Pendekar Mabuk 16 - Mustika Serat Iblis(1)






1
SEBUAH kedai di sudut jalan itu tak pernah sepi pengunjung. Bahkan sampai jauh malam kedai itu masih buka. Bukan hanya karena kedai itu menyediakan berbagai macam makanan dan minuman, tapi karena kedai itu mempunyai pemanis.


Rusminah, anak gadis Ki Sumowito, pemilik kedai itu, adalah daya tarik utama bagi para pengunjung kedai. Rusminah perawan desa yang cantik dan menarik hati. Ia ramah dan murah senyum, sehingga pembeli di kedai itu merasa ketagihan. Sekali mereka datang, esoknya ingin kembali datang.

Menurut kabarnya, Rusminah bukan hanya cantik tapi juga pandai memasak. Apa saja yang dimasaknya selalu terasa lezat bagi para pembelinya. Entah karena memang Rusminah pandai memasak atau karena kecantikannya itu yang mempengaruhi setiap masakan menjadi lezat, yang jelas setiap pembeli betah nongkrong di kedai Ki Sumowito sampai berlama-lama.

Salah satu pelanggan tetap kedai pojok itu adalah seorang pemuda bertubuh tegap dan berwajah tampan, ia selalu kenakan pakaian biru muda bersabuk kuning. Rambutnya panjang lurus dan lemas, diikat kain kuning pula. Usianya sekitar tiga puluh tahun, lima tahun lebih tua dari Rusminah sendiri. Pemuda ini selalu memilih tempat paling sudut, dekat dengan jalan kecil menuju meja makanan. Karena dari tempatnya itu, ia bisa melihat Rusminah yang mondar-mandir melayani pembeli. Jika Rusminah menatapnya, gadis itu selalu membalas senyuman kepada pemuda tersebut.

Siang itu, Rusminah sibuk. Pembelinya banyak. Ki Sumowito juga ikut sibuk membawanya ke meja pembeli sambil se sekali terima gangguan-gangguan kecil yang sudah tak asing lagi baginya. Pemuda berpakaian biru muda itu pun sudah ada di pojok sejak tadi. Ia sudah menghabiskan satu poci arak dan beberapa potong ketan bakar.

Kejap berikutnya, muncul tiga orang yang masih asing wajahnya bagi penduduk desa itu. Bahkan para pengunjung kedai merasa belum pernah berjumpa wajah-wajah mereka bertiga.

"Mari, Kang... silakan duduk! Masih ada tempat di sebelah situ, Kang!" sambut Rusminah dengan ramah. Tapi ketiga tamunya itu berwajah angker. Tak ada yang tersenyum sedikit pun. Mata mereka memandang sekeliling, seolah-olah tiap wajah dipandanginya secara teliti.

"Mungkin mereka mencari seseorang yang jadi musuhnya!" bisik Ki Sumowito kepada anak gadisnya. "Hati-hati, Nduk... jangan terlalu dekat ke sana! Nanti kalau mereka pesan makanan dan minuman biar aku saja yang layani!"

"Iya. Aku juga ngeri lihat yang berwajah codet itu. Angker sekali, Pak! Jangan-jangan dia baru bangkit dari kubur?!"

"Ssst...! Jangan keras-keras bicaramu, nanti didengar mereka!" Ki Sumowito segera sentakkan pakaian Rusminah sebagai tanda kecemasannya.

"Agaknya mereka tuli, Pak. Buktinya kusuruh duduk di tempat yang masih kosong, mereka masih saja berdiri cari-cari tempat!"

"Bukan cari-cari tempat, tapi cari-cari perkara! Ia pandangi mereka satu persatu, kalau ada yang tersinggung pasti mereka bertiga sudah siap menghadapi orang yang tersinggung itu!"

"Ah, hatiku jadi tak enak kalau begini, Pak. Mestinya Bapak kasih tulisan di depan pintu masuk sana 'wajah angker dilarang masuk' gitu, Pak! Jadi mereka tak masuk kemari"

"Ssst...! Sudah, sudah... jangan pandangi mereka. Mereka sedang melirikmu!" Ki Sumowito buru-buru melakukan sesuatu biar kelihatan sibuk, demikian pula dengan Rusminah.

Si wajah codet tiba-tiba menggebrak meja kosong.

Brakkk...!

Beberapa orang tersentak kaget. Setiap mata palingkan pandang ke arah si wajah codet yang berseru, "Minta arak tiga poci, dan ciu Mataram tiga poci!" "Baik, Kang. Segera kami siapkan!" jawab Rusminah sambil paksakan senyum supaya bikin senang ketiga orang angker itu. Sementara itu, di sisi lain ada yang berbisik-bisik,

"Gila! Mereka hanya bertiga tapi pesan minuman langsung enam poci! Mau diminum atau buat kumur- kumur saja itu minuman?!"

"Pasti mereka para setan arak yang tak pernah mabuk walau minum sepuluh poci pun! Apalagi yang dipesan adalah ciu Mataram! Aku saja yang sudah biasa minum, kalau sudah kena setengah cangkir ciu Mataram, sudah tak bisa melihat orang dengan jelas. Tapi mereka mau menghabiskan satu poci arak dan satu poci ciu Mataram tiap orang, itu benar-benar hebat!"

"Jangan-jangan mereka tidak mabuk, tapi langsung pingsan satu-persatu? Hi hi hi...!"

Orang yang tertawa cekikan itu segera berhenti karena si wajah codet memandangnya dengan mata tajam dan berkesan angker. Orang ini mengenakan baju merah model rompi tapi panjang sampai bawah pusarnya. Diberi sabuk hitam, sesuai dengan warna celananya. Selain punya codet miring di pipi kanannya, juga bermata besar melotot bagai mau keluar saja biji mata itu. Tubuhnya besar, rambutnya panjang diikat kain pu-tih. Rambut itu acak-acakan hingga kepalanya tampak besar, ia mengenakan cincin yang terbalik, batu cincin itu ada di telapak tangan, warnanya merah, besarnya seukuran permukaan jempol tangan.

Orang inilah yang masuk pertama kali ke dalam kedai, lalu diikuti kedua orang di belakangnya. Masuknya orang ini telah membuat suasana kedai tidak lagi meriah. Yang tertawa menjadi diam, yang bicara keras segera kecilkan suara, yang semula merasa santai sekarang merasa tegang. Bahkan yang sejak tadi menggoda Rusminah, kali ini jadi diam tak berani melanjutkan celoteh godaannya.

Pemuda tampan yang sejak tadi tetap tenang itu memanggil Rusminah dengan isyarat tangan. Rusminah mendekat dan duduk di samping pemuda berbaju biru itu.

"Suruh orang-orang ini tinggalkan kedaimu untuk sementara waktu."
"Kenapa begitu?"

"Ketiga tamu yang baru datang itu akan bikin onar di sini dan sedang cari-cari perkara! Bisiki mereka satu persatu supaya cepat tinggalkan kedaimu ini!"

Tiba-tiba si wajah codet berseru kepada Rusminah, "Hai, Perempuan cantik! Kerjamu melayani semua tamu di sini! Bukan hanya satu tamu saja! Coba kau kemari...!"

"Iyy... iya, sebentar! Sebentar, Kang!"
"Cepat kemari!"

Brakkk...!

Si wajah codet menggebrak meja lagi. "Kalau dipanggil Garong Codet jangan menunda-nunda, tahu?!"
Rusminah segera datang dengan rasa takut yang disembunyikan. Tapi mereka menjadi tahu, bahwa orang berwajah codet yang angker itu berjuluk Garong Codet. Sesuai dengan namanya.

Dengan suara lantang, Garong Codet ucapkan kata kepada Rusminah,

"Siapa namamu, Cah Ayu...?!"
"Rusminah, Kang!"

"Bagus! Begini, Rus..., kalau sekiranya di kedai ini ada orang yang tidak suka pada kehadiranku, suruh dia berdiri dan panggil namaku dari tempat duduknya! Kedua sahabatku ini, Tikus Ningrat dan Setan Culik, akan siap menjemput orang itu dari tempat duduknya!"

Sambil berkata begitu, mata lebar Garong Codet sebentar-sebentar melirik ke arah pemuda tampan berbaju biru. Si pemuda tampan tahu dirinya sedang dipancing dan disindir, tapi ia tidak tanggapi sindiran dan pancingan itu. Ia meneguk minumannya dengan tenang.

Rusminah berkata dengan ramah paksaan, "Kurasa di sini tidak ada yang tidak suka padamu, Kang! Mereka punya urusan masing-masing, jadi mereka tidak pedulikan urusanmu, Kang."

"Aku cuma ingatkan padamu! Kalau kamu dengar ada yang kasak-kusuk merasa tak suka dengan kehadiran kami, suruh dia berdiri!"
"Baik, Kang. Nanti akan kusampaikan padamu jika ada yang tak suka dengan kehadiran Kang Garong Codet!"

"Bagus, bagus...!" Garong Codet sunggingkan senyum, bukan jadi tampan tapi tambah angker, ia tepuk-tepuk pipi Rusminah seenaknya saja. Hal itu membuat pemuda yang duduk di pojokan jadi panas hati. Namun ia bisa kendalikan nafsu amarahnya, ia tetap tenang dan meneguk minumannya lagi.

Orang yang dijuluki Tikus Ningrat itu memang wajahnya mirip tikus. Wajah itu runcing, dagunya maju ke depan, hidungnya mancung, tapi pipinya kempot. Usianya sekitar lima puluh tahun, sebaya dengan usia Garong Codet. Matanya kecil, alisnya tipis, kumisnya hanya beberapa lembar dan kaku. Pakaiannya abu-abu, rambutnya panjang kucal, sering meriap ke depan karena tidak kenakan ikat kepala. Mulutnya terkesan lancip karena ada sebagian gigi yang menjorok ke depan. Tubuhnya kurus kering, menyandang golok di pinggangnya.

Yang punya nama julukan Setan Culik itu juga bertubuh kurus, tapi lebih pendek dari si Tikus Ningrat. Rambutnya cepak kaku, usianya sekitar empat puluh tahun. Setan Culik punya wajah aneh, hidung kecil bulat, mata bundar licik, alis tebal, pipi tembem mirip bakpau. Kulitnya lebih gelap dari kulit kedua rekannya, ia mengenakan baju hijau tanpa lengan dan celana abu-abu kusam. Di lengannya ada gambar tato berbentuk centong nasi bersayap. Entah apa maksud gambar itu.

Ketiga orang bertampang angker itu sebentar- sebentar melirik ke arah meja pojok. Pemuda tampan itu rupanya sedang jadi bahan kasak-kusuk mereka. Si pemuda diam saja. Tapi pada saat Tikus Ningrat angkat poci untuk tuangkan minuman, tiba-tiba poci itu tersentak ke samping dan jatuh bagai ada yang menamparnya. Prangngng... !

Tikus Ningrat kaget, demikian pula Garong Codet dan Setan Culik. Mulanya mereka berdua tak terlalu pikirkan tumpahnya poci tersebut. Tapi Tikus Ningrat segera berbisik,

"Kurasakan ada gerakan angin yang menampar pociku tadi!"
"O, benar begitu?" Setan Culik mulai curiga.

"Pasti ada orang berilmu tinggi di sini!" bisik Tikus Ningrat lagi. Lalu, Garong Codet melirikkan matanya ke arah pemuda tampan itu, namun si pemuda memandang ke arah lain, seakan tidak memperhatikan tiga manusia berwajah angker itu. Tangan si pemuda menggaruk- garuk kepala. Wajahnya kelihatan biasa-biasa saja. Lalu Garong Codet pandangi orang-orang di sekelilingnya.

Si pemuda melihat Setan Culik ingin menyantap ketan bakarnya. Tapi belum sampai ketan bakar itu dicaploknya, tiba-tiba tangan Setan Culik tersentak ke samping dan ketannya jatuh di lantai. Plukkk...! Hal itu membuat Tikus Ningrat dan Garong Codet terkesiap sejenak.

