Trio Detektif - Misteri Gua Raungan(2)



 Bab 9 Serangan Mendadak
KUDA hitam itu mendompak. Kedua kaki depannya terangkat tinggi sambil menggaruk-garuk udara di atas kepala Bob dan Pete, yang masih tetap berdiri seperti terpaku di tempat masing-masing.

"Viva Fiesta!" seru penunggangnya, sambil melambai-lambaikan pistol yang dipegangnya. Kemudian ditariknya sapu tangan hitam yang menutupi mulut dan hidung. Kini nampak mukanya. Muka seorang remaja yang periang!
"Yuk, kita ke pesta!" seru remaja itu.
Kuda yang masih mendompak dibalikkannya dengan sigap, lalu disuruhnya lari menyusur jalan yang menurun ke arah Santa Carla. Pete dan Bob hanya bisa melongo saja memandangnya.
"Itu tadi kostum Fiesta!" ujar Bob dengan nada mengeluh.
Kedua remaja itu saling berpandang-pandangan, lalu tertawa lega. Mereka tadi ketakutan, hanya karena ada anak memakai kostum karnaval!
"Taruhan - kita nanti pasti menjumpai paling sedikit selusin El Diablo di sana," kata Bob.
"Asal jangan dalam lorong gelap saja ketemunya," balas Pete.
Keduanya naik lagi ke sepeda masing-masing, lalu mulai menuruni jalan celah yang panjang dan berkelok-kelok. Tidak lama kemudian mereka sudah meninggalkan daerah pegunungan, memasuki pinggiran kota Santa Carla. Mereka melewati kompleks perumahan, padang golf, serta sejumlah pusat perbelanjaan yang terdapat di daerah pinggiran itu. Akhirnya mereka tiba di pusat kota. Kedua sepeda mereka ditaruh dulu di tempat yang tersedia di perpustakaan. Kemudian mereka berjalan kaki ke Union Street, jalan utama kota itu. Polisi sudah memasang pagar-pagar penghalang di situ, sebagai persiapan untuk arak-arakan Fiesta. Orang-orang berjejer di belakangnya. Kebanyakan memakai kostum kuno yang berwarna-warni, gaya Spanyol zaman dulu. Suasana saat itu benar-benar meriah.
Bob dan Pete bergegas membeli barang-barang pesanan Jupiter di sebuah toko kecil yang menjual beraneka jenis cendera mata. Mereka membeli selusin lilin putih serta tiga buah topi sombrero. Setelah itu bergegas-gegas ke tepi kaki lima, tepat saat rombongan pemusik pertama lewat dengan iringan tiupan terompet serta pukulan genderang bertalu-talu. Selepas rombongan pemusik, lewat mobil-mobil hias yang penuh dengan bunga, gadis-gadis cantik, serta laki-laki dengan berbagai corak kostum. Kebanyakan menggambarkan peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah California.
Satu di antaranya menggambarkan adegan tokoh Padre Junipero Serra, misionaris dari ordo Fransiskan yang mendirikan sebagian besar dari pusat-pusat keagamaan yang berenteng di sepanjang pesisir California. Adegan pada mobil hias lainnya melambangkan saat John C. Fremont mengibarkan bendera Amerika Serikat di atas kota Santa Carla, ketika kota itu diambil alih dari tangan orang Meksiko. Satu lagi menggambarkan saat larinya EI Diablo. Paling sedikit ada lima tokoh Diablo menunggang kuda di sekeliling mobil hias yang itu. Seorang di antaranya remaja periang penunggang kuda hitam, yang sebelumnya telah mengejutkan Bob dan Pete di puncak jalan celah.
"Coba lihat - kuda-kuda itu!" seru Bob.
Pete memperhatikan para penunggangnya dengan kagum. "Kepingin rasanya bisa menunggang kuda seperti mereka," katanya.
Mereka pandai berkuda, walau belum bisa disebut sempurna. Mereka memperhatikan kuda-kuda yang lewat dengan penuh minat. Petani-petani berkostum Spanyol berlalu di depan mata. Barisan kepolisian berkuda dari utara dan selatan, begitu pula pasukan-pasukan yang menunggang kuda-kuda berbulu kuning keemasan Beberapa di antara kuda-kuda itu memamerkan gerak langkah menari-nari.
Mereka melihat kereta-kereta, gerobak-gerobak bertenda, serta kereta-kereta pos kuno. Setelah itu sebuah mobil hias yang menggambarkan masa Gold Rush, saat orang membanjir datang dari timur ke California, ketika di situ ditemukan emas.
Tiba-tiba Bob mengguncang lengan Pete.
"Lihat itu!" bisiknya sambil menuding ke arah dua orang laki-laki yang berjalan di samping mobil hias. Di samping mereka berjalan seekor keledai pembawa perbekalan makanan. sekop, dan linggis. Satu dari laki-laki itu pernah mereka lihat. Ben Jackson, laki-laki tua berjanggut panjang dari gua El Diablo!
"Yang satu lagi itu mestinya Waldo Turner, temannya," kata Bob lagi.
Para penonton menyambut kedua laki-laki tua itu dengan sorak meriah. Keduanya nampak persis seperti prospektor asli, sampai-sampai dengan debu dan kotoran tanah yang melekat pada pakaian kerja mereka. Ben nampaknya pemimpin dari mereka berdua. Janggutnya yang sudah putih melambai-lambai sementara ia berjalan terpincang-pincang dengan sikap bangga, sambil menuntun keledai Waldo Turner yang bertubuh lebih jangkung dan kurus serta hanya berkumis saja, mengikutinya di belakang. Mobil hias demi mobil hias lewat sambung-menyambung, dimeriahkan bunyi musik yang tak henti-hentinya terdengar.
Bob dan Pete begitu asyik menonton, sampai nyaris melupakan tugas mereka ke perpustakaan. Tapi tiba-tiba Pete terkejut
"He, Bob!" bisiknya cepat.
Bob menoleh. Tidak jauh dari mereka berdiri seorang laki-laki. Pada pipinya sebelah kanan ada goresan bekas luka, sedang matanya tertutup kain hitam. Orang itu nampaknya sama sekali tidak tertarik pada arak-arakan. Ia bergegas menyeberang, lalu lenyap di tengah keramaian di Union Street itu.
"Yuk, kita ikuti dia!" kata Bob. Kedua remaja itu cepat -cepat menyusul.
Sesampainya di pojok jalan, mereka melihat laki-laki jangkung itu lagi. Ia berada sekitar enam sampai tujuh meter di depan. Ia masih tetap bergegas-gegas. Sekali-sekali langkahnya diperlambat. Sikapnya seolah-olah sedang mengamati sesuatu yang ada di depannya.
"Kurasa ada yang diikutinya," kata Bob.
"Bisa kaulihat, siapa?" tanya Pete.
"Tidak, kau kan lebih tinggi," jawab Bob.
Pete memanjangkan tubuhnya setinggi mungkin. Tapi ia tidak bisa melihat, apa atau siapa yang diikuti laki-laki di depan itu. Kemudian orang itu membelok.
"Ia masuk ke dalam gedung," kata Pete yang masih terus mengamat-amati.
"Itu kan gedung perpustakaan!" kata Bob.
Laki-laki itu menghilang di balik pintu tinggi yang rangkap dua. Bob dan Pete bergegas menyusul. Mereka tertegun ketika sudah berada di dalam.
Ruang perpustakaan itu lengang. Tapi laki-laki jangkung dengan penutup mata tadi tidak kelihatan. Ruang utama perpustakaan itu lapang, dengan sejumlah besar rak tempat buku serta pintu-pintu menuju ke berbagai ruangan lain. Dengan cepat Bob dan Pete pergi memeriksa lorong-Lorong di antara jejeran rak Kemudian mereka menengok ke balik pintu-pintu. Mereka kesal ketika melihat bahwa ada dua pintu di situ yang membuka ke suatu jalan samping. Sedang orang yang jangkung tadi tetap tak nampak.
"Ia menghilang," kata Pete lesu.
"Kita tadi seharusnya berpencar, dan satu dan kita mengitar ke belakang. Kalau Jupiter pasti ingat bahwa perpustakaan umumnya mempunyai lebih dari satu jalan keluar," kata Bob. Ia merasa jengkel terhadap dirinya sendiri, karena tidak memikirkan hal sejelas itu.
"Yah - yang jelas. ia sekarang tidak kelihatan lagi," kata Pete. "jadi kita teruskan saja dengan penelitian seperti yang disuruh Jupiter tadi."
Bob langsung setuju. Kedua remaja itu menanyakan tempat buku-buku sejarah setempat. Seorang pustakawan yang ramah mengantar mereka ke sebuah ruangan kecil, di mana terdapat kumpulan buku khusus mengenai sejarah California. Ketika Bob dan Pete berjalan menuju ke meja baca di situ tahu-tahu bahu Pete ditepuk dari belakang.
"Eh, ada di sini rupanya para penyelidik muda kita! " Profesor Walsh berdiri di belakang mereka. Matanya nampak bersinar jenaka di balik lensa kaca matanya yang tebal. "Sedang melakukan penelitian, Anak-anak?" tanyanya.
"Ya," jawab Pete. "Kami ingin mengumpulkan segala keterangan yang bisa didapat tentang Lembah Raungan."
"Bagus, bagus," kata Profesor Walsh. "Aku juga sedang melakukan hal yang sama saat ini. Tapi sayangnya tidak banyak keterangan yang ada, kecuali legenda-legenda kuno yang tidak bisa dijadikan andalan.... Kalian sudah melihat Fiesta tadi?"
"Sudah," kata Pete bersemangat. "Wah, kuda mereka banyak yang bagus-bagus."
"Perayaannya memang menarik," kata guru besar itu sependapat. "Aku ingin melihat-lihat juga sebentar, karena tidak banyak hasil yang bisa kuperoleh di sini. Bagaimana kalian nanti pulang?"
"Kami tadi naik sepeda, Sir," kata Bob.
"Kalau begitu sampai nanti," kata Profesor Walsh sambil berpaling hendak pergi.
Bob ragu-ragu sejenak. Kemudian ia bertanya, "Apakah ketika sedang di perpustakaan tadi Anda tidak kebetulan melihat laki-laki jangkung dengan penutup mata, Sir?"
Profesor Walsh menggeleng. ­"Tidak, aku tidak melihatnya. Maksudmu, orang yang kalian lihat kemarin malam?"
"Ya," kata Pete.
"Dia ada di sini rupanya, ya?" kata Profesor Walsh sambil merenung. "Tidak, aku tidak melihatnya. "
Ketika guru besar itu sudah pergi, Bob dan Pete mulai menekuni tugas mereka. Mereka menemukan tiga sampai empat buku yang memuat tulisan tentang Lembah Raungan. Tapi tidak satu pun yang mengandung informasi tambahan di samping yang sudah mereka ketahui. Kemudian Bob menemukan sebuah buku berukuran kecil. Halaman-halaman kertasnya sudah menguning dan berkerut. Isinya sejarah lengkap Lembah Raungan, sampai tahun 1941. Buku itu terletak di rak yang keliru. Mungkin itu sebabnya Profesor Walsh tidak melihatnya. Buku itu mereka pinjam, atas nama Mrs. Dalton. Di luar, hawa siang hari masih panas dan cerah. Arak-arakan baru saja selesai. Orang ramai berduyun-duyun meninggalkan pusat kota, banyak di antara mereka yang masih berkostum pesta.
