Pendekar Mabuk 18 - Manusia Penyebar Kutuk(1)




 ANGIN berhembus dari utara ke selatan. Udara kering terasa membakar kulit manusia, seakan sang matahari ingin mengelupas setiap kulit penghuni bumi. Tanah retak menjadi pertanda bahwa bumi pun sebenarnya mengeluh menerima teriknya sang mentari yang merajai langit raya.


Udara panas itu terasa semakin panas ketika angin berhembus dan taburkan pukulan jarak jauh bertenaga inti api. Pukulan jarak jauh dilepaskan dari telapak tangan orang yang berdiri di atas sebuah pohon tak terlalu rindang. Pukulan itulah yang membuat seorang perempuan berjingkat loncat sebelum hawa panas terasa ingin menerkam tubuhnya. Wuttt...! Blabb...!

Rumput tempat berdirinya orang itu terbakar. Jelas ini perbuatan orang yang kurang perhitungan. Perempuan itu cepat melarikan diri ke balik pohon. Matanya memandang ke arah jalan yang habis dilewatinya. Mata itu mencari sesosok manusia di sana. Tapi tak ditemukannya. Jalan sepi, alam juga sunyi. Tapi perempuan itu yakin, di balik kesepian dan kesunyian itu pasti ada sepasang mata yang menunggu kesempatan melepas maut untuknya. Karena itu perempuan tersebut tak mau segera keluar dari pohon, ia justru menggunakan ilmu 'Getar Bayu', yaitu mengirimkan suara aneh yang bisa menyakitkan gendang telinga bagi manusia yang berada dalam jarak dua puluh tombak dari tempatnya.

Perempuan itu pun mencakarkan kukunya pada batang pohon yang digunakan untuk bersembunyi. Batang pohon itu dicakar pelan-pelan sekali gerakannya, hingga timbulkan suara berderit kecil, namun dapat diterima jelas di pendengaran orang lain. Derit kecil itu menyerupai suara pintu yang engselnya berkarat.

Kriiit... kkkriiit... kkkkrrriiiieett...!

Burung-burung beterbangan sambil mencicit ketakutan. Ular-ular mendesis sambil cepat tinggalkan tempat sekitar situ. Dan seorang lelaki yang berada di salah satu pohon, pada bagian dahan yang atas, segera menutup telinganya dengan kedua tangan. Wajahnya menyeringai menahan rasa sakit pada gendang telinganya. Seolah-olah gendang telinganya bagai ditusuk-tusuk dengan jarum yang terpanggang api. Semakin panjang deritannya semakin kuat rasa sakit yang dirasakannya.

Kriiiieeeet... !

Laki-laki di atas pohon itu hampir saja menjerit untuk mengimbangi rasa sakit itu. Namun karena kedua tangannya dipakai untuk menutup telinga rapat-rapat, akhirnya tubuh pun oleng saat berdiri di atas dahan sebesar pahanya sendiri itu. Tubuh itu kehilangan keseimbangan dan jatuhlah lelaki itu dalam keadaan terjungkal. Brasss...! Bukk!

Beruntung sekali ia bisa berjungkir balik satu kali pada saat jatuh dan melayang dari atas, sehingga posisi jatuhnya tepat di tanah tak berbatu, serta kedua kakinya yang menyentuh tanah lebih dulu dalam posisi jongkok.

Mendengar suara bergedebuk, perempuan yang mengenakan pakaian hitam berhias benang emas, rambut disanggul, cantik, judes,dan berkesan kejam itu segera palingkan wajahnya ke arah tersebut, ia hentikan mencakar pohon, kini ia hampiri orang yang jatuh itu dengan satu lompatan bertenaga peringan tubuh cukup tinggi. Wussst! Dalam sekejap, perempuan yang mengenakan kalung berlian, gelang ketat, dan berhias mahkota kecil itu sudah berada di depan orang yang jatuh dari atas pohon.

"Siapa kau?!" hardik Ratu Teluh Bumi.

"Namaku Prahasto!" jawab pemuda berambut pendek dan rapi. Ia bersenjatakan keris yang terselip di depan perutnya. Melihat dandanan yang rapi, wajah yang rupawan, dan senjata keris di depan itu, Ratu Teluh Bumi dapat memperkirakan bahwa Prahasto bukan masyarakat desa biasa, bukan tokoh dunia persilatan,melainkan anak muda yang berdarah bangsawan.

Jika Prahasto tokoh di rimba persilatan, setidaknya ia muncul manakala para tokoh memperebutkan pedang pusaka di Kuil Swanalingga, yang membuat Ratu Teluh Bumi terpaksa menyepi untuk beberapa waktu, karena menderita luka-luka dari serangan Pendekar Mabuk. (Baca serial Pendekar Mabuk daiam episode: "Pedang Guntur Biru").

Dari sekian banyak tokoh yang memperebutkan Pedang Guntur Biru itu, hanya Ratu Teluh Bumi yang mampu selamatkan diri walau harus menerima kekalahan. Dan sekarang ia tampil kembali untuk bikin perhitungan dengan seseorang, namun baru saja ia turun dari lereng tempat peristirahatannya, tahu- tahu ia sudah mendapat serangan dari anak muda yang bernama Prahasto itu.

"Aku tidak kenal siapa kau. Aku baru tahu namamu Prahasto. Bukankah kita tidak punya persoalan apa- apa?"
"Memang! Tapi aku diperintahkan oleh seseorang untuk membunuhmu. Dan aku dapatkan upah cukup besar untuk pekerjaan ini!"

Perempuan yang berusia sekitar lima puluh tahun, tapi masih awet cantik, berkulit kencang, berdada montok, dan berpinggul menggiurkan itu hanya sunggingkan senyum sinis kepada Prahasto. Kejap berikut terdengar ia berkata,

"Jadi, kau seorang pembunuh bayaran?"
"Anggap saja begitu!"
"Kau yakin bisa membunuhku?"
"Aku yakin ilmuku lebih tinggi dari ilmumu!"

Prahasto tampak sengaja menjatuhkan keberanian Ratu Teluh Bumi. Tapi perempuan itu hanya sunggingkan senyum sinisnya yang berkesan keji, lalu berkata pelan,

"Apakah kau juga mampu mengalahkanku dalam bercinta?"

Mata Prahasto sejak tadi dipandangnya, kali ini berkedip bingung tanpa mengeluarkan jawaban. Mata itu masih terus dipandang oleh Ratu Teluh Bumi dengan sorot pandangan mulai sayu menantang gairah. Prahasto menjadi semakin kelimpungan. Hatinya berdebar-debar, darahnya mendidih dan mengalir deras. Bukan amarah yang mencekam jiwanya, tapi tuntutan gairah yang memaksa jantungnya berdetak-detak. Prahasto sendiri merasa heran, mengapa tiba-tiba ia mempunyai tuntutan gairah dalam keadaan harus membunuh lawannya.

"Apakah kau bisa mengalahkan cumbuanku?"

Prahasto gemetar kedua kakinya. Anak muda itu mulai sulit bernapas karena diburu tuntutan batin yang ingin menggapai kemesraan hangat. Matanya tak bisa dibuang ke arah lain, karena dengan menatap mata lawannya, Prahasto merasa diraba sekujur tubuhnya.

"Lepaskan pakaianmu jika kau mampu mengalahkanku," kata Ratu Teluh Bumi yang membuat Prahasto makin terengah-engah. Tanpa sadar tangannya telah melepasi pakaiannya sendiri. Prahasto benar-benar tak sadar bahwa ia telah masuk dalam pengaruh kekuatan teluh perempuan itu yang dipancarkan melalui matanya. Jiwanya terbuai. Jiwa yang terbuai itu menjadi mudah dimasuki kekuatan batin.

Tiba-tiba tubuh Prahasto tersentak ke depan, dari dalam tenggorokan seperti ada yang menyentak. Tak bisa ditahan lagi, dan ia pun muntah di depan Ratu Teluh Bumi.

"Hoekkk...! Huek!" ia membungkuk-bungkuk, dan matanya sendiri melihat apa yang dimuntahkan saat itu. Cairan putih kental, mirip darah, tapi bukan darah. Tak terlalu banyak, namun cukup bikin sekujur badan lemas, bagai orang habis mencapai puncak cumbuan. Ada rasa nikmat pada diri Prahasto saat memuntahkan cairan tersebut. Ada rasa kelegaan dari suatu tuntutan batinnya tadi. Bahkan sekarang ia muntah lagi dengan bahan muntahan yang sama, dalam jumlah yang cukup banyak, delapan kali lipat dari yang pertama. Dan apa yang dimuntahkan itu sepertinya suatu kekuatan seorang lelaki yang makin banyak dibuang makin berkurang tenaganya.

Ratu Teluh Bumi sunggingkan senyum kemenangan, ia geli sendiri melihat anak muda itu terkulai jatuh tak lagi mampu berdiri. Napasnya terengah-engah seperti orang habis berlari mengelilingi tanah Jawa. Wajahnya pucat pasi. Kedua kakinya gemetaran. Rasa nikmat memang ada di dalam hati Prahasto, tapi rasa letih menghujam di sekujur tubuh, membuat persendiannya menjadi ngilu.

"Siapa yang menyuruhmu membunuhku, Prahasto...!"

"Aku... aku lupa..." jawab Prahasto sambil ngos- ngosan. Sepertinya menggerakkan bibir saja tak bisa, apalagi menggerakkan tangan untuk melepaskan pukulan.

"Hooekk...!"

Prahasto kembali muntah. Lebih banyak lagi jumlah cairan yang dimuntahkan. Napasnya bagai tinggal sekuku hitam. Tubuhnya makin lemas bagai tanpa urat dan tulang lagi. Rasa nikmat tetap hadir, seperti halnya jika ia melakukan percumbuan dengan mesra. Ia tak tahu, bahwa dengan cara begitulah Ratu Teluh Bumi melumpuhkan dirinya dan menyerang habis kekuatannya.

"Siapa yang menyuruhmu membunuhku, Prahasto ........ !"

Pernyataan ulang itu membuat Prahasto mulai sadar, bahwa ia sedang dipaksa mengatakan hal yang sebenarnya. Jika ia tidak mau katakan yang sebenarnya, maka ia akan dipaksa memuntahkan sesuatu yang membuatnya semakin tak berdaya lagi itu.

Prahasto berpikir sejenak, setelah itu baru menjawab dengan suara yang sangat pelan, hampir tak mudah ditangkap oleh pendengaran,

"Dayang... Kesumat...!"

Ratu Teluh Bumi terkesiap. "Dayang Kesumat?! Benarkah Dayang Kesumat yang menyuruhmu membunuhku?!"

"Be... benar...!"

"Apa alasannya ingin membunuhku? Dayang Kesumat tak pernah berselisih denganku, dan aku sendiri tak pernah berbuat salah kepada Dayang Kesumat!"

"Entah... yang jelas aku harus temui dia pada malam purnama nanti...!"
"Di mana kau mau temui dia? Biar aku sendiri yang hadapi dia! Katakan di mana, atau kau muntah kenikmatan lagi?"
"Di... di.... Di Bukit Gelagah!"

"Bukit Gelagah?! Pada malam purnama...?! Hmm..! Kurasa tak perlu aku membunuhmu, Cah Bagus! Yang perlu kubunuh adalah Dayang Kesumat sebagai manusia lancang yang mau bikin persoalan denganku! Dia tak tahu, Ratu Teluh Bumi yang sekarang bukan lagi Ratu Teluh Bumi yang dulu!"

"Tapi... tapi...."

Wesss...! Ratu Teluh Bumi melesat pergi dengan sangat cepat, ia tak pedulikan lagi keadaan Prahasto yang terkulai lemas, gemetar seluruh tubuhnya bagai ingin menemukan ajalnya.

Akibatnya Prahasto hanya bisa telentang di tempat itu tanpa bergerak-gerak, ia tak mampu lagi mengangkat kepalanya. Sumsum dan darahnya bagaikan terkuras habis. Seolah-olah tak tersisa sedikit pun di dalam tubuhnya. Matanya pun tak bisa dipakai memandang dengan jelas. Buram dan berkunang-kunang.

Sampai matahari bergerak memburu sore, Prahasto masih tetap tak bisa melakukan apa-apa. Dan seseorang yang menunggu serta memperhatikan dari kejauhan sejak pertarungannya dengan Ratu Teluh Bumi, akhirnya tampakkan diri kepada Prahasto. Mestinya orang itu tak boleh menampakkan diri, tapi karena cemas akan keselamatan jiwa Prahasto, maka ia pun segera menghampiri tubuh yang terkapar tanpa daya itu.

