Pendekar Mabuk 99 - Terjebak Makelar Perawan


PERGURUAN Paksi Betina, yang dulu memasang Pengumuman mencari Guru Baru ternyata sekarang telah menjadi kuburan massal. Seluruh murid perguruan itu terkapar tanpa napas sesendok pun. Mereka mati mengenaskan tanpa bisa menangis.
Luka yang terdapat pada tubuh mayat mereka pada umumnya adalah luka bakar. Ada yang terbakar seluruh tubuhnya, ada yang terbakar bagian dadanya saja, ada
yang terbakar punggungnya saja, ada juga yang terbakar jempol kakinya saja, tapi perutnya jebol seperti habis menelan petasan.
Bahkan ada beberapa orang yang bukan murid perguruan tersebut yang ikut tewas dalam pembantaian besar-besaran itu. Orang yang ikut tewas di situ bukan lantaran sekadar mengikuti rasa setia kawan saja ataupun karena latah, melainkan karena ikut menjadi korban si pembunuh berdarah dingin. Pada umumnya mereka yang bukan orang perguruan tersebut adalah para calon guru yang sedang ingin mengikuti ujian
penyaringan.
Sambil langkahkan kakinya, pemuda tampan berbau buntung coklat dengan Cetana putih kusam itu membayangkan pemandangan yang mengerikan di Perguruan Paksi Betina. Si pemuda gagah dan kekar itu sesekali bergidik ngeri teringat bayangan mayat-mayat yang bergelimpangan di Bukit Loreng itu. Tubuh yang bergidik itu membuat tuak dalam bumbung bambu yang dibawa menyilang di punggungnya ikut berguncang. Untung ada tutupnya, sehingga tuak tak sampai tumpah atau berceceran karena gerakan bergidik itu.
Siapa lagi pemuda tampan berambut panjang sepundak tanpa ikat kepala dan selalu membawa bumbung tuak jika bukan Suto Sinting alias si Pendekar Mabuk, murid tokoh tertinggi di rimba persilatan yang dikenal dengan nama si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Pemuda yang juga pernah dijuluki sebagai Tabib Darah Tuak itu sampai sekarang masih bertanya-tanya dalam hatinya, siapa sebenarnya orang yang berbuat seusil itu, membunuh sekian banyak nyawa manusia tanpa tinggalkan jejak yang jelas. Menurut Suto si pembantai itu seperti orang kurang kerjaan saja. Mengapa tak Satupun murid perguruan tersebut dibiarkan hidup?
"Tega-teganya cabuti nyawa orang seperti cabut rumput di pekarang rumahnya," gerutu hati si Pendekar Mabuk sambil tetap melangkah.
Seandainya saat itu Permata Kasih ada di perguruan itu, ikut mendaftarkan diri sebagai calon guru, maka ia pun saat ini pasti sudah mempunyal gelar istimewa yaitu; 'almarhumah', Untung saja waktu itu
Permata Kasih tak jadi datang ke perguruan tersebut, sehingga sampai sekarang gadis itu masih bebas menghirup napas sehari beberapa kali saja, terserah kemauan nya.
Wajah cantik berhidung kecil tapi mancung dan berbibir seperti kue lapis legit itu juga terbayang dalam benak Pendekar Mabuk. Bayangan wajah cantik berpakaian serba ungu itu timbulkan keharuan tersendiri
di hati Suto. la beranggapan gadis itu bernasib malang.
Kasus cintanya berakhir tragis dan menyedihkan jika dikenang, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Iblis Pengobral Cinta")
Langkah si tampan bermata teduh itu terpaksa dihentikan, bukan karena di depan langkahnya ada kotoran kerbau, tapi karena ia mendengar suara orang merintih di balik semak ilalang. Suara orang merintih
itu sangat pelan, nyaris tidak sampai terdengar di telinga Pendekar Mabuk.
"Ada yang terluka?!" pikirnya dengan cepat.
Hmmm.. sepertinya suara rintihan seorang wanita?! Tapi... rintihan orang menderita atau rintihan orang bercinta?!"
Pendekar Mabuk sempat sangsi sesaat. Jika ternyata suara rintihan di balik semak ilalang itu adalah rintihan seorang wanita yang sedang menikmati sentuhan mesra lawan jenisnya, maka Suto tak ingin menengoknya. Karena ia tak mau tersiksa batinnya dalam keadaan sendirian begitu.
"Ah, tapi sepertinya rintihan itu adalah rintihan orang menderita?! Sejak tadi yang kudengar suara wanita, tak kudengar ada suara pria. Hmmm... sebaiknya kutengok dari atas pohon saja!"
Wuuut..! Dalam satu kali hentakan tubuh Pendekar Mabuk sudah meluncur ke atas dan hinggap disebatang ranting kecil. Jika orang lain yang hinggap disana pasti akan jatuh, tapi untuk Suto tidak, sebab ia menggunakan jurus peringan tubuhnya yang dinamakan jurus 'Layang Raga'. Bahkan ia bisa berdiri di atas air dengan beralaskan selembar daun rumput.
Dengan tanpa suara Pendekar Mabuk dekati arah suara rintihan itu. Lalu, matanya pun segera temukan sumber rintihan yang tak lain dari mulut seorang wanita. Wanita itu masih muda alias masih gadis, tapi belum tentu masih perawan. Gadis itu terkapar dalam keadaan separo wajahnya hangus. Warna hitam hangus itu sampai ke permukaan dada kiri. Tapi dada kirinya
tak terlihat, sebab tertutup baju jingga berbintik-bintik putih.
Tak jelas apakah gadis tu berwajah cantik atau tidak, sebab separo wajahnya tampak hitam hangus,
dan sebagian lagi biru memar. Anehnya, rambut si gadis tak ikut hangus atau terbakar. Kehangusan itu hanya merusak bagian kulit dan daging tubuhnya.
Di sekiar mulut Si gadis tampak ada cairan merah kental rada hitam. Tentu saja bukan kecap atau petis, tapi darah yang telah membusuk akibat racun atau sejenisnya.
"Kasihan..," Pendekar Mabuk geleng-geleng kepala. "Dia terluka separah itu, namun hebatnya, dia masih bisa bertahan untuk hidup. Sekalipun sudah tak bisa bergerak sedikit pun, tapi suara rintihannya telah
membuktikan bahwa ia masih punya harapan untuk hidup lebih lama lagi, jika Yang Maha Kuasa mengizinkan."
Wuuus...! Pendekar Mabuk turun dari atas pohon tanpa membawa buah apa pun. Gerakan turunnya melayang bagai seekor burung perkasa yang punya daya pikat tersendiri. Kedua kakinya menapak di tanah dekat si gadis tanpa timbulkan suara. Gerakan kaki menapak makin ke bawah semakin pelan, sehingga ketika la berdiri dalam tiga langkah di samping gadis menderita itu, rumput pun bagai tak bergetar sedikit saja.
Bumbung tuak segera diraih. Tuak sakti yang mampu sembuhkan berbagai macam luka, penyakit, dan penolakan segala bala itu segera diminumkan ke mulut si gadis yang ternganga kecil mirip lubang belut tu.
Tapi karena agak susah, maka tuak dituang dulu diTempurung yang menjadi tutup bumbung itu. Setelah tuak berada di tempurung, baru diminumkan pelan-pelan ke mulut si gadis malang.
Agaknya ia habis lakukan pertarungan dengan lawan yang tangguh," ujar hati Suto. "Pedangnya masih tergeletak di sana. Hmmm... ada beberapa pohon yang
tumbang dan, ooh... ada pohon yang pecah juga rupanya?!"
Suto memeriksa keadaan sekeliling sejenak. Rupanya tak ada korban lain kecuali gadis itu. Lalu ia teringat sesuatu yang mencurigakan.
"Luka bakar itu.... Hmmm, seperti luka bakar yang diderita oleh para mayat di Perguruan Paksi Betina! Apakah lawan si gadis tadi adalah si pembantai di Bukit Loreng itu?! Atau... hanya kebetulan mempunyai persamaan luka?!"
Ketika Suto kembali dari memeriksa keadaan sekeliling, ternyata si gadis sudah dalam keadaan duduk melonjor. Gadis itu tampak bingung perhatikan lukanya
yang hilang tak berbekas sedikit pun.
Rasa sakitnya tak terasa lagi. Kulit tubuh yang semula menghitam atau biru legam di bagian atas dada, menjadi kuning langsat mulus tanpa noda sedikit pun.
Darah yang semula berceceran di sekitar mulut itu lenyap. Bersih sama sekali. Darah itu menguap dengan sendirinya setelah tubuh si gadis meminum tuak sakti si Pendekar Mabuk. Namun agaknya ia belum kenal siapa Suto, sehingga ketika ia berpaling ke belakang dan melihat ada seorang pemuda menghampirinya, la pun segera bangkit dan memandang penuh curiga.
"Sepertinya.. sepertinya pemuda ini yang kulihat menghampiriku dan menuangkan minuman ke dalam mulutku," ujar si gadis dalam hati. "Benarkah dia seorang tabib yang mampu sembuhkan lukaku seajaib
ini?! Ah, dia masih muda. Badannya segar, gagah,kekar, tak pernah puasa, mana mungkin dia menjadi tabib atau dukun? Jangan-jangan bukan dia yang menuangkan minuman ke.. oh, tapi dia membawa bum
bung tuak? Dan sepertinya mulutku sampai sekarang masih beraroma tuak?!"
Senyum Suto Sinting mulai dipajang di wajah tampannya. Senyum itu mendebarkan hati setiap wanita, termasuk gadis yang baru saja sembuh dari lukanya itu.
Namun si gadis tetap diam dan memandang sedikit angkuh sebagai lagak menjaga harga dirinya agar tak dianggap gadis murahan. Pedang yang telah diraih dari tanah tadi sudah berada di tangan dan sekarang digenggam kuat-kuat, belum dimasukkan ke dalam sarungnya. Kedua kakinya sedikit merenggang dan tampak kokoh. la seperti sedang bersiap hadapi lawannya.
Namun si Pendekar Mabuk tetap kalem. Tak merasa tersinggung dengan sikap itu, karena ia terlalu sering hadapi gadis yang bersikap begitu, tapi pada akhirnya menjadi lunak dalam pelukannya. Pendekar Mabuk
hentikan langkahnya di depan si gadis dalam jarak satu tombak.
"Bagaimana badanmu? Cukup segarkah sekarang? Pendekar Mabuk awali pembicaraan dengan nada lembut dan berkesan ramah. Hati si gadis bagaikan disiram air kendi. Dingin dan sejuk. Tapi ia tetap tak mau tunjukkan rasa damainya. Matanya yang bundar bagaikan kelereng itu masih menatap Suto dengan tajam, setajam tusuk sate.
Pendekar Mabuk sendiri sebenarnya tertegun kagum. la tak menyangka bahwa gadis yang diselamatkan itu mempunyai wajah cantik dan mengagumkan. Mirip
dengan boneka pajangan toko di masa sekarang. Rambutnya yang sebahu diponi depan dan tidak kenakan ikat kepala.
Gadis itu tampak lebih cantik lagi dengan kalung nya yang bertali hitam, namun mempunyai bandul berbentuk hati sebesar kemiri dari batuan hijau giok. Tepian batu hijau itu dilapisi emas. Batu itu sangat kontras dengan baju buntungnya yang berwarna jingga bintik-bintik putih dengan celana hitam dari kain sejenis satin.
Tubuh yang terbungkus pakaian jingga- hitam itu tampak sekal, padat berisi, dadanya juga tampak kencang walau tak terlalu montok, namun membentuk sepasang gumpalan yang indah.
"Kaukah yang selamatkan nyawaku dari luka parah tadi?!"
"Kira-kira begitu," jawab Suto Sinting sambil lebar Kan senyum. Si gadis menarik napas, lalu melepaskan dengan lega. Pedang dimasukkan ke dalam sarungnya.
Sreeek...! Pedang itu tampak bagus, sarungnya terbuat dari lapisan logam putih mengkilap dengan ukiran gambar naga dan hiasan lainnya. Sarung pedangnya saja dijual bisa laku mahal, apalagi pedangnya sendiri yang bergagang mengkilap, berhias batu merah pada ujung gagangnya.
"Terima kasih atas pertolonganmu yang tak masuk akal itu" ujar si gadis masih bernada kurang ramah,
Namun tak terlalu ketus. Hanya sedikit berkesan tegas dan formal.
"Sudah selayaknya sebagai manusia kita saling menolong. Kurasa apa yang kulakukan atas dirimu adalah hal yang wajar-wajar saja. Tak ada yang istimewa dariku."
"Tapi kau telah selamatkan nyawaku yang nyaris mati akibat pukulan gilanya si tua rapuh itu."
"Siapa si tua rapuh yang kau maksud itu?!"
"Belah Nyawa!"
Jawaban pendek tapi jelas itu mengejutkan hati Suto Sinting. la segera ingat cerita tentang pertarungan pamannya Permata Kasih dengan tokoh dari Teluk Setan yang bernama Belah Nyawa. Tokoh tua itu kabar
nya mencari Pendekar Mabuk untuk dibunuh. Tetapi sampai sekarang Suto belum tahu apa alasan si Belah Nyawa mencarinya, (Baca serial Pendekar Mabuk da-
am episode: "Iblis Pengobral Cinta"). Bahkan Suto pun merasa belum pernah kenal dengan tokoh tua yang berjuluk si Belah Nyawa itu.

"Mengapa kau bentrok dengan si Belah Nyawa?"
tanya Suto Sinting kepada si gadis.
"Karena dia tahu bahwa aku adalah cucu dari Nyai Subokarti."
Pendekar Mabuk kerutkan dahi kembali. "Siapa itu Nyai Subokarti?"
la jadi malu, karena seperti orang tolol yang baru pertama kali terjun ke dunia persilatan. Sedikit-sedikit bertanya adalah hal yang memalukan bagi tokoh sehebat Pendekar Mabuk. Namun agaknya keadaan yang
menghendaki demikian, karena nama yang disebutkan gadis itu sangat asing bagi Suto Sinting.
"Mendiang nenekku; Nyai Subokarti adalah pendiri Perguruan Paksi Betina!"
"Ooo..," Suto Sinting segera terbengong melompong, lalu ia manggut-manggut dengan pandangan mata menerawang.
"Sejak dulu, nenekku bermusuhan dengan Belah Nyawa," ujar si gadis. "Dulu ilmu nenekku lebih tinggi dari si Belah Nyawa. Tapi setelah si Belah Nyawa menjadi petapa sesat di Teluk Setan, ilmunya pun bertambah, dan nenekku bisa ditumbangkannya. Tapi rupanya ia masih menyimpan dendam kepada seluruh keturunan nenekku, sehingga aku pun kena getahnya."
"O, jadi begitu," ujar Suto dalam hati 
"Belah Nyawa itulah orang yang lakukan pembantaian sadis di Perguruan Paksi Betina, karena perguruan itu adalah perguruan silat aliran Nyai Subokarti." "Hmmm..., ya, ya..sekarang aku tahu, dialah pembantainya! Tapi.. ada hubungan apa denganku?! Apakah si Belah Nyawa menyangka bahwa Pendekar Mabuk adalah keturunan dari Nyai Subokarti?"

Setelah mereka saling membisu beberapa helaan napas, gadis itu tiba-tiba berkata dengan tetap tanpa senyum sedikit pun, tapi juga tak berkesan ketus atau sinis. Datar tapi tidak dingin. Tegas tapi tidak galak.
Begitulah gambaran si gadis yang mengenakan cincin emas berbatu hijau seperti kalungnya.
"Dengan apa aku harus membalas jasa baikmu tadi?"
Pendekar Mabuk tersenyum manis. "Barangkali dengan sebutkan namamu sudah cukup bagiku."
Si gadis mulai tersenyum, tapi sangat irit sekali.
Hampir tak ketahuan bahwa ia sedang tersenyum, karena kecantikannya menutup senyum manisnya yang sangat sedikit itu.
"Namaku.... Ratna Biara."
"Nama yang manis sekali," gumam Suto Sinting Sengaja agak keras supaya didengar si pemilik nama.
Akibat gumam sengaja itu, si gadis sunggingkan seyum tawar, seperti orang tak menyukai sanjungan.
"Kurasa aku perlu memperkenalkan namaku juga. Orang banyak memanggilku Suto, atau Suto Sinting."

"Pendekar Mabuk, maksudmu?!" sahut Ratna Biara dengan tetap tenang tanpa terkejut sedikit pun.
"Benar. Akulah yang bergelar Pendekar Mabuk."
"Hmmm...," si gadis hanya menggumam pelan dan manggut-manggut kecil.
Ekspresi wajah cantik itu tampak tak memancarkan rasa heran, kagum, atau tercengang girang mendengar nama Pendekar Mabuk. Sepertinya nama Pendekar
Mabuk dan rupa orangnya sudah bukan hal asing lagi baginya. Justru Suto Sinting yang menyimpan rasa heran dan aneh melihat ketenangan Ratna Biara.
"Gadis-gadis lain akan selalu  melonjak kegirangan jika la tahu sedang berhadapan dengan Pendekar Mabuk. Bahkan ada yang sampai terbengong melompong seperti patung ompong. Tapi gadis ini...?! Oh, luar
biasa tenangnya?! Mengapa tak ada rasa bangga atau girang pada dirinya? Apakah dia tak percaya kalau aku adalah Pendekar Mabuk?" pikir Suto Sinting.
Ratna Biara berujar lagi kepada Suto sambil matanya yang jernih itu menatap tak berkedip, menimbulkan kesan indah yang lain dari mata gadis-gadis yang dikenal Suto sebelumnya.
"Agaknya kau kenal dengan si Belah Nyawa. Apakah kau pengikut alirannya?!"
Dengan senyum bernada geli Suto Sinting pun menjawab, "Aku hanya kenal namanya saja. Justru aku aku sekarang Ingin Jumpa dengan si Belah Nyawa untuk menanyakan, mengapa ia sibuk mencariku dan ingin
membunuhku. Kalau kau tahu ke mana arah perginya si Belah Nyawa, aku akan mengejarnya."
Aku tak tahu ke mana arah kepergiannya. Tapi barangkali aku bisa membantumu mencarinya jika kau bersedia kubantu."
"Oh, tentu saja aku senang sekali jika kau mau membantuku."
"Kalau begitu kita segera saja menuju ke Teluk Setan."
"Tapi kurasa ia sekarang tidak berada di Teluk Setan. la pasti masih berkeliling mencariku."
"Apa salahnya jika kita tengok lebih dulu keadaan di Teluk Setan?! Karena seingatku ia juga terluka oleh tendangan 'Kuda Semberani'-ku! Kurasa ia butuh waktu dan tempat untuk sembuhkan lukanya itu."
Pertimbangan benak Suto cenderung membenarkan pendapat Ratna Biara. Karenanya, mereka pun segera menuju ke Teluk Setan, dan agaknya Ratna Biara tahu persis letak Teluk Setan. la pernah melintasi wilayah Teluk Setan beberapa kali ketika mendiang neneknya masih hidup.
"Mengapa kau tidak menjadi ketua di Perguruan Paksi Betina?" tanya Suto. "Bukankah perguruan itu termasuk salah satu warisan dari nenekmu mendiang
Nyal Subokarti?!"

