Pendekar Mabuk 16 - Mustika Serat Iblis(2)






Sambil tetap memegang tongkat toyanya, Satria Tangkas langkahkan kaki ke kanan dua tindak, kemudian berdiri tegak lagi menghadapi Garong Codet. Matanya masih memandang dengan menyipit, mencoba mempelajari wajah aneh tanpa bulu dan berambut trondol itu. Satria Tangkar temukan sifat angkara murka dan keji di balik wajah aneh itu.


"Jadi kau menginginkan kepalaku sebagai tumbal?"
"Ya! Tak salah lagi dugaanmu!"

Satria Tangkas manggut-manggut dan berkata, "Mengapa harus kepalaku? Mengapa bukan kepala kedua temanmu yang mirip tikus dan mirip kelinci hutan itu?!"

"Mereka bukan orang berilmu tinggi seperti kau! Cincin Mustika Serat Iblis menolak tumbal kepala orang yang tidak berilmu tinggi!"

Satria Tangkas sunggingkan senyum tipis.

"Aku berterima kasih kepadamu, karena secara tak langsung kau telah memujiku dan mengakuiku sebagai orang berilmu tinggi! Tapi ketahuilah, Sobat..., Orang berilmu tinggi mana pun tak ada yang mau sumbangkan kepalanya secara sia-sia untuk keperluan pribadi seseorang. Jadi jangan harap kau bisa ambil kepalaku sebagai tumbalmu!"

"O, keliru! Kau keliru, Anak Dungu! Bukan jangan harap aku bisa ambil kepalamu, tapi jangan harap kamu bisa pertahankan kepalamu!"
"Kulayani tantanganmu! Tapi aku tidak mau bertanggung jawab jika nyawamu melayang dari ragamu! Heah...!"

Satria Tangkas segera membuka jurus kuda-kudanya. Toya digenggam dengan satu tangan. Rapat dengan lengan kanannya dan mengarah ke belakang, sementara kakinya pun ditarik rendah ke belakang dengan tangan kiri terbuka di atas kepala.

"Ha ha ha ha ha...! Jurusmu seperti jurus monyet kesurupan begitu?! Aha, mana bisa kau pertahankan kepalamu jika menggunakan jurus itu, Anak Dungu!

Wuttt... ! Dugg... !

Gerakan Satria Tangkas begitu cepat. Ucapan Garong Codet belum selesai tapi sudah terkena sodok toya bagian bawah lehernya. Gerakan toya menyodok itu tidak tertangkap oleh mata Garong Codet, sehingga tubuh besar itu bukan saja terpental ke belakang tapi juga terbatuk-batuk dan merasa sakit jika dipakai menelan ludah. Sedangkan Satria Tangkas sudah kembali berdiri dengan sikap tenang dan santai, ia sunggingkan senyum sambil pandangi lawannya yang berusaha berdiri sambil batuk-batuk. Wajah Garong Codet menjadi merah karena batuknya itu.

Dari tempatnya Setan Cilik berseru, "Perlu bantuan...?!"

"Tidak, Goblok!"

Garong Codet jadi tambah terkejut. Suaranya menjadi serak dan pecah. Perih rasanya jika dipakai untuk bicara. Kegeramannya bertambah, nafsu untuk membunuh lawan menjadi kian berkobar.

Lalu, Garong Codet sentakkan tangan kirinya, melepaskah pukulan jarah jauhnya yang bersinar merah bagai piringan kecil melayang itu. Cepat dan sulit dihindari. Wuussstt...!

Tetapi Satria Tangkas pun dengan cepat menghantamkan toya ke arah samping depan. Hantaman itu tepat mengenai sinar merah hingga timbulkan suara ledakan yang cukup keras.

Dueerr... !

Pada saat itulah Garong Codet mengangkat tangan kanannya dan membuka genggaman tangan itu. Lalu, Mustika Serat Iblis mendapat cahaya dari matahari dan pantulkan sinar merah yang diarahkan ke leher Satria Tangkas.

Clapp...! Crasss..!

"Auh...!" Satria Tangkas terpekik, ia sangat terkejut melihat kelebatan sinar itu dan menghindar dengan secepatnya. Tapi tangan yang memegangi toya itu menjadi sasaran sinar merah, sehingga pergelangan tangannya menjadi putus total. Pluk....! Jatuhlah telapak tangan kanan Satria Tangkas ke tanah dalam keadaan masih menggenggam toya.

Satria Tangkas terkesima memandang tangannya jatuh di tanah. Saat terkesima itu digunakan oleh Garong Codet untuk mengarahkan pantulan sinar mustika ke leher Satria Tangkas.

Clapp...! Sinar itu bagaikan lidi yang berjulur merah dari telapak tangan Garong Codet. Lidi merah itu bergerak dari arah kanan Satria Tangkas memenggal ke arah kiri melewati lehernya. Crasss...!

Satria Tangkas mendelik seketika. Terpatung sejenak. Lalu kepalanya pun jatuh menggelinding dari raganya. Plokkk...! Maka habislah riwayat si jago toya itu di tangan Garong Codet.

Prok prok prok...! Tikus Ningrat dan Setan Culik memberi sambutan dengan tertepuk tangan. Semakin bengkak dada Garong Codet mendapat pujian seperti itu. Semakin besar kepala trondolnya, merasa menjadi orang hebat yang dapat dengan mudah menumbangkan para pendekar berilmu tinggi. Mustika Serat Iblis semakin digenggamnya, ia pun melangkah dengan senyum bangga, mendekati dua konconya itu.

"Gerakanmu tadi cukup indah! Aku suka sekali melihatnya!" kata Setan Culik memuji Garong Codet.
"Itu belum seberapa," jawab Garong Codet. Tapi ia buru-buru pegangi lehernya dan mendehem beberapa kali.
"Suaramu menjadi rusak, Garong Codet! Seperti kaleng jatuh di atas tumpukan kaleng rombeng."

"Bangsat itu yang merusak suaraku! Aduh, perih...! Hm hm hm...!" Garong Codet mendehem-dehem lagi. Ia sempat menyeringai ketika menelan ludah sendiri.

Mata Setan Culik tak berkedip pandangi bagian tepat di bawah leher Garong Codet. Bagian itu membekas memar membiru berbentuk penampang ujung toya. Bundar bentuknya. Lebih besar dari uang logam. Jika toya itu tidak dialiri tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin bisa timbulkan bekas yang biru kehitam- hitaman seperti itu.

"Sebaiknya kita cepat cari buah jeruk buat mengobati tenggorokanmu yang rusak itu, Garong Codet!" usul Tikus Ningrat.

Namun tiba-tiba seseorang menyahut dari tempat jatuhnya mayat Satria Tangkas itu.

"Tak perlu repot-repot mencari jeruk! Aku bisa mengobatimu, Garong Codet!"

Suara tua itu cepat dipandang oleh mereka bertiga. Terkesiap mata mereka melihat seorang nenek berjubah kuning sudah berdiri di sana dengan tongkat kayu merahnya yang berkepala burung garuda.

"Mau apa nenek peot itu kemari?" geram Garong Codet pelan.
Tikus Ningrat menyahut, "Mungkin mau mendaftarkan diri sebagai tumbal berikutnya!"

Pada saat itu, Nyai Komprang segera sentakkan tongkatnya ke tanah. Jleeg...! Sentakan itu sangat pelan, tapi menghadirkan kekuatan yang cukup dahsyat. Tubuh Setan Culik terpental ke atas hingga kepalanya membentur dahan pohon dengan keras.

Wuttt... ! Prokkk... !

Krakkk...! Dahan pohon sebesar betis itu patah seketika karena terkena sodokan kepala Setan Culik dengan sangat kuat dari arah bawah. Patahan dahan itu menjatuhi tubuh Tikus Ningrat yang tak sempat menghindar.

Prukk... ! Beengg... !

Kepala Tikus Ningrat terhantam dahan sebesar betis. Sementara itu, Garong Codet sudah lebih dulu menjauh dari tempat itu untuk menghindari dahan yang jatuh. Akibat kepalanya terkena dahan, Tikus Ningrat pun jatuh terduduk dengan lemas. Kepalanya pusing tujuh keliling, seperti banyak bintang yang mengelilingi kepalanya. Sedangkan Setan Culik terkulai lemas, jatuh di sebuah dahan. Tubuhnya tersampir di dahan itu seperti sarung sedang dijemur.

"Hebat sekali, kau, Nek?!" kata Garong Codet dengan suara sember. "Rupanya kau datang untuk sumbangkan kepala sebagai tumbal Mustika Serat Iblis juga?!"

"Aku datang untuk menuntut kematian kedua muridku! Nyawa kalian bertiga belum impas untuk menebus kematian kedua muridku itu!"

"Kalau begitu, nyawamu ditambahkan juga sebagai pelengkapnya biar impas!" Garong Codet tak bisa membentak, karena tenggorokannya terasa sakit jika digunakan bicara terlalu keras, sehingga sejak tadi bicaranya cukup pelan dan berkesan lembut bagai orang sedang memadu kasih. Garong Codet benci dengan keadaan suaranya, tapi demi menahan supaya tidak menjadi lebih parah lagi, ia terpaksa bertutur kata dengan suara lemah lembut.

"Garong Codet! Bersiaplah untuk mati di tanganku, Keparat!"

Nyai Komprang menyodokkan kepala tongkatnya ke depan. Dari kepala tongkat itu melesat cahaya putih perak. Cahaya itu mengarah ke tubuh Garong Codet. Dengan satu sentakan kaki Garong Codet melenting di udara dan bersalto satu kali. Saat itu pula Nyai Komprang ikut melayang di udara dan menyerang Garong Codet dengan kepala tongkat.

Duarr...! Sinar putih perak tadi menghantam batang pohon kelapa. Buah pohon berjatuhan. Tapi sudah berubah menjadi busuk. Sedangkan batangnya pun menjadi keropos seketika, dan rubuh tanpa timbulkan suara bunyi berdebam.

Saat itu pula, dua tubuh yang melayang di udara itu saling melepaskan pukulan tenaga dalamnya. Garong Codet melepaskan pukulan tenaga dalam dari siku kanannya. Sebuah sinar kuning seperti bola kecil melesat. Wutt...! Dari kepala tongkat Nyai Komprang keluar lagi sinar putih perak. Wuttt...!

Blaarrr...! Kedua sinar itu saling menghantam dan pecah dengan timbulkan ledakan dahsyat. Gelombang ledakan itu melemparkan tubuh Nyai Komprang ke belakang hingga berguling-guling tak terkendalikan keseimbangannya. Sedangkan tubuh Garong Codet melengkung ke depan lalu membentur pohon besar dalam jarak lebih dari tujuh kaki di belakangnya.

Buuhhg !

Garong Codet sebenarnya merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tapi ia paksakan untuk berdiri secepatnya, karena ia melihat keadaan lawannya sangat lemah. Maka, dibukalah tangan kanan yang menggenggam Mustika Serat Iblis itu. Lalu, pantulan cahaya matahari keluarkan sinar merah tanpa putus ke arah tubuh Nyai Komprang. Wusttt...! Clappp...!

Nenek berjubah kuning itu terkejut dan tak sempat menghindar. Akibatnya sinar tak terputuskan itu bergerak menebas leher sang nenek dengan cepat. Crass...! Dan kepala sang nenek pun jatuh menggelinding di tanah, menyusul bagian badannya rubuh bagaikan batang pohon pisang. Bruukkk...!

Tikus Ningrat mendekati pohon tempat tersangkutnya Setan Culik. Tapi pohon itu tiba-tiba berguncang pada saat Setan Culik sedang kebingungan mencari jalan untuk turun. Wurrr...!

Bukkk...! Setan Culik jatuh tepat di depan Tikus Ningrat, ia tidak segera ditolong, tapi justru ditertawakan oleh manusia berwajah runcing seperti tikus itu.

Setan Culik cepat bangkit dan lompatkan diri dalam satu tendangan ke arah Tikus Ningrat. Plaak...! Tikus Ningrat cepat menangkis kaki Setan Culik yang tak pedulikan rasa sakit membiru di lengan kanannya itu.

