Pendekar Mabuk 19 - Pembantai Berdarah Dingin(2)


 Buaya Gunung menggeram jengkel. Tangannya berkelebat beberapa kali, lalu segera disentakkan ke depan. Dari sisi lengannya keluar cahaya merah bagai bendera yang melesat miring, ingin memenggal kepala Ki Gendeng Sekarat.
Tapi dengan gerak tangan cepat pula, Ki Gendeng Sekarat sentakkan kedua telapak tangannya dan melesat pula sinar biru muda yang menyerupai bola besar. Sinar itu begitu cepat terbang ke arah Buaya Gunung, menerabas sinar merah bagai bendera, menghantam tubuh Buaya Gunung dengan sentakan yang amat kuat. Blarrr...!

Bruss...! Buaya Gunung terlempar. Tanah di tempatnya berpijak ikut terbawa beberapa bongkah, bagaikan pohon singkong dijebol batangnya. Tubuh itu melayang jauh, lebih dari sepuluh tombak, dan jatuh terhempas setelah membentur sebuah pohon tinggi.

Krakkk...! Brukkk...! Pohon itu roboh ke arah belakang Buaya Gunung. Benturan tubuh Buaya Gunung jelas sangat keras, sampai bisa menumbangkan pohon besar bercabang tinggi.

Di sana Buaya Gunung terkulai dengan kepala masih bersandar pada sisa batang pohon yang rubuh. Mulutnya berdarah, telinga dan hidungnya juga mengeluarkan darah. Wajah tua Buaya Gunung menjadi pucat pasi.

Tampaknya ia dalam keadaan setengah mati mendapat pukulan sinar biru bagaikan bola itu.

Ratna Pamegat masih terpaku bengong memandangi keadaan Buaya Gunung yang tak disangka-sangka sangat cepat dibuat tak berdaya oleh Ki Gendeng Sekarat. Padahal, ketika Ratna Pamegat mengalahkan Buaya Gunung, ia membutuhkan waktu hampir setengah hari. Tapi Ki Gendeng Sekarat mampu menumbangkan Buaya Gunung yang rakus perempuan itu dengan hanya dua-tiga jurus saja.

Ki Gendeng Sekarat mengajak Ratna Pamegat untuk meninggalkan Buaya Gunung tanpa memikirkan mati atau hidup. Mereka segera menuju ke Candi Sapta Wulan.

Ketika tiba di sana, matahari sudah condong ke barat. Alam menjadi redup karena cahaya siang nyaris pudar ditelan cakrawala. Udara di sekitar Candi Sapta Wulan itu terasa dingin. Angin berhembus sedikit aneh, karena menyebarkan bau tak sedap yang entah dari mana datangnya. Sedangkan Ratna Pamegat dari tadi menghela napas karena merasakan ada sesuatu yang tak enak di hatinya.

"Kau kelihatannya gelisah, Ratna. Ada apa sebenarnya?"

"Entahlah, Ki. Aku sendiri heran mengapa aku menjadi gelisah begini. Aku seperti punya rasa takut, tapi tak tahu takut kepada siapa! Sungguh tak jelas perasaanku, Ki!"

"Hmmm...! Apakah letak Candi Sapta Wulan masih jauh?"

"Sudah dekat, Ki. Di balik rumpun bambu wulung itu, kita bisa melihat ke arah Candi Sapta Wulan yang tinggal reruntuhannya itu!"

"Kalau begitu, percepatlah langkah kita!"

Mereka mempercepat langkah dengan berlari menerabas semak belukar. Kecepatan gerak Ki Gendeng Sekarat seakan telah menyingkapkan semak belukar di depannya sebelum ia lewat ke sana. Dan dalam beberapa kejap berikut, mereka sudah tiba di Candi Sapta Wulan itu dengan wajah tegang.

Terutama Ratna Pamegat yang berwajah tegang, karena ia melihat pelataran candi banyak ditemukan pakaian-pakaian para murid yang tergeletak begitu saja. Celana dan baju para murid bagai terlempar di pelataran candi, sedangkan pelataran itu dalam keadaan sepi, sunyi, tak ada satu pun manusia di sana. Biasanya, entah tiga atau empat orang, pasti ada yang berjaga-jaga di pelataran.

"Ada yang tak beres, Ki...!" gumam Ratna Pamegat. Maka ia pun segera mendului bergerak masuk ke candi, disusul oleh Ki Gendeng Sekarat.

Sebelum Ratna Pamegat mencapai kedalaman candi, Ki Gendeng Sekarat sempat terkejut melihat kemunculan makhluk berkepala manusia dengan tubuh tulang- belulang yang bisa berjalan dan bergerak. Ratna Pamegat segera berseru,

"Guru...! Apa yang terjadi di sini?!"

Resi Jejak Naga yang tinggal tulang dan kepala saja itu memandang sayu dan sedih kepada Ratna Pamegat. Tangannya yang tinggal tulang tanpa kulit dan daging itu melambai, menyuruh Ratna Pamegat untuk mendekat. Kemudian, murid cantiknya itu dipeluk dalam duka. Ratna Pamegat tak pernah dipeluk haru begitu oleh Resi Jejak Naga. Karena itu air mata Ratna Pamegat pun mulai menggenang di mata, walau tetap ditahannya dan tak mau ia menangis di situ.

"Guru, katakan apa yang terjadi? Ke mana para murid lainnya, Guru? Mengapa pakaian mereka ditinggalkan di pelataran sana?!"

Dengan suara parau menahan duka, Resi Jejak Naga berkata,
"Mereka dibinasakan oleh nenek aneh itu!"
"Dibinasakan bagaimana?!" desak Ratna Pamegat.
"Mereka dikutuk lenyap semua, tinggal pakaiannya. Dan kutukan itu terjadi dengan sungguh-sungguh!"

"Jahanam setan kempot itu!" geram Ratna Pamegat. "Di mana dia sekarang berada, Guru?! Di mana dia? Aku ingin membunuhnya!"

"Terlambat, Ratna! Dia sudah pergi tinggalkan tempat ini dan membiarkan aku tetap begini!"
"Nenek gila! Manusia berjiwa iblis dia itu!"

Ki Gendeng Sekarat ikut menampakkan rasa duka dan ikut berkabung, ia melangkah pelan-pelan memandangi pakaian-pakaian itu. Bahkan satu pakaian diambil dan diciumnya sebentar, kemudian ia segera berseru kepada Ratna Pamegat,

"Jiwa mereka masih ada di sekitar sini, Ratna!"

Ki Gendeng Sekarat memandang sekeliling. Seperti mencari sesuatu. Kemudian ia duduk dengan lesu. Entah apa maksudnya. Resi Jejak Naga bertanya,

"Ratna, apakah dia yang bernama Suto Sinting?"
"Bukan, Guru! Dia bernama Ki Gendeng Sekarat! Dia temannya Suto Sinting dan juga sedang mencari Suto."
"Lalu, mengapa kau membawanya kemari?"
"Dia ingin menantang nenek itu, Guru! Dia... dia cukup tinggi ilmunya. Saya terkagum-kagum melihatnya!"
"Kalau begitu, lekas cari nenek edan itu! Mudah- mudahan belum terlalu jauh meninggalkan tempat kita!"
"Baik, Guru!" kemudian Ratna Pamegat berkata kepada Ki Gendeng Sekarat, "Ki Gendeng, kita cari nenek itu sekarang juga!"
Tetapi kepala Ki Gendeng Sekarat mulai terkulai, matanya terpejam dan suara dengkurnya terdengar tipis samar-samar.
"Dia tertidur, Ratna?'
"Ya. Tapi dia bisa melakukan apa saja seperti kalau dia tidak sedang tertidur."

Kemudian, Ratna Pamegat mengajak Ki Gendeng Sekarat mengejar nenek aneh itu. Tanpa merasa keberatan, Ki Gendeng Sekarat pun segera pergi, berlari dengan cepat walau dalam keadaan tetap tidur dan
mengeluarkan suara dengkur yang samar-samar.
*
* *

NENEK aneh itu tiba di sebuah kerumunan orang yang ada di tengah tanah lapang, semacam alun-alun. Di sana ada panggung lebar dengan ketinggian panggung antara satu tombak kurang sedikit.

Dengan langkah tertatih-tatih menggeloyor sana-sini, nenek itu mendekati panggung, mencoba melihat apa yang terjadi di sana. Ternyata di sana sedang terjadi sebuah pertarungan adu ketangkasan diri. Dua orang sedang bertarung menggunakan tombak, yang satu menggunakan tombak bermata golok lebar, yang satunya memakai tombak bermata garpu dua runcing.

Nenek aneh itu mendesak sana-sini dengan suara gerutunya yang tak jelas. Kadang ia sempoyongan didorong orang, entah siapa, sehingga hampir jatuh kalau tak ada orang lain yang menyangga tubuhnya secara tak langsung.

Sampai di depan, nenek aneh itu tengok sana-tengok sini. Lalu ia bertanya kepada seorang lelaki usia tanggung di sebelah kirinya yang tampak serius mengikuti pertarungan di atas panggung.

"Ada apa ini? Kok ramai sekali dan banyak orang?"

Orang itu tidak menjawab karena merasa jengkel dengan pertanyaan seperti itu. Sudah jelas ada pertarungan, masih ditanya 'ada apa' segala? Jelas ini merupakan pertanyaan bodoh yang tidak perlu dijawab, menurut orang usia tanggung itu. Nenek aneh menjadi jengkel juga dan berkata,"Dasar orang bisu, ditanya diam saja!"

Blarrr...! Petir menggelegar di angkasa. Orang-orang sempat cemas memandang langit, takut hujan turun acara seru jadi bubar. Sedangkan orang usia tanggung itu tetap diam saja. Ia tidak sadar dan tidak pernah menyangka bahwa sejak saat itu ia tak akan bisa bicara lagi karena terkena kutukan nenek aneh itu.

Sang nenek segera bertanya kepada orang di sebelah kanannya, seorang lelaki muda berusia sekitar dua puluh lima tahun.
"Ada apa ini, Nak?"
Anak muda itu menjawab, "Ada panggung, Nek."
"Ya, sudah tahu kalau ada panggung," gerutu nenek bersungut-sungut. "Tapi ada apa di atasnya?"
"Ada pertarungan. Sayembara adu otot!"

"Kenapa diadu? Ototnya siapa?" tanya nenek aneh itu berkesan pikun dan menggelikan. Tapi anak muda itu cepat memaklumi karena melihat usia sang nenek yang sudah sangat tua. Maka dengan sedikit sabar anak muda itu menjelaskan.

"Ratu Kemukus membutuhkan seorang senopati, maka dibukalah sayembara adu ketangkasan bertempur. Siapa yang menang, dia menjadi senopati Kanjeng Ratu Kemukus!"

Nenek itu menggumam sambil manggut-manggut.
"Paham, Nek?"
"Paham, paham...!" jawabnya. "Tapi, senopati itu apa?"
Anak muda itu tertawa kecil. "Senopati itu panglima tempur. Kalau perang maju paling depan!"
"Lha, nanti kalau terlalu depan dia hilang, bagaimana?"
"Ya tidak mungkin toh, Nek," jawab sang pemuda dengan tertawa.
"Selain dapat hadiah jadi senopati, dapat hadiah apalagi, Nak?"

"Uang, lima ratus sikal!" jawab pemuda itu. Sikal adalah mata uang yang berlaku di masa itu. Harga satu nasi bungkus atau satu piring dengan lauk ikan ayam senilai setengah sikal.

"Hik hik hik hik...! Banyak juga lima ratus sikal itu! Bisa untuk kawin! Hik hik hik...!" kemudian nenek aneh itu memandang ke atas panggung. Di sana dua Orang sedang berusaha saling menjatuhkan satu dengan yang satunya.

"Apa kau kenal sama Suto Sinting, Nak?"

Anak muda itu berkerut dahi.

"Kalau orang sinting di sini banyak, Nek. Tapi kalau yang bernama Suto, saya tidak tahu!"
"Lha itu... yang bertarung di atas itu bukan bernama Suto?"

