Warok Ponorogo 3 - Berguru Ilmu Kanuragan

1
BERGURU DI LODAYA 


SORE hari hampir senja, Warok Wulunggeni baru sampai di 
perguruan Padepokan Lodaya yang terletak di dekat paritai laut 
pasir berterbangan menandakan sebentar lagi akan turun hujan 
lebat. 

Pemimpin begal yang dikenal bernama Tanggorwereng 
gama rombongannya itu bertindak sebagai penunjuk jalan bagi 
Warok Wulunggeni. Mereka hanya mengantarkan sampai ha- 
laman pintu gerbang paling depan. Itu pun ia hanya memper- 
hatikan dari kejauhan sambil berlindung di balik semak-semak 
yang rimbun agar tidak ketahuan kedatangannya oleh Eyang 
Guru Lodaya. 

Tanggorwereng takut ketahuan oleh Guru Lodaya yang se- 
benarnya masih terhitung sebagai Eyangnya sendiri. Ia tidak 
mau masuk ke dalam gapura yang terukir indah agak berlu- 
mutan kehijauan itu lantaran takut kena amarah eyangnya, 
karena dulu ia pernah kabur dari Pedepokan Lodaya itu. 

Setelah memberikan salam perpisahan kepada Warok Wu- 
lunggeni, Tanggorwereng dan anak buahnya segera beranjak 
dari tempat itu kembali ke hutan untuk menjalankan pekerjaan 
sehari-harinya sebagai begal. 

Dua orang pemuda yang berpakaian serba hitam menyong- 
song kedatangan Warok Wulunggeni yang juga berpakaian 
serba hitam itu. Hanya mereka itu memiliki ciri-ciri yang 
berbeda. Pakaian hitam orang Ponorogo dan pakaian hitam 
orang Blitar selatan itu tidak sama. Mereka masing-masing 
memiliki filosofis sendiri-sendiri disesuaikan menurut 
kegunaannya, dan demi membantu kelancaran kegiatan 
hidup sehari-harinya. 

Pakaian khas Warok Ponorogo seperti halnya yang digu- 
nakan oleh Warok Wulunggeni itu berwarna hitam legam, 
celana longgar sebatas lutut dengan ikat pinggang besar serta 
kolor putih 'nglewer' sebesar lengan yang memakainya, 
dilengkapi pakaian baju penadon, ikat kepala yang disebut 
'udeng', sebilah pedang pendek yang disebut ' motek? terselip 
diikat pinggangnya. 

“Bapak hendak bertemu siapa,” sapa salah seorang pemuda 
yang berpakaian serba hitam itu dengan sopan-santun, 
menerima kedatangan Warok Wulunggeni ketika ia telah 
berada di halaman pekarangan komplek perguruan Padepokan 
Lodaya itu. 

"Boleh aku bertemu dengan Eyang Guru Lodaya," 

“Bapak bernama siapa, dan dari mana asalnya ?". 

"Namaku Wulunggeni. Asal dari Ponorogo." 

“Kalau boleh tahu. Ada keperluan apa, kok sampai jauh-jauh 
begin datang ke Padepokan Lodaya ini." 

“Saya ingin berguru kepada'Eyang Lodaya." 

“Sebaiknya Bapak silahkan tunggu di ruang sebelah sentong 
kiri sana. Kami akan haturkan terlebih dahulu kepada Eyang 
Guru." 

"Baik, terima kasih." 

Kedua pemuda yang berpembawaan sangat santun itu ke- 
mudian memasuki pintu besar berwarna hitam pekat, nampak 
berwibawa. Sementara itu Warok Wulunggeni duduk 
menunggu di tempat yang ditunjukkan oleh kedua pemuda 
tadi. Tidak berapa lama kemudian kedua pemuda itu kembali 
lagi menemui Warok Wulunggeni. 

"Bapak dipersilahkan masuk, ditunggu Eyang Guru di ruang 
tengah," 
"Terima kasih." 

Kemudian, Warok Wulunggeni dengan dikawal oleh kedua 
pemuda tegap tadi, memasuki rumah utama yang terdiri dari 
bangunan besar terbuat dari kayu jati yang nampak kokoh. 
Setelah melalui lorong yang bercahaya remang-remang, lalu 
memasuki sebuah pintu besar dari kayu jati yang nampak 
kokoh, kemudian di dalamnya terhampar ruangan yang berbau 
dupa menyengat. Di tengah-tengah terdapat sebuah kursi besar 
dan seorang tua berambut panjang yang terikat oleh kain hitam 
sedang duduk dengan sikap tenang di situ. Laki- laki tua itu 
menyambut kedatangan Warok Wulunggeni ity dengan 
senyuman ramah kebapakan. 


"Silahkan duduk orang jauh," kata orang tua itu mem- 
persilahkan Warok Wulunggeni untuk mengambil tem- 
pat duduk dihadapannya. 


Warok Wulunggeni kemudian hanya bisa menyembah lalu 
mengambil tempat duduk di hamparan tikar mendong yang 
kelihatan bersih terpelihara. Ia duduk di tengah diapit oleh 
kedua pemuda yang mengantarkan tadi. 


Dihadapan Guru Lodaya, Warok Wulunggeni merasa dirinya 
menjadi kecil. Mungkin kalah wibawa dengan guru yang kaya 
akan ilmu kedigdayaan itu. 

"Siapa namamu, Dimas," tanya Guru Lodaya memecahkan 
kesunyian. 


"Nama hamba, Wulunggeni, Eyang Guru". 


"Nama yang bagus. Lalu, dari mana asalmu, Dimas Wulung," 
tanya Guru Lodaya itu lagi. Walaupun sebenarnya Guru Lo- 
daya itu sudah tahu nama dan asal-usul Warok Wulunggeni itu, 
tetapi untuk pembuka pembicaraan ditanyakan kembali jati diri 
Warok Wulunggeni itu. 


"Hamba datang dari Ponorogo, Eyang Guru." 


“Ponorogo. Wah, ini aku tidak suka sama sekali terhadap 
orang- orang Ponorogo. Sangat tidak aku sukai," kata Guru 
Lodaya itu sambil manggut-manggut. Tampak pada raut 
mukanya yang tiba-tiba berubah menjadi bengis. Warok Wu- 
lunggeni hanya terdiam menunduk dengan takjim, tidak tahu 
harus bilang apa. 


"Engkau masih turun raja atau berasal dari rakyat jelata," lanjut 
Guru Lodaya itu kemudian. 


"Hamba dari rakyat biasa, Eyang Guru." 


"Rakyat biasa. Bagus. Syukurlah. Kalau engkau masih turun 
raja, sekarang juga aku usir engkau dari hadapanku ini. Untung 
saja engkau datang dari rakyat biasa. Jadi aku masih menaruh 
setitik simpati kepadamu. Engkau tahu, Dimas Wulung. Apa 
sebabnya demikian." 


"Tidak tahu Eyang Guru." 


"Beberapa puluh tahun yang lalu, muridku yang menjadi raja 
di Kerajaan Lodaya bergelar Prabu Singobarong itu, telah 
dibuat malu oleh rajamu si Kelana Swandana itu. Masak, raja 
disuruh menari- nari dengan dicengkerami burung merak, di- 
ikuti tetabuhan macam- macam untuk hadiah hiburan calon 
permaisurinya putri Doho: Kediri, Dewisri Sanggalangit itu. 
Aku tidak terima perlakuan Raja Swandana dari kerajaan 
Bantaran Angin Ponorogo itu. Maka sejak itu aku putuskan 
untuk tidak menyukai turun raja Ponorogo itu. Kalau kebetulan 
kamu berasal dari rakyat biasa, sebagai turun rakyat jelata. 
Nah, orang semacam engkau ini yang malahan aku cari. Aku 
ingin sekali mempunyai ikatan hubungan dengan rakyat 
Ponorogo seperti engkau ini Dimas Wulung. Tetapi bukan 
menjalin ikatan hubungan dengan turun raja Ponorogo. 
Sama sekali aku tidak sudi. Áku tidak mau mempunyai 
urusan dengan turun raja Ponorogo. Itulah semua latar be- 
lakangnya, Dimas Wulung." 


Suasana menjadi hening sejenak. Guru Lodaya itu batuk-batuk 
kecil menandakan usianya yang telah lanjut dengan rambutnya 
yang memutih semua sepanjang bahu yang terikat rapi. 


"Lalu, apa perlumu datang kemari jauh-jauh, Dimas Wu- 
lung." 


"Hamba ingin 'ngangsu kaweruh”. Ingin menimba ilmu dari 
Eyang Guru untuk bekal kelanggengan hidup." 


"Ilmu itu ‘angel le nemu”. Maka harus diupayakan dengan 
mati- matian untuk memperolehnya. Ilmu apa yang akan 
engkau cari, Dimas Wulung." 


"Ilmu kedalaman bathin, dan ketangguhan ilmu kanuragan, 
Eyang Guru." 


"Bagus. Bagus sekali. Semua ilmu yang Dimas cari itu, me- 
mang gudangnya ada di sini. Di perguruan Pedepokan Lodaya 
ini." kata Eyang Guru Lodaya itu agak membanggakan diri 
dihadapan orang Ponorogo itu. Ia nampak senang, ada orang 
Ponorogo yang mau menuntut ilmu kadigdayanan kepadanya. 
Selama ini daerah Ponorogo juga sangat termashur namanya 
sebagai gudangnya ilmu kanuragan, ilmu kedigdayanan, dan 
gudangnya ilmu kedalaman bathin, tetapi toh masih ada orang 
tangguh seperti Warok Wulunggeni ini yang mau menjelajahi 
perguruan-perguruan keilmuan di mana pun saja beradanya. 


“Tidak salah lagi, Dimas Wulung. Sangat tepat kalau Dimas 
Wulung bersedia jauh-jauh datang kemari untuk keperluan 
memperdalam ilmu-ilmu penjaga kehidupan itu. Tetapi aku 
musti uji dahulu kemampuan dasarmu. Apakah engkau harus 
nya. Apakah engkau sanggup mengikuti petunjuk-petunjukku, 
Dimas Wulung. Terutama engkau harus terlebih dahulu 
mengucapkan sumpah kebaktian untuk tidak sembarangan 
menggunakan ilmu-ilmu barumu yang akan engkau terima. 
Engkau dapatkan dari perguruan Padepokan Lodaya ini. 
Apakah engkau akan sanggup memenuhi segala yang aku 
syaratkan ini, Dimas Wulung." 


"Atas seijin Eyang Guru. Hamba sanggup memenuhi segala 
hal yang dipersyaratkan, Eyang Guru. Dan hamba meng- 
haturkan sembah bhakti. Demikian juga hamba bersedia 
mengangkat sumpah untuk memegang janji-janji terhadap 
segala yang Eyang Guru tetapkan." 


"Bagus. Bagus sekali. Aku senang atas keteguhan sikapmu. 
Engkau nampaknya orang yang memang suka belajar dan 
pemburu ilmu. Aku senang bertemu orang seperti Dimas Wu- 
lung ini. Orang yang aku cari. Ini baru namanya orang 
Ponorogo yang memiliki keuletan hati. Mempunyai ketegaran 
tekad yang kuat. Aku suka semuanya ini. Nah. untuk semen- 
tara, karena Dimas Wulung baru datang dari perjalanan jauh, 
demikian juga hari telah malam, maka sebaiknya hari ini 
engkau pergunbakan untuk istirahat dahulu. Esuk hari, pagi- 
pagi ketika ayam jantan berkokok engkau harus sudah bersiap 
din di sini, Sekarang engkau akan diantar cantrikku ke tempat 
peristirahatan di sebelah kidul sungai di belakang bangunan 
rumah bambu di sebelah sana itu. Dimas Wulung dapat gu- 
nakan untuk pemondokan selama tinggal di padepokan ini." 


"Matur nuwun. Terima kasih. Eyang Guru.” 


"Cantrik, antarkan tamu baru kita ini ke tempat peristirahatan 
kidul sungai sana." 


"Siap menjalankan dawuh Eyang Guru," jawab kedua cantrik 
yang masih muda-muda itu hampir berbarengan. 


Tidak berapa lama, nampak Warok Wulunggeni dengan 
diiringi oleh kedua pemuda yang berpenampilan tegap- 
tegap itu keluar dari rumah besar tempat kediaman Eyang 
Guru Lodaya yang terkenal sakti mandraguna itu. Mereka 
menuju ke arah selatan ke tempat pemondokan yang diperun- 


tukkan khusus bagi Warok Wulunggeni, sebagai murid baru 
Eyang Guru Lodaya pada hari itu. 


Tempat pemondokan yang terbuat dari kayu dan bambu. 
Warok Wulunggeni mendapat tempat tersendiri terpisah dari 
tempat para murid yang lain. Letaknya pun agak berjauhan dari 
murid-murid yang lain, terkesan merupakan tempat pemon- 
dokan yang sengaja dibuat menyendiri. Di dekat pemondokan 
itu mengalir air sungai yang terus menuju ke muara laut kidul. 
Bunga-teratai banyak mengapung di kolam ikan di sebelah 
belakang rumah pemondokan Warok Wulunggeni itu. Suara 
kodok bersautan seakan-akan menyambut kedatangan tamu 
baru dari Ponorogo yang sengaja di tempatkan di tempat yang 
sunyi, gelap gulita hanya diterangi oleh lampu obor yang di 
pasang di tiang kayu depan rumah pondokan itu. Di dalam 
ruangan hanya diterangi oleh lampu minyak kelapa yang 
menyala cukup sempurna. 


Sesampai di rumah pemondokan itu Warok Wulunggeni 
segera diperkenalkan tempat-tempat, baik itu kolam mandi dan 
air pancuran alam, kamar dengan tempat tidur dari bambu yang 
berbantal kayu balok, dan lain sebagainya. Setelah Warok 
Wulunggeni mandi dan berganti pakaian khas pakaian pergu- 
ruan Padepokan Lodaya yang disiapkan oleh para cantrik itu, 
sekembali dari mandi ke ruang tengah pemondokan itu, ia 
dikagetkan ternyata telah disediakan makanan dalam tampah 
oleh para cantrik tadi. Nasi putih hangat, 'jangan bobor', 
"kulupan', ikan laut, dan "kendi? untuk minum. Dalam keadaan 
lapar berat, Warok Wulunggeni segera bersantap sendirian. 
Setelah itu ia membersihkan segala bekas tempat makannya. 
Kemudian ia bersemedi beberapa saat, dan terus mengambil 
tempat tidur untuk mempersiapkan diri menerima pelajaran 
esuk hari. 


2
PENDADARAN KEILMUAN 


PAGI hari sebelum ayam jantan berkokok, Warok Wulunggeni 
telah bersiap diri di ruang khusus yang kemarin sore diperin- 
tahkan oleh Eyang Guru Lodaya untuk datang kembali ke 
tempat itu. 


"Dimas Wulung, bersiaplah. Aku akan menguji kemampuan 
dasar ilmu kanuraganmu," suara Eyang Guru Lodaya tiba-tiba 
muncul dari balik pintu besar yang berwarna hitam pekat itu 
siap dengan pakaian berlaga hitam pekat dengan ikat kepala 
yang tertata apik nampak teguh. 


Kemudian, tanpa banyak tanya lagi Warok Wulunggeni begitu 
melihat kesiapan Guru Lodaya itu, maka ia pun segera mem- 
persiapkan diri seperti yang diperintahkan oleh Guru Lodaya 
itu. Warok Wulunggeni kemudian -memasang kuda- 
kudanya. Menyiagakan kewaspadaan seluruh inderanya. 
Konsentrasinya pun terus-menerus dikembangkan. Ia kini 
dalam keadaan yang siap siaga segalanya. 