Bob dan Pete mengikatkan bawaan mereka ke tempat bagasi, lalu berangkat kembali ke ranch. Tidak lama kemudian mereka sudah mulai mendaki jalan naik yang panjang menuju Celah San Mateo. Mereka bersepeda terus sejauh masih bisa dilakukan secara santai. Kemudian keduanya turun, lalu berjalan kaki sambil menuntun sepeda masing-masing. ­Mereka berhenti sejenak untuk melepaskan lelah. sambil memandang ke tengah laut, ke arah Kepulauan Selat yang nampak samar di kejauhan.
"Kepingin rasanya pergi ke sana," kata Pete.
"Di beberapa di antaranya ada peternakan sapi," kata Bob. "Di tengah laut sana itu - lengkap dengan para gembala segala."
Dekat pulau-pulau di kejauhan itu nampak bentuk-bentuk langsing kapal-kapal Angkatan Laut yang sedang mengadakan latihan. Sebuah mobil meluncur di jalan itu. Datangnya dari arah Santa Carla. Tapi Bob dan Pete masih terus asyik menatap laut, sehingga tidak memperhatikan kendaraan itu. Tahu-tahu mereka dikejutkan oleh dengung mesin mobil. Baru saat itu mereka sadar bahwa ada kendaraan meluncur dengan laju sekali. Dengan cepat mereka berpaling. Ternyata mobil itu berjalan sangat meminggir, dan menuju lurus ke tempat mereka berada.
"Awas, Bob!" teriak Pete.
Untung mereka masih sempat meloncat ke pinggir, menghindari tubrukan. Mobil itu melewati tempat mereka berdiri tadi, mengayun kembali ke jalan lalu menghilang dengan cepat. Karena kaget, Bob dan Pete tidak berhasil mengendalikan keseimbangan tubuh. Mereka terpeleset dari tepi jalan dan meluncur ke arah ngarai yang dalam di bawah.

Bab 10 Jupiter Membeberkan Rencana
PETE terpeleset terus di lereng terjal. Bajunya robek-robek tersangkut batu-batu tajam dan semak belukar. Tangannya menggapai-gapai semak untuk memperlambat gerak luncuran, karena lereng itu di depan berakhir di tebing tegak lurus ke bawah. Tapi semak-semak yang tumbuh di situ terlalu kecil, sehingga langsung tercabut. Jarak Pete dari tepi jurang tinggal sekitar semeter saja lagi, ketika badannya membentur batang sebuah pohon yang tumbuh meliuk tapi kekar. Ia terdengus. Tapi jari-jarinya langsung mencengkeram batang pohon itu. Sesaat ia diam saja. Napasnya memburu, sementara lengannya memeluk batang pohon erat-erat. Kemudian baru disadarinya bahwa ia hanya sendiri di situ.
"Bob!" serunya. Ia tidak mendengar jawaban. Hanya jurang menganga yang ada di bawah ujung kakinya.
"Bob!" teriaknya sekali lagi. Ia mulai panik .
Ia melihat ada sesuatu yang bergerak-gerak di sebelah kirinya. Kepala Bob tersembul dari tengah semak lebat.
"Aku selamat...," kata Bob dengan suara lemah. "Aku berada di semacam emperan. Tapi... kakiku tidak bisa kugerakkan!"
"Coba kaugerakkan, sedikit saja!" Pete menunggu, sementara ia melihat semak tempat Bob terkapar bergerak-gerak sedikit. Kemudian terdengar lagi suara Bob, agak lebih tegas daripada sebelumnya.
"Kurasa tidak apa-apa," katanya. "Aku bisa menggerak-gerakkannya. Tadi terputar di bawah badanku! Sakit rasanya, tapi masih bisa kutahan."
"Bagaimana - bisakah kau merangkak naik lagi ke atas?" tanya Pete setelah sesaat.
"Entahlah, Pete. Kelihatannya terjal sekali."
"Dan jika kita sampai tergelincir -" Pete tidak perlu lagi menyelesaikan kalimatnya.
"Kurasa lebih baik kita coba saja berteriak minta tolong," kata Bob.
"Ya, yang nyaring!" kata Pete.
Ia membuka mulutnya. Maksudnya hendak berteriak. Tapi yang terdengar hanya suara berbisik pelan. Karena tepat saat itu tiba-tiba ia melihat muka seseorang yang mengintip ke bawah dari tepi jalan yang terletak di atas. Orang itu ada goresan bekas luka di pipinya, dan memakai penutup mata! Selama sepuluh detik, anak-anak beradu pandang dengan laki-laki itu, tanpa ada yang mengatakan apa-apa. Kemudian orang itu menarik kepalanya ke belakang. Terdengar langkah lari bergegas-gegas, disusul bunyi mesin mobil dihidupkan. Mobil itu melesat pergi teriring suara ban mendecit-decit Baru saja kendaraan itu lenyap dari pendengaran, ketika terdengar bunyi kendaraan lain mendekat.
"Teriak!" seru Pete.
Kedua remaja itu berteriak semampu suara mereka. Bunyinya menggema di daerah pegunungan itu. Sesaat kemudian terdengar bunyi mobil direm dengan mengejut. Kerikil di tepi jalan berderik-derik. Dua kepala berwajah ramah memandang ke bawah dari tepi jalan. Tidak lama kemudian seutas tali melayang, dilemparkan ke arah Pete. Ia melilitkannya dua kali ke pinggang, sedang di ujungnya dipegang dengan kedua belah tangan. Ia ditarik oleh kedua orang tadi ke atas. Setelah itu tali dilemparkan ke bawah lagi.
Sesaat kemudian Bob sudah berdiri di samping Pete. Bob mencoba kakinya yang sakit. Menurut perkiraannya, Mungkin hanya terkilir. Tapi supir truk bertubuh gempal yang tadi melemparkan tali mendesak untuk mengantarkan mereka pulang, karena perjalanannya kebetulan searah dengan letak pertanian suami-istri Dalton. Tidak sampai lima belas menit kemudian, kedua remaja itu diturunkan di depan pintu pagar Crooked- Y Ranch, beserta sepeda-sepeda mereka sekaligus.
Keduanya melambaikan tangan sebagai ucapan terima kasih pada supir truk itu, lalu berjalan tersaruk-saruk menuju beranda bangunan utama.
Saat itu Mrs. Dalton keluar. Wanita itu menatap dengan kaget, ketika melihat keadaan mereka. "Astaga! Apa yang terjadi dengan kalian tadi? Sampai begitu pakaian kalian!"
Pete sudah hendak terus terang menjawab. Tapi tidak jadi, karena kakinya disepak Bob.
"Anu - kami tadi terlalu cepat menuruni gunung ketika lewat di celah, sehingga terjatuh," kata Bob. Keterangan itu ada benarnya juga. "Kaki saya terkilir sedikit. Lalu ada orang menawarkan untuk mengantar kami kemari."
"Kakimu?" kata Mrs. Dalton. "Coba kulihat sebentar."
Seperti kebanyakan wanita yang hidup di tempat pertanian, Mrs. Dalton ternyata cukup berpengalaman merawat hal-hal seperti itu. Menurut dia, kaki Bob hanya terkilir sedikit Tidak perlu dibawa ke dokter, tapi Bob untuk sementara tidak boleh terlalu membebani kaki itu. Ia disuruh duduk di kursi yang nyaman di serambi. Mrs. Dalton mengambilkan limun untuknya.
"Tapi sekarang kau mulai saja bekerja, Pete Crenshaw," kata wanita itu. "Mr. Dalton belum kembali. jadi kau mulai saja dengan memberikan makanan jerami pada kuda-kuda yang di kandang sebelah depan."
"Ya, Ma 'am," kata Pete buru-buru.
Bob duduk di tempat teduh. Kakinya yang terkilir ditopangkan ke sebuah kursi. Ia tertawa nyengir, sementara temannya bekerja di bawah sinar matahari terik. Pete melotot ke arah anak yang lebih kecil itu. Tapi ia tidak jengkel. Enak rasanya, bekerja di bawah sinar matahari. Jupiter sudah kembali sebelum saat makan malam. Ia naik truk pamannya, yang dikemudikan oleh Konrad, pembantu Paman Titus yang berbadan besar dan berambut pirang. Pete membantu Jupiter menurunkan peralatan selam mereka dan menaruhnya dalam lumbung, bersama sebuah bungkusan lain yang tidak diketahui isinya. Bungkusan itu kecil. Konrad diajak makan malam di situ. Mr. Dalton mengagumi potongan pemuda Jerman pembantu Paman Titus Jones yang begitu kekar.
"Kau mau bekerja di tempat pertanian, Konrad?" kata Mr. Dalton. "Kalau kau ada di sini, biar kehilangan sepuluh pekerja pun aku tidak apa- apa."
"Anda perlu bantuan, barangkali untuk dua minggu," kata Konrad. "Mr. Titus pasti membolehkan aku datang bersama Hans, untuk membantu di sini."
"Terima kasih," kata Mr. Dalton, "tapi mudah-mudahan saja jangan sampai perlu begitu. Aku yakin, kesulitan ini akan segera berakhir. Kata Castro ia tidak takut, dan ia akan berbicara dengan rekan-rekannya apabila ia sudah keluar dari rumah sakit."
"Baguslah, kalau begitu, Jess," kata Mrs. Dalton. ­Tiba-tiba Mr. Dalton menjadi suram. "Tapi aku tidak tahu apakah masih ada waktu sampai saat itu. Mungkin nanti semua sudah minta berhenti, apabila kecelakaan-kecelakaan ini terjadi terus. Di tempat sheriff tadi pun aku tidak memperoleh kemajuan sedikit pun. Menurut dia, sepanjang pengetahuannya El Diablo tidak punya anak. Ia juga tidak tahu, siapa laki-laki yang dilihat anak-anak."
"Kurasa tak lama lagi pasti akan diperoleh kejelasan mengenai urusan ini," kata Profesor Walsh membesarkan hati. "Akal sehat pasti akan mengalahkan takhyul, begitu para pekerja mulai menggunakan otak mereka. Waktu merupakan penyembuh yang paling baik."
"Coba itu bisa kuyakini," kata Mr. Dalton. Kemudian orang-orang yang dewasa berbicara tentang soal-soal lain. Selesai makan malam, Konrad kembali ke Rocky Beach. Profesor Walsh harus memberikan ceramah di universitas, sedang suami-istri Dalton sibuk dengan urusan keuangan usaha pertanian mereka. Anak-anak naik ke kamar mereka di tingkat atas. Begitu pintu ditutup, Bob dan Pete langsung mendekati Jupiter.
"Apa rencana kita sekarang?" desak Pete.
"Betulkah batumu itu intan?" tanya Bob.
Jupiter tertawa meringis. "Memang intan, seperti sudah kusangka. Intan industri biasa, yang tidak begitu mahal harganya. Tapi ahli di Los Angeles yang kuhubungi mengenainya, kaget ketika mendengar di mana aku menemukannya. Ia harus diyakinkan dulu, baru mau percaya. Katanya, menurut perkiraannya itu pasti intan dari Afrika. Batu itu kutinggalkan padanya, untuk diteliti lebih lanjut ia mengatakan akan memanggilku lagi, begitu penelitian sudah selesai. "
"Bukan main!" kata Pete kagum.
