SATU
“Hiyaaa…!”
"Yeaaah...!"
Glarrr...!
Malam yang seharusnya sunyi, mendadak saja dipecahkan oleh
teriakan-teriakan keras yang disusul ledakan dahsyat menggelegar. Akibatnya,
seluruh daerah disekitar kaki Gunung Puting jadi
bergetar seperti ada gempa. Tampak letupan api membubung tinggi ke angkasa
dari balik lereng sebelah barat. Kepulan asap hitam mengepul bercampur debu
dan pecahan bebatuan menyebar ke angkasa.
Di antara kepulan debu yang menyebar tertiup angin, terlihat seorang
laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun tengah berdiri tegak di atas
kedua kakinya yang kokoh. Kedua tangannya yang mengepal, tersilang di depan
dada. Sorot matanya juga terlihat memancar begitu tajam, menatap lurus pada
seorang wanita tua yang berdiri dengan tumpuan sebatang tongkat. Jarak
mereka hanya sekitar dua batang tombak saja.
Satu sama lain saling berdiri tegak berhadapan dengan sorot mata begitu
tajam menusuk. Tapi tidak lama kemudian, terlihat cairan kental berwarna
merah agak kehitaman merembes keluar dari sela-sela bibir keriput wanita tua
yang berjubah putih panjang dan longgar itu. Lalu sebentar saja, tubuhnya
mulai limbung. Dan...
Bruk!
Seperti pohon yang tumbang tertiup angin, tubuh wanita tua itu ambruk ke
tanah. Sama sekali tidak terlihat ada gerakan. Sementara, pemuda yang
mengenakan baju ketat warna merah muda itu tetap berdiri tegak
memandangi.
"Hhh...!"
Sambil menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat, pemuda itu
melangkah perlahan menghampiri tubuh perempuan tua yang membujur kaku tidak
bergerak-gerak lagi. Langkahnya berhenti setelah jaraknya tinggal sekitar
tiga tindak lagi. Dipandanginya tubuh tua yang sudah tidak bergerak-gerak,
tergeletak kaku ditanah berumput cukup tebal ini.
"Aku sudah memperingatkanmu, Nyi Langir. Tapi, kau memaksa. Maafkan
aku...," desah pemuda itu perlahan.
Dia berlutut di samping tubuh perempuan tua yang dipanggil Nyi Langir. Lalu
tangannya bergerak ke wajah yang sudah keriput memucat ini. Tampak darah
masih terlihat mengalir dari sela-sela bibir Nyi Langir. Kelopak mata yang
tadi terbuka, kini tertutup begitu telapak tangan pemuda ini terangkat dari
wajah yang pucat dan keriput itu. Sambil menghela napas panjang, pemuda
berwajah cukup tampan ini bangkit berdiri. Sebentar dipandanginya wanita tua
itu. Kemudian, tubuhnya berbalik dan melangkah pergi.
Begitu perlahan dan ringan ayunan langkah kaki pemuda itu, pertanda
memiliki kepandaian tinggi. Sementara, kegelapan masih terus menyelimuti
lereng Gunung Puting sebelah barat ini. Namun baru saja berjalan sejauh tiga
batang tombak, mendadak saja....
Wusss!
"Heh?! Ups...!"
Pemuda tampan berbaju ketat warna merah muda itu cepat-cepat memiringkan
tubuhnya ke kanan, begitu pendengarannya yang tajam menangkap desir angin
halus dari belakang. Saat itu juga, terlihat sebuah benda yang tampaknya
sebatang anak panah berukuran pendek, melesat cepat bagai kilat di samping
bahu kirinya. Kemudian cepat-cepat kakinya ditarik ke kanan dua langkah, dan
tubuhnya diputar hingga berbalik lagi.
Saat itu juga, terlihat sebuah bayangan putih berkelebat begitu cepat bagai
kilat menerjang ke arah pemuda itu. Maka seketika kedua bola mata-nya jadi
terbeliak lebar. Namun dengan gerakan begitu manis dan cepat, tubuhnya
ditarik ke kiri, hingga tangan kirinya hampir menyentuh tanah. Maka bayangan
putih itu lewat sedikit saja di samping tubuhnya.
"Hap!"
Cepat-cepat pemuda berbaju merah muda itu melompat sambil memutar tubuhnya
berbalik. Saat itu, di depannya sudah berdiri seorang laki-laki berusia
sekitar lima puluh tahun. Bajunya putih bersih dan begitu ketat potongannya,
hingga membentuk tubuhnya yang tegap dan berotot. Di tangan kirinya
tergenggam sebatang pedang yang masih tersimpan dalam warangka.
"Ki Jalaksana...," desis pemuda itu langsung mengenali laki-laki yang
muncul dan langsung menyerangnya tadi.
"Kau tidak bisa seenaknya pergi dari sini, Pranggala. Korbanmu sudah cukup
banyak. Malam ini juga kau harus bayar segala dosa-dosa yang kau perbuat,"
terdengar begitu dingin nada suara laki-laki setengah baya yang dikenali
sebagai Ki Jalaksana itu.
Sorot mata Ki Jalaksana juga terlihat begitu tajam dan memerah, bagai
sepasang bola api yang hendak membakar hangus tubuh pemuda tampan yang
ternyata bernama Pranggala. Sementara pemuda itu hanya diam saja. Dibalasnya
tatapan mata yang tajam itu dengan sinar mata yang tidak kalah tajam. Hingga
beberapa saat, mereka saling bertatapan. Seakan-akan, satu sama lain tengah
mengukur tingkat kepandaian yang dimiliki. Sedikit Pranggala menggeser
gagang pedang yang tergantung di pinggang.
"Kau rupanya sama seperti yang lain, Ki Jalaksana. Entah dosa apa yang
telah kubuat, hingga semua orang tidak ada lagi yang mau percaya padaku,"
ujar Pranggala, terdengar agak perlahan suaranya.
Tapi dari kata-katanya, jelas tersirat satu nada penyesalan. Seakan-akan,
ada sesuatu yang mengganjal dalam hati Pranggala. Sesuatu yang membuatnya
terpaksa harus menghadapi tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi, seperti Nyi
Langir. Dan sekarang, di depannya sudah berdiri menantang seorang laki-laki
yang juga sudah tidak asing lagi dalam rimba persilatan.
Ki Jalaksana memang tokoh persilatan tingkat tinggi yang sudah begitu
ternama. Dan di dalam rimba persilatan, dia dikenal berjuluk Malaikat Putih
Berambut Merah. Memang, warna rambut Ki Jalaksana merah seperti api. Rambut
yang panjang itu tergelung ke atas, dengan sedikit anak rambut dibiarkan
menjuntai dekat telinga.
"Tidak perlu banyak bicara, Pranggala. Sebaiknya menyerah saja, agar aku
tidak perlu susah-susah membawa kepalamu pada Ki Tunggul Santak!" terasa
ketus sekali nada suara Ki Jalaksana.
"Begitu berartikah kepalaku bagi Ki Tunggul Santak…?" suara Pranggala
terdengar menggumam.
"Bukan hadiahnya yang membuat langkahku sampai ke sini, Pranggala. Tapi,
tindakanmu yang membuat hatiku tergerak. Dengar, Pranggala! Meskipun Ki
Tunggul Santak tidak memberi hadiah pun, aku tetap akan mencarimu untuk
menghentikan semua sepak terjangmu yang memuakkan!" tegas Ki Jalaksana
lantang.
"Kalau begitu, maaf. Aku terpaksa tidak sudi melayanimu, Ki Jalaksana.
Hanya mereka yang tergiur janji-janji muluk Ki Tunggul Santak saja yang
pantas menghadapiku. Sedangkan aku tahu siapa dirimu, Ki Jalaksana. Sekali
lagi maaf...."
Setelah berkata demikian, cepat sekali Pranggala memutar tubuhnya. Dan
pemuda itu langsung melesat cepat bagai kilat.
"Jangan harap bisa lari dariku, Pranggala! Hiyaaa...!"
Ki Jalaksana tidak sudi rnembiarkan pemuda itu pergi begitu saja. Dengan
mengerahkan ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat tinggi,
tubuhnya langsung saja melesat mengejar. Dan saat itu juga, tangan kanannya
mengibas cepat ke depan, setelah masuk ke dalam bajunya yang ketat.
Wusss!
Seketika sebuah benda berbentuk seperti anak panah berukuran kecil melesat,
mengejar Pranggala yang berlari dengan kecepatan tinggi. Desir angin senjata
rahasia Ki Jalaksana membuat Pranggala terpaksa harus melenting ke atas dan
berputaran dua kali, untuk menghindari serangan senjata rahasia Ki Jalaksana
dari belakang.
"Hap!"
Manis sekali pemuda itu menjejakkan kakinya di tanah, tepat di saat Ki
Jalaksana melompat dengan kecepatan bagai kilat. Dan laki-laki setengah baya
itu langsung melepaskan satu pukulan keras menggeledek yang disertai
pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Yeaaah...!"
"Huh! Haps...!"
Namun, Pranggala tidak berusaha menghindar sedikit pun juga. Malah kedua
tangannya dihentakkan ke depan, menyambut pukulan yang dilepaskan Ki
Jalaksana. Begitu cepat hentakan tangan yang mereka lakukan, hingga benturan
pun tidak dapat dihindari lagi.
Glarrr!
Satu ledakan keras yang begitu dahsyat menggelegar, seketika terdengar
begitu tangan satu sama lain beradu keras. Tampak Ki Jalaksana yang berada
di udara terpental balik ke belakang, sejauh dua batang tombak. Tubuhnya
berputaran beberapa kali di udara. Sementara, Pranggala terdorong beberapa
langkah ke belakang. Daya dorongnya baru berhenti begitu punggungnya
menghantam sebatang pohon yang cukup besar.