"Aku tidak tahu, Nek. Aku bukan petugas pengurus pertarungan itu. Cobalah kau tanyakan kepada para pengawal dan prajurit yang ada di belakang panggung sebelah sana itu!"

Nenek aneh segera bergerak mendesak-desak jubelan penonton yang bersorak jika ada salah satu petarungnya yang terkena pukulan. Nenek itu nekat menemui petugas di belakang panggung. Dengan masa bodoh dia melangkah menginjak-injak kaki orang dan mendapat gerutuan serta cacian macam-macam. Ketika tiba di bagian belakang panggung, nenek aneh itu bertanya kepada salah seorang petugas keamanan dari Istana Ratu Kemukus,

"Apa masih banyak yang mau bertarung di atas?"

"Masih, Nek!" jawab petugas berkumis itu. "Jangan khawatir, masih banyak jago silat yang punya jurus-jurus maut yang belum dapat giliran tampil. Makin lama akan semakin seru!"

"Ada yang namanya Suto Sinting?"

"Suto Sinting...?!" gumam petugas itu sambil kerutkan dahi. Lalu petugas itu menjawab, "Rasa- rasanya tidak ada yang bernama Suto Sinting, Nek!"

"Tidak ada?" gumamnya tampak kecewa. Kemudian nenek aneh itu bertanya kepada petugas tanpa kumis, "Kamu kenal sama Suto Sinting?"
"Tidak," jawab orang itu sambil matanya memandang ke atas panggung.

Melangkah lagi dia dengan terbungkuk-bungkuk dan singgah di depan petugas yang mencatat beberapa nama- nama pe serta. Lalu bertanya pula ia kepada petugas itu dan petugas itu menjawab,

"Tidak ada yang bernama Suto Sinting."
"Masa' orang pintar seperti Suto tidak ikut sayembara begini?"
"Apa dia orang berilmu tinggi?"
"Untuk ukuran orang-orang yang bertarung di sini,Suto cukup sakti. Tapi kalau melawan aku dia belum apa-apanya!"

Petugas itu tertawa sebentar, kemudian sibuk bicara lain dengan temannya. Nenek itu tidak dilayani lagi. Pada waktu itu, di atas panggung sedang terjadi pertarungan yang membuat salah seorang jatuh dan kalah dalam keadaan terluka. Kalau lawannya mau membunuh dia, sudah pasti dengan mudah dibunuhnya. Tapi peraturan di situ tidak boleh membunuh lawan, hanya melukai dan mengalahkan saja sampai lawan merasa jera.

Orang yang menang itu berkepala gundul dan sedang mengangkat tangannya karena dielu-elukan penonton. Tahu-tahu nenek aneh itu nekat naik ke panggung dengan langkahnya yang tertatih-tatih.

"Hei, hei, mau ke mana itu nenek...?!" seru petugas. Mereka ingin mengejar naik, tapi nenek itu sudah sampai di tengah panggung dan mendekati orang berkepala gundul yang baru saja menang tanding tadi.

Naiknya nenek itu mendapat sambutan meriah dari penonton, penuh tawa dan tepukan. Jago yang baru menang itu merasa heran mendapat lawan setua itu dan memandangnya dengan ragu. Tapi ia segera berseru kepada sang nenek,

"Biar kamu tua, aku tak akan mundur melawan kamu!"
"Apa kamu yang namanya Suto?"
"Bukan! Sudah tak perlu banyak tanya nama segala! Kita mulai saja pertarungan ini! Heaaah...!"

Orang itu melompat dan menebaskan tombak berujung golok lebar. Tapi sang nenek diam saja, dan ketika sampai di depan mata, benda tajam itu ditangkap dengan kedua tangan, dijepit kuat dan disentakkan ke kiri sedikit. Trakk...! Patah logam tajam yang tebal itu. Semua mata penonton melotot dan bergumam,

"Hoooo...?!"

Nenek aneh itu segera mencabut pedangnya dengan susah payah. Sementara yang memiliki tombak patah itu masih terbengong karena tidak menyangka akan begitu jadinya.

"Rupanya kau nenek punya isi, ya?" geram orang itu.
"Punya," jawab sang nenek, ia masih sulit mencabut pedang.
"Kuhajar habis sekalian kau, Nek! Hiih...!

Wutt...! Tangan orang itu menghantam dengan tenaga kuat-kuat. Tepat pada waktu itu sang nenek berhasil mencabut pedangnya dan, crass...! Pedang itu berkelebat memotong tangan orang tersebut.

"Aaaa...!" orang itu menjerit kuat-kuat, tangan kanannya buntung seketika tepat di bagian pergelangan tangan. Pada saat ia kesakitan itu, sang nenek mendekati dengan sedikit terburu-buru, lalu kepala orang itu ditebasnya memakai pedang berkarat. Crasss...!

"Uaaaa...!" teriak orang itu lagi, rubuh dan terduduk di lantai.

Crasss...! Sekali lagi pedang itu berkelebat. Dan menggelindinglah kepala orang itu dalam keadaan terpotong lepas dari lehernya.

Penonton menjerit keras-keras. Mereka merasa ngeri. Ada yang cepat buang muka, dan karena terburunya buang muka sampai berbenturan dengan orang yang lain yang melakukan hal yang sama. Ada yang hanya memandang dengan mulut melongo bengong dan mata mendelik. Ada yang tidak buang muka tapi memejamkan mata kuat-kuat dan menjerit panjang.

Seorang petugas berkumis yang tadi ditanyai oleh sang nenek segera naik ke panggung dan berseru,

"Pertarungan ini bukan tempat jagal, Nek!" ia bergegas mendekati nenek itu ingin membawanya turun. Tapi begitu mendekat, pedang sang nenek berkelebat dari bawah ke atas. Crasss...!

"Aahg...!" Orang itu mendelik dalam keadaan masih berdiri, tapi bagian bawahnya segera meneteskan darah, lalu ia pun rubuh. Tubuhnya terbabat pedang berkarat dari bawah sampai ke pertengahan dada.

Penonton makin menjerit ngeri. Lebih-lebih setelah dua orang petugas maju untuk menangkap nenek itu memakai senjata pedang juga, dengan gerakan cepat dan tak terlihat nenek itu berkelebat. Kejap berikutnya kedua orang itu tumbang dengan keadaan dada dan leher mereka terkoyak mengerikan, dan keduanya pun rubuh tak bernyawa lagi.

Beberapa orang naik ke panggung, termasuk calon peserta yang belum mendapat giliran naik panggung tadi. Mereka mulai saling berusaha menangkap nenek aneh itu. Tapi dalam beberapa gebrakan mereka segera tumbang tanpa nyawa.

"Aku mencari Pendekar Mabuk, bukan mencari kalian! Mengapa kalian menyerangku, hah?!" seru nenek itu dengan suara ngotot tapi terdengar pecah dan tak jelas, ia berteriak begitu berulang-ulang sambil membebatkan pedangnya ke kanan-kiri dengan tanpa ampun lagi.

Suasana menjadi kacau-balau. Para penonton saling berlarian menjauhi panggung dalam keadaan takut dan panik. Ada yang jatuh dan terinjak-injak yang lain, sampai akhirnya orang itu mati tanpa pertarungan. Ada yang saling bertabrakan karena berbeda arah larinya. Ada pula yang justru bersembunyi di bawah panggung untuk menghindari saling berbenturan dengan sesama penonton.

Para prajurit Ratu Kemukus berlompatan naik ke panggung untuk menyergap sang nenek. Begitu banyaknya para prajurit yang naik, maka panggung pun rubuh ke bawah. Brrukkk...!

"Aaaa...!" terdengar beberapa jeritan dari bawah panggung, mereka yang bersembunyi di panggung menjadi mati tergencet rubuhan panggung. Tapi yang di atas panggung pun ada beberapa yang mati akibat tertusuk senjata teman sendiri, atau bahkan terkoyak senjatanya sendiri.

Sedangkan nenek itu segera melesat bagaikan terbang menghindari panggung rubuh, ia masih menggenggam pedangnya dan tahu-tahu mendarat di tanah kosong dengan terhuyung-huyung mau jatuh. Mereka yang semula mau lari ke arah tanah kosong itu, kini menjadi berhenti mendadak, dan berbalik arah kemudian berlari dengan lebih cepat lagi. Mulutnya meneriakkan suara ketakutan sambil sesekali menengok ke belakang. Padahal nenek aneh itu diam saja tidak mengejar mereka. Hanya napasnya yang terengah-engah dengan badan terbungkuk-bungkuk dan akhirnya terbatuk-batuk.

Suasana kacau-balau itu segera dilaporkan kepada Ratu Kemukus. Maka sang Ratu pun segera datang ke alun-alun dan menemui nenek aneh itu. Mata sang Ratu memandang sipit pada sang nenek. Sementara itu yang dipandang pun balas menatap dengan sorot pandangan mata menyeramkan. Seakan ingin melahap habis tubuh sang Ratu.

"Mengapa kau mengacaukan sayembara yang kuadakan?! Apa maksudmu membuat onar di wilayahku, hah?!" hardik sang Ratu berwajah cantik jelita. Namun kelihatan tegas, berwibawa dan berkha-risma.

"Aku mencari Pendekar Mabuk, tapi mereka menyerangku! Aku mau dibunuh tapi aku tidak mau. Maka mereka terpaksa kubunuh dengan pedangku ini!" kata sang nenek, lalu berhenti untuk batuk-batuk sebentar. Setelah itu sang Ratu berkata,

"Aku tidak kenal nama Pendekar Mabuk! Kau pikir aku punya hubungan dengan dia, hah?!"
"Kalau tidak kenal dia, ya sudah! Aku mau pergi!"
"Tunggu dulu! Kau kutangkap karena membunuh rakyatku dengan seenaknya saja!"
"Tidak mau!" kata nenek itu sambil melangkah pergi tapi masih memegangi pedangnya.
"Tunggu!" seru sang Ratu.
"Aku tidak mau ditangkap! Jangan memaksaku!" bentak sang nenek sambil meneruskan langkahnya.

Wuttt... ! Ratu Kemukus melompat dan bersalto di udara satu kali, kemudian dalam kejap berikutnya ia sudah berada di depan nenek aneh itu. Menghadangnya dengan berani. Sementara para prajurit pengawal lainnya segera mengurung tempat itu, siap dengan senjata masing-masing.

"Kau tak boleh pergi, Setan Tua! Kau harus kutangkap dan kujatuhi hukuman seadilnya!"
"Aku tidak mau ditangkap! Apa kau tak dengar ucapanku ini?!" nenek itu justru membentak dan mendelik matanya.

"Kalau begitu aku terpaksa mengadilimu di sini, Setan Tua!" kata sang Ratu kemudian seorang petugas pengawal menyerahkan sebilah pedang kepada sang Ratu.

"O, kau mau melawanku, Anak ingusan?!" kata nenek aneh itu dengan beraninya. "Majulah kalau kau mau kurobek dan kukeluarkan isi perutmu! Siapa tahu kau menyimpan bayi haram yang baru menjadi janin di dalam perutmu, hik hik hik hik...!"

"Mulut tua iblis! Hiaaat...!"

Sang Ratu menebaskan pedangnya dengan cepat. Tapi nenek aneh itu tak kalah gesitnya, ia menangkis dengan pedang berkaratnya. Trangng...! Dan sang Ratu tiba-tiba memutar sambil melayangkan tendangannya. Plok... !

Tendangan itu jatuh di wajah nenek aneh. Keras sekali sentakan kaki sang Ratu, tapi nenek aneh itu masih tetap berdiri tegak bagaikan pilar tua yang sulit dirubuhkan. Wajahnya hanya mengibas sebentar untuk membuang kunang-kunang di pandangan matanya, setelah itu ia memandang sang Ratu dengan lebih angker lagi. Mulutnya yang berbibir keriput berlipat-lipat bak kue lapis legit itu seperti sedang mengunyah sesuatu yang tak jelas. Mungkin ia memainkan gusinya dengan lidah.