"Kalian sudah membeli lilin serta topi?" tanya Jupiter. "
Tentu saja," kata Pete.
"Kami juga mendapat sebuah buku tentang Lembah Raungan," kata Bob menambahkan.
Bob dan Pete kemudian bercerita tentang perjalanan mereka ke Santa Carla, begitu pula tentang mobil yang menyebabkan mereka nyaris masuk jurang.
"Kalian mencatat nomornya tidak?" tanya Jupiter dengan segera.
"Mana sempat, Jupe?" kata Pete. "Tapi aku melihat bahwa pelatnya lain dari yang di sini. Biru dan putih begitulah kira-kira."
"Hmm," gumam Jupiter, "kemungkinannya nomor mobil dari Nevada. Dan katamu tadi laki-laki dengan goresan luka di pipi itu memandang kalian dari atas?"
"Mungkin maksudnya hendak menamatkan riwayat kami, tapi kemudian ia terpaksa buru-buru pergi karena ada mobil lain datang," kata Pete dengan sengit
. "Mungkin juga," kata Jupiter sambil merenung. "Lalu kalian juga melihat Profesor Walsh di kota?"
"Ya - dan juga Ben serta rekannya, Waldo," kata Bob.
"Puncak celah itu cuma beberapa mil saja letaknya dari sini," kata Jupiter sambil berpikir terus. "Jadi seseorang dari sini, atau dari lembah, bisa saja dalam beberapa menit sudah sampai di sana - dan kemungkinannya tidak ada yang menyadari kepergiannya."
"Ya,- memang," kata Bob sependapat.
"Walau begitu," ujar Jupiter meneruskan renungannya, "pelat nomor mobil Nevada seperti yang kaukatakan tadi, Pete - itu menarik sekali! Sepanjang pengetahuan kita, di tempat ini mobil-mobil tidak ada yang tidak bernomor pelat California." "
Maksudmu ada orang di sekitar sini yang tidak kita kenal - begitu?" kata Pete meminta penegasan.
"Memang ada," kata Bob. "Itu, laki-laki dengan penutup mata."
"Kelihatannya memang begitulah." kata Jupiter. "Tapi sekarang kita harus mulai bersiap-siap. Akan kutelaah isi buku tentang Lembah Raungan itu, sementara kalian berdua memeriksa peralatan selam kita. Tangki-tangki kalian bungkus dengan sesuatu supaya jangan ketahuan, lalu taruh di sepeda kita bersama lilin, topi-topi sombrero, serta bungkusan yang juga kubawa tadi."
"Apa sih, rencana kita?" tanya Bob dan Pete serempak.
"Nantilah kuceritakan," kata Jupiter sambil memandang arlojinya. "Kita harus buru-buru, apabila ingin sampai di Lembah Raungan sebelum gelap. Malam ini juga kita mungkin sudah berhasil menyibakkan rahasia Lembah Raungan."
Setengah jam kemudian ia muncul di lumbung, sambil melambai-lambaikan buku yang ditelaahnya selama itu ke arah Bob dan Pete.
"Kurasa sebagian dari jawaban yang kita cari selama ini sudah kutemukan sekarang," kata Jupiter. "Dalam buku ini dikatakan, lima puluh tahun yang lalu liang-liang tambang dalam Gunung Setan banyak yang ditutup kembali, karena tidak pernah ditemukan emas atau apa pun di situ. Lima puluh tahun yang lalu - jadi sejak saat mana suara erangan tidak pernah terdengar lagi."
"Maksudmu, sekarang salah satu liang itu terbuka lagi?" tanya Bob. "Dan angin yang bertiup lewat situlah yang menimbulkan suara erangan itu?"
"Ya, kurasa itulah jawabannya," kata Jupiter. "Tapi yang menjadi pertanyaan sekarang: bagaimana dan apa sebabnya? - Bagaimana, kalian sudah siap sekarang?"
"Baiklah - sekarang pakai dulu topi sebelum kita keluar dari sini," kata Jupiter memberi petunjuk.
Ketiga remaja itu memasang topi-topi yang berpinggiran lebar dan berwarna putih di atas kepala masing-masing. Mereka menaiki sepeda yang sudah dibebani dengan tangki-tangki udara yang dibungkus dengan karung goni. Ternyata tidak gampang mengendarai sepeda dengan beban seberat itu.
"Aduh!" seru Bob. Mukanya mengernyit kesakitan
"Pergelangan kakimu, Bob?" tanya Pete prihatin.
"Pasti karena harus menggenjot pedal keras-keras," kata Jupiter.
Bob mengangguk dengan perasaan murung. "Kurasa aku tidak sanggup ikut, Jupe. Aku harus tinggal di sini."
Jupiter sudah merenung lagi. "Tidak, Bob," katanya sesaat kemudian. "Kurasa kau tidak perlu tinggal. Mungkin kesialan ini bisa kita ubah sehingga menguntungkan bagi kita. Tipu daya kita menjadi lebih meyakinkan."
"Tipu daya yang mana?" tanya Pete bingung.
"Siasat militer yang klasik, menyalakan api unggun serta meletakkan batang-batang kayu yang kelihatannya mirip meriam," kata Jupiter menjelaskan, tanpa membuat persoalan itu menjadi lebih jelas bagi Pete. "Bob, turunkan muatanmu. Kalau tanpa muatan, kurasa kau masih sanggup bersepeda."
Bob mencobanya. Ternyata tanpa beban berat, ia mampu menggenjot pedal sepeda tanpa merasa nyeri. Ketiga remaja itu bersepeda keluar dari lumbung, menuju ke pintu pagar. Ketika lewat di depan rumah, Mrs. Dalton yang sedang duduk-duduk di serambi melambai ke arah mereka.
"Nanti jangan sampai terlalu larut ya!" seru wanita itu. "Dan hati-hati!"
Begitu sudah tidak kelihatan lagi dari tempat pertanian, ketiga remaja itu mempercepat kayuhan mereka ke arah Lembah Raungan. Mereka turun ketika sudah sampai di ujung jalan yang dibatasi pagar besi. Barang-barang mereka dimasukkan ke dalam semak belukar, termasuk sepeda-sepeda.
"Sekarang begini rencanaku," kata Jupiter. "Kita masuk ke dalam gua, tanpa terlihat oleh siapa pun."
Pete mengangguk. "Aku mengerti sekarang. Kita akan menyergap raungan itu."
"Betul," kata Jupiter. "Tapi jika teoriku benar, kita sekarang pasti sedang diamat-amati."
"Wah - kalau begitu bagaimana cara kita masuk?" tanya Bo­. "Lewat bawah air," kata Jupiter, "dengan alat selam kita. Sebelum ini aku sudah memeriksa waktu-waktu pasang. Malam ini pasang akan naik lebih tinggi. Menurut perhitunganku, sebagian besar dari lorong yang masuk lewat pantai akan terbenam di bawah air."
"Tapi, Jupe," kata Bob sangsi, "bagaimana kita akan masuk ke dalam air tanpa ketahuan, apabila saat ini kita sedang diamat-amati?"
Wajah Jupiter berseri-seri. "Kita akan memakai siasat pancingan," katanya. "Seperti tentara zaman dulu yang menyalakan api unggun waktu malam hari, lalu menyelinap pergi tanpa terlihat musuh."
"Tapi -" kata Pete.
Tapi Jupiter langsung memotongnya. "Begini," katanya, "kemarin malam ketika kita kemari, aku juga melihat bahwa sementara jalan setapak yang menuju ke kanan nampak jelas dan puncak Gunung Setan, jalan yang ke kiri sama sekali tidak kelihatan, karena terlindung di balik tebing. Yuk - kita berjalan dengan santai. Tidak usah sembunyi-sembunyi."
Ketiga remaja itu memanjat ke seberang pagar besi, lalu menyusur jalan setapak yang mengarah ke kiri. Ketika sudah sampai di tempat yang tidak kelihatan dari puncak gunung, Jupiter mengajak berhenti. Tangki-tangki udara yang dijinjing diletakkan ke tanah. Bob dan Pete memperhatikan sementara Jupiter membuka bungkusan yang isinya dirahasiakan selama itu.
"Aduh - ternyata cuma pakaian tua saja!" seru Pete.
"Tapi serupa dengan yang kita pakai!" tambah Bob.
"Tepat!" kata Jupiter. "Sekarang jejali pakaian kita ini dengan rumput, lalu ujung-ujung lengan dan kaki kita ikat dengan tali ini."
Bob dan Pete mengikuti petunjuk Jupiter. Beberapa menit kemudian sudah ada dua buah boneka rumput yang potongannya mirip sekali dengan Pete dan Jupiter.
"Sedang topi-topi lebar ini menutupi muka boneka-boneka kita?" kata Pete.
"Betul!" kata Jupiter lagi. "Kecuali itu akan bisa dilihat dengan gampang dari puncak gunung. Orang yang ada di sana akan mengira boneka-boneka ini kita. Apalagi karena Bob ada di sini pula. Bob - jangan lupa sebentar-sebentar bergerak nanti, ya!"
Dengan cepat kedua boneka itu didudukkan di sebelah atas jalan setapak. Bob duduk di dekat keduanya. sambil pura-pura mengobrol. Dari kejauhan, kelihatannya persis seolah-olah Jupiter beserta kedua rekannya sedang duduk-duduk di tebing sambil menikmati pemandangan yang terbentang di depan mereka. Jupiter dan Pete yang tersembunyi di balik tebing bergegas menyelinap menuruni jalan setapak, menuju pantai sempit yang terhampar di sebelah bawah. Di sana mereka cepat-cepat menyandangkan tangki udara ke punggung.
"Malam ini alun ombak tidak besar," kata Jupiter. "Kurasa kita takkan mengalami kesulitan berenang dari sini ke mulut gua."
Pete mengangguk. "Kalau berenang di bawah air, kurasa dalam waktu tak sampai lima menit kita akan sudah sampai di sana."
"Memang,"" kata Jupiter sependapat. "Aku membawa pedoman. Jika terasa perlu, kita muncul nanti sebentar ke permukaan. Pancingan yang sudah kita pasang kurasa akan menyebabkan orang yang mengamat-amati kita takkan merasa perlu memperhatikan laut."
Pete dan Jupiter memasang alat pernapasan ke mulut masing-masing. Mereka berjalan mundur ke dalam air, lalu menyelam ke bawah ombak. ­Bab 11 Bayangan dalam Air ­PETE berenang mengikuti gerakan sirip renang di kaki Jupiter yang nampak melambai-lambai dalam air yang bening di depannya. Keduanya sudah berpengalaman berenang sambil menyelam dengan peralatan. Mereka berenang hanya dengan gerakan kaki saja, tanpa melakukan gerak-gerak yang tidak perlu. Pete senantiasa mengawasi bayang-bayang batu karang yang gelap dengan waspada, sedang Jupiter memusatkan perhatian pada arah yang ditunjukkan oleh pedoman yang terpasang pada pergelangan tangannya. Ikan-ikan berkeliaran kian kemari di sekeliling keduanya. Seekor ikan pecak yang besar mengejutkan Pete. Ikan itu semula tak terlihat, karena berada dekat dasar yang berbatu. Tapi kemudian berenang pergi dengan gerakan tenang.
