Pendekar Mabuk 15 - Pawang Jenazah


  1
ANGIN kuburan berhembus menyebarkan batu tanah basah. Hujan semalaman
telah mengguyur tanah kuburan, membuat lembek lahan yang ada di
sekitarnya. Kadang angin kuburan menghembuskan bau bangkai yang menusuk
hidung, menyolok mata. Tentu saja mata orang penakut yang tercolok oleh
bayangan ngerinya sendiri.



Tetapi bau tanah kuburan itu tidak mengganggu pernapasan seorang pemuda
yang tengah beristirahat di atas sebuah pohon. Pemuda itu menggunakan
dahan berjajar sebagai tempat duduk dan batang pohon sebagai tempat
bersandar. Pemuda itu tampak santai sekali menikmati tuaknya yang
sebentar-sebentar ditenggak dari bumbung bambu tempat penyimpanan tuak.
Bumbung itu selalu dibawanya ke mana ia pergi, disandang di punggung
bagaikan pedang keramat.

Anehnya, sekian kali ia meneguk tuak, tak ada rasa pusing di kepala. Tak
ada ocehan mabuk dari mulutnya. Pemuda itu tetap tegar dan berjalan
tanpa sempoyongan, berdiri tanpa limbung, berlari tanpa menabrak-nabrak.
Dia bukan dewa, tapi dia lebih dikenal sebagai Pendekar Mabuk, murid
sinting si Gila Tuak.

Suto namanya. Karena ilmu yang dimiliki itu gila- gilaan, tak
tanggung-tanggung keampuhannya, maka sering ia dikatakan sinting dalam
segala tindakan. Gilanya ilmu yang dimiliki itulah yang membuat ia
dipanggil Suto Sinting. Gurunya sendiri yang mengawali panggilan itu,
sehingga sampai sekarang Suto pun tidak keberatan menggunakan nama
kondang itu; Suto Sinting, Pendekar Mabuk.

Suto memang Pendekar Mabuk. Tapi ia tidak mabuk sembarang mabuk. Hanya
dalam gerakan jurus-jurusnya saja yang kelihatan seperti keadaan orang
sedang mabuk. Kadang ia seperti orang mau jatuh, tapi ternyata menyepak
batu dan batunya mengenai lawan. Kadang seperti mau tersungkur, ternyata
justru melepaskan pukulan dahsyat. Sedangkan dalam kehidupan sehari-
harinya di luar pertarungan ia tidak pernah merasa mabuk dan berjalan
sempoyongan, ia tetap sebagai pemuda yang tegar, gagah, perkasa, dan
menawan.

Angin kuburan kembali menghembuskan bau tak sedap. Tapi anehnya masih
saja ada orang lewat di jalanan tak jauh dari kuburan itu. Sesekali
pedagang daun memikul dagangannya untuk dijual ke pasar, atau pedagang
kain mendorong gerobak tempat kainnya untuk ditawarkan ke perkampungan
terdekat. Dan kali ini yang dilihat Suto adalah serombongan orang
memikul tandu.

Empat orang pemikul tandu tertutup berseragam pakaian kuning. Enam orang
di belakangnya mengawal tandu berseragam biru tua, lengkap dengan
senjata dan perisai di tangan masing-masing. Empat orang di samping
kanan kiri tandu berseragam hitam, juga menyandang pedang di punggung
masing-masing. Empat orang lagi berjalan di depan tandu berseragam
merah. Di depan keempat seragam merah itu berjalan dua orang yang
mempunyai pakaian lebih bagus dengan warna masing-masing ungu dan hijau.
Mereka berdua adalah perempuan-perempuan cantik berambut disanggul,
sisanya dibiarkan terjulur ke samping.

Tandu tertutup itu berwarna merah dengan hiasan ukir kuning emas.
Tingginya seukuran pundak orang dewasa. Dan agaknya orang yang ada di
dalam tandu itu dalam keadaan duduk. Tandu itu mempunyai dua buah pintu
kanan-kiri yang dilapisi dengan kain tirai penutup bagian atas pintunya
itu. Tirai tersebut juga berwarna merah. Dari arah kanan terlihat
samar-samar orang yang duduk di dalam tandu itu, karena tirai penutupnya
berwarna merah transparan.

Ketika rombongan melewati jalan di depan kuburan, suatu keajaiban
terjadi. Tanah kuburan bergetar. Langit menjadi gelap karena diselimuti
awan hitam bergulung- gulung. Angin berhembus semakin kuat, sesekali
terjadi loncatan petir di langit yang memercikkan nyala api biru bagai
naga mengamuk.

Para pembawa tandu tetap melangkah tanpa merasa gelisah. Tapi para
pengawalnya mulai diliputi kegundahan. Dua orang yang berjalan paling
depan sering memandang ke langit dengan cemas.

Dan tiba-tiba kuburan mengepulkan kabut putih kehitam-hitaman. Kabut itu
makin lama semakin memenuhi tanah kuburan. Lalu, dengan mata kepala
memandang jelas, Suto melihat tanah gundukan di setiap makam itu
bergerak-gerak, kemudian retak. Tangan- tangan berbelatung warna hitam
lumer mulai muncul dari dalam kubur.

Kejap berikutnya mereka yang menjadi penghuni tanah kuburan melompat
keluar menerabas gundukan tanah yang menimbun jenazah mereka
masing-masing. Ada yang sudah bertulang, ada yang sudah dimakan rayap,
ada yang baru sebagian saja tubuhnya digerogoti rayap, ada yang masih
baru dua-tiga hari dimakamkan. Semuanya menerobos keluar dari kubur
masing-masing. Brusss...!

Glegar guntur di langit menyambut kemunculan mereka.
Blarrr...! Glur glur glur glur...! Suara itu menghilang.
Blarrr...! Glur glur glur glur....! Menghilang lagi. Kini mereka yang
baru bangkit dari kubur melangkah meninggalkan tempatnya, mereka mulai
berdiri mendekati jalan yang akan dilewati oleh para pengusung tandu
itu. Begitu para pengusung tandu dan rombongan muncul dari jalanan yang
menanjak, para mayat yang bangkit dari kubur itu segera menyerang mereka.

"Kkkrrr.J" Mereka serukan suara tak jelas. Tapi langkah dan gerakan
mereka terlihat jelas serba pasti.
"Lindungi sang putri.J" seru si baju ungu.

Mayat-mayat itu melompat menerjang mereka. Jumlahnya dua kali lipat dari
jumlah mereka. Bahkan menurut dugaan Suto lebih besar dari jumlah
penggandaan tersebut. Mereka menyerang dengan jurus- jurus yang sulit
dipelajari dan diingat. Kadang ada yang melayang bagai singa mau
menerkam. Kadang ada yang menukik seperti burung pemakan bangkai. Ada
pula yang merangkak dan menerkam leher lawannya bagai kan seekor kucing
liar.

Pendekar Mabuk terbengong-bengong di atas pohon menyaksikan apa yang
dianggapnya mimpi itu, Suto lupa berkedip, lupa meneguk tuaknya, bahkan
lupa bergerak, ia terpukau dan terkesima oleh pemandangan mengerikan
yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Langit semakin gelap. Petir semakin bersahutan. Para rombongan tandu
berjuang mempertahankan serangan lawan. Tapi tebasan pedang ataupun
tusukan tombak mereka tidak dihiraukan oleh para mayat. Yang sudah
terpenggal lengannya masih maju menyerang dengan kaki. Yang sudah
terpotong kepalanya, kepala itu sendiri melesat terbang dan menggigit
lawan. Bahkan yang tanpa kepala masih bisa mempermainkan jurus dan
membuat lawan tewas.

Malahan ada yang melepaskan pukulan jarak jauh yang tentu saja dialiri
tenaga dalam cukup tinggi. Sinar merah, kuning, biru sering terlihat
lepas dari tangan mereka, menghantam rombongan tandu dan menyebabkan
kematian.

Agaknya para pengusung tandu maupun pengawalnya lebih mengutamakan
menyelamatkan orang yang ada di dalam tandu tersebut. Dan para mayat
sendiri berusaha menyerang orang di dalam tandu itu. Tangan-tangan
mereka yang sudah terpotong melayang terbang dan berusaha menerobos
tirai tandu. Dalam waktu singkat, rombongan tandu itu tinggal beberapa
gelintir orang yang sama-sama terdesak.

Brakk...! Zlappp...!

Tandu hancur. Kayu-kayunya pecah berantakan. Para mayat kebingungan.
Mereka bagaikan melihat kekosongan di dalam tandu. Kekosongan itu
membuat mereka saling menggeram. Dua orang yang masih hidup itu segera
dibunuh secara beramai-ramai. Dengan begitu, habis sudah orang-orang
yang berada dalam rombongan tandu. Perempuan berpakaian ungu dan hijau
itu pun mati dalam keadaan mengerikan. Sementara itu, para mayat segera
kembali ke tempatnya masing-masing dengan tertib tanpa saling berebut.

Ke mana orang yang ada di dalam tandu itu?

Sudah diselamatkan. Dibawa pergi orang berpakaian coklat dan celana
putih, berambut panjang lurus meriap tanpa ikat kepala. Sang putri yang
tadi dilindungi oleh mereka itu, sekarang berada di atas pundak kiri
seorang pemuda yang menyandang bumbung tuak. Siapa lagi kalau bukan
Pendekar Mabuk?

"Mau dibawa ke mana orang ini?" pikir Pendekar Mabuk bingung sendiri
setelah jauh dari tanah kuburan itu.

Terkesiap mata Suto setelah meletakkan orang yang dipanggulnya itu.
Ternyata ia seorang perempuan cantik. Sungguh cantik sekali. Disuruh
sumpah apa pun Suto berani! Perempuan itu cantik, mengenakan tusuk konde
dari emas batangan sebesar sumpit. Ada dua tusuk konde yang menjadi
penghias rambutnya itu. Sayang sekali perempuan itu pingsan. Mungkin
takut melihat banyaknya mayat yang bangkit menyerangnya tadi. Bibir
perempuan itu, sungguh menggetarkan hati setiap lelaki. Lembut
kelihatannya. Merah segar, seperti buah yang ranum. Bentuknya pun sangat
indah, tidak terlalu lebar, tidak pula terlalu kecil. Tidak tebal, tidak
pula terlalu tipis.

Hidungnya mancung, bulu matanya lentik, alisnya tebal tapi teratur rapi.
Kulit pipinya halus sekali, seperti kulit bayi. Warnanya putih. Demikian
pula warna kulit tubuh lainnya. Suto memperhatikan perempuan yang
dibaringkan di bawah pohon itu dengan takjub.

Perempuan itu mengenakan pakaian yang tertutup sampai leher. Potongan
baju Cina berwarna merah jambu itu sungguh amat serasi dengan
kecantikannya. Dalam sepintas saja Suto Sinting sudah menduga bahwa
perempuan itu pasti gadis dari negeri Cina. Di samping terlihat dari
bentuk pakaiannya, juga dari bentuk liontin kalungnya yang berwarna
hijau muda itu membentuk gambaran seekor naga. Sulaman benang emas pada
pakaiannya pun berbentuk seekor naga yang melilit dari kaki sampai ke
pertengahan dada.

Siapa dia? Siapa namanya? Ke mana arah tujuannya? Mengapa diserang
mayat-mayat kubur?

Semua itu tak bisa diketahui Pendekar Mabuk karena gadis cantik jelita
itu masih dalam keadaan pingsan. Pendekar Mabuk ingin menyadarkan gadis
itu melalui tuaknya, yaitu dengan memasukkan tuak ke dalam mulut gadis
itu, tapi tak bisa dilakukan karena mulut itu terkatup rapat. Sebenarnya
bisa juga dilakukan dengan cara menyemburkan tuak di mulut Pendekar
Mabuk ke dalam mulut gadis itu, tapi jelas ia harus menempelkan mulutnya
ke mulut gadis itu.

"Jangan! Aku tak berani. Takut tak mau berhenti mulutku menempel terus
di bibirnya! Tidak. Aku tidak boleh begitu! Aku sudah punya kekasih
sendiri. Aku tak mau mengkhianati cintaku! Aku... aku... tapi ini demi
pengobatan?! Apa salahnya? Yang penting tujuanku baik, tidak punya niat
ingin mengecup bibirnya!"

Pendekar Mabuk kerutkan dahi dan berpikir beberapa saat. Lalu, segera
diteguknya air tuak dalam bumbung itu. Sisanya dibiarkan di mulut, tidak
ikut ditelan. Pendekar Mabuk segera mendekati mulut gadis itu. Tapi
begitu memandang semakin dekat keindahan bibir tersebut, tuak di mulut
jadi tertelan sendiri. Glek...!

"Yah, habis tuaknya!" gumam Suto. Ia buru-buru menenggak tuak lagi.
Disisakan sedikit di mulutnya. Cukup untuk disemburkan ke dalam mulut
gadis itu.

Tangan Pendekar Mabuk gemetar memegangi bibir gadis itu yang ingin
dibukanya. Bibir pun akhirnya terbuka, Pendekar Mabuk mendekatkan
mulutnya. Tapi sekali lagi tuak dalam mulutnya tertelan. Glek!

"Yah, habis lagi...!"

Suto Sinting diam merenungkan dirinya sendiri. Mengapa hanya
menyemburkan tuak dari mulutnya ke mulut gadis itu saja tak mampu
dilakukannya? Padahal itu pekerjaan yang mudah.

"Hatiku berdebar-debar! Itu soalnya, jadi tak bisa tenang sewaktu mau
menuangkan tuak dari mulutku ke mulutnya! Sebaiknya, kutunggu dulu
beberapa saat supaya hatiku menjadi tenang dan tidak berdebar-debar,"
pikir Pendekar Mabuk sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Kejap selanjutnya, Pendekar Mabuk merasa hatinya sudah tidak
berdebar-debar. Maka ia kembali meneguk tuaknya, sebagian ditelan,
sebagian disisakan di mulut. Pelan-pelan didekati bibir gadis itu.
Tangannya gemetar lagi ketika memegangi kepala gadis agar tak bergerak
waktu mendapat sentuhan nanti. Pelan-pelan sekali mulut Suto mendekati
mulut gadis itu. Mata memandang jelas-jelas bentuk keindahan dan
kelembutan bibir itu. Tiba-tibatuak di mulut kembali tertelan. Glek...!

"Ah, masa bodohlah...!"

Akhirnya Pendekar Mabuk tidak mau mengulangi hal itu. Ia tidak mau
membuat gadis itu siuman melalui tuaknya. Bahkan ia berkata sendiri,

"Cari air saja! Siram air. Beres!"

Baru saja ia bangkit mau mencari air untuk menyiram itu gadis, tiba-tiba
ia melihat dua orang berkuda menghampirinya dengan tampang tergesa-gesa.
Wajah mereka menampakkan sikap tak bersahabat. Yang berpakaian biru
mempunyai kumis tebal melengkung ke bawah, kurus, wajah lonjong, mata
cekung, rambutnya kucai. Tapi dilihat dari pakaian biru berompi putih
dengan sulaman benang emas itu, agaknya orang tersebut mempunyai suatu
jabatan di suatu tempat. Sedangkan yang satunya lagi juga mengenakan
rompi bersulam benang emas, tapi warnanya hitam. Baju lengan panjang dan
celananya berwarna kuning kunyit. Wajahnya bundar, berkumis tipis,
rambutnya tak begitu panjang, diikat kain kuning.

Kedua orang itu segera pelankan laju kudanya ketika mendekati Suto. Yang
berompi putih bermata cekung itu, segera meloncat turun dari kuda
sebelum kuda berhenti total. Bahkan tali kekang kuda dilepaskan begitu
saja. Sikapnya menampakkan tak sabar ingin segera melabrak Pendekar
Mabuk. Sebilah pedang di pinggangnya dicabut, kemudian dengan tanpa
bilang ini itu, langsung saja ditebaskan ke dada Pendekar Mabuk.

Wusss... !

Pendekar Mabuk hanya mundur satu langkah dengan gerakan kecil yang amat
cepat. Kemudian ia berkata kepada orang itu,
"Apa-apaan ini?! Mengapakau menyerangku?!"

Orang itu menodongkan pedangnya ke arah wajah Pendekar Mabuk. Bahkan
ujung pedang itu berada di depan leher persis, hanya berjarak kurang
dari sejengkal.

"Jangan berlagak bodoh, Anak muda!" geram orang berkumis melengkung ke
bawah itu. "Kau telah membunuh para prajurit dan pengawalku!"

"Prajurit yang mana?" Suto bingung.

Pedang disentakkan sedikit sebagai gertakan. Pendekar Mabuk sentakkan
kepala ke belakang, takut tergores pedang lehernya.

"Tak perlu banyak bicara lagi! Serahkan saja bayinya!" kata orang itu.
Dan Suto makin kerutkan dahi.
"Bayi apa?! Kau pikir aku habis beranak?!" Pendekar Mabuk agak menyentak.
"Kuhitung tiga kali, jika bayinya tidak kau serahkan, kubunuh kau sekarang juga!"
"Bayinya siapa?!" bentak Pendekar Mabuk jengkel sendiri.
"Satu...!" orang itu mulai menghitung. Pedang semakin dekat.
"Tunggu dulu! Kau sangka aku ini apa? Pencuri bayi? Hm... amit-amit!
Untuk apa aku mencuri bayi?!"

"Dua...!" orang itu menambah hitungannya. Wajahnya semakin tampak
menggeram bengis. Matanya memancarkan nafsu untuk membunuh. Dan Pendekar
Mabuk merasa sangat terdesak dengan hitungan itu.

Tiba-tiba jari tangan Suto menyentil ke atas. Tapp...!

"Aou...!" orang itu memekik kaget, pedangnya lepas dari tangan, ia
buru-buru ingin memungutnya, tapi kaki Pendekar Mabuk dengan segera
menendang pedang itu. Beettt...!

Pedang ditendang Pendekar Mabuk bagian sampingnya lalu melayang terbang
dan menancap di sebuah batang pohon. Jubb...! Hampir separo batang
pedang amblas ke pohon itu.

Orang berwajah lonjong terbengong. Temannya yang masih berada di atas
kuda juga terbengong. Orang berwajah lonjong masih pegangi bagian
sikunya yang tadi terkena sentilan bertenaga dalam dari jari tangan
Pendekar Mabuk. Bahkan ia tampak terkesiap ketika melihat sikunya memar,
tulangnya bengkak.

Yang di atas kuda membatin, "Gila orang itu! Tendangan pedangnya tadi
tak seberapa keras, tapi bisa menancap di pohon sebegitu dalam. Jika ia
bukan orang berilmu tinggi tak mungkin bisa lakukan hal itu!"

"Perwira Loyang...! Kita laporkan saja hal ini kepada Laksamana!" seru
orang di atas kuda kepada si muka lonjong itu.

"Aku harus menghajar anak ini dulu, biar dia tahu adat!" geram Perwira
Loyang. Kemudian ia menghantamkan pukulannya ke arah Suto dengan gerakan
yang cukup berat. Bettt....!

Wuttt... !

Perwira Loyang terkejut, bingung mencari orang yang tadi dihantamnya.
Matanya terbelalak ke sana-sini.

"Perwira Loyang anak itu ada di belakangmu!"

Begitu si muka lonjong itu menoleh ke belakang, ia makin terkejut,
karena ternyata orang yang dipukulnya itu sudah ada di belakangnya dalam
jarak dua langkah. Tapi orang itu tidak balas menyerangnya.

"Jahanam Kupret! Kau mau main-main denganku, hah?!" geram si muka
lonjong. "Kubuat mampus kau sekarang juga! Hiiih...!"

Wusttt...! Perwira Loyang melancarkan tendangan kipas dengan berbalik
melingkar kakinya menendang wajah Pendekar Mabuk dengan sentakan keras.
Tetapi apa yang ditendang itu ternyata tempat yang kosong. Pendekar
Mabuk telah lebih dulu melesat saat si muka lonjong bergerak memutar.

Mata orang itu jelalatan mencari lawannya. Bahkan ia sempat mencari
sampai tubuhnya berkeliling. Tapi ia tak melihat lawannya yang
seharusnya tadi terkena tendangan jika tidak menghindar.

"Perwira Loyang... lawanmu ada di atas pohon!"

Mendongaklah si Perwira Loyang. Terbengong ia melihat Suto sudah berdiri
di sebuah dahan dan sedang menenggak tuaknya.

"Turun kau, kalau memang jagoan!" bentak Perwira Loyang.
"Perwira Loyang...."

"Diam!" bentak Perwira Loyang kepada temannya yang ada di atas kuda.
Kemudian ia memandang Suto yang tahu-tahu sudah ada di atas pohon itu.
Ia berseru,

"Kalau kau tak mau turun, aku akan pergi!"

Tiba-tiba ada suara deru kuda berlarian dari arah barat. Rombongan
berkuda itu sedang menuruni lereng sebuah bukit tak jauh dari tempat
itu. Teman yang ada di atas kuda itu segera berseru,

"Mereka datang, Perwira Loyang...! Lekas kita lari...! Tinggalkan tempat
ini, Perwira! Ayo, ayo, ayo...!"

Melihat rombongan berkuda menuruni bukit, Perwira Loyang segera melompat
dan hinggap di punggung kuda. Lalu, bersama temannya ia memacu kuda
secepat mungkin. Mereka tampak ketakutan dan dengan cepat meninggalkan
tempat itu.

"Kenapa mereka takut sama rombongan berkuda itu?! Siapa sebenarnya
rombongan berkuda itu?!" pikir Suto Sinting. "Ah, sial! Belum sempat aku
bicara baik-baik, menanyakan siapa anak gadis ini, dan bayi apa yang
dimaksud? Eh..., sudah pergi! Sial!" Pendekar Mabuk garuk-garuk kepala.

* * *


2
ROMBONGAN berkuda itu terdiri dari delapan orang. Lima orang membelok ke
arah kiri, tiga orang membelok ke arah kanan untuk temui Suto Sinting.
Pada saat itu, Suto sedang mendekati gadis bergaun merah jambu yang
masih dibaringkan di rerumputan bawah pohon, ia sedikit mengeluh dalam
tarikan napasnya begitu mengetahui tiga dari kedelapan rombongan berkuda
itu menuju ke arahnya. Dilihat dari wajah-wajah mereka, tak satu pun
yang tampak bersahabat.

"Bakal ada perkara lagi kalau dilihat gelagatnya! Malas aku bermasalah
dengan orang yang sebenarnya tidak punya perkara apa-apa padaku," pikir
Pendekar Mabuk sambil berlagak tidak memperhatikan kedatangan tiga orang
berkuda itu.

Ringkik kuda terdengar bagai jerit perawan. Kuda berhenti setelah
mengangkat kedua kakinya ke atas. Penunggang kuda berbulu hitam
berjambul coklat itu memandang Suto dengan wajah angker, ia berada di
tengah kedua temannya yang tetap di atas punggung kuda, di kanan-kirinya.

Orang yang ada di punggung kuda hitam berjambul coklat itu mengenakan
pakaian hitam dengan sabuk merah dan ikat kepala merah. Kepalanya gundul
plontos, tampak seperti semangka warna coklat. Matanya lebar dengan alis
tebal dan berkumis lebat, ia mengenakan kalung manik-manik seperti
tasbih yang berbandul kulit kerang warna kuning kecoklatan.

Orang itu berseru kepada Suto dengan suara kasarnya, "Cecunguk! Kau
pilih kugantung secara baik- baik atau kuseret sampai mati?!"

Pendekar Mabuk masih berlagak sibuk menyadarkan gadis yang pingsan.
Orang berkepala botak yang diikat kain merah itu merasa semakin jengkel
dengan sikap Suto. Maka ia pun lebih keraskan lagi suaranya,

"Monyet kurap! Jawab pertanyaanku!"

Seperti layaknya orang tuli, Pendekar Mabuk justru menenggak tuaknya
dengan santai. Sikapnya kian meremehkan orang beralis tebal itu,
sehingga orang itu menggeram dengan gemas, kemudian dari atas punggung
kudanya ia lepaskan pukulan jarak jauhnya melalui sentakan tangan kiri
ke depan. Wuttt...!

Suto segera turunkan bumbung tuaknya setelah diangkat naik untuk
dituangkan ke mulut. Pada saat itulah tenaga dalam yang dilepaskan dari
punggung kuda melesat dan menghantam bumbung tuak itu. Beggh...!
Wusssh...!

Pukulan tenaga dalam yang bergelombang besar tanpa wujud itu membalik ke
arah lawan dan menjadi lebih besar lagi dari ukuran semula. Orang
berpakaian hitam itu tak menyangka sama sekali kalau pukulannya akan
membalik arah, sehingga dengan serta-merta terhempas ke belakang dan
terjungkal dari atas kudanya.

"Uhg...!"

Bluggh...! Badannya jatuh seperti kerbau terjungkal dari atas pohon.
Kudanya terlonjak kaget dan mengangkat kedua kaki depannya sambil
meringkik. Sementara itu, kedua orang di samping si kepala botak itu
juga ikut terkejut yang membuat mereka hanya terbengong saja menyaksikan
orang itu jatuh terjungkal dari atas punggung kudanya. Mereka tak bisa
bilang apa- apa, karena mereka dicekam oleh perasaan heran yang cukup
besar.