Sang Ratu sempat tertegun sebentar dan membatin, "Tangguh sekali dia! Biasanya orang yang terkena jurus 'Tendangan Badai'-ku bisa langsung terpental, tapi dia tetap berdiri tegak tak goyah dari tempatnya?! Setan dari neraka mana dia itu?!"

Dari arah belakang sang nenek, meluncurlah sebuah tombak yang dilemparkan oleh salah satu prajurit yang begitu bencinya kepada orang tua itu. Tak tahan dengan kebenciannya, ia pun melemparkan tombaknya dengan cepat. Arah sasaran adalah punggung nenek aneh itu. Tapi ternyata yang diincar segera berkelebat memutar badan dan mengibaskan pedangnya dari bawah ke atas. Zrangng...! Tombak itu tersentak oleh kibasan pedang, berubah arah dan menancap di dada prajurit lain yang sedang mengepungnya itu. Jrubb...! Matilah prajurit itu.

Wajah sang Ratu semakin geram. Murkanya kian bertambah melihat prajuritnya mati begitu saja. Maka ia pun segera mengirimkan jurus mautnya melalui pedang itu. Pedang ditusukkan ke depan dan mengeluarkan selarik sinar tanpa putus berwarna hijau bening. Sinar itu seperti lidi panjang yang menembus ke tubuh sang nenek. Tapi sebelum sinar itu sampai pada sasarannya, sang nenek cepat membuka tangan kirinya, dan sinar itu ditahan dengan telapak tangan kirinya.


"Hik hik hik...! Teruskan! Teruskan...! Aku mendapat tenaga sakti yang luar biasa jika begini. Hik hik hik...!"

Slapp...! Sinar hijau berhenti. Sang Ratu menarik pedangnya dan matanya tak berkedip. Sinar hijau di tubuh nenek itu pun mulai padam sedikit demi sedikit. Sang Ratu berkata dalam hatinya,

"Benar-benar luar biasa setan tua yang satu ini! Orang kena sinar hijau jurus pedangku ini akan hancur menjadi kepingan-kepingan yang tak berbentuk lagi. Tapi dia justru kegirangan dan sepertinya kekuatan dahsyat pedangku ini terserap masuk ke dalam dirinya! Benar- benar luar biasa ilmu setan tua ini! Rasa-rasanya aku tak akan sanggup mengalahkan dia!"

Pada saat itu, tawa sang nenek berhenti, ia terengah- engah sebentar, kemudian berkata kepada Ratu Kemukus,

"Mainanmu adalah mainan murah, Cah Ayu! Kau benar-benar seperti anak kecil yang belum puas dengan mainannya!"
Blarrr...! Petir menggelegar mengejutkan semua orang di situ.

Hal yang lebih mengejutkan lagi buat mereka adalah keadaan Ratu Kemukus. Perempuan cantik yang masih mengenakan mahkota dan menggenggam pedang itu kini berubah menjadi anak kecil sekitar berusia empat tahun. Mahkotanya ikut mengecil, pedangnya pun memendek.

Anak kecil itu kaget melihat keadaan dirinya. Dan menjadi lebih kaget melihat sang nenek yang tertawa terkekeh-kekeh tanpa gigi itu. Dengan cepat anak kecil itu berlari sambil menjerit ketakutan. Pedangnya dibuang begitu saja. Ia menangis mencari perlindungan. Sedangkan para prajuritnya hanya bengong memandangi kejadian itu dengan hati bimbang, antara percaya dan tidak.

"Kalian kenapa hanya diam saja? Selamatkan ratu kalian!" kata sang nenek. "Kok pada diam seperti patung semua!"

Blarrr...! Langit meledak karena loncatan lidah petir. Dan para prajurit yang mengepung nenek aneh itu tiba- tiba berubah kaku dan tak bergeming lagi. Mereka semua menjadi patung, sesuai dengan sikap berdiri dan ketegangan wajah masing-masing. Lebih dari dua puluh prajurit menjadi batu hitam tak ber-nyawa, sehingga alun-alun itu kini menjadi sebuah tempat yang mempunyai prasasti, dan prasasti itu berupa sejumlah patung berwajah tegang.

Mereka yang jauh dari jangkauan nenek aneh itu segera melarikan diri semakin menjauh. Bahkan ada beberapa yang sempat bersembunyi di mana saja. Orang- orang yang menonton di sekeliling alun-alun pun semakin buyar tak tentu rimbanya. Alun-alun menjadi sepi. Dan suara tangis bocah kecil terdengar di sela patung-patung itu.

Sang nenek tak tahu, bahwa segala perbuatannya itu dipantau oleh sepasang mata yang berada di kejauhan. Mata itu memperhatikan dengan heran, tapi tidak bisa banyak berbuat apa-apa. Mata itu adalah mata seekor serigala berbulu hitam.

* * *
7
SERIGALA berbulu hitam itu berlari dengan cepat seperti habis melihat setan tanpa kepala. Ke mana arah larinya, hanya serigala itu yang tahu. Dan seorang pun tak menghiraukan apakah serigala itu lari ketakutan melihat manusia berubah menjadi patung, atau lari karena ingin memberitahukan kepada kawannya bahwa di alun-alun ada nenek aneh yang sangat sakti.

Ternyata ia berlari ke tepi sungai yang berair dangkal dan bening. Tepian sungai itu mempunyai tempat cekung semacam gua yang tak terlalu dalam dan tak terlalu lebar. Di dalam cekungan batu tebing sungai, ada seorang pemuda yang tengah beristirahat menikmati hembusan angin sejuk. Pemuda itu setengah berbaring sambil menyandang bumbung tuak dari bambu. Pakaiannya berwarna coklat tanpa lengan sampai ke bawah, dan celananya putih. Rambutnya panjang tak diikat dengan kain sepotong pun.

Pemuda itulah yang sebenarnya bernama Suto Sinting si Pendekar Mabuk, murid dari tokoh sakti berusia sangat tua, yaitu si Gila Tuak dan Bidadari Jalang. Dalam mengejar musuh utamanya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, yang licin bagai belut dan lincah bagai petir itu, Pendekar Mabuk menemukan petualangannya yang beraneka macam corak kehidupan.

Hanya beberapa waktu belakangan ini saja perjalanan Pendekar Mabuk ditemani oleh seekor serigala jinak. Serigala itu sudah seperti teman sendiri. Sering diajaknya pergi ke mana-mana, bahkan jika malam tiba, sang serigala tidur di samping Suto dengan penuh kesetiaan, siap terjaga sewaktu-waktu jika ada bahaya datang. Dan kali ini serigala yang tadi berlari-lari itu menghampiri Suto Sinting dan melolong panjang.

"Hmm...!" Suto menggumam sambil masih pejamkan mata dengan santai. Bukan tidur.
"Auuu...!" Serigala itu melolong pelan tapi memanjang. Pendekar Mabuk ditarik-tarik bajunya. Mata Suto pun terbuka dengan sedikit malas.
"Ada apa?" sambil ia mengusap-usap kepala binatang itu. Sang serigala menggeram-geram dengan suara kecil.
"Ah, kau mengganggu saja kalau aku sedang istirahat sebentar."

"Auh... auuuh...!" serigala itu mundur-mundur, lalu berbalik lari, sampai beberapa jarak kembali lagi dan meraung-raung pelan, sepertinya memberikan suatu isyarat agar Suto mengikutinya.

"Ada apa sebenarnya?" Suto mengajak bicara anjing hutan itu.

Serigala berlari agak jauh, kemudian melolong dari sana. Pendekar Mabuk bergegas bangkit dan mengikutinya. "Sepertinya ada sesuatu yang ingin ia tunjukkan padaku," pikir Suto sambil melangkah. Serigala itu berlari cepat sekali, sehingga Suto yang hanya jalan kaki biasa menjadi tertinggal. Suto pun berseru,

"Srrii...!"

Serigala berhenti, ia berbalik memandang Suto, kemudian berlari mendekati Suto. Dan pada saat itu Suto pun berkata,

"Jangan cepat-cepat larinya! Aku ketinggalan kalau kau lari secepat itu! Aku sedang malas lari!"

"Uuh uuh uuh...!" serigala itu pun berjalan pelan di depan Suto. Seakan ia mengerti apa yang dimaksud kata- kata Pendekar Mabuk. Sambil melangkah, Pendekar Mabuk itu menenggak tuaknya beberapa kali. Jalan Suto terasa lambat. Serigala itu rupanya tak sabar, ia menggeram dengan mulut menyeringai, seperti orang sedang menggerutu dan marah. Lalu ia melolong keras- keras dan terpatah-patah.

"Kenapa harus cepat-cepat? Sabar sajalah!" kata Suto.

Serigala makin menyeringai sambil mengerang menakutkan. Suto mulai paham dengan bahasa isyarat binatang itu. Maka Pendekar Mabuk pun berkata,

"Baik, baik! Kita pergi secepatnya!"

Serigala berlari lebih dulu. Suto mengejarnya dengan gerakan cepatnya. Bahkan Suto menggunakan gerak silumannya, yang bisa melesat cepat melebihi angin badai. Tahu-tahu ia sudah berada di depan serigala, dan sang serigala melolong panjang, seakan menyuruh Suto menunggunya.

Suto berhenti dan tertawa. "Makanya jangan sombong kamu, Sri! Kalau adu lari cepat sama aku belum tentu kau bisa menang!"

"Ggrrr...!" serigala menggeram dengan seringai, seakan mau menerkam Suto. Karena sudah terbiasa dengan bahasa isyarat itu, maka Suto Sinting pun tertawa dan berkata,

"Eh eh eh...! Tidak boleh marah! Kalau kalah ya kalah saja, tak perlu pakai marah segala!"
"Uh uh uh...!" binatang itu pun meredakan erangannya yang berseringai seram itu. Kemudian ia berlari cepat lagi, dan Suto mengimbangi gerak larinya.

Rupanya serigala itu membawa Pendekar Mabuk ke alun-alun tersebut. Keadaan di alun-alun masih sepi, bagai habis dilanda angin setan kuburan. Dan mata Suto pun menatap ke arah panggung yang roboh, mayat- mayat yang bergelimpangan, juga patung-patung yang berdiri dengan wajah batunya yang menampakkan ketegangan.

"Huk huk huk...!" serigala itu melolong pendek- pendek. Pendekar Mabuk mendekati tiap patung yang
ada di situ. Ia membatin dalam hatinya,

"Sepertinya telah terjadi musibah misterius di alun- alun ini! Mayat bergelimpangan, bekas tebasan pedang terlihat di tubuh korban. Pasti ada orang sakti entah dua atau tiga orang yang membantai mereka. Dan patung- patung ini...? Apa artinya patung-patung ini? Sepertinya dibuat dengan bentuk seragam pakaian yang sama?'

"Auuu...! Auuuu...!" Serigala melolong di balik panggung yang rubuh. Sepertinya ia memanggil Suto agar datang ke sana. Dan ketika itu, Pendekar Mabuk mendengar suara bocah kecil menangis ketakutan. Suto pun segera bergegas ke belakang panggung, mendekati serigala tersebut.

Bocah kecil bermahkota itu bersembunyi di bawah reruntuhan panggung. Wajahnya tampak sangat ketakutan. Bocah kecil itu mengenakan mahkota kecil dan berpakaian seperti seorang ratu. Suto tidak tahu bahwa bocah perempuan itu adalah Ratu Kemukus yang telah berubah menjadi anak-anak.

"Sini, sini... keluar sini! Kakak tidak jahat! Sini...!" Pendekar Mabuk tak bisa menerobos ke bawah reruntuhan panggung, karena di sana juga terdapat beberapa mayat yang bertumpuk. Bocah kecil itu berada jauh dari jangkauan tangan Suto. Setelah dibujuk beberapa kali, barulah gadis kecil itu merangkak keluar dari panggung.

"Ggrrr...!" serigala menyeringai menakutkan.
"Aaaa...!" bocah kecil itu menjerit ketakutan dan kembali masuk ke dalam reruntuhan panggung.
Suto menghardik serigala, "Hai, jangan begitu! Wajahmu menakutkan anak kecil itu! Menjauhlah dulu sana!"