"Perguruan itu diwariskan kepada bibiku. Tapi sekarang bibi sudah tewas, juga di tangan si Belah Nyawa. Dari keturunan kami, tinggal aku yang masih hidup dan mungkin menjadi duri dalam sisa hidup si tua keropos Belah Nyawa itu!" ujar Ratna Biara sambil melangkah bersama.
Ujarnya lagi, "Aku sendiri mempunyai hak waris atas perguruan yang semula dipegang oleh mendiang ibuku. Dan barangkali tinggal perguruanku saja yang belum dihancurkan oleh si Belah Nyawa."
"Apa nama perguruanmu?"
"Perguruan Sekar Biara!"
"Kau ketuanya?!"
"Ya, dan aku masih mempunyai beberapa gelintir murid serta pengikut yang cukup setia terhadap aturan Sekar Biara!"
Pendekar Mabuk menggumam pelan, lalu la segera ajukan tanya kepada Ratna Biara,
"Apakah kau sudah dengar kabar tentang pembantaian di Perguruan Paksi Betina?"
Aku baru pulang menengok keadaan di sana!"
Jawabnya masih tetap datar, seakan tanpa rasa duka, dendam atau benci sedikit pun. Tapi Suto yakin dalam jiwa gadis cantik itu pasti telah dibakar api dendam kesumat yang mampu disembunyikan dalam ketenangan sikapnya.
"Kalau begitu secara tak langsung dia mengajak bergabung denganku untuk kalahkan si Belah Nyawa?"
pikir Suto Sinting dalam perjalanan ke Teluk Setan itu.
*
* *
2

MENJELANG matahari mulai bergeser ke barat, mereka mulai memasuki wilayah Teluk Setan. Hutan di wilayah Teluk Setan pada umumnya berupa tanaman liar yang penuh dengan semak berduri. Tanahnya lembek dan mengandung garam laut
Karena hutan tersebut memang terhitung dekat dengan perairan laut.
Sekalipun matahari masih bertengger seenaknya di atas kepala manusia, namun suasana dalam hutan yang penuh tanaman berduri itu tampak seperti mejelang petang. Cahaya matahari yang seharusnya menerangi alam sekitar hutan tu, selalu tertutup oleh daun-daun pohon yang tumbuh merimbun dan rapat sekali. Itulah sebabnya tanah di hutan tersebut selalu
lembab dan batang-batang pohon banyak yang membusuk. Udara yang menyebar di hutan tersebut berbau tak sedap, sulit dilukiskan dengan kata.
"Apakah tak ada tempat lain yang bisa kita lalui untuk mencapai Teluk Setan?!" tanya Pendekar Mabuk kepada Ratna Biara.
"Memang beginilah keadaan di seluruh wilayah Teluk Setan," jawab Ratna Biara dengan ekspresi biasa-biasa saja. Seolah-olah la tak merasa heran berada di tempat seperti itu.
Ujarnya lagi, "Apabila kita menginjakkan kaki di tanah yang kering dan tidak berbau apek begini, itu berarti kita sudah berada di luar wilayah Teluk Setan.
Dengan kata lain, kita telah salah arah.
"Jadi seluruh wilayah Teluk Setan bersuasana dan berkeadaan seperti ini?!"
"Benar! Sekarang ini kita sudah berada di pertengahan teluk. Arah kita sedang menuju ke arah pantai. Tapi di Teluk Setan nyaris tidak ada pantainya. Semua berupa hutan bertebing, hutan berjurang, dan lautan ada di bawah tempat kita sekarang ini!"
Pendekar Mabuk mulai pergunakan jurus peringan tubuhnya walau tak harus melayang tinggi. la memperingan tubuh agar kakinya tak terjeblos di tanah yang lembab dan lunak sekali, menyerupai kubangan lumpur. Agaknya Ratna Biara pun menggunakan jurus peringan tubuh, karena ketika ia menginjak tanaman sejenis rumput yang tingginya hampir mencapai mata kaki
Itu, ternyata tanaman itu tidak rusak dan batang-batang lunaknya masih berdiri tegak. Pendekar Mabuk mengetahui hal itu, sehingga dalam hatinya pun berkata,
"Rupanya gadis ini punya ilmu yang cukup tinggi juga. Aku yakin ia mampu berdiri di atas ilalang tanpa membuat ilalang itu patah atau melengkung ke bawah.
Kurasa memang begitu. Sebab jika la tidak berlimu tinggi, tak mungkin ia masih bisa bertahan dalam keadaan luka separah itu. Jika ilmunya sama dengan lImu para murid Perguruan Paksi Betina, pasti la sudah
menjadi mayat seperti mereka."
Pandangan mata Suto Sinting menelusuri tiap celah pohon. la berada sedikit di belakang Ratna Biara, karena ia tak mau salah langkah jika berjalan di depan
gadis itu. Ratna Biara jelaskan tentang kehadirannya dihutan pengap itu beberapa waktu yang lalu. Pendekar
Mabuk hanya mendengarkan sambil mempunyal kecamuk sendiri dalam hatinya.
"Dia tak tampak seperti gadis berilmu tinggi. Kelihatannya biasa-biasa saja. Raut mukanya juga tak pernah berubah kaget, heran, sedih, dan sebagainya.
Aneh juga gadis ini. la pandai mengendalikan perasaannya, hingga orang lain tak tahu sedang bagaimana rasa hatinya saat ini. Sebagai ketua sekaligus guru di Perguruan Sekar Biara, tentunya Ratna memang dibekali iimu tinggi oleh leluhurnya. Tanpa ilmu yang cukup
kurasa ia tak akan berani mengantarku melabrak si Belah Nyawa yang menurut pengakuan Ratna sendiri, Belah Nyawa adalah tokoh tua yang punya kesaktian setingkat dengan musuh utamaku; si Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa itu!"
Perjalanan mulai memasuki daerah berkabut. Pendekar Mabuk sempat berkerut dahi dan merasa heran Melihat asap kabut yang merambah di permukaan tanah.
Seperti di puncak gunung saja, gumam Suto Sinting seraya pandangi kabut di sekitar kakinya.
"Hati-hati.. di sini banyak sumur alam."
"Apa maksudnya sumur alam itu, Ratna?!"
"Lubang-lubang yang terjadi secara alami dan sudah berlibu-ribu tahun ternganga bagai mulut hantu menunggu mangsa. Mendiang nenekku mengatakan, daerah ini adalah daerah Sumur iblis. Siapa yang terpe
rosok ke dalamnya tak mungkin bisa keluar lagi. Tetapi jika kita sudah memasuki daerah berkabut tanpa hawa dingin seperti sekarang ini, berarti kita sudah mendekati tempat tinggal si Belah Nyawa, yaitu tebing
bergua yang dipakai bertapa dan mengasingkan diri selama ini."
"Agaknya kau punya banyak pengetahuan tentang si Belah Nyawa dan wilayah Teluk Setan ini, ya?"
"Karena setiap anggota keluargaku harus mengetahui seluruh kehidupan si Belah Nyawa. Kami juga dituntut harus hapal siapa-siapa orangnya yang termasuk Keturunan si Belah Nyawa. Karena menurut cerita mendiang nenekku, sejak dulu kala leluhurku selalu bermusuhan dengan leluhurnya si Belah Nyawa."
"Gila...!" gumam Suto Sinting bernada heran
"Dari pihak keturunan si Belah Nyawa, tinggal dia seorang yang masih hidup. Sedangkan dari pihakku tinggal aku sendiri."
"Jadi kalian adalah keturunan terakhir dari dua pihak yang saling bermusuhan, begitu?!"
Ratna Biara tak menjawab, namun la segera berkata sambil menarik tangan Suto Sinting agar melangkah lebih ke kiri.
"Awas, jangan terlalu ke kanan. Agaknya sebelah kanan kita banyak Sumur Iblis. Pergunakan ilmu peringan tubuhmu agar tidak mudah terperosok ke dalam Sumur lblis yang ada di sini."
"Dari mana kau tahu kalau di sebelah kanan kita banyak Sumur lblis? Bukankah kabut semakin menebal dan membuat rumput pun tak terlihat?!" tanya Suto dengan heran.
"Perhatikan tanaman yang mirip pohon beringin itu..." seraya Ratna Biara menunjuk tanaman yang mirip pohon beringin tapi berbatang kurus seperti pohon jati. Pohon itu mempunyai daun kecil-kecil dan rimbun,
membentuk seperti payung mengembang. Pohon itu pendek dan mempunyai akar gantung mirip rambut rambut setan.
"Kata nenekku, biasanya di dekat-dekat pohon seperti itu ada lubang bergaris tengah sekitar satu tombak, permukaannya dipenuhi oleh daun-daun tanaman rambat yang menjalar menutupi permukaan lubang tersebut. Itulah lubang Sumur lblis."
"Ooo,." Pendekar Mabuk manggut-manggut
langkahnya menjadi semakin hati-hati. sekalipun ia telah gunakan jurus 'Layang Raga'nya sedikit demi sedikit.

"Apa yang ada di dalam Sumur iblis itu, sehingga orang yang jatuh ke dalamnya tak pernah bisa muncul kembai!?" tanya Suto dengan rasa ingin tahu cukup besar.
"Sumur itu tidak menpunyai dasar," jawab Ratna Biara. "Jika orang masuk ke dalamnya, berarti dia hilang untuk selamanya."
"O, begitu?!" gumam Suto Lirih.
Sebelum Suto Sinting ajukan tanya lagi, Ratna Biara sudah hentikan langkah lebih dulu. Kakinya menapak di atas sepucuk tanaman sejenis rumput yang daunnya mirip daun cemara. Tanaman itu tersumbul
sedikit dari lapisan kabut yang tampak makin menebal.
Mata Suto dapat melihat telapak kaki Ratna Biara berada di pucuk tanaman itu tanpa membuat tanaman rusak atau melengkung ke bawah. Dan kaki Suto pun dalam keadaan demikian juga.
"Mengapa berhenti, Ratna?" bisik Suto Sinting degan curiga, karena pandangan mata gadis itu tertuju lurus ke depan, sepertinya ada sesuatu yang sedang
Diperhatikan deangan kecemasan tersembunyi. Pendekar mabuk mencoba melihat ke arah depan, tapi ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan, sehingga akhirnya ia pun Ajukan tanya seperti itu.

"Ada sesuatu yang bergerak menuju kemari," ujar Ratna Biara dengan pelan dan bernada datar. Pendekar Mabuk memandang ke arah depan lagi, tapi tetap tak melihat sesuatu yang bergerak seperti maksud kata-kata Ratna Biara itu.
"Apakah kau melihat bayangan putih menuju kemari?"
"Tidak," jawab Pendekar Mabuk sambil masih mencoba memperjelas penglihatannya hingga dahinya berkerut tajam.
"Celaka!" gumam gadis itu bernada tegang, tapi wajahnya masih tampak biasa-biasa saja. Tak menampakkan kecemasannya.
"Cepat cari tempat berlindung!" ujar Ratna Biara.
"Hei, ada apa sebenarnya, Ratna?! Aku tak melihat apa-apa?!" seru Suto Sinting sambil mencekal lengan gadis itu.
"Badai kabut!" suara Ratna Biara pun menjadi agak keras. Tidak berbisik atau bergumam seperti tadi.
"Badai kabut...?! Maksudmu badai kabut bagaimana, Ratna?!"
"Lihat kabut yang berada di depan kita! Bukankah kedudukannya lebih tinggi dari permukaan kabut yang ada di kaki kita?!"
"itu lantaran jalanan yang di depan klta menanjak Ratna!"
"Di sini tidak ada tanjakan maupun turunan, Suto! Jika kabut tampak lebih tinggi dari kabut yang ada di Sekitar kaki kita,berarti kita berhadapan dengan badai kabut!"

Hembusan angin mulai terasa lebih kencang dari sebelumnya. Suto Sinting mulai mempercayai kata-kata Ratna Biara. Hembusan angin ltu semakin meriapkan
rambut mereka, sehingga Pendekar Mabuk bergegas ikuti langkah Ratna Biara yang menuju ke sebuah pohon tinggi berbatang besar.
Mereka berlindung di balik pohon besar itu. Kedua tangan Ratna Biara pegangi akar pohon yang menjulur naik, membentuk jalur menyatu dengan batangnya. Akar sebesar lengan tu dipegang dengan kedua tangan kuat-kuat, sementara angin berhembus bagaikan di pantai. Melihat apa yang dilakukan Ratna Biara, pemuda tampan murid si Gila Tuak itu merasa lebih heran
Lagi dan ingin tertawa geli, Ratna Biara seperti gadis kecil yang takut dengan angin pantai.
"Cari pegangan biar kau tak terlempar!" ujar Ratna Biara mulai tampak guratan kecemasan di wajahnya.
"Lekas, Suto! Pegang akar ini sebelum badai kabut menghempaskanmu kuat-kuat! Jangan gunakan tenaga peringan tubuh. Lepaskan jurus peringan tubuhmu supaya tubuh kita tidak seringan kapas dan mudah terhempas.
"Tapi hembusan angin hanya begini-begini saja, Ratna. Mengapa kau harus secemas itu?!"
"Jangan bodoh, Suto! Ikut! saja perintahku! tegas gadis itu dengan kegelisahan makin tampak jelas di wajahnya. Pendekar Mabuk akhirnya ikuti perintah itu la bukan saja berpegangan pada akar yang melengkung membentuk seperti tambang melingkar, tapi memasukkan lengannya ke lingkaran akar itu hingga ia mirip jejaka sedang menggandeng kekasihnya.
"Hati-hati dengan bumbung tuakmu!"
Ratna Biara ternyata juga mencemaskan bumbung tak si Pendekar Mabuk. Hati Suto sempat merasa bangga dan kagum melihat si gadis ikut memperhatikan bunbung tuaknya. Maka bumbung tuak itu segera disilangkan di punggung, talinya menyilang di dada.

