Pendekar Mabuk 13 - Prahara Pulau Mayat




ANGIN berbau busuk menyebar sejauh seratus langkah dari pantai. Badai
laut yang mengamuk nyaris menggulingkan perahu berlayar satu. Suto
Sinting ada di atas perahu itu bersama Dewa Racun dan Hantu Laut. Arah
perjalanan adalah Pulau Serindu, di mana terdapat sebuah istana yang
dipimpin oleh seorang ratu cantik impian Pendekar Mabuk, yaitu Dyah
Sariningrum, yang dijuluki sebagai Gusti Mahkota Sejati.


Suto dan Dewa Racun sepakat untuk tidak menentang amukan badai. Mereka
tak mau perahunya pecah lagi seperti dalam peristiwa Istana Berdarah.
Karena itu, langkah yang diambil oleh mereka adalah mengarahkan perahu
ke pantai pulau berbau busuk itu.

"Kita mendarat!" seru Pendekar Mabuk kepada Hantu Laut yang pegang
kemudi di haluan. Tapi karena Hantu Laut yang berkepala gundul dan
bertubuh besar tanpa mau memakai baju itu telinganya rada tuli, maka ia
pun segera menyahut,

"Siapa yang mau kirim surat?!"
"Kita mendaraaat....!" teriak Pendekar Mabuk dari bawah tiang layar.
"O, mendarat?! Baik!"
Suto segera turunkan layar perahu, ia berseru lagi kepada Hantu Laut,
"Hati-hati, ada karang di depan!"
"Apa? Ada kerang delapan?!"
"Ada karang di depaaaan...!"

"O, ada karang? Iya! Aku belum buta! Menurutmu di mana letak karang itu?
Di depan atau di belakang kita?" seru Hantu Laut. Pendekar Mabuk kesal
hati dan tidak menyahut lagi.

Langit gelap karena mendung. Kilat menembus gumpalan hitam itu lalu
menggelegar di langit bagai ingin turunkan hujan badai. Melihat cuaca
murka begitu, Dewa Racun cepat berseru kepada Pendekar Mabuk dan Hantu
Laut yang habis menambatkan perahunya,

"Aku tahu, ddiiis... diiis... di sana ada gua! Kita berteduh di sana
sebeeell... sebelll... sebelll...."
"Kenapa sebel?" sentak Hantu Laut mengimbangi suara badai.
"Maksudku, sebel... sebelum! Sebelum hujan turun dengan deras, kita
sudah dapat tempat berteduh lebih dulu!"

Dewa Racun, si kerdil berpakaian putih bulu dengan panah di punggung dan
dua pisau di kanan kiri pinggangnya itu, memang punya penyakit gagap
dalam bicaranya. Tapi jika mulutnya sudah terkena aroma ikan bakar,
penyakit gagap itu menjadi hilang dan ia bisa bicara dengan lancar.
Apabila aroma ikan bakar habis dari mulutnya, penyakit gagap itu kambuh
lagi, dan baru akan ucapkan kata benar jika ada yang membentaknya.

Mereka cepat berkelebat ke arah sebuah gua di tebing karang. Mulut gua
tak seberapa besar, cukup untuk masuk dua orang. Atap gua pun
kelihatannya tak terlalu tinggi, lebih separo tombak dari tinggi tubuh
Pendekar Mabuk. Tapi agaknya tempat itu merupakan pilihan yang terbaik
daripada harus membiarkan diri diguyur hujan yang sudah pasti disertai
angin badai cukup besar.


Tetapi Dewa Racun yang berjalan lebih dulu itu tiba- tiba menghentikan
langkahnya ketika mendekati mulut gua. Ia sedikit terkejut dengan
munculnya seorang berambut panjang acak-acakan, berpakaian hitam,
berwajah kurus dengan kedua bola matanya yang putih. Mulanya Dewa Racun
dan yang lainnya menduga orang itu buta. Tapi ketika orang itu sentakkan
kaki dan dapat melompat cepat ke atas sebuah gugusan batu di samping
gua, Dewa Racun dan yang lainnya yakin bahwa orang itu tidak buta. Hanya
bola matanya saja yang putih semua, tidak mempunyai manik mata berwarna
hitam.

"Cob... cob... cobalah bicara dengan orang itu," kata Dewa Racun kepada
Hantu Laut. "Katakan kita mau num... num... num...."
"Numbuk padi?!"
"Bukan! Mau num... numpang meneduh di gua itu. Bukan mau mengganggu dia!"
"Kau sendiri saja yang bicara dengannya!"
"Dia hanya akan kebingungan mendengarkan om... om... omonganku! Kau saja
yang bicaranya lancar!"

Pendekar Mabuk tertawa pendek, Dewa Racun cemberut sambil melirik
Pendekar Mabuk. Kemudian Pendekar Mabuk mendukung perintah Dewa Racun
kepada Hantu Laut, sehingga orang berperut buncit dan hanya memakai
celana hitam itu segera mendekati orang bermata putih itu, lalu ia
serukan kata,

"Kami hanya ingin menumpang sesaat di dalam gua itu! Kami bukan ingin
berbuat jahat kepadamu! Bolehkah kami masuk. Sobat?!"

"Ggrrr...!" orang itu justru mengerang dengan memperlihatkan giginya
yang tidak rata tumbuhnya itu. Mata putihnya melebar.

Hantu Laut mundur beberapa tindak. Tiba-tiba punggungnya digebuk keras
oleh Dewa Racun yang bersungut-sungut.

"Jang... jang... jangan injak kakiku, Goblok!"

Dewa Racun cepat menggeserkan diri setelah Hantu Laut mengangkat
kakinya. Kemudian Hantu Laut bicara kepada Dewa Racun.

"Dia malahan mengerang seperti singa lapar!"
"Bicaramu kurang sop... sop... sopan!"

Suto Sinting cepat berkata pelan bagai berbisik kepada mereka berdua,
"Jangan dekati orang itu."

"Kenapa?" tanya Hantu Laut mulai penasaran, karena Suto bicara sambil
matanya memandang curiga pada orang bermata putih itu.

"Dia berbahaya!" kata Pendekar Mabuk pelan.
"Apanya yang bercahaya?" tanya Hantu Laut salah dengar.

"Dia berbahaya, Budek!" Pendekar Mabuk jengkel sendiri. Hantu Laut hanya
tertegun bengong setelah tahu maksud kata-kata Suto Sinting.

"Aaak... ak... aku juga curiga," tambah Dewa Racun.
"Sebaiknya kita tinggalkan saja tempat ini!" usul Pendekar Mabuk.
"Tap... tapi sebentar lagi hujan turun! Kit... kita tidak punya tempat
bernaung untuk meneduh dan... dan... dan .... "

Dewa Racun belum selesai ucapkan kata, tiba-tiba orang bermata putih itu
melompat dari tempatnya, melayang bagaikan terbang dan menerkam punggung
Hantu Laut. Wuss...!

"Awas!" sentak Suto seketika. Hantu Laut palingkan wajah, dan cepat
menendangkan kakinya ke belakang. Bukk...! Tendangan kaki itu cukup
keras. Mestinya orang bermata putih itu mental setidaknya empat langkah.
Tapi ia hanya jatuh di tempat. Seolah-olah gerakannya hanya tertahan
oleh kaki Hantu Laut.

Begitu jatuh, orang bermata putih itu cepat mencakarkan tangannya ke
betis Hantu Laut. Wuttt..!

Crass...! Hantu Laut terpekik kecil sambil melompat. Lompatan yang
terlambat itu membuat betisnya tergores luka. Rupanya orang bermata
putih itu mempunyai kuku tangan yang sedikit runcing dan tajam, walau
tidak terhitung panjang.

Pendekar Mabuk segera kibaskan kaki kanannya ke samping depan. Plokk...!
Tendangan kosong itu mengenai wajah orang bermata putih. Kali ini orang
itu terjungkal ke belakang, berguling dua kali, lalu bangkit lagi dengan
badan rendah dan satu kaki berlutut di tanah. Wajahnya semakin tampak
buas dengan mata putihnya yang melebar dan mulutnya menyeringai
keluarkan suara aneh.

"Grrrr...!" seperti seekor kucing yang siap menerkam mangsanya.

"Mundur!" seru Pendekar Mabuk kepada kedua temannya. Tapi Dewa Racun
terlambat bergerak. Orang bermata putih itu sudah lebih dulu melompat
dari bawah ke atas, menerkam Dewa Racun dengan kedua tangannyamengembang
ke samping depan. Wuttt...!

Brasss. .! Orang kerdil itu cepat sentakkan kedua tangannya ke depan.
Belum sempat tangan itu menyentuh tubuh penyerangnya, orang bermata
putih itu telah terpelanting ke belakang dan terlempar tiga langkah dari
tempatnya semula.

Kalau saja Dewa Racun tidak sentakkan pukulan tenaga dalamnya, sudah
pasti ia akan diterkam manusia aneh itu. Hanya saja, Dewa Racun merasa
heran. Pukulannya tadi sering dipakai menyerang lawan yang ingin
membokongnya, biasanya lawan itu pasti jatuh sambil keluarkan darah dari
mulut atau hidungnya. Tapi orang bermata putih itu tidak mengeluarkan
darah sedikit pun.

"Tinggi juga ilmu orang ini?" pikir Dewa Racun, ia masih siap menghadapi
serangan lawannya dengan tetap berdiri pasang kuda-kuda. Namun Suto
berseru,

"Cepat mundur, tinggalkan dia!"

Tapi Dewa Racun menjawab, "Bbbi... biar kuhadapi dulu dia! Aku ingin
tahu seberapa kekuatannya, sehingga ia tidak memuntahkan darah walau
telah terkena ssse... see... seee...."

"Sesuap nasi?"
"Seranganku!" sentak Dewa Racun.

Pendekar Mabuk tak mau kecewakan Dewa Racun penjemputnya itu. Ia pun
segera mengundurkan diri, dan memberi kesempatan kepada si kerdil yang
kepalanya botak bagian tengah, hanya bagian tepian kepala saja yang
ditumbuhi rambut itu.

Sebelum Dewa Racun bergerak, Pendekar Mabuk telah lebih dulu menenggak
tuaknya yang diambil dari bumbung tuak. Bumbung itu selalu ada di
punggungnya dan selalu siap dengan cukup banyak tuak. Bumbung itu pula
satu-satunya benda yang ada di tubuh Pendekar Mabuk dan bisa digunakan
sebagai senjata untuk menangkis serangan lawan.

Kalau saja Dewa Racun tidak berniat mencoba kehebatan orang bermata
putih itu, Pendekar Mabuk akan segera menggunakan bumbung itu untuk
menggebuk orang tersebut. Tapi agaknya Dewa Racun ingin tunjukkan
kebolehannya di depan Pendekar Mabuk. Karenanya, Suto Sinting, si
Pendekar Mabuk itu, membiarkan diri terhadap apa yang ingin dilakukan
oleh Dewa Racun.

Orang bermata putih itu mengerang dengan suara serak, mulutnya
menyeringai. Menyeramkan dilihat mata orang sehat. Dan tiba-tiba
tangannya berkelebat mencakar-cakar di udara. Wukkk... wukkk!

Dewa Racun merasakan ada angin hendak menampar wajahnya. Karena itu,
cepat-cepat ia sentakkan kaki dan melompat mundur ke belakang, ia agak
terkejut saat itu, sehingga berkata kepada Suto walau tanpa memandang
orang yang diajaknya bicara.

"Dia punya gerak bayangan! Hammm... ham... hammm... hampir saja aku
tercakar olehnya!"

"Sudah kubilang, orang itu berbahaya tapi kau masih nekat ingin mencoba
kekuatannya!" kata Suto dengan tenang dan tetap memandangi pertarungan
antara Dewa Racun dengan orang bermata putih itu.

Dewa Racun segera sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya terpental naik
ke atas sambil ia sentakkan tangannya yang juga membentuk cakar.
Sentakan tangan itu menghasilkan satu pukulan tenaga dalam jarak jauh
yang menghantam tubuh orang bermata putih. Tapi sebelum pukulan itu
mengenai sasaran, orang bermata putih itu melompatkan diri ke samping,
kemudian balas menyerang dengan sentakan tangan bercakar ke atas. Waktu
itu Dewa Racun masih melayang, sehingga tubuhnya terpental akibat
terkena pukulan jarak jauh orang bermata putih itu.

Behgg...! Dewa Racun jatuh ke tanah berpasir. Melihat si kerdil jatuh,
orang bermata putih segera melompat dan menerkam tubuh lawannya. Tetapi
Dewa Racun cepat pula menggulingkan badan dua kali ke samping.

Bruss...! Terkaman orang bermata putih menabrak tanah berpasir. Asap
mengepul hitam. Rupanya terkamannya itu mengandung kekuatan tenaga dalam
yang cukup berbahaya jika mengenai Dewa Racun. Pasir yang tertindih
tubuhnya menjadi hitam bagai habis terbakar.

"Orang ini tidak main-main! Dia ingin membunuhku!" kata Dewa Racun dalam
hatinya. Cepat- cepat Dewa Racun mengambil jarak menjauh. Orang itu
bangkit dan tengokkan kepala ke arah Dewa Racun. Dengan cepat ia
melompat dan bersalto di udara satu kali. Wusss...!

Dewa Racun cepat mengambil pisaunya yang kanan, lalu tangannya bergerak
mengibas cepat. Wuttt...! Crasss...! Tangan orang bermata putih itu
terpotong oleh pisau pada bagian pergelangan tangannya. Pergelangan
tangan itu jatuh ke tanah, sedangkan pemiliknya masih tetap
membelalakkan mata dengan liar dan buas.

Dewa Racun segera melompat ke arah lain dua kali sentakan kaki. Ia
memandang heran kepada lawannya. Tangan yang terpotong itu tidak
mengeluarkan darah sedikit pun. Dan yang lebih heran lagi, telapak
tangan yang terpotong itu bergerak sendiri, berjalan menyusuri pasir
pantai, lalu tahu-tahu melesat cepat ke arah Dewa Racun.

Wussst... !

Tangan itu bergerak mencakar wajah Dewa Racun. Dengan cepat Dewa Racun
gulingkan badan ke tanah, sehingga cakaran itu tidak mengenai kepala
maupun wajahnya. Wesss...! Cakaran itu lewat di atas kepala Dewa Racun.
Menancap kuat ke sebatang pohon kelapa yang berada tujuh langkah dari
tempat Dewa Racun berdiri.

Cepat-cepat Pendekar Mabuk melepaskan pukulan dari telapak tangannya.
Pukulan itu mengeluarkan sinar hijau yang melesat cepat dan menghantam
potongan tangan yang menancap di pohon kelapa. Tarr...! Bunyi letusan
kecil timbul dari hantaman sinar hijau, dan potongan telapak tangan
orang bermata putih itu menjadi pecah berbentuk serpihan-serpihan daging
dan tulang yang menyebar ke mana-mana.

Itulah yang dinamakan jurus 'Pecah Raga' pemberian gurunya si Gila Tuak.
Pendekar Mabuk terpaksa melakukan hal itu karena ia tahu bahaya yang
akan timbul jika pertarungan coba-coba itu diperpanjang. Bahkan kali ini
ia pun kembali sentakkan pukulan 'Pecah Raga' kepada orang bermata putih
itu. Orang tersebut sepertinya melihat gerakan sinar hijau dan harus
segera dihindari. Tapi ia terlambat. Sinar hijau dari telapak tangan
Pendekar Mabuk telah lebih cepat mendahului gerakannya, menghantam dada
dengan telak. Tarrr...!

Orang bermata putih itu pecah dengan serpihan tubuhnya menjadi
kecil-kecil dan menyebar ke mana- mana. Sebagian ada yang tersangkut di
rambut kepala Dewa Racun, hingga si kerdil itu mengibas-ngibaskan
kepalanya.

Dewa Racun agak kecewa, ia bersungut-sungut dan berkata,

"Mengapa kau yyya... yyyang selesaikan? Kau pikir aaak... aaku tidak
sanggup kalahkan orang itu?!"

"Aku percaya kau sanggup kalahkan dia kalau kau gunakan jurus-jurus
andalanmu! Tapi dia tidak bisa kau buat main-main dan coba-coba. Semakin
kau potong lagi telapak tangannya yang satu, itu sama saja dengan
timbulkan musuh baru!"

"Aaap... aaap... apa maksudmu?"

"Setiap potongan tubuhnya bisa bergerak menyerangmu! Agaknya orang itu
punya ilmu istimewa, di mana setiap anggota tubuhnya mempunyai kekuatan
sendiri, yang bisa menyerangmu dari berbagai arah. Itu sama saja kau
memperbanyak musuh! Dan, tidakkah kau perhatikan bahwa dia tidak
mempunyai darah?"

"Iiy... iya...! Aku tahu dia tidak keluarkan darah. Tap... tapi... tapi
kenapa dia begitu, aku tidak tahu!"
"Orang itu bukan manusia!'jawab Suto Sinting segera mengambil bumbung
tuak dan menenggaknya beberapa teguk.

Dewa Racun kerutkan dahi dan ajukan tanya, "Lalu, jika bukan manusia,
dia iiitu... apa?"

"Mayat!" jawab Pendekar Mabuk sambil sunggingkan senyum kalem.
"Mayat...?!" gumam Dewa Racun seperti bicara pada dirinya sendiri.
"Mmma... maaa... mayat bagaimana?"
"Entah. Tapi yang jelas dia mayat yang bisa menyerang dan punya ilmu
tinggi semasa hidupnya!"

Dewa Racun masih kurang yakin dengan penjelasan Suto. Ia menepiskan
tangan ke depan, berusaha melupakan kata-kata Suto. Lalu, ia tersentak
melihat Hantu Laut ternyata sejak tadi terkapar di bawah sebuah pohon
kelapa lengkung.

"Lih... lih... lihat Hantu Laut itu! Kenapa dia?!"

Hantu Laut yang gundul mengkilap itu berwajah pucat, ia menyeringai
menahan rasa sakit, hingga tak bisa keluarkan suara. Luka cakar di
betisnya menimbulkan keanehan bagi Dewa Racun dan Pendekar Mabuk.

Luka itu terdiri dari empat goresan yang saling berdekatan. Karena
memang cuma empat kuku orang bermata putih yang sempat mencakar betis
besar Hantu Laut. Luka itu kini membusuk hitam dan keluarkan belatung
berjumlah banyak. Bahkan ada yang berjatuhan di tanah, di bawah kaki
berbetis besar itu. Baunya amis darah, tapi wujudnya menjijikkan sekali.

"Kuku ooor... orr... orang itu punya racun yang bernama Racun Cakar
Kubur! Sekali orang kena racun ini, tubuhnya akan cepat keluarkan
belatung dan membusuk di bagian lukanya!" kata Dewa Racun.

"Sssaaaa... sssaakiiit...!" ucap Hantu Laut dengan susah payah. Wajah
pucatnya keluarkan keringat dingin.

Dewa Racun cepat-cepat menekan telapak kaki Hantu Laut memakai tangan
kanannya. Kemudian ia pejamkan mata dan tangan kirinya bergerak dari
atas ke bawah, pelan-pelan, bagai kumpulan hawa murni dan disalurkan
lewat tangan yang di telapak kaki Hantu Laut.

Belatung-belatung itu berloncatan dari luka, bagaikan mendapat sentakan
dari dalam. Makin lama makin banyak yang keluar dari luka dan berjatuhan
di tanah. Yang sudah jatuh di tanah itu, tiba-tiba lenyap bagaikan asap
tersapu angin. Sampai akhirnya semua belatung habis terlepas dari luka
betis dan lenyap setelah sesaat berada di tanah. Tapi luka itu tetap
terkoyak mencucurkan darah segar.

Dewa Racun menghembuskan napasnya, setelah selesaikan pengobatan
menawarkan Racun Cakar Kubur. Kemudian ia berkata kepada Suto.

"Akk... ak... aku sudah keluarkan racunnya, tinggal sembuhkan lukanya.
Ini pekeijaanmu!"

Pendekar Mabuk hanya tersenyum. Kemudian suruh Hantu Laut menenggak
tuaknya beberapa teguk. Hantu Laut menurut, dan pucat wajahnya menyusut.

Gua yang ada di belakang mereka antara jarak tiga puluh langkah itu
dipandangi oleh mereka. Pendekar Mabuk ucapkan kata seperti bicara pada
dirinya sendiri.

"Berapa banyak mayat hidup yang bersembunyi di gua itu?!"
"Ap... apakah kau yakin di dalam gua itu ada banyak mayat berilmu tinggi
seperti orang tadi?"

"Aku hanya khawatirkan hal itu. Aku sendiri tidak tahu-menahu tentang
pulau ini. Kau lebih tahu tentunya, karena kau bilang tadi di perahu,
jika sudah mencium bau busuk, itu pertanda sudah dekat dengan pulau
tempat tinggalmu?"

"Memang. Aaak... aku tahu tentang pulau ini, tapi tak banyak! Yang
kutahu, dulu pulau ini punya banyak penghuni. Namun kurang lebih empat
tahun yang lalu, penduduk pulau ini habis bagai disapu badai."

"Kenapa?"

"Kaar... kaaar... karena penduduk pulau ini dibantai oleh Siluman Tujuh
Nyawa. Habis semua orang- orangnya, dan mayatnya dibiarkan membusuk, tak
ada yang menguburkan mayat sebegitu banyak!"

"Mengapa Siluman Tujuh Nyawa menyerang pulau
ini?"
"Kaar... karena penguasa pulau ini tidak mau tunduk kepada perintah
Siluman Tujuh Nyawa."

"Betul," jawab Hantu Laut yang sudah mulai reda rasa sakitnya. Sebagai
bekas anggota Kapal Siluman dan bekas anak buah Siluman Tujuh Nyawa,
Hantu Laut merasa lebih tahu banyak tentang penyerangan ke pulau itu.
Karenanya ia cepat tambahkan keterangan.

"Dulu, aku ikut juga dalam pembantaian di pulau ini. Tapi aku hanya
sebagai penjaga kapal, tidak turun ke darat dan ikut membantai. Aku
hanya sebagai penonton kekejaman itu. Mayat-mayat bergelimpangan di
mana- mana, darah pun membanjir di pulau ini. Dalam waktu satu hari
penuh, penduduk pulau ini habis dibantai. Menjelang tengah malam baru
kami tinggalkan pulau ini, yang kalau tak salah dulu bernama Pulau
Sumang!"

Dewa Racun kembali berkata, "Mayat-mayat itu membusuk, dan pulau ini
mennnn... mennn... menjadi... menjadi kuburan besar. Kebusukan
mayat-mayat itu menyerap ke tanah, dan sampai sekarang masih menyebarkan
bau busuk, sehingga pulau ini disebut Pulau Mayat."

"Dulu," sambung Hantu Laut lagi, "Di pulau ini terdapat banyak tulang
manusia, berserakan di sana-sini. Tapi sekitar dua tahun yang lalu,
pulau ini disapu segelombang badai lautan. Walau tak sampai rusak total,
tapi tulang-tulang itu tersapu habis dari pulau ini. Sekarang...,
ternyata pulau ini masih tetap saja mengeluarkan bau busuk dari resapan
air dan tanahnya."

"Siapa penguasa pulau ini? Apakah dia ikut terbantai?"
"Tidak," jawab Hantu Luat. "Penguasa pulau ini berhasil meloloskan diri
entah ke mana. Orang itu dikenal dengan nama Ki Gendeng Sekarat! Sampai
sekarang Siluman Tujuh Nyawa masih mengincar pulau ini, dan masih
berharap bisa membunuh Ki Gendeng Sekarat."

"Mengapa sedendam itu Siluman Tujuh Nyawa kepada Ki Gendeng Sekarat?"

"Karena, tiga perempuan simpanan Siluman Tujuh Nyawa dibunuh oleh Ki
Gendeng Sekarat. Siluman Tujuh Nyawa murka melihat tiga perempuan
simpanannya mati di tangan Ki Gendeng Sekarat, karenanya Ki Gendeng
Sekarat tetap berada dalam incaran Siluman Tujuh Nyawa sampai kapan pun!"

"Hmmm...," Pendekar Mabuk manggut-manggut mendengar kisah itu.

* * *2
JIKA semua penduduk dibantai habis, dan Ki Gendeng Sekarat menghilang,
lalu siapa mayat orang bermata putih yang menyerang Hantu Laut dan Dewa
Racun itu? Apakah dia mayat Ki Gendeng Sekarat yang berilmu tinggi itu?
Karena, ternyata setelah diperiksa gua itu hanya berisi satu orang aneh
tadi. Gua itu kosong dan mempunyai lorong yang pendek. Gua itu aman
sebagai tempat berteduh untuk sementara waktu, karena hujan pun mulai
turun dalam gerimis.

Menurut ceritanya, Dewa Racun dulu pernah terdampar di pulau itu, yang
dulu masih bernama Pulau Sumang. Ia pernah beristirahat di gua tersebut
bersama lima prajurit Puri Gerbang Surgawi. Peristiwanya hampir sama
dengan saat sekarang, yaitu angin badai mengamuk di lautan, perahu
mereka hampir terbalik, lalu mereka mendarat di pulau itu dan
beristirahat di gua tersebut.

Tetapi menurut ingatan Dewa Racun, gua yang dihuninya sekarang itu belum
sesempit sekarang. Dulu gua itu mempunyai lorong panjang yang gelap.
Dewa Racun tak berani menyelidiki kedalaman gua dan lorongnya, karena
lorong itu sering timbulkan suara menyeramkan, seperti suara semburan
seekor ular raksasa atau naga. Karenanya, ketika badai mulai reda, Dewa
Racun dan kelima prajuritnya itu cepat-cepat meninggalkan gua tersebut.