Brak!
Seketika pohon itu tumbang terlanda punggung Pranggala. Sementara itu, Ki
Jalaksana manis sekali menjejakkan kakinya di tanah. Cepat kakinya digeser
ke kanan, langsung menyiapkan jurus serangan lagi. Saat itu, Pranggala sudah
melangkah ke depan beberapa tindak. Sorot matanya terlihat begitu tajam
memerah, bagai pancaran sepasang bola mata api yang hendak menghanguskan
tubuh laki-laki yang bergelar Malaikat Putih Berambut Merah itu.
"Jangan harap dapat lolos dariku, Pranggala!'' desis Ki Jalaksana dingin
menggetarkan
"Tidak ada pertentangan di antara kita, Ki Jalaksana. Dan sebaiknya, jangan
mencari persoalan baru denganku," Pranggala mencoba mengalah.
"Phuih! Kau takut menghadapiku, Pranggala...?" ejek Ki Jalaksana
memanasi.
"Tidak ada yang kutakuti, selama masih berpijak pada kebenaran."
"Kebenaran katamu.,.? Ha ha ha...! Jangan bicara kebenaran di depanku,
Pranggala. Coba saja pikir. Apa semua yang telah kau lakukan benar? Jangan
bermimpi, Pranggala. Tidak ada lagi tempat di seluruh jagat ini untukmu
berpijak. Kepalamu bukan saja berharga seribu kepeng emas. Dan tindakanmu
sudah membuat semua orang menginginkan kematianmu!" lantang sekali suara Ki
Jalaksana.
"Hm...," Pranggala hanya menggumam perlahan.
"Bersiaplah, Pranggala...," desis Ki Jalaksana sambil menggeser kakinya
beberapa langkah ke depan. Dan....
"Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat Ki Jalaksana melesat menerjang pemuda itu dengan satu
pukulan keras, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi. Sementara, Pranggala
tetap berdiri tegak menanti. Dan begitu pukulan tangan kanan Ki Jalaksana
dekat, cepat sekali kedua tangannya dihentakkan secara menyilang di depan
dada.
"Hap!"
Namun dengan kecepatan yang sangat sukar diikuti mata biasa, Ki Jalaksana
cepat menarik pukulannya. Bersamaan dengan itu, tubuhnya meliuk ke kiri.
Lalu, kaki kanannya dihentakkan ke arah lambung.
"Haps!"
Tapi Pranggala rupanya sudah bisa membaca gerak tipu Ki Jalaksana. Maka
dengan gerakan yang manis sekali, tubuhnya mengegos. Dengan demikian
tendangan menyamping yang dilepaskan Malaikat Putih Berambut Merah bisa
dihindari. Cepat Pranggala menarik kakinya ke belakang tiga langkah, begitu
berhasil menghindari serangan Ki Jalaksana.
"Hap! Yeaaah...!"
Tampaknya serangan Ki Jalaksana tidak berhenti sampai di situ saja.
Buktinya cepat sekali tubuhnya sudah melesat menerjang sambil melepaskan
beberapa pukulan beruntun berkecepatan tinggi. Mau tak mau, Pranggala
terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Bahkan beberapa pukulan Ki
Jalaksana hampir saja mendarat di tubuh pemuda ini, namun masih bisa
dihindari dengan lentingan yang manis sekali.
Pertarungan mereka memang berjalan cepat sekali. Pukulan-pukulan yang
dilepaskan Ki Jalaksana selalu mengandung pengerahan tenaga dalam tinggi.
Hingga setiap pukulan yang tidak mengenai sasaran, dapat menghancurkan pohon
hingga berkeping-keping bila terhantam.
"Hhh! Dahsyat sekali pukulannya...," dengus Pranggala perlahan. hingga
suaranya tidak terdengar oleh lawan.
"Hup...!"
Pranggala mencari kesempatan dengan melompat ke belakang beberapa tindak.
Dicarinya jarak untuk menghindari serangan beruntun itu. Pemuda itu
menghembuskan napas berat, begitu berhasil menjaga jarak dengan si Malaikat
Putih Berambut Merah.
"Huh! Kenapa kau menghindar, Pranggala?" dengus Ki Jalaksana dingin.
"Sudah kukatakan, aku tidak ada persoalan denganmu. Jadi sebaiknya jangan
mencari persoalan baru, Ki Jalaksana," sahut Pranggala, terdengar agak
jengkel nada suaranya.
"Kalau kau ingin persoalan, sekarang juga akan kubuatkan!"
"Hhh...!"
Pranggala benar-benar kesal melihat sikap si Malaikat Putih Berambut Merah
ini. Dia benar-benar tidak ingin bertarung melawan laki-laki berusia
setengah baya itu. Tapi, tampaknya Ki Jalaksana memang tidak bisa lagi
diajak damai. Bahkan kini sudah siap mengeluarkan jurus barunya yang pasti
lebih dahsyat lagi. Sementara, Pranggala masih tetap berdiri tegak
memperhatikan.
"Tahan seranganku, Pranggala! Hiyaaat..!"
Sret!
Cring!
Sambil berteriak nyaring, Ki Jalaksana melesat cepat sambil mencabut pedang
di tangan kirinya dengan tangan kanan. Dan secepat kilat pula pedang yang
memancarkan cahaya putih keperakan itu dikebutkan, tepat ke arah kepala
pemuda berbaju merah muda ini.
"Haps...!"
Namun hanya sedikit merundukkan kepala saja, Pranggala berhasil menghindari
sabetan pedang si Malaikat Putih Berambut Merah ini. Saat itu juga, tubuhnya
melesat tinggi-tinggi ke atas. Lalu, manis sekali kedua kakinya hinggap di
atas batang pohon yang cukup tinggi, setelah berputaran beberapa kali.
Begitu cepat lesatan Pranggala, hingga membuat Ki Jalaksana jadi terpana
juga. Sementara, pemuda itu sudah berdiri tegak sambil berkacak pinggang di
atas dahan pohon yang cukup tinggi.
"Maaf! Aku tidak ada urusan denganmu, Ki Jalaksana, " ucap Pranggala
datar.
Dan belum lagi kata katanya menghilang dari pendengaran....
"Hup!"
Bagaikan kilat, pemuda itu melesat meninggalkan Ki Jalaksana yang masih
terpana. Begitu cepat lesatannya, hingga dalam sekejap mata saja sudah
lenyap tertelan gelapnya malam yang berselimut kabut cukup tebal ini.
"Hhh! Tidak kusangka, ilmunya sudah begitu hebat dalam waktu lima tahun
saja...," desah Ki Jalaksana.
Memang tidak ada lagi kesempatan bagi Ki Jalaksana untuk mengejar. Begitu
cepat lesatan Pranggala, hingga tidak ada kesempatan sedikit pun untuk
mengejar. Ki Jalaksana memasukkan lagi pedang di tangan kanannya ke dalam
warangka yang masih tergenggam di tangan kiri. Beberapa saat dia masih
berdiri mematung memandang ke arah kepergian Pranggala.
"Pantas Ki Tunggul Santak rela mengeluarkan beribu kepeng emas untuk
kepalanya...," gumam Ki Jalaksana lagi. "Dengan kepandaian yang begitu
tinggi, dia pasti bisa menyebarkan keangkaramurkaan di seluruh jagat ini.
Hhh...! Sayang jalan yang dipilihnya salah. Aku sendiri.... Hm, rasanya
sulit luga untuk menandinginya."
Ki Jalaksana jadi berbicara sendiri. Suaranya terdengar menggumam perlahan.
Memang baru kali ini Ki Jalaksana bisa bentrok, walaupun sudah mengenal
pemuda itu sejak Pranggala masih bau kencur. Tapi sekarang, Pranggala
bukanlah yang dulu lagi. Kepandaiannya sekarang begitu dahsyat, setelah
menghilang hanya dalam waktu lima tahun saja. Kehebatannya memang patut
diacungi jempol. Hanya saja, Ki Jalaksana menyayangkan jalan sesat yang
ditempuh Pranggala. Padalah kepandaian ynng begitu tinggi, sangat berguna
untuk memerangi kejahatan. Tapi, ternyata justru jalan hitam yang
ditempuhnya. Tak heran kalau Ki Tunggul Santak bersedia mengeluarkan seribu
kepeng emas untuk kepalanya.
"Malam ini, dia sudah berhasil menewaskan Nyi Langir. Entah siapa lagi yang
menjadi giliran nya. Hhh.... Mudah-mudahan aku bisa mencegah nya lebih
cepat, sebelum bertambah korban lagi," gumam Ki Jalaksana lagi.
Beberapa saat laki-laki setengah baya ini masih berdiri diam mematung di
situ. Kemudian kakinya bergerak terayun perlahan meninggalkan lereng Gunung
Puting ini. Meskipun kelihatannya berjalan perlahan, tapi begitu ringan.
Hingga dalam waktu sebentar saja, Ki Jalaksana sudah jauh meninggalkan
tempat pertarungan yang sudah porak poranda bagai baru diamuk puluhan
gajah.
Sementara malam terus merayap semakin larut. Tanpa diketahui, ternyata
Pranggala tidak pergi jauh dari tempat itu. Dia berlindung di balik pohon
yang cukup besar sambil memperhatikan, sampai Ki Jalaksana lenyap dari
pandangan. Pemuda itu baru keluar dari balik pohon, setelah Ki Jalaksana
benar-benar tidak kembali lagi. Sedikit ditariknya napas, dan
menghembuskannya perlahan-lahan.