"Ada tenaga yang menampar tanganku," kata Setan Culik dengan suara geram menahan jengkel. Matanya segera dipandangkan kearah si pemuda tampan. Pemuda itu biasa-biasa saja. Bahkan dengan kalemnya dia menuang minuman lagi ke cangkir untuk diteguknya.

Tapi tiba-tiba sebuah sentakan tak terlihat diarahkan kepadanya. Sentakan jarak jauh itu dilakukan oleh Tikus Ningrat. Mestinya tangan si pemuda yang mau mengangkat cangkir itu tersentak dan cangkirnya terlempar.

Tapi nyatanya pemuda itu tetap mengangkat cangkirnya dengan pelan-pelan, seakan melawan suatu hal yang membuat berat gerakannya. Akhirnya ia berhasil minum dengan cangkir itu, walau gerakannya sangat lamban.

"Tak salah lagi," bisik Tikus Ningrat. "Pemuda itu berilmu tinggi. Dia bisa melawan tenaga sentakanku dari jarak jauh."

"Kalau begitu, dialah orang yang kucari!" bisik Garong Codet dengan suara gemas, tapi bernada girang juga. "Tapi siapa tahu di sini ada lebih dari satu orang berilmu, jadi kita tidak perlu susah-susah mencarinya!"

Kemudian semua orang satu persatu dipandangi oleh Garong Codet. Ia tahan napas diam-diam, dan gerakan telapak tangannya di bawah meja bagaikan menekan sesuatu.

Terjadi suatu keanehan. Mereka yang ada di kedai menjadi bingung. Cangkir mereka tak bisa diangkat. Sepertinya terpatri dengan meja. Bahkan pisang goreng, ubi rebus, dan makanan lainnya tak bisa diangkat dari tempatnya. Seakan semua makanan punya daya rekat yang amat kuat. Bahkan sebuah kerupuk pun tak bisa diambil dari dalam kalengnya. Pisang, tak bisa dipulir dari tandannya. Mereka saling berkasak-kusuk gemuruh seperti lebah bergaung. Tikus Ningrat dan Setan Culik cekikikan. Hanya mereka berdua yang bisa mengangkat cangkir dan meneguk minumannya. Mereka tahu, ini ulah Garong Codet.

Tetapi mereka terkejut melihat pemuda itu dengan entengnya melakukan apa saja yang ingin dilakukan, ia dapat dengan mudah mengangkat cangkirnya, mengambil ubi goreng, bahkan sempat berjalan memetik pisang di meja depan dan mengupasnya dengan tenang sekali. Sepertinya tak mengalami hal aneh seperti yang dialami oleh pengunjung kedai lainnya itu.

"Nah, jelas hanya dia yang berilmu tinggi, Tikus Ningrat!" bisik Garong Codet. "Yang lainnya tak bisa angkat makanan ataupun barang apa pun di depan mereka, tapi anak muda itu bisa melakukan dengan mudah. Jika tidak berilmu tinggi, dia tidak akan mudah memetik pisang dari tandanannya. Lihat, dia tuangkan poci ke dalam cangkir dengan mudah sekali! Jelas dia orang yang kucari untuk tumbal cincinku ini! Pancing dia, Setan Culik!"

"Beres! Aku sudah punya cara untuk memancingnya!" kata Setan Culik, lalu bergegas bangkit dan mendekati Rusminah yang ada di balik meja dagangan.

"Rus, apa di sini ada kamar kosong?"
"Hmmm... iya, ada! Kenapa, Kang?"
"Aku ingin istirahat sebentar di kamar itu. Berapa sewanya?"

Ki Sumowito yang menjawab, "Kami tidak sewakan kamar itu, tapi kalau kau ingin pakai untuk istirahat, silakan pakai!"

"Aku ingin istirahat di kamar itu, tapi harus ditemani dengan anakmu, Pak Tua!"

"Ha ha ha ha ha...!" Tikus Ningrat serukan tawa bersama Garong Codet. Tawa yang pecah dan serak, sangat tak enak didengar itu, ternyata telah membuat telinga pemuda tampan merah bagai digosok pakai amplas. Tapi ia masih tetap tenang.

"Ayo, temani aku istirahat sebentar, Rus...!" tangan Setan Culik segera meraih tangan Rusminah. Tentu saja gadis itu segera sentakkan tangannya.

"Jangan begitu, Kang! Aku bukan wanita penghibur!"

"Sekali-sekali menghibur tamu kan tak apa-apa, Rusminah. Biar langgananmu makin banyak! Ha ha ha ha...!" tangan Setan Culik meremas dada. Rusminah memekik kaget dan pucat wajahnya.

"Aaah...!"

Melihat kelakuan seperti itu di depan matanya, pemuda tampan itu tak bisa menahan kesabaran lagi. Ia segera berdiri dan mencekal punggung baju si Setan Culik, kemudian melemparkan tubuh itu hingga melayang dan jatuh di meja depan Garong Codet. Brakkkk....!

Terkejut Garong Codet dan Tikus Ningrat melihat temannya dilemparkan begitu saja oleh si pemuda tampan. Terkejut pula semua tamu di kedai itu. Mereka mulai menyingkir satu persatu.

Terdengar suara Rusminah yang ketakutan berkata kepada pemuda itu.

"Soka Loka...! Sudahlah, jangan layani mereka!"

Tapi pemuda yang bernama Soka Loka itu tidak pedulikan ucapan Rusminah. Arak yang diteguknya mempengaruhi keberanian dan kesabarannya. Soka Loka cepat melompati meja dagangan dan dalam kejap berikut sudah berada di depan meja dagangan, menghadap tegap ke arah ketiga manusia berwajah angker itu.

"Siapa kau?! Berani-beraninya kau berbuat tak sopan terhadap temanku ini, hah?!" bentak Garong Codet, matanya melotot bagai ingin lompat dari kelopaknya.

"Temanmu yang lebih dulu bertindak tak sopan! Sekarang apa mau kalian sebenarnya?!" tantang Soka Loka.
"Mauku memenggal kepalamu!" jawab Garong Codet dengan keras.
"Kalau begitu, silakan keluar lebih dulu dari kedai ini! Kita bertarung di luar kedai, supaya tidak merugikan Ki Sumowito!"
Garong Codet segera berkata kepada kedua rekannya, "Tikus Ningrat, Setan Culik, hadapi dia di luar!"

"Hiaaat...!" Tikus Ningrat mau bergerak menyerang, tapi punggungnya segera dicengkeram Garong Codet, ia dibentak,
"Kataku di luar! Bukan di sini!"

"O, iya...! Baik. Aku tunggu di luar!" Tikus Ningrat kendorkan ketegangannya, kemudian ia lompatkan diri melalui dinding kedai yang hanya separo bagian itu. Wuttt... ! Ia sudah berada di luar kedai. Setan Culik menyusulnya.

Soka Loka tetap berdiri di tempat. Garong Codet berkata, "Lihat, kedua temanku sudah ada di luar! Mereka siap menghadapi tantanganmu!"

"Aku memilih melawanmu lebih dulu. Hiaaah...!" Soka Loka sentakkan tangannya dan sebuah pukulan tenaga dalam cukup besar terlepas dari telapak tangan itu. Wusss...!

Bueggh... !

Garong Codet terkena dadanya. Tubuh besarnya terhempas menerjang bangku dan meja di belakangnya, ia tak menyangka akan datang serangan secepat itu. Ia menjadi malu, karenanya ia geram dan marah sekali. Cepat-cepat ia bangkit dengan mata semakin ingin lompat dari dalam kelopaknya.

"Bangsat kau!"

Dihantamnya Soka Loka dengan tangan kiri bertenaga dalam. Soka Loka tidak menghindar, karena ia tahu jika menghindar, maka Rusminah dan Ki Sumowito yang ada di belakangnya akan jadi sasaran pukulan tenaga dalam yang berbahaya itu. Maka, Soka Loka menahan pukulan itu dengan telapak tangannya di dada. Ia dorong kekuatan yang mendesaknya dengan kuat itu. Ia kerahkan tenaga dalamnya sampai kedua kakinya gemetaran.

Tapi tiba-tiba, tangan kanan Garong Codet segera diangkat ke atas. Cincin merah yang ada di telapak tangan kanan itu pantulkan cahaya sinar matahari. Pantulan itu segera dikibaskan ke arah leher Soka Loka.

Clapp... !
Crasss... !

"Aaaa...!" bukan Soka Loka yang menjerit, tapi Rusminah. Perempuan itu menjerit sekuat tenaga karena melihat kepala Soka Loka jatuh menggelinding terpotong rapi tanpa darah menyembur. Pemandangan yang amat mengerikan dan di luar dugaan itu yang membuat Rusminah menjerit sekeras-kerasnya sambil memeluk ayahnya.

"Siapa lagi yang mau coba rasakan Cincin Mustika Serat Iblis-ku ini?!" sentak Garong Codet sambil pandangi semua orang yang berkerumun di luar kedai. Yang di dalam kedai sudah tak ada.

"Ayo, siapa lagi yang mau persembahkan kepalanya untuk kupenggal dengan Cincin Mustika Serat Iblis ini?! Mumpung masih butuh banyak tumbal! Silakan maju yang bersedia melawanku!"

Tak ada yang berani buka suara. Mereka semua bagai terpaku di tempat dengan kedua kaki gemetaran. Sementara itu, kepala Soka Loka tergeletak kaku di bawah kaki bangku, badannya jatuh di lantai.

Ki Sumowito merasa heran dan takjub terhadap cincin yang bernama Mustika Serat Iblis itu. Padahal Soka Loka dikenal sebagai pemuda tangkas berilmu tinggi, murid dari Eyang Danujaya yang terkenal bijak dan sakti itu. Semudah itu Soka Loka dipenggal pakai sinar cincin tersebut. Berarti kekuatan yang terpancar di dalam Cincin Mustika Serat Iblis itu sungguh dahsyat.

***





2
SALAH seorang murid rendahan Eyang Danujaya melihat peristiwa pemenggalan kepala Soka Loka. Segera sang murid yang bernama Tuban itu menemui Eyang Danujaya di padepokan. Padepokan itu tak jauh letaknya dari desa tempat kedai Rusminah berada. Hanya menyeberangi persawahan beberapa bentangan sudah sampai ke padepokan Eyang Danujaya. Sejak Eyang Danujaya mendirikan padepokan di situ, keadaan desa tersebut menjadi aman. Baru sekarang terjadi kerusuhan yang begitu menggemparkan seluruh masyrakat desa.

Tuban menghadap Eyang Danujaya pada saat di paseban terjadi perbincangan antara Eyang Danujaya dengan ketiga murid unggulan, yaitu Jayengrono, Randu Galak, dan Roro Manis. Sebenarnya, jika sedang terjadi satu pembicaraan di paseban, tak ada murid yang berani datang mengganggu atau menyela pembicaraan Eyang Danujaya. Tetapi agaknya kali ini Tuban sengaja memberanikan diri menghadap Eyang Danujaya dengan wajah pucat dan napas terengah-engah tegang.

"Ampun, Guru! Saya terpaksa menghadap! Sangat terpaksa, Guru!"

Semua orang yang ada di situ sama-sama kerutkan dahi pandangi Tuban. Terutama Eyang Danujaya, memandang agak lama seperti sedang meneropong hati dan pikiran Tuban, setelah itu bertanya dengan suaranya yang bernada bijak,

"Ada apa, Tuban? Kau sangat ketakutan sekali kelihatannya!"
"Saya mau laporkan tentang Kakang Soka Loka, Guru!"
"Soka Loka?! Ada apa dengan Soka Loka?"
"Kakang Soka Loka... tewas, Guru!"
"Hah...?!" Roro Manis, Randu Galak, dan Jayengrono sama-sama tersentak kaget dan mata terbelalak lebar.

Eyang Danujaya hanya kerutkan dahi sedikit. Matanya menyipit. Lalu ia tarik napas dan hempaskan pelan-pelan. Duduknya tetap tegak bersila. Matanya lurus ke depan bagai menerawang. Kejap berikutnya, terdengar suara Randu Galak ajukan tanya pada Tuban,

"Siapa yang membunuh Soka Loka?! Siapa, hah?!"