Seterusnya, nampak bahwa Eyang Guru Lodaya yang juga 
sejak tadi telah bersiap diri dengan pakaian hitam kelamnya 
itu, tidak banyak bicara lagi, tiba-tiba ia menyerang menerjang 
pertahanan Warok Wulunggeni. Dengan cepat Eyang Guru 
Lodaya itu berloncat- loncat kian-kemari, gerakannya seperti 
muncul dari berbagai jurusan yang berkebat sangat cepat ham- 
pir sulit ditangkap oleh indera penglihatan Warok Wulung- 
geni. Bayangan hitam yang melingkar-lingkar di udara itu 
seperti siap sewaktu-waktu menerkam tubuh Warok Wulung- 
geni yang juga terus bergerak cepat mempertahankan diri di 
ruas tengah putaran kedudukan kuda- kudanya. Perubahan 
kedudukan masing-masing sangat bergeser. Sangat dibu- 
tuhkan kemampuan untuk menangkap tiap kali perubahan 
gerakan yang dikembangkan oleh pihak lawan. Apabila salah 
satu di antara mereka itu ada kurang cermat melakukan gerak 
perubahan, maka niscaya sudah dapat diperkirakan akan 
terkena sambaran terjangan jurus serangan lawannya. 


Melihat situasi serangan-serangan maut yang dilancarkan oleh 
Eyang Guru Lodaya yang sedemikian rupa itu, Warok Wu- 
lunggeni segera memasang jurus-jurus sapu bersih, baik per- 
tahanan bawah, tengah, maupun atas. Cara demikian 
diterapkan dengan harapan agar ia dapat terhindar dari 
serangan yang bertubi-tubi datang dari Eyang Guru Lodaya 
yang sangat kaya variasi gerak dan berpengalaman bertanding 
itu. Dengan menerapkan jurus sapu bersih itu Warok Wulung- 
geni agak tertolong posisinya. Sehingga nampaknya, belum 
ada satu serangan pun yang dilancarkan oleh Eyang Guru 
Lodaya itu yang dapat mengenai sasaran. Tidak ada satu 
serangan pun yang dapat mengenai tubuh Warok Wulung- 
geni yang gagah perkasa itu. 


Melihat kecekatan gerak Warok Wulunggeni itu, Eyang Guru 
Lodaya itu kemudian nampak mundur surut beberapa langkah, 
dan terlihat pada mulutnya sedang bergerak komat-kamit entah 
mantra apa yang sedang dibacanya. Kemudian, tidak berapa 
lama, terlihat pada tangan-tangan Eyang Guru Lodaya itu 
berubah kulit. Pada wajah raut mukanya mulai terlihat ditum- 
buhi oleh munculnya banyak bulu- bulu yang dengan cepat 
merata ke seluruh tubuhnya. Pada pantatnya pun kemudian 
keluar ekor panjang. Eyang Guru Lodaya itu telah berubah 
menjadi macan tutul. Kemudian dengan mengeluarkan 
suara menggeram, macam tutul itu tiba-tiba meloncat 
gesit menyerang Warok Wulunggeni yang masih agak 
terbengong menyaksikan perubahan pada tubuh Eyang 
Guru Lodaya, baru kali ini seumur hidupnya, Warok Wu- 
lunggeni melihat keanehan ilmu kanuragan yang dimiliki 
oleh guru padepokan yang sakti mandraguna itu. 


Terjadilah pergumulan sengit. Suara keras macan tutut itu, 
mengerang-ngerang dengan tujuan untuk mengganggu saraf 
pendengaran bagi lawannya. Namun nampaknya, Warok Wu- 
lunggeni pun memiliki jurus untuk menghalau getaran suara 
yang dapat mengganggu saraf dan membuyarkan konsentrasi 
lawan itu, sehingga usaha untuk mempengaruhi kekuatan in- 
dera pendengaran lawan melalui suara raungan macan tutul itu 
kurang berhasil. Akan tetapi, kekuatan jurus-jurus serang yang 
dilancarkan oleh macan tutul itu sangat bervariasi, dan 
memiliki kecepatan gerak yang begitu gesit. Sehingga, 
kekuatan macan tutul itu tidak saja berusaha meruntuhkan 
kekuatan indera tetapi juga ditopang oleh kekuatan bathin dan 
daya ‘linuwih’ yang tersimpan pada tiap ujung kuku dan 
taringnya. Oleh karena itu kemudian telah mengubah perge- 
seran perimbangan kekuatan. Posisi Warok Wulunggeni 
makin terjepit. Tidak berapa lama kemudian daya kesiagaan 


indera Warok Wulunggeni menjadi lengah, sehingga membuat 
dirinya terjatuh beberapa kali bergelimang sulit menghadapi 
terkaman macan tutul yang begitu lincah itu. 


Walaupun dalam beberapa kali terkaman nampaknya macan 
tutul itu mempunyai kesempatan untuk menggigit dan men- 
cakar tubuh Warok Wulunggeni dengan kukunya, tetapi ru- 
panya hal itu tidak pernah dilakukan. Mungkin saja, macan 
tutul dari jadian Eyang Guru Lodaya itu tidak ingin melukai 
calon muridnya itu, hanya mau memberikan pengujian 
ketangkasan saja. Sehingga ia tidak menggigit dan mencakar 
seperti yang seharusnya dilakukan oleh macan yang menggu- 
nakan naluri hewaninya. Walaupun wujud bentuknya macan 
tutul, tetapi perangai dan perilakunya tetap sebagaimana 
layaknya manusia biasa. 


Warok Wulunggeni berusaha mengerahkan ilmu bathin dan 
kemampuan ilmu kanuragan yang dimilikinya. Dengan 
mengerahkan kekuatannya itu, Warok Wulunggeni pada 
akhirnya dapat berhasil menjerat macan tutul itu. Dengan 
sigap Warok Wulunggeni menggunting perut macan tutul 
itu, dan mencekik lehernya, berusaha untuk mengunci 
kekuatan gerak macan tutul itu dengan menerapkan jurus- 
jurus kuncian yang diandalkan. Akan tetapi seketika itu, 
macan tutul itu telah terkunci, sehingga sulit bergerak, tiba- 
tiba macan tutul itu berubah bentuk menjadi macan loreng 
yang lebih besar. Kuncian yang dipasang oleh Warok Wulung- 
geni untuk mematikan gerakan macan tutul itu seketika ter- 
lepas. Warok Wulunggeni terlempar keras beberapa langkah 
ke belakang hampir tergelepar. Begitu dahsyat kekuatan ma- 
can loreng itu seakan-akan telah berubah menjadi kekuatan dua 
kali lipat dari kekuatan macan tutul sebelumnya. 


Belum sempat Warok Wulunggeni mengatur peredaran 
darahnya yang agak terhenti akibat lemparan tenaga dalam 
macan loreng itu, tiba-tiba macan loreng besar itu nampaknya 
telah siaga akan menyerang kembali. Warok Wulunggeni 
segera mencoba menerapkan aji-aji samber bledek yang meru- 
pakan senjata andalannya yang kalau seseorang tidak 
menguasai ilmu perangkat daya lebih, maka bila terkena 
aji-aji andalan itu pasti langsung mati tergelepar. 


Macan loreng yang sedianya akan menerkam itu, kemudian 
surut kembali beberapa langkah ke belakang. Ia agaknya 
sangat maklum dan mengerti benar akan kehandalan ilmu 
aji-aji samber bledek itu yang bisa mematikan lawan yang 
terkena. Maka kemudian macan loreng jadian dari Eyang Guru 
Lodaya itu tiba-tiba berubah menjadi macan gembong besar. 
Walaupun tubuhnya begitu besar, namun gerakannya tidak 
mudah tertangkap oleh indera penglihatan orang awam. 
Gerakannya begitu cepat dengan didukung oleh kekuatan yang 
juga begitu dahsyat seperti badai lewat. Warok Wulunggeni 
nampaknya sampai tidak sempat melepaskan ilmu aji-aji sam- 
ber bledeknya itu ketika tiba-tiba macan gembong itu 
dengan cekatan menerkam tubuhnya. Ia kalah cepat daripada 
gerakan macan gembong besar itu. Belum-belum Wulunggeni 
sudah berada dalam cengkeraman macan gembong besar itu. 
Daya dorong tubuhnya terbelenggu oleh kekuatan dahsyat 
macan gembong itu, sehingga Warok Wulunggeni tidak ber- 
daya untuk bergerak. Macan gembong itu dalam posisi sedang 
mengunci gerak Warok Wulunggeni yang nampak mulai sulit 
bergerak, menjadi tidak berdaya. Dan tidak berapa lama, ma- 
can gembong itu berubah menjadi Eyang Lodaya kembali. 


Perkelahian untuk menguji kemampuan Warok Wulunggeni 
itu kemudian diakhiri oleh Eyang Guru Lodaya yang nampak 


juga terengah-engah menahan nafas. Baju hitam legamnya itu 
nampak basah kuyup terguyur keringatnya yang mencucur 
deras. Guru Lodaya itu kemudian memasuki ruang biliknya 
untuk berganti pakaian barunya. Demikian juga yang di- 
lakukan oleh Warok Wulunggeni, ia nampaknya juga telah 
disediakan pakaian barunya untuk mengganti baju hitamnya 
yang juga sudah basah kuyup itu. 


Setelah mereka berdua berganti pakaian barunya itu, nampak 
kedua laki-laki jantan itu kemudian duduk bersama di ruang 
tengah yang luas itu. Tidak berapa lama kemudian muncul 
seorang dayang, perempuan berpenampilan luwes berumur 
setengah baya dengan tingkah laku yang amat bersopan santun 
yang mendalam, memasuki ruangan itu sambil membawa dua 
cangkir minuman hangat, dan teko besar yang terbuat dari 
tanah liat. Berisi wedang jahe beserta singkong rebus yang 
masih hangat nampak mengepul asapnya. 


"Bagus. Bagus Dimas Wulung. Engkau memiliki perbenda- 
haraan ilmu kanuragan yang cukup bisa diandalkan, dan penuh 
bervariasi. Aku kagum juga atas kecerdikanmu mengolah seni 
gerak ilmu kanuragan ini. Luar biasa penerapan teknik-teknik 
pengendalian jurus- jurusnya. Aku hampir kewalahan meng- 
hadapi jurus-jurus perangkap tipuan itu. Kalau aku tidak 
waspada betul, mungkin aku sudah masuk ke dalam jurus 
perangkapmu itu. Engkau mempunyai kemampuan mengolah 
berbagai kombinasi ilmu bela diri. Aku yakin engkau pun 
dalam waktu yang tidak lama juga akan dapat menguasai ilmu 
andalan dari lodaya ini," kata Eyang Guru Lodaya memberikan 
pujian terhadap kehebatan ilmu kanuragan yang dimiliki oleh 
Warok Wulunggeni itu. 


"Terima kasih, Eyang Guru. Hamba hanya berusaha mem- 
peragakan apa saja yang hamba punya agar Eyang Guru 
dapat mengetahui tingkat pengetahuan hamba," jawab 
Warok Wulunggeni setelah duduk bersila dihadapan Eyang 
Guru Lodaya itu. 


"Dasar-dasar keilmuan macan jadian ini nantinya ada titik 
singgungnya dengan daya alam. Ilmu kemampuan mengolah 
kekuatan daya alam untuk saling bersinggungan dengan daya 
yang ada pada tubuh diri kita sebagai manusia ini. Kekuatan 
yang terpadu antara unsur kemanusiaan dan alam. Unsur-unsur 
kehidupan, ciptaan Sang Hyang Tunggal, yaitu manusia yang 
paling sempurna, kemudian makhluk hewani, dan seterusnya 
tumbuh-tumbuhan itu. Semuanya itu adalah ilmu kehidupan. 
Kita memiliki beberapa unsur yang sebagian menyerupai bi- 
natang yaitu kemampuan bergerak cepat yang dinamis. Se- 
dangkan ilmu macan kita perdalam karena mengambil gerak 
yang cepat dan dinamis itu. Dasar tenaga dalamnya seperti 
biasa adalah unsur pengendalian pernafasan secara baik. 
Menghirup udara bersih yang dihasilkan oleh tumbuh-tum- 
buhan, kita tahan dalam tubuh, dan kemudian kita melepaskan 
kembali udara kotor agar diserap kembali oleh tumbuh-tum- 
buhan. Kemudian oleh tumbuh- tumbuhan diolah keluar kem- 
bali menjadi udara bersih yang merupakan daya pendorong 
bagi kehidupan manusia," demikian bunyi pelajaran pertama 
yang diwejangkan oleh Eyang Guru Lodaya dihadapan Warok 
Wulunggeni seorang diri di pagi hari yang berudara sejuk itu. 


"Hayo silalkan sambil diminum wedang hangatnya ini, Di- 
mas Wulung. Kita istirahat sejenak dulu. Nanti kita mulai 
lagi beberapa dasar keilmuannya, dan langkah-langkah lan- 
jutan pengembangannya." 


"Terima kasih, Eyang Guru," kata Warok Wulunggeni sambil 
mengangkat cangkir wedang hangat itu, kemudian menghirup 
pelan- pelan wedang jahe, juga mencicipi singkong rebus 
hangat yang gembur merekah itu. 


Pintu-pintu ruangan itu kemudian dibuka oleh para dayang- 
dayang yang bertugas tiap hari untuk pekerjaan harian itu. 
Ternyata hari telah pagi. Para cantrik terlihat dari jendela 
ruangan itu sudah banyak yang membersihkan tempat-tempat 
pemondokan mereka. Dan sebagian dari mereka terlihat se- 
dang melakukan senam pernafasan di pagi hari yang berudara 
segar itu. Tidak ketinggalan para murid, baik murid laki-laki 
maupun perempuan yang mempunyai kewajiban menjalankan 
latihan pemanasan di pagi hari dengan tekun mereka pun 
berlatih bersama secara serius. 


Eyang Guru Lodaya dan Warok Wulunggeni kemudian 
nampak berjalan- jalan memutari komplek padepokan itu 
sambil masih terlihat Guru Lodaya itu memberikan we- 
jangan-wejangan yang didengarkan dengan seksama oleh 
Warok Wulunggeni yang dengan tekun pula mengikuti 
segala petuah pelajaraan yang baru saja diterima itu lang- 
sung dari guru panutannya itu. 



3
KEHIDUPAN PADEPOKAN 


KEHIDUPAN di Pedepokan Lodaya itu nampak sangat 
tenang. Suasana yang nyaman dengan keramahan para 
penghuni padepokan itu nampak terasa membuat kerasan 
bagi para penghuninya. Bila siang hari terdengar tetabuhan 
gending dan suara tembang 'uyon-uyon' yang berirama halus 
melantunkan tembang-tembang yang bersyair berisi pelajaran 
dan falsafah hidup yang mendalam, memberikan gairah hidup 
bagi mereka yang mendengarkan, dibawakan oleh para murid- 
murid perguruan Pedepokan Lodaya itu. 


Tiap murid mendapatkan jatah kamar berupa bilik-bilik yang 
tertata apik. Mereka masing-masing menjaga kebersihan 
biliknya sendiri-sendiri. Tiap bilik ukurannyatidak sama. Ada 
bilik berukuran besar yang diisi oleh penghuni secara beramai- 
ramai terutama diperuntukan bagi para murid tingkat pemula. 
Sedangkan bagi murid tingkat lanjutan atau yang sebelumnya 
telah menguasai dasar-dasar keilmuan yang mencapai ilmu 
tingkat tinggi, mereka mendapat jatah bilik sendiri-sendiri 
yang letaknya agak terpisah jauh berada di pinggir aliran 
sungai yang mengalir tenang pengelilingi lingkungan pede- 
pokan itu. 


Demikian juga bagi posisi seperti Warok Wulunggeni ini, 
begitu diterima sebagai murid, langsung mendapatkan tempat 
bilik khusus karena ia dianggap sudah memiliki dasar-dasar 
keilmuan tinggi sebelumnya. Ia datang sebagai murid untuk 
proses penambahan dan pengembangan ilmunya, maka ia 
mendapatkan tempat khusus itu agar tiap kali ia bisa leluasa 
melakukan meditasi sendiri tanpa ada gangguan dari orang 
lain, dan juga terlepas dari bimbingan guru. Ia dapat 
melakukan latihan sendiri di biliknya itu agar tidak terganggu 
oleh orang lain. 


