"Siapa nama Mbakyu dan dari mana asal Mbakyu,” tanya
Joko Mangpolo.
Perempuan itu tidak menjawab ia hanya geleng-geleng
"Apa maksud Mbakyu. Saya datang untuk menolong
Mbakyu. Aku akan antar Mbakyu, dimana rumahnya,"
sekali lagi Joko Manggolo bertanya, tetapi tidak dijawabnya,
perempuan itu kembali menggelengkan kepalanya.
"Kangmas, Kangmas, perempuan itu bisu, Kangmas,”
terdengar suara laki-laki yang diringkus Joko Manggolo
itu.
"Ohhhhh. Maafkan saya, Mbakyu," kata Joko Manggolo
sambil membimbing perempuan itu agar berdiri tidak
menyembah-nyembah begitu terus.
"Kamu tahu rumah perempuan iri," tanya Joko Manggolo
kepada laki- laki itu.
"Tat...tahu. Tett...tetapi tolong lepaskan aku dulu, Kang-
mas. Nanti aku akan tunjukkan rumahnya."
"Dimana rumahnya."
"Tolong lepaskan aku dulu, nan...nanti...".
"Aku tanya, dimana rumahnya. Jawab !" Bentak Joko
Manggolo kelihatan mulai kesal terhadap, laki-laki yang
diringkusnya itu.
"Did...di...di sana. Di Dukuh Patukan."
"Dimana Dukuh Patukan itu."
"Tidak jauh dari sini, Kangmas. Ke arah barat."
"Hayo-antar aku ke sana. Cepatiberdiri. Hayo jalan."
"Maí..maafkan aku Kangmas. Tolong pakaikan dulu
celana saya."
"Tidak usah. Hayojalan. Cepat."
Dengan pelan laki-laki itu terpaksa harus berjalan dalam
keadaan bugil. Joko Manggolo membimbing perempuan
itu yang nampak sulit berjalan tertatih-tatih seperti
menahan sakit pada bagian bawah pusarnya.
"Mbakyu apa masih sakit."
Perempuan itumengangguk.
"Hee banjingan. Kamu bopong mbakyu ini sampai ke
rumahnya," kata joko Manggolo menyuruh laki-laki itu
untuk mengangkat perempuan itu. Tetapi seketika
perempuan itu-menggeleng-gelengkan kepalanya dan
kemudian jongkok kembali. menyembah-nyembah Joko
Manggolo. Baru disadari oleh Joko Manggolo rupanya
ia membuat kekeliruan dengan mengambil keputusan
untuk menyerahkan perempuan ini agar dibopong oleh
laki-laki itu. Rupanya, tampang laki-laki bulat pendek
itu telah menimbulkan jijik perempuan ini kepada laki-
laki itu. |...
"Maaf Mbakyu. “Bukan maksudku untuk menyerahkan
kepada laki-laki itu. Aku ingin si laki-laki berengsek ini
menjadi kuda tunggangan. yang harus bertanggung
jawab atas perbuatannya tadi."
Akhirnya sekali-kali Joko Manggolo yang membopong
perempuan, itu kalau kelihatan ia sudah mulai sulit jalan,
dan beberapa saat kemudian diturunkan kembali untuk
berjalan. Nampak mereka sudah jauh berjalan tetapi
belum ada tanda-tanda akan menemui perkampungan.
"Mbakyu, apa benarjalan yang dituju ini kesrah rumahmu,"
tanya Joko Manggolo kepada perempuan bisu itu. Dari
mimik wajahnya nampak perempuan bisu itu mengerutkan
keningnya, menengok-ke kiri ke, kanan, lalu ia meng-
geleng-gelengkan kepalanya.
"Hae, Bajingan. Kamu akan bawa kemana aku. Ini bukan
jalan menuju rumah Mbakyu ini."
"Aku sendiri juga lupa, Kangmas."
"Bajingang Bilang sejak tadi kalau lupa. Kamu benar-benar
lupa atau pura-pura lupa," Joko Manggolo menghampiri
laki-laki itu dan langsung muka laki-laki
itu. Plakk. "Bajingan kamu. Sudah berbuat kurang ajar sama
perempuan, sekarang kamu mau menipu aku."
"Maf...maaf Kangmas. Soalnya aku'malu. Aku tinggal
sekampung dengan perempuan bisu itu. Takutaku kena
malu sama orang-orang di Kampung”
"Sekarang bilang malu, tadi memperkosa tidak malu.
Yang benar yang mana. Mentang-mentang ada perem-
puan tidak bisa bicara lalu kamu perdaya. Biar tidak
buka mulut. Begitu tujuanmu. Kama mau memuaskan
nafsu binatangmu itu, lalu meninggalkan kesengsaraan
pada orang lain. Kalau begini kamu merasa sakit tidak,"
Joko Manggolo menendang perut laki-laki itu dengan
dengkulnya.
"Aduhhh, sakit, Kangmas."
"Baru begitu sudah terasa sakit. Bagaimana sakitnya
kehormatannya dengan cara kamu yang brutal itu."
"Maafkan saya, Kangmas.*
"Maaf. Maaf. Hayo jalan kemana yang benar jalan ke
kampungmu itu."
Akhirnya mereka bertiga itu membalik kembali, berjalan
menyelusuri bulakan. Hari mulai makin sore. Setelah
sampai di daerah gundukan-gundukan tanah, tiba-tiba
dihadapan mereka muncul banyak orang hampir ber-
jumlah sekitar lima puluh orang. Sangat banyak.
"Berhentiiii," teriak seseorang laki-laki yang berambut
kelihatan sudah memutih semua. Joko Manggolo bersama
laki-laki yang diringkus itu pun berhenti.
"Lepaskan ikatan tali pada laki-laki itu. Dan juga
lepaskan perempuan itu," perintah laki-laki yang berambut
memutih itu nampaknya ditujukan kepada Joko Manggolo,
"Hayo cepatttt ikuti perintahku."
Joko Manggolo nampak ragu-ragu, ia hanya meman-
dangi wajah orang-orang yang berkerumun banyak di
hadapannya itu semuanya nampak membawa senjata
tajam. Di antara rerumunan orang-orang itu, Joko Manggolo
mengenali ada laki-laki yang tadi juga ikut memperkosa
"Maaf, Paman. Mungkin Paman salah paham. Apa mak-
sudnya ini semua."
"Sudah jelas, kamu orang asing yang telah membuat
kejahatan. Kamu membegal warga kami. Kamu telah
memukuli warga kami. Itu siapa yang kamu sekap itu.
Dua orang warga kami, kamu sekap. Apa bukti ini
kurang jelas."
"Tet...tetapi...kami...".
"Sudah jangan banyak bacot Lepaskan segera dua orang
warga kami itu. Dan kamu akan kami tangkap. Kamu
harus diadili di bawa ke kota Kadipaten. Kamu telah
membuat kejahatan membegal orang, menyekap orang,
dan melakukan pemerkosaan terhadap perempuan itu.
Ini ada empat orang saksinya yang melaporkan semua
kejadian kepada kami. Sekarang akui saja segala
perbuatan nistamu itu, anak muda."
Mendengar uraian laki-laki berambut putih itu, barulah
Joko Manggolo paham, rupanya ia kena korban fitnah
dari orang-orang yang telah menganiaya perempuan iri.
Demi pertimbangan kemanusiaan, perempuan ini
dilepaskan dan disuruh bergabung dengan warga
Dukuh itu. |
"Mbakyu, silakan ke sana. Mereka semua ingin menyela-
matkan Mbakyu."
Tetapi perempuan bisu itu tidak mau, ia menggeleng-
gelengkan kepalanya, lalu ia maju di depan Joko Manggolo.
la rupanya berusaha menjelaskan kejadian yang sesungguh-
nya dihadapan orang-orang itu.