Dalam hati, lelaki yang bercelana hijau dan memakai rompi hijau itu
membatin, "Kenapa dia jungkir balik begitu? Dia yang melepaskan pukulan
ke arah anak muda itu, tapi dia sendiri yang jatuh dari atas kuda?!
Jangan-jangan aku salah lihat?!"

Orang bermata lebar itu cepat-cepat bangkit dan membentak kedua
penunggang kuda tersebut,

"Mengapa kalian melotot saja?! Lekas turun! Turun dan hajar si cecunguk
tuli itu!" Jlegg, jlegg...!

Kedua orang itu turun dari atas punggung kuda hampir bersamaan. Mereka
melompat dan mendarat di samping kuda masing-masing dengan sigap. Mata
mereka sama tajamnya pandangi Suto Sinting yang sudah berdiri menghadap
ke arah mereka.

Kedua orang itu segera sentakkan kaki dan melompat ke atas dengan jurus
tendangan layang yang siap menerjang Pendekar Mabuk secara bersamaan.
Tetapi Pendekar Mabuk cepat kibaskan bumbung tuaknya dari kanan ke arah
kiri. Wuttt...!

Kibasan cepat itu menimbulkan gelombang pukulan tenaga dalam yang
disalurkan melalui bumbung tersebut. Gelombang pukulan itu menghempas
kuat dua tubuh yang sedang melayang ke arahnya. Akibatnya ke dua tubuh
itu terpental kebelakang bagai diterjang badai besar. Wusss...!
Brukk...! Masing-masing jatuh terjungkal di samping kuda masing-masing.

"Agaknya kau memang memaksa kami melakukan pencabutan nyawa sekarang
juga, Cecunguk!" sentak orang berkepala gundul yang diikat kain merah
bagaikan pita sebuah bingkisan itu. Ia maju dua tindak dan tak pedulikan
dua temannya yang sedang berusaha bangkit kembali. Mata orang itu makin
nanar, seakan mata itu sendiri ingin menelan Suto. Tetapi tatapan mata
nanar itu dibalas oleh Pendekar Mabuk dengan sorot pandangan mata yang
tenang dan damai. Senyum Pendekar Mabuk itu pun mekar tanpa kesan
permusuhan.

"Mengapa kalian menyerangku? Apakah aku punya urusan dengan kalian?
Padahal aku tidak kenal siapa kalian!" kata Suto tenang sekali.

"Jangan pura-pura bodoh di depanku, Cecunguk!" gertak orang berpakaian
hitam itu.
"Namaku Suto, bukan Cecunguk" sanggah Pendekar Mabuk.
"Persetan dengan namamu! Yang jelas kau adalah cecunguknya si keparat itu!"
"Si keparat siapa"
"Laksamana Cho Yung!" sentak orang berpakaian abu-abu.

Pendekar Mabuk melepaskan tawa pelan namun berkesan kegelian.
Dikibaskannya rambutnya yang meriap ke depan, lalu dengan tetap kalem ia
ucapkan kata,

"Aku malahan tidak tahu siapa itu Laksamana Cho Yung!"
"Terlalu banyak bicara dia, Ki!" kata si rompi hijau.
"Hantam saja dia!"
"Memang bangsat dia! Haiiit...!"

Wesss... ! Orang gundul itu cepat melompat dan menerjang Suto dengan
sebuah tendangan kaki besarnya. Lompatan itu cukup cepat, kakinya dalam
sekejap sudah sampai di depan mata Suto. Maka dengan cepat pula Suto
sedikit merendahkan badan dengan kaki merentang ke samping kanan-kiri,
lalu kedua tangannya bergerak cepat menyodok bagian kemaluan lawannya.
Begg...!

Tidak persis kena sasaran, tapi cukup membuat lawan tersentak ke atas
dan terjungkir balik di udara tanpa keseimbangan. Brukk...! Orang gundul
itu jatuh dalam posisi miring. Tangannya tertindih dan terasa ngilu di
pangkal lengannya. Sedangkan bagian dekat pangkal paha pun terasa
panas-panas sakit akibat sentakan kedua tangan Pendekar Mabuk yang
bertenaga tak begitu besar tadi. Orang itu mencoba berdiri dengan
mendekap kemaluannya, dan berjalan mendekati kedua temannya sambil
tertatih-tatih.

"Bunuh dia sekarang juga! Bunuh!" sentak si kepala gundul yang agaknya
menjadi pimpinan orang-orang berkuda itu.
Yang berpakaian abu-abu cepat mencabut tombaknya dari selipan pelana
kuda. Tombak itu berujung clurit tajam mengkilap. Sedangkan yang
bercelana hijau cepat mengambil senjatanya berupa cangkul kecil
bergagang sekitar tiga jengkal panjangnya.

Mereka segera berlari menyerang Pendekar Mabuk.

Tetapi jari tangan Pendekar Mabuk lebih cepat dari gerakan kedua orang
tersebut. Jari tangan itu bergerak menyentil dua kali ke arah depan.
Tebb... tebb...!

Sentilan itu tentu saja bukan sembarang sentilan. Suto Sinting mempunyai
jurus sentil jari yang dinamakan jurus 'Jari Guntur'. Sentilan 'Jari
Guntur' mengenai punggung tangan para pemegang senjata. Seketika itu
mereka berteriak kaget dan kesakitan.

"Aoow...!"
"Auh...!"

Tubuh mereka sendiri terpelanting ke belakang bagai ditendang kuda dari
arah dada kanan masing-masing. Badan yang melintir itu menabrak perut
kuda, bahkan ada yang jatuh persis di bawah kaki kuda. Hampir saja wajah
orang yang jatuh itu diinjak kaki belakang kuda kalau saja ia tidak
cepat berguling hindarkan diri dari gerakan kaki kuda yang melompat
sambil menyentak.

Melihat kedua temannya atau anak buahnya mudah dirubuhkan begitu saja,
si kepala gundul semakin marah. Maka, dengan cepat ia sentakkan kedua
tangannya ke depan. Pukulan tenaga dalam berkekuatan besar dihempaskan
ke arah Pendekar Mabuk. Wugggh...!

Suto terkejut, ia tak sempat menghindarkan diri hingga gelombang pukulan
itu menghantam tubuhnya, terasa bagai ditabrak tembok besar sekujur
tubuh Suto. Buggh...! Wuttt.!

Hampir saja Pendekar Mabuk terjungkal ke belakang akibat hempasan tenaga
besar tersebut. Untung ia cepat sigap dan walau terhempas ke belakang
dalam jarak lima langkah, namun ia bisa kuasai keseimbangan tubuh.
Bagaikan bersalto Pendekar Mabuk mendaratkan kakinya dengan sigap kembali.

Kedua orang yang tadi senjatanya terlepas dari tangan itu segera meraih
kembali senjata masing-masing. Mereka cepat berlari untuk menyerang Suto
dengan senjata tersebut. Namun, Suto Sinting lekas hentakkan
suaranya, "Tahan!"

Bentakan itu membuat kedua orang yang akan menyerangnya menjadi terhenti
seketika. Mereka bahkan mundur satu tindak dengan mata masih memandang
tajam pada Suto Sinting. Sedangkan orang botak di belakang mereka berseru,

"Serang dia! Bunuh sekarang juga!"

"Tahan!" bentak Suto lagi. Kedua orang itu lebih menurut dengan seruan
Suto ketimbang dengan seruan si gundul. Mereka tidak tahu bahwa Pendekar
Mabuk telah melepaskan jurus 'Sentak Bidadari' yang bisa bikin
keberanian orang surut dan menjadi penurut jika orang itu tidak berilmu
tinggi, itulah ilmu warisan dari bibi gurunya, Bidadari Jalang.

Si baju hitam berkepala gundul itu membatin, "Hebat juga si cecunguk
ini?! Kurasakan ada getaran tersendiri dalam batinku kala kudengar dua
kali sentakannya tadi! Sentakan itu agaknya mampu membuat keberanian
Cangkul Lahat dan Tayub Jali menjadi hilang atau berkurang! Agaknya aku
tak boleh sembrono berhadapan dengan dia!"

Kemudian, dengan suara masih bernada keras orang gundul itu berseru
kepada Tayub Jali dan Cangkul Lahat,

"Tayub Jali, mundur kau...! Biar kuhadapi sendiri bocah ingusan itu!"

Orang berpakaian abu-abu yang bersenjatakan tombak berujung clurit itu
segera mengundurkan diri. Tapi temannya masih tetap diam di tempat.

"Cangkul Lahat, mundur juga kau!" seru si kepala gundul.

Orang bersenjatakan cangkul kecil yang tajam itu pun segera mengundurkan
diri, tak jauh dari depan kudanya. Setelah itu, si kepala gundul maju
dua tindak dari tempatnya dan segera ucapkan kata kepada Pendekar Mabuk.

"Cukup lumayan permainanmu, Bocah Ingusan! Tapi jangan harap dengan
modal permainan itu kau bisa tundukkan aku si Pawang Jenazah yang tak
pernah kenal ampun kepada lawannya!" Ia tepuk dadanya sendiri,
sombongkan diri. Dari ucapannya itu Suto tahu bahwa si kepala botak itu
bernama Pawang Jenazah. Jelas itu hanya nama julukan saja. Siapa nama
aslinya, Pendekar Mabuk tak berminat untuk mengetahuinya. Suto hanya
berkata,

"Aku tak bermaksud menundukkan kamu, Pawang Jenazah! Aku hanya menahan
seranganmu dan mengembalikannya, karena aku bukan orang bersalah!"

"Kau memang tidak bersalah, tapi juraganmu itu manusia yang penuh dengan
kesalahan!"
"Aku tidak punya juragan! Aku juga tidak punya pimpinan!"

"Kau mau mengelak karena takut berhadapan denganku?! Kau mau pungkiri
diri dan mengaku bukan anak buahnya Laksamana Cho?!"

"Memang bukan! Kau salah sangka, Pawang Jenazah!"
"Mataku belum bolong, Cecunguk! Kulihat kau tadi berunding dengan
Perwira Loyang!"

"Aku tidak kenal dengan Perwira Loyang!" sanggah Pendekar Mabuk dengan
tetap kalem. "Kalau yang kau maksud Perwira Loyang adalah orang berkuda
yang tadi berada di sini bersamaku itu, berarti kau salah duga, Pawang
Jenazah! Aku bukan berunding atau berteman dengannya. Justru aku mencoba
bertahan diri dari serangannya! Aku sendiri tak tahu, mengapa dia
menyerangku dan menanyakan soal bayi?!"

"Omong kosong! Kau pandai berkilah dengan tujuan selamatkan diri dari
jurusku yang sebenarnya, Cecunguk!"

"Kalau hanya untuk menyelamatkan diri, tak perlu aku berkilah
menjelaskan duduk perkara sebenarnya, Pawang Jenazah! Sudah kubilang
tadi, apa susahnya menundukkanmu dalam sekejap, seperti orang menarik
uban dari kepalanya! Tapi bukan itu tujuanku bicara denganmu! Aku hanya
tak ingin di antara kita ada salah pengertian, Pawang Jenazah!"

Pawang Jenazah yang berusia sekitar lima puluh tahun itu melirikkan
matanya ke perempuan muda yang masih pingsan itu. Ia sedikit sipitkan
mata, dan segera melebar kembali, sepertinya ia baru sadar siapa
perempuan yang tergeletak pingsan itu.

"Bagaimana dengan gadis itu?!" tanyanya, kepada Suto, dan dahi Suto
semakin berkerut karena tidak jelas apa maksud pertanyaan itu.

"Apa yang kau tanyakan sebenarnya?"
"Bukankah kau bersama gadis itu?!"
"Ya. Dia kuselamatkan dari serangan para mayat yang bangkit dari kuburan!"

"O, jadi kau yang selamatkan dia?! Jahanam...!" geram Pawang Jenazah.
"Berarti kau sudah terlalu dalam turut campur dalam urusanku, Cecunguk
Busuk!"

Pawang Jenazah semakin tambah marah kelihatannya. Suto Sinting merasa
heran dengan kemarahan Pawang Jenazah. Tapi segera paham setelah Pawang
Jenazah ucapkan kata,

"Sia-sia kubangkitkan mayat-mayat itu jika hanya untuk membunuh
orang-orang Cho, tanpa bisa membunuh gadis itu pula! Lancang sekali kau,
Cecunguk! Mestinya gadis itu sudah mati diterkam habis oleh pasukan
mayatku!"

"Kasihan dia! Melihat mayat sebanyak itu saja sudah pingsan, apalagi
jika harus diterkam ramai-ramai oleh pasukan mayat! Pasti dia akan mati,
bukan hanya pingsan!"

"Memang itu yang kumau!" bentak Pawang Jenazah. "Sekarang serahkan
perempuan muda itu padaku!"
"Siapa perempuan itu, sehingga kau ingin membunuhnya?"

"Tak perlu tahu! Serahkan perempuan itu jika benar kau bukan anak
buahnya Laksamana Cho!" suaranya makih meninggi, menandakan kemarahannya
kian bertambah tinggi pula.

Pendekar Mabuk mempertimbangkan langkah sesaat. Jelas jika ia
menyerahkan gadis cantik yang amat lembut itu, sama saja ia membunuh
gadis itu. Tapi jika tidak, maka ia akan dianggap sebagai anak buah
Laksamana Cho Yung. Agaknya antara Pawang Jenazah dan Laksamana Cho Yung
telah terjadi perselisihan sengit yang membuat Pawang Jenazah harus
membunuh orang- orangnya Laksamana Cho Yung. Jika Pawang Jenazah mau
membunuh gadis bersumpit emas itu, berarti gadis tersebut adalah anak
buahnya Laksamana Cho Yung. Tapi gadis itu belum tentu bersalah.

"Pawang Jenazah, sebenarnya apa yang terjadi sehingga kau ingin membunuh
semua orang-orangnya Laksamana Cho?"

"Kau tak perlu tahu! Serahkan saja perempuan itu padaku dan cepatlah
minggat dari hadapanku! Jangan paksa aku bertarung denganmu seperti aku
menghadapi Laksamana Cho!"

"Aku harus tahu perkara yang sebenarnya, supaya aku tidak memihak ke
mana-mana! Setidaknya aku perlu pertimbangan supaya aku bisa tentukan
langkah, apakah aku harus serahkan perempuan itu kepadamu atau
kupertahankanl"

"Babi Burik!" umpat Pawang Jenazah. "Jangan sekali-kali kau punya niat
untuk selamatkan perempuan itu, jika kau masih ingin hidup lebih lama
lagi, Cecunguk! Sebaiknya cepatlah minggat dan tinggalkan perempuan itu!"

"Aku tidak bisa!" kata Pendekar Mabuk dengan tegas. "Sebelum kutahu
perkara yang sebenarnya antara kau dengan Laksamana Cho, aku tidak akan
tinggalkan gadis itu!"

"Persetan dengan tekadmu! Rupanya tak ada waktu lagi bagimu untuk
pertimbangkan langkah! Sebaiknya kulenyapkan juga kau, Cecunguk!"

Pawang Jenazah segera mengangkat tangannya dengan tenaga dikerahkan.
Tangan yang berada di depan dada kanan-kiri itu mulai bergetar. Agaknya
kali ini Pawang Jenazah tak mau main-main seperti tadi. Ia siap
melepaskan jurus-jurus mautnya yang mematikan lawan. Matanya pun sudah
mulai semburat merah bagai dibakar amukan amarah.

Suto tetap tenang, tapi penuh dengan kewaspadaan, ia sempat ucapkan kata
kepada lawannya,

"Jelaskan dulu persoalannya, supaya kalau toh aku mati, dapat mati
dengan mata terpejam!"
"Persetan mau terpejam atau mendelik matamu nanti! Yang jelas, terimalah
pukulan mautku ini! Hiaaah...!"

Wuttt... ! Cahaya merah melesat dari kedua telapak tangan Pawang
Jenazah. Cahaya itu berbentuk seperti uang logam yang menyala-nyala dan
bergerak cepat ke arah Suto Sinting.

Oleh Pendekar Mabuk cahaya itu dapat dihindari dengan satu sentakan kaki
secara pelan ke tanah dan tubuhnya terangkat melesat ke atas dan
berjungkir balik satu kali di udara. Cahaya merah itu akhirnya
menghantam pohon yang jauh di belakang Suto.

Duarr...! Duarr...!

Pohon itu pecah bagai disambar petir. Pawang Jenazah menggerakkan
tangannya dengan cepat, wut wut wut...! Dua jari tahu-tahu sudah ada di
dahinya. Dua jari yang ada di dahi itu disentakkan ke depan dan
melesatlah sinar merah kecil seperti ranting panjang yang menuju ke arah
tubuh gadis pingsan itu.

"Celaka! Dia mau menghancurkan gadis itu!" pikir Suto. Maka, dengan
cepat Suto lompatkan diri menghadang sinar merah itu di samping tubuh
gadis yang terbaring. Suto Sinting berguling sambil hadangkan bumbung
tuaknya. Sinar merah seperti ranting mengenai bumbung tuak, dan memantul
balik ke arah semula. Zrubbb...! Wusss...!

"Bangsat!" teriak Pawang Jenazah sambil melompat menghindari sinar merah
yang berubah menjadi lebih besar dan lebih cepat dari keadaan semula.
Dubb...! Blarrr...!

Ledakan itu amat mengejutkan. Seekor kuda milik Tayub Jali pecah
tubuhnya tanpa sempat memekik lagi. Sempalan tubuh kuda itu menghantam
ke kanan kiri, membuat Tayub Jali dan Cangkul Lahat terpental berlainan
arah dan berguling-guling dalam jarak delapan langkah dari tempat
berdirinya semula.

"Aku harus melarikan gadis itu, supaya tahu perkara sebenarnya!" pikir
Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ia menyambut tubuh pingsan itu, ia
panggul ke pundaknya dan cepat pergi bagaikan angin berhembus. Wuttt...!
Pawang Jenazah terbengong sekejap, tak percaya dengan sebuah gerakan
secepat yang dilihatnya.

***




3
KALAU saja Pawang Jenazah bisa melihat arah larinya Pendekar Mabuk dan
gadis itu, pasti ia akan mencegat dengan segala cara. Sayangnya, Pawang
Jenazah hanya melihat Suto berkelebat pergi. Wesss...! Begitu saja, dan
tak bisa dilacak ke mana arah perginya. Seandainya ia melakukan
pencegatan, harus ke arah mana ia mencegatnya?

"Ke mana orang itu tadi, Ki Pawang?" tanya Cangkul Lahat, ia baru saja
sadar dari terguling-gulingnya tadi. Tubuhnya bermandi darah kuda. Merah
sekujur tubuh Cangkul Lahat, demikian pula tubuh Tayub Jali.

Pawang Jenazah tidak menjawab pertanyaan itu, karena hatinya masih
berkecamuk,

"Sehebat itukah anak buah Laksamana Cho? Mudah- mudahan dia memang bukan
anak buah Laksamana Cho! Ilmunya cukup tinggi, itu terlihat dari caranya
pergi dari depanku. Dia jelas sulit dikalahkan, sekalipun aku mampu
menumbangkannya tapi harus dengan susah payah! Hmm... aku bisa kerahkan
pasukan mayatku untuk melumpuhkan orang itu! Tapi itu soal nanti! Mudah
saja! Sekarang yang penting aku harus temukan di mana kapal laksamana
bersandar! Akan kuhancurkan kapal itu, dan kuhancurkan pula si keparat
itu! Kalau perlu kujadikan dia bubur manusia yang pertama di jagad raya
ini! Hmm...!"

Lalu ia melompat dengan satu sentakan kaki ketanah, tubuhnya melayang
dan berjungkir balik ke belakang. Kejap berikutnya Pawang Jenazah sudah
bertengger diatas punggung kudanya.

"Kita susul teman-teman kita ke pantai! Kita susuri pantai sampai
kitatemukan kapal si keparat itu!" katanya kepada kedua anak buah
tersebut. Tayub Jali terpaksa berboncengan satu kuda dengan Cangkul
Lahat, karena kudanya telah pecah binasa tak berbentuk lagi.

Nun jauh di sisi sebelah sana, terdapat sebuah bangunan besar yang
keadaannya sudah sebagian hancur. Bangunan itu konon dulunya bekas
sebuah gedung perguruan silat aliran keluarga Sanjaya Laga. Keluarga
tersebut cukup kesohor pada masanya. Kabar- kabarnya jurus-jurus yang
dipakai dalam aliran silat Sanjaya Laga merupakan pengembangan dari
jurus-jurus 'Shaolin'.

Hampir seratus tahun lewat, keluarga Sanjaya Laga dikalahkan oleh
golongan hitam dari Tanah Tibet. Mereka berhasil menggempur habis
kekuatan keluarga Sanjaya Laga, menjagal semua penghuni gedung kuno itu
tanpa menguburkannya satu pun. Dan sejak itulah aliran silat Sanjaya
Laga punah dari permukaan bumi, tanpa ada penerusnya.

Sejak itu, gedung beratap tinggi itu menjadi saksi bisu yang tinggal
dalam kesunyian abadi. Temboknya menjadi hitam dan berlumut. Lantainya
sudah ditumbuhi oleh rumput liar. Atap depan rubuh ke bawah, menutup
jalan masuk gedung tersebut. Tapi melalui sisi samping ada lorong yang
menuju bagian belakang gedung tersebut. Bagian belakang itu sendiri
jarang terkena sinar matahari sehingga tempatnya menjadi lembab dan kotor.

Menurut kabar burung, gedung itu sering mengeluarkan suara aneh bila
malam hari. Seperti suara orang berlatih jurus-jurus silat, atau seperti
orang memekik kesakitan. Tak ada manusia yang mau lewat dekat-dekat situ
bila malam hari. Selain gedung itu gelap tanpa sinar, juga sering
menyebarkan bau bangkai membusuk. Orang-orang menamakannya sebagai Rumah
Busuk.

Tak jauh dari gedung itu ada sebuah perkampungan. Tetapi Pendekar Mabuk
tidak mau membawa gadis Cina yang masih pingsan itu ke perkampungan
tersebut. Sekalipun Suto yakin akan mendapat tumpangan untuk bermalam di
perkampungan tersebut, tapi ia memilih gedung kuno itu yang menjadi
tempat menyembunyikan si Sumpit Emas tersebut.

Di dalam gedung kuno itu, Suto merasa heran setelah menemukan sebuah
ruangan yang agaknya dulu bekas sebuah kamar. Kamar besar itu lain dari
ruangan- ruangan yang ada di Rumah Busuk tersebut.

Kamar besar itu berlantai bersih, berdinding putih, mempunyai empat
tempat pelita yang menempel di dinding. Juga terdapat selembar tikar
walau sudah rusak bagian tepinya. Kamar itu jelas ada yang merawat dan
menempatinya. Walau tanpa jendela atau lubang angin satu pun kecuali
pintu setinggi tiga tombak, tapi kamar itu tidak mengandung udara lembab
seperti kamar-kamar lainnya.

Gadis berpakaian merah jambu itu dibaringkan oleh Suto di atas tikar
tersebut. Hari sudah remang petang, sehingga Pendekar Mabuk terpaksa
menyalakan keempat pelita dengan bantuan ranting kering yang dibakar
oleh tenaga dalamnya dari ujung jari telunjuk. Ruangan itu menjadi
terang, tapi tetap tak bisa terlihat dari luar rumah cahaya terangnya itu.

"Siapa penghuni kamar ini?" pikir Pendekar Mabuk sambil melangkah
memeriksa seluruh ruangan Rumah Busuk itu. "Tak mungkin kamar itu bersih
dengan sendirinya jika tidak ada penghuninya! Pasti ada orang yang
bersembunyi di kamar itu, entah sudah berapa lama! Apa yang dilakukan
orang itu selama bersembunyi di rumah yang terkesan angker ini, tak bisa
kuterka. Tak ada tanda-tanda bekas makanan, berarti kamar itu tidak
digunakan untuk makan. Tak ada tanda-tanda bekas gempuran, berarti kamar
itu tidak dipakai untuk berlatih silat! Dan tak kucium bau wewangian,
berarti tempat itu tidak dipakai untuk bermesraan! Lalu, ke mana orang
yang menghuni kamar itu sekarang ini? Aku mau minta izin untuk
menempatinya beberapa saat!"

Berulang kali Suto mengelilingi Rumah Busuk itu untuk mencari seseorang
yang diduga menjadi penghuni kamar bersih itu, tapi ia tidak temukan
apa-apa, kecuali seekor ular yang dapat segera dihancurkan kepalanya
dengan pukulan jarak jauhnya. Pendekar Mabuk pun segera kembali masuk ke
kamar itu dengan harapan gadis tersebut sudah siuman. Tapi ternyata
gadis itu masih tetap terbujur bagai tidur nyenyak. Suto Sinting jadi
berpikir,

"Mengapa gadis itu pingsan begitu lama? Umumnya orang pingsan tak sampai
setengah hari sudah siuman! Tapi gadis ini sampai malam tiba masih saja
belum siuman! Apa penyebabnya sampai ia bisa pingsan lama begini?"

Pendekar Mabuk kembali meneguk tuaknya. Sempat ia berpikir ingin
semburkan tuak ke dalam mulut gadis itu supaya siuman, tapi kembali
hatinya bergemuruh jika memandang bibir perempuan itu, sehingga ia
batalkan niatnya itu. Bahkan untuk memandang si baju merah jambu terlalu
lama, Suto tak berani. Karena gemuruh dalam dadanya begitu kuat dan
makin lama memandang makin menyentak-nyentak, sehingga ia berpikir lebih
baik meninggalkan dulu gadis itu. Ia segera keluar rumah, memandang
kegelapan malam yang sepi dan sunyi, menikmati suara derik jangkrik di
kejauhan sana.