"Selamat pagi, Kangmas," tiba-tiba terdengar suara perem- 
puan dari balik pintu depan biliknya. Rupanya yang datang Sri 
Wiji Darmini nama seorang perempuan berparas cantik 
menawan yang tiap kali selalu setia mengantarkan jatah 
makanan bagi para penghuni bilik- bilik khusus bagi mereka 
yang telah menguasai ilmu tinggi itu. 

"Oh, Jeng Wiji. Mari Jeng, silahkan masuk," kata Warok 
Wulunggeni dengan mimik muka yang ramah penuh simpatik 
menyambut kedatangan perempuan yang amat dikenalnya itu. 


Sri Wiji Darmini adalah perempuan yang berwajah melur, 
berkulit kuning langsat, bertingkah halus gemulai ini selalu 
menampakkan senyum manisnya yang mudah membuat ber- 
desir hati tiap laki-laki yang memandang keelokan wajahnya 
itu. Namun bagi Wulunggeni yang adalah seorang warok 
menurut aturannya tidak mudah melepaskan dirinya terkesima 
oleh perempuan secantik apa pun. Itu pantangannya yang 
berkaitan dengan ilmu kanuragan yang dimilikinya dari 
Ponorogo. 


"Kangmas Wulung sedang semedi too." 


"Oh tidak kok, Jeng. Hanya ini ada kegiatan kecil, baru saja 
bersemedi, dan ini sedang menghafalkan mantra-mantra yang 
tadi malam diajarkan oleh Eyang Guru." 


"Rupanya Eyang Guru sangat sayang yah, sama Kangmas 
Wulung.” 


"Tentunya tidak saya saja to Jeng yang disayang Eyang Guru. 
Semua penghuni padepokan ini disayang oleh Eyang Guru. 
Kalau tidak disayang mana mungkin Eyang Guru mau mem- 
berikan bimbingan kepada kita semua ini di sini," kata Warok 
Wulunggeni sambil tersenyum ramah pula kepada tamunya 
yang masih dari lingkungan dalam padepokan ini. 

Nampak kedua laki-laki dan perempuan itu seperti layaknya 
sebagai saudara dekat yang sudah lama kenal. Sekali-kali 
terdengar tertawa ria penuh kebahagiaan. Mereka nampak 
semakin akrab saja dibuatnya. Walaupun Sri Wiji Darmini 
sebenarnya tergolong perempuan yang berstatus janda. 
Suaminya dulu, juga berasal dari salah seorang murid Guru 
Lodaya yang mati tidak tahan terhadap ujian yang berat ketika 
menempuh pendadaran pengujian tahap penyempumaan ilmu 
itu, Oleh karena itu, untuk meneruskan persaudaraan di antara 
kalangan pedepokan ini, isterinya ini pun akhirnya mengabdi- 
kan diri di Padepokan Lodaya ini. 

Selain menjadi murid di pedepokan Lodaya ini, Sri Wiji 
Darmini juga mendapat tugas untuk mengurus makan bagi 
kalangan murid yang berilmu telah mencapai kesempurnaan, 
termasuk Warok Wulunggeni ini. Sedangkan bagi murid pe- 
mula, untuk mengurus segala keperluannya, termasuk makan- 
nya harus diurus masing-masing. 


"Jeng Wiji, pagi ini kok kelihatan makin cantik saja," kata 
Warok Wulunggeni mencoba menggoda. 

"Ach Kangmas Wulung, ada saja." kata Wiji Darmini sambil 
tersenyum-senyum di kulum nampak juga senang mendapat- 
kan pujian dari Warok Wulunggeni yang selalu bersikap ramah 
kepadanya itu. 


"Benar lo, Jeng. Saya saja jadi terkagum-kagum." 
"Kangmas sendiri yang kelihatan makin gagah saja." 
"Ach. Apa benar," 


"Menurut Wiji, beberapa bulan belakangan ini Kangmas Wu- 
lung makin kelihatan gagah saja. Terutama sejak tinggal di 
padepokan ini, lo." 


"Oh, berarti tergantung yang merawat dan yang mengasih 
makan." 


“Iyah.. hi... hi." kata Wiji Darmini sambil tertawa kalem. 


"Berarti selama saya di sini makin ada kemajuan. Belum 
pemah ada orang yang mau memuji saya sebelum saya datang 
ke padepokan ini. Apalagi yang memuji perempuan secantik 
Jeng Wiji ini,” goda Warok Wulunggeni makin berani. 


"Ach, Kangmas. Masak, orang jelek seperti begini kok di- 
katakan cantik. Kangmas Wulung sendiri yang suka memuji 
Wiji” 

"Lho, ini bukan memuji. lho, Jeng. Mengatakan yang se- 
benarnya saja...ha...ha...” kata Warok Wulunggeni sambil 
tertawa ceria, 


"Jadi, kalau tidak ada kemajuan, mana mungkin Kangmas 
ditempatkan di bilik khusus bagi orang-orang yang telah 
menguasai ilmu tinggi ini di bilik sini seperti Kangmas 
Wulung ini." " 


"Ini barangkali lantaran kebaikan Eyang Guru saja to, Jeng." 


"Bukan soal kebaikan Eyang Guru. Di bilik ini khusus 
diperuntukkan dihuni hanya oleh orang-orang istimewa 
yang sudah sangat menguasai ilmu-ilmu bathin dan ilmu 
kanuragan tinggi." 


"Ach, masak to, Jeng." 


"Ehhh, Kangmas Wulung ini bagaimana kok belum mengerti 
juga. Kalau bukan bagi penghuni berilmu tinggi mana mungkin 
Wiji yang mengurus makannya. Kalau masih murid rendahan 
harus tinggal di bilik ramai-ramai dan mengurus makan 
sendiri. Bukan Wiji yang mengurus makan mereka." 


"Wah, kalau demikian saya harus berhutang budi kepada Jeng 
Wiji.” 


"Bukan hutang budi, Kangmas. Wong ini sudah menjadi ke- 
wajiban saya untuk mengurus bilik-bilik khusus ini." 


"Waduh. Hebat juga. Saya benar-benar berterima kasih sama 
Jeng Wiji." 

"Jangan berterima kasih kepada Wiji. Berterima kasih kepada 
Sang Hyang Tunggal yang telah memberi anugerah ketinggian 
ilmu kepada Kangmas Wulung. Begitu kan yang baik," kata 
Wiji Darmini sambil tersenyum manis yang membuat hati 
Warok Wulunggeni makin kesengsem saja. 


Lama-lama nampak kedua insan itu tertawa lepas kelihatan 
bahagia penuh canda ria. 


"Kangmas, kalau sudah selesai berguru dari padepokan ini, 
apakah Kangmas Wulung akan menetap di sini terus atau 
pulang ke Ponorogo". 


"Mungkin pulang ke Ponorogo. 

"Mengapa tidak menetap saja di sini". 

"Ada persoalan berat yang harus saya selesaikan di Ponorogo". 
"Persoalan apa, Kangmas. Kalau boleh tahu". 

"Yah, Biasa. Persoalan antar laki-laki". 


"Berebut soal perempuan". 


"Hah. Apa. Berebut perempuan. Mana ada ceriteranya berebut 
soal perempuan dibuat sampai begitu mendalam". 

"Lalu, apa kira-kira, Kangmas". 

"Soal harga diri sebagai laki-laki". 

"Apa itu maksudnya". 

"Suatu saat aku ingin menuntut kehormatan. Harga diriku 
pemah terinjak-injak di muka umum". 

"Jadi soal perkelahian". 

"Iyah. Jeng”. 

"Ohh, begitu". 


"Oleh karena itu, pada suatu saat aku harus tetap kembali ke 
Ponorogo". 


"Wiji boleh ikut, Kangmas Wulung". 
"Hahh. Apa saya tidak salah dengar". 


"Tidak, Kangmas. Apa Wiji boleh ikut ke Ponorogo". 


"Apa nanti tidak dimarahi oleh Eyang Guru. Siapa yang akan 
mengurus orang-orang di sini". 


"Kalau yang mengajak Kangmas Wulung, pasti diijinkan oleh 
Eyang Guru". 


"Ach, jangan, Jeng. Saya takut kena marah Eyang Guru". 
"Takut kena marah, atau takut saya ikuti". 


Keduanya lalu tertawa ceria kembali. 


"Jeng Wiji. Tadi malam saya mendapat petuah dari Eyang 
Guru untuk melakukan puasa. Ada banyak jenis puasa yang 
harus saya lakukan mulai besuk. Eyang Guru mengatakan tadi 
malam agar saya memberikan daftar waktu-waktu puasaku ini 
untuk diberikan kepada Jeng Wiji, sebab yang akan mengatur 
makannya katanya Jeng Wiji." 


“Memang benar, Kangmas. Wiji yang selama ini diberi tugas 
untuk mengatur makan bagi para murid tingkat tinggi yang 
akan melakukan puasa". 

"Ini daftarnya, Jeng Wiji. Aslinya telah aku simpan dan ini 
tulisanku yang aku salin untuk Jeng Wiji". 

Setelah secarik tulisan yang tertulis di atas daun lontar itu 
dibaca oleh Sri Wiji Darmini, ia nampak terkejut. 

"Wah banyak sekali puasa yang harus Kangmas lakukan". 
"Begitulah perintah Eyang Guru". 

"Coba aku baca satu per satu petuah Eyang Guru ini, Kangmas. 
Pertama, Kangmas harus melakukan puasa ' Ngrowor", berpan- 
tang makan nasi, pantang makanan rasa manis, pedas, dan asin. 

 
"Memang benar Kang Mas Wulung, Wiji yang selama ini diberi 
tugas mengatur makan bagi para murid yang berilmu tingkat 
tinggi yang akan melakukan puasa," kata Wiji Darmini itu. 
Setelah itu selesai dikerjakan, harus dilanjutkan melakukan 
Puasa 'Ngidang', hanya boleh makan dedaunan saja dengan 
tangan diikat rapat di bambu kuning, tiap kali akan makan 
harus langsung menggunakan dengan mulutnya tidak boleh 
dengan tangan atau kaki. Puasa 'Mendem', tinggal di dalam 
lubang tanah, tidak boleh kena sinar matahari atau sinar apa 
pun, seperti orang mengubur diri. Lalu, harus melakukan puasa 
"Pati Geni", harus bertapa di dalam bilik, tidak boleh melihat 
api, tidak dibolehkan minum, tidak boleh makan, tidak boleh 
tidur sepanjang sehari semalam. Kemudian, harus melakukan 
puasa ‘Mutih’, hanya boleh makan nasi putih, tidak boleh 
disertai lauk-pauk, minum hanya boleh air putih dari sumur tua 
di samping bilik yang ada tanaman pohon kamboja putih, mulai 
"Ngalong', bolehnya hanya makan buah-buahan, semalaman 
tidak boleh tidur, mata tidak boleh terpejam, harus melotot 
seperti kalong. Puasa ‘Ngasrep’, hanya boleh minum air putih 
dingin tanpa boleh dicampur apa pun, dan makan makanan 
yang sudah dingin. Puasa 'Ngepe?', boleh makan nasi dengan 
cara dikepeli sebanyak per angka ganjil. Lalu puasa 'Nge- 
bleng', tidak boleh makan minum jenis apa pun, tidak boleh 
tidur semalam suntuk kecuali saat akan terbit matahari, tidak 
boleh keluar dari bilik meskipun hanya untuk keperluan berak 
dan kencing, tetap dilarang keluar bilik. Waduh, bagaimana ini 
Kangmas, kalau sudah kebelet banget pengin mau berak apa 
bisa tahan tidak dikeluarkan". 


"Yah harus dilakukan demikian sesuai petunjuk Eyang 
Guru. Semua harus dilakukan di dalam bilik lo Jeng. 
Mudah-mudahan saya kuat menjalankan semua urut-urutan 
puasa itu semua". 


"Wah, berat juga ya bagi orang yang mau menjalani mencari 
ilmu ini". 


"Benar, Jeng Wiji. Maka orang kita sering menyebut 
"Ngelmu' yang maksudnya ' Angel lek nemu’. Sukar untuk 
mendapatkannya. Nah itu tadi. Makanya saya diharuskan 
untuk menjalani banyak jenis puasa yang begitu berat itu". 


4
MEMPERDALAM 
ILMU KADIGDAYAN 


SORE hari Warok Wulunggeni diperintah oleh Eyang Guru 
Lodaya untuk pergi ke pesisir pantai laut kidul. Ia harus men- 
cari tempat sepi yang sekiranya belum pernah ada orang yang 
menjamah tempat angker itu. Daerah wingit yang 'gung liwang 
liwung". 


Setelah beberapa lama berjalan menyelusuri pantai seorang 
diri, memutari tempat-tempat di daerah pesisir itu, Warok 
Wulunggeni kemudian menemukan tanah gundukan vang di- 
tumbuhi pohon rindang tepat menghadap ke arah laut kidul. 


Di tanah gundukan itu, setelah Warok Wulunggeni 
melepaskan semua pakaiannya, ia kemudian bersila 
mengheningkan cipta. Pikirannya ditujukan kepada 
bayangan kekuatan mahkluk halus yang datang dari 
arah laut kidul yang terbentang luas penuh dengan 
gelombang ombak yang mengganas itu. 


Sebelumnya memang ia telah melakukan puasa ‘pati geni ', 
berpantang selama empat puluh hari empat puluh malam ber- 
turut- turut. Setelah membaca mantra-mantra yang pernah 
diajarkan oleh Eyang Guru Lodaya itu. Pada malam hari itu 
sesajen yang dibawanya dari Pedepokan Lodaya itu 
diarungkan ke dalam laut dengan menggunakan bambu apus. 
Ombak seketika datang menggelombang, timbul getaran 
gelombang dan cahaya remang-remang yang menandakan se- 
sajen itu telah dijemput oleh penguasa laut kidul yang 
menerima persembahan sesajen itu. Isi sesajen yang terdiri dari 
telur berjumiah ganjil, ayam cemani atau ayam hitam yang 
seluruh tubuhnya hitam disajikan dengan dipanggang, ayam 
hitam ini mempunyai kekuatan magis yang sangat ampuh 
konon mampu memberikan pengaruh yang dahsyat, serta ja- 
janan pasar beraneka rupa. 


Suara ombak laut itu tiba-tiba bergemuruh hebat seakan-akan 
menggetarkan bumi tempat berpijak manusia di alam jagat 
raya ini. Dari arah laut kidul tiba-tiba muncul bayang-bayang 
singa laut yang sangat besar dengan taringnya yang runcing 
mengaum-ngaum. Warok Wulunggeni terus berkonsentrasi 
penuh. Lamat-lamat terdengar suara lembut yang datang dari 
arah laut kidul itu. 


"Wulunggeni, engkau kini telah kemasukan daya lebih dari 
pecahan kekuatan ilmu singa laut yang kini induknya berada 
bersemayam di tubuh gurumu Pertapa Lodaya itu. Teruskan 
usahamu untuk menyempurnakan ilmu kekuatan bathin ini 
agar engkau mendapat ketangguhan dalam dirimu. Kembalilah 
sekarang ke padepokan Pertapa Guru Lodaya." 


Suara itu tiba-tiba menghilang seketika. Tubuh Warok Wu- 
lunggeni tiba-tiba terasa ringan seperti terbang. Kemudian ia 
kembali ke alam kesadarannya seperti semula. l 
Pagi harinya, Warok Wulunggeni sepulang dari pantai kidul, 
langsung menemui gurunya untuk melaporkan hasi! medi- 
tasinya di pesisir laut kidul semalam. 

"Dimas Wulung. Pada dirimu akan terus-menerus dilakukan 
pengujian. Sekarang pergilah ke Bilik Angsa di sebelah sana 
itu. Bakarlah dupa dan kemenyan agar datang para iblis jahat. 
Mereka akan menyerangmu. Coba hadapi dan uji kemampuan 
menghadapi raja iblis jahat itu dengan menggunakan aji-aji 
keilmuanmu," ujar Eyang Guru Lodaya itu memberikan 
pengarahan selanjutnya. 


