langsung memberi senyuman yang manis sekali. Melihat hal ini, jakun Wirya
jadi turun naik.
"Malam sekali pulangnya, Narti," tegur Wirya dibuat lembut suaranya.
"Ah! Sudah biasa pulang tengah malam, Den," sahut Narti seraya
menunduk.
"Jangan panggil aku raden. Panggil saja Kang Wirya," kata Wirya
meminta.
Narti hanya tersenyum tersipu saja.
"Mau pulang?" tanya Wirya berbasa-basi.
"Iya."
"Boleh kuantar?" Wirya langsung menawarkan.
"Ah, jangan. Nanti merepotkan saja"
"Tidak. Aku senang bisa berkenalan denganmu, Narti. Bolehkah
kuantar...?"
Narti hanya mengangguk sedikit saja. Dan mereka kemudian mulai melangkah
menyusuri jalan yang sudah sunyi. Tidak terlihat seorang pun di jalan ini.
Mereka terus berjalan sambil berbicara ringan. Tanpa terasa, mereka sudah
berjalan cukup jauh. Dan kini depan Istana Karang Setra yang megah dan
terang benderang oleh cahaya lampu sudah terlewati.
Terlihat enam orang prajurit menjaga pintu gerbang istana yang tertutup
rapat itu. Wirya menghentikan langkahnya, tepat di depan pintu gerbang
istana. Matanya terus memandang ke arah istana yang berdiri megah dan
terlihat jelas dari jalan ini. Narti juga ikut berhenti. Sekilas
dipandangnya wajah Wirya yang kelihatan begitu seksama memandangi bangunan
istana yang megah itu.
"Ada apa, Kakang? Kenapa memandangi istana?" tegur Narti.
"Ah, tidak...," sahut Wirya buru-buru, dan terus melangkah lagi.
Narti mengikuti di samping kanan pemuda ini. Mereka terus berjalan semakin
jauh, menuju arah barat. Sementara dua kali Wirya berpaling ke belakang,
memandang enam prajurit yang menjaga pintu gerbang istana itu. Sedangkan
Narti sempat memperhatikan dengan kelopak mata agak menyipit.
"Kau mengagumi keindahan Istana itu, Kakang?" tegur Narti lagi.
"Ya," hanya desahan saja yang keluar dari bibir Wirya.
"Memang semua pendatang selalu mengagumi keindahan istana. Aku juga selalu
kagum melihatnya. Sering kubayangkan, bagaimana seandainya masuk dan tinggal
di dalam istana beberapa hari. Pasti lebih enak tinggal di istana ya,
Kakang...?" ujar Narti seperti bicara pada diri sendiri.
"Tapi lebih enak hidup bebas tanpa harus dikekang oleh segala macam aturan
dan dikelilingi pengawal, Narti," kata Wirya.
"Mungkin juga begitu, Kakang. Lihat saja Gusti Prabu Rangga.
Sehari-harinya, beliau selalu mengembara bersama Gusti Ayu Pandan Wangi.
Mereka jarang berada di istana. Dan yang menjadi kepala pemerintahannya
saja, adik tirinya. Namanya Raden Danupaksi."
"Hm...," Wirya hanya menggumam perlahan saja.
"Kata orang, Gusti Prabu Rangga adalah seorang pendekar yang sangat sakti,
Kakang. Makanya sering bepergian jauh. Sekarang saja, beliau tidak sedang
berada di istana. Padahal, sekarang ini ada tamu penting dari kerajaan
lain," tutur Narti, tanpa diminta.
"Tamu penting...?"
"lya, itu juga kata orang. Tapi, aku hanya mendengar saja, Kakang. Kalau
siang hari. banyak prajurit yang makan di kedai. Mereka sering bercerita
tentang keadaan di dalam istana. Prajurit-prajurit itu yang bercerita, kalau
sekarang ada tamu penting di istana. Tapi, sekarang ini Gusti Prabu Rangga
sendiri tidak ada. Maka pihak kerajaan segera mengirimkan utusan untuk
memberi tahu Gusti Prabu."
"Kau tahu siapa tamunya?" tanya Wirya.
"Kalau tidak salah, Putri Arum Winasih dari Kerajaan Jenggala, Kakang. Kau
tahu, di mana Kerajaan Jenggala...?"
Wirya hanya diam saja.
"Tidak jauh, Kakang. Hanya melewati Hutan Rangkas saja. Kalau dari sini,
hanya tiga hari perjalanan saja."
Wirya hanya tetap diam. Sementara, mereka terus berjalan menyusuri jalan
yang cukup besar membelah kota ini. Sedangkan Narti tidak bicara lagi. Dan
kini, mereka berhenti setelah di ujung jalan, tepat di depan sebuah rumah
penginapan. Di rumah penginapan itulah Wirya malam ini tinggal. Ditatapnya
ke arah sebuah jendela yang tertutup rapat. Dan di balik jendela itu, adalah
kamar yang ditempati Rasik.
"Aku menginap di sini," kata Wirya. "Mau mampir dulu...?"
"Sudah malam, Kakang."
"Sebentar saja."
Narti kelihatan ragu-ragu.
"Kau takut...?"
Narti diam saja, masih kelihatan ragu-ragu. Sementara Wirya sudah mulai
kelihatan tidak sabar. Diambilnya tangan gadis itu dan digenggamnya dengan
hangat. Narti mengangkat kepalanya sedikit, hingga pandangannya langsung
bertemu pandangan mata pemuda itu.