Sekarang gua itu tidak mempunyai lorong, dan Dewa Racun merasa heran.
Lalu timbul pertanyaan dalam batinnya, apa yang terjadi di dalam gua itu
setelah ia tinggalkan dulu? Mungkinkah gua itu runtuh dan lorongnya
tertutup? Atau sengaja ada orang yang menutup lorongnya agar suara aneh
yang mungkin seekor naga itu tidak keluar dari gua dan memakan korban?

Dewa Racun terus memikirkan hal itu, sampai- sampai ia tak sadar telah
tertidur pulas. Hantu Laut juga tertidur karena memang Pendekar Mabuk
yang menyuruhnya, agar lukanya cepat kering dan sembuh. Tetapi, di luar
dugaan mereka, Suto Sinting pun tidur pulas dengan memeluk bumbung
tuaknya.

Ketika Dewa Racun terbangun, ia tersentak kaget karena keadaan di dalam
gua cukup gelap. Kian terkejut lagi dirinya setelah menyadari bahwa
mulut gua tertutup oleh batu besar yang sulit sekali didorong dengan
tenaga kasar. Bahkan dengan kekuatan tenaga dalam batu itu tidak
bergeser sedikit pun dari mulut gua.

"Ssssu... Sutoo...!" seru Dewa Racun membangunkan Pendekar Mabuk. Suara
Dewa Racun bukan hanya membuat Suto Sinting bangun, melainkan Hantu Laut
pun terlonjak bangun. Mereka sama-sama tergeragap dan terkejut
mendapatkan gua dalam suasana gelap. Hanya ada celah kecil dari pintu
gua yang tertutup, dan celah itu yang membuat bias matahari masuk ke
dalam gua.

"Apa yang terjadi, Dewa Racun?"
"Pin... pin... pintu gua tertutup batu besar! Aku tak sanggup mendorongnya!"
Hantu Laut cepat ucapkan kata tegang, "Siapa yang menutup pintu gua
ini?! Siapa...?!"
"Ak... aku... aku tidak tahu!"

Lalu, terdengar suara Pendekar Mabuk berseru tegang pula. "Hei...? Di
mana bumbung tuakku?"

"Hahh...?!" Dewa Racun kaget. Dalam bias cahaya kecil itu mereka mencoba
mencari bumbung tuak Pendekar Mabuk, tapi tidak ada yang berhasil
menemukannya.

"Bumbung tuakku hilang!" geram Pendekar Mabuk.

"Celaka...! Pasti ada orang yang mencurinya dan orang itulah yang
menutup pintu gua dengan batu besar itu!" kata Hantu Laut.

"Berarti kita tidur pun karena dorongan suatu tenaga batin yang membuat
kita jadi sama-sama tertidur dengan nyenyaknya!" ucap Suto bagaikan
bicara pada dirinya sendiri.

"Baag... bag... bagaimana kita keluar dari sini? Tak ada jalan lain
untuk bisa keluar selain melalui pintu itu!"

Hantu Laut segera mencoba kerahkan tenaganya untuk mendorong batu besar
tersebut. Tapi sampai ia kerahkan tenaga dalamnya pintu batu besar itu
belum juga bisa bergeser sedikit pun. Pendekar Mabuk mencoba mendorong
dengan kekuatan tenaga dalam yang ada, tapi batu itu juga tidak
bergeming. Batu tersebut sepertinya pucuk dari sebuah gunung yang muncul
ke permukaan bumi. Ketiga orang itu sama-sama kerahkan tenaga dalamnya
untuk mendorong batu penutup itu, namun tak ada yang sanggup berulang-
ulang, karena batu itu tetap tidak bergeming sedikit pun.

"Tak ada cara lain kecuali dengan menghancurkannya," kata Suto. Lalu,
Dewa Racun maju dan berkata,
"Bbbiar... biar kucobamenghancurkannya!"

Dewa Racun segera sentakkan tangannya ke depan hingga mengeluarkan
cahaya merah. Zrrubb...! Sinar merah menghantam batu itu, tapi batu
tetap utuh. Lalu, ia gunakan jurus pelebur lainnya, dan ternyata belum
juga membuat batu menjadi hancur.

"Bat... bat... batu setan!" umpatnya dengan jengkel.

Hantu Laut segera mengambil alih tugas itu. Segala macam pukulan tenaga
dalam milik orang berkepala gundul licin itu ternyata juga tidak mampu
memecahkan batu tersebut. Bahkan Hantu Laut sampai mencucurkan keringat
di sekujur tubuh, juga menggunakan senjata yoyonya yang bisa keluarkan
pukulan tenaga dalam penghancur, tapi batu itu tetap kokoh menutup mulut
gua.

"Itu batu atau baja?!" geramnya jengkel sendiri.

Dewa Racun penasaran. Kini ia menggunakan senjata panah berkekuatan
tinggi. Pohon dan dinding bisa hancur terkena panah yang ekornya berbulu
ungu itu.Tapi toh nyatanya batu tetap utuh.

"Ter... ter... terpaksa kugunakan jurus 'Halilintar Racun Bumi'!" gumam
Dewa Racun. Kemudian ia rentangkan kedua tangannya ke samping, kaki
merapat dan tangan kepulkan asap kuning. Setelah kedua tangan ditarik ke
samping dada, lalu keduanya dihentakkan ke depan dengan satu sentakan
bertenaga tinggi, hingga mulutnya keluarkan pekik.

"Heeaah...!"
Blarrr...!

Sinar kuning bergulung-gulung bagaikan spiral itu menghantam batu
penutup mulut gua. Ledakan dahsyat terjadi, menimbulkan gelombang angin
kuat. Mereka bertiga terpental sampai membentur dinding belakang gua.
Tapi ternyata hanya itu yang bisa mereka peroleh, rasa sakit akibat
benturan batu dinding gua dengan tubuh mereka. Sedangkan batu penutup
mulut gua itu masih tetap utuh tanpa lecet sedikit pun. Bergeser seujung
rambut pun tidak.

"Ak... ak... aku menyerah," katanya kepada Pendekar Mabuk dengan napas
terengah-engah. "Kkkau... kau saja yang lakukan, pasti berhasil!"
Maka, Pendekar Mabuk segera mengambil tempat di pertengahan ruangan gua
itu. Ilmu 'Pecah Raga' yang tadi digunakan untuk menghantam orang
bermata putih itu kembali melesat dari tangan Pendekar Mabuk. Sinar
hijau itu menghantam batu penutup gua. Clingng..! Suaranya aneh ketika
sinar hijau itu menghantam batu tersebut. Dan yang berbahaya lagi,
ternyata sinar hijau itu memantul balik ke arah Pendekar Mabuk. Dengan
cepat, Pendekar Mabuk melompatkan diri ke arah kanan dan menabrak Hantu
Laut. Bukk...!

Blarr...!

Sinar hijau menghancurkan dinding belakang gua akibat lolos dari elakan
tubuh Pendekar Mabuk. Sementara itu, Hantu Laut gerutukan kata tak
jelas, karena tubuhnya terkapar telentang dengan ditindih tubuh Pendekar
Mabuk. Dewa Racun sendiri terpental sampai ke sisi sudut batu penutup
mulut gua itu akibat terhempas oleh gelombang ledakan sinar hijau.
Dinding yang terkena sinar hijau itu rontok, pecahannya menjadi kerikil
yang menggunung. Sedangkan pintu penutup gua tetap utuh.

"Gawat! Batu itu bukan sembarang batu!" gumam Suto.
Dewa Racun berkata, "Gun... gun... gun...."
"Gundulmu!"
"Gunakan! Maksudku, gun... gunakan pukulan dahsyatmu yang lain!"
"Jangan!" tiba-tiba Hantu Laut berseru tegang.
"Pukulan sinar hijau saja hampir mencelakakan kita karena memantul
balik, bagaimana jika pukulan yang lebih hebat lagi? Bisa-bisa kita mati
oleh pukulan dahsyat Pendekar Mabuk yang memantul balik dari batu itu!"

"Benar kata Hantu Laut," ucap Pendekar Mabuk kepada Dewa Racun. "Bisa
saja kugunakan jurus pukulan lain yang lebih dahsyat dari yang tadi,
tapi aku takut memantul balik dan mengenai kita sendiri! Aku tak berani
gunakan pukulan yang lebih dahsyat lagi!"

"Bag... bag... bag "
"Bagong!"
"Bukan! Maksudku, bagaimana... bagaimana jika kau gunakan napas Tuak
Setanmu, sedikit saja?!"

"Bahaya! Kalau memantul balik dan mengenai kita, malah kita yang mati
terlempar deras badai itu dan tergencet antara kekuatan badai dengan
dinding belakang itu!"

"Kali... kal... kaall...."
"Kaleng?!"

"Bukan! Maksudku, kalau... kalau kau menggunakan jurus 'Sembur Siluman',
bagaimana? Batu itu biar hilang musnah seperti kau sembur Pusaka Tombak
Maut dari tangan Hantu Laut tempo hari?"

"Aku tidak punya tuak! Bumbung tuakku hilang!" kata Suto dengan nada
sedikit ngotot. "Mana bisa kulakukan 'Sembur Siluman' jika aku tidak
mempunyai tuak?!"

"Jadi," kata Hantu Laut, "Kita akan tetap di sini sampai ajal kita
menjemput?!"

"Entah!" jawab Pendekar Mabuk. "Yang kupikirkan sekarang, bagaimana aku
bisa mendapatkan bumbung tuakku! Karena bumbung itu bisa menolong
kesulitan kita yang seperti ini!"

Semua diam tertegun memikirkan nasib mereka. Semua diam berkerut dahi
saling bertanya dalam hati tentang batu itu. Lalu kejap berikutnya
Pendekar Mabuk bangkit, seperti mendapat satu gagasan. Gerakannya itu
diikuti oleh mata Dewa Racun dan Hantu Laut. Mereka menaruh harapan
besar pada usaha Pendekar Mabuk kali ini.

"Aku akan gunakan jurus 'Lintang Kesumat'!" kata Pendekar Mabuk. "Jika
jurus ini gagal, aku tak tahu harus bagaimana lagi."
"Cob... cob... cobalah!" kata Dewa Racun.

Jurus 'Lintang Kesumat' membuat semua jari tangan Pendekar Mabuk berkuku
menyala merah membara. Jurus ini biasanya jika dipercikkan ke batu
sebesar apa pun atau ke tembok baja sekalipun, akan membuat benda itu
meleleh lumer. Karenanya, Suto segera mengibaskan jari tangannya yang
berkuku merah menyala itu. Wesst...! Wwwessst...!

Dari kuku itu memercik bunga-bunga api merah kearah batu penutup mulut
gua itu. Cratt...! Cratt...! Kemudian bau hangus begitu tajam terhirup
oleh hidung mereka. Dewa Racun dan Hantu Laut berdebar-debar, karena
menurut mereka, bau hangus itu seperti bau besi terbakar. Hawa panas pun
menguasai lingkup mereka. Hantu Laut undurkan diri, tubuhnya berkeringat
menahan panas. Dewa Racun ikut undurkan diri, bahkan Pendekar Mabuk
sendiri melangkah tiga tindak dari tempatnya, mundur menjauhi pintu batu
itu.

Kejap berikutnya hawa hangat terasa masih tersisa. Pendekar Mabuk
mendekati batu penutup pintu gua. Ternyata batu itu tidak meleleh
sedikit pun. Tergores tidak, rompal sedikit juga tidak. Dewa Racun dan
Hantu Laut yang ikut memeriksa batu tersebut menjadi tertegun bagai
orang kehabisan akal.

"Berarti, batu ini disaluri tenaga dalam yang sangat tinggi!" kata
Pendekar Mabuk. "Jelas ada orang sakti berilmu tinggi sengaja mengurung
kita di dalam gua ini!"

"Menurutmu siapa?" tanya Hantu Laut. "Apakah... Dayang Kesumat?"

"Mungkin saja! Karena dia masih menyimpan dendam padaku, sebab aku murid
dari musuh besarnya, yaitu Bibi Guru Bidadari Jalang. Aku juga yang
menjadi penghalangnya dalam mendapatkan Pusaka Tuak Setan, hingga ia
menaruh benci padaku." (Baca serial Pendekar Mabok dalam episode: "Darah
Asmara Gila").

"Baaag... baaag... bagaimana kalau ternyata orang yang menutup mulut gua
dan yang mencuri bumbung tuakmu itu adalah Siluman Tujuh Nyawa?" kata
Dewa Racun membuat wajah Hantu Laut menjadi kian tegang di dalam
keremangan cahaya dalam gua itu.

"Bisa jadi begitu!" kata Pendekar Mabuk. "Mungkin dia tahu aku punya
kekuatan pada bumbung tuak tersebut!"

"Tidak mungkin!" bantah Hantu Laut. "Kalau yang datang sewaktu kita
tidur adalah Siluman Tujuh Nyawa, aku pasti sudah dibunuhnya! Kalian pun
tak akan dibiarkan hidup walau dipenjarakan seperti ini!"

"Masuk akal bantahanmu!" kata Pendekar Mabuk.

Lalu ketiganya sama-sama membisu kembali. Mereka bercucuran keringat.
Saling memeras otak mencari jalan keluar. Tiba-tiba Pendekar Mabuk
berkata di tengah kesunyian,

"Kalau kugunakan napas tuakku, pasti batu itu bisa terhempas dari mulut
gua. Tapi jika kekuatan batu itu lebih besar, napas Tuak Setan akan
membalik pada diri kita dan mencelakakan kita bertiga. Aku tak berani
melakukan hal yang bersifat untung-untungan itu!"

"Bagaimana jika...," Hantu Laut tak jadi teruskan kata, karena Dewa
Racun cepat serukan kata,

"Hei, lihat dinding belakang yang runtuh akibat kena sinn... sinn...
sinar hijau tadi! Ada celah kecil di balik reruntuhan dinding
tersebut...! Seingatku memang di situ ada lorong gelap!"

Pendekar Mabuk cepat memeriksa reruntuhan dinding. Ternyata memang ada
celah kecil sebesar kepala manusia. Tak bisa untuk lewat, tapi
menandakan bahwa di balik dinding itu ada lorong. Maka, Pendekar Mabuk
pun segera gunakan pukulan jarak jauh bertenaga dalam cukup kuat.

Wuuut...! Blarrr...! Wussst...! Blarrr...!

Hantu Laut dan Dewa Racun terbatuk-batuk. Dinding itu pecah. Tubuh
mereka menjadi putih karena terkena debu pecahan dinding. Tetapi, kejap
berikutnya Hantu Laut pun dapatkan pandangan menyenangkan, ia berseru,

"Lihat, ada lorong yang terbuka!"

"Hmmm... benar!" kata Pendekar Mabuk, lalu ia berkata pada Hantu Laut,
"Sobek sedikit kain ikat pinggangmu itu, Hantu Laut. Dan... Dewa Racun,
aku pinjam satu batang anak panahmu!"

"Un... un... untuk apa?"
"Bikin obor! Kita masuk lorong itu dan kita periksa apa yang ada di
dalamnya!"

Maka, dengan menggunakan dua pisau milik Dewa Racun yang digesekan,
timbullah api yang segera membakar obor darurat itu. Mereka segera
menerobos masuk ke lorong gelap yang menurut Dewa Racun dulu selalu
kedengaran mengeluarkan suara napas seekor naga.

Lorong itu panjang, berkelok-kelok, berlantai kering keras. Tak ada
cahaya sedikit pun kecuali cahaya obor. Dengan bantuan cahaya obor itu,
mereka bisa pandangi lumut-lumut yang menempel di dinding lorong yang
terasa lembab. Lorong yang lebarnya antara dua tombok itu mempunyai
dinding rata walau bukan berarti halus.

Dewa Racun curiga dengan dinding rata itu. Apalagi ketika obor diangkat
lebih ke atas, mereka bisa melihat bahwa lorong itu amat panjang walau
berkelok-kelok lagi di bagian sana. Kemudian mata Dewa Racun menemukan
keanehan pada dinding lorong itu.

"Cob... coba dekatkan ke dinding kiri obormu itu, Hantu Laut!"

Hantu Laut yang memegang obor segera mendekatkan nyala apinya ke dinding
kiri. Kemudian mereka sama-sama menemukan gambar pada dinding. Gambar
itu berupa batu-batuan yang ditoreh oleh benda tajam. Bekas torehannya
sudah berlumut, itu pertanda sudah sangat lama torehan tersebut terjadi
di dinding itu.

"Mungkin dulu ada manusia purba yang menghuni tempat ini!" kata Suto
Sinting. Hantu Laut hanya menggumam sambil manggut-manggut. Tapi Dewa
Racun kerutkan dahi dan tak mau bicara, ia menahan tangan Hantu Laut
ketika Hantu Laut mau bergerak menjauh, ia masih ingin memperhatikan
gambar itu.

"Seep... sepertinya gambar ini melukiskan sebuah perahu yang
terombang-ambing diamuk badai lautan."
"Memang... dan masih banyak gambar lain di sepanjang dinding ini," jawab
Suto. Lalu, mereka melangkah pelan-pelan sambil memperhatikan lukisan-
lukisan di dinding lorong itu. Ternyata memang menggambarkan suatu
adegan sebuah perahu yang terdampar di pantai karena amukan badai lautan.

"Mungkin dulu penghuni gua ini pernah melihat perahu yang hampir dimakan
badai lautan!" kata Hantu Laut.

"Tap... tapi... tapi coba perhatikan urut-urutan gambar ini!" kata Dewa
Racun. "Ini gambar perahu yang ditambatkan oleh seseorang. Itu gambar
tiga orang berlarian menuju ke suatu tempat. Itu juga gambar orang
bertarung dengan orang kurus. Yang san... san... sana, gambar tiga orang
tidur dan... dan... kurasa ini gambar perjalanan kita, Pendekar Mabuk?"

Hantu Laut merinding mendengarnya. Suto diam memperhatikan tiap gambar.
Ternyata benar dugaan Dewa Racun. Gambar orang berlarian meninggalkan
perahunya itu terdiri atas gambar seorang bertubuh besar, gemuk, dan
gundul kepalanya, yang satu bertubuh pendek kerdil, yang satu bertubuh
tinggi tegap. Lalu, gambar orang berkelahi itu pun menunjukkan seorang
bertubuh kerdil berkelahi dengan orang bertubuh tinggi kurus. Seperti
yang dilakukan oleh Dewa Racun dan orang bermata putih tadi.

"Lihat, Suto....!" kata Hantu Laut ikut menterjemahkan gambar. "Ini
gambar kita bertiga yang masing-masing menggunakan ilmu tenaga dalam
untuk pecahkan batu penutup gua itu! Pertama gambar orang kerdil,
menggambarkan Dewa Racun. Lalu, gambar orang gundul, gambarku yang juga
gagal pecahkan batu. Lalu, gambar orang kerdil lagi, yaitu gambar Dewa
Racun yang mencoba pecahkan batu lagi...."

"Daan... dan yang ini gambarmu, Suto," kata Dewa Racun melanjutkan. "Ini
gambarmu mencoba gunakan pukulan tenaga dalammu untuk memecahkan batu
penutup gua."

"Tapi gambar batunya tidak ada!"

"Ya, mmemm... memang, memang tidak ada! Entah mengapa tidak tergambar.
Tapi... tapi ini gambar kamu dan Hantu Laut yang saling tindih ketika
terjadi pantulan balik dari sinar hijau!"

Hantu Laut teruskan kata, "Nah, ini gambar kita yang sedang berusaha
membikin obor sederhana ini...! Lalu... lalu "
"Habis!" kata Pendenar Mabuk bagai menggumam sendiri.
Gambar itu memang habis sampai di situ. Mereka mencari-cari gambar lain,
tapi tak ada gambar apa pun.

"Gua ini aneh. Misterius sekali!" gumam Pendekar Mabuk. "Jika gambar itu
terjadi sudah ratusan tahun yang silam, atau puluhan tahun yang lalu,
tentunya bukan gambar kita yang tertera di sini!"

"Mungkin ada seseorang yang telah melukiskan perjalanan kita sampai di
sini!" kata Hantu Laut.

"Secepat itukah orang menggambar perjalanan nasib kita? Dan lagi, lihat
goresan di batu ini! Sudah berlumut dan hampir tidak kentara, sepertinya
sudah dimakan zaman cukup lama!"

"Kal... kalau... kalau gambar ini baru, pasti goresannya masih baru
juga," kata Dewa Racun memperjelas maksud Pendekar Mabuk.
"Ya. Dan sejak tadi kuperhatikan pula tanah di bawah kita, tidak ada
jejak manusia selain jejak telapak kaki kita."

"Jika begitu, mungkin dulu ada kejadian yang sama persis dengan apa yang
kita alami sekarang ini," kata Hantu Laut. "Jumlah orangnya sama,
ciri-cirinya sama, dan apa yang dilakukan adalah sama dengan yang kita
lakukan!"

"Mungkinkah sesuatu yang bersifat kebetulan bisa sama persis dengan
kejadian ini?!" tanya Pendekar Mabuk kepada mereka, juga kepada diri
sendiri. "Kalau toh memang bisa sepersis kejadian ini, lantas siapa
orang yang melukisnya? Bukankah pulau ini kosong tak berpenghuni?!"

* * *

TIBA di persimpangan lorong, Pendekar Mabuk dan kawan-kawannya
dihadapkan pada dua pilihan; ke kiri atau ke kanan? Mereka berhenti
dalam kebimbangan langkah. Dewa Racun dan Hantu Laut saling memandang
Pendekar Mabuk, seakan mereka mengharap keputusan yang pasti. Pendekar
Mabuk sendiri belum berani ambil langkah tanpa pemikiran dan
pertimbangan matang.

"Kedua sinar itu bercahaya," kata Suto pelan. "Yang satu di ujung sana
memancarkan sinar kuning, yang satu sinar putih. Sinar kuning itu ada di
sebelah kiri kita, dan sinar putih ada di sebelah kanan kita."

Dewa Racun menyahut, "Kit... kit... kita harus pilih salah satu, mana
yang punya jalan keluar!"
Dewa Racun memandang ke arah Hantu Laut, lalu Hantu Laut keluarkan
pendapat,

"Jangan-jangan gua ini tempat penyimpanan harta karun. Jika benar gua
ini tempat penyimpanan harta karun, berarti yang sebelah kiri kita, yang
memancarkan sinar kuning berpendar-pendar itu adalah tumpukan emas,
sedangkan yang kanan berpendar-pendar putih itu adalah tumpukan perak."

"Bagaimana kalau keduanya salah?" tanya Pendekar Mabuk. "Bagaimana kalau
keduanya hanya jebakan dari orang yang mencuri bumbung tuakku dan yang
menutup pintu gua dengan batu gaib itu?""Mampuslah kita!" jawab Hantu
Laut bagai patah semangat.

Ketiganya kembali diam dan pikirkan pertimbangan. Bias kedua sinar itu
sampai ke persimpangan lorong tempat mereka berdiri, sehingga tanpa obor
pun mereka sudah mendapat penerangan dari kedua bias sinar itu.

"Begini," kata Pendekar Mabuk pecahkan hening di antara mereka bertiga.
"Kita bercermin dari perbuatan kita sendiri. Kita gunakan patokan, bahwa
orang berbuat sesuatu yang buruk sering dikatakan menyimpang ke jalan
kiri, orang yang berbuat baik dikatakan berjalan dijalan kanan. Kita
sering muliakan tangan kanan sebagai tanda penghormatan terhadap sesama,
misalnya menerima sesuatu dari orang lain lebih sopan dengan menggunakan
tangan kanan, tapi tangan kiri tidak sopan. Jadi, usulku kepada kalian,
kita gunakan lorong kanan, sebagai lorong kebaikan dan kesopanan."

"Bagaimana jika dugaanmu salah?" tanya Hantu Laut.

"Mampuslah kita!" jawab Pendekar Mabuk tirukan jawaban Hantu Laut tadi.
"Jika dugaan kita tentang lorong kiri pun salah, mampus pulalah kita ini!"

Dewa Racun segera keluarkan pendapat, "Bba... baar... barr... barangkali
kita akan temui kesalahan dan kematian, tapi mati dengan mengambil jalan
kanan sebagai tujuan hal yang baik, lebih terhormat daripada mati
mengambil jalan kiri, sebagai simbol kejahatan!"

Pendapat Dewa Racun terkesan di hati Suto Sinting dan Hantu Laut. Sebab
itulah mereka tak bimbang hati lagi untuk langkahkan kaki mengambil
jalan kanan.

Mereka mendekati cahaya putih berpendar-pendar itu. Sementara itu, Hantu
Laut cepat berpaling ke belakang untuk melihat suatu gerakan angin yang
berkelebat menurut firasatnya. Tapi yang ia temui di belakang hanya
kegelapan. Lorong yang memancarkan cahaya kuning itu telah lenyap.
Cahayanya padam tak terlihat lagi.

"Aneh. Cahaya kuning itu padam, seperti ada yang meniup atau
memadamkannya! Hmmm... berarti di dalam gua ini ada manusianya!" kata
Hantu Laut dalam gumam lirih. Gumam itu terdengar oleh Pendekar Mabuk
dan Dewa Racun. Tapi mereka tidak kasih pendapat apa-apa kecuali hanya
turut menoleh ke belakang sejenak, setelah itu kembali memandang ke arah
depan. Sinar putih itu makin terasa terang dan tidak lagi menyilaukan.

Ternyata mereka tiba di sebuah ruangan besar beratap tinggi. Atap itu
bolong bagaikan cerobong gunung tempat keluarnya lahar. Cahaya matahari
yang masuk ke lubang atap itulah yang membuat terang suasana sekeliling.
Cahaya terang membuat mata ketiga orang itu dapat melihat keluasan
ruangan tersebut.

Ruangan itu memiliki lorong-lorong pada dindingnya sebagai jalan entah
menuju ke mana. Hantu Laut menghitung dalam hati ternyata ada sebelas
lorong di situ, dua belas lorong bersama lorong tempat mereka muncul di
ruangan itu.