"Sendika Eyang Guru. Hamba akan segera melaksanakan". 


Tidak berapa lama, Warok Wulunggeni sudah berada di dalam 
sebuah bilik khusus yang diberi nama Bilik Angsa itu. Hanya 
bagi murid pada tingkatan tertentu saja yang dapat 
diperkenankan boleh memasuki bilik angker itu. Konon di 
tempat itu merupakan kediaman istana raja iblis jahat yang 
memang diperkenankan oleh Guru Lodaya untuk menempati 
bilik besar itu. Tujuannya adalah untuk memberikan latihan 
bagi murid-muridnya yang telah mencapai tingkatan lanjutan 
untuk berlaga melawan raja iblis jahat itu dan para pengikutnya 
yang jumlahnya ribuan. 

Bau bakaran dupa dan kemenyan segera terasa menyengat
hidung yang datang dari arah bilik dimana Warok Wulunggeni 
telah terkungkung di dalamnya itu. Iblis jahat itu mempunyai 
kegemaran menyantap asap bebauan. Nampak bayangan ber- 
gentayangan di atas langit- langit bilik itu menandakan iblis 
jahat itu sedang asyik bersantap menikmati makanannya itu. 
Tanpa basa-basi, Warok Wulunggeni memasang jurus 
perangkapnya untuk mengganggu iblis jahat yang sedang 
enak-enaknya menghisap makanan kegemarannya itu. Merasa 
diganggu oleh Warok Wulunggeni, iblis jahat itu murka besar. 
Matanya mencorong tajam memelototi ke arah Warok Wu- 
lunggeni yang telah berdiri tegar di hadapannya itu. 


"Kurang ajar manusia tidak tahu budi. Orang lagi enak-enak 
bersantap makanan lezat, mau bikin gara-gara. Berani meng- 
gangguku, yah,” tanpa banyak kata lagi raja iblis jahat itu 
langsung menyerang Warok Wulunggeni. Tidak berapa lama 
segeralah terjadi pertempuran sengit antara kedua mahkluk 
yang berlainan alam kedudukannya itu. Hanya bagi orang yang 
'linuwih' berilmu tinggi seperti Warok Wulunggeni itu yang 
dapat menangkap gelombang getaran kehadiran mahkiuk 
halus itu. 


Pergumulan seru itu sudah tak terelakkan lagi. Akhirnya raja 
Iblis jahat itu kalah, kemudian kabur meninggalkan bilik itu, 
entah kemana larinya, ia lepas begitu saja menerobos dinding- 
dinding bilik itu bersama para anak buahnya yang terdiri dari 
ribuan Iblis jahat yang tadi ikut mengeroyok Warok Wulung- 
geni itu. 


"Ha...ha... Wulung... Wulung....tanggu pembalasanku...Wu- 
lung..." masih terdengar suara ketawa nyaring menakutkan 
raja iblis ita, membuat berdiri butu kuduk para murid penghuni 
Pedepokan Lodaya yang masih berilmu pemula. Namun bagi 
mereka yang telah berilmu tinggi, kejadian seperti itu diang- 
gapnya sebagai hal yang biasa saja. 
Warok Wulunggeni yang tidak berpakaian sama sekali ketika 
bertarung melawan raja Iblis itu, nampak sekujur tubuhnya 
basah kuyup oleh mengalirnya keringat yang terus mengucur. 
Setelah ia berkonsentrasi kembali untuk mengembalikan kese- 
imbangan bathinnya, kemudian ia menyeka peluh yang me- 
leleh di dahinya itu dengan membaca rnantra-mantrà agar 
dirinya tertutup dari serangan licik yang mungkin tiba-tiba 
datang kefika Warok Wulunggeni lengah. 

Begitu keluar dari dalam bilik itu, dihadapan Warok Wulung- 
geni telah berdiri Eyang Guru Lodaya itu dengan diiringi oleh 
lima orang pembantu utamanya, dan tidak jauh dari tempat itu 
berderet para murid yang lain yang duduk bersila mulutnya 
berkomat-kamit membaca mantra-mantra tolak bala. 


"Selamat kepadamu, Dimas Wulung. Engkau telah lulus satu 
langkah lagi ujian beratmu. Selanjutnya, datanglah enga ke 
Lembah Sedayu, di sana mengalir air sungai yang meng- 
hanyutkan. Lembah wingit yang banyak dihuni oleh setan- 
setan ganas. Daerah lembah itu berudara panas. Hati-hatilah. 
Pasang jurus "Tujum" yang telah aku ajarkan kepadamu itu. 
Apabila engkau tidak mampu menghadapi, panggil aku dengan 
junis 'telepatimu” itu. Tetapi aku perkirakan engkau mampu 
menaklukkan kekuatan magis mereka. Sekarang berangkat- 
lah." 


"Sendika Eyang Guru." 


Tanpa banyak bicara lagi, Warok Wulunggeni berangkat me- 
nelusuri arah lembah yang di situ mengalir sungai bersuasana 
wingit. Konon di tempat itu banyak dihuni oleh roh-roh jahat 
yang bergentayangan suka mengganggu manusia yang lewat 
daerah wingit itu: Warok Wulunggeni diperintah oleh gurunya 
harus berani dan mampu berhadapan dengan mahkluk- 
mahkluk halus yang jumlahnya ribuan itu, tidak sampai oleh 
hitungan manusia biasa. Warok Wulunggeni harus bertarung 
dikeroyok banyak mahkluk halus itu. Pertarungan sengit ter- 
jadi, lama-lama mahkluk halus menjauh dan menghilang tidak 
tahan menghadapi kekuatan daya lebih yang dimiliki Warok 
Wulunggeni itu. 

Setelah Warok Wulunggeni lolos dari macam-macam gang- 
guan yang berasal dari kekuatan mahkluk halus itu, maka pada 
saatnya Guru Lodaya mengajarkan dasar-dasar yang hakiki 
dari ilmu macan jadian itu. 

"Dimas Wulung, engkau kini telah terisi kekuatan bathinmu 
magis bersumber dari roh-roh dan mahktuk-mahkluk halus 
harus mampu mengubah dirimu, wadah kasar yang ada pada 
dirimu itu berganti menjadi wadah kasar seekor harimau," 
suara Guru Lodaya itu terhenti sejenak, ia nampak sedang 
menarik nafas dalam-dalam, menahannya beberapa saat dan 
kemudian melepaskan pelan-pelan. 


"Pada hakikatnya, lanjut Eyang Guru Lodaya itu "Wadah 
kasar dari manusia maupun binatang itu merupakan wujud 
benda. Dengan perantaraan kekuatan yang telah engkau 
kuasai, penciptaan pikiran itu akan mampu mengubah wadah 
kasar itu menjadi daya kekuatan. Kemudian daya kekuatan itu 
akan dapat diubah kembali menjadi wadah kasar. Jadi se- 
benarnya perubahan itu karena terjadi dalam pikiranmu itu. 
Wadah kasar harimau engkau pinjam, engkau simpan yang 
sewaktu-waktu dapat engkau gunakan untuk mengalihkan 
wadah kasarmu berpindah ke wadah kasar harimau itu. Namun 
harus diingat, semua kejadian ini berada dalam kontrol penuh 
dipikirammu, jangan sampai terlepas kalau tidak ingin menda- 
patkan celaka. Apakah engkan sudah mengerti segala uraianku 
ini, Dimas Wulung". 


"Mengerti, Eyang Guru". 


"Bagus. Sekarang saatnya engkau untuk melakukan latihan- 
latihan mempraktekkan jurus-jurusnya. Ciptakan dalam 
pikiranmu, macan tutul itu. Konsentrasikan. Dan datanglah". 


Warok Wulunggeni beberapa kali belum berhasil melakukan 
konsentrasi itu. Namun karena terus dilatih berulang-ulang 
sampai beberapa minggu terus menerus, maka akhirnya lambat 
laun ia mulai merasakan muncul kemampuannya. Berbulan- 
bulan berlatih terus, dan tiba pada bari yang dimungkinkan ia 
telah berhasil menguasai ilmu macan jadian. Semula macan 
yang kecil dan tidak buas, kemudian berkembang menjadi 
macan tutul, lebih maju lagi sampai menjadi macan loreng 
yang buas bertaring panjang, dan cengkeraman kuku- kukunya 
yang tajam. 


"Bagus, Dimas Wulung. Engkau telah berhasil menguasai 
ilmuku itu. Aku turut gembira atas ketekunan dan kemam- 
puanmu ini. Terakhir sekali nanti engkau akan aku ajarkan 
jurus-jurus penutup sebagai penyempurnaan terhadap 
penguasaan ilmumu secara keseluruhan. Sekarang beris- 
tirahatlah sejenak. Kapan-kapan akan aku pilihkan hari 
baik agar membawa hasil yang juga baik," perintah Guru 
Lodaya itu nampak puas melihat kemajuan muridnya 
yang satu ini. 


5
PAMIT PULANG KAMPUNG 


SETELAH hampir lima tahun, Warok Wulunggeni belajar 
dengan tekun ilmu macan jadian di perguruan Padepokan 
Lodaya yang terletak di daerah Blitar Selatan itu, maka kini ia 
okeh Eyang Guru Lodaya dianggap telah merampungan pela- 
jarannya. Warok Wulunggeni dinyatakan sudah bisa 
menguasai ilmu lodaya itu walaupun penguasaannya 
belum setinggi gurunya, tetapi ia dianggap telah hampir 
satu taraf di bawah tingkatan gurunya. 


Warok Wulunggeni, memang ia termasuk salah seorang murid 
yang beruntung, karena ia tidak belajar mulai dari tingkat 
bawah. Oleh Guru Lodaya, ia langsung dibawa naik masuk 
pada tingkatan ilmu- ilmu yang lebih tinggi untuk jenjang 
keilmuan di Padepokan Lodaya. Pertimbangan Guru Lodaya 
itu mungkin karena Warok Wulunggeni telah dianggap 
memiliki dasar-dasar kemampuan keilmuan kanuragan yang 
juga cukup tinggi sebelumnya. 


Berhubung telah dinyatakan lulus ujian dalam mengikuti pen- 
dadaran akhir terhadap penguasaan ilmunya, maka pada suatu 
hari Warok Wulunggeni berpamit diri untuk pulang kembali 
ke kampung halamannya di Ponorogo. 


"Eyang Guru, berhubung Eyang Guru telah mengakhiri pela- 
jaran bagi diri hamba. Mohon berkenan Eyang Guru mengi. 
er hamba untuk kembali pulang ke kampung halaman 


"Yah. Baik Dimas Wulung. Hanya pesanku, jangan sem- 
bronoan dalam menggunakan ilmu macan loreng yang telah 
engkau kuasai itu. Sebab sangat berbahaya. Apabila engkau 
tidak mampu menguasai emosimu, akan membawa celaka 
RIA eua Gunakan ilmu itu benar- benar hanya 
un iri. Untuk mempertahankan diri, dan membela
pada kebenaran." Ca bela 



"Akan hamba ingat selalu pesan dan segala nasehat Eyang Guru"


"Bersiaplah agar engkau di perjalanan nanti tidak mengalami 
kesulitan. Bawalah perbekalan secukupnya yang engkau per- 
lukan. Sri Wiji Darmini, mintai tolong untuk mempersiapkan 
bekal makanan dan minuman secukupnya. Dan aku akan 
menyelenggarakan acara pamitanmu itu nanti malam mengun- 
dang semua murid di padepokan pada acara makan malam 
nanti." 

"Matur nuwun. Terima kasih, Eyang Guru." 


Setelah semalaman diadakan acara perpisahan Warok Wu- 
pengelola padepokan, dan Eyang Guru Lodaya sendiri, pada 
pagi harinya Warok Wulunggeni sudah terlihat akan mening- 
galkan Padepokan Lodaya itu dengan mengendarai kudanya. 

Sudah hampir lima tahun ini ia hidup di lingkungan padepokan 
yang tenang, keramahan para penghuninya, kini ia harus ber- 
pisah. Tidak terasa air mata Warok Wulunggeni bercucuran 
mengalir. Rasa harunya timbul seketika, Ia merasa berhutang 
budi kepada seluruh penghuni padepokan ini, terutama atas 
kebaikan Eyang Guru di Padepokan yang dengan tekun dan 
ihklasmau membimbing dan menurunkan ilmunya kepadanya, 
walaupun ia orang asing dari luar daerah, dan ada sejumlah 
persoalan masa lalu di masa pemerintahan Kerajaan Bantaran 
Angin dan Kerajaan Lodaya. Namun semua hal itu untungnya 
tidak menimbulkan sentimen bagi para penghuni padepokan 
itu yang ternyata orang-orangnya adalah sangat berbaik hati, 
lapang dada, dan luas pandangan. 


Ketika ia hendak menaiki kudanya, tiba-tiba terdengar ada 
suara lirih perempuan menyapanya dari belakang. Suara yang 
amat dikenalnya selama ini, Sri. Wiji Darmini. Orang yang 
selalu sabar mengatur dan menyediakan makanan serta 
minuman bagi keperluan Warok Wulunggeni selama ia men- 
jalani hidup di Padepokan Lodaya ini. 


"Kangmas Wulung". 

"Oh Jeng Wiji," kata Warok Wulunggeni sambil mengikat 
kembali kudanya pada pohon sawo kecik itu mengurungkan 
niatnya mau menaiki kuda itu. 

"Kangmas jadi berangkat pagi ini". 

"Iyah, Jeng," jawab Warok Wulunggeni dengan berusaha 
tersenyum seramah mungkin. 


“Apa saya boleh ikut, Kangmas". 


"Lho. Kenapa. Jangan. Nanti bisa membuat tidak enak Eyang 
Guru. Jangan, Jeng. Nanti tidak lama lagi saya juga akan 
kembali lagi kemari. Saya sudah menganggap pedepokan ini 
seperti kampung halaman sendiri. Kita hidup bersaudara di 
sini. Saya amat bahagia dan berterima kasih banyak kepada 
Jeng Wiji atas segala kebaikannya selama saya tinggal di 
sini." 


Suasana menjadi sunyi. Nampak perempuan itu menundukan 
kepalanya. Dari pelupuk matanya mulai mengalir air matanya. 
Warok Wulunggeni berusaha mendekat dengan perasaan yang 
juga tidak menentu. Harus bersikap bagaimana untuk mengen- 
dalikan perasaannya yang bercampur tidak karuan. 


"Jeng Wiji, apa yang terjadi terhadap diri Jeng Wiji". 
"Kangmas apa tidak 'tresno' sama Wiji”. 


"Yah..yah..sangat sayang sama Jeng Wiji. Maafkan saya, 
Jeng. Barangkali selama ini saya terlalu banyak membuat 
kesalahan"

Suasana kembali sunyi senyap. Hanya sekali-kali terdengar 
kokok ayam jantan yang menandakan datangnya pagi hari. 
Suara cicit burung-burung mulai terdengar bersautan gembira 
menyambut datangnya pagi hari yang indah, berudara sejuk 
berembun ini. 


"Kangmas berjanji akan kembali". 
"Tentu. Tentu, Jeng Wiji. Aku akan kembali,” 
"Tetapi kembali untuk Eyang Guru atau untuk Wiji". 
"Untuk semuanya". 
"Lho kok semuanya. Apa Kangmas tidak punya perhatian 
sama Wiji". 


"Yah tentu sangat perhatian to, Jeng. Bagaimana tidak perha- 
tian sama Jeng Wiji. Selama saya hidup di sini siapa lagi yang 
mengurus makan minum saya kalau bukan Jeng Wiji. Tentu 
saja saya sangat berterima kasih dan berhutang budi kepada 
Jeng Wiji. Dan sangat perhatian kepada Jeng Wiji”. 


"Kangmas. An...an...anu...maaf..maaf yah Kangmas kalau 
Wiji terlalu lancang”. 

"Ach. Tidak apa. Yah. Ada apa, katakan saja Jeng Wiji. Ada 
apa". 


"Witing tresno jalaran soko kulino. Tolong, ambil Wiji men- 
jadi isteri Kangmas". 

