Pendekar Mabuk 12 - Cermin Pemburu Nyawa



ANGIN laut berhembus cukup besar. Ini membuat peluang baik bagi kapal
layar untuk bergerak dengan cepat. Tapi kenyataannya kapal itu justru
berhenti tak bergerak sedikit pun, kecuali hanya timbul tenggelam
dipermainkan oleh ombak.


"Aneh. Banyak angin, tak ada karang penghalang, layar berkembang, tapi
mengapa kapal ini berhenti sendiri? Apa yang menghambat lajunya kapal
ini? Kandas juga tidak, kedalaman laut cukup. Kenapa kapal jadi berhenti?"

Nakhoda Salju terheran-heran. Matanya yang lebar memandang sekeliling
haluan lewat ruang nakhoda. Nakhoda Salju adalah pengemudi kapal itu.
Orangnya berbadan kekar, berwajah bengis tanpa kumis. Rambutnya panjang
bagian belakang, sedang rambut depan botak mulus hingga jidatnya
kelihatan sangat lebar. Ia mengenakan anting bulat sebelah kanan.
Usianya sekitar lima puluh tahun, berpakaian biru laut, berikat pinggang
merah tua.

Sekalipun berwajah lonjong tapi dia punya suara berat, namun gerakannya
gesit. Dari depan ruang nakhoda yang ada di bagian haluan, ia serukan
suara ke arah geladak,

"Sumbing Gerhana! Sumbing Gerhana...!"

"Ya. Aku di sini!" teriak seseorang bertubuh kurus, berbibir sumbing
bagian atasnya, sehingga ia sulit mengucapkan huruf 'P'. "Ada afa,
Nakhoda?!' sambungnya.

"Cepat kemari!"

Orang berpakaian rompi hitam dan celana merah itu bergegas menuju ruang
nakhoda. Rambutnya yang panjang melewati pundak itu tidak diikat
sehingga meriap-riap dipermainkan angin, ia datang mendekati Nakhoda
Salju sambil tetap menggenggam cambuk yang terlipat ujungnya, tanda
tidak sedang digunakan.

"Apakah ada yang turunkan jangkar?"
"Tidak ada! Kenafa...?"
"Bodoh! Tidakkah kau rasakan bahwa kapal berhenti, tidak bergerak maju
kecuali diayun-ayunkan ombak dari tadi?!"

"Kafal werhenti?!" ucap Sumbing Gerhana dengan heran, dengan kata-kata
yang aneh bagi orang yang baru mendengarnya, sebab ia tidak bisa
menyebutkan huruf 'P' dan 'B'. Jika ia menyebutkan huruf 'P' diganti
'F', dan huruf 'B' diganti W', karena bibir atasnya yang sumbing sukar
dipertemukan dengan bibir bawahnya. Sekalipun dia sumbing, tapi dia
menjabat sebagai keamanan kapal tersebut, sehingga galak sikapnya kepada
para awak kapal lainnya.

Setelah Sumbing Gerhana memandangi sekelilingnya, barulah ia berkata
kepada Nakhoda Salju,

"Wenar juga afa katamu, kafal tidak wergerak! Fadahal wanyak angin,
layar fun werkemwang wagus!"
"Wagus, wagus!" omel Nakhoda Salju. "Periksa sekitar kapal, siapa tahu
ada yang lego jangkar!"

"Waik, waik...!" kemudian Sumbing Gerhana memeriksa buritan dan
sekitarnya, ia melihat jangkar masih ada di tempatnya, tidak bergerak turun.

"Dayuuung...!" teriak Sumbing Gerhana. "Dayuuung...! Kafal tidak
wergerak! Ayo, lekas dayuuung...!"
Tarr... ! Tarrr... !

Sumbing Gerhana melecutkan cambuknya. Maka, dua puluh budak tanpa baju segera mendayung kapal itu dengan serempak. Mereka ada di kanan kiri kapal, duduk di tempat pendayung.

Para budak pendayung paling takut jika Sumbing Gerhana marah.
Cambukannya lebih sering ngawur. Sumbing Gerhana tak pernah pikirkan
cambukannya mengenai hidung atau mata mereka, yang penting dengan
melecutkan cambuk dan membentak-bentak, itu adalah tugas utama baginya,
disamping menjaga keamanan sekitar geladak kapal.

Sumbing Gerhana kembali menghadap Nakhoda Salju dan berkata,

"Tak ada hamwatan! Para fendayung sudah wekerja!"
"Tapi kapal sudah bergerak apa belum? Lihat!" sentak Nakhoda Salju yang
lebih galak dari Sumbing Gerhana.

Setelah diperhatikan baik-baik, ternyata kapal masih belum bergerak.
Padahal dua puluh tenaga budak pendayung telah dikerahkan. Mereka juga
mendayung dengan penuh semangat. Tapi kapal masih belum mau bergerak.

"Iya. Kenafa welum wergerak juga?" Sumbing Gerhana garuk-garuk kepalanya
dengan bingung.
"Periksa bagian bawah kapal. Jangan-jangan ada karang menjepitnya!
Terutama periksa bagian buritan dan haluan!"

Sumbing Gerhana tidak segera terjun ke laut untuk memeriksa bagian bawah
kapal. Dia memerintahkan dua orang anak buahnya untuk memeriksa keadaan
dasar kapal. Kedua orang itu melakukan tugas dan cepat kembali menghadap
Sumbing Gerhana sambil memberi laporan, bahwa tak ada satu karang pun
yang menjepit dasar kapal. Maka, Sumbing Gerhana cepat menghadap Nakhoda
Salju lagi.

"Tidak ada karang menjefit kafal ini! Keadaan di wawah kafal aman!"
"Hmmm... lalu, kenapa kapal tidak mau bergerak?"
"Mana aku tahu?"
"Di mana sang ketua?"
"Ada di dalam kamarnya. Sedang tidur!"
"Celaka! Kalau sang ketua tahu, kita yang disalahkan!"
"Afa woleh wuat...?!" Sumbing Gerhana angkat bahunya.

Kapal itu tergolong jenis kapal besar. Mempunyai tiang layar tiga, yang
utama ada di depan. Layar lebar itu berwarna merah dengan gambar
tengkorak dikelilingi tujuh mata rantai dan di atas gambar tengkorak
dari warna putih itu ada gambar mahkota yang juga berwarna putih. Setiap
ujung tiang layar mempunyai bendera segi tiga warna hitam dengan gambar
tengkorak dan mahkota warna putih. Warna lambung kapal juga merah tua.
Di ujung haluannya mempunyai balok panjang ke depan dengan hiasan tujuh
tengkorak bersusun dari atas ke bawah. Tiap tiang layar mempunyai tempat
pengintai dan di sana ditempatkan tiga petugas pengintai yang selalu
berada di pertengahan tiang layar.

Bagi para tokoh dunia persilatan yang tergolong tua, mereka sangat kenal
dengan kapal berciri-ciri seperti itu. Mereka tahu, bahwa kapal itu
adalah kapal Siluman Tujuh Nyawa, yang menguasai perairan laut utara, ia
mempunyai banyak sekutu yang menguasai beberapa pulau dan wilayah
tertentu. Bagi mereka yang tidak mau bersekutu atau menolak kerja sama
dengan Siluman Tujuh Nyawa, maka maut pun menjemput mereka tanpa ampun lagi.

Tetapi kali ini kapal milik tokoh sesat yang terkenal sakti dan berilmu
tinggi itu terhenti tanpa sebab-sebab yang pasti. Nakhoda Salju dan
Sumbing Gerhana merasa cemas. Sebab jika Siluman Tujuh Nyawa yang
dipanggil mereka dengan sebutan sang ketua itu mengetahui dan murka,
habislah nyawa mereka berdua. Selama ini sudah lebih dari dua puluh
nakhoda berganti karena mati di tangan Siluman Tujuh Nyawa. Hanya
Nakhoda Salju itulah pengemudi kapal yang punya masa jabatan cukup lama
dibanding nakhoda lainnya.

"Afa yang harus kita lakukan kalau wegini?" tanya Sumbing Gerhana dengan
hati cemas.
"Jaga supaya sang ketua jangan bangun dari tidurnya!"
"Akan kusuruh felayannya untuk tidak memwuat kegaduhan!" kata orang yang
bergigi tonggos itu.

Tapi sebelum Sumbing Gerhana bergerak masuk ke lambung kapal untuk
menemui pelayan dan penjaga kamar Siluman Tujuh Nyawa, tiba-tiba ia
mendengar suara seruan dari petugas pengintai di tiang layar belakang.

"Ada sesuatu yang bergerak kemari! Ada yang mendekat kemari!"

Sumbing Gerhana bergegas ke belakang, ia tengadahkan wajah dan berseru
kepada petugas pengintai di tiang itu,
    
"Afa wujudnya? Kafal atau ferahu?!"
"Tak jelas! Gerakannya cepat!"
"Ikan faus...?!"

"Tak jelas juga!" Orang itu menutupkan tangannya untuk menghalau silau
cahaya matahari agar bisa memandang dengan jelas apa yang dilihatnya
bergerak, ia bahkan sempat kelihatan bingung pada waktu Sumbing Gerhana
bergegas menaiki tangga tiang yang terbuat dari anyaman tambang itu.

"Hilang...!" teriak petugas pengintai.
"Afanya yang hilang! Aku di sini, wodoh!"
"Bukan kamu yang hilang, tapi sesuatu yang aneh dan yang bergerak kemari
itu yang hilang!" seru petugas pengintai.
"Kenafa bisa hilang?!" bentak Sumbing Gerhana.
"Mana aku tahu?! Dia hilang sendiri! Bukan aku yang hilangkan!"
"Cari! Cari...!"

"Cari ke mana?!" sambil petugas pengintai memandang sekeliling, diikuti
oleh petugas pengintai di tiang kedua dan tiang pertama. Yang ada di
tiang kedua berseru,

"Tidak ada apa-apa!"
Yang di tiang pertama juga berseru, "Mungkin hanya punggung ikan besar!"
"Ikan wesar?! Mengafa ikan wesar kemari?!" seru Sumbing Gerhana.
"Yang jelas bukan mau menjadi anggota kapal kita!" jawab pengintai di
tiang kedua.

Nakhoda Salju menyuruh anak buahnya untuk menjaga kemudi, ia bergegas
keluar dari ruang nakhoda. Tapi baru sampai di depan ruang nakhoda,
tiba-tiba matanya terkesiap melihat sesuatu yang melompat dari laut ke
tepian geladak.

Jlegg... !
"Sumbing Gerhana! Ada tamu tak diundang butuh cambukanmu!" seru Nakhoda
Salju.

Semua mata tertuju pada tamu tak diundang itu. Bahkan Sumbing Gerhana
sempat ternganga mulutnya karena bengong melihat sesuatu yang
mengagumkan, juga para pengintai di atas tiang itu memandang tak
berkedip. Ada pula yang bersuit dan menggoda dari sisi lain. Para
pendayung serentak hentikan gerakan dayungnya dan tertegun memandang
perempuan cantik yang muncul bagaikan setan.

Perempuan itu tampak cantik luar biasa, ia berpakaian penutup dada warna
hijau dengan hiasan benang emas yang ketat dengan bentuk pinggang sampai
dadanya yang montok itu. Ia juga mengenakan celana hijau beludru ketat
berhias benang emas. Pakaian itu dirangkapi baju jubah warna biru muda
transparan terbuat dari sutera halus.

Rambutnya sebagian digulung kecil di atas kepala, tapi bagian belakang
dan sisanya dibiarkan terurai panjang sebatas punggung, ia mengenakan
mahkota emas kecil sebagai penghias bagian depan rambutnya, juga
mengenakan kalung lempengan emas berhias mutiara susun dua, juga gelang
keroncong yang jumlahnya lima buah tiap tangan. Tak lupa senjata pedang
bersarung tembaga berukir tersandang di punggungnya. Gagang pedang dari
tembaga itu mempunyai hiasan benang warna merah.

Hidungnya bangir, bibirnya indah dan menggemaskan. Matanya tidak terlalu
lebar tapi membulat indah dengan bulu mata yang lentik, alis mata yang
tidak terlalu tebal tapi terlihat hitam berbentuk indah. Kulitnya kuning
langsat dengan potongan dada dan pinggul yang sekal, menantang gairah
lelaki.

Sumbing Gerhana cepat turun tangga dan menemui perempuan cantik beraroma
wangi bunga melati itu. Sumbing Gerhana memperlihatkan senyumnya yang
tak jelas karena bibirnya sumbing. Perempuan itu memandang Sumbing
Gerhana dengan wajah ketus, tanpa senyum sedikit pun di bibirnya yang
tampak merah ranum itu.

"Rufanya kaulah orang yang tahan laju kafal ini!" kata Sumbing Gerhana
sambil matanya memandang penuh selidik, bertolak pinggang sebelah
tangan, sedangkan tangan yang satu masih memegangi cambuk hitam yang
dilipat melingkar.

"Memang aku yang menahan kapal ini!" sahut perempuan itu ketus.
"Mengata kau tahan kafal ini? Wutuh hiwuran hangat, hah?!"

Ledekan dari Sumbing Gerhana membuat awak kapal lainnya tertawa, tapi
Nakhoda Salju diam saja sambil tetap pandangi perempuan itu. Sementara
itu, anak buah yang ditugaskan menjaga kemudi kapal berbisik dari belakang,
    
"Kemudi tidak bisa digerakkan dari tadi, Nakhoda!"

"Tinggalkan dulu soal kemudi. Nikmati dulu pemandangan indah yang jarang
kita temukan itu!" kata Nakhoda Salju sambil tetap pandangi perempuan
itu, dan sang anak buah ikut memandang dengan senyum yang gembira.
Bahkan ia bersuit kecil tanda kagum, lalu berkata seperti bicara pada
diri sendiri.

"Luar biasa cantiknya!"
"Ya. Tapi dia pasti berilmu tinggi."
"Dari mana Nakhoda tahu?"
"Dia yang menahan kapal ini dan membuat kemudi tidak bisa digerakkan.
Pasti dia bukan perempuan sembarangan!"

Sementara itu, di geladak terdengar Sumbing Gerhana berkata,

"Mana yang mau kau filih untuk menghangatkan tuwuhmu? Aku lebih dulu,
atau nakhoda di atas sana?"
"Kau lebih dulu!" jawab perempuan itu. Sumbing Gerhana tertawa
kegirangan. Tapi tawanya tiba-tiba terhenti seketika.

Mereka heran melihat Sumbing Gerhana mendelik sambil menahan rasa sakit.
Hanya Nakhoda Salju yang tahu, bahwa perempuan itu menggerakkan tangan
kanannya ke samping, meremas telunjuknya sendiri, tapi Sumbing Gerhana
yang merasa diremas, ia tak bisa memekik atau bersuara karena sangat
kesakitan. Wajahnya menjadi merah pertanda menahan rasa sakit yang luar
biasa. Wuttt wuttt...!

Jlegg...!

Nakhoda Salju bersalto dari depan ruang nakhoda. Dua kali berjungkir
balik di udara, tubuhnya segera sampai di depan perempuan itu, agak
lebih ke belakang Sumbing Gerhana.

"Lepaskan dia! Aku tahu kau telah meremasnya melalui remasan telunjuk
jarimu itu!" kata Nakhoda Salju.
"Kau cukup jeli ketimbang Sumbing Gelhana," kata perempuan itu sambil
melepaskan remasan tangannya sendiri.

Sumbing Gerhana jatuh dan terengah-engah. Sisa rasa sakit masih terasa
menjalar di sekujur tubuhnya, ia melirik perempuan itu dan bergeser
menjauh. Tak berani untuk berdiri karena masih terasa lemas di sekujur
tubuhnya. Keringat pun jadi membersit di kening.

"Agaknya kau telah mengenal kami, sehingga bisa sebutkan nama Sumbing
Gerhana!" kata Nakhoda Salju.
"Sangat kenal," jawab perempuan itu. "Bahkan aku kenal kamu sebagai
manusia dingin yang berjuluk Nakhoda Salju!"

Terkesiap mata Nakhoda Salju, merasa heran namanya bisa disebutkan oleh
perempuan yang belum dikenalnya. Kemudian Nakhoda Salju ajukan tanya,

"Siapa kau sebenarnya?"
"Dayang Kesumat!" jawab perempuan itu.

Makin berkerut dahi Nakhoda Salju, karena merasa asing dengan nama
Dayang Kesumat.

"Baru sekarang kudengar namamu, Dayang Kesumat!"
"Memang balu sekalang kusebutkan nama itu di depanmu!"
"Aneh," Nakhoda Salju tertawa pendek berkesan sinis dan dingin.

Pada waktu itu, Sumbing Gerhana sudah memperoleh kekuatannya kembali, ia
cepat berdiri dan menggeram sambil melepas ujung cambuknya, siap untuk
dilecutkan.

"Feremfuan setan! Seenaknya saja kau remas aku, hah?! Kau harus terima
walasanku, hiihh...!"
Traepp... !

Cambuk yang dilecutkan melilit di tangan Dayang Kesumat yang digerakkan
ke atas. Dengan cepat cambuk itu digenggamnya. Sumbing Gerhana mencoba
menarik dengan kekuatan penuh, Dayang Kesumat makin kuat meremas cambuk.
Dan tiba-tiba tubuh Sumbing Gerhana tersentak ke belakang dengan
kerasnya. Cambuknya terlepas dari tangan, tubuhnya mental jauh hingga
membentur dinding barak. Brakkk...!

Cambuk yang masih digenggam oleh Dayang Kesumat itu segera dilemparkan
ke arah Sumbing Gerhana. Wusss...! Dan tiba-tiba cambuk itu terbakar
dengan sendirinya. Beberapa pendayung segera memadamkan cambuk itu dan
mundur menjauhi Dayang Kesumat. Tetapi orang-orang kapal lainnya segera
mengurung Dayang Kesumat yang kini berhadapan dengan Nakhoda Salju.
   
Tetap tenang dan angker wajah Nakhoda Salju walau ia mendengar Sumbing
Gerhana menggerutu berkepanjangan. Dayang Kesumat pun belum bergerak
dari tempat berdirinya semula. Padahal ia berada di tepian geladak, satu
kali dorong saja tubuhnya akan jatuh ke laut. Tapi Nakhoda Salju tidak
mau melakukan hal itu. Ia tahu, perempuan yang di depannya bukan orang
lemah yang bisa didorong dan diceburkan ke laut dengan begitu saja.

"Apa maksudmu datang kemari? Mau membuat kekacauan di kapal ini? Apa
ingin mengadu nyawa dengan seseorang di sini?!"

"Mana Siluman Tujuh Nyawa yang menjadi ketua kalian?! Aku mau beltemu
dengan dia!" jawab Dayang Kesumat dengan bahasa cadel, tak bisa sebutkan
huruf 'R'.

"Ada perlu apa kau ingin bertemu dengan sang ketua?"
"Itu ulusanku!"

"Aku harus tahu, karena aku nakhoda di kapal ini! Aku bertanggung jawab
atas keselamatan jiwa para penumpang dan awak kapalku!"

"Jangan banyak mulut, Nakhoda Salju! Kau tak akan bisa belnapas lagi
jika kesabalanku habis!" ancam Dayang Kesumat.

"O, kau mau menggertakku, Dayang Kesumat?" kata Nakhoda Salju dengan
mata tajam memandangnya. "Ketahuilah, Dayang Kesumat... aku orang yang
tidak pernah mempan dengan gertakan ataupun ancaman! Aku tahu kau punya
ilmu, tapi aku bisa ukur ilmumu tak akan lebih dari ilmu yang kumiliki!"

Tiba-tiba Dayang Kesumat menggenggam jari tengahnya sendiri, sementara
ketiga jari lainnya mengeras lurus. Jempol tangan itu menekan kuat jari
tengahnya, dan Nakhoda Salju cepat-cepat sentakkan tangannya ke bawah.
Kedua tangan ada di depan pusarnya, menekan sesuatu yang terasa ingin
menggapai keluar. Dengan tenaga dikerahkan Nakhoda Salju menekan
tangannya ke bawah. Tubuhnya menjadi gemetar, ia tampak menguras tenaga
melawan kekuatan yang ditolaknya itu.

Tiba-tiba Dayang Kesumat sentakkan jari tengahnya bagai disentilkan ke
depan, dan wuttt...! Tubuh Nakhoda Salju terlempar jauh hingga membentur
dinding sebuah barak di bagian buritan. Brakkk...! Tubuh itu memantul ke
depan karena kerasnya dan jatuh tersungkur di lantai geladak.

Kayu papan dinding barak jebol sebagian karena benturan keras tubuh
Nakhoda Salju. Sementara itu, Dayang Kesumat hanya tersenyum tipis, dan
orang- orang di sekitarnya memandang bingung ke arah Nakhoda Salju. Para
pendayung menjadi cemas dan
segera menjauhkan diri dari Dayang Kesumat.

*
* * 2
DUA orang pemuda berwajah kembar keluar lebih dulu dari dalam lambung
kapal. Matanya langsung menatap Dayang Kesumat. Lalu kedua orang kembar
itu berhenti di depan tangga yang menuju ke dalam lambung kapal. Seperti
ada yang ditunggu mereka untuk dikawal jalannya.

Tak berapa lama, muncul seorang berkerudung hitam dari atas kepala
sampai kakinya. Orang itu membawa senjata panjang berupa sejenis tombak
yang punya mata panjang membengkok sedikit dengan ujung yang runcing.
Panjang mata senjata itu antara dua jengkal. Ketajamannya berkilauan
terkena sinar matahari.

Melihat pakaian hitam yang dilapisi jubah kerudung hitam dari atas
kepala sampai kaki, dan memegang pusaka El Maut, Dayang Kesumat tak
salah duga lagi, dia adalah Siluman Tujuh Nyawa yang selalu tampil di
mana-mana dengan sosok sebagai El Maut.

Wajahnya pucat pasi, mirip kertas putih. Hidungnya mancung, tampak masih
muda belia. Bibirnya biru bagai bibir mayat, matanya bertepian hitam
kebiru-biruan, menambah kepucatan wajah itu. Sebenarnya wajah pucat
berlapis semacam bedak putih itu adalah wajah yang tampan. Tapi kesan
dingin dan keji terlihat jelas di wajah itu, sehingga perempuan yang
melihatnya akan menjadi merinding kehilangan rasa kagumnya.

Ketika orang berkerudung jubah hitam itu muncul, semua yang ada di kapal
membungkukkan badan, memberi hormat. Dayang Kesumat makin yakin, orang
itulah sang ketua yang bergelar Siluman Tujuh Nyawa.

Durmala Sanca, nama asli Siluman Tujuh Nyawa, sangat dikenal oleh Dayang
Kesumat. Tak ada hormat sedikit pun yang dilakukan oleh perempuan itu,
walau ia sudah berhadap-hadapan dengan Siluman Tujuh Nyawa yang
didampingi pengawal pribadinya yang kembar rupa itu, dan dikenal oleh
Dayang Kesumat dengan nama Doma dan Damu. Sepasang pengawal kembar itu
sulit dibedakan jika mereka tidak berbeda rompi. Doma mengenakan rompi
kuning, dan Damu memakai rompi merah. Keduanya sama-sama memakai celana
hitam dan ikat kepala sama dengan warna rompi masing-masing. Rompi itu
panjang, mencapai bawah perut dan diikat dengan kain hitam.

Siluman Tujuh Nyawa memandangi wajah Nakhoda Salju dan Sumbing Gerhana
yang tampak menahan sakit itu. Pandangan mata orang berwajah putih itu
sangat dingin, tak ada kesan heran, sedih, marah, atau apa pun. Wajah
itu adalah wajah datar yang beku bagai balok salju. Sinar matanya pun
bagai membekukan darah bagi orang yang dipandanginya. Nakhoda Salju dan
Sumbing Gerhana sama-sama tundukkan kepala.

"Apakah aku mengenalmu?" tanya Siluman Tujuh Nyawa kepada Dayang Kesumat.
"Telgantung kepekaan nalulimu!" jawab Dayang Kesumat.
"Sebutkan namamu!"
"Dayang Kesumat!"
"Nama yang aneh dan asing bagiku. Mau apa kau bikin perkara di atas
kapalku?"
"Aku menuntut ganti lugi atas tindakan anak buahmu yang belnama Dadung
Amuk!"
"Dadung Amuk...?!"

"Ya! Dia telah mempolak-polandakan tempatku gala- gala menuduhku
menyembunyikan Kitab Pusaka Wedal Kesuma! Aku tidak melasa memiliki
pusaka itu, tapi melasa banyak dilugikan oleh tingkah lakunya yang konyol!"

"Apakah Dadung Amuk mendapatkan kitab itu?"
"Aku tidak tahu!"

Siluman Tujuh Nyawa diam sebentar, lama dipandanginya Dayang Kesumat.
Kejap berikut ia segera perdengarkan suaranya yang sedikit serak,

"Jadi, apa maumu sekarang?"

