“He, he., he., he! Apa aku kata? Jangan main-main!” Sambil menunjuk ke arah
kepingan balok yang menancap di batang-batang pohon besar itu dia berkata.
“Coba lihat! Batok kayu yang besar dan keras seperti itu saja bisa bobol,
apalagi batok kepala kalian semua.......!”
“Kalian tidak percaya bahwa kami semua ini utusan dewa! Ayo kalian bersujud
semua! Menyembah!!”
Bagaikan gerak sebuah ombak laut, orang-orang suku primitif itu menurut apa
yang diucap Awom, lalu mereka menjatuhkan diri untuk bersujud ke hadapan
mereka. Pada saat itulah Yulia melihat bahwa salah seorang di antara mereka
mengenakan sebuah rosario.
Suasana sunyi sejenak lalu pada saat itu Jaka Sembung menyuruh Awom untuk
menanyakan sesuatu kepada suku kanibal itu.
“Awom, tanyakan kepada mereka, di mana mereka mendapatkan kalung salib
itu?”
Spontan Awom bertanya kepada salah seorang yang berada di barisan paling
depan.
“Dewa coklat berbicara dalam bahasa kahyangan, beliau bertanya di mana
kalian mendapatkan kalung orang kulit putih itu!”
Sambil menunjuk ke arah bukit yang menjulang tinggi, orang itu berkata: “Di
bukit hulu sungai sebelah Timur!”
Setelah mendapat keterangan Parmin dan kawan-kawannya segera melanjutkan
perjalanannya. Yulia meminta Rosario itu dari mereka dan ia segera mengenali
bahwa kalung salib itu adalah milik ayahnya sendiri.
“Cepat! Kita pergi dari sini untuk menyelidiki tempat itu,” ajak
Yulia.
Baru saja satu langkah, Awom berbalik dan berkata. “Dewa-dewa mengampuni
jiwa kalian! Kami akan segera pergi dari sini dan kalian boleh mengangkat
kepala suku baru!”
“Cepat kita pergi sebelum mereka tahu kita dewa-dewa palsu, Awom!” teriak
Parmin memberi peringatan.
Parmin dan Yulia terus melangkah, sedangkan Awom masih penasaran terhadap
apa yang baru dilakukan Parmin terhadap tonggak kayu yang terpancang di
tengah arena upacara. Ia segera menghampiri tonggak kayu lain yang masih
berdiri tegak.
“Hebat sekali...! Bismillah,” kemudian teriaknya, “Ciaaaat.......!”
Dengan suatu loncatan dan teriakan dia menghajar tonggak kayu itu dengan
pukulan telapak tangan dimiringkan. Kalau Parmin bisa berbuat begitu karena
memiliki ilmunya, sedangkan Awom yang hanya meniru-niru, maka akibatnya
menjadi sangat fatal, tangan itu menjadi bengkak seketika.
Dia berusaha menahan sakit dan menyembunyikan tangan yang babak belur itu
ke dalam celah pahanya dari penglihatan orang-orang suku kanibal sambil
cepat berlalu sambil terbungkuk-bungkuk. Orang-orang suku kanibal yang
sedang memperhatikan mereka bertiga, seketika kaget melihat tingkah laku
Awom yang konyol tersebut. Mereka saling pandang dan bertanya-tanya.
Belum lagi suku kanibal itu mengerti permasalahannya, Awom cepat berkata.
“Uuuh! Kalian jangan heran! Dewa juga kadang suka melucu, he., he., he.,
he!”
Akhirnya sambil berlari dan nyengir nyengir bajing menahan sakit, Awom
memaki-maki mereka dalam bahasa melayu.
“Selamat tinggal kerbau-kerbau dungu!”
***
8
Tiga hari sudah mereka meninggalkan perkampungan suku Papua pemakan daging
manusia itu. Beberapa kali pula mereka beristirahat untuk melepaskan lelah.
Kadangkala mereka bercerita tentang kampung halamannya masing-masing sampai
larut malam. Mereka tidur secara bergantian. Itu juga kalau suasana
memungkinkan, atau kadangkala mereka tidak tidur sama sekali.
Pagi itu cuaca cerah sekali, sang fajar mulai menampakkan kemilau sinarnya.