Sentakan suara Randu Galak yang sudah menjadi ciri khas kegalakannya itu membuat Tuban gemetar dan tergagap-gagap sebentar. Setelah itu, barulah Tuban bisa menjawab dengan lancar,

"Tiga orang datang ke kedai Ki Sumowito. Salah satunya bernama Garong Codet, dan...!"
"Tunggu!" potong Eyang Danujaya. "Siapa nama orang itu?"
"Garong Codet, Guru!"

"Garong Codet?!" gumam Eyang Danujaya. "Kalau tak salah dia perampok dari tanah seberang. Perampok kawakan yang licin dan sukar dibunuh! Hmmm... teruskan ceritamu, Tuban!"

"Baik, Guru!" Tuban menelan ludahnya sendiri untuk atasi kegugupan dalam penuturan ceritanya, ia berkata,
"Garong Codet berhasil memenggal kepala Kakang Soka Loka, Guru!"
"Kepala Soka Loka dipenggal?!" sentak Jayengrono dengan geram.
"Betul, Kang Jayeng!"

Eyang Danujaya menyahut, "Garong Codet memang jago main pedang. Tak heran kalau Soka Loka terpenggal kepalanya!"

"Tapi dia memenggal kepala Kakang Soka Loka bukan dengan pedang, Guru," sanggah Tuban.
"Bukan dengan pedang? Lantas dengan apa?"

"Dengan sebuah cincin yang dipakainya terbalik. Mata cincin ada di telapak tangan, Guru! Cincin itu berwarna merah bening. Garong Codet menyebutnya Cincin Mustika Serat Iblis!"

"Apa...?!" Eyang Danujaya tersentak kaget.
"Cincin Mustika Serat Iblis, Guru!" ulang Tuban menyangka gurunya kurang jelas pendengarannya.

Danujaya tertegun dan terkunci mulutnya beberapa saat. Para muridnya saling berwajah tegang, pandangi gurunya, menunggu ucapan dari sang Guru. Tetapi sang Guru justru bangkit berdiri dan melangkah ke tepian ruangan yang berdinding separo badan itu. Ia termenung beberapa saat di sana. Tuban melanjutkan cerita lengkapnya kepada Roro Manis dengan suara bisik- bisik.

Sejenak kemudian terdengar suara Eyang Danujaya berkata,
"Jayengrono, hadapi dia!"
"Baik, Guru!" jawab Jayengrono dengan patuh.
"Hati-hati! Hindari kilatan cahaya dari cincin itu!"
"Saya paham, Guru!"
"Seret dia kemari untuk kita adili. Tapi jika terdesak, bunuh dia di tempat supaya aman Desa Sambiroto dan sekitarnya!"
"Baik, Guru! Saya berangkat sekarang juga!"

Eyang Danujaya berbalik dan kini mengangguk sambil pandangi Jayengrono yang segera tinggalkan tempat.

Pemuda berusia sekitar tiga puluh tahun itu mengenakan rompi hitam dan celana biru dengan ikat pinggang kuning. Rambutnya cepak, badannya tinggi tegap, ia bersenjatakan sabit kembar yang diselipkan di pinggang belakang. Ketika meninggalkan tempat, tak ada kesan ragu sedikit pun. Justru penuh semangat dalam langkahnya.

"Guru," kata Randu Galak. "Mengapa Jayengrono yang harus menghadapi Garong Codet?! Mengapa bukan saya atau Roro Manis?!"

"Jayengrono punya jurus 'Gerak Petir', ia cukup lincah dan gesit. Mustika Serat Iblis harus dilawan dengan orang yang mampu bergerak gesit. Jika Mustika Serat Iblis memantulkan sinar matahari, atau sinar lampu minyak, dia akan bisa dipakai memotong benda sekeras apa pun. Bahkan jika mendapat pantulan dari sinar rembulan, dia dapat memotong gunung baja sebesar apa pun. Itulah kehebatan Mustika Serat Iblis. Seorang sahabatku yang bernama Ki Madang Wengi, punya banyak cerita tentang Mustika Serat Iblis. Dan menurutnya, hanya orang yang bisa bergerak gesit dan lincah yang bisa selamat dari cahaya Mustika Serat Iblis."

Jayengrono memang punya gerakan gesit, karena dia mempelajari jurus 'Gerak Petir', ia mampu melesat ke sana kemari dan sukar diikuti pandangan mata. Karenanya, Jayengrono sendiri tak merasa gentar mendapat perintah untuk melawan Garong Codet.

Waktu Jayengrono tiba di kedai Rusminah, orang masih berkerumun di depan kepala Soka Loka. Orang- orang itu menyisih setelah melihat kehadiran Jayengrono, karena mereka tahu Jayengrono satu perguruan dengan Soka Loka.

Melihat kepala dan raga Soka Loka terpisah, darah Jayengrono gemuruh bagai mendidih, ia segera tarik napas untuk menahan luapan kemarahannya. Lalu dengan suara pelan ia bicara kepada Ki Sumowito, ayah Rusminah,

"Tolong bawa mayat saudaraku ini ke padepokan. Serahkan kepada Eyang Guru biar dimakamkan selayaknya."
"Baik. Kami akan bawa ke sana, Jayengrono."
"Ke mana perginya Garong Codet itu?!"

Salah seorang menyahut, "Mereka kulihat sedang menuju perbatasan desa. Kurasa mereka belum jauh kalau kau ingin mengejarnya, Kang Jayengrono!"

"Terima kasih!" jawab Jayengrono, lalu segera tinggalkan kedai dan menyusul tiga manusia berwajah angker itu.

Garong Codet melangkah di tengah dengan langkah tegapnya. Matanya masih melotot bagai tak bisa berkedip lagi. Ia memandang sekeliling, seperti mencari sasaran lain. Ia berkata kepada kedua anak buahnya, yaitu Tikus Ningrat dan Setan Culik,

"Masih banyak kepala yang harus kucari! Jumlahnya harus genap tiga puluh tiga kepala sebelum purnama muncul."
"Bagaimana jika hanya tiga puluh dua yang kita peroleh?" tanya Tikus Ningrat.
"Berarti kepalaku sendiri yang akan hancur sebagai pelengkap tumbal yang ketiga puluh tiga!"
Setan Culik menggumam, "Sembilan belas, dua puluh, dua puluh satu yang di hutan, dua puluh dua yang di jembatan, terus...."
"Kau bicara apa, Setan Culik?!" sentak Tikus Ningrat.
"Aku menghitung jumlah kepala yang sudah terpenggal oleh Mustika Serat Iblis!" jawab Setan Culik sambil tetap langkahkan kaki.

Kemudian Tikus Ningrat tertawa pendek, setelah itu berkata kepada Garong Codet.

"Apakah tumbal kepala itu harus dari orang berilmu tinggi? Jika bukan orang berilmu tinggi, bagaimana?"

"Tidak bisa! Suara gaib yang kudengar setelah aku berhasil membunuh harimau berbulu merah itu adalah tiga puluh tiga kepala orang sakti harus kusediakan sebagai tumbal Mustika Serat Iblis. Jika tidak, maka kepalaku sendiri akan hilang alias pecah, dan Cincin Mustika Serat Iblis ini akan lenyap dengan sendirinya. Pusaka ini sayang sekali kalau sampai lenyap, karena kabarnya tidak semua orang bisa bertemu dengan harimau berbulu merah api dan bisa mendapatkan Mustika Serat Iblis ini!"

"Berarti kau termasuk tokoh dunia persilatan yang paling beruntung, Garong Codet! Tak ada orang seberuntung kamu!" kata Tikus Ningrat, sementara Setan Culik sibuk mengingat-ingat hitungan orang yang sudah jadi korban Mustika Serat Iblis, ia menghitungnya dari awal lagi.

Angin berhembus dari arah barat. Mereka bertiga menuju desa di balik bukit sana untuk mencari tumbal kepala orang berilmu tinggi. Tetapi langkah itu jadi terhenti karena tiba-tiba selembar pelepah daun pisang yang masih muda melayang deras ke arah mereka, datangnya dari samping kanan.

"Setan Culik, awas...!" sentak Garong Codet. Ia sendiri segera melompat, dalam satu hentakan kaki ke tanah. Tikus Ningrat berguling ke depan, sedangkan Setan Culik cepat bersalto ke belakang.

Wutt wutt wuttt...!
Wesss... !

Selembar pelepah daun pisang yang masih berwarna hijau ranum itu melesat di tempat mereka berjalan beriringan. Gerakannya yang cepat membuat pelepah pisang itu langsung meluncur dan menghantam sebuah pohon pete di pinggiran jalan itu. Crasss...! Kriett...!

Pelepah daun pisang menembus batang pohon pete bagaikan kapak tajam yang terbang dengan cepat. Hampir saja pohon tersebut terpotong dan tumbang. Daun pisang itu kini menancap di dalam batang pohon, sementara hembusan angin membuat pohon itu bergerak-gerak hampir tumbang.

"Tumbal datang, Tikus Ningrat!" kata Garong Codet. Tapi matanya melirik ke kanan-kiri mencari orang yang datang menyerang dengan daun pisang. Hati Garong Codet kegirangan, karena ia akan bertemu dengan orang berilmu tinggi. Sebab, jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin bisa melemparkan daun pisang menjadi seperti kapak terbang yang amat tajam dan bisa memotong pohon pete sebesar itu.

Ketiganya segera mengambil sikap saling merapat dan saling adu punggung. Walaupun tak sampai punggung mereka bersentuhan, tapi sikap mereka sudah menandakan siap terima serangan dari lawan yang ada di arah mana saja.

Zlappp... !

Tiba-tiba mereka melihat sekelebat sinar atau bayangan tak jelas. Mereka sempat terkesiap sejenak. Garong Codet berkata,

"Sepertinya ada yang melintas di depanku, Setan Culik!"

"Ya. Memang ada. Aku rasakan angin gerakannya cukup panas. Pasti orang itu berilmu tinggi dan cocok jadi tumbalmu!"

Mereka saling pandang ke arah sekeliling. Tak ada manusia yang terlihat di sana-sini. Tetapi Tikus Ningrat terkejut dan cepat tertawa geli setelah pandangi Garong Codet.

"Apa yang lucu?! Mengapa kau tertawa!" bentak Garong Codet.

Setan Culik begitu melihat Garong Codet mendelik marah, ia jadi ikut tertawa dengan mulut ditutup tangan. Garong Codet semakin geram ditertawakan dua sahabatnya yang menjadi pengikutnya itu. Ia segera meremas baju Setan Culik, wajahnya didekatkan ke muka Setan Culik seraya ia mendelik dan berkata,

"Apa yang lucu, hah?! Mengapa kau menertawakan diriku?! Jawab!"
"Kum... kum... kum..., hi hi hi hi...!" Setan Culik tak bisa menjawab dan menjadi geli sendiri.

Plakkk...! Garong Codet menampar wajah Setan Culik hingga orang sedikit pendek itu jatuh ke tanah. Tapi ia masih saja tertawa terkikik-kikik.

Tawa yang ditahan mati-matian itu tak lagi bisa dikendalikan. Akhirnya Setan Culik melepaskan tawa keras-keras dan Tikus Ningrat pun melepaskan tawa terbahak-bahak sambil pegangi perutnya. Sementara itu, Garong Codet semakin geram, kemudian kakinya menendang keras perut Tikus Ningrat dan menyepak kepala Setan Culik yang masih terduduk di tanah.

Akibat sepakan itu, Setan Culik terpelanting dan berhenti dari tawanya, Tikus Ningrat terlempar ke belakang dengan perut terasa mual akibat ditendang keras, ia pun menghentikan tawanya,
sampai akhirnya Garong Codet kembali ajukan tanya,

"Apa yang membuat kalian menertawakan aku! Coba jawab!"
"Kumismu," jawab Tikus Ningrat.

"Mengapa dengan kumisku, hah?!" tanpa sadar tangan Garong Culik meraba kumisnya dan ia tersentak kaget. Ternyata kumisnya yang tebal itu hilang separo. Kumis kiri masih utuh, tapi kumis kanan lenyap dan... tak tersisa sedikit pun.