Prahasto samar-samar melihat bayangan orang mendekat, ia merasa sedikit lega. Tapi ketika ia mempertegas pandangan matanya untuk melihat orang itu dengan lebih jelas lagi, ia menjadi kaget setengah mati. Hanya saja ia tak bisa tersentak seperti layaknya orang kaget. Hanya hatinya yang memekik begitu melihat orang yang menghampirinya. Orang itu berusia sekitar tiga puluh tahun.

Orang itu cukup dikenal oleh Prahasto. Dia adalah Rakawuni, seorang anggota prajurit sandi dari kerajaan.

Orang itu tingkatannya lebih tinggi dari Prahasto. Dalam jajaran keprajuritan di Istana Jenggala, Prahasto masih tamtama sedangkan Rakawuni sudah termasuk perwira unggul, dan masuk dalam jajaran prajurit sandi praja, artinya prajurit khusus untuk menangani masalah- masalah berbahaya dalam keistanaan. Tidak setiap prajurit bisa menjadi prajurit sandi praja. Mereka adalah orang-orang pilihan yang punya ilmu tinggi, punya kepandaian menyamar, punya kepandaian mencuri, dan punya kepandaian menggunakan semua jenis senjata.

"Rakawuni...," ucap Prahasto, pelan sekali sehingga Rakawuni sempatkan diri untuk merendahkan badan.
"Aku dengar ucapanmu, Prahasto!"
"Aku... tak sadar telah diserangnya."

"Ya. Aku tak bisa membantumu tadi, karena aku tak boleh kelihatan. Ratu Teluh Bumi kenal betul denganku!"
"Dia... sungguh tinggi ilmunya. Bukan tandinganku!"
"Kau harus gunakan otakmu, bukan kekuatanmu, Prahasto."
"Ya. Aku... aku sudah gunakan otakku. Karenanya aku katakan hal yang tidak sebenarnya."
"Bagus. Apa yang kau katakan kepadanya?"

"Aku disuruh membunuh dia. Orang yang menyuruhku adalah Dayang Kesumat! Akan kuadu dia dengan Dayang Kesumat, karena Dayang Kesumat lebih tinggi ilmunya dari Ratu Teluh Bumi."

"Mengapa kau mengadunya dengan Dayang Kesumat?"
"Karena Dayang Kesumat pernah menolak cintaku!"

***
Lelaki bertubuh agak gemuk dan berwajah bundar itu mempercepat larinya. Gerakan kaki nyaris tak bisa dilihat lagi mana yang kanan dan mana yang kiri. Lelaki sedikit pendek berpakaian abu-abu dengan potongan rambut pendek bundar seperti topi tapi cukup tebal itu dikenal dengan nama Wilduto.

Melarikan diri merupakan pekerjaannya setiap hari. Dia adalah satu-satunya anggota Pencuri Terhormat dari Gua Maksiat yang punya kecepatan lari paling jago. Tapi agaknya kali ini Wilduto yang berwajah bulat dengan mata bundar jelek itu mengalami keanehan dalam larinya.

Kaki sudah diayun dengan cepat dan sangat cepat. Arah yang dituju adalah gugusan tanah tinggi yang mempunyai tiga pohon kelapa berjajar itu. Di sana, ia bisa menghilang dari kejaran lawan, karena di sana ada lorong kecil, mirip lorong ular yang bisa dipakai untuk masuk tubuhnya. Lorong itu yang akan membawanya ke Gua Maksiat, tempat teman-temannya yang pekerjaannya sebagai pencuri membagi hasil, berjudi, atau membawa perempuan impiannya.

Tetapi secepat baling-baling kaki itu bergerak, gugusan tanah tinggi bertanda tiga batang pohon kelapa berjajar itu terasa masih jauh. Wilduto mempercepat lagi larinya, kerahkan semua tenaga, bahkan keringatnya sampai bercucuran. Tapi anehnya pohon kelapa berjajar tiga itu belum juga dicapainya.

Wilduto menoleh ke belakang, ia terkejut. Memandang ke samping. Juga terkejut. Memandang ke bawah, semakin terkejut. Karena tanah yang dipijaknya berongga, melesak ke dalam, rumput yang dipijak menjadi rusak. Pohon di sampingnya tidak bergerak. Padahal dia sudah lari sekuat tenaga sejak tadi maka Wilduto segera sadar bahwa ada kekuatan gaib yang menahannya dari belakang.

Dan ketika ia memandang ke arah belakang lagi, tiba- tiba matanya menangkap seraut wajah cantik yang amat mengejutkan hati. Tersentak Wilduto seketika itu dan mundur tiga tindak dari tempatnya.

"Celaka...!" gumamnya sangat lirih sekali.

Perempuan cantik yang masih tampak muda itu bertubuh ramping. Pakaian penutup dadanya berwarna hijau dengan hiasan benang emas. Celananya yang ketat itu juga berwarna hijau, ia mengenakan baju jubah tak dikancingkan, berwarna biru muda samar-samar, sehingga masih tetap membayang wujud bentuk tubuhnya yang menggiurkan itu. Rambutnya diurai, pakai mahkota emas kecil, ia juga mengenakan kalung lempengan emas bermata intan susun dua. Ia mengenakan gelang kroncong, kiri lima, dan kanan lima. Gemerincing suara gelang terdengar jika tangannya digerakkan.

Di pundaknya tersumbul gagang pedang berbenang koncer merah. Pedang yang disematkan di punggungnya itu adalah pedang bersarung merah tembaga berukir.

Wilduto merasa takut berhadapan dengan perempuan cantik berhidung mancung dan berbibir bagus itu. Bukan karena Wilduto tidak pernah bertemu dengan perempuan secantik itu, tapi memang Wilduto berusaha untuk jangan sampai bertemu dengan perempuan tersebut. Sebab ia tahu, perempuan itu adalah Dayang Kesumat, penguasa dari Pulau Hantu yang terkenal cukup sakti. (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa").

"Mau lali ke mana kau, Tikus Busuk!" seru Dayang Kesumat dengan suara cadelnya yang tidak bisa sebutkan huruf 'R', ia berdiri dalam jarak tujuh langkah dari tempat Wilduto.

"Mengapa kau masih mengejarku terus, Dayang Kesumat?! Bukankah sudah kukatakan bahwa aku tidak punya salah apa-apa padamu?!"

"Kalau tak punya salah, kau tak akan lali, Wilduto!"

Dayang Kesumat maju tiga tindak. Wilduto mundur dua langkah, ia berusaha menghindari pandangan mata Dayang Kesumat yang tajam itu.

"Kembalikan gelangku, atau kau kubunuh sekalang juga, Wilduto!"
"Sungguh aku tidak mengerti apa maksudmu, Dayang Kesumat!"

Dayang Kesumat segera menggenggam jari kelingkingnya. Wilduto segera tersentak dengan leher memanjang, ia mendelik dan tak bisa bernapas. Lehernya bagaikan ada yang mencekik dengan keras. Wajah Wilduto menjadi merah dan badannya bergerak- gerak, seakan kedua tangannya ingin menarik sesuatu yang mencekik leher, tapi tak ada tangan yang harus disingkirkan atau ditarik.

Ketika kelingking yang digenggam Dayang Kesumat dilepaskan, maka Wilduto kembali bisa bernapas walau diawali dengan terbatuk-batuk. Napasnya terengah- engah dan lehernya terasa panas.

"Kau benal-benal maling bodoh, Wilduto! Kalau kau mau menculi, jangan menculi balang-balangku! Itu sama saja kau jual nyawamu dan kau tukal dengan balang- balangku!"

"Ak... aku tidak mencuri! Uhuk uhuk uhukk...! Aku tidak ambil apa-apa darimu, Dayang Kesumat!"
"Lantas untuk apa kau menyusup masuk ke pesangglahanku?"
"Aku tersesat!"
"Jika kau telsesat, mengapa kau lali begitu melihatku?"
"Aku... hmm... aku takut kalau...! Heggh...!"

Wilduto mengejang. Matanya mendelik dengan badan setengah bungkuk ke depan. Kedua tangannya mendekap 'jimat lelaki' yang dirasakan telah diremas oleh sebuah tangan. Pada saat itu, Dayang Kesumat menggenggam jari telunjuknya sendiri. Yang digenggam jari telunjuknya, tapi yang merasakan sakit adalah bagian bawah Wilduto.

Itulah jurus yang sering ditakuti lawan. Jurus 'Jemari Mayat' merupakan jurus yang langka dimiliki orang. Jurus itu bisa membunuh orang dengan mudah, dengan hanya menggenggam salah satu bagian jari. Jika bagian jari kelingking yang digenggam, maka lawan akan merasakan tercekik. Jika bagian telunjuk yang diremas, maka lawan akan merasa diremas kuat bagian 'jimat'-nya itu. Begitu pula dengan jari-jari yang lainnya, punya sasaran tersendiri untuk setiap jarinya.

"Lekas selahkan Gelang Mata Setan-ku!" sentak Dayang Kesumat.
"Gelang itu... gelang itu... jatuh ke laut, waktu kau menyerangku di perahu!"
"Apaaa...?!" seru Dayang Kesumat sambil melangkah maju siap melepaskan murkanya.
"Coba sebutkan sekali lagi!" sentaknya.

Makin takut Wilduto hadapi wajah garang perempuan cantik itu. Tapi ia tetap sebutkan dengan suara bergetar,

"Gelang itu... jatuh ketika kau menyerangku di kapal. Jatuh ke laut dan...."
"Jahanam kau!"

Behggg...! Dayang Kesumat lepaskan tendangan kuat ke arah dada Wilduto. Seketika itu Wilduto terlempar jauh, bagaikan daun kering terlempar begitu saja. Wilduto tak sempat mengaduh atau memekik, karena napasnya bagai terhenti sekian kejap.

Dayang Kesumat masih belum puas, maka dengan satu sentakan tangan kirinya, melesatlah sinar merah berbentuk bintang. Zlapp...! Sinar merah itu seharusnya menghantam pinggang Wilduto, dan Wilduto akan pecah berkeping-keping.

Tetapi sebelum sinar merah itu menghantam sasaran, terlebih dulu sekelebat sinar hijau melesat dan tepat membentur sinar merah.

Blarrr...!

Meledaklah benturan dua sinar itu. Gelombang ledakannya membuat Wilduto terlonjak terbang ke atas dan jatuh bagaikan nangka busuk.

Blukkk...! Sedangkan Dayang Kesumat tidak bergeming sedikit pun diterpa gelombang ledakan yang membawa angin besar menyebar itu.

Dayang Kesumat tak menghiraukan lagi keadaan Wilduto yang kini bisa mengerang kesakitan. Mata Dayang Kesumat memandang nanar ke sekelilingnya, ia mencari si pemilik sinar hijau tadi. Kemarahan semakin tampak nyata di permukaan wajah cantiknya yang bermata jeli indah itu.
Tiba-tiba ia rasakan ada hembusan hawa panas yang akan menyerangnya dari belakang. Dengan cepat Dayang Kesumat berbalik arah dan lepaskan pukulan tenaga dalam tanpa sinar itu. Wussst...!

Blamm...!

Terjadi letupan kecil yang memercikkan sinar putih keperakan. Itu pertanda pukulan hawa panas yang akan menyerangnya berhasil dipatahkan di pertengahan jalan. Kemudian, dengan geramnya Dayang Kesumat menghantam bagian atas sebuah pohon yang berdaun rindang.

Zlappp...! Sinar merah melesat dan menuju ke pohon berdaun rindang itu. Dengan cepat, melompatlah sesosok bayangan berwarna kuning. Wuttt..! Dan dalam kejap berikutnya, sosok yang melompat itu telah berada di bawah pohon, lalu kembali melesat ke samping.

Pada saat itu, sinar merah menghantam dahan pohon dengan timbulkan suara ledakan yang cukup kencang. Duerrr...! Prasss...!

Semua daun di pohon itu menyebar entah ke mana, menjadi serpihan-serpihan kecil. Batang dan dahannya pun pecah menyebar ke mana-mana. Orang yang baru turun dari pohon itu terpaksa lompat kembali untuk menghindari hujan serpihan kayu dari atasnya.

Wuttt... ! Wilduto menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Dayang Kesumat melihatnya, lalu segera berlari mengejar. Tapi tiba-tiba ia tersentak dan hampir saja tersungkur kalau tidak segera berjungkir balik dengan lincah ke arah depan. Sebuah pukulan jarak jauh dilepaskan dari lawan barunya dan mengenai punggungnya.