Mendengar ucapan yang terus terang tanpa 'tedeng aling- 
aling’ itu, Warok Wulunggeni dibuatnya menjadi terga- 
gap seketika. Ia seperti tidak. percaya mendengar 
pengakuan perempuan yang selama ini memang amat 
diperhatikan itu. 


"An...anu.. Jeng. Maafkan saya, Jeng. Bukan karena apa. Atau 
jangan disalah mengerti. Anu. Beg...begi. Begini, Jeng. Saya 
ini sebagai orang Ponorogo. Masyarakat di daerahku mem- 
beriku gelar sebagai warok. Orang-orang di kampungku 
menamainya demikian. Sudah menjadi kebiasaan bagi para 
warok yang ingin memegang ilmu kanuragannya. Ia harus 
menjauhi berhubungan intim dengan perempuan. Harus hidup 
membujang sepanjang hidupnya. Caranya para warok itu 
mengambil anak laki-laki untuk dijadikan 'gemblakan' se- 
bagai pengganti isteri. Nah, persoalan ini yang menjadikan 
kesulitan bagi saya sebagai warok. Tidak mungkin untuk 
mengambil isteri Jeng Wiji, walaupun betapa sayang dan 
cinta saya kepada Jeng Wiji”. 


"Ohhh. Begitu. Memang benar begitu, Kangmas. Jadi Kang- 
mas Wulung tidak akan kawin selamanya”. 


"Ehhh.. begitulah kira-kira". 


"Kalau demikian, maafkan Wiji lo, Kangmas. Wiji tidak tahu 
tata krama ini semua bagi Warok Ponorogo". 


"Tidak mengapa. Saya senang kok mendengarkan ucapan Jeng 
Wiji itu tadi. Saya juga ikut lega. Akan tetapi yah itu tadi. 
Halangannya ada. Yah, kalau ingin tahu banyak tentang ke- 
hidupan para warok Ponorogo mengenai soal kehidupannya 
yang menyangkut hubungan dengan perempuan ini, tolong 
tanyakan sendiri kepada Eyang Guru, beliau sangat tahu ban- 
yak mengenai adat kebiasaan-kebiasaan hidup orang-orang 
Ponorogo yang sudah menyandang gelar warok itu," kata 
Warok Wulunggeni yang sebenarnya dalam hatinya ia pun 
'renyuh' harus berkata bohong kalau ia belum mempunyai 
isteri. Apalagi ia sebenarnya termasuk warok yang beraliran 
ilmu putih, berpikiran lebih maju, bukan termasuk warok yang 
menganut pendirian hidup membujang, ia termasuk pemegang 
ilmu kedigdayaan yang tidak mengharuskan menjauhi hidup 
berumah tangga, atau ia tidak termasuk warok yang memiliki 
ilmu harus memelihara 'gemblakan”. Ia adalah seorang warok 
yang 'nglakoni urip sarwo opo enekke'. Wajar sebagai 
manusia yang membutuhkan makan dan minum, membu- 
tuhkan isteri, dan mempunyai anak sebagaimana umumnya 
manusia biasa. Tetapi apa mau dikata. Cara harus mengatakan 
sedikit berbohong demi kebaikan itu, inilah salah satu kele- 
mahan sifat orang Jawa. Lebih baik mengambil sikap berbo- 
hong demi untuk menyenangkan hati orang lain. Mengenakan 
bagi telinga orang yang mendengarkannya. Orang Jawa itu 
paling sulit untuk berkata menyakitkan hati orang lain, maka 
untuk tidak menyakitkan hati orang lain lebih baik berkata 
bohong daripada harus mengatakan yang sesungguhnya tetapi 
tidak enak didengar. Hal ini tercermin dalam praktek hubungan 
persaudaraan maupun dalam pergaulan sehari-hari, baik di 
lingkungan masyarakat luas maupun di lingkungan kekeluar- 
gaan dekat. 


"Kalau demikian, maafkan Wiji ya Kangmas. Wiji ini orang 
bodoh. Tidak tahu adat sopan santun, dan berani lancang 
mendahului mengatakan apa yang terlintas dalam benak”. 
"Tidak usah dipikirkan Jeng. Semua itu pasti akan ada 
kebaikannya. Niat yang baik tentu akan menghasilkan 
kebaikan pula". 


“Kalau Kangmas Wulung sudah selesai urusan di Ponorogo, 
kembali lagi kemari yah Kangmas". 


"Tentu, Tentu, saya harus kembali lagi kemari. Saya sangat 
berhutang budi kepada semua penghuni padepokan ini. Teru- 
tama nanti tentu sangat rindu ketemu Jeng Wiji". 

"Benar ini, Kangmas", 
“Benarrrr”. 
"Yah kalau begitu hati saya sudah lega”. 
“Sekarang, saya mohon pamit dulu yah, Jeng”. 
"Yah, Kangmas. Selamat jalan yah Kangmas Wulung. Sekali 
lagi jangan lupa sama Wiji yah". 
"Yah, tentu. Selamat tinggal Jeng Wiji". 
"Selamat jalan, Kangmas Wulung". 


Kemudian Warok Wulunggeni menaiki kudanya diiringi lam- 
baian tangan halus Sri Wiji Darmini perempuan cantik jelita 
yang halus budi itu nampak tersenyum manis melepaskan 
kepergian Warok Wulunggeni walaupun diiringi tetesan air 
matanya yang terus mengalir sejak tadi itu. 


6
PERJALANAN 
PULANG KAMPUNG 


SETELAH menempuh perjalanan selama sehari semalam, 
Warok Wulunggeni sampai di daerah perbatasan antara Kadi- 
paten Blitar dan Kadipaten Tulungagung. Di daerah ini, Warok 
Wulunggeni sengaja menyempatkan diri untuk mampir me- 
nengok ke tempat persinggahan kenalan lamanya, Tang- 
gorwereng. Akan tetapi Warok Wulunggeni tidak dapat 
menemui Tanggorwereng sahabat baiknya itu. Rumah Tang- 
gorwereng kelihatan kosong, dan sudah berganti , 
baru. Penghuni 


Di tempat ini, Warok Wulunggeni mendapat kabar dari orang- 
orang bekas tetangga Tanggorwereng di situ, bahwa Tang- 
gorwereng sudah lama pindah. Bahkan menurut kabar terakhir, 
keadaan Tanggorwereng sekarang sudah jauh berubah dari- 
pada dulu pertama kali dikenalnya. Tanggorwereng kini telah 
hidup sejahtera di Dukuh Sawo yang merupakan daerah per- 
batasan antara Kadipaten Ponorogo dan Kadipaten Treng- 
galek. Menurut penuturan para bekas tetangganya itu, kini 
Tanggorwereng sudah hidup berumah tangga, sudah kawin 
mendapatkan isteri dari orang Dukuh Sawo itu. 


Setelah memperoleh keterangan perihal kehidupan baru Tang- 
gorwereng kenalan lamanya itu, Warok Wulunggeni kemudian 
melanjutkan perjalanannya mengarah ke barat. Ia terus menuju 
ke Kadipaten Trenggalek untuk menjumpai kenalan lamanya 
yang lain, Raden Mas Poerboyo, pengusaha beken di kota 
Kadipaten Trenggalek itu. 


Warok Wulunggeni singgah beberapa saat di rumah teman 
kenalan lamanya Raden Mas Poerboyo di Trenggalek ini, akan 
tetapi sayang ternyata beliau juga tidak ada di rumah, sehingga 
Warok Wulunggeni tidak bisa ketemu. Hanya bertemu dengan 
para penjaga rumahnya. Katanya, menurut orang yang men- 
jaga rumah itu, juragannya Raden Mas Poerboyo sekeluarga 
sedang bepergian ke Kadipaten Tulungagung. 


Setelah dijamu makan dan minum oleh para pelayan Raden 
Mas Poerboyo yang sudah sangat mengenai baik Warok Wu- 
lunggeni selama dahulu pemah tinggal di sini, maka ke- 
mudian Warok Wulunggeni berpamitan untuk melanjutkan 
perjalanannya. Sebelumnya ia tidak lupa menitipkan salam 
kepada kenalan lamanya itu yang disampaikan lewat para 
pengawal rumahnya itu. 


"Tolong, sampaikan salam hangat saya kepada juragan Raden 
Mas Poerboyo," pesan Warok. Wulunggeni: 


"Apakah Juragan Wulung tidak sebaiknya menginap saja di 
sini, sambil istirahat dan menunggu kedatangan juragan Poer- 
boyo," kata salah seorang penjaga rumah yang berperawakan 
tinggi besar berwama kulit hitam kelam itu. Nampaknya kini 
Raden Mas Poerboyo sudah mulai memperhitungkan penja- 
gaan diri dengan mernasang para pengawalnya sejak peristiwa 
naib yang hampir membuat celaka dirinya lima tahun yang 
telah silam itu. Kini terlihat banyak penjaga rumahnya tidak 
seperti dahulu ketika Warok Wulunggeni beberapa saat tinggal 
di sini, masih nampak lenggang dari penjagaan rumahnya. 

"Terima kasih. Di. Aku rasa lain kali saja. Soalnya per- 
jalananku masih jauh, Aku pengin buru-buru menengok 
rumah dulu di Ponorogo. Sudah lima tahun ini aku mening- 
galkan keluargaku. Lain waktu aku pengin berkunjung ke- 
mari lagi. Salamku saja, tolong disampaikan kepada Juragan 
Poerboyo. Dan juga tolong sampaikan mohon maaf saya 
sebesar-besarnya lantaran tidak bisa menunggu kedatangan 
beliau. Saya harus buru-buru kembali pulang ke Ponorogo." 


“Baik kalau demikian Juragan. Akan kami sampaikan salam 
Juragan Wulung kepada Juragan Poerboyo." 


"Yah, terima kasih. Sampai bertemu lagi ya, Di." 


Kemudian Warok Wulunggeni bersiap diri akan menaiki 
kudanya yang ditambatkan di bawah pohon mahoni di halaman 
rumah besar itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar ada suara 


"Juragan. Juragan Wulung. Mohon tunggu sebentar dahulu,” 
teriak seorang perempuan setengah baya itu yang ternyata 
Mbok Inah, seorang pembantu setia Juragan Raden Mas Poer- 
boyo yang bertugas menyediakan masakan dan menghi- 
dangkahnya kepada para tamunya. Selama ini ia sangat 
mengenal masakan kesukaan Warok Wulunggeni ketika dulu 
Warok Wulunggeni pernah tinggal beberapa bulan di rumah 
besar ini. 

"Maaf juragan, ini sekedar bingkisan untuk bekal Juragan
di perjalanan," kata Mbok Inah sambil menyerahkan bingkisan 
besar kepada Warok Wulunggeni yang menerimanya dengan 
suka cita. Memang bekal makanan seperti demikian ini yang 
saat seperti sekarang ini sangat diperlukan oleh Warok Wu- 
lunggeni untuk bekal menempuh perjalanan selanjutnya. 


"Wah repot-repot amat Mbok Inah. Terima kasih. Terima kasih 
sekali yah, Mbok Inah. Maafkan saya, tidak sempat bawa 
oleh-oleh buat Mbok Inah, malahan saya dibawakan bingkisan 
begini besarnya,” kata Warok Wulunggeni sambil menerima 
bingkisan besar yang diserahkan oleh Mbok Inah itu, mungkin 
berisi makanan-makanan kering. Mbok Inah nampak 
tersenyum-senyum gembira melihat Warok Wulunggeni mau 
menerima pemberian bingkisan makanan itu. 


"Lho, Mbok Inah, bagaimana keadaannya juragan ayu Ajeng 
Sarimbi, apa baik-baik saja," tanya Warok Wulunggeni 
menanyakan keselamatan isteri Raden Mas Poerboyo yang 
dulu bersama Mbok Inah sering yang selalu rajin menyediakan 
masakan makanan yang disukainya selama Warok Wulung- 
geni tinggal di rumah ini. 


"Baik-baik saja juragan. Malahan sekarang Juragan Ayu se- 
dang hamil tua, sudah kelihatan besar perutnya. Selama lima 
tahun sepeninggal Juragan Wulung, Juragan Ayu sudah ber- 
tambah lagi putranya tiga.” 


“Ohhh, begitu. Kalau demikian, tolong ini ada racikan jamu 
godogan. Saya membawa bahan-bahan dedaunan. Sangat baik 
untuk menjaga kesehatan perempuan yang sedang hamil tua. 
Dan biasanya kalau rajin minum jamu racikan ini, sewaktu 
melahirkan nanti tidak begitu terasa sakit. Sebentar mbok Inah,
aku akan ambilkan di kampluk pelana kudaku itu." Tidak 
berapa lama Warok Wulunggeni telah kembali dengan mem- 
bawakan sebungkus racikan dedaunan yang dapat dijadikan 
tua. 


"Ini Mbok, tolong disampaikan kepada Juragan Ayu. Tiap hari 
di minum dengan cara diseduh dengan air hangat. Dan ini 
semua sudah ada catatan untuk cara meramunya. Tinggal 
mengikuti petunjuk dalam catatan-catatan yang aku tulis ini.” 


"Terima kasih, Juragan Wulung. Pasti Juragan Ayu senang 
menerima ini." 

"Yah, sudah aku pamit dulu yah Mbok. Sekali lagi sampaikan 
salamku kepada Juragan Poerboyo dan Juragan Ayu. Maafkan 
saya tidak sempat menunggu kedatangan beliau berdua. Lain 
waktu saja aku akan sempatkan berkunjung kemari lagi. Yah 
sudah Mbok, aku pamit." 


Tidak berapa lama kemudian, nampak kuda Warok Wulung- 
geni itu telah meninggalkan halaman yang luas rumah ge- 
dongan milik juragan Raden Mas Poerboyo itu. 


Warok Wulunggeni kemudian melanjutkan menempuh per- 
jalanannya menuju ke arah barat. Naik turun bukit. Memasuki 
hutan lebat belukar yang sepi dari jamahan orang. Kadang- 
kadang harus menerjang jurang yang curam dengan tujuan 
mengarah ke daerah Dukuh Sawo. Ia bermaksud perlu me- 
nengok terlebih dahulu kenalan lamanya si Tanggorwereng 
itu yang dikabarkan telah pindah alamat, kini telah hidup 
berumah tangga di daerah Dukuh Sawo itu. 


Setelah menempuh perjatanan panjang, Warok Wulunggeni 
baru dapat memasuki Dukuh:Sawo. Ia bertanya kepada be- 
berapa orang, sampai berkali-kali tanya kepadatiap orang yang 
dijumpai di jalan. Rupanya nama Tanggorwereng kini sudah 
menjadi orang beken di daerah Sawo ini. 


"Bapak mau ketemu Warok Tanggorwereng. Beliau ru- 
mahnya di sebelah sana. Itu yang berwarna hijau lumut, 
rumah beliau,” kata orang tua penjual sapu lidi di pojok jalan 
itu dengan mantab ketika ditemui Warok Wulunggeni di 
belokan jalan itu. 


Pikir Warok Wulunggeni "Sejak kapan si bedebah Tang- 
gorwereng itu dapat menyandang gelar kehormatan sebagai 
Warok. Barangkali telah terjadi perubahan besar pada diri 
Tanggorwereng selama lima tahun belakangan ini." 


Sesampainya di halaman rumah besar yang ditunjukkan orang 
tua tadi, tiba-tiba seorang laki-laki bertubuh kekar mengham- 
pirinya dengan menunjukkan sikap keramahannya: Rupanya 
orang itu sudah lama mengenal Warok Wulunggeni sebelum- 
nya. Laki-laki itu yang selama ini dikenal bernama Sanggrok 
Dempal, sambil tersenyum lebar menyambutnya dengan 
ramah kedatangan Warok Wulunggeni ke rumah besar ini. 


"Kangmas Wulung, sudah lama baru kelihatan sekarang," sapa 
orang itu yang kemudian menjabat tangan Warok Wulunggeni. 


