Pendekar Mabuk 21 - Titisan Ilmu Setan(1)



JERITAN yang melengking tinggi itu seakan menggema ke seluruh jagat raya. Begitu keras dan panjangnya, sehingga orang yang ada di balik bukit itu pun bisa tersentak mendengarnya.
Begitu pula dengan seorang pemuda yang masih tergeletak malas, bangun dari pembaringannya di atas pohon. Pemuda itu terkejut ketika mendengar jeritan yang menandakan sebagai jerit kematian. Ia segera bangkit dari rebanannya, dan menempatkan bumbung tempat tuaknya ke punggung. Pemuda berbaju coklat tanpa lengan dan celana putih itu melompat turun dari atas pohon berketinggian tujuh tombak.

Jlegg...! Dengan ringannya kedua kaki kekar itu menapak di tanah perbukitan. Matanya yang berbentuk indah tapi punya ketajaman yang mempesona itu segera memandang ke arah barat. Dahinya berkerut sebentar pertanda merasa aneh dengan jeritan yang cepat lenyap dari pendengarannya itu.

Pemuda itu belum bergegas pergi. Ia masih memikirkan langkahnya untuk menengok ke arah barat, ke sumber jeritan tadi, atau membiarkannya saja. Yang jelas, pemuda itu kembali meneguk tuaknya dengan mendongakkan kepala, menuangkan tuak dari bumbungnya, dan menelan air tuak itu beberapa teguk.

Hanya satu orang yang punya kebiasaan meneguk tuak di sembarang tempat dan dalam suasana apa saja. Orang itu tak lain adalah Suto Sinting, murid si Gila Tuak, yang mempunyai gelar tak asing lagi, yaitu Pendekar Mabuk.

Apa yang terjadi di sebelah barat adalah sesuatu yang tak diduga-duga oleh setiap orang. Seorang gadis berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, sedang berhadapan dengan seorang lelaki kurus, ceking, dan berkulit pucat. Wajahnya angker, matanya sipit tapi berkesan cekung dan bengis. Rambutnya panjang sebatas punggung, tapi tipis dan acak-acakan.

Lelaki itu mengenakan jubah abu-abu dan celana merah, sedangkan bagian dalamnya tidak mengenakan baju, sehingga tulang iganya terlihat bertonjolan, sebab jubahnya sendiri tidak menutup bagian dada dan perut. Laki-laki itu menggenggam sebuah senjata berupa kapak bergagang panjang warna merah, mempunyai dua sisi tajam di kanan-kirinya. Kedua kapak itu mempunyai ukuran lebar dan tipis. Pada sisi kedua mata kapak yang tajam itu berbentuk sedikit lengkung ke dalam, seakan pas untuk sebatang leher manusia.

Perempuan muda itu masih tegar berdiri di depan si lelaki lawannya. Ia mempunyai rambut panjang yang disanggul membentuk kucir besar dan dililiti kain pengikat mirip tali. Sisa rambutnya dibiarkan meriap ke samping kanan-kirinya. Ia mengenakan pakaian biru muda dengan sabuk merah di pinggangnya. Tempat pedang masih terselempang di punggungnya yang berkulit kuning langsat.

Di tanah sekitar mereka, sudah ada tiga mayat terkapar berlumur darah. Perempuan muda yang berparas cantik jelita itu, telah menumbangkan ketiga mayat tersebut dengan menggunakan sebilah pedang berujung runcing bagaikan pisau panjang. Pedang itu mempunyai dua sisi yang ketajamannya melebihi sebuah pisau cukur.

Melihat tiga korban telah jatuh tak bernyawa, lelaki bermata bengis itu semakin tampak bernafsu untuk membunuh gadis di depannya. Dengan suaranya yang menggeram menahan kebencian, lelaki itu berkata kepada lawannya,

"Dosamu kepadaku semakin bertambah, Arum Kafan! Sudah tak ada ampun lagi yang tersisa untukmu!"

Perempuan yang dipanggil Arum Kafan itu menjawab dengan wajah tanpa senyum sedikit pun, dengan mata memandang tajam dan dingin, seakan tak mau kalah bengis dengan mata lawannya.

"Aku tak pernah mengharap ampunan darimu, Tulang Neraka! Apa yang ingin kau lakukan padaku, lakukanlah sepanjang kau mampu melakukannya! Tapi kau pun harus bersiap-siap kehilangan nyawamu seperti kedua adikmu dan satu kakakmu itu, Tulang Neraka!"

Lelaki yang berjuluk Tulang Neraka itu, ternyata adik dan kakak dari ketiga orang yang telah dibunuh oleh Arum Kafan di tempat itu juga. Rupanya mereka adalah empat bersaudara yang berhadapan dengan satu musuh mereka, yaitu perempuan cantik tersebut. Apa masalahnya, belum jelas. Yang sudah pasti, Tulang Neraka merasa sangat sakit hati melihat ketiga saudaranya mati di tangan Arum Kafan.

Kapak dua mata yang berpenampang lebar itu digenggam kuat pada bagian pertengahan gagangnya! Tulang Neraka melangkah berkeliling pelan-pelan sambil berkata penuh geram,

"Bukan hanya tubuhmu yang akan kucacah-cacah di sini, Arum Kafan, tapi kedua tubuh adikmu pun akan kuburu dan kucacah-cacah sama seperti aku mencacah tubuhmu!"

"Jangan banyak bicara, Tulang Neraka! Kita selesaikan secepatnya dendam leluhur ini supaya jelas, siapa yang binasa di antara dua keluarga kita!" seru Arum Kafan tak mau kalah gertak.

Maka dengan gerakan cepat, Tulang Neraka melompat menerjang Arum Kafan. Kapaknya ditebaskan ke arah leher Arum Kafan. Tetapi perempuan berpedang runcing itu mengibaskan pedangnya sambil merendahkan tubuh, sehingga gerakan kapak tertahan di pertengahan jalan.

Trangng...!

Kaki perempuan cantik itu menendang ke perut Tulang Neraka. Wutt! Behgg...! Tubuh kurus ceking berusia sekitar empat puluh tahun itu terpental mundur lebih dari tiga tombak jauhnya. Ia jatuh menimpa semak- semak hingga terdengar suara gemeresak dengan jelas sekali.

Tapi dengan sentakan pinggangnya, lelaki berjubah abu-abu itu bisa melentik bagai belalang, dan kembali berdiri dengan sigap. Wajahnya sedikit dimiringkan agar bisa memandang dengan melirik sadis.

"Heeaah...!" tiba-tiba ia menyentakkan tangan kirinya ke depan. Dari tangan kiri itu melesat seberkas sinar, warnanya kuning kemerahan, berbentuk seperti tongkat panjang satu hasta.

Wuttt...! Sinar kuning kemerahan itu melesat dengan cepat ke Arum Kafan. Tapi Arum Kafan tak kalah sigap. Dengan satu sentakan tangan kirinya pula ia melepaskan pukulan tenaga dalam yang mempunyai berkas sinar warna hijau. Kedua sinar itu bertemu di pertengahan jarak, dan saling membentur menimbulkan ledakan dahsyat. .

Duarrr...! Asap mengepul warna gelap. Kejap berikutnya menghilang lenyap. Tapi sinar hijau itu masih ada dan diam di tempat benturannya tadi. Sinar itu tidak ikut pecah dan bahkan kembali bergerak setelah berhenti di udara beberapa kejap tadi.

Tulang Neraka terbelalak kaget melihat sinar hijaunya Arum Kafan masih ada di tempat dan sekarang sedang menyerangnya dengan kecepatan tinggi. Maka, cepat-cepat Tulang Neraka melompat ke samping dan membuat sinar hijau itu lolos darinya, menghantam sebatang pohon di belakangnya.

Blarrr...! Sinar itu menimbulkan ledakan kembali.

Anehnya pohon itu tidak hancur dan masih utuh. Bahkan daunnya tak ada yang gugur satu helai pun.

Tulang Neraka memandang pohon itu sebentar, lalu tersenyum sinis meremehkan kekuatan sinar hijaunya Arum Kafan. Ia berkata dengan nada melecehkan jurus Arum Kafan,

"Ternyata jurusmu hanya jurus untuk menipu anak kecil! Tak punya kekuatan apa pun, selain kekuatan menipu pandangan orang!"

"Sayang sekali tidak mengenai tubuhmu, Tulang Neraka!" .

"Seandainya mengenai tubuhku pun tak akan menjadi masalah bagiku! Sama saja aku tersengat puntung tembakau, atau...."

Tulang Neraka tidak melanjutkan ucapannya. Karena tiba-tiba datang angin kencang dan pohon itu rusak terhembus angin, bagaikan gugusan abu yang membentuk sebuah pohon. Bahkan kurang dari satu helaan napas, pohon itu telah hilang dari wujud aslinya. Berubah menjadi debu yang beterbangan terbawa angin.

Mata bengis Tulang Neraka sempat tak berkedip. Ia meneguk ludahnya sendiri menyaksikan kehebatan sinar hijaunya Arum Kafan. Tak disangka ternyata sinar itu mampu membuat pohon itu tetap berbentuk sebagaimana aslinya, tapi sebenarnya sudah hangus menjadi debu yang lembut dan tak bisa dipegang lagi.

"Edan! Kalau tadi tubuhku yang kena pukulannya pasti aku sudah menjadi debu seperti pohon itu," kata Tulang Neraka dalam hatinya.

"Rupanya dia sudah melepaskan jurus andalannya, sekarang giliran aku yang melepaskan jurus andalanku!"

Dengan suara keras, Tulang Neraka berseru, "Arum Kafan, kau boleh banggandengan pamer ilmu seperti itu padaku. Tapi kau pun harus menerima akibatnya dari kesombonganmu tadi. Kukirimkan jurus 'Brajagina' ini untuk menyambut kematianmu, Arum Kafan! Heaah...!"

Tulang Neraka meluruskan kapaknya ke depan, mengarah kepada Arum Kafan. Kapak itu dipegang dengan tangan kiri, dan tangan kanannya menghantam ujung gagang kapak warna merah itu. Telapak tangan kanannya merapat lekat di ujung gagang kapak. Tubuhnya sedikit miring dan berdiri agak merendah. Tubuh itu gemetar bagai sedang mengerahkan satu kekuatan tenaga dalam yang cukup dahsyat.

Bersamaan dengan sikapnya begitu, dari kedua mata kapak yang lebar itu terlepaslah dua sinar patah-patah warna merah bening. Sinar merah bening itu keluar dari mata kapak secara beruntun dan menerjang tubuh Arum Kafan. Kedua mata kapak pun menyala merah membara.

Sinar merah patah-patah yang beruntun menyerang itu salah satunya bisa dihadang oleh telapak tangan Arum Kafan yang menjadi menyala hijau sebatas pergelangan tangannya. Ia menahan sinar itu di depan dadanya dengan telapak tangan terbuka.

Tapi seberkas sinar yang kiri tak bisa tertahan lagi karena pedangnya meleset ketika ingin menghadangnya. Seberkas sinar itu menembus bagian bawah pundak Arum Kafan. Jrabbb...!

"Aaahg...!" Arum Kafan tersentak ke belakang, oleng dan akhirnya jatuh. Pundaknya menjadi hangus seketika. Hitam. Bahkan pakaiannya yang dikenakan itu mulai menyalakan api dan terbakar. Arum Kafan terguling- guling sambil menjerit kesakitan. Pedangnya sampai lepas dari genggaman tangan. Kehangusan itu ternyata berjalan terus sampai ke lengan batas siku.

Arum Kafan seperti dibakar hidup-hidup. Tingkahnya yang kelabakan ditertawakan oleh Tulang Neraka.

"Ha ha ha ha...! Makanlah habis jurus Brajagina'-ku itu! Ha ha ha ha ha...! Arum Kafan, kuselesaikan tugas ku mencabut nyawamu saat ini juga! Hiaaat...!"

Tulang Neraka berkelebat melompat sambil mengangkat kapaknya untuk ditebaskan ke bawah begitu tiba di tanah samping Arum Kafan. Tapi sebentuk bayangan tak jelas telah membuatnya kalang kabut karena berkelebat cepat menabrak dirinya. Bruss...!

Tulang Neraka seperti diseruduk tiga banteng yang mengamuk. Tubuh Tulang Neraka terpental lebih dari lima tombak jauhnya. Ketika ia jatuh dalam keadaan miring, ia sempat melihat sesosok manusia muda berbaju coklat dan celana putih. Pemuda itu segera menghampiri Arum Kafan. Mengangkat kepala Arum yang tersentak- sentak karena menahan rasa panas yang mulai menjalar sampai di perutnya.