"Bangsat!" geram Dayang Kesumat dengan mata mulai memandang garang kepada lawan barunya yang tak lain adalah Prahasto. Segera Dayang Kesumat mengirimkan pukulan jarak jauh lagi, wusss...! Prahasto menghindarinya dengan melompat tinggi dan bersalto satu kali di udara. Kemudian kakinya berhasil mendarat dengan tegap dan sigap. Matanya memandang penuh waspada dalam keadaan badan setengah miring ke kanan.

"Plahasto! Mengapa kau menyelangku? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja?!"
"Ada sesuatu hal yang membuatku terpaksa bersikap begini padamu, Dayang Kesumat!"

Hati Dayang Kesumat menjadi benci melihat sikap Prahasto yang menyerang dengan sungguh-sungguh tadi. Karena itu, Dayang Kesumat pun merencanakan untuk tidak segan-segan membunuh Prahasto, walau sebenarnya ia sangat sayang, karena sewaktu-waktu ia bisa menggunakan tenaga Prahasto untuk keperluan batiniahnya.

Selagi Dayang Kesumat merenungkan diri, tiba-tiba Prahasto melepaskan pukulan tenaga dalamnya melalui genggaman tangannya yang menghantam ke depan. Kepalan tangan itu keluarkan cahaya kuning yang nyaris tak terlihat jika dalam keadaan siang hari.

Wussst... !

Cepat-cepat telapak tangan Dayang Kesumat dihadangkan ke dada. Dan sinar kuning itu menghantam telapak tangan tersebut.

Debb...! Wuttt...!

Dayang Kesumat terlempar ke belakang, ia tak sangka kekuatan pukulan bercahaya kuning itu sangat besar. Tubuhnya sempat terbanting ke belakang dan membentur sebatang pohon. Bruss... !

"Dia benal-benal ingin membunuhku!" pikir Dayang Kesumat. "Apa penyebab sebenarnya?"

Dayang Kesumat segera bangkit, telapak tangannya terasa ngilu, tapi tidak ia perhatikan. Dengan cepat tangan kanan itu meremas jari kelingkingnya. Sett...!

"Keehkkr...!"

Prahasto mendelik seketika dengan tubuh kejang, ia memegangi lehernya sendiri, mencari tangan yang mencekik keras-keras itu. Tapi ia tak mendapatkan tangan orang lain kecuali tangannya sendiri. Prahasto kelabakan, sukar bernapas hingga mulutnya ternganga, menjulurkan lidah dan kepalanya tersentak-sentak.

"Mengapa kau mau membunuh aku, hah?! Sebutkan, mengapa kau mau membunuh aku?! Apa alasanmu, hah?!"

Dayang Kesumat melepaskan jurus 'Jemari Mayat'- nya. Prahasto terbatuk-batuk dalam keadaan seperti Wilduto tadi. Dayang Kesumat berkata,

"Kalau kau tak mau jawab, aku akan lakukan lagi!"

Prahasto berusaha menjawab dengan napas masih terengah-engah,

"Karena... karena... aku disuruh oleh seseorang! Ada yang mengupahku untuk membunuhmu!"
"Siapa...?"
"Aku... aku tak tahu!"

"Siapa?!" bentak Dayang Kesumat sambil ia meremas jari tengah. Sekarang yang dirasakan Prahasto adalah perut. Perut itu terasa diremas isinya dan dipulir kuat- kuat. Prahasto kembali tidak bisa bernapas. Megap- megap dan mendelik sambil tubuhnya gemetaran. Bahkan tubuh itu terangkat sedikit, kakinya menggantung, tidak menyentuh tanah. Kejap berikut, ia dilepaskan dalam satu sentakan yang membuatnya jatuh.

"Jawab kataku, siapa yang suluh kamu bunuh aku?! Kalau tidak, kucekik kau dali sini sampai mati!"
"Ak... aku mau kasih tahu orangnya, tapi... tapi kau harus berjanji untuk tidak bunuh aku!"
"Baik. Kau bisa kuampuni jika kau kasih jawaban yang benal!"

Prahasto benar-benar merasakan sakit. Bukan berpura-pura. Padahal kalau dia maju untuk serang Dayang Kesumat, bisa saja ia lakukan. Tapi jelas dia akan dibunuhnya. Kalau toh dia lari, dia juga akan dikejar dan dibunuhnya. Maka, segeralah Prahasto memainkan rencananya,

"Aku disuruh oleh seorang perempuan yang bernama Ratu Teluh Bumi! Dia yang menghendaki kematianmu!"

"Latu Teluh Bumi...?!"'geram Dayang Kesumat dengan bahasa cadelnya. "Diam-diam olang itu jahanam juga! Dia pelalian dali Jenggala! Dia satu-satunya olang Jenggala pada masa pemelintahan laja sebelumnya yang masih hidup! Dulu dia lali dali Jenggala, dan kutampung di Pulau Hantu. Tapi sekalang dia belbalik mau membunuhku! Pasti dia mau kuasai Pulau Hantu untuk menyusun kekuatan balu, buat menyelang Jenggala!"

"Soal itu, aku benar-benar tidak tahu! Dia tidak pernah sebutkan alasannya memberi perintah begitu padaku. Dia hanya menyebutkan sejumlah uang yang cukup menggiurkan bagiku! Sebagai pengelana, aku selalu butuh uang dan segala pekerjaan pun kuhalalkan! Yang penting aku bisa mendapatkan uang untuk menyambung hidupku!"

"Sehalusnya kau kubunuh, Plahasto... kalena kuanggap kau telah menodai pelsahabatan kita!"
"Tapi kau janji tidak akan membunuhku tadi!"

"Ya, aku memang janji! Tapi janjiku kucabut, kecuali kau mau kasih tahu padaku, di mana aku bisa temui Latu Teluh Bumi itu?!"

"Aku tidak bisa sebutkan sekarang. Entah dia ada di mana. Tapi aku bisa bertemu dengannya pada malam purnama nanti. Aku harus temui dia di Bukit Gelagah untuk melaporkan hasil kerjaku ini!"

"Bukit Gelagah?!" gumam Dayang Kesumat. "Dua hali lagi adalah malam pulnama. Belalti aku halus bikin pelhitungan dengannya dua hali lagi di Bukit Gelagah."

"Tapi aku tak berani ikut mendampingimu! Aku takut dia mengetahui bahwa aku memihakmu!"
"Aku akan datang sendili! Tapi kalau di sana tak ada dia, kau kucali untuk kubunuh!"

Dayang Kesumat bicara dengan mata memancarkan dendam untuk membunuh. Agaknya dia benar-benar merasa benci pada Prahasto jika pada malam purnama nanti tak ada Ratu Teluh Bumi di Bukit Gelagah. Prahasto pun cemas, takut kalau-kalau Ratu Teluh Bumi tidak hadir di bukit itu pada malam purnama nanti, pastilah dirinya akan jadi bahan buruan bagi Dayang Kesumat.

Dan Prahasto tidak sanggup menghadapi ilmu Dayang Kesumat, termasuk ilmu yang baru saja dipakai menyerangnya, jurus 'Jemari Mayat'. Prahasto tak pernah tahu bahwa Dayang Kesumat punya jurus seperti itu. Sama halnya Dayang Kesumat tak pernah tahu kalau Prahasto adalah prajurit sandi dari Jenggala. Ia mengenal Prahasto sebagai pengelana yang hidupnya dari upah demi upah.

***2
SEMILIR angin membawa keteduhan di bawah pohon rindang itu. Pendekar Mabuk yang sedang melepaskan lelah di bawah pohon tersebut mulai mengeluh dalam hati. Perutnya terasa lapar sekali, tapi tak tahu ke mana ia harus mencari tempat untuk makan.

Dari ketinggian lereng itu, Pendekar Mabuk memandang ke arah utara, dan samar-samar ia melihat persawahan membentang dengan tanaman padinya yang masih menghijau. Dalam hatinya Suto Sinting pun berkata membatin,

"Kurasa tak jauh dari persawahan di sana pasti ada sebuah desa. Dan kurasa di desa itu ada kedai untuk makan. Sebaiknya aku segera ke sana saja. Perutku terasa perih jika diisi tuak terus-menerus. Kebetulan tuakku tinggal sedikit, ada baiknya kalau aku bukan hanya mengisi perut, tapi juga mengisi bumbung tuakku ini!"

Maka bergegaslah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu melangkah menuruni lereng perbukitan. Namun beberapa saat sebelum ia mencapai pematang sawah di seberang sana, langkahnya menjadi terhenti akibat kehadiran seseorang yang muncul dari balik sebatang pohon besar berdaun rimbun.

Orang tersebut adalah pemuda sebaya dengannya, berambut panjang yang diikat ke belakang, tubuhnya tinggi, tegap, dan mempunyai wajah lumayan ganteng.

Pemuda itu mengenakan baju hijau tua dan menyandang empat pisau terbang di pinggangnya. Dilihat dari caranya memandang, Suto sudah dapat menduga, pemuda tersebut punya maksud tak baik padanya. Setidaknya ada sesuatu yang membuatnya curiga terhadap Suto. Tetapi saat itu Suto Sinting tetap tenang dan menyunggingkan senyum keramahan, ia berhenti antara tujuh langkah di depan pemuda berbaju hijau itu.

Karena pemuda itu sejak tadi hanya memandang dengan tajam dan tidak membalas senyum keramahan Pendekar Mabuk, maka si Pendekar Mabuk itu menyapa pemuda tersebut lebih dulu.

"Agaknya kau punya masalah yang ingin kau sampaikan padaku, Sobat! Katakanlah apa masalahmu. Tapi tolong sebutkan dulu namamu!"

"Namaku Jarum Lanang," jawab pemuda itu bernada ketus.
"Itu nama yang bagus!" kata Suto sambil tetap tersenyum kalem. "Setelah itu, apa masalahmu?"
"Tak usah berpura-pura ramah padaku! Serahkan Sumping Rengganis sekarang juga, atau aku terpaksa membunuhmu?!"
"Apa...?!" Pendekar Mabuk berkerut dahi dengan heran.
"Serahkan Sumping Rengganis padaku!"

Pendekar Mabuk diam sebentar, berpikir beberapa saat lalu bertanya dengan wajah lugu.

"Sumping Rengganis itu apa? Nama pusaka atau nama makanan?!"

Wajah Jarum Lanang semakin tampak marah, ia maju dua tindak dari tempatnya menggeram, kemudian berkata dengan mata makin tajam memandang Pendekar Mabuk,

"Kau benar-benar memuakkan! Jangan berlagak bodoh di depanku, Jahanam!"

"O, namaku Suto! Suto Sinting! Ya, itu namaku dan bukan Jahanam!" kata Suto sambil menyunggingkan senyum yang berkesan tidak merasa gentar sedikit pun dengan gertakan pemuda berambut panjang itu. Sikap tersebut membuat Jarum Lanang menjadi semakin dongkol, maka dengan cepat tangannya berkelebat ke depan untuk melepaskan pukulan jarak jauhnya. Dan pukulan itu oleh Suto hanya dibalas dengan gerakan
telapak tangan kiri yang terbuka menghadap ke depan.

Wubbb...! Pukulan jarak jauh tanpa sinar itu bagaikan diredam oleh tangan kiri Pendekar Mabuk, lalu dibelokkan arahnya ke samping. Wursss...! Berubah menjadi hembusan angin yang menerjang semak.

"Apa kau ingin unjuk permainan padaku, Jarum Lanang?!"
Jarum Lanang membentak, "Aku hanya ingin meminta kembali kekasihku yang bernama Sumping Rengganis!"

"Ooo... Sumping Rengganis itu nama kekasihmu?!" Suto membuka mata lebar-lebar sambil tertawa kecil dan akhirnya manggut-manggut.

Tetapi Jarum Lanang sudah tak sabar lagi, maka dengan cepat ia mencabut salah satu pisaunya dan dilemparkan ke arah Pendekar Mabuk dengan kelebatan cepat, hampir tak terlihat. Zingngng...!

Tebb...! Pendekar Mabuk kembali kelebatkan tangannya di depan, dan ternyata saat itulah ia bergerak menangkap pisau yang dilemparkan oleh Jarum Lanang. Pisau itu tahu-tahu menancap di sela-sela dua jemari tangannya, tanpa luka dan tanpa darah sedikit pun.