"Kenapa kau menyerangku?!"
"Kau mengguncangkan pohon itu hingga aku jatuh!" sentak Setan Culik dengan berang.
"Bukan aku yang guncangkan pohon! Angin yang bikin pohon berguncang!"
"Tak ada angin sekencang itu!"
"Kalau begitu, seseorang telah mengguncangkan pohon itu dengan kekuatan jarak jauhnya!"

Setan Culik diam, Tikus Ningrat pun diam. Karena tiba-tiba dari arah belakang mereka terdengar suara menyahut,

"Aku yang mengguncangkan pohon!"

Garong Codet juga terkesiap melihat kemunculan tokoh tua yang tampil sambil mengunyah makanan. Tokoh tua itu jadi lebih terkejut dan berhenti mengunyah setelah ia perhatikan ke arah mayat Satria Tangkas yang kepalanya berjarak tiga langkah dari raganya.

"Satria...?!"

Tokoh tua itu cepat mendekati kepala Satria Tangkas. Serta-merta makanan yang dikunyahnya disemburkan keluar. Bruss...! Kemudian ia palingkan pandangan ke arah Garong Codet. Matanya mulai pancarkan api dendam kemarahan.

"Kau telah membunuh muridku, Garong Codet!" geram orang itu yang tak lain adalah Ki Madang Wengi. Napasnya terengah-engah tangannya mulai gemetar. Gigi pun menggeletuk tanda menahan kemarahan besar.

"Apakah anak muda itu muridmu, Pak Tua?"

"Semua orang tahu, Satria Tangkas adalah murid Madang Wengi!" Ki Madang Wengi menepuk dadanya sendiri untuk melampiaskan kemarahannya yang sudah tak tertahankan lagi itu.

Tikus Ningrat segera maju mendekati Ki Madang Wengi dengan berkata,
"Jangan marah-marah, Pak Tua. Muridmu Cuma mati, cuma terpenggal saja! Dia tidak merasa...."

Dengani cepat Ki Madang Wengi mencabut bambu runcingnya di pinggangnya. Wuttt...! Crapp...! Bambu runcing tiga jengkal menancap di dada Tikus Ningrat, tepat di bagian jantungnya. Darah pun menyembur keluar sambil Tikus Ningrat tenganga mulutnya, terdongak kepalanya, dan mendelik matanya.

Slapp...! Bambu dicabut dari dada Tikus Ningrat. Kemudian tubuh Tikus Ningrat dijejak kuat oleh Ki Madang Wengi. Bukkk...!

Wusttt...! Tubuh itu terlempar begitu jauhnya. Lebih dari lima belas langkah. Bagai boneka dari kain tubuh itu menghantam ke sebuah pohon tepat di bagian kepalanya.

Prokk....! Kepala itu pecah karena kecepatan melayang tubuh Tikus Ningrat.

Tentu saja Garong Codet dan Setan Culik terperangah kaget melihat Tikus Ningrat bermandi darah dan tak bernyawa lagi. Garong Codet segera berbalik pandang dan menggeram dengan mata melotot. Cuping hidungnya kembang kempis. Wajah tanpa kumis dan alis itu menjadi merah padam.

"Jahanam kau, Madang Wengi! Kau bunuh sahabatku yang setia itu! Kubalas kau tanpa ampun lagi! Heeaah...!"

Clapp, clappp...! Mustika Serat Iblis segera melepaskan pantulan sinarnya ke arah Ki Madang Wengi. Orang tua berjubah abu-abu itu melompat ke sana kemari dengan gerakan cepat tak terlihat mata. Tahu-tahu ia sudah berada di belakang Setan Culik.

Wuttt...! Bukkk!

Tangan kiri Ki Madang Wengi menyentak cepat bagai gerakan tak direncana. Tangan itu menghantam punggung Setan Culik. Yang dihantam terpental jauh dan terguling-guling. Lalu di sana ia muntahkan darah kental dari mulutnya.

"Jahanam busuk kau, Madang Wengi! Hiih...!"
Clap, clap, clap, dap...!

Ki Madang Wengi dihujani kilatan cahaya merah dari Mustika Serat Iblis, ia menghindar dengan lincah, dan beberapa pohon pun tumbang terpotong oleh kilatan cahaya merah Mustika Serat Iblis.

Rupanya Garong Codet benar-benar marah melihat dua sahabatnya dilukai oleh Ki Madang Wengi. Tak ada hentinya Garong Codet melepaskan sinar pemotong yang amat berbahaya itu. Mau tak mau Ki Madang Wengi hanya bisa menghindar, karena ia tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan celah menyerang.

"Modar kau, jahanaaam...!" Garong Codet berseru garang dengan suara serak, tanpa pikirkan rasa sakitnya di tenggorokan. Mustika Serat Iblis tetap menghujani Ki Madang Wengi secara bertubi-tubi, tapi manusia selincah petir itu sulit dikenai anggota tubuhnya. Lebih dari sepuluh pohon menjadi sasaran sinar merah yang mematikan itu. Lebih dari dua puluh batang menjadi terpotong-potong oleh pantulan sinar Mustika Serat Iblis.

Ki Madang Wengi merasa terdesak, ia tak punya harapan dapat menyerang, karena ketika ia mencoba melepaskan pukulan tenaga dalam bersinar kuning untuk melawan sinar merah dan terputus itu, ternyata sinar kuningnya kalah. Tak bisa menahan sinar merah tersebut.

Merasa dirinya terdesak bahaya yang tak bisa ditawar lagi itu, Ki Madang Wengi cepat melarikan diri tanpa keluarkan sepatah kata pun. Hanya suara Garong Codet yang terdengar keras dan serak.

"Ke mana pun kau lari akan kukejar, Madang Wengi! Bangsaaat...!"

Ki Madang Wengi tak peduli dikatakan bangsat, karena ia sedang cari selamat. Gerakannya yang cepat itu pun tak bisa diikuti lawan.

* * *






6
 PANTAI Tanjung Keramat suatu tempat yang sunyi. Jauh dari kehidupan masyarakat pedesaan. Pantai itu banyak dikelilingi oleh gugusan karang yang menggunung. Dua gugusan karang yang paling besar tingginya antara tiga puluh tombak lebih. Dua gugusan karang itu membentuk celah tebing yang berhadapan. Di tebing karang itu terdapat sebuah tempat datar. Tempat datar itu terletak di depan sebuah gua bermulut lebar. Di dalam gua itulah Tabib Awan Putih tinggal di sana sendirian.

Bekas seorang pendekar dari dataran Cina itu kini telah mengasingkan diri dari keramaian duniawi, ia lebih menekuni pengobatan dan meramu berbagai macam obat dari ramuan alam berupa dedaunan pohon, akar pohon, kulit, daun, kayu, bunga, getah dan yang lainnya, ia memasak obat-obatan itu di dalam gua, sehingga ciri khas Pantai Tanjung Keramat adalah udara berbau rempah-rempah.

Tabib Awan Putih sudah berusia sekitar delapan puluh tahun. Tapi tubuhnya masih segar dan gesit. Memang sedikit bungkuk, tapi tidak membuat langkahnya tertatih-tatih. Rambutnya putih tipis, agak gundul, matanya kecil tapi masih tajam memandang jarum jatuh di tanah. Jenggotnya putih panjang, dan kumisnya yang putih itu melengkung ke bawah melewati dagu. Ia mengenakan pakaian jubah putih. Semuanya serba putih kecuali dua biji matanya yang punya warna hitam.

Suara tuanya masih terdengar jelas, Tidak bergetar seperti suara orang awam seusia delapan puluhan, ia orang yang berpenampilan tenang, walaupun kadang- kadang sering jengkel pada dirinya sendiri jika melakukan kesalahan.

Rupanya hari itu sang tabib sedang kedatangan tamu, yaitu seorang pemuda tampan berpakaian celana putih dengan baju tanpa lengan berwarna coklat. Rambut pemuda itu tergerai panjang. Lemas dan halus. Sorot matanya lembut dan hidungnya bangir. Ke mana pun pemuda, itu berada ia selalu tak jauh dari bumbung bambu tempat tuak yang panjangnya antara satu depa. Melihat bumbung tempat tuak itu, orang akan cepat mengenalinya sebagai murid edan si Gila Tuak yang punya nama panggilan Suto Sinting, dengan julukan Pendekar Mabuk.

Dia memang seorang peminum tuak. Tapi tak pernah menjadi mabuk dan bikin onar. Julukan Pendekar Mabuk itu diberikan oleh gurunya, karena dia punya gerakan jurus mirip orang mabuk. Tubuh meliuk ke kanan kiri, sempoyongan ke sana-sini, tapi setiap gerak timbulkan jurus dan melepaskan pukulan maut.

Ia dikatakan sinting karena setiap gerakan jurusnya menghasilkan satu kejutan yang gila-gilaan. Kadang ia terlihat diam saja, tapi sebenarnya sedang menyerang lawannya dengan jurus yang membahayakan. Bahkan dalam keadaan bahaya pun Suto masih sempat menenggak tuaknya dengan tenang, dan tuak itu ternyata menghasilkan satu kekuatan dahsyat yang membuat orang terperangah terheran-heran. Belum lagi jika ia menghembuskan napas Tuak Setan-nya, badai datang mengamuk dan menumbangkan apa saja yang ada di depannya. Sungguh sinting ilmu yang dimiliki Suto, tapi toh tidak membuatnya menjadi takabur ataupun sombong. Justru Suto banyak menahan diri dan mencari perdamaian dengan lawannya siapa saja.

Hanya satu lawan yang tak bisa diajak damai dan tak perlu ditawarkan perdamaian lagi, yaitu Siluman Tujuh Nyawa. Tokoh sesat berilmu tinggi yang telah banyak menelan korban itu sedang diburunya untuk dipenggal kepalanya. Bukan semata-mata dendam yang ada di hati Pendekar Mabuk, bukan pula semata-mata kepala itu menjadi mas kawin bagi pinangannya terhadap Dyah Sariningrum, Ratu Puri Gerbang Surgawi yang punya panggilan Gusti Mahkota Sejati itu, tapi karena tugas menyelamatkan banyak jiwa dari kekejaman Siluman Tujuh Nyawa, maka Suto memburu tokoh sesat berilmu tinggi itu.

Hanya saja, kali ini kedatangan Pendekar Mabuk ke Tanjung Keramat bukan untuk membicarakan tentang Siluman Tujuh Nyawa, melainkan untuk membicarakan masalah Bunga Bernyawa (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pawang Jenazah"). Perempuan cantik yang pernah menjadi sandera dan sekaligus gundik Laksamana Cho itu adalah putri seorang kaisar di negeri Cina.

Sudah cukup lama Pendekar Mabuk meninggalkan Bunga Bernyawa di Pegunungan Mahagiri bersama Mayang Suri, bayinya, dan Eyang Juru Taman. Tentunya perempuan putri kaisar itu sudah ingin pulang ke tanah kelahirannya. Pendekar Mabuk pernah berjanji akan mengatur perjalanan pulangnya Bunga Bernyawa. Tapi sampai sekarang ia belum punya waktu dan belum punya kapal yang bisa membawa pulang Bunga Bernyawa.

"Aku kenal ayah Bunga, yaitu Kaisar Shiauw-ong alias si Raja Kecil itu," kata Tabib Awan Putih sambil menghisap-hisap sebatang huncwe (pipa tembakau panjang), ia berjalan mondar-mandir di depan Pendekar Mabuk. Kemudian lanjutnya,

"Tapi kalau aku mengantarkan Bunga pulang ke sana, maka aku akan berhadapan dengan musuh lamaku, Lim- ong, alias si Raja Hutan! Padahal aku sudah bersumpah untuk tidak membunuh orang lagi, selain binatang. Aku pun tidak mau dibunuh begitu saja. Sebab itu aku lebih tenang tinggal di pantai ini."

"Jadi, jelasnya kau keberatan untuk mengantarkan Bunga Bernyawa pulang ke negerinya?!"

"Aku keberatan, Suto! Kusarankan kau sewa kapal saja dan bawa sendiri gadis itu pulang ke negerinya! Di sana kau pasti akan sangat dihargai karena dianggap sebagai pahlawan yang bisa selamatkan putri kaisar!"

"Aku tak punya uang untuk sewa kapal," kata Suto jujur apa adanya.