Dalam keadaan mulut ternganga itu, Arum Kafan merasa ada yang menuangkan cairan ke mulutnya. Rasa panas membuat Arum Kafan menelan cepat-cepat cairan yang ternyata tuak itu. Beberapa teguk tuak di telannya, kemudian kepalanya diletakkan di rerumputan kembali oleh si pendatang tak dikenal itu.

Suto Sinting sudah berdiri di sana. Matanya memperhatikan si Tulang Neraka dengan tenang dan kalem. Tulang Neraka saat itu sedang berusaha bangkit dengan menyeringai kesakitan. Tapi matanya yang menyipit karena menahan sakit itu tiba-tiba jadi terbelalak terbuka cepat. Ada sesuatu yang mengejutkan dirinya. Ada sesuatu yang dicari-carinya. Tanpa sadar ia bicara sendiri,

"Mana kapakku...?! Mana senjataku?! Lho... mana...?!"

Kapak itu telah lenyap dari tangan Tulang Neraka. Dicari ke mana-mana tetap tak ada. Tulang Neraka tak tahu, bahwa Suto Sinting telah menyemburkan tuaknya saat menabrakkan diri ke tubuhnya. Kapak itu terkena ilmu 'Sembur Siluman' si Pendekar Mabuk, yang dapat membuat benda menjadi lenyap setelah terkena semburannya.

Sedangkan keadaan Arum Kafan saat itu menjadi tenang kembali. Bukan hanya Tulang Neraka yang merasa terheran-heran melihat Arum Kafan berkulit kuning langsat itu sehat kembali, tapi Arum Kafan sendiri merasa heran dengan keadaannya yang lekas pulih itu. Rasa panas akibat hantaman sinar biru tadi telah hilang. Bahkan kulitnya yang hangus pun lenyap dan kembali mulus. Tapi luka bakar pada pakaiannya masih belum hilang dan menghitam robek, walau tidak panas dan tidak mengepulkan asap sedikit pun. Rupanya tuak yang diminumnya tadi adalah obat mujarab yang punya kekuatan sungguh ajaib.

"Jahanam kusut!" geram Tulang Neraka sambil matanya mendelik memandang Suto Sinting. "Kau pasti Pendekar Mabuk yang kesohor itu! Benar, bukan?!"

"Benar! Tapi aku tidak kenal siapa dirimu, kalau tidak aku mendengar perempuan itu memanggilmu Tulang Neraka!"

"Bagus. Kau telah mengaku di depanku, sehingga aku lebih bangga jika bisa membunuhmu! Tapi aku ingin tahu, mengapa kau memihak Arum Kafan? Apakah karena dia cantik dan kau tertarik?!"

Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis berkesan sinis.

"Jika kau tertarik dengan perempuan itu, kau harus tahu, Pendekar Mabuk, bahwa perempuan itu adalah perempuan iblis yang tak pantas mendapat suami atau kekasih dari siapa pun! Kau akan mati dalam keadaan terhisap darahnya jika kau bercumbu dengannya! Dia adalah perempuan penghisap darah yang harus dilenyapkan! Sama seperti kakaknya yang bernama Dewi Taring Ayu!"

"Itu urusan dia, bukan urusanku! Aku menyelamatkan dia karena kau bertarung tidak dengan ksatria! Kau ingin menghancurkan orang yang telah terluka parah dan akan mati dengan sendirinya. Kedua, karena aku kenal namamu Tulang Neraka, maka aku ingat cerita yang dituturkan oleh para tamu di sebuah kedai tempat minum, bahwa Tulang Neraka adalah satu dari keempat bersaudara yang menamakan diri Empat Raja Sesat. Pekerjaan kalian merampok, memperkosa, mengganggu ketenangan orang lain, dan ingin menguasai rimba persilatan dengan mencari pengikut sebanyak- banyaknya. Kalian berempatlah yang membawa orang- orang untuk berjalan di tempat yang sesat."

"Ini urusan antar keluarga, Pendekar Mabuk! Kau tak bisa ikut campur dalam hal ini!" bantah Tulang Neraka.

"Memang, mungkin saja perkaramu dengan Arum Kafan adalah perkara urusan keluarga. Tapi pada saat ini aku berdiri sebagai sang pembela kebenaran, pembasmi kejahatan, dan pembantai manusia-manusia sesat seperti dirimu!"

"Lagakmu benar-benar seperti jagoan, Pendekar Mabuk!"
"Terima kasih atas pengakuanmu secara tak langsung!"
"Rupanya kau pantas mendapat pelajaran berat dariku! Hiaaah...!"

Serta-merta tangan kanan Tulang Neraka menyentak ke depan dengan curahan tenaga dalamnya. Dan dari tangan kanan itu melesatlah sinar biru bergumpal- gumpal bersamaan asap yang menebal. Sinar biru itu sebesar kepalan tangannya dan menghantam tubuh Suto Sinting. Tetapi oleh Pendekar Mabuk sinar itu ditangkisnya menggunakan bumbung tuaknya. Debb!

Wukkk... !

Sinar biru bercampur asap itu membalik arah, menjadi lebih cepat gerakannya, lebih besar bentuknya, dan menghantam dada ceking Tulang Neraka. Dan begitu melihat pukulan sinar birunya membalik ke arahnya, Tulang Neraka cepat melompat dalam satu kelebatan kilat. Tapi tetap saja terlambat sedikit.

Sebuah pohon di belakangnya terhantam sinar biru sebesar buah kelapa itu. Dan pecahlah sinar biru serta pohon itu menjadi serpihan-serpihan tajam. Blarrr...!

Sinar biru itu seperti kaca yang pecah dan pecahannya menerjang tubuh Tulang Neraka. Serpihan kaca itu masuk sebagian ke tubuh Tulang Neraka dan membuat tubuh itu segera menjadi hijau kebiru-biruan dengan mulut memuncratkan darah segar.

"Uhgg...!" Tulang Neraka terbungkuk-bungkuk dan sempoyongan. Sambil melelehkan darah dari mulutnya, ia memandang Suto Sinting dan berusaha menuding dengan mengucapkan kata,

"Awas...! Tunggu pembalasanku...!"

Suto tidak bergeming. Memandang dengan bibir tersungging senyum ketenangan. Ia membiarkan Tulang Neraka pergi meninggalkan tempat itu dengan gerakan secepat mungkin. Arum Kafan bangkit dan mengejarnya. Tapi kaki Pendekar Mabuk menjegal gerakan langkah Arum Kafan, sehingga perempuan itu jatuh tersungkur ke depan.

Gabrusss...!

"Monyet...!" rutuknya dengan geram dan gemas sekali.
"Biarkan dia pergi! Dia sudah terluka. Siapa tahu lukanya membuatnya jera untuk tidak melanjutkan perjalanan sesatnya lagi!"

Arum Kafam mendengus kesal sambil berdiri menatap Suto. Dengan nada ketus ia berkata,
"Kau terlalu banyak ikut campur dalam perkara ini!"
"Kalau aku tak ikut campur kau telah mati dari tadi!"

"Tapi Tulang Neraka pun akan mati juga bersamaku! Aku sudah siapkan senjata rahasia untuknya! Sayang kau datang dan mengacaukan urusanku dengannya!"

"Sudahlah, jangan marah padaku! Aku hanya ingin menyelamatkan nyawamu dari tangan orang sesat itu!"
"Aku tidak butuh seorang penyelamat!" Arum Kafan semakin geram.
"Tapi aku butuh orang seperti kamu, yang tahu tentang Kitab Lontar Gegana!"

Terkesiap mata Arum Kafan begitu Pendekar Mabuk menyebutkan nama Kitab Lontar Gegana. Berkerut dahi Suto, berkerut juga dahi Arum Kafan menatap pemuda tampan itu. Ia heran kepada Suto, sedangkan Suto curiga dengan sesuatu suara yang ditangkap oleh pendengarannya. Suara yang dicurigai itu ada di belakangnya. Suara itu seperti suara langkah orang menginjak rumput pelan-pelan.

Maka dengan kelebat cepat Pendekar Mabuk melepaskan pukulan tenaga dalamnya tanpa sinar dengan gerakan memutar balik dan menyentakkan tangan kirinya. Wuttt...! Brasss...! Semak-semak diterjang pukulan jarak jauh itu, dan seseorang melompat keluar dari sana sambil menyerukan pekik yang tertahan.

"Uuhg...!" Orang itu melompat bukan karena menghindar, tapi karena terpental oleh kekuatan pukulan jarak jauh Pendekar Mabuk. Orang itu sempat melayang dan jatuh di bawah gugusan tanah cadas setinggi tiga tombak itu. Breggh...!

Arum Kafan memandang dengan mata terbuka lebar dan mulutnya segera menyerukan suara, "Delima Ungu...?!"
"Siapa dia? Kudengar dia melangkah mendekati kita untuk mencuri dengar percakapan kita! Haruskah dia kulenyapkan juga?"

"Jangan! Dia adik bungsuku!" kata Arum Kafan. Lalu, tampak olehnya Suto menghembuskan napas lega, melepas ketegangannya. Arum Kafan pun segera menghampiri adik bungsunya, gadis muda yang punya tahi lalat di tepian sudut bibir bawahnya.

"Aih, gila! Yang itu cantik juga seperti Arum Kafan?!" gumam Pendekar Mabuk memuji kagum kecantikan kakak-beradik itu.

* * *2

TERNYATA Arum Kafan masih mempunyai satu adik lagi yang kecantikannya sukar dibandingkan dengan Delima Ungu. Ketika Suto diajak singgah ke rumah keluarga Arum Kafan di lembah sunyi itu, Suto Sinting sempat tertegun memandangi ketiga perempuan muda yang punya kecantikan sama, walau wajah tak terlalu persis serupa. Masing-masing mempunyai kelebihan dalam kecantikannya, sehingga sulit bagi seorang lelaki jika harus memilih satu di antara ketiganya. Bahkan mungkin bagi lelaki yang rakus, ia akan memilih ketiga-tiganya daripada harus memilih salah satu dengan bingung.

Adik Arum Kafan yang satu itu bernama Kembang Darah. Tentu saja nama itu adalah nama julukan yang mereka pilih sendiri dengan alasan masing-masing. Kembang Darah adalah adik Arum Kafan dan kakak dari Delima Ungu. Jika pakaian Delima Ungu berwarna ungu muda, dengan rambut lurus sepunggung memakai poni di depannya, mata bulat bening bak mata boneka, hidung bangir, dan kulit sawo matang, tapi tampak mulus. Maka pakaian Kembang Darah adalah warna merah darah. Rambutnya yang panjang dikepang satu. Di ujung kepangnya itu terikat pisau kecil yang amat tajam dan runcing. Rambut itu sering dililitkan di lehernya. Matanya sedikit lebar dan berbulu lentik. Kulitnya kuning langsat seperti kulit Arum Kafan. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, dua tahun lebih tua dari Delima Ungu, dan tiga tahun lebih muda dari Arum Kafan.

Suto sungguh tak menyangka kalau mereka tinggal di rumah besar berdinding rapuh dan sudah tua itu tanpa seorang ayah atau ibu. Rumah terpencil beratap tinggi itu kini kedatangan tamu pemuda tampan sedangkan penghuninya tiga gadis cantik.

"Kami masih mempunyai satu kakak lagi," kata Arum Kafan.
"Maksudmu, yang bernama Dewi Taring Ayu itu?" sela Suto.
"Dari mana kau tahu nama kakak kami? Apakah kau pernah bertemu dengannya?" tanya Kembang Darah.
"Belum," jawab Suto. "Tapi aku pernah mendengar Tulang Neraka menyebutkan nama itu."

"Oo...," Kembang Darah manggut-manggut. Matanya tak lepas memandang lembut pada Pendekar Mabuk. Demikian pula halnya dengan Delima Ungu, sejak tadi diam-diam tak berkedip memandangi Suto dari tempat duduknya yang menyudut, agak jauh dari kedua kakaknya.

Arum Kafan bersikap tenang, tidak setajam mata adik-adiknya dalam memandangi Suto. Hanya se sekali ia mencuri pandang ke arah wajah tampan Pendeka Mabuk. Setelah itu ia bersikap acuh tak acuh dengan ketampanan tersebut.

"Sengaja aku membawamu kemari, karena kau menyebutkan Kitab Lontar Gegana. Tahukah kau bahwa Kitab Lontar Gegana adalah kitab pusaka leluhur kami| yang telah lama hilang?"

"Aku tidak tahu soal hilangnya kitab itu. Yang kutahu, ada seseorang mengutusku untuk mencari kitab tersebut dan menyerahkannya kepadanya."