Setelah beberapa menit berenang, Jupiter berhenti lalu berpaling ke arah Pete. Ia menuding arloji selamnya, lalu menunjuk ke arah pantai. Pete mengangguk. Sudah waktunya mereka berenang ke tepi, menuju Gua El Diablo. ­Jupiter terus berenang di depan. Air mulai keruh ketika semakin mendekati pantai, sedang batu-batu juga lebih banyak. Oleh sebab itu Pete mempercepat renangnya, mendekati sirip kaki yang bergerak-gerak di depan. Bahkan begitu dekat, sehingga ia membentur punggung Jupiter ketika temannya itu berhenti dengan tiba-tiba. Pete mendengus. Ia agak kesal. Tapi itu lenyap dengan seketika, ketika ia melihat Jupiter menuding-nuding ke arah kiri. Pete menoleh ke situ. Suatu bayangan gelap bergerak dengan lambat dalam air, tidak sampai sepuluh meter dari tempat mereka. Bayangan itu berbentuk seperti cerutu yang besar sekali. Bentuk hiu, atau bahkan paus ganas! Jantung Pete berdegup keras. Tapi ia dan juga Jupiter sudah sering mendapat petunjuk terperinci dari pelatih, apa yang harus dilakukan jika berjumpa dengan hiu. Kini mereka bereaksi tanpa perlu berpikir lagi. Mereka mengendapkan diri ke dasar laut, sambil berusaha agar tidak bergerak sedikit pun - karena setiap gerakan akan menarik perhatian hiu. Sesampai di dasar mereka merayap dengan berhati-hati menuju ke tempat berbatu-batu yang aman. Untuk berjaga-jaga, keduanya menghunus belati masing-masing. Pete mengamat-amati bentuk gelap tadi dengan seksama. Ia menarik kesimpulan bahwa itu tidak mungkin hiu, karena geraknya terlalu teratur dan lurus. Lagi pula bentuknya terlalu panjang. Tapi paus ganas juga bukan, karena terlalu kecil dan terlalu pelan geraknya. Pete menggeleng ketika Jupiter menyentuh bahunya sambil membuat tanda hiu dengan tangannya. Berdua mereka memperhatikan bentuk aneh itu lambat-lambat menghilang ke tengah laut. Setelah itu mereka berenang lagi ke arah tepi, sampai gerak air menunjukkan bahwa mereka sudah sampai ke dekat tebing Gunung Setan. Dengan hati-hati sekali mereka muncul di permukaan. Ternyata mulut gua sudah dekat sekali di depan.
"Apa itu tadi?" tanya Jupiter, begitu alat bantu pernapasan dilepaskan dari mulutnya.
"Aku tidak tahu," jawab Pete gelisah. "Tapi aku yakin bukan hiu, paus, atau jenis ikan lainnya. Mungkin lebih baik jika kita kembali saja, Jupe, lalu memanggil sheriff."
"Jika sepasukan datang kemari, mereka takkan bisa menemukan apa-apa," kata Jupiter mengetengahkan pendapatnya. "Apa pun tadi itu, yang jelas ia pergi menjauh, kan? Kurasa ada penjelasan yang biasa-biasa saja tentang wujud itu - lagi pula, sekarang kan sudah tidak ada lagi."
"Yah -" kata Pete dengan nada masih sangsi.
"Kita sekarang sudah sejauh ini - kan konyol jika kembali tanpa menyelidiki suara raungan itu," kata Jupiter tegas. Ia paling tidak senang mundur di tengah jalan.
"Ayolah, Pete," desaknya. "Aku akan masuk sekarang. Kaupegang tali, sampai aku sudah ada di dalam."
Setelah itu Jupiter langsung menghilang ke dalam air. Saat itu matahari sudah hampir terbenam. Pete menunggu di tengah keremangan senja, dengan tali di tangan. Beberapa saat kemudian ia merasa tali disentakkan dua kali. Ia memasang alat bantu pernapasan ke mulut, lalu berenang menuju mulut gua yang sempit. Air di dalam hanya sedikit saja terasa bergerak-gerak. Arus sama sekali tidak ada. Senter kedap air yang dipasang ke peralatannya, cukup menerangi tempat ­yang akan dilalui. Air dalam lorong dengan cepat mendangkal sementara dasar lintasan itu mengarah condong ke atas. Tidak lama kemudian Pete sudah berdiri di samping Jupiter, dalam rongga yang lapang. Sementara ia melepaskan sirip renang dari kakinya, ia langsung mendengar suara itu.
"Aaaaa-oooouuu!"
Gua itu meraung! Dilihatnya Jupiter tertawa nyengir Kini mereka telah berada di dalam -dan gua itu meraung!
"Astaga! Kau ternyata benar, Jupe," bisik Pete. "Tidak ada yang melihat kita masuk tadi, dan sekarang gua ini meraung."
"Kenyataannya begitu, kan?" kata Jupiter. Nada suaranya membayangkan kebanggaan "Dan saat ini hari mulai senja - persis seperti ketika kita kemarin malam datang kemari. Yuk!"
Mereka cepat-cepat melepaskan alat-alat selam mereka. Jupiter menyalakan korek apinya yang kedap air, lalu menghidupkan dua batang lilin.
"Kita bawa lilin-lilin ini ke mulut semua lorong yang berpangkal di sini," kata Jupiter menjelaskan. "Jika nyalanya berkelip-kelip, itu tandanya ada aliran udara di dalam. Sedang jika tetap tenang kemungkinannya lorong itu buntu. Dengan jalan begitu kita menghemat waktu dan tenaga."
Pete mengangguk. "Pintar," katanya memuji.
Dengan segera mereka mulai memeriksa ujung-ujung lorong. Pada satu di antaranya nyala lilin berkelip-kelip. Tapi Jupiter belum puas. Pete pergi ke ujung lorong berikut. Tiba-tiba nyala lilinnya tertarik dengan keras ke dalam lubang yang gelap.
"Di sini, Jupe!" seru Pete bersemangat.
"Sssst!" desis Jupiter. "Pelan-pelan, siapa tahu ada orang lain di dekat-dekat sini."
Keduanya memasang telinga sambil menahan napas. Suasana sunyi senyap selama kira-kira setengah menit. Pete marah sekali pada dirinya sendiri, karena berteriak tadi. Tapi kemudian erangan itu terdengar lagi. Samar-samar, tapi jelas.
"Aaaaa-oooouuuu!"
Datangnya seperti langsung dari dalam lorong yang tadi menyedot nyala lilin. Jupiter mengambil kapur putihnya, lalu membuat tanda tanya di mulut lorong itu. Kemudian keduanya menghidupkan senter, lalu masuk ke dalam.
Bob duduk bersama kedua boneka dibagian atas tebing, sambil memperhatikan sinar merah matahari yang terbenam di ufuk barat. Dengan lambat, laut mulai diselubungi keremangan senja yang semu lembayung. Bob menjulurkan kakinya dengan hati-hati. Menurut perkiraannya, sudah lebih dari setengah jam ia duduk di situ sambil bicara pada dirinya sendiri. Selama itu ia selalu merasa ada memperhatikan. Ia tahu itu mungkin perasaannya saja. Tapi walau begitu bulu tengkuknya tetap saja merinding. Untuk menyibukkan diri, ia membaca buku tentang Lembah Raungan. Ia mulai dari bagian yang memaparkan saat ­ liang-liang tambang ditutup. Tiba-tiba sikapnya berubah.
"Astaga!" desisnya kaget.
Saat itu ia membaca uraian tentang Ben Jackson serta rekannya, Waldo Turner­ Di situ dikatakan bahwa Ben beserta rekannya itu tinggal di punggung pegunungan yang letaknya di sebeIah Gunung Setan, dan mereka menggali liang-liang tambang ke dalam gunung itu. Kemudian liang-liang buatan mereka juga ikut disumbat. Tapi Ben dan Waldo tidak mau pergi dari situ. Mereka berkeras hendak terus mencari emas-dan intan!
Kening Bob berkerut Ia yakin bahwa karena ingin cepat-cepat mulai dengan rencananya, Jupiter tidak sempat membaca sampai sejauh itu. Karena jika ia membaca ulasan tentang Ben Jackson bahwa dalam Gunung Setan ada intan, pasti hal itu sudah dikatakannya. Tiba-tiba Bob merasa cemas. Jupiter beranggapan bahwa kemungkinannya suara raungan disebabkan karena ada liang-liang tambang yang dibuka kembali. Ben Jackson beserta rekannya pernah menggali liang seperti itu. Dan mungkin mereka lebih mengenal Gua El Diablo dibandingkan dengan siapa saja, karena sudah bertahun-tahun tinggal berdekatan dengan tempat itu. Bagi mereka mudah saja membuka liang lama.
Kemudian Bob teringat pada hal lain. Diingatnya betapa Ben tahu-tahu muncul di depan mereka. Padahal saat itu mereka sedang berada di dalam sebuah gua yang letaknya di sebelah dalam. Walau begitu Ben mengatakan ia kebetulan lewat di luar ketika mendengar suara mereka!
Tiba-tiba Bob sadar bahwa itu mustahil! Jarak yang memisah terlalu Jauh. Jadi Ben mestinya ada di dalam gua ketika ia mendengar mereka. Dan itu ia berarti bohong! Bob sekarang ketakutan. Ia cepat-cepat merosot ke bawah, lalu bergegas membuat boneka satu lagi, dengan jalan mengisi rumput ke dalam pakaian yang memang semula sudah disediakan untuk membuat boneka yang akan mewakilinya. Dengan hati-hati didorongnya boneka ketiga itu tempatnya duduk tadi, di samping boneka yang dua lagi. Dalam keremangan senja, ketiga boneka itu pasti akan meyakinkan orang yang mengamat-amati bahwa Jupiter serta kedua kawannya masih tetap duduk-duduk di situ. Bob merangkak di sela-sela belukar, sampai merasa sudah bisa berdiri dan berjalan tanpa ketahuan orang. Ia bergerak pada jarak agak jauh dari jalan setapak. Ia merasa perlu sekali kembali ke Ranch, untuk melaporkan apa yang sedang dikerjakan oleh Jupe dan Pete dalam gua pada Mr. dan Mrs. Dalton. Jika Ben Jackson benar-benar menemukan tambang emas, besar kemungkinannya keselamatan kedua temannya itu terancam!
Bob bergegas secepat mungkin di daerah yang sukar dilewati itu, dengan kakinya yang masih sakit. Baru beberapa ratus meter ia berjalan, ketika tiba-tiba didengarnya bunyi pelan dalam gelap. Bunyi mobil yang dijalankan lambat-lambat di jalan tanah - tanpa menyalakan lampu! Mobil itu berhenti, tidak sampai dua puluh meter dari tempat Bob bersembunyi. Sesosok tubuh gelap keluar dari kendaraan itu, lalu berjalan cepat-cepat menuju Gunung Setan. Orang itu berpakaian serba hitam, sehingga nyaris tidak kelihatan dalam kegelapan malam. Dengan segera ia sudah tidak nampak lagi. Bob merunduk-runduk, menghampiri mobil. Nomor pelatnya dari Nevada. Jauh di dalam gunung,
Pete dan Jupiter terus melacak asal suara meraung yang mereka dengar. Setelah beberapa lama melalui lorong, mereka tiba lagi di rongga lain. Di situ mereka kembali harus memakai nyala Jilin untuk menentukan lorong berikut yang harus dimasuki. Dalam rongga gua ketiga, ukurannya lebih kecil daripada rongga lainnya, mereka menemukan tiga lorong yang dialiri udara. Mereka memutuskan, lebih baik jangan berpencar. Masing-masing lorong akan diperiksa bersama-sama. Lorong pertama mula-mulanya lurus saja, tapi kemudian membelok dengan tiba-tiba.