Tabib Awan Putih melepaskan tawa terkekeh. Setelah menghisap satu kali pipanya itu, ia pun ucapkan kata,

"Aku punya kenalan seorang saudagar yang punya kapal empat. Aku bisa pinjamkan kapal itu, karena aku pernah tolong dia dan dia merasa berhutang nyawa padaku! Kalau kau mau, segera kuhubungi sahabatku itu!"

"Tapi aku masih buta pelayaran menuju Laut Cina, Tabib!"

"Hei hei hei...!" Tabib Awan Putih mendekati Suto. "Kalau gurumu si Gila Tuak mendengar ucapanmu ini, kamu pasti ditamparnya! Aku tahu watak sahabat lamaku yang jadi gurumu itu, dia paling tidak suka dengan kata menyerah. Harus berusaha dulu, setelah berulang kali gagal, baru boleh menyerah. Tapi bukan untuk kalah, melainkan untuk cari kemenangan di jalur lain!"

Pendekar Mabuk tersenyum. Agaknya orang berjubah putih ini tahu betul watak si Gila Tuak, gurunya. Kemudian Suto berkata,

"Aku bukan menyerah, Tabib. Aku hanya mengakui kebodohanku tentang pelayaran ke Laut Cina."

"Tapi nada bicaramu berkesan menyerah, Suto Sinting! Itu tidak baik untuk jiwamu! Cobalah dulu bawa kapal ke Laut Cinta, eh... ke Laut Cina! Cobalah dulu. Dan lagi, setahuku Bunga Bernyawa pandai dalam ilmu jalur pelayaran, karena semua anak kaisar harus menguasai jalur pelayaran laut!"

Pendekar Mabuk menarik napas, ia teguk tuaknya kembali, sedangkan Tabib Awan Putih menghisap huncwe-nya dalam-dalam, ia duduk di sebuah bangku kecil yang rendah, di depan sebuah pelita menyala.

"Baiklah, akan kucoba berlayar ke sana bersama Bunga Bernyawa!" ujar Suto setelah sama-sama bungkam beberapa saat. "Lantas, kapan aku bisa mendapatkan kapal itu, Tabib?!"

"Tiga hari lagi!"
"Mengapa tiga hari lagi?"
"Perjalanan menuju tempat sahabatku itu sudah memakan waktu satu hari satu malam. Belum lagi membawa kapalnya kemari dan...."

Tiba-tiba Tabib Awan Putih menghentikan ucapannya. Matanya melirik ke arah luar gua, sepertinya ada sesuatu yang ia curigai. Suto mencoba mencari sesuatu yang dicurigai itu, tapi ia tak temukan apa-apa. Hanya kesunyian yang ada di luar gua. Kemudian Suto pun ajukan tanya,

"Ada apa, Tabib?"
"Ada orang menuju kemari!"
"Dari mana kau tahu?"
"Getaran nadinya kurasakan mendekat kemari."
"Mungkin itu getaran nadi binatang."

"Tidak sekeras ini getaran nadinya. Hmmm... langkahnya pun langkah telapak kaki manusia!" Tabib Awan Putih sipitkan matanya lagi. Setelah itu kembali tarik napas dan bersikap biasa saja.

"Sampai mana percakapanku tadi?" tanyanya kepada Suto.
"Sampai... sampai telapak kaki manusia, Tabib!"
"Bukan. Soal kapal tadi!"

"O, hmmm... yah, kurasa aku memang harus segera hubungi Bunga Bernyawa. Aku siap berangkat ke Laut Cina kapan saja. Terserah harinya, kau yang tentukan, Tabib. Sebab kau yang punya kesanggupan menolong putri kaisar itu untuk mencarikan kapal!"

"Ya. Tapi menurutku, kalau kau mau kawini Bunga Bernyawa, maka Bunga akan betah tinggal di sini, Suto!"

Pendekar Mabuk tertawa kecil. "Mengapa kau bilang begitu, Tabib?"

"Wanita-wanita ningrat seperti Bunga Bernyawa itu sangat menyukai pemuda yang mempunyai ilmu tinggi namun bijaksana, berjiwa ksatria dan berwajah tampan. Sedangkan semua itu menurutku ada padamu, Suto!"

"Ah, tidak semudah itu, Tabib! Cinta tidak datang dari sikap saja! Cinta adalah gerakan batin yang sangat naluriah sekali, Tabib. Tak bisa diatur kedatangannya!"

"Atau... barangkali kau sudah punya kekasih sendiri di negeri yang tak bisa dilihat mata orang biasa?"
"Apa maksudmu, Tabib?"
"Maksudku, kau punya calon istri di alam gaib?"
"Di alam gaib? Mengapa kau bicara soal alam gaib?" Pendekar Mabuk kerutkan dahi dalam lagak bingungnya. Tabib Awan Putih tersenyum.

"Aku melihat noda merah kecil di keningmu, Suto. Aku tahu, noda itu sebagai tanda bahwa kau bisa masuk ke alam gaib. Dan satu-satunya negeri alam gaib yang pernah kudatangi sebagai kunjungan persahabatanku ialah negeri Puri Gerbang Surgawi, yang dipimpin oleh seorang ratu cantik bernama Ratu Kartika Wangi!"

Pendekar Mabuk sedikit terkesiap dan menjadi tersipu. Ternyata Tabib Awan Putih itu memang tinggi ilmunya. Dia bisa mengenal Gusti Ratu Kartika Wangi yang ada di alam gaib, yang mempunyai negeri Puri Gerbang Surgawi. Sedangkan negeri Puri Gerbang Surgawi di alam nyata ini dipegang oleh Dyah Sariningrum, calon istri Suto. Karena itu, Suto Sinting hanya tersenyum-senyum saja saat Tabib Awan Putih membeberkan tentang negerinya Gusti Ratu Kartika Wangi.

"Hanya orang terhormat dan punya penghargaan tinggi yang diberi tanda merah di kening oleh Ratu Kartika Wangi. Dia mempunyai dua putri, yaitu Betari Ayu dan Dyah Sariningrum. Barangkali salah satu dari kedua anaknya itulah yang menjadi kekasihmu!"

"Aku tak bisa bohong di depanmu, Tabib!" Pendekar Mabuk tersenyum kecil, menahan malu.

"Pantas kalau kau menolak Bunga Bernyawa, karena kau punya kekasih salah satu dari anak Ratu Kartika Wangi. Tapi kalau boleh aku tahu, yang mana kekasihmu itu, Suto?"

"Gusti Mahkota Sejati," jawab Pendekar Mabuk menyebut nama julukan kekasihnya.
"O, itu julukan dari Dyah Sariningrum!"

"Tak salah, Tabib!" sambil Suto sunggingkan senyum bangga dan berbunga hatinya. Rupanya Tabib Awan
Putih banyak tahu tentang Puri Gerbang Surgawi, sehingga hafal nama julukan Dyah Sariningrum. Kemudian Tabib Awan Putih berkata,

"Sampaikan salamku kepada Ratu Kartika Wangi jika kau jumpa dia kapan saja. Katakan bahwa...."

Ucapan Tabib Awan Putih kembali terputus dengan sendirinya. Suto berkerut dahi dan berkata dalam hati, "Mungkinkah ia takut banyak menceritakan dan sebut- sebut nama Gusti Ratu Kartika Wangi...?" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").

Rupanya berhentinya kata-kata itu segera disusul dengan bangkitnya Tabib Awan Putih dari tempatnya bersila. Kemudian ia melangkahkan kaki ke mulut gua. Tepat kakinya ada di luar gua, seorang wanita melompat dari atas dan mendaratkan kakinya di tempat datar, di depan Tabib Awan Putih. Suto jadi tertarik dan ikut keluar.

Kedua mata wanita cantik itu memandang mata Pendekar Mabuk. Ada rasa debaran aneh di dalam hatinya yang membuat ia pun jadi resah serta sedikit gugup. Tapi cepat-cepat ia alihkan pandangan kepada Tabib Awan Putih, sehingga kegugupannya yang aneh itu menjadi hilang.

Wanita cantik yang datang dengan melalui jalan curam itu berpakaian merah tembaga terang, bertahi lalat kecil di bawah mata kiri, menyandang pedang di pinggangnya. Siapa lagi yang bertahi lalat kecil di bawah mata kirinya itu jika bukan Roro Manis, murid Eyang Danujaya? Tetapi agaknya Tabib Awan Putih tidak mengenalinya, sehingga ia sedikit kerutkan dahi dalam memandang. Sedangkan Suto Sinting diam membatin dalam hati,

"Mungkin wanita ini yang denyut nadi dan langkah kakinya dirasakan oleh Tabib Awan Putih. Benar-benar kagum aku pada Tabib Awan Putih. Bukan hanya indera keenamnya yang tajam, tapi ia juga bisa menerka isi hatiku. Hm... sebaiknya kusimak dulu apa perlunya gadis cantik itu datang kemari. Sepertinya, Tabib Awan Putih merasa asing dengan gadis itu!"

Benar dugaan Suto, buktinya tabib segera ajukan tanya kepada gadis itu, "Siapa dirimu, Nona?"
"Namaku Roro Manis. Aku dari padepokan desa Sambiroto, murid Eyang Guru Danujaya."

"Danujaya...?!" tabib menggumam agak bingung. "Silakan masuk!" Ia melangkahkan kaki lebih dulu masuk ke dalam gua yang penuh dengan guci obat dan kotak rempah-rempah.

Roro Manis sempat melirik Pendekar Mabuk lagi ketika melangkah masuk. Suto sunggingkan senyum dan ucapkan kata,

"Namaku Suto Sinting!"

"Aku belum berminat menanyakannya!" Roro Manis berlagak ketus. Padahal hatinya berdebar indah mendengar nama pemuda tampan itu. Ia melanjutkan kata, "Aku masih butuh bicara dengan Tabib Awan Putih!"

Pendekar Mabuk tertawa dalam gumam. Kemudian ia biarkan Roro Manis masuk mengikuti langkah Tabib Awan Putih. Suto sendiri membuka bumbung tuak dan menenggak tuaknya beberapa teguk. Setelah itu ia kembali pusatkan perhatian kepada pembicaraan Roro Manis dengan Tabib Awan Putih.

"Apa perlumu datang kemari, Roro Manis?"
"Untuk menemui Tabib Awan Putih."
"Akulah orang yang kau cari. Dari mana kau mengenalku?"
"Ki Madang Wengi menyuruhku datang kemari."

"O, Madang Wengi?! Ya ya ya...!" tabib manggut- manggut sambil sunggingkan senyum mengenang Madang Wengi. Ia segera lanjutkan kata,

"Sudah hampir sepuluh tahun aku tidak jumpa dengan Madang Wengi. Bagaimana kabarnya?"
"Dia dalam keadaan baik, Tabib. Sekarang dia sedang mengawasi bekas kekasihnya semasa muda...."
"Nyai Komprang, maksudmu?" potong tabib dengan cepat.
"Benar, Tabib!"
"He he he...! Kudengar belakangan ini mereka saling bermusuhan!"

"Memang, Tabib. Tapi agaknya bukan musuh bebuyutan! Terbukti Ki Madang Wengi masih sempat cemaskan Nyai Komprang saat Nyai Komprang mau temui Garong Codet!"

"Garong Codet...?! Maksudmu, si perampok dari tanah seberang itu, Roro Manis?"
"Betul, Tabib!" jawab Roro Manis dengan tegas tapi sopan.

"Ada persoalan apa Nyai Komprang sampai berurusan dengan Garong Codet itu? Ilmu Nyai Komprang jauh lebih tinggi, mau-maunya dia berurusan dengan anak kemarin sore?!"

"Nyai Komprang yakin kedua muridnya dipenggal oleh Garong Codet! Dan saya pun berpendapat begitu, karena penggalan kepala di kedua murid Nyai Komprang tidak semburkan darah sedikit pun. Penggalan itu sama persis dengan penggalan kepala tiga saudara seperguruanku dan bahkan Eyang Guru sendiri juga dipenggal oleh Garong Codet! Itulah sebabnya Nyai Komprang mau menuntut balas kepada Garong Codet. Tapi Ki Madang Wengi cemaskan jiwa Nyai Komprang!"