"Kalau boleh kutahu, siapa orang yang menyuruhmu itu?!" tanya Kembang Darah.

"Seseorang yang tak perlu kusebutkan namanya!" jawab Suto. "Kelak kalian sendiri yang akan kuantar untuk menemui orang itu, jika Kitab Lontar Gegana sudah ada di tangan kalian! Yang jelas, dia bukan di pihak musuh kalian, melainkan di pihak kalian sendiri! Dia bukan tokoh sesat, menurutku!"

Arum Kafan memandang Kembang Darah. Kembang Darah sendiri segara menatap Arum Kafan bagai saling bicara lewat pandangan mata. Sedangkan Delima Ungu masih diam saja, mengunci mulutnya rapat-rapat. Tapi matanya masih tertuju pada Suto Sinting dan menyembunyikan kekaguman.

"Apa kau tahu mengapa orang itu membutuhkan Kitab Lontar Gegana?" tanya Arum Kafan.

"Menurut penjelasannya, di dalam kitab itu ada catatan ilmu dan jurus maut yang harus segera dilenyapkan! Berbahaya sekali jika jurus itu dimiliki orang yang langkahnya sesat. Bahkan jurus itu, katanya, bisa menggiring orang benar untuk berbuat salah setelah menguasai jurus tersebut."

Kali ini Delima Ungu angkat bicara dan berkata, "Mungkin yang kau maksud adalah 'Kidung Mantera Gaib'?!"
Pandangan mata Suto tertuju pada Delima Ungu, dan Suto berkata,

"Aku tak tahu soal itu! Menurut orang yang menyuruhku, ada ilmu berbahaya di dalam kitab tersebut. Hanya itu yang kutahu."

Arum Kafan menjawab lirih, "Ya, kurasa memang 'Kidung Mantera Gaib' itulah yang dimaksud ilmu berbahaya. Tapi tidak semua orang bisa mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' itu! Bahkan mendiang kakekku, sampai ayahku sendiri tak bisa menyelesaikan jurus tersebut sampai saat meninggalnya. 'Kidung Mantera Gaib' hanya dimiliki oleh mendiang kakek buyutku yang bernama Ki Bayan Maruto, bergelar Manusia Tembus Raga. Setelah itu tak ada lagi pewarisnya yang mampu mempelajari jurus ilmu 'Kidung Mantera Gaib'."

Suto mengangguk-anggukkan kepala dan berkata seperti orang menggumam lirih, "Aku pernah mendengar nama itu...! Manusia Tembus Raga! Tepat seperti apa yang disebutkan oleh orang yang mengutusku ini!"

"Apakah orang yang mengutusmu itu kenal dengan kakek buyutku itu?" tanya Kembang Darah.
"Sangat kenal," jawab Suto dengan tersenyum.
"Jangan-jangan dari keluarga Nyai Pancung Layon!"

Suto berkerut dahi memandang Delima Ungu lagi yang baru saja memperdengarkan suaranya dari meja sudut itu.

"Siapa itu Nyai Pancung Layon?"

Arum Kafan yang menjawab, "Nyai Pancung Layon adalah nenek dari Tulang Neraka. Perempuan keji itu sebenarnya adalah kakak dari eyang kami, yaitu Eyang Panjar Pitu. Antara Eyang Panjar Pitu dan Nyai Pancung Layon sama-sama mempunyai ayah Manusia Tembus Raga. Kakak-beradik ini dari sejak kecil sudah saling bermusuhan dan tak pernah akur. Kemudian, Eyang Panjar Pitu mempunyai tiga anak lelaki, satu di antaranya adalah Ayah kami.

Dan Nyai Pancung Layon mempunyai anak lelaki dua orang. Kedua anak Nyai Pancung Layon membunuh kedua saudara Ayah kami. Tinggal Ayah kami yang masih hidup. Pada saat itu, Ayah mempelajari kitab pusaka dari gurunya sendiri, dan berhasil membunuh Nyai Pancung Layon dan kedua anaknya. Tapi salah satu anaknya Nyai Pancung Layon itu sudah sempat mempunyai keturunan empat orang, yaitu Tulang Neraka dan saudara-saudaranya. Sedangkan Ayah mempunyai anak kami berempat yang terdiri dari perempuan semua, sementara dari keluarga Tulang Neraka lelaki semua."

Kembang Darah menambahkan kata setelah Arum Kafan berhenti bicara,

"Dan kami selalu bermusuhan. Tulang Neraka dan saudara-saudaranya selalu berusaha membunuh kami berempat, karena mereka sangat sakit hati atas perlakukan Ayah kami yang menewaskan ayah, paman, dan nenek mereka itu!"

"Agaknya permusuhan ini sudah mulai reda, karena ketiga saudara Tulang Neraka berhasil kubunuh di tempat kita bertemu kemarin," kata Arum Kafan. "Itu pun setelah aku berhasil mempelajari jurus-jurus maut yang kuperoleh dari sebuah kitab kecil milik Ayah. Sekarang pun Kembang Darah dan Delima Ungu sedang kusarankan untuk mempelajari kitab kecil peninggalan Ayah itu. Jika jurus-jurusnya digabungkan, menjadi satu jurus baru yang punya kekuatan dahsyat."

Kembang Darah berkata lagi menyambung ucapan kakaknya, "Dan perlu kamu ketahui, Suto... bahwa sejak dulu antara keluargaku dengan keluarganya Tulang Neraka selalu mempermasalahkan tentang hilangnya Kitab Lontar Gegana itu! Kami saling tuduh terus, sampai sekarang belum ada yang tahu secara pasti, siapa yang mencuri atau menyembunyikan Kitab Lontar Gegana itu. Tuduhan demi tuduhan sering menyulut api pertempuran diwarnai dengan dendam leluhur di antara keluarga kami ini!"

Suto Sinting menghela napas. Ia meminum tuaknya bukan dari bumbung tuak, melainkan dari secangkir minuman yang disuguhkan oleh ketiga gadis cantik itu. Sementara itu, di luar rumah cahaya sore sudah mulai makin menua, sorot matahari kian tertutup cakrawala.

Ditambah lagi langit memang diselimuti mendung hitam yang menebal. Naga-naganya malam nanti akan turun hujan. Anginnya sudah hadir sejak tadi, berhembus kencang menyerupai anak badai. Bahkan semakin lama semakin kencang dan sang petir pun muncul sesekali. Menggelegar di langit hitam.

"Kusarankan menginapfah di sini," kata Arum Kafan. "Sebentar lagi lembah ini akan dilanda angin badai dan hujan lebat. Kalau kau pulang ataupun pergi dari sekarang, kau akan dihadang oleh badai dan hujan lebat di perjalanan! Jadi, seyogyanya bermalamlah di rumah kami."

Suto Sinting belum bisa menjawab karena hatinya masih bimbang. Ia hanya tersenyum lebar, seperti menelan rasa geli sendiri. Lalu, ia berkata sambil memegangi cangkir tuaknya,

"Di sini perempuan semua. Dan hanya aku satu- satunya lelaki yang ada di rumah ini, jika aku bermalam di sini!"

Kembang Darah yang tersenyum lebih dulu, kemudian disusul oleh senyum malu Arum Kafan. Senyuman ini dibuang ke arah lain dengan maksud disembunyikan dari pandangan Suto Sinting. Dan tiba- tiba Delima Ungu yang sejak tadi tak pernah memamerkan senyumannya, segera berkata,

"Rasa-rasanya, berbicara tentang Kitab Lontar Gegana tak cukup memakan waktu sehari saja. Perlu waktu sehari semalam, baru jelas duduk persoalannya tentang kitab pusaka itu dan silsilahnya! Tanpa mempelajari silsilah, kau tak akan berhasil melacak kitab tersebut."

Tiba-tiba mereka dikejutkan datangnya sebaris tawa dari kejauhan. Tawa seorang perempuan yang melengking tinggi menyeruak di antara deru angin badai kecil itu. Suara tawa tersebut mengubah wajah ketiga perempuan cantik itu menjadi tegang. Bahkan Kembang Darah segera meraih pedangnya yang digantungkan pada dinding, lalu disandangnya di punggung.

"Ada apa?!" tanya Suto terheran-heran.
"Si nenek bertanduk itu kemari!" ucap Delima Ungu dengan nada penuh ketegangan.
"Siapa nenek bertanduk itu?" Pendekar Mabuk makin bingung. Arum Kafan segera menjawab,
"Istri dari si Urat Iblis!"
"Ah, siapa pula Urat Iblis itu?" desak Suto.
"Kakak sulung dari Tulang Neraka!" jawab Kembang Darah.

"Ya. Nyai Tanduk Setan itu pasti ingin menuntut kematian suaminya yang kubunuh! Tulang Neraka pasti sudah menceritakan perihal kematian suaminya itu!"

Suara tawa itu makin terdengar jelas bagai jeritan kuntilanak di tengah deru angin membadai. Bahkan kini suaranya terdengar jelas,

"Arum Kafan, keluar kau! Kita selesaikan perhitungan kita berdua sesama wanita!"
"Biar aku yang keluar!" kata Kembang Darah.
"Aku saja!" Delima Ungu menukas.

"Tidak. Harus tetap aku yang menghadapi si Tanduk Setan itu!" kata Arum Kafan sambil bergegas mau membuka pintu. Tapi gerakannya ditahan oleh Delima Ungu yang memandang ketus dan berkata,

"Kita hadapi bertiga! Tanduk Setan lebih ganas dan lebih sakti dari suaminya maupun si Tulang Neraka! Kau bisa dikalahkan dengan mudah jika tidak kita hadapi bertiga!"

"Benar," sahut Kembang Darah. "Sebaiknya kita keluar bersama dan menghadapi mereka!"

Suto diam saja, memperhatikan keributan mereka bertiga. Lalu, terdengar sekali lagi Nyai Tanduk Setanberteriak keras, berkesan kasar dan liar,

"Arum Kafan! Keluar dan hadapilah aku! Jangan kau mencoba lari dari perhitunganku! Aku datang untuk menuntut balas atas kematian suamiku, yang habis kau perkosa lalu kau bunuh dengan keji!",

"Edan!" geram Arum Kafan masih di dalam rumah. "Pasti Tulang Neraka mengarang cerita yang berlebihan!"

"Jangan pedulikan apa yang dikatakan Tulang Neraka, yang jelas perempuan itu pun harus ikut dilenyapkan jika ia menuntut kematian suaminya yang sesat dan jahat itu!" kata Kembang Darah.

Brakk... !

Tiba-tiba pintu rumah jebol karena dihantam dengan pukulan jarak jauh oleh Nyai Tanduk Setan. Daun pintu itu terhempas ke dalam dengan keadaan pecah. Hampir saja mengenai tubuh Kembang Darah.

Melihat rumahnya sudah diawali diserang oleh Nyai Tanduk Setan, maka Delima Ungu segera melompat keluar dengan cepat tanpa menghiraukan kedua kakaknya yang masih ada di dalam. Wuttt...! Jlegg...! Ia tiba di depan Nyai Tanduk Setan sambil mencabut kedua kipas kembar yang menjadi senjata di tangan kanan- kirinya.

Kembang Darah pun cepat melompat keluar karena mencemaskan keadaan adiknya, disusul kemudian Arum Kafan yang segara melesat ke luar rumah tanpa menghiraukan Pendekar Mabuk yang masih sibuk meneguk tuaknya.

"Bagus! Ada baiknya kalian bertiga menghadapi aku, biar mampus secara serentak! Sayang sekali kakak sulung kalian tidak ikut keluar dari rumah itu! Suruh dia keluar sekalian!" kata Nyai Tanduk Setan.

Delima Ungu berkata dengan tegas bernada dingin "Hadapi aku dulu, si bungsu! Kalau kau bisa melangkahi mayatku, baru hadapi kakak-kakakku!"

"Hebat," gumam Suto Sinting mendengar ucapan Delima Ungu dari tempat duduknya. "Biar kecil dan muda, tapi nyalinya gede juga gadis itu!"

Pendekar Mabuk menampakkan diri, berdiri di ambang pintu yang jebol itu dengan sedikit bersandar pundaknya pada tepian kusen pintu. Ia memandang ke pelataran rumah tanpa pagar itu. Matanya sedikit menyipit ketika melihat Nyai Tanduk Setan. Ternyata menurut pandangan mata Suto, perempuan itu tak pantas di| panggil nenek, karena usianya masih belum tua. Sekitar empat puluh tahunan. Masih kelihatan cantik, bertubuh sekal dan padat. Dadanya terlihat montok dari balik pakaian pinjung sebatas dadanya yang berwarna hitam dengan jubah merahnya. Rambutnya diurai lepas, tampak ada dua tanduk kecil di kanan-kiri kepalanya. Ia berdiri dengan tegap tanpa membawa senjata di atas punggung atau di pinggang atau pula di tangannya. Bahkan tongkat pun tidak digenggamnya.