Pendekar Mabuk tersenyum lagi, tapi Jarum Lanang terkesiap matanya melihat kecepatan lawan dalam menangkap pisau terbangnya. Dalam hatinya Jarum Lanang membatin,

"Agaknya dia bukan pemuda sembarangan, bukan sekadar pemuda tampan tanpa isi! Aku yakin dia punya ilmu yang lumayan. Buktinya dia bisa menangkap lemparan pisauku dengan jemarinya! Hmm...! Aku tak boleh sembarangan menghadapi pemuda ini!"

Lalu Jarum Lanang segera terperanjat dan terpaksa sentakkan kaki ke tanah, tubuhnya melompat ke atas karena Suto Sinting mengembalikan pisaunya dengan satu gerakan yang hampir-hampir tak terlihat kelebatan geraknya. Wussst...! Kalau bukan karena ada pantulan sinar matahari yang membuat mata pisau berkerilap sekejap tadi, Jarum Lanang tak bisa melihat bahwa benda itu meluncur ke arahnya.

Pisau tersebut bisa lolos dari dirinya. Jarum Lanang merasa lega. Ia memandang ke belakang sebentar, melihat di mana menancapnya pisau tersebut untuk nanti dicabutnya kembali. Rupanya pisau itu menancap di batang pohon tak terlalu besar tak begitu jauh darinya. Jarum Lanang kembali lega. Tapi tiba-tiba terperanjat kaget karena pisau itu ternyata tidak menancap, melainkan juga menembus batang pohon itu. Ploss...!

Keluar dan menembus pohon depannya lagi. Ploss! Pada batang pohon ketiga pisau itu berhenti menancap. Jrabb... !

Melihat kehebatan lemparan pisaunya Pendekar Mabuk, Jarum Lanang hampir saja tak bisa menelan ludahnya sendiri, ia tak bisa bicara apa pun, selain hanya membatin,

"Luar biasa! Pisau itu bukan hanya menancap tapi menembus, dan bukan saja menembus pada batang pohon pertama, namun juga menembus pohon kedua dan berhenti di pohon ketiga! Tanpa tenaga dalam yang tinggi, tak mungkin hal itu bisa dilakukan! Ternyata pemuda itu punya kehebatan melempar pisau lebih tinggi dariku. Gawat kalau begini! Agaknya aku tak boleh gegabah dalam menghadapinya! Benar-benar harus pakai perhitungan!"

Kemudian terdengar suara Pendekar Mabuk berkata, "Jarum Lanang, sebaiknya kita tak perlu berselisih! Jujur saja kukatakan padamu, kau akan kalah jika melawanku! Dan aku tidak suka menyerang orang yang tidak punya kesalahan apa pun kepadaku. Jika itu hanya kesalahpahaman, kita harus luruskan bukan dengan perselisihan atau pertarungan! Perlu kau percayai, bahwa aku tidak tahu menahu tentang kekasihmu itu. Mendengar namanya saja baru kali ini!"

"Omong kosong! Sewaktu aku di lereng sana, aku melihat Sumping Rengganis masih menungguku di sini! Dan ketika kau tiba di sini, dia sudah tak ada! Kejap berikutnya kau muncul dengan langkah terburu-buru! Dugaanku mengatakan, kau telah sembunyikan kekasihku itu dan entah kau bunuh atau kau apakan dia di tempat persembunyiannya, lalu kau ingin buru-buru pergi dari sini!"

"Oh, salah besar itu, Jarum Lanang! Salah besar! Aku melangkah terburu-buru karena ingin segera mencapai desa seberang sana untuk mencari kedai! Aku lapar sekali dan ingin segera mengisi perut!"

"Bohong! Wajahmu lebih tampan dariku, pasti Sumping Rengganis lebih terpikat dengan senyumanmu!"

"Terima kasih atas pengakuanmu itu! Tapi sungguh mati aku tidak menculik atau menyembunyikan kekasihmu, Jarum Lanang! Sebaiknya, kau percaya saja padaku, supaya di antara kita tidak terjadi pertarungan!"

"Kau kira aku takut melawanmu?!" sentak Jarum Lanang sambil melangkah dua tindak ke depan.

"Tentu saja kau tidak takut padaku! Kau punya ilmu tinggi mestinya, terbukti kau berani menyerangku dengan lemparan pisau. Tapi aku pun juga tidak akan gentar melawanmu, hanya saja aku tidak suka berselisih karena kesalahpahaman!"

"Rupanya kau perlu dipaksa, Suto! Heaaah...!"

Jarum Lanang segera melompat dan melepaskan pukulan tenaga dalamnya bercahaya kuning. Suto Sinting hanya menghindar ke samping tanpa berpindah dari tempatnya berpijak. Wuttt...! Sinar kuning itu melesat tak mengenai Pendekar Mabuk, melainkan mengenai pohon di belakangnya. Blarr...! Pohon itu pun rubuh dan hancur di pertengahannya.

Pada saat itu, kaki Jarum Lanang sudah menapak di tanah depan Suto dalam jarak satu langkah persis. Tangannya segera menghantam lurus ke wajah Suto. Dengan cepat tangan Pendekar Mabuk berkelebat menangkisnya. Plakk...! Kemudian dua jarinya menusuk kuat ke arah ulu hati Jarum Lanang. Tubb...!

"Heggh...!" Jarum Lanang terpekik tertahan sambil tubuhnya tersentak terbang ke belakang dan jatuh dalam jarak empat langkah.

Pendekar Mabuk mengambil bumbung tuaknya dan meneguk tuak beberapa kali. Ia tetap bersikap santai dan tenang tanpa nafsu menyerang. Sementara itu, Jarum Lanang yang jatuh terduduk di tanah itu berusaha bangkit dengan wajah menyeringai menahan sakit pada ulu hatinya, ia pun membatin,

"Gila betul sodokan jari pemuda itu! Ulu hatiku terasa bengkak! Uhh... sakitnya bukan main! Hanya dua jari yang menyodok, tapi rasanya seperti sebatang kayu kelapa yang menghantam dadaku!"

Suto mendekati Jarum Lanang dan menyodorkan bumbung tuaknya dengan berkata,

"Minumlah tuakku ini, supaya kau tak terlalu merasa sakit!"

Plakk...! Jarum Lanang mengibaskan tangannya, menghantam bumbung tuak yang disodorkan kepadanya. Biasanya benda seperti itu jika dihantam dengan kibasan tangan akan terpental. Tapi kali ini ternyata tidak. Benda itu tetap di tempatnya tanpa gerak sedikit pun. Padahal tangan Jarum Lanang cukup keras mengibaskan dan menghantam bumbung itu. Tapi justru terasa kesemutan sekujur tubuh Jarum Lanang ketika memukul bumbung tersebut.

"Kalau kau tak biasa minum tuak, ya sudah! Aku tidak memaksanya!" kata Suto dengan kalem. Kemudian ia gantungkan bumbung tuak itu di pundaknya.

"Maaf, aku harus segera meninggalkanmu! Aku tak kuat menahan lapar terlalu lama! Kalau ingin menyusulku, aku ada di sebuah kedai di desa seberang itu!"

Tanpa menunggu jawaban dari Jarum Lanang, Pendekar Mabuk itu pun segera melangkah meninggalkan tempat tersebut. Tapi agaknya Jarum Lanang masih penasaran dan merasa yakin bahwa Sumping Rengganis, kekasihnya itu, disembunyikan oleh Pendekar Mabuk. Maka, diam-diam Jarum Lanang mencabut pisaunya lagi dan melemparkannya ke arah Suto.

Wusss... !

Suto tidak berpaling. Tapi ketika pisau itu mendekat ingin menancap di punggungnya, bumbung tuak didorong ke belakang hingga melintang di punggung. Pisau itu mengenai bumbung tuak tersebut trangng... ! Seperti membentur besi baja suaranya, dan anehnya lagi pisau itu memantul balik ke arah Jarum Lanang.

"Haahh...?!" Jarum Lanang membelalakkan matanya lebar-lebar. Jarum Lanang juga melompat dan bersalto di udara karena pisau itu bergerak ke arahnya lebih cepat dari gerakan lemparannya tadi. Wutt..!

Duarrr... !

Makin terbelalak mata Jarum Lanang melihat pisaunya menancap di salah satu pohon, bukan tembus seperti tadi namun membuat pohon itu meledak dan hancur pada bagian tengahnya, kemudian rubuh menimpa pohon yang lainnya.

Dalam hatinya Jarum Lanang berkata, "Luar biasa orang itu. Dia punya ilmu tidak tanggung-tanggung. Sinting juga ilmunya itu! Pantas ia diberi nama Suto Sinting! Dia bisa mengembalikan pisauku dan pisau itu mempunyai tenaga dalam sangat tinggi, hingga mampu meledakkan sebatang pohon. Padahal aku tak pernah menyalurkan tenaga dalam sebesar itu ke dalam batang pisau terbangku! Bumbung itu sungguh merupakan bumbung yang ampuh dan punya kesaktian tersendiri!"

Pendekar Mabuk membalikkan badan, memandang Jarum Lanang dengan tersenyum, lalu segera berkata,

"Masih belum puas menjajalku?"

Jarum Lanang tak bisa bicara. Untuk meminta maaf pun ia tak mampu mengucapkan lewat mulutnya. Lidahnya terasa kaku dan kelu. Pendekar Mabuk itu bahkan berkata,

"Cobalah cari dulu kekasihmu itu di tempat lain! Jangan menuduh orang sembarangan, nanti kau akan diadili oleh tuduhanmu sendiri!"
"Hmmm... eh... iya! Aku... aku bersalah. Tapi... tapi bolehkah aku tahu siapa gurumu, Suto?"
"Guruku?! Oh, ya... rupanya kau belum kenal pada guruku! Aku murid sinting si Gila Tuak, gelarku Pendekar Mabuk!"
"Hahh...?! Si... si Gila Tuak...?!" Jarum Lanang terperanjat sekali hingga matanya melebar.
"Kau pernah dengar nama itu, Jarum Lanang?!"

"Gila Tuak adalah sahabat guruku dan... dan nama Pendekar Mabuk sudah lama kudengar, tapi... tapi aku tak sangka kalau kaulah orangnya, Suto! Oh, maaa... maafkan aku! Maafkan aku...!" Jarum Lanang membungkuk dengan kaki rapat ketika meminta maaf begitu. Pendekar Mabuk tak terdengar suaranya. Ketika Jarum Lanang mengangkat badan dan mendongakkan kepalanya dari sikap membungkuk, ia menjadi terkejut lagi melihat Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu, sudah tidak ada di depannya. Pandangan mata Jarum Lanang terarah di tempat jauh, dan ia melihat Pendekar Mabuk sudah ada di pematang sawah yang jauh di seberang sana. Jarum Lanang geleng-gelengkan kepala sambil menggumam,

"Luar biasa hebatnya dia...!"

***3
BUKIT Gelagah mempunyai jurang yang cukup curam. Tak ada orang yang selamat jika tergelincir ke dalam jurang itu. Itulah sebabnya jurang itu dinamakan Jurang Petaka.

Pada waktu terang bulan, permukaan bukit itu cukup terang, karena tidak memiliki pepohonan tinggi, selain jenis rumput dan bebatuan yang menjulang. Ada batu besar yang melebihi tinggi tubuh manusia dewasa, ada juga yang melebihi atap sebuah gubuk. Tapi kebanyakan permukaan bukit itu dihiasi oleh bebatuan setinggi perut atau setinggi lutut.

Seseorang yang menjerit dari atas Bukit Gelagah, suaranya akan memantul cukup lama, karena Jurang Petaka mempunyai dinding tebing yang mengurung jurang itu, hingga pantulan suara bisa berbalik ke sana- sini sampai beberapa kali.

Di seberang Bukit Gelagah ada bukit lagi yang bernama Bukit Menara Tunda. Bukit itu hanya terdiri atas cadas dan lumut tanpa ada pepohonan tinggi. Sulit mencapai Bukit Menara Tunda karena tempatnya licin, dan selalu berair. Tebing Bukit Menara Tunda itulah yang menjadi tempat utama memantulkan suara jerit seseorang dari atas Bukit Gelagah.

Rembulan yang kini tampak penuh sebagai mata langit di waktu malam, tak tanggung-tanggung pancarkan sinarnya ke atas Bukit Gelagah, sehingga sosok bayangan seseorang yang berdiri di sana terlihat jelas, dari warna pakaiannya sampai lekuk tubuhnya.