"Mungkinkah gadis itu terkena pukulan maut yang mematikan segala urat
kesadarannya?! Seingatku, dia masih tetap di dalam tandu pada saat
mayat-mayat itu menyerangnya. Belum sempat ia terjamah oleh mayat, aku
sudah lebih dulu menyelamatkan nya! Jadi, apa yang membuat dia pingsan
selama ini? Rasa kaget! Rasa takut melihat mayat bangkit? Atau karena
sesuatu hal yang belum kuketahui?"

Sambil bicara sendiri dalam hatinya, Suto Sinting meneguk tuaknya
sesekali. Alam yang dibungkus malam gelap itu sama sekali tak timbulkan
penglihatan apa pun. Nyamuk menyerang Suto. Nyamuk di situ besar-besar,
sehingga terasa menepak seekor lalat yang menclok di pL

"Bisa mati dikeroyok nyamuk kalau aku di luar rumah terus. Sebaiknya aku
ikut beristirahat sebentar di dalam kamar itu!" pikir Suto Sinting
sambil melangkah masuk melalui lorong kecil menuju bagian belakang
rumah. Tempat itu sedikit becek, namun punya bebatuan kering yang bisa
digunakan sebagai tempat berpijak.

Pintu kamar yang tetap dibiarkan terbuka itu membuat bias cahaya lampu
pelita menyorot ke luar. Dan karena pintu kamar terbuka, maka dari depan
pintu saja Pendekar Mabuk sudah bisa melihat keadaan di dalam kamar.

Langkah Suto Sinting terhenti dan matanya terkesiap dengan hati
terperanjat kaget. Tubuh gadis itu sudah tidak ada di atas tikar.

"Hilang...?!" gumam Suto dalam keheranannya, lalu cepat-cepat ia
melangkahkan kaki memasuki kamar itu. Tertegun sejenak ia memandang
tikar yang kosong.

Tiba-tiba punggungnya terasa ditabrak oleh benda besar dan keras.
Beggh...! Benda yang terasa menyentak punggung itu tidak mengenai
bumbung bambunya, sehingga tubuh Suto tiba-tiba saja terpental ke depan
dan terasa bagai dilemparkan oleh tenaga yang cukup besar. Pendekar
Mabuk terjungkal dan membentur dinding dekat tikar. Dugg...!

Buru-buru Pendekar Mabuk palingkan wajahnya ke arah pintu yang tadi
dipunggunginya. Ternyata di sana sudah berdiri gadis bergaun merah
jambu. Si Sumpit Emas memandang Suto Sinting penuh hasrat permusuhan.
Sikap berdirinya yang sedikit renggang kaki itu menampakkan bahwa
dirinya telah siap menyerang, atau diserang sewaktu-waktu.

Sedangkan Pendekar Mabuk saat itu diam terpana melihat kecantikan gadis
itu jika tidak dalam keadaan pingsan. Pelan-pelan ia bangkit dengan mata
tak berkedip. Tetapi, tiba-tiba gadis bersumpit emas itu kelebatkan
tangannya yang bergaun lengan panjang lebar itu, wuttt...! Gerakannya
seperti orang mengusir nyamuk di depannya. Lalu, terasa jelas ada
gelombang berkekuatan besar menghantam badan Suto. Buggh...!1

Suto sengaja tidak menangkis dan tidak menghindar, ia ingin tahu
kekuatan apa yang bisa dikeluarkan oleh gadis bersumpit emas di
rambutnya itu. Ternyata cukup besar. Suto sampai terhempas kuat-kuat
dalam keadaan terlempar membentur dinding lagi bagian lengannya.
Pandangan matanya sempat gelap sebentar saat menerima gelombang pukulan
yang dilepaskan gadis itu. Suto segera kejap-kejapkan mata dan kibaskan
kepala sebentar untuk membuang pandangan gelapnya itu.

Ketika ia memandang kembali ke arah pintu, ternyata gadis itu telah
melompat ke dinding, lalu dengan cekatan sekali ia berlari merayapi
dinding seperti seekor cecak. Plak plak plak plak! Dalam waktu singkat
sudah mendekati langit-langit kamar tersebut.

"Gila itu bocah!" gumam Pendekar Mabuk dalam hati sambil mendongakkan
kepala, memandangi tingkah gadis itu. "Rupanya dia punya ilmu cukup
lumayan! Di samping bisa merayap seperti seekor cecak, juga punya tenaga
dalam cukup besar! Jika orang kosong menerima pukulan tenaga dalamnya
tadi pasti sudah rontok bagian dalam dadanya. Tapi... mengapa dia
menyerangku begitu? Apakah dia belum tahu bahwa akulah yang
menyelamatkan jiwanya dari ancaman serangan mayat- mayat tadi siang di
kuburan?"

Mata bundar yang bening dari gadis itu memandang nanar pada Pendekar
Mabuk. Dari caranya memandang, Suto tahu gadis itu ketakutan dan tak mau
diserang. Ia berjaga diri dari ancaman maut yang disangkanya akan datang
dari tangan Pendekar Mabuk.

"Turunlah!" kata Suto tanpa suara membentak, melainkan kalem.

Gadis itu diam saja, masih berpaling memandangi Suto dengan keadaan
tangan dan kakinya menempel pada dinding. Melihat gadis itu diam saja,
Suto melangkahkan kaki, maju dua tindak dari tempat berdirinya, kemudian
berkata,

"Turunlah, aku mau bicara denganmu!"

Tapi tiba-tiba tubuh gadis itu bagaikan terbang, ia melesat ke arah
Pendekar Mabuk dengan sentakan kedua tangannya pada dinding, ia memekik
saat menyerang terbang,

"Hiaaat...!"

Sambil terbang, tangannya bergerak-gerak cepat memainkan jurus aneh yang
sulit diikuti pandangan mata Pendekar Mabuk. Agaknya jurus itu cukup
handal dan akan mencelakakan jiwa Pendekar Mabuk jika tidak segera
menghindar. Maka, Pendekar Mabuk pun cepat menghindar dengan cara
menggulingkan badan ke lantai dua kali. Wutt, wutt...!

Gerakan terbang cepat itu tak mengenai sasarannya. Akibatnya, tubuh yang
terbang itu membentur dinding yang tadinya dipunggungi oleh Suto
Sinting. Brukk...!

"Auh...!" gadis itu memekik karena tubuhnya bagai dihajarkan pada
dinding, ia jatuh setelah itu dan menyeringai kesakitan. Keningnya
diusap-usap karena terasa sakit diadu dengan dinding.

Pendekar Mabuk tertawa pelan melihat kejadian tersebut, ia dapat
membayangkan alangkah sakitnya tubuh yang menabrak dinding dengan
kecepatan lumayan keras itu. Suto Sinting sengaja tidak menolong gadis
itu selain menertawakan.

Mendengar suara tawa Suto, gadis bersumpit emas itu cepat-cepat menahan
diri untuk tidak meringis dan mengerang kesakitan, ia bahkan lekas
bangkit dan menghadap Suto dengan tangan terangkat siap melepaskan
pukulan tenaga dalam jarak jauhnya.

"Tunggu, tunggu...! Jangan serang aku!" Pendekar Mabuk menahannya dengan
terburu-buru, ia melangkahkan kaki mendekati gadis itu. Tapi gadis itu
nekat melepaskan pukulan dari tangan kanannya yang telah terangkat di
atas kepala itu.

"Kiaat...!"
Wusss... !
Buhgg...! Gubrak...!

Suto terjengkang ke belakang. Jatuh dengan telentang. Punggungnya
terganjal tabung tuak. Ia menyeringai menahan sakit, lalu dengan ayunan
pinggulnya ia melenting ke atas, bangkit dengan kaki menapak sigap di
lantai. Jlegg...!

"Jauhi aku, atau kubunuh kau!" ancam gadis itu.
"Keduanya tak ada yang kupilih! Aku hanya ingin jelaskan, bahwa aku
bukan musuhmu!"

"Omong kosong!" sentak gadis itu. "Kau pasti orangnya Pawang Jenazah!
Kau pasti salah satu dari mayat hidup yang menyerangku di dalam tandu!"

"Aha, kau salah duga, Nona Manis," jawab Suto Sinting sambil pamerkan
senyumnya yang menggoda. Tapi nona manis itu masih saja tampilkan wajah
cemberut.

Pendekar Mabuk melanjutkan kata, "Kau memang tadi siang diserang oleh
pasukan mayat di jalan depan kuburan itu. Tapi aku bukan salah satu
anggota dari pasukan tersebut!"

"Baumu busuk. Bau bangkai! Kau pasti sesosok mayat!"

Pendekar Mabuk tertawa masam, "Itu bukan bauku. Itu bau rumah ini, Nona
Manis! Kau tahu, sekarang kau kubawa ke Rumah Busuk ini, karena tak ada
pilihan lain untuk sembunyikan dirimu!"

"Bohong! Kau dustapadaku! Hiaaat...!"

Tangan gadis itu berkelebat dengan cepat bagai simpang-siur di depan
wajahnya, lalu tiba-tiba ia melayang dengan tubuh berputar. Kain gaunnya
sampai tampak mengembang indah. Tapi punggung telapak tangannya
menghantam dada Suto dengan gerakan cukup cepat.

Duggh... !

"Auh.„!" Suto terpekik karena menahan napas saat mendapat pukulan
tersebut, ia mundur dua tindak. Gadis itu berkelebat memutar lagi, lalu
tangannya yang kiri kembali menyodok ulu hati Suto memakai punggung
telapak tangan yang menguncup.

Dess... !

Suto menahan pukulan kedua dengan telapak tangan kanannya. Sambil
menahan pukulan, ia kerahkan sedikit tenaga dalamnya untuk mendorong
tangan lawan. Wuttt...! Gadis itu terpelanting dalam keadaan lari mundur
dan sempoyongan. Tubuhnya membentur dinding tak seberapa keras, tapi
membuat ia berhenti dari terpelantingnya.

"Hiaaat...!" kembali ia segera menyerang dengan gerakan cepat. Kali ini
dua jari tangannya melepaskan sinar kuning yang mengarah ke dada Suto
Sinting. Wesss... !

"Kalau kutangkis dengan bumbung tuak, bisa membalik mengenai dirinya!
Bahaya!" pikir Pendekar Mabuk, maka segera ia sentakkan kaki dan
melompat ke atas tanpa bergerak maju. Sinar kuning itu melesat lewat
bawah kaki Suto dan menembus dinding belakangnya. Bluss... !

"Edan! Dinding itu bolong tanpa semburkan debu sedikit pun?! Sakti juga
sebenarnya gadis ini?! Tapi mengapa dia tadi tidak keluar dari tandu dan
ikut menyerang mayat-mayat tersebut?" pikir Suto Sinting lagi setelah
melihat dinding jadi bolong tanpa timbulkan semburan debu sedikit pun.
Bolongnya dinding itu sebesar uang logam. Tepiannya berwarna hangus.

"Hiaaat...!" gadis itu kembali menyerang Pendekar Mabuk. Kali ini dengan
sebuah tendangan beruntun yang punya kecepatan cukup tinggi menurut
ukuran kecepatan tendang seorang berilmu sedang.

Tendangan beruntun ke arah wajah Pendekar Mabuk itu dihindari dengan
meliuk-liuk kepala beberapa kali. Tak satu pun tendangan beruntun yang
mampu mengenai wajah Suto. Tetapi dengan cepat bagaikan kelebatan anak
panah, jari tangan Pendekar Mabuk menotok mata kaki gadis itu. Takkk...!

"Aauuuh...!" gadis itu langsung mengerang panjang sambil
terbungkuk-bungkuk memegangi mata kakinya.

Pendekar Mabuk membiarkan gadis itu menahan sakit, ia jauhi gadis itu,
dan kini berada di sudut kamar kosong tanpa benda apa pun itu sambil
menenggak tuaknya.

"Jahanam kau!" geram gadis itu sambil tetap membungkuk pegangi mata
kakinya. Suto yang berdiri memandang gadis itu hanya tersenyum. Gadis
itu tampak makin menggeram, ia ingin melompat dan menyerang Suto, Tapi
ia tak mampu gerakkan tangan, kaki ataupun punggungnya yang tetap
membungkuk, ia telah tertotok dan menjadi tak bisa bergerak kecuali
kepalanya.

"Sudah kukatakan, aku bukan musuhmu!" kata Suto Sinting.
"Bebaskan aku jika kau bukan musuhku!" bentak gadis itu.
"Kau berjanji tak akan menyerangku lagi?'
"Itu tergantung keputusanku nanti!"

"Kalau begitu kau tidak akan kubebaskan! Dan, sepertinya aku sudah
kehabisan waktu! Aku harus pergi sekarang juga untuk suatu urusan!"

Pendekar Mabuk melangkahkan kakinya menuju ke pintu. Gadis itu memekik
dengan suara kecilnya,
"Hai, bebaskan aku dulu!"

"Permisi! Sampai jumpa lagi di lain waktu!" Pendekar Mabuk keluar dari
kamar itu, dan sang nona manis itu memekik keras,
"Bebaskan aku dulu! Jangan pergi kau, Gila!"

Sang nona manis mencoba gerakkan tubuhnya untuk melompat-lompat dalam
keadaan membungkuk pegangi mata kakinya. Tapi tubuhnya bagaikan terpaku
di lantai kamar itu. Ia berseru lebih keras lagi,

"Hai...! Gilaaa...! Jangan pergi! Jangan tinggal aku sendirian di tempat
ini! Gilaaa...! Gila! Kuremukkan kepalamu kalau kau tak mau kembali!
Haaai...! Kembali...!"

Suto sunggingkan senyum ketika mendengar teriakan gadis itu di luar
rumah. Suara kecilnya yang melengking bagai pisau tajam merobek sunyinya
malam. Segala sumpah serapah dan cacian terlontar karena kepanikan hati
sang nona manis. Dan Pendekar Mabuk itu semakin tertawa geli dengan
suara ditahan.

***





4
TIDAK setega itu Pendekar Mabuk terhadap gadis bersumpit emas.
Meninggalkan sendirian di Rumah Busuk merupakan tindakan yang tergolong
keji, karena sama saja menyiksa hati yang dicekam perasaan takut
terhadap hantu-hantu Rumah Busuk.

Tetapi agaknya gadis itu bukan seorang yang mudah menyerah. Setelah ia
dibebaskan totokannya oleh Pendekar Mabuk, ia kembali menyerang dengan
berbagai jurus, ia tetap mencurigai Suto sebagai komplotan Pawang Jenazah.

Sampai pada kejap berikutnya, Pendekar Mabuk berhasil menangkap tangan
gadis itu yang hendak memukulnya dari belakang. Tangan itu ditariknya
hingga tak sengaja gadis itu telah memeluk Pendekar Mabuk.

Suto sengaja menjebaknya begitu, sehingga gadis berkulit putih itu
menjadi merah wajahnya karena malu. Suto Sinting menertawakannya, si
gadis bertambah garang. Kemudian ia menyerang Pendekar Mabuk dengan
pukulan bercahaya kuning lagi. Tetapi cahaya kuning itu memantul balik
setelah ditangkis oleh Pendekar Mabuk menggunakan tabung tempat tuaknya.

Wuttt...!Wess...!

Gadis itu melompat dan bersalto di udara dua kali. Sinar kuning kembali
menembus dinding dan bolonglah dinding itu tanpa keluarkan debu sedikit
pun. Lebar bolongan dinding itu lebih besar dari lobang dinding yang
pertama. Dengan begitu, si gadis terbengong dan terheran-heran melihat
kenyataan di depan mata. Mau tak mau di dalam hati nona manis itu
mengakui kehebatan ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk. Apalagi kala itu
Suto pun berkata,

"Jangan serang aku lagi, Non! Karena ilmu yang kau serangkan padaku bisa
membunuh dirimu sendiri!"
"Apakah kau tak punya ilmu apa-apa, sehingga sejak tadi kau tidak
menyerangku?!" ucapnya dengan ketus.

"Tidak. Aku memang tidak punya ilmu apa-apa, tapi dapat membunuhmu
dengan mudah kalau kau memaksanya terus!"
"Bunuhlah!" sentak gadis itu. "Bunuhlah aku! Itu lebih baik daripada kau
biarkan aku tetap hidup!"
"Hidup itu indah, Nonal"
"Tidak! Hidup itu tidak ada indahnya sama sekali bagiku! Lekas, bunuhlah
aku! Bunuhlah sekarang juga!"

Gadis itu menangis, ia duduk bersandar dinding sambil menutup wajahnya
dengan kedua tangan. Tangisnya makin lama semakin tampak menjadi.
Agaknya gadis itu benar-benar menangis, dan bukan hanya berpura-pura
saja. Pendekar Mabuk jadi serba kikuk menghadapi gadis cantik yang
menangis terisak- isak begitu. Tak mengerti Suto harus berbuat bagaimana
meredakan tangis gadis itu.

Yang dapat dilakukan Pendekar Mabuk hanya menenggak tuaknya sendiri
beberapa teguk, kemudian berdiri di pintu memandang kegelapan, ia tunggu
suara tangis itu hingga mereda dan makin lama menjadi semakin hilang.
Setelah itu, Suto mendekat nona manis itu dengan hati-hati dan tak
berani menggodanya lagi.

Ada duka yang tersekap di hati nona manis itu. Suto tahu duka tersebut
sangat menekan batin dan menyiksa jiwa. Pendekar Mabuk semakin tertarik
untuk mengetahui duka yang tampak sangat menyiksa itu. Karenanya, ia
segera lontarkan kata dengan suara pelan dalam jarak berdiri empat
langkah di samping gadis itu,

"Jika ada orang lewat tak jauh dari rumah ini, ia akan lari
terbirit-birit karena menyangka mendengar suara tangis hantu dari Rumah
Busuk ini! Dan menurutku, sebuah tangis tanpa alasan adalah tangis orang
gila. Tapi aku yakin kau pasti punya alasan mengapa kau menangis sesedih
itu, Nona Manis?"

Ucapan itu bagai tak dilayani oleh si nona manis Ketika Suto tampak
makin mendekat, nona manis itu berdiri dan menjauh. Terdengar Suto
bicara bagaikan bicara pada diri sendiri,

"Sungguh bukan maksudku membawamu ke tempat ini dan bermaksud jahat
kepadamu! Yang kutahu, kau terjebak dalam tandu dari serbuan pasukan
mayat itu. Kupikir kau perlu mendapat pertolongan karena semua
pengawalmu mati dibantai oleh pasukan mayat tersebut. Maka aku pun
bertindak menyelamatkan kamu dari ancaman maut pasukan mayat kubur itu.
Di perjalanan, aku kebingungan membawa dirimu yang pingsan. Lalu datang
Perwira Loyang dan segera menyerangku! Ia menghendaki bayi, yang
menurutnya ada pada diriku!"
Gadis itu cepat palingkan pandang kepada Pendekar Mabuk, dan yang
dipandang pun makin tertarik untuk teruskan penuturannya.

"Aku tidak tahu bayi apa yang dicarinya! Aku juga heran, mengapa ia
menanyakan bayi dan tidak menyelamatkan kamu jika memang ia adalah
orang- orangmu! Lebih heran lagi melihat Perwira Loyang cepat tinggalkan
diriku setelah melihat rombongan Pawang Jenazah menuju ke arah kita!
Lalu, terpaksa pula aku berhadapan dengan Pawang Jenazah karena ia
sangka aku anak buah Laksamana Cho Yung! Bahkan ia ingin agar aku
menyerahkan dirimu untuk dibunuhnya, karena dia tahu kau orangnya
Laksamana Cho Yung. Maka, demi keselamatan jiwamu, aku segera melarikan
diri dari hadapan Pawang Jenazah dan sembunyikan kamu di sini!"

Gadis itu berdiri dengan pundak bersandar dinding, ia tampak merenung
karena sejak tadi yang dipandangi adalah lantai. Tapi Suto yakin apa
yang dibicarakannya itu meresap dalam benak gadis itu.

Kini Pendekar Mabuk mencoba untuk lebih mendekat lagi sambil berkata,

"Sampai di sini amanlah keadaan, tapi bingunglah pikiran. Kau
menyerangku, bahkan kau memintaku membunuhmu! Kau menangis dan tak mau
tahu siapa diriku sebenarnya. Sungguh ini merupakan pengalaman pahit
bagiku, menolong orang, justru diserang. Menghindari serangan, justru
diminta untuk membunuh! Sementara itu aku butuh keterangan darimu, siapa
Laksamana Cho Yung itu sebenarnya? Siapa dirimu sendiri sebenarnya?
Siapa bayi yang dimaksud Perwira Loyang itu? Ada masalah apa antara
Laksamana Cho Yung dengan Pawang Jenazah, sehingga kau pun ingin
dibunuhnya?! Jika kau orangnya Cho Yung, lantas mengapa Perwira Loyang
tidak mempedulikan dirimu yang terkapar pingsan tak jauh dariku? Dan...
semua itu merupakan teka-teki yang menuntut jawaban di dalam hati
kecilku. Bahkan aku sendiri tidak tahu siapa namamu, Nona manis!"

Gadis itu menarik napas dan penuhi rongga dadanya dengan udara. Kejap
berikut itu lepaskan napas itu bagai ingin melegakan sesuatu yang
mengganjal di dalam dadanya, ia lemparkan pandang matanya kepada Suto
beberapa saat lamanya, ia biarkan Pendekar Mabuk pun menatapnya dalam
jarak tiga langkah dari tempatnya berdiri, kemudian ia merasa ada
debaran kuat di dalam hatinya yang memaksa pandang matanya harus
dilempar jauh-jauh, tak berani terlalu lama menatap sorot mata pemuda
tampan yang menyandang bumbung tuak itu.

Kejap lanjutnya lagi, terdengar suaranya yang bening kecil dan berkesan
manja itu ucapkan kata,

"Namaku Bunga Bernyawa."

Sekalipun hanya pendek saja ucapan tersebut, namun cukup membuat
Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kelegaan. Bahkan Suto mengulang nama
itu dengan perasaan kagum.

"Bunga Bernyawa. Hmmm... indah sekali nama itu. Tapi aku yakin itu nama
julukan saja."
"Ya. Ayahku yang menjuluki aku dengan nama Bunga Bernyawa!"
"Siapa ayahmu?"
"Kaisar Siauw-ong!"
Terkesiap mata Pendekar Mabuk mendengarnya. Tertegun pula ia sejenak
sambil pandangi gadis yang juga menatapnya itu.
"Jadi kau putri seorang kaisar?"

"Benar. Laksamana Cho Yung adalah panglima laut yang memberontak kepada
kaisarnya, yaitu ayahku sendiri. Agar ia tidak dikejar-kejar oleh
tentara ayahku, ia menyandera aku sebagai jaminan keselamatannya, ia
bawa aku berkeliling tanah Jawa bertahun-tahun lamanya."

Bunga Bernyawa bagai mengenang masa lalunya sambil melangkahkan kaki
menjauhi Suto. Ia sekarang berada di pintu, memandang ke arah luar
sebentar dengan penuh curiga. Tapi kejap berikutnya ia sudah kembali
pandangi Pendekar Mabuk dengan tangan menopang pada dinding pintu.

"Laksamana Cho Yung bukan saja menjadikan aku sandera, namun juga
sebagai gundiknya! Kapan saja ia membutuhkan kehangatan tubuhku aku
harus siap melayaninya!"

"Mengapa kau tidak melawannya dengan ilmumu yang kurasa cukup tinggi
itu?" tanya Suto sambil tetap berdiri di tempatnya.

Bunga Bernyawa gelengkan kepala. "Tidak mudah mengalahkan Laksamana Cho
Yung. Dia berilmu tinggi, hampir setara dengan tingkat ilmu yang
dimiliki mendiang kakaknya, yaitu Dewa Maut, yang sudah lebih dulu dan
lebih lama berkelana di tanah Jawa ini! Dulu, bersama adiknya dan
kakaknya yang telah meninggal. Laksamana Cho Yung dikenal sebagai
Thian-San Sam- Sian di negeriku. Artinya, Tiga Dewa dari Gunung Tian-
San. Sejak mereka berpisah, Cho Yung masuk keprajuritan di negeriku, dan
diangkat sebagai laksamana yang bertugas menguasai lautan sebagai
panglima tempur laut. Jika ilmunya tidak tinggi, tentu saja ia tidak
diangkat sebagai panglima laut oleh kaisar."

"Lalu, ia memberontak kepada pemerintahan kaisar?"

"Ya. Dia bersama beberapa anak buahnya melarikan diri dari negeriku. Dan
akulah perisai ampuh baginya agar tidak diburu oleh tentara kaisar
lainnya, karena jika itu dilakukan maka ia akan membunuh aku kapan saja.
Ayahku sangat kebingungan dan sampai saat ini tak pernah lagi kudengar
bagaimana nasib negeriku."

"Mengapa kau tak coba melarikan diri? Mengapa kau mau saja jadi gundik
dan jadi budak nafsu Laksamana Cho Yung terus-terusan?"