"Bah...bah...ih..bah...bah," kata perempuan bisu itu sambil
tangannya digerak-gerakan terus. Tetapi orang-orang
tidak ada yang peduli terhadap penjelasan perempuan
bisu itu. Mereka nampak acuh tak acuh saja. Perhatian
mereka tetap tertuju kepada kesiagaan untuk meng-
hadapi orang asing seperti Joko Manggolo ini yang dari
penampilannya diperkirakan oleh orang-orang itu sebagai
anak muda yang berilmu kanuragan tinggi. Tanpa dinyana
tiba-tiba seorang laki-laki menyambar lengan perem-
puan itu dan ditarik paksa bergabung dengan mereka.
Mungkin dimaksudkan sebagai tindakan penyelamatan
warganya. Masih terdengar suara berontak perempuan
bisu itu yang nampak berusaha memberikan keterangan
kepada warga penduduk itu mengenai kesalahpahaman
ini, tetapi keburu perempuan itu diamankan ke garis
belakang.
"Sekarang tinggal lepaskan yang satu lagi. Hayo cepat
lepaskan, anak muda, sebelum kami semua akan bertindak."
"Baik akan aku lepaskan. Dan aku akan berlalu dari
kampung bapak-bapak di sini. Tetapi, tolong diingat
kelima laki-laki ini sebenarnya yang telah memperkosa
perempuan bisu tadi. Kelima laki-laki yang mau jadi
saksi ini bermoral bejat. Sebenarnya justeru mereka ini
yang pantas dihukum."
“Berhenti omongan kosongmu itu. Hayo lepaskan laki-
laki itu jangan banyak ngomong. Kamu yang akan
dihukum bukan mereka yang menjadi saksi. Mengerti
kamu orang asing," tiba-tiba terdengar suara seorang
laki-laki yang bertubuh kekar maju menuding-nuding
muka Joko Manggolo. Tanpa banyak bicara lagi, Joko
Manggolo lalu melepaskan ikatan tali pada laki-laki bulat
pendek berkulit hitam itu, dan laki-laki itu segera berlari
bergabung dengan warga dukuh itu Seorang teman
laki-lakinya tadi memberikan pakaiannya yang segera ia
kenakan.
"Sekarang ganti giliran kamu anak muda untuk menyerah."
"Apa?. Aku harus menyerah. Untuk urusan apa."
"Apa belum jelas. Kamu telah membegal, menganiaya,
dan memperkosa perempuan warga kampung kami. Itu
semua tuduhan yang ditujukan untuk kamu. Tahu tidak.
Bodoh."
"Itu semua tidak benar, Paman. Seandainya perempuan
tadi bisa ngomong ia akan menjelaskan semua apa yang
sesungguhnya terjadi."
"Tutup mulutmu orang asing. Hayo menyerah atau mati
di sini."
"Kalau kalian ingin menunjukkan kehebatan kalian.
Maju satu per satu. Satu lawan satu. Jangan main
keroyokan begini," tantang Joko Manggolo berusaha
menunjukkan ketegaran dirinya.
"Sudah, jangan banyak bacot. Hayo kawan-kawan kita
hantam saja anak muda yang sombong ini," teriak
seorang laki-laki bertabuh ceking tiba-tiba langsung
mengayunkan moteknya yang berkilau sebagai senjata
tajam andalan untuk menyerang Joko Manggolo yang
diikuti oleh lainnya yang secara berbarengan menyerbu
Joko. Mangggolo yang memang sedari tadi telah siap
menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Joko Manggolo melakukan pertahanan mundur teratur
dengan satu per satu dirobohkan lawan-lawannya itu.
Namun lainnya terus berdatangan mengeroyoknya.
Beberapa goresan senjata tajam itu telah mengenai
tubuh Joko Manggolo, tetapi ia tetap terus bertahan
dengan melakukan gerak bela-serangnya.
Joko Manggolo telah menghabiskan jurus-jurusnya untuk
menghadapi serbuan sebegitu banyak orang kampung
ini, nampakia kewalahan. Kesulitannya, Joko Manggolo
tidak ingin melukai orang-orang yang dianggap salah
paham, korban fitnah ini, sehingga Joko Manggolo lebih
banyak melakukan gerakan hindaran, menyapu
kedudukan kuda-kuda. lawan, dan menyerang ringan
untuk sekedar merobohkan mereka, sehingga ia
terpaksa harus menerima keadaan dirinya untuk terdesak
terus tanpa perlu mengerahkan-kekuatan dahsyatnya
apalagi mengeluarkan aji-aji pamungkas untuk membuat
celaka orang.
Akhirnya Joko Manggolo mundur terus untuk bertahan,
tidak disadari ia sudah sampai di pinggir jurang
dangkal, berupa tanah berbatu-batu yang curam, tidak
ada lagi posisi untuk mundur lagi. Kalau mau nekat
maju terus berarti binasa, mundur terus berarti neraka.
"Baik paman-paman. Aku menyerah kalah," kata Joko
Manggolo terpaksa mengambil keputusan untuk mengalah
daripada ia terkena celaka terjatuh ke jurang, atau akan
mengambil sikap menghancurkan sekaligus banyak
orang yang tidak tahu-menahu duduk perkara yang
sebenarnya ini.
"Horrrreeee," teriak orang-orang Dukuh Patukan itu
hampir berbarengan merasa dapat memenangkan
perkelahian yang belum pernah terjadi selama ini. Joko
Manggolo menurut saja dicincang dibawa beriringan
beramai-ramai menuju Dukuh Patukan yang terletak
berbukit-bukit dan masih berhutan walaupun terlihat
sudah banyak pohon yang ditebang.
Sesampainya di Dukuh Patukan itu, Joko Mangpolo diikat
di bawah pohon aren besar tinggi, dan para warga
beramai-ramai membuatkan kurungan dari bambu-
bambu dan kayu-kayu besar. Mereka segera sibuk membuat
kurungan mendadak. Ada yang menggergaji, memasah,
memantek, memotong, Dan malam hari itu, Joko Manggolo
sudah berada dalam kurungan yang terbuat nampak
kokoh sukar ditembus untuk keluar dari tempat itu.
4
MENCARI KEBENARAN
MALAM hari, Joko Manggolo harus menelan nasib
jeleknya. Ia dipaksa tertidur di dalam kerangkeng
jorok yang banyak nyamuk, dijaga ketat sekitar empat
laki-laki berwajah angker. Para penjaga itu yang sedari
tadi terlihat sedang bermain kartu dengan asyiknya.
Karena kelelahan, Joko Manggolo tertidur lelap setelah
menghabiskan makanan yang diberikan oleh penduduk
Dukuh Patuk ini tadi, tanpa-menghiraukan dinginnya
malam dan kerubungan nyamuk yang terus menggigit
tubuhnya itu.
Antara setengah sadar dan masih lelap tertidur, tubuh
Joko Manggolo seperti digoyang oleh tangan halus yang
berusaha membangunkan dia. Begitu matanya dibuka,
Joko Manggolo kaget dibuatnya. Di depannya terlihat
muka seorang perempuan muda, ia ternyata perempuan
bisu yang tadi siang ditolongnya itu. Perempuan itu
jongkok di sebelahnya di luar kerangkeng sambil men-
nyodorkan minuman kopi hangat. Tanpa banyak tanya,
minuman hangat itu langsung diterima Joko Manggolo
dan diminumnya sampai habis lantaran udara di kampung
ini memang amat dingin. Sekedar untuk menghangatkan
badan. Dengan adanya wedang kopi hangat itu rupanya
cukup-membantu keadaan dirinya menjadi lebih segar
bugar. Kemudian perempuan itu menyodorkan sebilah
pisau besar, sambil berkata-kata.
"Uhhh...ah...bah...uh,” tangannya menunjuk-nunjuk ke
arah ikatan tali-tali yang ada pada daun pintu bambu-
bambu itu. Joko Manggolo menangkap yang dimaksudkan
agar ia menggunakan pisau besar itu untuk memotong
ikatan tali-tali bambu itu supaya ia bisa keluar dari
kerangkeng. Tanpa basa-basi lagi, Joko Manggolo segera
bertindak mengikuti petunjuk perempuan bisu. itu. Tidak
berapa lama, pintu kerangkeng itu dapat dibongkar, dan
Joko Manggolo dengan mudah dapat keluar dari
kerangkeng.