Orang yang berdiri di sana berjubah biru muda dari bahan kain tipis semacam sutera. Siapa lagi orang berjubah biru muda dengan rambut diurai lepas sebatas punggung jika bukan Dayang Kesumat? Agaknya murka di dalam hati mendengar tantangan secara tak langsung dari Ratu Teluh Bumi telah membuat Dayang Kesumat tak sabar menunggu saat pelampiasan murkanya. Karena itu Dayang Kesumat datang lebih dulu, ketika Bukit Gelagah masih kosong tanpa penghuni ataupun pengunjung lainnya.

Sejak tadi Dayang Kesumat berdiri bagai mematung memandang ke arah jurang. Remang-remang cahaya rembulan tampakkan lekak-lekuk jurang dengan beberapa tanaman di tebingnya yang merimbun. Dasar jurang terlalu jauh untuk dilihat dan terlalu gelap, karena tak sepenuhnya mendapatkan sinar rembulan bila malam hari.

Hati Dayang Kesumat pun membatin, "Rasa-rasanya jurang ini sangat cocok untuk membuang bangkai si Ratu Teluh Bumi nanti! Jerit suaranya yang menggema panjang akan menjadi kepuasan hatiku, ketimbang ia mati tanpa pekik tanpa jerit!"

Baru berpikir begitu, Dayang Kesumat merasakan ada getaran tanah yang terjadi akibat pijakan kaki orang berjalan. Cepat-cepat Dayang Kesumat palingkan wajahnya ke belakang. Beberapa kejap kemudian sesosok bayangan telah melesat, kemudian mendarat di tanah depannya. Sesosok bayangan itu adalah perempuan berpedang pendek di pinggangnya. Dia tak lain dari Ratu Teluh Bumi.

Mereka saling pandang sejenak. Sama-sama tajam dalam memandang, sama-sama membisu mulut mereka, sama-sama membara murka hati mereka. Keduanya sama-sama membatin,

"Rupanya apa yang dikatakan Prahasto memang benar! Buktinya dia ada di sini. Bukan siap untuk bertarung denganku, melainkan menunggu kedatangan Prahasto!"

Karena keduanya sama-sama membatin seperti itu, maka mereka tidak perlu saling mencari tahu penyebab kehadiran mereka di situ. Mereka hanya perlu mengetahui berapa jurus yang harus mereka mainkan dalam pertarungan itu. Dayang Kesumat yang mendahului bicara,

"Kau minta aku memainkan betapa julus untuk kematianmu?"
Ratu Teluh Bumi justru ganti bertanya,

"Kau siap berapa jurus untuk malam ini? Tak perlu kita suruh orang lain melakukannya, kita sendiri yang menjadi pelaku sang pencabut nyawa!"

Ratu Teluh Bumi bermaksud menyindir Dayang Kesumat yang dianggap hanya berani menyerang dengan meminjam tangan orang lain. Tapi Dayang Kesumat merasa Ratu Teluh Bumi mengakui kelicikannya dan merasa dirinya tidak perlu meminjam tangan orang lain untuk membunuh. Karenanya Dayang Kesumat pun menjawab,

"Bagus! Kalau memang kau sudah siap, memang tak ada pellunya kita meminjam tangan olang lain! Tentukan saja siapa yang halus mati di sini, kau atau aku!"

"Bersiaplah, Dayang! Jemputlah ajalmu dengan baik!" Ratu Teluh Bumi membuka jurus pertama dengan menarik kakinya ke belakang, sedangkan yang kanan masih di tempat, lutut kanannya sedikit terlipat. Kedua tangannya mulai mengembang bagaikan seekor elang ingin terbang menangkap lawannya.

Dayang Kesumat hanya diam saja. Tapi kedua tangannya sudah tidak lagi terlipat di dada. Kedua tangannya itu telah turun ke samping kanan-kiri dan siap melakukan gerakan menyerang. Matanya tak lepas memandang permainan jurus yang dibawakan Ratu Teluh Bumi di mana semua gerakan dilakukan dalam keadaan tubuh merendah.

Tangan kanan Dayang Kesumat mulai menggenggam kelingkingnya. Srett...! Dan Ratu Teluh Bumi cepat- cepat sentakkan dua jarinya dari depan dada ke atas.

Suttt...! Tebb...! Jari itu seperti memotong segumpal daging yang tak terlihat. Totokan itu bertenaga dalam cukup besar, sehingga tiba-tiba tangan kanan Dayang Kesumat tersentak ke belakang, lalu lepaskan genggaman kelingkingnya.

"Edan! Dia tahu kelemahanku," pikir Dayang Kesumat. "Dia gunakan indela keenamnya untuk menyodok tanganku! Sial! Pelgelangan tanganku telasa ngilu sekali!"

Ratu Teluh Bumi bergerak terus dengan permainan rendah badan. Kakinya melangkah panjang-panjang namun pelan dan pasti. Bahkan kini ia putarkan badan dengan cepat dan sentakkan tangannya ke tanah. Cepat- cepat Dayang Kesumat melompat pindah tempat. Lalu dari tempatnya berdiri tadi muncul serbuk hitam menyembur dari dalam tanah. Wrusss...!

"Hmm... 'Lacun Hitam' digunakan!" pikir Dayang Kesumat sambil sunggingkan senyum dingin yang amat tipis, ia merasa telah selamat dari racun yang amat membahayakan itu.

Sementara di dalam hatinya, Ratu Teluh Bumi berkata sendiri,
"Sial! Dia tahu jurusku! Tak bisa ditipu dengan gerakan!"

Dayang Kesumat memandang terus mata Ratu Teluh Bumi. Dan tiba-tiba Ratu Teluh Bumi tersentak. Tubuhnya cepat tegak. Matanya tak bisa berkedip. Tapi kedua tangannya menggenggam kuat-kuat. Kedua tangan Dayang Kesumat juga menggenggam kuat-kuat.
Dan masing-masing tangan itu mengepulkan asap putih yang samar-samar.

Tubuh Ratu Teluh Bumi bergetar seluruhnya. Tapi Dayang Kesumat hanya pada bagian tangannya saja yang bergetar. Tangan itu pelan-pelan bergerak naik sampai di dada dalam keadaan tetap mengepal dan berasap. Mereka adu tenaga dalam melalui pandangan mata. Tapi sayang, Dayang Kesumat buru-buru sentakkan kedua tangannya itu ke depan. Wussst...! Tangan itu terbuka, dan sebuah tenaga berasap merah keluar dari telapak tangannya. Wuhkkk...!

Beggh...! Sentakan tenaga dalam itu mengenai dada Ratu Teluh Bumi. Sentakan itu sangat kuat. Kuat sekali. Sehingga, tubuh Ratu Teluh Bumi pun terlempar dengan cepatnya bagaikan segumpal kapas tertiup badai. Wuuusssh...! "Aaaa....!"

Ratu Teluh Bumi terlempar ke jurang. Tubuhnya melayang-layang. Jeritannya menggema berkepanjangan. Makin lama makin kecil suara gemanya itu, sampai pada akhirnya tak terdengar lagi sedikit pun bunyi jeritan itu. Seakan jeritan histeris hilang ditelan mulut jurang yang rakus dan lahap terhadap mangsanya itu.

Dayang Kesumat tetap diam, cantik tapi angker, ia menghembuskan napas kelegaan melihat lawannya terlempar ke jurang, ia pandangi jurang gelap itu sesaat, kemudian sunggingkan senyum tipis sebagai senyum kemenangan. Setelah itu, ia tinggalkan tepian jurang dengan langkah yang terlihat tegas, tegap dan meyakinkan.

"Selamat tinggal, Latu Teluh! Mudah-mudahan nyawamu tidak telsesat mencali jalan menuju nelaka!" kata Dayang Kesumat di dalam hatinya, ia pun segera melesat tinggalkan Bukit Gelagah itu .

Tanpa diketahui oleh Dayang Kesumat, suara jeritan Ratu Teluh Bumi itu telah memudarkan semadi seseorang yang tinggal di dasar Jurang Petaka itu. Terpaksa orang tersebut lepaskan masa semadinya walau tetap duduk di tempatnya yang berbatu datar. Tanpa memandang ke atas, orang tersebut menadahkan kedua tangannya di atas kepala. Lebih dari dua helaan napas tangan itu menadah dengan pandangan mata tetap lurus.

Kira-kira empat helaan napasnya setelah itu, kedua tangan yang menadah itu dijatuhi tubuh Ratu Teluh Bumi. Anehnya, gerakan jatuhnya tubuh itu menjadi pelan ketika mendekati tubuh orang yang sedang duduk bersila itu. Bahkan ketika menempel di tangan yang tengadah, tubuh Ratu Teluh Bumi tak sempat mengguncangkan sehelai pun rambut orang itu. Tak ada suara, tak ada gerakan. Semuanya terjadi dengan sangat pelan. Tetapi kejap berikutnya, terdengar suara kasar, brukk... ! Itu suara tubuh Ratu Teluh Bumi yang dilemparkan ke arah belakang oleh orang yang sedang semadi itu.

"Uhhg...! Monyet...!" maki Ratu Teluh Bumi dalam hati.

Perempuan itu tidak mati. Perempuan itu hanya mengalami luka dalam akibat pukulan berasap dari Dayang Kesumat itu. Tapi seandainya tubuhnya tidak disangga dan gerakannya tidak diatur oleh orang yang sedang duduk bersila itu, maka tubuh Ratu Teluh Bumi sudah pasti hancur tak berbentuk lagi. Ketinggian jurang itu sangat mengerikan jika dipandang dari bawah.

Orang yang menyelamatkan Ratu Teluh Bumi itu duduk bersila tanpa peduli dengan keluh dan raungan kecil di belakangnya. Orang itu berkerudung kain hitam dari kepala sampai kaki. Matanya memandang ke satu arah tak berkedip. Di depannya itu, ada sungai kecil dengan lebar antara dua tombak. Celah-celah bebatuannya mempunyai tanaman setinggi mata kaki. Di sela-sela tanaman jenis rumput merah itu, tersumbul sebatang tanaman bunga yang tingginya satu betis.

Tanaman yang paling tinggi dari semua tanaman di depan orang itu mempunyai daun berbentuk segi tiga sama sisi. Daunnya tak lebat, lebarnya sama dengan daun beringin. Warnanya hijau kehitam-hitaman. Tanaman itu hanya mempunyai satu batang yang meluncur ke atas sebatas betis. Sedangkan orang yang memandangi tanaman itu duduk di atas batu datar yang tingginya sebatas betis orang dewasa, sehingga tanaman itu seolah-olah ada di bawahnya. Jarak tempat bersila dengan tanaman itu hanya satu langkah.

Di ujung tanaman ada kuncup bunga yang masih kecil. Kecil sekali, kira-kira sekecil biji kapas. Ujung tanaman itulah yang menjadi pusat pandangan mata tak berkedip itu. Entah sudah berapa lama orang itu pandangi tanaman bunga aneh tersebut Entah dengan maksud apa hal itu dilakukan. Yang jelas, ia tak pernah berpaling sedikit pun dari pandangannya. Jika ada sesuatu yang mendekat ia dapat menghalaunya dengan gerakan tangan tanpa melihat sasaran. Seperti halnya saat ia menopang tubuh Ratu Teluh Bumi, tanpa memandang ke arah atas ia sudah bisa membuat tubuh itu tepat jatuh di kedua tangannya.

Di samping orang itu mengenakan kerudung dari kepala sampai kaki, ia juga mempunyai senjata berupa tongkat berujung sabit panjang. Mata sabit yang menyerupai paruh burung itu sangat tajam dan berkilauan. Senjata itu dinamakan pusaka El Maut. Dan orang yang bersenjata El Maut dengan pakaian kerudung kair hitam, dengan wajah putih bagai berbedak tebal, dengan bibir biru bagai bergincu mayat, dengan hidung bangir mencipta ketampanan tersendiri, dengan pandangan mata dingin bersama raut mukanya yang dingin bak manusia berwajah salju, tak lain dan tak bukan adalah Siluman Tujuh Nyawa, ia mempunyai nama asli Durmala Sanca.

Orang ini adalah tokoh sesat yang amat sakti. Selain terkenal sakti, juga terkenal keji dan ganas. Usianya sudah sangat tua, lebih dari dua ratus tahun, tapi raut mukanya masih seperti pemuda berusia dua puluh tujuh tahun. Itulah Siluman Tujuh Nyawa, yang menjadi musuh utama bagi Pendekar Mabuk.