"Tiga kali aku melarikan diri tapi selalu berhasil ditangkap kembali.
Laksamana Cho Yung mengancam akan membunuh aku jika sekali lagi aku
melarikan diri!"

"Dan kau takut untuk melarikan diri lagi karena ancaman itu?'
"Bukan ancaman itu yang membuatku takut, tapi soal lain."
"Soal lain apa?" desak Suto semakin ingin tahu.
"Soal kakakku."
"Apakah kakakmu juga dijadikan sandera oleh Laksamana Cho?"

"Memang tidak. Tapi jika aku tidak mati di tangannya, maka ia mengancam
akan kembali ke negeriku dan menculik si Daun Bernyanyi, kakakku itu.
Sedangkan aku tak mau kakakku ikut jadi korban kekejian Cho Yung.
Biarlah aku sendiri yang korban, tapi saudaraku yang lain jangan."

Saat Bunga Bernyawa berkata begitu, tampak ada genangan air yang mulai
menggenang di matanya. Genangan air itu membuat hati Pendekar Mabuk
tersentuh iba, lalu cepat memaklumi keadaan Bunga Bernyawa. Suto pun
segera mengalihkan percakapan itu,

"Bagaimana dengan bayi yang dicari oleh Perwira Loyang itu?"

Bunga Bernyawa tarik napas lagi dalam-dalam, kemudian melangkah
mendekati Suto dan bersikap tegap berdiri di depan Suto dengan kaki
sedikit renggang. Seolah-olah begitu mendengar soal bayi, ia ingin
tunjukkan diri di depan Suto bahwa ia perempuan yang tegar dan tak mau
menangis lagi.

"Aku mendapat tugas untuk mencuri bayi."
"Bayi siapa?"

"Bayi seorang perempuan bernama Mayang Suri! Cho Yung tugaskan aku
mencuri bayi itu dengan berpura-pura menjadi tabib, karena bayi itu
dalam keadaan sedang sakit saat ini. Tapi setelah kulihat lucunya bayi
itu, tampannya wajah bayi itu, aku tak tega melakukan penipuan terhadap
ibu si bayi. Aku tak sampai hati menculik bayi itu!"

Suto kerutkan dahi saat ajukan tanya, "Untuk apa Laksamana Cho Yung
menyuruhmu mencuri bayi?"

"Bayi itu adalah anak dari Dewa Maut. Dan menurut kepercayaan yang
diterima Cho Yung dari seorang peramal sakti, Dewa Maut adalah lelaki
mandul yang tak bisa punya keturunan. Apabila suatu saat Dewa Maut bisa
punya keturunan, maka ia akan mati dan semua ilmunya pindah ke diri bayi
itu. Laksamana Cho Yung ingin memiliki semua ilmu mendiang kakaknya itu.
Menurut keterangan seorang sakti yang ditemuinya, ia dapat memiliki
semua ilmu milik mendiang kakaknya itu dengan cara memakan jantung dan
hati bayi tersebut. Karenanya ia perintahkan aku untuk mencuri bayi itu
dengan mengaku sebagai tabib. Dia akan memakan jantung dan hati bayi itu
untuk menambah kekuatan ilmu yang sudah dimilikinya! Pada dasarnya,
Laksamana Cho Yung tidak rela jika ilmu yang dimiliki mendiang kakaknya
jatuh ke tangan orang lain. Karena ia percaya betul, bocah bayi itu bisa
mengalahkan ilmu yang dimiliki Laksamana Cho Yung, jika usianya sudah
mencapai sekitar delapan tahun. Sekarang bayi itu baru berusia tiga
bulan! Ia tinggal bersama ibunya di lereng gunung."

Terdengar gumam kecil dari mulut Pendekar Mabuk yang terkatup sejak
mendengarkan penjelasan itu. Kemudian Pendekar Mabuk mengangkat bumbung
tuaknya dan meneguk tuak beberapa kali. Saat itu terdengar Bunga
Bernyawa melanjutkah kata-kata,

"Aku tak tega untuk menculik bayi itu, karenanya aku pulang bersama
rombongan. Aku ingin ajukan alasan lain agar bukan aku yang ditugaskan
menculik bayi tersebut. Tapi di tengah jalan, rombonganku diserang oleh
orang-orang berkuda. Aku tertotok dari jarak jauh dan lumpuh sekujur
tubuhku. Namun orang-orang berkuda itu bisa dibuat lari oleh anak buahku
atau orang- orang yang ditugaskan mengawalku itu. Tapi mereka tak bisa
melepaskan totokan yang membuatku lumpuh di dalam tandu. Sampai suatu
saat kami melewati jalan dekat kuburan, dan mayat-mayat itu bangkit
menyerang kami dengan liar. Aku masih bisa melihat pengawalku jatuh
tunggang-langgang tak bernyawa lagi karena serangan mayat-mayat ganas
itu. Tetapi tiba-tiba kepalaku terasa membentur sebuah bambu atau benda
keras, yang membuat aku tak sadarkan diri dan tahu-tahu sudah ada di
sini!"

Pendekar Mabuk manggut-manggut, lalu sunggingkan senyum kecil. Ternyata
Bunga Bernyawa pingsan akibat terbentur gerakan cepat Suto saat
menerabas masuk ke dalam tandu. Ujung bambu tuaknya membentur kepala
Bunga Bernyawa dan membuatnya pingsan, namun membuat totokan itu
terbebaskan. Pantas jika Bunga Bernyawa pingsan begitu lama, karena ia
terkena benturan benda keramat yang punya kekuatan gaib dari bumbung
tuak itu.

"Sekarang aku bingung, tak tahu harus berbuat apa," ujar Bunga Bernyawa
seperti bicara pada dirinya sendiri, ia tundukkan kepala dengan raut
wajah sendu.

Katanya lagi, "Kalau aku harus pulang kepada Laksamana Cho Yung, jelas
dia akan marah besar padaku. Apalagi kau telah melawan Perwira Loyang
dan itu akan membuatnya makin marah. Dia amat cemburu dan tak suka
tubuhku disentuh oleh lelaki lain. Bisa jadi aku pulang kepadanya hanya
untuk dipancung leherku karena sudah dianggap perempuan yang
menjijikkan. Jika aku harus pulang ke negeriku, aku tak punya kapal.
Jika aku harus menetap di tanah Jawa, aku tak punya sanak saudara di
sini! Jadi, menurutku ada baiknya jika aku mati saja! Dibunuh orang atau
dimakan binatang hutan yang ganas, itu lebih baik daripada aku harus
membunuh diriku sendiri."

"Masih banyak jalan lain yang bisa kau tempuh," kata Suto menenangkan
hati Bunga Bernyawa. "Selain kamu, ada aku di sini!"

Bunga Bernyawa alihkan pandang menatap sorot mata Pendekat Mabuk. Ada
kebeningan di mata Pendekar Mabuk itu yang terasa menyejukkan hati dan
membuat debar-debar aneh yang menggelisahkan. Sekali pun kegelisahan itu
menggoda jiwa, namun punya keindahan yang hanya bisa dirasakan oleh
Bunga Bernyawa sendiri. Sukar sekali Bunga Bernyawa hindari debaran
indah itu, sampai akhirnya ia berkata tanpa sadar,

"Aku perempuan yang sudah kotor. Tak pantas didampingi pria tampan
berbudi baik seperti dirimu."

"Aku mendampingi kamu hanya untuk selamatkan jiwamu!" jawab Pendekar
Mabuk sambil mendekati wajah Bunga Bernyawa. Pelan-pelan kepala Bunga
Bernyawa tertunduk, pelan-pelan juga tangan Suto menyentuh dagu Bunga
Bernyawa dan ditengadahkan. Kini mata mereka kembali saling pandang
dengan lembut.

"Aku tahu kau bukan penjahat," kata Suto pelan sekali. "Aku tahu kau
putri seorang kaisar yang tersesat di tanah Jawa ini. Kau terancam
bahaya, baik dari Laksamana Cho Yung maupun dari Pawang Jenazah.
Persoalannya dengan Laksamana Cho Yung sudah jelas kutahu, tapi
persoalan dengan Pawang Jenazah belum kutahu. Mengapa dia bernafsu
sekali untuk membunuhmu atau membunuh Laksamana Cho?"

"Laksamana Cho Yung telah membunuh istri Pawang Jenazah dan kedua
anaknya! Pawang Jenazah menuntut kematian istri dan anaknya dengan tekad
membantai habis semua orang-orangnya Laksamana Cho Yung. Siapa yang
berada di pihak Laksamana Cho Yung, berarti menjadi lawannya. Dia sangka
aku adalah orangnya Laksamana Cho, karena itu dia berkeras hati untuk
bisa membunuh aku juga. Apalagi kulitku putih, mataku kecil, wajahku
serumpun dengan wajah Laksamana Cho Yung. Ia makin benci melihat wajahku."

"O, ya! Aku paham sekarang," kata Suto masih dengan lembut seperti orang
bicara soal cinta dari hati ke hati. Lanjutnya lagi, "Sekarang yang
belum kupahami, bagaimana kau bisa siuman dari pingsan lamamu?'

"Seseorang telah menendangku," jawab Bunga Bernyawa.
"Aku tidak menendangmu tadi."
"Tapi kurasakan pinggangku ditendang perlahan dan membuatku kaget, lalu
melompat bangun!"

"Aneh," ucap Pendekar Mabuk dalam desah lembut. "Kuperiksa sekeliling
rumah ini tak ada manusia lain kecuali kita berdua!"

"Bagaimana dengan manusia berjubah putih tadi?"
Suto makin kerutkan dahi. "Si jubah putih yang mana?"
"Yang berkelebat keluar dari kamar ini sebelum kau masuk tadi!"

Terbungkam mulut Suto Sinting. Bingung ia menjawabnya. Lalu, cepat ia
pergi memeriksa seluruh ruangan Rumah Busuk itu sampai pada bagian
luarnya. Tapi tetap saja tak ia temukan manusia berjubah putih seperti
yang dilihat Bunga Bernyawa saat baru siuman tadi.

"Bunga, aku tak temukan siapa pun di sini! Tak ada manusia berjubah
putih seperti yang kau katakan tadi!" kata Pendekar Mabuk setelah
kembali ke kamar bersih itu.

Bunga Bernyawa sendiri jadi kerutkan dahi dan merasa heran, ia mulai
melirik penuh kecemasan dan ketegangan batin.

"Kurasa arwah tokoh sakti yang pernah menempati rumah ini bermaksud
menolongku. Dia pasti arwah tokoh beraliran putih!' kata Bunga Bernyawa
dalam hatinya. Suto buru-buru berkata alihkan pikiran Bunga Bernyawa
agar tak merasa takut.

"Kau masih ingat jalan menuju rumah bayi itu?"
"Masih. Apa maksudmu?"

"Kita ungsikan bayi itu bersama ibunya! Kita sembunyikan mereka sebelum
orang-orangnya Laksamana Cho Yung lebih dulu menculik sang bayi!"

"Itu berarti kau akan berurusan dengan Laksamana Cho Yung!"

"Lebih baik aku berurusan dengan Laksamana Cho Yung daripada membiarkan
bayi itu mati dibunuh pikiran sesat, dan daripada aku biarkan kau
dipancung oleh manusia keji itu!" kata Suto yang membuat hati Bunga
Bernyawa menjadi kian berdebar indah. Tapi ia pandai menutupi
perasaannya itu.

"Jika kau punya tekad begitu, aku akan bawa kau kepada Mayang Suri dan
bayinya! kata Bunga Bernyawa.

"Baiklah. Itu kita lakukan besok saja. Malam ini kau harus beristirahat.
Tidurlah dengan nyenyak dan aku akan menj agamu!"

Bunga Bernyawa sunggingkan senyum manisnya. Jantung Suto menjadi
berdetak kencang. Resah menjerat jiwa saat Bunga Bernyawa ucapkan kata,

"Sayang sekali tak selamanya kau mau menjaga hatiku. O, ya... siapa
namamu, Pendekar tampan?"
"Suto...!"

"Oh, nama sederhana yang mudah diingat namun juga mudah dilupakan. Aku
tak tahu harus pilih yang mana, mengingat atau melupakan?"

"Kusarankan untuk memilih melupakan saja! Biar hatimu tidak gelisah
seperti malam ini!"

Semburat merah wajah cantik itu. Seperti pencuri yang ketahuan sedang
sembunyikan barang curiannya di balik baju. Bunga Bernyawa malu karena
Pendekar Mabuk mengetahui kegelisahannya, tapi ia bersikap tetap
sembunyi rasa.

Esoknya mereka terbangun kaget. Pertama-tama Suto yang terkejut, karena
ia sadar bahwa dirinya telah tertidur dalam keadaan duduk bersandar
dinding. Kedua ia terkejut karena melihat keadaan kamar seperti hutan
belukar.

Kamar yang bersih dan terang tanpa benda apa pun kecuali tikar dan
pelita, ternyata pagi itu sudah berubah menjadi kamar yang dipenuhi oleh
rumput liar. Kotor dan lembab seperti halnya kamar-kamar lain di Rumah
Busuk itu. Dan di situ, bau busuk masih samar-samar menjadi satu dengan
bau tanah lembab pada lantainya.

"Bunga, bangun!" sentak Suto sengaja keras dan membuat gadis yang tidur
di rerumputan itu terlonjak kaget, ia cepat bangkit dengan memainkan
jurus sekejap.

Setelah mengetahui dirinya berada di tengah rimbun ilalang, Bunga
Bernyawa mulai kendurkan kuda- kudanya, ia menjadi kebingungan sendiri
melihat kamar sudah berubah menjadi hutan belukar. Hanya ada sinar kecil
dari atap yang bocor. Sinar itu adalah sinar matahari yang menerobos
masuk ke dalam kamar berdinding lumut.

"Suto, mengapa keadaan kamar menjadi seperti ini?"
"Entahlah! Aku sendiri sejak tadi sedang pikirkan jawabannya."

"Jika begitu, semalam kita sudah berada di dalam kamar misterius, Suto!
Kamar itu seakan disediakan untuk bermalam kita dan hanya satu malam,
tak boleh lebih dari satu malam."

"Siapa yang menyediakan kamar sebersih tadi malam untuk kita. Rumah
Busuk ini sudah tidak berpenghuni puluhan tahun lamanya. Keluarga
Sanjaya Laga sudah terbantai habis oleh musuhnya."

"Mungkinkah orang berjubah putih yang menyiapkan kamar bersih itu untuk
kita?"
"Seandainya benar dia, lantas siapa dia dan di mana dia sekarang?"

Bunga Bernyawa angkat bahu tanda tak bisa menjawab. Tapi ia katakan
pula, "Roh penghuni rumah ini melihat ketulusan hatimu dalam menolongku,
maka ia membantu kamu dengan memberikan tumpangan di kamar ini!"

"Aku tak yakin. Tapi... sudahlah, lupakan soal kamar ini! Ayo kita lekas
tinggalkan rumah ini dan pergi ke rumah Mayang Suri!"
* * *




5
ORANG berambut kepang satu panjang itu mengenakan topi persegi khas topi
perwira pasukan Cina. Orang itu berkumis hitam, melengkung ke bawah
bagai ingin memagari bibirnya. Jenggotnya pendek dan tipis. Usianya
sekitar lima puluh tahun. Pakaiannya dari bahan sejenis satin berkilap
warna biru muda dengan celana putih. Baju birunya itu berlengan panjang
dengan lis merah mengkilap juga. Baju itu dirangkap dengan jubah tanpa
lengan warna merah darah berhias sulaman benang emas bergambar naga
bersayap.

Siapa lagi orang berwajah keji dan berkesan galak itu jika bukan
Laksamana Cho Yung, raja di atas kapal bertiang layar tiga itu. Matanya
yang sipit itu memandang tajam kepada dua orang di hadapannya yang
tundukan kepala dengan rasa takut dan hormat. Kedua orang itu adalah
Perwira Loyang dan Jowala, si baju kuning yang saat bertemu dengan Suto
tak mau turun dari punggung kuda.

"Memalukan sekali! Seorang perwira kapal semegah ini tak becus
mengalahkan bocah ingusan seperti itu! Percuma kuangkat kau sebagai
perwira di sini, tahu?!"

Plokk... !

Wajah lonjong bermata cekung itu hampir terlempar jauh karena tamparan
kuat dari tangan Laksamana Cho Yung. Perwira Loyang kembali tundukkan
kepala dengan menahan rasa panas pada pipinya.

"Lalu bagaimana dengan Bunga Bernyawa?!" sentak Laksamana Cho Yung dalam
nada tanya.

Perwira Loyang menjawab, "Bunga Bernyawa terkapar pingsan, Tuan Laksamana!"
"Mengapa tak kau bawa pulang perempuan itu?"

Agak menggeragap Perwira Loyang menjawab, "Hmm... eh... anu... saya
pikir, tugas saya hanya membawa pulang bayi Mayang Suri, bukan membawa
pulang Nona Bunga Bernyawa, Tuan Laksamana!"

"Bodoh amat kau ini, hah?!"
Plokk... !

Kembali tamparan keras diterima Perwira Loyang pada pipi yang sama.
Wajah kempotnya terasa mau lepas dari kepala. Perwira Loyang hanya
kedip-kedipkan mata menahan rasa sakit di wajahnya. Jowala melirik
sebentar, lalu tak berani melirik lagi karena Perwira Loyang juga
meliriknya dengan rasa geram.

"Jadi Bunga Bernyawa bersama pemuda itu?"
"Betul, Tuan Laksamana!"
"Apa yang dilakukan pemuda itu terhadap Bunga?"
"Saya tidak tahu, Tuan Laksamana!"
Plokk... !

"Bodoh kau! Seharusnya kau tahu, apakah pemuda itu menyentuh tubuh Bunga
Bernyawa, atau dipeluknya, atau diciuminya atau bahkan diajak tidur!"

"Disentuhnya, saya lihat, Tuan Laksamana!"
"Dan kau diam saja?!"
"Saya... saya... saya menanyakan bayi itu lalu..."

Plokk... !

Pipi yang sama yang mendapat tamparan keras. Perwira Loyang sampai
merasakan sesak napas tua-nya. Wajahnya terasa dibakar dengan nyala api
yang sangat panas. Tapi lagi-lagi yang bisa dilakukannya hanya tunduk
kepala dan tak berani menatap mata Laksamana Cho Yung yang berbadan agak
gemuk itu.

"Dengar, Perwira Loyang...!" kata Laksamana Cho Yung menahan rasa panas
di dadanya akibat cemburu mendengar Bunga Bernyawa disentuh-sentuh oleh
lelaki lain. Lalu, lanjutnya dalam suara geram yang tegas,

"Kuperintahkan padamu, curi bayi itu dari Mayang Suri, lenyapkan Bunga
Bernyawa, dan bunuh pemuda itu! Penggal kepalanya lalu bawa kemari
kepala bocah ingusanitu! Mengerti?!"

"Mengerti, Tuan Laksamana!"

"Jika kau pulang tanpa membawa bayi Mayang Suri dan kepala anak muda
itu, kuperintahkan agar kau menggantung dirimu sendiri di depan kapalku
ini! Jelas?!"

"Jelas, Tuan Laksamana?!"
"Bawa beberapa orang untuk berjaga-jaga jika kalian kepergok Pawang
Jenazah, habisi mereka sekalian! Jangan sisakan satu pun!"

"Baik, Tuan Laksamana!"
"Jalan!"

Plokkk... !

Satu tamparan sebagai ucapan selamat jalan diterima oleh Perwira Loyang.
Tamparan keras itu juga sebagai ucapan selamat berjuang dan tunaikan
tugas. Setiap kali akhir perintahnya, laksamana selalu memberikan
tamparan keras kepada orang-orangnya. Karena itu, Perwira Loyang
menganggap tamparan tersebut adalah belaian kasih sayang seorang atasan
kepada bawahannya.

Mungkinkah hal itu membuat Jowala merasa iri? Tidak. Jowala tidak merasa
iri. Baginya, lebih baik ia tidak mendapat belaian kasih sayang dari
Laksamana Cho Yung, ketimbang harus tebal wajahnya karena sering dipakai
bahan tamparan si orang bertangan besar itu. Lebih baik tak perlu
mendapat ucapan selamat jalan atau selamat berjuang, daripada giginya
rontok lagi seperti tempo hari, Ketika Jowala mendapat ucapan selamat
jalan dari sang laksamana.

Tugas mencuri bayi sekarang ada di tangan Perwira Loyang. Hanya
orang-orang terpilih dan dipercaya yang mendapat tugas penting seperti
itu, sehingga walaupun kulit pipinya memar merah, tapi Perwira Loyang
merasa bangga dalam hatinya karena dipercaya mengemban tugas penting itu.

Ia membawa sepuluh orang berkuda. Tapi yang terpilih akhirnya hanya tiga
orang termasuk Jowala sendiri, sisanya ditinggalkan karena kurang bisa
menunggang kuda. Mereka melaju menyusuri pantai menuju kaki bukit di
mana ada desa yang menjadi tempat tinggal bayi anak mendiang Dewa Maut
itu.

Empat orang berkuda itu tiba-tiba menghentikan langkah kuda
masing-masing ketika dilihatnya dari arah depan muncul lima orang
berkuda. Lima orang itu adalah anak buah Pawang Jenazah yang memisahkan
diri sejak Pawang Jenazah menemui Suto dan Bunga Bernyawa yang pingsan
hari kemarin.

"Jowala, kau hadapi kelima orang itu bersama Rompa dan Gandra!"
"Itu soal mudah, Perwira Loyang! Asal jangan ada Pawang Jenazah!"
"O, jadi kau takut kepada Pawang Jenazah?"

"Bukan takut, tapi jijik! Aku tak bisa menyentuh kulit orang yang
hidupnya bergaul akrab dengan mayat-mayat hidup itu! Jijik sekali!"

"Sudah jangan banyak dalih! Hadapi mereka dan habisi sekarang juga!"
bentak Perwira Loyang dengan galak, ia memang selalu tampil galak jika
di belakang Laksamana Cho Yung. Tapi jika ada di depan Laksamana Cho
Yung, kegalakannya itu bagai lenyap tanpa bekas.

Sengaja Perwira Loyang mencari tempat teduh. Semilir angin dinikmatinya
dengan santai sekali. Sementara matanya sesekali memandang ke arah kira-
kira sepuluh tombak lebih, di mana terjadi pertarungan antara ketiga
anak buahnya melawan lima orang anak buah Pawang Jenazah. Sesekali
Perwira Loyang melepaskan tawa terkekeh-kekeh melihat lawannya dibuat
berjungkir balik oleh Jowala atau Rompa.

Pedang dan golok anak buah Perwira Loyang berkelebat cepat dan memenggal
beberapa kepala lawan. Yang sudah terlihat jelas menggelinding adalah
dua kepala lawan. Kepala itu terpental saat dipenggal oleh pedang Gadra,
menggelinding bagaikan bola dan berhenti tak jauh dari tempat Perwira
Loyang yang tetap berada di atas punggung kuda.

"He he he he...! Kalau saja Pawang Jenazah melihat kepala itu, pasti dia
akan lari terkencing-kencing menghindari seranganku! Dia belum pernah
melihat kalau aku dan anak buahku sudah mengamuk, gunung pun tak mampu
membendung amukan kami!" kata Perwira Loyang, bicara sendiri seperti
orang gila.

"Ah, sayang sekali pedangku tak sempat kuambil! Pedang itu masih
tertancap di pohon ketika aku menyerang anak muda itu! Brengsek! Siapa
anak muda itu sebenarnya? Gatal tanganku ingin segera melawannya."

Derap kaki kuda mendekati Perwira Loyang. Tiga anak buahnya telah
merampungkan tugas dengan cepat. Kelima orangnya Pawang Jenazah telah
tak bernyawa semua.

"Perwira Loyang, keadaan sudah aman!"
"Mati semua?"
"Mati semua, Perwira!"
"Bagus! Mari kita lanjutkan langkah kita!"
"Arah mana yang lebih dulu kita tuju, Perwira?" tanya Gadra.
"Desa Karang Tunda! Kita curi bayi si Mayang Suri itu!" jawab Perwira
Loyang. Jowala menyahut.
"Mengapa kita tidak cari pemuda yang membawa lari Nona Bunga Bernyawa dulu?'
"Kita tak tahu tempatnya secara pasti, Jowala!"

"Tapi Nona Bunga harus cepat diselamatkan dari tangan pemuda itu,
sebelum pemuda itu sempat meniduri Nona Bunga, Perwira!"

"Kurasa hari ini pemuda itu sudah berhasil tiduri Nona Bunga!"
"Ya. Tapi mungkin baru satu atau dua kali!"
"Ah, lupakan dulu soal Bunga Bernyawa!" kata Perwira Loyang.

"Lebih baik kita pusatkan perhatian kita pada Desa Karang Tunda. Soal
perempuan itu, soal kecil. Toh kita ditugaskan membunuh perempuan itu
jika ketemu!"

"Justru itu sebelum kita bunuh kita manfaatkan dulu untuk menikmati
kehangatan tubuhnya," kata Jowala. "Sudah lama aku sering mengincarnya,
aku sangat berselera padanya. Tapi aku tak berani berbuat apa-apa karena
dia masih jadi gundiknya Laksamana Cho Yung! Sekarang dia sudah seperti
dibuang oleh laksamana. Rasa-rasanya sangat bodoh jika aku tak
manfaatkan kesempatan emas ini untuk melampiaskan impianku selama ini,
Perwira! Tidakkah kau sendiri punya gairah untuk menikmati kehangatan
dan keindahan tubuh Nona Bunga, Perwira?"