"Arahnya kembali ke laut, Jupe," kata Pete setelah memperhatikan sesaat.
Kening Jupiter berkerut. "Bukan ke sana seharusnya arah kita. Aku yakin, suara itu berasal dari tempat yang dekat ke lembah." Ia meneliti pedomannya. "Menurutku, kita harus menuju ke timur, atau ke timur laut."
"Lorong ini menuju ke barat daya."
Keduanya berbalik, lalu mencoba lorong berikut. Itu pun tidak lama kemudian melengkung kembali ke barat daya. Sekali lagi mereka kembali ke rongga semula.
Pete sudah mulai merasa tidak sabar."Kalau begini, kita bisa terus saja berputar-putar di sekitar sini,Jupe!"
"Ya, tapi kurasa kita sudah menemukan jejak yang benar. Setiap kali kita mengarah ke timur suara raungan itu terdengar makin jelas."
Dengan segera Pete mengikuti Jupiter, masuk ke lorong ketiga. Aliran udara di dalamnya lebih terasa, dan bunyi raungan pun terdengar lebih nyata. Lorong itu mengarah lurus ke timur. Jupiter berjalan secepat yang dirasakannya aman, dengan hanya sinar senter saja sebagai penerangan. Tiba-tiba kedua remaja itu tertegun. Mereka melihat lubang menganga di dinding kiri lorong. Rupanya itu mulut lorong lain.
"Astaga!" kata Pete. "Baru kali ini kita menemukan lorong samping dalam lorong!"
"Betul," kata Jupiter sambil meneliti lorong itu dengan bantuan sinar senternya, "dan ini buatan manusia! Ini liang tambang tua yang tidak disumbat di sebelah sini. Lihatlah, Pete!"
Nyala lilin di tangan Jupiter nampak condong ke luar!
"Apa artinya itu, Jupe?"
"Ini berarti," bisik Jupiter bergairah, "di dalam sana ada lubang lagi yang berhubungan ke luar! Barangkali liang tua yang dengan diam-diam dibuka lagi."
"Kalau begitu apa sebabnya tidak ketahuan oleh Sheriff atau Mr. Dalton?"
"Aku tidak tahu pasti sebabnya, Pete," kata Jupiter berterus terang, "tapi -"
Tiba-tiba matanya terbelalak, karena saat itu ia mendengar sesuatu. Sesaat kemudian Pete juga mendengarnya - bunyi samar orang yang sedang menggali.
"Yuk!" ajak Jupiter sambil berbisik, lalu memasuki lorong samping. Pete sudah hendak menyusul, ketika tiba-tiba disadarinya bahwa di belakangnya ada orang berjalan.
"Jupe," katanya dengan suara lemah.
Dekat sekali di belakang kedua remaja itu berjalan seorang laki-laki. Badannya kecil langsing, dengan wajah angkuh serta tatapan mata berapi-api. Dari wajahnya nampak bahwa orang itu masih muda bahkan masih bisa dibilang remaja. Ia memakai sombrero hitam. Pakaiannya terdiri dari jaket pendek, kemeja berkerah tinggi, celana ketat yang bagian bawahnya melebar, serta sepatu mengkilat - semua berwarna hitam. Orang itulah yang nampak dalam foto yang ditunjukkan Profesor Walsh pada mereka waktu itu. Dialah El Diablo! Dan ia menggenggam pistol di tangan kirinya.



Bab 12 Terjebak!
"ASTAGA!" teriak Pete. El Diablo mengacungkan pistolnya ke arah Pete, sementara tangannya yang satu lagi bergerak dengan cepat mengiris udara.
"Ia menyuruh kita diam," kata Jupiter dengan suara agak bergetar.
El Diablo mengangguk. Wajahnya yang remaja nampak kaku. Dengan gerakan pistolnya ia menyuruh Pete dan Jupiter berjalan di depan ke arah berlawanan, menjauhi bunyi galian. Keduanya terpaksa menurut. Mereka berjalan kembali menyusur lorong gelap. Begitu tiba di sebuah rongga, El Diablo memberi isyarat menyuruh mereka ke kanan. Mereka berjalan terus, silih berganti melalui lorong dan rongga. Walau dari arloji di tangannya Pete tahu bahwa belum sampai lima menit mereka berjalan, tapi rasanya seakan-akan sudah lebih dari lima jam ia tersaruk -saruk terus di belakang Jupiter. Sedang El Diablo tetap berada di belakang keduanya, dengan pistol siap di tangan.
"Berhenti!"
Perintah itu diucapkan dengan tiba-tiba, saat Jupiter baru saja memasuki satu rongga lagi. Baru sekali itulah El Diablo berbicara. Suaranya tidak begitu jelas kedengaran, seperti menggaung. Pete dan Jupiter berhenti berjalan. Rongga yang baru dimasuki itu lebih kecil dari kebanyakan rongga yang lain-lainnya. Suasana di situ gelap dan suram.
"Ke sana!" perintah El Diablo dengan suaranya yang kurang jelas.
Bandit itu memberi isyarat ke arah suatu lubang yang sangat sempit di dinding rongga. Jupiter dan Pete saling berpandang-pandangan dengan geram. Tapi mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka berjalan memasuki lorong sempit itu, diikuti oleh El Diablo dari belakang. Ketika baru saja berjalan sepuluh langkah, mereka sudah sampai di depan tumpukan batu yang menyumbat. Jalan buntu! Pete dan Jupiter berpaling dengan perasaan kecut. Wajah El Diablo tetap kaku. Dengan gerakan pistolnya, ia mengisyaratkan kedua remaja itu untuk berdiri dekat dinding sebelah kiri. Kemudian dengan cepat ia membungkuk, lalu menggulingkan sebuah batu besar dari tumpukan yang menghadang.
"Kemari!" perintahnya dengan suara menggaung.
Kedua remaja itu menghampiri lubang yang nampak di ujung lorong. Pete mengintip sebentar ke dalam. Ia tidak melihat apa-apa. Hanya lubang gelap itu saja yang kelihatan. Sebelum ia sempat menyorotkan senternya ke dalam, tahu-tahu ia sudah didorong dengan keras, sehingga tersungkur masuk. Pete terjerembab di lantai batu. Tahu-tahu ada sesuatu membentur rusuknya, disusul bunyi batu digulingkan. Pete terkapar dalam gelap, di balik dinding batu.
"Pete?" Itu suara Jupiter, di sampingnya.
"Aku di sini," jawab Pete. "Tapi mauku lebih baik tidak."
"Kurasa kita dikurung olehnya," bisik Jupiter dalam gelap.
"Kalau aku, kurasa aku takut," kata Pete.
***
Di ujung Lembah Raungan Bob bergegas-gegas, menuju ke tempat pertanian suami-istri Dalton. Lembah di belakangnya masih terus menggemakan bunyi raungan, seperti menyuruhnya berjalan lebih cepat lagi.
"Aaaaa-ooouuuu!"
Bob tahu bahwa itu berarti bahwa rencana Jupiter berhasil. Saat itu Jupe dan Pete mestinya sudah ada dalam gua. Tapi raungan itu masih saja terdengar. Tapi sesudah membaca buku tadi, Bob malah agak merasa menyesal bahwa rencana itu berhasil. Jika dugaannya benar, jika Ben dan rekannya ada sangkut pautnya dengan raungan itu, maka itu berarti bahwa ada kemungkinannya Pete dan Jupe terancam bahaya. Kemudian masih ada pula laki-laki tadi, yang datang dengan mobil bernomor pelat negara bagian Nevada.
Siapakah dia?
Bob hanya melihat sesosok tubuh gelap berjalan menuju Gunung Setan. Selama beberapa saat ia masih menunggu dekat mobil. Tapi orang tadi tidak muncul-muncul. Akhirnya Bob mengambil keputusan tegas. Terlalu banyak yang terjadi saat itu. Tidak mungkin mereka bertiga menanganinya sendiri. Ia bergegas terus, menuju ranch. Setelah meninggalkan Lembah Raungan, ia memberanikan diri ke jalan, di mana langkahnya bisa lebih cepat. Lambat laun suara raungan menghilang di kejauhan. Beberapa saat kemudian didengarnya bunyi lain datang dari arah belakang. Bunyi mobil yang berjalan dengan laju di jalan tanah itu. Untung Bob masih sempat cepat-cepat bersembunyi di balik semak di pinggir jalan. Bob tidak bisa melihat muka orang yang mengemudi dengan badan dibungkukkan ke depan, ketika mobil itu lewat. Tapi nampak topi sombrero hitam menutupi kepala orang itu. Bob juga melihat bahwa yang lewat itu mobil yang tadi, yang berpelat nomor negara bagian Nevada! Bob bergegas kembali ke jalan. Ia merasa khawatir. Pengendara mobil itu nampaknya sangat tergesa-gesa. Apakah yang telah terjadi di dalam Gunung Setan?
Dengan perasaan kecut, Bob mulai berlari secepat yang dimungkinkan kakinya yang cedera. Ia harus selekas Mungkin sampai di tempat pertanian. Mungkin bahkan Jupiter pun sudah terlalu nekat kali ini –
"Uhhh!" Bob menabrak orang yang tahu-tahu muncul.
Bahunya dicengkeram sepasang tangan yang bertenaga besar. Ia menatap wajah yang sudah beberapa kali dilihatnya. Wajah orang yang di pipinya ada goresan bekas luka, serta memakai penutup mata.
***
Pete dan Jupiter berjongkok dalam gelap di balik tembok batu. Sekali-sekali masih terdengar samar-samar bunyi raungan gua, seperti jauh sekali.
"Ada yang bisa kaulihat?" bisik Pete.
"Sama sekali tidak. Kita benar-benar terkurung di sini, dan - he! Bagaimana sih, kita ini?" Tiba-tiba Jupiter tertawa.
"Kenapa kau tertawa?" bisik Pete.
"Kita berbisik-bisik," kata Jupiter, "dan kita diam saja dalam gelap. Padahal tak ada orang di sini yang bisa mendengar kita, dan kita juga membawa senter!"
Keduanya cepat-cepat menyalakan senter Mereka berpandang-pandangan sambil nyengir agak malu-malu. Kemudian Pete menyorotkan cahaya senternya ke dinding batu yang menghadang.
"Mungkin saja tidak ada yang bisa mendengar kita dan kita juga punya senter - tapi bagaimana kita bisa keluar dari sini?" tanyanya.
Seperti biasa, Jupiter pantang berputus asa. "Mula-mula kita mencoba mendorong batu besar itu ke luar. El Diablo tadi kelihatannya tidak luar biasa kuatnya, tapi ia mampu dengan gampang menggerakkan batu itu."
Mula-mula Pete sendiri yang berusaha menggerakkannya. Tapi sedikit pun tak bergerak. Kemudian Jupiter membantunya. Bersama-sama keduanya mengerahkan segala tenaga yang ada. Tapi batu besar itu tetap tak sedikit pun bergerak. Pete dan Jupiter mencoba terus, sampai napas mereka tersengal-sengal. Akhirnya terpaksa menyerah.