"Mengapa Madang Wengi cemaskan jiwa Nyai Komprang? Bukankah dia tahu Nyai Komprang berilmu tinggi?!"
"Karena Garong Codet bersenjatakan Mustika Serat Iblis!"

"Hah...?!" Tabib Awan Putih tersentak kaget hingga mulutnya terbengong melongo. Sedangkan Pendekar Mabuk diam saja, karena dia tidak tahu kehebatan Mustika Serat Iblis. Tapi dia jadi sangat tertarik begitu melihat Tabib Awan Putih tersentak kaget. Pendekar Mabuk pun mendekatkan diri tapi tetap tidak ikut bicara.

"Mana mungkin batu Mustika Serat Iblis bisa dimiliki Garong Codet...?!" Tabib Awan Putih bicara seperti pada dirinya sendiri.

"Aku melihatnya sendiri, Tabib! Bahkan aku hampir saja menjadi korban keganasan Mustika Serat Iblis!" kata Roro Manis. "Aku melarikan diri kepada Ki Madang Wengi. Lalu, Ki Madang Wengi menyuruh aku kemari untuk meminjam Perisai Naga Bening darimu, Tabib!"

Tabib Awan Putih diam tertegun beberapa saat lamanya. Karena suasana menjadi sunyi, maka Pendekar Mabuk yang mulai penasaran dengan berita tentang mustika tersebut, segera ajukan tanya kepada Tabib Awan Putih,

"Apa kehebatan Mustika Serat Iblis itu, Tabib?'

"Bisa memotong baja setebal apa pun! Pantulan cahayanya sangat berbahaya. Mustika itu hanya dimiliki pada seekor harimau berbulu merah api. Harimau itu sudah berusia ribuan tahun, dan empedunya menjadi batu warna merah. Jika terkena pantulan cahaya apa saja, bisa memotong benda apa pun, termasuk tubuh manusia. Di dunia ini hanya ada tiga harimau berbulu merah api, dan ia tidak berkembang biak seperti hewan lainnya. Tak ada yang bisa menahan pantulan sinar yang membias lewat batu Mustika Serat Iblis selain Perisai Naga Bening .... "

"Menurut Ki Madang Wangi, perisai itu adalah milikmu, Tabib!"

"Ya. Benar. Tapi...," suara itu melemah, "Tapi perisai itu telah hilang. Jatuh di tengah lautan saat aku bertarung melawan Durmala Sanca...."

"Siluman Tujuh Nyawa?!" sahut Suto tegang.
"Ya. Benar. Kau mengenalnya, Suto?"
"Aku bukan mengenalnya, tapi memburunya! Rupannya kita punya musuh yang sama, Tabib!"

"Ya. Tapi itu dulu. Sekarang aku tak punya minat untuk membunuh Durmala Sanca! Karena memang aku sudah tidak mau membunuh lagi!"

Roro Manis agak kesal karena percakapannya dialihkan ke masalah Siluman Tujuh Nyawa. Maka segera ia ajukan tanya,

"Jadi mengenai Perisai Naga Bening itu bagaimana, Tabib?"

Tabib segera pandangi Roro Manis dan berkata, "Perisai itu terkubur di dasar lautan. Aku kehilangan perisai itu sekitar sepuluh tahun yang lalu."

"Ah, sayang sekali! Padahal Garong Codet sedang mencari tumbal untuk mustika itu," kata Roro Manis, "Ia butuh tumbal sejumlah...."

"Tiga puluh tiga kepala," sahut Tabib Awan Putih dengan cepat. Roro Manis berdecak kagum dan tak bicara sesaat. Karena ternyata Tabib Awan Putih lebih banyak tahu tentang Mustika Serat Iblis daripada yang lainnya. Tabib Awan Putih pun melanjutkan ucapan katanya,

"Garong Codet tak akan berhenti mencari tumbal sebelum purnama muncul! Jika sebelum purnama muncul ia sudah mendapatkan tiga puluh tiga kepala orang sakti, maka Mustika Serat Iblis itu akan menjadi miliknya. Selamanya ia akan memiliki pusaka itu. Walau dibuang ke kutub utara tetap saja batu mustika itu akan kembali sendiri kepadanya! Tapi jika sebelum purnama tiba ia tidak bisa mendapatkan tiga puluh tiga kepala tumbal, maka kepalanya sendiri yang akan meledak hancur sebagai korban penghabisan!"

"Padahal dia sekarang sedang mengejarku, Tabib!" ucap Roro Manis dengan nada cemas.

"Kalau begitu kau harus bersembunyi! Kau tidak bisa melawan kekuatan Mustika Serat Iblis itu. Aku pun tak akan bisa melawannya! Satu-satunya cara untuk melawannya adalah bersembunyi serapi mungkin, sambil tunggu purnama lewat. Jika purnama telah lewat, seandainya mustika itu tetap ada di tangan Garong Codet, itu tidak terlalu membahayakan jiwamu! Karena Garong Codet tidak akan memburu tumbal dengan membabi buta. Hanya jika ada orang yang terlibat bentrok dengannya saja ia akan menggunakan mustika itu. Jika tidak ada masalah dengannya, ia tak perlu memenggal kepala orang itu karena tidak diburu jumlah tumbal yang harus diperolehnya!"

Tabib Awan Putih memandang Pendekar Mabuk dan berkata, "Kau pun bisa dibunuhnya jika ia tahu kau orang berilmu tinggi, Suto! Kusarankan, kalian berdua bersembunyilah di suatu tempat yang aman. Jangan di sini! Karena kalau dia mengamuk di sini, aku akan jadi korban yang sia-sia!"

"Jadi ke mana tempat yang baik menurutmu untuk bersembunyi?"

"Bawa perempuan ini ke Gua Mulut Dewa! Di sana kalian akan lebih aman," kata Tabib Awan Putih setelah berpikir sejenak.

Lalu Suto berkata,

"Aku setuju saja. Tapi bagaimana dengan Roro Manis? Apakah dia mau kubawa bersembunyi ke sana?!"

Roro Manis memandang Pendekar Mabuk dengan mata tak berkedip. Lalu terdengar kata-katanya yang sengaja dibuat ketus,

"Aku masih bisa bersembunyi sendiri!"

Tabib Awan Putih menyahut kata, "Jangan sendirian! Kau perlu pelindung yang mampu melarikan dirimu secepat setan! Dia, si Pendekar Mabuk ini, punya kesanggupan bergerak seperti setan!"

"Barangkali memang dia setan asli, Tabib!"
Tabib Awan Putih hanya sunggingkan senyum kecil. Katanya,

"Pergilah kalian ke Gua Mulut Dewa! Jangan tunggu lama-lama! Karena sifat orang yang memegang Mustika Serat Iblis dan sedang mencari tumbal adalah mengejar orang berilmu tinggi yang sudah telanjur dipergokinya! Lekaslah kalian pergi, dan jangan sekali-kali melawannya!"

Kepada Pendekar Mabuk, orang tua itu berkata, "Bumbungmu tak akan mampu menahan sinar merah dari Mustika Serat Iblis. Jadi lebih baik menghindar jika berjumpa si Garong Codet!"

"Baiklah, aku mengerti maksudmu, Tabib! Rasanya memang lebih baik aku berangkat sekarang juga! Terserah perempuan ini mau ikut aku atau mau sumbangkan kepalanya kepada Garong Codet!"

Roro Manis segera bangkit dan berkata, "Kalau aku ke Gua Mulut Dewa bukan berarti aku mengikuti langkahmu, tapi aku ikuti saran Tabib Awan Putih!"

Pendekar Mabuk hanya angkat bahu. "Kalau di perjalanan kau kepergok Garong Codet, jangan minta bantuan padaku!"
"Aku tidak akan minta bantuan sedikit pun padamu! Tapi apakah kau tega melihat kepalaku terpenggal?"

"Kenapa tidak?" jawab Pendekar Mabuk seenaknya. Roro Manis pun tertegun menahan dongkol, ia sengaja ketuskah diri di depan Suto, untuk menutupi perasaannya yang menjadi tertarik dan berdebar-debar indah, ia perlukan sikap ketus supaya dirinya tidak dianggap wanita murahan. Tapi sebenarnya ia berharap Pendekar Mabuk tetap melindungi dirinya dari serangan Garong Codet yang amat membahayakan itu.
*
* * 7

SALAH satu sebab mengapa Pendekar Mabuk memikirkan Mustika Serat Iblis karena timbulnya perasaan cemas di dalam hatinya. Mustika itu adalah senjata berbahaya yang sukar dicari tandingnya. Satu- satunya tandingan Mustika Serat Iblis adalah Perisai Naga Bening. Tapi perisai itu sudah hilang dan terkubur di dasar lautan. Hal itu secara tak langsung telah membuat Mustika Serat Iblis merupakan senjata
terampuh dan tak bisa dikalahkan.

Senjata seperti itu jelas tak akan luput dari incaran Siluman Tujuh Nyawa. Tokoh tua yang sesat dan masih berwajah muda itu jelas akan berusaha mendapatkan Mustika Serat Iblis untuk melawan Pendekar Mabuk, yang dianggap sebagai musuh terberatnya.

Karenanya, di dalam otak Suto terjadi suatu pergolakan tentang mencari cara untuk meleburkan Mustika Serat Iblis agar tidak jatuh ke tangan Siluman Tujuh Nyawa. Setidaknya Suto harus bisa merebut mustika itu sebelum orang lain mendahuluinya. Tetapi, mengingat nasihat Tabib Awan Putih, Suto menjadi ragu untuk menghadapi Garong Codet. Apalagi Tabib Awan Putih sudah kasih peringatan, bahwa bumbung tuak Pendekar Mabuk yang dikenal ampuh bisa mengembalikan serangan lawan dengan lebih besar dan lebih cepat bergeraknya itu, tidak bisa untuk menangkis sinar dari Mustika Serat Iblis, ini membuat Suto berpikir, harus dengan apa ia melawan kekuatan mustika tersebut.

Satu-satunya cara yang ditemukan Suto adalah menantang pertarungan dengan Garong Codet di tempat gelap. Sebab di tempat gelap mustika itu tidak akan memperoleh sinar dan tidak bisa pantulkan cahaya mautnya kepada lawan. Tetapi, tempat gelap yang mana yang bisa dijadikan pertarungan? Malam hari pun masih bisa hadirkan cahaya walau dari bintang atau rembulan, atau mungkin nyala api dari pelita. Tempat yang paling bagus adalah ruangan tertutup tanpa cahaya apa pun. Dan ruangan tertutup itu agaknya adalah sebuah gua lebar yang jauh dari mulutnya. Mungkin tempat yang cocok untuk mengadakan pertarungan itu ialah Gua Mulut Dewa?

Ki Madang Wengi tak tahu kalau Roro Manis pergi ke Gua Mulut Dewa bersama murid si Gila Tuak itu. Ki Madang Wengi menyangka Tabib Awan Putih masih memiliki Perisai Naga Bening. Karenanya, pelarian Ki Madang Wengi menuju ke arah Pantai Tanjung Keramat. Sementara itu, Garong Codet tetap mengejarnya, karena ia punya dendam tersendiri atas matinya Tikus Ningrat di tangan Ki Madang Wengi.

Tabib Awan Putih merasa tak enak hati sejak hari kepergian Roro Manis dengan Pendekar Mabuk. Karenanya, pagi itu Tabib Awan Putih sengaja berdiri di pesisir pantai, pandangi lautan lepas yang membiru dengan gelombangnya yang tak seberapa besar. Jubah putihnya dibiarkan tertiup angin hingga berkelebat- kelebat ke belakang.

Menjelang siang, apa yang dicemaskan hatinya benar-benar terjadi. Ki Madang Wengi tampak berlarian menuju ke arahnya. Tabib Awan Putih sudah siap menyambut kehadiran sahabat lamanya itu. Ketika Ki Madang Wengi tiba di depannya, Tabib Awan Putih segera berkata,

"Roro Manis telah menceritakan segalanya!"

"O, ya..! Syukurlah...!" Madang Wengi terengah- engah, ia merogoh tempat kantung kulit dan mengeluarkan sisa singkong bakar, lalu mengunyahnya.