"Ki Tunggul Santak! Hm...," gumam Pranggala perlahan.
***
DUA
Malam masih terlalu pekat menyelimuti seluruh daerah di sekitar kaki Gunung
Puting. Tak jauh di sebelah barat kaki gunung yang menjulang tinggi dan
selalu terselimut kabut itu, terlihat sebuah desa yang cukup besar dan
padat. Namun desa itu kelihatan sunyi sekali, walaupun di setiap sudut
terpancang obor. Suasana desa itu memang jadi terang-benderang bagai sedang
mengadakan pesta panen, hanya saja tidak terlihat seorang pun di luar rumah.
Dan memang, saat ini sudah lewat dari tengah malam.
Namun di dalam kesunyian itu, terlihat sesosok tubuh tengah berkelebat
begitu cepat. Dia langsung menyelinap dari satu dinding rumah, ke dinding
rumah lainnya. Begitu cepat gerakannya, hingga yang terlihat hanya bayangan
merah muda saja. Dan sosok tubuh berbaju merah muda itu berhenti setelah
tiba di pinggiran tembok baru yang cukup tinggi dan tebal. Sebuah tembok
yang mengelilingi sebuah rumah berukuran besar, seperti sebuah istana kecil
di tengah-tengah desa.
Dari wajahnya yang tampan dan baju merah muda ketat yang dikenakan, sudah
dapat dipastikan kalau orang itu adalah Pranggala. Pemuda itu merapatkan
punggungnya di dinding pagar bagai benteng ini. Kedua bola matanya tidak
berkedip sedikit pun juga, merayapi sekitarnya. Tidak ada seorang pun
terlihat. Begitu sunyi keadaan desa ini. Sampai sampai suara binatang malam
terdengar begitu jelas, mengiringi detak jantung pemuda itu.
"Hm...."
Pranggala menggumam perlahan, saat matanya melihat seorang laki-laki
berusia setengah baya sedang keluar dari pintu gerbang rumah berukuran
besar, berpagar tembok tinggi dan tebal. Dan kelopak matanya jadi agak
menyipit, ketika laki-laki yang usianya sekitar einpat puluh tahun itu
melangkah menuju ke arahnya.
Meskipun kehadirannya kelihatan tidak diketahui, tapi Pranggala sudah siap
dengan tangan terkepal. Kakinya digeser perlahan-lahan mendekati sebatang
pohon yang tumbuh tidak jauh dari dinding pagar tembok ini. Tapi belum juga
sampai, tiba-tiba saja...
"Hei...! Siapa itu...?!"
"Oh...?!"
Pranggala jadi terperanjat juga, begitu tiba-tiba terdengar bentakan yang
sangat keras. Tampak laki-laki berbaju kulit binatang itu melangkah cepat
menuju ke arah Pranggala. Sedangkan pemuda itu sendiri berdiri tegak
menanti. Kini laki-laki berbaju dari kulit binatang itu berhenti melangkah
setelah jaraknya tinggal sekitar lima tindak lagi didepan Pranggala.
"Siapa kau...?" tanya laki-laki itu dengan suara ketus.
Tapi Pranggala hanya diam saja. Dan matanya malah menatap dengan sorot
begitu tajam.
"Keparat! Ditanya malah melotot! Mau menantang, ya...?!" bentak orang itu
sambil mendelik.
Namun Pranggala tetap saja diam.
"Huh! Benar benar mau mampus kau!"
Sret!
Tring!
Laki-laki berbaju kulit binatang itu langsung saja mencabut dua golok
kembar yang tadi tersembunyi di belakang tubuhnya. Cepat kedua goloknya
digerakkan, lalu disilangkan di depan dada. Sementara Pranggala masih tetap
diam, tidak bergeming sedikit pun juga. Dan diperhatikannya setiap gerak
yang dilakukan orang itu.
"Hup! Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, orang berpakaian kulit binatang itu
melesat cepat sambil mengibaskan satu goloknya yang ada di tangan kiri, ke
kepala Pranggala.
Wut!
"Haiiit…!"
Namun dengan gerakan manis sekali, Pranggala berhasil menghindari sabetan
golok berukuran cukup besar itu. Dan belum juga kepalanya bisa ditegakkan
lagi, satu golok lawan yang berada di tangan kanan sudah kembali mengibas
cepat. Gerakannya, benar-benar sulit diikuti pandangan mata biasa.
"Hap!"
Pranggala sama sekali tidak bergeming. Dinantinya serangan itu. Dan begitu
Ujung mata golok berada tepat di depan dada, cepat sekali tangan kirinya
dikibaskan. Dan....
Trak!
"Ikh...!"
Orang berbaju kulit binatang itu jadi tersentak kaget, begitu tiba-tiba
ujung jari Pranggala menyentil mata goloknya. Akibatnya, hampir saja golok
itu terpental dari genggaman. Untung saja dia cepat-cepat melompat ke
belakang tadi. Tapi begitu menjejakkan kaki, tubuhnya jadi terhuyung
sedikit.
"Phuih!"
Laki-laki bertubuh tegap yang terbungkus baju kulit binatang itu
menyemburkan ludahnya dengan sengit. Sorot matanya terlihat begitu tajam,
menusuk langsung ke bola mata pemuda tampan berbaju merah muda yang berdiri
tegak tidak jauh di depannya.
"Rupanya kau punya kepandaian juga, ya.... Pantas berani keluyuran di
tengah malam," terasa begitu dingin nada suara orang berbaju kulit binatang
itu.
Perlahan laki-laki setengah baya itu menggeser kakinya ke kanan dengan
golok tersilang di depan dada, membuat mata golok itu berkilatan terrimpa
cahaya pelita. Sedangkan Pranggala tetap berdiri tegak tidak bergeming
sedikit pun. Namun tatapan matanya terlihat sangat tajam, memperhatikan
setiap gerak laki-laki berbaju binatang di depannya.
"Mampus kau! Hih! Yeaaah...!"
Sambil membentak keras, laki-laki berbaju kulit binatang itu melesat cepat
bagai kilat. Goloknya langsung disabetkan ke arah kepala pemuda ini.
"Haiiit...!"
Namun hanya sedikit saja mengegoskan kepala, golok itu lewat di depan wajah
Pranggala. Dan pada saat yang tidak diduga-duga sama sekali, pemuda itu
mengebutkan tangan kanannya ke depan, tepat mengarah ke dada lawan. Begitu
cepat dan tidak terduga sama sekali, sehingga orang berbaju kulit binatang
itu jadi terbeliak kaget. Maka cepat-cepat kakinya ditarik ke belakang,
mencoba menghindari sodokan tangan kanan pemuda lawannya itu.
Tapi saat itu juga, Pranggala kembali mela-kukan gerakan yang sangat cepat
dan sulit diikuti pandangan mata biasa. Kakinya digeser ke kiri sambil
tubuhnya diliukkan dengan indah. Dan saat itu juga, kaki kirinya dihentakkan
ke depan. Benar-benar gerakan yang tak terduga, sehingga membuat lawan tidak
dapat lagi berkelit. Dan....
Des!
"Akh...!"
Besamaan dengan terdengarnya pekikan tertahan, terlihat laki-laki bertubuh
tegap berbaju kulit binatang itu terhuyung ke belakang beberapa langkah.
Tampak darah menyembur dari mulutnya. Dan saat itu juga, Pranggala sudah
melesat sambil berteriak keras menggelegar.
"Yeaaah...!"
Satu tendangan yang teramat keras dan mengandung pengerahan tenaga dalam
langsung dilepaskan, tepat ke arah kepala orang berbaju kulit binatang
ini.
Prak!
"Aaa...!"
Malam yang sunyi ini kembali dipecahkan oleh jeritan panjang melengking
tinggi yang begitu menyayat membelah angkasa. Tampak laki-laki bertubuh
tegap dan berbaju dari kulit binatang itu terhuyung-huyung ke belakang
sambil memegangi kepalanya. Goloknya sudah terlepas entah ke mana. Darah pun
tampak mengalir deras dari sela-sela jari tangannya.
Bruk!
Hanya sebentar saja laki-laki setengah baya itu terhuyung, kemudian ambruk
ke tanah dengan keras sekali. Sebentar pula tubuhnya menggelepar meregang
nyawa sambil mengerang, kemudian mengejang kaku, dan diam tidak
bergerak-gerak lagi. Sementara darah terus mengalir deras dari kepalanya
yang pecah. Sedangkan Pranggala tetap berdiri tegak memandangi tubuh
lawannya yang sudah menggeletak tidak bernyawa lagi.
"Hhh...!"
Sambil menghembuskan napas panjang, Pranggala melangkah meninggalkan tubuh
yang sudah tergeletak tidak bernyawa lagi. Dan hanya beberapa langkah saja
pemuda itu berjalan, kemudian melesat cepat bagai kilat. Hingga dalam
sekejapan mata saja, bayangan tubuhnya sudah lenyap tidak terlihat lagi.
Sementara malam terus merayap semakin larut, menyebarkan udara dingin yang
membekukan tulang.
Suara pertarungan dan jeritan kematian laki-laki tegap berbaju kulit
harimau itu rupanya sempat juga membangunkan penduduk Desa Salak Rejeng.
Bahkan dari bangunan besar berpagar baru berukuran tinggi, juga bermunculan
orang-orang yang langsung berlarian menghampiri tubuh yang tergeletak di
jalan dan tidak bernyawa lagi.
"Ki Jaran Jati...."