Ratu Teluh Bumi pernah mendengar nama itu, tapi belum pernah jumpa dengan orangnya. Karena itu, ia tidak tahu siapa orang yang telah menolongnya, namun juga bagai tak peduli akan dirinya itu. Ratu Teluh Bumi mencoba membangunkan semadi orang itu dengan merayap mendekati orang tersebut dari arah belakang. Badan Ratu Teluh Bumi sangat lemah. Dadanya terasa panas sekali. Pernapasannya menjadi sangat sesak, berat untuk dihela. Darah yang keluar dari mulutnya saat mendapat pukulan Dayang Kesumat tadi sekarang sudah hampir mengering dihembus angin jurang. Dengan suara berat Ratu Teluh Bumi berkata dari belakang Siluman Tujuh Nyawa.

"Aku terluka di dalam. Tolonglah aku...l"

Siluman Tujuh Nyawa diam saja. Matanya tetap tak berkedip pandangi ujung tanaman hijau kehitaman itu. Ia seperti orang tuli, tak mendengar ucapan lirih itu.

"Tolonglah aku... Aku tak kuat..!"
"Kau sudah kutolong," kata Siluman Tujuh Nyawa dengan suara datarnya yang terkenal dingin itu.
"Aku... masih sakit..."
"Kau berhutang nyawa padaku."

"Biarlah... biarlah aku berhutang dua nyawa denganmu. Pertama kau selamatkan aku dari ketinggian jurang ini, kedua... tolong selamatkan aku dari luka di dalam dadaku ini.... Aku percaya, kau bisa mengobati lukaku!"

"Apa upahnya untuk pertolongan dua nyawa?"
"Ter... terserah... apa maumu, aku akan lakukan!"
"Kumau kau mati saja!"

Suara datar dan dingin itu menyakitkan hati Ratu Teluh Bumi. Kalau tidak dalam keadaan sedang sakit begitu berat, Ratu Teluh Bumi sudah menyerang orang itu karena ucapan yang seenaknya saja itu. Tapi demi mendapatkan pertolongan, Ratu Teluh Bumi akhirnya berkata,

"Aku... aku masih ingin hidup...."
"Untuk apa kau hidup?"
"Untuk... membalas dendamku kepada lawan yang mengirimku ke j urang ini...!"

Sepi kembali tercipta dan mencekam. Durmala Sanca atau Siluman Tujuh Nyawa diam saja. Tak ada gerak, tak ada kedipan mata. Sementara itu, Ratu Teluh Bumi semakin memperdengarkan engahan tarik napasnya yang memberat dan tampak tersiksa sekali. Kejap berikut, barulah Siluman Tujuh Nyawa berkata,

"Aku tidak punya pelayan."
"Biarlah... aku saja yang menjadi pelayanmu. Aku bersedia .......... "
"Kau beijanji?"
"Ya. Aku berjanji, jika kau tolong aku, aku bersedia menjadi pelayanmu. Ooh... semakin panas sekujur tubuhku rasanya ........ "
"Peganglah jubahku!" kata Durmala Sanca.

Ratu Teluh Bumi tak paham maksud kata-kata itu. Tapi kemudian ia melakukan apa yang diperintahkan orang berjubah hitam sekujur tubuhnya itu. Ratu Teluh Bumi memegang jubah tersebut dengan kedua tangannya. Kemudian, ia melihat sendiri kulit tubuhnya menjadi menyala. Seperti ada sinar biru yang berpendar- pendar mengelilingi seluruh tubuhnya.

Pada saat sinar biru itu menyala di tubuhnya, Ratu Teluh Bumi merasakan ada kesejukan yang meresap ke dalam tubuhnya. Kesejukan itu seakan begitu damai dan menyenangkan hati. Ratu Teluh Bumi meresapi kesejukan itu dengan mata terpejam pelan-pelan. Sedangkan Siluman Tujuh Nyawa tidak bergerak sedikit pun. Bahkan berpaling pun tidak. Napasnya pun terdengar biasa-biasa saja, tidak ditahan, tidak dihembuskan kencang. Matanya masih tetap tertuju pada bunga yang belum tumbuh itu.

Setelah beberapa saat, Ratu Teluh Bumi merasakan hawa panas di dalam dadanya hilang sama sekali. Otaknya pun terasa menjadi terang, urat-uratnya menjadi segar kembali, dan peredaran darahnya terasa sangat lancar.

"Lepaskan jubahku..!" perintah Durmala Sanca dengan tetap bernada dingin, bagai manusia tanpa perasaan.

Ratu Teluh Bumi lepaskan jubah hitam itu, dan ternyata tubuhnya kembali segar. Tak ada rasa sakit, tak ada rasa letih, tak ada rasa lemas, yang ada hanya sebentuk kehidupan yang penuh semangat. Ratu Teluh Bumi hembuskan napas dengan lega sambil ia berdiri dan menggerak-gerakkan badannya untuk mencari sesuatu yang masih terasa mengganggu, ternyata tak ada yang terasa mengganggu tubuhnya.

"Sekarang kau adalah pelayanku! Kau harus turut dengan perintahku, Ratu Teluh Bumi...!"

Terkesiap mata Ratu Teluh Bumi mendengar namanya disebutkan, ia sangat heran mengetahui orang itu bisa sebutkan namanya. Lalu, ia bertanya, "Siapa dirimu sebenarnya? Mengapa kau bisa tahu namaku?"

"Karena aku menyukai tindakanmu yang tegas dan tidak pandang bulu! Kau berani membunuh siapa saja yang menentangmu tanpa ragu-ragu lagai"

Ratu Teluh Bumi berdebar-debar, merasa disanjung seseorang atas segala yang dilakukannya selama ini. Ia semakin yakin bahwa ia benar dalam bersikap selama ini.

"Lalu, satu lagi pertanyaanku belum kaujawab, siapa kamu?"
"Kau pernah dengar namaku, tapi mungkin baru kali ini kau bertemu denganku. Kau pasti pernah mendengar Siluman Tujuh Nyawa!"
"Ya. Betul. Aku pernah dengar nama orang sakti itu!"
"Akulah Siluman Tujuh Nyawal"

"Kau...?!" Ratu Teluh Bumi terpekik. Lalu cepat- cepat ia bergeser ke depan dan pandangi wajah orang itu baik-baik. Ia pandangi tombak El Maut yang ditancapkan di tanah samping kanan batu datar yang dipakainya duduk itu. Tetapi yang dipandangi tetap diam tak bergerak, matanya tetap lurus ke arah tanaman aneh tersebut.

"Oh, benar! Kau memang Siluman Tujuh Nyawa! Oh, senang sekali hatiku bisa bertemu denganmu!"

"Jangan sentuh aku lagi!" katanya dengan cepat dan tetap dingin. "Selimut racunku telah kupasang. Kalau kau sentuh aku, kau akan mati dalam tiga hitungan!"

Ratu Teluh Bumi yang ingin menggenggam tangan Siluman Tujuh Nyawa sebagai ungkapan rasa gembiranya, terpaksa terhenti seketika, ia justru menjadi kagum mendengar selimut racun dikenakan oleh orang itu dan akan mematikan jika disentuh. Padahal sejak tadi Ratu Teluh Bumi tahu, tak ada gerakan atau jurus yang dilakukan Siluman Tujuh Nyawa kecuali diam memandangi tanaman.

"Kalau boleh aku tahu, tanaman apa yang kau pandangi itu!"
"Namanya bunga Sukma Weling."
"Nama yang aneh, pasti punya arti besar! Boleh aku tahu?"

"Bunga itu mempunyai kekuatan gaib yang sangat ampuh. Di dalam bunga itu, tersimpan satu kekuatan yang bernama ilmu 'Sabda iblis'!"
"Ilmu 'Sabda Iblis'...?! ilmu macam apa itu?" tanya Ratu Teluh Bumi semakin tertarik untuk mendengarkan penjelasan Siluman Tujuh Nyawa.

"Ilmu 'Sabda Iblis' adalah ucapan yang bisa menjadi kenyataan. Orang yang makan bunga itu, akan langsung mempunyai ilmu 'Sabda Iblis'. Orang yang mempunyai ilmu 'Sabda Iblis', maka apa yang dikatakannya pasti menjadi kenyataan!"

"Hebat sekali kekuatan ilmu itu? Lalu, mengapa kau pandangi terus bunga itu?"

"Dia baru bisa mekar setelah seratus tahun usianya! Tetapi jika selalu disiram dengan hawa murni maka pertumbuhannya menjadi cepat sekali. Jika penyiramannya dilakukan secara terus-menerus tanpa henti, maka bunga itu akan cepat tumbuh dan berkembang dalam waktu satu bulan lamanya!"

"Satu bulan?! Hmmm... Lantas kau sendiri telah melakukan penyiraman dengan hawa murni selama berapa hari?"
"Dua puluh tujuh hari!"
"Selama itukah kau duduk di sini dan memandangi bunga itu?!"

"Ya," jawab Siluman Tujuh Nyawa tak beralih pandang sedikit pun. Hal itu membuat Ratu Teluh Bumi menjadi terheran-heran dan kagum. Jika bukan orang berilmu tinggi, tak mungkin sanggup melakukan semadi seperti yang dilakukan Siluman Tujuh Nyawa itu. Selama dua puluh tujuh hari, diam tak bergerak dan tak berkedip. Sungguh itu suatu perbuatan semadi yang cukup berat.

"Aku sangat kagum padamu," bisik Ratu Teluh Bumi dengan nada mendesah lirih, sepertinya punya arti sendiri bagi jiwa perempuan itu.

***4

RATU Teluh Bumi merasa sangat beruntung dapat bertarung dengan Dayang Kesumat. Bahkan kalah dalam pertarungan ternyata bukan berarti harus mati selamanya. Kalah dalam pertarungan mempunyai sisi baik tersendiri yang kadang tak disadari oleh si penderita
kekalahan.

Andai dia menang melawan Dayang Kesumat, ia tidak akan temukan sesuatu yang sangat berharga dalam sejarah hidupnya, pertama bisa bertatap muka dengan tokoh sakti yang namanya cukup kondang dan ditakuti setiap orang itu, kedua bisa mendengar cerita tentang bunga ajaib yang bernama bunga Sukma Weling. Bahkan dari kekalahannya itu, Ratu Teluh Bumi punya keberuntungan, yaitu dapat melihat bentuk tanaman bunga yang tumbuhnya seratus tahun sekali itu. Konon tanaman seperti itu hanya ada di tanah Jawa.

Memperhatikan pertumbuhan bunga aneh itu, merupakan pengalaman yang amat mahal harganya. Apabila siang, tanaman bunga itu berubah warnanya menjadi kuning berkilauan, seperti tanaman dari logam emas mulia. Tapi jika malam tiba, tanaman itu berubah menjadi hijau kehitam-hitaman. Sebelum itu, pada senja hari menj elang matahari tenggelam, tanaman itu bentuknya tetap tapi wujudnya berubah, yaitu menjadi transparan, bagai tanaman dari kaca yang bisa tembus pandang. Kuncup bunganya pun menjadi seperti batu giok berwarna hijau kecoklat-coklatan.

"Mendengar kedahsyatan ilmu 'Sabda Iblis' saja aku sudah terkagum-kagum, apalagi melihat keampuhannya secara langsung!" pikir Ratu Teluh Bumi dalam kesendiriannya.

Selama dia berada di Jurang Petaka itu, dia memang seperti seorang diri. Siluman Tujuh Nyawa hampir- hampir tak pernah mengajak bicara pada hari berikutnya.

Hanya pada malam perjumpaan mereka saja Siluman Tujuh Nyawa mau diajak bicara. Tapi esok harinya, ia bungkam seribu bahasa. Hanya satu kali ia berkata,

"Jangan bicara denganku sebelum aku mengajakmu bicara!"

Manusia berdarah dingin itu benar-benar punya kharisma tinggi. Hanya satu kali dia berucap kata demikian, Ratu Teluh Bumi tidak pernah berani mengajaknya bicara lagi. Sekalipun demikian, diam- diam Ratu Teluh Bumi punya rasa kagum yang cukup tinggi terhadap Siluman Tujuh Nyawa, ia melihat dengan mata kepala sendiri, sikap duduk orang itu tak pernah berubah. Helaan napasnya pun tetap, pandangan matanya juga tak sedikit pun berubah.