Seringai di wajah serigala menghilang. Binatang itu berjalan pelan menjauhi Pendekar Mabuk. Bocah itu kembali dibujuk, baru ia berani keluar dari persembunyiannya. Kemudian Suto mengangkat dan menggendongnya. Bocah itu berhenti dari tangisnya setelah tahu bahwa Suto bersikap lembut dan sabar. Mengusap-usap rambutnya yang panjang dan bermahkota. Kemudian, di dalam gendongan Suto bocah kecil itu memandangi wajah Suto dengan tidak berkedip. Suto menyunggingkan senyumnya sebagai tanda keramahan. Tapi bocah perempuan kecil itu menjadi tersipu, lalu menyunggingkan senyum juga dengan membuang pandangan matanya, menyembunyikan wajah ke arah belakang Suto. Tangannya dipaksakan Pendekar Mabuk agar merangkul, maksudnya biar tak jatuh dalam gendongan. Tapi gadis kecil itu sepertinya malu memeluk Suto, tangannya dikelebatkan ke belakang.

"Peganglah, Sayang...! Biar kamu tak jatuh...!" kata Pendekar Mabuk.

"Aku malu!" bisik anak kecil itu. Bisikan itu seperti bernada aneh bagi Suto, sehingga Suto pun berusaha memandang gadis kecil itu.
"Kenapa malu?"

Gadis kecil itu tidak menjawab. Suto segera membawanya ke bawah sebuah pohon rindang. Suasana masih sepi. Penduduk masih tak berani menampakkan diri di sekitar alun-alun. Pendekar Mabuk memandangi sekeliling alun-alun, hanya satu-dua wajah yang nongol sebentar, lalu segera tarik kepala dan bersembunyi lagi dengan rasa takut.

"Ada apa sebenarnya?" gumam Suto sambil tetap memandangi sekelilingnya. Tetapi tiba-tiba bocah kecil yang masih dalam gendongan Suto Sinting itu segera berkata,

"Bawalah aku ke sana," suaranya adalah suara bocah, tapi perintahnya seperti perintah orang yang sudah dewasa. Suto merasa heran, tapi tak segera dibahas di dalam hatinya. Karena gadis kecil itu menunjuk ke rumah besar yang ada di selatan alun-alun maka Pendekar Mabuk pun membawanya ke sana, rumah besar bertembok tinggi itu.

"Ini sebuah istana," kata Suto pelan. Gadis yang digendongnya menjawab,
"Memang sebuah istana. Masuklah...!"

Dua penjaga di pintu gerbang dengan keadaan terkoyak tubuhnya dalam keadaan mati berdiri. Sementara yang satu mati bersandar. Langkah Suto menjadi hati-hati setelah nalurinya mengatakan, ada sesuatu yang tak beres di dalam istana itu.

Ternyata ketika ia masuk ke halaman istana, mayat pun bergelimpangan. Di sana-sini darah membanjir, kepala menggelinding. Pemandangan itu membuat gadis kecil menangis terisak-isak sambil memeluk Pendekar Mabuk.

"Pemandangan ini tak sehat dan terlalu kejam untuk seorang bocah seperti gadis ini! Sebaiknya kusembunyikan dulu gadis ini di suatu tempat, lalu aku kembali kemari sendirian! Pasti ada sesuatu yang lebih mengerikan lagi di dalam istana ini!" pikir Pendekar Mabuk.

Suto segera menghampiri sebuah rumah setelah ia berkata kepada serigala hitam, "Carikan tempat bersembunyi yang aman untuk gadis kecil ini, Sri!" Dan binatang itu berlari ke sebuah rumah, lalu melolong dari sana setelah memeriksa keadaan di dalamnya sebentar. Itulah rumah yang dipilihnya sesuai perintah Suto tadi. Maka Suto pun datang ke sana.

Ada beberapa rumah yang pintunya tertutup. Suto mencoba mengetuk rumah itu dulu sebelum masuk ke sebuah rumah pilihan serigala. Tapi tak ada jawaban dari rumah yang pintunya tertutup. Rumah yang lain pun begitu, tak mau membukakan pintu untuk Suto. Mungkin mereka terlalu dicekam rasa takut, sehingga tak bisa membedakan tamu yang baik dan tamu yang bermaksud jahat.

"Terlalu memukul jiwa pembantaian yang terjadi di sini! Pantaslah kalau mereka tak mau menyambut kedatanganku!" kata Pendekar Mabuk dalam hatinya. Kemudian ia melangkah masuk ke sebuah rumah yang sepertinya ditinggalkan oleh penghuninya dalam keadaan panik.

Bocah kecil itu diturunkan dari gendongan Suto. Matanya memandangi Suto terus. Suto tersenyum sambil mengusap air mata gadis kecil itu dan berkata,

"Lupakan pemandangan itu! Jangan ingat-ingat lagi apa yang pernah kau lihat! Tenanglah di sinil Tak akan ada yang mengganggumu!"

Gadis kecil itu menatap ke kanan-kiri, melongok ke bagian dalam rumah, bahkan menatap ke arah dapur dengan cemas. Suto Sinting yang belum tahu apa dan bagaimana dengan gadis kecil itu segera bertanya dengan lugu,

"Ada apa? Kau mau pipis, ya?"
Gadis itu menggeleng.

"Kalau mau pipis, mari kakak antarkan kamu ke belakang. Atau... jangan-jangan kau sudah ngompol...?!" Suto bermaksud memeriksa apakah bocah itu ngompol atau tidak. Tapi ketika tangan Pendekar Mabuk memegang bagian yang biasanya ngompol, bocah yang berdiri di atas sebuah kursi itu menjerit kaget.

"Auuuh...!"

Plakkk...! Tangannya berkelebat menampar Suto. Tentu saja pemuda itu menjadi kaget dan sentakkan kepala mundur. Gadis itu segera merapatkan kedua kakinya dengan sedikit nungging ke belakang. Takut dipegang bagian yang disangkanya ngompol itu.

"Jangan nakal kamu, Sayang...! Kakak hanya ingin tahu apakah kamu sudah pipis di celana atau belum. Kalau belum, ayo kakak antar kamu ke kamar mandi!"

"Jangan sekali lagi berbuat begitu padaku!" kata gadis kecil itu dengan lancar. Walau suaranya seperti anak usia empat tahun kurang, tapi nada bicaranya seperti orang dewasa.

"Kakak tidak bermaksud kurang ajar...!" kata Suto, lalu tak mau meneruskan. Tapi ia menggerutu dalam hatinya.

"Masih kecil saja berlagak malu! Disangkanya aku mau berbuat kurang ajar! Anak siapa dia sebenarnya?! Kecil-kecil sudah galak!"

Bocah kecil itu segera melompat dari atas kursi, berlari melongok ke pintu pagar. Kemudian, ia masuk kembali dan menutup pintu rapat-rapat. Suto hanya memperhatikan saja. Tapi segera bergegas membuka pintu itu lagi setelah mendengar suara serigala meraung- raung kecil di luar rumah, minta dibukakan pintu.

"Aah...!" bocah kecil itu memekik sambil melompat ke kursi, ia takut melihat serigala masuk rumah.
"Tidak apa-apa," kata Pendekar Mabuk. "Dia temanku. Dia tidak galak!"
"Aku takut!"
"Dia bukan jenis serigala yang jahat, Manis! Kau tak perlu takut. Dia justru akan menjagamu dari bahaya selama aku pergi!"
"Kau mau ke mana?" tanya gadis kecil itu berlagak tua di mata Suto. Dan Suto tidak terlalu menghiraukan lagaknya itu. Ia menjawab,
"Aku akan memeriksa isi istana itu! Kau di sini dulu bersama Sri, nanti secepatnya aku kembali!" Suto bagai membujuk dengan lembut.

Akhirnya bocah itu menganggukkan kepala, seakan ia memang berharap Suto melakukan hal itu. Tapi dari sorot pandang matanya, ia kelihatan memendam kecemasan dan ketakutan terhadap nasib Suto jika memeriksa keadaan di dalam istana itu. Karena ia tadi melihat dari kolong panggung, nenek tua yang sakti namun berjiwa iblis itu masuk ke istana dan mengamuk di sana. Hanya saja, mulut gadis jelmaan Ratu Kemukus itu tak bisa mengatakan dan menceritakan tentang nenek aneh itu, karena rasa takut dan jiwa yang terpukul dengan peristiwa itu masih belum bisa membuat ia berpikir dengan baik.

Pendekar Mabuk masuk ke istana sendirian. Matanya menatap sekeliling dengan jeli dan tajam. Istana dalam keadaan porak-poranda. Beberapa bagian dibuat morat- marit oleh suatu pertempuran yang lebih tepat dikatakan sebuah pembantaian. Suto berjalan melangkahi mayat- mayat baik tua maupun muda, lelaki maupun perempuan. Sampai di bagian bangsal keprajuritan, banyak mayat yang terkulai di sana dalam keadaan mengenakan pakaian seragam keprajuritan. Bahkan di bagian dapur pun bertumpuk mayat para pelayan dan juru masak. Tapi masing-masing mayat mempunyai wajah tegang yang berlainan. Ada yang matinya karena benda tajam, ada yang matinya karena pukulan tenaga dalam hebat, ada pula yang tidak berdarah sedikit pun dan tetap berdiri memegang sesuatu, namun dalam keadaan tidak bernyawa.

"Iblis mana yang begitu keji melakukan pembantaian ini?!" pikir Pendekar Mabuk. "Kalau saja waktu itu...."

Suto tidak melanjutkan kecamuk batinnya, karena ia segera melihat sekelebat bayangan menyusup masuk ke bangsal paseban, arahnya dari ruang peristirahatan ke bangsal paseban. Pendekar Mabuk segera melesat cepat dan tahu-tahu sudah berada di bangsal pertemuan yang berpilar empat itu. Di sana ia berhadapan dengan seorang gadis cantik berpakaian jingga. Gadis itu tersentak kaget, lalu menyerang Suto dengan sebuah pedang yang dicabut dari punggungnya. Wuttt...!

Trakk... ! Pendekar Mabuk menyentakkan bumbung tuak, dan bumbung itu cepat berkelebat ke depan, pedang itu tak sempat merobek dada Suto, namun tertangkis oleh bambu tempat tuak itu.

Tapi kaki gadis berpakaian Jingga itu berkelebat menendang dada Suto melalui gerak tipuannya. Buhgg...! Dada Suto kena sasaran kaki, membuat Suto mundur tiga tindak. Gadis itu tak mau membiarkan Pendekar Mabuk ganti menyerang, ia langsung melompat dan menerjang wajah Suto dengan tendangan kaki, sementara tangannya yang memegang pedang sudah terangkat ke atas.

Dengan cepat Suto bersalto ke belakang. Wuttt... wuttt... ! Tendangan dan tebasan pedang perempuan itu mengenai sasaran kosong. Suto berdiri tegak dan tersenyum tipis memandangi gadis itu tertipu serangannya.

"Heh...!" gadis itu mendenguskan napas memandang ketus. Pedangnya tetap terpegang di tangan dalam keadaan di atas kepala, badannya sedikit rendah ke depan dengan tangan kiri di depan dada, kaki kanan memanjang ke belakang. Matanya tajam menatap Suto Sinting.

Suto justru menyempatkan diri membuka bumbung tuak, dan ia menengadah sebentar untuk meneguk tuaknya. Napasnya terlepas lega setelah itu. Senyumnya mekar tipis dengan mata lembut memandang ke arah lawannya yang cantik.

"Manusia keji kau!" geram gadis itu.
"Kau atau aku?" tanya Pendekar Mabuk.
"Jangan berlagak bodoh! Mereka terbantai oleh perbuatanmu!"
"Jangan menuduh, Nona Cantik! Kaulah mungkin pembantainya!"
"Hmm...! Pencuri kalau belum dihajar belum mau mengaku! Hiaaat...!"