Joko Manggolo setelah berhasil ditolong oleh perempuan
bisu itu keluar dari kerangkeng. Tapi masih ada masalah
berat lagi, Joko Manggolo harus menghadapi para penjaga
yang nampak galak- galak itu sejak tadi kelihatan angker
menjaga di situ. Begitu mata joko Manggolo menoleh ke
arah para penjaga itu, nampak mereka rupanya telah
tertidur lelap, tergeletak tidak karuan di bawah tempat
penjagaan itu. Di sana-sini nampak berhamburan
cangkir yang sama dengan cangkir yang diberikan
perempuan bisu itu kepadanya. Perempuan bisu itu rupanya
membawakan minuman yang membuat penjaga ronda
kampung itu tertidur lelap. Lalu, Joko Manggolo mem-
berikan bahasa isyaratnya kepada perempuan bisu itu,
yang maksudnya mau menanyakan "Apakah minuman
yang diberikan kepada Joko Manggolo sama dengan
yang diberikan kepada penjaga-penjaga itu." Perempuan
bisu itu menggelengkan kepala, berarti Joko Manggolo
tidak terkena minuman serupa untuk merangsang
tertidur, tapi sebaliknya justeru membuat mata terbelalak
karena pengaruh kopi minuman itu.
Kemudian Joko Manggolo menanyakan lagi "Apakah itu
semua bertujuan untuk membebaskan Joko Manggolo
dari kerangkeng ini." Dijawab oleh perempuan bisu itu
dengan anggukan kepala, berarti mengiyakan. Seterusnya,
Joko Manggolo ditarik lengannya oleh perempuan bisu
itu, diajak berjalan.menyelusuri lorong-lorong perkam-
pungan itu maksudnya ingin menunjukkan jalan keluar
agar Joko Manggolo dapat segera meninggalkan
perkampungan itu.
Namun malang, ketika Joko Manggolo sudah di luar
kurungan, baru melingkari beberapa lorong rumah-rumah
penduduk itu, ia keburu ketahuan penjaga ronda keliling
yang sedang meronda ingin mengontrol tawanannya
itu. Terjadi pergumulan keras. Joko Manggolo memberikan
perlawanan dengan cara melakukan gerakan hindaran
menjauh terus agar penjaga itu tidak membangunkan
orang-orang kampung lalu mengeroyoknya kembali.
Dengan. cara demikian, rupanya Joko Manggolo berhasil
mengelabuhi penjaga-penjaga malam itu yang merasa
dapat memenangkan pertarungan tanpa harus meminta
bantuan kepada orang-orang kampung lainnya.
Joko Manggolo bergerak mundur terus tanpa menciderai
lawannya. Ketika mereka sampai di perbatasan perkam-
pungan, segera Joko Manggolo memasang jurus berkelitnya,
memasang jurus terjangan angin lesus, sehingga dengan
mudah ia berhasil meloloskan diri, tanpa bisa dikejar
para penjaga yang terpedaya merasa bangga dapat
memenangkan pertarungan itu ternyata ia kena dikelabuhi
Joko Manggolo agar mereka tidak meminta bantuan teman
lainnya karena telah merasa kuat menghadapi serangan
Joko Manggolo itu. Baru setelah Joko Manggolo berhasil
lenyap ditelan kegelapan malam, mereka menyadari
telah berbuat kesalahan besar, seperti menghantarkan
tawanannya itu untuk dilepas di alam bebas.
Petugas ronda yang berjumlah dua orang itu lantaran
merasa tidak berhasil menangkap Joko Manggolo, maka
ia segera membunyikan kentongannya keras-keras, titir,
"Tuk. tuk... kuk... tuk...", untuk membangunkan penduduk.
Dalam waktu singkat penduduk Dukuh Patuk itu telah
berhamburan keluar rumah dengan membawa senjata
masing-masing di tangan. Mereka mendatangi arah
bunyi kentongan itu.
Setelah mendapatkan penjelasan dari petugas ronda itu,
sebagian dari mereka berusaha mengejar larinya
Joko Manggolo, dan lainnya kemudian memeriksa
kerangkeng tempat Joko Manggolo ditahan. Di tempat
itu didapati para petugas jaga kerangkeng itu nampak
masih tertidur pulas, seperti tidak menyadari apa yang
sedang terjadi. Ketika mereka dibangunkan nampak
pada kebingungan. Kerangkeng segera diperiksa
beramai-ramai, gerangan apa yang menyebabkan
sehingga Joko Manggolo bisa lolos. Terlihat sebilah
pisau besar masih tergeletak tertinggal di situ.
Kemudian para penjaga itu berkisah bahwa tadi malam
mereka mendapatkan minuman dari perempuan bisu
itu. Dikiranya, perempuan bisu itu ingin membalas jasa
budi baik kepada mereka yang telah menolongnya,
berhasil menangkap dan menyekap Joko Manggolo
sebagai pelaku perkosaan. Maka hadiah minuman hangat
itu segera beramai-ramai diteguknya dalam suasana
udara dingin di perkampungan itu. Kemudian mereka
tidak ingat lagi.
Setelah diperiksa minuman-minuman itu. Ternyata
benar, memang mengandung ramuan yang memancing
orang segera ngantuk dan tertidur. Orang-orang kampung
pun kemudian pada heran mengetahui kelakuan perempuan
bisu itu. Dan setelah diselidiki diketahui bahwa perempuan
bisu inilah yang malahan telah membebaskan Joko
Manggolo.
Para sesepuh dan tokoh masyarakat Dukuh Patuk segera
mengadakan sidang malam itu juga untuk mencari tahu
semua kejadian di balik yang sesungguhnya terjadi dari
peristiwa pemerkosaan terhadap perempuan bisu kemarin siang.
"Kalau yang menjadi korban pemerkosaan itu Sritarti,"
nama perempuan bisu itu Sritarti, "Kenapa malahan ia
yang justeru mau membebaskan anak muda itu.
Mustinya ia malah dendam kepada pemuda itu. Tetapi
nampaknya justeru kebalikannya ia yang merasa harus
membalas budi dan mau bersusah-payah malam-malam
dingin begini ia sudi mengantarkan minuman untuk
membius para penjaga dan membebaskan anak muda
itu dari kerangkeng ini," kata seorang tua yang dikenal
arif bijaksana di Dukuh Patuk ini dihadapan warga
dukuh yang berkumpul beramai-ramai di tempat itu
dengan penerangan obor yang dibawa oleh banyak
orang yang berkumpul di tempat itu sehingga nampak
menerangi sekelilingnya.
"Itu tentu masuk akal tho, Kangmas," bela laki-laki yang
berambut putih yang tadi siang bertindak sebagai
pemimpin penangkapan terhadap Joko Manggolo itu,
"Kalau anak muda itu merasa tidak bersalah, mengapa
ketika dia mau kita tangkap, malahan ia melawan Kita.
Kalau ia merasa tidak bersalah ya menyerahkan diri saja
dengan cara baik-baik. Itu kan gampang jadinya. Dan
nanti kita serahkan ke pengadilan di kadipaten. Pengadilan
yang akan memutuskan bersalah atau tidak. Tetapi ia
malahan nekat melawan kita, sehingga mengakibatkan
banyak korban luka-luka warga kita. Jadi jelas, pemuda
asing itu sejak semula sudah merasa bersalah dan tahu
betul ia akan dihukum, makanya ia melawan dan
berusaha kabur dari penangkapan kita," tukas pimpinan
kampung Dukuh Patuk yang tadi sore memimpin
penangkapan itu.
"Sampeyan itu bagaimana tho, Dik. Kok malahan cara
berpikirnya terbalik. Jelas saja pemuda asing itu
melawan kita, wong ia merasa tidak bersalah,” kata
orang tua yang terkenal bijak itu kemudian.
"Tapi, Kangmas. Mengapa ia tidak bersikap satria, mau
menyerahkan diri siap untak diadili agar tahu
kebenaran yang memihak dirinya, tetapi yang ia
lakukan melawan kita."