"Celeng! Siapa yang berani mempermainkan aku sedemikian rupa?!" geramnya dalam hati. Tangannya masih mengusap-usap kumis kanannya yang plontos dan tentunya sangat lucu, karena kumis yang kiri cukup tebal.

"Alis kananmu juga," kata Setan Culik, buru-buru menutup mulutnya karena takut semburkan tawa lagi. Dan Garong Codet segera meraba alis kanannya.

"Monyet Bunting!" cacinya dengan geram kejengkelan. Ternyata alis kanannya pun tercukur habis hingga plontos. Tapi alis kirinya masih tebal menghitam.

Alangkah malunya Garong Codet berwajah seperti itu. Tanpa alis dan kumis kanan, sementara alis dan kumis kiri sangat tebal, sungguh merupakan pemandangan yang menggelikan. Lucu dan aneh. Pantas jika Tikus Ningrat dan Setan Culik menertawakannya sampai terpingkal-pingkal.

"Pekeijaan siapa ini!" geram Garong Codet dengan mengepalkan tinjunya kuat-kuat. Giginya menggeletuk ingin melampiaskan marah tapi tak punya tempat dan sasaran. Menurutnya, jelas ada orang berilmu tinggi yang berkelebat cepat dan memotong kumis serta alisnya tanpa terasa.

"Tikus Ningrat! Setan Culik! Cepat cari orang yang telah berani mempermalukan diriku seperti ini! Cari cari cari i i...!" teriak Garong Codet dengan mata melotot, menambah lucu wajahnya.

Tetapi sebelum Tikus Ningrat dan Setan Culik bergegas pergi, tiba-tiba Jayengrono muncul dari balik pohon seberang. Dari sana ia berseru,

"Tak perlu kalian repot-repot mencariku!"
"Itu dia orangnya!" sentak Setan Culik sambil menuding. Tangan yang menuding itu dipukul oleh Garong Codet. Plakkk... !
"Kalau dia sudah muncul aku pun tahu di mana dia! Goblok!"

Setan Culik meringis. Tulang lengannya bagai ngilu semua karena pukulan telapak tangan kiri Garong Codet. Tikus Ningrat cekikikan dengan menutup mulut dan sembunyikan wajah. Setan Culik menendang tulang kaki Tikus Ningrat. Plokk...! Tikus Ningrat meringis kesakitan dan menggerutu habis-habisan.

Tanpa sadar mereka kehilangan Garong Codet. Orang yang kini berwajah angker-angker lucu itu sudah bergegas mendekati Jayengrono ke seberang. "Bocah Kunyuk! Apa maksudmu mencukur alis dan kumisku yang sebelah kanan, hah?!" sentak Garong Codet.

"Untuk membuktikan bahwa aku bisa membunuh mu dengan mudah!" jawab Jayengrono dengan berani, ia pun sunggingkan senyum menahan rasa geli melihat wajah Garong Codet.

"O, jadi kau ingin membunuhku?!"
"Ya. Untuk membalas kematian saudara seperguruanku yang kau penggal di kedai Rusminah itu!"

"Aha... ! Jadi kau punya perguruan? Tentunya di perguruanmu banyak orang berilmu tinggi?! Sangat kebetulan sekali aku membutuhkan kepala orang berilmu tinggi buat tumbal Mustika Serat Iblis-ku!"

"Belum sampai kau pijakkan kakimu ke sana, kepalamu sudah akan menggelinding dengan sendirinya, seperti halnya aku mencukur kumis dan alismu, Garong Codet!"

Srekk...! Jayengrono mengeluarkan sabit kembarnya di kanan-kiri tangan. Sabit kembar itu dipermainkan kembangan jurusnya seraya mata Jayengrono tak berkedip pandangi tiap gerakan lawan.

"Kuingatkan kepadamu, Kunyuk Kasap! Kau datang padaku sama saja serahkan kepalamu untuk kujadikan tumbal Mustika Serat Iblis. Sekali kau datang menghadapku, berarti kau tak akan bisa pulang dengan kepala tetap menempel di lehermu!"

"Kau pun tak akan bisa lolos dari sabit kembarku!"

Jayengrono melangkah ke kiri dua tindak sambil kelebatkan kedua sabit runcingnya ke sana-sini. Sedangkan Garong Codet hanya pasang kuda-kuda dengan tangan kanan menggenggam ke atas kepala, ia siap melepaskan pantulan sinar matahari dari Mustika Serat Iblis yang ada dalam genggamannya, ia menunggu Jayengrono sampai pada titik di mana pantulan sinar matahari akan menjangkau tempatnya.

Zlappp...! Jayengrono bergerak cepat. Tak terlihat oleh mata Garong Codet. Tahu-tahu ikat kepala putih putus dan terlepas dari kepala Garong Codet. Sabit kembarnya telah berhasil berkelebat memutuskan ikat kepala itu tanpa mengenai kulit kepala sedikit pun. Zlllap...! Zlappp...! Zlappp...!

Beggg...! Tangan kiri Garong Codet menyentak ke depan. Tanpa sengaja tepat mengenai tubuh Jayengrono yang berkelebat mengitari tubuh Garong Codet. Tubuh yang terkena sentakan telapak tangan kiri itu terpental dan jatuh berguling-guling di tanah.

Garong Codet merasa lega dan bangga bisa kenai tubuh lawan dengan gerak tangan yang bersifat untung- untungan tadi. Tetapi ia menjadi curiga dan merasakan ada keanehan. Apalagi melihat Tikus Ningrat dan Setan Culik makin menertawakan dirinya, maka segera Garong Codet meraba wajahnya.

"Hahh...?!" ia tersentak kaget. Sekarang wajahnya menjadi bersih. Tanpa kumis, tanpa jenggot, juga tanpa alis mata. Dapat dibayangkan olehnya, betapa aneh dan lucu wajahnya yang bertulang besar pada pipi itu tanpa kumis, alis dan jenggot sedikit pun.

"Edan!" geramnya kaget, ia meraba rambutnya yang panjang. Ternyata rambut itu menjadi cepak. Terpotong- potong tak rapi. Panjang rambut tak sampai lewat tengkuk. Kira-kira tiap rambut sepanjang kelingkingnya.

Bahkan bisa lebih pendek lagi. Rambut itu menjadi rambut trondol yang tak jelas potongannya. Sedangkan Garong Codet pun merasakan tak memiliki bulu mata lagi.

Jelas ia bisa membayangkan betapa lucu dan memalukan sekali wajahnya itu. Karenanya ia sangat murka dipermainkan sedemikian rupa. Pada saat Jayengrono bergegas bangkit, Garong Codet berteriak,

"Modar kau bocah kunyuk! Hiaaat...!"

Pukulan tenaga dalam dilepaskan dari tangan kiri. Jayengrono melompat ke kanan, tapi tangan kanan Garong Codet segera dibuka, matahari pantulkan sinarnya melalui batu Cincin Mustika Serat Iblis itu. Dan, clapp...! Wesss...!

Crass...! Sinar merah seperti lidi itu memenggal putus kepala Jayengrono. Tak ada ampun lagi, kepala itu pun menggelinding ke tanah dan tidak keluarkan darah sedikit pun.
* * *




3
SETELAH memakamkan jenazah Soka Loka, Roro Manis berdiri murung di bawah sebuah pohon besar yang rindang. Wajah dukanya masih terlihat jelas, ia seperti merasa kehilangan saudara kandung. Soka Loka sudah seperti kakaknya sendiri dalam hubungan sehari- hari. Seperti halnya Jayengrono dan Randu Galak, sudah dianggap saudara sendiri. Sehingga kematian Soka Loka sangat memukul hati wanita cantik berpakaian merah tembaga yang terang mencolok mata warnanya.

Eyang Danujaya belum kembali ke padepokan, ia dan Randu Galak masih ada di tanah makam. Eyang Danujaya sengaja menyediakan tempat pemakaman khusus untuk murid-muridnya yang gugur. Letak tanah pemakaman itu ada di belakang padepokan, dekat sebuah sungai kecil.

Semua murid yang ikut memakamkan Soka Loka diperintahkan untuk kembali ke padepokan. Eyang Danujaya bersikap tenang walau menyimpan duka di dasar hatinya, ia dekati gadis cantik bertahi lalat kecil di bawah mata kirinya itu. Rambutnya yang panjang diikat kain biru tampak bergerai-gerai disapu angin menjelang sore.

"Roro Manis," tegur Eyang Danujaya. Perempuan itu segera palingkan wajah, lalu tunduk dalam duka yang disembunyikan.

"Manusia hidup tidak harus turuti kedukaan hati. Kedukaan itu hanya boleh lewat di depan hati kita, tapi tidak boleh menetap. Karena jika kedukaan menetap di hati, maka jiwa pun menjadi ikut mati. Relakan kematian saudaramu, supaya arwahnya tidak terjerat oleh dukamu, Roro Manis."

"Saya... saya tidak apa-apa, Eyang Guru!" ucap Roro Manis lirih. Eyang Danujaya pandangi Randu Galak yang berdiri di belakangnya, lalu ucapkan kata,

"Bawa dia kembali ke padepokan, Randu Galak! Biarkan aku di sini sendirian untuk menikmati sore tiba."

"Baik, Eyang Guru!" jawab Randu Galak dengan wajah terbungkus duka pula. Kemudian ia melangkah bersama Roro Manis segera tinggalkan bawah pohon rindang itu.

Tetapi baru saja ia langkahkan kaki dua tindak, tiba- tiba ada sesuatu yang jatuh di depan langkahnya. Blukk...! Sesuatu yang jatuh itu menggelinding sebentar, dan berhenti tepat di depan kaki Roro Manis.

"Haaah...?!" Roro Manis terpekik keras, ia sangat terkejut, demikian juga Randu Galak. Suara pekik itu membuat Eyang Danujaya bergegas memandang ke arah kedua muridnya itu. Dan mata orang tua berkepala gundul dengan uban tipis putih itu menjadi terbelalak pula setelah tahu, bahwa benda yang jatuh menggelinding itu adalah kepala Jayengrono.

Detak jantung mereka bagai tersentak-sentak didalam dada. Darah mereka bagaikan mendidih dan siap menyembur keluar dari pori-porinya. Tangan pun gemetar karena menahan luapan amarah yang begitu besar.

Lemparan kepala Jayengrono adalah suatu penghinaan besar dan tantangan yang mendatangkan murka di hati mereka. Tetapi Eyang Danujaya segera pejamkan mata dan tarik napas dalam-dalam untuk memperoleh ketenangannya kembali.

Mata Randu Galak menjadi beringas. Mata itu terarah ke seberang sungai, dan ia tatap tajam wajah tiga orang di sana, yaitu wajah Garong Codet, Tikus Ningrat, dan Setan Culik. Melihat mata Randu Galak berbinar-binar penuh dendam, Roro Manis segera mengikuti pandangan mata itu, hingga ia temukan tiga wajah angker yang sunggingkan senyum tantangan itu.

"Eyang Guru, izinkan saya menyeberang ke sana!" ucap Randu Galak dengan suara gemetar karena menahan amarah.

Danujaya pandangi wajah ketiga orang di seberang sungai dengan mata menyipit. Kemudian tanpa berpaling memandang Randu Galak, ia ucapkan kata datar,

"Berangkatlah ke seberang, Randu Galak! Aku akan menyusulmu!"

"Baik. Terima kasih, Guru!" Randu Galak tampak gembira dalam kobaran api amarah dan dendam. Maka, dengan cepat ia melesat menuju ke tanah seberang sungai.

Lebar sungai yang kira-kira lima tombak itu hanya dilompati dengan sekaii sentak kaki. Tubuh Randu Galak yang sedikit gendut dan berkumis lebat itu bagaikan terbang, lalu bersalto dua kali di udara. Kejap berikutnya dia sudah tiba di tanah seberang sungai, dalam jarak delapan langkah dari tempat Garong Codet berdiri.

"Eyang Guru, bolehkan saya ikut ke seberang sungai?!" desak Roro Manis.

"Jangan! Kau harus bersamaku jika mau ke sana," jawab Eyang Danujaya. "Ambillah Pusaka Tombak Kiai Jagat di ruang panembahan!"