"Aku sudah tak pernah punya gairah lagi kepada perempuan!"
"Ha ha ha ha...!" tawa Jowala yang segera diikuti oleh tawa Gadra dan Rompa.
Tapi tiba-tiba tawa Rompa terhenti dengan satu sentakan suara tertahan.
"Huhhg...!"

Tubuh Rompa segera limbung dan jatuh terjungkal dari atas kuda.
Cepat-cepat semua temannya memandang sekeliling, karena mereka melihat
sekelebat pisau melayang dan menancap di dada kiri Rompa, tepat di
bagian j antungnya.

Mereka sudah berada di hutan, sehingga mereka segera menyusuri tiap
pohon yang ada di sekelilingnya. Mereka juga pandangi bagian atas pohon
untuk mencari penyerang gelap. Tapi sampai beberapa lama mereka tidak
temukan di mana letak persembunyian penyerang gelap itu.

"Bangsat...! Keluar kau!" teriak Perwira Loyang dengan mata galaknya
mulai menjadi liar dan buas. Gadra memeriksa mayat Rompa dan segera
berkata,

"Rompa mati, Perwira!"
Plokk... !

Tangan Perwira Loyang menampar keras mulut Gadra hingga orang itu
mengerang kesakitan. Dengan geram Perwira Loyang ucapkan kata,

"Jangan anggap aku orang bodoh, tahu?! Tanpa kau katakan begitu, aku
sudah tahu kalau Rompa mati! Yang penting bukan mencari nyawa Rompa,
tapi cari penyerang gelapnya!'

Gadra segera melesat pergi untuk mencari penyerang gelap, ia menerabas
tiap semak-belukar untuk membuktikan kepada Perwira Loyang bahwa ia
telah melakukan tugas mencari penyerang gelap itu. Jowala sendiri juga
melesat pergi berpencar, mencari ke arah lain. Kini tinggal Perwira
Loyang sendirian di dekat kuda-kuda yang mereka tambatkan secara
asal-asalan itu.

"Di mana orang itu kira-kira?" pikir Perwira Loyang, "Tak mungkin pisau
itu melayang sendiri tanpa ada yang melemparkannya! Hmm... sepi sekali
hutan ini! Suara binatang pun tak kudengar sejak tadi. Jangan-jangan
hutan ini angker?!"

Sambil berkata begitu bulu kuduk Perwira Loyang berdiri. Matanya
jelalatan ke mana-mana dengan tegang. Gerakannya lebih sering merapat
dekat kudanya. Di tengah sepinya suasana hutan itu, tiba-tiba terdengar
suara jerit yang menggema,

"Aaaa...!"

Hati Perwira Loyang tersentak kaget. Jerit itu berasal dari tempat
perginya Gadra. Perwira Loyang bergumam lirih,

"Suara Gadra itu tadi! Ada apa dengan dia?"

Kemudian, Perwira Loyang serukan suaranya, "Gadra...?! Ada apa di sana?!
Kau baik-baik saja, bukan?!"

Tak ada jawaban yang terdengar. Sepi tetap sunyi, dan hati Perwira
Loyang menjadi makin jengkel karena waswas, ia menggerutu sendiri dengan
suara lepas.

"Dasar orang bisu!"

Tanpa senjata apa pun, Perwira Loyang masih bersiap menunggu lawan di
tempat. Badannya memutar ke sana- sini, takut ada serangan mendadak dari
penyerang gelap, ia sempat melirik mayat Rompa, lalu timbul gagasan
untuk mencabut pisau ukuran sejengkal dari dada mayat Rompa. Pisau itu
akan digunakan untuk melempar atau menyerang siapa pun yang tahu-tahu
menyerangnya dari belakang.

Sunyinya hutan kembali dirobek oleh suara jeritan yang memanjang.

"Aaaa...!"
Dalam hati Perwira Loyang berkata dalam keluh. "Wah, itu suara Jowala!
Apakah dia dalam bahaya? Oh,
sebaiknya aku segera mencari Jowala ke arah kiri sana!"

Baru saja Perwira Loyang mau bergerak pergi tinggalkan tempat, tiba-tiba
terdengar suara, krosak...! Ia berpaling ke belakang. Pisau hampir saja
dilemparkan. Ternyata Gadra yang keluar dari rimbunan semak di sebelah
kanannya itu. Gadra berdiri dengan mata memandang Perwira Loyang,
membuat yang dipandang berseru membentak,

"Mengapa kupanggil tak menyahut, hah?! Sudah tuli dan bisukah kamu,
Gadra?!"

Gadra diam saja. Perwira Loyang makin jengkel tak mendapat jawaban dari
anak buahnya, ia segera menghampiri anak buahnya itu dan ditamparnya
keras- keras. Plokkk... !

"Lain kali kau harus jawab setiap seruanku, mengerti?!"
Tiba-tiba tubuh Gadra meliuk dan rubuh ke depan. Brukk... !

"Hah...?!" Perwira Loyang terbelalak kaget. Ternyata di punggung Gadra
telah menancap sebuah pisau yang lebih besar dari pisau yang menancap di
dada Rompa itu. Pisau yang bergagang besar wama hitam itu menancap
hampir habis. Tinggal sisa sedikit bagian tajamnya yang terlihat di
punggung Gadra.

"Jahanam! Rupanya anak ini telah mati sejak tadi!" geram Perwira Loyang
dengan rasa sesal akibat tamparannya tadi, dan rasa jengkel akibat
tindakan seseorang yang telah menewaskan Gadra.

Tubuh Gadra yang tengkurap dengan kepala miring, wajahnya tampak pucat
dan matanya mendelik itu, akhirnya hanya dilangkahi oleh Perwira Loyang.
Karena kejap berikutnya ia melihat Jowala muncul dari balik pohon,
tempatnya pergi tadi.

Jowala hanya berdiri dengan mata memandang Gadra tak berkedip, ia
berdiri tak bergerak, sehingga Perwira Loyang semakin tegang dan cemas.
Hatinya membatin,

"Yaah... mati juga Jowala akhirnya !"

Perwira Loyang menghampiri Jowala dan dengan hati sedih ia berkata di
depan orang itu,

"Siapa yang membunuhmu? Katakan! Akan kubalaskan supaya arwahmu tidak
penasaran di alam baka sana, Jowala! Siapa yang membunuhmu?"

"Tidak ada, Perwira!" jawab Jowala dengan datar dan lemas.

Perwira Loyang kerutkan dahi, lalu cepat meraih pundak Jowala dan
memutar tubuh orang itu. Ia periksa bagian punggungnya, ternyata tak ada
pisau menancap seperti tubuh Gadra tadi. Maka, Perwira Loyang bertanya
tanpa sadar,

"Tak ada pisau di punggungmu? Kapan kau mencabutnya?!"
"Aku tak tertancap pisau seperti Gadra, Perwira! Tapi aku berhasil
membelah dada orang itu!"
"Orang itu siapa? Seperti apa ciri-cirinya? Kau mengenalnya?'
Jowala menjawab, "Siapa lagi jika bukan anak buahnya Pawang Jenazah,
Perwira!"

Dan tiba-tiba dari arah belakang Perwira Loyang, dari tempat munculnya
mayat Gadra tadi, muncul pula seorang bersenjata cangkul kecil. Orang
itu segera melemparkan cangkulnya dalam gerakan berputar. Sambil
melepaskan cangkulnya, ia juga melepaskan pukulan tenaga dalam dari
tangan kirinya berupa sinar hijau melesat cepat.

"Awas!" seru Jowala seketika itu, tangannya segera singkirkan Perwira
Loyang hingga orang itu jatuh ke samping. Jowala cepat kibaskan pedang
besarnya untuk menangkis cangkul yang membahayakan itu.

Trakk... !
Zrubb...!
"Aahg...!"

Sinar hijau itu menghantam dada Jowala sekalipun ia berhasil
menyingkirkan cangkul kecil itu. Sinar hijau membuat dada Jowala membiru
seketika. Tapi pada saat itu, Jowala sempat kibaskan tangan kanannya
dalam gerakan memutar dari belakang ke depan, dan pedang besarnya itu
melesat cepat ke arah Cangkul Lahat.

Jrubb... !

"Nghh...!" Cangkul Lahat tak mampu berteriak. Pedang besar itu menancap
di perutnya. Hampir separo bagian yang terbenam di perut. Dan hal itu
membuat Cangkul Lahat tak sanggup berdiri lebih lama lagi. Ia pun rubuh
dengan bersimbah darah dan mata tak berkedip walau sudah tak bernyawa
seujung kuku pun.

"Jowala! Lain kali kau tak boleh singkirkan aku begitu saja! Kau
harus... harus...!" Perwira Loyang tak melanjutkan kata, karena ia
melihat dada Jowala makin membiru, dan Jowala mendelik tak bergerak.
Setelah diperiksa, ternyata ia telah mati dalam keadaan berdiri.

"Jowala...? " gumam Perwira Loyang pelan, penuh sesal dan kesedihan, ia
tepuk-tepuk pipi orang itu. Jowala tetap tak mau bernapas lagi. Bahkan
tepukan pelan itu membuat tubuh tak bernyawa itu jatuh berdebam seperti
jatuhnya tubuh mayat Gadra tadi.

"Bangsat! Habis sudah anak buahku!" geram Perwira Loyang dengan darah
makin mendidih dan murka siap terlepaskan. Tapi ia tak punya sasaran
untuk melepaskan murkanya, sehingga hanya napasnya yang terengah- engah
melawan nafsu amarahnya sendiri.

Tetapi, tiba-tiba ia melihat mayat Rompa pelan-pelan bangkit berdiri
dengan mata membelalak putih. Mayat itu pun kini menjadi tegak. Perwira
Loyang merasa lega, ternyata ada satu anak buahnya yang masih bisa
diharapkan bantuannya.

"Rompa...! Oh, syukurlah kalau kau masih hidup!" Perwira Loyang
mendekati Rompa. Tapi tiba-tiba tangan Rompa bergerak mencakar wajah
lonjong berkumis turun itu. Crass...!

"Edan!" pekik Perwira Loyang. Untung ia cepat kibaskan tangan untuk
menangkis cakaran tangan Rompa yang tiba-tiba, sehingga kulit lengannya
koyak sedikit terkena cakaran itu.

"Gggrrr...!" Rompa menyeringai, menampakkan giginya dengan mengeluarkan
suara geram keganasan. Matanya yang putih terasa lebih mengerikan dalam
keadaan melangkah pelan, setindak demi setindak.

Mendadak, Perwira Loyang dikejutkan kembali dengan bangkitnya mayat
Gadra. Pelan gerakannya, putih matanya, menyeringai, dan mengeluarkan
geram dengan tangan sedikit terangkat, siap menerkam dan mencakar
lawannya.

"Pasti ini pekerjaan si Pawang Jenazah! Bangkai busuk dia itu!"

Disusul kemudian bangkitnya mayat Jowala yang sama seramnya dan sama
ganasnya dengan mayat Rompa dan Gandra. Kini, Perwira Loyang telah
dikepung oleh mayat temannya sendiri. Ia menjadi tegang dan kebingungan
menghadapinya.

***




6
MAYANG Suri perempuan yang lugu, anak seorang kepala desa yang sudah
almarhum. Dia merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Dia perempuan
yang punya ilmu, namun tak terlalu tinggi. Dia perempuan cantik berkulit
hitam manis. Banyak pemuda desa yang terpikat oleh kecantikannya, tapi
hanya bertepuk sebelah tangan.

Ketika desa itu diserang oleh perampok-perampok dari kulon, muncul
seorang penolong yang sudah cukup banyak usianya tapi masih kelihatan
awet muda. Penolong itu adalah Dewa Maut. Dalam pengelanaannya itulah,
Dewa Maut terpikat oleh Mayang Suri, lalu mereka saling jatuh cinta dan
menikah. Tapi hanya tiga bulan pernikahan itu berlangsung. Ketika benih
dalam kandungan Mayang Suri berubah menjadi janin, Dewa Maut pun mati
dibunuh oleh seorang musuh lamanya. Pada saat benih itu berubah menjadi
janin, saat itulah hilang semua ilmu yang dimiliki oleh Dewa Maut.

Di sebuah rumah warisan orangtuanya, Mayang Suri tinggal bersama
bayinya, juga tinggal bersama istri kakaknya yang belum mempunyai
keturunan itu. Sekalipun Mayang Suri hidup sebagai janda, tapi
kecantikannya masih mengundang selera banyak lelaki. Tak jarang Mayang
Suri harus menghindari niat lelaki yang bermaksud mendekati dan
mempersuntingnya.

Karena itu, kedatangan Pendekar Mabuk ke rumah Mayang Suri sempat
dicurigai sebagai pria yang ingin memperistri Mayang Suri. Kedatangan
Suto itu jadi bahan perhatian para tetangga dan jadi bahan kasak- kusuk
di antara mereka.

Kedatangan Suto bersama Bunga Bernyawa disambut oleh Sulasih, istri dari
kakaknya Mayang Suri. Sulasih masih muda, sebaya dengan Mayang Suri.
Sulasih tak berkedip saat pertama menerima kedatangan Suto. Matanya
memandang kagum terhadap ketampanan dan daya tarik yang terpancar dari
mata Pendekar Mabuk itu.

Dalam hatinya, Sulasih membantin, "Kalau Mayang Suri menolak lamaran
pemuda tampan ini, sungguh bodoh otaknya! Dalam kurun waktu sepuluh
tahun lagi, belum tentu Mayang bisa bertemu dengan pemuda setampan tamu
yang satu ini! Dia sangat menawan dan mendebarkan hati. Kalau saja aku
belum bersuami, tak menolak jika aku dilamar oleh pemuda ini! Oh,
sungguh beruntung Mayang Suri bisa mendapatkan pemuda tampan sebagai
pengganti suaminya. Jujur saja hatiku mengatakan, pemuda ini jauh lebih
gagah, lebih tampan dan lebih mendebarkan hati dibanding Dewa Maut,
bekas suami Mayang itu!"

Bunga Bernyawa merasa tak enak melihat Pendekar Mabuk dipandangi
terus-menerus oleh Sulasih. Maka, dengan sedikit ketus Bunga Bernyawa
segera ajukan pertanyaan kepada Sulasih,

"Kami ingin bertemu dengan Mayang Suri! Jika dia ada tolong panggilkan,
jika tidak ada tolong sebutkan kemana perginya!"

"Oh, hmmm... ya, ada! Mayang Suri ada di belakang. Dia sedang menyusui
anaknya! Sebentar, saya panggilkan dia!" kata Sulasih, tapi matanya
tidak memandang Bunga Bernyawa, melainkan menatap ke arah Suto Sinting,
ia pun bergegas pergi dengan perasaan sayang meninggalkan Suto di
serambi depan.

Sesampai di kamar Mayang Suri, Sulasih segera menceritakan ketampanan
Pendekar Mabuk dengan sangat berapi-api dan tertawa-tawa penuh riang, ia
katakan,

"Tak rugi kau bersuamikan dia! Sudahlah, lekas temui pemuda itu. Dia
datang bersama tabib yang kemarin hari datang ingin mengobati bayimu itu!"

"Tabib...?! Tabib cantik itu? Ah, aku curiga sama tabib itu!" kata
Mayang Suri dengan dahi berkerut.
"Mengapa curiga?"
"Adakah seorang tabib secantik itu?"
"Dia tabib dari negeri Cina, tempat asal bekas suamimu itu!"

"Sekalipun dari negeri Cina, tapi aku sangsi dan curiga dengan tabib
itu. Caranya memandangku, caranya memandangi bayiku ini, sepertinya dia
punya maksud- maksud lain yang tersembunyi di balik kebaikannya!
Perasaanku jadi tak enak."

"Kalau begitu, lupakanlah tentang tabib itu, curahkan perhatianmu pada
pemuda tampan itu! Dia bukan hanya tampan, tapi kelihatannya berilmu
tinggi juga, Mayang! Kuharap kau tidak menolaknya jika ia ingin
melamarmu sebagal istrinya!"

"Ah, kau ini!" Mayang Suri menjadi tersipu malu sendiri. Tapi hatinya
jadi berdebar-debar kendati ia belum melihat setampan apakah pemuda yang
diceritakan kakak iparnya itu.

Dengan mengenakan baju kebaya panjang warna hijau tua dan kain coklat
muda, angkin warna kuning, Mayang Suri menemui tamunya di serambi depan.
Seperti apa kata Sulasih, pemuda itu memang tampan menurut penilaian
Mayang Suri. Tampan dan punya daya tarik yang menggetarkan hati. Lebih
tampan dan lebih menarik dari bekas suaminya.

Tapi seperti apa kata Sulasih juga, pemuda itu datang bersama tabib
cantik yang kemarin ingin membawa anaknya untuk diobati. Mayang Suri
cemas saat matanya beradu pandang dengan Bunga Bernyawa, ia juga sedikit
heran, mengapa sekarang tabib cantik itu datang tanpa diusung dengan
tandu kehormatan?

"Mayang, aku datang lagi bersama... bersama seorang temanku ini yang
bernama Suto, Pendekar Mabuk!" kata Bunga bernyawa.

"Anakku sudah sembuh. Panasnya sudah turun. Kurasa tak perlu seorang
tabib lagi!" kata Mayang Suri sambil menggendong bayinya.

"Kedatangan kami bukan untuk melakukan pengobatan," kata Suto, "Kami
datang untuk menolongmu dan bayi itu, Mayang Suri."

"Kami tidak butuh pertolongan kalian! Jadi sebaiknya kalian segera
tinggalkan aku dan bayiku ini! Jangan ganggu kami lagi."

Bunga Bernyawa segera menyahut, "Ini demi keselamatanmu dan keselamatan
bayimu, Mayang Suri!"

"Hmm... aku... aku merasa dalam keadaan baik-baik saja! Bayiku juga
baik-baik saja! Tak ada yang perlu kalian perbuat untuk kami!"

"Kamu belum tahu yang sebenarnya. Bayimu dalam ancaman bahaya, Mayang
Suri! Kami harus selamatkan bayimu!" kata Bunga Bernyawa lagi.

"Terima kasih! Tapi aku merasa masih mampu menyelamatkan bayiku!"

Suto segera menyahut dengan suara lembut, "Ada bahaya yang mengancam
bayimu. Bahaya itu tidak kau ketahui datangnya, tapi aku dan Bunga
Bernyawa tahu persis, bahwa bahaya itu mengancam keselamatan bayimu,
Mayang Suri. Jadi, sebaiknya ikutlah kami pergi, tinggalkan rumah ini
untuk bersembunyi di tempat yang aman untuk bayimu!"

Mayang Suri berdiri dan mundur mendekati pintu arah dalam, "Tidak! Aku
tak mau pergi bersama kalian! Aku tak mau serahkan bayi ini!"

"Mayang Suri, percayalah...!" Pendekar Mabuk berdiri dan maju setindak.
"Percayalah padaku, aku tidak akan mencelakai bayimu sedikit pun!"

"Tidak! Sebaiknya tinggalkan saja kami, dan kalian tak perlu datang lagi
kemari!"

Dari arah luar halaman rumah itu terdengar seseorang berseru,

"Mayang...! Ada apa...?!"

Lelaki berpakaian biru tua itu bergegas mendekati Mayang Suri. Sulasih
pun muncul dari dalam dengan perasaan heran melihat ketegangan tersebut.
Lelaki yang menyandang golok di pinggang, berwajah kaku, keras, rambut
ikal badan besar itu segera ajukan tanya kepada Pendekar Mabuk dengan
sikap tidak bersahabat,

"Siapa kau? Mau apa datang kemari?"
"Aku Suto, dan itu temanku, Bunga Bernyawa dari negeri Cina!"

"Apa perlumu kemari? Katakan!" bentak lelaki berbaju biru yang ternyata
adalah kakak Mayang Suri bernama Wicaksono, suami Sulasih.

"Jangan kasar-kasar, Kang," bisik Sulasih dan terdengar di telinga
Pendekar Mabuk.
"Kamu tak perlu ikut bicara!" kata Wicaksono kepada istrinya.
"Kulihat dia punya gelagat tak baik terhadap Mayang Suri!"
Mayang Suri segera berkata, "Mereka ingin membawa bayiku, Kang!"

"Apa...?! Ingin membawa bayimu?! Apa mereka pikir kita ini orang gila?!
Seenaknya saja mau bawa pergi bayi ini?! Tidak! Aku tidak izinkan bayimu
dibawa pergi oleh siapa pun!"

Suto berkata dengan sabar, "Bayi itu akan dicuri orang! Percayalah!
Cepat atau lambat, akan ada orang datang mencuri bayi itu!"

"Kalianlah pencurinya!" bentak Wicaksono dengan mata melotot kepada
Pendekar Mabuk. Sesekali memandang ke Bunga Bernyawa.

Bunga Bernyawa berkata dengan nada tersinggung, "Jangan menuduh kami
begitu! Itu namanya kamu pancing bentrokan dengan kami!"

"Kalian yang memancing bentrokan! Kalian yang mencari-cari masalah!"
sambil Wicaksono menuding- nuding Suto dan Bunga.

Bunga Bernyawa mulai panas hati melihat sikap Wicaksono. Suto tahu,
Bunga Bernyawa menggeletakkan giginya dan ingin melepaskan pukulan
kepada Wicaksono, tapi Pendekar Mabuk menggeleng kecil tak kentara.
Hanya Bunga Bernyawa yang tahu gerakan geleng kepala yang berarti
larangan untuk berbuat kasar.

"Keluar kalian dari rumahku ini! Keluar!" bentak Wicaksono semakin
berani, ia bahkan mendorong- dorong Pendekar Mabuk, sehingga Pendekar
Mabuk terdesak mundur.

"Jangan paksa aku bertindak kasar terhadap kalian! Keluar sana!" tambah
Wicaksono. Mayang Suri dan Sulasih hanya pandangi tindakan Wicaksono
dengan hati berdebar-debar.

"Kang Wicaksono, jangan kasar begitu terhadap tamu!" Sulasih akhirnya
coba mengingatkan suaminya. Tapi sang suami tambah berang karena mulai
ada unsur kecemburuan melihat sikap istrinya seperti membela Suto yang
tampan itu.

"Terhadap tamu macam dia tak perlu kita bersikap sopan! Kalau kau mau
ikut dia, keluarlah juga sana!"
"Bukan begitu, Kang!" Sulasih mulai takut.
"Wicaksono," kata Pendekar Mabuk kemudian. "Izinkan aku menjelaskan
duduk perkaranya masalah bayi itu!"
"Aku tidak butuh penjelasan muslihatmu, Setan! Hiih...!"

Behgg... !

Pendekar Mabuk terpental keluar dari serambi dan jatuh di halaman karena
pukulan telapak tangan Wicaksono. Pukulan itu menghentak kuat ke dada
Suto dengan secara tiba-tiba. Tak sempat Suto menghindar dan
menangkisnya, karena tidak menyangka Wicaksono akan melepaskan pukulan
sekeras itu. Akibatnya, Pendekar Mabuk bagai terlempar dengan tubuh
terbang, ia jatuh terduduk di pelataran.