"Mampir dulu, ya...."
Narti tidak bisa menjawab. Entah kenapa, dia menurut saja saat Wirya
membimbingnya memasuki halaman rumah penginapan itu. Seorang laki-laki tua
yang menjaga rumah penginapan hanya melirik sedikit saja. Dia kelihatan
tidak peduli, dan terus merebahkan kepalanya di atas meja.
"Nah, ini kamarku," tunjuk Wirya sambil membuka pintu kamar yang
disewanya.
Narti hanya diam saja diambang pintu. Dipandanginya bagian dalam kamar yang
cukup luas dan indah ini. Seperti tidak sadar, gadis itu melangkah masuk.
Wirya hanya tersenyum-senyum saja mengikuti dari belakang. Tapi, bola
matanya terus berputar liar memandangi bentuk tubuh yang ramping dan indah
ini.
Narti memang gadis cantik, walaupun hanya seorang pelayan di rumah makan.
Kulitnya putih dan halus. Bentuk tubuhnya begitu indah dan ramping.
Rambutnya juga hitam bergelombang, berkilatan tertimpa cahaya lampu pelita
yang tergantung di tengah tengah ruangan kamar sewaan ini. Sementara,
diam-diam Wirya menutup pintu dan menguncinya dari dalam. Sedangkan Narti
seperti masih terpesona melihat keadaan kamar ini, seakan-akan baru pertama
kali melihat kamar yang begitu indah.
"Kau suka di sini, Narti...?" ujar Wirya lembut, masih berdiri di belakang
gadis itu.
Perlahan Narti memutar tubuhnya, hingga berhadapan langsung dengan pemuda
ini. Kepalanya jadi tertunduk begitu melihat senyuman lebar terkembang di
bibir Wirya. Lalu tubuhnya diputar sedikit ke kanan, dan melangkah
menghampiri pembaringan yang berukuran cukup besar beralaskan kain sutera
halus berwarna merah muda. Perlahan-lahan gadis itu duduk di tepi
pembaringan ini.
"Tentu mahal sekali sewanya, Kakang," kata Narti perlahan.
"Ah, tidak...," sahut Wirya seraya menghampiri.
Wirya kemudian duduk di sebelah gadis ini. Begitu dekat, hingga bau harum
gadis itu tercium hidungnya. Perlahan Wirya mengambil tangan gadis itu, dan
menggenggamnya erat-erat. Lalu, sebelah tangan lagi melingkar di pundak yang
ramping ini. Sedangkan Narti hanya diam saja dengan kepala tertunduk.
"Kau suka kamar ini, Narti?" lembut sekali suara itu terdengar di telinga
Narti.
Narti hanya diam saja, dan masih menundukkan kepalanya.
"Kalau suka, kau boleh tidur di sini malam ini," kata Wirya lagi.
Narti mengangkat kepalanya perlahan, dan langsung menatap bola mata pemuda
itu. Dan ketika Wirya membalasnya dengan lembut, disertai senyum yang terus
terkembang manis di bibirnya. Beberapa saat mereka saling
berpandangan.
"Kau cantik sekali, Narti...."
Wirya mulai melancarkan rayuannya. Sedangkan Narti hanya diam saja. Bahkan
masih tetap diam, saat Wirya mulai mendekatkan wajahnya. Dan begitu dekat,
hingga dengus napas mereka terasa begitu hangat menerpa kulit wajah
masing-masing. Tampak belahan bibir Narti yang merah mulai bergetar saat
Wirya mendekatkan bibirnya.
"Hp."
"Hm..."
Saat itu juga, bibir mereka sudah menyatu rapat. Wirya mengulum dan
melumatnya dengan gairah menggelora dalam dada. Kedua tangannya sudah
melingkar, memeluk tubuh ramping ini erat-erat. Sementara Narti seperti
pasrah, tidak bergeming sedikit pun. Bahkan tangannya juga dilingkarkan ke
leher pemuda ini, membuat gairah Wirya semakin menggelora saja.
"Ahhh...."
Narti mendesah lirih, saat Wirya melepaskan pagutannya. Dan perlahan-lahan,
gadis ini direbahkan di pembaringan. Dipandanginya wajah Narti yang cantik,
dengan belahan pipi yang kemerahan seperti bayi. Narti memalingkan wajahnya,
seakan tidak sanggup membalas tatapan lembut penuh gairah mata pemuda
ini.
"Hpsss..."
Narti mulai merintih dan menggelinjang, saat jari-jari tangan Wirya
menjelajahi tubuhnya dan menyelinap ke dalam pakaiannya. Kedua bola mata
gadis itu terpejam sambil menggigit-gigit bibirnya sendiri. Sementara, Wirya
semakin menggelegak gairahnya. Dengus napasnya mulai terdengar memburu.
Gerakan tangannya yang cepat, mulai melepaskan satu persatu pakaian yang
dikenakan gadis ini.
"Oh..."
Dan malam terus berlalu, berpacu dengan dengus napas dua insan dalam
gejolak birahi. Malam yang seharusnya dingin, justru semakin panas di kamar
ini. Seekor cicak remaja tampak malu-malu mengintip dua manusia berlainan
jenis tengah bergumul di tengah gelombang asmara dari balik sebuah cermin di
dinding.
***
Emoticon