Gadis itu melompat sambil melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui tangan kirinya. Sinar kuning melesat bagai kawat, arahnya ke dada Pendekar Mabuk. Namun dengan lincah Pendekar Mabuk mengelak melalui satu lompatan ke samping kanan. Sinar itu mengenai lantai dan lantai itu menjadi hangus setelah mengalami letupan kecil. Tarrr...!

"Hentikan, Ratna!" seru suara di belakang gadis itu.

Pendekar Mabuk terperangah kaget memandang orang berambut putih dan berpakaian serba merah muncul dari sebuah ruangan. Orang itu dalam keadaan tidak tidur, dan Suto sangat mengenalinya. Pada waktu itu, Ratna Pamegat segera berkata,

"Mungkin dialah pelaku pembantaian ini, Ki!"
Ucapan itu tak dijawab oleh Ki Gendeng Sekarat. Justru lelaki tua itu melangkah dengan cepat setelah Suto berseru,
"Ki Gendeng Sekarat...?! Kau ada di sini rupanya?!"

Ki Gendeng Sekarat berpelukan dengan Suto bagai melepas rindu. Kemudian Ki Gendeng Sekarat berkata, "Akhirnya kita bertemu di istana pembantaian ini!" Suto tertawa dan Ki Gendeng Sekarat pun terkekeh sambil menepuk-nepuk pundak pemuda tampan itu.

Ratna Pamegat berkerut dahi dan mengendurkan ketegangannya setelah ia bertanya, "Siapa dia, Ki?"

"Orang yang kau cari, dan yang kucari juga! Ini yang namanya Suto Sinting, si Pendekar Mabuk...!" Ki Gendeng Sekarat menegaskan. Ratna Pamegat' jadi tersipu namun cepat membuang muka untuk sembunyikan malunya.

"Aku baru saja datang untuk menemui Ratu Kemukus," kata Ki Gendeng Sekarat. "Ratu Kemukus adalah Bibi dari Ratna Pamegat. Tapi tahu-tahu keadaan menjadi seperti ini. Lalu kami memeriksa keadaan di dalam istana ternyata semakin lebih mengerikan. Kami tidak tahu siapa pembantai yang bisa berbuat sekejam ini, dan ke mana perginya Ratu Kemukus, kami sedang melacak jejaknya."

"Aku juga baru datang, dan melihat keadaan seperti ini, aku jadi penasaran. Ingin mengetahui siapa pelakunya!"
Ratna Pamegat kini memandang Suto Sinting. Dalam hatinya ia berkata, "Ternyata apa yang dikatakan Ki Gendeng Sekarat memang benar. Suto Sinting jauh lebih tampan dan lebih gagah dari Sutomo! Ah, kenapa aku jadi berdebar-debar memandang ketampanan dan keteduhan matanya?"
***8

MEREKA bertiga tidak tahu, bahwa setelah nenek aneh itu mengubah Ratu Kemukus menjadi kecil dan para pengapung menjadi patung batu, ia segera meninggalkan tempat itu. Tetapi, pasukan pemanah istana segera menghujani panah ke arah tubuh nenek aneh itu. Dan ternyata tindakan tersebut membuat nenek aneh menjadi semakin murka.

Ia melepaskan pukulan jarak jauhnya yang diperoleh dari hasil serapan para musuh yang melepaskan tenaga dalam kepadanya. Pukulan jarak jauhnya itu menghantam pasukan pemanah yang muncul dari tembok istana. Maka, hancurlah kepala mereka yang terkena pukulan dahsyat itu.

Nenek aneh bergegas memasuki istana. Mengamuk di sana dengan pedang berkaratnya. Tak satu pun disisakan hidup. Dan ia mengejar tiga orang istana yang melarikan diri lewat pintu belakang, lalu melepaskan kutukannya sehingga ketiga orang itu menjadi tiga ekor musang.

Hanya saja, setelah itu si nenek aneh pergi ke mana? Tak ada yang tahu. Tapi menurut dugaan para penghuni rumah yang ada tak jauh dari istana dan alun-alun, sang nenek diperkirakan masih mendekam di salah satu rumah penduduk untuk beristirahat. Itulah sebabnya para penduduk yang masih selamat tak berani keluar dari rumah mereka, takut mengalami nasib senaas seperti para korban itu.

Namun berkat usaha Ratna Pamegat, mereka bisa menemukan satu penduduk yang berani menerima kedatangan mereka. Penduduk itu menceritakan apa yang sebenarnya terjadi di alun-alun sampai ke dalam istana. Penduduk itu menceritakan hal itu dengan tubuh gemetar dan wajah pucat.

"Nenek bungkuk yang sudah tua sekali itu ternyata iblis yang bangkit dari kuburnya," kata lelaki yang berani menceritakan hal itu kepada Suto, Ki Gendeng Sekarat, dan Ratna Pamegat. Sambungnya lagi,

"Saya melihat dengan mata kepala sendiri, nenek itu mengutuk Kanjeng Ratu Kemukus menjadi gadis kecil dan para prajurit yang mengepungnya menjadi patung batu di alun-alun!"

"Mengutuk...?!" Pendekar Mabuk mengulang kata- kata itu dengan nada heran dan dahi berkerut.

"Ya, ya... mengutuk! Saya katakan mengutuk, karena tiap apa yang diucapkannya menjadi kenyataan, Tuan!" kata orang tersebut.

Ki Gendeng Sekarat berkata kepada Suto Sinting, "Kalau begitu benar, nenek aneh yang menghancurkan perguruannya Ratna Pamegat itulah yang melakukannyal"

Ratna Pamegat bertanya kepada orang yang berani menerima kedatangan mereka di rumahnya itu,

"Apakah nenek bungkuk itu menyebutkan nama orang yang dicari?"

"Hmm... Iya, benar! Saya mendengar saat ia belum melakukan keonaran. Saya dengar dia mencari seseorang yang bernama... Suto Sinting! Teman yang di sebelah saya bilang bahwa di sini banyak orang sinting tapi yang mana yang bernama Suto, teman saya tidak tahu!"

"Jelas sudah, kaulah yang dicari orang tua itu!" kata Ki Gendeng Sekarat. Ratna Pamegat juga menceritakan nasib perguruannya dan nasib sang Guru yang terkena kutukan nenek tua itu. Dahi Pendekar Mabuk menjadi berkerut memikirkan, siapa nenek tua yang dimaksud mereka.

"Beberapa waktu yang lalu," kata Suto. "Aku memang berselisih dengan seorang yang bernama julukan Ratu Teluh Bumi. Tapi orangnya belum setua ciri-ciri orang yang kau katakan itu, Ratna!"

Lalu, Suto pun menceritakan bagaimana Ratu Teluh Bumi pada awalnya bertarung dengannya dalam peristiwa "Pusaka Pedang Biru", dan menjadi lebih sakti lagi setelah muncul beberapa waktu kemudian, sebagai orang yang menyebar kutuk ke mana-mana. Sampai- sampai seorang musuhnya bisa dikutuk menjadi seekor kuda berkepala manusia, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Penyebar Kutuk").

"Lalu aku menyerangnya, dia jatuh terlempar ke jurang. Aku mencarinya untuk melihat apakah dia mati atau hidup. Tapi tak kutemukan bangkainya di jurang itu. Bahkan aku malah diikuti oleh seekor serigala yang sampai sekarang menjadi teman perjalananku!" kata Pendekar Mabuk sambil mereka melangkah meninggalkan rumah orang yang telah menceritakan apa yang dilihatnya itu.

"Barangkali, orang yang kau katakan sebagai nenek aneh itu berusia sekitar lima puluh tahun?"

"Lebih," jawab Ratna Pamegat. "Mungkin usia seratus tahun pun lebih. Jalannya sudah sempoyongan, giginya habis semua, kulitnya keriputan yang tak jelas bentuknya dan sulit dicari pori-porinya!"

"Kalau begitu dia bukan Ratu Teluh Bumi!" kata Suto.
"Lantas siapa menurutmu?!" tanya Ki Gendeng Sekarat.
"Entahlah!" jawab Suto bernada pasrah.

"Bagaimana kalau kita geledah seluruh penghuni dan rumah di sekitar sini!? Siapa tahu dia bisa berubah menjadi muda?" usul Ki Gendeng Sekarat.

"Baik. Kita berpencar. Dan jika melihat dia, pancing dan ajak ke alun-alun, kemudian bunyikan sebuah ledakan dengan pukulan tenaga kalian ke arah mana saja, kami akan segera datang ke alun-alun!" kata Suto Sinting.

Mereka akhirnya berpencar menggeledah rumah demi rumah. Pendekar Mabuk menyempatkan menengok gadis kecil yang disimpannya di sebuah rumah bersama serigala. Pendekar Mabuk masih belum menyimpulkan cerita orang tadi, sehingga ia belum sadar bahwa gadis kecil itulah Ratu Kemukus yang dikutuk si nenek aneh.

Ketika Pendekar Mabuk masuk ke rumah itu, gadis kecil itu segera melompat dalam gendongan Suto sambil menangis ketakutan. Tangisannya tak menimbulkan suara keras. Tapi Suto tahu tangis itu adalah tangis bocah yang tertekan jiwanya. Pasti ada sesuatu yang membuatnya sangat takut.

"Tenang, tenang, Sayang...! Cup cup cup...! Kakak sudah kembali dengan selamat. Jangan menangis...!"
"Ak... aku... aku takut...!"

"Takut kepada siapa? Serigala ini tidak menganggumu, bukan?! Jangan takut!" Suto bertanya kepada serigala, "Apa kamu tadi mengganggunya, Sri?"

Anjing hutan itu menggelengkan kepala sambil menggeram-geram kecil, seakan sangat paham dengan bahasa manusia.

"Lihatlah, Sayang... serigala tidak nakal kok. Jangan takut!"
"Aku bukan takut kepada anjing itu!"
"Lalu kepada siapa dan kepada apa?"

"Aku... aku tadi mengintip dari celah papan itu, aku melihat nenek aneh itu berjalan melewati jalanan di depan rumah ini! Aku takut sekali!"

"Nenek...?! Maksudmu, nenek bungkuk yang jalannya sudah tertatih-tatih itu?" Pendekar Mabuk sedikit tegang.
"Iya. Nenek itulah yang membantai seenaknya semua prajuritku, orang-orangku dan beberapa penduduk di sini!"
"Jadi kau melihat semua pembantaian itu?!"
"Aku melihatnya! Melihat dengan jelas sekali," jawab bocah yang digendong Suto itu.
"Kalau saja aku tak kalah ilmu, aku tak akan menjadi begini! Serba ketakutan dan...."

"Sudah, sudah... jangan diingat-ingat lagi nanti kamu semakin takut, Sayang! Sekarang sebaiknya kamu tidur, dan kakak akan...." Suto diam sejenak, teringat sebaris kata aneh yang diucapkan bocah kecil itu. Maka Suto pun segera bertanya,

"Kau bilang, kau kalah ilmu dengan nenek itu?! Apa maksudmu dengan mengatakan 'kalah ilmu' itu?"
"Aku sudah coba menghadapi dia! Tapi aku kalah, dan dia mengubah wujudku menjadi seperti anak kecil begini...!"

Bocah yang digendong erat-erat itu kini ditatapnya. Suto berdebar-debar dan hampir tak mempercayai kesimpulan di dalam hatinya, ia penasaran dan akhirnya bertanya, "Jadi... kau adalah Ratu Kemukus itu?"

"Ya. Akulah Ratu Kemukus itu...!"

"Oooh...!" Suto menjadi malu dan lemas, ia turunkan gadis kecil itu pelan-pelan. Rasa malu bercampur rasa hormat dan sungkan, semuanya menjadikan Suto salah tingkah. Dalam hatinya ia tersenyum geli dan berkata,

"Pantas dia galak. Pantas berani menamparku. Pantas dia menjerit waktu kuperiksa apakah ngompol atau tidak. Rupanya dia seorang Ratu. Hi hi hi hi... aku jadi malu sendiri kalau begini! Pantas dia malu memelukku dalam gendongan. Hi hi hi...!"