"Dimas ini bagaimana. Sikap tidak menyerah untuk
membela kebenaran itu kan sifat ksatria. Justeru sikap
pemuda tadi, aku anggap yang benar. Kalau ia salah, aku
rasa ia akan menunjukkan sikap takutnya. Akan tetapi
ia nampak tegar saja. Dan yang mengherankan kalau aku
amati jalannya perkelahian mengeroyok pemuda itu tadi
sore, satu pun di antara penduduk warga ini tidak ada
yang jadi korbannya, hanya luka-luka kecil saja. Padahal
ia telah merebut salah satu senjata orang-orang kita
tetapi tidak untuk melukai orang-orang kita hanya
sekedar untuk bertahan. Aku melihat banyak kesem-
patan pemuda tangguh itu dapat mencederai atau bahkan
membunuh beberapa penduduk kita waktu penyerangan
kemarin siang. Tetapi hal itu tidak ja lakukan."
"Ach, Kangmas bisa saja. Justeru karena kekuatan kita
ini yang tangguh. Bukan lantaran pemuda itu sengaja
untuk tidak melukai orang-orang kita."
"Kalau demikian aku punya usul. Coba bawa kemari
Sritarti," kata orang bijak sesepuh Dukuh Patuk itu.
Tidak berapa lama, gadis bisu yang malang itu dibawa
masuk ruangan pendopo Dukuh Patuk yang sudah
dipenuhi berjejal oleh penduduk kampung itu ingin
menyaksikan bagaimana duduk perkara sebenarnya
karena mereka kemarin siang juga ikut memberikan
pengorbanannya menyerang pemuda asing itu. Sementara
semua orang yang berkerumun di balai Dukuh Patuk itu
pada terdiam ingin mendengarkan pemecahan perkara
ini.
"Nduk, Eyang mau tanya, ya. Mengapa kamu berani-
beraninya melepaskan orang asing itu dari kerangkeng
yang sudah dibuat susah payah oleh para penduduk
dengan gotong royong," tanya sesepuh Dukuh Patuk itu.
Di dukuh ini belum ada kepala dukuhnya, jadi
kedudukan sesepuh dukuh ini dapat bertindak seperti
kepala dukuhnya. Sebab kepala dukuh yang lama baru
pernilihan kepala dukuh yang baru.
“Uhh, Uhh, Uhh," kata perempuan bisu itu sambil tangan-
nya memperagakan gerakan-gerakan berusaha
menjawab pertanyaan sesepuh dukuh itu.
"Ohh, maksud kamu, pemuda itu tidak bersalah," tanya
sesepuh dukuh itu kembali. Nampak perempuan bisu
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Jadi siapa yang salah," tanya sesepuh dukuh itu lebih
lanjut.
Perempuan bisu itu terdiam.
"Jawab Nduk, siapa yang salah."
Masih tetap bungkam.
"Tolong, Nduk. Jawab siapa yang salah agar kita semua
dapat menolongmu dan menjagamu di kemudian hari."
Kelihatan perempuan bisu itu ragu-ragu, tetapi ia pelan-
pelan berdiri dan matanya mengelilingi orang-orang
yang hadir berkumpul di ruangan balai pedukuhan itu,
kemudian pandangannya berhenti pada seorang laki-
laki gendut yang berdiri di baris tengah. Tangan perempuan
bisu itu pelan-pelan diangkat, lalu menunjuk lurus ke
arah laki-laki gendut tadi. Semua orang matanya tertuju
pada arah telunjuk perempuan bisu itu.
"Hayo, KiSanak yang merasa ditunjuk coba tolong maju
ke depan," kata laki-laki tua sesepuh dukuh yang nampak
bijak itu.
Seorang laki-laki yang ditunjuk.itu kemudian dengan
gemetaran maju ke depan dengan muka yang pucat pasi
Belum habis disitu, telunjuk perempuan bisu itu menunjuk
lagi kepada dua orang laki-laki yang duduk berdampingan
di sudut belakang yang diterangi lampu teplok remang-
remang itu. Kemudian kedua laki-laki gagah itu pun
maju ke depan. Lalu, perempuan bisu itu menggeleng-
gelengkan kepalanya, yang menandakan mungkin
sudah tidak ada lagi pelaku lainnya yang ada di situ.
"Kangmas Pramono," kata sesepuh dukuh itu memba-
hasakan para laki-laki penduduk dukuh itu dengan
sebutan Kangmas. "Kangmas Tarjito, dan Kangmas Karmono.
Apa benar kalian bertiga telah mencelakan Sritarti ini."
"Tit...titt...tidak. Tidak benar. Itu tidak benar, Pak
Sesepuh. Ini tittt...tidak betul," jawab ketiga laki-laki itu
hampir berbarengan menyangkal tuduhan terhadap diri
mereka.
"Lalu, siapa yang telah berbuat menodai Sritarti tadi
siang.”
"Pemuda asing yang tadi kita tangkap itu. Kami bertiga
hanya mau menolongnya, tetapi kami kalah pandai
berkelahi. la menguasi ilmu kanuragan yang susah
ditaklukkan, maka kami kabur mencari bantuan kepada
orang-orang di kampung kita ini,” kata Pramono laki-
laki bertubuh gendut itu.
"Bagaimana, Nak Tarti. Apa kamu tidak salah tuduh."
Perempuan bisu itu menggelengkan kepala, masih
membenarkan pada tuduhannya semula terhadap
ketiga laki-laki itu.
"Baiklah kalau demikian. Perkara ini tidak bisa kita
sidangkan di balai dukuh ini. Kita tidak berhak mengadili
perkara seperti ini. Kita melapor saja ke penguasa
pengadilan di kota Kadipaten Ponorogo besuk pagi.
Kamu Nduk Tarti yang akan mengajukan tuntutan, dan
kalian bertiga Kangmas yang akan dituduh," kata
sesepuh dukuh itu dengan tegarnya.
"Tapi jangan hanya kami bertiga yang dituduh. Masih
ada dua lagi, Pak", tiba-tiba keluar kata-kata dari salah
seorang laki-laki itu yang menimbulkan perhatian orang
tua bijak yang dikenal sebagai sesepuh dukuh itu.
"Hah, apa katamu tadi, Kangmas. Masih ada dua lagi.
"Apa yang telah dua orang lagi itu lakukan, kangmas"
pancing sesepuh dukuh itu.
"Ia juga ikut bersalah. jangan salahkan kami bertiga saja,
Pak Sesepuh."
"Nah, ini baru menarik. Kamu tadi baru mengatakan
mereka berdua juga ikut memperkosa Tarti."
"Iyah...ohh. Bukan begitu maksud saya. Tidak. Bukan
begitu," jawab Karmono gugup tergagap-gagap,
sehingga mengundang kecurigaan orang tua bijak itu.
"Lalu siapa yang memperkosa duluan."
“Mas Dalijo."
"Yahh. Mas Dalijo yang memperkosa duluan," kata Pramono.
"Be...benar. Oh tidak, tidak ada yang memperkosa," kata
Karmono tergagap-gagap seperti baru disadarkan mem-
berikan jawaban yang keliru.
"Yang benar mana. Kamu atau dia yang memperkosa."
"Dia, Pak Sesepuh," kata Tarjito menunjuk ke arah muka
Karmono.
"Nah. Itu baru jawaban yang tegas. Baik kawan-kawan
se Dukuh Patuk, sudah ada pengakuan dari Dimas Tarjito
yang menyaksikan bahwa Dimas Karmono dan Dimas
Dalijo yang telah melakukan pemerkosaan terhadap Sritarti.
Jadi tugas kita sekalian membawa Dimas Dalijo kemari.
Mana Dimas Dalijo,” tanya sesepuh dukuh itu.
"Tadi saya lihat dia ada di gardu jaga depan, Pak Sesepuh."
"Kasih tahu dia agar kemari. Akan tetapi jangan diberi-
tahu pembicaraan kita di sini ini tadi, agar dia tidak
kabur," kata orang tua bijak itu kembali.
