Pendekar Mabuk 20 - Ladang Pertarungan(1)



 GEDUNG tua di kaki bukit yang dulu dikenal sebagai Rumah Busuk, sekarang sudah mulai ramai dikunjungi orang. Dulu, Pendekar Mabuk pernah menyembunyikan seorang putri Kaisar Cina yang bernama Bunga Bernyawa di Rumah Busuk itu.
Tapi keadaannya masih sangat sepi, tak ada yang berani datang ke gedung itu karena dikenal cukup angker. Hanya Suto dan Bunga Bernyawa yang berani bermalam di Rumah Busuk itu, walaupun mengalami beberapa kejadian aneh. Namun rumah berbau bangkai itu pernah menyelamatkan Bunga Bernyawa dari kejaran orang-orangnya Laksamana Cho Yung. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pawang Jenazah").

Rumah kuno yang berukuran besar dan punya beberapa kamar itu sekarang dikuasai oleh tokoh tua yang namanya cukup dikenal di rimba persilatan, yaitu Brahmana Gada. Laki-laki berusia sekitar enam puluh tahun kurang sedikit itu, semasa mudanya dikenal sebagai jawara upah alias pembunuh bayaran. Siapa pun sasaran orang yang harus dibunuh, tak pernah lepas dari incaran pedang mautnya.

Menginjak usia lima puluh tahun, Brahmana Gada mulai kurangi kegiatannya sebagai pembunuh bayaran. la tak lagi mau terima perintah membunuh, kecuali orang-orang bangsawan yang berani mengupahnya dengan harga tinggi.

Sekarang Brahamana Gada menguasai Rumah Busuk itu bersama beberapa orangnya. Rumah itu dijadikan Ladang Pertarungan. Sebuah arena pertarungan terbuka, dan orang-orang yang melihatnya saling bertaruh dengan uang atau barang.

Pada puncak pertarungan biasanya dimunculkan seorang jago yang menjadi andalan Brahmana Gada. Orang yang dijagokan dalam pertarungan kali ini adalah seorang berwajah dingin yang sudah lebih dari dua belas kali mengalahkan penantangnya, dan tak satu pun ada yang hidup dari semua lawannya. Orang yang belum terkalahkan itu dikenal dengan nama si Wajah Hitam. Karena setiap kali ia tampil di arena pertarungan, selalu menggunakan kain penutup wajah warna hitam, yang biasa dipakai oleh para algojo saat menjalankan tugas hukuman mati bagi korbannya.

Brahmana Gada mempunyai permainan yang sangat menarik bagi para jago silat, terutama bagi mereka yang menggemari pertarungan. Pertarungan di arena itu bisa terjadi lima kali, enam kali, atau lebih, tergantung banyak sedikitnya peminat yang mendaftarkan diri sebagai peserta pertarungan. Biasanya pertarungan itu diadakan setiap akhir minggu, atau tepatnya tujuh hari satu kali. Jika pertarungan diikuti oleh banyak peserta, maka acara tersebut bisa terjadi dari siang sampai larut malam baru usai.

Satu kali pertarungan pemenangnya akan mendapat lima puluh sikal. Pertarungan kedua, memperebutkan hadiah seratus sikal. Pertarungan ketiga mendapatkan hadiah seratus lima puluh sikal, dan begitu seterusnya. Setiap pertarungan selalu bertambah lima puluh sikal. Padahal harga sepiring nasi hanya setengah sikal.

Sikal; mata uang di masa itu.

Pemenang pertama, harus melawan penantang kedua, pemenang kedua harus bertarung melawan penantang ketiga, begitu seterusnya dan jika sudah tidak ada penantang lagi, maka pemenang terakhir itu berhadapan dengan si Wajah Hitam dalam pertarungan terakhir. Dan jika pemenang terakhir itu bisa mengalahkan si Wajah Hitam, maka ia berhak menerima sejumlah uang dua kali lipat dari semua jumlah uang yang diperolehnya dari pertarungan demi pertarungan itu. Jika ia kalah, maka jumlah uang tersebut diterima oleh si Wajah Hitam.

Brahmana Gada memperoleh uang untuk membayar hadiah-hadiah itu dari pajak perjudian yang diambil dari jumlah uang yang dijudikan mereka. Orang yang bertugas mengurus perjudian itu bernama Rangkayon, bertubuh kurus, wajah lonjong, mata agak sipit, rambut panjang berikat kain merah, dengan pakaian kesukaan warna coklat muda. Usianya sekitar empat puluh tahun.

Perjudian ini punya banyak peminat. Mereka bertaruh dengan nilai tinggi. Hanya menentukan siapa yang keluar sebagai pemenang terakhir sebelum melawan si Wajah Hitam. Dan karena banyaknya peminat perjudian itu, maka Brahmana Gada tak pernah kekurangan uang. Bahkan ia juga mengambil perempuan-perempuan penghibur yang bisa digunakan di situ oleh siapa saja dengan tarif tersendiri. Umumnya mereka yang berjudi di situ adalah orang-orang yang punya banyak uang. Bahkan beberapa di antaranya ada yang berasal dari keluarga bangsawan, saudagar, ataupun pemilik perkebunan,

Dulu, ketika Suto Sinting si Pendekar Mabuk itu membawa Bunga Bernyawa ke rumah besar itu, ia tidak menemukan ruang bawah tanah. Ternyata rumah besar itu mempunyai ruang bawah tanah yang lega, yang dulu digunakan sebagai sarana berlatih jurus-jurus bagi sebuah aliran silat keluarga pemilik rumah tersebut. Sekarang pemilik rumah itu telah dibantai habis oleh lawannya dan tak meninggalkan seorang pun ahli warisnya.

Di ruang bawah tanah itulah Brahmana Gada menggelar pertarungan dan perjudian. Ruangan itu mempunyai dua tingkat. Yang bagian atas sebagai tempat untuk menonton, dan ruang di bawahnya sebagai arena pertarungan, sehingga para penontonnya bisa menyaksikan pertarungan dalam keadaan berkeliling arena dari atas. Tinggi lantai pertarungan dengan bagian penonton hanya empat tombak.

Setiap peserta yang akan tampil selalu siap di sebuah ruangan khusus yang langsung menuju ke arena. Ruangan khusus calon Jagoan itu juga cukup lebar, bisa untuk pemanasan bagi mereka yang memerlukannya.

Seorang lelaki bertubuh pendek sedikit gemuk yang bernama Luhito bertugas sebagai ketua pertarungan, yang memimpin setiap pertarungan tanpa juri itu. Biasanya sebelum pertarungan dimulai, Luhito selalu mengumumkan nama-nama peserta yang akan tampil nantinya, lengkap dengan catatan pribadi mereka masing-masing. Sedangkan pada sebuah papan khusus di lantai atas, di depan pintu masuk rumah besar itu, ditulis nama-nama peserta yang akan tampil dalam pertarungan nanti, sehingga para penjudi bisa memilih salah satu nama yang akan dipertaruhkan menggunakan sejumlah uang miliknya.

"Para hadirin, para tamu terhormat, dan para sahabat sekalian...." begitu biasanya Luhito mengawali acara di Ladang Pertarungan itu.

"Hari ini, kita akan saksikan kehebatan para jago silat yang tak disangsikan lagi kedahsyatan jurus- jurus mautnya. Mereka yang akan tampil membuktikan kependekarannya adalah; Iblis Guru Langit, dari Bukit Lancang, yang pernah membunuh Pendekar Panca Raga, dan dikenal pula sebagai jago menggunakan kapak. Berikutnya adalah Umbara Yodya, kesatria dari Tambak Sari, yang baru turun dari pertapaannya. Berikutnya, si Elang Betina, dari Perguruan Cakra Maut, ahli menggunakan senjata rahasia. Gajah Dirgantara, dari Pulau Rakus, yang dikenal sebagai penyamun tanpa tanding, telah membunuh lebih dari seribu lawannya di laut...."

Begitulah Luhito jika memperkenalkan para peserta yang akan bertarung di arena. Luhito pandai membawakan masa perkenalan peserta sehingga tiap peserta yang mendengar namanya disebutkan dan dibangga-banggakan, merasa bertambah semangat tarungnya. Luhito segera pergi sebentar setelah selesai mengumumkan nama-nama mereka. Sampai tiba waktunya, Brahmana Gada siap di tempat duduknya, didampingi dua perempuan cantik di kanan-kirinya. Maka Luhito pun segera membuka acara di Ladang Pertarungan itu dengan berseru,

"Pertarungan pertama akan dibuka oleh Umbara Yodya...."

"Wooouww...!" para penonton bersorak, khususnya yang menjagokan Umbara Yodya.

"Umbara Yodya melawan Wisnu Rangka...!" tambah Luhito yang membuat sorak-sorai dan tepuk tangan penonton makin riuh. Terlebih setelah keduanya masuk ke arena dengan acungkan kedua tangan yang mengepal. Penonton menyambutnya dengan semakin bersemangat.

Umbara Yodya mengenakan pakaian hijau dengan senjata golok lengkung berukuran besar, gagangnya diberi kain merah bagai bendera kecil. Jika dikelebatkan terdengar bunyi wungng...!

Menandakan logam tajam itu punya berat yang cukup lumayan. Sedang Wisnu Rangka berbadan kurus, mengenakan pakaian hitam, ikat kepalanya putih, rambutnya panjang, usianya lebih tua lima tahun dari usia Umbara Yodya yang baru dua puluh tujuh tahun itu. Wisnu Rangka menggunakan tombak bergagang hitam dengan ujung tombak selain mempunyai mata tombak juga mempunyai dua mata kapak kanan-kiri yang cukup besar. Putih berkilat terkena cahaya obor yang memantul.

Wisnu Rangka maju ke tengah arena lebih dulu. Penggemarnya termasuk banyak pula. Mereka mengelu-elukan Wisnu Rangka hingga membuat Wisnu Rangka menjadi bersemangat dan bertambah beringas. Tombak panjangnya dimainkan beberapa saat, sebagai upaya pamer kegesitan terhadap penggemarnya.

Sementara itu, Umbara Yodya tampil lebih kalem, la juga menebaskan pedang besarnya ke kanan-kiri, membuat kain merah di ujung gagangnya ikut berkelebat ke sana-sini. Penggemarnya juga banyak, walau sambutan mereka tak semeriah menyambut kemunculan Wisnu Rangka. Mungkin dikarenakan nama Wisnu Rangka lebih dikenal ketimbang Umbara Yodya.

Bongng...! Suara gong ditabuh, itu pertanda pertarungan dimulai. Maka, kedua petarung itu mulai saling dekat, saling mengincar kelengahan lawan, menunggu kesempatan menyerang.

Mereka berputar-putar sejenak, kemudian Wisnu Rangka mendului menyerang dengan mengibaskan tombak berkapak dua itu ke kepala Umbara Yodya. Wusss...!

Trang...! Umbara Yodya menangkis dengan pedangnya, membuang arah gerakan tombak ke samping. Begitu tombak itu bergerak ke samping, pedang besar Umbara Yodya segera menebas dari bawah ke atas.

"Hiaaat...!"
Wungngng...!

Tebasan itu bisa dihindari oleh Wisnu Rangka. Penonton bertepuk riang, merasa lega Wisnu Rangka lolos dari maut. Mereka diam kembali, mata tak berkedip memandangi dua jago yang bertarung di tengah arena itu.

Kali ini, Wisnu Rangka menyodokkan tombaknya ke arah depan, sasaran utama adalah dada Umbara Yodya. Tapi sekali lagi Umbara Yodya berhasil menangkis dengan pedangnya. Trang...! Dan tiba-tiba ia berputar cepat, lalu kakinya menendang ke wajah Wisnu Rangka. Plokk...!

Wisnu Rangka tersentak ke belakang dan jatuh di sudut tembok. Umbara Yodya segera melompat dengan satu teriakan keras,

"Hiaaaat...!"
Wungng...! Trangng...!

Sabetan pedang Umbara Yodya kali ini ditahan oleh tombak bermata kapak itu. Ganti Wisnu Rangka yang sapukan kaki untuk menjegal lawannya agar jatuh. Tapi Umbara Yodya lebih lincah. la bersalto ke belakang dengan gerakan cepat. Plak plak plak plak...! Empat kali salto ia sudah berada di tengah arena lagi, menunggu lawannya mendekat.

Seseorang berseru, "Ayo bangkit, Wisnu! Bangkit...!"
Yang lain beseru, "Serang dia! Jangan kasih kesempatan!"
Yang di sudut berteriak, "Habisi dia, Umbara! Sikat terus!"