Binatang hutan berlarian hilir mudik. Pagi berganti siang, matahari mulai
bergeser ke titik kulminasinya. Binatang yang pagi hari berkeliaran kini tak
nampak lagi.
Mereka berteduh di tempatnya masing-masing dari sengatan matahari, Nampak
Awom dan Parmin yang menggandeng tangan Yulia berjalan tertatih-tatih
menuruni perbukitan setelah keluar masuk hutan belantara. Dengan susah payah
akhirnya mereka di tepi sungai dengan kedua tepinya agak gundul tak terdapat
pohon-pohon tinggi.
“Ini sungainya!” Awom memberitahukan Parmin sambil menyapu pandang ke
tempat yang jauh di seberang sana. “Mungkin bukit di depan itu yang mereka
maksud!”
Setelah berhenti sejenak, mereka melanjutkan perjalanan menuju bukit
tersebut. Mereka berputar mencari bagian sungai yang agak dangkal untuk
mereka seberangi. Kira-kira beberapa ratus meter melangkahkan kaki, akhirnya
mereka menemukan bagian sungai yang banyak terdapat batu-batu besar.
Setelah menyeberangi sungai itu mereka sampai di kaki sebuah tebing yang
agak terjal. Parmin, Yulia dan Awom naik merambat ke atas dan sampailah
mereka ke suatu tempat yang mereka tuju.
Mereka terus melangkah sambil mengamati bekas jejak-jejak sepatu yang cukup
banyak terdapat di sana. Tanpa mereka sadari sepasang mata dari balik
bebatuan mengintai mereka.
“Apakah kau yakin ayahku masih hidup, Parmin?” tanya Yulia.
“Aku tak bermaksud mendahului keputusan Tuhan, tapi firasatku mengatakan
demikian, Yulia,” jawab Jaka Sembung mantap.
Sepasang mata yang mengintai mereka bertiga mengarahkan mulut bedil lalu
mengokangnya. Parmin yang memang sudah terlatih pendengarannya segera
bergerak untuk bertindak.
“Tiaraaaaap!” teriak Parmin.
Dengan cepat mereka menjatuhkan diri masing-masing, hingga sebuah timah
panas luput dari sasaran. Namun demikian orang asing yang di atas sana tak
cuma sekali memuntahkan pelurunya, bahkan semakin membabi buta.
“Dar....... dor....... dor!!”
“Awas, Yulia!” teriak Parmin sekali lagi.
“Auww.......!”
Hampir saja Yulia terserempet peluru. Dalam situasi seperti itu, Parmin
segera mengatur siasat.
“Lari ke sungai, Awom! Cepat!” Awom melompat sambil berguling-guling menuju
ke arah sungai.
Baru saja ia sampai di tepi sungai, sebuah peluru berdesing nyaris
menyambarnya. Untung saja ia langsung menjatuhkan tubuhnya ke sungai.
“Byur.......!”
Berondongan peluru bedil itu terus mencecarnya. Awom menyelam lebih dalam
untuk menghindari timah panas itu. Ketika merasa tak ada lagi bunyi
tembakan, Awom segera menyembulkan kepalanya ke atas permukaan air.
Selang berapa lama dia berenang, tiba-tiba bahaya yang lebih ganas datang
menghadangnya. Awom terkejut, binatang yang ternyata ular yang sebesar
batang pisang mendadak melilit tubuhnya.
Pergumulan tak dapat dielakkan lagi. Ular itu terus melilit seakan hendak
meremukkan tulang-belulang pemuda kulit hitam ini. Awom mencengkeram leher
ular dan mencekiknya kuat-kuat. Air sungai yang semula tenang, kini
bergejolak menimbulkan deburan ombak dan gelombang-gelombang air.
Parmin dari kejauhan menyaksikan pertarungan antara hidup dan mati
itu.
“Yulia! Awom diserang ular!”
Yulia yang sudah kenal keahlian orang suku Kaimana dengan tenang menjawab.
“Biarkan saja! Suku Kaimana terkenal sebagai penakluk binatang buas dan
berbisa!”
Benar saja apa yang diucapkan Yulia. Kini Awom sudah dapat menguasai
keadaan. Tangannya dengan cekatan memukulkan kepala ular ke sebuah batu
besar hingga batok kepala binatang reptil itu pecah seketika tak berkutik
lagi.