Bagi semua orang yang tinggal di Desa Salak Rejeng ini, Ki Jaran Jati
memang sudah sangat dikenal. Selain menjabat kepala desa, Ki Jaran Jati juga
seorang guru silat. Memang, rumahnya yang besar berhalaman luas telah
dijadikan sebuah padepokan. Dan semua murid-muridnya juga berasal dari Desa
Salak Rejeng ini. Maka tentu saja kematiannya membuat seluruh penduduk Desa
Salak Rejeng jadi gempar. Terlebih lagi, Ki Jaran Jati tewas dengan kepala
pecah seperti habis bertarung. Dan memang, laki-laki yang lebih senang
mengenakan baju dari kulit binatang itu tewas akibat bertarung
semalam.
Hingga matahari tepat berada di atas kepala, dan mayat Ki Jaran Jati sudah
dimakamkan, tapi semua orang di desa itu masih tetap membicarakan
kematiannya yang sangat menyedihkan itu. Kepalanya hancur, hingga wajahnya
hampir saja tidak dikenali lagi. Terlebih tidak ada seorang pun yang
mengetahui lawan tanding Ki Jaran Jati, hingga menemui ajalnya secara
mengerikan sekali. Semua orang terus bertanya-tanya, tapi tidak ada yang
tahu jawabannya.
Siang ini Desa Salak Rejeng memang terasa begitu panas. Matahari bersinar
terik, tanpa sedikit pun awan menghalangi. Begitu panasnya, hingga hampir
semua orang di desa ini tidak ada yang mau keluar dari dalam rumah. Seluruh
tanah di desa itu bagai terpanggang, walaupun angin bertiup cukup kencang
menebarkan debu yang menyebar ke segala arah. Saat itu terlihat seorang
laki-laki tua berjubah putih tengah menunggang kuda putih. Dia dikawal
sekitar dua puluh orang anak-anak muda yang semuanya membawa pedang
tergantung di pinggang. Mereka menjalankan kudanya perlahan-lahan, menyusuri
jalan tanah berdebu yang membelah Desa Salak Rejeng ini bagai menjadi dua
bagian. Semua penduduk desa memandangi mereka dengan sinar mata
bertanya-tanya. Tapi, rombongan kecil itu terus bergerak menuju rumah Ki
Jaran Jati.
"Berhenti...!"
Dua orang pemuda yang membawa tombak langsung menghadang rombongan ini,
tepat di depan pintu gerbang rumah kepala desa yang bagaikan sebuah benteng.
Laki-laki tua penunggang kuda putih yang berada paling depan, segera
mengangkat tangan kanannya sedikit ke atas. Maka rombongan itu segera
berhenti. Laki-laki tua berjubah putih yang rambutnya sudah memutih semua
ini bergegas melompat turun dari punggung kudanya. Gerakannya begitu ringan
dan indah, pertanda kepandaiannya tidak bisa dipandang sebelah mata.
"Maaf. Apakah ini benar rumah Ki Jaran Jati, Kepala Desa Salak Rejeng ini,
Anak Muda...?" tanya orang tua berjubah putih itu sopan.
"Benar," sahut salah seorang penjaga itu. "Dan kau siapa, Ki?"
"Aku Ki Tunggul Santak ingin bertemu Ki Jaran Jati. Dia tahu akan
kedatanganku," sahut orang tua itu memperkenalkan diri.
"Oh, kaa... Kau Ki Tunggul Santak..?!"
Kedua pemuda yang menjaga pintu gerbang rumah kepala desa itu jadi
tersentak kaget, begitu orang tua berjubah putih ini memperkenalkan diri.
Cepat-cepat mereka menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat dengan
merapatkan kedua telapak tangan di depan hidung, bagaikan sedang berhadapan
dengan seorang pembesar kerajaan. Ki Tunggul Santak jadi tersenyum. Kakinya
lalu melangkah menghampiri. Disentuhnya pundak kedua pemuda itu dengan
lembut.
"Bangunlah. Tidak pantas kalian bersikap begitu padaku," ujar Ki Tunggul
Santak lembut.
"Maafkan kami, Ki. Kami tidak tahu kalau...."
"Sudahlah, lupakan saja," ujar Ki Tunggul Santak memotong.
"Biar kubukakan pintu, Ki."
Salah seorang bergegas bangkit, dan langsung membuka pintu gerbang yang
sejak tadi tertutup rapat. Sedangkan yang seorang lagi cepat-cepat
menghampiri kuda orang tua ini. Dipeganginya tali kekang kuda putih itu. Ki
Tunggul Santak jadi menggelengkan kepala dengan bibir menyunggingkan senyum.
Dengan isyarat tangan, murid-muridnya diperintahkan turun dari kuda
masing-masing.
Kemudian mereka masuk ke dalam lingkungan rumah kepala desa yang juga
dijadikan sebuah padepokan ini.
***
Ki Tunggul Santak jadi tercenung mendengar berita kematian sahabatnya, Ki
Jaran Jati yang begitu menggiriskan semalam. Semua itu diceritakan istri dan
juga putra tunggal Ki Jaran Jati yang menemani di ruangan depan rumah besar
ini. Cukup lama juga Ki Tunggul Santak terdiam, tanpa bicara sedikit pun
juga, walaupun Nyi Jaran Jati dan putranya sudah tidak lagi menceritakan
kematian Ki Jaran Jati yang begitu menyedihkan.
"Hhh...!"
Panjang sekali Ki Tunggul Santak menghem-buskan napas. Dan terasa begitu
berat hembusan napasnya. Perlahan kepala yang sejak tadi terus tertunduk
menekur terangkat. Pandangan matanya langsung bertemu dengan sorotan mata
putra almarhum Ki Jaran Jati yang bernama Sangkalangit. Kemudian tatapannya
berpindah pada Nyi Jaran Jati. Kembali ditariknya napas dalam-dalam, dan
dihembuskannya kuat-kuat dengan perasaan begitu berat. Untuk beberapa saat
lamanya mereka masih terdiam membisu.
"Apa tidak ada yang melihat kejadiannya, Nyi?" tanya Ki Tunggul Santak
dengan suara begitu perlahan.
"Tidak," sahut Nyi Jaran Jati.
"Hhh...!" .
Kembali Ki Tunggul Santak menghembuskan napas panjang-panjang.
"Aku tahu, siapa yang membunuhnya," ujar Ki Tunggul Santak pelan.
Begitu pelan suara orang tua itu, sehingga hampir tidak terdengar di
telinga. Kata-kata Ki Tunggul Santak yang begitu perlahan, membuat Nyi Jaran
Jati dan putranya jadi terkejut. Mereka langsung memandangi wajah orang tua
itu dalam-dalam.
"Kedatanganku ke sini justru hendak memperingatkannya. Tapi, rupanya dia
lebih cepat sampai ke sini...," jelas Ki Tunggul Santak, dengan suara masih
pelan.
"Siapa dia, Ki?" tanya Sangkalangit langsung.
"Kalaupun kuberi tahu, kau tidak akan mungkin bisa menemuinya,
Sangkalangit. Dia pasti sudah jauh dari sini. Dan lagi, kurasa kau tidak
akan bisa membalas kematian ayahmu," kata Ki Tunggul Santak seraya menatap
lembut pemuda itu.
"Aku rela mempertaruhkan nyawa, asal bisa membalas kematian ayah, Ki,"
tegas Sangkalangit.
"Aku percaya pada tekadmu, Sangkalangit. Tapi percayalah, kau bukan
tandingannya. Kalau tetap menuruti kata hatimu, berarti hanya akan
mengantarkan nyawa saja padanya. Percayalah.
Aku yang akan membalaskan kematian ayahmu," tegas Ki Tunggul Santak.
"Kakang Santak. Boleh aku tahu, siapa prang yang membunuh suamiku...?"
tanya Nyi Jaran Jati.
Ki Tunggul Santak tidak langsung menjawab. Dipandanginya Nyi Jaran Jati dan
Sangkalangit bergantian. Kemudian pandangannya tertuju ke luar, melalui
jendela yang terbuka lebar. Tampak murid-muridnya tengah beristirahat di
pendopo samping, sambil menikmati hidangan yang disediakan murid-murid
padepokan Ki Jaran Jati yang juga Kepala Desa Salak Rejeng ini. Dan kini
matanya kembali menatap wajah Nyi Jaran Jati.
"Pranggala," ujar Ki Tunggul Santak perlahan.
"Siapa dia, Ki?" tanya Sangkalangit.
Ki Tunggul Santak tak langsung menjawab. Terlihat jelas dari sorot matanya,
kalau begitu berat menjawab pertanyaan putra tunggal Ki Jaran Jati.
"Siapa dia, Ki...?" desak Sangkalangit lagi.
"Ah, sudahlah.... Sebaiknya aku pergi saja sebelum jatuh korban lebih
banyak lagi," ujar Ki Tunggul Santak seraya bangkit berdiri.
Orang tua itu sengaja bersikap begitu, untuk menghindari desakan
Sangkalangit.
"Kenapa tidak menginap saja di sini barang semalam, Ki...?" Nyi Jaran Jati
menawarkan.
"Terima kasih, Nyi. Perjalananku masih terlalu panjang. Aku berjanji, kalau
semua persoalan ini sudah selesai, pasti akan mampir dan menerima
tawaranmu," sahut Ki Tunggul Santak seraya memberi senyum tipis.
Sebelum Sangkalangit mendesak lagi, Ki Tunggul Santak bergegas melangkah ke
luar. Tapi baru saja berada di ambang pintu, Sangkalangit sudah
menghadangnya. Sorot mata pemuda ini terlihat begitu tajam, seakan hendak
menembus langsung ke bola mata orang tua berjubah putih itu.
"Pertanyaanku belum kau jawab, Ki," ujar Sangkalangit, terdengar agak datar
suaranya.