"Baik, Eyang Guru!" maka dengan cepat Roro Manis segera pergi untuk mengambil Pusaka Tombak Kiai Jagat yang menjadi andalan Eyang Danujaya itu.

Sementara di daerah seberang sungai sana, Randu Galak sudah tak sabar menghadapi Garong Codet. Tanpa sebutkan nama, Randu Galak sudah dapat menerka yang mana yang bernama Garong Codet. Tak salah dugaannya, bahwa manusia berwajah angker lucu bercodet bekas luka di pipi kanannya itulah yang bernama Garong Codet.

"Sudah kuduga, kau pasti tertarik dengan undanganku lewat kepala kunyuk kurap itu!" kata Garong Codet.

"Manusia iblis!" geram Randu Galak. "Kau pikir kami akan gentar walau dua kepala orang kami sudah kau penggal begitu saja, hah?!" Mata Randu Galak melotot lebar, dan juga berkesan angker. Tetapi sikap galak itu justru ditertawakan oleh Tikus Ningrat dan Setan Culik.

Randu Galak yang berpakaian coklat tua dengan sabuk putih yang penuh pisau mengelilingi pinggangnya itu, tampak tak mau banyak bicara lagi.

Gerakannya sangat cepat, terutama dalam mencabut dan melemparkan pisaunya. Terbukti dalam satu kejap berikut, sebuah pisau telah melayang ke arah Tikus Ningrat yang bergerak maju dua tindak ingin menghadapinya.

Wuttt...! Pisau itu terbang bagaikan kilat. Sangat cepat dan hanya bisa dihindari sekejap. Tapi tetap saja Tikus Ningrat terlambat bergerak. Lompatannya masih terjangkau oleh pisau pertama dari Randu Galak.

Jruss...! Pisau itu menancap di betis Tikus Ningrat.

"Uhh...!" Tikus Ningrat terpekik. Pisau itu tetap menancap di betis kurusnya. Dengan cepat dicabutnya sendiri pisau itu, lalu dilemparkan kembali ke arah Randu Galak sambil berseru,

"Makan pisaumu sendiri! Hihh...!"

Wutt... ! Pisau itu meluncur cepat ke dada Randu Galak. Orang itu tidak bergerak menghindar, tapi justru menghadangkan telapak tangannya di dada. Lalu pisau itu membentur telapak tangan tersebut.

Tebb...! Pisau itu digenggam cepat oleh Randu Galak. Tangannya tak terluka sedikit pun. Dan jurus seperti itu jarang dimiliki orang. Tentu saja hanya orang berilmu tinggi yang bisa kuasai gerakan pisau dan meredamnya dengan gelombang tenaga dalam lewat telapak tangan.

Bahkan begitu pisau terpegang tangan, Randu Galak cepat membalikkan gerak dan melemparkan kembali ke arah Setan Culik yang terlihat bergerak ke samping untuk cari kesempatan menyerang. Wussst...! Pisau itu terbang cepat ke arah dada Setan Culik.

"Hiaaat...!" Setan Culik melompat ke kiri untuk menghindari pisau itu. Tetapi tiba-tiba Randu Galak sentakkan tangannya ke arah pisau yang telah meleset sasaran itu. Tiba-tiba pisau itu bisa berbalik arah terbangnya ke kiri, dan menuju ke tubuh Setan Culik.

"Kurang ajar! Dia mengejarku?!" sentak Setan Culik, kemudian cepat bersalto mundur dengan agak menyamping. Gerakannya itu punya keterlambatan sedikit, sehingga pisau itu melesat di samping kanannya. Pundaknya pun tergores oleh ketajaman pisau berukuran
satu jengkal itu. Srett...!

"Auh...!" Setan Culik terpekik dan cepat mendekap pundaknya yang berdarah, ia bersungut-sungut melontarkan seribu makian tak jelas.
Randu Galak cepat menarik tangannya ke belakang, dan pisau yang telah melukai pundak Setan Culik itu bergerak kembali ke arah Randu Galak. Wusst...! Tebb..! Pisau itu pun kini berada di tangan Randu Galak lagi.

Plok plok plok plok...! Garong Codet bertepuk tangan dengan wajah berseri riang. Kemudian manusia yang kini tanpa bulu di wajahnya itu ucapkan kata,

"Bagus, bagus...! Kau telah tunjukkan kehebatan ilmumu. Jadi aku tak sangsi lagi, bahwa kau pun pantas menjadi tumbal Mustika Serat Iblis! Bagus bagus bagus...!"

Garong Codet maju dua tindak. Tikus Ningrat dan Setan Culik mengundurkan diri. Tugasnya sebagai penguji ilmu lawan sudah selesai. Lawan sudah diketahui tingkat ketinggian ilmunya. Kini Garong Codet yang ambil alih arena pertarungan itu.

"Ilmu pisaumu cukup hebat! Tenaga dalammu pun kulihat cukup tinggi, karena bisa kendalikan gerak pisau dari tempatmu berdiri. Tapi kau jangan merasa bangga lebih dulu, karena sebentar lagi kepalamu pun akan terpenggal seperti dua kepala saudara seperguruanmu itu, Kunyuk Wengur!"

"Kau pikir mudah mengalahkan Randu Galak?! Hmm... ! Tak semudah menggempur gunung karang, kalau kau mau tahu!"
"O, namamu Randu Galak? Wah, bagus sekali! Seperti nama seekor anjing piaraan!"

Tikus Ningrat dan Setan Culik ikut tertawa. Randu Galak semakin panas hatinya. Tak banyak bicara lagi, langsung melepaskan pukulan maut bertenaga dalam cukup tinggi. Pukulan itu dinamakan pukulan 'Beruang Terbang'. Sebuah sinar kuning berpendar-pendar keluar dari kesepuluh jari tangannya. Sinar kuning itu berkelok- kelok dan menghantam badan lawan. Tetapi, rupanya tak semudah itu menghantam badan besar Garong Codet.

Dengan satu lompatan ke kanan, Garong Codet berhasil menghindari sepuluh sinar kuning berkelok- kelok itu. Wusss...! Sinar kuning berkelok-kelok itu menghantam pohon. Pohon tersebut menjadi rusak dari akar sampai ranting paling atas. Seperti habis dikoyak- koyak oleh puluhan beruang ganas. Benturan sinar kuning itu timbulkan suara gemerisik pada pohon tersebut.

Cras krak krak krasak cras grusuk crass... ! Seandainya tubuh Garong Codet terkena sinar kuning itu, maka akan terkoyak habis tubuhnya seperti pohon tersebut. Untung dia bisa menghindarkan diri dengan gerakan cepatnya. Tapi pukulan dari Randu Galak pun kembali terlepas dalam bentuk sentakan tangan kiri yang keluarkan cahaya merah kecil ke arah kepala Garong Codet. Wutt... !

Blarrr...! Sinar kecil itu timbulkan suara dentuman besar ketika menghantam gugusan batu di belakang Garong Codet. Sebab Garong Codet berhasil berguling ke tanah dua kali. Lalu dengan satu kaki berlutut, ia mengangkat tangan kanannya ke atas kepala, ia buka tangan itu hingga mendapatkan pantulan sinar matahari pada Mustika Serat Iblis.

Clappp....! Begitu cepat sinar itu melesat. Tak sempat terlihat mata datangnya. Sinar merah itu menggores leher Randu Galak. Crass! Dan tak urung kepala Randu Galak pun terpenggal putus begitu saja.

Plokk...! Kepala itu jatuh di tanah dan menggelinding sesaat.

Brukk...! Raga tanpa kepala itu pun rubuh ke depan dan tak berkutik, maupun berdarah lagi. Mulut Randu Galak masih sempat keluarkan suara serak, matanya berkedip-kedip, kemudian tak bergerak lagi dalam keadaan mendelik, dan suara serak pun hilang.

Eyang Danujaya melihat pertarungan itu. Ia terlambat menghantamkan pukulan jarak jauhnya untuk menahan sinar merah dari Mustika Serat Iblis. Gerakan sinar merah begitu cepat dan tak diduga-duga, sehingga pukulan penangkis jarak jauh yang dilepaskan dalam bentuk kilatan cahaya putih itu hanya mengenai sebuah pohon. Pohon itu langsung rubuh dalam keadaan telah hangus seluruhnya. Hampir saja rubuhnya pohon menimbuni tubuh Setan Culik. Untung saja Setan Culik cepat melompat dengan gesitnya, sehingga pohon yang sudah menjadi arang itu jatuh di tempat kosong.

Tapi mata Eyang Danujaya segera beradu pandang dengan mata Garong Codet. Tangan Garong Codet melambai, menantang Danujaya dengan sikap meremehkan. Kemudian terdengar suaranya yang keras, "Muridmu terpenggal lagi! Kalau kau mau, silakan datang! Tak terasa sakit sedikit pun, Botak! Kalau tak percaya, tanyakan sendiri kepada kepala-kepala muridmu yang sudah kupenggal itu!"

Baru saja Garong Codet katupkan mulut tanda selesai bicara, tahu-tahu dari arah belakangnya terdengar suara, "Aku telah datang penuhi undanganmu!" Garong Codet cepat palingkan pandang, ia terkesiap sejenak, karena ternyata yang di belakangnya adalah Danujaya yang berpakaian putih-putih itu. Cepat ia palingkan pandang ke arah seberang sungai lagi. Ternyata di sana sudah tak ada Danujaya.

"Edan lagi orang ini! Baru selesai kuajak bicara, tahu- tahu sudah ada di belakangku!" pikir Garong Codet. "Mustika Serat Iblis pasti senang mendapat santapan orang sesakti dia!"

Tikus Ningrat dengan terpincang-pincang mendekati Garong Codet dan berkata pelan, "Perlu kujajal dulu ilmu orang ini?!"

"Tak perlu! Dengan gerakannya yang tahu-tahu ada di belakang kita sudah menunjukkan bahwa dia berilmu tinggi! Dan lagi, dia adalah Guru dari para tumbal kita belakangan ini!"

Terdengar suara Eyang Danujaya dengan nada tetap sabar dan bijaksana,

"Garong Codet, hentikanlah perburuanmu itu! Sudah cukup banyak korban yang berjatuhan hanya untuk memenuhi nafsu iblismu!"

"O, belum bisa! Masih kurang banyak kepala! Aku harus mendapatkan tiga puluh tiga kepala sebagai tumbal memiliki Mustika Serat Iblis!"

"Aku tahu! Tapi mustika itu hanya akan membawa hidupmu makin sesat saja! Kau makin banyak musuh, makin banyak orang yang menaruh dendam padamu, dan kau akan banyak dikutuk oleh keluarga korban!"

Garong Codet melepaskan tawa walau tak keras tapi memanjang dan bernada menyepelekan kata-kata Eyang Danujaya. Kemudian ia pun ucapkan kata bernada angkuh,

"Siapa orangnya yang berani menaruh dendam kepada Garong Codet? Apakah dia ingin mati terpenggal seperti yang lainnya?! Kurasa kau tak perlu mengguruiku, Pak Tua! Aku tak akan mundur oleh ucapanmu itu! Bahkan semakin bernafsu untuk memenggal kepalamu, Pak Tua!"

Danujaya berkata, "Aku sudah tua. Kalau toh aku mati memang sudah waktunya. Layak sudah aku mati saat ini. Tapi bagaimana jika ternyata yang terpenggal adalah kepalamu sendiri? Kurasa kau belum layak untuk mati, Garong Codet!"

"Hah! Gertakan halusmu itu kau pikir bisa membuatku gentar?! Tidak! Sama sekali aku tak pernah gentar berhadapan dengan siapa pun, Pak Tua! Ha ha ha ha...!"

"Aku tahu kau tak gentar menghadapiku! Tapi mengapa celanamu basah, Garong Codet?! Kau buang air dalam celana?!"

Bukan Garong Codet saja yang pandangi celananya, tapi Tikus Ningrat pun pandangi celana Garong Codet yang ternyata basah kuyup itu. Garong Codet terkejut sekali, karena ia tak merasa ngompol, tapi mengapa tahu-tahu celananya basah dan bau pesing?!