Ketika Suto Sinting muncul, mata perempuan beralis tebal itu menatap dengan ganas. Ada senyum tersungging di bibirnya. Senyum nakal yang menandakan kejalangan sikapnya terhadap lelaki.

"Rupanya kalian sedang asyik dengan pemuda simpanan itu?! Pantas aku harus menunggu di luar sampai beberapa saat! Hmm... boleh juga dia menjadi pengganti si Urat Iblis! Kurasa dia jauh lebih tampan lebih tegap, lebih perkasa, dan tentu lebih hangat dari si
Urat Iblis yang malang itu!"

"Dasar mulut perempuan liar!" geram Delima Ungu. Dengan cepat kakinya menjejak tanah dan tubuhnya melesat maju menyerang. Wutt...! Kipasnya dikibaskan ke mulut perempuan bertanduk pendek itu. Tapi dengan cepat tangan perempuan itu berkelebat menangkis pergelangan tangan Delima Ungu. Plakk...!

"Aaauh...!" Delima Ungu menjerit dengan mata terpejam. Ia segera mendapat tendangan kaki si Tanduk Setan. Sekalipun Delima Ungu masih sempat berkelit menghindari, namun hembusan angin dari kaki yang ditendangkan membuat Delima Ungu terpental dan berguling-guling di rerumputan pendek itu.

"Mundur kau, Delima!" sentak Arum Kafan.

Suto sedikit picingkan mata melihat tangan Delima Ungu menjadi bengkak dan membiru pada pergelangannya. Suto menyimpulkan, Nyai Tanduk Setan memang sangat berbahaya. Tangkisannya mampu membuat tangan lawan bisa patah atau putus sama sekali walau tidak memakai senjata tajam. Tangannya itu bisa mewakili sebagai tenaga baja, atau senjata tajam, atau gada besi sebesar pilar istana.

"Delima, masuklah dan minumlah tuakku ini!" kata Suto Sinting. Delima tertatih-tatih karena sekujur tubuhnya terasa lemas bagai tak bertulang lagi. Suto membantunya melangkah, dan sesampai di dalam tuaknya diberikan kepada Delima Ungu.

"Kalau hanya tuak, biar aku meminum dari tempat minumku sendiri!"

"Beda! Tuak dari dalam tabung ini punya khasiat penyembuhan. Percayalah! Kau terluka dalam, Delima! Akhirnya Delima Ungu mau meminum tuak dari tabung tuaknya Pendekar Mabuk. Beberapa saat kemudian, memang terasa ada perubahan pada rasa sakit yang mengelilingi pergelangan tangan sampai siku dan ketiaknya itu.

Di luar, Arum Kafan maju bersama Kembang Darah menyerang Nyai Tanduk Setan. Keduanya sama-sama lincah dan hati-hati dalam melakukan penyerangan terhadap lawannya. Tak satu pun ada yang berani menyentuh tubuh Nyai Tanduk Setan, karena mereka tahu sekujur tubuh perempuan itu mempunyai kekuatan tenaga dalam yang membahayakan jika sampai tersentuh.

Pedang di tangan Kembang Berdarah mempunyai gerigi pada setiap sisinya dari ujung sampai di gagang. Pedang itu ketika dikibaskan mengeluarkan sinar merah yang bagai meloncat keluar dari tepian pedang dan berusaha memenggal kepala Nyai Tanduk Setan. Tapi oleh perempuan berjubah merah itu, sinar tersebut dihadang dengan tangan terbuka, kemudian dari telapak tangan itu keluar sinar perak yang berukuran sama besar dan sama bentuknya dengan sinar merah tersebut., Kedua sinar bertemu, dan menimbulkan ledakan dahsyat. Blarrr...! Membuat Kembang Darah terpental akibat terhempas gelombang angin dari ledakan tersebut.

Sementara itu, Arum Kafan melompat tinggi-tinggi dan bersalto ke atas kepala Nyai Tanduk Setan. Begitu sampai di atas kepala, tubuh Arum Kafan menukik lurus ke bawah dengan pedang siap menancap di kepala Nyai Tanduk Setan.

"Hiaaat...!" pekiknya dengan penuh nafsu membunuh Tanduk Setan. Tapi ternyata hal itu tidak mudah.

Nyai Tanduk Setan mendongak ke atas, dengan merendahkan badan secepatnya ujung runcing pedang yang hendak menusuk kepalanya itu dihadang oleh telapak tangannya. Tapp...! Pedang itu tidak menancap, tapi tertahan oleh telapak tangan Nyai Tanduk Setan. Bahkan gerakan tubuh Arum Kafan menjadi kaku seketika, tak bergerak turun sedikit pun. Tetap menggenggam pedang yang ditusukkan itu.

"Kembang Darah...!" seru Arum Kafan dalam keadaan diam di udara. "Aku kena totok! Tak bisa bergerak lagi!"

Tiba-tiba ujung pedang yang ditahan dengan telapak tangan Nyai Tanduk Setan itu mulai menyala merah, membara bagai besi dipanggang api. Dan nyala merah membara itu bergerak sampai ke pertengahan mata pedang, lalu seluruh pedang itu menjadi merah membara, bahkan sampai pada pergelangan pedang antara mata pedang dengan gagangnya.

Suto melihat semacam kekuatan tenaga dalam pelebur jiwa sedang disalurkan oleh Nyai Tanduk Setan lewat telapak tangan yang menyangga ujung pedang, sekaligus menyangga tubuh Arum Kafan yang diam di udara itu. Tak lama lagi pasti kekuatan tenaga dalam itu akan membuat tubuh Arum Kafan bagai dilanda panas melebihi leburan baja.

Sementara itu, Kembang Darah baru saja bangkit tapi sudah jatuh lagi. Ia bagai tak memiliki tulang. Lemas dan tak berdaya. Napasnya tersengal-sengal sesak. Matanya menjadi semakin sayu. Ledakan tadi bukan hanya sekadar ledakan dua tenaga dalam yang beradu, melainkan juga ada kiriman tenaga dalam yang berbahaya dan dapat melumpuhkan semua urat saraf lawan. Nyai Tanduk Setan yang mengirimkannya tadi. Dan sekarang kekuatan tenaga dalam itu sedang berusaha membunuh lawan.

Melihat keadaan seperti itu, Pendekar Mabuk segera menyentilkan jari telunjuknya yang kukunya sudah menyala hijau membara itu. Sentilan jurus 'Jari Guntur' melesat mengenai ketiak Nyai Tanduk Setan yang sedang menahan pedang dengan telapak tangannya itu. Dess...! Sentilan tenaga dalam itu menyetakkan tubuh Nyai Tanduk Setan. Tangan penahan ujung pedang terangkat kaget. Akibatnya pedang itu terlepas dari tahanan telapak tangannya.

Brrukk...! Tubuh Arum Kafan jatuh bersama pedangnya yang menancap di tanah. Tapi pedang itu sudah tidak menyala merah lagi. Tubuh Arum Kafan sudah tidak tertotok lagi. Sedangkan tubuh Nyai Tanduk Setan tersentak mundur tiga tindak akibat terkena sentilan jarak jauh dari Suto Sinting itu.

Pada waktu itu, Delima Ungu sudah berada di samping Pendekar Mabuk dan melihat gerakan jari Pendekar Mabuk saat menyentil dari jarak jauh. Karena Delima Ungu ada di samping Suto, mata Nyai Tanduk Setan memandang ke arah Delima Ungu. Lalu ia menggeram dengan wajah semakin kelihatan ganas dan liar,

"Kau mau membokongku, Delima Ungu?! Hmm...! Kurasa kau memang harus dimusnahkan lebih dulu!" Telapak tangan Nyai Tanduk Setan menyodok lurus ke depan dalam posisi telapak tangan terbuka dan miring. Zuttt...! Clapp...! Seberkas sinar berbentuk semacam bintang berwarna biru tua itu melesat dengan cepatnya. Begitu cepat hingga Delima Ungu tak menangkap gerakan cahaya biru tersebut. Tapi karena di sampingnya ada Suto, maka Suto-lah yang bertindak menangkis sinar biru yang cepat melesat itu.

Trangng...! Sinar tersebut menghantam bumbung tuak, dan memantul balik dengan lebih cepat dan lebih besar lagi. Wosss...!

"Gila...!" sentak Nyai Tanduk Setan dengan mata melotot sebentar, kemudian berusaha menghindari sinar biru yang datang memantul balik itu. Ia melompat ke samping dengan cepatnya.

Duarrr...! Sinar itu menghantam sebuah pohon jauh di seberang sana yang membuat pohon itu hancur berkeping-keping. Pecahannya sampai ada yang jatuh di depan Pendekar Mabuk.

"Keparat kau, Bocah Ganteng...! Kau mau ikut campur masalah ini biar dianggap jago dan semakin dikagumi oleh mereka?! Hmm...! Tidak bisa! Kau harus kubunuh juga jika begitu!"

"Arum, mundurlah... biar kuhadapi dia!" Pendekar Mabuk selesai berkata begitu, segera lenyap dari samping Delima Ungu. Tahu-tahu pemuda tampan itu sudah berada di belakang Nyai Tanduk Setan.

"Hadapilah aku, Nyai Tanduk Setan!" kata Suto yang membuat perempuan bertanduk itu berpaling dengan kagetnya.
Serta-merta ia menggeram, kemudian melompat dengan cepat ke arah Suto Sinting. "Hiaaahhh...!"

Ia menyerang dengan menyodokkan kepalanya mengandalkan tanduk pendek yang tumpul itu untuk menyodok perut Pendekar Mabuk. Tetapi dengan cepat Pendekar Mabuk kelebatkan kakinya ke depan dan menendang kepala itu dengan tendangan bertenaga kuat, Wuttt... !

Plokkk... !

"Ahg...!" Nyai Tanduk Setan terdongak karena kepalanya bagian wajah bagai mendapat paksaan untuk mendongak melalui kaki yang menendang mengenainya itu.

Dengan menggunakan tangan kanannya, Pendekar Mabuk segera menggebukkan bumbung tuak ke dada Nyai Tanduk Setan. Buhgg...!

"Uuaahhg...!" Nyai Tanduk Setan tersentak kuat dengan suara tertahan. Ia langsung terkapar jatuh dengan kedua lutut melengkung ke dada serta wajah menyeringai menahan rasa sakit yang kuat. Mulutnya mulai memuntahkan darah kental dan hitam warnanya. Nyai Tanduk Setan terkejut dan menjadi cemas. Kemudian ia bergegas bangkit dan cepat-cepat pergi tanpa mengatakan sesuatu hal apa pun.

Pendekar Mabuk tersenyum tipis saat memandang pelarian Nyai Tanduk Setan. Sedangkan Arum Katai dan Delima Ungu hanya bisa memandang bengong. Secepat itu Nyai Tanduk Setan menjadi ketakutan dan itu berarti ia dikalahkan oleh Pendekar Mabuk. Kini, kedua perempuan itu sama-sama memandang Suto dengan dahi masing-masing berkerut dan hati masing-masing mengagumi kehebatan ilmu yang dimiliki Pendekar Mabuk.
* * *3
MANUSIA bertanduk itu rupanya terluka bagian dalamnya. Berhari-hari ia terkapar di tepi pantai. Ia tidak berdaya untuk mengangkat kepalanya. Sekujur tubuhnya telah memar membiru, sampai pada kuku-kukunya pun menjadi biru kehitam-hitaman. Tak ada bagian tubuh yang tak terasa sakit bila disentuh. Semacam bisul yang mau pecah, sekujur tubuh Tanduk Setan nyut-nyutan. Sakitnya bukan main. Bahkan terkena angin pantai pun terasa perih sekali.

Berhari-hari dia ada di sana. Sasarannya adalah sebuah pulau kecil yang sudah terlihat oleh mata, namun tak bisa terjangkau oleh keinginannya, yaitu keinginan untuk datang ke pulau kecil itu.

"Kalau saja ada orang lewat, mungkin aku bisa minta tolong untuk mengantarkan ke pulau itu!" pikir Nyai Tanduk Setan dengan sedihnya.