Ketiga orang itu merasakan ada keanehan dalam hati mereka. Ruangan besar
yang berbentuk bundar itu mempunyai garis tengah antara tiga puluh
langkah. Di bagian tengahnya ada lantai berbentuk bundar macam piring
raksasa. Tapi lantai itu datar, terbuat dari lempengan batu marmer putih
dengan ukuran panjang dua tombak lebar satu tombak. Batu-batu marmer itu
tersusun rapi, satu dengan yang lainnya sangat rapat, seakan tak ada
celah yang bisa untuk memasukkan sehelai kain sutera. Tempat itu
bertangga tiga baris yang mengikuti bentuk bundar lantai tengahnya itu.
Cahaya matahari dari atap jatuh tepat di pertengahan lantai itu dan
memantulkan warna putih marmernya.

"Seseorang telah membangun tempat ini dengan sangat indahnya," kata
Suto, entah bicara kepada siapa.
"Men... men... menurutmu, tempat apakah ini?" tanya Dewa Racun.

"Tak jelas. Mirip sebuah ruangan untuk berkumpul atau sebuah arena untuk
berlatih ilmu kanuragan. Tapi aku yakin di ruangan ini ada penghuninya."

"Dari mana kau bisa yakin begitu?" tanya Hantu Laut.

"Lihat di atas tiap lorong, terdapat batu berbentuk kerucut yang hangus
di bagian atasnya. Batu kerucut itulah obor yang dinyalakan hanya pada
malam hari."

Karena keadaan terang, Hantu Laut memadamkan obornya sendiri. Kemudian
ia bergegas mendekati tangga arena. Tapi Pendekar Mabuk cepat
menyusulnya sambil menahan pundak Hantu Laut yang berkulit hitam keling
itu.

"Jangan gegabah di sini! Aku yakin orang yang mencuri bumbung tuakku dan
yang meletakkan batu gaib itu adalah penghuni ruangan ini. Bisa jadi ia
memasang banyak jebakan maut di sini! Salah langkah sedikit kau bisa
mati, Hantu Laut!"

"Aku punya naluri untuk sebuah jebakan," kata Hantu Laut, seakan tak mau
diremehkan dalam hal jebakan. Maka, ia pun tetap melangkahkan kaki dan
pandangi keadaan sekeliling lantai marmer bundar itu. Di sana ada titik
merah, tepat di bagian tengah lingkaran. Titik merah itu berbentuk
bundar bergaris tengah antara satu jengkal.

Hantu Laut melemparkan senjata yoyonya ke tengah arena. Trakk...!
Ditunggu sesaat ternyata tak ada bahaya yang timbul, maka ia pun berani
melangkah memasuki lantai marmer bundar itu. Sampai di titik tengah
warna merah itu, sekali lagi Hantu Laut menjatuhkan yoyonya yang terbuat
dari lapisan baja itu. Trakk...! Setelah ditunggu beberapa saat tak ada
bahaya datang, Hantu Laut merasa lega. Berarti tempat itu tidak berbahaya.

Namun ketika Hantu Laut mau mengambil yoyonya, tiba-tiba dari arah
samping kiri muncul sebatang tombak yang melesat cepat ke arahnya.
Wuusss...!

Hantu Laut sempat melihat dengan ekor matanya, lalu ia cepat gulingkan
badan ke lantai arah depan. Wutt...! Dan tombak yang melesat bagai anak
panah itu pun menerabas tempat kosong, menghantam dinding samping
lorong. Deggg...! Ruangan terasa terguncang oleh benturan tombak dengan
dinding itu. Tapi anehnya dinding tidak gompal sedikit pun dan tombak
tidak patah ujungnya. Tombak itu hanya jatuh ke lantai dengan
menimbulkan suara berdenting yang menggema keras memenuhi ruangan itu.

Siapa pelempar tombak dari arah kiri Hantu Laut tadi? Tak ada yang tahu,
karena tak terlihat ada orang di sana. Dewa Racun cepat berlari ke arah
tempat datangnya tombak tadi, dan melakukan pemeriksaan sebentar,
ternyata tak ada orang di sana. Ia berseru akan hal itu tentu saja Suto
serta Hantu Laut sama-sama heran. Lalu mereka pun saling menduga bahwa
orang itu telah bersembunyi di tempat lain, karena pasti dia tahu
seluk-beluk jalan rahasia di gua itu.

Hantu Laut berdiri agak di tengah arena ketika ia berkata kepada
Pendekar Mabuk itu,

"Mendekatlah kemari. Di sini hawanya lebih sejuk!"

Baru saja selesai Hantu Laut ucapkan kata demikian, tiba-tiba melesatlah
sebuah piringan bergerigi yang bergaris tengah dua jengkal. Piringan
besar itu melesat cepat dari arah belakang Hantu Laut.

Weengngng... !
"Awas!" seru Suto seketika.

Kepala gundul itu tak sempat menengok ke belakang. Tapi melihat mata
Pendekar Mabuk tertuju ke arah belakangnya, ia yakin ada bahaya datang
dari belakang. Maka dengan cepat ia kembali berguling di lantai dengan
arah menyamping. Gleddukk...! Kepalanya sempat membentur lantai agak
keras. Tapi ia luput dari bahaya maut.

Piringan bergerigi dari bahan baja putih mengkilat itu memang luput dari
Hantu Laut, tapi segera menyerang Pendekar Mabuk sebagai sasaran
berikutnya. Dengan cepat Suto Sinting sentakkan kedua tangannya dengan
pangkal telapak tangan saling berhimpit. Sentakan itu timbulkan sinar
putih menyilaukan. Sinar itu menghantam gerak laju piringan bergerigi.
Akibatnya, piringan itu terhenti bergerak, dan bahkan mental ke belakang
bagai membentur dinding keras. Trak...! Traangngng...! Piringan itu
jatuh dan menimbulkan suara berisik sekali akibat menggema di ruangan
itu. Hantu Laut sampai menutup kedua telinganya dengan kedua tangannya.

Pendekar Mabuk memeriksa piringan itu, dan Hantu Laut cepat pandangkan
mata ke sekelilingnya dengan penuh waspada. Dewa Racun lalu memeriksa
lorong yang tadi ada di belakang Hantu Laut, tempat melesatnya piringan
bergerigi itu. Tapi di sana kembali tidak ia temukan siapa pun yang
patut dicurigai. Tak ada orang, tak ada suara napas tertahan. Lorong itu
kosong dan lengang.

Posisi Hantu Laut masih berada di tengah ruangan itu, walau tidak tepat
di titik merah. Dan tiba-tiba ia terkejut bukan kepalang. Semuanya pun
ikut terkejut karena suasana terang itu tiba-tiba berubah menjadi gelap
seketika. Seolah-olah ada yang menutup lubang atap tempat masuknya sinar
matahari itu. Seolah-olah siang berubah menjadi malam seketika.

Blappp... !
"Sutoooo...!" seru Hantu Laut dengan nada cemas. "Suto, di mana kau?!
Jawablah...!"

Tak ada jawaban yang terdengar oleh Hantu Laut.

Makin cemas hati si keling berkepala gundul licin itu. Ia takut
ditinggalkan Pendekar Mabuk dan Dewa Racun.

"Sutooo....!" panggilnya lagi. Tetapi tetap saja tak ada jawaban.

Pendekar Mabuk sengaja tidak menjawab walau ia bergerak pelan-pelan
sambil membiasakan matanya memandang dalam gelap. Pendekar Mabuk
menyembunyikan suaranya agar sewaktu-waktu timbul serangan, orang yang
menyerangnya tak dapat mengetahui di mana ia berada. Rupanya pemikiran
seperti itu juga dimiliki oleh Dewa Racun, sehingga Dewa Racun pun tak
ikut serukan kata sepatah pun.

Hantu Laut semakin berdebar-debar, ia merasa bagai tinggal di alam
kesunyian yang amat mencekam jiwa, ia tak berani banyak bergerak, takut
tiba-tiba berseliweran tombak dan senjata rahasia lainnya menghantam
tubuhnya.

Kejap berikut, gelap pun berubah menjadi terang kembali.
Byarrr ...... !

Tersentak kaget hati Hantu Laut menerima kelegaan itu. Ternyata Pendekar
Mabuk masih ada di depannya, pada tangga kedua, dan Dewa Racun ada di
samping kanannya dari tempatnya berdiri saat itu. Tetapi Dewa Racun dan
Suto sama-sama pandangi wajah Hantu Laut dengan mata tak berkedip. Hantu
Laut merasakan ada sesuatu yang aneh dari pandangan mata kedua temannya
itu. Maka, cepat-cepat ia palingkan wajah ke belakang, dan ia tersentak
kaget sampai terpekik di luar kesadarannya.

"Hahh...?! Sssang... sang ketua...?l"

Seorang berkerudung hitam dari atas kepala sampai kaki, mengenakan baju
dan celana dari kain warna hitam pula. Wajahnya putih kelewat pucat,
bibirnya biru, hidungnya mancung, parasnya berkesan tampan muda, tepian
matanya sedikit hitam kebiruan. Orang itu memegang tongkat setinggi
tubuhnya dengan ujungnya berupa mata sabit lengkung sedikit datar.
Tongkat itulah yang dikenal Hantu Laut sebagai pusaka El Maut. Dan hanya
satu orang setahu Hantu Laut yang mempunyai senjata tongkat pusaka El
Maut, yaitu Siluman Tujuh Nyawa. Dan Siluman Tujuh Nyawa sekarang ada di
tengah arena itu dalam jarak tiga langkah berhadapan dengan Hantu Laut.

Gemetar mata Hantu Laut memandangnya, gemetar pula sekujur tubuhnya.
Pucat pasi wajah Hantu Laut setelah sadar bahwa saat itu ia berhadapan
dengan orang yang dulu ingin dibunuhnya dengan senjata Pusaka Tombak
Maut. Hantu Laut mundur dua tindak, sambil berusaha meredakan napasnya
yang sesak, degup jantung yang cepat berdetak, gemeretuk gigi yang takut
memandang wajah putih mayat berkesan dingin bagai gunung salju.

Sementara itu, Pendekar Mabuk dan Dewa Racun masih sama-sama terkesima.
Suto bertanya-tanya dalam hati, siapa orang itu sebenarnya dan dari mana
munculnya? Sedangkan Hantu Laut sudah mengetahui bahwa orang itu adalah
Siluman Tujuh Nyawa, tapi ia belum tahu, bagaimana caranya muncul dalam
kegelapan tadi? Apakah dia akan selalu datang bersama kegelapan?

"'Hantu Laut...!" ucap Siluman Tujuh Nyawa dengan suara tenang tapi
berkesan ingin membunuh. "Sengaja aku menemuimu di arena ini karena
ingin tentukan nasibmu, berapa napas lagi kamu bisa menikmati hidup!
Tapi aku tak mau membunuhmu secara sia-sia! Kamu harus ada perlawanan!
Bertarunglah secara jantan denganku. Hantu Laut...!"

Hantu Laut geleng-gelengkan kepala. Sebab ia ragu untuk menyetujui
pertarungan itu, karena Pendekar Mabuk dan Dewa Racun kelihatan diam
saja tak mau cepat bertindak mendekati dirinya. Sedangkan Hantu Laut
merasa sebagai pihak yang bersalah di mata Siluman Tujuh Nyawa, ia
memang telah memberontak keluar dari gerombolan orang sesat itu. Ia
keluar karena sudah telanjur berkoar ingin membunuh Siluman Tujuh Nyawa
ketika ia masih memegang Pusaka Tombak Maut, milik Jangkar Langit. Pada
waktu memegang pusaka itu, ia merasa dirinya kuat dan mampu
menggulingkan Siluman Tujuh Nyawa dan para sekutunya. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Tumbal Tanpa Kepala").

Tetapi sejak Hantu Laut dikalahkan oleh Suto Sinting, si Pendekar Mabuk
itu, tombak pusaka dilenyapkan oleh Suto. Hantu Laut pun kembali menjadi
orang lemah, merasa bekas budak Kapal Neraka yang dinakhodai oleh Tapak
Baja, orang kepercayaan Siluman Tujuh Nyawa. Namun sesumbarnya yang
ingin membunuh Siluman Tujuh Nyawa itu telah terdengar di telinga yang
bersangkutan, lalu diutuslah pengawal pribadinya yang berilmu tinggi
dari sekian banyak orang dan sekutunya Siluman Tujuh Nyawa, yaitu Doma
dan Damu. Tugas Doma dan Damu adalah membunuh Hantu Laut yang akan
menjadi pemberontak dan pengkhianat dalam lingkungan Kapal Siluman.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").

Itulah sebabnya, kali ini Hantu Laut nyaris terkulai lemas karena
tahu-tahu ia berhadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa di sebuah arena
pertarungan, di dalam sebuah gua yang banyak lorong, yang tidak memberi
kesempatan bagi Hantu Laut untuk melarikan diri. Karena ia yakin,
Siluman Tujuh Nyawa yang ada di depannya itu pasti sudah hafal dengan
liku-liku lorong- lorong yang ada di situ, sehingga ke mana pun larinya
Hantu Laut, dengan mudah dapat dicegat.

Sengaja Pendekar Mabuk belum mau bergerak, karena dia ingin tahu dulu
sejauh mana Siluman Tujuh Nyawa mau bergerak dan menghadapi Hantu Laut.
Sedangkan Dewa Racun tak berani bertindak apa-apa sebelum Suto memberi
isyarat untuk bergerak.

"Sang ketua... saya telah mencabut sesumbar saya tempo hari! Mohon
jangan buka pertarungan dengan saya!"
"Terlambat!" kata Siluman Tujuh Nyawa dengan dingin.
"Saya sudah jenuh hidup sesat! Saya ingin bertobat dan tak mau membunuh
lagi!"
"Berarti kau harus mati!"
"Saya bisa bertobat tanpa harus mati!"
"Tidak bisa! Aku harus membunuhmu, Hantu Laut! Kamu adalah sebagian
kecil dari dendamku yang tak boleh kubiarkan hidup begitu saja!"

"Ilmu saya tidak seimbang. Jika sang ketua merasa punya ilmu tinggi,
bukan sayalah tandingannya, melainkan si Pendekar Mabuk itu!" Hantu Laut
menuding ke arah Suto, ingin melemparkan ketakutannya ke sana.

Tapi Siluman Tujuh Nyawa yang berdiri di depannya dengan dingin itu tak
mau pandangkan mata ke arah Pendekar Mabuk, ia bahkan berkata kepada
Hantu Laut yang berkeringat dingin itu,

"Sudah tiba waktumu untuk mati! Aku datang buat menj emput kamu!"

Siluman Tujuh Nyawa yang berdiri di depan Hantu Laut itu segera
menggeserkan kaki kanannya ke belakang, tongkat El Maut digenggam kuat
dan mulai siap diayunkan untuk menyerang Hantu Laut.

"Rupanya... rupanya saya tak punya pilihan lain. Saya harus melayani
tantangan ini!" kata Hantu Laut di sela putus harapannya.

"Bagus! Itu yang kumau! Bersiaplah menyambut kematianmu, Hantu Keling...!"
"Baik! Saya pun ingin mati secara ksatria!"

"Heaaat...!" pekik Siluman Tujuh Nyawa, membuat Hantu Laut gugup dalam
mencabut senjata yoyonya. Sementara itu, senjata El Maut sudah siap
ditebaskan dari kanan ke samping kiri. Leher Hantu Laut sasarannya.

"Tahan!" seru Pendekar Mabuk pada akhirnya, ia pun bergerak maju.

***4
SERUAN Pendekar Mabuk tadi sempat membuat orang di depan Hantu Laut
menghentikan gerak sebentar. Matanya melirik ke arah Pendekar Mabuk.
Dilihatnya Suto Sinting tidak melakukan gerak berbahaya maka tebasan itu
dilanjutkan ke arah leher Hantu Laut. Wuttt...!

Kembali Pendekar Mabuk menggerakkan kedua tangannya ke depan dengan
cepat sekali. Wesss...! Sinar putih menyilaukan yang berbentuk lebar
setengah lengkung melesat cepat sekali dari kedua tangan Pendekar Mabuk
yang saling merapat pergelangannya.

Debbb...! Sinar putih itu menahan gerakan tongkat El Maut seakan sebagai
penangkis yang sukar didobrak lagi. Bahkan tongkat El Maut itu sedikit
terpental ke belakang karena kayunya bagai menghantam sesuatu yang amat
keras. Kesempatan itu digunakan oleh Hantu Laut untuk sentakkan kaki dan
bersalto ke belakang satu kali. Ia jauhi lawannya dan menyerahkan
perkara itu kepada Pendekar Mabuk.

Orang berselubung kain hitam dari kepala sampai kaki itu sedikit
sipitkan matanya memandang Suto bak menahan kemarahan. Mata itu melirik
ke arah Dewa Racun, ternyata si cebol itu pun sudah siapkan satu anak
panah berbulu merah yang dapat membakar lawan. Anak panah itu sudah
bertengger di busurnya, siap melesat sewaktu-waktu.

Agaknya Siluman Tujuh Nyawa yang kini berhadapan dengan Pendekar Mabuk
itu berpikir beberapa saat menghadapi keadaan yang demikian, ia tak mau
bertindak gegabah melawan orang yang satu ini, sehingga yang bisa
dilakukan hanya ucapkan kata penuh ketegasan

"Minggir! Jangan turut campur urusanku!"

"Semestinya memang tidak," jawab Suto dengan tenang, walaupun baru kali
ini ia berdiri menghadapi lawan tanpa bumbung tuak di punggung, tapi ia
mencoba untuk biasakan diri dengan begitu.

Suto melanjutkan kata-katanya, "Urusanmu dengan Hantu Laut adalah
urusanmu! Walau aku tahu kau lebih tinggi ilmunya dari Hantu Laut, tapi
aku tidak ingin ikut campur!"

"Bagus kalau kau sudah tahu bahwa ilmuku sangat tinggi!"
"Tapi ada satu masalah yang harus kuselesaikan dulu denganmu!"

"Baru sekarang aku melihatmu! Baru sekarang kita bertemu! Kurasa di
antara kita tak ada masalah," ucap orang bertongkat El Maut dengan
dingin. Nyaris tanpa nada dalam bicaranya.

"Ada!" jawab Suto tetap ngotot tapi kalem. "Ada masalah yang harus kau
selesaikan denganku, yaitu tentang bumbung tuakku!"

Orang itu terdiam dengan mata tetap memandang Suto. Cermin pembunuh
berdarah dingin terlihat jelas dari wajahnya yang putih tanpa senyum di
bibirnya yang biru pucat itu. Orang itu membisu beberapa saat, sampai
akhirnya Pendekar Mabuk sendiri yang teruskan kata,

"Bumbung tuakku hilang saat aku tidur di gua tepi pantai. Mulut gua pun
tertutup oleh batu yang tak bisa dipecahkan. Jika bukan orang sakti
berilmu tinggi macam kau yang mencuri bumbung tuakku dan menutup mulut
gua dengan batu gaib itu, tak mungkin ada orang lain yang bisa
melakukannya!"

"Bumbung tuak...?!" gumamnya, lalu ia tundukkan kepala seakan berpikir
dan mempertimbangkan. Bahkan ia pejamkan matanya pelan-pelan. Sementara
Suto Sinting tetap menunggu jawaban sambil sesekali melirik ke arah Dewa
Racun dan Hantu Laut, yang posisi mereka ada di sebelah kanan dan kiri
Pendekar Mabuk. Dewa Racun tampak tetap siagakan anak panahnya yang
sewaktu-waktu siap dilepaskan ke arah orang berkerudung hitam itu.

Karena terlalu lama menurut ukuran Pendekar Mabuk, ia pun segera berkata,

"Tak perlu ragu, serahkan saja bumbung tuakku itu! Buatmu bumbung itu
tidak berguna, tapi buatku sangat berguna!"

Orang itu tidak menjawab. Masih tundukkan kepala dengan pejamkan mata.
Suto memperhatikan terus sampai akhirnya dahinya berkerut dan wajahnya
sedikit mendekat memandang wajah orang itu. Kemudian terdengar gerutuan
Suto di sela gema ruangan tersebut,

"Sial! Diamalahtidur?!"

"Hah...?!" Hantu Laut terkejut mendengar gumam gerutuan Pendekar Mabuk.
Dewa Racun terperangah tanpa suara dengan dahi berkerut pula. Hati Suto
jadi jengkel. Sebagai pelampiasannya, Pendekar Mabuk cepat melayangkan
kaki kanannya menendang tongkat El Maut bagian bawah.

Plakkk...!

Gerakan kaki Pendekar Mabuk tanpa tenaga dalam yang menendang tongkat
itu tiba-tiba tertahan dan bagaikan diadu dengan gerakan kaki orang yang
tidur itu. Rupanya dalam keadaan tidur, orang berkerudung hitam yang
tadi dipanggil sebagai sang ketua oleh Hantu Laut itu, ternyata masih
bisa pekakan inderanya, sehingga ia tahu akan mendapat tamparan kaki
Pendekar Mabuk pada tongkatnya.

Gerakan kaki orang itu begitu cepat menyambut tendangan kaki Pendekar
Mabuk, sehingga Pendekar Mabuk sendiri menjadi kaget, karena tak menduga
sama sekali kalau akan mendapat sambutan seperti itu. Sang ketua itu
segera membuka matanya dengan sedikit menyipit bagai orang terbangun
dari tidur.

"Tidak ada!" tiba-tiba orang itu ucapkan kata demikian.
"Apanya yang tidak ada?" tanya Pendekar Mabuk.
"Hmm... kau tadi tanyakan soal apa?" orang itu ganti bertanya.
"Bumbung tuakku!"
"O, ya! Bumbung tuakmu itu tidak ada padaku!"
"Bohong!" Pendekar Mabuk sedikit menyentak.
"Terserah apa katamu, tapi aku harus membunuh Hantu Laut!"
"Tak kuizinkan kau menyentuhnya sebelum kau serahkan bumbung tuakku itu!"
"Kalau begitu kau menantangku!"
"Ya!" jawab Suto dengan tegas dan berani, walaupun tetap bersikap tenang
dan kalem.

Orang berkerudung hitam yang berwajah muda dan tampan itu bergerak
melangkahkan kaki ke samping, sepertinya ia malas melayani tantangan
Suto Sinting itu. Sambil melangkah malas-malasan, ia ucapkan kata dengan
suara sedikit keras,

"Tantanganmu akan kulayani setelah aku membunuh Hantu Laut!"

"Kau tak akan bisa membunuhnya selama aku masih ada!" balas Pendekar
Mabuk dengan ikut-ikutan melangkah seenaknya, namun tetap tak jauh dari
pertengahan lingkaran itu. Keduanya saling melangkah memutar secara tak
sadar.

Kemudian, manusia berwajah putih itu menghentikan langkah, Pendekar
Mabuk pun mengikuti. Mereka kembali berhadapan bagai menyiapkan
pertarungan dengan jarak empat langkah. Tiba-tiba orang berwajah kaku
itu ucapkan kata kepada Suto Sinting,

"Baiklah! Kuturuti tantanganmu! Kulayani kemauanmu, tapi jika kau bisa
mengangkat tongkat saktiku ini...!"

Werrr...! Orang itu melemparkan tongkat pusaka El Maut seenaknya saja.
Suto menerima lemparan tongkat yang pelan itu. Tapi tiba-tiba ia jatuh
terpelanting dan tongkat itu menindih dadanya, ia ingin mengangkat
tongkat itu tapi tak kuat. Ia kerahkan tenaganya sekali lagi, tapi
tongkat itu bagaikan gunung yang dijatuhkan di dada Pendekar Mabuk.

"Gila ilmu orang ini!" pikir Pendekar Mabuk dalam kebingungannya. Wajah
Suto sempat berkerut karena menahan tongkat yang makin lama terasa
semakin berat. Urat-urat lehernya sampai tampak keluar karena kuatnya ia
kerahkan tenaga untuk memindahkan tongkat itu dari dadanya. Tapi Suto
belum juga berhasil dengan usahanya itu.

"Ha ha ha ha...!" orang berkerudung hitam itu tertawa dengan wajah tetap
kaku dan mulut terasa malas untuk digerakkan melebar. Lalu, orang itu
berseru dengan nada menghina, "Baru mengangkat tongkatku saja kau tak
mampu, apalagi mau menantangku?! Kau masih perlu banyak belajar, Bocah
Kencur! Jangan sekali-kali menantangku sebelum kau bisa pindahkan gunung
ke seberang lautan!"

Hantu Laut benar-benar heran. Baru sekarang ia melihat Siluman Tujuh
Nyawa menakar kekuatan seorang lawan dengan melemparkan tongkatnya.
Padahal itu sangat berbahaya bagi dirinya sendiri. Jika lawannya mampu
mengangkat tongkat itu, berarti tongkat pusaka El Maut itu akan dimiliki
oleh lawannya. Jelas lawannya pasti berilmu lebih tinggi dari dirinya.

Hantu Laut tentu saja heran, mengapa Siluman Tujuh Nyawa sampai berani
mengambil sikap untung-untungan begitu? Biasanya Siluman Tujuh Nyawa
andaikata harus menguji ketinggian ilmu lawannya, ia akan menyuruh Doma
Damu untuk melawan orang itu. Apakah karena ia tahu bahwa Doma Damu
sudah dikalahkan oleh Pendekar Mabuk, sehingga ia menggunakan tongkatnya
untuk menguji kekuatan diri Pendekar Mabuk?

"Memang sebaiknya kau tiduran di situ tertindih tongkatku, sementara
kuselesaikan urusanku dengan Hantu Laut!" katanya.

Dewa Racun cepat berseru, "Kulepaskan pan... pann... panah ini jika
tidak segera kau angkat tong... tong... tong ........... "

"Tongkrongan?!"