Wisnu Rangka bangkit. Kemudian dengan satu pekikan keras, ia melesat bagaikan terbang, dan begitu mendekati Umbara Yodya, senjatanya itu ditebaskan ke depan. Wusss...!

Umbara Yodya menepi sedikit, lalu maju dalam satu sentakan tangan mengibas miring. Wungng...! Crasss...!

"Aahg...!" Wisnu Rangka mendelik. Pinggangnya robek lebar oleh pedang besarnya Umbara Yodya. Kejap berikutnya, Wisnu Rangka pun rubuh dalam keadaan tengkurap. Darah mulai membanjiri lantai.
la kejang-kejang sesaat, kemudian diam tak bergerak selamanya.

"Hidup, Umbara...! Hidup, Umbara...!" teriak penonton dengan penuh suka cita.

Dua petugas kebersihan segera datang dan membawa pergi mayat Wisnu Rangka. Umbara Yodya segera masuk untuk beristirahat sebentar. la melewati pintu berjeruji yang ada petugasnya sendiri untuk membuka dan menutupnya. Arena yang bersimbah darah segera dibersihkan oleh petugas khusus penyapu darah.

Di pintu selatan arena ada seraut wajah terselubung yang memperhatikan pertarungan tadi. Di selatan juga ada pintu berjeruji, sama dengan pintu keluar-masuknya peserta dari kamar ke arena. Tapi pintu selatan khusus untuk keluar-masuknya si Wajah Hitam. Biasanya jika peserta sudah habis atau tinggal satu, dan pintu selatan dibuka, penonton semakin riuh menyambut kemunculan si Wajah Hitam. Pintu itu pun ditutup lagi jika kedua jago sudah siap bertarung di tengah arena.

Namun kali ini pintu selatan belum dibuka. Si Wajah Hitam hanya duduk dengan menikmati makanan kecil melalui lubang kain pada mulutnya. Matanya memandangi setiap penonton di atas melalui lobang mata pada kain hitamnya. la tampak tenang menyaksikan pertandingan adu nyawa itu.

Dari lorong selatan, tempat si Wajah Hitam menunggu giliran itu, ada tangga yang menuju ke lantai paling atas. Dari tangga itu turun seorang lelaki kurus berambut kucai, agak kemerahan, berjubah biru, dengan hidung sedikit bengkok ke kanan. Dialah yang mengurus jago unggulan, dan orang itu dikenal dengan nama Jenarpati. Usianya sudah mencapai lima puluh tahun lebih, tapi masih gesit dan bersemangat, ia juga menyukai tontonan pertarungan, sehingga ditunjuk oleh Brahmana Gada untuk mencari jago-jago unggulan, dan mengurusnya.

Jenarpati langsung temui si Wajah Hitam dan berkata, "Perhatikan permainan pedangnya Girilakon. Kurasa dialah nanti yang jadi lawanmu, Wajah Hitam!"

"Kapan dia tampil?"
"Tiga urutan lagi!"
"Aku siap diadu dengannya kapan saja!"

Jenarpati tersenyum bangga, sambil menepuk- nepuk pundak kekar si Wajah Hitam yang tidak berbaju itu.

"Aku percaya, kau pasti akan mengalahkannya! Tapi bersabarlah menunggu giliran bertarung di depan penggemarmu!"

"Hari ini banyakkah penonton yang datang?"
"Lebih banyak dari minggu lalu! Mereka semua menunggu giliranmu tampil! Jangan khawatir, kau masih punya banyak penggemar!"

"Apakah hari ini ada peserta perempuan?"
"Tidak ada! Semuanya lelaki. Memangnya kenapa?"

"Aku paling malas kalau harus bertarung melawan perempuan, seperti beberapa waktu yang lalu!"

Kembali Jenarpati memperdengarkan tawanya yang terkekeh pelan.

Tiba-tiba terdengar suara Luhito berseru, "Para hadirin, para tamu terhormat, dan para sahabat sekalian.... Pertarungan berikutnya adalah Umbara Yodya, yang sudah memenangkan pertarungan hari ini empat kali, melawan Sangkakala...!"

Prok prok prok prok...! Tepuk tangan dan sorak- sorai mereka masih bersemangat. Umbara Yodya tampil kembali. Sudah empat kali ia menjatuhkan lawannya, tapi masih tetap kelihatan tangguh dan segar.

Kemunculan Umbara Yodya disusul dengan kemunculan orang bertubuh kurus kering, tanpa baju sehingga terlihat tulang dan kulit tipisnya. Orang ini berambut panjang sepundak, tipis dan terurai lepas. Celananya kuning, tulang iganya kelihatan jelas sekali, lengannya kurus bagaikan tulang dibungkus kulit, wajahnya pun tak sedap dipandang mata. Berkumis kaku seperti kumis tikus, bermata cekung, dan berhidung rata pesek. Orang ini yang menamakan diri Sangkakala. Bersenjata sepasang sabit bergagang panjang dua jengkal.

"Hoi... mau bertarung apa mau pamer tulang?!" seru salah seorang penonton. Sangkakala diam saja tak melayani seruan itu. la berdiri di tengah arena, berhadapan dengan Umbara Yodya. Begitu gong ditabuh, bongngng...! Umbara Yodya mulai bergerak mempermainkan pedang besarnya. Tapi Sangkakala masih diam, kedua sabit tergenggam di kanan-kiri. Tapi matanya tajam memandang tiap gerakan sekecil apa pun dari Umbara Yodya.

Umbara Yodya memutarinya pelan-pelan, Sangkakala masih diam saja. Matanya melirik terus mengikuti gerakan Umbara Yodya. Bahkan ketika Umbara Yodya ada di belakangnya, Sangkakala tak mau menengok ke belakang. la memandang lurus ke depan dan mematung tak bergerak.

Seorang penonton berteriak, "Hoi, Patung Asmat! Bertarunglah, jangan diam saja!"

Sangkakala yang aneh itu bagai orang tuli. Tak didengarnya seruan itu. Tak ada rasa cemas sedikit pun.

la tahu Umbara Yodya ada di belakangnya, tapi matanya menatap lurus ke arah si Wajah Hitam. Hal itu membuat Wajah Hitam merasa heran dengan lagak aneh si kurus berambut tipis itu.

Umbara Yodya segera kelebatkan pedangnya menebas dari atas ke bawah. Kepala Sangkakala pasti terbelah menjadi dua bagian. Apalagi ketajaman pedang itu melebihi pisau cukur, tak ampun lagi tubuh yang terkena goresan sedikit pun pasti akan terluka lebar dan panjang.

Namun ketika pedang Umbara Yodya ditebaskan dari atas ke bawah, Sangkakala cepat sentakkan kedua tangannya ke belakang. Kedua sabitnya bersilang tepat di atas kepala. Trangng...! Pedang itu tertahan dua sabit yang bersilang.

"Hiaaat...!" Sangkakala berkelebat memutar sambil tangan kanannya bergerak menebas, wesss...! Cepat sekali gerakannya, dan ia berhenti bergerak dalam keadaan sedikit miring kedua tangannya ada di kiri, kakinya sedikit merendah. Lama ia bersikap begitu. Sementara itu, Umbara Yodya pun juga diam dalam posisi pedang digenggam dua tangan dan merapat di sebelah kiri pinggangnya. Mata Umbara Yodya tak bergerak, mata Sangkakala juga tak bergerak.

Tiba-tiba dari pinggang kiri Umbara Yodya menetes darah. Tes...! Penonton langsung menggaung tegang, "Huuuh...?!" Mata mereka juga tidak berkedip, dan makin terbelalak ketika Umbara Yodya tahu-tahu rubuh dan tak bernyawa lagi. Lukanya cukup dalam dan lebar. Luka itu ada di bagian lambung, dan didekap dengan kedua tangan yang memegangi gagang pedang.

Begitu Umbara Yodya jatuh tak bernyawa, orang kurus kering dan berambut kucai merah itu segera bergerak, melepaskan ketegangannya. Penonton bertepuk kagum, ada yang berseru, "Hidup Sangkakala!" Yang lainnya pun menyahut, "Hiduuup...!"

Tapi si Wajah Hitam bertanya dalam hatinya, "Siapa Sangkakala itu? Gerakannya begitu cepat dan tak disangka-sangka. Kurasa dialah pemenang terakhir dari pertarungan ini! Kurasa dialah yang akan berhadapan denganku! Hmm.... tapi, siapa dia sebenarnya?!"

SEEKOR kuda putih dipacu cepat melawan deru angin. Udara panas itu bukan hanya menyengat kulit namun juga menaburkan debu yang dapat membungkus setiap dedaunan. Semakin lama angin debu itu semakin deras berhembus ke arah utara, melawan lari kuda putih berjambul tebal itu. Sang kuda meringkik sambil menaikkan kedua kaki depannya.

Si penunggang kuda berpegang tali kekang cukup kuat, dan agaknya sudah terbiasa menghadapi lonjakan kuda seperti itu. Tapi si penunggang kuda agaknya tak biasa menghadapi angin kencang berdebu. Sekalipun demikian si penunggang kuda yang berjubah hijau sutera itu masih kelihatan tetap tenang dan merasa mampu menguasai keadaan.

Rupanya si penunggang kuda adalah seorang perempuan cantik yang berusia sekitar dua puluh lima tahun. Gadis itu mengenakan pakaian pinjung sampai batas dada yang berwarna ungu bersulam benang kuning emas. Pakaian ungunya itu dibungkus jubah hijau muda tanpa dikancingkan depannya, hingga ketika melaju bersama kudanya, jubah itu berkelebat melambai-lambai ke belakang, la mengenakan kalung lempengan berhias batuan kecil warna merah delima. la juga memakai gelang berbentuk seekor ular bermata merah delima. Sebilah pedang perak berukir dengan ujung gagangnya bermata merah delima juga, terselip di pinggang kiri.

Rambutnya disanggul ke samping dan sisanya dibiarkan berjuntai ke depan dada, kadang ke belakang. Gadis itu berkulit kuning dengan mata bulat indah, tak terlalu lebar.

Hembusan angin yang semakin kencang membuat gadis itu sedikit kebingungan, karena kudanya bagai menolak untuk melaju menembus deru angin berdebu itu. Sang kuda melompat-lompat menaikkan kaki depannya sambil keluarkan suara ringkik berkali-kali.

Debu semakin banyak, semakin membuat putih batang pohon di sekitar tanah kaki bukit itu. Gadis tersebut sipitkan mata karena takut terserang debu matanya. la berusaha atasi amukan kudanya di sela- sela hembusan badai debu yang makin lama semakin mengerikan.

Sedikit demi sedikit gadis itu bisa menggiring kudanya untuk mendekati sebuah pohon berdaun lebat yang bercabang dahan rendah. Tapi baru saja ia tiba di bawah pohon tersebut, tiba-tiba tubuhnya tersentak dari atas punggung kuda. la terlempar akibat amukan kuda yang semakin menggila.

Brukk...! Gadis itu jatuh membentur batang pohon sisi sampingnya. Kuda tersebut berlari dengan liar sambil meringkik-ringkik seakan menolak deru badai berdebu itu. Sang gadis berusaha mendapatkan kudanya lagi dengan menangkap tali kekangnya pada saat kuda membalik ke arahnya dan memutari pohon satu kali.

"Ini bukan angin badai sewajarnya!" kata gadis itu dalam hati. "Pasti ada seseorang yang mengirimkan badai berdebu ini padaku!"

Tali kekang kuda diikatkan pada dahan pohon yang rendah itu. Pada saat demikian, hembusan badai mulai reda sedikit, tapi debu-debu masih beterbangan. Kemudian sang gadis pun berlindung di belakang pohon berbatang besar itu. la berdiri dalam lindungan batang pohon sambil merapatkan badan ke batang tersebut. Angin berhembus menerpa batang pohon itu, dan tubuh si gadis selamat dari hembusan berdebu. Hanya taburan debu yang mengenai batang pohon masih sempat memercik ke tubuhnya. Tapi kulit tubuh tidak terasa seperih tadi, sebab debu-debu itu tidak langsung mengenai tubuhnya.

Tiba-tiba seberkas sinar, melesat dari atas pohon seberang. Sinar itu berpijar-pijar dan menghantam pohon pelindung si gadis. Darrr...! Pohon pun tembus berlubang, sinar merah itu melesat keluar dari dalam pohon itu tepat di samping leher atas pundak si gadis. Wesss...! Lalu sinar itu redup dan hilang sebelum membentur pohon berikutnya.

Wajah gadis itu mulai sedikit tegang. Kali ini ia yakin ada orang yang ingin mencelakakan dirinya. Siapa orangnya, ia belum tahu. Tapi yang jelas ia semakin yakin bahwa badai berdebu itu kiriman dari orang tersebut. Si gadis tak bisa mengintip ke arah pohon seberang, karena takut tiba-tiba dihantam pukulan jarak jauh begitu wajahnya tersumbul dari balik pohon.