Harapan adanya orang itu ternyata terkabul. Itu terjadi setelah beberapa saat lamanya ia berpikir seperti tadi. Orang yang lewat itu sayangnya adalah anak kecil, berusia sekitar sebelas tahun. Bocah itu berlari-lari dengan sangat tegangnya. Sepertinya ada seseorang yang mengejar bocah itu. Tanpa melihat adanya Nyai Tanduk Setan yang terkapar di pasir pantai, di bawah sebuah pohon kelapa lengkung, bocah itu berusaha bersembunyi dari pelariannya. Ia segera naik ke atas pohon kelapa lengkung itu dan dalam waktu cepat sudah bisa mencapai bagian atas pelepah daun kelapa. Ia bersembunyi di sana. Menghindar dari pengejaran yang belum terlihat siapa pengejarnya itu.

Tetapi celakanya, bocah itu tanpa sengaja menginjak buah kelapa yang sudah memerah. Kelapa itu jatuh dengan cepat dan menimpa perut Nyai Tanduk Setan. Behgg... !

"Uaaaoww...!" teriak Nyai Tanduk Setan. Jeritannya itu sungguh keras. Karena ibarat bisul yang dijaga rapi- rapi jangan sampai terbentur benda keras, sekarang malahan kejatuhan kelapa dari suatu ketinggian. Kelapa keras dan berbentuk besar. Sungguh merupakan siksaan yang amat menyakitkan bagi Nyai Tanduk Setan.

"Dasar bocah monyet...!" umpatnya dengan menahan sakit yang tak bisa diatasi lagi itu. Dari kulitnya yang memar biru empuk itu keluar semacam darah kotor yang berbau busuk akibat ketiban kelapa tadi. Terutama bagian pusarnya, merembeskan cairan merah kehitam- hitaman. Nyai Tanduk Setan rasa-rasanya ingin menangis, rasa-rasanya ingin mencekik leher bocah itu sampai mati.

Sedangkan sang bocah yang tidak memandang ke bawah itu segara tersenyum begitu mendengar teriakan suara orang. Ia berpikir,
"Pasti ibu tiriku jatuh ke lubang jebakan yang dibuat almarhum Ayah dulu. Pasti tubuhnya tertancap bambu- bambu runcing di dalam lubang tersebut. Hmm...! Rasakan! Jadi ibu tiri kalau jahat ya begitu nasibnya! Sebaiknya aku turun dan melihat seperti apa wujud ibu titiku saat ini...!"
Tass...! Kakinya menjejak buah kelapa, ia hampir jatuh karena kelapa itu lepas dari rangkainya, bahkan bergandengan dua buah. Kelapa hitam kering itu akhirnya meluncur kembali jatuh ke bawah dan menimpa kepala dan dada Nyai Tanduk Setan. Prokk... !

"Uuaaaoow...!" teriaknya lagi sangat kesakitan. Kali ini rasanya lebih sakit dari kejatuhan kelapa yang pertama. Wajahnya jadi sasaran, juga bagian dadanya yang nyut-nyutan itu. Keadaan tubuh yang terkena angin pantai saja sakit, apalagi harus kejatuhan benda keras seperti itu. Tentu saja kemarahan di dadanya semakin menyala-nyala dan ia paksakan diri untuk berseru, "Kuremukkan kepalamu, Bocah Setaaan...!"

Bocah itu kaget setelah tahu ada orang dalam keadaan terluka parah di bawah pohon kelapa yang dipanjatnya. Bocah itu terbelalak matanya dan segera mengerti bahwa yang berteriak tadi bukan suara ibu tirinya, melainkan suara orang yang terkapar kejatuhan kelapa dari atas itu.

"Wah, kalau begitu ibu tiriku belum mati! Aku harus lari lagi! Jangan bersembunyi di sini, sebab orang yang kejatuhan kelapa itu bisa memberitahukan tempatku bersembunyi...!"

Maka bocah tersebut segera berlari lagi meninggalkan tempat itu. Sementara Nyai Tanduk Setan masih terengah-engah dengan sangat menyedihkan. Telinganya mengeluarkan bau busuk akibat cairan hitam yang meleleh. Juga hidungnya yang tadi membiru bengkak itu sekarang menjadi melesak ke dalam dengan keadaan memuncratkan darah merah kehitam-hitaman yang berbau busuk.

Kejap berikutnya, lewatlah seorang perempuan berambut digulung ke atas dengan kebaya merah lusuh dan kain separo betis. Perempuan separo baya itu berlari- lari dengan kebingungan. Rupanya dia adalah ibu tiri dari bocah yang menjatuhkan kelapa tadi.

Melihat ada orang terkapar dalam keadaan busuk dan menjijikkan itu, perempuan berkebaya merah itu memekik kaget dan ketakutan. Kemudian ia memandanginya dengan jantung berdetak-detak dan sedikit demi sedikit mulai tenang setelah mengetahui orang itu masih hidup, masih bisa menggerakkan kepalanya miring ke kiri dengan sangat pelan sekali. Lalu, perempuan itu mendengar Nyai Tanduk Setan berkata dengan suara lirih,

"Tolong... tolonglah aku...."

Sambil menutup hidungnya, perempuan berkebaya merah itu mendekat. Semakin dekat, semakin jelas suara yang didengarnya,

"Tolonglah... aku...!"
"Ap... apa yang harus kulakukan untuk menolongmu?"
"Pergilah ke... ke pulau itu, dan beri tahu saudaraku agar datang kemari menolongku!"
"Ke pulau mana...?"

"Pulau kecil itu... yang kelihatan dari sini! Temui seseorang yang bernama Tulang Neraka, dan katakan bawah aku si Tanduk Setan, dalam keadaan terluka di sini, minta dibawa ke pulau itu!"

'Maksudmu, aku harus pergi ke Pulau Dedemit itu? Oh, tidak! Aku tidak mau! Aku masih ingin hidup! Kalau aku pergi ke Pulau Dedemit, maka nyawaku akan hilang, dan jasadku tak akan ditemukan lagi, seperti yang dialami beberapa korban yang sudah-sudah!"

"Seb... sebut namaku di sana... tak akan ada yang mengganggumu!"

Perempuan itu geleng-geleng kepala sambil melangkah mundur dengan penuh ketakutan. Tanduk Setan waswas, takut perempuan itu pergi meninggalkannya sehingga ia tak bisa membujuknya.

"Tolonglah... nanti akan kuberi upah cukup banyak untukmu!"
"Sebanyak upah berapa pun aku tak akan mau di datang ke pulau itu! Aku tak mau mati! Biar aku janda tapi aku masih belum puas menikmati keindahan hidup mesra dengan lelaki, jadi aku tak mau mati terburu-buru! Maaf, aku tak bisa membantumu!"

"Hei, tunggu... tunggu dulu! Aku punya sesuatu untukmu!"
"Tidak! Tidak mau...!"

Akhirnya perempuan itu melarikan diri pulang ke rumahnya, tak mau menolong Nyai Tanduk Setan, tak jadi mencari anak tirinya. Ia sangat ketakutan bila membayangkan Pulau Dedemit yang dari pantai itu tampak kecil.

Apa sebenarnya yang terjadi di Pulau Dedemit itu sehingga perempuan berkebaya merah tadi sangat ketakutan? Pulau itu memang kecil, berhutan tak terlalu lebat, binatang buas tak ada. Tapi manusia buas ada di sana. Manusia buas itu dulu dikenal dengan nama Peri Pulau Dedemit, yaitu seorang perempuan yang gemar memakan daging manusia. Tapi konon, Peri Pulau Dedemit itu sudah dikalahkan oleh Empat Raja Sesat, satu di antaranya adalah Tulang Neraka. Kabarnya, Peri Pulau Dedemit itu sudah mati. Tapi ada pula yang bilang, Peri Pulau Dedemit itu sudah pergi dan menghilang entah ke mana.

Semua kabar tak jelas. Bahkan termasuk kabar Peri Pulau Dedemit yang gemar makan daging manusia, itu juga belum jelas kebenarannya. Karena, yang mereka tahu setiap nelayan yang singgah ke Pulau Dedemit selalu tak pernah kembali selama-lamanya. Apakah dimakan, atau dikubur, atau bagaimana, tak ada jawaban pasti selain dugaan-dugaan ngeri saja. Karena tak pernah ada orang yang bisa keluar dari pulau itu setelah masuk di kedalaman hutannya.

Hanya Empat Raja Sesat itulah yang bisa keluar masuk pulau kecil tersebut. Itu pun tanpa diketahui oleh satu orang pun penduduk di sekitar pantai tersebut.

Tapi ketika perempuan berkebaya merah itu mendengar nama Tulang Neraka, dan disuruh memanggilkan nama itu di Pulau Dedemit, maka tersebarlah kabar bahwa Pulau Dedemit dihuni oleh seseorang yang bernama Tulang Neraka. Apa yang dilakukan oleh Tulang Neraka di sana, tak ada yang tahu. Kalau saja perempuan berkebaya merah itu mau datang ke sana, sudah pasti dia akan mengerti apa yang terjadi sebenarnya di Pulau Dedemit itu, dan sudah pasti pula dia merupakan satu-satunya manusia yang bisa lolos dengan selamat dari Pulau Dedemit tersebut.

Sayangnya ia tidak mau datang, justru malah menyebarkan berita tentang adanya manusia busuk di pinggir pantai. Maka, berbondong-bondong masyarakat desa nelayan itu menghampiri tempat terdapatnya manusia berbau busuk itu. Jumlah mereka lebih dari sepuluh orang. Mulanya mereka hanya ingin melihat dan bilamana perlu menolong, tapi tiba-tiba hati mereka menjadi geram setelah salah seorang berkata,

"O, dia si Tanduk Setan yang sering mencuri bayi tak berdosa itu!"

"Wah, benar! Dia bayi setan, eh... dia pencuri bayi yang berjuluk Nyai Tanduk Setan! Kalau begitu, habisi saja dia selagi sekarat!"

Tanpa banyak berembuk lagi, akhirnya rombongan penduduk desa yang sudah menaruh dendam dan kebencian cukup lama kepada Tanduk Setan itu, beramai-ramai menyerang Tanduk Setan. Keadaan Tanduk Setan yang tidak berdaya merupakan peluang emas bagi para orang tua yang bayinya pernah dicuri dan sampai sekarang tak pernah kembali itu. Maka, nasib Nyai Tanduk Setan yang sakti itu habis di tangan penduduk desa. Tubuhnya tak berbentuk lagi akibat amukan mereka yang membabi buta.

Sisa-sisa potongan tubuhnya dilemparkan oleh mereka ke laut sebagai umpan makanan ikan-ikan ganas. Tetapi tak satu pun dari mereka yang menyangka bahwa sisa-sisa potongan tubuh Nyai Tanduk Setan itu tidak digemari oleh ikan, karena berbau busuk. Akhirnya, sisa- sisa potongan tubuh Nyai Tanduk Setan itu terbawa ombak dan terdampar di pantai Pulau Dedemit.! Terutama bagian kepala, kaki kanan, dan telapak tangan kirinya, jelas-jelas tergeletak di pantai berpasir putih kehitam-hitaman itu.

Seorang lelaki berusia muda, sekitar dua puluh delapan tahun, bertubuh pendek, berpakaian serba hitam, menemukan potongan anggota tubuh Nyai Tanduk Setan. Ia segera merangkumnya dan membawanya ke suatu tempat, memasuki kedalaman hutan pulau tersebut. Mendaki ke sebuah tebing cadas bertanaman lumut dan rumput.

Kemudian, beberapa saat setelah melakukan perjalanan dari pantai, tibalah dia di sebuah gua yang mulut atau pintunya tidak terlalu lebar. Ia masuk ke gua itu sambil menenteng potongan anggota tubuh Nyai Tanduk Setan. Dilihatnya, seorang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun masih duduk di atas sebuah batu, bersila dengan mulutnya berkomat-kamit, matanya terpejam rapat. Lelaki itu bertubuh kurus kering dan ceking, wajahnya pucat berkesan angker. Rambutnya tipis panjang tak beraturan, jubahnya abu-abu tanpa mengenakan baju dalaman. Siapa lagi dia kalau bukan si Tulang Neraka.

Beberapa saat lamanya, pemuda berwajah amburadul, karena terdapat banyak codet bekas luka bacokan itu, diam berdiri tak jauh dari depan Tulang Neraka. Sampai pada akhirnya Tulang Neraka membuka matanya pelan- pelan, lalu menatapnya dengan mata berkesan dingin.

"Ada apa, Dogol...?!" tanyanya pelan kepada pemuda berwajah rusak dan yang ternyata bernama Dogol itu.
"Saya menemukan benda-benda ini di pantai, Guru," jawab Dogol yang ternyata murid dari Tulang Neraka.

Mata lelaki ceking itu terkesiap dan berdebar hatinya melihat 'barang-barang' bawaan Dogol. Wajahnya mulai tampak semakin pucat. Dogol tahu, jika wajah gurunya semakin pucat, itu pertanda Tulang Neraka mulai memuncak kemarahannya.