"Rupanya diganjal dari luar," kata Jupiter. "Semakin didorong, malah semakin terganjal. Kita terkurung rapat."
"Hebat!" kata Pete. "Bagaimana pendapatmu, Jupe - mungkinkah orang itu tadi benar-benar EI Diablo? Profesor Walsh kan mengatakan, ada kemungkinan ia masih hidup sekarang."
"Kalau masih hidup, itu mungkin saja," kata Jupiter, "tapi takkan seperti tadi itu tampangnya. Jangan lupa, umurnya sekarang sudah sekitar seabad. Sedang laki-laki yang menyergap kita tadi, tampangnya seperti El Diablo semasa remaja!"
"Ya, itu memang sudah terpikir olehku pula."
"Kecuali itu," sambung Jupiter, "kau lihat tidak tadi - bahwa mukanya seperti tak pernah bergerak sedikit pun? Sama sekali tidak berubah!"
"Memang, tapi -"
"Aku yakin, orang yang meringkus kita tadi memakai topeng, Pete!" kata Jupiter tegas. "Topeng plastik yang menutupi seluruh muka, dengan warna seperti kulit yang sebenarnya. Di samping itu, ia sedikit sekali berbicara. Kurasa ia takut kalau kita mengenali suaranya."
"Aku tidak mengenalinya. Kau, Jupe?"
"Aku juga tidak," kata Jupiter. "Tapi aku yakin tentang satu hal. Orang tadi tidak berniat benar-benar mencelakakan kita. Karena kalau itu yang diinginkannya, kita takkan hanya dikurungnya saja di sini."
"Hanya dikurung, katamu?!" tukas Pete. "Itu saja kan sudah gawat!"
"Ia sebenarnya bisa saja berbuat lebih dari ini," kata Jupiter dengan nada suram. "Di sini, lambat laun kita akan ditemukan juga apabila sudah diketahui lenyap. Itu diketahui olehnya. Cukup banyak udara di sini. Ia cuma ingin menyingkirkan kita untuk sementara waktu. Mungkin cuma malam ini saja. Itu berarti kita harus cepat-cepat berusaha keluar dari sini."
"Menurutmu, sudah aman sekarang, Jupe? Kenapa tidak membiarkan kita ditemukan orang saja?" tanya Pete.
"Aku yakin sekarang, misteri ini harus malam ini juga dibongkar," kata Jupiter ngotot. "Jika kita tunggu lebih lama, nanti akan terlambat. Karena tidak bisa keluar lewat jalan yang tadi, kita harus memeriksa apakah di ujung sebelah sana ada jalan keluar atau tidak. Yuk, kita berangkat!"
Pete mengikuti Jupiter, menyusur lorong sempit itu. Arahnya lurus saja sampai beberapa mil, tanpa ada lorong lain yang memotong. Tiba-tiba keduanya terhenti, lalu berpandang-pandangan dengan kecut. Di depan mereka ada lagi reruntuhan batu yang menghadang. Ternyata ujung itu pun tersumbat!
"Aduh,Jupe - sekarang bagaimana?" seru Pete cemas.
"Aku sama sekali tak menyangka bahwa kita benar-benar terkurung di sini," kata Jupiter. Untuk pertama kalinya terbayang rasa cemas di wajahnya. "Ini sama sekali tidak sesuai dengan kesimpulanku tadi."
"Mungkin El Diablo menarik kesimpulan lain," kata Pete.
Jupiter membungkuk ke depan. Ia memperhatikan tumpukan batu yang menghadang. Nampak bahwa batu-batu itu sudah lama begitu keadaannya. Jupiter membungkukkan diri lebih dekat lagi. Tiba-tiba sikapnya berubah. Bersemangat!
"He, Pete! Batu besar ini nampaknya pernah digeser baru-baru ini!"
Pete ikut membungkuk untuk memperhatikan. Dari tanda-tanda yang nampak di dasar lorong, jelas nampak bahwa batu besar yang ditunjuk oleh temannya memang pernah berpindah tempat. Dan terjadinya belum lama. Berdua mereka berusaha mendorongnya. Batu itu bergerak-gerak sedikit. Tapi tidak tergeser. Jupiter tegak kembali, sambil memandang berkeliling.
"Kurasa orang tadi lewat lorong ini untuk keluar-masuk gua tanpa dilihat orang lain. Jika kita berdua tidak mampu menggesernya, itu berarti pasti ada cara lain.... Nah, apa kataku! Itu - besi panjang yang dekat dinding sana itu!"
Dengan segera Pete mengerti. Itu pasti alat pengungkit! Disambarnya batang besi itu, lalu diselipkan ujungnya di antara batu dan dinding lorong. Kemudian kedua remaja itu mengungkit dengan sekuat tenaga. Batu besar itu berhasil digeserkan ke samping. Di depan mereka ternganga lubang besar. Jupiter menyorotkan cahaya senternya, menembus kegelapan yang ada di depan.
"Ada rongga gua lagi," katanya setelah meneliti sekejap.
Pete melepaskan batang ungkit yang dipegang. Dengan segera kedua remaja itu merangkak ke seberang, lewat lubang itu. Senter mereka kemudian digerakkan kian kemari.
"Wow!" desah Pete.
Pete hanya memandang saja, tanpa mengatakan apa-apa. Mereka berada dalam rongga gua yang besar sekali. Di tengah-tengahnya ada telaga yang gelap sekali.

Bab 13 Telaga Si Tua
PERMUKAAN telaga itu berkilat-kilat kena sinar senter yang disorotkan ke situ. Pete meneguk ludah beberapa kali.
"Telaga yang dihuni Si Tua," katanya berbisik-bisik.
"Jadi ternyata memang ada telaga di sini," kata Jupiter. "Jalan masuk kemari rupanya sudah lama tersumbat - tapi orang-orang Indian tahu bahwa dalam kompleks gua ini ada telaga."
"Dan sekarang kita juga tahu - tapi aku sama sekali tidak senang karenanya," kata Pete dengan suara gemetar.
"Yuk - kita cepat-cepat mencari jalan keluar dari sini!"
"Adanya telaga ini tidak menyebabkan Si Tua juga harus benar-benar ada," kata Jupiter.
"Tapi juga tidak berarti ia tidak ada," kata Pete mendebat. "Mungkin Si Tua juga sudah selama itu terkurung di sini. Mungkin ia marah dan sudah lapar sekali! Kedatangan dua orang remaja yang sok tahu pasti disambutnya dengan gembira!"
Jupiter memandang berkeliling rongga gelap itu. Bayang-bayang gelap di dinding menunjukkan bahwa di situ ada lorong-Lorong yang menuju ke luar rongga.
"Kita coba saja mencari jalan keluar," kata Jupiter memutuskan. "Nyalakan lilinmu - kita periksa ujung-ujung lorong."
"Nah, begitu dong!" kata Pete lega. Ia menyalakan lilin, lalu menyusul Jupiter. Dua lorong mereka periksa, tanpa hasil. Pete sudah beranjak hendak menghampiri lorong berikut. Tapi Jupiter tetap terpaku di tempatnya.
"Pete," desisnya dengan nada aneh.
Pete mengikuti arah tatapan mata teman itu. Mula-mula ia tidak melihat apa-apa.
"Di sana - dekat dinding," desis Jupiter lagi. "Itu - itu kan.....
Saat itu Pete melihatnya! Dalam ceruk gelap agak di dalam lorong kedua, dilihatnya seseorang duduk bersandar ke dinding dengan kedua kaki terjulur ke depan! Orang itu bertubuh kecil, berpakaian serba hitam, dari topi lebar sampai dengan sepatu. Di tangan kanannya tergenggam pistol kuno. Orang itu seperti menatap mereka berdua sambil meringis. Tapi yang meringis itu bukan muka biasa - melainkan tengkorak! Dan tangan yang menggenggam pistol juga hanya terdiri dari tulang-belulang!
Pete menjerit, lalu lari pontang-panting, diikuti oleh Jupiter. Keduanya berebut-rebut hendak lebih dulu menyusup masuk ke dalam lorong dari mana mereka datang tadi. Sebagai akibatnya, kedua-duanya jatuh terguling.
"Kita mau lari ke mana, Jupe?" gumam Pete dalam keadaan terkapar. "Lewat sini tidak bisa!"
"Ah, betul juga," kata Jupiter. "Pikiran kita tadi kacau."
"Aku malah sama sekali tidak berpikir lagi," tukas Pete. Suaranya agak aneh. Seperti ada yang menutupi mulutnya. "Bagaimana jika kau bangun dulu. Aku tidak bisa bergerak, tertindih olehmu!"
"Aku mau saja - tapi lepaskan kakiku dulu," balas Jupiter.
Setelah berhasil saling membebaskan diri dari himpitan, keduanya duduk di lantai rongga yang dingin. Tubuh mereka masih menggigil sedikit.
Tapi Pete mulai nyengir. "Aduh - kita ini benar-benar sepasang penyelidik yang gagah berani!"
Jupiter mengangguk. "Ya, kita panik tadi," katanya. "Itu reaksi yang wajar, dalam keadaan seperti sekarang. Bahaya yang timbul beruntun-runtun menimbulkan kegugupan yang sedemikian rupa, sehingga kita kehilangan tanggapan akal sehat. Kerangka kan kejutan yang paling tidak berbahaya di antara yang kita alami sampai sekarang! Cuma kita tadi sudah begitu gugup, sehingga langsung panik."
Pete mengeluh. "Sayang Bob tidak ada di sini, untuk menjelaskan kata-katamu itu padaku."
"Jika ia ada di sini ia akan mengatakan bahwa aku tadi bilang kita terlalu tegang setelah berkali-kali menghadapi bahaya. Karena itu kita lari pontang-panting," kata Jupiter.
"Kenapa tidak dari tadi-tadi kaubilang begitu!"
"Bisa saja tapi tidak tepat itu yang hendak kukomunikasikan. Tapi sudahlah - itu tidak perlu kita ributkan sekarang. Aku ingin memeriksa kerangka itu."
"Itu sudah kuduga."
Dengan segan-segan Pete mengikuti Jupiter, mendatangi kerangka yang tengkoraknya seperti nyengir pada mereka di bawah naungan sombrero. Jupiter mengulurkan tangannya dengan hati-hati, menyentuh tepinya. Topi itu langsung jatuh berkeping-keping.
"Wah!" kata Pete kaget., lalu menyentuh jaket yang hitam.
Jaket itu pun langsung hancur, menampakkan kerangka yang semula diselubungi. Ketika Pete menarik tangannya kembali, tersentuh olehnya tulang-tulang jari yang menggenggam pistol. Ruas-ruasnya langsung tanggal menyebabkan pistol jatuh berdentang ke lantai lorong. Pete terloncat mundur karena kaget. Tapi Jupiter membungkuk lebih dekat, mempematikan kerangka itu.
"Sudah tua sekali, Pete," katanya sambil meneliti. "Pistol ini juga kuno. Kurasa ini sudah jelas."
"Apanya yang sudah jelas?!"
"Bahwa ini kerangka El Diablo - El Diablo yang sejati!" Suara Jupiter menggema kembali dari langit-langit rongga yang tinggi, seperti suara yang datang dari masa silam.