Namun pada saat itu gadis itu sudah mulai mencabut pedangnya pelan-pelan. Matanya melirik penuh curiga dan waspada ke arah sekelilingnya. Hatinya sedikit lega melihat kudanya tidak terkena hantaman sinar merah yang berbentuk mirip ujung tombak tadi.

Kejap berikutnya angin badai hilang. Hilang dalam seketika. Seolah-olah angin yang menghembus menyerupai badai itu ditangkap oleh seseorang dari lubang penyemburnya, dan debu pun tinggal sisanya yang bertaburan tanpa hempasan kuat. Saat itulah si gadis baru berani mengintip dari balik pohon.

Ketika ia mengintip ke arah pohon seberang, tiba- tiba terdengar suara mengejutkan yang datang dari belakangnya,

"Aku di sini, Yayi!"

Cepat-cepat gadis itu berpaling dan memandang dengan mata tampak tersentak kecil. Napasnya terhempas lepas setelah ia temukan orang yang menyerangnya dengan cara aneh tadi.

Orang itu adalah perempuan tua berusia sekitar tujuh puluh tahun. Berjubah hitam dengan pakaian dalamnya putih, berbadan kurus kempot bermata cekung. Rambutnya putih dikonde tengah sisanya dibiarkan meriap ke samping dan belakang.

Nenek itu menyelipkan siwur atau gayung dari tempurung kelapa yang bergagang panjangnya dua jengkal lewat sedikit. Tempurung kelapa itu berwarna coklat tua, tampak kekar bagaikan besi. Bagian yang berlubang, yang biasa untuk menciduk air, terlihat kosong tanpa isi. Benda itulah senjata si nenek, sehingga ia dikenal dengan nama Nyai Gayung Demit.

Gadis yang tadi dipanggil sebagai Yayi itu ternyata mengenal nenek tersebut. Maka ia pun segera berkata,

"Apa maksudmu mengganggu perjalananku, Nyai Gayung Demit?!"

"Hanya sekadar ingin membunuhmu," jawab Nyai Gayung Demit seenaknya saja, seakan bicara dengan polos, tapi pandangan mata cekungnya yang tajam memancarkan nafsu untuk membunuh.

Mata Yayi terkesiap, tapi bukan berarti ia gentar mendengar kata-kata Nyai Gayung Demit. la bahkan berucap kata,

"Apa kau mampu membunuhku, Nyai?!"

"Itu persoalan mudah sekali. Bisa kulakukan sambil tidur atau sambil buang hajat di sungai! Tapi yang penting kau harus tahu dulu apa sebab aku ingin membunuhmu!"

"Bagus sekali. Aku akan mendengarkan alasanmu Nyai. Katakanlah!"

Nenek sedikit bungkuk itu pandangkan matanya ke sekeliling dengan cepat, seolah-olah ia tak ingin lengah, tak ingin pula ada pihak lain yang mendengar alasannya itu. Maka ia pun segera menjawab,

"Mendiang kakekmu yang bergelar Patok Sewu itu dulu adalah suamiku!"

Berkerut dahi Yayi seketika itu pula. la tak pernar mendengar cerita dari mendiang kakeknya atau neneknya tentang hubungan sang kakek dengan Nyai Gayung Demit itu. Yayi ingin menyanggah kata- kata tersebut, tapi ia juga ingin mendengar lebih lengkap penjelasan Nyai Gayung Demit, sehingga akhirnya ia putuskan untuk diam dan membiarkan Nyai Gayung Demit teruskan bicaranya.

"Sebelas tahun kami menikah, tapi kami tak menghasilkan keturunan. Suamiku serong dengan perempuan lain, dan perempuan itu hamil. Suamiku senang, lalu dia kawini perempuan itu dan dia ceraikan diriku yang amat dicintainya ini! Sakit hatiku kala itu, tapi aku tak punya kesanggupan apa- apa untuk melawan suamiku itu, Yayi. Sembilan bulan kemudian, perempuan itu melahirkan bayi perempuan, yaitu ibumu!"

Mata nenek kempot berambut putih itu menerawang dan sedikit menyipit ketika berucap kata,

"Aku benci dengan bayi itu! Aku ingin membunuhnya, tapi tak pernah berhasill Aku merasa iri dengan nenekmu dan bayinya, tapi kakekmu selalu berhasil mengalahkan aku! Dan bayi itu makin lama makin tumbuh menjadi dewasa! Wajah dan potongan tubuhnya persis dengan kamu, Yayi. Karena bayi yang menjadi dewasa itu adalah ibumu sendiri!"

Berdebar tegang hati Yayi. Namun ia tetap menahan segala gejolak yang ada di dalam dadanya. la masih memberi kesempatan kepada Nyai Gayung Demit untuk memuntahkan segala uneg-unegnya.

"Ketika Dewi Sekar Asih, ibumu itu, berburu dengan kakekmu, aku berhasil menawannya dan ingin membunuhnya. Tapi datang seorang penyelamat yang menggempur habis tubuhku. Penyelamat itu adalah Raden Cakrakusuma yang sekarang menjadi ayahmu dan menjadi seorang adipati. Ilmuku kalah tinggi dengannya. Maka, ketika aku melihat kau sejak ada perayaan di alun-alun, aku selalu membayang-bayangimu...."

"Kenapa sasarannya diriku? Aku tidak punya sangkut-paut masalah hubungan kakek, nenek, ayah, dan ibuku terhadap kamu, Nyai Gayung Demit!"

"Kau mirip sekali dengan ibumu! Tak bergeser sedikit pun. Dan karena sekarang ibumu tak pernah keluar dari istana tanpa pengawalan yang ketat, maka kutunggu kesempatan itu. Ternyata yang muncul adalah kesempatan untuk membunuhmu, karena kau keluar dari istana tanpa ada pengawal satu pun! Kini kesempatan membunuhmu ada di depan mataku, Yayi!" kali ini Nyai Gayung Demit bersuara menggeram.

Yayi sunggingkan senyum tipis tanpa meremeh kan, kemudian ia sambung senyumnya dengan ucapan kata,

"Apakah kau belum tahu bahwa semua ilmu kakekku sudah diturunkan padaku, Nyai Gayung Demit?!"

"Ya. Aku tahu. Hanya kau yang mewarisi ilmu kakekmu, sedangkan adikmu si Abiyasa itu justru berguru kepada si Kalong Tua! Tentunya Abiyasa tahu bahwa ilmu kakekmu tidak seberapa, sehingga Abiyasa memilih mencari guru lain! Jangan kau pikir aku takut kepadamu walau kamu sudah warisi ilmu kakekmu! Dulu memang aku tidak sanggup melawan ilmu kakekmu, tapi setelah sekian lama aku menghimpun kekuatan sendiri, sekarang aku merasa sanggup menungging-balikkan si monyet Patok Sewu itu!"

Ucapan itu membuat Yayi merah telinganya. Pedang yang sudah dihunus dari sarungnya sejak tadi semakin kuat digenggam dengan tangan kanan. Gadis cantik itu masih menahan diri untuk tidak
menyerang lebih dulu, dan ia berkata ketus,

"Demi membela kehormatan kakekku yang sudah tiada, aku pun sanggup membuatmu merangkak-rangkak pulang ke kandangmu, Nyai Gayung Demit!"

"Jangan bicara begitu, nanti nyawamu lenyap dengan cepat! Padahal aku ingin membunuhmu secara perlahan-lahan, Yayi!"

"Kau tak akan mampu menjamah tubuhku, Nenek Kempot!"

"Jahanam kau...!" Nyai Gayung Demit semakin panas hati, lalu dengan cepat ia sentakkan kakinya ke tanah dan tubuhnya pun melesat sambi! mencabut gayung siwurnya itu. "Heeaaat...!"

Tubuh tua itu bagaikan terbang ke arah Yayi, kakinya siap menendang pada saat yang tepat. Sementara itu, Yayi pun melompat ke atas dan cepat tebaskan pedangnya ke arah kaki Nyai Gayung Demit. Wutt...!

Trakkk...! Duerrr...!

Pedang itu ditangkis dengan gayung siwur. Timbul percikan api akibat benturan dua senjata itu, dan ledakan kecil yang cukup mengagumkan. Padahal gayung itu hanya terbuat dari kayu dan tempurung kelapa. Tapi karena dialiri tenaga dalam, senjata itu menjadi seperti terbuat dari besi baja yang cukup berbahaya.

Sekalipun kecil ledakan itu, namun sempat mengagetkan hati Yayi, karena hal itu di luar dugaan. Karena kaget, Yayi kehilangan konsentrasi, sehingga ketika keduanya sama-sama mendaratkan kaki di tanah, Nyai Gayung Demit segera memutar tubuhnya dengan cepat dan sebuah tendangan berkelebat mengenai wajah Yayi. Plokk!

Yayi terhuyung ke samping. Nyai Gayung Demit berputar lagi dengan cepat. Wess...! Tiba-tiba gayungnya dihantamkan ke dada Yayi. Tapi saat itu tangan kiri Yayi segera menghentak ke depan, telapak tangannya diadu dengan tempurung kelapa tersebut. Prakkk...!"

Blarrr...!

Gelombang ledakan melemparkan tubuh berwajah cantik Itu. Sinar merah yang memecah akibat benturan telapak tangan dengan tempurung kelapa itu telah membuat tenaga dalam Yayi membalik mengenai dirinya sendiri.

Tak ampun lagi ia terpental terbang dalam keadaan hilang keseimbangan badan. la bagaikan sehelai daun kering yang dilemparkan ke belakang dan jatuh terguling-guling di sela-sela akar dari pohon besar. Akar itu pipih tapi keras, dan tubuh Yayi terjepit di sela dua akar pipih itu.

la terpuruk di sana, wajahnya menelungkup, mulutnya berdarah. Melihat punggung Yayi terbuka bebas, Nyai Gayung Demit segera memanfaatkan untuk menggempur memakai senjatanya itu. la pun segera melompat dalam gerakan salto satu kali di udara, kemudian menghantamkan senjata itu di
punggung Yayi. Wusss...!

Werrr...! Buggh...!
"Aahg...!"

Sekelebat tubuh melesat di hadapan Nyai Gayung Demit. Tubuh itu menghadang dan menjadikan punggungnya sebagai pengganti punggung Yayi. Nyai Gaung Demit akhirnya menghantam punggung orang berbaju putih itu dengan senjata siwurnya. Orang berbaju putih bercelana hitam itu mengerang kesakitan. Tubuhnya terasa patah pada bagian punggung, karena pukulan gayung bertempurung itu seperti pukulan gada besi sebesar pilar. la menggeliat di samping Yayi, sementara Yayi sendiri berusaha untuk bangkit.

"Bocah koplo...!" bentak Gayung Demit kepada pemuda berbaju putih itu. "Apa untungnya kau menggantikan punggung gadis itu, jika gadis itu sendiri tidak mengharapkan begitu?! Berlagak jadi pahlawan kamu, hah?!"

Bert...! Plokkk...!

Satu tendangan kuat dihajarkan ke wajah pemuda itu oleh Nyai Gayung Demit. Bagian kepala pemuda itu tersentak, badannya segera terguling- guling.

Tapi begitu ia melihat Nyai Gayung Demit kembali mau menghantam punggung tempurung gayung dengan maksud ingin memecahkan kepala Yayi, pemuda itu segera bangkit dan melompat seperti macan. la menerjang Nyai Gayung Demit tanpa perhitungan, sehingga gagang gayung nenek tua itu menyodok pipinya dengan keras. Dess...!

Nyai Gayung Demit terjungkal dan berguling- guling di tanah, didekap kuat oleh pemuda berambut sepundak kurang itu. Mereka bergelut sesaat, sementara Yayi heran pandangi pemuda yang tak dikenalnya itu.

Plok plok desss...!

Nyai Gayung Demit berhasil menampar dan menghantam wajah pemuda berikat kepala putih itu, sehingga pemuda tersebut terpental dan terpisah dari pergulatan di tanah. Pemuda itu jatuh telentang dengan menyeringai kesakitan. Pipinya memar membiru akibat sodokan gagang siwur tadi. Bibirnya sedikit luka akibat pukulan yang terakhir itu. Nyai Gayung Demit berdiri sambil mencaci,

"Bocah mesum! Orang sudah setua ini mau diperkosa!"

Dengan napas sesak dan dada sakit, Yayi segera berkata kepada nenek tua itu, "Kurasa dia bukan bermaksud memperkosamu, tapi mau mencekik lehermul Nyai!"