" Sekarang Roro Manis pergi bersama murid si Gila Tuak ke Gua Mulut Dewa! Kusuruh mereka bersembunyi, di sana!"
"Mengapa?"
"Karena Perisai Naga Bening sudah tak ada padaku!"
"O, sial!" Ki Madang Wengi menggeram sendiri dengan jengkelnya. "Ke mana perisaimu itu, Awan Putih?"
"Jatuh di tengah lautan sepuluh tahun yang lalu! Mungkin sekarang sudah terkubur di dasar lautan!"
"Di lautan yang mana? Akan kucari perisai itu!"

Tabib Awan Putih menggeleng-gelengkan kepala, ia masih pegangi pipa tembakau yang panjang itu. Sekalipun bara apinya telah padam, namun sisa tembakau masih dihisap-hisapnya lewat ujung pipa.

"Pekerjaan mencari Perisai Naga Bening adalah pekerjaan yang sia-sia, Madang Wengi! Saranku, cepatlah susul Roro Manis dan Suto Sinting ke Gua Mulut Dewa! Bersembunyilah di sana sampai purnama lewat. Karena jika Garong Codet mengejar kalian ke dalam gua itu, maka kekuatan Mustika Serat Iblis akan pudar. Tak akan bisa memantulkan sinar, asal kalian jangan menyalakan obor di dalam gua sana!"

Ki Madang Wengi kembali melahap singkong bakarnya, ia diam sesaat, pandangi lautan lepas. Kejap berikut terdengar suaranya berkata dengan lemah,

"Nyai Komprang mati terpenggal, dia bekas kekasihku! Aku masih suka padanya! Cuma karena dia cerewet dan tidak mau mengalah dalam semua hal, aku jadi sebal dengannya! Satria Tangkas, muridku sendiri, juga tewas terpenggal oleh mustika itu! Haruskah aku lari sembunyi dan takut mati?"

"Sembunyi bukan berarti takut mati, Madang Wengi! Sembunyi adalah mencari kemenangan di hari nanti! Sekarang kau tak akan bisa mengalahkan Garong Codet, karena inderanya menjadi peka terhadap orang berilmu tinggi yang diburu-burunya. Pada saat itulah kau punya kesempatan untuk melawannya!"

"Maksudmu, memanfaatkan kelemahannya?"" "Tepat! Jadi, ada baiknya jika kau susul Roro Manis ke Gua Mulut Dewa! Pergilah ke sana sebelum Garong Codet temukan dirimu."

"Kenapa kau sendiri tidak bersembunyi ke sana?" "Aku tak punya urusan dengan Garong Codet! Kalau toh ia datang temui aku, aku harus bisa menjadi orang bodoh tanpa ilmu apa pun! Kurasa dia tak akan memenggal kepalaku jika ia tahu aku tak berilmu apa pun. Kadang-kadang orang bodoh pun bisa selamat dari maut, mengapa orang pandai tidak bisa?!"

Ki Madang Wengi diam terpekur di atas sebuah batu. Mulutnya masih mengunyah makanan, matanya memandang lurus ke arah lautan. Lalu, Tabib Awan Putih yang berjarak enam langkah darinya itu segera mendekati dan berkata pelan,

"Cepatlah pergi dan bersembunyi! Kurasa orang yang mengejarmu sebentar lagi datang!"

Ki Madang Wengi dongakkan kepala memandang wajah Tabib Awan Putih. Sebelum Madang Wengi ucapkan kata, Tabib Awan Putih sudah bicara,

"Kurasakan getaran nadinya semakin mendekat. Lekaslah bersembunyi supaya kau selamat!"
"Aku masih ragu untuk bersembunyi atau membela kematian muridku!"

"Jangan menjadi bodoh karena otak ceroboh! Jangan menjadi dungu karena dendam yang membelenggu! Pembalasan akan tiba saatnya sendiri, tidak harus kapan hati berkehendak untuk membalas diri."

Kembali merenung Madang Wengi, tapi Tabib Awan Putih semakin cemas, ia merasakan getar nadi seseorang semakin mendekat. Karena dilihatnya Madang Wengi masih saja diam tak bergerak, maka Tabib Awan Putih pun segera menyodokkan pipa panjangnya ke pinggang Madang Wengi. Duhgg!

Ki Madang Wengi seketika itu mengejang dengan mata mendelik Tubuhnya membujur kaku. Mulutnya ternganga, ia telah bertotok jalan darah utama melalui sodokan pelan pipa panjang itu. Ia tak bisa bergerak apa- apa lagi, walaupun ia mendengar suara apa pun yang ada di sekitarnya.

Tubuh yang kaku itu segera diangkat oleh Tabib Awan Putih. Lalu, kaki kirinya menghentak pelan ke tanah, dan tiba-tiba tubuh Tabib Awan Putih melesat naik dalam satu ketinggian yang hampir mencapai pucuk pohon kelapa. Sebelum itu, kaki kanan Tabib Awan Putih cepat sentakkan lagi ke salah satu batang pohon kelapa yang terdekat. Wuttt...!

Kembali tubuh itu melesat lebih tinggi ke arah samping. Dan kejap berikutnya ia sudah hinggap di atas pohon kelapa. Di sana tubuh Ki Madang Wengi disembunyikan. Tubuh itu dibaringkan pada jajaran pelepah daun kelapa. Setelah itu, Tabib Awan Putih melesat turun lagi dengan gerakan ringan bagai seekor bangau hendak hinggap ke kubangan. Wusttt...!

Kejap selanjutnya kaki Tabib Awan Putih telah memijak tanah tempatnya berdiri tadi. Ia mendongak ke atas sebentar, ternyata tubuh Ki Madang Wengi tidak terlihat dari bawah. Selain pohon kelapa itu berbuah banyak, juga berdaun rimbun. Tubuh Madang Wengi tertutup rapat oleh pelepah daun dan buah kelapa yang menggerumbul.

Tak berapa lama kemudian, muncul dua sosok manusia berwajah angker. Walaupun wajah itu sudah tercukur gundul dan berambut trondol, tapi kesan angker masih terlihat dari tonjolan tulang pipi dan rahang yang besar. Mereka tak lain ialah Garong Codet dan Setan Culik.

Rupanya keadaan Setan Culik sudah lumayan dari luka dalam akibat pukulan maut Ki Madang Wengi itu. Garong Codet telah menyalurkan hawa dingin ke tubuh Setan Culik, sehingga luka pukulan itu bisa ditawarkan. Garong Codet memang bisa selamatkan Setan Culik, tapi ia tak bisa selamatkan Tikus Ningrat. Kematian Tikus Ningrat itulah yang membuat Garong Codet semakin penasaran mengejar Ki Madang Wengi untuk dibunuhnya.

Melihat kehadiran dua orang yang sudah diperkirakan itu, Tabib Awan Putih tetap berdiri tegak di tepi pantai memandang ke arah laut. Sikap berdirinya tak tampak kekar. Kedua kakinya merapat, satu tangan dilipat di dada, tangan yang satunya menopang dagu. Kepalanya sedikit miring dengan wajah dibuat lesu, mata dibuat sayu.

"Setan Culik! Menurutmu apakah kita salah arah mengejar orang berbaju biru dan berjubah abu-abu tadi?!" tanya Garong Codet.

"Kurasa tidak! Arahnya pasti ke pantai ini!"

"Tapi mengapa dia menghilang? Ke mana lagi larinya?" sambil berkata demikian mata Garong Codet mengarah ke Tabib Awan Putih. Kemudian Garong Codet berbisik,

"Menurutmu, siapa orang berbaju putih di sana itu?"
"Aku tidak kenal dengannya. Mungkin dia tokoh sakti!" jawab Setan Culik. "Coba kita dekati dan kita uji kemampuannya!"

Keduanya bergegas menemui Tabib Awan Putih. Sekalipun Tabib Awan Putih tahu kedua orang itu mendekat satu dari kiri dan satu dari kanan, tapi ia tetap dalam posisinya berdiri bagai orang sedang merenung sedih. Wajah murungnya semakin terlihat jelas.

"Pak Tua," kata Garong Codet dengan suara pelan, karena memang tenggorokannya tak bisa dipakai mengeluarkan suara bentakan.

Mendengar teguran itu, Tabib Awan Putih memandang Garong Codet. Matanya tetap sayu mirip seorang peminum yang sedang mabuk. Pipa tembakaunya diselipkan di pinggang.

"Apa yang kau lakukan di sini, Pak Tua?" tanya Garong Codet.

"Menunggu kekasihku," jawab Tabib Awan Putih dengan suara pelan bagaikan lemas karena menahan lapar.

"Ke mana kekasihmu?"
"Jauh...!" jawabnya.
"Jauh ke mana?!" sentak Setan Culik.
"Pergi!"
"Ke lautan?"
"Seberang," jawab Tabib Awan Putih dengan lemah.

Setan Culik segera menjelaskan pada Garong Codet. "O, dia menunggu kekasihnya yang pergi jauh ke seberang lautan!"

"Sejak kapan perginya?" tanya Garong Codet.
"Jauh."
"Iya. Pergi jauhnya sejak kapan!" sentak Setan Culik agak jengkel.
"Lama."
"Dua hari?"
"Lewatlah hari," jawab Tabib Awan Putih.
"Dua bulan?"
"Lewatlah bulan."
"Dua tahun?"
"Lewatlah dua!"
"Sepuluh tahun?"

Tabib Awan Putih diam, memandang bengong. Lalu menghitung jarinya sendiri dengan mulut umik-umik. Setelah itu menjawab,

"Dua puluh...."
"Dua puluh tahun?!" Setan Culik mendelik.
"Lama," jawab Tabib Awan Putih.
"Lama sekali itu! Dan kau tetap tunggu kekasihmu di sini?"
"Janji," jawab Tabib Awan Putih lagi.

"Oo..., maksudnya kekasihmu sudah berjanji mau kembali, tapi sampai dua puluh tahun kau menunggu di sini dia belum kembali?"

"Kasihan."
"Siapa yang kasihan?"
"Aku," jawab Tabib Awan Putih.

Kemudian setelah bicara begitu, ia kembali bertopang dagu seperti sikap semula, seakan menunggu kedatangan kapal yang membawa kekasihnya pulang padanya.

Setan Culik miringkan jari tangan di kening sambil pandangi Garong Codet. "Gila...!" ucapnya pelan. Garong Codet mengangguk. Tapi segera ajukan tanya kepada Tabib Awan Putih,

"Kau lihat orang berjubah abu-abu lewat ke sini?!"

Tabib Awan Puti berkerut dahi. Garong Codet menjelaskan ciri-ciri Madang Wengi, "Badannya agak gemuk, rambutnya putih, botak tengahnya, agak pendek, membawa senjata bambu kuning yang runcing!"

"Bukan," jawab Tabib Awan Putih.
"Bukan bagaimana?" tanya Setan Culik.
"Bukan kekasihku!"

Setan Culik agak membentak, "Yang kami tanyakan memang bukan kekasihmu, tapi seseorang berjubah abu- abu!"

"Lari," jawab Tabib Awan Putih datar dan pelan.
"Lari ke mana...?!" geram Setan Culik. "Ke mana?"
"Jauh!"
"Arahnya ke mana...?!" geram Setan Culik.
"Ke sana!" Tabib menuding arah sembarangan.
"Sudah lama?"
Tabib menghitung tangannya lalu menjawab, "Dua puluh ........... "
"Dua puluh tahun?!" Setan Culik kembali mendelik.
"Dua puluh napas," jawabnya.

Setan Culik bicara kepada Garong Codet, "Dua puluh helaan napas kira-kira. Berarti baru saja dan belum jauh! Masih ada waktu untuk mengejarnya, Garong!"

"Baik! Kita segera kejar dia!"
Garong Codet menepuk punggung Tabib Awan Putih sambil berkata, "Terima kasih, Tua Gila!"

Plok...! Brukk...! Tubuh Tabib Awan Putih jatuh tersungkur. Tepukan itu dirasakan bukan tepukan kosong, tapi bertenaga dalam. Tabib Awan Putih tak mau melawan tepukan tenaga dalam itu. Ia sengaja kosongkan diri sehingga jatuh tersungkur dengan kerasnya.