Hembusan angin semakin kencang. Hati si tampan Suto mulai mempercayai kata-kata Ratna Biara. Lebih-Lebih setelah ia melihat permukaan kabut mulai tampak lebih tinggi dari sebelumnya, batin si Pendekar Mabuk
pun semakin percayai tentang akan datangnya badai kabut itu. Deru angin bertambah memekakkan telinga. Ratna Biara bicara dengan berteriak.
"Pegang tanganku! Pegang erat-erat, jangan sampai kita terpisah!"
'Terpisah?!" gumam Suto Sinting tak terdengar oleh telinga si gadis. Yang jelas si gadis segera ulurkan tangan kirinya, kemudian segera menggenggam la Lengan Suto kuat-kuat.
"Hanya hembusan angin seperti ini saja akan bisa memisahkan kita?!" ujar Suto Sinting masih belum tahu persis maksud Ratna Biara.
"Badai kabut ini pernah membuatku dua kali terpisah dari nenek!" seru Ratna Biara. "Kurasa si Belah Nyawa telah mengetahui kedatangan kita, sehingga ia kirimkan jurus 'Badai Kabut'nya untuk mengusir kita dari wilayah ini!"
"Apakah kita sudah dekat dengan tempat tinggal Belah Nyawa?!" seru Suto juga.
"Dia dapat rasakan akan kedatangan tamu walau sang tamu masih harus menempuh perjalanan seperempat hari untuk tiba di tempatnya!"
"Gila! ilmu apa yang dipakainya itu?!"
Ratna Biara tak meniawab, karena deru angin semakin keras. Hembusannya kian kencang. Kabut semakin tinggi, mencapai sebatas paha. Tubuh mereka terasa didorong-dorong oleh kekuatan yang dapat
membuat mereka terjengkang.
"Genggam tanganku kuat-kuat!" teriak Ratna Biara lebih keras lagi.  Suto Sinting pun menggenggam tangan gadis Itu lebih kuat lagi.
Wuuuuuurrrrssss...!
Kini hembusan angin mulai membadai. Makin lama semakin kuat dan cepat. Mereka dibungkus oleh kabut yang mengganggu pandangan mata.
Ratna Biara berteriak terus-meneris dan memaksa Suto agar ikut berteriak dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan nya. Hal itu dilakukan Ratna Biara untuk meyakinkan
hatinya, bahwa mereka masih bersama-sama, bahwa yang digenggamnya dengan tangan kiri bukan akar pohon, tapi tangan Pendekar Mabuk.
Pohon yang dipakai berlindung oleh mereka mulai bergerak-gerak. Padahal pohon itu cukup besar. Enam tujuh orang baru bisa memeluk pohon itu dalam keadaan tangan mereka merentang. Jika pohon sebesar ltu
pun mulai bergetar bagai ingin tumbang, maka sudah tentu kekuatan angin yang berhembus kala itu mempunyai kecepatan badai yang mengamuk.
"Pegang terus akarnya dan genggam kuat-kuat tanganku, Suto! Kau dengar?! Kau dengar suaraku, Suto?!"
"Ya, aku dengar!" teriak Pendekar Mabuk di sela gemuruh badai dan kabut yang membungkus mereka.
"Kalau tahu akan begini parah, sejak tadi kugunakan saja jurus 'Napas Tuak Setanku," ujar Suto dalam hatinya. "Badai yang keluar dari jurus 'Napas Tuak Setan'-ku akan dapat mengembalikan hembusan badai ini kepada pengirimnya. Setidaknya badai dari
'Napas Tuak Setan'-ku itu dapat menahan badai Ini agar tak menghempas kemari. Tapi sekarang..., ah, sudah terlambat. Wajahku seperti ditampar keras-keras oleh
gelombang padat yang begini besarnya. Gila.!"
Semakin lama semakin kuat hembusan angin tersebut. Kaki mereka mulai melayang-layang, tak bisa menapak di tanah akibat kuatnya badai yang berhembus Beberapa pohon tumbang dengan timbulkan suara gemuruh mengerikan. Pohon besar itu sendiri mulai mengeluarkan suara derak, sepertinya akan patah di pertengahan batangnya. Alam menjadi mengerikan, bagaikan kedatangan kiamat yang tak disangka-sangka. Batu-batu mulai berloncatan, sebentar lagi akan berubah
menjadi beterbangan dihembus kekuatan badai yang amat besar itu. Tapi untuk batu sebesar kepala bayi sudah sejak tadi beterbangan bagai dilemparkan orang.
"Ratnaaaa...!" teriak Suto Sinting dengan mata mencoba memandang wajah gadis itu, tapi pandangan tersebut terhalang oleh kabut yang semakin tebal.
Pohon Ini akan tumbang, Ratnal Hooi...! Kau dengar suaraku, Ratna?!!"
"Ya, aku dengar! Tapi kita tak bisa pindah ke tempat lain Kita tak bisa berjalan, Suto! Badai ini akan menerbangkan kita, mungkin juga menghempaskan tubuhmu pada pohon besar lainnya!"
"Tapi aku tak mau mati kejatuhan pohon! Pasti sakit!"
"Lalu... laa... lalu bagaimana?!" seru Ratna Biara yang mulai tampak sulit bernapas karena tersumbat asap kabut terlalu banyak.
"Akan kubawa lari kau dengan Jurus 'Gerak Siluman'-ku!"
"Kau mau melarikan diriku?!"
"Maksudku, membawamu menyingkir dari sini!"
Krraaaaakkk...! Pohon itu keluarkan suara derak panjang.
"Celaka! Pohon ini benar-benar akan tumbang kemari, Ratna!!" seru Pendekar Mabuk dengan mata terpejam karena tak kuat menahan hembusan badai dan asap kabut yang mulai terasa berhawa panas itu.
"Ratnaaa... ulurkan tangan kananmu kemari!"
"Tak bisa! Tubuhku sudah mau terlempas,Sutooo...! teriak Ratna Biara dengan tangan yang menggenggam Suto terasa bergerak-gerak ingin lepas. Suto
Sinting makin perkuat genggamannya. Jari tangan gadis itu bagaikan diremasnya tanpa peduli timbulkan rasa sakit atau mesra.
Sebenarnya Suto merasa masih sanggup bertahan walau kedua kakinya semakin terangkat ke belakang.
Genggaman tangannya pada akar pohon masih bisa diandalkan. Tapi keadaan pohon yang sudah semakin miring itu tak bisa diandalkan lagi.
Plaas..!
"Sutooo... tanganku terlepas dari akar pohon!"
Teriak Ratna Biara. Tubuh gadis itu mulai melayang-layang. Hanya karena tangan kirinya masih berada dalam genggaman tangan kanan Suto, maka tubuh itu tak
Terlempar bagaikan batang-batang kayu yang tumbang dan patah itu. Suto Sinting sempat menjadi panik melihat tubuh Ratna Biara melayang-layang nyaris terlempar terbang itu. Tak ada yang bisa dilakukan oleh tangan kiri suto selain perkuat genggamannya pada akar.
Tapi akar Itu lama-lama patah juga akibat tarikan kencang dari tangan Suto. Traak...!
"Hahhh...?"
"Bertahan terus, Suto! Bertahan teruuus.." seru Ratna Biara.
"Beberapa saat lagi pasti badai ini akan
berhenti, karena ia sangka kita telah terlempar atau tak berdaya lagi!"
Tapi Suto Sinting merasa tak mungkin bertahan lebih lama lagi. Maka dengan gerakan susah payah melawan datangnya hembusan badai itu, Pendekar Mabuk mencoba tekan kedua kakinya ke bawah agar dapat menyentuh tanah. Namun hal itu sangat sulit.
Kaki hanya bisa menyentuh ujung akar yang mencuat naik dari kedalaman tanah. Maka dengan cepat kaki Suto Sinting menjejak ujung akar itu dengan kerahkan
tenaga dalamnya.
Dees...! Wuuut...!
Tangan yang memegangi akar dilepaskan. Maka tubuh mereka terhempas seketika, dan Suto Sinting segera menarik tangan Ratna Biara dengan sentakan tangannya. Gadis itu berada dalam pelukannya, Namun segera terbawa terbang dengan cepat, karena 
selain mereka dihempas oleh kekuatan badai. mereka juga didorong oleh kekuatan jurus 'Gerak Siluman' yang dipergunakan oleh Suto.
Jurus itu dipergunakan dengan maksud agar Suto dapat mengatur keseimbangan gerak walau dalam keadaan terhempas. Namun ternyata tenaga badai kabut itu sukar dilawan. Tubuh mereka pun terhempas tanpa keseimbangan gerak.
"Sutoooo...!"
"Aaaaaa...!"
Mereka masih saling berpelukan, menyerupai anak panah yang dilepaskan dari busurnya. Ketebalan kabut
membuat mereka tak bisa melihat apa-apa, akhirnya ubuh mereka sama-sama membentur pohon lain yang
sudah mau tumbang. Brrrus...!
"Aaahk...!
Tubuh mereka jatuh ke tanah, namun tak merasakan sentuhan tanahnya. Ratna Biara masih sadar dan segera bertanya dalam hati, "Mengapa tubuhku melayang turun dalam gerakan turun?
"Ratna..! Kita jatuh ke mana ini?!"
"Oh...?! Oh, Suto.." suara Ratna Biara menegang
"Kita bergerak terus ke bawah, pasti... pasti kita jatuh ke dalam salah satu Sumur Iblis itu, Suto!"
"Hahh...?!" Suto pun menegang. la paksakan
buka mata lebar-lebar, namun yang ada dalam pandangannya hanya warna hitam gelap. Sementara itu, ia juga rasakan rambutnya bergerak naik, demikian pula
sebagian kain bajunya.
"Benarkah...?! Benarkah kita jatuh ke dalam Sumur iblis itu, Ratna?!"
"Kita bergerak turun terus! Ak... aku sukar bernapas, Suto! Aahk... ahhk.. aahk...!"
Pendekar Mabuk sendiri juga merasa kesulitan bernapas. Tubuhnya terasa lemas, kedua tangannya yang memeluk Ratna Biara terasa mulai mengendur.

*
* *
3

DUGAAN Ratna Biara ternyata benar. Pertama, tentang keberadaan si Belah Nyawa. Ternyata tokoh yang sudah lama tak muncul di permukaan bumi persilatan itu memang pulang ke Teluk Setan Untuk obati lukanya. Ratna Biara sempat lukai tokoh sakti itu dengan jurus 'Tendangan Semberani' yang mampu meremukkan besi itu, apalagi tulang tuanya si Belah
Nyawa yang sudah berusia sekitar seratus tahun itu, tentu saja akan mudah remuk terkena jurus 'Tendangan Semberani' itu.
Kedua, tentang keadaan datangnya badai kabut itu, ternyata memang benar-benar datang dan menghempaskan mereka berdua. Badai kabut itu sengaja dikirimkan oleh si Belah Nyawa dari dalam gua tempat
tinggalnya yang masih jauh dari tempat Suto dan Ratna Biara saat itu. Badai kabut itu pula yang membuat Ratna Biara dan mendiang neneknya dua kali gagal menghampiri si Belah Nyawa ke dalam guanya. Ternyata kali ini pun Ratna Biara juga gagal mencapai gua pertapaan si Belah Nyawa itu.
Ketiga, pendapat si cantik Ratna Biara tentang kejatuhan mereka memang benar. la dan Suto sama-sama jatuh ke dalam lubang besar yang kedalamannya tak bisa diukur dan menurut mendiang Nyai Subokarti,
Sumur itu tak mempunyai dasar. Mungkin saja sumur itu adalah lubang tembus jagat yang kedua mulutnya ada di kutup utara dan kutup selatan.
Tewaskah mereka di dalam Sumur iblis itu? Ternyata tidak. Mereka memang pingsan, tapi tidak kehilangan nyawanya. Mereka memang melayang-layang, tapi tidak selamanya melayang. Ketika murid sinting Pendekar Mabuk itu siuman dari pingsannya, ternyata ia sudah berada di tepi pantai berpasir putih. Panas terik matahari menyengat kulit lengannya yang terluka entah karena goresan apa.
Mungkin juga karena benturan dengan pohon saat terhempas, sebab ia masih sempat mengarahkan badannya untuk melindungi tubuh Ratna Biara dari benturan dengan pohon tadi. Bahkan kepala Suto pun terasa berdenyut-denyut akibat benturan keras tadi. Untung tak sampai bocor.
Bumbung tuaknya tergeletak di pasir pantai dalam
jarak empat langkah dari tempatnyaterkapar. Bumbung tuak itu segera diambil dan Suto Sinting menenggak tuaknya. Untung juga tutup bumbung tuak tak sampai lepas, sehingga tuak tak tumpah ke mana-mana. Tempurung yang menjadi tutup bumbung tuak itu menyerupai drat yang harus diputar sedikit jika ingin membukanya.

Beberapa teguk tuak segera menyegarkan tubuh Suto lagi. Lukanya hilang, sakit di kepalanya juga lenyap. Tapi si pemuda tampan itu masih kebingungan mencari Ratna Biara. Gadis itu tak ada di sampingnya
di sekitar pantai pun tak ada.
"Ke mana gadis itu?" tanya batin Suto. "Apakah ia sudah siuman lebih dulu dariku lalu dia pergi mencari makanan? Atau mungkin dia pingsan di tempat lain?
Atau juga ia diculik orang saat masih dalam keadaan pingsan?!"
Terlalu konyol jika Suto harus mencari sambil berteriak-teriak memanggil Ratna Biara. la butuh ketenangan berpikir agar tak timbul salah duga tentang hilangnya Ratna Biara itu. ia duduk di atas batu karang,
memandang ke lautan yang bergelombang sedang. Bayangan daun-daun pohon kelapa yang tumbuh di belakangnya jatuh menaungi batu karang itu, sehingga
tempat tersebut terasa teduh.
"Aneh," gumam hati Suto dalam renungannya.
"Ratna bilang aku dan dia jatuh ke dalam Sumur Iblis. Katanya lubang itu tidak mempunyai dasar?
Orang yang jatuh ke dalamnya tak akan bisa muncul lagi, alias mati?! Tapi nyatanya sekarang aku tidak mati?! Sekarang aku masih hidup dan masih bisa muncul lagi di...di.." 
Pendekar Mabuk mulai sadar akan keanehan yang lebih mengherankan lagi itu. ia memandang sekelilingnya dengan dahi berkerut tajam.
"Hei, di mana aku ini?! Bukankah Ratna bilang wilayah Teluk Setan Nyaris tak mempunyai pantai?! Tapi...tapi pantai ini cukup luas? Hutan di sebelah sana tampak subur. Dari sana sampai di hutan belakangku juga tampak subur, tak ada kelembaban seperti di hutan berkabut itu?!"
Dengan berdiri di atas batu karang yang agak tinggi, pandangan Suto Sinting segera diarahkan pada hutan di sepanjang pantai itu. Satu pertanyaan aneh timbul lagi dalam batinnya yang membuatnya semakin kebingungan.
"Aku jatuh dalam salah satu Sumur iblis, tapi aku bisa muncul lagi di permukaan bumi? Lho... aku muncul dari mana?! Siapa yang mengangkatku dari dalam Sumur Iblis itu? Adakah seseorang yang menyelamatkan
nyawaku kemudian menbuangnya ke pantai ini?! Jika ada yang selamatkan nyawaku, mengapa sekarang aku dibuang di pantai? Apakah dia sangka aku sejenis bibit ubur-ubur!"
Begitu besar keheranan Suto, sampai akhirnya ia telusuri pantai untuk mencari lubang tempatnya jatuh atau tempatnya berhasil muncul kembali ke permukaan bumi. Ternyata sepanjang pantai itu tak ada
Lubang yang layak dipakai untuk muncul tubuh besar badannya.
"Apakah aku muncul dari lubang undur-undur!?"
seraya Suto Sinting berjongkok dan perhatikan pasir yang menjadi rumah binatang undur-undur itu. Akhirnya ia tertawa sendiri dalam hati.
"Tak mungkin aku muncul dari lubang undur-undur ini! Pasti ada orang yang menyelamatkan diriku, lalu membawanya kemari dalam keadaan aku masih pingsan. Tapi... bagaimana dengan Ratna Biara? Apakah dia ikut diselamatkan? Atau ia tidak tertolong lagi oleh tangan si penyelamat itu?!"
Pendekar Mabuk mendesah bernada keluh Wajah nya sempat menjadi murung, hatinya merasakan duka dalam kebimbangan jika membayangkan Ratna Biara tak terselamatkan. Suto Sinting melangkah pelan, masih menelusuri pantai yang panjang itu.
"Aku harus mencari tahu, siapa orang yang telah selamatkan diriku dan bagaimana nasib Ratna! Tak tenteram hidupku jika kedua pertanyaan itu belum kuperoleh jawabannya," ujarnya membatin.
Langkah demi langkah membawa Suto Sinting mendekati kaki bukit. Tapi sejauh itu, pencarian terhadap diri Ratna Biara belum menampakkan titik-titik terang. Pendekar Mabuk justru alihkan perhatian pada sebuah pertarungan yang terjadi di sebuah lembah.
Suara ledakan yang terdengar menggema itulah yang menarik perhatian Pendekar Mabuk untuk menuju ke sebuah lembah. Padahal semula ia ingin ke selatan
karena di selatan tampak atap rumah-rumah penduduk sebuah desa. la menduga Ratna Biara pergi ke desa itu untuk meminta bantuan atau lakukan sesuatu di sana.
Tetapi suara ledakan yang menjadi suara pertarungan itu lebih menarik perhatian bagi Suto Sinting, sehingga niatnya pergi ke desa tersebut ditangguhkan dulu.
Pertarungan itu ternyata dilakukan oleh seorang perempuan tua bertubuh tinggi, namun tampak kurus sekali. Kulitnya berkeriput warna coklat kusam. Sekalipun si nenek berpipi kempot dengan gigi depan ada yang ompong yang menampakkan usia sekitar sembilan puluh tahun, namun ia masih seperti anak muda.
Gerakannya lincah dan gesit. Mengenakan ikat kepala dari kain berbenang emas untuk menjepit rambutnya yang beruban rata itu. la mempunyai pedang di punggung. Berpakaian jubah tanpa lengan warna abu-abu kenakan kalung tali hitam dengan liontin dari bahan batu yang membentuk seperti biji salak kembar.
"Hmmm... tak sebanding!" gumam Suto. "Si nenek bertubuh kurus, ceking, tua, tapi lawannya justru lelaki bertubuh besar, kekar, dan tampaknya masih berusia
Sekitar empat puluh tahunan. Menurutku pertarungan kni sangat tak seimbang. Tapi sepertinya si nenek merasa yakin dapat tumbangkan lelaki berkumis lebat itu.
Apa benar si nenek bisa tumbangkan lawannya? Sekalipun si nenek mempunyai gerakan lincah dan gesit,
Tapi Lawannya mempunyai ketahanan tubuh yang cukup besar."

Sang nenek yang kurus ceking itu ternyata masih mampu membanting lawannya yang tinggi besar itu. Ketika si lelaki besar itu lepaskan tendangan menyamping ke arah wajah si nenek, dengan cepat sang nenek
berlutut dengan satu kaki dan sentakkan telapak tangan kanannya ke atas. Beet...! Plaak...!
Sentakan tangan kecil itu rupanya berisi tenaga dalam cukup besar. Kaki lawan yang besar itu tak kenai kepala sang nenek. Justru betisnya disodok oleh tangan si nenek dari bawah, dan seketika itu pula lelaki
bertubuh besar itu tersentak ke atas dan tubuhnya terpelanting terjungkal ke belakang. Wuuut, brruuk...!
"Aaahk...!" orang tinggi besar berperut buncit itu terpekik saat tubuhnya terbanting di tanah. la cepat bangkit dan mencabut golok besarnya yang terselip di pinggang. Namun sebelum tangannya mencapai gagang golok, kaki kurus si nenek melesat dalam gerakan cepat. Buuuhk...!
"Aaaahkk...." lelaki itu memekik panjang dan keras Tendangan kaki kecil yang tinggal tulang dibungkus kulit itu ternyata menyerupai serudukan seekor banteng liar. Perut lelaki berpakaian serba merah itu terkena tendangan sang nenek, membuat tubuhnya yang besar terlempar ke belakang dan membentur sebatang pohon besar. Brrruuss...!
"Aaahk, uuhk, uuhueeek.."
Ternyata tendangan kaki kurus itu tidak sia-sia. Lawannya segera memuntahkan darah kental dari mulut. Sang nenek segera berteriak dengan suara tuanya yang serak.
"Kuingatkan sekali lagi padamu, Garasoka! Jika kau masih nekat ingin membalas dendam atas kematian sahabatmu; Jagapura, maka dalam waktu tak sampai
tiga helaan napas nyawamu sendiri yang akan kukirim ke neraka untuk temui si Jagapura!"
Lelaki yang bernama Garasoka itu tak bisa bicara. Wajahnya pucat kebiruan, matanya terbeliak dengan tubuh tak bisa tegak. Langkah si Garasoka limbung ke
sana-sini, sebentar-sebentar tersentak dan memuntahkan darah kental lagi.
Garasoka sudah jelas-jelas tak akan mampu lanjutkan pertarungan. Jika ia nekat menyerang nenek berjubah abu-abu itu, maka ia benar-benar dapat kehilangan nyawanya. Karena agaknya ancaman si nenek berbibir coklat itu tidak main-main. Matanya yang cekung menatap Garasoka dengan tajam, penuh hasrat untuk membunuhnya.
Kuberi kesempatan sekali lagi untuk menikmati sisa Hidupmu, Garasoka! Pulang dan katakan kepada gurumu, aku tak akan tumbang walau seluruh murid
Perguruanmu menyerangku bersama-sama!" seru sang nenek.
Namun tiba-tiba Pendekar Mabuk melihat seberkas sinar merah yang meluncur dari belakang sang nenek. Sinar merah itu melesat cepat menuju punggung nenek berjubah abu-abu itu.
"Hmmm... ada yang mau berbuat curang" geram hati Suto Sinting, maka ia segera melepaskan jurus Pukulan 'Guntur Perkasa' yang bersinar hijau itu. Sinar hijau tersebut melesat dan langsung menghantam sinar merah si penyerang gelap itu. Claap...!
Blegaaarr...!
Waktu itu si nenek juga melihat datangnya siner merah, karena kebetulan ia berbalik arah dan segera terperanjat mendapat serangan tiba-tiba. Namun sebelum sang nenek lepaskan pukulan bersinar untuk
diadu dengan sinar merah itu, ternyata Suto Sinting lebih dulu lepaskan sinar hijaunya dari balik persembunyian. Sang nenek semakin kaget melihat ada orang
yang memihaknya. la memang sempat jatuh akibat ledakan berdaya sentak besar tadi. Tapi ia cepat bangkit dan lepaskan pukulan bersinar merah juga ke arah kerimbunan semak, tempat persembunyian si penyerang gelap tadi.
Claap..! Duaarrr...! Rupanya sinar biru si nenek menghantam pohon, dan pohon itu tumbang seketika itu juga dalam keadaan terbelah menjadi beberapa bagian. Sementara itu, Pendekar Mabuk melihat sekelebat bayangan kuning yang melesat berlari menjauhi tempat itu. Bayangan kuning tersebut adalah si penyerang gelap yang semula ingin membantu Garasoka.