"Persetan dengan anak itu! Kubunuh sekalian dia! Heaaah...!"

"Kau bergerak, maka kau mati, Nyai!" teriak Yayi sambil siap melemparkan pedang runcingnya bagai mau melemparkan tombak.

Gerakan Nyai Gayung Demit terhenti, napasnya terengah-engah. Matanya tajam memandang ke arah samping kiri yang kosong tanpa siapa pun. la sedikit miringkan kepala, seperti sedang menyimak suara yang didengarnya di kejauhan sana.

Lalu, tiba-tiba gayung yang sudah diangkat mau dihantamkan ke tubuh pemuda itu segera diturunkan. la menarik napas dan menghempaskannya sambil memandang Yayi, lalu berkata penuh kegeraman,

"Rasa-rasanya memang harus kutunda dulu niatku membunuhmu, Yayi! Aku tak mau orang- orang istana mengetahui bahwa kematianmu adalah akibat ulahku. Tapi ingat, suatu saat aku akan datang lagi menjemput nyawamu, Cah Ayu...! Hiaaah...!"

Nyai Gayung Demit melompat dalam satu sentakan ringan. Tubuhnya terangkat naik bagaikan terbang lurus, kemudian hinggap di dahan. Setelah itu ia melompat dari dahan ke dahan, berlari meninggalkan tempat itu. Dalam waktu cepat ia telah menghilang dari pandangan mata gadis cantik itu.

"Aneh! Dengan gertakan ku saja dia mau pergi cepatnya. Ada apa sebenarnya? Kurasa dia pergi bukan karena gertakanku tadi!" kata Yayi dalam hati.

Pemuda itu menggeliat pelan dan berusaha untuk bangkit. Yayi hanya memandanginya dengan mata tak berkedip dan dahi berkerut tajam. Dalam hatinya ia berkata,

"Siapa pemuda ini? Badannya besar tapi tak memiliki gerakan silat sedikit pun! Modal badan besar saja ia berani seruduk sana seruduk sini, akhirnya dia hampir mati sendiri. Bodoh amat dia?! Melihat caranya menyelamatkan diriku dari hantaman gayung itu tadi, aku yakin dia tidak punya ilmu apa-apa kecuali berani nekat pasang badan besarnya!"

Pemuda itu memang berbadan besar dan berlengan kekar. Baju putihnya yang tanpa lengan itu memperlihatkan bentuk otot dari lengan- lengannya. Bajunya diikat dengan kain merah yang melingkar di pinggang. Celananya hitam, ikat kepalanya sendiri berwarna putih. Alisnya tebal, matanya sedikit lebar, tapi berkesan kalem.

Setelah memasukkan pedangnya ke sarung pedang, Yayi segera berkata kepada pemuda berkulit coklat itu,

"Aku tidak kenal kau! Tapi kenapa kau tolong aku dengan caramu yang konyol itu?!"'

"Namaku Mahendra Soca," jawab pemuda berambut kurang dari pundak. "Aku tidak semata- mata menolong kamu, tapi aku cuma tidak suka melihat kenakalan nenek tua itu!"

Setelah ucapkan kata tersebut, Mahendra Soca melangkah ke pohon tak seberapa jauh dari tempat itu. Kemudian ia mengambil sesuatu dan membawanya mendekati Yayi lagi. Rupanya benda yang diambilnya adalah 'blandong', atau kapak untuk menebang pohon bergagang panjang. Mahendra Soca berkata kepada Yayi, ketika gadis itu memperhatikan blandong tersebut dengan pandangan sedikit merasa aneh.

"Sebagai penebang pohon dan pencari kayu, aku sering melihat nenek kempot yang bersenjata gayung itu memusuhi beberapa orang yang lebih lemah darinya. Aku sering kasihan kepada orang yang diserangnya. Entah apa saja alasan nenek kempot itu, yang jelas aku tak suka melihat kenakalannya. Karena itu, aku mencoba menahan kenakalannya dengan caraku tadi."

"Tapi itu perbuatan tolol, Mahendra! Kau bisa mati digempurnya!"

"Pikirku, tak seberapa mati jika hanya digebuk pakai gayung seperti itu. Kecuali dia bawa pedang, aku tak berani menahan tindakannya yang kuanggap nakal dan bandel itu!" Mahendra Soca memandang mata Yayi selama satu helaan napas, kemudian setelah Yayi jadi bingung dan salah tingkah ia pun berkata,

"Maaf, aku tidak pamer keberanian di depanmu. Aku hanya... hanya...."
"Sudah, lupakanlah semua itu!"

"Tapi bagaimana dengan darahmu yang tadi keluar dari mulut?" Mahendra Soca mendekat sambil menenteng kapak penebang pohonnya.

"Tidak apa-apa, aku bisa atasi sendiri!" Yayi sedikit palingkan wajah karena malu dipandangi
pemuda berwajah ganteng itu.

"Kudengar nenek kempot itu memanggilmu Yayi. Apakah itu namamu?"
"Hmmm... eh... iya! Anggap saja itu namaku, karena—karena...."

Kata-kata Yayi terhenti. la sedikit terkesiap melihat dua ekor kuda berlari ke arahnya. Dua penunggangnya segera dikenali oleh Yayi, tapi tidak demikian halnya oleh Mahendra Soca. Pemuda itu berkerut dahi memandang asing dua orang penunggang kuda, yang satu berpakaian biru tapi berompi ketat kuning, yang satunya lagi berpakaian hijau tua tanpa rompi. Orang berompi kuning itu kepalanya dibungkus dengan ikat kepala batik warna coklattua, kumisnya tipis dan tampangnya lumayan ganteng. la menyandang pedang di pinggang.

"Mahendra, kusarankan segeralah pergi sebelum kedua orang itu tiba di sini!"
"Siapa mereka itu?"
"Para pengawal kadipaten!"

"Ooo..,!" Mahendra Soca manggut-manggut, melangkah mundur setindak. "Lalu, mengapa mereka kemari? Mau apa? Dan mengapa aku harus pergi sebelum mereka tiba di sini?"

***

ORANG berpakaian biru rapi dengan rompi ketat itu melompat turun dari punggung kuda. Setelah ia perhatikan wajah Yayi yang merah pipi kirinya dan ada bekas darah di sudut bibirnya, maka dengan serta-merta orang itu berbalik menghadap ke arah Mahendra Soca. Tapi sambil berbalik ia kelebatkan kakinya dan menendang dada Mahendra Soca dengan telak. Buhgg...!

"Hegh...!" Mahendra Soca pun terpental ke belakang dan jatuh di semak-semak yang berjarak empat langkah darinya itu. Kapaknya terlepas bagai seseorang yang tak siap mempertahankan sebuah senjata.

"Ragajampi...! Jangan kau sewenang-wenang menyerang orang tak bersalah!" hardik Yayi kepada yang berompi kuning. Ternyata ia bernama Ragajampi.

"Orang itu harus dihajar, karena dia sudah melukai wajahmu, Yayi!" sambil berkata demikian, Ragajampi cepat bergerak dengan satu lompatan. Pada waktu itu Mahendra Soca sedang bangkit, dan tiba-tiba ia harus menerima serangan kaki Ragajampi yang melayang terbang itu. Buhgg...!

Gusrakkk...! Mahendra Soca terpental lagi, jauh ke dalam semak-semak ilalang. la memekik tertahan dan segera dikejar oleh Ragajampi.

Tetapi tiba-tiba tangan Yayi menyentak, kirimkan pukulan jarak jauhnya lewat telapak tangan, danlangsung mengenai punggung Ragajampi. Beggh...!

Brusss...! Ragajampi jatuh. Temannya yang berpakaian hijau turun dari kuda mau mencabut goloknya, tapi sudah didului Yayi mencabut pedangnya yang langsung ditodongkan di depan leher orang itu.

"Jangan ikut campur, Sulaya...!" geram Yayi.

"Ehmmm... anu... saya cuma mau jaga-jaga saja," jawab Sulaya dengan perasaan takut dan bimbang.

"Tinggalkan dia, Ragajampi!" sentak Yayi mengancam. Ragajampi memandang ke arah Yayi dan menjadi sedikit cemas melihat pedang Yayi sudah berada di depan Sulaya.

" Siapa pemuda itu, Yayi?"
" Seorang penebang pohon!"
" Dia menyerangmu dan kalian bertarung?"

"Pertanyaanmu bernada menuduh dia, Ragajampi! Aku tidak sukai" Yayi berkata ketus, pedangnya kembali dimasukkan ke sarungnya. Sulaya sendiri segera memasukkan goloknya. Mahendra Soca berdiri dengan masih sedikit limbung.

Ragajampi mendekati Yayi dan berkata dengan sikap tegasnya, "Aku kecewa kau keluar dari istana tanpa pamit kepada siapa pun. Kanjeng Adipati, ayahandamu marah padaku dan menyuruhku mengejar kamu! Lalu, kutemukan kau berada di sini dengan babi busuk itu! Aku kecewa sekali, Yayi!" sambil Ragajampi menuding Mahendra Soca.

Pemuda berikat kepala kain putih itu diam saja dikatakan sebagai babi busuk. Tapi Yayi merasa tak sukai dan berkata,

" Sopanlah sedikit bicara di depanku, Ragajampi!"
" Apakah aku kurang sopan padamu?"

"Aku adalah putri dari penguasa junjunganmu. Kau seharusnya hormat padaku, Ragajampi! Apakah kaul ingin aku mengadukan kepada Ayah tentang sikap tidak sopanmu selama ini?!"

Ragajampi diam. Agaknya ia terdesak dan tak bisa berkelit lagi. Ada rasa cemas dan takut yang disembunyikan di dalam sikap tegasnya itu. Tetapi Yayi melihat rasa cemas dan takut itu, sehingga ia berani mengancamnya dengan kata-kata seperti tadi.

Akhirnya Ragajampi turunkan nada suaranya, sedikit lebih rendah dari saat setelah menghantam Mahendra Soca. la berkata,

" Kanjeng Adipati menyuruhmu pulang, Yayi!"
" Aku ingin pergi sendirian!"
" Ke mana?"
" Ke suatu tempat!" jawab Yayi dengan ketus.
" Bersama pemuda itu?" Ragajampi melirik dengan penuh curiga.
" Bersama dengan dia atau tidak dengan dia, apa pedulimu?"
" Kau dalam tanggung jawabku, Yayi!"
" Apakah itu berarti aku harus selalu dekat denganmu?"
" Mestinya begitu!"

Yayi membantah, "Tidak. Kau bukan kekasihku, bukan suamiku, juga bukan saudaraku. Tak layak aku harus berdekatan terus denganmu, Ragajampi!"

"Tapi aku pengawalmu! Aku yang mendapat tugas dari ayahmu untuk selalu mengawalmu ke mana saja kau pergi, Yayi!"

"Mengawal tidak harus membatasi kebebasanku, Ragajampi! Kalau aku mau pergi dengan pemuda itu, atau pergi dengan pemuda lain, atau aku ingin berpelukan dengan pemuda mana pun, kau tak perlu menggangguku! Kau tak perlu mencak-mencak seperti tikus kebakaran jenggot!"

"Hmm...! Tikus tidak pernah punya jenggot, Yayi. Jadi kurasa aku tidak seperti apa yang kau katakan!"
"Aku tahu kau selalu merasa cemburu jika aku bicara dengan pemuda laini" kata Yayi membuat wajah Ragajampi semakin panas. Ragajampi mencoba untuk mencibir sinis. Yayi berkata lagi,

"Kau naksir aku, Ragajampi! Aku melihat gelagatmu yang konyol dan sering membuatku muak jika kau pasang gaya cemburu di depanku!"

"Yayi, sebaiknya tak perlu kita bicara soal itu, pulanglah!"

"Aku tidak mau pulang!" Yayi berjalan mendekati Mahendra Soca. Mata Ragajampi semakin nanar mengikuti arah langkah Yayi. Wajahnya semakin dingin memandang Yayi berada di samping Mahendra Soca dan memegang tangan Mahendra Soca yang tergores duri. Tidak berdarah tapi sedikit membekas merah.

" Sakitkah tanganmu?"
" Tidak. Aku tidak apa-apa. Cuma sedikit sesak rasanya dadaku."
" Maafkan atas perlakuan pengawalku yang tolol itu. Jangan sakit hati padanya, Mahendra!"

Tiba-tiba Ragajampi menyahut dari tempatnya, "Kalau dia mau balas dendam, kulayani kapan saja!"

" Pengawal! Kembali ke kudamu!" bentak Yayi dengan mata melotot.
" Yayi, aku hanya...."