Namun baru saja lolos dari lobang jarum, beberapa tembakan kini datang
mengarah kepadanya. Awom berkelit sambil melemparkan ular itu ke si penembak
gelap yang berada di atas bukit. Ular besar yang masih dalam sekarat itu
kini segar kembali dan melilit mangsanya.
Orang asing itu berusaha melepaskan lilitan itu dari tubuhnya. Namun
usahanya itu sia-sia, bahkan jepitan ular itu semakin keras dan masih dapat
mematuk tepat mengenai pelipisnya. Tak ampun lagi tubuh orang asing itu kaku
dan ambruk berguling-guling dari atas bukit ke lembah tempat Parmin dan
Yulia berada.
Parmin dan Yulia menghampiri tubuh itu dan membalikkannya, ternyata tubuh
itu sudah tak bernyawa lagi. Parmin mengamati tubuh orang kulit putih itu
dan bertanya, “Apakah itu ayahmu?”
“Kurasa bukan! Pakaian ayahku adalah seragam kelasi!” sahut Yulia.
Sengatan matahari kian bertambah hebatnya, apalagi ditambah hawa panas dari
dalam bumi yang gundul berbatu-batu itu membuat mereka mandi keringat.
Parmin dan Yulia memanfaatkan kesempatan yang ada untuk membasahi tubuh
dengan sungai. Segar rasanya setelah terkena siraman air.
Setelah itu Parmin mengajak Yulia dan Awom untuk menaiki bukit batu di
atas, dengan maksud agar mereka lebih leluasa mengamati sekeliling tempat
tersebut.
“Coba kita agak ke atas! Dari sana mungkin kita lebih leluasa melihat ke
sekeliling kita!”
Baru saja beberapa langkah mereka menaiki bukit, Parmin mendengar suara
orang berbicara. Dengan berlindung di balik sebuah batu besar, mereka
melongok ke bawah.
“Sssst!! Coba lihat di bawah sana! Ada dua orang asing sedang menggali
tanah!” ucap Parmin sambil menunjuk ke arah dua orang asing yang
dilihatnya.
Yulia seakan tak percaya dengan apa yang baru dilihatnya. Dua orang asing
dengan pakaian compang-camping sedang menggali tanah, Yulia terus mengamati
dua orang asing itu yang tak lain adalah orang sebangsanya sendiri yang
memiliki warna kulit sama dan rambut yang sama pula.
Sedang mencari apa mereka menggali tanah di tempat gersang seperti ini!
Pikirnya. Ingin rasanya Yulia memanggil dan berteriak siapa mereka itu
sebenarnya. Baru saja hendak dilakukannya, dengan cepat Parmin mendekap
mulut Yulia, seraya berkata.
“Tenang, Yulia! Jangan bertindak gegabah! Nanti mereka mengetahui
kedatangan kita sebelum kita sendiri menguasai situasi lembah ini,” jelas
Parmin.
“Oh, maafkan aku, Parmin. Aku sudah tidak dapat menahan rindu kepada
ayahku!” keluh Yulia.
“Ya….. ya....... ya. Aku mengerti perasaanmu, tapi bersabarlah sebentar!”
pinta Parmin.
Sambil berusaha menenangkan hati gadis Belanda itu, mereka juga melihat
beberapa orang kulit putih dengan pakaian serdadu Kompeni Belanda memegang
bedil dan bertindak sebagai seperti sedang mengawal budak-budak yang sedang
kerja paksa.
“Godverdom zeg! Ayo kerja terus!” bentak salah seorang dari mereka sambil
menenggak air untuk membasahi tenggorokannya.
“Berilah aku minum! Aku haus!” rintih salah seorang pekerja sambil memohon
agar diberi seteguk air untuk membasahi kerongkongan yang kering.
Namun permintaannya itu tak dihiraukan oleh serdadu penjaga itu dan
berbalik membentak, “Kerja dulu, baru minum!!”
Yulia yang sejak tadi memperhatikan tingkah orang yang memegang senjata tak
dapat menahan emosinya ketika ternyata pekerja yang minta minum itu ternyata
adalah orang yang selama ini sedang dicarinya.