"Dia memang bukan orang berilmu! Buktinya kutepuk pelan saja sudah jatuh tersungkur begitu kerasnya!" kata Garong Codet kepada Setan Culik. Dan Setan Culik menjawab,

"Sudah kubilang dia hanya orang gila karena putus asa menunggu kepergian kekasihnya! Jadi tuanya bukan
karena tua berilmu, tapi tua dimabuk rindu!"

Samar-samar percakapan itu terdengar oleh telinga Tabib Awan Putih. Dan Tabib Awan Putih tetap tak mau bangun lekas-lekas. Namun begitu Garong Codet dan Setan Culik menjauh, ia cepat bangkit dan berucap kata,

"Benar apa kata Roro Manis. Orang itu membawa Mustika Serat Iblis! Untung aku berpura-pura gila dan kosong ilmu! Jika tidak, habislah kepalaku dipenggalnya!"
* * *





8
TANPA disengaja arah yang dituju Garong Codet adalah lembah yang mengarah ke Gua Mulut Dewa. Sekalipun jaraknya masih jauh dari gua tersebut, tetapi hal itu cukup membahayakan bagi Roro Manis dan Pendekar Mabuk. Bukan hal yang mustahil jika dalam upayanya mengejar Ki Madang Wengi akhirnya Garong Codet akan sampai pula ke gua tersebut.

Namun agaknya Garong Codet tak menyadari bahwa pengejarannya terhadap Ki Madang Wengi sekarang sudah menjadi lain. Ada sosok hitam yang mengikutinya sejak dari pantai. Sosok hitam itu sudah ada di pantai sebelum Garong Codet dan Setan Culik datang. Sosok hitam itu juga menyadap pembicaraan Tabib Awan Putih dengan Ki Madang Wengi. Setan Culik hanya merasa tak enak dalam hatinya ketika Garong Codet
menghentikan langkah dan ucapkan kata,

"Di sini udaranya sangat panas. Kita cari tempat meneduh sementara. Rasa-rasanya napasku makin lama semakin tipis. Sesak sekali dihelanya. Aku tak kuat mengejar orang berjubah abu-abu itu!"

"Napasmu semakin sesak? Rasanya udara makin panas? Ah, menurutku tidak!" kata Setan Culik. "Udara justru semakin sejuk. Dan kulihat tak biasanya kau mengeluh sesak napas! Kau termasuk orang yang bernapas panjang, Garong!"

"Mungkin karena pengaruh luka di tenggorokanku ini!" ucapnya pelan sambil mengusap tenggorokan yang bernoda biru kehitaman.
"Kalau kita istirahat, kita bisa kehilangan orang itu, Garong! Orang itu pasti lari terus tanpa berhenti!"

"Biarlah! Biar dia lepas. Masih banyak orang sakti lainnya yang bisa kita jadikan tumbal!"

Setan Culik hanya membatin, "Biasanya ia tak semudah ini untuk menyerah. Tapi mengapa dia sepertinya mulai lemah? Apakah benar karena pengaruh luka akibat pukulan toya di tenggorokannya itu?"

Dalam masa bungkamnya itu, Garong Codet mulai melepas Cincin Mustika Serat Iblis dari tangannya. Cincin itu diamat-amati beberapa saat, kemudian ia ucapkan kata kepada Setan Culik.

"Rasa-rasanya aku capek memakai cincin ini. Mengganggu kebebasan bergerakku!"

"Kau ini aneh-aneh saja! Itu cincin maut. Jangan kau lepas sembarangan. Nanti ada orang melihatnya bisa
direbut begitu aja!"

"Entah mengapa tiba-tiba aku ingin sekali membuang cincin ini!"

"Edan kamu ini!" sentak Setan Culik. "Ada apa dengan hatimu? Mengapa kamu tiba-tiba mempunyai niat seperti itu? Pasti ada yang tak beres dalam jiwamu, Garong! Ayo lekas pakai cincin itu!"

"Tapi...."
"Pakailah! Pakai dulu nanti kita bicarakan sesuatu yang ganjil!"
"Tentang apa itu, Setan Culik!"

"Pakailah dulu cincinmu!" desak Setan Culik. Dan dengan perasaan malas cincin itu pun dikenakan kembali oleh Garong Codet. Setan Culik pun segera berkata dengan suara pelan.

"Dengar, ada sesuatu yang kurasakan tak beres dalam pikiranmu! Sesuatu itu telah mempengaruhi jalan pikiranmu untuk melepas cincin itu! Kau harus melawan perasaan seperti itu! Kau harus bertahan kenakan cincin itu! Tumbal sudah banyak kau peroleh, tinggal satu lagi! Menurut perhitunganku, tinggal satu kepala lagi yang harus kamu dapatkan. Padahal esok malam sudah malam bulan purnama!"

"Seingatku memang sudah mencapai tiga puluh dua tumbal sejak terpenggalnya nenek tua itu!" kata Garong Codet.

"Benar. Tapi mengapa susah-payahmu itu akan kau sia-siakan dengan tidak ingin menggunakan cincin mustika itu lagi? Padahal kau mencarinya sangat susah payah! Kau telah bertarung dengan harimau merah api itu. Nyaris nyawamu jadi korban! Karena itu, pertahankan terus batu Mustika Serat Iblis itu! Jangan merasa malas memakainya!"

Garong Codet merenungkan kata-kata Setan Culik. Kejap berikutnya dia berkata, "Aku mempunyai perasaan benci terhadap cincin ini, Setan Culik! Benci dengan warna merahnya!"

"Lawan perasaan bencimu itu, Garong! Lawan terus! Sadarlah bahwa perasaan benci itu datang karena hatimu dipengaruhi oleh kekuatan gaib yang tidak kau sadari! Sekarang sadarilah bahwa kekuatan gaib itu menghendaki kau benci kepada warna merah di batu itu! Padahal warna merah itu sangat bagus dan menjadi kebanggaanmu! Kau harus pakai terus mustika itu supaya kau merajai seluruh rimba persilatan!"

Dengan suara pelan lagi Garong Codet berucap kata, "Rasa-rasanya aku tak mau penggal orang lagi! Tanganku sudah berlumur darah dan harus segera berhenti dari tindakan seperti itu, dan...."

Buhkkk...! Setan Culik memukulkan telapak tangannya ke dada Garong Codet. Pukulan itu cukup keras dan cepat, sehingga Garong Codet terjengkang ke belakang dan berguling satu kali.

Baru saja Garong Codet mengangkat kepalanya, tiba- tiba tendangan kaki Setan Culik melesat cepat. Plakk... ! Wajah Garong Codet terlempar ke samping dan tubuhnya pun terpelanting. Setelah itu Setan Culik membiarkan Garong Codet berusaha bangkit dengan
mata melotot penuh kemarahan.

"Bangsat kau! Mengapa kau serang aku, hah?!" suaranya pelan tapi bernada marah. Setan Culik sunggingkan senyum.
"Aku sengaja menyerangmu, supaya pengaruh yang meracuni otak dan hatimu menjadi buyar!"
"Pengaruh apa?!"
"Kau ingin melepaskan mustika itu dan benci dengan warna merahnya! Kurasa itu tak wajar ada padamu!"
"Siapa bilang aku benci dengan warna merahnya?! Siapa bilang aku ingin melepaskan Cincin Mustika Serat Iblis ini?!"
"Kau ingin berhenti mencari tumbal terakhir!"
"Apa aku orang bodoh, kok mau berhenti cari tumbal?!"

"Bagus. Berarti kau sudah kembali menjadi dirimu sendiri. Sekarang kalau kau mau balas seranganku tadi, balaslah! Aku tak akan melawan! Balaslah...!"

Tapi Garong Codet menjadi ragu walau ia telah kepalkan tinjunya. Setan Culik kelihatan pasrah dan hal itu sangat aneh buat Garong Codet. Selama ini Setan Culik selalu menurut pada perintahnya dan tak pernah menyerang. Jika sampai Setan Culik sengaja melepaskan serangan padanya, pasti ada sesuatu yang tak beres pada dirinya.

Garong Codet segera tarik napas dalam-dalam dan kendurkan urat-urat marahnya, ia segera berkata,

"Apakah benar aku tadi berkata seperti itu?"
"Ya. Benar. Kalau aku tidak menyerangmu, jati dirimu terkuasai oleh pengaruh kekuatan gaib yang ada di sekitar sini!"
"Berarti ada orang yang ingin memiliki Mustika Serat Iblis dengan cara mempengaruhi otak dan jiwaku?"
"Benar! Sebaiknya kita cari saja siapa yang...."
Zlapp zlappp zlappp...!

"Heghhh...!" Setan Culik tiba-tiba tersentak tubuhnya mengejang dalam keadaan melengkung ke belakang. Setan Culik membuka mulutnya dalam pekik yang tertahan. Matanya mendelik bagai mau lepas dari kelopaknya.

"Hei, kenapa kau?! Jangan menakut-nakuti aku begitu, Setan!"

Setan Culik tetap diam. Berlutut dengan tubuh melengkung ke belakang. Wajahnya makin lama semakin biru. Dari warna pucat pias, lalu membiru samar-samar. Warna matanya pun mulai menguning.

Garong Codet segera mengerti, bahwa Setan Culik bukan menakut-nakuti dirinya. Tapi pasti ada sesuatu yang telah terjadi pada diri Setan Culik. Kemudian, Garong Codet memeriksa tubuh Setan Culik, dan ia tersentak kaget dengan mata melebar. "Gila...?!" ucapnya di luar kesadaran. Garong Codet menemukan tiga bunga menancap di punggung Setan Culik. Tiga bunga warna merah yang menyerupai mawar tapi tak punya bau wangi itu mempunyai tangkai panjang sekitar seukuran jari tengah. Ketiga tangkai bunga itu menembus masuk di punggung Setan Culik.

Garong Codet cepat mencabut salah satu bunga.

Zlepp...! Ternyata tangkai bunga itu berwarna hitam. Pasti mengandung racun yang amat ganas. Hanya saja, siapa orangnya yang bisa menggunakan bunga tersebut sebagai senjata rahasia yang dapat menancap di tubuh Setan Culik? Tangkai hitam itu sangat lemas, tapi kenyataannya bisa berubah menjadi sekeras paku baja saat menancap di tubuh Setan Culik.

Hal yang membuat Garong Codet menjadi berang adalah rubuhnya tubuh Setan Culik. Tubuh itu rubuh ke depan dengan kepala berpaling ke kiri dan mata tetap mendelik. Tetapi kulit wajahnya berubah menjadi biru dan Setan Culik enggan bernapas lagi. Ia mati diterkam racun ganas dari bunga merah itu.

"Setan! Setan Culik...!" seru Garong Codet, tak jelas memanggil nama temannya atau mencaci-maki keadaan yang buruk itu. Yang pasti, Garong Codet segera berdiri dengan menggeram. Wajahnya menjadi merah karena darahnya bagai mendidih dan menyirat ke atas melihat Setan Culik mati dibunuh orang bersembunyi.

Dengan suara serak menahan sakit, Garong Codet berseru,

"Bangsat mana yang berani menantangku dengan cara seperti ini, hah?! Siapa orangnya?! Keluar!"
Sssuut...! Jlegg...!

Seperti anak panah datangnya. Tak bisa dilihat mata manusia. Tahu-tahu manusia berkerudung hitam telah berdiri di samping kanan Garong Codet. Orang itu berwajah putih bagai mengenakan bedak. Sorot matanya dingin. Bibirnya biru. Sekujur tubuhnya dibungkus kain hitam dari kepala sampai kaki. Tangannya menggenggam tongkat berujung sabit panjang melengkung. Tongkat El Maut.

Siluman Tujuh Nyawa tampakkan diri. Garong Codet tak tahu, dia adalah tokoh sesat yang merajai lautan utara. Ilmunya cukup tinggi. Bahkan boleh dikata sangat tinggi. Siluman Tujuh Nyawa adalah manusia yang tak kenal belas kasihan sedikit pun terhadap musuhnya. Usianya sudah dua ratus tahun lebih tapi masih tampak muda dan berwajah tampan. Hidungnya mancung, matanya indah. Sayang berkesan dingin menampakkan sikap kejinya selama ini. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa" dan "Prahara Pulau Mayat").