"El Diablo yang asli?" tanya Pete. "Maksudmu, selama ini ia ada di sini - tapi tidak ada yang pernah menemukannya?"
Jupiter mengangguk. "Aku takkan heran apabila ternyata ia meninggal malam itu juga, ketika ia bersembunyi kemari. Rupanya luka yang dialami lebih parah daripada sangkaan orang. Tapi orang waktu itu sering juga mati karena luka yang kini dianggap enteng. Bidang kedokteran sudah banyak sekali mengalami kemajuan selama ini."
"Tapi apa yang menyebabkan kau menduga ia meninggal malam itu juga?" tanya pete heran. "Maksudku, mungkin saja bertahun-tahun lamanya ia bersembunyi di sini, sampai akhirnya mati."
"Kurasa tidak begitu kejadiannya," kata Jupiter sambil menggeleng. "Coba kauperhatikan saja. Di sekeliling kerangka sama sekali tidak nampak bekas-bekas makanan. Kalau soal air minum, ia bisa mengambilnya dari telaga - walau menurut dugaanku itu air asin."
"Kan bisa saja ia makan dan minum di tempat lain," kata Pete lagi. "Kemungkinan itu memang ada - tapi lalu apa yang menyebabkan ia mati di sini? Jika ia diserang, mestinya di sekitar sini nampak bekas-bekas tembak-menembak, dan Mungkin juga beberapa kerangka lagi bergelimpangan. Atau jika ada orang masuk kemari, menemukan El Diablo lalu membunuhnya, pasti itu ada catatan sejarahnya."
"Benar juga," kata Pete.
"Selanjutnya," sambung Jupiter, "coba kauperhatikan letak kerangka ini. Ia meninggal dalam posisi tersandar ke dinding. Ia duduk di sini - siap menghadapi musuh yang datang. Tapi tidak ada yang muncul. Periksa pistolnya."
Pete memungut senjata itu. "Masih penuh, Jupe," katanya. "Sama sekali belum ditembakkan."
"Persis seperti kuduga," kata Jupiter puas. "Tempatnya bersembunyi ini tidak pernah ditemukan dan ia mati seorang diri di sini karena luka-lukanya, seperti yang tercatat dalam sejarah. Kesimpulan ini sesuai dengan segala fakta yang ada. El Diablo memang yang paling mengenal seluk-beluk gua ini."
"Mungkin baginya lebih baik jika halnya tidak begitu," kata Pete. "Maksudku, jika ia bisa ditemukan, tentunya luka-lukanya akan dirawat."
"Mungkin saja - tapi jangan lupa, ia kan sudah dijatuhi hukuman gantung! Bisa kubayangkan, ia lebih suka mati dalam gua daripada tertangkap kembali. Mungkin pula ia bahkan menduga jika tubuhnya tidak pernah ditemukan, kemudian akan berkembang legenda tentang dirinya - hal mana mungkin bisa menolong teman-teman sebangsa."
"Legenda itu memang berkembang kemudian," kata Pete.
Jupiter mengangguk. "Betul - sehingga sekarang ada yang memakainya guna menakut-nakuti kita - serta siapa pun yang masuk kemari. Yang menjadi pertanyaan sekarang - apa sebabnya?"
"Mungkin ada orang yang ingin menyebabkan suami-istri Dalton terpaksa menjual tanah pertanian mereka," kata Pete mengutarakan dugaan.
"Itu juga mungkin," kata Jupiter, "tapi kurasa bukan itu sebabnya. Kurasa ada orang yang tidak menghendaki orang lain datang kemari. Ingat - keluarga Dalton sudah agak lama juga ada di sini, tapi suara raungan itu baru sejak sebulan yang lalu terdengar lagi."
"Wah, Jupe - kalau ada yang hendak membuat orang lain tidak berani kemari, apa sebabnya belum pernah ada yang melihat El Diablo palsu itu? Kenapa baru malam ini muncul? Kenapa tidak sewaktu sheriff memeriksa ke dalam gua bersama Mr. Dalton?"
"Soal itu belum tahu," kata Jupiter terus terang. "Tapi selama ini suara raungan itu selalu berhenti, begitu ada yang masuk ke dalam gua. Malam ini kita berhasil masuk tanpa ketahuan, dan raungan itu terus terdengar tapi kemudian muncul EI Diablo yang palsu! Itu menyebabkan aku menarik kesimpulan, kita melihat El Diablo malam ini karena suara itu tidak berhenti."
"Itu malah semakin membingungkan bagiku," kata Pete. "Kenapa bisa begitu?"
Sekali ini Jupiter kelihatan benar-benar bingung. ­"Aku tidak tahu, Pete. Tapi aku tahu, misteri Lembah Raungan bukan cuma suara raungan itu saja! Kita harus menyelidiki bunyi galian yang kita dengar tadi."
"Aduh, aku sampai lupa mengenainya. Bagaimana pendapatmu - mungkinkah dalam kompleks ini benar-benar ada tambang intan?"
"Kurasa ada orang yang hendak menutup-nutupi sesuatu yang ada di sini," kata Jupiter menjelaskan. "Kemarin malam aku menemukan intan kasar. Malam ini kita mendengar bunyi galian. Menurut akal sehat, mestinya semuanya itu ada sangkut pautnya dengan tambang intan."
"Mungkin kita perlu melaporkan hal-hal yang berhasil kita ketahui pada Mr. Dalton, Jupe," kata Pete agak gelisah.
Jupiter mengerutkan keningnya. Ia tidak suka mengakui bahwa mereka sendiri tidak mampu menangani situasi yang dihadapi. Tapi bahkan ia pun harus mengakui, ada kalanya persoalan yang dihadapi tidak Mungkin ditangani sendiri oleh tiga orang remaja.
"Kau benar, Pete," katanya segan-segan. "Kita coba saja mencari lorong, lewat mana kita bisa keluar dari sini. Bawa pistol itu."
Pete menyalakan lilinnya. Kedua remaja itu melangkah ke lorong berikut, untuk memeriksa apakah di situ ada aliran udara. Tiba-tiba permukaan air telaga yang semula tenang, bergerak-gerak sedikit - disusul ceburan serta tarikan napas nyaring. Anak-anak berdiri ­seperti terpaku, sementara cahaya senter mereka terarah ke asal bunyi tadi. Sesosok tubuh hitam mengkilat tersembul dari permukaan telaga gelap itu. Air menetes dari kulitnya yang berkilat-kilat kena sinar senter, sementara makhluk itu keluar dari dalam air.

Bab 14 Makhluk Hitam Mengkilat
"APA yang kalian lakukan di sini?" Wah! Makhluk itu bisa berbicara! Tiba-tiba Pete dan Jupiter menyadari apa yang tegak di depan mereka itu. Itu orang, yang memakai pakaian renang dari karet berwarna hitam, lengkap dengan sirip kaki, tangki udara kembar bercat hitam, serta masker karet yang sepenuhnya menutupi muka.
"Huhh!" dengus Pete menyatakan kelegaannya.
Jupiter langsung menyadari situasi. Ia menegakkan sikapnya. Wajahnya dengan tiba-tiba nampak jauh lebih dewasa. Itu memang siasatnya apabila menghadapi orang dewasa, dan biasanya siasat itu berhasil.
"Anda sendiri mau apa di sini?" balasnya bertanya dengan suara diberat-beratkan. "Kami di sini seizin pemilik tanah pertanian ini. Sedang Anda kelihatannya lewat jalan tersembunyi dari laut. Anda masuk tanpa izin."
Penyelam yang baru muncul itu membuka maskernya. Ternyata ia masih muda berambut pirang dan bertampang keren. Ia memandang
Halaman 148 & 149 hilang...­
menyimak tulisan yang tertera pada kedua kartu itu. "Saat ini kami kebetulan sedang terlibat dalam penyelidikan penting," kata Jupiter menjelaskan. "Itu sebabnya kami berada dalam gua ini. Aku yakin laksamana pemimpin Anda tentu menghendaki agar Anda bekerja sama dengan kami, Commander Crane."
Commander Crane memandang Jupiter. Sikapnya agak ragu. Penyelidik Pertama itu bisa kelihatan sangat berwibawa, apabila ia bersikap serius dan profesional.
"Yah," kata penyelam itu kemudian, "melihat kartu-kartu ini, kalian nampaknya bisa diandalkan."
"Kenapa Anda tidak berhubungan saja dengan kapal Anda," kata Jupiter menyarankan. "Minta mereka melakukan pengecekan dengan segera pada Chief Reynolds di Rocky Beach. Aku yakin, perwira polisi itu akan memberikan jaminan tentang diri kami."
"Wah, Jupe," kata Pete. "Mana mungkin dia bisa berbicara dengan kapalnya dari sini?"
"Pasukan penyelam yang bermutu selalu berhubungan dengan kapalnya," jawab Jupiter. "Commander Crane pasti mempunyai semacam radio jarak jauh."
Perwira itu tersenyum. "Pintar juga kau ini," katanya. "Baiklah! Kalian duduk sebentar di sini."
Pete dan Jupiter menuruti perintah itu, sementara perwira itu menghilang dalam gelap. Beberapa menit berlalu. Kedua remaja itu hampir-hampir tak melihat tubuh penyelam itu, yang membungkuk dalam kegelapan rongga gua. Ia sedang sibuk dengan sebuah alat kecil. Pete dan Jupiter belum pernah melihat alat jenis itu. Jupiter berusaha memperhatikan. Tapi ia tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi. Akhirnya perwira itu berdiri lagi. Alat tadi dimasukkannya ke kantung belakang yang tidak kelihatan. Kemudian ia kembali menghampiri anak-anak. Ia tersenyum.
"Bagian keamanan bilang kalian boleh pergi," katanya. "Aku tak perlu menahan kalian."
"Wah, cepat sekali Anda bertindak," kata Pete.
"Kalau perlu, memang," jawab Commander Crane. "Laksamana memiliki prioritas tinggi."
"Karena kami sekarang sudah dinyatakan aman," kata Jupiter dengan serius, "bolehkah kami mengajukan beberapa pertanyaan pada Anda, Commander?"
"Bertanya? Padaku?" Perwira itu menggeleng-geleng sambil tersenyum. "Sayang, tapi tidak bisa! Tugasku juga sangat dirahasiakan."
"Soalnya bukan tentang tugas Anda, Sir," kata Jupiter menjamin. "Aku hanya ingin tahu tentang gua ini. Pertama - Andakah yang dilihat oleh Pete kemarin malam di dekat lubang masuk sebelah depan?" Perwira itu mengangguk. "Kemungkinannya salah seorang anak buahku. Ia melaporkan bahwa ada yang melihatnya sekilas."
"Lega rasanya kalau benar begitu," kata Pete. "Setidak-tidaknya satu misteri gua ini sudah bisa dijelaskan. "
"Kedua," kata Jupiter melanjutkan, "adakah perubahan-perubahan yang dilakukan anak buah Anda dalam kompleks gua ini? Maksudku, mengubah wujud rongga, lorong, atau hal-hal seperti itu?"
"Tidak," jawab Commander Crane. "Sejauh itu, masih boleh kukatakan."
"Ketiga," sambung Jupiter, "adakah kegiatan Anda yang menyebabkan bunyi raungan yang terdengar di sini?"