"Bukan! Tongkatmu, maksudku! Lekas angkat tongkatmu dari tubuh temanku
itu!" gertak Dewa Racun.

Tapi Siluman Tujuh Nyawa hanya pandangi wajah Dewa Racun beberapa kejap.
Tiba-tiba tubuh kecil itu jatuh terduduk, kakinya tak bisa dipakai
berdiri, ia berusaha bangkit tapi justru terpelanting jauh dari tempat
semula. Kakinya lumpuh mendadak dan sama sekali tak bertulang serta tak
berurat sedikit pun.

Siluman Tujuh Nyawa masih terus memandang Dewa Racun. Cepat-cepat Dewa
Racun meraih busurnya yang agak jauh dari tangan akibat terpelanting
tadi, lalu ia siapkan anak panah lagi ke arah Siluman Tujuh Nyawa.

Tali busur terentang dan anak panah mengancam.

"Terpak... terpak... terpaksa aku melakukannya!" kata Dewa Racun sambil
mau melepaskan anak panahnya itu. Tetapi, tiba-tiba tulang lengannya
terkulai bagaikan lepas dari engselnya. Kedua tangan Dewa Racun tak bisa
dipakai untuk bergerak. Dewa Racun merasa lumpuh kaki dan tangannya.

Melihat hal itu, Hantu Laut menjadi tegang. Kecemasannya kian membungkus
keberanian. Tapi ia sembunyikan hal itu, walau hatinya pun merasa kecewa
terhadap Suto dan Dewa Racun yang diharapkan menjadi pelindungnya,
ternyata mampu dilumpuhkan Siluman Tujuh Nyawa.

Orang berkerudung hitam bagai utusan dari alam kubur itu mulai
melangkahkan kaki mendekati Hantu Laut. Pendekar Mabuk merasa cemas akan
nasib Hantu Laut. Dalam keadaan tertindih beban yang amat berat itu,
Pendekar Mabuk segera sentilkan jarinya ke arah Siluman Tujuh Nyawa.
Sentilan jurus 'Jari Guntur' itu tepat mengenai punggung lawan. Debbb...!

Siluman Tujuh Nyawa merasa mendapat tendangan bertenaga kuda yang amat
besar dan keras, ia pun tersungkur jatuh. Brukk...! Tapi lekas berdiri
dan membalikkan badan menghadap Pendekar Mabuk, ia menggeram melalui
dengusan napas memanjang. Tapi wajahnya masih dingin dan kaku. Hanya
matanya yang terlihat lebih tajam memandang Suto sebagai ungkapan
kemarahannya.

"Kurang ajar! Berani-beraninya kau melakukan hal itu kepadaku, hah?!"

Sambil menahan beban berat, Suto berkata, "Aku hanya ingin membuktikan,
bahwa biar dalam keadaan terj epit begini, tapi aku masih bisa
menumbangkan dirimu! Apalagi jika aku tidak sedang terj epit begini! Dan
kujamin kau sendiri tak akan bisa mengangkat kembali tongkatmu ini,
karena separo lebih dari ilmumu telah kumusnahkan dengan jurus 'Jari
Guntur'-ku tadi!"

"'Jari Guntur'...?!" Siluman Tujuh Nyawa sedikit heran dalam gumamnya
itu. Tapi ia tetap pandangi Pendekar Mabuk tanpa perubahan wajah.

"Terus terang, aku curang karena membokongmu! Tapi tak ada jalan lain
untuk menyedot separo lebih dari ilmumu, hingga untuk mengangkat tongkat
ini pun kau tak akan bisa lagi!"

"Omong kosong!" sentaknya, lalu cepat ia melangkah mendekati Suto dan
segera mengambil tongkatnya. Wuttt... !

Bersama terangkatnya tongkat itu, Pendekar Mabuk sentakkan tenaga
dalamnya yang tinggi melalui sorot pandangan matanya. Maka, tongkat yang
telah didorong oleh tenaga dalam melalui mata itu menjadi sangat ringan
bahkan bergerak naik dengan cepat, tak terkendalikan oleh pemegangnya.

Pendekar Mabuk cepat bangkit sambil menghela napasnya yang tadi terasa
sesak, sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terangkat terbang karena kekuatan
tenaga dalam yang tinggi dari mata Pendekar Mabuk. Mata Pendekar Mabuk
tetap pandangi terus tongkat itu, hingga kepala Siluman Tujuh Nyawa
mencapai langit-langit ruangan yang tinggi itu.

"Keparat! Turunkan aku! Turunkan!" teriak Siluman Tujuh Nyawa dari atas
sana. Suto hanya tersenyum sambil dongakkan kepalanya dan pandangi
tongkat itu terus.

Jurus 'Pucuk Rembulan' digunakan Suto Sinting. Kalau saja tadi kekuatan
besar yang ditanamkan oleh lawan di tongkat itu tidak dilepaskan lebih
dulu, jurus 'Pucuk Rembulan' gagal dipakai mengangkat tongkat itu. Tapi
karena lawan sudah mengurangi kekuatan tenaga dalam yang ditanamkan di
tongkat itu dengan cara pancingan Suto tadi, maka jurus 'Pucuk Rembulan'
tak boleh telat dipancarkannya.

Jurus yang menggunakan kekuatan mata itu adalah pemberian Bidadari
Jalang, bibi gurunya, yang mampu membuat seseorang atau benda apa pun
terangkat terbang jika dipandang dari bawah. Seakan ada tenaga pendorong
yang amat besar dan bisa menopang beban tak terlalu berat.

"Turunkan aku, Bocah Ingusan...!" teriak Siluman Tujuh Nyawa yang masih
tergantung-gantung di ketinggian. Rasa heran dan curiga membuat Siluman
Tujuh Nyawa lupa, bahwa semestinya ia bisa melepaskan saja tongkat itu
dan membiarkan menggantung di atas sementara ia melompat turun, atau
menggunakan lagi tenaga dalam pembeban tongkat itu seperti tadi,
sehingga tongkat dan dirinya akan turun sendiri.

Sesuatu yang mengganggu pikiran dan hatinya dapat membuatnya menjadi
orang bodoh. Dan sesuatu itu kini mulai dipertanyakan ketika Pendekar
Mabuk melepaskan jurus 'Pucuk Rembulan' dari tongkat tersebut. Lepasnya
jurus itu membuat tubuh Siluman Tujuh Nyawa tersentak turun bersama
tongkat El Maut-nya.

Jlegg...! Ia mendarat dengan mantap dan tegak, tanpa ada gerakan limbung
sedikit pun. Bahkan ketika ia mendaratkan kakinya di lantai, kaki itu
mengepulkan asap tipis warna putih, kejap berikutnya napas itu hilang
bagaikan padam dari baranya.

"Kau memang berilmu tinggi, tapi tidak punya kecerdasan!" kata Suto
mengecam. Mata orang beralis sangat tipis karena tertutup warna putih
semacam bedak itu memandang Suto dengan lebih tajam lagi. Agaknya ia
tidak hiraukan kecaman itu, karena ada sesuatu yang dipikirkannya.

"Apakah kita harus teruskan perkara ini dengan pertarungan secara
kesatria?" pancing Pendekar Mabuk dalam tantangannya.

Tapi Siluman Tujuh Nyawa itu hanya berkata, "Jurus 'Pucuk Rembulan' kau
miliki...?!"

Suto Sinting terkejut mendengar jurus itu disebutkan Siluman Tujuh
Nyawa, ia tak sangka lawannya mengetahui nama jurus itu. Bahkan Siluman
Tujuh Nyawa ucapkan kata,

"Jurus 'Pucuk Rembulan' itu milik Bidadari Jalang!"

Mulut Suto terperangah, mata bergerak melebar. Sebelum ia ucapkan kata,
Siluman Tujuh Nyawa segera bicara,

"Jurus 'Jari Guntur' adalah milik si Gila Tuak!"
"Bagaimana kau bisa tahu kedua jurusku itu?" tanya Suto heran.

Siluman Tujuh Nyawa pejamkan mata tanpa tundukkan kepala. Tapi makin
lama makin bergerak menunduk kepalanya itu, sedikit miring ke kiri.
Bibirnya yang semula rapat sedikit membuka. Suto menyangka orang itu
melakukan semadi untuk kembalikan daya ingatnya sehubungan dengan
pertanyaan Pendekar Mabuk. Tapi makin lama semakin kelihatan pulas dan
terdengar suara dengkurnya kecil.

"Sial! Tidur lagi dia?!" ucap Pendekar Mabuk sambil memandang Dewa Racun
yang masih lumpuh kaki dan tangannya.

"Hai, bangun!" sentak Suto sambil hentakkan kaki ke lantai.

Orang itu tersentak, melonjak ke atas sambil menggeragap. Lalu, ketika
kakinya menginjak kembali ke lantai, ia sudah siap dengan kuda-kuda dan
jurus pembuka serangan. Tongkatnya dipegang oleh dua tangan dan siap
ditebaskan. Tapi Suto segera ulangi tanya,

"Bagaimana kau bisa tahu kedua jurusku itu? Apakah kau kenal dengan
kedua guruku juga?"

Siluman Tujuh Nyawa redakan ketegangannya, ia kembali berdiri dengan
sikap santai. Tongkatnya digenggam tangan kanan dalam keadaan berdiri di
sampingnya.

"Apa maksudmu menanyakan aku kenal dengan kedua gurumu? Kedua guru yang
mana?"
"Si Gila Tuak dan Bidadari Jalang!" jawab Pendekar Mabuk.

Siluman Tujuh Nyawa terkejut dengan cara menarik kepala ke belakang
sedikit, tapi wajahnya tetap beku dan dingin.

"Apakah benar kau murid mereka?"
"Ya! Kau takut berhadapan dengan mereka?"

Siluman Tujuh Nyawa tidak kasih jawaban, tapi justru ajukan pertanyaan
lagi,

"Sebutkan nama asli mereka jika memang kau murid mereka!"
"Ki Sabawana dan Nawang Tresni!" Suto sebutkan nama asli Gila Tuak dan
Bidadari Jalang.

"Edan!" cetus Siluman Tujuh Nyawa, ia hempaskan napas panjang-panjang
dengan melangkah ke belakang, lalu membalik lagi, seperti menyimpan
kekecewaan, penyesalan dan kegelisahan.

Pendekar Mabuk, Hantu Laut, dan Dewa Racun, sama-sama memandang Siluman
Tujuh Nyawa dengan perasaan heran. Hati mereka bertanya-tanya, mengapa
Siluman Tujuh Nyawa tampak berubah sikap. Bahkan sekarang ia duduk di
tepian lantai bundar itu, kakinya di tangga kedua. Tongkat El Maut-nya
digeletakkan begitu saja walau berada tak jauh darinya.

Lama ia termenung di situ dengan sikap duduk, satu kaki melonjor, satu
tangan bertumpu ke belakang, sementara wajahnya menatap Suto Sinting.
Hantu Laut baru sekarang melihat Siluman Tujuh Nyawa bersikap duduk
tanpa wibawa sama sekali. Bahkan ia sempat garuk-garuk kepalanya walau
tetap terbungkus kain kerudung hitam.

Lalu, terdengar ia ajukan tanya kepada Suto, "Jika kau memang murid si
Gila Tuak, mengapa kau membela Hantu Laut? Tak tahukah kau siapa Hantu
Laut itu?!"

"Aku tahu, dia bekas anak buahmu, yang ingin menentang kekuasaanmu.
Karena tak ingin lagi berada di jalan yang sesat! Tapi masalahnya
sekarang bukan hanya aku membela dia, tapi karena aku inginkan bumbung
tuakku yang kau curi itu."

Siluman Tujuh Nyawa hempaskan napas, seperti kesal pada dirinya sendiri,
ia kembali berkata kepada Suto.

"Bumbung tuakmu masih ada! Tidak kupecahkan!" Setelah berkata begitu,
Siluman Tujuh Nyawa membuka kerudung hitamnya dari bagian leher ke atas,
dan sesuatu yang lengket itu pun ikut terlepas dari wajahnya. Sesuatu
yang lengket itu adalah topeng tipis berwajah Siluman Tujuh Nyawa. Kini
wajah aslinya terlihat jelas, dan Hantu Laut segera serukan kata kagetnya,

"Ki Gendeng Sekarat...?!"

"Ya. Aku Gendeng Sekarat! Kau masih ingat?!" ujar Ki Gendeng Sekarat
kepada Hantu Laut. Tapi Hantu Laut hanya terbengong, demikian juga
halnya Dewa Racun dan Pendekar Mabuk.

* * *

RAMBUT ikal tanpa hitam selembar pun kecuali warna putih uban itu diikat
dengan ikat kepala kain hitam. Rambut itu tidak panjang, hanya sebatas
tengkuk saja. Kumisnya yang putih, juga tidak terlalu lebat seperti
jenggotnya yang putih pula itu. Badannya kurus, tapi tidak ceking.
Pakaiannya serba merah, diikat sabuk hjtam lebar. Sebuah kipas warna
hitam terselip di pinggangnya itu.

Wajah tua berusia sekitar tujuh puluh tahun lebih itu dikenal Hantu Laut
dan Dewa Racun sebagai orang yang berjuluk Gendeng Sekarat. Dialah
penguasa Pulau Mayat yang selamat dari pembantaian Kapal Siluman. Itulah
sebabnya Gendeng Sekarat bernafsu sekali untuk membunuh Hantu Laut,
karena dia tahu Hantu Laut anak buah Siluman Tujuh Nyawa.

"Aku punya dendam terhadap semua anak buahnya Siluman Tujuh Nyawa," kata
Ki Gendeng Sekarat sambil membawa masuk mereka ke sebuah lorong, karena
ia ingin membawa mereka ke suatu tempat yang sangat rahasia.

Ia berkata lagi, "Bahkan aku mencoba menyamar sebagai Siluman Tujuh
Nyawa di depan kalian, karena samaran ini yang nantinya kupakai untuk
membantai mereka! Dan ternyata kalian tidak ada yang menyangka bahwa aku
adalah Durmala Sanca palsu," kata Ki Gendeng Sekarat dengan menyebutkan
nama asli Siluman Tujuh Nyawa."Saya kira tadinya Ki Gendeng-lah orang
yang selama ini menjadi Siluman Tujuh Nyawa," kata Suto dalam langkahnya
yang mengiringi orang tua berbadan segar dan tegap itu.

"Aku bukan orang picik, mengapa harus menjadi orang macam Durmala Sanca.
Menyamar sebagai dia saja kupertimbangkan berbulan-bulan. Akhirnya aku
berhasil membuat topeng Siluman Tujuh Nyawa dengan menggunakan kulit
manusia yang kuolah dan kubuat sedemikian rupa. Maka jadilah topeng
wajah yang menurutku sangat persis dengan wajah Durmala Sanca. O, ya...
bagaimana kabar si Gila Tuak?"

"Beliau dalam keadaan sehat-sehat saja, Ki," jawab Suto dengan sopan dan
penuh hormat.
"Bidadari Jalang apakah masih jalang seperti dulu?"
"Beliau sudah mengasingkan diri dan menghentikan segala tindakan masa
lalunya."

"Bagus!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil membelok ke kiri, dan Dewa Racun
serta yang lainnya mengikutinya, ia berkata lagi,

"Mungkin kau belum tahu apa hubunganku dengan gurumu si Gila Tuak itu,
Suto!"
"Saya baru akan menanyakannya, Ki."
"Aku dulu bekas pelayannya!" kata Ki Gendeng Sekarat dengan rasa bangga.

"Tapi Gila Tuak pelit, tak mau turunkan ilmunya sedikit pun kepadaku.
Aku ngotot, lalu gurumu menyuruh aku pergi ke seorang temannya yang
bernama Pramban Jati dan berguru kepadanya."

"Apakah Eyang Pramban Jati sekarang masih hidup, Ki?"

"Sudah meninggal. Bahkan gurumu yang menyempurnakan jasadnya, karena ia
meninggal dalam keadaan menjadi seekor naga di Gunung Kundalini akibat
kutukan Nyai Suketi. Dan Nyai Suketi itu sebenarnya penguasa Gunung
Kundalini yang terkenal sakti mandraguna, dia masuk dalam golongan
tokoh- tokoh sesat. Tapi ia dikalahkan oleh seorang ratu dari alam halus
yang bernama Gusti Ratu Kartika Wangi!"

Srek...! Kaki Pendekar Mabuk terhenti seketika, demikian pula Dewa
Racun. Kedua orang itu sama-sama kaget ketika mendengar nama Gusti Ratu
Kartika Wangi disebutkan oleh Ki Gendeng Sekarat. Tentu saja Ki Gendeng
Sekarat merasa heran melihat sikap dua orang yang memandangnya.

"Kenapa kau kaget?" tanyanya kepada Suto.
"Ki Gendeng kenal dengan Gusti Ratu Kartika Wangi?"

"Sangat kenal, karena dulu aku pun mengabdi kepada beliau, sebagai
penjaga Kolam Sabda Dewa. Tapi karena aku tergila-gila dengan seorang
perempuan di alam nyata ini, maka kutinggalkan pengabdianku dan Gusti
Ratu Kartika Wangi tidak merasa keberatan. Aku pergi secara baik-baik
dan seizin dia. Hmmm... ada apa kau tanyakan hal itu?" Ki Gendeng
Sekarat tampakkan kecurigaannya. Tapi Suto menjawab,

"Hmmm... tidak! Tidak ada apa-apa. Aku hanya pernah mendengar cerita
tentang Gusti Ratu Kartika Wangi dari negeri Puri Gerbang Surgawi."

"Benar. Pasti gurumu yang menceritakan hal itu. Dan sekarang, Puri
Gerbang Surgawi di alam nyata itu ada di Pulau Serindu. Negeri itu juga
dalam ancaman bahaya Siluman Tujuh Nyawa."

Sebenarnya Pendekar Mabuk ingin jelaskan siapa dirinya dan Dewa Racun.
Tapi ia takut ada kesan menyombongkan diri di depan orang sakti itu,
sehingga ia pun diam saja dan mengikuti terus dengan perasaan tak enak
karena mendapat sikap kurang ramah dari Ki Gendeng Sekarat.

Mereka masuk ke sebuah ruangan menyerupai kamar besar. Ruangan itu penuh
dengan nyala obor-obor kecil, berkeliling dinding terbagi menjadi tiga
baris. Di kamar itu juga ada beberapa peti mati.

Warnanya hitam bertutup tanpa kunci. Suto menghitung peti mati itu,
ternyata berjumlah delapan belas peti. Entah ada isinya semua atau hanya
sekadar pajangan saja.

Hantu Laut tak berani ikut masuk. Agak ngeri ia melihat suasana seram
seperti itu, sehingga ia hanya berdiri di pintu masuk saja, sambil
bersikap sebagai penjaga keamanan suatu tempat yang sebenarnya tak perlu
dijaga itu.

"Di sini aku mempersiapkan bala tentaraku untuk menyerbu Kapal Siluman.
Tapi baru ada delapan belas orang. Itu pun yang satu sudah kau hancurkan
di depan gua."

"Mak... mak... mak... maksud Ki Gendeng, mayat yang bisa menyerang orang
dengan ilmu 'Cakar Kubur'?" tanya Dewa Racun.

"Ya. Betul apa katamu. Ilmu 'Cakar Kubur' kubekalkan kepada mereka,"
sambil berkata begitu, Ki Gendeng Sekarat sentilkan jarinya ke tiap-tiap
peti mayat. Maka, satu persatu mayat itu pun bangkit dari dalam peti
dengan wajah-wajah buas dan liar. Mata mereka serba putih, tapi jelas
arahnya tertuju pada Suto dan Dewa Racun.

Pendekar Mabuk dan Dewa Racun terperanjat dan undurkan diri dua tindak.
Tapi Ki Gendeng Sekarat cepat berkata,

"Jangan takut! Aku sedang memperkenalkan kalian kepada mereka, supaya
mereka tidak menyerang kalian lagi sewaktu-waktu jumpa di jalan."

"Berr... ber... berjumpa pun saya enggan, Ki," kata Dewa Racun.

Ki Gendeng Sekarat tertawa, ia tundukkan kepala dan pejamkan mata. Suto
dan Dewa Racun saling pandang. Hantu Laut disuruhnya masuk, tapi menolak
dan memilih berdiri di pintu saja. Sementara itu, mayat- mayat itu
menyeringai bagai memamerkan senyum kengeriannya masing-masing. Bahkan
ada yang melambaikan tangan bagai menggoda anak kecil kepada Dewa Racun.
Dewa Racun bersungut-sungut sambil bergeser merapat ke tubuh Suto.

Kejap berikutnya mayat-mayat itu masuk kembali ke dalam peti
masing-masing sebagai tempat tidur mereka. Dewa Racun hembuskan napas,
selain merasa lega juga mengusir bau tak sedap yang ditimbulkan dari
dalam tiap peti mati itu.

Ki Gendeng Sekarat masih tundukan kepala dan pejamkan mata. Makin lama
makin miring posisi kepalanya. Pendekar Mabuk mulai curiga dan mencolek
lengan Dewa Racun agar ikut memandang ke arah Ki Gendeng Sekarat. Lalu,
Dewa Racun menggerutu.

"Tidur lagi dddi... dia!"
"Mungkin itu salah satu dari penyakitnya!" kata Suto.
"Bangunkan dia!"
"Ki Gendeng!" panggil Pendekar Mabuk dengan suara agak keras.
"Hmmm...!" sahut Ki Gendeng Sekarat dengan masih tertidur.

"Sebenarnya banyak yang ingin kami bicarakan dengan Ki Gendeng. Tapi
rasa-rasanya Ki Gendeng perlu istirahat dulu. Biarlah kami di luar gua
ini. Tapi, ke mana jalan menuju keluar?"

"Ke kiri, terus ke kanan, kiri lagi, kiri dan ke kanan sedikit, baru ke
kiri lagi, terus luurruuus... saja jangan belok-belok, setelah ada dua
simpangan lorong, kalian ke kanan, lalu ke kiri lagi, dan akhirnya ke
kanan terus, baru setelah itu ke kiri dan kalian akan temui mulut gua
tempat kalian datang pertama kali itu!"

Ki Gendeng Sekarat menjelaskan tentang jalan keluar itu sambil kepalanya
miring, matanya tetap terpejam dan ia pun pulas tertidur. Pendekar Mabuk
dan yang lainnya merasa heran, juga geli melihat kebiasaan tidur Ki
Gendeng Sekarat. Karena sudah terbiasa, biar dalam keadaan tidur pun
orang itu masih bisa diajak bicara dan tahu jalan rupanya.

"Ki, kami bingung mengikuti arah petunjuk Ki Gendeng Sekarat itu!"

"Ah, kalau begitu biar kuantar keluar saja kalian!" Ki Gendeng Sekarat
melangkah sambil tetap pejamkan mata, sesekali terdengar ngoroknya.

"Ki Gendeng, tentang bumbung bambu tempat tuak milik saya itu mana, Ki?
Saya harus bawa tempat tuak itu!"

"O, iya! Tadi kamu tidak bilang sekalian!" gerutunya sambil kembali lagi
masuk ke kamar tadi, lalu keluar sudah membawa bumbung tempat tuak dalam
keadaan masih terpejam. Bumbung itu diserahkan kepada Suto sambil berkata,

"Bumbung ini tidak ada gunanya jika kau bawa kemari, selain hanya
sebagai tempat tuak."
"Mengapa begitu, Ki?" tanya Hantu Laut beranikan diri mengakrabkan
hubungan agar tak canggung.

"Karena segala kekuatan gaib yang masuk ke sini tidak akan bisa bekerja,
kecuali tenaga inti, tenaga dalam, tenaga batin dan tenaga kasar kita!
Gua ini adalah gua penyadap gaib! Sihir atau teluh tidak bisa masuk ke
tempat ini!"

Sambil melangkah mengikuti Ki Gendeng Sekarat yang tidur dengan enaknya
itu, Suto ajukan tanya lagi,

"Lalu, bukankah batu besar penutup gua itu adalah batu gaib? Mengapa
kekuatannya sangat besar di gua ini?"

"Siapa yang taruh batu? Di mulut gua tidak ada batu! Aku hanya
kendalikan indera keenam kalian supaya melihat apa yang ada di depan gua
adalah batu besar yang tak bisa ditembus apa pun! Sebenarnya kalau
kalian nekat keluar, bisa saja kalian keluar!"

"Tapi waktu kami pukul dengan tenaga dalam kami, batu itu tidak mempan
dan pukulan membalik ke arah kami!"

"Karena indera keenammu sudah yakin betul bahwa di depan ada batu besar
yang sulit digeser dan dipecahkan!" jawab Ki Gendeng sambil membelok ke
kanan. "Kalau indera keenammu mengatakan tak ada batu tak ada apa pun,
ya tetap tak ada! Kalian hantamkan pukulan tenaga dalam juga tak akan
membalik arah karena tidak ada penghalang apa-apa."

Dewa Racun pandangi Suto, sementara Hantu Laut berbisik,

"Menarik sekali kekuatan kendali indera itu!"

Dewa Racun cepat ajukan tanya dari belakang, "Tapi kami tadi jug...
jug... juga melihat gambar-gambar aneh mengenai diri kami. Siapa
pelukisnya, Ki?"

"Ya kalian sendiri! Indera keenam kalian yang melukis peristiwa yang
pernah kalian alami dan masih hangat di otak kalian!"

"Mengenai cahaya terang yang tiba-tiba gelap dan terang lagi di arena
itu, bagaimana?" tanya Hantu Laut yang sangat penasaran sekaligus kagum
kepada kesaktian Ki Gendeng Sekarat.

Sambil tidur dan melangkah Ki Gendeng Sekarat menjawab, "Sama saja!
Indera kalian yang kukendalikan supaya seolah-olah melihat suasana jadi
terang, jadi gelap dan jadi terang lagi."