"Siapa yang melakukan hal ini?!"
"Saya tidak tahu, Guru! Saya hanya menemukannya di pantai!"
"Keparat!" geram Tulang Neraka. "Kau tahu kepala siapa itu?"
"Saya tahu, Guru! Ini kepala Nyai Tanduk Setan, bekas istri Paman Guru Urat Iblis!"
"Benar! Dan kau bisa menduga siapa yang membunuhnya?"
"Tidak bisa, Guru! Karena saya tidak ikut serta dalam pembunuhan itu, Guru!"

"Goblok! Siapa lagi yang membunuhnya kalau bukan keluarga si Arum Kafan dan adik-adiknya! Tempo hari kukabarkan kematian suaminya dan dia mengamuk, menuntut balas kematian suaminya, lalu menyerang ke rumah kediaman keluarga Arum Kafan! Rupanya Arum Kafan sekarang memang punya kesaktian yang tinggi. Nyai Tanduk Setan yang menjadi tokoh tua dalam dunia persilatan ini, yang usia sebenarnya sudah mencapai seratus delapan puluh tahun itu, ternyata masih bisa dikalahkan oleh mereka! Mengenaskan sekali! Tapi juga membuatku semakin bernafsu untuk membantai habis keturunan si Panjar Pitu tanpa ampun lagi! Tapi mereka harus menunggu.... Ya, menunggu sampai kuselesaikan pelajaran ini untuk melakukan pembalasan! Tanpa kuselesaikan pelajaran ini, tak mungkin aku bisa mengalahkan mereka."

"Apakah saya perlu maju, Guru?!" sela Dogol, yang sebenarnya adalah pengikut Empat Raja Sesat itu, dan berharap mendapatkan ilmu dari Empat Raja Sesat, namun hanya beberapa ilmu saja yang ia peroleh dari Tulang Neraka. Karena itu ia menganggap Tulang Neraka itulah gurunya.

"Dogol, kalau kau mau menyerang ke keluarga Panjar Pitu, kau akan mati sia-sia! Kau tak akan mampu menandingi kesaktian ilmu mereka. Tetapi kutugaskan padamu untuk menaburkan racun ganas di mata air yang mengalir melewati kediaman keluarga Arum Kafan itu. Karena di sana ada sungai bening yang airnya sering dipakai untuk minum atau memasak oleh keluarga Arum Kafan! Nah, jika racun itu kau sebar melalui mata airnya, maka apa yang diminum dan dimasak memakai air itu akan membuat mereka mati lemas sedikit demi sedikit. Tiba giliranku menyerang, maka aku akan lebih kuat daripada mereka!"

"Baik, Guru! Akan saya kerjakan tugas itu! Saya berangkat sekarang juga, Guru!" ucapnya dengan lugu dan polos.
"Berangkatlah dan hati-hati! Jangan sampai ada yang melihatmu saat menaburkan racun di mata air itu!"
"Baik, Guru!" sekali lagi Dogol menjawab dengan luara tegas, menampakkan kepatuhannya.

*
* *
MENYUSURI sungai bening merupakan salah satu dari beberapa kegemaran Suto Sinting. Pendekar Mabuk sangat menyukai dengan kebeningan, terlebih kebeningan yang mengandung ketenangan. Karena jiwanya senantiasa merindukan sebentuk kehidupan yang tenang, damai, dan menyegarkan di antara sesama.

Tetapi kali ini Suto menyusuri sungai bening bukan dengan maksud semata-mata ingin menikmati kegemarannya saja, melainkan punya tujuan tertentu, yaitu mencari pondok Ki Darma Paksi. Karena setelah Suto menginap beberapa saat di rumah keluarga Arum Kafan itu, percakapan mengenai hilangnya Kitab Lontar Gegana menarik perhatiannya. Dari pembicaraan ke pembicaraan, akhirnya Suto Sinting menemukan langkah awal untuk melacak jejak hilangnya kitab pusaka itu.

Langkah itu diawali dari menemui Ki Darma Paksi yang pondoknya berada di tepian sungai bening tersebut. Sungai berair bening itulah yang mengalir di samping tempat tinggal tiga gadis cantik itu. Ki Darma Paksi adalah bekas pelayan Eyang Panjar Pitu. Diduga Ki Darma Paksi mengetahui ke mana larinya kitab pusaka tersebut. Semasa hidupnya Eyang Panjar Pitu, satu- satunya orang yang dipercaya untuk membersihkan kamarnya adalah Ki Darma Paksi. Dia dikenal sebagai orang jujur yang tak pernah bisa berbohong selama hidupnya.Jika Suto beruntung, maka ia akan menemukan Ki Darma Paksi. Tapi jika tidak beruntung, maka ia hanya akan menemukan kuburannya saja. Menurut keterangan Arum Kafan, ia masih sempat bertemu dengan Ki Darma Paksi ketika ia berusia tujuh tahun, Kembang Darah masih berusia empat tahun dan Delima Ungu masih berusia dua tahun. Hanya Arum Kafan yang masih ingat samar-samar tentang Ki Darma Paksi itu.

Ciri-ciri yang diberikan oleh Arum Kafan, bahwa Ki Darma Paksi bertubuh kurus dan jangkung. Matanya cacat satu yang sebelah kiri. Selamanya ia tak pernah mengenakan ikat kepala. Bicaranya lembut, kalem, sering bertele-tele karena selalu berupaya mencapai keindahan dalam bicaranya, agar orang lain terkesan dengan keindahan tutur katanya.

Tentang pondok Ki Darma Paksi, Arum Kafan tak bisa memberi ciri-cirinya, karena selama ini ia tak pernah datang bersinggah ke pondok Ki Darma Paksi. Kabar terakhir yang didengar Arum Kafan sewaktu ia berusia enam belas tahun, bahwa Ki Darma Paksi sekarang menjadi seorang peramal sakti yang jarang muncul di permukaan bumi. Tentang benar dan tidaknya kabar itu, Arum Kafan tak bisa memastikan.

Pendekar Mabuk tiba-tiba menghentikan langkahnya. Bukan karena mendapat serangan dari musuh, atau terhadap seseorang, tapi karena ia tertarik dengan pemandangan di dalam air sungai yang bening itu.

Seekor ikan berenang ke sana kemari di sela-sela rombongan ikan bersisik perak. Tetapi ikan yang satu itu sungguh menarik perhatian Suto, karena ikan itu tidak mempunyai kulit dan daging sedikit pun. Ikan itu hanya berupa tulang berduri dengan kepala warna perak. Untuk bagian kepalanya, ikan itu mempunyai kulit dan daging, tapi untuk bagian tubuhnya sampai pada ekor, tak ada kulit dan daging sedikit pun. Ikan itu besarnya seukuran telapak tangan dan gerakannya cukup gesit. Suto sangat suka melihat gerak-gerik ikan aneh itu, sehingga ia tak mau mengganggu kehidupan sang ikan sedikit pun.

Tiba-tiba terdengar suara di belakang Suto yang mengatakan,

"Sepat Dewata...!"

Suto berbalik, orang tua yang bicara itu menyunggingkan senyum dan melanjutkan kata-katanya, "Itu namanya ikan Sepat Dewata. Bukan ia tak memiliki kulit dan daging, tapi ia memiliki kulit dan daging yang tembus pandang seperti kaca! Hanya ada beberapa ekor saja yang masih hidup. Sisanya telah mati dimakan usia, dirusak kehidupan manusia, atau dimakan oleh hewan lainnya. Kadang kita merasakan duka jika ingat akan kematiannya, tapi kadang mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa, bahwa sebagian dari mereka masih ada yang tersisa dan hidup dalam kebebasan habitatnya."

Indah sekali tutur kata orang tua itu. Segera Pendekar Mabuk dapat mengenali si orang tua setelah memperhatikan mata kirinya yang lengket kelopaknya. Mata kiri yang cacat dan tak bisa dipakai untuk melihat itu sudah pasti milik Ki Darma Paksi. Maka, Suto pun menyapa dengan penuh kesopanan dan hormat, "Apakah Bapak yang bernama Ki Darma Paksi?"

"Orang cerdas yang mampu melihat dengan benar tak dapat dikelabui oleh siapa pun. Dan kurasa kau memang orang cerdas yang bisa mengetahui namaku, Anak Muda."

Suto Sinting merasa lega. Ternyata apa yang dikatakan Arum Kafan memang benar, bahwa Ki Darma Pajcsi jika bicara seperti orang yang bertele-tele hanya untuk menemukan keindahan dalam tutur katanya. Suto menyunggingkan senyum lebar kepada orang berjubah biru dan berpakaian dalam abu-abu, rambutnya panjang selewat punggung berwarna putih rata yang halus dan lembut. Kumis dan jenggotnya pun panjang dan berwarna putih halus dan lembut. Ia seorang yang punya tinggi badan cukup jangkung, sehingga dalam bicara agak sedikit membungkuk. Tapi badannya yang kurus itu masih terlihat kekar, gerakan tangannya masih tegas, dan berdirinya masih kokoh, walau menurut Arum Kafan usia Ki Darma Paksi diperkirakan sekitar delapan puluh tahun lebih. Tapi orang tua itu masih kelihatan gagah.

"Kalau boleh kutahu untuk menambah perbendaharaan nama dalam ingatan tuaku, siapakah namamu, Anak Muda?"
"Nama saya Suto Sinting, Ki Darma Paksi."

"Suto Sinting?" gumamnya sambil melangkah pelan- pelan menyusuri tepian sungai itu, dan Pendekar Mabuk mengikuti langkahnya.

Dengan tutur kata yang lembut dan berkesan sabar serta bijak itu, Ki Darma Paksi memperdengarkan
suaranya lagi,

"Kalau tidak salah ingatan tuaku yang sudah hampir berkarat ini, seseorang yang mempunyai nama Suto cukuplah banyak di permukaan bumi ini. Tapi hanya seorang yang bergelar megah sebagai Pendekar Mabuk, itulah yang mempunyai nama lengkap Suto Sinting."

"Benar, Ki Darma Paksi! Sayalah yang bergelar Pendekar Mabuk!"

Ki Darma Paksi memandang sambil tersenyum dan tertawa dalam gumam. Kemudian langkahnya tetap pelan dan pandangan matanya terlempar ke depan dengan teduhnya.

"Aku mempunyai sebuah ingatan mengenai nama Suto Sinting itu, bahwasanya terlahir sebagai seorang pendekar gagah berani dan sakti dari tangan seorang berjiwa putih bagaikan bunga-bunga salju di pelataran bumi utara, dan orang itu mempunyai nama harum yang sempat mengguncangkan dunia persilatan pada puluhan tahun yang lalu. Orang itu tak lain adalah si Gila Tuak yang punya nama asli Sabawana. Barangkali dugaanku, tak terlalu meleset jauh, bahwa kau adalah murid si Gila Tuak yang terhormat itu, Suto Sinting!"

"Tidak salah, Ki Darma Paksi! Saya adalah murid si Gila Tuak."

"Jujurnya hatimu membuat damai di dalam darahku, Suto. Datangnya dirimu membuat hangat di setiap pernapasanku, Pendekar Mabuk. Luangkan waktumu untuk singgah di pondokku yang hina itu, Suto Sinting!" sambil tangannya menunjuk ke arah sebuah pondok
yang tak seberapa jauh dari tempat mereka melangkah.

Pondok itu sangat sederhana. Dibangun dengan bebatuan kali tanpa diratakan permukaan dindingnya. Tersusun kokoh bebatuan itu, membentuk sebuah rumah sedikit besar namun beratap tinggi. Pondok itu dikelilingi oleh pagar sebatas tinggi dada manusia dewasa dan juga terbuat dari susunan batu kali tanpa diratakan sisinya. Mempunyai sebuah pintu gerbang setinggi tiga tombak dan beratap kecil. Untuk masuk ke halaman pondok itu sebenarnya seseorang bisa saja melompati pagar rendah tersebut, tanpa harus memutar jalan melewati pintu gerbang yang tak pernah ditutup dalam arti dikunci. Tetapi dari situlah sikap dan niat seseorang dapat diketahui oleh Ki Darma Paksi.

Hanya seorang berniat jelek atau berjiwa tak baik saja yang datang bertamu dengan melompati pagar, tanpa melewati pintu gerbang itu. Terhadap orang yang datangnya melompati pagar, Ki Darma Paksi sudah bersiap untuk waspada dan berhati-hati. Jika orang itu mengaku masuk lewat pintu gerbang, Ki Darma Paksi bisa mengetahui bahwa pengakuan itu adalah palsu. Karena setiap orang yang lewat pintu gerbang pasti mempunyai tanda. Pintu berdaun dua itu jika dibuka mempunyai tanda berbunyinya logam-logam yang merentang di balik pintu. Gemerincingnya logam-logam yang menggema panjang itulah tanda bahwa seseorang datang melalui pintu gerbang.