Melalui cara penyembuhannya yang sungguh ajaib itu, Ratu Teluh Bumi bisa membayangkan sebegitu tinggi ilmu yang dimiliki Siluman Tujuh Nyawa, sehingga andai saja Batu Teluh Bumi menjadi muridnya, jelas dia bisa melalap habis Dayang Kesumat. Diam- diam pula Ratu Teluh Bumi menaruh harapan, selama ia menjadi pelayannya Siluman Tujuh Nyawa, semoga ia bisa mendapat ilmu orang sakti itu walau hanya sebagian kecil saja. Barangkali secara mencuri-curi pun bisa ia lakukan, dan jelas ilmu kesaktiannya akan bertambah hebat lagi. Jika ia menjadi sakti seperti Siluman Tujuh Nyawa, maka orang-orang Jenggala itu dengan mudah dapat digulung habis.

Ratu Teluh Bumi benar-benar ingin menjadi murid Siluman Tujuh Nyawa. Sebab, hidupnya tidak akan tenang jika Jenggala belum berhasil direbut kembali ke tangannya. Ratu Teluh Bumi dulu adalah putri seorang Raja Jenggala. Tapi dengan adanya penggulingan kekuasaan, keluarganya menjadi hancur. Ayah, ibu, dan dua adiknya mati karena pembunuhan yang tak dapat dibuktikan.

Tapi menurutnya, raja baru di Jenggala itulah yang menjadi dalang serangkaian pembunuhan terhadap sanak saudaranya, termasuk bibi dan pamannya sekeluarga. Tinggal dia yang masih hidup, dan segera melarikan diri untuk pertahankan hidupnya. Jika ia tidak bisa bertahan hidup, maka ia tak akan punya kesempatan untuk merebut Keraton Jenggala lagi.

Musuh utama Ratu Teluh Bumi mempunyai nama asli Ajeng Prawesti. Adapun musuh keduanya adalah Suto Sinting, si Pendekar Mabuk. Karena pemuda peminum tuak itulah yang pernah membuatnya hampir mati akibat satu pertarungan di Kuil Swanalingga. Sampai sekarang kekalahan itu masih timbulkan dendam di hati Ratu Teluh Bumi. Dan musuh ketiganya adalah Dayang Kesumat. Jika musuh yang lain lolos, tak jadi masalah. Tapi ketiga musuh itu tak boleh lolos secara hidup-hidup.

Ratu Teluh Bumi bahkan punya rencana untuk minta bantuan Siluman Tujuh Nyawa untuk menumpas habis musuh-musuhnya itu. Tetapi permohonan itu tak bisa dilakukan sekarang, karena Siluman Tujuh Nyawa masih punya tugas mempercepat berkembangnya bunga Sukma Weling itu.

Tetapi, agaknya bunga Sukma Weling sudah mulai mau berkembang. Pada hari kedua Ratu Teluh Bumi tinggal di Jurang Petaka di sebuah rumah gubuk tak jauh dari tempat Siluman Tujuh Nyawa bersemadi, tiba-tiba ia telah dikejutkan dengan ukuran bunga yang sudah menjadi sebesar kacang tanah yang masih berkulit. Padahal malam harinya baru separo dari ukuran yang ada pagi itu. Dan pada malam berikutnya, bunga itu mulai membuka kelopaknya, ada sinar biru indah muncul dari tepian kelopak bunga.

Begitu indahnya bunga itu, sehingga Ratu Teluh Bumi tiada hentinya memandangi bunga tersebut. Tanpa sadar, ia telah salurkan hawa murni melalui pandangan matanya, dan disiramkan ke tanaman aneh itu. Akibatnya, pertumbuhan bunga tersebut menjadi lebih pesat. Ratu Teluh Bumi ikut menyiram bunga dengan hawa murninya sampai pagi menyingsing. Semestinya, bunga itu mekar pada menjelang sore nanti. Tapi pagi itu kelopaknya telah mekar.

Warna bunga itu merah bening, seperti kaca. Seolah- olah dari dalam benang sarinya tersembur sinar kecil warna merah, dan biru, sehingga bunga itu berwarna aneh. Merah bukan, biru bukan, ungu pun bukan. Tiga perpaduan warna itulah yang membuat indah bunga berkelopak bening itu.

Semakin siang, semakin menarik warnanya. Semakin menyenangkan untuk dipandangi tanpa kedip. Ratu Teluh Bumi berdiri di samping Siluman Tujuh Nyawa sejak kemarin malam dan ia tak merasakan jenuh atau capek sedikit pun. Rasa kantuk juga tak ada pada dirinya. Suatu hal yang aneh, sebab biasanya Ratu Teluh Bumi tak bisa tahan berdiri begitu lamanya tanpa kedip.

Tiba-tiba di dalam hati Ratu Teluh Bumi tercetus gagasan sederhana. Hati itu mengatakan,

"Jika orang memakan bunga itu, apa yang dilontarkan dalam ucapan, pasti terjadi. Sabda Pendita Ratu! Apa yang dikatakan, itulah yang terjadi. Berarti bunga itu bisa dipakai untuk mengutuk seseorang. Dan dengan menyebar kutukan, tentunya aku pasti akan bisa melampiaskan dendamku kepada musuh-musuhku hanya melalui ucapanku! Oh, kenapa bunga itu tidak kumakan saja...?!"

Begitu terpetik gagasan demikian, maka dengan berkelebat cepat Ratu Teluh Bumi menyambar bunga itu. Tess...! Kemudian ia segera membawanya lari menjauhi Siluman Tujuh Nyawa. Tentu saja perbuatan itu sangat mengejutkan Durmala Sanca. Begitu kagetnya Siluman Tujuh Nyawa hingga ia terlonjak kaget, tubuhnya naik ke atas bagaikan terbang. Dalam keadaan melesat naik, ia sempat menyambar tongkat El Maut- nya.

Wuussst..!

Ratu Teluh Bumi terus melarikan diri dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya, ia melompat ke sana kemari, dan tahu-tahu tercegat Siluman Tujuh Nyawa di depannya.

"Perempuan gila! Serahkan bunga itu!"
"Maaf, aku membutuhkannya, Durmala Sanca! Jadi kumohon...."

Wutt... ! Tombak El Maut itu dikibaskan ke leher Ratu Teluh Bumi. Untung datangnya sempat diketahui dengan ekor mata Ratu Teluh Bumi, sehingga kibasan senjata yang ingin memenggal kepalanya itu bisa dihindari dengan cara merundukkan badan, berguling ke samping dan sentakkan kaki, lalu melesat pergi lagi.

"Perempuan tak tahu diuntung! Kembalikan atau kuhabisi nyawamu dari sini!" Orang berjubah hitam dari kepala sampai kaki itu tetap berdiri di tempatnya. Tetapi Ratu Teluh Bumi berlari terus dan mencari jalan ke mana saja yang bisa dilewati.

Melihat pencuri bunga itu terus berlarian tanpa mau berhenti, Siluman Tujuh Nyawa menjadi murka. Cukup lama ia tekuni menyiram bunga itu, begitu tumbuh dan berkembang disambar oleh perempuan yang telah diselamatkan dari maut itu. Sakit sekali hati Siluman Tujuh Nyawa kepada Ratu Teluh Bumi. Karena itu ia tak segan-segan lepaskan pukulan mautnya ke arah Ratu Teluh Bumi.

Senjata El Maut itu dilemparkan dari jarak jauh. Wuungng...! Senjata itu bergerak memutar-mutar bagai ingin membabat apa saja yang ditemuinya. Arah lemparan tertuju kepada Ratu Teluh Bumi. Sementara itu, Siluman Tujuh Nyawa sendiri berkelebat mengejar Ratu Teluh Bumi dengan jurus silumannya. Zlappp...!

Tahu-tahu ia sudah menghadang di depan Ratu Teluh Bumi. Senjata El Maut itu menebas leher atau apa saja yang ada pada diri Ratu Teluh Bumi. Tapi perempuan itu sempat berlindung di balik bebatuan besar, sehingga senjata itu luput dari kepalanya, dan tahu-tahu senjata itu sudah kembali hinggap di tangan Siluman Tujuh Nyawa. Ratu Teluh Bumi segera teruskan langkah, tapi tak jadi karena ia dihadang oleh orang berkerudung hitam berwajah putih itu.

"Jangan bodoh kalau mau berumur panjang, Ratu Teluh Bumi! Kau telah mencuri bungaku itu, dan kau harus berikan padaku jika tak ingin melihat murkaku padamu!"

Tiba-tiba Ratu Teluh Bumi melihat gugusan batu menonjol di tebing itu. Tanpa mau layani kata-kata Siluman Tujuh Nyawa, Ratu Teluh Bumi pun segera sentakkan jempol kakinya ke tanah dan tubuhnya telah melayang cepat ke atas, lalu hinggap pada gugusan batu yang menempel di dinding tebing itu. Jlegg...!

"Keparat! Kau benar-benar memancing murkaku, Ratu Teluh!" seru Siluman Tujuh Nyawa. Kemudian ia lepaskan pukulan yang memancarkan selarik sinar merah yang keluar dari ujung sabit tongkat itu. Zlapp...! Sinar merah itu seperti tali yang memanjang dan terarah ke tubuh Ratu Teluh Bumi.

Jlarrr...! Batu tempat berpijak Ratu Teluh Bumi pecah seketika terkena sinar merah itu. Sementara Ratu Teluh Bumi sendiri telah melesat naik ke salah satu pohon jenis ilalang tebing, ia hinggap di ujung ilalang. Sementara itu juga, Siluman Tujuh Nyawa menggunakan jurus silumannya untuk berkelebat cepat mendului gerakan naik Ratu Teluh Bumi. Wuttt...!

Blarrr...! Tangan Siluman Tujuh Nyawa disentakkan dan cahaya ungu berkelebat keluar dari jari telunjuknya. Cahaya itu menghantam dinding tebing dan meledak, timbulkan gelombang hawa panas dari ledakannya itu yang menghempaskan tubuh Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu terlempar tak terkendalikan lagi. Tubuhnya melayang turun kembali dan tahu-tahu tersangkut pada semak pepohonan tebing. Bruss!

"Uuh...!" Ratu Teluh Bumi terpekik sebentar. Lalu cepat-cepat hatinya berkata, "Kenapa bunga ini tidak segera kumakan saja? Kalau bunga ini bisa untuk mengutuk orang, berarti bisa juga untuk menghentikan pengejaran Siluman Tujuh Nyawa!"

Maka dengan cepat Ratu Teluh Bumi melahap bunga itu. Zubb...! Bunga dimasukkan ke mulut. Tapi serangan Siluman Tujuh Nyawa muncul lagi. Ratu Teluh Bumi tepaksa menghindari dengan satu lompatan. Namun tubuhnya bagai tersedot ke belakang, ia pun akhirnya terpelanting dan menerabas semak tebing hingga sampai ke depan gubuk Siluman Tujuh Nyawa itu.

Brukk... !

Ratu Teluh Bumi ingin memekik, tapi mulutnya sibuk mengunyah bunga Sukma Weling dan segera menelannya. Pada waktu itu, Siluman Tujuh Nyawa sudah menyerang lagi dengan tubuhnya yang melayang bagaikan terbang. Senjatanya siap diayunkan ke depan untuk melukai tubuh Ratu Teluh Bumi.

Mau tak mau Ratu Teluh Bumi kerahkan tenaganya untuk bangkit dengan cepat, kemudian melompat ke arah yang aman dengan bersalto satu kali di udara. Wukkk...!

Crass...! Senjata El Maut menancap pada sebuah batu tempat Ratu Teluh Bumi tadi terkapar jatuh. Batu itu langsung menjadi merah seperti tersiram lahar, kemudian retak perlahan-lahan dan kepuikan asap putih kehitam-hitaman.

Melihat Ratu Teluh Bumi sudah bersiap larikan diri, Siluman Tujuh Nyawa segera sentakkan tangan kanannya, dan dari kuku-kuku runcing itu keluar lidah sinar merah berkelok-kelok yang tiada putusnya. Sinar itu segera menyergap tubuh Ratu Teluh Bumi. Zrruppp...! Tiba-tiba tubuh tersebut tak bisa bergerak lagi, bagai terikat benang merah yang panas rasanya.

"Hentikan!" bentak Ratu Teluh Bumi sambil menahan sakit.

Seketika itu Siluman Tujuh Nyawa menghentikan serangannya, ia menjadi seperti orang bingung yang tak tahu harus berbuat apa dalam waktu begitu cepat.

Ratu Telah Bumi terkejut melihat tubuhnya telah berubah menjadi hitam seluruhnya. Tapi sebelum rasa kagetnya itu habis, warna hitam itu kembali hilang, dan menjadi biasa. Mungkin itulah pengaruh menelan bunga Sukma Weling, yang membuat bentakannya itu dituruti oleh Siluman Tujuh Nyawa.