“Oh Tuhan! Itu....... Itu ayahku!” teriak Yulia.
Terlambat Parmin mendekap mulut Yulia yang terlanjut berteriak memanggil
ayahnya. Saking kerasnya teriakan Yulia, orang-orang berseragam serdadu itu
terperangah dan menoleh ke arah mereka berada,
“Hei, suara siapa di atas?! Raf!! Rafles?!!” orang bersenjata itu memanggil
nama temannya namun tak ada jawaban. Merasa teriakannya tak dapat jawaban,
dia sengit dan naik pitam. Sambil mengancam dia membentak, “Menyahut atau
kutembak! Cepaaaaaaat!”
Baru saja dia akan menarik pelatuknya, tiba-tiba dia mendengar suara
batu-batu yang berguguran dari atas bukit.
“Godverdom zeg!” teriaknya.
Ternyata penyebabnya adalah sekumpulan kelelawar yang keluar dari sebuah
lobang di atas tempat ia berdiri. Terdengar ia memaki lagi dengan bahasa
Belanda. Setelah kelelawar itu berlalu, tiba-tiba dia ingat kepada temannya
yang disuruh ambil air di sungai.
“Godverdom zeg! Lama sekali si Rafles mengambil air di sungai!” gerutunya
dengan kesal.
Sambil bersungut-sungut matanya berputar untuk melihat bukit tandus itu.
Tiba-tiba dia mendengar percakapan orang yang sedang menggali tanah.
“Hah?! Apa ini…..,! Huh?! Bongkahan kuning bercahaya....... Tapi bukan
belerang!”
Belum lagi si penggali tanah mengamati temuannya, mendadak orang yang
bersenjata itu telah berada di hadapannya, seraya menodongkan moncong
senjatanya.
“Hah, apa kau bilang?! Berikan batu-batu itu padaku!!” Ia segera mengamati
benda alam yang kekuning-kuningan itu.
“Ha....... ha....... ha! Ini bongkahan emas! Tambang emas! Sudah kukatakan
bahwa di sini banyak terdapat emas!” Sambil menendangkan kakinya ke tubuh
orang yang menggali tanah itu, dia dengan kasar memberikan perintah.
“Ayo kerja terus, zeg! Gali lagi biar banyak! Kita akan menjadi kaya raya!
Ha....... ha....... ha.......ha!”
Saking asyiknya orang itu dengan kegembiraannya, dia tak menyadari bahwa
beberapa pasang mata terus mengintainya.
“Benar itu ayahku!! Sengsara betul keadaannya!” tanpa sengaja Yulia
mengeluarkan suara keras hingga terdengar oleh penjaga yang bersenjata
itu.
“Eit! Ada suara orang dari atas bukit! Aku yakin itu bukan suara
Rafles!!”
“Jangan-jangan ada yang memata-matai tambang mas kita! Kau tunggu di sini!
Aku akan mengontrol ke atas bukit!”
Ia terus menaiki bukit sambil mengendap-endap dan akhirnya sampai tepat di
belakang Parmin dan Yulia. Dari tempat ketinggian ia bermaksud membokong
para pengintai itu.
Baru saja dia mengokang dan mengarahkan senapannya ke arah Parmin dan Yulia
mendadak dari belakang ada orang yang menyergapnya. Senapan itu pun meletus
lepas mengarah ke langit yang tinggi, “Dor!”
Mendengar suara tembakan itu, Yulia dan Parmin membalikkan badan dan
bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
“Oh, itu Awom di atas! Ia berusaha menyelamatkan kita!” teriak Yulia.
Awom tak memberi kesempatan orang kulit putih itu, ia terus memitingnya
dengan sekuat tenaga. Tapi tubuh besar itu terus-menerus meronta hingga Awom
tidak bisa mengimbangi lawannya.
“Orang kulit putih ini punya tenaga raksasa, aku bisa dibantingnya!”
Saat itu Awom terus berpikir bagaimana cara untuk melumpuhkan lawannya yang
besar itu. Akhirnya ia menemukan sesuatu sebagai jalan keluar dan serta
merta ia meraih sebuah benda yang tak lain sebuah kelewang yang tersandang
di pinggang serdadu itu.......
“Nah pedang ini harus memakan tuannya!” pikir Awom sambil menancapkan
pedang itu ke perut tuannya sendiri.