Eyang Danujaya ucapkan kata lagi, "Wajahmu pun pucat, Garong Codet! Apakah kau takut padaku?"

"Tidak! Aku tidak takut padamu!" jawab Garong Codet, lalu ia palingkan wajah kepada kedua temannya itu dan bertanya, "Apakah wajahku pucat?"

"Ya, pucat sekali!" jawab Setan Culik.
"Pucat seperti mayat?"
"Sangat seperti mayat!" jawab Tikus Ningrat.
"Aneh. Padahal aku tidak merasa takut!" gumam Garong Codet.

Danujaya segera berkata, "Jika tak merasa takut, mengapa tubuhmu gemetaran dan menjadi menggigil?"

"Jangan ngaco bicaramu, Pak Tua! Aku tidak gemetar dan tidak menggigil! Aku justru sangat bernafsu untuk memenggal kepalamu!" sambil berkata begitu, tanpa sadar tubuh Garong Codet bergetar seluruhnya. Bahkan kini ia seperti kedinginan dan menggigil dengan jelas- jelas. Tikus Ningrat jadi menegurnya,

"Mengapa tubuhmu menggigil?"

"Entahlah!" bisik Garong Codet. "Tiba-tiba aku merasa sangat kedinginan! Wwrrr...! Seperti berada di dalam gunung es rasanya!"

"Serang dia! Dia telah mempermainkan jiwamu dengan tiap ucapan yang kau sanggah!!"
"Iiy... iyy... iya! Akan kuserang ddi... dia...! Uuh... dinginnya bukan main, Tikus!"

Eyang Danujaya sunggingkan senyum tipis, ia perhatikan tangan kanan yang bercincin Mustika Serat Iblis itu. Tangan tersebut mulai diangkat dengan gemetar karena menggigil. Cepat-cepat Eyang Danujaya sentakkan kaki dan melompat tinggi, lalu kakinya menendang tangan itu.

Plakkk...!

Tangan tersebut terangkat dan terlempar ke belakang akibat tendangan kilat itu. Berat badan Garong Codet menjadi tak seimbang, ia terhempas ke belakang dan jatuh terkapar. Blukk..!

Tanpa disengaja tangan kanan itu terbuka dari genggaman. Sinar matahari memancar dan memantul ke batuan merah tersebut. Pantulan sinarnya melesat ke arah tangan Danujaya. Clapp...!

Crasss... !

Eyang Danujaya tersentak dalam pekik tertahan. Tangan kanannya terpotong oleh kilatan sinar merah dari Mustika Serat Iblis, ia terbungkuk seketika begitu tangan kanannyajatuh ke tanah.

"Serang dia! Lekas...!" seru Setan Culik.

Garong Codet bergegas bangkit dengan tertatih-tatih karena menggigil. Pada saat itu Roro Manis tiba di tempat tersebut sambil membawa Tombak Kiai Jagat. Melihat tangan gurunya telah putus, Roro Manis segera melompat dan menerjang Garong Codet dari belakang. Tombak dihujamkan ke tubuh Garong Codet. Tetapi karena Garong Codet menggigil dan limbung dalam berdirinya, akibatnya tombak itu meleset sasaran. Hanya melintas di depan pundak Garong Codet. Wuttt...!

Tapi kaki Roro Manis segera menjejak punggung Garong Codet dengan telaknya. Bukkk...! Dan tubuh besar itu tersentak ke depan, jatuh berguling-guling.

"Roro Manis...!" ucap Danujaya yang menahan rasa sakit akibat terpotong tangan kanannya. "Cepat lari, hubungi Ki Madang Wengi!"
"Tapi Eyang Guru...."

"Kerjakan perintahku! Biar aku bertahan di sini dengan senjata pusaka itu!" Clapp...! Trakk...!

Sinar merah kembali memancar dari batu Mustika Serat Iblis. Sinar itu bukan saja memotong kaki kiri Danujaya, namun juga memotong tombak pusaka tersebut. Blappp... ! Percikan sinar merah melesat, pertanda kekuatan tombak telah punah dipenggal oleh sinar Mustika Serat ibiis.

"Guru...?!" pekik Roro Manis dalam keadaan bimbang.

"Lekas kerjakan perintahku, Roro Manis!" sentak Eyang Danujaya sambil menahan rasa sakit akibat kakinya terpotong sebatas lutut. Kini ia rubuh dan berusaha berdiri dengan satu kaki. Roro Manis tak tega, ia menangis dalam kebimbangan antara mengerjakan perintah Guru atau menolong keadaan Guru?!

Garong Codet makin menggigil, ia dibantu Tikus Ningrat dan Setan Culik agar bisa berdiri dan pergunakan mustika itu. Karenanya, gerakan sinar mustika tidak bisa terkendali. Memotong ke sana-sini,

walau akhirnya, clapp...! Crasss...!

Leher Danujaya pun terpenggal putus seketika. Roro Manis memekik keras di kejauhan karena ia melihat saat kepala gurunya menggelinding jatuh di tanah.

"Guruuu....!"

Roro Manis ingin menghamburkan tangis memeluk gurunya. Tapi kilat cahaya merah memotong pohon di sampingnya. Clapp...! Crass...!
Wrrr... bruk...! Pohon itu rubuh. Roro Manis merasa dalam bahaya jika mendekati jenazah gurunya yang sudah tidak berkepala lagi itu. Maka dengan cepat Roro Manis pun melesat pergi tinggalkan tempat itu. Tangisnya dibawa lari secepatnya, karena ia mendengar suara Garong Codet berseru gemetar,

"Kejar gadis itu! Kejaaar...!"
*
* *




4
SEKELEBAT bayangan coklat berlari cepat. Namun mendadak ia terhenti dan tampaklah wajah tampan seorang pemuda yang menyandang bumbung tuak di punggungnya. Siapa lagi penggendong bumbung tuak selain Pendekar Mabuk, murid sintingnya si Gila Tuak yang akrab dipanggil sebagai Suto Sinting itu. Kali ini Suto terpaksa hentikan langkahnya melihat dua mayat tergeletak tanpa kepala di jalanan.

Dua mayat itu adalah mayat perempuan cantik. Yang satu berpakaian kuning dan yang satu mengenakan pakaian merah. Kepala mereka terpisah dari raganya, yang satu menggelinding di dekat gugusan batu, yang satunya lagi ada di bawah pohon.

"Aneh, penjagalan kepala manusia ini tidak mengeluarkan darah sedikit pun?! Senjata apa yang digunakannya?!" pikir Pendekar Mabuk sambil memperhatikan kepala korban. "Keji sekali orang yang melakukannya. Gadis-gadis ini cukup cantik! Mengapa tidak diambil istri atau gundik saja daripada dipenggal begini! Hmm...! Pasti ini pekerjaan orang gila!"

Pendekar Mabuk; Suto Sinting itu segera memandang ke arah sekelilingnya, ia mencari seseorang yang barangkali saja bersembunyi di balik semak belukar. Tapi ternyata tak ada siapa pun di hutan itu. Suasananya sangat sepi dan hening, ia kembali dekati kepala yang ada di bawah pohon dan memperhatikan baik-baik.

Tiba-tiba sekilas sinar hijau melesat dari arah samping kirinya. Suto segera bersalto ke belakang dari keadaan jongkok menjadi berdiri. Wuttt.... Dan sinar kuning itu menghantam pohon di samping Pendekar Mabuk. Zlapp...! Duarrr...!

Wutt, wutt... !

Pendekar Mabuk terpaksa melompat lagi ke arah lain, karena pohon yang terkena sinar kuning itu hancur di bagian bawahnya dan segera rubuh ke tempat di mana Suto tadi berdiri. Weer... Brukk...!

"Edan!" maki Pendekar Mabuk. "Siapa yang menyerangku secara sembunyi-sembunyi ini?!"

Mata Suto memandang ke arah sekeliling dengan lebih jeli lagi. Kemudian ia temukan bayangan pakaian berwarna gelap. Orang itu ada di atas pohon seberang, agak jauh dari tempat Suto berdiri. Tetapi dengan cepat Pendekar Mabuk sentakkan tangan kirinya dan terlepaslah sinar merah melesat bagai mata tombak. Wutt!

Blarrr...!

Roboh dan hancur pohon yang dipakai bersembunyi orang tersebut. Sedangkan dari pohon itu tampak sekelebat bayangan berlari-lari melompati dahan demi dahan, dan akhirnya bersalto turun dalam keadaan sudah berada di depan Pendekar Mabuk, jarak mereka sekitar tujuh tombak.

"Oh, ternyata seorang nenek?!" gumam Suto memandangi seorang perempuan tua bertubuh kurus, berambut abu-abu, memakai kalung manik-manik dengan giwang hitam yang besar.

Nenek itu menggenggam tongkat merah berkepala burung garuda. Pendekar Mabuk memandangi nenek itu dengan berkerut dahi karena ia tidak mengenal nenek itu. Sang nenek melangkah dengan tegak walaupun sebenarnya sedikit bungkuk, tapi tampak digagah-gagahkan. Wajahnya tanpa senyum dan keramahan sedikit pun. Kira-kira jarak mereka tinggal tiga tombak, nenek itu berhenti dengan mata cekungnya memandang tajam pada Suto.

"Mengapa kau menyerangku dari kejauhan sana Nek?" sapa Suto mencoba untuk terkesan ramah. Tapi nenek itu menyahut dengan ketus,

"Biar kau mati!"
"Mengapa kau menghendaki aku mati, Nek? Aku tak punya salah!"
"Jangan berlagak bodoh!" sentaknya.
"Aku sungguh tidak mengerti apa salahku?! Kau sendiri siapa sebenarnya, Nek?"

"Aku Nyai Komprang, Guru dari kedua korbanmu itu!" sambil Nenek Komprang menuding dengan tongkat ke arah dua gadis yang terpenggal kepalanya itu.

"O, jadi kedua gadis itu muridmu?"
"Ya. Benar! Dan sekarang aku menuntut balas atas kematian kedua muridku itu!"
"Mengapa menuntutnya kepadaku?!" Suto Sinting kerutkan dahi sambil sedikit tertawa geli.
"Kau yang memenggal kepalanya, bukan?!"

"Bukan!" jawab Pendekar Mabuk dengan tegas. "Kalau aku melawan kedua muridmu tidak akan kupenggal kepalanya! Mungkin akan kucubit dagunya! Sebab mereka sebenarnya cantik-cantik!"

"Tutup otak ngeresmu, Setan!" bentak Nyai Komprang. "Kau tak perlu bersilat lidah lagi di depanku! Hanya ada kau di sini! Dan kulihat dari kejauhan kau sedang kegirangan melihat kepala muridku terpisah dari raganya!"

"Justru aku sendiri baru datang. Baru saja!"
"Omong kosong! Hiaaat...!"

Nyai Komprang bagaikan terbang. Tak diketahui langkahnya tahu-tahu tubuhnya telah melesat dan tongkatnya sudah disodokkan. Wutt!
Debb...! Tangan Suto dengan cekatan menahan kepala tongkat yang disodokkan ke dadanya itu. Kepala tongkat itu disentakkan ke depan. Wutt...! Dan tiba-tiba tubuh Nyai Komprang ikut terpental membalik arah dengan cepatnya. Wesss...! Brukk...! Nenek tua itu jatuh terkapar, lalu segera bangkit dan berdiri lagi. Napasnya ngos-ngosan. Dalam hatinya Nyai Komprang membatin,

"Siapa anak muda ini?! Hebat sekali ilmunya! Dia bisa menahan sodokan tongkatku dan mendorongku sebegini rupa! Kalau tidak berilmu tinggi, tidak mungkin dia bisa melakukannya! Berarti benar dugaanku, kedua muridku itu terpotong lehernya oleh kelakuannya!"

Pendekar Mabuk berkata kepada Nyai Komprang, "Nyai... kusarankan agar jangan menuduhku! Nanti di antara kita ada pertikaian. Itu tak baik, sebab antara kita sebenarnya memang tidak ada persoalan apa-apa! Percayalah, bukan aku yang memenggal kepala kedua muridmu ini! Bukan aku, Nyai! Kau lihat sendiri, aku tidak membawa pedang atau senjata apa pun! Sedangkan potongan pada kepala dan leher korban itu sangat rapi, bagai dipotong dengan senjata yang amat tajam!"