Hanya Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itulah yang bisa menandingi ilmunya Siluman Tujuh Nyawa itu. Tetapi sampai sekarang Suto masih belum bisa memenggal kepala tokoh sesat itu, karena Siluman Tujuh Nyawa cukup licin, ia segera melarikan diri jika bertemu dengan Suto, tapi ia punya cita-cita ingin membunuh Pendekar Mabuk juga dengan kelicikannya.

Kali ini apa yang diduga Suto Sinting memang benar, bahwa Siluman Tujuh Nyawa pasti bermaksud ingin merebut Mustika Serat Iblis dari tangan Garong Codet. Tanpa Mustika Serat Iblis ia sulit menandingi Pendekar Mabuk itu. Sementara, tanpa Mustika Serat Iblis, Garong Codet bukan tandingan Durmala Sanca yang bergelar Siluman Tujuh Nyawa.

Tetapi karena Garong Codet tidak mengenal siapa orang berciri kerudung hitam dan tongkat El Maut itu, maka Garong Codet pun tak merasa gentar sedikit pun. Bahkan dengan beraninya ia berucap kata,

"Iblis dari mana kau, berani-beraninya mengganggu ketenanganku?!"
"Aku iblis dari neraka!" jawab Siluman Tujuh Nyawa.

"Apa maumu memancing perkara denganku, hah?! Kalau kau ingin serahkan nyawamu sebagai tumbal Mustika Serat Iblis, tak perlu kau bunuh sahabat setiaku ini!"

"Membunuh itu kegemaranku! Jadi jangan salah sangka bahwa aku hanya membunuh temanmu yang telah membuyarkan pengaruh batinku terhadapmu tadi! Aku pun akan membunuhmu, Garong Codet!"

"Apakah kau mampu?! Kau yang kurus kerempeng tertutup kain hitam begitu, mau membunuh orang sesakti aku?! Apa itu bukan mimpi belaka?!"

Tak pernah Siluman Tujuh Nyawa menerima hinaan seperti itu dari orang serendah Garong Codet. Tentu saja hatinya mulai bergolak dan darah membunuhnya mulai mendidih. Maka dengan gerakan yang amat cepat, Siluman Tujuh Nyawa berkelebat cepat menyerang Garong Codet.
Wut wut wuttt... !

Zregg...! Siluman Tujuh Nyawa berhenti bergerak dan sudah berada di depan Garong Codet. Mata orang yang diserangnya itu tak sempat berkedip. Tapi menjadi sangat terkejut setelah melihat ikat pinggangnya terpotong, bajunya koyak-koyak, demikian pula celananya bagai habis dicabik-cabik seekor beruang ganas. Garong Codet menjadi seperti gelandangan yang berpakaian compang-camping. Tapi kulit tubuhnya tak ada yang terluka sedikit pun.

"Edan...!" pikirnya. "Cepat sekali gerakannya! Lihai juga dia menggunakan senjata itu, sampai tak terasa dalam sekejap tubuhku telah dibuat berpakaian compang-camping begini?! Jelas dia orang berilmu tinggi! Agaknya inilah tumbal terakhirku!"

Wajah dan pandangan mata Durmala Sanca masih sedingin gunung es. Mulutnya terkatup rapat menampakkan bentuk bibir yang indah sebenarnya, tapi sayang berwarna biru mayat. Garong Codet sempat berdebar setelah tahu kecepatan gerak dan keganasan senjata El Maut itu. Namun sekarang tangan kanannya yang terus-terusan menggenggam itu kini mulai dikendurkan supaya cepat pantulkan cahaya melalui batu Mustika Serat Iblis yang dipakainya sebagai cincin itu.

"Kau benar-benar cari mati, Iblis Gila!" geram Garong Codet. "Kau belum tahu kehebatan Cincin Mustika Serat Iblisku!'

"Aku sudah cukup tahu tentang kehebatan Mustika Serat Iblis," kata Siluman Tujuh Nyawa dengan nada datar dan dingin. "Pusaka hebat seperti itu dulu pernah kukejar-kejar, tapi aku tak berhasil mendapatkannya! Aku juga tahu bagaimana keganasan pantulan sinarnya yang bisa memenggal orang dengan mudah dan memotong benda apa saja, termasuk pilar baja sebesar
gunung sekalipun!"

"Rupanya kau banyak tahu tentang Mustika Serat Iblis ketimbang aku!"

"Sudah kubilang, aku sangat tahu tentang mustika itu! Juga aku tahu siapa orang yang kau kejar-kejar dari kemarin! Ki Madang Wengi, itulah orang yang ingin kau jadikan tumbal terakhirmu! Tapi ketahuilah, kau telah ditipu oleh Tabib Awan Putih yang tadi kau jumpai di pantai sebagai orang gila! Dia sebenarnya orang sakti. Dia telah sembunyikan Ki Madang Wengi di atas pohon kelapa! Dia juga telah menyuruh perempuan yang kau kejar, yaitu Roro Manis untuk sembunyi di Gua Mulut Dewa bersama seorang pendekar sinting yang bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk!"

"Kau ada di pihaknya?! Kurang ajar betul orang tua di pantai itu! Kalau begitu, kaulah yang harus menerima akibat penipuannya!"

"Tunggu...!" Siluman Tujuh Nyawa mencegah gerakan Garong Codet yang ingin membuka telapak tangan kanannya. Mendengar seruan itu, Garong Codet urungkan niat untuk menyerang lawannya.

"Kalau kau butuh tumbal orang berilmu tinggi, carilah di Gua Mulut Dewa, tak jauh dari sini! Arahnya ada di sebelah kananmu! Di sana kau bisa bertemu dengan seorang pemuda bernama Suto Sinting, yang ke mana-mana..selalu membawa bumbung tempat tuak! Dia orang yang ilmunya lebih tinggi dariku!"

"Mengapa susah-susah ke sana? Kau sendiri orang berilmu tinggi dan layak menjadi tumbal Mustika Serat Iblis!"

Siluman Tujuh Nyawa terkesiap sejenak, ia seperti baru menyadari bahwa dirinya pun memang layak dijadikan tumbal dan diburu oleh Mustika Serat Iblis. Sementara itu, ia pun mengakui bahwa mengalahkan keganasan Mustika Serat iblis bukanlah hal yang mudah. Memang bisa saja ia memotong tangan Garong Codet lalu mengambil cincinnya. Tapi jika ia salah gerak dan terlambat bertindak, ia bisa mati terpenggal oleh pantulan sinar Mustika Serat Iblis. Menyesal juga ia tadi ketika bergerak, mengapa hanya mencabik-cabik pakaian Garong Codet? Mestinya tadi ia memotong tangan Garong Codet.

"Garong Codet, kau tidak akan bisa membunuhku dengan mudah. Tapi kau dapat membunuh Pendekar Mabuk dengan satu kali gebrakan!"

"Justru semakin sulit dibunuh berarti kau punya ilmu sangat tinggi. Mustika Serat Iblis akan merasa lebih senang mendapatkan tumbal yang sulit dibunuh?'

Dalam hati Siluman Tujuh Nyawa berucap kata, "Celaka! Aku masuk dalam jebakanku sendiri!"

Garong Codet segera mengangkat tangan kanannya ke atas kepala sambil berkata, "Sekarang tiba giliranmu untuk mati sebagai penebus kematian sahabatku itu! Kau berhutang nyawa pada Setan Culik dan aku akan mengirimkan nyawamu sebagai pembalasan dan tumbal!"

"Tunggu dulu...!"

Baru saja Siluman Tujuh Nyawa mau bergerak, tiba- tiba kilatan cahaya merah tanpa putus telah menyerangnya. Clapp...! Mau tak mau Siluman Tujuh Nyawa cepat menghindarkan diri. Gerakan cepatnya membuat Garong Codet terpaksa pantulkan cahaya mustika secara membabi buta.

Clap clapp clappp clap clap clapp...! Siluman Tujuh Nyawa terdesak serangan maut yang membabi buta itu. Ia tahu, sinar tersebut tak boleh ditangkis oleh apa pun kecuali oleh Perisai Naga Bening. Karena itu, Siluman Tujuh Nyawa tak berani menerjang atau menangkis kilatan cahaya merah yang bergerak dengan membabi buta itu.

"Bisa mampus aku di sini! Sebaiknya kugiring saja dia ke arah Gua Mulut Dewa, biar dia berhadapan dengan Suto. Aku akan punya kesempatan menebas tangannya dan membawa lari tangan itu untuk memiliki Mustika Serat Iblis...!" Durmala Sanca membatin demikian.

Lalu, dengan gerakan cepat juga ia melesat pergi. Namun sengaja tampakkan diri sebentar supaya dikejar Garong Codet. Ternyata pancingannya mengena. Garong Codet mengejar terus ke mana pun larinya Siluman Tujuh Nyawa.
* * *
9

RORO Manis berjalan lebih dulu. Gua Mulut Dewa telah kelihatan. Tinggal beberapa saat lagi mereka akan sampai di sana dan beristirahat. Tetapi suasana bungkam masih menyelimuti antara mereka berdua sejak dalam perjalanan. Pendekar Mabuk sendiri bungkam karena memikirkan cara mengalahkan Garong Codet. Sedangkan Roro Manis bungkam karena bertahan diri untuk tidak menegur Suto lebih dulu. Walau dalam hatinya sangat berharap untuk mendapat teguran dari Suto dan bisa bicara panjang lebar, tapi Roro Manis tetap bertahan diri untuk bersikap acuh.

Tetapi ketika mulut gua tinggal beberapa langkah lagi, Roro Manis punya alasan mendahului bicara dengan ajukan sebuah pertanyaan,

"Itukah gua yang dimaksud Tabib Awan Putih?"

"Mungkin," jawab Pendekar Mabuk pendek sambil hanyut kembali dalam renungannya. Roro Manis mendengus kesal hatinya, ia melangkahkan kaki untuk mendekati mulut gua yang dari kejauhan mirip bentuk bintang berlubang hitam itu.

Roro Manis tidak langsung masuk, karena ia curiga dan takut ada binatang buas di dalamnya, ia berharap Suto masuk lebih dulu untuk memeriksanya. Tapi pemuda tampan itu justru berhenti dari langkahnya dan meneguk tuak beberapa kali. Setelah itu ia melemparkan pandangan ke arah bawah, ke arah kaki bukit dan bentangan sawah di kejauhan sana. Laut pun tampak dari tempat mereka berdiri.

"Masuklah sana," kata Pendekar Mabuk kepada Roro Manis.

"Aku bukan orang bodoh, Suto! Aku tak mau menjadi umpan binatang buas! Kalau kau mau, silakan kau masuk lebih dulu untuk memeriksa apakah gua ini bukan sarang harimau atau sarang ular naga?!"

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum kecil. "Kau takut?"
"Aku tidak takut! Tapi aku orang yang dididik oleh Guru untuk menjadi manusia penuh waspada!"

Suto makin melebarkan senyum sindiran. Roro Manis membuang muka. Pendekar Mabuk pun segera masuk, ia memeriksa keadaan di dalam gua yang punya lorong panjang dan gelap. Hidungnya mengendus-endus, ia hanya, mencium bau kelembaban udara dan tanah. Tak ada bau kotoran hewan atau bau keringat binatang. Itu tandanya gua dalam keadaan aman. Bahkan kotoran kelelawar pun tak ada. Gas beracun juga tak dijumpainya. Tanah hanya sedikit lembek, tapi bagian lebih ke dalam terasa keras. Banyak bebatuan di kanan kiri gua. Tapi sekali lagi telinga Suto tidak menangkap adanya desis seekor ular.

Ia pun segera keluar dari gua untuk memberitahukan bahwa keadaan di dalam gua cukup aman. Tetapi alangkah terkejutnya Pendekar Mabuk ketika keluar dari gua ternyata matahari sudah banyak condong ke barat. Padahal baru saja ia masuk dan matahari belum mencapai pertengahan jarak edarnya. Di atas kepala manusia pun belum, mengapa sekarang matahari telah bergeser dan condong ke barat. Dan satu hal lagi yang ia herankan, ke mana Roro Manis? Gadis itu hilang! Entah sekarang ada di mana.

Pendekar Mabuk segera mengejar ke tempat semula. Jalan yang digunakan untuk datang ke situ disusurinya lagi. Dan ternyata, kira-kira dalam jarak sepuluh langkah dari mulut gua, ia sudah bisa melihat Roro Manis berkelebat terbang menghindari suatu serangan.