Namun karena mengetahui ada pihak lain yang membantu sang nenek, maka ia memilih larikan diri. Sebab dalam pertimbangannya, untuk melawan si nenek jubah abu-abu itu saja butuh menguras ilmunya, apalagi jika si nenek ada yang membantu dengan ilmu lebih dahsyat lagi. Tentunya semakin sulit tumbangkan si nenek kurus tersebut. Bisa-bisa nyawanya ikut dikirim ke neraka oleh si nenek kempot itu.
Garasoka sendiri diam-diam segera melarikan diri ketika dirinya sempoyongan. Sekalipun kepergian Garasoka pada akhirnya terlihat oleh si nenek, tapi agaknya perempuan tua itu tidak ingin memburunya dan sengaja membiarkan lawannya pergi. Pendekar Mabuk hanya sunggingkan senyum dari balik kerimbunan semak ilalang sambil pandangi larinya Garasoka yang mirip babi hutan masuk angin itu.
"Kuharap keluarlah dari persembunyianmu, Sobat!"
Suto terperanjat mendengar seruan sinenek. la tahu seruan itu ditujukan pada dirinya. Rupanya si nenek masih pedulikan si pemilik sinar hijau yang melumpuhkan sinar merah orang seperguruan Garasoka tadi.
"Keluarlah jika kau ingin bersahabat denganku! Tapi tetaplah diam di situ jika kau adalah musuhku!"
seru perempuan itu lagi.
Pendekar Mabuk akhirnya melompat keluar dari semak ilalang. la merasa perlu temui nenek itu,

Karena siapa tahu si nenek itulah yang menolongnya dari dalam Sumur lblis, atau mungkin si nenek tahu ke
nya mana perginya Ratna Biara.
Zlaaap..! Jleeg...! Tahu-tahu Suto Sinting sudah ada di samping kanan si nenek dalam jarak tujuh langkah. Jarak itu membuat si nenek terpaksa sedikit berkerut dahi dan kecilkan mata untuk melihat lebih jelas
lagi. Pendekar Mabuk pun segera sunggingkan senyum ramah sambil melangkah kalem mendekati sang nenek.
Dalam jarak tiga langkah dari tempat si nenek berdiri, Suto hentikan langkahnya dan sedikit bungkukkan badan sebagai sikap menghormat pada tokoh tua itu.
Anehnya, si nenek justru tertegun bengong dengan mulut melongo dan mata tak berkedip. Tak sedikitpun bagian tubuhnya yang bergerak saat ia pandangi
Suto Sinting. la bagaikan orang yang terkagum-kagum melihat kehadiran pemuda tampan berperawakan tinggi, tegap, gagah, dan kekar.
"Maaf, Nek... aku bukan bermaksud mencampuri urusanmu dengan orang tadi, tapi sekadar tak suka melihat kecurangan terjadi dalam sebuah pertarungan"
ujar Suto Sinting dengan tutur kata yang ramah dan sopan.
Si nenek masih diam saja. Berkedip pun tidak, apalagi membalas senyuman Suto. Hal itu membuat Sinting menjadi terheran-heran. Dipandanginya wajah si nenek sambil membatin, Pasti semasa mudanya nenek ini berwajah cantik.
Sisa kecantikannya dapat dilihat dari hidungnya yang mancung dan bola mata yang belum memburam."
Kini perempuan tua dan berkeriput itu mendekat hingga mencapai satu langkah di depan Suto. Pandangan matanya kian dipertajam menatap pemuda tampan dari kepala sampai kaki. Bahkan ia berjalan pelan mengelilingi Suto Sinting dengan sorot pandangan mata penuh keheranan, seakan ia tak percayai penglihatannya sendiri.
Suto Sinting tak enak hati diperhatikan demikian.
Tapi la masih bersabar dan membiarkan si nenek memandanginya sepuas hati. Setelah si nenek berhadapan kembali dengannya, Pendekar Mabuk pun segera perdengarkan suaranya yang masih tetap bernada
sopan dan bersahabat itu.
"Apakah ada sesuatu yang ganjil pada diriku,
Nek?!"
Si nenek diam saja. la mengusap kalungnya yang berbatu ungu. Pendekar Mabuk sempat tertarik pada Kalung itu. Ada perasaan aneh yang timbul setelah memperhatikan kalung berbatu ungu itu. Namun sebelum la berkata, si nenek sudah lebih dulu ajukan tanya dengan suara parau yang sangat pelan.
"Siapa kau, Anak Muda?!"

"Namaku.... Suto Sinting, Nek."
"Ooh...?!" si nenek tampak terperanjat dan semakin bengong, semakin terpukau di tempat, bahkan semakin memandang nanap.
"Kau punya gelar...?" tanya si nenek kian lirih lagi
"Hmmm... ya, aku punya gelar Pendekar Mabuk"
tegas Suto Sinting dengan sunggingkan senyum keramahan.
Suto ingin berkata lagi, tapi urung karena ia melihat si nenek geleng-geleng kepala sambil berkata lirih,
"Tak mungkin."
Kata-kata itu diucapkan berkali-kali sampai berupa desahan napas tuanya. la ucapkan kata 'tak mungkin'
sambil melangkah mundur pelan-pelan. Kedua bola matanya mulai tampak membening digenangi air. Pendekar Mabuk bertambah heran melihat si nenek ingin
menangis.
"Ada apa dengan diriku, Nek?! Mengapa... mengapa kau bilang 'tak mungkin'? Apanya yang tak mungkin?!"
Si nenek tidak menjawab. Langkahnya terhenti dalam jarak satu tombak dengan Suto. Tapi kedua bola matanya kian basah. Bahkan sekarang ada genangan air yang meleleh di pipinya. Pendekar Mabuk bertambah penasaran. la ingin dekati si nenek, tapi segera dicegah.

"Cukup! Jangan dekati aku dengan tipuanmu! Kau bukan Suto Sinting bukan!
"Aku benar-benar Suto Sinting, Nek! Sumpah! Aku yang bergelar Pendekar Mabuk. Soal gelarku, boleh saja kau tidak mengakuinya. Tapi namaku harus kau akui
sebagai Suto Sinting!"
Si nenek geleng-geleng kepala dengan air mata membanjir di kedua pipi keriputnya.
"Kau... kau pasti anaknya Suto Sinting! Mengakulah  kau pasti keturunan si Pendekar Mabuk itu,bukan?!"
"Hei,apa maksudmu berkata begitu, Nek?Aku Belum punya keturunan! Aku Suto Sinting asli! Pendekar mabuk yang sebenarnya!"
Sinenek bergegas ke bawah pohon. ia bahkan berada dibalik pohon itu, sandarkan punggungnya dalam keadaan berdiri dan tundukkan kepala. Ketika Suto menyusul ke balik pohon, ternyata si nenek benar-benar menangis.
"Aneh sekali orang ini?!" gumam hati Suto Sinting.
Si nenek tak bisa sembunyikan tangisnya lagi, walau ia sudah gunakan tangan kanannya untuk menyanggah sekaligus menutupi tangis itu. Tentu saja Suto
Menjadi salah tingkah dan tak mengerti harus berbuat apa terhadap si nenek itu.
Dengan hati-hati sekali, Suto Sinting kembali ajukan tanya kepada si nenek.
"Nek, jika aku menyinggung perasaanmu, aku mohon maaf. Tapi sudilah kiranya kau jelaskan apa alasanmu tidak mempercayai diriku sebagai Suto Sinting atau Pendekar Mabuk?!"
Si nenek akhirnya tegakkan wakah dan menahan emosinya untuk tidak hanyut dalam tangis. la malu sekali, karena dari remaja sampai setua itu, ia baru menangis beberapa kali. la termasuk perempuan yang sulit menangis hingga menitikkan air mata. Tapi jika bersedih hati, itu sangat sering dialaminya.
"Kau berani mati terkutuk oleh sumpahmu sendiri jika kau membohongiku?!"
"Baik!" Suto Sinting angkat tangan kanannya dengan tegakkan telapak tangan itu. "Aku bersumpah biar mati terkutuk seperti apa pun jika aku membohongimu dan mengaku-ngaku sebagai Suto Sinting padahal bukan!
Tapi aku akan panjang umur jika ternyata aku memang Suto Sinting asli!"
Sinenek masih pandangi Pendekar Mabuk dengan menelan napas beberapa kali untuk menahan tangis.
"Jika benar kau Suto Sinting atau si Pendekar Mabuk, sebutkan nama sebuah pusaka yang diakui oleh para tokoh tingkat tinggi sebagai pusaka maha dahsyat.?!"
"Pertanyaanmu aneh sekali, Nek," ujar Suto pelan karena merasa semakin heran dengan pertanyaan itu.

"Sebutkanlah, Nak... jika benar kau Pendekar Mabuk, pasti kau tahu nama pusaka itu!"
"Tentu saja aku tahu. Pusaka yang diakui sebagai pusaka maha dahsyat adalah Pedang Kayu Petir."
"Ooh...?!" si nenek melongo kagum. Jantungnya berdebar-debar dan tubuhnya kian gemetar.
"Apakah... apakah kau juga tahu nama pedang yang menjadi pasangan Pedang Kayu Petir itu?" tanya si nenek lagi.
"Hmmm... ya, aku juga tahu. Pedang yang menjadi pasangan Pedang Kayu Petir itu adalah Pedang Galih Petir!"
"Hhaa...?!" si nenek menjadi tegang, air matanya mengalir kembali.
Suto segera beberkan ingatannya tentang kedua pedang tersebut.
"Pedang Kayu Petir adalah jelmaan dari Eyang Agung Cipta Mangkurat, sedangkan Pedang Galih Petir
jelmaan dari istrinya yang bernama Eyang Nyimas Rohing Pandawi."
Perempuan tua itu kian menegang dan gemetar, sampai-sampai la berpegangan pada batang pohon agar tak terkulai jatuh. Karena saat itu kedua lututnya bagai tidak bertulang lagi. Sedangkan Suto tak peduli
Dengan keanehan sikap si nenek, ia jelaskan kembali apa yang la tahu tentang kedua pedang ltu.

"Pedang Kayu Petir sekarang disimpan di suatu gempat, dan di tangan seorang resi..." Suto tak berani sebutkan dengan jelas, takut si nenek punya maksud jelek terhadap Pedang Kayu Petir.
"Sedangkan yang bernama Pedang Gaiih Petir diwariskan kepada keturunan ketujuh dari Eyang Nyimas Rohing Pandawi, yaitu seorang perempuan yang tidak menikah selama hidupnya dan masih suci sampai beliau meninggal. Perempuan suci itu adalah... hmmm..O, ya.. namanya Nyai Gagar Mayang!" tegas Suto,
hampir saja lupa. Untung ia segera ingat pertemuannya dengan gadis cantik murid Nyai Gagar Mayang, yang
saat itu sedang dikejar-kejar oleh si manusia badak:Rogana, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Perawan Sinting").
"Mendiang Nyai Gagar Mayang mempunyai seorang murid perempuan dan pedang itu diwariskan kepada si murid tunggal tersebut."
"Ssi.. siapa... siapa nama perempuan pemegang. Pedang Galih Getir itu?!"
"Maaf, aku tak bisa sebutkan, Nek!"
"Kaa... katakan saja... aku ingin tahu," pinta si nenek dengan tangis yang menyentuh perasaan. melihat tak ada gelagat buruk pada wajah si neneknya telah bermandi air mata itu.
"Si pemegang Pedang Galih Petir itu... sahabatku sendiri. Dia bernama... Perawan Sinting!"
"Suuu.... Sutooo... Suara si nenek kian menghilang. "Aaku... akulah... Perawan Sinting..!"
"Ah, kau jangan bercanda kelewatan begitu, Nek.Kau.."
Bruuuk..!
"Lho...?! Nek...?! Neek...?!" Suto Sinting terkejut sekali mengetahui si nenek jatuh di kakinya dan pingsan seketika itu pula. Suto menjadi panik dan tegang sekali.
"Mengapa dia jadi begini?! Dan... ooh...?!" mata Pendekar Mabuk semakin melebar ketika melihat pedang yang ada di punggung si nenek itu ternyata adalah Pedang Galih Petir, milik si Perawan Sinting.


*
* *

4


RASA kaget itu membuat Pendekar Mabuk tersentak. Seolah-olah dari keadaan jongkok menjadi bangkit berdiri seketika. Namun kenyataan yang dialami ternyata berbeda.
Suto Sinting tersentak dengan mata melebar dan mulut ternganga. Tapi keadaan Suto masih terbaring disuatu tempat yang bercahaya temeram. Jantungnya yang tadi terasa copot karena kaget, kini berdetak-detak dengan cepat.
Murid sinting si Gila Tuak itu buru-buru bangkit dari posisi berbaringnya.
"Ooh..?! Ada di mana aku ini?!" gumam hati Pendekar Mabuk yang tambah kaget dan semakin bingung Matanya memandang ke sekelilingnya dengan tegang sekali.
"Gua...?! Ternyata aku ada di dalam sebuah gua?!" tanyanya pada diri sendiri sambil memperhatikan dinding berbatu dari sebuah gua yang cukup lebar dan berlangit-langit tinggi.
"Selamat datang di peristirahatanku, Pendekar mabuk, Gusti Manggala Yudha!"
Sekali lagi Suto dikejutkan oleh suara tua yang datang dari arah belakangnya. Suara tua itu menyebutnya: Gusti Manggala Yudha. Padahal sebutan itu hanya berlaku bagi orang mengetahui bahwa Suto Sinting
mendapat gelar pemberian Ratu Kartika Wangi, ibu dari Dyah Sariningrum, calon mertuanya, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusla Seribu Wajah").
Ternyata orang yang menyebut gelar kehormatan Suto itu adalah seorang kakek berusia sekitar sembilan puluh tahun lebih. Kakek kurus itu berpakaian model biara, yaitu selembar kain hijau tua yang dililitkan pada tubuhnya tanpa dijahit sedikit pun, dan ujung kain itu dibuat melintang dari pundak kiri ke pinggang kanan.
Kakek tua yang mempunyai sorot cahaya mata penuh kedamaian itu sengaja sunggingkan senyum setelah kepalanya yang gundul mengangguk satu kali, sebagai
tanda memberi hormat kepada Pendekar Mabuk.
Suto Sinting berkerut dahi, karena merasa belum pernah bertemu dengan kakek pembawa tongkat berujung logam bundar seperti bola berwarna putih berkilauan. Sang kakek yang mengenakan kalung berupa tasbih berwarna putih berkilauan juga itu segera melangkah lebih mendekat lagi.
"Jangan bingung, Gusti Manggala. Kau berada dikediamanku yang tenang. Kau dalam keadaan baik-baik saja, Gusti Manggala."
Suto Sinting hanya membatin, "Hanya orang berilmu tinggi dan menguasai ketajaman indera keenamnya yang bisa mengenaliku sebagai Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib sana!
Berarti orang ini bisa melihat noda merah kecil di keningku. Karena noda merah ini sebagai tanda gelarku sebagai Manggala Yudha. Tapi siapa dia sebenarnya?
Aku merasa asing terhadap kakek ini?!"
Senyum keramahan sang kakek membuat Suto Sinting segera membalas dengan kaku. Suto tak tahu harus bersikap bagaimana terhadap kakek berjubah hijau itu?
"Maafkan, kalau boleh aku tahu, siapa sebenarnya dirimu, Eyang?"
"Gusti Manggala memang belum pernah bertemu denganku. Tapi aku melihat noda merah di keningmu, dan aku tahu noda itu pasti pemberian dari Gusti Ayu Kartika Wangi. Sebab itulah, aku harus menaruh hormat padamu, Gusti Manggala."
"Maaf, yang kutanyakan tadi, siapa dirimu, Eyang?"
ulang Suto dengan sedikit menyimpan rasa kesal dalam hatinya.
"Barangkali namaku sudah dilupakan di rimba persilatan, karena aku memang sudah tak ingin ikut campur di dunia persilatan lagi. Tapi aku yakin, para tokoh tua masih ingat padaku, jika Gusti Manggala menyebutkan nama Paderi Moyang! Itulah namaku, Gusti Manggala!"