Wicaksono segera mengejar dengan bernafsu untuk
menghajar tamunya. Tapi Bunga Bernyawa segera
melompat dan bersalto satu kali. Dalam kejap berikut ia
sudah berada di arah kanan Wicaksono yang mau
melepaskan tendangan ke arah Pendekar Mabuk. Bunga
Bernyawa cepat berseru,
"Jangan sekali lagi sentuh dia, Wicaksono!"
Berpaling cepat Wicaksono kepada Bunga Bernyawa.
Wajahnya menampakkan geram kemarahan yang
tertahan. Dengan garang ia berkata,
"Kalau kalian tak mau aku bertindak kasar, cepatlah
pergi dari rumahku ini! Sekarang juga, pergi kalian!"
Pendekar Mabuk bangkit dan tarik napas dalamdalam
untuk menahan kesabaran di dalam hatinya. Lalu,
ia berkata,
"Kau akan menyesal jika tak mau turuti saran kami.
Wicaksono!"
"Persetan dengan saranmu! Hiaaat...!"
Wicaksono melepaskan pukulan jarak jauhnya walau
sebenarnya jarak mereka hanya empat langkah. Tetapi
sebelum tangannya berkelebat maju dalam satu sentakan,
tubuh Bunga Bernyawa sudah lebih cepat bergerak
menyerang. Satu lompatan ringan bertenaga berat
dilakukan oleh Bunga Bernyawa. Tendangan kaki dalam
lompatan itu tepat mengenai lengan Wicaksono. Tapi
karena tendangan itu bertenaga berat maka tubuh
Wicaksono pun terhempas ke samping dan tergulingguling.
Bukk...! Brukkk...!
Wicaksono semakin garang, ia cepat bangkit dan
memandang angker kepada Bunga Bernyawa. Nona
manis itu hanya sunggingkan senyum sinis dengan
wajah angkuhnya, ia berdiri sigap dan siap menghadapi
serangan dari Wicaksono. Sementara itu, Pendekar
Mabuk tak mau mencegah Bunga Bernyawa, karena
menurutnya Wicaksono memang perlu diberi pelajaran
sedikit dari Bunga Bernyawa. Tak perlu dirinya sendiri
yang turun tangan. Cukup Bunga Bernyawa saja sudah
bisa bikin Wicaksono jera. Suto yakin, Wicaksono tak
bisa mengungguli ilmu Bunga Bernyawa.
Buktinya, ketika Wicaksono melepaskan pukulan
tenaga dalamnya dari jarak sepuluh langkah, Bunga
Bernyawa juga melepaskan pukulan jarak jauhnya
sebagai tandingan pukulanWicaksono.
"Heaaah...!" Bunga Bernyawa bertahan dalam posisi
berdiri tegak dan kakinya sedikit merenggang, tangannya
yang satu di depan dada keluarkan tenaga hingga sedikit
bergetar. Sementara itu Wicaksono menggunakan kedua
telapak tangannya untuk bertahan melawan tenaga jarak
jauh yang terasa ingin mendorong tubuhnya dengan
kuat.
Tiba-tiba Wicaksono menyentak pendek kedua
tangannya itu.
"Hiaat...!"
Wuttt...! Bunga Bernyawa nyaris terpelanting jika tak
segera melepaskan pertahanannya dan ia melenting di
udara sambil bersalto satu kali. Jika Bunga Bernyawa
masih mempertahankan sikapnya maka ia akan
terdorong keras ke belakang dan mungkin tubuhnya
akan membentur tembok halaman yang berjarak lima
langkah di belakangnya itu.
Suto sedikit terkejut melihat kekuatan Wicaksono.
"Rupanya dia punya isi cukup lumayan!" pikir Pendekar
Mabuk. "Dilihat dari sentakan tangannya yang pendek
saja tapi bisa membuat Bunga Bernyawa hampir
terpental, itu tandanya Wicaksono tak boleh dianggap
ringan oleh Bunga Bernyawa. Kalau Bunga Bernyawa
meremehkannya, Wicaksono bisa melukainya!"
Rupanya Bunga Bernyawa pun membatin demikian.
Karena itu, Bunga Bernyawa mulai tak mau
menganggap remeh Wicaksono dan lebih berhati-hati
lagi.
"Jangan paksakan diri melawanku jika ilmumu baru
seujung rambut, Nona! Kau bisa kubunuh dalam waktu
sekejap!" seru Wicaksono.
"Majulah kalau memang kau mampu membunuhku!"
tantang Bunga Bernyawa.
"Kurang ajar! Hiaaat...!"
Wicaksono berlari menyerang, Bunga Bernyawa pun
berlari maju menyambut serangan lawan. Mereka samasama
lompat dan melesat di udara. Keduanya saling adu
pukulan dengan menggunakan kedua telapak tangan
mereka.

Blapp...! Benturan telapak tangan mereka timbulkan nyala api putih
berpendar sekejap. Kemudian, Bunga Bernyawa terpental ke belakang dan
Wicaksono pun demikian. Bunga Bernyawa bersalto balik dan mampu mendarat
dengan tepat, sedangkan Wicaksono terlempar dengan hilang keseimbangan
badan, ia jatuh membentur sebuah pohon dengan kerasnya, hingga dedaunan
pohon berguncang dan sebagian ada yang rontok.

"Aaahg...!" Wicaksono sentakkan napas dan keluar darah dari mulutnya.

"Kaaang...!" seru Sulasih dengan tegang, ia segera lari mendapatkan
suaminya dan menolongnya untuk berdiri. Wicaksono sontakkan darah
kembali dari mulutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi. Mayang Suri juga
cemas. Sambil menggendong bayinya ia bergegas mendekati kakaknya.

Sementara itu Bunga Bernyawa dipandangi Pendekar Mabuk dengan tajam,
seakan menerima teguran keras dari Suto. Bahkan ketika Suto mendekat
terdengar suaranya berbisik,

"Terlalu lepas kendali kau!"
"Aku jengkel sekali padanya!"

Terdengar Mayang Suri berseru dari tempat kakaknya yang lemas itu,

"Kalian harus bertanggung jawab atas luka dalam Wicaksono!"

Pendekar Mabuk bergegas hampiri Mayang Suri. "Suruh minum tuak ini
sedikit, luka dalamnya akan sembuh! Percayalah! Ini bukan racun!"

Bunga Bernyawa tambahkan kata, "Kalau kami bermaksud jahat, mudah sekali
membunuh kakakmu sekarang juga. Tak perlu Suto kasih minum tuak untuk
obat luka dalam itu!"

Wicaksono terpaksa meneguk sedikit tuak bumbung Pendekar Mabuk, karena
ia tak tahan lagi merasakan panas di dalam dada dan perutnya yang
seperti dibakar oleh semburan api lahar. Dan setelah ia teguk sedikit
tuak itu, ia merasakan ada perubahan yang melegakan. Rasa panas seperti
semburan api lahar itu menjadi dingin. Sekujur tubuhnya justru merasa
segar dalam waktu yang amat singkat.

Suto segera berkata di depan Mayang Suri dan Wicaksono yang masih
didampingi Sulasih,

"Maafkan kami. Jika maksud baik kami dianggap jahat, kami akan pergi
secepatnya. Tapi perlu kalian ketahui, bayi itu diincar oleh orang sesat
bernama Laksamana Cho Yung. Dia adalah adik dari Dewa Maut!"

"Itu nama almarhum suamiku!" sahut Mayang Suri. "Benar. Aku tahu hal
itu. Tapi kau tak tahu kalau bayimu telah menjadi bayi sakti, karena
semua ilmu Dewa Maut ada di dalam diri bayi itu. Dalam usia delapan
tahun bayi itu bisa menumbangkan orang berilmu tinggi seperti Laksamana
Cho Yung. Karena itu, Laksamana Cho Yung mengincar bayimu, dia ingin
memiliki semua ilmu mendiang kakaknya, dan dia tak rela jika ilmu itu
jatuh ke tangan orang lain, sekalipun ke tangan keponakannya sendiri!"

"Dengan cara apa dia mau mengambil ilmu yang sudah menitis di dalam bayi
itu?l" kata Wicaksono mulai mau mengerti keadaan sebenarnya, dan oleh
Bunga Bernyawa dijawab,

"Bayi itu akan diambil hati dan jantungnya untuk dimakan Laksamana Cho
Yung. Dengan begitu, semua ilmu milik Dewa Maut telah menyatu di dalam
diri Laksamana Cho Yung."

"Jadi bayiku akan dibunuhnya untuk diambil jantung dan hatinya?" Mayang
Suri menjadi tegang.

"Kalau kau tak percaya, tunggulah beberapa waktu lagi, pasti akan datang
utusan dari Laksamana Cho Yung untuk mengambil bayimu, entah secara tipu
muslihat atau secara paksa!" kata Suto, kemudian Bunga Bernyawa
tambahkan kata,

"Utusan pertama adalah aku! Ingat, kemarin aku datang dengan menyamar
sebagai tabib. Tapi hatiku tak tega melihat bayi itu harus kuserahkan
kepada Laksamana Cho Yung. Maka kubatalkan niatku walau untuk itu aku
harus pertaruhkan nyawaku sebagai gantinya!"

Pendekar Mabuk tambahkan kata juga, "Lalu, kami sepakat untuk
menyelamatkan bayi itu dengan membawanya lari dari rumah ini! Bukan
hanya bayi itu yang harus lari dan bersembunyi, tapi tentunya bersama
ibunya juga. Bila perlu seluruh penghuni rumah ini mengungsi dulu untuk
sementara! Aku akan tangani sendiri kekejian Laksamana Cho Yung itu!" ,

"Mengungsilah demi keselamatan kalian, toh hanya sementara! Jika keadaan
sudah aman kembali, kalian bisa tinggal di rumah ini lagi!" sahut Bunga
Bernyawa. Suto pun kembali berkata,

"Tapi jika kalian menolak uluran tangan kami, kami tak keberatan untuk
tinggalkan kalian sekarang juga!"

Mayang Suri dan Wicaksono saling pandang dalam kebimbangan.

***





7
RUPANYA nama Laksamana Cho Yung sudah bukan nama asing lagi bagi telinga
Wicaksono. Ia tahu, Laksamana Cho Yung sedang berurusan dengan Pawang
Jenazah karena telah membunuh anak dan istri Pawang Jenazah. Wicaksono
juga tahu, Laksamana Cho Yung orang berilmu tinggi yang sudah cukup lama
berkelana di tanah Jawa tanpa tujuan yang jelas. Tapi Wicaksono tidak
tahu bahwa Laksamana Cho Yung ternyata adik dari Dewa Maut, bekas
iparnya itu.

Mendengar penjelasan dari Bunga Bernyawa dan Pendekar Mabuk, Wicaksono
pun akhirnya putuskan untuk menyerang Laksamana Cho Yung. Mayang Suri
disarankan untuk melarikan bayinya, bersembunyi di suatu tempat dalam
penjagaan Suto dan Bunga Bernyawa.

Tempat persembunyian sudah disepakati. Mayang Suri mempunyai kakek Eyang
Juru Taman, yang tinggal di sebuah pegunungan bernama Pegunungan
Mahagiri. Eyang Juru Taman adalah adik dari kakek Mayang Suri. Menurut
Wicaksono, tempat yang paling aman untuk sembunyikan bayi itu adalah di
Pegunungan Mahagiri, karena tempat itu cukup jauh dari pantai, jauh dari
jangkauan orang-orang rimba persilatan. Bahkan Sulasih pun disarankan
untuk ikut mengungsi ke Pegunungan Mahagiri.

"Sebaiknya kau tak perlu temui Laksamana Cho Yung. Dia berilmu tinggi
dan sangat mudah mencabut nyawa orang. Dia merasa dirinya seperti dewa,
sehingga segala tindakannya dianggapnya benar!" kata Bunga Bernyawa
kepada Wicaksono. Tapi Wicaksono tak pernah gentar dan takut dengan
kekuatan manusia mana pun juga. Wicaksono beranggapan, jika Laksamana
Cho tidak segera dilenyapkan maka bayi Mayang Suri tetap akan menjadi
incaran maut terus-menerus.

"Aku dengar kabar ada dua orang kuat di pihak Laksamana Cho, yaitu
Perwira Loyang dan si Ular Setan! Hanya dua orang itu yang tergolong
kuat, sisanya hanya cecunguk biasa yang hanya dengan dua-tiga jurus
mudah ditumbangkan!" kata Wicaksono. "Dan aku sudah ukur kekuatan
Perwira Loyang serta si Ular Setan! Aku merasa mampu menumbangkan mereka
berdua! Bahkan untuk tumbangkan Laksamana Cho Yung, aku punya jurus
simpanan tersendiri! Jadi kalian tidak perlu cemaskan diriku! Pergi dan
bersembunyilah sebelum mereka menjamah bayi itu!"

Bayi itu akan menjadi orang sakti menurut pemikiran Wicaksono. Jika
sampai bayi itu mati, Mayang Suri tak punya kekuatan apa pun dimasa
tuanya nanti. Wicaksono berpikir sampai ke situ, sehingga dengan penuh
semangat ia harus bisa membunuh Laksamana Cho Yung.

Sebenarnya Wicaksono mempunyai tiga sahabat baik yang sering bantu
membantu dalam beberapa hal. Mereka juga orang-orang berilmu tinggi.
Tetapi dalam masalah ini, Wicaksono tidak mau melibatkan ketiga temannya
itu. ia merasa mampu bergerak sendiri untuk tandingi Laksamana Cho Yung.
Seandainya dia harus mati, dia cukup bangga bisa mati demi membela nyawa
keponakannya. Wicaksono sangat sayang kepada bayi Mayang Suri itu,
karena sekian lama ia menikah dengan Sulasih tapi belum dikaruniai
keturunan. Jadi bayi Mayang Suri itu sudah dianggapnya seperti anaknya
sendiri yang harus dibela dengan selembar nyawanya.

Wicaksono segera gunakan aji 'Bayu Gegana', yaitu ilmu yang bisa
membuatnya bergerak secepat angin. Sasarannya adalah Pantai Gelagah,
karena Wicaksono pernah melihat kapal besar bersandar di sana. Kapal itu
mempunyai hiasan pada haluannya, yaitu seekor naga bermahkota. Menurut
dugaan Wicaksono, kapal itu pasti milik Laksamana Cho Yung, karena punya
ciri budaya Cina. Kapal itulah yang jadi sasaran utama Wicaksono. Dan
dengan menggunakan aji 'Bayu Gegana' ia dapat menempuh waktu setengah
hari untuk mencapai Pantai Gelagah.

Tetapi baru mencapai separo perjalanan, tiba-tiba ia terhenti karena
melihat seorang penunggang kuda melaju ke arahnya dengan kecepatan
tinggi. Dalam sekelebat pandang, Wicaksono dapat mengenali si penunggang
kuda yang mengenakan pakaian biru berompi putih. Tak salah lagi dugaan
Wicaksono, bahwa orang itu adalah Perwira Loyang. Dulu Wicaksono pernah
bertemu dengan Perwira Loyang dalam bentrokan kecil di sebuah kedai.
Tetapi Perwira Loyang tidak mau melayani tantangan Wicaksono, karena ia
punya urusan penting yang harus diselesaikan.

"Barangkali aku harus mengawali dari sini," kata Wicaksono dalam
hatinya. "Perwira Loyang harus kubunuh, selagi ia sendirian! Tapi,
mengapa ia pacu kudanya begitu cepat? ia seperti dikejar setan yang
membuatnya ketakutan. Hmmm... siapa orang yang mengejarnya itu? Tak
tampak ada kuda di belakangnya!"

Perwira Loyang memang sedang melarikan diri. Kalau dia tidak cepat-cepat
melarikan diri, ia akan habis dirajang oleh mayat teman-temannya
sendiri. Mengalahkan mayat-mayat yang dibangkitkan dengan ilmu
pembangkit mayat bukan hal yang mudah. Sebab mayat-mayat itu tak bisa
dibunuh begitu saja. Satu- satunya cara terbaik adalah meloloskan diri
dari serangan para mayat tersebut. Dan Perwira Loyang berhasil
meloloskan diri, hingga walaupun sudah jauh dari maut ia masih memacu
kudanya dengan kecepatan tinggi.

Tetapi kuda itu tiba-tiba meringkik dan melonjak ke depan. Kedua kakinya
diangkat naik dan mengais-ngais udara. Perwira Loyang hampir saja
terlonjak dan terjungkal ke belakang kalau tidak kuat-kuat memegang tali
kekang kudanya.

"Ada apa ini?! Mengapa kudaku jadi seperti ketakutan?!" pikir Perwira
Loyang. Kuda itu melonjak- lonjak terus sambil meringkik panjang. Seakan
kuda tersebut tak mau bergerak maju dan ingin menghindari sesuatu.
Bahkan sesekali sang kuda melompat ke sana kemari tanpa tujuan, bagai
orang yang menahan rasa sakit akibat terbakar api pantatnya.

Perwira Loyang segera mengendalikan amukan kuda, ia berusaha mengatasi
gerakan kuda yang menjadi liar itu dengan tetap bertahan duduk di
pelananya.

"Hhrrr... hiah hiah hiah...! Ckckck...! Ck ck ck...!"
"Iiieeehhkkk...!"

Kuda makin meringkik keras dan panjang, ia melompat-lompat liar.
Sentakannya sangat keras, sehingga Perwira Loyang hilang keseimbangan
dan jatuh terjungkal dari atas punggung kuda. Brukk..! Sedangkan sang
kuda segera lari tinggalkan Perwira Loyang, melaju cepat ke tempat asal
kedatangannya.

"Monyet Kudis!" geram Perwira Loyang sambil bangkit dan membersihkan
tanah yang melekat di pakaiannya. "Kenapa kuda itu lari terbirit-birit?
Apakah di depan sana ada pasukan mayat yang dikendalikan oleh ilmunya si
Pawang Jenazah?!"

Perwira Loyang tak tahu, bahwa di balik semak- belukar tak jauh dari
depannya itu, Wicaksono bersembunyi rapat-rapat dan ingin mencelakakan
lawannya. Wicaksono menggunakan sebatang ilalang yang direntangkan, lalu
ditiup bagian tepian ilalang itu. Tiupan tersebut menimbulkan suara yang
tak bisa tertangkap oleh pendengaran manusia, namun cukup jelas diterima
pendengaran hewan.

Tiupan itu menghadirkan suara melengking tinggi bagi kuda dan
menusuk-nusuk gendang telinga hingga kuda tersebut merasa kesakitan.
Itulah sebabnya kuda tunggangan Perwira Loyang berjingkrak-jingkrak
dengan liar, karena ia memberontak tak mau maju lebih ke depan lagi.
Telinganya terasa sakit sekali jika semakin mendekati rimbunan semak di
depannya.

Wicaksono tersenyum melihat kuda itu lari terbirit- birit. Bahkan
beberapa burung yang ada di pepohonan sekitarnya juga beterbangan dan
merasa sakit mendengar bunyi yang tak tertangkap telinga manusia itu.
Wicaksono merasa menang dalam satu jurus, walau ilmu meniup tepian
ilalang itu tidak membutuhkan tenaga dalam sedikit pun, kecuali hanya
pengetahuan tentang getaran suara. Salah tiup pun tak akan hasilkan
suara aneh bagi para binatang.

Perwira Loyang baru saja ingin melangkah tapi tiba- tiba ia mendengar
suara gemuruh dari samping. Suara gemuruh itu membuat Perwira Loyang
berpaling memandang, dan begitu mengetahui apa yang terjadi, ia segera
melentingkan tubuh, melayang di udara dan bersalto ke belakang satu
kali. Kakinya baru saja menapak di tanah namun sudah harus dljejakkan
lagi, dan bersalto lagi ke belakang dengan gesit.

Brukkk...!

Sebuah pohon berbatang lurus, besar dan tinggi, tiba- tiba roboh
melintang di depan Perwira Loyang. Kalau saja Perwira Loyang tidak cepat
melentingkan tubuh ke udara dan bersalto dua kali, pasti tubuhnya akan
gepeng tergencet batang pohon besar itu.

"Monyet Miskin!" seru Perwira Loyang dengan marahnya. "Siapa yang berani
mengganggu perjalananku, hah?! Keluar dan tampakkan batang hidungmu!"

Kejap berikutnya, Perwira Loyang curiga pada rimbunan semak di seberang
pohon tumbang itu. Maka dengan cepat ia sentakkan tangannya dan
terlepaslah pukulan tenaga dalam bersinar putih melesat cepat menghantam
rimbunan semak itu.

Wuttt...! Crasss...! Brusss...!

Rimbunan semak itu terbakar dalam sekejap. Nyala apinya cepat padam dan
kepulan asapnya cepat hilang. Tapi rimbunan semak itu menjadi hangus
berdebu hitam tanpa ada ilalang yang tumbuh lagi.

Pada saat sebelum sinar putih menghantam rimbunan semak, terlebih dulu
sesosok tubuh melesat tinggi dan bersalto ke arah samping pohon tumbang.
Wutt...! Tubuh itu tahu-tahu bertengger di atas akar pohon yang
terdongkel keluar dari tanahnya. Dan orang yang baru muncul itu segera
memperdengarkan tawanya. Walau tak terbahak-bahak, namun memanjang dan
berkesan menantang.

"Monyet Rabun! Rupanya kau yang mengganggu perjalananku?!" geram Perwira
Loyang yang sudah mengenal Wicaksono. Ia segera teringat pertentangan
dengan Wicaksono di dalam kedai beberapa waktu yang silam.

"Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Wicaksono?! Apakah kau ingin
melanjutkan persoalan di kedai beberapa waktu yang lalu?!"

"Ada persoalan lain yang perlu kuselesaikan!" kata

Wicaksono dengan tetap bertolak pinggang. "Sebelumnya aku ingin tahu, ke
mana arah tujuan pergimu, Perwira Loyang?!"

"Kepergianku tidak punya urusan denganmu, Wicaksono!"

"Mungkin aku bisa bantu kamu jika tahu arah dan tujuanmu! Seperti kau
ketahui, aku tak segan-segan turun tangan membantu kesulitan orang jika
ada upahnya!"

Perwira Loyang diam berpikir, "Kalau memang dia mengharapkan upah, tak
ada jeleknya jika dia kusuruh membantuku dalam melakukan tugas dari
laksamana. Aku sudah kehilangan anak buah. Aku perlu orang yang bisa
menolongku, terutama untuk menghadapi Pawang Jenazah, sementara aku
menculik bayi Mayang Suri. Aku butuh perisai untuk menahan gerakan
Pawang Jenazah, setidaknya menghambat serangannya yang diarahkan
kepadaku! Dan agaknya, Wicaksono punya ilmu lumayan tinggi,
bisakujadikan perisai sementara!"

"Tua Pikun...! Mengapa diam saja?!" seru Wicaksono.
"Berapa upah yang harus kubayarkan kepadamu, Wicaksono?!"

"Tergantung apa tugas yang harus kulakukan? Itulah sebabnya, sebutkan ke
mana tujuanmu dan apa tugas yang ingin kau lakukan?"

"Aku ingin pergi ke rumah perempuan bernama Mayang Suri untuk mencuri
bayinya! Kau kenal nama Mayang Suri?!"

Wicaksono mendidih darahnya seketika itu. Tapi ia berusaha untuk menahan
luapan amarahnya untuk sesaat. Tangannya yang telah menggenggam
kuat-kuat itu kembali dikendurkan. Lalu, dengan suara keras dan datar,
Wicaksono berseru,

"Aku sangat kenal dengan nama itu dan tahu persis di mana diatinggal!"
"Bagus! Lalu, berapa upah yang kau minta?"
"Hanya sekeping nyawa!" jawab Wicaksono.
"Nyawa siapa?" Perwira Loyang kerutkan dahi.

"Nyawa siapa lagi kalau bukan nyawamu, Perwira Loyang!" geram Wicaksono,
dan jawaban itu membuat Perwira Loyang terkesiap. Karena Perwira Loyang
belum tahu bahwa Wicaksono adalah kakak dari Mayang Suri, maka ia merasa
sangat heran mendengar jawaban tersebut.

"Apa maksudmu bicara begitu, Wicaksono!"
"Karena untuk mencuri bayi Mayang Suri, kau harus bisa melangkahi dulu
mayatku!"
"Oh, rupanya Mayang Suri itu kekasihmu?!"
"Aku kakaknya! Aku paman dari bayi itu!"

"Heh heh heh heh...!" Perwira Loyang tertawa, merasa geli sendiri.
Bagimana mungkin dia mengajak Wicaksono kerja sama untuk mencuri bayi
Mayang Suri jika ternyata Wicaksono adalah kakak dari Mayang Suri alias
paman dari bayi itu sendiri? Perwira Loyang menertawakan kebodohannya
sendiri.

"Kalau begitu," kata Perwira Loyang, "Kaulah orang pertama yang harus
kusingkirkan, Wicaksono!"

"Bukan aku orang pertama yang harus kau singkirkan, tapi akulah orang
pertama yang akan singkirkan nyawamu dari raga! Hiaaat...!"

Wicaksono melepaskan serangan lebih dulu. Ia hantamkan pukulan jarak
jauhnya dari atas batang pohon tumbang itu dengan satu sentakkan tangan
kanannya yang berkelebat dari atas kepala ke depan.

Begggh...! Pukulan tanpa sinar itu tepat mengenai dada Perwira Loyang.
Orang itu terjungkal ke belakang bagai semangka yang dilemparkan begitu
saja. Sementara itu, Wicaksono terus mencecar dengan sentakkan tangan
yang melepaskan pukulan tenaga dalamnya. Perwira Loyang berulang kali
gagal untuk bangkit dan balas menyerang, ia terguling-guling bagai bola
yang dipermainkan anak kecil.

"Hiaaah...!" dalam kejap berikut, Perwira Loyang berhasil sentakkan kaki
ke tanah dan tubuhnya melenting di udara, bersalto satu kali dan hinggap
di tempat kosong, bebas dari incaran Wicaksono.

"Wicaksono! Rupanya kau memang cari mampus dan perlu kulenyapkan sebelum
kucuri keponakanmu itu!"

"Kau tak akan bisa temui keponakanku! Dia sudah berada di tempat yang
aman! Kau tak akan bisa mencari Pegunungan Mahagiri, bahkan mencapai ke
sana pun tak akan bisa, sebab Bunga Bernyawa dan Suto Sinting menjaga
ketat bayi itu! Kau tak akan bisa kalahkan kedua penjaga tersebut,
Perwira Loyang!"

"Bunga Bernyawa...?!" gumam Perwira Loyang. "Ternyata dia justru
melindungi bayi itu! Keparat betul
perempuan cantik itu!"

Wusss...! Tiba-tiba Wicaksono melepaskan jurus mautnya dari telapak kaki
yang ditendangkan ke depan. Jurus maut itu berupa cahaya merah membara
sebesar tampah yang melesat menghantam Perwira Loyang. Tetapi, Perwira
Loyang hanya terkesiap sejenak, lalu cepat menghindarkan diri dan
membuat cahaya merah besar itu menghantam pohon di belakang Perwira
Loyang.

Dubb...! Wesss...!