"Selahkan Dadung Amuk padaku! Atau kau hukum gantung dia di depanku!
Jika kau tetap sembunyikan dia, akan kuhanculkan kapal ini!"

"Lancang mulutmu!" sentak Doma, lalu ia kibaskan tangannya bagai
menebarkan sesuatu. Dayang Kesumat cepat sentakkan kaki dan melesat ke
udara, pindah tempat di tengah geladak. Sedangkan hasil tebaran tangan
Doma itu melesat berupa serbuk berkerlip-kerlip merah dan jatuh di
lautan. Air laut tiba-tiba menyentak muncrat ke atas dengan menimbulkan
suara seperti api disiram air. Josss...!

Damu segera mengejar Dayang Kesumat. Tapi Dayang Kesumat cepat-cepat
menggenggam kelingkingnya yang ditekan dengan ibu jari, sementara ketiga
jari lainnya mengeras tegang. Tangan itu tetap berada di samping, bagai
setengah disembunyikan.

Damu terhenti langkahnya dan lehernya terjulur-julur ke atas dengan
suara tercekik. Mata Damu pun mendelik-mendelik, sukar bernapas. Dan
tiba-tiba tangan Dayang Kesumat disentakkan ke depan sambil melepas
kelingking yang diremasnya, kemudian tubuh Damu terlempar jatuh di bawah
tiang. Brukkk...!

Melihat saudara kembarnya diperlakukan demikian, Doma cepat bergerak
maju. Tapi tangan sang ketua cepat pula mencengkeram pundak Doma, lalu
menyeretnya mundur. Sang ketua maju dua tindak berhadapan dengan Dayang
Kesumat.

"Cukup tinggi ilmu 'Jemari Mayat'-mu, Dayang Kesumat! Setahuku ilmu
'Jari Mayat' hanya milik Pengemis Sakti, si Lalang Buana!"
"Sekalang sudah menjadi milikku! Si Lalang Buana sudah tak ada!" jawab
Dayang Kesumat dengan rasa bangga.

Wajah Siluman Tujuh Nyawa tetap dingin dan datar saat ia berkata,

"Tapi ilmu 'Jemari Mayat'-mu itu tidak berlaku untukku, Dayang Kesumat.
Jadi, sebaiknya cepatlah minggat dari kapalku sebelum murkaku tiba dan
mencelakakan jiwamu!"

"Aku tidak akan pelgi, sebelum Dadung Amuk kau selahkan padaku, atau
kaugantung dihadapanku!"
"Dadung Amuk tidak ada di sini. Dia belum pulang!"
"Kalau begitu, aku halus pastikan kebeladaannya di kapal ini dengan cala
menggeledahnya!"
"Bangsat!" teriak Nahkdoa Salju yang cepat bergegas maju. Ia menuding
Dayang Kesumat dengan geram kemarahan.

“Tak kuizinkan kau menggeledah kapal ini! Karena itu sama saja kau
menginjak-injak wibawa dan kehormatan orang-orang di kapal ini!"

Plakkk...! Tiba-tiba tangan Damu berkelebat dan menampar mulut Nakhoda
Salju. Orang berusia sekitar lima puluh tahunan itu tak berani membalas
tamparan Damu. Ia bahkan menjadi takut dan cepat mundurkan diri. Siluman
Tujuh Nyawa hanya pandangi Nakhoda Salju sebentar, lalu kembali
palingkan wajah menatap Dayang Kesumat.

Tapi mata Dayang Kesumat tertuju pada Nakhoda Salju, ia sempat merasa
heran, mengapa Nakhoda Salju yang terkenal galak dan bertampang angker
itu tak berani melawan Damu yang jauh lebih muda dari usianya. Apakah
kedudukan pengawal kembar itu lebih tinggi daripada Nakhoda Salju? Atau
memang ilmunya yang lebih tinggi dari ilmu yang dimiliki si nakhoda
galak itu?

Cepat-cepat Dayang Kesumat memandang Siluman Tujuh Nyawa, karena orang
bertampang muda dan ganteng tapi beku itu, segera ucapkan kata kepadanya,

"Di mana kau tinggal, Dayang Kesumat?"
"Kau tak pellu tahu, Dulmala Sanca!"

"Maksudku, kalau kutahu di mana kau tinggal, jika Dadung Amuk pulang dan
menghadapku, dia akan kukirimkan kepadamu!"

"Dengan membawa puluhan olang-olangmu? Dengan maksud menggempul pulauku?
O, tidak! Aku tidak bisa telkecoh oleh kelicikanmu, Dulmala Sanca! Aku
kenal kau cukup lama, dan tahu pelsis tipu muslihatmu. Tapi aku bukan
olang yang mudah kau peldaya, Dulmala Sanca!"

Siluman Tujuh Nyawa diam, mata tajamnya memandang mata Dayang Kesumat.
Perempuan itu balas menatap mata Durmala Sanca. Kain jubah mereka sama-
sama dikibarkan oleh angin lautan. Mereka sama-sama bungkamkan mulut
beberapa saat lamanya. Tak ada orang yang berani bersuara sedikit pun
kala itu.

Tangan kanan Siluman Tujuh Nyawa itu menggenggam kuat-kuat tongkat
berujung seperti sabit lengkung itu. Senjata pusaka El Maut tetap
berdiri tegang dalam genggamannya yang makin lama semakin kuat.
Sedangkan Dayang Kesumat menggenggamkan tangan kirinya dengan kuat juga.
Makin lama semakin keras genggamannya.

Semua mata memandang tegang antara tangan Siluman Tujuh Nyawa yang
menggenggam tongkat pusaka El Maut itu, dan tangan Dayang Kesumat yang
tanpa menggenggam benda apa pun. Makin lama makin jelas ada sesuatu yang
berubah. Mulut para penonton itu mulai ternganga.

Mereka melihat tangan Siluman Tujuh Nyawa yang menggenggam tongkat El
Maut itu mulai merembeskan darah, bagai keluar dari telapak tangannya.
Darah itu mengalir ke tongkat hitamnya. Jelas terlihat oleh mereka warna
merah yang mengalir walau tak banyak. Sedangkan dari genggaman tangan
kiri Dayang Kesumat juga terlihat darah merembes dan menetes di lantai
geladak satu kali.

Rupanya kedua tokoh sakti itu saling serang secara batin. Keduanya
kerahkan tenaga dalam lewat pandangan mata, dan sama-sama bertahan
hingga cucurkan darah dari telapak tangan masing-masing.

Heningnya suasana yang menegangkan itu tiba-tiba dipecah oleh suara
petugas pengintai dari layar kedua yang berseru,

"Perahu layar kuning mendekat!"

Semua bergegas palingkan wajah ke lautan. Saat itu pula, Siluman Tujuh
Nyawa dan Dayang Kesumat melepaskan diri dari serangan masing-masing.
Mereka ikut pandangkan mata ke lautan. Dan tampak perahu berlayar kuning
dengan simbol tengkorak tujuh mata rantai mulai mendekat. Terdengar
suara Nakhoda Salju berseru,

"Tabib Akhirat...!"
Sumbing Gerhana ikut berseru, "Tafi dia sendirian! Tidak wersama Gagak
Neraka?!"

Sebelum perahu layar kuning mendekat rapat, Tabib Akhirat segera
sentakkan kaki, dan bagaikan terbang ia melayang pindah ke kapal utama.
Perahunya segera diurus oleh para budak pendayung.

Tabib Akhirat datang dalam keadaan kaki habis terluka, tapi sudah tampak
mengering. Agaknya ia melakukan pengobatan untuk luka kakinya itu selama
dalam perjalanan di atas perahunya. Tabib Akhirat yang berjubah hijau
dengan pakaian hitam itu segera ditemui oleh Sumbing Gerhana dan
mendapat pertanyaan dari orang itu,
    
"Mengata tidak wersama Gagak Neraka? Ke mana dia?"

"Mati," jawab Tabib Akhirat yang segera melangkahkan kaki menemui sang
ketua, lalu sedikit membungkuk hormat pada sang ketua. Setelah itu, sang
ketua ajukan tanya kepada Tabib Akhirat,

"Siapa yang bisa melukai kakimu, Tabib Akhirat?"
"Hantu Laut, sang Ketua!" jawab Tabib Akhirat dengan rasa takut.
"Hantu Laut itu budaknya Tapak Baja! Kenapa kau sampai bisa dilukai oleh
dia? Apakah kau sudah bosan hidup denganku?"
"Perlu Ketua ketahui, Tapak Baja pun mati di tangan Hantu Laut!"
Nakhoda Salju terpekik, "Apa...?! Tapak Baja mati di tangan si Hantu Laut?!"

"Betul, Nakhoda Salju! Gagak Neraka pun mati di tangan Hantu Laut! Kalau
aku tak cepat melarikan diri untuk kasih laporan kepada sang Ketua, aku
pun mati di tangannya!"

"Aku tak percaya dengan penjelasanmu ini," kata sang ketua dengan suara
pelan dan lembut. Tapi tiba-tiba tangannya menyentak, punggung tangan
itu menghantam dada Tabib Akhirat. Begggh...!

Wussst...! Tabib Akhirat terpental ke belakang bagaikan terbang.
Tubuhnya yang kurus itu membentur dua pendayung yang sedang menambatkan
tambang perahu layar kuning ke tepian pagar kapal itu.

Byurr...! Satu dari dua orang yang tertabrak Tabib Akhirat itu
teijungkal masuk ke laut. Untung ia bisa berenang dan segera mencapai
tepian perahu layar kuning. Sedangkan yang satu lagi mendelik matanya
karena seperti merasa ditabrak seekor banteng dalam
keadaan perut tergencet pagar geladak.

Tabib Akhirat meringis sebentar, lalu cepat-cepat bangkit dan kembali
menghadap sang ketua. Wajah sang ketua tetap tak ada perubahan, dingin
dan datar. Seakan tak pernah memukul Tabib Akhirat dengan kekuatan
tenaga penuh. Wajah Tabib Akhirat pun menjadi pucat.

"Jelaskan yang sebenarnya!" perintah sang ketua dengan tegas.

"Tapak Baja berhasil mencuri Pusaka Tombak Maut milik Jangkar Langit!
Pusaka itu akhirnya berhasil direbut Hantu Laut dan dipakai membunuh
Tapak Baja dan Gagak Neraka. Semua orang berilmu di Pulau Beliung,
termasuk putri bungsunya Ratu Pekat juga dihabisi Hantu Laut dengan
Pusaka Tombak Maut itu, Ketua!"

"Pusaka Tombak Maut...?!"

"Betul. Bahkan Hantu Laut merencanakan untuk memberontak melawan kita.
Dia bersekongkol dengan Dadung Amuk dan berdiam di Pulau Beliung! Mereka
mau membunuh sang ketua dengan menggunakan Pusaka Tombak Maut itu!"

"Dadung Amuk dan Hantu Laut bersekongkol mau bunuh aku?"
"Betul, Ketua!"
"Dan mereka sekarang bercokol di Pulau Beliung?"
"Tidak salah lagi, Ketua! Karena saya dari sana, dan Gagak Neraka pun
mati di sana!"

Siluman Tujuh Nyawa maju satu tindak mendekati wajah Tabib Akhirat, ia
tatap mata tabib tua itu dengan tajam dan dingin. Lalu dengan suara
lirih sang ketua berkata datar,

"Lain kali kubunuh kau jika pulang hanya melaporkan kekalahanmu!"
"Ampun, Ketua. Pusaka di tangan Hantu Laut itu sangat sakti dan...."

Buhgg...! Sang ketua sentakkan pangkal telapak tangannya ke depan. Dada
orang berambut abu-abu itu jadi sasaran hingga terdorong kuat ke
belakang. Walau tak sampai jatuh, tapi mulut Tabib Akhirat sentakkan
napas dan keluar darah kental dari mulutnya. Kepalanya merasa pusing,
badannya jadi lemas tiba-tiba, kemudian ia jatuh terduduk dengan
bersandarkan dinding barak.

Siluman Tujuh Nyawa cepat palingkan wajah ke arah Dayang Kesumat. Tetapi
ternyata perempuan itu sudah tidak ada di tempat. Di sekeliling kapal
pun tak ada. Siluman Tujuh Nyawa segera ajukan tanya kepada anak buah
Nakhoda Salju yang masih berdiri di depan ruang nakhoda,

"Ke mana perempuan itu tadi?"
"Pergi, Ketua! Dia mengendarai sebatang belarak pelepah daun kelapa!"
jawab orang tersebut.
"Mengendarai pelepah daun kelapa?!" kata Nakhoda Salju.
    
"Betul, Nakhoda. Begitu dia dengar Dadung Amuk bersekongkol dengan Hantu
Laut dan bermukim di Pulau Beliung, dia langsung melompat dari buritan,
dan berdiri di atas pelepah daun kelapa yang berjalan cepat di atas
permukaan air, melebihi kecepatan kapal kita ini, dan... hei... Nakhoda,
kapal kita sudah mulai bergerak lagi!"

Memang, kapal mulai bergerak lagi. Seolah-olah kapal itu baru saja bebas
dari hambatan. Tapi Siluman Tujuh Nyawa tidak menghiraukan kata-kata
anak buah Nakhoda Salju itu. Ia cepat memanggil Sumbing Gerhana dan
ajukan tanya,

"Kau percaya dengan kata-kata Tabib Akhirat?"

"Yang saya tahu, kawar tentang Tatak Waja memiliki fusaka Tomwak Maut
itu memang wenar, Ketua! Dia welum lama ini werhasil curi itu fusaka
dari tangan Ki Jangkar Langit, saudara seferguruan Dewi Kencana Langit,
yang werkuasa di fesisir selatan tanah Jawa, sang Ketua."

"Yang kutanyakan, apakah kau percaya dengan kabar dari Tabib Akhirat
tentang persekongkolan Hantu Laut dengan Dadung Amuk itu? Bukan soal
Tapak Baja!"

"Mmm... maaf, Ketua. Saya kurang wisa fercaya. Karena waru Tawiw Akhirat
yang wilang wegitu! Kalau saja...."

Ucapan Sumbing Gerhana terhenti karena seruan seorang pengintai yang
berada di tiang layar pertama,

"Ada seseorang yang berenang kemari! Dia mengejar kapal kita!"

Semua orang bergegas ke lambung kiri, karena arah yang ditunjuk oleh
pengintai itu ada di sebelah kiri. Mereka sama-sama picingkan mata
menatap seseorang yang berenang dengan lemas mendekati kapal yang sedang
berjalan.

Siluman Tujuh Nyawa segera perintahkan kepada Nakhoda Salju untuk
hentikan kapal sebentar. Nakhoda Salju segera perintahkan pada bagian
jangkar untuk membuang jangkar ke laut. Orang yang berenang dengan susah
payah itu makin dekat. Lalu terdengar cetusan kata dari mulut Nakhoda Salju.

"Sumbing Gerhana! Orang itu sepertinya Loh Gawe!"

"Loh Gawe...?! Loh Gawe...?!" semua bergumam sebutkan nama Loh Gawe.
Lalu, Siluman Tujuh Nyawa perintahkan Sumbing Gerhana untuk memberikan
bantuan kepada Loh Gawe. Sumbing Gerhana segera perintahkan kepada dua
budak untuk menjemput Loh Gawe.

Dalam waktu singkat, Loh Gawe sudah diangkat dan dibaringkan di atas
geladak. Napasnya terengah-engah, wajahnya pucat pasi, kulit tubuhnya
banyak yang terkelupas karena terlalu lama di perairan. Setelah diberi
minum arak sedikit oleh Sumbing Gerhana, Loh Gawe mulai bisa bicara dan
napasnya tidak terengah-engah lagi. Dengan bantuan Sumbing Gerhana, Loh
Gawe berdiri lalu menghadap sang ketua yang menunggunya dengan wajah
tanpa perubahan apa pun.

"Kau dan Golok Makam kutugaskan menyusul Kapal Neraka dan menyuruh
pulang Tapak Baja! Bagaimana hasilnya?"
"Tapak Baja telah tewas di tangan Hantu Laut, sang Ketua!"

Siluman Tujuh Nyawa tidak terkejut, demikian pula yang lainnya, karena
berita itu tadi sudah didengarnya dari Tabib Akhirat. Siluman Tujuh
Nyawa hanya berkata,

"Teruskan bicaramu!"

"Hantu Laut berhasil merebut Pusaka Tombak Maut dan membunuh kakak saya
Tapak Baja. Hantu Laut juga menguasai Kapal Neraka. Ketika Jangkar
Langit hendak merebut pusaka itu, saya dan Golok Makam datang membantu
Hantu Laut, dan Jangkar Langit tewas oleh kami. Tapi ternyata Hantu Laut
justru menyerang kami. Dia tak mau menerima perintah pulang, dan
bersikeras pergi ke Pulau Beliung untuk menguasai pulau itu dan
mengawini Ratu Pekat! Bahkan, Hantu Laut berhasil membunuh Golok Makam
dengan senjata tombaknya. Dia juga mengancam akan menggulingkan sang
ketua dengan menggunakan tombak pusaka itu!" ucapnya panjang lebar.

Plakkk...!

Siluman Tujuh Nyawa menampar wajah Loh Gawe keras-keras, hingga Loh Gawe
memutar tubuhnya dua kali. Sambil tahan napas dan tahan sakit, Loh Gawe
kembali menghadap sang ketua, lalu sang ketua berkata dengan suara pelan
penuh murka yang tertahan.
    
"Mengapa kau tak bunuh tikus gundul itu, hah?!"

"Saya... saya sudah coba, tapi dia cukup tangguh dengan tombaknya itu,
Ketua. Lalu, saya melarikan diri untuk kasih kabar kemari!"

Plakkk...!

Kembali tamparan itu melayang cepat dan keras. Pipi Loh Gawe merah
membekas telapak tangan Siluman Tujuh Nyawa. Dengan tahan napas dan
tahan sakit, Loh Gawe kembali menghadap sang ketua. Tapi ia segera
rubuh, pingsan di depan sang ketua.

*
* * 3

TABIB Akhirat salah duga. Sebenarnya Hantu Laut tidak bersekongkol
dengan Dadung Amuk. Pada waktu pertarungannya dengan Hantu Laut, Tabib
Akhirat terpaksa melarikan diri karena merasa terluka parah oleh Pusaka
Tombak Maut di tangan Hantu Laut itu. Pada waktu ia melarikan diri, ia
melihat Singo Bodong ada di pulau itu juga. Singo Bodong punya wajah
persis Dadung Amuk, juga potongan tubuhnya, apalagi Ratu Pekat
mendandani Singo Bodong agar serupa betul dengan Dadung Amuk. Tujuannya
untuk membujuk Hantu Laut agar serahkan Pusaka Tombak Maut (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Tumbal Tanpa Kepala"). Tapi usaha itu tak
berhasil. Bahkan Pendekar Mabuk atau Suto Sinting dan Dewa Racun nyaris
terkecoh dengan penyamaran Singo Bodong yang mirip betul dengan Dadung Amuk.

Penglihatan Tabib Akhirat yang salah duga itu membuat gelisah pikiran
Siluman Tujuh Nyawa. Bahkan setiap mulut awak kapal membicarakan
persekongkolan Dadung Amuk dengan Hantu Laut. Karena pemberontakan
seperti itu baru pertama kali terjadi selama Siluman Tujuh Nyawa menjadi
ketua kelompok sesat yang ingin menguasai lautan dan pulau-pulau di
utara tanah Jawa. Kabar tersebut membuat mendidih darah orang muda yang
tampan namun pucat itu, yang sebenarnya usianya sudah sangat banyak.
Lebih tua dari Tabib Akhirat.

"Panggil Nakhoda Salju!" perintahnya ketika manusia berwajah putih itu
bangun di pagi hari. Nakhoda Salju pun segera menghadap sang ketua di
kamarnya.

"Putar haluan! Arahkan kapal ke Pulau Beliung!' perintahnya.
"Baik, Ketua," jawab Nakhoda Salju sambil sedikit bungkukkan badan.
"Tapi bolehkah saya ajukan usul, sang Ketua?"
"Apa usulmu?"
"Apakah untuk membunuh dua kecoa, sang Ketua akan turun tangan sendiri?"

"Hantu Laut punya senjata Pusaka Tombak Maut! Sudah lama kudengar pusaka
itu memang sangat sakti! Kalau tidak aku sendiri yang turun tangan
memenuhi tantangannya, tak akan ada yang bisa merampungkan nyawanya!"

"Begitu kecilkah orang-orang di sekeliling sang Ketua, sehingga tidak
ada yang mampu kalahkan Hantu Laut? Bukankah Hantu Laut hanya budak
kapal kesayangan Tapak Baja? Ia tidak punya kedudukan apa- apa karena
memang ia tidak punya kemampuan apa- apa!"

Siluman Tujuh Nyawa diam dan merenungkan diri beberapa saat. Nakhoda
Salju berkata lagi,

"Untuk apa sang Ketua punya banyak algojo dan anak buah kalau hanya
untuk tangani Hantu Laut harus turun tangan sendiri? Apakah itu tidak
akan menjatuhkan wibawa dan harga diri sang Ketua, sebagai tokoh sakti
yang dikenal dengan sebutan Siluman Tujuh Nyawa? Apa nanti kata
orang-orang rimba persilatan jika mendengar kabar, seorang keroco
bernama Hantu Laut mati di tangan Siluman Tujuh Nyawa? Bukankah hal itu
akan menjadi bahan cemoohan mereka saja?"

"Kalau begitu, panggil Tabib Akhirat, aku ingin dengar sarannya!"

"Baik, Ketua. Akan segera saya panggilkan Tabib Akhirat!" kemudian
Nakhoda Salju pun cepat tinggalkan kamar sang ketua yang tidak boleh
sembarang orang masuk, kecuali orang-orang berkedudukan tinggi di dalam
kelompoknya itu.

Namun ketika Nakhoda Salju keluar dari dalam lambung kapal, ia melihat
Tabib Akhirat sudah terkapar di lantai geladak tanpa nyawa lagi. Sehelai
daun kecil menancap di leher belakang telinganya. Daun kecil itu masih
hijau, masih segar, tapi punya ketajaman melebihi mata pisau cukur.
    
Dua puluh pendayung itu dengan tekun mendayung kapal tersebut. Sumbing
Gerhana sebentar-sebentar lecutkan cambuknya ke tubuh para budak
pendayung agar semakin bersemangat mendayungnya. Sesekali terdengar
bentakan Sumbing Gerhana yang membuat budak pendayung sangat ketakutan.

"Sumbing Gerhana!" sentak Nakhoda Salju. "Coba lihat kemari!"

Dengan perasan heran, Sumbing Gerhana hampiri Nakhoda Salju, ia
terkesiap dan berdebar-debar jantungnya melihat Tabib Akhirat sudah
terkapar beku tak bernyawa. Sumbing Akhirat melihat pula selembar daun
kecil menancap di leher mayat Tabib Akhirat, ia segera dongakkan kepala
memandang Nakhoda Salju sambil ajukan tanya,

" Siafa yang wunuh dia?!"
"Seharusnya aku yang bertanya begitu padamu, karena kau sebagai kepala
keamanan di atas geladak ini!" sentak Nakhoda Salju.
"Tafi aku tidak lihat dia mati! Tadi dia masih werdiri di tefian geladak
ini!"

Nakhoda Salju tarik napas sambil kelilingkan pandangan matanya. Lalu ia
berkata kepada Sumbing Gerhana,

"Periksalah seluruh geladak. Pasti ada orang asing yang datang dan
lemparkan daun bertenaga dalam ini!"

Tiba-tiba terdengar seruan dari pengintai di tiang kedua, "Ada perahu
layar biru mendekati kita!"

Sumbing Gerhana kaget dan menjadi dongkol kepada ketiga pengintai,
karena perahu layar biru bergambar tengkorak dengan tujuh mata rantai
itu berada sudah dalam jarak yang sangat dekat dengan kapal tersebut.
Sumbing Gerhana segera serukan kata kemarahan,

"Wodoh! Kenafa waru sekarang kau weritahukan tentang ferahu itu?!"
"Tadi tidak kulihat. Baru saja kulihat secara mendadak!"

Nakhoda Salju bergumam, "Panggil Loh Gawe, karena itu perahunya Loh
Gawe! Aku akan perintahkan petugas jangkar untuk turunkan jangkar. Siapa
tahu yang ada di perahu itu adalah Golok Makam!"

Loh Gawe segera dipanggil, dan ia menjadi sangat terkejut melihat Tabib
Akhirat mati tertusuk daun kecil yang masih hijau segar. Lebih terkejut
lagi ketika melihat perahu berlayar biru mendekati kapal tersebut,
sedangkan dia tahu perahu berlayar biru itu adalah perahu miliknya.

Hantu Laut melepaskan perahu itu setelah mayat Jangkar Langit dibuangnya
ke dalam perahu tersebut. Itulah sebabnya Loh Gawe pulang ke kapal itu
dengan berenang, karena ia telah kehilangan perahunya saat bertarung di
atas Kapal Neraka. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Tumbal
Tanpa Kepala").