"Paderi Moyang..?" gumam Suto Sinting sambil berkerut dahi, karena seingatnya si Gila Tuak juga tak pernah menceritakan nama Paderi Moyang.
"Sekalipun aku tak pernah campur tangan lagi di dunia persilatan, tapi aku tahu persis keadaan di sana!, Kudengar juga orang-orang menyanjung kehebatan Pendekar Mabuk, sebagai murid dari si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang. Heh, heh, heh... padahal dulu nyawaku pernah diselamatkan oleh Ki Sabawana alias si Gila Tuak itu. Kami dulu bersahabat. Tapi agaknya dia sudah lupa padaku, sehingga tak membekali kisah tentang Paderi Moyang kepada murid tunggalnya."
"Maaf, Eyang... terlalu banyak sahabat guruku sehingga beliau belum sempat menceritakan tentang diri Eyang Paderi Moyang. Kumohon Eyang jangan kecewa."
"Aku tidak merasa kecewa sedikit pun, Gusti Manggala. Karena."
"Maaf, kumohon Eyang memanggilku dengan nama Suto Sinting saja, atau Pendekar Mabuk. Tak perlu terlalu hormat begitu, walau Eyang tahu aku Manggala
Yudha dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib sana!"
"Jika itu kehendakmu, maka aku hanya bisa menurutinya, Pendekar Mabuk."
Paderi Moyang melangkah mendekati pintu gua yang terbuka lebar, agaknya tak pernah ditutup dengan batu atau benda apa pun. Pemandangan di luar tak terlihat jelas, karena kerimbunan hutan yang tumbuh di
depan gua tersebut. Hal itu membuat Suto
Sinting sulit mengenali, di mana ia sebenarnya berada.
"Bagaimana aku bisa berada di sini, Eyang?" tanya Suto Sinting setelah ingat tentang Ratna Biara dan musibah yang dialaminya berdua.
"Aku belum terlambat. Kulihat dalam hembusan badai kabut, dua sosok yang terbang melayang, masuk ke salah satu sumur. Aku segera mendahuluinya, dan perkiraanku tepat. Kalian masuk ke dalam sumur yang kedua puluh satu dari jumlah empat puluh enam sumur itu. Maka ketika tubuh kalian berdua melayang turun,
aku menyambarnya ke atas. Wuuus...! Kalian pingsan,Tak sadar diri, dan segera kubawa ke pengasinganku ini!"
"Jadi.. jadi aku tidak berada di dalam sumur tanpa dasar?"
Paderi Moyang tersenyum menatap si Pendekar Mabuk.
"Jika tempat tinggalku ini kau anggap sumur tanpa dasar, apakah aku kau samakan belatung air sumur?"
"Maaf, Eyang."
"Kumaafkan," jawabnya cepat sambil melangkah ke tepian mulut gua. Di sana ia berhenti dan sambil menatap ke arah luar, bagai sedang memeriksa keamanan di
sekeliling tempat itu.
"Aku berminat untuk membawamu kemari, Pendekar Mabuk. Ada satu hal yang ingin kukatakan padamu."
"Maaf, Eyang.. sebelumnya aku ingin bertanya. Kata Eyang tadi, aku dan Ratna Biara diselamatkan dari
ancaman maut Sumur iblis kedua puluh satu. Tapi kenyataannya aku hanya sendirian di sini, tanpa bumbung tuakku dan tanpa Ratna Biara."
"Apa yang ingin kau tanyakan, Anak Muda?" Paderi Moyang mengingatkan kata-kata Suto. Lagaknya sudah tak sekaku tadi. Lebih akrab dan cenderung lebih seenaknya dalam bicara.
"Hmm, eeh.," Suto Sinting samnpai lupa dengan apa yang ingin ditanyakan tadi. Sesaat kemudian baru ia ingat tentang pertanyaannya.
"Di mana bumbung tuakku dan di mana Ratna
Biara, Eyang?"
"Itu pertanyaan yang mudah dijawab," kata Paderi Moyang. "Bumbung tuakmu ada di balik batu itu. Aku meletakkannya di sana, sebab aku tak suka bau tuak."
Suto melirlk ke arah yang dimaksud. la melihat tali bumbung tuak. Maka ia segera mengambilnya.
"Dulu aku suka tuak," ujar Paderi Moyang. "Tapi sejak aku nyaris mati karena tuak, dan babak belur dihajar oleh lawanku karena mabuk tuak, sejak itulah
aku tak suka tuak!"

"Bagaimana dengan Ratna Biara?"
"Barangkali dia salah sangka padaku. Dia melarikan diri begitu siuman. Saat aku ingin mencarinya, kau sudah mau siuman. Aku tak mau kau ikut-ikutan melarikan diri. Maka kubiarkan Ratna Biara tetap melarikan diri entah ke mana."
Suto diam sejenak, memikirkan ke mana kira-kira larinya Ratna Biara. Yang jelas gadis itu tidak akan lari ke arah Teluk Setan sendirian. Suto Sinting pun yakin,
bahwa sekarang dirinya sudah tidak berada di wilayah Teluk Setan.
"Agaknya Eyang Paderi Moyang kenal betul tentang gadis itu."
"Tadi sudah kukatakan, biarpun aku di tempat terpencil dan sunyi seperti ini, biarpun aku sudah tidak mau lakukan pertarungan di dunia persilatan, tapi aku
serba mendengar bagaimana keadaan dunia persilatan dari masa ke masa."
Paderi Moyang mendekati Suto, nada suaranya diturunkan sedikit.
"Ratna Biara adalah cucu dari Subokarti. Dia pewaris Perguruan Paksi Betina. Sekalipun dia belum pernah bertemu denganku, tapi aku pernah bertemu dengannya melalui mimpiku. Sama halnya dengan dirimu
aku sering bertemu denganmu melalui mimpiku."
Suto Sinting manggut-manggut. la sengaja membisu sesaat, lalu teringat tentang Perawan Sinting yang ditemuinya dalam keadaan sudah tua renta. la segera
menceritakan hal itu kepada Paderi Moyang.
"Kau pingsan karena asap beracun yang bercampur dengan Badai Kabut, kiriman si Belah Nyawa. Untuk menyingkirkan racun itu, kau dan Ratna Biara kuberi minuman ramuanku sendiri. Minuman yang kuteteskan ke dalam mulut kalian memang mampu menawarkan racun semacam itu, tapi jaringan urat otakmu akan terganggu sesaat. Gangguannya tak jelas bentuknya. Setiap orang berbeda-beda. Pada saat ramuanku bekerja dan jaringan urat otakmu terganggu itulah, maka kau melihat kehidupan lain yang aneh, seperti misalnya bertemu dengan sahabatmu yang bernama
Perawan Sinting itu."
"Apakah itu merupakan gambaran masa yang akan datang bagi si Perawan Sinting, Eyang?"
"Belum tentu!" jawab Paderi Moyang sambil melangkah dan memutar-mutarkan tongkatnya dalam keaadaan tegak.
"Itu hanya suatu khayalan tanpa arti, Nak. Jangan terlalu larut berpikir tentang khayalan, karena masih ada persoalan lain yang harus kau kerjakan dengan pikiran jernih. Persoalan itu terlepas dari masalahmu dengan si Belah Nyawa."
"Persoalan apa maksud Eyang Paderi?"
Sekalipun usianya sudah lebih dari sembilan puluh tahun, tapi Paderi Moyang masih mampu berdiri tegak dan menampakkan sisa kegagahannya. Di depan Suto Sinting ia berkata dengan suara lantang, seakan masih
mampu berteriak sejauh beberapa puluh langkah.
"Ketahuilah, Pendekar Mabuk... kau sekarang berada tak jauh dari bangunan megah di balik bukit depan itu. Bangunan tersebut bernama istana Agung. Seseorang menobatkan dirinya menjadi penguasa di wilayah istana Agung dengan gelar: Pendekar Laknat!
"Hmmm.., Suto Sinting hanya menggumam, sedikit berkerut, lalu manggut-manggut.
Dia adalah pendekar sesat! Tindakannya semena-mena terhadap yang lemah. Dia bermaksud menguasai dunia persilatan. Jika sampai dunia persilatan terkuasai olehnya, maka kehidupan di muka bumi Ini akan
hancur. Seperti kerupuk ada di tangan raksasa.
"Lalu apa maksudmu, Eyang?"
"Sengaja kuselamatkan dirimu, bukan saja karena kau murid sahabatku, tapi Juga aku punya keperluan denganmu. Kaulah yang harus menghancurkan kekuasaan Pendekar Laknat itu, Suto."
"Kenapa harus aku, Eyang?
"Karena hanya kau yang sanggup menandinginya"
"Mengapa bukan Eyang sendiri yang menumbangkannya?"
"Tadi sudah kubilang, aku sudah tidak mau lakukan pertarungan terhadap siapa pun. Seandainya sekarang ada lawan yang ingin kubunuh, aku hanya bisa memberi nasihat, bahwa membunuh orang bijak itu akan
tertimpa malapetaka tujuh turunan. Tapi kalau lawan itu nekat ingin membunuhku, maka aku hanya bisa melarikan diri. Kalau aku tertangkap, dan mati di tangannya,
itu ramanya nasib."
Enak sekali orang tua itu bicaranya. Suto Sinting sempat tertawa dalam hati, juga terkesima oleh kata demi kata yang diucapkan oleh Paderi Moyang.
"Kuingatkan kepadamu, Nak.... Jika Pendekar Laknat tidak segera kau tumbangkan, maka anak cucumu kelak akan hidup menderita dalam kekuasaannya. Karena ia juga akan menjadi penguasa tanah Jawa dan pulau-pulau di sekitarnya. Jangan biarkan usianya mencapai lima puluh tahun, sebab jika lewat usia lima
puluh tahun, maka ia akan menemui keberuntungan terus. Keberuntungan itulah yang akan membuatnya serakah dan lebih semena-mena terhadap orang tak mampu."
"Bagaimana kalau aku gagal melawannya?"
"Kau akan mati!" jawab Paderi Moyang cepat dan tepat.
"Maksudku, kalau aku mati melawannya apakah akan ada orang lain yang mampu menumbangkannya?"
"Kurasa tidak. Hanya kau yang mampu!"
Kebisuan kembali menjelma. Mereka sama-sama diam dan saling pandang. Padahal saat itu benak Suto Sinting sedang berpikir tentang nasib Ratna Biara.
"Apakah kau keberatan, Nak?"
"Aku akan mencari Ratna Biara dulu!"
"Heh, heh, heh, heh... kau masih berpikir tentang perempuan, rupanya?! Hmm, baik. Memang lebih baik kau mencari gadis itu dulu. Setelah kalian bersatu, hancurkan kekuatan si Pendekar Laknat. Tunjukkan
pada dunia persilatan, bahwa tidak ada gelar pendekar lainnya, kecuali hanya satu: Pendekar Mabuk!"
Merasa terpompa juga semangat Suto Sinting. Tapi ia bukan pemuda yang gila sanjungan atau mudah melayang jika dipuji. Pertimbangan benaknya mengatakan, bahwa ia harus mencari Ratna Biara lebih dulu. Barangkali Ratna Biara lebih banyak tahu tentang siapa sebenarnya Paderi Moyang itu.
Benarkah ada orang
yang menamakan Pendekar Laknat yang mempunyai niat untuk menguasai tanah Jawa dan sekitarnya?
"Perlu kau ketahui juga, Nak... sambung Paderi Moyang. "Saat ini, Pendekar Laknat sedang menangkap seorang gadis yang amat kau kenal. Kau perlu menyelamatkan gadis itu, Nak."
"Siapa nama gadis itu, Eyang?"
"Angin Betina!"
"Hahh..?!" Suto terperanjat. Hatinya bertanya, "Benarkah dia kenal dengan Angin Betina juga? Benarkah dia tahu bahwa aku bersahabat dengan Angin Betina?"
Tak perlu membatin!" ujar Paderi Moyang. "Aku mendengar suara batinmu, Nak. Aku mendengar apa yang tidak didengar orang! ltulah sebabnya aku tahu bahwa di rimba persilatan ada tokoh perempuan cantik
berambut acak-acakan dengan nama Angin Betina. Dan aku tahu bahwa kau bersahabat dengan Angin Betina."
"Hmmm, kalau begitu... kalau begitu izinkan aku berangkat ke Istana Agung sekarang juga, Eyang!"
"Kuizinkan!" jawabnya tegas. Kemudian ia bicara seperti menggerutu, "Apa susahnya memberi izin? Kenapa harus dipersulit?"
"Mohon doa restu, Eyang!"
"Kurestui!" lagi-lagi Paderi Moyang menyahut dengan cepat.
Ketika Suto Sinting baru saja keluar dari gua, Paderi Moyang sempat berkata lagi.
"o, ye... eh, salah. o, ya... ada satu hal yang lupa kukatakan padamu, Pendekar Mabuk."
"Tentang apa, Eyang?"
"Jika kau terlambat menumbangkan Pendekar Laknat, maka calon istrimu, Gusti Ayu Dyah Sariningrum akan ditundukkan olehnya dan dipaksa untuk menjadi
istrinya!"
"Keparat!" geram Suto Sinting.
"Bukan keparat, tapi Laknat! Ingat, namanya Pendekar Laknat! Bukan Pendekar Keparat!" ujar Paderi Moyang salah tanggap.
Pendekar Mabuk tidak pedulikan salah tanggap itu,
Darahnya mulai mendidih mendengar kekasihnya akan jatuh ke tangan Pendekar Laknat. Suto tak ingin Dyah Sariningrum disentuh oleh siapa pun, kecuali olehnya
dan oleh seorang tabib, Jika benar gadis itu dalam keadaan sakit. Maka, nyali Suto pun makin bertambah besar. Semangatnya untuk menumbangkan Pendekar
Laknat menjadi makin bertambah.
Pendekar Mabuk pun segera bergegas meninggalkan gua tempat tinggal Paderi Moyang. Gua itu dibernama Gua Renta.


*
* *


5


CUKUP lega hati Suto sebenarnya, karena ia ternyata tidak binasa di dalam Sumur iblis. Tetapi kabar yang diperoleh dari Paderi Moyang telah membuatnya menjadi seperti di dalam Sumur lblis. Diliputi rasa cemas dan waswas. Sebab ia tak ingin kekasihnya menjadi milik Pendekar Laknat.
"Benarkah itu akan terjadi? Atau... jangan-jangan hanya suatu rekayasa dari si kakek yang menamakan dirinya Paderi Moyang itu?" ujar Suto Sinting dalam hatinya.
"Jika benar ini semua hanya rekayasanya, dan ia hanya semata-mata ingin mengadu domba antara aku dan orang yang berkuasa di lstana Agung Itu, maka aku akan datang kembali ke gua itu dan melabraknya habis-
habisan. Tak peduli dia orang tua atau anak muda, kalau mengusik hubunganku dengan Dyah Sariningrum, atau memanfaatkan kesetiaanku kepada Dyah Sariningrum untuk keperluan pribadi, maka aku akan murka kepadanya," sambil Suto menggeram-geram dalam setiap langkahnya menuju balik sebuah bukit.
Pendekar Mabuk ingin lekas menemukan Istana Agung, ingin segera melihat kebenaran keterangan Paderi Moyang. Tapi langkahnya terpaksa terhenti karena adanya sekelebat bayangan yang melintas disebelah timur. Bayangan jingga itu menarik perhatian Suto Sinting, karena benaknya segera ingat tentang Ratna Biara. Maka ia pun segera mengejar bayangan Jingga tersebut.
Ternyata bayangan itu ada yang mengejarnya sendiri. Sekelebat bayangan lain memburu bayangan jingga dengan gerakan lebih cepat lagi. Pendekar Mabuk
akhirnya memotong jalan untuk bisa menghadang bayangan jingga tersebut.
Zlaap, zlaaap...! Jurus 'Gerak Siluman' dipergunakan. Tetapi ternyata arah yang ditempuhnya tidak sama dengan arah si bayangan jingga. Mau tak mau Suto berbalik arah dan mencari bayangan jingga itu.
Trang, trang, tring....!
"Hiaaaat..."
Blegaaaar...!
Suara pertarungan ada di sebelah utara. Pendekar Mabuk segera memburu ke utara, karena ia yakin bayangan Jingga pasti sedang bertarung dengan pengejarnya di sana.
Ternyata dugaan itu memang benar. Gadis 
pakaian jingga itu sedang hadapi serangan berpedang lawannya yang mengenakan jubah ungu kusam berlengan panjang itu dikenakan oleh seorang berambut putih dikonde ke atas dengan rapi. Kakek
berpedang perak itu diperkirakan berusia sekitar delapan puluh tahun lebih. Dan si gadis yang berpakaian jingga itu memang Ratna Biara, seperti dugaan Suto semula.
Maka tanpa menunggu lebih lama lagi, Pendekar Mabuk segera berkelebat menerjang si kakek yang sedang mengangkat pedangnya dalam satu lompatan.
Kakek itu bermaksud menebaskan pedang ke leher Ratna Biara yang tadi terpental akibat adu tenaga dalam. Darah kental tampak meleleh dari mulut Ratna Biara, namun tak begitu banyak.
Zlaaap..! Trrrang..I Brruuus..!
Pedang perak si kakek kenai bumbung tuak Suto, bagaikan beradu dengan bumbung baja. Dan kaki Suto Sinting sempat menerobos masuk ke pertahanan tangan kiri si kakek, hingga kenai dada Pak Tua itu.
Buuhk..!
Si kakek terpekik dengan suara tertahan. Tubuhnya terlempar ke belakang dan berjungkir balik dengan menyedihkan sekali.
"Ratna.." seru Suto Sinting melihat Ratna Biara terbungkuk-bungkuk dalam keadaan berlutut satu kaki dan memegangi dadanya sendiri. Pendekar Mabuk segera hampiri gadis itu dan menolongnya untuk berdiri.
"Ratna. minum tuakku ini! Lekas minum, kau terluka dalam, Ratna!"
"Suto..?" sapa Ratna Biara dengan suara lirih
sekali, mata sayu dan napas makin menyesak
"Jangan banyak bicara dulu. Lekas minum tuak ini. aku akan hadapi kakek itu!"
Pendekar Mabuk serahkan bumbung tuaknya Kepada Ratna Biara, kemudian ia segera bangkit hadapi si kakek yang sudah lebih dulu lepaskan pukulan jarak
jauhnya berupa sinar kuning lurus dari telapak tangan kirinya itu.
Slaaap...! Sinar kuning itu tak mungkin dihindari,
karena jika dihindari maka sinar tersebut akan menghantam Ratna Biara yang ada di belakang Suto. Maka dengan cepat Suto lepaskan jurus 'Tangan Guntur'nya, berupa sinar biru besar dari kedua tangan yang
disentakkan ke depan.
Blaaap..! Weeess...!
Blegaaarr...!
Ledakan dahsyat pun terjadi akibat benturan dua sinar tersebut. Ledakan itu sempat mengguncangkan tanah sekitar mereka dan membuat pohon-pohon rontokkan daunnya.
Si kakek terlempar lagi oleh gelombang ledakan itu, walau tak sejauh lemparan sebelumnnya. la masih bisa bangkit dan mainkan pedangnya sambil dekati
Pendekar Mabuk.
Suto Sinting sempat marah karena Ratna Biara dilukai si kakek. Maka ia tak mau menunggu serangan lawan. Dengan gerakan lincah, Suto Sinting berplik-plak, jungkir balik dengan gunakan kedua tangan menapak di tanah berturut-turut. Plak, plak, plak, plak.!
Tiba di depan si kakek, Suto Sinting segera menggeloyor ke kiri seperti orang mabuk mau jatuh. Si kakek ingin ayunkan pedangnya yang sudah terangkat ke
atas. Tapi tiba-tiba tubuh Suto Sinting memutar dalam keadaan setengah jongkok, kemudian berguling ke depan satu kali, dan ketika bangkit berlutut, kedua tangannya menghantam perut si kakek secara beruntun.
Buuuhk, buuuhk, buuuhk...!
Gerakan yang begitu cepat itu nyaris tak terlihat oleh lawan. Tahu-tahu sang lawan rasakan perutnya bagai dihantam dengan kayu balok besar. Isi perutnya ingin keluar semua.
Si kakek tersandar di pohon dalam keadaan memungkuk sambil pegangi perutnya. Wajah tuanya menyeringai menahan sakit. Kesempatan itu digunakan oleh Suto Sinting memandang ke arah Ratna Biara.
Namun alangkah terkejutnya Suto setelah melihat Ratna Biara telah hilang dari tempat di mana bumbung tuak
dalm keadaan tergeletak di tanah.
"Ratnaaaa...!!" teriak Suto dengan jengkel. Matanya memandang sekeliling dengan cepat setelah ia menyambar bumbung tuaknya.
"Ke mana perginya gadis itu?! Mengapa harus pergi?! Bukankah tadi dia mengenaliku dan sebutkan namaku?!" pikir Suto Sinting sambil clingak-clinguk Kejap berikut terdengar si kakek berseru dengan
suara tuanya yang menahan sakit.
"Gadis itu telah dibawa lari oleh seseorang ketika kau sibuk menyerangku, Anak Muda!" 
Pendekar Mabuk cepat palingkan pandang dengan mata nanar. la segera hampiri si kakek bertubuh Sedang namun keriput di kulitnya memperjelas ketuaannya.
"Siapa yang membawa lari gadis tadi?!" tanya Suto dengan nada menggertak.
Si kakek jatuh berlutut dengan pegangi perut. Kejap kemudian ia muntahkan darah bercampur air dari mulutnya. Rupanya pukulan beruntun Suto tidak sekadar pukulan bertenaga kosong, tapi juga disertai sentakan tenaga dalam yang mampu merusakkan jaringan dalam perut.
Si kakek terangah-engah sambil masih berlutut.
Pedang peraknya dipakai untuk bertumpu bagaikan tongkat pendek. Ketika ia memandang ke samping matanya memancarkan belas kasihan yang menyentuh perasaan Suto. Si kakek pun mulai berkerut dahi memandang. Mata tuanya sedikit dikecilkan untuk pertajam pandangannya.
"Minumlah tuak ini buat kesembuhanmu!" uja Suto Sinting sambil serahkan tempurung berisi tuak yang baru saja dituangkan dari bumbung bambu ltu, si kakek tak menolak, sepertinya ia yakin betul bahwa tuak itu
akan dapat sembuhkan lukanya dan pulihkan kembali tenaganya.
Setelah meneguk tuak tersebut, si kakek yang masih berlutut itu duduk bersimpuh dan terengah-engah. Pendekar Mabuk sempatkan diri melacak kepergian Ratna Biara dengan pandangan mata mengitari
alam sekelilingnya. Setelah ia yakin tak ada tanda-tanda yang bisa dilacaknya, ia pun menatap si kakek yang menjadi satu-satunya petunjuk tentang hilangya Ratna Biara.
"Siapa kau sebenarnya, Kek?"
Sang kakek segera berdiri. la menarik napas panjang-panjang, tapi tak punya niat untuk menyerang Suto lagi. Bahkan dalam pandangannya yang masih sedikit tajam itu, secara tak langsung ia mengakui kehebatan ilmu silat yang dimiliki Suto Sinting itu.
"Baru sekarang aku dibuat tunduk oleh seorang anak muda sepertimu. Siapa gurumu, Nak?"
Pertanyaan itu bernada bersahabat walau wajah tua itu masih menampakkan bermusuhan. Suto Sinting sebenarnya jengkel, karena pertanyaannya belum dijawab, sekarang justru ia yang diberi pertanyaan, Tapi Kejengkelan Suto masih bisa dikendalikan dan disimpan dalarm hati.
"Guruku adalah si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!"