"Kembali ke kudamu, Pengawal!" makin tinggi bentakan itu, dan Ragajampi dengan hati dongkol terpaksa menuruti perintah putri atasannya, la melangkah ke kuda, bergabung dengan Sulaya lagi. Dari sana ia berseru,

" Jangan lupa, kita harus segera kembali sebelum Kanjeng Adipati murka, Yayi!"
" Aku akan kembali tanpa bersamamu!"
" Tidak bisa. Kau harus dalam pengawalanku, Yayi!"

"Persetan dengan pengawalanmu!" sentak Yayi "Abiyasa pergi tapi kau tidak mencarinya! Kau tidak menjaga adikku itu! Mengapa aku pergi kau selalu ingin menjaganya?"

" Karena tugas menjaga Raden Abiyasa bukan tugasku!" jawab Ragajampi membela diri.
" Lalu apa tugasmu? Pengawal perempuan? Hanya perempuan saja yang kau kawal?"
" Tugasku menyelamatkan keluarga istana dari bahaya!"

"Kau sendiri tidak menyelamatkan diriku? Mahendra Soca inilah tadi yang menyelamatkan aku dari gempuran Nyai Gayung Demit!"

"Siapa...?!" Ragajampi kaget, matanya terbuka, demikian pula mata Sulaya. Mereka saling pandang dalam irama wajah tegang,

"Benarkah Nyai Gayung Demit tadi yang bertarung denganmu?" tanya Ragajampi seperti tak yakin dengan kata-kata Yayi.

"Hampir saja aku mati di tangannya kalau tidak diselamatkan oleh Mahendra!"
"O, jadi si kunyuk itu punya ilmu juga, sehingga bisa selamatkan kamu dari tangan nenek iblis itu?!"

"Sekalipun dia tidak punya ilmu, tapi dia berani selamatkan aku dan pertaruhkan nyawanya! Daripada kau, hanya pangkatmu saja sebagai pengawal keluarga istana, penyelamat bahaya, tapi kau belum pernah bertaruh nyawa untukku!" kata Yayi sengaja memanasi hati Ragajampi.

"Jangan berkata begitu, Yayi. Kau sangat menyinggung perasaanku!"

"Kalau tak mau tersinggung dan terhina, cari Nyai Gayung Demit itu, dan kasih pelajaran dia supaya tidak menggangguku, juga tidak mengganggu Abiyasa atau keluargaku lainnya! Atau.. barangkali kau takut berhadapan dengan Nyai Gayung Demit, hah?!"

Tambah merah wajah Ragajampi yang dikenal sebagai kesatria andalan istana itu. la kenal dan tahu siapa Nyai Gayung Demit, yang oleh keluarga istana dianggap sebagai pengacau selama ini. la juga tahu seberapa tinggi ilmu Nyai Gayung Demit, yang menurutnya punya kesaktian lebih tinggi darinya. Tapi mendengar Yayi berkata seperti tadi di depan Mahendra Soca, wajah Ragajampi bagai ditampar pakai sendal bandol. Napasnya pun terasa sesak karena menahan malu dan marah.

" Kejar dan hadapi dia. Nyai Gayung Demit lari ke timur!" kata Yayi.
" Bagaimana dengan dirimu sendiri?"

"Aku akan mencari Abiyasa dan menyeretnya pulang. Anak itu juga harus kuberi pelajaran sendiri atas kenakalannya yang pergi tanpa pamit kepadaku!" jawabi Yayi.

Setelah mempertimbangkan beberapa saat, akhirnya Ragajampi terpaksa harus membiarkan kehendak putri adipati itu. Meski ia memendam cemburu terhadap Mahendra Soca, tapi ia tak bisa melampiaskan tanpa ada alasan kuat. Maka ia pun segera pergi ke timur bersama Sulaya, anak buahnya, untuk mengejar Nyai Gayung Demit.

Setelah Ragajampi dan Sulaya menghilang dari pandangan mata, Mahendra Soca pun segera berkata! "Galak sekali orang itu!"

" Dia cemburu melihatku bersamamu, Mahendra!"!
" Apakah dia cinta padamu, Yayi?"
" Mungkin. Tapi aku muak padanya dan tak pernah tunjukkan sikap manis di depannya!"

Mahendra Soca melangkah mengambil blandongnya, setelah itu baru berkata lagi kepada Yayi,

"Menurutku, sebaiknya memang kau pulang saja. Nanti ayahmu marah padamu. Kau putri seorang adipati, harus menunjukkan sikap berbakti kepada orang tuamu, yang sekaligus adalah penguasamu!"

"Aku harus menemukan Abiyasa dulu! Adikku itu harus kubawa pulang dan jangan sampai turuti nafsu lawannya."

Mahendra Suco kerutkan dahi dan bertanya, "Nafsu yang bagaimana maksudmu, Yayi? Apakah aku boleh mengetahuinya?"

"Abiyasa ditantang oleh saudara seperguruannya yang bernama Gumarang! Persoalannya hanyalah karena Gumarang merasa iri dan tidak suka jika adikku menjadi murid kesayangan gurunya dan berhak menerima warisan ilmu 'Seblak Nyawa'. Untuk melampiaskan rasa iri yang menyakitkan hati, maka Gumarang menantang adikku, dan adikku menuruti tantangan tersebut."

"Itu berarti adikmu berjiwa kesatria dan pemberani. Bukankah itu akan membuatmu bangga mempunyai adik kesatria dan pemberani?"

"Ya. Tapi usianya masih sangat muda menurutku! Belum waktunya ia beradu kesaktian walau sesama teman seperguruannya!"

Mahendra Soca senyumkan bibirnya dalam tawa rendah yang pelan, kemudian ia berkata, "Percayalah, adikmu pasti bisa mengalahkan lawannya itu! Kau tak perlu cemas, Yayi."

"Aku tak yakin dia akan menang, karena Gumarang menantangnya di arena pertarungan, di Rumah Busuk yang dikenal sebagai Ladang Pertarungan!"

Dahi Mahendra Soca berkerut tajam sekali, matanya memandang tak berkedip. Lalu ia menggumam, "Di mana...?!"

"Ya. tentunya kau tahu, Ladang Pertarungan adalah tempatnya orang-orang sombong yang pamer kesaktian dan kekuatan. Dan orang-orang itu hanya mengorbankan nyawa secara sia-sia saja di arena pertarungan itu!"

"Kalau Gumarang dan Abiyasa berani bertarung di arena sana, itu berarti mereka berdua sama-sama punya keberanian yang setingkat!"

"Bukan soal keberanian adikku yang kucemaskan, tapi nasib adikku di pertarungan itu berbahaya. Sebab yang kudengar, kalau toh adikku bisa kalahkan semua lawannya termasuk Gumarang, maka di akhir pertarungannya, dia pun akan menghadapi lawan tangguhnya, yaitu si Wajah Hitam! Oh, aku tak bisa bayangkan betapa rapuhnya Abiyasa jika berhadapan dengan si pembantai bertopeng hitam itu! Aku sering mendengar cerita kehebatan dan kekuatan si Wajah Hitam!"

Mahendra Soca tertegun beberapa saat. Lama ia terbungkam, sambil sesekali memandang sekeliling, mencari-cari pohon yang akan ditebangnya. Lalu, terdengar suaranya berkata tanpa memandang Yayi.

"Kalau ternyata begitu keadaannya, berarti langkahmu itu benar, Yayi. Susul adikmu dan kalau bisa cegah dia agar jangan sampai ikut di arena pertarungan itu! Banyak cerita yang pernah kudengar tentang kehebatan si Wajah Hitam! Kalau adikmu berhadapan dengan si Wajah Hitam, maka dia akan menjadi bangkai dalam waktu sekejap. Hmmm...! Mengerikan sekali cerita-cerita tentang si Wajah Hitam yang pernah kudengar itu!"

"Aku percaya, dan... sepertinya memang aku harus pergi sendiri untuk mencari adikku. Suatu saat, aku ingin bicara denganmu lebih panjang lagi, kalau adikku sudah kutemukan dan kubawa pulang!"

Yayi segera menghampiri kudanya, dan melompat di atas punggung kuda. Mahendra Soca hanya memandanginya dengan lugu. Yayi berkata dari sana, "Kau tak ingin dampingi aku dalam mencari adikku?"

"Maaf, Yayi. Aku harus bekerja karena ada dua pohon lagi yang harus kutebang hari ini juga! Berangkatlah sana, dan aku berdoa supaya kau selamat di jalan!" Mahendra Soca mencoba tersenyum kepada Yayi. Gadis itu pun tersenyum tipis dan kecantikannya semakin bertambah menggoda hati saja.

Sayang sekali Mahendra Soca tidak ikut. Padahal Yayi sudah memberi pancingan supaya Mahendra Soca mau mendampingi dalam perjalanannya. Tapi agaknya Mahendra Soca lebih berat dengan tugasnya daripada mempererat tali persahabatan dengan Yayi.

"Padahal aku menyukai wajahnya yang ganteng dan tubuhnya yang tegap itu! Entah mengapa, rasa- rasanya ia lebih pintar menarik simpati ketimbang Ragajampi yang berkesan angkuh itu! Kalau saja Mahendra Soca orang berilmu, setidaknya mempunyai permainan cukup lumayan, pasti Ragajampi bisa dikalahkan saat menyerangnya tadi! Kasihan dia. Karena tak punya ilmu jadi hanya pasang badan dan siap terima gebukan dari siapa saja."

Kuda terus dipacu. Sepanjang perjalanan menuju Rumah Busuk untuk mencari adiknya yang baru berusia dua puluh tiga tahun itu, hati Yayi selalu berkecamuk tentang Mahendra Soca. Keberanian Mahendra Soca yang sangat besar dalam membela nyawa Yayi telah membuat Yayi merasa tertarik hatinya untuk lebih mengenal Mahendra Soca.

"Nanti kalau sudah kutemukan adiku," kata Yayi lagi dalam hati, "Aku akan mencari dia dan kubawa ke istana. Akan kuperkenalkan kepada Ayah dan ibu, bahwa Mahendra Soca seorang penebang kayu yang punya keberanian begitu besar. Ayah selalu menyukai pemuda yang punya keberanian tinggi. Dan kurasa Ayah tak akan marah jika kukatakan bahwa aku tertarik dengan pemuda itu. Mungkin Ayah memang tak akan marah, tapi bagaimana dengan ibu? Karena agaknya Ibu lebih suka aku bergaul dengan anak-anak bangsawan lainnya ketimbang bergaul dengan pemuda dari rakyat jelata! Ah, kurasa Ayah pasti mau menolongku membujuk Ibu supaya tak marah padaku, jika aku pulang membawa Mahendra...!"

Lewat dari pertengahan hari, ketika matahari mulai bergeser ke arah barat, Rumah Busuk yang menjadi Ladang Pertarungan itu sudah ramai dikunjungi orang. Baik para peserta maupun para penonton yang siap dengan uang taruhannya, telah memenuhi ruangan lantai bawah yang dipakai untuk Ladang Pertarungan. Mereka yang sudah mendaftar sebagai peserta, dimasukkan ke dalam ruangan khusus untuk para peserta. Tak heran jika di ruangan itu sering terjadi perkelahian sebelum mereka saling bertanding di arena.

Daftar nama peserta yang akan menjadi penantang si Wajah Hitam sudah tertera di sebuah papan, di depan pintu masuk gedung itu. Mahendra Soca ada di sana, karena dia memang sering melihat pertarungan para peserta. Saat itu, Mahendra Soca sedang pandangi papan pengumuman nama-nama peserta, dan di dalam nama-nama itu terdapat nama Gumarang dan Abiyasa,

"Kalau begitu apa yang dikatakan Yayi itu memang benar adanya," pikir Mahendra Soca dengan mulut terkatup. Kemudian ia segera bergegas menuju ke jalanan yang menanjak, tak seberapa jauh dari Rumah Busuk itu. Karena ia melihat kuda putih sedang dipacu menuju ke tempatnya berdiri. Dan kuda putih itu ditunggangi oleh seorang gadis cantik yang tak lain adalah Yayi. Mahendra Soca menyambut kedatangan gadis itu dan ingin memberitahukan bahwa nama Abiyasa memang ada di deretan nama-nama peserta.

"Hei, ternyata kau lebih dulu sampai di sini, Mahendra?"

"Ya. Karena aku tahu jalan pintas menuju tempat ini! O, ya... aku sudah lihat nama-nama peserta yang tertulis di papan pengumuman itu. Ternyata nama Abiyasa dan nama Gumarang memang ada di sana! Kalau bisa, cepatlah kau menemui pengurus pertarungan itu dan meminta agar nama Abiyasa dicoret saja. Aku akan menjaga kudamu di bawah pohon sana!"