Ketika perahu itu merapat, Loh Gawe semakin tambah kaget, juga yang
lainnya menjadi terperangah, karena perahu itu ternyata kosong tanpa
penumpang satu pun. Mayat Jangkar Langit tidak ada di perahu itu. Lantas
siapa yang mengemudikan perahu itu hingga merapat ke kapal utama
tersebut? Begitulah pikiran mereka saat itu.

"Periksa bagian bawah perahu itu! Pasti ada orang yang bersembunyi di
sana sambil mendorong perahu untuk merapat kemari!" perintah Nakhoda
Salju kepada Sumbing Gerhana. Dan segera Sumbing Gerhana perintahkan
kepada dua anak buahnya untuk memeriksa bagian bawah perahu berlayar
biru itu. Tapi mereka tidak menemukan siapa-siapa di bawah perahu
tersebut. Bahkan bagian dalam perahu diperiksa dengan teliti ternyata
tidak ada benda lain yang mencurigakan, kecuali sekumpulan daun kecil
yang menyerupai daun beringin. Daun-daun kecil itulah yang salah satunya
menancap di leher Tabib Akhirat dan membuatnya mati tanpa secuil nyawa pun.

"Berarti perahu biru ini ada penunggangnya. Orang yang berada di
perahumu itu, pasti orang yang melemparkan daun bertenaga dalam ke leher
Tabib Akhirat," kata Nakhoda Salju kepada Loh Gawe.

"Jika benar begitu, lantas siapa orang yang menggunakan perahuku sampai
datang kemari?"
Tiba-tiba terdengar jawaban dari arah buritan,
"Aku penumpang perahu itu!"

Semua mata memandang ke arah buritan, termasuk Loh Gawe. Dan entah untuk
yang keberapa kalinya Loh Gawe tersentak kaget melihat orang tua
berambut uban rata dikonde kecil di tengah kepala, sisanya dibiarkan
meriap, berjenggot dan berkumis putih rata pula. Orang itu mengenakan
pakaian biksu warna putih, bertubuh kurus, membawa tongkat kayu yang
masih segar. Tongkat itu bercabang dua di bagian atasnya dengan dua
helai daun segar berukuran kecil ada di cabang tongkat tersebut. Daun
itu sama ukuran dan jenisnya dengan daun yang menancap di leher Tabib
Akhirat, juga yang terkumpul di perahu berlayar biru itu.

Loh Gawe hampir-hampir tak bisa bicara lagi, karena dia tahu, bahwa
orang misterius yang tahu-tahu muncul di buritan itu tak lain ialah
Jangkar Langit, pemilik Pusaka Tombak Maut. Pada awalnya, Loh Gawe
hampir tak mempercayai penglihatannya sendiri. Karena setahu dirinya,
Jangkar Langit sudah tewas di tangannya. Bahkan sudah hancur tubuh mayat
Jangkar Langit karena dikeroyok oleh Golok Makam, Hantu Laut, dan Loh
Gawe sendiri. Tapi mengapa orang tua yang serba putih itu kini muncul
lagi dalam keadaan segar bugar tanpa ada bekas luka atau noda darah
sedikit pun di pakaiannya yang putih bersih itu?

Tentu saja Loh Gawe terheran-heran, sebab dia tidak tahu bahwa Jangkar
Langit mempunyai aji 'Banyu Jiwa'. Apabila dia mati, dan terkena air,
maka dia akan hidup lagi dan semua lukanya akan sembuh secara gaib. Dan
pada waktu mayatnya dibuang di perahu tersebut, perahu itu
terombang-ambing tanpa kendali. Hujan turun di waktu malam. Hujan
membasahi tubuh Jangkar Langit, dan Jangkar Langit pun hidup kembali
dalam keadaan segar bugar. Lalu, ia pergunakan perahu itu untuk mencari
lawannya, memburu pencuri Pusaka Tombak Maut yang memang miliknya itu.

Nakhoda Salju cepat maju mendekati Jangkar Langit. Wajahnya tampak
menahan kemarahan, ia berkata dengan suara beratnya,

"Tua bangka tak tahu sopan! Datang tanpa permisi! Apa maksudmu
bertingkah semaunya di atas kapalku, hah?!"
"Aku mau bertemu dengan Hantu Laut!" jawab Jangkar Langit dengan tenang,
tapi matanya bergerak memandang dengan tajam.

"Hantu Laut tidak di sini!"
"Suruh keluar Durmala Sanca, aku mau bicara dengannya!"

"Sumbing Gerhana! Hadapi dia!" sentak Nakhoda Salju sambil menyingkir
beberapa langkah dari tempatnya, lalu Sumbing Gerhana maju, menggantikan
tempat Nakhoda Salju tadi. Dengan cambuk terjulur di tangan kanan,
Sumbing Gerhana berdiri tegak di depan Jangkar Langit, kedua kakinya
sedikit merenggang, berkesan siap menghadapi pertarungan.

"Kau funya hutang nyawa fada kami! Sewelum kau wayar nyawa Tawiw Akhirat
itu, jangan haraf kau wisa wertemu dengan sang ketua!"

"Bukan salahku, karena temanmu itu mau menyerangku dari jarak jauh!
Maksudku mau datang secara baik-baik, tapi dia memulai pertarungan lebih
dulu! Terpaksa aku membela diri!"

Dengan tangan kiri menunjuk dan mata sedikit menyipit, Sumbing Gerhana
ucapkan kata,

"Sekarang kau werhadafan denganku!"

"Aku ke sini bukan untuk cari musuh, aku hanya ingin minta kembali
pusakaku, Pusaka Tombak Maut! Ketua kalian yang harus bertanggung jawab,
karena pusakaku dicuri oleh anak buahnya!"

"Kau wisa wertemu dengan sang ketua kalau sudah langkahi mayatku!"
"Dengan senang hati akan kulangkahi tujuh kali mayatmu!"

"Hiaat...!"

Tarrr...! Cambuk dilecutkan, Jangkar Langit miringkan badan sehingga
cambuk menghantam lantai geladak dengan keras. Darrr...!
Sekali lagi Sumbing Gerhana melecutkan cambuknya yang panjang itu ke
badan Jangkar Langit. Dengan sedikit angkat kaki dan miringkan badan,
Jangkar Langit menghindari cambuk itu. Cambuk kembali menghantam lantai
geladak di samping kaki Jangkar Langit. Dengan cepat kaki itu menginjak
ujung cambuk. Tapp...!

Sumbing Gerhana menarik cambuk itu sekuatnya agar terlepas dari injakan
kaki Jangkar Langit. Tapi sampai semua uratnya menegang, Sumbing Gerhana
tak berhasil menarik cambuknya. Bahkan dengan satu sentakan keras dan
tenaga tinggi, Sumbing Gerhana mencoba lagi menarik cambuknya itu.

"Hiaaah...!"

Tapi cambuk tetap tak dapat lepas dari pijakan kaki Jangkar Langit.
Padahal Jangkar Langit tidak sampai kerahkan tenaga dalam menginjak
cambuk itu. Jangkar Langit tetap kelihatan tenang, seakan berdiri
seperti biasa tanpa menginjak cambuk. Tapi sampai wajah Sumbing Gerhana
memerah karena ngotot, cambuk itu tetap tidak dapat ditarik dari pijakan
kaki Jangkar Langit.
    
Melihat Sumbing Gerhana bagai dipermainkan oleh lawan, Loh Gawe cepat
mencabut senjatanya, yaitu rantai berbandul bola berduri dari baja
keras, ia sentakkan kaki hingga tubuhnya melayang dan menghantamkan
rantai bandulnya dengan kuat ke arah kepala Jangkar Langit. Wussst...!

Dengan cepat Jangkar Langit sentakkan tongkat bercabangnya ke samping
kiri, tempat datangnya pukulan itu. Zrappp...! Rantai bandul berduri itu
ditangkis dengan cabang yang ada di ujung tongkat. Rantai tersebut
menyangkut di cabang tongkat dan sukar ditarik kembali. Loh Gawe
kerahkan tenaga untuk menarik rantai bandulnya, tapi hingga matanya
terpejam kuat-kuat rantai bandul itu tak bisa lepas dari sela-sela
cabang tongkat. Sedangkan Sumbing Gerhana sejak tadi masih berusaha
menarik cambuknya, tapi tak pernah berhasil.

"Tua bangka pamer ilmu kau, hah!" bentak Nakhoda Salju. Lalu ia cepat
kirimkan pukulan jarak jauhnya melalui sentakan tangan kanannya. Pukulan
itu dihantam pula oleh Jangkar Langit dengan sentakkan tangan kirinya.
Wusss...! Debb...! Blarrr...!

Suara ledakan mengguncangkan kapal. Tubuh Nakhoda Salju terlempar ke
belakang akibat gelombang hentakkan kedua pukulan yang bertabrakan tadi.
Tubuh Nakhoda Salju seperti didorong kuat-kuat hingga keseimbangannya
tak terjaga lagi. Ia jatuh terduduk, lalu terjungkal ke belakang. Tapi
segera cepat bangkit dan berdiri tegak menatap lawannya.

"Bangsat kau, Tua Bangka!" geram Nakhoda Salju.

Sementara itu, Loh Gawe yang berusaha melepaskan rantai bandul berduri
itu masih belum berhasil, demikian pula halnya dengan Sumbing Gerhana.
Tapi mereka berdua masih tetap berusaha dan pantang menyerah. Sampai
akhirnya, Loh Gawe gunakan rantai bandul yang menyangkut di cabang
tongkat itu untuk bergelayutan dan tubuhnya menerjang Jangkar Langit
dengan kaki direntangkan ke depan.

Wuttt... !

Tendangan itu sedikit dihindari Jangkar Langit, lalu kaki Jangkar Langit
menyepak ke kiri dengan kuat. Plokk...! Wajah Loh Gawe terkena telak
sepakan kaki Jangkar Langit, membuat tubuh Loh Gawe terpelanting
berputar sambil masih pegangi gagang rantai bandulnya. Lalu rantai
bandul itu disentakkan dengan tongkat bercabang. Wett...!

Rantai bandul lepas dari cabang tongkat, tapi membuat tubuh Loh Gawe
ikut tersentak kuat bagai terbawa angin lemparan bandul berduri itu.
Akhirnya Loh Gawe terjungkal dan jatuh ke laut. Byurr...! Tak berapa
lama terdengar suara maki-makinya yang tak dihiraukan lagi oleh Jangkar
Langit. Sedangkan cambuk Sumbing Gerhana masih ada dalam pijakan kakinya
dan sulit ditarik lepas oleh pemiliknya.

Kegaduhan di atas membuat Siluman Tujuh Nyawa keluar dari dalam kamarnya
dengan didampingi pengawal kembarnya Doma dan Damu. Melihat Jangkar
Langit berdiri dengan tenang di buritan, Siluman Tujuh Nyawa segera
mendekati orang tersebut. Tongkat pusaka El Maut tetap ada di tangan
kanannya dan dipakai bertumpu di lantai geladak, sehingga bila berjalan
terdengar duk duk duk duk...!

"Selamat datang di kapalku, Jangkar Langit! "sapa Siluman Tujuh Nyawa
tanpa senyum sedikit pun, tapi juga tidak menampakkan wajah sinisnya.
Wajah berlapis putih itu terlihat datar-datar saja.

"Cukup lama kita tidak bertemu, sekali bertemu kau buat gaduh suasana di
kapalku," lanjut Siluman Tujuh Nyawa.
"Karena anak buahmu bikin ulah di depanku!" jawab Jangkar langit.

Siluman Tujuh Nyawa mengalihkan pandang sebentar kepada Sumbing Gerhana
yang masih berusaha menarik lepas cambuknya dari pijakan kaki Jangkar
Langit. Lalu, dengan cepat dan hampir tak terlihat, Siluman Tujuh Nyawa
tebaskan ujung tongkat El Maut- nya kebawah. Wuttt...!

Tass...!

Cambuk sebesar ibu jari kaki itu putus dalam sekejap. Sumbing Gerhana
terpental karena tenaganya sendiri. Gubrakkk...! Sedangkan sisa cambuk
yang ujung masih dalam pijakan kaki Jangkar Langit. Sisa cambuk itu
tiba- tiba berubah dari hitam menjadi abu-abu, lalu berserakan tertiup
angin. Ternyata sisa cambuk itu telah menjadi abu, dan abu itu terjadi
dari tenaga dalam Jangkar Langit yang baru saat itu disalurkan melalui
telapak kakinya.
    
Sumbing Gerhana kaget melihat sisa cambuknya menjadi abu halus. Tak
terbayangkan olehnya jika tenaga dalam itu tersalur pada saat ia
berusaha menarik cambuk itu. Sudah tentu tubuhnya akan ikut menjadi abu
seperti sisa ujung cambuknya itu. Sedangkan sisa cambuk yang masih
bersama gagangnya itu tetap utuh tanpa ada perubahan, kecuali bertambah
pendek sekitar tiga jengkal.

Siluman Tujuh Nyawa hanya pandangi sisa cambuk yang jadi abu itu, tanpa
ada senyum meremehkan atau rasa kaget. Lalu, ia cepat tatapkan mata pada
Jangkar Langit dan ucapkan kata,

"Aku tahu kau datang kemari untuk mencari pusakamu. Tapi ketahuilah,
Jangkar Langit, bahwa aku tidak tahu-menahu tentang pencurian pusaka
itu! Apalagi sekarang Tapak Baja kabarnya telah mati!" ''Tombak itu ada
di tangan Hantu Laut! ?'' "Tapi Hantu Laut belum pulang bersama Kapal
Neraka-nya."

"Aku harus mendapatkan pusakaku, dan kau harus bertanggung jawab atas
ulah anak buahmu!"

"Jangkar Langit," kata Siluman Tujuh Nyawa dengan melangkahkan kaki ke
tepian pagar geladak, ia memandang cakrawala yang masih ada sisa merah
pada langitnya sambil ucapkan kata,

"Yang bisa kubantu hanya memberitahukan padamu, bahwa Hantu Laut
sekarang ada di Pulau Beliung. Dengan modal pusakamu itu, dia
bersekongkol bersama Dadung Amuk untuk memberontak padaku. Dia susun
kekuatan di Pulau Beliung! Kalau kau mau dapatkan pusakamu, pergilah ke
Pulau Beliung. Kuserahkan padamu apa pun nasib Hantu Laut di tanganmu!
Jika kau mau bunuh dia, bunuhlah. Aku tidak akan menuntut balas padamu,
Jangkar Langit!""Baik. Tapi bagaimana jika Dadung Amuk turut campur?"

"Kau bunuh pun dia, aku tak akan banyak bicara!"
"Jadi kau rela anakmu si Dadung Amuk itu mati di tanganku?"

"Jika ia ingin menentang kekuasaanku, sebagai ayah aku harus tega
membunuh anak sendiri!" Siluman Tujuh Nyawa palingkan pandang ke arah
Jangkar Langit, lalu ucapkan kata lagi.

"Mulutmu terlalu sembrono ucapkan kata itu, Jangkar Langit. Tapi
biarlah, toh Dadung Amuk akan mati, entah di tanganmu atau di tanganku.
Tak apalah orang-orangku kini tahu siapa Dadung Amuk dan siapa diriku!
Supaya mereka yang ada di sini pun menjadi tahu, sekalipun Dadung Amuk
sebenarnya anakku, tapi jika sikapnya menentangku, dia akan kubunuh juga!"

Mata dan mulut orang-orang kapal itu terlolong bengong. Mereka baru tahu
bahwa Dadung Amuk itu ternyata anak dari Durmala Sanca, atau Siluman
Tujuh Nyawa. Tak pernah ada yang menyangka sama sekali bahwa kedua orang
itu ternyata punya tali darah keturunan yang kuat. Sebagai anak dan
sebagai bapak. Walaupun sang Bapak kelihatan jauh lebih muda dari wajah
sang awak, tapi kenyataan itu tak bisa dipungkiri lagi.

* * *
DAPAT dibayangkan suasana di Pulau Beliung. Dayang Kesumat, tokoh
perempuan sakti yang sepertinya baru muncul di rimba persilatan itu
sedang dalam perjalanan menuju Pulau Beliung. Jelas dia akan mengamuk
disana untuk membuat perhitungan dengan Dadang Amuk. Juga tokoh tua yang
yang dikenal sakti dan usianya masih di bawah usia Durmala Sanca itu,
Jangkar Langit juga pergi ke Pulau Beliung dan akan mengamuk ke sana
kepada Hantu Laut. Setidak- tidaknya, Pulau Beliung akan diguncang dua
pertempuran hebat yang mungkin akan memakan korban pihak lain.

Ditambah lagi, Siluman Tujuh Nyawa merasa geram terhadap perkara Pusaka
Tombak Maut itu. Maka di depan orang-orangnya yang dikumpulkan di atas
geladak, Siluman Tujuh Nyawa berkata,

"Pusaka Tombak Maut sebaiknya ada di tanganku saja, supaya tidak ada
pihak lain yang berani menentangku dengan mengandalkan pusaka itu!"

Sumbing Gerhana menyahut, "Jadi, sang ketua mau sufaya tomwak fusaka itu
jatuh ke tangan kita?!"

"Betul! Karena itu aku akan mengutus orang untuk merebutnya dari tangan
Hantu Laut! Lebih baik merebut pusaka itu dari tangan Hantu Laut,
ketimbang dari tangan Jangkar Langit. Karena jika pusaka itu sudah
sampai di tangan Jangkar Langit, maka kita akan lebih sulit lagi
merebutnya!"
    
"Jika begitu, kita harus lebih cepat sampai di Pulau Beliung sebelum
Jangkar Langit tiba di sana, Ketua!"
kata Nakhoda Salju.

"Ya. Kita bisa potong jalur pelayaran melalui celah- celah Samudera Karang!"

"Samudera Karang...?!" Sumbing Gerhana menggumam sendiri, lalu berkata
kepada sang ketua, "Itu jalur yang werwahaya untuk dilewati sewuah
kafal, Ketua!"

"Kita tidak mengenal jalur berbahaya!"suara Siluman Tujuh Nyawa
menyentak sambil hentakkan kakinya ke lantai geladak! Kapal terguncang,
beberapa orang yang berdiri sempat terpelanting jatuh. Kemudian mereka
saling tundukkan kepala dengan rasa takut.

Siluman Tujuh Nyawa ucapkan kata lagi dengan nada lebih tenang,

"Kita juga harus selamatkan Pulau Beliung agar tidak dikuasai oleh siapa
pun kecuali oleh kita sendiri. Di sana sudah ada istana, dan bisa
dijadikan pos pertahanan bagi kita di wilayah barat!"

'"Saya sangat setuju," kata Nakhoda Salju, ia berusaha ambil hati agar
tak kena bentak dan murka sang ketua.
"Untuk itu aku akan tugaskan orang ke sana!"

Kini semua mata pandangi Siluman Tujuh Nyawa. Masing-masing hati
bertanya siapa gerangan yang akan diutus untuk merebut Pusaka Tombak
Maut dan mempertahankan Pulau Beliung. Mata Siluman Tujuh Nyawa pun
memandangi orang-orangnya satu persatu. Kejap berikut Siluman Tujuh
Nyawa lontarkan kata,

"Aku akan mengutus Doma dan Damu!"

Kedua pengawal kembar itu saling pandang. Wajahnya tidak kelihatan
kecewa atau gembira. Wajah itu wajah kaku dan datar. Mungkin terbawa
sikap orang yang dikawalnya setiap hari itu.

Siluman Tujuh Nyawa melangkahkan kaki menjauhi dua pemuda kembar yang
semula ada di kaan-kirinya. Setelah itu, Siluman Tujuh Nyawa pan-dangi
wajah kembar itu sambil ucapkan kata,

"Kalian yang kuutus merebut Pusaka Tombak Maut dari tangan Hantu Laut.
Jika Hantu Laut dan Dadung Amuk melawan, bantai mereka!"

"Baik, Ketua!" jawab Doma dengan tegas.

"Ingat, jangan sampai keduluan Jangkar Langit atau orang lain. Kalian
harus lebih cepat merebut pusaka itu dari tangan Hantu Laut, dan
tetaplah di sana untuk pertahankan Istana Cambuk Biru! Beri kabar lewat
ilmu 'Rambah Angin' jika kalian sudah berhasil kuasai pusaka dan pulau
itu! Kami akan datang memperkuat pertahanan kalian!"

"Kami paham, Ketua!" jawab Doma lagi dengan sedikit membungkuk.

"Kalian akan kubekali Pusaka Cermin Benggala Kembar! Pergunakan cermin
kembar itu untuk menghancurleburkan siapa saja yang menghalangi langkah
kalian! Jangan tanggung-tanggung, dan jangan ragu-ragu! Tak boleh ada
lawanmu yang lari dalam keadaan hidup-hidup. Siapa pun yang halangi
kalian harus dibunuh! Tak ada kenal ampun sedikitpun, sekalipun terhadap
lawan perempuan! Mengerti?"

"Mengerti, Ketua!" jawab Doma dan Damu bersamaan.

Lalu, sepasang pusaka yang dinamakan Cermin Benggala Kembar diserahkan
oleh Siluman Tujuh Nyawa kepada Doma dan Damu. Cermin itu berupa bola
kaca yang bertangkai satu jengkal warna hitam tangkainya. Bola kaca itu
licin, mulus dan dapat untuk bercermin. Pada bagian atas tengah bola
kaca sebesar satu genggaman tangan orang dewasa itu mempunyai lubang.
Dari lubang itu bisa keluarkan senjata seperti mata tombak yang jika
melesat dan mengenai lawan akibatnya sangat berbahaya. Cermin Benggala
Kembar itu juga bisa keluarkan sinar maut apabila mendapat saluran
tenaga dalam dari pemegangnya. Dan jika kedua bola kaca itu diadukan,
maka bola kaca itu tidak akan pecah melainkan mengeluarkan cahaya
pelangi yang membias lebar dan jika terkena tubuh lawan, bisa membuat
orang tersebut berubah menjadi patung batu untuk selama-lamanya.

Semua anak buah Siluman Tujuh Nyawa tahu, bahwa sang ketua memiliki
pusaka-pusaka hebat, satu di antaranya adalah Cermin Benggala Kembar.
Tapi baru kala itu, saat diserahkan kepada Doma dan Damu, mereka melihat
wujud Pusaka Cermin Benggala Kembar, yang konon hanya bisa digunakan
oleh orang yang lahir kembar saja.
    

"Dulu aku anak kembar seperti kalian," kata Siluman Tujuh Nyawa kepada
Doma dan Damu. "Tapi kakakku tewas di tangan gurunya sendiri, dan
gurunya segera tewas di tanganku. Karena aku sudah kehilangan saudara
kembarku, maka Cermin Benggala Kembar ini tak bisa kugunakan. Hanya bisa
kusimpan untuk suatu keperluan di kemudian hari. Dan ternyata keperluan
itu datang juga, kalianlah yang berhak menggunakan Cermin Benggala
Kembar ini!"

"Terima kasih, Ketua," jawab Damu sambil tundukkan kepala penuh hormat.
Siluman Tujuh Nyawa menyukai sikap hormat itu, hingga kedua bocah kembar
itu ditepuk-tepuk punggungnya seraya Siluman Tujuh Nyawa ucapkan kata,

"Berangkatlah! Aku percaya kalian pasti akan berhasil, karena kalian
pasti tak ingin pulang menghadapku untuk serahkan nyawa!"

Kata-kata itu mempunyai arti yang membuat bulu kuduk merinding. Semua
orang-orangnya Siluman Tujuh Nyawa tahu arti kata-kata tersebut, bahwa
Doma dan Damu harus berhasil merebut Pusaka Tombak Maut dari tangan
siapa pun pemegangnya. Jika mereka tidak berhasil dan pulang kepada sang
ketua, maka sang ketua akan membunuh mereka berdua. Itu berarti tugas
tersebut taruhannya nyawa mereka.

Sehari setelah keberangkatan Doma dan Damu, kapal berbendera hitam itu
berpapasan dengan perahu berlayar hijau. Perahu itu juga memakai lambang
gambar tengkorak dengan tujuh mata rantai mengelilingi kepala tengkorak
tersebut.

Mereka terkejut, bahkan wajah mereka menjadi tegang, karena saat itu
Nakhoda Salju berseru kepada orang-orang di geladak.

"Perahu berlayar hijau mendekat! Siapkan semua senjata!"

Anak buahnya segera berkata, "Mengapa siapkan senjata, Nakhoda? Bukankah
perahu itu bersimbol seperti simbol layar kita? Berarti perahu itu
adalah sekutu kita juga, teman kita juga...!"

Plakkk...! Nakhoda Salju menampar keras wajah anak buahnya, lalu
lontarkan bentak keras, "Bodoh! Itu perahunya Dadung Amuk!"