"Sangkalangit...!" sentak Nyi Jaran Jati cepat-cepat, menarik tangan
putranya ini.
Ki Tunggul Santak hanya diam saja memandangi pemuda itu.
"Maafkan atas sikap anakku, Ki," ucap Nyi Jaran Jati.
Ki Tunggul Santak hanya tersenyum tipis saja dan terasa amat getir.
Sementara Sangkalangit kelihatan belum puas, tapi tidak bisa berbuat apa-apa
dengan tangan tetap dicekal kuat-kuat oleh ibunya.
"Aku pergi dulu, Nyi. Terima kasih atas keramahanmu. Maaf aku tak bisa
mencegahnya," ucap Ki Tunggul Santak membungkuk.
"Aku berterima kasih atas kunjunganmu, Ki. Sekali lagi, maafkan atas sikap
anakku ini," sambut Nyi Jaran Jati.
Lagi-lagi Ki Tunggul Santak hanya tersenyum. Kemudian dia kembali menjura
memberi salam penghormatan, lalu melangkah ke luar menghampiri
murid-muridnya yang sudah berada di samping kuda masing-masing. Seorang
pemuda murid padepokan ini memegangi kuda putih tunggangan Ki Tunggul
Santak.
"Hup!"
Dengan gerakan indah dan ringan sekali, Ki Tunggul Santak melompat naik
kepunggung kudanya. Sebentar ditatapnya Nyi Jaran Jati dan Sangkalangit yang
masih tetap berada di beranda depan. Sementara, semua muridnya yang
berjumlah dua puluh orang sudah berlompatan naik ke punggung kuda
masing-masing. Saat ini, matahari sudah mulai terlihat condong ke
barat.
Ki Tunggul Santak menggebah kudanya tidak terlalu kencang, keluar dari
lingkungan rumah kepala desa yang juga dijadikan sebuah padepokan ini.
Sementara dua puluh orang muridnya mengikuuti dari belakang. Mereka baru
memacu cepat kudanya setelah melewati pintu gerbang. Debu langsung mengepul
tinggi ke udara, tersepak kaki-kaki kuda yang dipacu dengan kecepatan cukup
tinggi. Sementara di beranda depan rumah besar yang dikelilingi pagar tembok
baru cukup tinggi bagai benteng ini, Nyi Jaran Jati dan Sangkalangit masih
berdiri di sana, memandangi pintu gerbang yang sudah tertutup lagi.
"Tadi seharusnya kau bisa menahan diri, Sangkalangit," ujar Nyi Jaran Jati,
menyesali sikap anaknya.
"Tapi jelas, dia menyembunyikan sesuatu, Bu," kata Sangkalangit masih
penasaran.
"Ya, Ibu tahu itu. Ibu dan ayahmu sudah lama kenal Ki Tunggul Santak.
Bahkan antara dia dan ayahmu terjalin persahabatan yang sangat erat, hingga
masing-masing mengangkat saudara. Jadi Ibu tahu betul wataknya. Dia tidak
akan menyembunyikan, kalau yang dihadapinya masih dianggap ringan. Pasti
pembunuh ayahmu itu seorang yang berkepandaian sangat tinggi, hingga Ki
Tunggul Santak tidak mau mengatakannya pada kita," kata Nyi Jaran Jati
mencoba menjelaskan.
"Biar bagaimanapun juga, kematian ayah harus kubalas, Bu," tegas
Sangkalangit.
"Dengan cara apa...? Mengandalkan kepandaianmu yang hanya seujung kuku...?
Kau tidak akan sanggup, Sangkalangit. Biar Ki Tunggul Santak yang
membereskannya. Aku percaya, dia mampu melakukannya," kata Nyi Jaran
Jati.
"Bu...."
"Sudahlah, Nak. Kau masih terlalu muda. Kau masih perlu banyak belajar
sebelum terjun ke dalam dunia luar," potong Nyi Jaran Jati cepat.
Wanita setengah baya itu bergegas memutar tubuhnya berbalik, dan melangkah
ke dalam rumahnya yang besar. Sementara, Sangkalangit masih tetap diam di
beranda depan ini. Sedikit kepalanya melongok ke dalam, kemudian bergegas
melangkah ke luar dari beranda. Kakinya terus melangkah ke bagian samping
rumah yang berukuran sangat besar ini. Dan tidak lama kemudian, terlihat
pemuda itu sudah memacu cepat kudanya keluar dari halaman rumah ini.
Mendengar suara kuda yang dipacu cepat, Nyi Jaran Jati bergegas keluar.
Wanita itu terkejut melihat putranya memacu kuda dengan cepat sambil
berteriak meminta dibukakan pintu. Dua orang penjaga bergegas membuka pintu
gerbang lebar-lebar.
"Sangkalangit...!" teriak Nyi Jaran Jati memanggil.
Tapi, Sangkalangit sudah melesat cepat bersa-ma kudanya, melewati pintu
gerbang. Nyi Jaran Jati hanya bisa terdiam memandangi debu yang mengepul
mengikuti Sangkalangit yang terus menggebah kudanya semakin jauh. Sementara,
dua orang penjaga pintu gerbang menutup kembali pintu yang terbuat dari kayu
jati berukuran tebal dan sangat besar ini. Sedangkan Nyi Jaran jati tetap
berdiri mematung di beranda. Pandangannya kosong, tertuju lurus ke
depan.
"Badrun...!" teriak Nyi Jaran Jati kencang.
Belum lagi teriakan perempuan yang berusia sekitar empat puluh lima tahun
itu hilang, sudah datang seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun.
Tubuhnya tegap, mengenakan baju ketatwarna kuning gading. Hingga, membentuk
tubuhnya yang tegap dan berotot.
"Bawa teman-temanmu. Susul Sangkalangit" perintah Nyi Jaran Jati.
"Baik, Nyi," sahut Badrun hormat.
"Cepat! Jangan sampai kehilangan jejaknya."
"Iya, Nyi."
"Siapkan juga kudaku, Badrun."
Badrun hanya mengangguk saja, kemudian bergegas meninggalkan wanita berusia
hampir setengah baya, namun masih kelihatan cantik. Hanya saja kerutan
ketuaan sudah mulai terlihat di sekitar matanya.
Tidak berapa lama berselang, Badrun sudah kembali bersama sekitar tiga
puluh orang anak muda yang semuanya berada dipunggung kuda masing-masing.
Dia juga sudah berada di atas punggung kuda sambil memegang tali kekang kuda
coklat berbelang putih yang tinggi dan gagah di sebelahnya. Nyi Jaran Jati
bergegas keluar dari beranda depan rumahnya ini. Diambilnya tali kekang dari
tangan Badrun. Dan dengan gerakan indah sekali, dia melompat naik ke
punggung kudanya. Namun belum juga mereka bergerak, mendadak saja....
"Ha ha ha...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Wusss!
Belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, mendadak saja dari atas atap
rumah kepala desa yang sangat besar ini melesat cepat bagai kilat sebuah
bayangan merah muda. Dan tahu-tahu, tepat di depan Nyi Jaran Jati sudah
berdiri seorang pemuda berwajah tampan, berbaju ketat warna merah muda. Di
pinggangnya tergantung sebilah pedang yang tangkainya berbentuk kepala
seekor ular berwarna kuning keemasan. Dia berdiri tegak membelakangi beranda
depan, dengan kedua tangan kiri menggenggam sebuah bungkusan dari kain
putih.
***
TIGA
Tampak dari bagian bawah bungkusan itu menetes darah. Kedua bola mata Nyi
Jaran Jati terbeliak, melihat darah yang menetes dari bungkusan di tangan
kanan pemuda itu. Kemudian ditatapnya wajah tampan pemuda itu dengan sinar
mata terlihat tajam sekali.
"Kalian tidak perlu repot-repot mencari. Nih, aku bawakan untuk kalian
semua," kata pemuda tampan berbaju merah muda itu, sambil melemparkan
bungkusan kain putih.
Bungkusan itu menggelinding, dan berhenti tepat di depan kaki kuda yang
ditunggangi Nyi Jaran Jati. Saat itu, Badrun cepat melompat turun dari
punggung kudanya. Bergegas kakinya melangkah menghampiri bungkusan yang
bernoda darah itu. Segera dibukanya bungkusan itu. Dan saat itu
juga....
"Hah...?!"
"Sangkalangit..!" jerit Nyi Jaran Jati.
Mereka semua jadi terperanjat setengah mati, melihat bungkusan bernoda
darah itu berisi kepala Sangkalangit. Sementara, Nyi Jaran Jati sudah
melompat turun dari punggung kudanya dengan wajah memerah dan napas memburu
cepat.
"Iblis keparat! Kau harus membayar nyawa anakku!" bentak Nyi Jaran
Jati.
Sret!
Langsung saja wanita itu mencabut pedangnya yang tergantung di pinggang.
Sementara, pemuda tampan berbaju merah muda yang tidak lain Pranggala itu
hanya tersenyum saja. Sedangkan semua murid padepokan Ki Jaran Jati sudah
berlompatan turun dari punggung kuda masing-masing. Beberapa orang
menyingkirkan kuda, dan yang lain langsung berlompatan mengepung sambil
menghunus senjata masing-masing. Tapi, Pranggala masih tetap kelihatan
tenang dengan senyum tipis tersungging di bibir. Badrun yang berada dekat di
samping Nyi Jaran Jati juga sudah mencabut pedangnya.
"Mampus kau, Iblis Keparat! Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring, Nyi Jaran Jati melesat cepat bagai kilat
menerjang pemuda ini. Pedangnya langsung dikebutkan tepat mengarah kepala.