Sang kakek terkesiap menatap Suto lebih tajam Sekalipun tak lakukan langkah mundur, namun ia tampak cemas begitu Suto menyebutkan nama gurunya.
"Bidadari Jalang adalah orang terkuat nomor dua di dunia persilatan! la bermusuhan dengan si Gila Tuak yang menjadi orang terkuat nomor satu di rimba persilatan!"
"Itu dulu!" potong Suto Sinting dengan kalem. 
"Sekarang mereka telah bersatu dan saling berunding dalam menghadapi perkembangan dunia persilatan ini.
Oh, sayang sekali... Rupanya kau ketinggalan zaman, Kek. Kau belum tahu bahwa Gila Tuak punya seorang murid?"
"Aku sudah mendengar kabar itu. Tapi aku baru tahu kalau Gila Tuak dan Bidadari Jalang sudah bersatu kembali."
"Kalau begitu kau beruntung bertemu denganku, karena bisa mendapat kabar tentang hal itu."
"Kabar yang kuIdengar adalah, Gila Tuak punya seorang murid yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk."
"Itulah aku! Akulah yang bernama Suto Sinting!" sahut Pendekar Mabuk dengan tegas, namun berkesan kalem dan bersahabat.
Sang kakek berjenggot putih itu mengelilingi Suto dengan pandangan mata penuh curiga. Namun ketika berhadapan kembali dengan Suto, ketegangan wajahnya mulai tampak mengendur. Sorot matanya Sudah tidak setajam tadi.
"Kalau begitu aku sekarang berhadapan dengan Pendekar Mabuk?"
"Kesimpulanmu tidak salah, Pak Tua. Yang salah adalah kata-katamu. Seharusnya kau menjawab dulu pertanyaanku, bukan menanyakan diriku!" lontar Suto bagai melampiaskan kejengkelannya yang tertunda.
"Tadi aku bertanya, siapa dirimu? Kau belum menjawabnya!"
Sang kakek tarik napas dalam-dalam, 
"Perlu kau ketahui, Suto Sinting... akulah yang bernama Erang Samu dari Pesanggrahan Waruyung."
"Erang Samu...?! Hmm, nama baru lagi ini," gumam Suto Sinting dengan suara lirih.
"Jika begitu, kita bukan musuh. Kita saling bersahabat saja, Suto."
"Mengapa harus begitu?"
"Karena, kalau kutahu kau adalah muridnya Gila Tuak yang bergelar Pendekar Mabuk, aku tak akan berani menyerangmu. Sekalipun gurumu tidak mengenaliku,
tapi aku menaruh hormat pada beliau, sebagai orang tertinggi ilmunya dari aliran putih. Aliran silatku juga aliran putih. Jadi sebaiknya, jangan lanjutkan permusuhan kita tadi, Suto"
Suto Sinting diam, memandangi Erang Samu
tak berkedip.
"Sebaiknya kau ikut aku, Suto. Kita harus mengejar gadis itu sebelum diserahkan kepada Pendekar Laknat!"
"Oh, rupanya kau juga bermusuhan dengan Pendekar Laknat, Ki Erang Samu?"
"Panggil saja namaku: Erang Samu. Tak perlu sebutkan Ki atau Kakek atau Eyang atau apa pun!"
Suto Sinting tersenyum geli.
"Baik. Aku tahu maksudmu, yaitu supaya kita lebih akrab lagi. Tapi sebelumnya aku ingin tahu, mengapa kau menyerang gadis itu tadi? Apakah kau tak tahu bahwa gadis itu adalah Ratna Biara, sahabatku sendiri?"
"Kusangka dia mata-matanya Pendekar Laknat! Tapi setelah kutahu dia disambar oleh si Makelar Perawan, aku menjadi sadar, bahwa dia bukan mata-matanya si Pendekar Laknat."

"Rupanya nama Pendekar Laknat memang ada" sela Suto dalam kecamuk batinnya.
"Kita tak punya banyak waktu, Suto Sinting Secepatnya gadismu itu harus segera diselamatkan"
"Kau yakin dia dalam bahaya?"
"Sangat yakin!" Jawab Erang Samu
"Sebab aku tahu orang yang menyambarnya 
Tadi adalah si Makelar Perawan, Yang selalu memburu Para Gadis untuk dijual kepada Pendekar Laknat!"
Pendekar Mabuk menghembuskan napas panjang-panjang Setelah cukup lama berpikir dalam kebisuan,
Pendekar Mabuk segera ajukan tanya kepada Erang Samu.
"Mengapa kau tak menyerang Pendekar Laknat saja Erang Samu?"
"Terlalu tinggi ilmunya dibandingkan ilmuku, Aku tak sanggup melawannya. Kurasa kaulah orangnya yang sanggup menandingi si Pendekar Laknat itu"
"Kau terlalu memujiku. Ada apa sebenanya di balik Pujianmu, Erang Samu?"
"Ini bukan pujian, tapi perhitungan!" tegas Erang Samu. "Sebaiknya jangan terlalu buang-buang waktu,
Selamatkan gadismu tadi dari tangan si Makelar Perawan!"
"Kau akan membantuku?"
"Tentu saja. Karena dua orang anggota Pesanggrahan Waruyung sudah ada yang menjadi korbannya,Diculik Makelar Perawan dan djual kepada Pendekar
Laknat! jika bersamamu, terus terang saja, nyaliku menjadi lebih besar dari sebelumnya.Aku menjadi lebih berani berhadapan dengan orang-orangnya Pendekar Laknat!"
"Bicaramu terlalu Jujur Pak Tua" ujar Suto sambil tersenyum tipis, Tapi mereka berdua segera bergegas menyusul kepergian si penculik Ratna Biara.
Menurut Erang Samu, penculik itu adalah orang yang yang dijuluki dengan nama: Makelar Perawan.