"Aku tahu kau berilmu tinggi! Tanpa pedang pun kau bisa memotong pohon besar atau memenggal kepala orang!"

"Ya, memang bisa! Tapi ada perkara apa, aku dengan kedua muridmu itu jika aku harus memotong kepalanya?! Sebesar apa pun kesalahannya, tak mungkin secepat ini aku ambil keputusan untuk memenggal kepala mereka!"

"Jangan banyak omong kau! Hihh...!" tongkatnya disentakkan dan keluar kilatan cahaya seperti jarum berwarna merah tembaga. Jarum-jarum yang jumlahnya lebih dari sepuluh itu melesat ke arah dada Suto Sinting. Namun dengan cepat Pendekar Mabuk itu meraih bumbung tuaknya dan menghadangkan di depan dadanya. Zrubbb...! Jarum-jarum itu hanya membentur bumbung tuak dan membatik dengan jumlah lebih dari lima puluh jarum dan bergerak sangat cepat.

Nyai Komprang terkejut melihat jarum-jarumnya berubah banyak dan membalik ke arahnya dengan cepat. Buru-buru Nyai Komprang melompat dan berjumpalitan di udara menghindari jarum-jarumnya itu. Akibatnya, jarum-jarum itu pun menancap di sebatang pohon yang ada di belakang Nyai Komprang berdiri tadi. Zrobbb...! Jarum-jarum itu masuk ke dalam batang pohon. Kejap berikutnya, batang pohon itu menjadi layu, kering, daunnya juga bergerak menjadi bergulung-gulung keriting dan tangkai serta dahannya pun mengerut, kulit batang pohon terkelupas. Akhirnya pohon itu mati dalam keadaan kering.

Nyai Komprang kembali membatin, "Hebat sekali anak muda itu! Biasanya jarum-jarumku hanya bisa bikin hangus batang pohon atau tubuh manusia! Tapi kali ini bisa bikin mati pohon dalam waktu kurang dari sepuluh hitungan! Luar biasa ilmu anak muda itu!"

Kemudian, dengan suara menyentak keras, Nyai Komprang berseru,

"Anak muda, siapa kau sebenarnya, hah?!"
"Yang jelas aku bukan tukang bantai seperti tuduhanmu tadi, Nyai!"
"Iya, tapi siapa namamu?! Muridnya siapa kau, hah?!"

Dengan tenang, Pendekar Mabuk membuka tutup bumbungnya, ia tidak segera menjawab pertanyaan itu, melainkan menenggak tuaknya dari bumbung dan meneguknya beberapa kali. Glek glek glek...!

"Bocah Sinting! Ditanya siapa namanya, siapa gurunya malah minum tuak! Apa kau sudah sinting, hah?!"
"Ya," jawab Suto sambil tersenyum. "Memang itulah namaku Suto Sinting!"
"Omong kosong!" bentak Nyai Komprang. "Setahuku yang bernama Suto Sinting itu adalah Pendekar Mabuk!"
"Ya. Memang akulah yang bergelar Pendekar Mabuk!"
"Dusta mulutmu!" sentak orang tua cerewet itu. "Jika kau benar-benar Pendekar Mabuk, coba sebutkan siapa gurumu?"
"Si Gila Tuak!"

Nyai Komprang terbungkam sebentar. "Benar juga?" gumamnya dalam hati. Tapi agaknya dia belum puas dan berkata menguji,

"Siapa nama asli si Gila Tuak?"
"Ki Sabawana!"
"Benar lagi?!" Pikir Nyai Komprang. Masih penasaran lagi ia bertanya menguji Suto,
"Sabawana punya saudara seperguruan, siapa namanya?"
"Bidadari Jalang! Itu juga bibi guruku!"
"Edan! Jadi kau benar-benar murid si Gila Tuak itu?!"
"Sudah kujawab tadi, ya!"

Kemudian terdengar suara Nyai Komprang bernada rendah, "Kalau begitu, aku salah duga! Aku tahu Sabawana tidak akan mendidik muridnya jahat seperti dugaanku tadi!" Nyai Komprang berjalan mendekati Pendekar Mabuk dan menepuk-nepuk pundaknya,

"Maafkan tuduhanku tadi, Suto!"
"Tak apalah! Apakah kau mengenal guruku, Nyai?"

"Ya. Sangat kenal. Dulu aku naksir dia, tapi dia sudah ditaksir orang lain, jadi aku tidak mau naksir dia! Cuma aku menaruh hormat padanya sebagai tokoh golongan putih yang disegani di rimba persilatan ini!"

"Kalau nanti aku bertemu dengan Guru, akan kuceritakan pertemuan kita ini, Nyai Komprang!"
"Katakan, dapat salam dari Widyawati!"
"Apakah itu nama aslimu, Nyai?"

"Benar! Tapi setelah setua ini, nama itu tidak cocok bagiku. Maka aku cari nama seenaknya sendiri! Nyai Komprang lebih cocok bagi orang berwujud tua seperti ini. Tapi... ngomong-ngomong siapa yang memenggal kedua muridku ini...?!" nada sedih mulai terdengar dari mulut Nyai Komprang. Satu persatu wajah muridnya didekati, lalu diangkat pelan-pelan dan dirapatkan kembali pada raga masing-masing. Nenek tua itu tampak sedih, mengusap-usap rambut muridnya yang sudah tak bernyawa itu.

"Nyai, aku tak bisa membantu mencarikan siapa pembunuhnya. Tapi aku yakin, kau sendiri pasti bisa melacaknya! Izinkan aku meninggalkan tempat ini, Nyai!"

"Mau ke mana kau?"

"Mencari tempat tinggal seorang tabib sakti yang bernama Tabib Awan Putih. Tapi aku belum tahu di mana dia tinggalnya?!"

"O, kalau begitu, berjalanlah ke arah utara terus. Dia tinggal di tebing bergua lebar, namanya Pantai Tanjung Keramat!"

"O, ya... terima kasih, Nyai!" Pendekar Mabuk pun segera bergegas meninggalkan tempat itu, menuju Pantai Tanjung Keramat.

* * *

Pagi baru menghilang dan matahari sedang merayap untuk menyusuri siang, di lereng sebuah bukit bertanaman pohon jati itu telah ramai oleh perang mulut dan perang tenaga dalam. Sesekali terdengar suara letupan, atau bahkan ledakan menggema akibat benturan dua tenaga dalam dari dua orang berilmu tinggi.

Kehidupan alam di lereng Bukit Tangkal itu bagai tak ramah terhadap lingkungannya.

Pohon-pohon yang menjulang tinggi, tak pernah mau peduli terhadap dua orang yang berselisih dalam suasana pincang. Yang satu, seorang nenek berjubah kuning, bermata cekung, bertubuh kurus, berambut abu-abu disanggul, berkalung manik-manik dengan giwang hitam, bertongkat kayu merah dengan kepala tongkat berbentuk kepala burung garuda, tampak sangat sengit menyerang lawannya. Nenek yang berjuluk Nyai Komprang ini tampak sangat penasaran, karena sejak tadi jurusnya bisa ditangkis dan dihindari oleh lawannya.

Sang lawan adalah seorang lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun, sama dan sebaya dengan usia Nyai Komprang sendiri. Orang ini mengenakan jubah abu- abu, rambut putih, botak tengahnya, badan agak gemuk dan sedikit pendek, celananya biru bersabuk hitam besar. Di pinggangnya tergantung kantong dari kulit kambing berisi makanan. Sebentar-sebentar orang gemuk ini melahap singkong bakar yang sudah dikuliti dan dimasukkan dalam kantong kulit yang menyerupai atas itu. Nyai Komprang memanggil lawannya dengan sebutan Madang Wengi.

Nyai Komprang tersentak kaget, ia membatin, "Konyol betul orang itul Mestinya sinar hijau itu akan meleburkan tubuhnya, menjadi berkeping-keping! Tapi kini ia tetap utuh dan tetap makan! Edan! Sekarang malah sinar hijauku itu padam?!"

Sinar hijau memang padam. Tubuh Madang Wengi tidak lagi terbungkus sinar hijau. Dan hal itu sangat membuat heran Nyai Komprang. Karena biasanya jurus 'Pijar Selaksa' itu akan meleburkan benda apa pun yang dikenainya.

Semakin penasaran hati nenek galak itu. Maka, dengan geram terdengar memanjang, ia sentakkan kaki dan melesat terbang ke arah Madang Wengi, lalu tongkatnya siap ditusukkan ke arah kepala lawannya, ia bergerak dari samping kanan.

Tetapi dalam keadaan tak diduga-duga, sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan oleh seseorang, sehingga pinggang Nyai Komprang menjadi sasaran empuk, dan tubuh itu terpelanting terbang ke samping dan terguling- guling. Brukk...! la jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangan tubuhnya.

Jatuhnya Nyai Komprang membuat Madang Wengi terkejut dan ia pun segera bangkit berdiri, ia pandangi tubuh Nyai Komprang dengan dahi berkerut. Kemudian hatinya membatin,

"Siapa yang menyerangnya?! Ilmu orang itu memang tidak terlalu tinggi, tapi sudah cukup hebat bisa bikin Nyai Komprang terguling-guling dan jatuh tak berdaya begitu! Yang jelas, pasti ada orang lain di sekitar sini yang memihakku! Hmm... siapa orangnya?!"

Nyai Komprang bergegas bangkit dan menggerutu tak jelas. Lalu, ia serukan kata,

"Kau benar-benar membuatku murka, Madang Wengi! Terimalah jurus 'Catur Sukma' ini...! Heaaah...!"

Wuttt, brrukkk... !

Tiba-tiba ada sekelebat bayangan yang melesat dan menerjang tubuh Nyai Komprang. Terjangan itu membuat Nyai Komprang jatuh kembali. Tapi kali ini tubuh penyerangnya terlihat jelas, karena ikut jatuh bersama Nyai Komprang.

"Setan Alas! Siapa kau, hah?! Berani-beraninya mencampuri urusanku dengan si tua pikun jelek itu! Siapa kau, jawab!"
"Roro Manis namaku, Nyai!"

Madang Wengi segera menyambut gadis cantik bertahi lalat kecil di bawah mata kirinya itu.

"Roro Manis...?! Seingatku... kau murid Danujaya! Benarkah?!"
"Benar, Ki Madang Wengi. Saya murid Eyang Danujaya!"

Nyai Komprang segera berseru memotong, "Ooo... jadi sekarang kamu kembali menjadi lelaki buaya dan mata keranjang, Madang Wengi?! Kamu sekarang sudah mulai doyan daun muda, ya?!"

"Tutup mulut tuamu, Nyai Komprang! Roro Manis ini murid sahabatku dan tak ada hubungan apa-apa dengan pribadiku!"

"Ah, kurasa kau memang janjian mau ketemu dia di sini!"
"Terserah apa katamu, Nenek Cerewet!"

"Memang aku tak peduli hubunganmu dengan gadis cantik itu! Aku hanya ingin mencabut nyawamu sebagai balasan atas kematian dua muridku itu, Madang Wengi!"

"Nyai Komprang, kuingatkan sekali lagi! Bukan aku yang memenggal kepala kedua muridmu! Bukan aku! Titik!"

"Titiknya kuhapus!" bantah Nyai Komprang. "Bukan kamu yang membunuh kedua muridku, tapi senjatamu itu yang memenggal kepala mereka dengan rapi dan tanpa darah! Hah, itu sama saja!"

"Tunggu sebentar, Nyai," sela Roro Manis. "Agaknya di antara Nyai Komprang dan Ki Madang Wengi ada kesalahpahaman!"

"Ah, kau bocah ingusan tak perlu ikut campur urusan orang tua!" bentak Nyai Komprang. Roro Manis jadi diam, tak berani lanjutkan kata. Untunglah Ki Madang Wengi cepat ajukan tanya,

"Roro Manis, bagaimana kabar gurumu Danujaya itu?!"