Namun hanya sedikit saja Pranggala mengegoskan kepala, tebasan pedang itu
lewat tanpa membawa hasil. Sebenarnya Pranggala jadi terkejut juga,
merasakan angin tebasan pedang berhawa panas yang menerpa kulit
wajahnya.
"Hup!"
Cepat-cepat Pranggala melompat kebelakang dua langkah. Tapi baru saja
kakinya menjejak tanah, dua orang yang berada di belakang sudah melompat
menyerang.
"Hap! Yeaaah...!"
Namun Pranggala yang sudah bisa membaca gelagat, cepat membungkukkan
tubuhnya. Langsung kaki kirinya dihentakkan ke belakang sambil berputar.
Begitu cepat gerakannya, hingga dua orang murid Ki Jaran Jati tidak sempat
lagi berkelit. Maka tendangan kaki Pranggala tepat menghantam dada, membuat
mereka terpental balik ke belakang sambil memperdengarkan jeritan panjang
melengking tinggi.
Bruk!
Kedua anak muda itu jatuh keras sekali menghantam tanah. Dan hanya sebentar
saja mereka menggeliat, kemudian diam tak bergerak-gerak lagi. Tampak dada
mereka melesak hancur dengan darah mengalir deras dari mulut. Melihat dua
orang murid suaminya tewas hanya dalam sekali gebrak saja, Nyi Jaran Jati
jadi semakin berang.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak keras menggelegar, wanita berusia hampir setengah baya itu
melompat menerjang. Beberapa kali pedangnya dikebutkan cepat, membuat
Pranggala terpaksa harus berjumpalitan menghindarinya. Dan saat itu, Badrun
juga sudah melesat membantu istri gurunya ini. Akibatnya, Pranggala semakin
kelihatan kerepotan menghadapi serangan-serangan cepat dan beruntun dari dua
arah ini.
Namun kerepotan yang dialami Pranggala tidak berlangsung lama. Karena
begitu mendapatkan kesempatan yang sangat sedikit, cepat sekali tangan
kanannya mencabut pedang, dan langsung dibabatkan ke arah Badrun. Begitu
cepat kibasannya, hingga membuat Badrun tidak ada kesempatan lagi
menghindarinya. Maka cepat-cepat pedangnya dilintangkan kedepan.
"Trang!
"Ikh...?!"
Badrun jadi terpekik kaget. Tenaga dalam yang dimilikinya memang masih
kalah, hingga pedangnya terpental tinggi ke udara. Dan belum lagi hilang
rasa terkejutnya, mendadak saja Pranggala sudah cepat memutar pedangnya.
Dan....
Wut!
Cras!
"Aaa...!"
Badrun menjerit begitu pedang Pranggala merobek dadanya. Darah seketika
muncrat keluar dari dada pemuda itu. Tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Dan saat itu juga, Pranggala sudah melesat melepaskan satu tendangan keras
menggeledek yang langsung menghantam kepala murid utama Ki Jaran Jati
ini.
Prak!
"Aaakh...!"
Kembali Badrun menjerit melengking, begitu kepalanya pecah terkena
tendangan keras bertenaga dalam tinggi. Tubuhnya langsung ambruk, dan
menggeletak diam tidak bernyawa lagi. Darah semakin banyak keluar dari
kepala dan dadanya. Kematian Badrun membuat Nyi Jaran Jati dan semua
muridnya jadi tersentak kaget. Dalam beberapa gebrakan saja, pemuda itu
sudah menewaskan tiga orang.
"Serang! Bunuh setan keparat itu....'" teriak Nyi Jaran Jati jadi memuncak
amarahnya.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Semua murid almarhum Ki Jaran Jati langsung saja berlompatan, tidak peduli
kalau yang dihadapi adalah seorang yang berilmu tinggi. Bahkan juga membunuh
guru mereka! Kemarahan sudah membuat kegentaran di hati mereka lenyap
seketika. Sementara itu, Pranggala sudah melesat cepat sambil mengebutkan
pedangnya beberapa kali. Kecepatannya sukar sekali diikuti pandangan mata
biasa.
"Hiya! Yeaaah...!"
Bet!
Wut!
Cras!
"Aaa...!"
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga terdengar
menyayat, sating sambut yang disusul ambruknya lima orang sekaligus.
Tapi tampaknya Pranggala tidak berhenti sampai di situ saja. Dia
berlompatan cepat sambil membabatkan pedangnya. Dan setiap kali pedangnya
berkelebat, selalu terdengar jeritan panjang melengking tinggi yang disusul
ambruknya tubuh bersimbah darah. Hingga dalam waktu tidak lama saja, sudah
lebih dari separo jumlah murid padepokan ini yang ambruk tidak bernyawa
lagi.
Darah terus mengalir membasahi halaman depan rumah Ki Jaran Jati. Dan bau
anyir darah langsung menyebar terbawa angin. Sementara, Pranggala terus
mengamuk. Pedangnya membabat bagai kilat hingga tidak ada seorang pun yang
membendungnya lagi. Hanya Nyi Jaran Jati saja yang masih bisa bertahan, dan
beberapa kali berhasil menghindari tebasan pedang pemuda itu. Tapi wanita
itu juga sulit untuk melakukan serangan yang mendesak. Gerakan-gerakan
Pranggala memang sangat cepat luar biasa. Bahkan sering tidak terduga sama
sekali.
"Yeaaah...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, Pranggala memutar tubuhnya begitu cepat
sambil berlompatan menghajar lima orang yang masih tersisa. Dan seketika itu
juga, jeritan-jeritan panjang melengking tinggi kembali terdengar menyayat,
disusul ambruknya lima orang yang tersisa. Kembali darah berhamburan keluar
dari tubuh mereka yang terbelah, menggenangi halaman rumah Ki Jaran
Jati.
Kini Pranggala berdiri tegak di depan Nyi Jaran Jati yang jadi terpana
melihat semua murid suaminya sudah bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Tidak
satu pun dari mereka yang kelihatan hidup. Wajah wanita itu jadi berubah
memucat, tapi sebentar kemudian kembali memerah. Sorot matanya terlihat
begitu tajam, menatap langsung ke mata pemuda yang berdiri sekitar satu
batang tombak di depannya.
"Maafkan aku, Nyi. Ini sudah sumpahku untuk melenyapkan semua yang pernah
bersangkutan denganku. Bahkan mereka yang mencoba melindunginya," terasa
begitu dingin nada suara Pranggala.
"Kau yang bernama Pranggala...?" tanya Nyi Jaran Jati.
"Benar, Nyi," sahut Pranggala datar.
"Hhh! Jadi kau juga yang membunuh suamiku?"
"Ya," sahut Pranggala terus terang.
"Iblis...! Kau harus membayar mahal, Pranggala!"
"Aku hanya menuntut kebenaran saja, Nyi. Kebenaran yang sudah
diputarbalikkan suamimu. Tapi, sungguh. Aku sendiri tadinya tidak tahu kalau
dia adalah Ki Jaran Jati. Padahal, sudah begitu lama aku mencarinya. Tapi
mungkin memang sang Hyang Widhi sudah menuntunku hingga sampai ke sini.
Sekali lagi aku mohon maaf, Nyi. Dan kalau kau sudi melupakan semua
peristiwa ini, aku tidak akan datang-datang lagi menemuimu. Kau boleh bebas,
karena aku merasa dirimu tidak ada urusan denganku. Tapi anakmu itu.... Dia
sengaja mencariku. Bahkan menantangku bertarung. Aku sudah menjelaskannya,
tapi dia tidak mau mendengarkan. Maka terpaksa aku harus
menghindarinya."
"Kau membunuhnya,..!" sentak Nyi Jaran Jati kalap.
"Aku hanya menghindarinya, Nyi. Menghindari penghalang-penghalangku," bela
Pranggala. "Dan kuharap, kau juga tidak mencoba menjadi penghalang."
Nyi Jaran Jati jadi terdiam.
"Maaf. Aku pergi dulu, Nyi. Masih banyak yang harus kukerjakan," kata
Pranggala.
Setelah berkata demikian, Pranggala cepa melesat pergi melewati atap rumah.
Dan Nyi Jaran Jati jadi tersentak. Cepat-cepat wanita itu melesat mengejar.
Tapi begitu kakinya menjejak atap bayangan pemuda itu sudah lenyap tidak
terlihat lagi. Nyi Jaran Jati mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi
pemuda itu memang sudah tidak terlihat lagi. Entah lenyap ke mana
dia....
"Hhh! Apa maksud semua ini...?"
Nyi Jaran Jati jadi bertanya-tanya sendiri. Kembali wanita itu melompat
turun dari atas atap rumahnya. Pandangannya beredar merayapi tubuh-tubuh
yang bergelimpangan tidak bernyawa lagi. Tidak ada seorang pun yang terlihat
masih hidup. Juga, tidak ada lagi orang yang hidup di rumah ini selain
dirinya. Nyi Jaran Jati jadi mengeluh sendiri dalam hati. Sungguh tidak
pernah dibayangkan kalau akan seperti ini jadinya.
Nyi Jaran Jati terduduk lemas di pinggiran lantai beranda depan rumahnya.
Benar-benar tidak dimengerti semua yang telah terjadi. Anak dan suaminya
tewas. Juga, semua murid suaminya tidak ada lagi yang hidup. Mereka terbunuh
hanya oleh satu orang saja. Tapi, sebenarnya bukan pemuda berbaju merah muda
yang menamakan diri Pranggala itu yang menjadi beban pikirannya. Melainkan,
apa yang dilakukan suaminya hingga pemuda itu membantai orang-orang
terdekatnya...? Pertanyaan ini yang membuat kepala Nyi Jaran Jati jadi
terasa mau pecah.