"Iyah. Bagaimana kabar kalian, apa semua selamat, sehat- 
walafiat,” sambut Warok Wulunggeni sambil menyalami laki- 
laki bertubuh kekar itu: 

"Berkat doa, Kangmas saja. Kita semua di sini dalam keadaan 
sehat walafiat: Mari silahkan masuk, Kangmas," kata laki-laki 
kekar itu menyilahkan Warok Wulunggeni memasuki rumah 
besar itu. 


“Lho, ini rumah siapa. Apakah ini rumah Dimas Sanggrok, 
atau rumah Dimas Wereng," tanya Warok Wulunggeni setelah 
duduk di kursi besar di pendopo rumah besar yang nampak asri 
itu. 


"Ini rumah Kangmas Wereng." 
"Sekarang di mana beliau." 


"Beliau sedang ke Ponorogo. Tetapi, ssstttt, Kangmas, jangan 
heran dulu yah,” kata laki-laki kekar itu sambil bicaranya 
dipelankan membisikan sesuatu ke telinga Warok Wulung- 
geni, "Sekarang Kangmas Wereng sudah bergelar sebagai 
Warok Tanggorwereng. Ia kawin dapat anaknya Pak Lurah 
Sawo. Beliau sekarang punya usaha dagang mondar-mandir 
dari Sawo ke Ponorogo, atau kadangkala pergi ke Trenggalek. 
Bahkan sampai ke Tulunggagung dan Blitar," kata laki-laki 
yang dipanggil Sanggrok Dempal itu.


"Wah. Luar biasa, Bagus sekali itu. Suatu kemajuan besar," 
sambut Warok Wulunggeni dengan menunjukkan muka gem- 
bira. 

"Tetapi, Kangmas Wulung. Ini ada rahasianya. Mau men- 


jaga rahasia, Kangmas: Wulung. Dan juga ada seriusnya. 
Ada ceritera di balik berita...ha...ha..." 


"Wah apa ini. Kelihatannya makin menarik. Kok pakai rahasia 
segala," kata Warok Wulunggeni dengan mimik muka yang 
jenaka. 

"Memang ini masalah serius, dan juga mengandung canda 
ría...ha...ha...ha." 


"Apa itu. Serius dan bercanda," tanya Warok Wulunggeni 
yang kadang lucu itu. 


"Apakah Kangmas Wulung, berani berjanji untuk meraha- 
siakan sesuatu. Kalau berani berjanji untuk merahasiakan, baru 
akan aku beritahu sesuatu yang penting." 

"Yah. Aku janji menjaga rahasia. Ada apa to sebenarnya," kata 
Warok Wulunggeni dengan muka berubah dibuat serius. 
"Kangmas, jangan ngomong-ngomong yah. Benar ini. Se- 
benamya banyak orang di daerah sini yang pada tidak tahu 


kalau sesungguhnya Kangmas Tanggorwereng, dan kami ini 
semua dulu bekas begal." 


“Ohhh, begitu," sahut Warok Wulunggeni sambil mengang- 
guk- anggukan kepalanya. 

"Benar, Kangmas. Ini rahasia antar kita saja. Termasuk isteri 
Kangmas Tanggorwereng, tidak tahu-menahu latar belakang 
kita semua ini." 

"Ohhhh. Begitu. Ini yang dikatakan rahasia itu tadi." 

"Iya, Kangmas." 

“Baiklah. Aku akan merahasiakan rapat-rapat." 

"Kalau tidak dirahasiakan akan kasihan Kangmas Wereng." 


"Iyah, iyah, aku mengerti. Aku tidak akan ngomong apa-apa 
kepada siapa pun. Aku janji ini." 


"Nah ini yang kami harapkan, Kangmas." kata laki-laki anak 
buah Warok Tanggorwereng itu sambil memukul keras-keras 
pundak Warok Wulunggeni yang kekar itu sebagai tanda 
keakraban mereka, 


"Sebenarnya. Aku juga ikut senang mendengar perubahan 
kalian ini semua. Lalu kau sendiri, sekarang tinggal dimana, 
dan apa pekerjaanmu, Dimas Sanggrok," kata Warok Wulung- 
geni. 


"Aku dan semua kawan-kawan lama masih tetap mem- 
bantu Kangmas Wereng...," tiba-tiba laki-laki kekar itu 
telunjuk tangannya menutup mulutnya sambil matanya 
melirik ke kiri dan ke kanan, dan kemudian melanjutkan 
kata-katanya "Akan tetapi, Kangmas, Sseeetttttt," sambil 
membisikan ke telinga Warok Wulunggeni, "Dengar Kang- 
mas Wulung. Sebenarnya pekerjaan kami yang mbegal dan 
merampok itu sampai sekarang masih tetap berjalan. Hanya 
bedanya, pekerjaan itu tidak beroperasi di daerah sini. Kita 
beroperasi di daerah Ponorogo selatan, barat, utara, dan luar 
daerah lainnya. Semuanya berkedok dagang. Tetapi mohon hal 
ini tetap Kangmas Wulung rahasiakan juga." 


"Iyah, iyah. Aku akan jaga rahasia kalian ini semua. Sepertinya 
kok serba rahasia begitu," kata Warok Wulunggeni manggut- 
manggut dengan muka berseri-seri kelihatan ia geli mendengar 
ceritera—ceritera yang semuanya serba mengandung rahasia 
itu. 


"Kalau Dimas Brendel Gepuk apakah juga masih ikut Dimas 
Wereng." 


"Masih. Ia sejak dulu adalah tangan kanan Kangmas Wereng. 
Kemana saja Kangmas Wereng pergi, Kangmas Brendel selalu 
ada di sampingnya." 


"Wah hebat juga. Kalau Dimas Sanggrok sendiri posisinya di 
mana." 


"Saya urusan bagian belakang. Mengurus keamanan rumah ini 
menjadi tanggung jawab saya, Kangmas.” 


"Tetapi kan malah enak." 


"Yah, enaknya jarang ikut berkelahi. Kalau Kangmas Brendel 
Gepuk selalu menangani urusan soal berkelahi. Malahan se- 
belum Kangmas Wereng yang maju, Kangmas Brendel Gepuk 
yang harus maju dulu, baru kemudian diikuti yang lain. Kalau 
kalah kuat menghadapi lawan, baru terakhir sekali Kangmas 
Wereng yang maju. Saya bagian paling akhir. Itu aturan di 
gerombolan kita, Kangmas...ha...ha..." 


"Bagus. Bagus itu ada aturannya segala," jawab Warok Wu- 
lunggeni yang diiringi ketawa Sanggrok Dempal lantaran 
merasa mendapat pujian dari: Warok Wulunggeni sebagai 
orang sakti yang amat disegani itu. 


Tidak berapalama kemudian, dari balik pintu tengah rumah itu 
tiba-tiba muncul seorang perempuan yang berparas cantik 
jelita. Dilihat dari raut muka wajahnya masih kelihatan beru- 
mur muda belia. Mengerakan kebaya ketat berwama putih, 
sampai terlihat lekuk-lekuk tubuhnya, dadanya nampak 
menonjol, perutnya membumbung besar kelihatan sedang bun- 
ting tua. Jalannya walaupun nampak gesit tetapi agak terkekah- 
kekah menahan beban di perutnya yang melembung besar itu. 


"Siapa tamunya, Kangmas Sanggrok," tanya perempuan muda 
itu sambil tersenyum ramah kepada Warok Wulunggeni, 
menanyakan kepada laki-laki kekar yang bernama Sanggrok 
Dempal, anak buah Warok Tanggorwereng itu, sambil 
kepalanya mengangguk 'memberikan hormat kepada Warok 
Wulunggeni. 


"Oh, beliau ini sahabat Kangmas Tanggorwereng, Mbakyu. 
Bernama Kangmas Warok Wulunggeni asal dari Ponorogo. 
Dan perkenalkan Kangmas Wulung, beliau ini isteri Kakang- 
mas Tanggorwereng bernama Mbakyu Warti.” 


"Ohh, mohon maaf, Kangmas Wulung. Kangmas Wereng 
sudah sering berceritera banyak tentang Kangmas Wulung. 
Perkenalkan nama saya Warti.” 


“Nama saya Wulunggeni,” kata Warok Wulunggeni sambil 
menyambut uluran tangan perempuan itu. Menyalaminya 
dengan baik sambil berdiri dan membungkuk membalas 
memberi hormat juga untuk memperkenalkan dirinya. 


"Asal saya sebenarnya dari Blitar tetapi sudah lama pindah ke 
Dukuh Sawo sini ini,” lanjut Warti, isteri Tanggorwereng itu 
setelah mengambil tempat duduk di sebelah Sanggrok Dempal 
yang mendengarnya sambil tersenyum-senyum ramah pula. 
"Sejak ibu saya kawin lagi dengan Pak Martojo sebagai lurah 
di Sawo di sini ini, maka saya ikut pindah kemari menjadi 
penduduk di Dukuh Sawo ini. Ayah kandung saya sudah 
lama meninggal di Blitar. Jadi Pak Lurah Sawo ini ayah tiri 
saya lho, Kangmas Wulung,” kata perempuan muda isteri 
Warok Tanggorwereng itu berceritera meriah mengenai 
asal-usul dirinya. 


"Ohhh, begitu,” kata Warok Wulunggeni sambil mengangguk- 
anggukan kepalanya. 


"Kangmas Wulung, rencananya akan tinggal lama di sini to. 
Tentunya sangat lelah dari perjalanan jauh. Apakah tidak Be- 
baiknya, Kangmas Wulung istirahat dulu di kamar sambil 
menunggu kedatangan Kangmas Wereng. lyah begitu kan, 
Kangmas Wulung." 


"Ohhh. Maaf, Jeng Warti. Jangan repot-repot. Justeru, seharus- 
nya saya ingin buru-buru segera sampai ke rumah. Jadi tolong 
saja sampaikan salam saya kepada Dimas Wereng. Saya hanya 
ingin singgah sebentar untuk silaturahmi, sambil berbagi ke- 
selamatan bersama keluarga di sini.” 

"Kenapa buru-buru, Kangmas. Apakah tidak sebaiknya 
menunggu dulu sampai Kangmas Wereng datang." 


"Lain kali saja, Jeng. Saya sekarang dalam keadaan terburu- 
buru. Pengin segera menengok keadaan keluarga di rumah." 


"Oh, begitu."
"Yah. Maafkan saja" 


"Sebentar Kangmas Wulung. Minum dulu yah. Saya akan 
ambilkan minum dulu. Maaf sebentar," kata perempuan, isteri 
Warok Tanggorwereng yang perutnya sedang membuncit be- 
sar itu, ia segera bergegas ke belakang, gerakannya nampak 
masih, cekatan. Warok Wulunggeni segera dapat membaca, 
melihat cara gerak perempuan muda itu, ia sebenarnya juga 
memiliki ilmu isian kanuragan yang lumayan. Perempuan 
muda ini tentu juga tekun mengisi kemampuan ilmu kanura- 
gannya. 

Tidak berapa lama lagi Jeng Warti itu telah kembali tagi 
dengan membawa baki dan cangkir-cangkir berisi air putih, 
kopi panas, dan air degan kelapa muda, juga sajian kueh-kueh 
hangat yang nampak masih baru digoreng. 


"Silahkan, Kangmas Wulung. Pilih sendiri. Mau minum 
wedang kopi yang hangat, atau air dingin, atau degan kelapa. 
Juga kuch- kuehnya. Semuanya bikinan sendiri. Maaf lho 
Kangmas, adanya hanya ini," kata perempuan muda itu dengan 
senyum keramahannya. 


“Terima kasih. Terima kasih, Jeng Warti," kata Warok Wu- 
lunggeni sambil mengambil cangkir yang berisi air putih 
dingin yang baru saja dituangkan dari “kendi? itu agar menjadi 
segar tenggorokan Warok Wulunggeni yang kering baru me- 
nempuh perjalanan panjang di panas terik matahari sepanjang 
hari itu. 

"Nampaknya waktu kelahiran putranya sudah dekat to, Jeng 
Warti. Kok perutnya sudah kelihatan besar sekali,” kata Warok 
Wulunggeni memecahkan kesunyian. 


"Iyah, Kangmas, mungkin beberapa hari ini. Menurut Mbok 
Dukun Bayi, tidak lebih dari "sepasar', satu minggu lagi 
diperkirakan akan lahir,” kata perempuan cantik itu sambil 
mengelus-elus perutnya yang buncit itu. 


"Ini calon putra yang nomor ke berapa, Jeng Warti." 


"Baru pertama kali ini kok, Kangmas. Jadi belum ber- 
pengalaman melahirkan. Aduh beratnya membawa bayi 
dalam perut ini. Kalau mau perlu mondar-mandir kesana 
kemari, sepertinya membawa beban berat begini." 


"Yah. Yah, tetapi kan senang juga sebagai calon ibu to." 


"Yah, memang selain beban juga menyenangkan ..:hi...hi," kata 
Warti itu sambil tertawa kecil: Warok Wulunggeni dan Sang- 
grok Dempal hanya tersenyum-senyum saja mendengarkan. 
Mereka nampak ikut gembira. 


"Kalau sudah lahir tolong dikasih kabar, yah. Nanti 
mudah-mudahan isteri saya juga biar bisa ikut menengok 
kemari. Kalau belum sempat berkenalan kemari, se- 
belumnya kami sekeluarga ikut mengucapkan selamat 
mudah-mudahan bayinya sehat walafiat." 


"Atas doa Kangmas Wulung, mudah-mudahan semuanya se- 
lamat." 


"Tentu selamat. Wong bapak dan ibunya sehat-sehat begini." 


Ketiga orang itu kemudian terdengar tertawa ceria. Sanggrok 
Dempal pun ikut tertawa mengikuti tawa lepas Warok Wu- 
lunggeni. 


"Saya ada beberapa racikan dedaunan yang bisa Jeng Warti 
minum tiap hari menjelang kelahiran bayi. Khasiatnya waktu 
melahirkan rasa sakitnya akan berkurang, bahkan kalau ke- 
betulan beruntung akan bisa menghilangkan rasa sakit sama 
sekali tergantung keadaan masing-masing ibunya, Sebentar 
saya ambilkan." Kata Warok Wulunggeni sambil merogoh 
kampluknya itu dan mengeluarkan beberapa bungkus, ke- 
mudian di pilih-pilih dan yang satu diserahkan kepada Jeng 
Warti itu. 


"Kemarin lusa ketika saya mampir kepada kenalan lama di 
Trenggaiek, saya juga menyerahkan bingkisan ini. Menurut 
para pembantunya, katanya isteri kenalan saya Raden Mas 
Poerboyo yang isterinya bernama Ajeng Sarimbi itu juga se- 
dang hamil tua. Barangkali Jeng Warti kenal nama-nama itu. 
Jadi ini hanya tinggai sedikit Jeng. Tetapi, Jeng Warti juga 
dapat meramu sendiri. Ini ada catatan soal jamu-jamu itu. Jeng 
Warti bisa membuat sendiri kalau racikan daun-daun ini sudah 
habis.” Kata Warok Wulunggeni sambil menyerahkan tulisan 
berisi cara adonan membuat jamu bagi perempuan hamil tua. 
Jeng Warti menerima catatan cara membuat jamu itu dengan 
suka cita. 


"Terima kasih banyak iho, Kangmas Wulung. Untung Kang- 
mas Wulung sempat singgah kemari. Jadi ada pengetahuan 
baru soal jamu-jamu ini bagi saya." 


"Nah, baiklah, Jeng Warti. Karena hari sudah makin dekat sore. 
Saya mohon diri untuk pamit dulu. Sekali lagi, tolong sampai- 
kan salam saya buat Dimas Wereng. Kabar selamat dari saya. 
Demikian juga saya titip kabar bahwa saya telah selesai me- 
nempuh pelajaran Eyang Guru Lodaya. Telah selama hampir 
lima tahun ini berguru di Lodaya, dan sudah dinyatakan 
lulus oleh Eyang Lodaya. Ini semua juga atas berkat jasa 
pertolongan Dimas Wereng yang telah menunjukkan jalan 
ke arah kediaman eyangnya Guru di Padepokan Lodaya itu," 
jelas Warok Wulunggeni dengan penuh ramah. 