Suara teriakan kencang keluar dari mulut orang kulit putih itu,
“Aaaaaaaa.......!”
Seketika itu pula Awom menghempaskan tubuh raksasa itu ke bawah bukit yang
terjal berbatu-batu kerikil yang runcing dan tajam.
Melihat kejadian itu penggali tanah kaget bukan main, sementara tubuh
serdadu kumpeni Belanda itu ambruk ke bumi dengan kepala remuk. Tubuh itu
menegang beberapa saat sebelum terkulai untuk selama-lamanya. Melihat itu,
si penggali tanah segera berlari sambil menjerit-jerit dengan
paniknya.
“Simon! Simooooooon!! Kau....... Kau mati?! Oh, jangan tinggalkan aku
sendiri, Simon! Aku takut!”
Dia terus merangkul tubuh kawannya yang sudah terbujur kaku. Belum lagi
hilang rasa takut menghantui dirinya, tiba-tiba seorang pemuda kulit hitam
telah berada di hadapannya. Orang bule bertubuh kurus dan kotor itu
terperangah melihatnya.
“Hah, orang kulit hitam!” pekiknya. “Aaaaaaaa....... Jangan bunuh aku!
Jangan!!” orang bule itu memohon dengan penuh ketakutan.
Namun Awom tetap diam berdiri mematung tak mengeluarkan sepatah kata,
bahkan terus memandang dengan garang. Orang bule itu menjadi ketakutan
apalagi Awom lebih menampakkan keangkeran dengan sorot mata yang
tajam.
“Aaaaa!! Jangan!!”
Ketika rasa takutnya kian memuncak, Yulia berlari menghampirinya diiringi
Parmin dari belakang. Sambil teriak-teriak, “Ayah!! Ayah!!”
Namun panggilan Yulia itu tak membuat orang bule berpakaian compang camping
itu sadar, justru rasa takutnya semakin menjadi-jadi dengan tubuh yang
gemetar hebat.
“Jangan!! Jangan bunuh aku!!” teriaknya sambil tangan kirinya ke belakang
untuk mengambil belencong yang digunakan menggali tanah tadi siap akan
dihantaman ke tubuh Awom.
Sementara si bule bertubuh kurus itu jadi ketakutan sendiri, tak kuasa
menggunakan belencong tersebut.
Yulia kini berada beberapa langkah dari orang tua kulit putih sambil
merentangkan kedua tangan- nya. “Ayah!! Ayah!! Ini Yulia,
ayah.......!”
Tapi agaknya orang Belanda ini sudah tak mengenali siapa lawan siapa kawan
lagi bahkan ia berubah menjadi kalap dan beringas.
Parmin segera maklum bahwa ayah Yulia telah mengalami goncangan jiwa yang
sangat berat sehingga menjadi sakit ingatan. Van Boerman semakin menjauh dan
bergegas menaiki bukit.
“Pergi! Pergi!! Atau kubunuh kalian!” teriaknya dengan sinar mata
liar.
“Ayah! Ini aku! Anakmu!” Yulia berteriak dengan tangisan berharap kepada
ayahnya agar dia mengenalinya sebagai anaknya sendiri yang hilang terpisah
selama ini.
Parmin pendekar Gunung Sembung yang sejak tadi memperhatikan suasana
memprihatinkan itu menghampiri Yulia sambil memberikan gambaran agar dia
dapat memahami keadaan ayahnya.
“Sabar, Yulia! Jangan kau dekati dia! Pikirannya mungkin telah terganggu
akibat tekanan batin yang dialaminya selama ini!”
Orang tua kulit putih itu terus melangkah, ia berusaha melarikan diri ke
atas bukit yang menjulang tinggi itu sambil berteriak-teriak seperti orang
kesetanan. “Pergi! Pergi!!”
Yulia hanya dapat memandang dengan sedih dan pilu dari kejauhan. Ia
benar-benar merasa prihatin melihat kenyataan bahwa orang yang dirindukannya
selama ini ternyata sudah tak mengenalinya lagi. Dengan tangis tertahan, ia
membenamkan diri ke dada Parmin.
“Oh!!!” isaknya menggebu.