"Diam di situ dan jangan kejar aku lagi! Mengerti?!"

"Mengerti!" jawab Siluman Tujuh Nyawa. Ratu Teluh Bumi justru kaget melihat tokoh sesat yang teramat sakti itu menjadi diam dan menurut dengan perintahnya. Maka timbullah pertanyaan di dalam hati Ratu Teluh Bumi.

"Apakah ini berarti aku telah menguasai ilmu "Sabda Iblis'?!"
***5
BISA dibayangkan betapa kecewanya hati Siluman Tujuh Nyawa. Hampir seluruh kekuatannya dicurahkan untuk menyirami bunga itu siang malam, tanpa makan, tanpa minum, tanpa bergerak, dan tanpa berkedip, juga tanpa buang air segala, semua dilakukan demi tumbuh dan berkembangnya bunga Sukma Weling. Ia juga menguras perhatian, menguras hawa murni, demi mencapai satu ilmu yang akan menjadi kebanggaannya. Namun ketika bunga itu berkembang dan ilmu itu datang, ternyata orang lain yang menunai dan memakan hasilnya.

Cukup lama Siluman Tujuh Nyawa terpaku di tempat karena perintah gaib dari Ratu Teluh Bumi. Ia tak bergerak mengejar sedikit pun kecuali memandangi kepergian si pencuri bunga dengan mulut tetap terkatup dan wajah tetap dingin. Setelah ia sadari keadaannya yang di luar kemauan pribadi, meledaklah murka sang tokoh sesat itu. Dihancurkannya batu sebesar rumah di depannya dengan satu pukulan dahsyat. Dibakarnya gubuk persinggahannya sendiri dengan satu ilmu api yang sangat hebat. Dihantamnya pohon besar dengan tenaga dalam penuh kebencian, hingga pohon itu lenyap dan tinggal serbuk-serbuknya saja. Lalu wajah putihnya itu berubah menjadi merah dan mata dinginnya berubah menjadi bara. Ia berteriak sekeras-kerasnya di dalam jurang maut itu,

"Ratu Teluuuh...! Kubunuh seluruh keturunanmu untuk menebus kekecewaanku saat ini! Kucari kau ke mana pun kau berada, Bangsaaat...!" Lalu napasnya terengah-engah, giginya menggeletuk. Tanah yang dipijaknya keluarkan asap dan menjadi cekung, tongkat yang dipegangnya membekas hitam hangus membentuk kelima jari yang menggenggam.

Zlappp... Siluman Tujuh Nyawa masuk ke alam gaib. Tubuhnya menghilang dan gerakannya tak bisa dilihat lagi oleh mata telanjang, ia mengejar Ratu Teluh Bumi dari sisi lapisan kehidupan lain. Hal ini dilakukan supaya ruang geraknya lebih leluasa, lebih cepat dan membuat Ratu Teluh Bumi tidak merasa dikejar, ia sudah siapkan satu rencana untuk menguliti Ratu Teluh Bumi dalam keadaan hidup-hidup, kemudian menyayat-nyayat dagingnya selama satu bulan penuh tanpa henti.

Tetapi agaknya keberuntungan tetap berada di tangan Ratu Teluh Bumi. Siluman Tujuh Nyawa mengejar berlawanan arah dengan pelarian Ratu Teluh Bumi. Tentu saja hal itu membuat Ratu Teluh Bumi bagaikan menemukan kemenangan yang kedua kalinya.

Arah utama yang dituju Ratu Teluh Bumi adalah negeri Jenggala. Ia ingin hancurkan negeri itu dengan ilmu 'Sabda Iblis'-nya, untuk kemudian membangunnya lagi dan duduk sebagai pewaris penguasa kerajaan itu melanjutkan kejayaan leluhurnya.

Tetapi langkah itu terhenti karena kemunculan seorang gadis berpakaian merah bata. Gadis itu bermata bundar dan berhidung mancung, kulitnya kuning langsat, ia mempunyai rambut lurus lemas sepanjang batas pundak, diikat dengan kain warna hijau. Sebilah pedang disandang di punggungnya. Dan ia bergerak cepat menghadang langkah Ratu Teluh Bumi dengan satu pukulan jarak jauh lebih dulu yang dilepaskan ke sebuah pohon. Pohon itu rubuh tepat di depan Ratu Teluh Bumi. Ini membuat Ratu Teluh Bumi lompat mundur kira-kira tiga tindak. Setelah itu baru gadis itu tampakkan diri dengan wajah tanpa senyum, dengan sorot pandangan mata yang bermusuhan.

"Sumping Rengganis...?!" gumam Ratu Teluh Bumi ketika mengenali siapa penghadang langkahnya itu.

Gadis yang bernama Sumping Rengganis segera menghampiri Ratu Teluh Bumi dengan sikap siap tempur, ia pun membalas sapaan dengan sinis dan bersuara lantang.

"Mau lari ke mana kau, Pencuri?! Sepandai-pandai kau sembunyi suatu saat pasti akan kutemukan juga, Ratu Teluh! Sekarang tiba saatnya kita bikin perhitungan!"

"Baiklah. Apa maumu sekarang, Sumping Rengganis?!"

"Pulangkan Kitab Pusaka Triwindu milik kakekku itu! Kau telah mencurinya dan karena itu kau harus mau kuserahkan kepada kakekku untuk diadili sesuai dengan ketentuan perguruannya!"

"Kau masih muda, Sumping Rengganis! Kau masih bau kencur, sehingga belum bisa memahami mengapa aku harus mencuri kitab pusaka itu. Jadi sebaiknya kau tak perlu ikut campur, Sumping Rengganis. Lebih baik kau urus dirimu yang sudah menjadi perawan tua dan butuh pendamping hidup yang setia!"

"Bicaramu mulai melantur, Ratu Teluh! Aku tahu kau terkejut saat melihat kemunculanku! Karena pasti kau menyangka aku tidak akan bisa mengejarmu! Wajahmu mulai pucat karena ketakutan, dan itu adalah wajah polos seorang pencuri yang tertangkap tak berkutik!"

Ratu Teluh Bumi sengaja sunggingkan senyum tipis sebagai kesan meremehkan kata-kata Sumping Rengganis. Ia juga melangkah dua tindak sehingga jaraknya menjadi empat langkah dari Sumping Rengganis. Mata Ratu Teluh Bumi memandang lekat- lekat wajah gadis ayu yang menurutnya sudah layak menyandang gelar perawan tua, karena usianya sudah mencapai tiga puluh tahun lebih.

Tetapi Sumping Rengganis tidak mau buang-buang waktu, ia segera mencabut pedangnya, srett...! Dan bersiap menyerang Ratu Teluh Bumi. Sementara lawannya terlihat tenang-tenang saja, seolah-olah tidak merasa gentar sedikit pun dengan pedang yang terhunus itu.

"Ratu Teluh Bumi, putuskan pilihanmu sekarang juga! Serahkan kitab yang kau curi itu, atau serahkan nyawa pencurimu?!"
"Silakan pilih sendiri sebatas kemauanmu, Sumping!"
"Kau memang manusia terkutuk, Ratu Teluh! Heaah...!"

Sumping Rengganis melompat ke arah Ratu Teluh Bumi dan menebaskan pedangnya dengan cepat bagai hembusan angin badai. Wuuttt...! Pedang itu melintas miring dari depan wajah Ratu Teluh Bumi ke samping kanan. Tapi tak sampai menggores bagian tubuh Ratu Teluh Bumi karena dengan satu sentakan ringan, tubuh Ratu Teluh Bumi telah melompat mundur untuk menghindari tebasan pedang lawannya.

"Heeaat...!" Sumping Rengganis menusukkan pedang ke arah dada Ratu Teluh Bumi dengan gerakan cepat dan tak disangka-sangka. Brett! Baju hitam Ratu Teluh Bumi terkena tusukan itu dan menjadi robek.

Tetapi tangan yang memegang pedang dalam keadaan menusuk lurus itu segera dapat dibuang oleh Ratu Teluh Bumi dengan tendangan berputar cepat satu kali. Plakkk...! Tendangan itu tepat mengenai bagian siku dari Sumping Rengganis. Karena kuatnya, tubuh Sumping Rengganis pun terbuang ke kiri dalam keadaan memutar. Dan kakinya cepat berkelebat sewaktu tubuhnya terputar. Wuttt... !

Hampir saja kaki itu menampar kuat wajah Ratu Teluh Bumi jika kepala Ratu Teluh Bumi tidak segera ditariknya ke belakang. Wess...!

Tapi tanpa diduga-duga kaki Sumping Rengganis yang satu pun bergerak cepat menyusul tendangan pertamanya yang meleset sasaran itu. Tendangan kedua ini lebih tidak disangka-sangka lagi oleh Ratu Teluh Bumi, sehingga kejap berikutnya wajahnya terdongak karena tendangan itu menyentak telak di bawah dagunya. Dess... !

Ratu Teluh Bumi hampir terkapar saat itu. Untung ia masih bisa menjaga keseimbangan tubuhnya dengan terhuyung-huyung ke belakang. Tetapi dalam hatinya ia cepat membatin,

"Jurus tendangan dan pedangnya memang cukup tinggi! Kalau aku tidak siap melapisi tubuhku dengan tenaga dalam yang tersalur menyeluruh, bisa remuk daguku oleh tendangannya tadi!"

Wukk! Wukkk...! Ratu Teluh Bumi bersalto ke belakang dua kali untuk menjaga jarak dengan lawannya. Tapi sang lawan cepat mengejar dengan satu lompatan, lalu pedangnya menebas lagi dari kiri ke kanan, menyilang dari pinggang ke arah dada. Wuttt... !

Ratu Teluh Bumi hanya melompat mundur satu kali, lalu begitu melihat dada Sumping Rengganis membuka, satu pukulan tenaga dalam dilepaskan melalui telapak tangannya. Suttt..! Cahaya merah melesat dari tapak tangan itu. Tapi Sumping Rengganis agaknya juga sudah siap, sehinga dengan cepat tangan kirinya menyentak maju dan seberkas sinar hijau menghantam kecepatan gerak sinar merah itu.

Duesr... !

Gelombang ledakan berhawa panas menyentak sebar, membuat Sumping Rengganis terjajar mundur tiga tindak dalam keadaan limbung, sedangkan Ratu Teluh Bumi hanya tersentak satu tindak ke belakang.

Napas segera ditahan oleh Ratu Teluh Bumi, kemudian ia berucap kata,

"Lumpuh kau, Sumping...!"
Brekk...!

Secara tiba-tiba Sumping Rengganis jatuh terkulai di tanah bagai cucian basah. Tak ada tenaga untuk bangkit sedikit pun. Kedua kakinya seolah-olah tidak lagi memiliki tulang dan urat sedikit pun. Sumping Rengganis menjadi kebingungan, ia masih bisa menggerakkan tangannya untuk menopang badan, tapi kedua kakinya tidak berdaya untuk berdiri. Sama sekali lemas dan tak mampu digerakkan. Bahkan kedua kaki itu seperti mati rasa. Andai dipotong pun tak akan merasakan sakit sedikit pun.

Sumping Rengganis belum tahu kekuatan ilmu 'Sabda Iblis' yang dimiliki Ratu Teluh Bumi. Ia sama sekali tak menyadari bahwa jika Ratu Teluh Bumi menahan napas lalu ucapkan satu atau dua kata, maka apa yang diucapkannya itu menjadi kenyataan. Sumping Rengganis telah dikutuk oleh Ratu Teluh Bumi untuk menjadi lumpuh. Tetapi gadis cantik bermata indah itu tak mudah menyerah, ia segera lepaskan jurus 'Pedang Penjilat Nyawa' itu dalam keadaan terduduk di tanah.

Pedangnya itu disentakkan ke depan dalam gerakan menusuk dengan dua tangan, kemudian selarik sinar biru melesat dari ujung pedang. Sinar biru itu meluncur cepat secara bertubi-tubi.

Jrab jrab jrab jrab...!

Ratu Teluh Bumi sentakkan kaki dan melenting di udara dalam gerak berjungkir balik satu kali. Sinar biru yang melesat secara berturut-turut itu mengenai sebuah pohon dan pohon itu segera berlubang antara lima atau enam tempat. Sedangkan tubuh Ratu Teluh Bumi segera dapat mendarat dengan aman setelah sebuah pukulan bercahaya sinar biru juga dilepaskan dari tangan kanannya dan menghantam pedang Sumping Rengganis.
Lanjut ke bagian 2
*****