Demikian pula ketika Ki Darma Paksi membawa masuk Suto melalui pintu gerbang, maka terdengarlah suara gemerincing yang bening dan panjang gemanya. Pintu itu menutup balik sendiri dengan hanya dilepaskan karena mempunyai engsel penarik yang lentur.

Ki Darma Paksi mempersilakan Suto untuk duduk di ruang tamu, yang berupa panggung setinggi betis dilapisi dengan permadani tebal yang berwarna hijau muda. Di sana Suto duduk bersila sama seperti Ki Darma Paksi. Mereka duduk berhadapan arah. Bumbung tuak diletakkan oleh Suto di sampingnya. Sementara itu, Ki Darma Paksi menyuruh pelayannya yang bertubuh pendek dan bungkuk untuk menyiapkan sepoci arak buat tamunya.

"Setelah kuperhatikan sejak tadi," kata Ki Darma Paksi, "Aku tak bisa menahan diri untuk menanyakan tentang bagaimana kabar gurumu si Gila Tuak itu, Suto Sinting."

"Berkat doa kita bersama, Eyang Guru masih dalam keadaan sehat dan senantiasa dalam lindungan Hyang Widi, Ki Darma Paksi."

"Syukurlah bila keadaan Ki Sabawana begitu. Tenteram hatiku mendengar ucapan muridnya yang membawa kesejukan tersendiri untuk masa tuaku ini. Lalu, bagaimana kalau kutanyakan kabar seseorang, apakah kau mau menjawabnya, Pendekar Mabuk?"

"Kabar siapa maksud, Ki Darma Paksi?"

"Seseorang yang jauh di sana dalam penantian yang tabah dan panjang sabar. Tentunya kau tidak asing lagi dengan sebuah nama yang punya nilai keindahan dan keabadian di dalam hatimu, yaitu Dyah Sariningrum yang bergelar Gusti Mahkota Sejati, Ratu Puri Gerbang Surgawi di alam nyata ini?"

Terkejut Pendekar Mabuk mendengar nama itu disebutkan secara lengkap. Benar-benar terkejut dia dan tak menyangka sama sekali pembicaraan akan lari ke arah itu. Dan keterkejutan itu ditertawakan oleh Ki Darma Paksi, sehingga Suto menjadi tersipu menahan rasa malu.

"Dyah Sariningrum dalam keadaan baik-baik saja, Ki Darma Paksi. Sama seperti keadaan Ki Sabawana atau Guru saya si Gila Tuak itu!"

"Bersyukur kembali hati tuaku yang sudah renta menanti ajal ini, Suto Sinting. Ada damai yang memercik dari jawabanmu, ada kesejukan tersendiri di lubuk kalbuku mendengar kekasihmu dalam keadaan baik-baik saja."

"Tapi kalau boleh saya tahu, dari mana Ki Darma Paksi mengetahui nama itu dan hubungannya dengan diriku?"

"Noda merah di keningmu kulihat jelas tanpa harus kuraba, Suto. Noda merah itu adalah pemberian Gusti Ratu Kartika Wangi, ratu negeri Puri Gerbang Surgawi di alam gaib yang sungguh arif dan bijaksana itu. Noda merah di keningmu, Anak Muda, telah bicara banyak pada hati nuraniku mengenai rentetan kehidupanmu yang penuh tantangan itu."

Pendekar Mabuk manggut-manggut dalam gumamnya yang lirih. Rupanya Ki Darma Paksi melihat noda merah di kening Suto yang tak bisa dilihat oleh sembarang orang, kecuali orang berilmu tinggi yang berada di jalur kehidupan putih, alias bukan orang sesat. Mengenai tanda merah di kening Suto Sinting, memang benar pemberian dari Gusti Ratu Kartika Wangi sebagai penghormatan tinggi yang dapat membuat Suto masuk ke alam gaib sewaktu-waktu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").

"Atas pertimbangan hati nuraniku pun seyogya kutanyakan maksud kedatanganmu kemari, Suto. Barangkali kau tak punya keberatan untuk menuturkannya sebentar. Karena kulihat kedatanganmu bukanlah mata-mata ingin melihat ikan Sepat Dewata tadi, namun mempunyai maksud-maksud tertentu yang amat penting bagi kejelasan hatimu."

Singkatnya, Ki Darma Paksi menanyakan maksud kedatangan Suto. Dan karena Suto sudah paham dengan maksud pertanyaan itu, maka ia pun segera memberi jawaban sebagaimana mestinya.

"Saya ingin melacak hilangnya Kitab Lontar Gegana itu, Ki! Sebab menurut Arum Kafan, cucu dari Eyang Panjar Pitu, Ki Darma bisa menolong saya untuk mencari jejak hilangnya Kitab Lontar Gegana, yang menjadi kitab pusaka keluarga Eyang Panjar Pitu."

"Sejujurnya kukatakan, di dalam kitab itu ada jurus yang membahayakan dan bisa membuat orang lurus menjadi sesat, orang sesat menjadi laknat. Barangkali atas dasar ingin memusnahkan salah satu bagian dari kitab tersebut, maka kau diutus untuk mencari hilangnya Kitab Lontar Gegana."

"Betul, Ki Darma. Bisakah Ki Darma Paksi menolong saya?"

"Tak mampu aku menjawab tidak, karena aku punya sedikit pengetahuan tentang kitab itu. Dan tak mampu kujawab bisa, karena aku memang tak mengerti ke mana larinya kitab itu sebenarnya. Tetapi setahuku kitab tersebut hilang sebelum Arum Kafan dan saudara- saudaranya lahir dan Nyai Pancung Layon sudah mencoba mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' beberapa kali, namun selalu gagal. Demikian juga Eyang Panjar Pitu, yang gagal mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' tersebut."

Suto tak ingin menyela kata ataupun tanya, karena ia ingin Ki Darma Paksi menceritakan apa saja yang diketahuinya, baru nanti Pendekar Mabuk bertugas menyimpulkannya. Maka, Ki Darma Paksi pun mulai berkata lagi,

"Kegagalan itu membuat antara Eyang Panjar Pitu dengan Nyai Pancung Layon semakin sering mengejek dan sering bermusuhan, sehingga Nyai Pancung Layon sesumbar, bahwa ia tidak akan punya keturunan sampai ketujuh jika ia tidak bisa mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' tersebut. Dalam sesumbar dan tekadnya, Nyai Pancung Layon mengatakan, bahwa ilmu 'Kidung Mantera Gaib' hanya pantas dimiliki dan dikuasai oleh keturunannya saja. Sedangkan keturunan dari Eyang Panjar Pitu tak punya kelayakan untuk memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib'."

Ki Darma Paksi menghentikan kisahnya sebentar.

Pelayannya yang bungkuk itu sudah menghidangkan sepoci arak dan dua cangkir kosong. Ki Darma Paksi menuangkan secangkir arak untuk Suto dan secangkir lagi untuk dirinya sendiri. Kemudian mereka sama-sama meminum arak tersebut, setelah itu Ki Darma Paksi berkata lagi,

"Di lain waktu, Ki Panjar Pitu pernah bicara padaku dengan sebuah kelembutan dan sentuhan batin yang hangat, bahwa ayahnya yang bergelar Manusia Tembus Raga itu kelak suatu saat akan menitiskan ilmu itu kepada salah satu keturunannya, tanpa perlu susah payah mempelajari ilmu 'Kidung Mantera Gaib' apabila waktunya telah tiba. Tentang siapa yang mendapat titisan ilmu setan itu, tak seorang pun mengetahuinya, termasuk aku sendiri, Suto."

"Mengapa Ki Darma mengatakan ilmu setan?"

"Karena bagi orang yang tidak kuat jiwanya, memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib' bisa menjadi setan berjiwa iblis! Godaan pada jiwa orang yang memiliki ilmu itu sangat besar. Hanya jika orang itu bisa mengendalikan jiwanya maka ilmu tersebut menjadi putih dan bisa digunakan untuk membela kebenaran dan kejujuran."

Pendekar Mabuk kembali manggut-manggut dan setelah beberapa kejap membungkam mulut sendiri, kini ia mulai menarik kesimpulan,

"Jadi Nyai Pancung Layon bertekad untuk menurunkan ilmu itu kepada salah satu keturunannya? Apakah itu berarti Nyai Pancung Layon yang mencuri dan menyembunyikan kitab tersebut, Ki Darma?"

"Secara benar aku tak bisa menjawab pertanyaanmu, Suto Sinting. Tetapi dalam kaitan tekad dan kemauan keras Nyai Pancung Layon, kesimpulanmu itu mendekati kebenaran, namun bisa menjadi meleset jika ada pihak lain yang memanfaatkan tekad dan kemauan Nyai Pancung Layon itu!"

"Memang," kata Suto Sinting sambil menganggukkan kepala. "Tapi ditinjau dari nafsu sang Nyai, rasa-rasanya dia pantas mempunyai tindakan licik dan curang, seperti misalnya menyembunyikan kitab tersebut agar dipelajari oleh keturunannya kelak."

"Benar sekali pemikiran jernihmu itu, Suto."

"Kecuali memang ada pihak lain yang memanfaatkan nafsu Nyai Pancung Layon. Dan menurut Ki Darma Paksi sendiri, apakah ada pihak lain yang bernafsu untuk memiliki Kitab Lontar Gegana itu?"

"Banyak sekali," jawab Ki Darma Paksi. "Para tokoh persilatan pada masa itu sama-sama memburu kitab tersebut karena tergiur oleh kedahsyatan jurus ilmu 'Kidung Mantera Gaib' itu. Satu-satunya tokoh sesat yang pada waktu itu memburu terang-terangan kitab tersebut adalah Loh Pati, yang kini mempunyai sisa keturunannya seorang tabib hitam yang tinggal di lereng Gunung Batu Wulung. Tabib hitam itu punya jalan sesat tersendiri dan ia dikenal dengan nama Cakra Wulung. Usianya sekitar empat puluh atau lima puluh tahun."

"Jadi menurut Ki Darma Paksi, ada kemungkinan kitab itu jatuh ke tangan Cakra Wulung?"

"Benar itu hanya kemungkinan, tapi jangan kau jadikan suatu kepastian. Yang bisa dijadikan suatu kepastian, bahwa pada masa itu Loh Pati pernah masuk ke kamar pusaka peninggalan si Manusia Tembus Raga, namun segera melarikan diri setelah diketahui oleh Nyai Pancung Layon. Apakah pelarian Loh Pati berhasil membawa lari kitab itu, atau Nyai Pancung Layon memanfaatkan kesempatan itu untuk menyembunyikan Kitab Lontar Gegana. Yang jelas, sejak saat itu Kitab Lontar Gegana dinyatakan hilang. Sedangkan menurut indera keenam Ki Bayan Maruto atau Manusia Tembus Raga itu, tak satu pun ada barang yang disentuh oleh Loh Pati. Apakah pada saat itu indera keenam Ki Bayan Maruto telah tidak setajam dulu atau memang ucapannya itu benar. Yang jelas, pada waktu itu Ki Bayan Maruto dalam keadaan sudah tua sekali, bahkan berkesan pikun. Satu purnama sejak dinyatakannya kitab itu hilang, Ki Bayan Maruto meninggal, dan Nyai Pancung Layon saling tuduh dengan Ki Panjar Pitu."

"Apakah... apakah pada waktu lenyapnya kitab tersebut, Ki Panjar Pitu sudah menikah?"

"Sudah menikah," jawab Ki Darma Paksi. "Bahkan Ki Panjar Pitu sudah mempunyai anak pertama berusia delapan tahun, yaitu ayahnya Arum Kafan. Sedangkan Nyai Pancung Layon sudah mempunyai dua anak yang kemudian menurunkan si Urat Iblis dan keempat saudaranya yang bergelar Empat Raja Sesat itu."

Setelah kembali meneguk arak suguhannya, Suto Sinting mengajukan pertanyaan yang ia sendiri tak bisa
menemukan j awabannya,

"Jadi menurut Ki Darma Paksi, apa yang harus kulakukan sekarang untuk melacak hilangnya Kitab Lontar Gegana itu?"