“Yulia, tenang! Ia akan membunuhmu dengan belencong di tangannya itu jika
kau mendekat!” Parmin menasihati Yulia dengan sabar. Lalu dia menoleh ke
belakang ke arah Awom yang masih berdiri di tempatnya karena tak tahu mesti
berbuat apa untuk menghadapi situasi seperti itu.
“Awom! Kau ikuti dia! Cegat dari atas dan ingat, jangan sampai mengejutkan
dia! Hati-hati!” perintah Parmin kepada panglima suku yang setia itu.
Dengan mengangguk, ia pergi ke arah yang berlawanan dengan bukit di
depannya. Akalnya yang cerdas membuat ia mengambil inisiatif itu.
Sementara Van Boerman terus melangkah jauh meninggalkan Yulia dan Parmin
dengan langkah terseok-seok sambil ngoceh dan memaki. Keringatnya bercucuran
karena sengatan matahari di atas bukit yang tandus itu.
Tak lama kemudian orang Belanda kurus itu telah sampai di atas puncak
bukit. Dia tidak menghiraukan apa yang bakal terjadi pada dirinya. Tangannya
mengacung ke atas sambil menggenggam belencongnya.
Matanya mendelik seakan mau ke luar dan mulutnya tak henti-hentinya
berteriak, “Ha., ha., ha., ha! Kalian jangan cari mampus! Naiklah! Belencong
ini akan berbicara! Ayo naik!”
Mungkin menurut anggapannya ke-tiga orang pendatang itu bermaksud hendak
membantainya. Itu ia ketahui dari kematian kawannya yang berseragam serdadu
Kumpeni Belanda tadi. Kini dia harus menyelamatkan diri, terutama dari
ancaman seorang pemuda kulit hitam yang menurut anggapannya pastilah seorang
suku primitif yang suka makan daging manusia.
Sementara itu Awom sendiri sudah mengambil jalan pintas memutar dan sedang
menaiki bukit itu dari arah belakang. Dengan sangat hati-hati ia merayap
agar tidak diketahui oleh lelaki tua kulit putih yang sedang kalap
itu.
Awom kini sudah berada tepat di belakang Van Boerman yang sedang dihantui
oleh pikirannya sendiri.
Perlahan-lahan Awom mendekati orang tua itu dan pada kesempatan yang baik,
dia menyergap tubuh kurus kering dan kumal itu.
“Hep!!”
“Haaaaaa?!”
Orang itu berteriak sambil meronta-ronta serta mengibas-ngibaskan
belencongnya dengan sepasang tangannya yang sangat kokoh.
Awom mendekap dengan sekuat tenaga. Tetapi di luar dugaannya tubuh kurus
itu seperti memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan sebuah hentakan keras,
ia meronta dan berhasil meloloskan diri dari bekukan Awom.
Kenyataan yang mengejutkan itu membuat Awom kehilangan keseimbangan dan
kakinya tergelincir di bibir tebing. Maka tak ayal lagi tubuh mereka berdua
terhempas ke bawah, merosot di dinding bukit yang penuh dengan tonjolan batu
runcing dan tajam.
Awom merasakan tersenggol sesuatu dan akhirnya kesempatan itu dia gunakan
tangannya untuk menjambret benda yang ternyata akar pohon liar yang tumbuh
di dinding bukit sebagai tempat bertahan sementara.
Yulia yang sejak tadi memperhatikan adegan menegangkan itu semakin
bertambah cemas. Betapa tidak tubuh orang yang dikasihi dan panglima suku
yang setia itu nyaris hancur jatuh ke bawah. Dia menutup matanya yang tak
kuasa menyaksikan hal itu. Dia berusaha untuk tetap tabah sambil
berdo'a.
Parmin tak tinggal diam. Ia melompat dengan cepat menyambar belencong yang
masih melayang di udara.
“Tap! Tap.......!”
Kedua tubuh yang sedang bergelayut di akar pohon tampak sudah kehabisan
tenaga karena harus menahan bobot tubuh sendiri.
Sementara Parmin yang telah berhasil menyambar belencong, berlari ke kaki
bukit seraya melemparkan belencong itu sekuat tenaga agar dapat tertancap
kuat-kuat di dinding tebing. “Awom! Peganglah ini!”
“Dep….. dep!”