"Celaka!" gumam Yayi dengan tegang. "Apakah pertarungannya sudah dimulai?"
"Entahlah. Tanyakan saja langsung pada mereka!"


SUARA gong ditabuh. Bongngng...! Itulah tanda pertarungan dimulai. Para penontonnya bersorak memberi semangat kepada orang yang dijagokan. Mereka yang bertaruh juga mulai berdebar-debar memikirkan nasib uang taruhannya.

Tetapi Yayi sibuk mencari Luhito yang tadi berseru memanggil dua peserta untuk mengawali pertarungannya. Yayi menembus jejalan manusia, tanpa mempedulikan mereka yang bertarung di arena. la berusaha mencapai tempat Luhito yang sedang melayani percakapan dengan dua orang. Tampaknya mereka sibuk mengatur pertarungan demi pertarungan.

Kalau saja Yayi tidak terlambat datang, barangkali ia bisa bicara bebas dengan Luhito atau Brahmana Gada. Sayang sekali ia terlambat. Ketika ia masuk ke gedung tua itu, pertarungan segera dimulai. la bertanya kepada seseorang tentang siapa yang bertugas mengurus para peserta, lalu orang itu memberi saran agar Yayi menemui orang yang bernama Luhito dengan ciri pendek, botak, baju putih, suara keras. Orang yang ditanya itu menambahkan,"Tapi kurasa kau terlambat, Nona! Luhito biasanya sudah tidak menerima peserta baru apabila acara sudah dimulai. Tapi, yah... coba sajalah. Barangkali Luhito punya pertimbangan dengan menghadirkan Nona di arena maka acaranya akan tambah seru lagi!"

"Aku bukan ingin mendaftarkan diri sebagai peserta, aku hanya ingin mencabut pendaftaran adikku! Menurutmu, apakah bisa nama adikku dicoret dari urutan nama peserta pertarungan ini?"

"Setahuku, nama yang sudah terdaftar, tidak bisa dicoret dan Luhito jarang mau melakukan pembatalan. Tapi, coba sajalah!"

Cemas dan berdebar-debar hati Yayi saat menembus jejalan manusia. Susah payah ia menerobos sampai akhirnya berhasil juga tiba di depan lelaki pendek yang cebol itu.

"Kurasa tidak bisa, Nona," kata Luhito setelah Yayi mengutarakan maksudnya. "Kecuali pertarungan belum dimulai, nama-nama peserta belum diumumkan, kau bisa mengusulkan untuk mencoret nama adikmu itu! Tapi kalau nama-nama mereka sudah diumumkan, kami tak mau mengecewakan para penonton di sini!"

"Kalau begitu, aku ingin bertemu dengan Abiyasa saja!"

"Tidak bisa! Setiap peserta yang sudah masuk ke ruangnya, tidak boleh ditemui oleh siapa pun! Takut ada kecurangan atau hal-hal yang tidak kami inginkan! Tapi kalau kau mau mendaftar sebagai peserta baru, masih ada kemungkinan untuk kami masukkan ke ruang peserta. Nona bisa bertemu dengan Abiyasa, tapi Nona tetap harus tampil sebagai peserta di arena nanti!"

"Aku tidak mau mati konyol!"

"Kalau begitu, jadilah penonton supaya tidak mati konyol!" jawab Luhito yang tinggi tubuhnya sebatas dada Yayi. Yayi hanya mendengus kesal, Luhito segera berkata setelah sorak penonton semakin meledak seru,

"Maaf, aku tidak bisa temani kamu. Aku harus kembali ke tengah arena untuk melanjutkan pertarungan ini!" Dan Luhito pun segera bergegas ke tengah pertarungan yang telah kotor oleh darah, dan sesosok mayat sedang diseret keluar oleh petugas kebersihan, sementara petugas lainnya membersihkan lantai berdarah.

Yayi bingung sendiri. Hatinya membatin, "Kalau kutantang mereka, pasti aku juga akan mati konyol! Jumlah orang-orangnya Brahmana Gada tidak sedikit. Di samping itu, jika kubikin kacau tempat ini supaya pertarungan batal, tentunya para penjudi itu akan mengamuk kepadaku, para peserta lainnya pun akan menyerangku, karena aku dianggap pengacau semangat mereka!"

Menurut Yayi, satu-satunya jalan harus bisa bicara langsung dengan Brahmana Gada. Orang itulah yang bisa membatalkan pertarungan Abiyasa. Perintahnya lebih ditakuti oleh Luhito ketimbang ancaman pedang tajam. Maka, Yayi pun berusaha mencapai ke tempat Brahmana Gada yang sedang duduk dan tertawa-tawa bersama tiga perempuan cantik. Mereka sedang menunggu pertarungan berikutnya dimulai.

Di pertengahan jalan menuju tempat duduk Brahmana Gada, Yayi berpapasan dengan seorang penjaga keamanan di bagian lantai penonton. la ditahan ketika hendak menuju ke tempat duduk para undangan dan tamu-tamu terhormat.

" Aku mau temui dia. Brahmana Gada!"
" Untuk keperluan apa, Nona?" tanya orang tegap berkumis itu.
" Aku mau bicara dengan dia agar mau membatalkan pertarungan untuk adikku!"

"Tidak bisa, Nona. Tuan Brahmana Gada pasti akan marah dan merasa terganggu jika Nona datang menghadap untuk keperluan seringan itu! Bisa-bisa Nona dibunuhnya!"

"Tapi aku harus membatalkan pertarungan Abiyasa, adikku itu! Dia masih terlalu muda untuk arena seperti ini!"

"Usia muda tidak berpengaruh, Nona! Yang berusia tua pun belum tentu punya keberanian sebesar yang berusia muda!"

"Aduh, tolonglah! Jangan sampai aku memaksamu dengan kekerasan!"

Tiba-tiba terdengar suara keras Luhito yang membuat hadirin menjadi tenang dan menyimak suara itu. Yayi dan pengawal tersebut juga segera membungkam mulut masing-masing.

"Pertarungan berikutnya, adalah si pemenang yang tadi telah menumbangkan Kurdogeni, yaitu si Dewa Botak, yang akan menghadapi peserta selanjutnya, yaitu Abiyasa...!"

Prok prok prok prok...! Penonton dan para tamu terhormat bertepuk tangan sambil bersorak dengan riuhnya. Hati Yayi terkejut. Matanya terbelalak. Pengawal itu berkata,

"Kurasa kau percuma menghadap Brahmana Gada, adikmu sudah tampil di arena, Nona. Lihatlah!"

Yayi mendesak ke tepi pagar pembatas lantai penonton. Hatinya semakin berdebar-debar melihat Abiyasa mengangkat tangannya dan menyentak- nyentakkan dengan penuh semangat, sehingga penonton lainnya berseru mengelu-elukan Abiyasa. Pemuda yang tampak sangat hijau untuk arena seperti itu, menggenggam sebuah pedang lengkung yang amat tajam. Pedang itu sebuah pemberian cindera mata dari seorang pendekar berasal dari Selat Gangga.

"Abi...l Abiyasa...! Tinggalkan arena!" seru Yayi dengan tegang. Tapi seruan itu tertutup oleh suara riuh gaduhnya penonton. Dalam hati Yayi sendiri menjadi terharu melihat banyaknya penonton yang seolah-olah menjagokan Abiyasa.

Sadar sudah hati Yayi, bahwa ia telah terlambat dan tak bisa mencegah niat Abiyasa yang berkobar- kobar itu. Jika ia serukan perintah berhenti dari arena, maka jelas akan semakin menurunkan nyali dan semangat Abiyasa. Yayi pun takut kalau seruannya mengganggu perhatian Abiyasa kepada lawannya.

Sementara lawannya yang berjuluk si Dewa Botak itu masih tampak bersemangat, bahkan pandangan matanya yang tajam menampakkan nafsu membunuhnya. Badannya besar, jauh lebih besar dari Abiyasa. Wajahnya tampak angker. Alisnya tebal bisa dipelintir ujungnya. Kumisnya juga tebal dengan bentuk mata yang besar dan kepala botak bagian tengahnya. Sisa rambutnya di tepian kepala sangat tipis, mungkin bisa dihitung jumlahnya.

Si Dewa Botak memegang rantai berbola baja berduri. Bola berduri itu besarnya seukuran kepala bayi. Ada dua bola berduri yang tergantung di dua ujung rantai sepanjang satu depa lebih. Jika diputarkan di atas kepala, terdengar bunyi gaung yang mendirikan bulu kuduk tiap manusia.

Tapi agaknya Abiyasa tidak merasa gentar sedikit pun. Ketika gong ditabuh, Abiyasa melompat lebih dulu sebelum bola berduri itu sempat dikibaskan. Wuttt...! Pedangnya berkelebat ke arah samping dengan cepat dan menggores lengan kekar si Dewa Botak. Cras!

"Habisi dia, Abiyasa!" teriak seseorang di sela seruan hingar-bingar mereka yang merasa girang melihat Abiyasa sudah berhasil menggoreskan pedang ke lengan lawan.

Hati Yayi pun menjadi susut kecemasannya, walau ia tahu keberhasilan Abiyasa menggoreskan pedang di lengan lawan belum berarti apa-apa bagi lawan. Justru lawan tampak semakin buas. Dengan gerakan cepat lawan pun menghantamkan bola berduri ke kepala Abiyasa.

Wungng...! Trangng...!

Abiyasa menangkisnya dengan pedang, sehingga gerakan bola berduri itu terhambat sekejap, itulah kesempatan Abiyasa untuk segera berguling ke lantai dan tebaskan pedangnya. Crass...!

Paha si Dewa Botak terluka lebar. Abiyasa yang terbaring itu segera sentakkan punggungnya dan tubuhnya melesat bangkit dengan cepat dan sigap. Jlegg...! la sudah berdiri dengan gagahnya, membuat Yayi menjadi lega bercampur bangga.

Dewa Botak kian panas. Nafsu membunuhnya semakin tinggi. Maka dengan gerakan cepat ia sabetkan berulang kali bandul baja berduri itu secara bergantian. la menyerang Abiyasa hingga Abiyasa terdesak mundur sampai ke dinding.

Wungng... wungng... wungng... wungng...!

Bandul bola berduri makin mendesak hingga tiba saatnya bandul itu menghantam kepala Abiyasa, Trangng...! Abiyasa tebaskan pedang lengkungnya dari bawah ke atas, lalu dari atas ke bawah, trangng...! Kedua bandul berduri itu sudah melayang tak tentu arah, dan Abiyasa segera sentakkan tangannya dengan cepat ke arah depan. Suttt...!

Jrubb...! Tepat menancap di ulu hati si Dewa Batok.

Sorak penonton menggelegar ketika si Dewa Botak tumbang ke belakang. Pedang lengkung itu masih menancap di ulu hati si wajah angker itu. Abiyasa mengacung-acungkan kedua tangannya menyambut kemenangan di sela sorak-sorai para penonton. Kemudian ia mencabut pedang dari tubuh mayat lawannya. la semakin mengangkat kedua tangannya yang memegang pedang itu berkeliling melingkari arena. Mata Abiyasa berbinar-binar memandangi sorak penonton yang tampak puas melihat kemenangannya.

Sayang sekali Abiyasa tak sempat melihat seraut wajah cantik milik seorang gadis yang sering membentak-bentaknya. Hati gadis itu terharu melihat kemenangan Abiyasa. Senyumnya senyum kebanggaan yang dibungkus oleh debar-debar kecemasan lembut. Betapapun bangganya, ia masih menyimpan rasa waswas, karena Gumarang belum tampil. la tahu, pertarungan yang utama buat adiknya adalah pertarungan melawan Gumarang.

Di dalam ruang peserta pertarungan, Gumarang sedang mengasah senjatanya dengan batu asahan kecil. Senjatanya adalah sebuah pedang yang tajam di dua sisinya dengan bagian ujungnya papak, tidak runcing, tapi punya ketajaman menggores setajam sisi tepi kanan-kirinya. Melihat kemunculan Abiyasa dari arena, Gumarang tersenyum sinis dan berseru,

"Doaku masih dikabulkan, kau tetap akan menang melawan siapa pun sebelum tiba gilirannya melawanku! Karena jatah kematianmu ada di tanganku, Abiyasa!"

"Tutup mulutmu, jika kau tak ingin peserta lainnya merasa kau remehkan, Gumarang!"

Seorang berbadan gemuk dengan wajah brewokan menepuk punggung Gumarang dari belakang.