Ternyata sinar merah besar itu tidak menghancurkan pohon tersebut,
melainkan membalik mengejar Perwira Loyang, ia sempat menggeragap
sebentar melihat sinar merah itu memantul balik ke arahnya. Maka, dengan
cepat ia sentakkan dua jarinya ke depan, dan dari dua jari itu melesat
sinar biru bagaikan tombak panjang. Sinar biru itu menghantam laju
kecepatan terbang sinar merah besar itu. Blarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi akibat benturan kedua sinar tersebut. Dua pohon
rubuh seketika karena terhantam gelombang ledakan itu. Sementara tubuh
Perwira Loyang masih tegar berdiri dan tubuh Wicaksono terlempar tiga
tombak jauhnya dari tempat ia berdiri semula.

Melihat lawannya jatuh terguling-guling, Perwira Loyang segera berseru,
"Sekarang saatnya menghabisimu, Wicaksono! Hiaah...!"

Clappp... !

Kedua tangan Perwira Loyang menyilang di dada lalu ditarik ke kanan-kiri
bersamaan. Keluarlah sinar biru bagai meteor yang melesat dari mata
kanannya. Sinar itu bergerak cepat dan menghantam tubuh Wicaksono yang
baru saja bergegas untuk bangkit berdiri.

Blarrr...!

Sinar biru dari mata yang mirip meteor jatuh itu menghantam telak tubuh
Wicaksono, dan dalam seketika itu juga tubuh Wicaksono retak dari batas
pertengahan kepala sampai ke bawah perutnya. Tubuh itu bagaikan ingin
terbelah menjadi dua bagian. Seluruh isi perutnya tersembur keluar, dan
Wicaksono pun menghembuskan napas terakhir dalam keadaan terkapar di
tanah.

Tubuh mayat Wicaksono sangat mengerikan dilihat orang. Bahkan Perwira
Loyang sendiri buru-buru palingkan wajah tak kuat pandangi tubuh yang
terbelah itu. Ia segera tarik napas dan menahan rasa ingin muntah
melihat isi perut Wicaksono berhamburan. Perwira Loyang merasa malu jika
sampai dilihat orang dirinya muntah akibat jurus mautnya mengenai lawan.

"Aku harus cepat pergi ke Pegunungan Mahagiri! Ya. Seingatku tadi
Wicaksono sebutkan Pegunungan Mahagiri sebagai tempat persembunyian
Mayang Suri dan bayinya! Persetan dengan Bunga Bernyawa dan Suto,
kuhajar habis mereka kalau menghalangiku, biar nasibnya seperti
Wicaksono!"

Perwira Loyang bicara sendiri sambil tinggalkan tempat itu. Ia tak tahu
ada orang yang mendengar kata- katanya tersebut. Orang itu berkerudung
jubah hitam dari atas kepala sampai kaki. Orang itu berwajah putih,
tampan, dan membawa senjata El Maut, berupa tongkat berujung sabit
panjang.

Kelebatan orang berjubah hitam sempat tertangkap oleh ekor mata Perwira
Loyang. Karenanya Perwira Loyang cepat palingkan pandang ke arah
kirinya. Di sana tadi ia seperti melihat kelebatan hitam. Tapi tiba-
tiba dari sebelah kanannya muncul orang berpakaian hitam pula, bajunya
tak berlengan, sabuknya merah, kepalanya gundul, tapi alisnya tebal.
Siapa lagi kalau bukan si Pawang Jenazah yang rupanya sejak tadi sudah
memperhatikan pertarungan Perwira Loyang dengan Wicaksono. Pada saat
Pawang Jenazah tiba di tempat pertarungan, keadaan Perwira Loyang sedang
kebingungan menghadapi sinar merah dari Wicaksono tadi. Dari situlah
Pawang Jenazah mengikuti pertarungan itu. Jadi ia tak sempat mengikuti
tawar-tawaran upah antara Wicaksono dengan Perwira Loyang, sehingga
Pawang Jenazah tak tahu bahwa Wicaksono adalah kakak dari Mayang Suri.

Melihat kemunculan Pawang Jenazah, mata Perwira Loyang segera melirik
kanan-kiri dan sekelilingnya. Ia takut tahu-tahu disergap pasukan mayat
dari berbagai arah. Gerak mata takutnya itu ditertawakan oleh Pawang
Jenazah.

"Ha ha ha ha...! Kali ini aku sengaja menghadangmu sendirian, Perwira
Loyang! Tak perlu takut dengan pasukan mayatku! Belum saatnya aku
kerahkan pasukan mayat untuk melawanmu! Karena membunuhmu tak perlu
kerahkan pasukan mayat! Membunuhmu cukup dengan membalikkan tanganku
sudah selesai! Aku sudah tak berminat mempermainkan nyalimu seperti di
sana! Aku akan mencabut nyawamu sekarang juga."

"Ha ha ha ha...!"

"Tutup bacotmu, Setan Kubur!" bentak Perwira Loyang. "Apa kau ingin
menerima nasib seperti Wicaksono, lawanku itu?!"

"Oh, mengerikan sekali! Aku takut! Hiii...!" Pawang Jenazah mengejek
sambil tertawa.

Tapi tiba-tiba Perwira Loyang melepaskan pukulan jurus lain yang melesat
dari punggung kedua telapak tangannya. Sinar hijau pendar-pendar
berkelebat ke arah Pawang Jenazah. Wuttt...!

Tetapi Pawang Jenazah segera kibaskan tangannya dengan lemas. Dari
kuku-kuku tangannya memancar asap bagaikan kabut putih menggumpal. Dan
kabut itu menjadi perisai dirinya dari serangan sinar hijau. Kabut itu
membungkus sepasang sinar hijau tepat di depan mata Pawang Jenazah.

Rupanya ia tahu apa yang akan terjadi, sehingga ia cepat sentakkan kaki
dan melesat menjauhi gumpalan kabut itu. Kejap berikut terdengar letupan
kecil bagai teredam gumpalan asap tersebut.

Blabbb... !

Rupanya sinar hijau itu pecah bersamaan, dan asap putih pun menyebar
buyar, lalu hilang terbawa angin. Sementara itu, Perwira Loyang
terbengong kecewa karena serangannya mudah dibekap dengan gumpalan kabut
putih.

Pada saat ia terbengong itulah, Pawang Jenazah melepaskan satu pukulan
mautnya ke arah Perwira Loyang. Pukulan itu keluar dari tangan kanannya,
berupa gelombang bercahaya merah melingkar-lingkar membungkus tubuh
Perwira Loyang.

Zrrrub...!

"Aaagh...!" Perwira Loyang mengejang tubuhnya dan menggerinjal-gerinjal
kelojotan. Ia bagai dikurung dalam kobaran api yang amat panas.
Rambutnya menjadi rontok. Bahkan sebagian rambut menjadi susut, dan
kepala mulai botak tak teratur. Kumis dan alisnya pun terbakar hangus,
hilang sebagian. Tinggal sisanya yang memendek.

Untung ia cepat bisa melepaskan diri dari kurungan sinar merah
bergelombang-gelombang itu dengan sentakan tenaga dalam yang disalurkan
lewat kakinya. Tubuh itu melesat keluar dari kurungan sinar maut, dan
berjungkir balik di tanah. Tapi sebagian tubuh sudah mulai melepuh.
Melihat keadaannya cukup parah, Perwira Loyang merasa perlu selamatkan
diri lebih dulu. Maka ia pun segera melesat lari dan meninggalkan Pawang
Jenazah. Tetapi lawannya tak mau melepaskan dia begitu saja. Pawang
Jenazah pun cepat mengejarnya.
*
* *




8
LAKSAMANA Cho Yung terbengong melihat Perwira Loyang datang menghadap
dalam keadaan seperti tikus kebakaran. Wajahnya menjadi lucu karena
rambutnya yang diplontos keriting dan berbau sangit. Kumisnya menjadi
plontos, bahkan alisnya pun habis. Kulit tubuhnya hitam mengkilat
bercampur warna merah matang.

"Apakah kau Perwira Loyang?!" ucap Laksamana Cho Yung dalam keraguan
hati. Dan Perwira Loyang menjawab sambil tundukkan kepala.

"Benar, Tuan Laksamana! Sayalah Perwira Loyang!"
Plokk... !

Bonyok sudah pipi Perwira Loyang mendapat tamparan Laksamana Cho Yung
yang sudah seperti langganan itu. Laksamana Cho Yung membentak,

"Mengapa kau sampai seperti ini, hah?! Siapa yang membuatmu mirip
kambing guling begini, hah?!"
"Pawang Jenazah, Tuanku!"
Plokk... !

"Mengapa kau biarkan dia membuatmu sampai seperti ini? Bodoh! Seharusnya
kau lawan dia dan jangan mau dibuat seperti babi panggang begini!"
bentak Laksamana Cho Yung lagi.

Dongkol sekali hati Perwira Loyang mendengar ucapan seperti itu. Siapa
orangnya yang mau dibuat seperti babi panggang jika bukan karena kalah
ilmu? Sudah nasibnya seperti babi panggang, masih saja kena gampar
seenaknya. Pipi yang sudah matang karena terbakar itu menjadi bonyok dan
lembek.

"Sekarang di mana Pawang Jenazah itu?"
"Sedang menuju kemari, mengejar saya, Tuan Laksamana!"
"Mengapa kau izinkan, tolol!"
Plokk... !

Bentakan itu makin keras, demikian pula tamparan itu juga semakin keras.
Mata Perwira Loyang berkunang- kunang seketika itu juga. Tapi ia sempat
ucapkan kata,

"Saya... saya hanya mau kasih tahu kepada Tuan, bahwa Mayang Suri
menyembunyikan bayinya di Pegunungan Mahagiri. Ia dijaga oleh Nona Bunga
Bernyawa dan Suto, si pemuda yang menolong Bunga Bernyawa dari serbuan
mayat-mayat di kuburan itu, Tuanku. Dan... dan...."

Brukk...! Perwira Loyang rubuh karena tak tahan lagi. Kepalanya semakin
sakit, matanya kian buram, ia jatuh pingsan di depan Laksamana Cho Yung.
Sialnya lagi, Laksamana Cho Yung justru menjadi geram dan mengangkat
tubuh yang pingsan itu dengan cengkeraman tangan kirinya lalu berteriak
membentak di depan wajah Perwira Loyang,

"Sudah tahu bayi itu dibawa lari ke sana, mengapa kau tak mengejarnya
dan justru pulang ke kapal? Bodoh! Bodoh sekali kau!"

Plokkk...! Brukk...!

Wajah pingsan itu makin bonyok. Makin pingsan juga nasib Perwira Loyang.
Kalau saja ia tak pingsan maka ia akan terpekik keras karena tamparan
yang paling keras yang terakhir diterimanya itu telah membuat pipinya
jadi terkelupas.

"Ular Setan...!" panggil Laksamana Cho Yung dengan berang.

Segera muncul dari ruang nakhoda seorang berpakaian kuning berhias
sulaman benang merah bergambar seekor ular kobra. Orang itu membawa
pedang besar yang tak bisa diselipkan di pinggang. Gagang pedangnya
mempunyai kuncer-kuncer benang merah sutera. Orang itu berambut botak
bagian depan, tapi bagian belakangnya panjang sampai melewati pundak.
Alisnya tebal bagai mau menyambung antara yang kiri dengan yang kanan.
Matanya liar dan dahinya selalu berkerut, giginya agak tonggos, sehingga
ia tampak selalu cemberut. Dialah yang dijuluki oleh Laksamana Cho Yung
sebagai si Ular Setan!

"Hadang serangan Pawang Jenazah yang sedang menuju kemari mengejar
Perwira Loyang!" perintah Laksamana Cho dengan tegas.

"Baik!" jawab Ular Setan dengan pendek, karena memang ia termasuk orang
yang tak suka banyak bicara. Tanpa menunggu perintah lagi ia segera
melompat dari geladak dan pijakan kakinya ke pasir pantai dengan meniti
tambang penambat kapal yang diikatkan di pohon kelapa yang ada di
pantai. Pedang besarnya yang bermata lebar dengan ujung sedikit lengkung
itu berkuatan terkena pantulan sinar matahari.

Tetapi baru saja Ular Setan pijakkan kakinya di pasir pantai, tiba-tiba
ia mendengar suara gemuruh bagai puluhan kaki berlarian menuju ke
arahnya, ia memandang ke belakang, ternyata benar dugaannya, ada puluhan
kaki berlari menuju ke kapal berlayar tiga itu.

"Apa itu...?!" gumamnya dengan mata terkesiap.

Semakin dikecilkan matanya semakin tajam ia memandang.

Rombongan orang berpakaian compang-camping dengan rambut acak-acakan,
bahkan ada yang bertubuh somplak sana-sini sedang bergegas bagai pasukan
yang siap menyerbu. Ular Setan makin terkesiap setelah ia sadari bahwa
puluhan orang yang berlari mendekati kapal itu adalah mayat-mayat yang
berlumur tanah kuburan.

"Celaka...!" gumamnya tegang. Lalu, dengan sedikit gugup Ular Setan
berseru kepada awak kapal yang ada di geladak,

"Celakaaa...! Eh, bahayaaa...! Bahaya...!" Sejenak para awak kapal di
sana saling bingung, saling tak mengerti apa yang dimaksud bahaya oleh
Ular Setan. Mereka segera pandangi sekeliling, lalu melihat rombongan
mayat sedang menuju ke arah kapal. Mereka segera serukan tanda bahaya,
sehingga Laksamana Cho Yung keluar dari kamarnya dan ikut memandang ke
arah pantai.

Dengan cepat ia serukan perintah, "Serang mereka! Lenyapkan!" Maka
saling berebutan para awak kapal mencari senjatanya. Mereka turun dari
geladak dan bergabung dengan Ular Setan.

Salah seorang dari mereka berseru, "Lihat...! Dari barat juga ada!"
sambil orang itu menuding ke arah barat.

Ternyata dari arah sana datang juga serombongan mayat yang sudah
dibangkitkan oleh ilmu pembangkit mayat. Mayat itu bukan hanya bisa
bangkit dan berjalan, tapi sebagian besar ilmu yang dimiliki Pawang
Jenazah disalurkan kepada mayat-mayat tersebut, sehingga para orang mati
itu bisa memainkan jurus-jurus maut seperti layaknya orang berilmu
tinggi. Padahal di antara mereka ada pula yang masih bocah, yang
perempuan, dan yang sudah menjadi nenek pikun. Begitu bangkit langsung
menjadi liar dan ganas, mampu memainkan jurus silat berilmu tinggi.

Pertarungan antara para mayat dengan para awak kapal terjadi dengan
sengitnya. Ular Setan berhasil tetaskan pedangnya beberapa kali ke leher
para mayat. Banyak yang terpenggal kepalanya, tapi masih bisa hidup dan
menyerang dengan gigih. Mereka saling mengerang dan seringaikan wajahnya
hingga suara hiruk-pikuk memenuhi sekitar kapal mirip sekali dengan
keramaian suasana di pasar.

Suara riuh itu diselingi jerit dan pekik dari anak buah Laksamana Cho
Yung yang mati diterkam mayat. Satu orang dipakai rebutan lima atau enam
mayat. Tubuh mereka dicabik-cabik habis tanpa peduli apakah tubuh itu
sudah mati lebih dulu atau belum.

Sebagian pasukan mayat itu memanjat ke kapal melalui tambang pengikat,
atau ada yang menggunakan ilmu peringan tubuh dengan sekali sentak sudah
bisa melayang dan hinggap di tepian geladak. Mereka menyerang masuk ke
kamar-kamar dan memporak- porandakan keadaan di atas kapal itu.

Laksamana Cho Yung ikut menyerang para mayat dengan pedangnya yang
sering pancarkan sinar hijau itu. Tapi semakin banyak yang dipenggal,
semakin bertambah jumlah penyerangnya. Karena kepala yang dipenggal bisa
melayang sendiri dan tubuh tanpa kepala bisa menyerang sendiri. Tangan
yang terpotong putus pun bisa bergerak menyerang lawannya dengan liar.

Tubuh Perwira Loyang yang saat itu masih jatuh pingsan di geladak
menjadi sasaran empuk bagi para mayat rakus. Tubuh Perwira Loyang habis
dikoyak- koyaknya, hingga tak lagi berbentuk jasad manusia tanpa nyawa.
Lebih mirip seonggok daging busuk yang mengerikan.

Melihat banyaknya jumlah mayat dan keganasannya yang mengerikan,
Laksamana Cho Yung segera menyingkir dari kapal dan berlari ke pantai.
Tapi di pantai pun ia dihadang oleh tujuh mayat, satu di antaranya sudah
tidak berkepala lagi. Laksamana Cho Yung terpaksa menghadapi mereka
untuk buka jalan. Sementara itu, Ular Setan pun tampak masih gigih
menghadapi mayat-mayat yang mengeroyoknya tanpa ampun lagi itu.
Pedangnya berkelebat ke sana-sini, malah kadang-kadang hampir membabat
kakinya sendiri karena simpang-siur gerakan pedang.

"Ular Setan...! Cepat lari...!" teriak Laksamana Cho Yung ketika melihat
kapalnya digulingkan oleh mayat- mayat yang semakin banyak menyerang ke
arah kapal itu. Kapal besar tersebut seperti kotak tempat wayang kulit,
yang dapat dengan mudah dijungkir-balikkan. Brakkk...! Brrrusss...!
Krakkk...!

Serangan tak tanggung-tanggung itu membuat Laksamana Cho Yung merasa
perlu melarikan diri. Apalagi dari sekian banyak orang, hanya dia dan
Ular Setan yang masih bertahan hidup, sedangkan jumlah penyerang semakin
bertambah saja rasanya, walau hanya berupa potongan tangan atau kepala.
Jelas hal itu tidak mungkin mampu dibereskan hanya dengan dua orang saja.

Laksamana Cho Yung berlari cepat diikuti oleh si Ular Setan yang sudah
terluka di bagian punggungnya. Tapi luka itu tak dihiraukan. Bahkan luka
koyak di bagian kepala yang tidak ditumbuhi rambut itu pun dibiarkan
saja, walaupun ada darah yang mengalir sampai ke sela-sela cuping
hidungnya.

Cukup jauh Laksamana Cho Yung melarikan diri tanpa berhenti, sementara
Ular Setan sudah hampir kehabisan napasnya. Tapi karena patuh, ia tetap
ikuti ke mana pun larinya Laksamana Cho Yung.

Mereka memang selamat dari serbuan mayat-mayat rakus yang bersikap ganas
melebihi setan itu. Tapi mereka lupa bahwa pawangnya masih belum muncul
dalam pertarungan di kapal. Orang yang memiliki ilmu pembangkit mayat
seperti yang dimiliki Ki Gendeng Sekarat dari Pulau Mayat itu, ternyata
sengaja mengejar Laksamana Cho Yung dari arah lain. Sampai pada suatu
tempat, di kaki sebuah bukit, Pawang Jenazah menghadang langkah
Laksamana Cho Yung dengan sangat mengejutkan, ia muncul dari balik
kerimbunan pohon bambu dan langsung melepaskan pukulan bersinar merah
dari tangannya.

Wusss... !

Sinar merah berbentuk percikan bintang besar itu melesat ke arah kepala
Laksamana Cho Yung. Melihat kilatan sinar merah itu, Laksamana Cho Yung
cepat merundukkan kepala lalu menggulingkan badan ke tanah.

Wuttt...! Sinar itu lolos dan dapat dihindari. Tapi Ular Setan yang
mengikuti Laksamana Cho Yung dari belakang itu tak tahu adanya sinar
yang melesat. Ketika ia mengetahuinya, sinar yang sudah ada di depan
mata Ular Setan itu memang mengincar kepala si Ular Setan.

Blarrr...!

Meledaklah sinar merah itu, karena meledak pula kepala Ular Setan hingga
tinggal bagian tubuhnya saja. Tubuh itu masih bergerak-gerak membabatkan
pedang besarnya ke sana-sini dengan ngawur. Lama-lama berhenti, dan
rubuh tak bergerak lagi.

"Ular Setan...?!" pekik Laksamana Cho Yung dalam ketegangannya, ia
mendelik melihat kepala Ular Setan menjadi serpihan kecil.

"Bodoh kau!" maki Laksamana Cho dengan menyesal sekali dan marah tak
terlampiaskan. "Sudah tahu ada sinar merah mengapa tidak segera
menundukkan kepala, Tolol! Kalau ke sini cuma mau mati, kenapa harus
repot- repot ikut lari! Diam saja di kapal sana, kau juga akan mati
sendiri dihancurkan mayat-mayat itu! Oh, Ular Bodoh...! Kenapa kau mati
dengan sia-sia, hah?!"

Terdengar suara Pawang Jenazah menyahut dalam tawanya,
"Kau pun akan mati dengan sia-sia, Laksamana Cho!"

Melihat lawannya berdiri dengan tegak dan tampak jumawa sekali,
Laksamana Cho Yung segera bangkit dan menggeram sampai kepalanya gemetar.

"Kematian ini harus kau tebus dengan nyawamu. Pawang Jenazah!"
"Aku sudah siap. Tapi apakah kau sudah siap juga. Laksamana?"
"Babi buntung kau! Sudah sejak dari dulu aku siap melawanmu!"

"Bagus! Berarti kematian istri dan anakku hampir selesai kutebus! Tak
kuizinkan siapa pun orangmu hidup menikmati udara segar di permukaan
bumi ini! Gundikmu pun akan kucari dan kulumat habis, seperti aku
melumat daun sirih!"

"Hiaaat...!" Laksamana Cho Yung tebaskan pedang ke depan. Pedang itu
keluarkan sinar merah menyebar dalam bentuk pipih. Sinar itu menghantam
tubuh Pawang Jenazah. Tetapi, tangan Pawang Jenazah lebih dulu
berkelebat dan keluarkan kabut yang menggumpal. Kabut itu menerkam sinar
merah dan terjadi letupan kecil, blaab...! Kemudian kabut menyebar pecah
dan lenyap bersama angin. Sinar merah dari pedang itu pun tak kelihatan
lagi.

"Jahanam...!" geram Laksamana Cho Yung melihat sinar merahnya bisa
diredam dengan kabut. Maka, segera ia memutar-mutarkan pedangnya dengan
cepat di samping kanan. Dan tiba-tiba pedang itu disentakkan ke atas,
lalu dari ujung pedang itu keluar sinar hijau melesat ke arah Pawang
Jenazah. Zlabbb...!

Kilatan cahaya hijau begitu cepat. Pawang Jenazah tak sempat menangkis,
ia hanya bisa menghindar dengan melayang bagaikan seekor singa hendak
menerkam mangsanya. Lompatan itu sedikit telat, karena sinar hijau
tersebut membentur batu besar di belakang Pawang Janazah, batu itu pecah
menjadi serpihan dan beberapa bagian melesat cepat menghantam betis dan
paha Pawang Jenazah. Jrusss...! Crapp...!

"Aaahg...!" Pawang Jenazah berguling di tanah dengan kesakitan. Rupanya
sinar hijau dari pedang itu bisa membuat benda padat yang terkena
sasaran menjadi pecah dan pecahannya pasti berbentuk runcing, dan masih
mempunyai kekuatan tenaga dalam cukup hebat. Terbukti, dua pecahan batu
itu menjadi runcing dan menancap di paha dan betis Pawang Jenazah. Dua
pecahan batu itu sepertinya telah mengandung kekuatan hawa panas yang
membuat daging betis dan paha menjadi terbakar pada bagian lukanya.
Hitam hangus seketika.

"Bangsat kau, Cho...!" geram Pawang Jenazah sambil menahan rasa
sakitnya. Lalu, ia melepaskan pukulan bergelombang merah yang pernah
membungkus tubuh Perwira Loyang. Pukulan itu dilepaskan dalam keadaan
sedikit merebah di tanah.

Wuttts... !

Laksamana Cho Yung segera sentakkan pedangnya ke depan seperti menusuk
udara. Dan pedang itu keluarkan sinar merah juga yang berbentuk seperti
api terbang' Sinar merah itu menembus lingkaran sinar merah
bergelombang. Akibatnya, timbul satu perpaduan keras antara dua tenaga
dalam berkekuatan tinggi yang sama-sama meledak di pertengahan jarak.

Blarrr...!

Laksamana Cho Yung tersentak bagai terbarg ke belakang. Brasss...!
Tubuhnya bagai dilemparkan dengan kasar ke arah rimbunan batang bambu.
Empat batang bambu itu patah seketika terkena benturan tubuh Laksamana
Cho Yung. Sedangkan Pawang Jenazah pun terpental jauh, berguling-guling
sampai membentur gugusan batu cadas.

"Dia memang cukup tangguh," pikir Laksamana Cho Yung. "Ledakan tadi
membuat dadaku terasa panas. Berbahaya kalau kugunakan untuk melawannya
lagi. Aku harus cepat lari untuk temukan bayi itu! Aku harus segera
makan jantung dan hati bayi itu, supaya ilmu Dewa Maut meresap dalam
diriku dan bisa kupakai untuk kalahkan pawang bangsat itu!"

Maka dengan cepat Laksamana Cho Yung tinggalkan tempat pertarungannya.
Terdengar suara Pawang Jenazah berseru,

"Hoi...! Mau ke mana kau, Bajingan! Ke liang semut pun akan kukejar
kau...!" Pawang Jenazah bergegas mengejarnya, tapi ia jatuh tersungkur
karena rasa sakit di kaki kirinya sangat menyiksa. Sekali pun demikian,
Pawang Jenazah tak mau menyerah, ia mencoba bangkit lagi dan berusaha
mengejar Laksamana Cho Yung.