Bersamaan dengan tertancapnya belencong di dinding bukit, akar tempat
bergelayut itu pun patah. “Kraak!” Untunglah Awom dengan cekatan menyambar
gagang belencong tersebut. “Tab!” Kini tubuh mereka telah bergelantungan
pada gagang belencong, seketika itu Parmin berteriak.
“Awom, lepaskan tubuh orang kulit putih itu!! Belencong yang kau pegang itu
tak mampu menahannya!”
Segera Awom melepaskan tubuh dalam dekapannya. Serta merta tubuh itu
melayang laksana kapas yang ditiup angin.
Parmin si Jaka Sembung yang benda di bawah kaki bukit itu telah siap untuk
menangkap tubuh kerempeng itu dengan memasang kuda-kuda yang cukup kuat
sedangkan Yulia lagi-lagi menutupi mukanya karena tak kuasa melihat adegan
yang mengerikan itu.
Dengan pengaturan nafas dan keyakinan yang kuat Parmin menangkap tubuh Van
Boerman dengan selamat.
“Hep! Tab!”
Sedangkan Awom mulai berdebar-debar melihat belencong yang sebentar lagi
akan lepas dari tancapannya di dinding tebing itu.
“Oh, Dewa! Mengapa manusia tidak mempunyai sayap seperti burung?! Dan
mengapa kejadian seperti ini terjadi pada diriku!” Awom berdo'a menanti
datangnya dewa penolong yang akan membebaskannya.
Sementara itu Parmin sedang meletakkan tubuh kerempeng yang sudah tak
sadarkan diri itu di hadapan Yulia. Kini dia bergegas untuk menolong Awom
yang sedang dalam keadaan kritis.
“Sekarang giliranmu, Awom! Ayo lepaskan peganganmu!” teriak Jaka
Sembung.
Tanpa berpikir panjang lagi Awom langsung melepaskan tangannya dari gagang
belencong yang dipegangnya. Seketika itu tubuhnya melayang.
Parmin dengan tegap dan kokoh memasang kuda-kuda sambil merentangkan kedua
tangannya siap menyambut tubuh Awom yang melayang deras ke bawah. Tubuh
pemuda hitam itu dengan selamat ditangkapnya.
Peristiwa yang menegangkan itu kini telah berlalu. Parmin dan Awom segera
menghampiri Yulia yang sedang memeluk tubuh Van Boerman yang belum sadarkan
diri. Tubuh lelaki itu diguncang-guncangnya perlahan-lahan.
“Ayah! Ayah! Sadarlah, ayah! Ini aku Yulia anakmu!”
Beberapa saat kemudian Van Boerman membuka kelopak matanya perlahan-lahan,
Yulia berteriak gembira.
“Ayah! Ini aku Yulia anakmu!”
Namun apa yang diharapkan oleh gadis Belanda ini belumlah tercapai. Van
Boerman tiba-tiba mendelik dengan sinar mata liar.
“Waw! Jangan bunuh aku! Pergi! Pergi! Aku tak mau dicincang! Seperti kalian
mencincang kawan-kawanku!” Van Boerman masih saja dibayangi oleh peristiwa
yang terjadi pada diri kawan-kawannya di waktu yang lampau.
“Ayah! Sadar! Aku ini Yulia anakmu bukan suku kanibal yang kau maksud
itu!”
“Oh, tidak! Tidak!” jawabnya sambil mengangkat kepala dan memandang Yulia.
Dia belum juga berada dalam kewarasannya. Yulia mengeluarkan sebuah benda
yang menurut pendapatnya akan menyembuhkan ingatan ayahnya.
“Lihatlah! Salib suci ini, ayah!”
Betapa kagetnya lelaki tua itu setelah melihat rosario yang dikenalnya
sebagai pembangkit spiritual bagi dirinya. Bagaikan disiram seember air
orang itu mulai ingat akan dirinya.
“Oh, Bapa yang di surga! Ampunilah aku!” Ingatannya mulai membaik dan
memandangi seorang gadis cantik bermata biru di hadapannya dengan serius.
“Yulia! Kaukah anakku?” tanya Van Boerman dengan bergetar.
Betapa gembiranya Yulia mendengar kata-kata seperti itu, dia langsung
mendekap erat-erat tubuh ayahnya yang setelah sekian lama terpisah
darinya.