"Siafa yang datang?!" Sumbing Gerhana cepat muncul dari dalam lambung kapal.
"Dadung Amuk! Perahunya mendekati kita!" seru Nakhoda Salju.

Sumbing Gerhana memandang baik-baik perahu berlayar hijau itu. Setelah
yakin betul bahwa perahu itu adalah perahunya Dadung Amuk, dan terlihat
Dadung Amuk berdiri di haluan, maka Sumbing Gerhana segera kerahkan anak
buahnya untuk siap-siap melawan Dadung Amuk.

"Cefat amwil senjatamu! Jangan wengong saja!" bentak Sumbing Gerhana.
Orang itu menggeragap dan cepat-cepat ambil tombak serta perisai di
tempatnya.

Kepada bagian urusan senjata Sumbing Gerhana membentak pula, "Mengafa
kamu tidak fegang senjata?!"
"Saya tidak dapat bagian, Tuan. Kehabisan senjata!"
"Jadi kamu welum dapat senjata?"
"Welum!"
Plokk... !
"Jangan ikut-ikutan wicaraku, Setan! Cefat cari senjata afa saja!
Lindungi dirimu dari amukan Dadung Amuk itu!"
"Waik, Tuan!"
Plokk... !
"Kuwilang, jangan ikut-ikutan wicaraku! Wisa kuwunuh kau!"

Dadung Amuk segera melompat ke kapal dengan hanya satu kali hentakan
kecil kakinya. Jleg...! Ia tiba di tepian geladak, tapi segera dikurung
oleh mereka yang sudah siap dengan senjata masing-masing. Dadung Amuk
asli menjadi heran dan pandangi mereka masing- masing dengan tajam.
Orang yang mudah tersinggung itu segera membentak salah satu anak buah
Sumbing Gerhana,

"Apa-apaan ini?! Kau pikir aku ini maling?! Pakai dikepung segala?! Ayo
bubar...! Bubar...!"
Tapi tak satu pun ada yang mau bubar. Dadung Amuk menggeram.
"Sumbing Gerhana?! Apa maksudmu menyuruh orangmu mengepungku, ha?!" Mata
Dadung Amuk mendelik menyeramkan.
"Aku yang wertanggung jawaw atas keamanan di kafal ini!"
"Aku tahu! Tapi kenapa sikap kalian menyerangku?!"

"Jangan werfura-fura wodoh, Dadung Amuk! Ini menunjukkan wahwa kami
lewih siaf dari fada kamu! Sewelum kamu wertindak, kami sudah lewih dulu
tangkaf kamu!"
    
"Tangkaf, tangkaf...! Gundulmu itu yang ditangkaf!" sentak Dadung Amuk
dengan mata makin melotot. "Bubar semua! Bubar!"
"Tangkaf...!" teriak Sumbing Gerhana.
"Bubar!"
"Tangkaf dulu waru wuwar...!"

Melihat orang-orang pengepung mulai bergerak, Dadung Amuk cepat meraih
tali tambang yang digantungkan di pundak kirinya. Werrt...! Tali tambang
tiga gulungan itu segera digelar siap disabetkan ke arah siap saja yang
bergerak maju.

Orang-orang pengepung itu tahu betul seberapa tinggi ilmunya Dadung
Amuk. Mereka sempat gentar juga melihat mata Dadung Amuk jelalatan ke
mana-mana, penuh nafsu untuk membunuh siapa pun yang mendekati dirinya.
Tapi mereka ngeri juga jika kena labrak Sumbing Gerhana yang tidak
pernah pandang bulu itu. Akibatnya, para pengepung hanya bergerak
memutar, memutar, memutar, dan begitu seterusnya sambil siap- siap
dengan senjata masing-masing.

"Ayo, maju!" bentak Dadung Amuk dalam ancamannya. "Majulah kalau ada
yang ingin pecah kepalanya!"

Mereka terus bergerak memutar setindak demi setindak, berganti-ganti
jurus siaga, berganti-ganti sikap kuda-kuda, memandangkan matanya penuh
keragu- raguan. Sebagian besar para pengepung itu berharap Sumbing
Gerhana batalkan perintah menangkap Dadung Amuk, sebagian lagi berharap
agar sang ketua cepat menengahi ketegangan itu.

Tapi agaknya Sumbing Gerhana tidak mau mencabut perintahnya, ia bahkan
makin keraskan suaranya yang tak beres dalam pengucapannya itu,

"Tangkaf...! Cefat tangkaf!"

Salah seorang memberanikan diri segera melompat dengan satu tebasan
golok ke arah pundak Dadung Amuk. Wuttt... !
Tapi Dadung Amuk lebih cepat gerakan tangannya menyabetkan tambang
sebesar ibu jari kakinya itu, dan tambang tersebut menghantam tepat di
pertengahan kepala orang tersebut. Plakkk...!

Trakk... !

Terdengar suara kepala pecah bagai dihantam dengan besi baja. Lalu
disusul suara berdebam dari jatuhnya tubuh orang itu ke lantai geladak
yang terbuat dari papan tebal itu. Bruakk...!

Semua mata tertuju ke arah orang yang jatuh itu. Semua mata terkesiap
melihat orang itu tak mau berteriak sedikit pun, hanya menggelepar
sebentar untuk kemudian diam tak bergerak lagi. Kepalanya remuk tanpa
bentuk, bagai semangka jatuh dari pucuk pohon yang paling tinggi.

"Siapa lagi yang mau seperti dia?!" sentak Dadung Amuk sambil mata
lebarnya melirik ke sana-sini dengan buas.
"Jangan takut!" seru Sumbing Gerhana kepada para pengepung. "Serang dia
wersama-sama! Serwu...!"
"Apa itu serwu?" bisik seseorang.

"Serbu, Goblok!" jawab temannya. Tapi perintah serbu itu tetap hanya
sekadar perintah. Tak satu pun para pengepung yang berani maju satu
tindak dari batas lingkar kepungan. Karena Dadung Amuk mulai putar-
putarkan tambangnya di atas kepala bagai ingin menjerat seekor banteng
liar. Putaran tambang itu menimbulkan percikan-percikan api di bagian
ujung tambang, pertanda kekuatan tenaga dalam telah siap menggempur
lebih hebat dan lebih dahsyat lagi dari yang tadi.

"Lepaskan tambangmu, atau kau menghadapi aku!"

Suara datar tanpa tekanan itu terdengar jelas. Dadung Amuk segera
palingkan wajah. Ternyata Siluman Tujuh Nyawa telah berdiri di
belakangnya, masuk dalam lingkaran kepungan tersebut, ia berdiri dengan
tegak, wajah mudanya yang putih berbibir biru itu terlihat jelas walau
tetap mengenakan kerudung jubah hitam dari atas kepala sampai kaki.
Tongkat Pusaka El Maut ada di tangan kanannya, berdiri sebatas tinggi
tubuh pemegangnya.

Melihat kemunculan sang ketua, Dadung Amuk surutkan kemarahannya, ia tak
berani menentang wajah beku itu. Tambangnya pun berhenti berputar, tapi
masih dalam genggamannya. Kebuasan sorot pandangan matanya pun redup,
bagai lilin tertiup badai.

"Kataku tadi, lepaskan tambangmu atau kau hadapi aku!" ulang sang ketua
tetap dengan nada dingin.

Dadang Amuk belum melepaskan tambang, tapi sudah kendor pegangannya.
Mulutnya sulit untuk mengucapkan sesuatu di dapan sang ketua. Sinar mata
dingin dari sang ketua bagaikan membekukan darahnya, membuat kejang
urat-urat di mulutnya. Lidah pun terasa sangat kaku, sulit untuk digerakkan.
 
Kejap berikutnya, Dadung Amuk tersentak kaget. Sang ketua melompat ke
arahnya begitu cepat. Bergerak mengelilinginya bagai kilasan cahaya
petir. Wu wu wu wu wuttt... !

Sang ketua segera kembali ke tempatnya tanpa napas terengah. Tetap
tenang dan dingin. Tetapi tubuh Dadung Amuk telah terjerat tambangnya
sendiri. Tambang itu melilit dan mengikat kedua tangannya sehingga tak
bisa digerakkan lagi. Bahkan kedua kakinya pun jadi merapat dan terikat
kuat.

Bukan hanya Dadung Amuk yang terbengong melompong dalam keheranan yang
amat tinggi, tetapi para pengepung, termasuk Sumbing Gerhana dan Nakhoda
Salju, juga tertegun bagai tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Nakhoda Salju membatin di hatinya,

"Edan betul! Begitu cepat gerakan sang ketua. Tak sempat aku berkedip
dua kali, tahu-tahu tubuh Dadung Amuk sudah terikat tak bisa bergerak
sedikit pun! Sungguh merupakan gerakan tercepat dari seluruh gerakan
manusia yang pernah kulihat!"

Dadung Amuk gemetar setelah mengetahui tubuhnya telah terikat. Wajah
buasnya menjadi pucat bagai selembar kertas putih.

Karena ketika ia mencoba untuk bergerak melepaskan tambang pengikat
dengan hentakkan tenaga dalamnya, ternyata tambang itu tak bergeming
dari tempatnya. Tambang itu mengikat sekujur tubuh bagai ingin menembus
kulit dan dagingnya.

"Apa salahku, sang Ketua? Mengapa aku diikat begini?!"

Sang ketua tidak menjawab, tapi justru memerintah kepada Sumbing Gerhana,

"Siapkan tali gantungan!"

"Waik, Ketua," jawab Sumbing Gerhana, lalu cepat- cepat ia perintahkan
kepada anak buahnya untuk menyiapkan tali gantungan.

Dadung Amuk makin tersentak kaget. Kakinya gemetaran sehingga mulutnya
tak bisa dipakai bicara dengan lancar.

"Ap... ap... ap... apa salah... saa... saya...? Meng... mengapa saya mau
di... di... digantung? Sssa... saya... saya tidak bersalah apa-apa.
Kal... ka lau... kalau memang saya ada salah, mohon di... di. diadili
secara adil!"

"Pengadilanku hanya ada di atas tiang gantungan!" kata sang ketua dengan
cepat dan tegas. Lalu segera perintahkan kepada para pengepung yang
masih melingkari Dadung Amuk,

"Seret dia!"

"Ketua...!" teriak Dadung Amuk, tapi tubuhnya sudah lebih dulu rubuh
didorong tiga pengepung, kemudian tubuh itu diseret ramai-ramai
mendekati tali gantungan yang sudah disiapkan. Tali gantungan yang sudah
biasa untuk menggantung orang itu berada di atas sebuah kotak papan.
Kotak papan itu mempunyai penutup yang sewaktu-waktu bisa terbuka turun
ke bawah jika besi pengaitnya disentakkan ke bawah. Dengan begitu orang
yang berdiri di atasnya akan tergantung karena tidak mempunyai lantai
berpijak lagi.

Di atas peti penggantungan, di bawah tali gantungan, Dadung Amuk masih
mencoba membela dirinya dengan berkata,

"Ketua, saya... saya memang belum mendapatkan Kitab Wedar Kesuma itu
dan... dan memang belum membunuh Suto Sinting. Tapi... tapi saya sudah
tahu di mana adanya kitab itu! Saya sudah tahu, siapa orang yang bernama
Suto Sinting itu! Tugas akan saya jalankan secepatnya setelah saya minta
izin kepada Ketua untuk mencegatnya ke Pulau Serindu!"

Tali gantungan segera dikalungkan dileher Dadung Amuk. Namun masih saja
Dadung Amuk membela diri dengan suara ngotot.

"Saya bukan tidak mampu menjalankan tugas yang diberikan oleh Ketua.
Saya cuma mau minta izin dulu dalam menentukan langkah saya. Jadi, mohon
Ketua tidak gegabah dalam mengadili saya. Saya...."

"Tutup mulutmu!" bentak sang ketua, dan Dadung Amuk diam seketika
bagaikan suara jangkrik terinjak kaki manusia.

"Sayang sekali Hantu Laut tidak ikut menyaksikan penggantungan ini.
Kalau Hantu Laut ikut saksikan hukumanmu ini, maka dia akan berpikir dua
kali untuk mencoba melawanku!"
   
"Saya... saya tidak tahu maksud kata-kata ketua. Saya tidak tahu tentang
Hantu Laut, dan...!"

Jrekk...! Sang ketua sentakkan besi pengait kebawah. Lantai yang diinjak
Dadung Amuk itu terbuka. Kaki Dadung Amuk tidak mendapatkan tempat
berpijak, sedangkan tali yang melingkar di lehernya itu tersentak
membentuk jeratan yang amat kuat. Kaki Dadung Amuk
menggelinjang-gelinjang beberapa saat, setelah itu diam tak bergerak
lagi dengan mulut sedikit terbuka dan lidah terjulur keluar.

Dadung Amuk mati di tiang gantungan karena wajahnya mirip dengan Singo
Bodong yang pongah, lugu, dan tidak mempunyai ilmu apa-apa itu.

***5

ORANG pertama yang melesat menuju Pulau Beliung bertolak dari kapal
Siluman Tujuh Nyawa adalah Dayang Kesumat. Perempuan cantik jelita itu
mengarungi samudera lepas dengan mengendarai sebatang pelepah daun
kelapa. Jika bukan orang berilmu tinggi, hal itu sangat tidak mungkin
bisa dilakukan.

Pelepah daun kelapa itu bergerak dengan cepat. Baju jubah sutera warna
biru transparan itu berkelebat-kelebat menyingkap bagai selembar bendera
indah, atau bagai sayap kupu-kupu cantik. Hal itu sangat mengagumkan
bagi orang yang melihatnya. Apalagi pelepah daun kelapa itu membawa
sosok perempuan cantik yang wajah dan potongan tubuhnya menggiurkan
setiap lelaki.

Dan laki-laki yang terkesima dan kagum dengan keindahan itu berada di
sebuah kapal berbendera naga warna merah. Kapal itu sama besarnya dengan
kapal Siluman Tujuh Nyawa, tetapi hanya mempunyai dua tiang layar.
Setiap satu tiang layar mempunyai dua lembar layar dengan warna putih
kusam. Di atas layar- layar itulah terpancang dua bendera merah
bergambar naga. Itulah kapal yang dikenal oleh tokoh rimba persilatan
sebagai Kapal Bajak Naga.

Kapal itu dipimpin oleh seorang lelaki yang usianya sekitar enam puluh
tahun dengan rambut abu-abu tanpa ikat kepala. Rambut itu pendek dan
lurus lemas. Orang itu berpakaian serba hitam, badannya sedang, matanya
lebar, kumisnya turun sampai ke dagu. Orang itulah yang dikenal dengan
julukan si Tua Rakus.

Di antara jajaran tokoh tua rimba persilatan, nama Tua Rakus sudah bukan
hal asing lagi bagi mereka. Dia tokoh yang paling menyebalkan. Matanya
hanya satu, yang kiri ditutup dengan sesobek kulit warna hitam. Tapi
matanya yang masih utuh itu sangat liar dan rakus jika melihat harta,
wanita, dan kejayaan. Tua Rakus punya sifat iri yang berlebihan,
sehingga dalam memimpin rombongan bajak laut itu, Tua Rakus selalu
berusaha untuk lebih kondang dari Siluman Tujuh Nyawa. Pelayarannya dan
keganasannya hanya semata-mata untuk mencari nama, agar ia lebih dikenal
dan lebih ditakuti dari Siluman Tujuh Nyawa.

Wilayah jelajahnya meliputi perairan laut timur tanah Jawa. Tetapi kali
ini agaknya ia sengaja berlayar di perairan laut utara. Sejak berusia
enam belas tahun, si Tua Rakus sudah mempunyai kesenangan memperkosa
perempuan. Sampai seusia sekarang, kegemaran itu masih berkelanjutan.
Cukup banyak perempuan di wilayah timur yang menjadi korban keganasan
nafsu si Tua Rakus itu. Dan agaknya ia sedang melarikan diri dari
kejaran dendam seseorang yang merasa dirugikan oleh kegemaran memperkosa
nya itu.

Bukan hal aneh lagi jika si Tua Rakus tak mau kedipkan matanya ketika
melihat Dayang Kesumat melesat di atas belarak, atau pelepah daun kelapa
kering. Bukan ketinggian ilmu Dayang Kesumat yang menjadi pusat
perhatian si Tua Rakus, melainkan kecantikan dan bentuk tubuh Dayang
Kesumat yang membuat mata si Tua Rakus lupa berkedip. Bahkan lidahnya
beberapa kali menyapu bibirnya yang sudah mulai dihinggapi keriput pada
bagian sudut dan tepiannya.

"Waduuuk...!" serunya memanggil sang anak buah. Orang kurus yang
berjuluk Waduk Kebo itu cepat menyahut dari samping haluan dan segera
berlari menghadap si Tua Rakus.

"Saya di sini, Yang Mulia!"
"Waduk, coba kau perhatikan perempuan yang melintas di sebelah sana itu!
Apakah menurutmu dia cantik?!"
"Cantik, Yang Mulia!" jawab Waduk Kebo dengan cepat.
   
Si Tua Rakus mendorong kepala Waduk Kebo dengan keras sambil sentakkan
kata, "Dilihat dulu baru dijawab...!"
Waduk Kebo tersentak kepalanya, kemudian ia sipitkan matanya ke arah
yang dituding Tua Rakus, setelah itu dia menjawab ulang,

"Cantik, Yang Mulia!"
"Menggairahkan?"
"Sangat menggairahkan, Yang Mulia!"
"Bagus! Kalau begitu, panggil dia supaya kemari!" perintah si Tua Rakus.

Waduk Kebo cepat berdiri dengan kaki merapat. Matanya terpejam, kedua
tangannya bersidekap di dada. Cukup lama Waduk Kebo mengheningkan cipta.
Tua Rakus menunggu dengan rasa tak sabar, hingga ia terpaksa berjalan
mondar-mandir di belakang Waduk Kebo.

Dayang Kesumat bukan tidak tahu ada kapal di dekatnya. Ia sangat paham,
kapal itu adalah Kapal Bajak Naga yang diketuai oleh si Tua Rakus. Tapi
Dayang Kesumat tidak mau mengusik kapal itu. Ia lebih mementingkan diri
untuk cepat temui Dadung Amuk di Pulau Beliung, ia tidak tahu bahwa
Dadung Amuk yang asli sudah mati digantung sang ketua.

Laju pelepah daun kelapa itu terasa tersendat-sendat. Dayang Kesumat
mulai curiga, ia semakin kerahkan ilmu 'Lancang Bumi', yaitu ilmu yang
mendorong telapak kakinya untuk bergerak sendiri dengan satu dorongan
kuat. Tetapi ilmu 'Lancang Bumi" itu bagaikan tidak berguna lagi. Laju
pelepah daun kelapa justru terhenti, bahkan sekarang bergerak mundur,
dari lambat makin lama makin cepat.

"Setan alas! Pasti orang-orang di Kapal Bajak Naga itu yang menggangguku
dengan menggunakan ilmu 'Rantai Batin'!"

Dayang Kesumat bergerak mundur. Tapi ia segera pejamkan mata dengan
menarik napas dalam-dalam dan menahannya. Kedua tangannya menggenggam
kuat- kuat. Gerakan mundurnya terhenti, tapi tak bisa maju lagi.
Sepertinya telah terjadi saling tarik-menarik melalui kekuatan batin
yang membuat tubuh Dayang Kesumat tak bisa bergerak. Waduk Kebo menarik
ke belakang, Dayang Kesumat mendorong diri agar maju ke depan.

Makin lama sikap berdiri Waduk Kebo makin bergeser maju. Telapak kakinya
yang merapat di lantai geladak itu bagaikan terseret maju sedikit demi
sedikit. Si Tua Rakus terkesiap ketika melihat keadaan Waduk Kebo.
Bahkan semakin lama tubuh Waduk Kebo semakin mendekati pagar pembatas
geladak.

Dayang Kesumat tetap pejamkan matanya dengan kedua tangan menggenggam
kuat di samping kanan-kiri. Ia membelakangi Kapal Bajak Naga. Ia
berusaha bertahan diri agar tidak tertarik oleh kekuatan ilmu 'Rantai
Batin'.

Pagar pembatas geladak terbuat dari kayu jati. Kayu itu retak ketika
tubuh Waduk Kebo semakin terseret ke depan dan menekan kayu pagar.
Hampir saja tubuhnya terjungkal ke lautan jika ia tidak segera
kembangkan tangannya. Tangan yang semula bersidekap di dada itu kali ini
dilepaskan, lalu keduanya menghadap ke depan dengan telapak tangan
terbuka. Kedua tangan itu gemetar dan bergerak ke belakang sedikit demi
sedikit. Keringat Waduk Kebo mulai bercucuran di bagian kening, pelipis,
dan lehernya.

Pada saat itu, Dayang Kesumat semakin tertarik ke belakang dalam keadaan
mundur. Makin lama makin dekat dengan lambung kapal. Menyadari kekuatan
'Lancang Bumi'-nya kalah dengan kekuatan 'Rantai Batin' milik lawan,
Dayang Kesumat cepat sentakkan ujung jempol kakinya ke pelepah daun
kelapa, dan tiba- tiba tubuhnya melenting ke atas dengan bersalto dua
kali. Wuhgg...!

Wuhhg...! Jlegg .......... !

Dayang Kesumat hinggap di kedua pundak Waduk Kebo. Lalu, dengan sentakan
keras tangannya menghantam ubun-ubun Waduk Kebo. Bett...! Waduk Kebo
cepat menadahkan satu tangannya ke kepala. Tapp... !

Pukulan Dayang Kesumat ditangkap cepat oleh Waduk Kebo, lalu tangan itu
disentakkan ke atas dan Dayang Kesumat bagaikan terpental naik. Tapi
perempuan itu dengan lincahnya berjungkir balik di udara dua kali,
tahu-tahu hinggap di lantai bawah tiang layar.

Jlegg... !

Para anak buah si Tua Rakus terkagum-kagum melihat gerakan lincah dan
kekuatan batin perempuan cantik itu. Tapi mereka merasa lega setelah
melihat jelas bahwa Waduk Kebo bisa mengatasi perlawanan yang diberikan
oleh Dayang Kesumat.
    
"Cukup hebat pula ilmumu, Nona manis," sapa si Tua Rakus, ia tersenyum
penuh rasa bangga, karena Waduk Kebo, anak buahnya, mampu mengalahkan
kekuatan batin Dayang Kesumat. Bahkan si Tua Rakus tambahkan kata,

"Tapi betapapun hebatnya ilmumu, tak akan bisa mengalahkan kekuatan yang
ada pada anak buahku yang satu itu!"

Si Tua Rakus memuji sekaligus membanggakan Waduk Kebo. Tapi pada saat ia
menuding Waduk Kebo dalam pujiannya, tiba-tiba mata si Tua Rakus
terkesiap melihat Waduk Kebo jatuh berlutut. Kepalanya tertunduk,
tangannya terjuntai lemas. Dan orang-orang kapal yang ada di
sekelilingnya juga terkejut melihat Waduk Kebo tertunduk, jatuh berlutut
dalam keadaan badan tetap tegak.

"Kenapa dia?" tanya si Tua Rakus.

Salah seorang dari mereka yang berkerumun menjawab, "Mungkin mengantuk!"

Memang keadaan Waduk Kebo seperti orang mengantuk. Tunduknya kepala
dengan terkulai lemas, juga kedua tangannya yang bagai tak bertulang
lagi itu. Tetapi mata si Tua Rakus segera menyipit curiga. Ia melihat
ada kepulan asap di kedua pundak Waduk Kebo. Cepat-cepat ia memeriksa
pundak itu dengan membuka sebagian baju Waduk Kebo.

"Jahanam...!" si Tua Rakus menggeramkan suara dengan mata terbelalak
lebar, ia melihat kulit pundak kanan-kiri Waduk Kebo itu melepuh biru.
Bagian tengahnya sedikit mengeluarkan busa yang berasap.

Tiba-tiba tubuh Waduk Kebo itu rubuh ke depan. Brukk...! Semua orang
yang memandang segera sentakkan badan mundur ke belakang. Waduk Kebo
terkulai tak berkutik. Si Tua Rakus semakin belalakkan mata dengan dahi
berkerut kuat. Lalu, ia cepat berdiri dan palingkan wajah beringasnya
setelah memeriksa sebentar keadaan Waduk Kebo. Dengan suara berat ia
ucapkan kata yang membuat semua orang di kapal itu bergumam serempak,

"Kau telah membunuh Waduk Kebo...!" "Hahhh...!" seru semua orang
serempak. Suara mereka berubah saling kasak-kusuk dan bergemuruh seperti
sejuta lebah. Si Tua Rakus serukan kata keras-keras,

"Perempuan Iblis kau rupanya, hah?!" Seruan itu membuat suara gemuruh
diam seketika. Sepi tercipta selama tiga helaan napas. Dayang Kesumat
sunggingkan senyum sinis kepada si Tua Rakus yang memancarkan kemarahan
besar. Lalu dengan suaranya yang tenang, Dayang Kesumat ucapkan kata,

"Aku tahu, Waduk Kebo adalah anak mas bagimu, olang unggulanmu dalam
soal memanggil pelempuan! Waduk Kebo adalah tangan kananmu dalam hal
menjinakkan pelempuan. Dia punya segudang ilmu pelet dan penyilep sukma,
sehingga setiap pelempuan mau tunduk padamu dan mau melayani nafsumu.
Tapi jangan samakan aku dengan kolban-kolbanmu, Tua Lakus! Kau salah
alamat jika ingin mempelkosaku, seperti kau mempelkosa
pelempuan-pelempuan lainnya!"