Beberapa pemuda ramai-ramai berhamburan keluar
mencari Dalijo. Tidak berapa lama orang yang namanya
Dalijo itu telah dibawa masuk balai pedukuhan Patuk
oleh para pemuda itu.
"Ini, Eyang. Pak Dalijo," kata salah seorang pemuda
tegap yang mengantarkan PaK Dalijo ke depan sesepuh
dukuh itu.
"Dimas Dalijo, menurut kesaksian Dimas Tarjito dan
Dimas Pramono, tadi siang yang telah berbuat tidak
sesonoh terhadap Anakmas Sritarti, sampeyan. Apa
benar."
"Tit..tit...tidak benar itu, Pak Sesepuh."
"Lalu siapa yang berbuat."
"Titt...tidak tahu".
"Lho tadi siang yang melaporkan kepada penduduk
sehingga kita ramai-ramai mengeroyok pemuda asing
tadi siapa."
"Bukan saya, entah. Saya hanya ikut-ikutan menangkap
pemuda asing itu."
"Bagaiman Dimas Tarjito. Apa benar demikian."
Tarjito yang ditanya laki-laki tua itu hanya menundukan
kepala. Tidak tahu harus bilang apa.
"Baik kalau demikian. Sebelum kita ramai-ramai
mengeroyok pemuda asing tadi. Sebelum ada laporan
mengenai diri Sritati diperkosa, Dimas Dalijo dimana."
"Diiiiii.sawah."
"Sawah mana."
"Sawah....sawah..."
"Hayo sawah dimana."
"Diii..."
"Berarti Dimas Dalijo bersama Dimas Tarjito.*
"Iyah...eehh. Bukan...buk...bakan. Maksud saya..."
"Lalu dimana."
"Diiiii, mana ya."
"Lho, kenapa jadi kebingungan."
"Di sawah, Pak Sesepuh."
"Iyah di sawah bersama Dimas Tarjito, apa bersama yang
lain."
"Bersama Kangmas Pramono dan Kangmas Karmono."
"Apa benar Dimas Pramono dan Dimas Karmono, memang
demikian," tanya sesepuh dukuh itu kembali.
"Beb...benar, Pak Sesepuh."
"Lalu kalian di sawah mana.”
"Diiii...sawah Traju." jawab Karmono ragu-ragu.
"Diii..Pradangan, oh bukan," jawab Pramono hampir
berbarengan dengan jawaban Karmono.
"Lho, yang benar yang mana kok jawab kalian berbeda-
beda, katanya kalian bertiga tadi bersama."
Keempat laki-laki itu semuanya terdiam. Nampak diwajahnya
kebingungan harus menjawab apa, kalau menjawab
serba salah.
"Siapa di antara kalian yang pertama kali punya gagasan
untuk memperdaya Anakmas Sritarti," tanya kembali
orang tua bijak itu.
"Kangmas Dalijo," ketiga laki-laki itu tanpa sadar lang-
sung mengucapkan hampir berbarengan.
"Nah sekarang ketahuan, kalian telah melakukan
perbuatan aniaya, dan Dimas Dalijo yang pertama kali
punya gagasan ini. Benar demikian, Dimas Dalijo."
"Ampun Pak Sesepuh, bukan saya sendirian. Tetapi rembugan
secara beramai-ramai. Dan yang melakukan juga bukan
saya sendiri. Mereka bertiga juga melakukan."
"Nah. Cukup jelas. Sekarang kalian berempat telah mengaku
semua."
"Bukk...bukan berempat, Pah Sesepuh. Berlima," kata
Dalijo kemudian.
"Berlima ?. Siapa lagi yang satunya."
"Satunya lagi, Tarkun," jawab Dalijo tegas.
"Iya, Tarkun yang tadi diikat pemuda asing yang ditelan-
jangi itu."
"Benar, Pak Sesepuh."
"Tolong bawa kemari Tarkun, sobat-sobat," kata sesepuh
dukuh itu setengah meminta kepada para pemuda itu
untuk menghadirkan Tarkun ke balai dukuh ini.
Tanpa banyak kata para pemuda yang sedari tadi pada
tekun mendengarkan pembicaraan itu kemudian pada
pergi berhamburan mencari Tarkun. Tidak berapa lama,
Tarkun telah dibawa ramai- ramai oleh para pemuda itu.
"Dimas Tarkun, menurut kesaksian keempat teman-
temanmu ini, kau tadi siang juga ikut memperkosa Sritarti."
"Saya belum sempat memasukkan, Pak sesepuh. Baru
jongkok, tiba-tiba punggung saya digebuk oleh pemuda
asing itu. Jadi saya langsung terkapar belum sempat
menikmati... anu maksud saya belum jadi...," kata-kata
Tarkun yang polos sambil diucapkan gemetaran itu
mengundang tawa para warga yang menyaksikan
persidangan darurat di balai Dukuh Patuk ini.
"Jadi kamu belum sempat berbuat. Tetapi mernang ada
niat untuk berbuat itu."
"Hanya mengikuti teman-teman saja kok, Pak Sesepuh."
"Baik kalau demikian, para warga yang terhormat.
Sudah jelas bahwa kelima laki-laki warga dukuh kita iri
telah mencemarinama baik kita bersama dan telah mem-
buat penderitaan anakmas Sritarti. Lalu bagaimana
baiknya.”
"Kita laporkan saja ke pengadilan Kadipaten di kota
Ponorogo, Pak Sesepuh," kata salah seorang laki-laki
tegap berewokan yang berdiri paling depan itu.
"Lebih baik diambil jalan damai, dan diminta bersumpah
untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi. Kalau masih
berbuat lagi nanti, disunati saja itu yang membikin
celakanya sampai habis," kata laki-laki yang lain.
Terdengar tawa para warga mendengarkan usulan salah
seorang salah satu warga ini yang memang terkenal
kocak kalau bicara.
"Apa sebaiknya kita sunat saja sekarang...," kata salah
seorang laki-laki yang lain sambil ketawa cengengesan.
la rupanya sudah tahu lama kalau gerombolan kelima
laki-laki itu suka jajan perempuan nakal di warung
remang-remang. Kehidupan keluarganya berantakan
semua, jadi mereka praktis berpredikat sebagai para
duda yang ditinggal minggat isteri mereka masing-masing.
Maka kemudian mereka kompak, punya kebiasaan buruk
itu yang dipupuk bersama, Suka mencari kesenangan
yang bukan-bukan. Namun selama ini karena itu dianggap
sebagai urusan pribadi, maka tidak ada penduduk yang
menggubris perilaku menyimpang mereka demi menjaga
kerukunan kehidupan Dukuh Patuk ini.
"Huss. Memang kamu yang mau disunat dua kali," kata
yang lain, sehingga mengundang ketawa riuh orang-
orang yang ikut hadir di balai dukuh ini, sebab cara
bicaranya orang itu yang suka melucu mengundang
tawa orang lain.
"Bagaimana masih ada yang punya usul lain," kata orang
tua bijak itu lagi sebagai sesepuh dukuh.
"Kalau mereka ini tidak dihukum, takut nanti yang lain
akan berbuat hal yang serupa dan dapat membuat tidak
tenteram para perempuan di dukuh kita ini. Jadi, saya
usul agar perkara ini diserahkan saja kepada yang berhak
mengadili perkara ini di pengadilan Kadipaten
Ponorogo," usul salah seorang yang berumur kira-kira
sudah setengah baya.
"Baik kalau demikian. Kita ambil mufakat saja, bagai-
mana kalau perkara ini kita serahkan saja kepada
pengadilan Kadipaten Ponorogo. Besuk pagi kita sama-
sama mengantar ke kota Kadipaten. Yang mau ikut
harap didaftar. Setuju."
"Setujuuuuauu,” jawab warga itu serentak.