"Aku sudah memeriksa isi istana, tak ada yang selamat! Aku juga bertemu dengan keponakanmu," kata Suto Sinting kemudian.
"Siapa namanya?"
"Ratna Pamegat!"
"Oh, benar! Dia keponakanku. Di mana dia sekarang?"
"Sedang mencari nenek itu!"

Bocah kecil itu tersentak kaget. "Celaka! Tolong cegah dia! Jangan sampai dia mencari nenek itu, nanti menjadi seperti nasibku ini dan mungkin akan celaka seperti prajurit-prajuritku! Aku tak ingin keponakanku menjadi patung seperti nasib mereka di alun-alun itu! Cegah dia!"

Suto merasa diperintah oleh anak kecil. Tapi mengingat anak itu adalah jelmaan dari Ratu Kemukus, maka ia pun menghormat dan berkata dengan tegas,

"Baiklah! Aku akan pergi mencari Ratna Pamegat dan kusuruh dia mendampingimu, Nyai Ratu," Suto tersenyum kaku menyebut nyai ratu kepada bocah sekecil itu. Ratu Kemukus sendiri menjadi tersipu malu.

Pendekar Mabuk bergegas pergi. Tapi sebelumnya tangannya tertahan oleh tangan bocah kecil itu. Bocah tersebut bertanya,
"Apakah kau berani menghadapi iblis tua itu?"
"Kenapa tidak?' jawab Suto dengan tersenyum menawan. Ratu Kemukus tak berani memandang, ia hanya berkata,
"Hati-hatilah, jangan sampai celaka menghadapi dia."
"Baik. Doa restu dari Nyai Ratu yang kuminta sebagai bekalku!"
"Berangkatlah...!" kata Ratu Kemukus dalam wujud bocah.

Tapi ketika Suto hendak membuka pintu dan keluar dari rumah, sang Ratu sempat bertanya lagi,
"Tunggu...! Siapa sebenarnya dirimu, Anak Muda?'
"Aku orang yang dicari-cari oleh iblis tua itu. Namaku Suto Sinting...!"

"Oh...?!" sang Ratu terbengong memandang Suto. Tapi Suto segera pergi keluar rumah, sementara sang Ratu memperhatikan dalam sikap mengintip dari celah pintu. Hatinya membatin, "Gagah sekali dia.... Pantas untuk menjadi senopatiku!"

Blarrr...!

Belum sempat Suto melangkah sudah terdengar suara ledakan. Itu merupakan pertanda, salah seorang dari sahabatnya telah menemukan nenek aneh itu. Dan Suto pun segera bergegas menuju ke alun-alun. Tapi ternyata di sana tak ada manusia. Suto memandang sekeliling, menatap langit, ternyata ada kepulan di arah barat. Kepulan asap itulah yang menjadi tanda baginya, bahwa di sana terjadi pertarungan nenek aneh melawan siapa, Ki Gendeng Sekarat atau Ratna Pamegat?

Pada saat Suto berada di dalam rumah bersama Ratu Kemukus kecil, sebenarnya Ratna Pamegat telah kepergok oleh nenek aneh itu. Sang nenek pun segera terkekeh-kekeh melihat Ratna Pamegat. Ia berkata dengan suara tuanya,

"Sepertinya aku pernah kenal denganmu, Cah Ayu...! Siapa kamu dan di mana aku pernah bertemu denganmu?"
"Ya, kau memang pernah bertemu denganku!" kata Ratna Pamegat sambil memancing kemarahan nenek aneh itu supaya marah dan mengejarnya ke alun-alun. Ratna Pamegat berkata lagi,

"Aku adalah Ratna Pamegat! Guruku telah kau kutuk menjadi tengkorak hidup!"
"O, kau murid Resi Jejak Naga itu?! Ya ya ya... aku ingat sekarang! Bagaimana kabarmu, Nak? Apakah gurumu sehat-sehat saja?"

Nenek itu bicara seperti orang tidak berdosa. Ratna Pamegat menjadi panas hatinya. Lalu, ia mencabut pedangnya dan berseru,

"Guruku dalam keadaan sehat, tapi nyawamu yang sebentar lagi tidak sehat, Iblis Kempot! Aku menuntut balas atas nasib perguruanku itu!"

"Mau menuntut balas? O, boleh, boleh...! Kita tarung pakai pedang ya, Nak? Sebentar...!" Nenek itu sulit mencabut pedangnya. Kesempatan itu digunakan oleh Ratna Pamegat untuk menyerang dengan satu lompatan dan tebasan pedang. Wuttt...!

Zlapp...! Nenek itu bagai menghilang. Tahu-tahu ada di belakang Ratna Pamegat yang sudah telanjur menebaskan pedang dan menemui tempat yang kosong. Nenek itu masih bingung mencabut pedang berkaratnya dengan susah payah. Ratna Pamegat membalikkan badan dengan satu tendangan putar yang amat kuat dan cepat.

"Hiaaat....!"

Plokk...! Wajah tua itu terkena tendangan bertenaga dalam, tapi tak mengalami guncangan sedikit pun. Ratna Pamegat bagaikan menendang pilar beton. Kakinya sendiri yang menjadi ngilu.

"Jahanam kau, Gadis Tolol! Bersabarlah sebentar, aku sedang kesulitan mencabut pedangku ini! Uh uh uhh...!"

Ratna Pamegat tak mau memberi kesempatan sang nenek berhasil mencabut pedang, ia segera menikamkan pedangnya ke depan, leher sang nenek yang menjadi sasarannya. Wusss...!

Zlappp...! Nenek itu sudah ada di sampingnya, berjarak tiga tombak dari Ratna Pamegat. Tusukan itu kembali menemukan tempat kosong. Sang nenek merasa jengkel dengan pedangnya yang sukar dicabut, dan merasa dongkol dengan serangan Ratna Pamegat yang bertubi-tubi itu. Maka ia pun membentak dengan napas tertahan,

"Kamu ini disuruh sabar tidak bisa! Kukutuk jadi manusia berbadan anjing, baru kapok kamu!"

Blarrr...! Gelegar petir terdengar mengagetkan. Itulah suara dentuman yang didengar Suto Sinting. Dentuman itu tidak menimbulkan asap mengepul. Lalu, asap apa yang terlihat oleh Suto dan sekarang sedang dihampirinya itu?

Ternyata asap sebuah rumah terbakar sejak tadi, sebelum Pendekar Mabuk datang ke situ. Maka, Suto pun tidak mengetahui di mana Ratna Pamegat dan Ki Gendeng Sekarat berada, ia mencari dengan mata jelinya.

Sementara itu, keadaan Ratna Pamegat sudah berubah wujud menjadi seekor anjing berbulu coklat dengan kepala manusia. Ratna Pamegat berlari secepatnya sambil menangis, ia berseru di perjalanan pelariannya.

"Ki Gendeng...! Ki Gendeng...!"
Dari kejauhan terdengar suara nenek itu berseru, "Ayo, kita bertarung! Pedangku sudah bisa kucabut sekarang!"

Dalam keadaan menjadi manusia berbadan anjing, Ratna Pamegat tak berani menghadapi nenek aneh itu. Ia berlari kian kemari sambil menyerukan kata memangil- manggil Ki Gendeng Sekarat dan Suto.

"Ki Gendeng, di mana kamu! Sutooo...! Suto tolong akuuu...!"

Rupanya Ki Gendeng Sekarat tertidur di emperan sebuah rumah, ia tampak tertidur nyenyak di atas sebuah lincak, atau balai-balai dari bambu yang biasa ada di serambi atau teras rumah. Ketika mendengar seruan Ratna Pamegat, Ki Gendeng Sekarat pun bangkit dalam keadaan masih tertidur dengan dengkuran halus.

"Mana itu...?" katanya seperti orang mengigau. "Sepertinya suara Ratna Pamegat dalam bahaya...!"

Ki Gendeng Sekarat segera mencari. Arahnya ke alun-alun. Ratna Pamegat sendiri juga sedang berlari ke alun-alun dalam kejaran nenek kempot yang larinya tertatih-tatih, seperti malas-malasan mengejar musuhnya.

"Ki Gendeng...!"

"Ratna...!" seru Ki Gendeng Sekarat, tapi tak bisa keras sekali karena ia dalam keadaan tidur, mata terpejam, dan kepala terkulai ke samping, agak menunduk sedikit. Hanya saja, ia tetap bisa melihat apa yang terjadi pada diri Ratna Pamegat.

Ratna Pamegat menangis di kaki Ki Gendeng Sekarat. Ki Gendeng Sekarat segera jongkok hingga wajahnya berhadapan dengan Ratna Pamegat.

"Ki Gendeng, aku menemuinya dan... dan aku menjadi seperti ini!"
"Ratna, tabahkan hatimu! Bersembunyilah di bawah kolong balai-balai sana. Aku akan menghadapi dia...! Mana dia sekarang?"
"Sedang mengejarku kemari!"
"Kalau begitu, cepat bersembunyi...!"

Ratna Pamegat berlari, ia bersembunyi di kolong balai yang ada di teras rumah orang. Dari sana, ia bisa memandang Ki Gendeng Sekarat yang menghadang langkah nenek berhati iblis itu.

Nenek aneh itu menghentikan langkahnya setelah seorang lelaki berbadan sedikit gemuk menghadang di depannya. Nenek aneh itu bertanya lebih dulu, "

"Apa kau melihat seekor anjing coklat lewat sini, Kisanak?"
Ki Gendeng Sekarat menjawab, "Tidak. Tapi kalau anjing tua kempot dan bungkuk, ada di depanku saat ini!"

"Hik hik hik...!" nenek aneh terkikik-kikik seperti suara kuntilanak sedang sakit tenggorokan. "Kau menghinaku, Tua Bangka! Kau sama saja mengatakan aku anjing peot, tua, dan bungkuk!"

"Anggap saja memang begitu," jawab Ki Gendeng Sekarat.
Nenek itu menahan napas dan berseru, "Kalau begitu, kau pun kukutuk menjadi seekor anak anjing!"

Angin berhembus sedang-sedang saja. Sepi terjadi sejenak. Ki Gendeng Sekarat meraba tangannya. Ternyata masih utuh tangan manusia. Walau ia tertidur, tapi ia bisa melihat bahwa dirinya tak berubah sesuai kutukan yang dilontarkan nenek aneh itu. Sedangkan sang nenek pun merasa heran melihat orang yang dikutuknya tidak segera berubah.

"Kau kukutuk menjadi seekor anak anjing!" ulangnya sambil menahan napas. Tapi alam tetap sunyi. Tak ada petir, tak ada perubahan pada diri lawannya. Sang nenek semakin heran, dan melepaskan kutukan lagi,

"Jadilah babi buntung! Babi hidung mancung! Jadilah babi bunting! Jadilah macan, serigala, monyet...!" semua binatang disebutkan, tapi tak satu pun yang membuat Ki Gendeng Sekarat berubah wujud.

Dari tempat persembunyiannya, Ratna Pamegat mendengar ucapan nenek aneh mengutuk Ki Gendeng Sekarat. Ratna Pamegat menjadi terheran-heran kagum melihat Ki Gendeng Sekarat masih utuh sebagai manusia tua yang gendeng juga ilmunya. Bahkan Ki Gendeng Sekarat terkekeh-kekeh dan berkata,

"Kau ini dagang macam-macam binatang atau mau menyebarkan kutuk?!"
"Iblis neraka mana kamu, hah?! Susah sekali dikutuk jadi apa saja. Kalau begitu, kutebas saja lehermu dengan pedangku ini!"

Wuuttt...!

Blappp...! Ki Gendeng Sekarat lepaskan pukulan dari tangan kirinya sebelum pedang menebas. Pukulan itu mengenai tubuh nenek aneh dan terpental jauh tubuh tua kurus dan kering itu. Melayang-layang membentur tembok istana dengan keras. Prokkk...!


DARI arah utara muncul Pendekar Mabuk yang berlari-lari dengan sangat tergesa-gesa. Arah pandangan mata Suto tertuju ke alun-alun. Ia melihat pertarungan Ki Gendeng Sekarat dengan nenek aneh itu. Namun ketika ia hendak menghampiri Ki Gendeng Sekarat untuk membantu menggempur nenek aneh itu, tiba-tiba sebuah suara memanggilnya,

"Suto...! Suto...!"