*
* *

6

KECEPATAN gerak Pendekar Mabuk terpaksa dibatasi agar langkah mereka bisa seiring. Seandainya Suto menggunakan kecepatan 'Gerak Siluman' sepenuhnya, maka Pak Tua itu akan tertinggal Jauh dan tak bisa mengejarnya.
Sambil berlari seiring, Pendekar Mabuk sempat ajukan tanya kepada Erang Samu tentang si tua rada konyol bernama Paderi Moyang.
"Apakah kau kenal dengan Eyang Paderi Moyang?"
Pertanyaan tu sebenarnya dilontarkan biasa-biasa saja, dalam arti, tidak memakai suara keras atau tidak memakai nada membentak. Tapi kenyataannya pertanyaan itu dapat membuat langkah Erang Samu terhenti seketika, matanya terbelalak tegang. Mau tak mau Pendekar Mabuk yang keterusan itu menghentikan langkahnya pula, lalu bergerak mundur sedikit untuk
berhadapan dengan Erang Samu.
"Kenapa kau begitu kagetnya mendengar nama Eyang Paderi Moyang?!" tanya Suto Sinting dengan heran.
"Dari mana kau tahu nama itu?" Erang Samu justru ganti bertanya.
"Aku bukan hanya mendengar, tapi Juga bertemu dengannya."
"Bertemu...?!" Erang Samu makin tersentak kaget.
"lya. Bertemu. Artinya berhadap-hadapan muka, gitu! Paham?!" ujar Suto agak jengkel. Tapi si tua Erang Samu itu justru tampak kebingungan dan terheran-heran.
"Ada apa sebenarnya?! Kau membuatku menjadi penasaran sekali, Erang Samu. Apa yang kau tahu tentang si Paderi Moyang itu? Katakan, Erang Samu!" Desak Suto Sinting.
"Paderi Moyang adalah leluhurku."
"Apa..." Suto berlagak budek.
"Eyang Paderi Moyang adalah leluhurku. Beliau adalah seorang petapa sakti yang menghilang begitu saja. Menurut cerita leluhurku, beliau meninggal secara moksa. Artinya, lenyap tanpa bekas!"
"Ah, bercanda kau ini!" sangkal Suto Sinting dengan nada meremehkan keseriusan Erang Samu.
"Tidak, Suto. Ini bukan canda. Aku bicara sesungguhnya!"
"Baru saja aku bertemu dengan beliau di sebuah gua yang terpencil. Gua itu bernama Gua Renta. aku tahu tempatnya. Kalau kau tak percaya, kau bisa kuantarkan ke sana dan bertemu dengan beliau," kata Suto
sambil menceritakan sedikit tentang sebab musababnya la bisa berada di Gua Renta itu.
Erang Samu menjelaskan, "Beberapa puluh tahun yang lalu, Eyang Buyut Paderi Moyang memang bertapa di Gua Renta yang terletak di arah timur kita itu,"
sambil Erang Samu menatap ke arah timur. Dalam hatinya Suto Sinting membenarkan arah pandangan Erang Samu.
Kata Pak Tua itu lagi, "Di dalam Gua Renta itulah beliau bertapa dan lenyap tanpa bekas. Aku sering ziarah ke gua itu, karena gua itu kami anggap sebagai makam Eyang Buyut Paderi Moyang. Tanpa kau tunjuk
kan tempatnya, aku sudah hafal jalan menuju ke Gua Renta."
"Aneh...?!" gumam Suto Sinting dengan dahi berkerut.
"Kabar ini kudengar yang ketiga kalinya. Dulu pernah ada dua orang yang mengaku bertemu dengan Eyang Paderi Moyang. Kedua orang itu tidak saling kenal dan beda waktu saat bertemunya. Lalu, pihak
keluargaku menyimpulkan, bahwa Eyang Paderi Moyang itu mungkin saja masih hidup, namun beliau bisa menampakkan diri, bisa tidak."
"Sejenis jin atau setan, begitu maksudmu?"
"Kira-kira begitu. Tetapi kami yakin, setiap orang yang bertemu dengan beliau, pasti mempunyai tugas penting yang harus dilakukan. Begitulah halnya yang dialami oleh Ksatria Maospati empat tahun yang lalu,
dan Pangeran Burawa, dua tahun yang lalu. Mereka punya tugas penting dari Eyang Paderi Moyang. Tugas itu biasanya berkenan dengan segi kemanusiaan yang beradab."
Kini Pendekar Mabuk terpaku di tempat. Pandangan matanya menerawang jauh, benaknya mengenang saat berhadapan muka dengan Eyang Paderi Moyang.
Keterangan dari si tua Erang Samu ingin tidak dipercayainya, tapi hati kecil Suto Sinting mengatakan, bahwa Erang Samu tidak berkata bohong.
"Pantas dia bisa menyambar diriku dan Ratna Biara sebelum lenyap ditelan Sumur lblis itu," gumam Suto
seperti ditujukan pada dirinya sendiri. "Pantas pula dia bisa mengenaliku sebagai Manggala Yudha, mengenali
keadaan di rimba persilatan dan tahu persis tentang masa depan orang-orang di muka bumi ini jika sampai si Pendekar Laknat dibiarkan hidup mencapai usia lima puluh tahun."
"Jika memang beliau memberimu tugas untuk menghancurkan Pendekar Laknat, berarti beliau tidak salah pilih. Beliau tahu persis siapa orang yang harus mengemban tugas untuk satu urusan penting. Dalam
hal ini, ternyata kaulah orang yang terpilih dan dianggap mampu menumbangkan si Pendekar Laknat."
Pendekar Mabuk menarik napas sesaat. Rasa Keheranannya mulai surut. Kini yang ada adalah mencerna tiap kata yang pernah didengarnya dari mulut Paderi Moyang.
"Dia juga mengatakan bahwa sahabatku yang bernama Angin Betina sedang dalam bahaya, tertangkap oleh Pangeran Laknat dan sekarang berada di Istana
Agung."
"Jika beliau berkata begitu, berarti sahabatmu itu memang dalam bahaya."
"Tahukah kau ke mana arah menuju lstana Agung itu?"
"Kita sedang menuju ke gerbang Istana Agung. Karena aku yakin, gadis yang dibawa lari oleh si Makelar Perawan itu sedang menuju ke gerbang Istana Agung."
"Kalau begitu, aku akan mendahuluimu! Kita bertemu di istana Agung!"
"Tunggu..! Hei, Suto...?!"
Zlaaap...! Erang Samu tak bisa berkata lagi. Dalam sekejap anak muda yang tampan dan gagah itu lenyap dari penglihatannya. Erang Samu hanya sempat terbelalak dengan mulut ternganga. la menyangka Pendekar Mabuk bisa menghilang. Padahal yang dilakukan Pendekar Mabuk adalah berlari cepat melebihi kecepatan anak cahaya. Langkah secepat itulah yang dinamakan jurus 'Gerak Siluman'.
"Celaka! Dia bisa kesasar kalau bergerak sendiri tanpa panduanku! Aku harus segera menyusulnya!"
Weess..! Erang Samu berkelebat mengejar Suto Sinting. Tapi kecepatan geraknya tidak bisa menyamai kecepatan jurus 'Gerak Siiuman'. Hanya saja, ia mampu bergerak lebih cepat dari gerakan lari sebelumnya.
Rasa cemas Pendekar Mabuk terhadap nasib kedua gadis itu telah membuatnya bertindak gegabah,
Apa yang diperkirakan Erang Samu memang benar. Murid sinting si Gila Tuak itu benar-benar salah arah. Ia kesasar, sehingga langkahnya terhenti karena terhalang oleh tembok besar. Tembok itu berwarna hitam,
selain tinggi juga tebal, dan membujur panjang bagaikan memotong separo luas tanah Jawa.
Siapa yang membangun tembok setebal ini dan sepanjang ini? Mungkinkah si Pendekar Laknat yang membangunnya?! Hmmmm... aku harus mencari pintu gerbangnya. Mungkin ada di sebelah sana!" pikir $uto,
maka ia pun bergerak menelusuri tembok itu mencari pintu gerbang yang dimaksud.
Tembok yang sangat tebal dan lebar itu mempunyai bagian atas yang bisa dipakai umtuk jalan dua kereta berkuda. Tembok itu hampir sama panjang dan tebalnya dengan Tembok Tiongkok di abad sekarang
Tembok itu bagai tak berujung, karena upaya Suto menelusuri tembok itu ternyata tidak berhasil menemukan gerbang masuk menuju ke lstana Agung.
"Setan! Tembok ini bagai tak puny lubang seujung Jarum pun?! Apa yang ada di balik tembok ini sebenarnya?"
Pandangan mata Pendekar Mabuk akhirnya menemukan sebuah bukit yag berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Bukit itu tidak terlalu tinggi, mudah didaki,
dan mempunyai lereng tak terlalu terjal. Pada lereng bukit itu tumbuh pepohonan yang berjajar renggang.
Tak selebat hutan di depan Gua Renta.
"Barangkali dari atas bukit itu aku bisa melihat keadaan di balik tembok besar ini! Hmm, ada rumah batu di atas bukit itu. Sebaiknya aku ke sana saja. Siapa tahu aku bisa mendapat keterangan lebih banyak ten-
tang Istana Agung dari si pemilik rumah batu tersebut."
Zlaap, zlaap...! Dengan menggunakan jurus 'Gerak Siluman' Pendekar Mabuk sudah bisa mencapai puncak bukit itu daiam beberapa kejap saja. Puncak bukit itu bertanah datar, mempunyai rumput yang agaknya dirawat oleh seseorang agar tetap tumbuh pendek.
Seperti lapangan bola. Keadaan di atas bukit itu cukup sepi. Suto terpaksa harus segera mendekati rumah batu yang berjarak sekitar tiga puluh langkah dari tempatnya berdiri itu.
Namun tiba-tiba ekor matanya menangkap gerakan cahaya kemilau yang melesat ke arah leher kirinya.
Wees....!
Dengan gerakan cepat Pendekar Mabuk berkelebat bagai ingin memutar tubuh. Wuuut..! Tangan kanannya segera menyambar benda yang melayang kearahnya. Sleep...! Benda tu terjepit dengan kedua jarinya.
Benda itu ternyata sebilah pisau kecil yang bergagang hitam dan mata pisaunya berbentuk seperti anak panah.
Suto Sinting terkejut melihat pisau itu, karena la menduga pemiliknya si Lebah Ratu. Pisau itu bentuknya hampir sama dengan pisau yang dulu pernah
Menjadi perkara hingga menewaskan seorang pemuda bernama Rahutama, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : Iblis Pengobral Cinta"). Maka tanpa ragu-ragu lagi Suto Sinting berseru kepada si pelempar pisau yang menurut dugaannya ada di atas pohon rindang yang memagari tanah datar di atas bukit itu.
"Bercandamu ketewat batas, Lebah Ratu! Keluarlah kau dari situ!"
Angin berhembus timbulkan suara gemerisik dedaunan. Untuk sesaat alam menjadi sepi, tak ada jawaban apa pun dari suara Pendekar Mabuk tadi. Karenanya, setelah menunggu delapan helaan napas tak
ada orang yang muncul dari kerimbunan daun-daun pohon itu, Suto Sinting pun segera melontarkan ancaman main-mainnya.
"Lebah Ratu!JIka kau tidak muncul dalam tiga hitungan, kuhancurkan pisaumu ini! Kau akan kehilangan satu pisau mautmu. Aku tahu. kau hanya mempunyai dua belas pisau maut seperti ini! Pasti kau akan
merasa sayang jika salah satu pisau mautmu kuremat sampai hancur!"
"Apakah kau mampu merematnya?!"
Tiba-tiba suara itu terdengar mengajutkan di belakang Suto Sinting. Dengan sentakan napas kagetnya,
Pendekar Mabuk pun segera berpaling ke belakang.
Ternyata di belakangnya sudah berdiri seorang wanita cantik berusia sekitar dua puluh tujuh tahun lewat sedikit.
Wanita itu sunggingkan senyum manis menawan hati. Pendekar Mabuk terkesima sesaat pandangi kecantikan dan senyum tersebut. Secara tak sadar mulut yang berperangah itu akhirnya membalas senyuman yang terasa mampu meredakan kegundahan hatinya.
"Tangkas sekali kau rupanya. Baru sekarang ada orang yang mampu menangkap pisau mautku. Biasanya mereka hanya bisa menghindar atau menangkisnya dengan dada, akhirnya mati digigit racun ganas
dalam pisau mautku itu!" ujar si wanita cantik berjubah kuning. Jubah tu tak berkancing, sehingga pinjung penutup dadanya yang berwarna hijau pupus itu tampak jelas di mata Suto.
Wanita yang mempunyai raut wajah oval cantik itu bagaikan sedang pamer kemolekan tubuhnya. Dadanya yang montok dibungkus pinjung ketat tampak tersumbul bagian tepinya, kemulusan kulit putihnya terlihat jelas oleh mata Pendekar Mabuk. Perempuan itu membungkus tubuh bawahnya dengan kain hijau berbelahan kanan-kiri dari bawah sampai ke paha. Hembusan angin sesekali singkapkan kain hijau itu hingga paha mulusnya sering tampak mengintip penuh tantangan.
"Kaukah si pemilik pisau ini?!" ujar Pendekar Mabuk dengan kalem.
"Memang aku pemiliknya," jawab wanita berambut panjang yang digulung ke atas dan dijepit dengan tusuk konde dari gading. Yang tadi disangkanya si Lebah Ratu dan ternyata bukan.
"Mengapa pisaumu kau lemparkan padaku?!" selidik Suto secara halus, dengan nada ramah dan senyum tipis menawan. Siperempuan bermata bening itu menatap Suto tak berkedip dengan kesayuan mata dan senyum kecil yang menggoda hati. ia berkata sambil langkahkan kaki lebih mendekat lagi, kedua tangannya
di kebelakangkan.
"Perlu kau ketahui, lemparan pisau itu sebenarnya sebuah salam perkenalan dariku untuk seorang tamu tampan yang belum kukenal namanya."
"Namaku... Suto!" Jawab Pendekar Mabuk setelah memandang si perempuan cantik yang tubuhnya sebarkan aroma wangi cendana. "Apakah.. apakah pisau
ini harus kukembalikan dengan lemparan juga sebagai balasan perkenalanku?"
Perempuan itu lebarkan senyum. "Kurasa tak perlu. Nanti kenai dadaku dan aku mati."
Pendekar Mabuk tertawa kecil, kemudian ulurkan tangannya, serahkan pisau Itu kepada si perempuan cantik. Perempuan itu menerima pisaunya sambil perkenalkan diri.
"Barangkali kau perlu tahu, bahwa saat ini kau sedang berhadapan dengan inggarwati."
"O, namamu inggarwati? Cantik sekali nama itu,"
puji Suto Sinting. Pandangan mata Inggarwati timbulkan kesan damai dan tenteram dl hati Pendekar Mabuk,
sehingga Suto merasa tak segan-segan mengumbar senyumnya yang menawan itu. Desir-desir di hatinya bagai menaburkan bunga indah, membuat kesan seolah-olah Suto tak pernah hadapi persoalan apa pun.
Santai, rileks dan segalanya terasa serba menyenangkan.
"Kaukah pemilik rumah itu?!"
"Benar," jawab Inggarwati. "Kau ingin singgah dan butuh tempat untuk beristirahat?"
"Apakah kau mau menerima tamu sepertiku?!"
"Mengapa tidak?"
"Bagaimana jika suamimu mengetahui aku berada dalam rumah bersamamu?"
"Tak mungkin suamiku bangkit dari kuburnya," jawab Inggarwati yang ingin menyatakan bahwa Suaminya telah mati. Hati Suto pun cepat menyimpulkan
bahwa perempuan cantik itu adalah seorang janda,
Entah janda kembang atau janda kembung, yang jelas Suto Sinting merasa tak akan ada masalah jika berada dalam rumah Inggarwati walau sampai matahari terbenam.
Pendekar Mabuk segera dibawa masuk ke rumah berdinding batu. Ternyata rumah itu memang sepi tanpa penghuni kecuali Inggarwati sendiri. Tentu saja kesendirian Inggarwati tinggal di rumah itu memancing
keheranan bagi hati Suto Sinting. Namun perasaan heran itu tidak dilayani dan bahkan berusaha dilupakan,
karena bunga-bunga keindahan yang mekar di hati Suto membuatnya tak ingin berpikir tentang hal-hal yang memusingkan kepala.
"Sudah lama kau tinggal di rumah ini, lnggarwati?"
"Sejak lahir!" jawab perempuan cantik itu sambil melangkah ke sudut, mengambil guci berisi arak. Di sudut ruangan ada meja tempat menaruh beberapa guci kecil yang jumlahnya lebih dari sepuluh buah.
"lbuku mewarisi rumah ini, dan aku sudah terbiasa hidup dalam kesepian begini," ujar Inggarwati seraya membawa sebuah guci ke meja dekat tempat duduk Suto Sinting.
"Kau doyan arak?" tanya inggarwati.
"Apakah kau tak melihat aku membawa bumbung Tuak ini? Berarti aku doyan minum. Apakah kau penjual arak?!" sambil Suto meiirik ke arah guci-guci di atas meja itu.
Inggarwati tersenyum, "Aku seorang peminum arak. Sehari tak minum arak, rasa-rasanya seluruh tubuhku tak bertulang."
Pendekar Mabuk imbangi tawa kecil inggarwati yang segera duduk di bangku panjang, bersebelahan dengan Suto Sinting. Bangku itu menghadap ke arah pintu yang terbuka lebar.
"Siapa nama ibumu?" tanya Suto.
"Ambarwati!" jawab janda cantik itu. "Kurasa kau Sudah mengenałnya, karena nama Ambarwati sudah bukan asing lagi bagi para tokoh di rimba persilatan.
Mendiang ibuku itulah yang berjuluk si Pisau Maut!"
"O0o... jadi pisau mautmu tadi adalah warisan dari ibumu?!"
"Benar! Dan dari dulu sampai sekarang tetap beracun ganas," jawab Inggarwati sambil menatap Suto yang memandang ke sana-sini.
Rumah tersebut selain mempunyai ruang lebar untuk menerima tamu, juga mempunyai dua kamar di sisi kanan kirinya. Kedua kamar itu berpintu jati dan
dalam keadaan tertutup. Pendekar Mabuk yakin, jika ia nanti bermalam di rumah itu, pasti akan disuruh untuk tidur di dalam salah satu kamar tersebut.
Ternyata apa yang diduga Pendekar Mabuk terlalu cepat terjadi. Belum sampai hari menjadi malam, bahkan sore pun belum datang, Inggarwati sudah berkata lebih dulu kepada Suto Sinting.
"Jika kau ingin beristirahat, silakan beristirahat di kamar yang kiri itu. Kau bebas berbaring dan tidur sepuasmu di kamar tersebut."
"Kau sendiri di kamar yang kanan itu?"
Inggarwati tersenyum agak kaku. "Kamar yang kanan tak boleh dimasuki oleh siapa pun, karena kamar itu milik mendiang ibuku! Bahkan sejak lbu meninggal,
baru empat kali aku membuka pintu kamar itu untuk dibersihkan."
"Jadi kau tidur di mana jika aku tidur di kamar yang kiri itu?" pancing Suto Sinting setelah meneguk tuak suguhan si janda canda.
Sambil tertawa kecil, janda cantik itu menjawab,
"Tentu saja aku tidur di dalam kamar itu juga."
"Oh, berarti kita akan tidur bersama?!"
"Apakah kau tak suka keindahan seperti itu?" tantang si janda cantik.
"Hanya orang bodoh yang tak menyukai keindahan yang kau maksud," jawab Suto di sela tawa kecilnya, lalu la meminum arak suguhan itu setelah Inggarwati setengah mendesaknya.
ingat tentang tembok besar yang tampak dari depan Suto Sinting segera surutkan tawanya setelah pintu rumah itu. la segera ajukan tanya kepada Inggarwati.
"Inggar, apakah kau tahu siapa pemilik tembok besar itu dan untuk apa tembok itu dibangun memanjang begitu?!"
"O, Itu adalah batas wilayah kekuasaan Pendekar, Laknat! Apakah kau belum tahu, bahwa tak seorang pun boleh menginjakkan kakinya di wilayah kekuasaan Pendekar Laknat tanpa izin khusus?"
"Ooo..." pendekar tampan itu hanya manggut-manggut, hatinya sedikit lega karena sudah mengetahui siapa pembuat tembok besar itu. la ingin tanyakan tentang si Pendekar Laknat itu, tapi tiba-tiba inggarwati mendekatinya, ikut berdiri di pintu dan segera bicara dengan nada pelan.
"Kuharap kau tidak punya niat untuk memasuki lstana Agung itu. Karena jika kau nekat memasuki lstana Agung, maka kau akan kehilangan nyawa, dan hal ltu sangat kusesali."
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum sambil melirik Inggarwati yang juga menatap ke arah tembok besar yang disebutnya sebagai lstana Agung itu. Di tangan Inggarwati terdapat guci arak yang segera disodorkan kepada Suto.
"Minumlah lagi, biar badanmu tambah segar dan perkasa. Hik, hlk, hlk..!"
Pendekar Mabuk tak menolak, sebab menurutnya arak itu memang enak, selain menyegarkan badan seperti tuak saktinya, juga membuat hati merasa semakin
berbunga-bunga. Bayangan yang hadir dalam benaknya adalah segala sesuatu yang serba indah, terutama tentang si janda cantik yang menyebarkan aroma wangi
cendana itu.
Jarang sekali ada lelaki singgah kemari," ujar inggarwati. "Pada umumnya mereka selalu tak berhasil mendaki bukit pendek ini."
"Mengapa begitu?"
"Karena mereka selalu terkena pisau mautku dan tewas di kaki bukit. Baru sekarang ada lelaki, bahkan pemuda tampan, yang berhasil kalahkan pisau mautku. Aku yakin dia pasti mempunyai 'pisau' yang lebih ampuh dari pisau mautku ini," ujarnya, lalu inggarwati pun
tertawa cekikikan. Pendekar Mabuk ikut tertawa karena segera menangkap apa yang dimaksud 'pisau' ampuh dalam ucapan si janda cantik itu.
Inggarwati tertawa sambil merangkul pinggang Suto Sinting dari samping. Pemuda itu diam saja, dalam arti tak menolak tangan yang melingkar ke pinggangnya itu. la justru menenggak arak dalam guci kecil tersebut, sambil tetap berdiri di depan pintu, lalu lemparkan pandangan ke arah luar kembali.
"Tempat ini benar-benar damai dan tenang sekali," ujar Pendekar Mabuk.
"Apakah kau bisa betah tinggal di tempat seperti ini?"
"Mengapa, tak betah jika ditemani wanita secantik dirimu?" jawab Suto sambil hamburkan tawa pelan,
sementara si wanita melepas tawa sedikit keras. Tangannya mencubit dagu Suto Sinting.
"Rupanya kau juga pandai merayu wanita, Suto."
"Itulah aku," jawab Suto sombongkan diri untuk sekadar canda semata.
"Adakah kepandaianmu yang lain?" tanya Inggarwati memancing.
O, banyak! Aku pandai mencuci pakaianku sendiri, pandai membakar jagung untuk mengisi perutku, pandai memanjat pohon kelapa untuk mengambil air kelapa muda dan....
"Cukup, cukup, cukup...!" Inggarwati menutup mulut Suto sambil tertawa geli.
"Yang kumaksud bukan kepandaian itu, Suto!"
"Habis, kepandaian apa maksudmu?" Suto berlagak tolol
"Hmmm.. misalnya, pandai membelai seorang wanita, pandai memeluk dan..."
"Kalau kau tetap tutup pintu rumahmu ini, maka kau akan tahu apa saja kepandaianku dalam hal itu," ujar Suto Sinting lepaskan tantangan bagi si janda cantik.
Maka, tak menunggu tantangan kedua, Inggarwati pun menutup pintu rumahnya. Braaak...! Lalu ia berbalik arah, menghadap kepada Suto Sinting yang berdiri menatapinya.
"Pintu sudah kututup," ujar Inggarwati. "Tunjukkan kepandaianmu yang kau maksudkan tadi."
"Mendekatlah kalau kau ingin tahu."
Inggarwati pun mendekat dengan hati berdebar- debar. Kemudian tangan Suto meraih tangan Inggarwati. Mereka masih saling beradu pandang mata dan saling sunggingkan senyum penuh arti yang sangat
pribadi.
Tangan si janda diangkat pelan-pelan oleh Suto Sinting seperti orang ingin bersalaman. Kemudian dengan sedikit membungkuk dan mata tetap memandang ke arah wajah inggarwati, tangan janda cantik itu diciumnya.
Bibir Suto menempel di punggung telapak tangan itu dengan lembut. Bahkan sekarang la mengecup tangan itu dengan sentuhan bibir dan lidah sangat pelan-pelan.
inggarwati bertambah gemetar, karena detak jantungnya berubah gemuruh dalam dada, sepertinya dalam dada wanita cantik itu ada banjir besar yang mengguncangkan seluruh perangkat tubuhnya. la masih
membiarkan Suto Sinting mengecup tangan pelan-pelan. Kecupan itu makin lama makin merayap ke siku dengan menyingkapkan lengan jubah si wanita.
Tangan kiri si wanita mulai mengusap rambut panjang Suto Sinting. Matanya semakin sayu ketika Suto Sinting akhirnya pindahkan kecupannya ke pipi si wanita. Ciuman di pipi itu pun merayap ke sana-sini dengan pelan, sampai akhirnya menyentuh bibir Inggarwati.
Cuup.. Bibir Inggarwati pun akhirnya dikecup oleh mulut Suto Sinting. Bibir itu dilumat dengan gerakan sangat pelan, sehingga mendesir-desir di dalam hati
Inggarwati,
Darah kemesraan wanita itu terpancing, batin pun menuntut kehangatan yang lebih besar lagi. Maka bibir Inggarwati mulai membalas lumatan bibir Suto Sinting,
hingga akhirnya mereka saling bergantian memagut lidah lawan.
Inggarwati terengah-engah, mulutnya sibuk melumat bibir Suto Sinting. Namun akhirnya ia mendesah panjang ketika Suto Sinting turunkan kecupannya ke leher, Inggarwati dongakkan kepala bersama erangan suaranya yang mirip rengekan bocah kecil itu. Mendongaknya kepala Inggarwati membuat bibir dan lidah
Suto Sinting bebas berkeliaran di leher perempuan itu.
"Oouuhh.. aaahhh... Oooouh, nikmat sekali pagutanmu, Suto. Ssss... aaah, Sutoooo.." rengek Inggarwati sambil meremas-remas rambut Suto sinting dan sedikit menekan kepala pemuda itu agar lebih lekat
lagi di lehernya.
Aroma wangi cendana mulai terasa bercampur wangi pandan. Aroma itu bagaikan membakar darah kejantanan Pendekar Mabuk yang sudah tak ingat apa
apa lagi kecuali kehangatan yang ada di depannya.
Bahkan pemuda itu turunkan kecupannya dari leher ke dada, dan Inggarwati menyumbulkan dua gumpalan montok itu agar keluar dari pinjung penutup dadanya.
Huup...! Ujung gumpalan hangat itu segera disambar oleh mulut Suto Sinting, membuat Inggarwati mengerang panjang dengan tubuh sedikit mengejang.
"Oo0ouuuh.... hmmmm... aduuuh, nikmat sekali, Suto. Oooh... kau ternyata pandai sekali membuatku tak berdaya begini, Suto. Uuuh....".
Pendekar Mabuk tak tahu bahwa janda cantik itu mempunyai keistimewaan yang membahayakan setiap lelaki. Keistimewaan itu ada pada keringatnya. inggarwati mempunyai keringat yang dapat menyebarkan aroma wangi cendana. Aroma wangi itu mempunyai pengaruh besar pada hasrat seorang lelaki. Siapa pun yang
berada dalam jarak tiga langkah di depan inggarwati dan mencium aroma wangi tubuh wanita itu, maka gairah orang tu akan terbakar dan terbuai keindahan.
Keringat itu adalah keringat pembius kesadaran seorang lelaki. Setiap lelaki yang terbius akan merasa tak punya beban dan kesedihan apa pun. Yang ada dalam
khayalan lelaki itu hanya kencan dan cumbuan hangat bersama Inggarwati.
Padahal Suto Sinting bukan hanya mencium aroma wangi itu saja, melainkan sudah menciumi tubuh berkeringat tersebut, dan wewangian yang tercium olehnya
sudah bercampur wewangin pandan.
Padahal siapa pun orangnya yang sudah mencium wangi pandan dari tubuh inggarwati, maka ia tak akan bisa membendung gairahnya. Gairah itu akan menuntut terus sampai keduanya sama-sama mencapai puncak cumbuan.
Karena itulah, Pendekar Mabuk yang sudah kehilangan kesadarannya akibat wangi pandan bercampur cendana itu segera baringkan tubuh inggarwati di atas meja. Suto yang terengah-engah itu tak mau diajak
pindah ke kamar, karena baginya kamar terlalu jauh dari jangkauan, sedangkan gairahnya telah mendesak sangat kuat dan tak bisa ditangguhkan lagi.
"Ouh, kau memang nakal, Suto. Tapi... aah, aku suka sekali dengan kenakalan ini!" sambil si wanita hamburkan tawa kegirangan bercampur napas yang mendesah-desah. la pun berbaring di atas meja setelah dua guci tuak disingkirkan.
"Puaskan hasratmu, Suto! Puaskan sekarang juga, Sayang. Oohhh..."
Suto Sinting tak tahu juga bahwa arak yang disuguhkan adalah arak jebakan yang dapat mempercepat terbakarnya gairah seorang lelaki. Tak heran jika saat itu Suto Sinting semakin hanyut dalam gejolak gairahnya.