Malam itu Dukuh Patuk yang semula tenang tenteram,
menjadi ramai oleh perbincangan para warga yang
membicarakan kejadian yang hampir membawa celaka
semua Warga kemarin siang karena harus berperang
laki-laki yang telah mendzalimi perempuan bisu Sritarti
itu, malam itu menggantikan menempati kerangkeng
yang tadi dipersiapkan oleh penduduk untuk
Joko Manggolo. Mereka berlima berdesak-desakan di
kurungan sempit. Mereka nampak menyesali diri. Teru-
tama nampak sangat malu terhadap warga Dukuh Patuk
ini yang kalau sudah keluar sikap tegasnya, tidak pandang
bulu walaupun itu bekas teman sendiri kalau berbuat
salah harus tetap disalahkan dan diganjar hukuman.
Oleh karena itu, pagi-pagi buta para warga sudah ber-
siap beramai-ramai mengantarkan warganya yang salah
itu untuk dibawa ke kota Kadipaten Ponorogo agar dapat
diadili di sana.
5
TERROYAK BINASA
HUJAN lebat itu sedari tadi tidak ada henti-hentinya.
Han bertiup kencang menggoyangkan pohon-pohon
rindang yang menjulang tinggi di atas langit itu,
beberapa telah roboh terhenyak oleh kerasnya kekuatan
arus angin yang mengganas dahsyat.
Joko Manggolo, sedari tadi berusaha berteduh di bawah
gubug reyot yang biasa digunakan oleh pemilik sawah
untuk menghalau burung-burung yang akan memangsa
padi-padi yang menguning itu, letaknya berada di tengah
sawah penduduk perkampungan itu. Nampak sudah
tidak ada lagi tempat berlindung di tempat lain untuk
menghindari dari amukan hujan yang terus mengguyur
sejak tadi, membuat hampir basah kuyup seluruh tubuh
Joko Manggolo. Sekali-kali terdengar suara bledek dan
kilatan cahaya yang memecah awan di angkasa.
Ketika melarikan diri dari Dukuh Patuk itu, Joko Manggolo
terus berlari di malam hari menjauh dari kejaran orang-
orang kampung yang salah paham terhadapnya itu. Ia
terus menuju ke selatan. Sampai paginya ia telah menemui
suatu padang bulakan yang gersang. Siangnya ia terus
berjalan, tetapi sudah hampir sore tidak ditemui satu
kampung pun didaerah selatan. Akhirnya Joko Manggolo
memutuskan untuk mencari tempat tidur di daerah ini.
Kemudian Joko Manggolo mencari batu besar di situ
yang akan dijadikan sebagai tempat merebahkan badannya
semalaman. Terdapat kucur air yang terus mengalir mengu-
cur, di dekat batu tempat ia tidur. Mencari tempat yang
dekat dengan air ini, pertimbangannya agar in dapat
minum sewaktu-waktu kehausan, atau dapat mandi
sepuasnya di situ.
Paginya, Joko Manggolo meneruskan perjalanannya
menuju ke arah selatan. Tiap sore tiba ia selalu mencari
tempat yang aman untuk beristirahat. Begitu seterusnya,
siang dan malam ia terus menelusuri jalan-jalan, keluar
keluar masuk perkampungan, menerjang bulakan, memasuki
hutan, mendaki bukit-bukit, dan menuruni jurang-jurang
terjal. Berbulan-bulan Joko Manggolo terus berjalan,
bahkan sudah berapa tahun ia tidak ingat lagi, setiap kali
ia selalu bertanya kepada tiap orang yang ditemuinya,
apakah mereka mengenal nama orang tuanya. Namun
sampai sejauh ini belum ada petunjuk dimana
keberadaan kedua orang tuanya, khususnya ibunya,
yang bernama Waijah Sarirupi, yang ia telah kenal se-
waktu ia masih bocah ketika tiba-tiba ibunya itu
meninggalkan dirinya yang kemudian ia hanya dititipkan
begitu saja kepada gurunya Warok Wirodigdo di kampung
Bubadan.
Suatu hari sehabis joko Manggolo membersihkan
mukanya dari tidurnya semalam di dekat sungai kecil
yang mengalir tenang itu, kemudian Joko Manggolo
kembali meneruskan perjalanannya menyelusuri
padang ilalang yang nampak belum banyak orang yang
menjamahnya. Setelah Joko Manggoló menyeberangi
tanah kosong, bulakan panjang yang bergelombang penuh
tanah-tanah gundukan, Joko Manggolo melihat ada
tanda pintu gerbang yang menunjukkan ke arah suatu
perkampungan. Ia telah sampai di suatu dusundi kaki
pegunungan yang berbukit-bukit. Pohon-pohon besar
jarang dijumpai hanya beberapa pohon asem yang tumbuh
menjulang ke atas.
Gardu jaga dusun itu nampak kosong ditinggalkan
orang, barangkali hanya pada malam hari saja di gardu
itu penuh orang yang sedang mengadakan ronda
malam. Suasana perkampungan itu mulai terasa ramai.
Rumah-rumah bambu dengan halaman yang rata-rata
agak luas, banyak ayam-ayam kampung berkeliaran
sana kemari.
Di belokan perempatan jalan kampung itu, Joko Manggolo
berpapasan dengan serombongan ibu-ibu. Ia berhenti
dengan sopan bertanya kepada rombongan ibu-ibu itu.
"Maaf, Bu. Kalau boleh tahu. Apa nama kampung ini,
Bu."
"Anakmas mau kemana atau mau menemui siapa, tanya
salah seorang ibu yang kelihatan paling tua di antara
mereka, sudah berumur lanjut.
"Saya sedang menelusuri kampung-kampung ingin
mencari orang tua saya. Namanya Bu Waijah Sarirupi."
"Ohhh. Di sini sepertinya tidak ada nama itu. Tetapi coba
boleh tanya kepada Kepala Dukuh barangkali mengetahui.
Anakmas terus saja jalan ke sana. Setelah ada pertigaan,
belok ke kiri. Di rumah yang di halaman rumahnya ada
tiga buah pohon cengkir gading. Di situ rumah Kepala
Dukuh. Namanya Pak Sumo Pradigdo."
"Terima kasih, Bu."
"Ya. Cobalah ke sana."
Baru beberapa langkah Joko Manggolo berjalan setelah
berpapasan dengan rombongan ibu-ibu itu, tiba-tiba ada
bayangan-bayangan turun dari pohon-pohon jambu itu
ternyata ada tiga orang pemuda yang nampak gagah-gagah
loncat tepat beberapa meter di depan Joko Manggoio.
"Berhentiiii," teriak salah seorang pemuda itu nampak di
pinggangnya terselip sebilah motek. Joko Manggolo pun
berhenti-dengan sikap waspada.
"Kamu orang asing, siang-siang begini beraninya
memasuki dusun kami. Ada perlu apa kamu, yahh."
"Kami sengaja menelusuri kampung-kampung sedang
mencari kedua orang tua saya."
"Ha...ha.-sudah segede begini masih embok-emboken
minta diteteki embokmu, yah." Para pemuda itu meledek
dengan mentertawi Joko Manggolo.
Joko Manggolo terdiam saja.
“Boleh saya menemui Pak Sumo Pradigdo."
"Lho. Sampeyan masih keluarga Pak Sumo?," tanya
salah seorang pemuda itu kaget, penuh tanda tanya.
"Ya," jawab Joko Manggolo
"Kalau demikian, aku minta maaf atas ketidak sopanan
kami. Mari ikut karni, kami akan antar kerumah beliau."
"Terima kasih. Sebaiknya kami akan mencari sendiri
saja, Kangmas," kata Joko Manggolo.
"Tidak usah basa-basi. Kami akan antar sampeyan ketemu
rumahnya, supaya sampeyan tidak kesasar".
Joko Manggolo akhirnya bersedia diantar rombongan
para pemuda itu agar tidak dicurigai oleh mereka.
Sesampai di rumah Pak Sumo Pradigdo.
"Pak Lurah, ini ada tamunya dari jauh. Keluarga Pak
Lurah." Tidak berapa lama muncul seorang tua yang
sedang mengancingkan kain bajunya.
"Ada apa Sarko," tanya Pak Lurah itu.