"Wah hebat, Kangmas Wulung ini, masih juga mau mengejar 
ilmu terus," kata perempuan yang bernama Warti itu nampak 
ikut menyambutnya dengan gembira. 


"Yah, karena supaya ada kegairahan hidup saja kok Jeng. Nah, 
saya mau mohon pamit dahulu agar tidak kemalaman di jalan." 


"Wah, jadi buru-buru amat... Sebentar Kangmas. Tunggu se- 
bentar saja," kata perempuan isteri Tanggorwereng itu, ia 
buru-buru pergi ke belakang. Tidak berapa lama, ia telah 
kembali lagi dengan membawa bungkusan besar. 


"Kangmas, maaf tidak ada apa-apa. Ini hanya untuk bekal di 
jalan, dan sekedar oleh-oleh untuk Mbakyu di rumah." 


"Wah, repot-repot amat. Terima kasih banyak kalau begitu 
Jeng Warti, dan sekali lagi salam buat Dimas Wulung. Dan 
kamu, Dimas Sanggrok, sempatkan main-main ke rumahku 
yah kalau lewat Dukuh Dawuan." 


"Yah, Kangmas Wulung. Aku akan cari kesempatan baik 
untuk sowan ke rumah Kangmas di Dawuan nanti." 


"Baik, aku tunggu. Terima kasih. Sekarang, saya mohon pamit 
dulu." 


“Selamat jalan, Kangmas Wulung." 


Setelah diantar oleh Sanggrok Dempal dan Jeng Warti isteri 
Warok Tanggorwereng itu, sampai di halaman depan rumah, 
Warok Wulunggeni terus memacu kudanya pada siang hari 
yang hampir masuk sore hari itu. Warok Wulunggeni melaju 
ke arah barat. Dalam menempuh perjalanan ini agaknya Warok 
Wulunggeni, ternyata tidak ingin buru-buru terus pulang ke 
rumahnya di Dukuh Dawuan di daerah Ponorogo selatan, akan 
tetapi ia tiba-tiba ingat pada salah seorang, sehingga ia 
menyempatkan diri untuk mampir menengok kenalan lama 
lainnya di Dukuh Sirah Keteng. 

Di dukuh Sirah Keteng ini, Warok Wulunggeni bahkan sempat 
bermalam sampai dua malam lantaran ketika ia mau buru-buru 
pulang, dicegah oleh kenalan lamanya yang bemama Bardjo 
Genggem, seorang petani di Dukuh ini yang meminta tolong 
kepada Warok Wulunggeni agar mau tinggal lama di kam- 
pungnya itu. 

Banyak tetangga Bardjo Genggem, bahkan Pak Lurah Dukuh 
Sirah Keteng itu sendiri yang menyempatkan diri datang ke 
rumah Bardjo Genggem demi mendengar tamunya yang 
datang bermalam di rumah Bardjo Genggem itu adalah Warok 
Wulunggeni. Mereka dengan suka cita berkenalan dengan 
Warok Wulunggeni yang nampak gagah perkasa ini sebagai 
orang yang diharapkan dapat membantu penduduk Dukuh 
Sirah Keteng itu dari gangguan keamanan. 


Dari penuturan orang-orang Dukuh ini yang disanipaikan oleh 
seorang penduduk kepada Warok Wulunggeni ternyata sedang 
ada masalah serius yang menyangkut keamanan di daerah ini. 
Sedang terjangkit merajalela banyak kejahatan, perampokan, 
pembunuhan, dan penganiayaan yang sering terjadi di daerah 
ini. 


Kepada para penduduk, yang kemudian diperkenalkan oleh 
kenalan lamanya, Bardjo Genggem itu bahwa Warok Wulung- 
geni termasuk jagoan yang bisa diandalkan, maka kemudian 
mereka mengharapkan kepada Warok Wulunggeni agar hen- 
daknya dia mau menanggulangi merajalelanya kejahatan di 
daerah itu. 


"Tolongtah, Dimas Wulung. Bagaimana sebaiknya menang- 
gulangi keamanan di daerah Dukuh kami ini," kata Pak Lurah 
yang nampak berusia makin tua itu ketika diperkenalkan oleh 
sahabatnya, Bardjo Genggem itu, tentang kehebatan ilmu 
kanuragan yang dimiliki oleh Warok Wulunggeni di dunia 
pergolakan para jagoan di daerah Ponorogo itu. 


"Yah, saya akan usahakan sebisa saya, Pak Lurah. Tetapi 
saya harus buru-buru pulang dulu ke Dukuh Dawuan untuk 
menengok keluarga." 


"Baiklah Dimas Wulung, sepulang menengok keluarga, 
segeralah Dimas Wulung kembali ke Dukuh Sirah Keteng. 
Kami semua di sini sangat memerlukan bantuan Dimas Wu- 
lung." 


"Terima kasih, Pak Lurah." 


Setelah berpamitan dengan para warga Dukuh Sirah Keteng, 
Warok Wulunggeni masih harus menempuh perjalanan yang 
panjang untuk sampai kembali ke kampung halamannya di 
Dukuh Dawuan di daerah Ponorogo selatan itu. Selepas dari 
Dukuh Sirah Keteng, Warok Wulunggeni merasa ada beberapa 
orang yang mengikuti perjalanannya. Akan tetapi Warok Wu- 
lunggeni nampak tidak peduli. Ia sekali-kali memperkencang 
jalan kudanya, namun orang-orang yang mengikutinya itu juga 
memperkencang kudanya mengikuti kecepatan lari kuda 
Warok Wulunggeni. Ketika Warok Wulunggeni menghenti- 
kan kudanya, gerombolan orang-orang yang mengikutinya itu 
pun juga ikut berhenti di kejauhan. Melihat situasi yang men- 
curigakan itu, Warok Wulunggeni hanya mengambil sikap 
waspada terhadap orang-orang asing yang berusaha membun- 
tutinya sejak kemarin lusa ia meninggalkan Dukuh Sawo itu. 
Tepat di belokan gundukan batu padas, Warok Wulunggeni 
berpapasan dengan lima orang berkuda yang nampaknya 
mereka itu sengaja menunggu kedatangan Warok Wulunggeni 
yang akan melewati daerah sangar itu. 


“Berhenti dulu, Sobat," teriak salah seorang dari kelima orang 
laki-laki yang nampak bertampang paling berangasan itu. 


Warok Wulunggeni pun serta-merta menghentikan kudanya 
tepat dihadapan mereka. Satu per satu tampang kelima orang 
yang menghadang di tengah jalan itu ditatapnya tajam-ta- 
jam oleh Warok Wulunggeni yang matanya juga tidak kalah 
mehcorongnya dengan mata para rombongan gerombolan 
liar itu. 

"Siapa namamu, dari mana asalmu, dan mau pergi kemana," 
tanya salah seorang laki-laki berkulit hitam bermata men- 
corong itu dengan geram. 


"Namaku Wulunggeni. Aku tadi baru dari Dukuh Sirah 
Keteng. Sekarang aku akan pergi ke Dukuh Dawuan di 
Ponorogo selatan." 


"Tiga hari yang lalu, aku lihat kamu memasuki Dukuh Sawo 
ada perlu apa kamu ke sana." 


"Aku perlu menemui sahabat lamaku, namanya Warok Tang- 
gorwereng." 


"Warok Tanggorwereng." 
"Ya." 


“Apa buktinya kamu mengenal Warok Tanggorwereng, So- 
bat," tanya laki-laki yang mukanya 'mencereng” itu penuh 
selidik. 

Mendengar pertanyaan itu, Warok Wulunggeni kebingungan. 
Mesti harus menjawab apa. Sebab ia tidak punya bukti apa-apa 
yang memperkuat ia masih ada hubungan persahabatan dengan 
Warok Tanggorwereng itu. Akan tetapi, ia tiba-tiba teringat 
akan bingkisan yang tempo hari diberikan oleh Nyi Warti isteri 
Warok Tanggorwereng itu kepadanya. 

"Aku membawa bingkisan ini pemberian Nyi Warti isteri 
Warok Tanggorwereng." 

"Ha...ha...ha...bagaimana aku bisa percaya kalau bingkisan itu 
pemberian isteri Warok Tanggorwereng, Sobattttt," ejek laki- 
laki yang mukanya 'mencereng” itu sambil tertawa sinis. 


Tanpa disadari, tangan Warok Wulunggeni membuka 
bingkisan yang katanya tempo hari berisi bahan-bahan 
pangan untuk oleh-oleh keluarga di rumah itu. Setelah 
dibuka bingkisan itu, selain terdapat bahan-bahan pangan 
terdapat sebilah keris kecil sebesar kelingking yang dii- 
kat dengan janur kuning yang sudah mulai mengering. 
Keris itu kemudian dikeluarkan dan diperlihatkan kepada 
orang-orang yang mencegatnya itu. 


"Ini isinya bingkisan yang tempo hari diberikan oleh Nyi Warti 
isteri Warok Tanggorwereng itu," kata Warok Wulungoeni. 


Mata para begal itu melototi barang-barang yang ada 
dalam bingkisan itu. Kemudian nampak kepala mereka 
pada mengangguk- angguk. Mungkin sebagai tanda 
mereka memahami maknanya. 


"Yah, Benar. Sekarang aku baru bisa percaya kalau engkau 
masih orangnya Warok Tanggorwereng. Simpan baik-baik 
benda keris terikat janur kuning itu, Sobat. Kalau kamu nanti 
ketemu gerombolanku di tengah jalan. Perlihatkan keris kecil 
itu. Kami semua tidak akan mengganggumu. Keris kecil itu 
sebagai tanda bahwa orang-orangnya yang membawanya 
adalah orang-orang yang dekat dengan Warok Tanggorwereng 
dan kami semua tidak akan mengganggunya." 


"Terima kasih," jawab Warok Wulunggeni singkat. 
"Maafkan kami atas kekasaran kami tadi. Kami semua 
 mengenal nama Warok Tanggorwereng itu. Orang-orang dia 
juga mengenal siapa kami ini semuanya." 


"Terima kasih," jawab Warok Wulunggeni. Ia sempat berpikir 
sejenak, mengapa Nyi Warti tidak memberitahu mengenai 
kegunaan keris kecil ini. Apakah mungkin ia lupa memberitahunya 
karena ia buru-buru pamit pulang ketika itu. Atau mungkin ia segan 
memberitahunya, sebab orang setangguh Warok Wulunggens ini apa 
tidak tersinggung kalau dalam. perjalanannya melalui daerah 
kekuasaan Warok Tanggorwereng harus dilindungi oleh keris kecil 
sebagai pertanda bahwa orang yang bersangkutan itu tidak boleh 
dengan Warok Tanggorwereng. Belum sempat ia mencema makna 
ini semua, suara laki-laki berwajah 'cengkereng” itu menyadarkan 
kembali pikiran Warok Wulunggeni. 


"Kalau demikian, silakan jalan, Sobat." 


"Sebelumnya, saya ingin tanya, Sobat. Apa maksud kalian 
menghentikan aku di sini ini tadi," tanya Warok Wulunggeni 
timbul rasa ingin tahunya lebih banyak. 
hubungannya dengan Warok Tanggorwereng, maka kamu sudah aku 
bikin mampus. Tetapi karena temyata kamu masih orangnya Warok 
mengganggu orang-orangnya. Kami tidak akan mengganggu pen- 
duduk Dukuh Sawo. Jadi, karena kamu datang ke Dukuh Sawo 
sebagai orangnya Warok Tanggorwereng, yah sekarang silahkan 
"Kalau demikian, aku ucapkan terima kasih, Sobat,” kata 
Warok Wulunggeni. 


"Sampaikan saja salam kami ini semua kepada Warok Tang- 
gorwereng. Pimpinan kami bernama Brojol Mangundro. Kami 
semuanya sangat saling mengenalnya, dan sepakat untuk tidak 
saling mengganggu." 


"Saya akan sampaikan pesan kalian kepeda sahabatku Warok 
Tanggorwereng." 


"Yah, silahkan. Selamat jalan, Kangmas Wulung." 
"Terimakasih." 


Warok Wulunggeni kemudian melanjutkan perjalanannya 
setelah melewati rombongan gerombolan penyamun yang 
mencegat di tengah perbukitan yang berpohon belukar ganas 
itu. “Untung saja si bedebah Tanggorwereng itu laku juga 
namanya di daerah ini, kalau tidak. Aku musti melayani gang- 
guan si monyet-monyet kerdil itu." Pikir Warok Wulunggeni 
di dalam hati setelah terbebas dari gangguan para pencegat di 
jalan itu. 


Perjalanan pulang Warok Wulunggeni kali ini nampak lebih 
nyaman, tidak sesulit ketika berangkatnya dahulu, Sebab, ia 
telah tahu jalannya. Kalau waktu berangkat dulu sering kesasar 
karena merupakan perjalanan baru sehingga ia sering bertanya 
kepada orang yang ditemui di jalan, dan salah-salah yang 
ditanya justeru penjahat yang memang mencari sasaran orang 
asing yang tidak tahu jalan. Kalau sekarang ini, perjalanan 
pulang Warok Wulunggeni itu terasa nyaman, tidak banyak 
gangguan di jalan sehingga membuat hatinya berbunga-bunga. 
Lain sekali dengan waktu berangkatnya dulu, ia masih 
dalam suasana hati yang resah lantaran waktu itu sehabis 
kalah tanding dengan Warok Surodilogo musuh bebuyutan- 
nya itu. Kini Warok Wulunggeni seperti mendapatkan 
penerangan bathin, dan makin luas wacananya, juga merasa 
makin yakin akan kemampuan ilmu kanuragannya dengan 
makin bertambahnya ilmu-ilmu barunya yang telah ditekun- 
inya selama lima tahun terakhir ini di Blitar selatan. 


7
KEMBALI KEPADA KELUARGA 


KEPULANGAN Warok Wulunggeni malam itu ke rumahnya 
yang masih di daerah Dukuh Dawuan, dari kepergiannya ber- 
guru ke perguruan Pedepokan Lodaya Blitar selatan disambut 
hangat oleh isterinya yang setia menunggunya selama ini.


Warok Wulunggeni meninggalkan kampung halamannya di 
Dukuh Dawuan itu sudah hampir sekitar lima tahun ini. 
Isterinya, Mbok Rukmini malam itu kebetulan sedang 
duduk-duduk santai di serambi depan rumah sambil nginang 
ditemani oleh keponakan perempuannya, bernama Milah 
yang sedang 'metani' mencari kutu rambut Budenya itu. 
Milah ikut serumah dengan keluarga Warok Wulunggeni 
sejak kepergian Pakdenya Warok Wulunggeni lima tahun 
yang lalu. 

Mbok Rukmini agak terkejut ketika melihat ada tamu laki-laki 
yang datang ke rumahnya malam-malam begini. Namun begitu 
diketahui yang datang malam ini adalah suaminya yang siang 
malam ditunggu-tunggu kedatangannya, maka ia segera 
melompat menubruk tubuh suaminya itu, menyambutnya 
dengan suka cita. 


"Byuh...byuh. Bungahe hatiku Pakne, Aku sangat senang dan 
bahagia sekali. Pakne sekarang sudah kembali lagi," kata 
Mbok Rukmini sambil memeluk erat lama sekali suaminya, 
kedua tangangnya melingkar erat-erat ke tubuh Warok Wu- 
lunggeni yang gagah perkasa itu dengan rasa kasih sayang 
yang mendalam. 


"Bagaimana keadaanmu, Mbokne, baik-baik saja, to," tanya 
Warok Wulunggeni kemudian sambil duduk di sebelah is- 
terinya di amben ampyak depan rumah itu. 


"Ya, baik. Sehat-walafiat. Pakne," jawab isterinya. 


"Kamu, Milah. Sudah lama kamu hidup bersama Budemu di 
sini," tanya Warok Wulunggeni kepada keponakannya Milah 
yang juga nampak ikut gembira menyambut kedatangan Pak- 
denya itu. 