Namun tiba-tiba sebelum pelayaran dimulai, mereka tersentak kaget oleh suara ledakan yang menggelegar dan mengguncangkan rumah batu itu.
Blegaaarrr....!
"Keparat! Ada yang menghantam rumahku dengan pukulan tenaga dalam!" sentak Inggarwati menegang.
la segera menyingkirkan Suto Sinting hingga pemuda itu terdorong menjauhi meja.
"Inggar, jangan hiraukan ledakan itu! Kita berlayar dulu, Inggar..." ujar Suto sambil terengah-engah dan berkeringat..
"Tidak bisa! Pasti ada orang yang ingin mengganggu kemesraan kita. Tetaplah di sini! Akan kuhancurkan dulu orang itu biar tak mengganggu kemesraan kita, Suto!" sambil Inggarwati membetulkan pakaiannya.
"Tapi aku sudah..."
"Tahanlah sebentar! Hanya sebentar, Suto. kuharap jangan keluar dari rumah. Orang itu pasti orang jahat!"
Inggarwati pun segera keluar dari rumah, sedang kan Suto Sinting terbengong di tempat. Hatinya memendam kedongkolan, karena kemesraannya terganggu.
"Setan mana yang berani mengganggu kemesraan ku ini?! Kuhabisi dia sebelum dijamah Inggarwati!" Geramnya, lalu dengan cepat ia menyambar bumbung Tuaknya, bahkan sempat menenggaknya tiga tegukan.
Tepat ketika Suto Sinting membuka pintu rumah itu untuk keluar, seberkas sinar kuning meluncur lurus tanpa putus dari arah depannya. Sinar kuning itu ditujukan kepada inggarwati, namun karena Inggarwati menghindar dalam satu lompatan ke samping, maka sinar itu menjadi tertuju ke arah Pendekar Mabuk.
Slaaap....!

*
* *
7

MATA Pendekar Mabuk terbelalak lebar melihat sinar kuning itu meluncur ke arahnya. la terpaku di tempat seperti orang bodoh. Padahal biasanya ia cukup tangkas dan gesit. Sebenarnya ia bisa saja menangkis sinar itu dengan bumbung tuaknya.
Tapi karena ia terpaku melihat siapa orang yang melepaskan sinar kuning itu, maka bumbung tuak itu tetap tergenggam di tangan kanannya. Blegaaaarrr...!
Beruntung sekali rumah batu itu ternyata sudah dilapisi oleh kekuatan gelombang tenaga sakti. Maka ketika sinar kuning itu hampir mencapai pintu, sinar tersebut segera meledak karena membentur lapisan
gelombang sakti yang menjadi pagar pengaman rumah tersebut. Hal itu terjadi pula pada saat si jubah ungu melepaskan pukulan tenaga dalamnya saat Suto dan
Inggarwati belum keluar darl rumah.
"Suto, masuklah! Cepaaat...!" seru Inggarwati.
Tapi agaknya seruan itu tak dihiraukan oleh Suto Sinting. Tanpa disadari, pengaruh daya pikat dari keringat pembius itu telah hilang sejak Suto Sinting menenggak tuaknya tiga teguk tadi. la bahkan bertanya pada dirinya,
"Apa yang kulakukan di dalam rumah ini tadi? Ooh... celaka! Hampir saja aku berbuat nista dengan janda cantik itu?"
Pendekar Mabuk segera melesat ke arah berlawanan dengan Inggarwati. Perempuan itu berseru dalam bentakan, keluarkan perintah yang biasanya dituruti oleh pria yang sudah terbius keringat asmaranya Itu. Tapi Seruan itu sudah tidak berlaku bagi Suto Sinting. Pemuda tampan itu justru menatap ke arah lelaki tua berjubah ungu dengan rambut, kumis, dan jenggot sudah memutih rata. Kala itu, si kakek yang tak lain adalah Erang Samu itu berseru kepada Suto Sinting.
"Jauhi perempuan itu, Suto! Dialah yang berjuluk si Makelar Perawan! Jangan mau terjebak oleh keringat pembiusnya!"
"Tutup mulutmu, Erang Samu!" teriak Inggarwati dengan murka, lalu ia melemparkan pisau mautnya dalam sekali kelebatan tangan kanan. Weess...!
Pendekar Mabuk terbengong dalam kesadarannya yang mulai pulih total. la melihat pisau maut terbang ke arah Erang Samu. Tapi saat itu, Erang Samu berhasil
menangkisnya dengan kibasan pedang perak dan tubuh yang memutar cepat. Triing....!
Pisau tu melesat ke salah satu pohon dan menancap di sana.

Namun pada saat Erang Samu memutar tubuhnya, ternyata Inggarwati telah lemparkan pisau mautnya kembali sebanyak dua kali. Wes, wes...!
Maka ketika Erang Samu selesai menangkis pisau pertama, ia tak akan sempat menangkis kedua pisau yang meluncur ke arahnya itu.
Pendekar Mabuk segera lepaskan jurus 'Pukulan Gegana'. Kedua jari tangannya dirapatkan laiu kibaskan ke depan bagai melempar pisau. Claap, claap..!
Duaaar..! Duaaar...!
Dua pisau ltu meledak dan hancur setelah dihantam dua sinar kuning yang keluar dari kedua jari Suto Sinting itu. Ledakan tersebut sempat timbulkan daya sentak agak kuat, sehingga Erang Samu yang sudah berusia delapan puluh tahun lebih itu menggeloyor ke belakang hampir jatuh.
"Suto! Jangan ikut campur urusan ini!" seru inggarwati dengan membentak.
"Kau ingin membunuh sahabatku, inggar!"
"Dia bukan seorang sahabat! Dia orang jahat yang mengganggu kemesraan kita!"
Erang Samu berseru pelan, "Suto, gadis yang bernama Ratna itu pasti ada di dalam rumah itu, belum sempat diserahkan kepada Pendekar Laknat!"
"Dasar mulut jahanam! Hiaaat....!"
Inggarwati melompat dan bersalto beberapa kali dengan gerakan cepat ke arah Erang Samu. Namun kakek berjubah ungu itu cepat menghindar dengan Lompatan ke arah samping. Wess...!
Beeet...! Pedang si janda cantik menebas tempat kosong. Lalu tangannya berkelebat lagi dengan cepatnya hingga tak terlihat oleh mata tua Erang Samu.
Wees....!
"Erang...! Awas pisau itu...!"
Jeeb...!
Aaah..!" Erang Samu memekik dengan tubuh mengejang. Seruan Suto terlambat. Pisau maut beracun ganas itu menancap di bawah leher Erang Samu. Pendekar Mabuk mendelik berang melihat Erang Samu
terkena lemparan pisau maut, karena ia tahu akibat yang akan dialami oleh Erang Samu. Tidak ada akibat lain kecuali kematian yang mengerikan bagi Erang Samu Maka dengan gunakan jurus 'Gerak Siluman', Pendekar Mabuk segera berkelebat menerjang Inggarwati.
Zlaaap..! Brrruus...!
Terjangan dari samping itu membuat inggarwati terjungkal dan berguling-guling di tanah berumput mirip lapangan bola itu. Pendekar Mabuk segera melesat kembali, tapi kali ini ke arah Erang Samu yang telah
jatuh terkapar dengan tubuh kejang-kejang.
Sleep...! Pisau beracun yang menancap di bawah leher Erang Samu itu dicabut oleh Suto Sinting. Bumbung tuak pun segera dibuka. Suto bermaksud meminumkan tuak saktinya untuk selamatkan nyawa Erang Samu. Tapi tiba-tiba ia mendengar inggarwati berteriak liar dari arah belakangnya.
"Bangsat kau! Matilah kau bersama si tua rapuh itu, Suto. Hiaaaat...!"
Pendekar Mabuk segera lepaskan tempurung yang sudah berisi tuak itu. Pisau yang tadi dicabut dari leher Erang Samu tergeletak di tanah samping kakinya.
Dengan gerakan cepat, pisau itu disambarnya dan dilemparkan ke arah Inggarwati sambil tubuh Suto Sinting memutar balik dalam keadaan berlutut satu kaki.
Slaaap.! Juuub...!
"Aaaahk...!" inggarwati memekik. Gerakan lompatnya tertahan. Pedang yang sudah dicabut dan diangkat ke atas itu tak jadi bergerak turun. Mata janda cantik itu
pun mendelik, karena Suto Sinting berhasil lemparkan pisau maut beracun ganas itu dan menancap tepat di tengah leher Inggarwati.
"Uuuhk.. Uuuhhhkk..!" Inggarwati berusaha ingin mencabut pisau, namun tenaganya terserap keganasan racun pada pisau maut itu. Akhirnya ia jatuh terkulai dalam keadaan bersimpuh, mata mendelik, dan mulut ternganga.
Suto Sinting tak hiraukan dulu keadaan si Inggarwati. la buru-buru tuangkan tuak langsung dari bumbung ke mulut Erang Samu. Tindakan itu ternyata tepat
pada waktunya. Sebelum Erang Samu kehilangan nyawa, tuak Suto telah tertelan olehnya dan membuat racun yang menyatu dalam darahnya itu menjadi tawar dalam waktu singkat.
Namun bagi Inggarwati, racun pada pisau mautnya itu telah kenai urat nadi yang segera mengganas di jantung dan otaknya. Janda cantik yang keringatnya berbau harum itu akhirnya dalam keadaan mendelik dan tak bergerak lagi selamanya. la tewas di ujung pisaunya sendiri.
"Hampir saja ia berhasil merenggut nyawaku," ujar Erang Samu setelah keadaannya pulih seperti sediakala. Matanya memandang ke arah mayat inggarwati. "Benarkah dia yang berjuluk Makelar Perawan?" Tanya Suto Sinting.
"Untuk apa aku membohongimu, Suto?! Memang dialah kaki tangan si Pendekar Laknat itu! Tugasnya mencari gadis untuk dijual kepada Pendekar Laknat."
"Lalu....Untuk apa Pendekar Laknat membeli gadis darinya?"
"Untuk apa lagi kalau bukan untuk pemuas gairahnya, setelah itu si gadis akan dibunuh dan darahnya dipakai untuk mandi. Menurut ilmu hitam yang dianutnya, mandi dengan darah perawan akan menambah
kekuatan ilmu iblisnya. Dan sejauh ini, belum ada seorang pun yang mampu hentikan tindakan si Pendekar Laknat itu!"
"Bagaimana kalau ternyata dugaanmu salah?!"
"Tidak mungkin. Aku tahu persis siapa si Inggarwati itu! Mulanya kusangka ia membawa lari gadis itu langsung ke dalam Benteng Agung, tapi seteiah kulacak di sana tak ada tanda-tandanya, maka aku yakin
gadis itu dibawa ke rumahnya dulu. Karena itulah aku kemari dan kupancing ia dengan pukulan tenaga dalamku ke arah rumah tersebut. Jika ia ada di dalam rumah itu, pasti ia keluar. Jika ternyata ia tak keluar dari rumah, berarti dia lewat jalan lain untuk masuk ke dalam Benteng Agung"
"Hmmm...," Suto manggut-manggut sambil menatap ke arah benteng yang memanjang dan tampak jelas dari atas bukit itu.
Erang Samu pun berkata, "Sebaiknya kita geledah rumah itu! Kita buktikan apakah dugaanku benar atau meleset"
Suto Sinting setuju, maka mereka pun segera melangkah menuju rumah batu itu.
Ternyata apa yang dikatakan Erang Samu benar semua. Ratna Biara ditemukan mereka tergeletak dalam kamar yang pernah dikatakan inggarwati kepada
Suto sebagai kamar mendiang ibunya itu. Ratna Biara dalam keadaan ditotok hingga tak dapat berbuat apa-apa.
Ketika totokannya dilepaskan oleh Erang Samu, Ratna Biara segera tersentak kaget dan jauhi Erang Samu, karena dianggap orang yang akan membunuhnya "Maafkan tuduhanku itu, Nona! Sekarang aku tahu,
kau bukan mata-mata si Pendekar Laknat itu!" ujar Erang Samu.
Ratna Biara segera memandang Suto Sinting.
"Kau kenal dengan si tua itu?".
"Ya. Dia ada di pihak kita. Dia bernama Erang Samu, dari Pesanggrahan Waruyung. Persoalanmu dengannya hanya karena salah paham saja."
"Salah paham bagaimana?" ketus Ratna Biara. "Dia menyerangku, bahkan hampir saja membunuhku" Erang Samu segera angkat bicara. "Maafkan kelancanganku tadi, Nona. Aku sungguh tak tahu kalau kau
orang asing di sini. Kusangka kau adalah mata-mata Pendekar Laknat. Tapi begitu kau disambar oleh si inggarwati, aku yakin kau bukan orangnya Pendekar Laknat. Justru itu aku dan Suto datang untuk membebaskan dirimu!"
"Hmmm...!" Ratna Biara mendengus ketus, melengos ke arah lain.
"Sekali lagi aku mohon maaf. Kita telah sama-sama salah paham"
"Kau yang bodoh!" sentak Ratna Biara dengan wajah cemberut. "Aku sedang mencari jalan untuk pulang, karena aku takut bertemu dengan Eyang Paderi
Moyang. Tapi tiba-tiba dua anak buahmu menyerang lalu kau ikut campur!"
"Kau memasuki wilayah kami, sehingga kami curiga padamu, Nona."
Pendekar Mabuk segera menarik lengan Ratna Biara. Mereka bicara pelan, namun masilh tetap bisa didengar Erang Samu secara samar-samar.
"Jadi kau juga kenal dengan Pak Tua yang bernama Paderi Moyang itu?"
"Aku tahu, dia yang menyelamatkan kita. Tapi aku jadi takut padanya. Sebab itulah aku segera melarikan diri begitu aku siuman."
"Mengapa kau takut padanya?"
"Paderi Moyang adalah tokoh tua yang menurut cerita mendiang nenekku, beliau sudah tewas. Memang menurut cerita itu, beliau tewas secara moksa. Lenyap bersama jiwa raganya di sebuah tempat pertapaan, yaitu di Gua Renta. Tapi kemunculannya sekarang ini membuatku seperti berhadapan dengan hantu. Selain takut juga karena menaruh rasa hormat begitu tinggi pada beliau, sehingga kupilih jalan untuk lari pulang ke tempat tinggalku. Tapl sialnya, si tua itu menyerangku seenaknya!"
"Maafkanlah dia. Ada persoalan yang lebih penting kita hadapi daripada harus menghukum Erang Samu!" Ratna Biara tarik napas dalam-dalam. Agaknya ia
terpaksa harus melepaskan urusannya dengan Erang Samu. ia lebih tertarik dengan kata-kata Suto Sinting yang sempat bercerita tentang percakapannya dengan
Paderi Moyang.
"Seorang temanku bernama Angin Betina, tertangkap dan aku harus membebaskannya!"
"Bagaimana urusan kita dengan si Belah Nyawa?"
"Kita tangguhkan dulu! Sebab menurut Eyang Paderi Moyang, persoalan menumbangkan Pendekar Laknat ini lebih penting dari persoalan lainnya!"
"Hmmm...," Ratna Biara manggut-manggut. "Kalau begitu kita harus segera ke istana Agung!"
"Tunggu dulu, jangan gegabah begitu!" sergah Eyang Samu yang nekat ikut campur dalam pembicaraan tersebut. Mau tak mau Suto Sinting dan Ratna Biara memberi kesempatan kepada Erang Samu untuk
bicara.
"Kalian tidak bisa datang ke istana Agung secara gegabah! Bukan saja karena Pendekar Laknat berilmu tinggi, tapi karena Pendekar Laknat itu licin seperti belut dan punya segudang kelicikan! Bisa-bisa ia melarikan diri dan membentuk kekuatan baru di suatu tempat."
"Lalu apa saranmu?"
"Sebaiknya beristirahatlah dulu di pesanggrahanku. Kita susun rencana yang baik untuk melakukan penyerangan ke istana Agung."
Suto dan Ratna Biara saling pandang, seakan saling meminta pendapat. Tapi Erang Samu segera menyambung kata-katanya.
"Jujur saja, aku juga ingin membalas dendam atas kedua muridku yang menjadi korban keganasan si Pendekar Laknat itu. Aku tak akan berhasil jika tanpa kau, Pendekar Mabuk!"
"Baiklah! Kau lebih tahu banyak tentang si Laknat itu, sebaiknya memang kami belajar dulu padamu tentang lawan kami nanti!" kata Suto Sinting setelah melepaskan napas kelegaan.
Akhirnya si cantik Ratna Biara melangkah bersama Suto Sinting menuruni bukit. Si tua Erang Samu mengikuti dari belakang, sambil sesekali memberitahukan arah yang harus ditempuh mereka untuk sampai ke Pesanggrahan Waruyung.

SELESAI


Segera menyusul!!!
HANCURNYA PENDEKAR LAKNAT