"Termasuk cahaya kuning dan putih yang ada di persimpangan gua?" tambah
Suto Sinting sambil kembali menenggak tuaknya dalam jalan.

"O, kalau itu karena jebakan! Memang aku menjebak kalian. Kalau kalian
salah pilih ke sinar kuning, maka kalian akan berhadapan dengan ribuan
ekor ular berbisa yang paling ganas di dunia ini! Aku menyimpannya di
lorong sebelah kiri dari arah kalian masuk tadi!"

Dewa Racun menyahut, "Berarti kelumpuhan saya tadi juga karena tipuan
indera keenam saja ya, Ki?"

"O, kalau itu memang kehebatan tenaga dalamku!" jawab Ki Gendeng Sekarat
sedikit banggakan diri.

"Dan hilangnya bumbung tuakku juga tipuan indera?"
"O, kalau itu memang kucolong!"

Mereka tertawa pendek. Ternyata ketika mereka melewati dinding bergambar
tadi, gambar tersebut sudah tidak ada. Itu pertanda kendali indera telah
dilepas oleh Ki Gendeng Sekarat, sehingga apa yang mereka lihat, yang
mereka pegang, dan yang mereka rasakan adalah asli apa adanya.

Benar juga kata Ki Gendeng Sekarat, bahwa di mulut gua tak ada batu.
Bekas batu besar pun tak ada. Rumput yang seharusnya tertindih batu
besar itu tetap mekar dan tumbuh segar. Itu berarti rumput tersebut tak
pernah tertindih benda besar.

* * *

*Di mulut gua, *Ki Gendeng Sekarat menghentikan langkah dan berkata
dengan masih pejamkan mata karena tidur. Suaranya pun tetap mengambang
sumbang seperti sejak keberangkatan dari dalam kamar penghuni mayat itu,

"Badai sudah reda, kalian bisa teruskan perjalanan kembali! Kalian bisa
kembali untuk bicara padaku setelah urusan kalian selesai. Caranya mu...
mu... mu...," Ki Gendeng Sekarat membuka matanya, ia sempat bingung
sejenak melihat keadaan sekeliling. "Lho, ada di sini aku?"

"Ki Gendeng tadi tidur sambil berjalan," kata Pendekar Mabuk seraya
tersenyum ramah, demikian pula Dewa Racun dan Hantu Laut.

"O, begitu? Aku tidur sambil berjalan? Hmmm...!" Ki Gendeng Sekarat
kerutkan dahi.

Tiba-tiba Ki Gendeng Sekarat sentakkan diri ke belakang, matanya
membelalak tegang memandang Pendekar Mabuk dan Dewa Racun bergantian.
Yang dipandang jadi kebingungan sendiri. Lalu, Suto ajukan tanya,

"Ada apa, Ki? Kenapa Ki Gendeng pandangi kami demikian?"

Sekarang Ki Gendeng Sekarat malahan membungkukkan badan di depan Dewa
Racun dan Suto Sinting yang sudah ada lima langkah di depan mulut gua
itu, sedangkan Hantu Laut ada di belakang mereka berdua.

"Ampunilah hamba...! Hamba tidak tahu sama sekali!" ucap Ki Gendeng
Sekarat membuat Suto dan
Dewa Racun tambah bingung. Maka, Suto pun membisik lirih,

"Wah, benar-benar gendeng dia ini! Kenapa dia menghormat dan menjadi
takut kepada kita?"
"En... entahlah! Ja... ja... jangan-jangan kita yang gendeng! Dia malah
tidak mau pandang kita lagi, Suto. Dia tetap tundukkan kepalanya!"

Maka segera Pendekar Mabuk bertanya, "Mengapa Ki Gendeng bersikap begitu
kepada kami? Biasa-biasa saja seperti tadi, Ki!"

"Tid... tidak! Saaaya... eh, hamba tidak berani!"

"Apa sebabnya?'

"Hamba baru tahu bahwa di dahi Tuan-tuan ada noda merah, sebagai orang
kehormatan dari Istana Puri Gerbang Surgawi. Hamba tahu, noda merah itu
adalah pemberian dari Gusti Ratu Kartika Wangi!"

"Ooo...," kedua orang itu manggut-manggut, bahkan Hantu Laut ikut
manggut-manggut walaupun dia heran, noda merah apa yang dimaksud Ki
Gendeng Sekarat itu? Sebab Hantu Laut sendiri tidak melihat ada noda
merah di dahi Dewa Racun dan Pendekar Mabuk.

Tidak semua orang bisa melihat tanda merah sebagai anggota kehormatan
Puri Gerbang Surgawi yang ada di alam gaib itu. Hanya orang sesama
anggota dan orang berilmu tinggi yang bisa melihatnya. Dan tanda
kehormatan noda merah merupakan kehormatan tertinggi yang selalu harus
dihormati oleh mereka yang tahu tentang Puri Gerbang Surgawi. Apalagi Ki
Gendeng Sekarat pernah menjadi penjaga Kolam Sabda Dewa, pasti dia akan
takut dan hormat kepada Suto dan Dewa Racun.

Jika tidak, ia bisa kena hukuman dari Gusti Ratu Kartika Wangi, penguasa
negeri gaib itu. Jika tadi Ki Gendeng Sekarat seenaknya mempermainkan
indera Pendekar Mabuk dan Dewa Racun, itu karena di dalam gua tanda gaib
itu tidak terlihat. Dan sampai sekarang Ki Gendeng Sekarat belum mau
tegakkan diri sebelum mendapat ucapan semacam berkat atau doa dari kedua
orang itu. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu
Wajah").

Maka, setelah ingat hal itu, Suto pun segera ucapkan sapaan berkat
kepada Ki Gendeng Sekarat.

"Damai hidupmu, panjanglah umurmu!"
Dewa Racun ucapkan sapaan sendiri, "Keselamatan selalu menyertaimu.
Bangkitlah!"

Beruntung sekali Dewa Racun tidak tergagap bicaranya, sehingga tampak
wibawa dan penuh kharisma. Maka, Ki Gendeng Sekarat pun segera
mengangkat badannya, tegakkan diri sambil mengucap, "Terima kasih."
Setelah itu ia sambungkan kata,

"Hamba sama sekali tidak menyangka bahwa...."

"Cukup, Ki Gendeng!" potong Suto. "Aku tak mau kau berlebihan dalam
menghormat kami. Biasa-biasa saja. Percuma jika mulut dan sikap
menghormat tapi batin tidak menghormat. Cukuplah Ki Gendeng bersikap
hormat di dalam hati kepada kami, supaya hubungan kita tidak canggung!"

"Baik kalau memang itu perintah darimu," jawab Ki Gendeng Sekarat.

"Banyak yang ingin kubicarakan berkenaan dengan negeri Puri Gerbang
Surgawi itu! Aku juga ingin bicarakan tentang Siluman Tujuh Nyawa itu!
Tapi seperti apa kata Ki Gendeng tadi, memang sebaiknya kami selesaikan
dulu urusan kami di Pulau Serindu. Nanti kami baru mampir kemari lagi!"

"Saya setuju dengan rencanamu itu, Suto; Pendekar Mabuk!" kata Ki
Gendeng Sekarat masih agak kaku karena hormat.
Dewa Racun ucapkan kata, "Jaga diri baik-baik, supaya kita bisa satukan
kekkk... kekkk... kekkk...."
"Wah, macet lagi dia!" pikir Hantu Laut.
"Kkek... kekkkuatan... kekuatan kita untuk menyerang Kapal Siluman!"
"Baik. Aku sangat setuju dan tunggu perintah."

Jawaban itu cukup mantap dan tegas. Tapi kelebatan tangan Suto yang
ingin melambai sebagai tanda pamitan membuat Ki Gendeng Sekarat sangat
terkejut lagi. Lalu, dia buru-buru bersujud dan mencium tanah sambil
berteriak,

"Ya, ampuun...! Mohon ampun hamba...! Mohon ampun...! Hamba
sungguh-sungguhtidaktahu-menahu!"

"Ada apa lagi dia ini?" tanya Pendekar Mabuk kepada Dewa Racun. Yang
ditanya hanya bengong saja memperhatikan Ki Gendeng Sekarat bersujud di
dekat kaki Suto. Hantu Laut semakin bingung dan menggaruk- garuk
kepalanya yang gundul itu sambil bergumam,

"Tak salah lagi namanya! Memang dia gendeng, barangkali!"

Pendekar Mabuk cepat mengangkat tubuh Ki Gendeng Sekarat dengan sopan,
tapi Ki Gendeng Sekarat tetap bersujud menyembah Suto Sinting.

"Ada apa lagi, Ki Gendeng?"

"Hamba melihat tato di telapak tangan Tuan Pendekar Mabuk! Hamba tahu
itu adalah tanda yang diberikan kepada Manggala Yudha Kinasih dari
negeri Puri Gerbang Surgawi! Hamba akan dipancung oleh Gusti Ratu
Kartika Wangi jika tidak bersujud kepada Tuan Panglima!"

Pendekar Mabuk sebenarnya ingin tertawa keras, tapi takut menyinggung
perasaan Ki Gendeng Sekarat, ia pun ikut-ikutan Dewa Racun, menutup
mulut agar tak lontarkan tawa dalam suara. Kejap berikutnya, Suto segera
berikan salam,

"Damai hidupmu, panjanglah umurmu. Bangkitlah, Ki Gendeng Sekarat!
Hormatlah dalam hati saja!" Ki Gendeng Sekarat pun diam. Namun tetap
bersujud.

Suto segera memanggilnya, "Ki Gendeng... ! Ki Gendeng...!" Terdengar
suara ngorok kecil di balik sujudnya. Pendekar Mabuk pun berkata, "Aduh,
tidur lagi!"

***

BARU saja mereka akan berangkat meninggalkan Pulau Mayat, tiba-tiba
datang serombongan kapal berbendera biru muda dengan gambar seekor
merpati putih dan rembulan kuning. Kapal utamanya bertiang layar tiga,
sedangkan di kanan kirinya terdapat kapal pengawal bertiang dua, di
belakangnya dua kapal lagi bertiang dua juga, dan di depannya satu kapal
berbendera sama dengan tiang layar tunggal. Enam kapal itu bergerak
merapat ke pantai.

Ki Gendeng Sekarat tak jadi mengucapkan selamat jalan kepada rombongan
Suto Sinting. Mulutnya hanya ternganga tak keluarkan bunyi. Matanya
memandang lebar ke arah datangnya rombongan kapal berbendera biru dengan
gambar merpati putih dan rembulan kuning.

Apa yang dilakukan Dewa Racun sama dengan apa yang dialami Ki Gendeng
Sekarat. Dewa Racun yang sudah berada di atas perahu, tertegun bengong
dalam senyum keceriaan yang tertahan. Matanya menatap ke arah rombongan
kapal yang makin mendekat. Sedangkan Hantu Laut yang juga sudah siap di
haluan pun berhenti dari semua gerakannya. Tak berkedip pandangi
datangnya rombongan kapal itu.

Pendekar Mabuk berdiri di samping Ki Gendeng Sekarat dan melemparkan
pandangan matanya ke arah kapal-kapal itu sambil bergumam dalam tanya
yang lirih, "Siapa mereka, Ki Gendeng? " "Orang-orang Pulau Serindu,"
jawab Ki Gendeng Sekarat dengan suara mengambang karena terpaku melihat
sesuatu yang tak pernah diduga-duga itu.

Pendekar Mabuk tersentak kaget, lalu cepat pandangi wajah Ki Gendeng
Sekarat. "Maksud Ki Gendeng,
mereka orang-orang Puri Gerbang Surgawi? "

Sebelum Ki Gendeng Sekarat menjawab, Dewa Racun telah serukan suaranya
dari atas perahu.

"Merr... mmeer... mereka datang! Mereka kemari, Suto!"

Wuuttt...! Orang kerdil itu sentakkan kakinya dan tubuhnya melenting di
udara, tahu-tahu sudah berada di depan Pendekar Mabuk.

"Nyai... Nyai Gusti Mahkota Sejati datang, Suto!"
"Dyah Sariningrum, maksudmu?!"

"Betul! Kapal bertiang lila... layar tiga itu adalah kapal khusus untuk
perjalanan beliau! Aaaku... aku yakin beliau ada di kapal itu!"
Ki Gendeng Sekarat cepat menyahut, "Bukankah Nyai Gusti Mahkota Sejati
sedang dalam pengaruh pukulan 'Candra Badar'?!"

"Sssse... sse... setahuku memang begitu. Tap... tapi kapal Sasangga Seto
itu tidak akan berlayar jika bukan membawa Nyai Gusti Mahkota Sejati!"
kata Dewa Racun. Wajahnya sedikit tegang, antara gembira dan curiga.
Tetapi wajah Ki Gendeng Sekarat jelas-jelas curiga, sehingga tiada
seulas senyum pun di bibir orang tua itu.

Suto sendiri mengucap kata lirih, "Apa yang terjadi di sana, sehingga
ratu tinggalkan tempat dalam keadaan terancam pukulan 'Candra Badar'?!"

Pendekar Mabuk justru kelihatan gelisah. Teringat pukulan 'Candra Badar'
yang dihantamkan ke tubuh Dyah Sariningrum, penguasa Puri Gerbang
Surgawi yang ada di Pulau Serindu. Pukulan itu bisa membuat orang yang
menderitanya akan hangus terbakar jika terkena sinar matahari, sinar
rembulan, bintang, kunang- kunang, dan apa saja yang bersifat sebagai
cahaya alam.

Siluman Tujuh Nyawa sengaja melancarkan pukulan itu kepada Dyah
Sariningrum untuk memenjarakan ratu cantik jelita itu agar tidak bisa ke
mana-mana, dan hidupnya dalam ketergantungan terhadap Siluman Tujuh
Nyawa. Hal itu dilakukan karena Siluman Tujuh Nyawa berkeinginan besar
untuk memperistri Dyah Sariningrum. Tetapi lamarannya selalu ditolak.

Pukulan 'Candra Badar' itu tidak bisa lepas dari tubuh Dyah Sariningrum
jika bukan Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa yang melepaskannya.
Sedangkan Dyah Sariningrum sudah telanjur jatuh cinta dengan Pendekar
Mabuk, murid si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting. Mereka memang belum
pernah bertemu secara nyata, tapi mereka pernah bertemu di alam semadi
Suto, hingga Pendekar Mabuk mencucurkan air mata berdarah di luar
kesadarannya. Itu pertanda Pendekar Mabuk adalah calon jodohnya Dyah
Sariningrum (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tuak
Setan"). Untuk selanjutnya, mereka sering jumpa lewat mimpi. Sampai
suatu ketika, Dyah Sariningrum mengutus Dewa Racun untuk mencari pemuda
tanpa pusar yang bernama Suto Sinting dan bergelar Pendekar Mabuk.

Dyah Sariningrum sendiri sebenarnya anak dari ratu penguasa alam gaib
yang beraliran putih, yaitu Gusti Ratu Kartika Wangi. Dyah Sariningrum
mempunyai seorang kakak, guru di Perguruan Merpati Wingit, yaitu Nyai
Betari Ayu. Perempuan ini pun sebenarnya jatuh cinta kepada Suto, tetapi
demi mendengar Suto memburu cintanya kepada Dyah Sariningrum, akhirnya
Betari Ayu mengundurkan diri, tapi masih tanamkan kasih sayang kepada
Pendekar Mabuk. Kini Betari Ayu mengasingkan diri untuk menjadi seorang
pertapa di Gunung Kundalini. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Pertarungan di Bukit Jagal" dan "Utusan Siluman Tujuh Nyawa").

Perjalanan Pendekar Mabuk menuju Pulau Serindu itulah yang menciptakan
berbagai petualangan, di mana Dewa Racun selalu berada di samping Suto,
mendampingi calon suami ratunya itu. Kesetiaan Dewa Racun sebagai utusan
yang jujur dan penuh pengabdian itulah yang membuat Ratu Kartika Wangi
memberikan gelar kehormatan kepadanya sebagai Duta Terpuji, dan ia
berhak mendapat tanda merah di dahinya sebagai orang yang harus
dihormati oleh rakyat Puri Gerbang Surgawi di alam gaib. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").

Sebenarnya setelah singgah di Pulau Mayat lantaran badai lautan
mengamuk, Suto dan rombongannya akan bertolak ke Pulau Serindu untuk
membebaskan Dyah Sariningrum dari pengaruh pukulan 'Candra Badar',
sekaligus menyerahkan Kitab Wedar Kesuma yang menjadi salah satu
permintaan Dyah Sariningrum untuk mas kawinnya nanti. Tetapi mengapa
sekarang Gusti Ratu Mahkota Sejati itu keluar meninggalkan negerinya
dalam keadaan masih terkena pengaruh pukulan 'Candra Badar'? Mungkinkah
Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa telah membebaskan pengaruh
pukulan 'Candra Badar' itu? Atas dasar apa ia melepaskan pengaruh
pukulan yang menjerat hidup seseorang yang diincarnya selama ini?
Mungkinkah Dyah Sariningrum telah memberikan kesuciannya kepada Durmala
Sanca sebagai tebusan untuk lepasnya pukulan 'Candra Badar'?

Hati kecil Suto Sinting mengatakan, bahwa itu tak mungkin. Dyah
Sariningrum selalu menjaga kesucian mahkotanya. Usianya yang sudah jauh
lebih banyak dari Suto dan tetap kelihatan muda serta cantik itu,
ternyata masih belum kehilangan kesuciannya, sehingga ia mendapat
julukan sebagai Gusti Ratu Mahkota Sejati. Dia masih gadis, dan
kegadisannya itu akan dipersembahkan kepada orang yang paling
dicintainya, yaitu Pendekar Mabuk.

Dewa Racun berseru kegirangan ketika bertemu dengan kapal terdepan yang
dipimpin oleh seorang perempuan cantik berpakaian biru sisik emas.
Perempuan itu adalah si Cakar Jatayu. Jika Dewa Racun adalah orang
ketujuh kepercayaan Dyah Sariningrum, maka si cantik bermata sayu Cakar
Jatayu itu adalah orang kedua kepercayaan Dyah Sariningrum. Ada pun
orang kepercayaan Gusti Mahkota Sejati yang pertama adalah Cendana
Wilis, yang memegang pusaka Pedang Kayu Cendana sebagai pengawal pribadi
Ratu Mahkota Sejati.

Kapal-kapal itu kini merapat, tapi tak bisa sampai di tepian pantai.
Beberapa orangnya turun, mengawal sebuah peti dari lapisan logam emas
berukir yang digotong memakai tandu beratap lengkung. Sebuah payung
kerajaan mendampingi peti berlapis emas, menaungi peti tersebut. Peti
panjang itu digotong oleh enam prajurit berseragam putih-putih dengan
hiasan benang emas pada bagian tepinya.

Ki Gendeng Sekarat menerima rombongan itu dengan keramahan dan rasa
penuh hormatnya, ia orang yang paling sibuk mengatur barang-barang dan
tempat untuk mereka. Tapi lebih dulu Cakar Jatayu berbicara dengan Ki
Gendeng Sekarat, yang di belakangnya berdiri Suto dan Hantu Laut.
Sedangkan Dewa Racun mendampingi Cakar Jatayu sebagai penghubung antara
orang-orangnya ratu dengan pihak Ki Gendeng Sekarat dan Pendekar Mabuk.
Dewa Racun pula yang memperkenalkan Pendekar Mabuk kepada si Cakar
Jatayu, dan membeberkan siapa Hantu Laut yang sekarang ini, sehingga
orang-orangnya ratu tidak memusuhi Hantu Laut.

"Apa yang terjadi sebenarnya, Cakar Jatayu?" tanya Ki Gendeng Sekarat
setelah Cakar Jatayu memberi hormat kepada Suto Sinting, karena ia
melihat tanda merah di dahi Suto dan Dewa Racun.

"Durmala Sanca mengerahkan orang-orangnya, menyerbu Pulau Serindu dan
membantai dengan kejamnya!" jawab Cakar Jatayu. "Peristiwa pembantaian
itu persis seperti yang ia lakukan terhadap penduduk Pulau Mayat ini
dulu. Kami terdesak, dan kami cepat melarikan ratu dengan menempatkan
sang ratu di dalam peti kedap cahaya."

Pendekar Mabuk segera ajukan tanya, "Lalu, bagaimana keadaan di Pulau
Serindu saat ini?"
"Dibumi-hanguskan oleh Siluman Tujuh Nyawa!" jawab Cakar Jatayu dengan
rona duka tertahan.

"Keterlaluan!" Suto Sinting menggeram dengan jantung berdetak keras, ia
cepat kuasai diri untuk tidak melepaskan amarah sembarangan, karena ia
ingat bahwa napasnya akan menjadi badai jika ia marah, sebab ia menelan
Pusaka Tuak Setan.

Ki Gendeng Sekarat berkata, "Jika begitu, sebaiknya cepat bawa Ratu
Gusti Mahkota Sejati ke dalam guaku. Sembunyikan beliau di dalam gua
itu! Sementara yang lainnya bisa menempati gua sebelah utara untuk
sementara waktu. Gua itu berhubungan dengan gua mayatku!"

"Jadi, kau izinkan kami mengungsi kemari?"
"Ya! Ini sudah menjadi kewajibanku, Cakar Jatayu!"

Hantu Laut ikut membantu menurunkan barang- barang Ratu Gusti Mahkota
Sejati dari kapal. Mulanya ia sempat diserang oleh empat prajurit ratu
karena dianggap orangnya Siluman Tujuh Nyawa. Tapi pertikaian itu segera
dipadamkan oleh Cakar Jatayu dan Dewa Racun.

Ki Gendeng Sekarat mengeluarkan semua mayat- mayatnya untuk menjaga
pantai. Sementara itu, peti berlapis emas yang kedap sinar diletakkan di
sebuah ruangan tak jauh dari ruang arena yang dipakai pertarungan Suto
dengan Gendeng Sekarat itu.

Di dalam kamar yang berpenerangan delapan obor itu, Cendana Wilis
mengizinkan para bawahannya membuka peti tempat persembunyian ratu.
Waktu itu, Pendekar Mabuk sedang berbicara dengan Cakar Jatayu di tepian
arena berbentuk bundar itu. Arena tersebut dipersiapkan oleh Ki Gendeng
Sekarat untuk mengumpulkan para mayat yang akan diajak menyerbu Siluman
Tujuh Nyawa.

Tapi karena jumlah tentara mayatnya belum memenuhi syarat, maka tempat
itu belum digunakan sebagaimana mestinya, kecuali untuk melatih diri Ki
Gendeng Sekarat sendiri dalam merangkaikan ilmu-ilmunya.

"Apakah Durmala Sanca ikut terjun langsung dalam pembantaian itu?" tanya
Pendekar Mabuk kepada Cakar Jatayu.
"Tidak. Dia hanya ada di atas kapal dan memberi perintah kepada para
anak buahnya."
"Apa yang menjadi penyebab utama sehingga ia membumihanguskan Pulau
Serindu?"

Dengan mata sayu, Cakar Jatayu menjawab,

"Cendana Wilis memotong telinga utusan dari Kapal Siluman yang
menyampaikan Kitab Wedar Kesuma palsu kepada Gusti Ratu."
"Ooo...!" Suto manggut-manggut, tangannya masih bersidekap di depan
dadanya yang kekar dan bidang itu.

"Kudengar juga kabar dari mulut ke mulut," lanjut Cakar Jatayu, "Siluman
Tujuh Nyawa sangat murka dan sakit hati karena pengawal pribadinya yang
diutus ke Pulau Beliung lenyap di tanganmu!"

"Hei, dari mana dia tahu hal itu?"

"Dia mengikuti perjalanan kedua pengawal kembarnya itu melalui pusaka
yang dimilikinya, yaitu sebuah perisai bercermin yang dinamakan Perisai
Mata Iblis. Kini dia sudah melihat sendiri seperti apa wujud dan rupa
orang yang bernama Pendekar Mabuk."

"O, begitu rupanya? Jadi dia sekarang juga tahu kalau aku ada di sini?"

"Tidak," jawab Cakar Jatayu. "Menurut cerita ratu, Cermin Perisai Mata
Iblis hanya bisa dipakai oleh orang yang membawa Cermin Benggala Kembar.
Karena dua utusannya itu membawa pusaka Cermin Benggala Kembar, maka dia
dapat memantau perjalanannya, sampai matinya di tanganmu!" (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").

Ki Gendeng Sekarat muncul dari salah satu lorong, segera menemui Suto
Sinting dan Cakar Jatayu. Dengan sangat sopan dan hormat, Ki Gendeng
Sekarat menyela percakapan tersebut.

"Ratu ingin bertemu denganmu, Suto. Beliau ingin bicara di sini saja!
Apakah kau keberatan?"
"Tidak! Tapi tolong tutup atap ruangan ini supaya tidak ada sinar alam
yang masuk!"

"Baik. Akan kulakukan untuk merapatkan semua lubang cahaya!" kata Ki
Gendeng Sekarat, tapi sebelum ia melangkah, kepalanya terkulai, bibirnya
sedikit memble, suara dengkurnya yang kecil samar-samar terdengar.

"Hmmm... tidur lagi dia," gerutu Suto dalam gumam. Cakar Jatayu
sunggingkan senyum geli melihat Ki Gendeng Sekarat berjalan sambil
tertidur. Buat Cakar Jatayu, pemandangan seperti itu sudah bukan hal
yang aneh lagi. Semua orangnya ratu tahu bahwa Ki Gendeng Sekarat adalah
tokoh berilmu tinggi yang tak pernah bisa menahan kantuk yang
menyerangnya secara tiba-tiba.

Cakar Jatayu memeriksa ruangan itu. Dua puluh obor menerangi tempat
tersebut, karena atap berlubang dengan bentuk cerobong gunung berapi itu
telah ditutup oleh Ki Gendeng Sekarat dengan segumpal awan hitam yang
tak bisa ditembus cahaya matahari. Ruangan itu sangat rapat dari cahaya
alam.