"Sebagai manusia menjelang ajal, tak banyak yang bisa kusarankan kepadamu kecuali hiduplah dengan teratur dan baik bagi dirimu sendiri juga berguna bagi hidup orang lain. Kalau kau ingin sambangi Tabib Hitam Cakra Wulung itu, adalah langkah yang bukan merupakan suatu keharusan, tapi juga bukan hal yang salah semasa kau tidak main tuduh terhadapnya! Menyelidiki seseorang tanpa menyinggung perasaannya adalah tindakan yang tersulit dalam kehidupan ini, Suto."

Pada intinya Ki Darma Paksi sebenarnya menyarankan agar Pendekar Mabuk menyelidiki Cakra Wulung di lereng Gunung Batu Wulung itu. Tetapi karena bahasanya berputar-putar akhirnya Suto garuk- garuk kepala sendiri merasa pusing mengartikan
kesimpulan bicara Ki Darma Paksi.
*
* *
5
PULANG dari pondok Ki Darma Paksi, Suto Sinting kembali menyusuri tepian sungai untuk melihat ikan Sepat Dewata yang bisa tembus pandang itu. Tetapi alangkah terkejutnya Suto setelah mengetahui dua ikan perak mati mengambang di tepian sungai tersangkut batu.

Kemudian tak jauh dari situ, Suto jug menemui seekor ikan tembus pandang menggelepar mati di atas permukaan air. Dan beberapa ikan lainnya mengambang tak bernyawa, sebagian hanyut terbawa arus sungai yang tak seberapa deras itu.

"Racun...?!" gumam Suto ketika melihat ikan tembus pandang itu mempunyai warna kebiru-biruan bagai asap dalam dagingnya yang bening itu. Jika bukan karena memandang ikan tembus pandang mirip kaca, Suto tak tahu penyebab kematian ikan-ikan di situ.

Hati Pendekar Mabuk itu sempat merasa dongkol dan kecewa. Ia merasa kasihan terhadap ikan-ikan itu. Dan ketika ia memandang ke arah hulu sungai, tiba-tiba ia temukan seseorang yang sedang membuang guci kecil ke sungai. Guci itu hanyut terbawa arus air dan di tangkap oleh Suto. Hidung Suto mengendus mulut guci itu. Memeriksa kedalamannya, memeriksa bagian luarnya, ternyata masih tersisa serbuk hitam melekat di tepian mulut guci.

"Hmm...! Ini racunnya! Jadi orang pendek itu tadi yang menuang racun ke hulu sungai?! Apa maksud nya?! Bukankah... bukankah aliran sungai ini yang mengalir sampai di samping rumah Arum Kafan dan airnya biasa dipakai untuk minum atau memasak? Ini berarti Arum Kafan bisa mati keracunan jika minum air ini mulai dari sekarang! Ah, sebaiknya kukejar saja orang pendek berpakaian hitam tadi!"

Zlappp...! Pendekar Mabuk melesat melebihi gerakan angin. Dalam waktu sekejap ia sudah bisa menemukan orang bertubuh sedikit gemuk dan tergolong pendek, walau bukan cebol. Suto berdiri menghadang di depan langkah orang berpakaian hitam-hitam itu, yang tak lain adalah Dogol, murid Tulang Neraka yang ditugaskan meracuni air sungai tersebut untuk membunuh Arum Kafan dan adik-adiknya.

Si wajah rusak akibat bekas sabetan golok itu menjadi terkejut ketika melihat seseorang berdiri menghadangnya. Langkahnya pun terhenti seketika dengan matanya tajam memandang penuh curiga.

"Mau apa kau menghadangku?" Dogol menggertak. Suto Sinting hanya sunggingkan senyum tipis dan menjawab,
"Mau bertanya padamu, benarkah kau telah menuang racun ke dalam air sungai itu?!"

"Ya. Benar!" jawab Dogol jujur-jujur saja. Menurutnya, kalau dia berani menjawab jujur begitu, berarti ia berani menghadapi tantangan siapa saja.

" Untuk maksud apa kau membuang racun ke sungai bening itu?"
" Untuk meracuni air sungai!"
" Apakah kau pencari ikan?"
" Bukan!"
" Lantas untuk apa kau meracuni air sungai?"
" Supaya mematikan jika diminum orang!"
" Apakah kau mempunyai dendam dengan orang orang sepanjang tepian sungai itu?"
" Tidak!"
" Lantas, untuk apa kau ingin mematikan orang yang meminum air sungai itu?"
" Karena tugas!" jawab Dogol tanpa tipuan sedikit pun.

Tugas dari siapa?" desak Pendekar Mabuk semakin ingin tahu.

" Dari guruku!"
" Tugas yang bagaimana sebenarnya?"
" Tugas membunuh keluarga Arum Kafan!"

Terperanjat Suto mendengar jawaban polos yang sok jago itu. Matanya segera terkesiap memandang Dogol. Dilihat dari kemudaan usianya, Suto mulai curiga jangan-jangan guru pemuda itu adalah Tabib Hitam si Cakra Wulung itu? Maka, bertanyalah Suto kepada pemuda berwajah rusak itu,

"Siapa gurumu yang agung itu?"

"Tulang Neraka!" jawab Dogol, merasa mantap menjawabnya setelah mendengar Suto mengagungkan gurunya.

"Ooo... jadi kamu orang suruhan Tulang Neraka?"

"Murid Tulang Neraka!" kembali Dogol menjawab dengan bangga. "Dan kalau aku sudah menamatkan belajarku dari guruku si Tulang Neraka, maka aku akan mengubah nama menjadi Pendekar Sumsum Neraka!"

Tak tahan Pendekar Mabuk mendengarnya, maka ia pun tertawa geli.

"Diam! Jangan meremehkan gelarku nanti!" bentak Dogol berlagak galak. Ia belum tahu siapa orang yang dihadapinya. Ia hanya menyangka yang dihadapi adalah seorang pemabuk, terbukti menenteng bumbung tuak terus sejak tadi.

"Tak mudah mendapat gelar pendekar, Sobat! Seorang pendekar harus punya jiwa ksatria, mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan diri sendiri, menolong banyak orang dan berani berjalan di jalur kebenaran, menegakkan keadilan dan...."

"Tutup mulutmu! Tak perlu kau berceloteh mengguruiku!"

Srett...! Dogol mencabut goloknya dengan wajah garang. Lalu, ia berkata dengan menggertak,

"Minggir kau dari jalanku, dan jangan ganggu aku kalau masih ingin melihat matahari esok pagi!" .

Suto tertawa pendek. Tawanya Suto itu dianggap suatu penghinaan buat Dogol. Karena itu, Dogol tak bisa tahan diri lagi, maka ia pun melompat dengan goloknya siap dibacokkan ke arah kepala Pendekar Mabuk.

"Hiaaat...!"

Clapp...! Golok itu masuk di antara kedua jari Suto Sinting. Menjepit kuat sekali kedua jari itu di depan wajah Suto yang sedikit ditarik mundur. Kemudian dengan satu sentakan kecil ke kiri, golok itu pun patah seketika. Krakk...! Sisa patahannya masih terjepit di kedua jari Pendekar Mabuk. Sisa patahan terutama bagian ujung golok itu, segera dilemparkan oleh Suto dengan tangan berkelebat ke samping. Zingngng...! Jrubb...! Ujung golok itu menancap di sebuah batang pohon, dan bahkan lenyap masuk ke dalam batang yang keras.

Dogol semakin terbengong. Pertama terbengong melihat goloknya bisa ditangkap dengan dua jari, kedua terbengong karena melihat goloknya bisa dipatahkan dengan gerakan ringan dan mudah, ketiga terbengong karena patahan golok bisa menancap hilang ke batang pohon yang keras.

Terbayang olehnya alangkah ngerinya jika patahan logam baja dari goloknya itu menancap ke dadanya. Jika batang pohon sekelas itu bisa tembus, apalagi dadanya yang empuk. Mungkin malahan bisa tembus bolong lewat punggungnya .

Di dalam hati Dogol masih sempat berkata, "Orang ini benar-benar sakti atau hanya kebetulan saja dia menjadi sakti? Mungkin memang golokku telah rapuh, dan gerakanku tadi kurang cepat!"

Itulah sebabnya, Dogol cepat melepaskan serangan lagi dengan sebuah tendangan yang melompat dan berputar cepat.

Zlapp...!

Tendangan Dogol mengenai tempat kosong. Ia bagaikan menendang angin, karena tiba-tiba Pendekar Mabuk sudah berpindah tempat, berada di belakangnya agak jauh, antara berjarak lima tombak.

"Edan orang itu!" katanya dalam hati. "Cepat sekali gerakannya. Tahu-tahu ada di sana! Atau... jangan- jangan ia terhempas terbang karena terkena kibasan angin tendanganku saja?! Hmmm...! Kalau begitu aku harus menyerangnya terus, supaya dia terdesak dan akhirnya merasa jera dengan sikapnya yang angkuh memandangku dan tersenyum padaku itu!"

"Manusia belut!" katanya kepada Suto, "Terimalah pukulan jurus 'Harimau Garang' ini, hiaaat...!"

Dogol melompat maju seperti seekor harimau ingin menerkam mangsanya. Kedua telapak tangannya siap dihempaskan dalam satu gerakan bersamaan. Tetapi belum tercapai maksudnya itu, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan melintas di depannya. Wuttt...!

"Aaauh...!"

Tiba-tiba terdengar suara Dogol menjerit sebelum ia jatuh ke tanah. Dan ketika ia jatuh ke tanah, ternyata tangan kanannya dulu yang jatuh, setelah itu disusul dengan tubuhnya yang rada gemuk itu.

Pluk, bluggh... !

Pendekar Mabuk pun terkesiap melihat tangan kanan Dogol dalam keadaan putus terpotong.

Dogol meraung kesakitan, darah mengucur ke sekujur tubuh, karena tangan itu putus dari batas pergelangan sikunya.

Segera Suto berpaling memandang ke arah berlawanan dengan jatuhnya Dogol. Dan mata Suto kembali terkesiap melihat seraut wajah cantik jelita telah berdiri di sana dengan pedang panjang tergenggam memakai dua tangan. Wajah cantik itu berdiri agak miring, seakan siap tebaskan pedang panjangnya lagi jika Suto atau siapa pun maju menyerangnya.

Dogol segera bangkit dengan meratap-ratap. Melihat orang yang masih memegang pedang dengan berlumur darah pada bagian tepiannya, Dogol menjadi sangat gemetar, kemudian tanpa bicara apa-apa ia pun segera lari pergi dari tempat itu.

Wuttt...!

Beberapa saat dia kembali lagi. Wuttt...! Potongan tangannya ketinggalan, dan kini diambilnya dengan rasa takut, kemudian pergi lagi dengan berlari secepat- cepatnya. Wuttt... !
"Kulaporkan kau pada guruku!" teriaknya sambil menjauh dan cepat menghilang di semak-semak belukar sana.

Kini tinggal Pendekar Mabuk dan perempuan cantik itu. Perempuan itu memandang Suto dengan wajah judes, mulutnya masih cemberut, itu lantaran tadi ia menebas tangan Dogol. Dan agaknya ia memang punya kejengkelan atau dendam kepada Dogol, sehingga cemberut di wajahnya belum hilang, walaupun kini yang dihadapi adalah seorang pemuda tampan berwajah menarik.

"Gerakan pedangmu cukup hebat! Kau pasti jago memainkan pedang, dan mungkin menguasai jurus pedang yang dahsyat! Caramu berkelebat bisa memilih mana yang tangan dan mana yang kepala. Dan aku yakin kau sengaja tidak membunuh orang tadi, namun hanya melukainya sebagai pelajaran bagi orang itu!"

Gadis cantik yang wajahnya sungguh mempesona itu diam saja, tapi sudah mulai mengendurkan ketegangannya. Bahkan mengambil beberapa helai daun semak, lalu membersihkan pedangnya, dan dimasukkan kembali ke dalam sarung pedang yang ada di punggungnya. Sarung pedang itu tersumbul dari celah- celah rambutnya yang panjang sebatas lewat punggung dan diurai lepas. Ia mengenakan jubah tipis warna hijau muda dengan pakaian pinjung hitam sebatas dada. Tersembul jelas warna dada dalam belahan kulit kuning langsat yang mulus menggiurkan hati lelaki.

"Ini lebih cantik lagi," gumam Suto Sinting dalam hatinya yang berseri-seri memuji kecantikan perempuan itu. "Ia kelihatan lebih cantik dari Arum Kafan atau Kembang Darah, atau si Delima Ungu. Dan ia kelihatan lebih matang. Matanya pun menantang nakal, bibirnya berbentuk sangat indah. Bentuk wajahnya yang sedikit lonjong, sangat sesuai dengan bentuk hidungnya yang mancung. Wahai, siapa gerangan dia, ya Dewa? Mengapa ia amat mengagumkan dan menawan hatiku?"
****