Di saat wanita yang usianya hampir setengah baya itu tengah duduk merenung,
terdengar gerit dari arah pintu gerbang. Terlihat pintu gerbang yang sejak
tadi tertutup rapat, perlahan-lahan terbuka. Nyi Jaran Jati segera
mengangkat kepalanya memperhatikan. Dan dari balik pintu yang tebal dan
besar itu, muncul seorang laki-laki berusia setengah baya. Dia berbaju putih
bersih yang ketat, hingga membentuk tubuh tegap berotot. Sebilah pedang
tampak tergantung di pinggangnya.
Laki-laki itu tampak terperanjat begitu melihat di halaman depan rumah yang
cukup luas ini banyak berserakan tubuh tak bernyawa lagi, menyebarkan bau
anyir darah menusuk hidung. Cepat-cepat ditutupnya pintu itu kembali, lalu
melangkah dengan ayunan lebar begitu melihat Nyi Jaran Jati terduduk
dipinggiran lantai beranda. Dari pakaian dan pedang yang dibawa, sudah dapat
dipastikan kalau dia adalah Ki Jalaksana.
"Apa yang terjadi, Dewi Manik...?" tanya Ki Jalaksana langsung, memanggil
istri kepala desa itu dengan nama aslinya.
"Neraka terjadi di sini, Kakang Jalaksana,” sahut Nyi Jaran Jati yang
bernama asli Dewi Manik.
"Jelaskan padaku, apa sesungguhnya yang telah terjadi, Dewi," pinta Ki
Jalaksana tidak sabar.
Dengan suara lesu, Dewi Manik yang sering di panggil Nyi Jaran Jati,
menceritakan semua yang telah terjadi di rumah ini. Peristiwa yang berawal
dari kematian suaminya, yang kemudian disusul anak tunggalnya. Lalu muncul
pemuda bernama Pranggala yang ternyata pembunuh suami dan anaknya. Dan
pemuda itu juga membantai murid-murid Ki Jaran Jati ini.
Semua diceritakan Dewi Manik secara jelas walaupun dengan suara pelan dan
agak tersendat. Sementara, Ki Jalaksana mendengarkan penuh perhatian. Dia
jadi tertegun begitu mendengar nama Pranggala disebut. Laki-laki berusia
setengah baya itu menghela napas panjang-panjang, kemudian duduk tidak jauh
di samping wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik dan gesit
ini.
"Anak itu sudah membunuh begitu banyak tokoh persilatan. Dan belum lama
ini, dia menewaskan Nyi Langir...," desah Ki Jalaksana.
"Apa...?!"
Dewi Manik tersentak kaget setengah mati, mendengar nama Nyi Langir.
Apalagi, Ki Jalaksana mengatakan kalau Nyi Langir tewas di tangan Pranggala.
Begitu terkejutnya, sampai kedua matanya terbeliak lebar memandangi wajah Ki
Jalaksana. Bahkan dia sampai tidak bisa berkata-kata untuk beberapa
saat.
"Kau bilang apa tadi, Kakang Jalaksana...?" tanya Dewi Manik seperti kurang
jelas pendengarannya.
"Nyi Langir.... Dia tewas di tangan anak muda itu," sahut Ki Jalaksana
mengulangi.
"Keparat..!" desis Dewi Manik geram.
Ki Jalaksana bisa memaklumi kalau wanita ini jadi begitu geram setengah
mati mendengar kematian Nyi Langir. Dia tahu, Nyi Langir kakak kandung
suaminya, Ki Jaran Jati.
"Dia juga sudah membunuh Eyang Rataka, Nyai Dewi Palanggata, Pendekar Mata
Satu dan...."
"Cukup, Kakang...!" sentak Dewi Manik tidak tahan lagi mendengarnya.
Nama-nama yang disebutkan Ki Jalaksana sudah barang tentu sangat
dikenalnya, karena masih ada hubungan persaudaraan dengan suaminya. Bahkan
beberapa nama yang tidak sempat disebutkan, adalah sahabat-sahabat Ki Jaran
Jati. Dan mereka semua tewas di tangan Pranggala!
"Kakang Jalaksana, apa keluarga mereka juga tewas?" tanya Dewi Manik.
"Ya! Bahkan semua pengikutnya, dan siapa saja yang mencoba menghalanginya,"
sahut Ki Jalaksana. "Sudah tidak terhitung lagi berapa orang yang mencoba
menghentikannya telah tewas terbunuh. Bahkan sudah banyak pendekar yang mati
di tangannya. Kau tahu, Dewi. Ki Tunggul Santak sendiri sampai menyediakan
hadiah seribu kepeng emas untuk kepala anak muda itu."
"Ki Tunggul Santak belum lama datang ke sini. Yaaah.... Belum lama dia
pergi, anak muda setan itu datang dan membuat neraka di sini. Ki Tunggul
Santak juga sedang mencari anak muda itu," kata Dewi Manik perlahan.
"Kalau Ki Tunggul Santak sudah sampai turun tangan sendiri, ini pasti
persoalannya semakin bertambah gawat Dewi," ujar Ki Jalaksana lagi.
"Kakang, kau tahu persoalan apa sebenarnya...?" tanya Dewi Manik ingin
tahu.
"Inilah yang membuatku tidak mengerti, Dewi. Dia tiba-tiba saja muncul dan
membunuh orang-orang yang sudah kita kenal. Bahkan sempat
memporak-porandakan padepokan milik Ki Tunggul Santak, hingga tinggal dua
puluh orang saja muridnya yang tersisa. Dari situ Ki Tunggul Santak
menyediakan hadiah seribu kepeng emas untuk kepala Pranggala. Dan sampai
sekarang, sudah banyak orang persilatan yang mencoba mengadu nasib. Tapi,
mereka semua tewas di tangan anak muda itu," jelas Ki Jalaksana.
"Tidak ada yang tahu siapa dia, Kakang?" tanya Dewi Manik lagi.
"Tidak," sahut Ki Jalaksana. "Tapi...."
"Tapi kenapa, Kakang?"
"Anak muda itu muncul pertama kali justru di padepokan milik Ki Tunggul
Santak. Setelah itu, dia menyebarkan neraka di mana-mana," jelas Ki
Jalaksana lagi.
"Ki Tunggul Santak tidak banyak bercerita di sini. Dia juga hanya sebentar
saja. Aku tidak tahu lagi, ke mana perginya," ujar Dewi Manik perlahan, dan
terdengar agak mendesah suaranya.
"Dewi! Aku juga harus segera pergi. Anak muda itu harus dicegah secepatnya,
sebelum jatuh korban lebih banyak lagi," kata Ki Jalaksana seraya bangkit
berdiri.
"Kau bisa menandinginya, Kakang?" tanya Dewi Manik.
"Aku pernah bertarung sekali dengannya. Dan memang, dia memiliki kepandaian
tinggi sekali. Tapi aku akan terus mencoba, walaupun nyawaku harus
melayang," tegas Ki Jalaksana tegas.
"Kita pergi sama-sama, Kakang," kata Dewi Manik.
Ki Jalaksana memandangi mayat-mayat yang bergelimpangan di halaman.
"Kita kuburkan mereka dulu,” Kata Dewi Manik seperti mengetahui jalan
pikiran sahabat suaminya ini.
***
EMPAT
Cukup banyak desa yang tersebar di sekitar kaki Gunung Puting. Dan di
setiap desa, Pranggala selalu menyebar neraka. Hanya saja, dia tidak pernah
mengusik penduduk yang tidak tahu apa-apa. Yang dipilihnya hanya orang-orang
tertentu saja. Dan mereka yang didatangi, justru masih ada ikatan tali
persaudaraan dengan Ki Jaran Jati. Bahkan juga kerabat, serta para
sahabatnya. Dan yang lebih mengherankan lagi, mereka semua bertalian saudara
dengan Ki Tunggul Santak. Atau paling tidak memiliki hubungan dekat dengan
orang tua itu.
Dan Ki Tunggul Santak sendiri jadi semakin geram saja. Malah hadiah yang
disediakan ditambahkannya menjadi tiga ribu kepeng emas bagi siapa saja yang
bisa membawa kepala Pranggala padanya. Maka mereka yang merasa memiliki
kepandaian dan pemburu hadiah, berlomba-lomba memburu Pranggala. Dan ini
semakin membuat darah terus berhamburan ke mana-mana. Dan tampaknya,
Pranggala juga menyadari kalau dirinya sekarang menjadi buruan. Tindakannya
juga semakin liar saja. Lawan yang menantangnya tidak akan dibiarkan hidup.
Mereka yang mencoba merebut hadiah dari Ki Tunggul Santak, tidak ada seorang
pun yang bisa hidup lagi. Semua tewas di tangannya.
Sementara itu, Ki Jalaksana dan Dewi Manik yang memburu Pranggala karena
kepentingan lain, sudah berada di sebelah utara kaki Gunung Puting. Mereka
sudah lima hari mengembara, tapi yang ditemui hanya para pemburu hadiah yang
terbujur kaku tidak bernyawa lagi.
"Ini sudah hari kelima kita memburunya, Kakang. Tapi jejak anak setan itu
tidak juga keli-hatan...," desah Dewi Manik, terdengar mengeluh.
"Pranggala memang pandai menghilangkan jejak Dewi. Namun kemunculannya juga
bisa tak terduga. Dia seperti sudah tahu, di mana orang-orang yang
memburunya. Bahkan selalu saja dapat menghindari, dan muncul secara
tiba-tiba," jelas Ki Jalaksana yang sudah tahu banyak akan gerak
Pranggala.