Diam-diam si Tua Rakus membatin, "Aneh betul perempuan ini! Dia tahu
namaku! Dia juga tahu nama Waduk Kebo dan jabatannya. Dia juga tahu
bahwa selama ini Waduk Kebo-lah yang bertugas menjinakkan perempuan yang
ingin kutiduri! Siapa dia sebenarnya? Aku merasa belum pernah
melihatnya?! Bertemu pun rasanya baru kali ini!"

Dua orang ingin membuktikan kebenaran kata-kata si Tua Rakus tentang
kematian Waduk Kebo itu. Mereka lalu memeriksanya.

Salah satu ada yang menyentuh busa di tengah luka memar membiru itu.
Tiba-tiba orang tersebut memekik kesakitan. Jari telunjuknya melepuh.
Orang itu melompat-lompat seperti tersundut api yang amat panas. Bahkan
ketika diperiksa oleh si Tua Rakus, ternyata jari telunjuk orang itu
menjadi hitam, membusuk pada bagian ujungnya. Cepat sekali gerakan
busuknya itu, sehingga dalam beberapa kejap jari itu putus dalam satu
ruas. Pluk...! Jatuh di lantai geladak, membuat semua mata yang
memandangnya tersentak lebar-lebar.

Si Tua Rakus merasa semakin dilecehkan dengan kejadian itu. Ia cepat
pandangi Dayang Kesumat dan menggeram kata,

"Rupanya kau murid dari si Jejak Setan! Aku tahu, hanya si Jejak Setan
yang mempunyai ilmu beracun seperti ini, yang dinamakan jurus 'Tapak Peri'!"
   
"Aku Dayang Kesumat, bukan mulid si Jejak Setan!"
"Bohong! Kau pasti murid si Jejak Setan!" bentak si Tua Rakus.
"Jejak Setan sudah mati dalam peltalungan dengan Swaladipa!" kata Dayang
Kesumat.

Makin berkerut-kerut dahi si Tua Rakus mendengar perempuan muda yang
cantik jelita itu mengenal nama Swaladipa, penguasa Tanjung Keramat itu.
Hanya tokoh-tokoh tua saja yang mengenal nama Swaladipa. "Jadi, murid
siapa perempuan cantik menggairahkan itu?" pikir Tua Rakus dalam
ketermenungannya.

"Persetan murid siapa kau sebenarnya, yang jelas kau telah berhutang
nyawa kepadaku atas kematian anak buahku ini!"

"Siapa yang mengawali pelsoalan ini? Kau yang bikin pelkafa lebih dulu!
Pasti kau yang suluh Waduk Kebo untuk menalik diliku!"

"Aku hanya ingin mengajakmu bersenang-senang di atas kapal ini! Bukan
untuk maksud jahat!" sangkal Tua Rakus.

"Belsenang-senang sambil mempelkosaku?"
"Kalau kau bersedia, aku tidak keberatan!"

"Galilah celmin dan mengacalah. Tua Lakus!" ejek Dayang Kesumat. "Aku
masih bisa cali hibulan dan kehangatan dali plia yang muda dan lebih
tampan lagi dali cecongolmu!"

Seorang berpakaian merah dengan kumis melintang tebal membentak Dayang
Kesumat.

"Hei, bicara yang sopan dengan Yang Mulia! Jangan seenak bacotmu saja!"

*****

*Dayang Kesumat* hanya sunggingkan senyum tipis dan sinis, ia segera
ucapkan kata, "Jangan coba-coba menghaldikku, Laja Tebas! Jika Waduk
Kebo saja bisa kubunuh secepat itu, apalagi kamu. Aku tahu, ilmumu masih
di bawah Waduk Kebo, Laja Tebas! Kau hanya unggul di pelmainan pedangmu
saja! Tapi ilmu tenaga dalammu masih nol!"

"Setan kurap!" geram Raja Tebas. Cepat-cepat ia mencabut pedangnya untuk
menebas kepala Dayang Kesumat. Tapi, Tua Rakus angkat tangannya tanda
melarang Raja Tebas menyerang Dayang Kesumat.

Dalam hati Tua Rakus pun berkata, "Aneh sekali. Dia juga tahu nama Raja
Tebas dan kekuatannya dalam bermain pedang. Dia bisa mengerti seberapa
tinggi ilmu Raja Tebas dibandingkan Waduk Kebo! Siapa perempuan ini
sebenarnya? Aku benar-benar tak bisa menerkanya!"

Terdengar Dayang Kesumat bicara dengan Tua Rakus, "Jika kau memang punya
niat mau pelkosa aku, sebaiknya batalkan saja niatmu itu, Tua Lakus.
Bialkan aku teluskan peljalanan. Jangan bikin pelsoalan denganku. Nanti
anak buahmu habis di tanganku!"

"Tidak bisa! Kau harus menebus nyawa Waduk Kebo dengan menyerahkan
kemesraanmu dua malam bersamaku di kapal ini!"
"Aku kebelatan!"
"Aku tidak peduli! Tinggal pilih, kau layani aku di kapal ini dua malam
atau kau mati di tanganku?"
"Kupilih, kau yang mati di tanganku, Tua Lakus!"
"Keparat!" geram Tua Rakus sambil menggeletakkan giginya. Lalu, ia
keluarkan perintah kepada anak buahnya, "Serang dia...! Bunuh!"

"Heaaa...!" Mereka cepat mencabut senjata masing- masing dan melompat
menyerang Dayang Kesumat. Wuurrr... !

Dayang Kesumat segera lompat dengan berpegangan pada seutas tambang
layar yang menggantung. Dengan tambang itu, ia laksana terbang di atas
kepala orang- orang yang menyerangnya secara bersamaan.

Dalam keadaan melayang begitu, Dayang Kesumat kelebatkan tangannya
seperti orang menaburkan sesuatu dengan cepat. Lalu dari tangan itu
keluarlah ratusan ekor kunang-kunang.

Kunang-kunang itu jatuh dan hinggap di kepala mereka, sehingga kepala
mereka menjadi berpijar-pijar nyala hijau kekuningan. Mereka seperti
memakai mahkota, dan kelihatan indah. Namun beberapa kejap berikutnya
mereka saling menjerit, berteriak kesakitan, bahkan saling
berguling-gulingan di lantai geladak.

Ratusan kunang-kunang itu meresap masuk di kepala mereka bagai bersarang
ke dalam kepala. Setiap satu kepala, jumlahnya lebih dari lima puluh
kunang-kunang. Dan kepala mereka menjadi bengkak, kulitnya bergerak-
gerak bagaikan ada binatang yang saling berdesak menggerogoti apa saja
yang ditemukan di dalam kepala itu.
   
Mereka menggelepar-gelepar dalam tujuh hitungan, kemudian mengejang dan
selanjutnya terkulai lemas tak berkutik lagi. Mereka mati dengan kepala
bagian dalam bagaikan digerogoti binatang aneh itu.

Dayang Kesumat sudah berdiri di atas atap barak. Ia menyaksikan mereka
yang meregang nyawa dengan senyum sinis kemenangan. Sebagian dari
mereka, termasuk Tua Rakus, cepat melarikan diri masuk ke dalam barak,
atau bersembunyi di dalam tong-tong kayu. Mereka yang bersembunyi, lolos
dari maut. Raja Tebas dan beberapa orang yang ilmunya sejajar dengannya,
juga lolos dari maut.

Mereka yang sempat mendengar Tua Rakus berteriak, "Awaaas...! Racun
Mahkota...!" segera cepat mengerti adanya bahaya. Tapi bagi yang tidak
mendengar, tidak mengerti adanya bahaya maut yang tak bisa ditangkis
kecuali dihindari dengan cara sembunyikan kepala. Sebab, Tua Rakus tahu,
bahwa jurus ilmu 'Racun Mahkota' berbentuk ratusan bahkan bisa ribuan
kunang- kunang yang hinggap di kepala dan memakan habis isi kepala orang
yang dihinggapi. Tapi Tua Rakus sama sekali tidak menduga bahwa Dayang
Kesumat juga mempunyai jurus 'Racun Mahkota', yang sebenarnya hanya
dimiliki oleh seorang tokoh sakti yang berjuluk Permeswari Bayangan.

Lebih dari lima belas anak buah Tua Rakus tergeletak mati dengan kepala
keropos. Tua Rakus semakin murka kepada Dayang Kesumat, tapi ia tak mau
gegabah menyerang, ia hadapi kembali Dayang Kesumat dan cepat berseru
dalam suara marahnya,

"Perempuan liar...! Rupanya kau memang bukan murid si Jejak Setan, tapi
murid Permeswari Bayangan!
Karena aku tahu, jurus 'Racun Mahkota' hanya dia yang memilikinya!"

"Pelmeswali Bayangan telah dilobohkan oleh Ki Gendeng Sekalat, penguasa
Pulau Mayat itu!"
"Hah...?!" Tua Rakus terkejut. "Kau kenal pula dengan Ki Gendeng Sekarat
yang menguasai Pulau Mayat itu?!"

Bibir indah itu hanya sunggingkan senyum sinis dan berkesan angkuh.
Lalu, ia ucapkan kata sombongnya.

"Aku sangat kenal dengannya, kalena aku masih punya ulusan yang belum
selesai dengan Ki Gendeng Sekalat itu! Tak lama lagi, dia pun akan mati
di tanganku, semudah aku membunuhmu, Tua Lakus!"

Tiba-tiba Dayang Kesumat terdiam, matanya memandang tajam ke mata kanan
Tua Rakus. Pandangan mata itu jelas beraliran tenaga dalam, seperti kala
dilakukan terhadap Siluman Tujuh Nyawa. Dayang Kesumat ingin robohkan
Tua Rakus lewat kekuatan matanya, tapi tiba-tiba ia tersentak mundur.
Tua Rakus buka mata kirinya yang tertutup kulit hitam itu, dan mata kiri
itu memancarkan sinar biru dengan cepat. Zuttt...! Arahnya ke bola mata
kanan Dayang Kesumat. Tapi Dayang Kesumat segera sadar bahwa lawannya
menggunakan kekuatan ilmu 'Sinar Naga Birawa'. Maka, cepat ia melesat ke
atas untuk menghindari sinar biru dari lubang mata yang bolong tanpa
bola mata itu. Wuttt... ! Jebbb... !

Gerakannya kurang cepat. Sinar biru dari lubang mata yang sejak tadi
tertutup itu mengenai lambung Dayang
Kesumat. Tubuh itu pun terpental jatuh dari atap barak. Dayang Kesumat
segera menarik napasnya dengan cemas. Ternyata mulai terasa panas di
bagian perut dan dadanya. Itu pertanda kekuatan daya hancur dari sinar
biru itu mulai bekeija.

"Bisa mati kalau tidak segera kuobati sendiri!" pikir Dayang Kesumat
setelah menyadari bahaya yang dapat merenggut nyawanya dalam waktu
singkat itu. Maka, tanpa ragu-ragu lagi, Dayang Kesumat cepat melompat
dan meceburkan diri ke laut.

Brasss...!

Ia jatuh di atas pelepah daun kelapa yang menjadi kendaraannya itu. Maka
secepat kilat ia sentakkan tenaga dari ilmu 'Lancang Bumi'. Pelepah daun
kelapa kering itu bergerak dengan cepat membawa lari Dayang Kesumat yang
menderita luka cukup parah itu.

Sekalipun Tua Rakus mempunyai jurus handal yang dinamakan 'Sinar Naga
Birawa' itu, tetapi ia tidak bisa mengejar Dayang Kesumat. Karena tenaga
dalam Dayang Kesumat yang dilancarkan melalui pandangan matanya itu
telah membuat Tua Rakus keluarkan darah hitam dan mulut dan hidungnya,
sekejap setelah Dayang Kesumat melarikan diri.
    
Raja Tebas cepat membawa masuk Tua Rakus ke kamar dan memanggil
Wisoguno, tabib unggulan rombongan Kapal Bajak Naga itu. Tapi bisakah
Wisoguno sembuhkan Tua Rakus jika tenaga dalam Dayang Kesumat itu telah
menghanguskan paru-paru Tua Rakus?

***6
GELOMBANG lautan cukup tenang, walau bergulung-gulung namun tidak sampai
segunung. Di atas sebuah perahu berlayar satu, tapi mempunyai dua barak,
yaitu di buritan dan haluan, tiga penumpangnya terasa nyaman menikmati
pelayaran tersebut. Ketiga orang itu adalah murid sinting si Gila Tuak
yang bernama Suto Sinting, atau yang dikenal dengan julukan Pendekar
Mabuk, kemudian utusan dari Pulau Serindu yang pernah mendapat
kehormatan dan gelar Duta Terpuji dari Ratu Kartika Wangi, dan orang itu
dikenal dengan nama Dewa Racun. Bertubuh kerdil tapi berjiwa besar.

Dan, satu lagi penumpang perahu itu yang bertubuh gemuk, besar,
berkepala gundul mengkilap, bermata besar dengan hidung bulat dan perut
buncit yang tidak pernah mau pakai baju, yaitu Hantu Laut. Orang agak
budek ini, adalah bekas anak buah Siluman Tujuh Nyawa. Dialah yang
menimbulkan banyak korban sejak berhasil merebut Pusaka Tombak Maut dari
tangan nakhoda Kapal Neraka, yaitu Tapak Baja.

Dialah yang membunuh Tapak Baja sendiri dan mengobrak-abrik Pulau
Beliung dengan Pusaka Tombak Maut itu. Tetapi, pada akhirnya ia
ditaklukkan oleh Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang ke mana-mana
selalu membawa bumbung tempat tuak di punggungnya. Tombak pusaka itu
sirna begitu saja setelah Suto menerjang Hantu Laut dengan menggunakan
jurus tuak yang bernama jurus 'Sembur Siluman'. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Tumbal Tanpa Kepala" dan "Pusaka Tombak Maut").

Hantu Laut ditaklukkan Pendekar Mabuk, dan kini justru menjadi
pelayannya Suto, yang siap membantu dalam perjalanan laut. Karena Hantu
Laut memang lebih menguasai tentang kelautan ketimbang Pendekar Mabuk
dan Dewa Racun.

Sedangkan Singo Bodong, orang yang selama ini digembar-gemborkan sebagai
kembarannya Dadung Amuk, lebih memilih tinggal di Pulau Beliung, karena
Ratu Pekat ingin mengangkat Singo Bodong sebagai muridnya. Singo Bodong
yang polos dan tidak mempunyai ilmu kanuragan sedikit pun itu, merasa
lebih senang mendapat ilmu dan menjadi muridnya Ratu Pekat, ketimbang
mengikuti Pendekar Mabuk ke Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu, tanpa
ada kepastian kapan ia akan bisa menjadi seorang pendekar. Singo Bodong
memang sangat berkeinginan untuk menjadi seorang pendekar seperti Suto
Sinting.

Karena di Pulau Beliung ada Hantu Laut yang mengamuk dengan Pusaka
Tombak Maut, dan ada Singo Bodong yang mirip Dadung Amuk, maka Tabib
Akhirat memberi kabar yang salah tentang Dadung Amuk. Itu sebabnya,
Siluman Tujuh Nyawa menggantung Dadung Amuk karena dianggap akan
menggulingkan kekuasaan dan memberontak bersama Hantu Laut.

Sejak Hantu Laut tidak lagi memiliki Pusaka Tombak Maut, niatnya untuk
memberontak dan mengalahkan Siluman Tujuh Nyawa menjadi batal. Bahkan ia
selalu dibayang-bayangi perasaan takut bertemu dengan Siluman Tujuh
Nyawa. Merasa dirinya berilmu tak seberapa tinggi dibandingkan
orang-orang utusan dan sekutunya Siluman Tujuh Nyawa, Hantu Laut sering
berada tak jauh dari Pendekar Mabuk. Maksudnya, jika sekali waktu ia
bertemu dengan orangnya Siluman Tujuh Nyawa, maka Suto Sinting pasti
akan membelanya.

Pelayaran yang tenang dan damai itu tiba-tiba saja dikejutkan oleh
teriakan Hantu Laut yang melompat tinggalkan haluan.

"Dadung Amuk...! Dadung Amuk datang...!" Ia buru- buru mendekati Suto
yang sedang berbincang-bincang dengan Dewa Racun di bagian buritan. Mata
Hantu Laut menjadi tegang, napasnya terengah-engah, dan ia kembali sebutkan,

"Daung, eh... Dadung...! Dadung Amuk datang!"
"Mana dia?" tanya Suto sambil memandang sekelilingnya, ia tak melihat
ada perahu atau kapal mendekat.
"Mana Dadung Amuk?!" tanya Pendekar Mabuk agak menyentak.
"Ada... ada di haluan. Di bawah sana...!"

Dewa Racun cepat sentakkan kakinya dan melesat pindah tempat ke haluan.
Ketika ia menengok ke bawah, ke perairan yang biru bening itu, matanya
terkesiap sekejap. Suto Sinting pun segera datang mendekatinya.
   
"Mayat...!" gumam Pendekar Mabuk, ia menatap mayat Dadung Amuk yang
habis digantung dibuang begitu saja oleh Siluman Tujuh Nyawa. Wajahnya
masih tampak membuka mulut dan menjulurkan lidah. Matanya putih.
Tubuhnya masih terikat tali tambangnya sendiri. Mayat itu belum membusuk
dan masih tampak segar.

Dewa Racun picingkan mata menatapi mayat yang mengambang itu. Lalu, ia
berkata dengan suara gagapnya,

"Sep... sep... sepertinya dia mati digantung. Ad... ada bekas jerat tali
memerah di lehernya!"
"Ya. Dia mati digantung," jawab Suto. "Tapi oleh siapa dan mengapa dia
digantung?"
"Apakah dia benar-benar sudah mati?" tanya Hantu Laut.
"Sudah!"
"Matinya dengan meludah?!" Hantu Laut salah dengar.
"Sudah...!" suara Suto diperkeras, barulah Hantu Laut paham maksud
Pendekar Mabuk itu.

"Meng... meng... meng... mengapa kau takut kepada Dadung Amuk? Bukankah
waktu Singo Bodong kau anggap Dadung Amuk, kau bilang bahwa Dadung Amuk
orang yang paling baik denganmu, dan kebaikannya seperti saudara
sendiri? Bahkan kau mau ajak kerja sama menggulingkan Siluman Tujuh
Nyawa. Lalu, mengapa sekarang kkka... kaaau... kau ketakutan melihat
Dadung Amuk yang ternyata sudah menjadi bangkai itu?"

"Dadung Amuk memang baik padaku. Tapi jika aku menentang kekuasaan sang
ketua, belum tentu dia bersikap baik padaku. Sebab...."

"Sebab apa?" desak Suto setelah Hantu Laut berhenti bicara dan agak ragu
melanjutkannya.
"Sebab... menurut kabar kasak-kusuk tak pasti... katanya Dadung Amuk
adalah anak dari Siluman Tujuh Nyawa."

Suto dan Dewa Racun kernyitkan alisnya, memandangi Hantu Laut. Kemudian
Suto ajukan tanya,

"Dari mana kau pernah mendengar kabar itu?"

"Dari seorang tokoh tua, teman baiknya Jangkar Langit yang bernama
Begawan Sangga Mega. Dalam percakapannya dengan Tapak Baja, sebelum
Begawan Sangga Mega akhirnya dibunuh Tapak Baja sendiri, Begawan Sangga
Mega mengatakan tentang hubungan anak dan bapak antara Dadung Amuk
dengan Siluman Tujuh Nyawa."

"Mengapa Begawan Sangga Mega menceritakan hal itu kepada Tapak Baja?"
tanya Suto yang merasa tertarik sekali dengan kabar tersebut.

"Karena...," kata Hantu Laut sambil mengingat-ingat peristiwa lama yang
pernah dialami bersama Tapak Baja. "Karena..., pada waktu itu Tapak Baja
ingin hak waris atas pusaka Pedang Guntur Biru. Tapi Begawan Sangga Mega
tidak mau memberikan pusaka Pedang Guntur Biru kepada Tapak Baja. Sebab,
menurut Begawan Sangga Mega, pedang itu memang warisan dari leluhurnya
Siluman Tujuh Nyawa, dan akan diserahkan kepada Siluman Tujuh Nyawa jika
ia sudah genap berusia tiga ratus tahun. Sekarang usianya baru dua ratus
lima belas tahun...."

"Edan...!" cetus Dewa Racun terheran-heran. Ia geleng-gelengkan kepala
mendengar usia Siluman Tujuh Nyawa. "Ternyata sud... dah... sudah sangat
tua Durmala Sanca itu."

"Berarti usia guruku, si Gila Tuak, kurang lebih segitu!"

"Ck ck ck...?!" Dewa Racun berdecak keheranan.

Perahu tetap melaju seirama angin lautan. Mereka bicara di haluan sambil
Hantu Laut pegang kemudi. Mayat Dadung Amuk sudah ditinggalkan oleh
mereka, tak diurusnya lagi. Mereka lebih tertarik dengan keterangan yang
diperoleh Hantu Laut kala masih menjadi orang bawahannya Tapak Baja.

"Teruskan ceritamu itu!" kata Pendekar Mabuk setelah meneguk tuaknya
tiga kali. Maka, Hantu Laut pun melanjutkan ceritanya lagi.

"Setahuku, Tapak Baja mencoba membujuk Begawan Sangga Mega untuk bisa
mendapatkan Pedang Guntur Biru itu. Tapi Begawan tetap tidak berikan,
dan tidak kasih tahu di mana dia simpan Pedang Guntur Biru itu. Menurut
Begawan, jika bukan Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa yang terima
pedang itu, harus keturunannya Durmala Sanca. Menurut Begawan, Durmala
Sanca mempunyai dua anak, walau bukan anak kembar, tapi dia punya dua
anak dari dua perempuan yang tidak dikawininya secara resmi."
   
"Apakah Begawan Sangga Mega juga sebutkan nama anak itu?"

"Seingatku, Begawan Sangga Mega menyebutkan nama anak itu ialah Sugolo
yang kemudian dikenal dengan nama Dadung Amuk, dan Sugali, yang tidak
diketahui di mana tinggalnya."

Tiba-tiba Pendekar Mabuk dan Dewa Racun serempak kerutkan dahi serta
saling pandang bernada heran. Kejap berikutnya, Suto berkata kepada Dewa
Racun,

"Seingatku, Sugali itu nama asli Singo Bodong! Ingatkah kau pada saat
Singo Bodong ceritakan siapa namanya, siapa ibunya, dan mengapa ia
disebut Singo Bodong, serta...."

"Iiyyy... iya, iya... aku ingat!" jawab Dewa Racun dengan bersemangat.
"Sugali itu nama asli Singo Bodong, dan... dan... dan dia bilang ibunya
sering sebut- sebut nama Arjuna sebagai ayah Singo Bodong, dan dijuluki
Siluman oleh ibunya Singo Bodong, karena sang Arjuna itu tak pernah
punya waktu tetap untuk menjenguk ibu Singo Bodong yang bekas... beka...
bekas sinden zaman dulu!" (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Utusan Siluman Tujuh Nyawa").

"Kalau begitu, Singo Bodong itu kakak beradik dengan Dadung Amuk, hanya
lain ibu tapi satu bapak?!" ujar Suto menyimpulkan keterangan itu.

"Tap.... tapi mereka seperti anak kembar saja?" kata Dewa Racun.

Hantu Laut segera menyahut, "Menurut keterangan Begawan Sangga Mega,
Durmala Sanca adalah anak kembar. Ia mempunyai kakak yang namanya aku
tak ingat, tapi yang jelas dia sendiri yang bunuh kakaknya! Dia tak mau
ada orang yang menyamainya, baik ilmunya maupun ketampanannya."

"O, bisa jadi darah keturunan kembarnya ada di wajah Singo Bodong dan
Dadung Amuk!" kata Pendekar Mabuk.

"Jaa... ja... jadi, kalau Siluman Tujuh Nyawa mati, yang berhak menerima
pusaka warisan leluhur berupa Pedang Guntur Biru itu Dadung Amuk atau
Singo Bodong?"

"Ya," jawab Hantu Laut. "Tapi jika Siluman Tujuh Nyawa belum mati, hak
waris masih ada di tangan Siluman Tujuh Nyawa!"
"Llla... la... la "
"Lama?"
"Bukan! Llla... lalu, Begawan Sangga Mega itu sebenarnya siapa?"