Cakar Jatayu juga memeriksa tempat duduk ratu yang ada di tengah lantai
bundar dari marmer putih itu. Singgasana itu sempat dibawa dari Pulau
Serindu dan dipindahkan ke dalam gua tersebut. Dua orang gadis cantik
bagian pengipas sudah siap di kanan kiri tempat duduk ratu. Beberapa
orang yang termasuk pejabat istana sudah mengelilingi ruangan itu.

Suto tetap menyandang bumbung tuak di pundaknya, ia berdiri di tepian
lantai bundar itu, tiga langkah di samping Cakar Jatayu. Kejap
berikutnya, Gusti Ratu Mahkota Sejati; Dyah Sariningrum keluar dari
sebuah lorong tempat kamarnya.

Kemunculannya didampingi oleh seorang wanita cantik berpakaian kuning
emas mengkilap dan ketat, dengan rompi putih beludru berhias emas pula
di tepiannya. Rambutnya panjang berponi, matanya bulat bening menambah
kecantikannya.

Orang itulah yang menjadi pengawal pribadi ratu, yang dikenal dengan
nama Cendana Wilis. Di punggungnya tersandang pusaka Pedang Cendana yang
baunya menyebar harum di setiap sudut ruangan tersebut.

Pendekar Mabuk sedikit gemetar kakinya ketika melihat Dyah Sariningrum
melangkah menuju singgasana. Mata perempuan cantik jelita berkharisma
tinggi itu tiada berkedip menatap ke arah Suto. Bibir mungilnya yang
indah bak kuncup melati itu sunggingkan senyum tipis berkesan malu-malu.
Pendekar Mabuk jantungnya berdegup cepat, dadanya bergemuruh dicekam
kegembiraan dan kebahagiaan yang selama ini hanya menjadi buah impian
belaka.

Gusti Ratu Mahkota Sejati tampak anggun dan amat mengagumkan mata lelaki
yang memandangnya. Dia mengenakan pakaian mirip Betari Ayu, kakaknya.
Jubah kuning dengan pakaian dalam warna biru muda dari bahan mengkilap
dan lembut, ia mengenakan mahkota pada rambutnya yang disanggul indah
itu. Sebuah kalung yang bernama Sangsangan Susun dikenakannya, yaitu
kalung emas bertaburan intan berlian bersusun tiga.

Kalung Sangsangan Susun merupakan tanda bahwa pemakainya masih gadis. Di
samping itu ia juga tampak mengenakan cincin ungu bening yang dinamakan
Delima Wulung. Konon cincin itu jika dimasukkan ke dalam kolam, maka air
kolam bisa berubah menjadi bayangan suatu kehidupan dari orang yang
dikehendaki. Melalui cincin Delima Wulung itulah Dyah Sariningrum sering
memperhatikan kehidupan Suto Sinting jika hatinya sedang dicekam rindu.

Semua pejabat istana yang ada di situ segera tundukkan kepala menghormat
Gusti Ratu Mahkota Sejati, termasuk Cakar Jatayu dan Pendekar Mabuk
sendiri. Lalu, Gusti Ratu segera ucapkan kata,

"Damaiku adalah damai kita bersama!"

Setelah ratu ucapkan salam begitu, hormat mereka pun selesai. Mereka
kembali tegak, termasuk Cakar Jatayu dan Pendekar Mabuk. Mata Dyah
Sariningrum cepat alihkan pandang ke arah Suto, dan ia berkata dengan
suara lembutnya,

"Lain kali kau tak perlu tundukkan kepala seperti mereka, Suto!"
"Mengapa?" tanya Pendekar Mabuk polos saja.

"Karena kau termasuk orang yang seharusnya juga memberi berkat dalam
salammu untuk mereka. Bahkan kedudukanmu sebetulnya lebih tinggi dari
kedudukanku."

Pendekar Mabuk bingung dengan berkerut dahi, lalu ajukan tanya, "Mengapa
saya lebih tinggi dari Gusti Ratu?"

"Dekatlah kemari, akan kujelaskan...!" walau gemetar kakinya, Suto pun
segera mendekati sang ratu.

"Bukalah telapak tanganmu yang kanan dan perlihatkan kepada mereka,"
kata sang ratu. Suto pun melakukannya, membuka telapak tangannya dan
dihadapkan kepada mereka.

Ternyata mereka semua terperanjat kaget, kemudian buru-buru mereka
tundukkan kepala memberi hormat secara serempak. Pendekar Mabuk tak
segera memberikan salam kepada mereka, ia malah bertanya,

"Mengapa Cakar Jatayu dan Cendana Wilis ikut hormat kepadaku?"

"Kau seorang panglima, dan kau adalah Manggala Yudha Kinasih yang
diangkat resmi oleh ibuku, Nyai Ratu Kartika Wangi! Mereka kenal betul
dengan tato di tanganmu itu; Suto!"

Dyah Sariningrum segera berdiri dan membungkukkan badan menghadap
Pendekar Mabuk sambil berkata,

"Kau lebih tinggi derajat kedudukannya dibandingkan dengan aku dan Kakak
Betari Ayu. Karena kami, sebagai anak Ibu Kartika Wangi, tak bisa
menjadi Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang Surgawi di alam
hening."

"Ooo... begitu," Suto manggut-manggut seperti orang pongah, ia tidak
segera ucapkan salam berkat, sehingga mereka masih tetap menunduk tak
berani tegakkan diri. Bahkan di tepian lorong menuju kamar ratu, tampak
pula Dewa Racun yang ikut membungkuk memberi hormat kepada sang Manggala
Yudha Kinasih.

Karena lamanya Suto tertegun memandangi sekelilingnya, maka ratu pun
berbisik, "Lekas ucapkan salam berkatmu, Suto...!"

Dasar sinting, Suto meneguk tuaknya sebentar, setelah itu baru berkata,
"Damai hidupmu, panjanglah umurmu...!"

Barulah mereka tegakkan badan sambil menghembuskan napas lega.

***

RUPANYA Ratu Kartika Wangi punya pertimbangan lain. Ia tahu, Pendekar
Mabuk akan menjadi suami dari anaknya yaitu Dyah Sariningrum. Padahal
Dyah Sariningrum adalah seorang ratu yang dihormati oleh semua
rakyatnya, sedangkan Suto tidak mempunyai jabatan apa-apa. Jika Suto
telah menikah dengan Dyah Sariningrum maka ia berada di bawah kekuasaan
istrinya.

Ratu Kartika Wangi tak ingin kedudukan Suto lebih rendah dari istrinya.
Tak baik untuk hubungan suami- istri jika sang istri mempunyai kedudukan
lebih tinggi dari suami, sehingga sang istri akan kurang hormat kepada
sang suami. Sebab itu, Ratu Kartika Wangi tingkatkan kedudukan derajat
Pendekar Mabuk dengan mengangkatnya sebagai Manggala Yudha Kinasih,
panglima pilihan sang ibu yang menguasai negeri gaib, yang kedudukannya
lebih tinggi dari seorang ratu di alam nyata. Dengan begitu, kelak Dyah
Sariningrum punya rasa hormat kepada suaminya dan tidak meremehkan sang
suami karena merasa sebagai ratu.

Pendekar Mabuk baru tahu, apa alasan utama Ratu Kartika Wangi
mengangkatnya sebagai Manggala Yudha Kinasih. Dyah Sariningrum sendiri
yang membeberkan alasan sang ibu tersebut pada waktu Suto selesai
menghilangkan pengaruh kekuatan pukulan 'Candra Badar'. Pukulan penjerat
hidup Dyah Sariningrum. Suto Sinting menoreh kedua jempol tangannya
hingga mengeluarkan darah, dan kedua jempol tangan Dyah Sariningrum pun
ditorehnya pula hingga keluarkan sedikit darah.

Mereka duduk bersila berhadapan. Kedua tangan mereka saling merapat
berhadapan. Bekas luka di jempol masing-masing saling merapat, sehingga
terjadilah pertukaran darah sebagian kecil dalam diri mereka. Darah Suto
masuk ke tubuh Dyah Sariningrum, dan darah Dyah Sariningrum sendiri
masuk sebagian ke dalam tubuh Suto. Pada saat penukaran itu, Suto
mengalirkan hawa murni dari dalam tubuhnya dan semburkan darah Tuak
Setan yang digunakan untuk melenyapkan kekuatan pukulan 'Candra Badar'.
Dengan sentakan darah Tuak Setan-nya, maka kekuatan pukulan 'Candra
Badar' di dalam darah Dyah Sariningrum menjadi lenyap dan tawar.

"Sekarang kau bebas pergi ke mana saja," kata Pendekar Mabuk dengan
menyeka keringatnya yang mengucur di sekujur tubuhnya akibat cara
pengobatan tersebut.

"Aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu," kata Dyah
Sariningrum. Ia sendiri yang mengambil kain halus sebagai penyeka tubuh,
dan ia sendiri yang membantu mengeringkan keringat Pendekar Mabuk dengan
sentuhan lembut dan penuh kemesraan.

"Berterima kasih itu mudah," kata Suto, "Tapi membina kasih itu yang
sulit!"

Dyah Sariningrum sunggingkan senyumnya di depan Suto. Hati Suto berbunga
melihat senyum berlesung pipit yang luar biasa cantiknya itu. Namun
Pendekar Mabuk masih bisa kendalikan diri untuk memendam kegembiraan
yang semestinya melonjak seperti anak kecil menerima hadiah dari
orangtuanya.

"Aku sudah membawa Kitab Wedar Kesuma sebagai mas kawin untukmu!" ujar
Pendekar Mabuk setelah beberapa saat lamanya mereka saling beradu pandang.

"Kitab Wedar Kesuma?! Dari mana kau tahu aku menghendaki mas kawin kitab
milik ayundaku Betari Ayu itu?"

"Dewa Racun menceritakan padaku tentang mas kawin yang kau ajukan kepada
Siluman Tujuh Nyawa, yaitu sebuah kitab pusaka Wedar Kesuma dan satu hal
lagi... mungkin kepalanya Suto Sinting!"

Dyah Sariningrum tertawa pelan. "Aku hanya mempersulit dia!"

"Tapi kau memang membutuhkan kitab ini, karena aku tahu apa maksudmu
meminta Kitab Wedar Kesuma sebagai salah satu dari mas kawinmu! Dewa
Racun menceritakan segalanya kepadaku!"

Dyah Sariningrum tersenyum bangga ketika menerima Kitab Wedar Kesuma
dari tangan Suto Sinting. Di dalam kitab itu selalu tercatat dengan
sendirinya semua jurus temuan dan ciptaan dari Betari Ayu dan Dyah
Sariningrum. Tetapi Dyah Sariningrum tidak tahu bahwa di dalam kitab itu
pun tercatat dengan sendirinya semua jurus yang digunakan Pendekar Mabuk
menyerang lawannya selama Pendekar Mabuk membawa kitab itu yang terselip
di punggungnya.

Dyah Sariningrum yang bangga itu pun berkata, "Aku sangat bangga bisa
bertemu dengan calon suamiku dan menerima kitab ini...."

"Baru kitab ini yang bisa kuberikan sebagai tanda cintaku padamu, Dyah
Sariningrum. Untuk permintaan yang satunya lagi, yaitu kepala Suto
Sinting, aku belum sanggup!" canda Suto.

Dyah Sariningrum hanya tertawa kecil sambil berkata, "Bagaimana jika
diganti kepala siluman saja?"

"Kurasa itu bukan mas kawin, tapi memang kewajibanku memenggal kepalanya!"

"Baiklah jika begitu! Kita akan menikah setelah kau berhasil memenggal
kepala Siluman Tujuh Nyawa!"

"Akan kulakukan secepatnya, supaya lengkap sudah mas kawinku!"
"Kuharap kau sendiri yang melakukannya! Bukan orang lain!"

"Aku mengerti harapanmu, dan aku ingin buktikan bahwa aku tak akan
kecewakan harapanmu! Karena aku merasa, dengan menyerahkan kepala
Siluman Tujuh Nyawa, berarti aku telah menyerahkan kedamaian untuk masa
hidupmu, rakyatmu dan sesamamu!"

"Tak ada yang lebih pantas diterima Siluman Tujuh Nyawa kecuali
penggalan kepala!"
"Aku akan menantangnya bertarung!"
"Hati-hati... aku tak harapkan kepalamu yang terpenggal!"

Cendana Wilis beranikan diri menemui ratu dan Suto. Wajahnya tampak
tegang walau tetap berkesan tenang. Ratu Gusti Mahkota Sejati segera
kerutkan dahi melihat sesuatu tak beres tercermin di wajah pengawal
pribadinya,

"Ada apa, Cendana Wilis?"
"Kapal kita hilang semua, Gusti Ratu!" jawab Cendana Wilis.

Ratu terperanjat dan menatap Pendekar Mabuk. Tetapi, Suto justru
sunggingkan senyum dan berkata,

"Tak perlu kau cemaskan, Cendana Wilis! Aku yang menghilangkan semua
kapal dengan jurus 'Sembur Siluman'-ku!"

"Kenapa hal itu kau lakukan, Suto?"

"Supaya orang-orang Siluman Tujuh Nyawa tidak ada yang melihat kapal
kita berlabuh di pulau ini, sehingga mereka akan kehilangan jejak!"

Dyah Sariningrum segera hembuskan napas lega. Tapi Cendana Wilis masih
tampak gelisah dan cepat ucapkan kata,

"Tapi di luar ada yang menyerang mayat-mayat prajuritnya Ki Gendeng
Sekarat, Gusti Manggala!"

Suto yang dipanggil Gusti Manggala Kinasih jadi kerutkan dahi, dan cepat
bertanya,

"Siapa orang yang mengamuk itu?"
"Saya belum jelas, Gusti Manggala!"
"Cakar Jatayu apakah tidak bisa meredakan amukan orang itu?"
"Cakar Jatayu terkena pukulan berbahaya dan ia menjadi lumpuh tanpa
daya, Gusti Manggala!"

Suto cepat palingkan pandang ke arah Dyah Sariningrum. Ratu nampak makin
gelisah, lalu cepat berkata,

"Aku akan temui orang itu!"
"Jangan!" cegah Suto. "Diamlah di tempat bersama Cendana Wilis! Biar aku
yang tangani orang itu!"

Orang yang sudah berhasil menghancurkan dua mayat tentaranya Ki Gendeng
Sekarat itu berambut putih dikonde di tengah kepala. Jenggotnya panjang
dengan kumis tebal warna putih pula. Usianya setara dengan usia Ki
Gendeng Sekarat. Orang itu mengenakan pakaian model biksu berwarna
putih, bertubuh kurus tapi masih kelihatan lincah dan gesit, membawa
tongkat kayu bercabang yang diambil dari sembarang kayu di tengah
perjalanannya.

Orang itu tak lain adalah Jangkar Langit, pemilik Pusaka Tombak Maut,
yang hilang dicuri dan dibawa lari oleh Tapak Baja bersama Hantu Laut.
Bahkan Jangkar Langit sendiri pernah berhadapan dengan Hantu Laut
setelah tombak itu akhirnya direbut oleh Hantu Laut dari tangan Tapak
Baja dengan membunuh Nakhoda Kapal Neraka itu. Pada waktu itu, Hantu
Laut unggul karena ia memegang Pusaka Tombak Maut. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Pusaka Tombak Maut").

Jangkar Langit menghancurkan dua mayat setelah ia merubuhkan Hantu Laut
yang dibela oleh Cakar Jatayu.

Perempuan bermata sayu indah itu pun akhirnya terkena pukulan berat dari
Ki Jangkar Langit. Lehernya membiru legam dan susah dipakai untuk bicara
atau bernapas. Sedangkan Hantu Laut sendiri dibuat lumpuh tak berdaya
dengan menderita kebutaan di matanya.

Amukan Jangkar Langit itu segera diredakan oleh Ki Gendeng Sekarat
sebelum kedatangan Pendekar Mabuk di tempat pertarungan mereka,
pinggiran pantai. Ki Gendeng Sekarat mencoba menenangkan hati teman
lamanya itu,

"Jangkar Langit, tidak semua persoalan bisa diselesaikan dengan
kekerasan! Ada baiknya jika kau redakan kemarahanmu dan kita bicarakan
secara baik- baik!"

"Aku tak punya kesempatan untuk bicara!" kata Ki Jangkar Langit yang
masih ingin menggempur Hantu Laut untuk mendapatkan tombak pusakanya
itu. Sebab setahu dia, Hantu Laut-lah yang membawa pusaka itu. Ia belum
tahu bahwa pusaka itu sudah dilenyapkan oleh Pendekar Mabuk dengan jurus
'Sembur Siluman'-nya.

"Aku tahu, kau orang yang sabar, Jangkar Langit! Aku percaya, kau orang
yang bisa diajak bicara!"

"Untuk merebut tombak pusakaku, aku bukan orang yang bisa diajak bicara!
Kembalikan tombakku, atau mati orang itu!" tegas Ki Jangkar Langit.

Ki Gendeng Sekarat mencoba untuk tersenyum dan tampakkan sikap bijaknya.
Ki Gendeng Sekarat merasa perlu melindungi Hantu Laut, karena menurut
anggapan, Hantu Laut adalah anak buah Suto Sinting. Rasa hormatnya
kepada Pendekar Mabuk itulah yang membuat Ki Gendeng Sekarat menahan
kemarahan Jangkar Langit kepada Hantu Laut.

"Sekali lagi aku berharap padamu, Jangkar Langit... redakan amarahmu dan
mari kita bicarakan secara baik- baik!"

"Tak bisa! Sebaiknya menyingkirlah dari hadapanku, Gendeng Sekarat!
Jangan kau halangi aku menggempur si botak keparat itu!"

"Ini pulau kekuasaanku, Jangkar Langit. Kau tak berhak usir aku dengan
cara apa pun! Tapi aku berhak mengusirmu untuk cepat tinggalkan pulauku!"

"O, jadi sekarang kau memihak anak buah Durmala Sanca itu?"
"Aku bukan memihak! Aku hanya berdiri sebagai penengah saja!"

"Kalau kau sebagai penengah, berarti kau telah menghalangi langkahku
untuk merebut tombak pusakaku dari tangan setan gundul itu!"

"Kalau aku menjadi penghalangmu, lantas kau mau apa?!" kata Ki Gendeng
Sekarat mulai kehilangan kesabarannya.

"Aku tak akan gentar mendengar tantangan halusmu ini, Gendeng Sekarat!
Demi memperoleh pusakaku kembali, aku tak keberatan jika persahabatan
kita menjadi putus sampai di sini!"

"Kalau itu maumu, aku pun tak akan keberatan kehilangan nyawa seorang
sahabat!"
"Jika begitu, lepaskanlah ilmu totokmu yang kau salurkan melalui suaramu
ini! Biarkan aku bergerak melawanmu, Gendeng Sekarat!"

Beberapa prajurit ratu yang memperhatikan pertarungan itu menjadi
terperangah. Mereka baru tahu, bahwa Ki Jangkar Langit sejak tadi
berdiri dengan kaki rapat dan tangan berada di belakang dan yang kiri
berada di samping memegangi tongkatnya, bukan karena sekadar diam biasa,
melainkan karena telah ditotok jalan darahnya melalui suara Ki Gendeng
Sekarat. Tenaga dalam itu disalurkan lewat ucapan dan suara Ki Gendeng
Sekarat yang mampu membuat lawannya diam tak bergerak bagaikan patung.

Sebuah ilmu yang jarang dilihat oleh para prajurit ratu selama ini.
Dalam hati mereka timbul rasa kagum dan pujian yang tinggi untuk Ki
Gendeng Sekarat. Dan anehnya lagi, sekarang Ki Gendeng Sekarat justru
tundukkan kepala dengan terkulai dan bibirnya sedikit ternganga kendor.
Itu pertanda dia tertidur nyenyak hingga mengeluarkan dengkur pelan yang
samar-samar.

"Hmm...! Rupanya dari dulu kau belum bisa atasi penyakit tidurmu itu,
Gendeng Sekarat!" kata Jangkar Langit.

"Memang belum!" jawab Ki Gendeng Sekarat sambil tetap tertidur. "Tapi
buatku itu tak masalah. Karena menahan kantuk itu lebih sulit daripada
menahan amarah diri sendiri!"

"Percuma kau bilang begitu kalau tak bisa menahan nafsu kantukmu sendiri!"

"Percuma juga kau bilang begitu kalau kau tak bisa lepaskan daya
totokku?!" ejek Ki Gendeng Sekarat dengan suara sumbang, seperti
malas-malasan bicaranya.

Jangkar Langit merasa diremehkan, ia menggeram gemas. Kemudian ia
pejamkan mata pula dengan kepala tetap tegak tak tertunduk. Kedua orang
tua itu seperti saling tidur dalam keadaan berdiri. Tapi kejap
berikutnya, Ki Gendeng Sekarat tiba-tiba memekik sambil melonjak,

"Aaauh...!"

Pekikan itu keras, dan akibatnya totokan jalan darah Jangkar Langit pun
lepas. Kini Jangkar Langit bebas bergerak kembali, karena ia telah
memancing suara Ki Gendeng Sekarat agar disentakkan bersama tenaga dalam
penotok darahnya, dengan cara menghantam ulu hati Ki Gendeng Sekarat
melalui sentakan batin.

Jangkar Langit tidak cepat menyerang Ki Gendeng Sekarat yang membuka
mata sebentar dan terkantuk lagi itu. Tetapi, Hantu Laut yang sedang
menahan rasa sakit di bawah sebuah pohon itulah yang segera diserbu oleh
Jangkar Langit, ia melesat bagaikan menghilang dari tempatnya.

Tetapi ia sama sekali tak menduga bahwa begitu ia tiba di depan Hantu
Laut yang buta matanya itu, ternyata Ki Gendeng Sekarat sudah mendahului
menghadang di depannya. Wusttt...! Wuttt...!

"Mau ke mana kau, Jangkar Langit?!" kata Ki Gendeng Sekarat dengan tetap
tertidur dan mengeluarkan dengkur kecil.
"Setan alas! Kau benar-benar mau halangi aku, hah! Hihh...!"

Ki Jangkar Langit menebaskan tongkatnya ke kepala Ki Gendeng Sekarat
yang terkulai tidur. Tapi dengan cepat tongkat itu bisa ditangkis dan
ditangkap oleh tangan Ki Gendeng Sekarat. Tapp....! Lalu, dengan satu
sentakan bertenaga dalam cukup tinggi, tongkat itu didorongkan ke depan.
Wuttt...! Tubuh Jangkar Langit ikut terdorong mundur bagaikan terbang,
karena telapak kakinya tidak dipijakkan ke tanah.

Beggh...! Punggung Jangkar Langit menghantam salah satu batang pohon
berdaun rindang. Pohon itu langsung daunnya menjadi layu karena benturan
dengan punggung Jangkar Langit itu dialiri tenaga dalam yang cukup tinggi.

Sambil masih tertidur, Ki Gendeng Sekarat melangkahkan kakinya maju
beberapa tindak untuk mendekati Ki Jangkar Langit. Sementara itu, mereka
yang menyaksikan pertarungan itu semakin dibuat terpukau, karena para
prajurit bawahan itu baru sekarang melihat orang bertarung dalam keadaan
tetap tidur.

Jangkar Langit tetap berdiri di bawah pohon yang habis ditabraknya itu.
Lalu ia ucapkan kata,

"Perlukah kita beradu nyawa untuk merebutkan orang keling itu?!"

"Aku hanya melayanimu," jawab Ki Gendeng Sekarat dengan suara sumbang.
"Kalau kau mau adu nyawa, aku siap. Kalau kau mau adu debat, aku juga
siap!"

"Baik! Mungkin memang sudah takdir, bahwa kita harus adu nyawa untuk
mempercepat siapa yang harus lebih dulu mati di antara kita berdua,
Gendeng Sekarat!"

"Aku sudah siap!" jawab Ki Gendeng Sekarat walau sebenarnya ia masih
tertidur. "Tapi sekali lagi kuingatkan padamu, Jangkar Langit, bahwa
tombak itu memang tidak ada pada Hantu Laut. Tombak itu menurut
ceritanya, sudah dilenyapkan oleh Pendekar Mabuk, murid teman kita
sendiri; si Gila Tuak!"

"Persetan dengan bicaramu! Sudah telanjur di ubun- ubun amarahku padamu,
Gendeng Sekarat! Hiiih...!"

Zlllap...! Sebuah sinar putih melesat dari salah satu cabang pada
tongkat Ki Jangkar Langit. Sinar putih itu cepat menguasai tubuh Ki
Gendeng Sekarat. Tubuh Ki Gendeng Sekarat menjadi berpendar-pendar
cahaya putih yang sebentar lagi akan lenyap, tinggal suara lengkingnya
yang menjauh dan menghilang pula.

Namun sebelum hal itu terjadi, Suto Sinting telah melesat dari atas
sebuah pohon, ia semburkan tuak dari dalam mulutnya. Bruusss...! Tuak
itu menyembur ke tubuh Ki Gendeng Sekarat. Dan tiba-tiba sinar putih itu
padam tanpa asap sedikit pun.

Saat itu Jangkar Langit terperanjat hingga membelalakkan matanya. Tak
pernah ada orang yang bisa padamkan sinar putih jika sudah mengenai
sasaran. Tapi sekarang ia merasa menghadapi kenyataan yang sukar
dipercaya oleh hati kecilnya sendiri.

Ki Gendeng Sekarat mengibaskan kepalanya seperti tidurnya disiram oleh
air satu ember. Matanya terbuka lebar dan setengah menggeragap. Ketika
ia melihat Suto sudah ada di sampingnya, ia lebih bingung lagi dan
berkata,

"Ada hujankah tadi?"
"Sedikit, Ki! Mundurlah, biar kuhadapi orang itu!"