"Hhh...! Kita seperti menyusuri jejak-jejak setan saja, Kakang," desah Dewi
Manik, bernada mengeluh lagi.
"Dia memang anak setan, Dewi. Jejak dan ge-rakannya juga seperti setan.
Sukar diduga dan diikuti."
"Yaaah.... Aku jadi sangsi, Kakang."
"Kenapa?"
"Aku sangsi akan kemampuan yang kumiliki. Kalau mau, mungkin sejak
kemarin-kemarin leherku sudah digorok, Kakang. Tapi anehnya, kenapa dia
membiarkanku hidup...?"
"Kau tidak termasuk dalam hitungannya, Dewi. Dia hanya mencari orang-orang
tertentu, serta para pengikut dan keturunannya saja. Memang semua para istri
tidak ada yang dibunuh."
Tindakannya sangat membingungkan, Kakang. Aku sendiri hampir tidak bisa
mempercayai. Dia begitu tampan, dan kata-katanya juga lembut tapi,
tindakannya begitu liar dan kejam. Aku semakin tidak mengerti, Kakang...,"
ujar Dewi Manik lagi.
"Hhh...!"
Ki Jalaksana hanya menghembuskan napas saja. Dia sendiri sebenarnya masih
belum bisa memahami gerakan Pranggala. Pemuda itu memang kelihatannya tidak
berbahaya sama sekali. Bahkan setiap kali menewaskan lawannya, selalu
mengucapkan kata-kata bernada penyesalan. Dan ini sudah beberapa kali Ki
Jalaksana memergokinya, tapi baru sekali sempat bertarung. Itu pun Pranggala
tidak melayaninya sungguh-sungguh. Bahkan meninggalkannya pergi begitu saja.
Sikap pemuda itu sampai sekarang masih membuatnya bertanya-tanya.
"Ayo kita jalan lagi, Dewi," ajak Ki Jalaksana.
Dewi Manik berdiri sambil menarik napas dalam-dalam. Sementara Ki Jalaksana
sudah berada di samping kudanya. Mereka kemudian berlompatan naik. Tapi
belum juga menggebah kuda, mendadak saja terdengar jeritan panjang
melengking tinggi yang bersamaan terdengarnya ledakan dahsyat
menggelegar.
"Apa itu...?" tanya Dewi Manik
"Ayo kita lihat...!" seru Ki Jalaksana.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaah...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, mereka langsung saja menggebah kudanya
dengan kecepatan tinggi. Sehingga, debu dan dedaunan kering beterbangan ke
angkasa tersepak kaki-kaki kuda.
***
Mata Ki Jalaksana dan Dewi Manik jadi terbeliak, begitu melihat seorang
pemuda berbaju merah muda tengah mengamuk membabatkan pedangnya pada para
pengeroyoknya. Ada sekitar tiga puluh orang mengeroyok pemuda itu. Dan di
sekitar pertarungan itu sudah bergelimpangan tubuh-tubuh berlumuran
darah.
Tepat di saat Ki Jalaksana dan Dewi Manik datang, pemuda berbaju merah muda
yang tidak lain Pranggala itu sudah cepat memutar tubuhnya. Dan tangan
kirinya cepat direntang lurus ke samping. Maka seketika itu juga dari
telapak tangan kirinya memancar cahaya merah bagai api yang langsung
menyebar, menghantam para pengeroyoknya. Akibatnya jeritan-jeritan panjang
pun terdengar saling susul.
Tampak mereka yang tersambar cahaya merah itu langsung menggelepar dengan
tubuh hangus seperti terbakar. Dan dalam waktu singkat saja, semua
pengeroyok sudah bergelimpangan sambil merintih menggelepar meregang nyawa.
Namun tidak berapa lama kemudian, mereka semua mengejang kaku. Mati!
Sementara Pranggala sendiri berdiri tegak dengan pedang berlumuran darah
tergenggam erat di tangan kanan. Sorot matanya terlihat begitu tajam,
merayapi mayat-mayat bergelimpangan di sekitarnya.
Cring!
Dengan gerakan indah sekali, Pranggala memasukkan pedangnya di dalam
warangka di pinggang. Lalu, kakinya segera melangkah. Namun baru saja
terayun beberapa tindak...
"Pranggala, berhenti kau...!"
Ki Jalaksana membentak lantang, disertai pengerahan tenaga dalam.
"Hm...."
Pranggala menghentikan langkahnya. Perlahan tubuhnya berbalik. saat itu, Ki
Jalaksana dan Dewi Manik sudah turun dari punggung kuda masing-masing.
Mereka melangkah beberapa tindak mendekati, dan baru berhenti setelah
tinggal berjarak sekitar dua batang tombak lagi di depan pemuda berwajah
tampan yang sorot matanya begitu tajam memancarkan kebengisan.
"Kalian rupanya...," terasa begitu datar dan dingin nada suara
Pranggala.
"Tindakanmu sudah keterlaluan, Pranggala. Kau sudah keluar dari tujuanmu!"
dengus Ki Jalaksana.
"Aku sama sekali tak menghendaki, Ki Jalaksana. Mereka saja yang sengaja
memburuku, karena ingin mendapatkan hadiah dari Ki Tunggul Santak.
Seharusnya, bukan aku yang kau temui, Ki Jalaksana. Tapi, sahabatmu itu.
Kalau saja dia tidak berbuat macam-macam, tidak akan seperti ini jadinya,"
tegas Pranggala.
"Apa pun alasanmu, kau sudah menyebarkan neraka di jagat ini!" sentak Ki
Jalaksana.
"Jangan menuduh sembarangan, Ki Jalaksana," desis Pranggala merasa tidak
senang.
"Kalau kau tidak mau dituduh, kenapa tidak sembunyi saja? Atau kau pergi ke
tempat yang jauh dari sini."
"Masih ada satu lagi urusanku di sini, Ki Jalaksana. Dan ini yang
terpenting bagiku."
"Aku tahu tujuanmu, Pranggala. Sebaiknya lupakan saja. Kau tidak akan
mungkin bisa membunuh Ki Tunggul Santak. Bukankah dia...."
"Cukup...!" bentak Pranggala lantang, sehingga membuat kata-kata Ki
Jalaksana terputus.
Sementara, Dewi Manik sudah menggenggam gagang pedang, walaupun belum
tercabut dari warangkanya. Wanita itu sendiri sebenarnya sudah tidak sabar
lagi, ingin mengepruk pemuda itu. Tapi dia masih bisa menahan diri, dan
membiarkan Ki Jalaksana bicara. Ingin diketahuinya, ada apa sebenarnya di
balik semua peristiwa berdarah ini.
"Ki Jalaksana! Sudah berulang kali aku memperingatkanmu. Dan kalau
peringatanku yang terakhir ini tidak diindahkan, aku tidak segan-segan
memasukkanmu ke dalam deretan orang-orang yang harus kulenyapkan!" kata
Pranggala lantang menggelegar.
"Aku tidak akan berhenti sampai kau hentikan semua perbuatanmu, Pranggala,"
tandas Ki Jalaksana.
Pranggala menggeram kecil. Ditatapnya bola mata laki-laki setengah baya ini
dengan sorot mata yang begitu tajam menusuk. Dan pandangannya kemudian
berpindah pada Dewi Manik, yang diketahuinya istri Ki Jaran Jati. Kini
tatapan matanya pun kembali beralih pada Ki Jalaksana.
"Ini peringatanku yang terakhir, Ki Jalaksana. Kalau tidak cepat pergi dari
sini, aku tidak segan-segan memperlakukanmu seperti mereka...!" tegas
Pranggala.
"Gertakanmu tidak akan bisa membuatku mundur selangkah pun,
Pranggala."
"Jangan memaksaku, Ki Jalaksana."
"Tapi kau sudah memaksaku, Pranggala. Kau memaksaku untuk bertindak."
Pranggala kembali menggeram. Dari raut wajahnya yang memerah, jelas sekali
kalau pemuda itu berusaha menahan kemarahan. Sedangkan Ki Jalaksana sudah
melangkah lagi beberapa tindak. Sementara, Dewi Manik tetap berada di
belakangnya. Perlahan pedangnya dicabut, bersamaan dengan tercabutnya pedang
Ki Jalaksana dari warangka. Saat itu, Pranggala sudah tidak dapat lagi
menahan kesabaran, melihat senjata dua orang di depannya sudah tercabut dari
warangka. Perlahan pedangnya diangkat, hingga lurus sejajar dada dan tertuju
langsung ke dada Ki Jalaksana.
"Kuharap, jangan menyesali tindakanmu yang bodoh, Ki Jalaksana," desis
Pranggala dingin menggetarkan.
"Hari ini aku akan mengadu nyawa denganmu, Pranggala," sambut Ki Jalaksana
tidak kalah dinginnya.
Lagi-lagi Pranggala menggeram kecil.
"Tahan seranganku, Pranggala! Hiyaaat...!"
Bet!
Bagaikan kilat Ki Jalaksana melompat sambil membabatkan pedang ke arah
leher pemuda itu. Tapi hanya bergerak sedikit saja, Pranggala berhasil
menghindari sabetan pedang itu. Lalu dengan cepat kakinya ditarik ke
belakang dua langkah, sebelum Ki Jalaksana melancarkan serangan lagi. Saat
itu juga, pedangnya dikebutkan lurus ke depan.
Wuk!
"Haiiit..!"
Ki Jalaksana cepat-cepat melenting dan berputar ke belakang, menghindari
serangan balasan Pranggala. Dan begitu kakinya menjejak kembali di tanah,
tubuhnya langsung melesat dengan pedang berputaran cepat mengincar
bagian-bagian tubuh yang mematikan.
Emoticon