"Paman dari Siluman Tujuh Nyawa!" jawab Hantu Laut. Tambahnya lagi,
"Tapi Begawan Sangga Mega tidak suka dengan tingkah laku keponakannya
yang sesat itu, sehingga ia tidak mau akui Durmala Sanca adalah
keponakannya, ia malu kepada tokoh putih di rimba persilatan!"

"Hmmm...," Dewa Racun manggut-manggut sebentar. "Ter... terr... terus,
apakah sampai sekarang tak ada yang tahu, di mana Pusaka Pedang Guntur
Biru itu disimpan oleh Begawan Sangga Mega?"

"Seingatku, Begawan Sangga Mega tidak sebutkan di mana letaknya kepada
Tapak Baja, yang membuat Tapak Baja menjadi marah dan membunuhnya.
Seingatku, Begawan hanya katakan, bahwa Pedang Guntur Biru tak bisa
dilihat oleh sembarang orang. Letaknya jauh dari hati pewarisnya!"

Dewa Racun termenung sambil menggumam, "Jauh dari hati pewarisnya? Tak
bisa dilihat oleh sembarang orang...?" Lalu, ia segera menegur Suto yang
seperti orang melamun sejak tadi,

"Ada se... se... sesuatu yang teringat di benakmu tentang arti kata-kata
Begawan itu, Suto?"

"Entahlah," jawab Suto. "Yang kupikirkan, sekarang Dadung Amuk sudah
mati, entah siapa yang menggantungnya, tak jelas buat kita. Lalu, kalau
suatu saat nanti, aku berhasil membunuh Siluman Tujuh Nyawa karena
urusan pribadiku yang menyangkut calon istriku dan yang menjadi ratumu
itu, berarti tinggal Singo Bodong ahli waris yang berhak menerima Pedang
Guntur Biru...."

Dewa Racun bertanya kepada Hantu Laut, "Apakah menurutmu ber... ber...
berarti Singo Bodong harus berusia tiga ratus tahun juga?"

"Setahuku, Begawan Sangga Mega mengatakan bahwa umur tiga ratus tahun
itu hanya berlaku untuk Durmala Sanca, karena dikutuk oleh kakeknya
untuk menjalani hidup sesat selama tiga ratus tahun."
    
"Meng... mengapa... mengapa ia dikutuk oleh kakeknya begitu?" tanya Dewa
Racun semakin ingin tahu.
"Katanya... ini menurut cerita Begawan...! Katanya, Durmala Sanca telah
memperkosa neneknya sendiri."
"Ooo...?!" Dewa Racun manggut-manggut.

"Karena itu, ilmu kesaktian dari kakek dan neneknya tidak pernah
diturunkan kepada Durmala Sanca. Satu pun tak ada yang diturunkan,
kecuali Pedang Guntur Biru yang memang sudah warisan turun-temurun dari
kakek buyutnya!"

"Sssi... si... siapa kakek dan neneknya Durmala Sanca itu?"
"Hmmm... namanya, kalau tidak salah... hmm... Eyang Purbapati dan Nini
Galih!"

Duaarrr...! Kilat menyambar di angkasa bagaikan merobek langit. Suara
petir yang menggelegar bagai mengguncangkan alam semesta itu, membuat
Suto Sinting tersentak kaget dan terbelalak matanya. Wajah Pendekar
Mabuk menjadi tegang dan memerah.

"Suto, tahan...! Tahan napasmu...! Kuasai amarahmu, Suto!" kata Dewa
Racun dengan cemas dan ketakutan. Sebab dia tahu, Pendekar Mabuk pernah
menceritakan tentang Pusaka Tuak Setan yang terminum olehnya dan bisa
mengakibatkan napas Suto menjadi badai topan jika sedang diliputi
kemarahan. Seperti yang terjadi di Pulau Hitam. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").

Kalau saja Suto belum pernah menceritakan tentang Pusaka Tuak Setan
kepada Dewa Racun, maka Dewa Racun tidak akan membujuk Suto untuk
menahan napas dan menguasai diri dari kemarahan. Kalau saja Pendekar
Mabuk tidak pernah menceritakan siapa gurunya dan siapa guru dari
gurunya sendiri, Dewa Racun tidak akan tahu bahwa saat itu Pendekar
Mabuk menjadi terbakar kemarahannya.

Mata Pendekar Mabuk yang memandang Hantu Laut itu cepat-cepat
dipejamkan, ia tenangkan diri dengan bernapas hati-hati. Hantu Laut
menjadi ketakutan melihat wajah Suto merah padam begitu, ia bingung,
mengapa Pendekar Mabuk memandangnya dengan suatu kemarahan yang besar.
Apalagi langit menjadi mendung, cahaya petir berkilap di angkasa bagai
memburu mangsa dengan liar. Angin pun berhembus lebih kencang, seperti
tanda-tanda akan datangnya badai topan yang amat dahsyat. Hantu Laut
jadi pucat wajahnya.

Pendekar Mabuk tinggalkan haluan, ia berdiri di samping barak yang ada
di bagian buritan. Matanya memandang jauh ke cakrawala yang sudah
menghitam karena mendung dan hujan badai. Sementara itu, Hantu Laut
punya kesempatan membisikkan kata kepada Dewa Racun,

"Mengapa dia sepertinya marah padaku?"
"Kar... kar... karena kamu sebutkan...."

"Diam, Dewa Racun!" sentak Suto dari tempatnya, ia kembali tundukkan
kepala dan pejamkan mata. Dewa Racun tak berani melanjutkan kata-kata
apa pun kepada Hantu Laut.

Gemetar sekujur tubuh Suto Sinting mendengar Purbapati dan Nini Galih
adalah kakek dan neneknya Siluman Tujuh Nyawa. Padahal Eyang Purbapati
dan Nini Galih adalah gurunya si Gila Tuak dan Bidadari Jalang.
Sedangkan Pendekar Mabuk adalah murid dari si Gila Tuak dan Bidadari
Jalang. Tapi selama menjadi murid mereka, Suto tidak pernah mendengar
cerita tentang kutukan hidup sesat dari Purbapati kepada Durmala Sanca.
Apakah si Gila Tuak merahasiakannya, atau memang tidak tahu? Jika si
Gila Tuak tidak tahu, mengapa Hantu Laut yang sebagai budak Kapal
Neraka, orang bawahannya Tapak Baja, bisa mengetahui urutan silsilah
tersebut? Mengapa Hantu Laut bisa hafal semua nama dan kejadian leluhur
Siluman Tujuh Nyawa? Benarkah ia mampu mengingat segala yang pernah
didengarnya dari Begawan Sangga Mega?

Hantu Laut berdebar cemas ketika Pendekar Mabuk melangkahkan kaki
mendekatinya. Kemudian Pendekar Mabuk menepuk-nepuk pundak Hantu Laut
sambil ucapkan kata,

"Lupakan tentang sikapku baru saja tadi! Aku tidak bermaksud marah
kepadamu! Aku hanya kaget karena kamu sebutkan nama Eyang Purbapati dan
Eyang Nini Galih."

"Eyang... Eyang siapa?!" Hantu Laut ajukan tanya dengan heran.
"Eyang Purbapati dan Eyang Nini Galih!"
Hantu Laut tampak bingung, lalu bicara pada Dewa Racun, "Apa aku tadi
sebutkan kedua nama itu?'

     Dewa Racun kerutkan dahinya lalu bertanya, "Apa... apa... apakah kamu
tidak ingat, bahwa kamu telah menyebutkan kedua nama itu?"

"Ak... ak... aku hanya katakan, bahwa menurut kabar kasak-kusuk yang tak
pasti, Dadung Amuk itu adalah anak dari Siluman Tujuh Nyawa. Aku hanya
bilang begitu!"

Suto dan Dewa Racun kembali saling pandang bernada heran. Ada sesuatu
yang aneh yang mereka temukan pada perubahan wajah Hantu Laut. Wajah itu
tampak polos dan mengakui apa yang diingatnya.

"Kau tadi sebutkan pula tentang pusaka leluhur Siluman Tujuh Nyawa,"
kata Pendekar Mabuk mencoba ingatkan kembali kata-kata Hantu Laut tadi.

"Pusaka apa?" tanya Hantu Laut benar-benar bingung.
"Sebuah pedang," jawab Dewa Racun.
"Pedang...?! Pedang apa?!" Hantu Laut tambah bingung.

Dewa Racun dan Suto Sinting saling pandang sekejap, lalu Suto berbisik
pelan di telinga Dewa Racun, "Tadi sepertinya ada yang tak beres pada
dirinya."

Hantu Laut berkata, "Aku... aku sungguh tak bilang soal pedang pusaka.
Aku cuma bilang, Dadung Amuk anak Siluman Tujuh Nyawa. Setelah itu aku
diam, karena kulihat bumbung tuakmu keluarkan sinar putih melesat masuk
menyilaukan mataku."

"Sinar...?!" Pendekar Mabuk sedikit tegang. "Sinar dari mana?"

"Dari ujung bumbung tuakmu itu!" sambil Hantu Laut menuding bumbung tuak
di punggung Suto dengan
rasa takut, ia ucapkan kata lagi,

"Sinar itu kecil tapi menyilaukan mataku. Aku jadi takut. Lalu, aku diam
saja tak berani bicara padamu! Tapi... tiba-tiba aku mendengar suara
ledakan petir, dan kutemukan wajahmu sudah memandangku dengan marah! Aku
tak tahu salahku!"

"Bbe... benar," bisik Dewa Racun pada Suto. "Pas... pasti ada yang tak
beres pada dirinya, sehingga dia bicara di luar kesadarannya. Tap...
tap... tap... tapi, siapa yang bicara melalui mulutnya tadi jika bukan dia?"

Suto diam tertegun, memperhatikan gerakan air yang menyibak karena
dibelah perahu, ia jadi teringat tentang cerita bocah kecil telanjang
yang menemui si Gila Tuak sewaktu Gila Tuak masih muda dan bernama
Sabawana. Bocah itu ternyata jelmaan dari gurunya Eyang Purbapati yang
bernama Wijayasura, dan bocah itulah yang menjelma menjadi bumbung dari
sebuah pohon bambu di dalam gua tempat Sabawana tersesat. (Baca serial
Pendekar Mabuk dalam episode: "Pusaka Tombak Maut").

"Apakah Eyang Buyut Wijayasura yang berbicara melalui mulut Hantu Laut
tadi?" pikir Pendekar Mabuk. "Dengan maksud apa Eyang Buyut Wijayasura
membeberkan sejarah Siluman Tujuh Nyawa melalui mulut Hantu Laut? Apakah
aku ditugaskan untuk mencari Pedang Guntur Biru? Untuk diriku sendiri
atau untuk kuserahkan kepada Singo Bodong? Atau untuk mengalahkan
Siluman Tujuh Nyawa?"

Suto terpaku diam karena tenggelam dalam renungan misteriusnya.

***7
TIBA-TIBA perahu berguncang ketika melewati sebuah pulau kecil bertanah
tandus. Guncangan itu terasa aneh, karena Suto dan kedua temannya tahu,
bahwa air laut tidak bergelombang besar. Ombaknya mengalun dengan
tenang. Tapi mengapa perahu bagai ada yang mengguncangnya dari bawah?
Bahkan Hantu Laut sempat terpelanting nyaris terlempar keluar dari
kapal. Untung Dewa Racun cepat menangkap lengan Hantu Laut.

Dewa Racun yang berdiri di atas barak untuk memandang keadaan di pulau
tandus yang mereka lewati itu segera berkata kepada Suto,

"Ad... ad... ada yang mengganggu kita!"
"Sial! Mungkin badai akan datang, sehingga gelombang besar terjadi di
bawah permukaan laut," kata Hantu Laut.
"Buk... bukan karena gelombang lautan! Ada yang sengaja mengguncangkan
perahu kita!"
"Apa? Mengencangkan celana kita?!"

"Mengguncangkan perahu kita!" seru Dewa Racun memperjelas ucapannya, dan
Hantu Laut yang tuli segera angguk-anggukkan kepala dengan wajah mulai
tampak cemas.
  
"Jangan-jangan kita berpapasan dengan orangnya Durmala Sanca!" katanya
dengan rasa waswas.

"Kita tak perlu bikin perkara jika memang berpapasan dengan mereka. Tapi
kalau mereka mengganggu kita, aku tak akan tinggal diam!" kata Suto
Sinting sambil membuka tutup bumbungnya, lalu menenggak tuaknya beberapa
kali.

"Bagaimana jika mereka mengancam nyawaku?" kata Hantu Laut memancing
perasaan Pendekar Mabuk.
"Tak akan sempat mereka mengancammu, aku akan bertindak lebih cepat dari
mereka!" jawab Suto.

"Mengapa kau mau membelaku, Suto?" tanya Hantu Laut lagi setelah ia
bungkamkan mulut beberapa kejap, lalu Pendekar Mabuk pun menjawab,

"Karena kau sudah berjanji untuk menjadi Hantu Laut yang sekarang, bukan
Hantu Laut yang dulu! Dulu memang kau jahat dan sesat, tapi sekarang kau
punya niat untuk bertobat! Niat itulah yang kulindungi dan kubelai"

Hantu Laut diam, merasa bersyukur menemukan lawan seperti Suto, yang
bukan hanya bisa menundukkan kekerasannya, namun juga bisa menundukkan
hatinya hingga kini ia menjadi seorang sahabat. Andai ia menemukan lawan
bukan Suto Sinting, si Pendekar Mabuk yang bijaksana itu, sudah tentu ia
akan mati dikalahkan lawannya atau hancur tak berbentuk lagi. Tak akan
ia punya kesempatan untuk membuktikan niat tobatnya di mata dunia.

Suto ucapkan kata lagi kepada Hantu Laut, "Seharusnya kau memang
menjalani hukuman mati karena dosamu terlalu banyak. Tapi menurutku,
lebih baik mati kejahatanmu daripada mati jiwamu. Karena mati jiwa tidak
bisa menebus dosa, tapi mati kejahatanmu bisa membuatmu punya kesempatan
menebus dosa! Dan sekarang ini kau sebenarnya sedang menjalani hukuman
dari dosamu, yaitu menjadi pembela kebenaran dan pelindung kebaikan,
itulah hukuman yang harus kau jalani seumur hidupmu, Hantu Laut!"

Belum selesai Pendekar Mabuk bicara, perahunya kembali terasa
diguncangkan oleh suatu kekuatan tenaga dalam yang membuat ketiga orang
itu hampir terlempar ke laut. Suto Sinting cepat perintahkan kepada Dewa
Racun.

"Lacak suara yang ada di sekitar sini, Dewa Racun!"

Maka, Dewa Racun yang punya keahlian menyadap pembicaraan dari jarak
jauh itu segera pejamkan mata dan kedua telunjuknya menekan pelipis
kanan kiri. Si kerdil berpakaian putih bulu itu berdiam diri beberapa
saat. Kejap berikutnya dia serukan kata kepada Suto,

"Akkk... akkk... akkk...."
"Akik...?!"

"Bukan!" sentak Dewa Racun kepada Hantu Laut. "Ak... aku hanya bisa
mendengarkan suara napas yang berat. Tak ada suara percakapan orang!"

Pendekar Mabuk diam sekejap, dan tiba-tiba Hantu Laut tudingkan tangan
ke arah pulau tandus itu sambil serukan kata,

"Lihat, ada seseorang yang terkapar di pantai sana!"

Pendekar Mabuk dan Dewa Racun cepat lemparkan pandang ke arah pantai
pulau tandus. Mereka melihat sesosok tubuh terkapar di pantai sana
dengan kepala sedikit terangkat karena bersandarkan sebuah batu setinggi
mata kaki. Suto segera perintahkan Hantu Laut untuk mengarahkan perahu
ke pantai.

Makin dekat makin jelas orang yang terkapar itu adalah seorang perempuan
berpakaian hijau ketat berhias benang emas. Terlihat pula warna jubahnya
yang biru muda membayang tipis.

"Siapa perempuan itu, Dewa Racun?"

"Entahlah. Ak... ak... aku masih belum jelas dengan raut wajahnya,"
jawab Dewa Racun. Kemudian ia segera melompat turun dari perahu setelah
Pendekar Mabuk mendului turun dari perahu itu. Hantu Laut mencari
tambatan untuk tambang perahunya. Setelah mendapatkan batu runcing untuk
tambatan tali perahunya, ia segera menyusul dua rekannya yang sudah
mendekati perempuan yang terkapar itu.

Dayang Kesumat gagal sembuhkan luka dalamnya akibat pukulan "Sinar Naga
Birawa' dari si Tua Rakus itu. Tubuhnya sangat lemas dan wajah
cantik-nya memucat pasi. Matanya yang indah berat untuk dibuka
kelopaknya. Namun ia paksakan membuka kelopak mata setelah tahu ada yang
mendekatinya.
   
"Kau mengenalinya, Dewa Racun?" tanya Pendekar Mabuk pelan.

"Tid... tid...tid... tidak!" jawab Dewa Racun sambil pejamkan mata
karena sukar sekali menyebut sepotong kata itu. Lalu ia buka matanya
kembali dengan rasa lega dan sambungkan jawabannya,

"Aku hanya kenali dia sebagai perempuan muda yang cantik jelita, walau
tak secantik calon istriku sang Ramu. Tap... tap... tapi aku tidak tahu
siapa namanya. Baru sekarang aku melihat wajah cantik ini."

"Aku juga! Kau mengenalinya, Hantu Laut?"

Mata Hantu Laut yang terbuka lebar dengan mulut bengong karena kagum
melihat kecantikan dan kebesaran dada perempuan itu, segera berkedip
menggeragap saat mendapat pertanyaan dari Pendekar Mabuk. Lalu, cepat ia
menjawab,

"Tidak... tidak! Aku tidak mengenalinya."
"Hmmm... tampaknya ia terluka parah di bagian dalam!" kata Suto seperti
bicara pada diri sendiri.
Dayang Kesumat ucapkan kata lemah dan lirih, "Tolong aku...!"
"Kau terkena pukulan bertenaga dalam tinggi, Nona?"
"Ya. Uuh...!" Ia berusaha menggeliat tapi tak mampu banyak berbuat, ia
hanya ucapkan kata lirih, "Sakit...!"
Suto bersiap menuangkan tuak ke dalam mulut Dayang Kesumat, tapi lebih
dulu ia ajukan tanya,
"Kau bisa minum tuak?"
"Ya," jawab Dayang Kesumat pendek.
"Kalau begitu, bukalah mulutmu dan minumlah tuak ini...!"

Pelan-pelan Dayang Kesumat membuka mulutnya. Mulut ternganga kecil dan
Suto Sinting tuangkan tuak pelan-pelan. Tuak mengucur masuk ke dalam
mulut berbibir indah itu. Diteguk beberapa kali oleh Dayang Kesumat.
Sete1ah itu, Suto ucapkan kata,

"Jangan banyak bergerak dulu, Nona. Diamlah beberapa saat biar tuak
saktiku ini melawan kekuatan yang merusak bagian dalam tubuhmu. Jika
memang bisa, usahakanlah untuk tidur. Kami akan menunggumu di sini
sampai kau sembuh."

Dewa Racun melangkahkan kakinya mendekati gundukan batu yang menjulang
tinggi hingga bisa menjadi peneduh pada bayangannya. Di sana Dewa Racun
duduk di bongkahan cadas yang ada di bawah batu itu.

Saat Pendekar Mabuk mendekati batu itu, Dewa Racun ucapkan kata, "Pu...
pu... pu... pu...."
"Puser!"

"Pulau!" sahut Dewa Racun, sebab jika belum disentakkan arti kata yang
ingin diucapakan, Dewa Racun masih kesulitan ucapkan kata yang dimaksud.

"Pulau ini tandus, seperti padang pasir. Tak mungkin perempuan itu asli
penduduk pulau ini. Setahuku, pulau ini tidak berpenghuni. Karen...
ka-ren... karena tidak ada yang didapat dari pulau ini!"

Suto pandangi sekelilingnya. Pulau itu memang tandus. Perbukitan cadas
membentang di tengahnya tanpa tanaman jenis pohon, kecuali tanaman jenis
rumput yang termasuk jarang tumbuhnya. Disana-sini banyak bongkahan batu
cadas dan karang yang menjulang bagaikan pilar-pilar hias alami. Tanah
berpasir, lebih ke dalam lebih berbatu cadas. Apabila seseorang berjalan
dari pantai seberang sana melewati pertengahan pulau, akan kelihatan
jelas dari tempat Suto berdiri karena tak ada banyak penghalang dari
tanaman.

"Pulau apa ini namanya, Dewa Racun?"
Hantu Laut yang ada di belakang Suto menyahut, "Namanya Pulau Padang Peluh!"
Pendekar Mabuk palingkan wajah kepada Hantu Laut, "Kau pernah datang ke
pulau ini?"

"Ya. Sewaktu mengantar pertarungan Tapak Baja dengan Nagadipa, murid
Iblis Pulau Bangkai. Tapak Baja berhasil hancurkan Nagadipa hanya dengan
tiga jurus."

"O, jadi Nagadipa telah mati?"

"Mungkin saja mati," jawab Hantu Laut. "Sebab, sebelum jelas
kematiannya, Nagadipa telah diserobot oleh tokoh tua yang punya ilmu
lebih tinggi dari Tapak Baja, lalu Nagadipa dibawanya lari. Tapi menurut
Tapak Baja, lawannya itu pasti mati karena ia menyebarkan racun ganas di
dalam tubuh Nagadipa!"

Tertegun Suto mendengar kabar itu. Ia sangat kenal dengan Nagadipa,
karena orang itu memang musuhnya. Nagadipa sebenarnya musuh bebuyutan
Bidadari Jalang, bibi guru-nya Pendekar Mabuk. Nagadipa selalu berusaha
membalas kematian gurunya Iblis Pulau Bangkai, yang dikalahkan oleh
Bidadari Jalang. Bahkan ia pernah berhadapan muka dengan Pendekar Mabuk
ketika hendak membalas kekalahan Putri Alam Baka, bekas istrinya itu.
Tetapi, Nagadipa terkena pukulan napas Tuak Setan yang membuatnya
terlempar ke sana kemari dalam keadaan luka parah. (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode: "Pertarungan di Bukit Jagal").

Tetapi pada waktu itu, Nagadipa masih bisa bernapas sedangkan Putri Alam
Baka mati karena dilemparkan badai maut dari napas Pendekar Mabuk.
Nagadipa diselamatkan oleh Maharani, teman dari Putri Alam Baka. Dan
sejak itu tak terdengar lagi kabarnya. Baru sekarang Pendekar Mabuk
mendengar nama Nagadipa disebutkan oleh Hantu Laut. Tapi siapa tokoh
sakti yang waktu itu menyelamat kan Nagadipa dari pertarungannya dengan
Tapak Baja? Hantu Laut tidak mengenalnya, karena waktu itu Hantu Laut
hanya meman dang dari haluan Kapal Neraka yang dijaganya.

Sekarang yang menjadi pertanyaan mereka adalah, siapa perempuan yang
terluka dalam itu? Menurut Dewa Racun, perempuan itu bukan berasal dari
Pulau Padang Peluh. Pasti dari tempat lain. Tetapi, mereka tidak melihat
sebuah perahu terdampar di pantai.

"Apakah ia dibuang dari sebuah perahu atau kapal?" duga Hantu Laut
sambil memandang perempuan yang berjarak sepuluh langkah dari tempat
mereka berkumpul itu.

"Di... di... di... ddiiii "
"Dicolok?"

"Aaah, bukan! Dddi... dilihat! Dilihat dari pakaiannya, sepertinya dia
bukan perempuan biasa. Dia perempuan yang punya kedudukan di dalam
sebuah perkumpulan. Paling tidak dia perempuan ter... terrr...
terrhormat. Ya. Dia perempuan terhormat. Bukan
sekadar seorang murid atau anak buah tingkat rendahan."

"Pedang di punggungnya menampakkan dia perempuan yang punya ilmu," kata
Suto. "Tapi seberapa tinggi ilmunya kita belum tahu pasti."

Dayang Kesumat mulai bisa menangkap pembicaraan ketiga lelaki itu walau
samar-samar. Agaknya luka dalam akibat pukulan 'Sinar Naga Birawa' mulai
membaik. Dayang Kesumat sempat membatin dalam hatinya, memuji kehebatan
tuak Pendekar Mabuk yang mampu menyembuhkan luka dalam dengan sangat cepat.

Kejap berikutnya, Dayang Kesumat sudah mampu berdiri dan pandangkan mata
ke arah Suto Sinting yang mendekat bersama Dewa Racun serta Hantu Laut.
Badannya terasa mulai segar kembali, bahkan makin lama terasa semakin
lebih segar dari biasanya.

"Keadaanmu sudah membaik, Nona?" tanya Pendekar Mabuk basa-basi.
"Sudah! Kau yang mengobati lukaku?"
"Ya, aku."