Ki Jangkar Langit jadi berpikir dua kali menghadapi pemuda berbaju
coklat dan bercelana putih yang telah mampu memadamkan ilmu 'Kejap
Netra' itu. Tapi melihat bumbung tuak di punggungnya, Jangkar Langit
segera tahu siapa pemuda tampan berambut panjang itu.

"Kaukah murid si Gila Tuak?"
"Betul!"
"Pantas kau mampu padamkan ilmu 'Kejap Netra' ku!"

"Supaya tidak timbulkan korban, itu harus saya lakukan," kata Suto
bernada menghormati lawannya yang tua.

"Jika Tombak Maut kau pulangkan di tanganku, maka aku berjanji tak akan
timbulkan korban lebih banyak lagi!"

"Memang saya yang lenyapkan tombak itu, hanya sekadar untuk pengamanan
saja. Bukan untuk saya miliki sendiri! Sekarang, terimalah Pusaka Tombak
Maut ini...!"

Suto maju beberapa tindak mendekati Jangkar Langit dan berbisik, "Jangan
pandang saya, Ki. Biarkan saya kembalikan tombak itu melalui tongkat
Jangkar Langit itu! Jika Jangkar memandang saya, saya sulit
mengendalikan jurus 'Jelma Siluman'!"

Ki Jangkar Langit palingkan pandang ke arah Hantu Laut. Suto memandangi
tongkat kayu bercabang itu. Dan tiba-tiba, clappp...! Tongkat kayu itu
telah berubah menjadi tombak berujung taring babi. Jangkar Langit
terkejut, dan sempat sangsi. Tapi setelah ia mencoba untuk menggunakan
tombak itu dengan menebaskannya ke samping, ternyata ada getaran kuat
yang diterima oleh telapak tangannya. Itu pertanda tombak tersebut
adalah Pusaka Tombak Maut.

"Terima kasih! Suatu saat akan kubalas kebaikanmu!" kata Jangkar Langit
sebelum tinggalkan Pulau Mayat itu.

***8

CENDANA Wilis terheran-heran kagum melihat ilmu Pendekar Mabuk. Gerakan
terbang Suto saat semburkan tuak untuk padamkan ilmu 'Kejap Netra' itu
membuatnya tak berkedip sedikit pun. Juga pada saat memunculkan kembali
tombak pusaka, juga membuat mata Cendana Wilis tak mau berkedip sedikit
pun. Dari kejauhan dia memandang, tapi cukup jelas baginya, bahwa
Pendekar Mabuk memang layak menyandang gelar sebagai Manggala Yudha
Kinasih. Apalagi ketika ia melihat cara sang Pendekar Mabuk sembuhkan
luka pada diri Cakar Jatayu dan Hantu Laut, yang dengan hanya meminumkan
tuak saja bisa bikin mereka sehat kembali dalam waktu yang tergolong
singkat itu, Cakar Jatayu dan Cendana Wilis lebih kagum lagi kepada Suto
Sinting.

Ki Jangkar Langit segera tinggalkan tempat dengan mulai berlayar
menggunakan perahu layar biru, milik anak buah Siluman Tujuh Nyawa.
Cendana Wilis memperhatikan kepergian orang tua itu yang menurutnya
memang tak seimbang ilmunya jika bertarung melawan Cakar Jatayu.

Cendana Wilis tiba-tiba terperanjat kaget ketika melihat seseorang yang
berseragam prajurit sang ratu itu muncul dari samping perahu Ki Jangkar
Langit. Orang yang muncul itu dikenal oleh Cendana Wilis dengan nama
Ludiro. Kemunculannya dari kedalaman air di samping perahu membuat
Cendana Wilis curiga, hingga ia cepat menghubungi Suto dan
memberitahukan hal itu sambil menunjuk ke arah perahu yang siap berlayar
itu.

"Saya rasa ada pihak lain yang menginginkan Tombak Maut itu, Gusti
Manggala!" kata Cendana Wilis.
"Hmmm... ya! Kelihatannyabegitu!"

Ki Gendeng Sekarat yang waktu itu ada di samping Suto Sinting juga
mendengar ucapan Cendana Wilis dan segera memandangi kepergian Jangkar
Langit. Lalu, Ki Gendeng Sekarat ucapkan kata,

"Biar saja! Orang itu akan mati di tangan Jangkar Langit! Tak mungkin
Jangkar Langit kecolongan lagi pusakanya itu!"

Tetapi, ketika Ludiro melesat timbul dari kedalaman air dan hinggap di
buritan perahu dengan ringannya, Cendana Wilis cepat berlari mendekati
tepian pantai. Kemudian, kelima jari kanannya menguncup dan disentakkan
ke depan seperti seekor ular mematuk lawannya dari samping. Wesst...!
Beggh...!

Pukulan tenaga dalam bernama jurus 'Patuk Kelabang Liar' itu mengenai
sasarannya walau dalam jarak lebih dari dua puluh langkah. Pukulan itu
tidak bersinar, sehingga sulit dilihat oleh lawan. Ludiro yang sedang
berdiri hendak melancarkan pukulan tenaga dalamnya mengarah ke punggung
Jangkar Langit, tersentak seketika dan tercebur ke perairan kembali.

Cendana Wilis cepat berlari pada saat Jangkar Langit palingkan wajah ke
belakang. Cendana Wilis berseru,

"Dia mau membokongmu, Ki Jangkar Langit!"
"Siapa dia?"

"Anak buahku. Maafkan! Tapi kami akan urus dia sesuai hukum kami! Harap
jangan jadikan ini perkara!"

"Lakukan yang terbaik menurut ratumu!" kata Ki Jangkar Langit.

Ludiro segera ditangkap oleh Cendana Wilis, Jangkar Langit segera
tinggalkan tempat. Ludiro diseret dan dihadapkan kepada Suto oleh
Cendana Wilis.

"Apa yang harus saya lakukan untuk orang ini. Gusti Manggala?!"

"Buka baju rompinya dan periksa punggungnya!" Ludiro yang pucat pasi
karena habis terkena pukulan 'Patuk kelabang Liar' itu, tak bisa berbuat
apa-apa. Badannya lemas ketika diseret dan dilepas baju rompinya.

Pada mulanya, Cendana Wilis hanya merasa tak enak kepada Ki Jangkar
Langit jika ketahuan bahwa Ludiro ingin merebut tombak pusaka tersebut.
Setidaknya akan timbul perselisihan pihak Jangkar Langit dengan pihak
sang ratu. Walaupun apa yang dikatakan Ki Gendeng Sekarat tadi memang
benar, bahwa Jangkar Langit akan bisa mengatasi tindakan Ludiro. Tapi
itu akan menimbulkan kesan jelek pada pihak prajurit sang gusti ratu.
Sebab itu, Cendana Wilis cepat bergerak dan menangkap Ludiro sebelum Ki
Jangkar Langit yang melakukannya sendiri.

Tetapi, pikiran Pendekar Mabuk tidak hanya sampai di situ. Ia langsung
saja menaruh curiga kepada Ludiro dan menyuruh periksa tubuh Ludiro.
Ternyata di punggungnya ada tato gambar tengkorak dengan dikelilingi
tujuh mata rantai. Itulah simbol yang dimiliki oleh para mata-mata
Siluman Tujuh Nyawa.

"Sudah berapa lama dia menjadi prajurit Puri Gerbang Surgawi?"
"Dua tahun lewat," jawab Cakar Jatayu yang langsung ikut menangani
masalah Ludiro itu.

"Berarti sudah dua tahun lewat kalian kemasukan orangnya Durmala Sanca!
Mereka memang pandai menyusup dan mengirim berita melalui hubungan batin!"

"Kurang ajar!" geram Cendana Wilis dan Cakar Jatayu.

Cakar Jatayu berkata, "Pantas orang-orang pilihan ratu, seperti Seruni,
Giri Santi, Kipas Buana dan yang lainnya dibabat habis lebih dulu oleh
mereka. Rupanya mereka sudah mempunyai daftar nama-nama orang
kepercayaan ratu yang menjadi prajurit pilihan!"

"Benar. Dan sekarang tinggal kita berdua ditambah Dewa Racun!" kata
Cendana Wilis. "Jika begitu, saya akan mengggantungnya sekarang juga,
Gusti Manggala!"

"Jangan!" cegah Pendekar Mabuk yang membuat Cendana Wilis dan Cakar
Jatayu tekejut heran. Bahkan Pendekar Mabuk tambahkan kata,
"Pulangkan diake Kapal Siluman!"

"Dia mata-mata, Gusti! Tak bisa kita biarkan perlakuan mata-mata yang
sudah dua tahun lebih bercokol di dalam tubuh kita!" ujar Cendana Wilis
dengan sedikit ngotot.

"Dengan maksud apa dia dipulangkan, Gusti Manggala?" tanya Ki Gendeng
Sekarat yang sudah mulai sayu matanya, mau tidur lagi.
"Aku mau pinjam tenaganya untuk menyampaikan salamku kepada Siluman
Tujuh Nyawa. Bawa kemari orang yang bernama Ludiro itu!"

Maka, dengan cepat Cakar Jatayu menyeret orang yang bernama Ludiro itu.
Tubuhnya masih lemas akibat pukulan 'Patuk Kelabang Liar' yang
diterimanya dari Cendana Wilis.

Suto segera pandangi wajah orang bertubuh kurus tapi berdagu lancip itu.
Matanya memancarkan kelicikan yang dalam. Suto segera ucapkan kata
kepada Ludiro,

"Ludiro, penyamaranmu sudah terbongkar! Kau mata-mata utusan dari
Siluman Tujuh Nyawa!"
"Ya. Memang!" jawab Ludiro tetap berani.
"Kau kujatuhi hukuman mati!"
"Aku tidak peduli!"

Plakk...! Cendana Wilis menampar Ludiro dengan gerakan tangan yang
berkelebat cepat. Tamparan itu disertai lepasnya tenaga dalam, sehingga
wajah Ludiro dalam waktu yang amat singkat menjadi memar membiru separo
wajah. Orang itu hanya menggigit bibirnya dengan menyipitkan mata
menahan rasa sakit di wajahnya.

"Kau kubebaskan, Ludiro!" kata Pendekar Mabuk. "Pulanglah ke Kapal
Siluman dan temui sang ketua! Katakan kepadanya, saat purnama mendatang,
dia kutunggu di Pulau Padang Peluh! Katakan pula, di sanalah aku
membunuh Doma Damu dengan sangat mudahnya!"

Pendekar Mabuk sengaja memancing kata-kata yang memerahkan telinga
Siluman Tujuh Nyawa jika ucapan yang serupa disampaikan oleh Ludiro.
Tetapi, ternyata kata tantangan itu membuat Ki Gendeng Sekarat menjadi
murung, ia ingin memotong ucapan itu, tapi tak berani, karena Suto
Sinting lebih tinggi kedudukannya dan harus dihormati. Bagaimanapun
juga, Ki Gendeng Sekarat masih merasa menjadi orang Puri Gerbang
Surgawi, walaupun bebas tugas.

Buat Cendana Wilis dan Cakar Jatayu, pesan penuh tantangan itu sempat
membuatnya berdebar-debar. Karena mereka berdua merasa cemas dan takut
kalau ternyata Pendekar Mabuk tak mampu mengungguli ilmunya Siluman
Tujuh Nyawa dan mati di tangan orang sesat itu. Bahkan Cendana Wilis
sempat ajukan usul,

"Sebaiknya jangan Gusti Manggala sendirian yang hadapi Siluman Tujuh
Nyawa! Berbahaya, Gusti! Dia orang licik, tak mungkin datang sendirian!
Pasti dia akan kuras dulu tenaga Gusti Manggala untuk bertarung melawan
anak buahnya. Setelah tenaga Gusti Manggala berkurang banyak, barulah
dia sendiri yang akan maju!"

"Apa pun yang terjadi, aku harus hadapi dia! Malam purnama mendatang
adalah malam kepastian, dia akan merajalela atau lenyap tanpa tinggalkan
selembar rambut pun!"

Suto berpikir sejenak, kemudian segera berkata lagi, "O, tidak! Dia
tidak akan lenyap, hanya akan terpenggal kepalanya dan kubawa menghadap
ke ratu kalian!"

"Sudah pastikah ketentuan ini, Gusti Manggala?" tanya Cakar Jatayu, dan
Suto menjawab dengan tegas,
"Ya! Pasti!"

"Jika begitu, saya akan bebaskan Ludiro biar temui Siluman Tujuh Nyawa,
bila mana perlu suruh dia sampaikan surat tantangan dari Gusti Manggala!"

"Gagasan yang bagus itu!" kata Pendekar Mabuk sambil mengangkat bumbung
tuak dan meneguknya beberapa kali.

Ludiro dilepaskan oleh Cendana Wilis dengan dibekali surat tantangan
dari Suto Sinting. Tetapi seperti yang sudah-sudah, tawanan itu dilepas
oleh Cendana Wilis setelah satu telinganya dipotong putus menggunakan
pisau milik orang lain. Ludiro menjerit tak terbayangkan lagi kerasnya,
ia dibekali sebuah perahu, kemudian dilepaskan di lautan.

Pada sisi lain, Ki Gendeng Sekarat minta supaya Suto masuk ke kamar
penyimpanan mayat. Semua mayat memang sudah dilepaskan dan menjadi
penjaga pantai, dua di antaranya telah hancur oleh kekuatan dahsyat
Jangkar Langit. Kini kamar itu kosong, hanya berisi tumpukan peti mayat,
dengan satu peti mayat agak besar yang menjadi tempat tidur Gendeng
Sekarat.

"Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan hanya berdua saja!" begitu pada
awalnya, sehingga Suto datang ke kamarnya Gendeng Sekarat dengan tanpa
diketahui oleh siapa pun.

"Apa maksud Ki Gendeng memanggilku kemari?" tanya Suto.

"Soal tantanganmu dengan Siluman Tujuh Nyawa," jawab Gendeng tak terlalu
hormat seperti di luaran. "Aku keberatan kau kirimkan surat tantangan
kepada Durmala Sanca!"

"Di mana letak keberatan Ki Gendeng?"
"Ilmunya tak sebanding denganmu! Kau bukan tandingannya, Suto!"
"Mungkin saja saya bukan tandingannya, Ki Gendeng. Tapi saya harus bisa
kalahkan dia!"

"Itu tak mungkin!" sahut Ki Gendeng Sekarat. "Kau hanya punya keberanian
besar tapi tidak punya ilmu sejajar dengannya! Kau hanya akan mati
konyol, Suto! Pikirkanlah hal itu!"

"Jadi apa maksud Ki Gendeng?"
"Batalkan pertarungan itu!" jawab Ki Gendeng Sekarat sedikit cemberut.
"Saya tidak bisa menarik mundur tantangan pertarungan, Ki!"
"Harus bisa! Kalau kau mati, siapa yang akan menjaga Gusti Ratu?"
"Saya yakin, saya tak akan mati."

"Ah, itu hanya semangatmu saja!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil wajahnya
semakin cemberut jengkel kepada Suto. Kemudian ia berkata lagi, kali ini
sambil berjalan mondar-mandir di depan Pendekar Mabuk, yang tidak berani
ia lakukan begitu jika ada orang lain, demi menghargai Pendekar Mabuk
sebagai sang Manggala Yudha.

"Coba renungkan kata-kataku...! Siluman Tujuh Nyawa punya umur lebih tua
dari umur gurumu, si Gila Tuak itu! Sedangkan kau baru anak kemarin
sore. Siluman Tujuh Nyawa punya ilmu cukup tinggi dan pengalaman yang
jauh lebih banyak dibandingkan dengan dirimu! Sedangkan ilmumu belum ada
separo dari ilmunya! Dia orang licik dan jahat, kau tidak bisa licik dan
tidak mau jahat! Dia tidak punya tanggungan seandainya dia mati, kau
punya kewajiban sebagai Manggala Yudha Kinasih. Bagaimana jika kau mati
di tangannya? Lantas siapa yang akan diunggulkan oleh Gusti Ratu Kartika
Wangi dan Gusti Mahkota Sejati itu?! Siluman Tujuh Nyawa sudah cukup
puas menikmati hidupnya yang lama itu, sehingga mati pun sudah
sewajarnya, sedangkan kau belum puas menikmati hidup! Kawin pun belum!"

Ki Gendeng Sekarat berhenti tepat di depan Suto, matanya memandang tajam
ke arah Suto sebagai mata seorang guru memandang gemas kepada muridnya.
Suto hanya menarik napas dalam-dalam, setelah itu berkata dengan pelan.

"Apa yang Ki Gendeng katakan memang benar. Tapi saya sudah keluarkan
surat tantangan! Pertarungan harus terjadi pada malam purnama nanti, Ki!"

"Batalkan saja! Jangan kau yang pergi ke Pulau Padang Peluh, melainkan
aku saja yang ke sana! Aku yang hadapi dia, Suto!"

"Tidak bisa, Ki! Harus saya yang hadapi dia!"
"Kau akan mati, Tolol!" bentak Ki Gendeng. "Tapi jika dia berhadapan
denganku, dia yang akan mati!"

"Tidak bisa!" debat Pendekar Mabuk. "Saya harus bertarung melawannya
pada malam purnama nanti!"

Brakk...! Ki Gendeng Sekarat jengkel sendiri, lalu ditendangnya tumpukan
peti mati itu. Dua peti mati hancur seketika, kayu papannya menjadi
potongan- potongan kecil. Suto sempat kaget dan cemas melihat Ki Gendeng
Sekarat mulai marah.

"Percuma kupertinggi ilmuku selama ini, kalau pada akhirnya aku hanya
sebagai penonton kematian-nya!" kata Ki Gendeng Sekarat sambil
bersungut-sungut, kembali ia berjalan mondar-mandir. Katanya lagi,

"Aku yang punya dendam kepada dia! Aku yang punya kewajiban membalas
sakit hati atas kematian penduduk Pulau Mayat ini! Aku yang selama ini
memimpikan kematiannya di tanganku! Sekarang kesempatan ini akan kau
rebut begitu saja!"

"Aku Manggala Yudha, Ki Gendeng!" ucap Suto dengan tegas dan sedikit
keras. Agaknya ia hampir kehilangan kesabaran juga melihat sifat
ngototnya Ki Gendeng Sekarat itu.

Ki Gendeng Sekarat diam, menatap Suto sejenak, lalu alihkan pandang
dengan termenung. Suto kembali ucapkan kata,

"Untuk apa aku menjadi Manggala Yudha Kinasih, jika pertarungan maut itu
kuserahkan kepadamu?! Hidup atau mati, itu sudah jaminan bagi seorang
panglima, Ki Gendeng! Jadi jangan harap aku mau batalkan pertarunganku
dengan Siluman Tujuh Nyawa! Apa pun alasannya, pertarungan itu harus
terjadi!"

Setelah berkata setegas itu, Suto cepat tinggalkan tempat itu. Ki
Gendeng Sekarat diam saja, masih termenung dengan kedongkolannya, sampai
kemudian ia tertidur dalam keadaan berdiri bersandar pada dinding.

Rupanya Ki Gendeng Sekarat masih penasaran, ia tak bisa menentang
keputusan Suto, karena Suto seorang Manggala Yudha. Maka, ia segera
menemui Gusti Ratu Dyah Sariningrum secara diam-diam, kemudian ia bujuk
sang ratu agar mau mencegah pertarungan Suto dengan Siluman Tujuh Nyawa
itu. Tapi agaknya sang ratu berpihak kepada keputusan Pendekar Mabuk.
Sang ratu berkata,

"Membantai kezaliman itu memang tugasnya, Ki Gendeng Sekarat! Kurasa,
aku tak perlu cemaskan nasibnya! Hidup dan mati ada di tangan Yang Maha
Kuasa, Ki Gendeng!"

"Memang, Gusti! Tapi setidaknya manusia diwajibkan bertindak dengan
perhitungan. Itu sebabnya manusia dikaruniai otak dalam kepalanya
masing- masing! Kalau menurut perhitungan ilmunya Pendekar Mabuk itu
masih belum ada separo ilmu Siluman Tujuh Nyawa itu, maka sudah
semestinya kita mengingatkan dia, mencegah kecerobohannya, Gusti Ratu!"

Gusti Ratu Dyah Sariningrum sunggingkan senyum kewibawaannya, lalu
dengan lembut ia berkata, "Aku tahu apa yang kau cemaskan, Ki Gendeng!
Tetapi perlu diingat, bahwa dia adalah panglima negeri tempat ibuku
memerintah! Aku tak berani menentang keputusan dia, Ki. Kalau aku desak
dia dan melarang dia maju ke pertarungan itu, aku takut kena marah oleh
Kanjeng Ibu!"

Dengan lesu dan lemas, Ki Gendeng berkata, "Jadi, kita hanya bisa
relakan dia mati di tangan Durmala Sanca, Gusti?!"

"Tugas kita mendoakan! Bukan mengharapkan dia mati!"

"Baiklah kalau memang begitu keputusan Gusti Ratu!" ucap Ki Gendeng
Sekarat dengan semakin pelan. Kemudian kepalanya pun terkulai lemas,
matanya terpejam dan suara dengkurnya terdengar lirih. Ki Gendeng
Sekarat tertidur kembali. Tak peduli di depan Ratu Gusti Mahkota Sejati,
jika saatnya ia terserang kantuk yang berat, maka tidurlah dia di tempat
itu juga.

***

PULAU Padang Peluh adalah pulau yang tandus dari sekian banyak gugusan
pulau di wilayah laut utara. Tak ada pohon di sana, kecuali jenis rumput
yang tumbuh di beberapa tempat saja.

Pulau Padang Peluh mempunyai banyak gugusan batu dan cadas. Luas Pulau
itu lebih kecil dari luas Pulau Mayat. Gundukan-gundukan batu atau cadas
ada di mana-mana. Salah satu gundukan cadas ada yang membukit. Bagian
atasnya datar, walau ada pula gugusan batu yang bertonjolan seperti
pohon bersemak-semak, tapi jarak satu gugusan dengan lainnya cukup jauh.

Yang paling rapat adalah dua gugusan berjarak tiga langkah, tingginya
melebihi tubuh manusia dewasa.Di pulau itulah dulu Suto menemukan wanita
cantik yang terkapar dan butuh pertolongan. Wanita cantik itu adalah
Dayang Kesumat, yang merupakan jelmaan dari wujud tua renta si Mawar
Hitam, tokoh sesat dari Pulau Hantu. Dan di pulau itulah, Pendekar Mabuk
bertarung melawan pengawal pribadi Siluman Tujuh Nyawa yang kembar rupa
itu, yakni Doma dan Damu.

Sepasang pengawal kembar yang membawa pusaka Cermin Benggala Kembar itu
akhirnya hancur di tangan Suto Sinting, menjadi debu yang tak dapat
dilihat lagi bentuknya. Juga di pulau itu Doma Damu berhasil mengalahkan
ketua kapal Bajak Naga yang bernama si Tua Rakus dengan cermin pusaka
Benggala Kembar. Si Tua Rakus menjadi patung batu yang sampai saat ini
masih tetap ada dan dapat dilihat bentuk serta wujudnya oleh Pendekar
Mabuk. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").

Seperti apa yang diperkirakan Pendekar Mabuk, malam itu purnama tepat
jatuh di atas Pulau Padang Peluh. Langit terang dan rembulan bundar itu
menyorotkan cahayanya dengan benderang pula. Suto bergegas menuju ke
sebuah bukit yang tak seberapa tinggi, namun yang menjadi tempat paling
atas dari semua tempat yang ada di pulau tersebut.

Angin samudera berhembus sepoi-sepoi dan membuat rambut Suto yang
panjang itu meriap-riap dipermainkan angin. Dari tempatnya berdiri
menunggu lawan, Suto dapat memandang ke arah pantai. Di sana hanya ada
satu perahu, yaitu perahunya sendiri, sedangkan kapal atau perahu
tunggangan Siluman Tujuh Nyawa belum kelihatan merapat ke pantai.

Karena pulau itu tidak ada tanaman pohon, tempatnya sangat terbuka
terang, maka seseorang yang berdiri di pantai dapat melihat dengan jelas
sosok Pendekar Mabuk di atas bukit cadas itu. Pendekar Mabuk yang baru
saja menenggak tuaknya itu tampak tidak sabar menunggu lawannya datang.
Baginya, malam itu adalah malam penentuan bagi hidup Siluman Tujuh
Nyawa, juga penentuan bagi hidupnya sendiri.

Pendekar Mabuk sadar bahwa Siluman Tujuh Nyawa berusia jauh lebih tua
darinya, bahkan lebih tua dari gurunya sendiri. Apa yang dikatakan
Gendeng Sekarat memang benar, Siluman Tujuh Nyawa atau Durmala Sanca
punya cukup banyak pengalaman bertarung di rimba persilatan, juga
mempunyai segudang ilmu bertaraf tinggi. Tetapi Suto tidak punya rasa
gentar sedikit pun di dalam hatinya. Yang membuat Suto bergemuruh di
dalam dadanya adalah ketidaksabarannya menunggu kemunculan Durmala Sanca.

Pantai menjadi sasaran pandangan mata Pendekar Mabuk, karena dari
sanalah Durmala Sanca akan muncul menyambut surat tantangan yang
dikirimkan Suto lewat mata-mata yang dipulangkan itu. Pendekar Mabuk
yakin, Durmala Sanca pasti akan datang menyambut tantangannya, karena
selain surat tantangan itu cukup membakar darah, juga membuat darah kian
mendidih melihat mata-matanya pulang dengan telinga dipotong satu oleh
Cendana Wilis.

Baru saja Pendekar Mabuk berpikir demikian, tiba- tiba ia merasakan ada
gerakan hawa panas yang sangat cepat menyerang arah punggungnya.
Wuussst...! Cepat- cepat Suto membalikkan badan sambil melepaskan satu
pukulan tenaga dalam dengan gerakan tangan terayun cepat bersama
berputarnya tubuh. Wusssh...! Blarrr...!