"Ini ada tamu, katanya masih keluarga Bapak." Kata
orang yang dipanggil Sarko itu sambil tangannya
menyalami tangan Pak Lurah. Joko Manggolo dipan-
dangi Pak Lurah agak lama. Mulai dari atas sampai
bawah. Nampak, wajah Joko Manggolo berubah menjadi
pucat pasi.
"Siapa pemuda ini," tanya Pak Lurah kemudian.
"Ia mengaku katanya masih keluarga Bapak."
"Mengaku keluargaku ?. Aku tidak kenal. Siapa, Anakmas
sebenarnya," tanya Pak Lurah dengan penuh selidik.
"Nama hamba Joko Manggolo, Pak Lurah. Asal hamba
dari Dukuh Randil. Hamba kemari sedang mencari
keluarga hamba, namanya ibu Waijah Sarirupi."
"Aku tidak kenal nama itu. Siapa itu, Waijah Sarirupi.
Wargaku di sini tidak ada yang bernama itu."
"Hehh. Orang asing." Bentak salah seorang pemuda
yang nampak paling geram melihat joko Manggolo.
"Kamu tadi mengaku katanya sudah kenal Pak Sumo
Pradigdo dan mengaku masih keluarga. Ngomong yang
benar. Kamu mau apa. Tujuan kamu datang ke kampung
kami ini, mau apa. Hayo, Jawab !", bentak salah seorang
pemuda yang nampak paling geram ' di antara kedua
pemuda yang lain.
"Maaf, Kangmas. Tujuanku. Seperti sudah aku sampaikan
kepada Pak Lurah tadi. Aku sedang mencari keluargaku.
Ibu Waijah Sarirupi. Tadi ketika aku masuk melalui
gardu Dukuh depan sana, diberitahu ibu-ibu agar aku
menemui Pak Sumo Pradigdo. Katanya, mungkin beliau
mengetahui keberadaan ibuku kalau memang
kemungkinan sekarang menjadi warga di sini. Aku
tidak tahu sebelumnya kalau Pak Sumo Pradigdo ini
adalah Pak Lurah di sini. Karena aku anak yatim, ditinggal
mati bapakku ketika masih kecil, jadi aku menduga
sendiri," jelas Joko Manggolo dengan sikap santun.
"Begini, anak muda. Silakan masuk saja ke dalam mari
silakan duduk." kata Pak Lurah yang rupanya mulai
menaruh simpatik dari ceritera asal-usul Joko Manggolo
yang anak yatim itu. Melihat dari cara menuturan, dan
mimik mukanya, Pak Lurah mempunyai kesan terhadap
Joko Manggolo ini anak yang jujur. Akan tetapi sebelum,
Joko Manggolo melangkah masuk rumah mengikuti Rak
mencegat di hadapan Joko Manggolo. Mereka meng-
hadang sepertinya mau mengajak berkelahi
"Maaf Pak Lurah. Kami curiga terhadap orang asing ini.
Beri kesempatan kami bertiga menghajar terlebih dulu
orang asing ini...” Tanpa menunggu jawaban Pak Lurah,
rupanya ketiga pemuda itu tampa tedeng aling-aling dan
basa-basi lagi langsung menyerang Joko Manggolo.
Terjadilah pergumulan keras di halaman rumah Pak
Lurah itu. Joko Manggolo yang sudah tahu banyak
makan garamnya beradu ilmu kanuragan dengan enteng
ia memasang jurus-jurus hindaran ke samping kanan
kiri, ia hanya meliuk-liukkan tubuhnya menghindari
serangan berbarengan ketiga pemuda yang nampak
bernafsu ingin menguasai permainan ini.
Mendengar kegaduhan perkelahian di halaman rumah
Pak Lurah ini, peduduk kampung pun kemudian banyak
yang berdatangan, berkerumun di halaman depan rumah
Pak Lurah itu ingin mengetahui apa yang sedang terjadi.
Namun begitu dilihatnya, di sana berdiri Pak Lurah
dengan muka cerah yang bersikap tenang memperhatikan
jalannya perkelahian itu, tanpa berusaha melerainya,
maka orang-orang kampung pun menduga nampaknya
tdak ada hal yang membahayakan terjadi di kelurahan.
Secara cepat berita perkelahian di rumah Pak Lurah itu
tersebar. Penduduk kampung pun banyak yang berlari-
lari ingin mencari berita, apa yang sebenarnya sedang
terjadi di halaman rumah Pak Lurah itu. Banyak laki-laki
yang sudah mempersiapkan diri dengan senajat-senjata
tajam mereka. Akan tetapi, begitu sampai di rumah Pak
Lurah, dan melihat orang yang dituakan di kampung itu
tidak memberi perintah apa-apa, orang-orang itu lalu
bersikap pasif malahan beramai-ramai menjadi penonton
perkelahian itu sambil bersurak-surai.
Joko Mangpolo sebenarnya merasa dengan mudah dapat
menguasai permainan ketiga pemuda yang sok pamer
kekuatan itu. Namun rupanya Joko Manggolo tidak
segera menyelesaikan perkelahian itu dan menghabisi
mereka. Ia sengaja memperpanjang tempo perkelahian
dengan harapan ada orang yang memisahnya, tanpa
mempunyai kesan ia yang memenangkan pertarungan
ini agar tidak menimbulkan sakit hati, atau balas dendam
di kemudian hari para pemuda kampung ini kepadanya.
Rupanya, ketiga pemuda itu juga mulai menyadari
ketangguhan ilmu kanuragan yang dimiliki Joko Manggolo
itu. Sebelum mereka kehabisan jurus-jurusnya dan
terkuras tenaganya, kemudian malu kalah bertarung di-
tonton banyak orang, apalagi banyak perempuan-
perempuan muda, para perawan di kampung ini yang
bertepuk-tepuk tangan ikut menonton adegan perkelahian
antar pemuda itu. Tidak ada jalan lain kecuali berusaha
berdamai dengan Joko Manggolo.
"Hae, orang asing. Kalau engkau telah mengaku kalah.
Aku tidak teruskan seranganku berikutnya ini," teriak
salah seorang pemuda yang nampak sudah kelelahan itu
sambil matanya berkedip-kedip memberikan bahasa
Isyarat kepada Joko Manggolo, walaupun ia terus menyerang
Joko Mangggolo. Rupanya Joko Manggolo pun maklum
akan maksud mereka itu, maka bukannya Joko Manggolo
terus mengaku kalah, malahan ia memasang tubuhnya
untuk mendapatkan tendangan para pemuda itu.
"Blukkkk", perut Joko Manggolo terkena tendangan yang
sebenarnya tidak terlalu keras, namun Joko Manggolo
berpura-pura terjungkal ke belakang beberapa kali, dan
terkapar di atas tanah. Tidak bergerak. Ia pura-pura
pingsan.
“Ha...ha.. ha... mati kamu orang asing," terdengar teriakan-
teriakan ketiga pemuda itu.
"Iimumu belum seberapa untuk menandingiku," kata
salah seorang pemuda itu dengan sikap membanggakan
diri di hadapan tubuh Joko Manggolo yang tergeletak
begitu saja.
Pak Lurah yang prayitno, melihat ada sesuatu yang tidak
benar diperlakukan para pemuda di kampungnya itu
terhadap pemuda pendatang itu. Makin yakin bahwa
Joko Manggolo ini, orang yang berkemampuan ilmu
kanuragan tinggi, tetapi tidak sombong, bahkan terkesan
sebagai pemuda jujur, dan nampak mau memberikan
pengorbanan.
"Bapak-bapak dan ibu-ibu, pertarungan telahjusai. Kami
mohon semua kembali ke rumah masing-masing dengan
tenang. Kami akan urus pemuda pendatang ini untuk
menjelaskan duduk persoalannya, besuk kami akan beri-
tahukan. Dan kalian bertiga sebagai pemuda kampung
kita yang tangguh-tangguh, aku mengucapkan terima
kasih atas kemampuan kalian membela kepentingan
keamanan Dukuh kita ini. Tolong bapak-bapak yang
lain, bawa masuk tubuh orang asing itu ke dalam," kata
Pak Lurah.