"Bagus!" kata Dayang Kesumat mulai tampak sikap angkuhnya, ia tak mau
ucapkan terima kasih, melainkan justru berkata,

"Kau pantas jadi tabib saja, Suto!"

Terkesiap Suto mendengar namanya disebutkan. Terkesiap pula Dewa Racun
dan Hantu Laut karena ucapan perempuan itu.

"Kau tahu namaku? Dari mana kau mengetahuinya, Nona? Sedangkan aku
sendiri tidak tahu namamu?!"

"Dayang Kesumat, namaku!" jawabnya dengan mata tajam memandang Pendekar
Mabuk, bercampur perasaan kagum dan terpikat oleh ketampanan Pendekar
Mabuk. Sementara yang dipandang hanya gumamkan nama itu sambil kerutkan
dahi, merasa asing dengan nama tersebut. Demikian pula hal yang dialami
oleh Dewa Racun dan Hantu Laut.

Dayang Kesumat bahkan ucapkan kata, "Hantu Laut ada denganmu, Suto! Itu
tandanya kau buka tantangan adu nyawa dengan Siluman Tujuh Nyawa!"

"Kau mengenal Hantu Laut juga, rupanya? Hmm... lantas mengapa kau
berkata begitu jika Hantu Laut ada padaku?"

"Dia sedang dalam ancaman mati oleh Siluman Tujuh Nyawa. Sang Ketua
sudah tahu Hantu Laut mau membunuh dia dengan tombak pusaka!"

"Tap... tapi... tapi aku sekarang sudah tidak mengancam mau membunuh dia
lagi, Nona! Ak... aku sudah tidak punya tombak pusaka itu dan... dan...!"

"Itu masalahmu!" sahut Dayang Kesumat, lalu sunggingkan senyum tipis
melihat Hantu Laut cemas. Kembali ia menyambung.
"Yang ingin kutahu kini, di mana temanmu Dadung Amuk?! Aku akan mencabut
nyawanya cepat-cepat!"
"Da... Da... Dadung Amuk sudah mati!" sahut Dewa Racun.
   
"Omong kosong!" Dayang Kesumat sedikit menggeram dan mulai tampak sikap
permusuhannya. Dewa Racun berbisik kepada Suto,

"Dddii... dia bersikap tak bersahabat dengan kita."

Rupanya Dayang Kesumat mendengar bisikan itu dan ia menjawab,

"Memang! Yang kutahu, Hantu Laut sekongkol dengan Dadung Amuk untuk
melawan Siluman Tujuh Nyawa. Jika Dadung Amuk tidak ada di sini, itu
tandanya kalian menyembunyikan Dadung Amuk. Hantu Laut pasti tahu di
mana Dadung Amuk belada!"

"Sum... sumpah! Dadung Amuk sudah mati, Nona!" kata Hantu Laut agak
ngotot. "Kami temukan mayatnya mengapung di laut sebelah sana!"

"Aku bukan bocah bodoh! Dadung Amuk lebih tinggi ilmunya ketimbang kamu,
Hantu Laut! Tak mungkin dia mati, sedangkan kamu masih hidup! Itu
sebabnya aku tadi menyedot kekuatan kalian supaya datang ke sini, sebab
kusangka kalian belsama Dadung Amuk!"

Suto segera bicara setelah meneguk tuaknya, "Dayang Kesumat, kami sudah
tolong kamu dari lukamu, jadi tak perlu ada perselisihan tanpa arti di
antara kita!"

"Hantu Laut pasti mau sebutkan di mana Dadung Amuk belada. Kalau tak mau
sebutkan, mulutnya akan kupaksa bicala dengan pedangku!"

"Mulutnya akan kau apakan?" pancing Pendekar Mabuk.

"Akan kupaksa bicala dengan pedangku!" sentak Dayang Kesumat. Tapi Suto
dan Dewa Racun saling memandang. Lalu Suto bergumam,

"Bicala...?!"
"Mmmung... mungkin maksudnya bicara!"
"Ya, aku tahu. Tapi mengapa dia bilang bicala dua kali?!"
Dayang Kesumat cepat serukan kata, "Hantu Laut, katakan di mana Dadung
Amuk belada?!"
"Aku sudah katakan tadi, Dayang Kesumat!"
"Katakan yang sebenalnya!" bentak Dayang Kesumat.

Hantu Laut kebingungan, ia memandang ke arah Pendekar Mabuk, tapi waktu
itu Pendekar Mabuk dan Dewa Racun sedang kasak-kusuk.

"Sebenalnya! Maksudnya, sebenalnya!"
"Diii... dia... dia ternyata cadel! Tak bisa sebutkan huruf 'R'."
"Tapi mengapa baru sekarang dia cadel? Sejak tadi bicaranya
lancar-lancar saja."

"Kar... kar... karena omongannya sejak tadi tidak memakai huruf 'R'. Dia
bisa hindari huruf 'R', sehingga tak kelihatan cadelnya!"

"Tunggu, aku sepertinya pernah bertemu dengan tokoh cadel. Hmmm... kalau
tak salah ingatanku, Peri Malam pernah punya guru yang cadel bicaranya,
yaitu Mawar Hitam. Penguasa Pulau Hantu! Tapi... dia tidak secantik dan
semuda ini, Dewa Racun!"

Dayang Kesumat mendengar kasak-kusuk itu, lalu ia serukan kata,

"Ya. Telnyata ingatanmu masih tajam, Pendekat Mabuk! Akulah si Mawal
Hitam dali Pulau Hantu!"

Terkejut Suto mendengar pengakuan itu. Terpana ia tatap wajah cantik
yang sulit dipercaya pengakuannya itu. Tapi Dewa Racun cepat ucapkan kata,

"Kkka... kkka... kakkk... kal."

"Kalang kabut?!" sentak Pendekar Mabuk.

"Bukan! Kal... kalau begitu, kau telah kuasai ilmu 'Rias Renggana',
Dayang Kesumat?! Aku tahu ilmu 'Rias Renggana' bisa membuat wajah tua
menjadi cantik jelita seperti kau sekarang!"

"Bukan hanya ilmu 'Lias Lenggana' yang kukuasai, melainkan kugunakan
pula ilmu 'Selap Kawekas' untuk menyedot semua ilmu olang-olang sakti,
hingga bisa kumiliki dalam waktu singkat dan cepat, tanpa susah payah
menempuhnya dengan latihan. Ha ha ha...!"

Tawa itu memberi kesempatan bagi Suto untuk membatin kata, "Luar biasa
perubahannya! Kalau saja bicaranya tidak cadel, aku tidak mungkin bisa
tahu bahwa dia adalah si Mawar Hitam, musuh bebuyutan dari Bibi Guru
Bidadari Jalang!"

 Dewa Racun bisikkan kata kepada Pendekar Mabuk, "Ber... ber...
berbahaya! Dia sudah kuasai ilmu 'Serap Kawekas'!"

"Apa itu ilmu 'Serap Kawekas'?" tanya Hantu Laut yang mendengarnya.

"Sebuah ilmu yang dipakai untuk menyerap ilmu milik orang lain, sehingga
ilmu milik orang lain itu menjadi miliknya, dan... dan... orang itu
kehilangan semua ilmunya. Berr... berr... berarti di dalam dirinya
banyak tersimpan ilmu milik orang-orang sakti yang nyaris mati. Sebelum
mati diserapnya ilmu oor... orang itu!"

"Hantu Laut!" seru Dayang Kesumat. "Aku tak punya kesabalan lagi
menunggu pelundingan kalian! Akan kupaksa mulutmu membeli tahu di mana
Dadung Amuk belada! Heaaah...!"

"Tahan dulu!" cegah Pendekar Mabuk tiba-tiba. "Ada sebuah kapal menuju
kemari! Barangkali Dadung Amuk ada di kapal itu!" Pendekar Mabuk sengaja
mengulur waktu agar tidak terjadi bentrokan antara dirinya dengan Dayang
Kesumat.

Tapi memang benar, ada sebuah kapal bergerak merapat ke pantai Pulau
Padang Peluh itu. Beberapa orang-orangnya turun menyerbu ke pantai.
Wajah mereka tampak buas dan tidak bersahabat.

***8

KAPAL berbendera naga itu ternyata dalam sebuah kejaran perahu berlayar
hijau yang mempunyai gambar tengkorak bermata rantai tujuh butir itu.
Hantu Laut mengenali perahu berlayar hijau itu sebagai perahu milik
Dadung Amuk. Ia sempat menjadi takut, karena menurutnya Dadung Amuk
sudah ditemukan dalam keadaan mati dan mayatnya mengambang di lautan
lepas. Tapi mengapa sekarang perahunya bisa mengejar kapal besar milik
Bajak Naga?

Suto Sinting segera perintahkan Dewa Racun dan Hantu Laut untuk
sembunyikan diri. Ternyata Dayang Kesumat ikut pula sembunyikan diri,
setelah dia tahu kapal Bajak Naga sedang dalam pengejaran perahunya
Dadung Amuk. Ia mengincar Dadung Amuk, tapi juga membiarkan terjadi
pertempuran antara kedua awak kapal tersebut.

Si Tua Rakus tampak melompat tinggalkan kapalnya, melewati pundak demi
pundak anak buahnya yang berlarian ke pantai. Rupanya Wisoguno telah
berhasil menyembuhkan luka pukulan dalam Tua Rakus, sehingga manusia
yang bermata satu itu dapat bergerak dengan lincah. Dari sekian banyak
anak buahnya, tinggal sepuluh orang yang tersisa. Dan kesepuluh orang
itu pun sedang dalam pelariannya untuk menghindari maut yang mengancam
atau karena suatu hal lain.

"Pancing mereka supaya bergerak ke pulau ini!" teriak si Tua Rakus
kepada anak buahnya yang masih tertinggal di dekat kapal.

"Saya mau serang mereka dari atas menara intai, Yang Mulia!" kata Raja
Tebas.

"Jangan bodoh kau! Bisa rusak kapal kita oleh serangan balik dari
mereka! Cepat giring mereka kemari, supaya kapal kita tidak rusak
seperti tempo hari!"

Rupanya si Tua Rakus bukan lari karena takut serangan musuhnya,
melainkan sengaja memancing pertarungan di daratan supaya kapalnya tidak
ikut rusak akibat pertarungan mereka. Tetapi agaknya musuh Tua Rakus itu
tidak bodoh seperti dugaan si Tua Rakus. Sebelum mereka mencapai pantai,
lebih dulu mereka menggempur kapal Bajak Naga itu dengan kekuatan tenaga
dalam hingga tiang layar patah dan tumbang menghancurkan geladak.
Lambung kapal dihantam pula dengan kekuatan tenaga dalam yang cukup
dahsyat hingga kapal menjadi bolong. Bunyi ledakan dan percikan api
berkali-kali datang dari kapal Bajak Naga, hingga akhirnya kapal itu
sendiri meledak terbakar oleh satu pukulan yang maha hebat.

"Bangsat kurap!" teriak si Tua Rakus. "Hancurkan kembali perahu mereka!
Kita bisa lari memakai perahu yang ada di sebelah sana!" sambil Tua
Rakus menuding perahu milik Suto yang ditambatkan jauh dari tempatnya.
Dan di sana, di balik gundukan batu-batu serta bukit cadas tak seberapa
tinggi, Pendekar Mabuk serta kedua sahabatnya bersembunyi memperhatikan
pertarungan tersebut. Dayang Kesumat berada tak jauh dari mereka, antara
tujuh langkah di samping kanan Pendekar Mabuk.
    
Anak buah Tua Rakus bermaksud menghancurkan perahu layar hijau, tetapi
usaha mereka selalu dapat digagalkan. Dan satu hal yang membuat Dewa
Racun, Hantu Laut, serta Suto Sinting terheran-he-ran adalah kemunculan
lawan Tua Rakus dari perahu layar hijau. Ternyata bukan sosok Dadung
Amuk seperti dugaan Hantu Laut, melainkan dua anak muda kembar rupa,
yaitu Doma Damu. Mereka menggunakan perahu milik Dadung Amuk dalam
perjalanan menuju Pulau Beliung. Tetapi bertemu dengan kapal Bajak Naga
di perjalanan dan terjadilah pertempuran itu, sebab kapal Bajak Naga
memang bermusuhan dengan kapal Siluman Tujuh Nyawa. Entah apa yang
menyulut api pertarungan lebih dulu, yang jelas mereka bertarung dengan
sengit, walau dengan jumlah tak seimbang, dua melawan lebih dari sepuluh.

"Siapa dua anak kembar itu?" tanya Pendekar Mabuk kepada Dewa Racun.
Tetapi, Hantu Laut yang segera beri jawaban,

"Mereka Doma dan Damu, pengawal pribadi sang ketua yang ilmunya paling
tinggi dari sekian banyak anak buah sang ketua. Tapak Baja pun takut
jika berhadapan dengan kedua anak kembar itu!"

Dalam hati Pendekar Mabuk membenarkan keterangan Hantu Laut. Karena
dengan mata kepalanya sendiri Pendekar Mabuk melihat gerakan Doma dan
Damu begitu cepat dan gesit, pukulannya tak ada yang lolos dari sasaran.
Sekali pukul pasti mengenai lawan dan lawan pasti mati seketika. Tak
heran jika Doma dan Damu dijadikan pengawal pribadi Siluman Tujuh Nyawa
yang dihormati dan disegani anak buah lainnya.

Dalam waktu singkat pertarungan di pantai itu membuat enam anak buah si
Tua Rakus terkapar tanpa nyawa. Tinggal beberapa gelintir anak buah Tua
Rakus yang punya ilmu cukup lumayan dibandingkan yang sudah lebih dulu
mati itu.

Raja Tebas mengamuk dengan ilmu pedangnya yang punya kecepatan tebas
melebihi kilatan cahaya petir. Tetapi sayangnya kedua lawan cukup gesit
dalam bergerak sehingga sulit ditebas tubuhnya. Apalagi dari mulut Doma
dan Damu selalu menyemburkan nyala api bagai semburan gunung murka, Raja
Tebas dan yang lainnya sering dibuat terdesak.

Dalam satu kesempatan baik, Tua Rakus sempat kirimkan pukulan 'Sinar
Naga Birawa' dari matanya yang tertutup itu, dan sinar biru melesat
cepat ke arah Damu. Zuuttt...! Debb...! Sinar biru itu tepat mengenai
tengkuk kepala Damu. Anak muda berpakaian rompi merah itu tersentak
melengkung ke depan dan akhirnya rubuh dalam sekejap. Sementara itu,
Doma masih menyerang Wisoguno menggunakan pukulan jarak jauhnya.
Wisoguno berhasil menghindari serangan sinar kuning dari Doma, tapi
seorang anak buah lainnya yang berdiri di belakang Wisoguno menjadi
sasaran berikut. Sinar itu memecahkan isi perut orang yang sedang
berdiri di belakang Wisoguno itu.

"Hancurkan dia! Tinggal satu, hancurkan dia!" teriak Tua Rakus dengan
garangnya, penuh nafsu untuk membunuh Doma.

Tetapi pada kejap lain, Doma sempat menyerang Raja Tebas dengan
menggunakan Cermin Benggala Kembar itu. Dua hal terjadi dengan sangat
mengejutkan bagi mata para penonton gelapnya itu.

Sebuah lompatan Doma di atas tubuh Damu telah membuat Damu yang mati
menjadi hidup kembali. Senjata cermin Doma mengeluarkan sinar putih
menyilaukan, melesat ke arah Raja Tebas. Dengan kegesitannya Raja Tebas
bersalto ke samping kanannya, membuat sinar itu menghantam nakhoda kapal
Bajak Naga yang dikenal dengan nama Wiloka.

Wettt... ! Sreppp... !

Wisoka tersentak diam tak bergerak. Kejap selanjutnya, tubuhnya jatuh
menjadi serpihan-serpihan tanpa bentuk lagi. Prolll...! Wujud dari
Wiloka hilang, yang ada hanya gundukan daging-daging kecil dari tubuh
yang hancur itu.

Hantu Laut terbelalak lebar matanya dengan perasaan ngeri di hatinya.
Sementara itu, Dewa Racun terbengong-bengong memperhatikan Damu yang
mati menjadi hidup kembali. Bahkan dalam pertarungan berikutnya, Doma
berhasil ditebas punggungnya oleh pedang andalan Raja Tebas. Punggung
itu koyak besar, menyemburkan darah. Doma jatuh tersungkur dan diam
untuk selamanya. Melihat Doma mati, Damu cepat melangkahi mayat Doma.
Lalu, kejap selanjutnya Doma telah bangun kembali. Hidup dengan lebih
ganas dan segera menyerang Wisoguno yang ada di depannya.
   
"Or... or... orang itu bisa hidup lagi dengan luka menjadi rapat
kembali?!" gumam Dewa Racun terheran- heran. Hantu Laut berkata,

"Itulah kehebatan Doma dan Damu. Si Kembar itu sulit dibunuh. Jika yang
satu mati, maka yang satunya segera berusaha melangkahi mayat
saudaranya. Dan mayat yang dilangkahinya itu akan hidup kembali. Berapa
kali pun mereka mati, jika masih saling melangkahi akan bisa hidup kembali!"

Pendekar Mabuk menggumam, "Ilmu 'Bayang- bayang Hantu' itu namanya."
"Ya, benar," jawab Hantu Laut. "Dan hanya Doma dan Damu yang mempunyainya."

Sekarang kedua anak kembar itu sama-sama sudah menggenggam cermin
bertangkai yang bentuknya seperti bola kaca itu. Dewa Racun yang merasa
heran segera bertanya kepada Hantu Laut,

"Senjata apa yang mereka pegang itu?"
Tapi yang menyahut Dayang Kesumat, sepertinya ia bicara kepada diri
sendiri, bukan kepada Dewa Racun.
"Celmin Benggala Kembal...?!"
"Betul," kata Hantu Laut kepada Dewa Racun, "Mereka dijamin tak akan sabar!"

Dewa Racun kerutkan dahi, "Apa hubungannya omonganmu de... de... dengan
jawaban Dayang Kesumat? Dia bilang Cermin Benggala Kembar! Bukan bicara
tak sabar!"

"O, kalau begitu aku salah dengar. Tapi memang benar, senjata itu
bernama Cermin Benggala Kembar, milik Siluman Tujuh Nyawa. Biasanya,
jika seorang utusan pergi dengan dibekali pusaka dari sang ketua, itu
berarti utusan tersebut tak boleh pulang tanpa membawa hasil. Dia hanya
boleh pulang dengan membawa hasil, jika tidak punya hasil, dia boleh
pulang raganya saja! Nyawanya harus cepat pergi tinggalkan raga!"

"Kkka... kalau begitu, Doma Damu dapat tugas yang amat penting sekarang
ini, sehingga dibekali pusaka tersebut?"

"Ya. Mestinya begitu. Tapi tugas sepenting apakah sampai Doma dan Damu
dibekali pusaka seperti itu? Dengan dibekali pusaka saja, sudah
menandakan ciri yang amat penting dari tugas yang diembannya, apalagi
sekarang yang turun tangan adalah Doma Damu sendiri, itu berarti ada
tugas yang maha penting dari seluruh tugas lainnya!"

Percakapan mereka terhenti karena melihat Doma semburkan api panas
membara kepada salah seorang anak buah Tua Rakus. Orang tersebut menjadi
terbakar sekujur tubuhnya dan berteriak-teriak kelimpungan. Walau sudah
merendam dalam air laut, tapi nyala api masih berkobar, ia akhirnya mati
hangus seperti empat orang lainnya.

"Bah... bah... bahhh... bahaya sekali! Bahaya sekali mulut kedua anak
kembar itu!" kata Dewa Racun entah kepada siapa.

Kini tinggal empat orang berdiri menghadapi Doma dan Damu. Mereka adalah
Raja Tebas, Wisoguno, Dampu Samak, dan Tua Rakus sendiri. Mereka
menghentikan pertarungan sejenak, karena Tua Rakus serukan kata kepada
ketiga orangnya yang tersisa,

"Mundur kalian! Munduuur...!"

Tua Rakus berdiri di depan ketiga anak buahnya yang tersisa itu. Doma
Damu masih siap dengan senjata pusaka Cermin Benggala Kembar. Cermin
pemburu nyawa itu siap digunakan sewaktu-waktu.

Terdengar Tua Rakus serukan kata, "Doma Damu...! Sesungguhnya aku malas
turun tangan dalam pertarungan ini! Karena lawanku bukanlah kalian,
melainkan Siluman Tujuh Nyawa! Tetapi, karena kalian telah membantai
habis anak buahku, terpaksa aku turun tangan menghadapi kalian, kecuali
jika kalian merasa sudah puas dan mau pergi tinggalkan kami! Kuberi
kesempatan pada kalian untuk menghindari maut dari tanganku!"

Damu yang menjawab, "Kami akan tinggalkan kau, jika kau tinggal raga
tanpa nyawa, Tua Rakus! Jangan bermimpi dapat mengungguli kekuatan
orang-orang dari Kapal Siluman!"

"Kekuatan tahi kucing yang dimiliki Kapal Siluman!" geram Tua Rakus,
lalu Damu menjawab,
"Buktinya kapalmu sekarang hancur! Bukan lagi sebagai Kapal Bajak Naga,
tapi Kapal Bajak Cacing!"
  
"Grmrr...!" Tua Rakus makin terbakar amarahnya, sehingga ia cepat-cepat
sentakkan kedua tangannya ke arah perahu berlayar hijau itu. Kedua
tangannya mengeluarkan cahaya merah menyala bagaikan piringan yang
melesat ke perahu layar hijau.

Wuutttt... !

Tetapi Doma cepat sentakkan Cermin Benggala Kembarnya hingga
mengeluarkan sinar putih menyilaukan. Sinar putih itu melesat lebih
cepat dari sinar merah bagai piringan itu. Lalu, sinar tersebut
menghantam sinar merah itu di udara. Blarrr...! Terjadi ledakan yang
timbulkan gelombang angin cukup kencang. Perahu layar hijau sempat
terguncang sejenak.

Pada saat semua mata tertuju pada benturan kedua sinar tadi, diam-diam
Dampu Samak melemparkan pisau terbangnya ke arah Damu. Wuttt...! Tetapi
pisau itu segera ditangkis dengan kibasan Cermin Benggala Kembar.
Trringngng...! Pisau itu melesat ke arah lain.

Tapi Damu cepat sentakkan Cermin Benggala Kembar di depan. Dari cermin
itu keluar sinar merah yang membuat Dampu Samak tersentak mundur, lalu
tubuhnya tiba-tiba jatuh satu persatu menjadi potongan tiap ruasnya.
Telinga jatuh, jari jatuh, pergelangan tangan jatuh, pangkal lengan pun
jatuh, dan akhirnya Dampu Samak mati dalam keadaan terpotong-potong
menjadi banyak, termasuk kepalanya sendiri yang menggelinding dalam
keadaan mata tetap terbelalak kaget.

"Bangsat kau!" bentak Raja Tebas. "Kau bunuh adikku dengan sekeji itu!
Sekarang giliranmu yang harus kubunuh, Babi Kurap! Heaah...!"

Raja Tebas sentakkan kaki dan melesat terbang di udara dengan pedang
siap menebas leher lawan. Tetapi dengan gerakan gesit Damu segera
bersalto ke belakang satu kali. Jlegg...! Kemudian ia sentakkan Cermin
Benggala Kembar ke arah Raja Tebas.

Zlaappp...!

Bagian lubang di tengah bola kaca itu mengeluarkan semacam mata tombak
yang pipih berwarna putih mengkilap. Begitu cepat gerakannya tak sempat
dihindari Raja Tebas. Maka, leher kiri Raja Tebas menjadi sasaran empuk
senjata tersebut. Crapp...! Logam putih mengkilat itu masuk terbenam
habis di leher Raja Tebas.

Tua Rakus memandang Raja Tebas yang berdiri dengan oleng dan tidak bisa
bicara apa pun walau mulutnya telah ternganga. Bahkan sekarang Raja
Tebas berdiri dengan bersandarkan batu tinggi. Tapi kejap berikutnya
tangannya menjadi panjang, jari-jarinya mulur ke bawah bagaikan lem
kental yang ingin jatuh. Plukk...! Akhirnya jari-jemari itu jatuh ke
tanah, dan tubuh Raja Tebas menjadi lumer menjijikkan. Warnanya hitam
kehijau-hijauan.

"Llu... luar... luar biasa ganasnya Cermin Benggala Kembar itu," ucap
Dewa Racun, entah siapa yang diajaknya bicara.

Dengan matinya Raja Tebas, kini kedudukan mereka menjadi seimbang. Dua
melawan dua. Tua Rakus menghadapi musuhnya dibantu dengan Wisoguno. Tapi
Suto cepat berkata kepada Dewa Racun,

"Kasihan Tua Rakus. Temannya yang satu itu tidak akan mampu bertahan
satu jurus pun dari kesaktian Doma Damu."
"Apakah kita akan membantu Tua Rakus?" tanya Hantu Laut.