Roro Manis tundukkan kepala, wajahnya berubah duka. Nyai Komprang sempat mengikuti perubahan wajah itu secara tak sadar. Bahkan ia pun secara tak sadar ikut kerutkan dahi, seperti apa yang dilakukan oleh Madang Wengi.

"Roro Manis, kutanyakan bagaimana kabar gurumu, mengapa kau jadi murung begitu?! Apa yang sebenarnya terjadi, Roro Manis?!"

Dengan suara lirih, Roro Manis ucapkan kata, "Guru telah tewas, Ki Madang!"
"Danujaya tewas?! Maksudmu, dia terkena penyakit dan meninggal, begitu?!"

"Guru tewas dipenggal kepalanya, Ki Madang!" jawab Roro Manis. Air mata duka mulai mengembang di sudut matanya.

Ki Madang Wengi tertegun sejenak, terkenang kebaikan Danujaya semasa mereka masih sering bertemu di waktu muda. Nyai Komprang sendiri merasa kenal dengan nama Danujaya, tapi ia lupa kapan ia pernah bertemu. Yang ia ingat, Danujaya adalah orang yang
bijak dan tak pernah mau membunuh lawannya.

"Siapa yang membunuh gurumu, Roro Manis?!"
"Garong Codet, Ki Madang!"

Terkesiap mata Ki Madang Wengi, demikian juga Nyai Komprang. Mereka sama-sama kaget mendengar nama Garong Codet sebagai nama orang yang membunuh Danujaya. Hati kecil mereka mengatakan, itu tak mungkin terjadi. Sebab mereka tahu, Danujaya orang sakti dan berilmu tinggi, mustahil bisa dikalahkan oleh Garong Codet, yang hanya berilmu pas-pasan dan modal tampang angker untuk menjadi perampok tanah seberang.

Terucap gumam dari mulut Nyai Komprang bagai bicara pada dirinya sendiri, "Rasa-rasanya tak mungkin Danujaya bisa dipenggal kepalanya oleh Garong Codet?!"

"Dia menggunakan sejata khusus untuk memenggal kepala Eyang Danujaya, juga memenggal kepala Soka Loka, Jayengrono, dan Randu Galak!"

"Senjata apa?!" tukas Ki Madang Wengi.
"Mustika Serat iblis, Ki Madang!"

"Apa...?!" Ki Madang Wengi dan Nyai Komprang sama-sama terkejut dan terpekik. Mata mereka sama- sama mendelik.

"Mustika Serat Iblis ada di tangan Garong Codet?! Apa kau tak salah lihat atau salah dengar, Cah Ayu?!" kata Nyai Komprang yang agaknya mulai surut murkanya, ia jadi tertarik membicarakan tentang Mustika Serat Iblis.

Roro Manis lontarkan jawab, "Kurasa aku tak salah dengar dan tak salah lihat, Nyai. Karena setiap kepala yang dipenggal melalui pantulan sinar dari mustika tersebut, membuat korban putus kepalanya tanpa mengeluarkan darah. Potongan kepala itu sangat rapi tanpa ada serat daging yang rusak."

"Bagaimana bentuk mustika itu, Roro Manis?" tanya Ki Madang Wengi sambil diam-diam melahap singkong bakarnya.

"Setahuku, bentuknya seperti cincin, dipakai di telapak tangan. Warnanya merah. Dan jika kena pantulan sinar matahari, keluar sinar merah yang memotong benda apa pun dengan rapi."

"Benar kalau begitu," kata Nyai Komprang. "Memang begitulah ciri-ciri Mustika Serat Iblis! Jika begitu... jika begitu kedua muridku yang terpenggal kepalanya itu adalah korban dari keganasan Mustika Serat Iblis! Karena kepala kedua muridku terpenggal dengan rapi dan tanpa ada darah sedikit pun yang muncrat keluar!"

"Kurasa begitu, Nyai. Sebab, semua korban mengalami hal yang sama dalam kematiannya!"

"Madang Wengi!" kata Nyai Komprang. "Beruntung gadis ini lekas datang, jadi aku tidak salah tuntut padamu!"

"Masa bodoh!" Ki Madang Wengi cemberut jengkel.

"Aku harus cepat tinggalkan kau, Madang Wengi! Akan kutemui Garong Codet itu untuk bikin perhitungan dengannya! Hmmm... Roro Manis, di mana Garong Codet terakhir kalinya kau lihat?"

"Di desa Sambiroto! Tapi agaknya ia mengejarku, Nyai!"
"Akan kuhadang dia sekarang juga!"

Wesss...! Nyai Komprang cepat pergi bagaikan angin. Ki Madang Wengi hanya pandangi kepergian itu dengan senyum sinis karena kedongkolannya belum tercurah. Namun kedongkolan itu bisa segera dilebur habis, karena ia menjadi lebih tertarik membicarakan nasib Danujaya dan kehebatan Mustika Serat Iblis itu.

"Untung kau segera lari, jika tidak, kau akan jadi tumbal bagi Mustika Serat Iblis," katanya kepada Roro Manis. "Mustika Serat Iblis itu pusaka yang berbahaya. Tidak setiap orang bisa punya kesempatan memiliki mustika tersebut!"

"Milik siapakah mustika itu sebenarnya, Ki?"

"Bukan milik siapa-siapa. Mustika itu sebenarnya adalah empedu seekor macan merah yang usianya sudah ribuan tahun!"

"Harimau merah? Apakah ada harimau berwarna merah?"

"Ada! Dan di dunia ini mungkin hanya satu. Harimau merah api adalah titisan seorang tokoh sakti di zaman dulu. Empedunya sampai membentuk batu warna merah. Dan sulit ditangkis atau dilawan karena sinar mustika itu bisa memotong apa saja. Satu-satunya senjata yang bisa untuk melawan sinar Mustika Serat Iblis adalah sebuah perisai, namanya Perisai Naga Bening. Perisai itu dari kaca yang sulit dipecahkan oleh benda atau sinar apa pun. Perisai itu milik seorang pendekar yang bergelar Pendekar Awan Putih, dari negeri Cina. Tapi sekarang ia sudah menjadi tabib, yaitu Tabib Awan Putih. Dia tinggal di Pantai Tanjung Keramat! Jika kita ingin melawan Garong Codet, kita harus pergunakan Perisai Naga Bening itu!"

"Kalau begitu, sebaiknya aku segera pergi menemui Tabib Awan Putih, untuk meminjam perisainya!"

"Hmmm...!" Ki Madang Wengi berpikir sebentar, lali lanjutkan kata, "Ya, kurasa itu lebih baik. Pergilah kepada Tabib Awan Putih, dan sementara itu aku akan menyusul Nyai Komprang, bekas pacarku masa muda dulu. He he he...!"

***



5

SEBATANG tongkat kecil yang tingginya seukuran tinggi pundak orang dewasa disebut toya. Jurus-jurus yang dimainkan dengan toya tak jauh beda dengan jurus yang dimainkan dengan tombak. Kedua senjata itu sama- sama bisa digunakan untuk menebas, menusuk, dan menggaet kaki lawan. Sekalipun hanya sebatang kayu kecil, jika dimainkannya dengan menggunakan tenaga dalam, kayu kecil itu pun bisa digunakan untuk menembus batang pohon besar. Sebatang toya bisa dipakai untuk menangkis senjata lawan dan memagari diri pemiliknya dengan berputar bagai baling-baling melalui sela-sela jemari pemegangnya.

Senjata itulah yang dipegang oleh seorang pemuda cakap yang gemar mengenakan pakaian kuning gading. Rambutnya yang panjang diikat kain warna biru muda. Pemuda ini dikenal dengan nama Satria Tangkas. Nama julukan itu diberikan oleh Ki Madang Wengi, sebab Satria Tangkas memang murid Ki Madang Wengi.

Dalam perjalanan pulang dari ziarah ke makam orangtuanya, Satria Tangkas sempatkan diri beristirahat di tempat yang teduh. Rasa haus membuat ia punya gagasan untuk memetik buah kelapa muda. Sebatang pohon kelapa muda ada di depannya. Tapi cukup tinggi dan melelahkan jika dipanjat. Karena itu, Satria Tangkas hanya mendekati pohon tersebut, lalu ia menotokkan ujung toyanya ke batang pohon kelapa. Debb...! Satu kali totokan toya, sebuah kelapa jatuh. Walau di atas sana ada lebih dari delapan buah, tapi hanya satu yang jatuh dan itu pun yang benar-benar muda serta banyak airnya.

Wuuttt...! Sebutir batu dilemparkan seseorang. Satria Tangkas yang dilempar dari arah belakang itu cepat balikkan badan sambil kelebatkan toyanya. Trakk...! Clapp...! Toya itu berhasil menghantam batu sebesar biji salak, langsung pecah dengan menimbulkan nyala percikan api merah karena batu itu bertenaga dalam dan toya itu pun punya aliran tenaga dalam.

Tapi gerakan cepat Satria Tangkas yang bisa menghantam batu kecil dengan toyanya itu sungguh suatu jurus yang cukup pantas mendapat acungan jempol. Bahkan ketika Setan Culik mendapat kesempatan melemparkan batu yang lebih kecil lagi dari arah belakang Satria Tangkas, pemuda itu tidak membalikkan badannya, namun menyodokkan toya ke belakang.

Wutt... ! Trakk... !

Pruss...! Batu itu hancur, tepat tersodok ujung toya. Padahal Satria Tangkas tidak memandang ke arah belakang, namun ujung toya itu bagaikan punya mata sendiri dan bisa menghantam batu kecil yang bergerak dengan cepat itu. Jika bukan berilmu tinggi tak mungkin orang bisa melakukan gerakan setangkas itu.

Satria Tangkas merasa ada yang jahil padanya. Kemudian ia berseru dengan suaranya yang berkesan tenang dan kalem.

"Jika ingin berkenalan denganku, silakan keluar dari persembunyian kalian! Mungkin aku pun akan senang bisa berkenalan dengan kalian bertiga!"

Dalam bisikannya Setan Culik berkata kepada Garong Codet, "Gila! Dia bisa tahu kalau kita bertiga!"

"Jelas ia punya ilmu tinggi. Cocok untuk tumbal berikutnya!" kata Garong Codet. "Kalian tak perlu menjajal ilmunya, nanti malah kalian tewas lebih dulu! Biar langsung kuhadapi saja!"

"Terserah kamu saja," kata Tikus Ningrat. "Kebetulan kakiku yang terkena pisau masih terasa sakit, jadi aku libur dululah...!"

Tikus Ningrat memang berjalan pincang akibat pisau Randu Galak. Betisnya yang kurus itu kini dibalut dengan kain robekan ikat kepala Garong Codet yang lepas karena kibasan cepat sabit Jayengrono. Luka itu diberi borehan daun pengering luka. Sekalipun begitu, masih sedikit terasa sakit jika digunakan berjalan. Namun toh tidak mengurangi semangat Tikus Ningrat untuk mengikuti jejak Garong Codet dalam memburu tumbal berikutnya.

Bahkan ketika Garong Codet tampakkan diri dari persembunyiannya, Tikus Ningrat pun ikut keluar dari persembunyian, ia berdiri bersebelahan dengan Setan Culik. Mereka bersikap sebagai penonton yang baik, yang tak mau ikut-ikutan menyerang lawan yang sedang dihadapi oleh Garong Codet.

"Maaf, Kisanak... aku tidak kenal siapa kamu dan bagaimana harus menyebutmu!" kata Satria Tangkas kepada Garong Codet.

"Kau tak perlu namaku, dan aku tak perlu namamu! Yang kuperlukan adalah kepalamu!"

Terkesiap mata Satria Tangkas mendengar ucapan Garong Codet. Ia kini memandang dengan mata sedikit menyipit, ia menangkap gelagat tak beres pada sorot pandangan mata lawannya. Lalu, ia pun berkata,

"Apa yang kamu cari dalam kepalaku?"
"Apalagi kalau bukan satu penggalan tanpa rasa sakit sebagai tumbal yang kubutuhkan! Ha ha ha ha...!"

****
Lanjut Ke Bagian 2


Pendekar Mabuk