Tanpa banyak bicara ketiga pemuda itu tadi juga ikut
membopong tubuh Joko Manggolo ke dalam rumah Pak
Lurah.
Beberapa saat kemudian. Joko Manggolo setelah dirawat
orang-orang kampung di kamar Pak Lurah bagian tengah,
ia bangkit kembali dan duduk bersila di bawah dengan
sopan dihadapan Pak Lurah yang dengan tenang juga
duduk bersila di situ di kelilingi orang-orang kampung
lainnya, termasuk ketiga pemuda itu tadi.
"Bapak-bapak dan ibu-ibu. Aku ingin mananyai pemuda
asing ini seorang diri. Mohon berkenan, bapak-bapak
dan ibu-ibu meninggalkan ruangan ini untuk beberapa
saat saja. Terima kasih," begitu Pak Lurah selesai me
gucapkan kata-katanya itu, orang yang berkerumun di
ruangan itu bubar. Satu per satu meninggalkan ruangan
ini. Kini tinggal berdua, Pak Lurah dan Joko Manggolo.
"Anakmas Manggolo."
"Sendiko, Pak Lurah.”
"Aku telah melihat kehandalan ilmu kanuraganmu dan
ketinggian budimu. Kalau engkau jahat, ketika ber-
tarung melawan ketiga pemuda itu tadi, tidak perlu
waktu lama engkau sudah bisa membikin mereka tidak
berkutik. Akan tetapi ternyata itu tidak engkau lakukan.
Malahan engkau persiapkan diri kamu untuk mengalah
dan berkorban membuat tontonan agar ketiga pemuda
tadi dihadapan para penduduk kampung sini sebagai
pemuda gagah perkasa. Nah, selain itu, ucapanmu sepertinya
cukupjujur. Aku percaya kepadamu, Anakmas Manggolo,
Walaupun aku baru mengenalmu, aku telah mempunyai
kesan engkau anak muda yang memiliki masa depan.
Tinggallah di dukuh ini sampai seberapa lama, terserah
kepada anakmas Manggolo suka," tawaran yang simpatik
disampaikan Pak Lurah kepada Joko Manggolo.
"Maturnuwun. Terima kasih, Pak Lurah. Hamba sebenarnya
harus meneruskan perjalanan hamba ini. Kalau pun
harus tinggal di sini, mungkin juga tidak terlalu lama."
"Walaupun hanya sepekan, atau sewindu, atau cuma
semalam, kami sudah sangat gembira. Tapi, ada yang
lebih penting bagiku, Anakmas Manggolo, tolong ajari
aku ilmu kanuragan itu, khususnya untuk tenaga dalamnya.
Aku sangat tertarik dengan penguasaan ilmu kanuragan
Anakmas Manggolo tadi. Aku akan tulis semua pela-
jaran yang anakmas Manggolo ajarkan, maksudku kalau
anakmas Manggolo sudah tidak di sini lagi, aku bisa
belajar terus sendirian dengan menggunakan catatan-
catatan pelajaran yang anakamas tuntunkan."
Joko Manggolo terdiam beberapa saat. Kepalanya
menunduk dalam. Mungkin ia sedang menimbang-nimbang
penawaran Pak Lurah yang simpatik ini.
"Bagaimana, Anakmas Manggolo.”
"Maaf, Pak Lurah. Mempelajari ilmu kanuragan itu
memerlukan waktu yang tidak sedikit. Perlu waktu banyak.
Perlu kesabaran. Ketekunan. Ketahanan mental. Tahan
uji. Dan itu suatu perjalanan waktu yang panjang. Seperti
keadaan hamba sekarang ini, sebenarnya belum
memiliki apa-apa. Baru dasar-dasarnya. Hamba masih
terus mengembangkan diri, merasa belum sempurna dan
ingin terus menimba ilmu."
"Aku mengerti anakmas. Itu tidak mengapa. Ajari aku
sebisaku dan sebisanya Anakmas mengajariku. Asal saja
aku kemudian mempunyai pegangan ilmu kanuragan
ini, Aku akan sangat berterima kasih kepada anakmas."
"Kalau memang demikian, hamba sanggup, Pak Lurah."
Tanpa sadar Pak Lurah tiba-tiba meloncat kegirangan
memeluk rapat tubuh Joko Manggolo seperti tidak ingin
dilepas kepergiannnya.
Sejak saat itu, Joko Manggolo tinggal di rumah Pak
Lurah. Pagi, sore, dan malam hari, diam-diam Pak Lurah
terus diajari latihan ilmu kanuragan oleh Joko Manggolo.
Pada suatu malam ketika Joko Manggolo sedang duduk-
duduk santai bersama Pak Lurah yang habis latiha nilmu
kanuragan, mereka nampak sedang menikmati wedang
jahe dan gorengan ketela pohong yang disediakan oleh
Bu Lurah. Mereka nampak ngobrol gayeng.
"Pak Lurah, kalau bapak bersedia, saya sebenarnya
mempunyai setumpuk buku-buku peninggalan guru
saya Warok Wirodigdo. Demi keamanan di perjalanan
saya, takut dirampas orang atau hilang dijalan, dan juga
untuk meningkatkan keilmuan Pak Lurah, buku itu saya
titipkan kepada Pak Lurah saja. Bagaimana?."
"Ohhh, dengan senang hati Anakmas Manggolo. Aku
bersedia menjaganya, merawatnya, dan sekaligus
berusaha mempelajarinya tuntunan dalam buku itu,
Anakmas Manggolo."
"Kalau demikian, buku ini saya serahkan Pak Lurah.
Suatu saat kelak, saya akan datang lagi kemari untuk
mengambil buku ini. Bukan karena apa, sebab buku ini
merupakan buku kenangan peninggalan guru Warok
Wirodigdo yang sangat berharga bagi hidup saya. Atas
bantuan buku ini, saya telah menguasai ilmu yang ditun-
tunkan dalam buku ini sejak hampir sepuluh tahun
pengembaraan ini.
"Ohhh, begitu..." kata Pak Lurah sambil mengangguk-
anggukan kepalanya.
"Mudah-mudahan demikian juga terhadap diri Pak Lurah,
dengan berpegang peda buku ini Pak Lurah akan dengan
cepat menguasai semua pelajaran yang tertuang dalam
isi buku ini begitu kelak kita bertemu lagi."
"Ya, tidak apa, Anakmas. Aku akan serahkan kembali
kapan saja Anakmas menganggap perlu, buku ini harus
diambil kembali oleh Anakmas," kata Pak Lurah dengan
muka jernih berseri-seri sebagai tanda kegirangan
menerima penawaran yang sangat menarik dari pemuda
Joko Mangpolo ini.
Setelah tinggal sekitar sebulan di kampung Dukuh ini,
Joko Manggolo mengajari ilmu kanuragan kepada Pak
Lurah secara diam-diam, rupanya Pak Lurah merasa
malu juga kalau sampai ia ketahuan orang-orang kampung
ia sedang mempelajari ilmu kanuragan dari orang pendatang
seperti Joko Manggolo ini.
Namun kemudian tiba saatnya Joko Manggolo harus
berpamitan untuk meneruskan perjalanannya. Keluarga
Pak Lurah merasa kehilangan atas kepergian Joko Manggolo
yang selama ini sudah dianggap seperti anggota keluarganya
sendiri. Joko Manggolo pergi menuju ke arah selatan
berangkat pada pagi-pagi buta. Bu Lurah menyediakan
bekal yang lumayan banyaknya harus dibawa Joko
Manggolo dalam kampluk besar. Pak Lurah dan Bu Lurah
dengan iba nampak mengantarkan kepergian Joko
Manggolo di depan rumah kelurahan itu.
"Hati-hati Anakmas di perjalanan," pesan Pak Lurah.
"Ya, Pak Lurah. Mohon diri sampai bertemu kembali."
"Ya, aku doakan selamat di perjalanan."
Nampak Joko Manggolo menyalami Pak Lurah dan Bu
Lurah itu dengan takjim.
TAMAT
Ikuti Warok Ponorogo 8(Dendam Tari Gamyong)
Emoticon