Tiba-tiba Dayang Kesumat ucapkan kata, "Kulemukkan tengkolak kepala
kalian kalau ada yang membela meleka!"

Pendekar Mabuk palingkan wajahnya kepada Dayang Kesumat, "Maksudmu, kau
keberatan jika kami membela Tua Rakus?"

"Sangat kebelatan jika kalian membela salah satu pihak. Kedua pihak itu
memang layak untuk hancul! Tua Lakus tukang pelkosa, halus hancul, dan
Doma Damu anak buah Siluman Tujuh Nyawa, memang ada baiknya juga hancul!
Jika dia tidak hancul, aku yang akan hanculkan meleka! Dengan begitu
kekuatan Siluman Tujuh Nyawa akan semakin belkulang! Suatu saat nanti
akulah yang akan kuasai lautan utala ini!"

"Itu ulusanmu...!" ledek Dewa Racun.

Merasa diledek dengan ikut-ikutan cadel, Dayang Kesumat cepat meremas
kelingkingnya sendiri. Tiba-tiba Dewa Racun tersentak dengan kepala
terdongak, suaranya tak bisa keluar, matanya mendelik. Pendekar Mabuk
segera tanggap bahwa Dewa Racun sedang dicekik oleh Dayang Kesumat
melalui gerakan tangan yang meremas itu. Takkk...!
    
Pendekar Mabuk tidak tinggal diam. Lalu, ia sentilkan tangannya ke arah
tangan yang meremas itu. Takkk... !

"Ahhg...!" Dayang Kesumat tersentak dan terpekik lirih sambil melepaskan
genggaman tangannya. Lalu tangan itu dikibas-kibaskan karena terasa
sangat sakit mendapat pukulan 'Jari Guntur' dari Pendekar Mabuk itu. Ia
segera memandang Pendekar Mabuk dengan cemberut.

Suto hanya ucapkan kata, "Jangan coba-coba ganggu kami!"

Dayang Kesumat tidak ucapkan kata apa pun. Ia kembali palingkan pandang
ke arah pertarungan Doma, Damu, dan Tua Rakus.

"Heaaat...!" Wisoguno bersalto di udara sambil kibaskan senjata goloknya
yang lebar itu. Tapi Damu yang diserangnya bersalto mundur dua kali,
kemudian dengan lutut merendah satu ke tanah Damu sentakkan cerminnya
dan dari cermin itu keluar sinar hijau bertubi- tubi. Hantaman terlihat
jelas ke tubuh Wisoguno. Sinar hijau itu membungkus Wisoguno yang telah
mendaratkan kakinya di atas sebuah batu. Sinar hijau itu membuat si
Wisoguno tidak bisa bergerak maupun berteriak.

Kejap berikut, sinar hijau itu lenyap. Tapi Wisoguno telah menjadi putih
bagai diliputi salju. Salju itu makin lama makin mencair bersama
hilangnya bentuk wujud Wisoguno.

Di sisi lain, Tua Rakus berhasil menghantamkan pukulannya ke arah dada
Doma. Dada itu menjadi berasap dan Doma jatuh dengan tubuh
kejang-kejang. Sebelum menghembuskan napas terakhir, saudara kembarnya
segera melompati tubuh Doma.

Kejap lainnya, Doma kembali bangkit berdiri dalam keadaan segar seperti
semula, ia berdiri berdampingan dengan Damu, siap menghadapi Tua Rakus.
Saat itu, Damu berbisik,

"Serang dia bersama!"
"Baik...!"

Baru saja selesai bicara bisik mereka, tiba-tiba Tua Rakus membuka
penutup matanya dan sinar biru melesat ke arah perut mereka.
"Pergi kau ke neraka sana, hiaaaah...!"

Suttt...! 'Sinar Naga Birawa' menyerang berturut- turut. Tapi Doma Damu
cepat sentakkan kaki mereka dan melesat naik ke atas dengan cukup
tinggi. Kedua cermin itu segera mereka adu di udara. Trringngng... !
Gemanya berdenging memenuhi pulau itu.

Beradunya dua cermin kembar itu memancarkan sinar warna pelangi yang
indah dipandang mata. Sinar itu melesat tanpa putus-putus langsung
mengenai tubuh Tua Rakus yang sempat berlari mundur tiga tindak.
Zzzrrubbb...!

"Aaaahhg...!" Masih sempat terdengar suara pekik Tua Rakus. Selanjutnya
sepi.

Sinar pelangi itu hilang, yang ada hanya kepulan asap membungkus Tua
Rakus. Kepulan asap itu berwarna- warni. Memang sangat indah menakjubkan
dipandang mata, namun sangat berbahaya bagi orang yang menerimanya.

Angin laut membawa pergi asap tebal warna-warni itu. Dan segera terlihat
nasib Tua Rakus yang diam, berdiri sambil memegang penutup matanya yang
tadi akan dibuka lagi namun tak sempat itu. Tua Rakus berdiri dengan
tegak dan kekar, tapi membuat Dewa Racun dan Hantu Laut terperangah
bengong melihatnya. Sebab, kulit Tua Rakus menjadi hitam keabu-abuan.

Tua Rakus menjadi patung batu untuk selama- lamanya!

* * *9
"CERMIN Benggala Kembar, merupakan sepasang pusaka yang amat berbahaya
bagi orang-orang yang tidak tahu cara mengatasinya. Bahkan Dayang
Kesumat pun mengakui kehebatan pusaka itu, terbukti dengan kagetnya
wajah cantik jelita tersebut ketika melihat Doma Damu mengeluarkan
Cermin Benggala Kembar.

Cermin itu bukan hanya mengeluarkan sinar saja, namun juga memburu lawan
ke mana pun dia lari. Itulah bahaya cermin pusaka tersebut. Kalau cermin
itu sinarnya tak bisa memburu, pasti Tua Rakus terhindar dari maut yang
membuatnya berubah menjadi batu. Karena saat sinar pelangi yang melesat
dari hasil perpaduan dua cermin itu, Tua Rakus sudah melompat mundur
beberapa tindak, namun masih saja terburu oleh sinar pelangi maut itu.
  
Doma Damu merasa sudah menyelesaikan permusuhan besar selama ini antara
pihak kapal Siluman Tujuh Nyawa dengan kapal Bajak Naga. Mereka tampak
cukup bangga dengan hasil pertarungan itu. Tetapi, langkah mereka
tertahan karena sesosok tubuh segera menyerangnya dari belakang. Dengan
dua tendangan sekaligus, Dayang Kesumat berhasil membuat Doma Damu
terguling ke depan dengan menggeragap.

"Bangsat!" geram Doma yang berdiri lebih dulu. "Rupanya kau lagi yang
cari perkara!"

"Pelkalaku belum selesai dengan olangmu si Dadung Amuk!" kata Dayang
Kesumat dengan mata indahnya yang pancarkan permusuhan. Sekali lagi ia
ucapkan kata,

"Aku tahu, pelahu itu adalah pelahu layal hijau yang ditunggangi oleh
Dadung Amuk dali Pulau Hantu. Pasti Dadung Amuk kalian sembunyikan!
Selahkan dia, dan selesai sudah pelkala kita!"

"Dayang Kesumat," kata Doma setelah ia meredamkan kemarahannya akibat
serangan tadi.
"Ketahuilah, bahwa orang yang kau cari itu telah mati digantung oleh
sang ketua di atas kapal kami!"

"Omong kosong!"

"Tidak! Ini bukan omong kosong!" sahut Damu. "Beberapa saat setelah kami
berdua diutus untuk mencari Dadung Amuk dan Hantu Laut, kami terpaksa
kembali lagi ke kapal, karena perahu yang kami pakai dalam keadaan
bocor. Saat kami tiba kembali ke kapal, ternyata sang ketua baru saja
selesai menggantung Dadung Amuk. Dadung Amuk datang sendiri ke kapal
kami tanpa Hantu Laut. Lalu, kami pun segera pergi kembali dengan
menggunakan kapal milik Dadang Amuk, setelah kami melihat sendiri mayat
Dadung Amuk dibuang ke laut!"

Doma tambahkan kata, "Dan ketika kami mengejar kapal Bajak Naga tadi,
kami melihat mayat Dadung Amuk yang masih terikat tubuhnya dan
terapung-apung dibawa gelombang di perairan sebelah timur pulau ini.
Carilah sendiri dan kau akan temukan mayat itu!"

Dayang Kesumat diam sesaat, menghubungkan pengakuan dua kembar itu
dengan pengakuan Hantu Laut. Ia menemukan titik kebenaran, mengingat
Hantu Laut dan Suto tidak punya hubungan dengan Doma Damu. Jadi tidak
ada kesepakatan untuk sama-sama membual cerita seperti itu.

"Sampai petang akan kucali mayat itu. Jika tidak kutemukan, aku akan
kembali temukan kalian untuk menghanculkan mulut kalian!" ancam Dayang
Kesumat, lalu cepat sentakkan kaki pergi dengan mengendarai pelepah daun
kelapanya yang sejak tadi ada di pasir pantai.

Mendengar kata-kata Doma Damu, Hantu Laut menjadi ciut nyalinya.
Walaupun dia mempunyai senjata yoyo sakti, yang bisa menggores tubuh
lawan dengan gerigi beracunnya, tapi dia merasa tidak akan bisa
menghadapi Doma Damu. Melihat wajah Hantu Laut pucat, Pendekar Mabuk pun
segera berkata.

"Cepat kita tinggalkan pulau ini! Setelah...."

Belum selesai Pendekar Mabuk bicara Hantu Laut cepat-cepat tinggalkan
tempat persembunyian, ia berlari menuju perahunya.

Padahal Suto bermaksud mengatakan akan pergi dari pulau itu setelah Doma
Damu tinggalkan pulau itu lebih dulu. Tapi rasa takut yang meliputi diri
Hantu Laut begitu besar, maka ia ingin menghindar lebih dulu dari kedua
temannya itu.

Dikarenakan dia lari di tempat terbuka tanpa ada pohon membuat sepasang
mata Damu melihat Hantu Laut menuju perahu sebelah sana. Ia segera berkata,

"Doma, lihat...! Dia Hantu Laut yang kita buru!"
"O, benar! Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tak perlu jauh-jauh memburunya,
ternyata dia ada di sini!"
"Mungkin sedang mencari tempat untuk perlindungan diri sewaktu-waktu ia
terdesak oleh kita!"
"Cepat, kejar dia sebelum mencapai perahunya!"

Hantu Laut semakin ketakutan melihat Doma Damu mengejarnya. Dewa Racun
menggeram gemas sambil pukulkan tangannya ke paha.

"Bod...! Boood...! Bodoh! Bodoh amat anak itu!"
 
"Cepat kita bertindak, dia dalam bahaya!" kata Pendekar Mabuk sambil
lebih dulu melesat, lalu Dewa Racun menyusulnya.

Gerakan lari Doma Damu pun cukup cepat. Dalam waktu singkat keduanya
sudah sampai di belakang Hantu Laut. Damu berseru,

"Berhenti! Atau kusembur kau dengan 'Bromo Seribu Api'!"

Mendengar jurus 'Bromo Seribu Api' yang amat ganas itu disebutkan, Hantu
Laut pun cepat hentikan langkahnya, ia merasa tak akan mungkin bisa
berlari jauh jika 'Bromo Seribu Api' itu telah disemburkan. Karena sifat
jurus 'Bromo Seribu Api' itu berupa gumpalan hawa panas yang keluar dari
mulut Doma Damu dan bersifat mengejar lawan sampai dapat. Kabarnya,
gumpalan hawa panas itu bisa mendidihkan baja dalam waktu dua helaan napas.

Hantu Laut balikkan badan, memaksakan diri menghadapi Doma Damu. Ia
sembunyikan rasa takutnya itu dengan berkata,

"Untuk apa kau mengejarku, Doma Damu?!"
"Membunuhmu!"
"Membasuhku?"

"Membunuhmu, Tuli!" sentak Doma Damu bersamaan. Itu pun secara tak
sengaja. Hantu Laut sebenarnya kaget, tapi ia bisa tahan diri. Matanya
melihat ada Dewa Racun berdiri lima belas langkah di belakang Doma Damu.
Hantu Laut menjadi lega, rasa takutnya terhenti, sebab Dewa Racun sudah
mulai mengacungkan anak panahnya yang siap lepas ke arah Doma Damu.

Sementara itu, Suto berjalan pelan sambil menenggak tuaknya dari arah
kanan Doma Damu. Waktu itu Doma Damu belum melihat Suto dan Dewa Racun,
sehingga mereka tak tahu apa yang membuat Hantu Laut berdiri tegar di
depannya tanpa memegang Pusaka Tombak Maut.

"Siapa yang suruh kalian membunuh aku?"
"Sang Ketua!" jawab Damu. Lalu, Doma menambahkan.
"Tapi jika kau serahkan Pusaka Tombak Maut, sang ketua akan ampuni kamu!"

"Tidak ada tombak pusaka di tanganku! Kau lihat sendiri!" Hantu Laut
menggembangkan kedua tangannya.

"Kau pasti telah sembunyikan Pusaka Tombak Maut itu!" geram Damu dengan
tak sabar.
"Aku memang tidak mempunyai tombak pusaka itu!" sanggah Hantu Laut.
"Bohong!"

"Dia bicara dengan sebenarnya!" tiba-tiba Pendekar Mabuk menyahut. Doma
Damu cepat palingkan wajah ke kanan. Mereka memandang heran.

"Siapa kamu?!" tanya Doma kepada Pendekar Mabuk.

Hantu Laut yang menjawab dengan rasa bangga, "Dia Pendekar Mabuk yang
punya ilmu lebih tinggi dari kalian berdua!"

"Betul apa kata Hantu Laut itu?" tanya Damu kepada Suto.
Suto menjawab dengan santai, "Tidak. Ilmuku tidak lebih tinggi dari
kalian. Hanya tak seimbang dengan ilmu kalian!"

Panas hati Damu mendengar jawaban merendah yang sebenarnya tinggi itu.
Maka Damu pun segera ucapkan kata,

"Kuingatkan sebelumnya, kau jangan ikut campur urusanku dengan Hantu
Laut! Kami orang-orang Siluman Tujuh Nyawa!"
"O, mengerikan sekali julukannya!" kata Pendekar Mabuk. "Dulu aku punya
sapi juga kunamakan Siluman Tujuh Nyawa!"

Semakin mendidih darah Doma Damu mendengar ejekan halus dari mulut
Pendekar Mabuk itu. Doma segera berkata kepada saudaranya,

"Jangan hiraukan dia! Dia pasti sedang mabuk! Desak saja Hantu gundul
itu agar mau serahkan tombak pusaka itu!"

Lalu, Damu segera membentak Hantu Laut, "Kau pilih serahkan tombak itu,
atau mati di tangan kami?!"

"Makan jerami?!"
"Mati di tangan kami, Budek!" bentak Doma.
"O, tentu saja aku tidak pilih keduanya, karena aku memang tidak pegang
tombak itu! Mintalah pada Pendekar Mabuk!"

"Jangan alihkan persoalan antara kita! Sudah kudengar kau mau
bersekongkol dengan Dadung Amuk untuk mengadakan pemberontakan terhadap
sang ketua! Sang ketua hanya kasih kamu kesempatan untuk mencabut
hukuman mati dengan menyerahkan tombak pusaka itu!"

"Sudah kukatakan berulang kali, aku tidak punya!" bentak Hantu Laut
dengan berani.

"Berani-beraninya kau membentak kami, hah?! Kurang ajar! Hiaah...!"

Damu melancarkan pukulan tangan kanannya ke arah wajah Hantu Laut. Tapi
oleh Hantu Laut ditepiskan dan ia cepat mencabut senjata yoyonya.
Serrr...! Trak...! Gerigi tajam keluar dari tepian yoyo yang berputar
dan melayang ke wajah Damu. Tapi Damu cepat mencabut cermin, lalu
dihantamnya yoyo tersebut dengan cermin itu. Trangng...!

Wurrsss... !

Tiba-tiba Doma menyemburkan napasnya yang berupa gumpalan api menyerang
Hantu Laut. Dengan cepat pula Pendekar Mabuk yang baru saja menenggak
tuaknya segera disemburkan ke arah api itu. Bruss...!

Sssrrrappp...! Jrrasss...!

Api padam seketika. Asap mengepul, menyentak ke atas. Doma terperanjat
melihat Suto ikut campur. Ia menggeramkan kata,

"Apa boleh buat, kau pun terpaksa kumusnahkan! Hiaaat...!"

Cermin Benggala Kembar sudah ada di kedua orang kembar itu. Doma mau
sentakkan cermin itu kepada Hantu Laut. Tapi Dewa Racun mendului
melepaskan anak panahnya dari kejauhan. Zuitt...! Jebb! Anak panah itu
menancap di leher Doma. Padahal yang diincar Dewa Racun adalah lengan
Doma. Tapi karena gerakan Doma begitu cepat, sehingga yang terkena
justru lehernya. Padahal anak panah itu berbulu merah, pertanda beracun
ganas.

Doma pun akhirnya rubuh dengan keadaan mengejang kaku, matanya mendelik
dengan mulut ternganga. Cepat sekali wajahnya menjadi biru, walaupun
sebelumnya ia sudah sempat menarik anak panah yang menancap di lehernya.
Dalam kejap berikutnya, ia sudah tidak bernapas lagi. Tergeletak dalam
jarak lima langkah dari Hantu Laut. Tapi hanya tiga langkah dari
belakang Damu.

Melihat saudaranya mati membiru, Damu segera melompati mayat tersebut.
Kejap selanjutnya, mayat Doma mulai bergerak-gerak dan ia pun hidup
kembali, kemudian sama-sama melompat mundur untuk mengatur jarak dengan
lawannya.

"Tahan semua serangan!" seru Suto Sinting, baik ditujukan kepada kedua
temannya maupun kepada kedua lawannya. Ia bermaksud membicarakan masalah
itu secara baik-baik, tanpa melalui pertarungan.

Buat kedua teman Pendekar Mabuk hal itu bisa diterima, tapi bagi kedua
musuh kembarnya, hal itu tak bisa diterima. Damu segera sentakkan cermin
ke atas dan keluarkan sinar hijau ke arah Suto, sedangkan Doma juga
sentakkan cerminnya ke atas dan memantulkan sinar merah menyerang
Pendekar Mabuk. Pendekar Mabuk agak kebingungan menghindarinya. Badannya
limbung ke kanan dan ke kiri seperti orang mabuk. Tapi dalam kejap
berikutnya ia sudah terpental terbang ke atas dan bersalto dua kali ke
arah depan hingga melintasi kepala Hantu Laut. Dua sinar itu menghantam
batu, dan batu setinggi dua tombak itu hancur menjadi kepingan- kepingan
salju.

"Cepat sembunyi!" sentak Suto kepada Hantu Laut. Maka dengan lompatan
kuatnya, Hantu Laut mencapai celah dua batu besar. Pendekar Mabuk juga
berseru kepada Doma Damu,

"Jangan serang aku! Aku ingin bicara secara damai!"
Damu berseru, "Tidak ada ampun bagi penghalang kami! Hiaaah...'"

Clappp...! Sinar hijau kembali menyerang Pendekar Mabuk, tapi segera
Pendekar Mabuk melimbungkan badannya hingga nyaris jatuh, seperti orang
mabuk kehilangan keseimbangannya. Namun sebenarnya Suto menghadapkan
bumbung tuaknya ke arah datangnya sinar hijau. Dan sinar itu pun
mengenai bumbung tuak, lalu membalik ke arah datangnya tadi dengan lebih
cepat dan lebih besar lagi.

Ssszzruuppp... !

Sinar hijau membungkus tubuh Damu. Tubuh itu menjadi es yang beku, bagai
patung manusia yang dilumuri salju.

"Damu...?!" Doma berseru kaget melihat saudaranya menjadi patung es yang
sebentar lagi mencair. Maka, segera ia mendorong patung es itu dan
melangkahinya.

Wusss... !

Warna putih pudar. Kini Damu mulai tampak sebagai sosok manusia utuh.
Kemudian bangkit dengan satu sentakan kaki ringan dan berdiri kembali
menghadap Pendekar Mabuk.

"Ha ha ha ha... ! Kau tak akan bisa membunuhku. Pendekar Mabuk! Lebih
baik kau menyingkir dari urusan ini, atau serahkan diri untuk kami
penggal kepalamu!"

"Kalian salah anggapan. Aku perlu meluruskan anggapan kalian!" kata Suto.

"Serang bersama! Jangan kasih kesempatan hidup!" kata Doma kepada
saudara kembarnya. Lalu, mereka sama-sama melesat naik dengan satu
sentakan kaki lembutnya, dan kedua Cermin Benggala Kembar itu diadukan
di udara. Trringngng...!

Zzzuesss...! Sinar pelangi indah melesat menghantam Pendekar Mabuk.
Dengan cepat Pendekar Mabuk melompat ke udara dan bersalto hingga
mencapai puncak batu tinggi. Tapi sinar pelangi itu masih saja
mengejarnya dengan berkelok ke arah Suto Sinting. Cepat-cepat Pendekar
Mabuk melompat dari batu ke batu yang lainnya.

Tiba di tempat datar, Pendekar Mabuk cepat mengambil bumbung tuaknya dan
dihadangkan ke arah datangnya sinar pelangi itu.

Dubbb...! Blarrr...!

Sinar Pelangi menghantam tabung bumbung tuak. Sinar itu tidak memantul
balik seperti sinar lainnya jika terkena bumbung tuak. Sinar itu pecah
dan menimbulkan ledakan yang membuat Pendekar Mabuk terpental tujuh
langkah jauhnya. Bumbung tuaknya terlepas dari tangan.

Dewa Racun tegang dan terkejut melihat bumbung lepas dari tangan Suto.
Ia cepat mengambil anak panahnya lagi untuk melancarkan serangan dari
jauh. Tetapi, niatnya itu terhenti, sebab ia melihat Doma Damu berlari
bersamaan memburu Pendekar Mabuk dan siap menyentakkan Cermin Benggala
Kembar itu. Hanya saja, gerakannya terlambat.

Suto sudah lebih dulu sentakkan tangan kanannya yang bertato pedang
kecil dan bintang itu. Tangan kanan itu terbuka telapaknya, miring
posisinya dengan jari merapat. Menyentak ke depan dengan satu tekanan
napas tertentu. Maka dari telapak tangan itu melesatlah sinar emas yang
membentuk pedang kecil berkecepatan tinggi. Sinar emas itu melesat
berturut-turut dan memecah menjadi dua jurusan. Satu ke arah dada Doma,
satu lagi menjurus ke arah Damu.

Jrabb jrab jrab jrab...!

Masing-masing lawannya tertusuk pedang kecil berwarna emas. Itulah jurus
'Manggala' pemberian Ratu Kartika Wangi, sebagai tanda kehormatan
Pendekar Mabuk yang diangkat menjadi Manggala Yudha Kinasih di Puri
Gerbang Surgawi, yaitu istana di alam gaib. (Baca serial Pendekar Mabuk
dalam episode: "Manusia Seribu Wajah").

Jurus 'Manggala' itu mengenai Doma dan Damu. Kedua orang itu tidak
segera rubuh. Pedang kecil-kecil berwarna emas yang masuk ke dalam tubuh
mereka tidak membuat luka dan darah mengucur. Mereka hanya diam
memandang Suto dengan tidak berkedip dan tidak bergerak sedikit pun.

Tapi ketika angin pantai berhembus sedikit lebih kuat, tubuh mereka
berhamburan dan akhirnya buyar. Ternyata pada waktu mereka diam tak
bergerak memandang Suto, mereka telah menjadi debu yang sangat halus.
Sehingga ketika angin pantai menyapunya, debu itu pun beterbangan dan
lari dari susunannya.

Hantu Laut tak habis rasa herannya melihat jurus yang digunakan Pendekar
Mabuk. Baru sekarang ia melihat seseorang terkena pukulan maut menjadi
habis tanpa sisa apa pun kecuali debu yang sudah bertebaran ke mana-mana
itu. Bahkan pusaka Cermin Benggala Kembar yang sebagai cermin pemburu
nyawa itu, ikut lenyap menjadi debu.

Pendekar Mabuk ucapkan kata ketika Dewa Racun dan Hantu Laut mendekatinya,

"Aku sudah mengajak dia untuk damai, tapi keduanya tidak mau damai, apa
boleh buat dia kukirim ke alam kedamaian abadi di sana!"

Hantu Laut hanya bisa pandangi Suto tak berkedip dengan sejuta rasa
kagum dan terheran-heran tiada habisnya. Hanya dalam hatinya Hantu Laut
membatin,

"Pendekar Mabuk ini benar-benar sinting ilmunya...! Edan-edanan! Sulit
aku mempercayai kenyataan ini!" sambil ia melangkah mengikuti Pendekar
Mabuk dan Dewa Racun menuju perahunya.

*SELESAI*
Pendekar Mabuk selanjutnya dalam episode: PRAHARA PULAU MAYAT