Dengan linangan air mata yang membasahi pipi, Yulia tak henti-hentinya
menciumi ayahnya.
“Ayah!! Oh, ayah betapa gembiranya hatiku!”
“Yulia! Syukurlah kau selamat, sayang! Aku sudah putus asa mencari dirimu!”
jawab sang ayah dengan luapan rindu yang tak terbendung lagi.
Matahari yang mulai bergeser ke ufuk Barat kelihatan cerah seakan turut
gembira serta bahagia melihat pertemuan anak dan bapak tersebut. Mereka
terus berpelukan tanpa menghiraukan orang-orang di sekelilingnya.
Parmin dan Awom juga turut terharu melihat peristiwa yang menggembirakan
itu. Air mata berkaca-kaca di pelupuk mata mereka. Sejenak ingatan Jaka
Sembung melayang ke tempat nan jauh di sana, pulau Jawa tempat ia
berasal.
Ia ingat Eretan tempat tinggal gurunya. Ia ingat Kandang Haur tempat
tinggal kekasih hati yang sangat dicintainya. Entah kapan ia dapat bertemu
kembali dengan Roijah yang telah lama ditinggalkannya.
Lamunan Parmin tiba-tiba tersentak, karena mendengar orang tua yang bernama
lengkap Yan Van Boerman itu berbicara sambil tak lepas dari dekapan anak
gadisnya.
“Terima kasihku tak terhingga kepada anda berdua, tuan pendekar yang
gagah!” ucapnya dengan bergetar menahan luapan rasa gembira dan rasa syukur
yang sangat dalam. “Entah bagaimana jadinya seandainya tidak ada tuan
berdua, kami tentu akan terpisah untuk selama-lamanya,” sambungnya sambil
menahan isak tangis.
“Semuanya adalah berkat rahmat Ilahi, tuan Boerman! Tuhan telah
mempersatukan anda berdua melalui usaha kami,” jawab Parmin dengan rendah
hati.
“Anda telah menolong orang asing yang justru berasal dari bangsa yang
sedang menjajah tanah air anda sendiri, anak muda!” sambung Van
Boerman.
“Bangsa kalian memang sedang menjajah bangsa kami. Tetapi kami tidak
memusuhi siapa pun karena kami cinta damai. Kalaupun kami berperang melawan
Kompeni Belanda, itu kami lakukan karena lebih mencintai kemerdekaan!” jawab
Parmin si Jaka Sembung dengan mantap.
“Sesungguhnya kami bukan memerangi bangsa Belanda, tetapi memerangi bangsa
mana pun yang bermaksud menjajah tanah air kami. Oleh karena itu kami ikhlas
memberikan pertolongan kepada anda berdua atas dasar kewajiban sebagai
makhluk Tuhan, bukan atas dasar sebagai dua bangsa yang sedang bermusuhan!”
sambung Jaka Sembung dengan tegas namun sangat diplomatis.
Semua ucapan Jaka Sembung terdengar begitu berkesan bagi seorang pemuda
Papua yang berjiwa patriot seperti Awom. Sosoknya memang masih primitif,
namun jiwanya dengan cepat menyerap peradaban dan sikap mental yang
diperlihatkan oleh pendekar muda dari pulau Jawa itu.
Dalam hati Awom kini tumbuh suatu keyakinan baru bahwa penjajahan itu
sesuatu yang harus diperangi. Bukan memerangi orangnya, tetapi memerangi
sifat jahat yang ada padanya! Dengan kata lain, biar pun Yulia dan ayahnya
adalah orang Belanda, tetapi bukan musuhnya karena mereka tidak bersifat
menjajah.
T A M A T
Pembaca yang Setia, Parmin si Jaka Sembung telah berhasil mempertemukan
Yulia dengan ayahnya Yan Van Boerman, tetapi bagaimana dengan nasib pendeta
Yorgen yang tak tentu rimbanya itu?
Dapatkah mereka menemukan pendeta itu? Bagaimana pula dengan manusia
misterius bertopeng tengkorak yang menyeramkan itu? Siapa sebenarnya
dia?
Ikutilah episode berikutnya yang berjudul. Pertarungan Terakhir!
Emoticon