"Sebentar lagi dia akan hancur oleh senjataku!" sambil orang itu menuding Abiyasa. "Setelah dia hancur, baru kepalamu yang kuhancurkan! Oleh sebab itu, tak perlu kau berkoar di dalam ruangan ini! Jika mau berkoar, nanti saja di arena!"

Tetapi sekali lagi Abiyasa ternyata mampu menunjukkan keunggulan ilmunya di depan sekian pasang mata penonton, termasuk di depan mata kakak perempuannya. Sang kakak sendiri tidak menyangka kalau adiknya punya keberanian setinggi itu, masuk dalam arena Ladang Pertarungan, sama saja mencari maut.

Karena tertarik melihat kemenangan demi kemenangan yang disandang oleh Abiyasa, Yayi menjadi lupa akan kudanya, lupa akan Mahendra Soca. Perhatiannya masih terpusat pada Abiyasa. Apalagi sekarang Abiyasa tampil kembali setelah Luhito, si pembawa acara, berseru,

"Hadirin dan para undangan terhormat, kini tinggal satu peserta yang akan melawan si pendekar kuat Abiyasa. Seperti yang sudah kukatakan tadi, saudara-saudara, bahwa sampai detik ini, sudah terkumpul hadiah sebesar empat ratus sikal yang berhak diterima oleh Abiyasa. Jika dalam pertarungan mendatang nanti, Abiyasa menang lagi, berarti dia berhak menerima empat ratus lima puluh sikal! Dan perlu saudara-saudara ketahui, jika nanti Abiyasa menang, maka dia akan berhadapan dengan orang terakhir di dalam arena pertarungan ini, yaitu sang pembantai si Wajah Hitam...!"

"Horeee...! Horeee...! Horeee...!" seru mereka bersemangat. Hampir sebagian besar mata penonton tertuju ke pintu jeruji sebelah selatan. Di sana sudah berdiri si Wajah Hitam yang kepalanya terselubung kain hitam, bertelanjang dada, mengenakan celana hitam, dan kain ikat pinggang merah. Badannya besar dengan dada lebar dan kekar. Ketika itu si Wajah Hitam tampak berdiri tegang memandangi pertarungan dengan pedang telah tergenggam di tangannya dalam keadaan belum dicabut dari sarungnya. Entah sejak kapan si Wajah Hitam berdiri di sana memperhatikan tiap pertarungan, yang jelas saat itu ia sedang jadi pusat perhatian banyak orang, termasuk Yayi.

Tetapi pikiran Yayi tak banyak bicara tentang si Wajah Hitam. Karena pada saat itu, Luhito segera melanjutkan ucapannya,

"Perlu saudara-saudara ketahui juga, kali ini, lawan yang akan berhadapan dengan Abiyasa adalah saudara seperguruannya sendiri, yaitu Guuu... maaa... raaang...!"

"Huuu...!" seru mereka kegirangan, bertepuk tangan cukup panjang. Karena baru sekaranglah saatnya terjadi sesuatu yang belum pernah dialami oleh mereka, yaitu menyaksikan pertarungan hebat dari dua orang yang berasal dari satu perguruan.

Gumarang dan Abiyasa muncul di arena. Sambutan para penonton semakin riuh lagi. Sedangkan Yayi hanya tersenyum sambil hati berdebar-debar. Sekalipun ia sudah saksikan kehebatan jurus-jurus pedang Abiyasa, tapi tentunya kali ini sang lawan bisa membaca jurus-jurus Abiyasa, sebab berasal dari satu guru. Apakah Abiyasa bisa memainkan jurus yang tidak terbaca oleh Gumarang? Itu yang tidak diketahui oleh Yayi

Bongngng...! Gong berbunyi, pertarungan dimulai. Gumarang sempat menggeram, hanya Abiyasa yang dengar.
"Saatnya kita tentukan siapa yang unggul dan layak menyandang gelar murid terbaik dari guru kita!"

"Bersiaplah dan hati-hatilah melawanku, Gumarang!" hanya itu kata-kata Abiyasa, lalu ia segera bergerak memutar bersamaan dengan gerakan lambat Gumarang. Pedang Gumarang sejak tadi sudah dikibas-kibaskan ke sekelilingnya, sepertinya ia sedang pamer kecepatan ilmu pedangnya. Sedangkan Abiyasa hanya diam saja, tak menggerakkan pedang sedikit pun. Pedang itu hanya tergenggam dengan dua tangan dan terarah ke samping, siap tebas dari atas ke bawah. Badannya sedikit membungkuk, matanya tajam tak berkedip memperhatikan setiap gerakan Gumarang.

"Hiaaat...!" Gumarang memekik sambil maju menyerang.
Wut wut wut trangng...! Crasss...!

Pedang Gumarang berkelebat cepat menyerang, tapi Abiyasa menghindar beberapa kali dan menangkis satu kali, kemudian meliukkan tubuh sedikit dan menebaskan pedang dari samping kiri ke kanan. Tebasan itu tepat mengenai leher Gumarang. Maka, tak ayal lagi Gumarang berhenti bergerak seketika. Lehernya robek besar, memercikkan darah ke mana-mana. Lalu tubuh itu pun tumbang. Brukk...!

Gumarang mati dalam dua jurus pedang Abiyasa. Sudah tentu sorak-sorai penonton semakin menggelegar keras. Rasa kagum mereka timbulkan berbagai macam suara teriakan yang memuji Abiyasa. Suara pujian mereka itu hampir menitikkan air mata Yayi karena haru melihat kemenangan adiknya.

Tetapi beberapa saat kemudian hati Yayi menjadi gundah dan gelisah. Sebab ia tahu, setelah ini Abiyasa bertarung melawan sang pembantai yang sudah sekian puluh nyawa ditebas dengan pedangnya.

Luhito berseru, "Hadirin dan para tamu terhormat, kini tiba saatnya Abiyasa menerima hadiah dua kali empat ratus lima puluh sikal, yaitu sembilan ratus sikal, jika dalam pertarungannya yang terakhir ini ia bisa kalahkan si pembantai kita selama ini, yaitu si Waaa... jaaah... Hitaaaam...!"

Drangng...! Pintu jeruji selatan dibuka dalam satu sentakan. Orang berselubung kain hitam algojo itu tampil lebih dulu di tengah arena. la mengangkat kedua tangannya yang sudah mencabut pedang itu sambil dongakkan kepala, pandangi tiap penonton yang bersorak mengelu-elukan dirinya.

"Heaaah...!" si Wajah Hitam berteriak memberi semangat sambil tampakkan kebuasannya. Penonton pun semakin gemuruh menyambut seruan Semangat itu.

Pada saat si Wajah Hitam yang tanpa memakai baju itu mengangkat kedua tangan dan memutari arena, hati Yayi menjadi sangat cemas. la melihat lawan adiknya kali ini bertubuh kekar dan tampak ganas. Di punggungnya terdapat tato pedang berdiri berlilit ular. Tato itu cukup jelas, karena membentang sepanjang tulang punggung, dari perbatasan pundak tengah, bawah tengkuk, sampai ke pinggang belakang. Tato itulah yang membuat si Wajah Hitam semakin seram dan berkesan sebagai manusia angker.

Yayi berdebar-debar. Sambil membatin, "Seharusnya Abiyasa menghentikan pertarungan ini, toh dia sudah kalahkan Gumarang! Tapi agaknya memang sulit, sebab ia harus maju menghadapi si Wajah Hitam itu. Ini sudah merupakan peraturan. Jika tidak, pasti penonton akan menyerang Abiyasa karena merasa dikecewakan! Mereka pasti ingin melihat si Wajah Hitam tumbang di tangan Abiyasa. Tak bedanya dengan diriku! Ah... mudah-mudahan Abiyasa kali ini tetap unggul melawan sang pembantai itu...!"

Para penonton yang ada di deretan tamu terhormat juga memberi seruan-seruan untuk Abiyasa. Salah seorang berseru,

"Penggal kepalanya, Abiyasa! Kutambah hadiahmu menjadi tiga kali lipat dari yang seharusnya kau terima!"

Sementara dari pihak penjudi berseru, "Kupertaruhkan rumahku untuk menjagokan kamu, Abiyasa! Lawan dia dan keluarkan jurus-jurus pamungkasmu!"

Abiyasa tetap pandangi mereka dengan senyum ketegaran sambil kedua tangannya terangkat ke atas disentak-sentakkan. Sementara itu, di telinga Abiyasa pun terdengar seseorang memanggil di sela riuhnya suara mereka. Kali ini telinga Abiyasa mendengar suara wanita,

"Abi...! Pandanglah aku, Abi...!" Cepat ia berpaling, dan tersentak kaget melihat wajah kakaknya ada di antara para penonton. Abiyasa tertegun bengong. Kejap berikut mulutnya berucap kata lirih,

"Yayi...?!" dalam desah yang tipis, namun tertangkap oleh telinga gadis cantik itu.

"Maju! Serang! Aku di sini, Abi!" kata Yayi dengan tak sadar air matanya mulai membasahi kedua mata indah itu. Yayi mengacungkan kedua tangannya yang menggenggam disentak-sentakkan. Katanya,

"Hancurkan dia! Kau harus menang, Abi! Aku di sini! Jangan kecewakan aku! Hancurkan!"

Bongng...!

Gong bertalu, pertandingan adu nyawa segera dimulai. Abiyasa berdiri berhadapan dengan si Wajah Hitam di tengah arena. Tapi sebentar-sebentar ia memandang ke arah Yayi, sebab ia sama sekali tak menduga kalau kakaknya ada di situ.

Padahal dia paling takut kepada Yayi. Dia takut kepada kakaknya yang sangat sayang kepadanya, sehingga kadang ia diperlakukan seperti anak kecil meski suka juga, dibentak-bentak dan ditampar. Tapi kali ini ia merasa heran, sebab sang kakak yang sering memberinya saran agar jangan bertarung dengan siapa pun kecuali dalam keadaan terpaksa, kini justru sang kakak memberinya semangat yang menggebu-gebu.

Si Wajah Hitam berdiri tegak dengan pedang lurus ke atas di depan wajahnya. Pedang itu mempunyai ketajaman di dua sisinya dengan bagian ujungnya runcing. Pedang itu digenggam dengan dua tangan yang berotot kekar. Di pergelangan tangan si Wajah Hitam kenakan gelang kulit berwarna hitam pula. Tubuhnya yang kekar itu tampak berkeringat dan menjadikan tubuh itu mengkilap.

Abiyasa bergerak pelan mengitari si Wajah Hitam dengan pelan-pelan. Semua penonton diam tak ada yang berkata sepatah kata pun. Napas kedua orang yang bertarung itu saja yang terdengar oleh mereka. Abiyasa mencari kelengahan, sementara si Wajah Hitam diam mematung di tengah arena dengan pedang lurus ke atas di depan dada.

Ketika Abiyasa sampai di belakang si Wajah Hitam, tiba-tiba Abiyasa menyerang dengan cepat. Wuttt...! Pedang ditebaskan dari atas ke bawah. Tapi si Wajah Hitam menangkis pedang Abiyasa dengan kepala melengkung sedikit ke belakang. Trangng...! Pedang Abiyasa tertangkis, dan si Wajah Hitam cepat berputar. Wuttt...! Craas..,!

Gerakan si Wajah Hitam berhenti dalam keadaan kedua kakinya merenggang rendah, tubuh membungkuk miring ke kiri, pedang ada di sebelah kiri, meneteskan darah segar ke lantai. Tess...!

Abiyasa terbelalak matanya. Pedangnya jatuh dari tangan, dan ia pun segera tumbang dalam keadaan robek perutnya, hampir terbelah tubuh itu menjadi dua bagian. Isi perut pun berhamburan keluar mengotori lantai arena.

"Abiii...!" jerit Yayi yang segera melompat turun dari lantai penonton, lalu cepat-cepat menghampiri adiknya yang sedang meregang nyawa itu. la menjerit sambil menangis dan berkata, "Abi...! Tahan...! Kuatkan dirimu, Abi...!" "Ya... yi... maaa... maafkan... aku...." Kepala Abiyasa tergolek dan napas pun terhembus lepas. Abiyasa pun mati, para penonton hanya bergemuruh kecil, seakan mereka ikut kecewa dengan kematian Abiyasa, yang diharapkan bisa menjadi sang pembantai yang baru.

Melihat kematian adiknya, Yayi segera bangkit berdiri dan mencabut pedangnya pada waktu si Wajah Hitam sudah hampir masuk ke pintu selatan.

"Jahanaaam...! Kubalas kematian adikku sekarang juga!"