Dua pukulan tenaga dalam membuat bumi bagai berguncang. Pukulan itu
beradu tanpa bentuk dan sinar. Pendekar Mabuk sempat mundur satu tindak
karena hembusan angin kencang dari benturan dua tenaga dalam yang
timbulkan daya ledak tinggi itu.

Tetapi mata Pendekar Mabuk tidak melihat bentuk manusia di depannya. Tak
ada gerakan yang bisa dicari oleh mata dan bisa diserang tiba-tiba. Mata
Suto memandangi sekelilingnya dengan liar. Kini terasa lagi semburan
hawa panas dari arah samping kirinya.
Wuusss...!

Pendekar Mabuk cepat melompat dan bersalto ke depan, lalu begitu
mendarat ia cepat gerakkan badan ke kanan dan satu sentakan kuat dari
telapak tangannya mengeluarkan tenaga dalam tanpa rupa lagi. Wusssh...!

Blarrr...!

Ledakan itu menandakan pukulan lawan berhasil dihancurkan oleh pukulan
Suto Sinting. Tetapi lawan yang melepaskan pukulan itu masih belum
kelihatan. Ini berarti Durmala Sanca tidak mau tampakkan diri dalam
pertarungannya untuk membuat Suto kebingungan mengarahkan
serangan-serangannya.

"Tampakkan wujudmu! Kita bertarung secara kesatria, Durmala Sanca!" seru
Suto Sinting dengan badan membungkuk miring ke kiri bagai orang mau
jatuh karena mabuk, tapi sebenarnya Suto bukan sedang mabuk. Gerak gaya
jurusnya memang mirip orang sempoyongan akibat kebanyakan minuman arak
atau tuak.

Karena Suto tak bisa melihat bentuk lawannya, maka ia segera memejamkan
matanya dan merasakan setiap gerakan yang datang mendekatinya. Dengan
cara seperti itulah Pendekar Mabuk melihat di mana posisi lawan berada
dan apa yang akan menyerangnya.

"Hmmm... sebuah gerakan lembut tipis datang dari arah kiriku. Pasti
sebuah senjata tajam yang dilayangkan untuk menebas leherku!" pikir
Pendekar Mabuk dalam terpejamnya mata. Maka dengan cepat ia merundukkan
kepalanya, dan tiba-tiba benda yang bergerak itu berkelebat di atas
kepala Pendekar Mabuk. Wussh...!

Pendekar Mabuk tahu lawannya ada di sebelah kiri, jaraknya tak sampai
empat tindak karena ia menyerang dengan senjata. Setidaknya tongkat El
Maut yang punya jarak tak lebih dari tiga langkah. Maka dengan cepat
Pendekar Mabuk menggunakan pukulan 'Sekat Nadi' jarak jauh yang dapat
menotok jalan darah lawan di bagian mata kakinya.

Jari tangan Pendekar Mabuk disentilkan beberapa kali dan pukulan 'Sekat
Nadi' jarak jauh meluncur cepat bertubi-tubi setinggi tak lebih dari
satu jengkal di atas permukaan tanah. Tabb tab tab tab tab... dub! Kena.
Pendekar Mabuk merasakan pukulannya mengenai mata kaki lawan. Lalu ia
membuka matanya dan ternyata wujud yang menghilang dari pandangannya
tadi sudah berada di depannya dalam nyata. Berdiri dengan kerudung hitam
dari kepala hingga kakinya, menggenggam tongkat panjang berujung sabit
sedikit lengkung. Itulah senjata pusaka El Maut. Orang berwajah putih
dengan bibir biru dan mata memandang dingin itu segera menggeserkan
langkah ke kanan. Terdengar suaranya yang datar berkata,

"Cukup lumayan ilmumu, Anak muda...! Tak sia-sia aku datang kemari
memenuhi tantanganmu!"

"Bersiaplah untuk menjadi kesatria! Jangan berani menyerang sambil
sembunyi, itu sifat seorang banci pengecut!" kata Pendekar Mabuk sengaja
memancing panas hati lawannya.

Lawannya justru tertawa terbahak-bahak. Pendekar Mabuk kerutkan dahi
sedikit. Tapi ia segera melompat sambil bersalto ke samping kanan,
karena suara tawanya itu timbulkan getaran gelombang aneh yang terasa
mau menyerangnya. Sambil melompat Pendekar Mabuk melepaskan satu pukulan
jarak jauh menggunakan kibasan tangan kirinya. Weesss... ! Plakkk... !

Tawa membahak itu tiba-tiba terhenti. Wajah putih itu terlempar ke
samping dengan kaki nyaris terpelanting. Rupanya Pendekar Mabuk
mengirimkan tamparan jarak jauh yang bertenaga dalam cukup tinggi,
sehingga wajah putih itu tersentak kuat ke samping. Tawanya yang
mengandung getaran gelombang berbahaya itu hilang seketika, berubah
menjadi suara geram yang mendendam.

"Haiaaatt...!"

Lawan melompat tinggi dan bersalto satu kali ke arah Pendekar Mabuk,
lalu senjata El Maut-nya ditebaskan dari samping kanan ke kiri.
Wuttt...! Hampir saja mengenai leher Pendekar Mabuk jika Pendekar Mabuk
tidak segera berguling ke tanah, lalu bangkit dan sentakkan kakinya ke
tanah. Tubuh Pendekar Mabuk melesat ke atas dan bersalto satu kali ke
arah belakang Wuuttt... !

Pendekar Mabuk berada di tempat yang lebih tinggi, yaitu sebuah gugusan
cadas sebesar kerbau. Lawannya juga berada di gugusan batu sedikit lebih
tinggi dari tempat Suto. Jarak mereka ada antara enam langkah. Dua tubuh
siap berdiri melepaskan serangan lagi di bawah bayangan cahaya purnama
terang.

Lawannya segera sentakkan tongkat ke depan, dan dari ujung tajam di
pucuk tongkat itu keluar cahaya merah membawa percikan-percikan cahaya
biru. Gerakannya begitu cepat, sehingga Pendekar Mabuk pun cepat meraih
bumbung tuaknya dan digunakan menangkis cahaya merah bintik-bintik biru
itu. Crasss...! Wurrrrh... !

Cahaya itu membalik dengan lebih besar dan lebih cepat lagi. Lawannya
terkejut, dan cepat menggulingkan badan ke kanan, nyaris jatuh dari
gugusan cadas itu. Wess...! Blabbb...! Cahaya merah berbintik-bintik
biru itu mengenai batu tinggi dan batu tersebut lenyap bagai ditelan
bumi. Bahkan batu di belakangnya pun ikut lenyap juga.

"Jahanam kau!" geram lawannya terdengar lirih.
"Heaaah...!"

Siluman Tujuh Nyawa yang berwajah kaku itu segera sentakkan kakinya, dan
tubuhnya pun melesat melayang bagaikan terbang. Suto pun melakukan hal
yang sama sehingga dua-duanya saling melesat di udara, saling
membenturkan diri dengan senjata siap menyerang lawan. Pendekar Mabuk
hanya menggunakan bumbung tuaknya yang berkelebat cepat menangkis
sabetan senjata El Maut itu. Trangngng...!

Mendadak tubuh Suto Sinting yang melayang di udara itu berjungkir balik
setelah menangkis dan kakinya menyentak ke belakang dengan kerasnya.
Baagggh...! Kaki Pendekar Mabuk yang menyala hijau muda itu mengenai
punggung lawannya dengan telak sekali, karena serangan tendang itu sama
sekali tak diduga dapat dilakukan Pendekar Mabuk dalam keadaan terbang
begitu.

Akibatnya, tubuh lawan terlempar lima tombak jauhnya dan membentur
sebuah gugusan batu hitam. Prakkk...! Batu itu retak tapi tak sampai
berjatuhan. Tubuh lawannya terhempas jatuh ke tanah dengan suara pekik
tertahan.

Suto berdiri dengan tegak menunggu lawannya bangkit kembali. Tapi
lawannya itu seperti mengalami kesulitan untuk bangkit kembali. Tulang
punggungnya terasa hilang. Tak bisa ia merayap dan berdiri, ia
terengah-engah dalam keadaan duduk di tanah setelah tiga kali berusaha
bangkit tapi gagal. Pendekar Mabuk sengaja membiarkan dulu lawannya
begitu, karena ia punya kesempatan untuk meneguk tuaknya beberapa kali.

"Sungguh tak kusangka gerakan mabukmu di udara cukup hebat!" kata
lawannya yang mulai reda helaan napasnya. Pendekar Mabuk yang berdiri
dalam jarak empat langkah dari lawan itu hanya tertawa pelan.

"Kurasa kau masih mampu berdiri untuk meneruskan pertarungan, Durmala
Sanca! Ayolah, aku tak ingin menyerang orang yang sedang terluka!"

"Baik! Tapi tunggu sesaat lagi. Kupulihkan tulang punggungku yang hilang
karena tendangan mautmu itu! Dapat dari mana jurus itu?!"

"Mengapa kau ingin tahu?!"

"Aku mengagumi jurus itu, karena... karena...," suaranya makin pelan,
kepalanya makin terkulai tunduk. Matanya terpejam pelan-pelan, sementara
punggungnya tetap bersandar pada batu di belakangnya. Suto jadi kerutkan
dahi kuat-kuat.

"Matikah dia...?!" pikir Pendekar Mabuk dengan merasa aneh.

Terdengar suara dengkur yang samar-samar dari mulut yang masih tetap
terkatup rapat itu. Suto makin terkesiap melihat lawannya tertidur.
Lalu, segera ia teriakkan suara menyentak penuh kejengkelan hati,

"Gendeng Sekarat!"
"Hai...!" sahut lawannya yang tertidur dengan suara malas-malasan.

"Lepaskan topengmu!" sentak Suto. Ada rasa sesal yang menjengkelkan
setelah tahu orang itu adalah Ki Gendeng Sekarat yang menyamar sebagai
Siluman Tujuh Nyawa.

Dalam, keadaan tertidur, Ki Gendeng Sekarat melepaskan topengnya sesuai
perintah Suto Sinting. Wajahnya terlihat jelas sebagai wajah Ki Gendeng
Sekarat yang termasuk orang konyol menurut pandangan Suto. Orang itu
bahkan tetap tertidur walau sudah melepas topeng dan mendengar suara
geraman Suto.

"Mengapa kau menyamar lagi sebagai Durmala Sanca, hah?! Mengapa kau
menyerangku?!" sentak Suto dengan hati tetap dongkol, karena rasa sesal
yang telah melepaskan pukulan dan tendangan maut ke arah Ki Gendeng
Sekarat.

Orang tua yang tidur itu menjawab, "Aku ingin merebut pertarungan ini
dari tanganmu! Jika aku bisa lumpuhkan kamu tanpa harus membunuh, aku
akan punya kesempatan bertarung dengan Siluman Tujuh Nyawa! Supaya kau
terpancing bertarung denganku, aku terpaksa menggunakan pakaian dan
topeng samaran ini!"

"Sial! Bodoh betul kau ini, Ki! Kau bisa mati kalau melawanku!"

"Jika memang itu akhir yang kutemui, aku telah siap! Prahara di Pulau
Mayat toh telah membuatku mati, seandainya aku tidak cepat sembunyikan
diri ke dasar bumi! Aku sembunyi bukan untuk lari, tapi untuk cari
kesempatan membalas perbuatan Durmala Sanca dalam peristiwa berdarah
Prahara Pulau Mayat, sekian tahun yang lalu! Kesempatan ini sudah ada,
ilmuku sudah cukup, tapi kau ingin merebutnya! Aku tak rela! Aku harus
mengalahkanmu dulu jika memang begitu caranya!"

"Nyatanya bagaimana?"

"Ya. Kau memang punya keunggulan yang tidak kusangka-sangka! Kupikir kau
hanya punya keberanian tanpa kematangan ilmu kanuragan!"

Sebuah sinar merah menyala melesat dari arah samping belakang Pendekar
Mabuk. Cepat sekali gerakannya, hampir tak bisa dilihat. Tetapi Ki
Gendeng Sekarat cepat sentakkan tangannya dan keluarlah sinar putih yang
melesat cepat dari pangkal pergelangan tangannya. Wuttt... ! Sinar putih
itu menghantam sinar merah yang hampir mengenai punggung kiri Suto.

Blarrr...! Sinar merah itu hancur dan timbulkan gelombang ledak yang
besar, sehingga tubuh Suto tersentak hampir menabrak batu yang dipakai
bersandar Ki Gendeng Sekarat dalam tidurnya.

"Terima kasih, kau telah selamatkan nyawaku, Ki!" ucap Suto setelah
menyadari ia dalam sedikit kelengahan tadi.

"Terima kasih itu gampang," kata Ki Gendeng Sekarat sambil tetap
tertidur, "Yang penting sekarang hadapi dia dulu. Dia sudah datang dari
arah timur. Sambut dia, Gusti Manggala Yudha...!"

"Baik. Tapi sebelumnya minum dulu tuakku ini! Lekas...!"

Sambil masih tertidur, Ki Gendeng Sekarat membuka mulutnya dan Pendekar
Mabuk menuangkan tuaknya ke mulut itu. Glek glek glek...! Setelah itu
Suto cepat menyambut kedatangan lawannya dari arah timur.

Sebuah kapal berbendera hitam telah berlabuh di pantai. Sebuah lagi
masih terlihat jauh mendekati pulau itu juga. Rombongan orang-orang
kapal itu turun dan mendekati bukit tersebut tanpa sosok Siluman Tujuh
Nyawa. Rombongan yang mendaki itu melihat Suto berdiri di tepi tebing,
mereka segera hentikan langkah. Nakhoda Salju berseru,

"Itudia! Seraaaang...!"

Mereka serempak menyerang Pendekar Mabuk dengan pukulan tenaga dalam
jarak jauh. Umumnya mereka menggunakan pukulan-pukulan handal yang
sangat membahayakan. Beberapa sinar aneka warna keluar dari tangan
mereka masing-masing. Semua arah sinar melesatnya ke tubuh Suto.

Melihat penyerbuan seperti itu, Suto pun merasa panas hatinya dan ia
menarik napasnya lalu dihentakkan keras-keras. "Haaah...!"

Wuuaarrrr ..... !

Badai datang mengamuk dari mulut Pendekar Mabuk, ia telah menggunakan
napas Tuak Setan yang menggulung habis para keroco itu. Sinar aneka
warna yang meluncur dari tangan mereka membalik arah karena sapuan badai
besar yang mengerikan. Sinar itu ada yang mengenai pemiliknya, dan yang
menerpa orang lain. Ada yang hancur tubuhnya, ada pula yang hitam
menghangus.

Ada pula yang selamat dan berusaha melarikan diri. Tapi badai besar
melemparkan mereka tak beraturan. Ada yang terhempas menghantam batu
besar hingga kepalanya pecah, tapi ada pula yang tertindih batu yang
menggelinding dari atasnya. Bahkan ada yang saling berbenturan kepala
sampai keduanya mati mengerikan.

Langit tiba-tiba menjadi gelap, walau masih ditembus cahaya rembulan
pucat. Kilatan cahaya petir biru berloncatan dari langit satu ke langit
lainnya. Gelegar suara gunturnya mengerikan. Badai Tuak Setan
memporak-porandakan pulau yang tandus dan yang hanya mempunyai
tonjolan-tonjolan batu mirip pilar- pilar raksasa itu. Batu-batu
tersebut patah di pertengahannya karena hembusan badai. Ada pula yang
tumbang dan menjatuhi tubuh anak buah Siluman Tujuh Nyawa yang sedang
melarikan diri.

Di pantai, terjadi kekacauan pula. Air laut bagai disingkapkan naik dan
menggulungkan ombak besar, melemparkan Kapal Siluman sehinga kapal itu
akhirnya pecah dan berantakan ke mana-mana. Tapi kapal yang baru datang
dari arah utara itu masih dalam keadaan tenang mendekati pulau itu,
karena arah badai menghembus dahsyat ke timur. Badai itu membuat Ki
Gendeng Sekarat yang tidur menggumam,

"Celaka! Anak itu ternyata punya napas Tuak Setan?! Pantas ia berani
melawan Durmala Sanca...?!"

Tiba-tiba sebuah hantaman tak terlihat melesat dari belakang Suto.
Wusss...! Dabbb...! Suto terpelanting hampir jatuh ke lereng bukit itu.
Pukulan tersebut datang secara mendadak dan tak diketahui wujudnya, tak
terasa getaran gelombangnya.

Pendekar Mabuk merasakan pundaknya bagai hancur remuk karena pukulan
itu. Tapi matanya tidak melihat bentuk manusia penyerangnya. Bahkan ia
tak merasakan getaran gelombang panas berikutnya yang membuat ia
terjengkang kembali saat mau berdiri. Buggh...! Srappp... ! Rasa panas
menyerang tubuh seketika.

Suto berguling ke belakang dan mencoba mengatasi rasa sakitnya itu
dengan menahan napas. Matanya menatap ke sana-sini dengan liar. Tak ada
bentuk manusia penyerang yang dilihatnya. Tak ada gerakan yang dapat
dirasakan mendekat. Pendekar Mabuk terpaksa pejamkan mata untuk
tingkatkan kepekaan inderanya. Tapi, baru saja ia pejamkan mata,
tiba-tiba, crasss...!

Dadanya bagai dirobek oleh benda tajam yang tak terlihat bentuknya. Suto
berdarah, ia terpental ke belakang, dan cepat berguling sambil
seringaikan wajah menahan sakit. Luka itu cukup dalam dan panjang,
mengucurkan darah segar yang membasahi bajunya.

Tiga pukulan tenaga dalam dilepaskan Suto Sinting ketiga arah. Wuttt...
wuttt... wuttt...! Tapi tak satu pun ada yang mengenai sasaran selain
batu-batu tak bersalah. Bahkan ia tiba-tiba terkena luka di ujung
pangkal pundaknya. Luka tebasan yang menyerempet tipis itu timbulkan
darah kembali dan rasa sakit yang memanaskan tubuhnya. Suto mengerang
sambil berusaha melompat beberapa kali menjauhi lokasi tersebut.

"Sukar sekali kulacak gerakannya! Aku tak bisa menotok mata kakinya jika
begini caranya!"
Wungngng...! Beegggh...!

"Aaahk...!" Pendekar Mabuk memekik tertahan dengan tubuh terlempar
karena pukulan jarak jauh telah menghantam tubuh belakangnya, sedangkan
waktu itu bumbung tuak sudah ada di tangannya. Punggung Pendekar Mabuk
menjadi sasaran telak bagi lawan.

Pendekar Mabuk cepat menenggak tuaknya lagi untuk sembuhkan luka
sendiri. Baru saja selesai menenggak tuak, tubuhnya diserang lagi dari
samping kanan, yang membuat lengan kanan Suto terluka! Crass... !

"Aauh...!" Suto terpekik tak sadar. Cepat-cepat ia bersalto ke depan,
melenting di udara dan bersalto lagi hingga ia mencapai tempat tinggi
dari sebuah gugusan batu.

"Musuh tak bisa dilihat! Ini berarti ia ada di alam gaib!" pikir
Pendekar Mabuk. Maka dengan cepat ia mengusap keningnya yang bertanda
merah dengan tangan kirinya. Sllappp... !

Ki Gendeng Sekarat sendiri terbengong melihat Suto hilang lenyap tak
berbentuk. Tak bisa dicari di mana ia berada. Tapi suara pukulan dan
ledakan-ledakan terdengar di sana-sini. Suara benturan senjata El Maut
dengan bumbung bambu juga terdengar menggema sesekali. Ini pertanda di
alam gaib, Pendekar Mabuk bertarung dengan sengitnya melawan Durmala
Sanca yang sejak tadi menggunakan ilmu silumannya.

Suto bisa mengejar lawannya ke alam gaib karena ia telah mempunyai tanda
merah di keningnya yang jika diusap dengan tangan kiri dapat berada di
alam gaib, tempat makhluk-makhluk sesat berada.

"Hiaaaat....!"
"Heeaaah...!"

Trang...! Beg beg brasss...! Bluhkk...! Tiba-tiba Ki Gendeng Sekarat
melihat tubuh Siluman Tujuh Nyawa jatuh dalam keadaan nyata, seperti
jatuh dari langit. Rambutnya yang terbuka dari kerudung hitam itu tampak
basah. Rupanya Pendekar Mabuk telah menggunakan jurus 'Jelma Siluman'
dengan semburan tuaknya, sehinggga sosok tubuh yang hilang dari
pandangan mata itu bisa menjelma kembali. Ini dilakukan Suto setelah ia
gagal menotok mata kaki lawannya beberapa kali.

Kini ganti Suto yang menghilang dari pandangan mata Siluman Tujuh Nyawa.
Orang itu menggeram dengan gigi menggeletuk dan mata melebar.

"Keluar kau, Bangsat!" teriaknya.

Jleggg...! Suto pun tampakkan diri di depan Durmala Sanca. Tubuhnya
tetap segar dan sehat, tanpa luka sedikit pun. Durmala Sanca terkesiap
melihat kehebatan lawannya. Maka, segera ia kerahkan ilmu 'Siluman
Tujuh'-nya dengan mengangkat kedua tangan dan menghentakkan suara
keras-keras, "Heeaaa...!"

Clap clap clap clap....! Tujuh manusia sama rupa dan sama wujudnya
berjajar di samping kanan Siluman Tujuh Nyawa. Tujuh manusia sama rupa
itu segera mengepung Suto Sinting, membuat Ki Gendeng Sekarat menjadi
tegang sendiri melihatnya. Pada saat itu, Suto pun cepat tempelkan
tangan kanannya ke dada dalam posisi telapak tangan berdiri lurus ke
atas. Matanya terpejam kurang dari satu helaan napas, dan tiba-tiba,
clap clap clap clap clap...! Tujuh manusia kembar Pendekar Mabuk muncul
dari samping kanan Pendekar Mabuk.

"Edan! Dia juga bisa keluarkan manusia kembar tujuh?!" sentak Ki Gendeng
Sekarat terkejut, ia dalam keadaan terbangun.

"Setahuku, ilmu itu yang dinamakan jurus 'Sapta Tingal', yang dimiliki
oleh Bidadari Jalang...?! Rupanya diturunkan kepada anak muda itu?!
Edan! Sekarang ada delapan kembar melawan delapan kembar?! Mana dari
mereka yang asli?!"

Delapan manusia berwujud kembar Pendekar Mabuk itu juga mengagetkan
lawan. Tapi pertarungan segera dimulai. Delapan manusia kembar melawan
delapan manusia kembar dengan tingkah dan jurus yang berbeda- beda.
Tentu saja suasana menjadi ramai, saling pekik, saling pukul, saling
timbulkan ledakan.

Prak prak...! Trang...! Bungng...! Plak...! Trangng...! Duerrrr... !

Ramai sekali keadaan di pertarungan itu. Kapal yang tadi berada di
kejauhan sudah mendarat di pantai. Mereka adalah rombongan Cakar Jatayu
dan Cendana Wilis yang diperintahkan Gusti Ratu Mahkota Sejati untuk
mengawal pertarungan Suto. Tapi mereka sempat dibuat bingung melihat ke
arah bukit, pertarungan menjadi massal. Mereka juga bingung membedakan
mana Durmala Sanca yang asli dan mana Suto Sinting yang asli. Dewa Racun
dan Hantu Laut yang ikut pula hadir di situ, dibuat melompong oleh
keadaan kembar delapan tersebut.

Kejap berikutnya, terdengar suara pekikan keras dari mulut Siluman Tujuh
Nyawa itu.

"Aaaahg...!"

Pendekar Mabuk berhasil melukai Siluman Tujuh Nyawa yang asli dengan
jurus 'Pukulan Guntur Perkasa' yang membuat lawan memar membiru dan bisa
cepat menjadi busuk.

Seketika itu pula, tujuh nyawa kembar Durmala Sanca lenyap, tinggal satu
yang mengerang kesakitan. Pendekar Mabuk cepat kembalikan wujud kembar
tujuhnya, slappp...! Kini menjadi satu Pendekar Mabuk yang asli.

"Kalau kugunakan jurus 'Manggala', aku tak bisa penggal kepalanya! Jadi,
aku harus gunakan jurus lain untuk memenggal kepalanya," pikir Pendekar
Mabuk kala itu.

Tapi belum sempat ia bergerak, Durmala Sanca telah lebih dulu melesat
pergi sambil tinggalkan suara,

"Kali ini aku kalah, tapi kelak aku akan datang mengalahkan kamu lebih
parah dari ini, Suto!"

Clappp...! Ia menghilang dari pandangan siapa saja. Suto ingin
mengejarnya, tapi suara Cendana Wilis terdengar,

"Gusti Manggala...! Jangan kejar dia! Sebaiknya kembali ke Pulau Mayat!
Gustinda Betari Ayu datang, ingin bicara!"

"Katakan pada Nyai Betari Ayu, aku sedang mengejar Siluman Tujuh Nyawa!"
"Tapi, Gusti Manggala... tunggu dulu...!"

Clappp...! Pendekar Mabuk menghilang setelah mengusap keningnya dengan
tangan kiri. Ia mengejar lawannya yang melarikan diri ke alam gaib.
Mereka hanya bisa terbengong dan saling membisu seketika.

Ki Gendeng Sekarat segera berkata, "Sudahlah! Biar dia mengejar orang
sesat itu! Sebaiknya aku yang mewakili Gusti Manggala untuk menemui Nyai
Betari Ayu...!"

Ki Gendeng Sekarat melangkah. Tapi kepalanya terkulai kembali dan suara
dengkur tipis terdengar, ia tidur sambil menuju ke kapal.

*SELESAI*
Kelanjutan kisah ini dalam episode: PEDANG GUNTUR BIRU