Bingung juga Suto mencari arah datangnya suara itu. Ia berpaling ke sana-sini sampai akhirnya Ratna Pamegat keluar dari kolong balai dan berseru dengan suara tertahan, "Suto...!"

"Ratna...?!" Pendekar Mabuk terpekik kaget ketika melihat Ratna Pamegat sudah menjadi manusia berbadan anjing cokiat. Cepat-cepat Suto menghampirinya dengan mata tegang.

"Ratna, apa yang terjadi?"
"Nenek itu telah mengutukku menjadi seekor anjing!"

"Edan!" geram Suto Sinting antara terharu dan marah melihat keadaan Ratna Pamegat seperti itu. Giginya menggeletuk dan tangannya menggenggam kuat-kuat.

"Aku mencoba memancingnya ke alun-alun, tapi dia sudah lebih dulu melepaskan kutukannya! Aku dikejar- kejar olehnya, tapi segera ditolong oleh Ki Gendeng Sekarat!"

"Biadab betul nenek itu! Tetaplah di sini, biar aku yang maju!" kata Pendekar Mabuk dan segera bergerak. Tapi Ratna Pamegat memanggil lagi,

"Suto, sebaiknya biarlah Ki Gendeng Sekarat yang menghadapi nenek aneh itu! Dia tidak mempan dikutuk oleh nenek aneh itu, Suto! Aku melihat dan mendengarnya sendiri nenek itu menyebar kutuk beberapa kali kepada Ki Gendeng, tapi Ki Gendeng tetap tegar dan tidak berubah menjadi binatang apa pun!"

"Hmmm...! Aneh sekali! Ilmu apa yang dimiliki Ki Gendeng itu?" kata Suto bagai orang menggumam.
"Kurasa ia mempunyai ilmu penangkal kutuk! Kalau kau yang maju, aku khawatir kau terkena kutukannya, Suto!"

Masih di tempat emperan rumah, Pendekar Mabuk memandang ke arah alun-alun. Ratna Pamegat ada di atas balai-balai yang juga memandang ke arah alun-alun. Ratna Pamegat bertanya,

"Nenek tua itulah yang mencari-carimu dengan mengorbankan banyak nyawa! Apakah kau kenal dengannya, Suto?"

Pendekar Mabuk kerutkan kening dan memandang dengan mata sedikit menyipit. Nenek yang membentur tembok istana itu sedang berusaha bangkit tanpa keluh kesah apa pun. Dan kini berjalan tertatih-tatih mendekati Ki Gendeng Sekarat yang diam, berdiri menunggu lawan sambil kepalanya terkulai ke kiri dan matanya terpejam tidur.

"Melihat bekas pakaiannya, bentuk pedangnya, walau sudah berkarat, kurasa dialah yang benama Ratu Teluh Bumi, atau yang punya nama asli Ajeng Prawesti dari Jenggala. Tapi... mengapa dia menjadi setua itu? Sungguh tak masuk akal jika usianya dan keadaannya menjadi setua itu, karena kami berpisah kurang dari tiga bulan!"

"Mungkin dia nenek dari Ajeng Prawesti!"

"Neneknya...?!" gumam Suto dalam kebingungannya. "Kalau begitu, biarlah kuhadapi dia supaya lebih jelas lagi siapa dia sebenarnya?"
"Bagaimana jika kau kena kutuk, Suto?! Dia sangat mengancammu! Kurasakan begitu besar dan membaranya dendam nenek itu kepadamu!"

"Jika benar dia punya dendam padaku, berarti memang dialah Ratu Teluh Bumi. Jika dia bukan Ratu Teluh Bumi, lantas atas dasar apa dendam padaku?"

Rasa penasaran membuat Pendekar Mabuk nekat menemui Ki Gendeng Sekarat di alun-alun. Sampai di samping Ki Gendeng, Suto pun berkata,

"Mundurlah, Ki. Biar aku yang hadapi si iblis tua itu!"

Namun tiba-tiba sebuah serangan datang dari tangan nenek tua itu berupa pukulan tenaga dalam wama merah bagaikan bola api sebesar buah kelapa. Wusss...!

"Suto, awas...!" Ki Gendeng Sekarat melompat maju menyambut kehadiran bola api itu. Kemudian dengan satu kekuatan tenaga dalamnya, ia menghantam bola api itu menggunakan sentakan kedua tangannya yang ke depan. Brusss...! Blarrr...!

Bola api itu pecah meledak menimbulkan guncangan hebat pada tanah. Dan tubuh Ki Gendeng Sekarat terlempar mundur dalam hentakan kuat.

Zlappp....! Suto melesat menghadang tubuh Ki Gendeng Sekarat. Brekk...! Tubuh Ki Gendeng Sekarat membentur tubuh Pendekar Mabuk, tapi Pendekar Mabuk memang sudah siap menahan tubuh itu, sehingga Ki Gendeng Sekarat tidak cedera sedikit pun. Menabrak Pendekar Mabuk adalah lebih baik daripada menabrak rumah penduduk yang terbuat dari tembok separo bagian.

"Uuf...! Besar sekali tenaga si tua bangka itu! Edan betul dia!" Ki Gendeng Sekarat masih tetap tidur walau bicara begitu, nada bicaranya masih seperti orang mengigau malas-malasan.

"Dia sangat berbahaya, Ki! Sepertinya aku harus melawannya memakai Napas Tuak Setan. Tapi... keadaan tidak memungkinkan. Istana dan rumah-rumah di sekitar sini bisa habis dilanda badai!"

"Dia mengandalkan ilmu kutukannya! Menurutmu apakah dia memang Ratu Teluh Bumi, seperti yang kau ceritakan itu, Suto?"

"Ya. Tapi entah mengapa dia bisa menjadi setua itu! Aku sendiri tak habis pikir. Dan makin tak habis pikir melihatmu tidak mempan dengan kutukannya, Ki!"

"Karena aku tidak memandang matanya pada saat berhadapan! Mata hatiku yang melihat semua gerakannya! Jadi, tutuplah matamu pada saat menghadapinya!"

"Tutup mata?"

"Ya. Kekuatan kutuknya ada di matanya. Jika kita memandangnya, maka kekuatan kutuk itu akan mengalir lewat pandangannya. Sebaiknya...," Ki Gendeng Sekarat berhenti sebentar, melepas ikat kepalanya yang terbuat dari kain hitam itu. Kemudian kain hitam itu diserahkan kepada Pendekar Mabuk.

"Pakailah ini sebagai penutup matamu. Kau bisa bertarung menggunakan mata hati, bukan?!"
"Bisa, Ki!"
"Nah, lakukan cepat...!"

Belum sempat Pendekar Mabuk menggunakan ikat kepala kain hitam sebagai penutup mata, nenek aneh sudah berseru dalam jarak sepuluh langkah.

"Naaah... ini dia harapanku datang! Hik hik hik...! Kau pasti Pendekar Mabuk yang kucari-cari selama ini!"
"Apakah kau Ajeng Prawesti... si Ratu Teluh Bumi itu?!"

"Hik hik hik...! Betul sekali, Anak bagus! Akulah Ratu Teluh Bumi yang kau pukul sampai terjungkir masuk ke jurang keparat itu! Dan sekarang aku mau tuntut balas padamu, Cah bagus, Suto Sinting! Hik hik hik...! Tapi... tapi mengapa kau masih muda? Bukankah kita sudah berpisah hampir seratus tahun lamanya?"

"Kita baru berpisah tiga bulan kurang, Ajeng Prawesti!"

"Omong kosong! Pasti sudah hampir seratus tahun, dan kau punya aji pengawet wajah sehinga bisa tetap kelihatan ganteng dan muda!"

"Ajeng Prawesti, percayalah kita baru tiga bulan berpisah. Dan aku tak sangka kau menjadi setua itu, Ajeng Prawesti!"

"Ya, ya... aku menjadi tua, tapi... tapi tetap kelihatan manis dan menawan tentunya! Hik hik hik...!"

Ki Gendeng Sekarat berbisik dari belakang Suto, "Lekas kenakan penutup matamu, Suto. Dia bisa lepaskan kutuk sewaktu-waktu!"

Suto segera sadar, bahwa ia telah terpancing omongan sehingga lupa menutup matanya. Maka, cepat- cepat Suto menutup mata dengan kain ikat kepala itu.

"Heiii... mengapa pakai tutup mata segala? Aku tidak akan lari bersembunyi, sebab kita tidak sedang main petak umpet, Suto!" kata Ratu Teluh Bumi alias Ajeng Prawesti itu.

Suto tidak menjawab, ia meneguk tuaknya dulu beberapa tegukan, kemudian bumbung tuak tidak dikembalikan ke punggung, tapi ditentengnya sebagai senjata sewaktu-waktu.

"Bersiaplah, Ajeng Prawesti! Lepaskan seluruh dendammu padaku, biar tak lagi membawa korban bagi orang lain!" ucap Suto Sinting dengan keras dan tegas. Dalam hatinya sempat membatin,

"Agaknya pedang berkaratnya cukup berbahaya! Pedang itu harus kulenyapkan dulu...!" Maka, Suto pun menenggak tuak lagi dengan cepat, tapi tidak ditelan, melainkan disimpan di mulut untuk disemburkan sewaktu-waktu.

"Pendekar Mabuk, saatnya telah tiba untuk melepas nyawamu, Nak! Hiaaah...!"

Nenek itu tiba-tiba melompat dengan cepatnya dan hampir tak bisa dilihat mata Ratna Pamegat dari tempat persembunyiannya. Tapi rupanya Pendekar Mabuk pun tak kalah cepat. Zlappp...! Ia telah melesat bagai hilang dari tempat. Tahu-tahu sudah berada di belakang Ajeng Prawesti, dan kakinya menendang ke belakang dengan kuatnya. Buekkk... !

Punggung perempuan bungkuk itu menjadi sasaran telak. Ajeng Prawesti berjungkir balik ke depan, karena hampir saja ia tersungkur jatuh dengan kuatnya. Jlegg...! Kaki nenek tua itu sudah menapak kembali ke tanah dan berdiri menghadap Suto Sinting.

"Manusia keparat! Sebaiknya kau menjadi cacing, Suto!"

Ajeng Prawesti melontarkan kutuknya. Tapi petir tidak menggelegar. Suto masih tetap sebagai Suto, bukan menjadi seekor cacing. Bahkan kini Pendekar Mabuk menyerang dengan kibasan bumbungnya ke kepala Ajeng Prawesti. Bumbung itu dikibaskan ke kepala nenek tua, tapi sang nenek dengan gesitnya merundukkan kepala hingga lolos dari hantaman bumbung tuak. Dan pada saat itulah, Pendekar Mabuk cepat melompat ke atas kepala nenek tersebut. Wuttt... ! Brusss...! Tuak di mulut pun disemburkan. Clappp...! Tiba-tiba pedang berkarat itu pun lenyap karena jurus 'Sembur Siluman'-nya Suto Sinting.

"Monyet busuk! Ke mana pusakaku?!" caci nenek tua itu.

Pendekar Mabuk sempoyongan seperti orang mau jatuh, tapi tiba-tiba bumbungnya menyodok perut Ratu Teluh Bumi dengan kuat. Behggg...!

"Eehg...!" nenek itu menyeringai kesakitan. Tubuhnya melayang dan menabrak tubuh Ki Gendeng Sekarat yang sedang tertidur. Ki Gendeng Sekarat tiba- tiba membuka matanya. Dan agak terkejut melihat nenek itu sudah ada di atasnya, karena Ki Gendeng Sekarat pun jatuh terjengkang akibat benturan keras dari tubuh nenek yang terpental.

"Hei, apa-apaan kau! Sudah tua masih minta dikelonin saja!"

Ki Gendeng Sekarat buru-buru mengangkat tubuh Ajeng Prawesti dengan ringannya, lalu tubuh itu dibuang dalam satu hentakan kuat. Wesss...!