Namun tiba-tiba di depannya telah berdiri seorang berpakaian hitam,
berkerudung hitam dari kepala sampai kaki, berwajah putih dengan bibir
biru dan tepian mata hitam. Tampak masih muda namun berwajah dingin.
Tanpa senyum sedikit pun. Ia menggenggam tongkat El Maut yang berujung
sabit panjang melengkung.

Dialah orang yang diburu Pendekar Mabuk selama ini, yaitu, Siluman Tujuh
Nyawa. Pawang Jenazah tak kenal orang itu, hanya pernah mendengar nama
julukan tersebut disebutkan beberapa orang di kedai makan. Itulah
sebabnya Pawang Jenazah kerutkan dahi saat berhadapan muka dengan orang
paling keji di dunia itu.

"Jangan kejar dia sekarang!" kata Siluman Tujuh Nyawa. "Kau bisa temui
dia, juga Bunga Bernyawa, si putri Cina yang cantik itu, juga Mayang
Suri dan bayinya... mereka ada di Pegunungan Mahagiri! Di sana ada pula
Pendekar Mabuk yang bernama Suto Sinting! Bunuh Pendekar Mabuk itu,
karena dia yang akan menjadi penghalangmu untuk melenyapkan Bunga
Bernyawa. Aku akan membantumu, Pawang Jenazah!"

Tiba-tiba dari jari tangan Siluman Tujuh Nyawa keluarkan sinar putih
menembus luka di kaki Pawang Jenazah. Kejap berikutnya luka itu menjadi
kering, bahkan pulih seperti sediakala. Tak ada bekas dan tak ada sisa
sakit sedikit pun. Pawang Jenazah terheran- heran.

* **





9
PEGUNUNGAN Mahagiri mempunyai tebing-tebing curam, jurang yang dalam dan
udara dingin yang membekukan darah. Perjalanan yang sudah ditempuh oleh
rombongan Mayang Suri sudah memakan waktu tiga hari. Pesanggrahan Eyang
Juru Taman tinggal separo hari lagi dari tempat istirahat mereka.

Pendekar Mabuk tiba-tiba ajukan usul, "Bagaimana jika bayi itu kubawa
lebih dulu untuk mencapai pesanggrahan Eyang Juru Taman? Aku takut bayi
itu menjadi sakit karena udara yang begini dingin!"

"Tidak. Bagaimanapun aku harus tetap bersama anakku," kata Mayang Suri.
Ia mendekap anaknya yang dibungkus kain tebal.

"Kau masih curiga padaku, Mayang Suri?"

"Aku tidak curiga! Tapi sebagai seorang ibu, aku harus tetap mendampingi
bayiku! Kalau dia mati, harus mati bersamaku!"
Bunga Bernyawa cepat ucapkan kata kepada Suto Sinting, "Sebaiknya memang
bayi itu tetap ada dalam pelukan ibunya! Barangkali dia butuh minum
sewaktu- waktu."

"Baiklah, aku mengerti! Kalau begitu, bungkus dia dengan kain yang lebih
tebal lagi! Udara sedingin ini bisa bikin dia mati membeku kalau tak
dihangatkan!" kata Suto.

"Sebaiknya kita teruskan perjalanan, supaya sampai di pesanggrahan masih
ada sisa matahari!" kata Sulasih yang membawa kain pembungkus
pakaian-pakaian bayi."Aku setuju," jawab Bunga Bernyawa. "Terlalu lama
beristirahat bisa bikin urat-urat kita kaku membeku!"

Maka, mereka pun kembali teruskan langkah menyusuri tebing.

Tanpa diduga-duga, sebuah benda melesat dari arah belakang mereka.
Sebatang ranting kering berukuran kecil menghantam punggung Mayang Suri.
Deggg...!

"Ahhg...!" Mayang Suri tersentak dengan mulut ternganga dan mata
terpejam merasakan sakit. Tubuhnya jadi limbung dan kakinya lemas, ia
terkulai jatuh ke jurang di sebelah kirinya.

"Mayaaaang...!" teriak Sulasih dengan tegang. Tubuh Mayang Suri terlihat
jelas melayang dan tetap memeluk bayinya.

Melihat hal itu, Pendekar Mabuk cepat sentakkan kaki lalu melompat ke
jurang itu dengan gerakan cepat ia mendahului tubuh Mayang Suri dan
bayinya, ia menghadang gerakan tubuh Mayang Suri yang melayang menerabas
semak dedaunan.

Debbb...! Tubuh Mayang Suri tertahan tangan Pendekar Mabuk. Bayinya
nyaris terlepas dari gendongan. Untung tangan Suto cepat meraih selimut
bayi dan berhasil ditarik kembali ke gendongan Mayang Suri. Kini tubuh
Mayang Suri dan bayinya ada dalam topangan kedua tangan Suto Sinting.
Mayang Suri tampak mengerang kesakitan. Wajahnya menjadi biru. Ini
pertanda pukulan tenaga dalam beracun telah mengenainya. Pukulan beracun
itu disalurkan melalui ranting kering yang mengenai punggung Mayang Suri.

Pendekar Mabuk menahan napasnya beberapa saat, ia hanya berdiri di atas
sebatang ranting pohon hijau yang besarnya seukuran kelingking. Jika
bukan dengan menggunakan ilmu peringan tubuh cukup tinggi, sudah tentu
ranting hijau kecil itu tak akan mampu menyangga tubuh Suto dan Mayang
Suri bersama bayinya.

Dengan satu sentakan kaki pelan, tubuh Suto sudah bisa melesat naik, dan
kaki itu menjejak lagi sebatang dahan kecil, lalu tubuh makin naik lagi,
akhirnya tiba di permukaan tebing. Jleggg... !

"Suto, oh... syukurlah! Syukurlah Mayang dan bayinya selamat!" kata
Sulasih. "Oh, tapi mengapa wajahnya menjadi biru begini?'

"Dia terkena pukulan beracun!" kata Suto sambil berusaha meletakkan
tubuh Mayang Suri, dan Sulasih cepat mengambil bayi yang menangis sejak
berada dalam topangan tangan Suto tadi.

"Mana Bunga...?!" Suto mencari Bunga Bernyawa yang tak kelihatan di
antara mereka. Sulasih menjawab dengan tegang juga,

"Bunga mengejar orang di balik gugusan tanah itu!"
"Orang siapa?"
"Entahlah! Sepertinya orang itu dari negeri Cina juga!"

"Laksamana Cho...?!" gumam Pendekar Mabuk, ia ingin cepat menyusul Bunga
Bernyawa, tapi keadaan wajah Mayang Suri makin membiru. Maka,
cepat-cepat ia membuka mulut perempuan hitam manis itu dan ia tuangkan
tuak ke dalam mulut itu. Glek glek glek...!

Tuak terminum oleh Mayang Suri.

"Jaga bayi itu dan Mayang, aku menyusul Bunga!" kata Suto kepada
Sulasih. Ia merasa lega jika Mayang Suri sudah minum tuaknya, karena
tuak itu adalah penangkal racun yang paling ampuh.

Benar dugaan Suto, Laksamana Cho Yung sedang berhadapan dengan Bunga
Bernyawa. Tentunya orang itulah yang melemparkan ranting dan sengaja
mencelakai Mayang Suri supaya ia bisa merebut bayinya dengan mudah. Dan
jika bukan dengan ilmu tinggi, tak mungkin Laksamana Cho Yung bisa
menyusul rombongan Mayang Suri hanya dalam waktu satu hari satu malam.
Tentunya ilmu tinggi yang digunakan dapat mempercepat gerakan larinya
tanpa harus menguras tenaga terlalu berlebihan.

Tapi agaknya Laksamana Cho Yung sudah membulatkan tekadnya untuk
membunuh gundiknya itu. Bunga Bernyawa segera kirimkan jurus maut yang
pernah membuat dinding kamar berlubang tanpa semburkan debu. Namun
agaknya jurus maut itu masih bisa ditangkis oleh pedang laksamana dan
membalik arah kepada Bunga Bernyawa sendiri.

Bahkan dalam jurus selanjutnya, Bunga Bernyawa terdesak dan terpental
dalam keadaan keluarkan darah dari lubang hidung dan mulutnya. Laksamana
Cho Yung segera pergunakan pedangnya untuk menebas leher Bunga Bernyawa.
Tetapi tiba-tiba lelaki itu dikejutkan oleh melesatnya sinar hijau kecil
yang menghantam pedangnya. Trakkk...! Pedang itu patah menjadi dua
bagian. Sinar hijau itu melesat dari jari tangan Pendekar Mabuk yang
disentilkan dalam jarak delapan langkah.

Mata Laksamana Cho tak berkedip memandang pedang pusakanya yang patah
begitu saja. Geram kemarahannya begitu tinggi hingga wajahnya menjadi
merah. Matanya membelalak tajam dan buas saat memandang Suto. Pada saat
itu, Pendekar Mabuk dengan tenangnya menenggak tuak dalam bumbung
beberapa teguk.

"Setan kumal!" geram Laksamana Cho Yung. "Jadi kaulah budak nafsu
perempuan lacur itu, hah?!"

Suto Sinting tetap diam, hanya memandang dengan senyum tipis di
bibirnya. Melihat sikap begitu, Laksamana Cho Yung semakin geram,
darahnya bagaikan mendidih.

"Kalau kau mau awet hidup, jangan campuri urusanku!"
"Kalau kau sendiri mau awet hidup, jangan ganggu Bunga Bernyawa ataupun
Mayang Suri dan bayinya!"
"Setan Kudis! Aku adalah paman dari bayi Mayang Suri!"
"Kau bukan paman, Laksamana! Kau adalah iblis bagi bayi itu!"

"Rupanya kau bocah ingusan yang tak mau turuti nasihat orang tua, hah?!
Bagus! Dengan begitu aku tak segan-segan membunuhmu!"

"Apakah kau akan menyambung pedangmu lagi, Laksamana Cho?!" sindir Suto
sambil sunggingkan senyum mengejek. Laksamana Cho tak bisa tahan amarah
lagi. Maka dengan cepat ia angkat tangannya ke atas kepala, kemudian ia
sentakkan kedua tangan itu ke depan bagai mencakar udara secara
bersamaan. Wrusss...!

Percikan bintang-bintang hijau menebar dalam kecepatan laju mengarah
kepada Pendekar Mabuk. Kecepatannya itu sangat tinggi, sehingga Suto
hanya bisa menghindar dalam satu lompatan ke samping. Percikan bintang
hijau itu melesat di depan Pendekar Mabuk, lalu bumbung tuaknya
dihadangkan. Percikan bintang mengenai bumbung tuak. Zrriipp... !

Kali ini tenaga dalam yang berbentuk percikan bintang kecil-kecil itu
menyerap masuk ke bumbung tersebut. Suto sendiri sepertinya sempat
terkejut walau disembunyikan. Tak pemah ada pukulan bersinar yang bisa
meresap menembus bumbung tuak. Biasanya memantul balik. Sementara itu,
Laksamana Cho Yung juga terheran-heran melihat pukulan mautnya terserap
masuk ke dalam bumbung tuak bambu itu. Biasanya akan melenyapkan benda
apa pun yang dihantamnya.

Terjadi getaran hebat di dalam bumbung tuak. Suara air mendidih bagai
terjadi di dalam bumbung. Getaran itu membuat tangan Suto yang
memeganginya ikut berguncang-guncang. Rasa penasaran membuat Suto
akhirnya membuka tutup bumbung bambu itu dalam posisi dihadapkan ke arah
Laksamana Cho. Wosss...!

Ternyata dari dalam bumbung menyemburlah kobaran api yang cukup dahsyat.
Kobaran api itu bukan hanya besar namun juga cepat. Api yang menyembur
segera menerkam tubuh Laksamana Cho Yung. Orang itu tak sempat
menghindar karena terperangah kaget mengetahui bumbung tuak menyemburkan
api begitu besarnya, bisa untuk membakar hutan.

Akibatnya, tubuh Laksamana Cho terbakar seluruhnya. Mula-mula Laksamana
Cho diam saja, bersemadi dan kerahkan hawa dingin dari dalam dirinya.
Tapi api itu semakin lama bukan semakin padam, melainkan semakin besar.
Pakaian Laksamana Cho mulai terbakar, demikian pula kumis dan rambutnya.
Akhirnya Laksamana Cho Yung jejingkrakan dengan panik, ia
berteriak-teriak sambil mengguling-gulingkan badan di semak dan
rerumputan. Gulingan badan itu membuat api bertambah besar kobarannya.

"Aaa...! Woaaa! Huaaa...!" Laksamana Cho Yung berteriak-teriak dengan
kelojotan. Badannya mulai menjadi hangus, semua pakaian dan rambut sudah
habis terbakar. Kini ia bergelimpangan seperti mengenakan seragam hitam.
Api masih terus membungkusnya sampai akhirnya tubuh itu tak bergerak
lagi. Menjadi hangus seluruhnya, dan tetap dibungkus api. Sampai
akhirnya tubuh Laksamana Cho Yung menjadi tinggal arang, api itu masih
tetap membungkus mayat Laksamana Cho Yung.

"Api itu menjadi api abadi yang akan membungkus jasadnya sampai habis
tak berbekas lagi," kata Suto kepada Bunga Bernyawa.

"Ilmumu memang gila-gilaan. Sinting!" kata Bunga Bernyawa sambil
terbatuk-batuk. Suto memandang kepucatan wajah Bunga Bernyawa, ia
menjadi cemas. Cepat ia mengangkat dagu gadis itu dan memandangi dengan
tajam, lalu ia ucapkan kata,

"Kau terkena pukulan tinggi! Lekas minum tuakku ini!"

Pendekar Mabuk memeriksa bumbung tuaknya, ternyata masih berisi tuak
separo bumbung. Tuak itu diminumnya dulu, karena takut beracun setelah
dipakai merendam jurus pukulan laksamana tadi. Ternyata tuak itu tidak
beracun, maka segera diminumkan kepada Bunga Bernyawa.

"Kita lanjutkan perjalanan, Bunga!"
"Bagaimana dengan Mayang Suri?"
"Dia aman bersama bayinya!"

Kemudian Suto dan Bunga Bernyawa bergegas ke tempat Sulasih dan Mayang
Suri beristirahat. Tetapi alangkah terkejutnya ia ketika melihat
ternyata di sana sudah ada Pawang Jenazah yang menggendong bayinya
Mayang Suri. Sedangkan Sulasih dan Mayang Suri tertotok tak dapat
bergerak sedikit pun kecuali hanya mencucurkan air mata.

Bunga Bernyawa juga membelalakkan matanya dengan kaget. Bayi itu
digendong oleh Pawang Jenazah dengan satu tangan, siap dilemparkan ke
jurang. Tegang dan berdebar-debar hati Bunga Bernyawa. Suto pun
sebenarnya juga merasa tegang, tapi ia bisa sembunyikan perasaannya dan
tetap berpenampilan kalem.

"Hei, Cecunguk! Aku tahu kau melindungi perempuan itu! Kulihat kau sudah
membunuh Laksamana Cho, dan itu adalah kelancangan yang paling kubenci!"
kata Pawang Jenazah. "Kau telah membuat aku kecewa, karena nyawa
Laksamana Cho Yung adalah milikku! Akulah yang berhak membunuhnya! Tapi
kau telah menduluinya! Sekarang, serahkan perempuan itu, atau
kulemparkan bayi ini ke jurang?"

Bunga Bernyawa memandang Suto setelah sampai sekian lama Suto tidak
kasih jawaban apa-apa. Suto bahkan menenggak tuaknya lagi sedikit.
Santai sekali caranya menanggapi ancaman Pawang Jenazah. Hal ini membuat
Pawang Jenazah semakin garang.

"Kuhitung tiga kali kalau kau tidak mau serahkan perempuan itu, bayi ini
kulemparkan ke jurang!" gertak Pawang Jenazah, sementara itu sang bayi
masih tetap menangis memilukan hati.

"Untuk apa kau kehendaki perempuan ini?!" tanya Suto kalem.
"Dia harus mati juga, karena dia gundiknya Laksamana Cho!"
"Dia sudah bukan gundiknya lagi! Dia justru menjadi orang yang menentang
kekejian Laksamana Cho Yung!"
"Aku tahu! Tapi saat Laksamana Cho Yung membunuh anak dan istriku,
perempuan itu masih menjadi istri gelapnya!"
"Apakah dia ikut andil membunuh anak dan istrimu?!"

"Memang tidak! Tapi dia adalah bagian dari Cho, karenanya tak akan
kubiarkan satu pun orangnya Laksamana Cho Yung yang bisa hidup!"

"Kau tak adil, Pawang Jenazah!"
"Persetan dengan kesimpulan dan penilaianmu! Kumulai menghitung ancaman
tadi. Satu...!"

Bunga Bernyawa menatap Pendekar Mabuk, lalu Ia bisikkan kata, "Biar
kuhadapi dia! Yang penting selamatkan bayi itu!"

"Tenang. Sabar saja dan jangan panik. Aku akan segera melompat ke jurang
pada saat ia lemparkan bayi itu!" bisik Suto Sinting.

Terdengar suara Pawang Jenazah tak sabar diri lagi, "Dua...!"

"Pawang Jenazah...!" kata Suto. "Kalaupun kuserahkan perempuan ini
kepadamu, mana mungkin kau bisa membunuhnya?!"

Berdiri telinga Pawang Jenazah, merah daun telinga itu.

"Kau pikir sulit membunuh perempuan itu?!"

"Kecuali ilmumu tinggi, tentu saja mudah membunuh Bunga Bernyawa! Tapi
kupikir ilmumu tak sebanding dengan ilmu yang dimiliki putri kaisar ini!"

"Setan!" geram Pawang Jenazah. "Cecunguk ingusan macam kalian menganggap
berilmu lebih tinggi dariku?!"

"Kalau memang kau berilmu tinggi, hadapilah perempuan ini dengan
ksatria! Aku berani bertaruh nyawa, dua jurus saja nyawamu sudah
melayang dan mungkin hinggap di nyawa seekor kambing gunung!"

"Bangsat! Sesumbarmu bikin dadaku mau jebol! Kulayani tantangan kalian!"
bentak Pawang Jenazah.

Dan pada saat itu, Suto melepaskan sentilan 'Jari Guntur' yang mengarah
di bawah ketiak lawan.

Debb... ! Srekk... !

Terkunci sudah semua persendian Pawang Jenazah. Orang itu tak dapat
menggerakkan anggota tubuhnya, kecuali hanya bisa berkedip-kedip dan
bicara lewat gerakan mulutnya.

"Bangsat! Kau telah totok aku rupanya!" geram Pawang Jenazah.

Tess, tess...! Suto membebaskan totokan pada tubuh Mayang Suri dan
Sulasih. Kedua perempuan itu kembali bisa bergerak bebas. Mayang Suri
segera merebut bayinya dari tangan Pawang Jenazah. Orang itu tak bisa
berbuat banyak, tak bisa mempertahankan bayi itu, karena jarinya pun
sulit digerakkan.

"Oh, anakku...!" Mayang Suri menangisi anaknya sambil memeluknya. Bayi
itu menangis beberapa saat, lalu diam karena disusui oleh ibunya. Sambil
menyusui bayinya ia dibawa pergi oleh Bunga Bernyawa dan Sulasih.

"Pergilah sampai ke pesanggrahan Eyang Juru Taman, biar aku yang
menghadapi orang ini!" kata Pendekar Mabuk kepada Bunga Bernyawa.

Kemudian, Bunga Bernyawa pun membawa mereka meneruskan perjalanan
setelah ia berbisik dalam harapan yang tak tertahan lagi,

"Kau harus menyusulku ke sana! Jangan dustai aku!"
Suto hanya sunggingkan senyum dan anggukkan kepala. Kemudian Bunga
Bernyawa pun merasa lega.

Cepat-cepat ia membawa Mayang Suri ke tempat tujuan. Sementara itu, Suto
masih membiarkan Pawang Jenazah tertotok jalan darahnya dan tak bisa
menggerakkan badannya sedikit pun. Pendekar Mabuk tenang-tenang saja
sambil sesekali menenggak tuaknya.

Tapi di luar dugaan, ada seseorang yang melepaskan totokan itu dari
jarak jauh. Orang itu berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki,
berwajah putih dan membawa senjata El Maut. Siapa lagi jika bukan
Siluman Tujuh Nyawa. Akibatnya, dengan terlepasnya totokan itu, Pawang
Jenazah merasa bebas bergerak, lalu melepaskan serangan mautnya ke arah
Pendekar Mabuk. Suto sendiri jadi menggeragap tak siap.

Wusss... !

"Mampuslah kau seperti laksamana keparat itu!" sentak Pawang Jenazah.
Cahaya merah bergelombang menyerang Pendekar Mabuk. Cahaya itu yang
dipakai membungkus Perwira Loyang dan membuat orang itu jadi terbakar
rambutnya. Kali ini akan digunakan membakar tubuh Suto, tetapi Pawang
Jenazah tak tahu bahwa gerakan Pendekar Mabuk yang mirip orang mabuk itu
merupakan jurus maut yang membahayakan lawan.

Bumbung tempat tuak berkelebat ke depan secara tak sengaja. Dan
gelombang merah itu menghantam bumbung, lalu membalik menjadi lebih
besar lagi. Pawang Jenazah terkejut dan terpaku di tempat melihat
gerakan gelombang sinar merah membalik ke arahnya, bahkan kini
membungkus dirinya sendiri dalam suara
gemuruh seperti deru api terhembus angin.

"Aaah...! Aaah...! Bangsat...! Auuh...!"

Pawang Jenazah kebingungan mengatasi gelombang panas yang melebihi lahar
gunung berapi itu. Ia oleng ke sana-sini, sampai akhirnya tak sengaja
kakinya tergelincir dan masuk ke jurang yang dalam itu.

"Aaaa...!" Pawang Jenazah menjerit keras-keras, menggema memenuhi
dinding tebing, makin lama semakin mengecil suaranya.

Wuttt... !

Sekelebat bayangan hitam terlihat Pendekar Mabuk melintas di
belakangnya. Tongkat El Maut terlihat pula olehnya. Cepat ia berseru,

"Durmala Sanca! Berhenti kau!"

Siluman Tujuh Nyawa tetap melesat pergi. Arahnya ke pesanggrahan.
Pendekar Mabuk cemas, takut kalau- kalau bayi itu diculik dan direbut
oleh Siluman Tujuh Nyawa. Bunga Bernyawa tak mungkin bisa menghadapi
siluman itu. Karenanya, Suto pun segera menggunakan gerak siluman juga,
yang bisa melesat pergi dengan cepat bagaikan angin badai. Wesss...!

"Celaka! Jangan sampai aku terlambat tiba di samping Bunga!" pikir
Pendekar Mabuk dalam pelariannya.

Rombongan Bunga Bernyawa belum tiba di pesanggrahan. Bahkan dari
ketinggian tempat yang mereka lalui, mereka masih bisa melihat
pertarungan Pendekar Mabuk dengan Pawang Jenazah.

Tetapi tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kemunculan seorang berkerudung
hitam dan berwajah putih. Siluman Tujuh Nyawa sudah menghadang di depan
Mayang Suri. Ia langsung berkata,

"Serahkan bayi itu padaku!"

Mendadak tubuhnya tersentak. Siluman Tujuh Nyawa terkena pukulan 'Guntur
Perkasa' dari Pendekar Mabuk, ia terpental ke belakang dan tak sempat
melepaskan pukulan balasan. Karena pada saat itu, Pendekar Mabuk telah
melepaskan jurus pukulan 'Manggala'-nya.

Tetapi Siluman Tujuh Nyawa masih bisa menghindar, dan cepat melarikan
diri bagaikan petir yang melesat pergi. Karena pukulan 'Guntur Perkasa'
itu akan membuat tubuhnya cepat membusuk jika tidak segera terobati.
Semakin banyak terkena angin semakin cepat tubuh itu menjadi busuk,
itulah sebabnya Siluman Tujuh Nyawa merasa perlu menghilang lagi untuk
sembuhkan lukanya yang mengancam j iwa itu.

"Suto, mau ke mana kau?!" teriak Bunga Bernyawa ketika Suto bergegas
pergi mengejar Siluman Tujuh Nyawa.
"Aku harus kejar dia! Dia musuh utamaku!"
"Aku... aku bagaimana?!" Bunga Bernyawa berseru dalam kebingungannya.

Akhirnya Pendekar Mabuk menghampiri nona manis itu. Suto pandangi gadis
itu, lalu berkata dengan lembut,

"Untuk sementara, tinggallah bersama Mayang Suri. Jagalah dulu bayinya!
Jangan ke mana-mana! Nanti aku datang lagi kepadamu!"

"Aku... aku ingin pulang ke negeriku!"

"Aku akan atur perjalanan pulangmu! Tapi aku harus, kejar Siluman Tujuh
Nyawa itu! Percayalah, aku akan jemput kamu nanti!"

Pendekar Mabuk terburu-buru pergi, karena takut kehilangan jejak
musuhnya. Sementara itu, Bunga Bernyawa, Mayang Suri, dan Sulasih hanya
geleng- gelengkan kepala sambil sunggingkan senyum kebanggaan terhadap
diri Pendekar Mabuk.

*SELESAI*
Pendekar mabuk selanjutnya dalam episode: MUSTIKA SERAT IBLIS

PENDEKAR MABUK