Srakkk...! Semua petugas keamanan segera mengurung Yayi dengan maksud meredakan amarah Yayi. Mereka membujuknya agar jangan menyerang dan membalas saat itu. Luhito berkata,

"Kalau Nona setuju, akan kucantumkan nama Nona dalam pertarungan minggu depan! Kalau mau balas dendam kepada si Wajah Hitam, lakukanlah pada minggu depan di arena ini juga!"

"Baik! Aku akan tampil di minggu depan!" teriak Yayi, dan ternyata disambut oleh sorak-sorai dan tepukan para penonton.

* **

PIHAK kadipaten ingin menyerbu Rumah Busuk dan menangkap Brahmana Gada. Tetapi Yayi tidak setuju dengan keputusan sang Adipati.

"Kematian Abiyasa bukan kesalahan Brahmana Gada! Itu kesalahan Abiyasa sendiri! Kalau Abiyasa tidak datang dan menjadi peserta di dalam pertarungan itu, maka ia tidak akan mati semuda itu!" kata Yayi. "Penyerbuan ke Rumah Busuk hanya akan mencoreng nama baik dan wibawa Ayahanda saja, karena Ayahanda bisa dianggap oleh para tokoh dunia persilatan sebagai orang yang dungu.

Bagaimanapun juga kematian Abiyasa adalah kematian akibat suatu kebodohan! Ayahanda sering nasihati kami agar bisa kuasai diri dan nafsu, jika tidak maka kami akan mati oleh nafsu diri pribadi. Dan Abiyasa telah membuktikan nasihat Ayahanda, bahwa nafsu diri pribadi memang bisa membuatnya mati sia-sia!"

Geram kemarahan sang Adipati makin lama makin reda. Yayi terus-menerus membela pihak Rumah Busuk itu. Hal tersebut dilakukan Yayi dengan maksud agar Ladang Pertarungan jangan sampai dibubarkan dulu sebelum ia tampil di arena untuk membalas dendam kepada si Wajah Hitam. Bahkan ia pun menyembunyikan dendamnya itu dari depan ayah dan ibunya, sehingga mereka tak tahu apa yang dilakukan dan direncanakan oleh Yayi. Hanya saja, di satu kesempatan, Yayi pernahbertanya kepada ayahandanya,

"Siapa pendekar jago pedang yang Ayahanda kenal?"
Sang Adipati menjawab, "Dulu ayah mempunyai sahabat dekat yang bernama si Penggal Jagat! Beliau adalah jago pedang berilmu tinggi!"

"Di mana dia tinggalnya, Ayahanda?"
"Di Lereng Lawu. Mengapa kau tanyakan hal itu, Anakku?"

"Saya ingin belajar ilmu pedang yang lebih hebat dari yang sudah saya miliki dari kakek, Ayahanda!"

"Kalau begitu, akan kusuruh orang memanggilnya datang kemari. Ki Argapura atau si Penggal Jagat juga sahabat baik dari mendiang kakekmu, Yayi. Pasti beliau tidak keberatan untuk memenuhi undangan dari Ayah! Kami sudah seperti saudara dengan beliau!"

Betul apa kata sang Adipati. Orang yang bergelar si Penggal Jagat itu memang sudah seperti saudara sendiri, sebab dulu si Penggal Jagat hidup dengan menumpang pada keluarga kakeknya Yayi. Usianya sekarang sekitar enam puluh tahun. Tapi ia masih kelihatan gesit dan lincah dalam bergerak.

Kabarnya, Ki Argapura sekarang sudah mempunyai perguruan sendiri, dan dia hidup di Lereng Lawu bersama beberapa muridnya. Tapi ketika datang undangan ke kadipaten, Ki Argapura datang sendirian sebagai seorang saudara yang berkunjung penuh perdamaian. Bahkan ketika Ki Argapura mendengar permintaan Yayi, orang berambut putih panjang dengan jenggot putih pendek dan kumis putih tak terlalu lebat itu hanya terkekeh-kekeh menanggapinya.

"Bukankah kakekmu juga jago pedang, Yayi!"

"Benar. Tapi kata Ayah mendiang kakek masih kalah ilmu pedangnya dengan Ki Argapura! Sebab itu Ayah memilih Ki Argapura untuk menjadi guru pedang ku! Hanya beberapa jurus maut sajalah yang Ki Arga berikan pada saya. Tak perlu semuanya!"

"Agaknya kau punya maksud-maksud tertentu untuk mempelajari jurus pedangku, Yayi. Apa benar begitu dugaanku?"

"Ki Arga, terus terang saja, aku punya dendam kepada seseorang yang jago main pedangnya. Kalau aku tidak belajar ilmu pedang yang lebih hebat, aku tidak akan bisa menang melawan dia!"

Karena mereka hanya berdua pada waktu itu, maka Yayi pun menceriterakan segala apa yang dilihatnya di Ladang Pertarungan itu. Semua gerakan si Wajah Hitam ditirukan oleh Yayi saat menuturkan kehebatan ilmu pedang si Wajah Hitam itu. Dan Ki Argapura hanya manggut-manggut.

Sambil melangkah di tepi sebuah sungai yang sepi itu, Ki Argapura berkata kepada Yayi,

"Seorang jago pedang lebih banyak menggunakan indera keenamnya ketimbang keampuhan pedang pusakanya. Jika indera keenammu cukup kuat untuk melihat apa yang belum bergerak dan mendengar apa yang belum bersuara, maka gerakan pedangmu mempunyai kepastian dan ketepatan menebas."

Mereka berhenti di bawah pepohonan rindang di hutan tepi sungai. Ki Argapura meminjam pedang milik Yayi, sebab ia tidak membawa apa-apa ketika berangkat menuju kadipaten. Sambil memegang pedang dengan kedua tangannya, Ki Argapura berkata,

"Jadikan mata pedang adalah mata hatimu. Di mana mata pedang ini ingin bergerak, jangan kau tentang dengan mata hatimu! Karena pedang yang sudah menyatu dengan kekuatan indera keenam, dia akan bergerak dengan sendirinya mendului apa yang akan terjadi. Jika mata pedang sudah menjadi mata hatimu, dan gerakan pedang adalah gerakan nalurimu, maka kekuatan tenaga dalam yang tersalur di dalamnya tidak perlu berlebihan. Gerakannya pun tidak perlu mengeluarkan banyak tenaga. Pelan, tapi cepat dan pasti!"

Wuttt...! Ki Argapura menggerakkan pedang itu ke depan, seperti orang membacokkan sesuatu dengan golok. Saat pedang bergerak menebas ke depan, kaki kirinya maju menghentak. Jlegg...!

"Ini namanya jurus 'Rembulan Menebas Bintang'," katanya sambil menyunggingkan senyum tipis.

"Jurus ini titik beratnya pada ujung pedang, yang bisa memotong benda dalam jarak beberapa langkah di depannya."

Yayi manggut-manggut menyimaknya. Tapi ia jadi terkejut ketika kejap berikutnya sebatang dahan dari pohon yang masih rendah itu jatuh dalam keadaan patah terpotong. Dahan itu besarnya sebesar lengan. Dan bentuk potongannya sangat rapi.

Rupanya saat Ki Argapura memperagakan gerakan jurus pedang yang bernama jurus 'Rembulan Menebas Bintang', ia telah melakukan satu gerakan yang benar, yaitu memotong dahan tersebut tanpa menyentuhkan pedang pada sasarannya. Yayi menatap potongan dahan itu dengan mata memancarkan kekaguman.

"Ingat, hanya sedikit tenaga dalam yang perlu kau salurkan melalui pedang ini, dan biarkan dia bergerak dengan naluri dan matanya sendiri! Bukan kamu yang menggerakkan pedang, tapi pedang yang membawamu bergerak mendului apa yang belum bergerak dan belum terjadi! Dengan begitu, maka setiap gerakan lawan dapat dipatahkan dengan mudah karena sudah diketahui ke mana sasaran geraknya!"

Wukkk...! Pedang ditusukkan ke depan dengan cepat dan tahu-tahu sudah berbalik ke posisi semula. Ki Argapura memandang Yayi, lalu ia pun berkata,

"Ini namanya jurus 'Mata Malaikat'. Titik utamanya pada tenaga dalam yang ada di dalam pedang ini, bergerak dan menjadi satu dengan kecepatan naluri pedang. Lihat batang pohon itu...!"

"Oh...?!" Yayi terperangah kaget. Batang pohon itu ternyata berlubang. Tembus sampai ke belakang dan berbentuk seperti permukaan mata pedang. Ternyata pada saat pedang ditusukkan ke depan oleh Ki Argapura tadi, pedang tersebut sudah mencapai batang pohon dan menembusnya sebelum pandangan mata Yayi mencapai ke arah batang pohon. Ketika gerakan mata Yayi mencapai batang pohon, pedang itu sudah selesai dicabut dan sedang ditarik mundur dengan cepat, sehingga Yayi hanya melihat seolah-olah pedang tidak sampai menyentuh batang pohon.

"Luar biasa!" gumam Yayi, penuh dengan kekaguman yang mendebarkan.

Banyak jurus pedang yang diajarkan kepada Yayi. Tetapi Yayi harus melalui latihan dasar untuk mendapatkan naluri pedang dan mata jiwa pedang. Sekalipun keringat Yayi sudah mengucur tanda berlatih dengan sungguh-sungguh, tapi Ki Argapura melarang Yayi berhenti berlatih.

Tiba-tiba datang seorang penunggang kuda yang berpakaian seragam keprajuritan. Orang itu langsung menghadap Ki Argapura dan berkata penuh hormat,

"Ki Argapura, Kanjeng Adipati ingin bicara sebentar dengan Ki Argapura. Harap Ki Arga sudi kiranya segera menghadap Kanjeng Adipati sekarang juga!"

"Apakah ada bahaya di kadipaten?"
"Tidak ada, Ki Arga! Kanjeng hanya ingin bicara!"

"O, baik!" lalu Ki Argapura bicara kepada Yayi, "Hari ini kita selesaikan sampai di sini dulu latihan kita, Yayi. Mari kita menghadap ayahandamu karena beliau memanggil."

"Ki Arga sendirilah yang ke sana, aku masih ingin teruskan gerakan pedang yang berjurus 'Selendang Ekor Naga' ini. Nanti aku akan menyusul pulang jika sudah kurasakan cukup capek, Ki!"

Kakek tua itu terkekeh-kekeh. Lalu ia pun segera meninggalkan Yayi sendirian. Ki Argapura tidak merasa sedikit cemas walau meninggalkan Yayi di tempat sesepi itu, sebab ia yakin Yayi mampu mengatasi bahaya apa pun. Itu terlihat dari kerasnya kemauan Yayi dan lincahnya gerakan tangan Yayi dalam mempermainkan pedang.

Agaknya memang Yayi benar-benar ingin mempunyai jurus-jurus pedang yang diajarkan oleh Ki Argapura, sehingga meski ditinggalkan oleh sang Guru, Yayi tetap berlatih dengan tekun. Bahkan ketika matahari mulai bergeser ke barat, ia masih tetap berlatih penuh semangat.

Satu-satunya hal yang membuat latihan Yayi terhenti adalah datangnya suara gaduh di kejauhan. Werrr...! Brukkk...!

"Suara pohon tumbang?" pikir Yayi. Barulah ia sadar bahwa sejak tadi sebenarnya ia mendengar suara dag-dug, dag-dug, tapi tak pernah dihiraukan. Pusat pikirannya hanya ke gerakan pedang. Dan sekarang Yayi tahu, suara pohon rubuh itu adalah pohon yang habis ditebang orang. Siapakah penebangnya?

Yayi segera sentakkan kakinya dan tubuhnya melesat pergi tinggalkan tempat itu. la menuju ke arah pohon rubuh tadi. Karena ia yakin ada seseorang yang ingin ditemuinya di pohon rubuh itu. Dan ternyata dugaan Yayi tidak salah. Orang tersebut memang ada. Orang itu tak lain adalah Mahendra Soca, yang berpakaian putih tanpa lengan dengan kain pinggang kali ini berwarna hijau dan celana hitam. Pemuda itu segera memandang Yayi begitu Yayi menyapa,

"Sudah berapa pohon, Mahendra?"
"Oh, kau...! Sudah selesai latihan pedangmu?"

"Latihan yang mana?" Yayi berlagak tak mengerti maksud Mahendra Soca walau dia akhirnya tertawa dan berkata, "Rupanya kau tadi mengintip aku sedang berlatih pedang di sana?! Curang sekali kau! Kenapa tak mau menyapaku, Mahendra?"

"Aku tak mau mengganggu pikiranmu yang sedang terpusat kepada pengarahan dari gurumu tadi! Maka kutinggalkan kalian karena aku harus mendapatkan beberapa batang pohon lagi!"
***