“Baik-baik saja, Pakde," kata perawan itu dengan manisnya. 


"Maafkan. Pakdemu ini yah. Tidak sempat membawakan oleh- 
oleh buat kamu, Milah. Pakde tidak tahu kalau kamu ikut 
bersama Budemu di sini". 


"Ach, tidak apa-apa kok, Pakde. Milah juga ikut senang, 
sekarang Pakde sudah kembali pulang dengan selamat". 


"Yah. Yah, berkat doamu juga, Milah. Pakde dapat pulang 
dengan selamat”. 


"Pakne, apa tidak ada halangan apa-apa selama di perjalanan,” 
tanya isterinya kembali. 


"Yah. Berkat doamu saja. Mbokne. Walaupun banyak juga 
halangan di jalan. Syukur, aku masih bisa mengatasi dengan 
baik. Aku selamat dan bisa kembali sekarang ke rumah ini juga 
lantaran banyak kesulitan yang bisa diselesaikan dengan aman 
di perjalanan". 


"Lalu, apa sudah ada hasil, usahanya, Pakne". 


"Berkat doamu saja, Mbokne. Banyak pengetahuan baru yang 
dapat aku peroleh selama kepergianku ke Blitar ini". 


"Pakne. Apa tidak sebaiknya kita masuk saja ke dalam rumah 
sana. Udaranya mulai dingin. Aku akan bikinkan wedang jahe 
kesukaanmu," kata Mbok Rukmini serambi terus ke dapur 
diikuti keponakan perempuannya yang biasa rajin membantu 
Budenya itu. 


"Ini Mbokne, ada sedikit oleh-oleh. Hlanya ini saja oleh- 
olehnya, sekampluk dari kenalan-kenalan lama yang memberi- 
kan ini semua kepadaku ketika aku menengok mereka. Semua 
isteri kenalan--kenalanku itu pada titip salam untuk kamu, 
Mbokne." Kata Warok Wulunggeni sambil menyerahkan kam- 
pluk besar. Mbok Rukmini dan Milah segera membuka isi 
kampluk itu yang ternyata berisi macam- macam barang keper- 
luan dapur, bahan makanan, dan lain-lain. Mbok Rukmini dan 
Milah nampak gembira melihat itu semuanya. 


"Aku tidak tahu, apa saja isinya kampluk-kampluk itu. Wong 
itu semua pemberian mereka. Hanya makanan yang sudah 
dimasak saja yang aku ambil untuk makan di jalan," kata 
Warok Wulunggeni. 


"Wah, baik sekali kenalan-kenalan kamu itu, Pakne". 


"Yah, mereka hanya butuh persahabatan saja. Dan itu 
sepertinya sebagai tanda mata persaudaraan untuk saling 
memberikan perhatian sesamanya teman". 


"Sebentar, Pakne. Aku akan siapkan makan dulu untuk kamu, 
sepertinya kamu belum makan". 


"Iyah, memang belum. Kamu masak makanan apa, Mbokne". 
"Yah, itu ada lauk, "jangan lodeh”. 
"Wah itu makanan kesukaanku. Sudah lama aku tidak men- 
cicipi masakanmu, Mbokne. Tolong cepat disediakan, aku 
sudah kepengin makan. Perut rasanya sudah lapar sekali". 


"Yah, sabar dulu, Pakne. Aku panaskan dulu, biar kalau nanti 
dimakan jadi enak”. 

Setelah ngobrol beberapa saat sambil menunggu tersedianya 
makanan yang sedang dihangatkan oleh Milah di dapur, 
Warok Wulunggeni, menanyakan keadaan anak gadisnya, 
Sri Wigati. 

"Lho, sejak tadi kok tidak kelihatan Sri Wigati. Kemana anak 
itu. Mbokne". 

"Sabar dulu, Pakne". 

Diceriterakan oleh isterinya bahwa anak perempuan satu- 
satunya yang bernama Sri Wigati itu sekarang telah diambil 
isteri oleh seorang perwira tinggi Kadipaten. 

Sejak mendengar ceritera diambilnya anaknya, putri satu- 
satunya itu menjadi isteri seorang punggawa Kadipaten itu, 
remuk bati Warok Wulunggeni. Mukanya nampak merah 
padam ketika mendengar penuturan isterinya demi diketahui 
anak perempuan satu-satunya itu kini berada pada pihak Kadi- 
paten yang dibencinya itu. 

"Siapa nama laki-laki yang telah berani mengambil anak 
perempuan kita itu, Mbokne," tanya Warok Wulunggeni 
nampak geram. 


"Namanya, Drajad Panuju. Pangkatnya katanya setingkat Tu- 
menggung kerajaan begitu. Malahan katanya perkawinan putri 
kita dengan Drajad Panuju itu atas restu langsung dari Kanjeng 
Gusti Adipati. Jadi karena pada waktu itu, tidak ada Pakne, aku 
tidak bisa berbuat apa-apa. Sudah aku katakan, tunggu persetu- 
juan Bapaknya Sri Wigati. Tetapi sudah ditunggu, tahun ganti 
tahun terus, Pakne tidak muncul-muncul juga, apakah Pakne 
masih hidup apa sudah mati, tidak ada kabar beritanya. Lalu, 
mereka memutuskan untuk mengawini anak kita itu. Dan aku 
tidak bisa berbuat apa-apa. Begitu ceriteranya, Pakne," ujar 
Mbok Rukmini, isteri Warok Wulunggeni itu nampak lesu. 


"Byuh...byuh. Wah...wah...wah tatanan apa yang dipakai 
ini. Aku ini kan Bapaknya. Orang tuanya. Berani-beraninya 
mengambil anak orang, tidak pamit dulu kepada bapaknya. 
Ini aturan mana. Apa kalau sudah pangkat tinggi itu, bisa 
seenaknya sendiri melakukan apa saja. Aku merencanakan 
anak kita, Sri Wigati itu sudah aku 'gadang-gadang' akan aku 
kawinkan dengan laki-laki keturunan raja. Harus jadi per- 
maisuri raja. Itu sudah jadi harapanku sejak lama. Kalau sudah 
begini ini bagaimana. Inilah Mbokne yang jadi bikin tidak enak 
hati. Aku tidak terima anakku hidup sengsara seperti kita. 
Derajatnya selalu diinjak-injak sama orang yang kuasa. Kalau 
anakku jadi permaisuri raja, derajat kita juga akan ikut naik 
pamornya. Bagitu kan, Mbokne. Tetapi naas juga nasib anak 
kita cuma dikawini sama punggawa Kadipaten," ujar Warok 
Wulunggeni nampak mengeluh dalam. Terasa begitu menye- 
sali diri tidak bisa menjaga anak perempuan satu-satunya 
sehingga diambil laki-laki lain yang belum pernah diketahui 
juntrungnya, asal- usulnya, dan perangainya. 


“Sudah. Sudahlah, Pakne. Anak kita juga nampak sudah 
senang hidup di lingkungan Kadipaten. Kelihatanya si Panuju 
menantu kita itu anaknya baik. Jadi aku juga tidak banyak 
mempersoalkan waktu itu ia melamar kemari. Anak kita kini 
kelihatan hidup bahagia lo, Pakne," kata Mbok Rukmini 
berusaha menenangkan suaminya yang kelihatan resah berat 
itu, 


Warok Wulunggeni, termenung sejenak setelah mendengar 
kata-kata terakhir isterinya itu. Rupanya hatinya agak terhibur 
juga dengan kata-kata anaknya kini sudah hidup bahagia. 


"Jadi anak ini bukan menyepelekan aku sebagai bapaknya, 
begitu to Mbokne," ujar Warok Wulunggeni selanjutnya. 


"Ya, jelas tidak. Wong ia datang kemari dengan baik-baik dan 
menunjukkan sikap sopan-santunnya. Beberapa kali menan- 
yakan kamu. Ia mau meminang kepada kamu sebagai ba- 
paknya, tetapi kamu tidak pernah ada. Lalu, bagaimana. Jadi 
jelas tidak mungkin bermaksud menyepelekan kamu. Ia 
senang kepada anak kita. Jadi menurutku, kita sebagai orang 
tua ya tut wuri handayani saja to, Pakne," ujar Mbok Rukmini 
nampak mulai merasa lega dapat memberikan pengertian 
kepada suaminya yang terkenal suka naik darahnya kalau 
melihat hal-hal yang tidak disukai: 


"Yah, kalau demikian itu memang benar. Aku yang salah. 
Tetapi yang masih menjadi ganjalan hatiku, mengapa anak itu 
tidak sudi menunggu izinku. Menunggu sampai aku datang”. 


"Izin. Bagaimana mungkin menunggu izinmu, wong kamu 
tidak jelas beradanya dimana. Sampai kapan akan ketemu 
Pakne. Perginya kemana, cara menghubungi dimana, tidak 
diberitahu, mana mungkin aku dapat menyampaikan semua 
kejadian ini kepada Pakne. Syukur Pakne masih hidup, kalau 
sudah mati, terus ditunggu sampai kapan". 

"Huss. Jangan ngomong ngawur saja. Sembarangan ngomong. 
Kapan aku dikatakan mati. Warok Wulunggeni masih berjaya 
perkasa. Siapa yang berani bikin mati aku, Mbokne. Malahan 
sekarang aku memiliki ilmu macan loreng. Jangan kaget 
Mbokne kalau tiba-tiba aku jadi macan, kamu harus tahu itu 
macan jadianku," ujar Warok Wulunggeni membanggakan diri 
dihadapan isteri setianya, nampaknya ia sudah mulai lupa pada 
pembicaraan soal anaknya, ia baru ingat ingin pamer kepada 
isterinya mengenai ilmu bela diri yang baru diperolehnya 
selama lima tahun belajar di perguruan Padepokan Lodaya 
Blitar Selatan itu. 

"Hah, apa benar ini, Pakne," kata isterinya nampak terkejut. 
"Benar. Coba sekarang aku akan peragakan dihadapanmu agar 
kamu tidak kaget sewaktu-waktu melihat ada macan di rumah 
kita ini. Itu aku yang jadi," ujar Warok Wulunggeni kelihatan 
bangga. 


"Jangan Pakne, aku takut. Nanti kamu tidak dapat berubah jadi 
manusia lagi". 


00000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000000"Ha. ba ba jangan khawatir. Jangan khawatir. Aku ini 
sudah sangat menguasai ilmu ini. Selama lima tahun ini aku 
menuntut ilmu macan loreng ini. Sudah sangat aku kuasai. 
Sekarang, diamlah, Mbokne. Aku akan mulai berkonsentrasi," 
kata Warok Wulunggeni sambil menyilangkan tangannya ke 
depan dan mendekap dadanya erat-erat, Mulutnya komat- 
kamit nampak sedang membaca mantera. Tiba-tiba secara 
pelan-pelan dan kemudian makin cepat dan tak lama kemudian 
sekujur tubuh Warok Wulunggeni itu telah berubah menjadi 
macan loreng yang perkasa. Taringnya nampak runcing, kuku- 
kuku pada jarinya nampak menjulur tajam. Matanya men- 
corong berkilap. Isterinya nampak ketakutan, terbayang betapa 
ngerinya macan segede itu menerkamnya dengan ganas. 


"Jangan takut, Mbokne," tiba-tiba ujar macan loreng besar 
itu mengeluarkan suara yang masih suara suaminya, Warok 
Wulunggeni. Hati isterinya menjadi tenteram kembali. Dan 
lama-lama macan loreng itu berubah kembali pada asalnya 
menjadi suaminya lagi setelah mulutnya nampak komat- 
kamit membaca mantra. Lega sudah hati isterinya melihat 
suami yang dicintainya itu kembali utuh berwujud manusia 
seperti semula. 

"Ha...ha...hebat bukan sekarang aku, Mbokne,” kata Warok 
Wulunggeni membanggakan diri dihadapan isterinya. 
"Pakne, pakne. Saya hampir pingsan melihat kamu jadi macan 
garang seperti itu," kata Mbok Rukmini kepada suaminya: 


"Sudah sana, mana makan kita, aku sudah lapar," kata Warok 
Wulunggeni sambil membetulkan ikat pinggangnya yang ter- 
buat dari kulit ular sawah, segede anak ular naga itu. 


Di tengah pembicaraan sambil makan malam itu, Warok Wu- 
lunggeni mengutarakan rencananya untuk pindah rumah ke 
daerah Sirah Keteng. 


"Mbokne, sepulangku dari Blitar ini, aku pengin 'tetirah ' dulu. 
Istirahat. Sampai beberapa saat. Kalau rumah kita masih di 
Dukuh Dawuan sini ini, hatiku tidak bisa tenteram. Aku 
merencanakan untuk pindah saja dari Dukuh Dawuan ini. 
Apa kamu setuju". 


"Terserah, Pakne saja. Kemana saja Pakne mau pindah, aku 
tidak keberatan". 

"Sudah aku pikir lama. Bagaimana kalau kita pindah ke daerah 
Sirah Keteng. Kita bertani di sana. Memelihara ikan, beternak 
lembu, dan mungkin banyak pekerjaan yang bisa kita lakukan 
di sana". 

"Aku setuju saja, Pakne. Kapan rencana kita pindah". 

"Esuk pagi". 

"Mengapa terburu amat". 


"Sebelum aku pulang kemari, kemarin aku sudah mampir ke 
daerah Sirah Keteng itu. Seorang kawan lama telah 
menawariku sebidang tanah yang luas. Aku disuruh mengo- 
lahnya. Tanah itu langsung diberikan kepadaku, dengan syarat, 
aku harus mau pindah ke sana”. 


"Ach masak. Mana ada orang mau kasih begitu saja terhadap 
tanah- tanahnya. Mungkin dipinjamkan, bukan dikasih". 


"Dikasihkan. Ini surat-suratnya sudah disetujui Pak Lurah. 
Lihat ini tulisan Pak Lurah. Aku sudah dikenalkan, sudah 
ketemu, dan sudah diberi namaku terhadap tanah itu". 


"Kenapa mereka mau berbaik hati begitu, Pakne". 


"Di daerah Sirah Keteng, tanahnya subur, air gampang didapat. 
Pertaniannya baik, maka banyak orang kaya di sana. Hanya 
saja, penduduk di situ punya masalah. Banyak diganggu oleh 
para perampok dan begal-begal. Nah di situ mereka meng- 
harapkan kepadaku untuk mengurus soal gangguan para 
perampok dan begal- begal itu. Jelas aku sanggupi saja soal 
perlindungan pengamanan itu, wong menghadapi begal saja 
apa susahnya. Maka mereka mengharapkan aku segera pindah 
dan hidup di sana secepatnya". 


"Ohhh, begitu. Ya, kalau demikian aku bersiap-siap sekarang. 
Lantas, rumah kita ini bagaimana. Mau diapakan, Pakne". 
"Rumah ini biar diurus oleh si Sarwo Dipo itu saja, Mbokne. 
Dia itu kan dulu bekas anak buahku. Sejak dulu orang itu selalu 
setia kepadaku. Apalagi ia kan sampai sekarang belum punya 
rumah sendiri. Keluarganya biar diboyong kemari. Menempati 
rumah kita ini. Itu kan cukup 'prayogo' to, Mbokne". 


"Iyah, yah. Pakne. Aku cocok dengan rencanamu itu" 

"Yah. Sudah. Kalau kamu juga setuju. Aku ikut senang. 
Sekarang, aku mau istirahat dulu. Badan ini rasanya jadi capek 
sekali sejak menempuh perjalanan jauh ini” 

"Apa perlu aku pijat, Pakne". 


"Ach, tidak usah. Kamu sendiri istirahatlah supaya kamu juga 
terjaga kesehatanmu". 


Setelah berbincang lama sampai larut malam, Kemudian, tam- 
pak tidak terdengar lagi suara pasangan suami-isteri yang 
sudah lama tidak berkumpul itu. Tidak berapa lama mereka 
kelihatan sudah tidur berpelukan mesra di kamarnya seperti 
layaknya penganten baru. 


BERSAMBUNG