"Celaka! Pasti orang itulah yang bernama Garong Codet!" pikir Suto Sinting, ia menjadi berdebar-debar melihat Roro Manis melenting ke sana-sini menghindari pukulan tenaga dalam lawannya. Dan makin terkejut lagi ketika Suto melihat kilatan sinar merah dari telapak tangan bercincin batuan merah. Sinar merah itu bisa dihindari oleh Roro Manis, tapi sinar itu segera memotong pohon sebesar dua pelukan manusia. Pohon besar itu terpotong dengan cepat dan rapi, sehingga segera tumbang dalam beberapa kejap saja.

"Benar-benar celaka! Apa yang harus kulakukan jika sudah begini?! Tabib Awan Putih berpesan wanti-wanti agar jangan menghadapi Garong Codet. Langkah yang terbaik adalah menghindari pertemuan dan bentrokan dengan Garong Codet. Tapi keadaan sudah menjadi begini? Kalau Roro Manis pintar, ia harusnya memancing Garong Codet agar masuk gua! Di dalam gua nanti biar aku yang membereskan! Ah, tapi agaknya Roro Manis sendiri terdesak dan tak bisa melarikan diri kemari!"

Pendekar Mabuk merasa perlu mengulur waktu untuk sesaat, ia segera melepaskan pukulan jarak jauhnya yang bernama 'Turangga Laga'. Dua jarinya dikeraskan menjadi kaku, menempel di kening sebentar, lalu disentakkan ke depan. Zlappp...! Sinar ungu keluar dari jari itu melesat ke arah Garong Codet.

Sayang sekali Garong Codet bergerak menyerang Roro Manis, sehingga sinar ungu itu hanya menyerempet di bagian punggung Garong Codet. Srett...!

"Waaak...!" Garong Codet terpekik kaget. Punggungnya bagai dirobek dengan senjata tajam, ia jatuh terbungkuk. Padahal mestinya sinar ungu itu bisa membuat jantung Garong Codet berhenti dalam beberapa saat. Lalu, dengan begitu berarti ada kesempatan untuk melepas cincin tersebut dari tangan Garong Codet.

Sekalipun hanya merobek punggung, tapi Suto punya kesempatan untuk memanggil Roro Manis dengan isyarat tangan melambai. Roro Manis melihat gerakan tangan Suto yang melambai lalu menuding gua. Roro Manis segera tanggap bahwa ia harus memancing Garong Codet untuk masuk ke dalam gua. Setidaknya isyarat itu mengatakan bahwa Roro Manis harus segera bersembunyi ke dalam gua.

Maka dengan gerakan cepat Roro Manis melarikan diri. Pedang masih digenggam di tangan kanan. Gerakannya lebih dipercepat lagi. Dalam kejap berikutnya, Roro Manis sudah berada di samping Suto Sinting.

"Cepat masuk ke dalam gua!"
"Jangan hadapi dia! Dia punya cincin maut! Kau pun harus cepat masuk gua, Suto...!"
"Hei, aku juga punya cincin pusaka?! Aduh! Hampir saja aku lupa!"

Suto Sinting mempunyai cincin pusaka yang terkenal dahsyat. Cincin itu milik bibi gurunya, yaitu Bidadari Jalang. Cincin itu pernah diperebutkan oleh para tokoh tua di rimba persilatan. Cincin itu bernama Cincin Manik Intan. Benda pusaka itu pernah membawa maut yang begitu mengerikan dalam suatu pertempuran hebat di Istana Garinda (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Murka Sang Nyai"). Cincin itu disimpannya dalam tabung tempat tuak dan tak pernah lepas dari tempat penyimpanannya.

Sengaja Pendekar Mabuk tidak menggunakan cincin itu di tangannya, karena sedikit sentakan tenaga saja sudah menghasilkan seratus kali lipat tenaga yang keluar. Cincin itu pun sangat ganas dan sukar dikendalikan. Kadang ia keluarkan sinarnya sendiri di luar kesadaran pemakainya manakala si pemakai keluarkan tenaga dalam tanpa sengaja. Cahaya cincin bisa keluar menyerang ke mana-mana.

Garong Codet segera lompat mengejar Roro Manis. Pada saat itu, Pendekar Mabuk segera menenggak habis tuak dalam bumbungnya. Karena jika tanpa menenggak habis tuak maka cincin itu sulit diambilnya. Bahkan cincin tersebut sempat masuk ke mulut Pendekar Mabuk namun tak sempat tertelan. Pendekar Mabuk segera mengambil dan memakainya. Cara memakai cincin itu juga disamakan dengan cara memakai Cincin Mustika Serat Iblis, yaitu letak batuannya ada di bagian telapak tangan. Suto segera menggenggam cincin tersebut ketika dilihatnya Garong Codet mulai mendekat. Suto menghadang langkah orang itu.

"Apa maksudmu menghadang langkahku?!" gertak Garong Codet dengan suara serak menahan sakit.
"Apa maksudmu datang kemari?" Suto ganti bertanya.
"Persetan dengan pertanyaanmu! Minggir! Biarkan aku mengejar perempuan berilmu tinggi itu!"
"O, kau sedang memburu tumbal?" kata Suto melecehkan.
"Siapa kau sebenarnya?!"
"Suto Sinting!"

"Ooo... jadi kaulah orang yang dikatakan berilmu tinggi itu?" Garong Codet manggut-manggut, tak menghiraukan rasa sakit di punggungnya.

"Siapa yang mengatakan aku orang berilmu tinggi?"
"Seseorang yang bersenjata El Maut!"

Suto kerutkan dahi. "Maksudmu, orang bersenjata tongkat berujung sabit dan mengenakan kain hitam dari kepala sampai kaki, serta berwajah putih dan...."

"Iya. Iya! Sudah jangan banyak bicara!" potong Garong Codet. "Siapa pun dirimu, kulihat kau pancarkan sinar ungu dari tempat ini. Jadi kau pasti berilmu tinggi dan layak jadi korban tumbalku!"

Pendekar Mabuk diam sesaat. "Rupanya dia sudah bertemu dengan Siluman Tujuh Nyawa! Hemm... tapi mengapa Siluman Tujuh Nyawa tidak merampas Mustika Serat Iblis? Apakah Garong Codet sudah berhasil membunuh Siluman Tujuh Nyawa?!" pikir Suto Sinting sambil matanya tak lepas memperhatikan tangan kanan Garong Codet yang selalu mengenggam.

Sekelebat ia bisa tangkap pandangan ke arah mulut gua. Tenyata gadis yang berlagak ketus itu belum mau masuk ke dalam gua. Dia masih mengintip dari batuan di mulut gua. Dia ingin tahu seberapa hebat gerakan yang dimiliki oleh Pendekar Mabuk.

"Suto Sinting! Aku telah gagal membunuh orang berjubah hitam itu sebagai tumbal terakhirku. Tapi aku telah mendapatkan kamu di sini, kekecewaanku telah terobati! Kuharap kau tidak lari terbirit-birit seperti orang berkerudung yang bikin pakaianku compang- camping seperti ini!"

"Aku tak akan lari, karena aku ingin lihat saat nyawamu lari dari ragamu! Tapi jika kau mau turuti saranku untuk melepaskan cincin mustika itu, dan membuang jauh-jauh, kau akan selamat dari ancaman mautku! Percayalah, Garong Codet... cincin mustika itu hanya bikin kamu sesat dan tidak punya kedamaian dalam hidupmu!"

"Bocah kencur mau kasih nasihat orang seperti aku?! Lebih baik kukirim ke neraka kau sekarang juga! Hiaaat...!"

Garong Codet bergerak menghantamkan pukulannya ke arah dada Suto. Tapi tanpa diduga-duga Suto bergerak memutar sangat cepat dan kakinya berkelebat menendang. Duhggg... !

Roro Manis kejap-kejapkan mata. Ia tak bisa melihat gerakan Pendekar Mabuk, tahu-tahu Garong Codet terpental dan terguling-guling beberapa tindak di belakangnya. Terlalu cepat gerakan Pendekar Mabuk buat mata Roro Manis, sehingga Roro Manis semakin mendekat untuk melihat lebih jelas lagi.

Tetapi pada saat itu, Garong Codet berada dalam cahaya sinar matahari, ia cepat kembangkan tangan kanannya, berdirinya agak merendah, lalu kilatan sinar merah terpantul dari Mustika Serat Iblis itu. Clappp...!

Pendekar Mabuk cepat sentakkan kakinya dan bersalto di udara untuk menghindari sinar merah itu. Crass...! Batu yang ada di samping Roro Manis itu terpotong menjadi dua bagian. Rapi sekali potongannya, tapi sempat membuat jantung Roro Manis copot. Karena beberapa jengkal lagi sinar itu bisa mengenai dirinya.

Kini keadaan Pendekar Mabuk yang dipandang kembali. Roro Manis melihat Suto berdiri di tempat terbuka tanpa ada rasa gentar, seperti saat ia menghadapi Garong Codet tadi. Justru Roro Manis yang berdebar- debar melihat Suto Sinting berada di tempat terbuka dan enak dijadikan sasaran cahaya merah Mustika Serat Iblis itu.

"Suto!" teriak Garong Codet. "Kau tak akan lolos dari sinar merahku ini! Hiaaah...!"

Tangan kanan Garong Codet kembali membuka. Sinar merah pun melesat karena mendapat pantulan matahari. Tetapi dengan cepat, Suto pun membuka tangan kanannya yang menggenggam Cincin Manik Intan berwarna putih. Sentakan tenaga dalam melalui cincin itu timbulkan sinar putih yang melesat sangat cepat.

Clapp...! Arah sinar putih itu tepat mengenai batu merah di tangan Garong Codet. Zzzrrruubb...!

Krakkk... ! Sinar merah yang memantul seharusnya melesat cepat ke arah Pendekar Mabuk. Tapi sinar putih dari Cincin Manik Intan lebih dulu menghantam cincin merah itu. Akibatnya cincin mustika menjadi retak dan remuk. Tak bisa lagi pantulkan sinar merah seperti biasanya.
Garong Codet tersentak amat kaget sampai matanya terbuka lebar-lebar. Lebih kaget lagi setelah ia tahu, sinar putih dari cincin di tangan Pendekar Mabuk keluar lagi dengan cepat dan menghantam dadanya.

Bross...!

Dada itu berlubang besar, tembus sampai ke belakang. Cepat-cepat Pendekar Mabuk menggenggam kembali Cincin Manik Intan. Sikapnya tetap tenang dalam berdiri tegak. Garong Codet ternganga mulutnya. Ingin pekikkan suara namun tak mampu lagi. Ia pun akhirnya menghembuskan napas terakhir. Mati tanpa bersuara lagi.

Sekelebat bayangan hitam muncul. Siluman Tujuh Nyawa berdiri tak jauh dari mayat Garong Codet. Suto sempat terkejut lalu segera melepaskan pukulan Cincin Manik Intannya lagi. Tapi sebelum sempat hal itu dilakukan, Siluman Tujuh Nyawa telah melesat pergi dengan lebih dulu menebaskan senjatanya, memotong tangan kanan Garong Codet. Potongan tangan itu dibawanya lari menghilang. Dan Suto jadi tertawa kegelian sendiri pada akhirnya.

Siluman Tujuh Nyawa merasa Cincin Mustika Serat Iblis masih utuh di tangan Garong Codet. Tak terbayangkan alangkah kecewa dan murkanya siluman berwajah dingin itu jika mengetahui bahwa Mustika Serat Iblis telah hancur tak berguna lagi.

"Roro Manis, kau sekarang bebas berkeliaran ke mana saja maumu!" kata Suto Sinting. Roro Manis hanya tertegun bengong. Tak mampu berucap kata, tak mampu berkedip mata. Ketampanan Pendekar Mabuk terasa seimbang dengan kehebatan ilmunya yang amat mengagumkan itu. Dan untuk semua itu, Roro Manis hanya bisa diam dalam kecamuk hatinya yang berdebar- debar penuh keindahan.

"Akankah ia tetap bersamaku?" tanya Roro Manis.

SELESAI
PENDEKAR MABUK Selanjutnya dalam episode:


PENDEKAR MABUK