Behgg...! Tubuh itu jatuh di tanah bagian punggung lebih dulu. Nenek tua meraung kesakitan, namun masih nekat berusaha bangkit dan terhuyung-huyung. Kini yang ditatapnya adalah K! Gendeng Sekarat, ia menggeram dengan mata buasnya,

"Manusia gendeng! Kukutuk kau jadi bebek!"

Ratna Pamegat di tempat persembunyiannya menjadi cemas sekali, sebab ia tahu pada waktu kutuk itu dilontarkan, Ki Gendeng Sekarat tidak dalam keadaan tidur, melainkan dalam keadaan melek. Sudah tentu Ki Gendeng Sekarat akan berubah menjadi bebek.

Tapi ditunggu beberapa helaan napas, ternyata Ki Gendeng Sekarat masih tetap utuh sebagai Ki Gendeng Sekarat, tidak berubah menjadi bebek. Bahkan sekarang Ki Gendeng Sekarat tertawa terkekeh-kekeh,

"He he he he...! Kutukanmu ternyata sudah tidak mempan, Nenek Peot! Ilmu kutukmu telah hilang! Mungkin karena semburan tuak dari Pendekar Mabuk itu!"

"Ah, tidak! Ilmu 'Sabda Iblis' tidak hilang dariku! Kau kukutuk menjadi binatang yang paling menjijikkan!"
"He he he...! Bukankah binatang menjijikkan itu adalah dirimu sendiri, Nenek Ompong! He he he he...!"

Rupanya ilmu 'Sabda Iblis' yang dimiliki Ratu Teluh Bumi akibat memakan bunga Sukma Weling di Jurang Petaka itu telah lenyap oleh kekuatan jurus 'Sembur Siluman'-nya Suto Sinting. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Penyebar Kutuk"). Ratu Teluh Bumi menjadi tegang dan cemas.

Suto Sinting segera melepas kain penutup matanya begitu mendengar seruan Ki Gendeng Sekarat. Melihat Pendekar Mabuk melepas penutup mata, Ratu Teluh Bumi segera melepas kutukan kepada Pendekar Mabuk dan ternyata kutukan itu pun tidak berguna lagi.

"Keparat busuk! Kau telah melenyapkan ilmuku, Suto! Sekarang terimalah ajalmu ini, Nak! Heaaah...!"

Sebelum tangan nenek tua itu bergerak untuk melepaskan pukulan andalannya, Suto sudah lebih dulu berkelebat bagaikan angin, bahkan lebih cepat dari anak panah yang melesat. Wuttt...! Prakkk...!

Bumbung tuak itu menghantam kepala nenek tua. Kontan nenek tua itu terlempar ke belakang dan terguling-guling bagaikan bungkusan daun kering tertiup angin, ia jatuh terkapar di bawah patung para prajurit yang telah dikutuknya. Kepalanya pecah berlumuran darah.

Melihat Ajeng Prawesti tidak berdaya lagi, Ki Gendeng Sekarat mendekatinya, demikian pula Suto Sinting dan Ratna Pamegat yang lari dari tempat persembunyiannya untuk melihat kematian Ratu Teluh Bumi.

Napas sang nenek iblis tinggal sejengkal kurang, ia dalam keadaan luka parah sekali. Namun mata tuanya yang hampir redup itu sempat memandang orang-orang di sekelilingnya. Bahkan ia masih bisa berucap kata walaupun lirih sekali,

"Pendekar Mabuk, akhirnya kau yang menang dalam pertarungan ini.... Maafkan aku, Suto. Aku terpaksa menunggumu di akhirat untuk teruskan pertarungan ini dan menebus kekalahanku yang sekarang...."

Ki Gendeng Sekarat menggerutu, "Sudah mau mati masih mengancam dendam juga orang ini...?!"
"Biarkan dia bicara," kata Suto pelan.

Ratu Teluh Bumi berkata lagi, "Sampaikan salamku kepada Dayang Kesumat, dan katakan aku juga menunggu pertarungan dengannya di pintu neraka nanti. Sarankan agar dia lekas-lekas menyusulku...."

"Ajeng Prawesti, tidakkah kau ingin bertobat dalam keadaan seperti ini?' kata Suto Sinting yang sudah mengendurkan kemarahannya, bahkan berubah menjadi iba melihat nenek setua itu mau mati.

"Bertobat.,,?! Oh, aku lupa caranya bertobat! Jadi sebaiknya, persiapkan dirimu sebaik mungkin untuk pertarungan kita nanti, sementara itu... aku di sana juga mau cari guru yang lebih hebat lagi!"

Tiba-tiba terdengar suara serigala melolong, "Aaauuuu...!"

Semua mata memandang ke arah seekor serigala yang lari menuju alun-alun sambil ditunggangi bocah kecil yang tak lain adalah Ratu Kemukus. Serigala dan Ratu Kemukus hadir di situ dan ingin melihat kematian nenek iblis itu. Antara Ratu Kemukus dan Ratna Pamegat sama-sama terkejut dan saling menampakkan kesedihan melihat wujud masing-masing. Tapi kejap berikutnya, mereka kembali memandangi nenek kejam yang sedang sekarat itu.

"Ajeng," kata Suto. "Mengapa kau bisa setua ini? Apa yang telah terjadi pada dirimu, Ajeng?"
"Aku... aku kau ceburkan ke dalam jurang itu!"
"Ya, aku ingat!"

"Kau mengejarku bersama serigala itu. Aku...menyembunyikan diri. Keadaanku luka parah saat itu. Aku masuk ke dalam lobang seperti sumur, yang ternyata adalah gua. Dalamnya bukan main, seperti sumur tanpa dasar. Aku di sana sendirian, lama sekali, rasanya seperti ratusan tahun aku hidup di sana, tahu- tahu ketika kutemukan jalan keluar, aku sudah menjadi setua ini. Kupikir memang aku sudah waktunya tua karena terlalu lama di dalam lubang aneh itu. Ternyata... ternyata beberapa orang yang kukenal masih muda dan kau sendiri masih semuda ini, Cah Bagus...!"

Ki Gendeng Sekarat menyahut setelah berwajah tegang sebentar, "Berarti, kau masuk putaran arus waktu! Kau mendekati poros bumi. Di sana waktu berputar lebih cepat dari di sini!"

"Mungkin begitu, tapi... tapi... tapi aku tak kuat lagi. Kulanjutkan saja ceritaku di... di... neraka nanti...," setelah mengucapkan kata begitu, Ratu Teluh Bumi yang dikenal saat itu sebagai nenek aneh atau si nenek iblis, menghembuskan napasnya yang terakhir, ia mati dalam keadaan mata masin melek dan mulut masih ternganga.

Petir menggelegar di angkasa. Awan menjadi hitam, bergulung-gulung menutupi cahaya sore. Angin berhembus makin lama semakin kencang. Dedaunan berserakan diterbangkan angin, dan alam berubah menjadi sepi sejenak. Seakan roh Ratu Teluh Bumi sedang melintas meninggalkan jasadnya, menancapkan dendam di gerbang pintu neraka. Di sana ia menunggu lawan-lawannya untuk meneruskan pertarungan itu.

"Lalu bagaimana nasibku yang menjadi sekecil ini?" keluh Ratu Kemukus setelah mereka menjauhi mayat Ratu Teluh Bumi atau si nenek iblis itu.

"Ya, nasibku sendiri bagaimana? Haruskah selamanya aku menjadi manusia berbadan anjing?" tutur Ratna Pamegat dengan sedih.
Lalu Suto berkata, "Akan kucoba dengan tuakku, mudah-mudahan bisa memulihkan keadaan kalian!"

Suto meneguk tuak, sebagian ditelan, sebagian disimpan di mulut, lalu disemburkan ke tubuh Ratu Kemukus. Brusss...!

Blarrr...! Petir menggelegar dan tubuh Ratu Kemukus kembali menjadi besar dan dewasa seperti sedia kala. Ratu Kemukus tersentak kaget dan kegirangan. Hal serupa juga dilakukan kepada Ratna Pamegat, kembali ia menjadi manusia utuh seperti sedia kala. Bahkan patung- patung di alun-alun itu pun disembur dengan tuak satu persatu dan mereka berubah wujud menjadi manusia kembali.

"Terima kasih, Suto! Kau telah banyak menolongku, terutama menolong rakyatku yang terkena kutuk dan musibah besar ini!" kata Ratu Kemukus dengan tersenyum ceria. Suto pun membalas senyuman yang membuat hati Ratu Kemukus gelisah indah. Suto berkata,

"Maafkan kelancanganku tadi siang, Nyai Ratu."
"Kelancangan apa?" Ratu Kemukus kerutkan dahi.

Pendekar Mabuk tersenyum-senyum dan berkata, "Sekarang saya tidak akan berani memeriksa Nyai Ratu, apakah ngompol atau tidak!"

"Ah, Suto...! Jangan keras-keras nanti ada yang mendengarnya!" bisik Ratu Kemukus sambil tundukkan kepala.

"Aaauuu...!" serigala itu melolong, kemudian ia berlari cepat meninggalkan Suto. Suto merasa heran dan segera mengejarnya.

"Sri...! Sri, mau ke mana kau?! Hei, berhenti...!"

Serigala itu tetap berlari tak mau menghiraukan Suto Sinting lagi. Akhirnya Pendekar Mabuk menggunakan jurus gerak silumannya yang bisa melesat dengan cepat, dan tahu-tahu menghadang di depan serigala. Binatang itu berhenti, lalu mendekam rendah dan meletakkan kepalnya di tanah dalam keadaan matanya melelehkan air. Binatang itu menangis, Suto menjadi heran dan bertanya,

"Mengapa kau menangis? Apa kau cemburu aku bicara dengan Ratu Kemukus?"

Binatang itu hanya mengerang kecil mirip orang merintih. Suto Sinting sempatkan diri meneguk tuaknya. Tiba-tiba serigala bangkit dan menerjang dada Suto. Brukk...! Suto tersedak dan tuak segera tersembur dari mulutnya mengenai tubuh serigala.

Blarrr...! Serigala berbulu hitam itu berubah menjadi gadis cantik dan sangat menarik. Matanya bulat bening, rambutnya hitam lemas, sebatas pundak, hidungnya mancung, bibirnya indah. Gadis itu mengenakan pakaian merah bata dan berikat kepala hijau. Dialah Sumping Rengganis, yang pernah dikutuk Ratu Teluh Bumi karenanya ingin minta kitab yang dicuri oleh Ratu Teluh Bumi (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode: "Manusia Penyebar Kutuk"). Dan tentu saja Pendekar Mabuk menjadi terkejut sekali.

"Kau...? Kau juga korban kutukan Ratu Teluh Bumi?"

"Ya. Akulah yang bernama Sumping Rengganis, yang menemanimu ke mana saja selama ini, Pendekar Mabuk!"

"Edan!" Suto bersungut-sungut karena menahan malu, dan Sumping Rengganis tersenyum-senyum. Dalam hatinya, Suto berkata,

"Kalau tahu begini aku tidak mau tidur selalu bersamanya, aku tidak mau sering mengusap-usap tubuhnya, aku tidak mau sering menciumi tengkuk kepalanya, dan... dan kalau tahu begini aku tak akan membiarkan ia memandangiku terus sewaktu aku mandi dalam keadaan polos! Aduh, malunya! Pantas setiap aku buang air kecil dia selalu menungguiku di depan...?! Idiiih. J"'

Suto meremas rambutnya sendiri, gemas membayangkan malunya.

Tapi semua itu segera dilupakan oleh Suto, karena Sumping Rengganis tak pernah mau mengatakan apa yang pernah terjadi selama menjadi sahabat Pendekar Mabuk itu. Dan ia pun tetap mendampingi Suto dalam melakukan penyembuhan terhadap orang-orang yang menjadi korban kutukan Ratu Teluh Bumi, termasuk Resi Jejak Naga, guru dari Ratna Pamegat.

SELESAI
PENDEKAR MABUK Segera terbit: LADANG PERTARUNGAN