"Sama sekali tidak. Kami sendiri pun bertanya-tanya mengenainya. Tapi kami baru beberapa kali ini masuk kemari. Jadi belum lama. Kami sangka gua ini memang selalu meraung seperti itu."
"Dan tugas Anda menghendaki bahwa Anda sedapat mungkin tidak terlihat oleh siapa pun juga?" desak Jupiter lebih lanjut.
"Seratus persen!" Perwira itu tersenyum lagi. "Dan kurasa selama ini baru kalian saja yang pernah melihat kami. Tugas kami kebanyakan dilakukan dalam kompleks gua di sebelah laut, serta di sini - dekat telaga ini."
"Anda pernah melihat orang lain di dalam sini?" Commander Crane menggeleng. "Tidak! Tugas latihan ini menghendaki bahwa kami tidak boleh sampai terlihat orang lain. Di sini memang tidak ada musuh - tapi kami harus mengusahakan agar jangan sampai terjadi kontak dengan siapa-siapa."
"Ya, tentu saja," kata Jupiter. Nada suaranya terdengar agak kecewa.
"Sayang, aku sebenarnya ingin bisa membantu kalian," kata perwira itu lagi. "Kalian tahu jalan keluar dari sini?"
"Kami sedang mencari-cari," kata Pete cepat-cepat "Tahu-tahu Anda muncul!"
"Kalau begitu sebaiknya kutunjukkan saja," kata perwira pasukan penyelam itu. "Tapi ingat, jangan bilang pada siapa-siapa tentang apa yang kalian lihat di sini, sehubungan dengan operasi kami."
"Tentu saja, Sir" kata Pete berjanji.
"Baik, Commander," kata Jupiter.
"Sekarang ikut aku."
Perwira pasukan penyelam itu mengajak mereka memasuki salah satu mulut lorong, terus melewati beberapa rongga gua dan liang-liang samping, sampai akhirnya mereka muncul dalam rongga lapang, di mana Pete pernah melihat sosok tubuh misterius yang hitam mengkilat.
"All right, Boys," kata Commander Crane "Dari sini kalian tentunya bisa sendiri. Aku harus kembali meneruskan pekerjaanku."
"Terima kasih," kata Jupiter.
"Semoga tugas kalian berhasil," jawab perwira ramah itu sambil tersenyum.
Ia masuk lagi ke dalam lorong gelap yang tadi dilewati. Sementara itu Pete sudah melangkah menuju lorong yang menurut ingatannya menuju ke Lembah Raungan. Tapi Jupiter tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Ia termenung dengan mata nyalang. Pete mengenal gelagat temannya itu, jika ia sudah begitu.
"Aduh - apa lagi sekarang, Jupe," keluhnya.
"Aku semakin yakin sekarang bahwa kita harus membongkar misteri itu malam ini juga, Pete," kata Jupiter. "Orang yang menyamar menjadi El Diablo itu tahu bahwa kita lama-kelamaan pasti akan berhasil juga menemukan jalan keluar. Itu berarti ia tidak peduli seberapa banyak yang kita ketahui, asal kita tidak menghalang-halangi perbuatannya selama beberapa jam ini."
"Aku sama sekali tidak berniat begitu," kata Pete, "tapi melihat gelagatnya, aku mau tidak mau harus juga melakukannya!"
"Ini kesempatan baik bagi kita, Pete," desak Jupiter. "Orang yang menakut-nakuti itu mengira kita masih tetap belum bisa berbuat apa-apa! Takkan ada kesempatan sebaik ini bagi kita untuk mencari asal bunyi galian itu, serta apa yang menyebabkan gua meraung."
"Benar juga katamu," kata Pete dengan nada sangsi. "Cuma menurutku, lebih baik sebelum itu kita memanggil Mr. Dalton serta yang lain-lainnya terlebih dulu."
"Jika kita keluar, nanti ketahuan," kata Jupiter mengetengahkan alasan. "Kecuali itu kita tidak punya waktu lagi. Kita harus bertindak cepat sekarang, memanfaatkan situasi ini."
"Manfaat apa?!" tukas Pete mengomel. "Tapi kau memang benar, Jupe. Di mana kita mulai? Maksudku, kita sudah pernah kemari dan waktu itu kita tidak tahu harus menuju ke mana."
"Tapi sekarang kita sudah lebih banyak tahu," kata Jupiter dengan sikap yakin. "Sekarang kita sudah tahu bahwa bunyi galian itu ada hubungannya dengan suara raungan."
"Bagaimana kau mengetahuinya?" tanya Pete heran.
"Sebab baik sheriff maupun suami-istri Dalton tidak pernah mengatakan apa-apa tentang bunyi galian. Dalam koran pun tidak pernah ada berita mengenainya. Jadi penggalian itu mestinya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Aku menarik kesimpulan bahwa itu pasti ada hubungannya dengan bunyi raungan, karena itu satu-satunya kesibukan yang berlangsung secara diam-diam dalam gua, apabila tidak ada siapa-siapa di sini!"
"Yah..." Pete kedengarannya masih belum yakin.
"Dua fakta yang tak jelas di tempat sama, hampir selalu ada hubungannya satu dengan yang lain," kata Jupiter menandaskan.
Pete hanya bisa terbelalak saja. Kalau Jupe sudah mulai begitu bicaranya. "Ya deh. Oke! Lalu apa yang kita lakukan sekarang?"
"Pertama-tama, pakai ketajaman perasaanmu terhadap arah Kita harus menemukan lorong samping di mana kita mendengar bunyi galian itu. "
Pete mengangguk. Dalam hati ia melangkah mundur, sampai saat mereka disergap dari belakang oleh El Diablo palsu. Akhirnya ia membuka mulut.
"Jupe! Kurasa kita harus mencari lorong yang menuju ke barat laut. "
"Ke sana," kata Jupiter sambil menuding ke kiri, setelah mempelajari pedomannya sebentar.
"Betul!" kata Pete membenarkan.
"Yuk!" Mereka menyalakan lilin. Keduanya lupa berhati-hati, karena terlalu bersemangat membayangkan sudah hampir bisa membongkar misteri. Ketika mereka menghampiri lubang lorong yang terdapat di dinding sebelah barat laut, tahu-tahu dari lubang itu terdengar bunyi yang sudah mereka kenai baik seolah-olah menyongsong kedatangan mereka.
"Aaaaa-oooouuuu!.."
"Nah - suara itu terdengar lagi," bisik Pete.
"Memang selalu terdengar, Pete - cuma kita saja yang sudah biasa."
"Tapi kini kedengarannya lebih dekat."
"Karena datangnya dari lorong itu!" Jupiter menyodorkan lilinnya yang menyala ke mulut lorong. Hembusan angin meniup nyala api teriring suara meraung.
"Aaaaa-oooouuuu!.. "
Mereka bergegas masuk ke dalam lorong itu. Tidak lama kemudian sampai di sebuah rongga gua berukuran kecil.
"Aku tahu di mana kita sekarang, Jupe," kata Pete dengan suara pelan.
"Kalau begitu matikan lilin," bisik Jupiter. "Kita memakai senter."
Mereka menyalakan senter, yang langsung ditudungi dengan tangan sehingga yang nampak hanya sinar samar saja. Pete berjalan mendului, memasuki lorong yang pernah dilalui karena disuruh oleh El Diablo palsu. Sementara mereka berjalan, suara raungan terdengar makin lama makin jelas.
"Aaaaa-ooOOuuuu!"
Ketika sudah hampir sampai di tempat di mana ada lorong samping. keduanya mendengar bunyi galian.
"Wah - ternyata kita memang benar-benar mendengar bunyi itu," kata Pete gugup.
"Tentu saja! Ayo. kita terus," bisik Jupiter mendesak.
Keduanya berjalan sambil menyelinap-nyelinap, memasuki lorong samping buatan manusia itu. Lorong itu ternyata panjang dan lurus. Di ujungnya kelihatan cahaya terang. Jupiter memberi isyarat pada Pete untuk memperlambat langkah. Sinar terang itu datang dari sebuah lubang di dinding samping liang tambang itu. Di sekitarnya berserakan batu-batu besar dan kecil. Bunyi galian berasal dari lubang itu.
Dengan hati-hati kedua remaja itu merayap maju, lalu mengintip ke dalam. Mata mereka terkejap-kejap karena agak silau. Saat itu bunyi raungan menggema lagi. Begitu nyaring, sehingga telinga terasa sakit. Setelah terdengar beberapa saat, kemudian lenyap kembali pelan-pelan.
"Aduh - sampai sakit kupingku," bisik Pete.
Jupiter mencengkeram lengan temannya. "Lihatlah!"
Mata mereka kini sudah biasa dengan cahaya terang dalam lubang itu. Mereka melihat sesosok tubuh yang sedang membungkuk ke depan, dengan sekop di tangan. Pete kaget. Orang itu tiba-tiba tegak. Ia menaruh sekopnya, lalu mengambil linggis. Sesaat nampak jelas siapa orang itu, diterangi sinar lentera listrik. Seorang laki-laki yang rambutnya sudah putih, serta janggut panjang tergerai.
Ben Jackson! Laki-laki tua itu!


Bab 15 Sebagian Misteri Terjawab
DARI mulut lubang, Pete dan Jupiter memperhatikan orang tua itu sibuk bekerja dalam rongga yang dirahasiakan. Setiap beberapa menit terdengar suara raungan yang memekakkan telinga, dengan jarak waktu tidak tetap. Bunyi bising itu kelihatannya sama sekali tidak dirasakan mengganggu bagi Ben Jackson. Ia terus saja menggali dengan linggisnya, di ujung rongga.
"Coba lihat itu," bisik Jupiter. "Kelihatannya seperti runtuhan batu lagi."
"Lumayan juga banyaknya," balas Pete sambil berbisik pula.
"Coba perhatikan bagian-bagian pecahannya! Terang sekali," kata Jupiter sambil menuding-nuding.
"Pasti itu belum lama." Ben Jackson bekerja terus.
Ia menggali batu-batu runtuh itu, tanpa sadar bahwa ada dua pasang mata memperhatikannya. Pencari emas yang sudah berumur itu mengayunkan linggisnya dengan bersemangat. Ia bekerja dengan tenaga yang mengagumkan, bagi orang setua dia. Kemudian ia mengambil sekop.
"Jupe!" desis Pete. "Lihat itu - matanya!"
Mata pencari emas itu berkilat-kilat liar diterangi sinar lentera listriknya. Persis seperti ketika ia memperingatkan mereka tentang Si Tua.
"Demam emas," kata Jupiter dengan suara lirih, "atau lebih tepat dikatakan, demam intan! Aku pernah membaca bahwa para pencari emas sering kerasukan seperti begitu, apabila merasa menemukan sumber emas. Kalau sudah begitu, tak ada yang bisa menghalang-halangi mereka."
"Astaga!" bisik Pete.
Sementara itu Ben sudah menghadap lagi ke dinding rongga, lalu menggali batu-batu yang runtuh dengan linggisnya. Batu-batu yang sudah terlepas dilemparkannya dengan sekop ke permukaan saringan yang dimiringkan. Sebentar-sebentar ia membungkuk, lalu memungut sesuatu dari tanah yang menumpuk di balik saringan. Setiap kali diamat-amatinya benda yang dipungut. Setelah itu terdengar suaranya tertawa terkekeh-kekeh, sementara benda yang dipungut dimasukkan ke sebuah kantung kulit yang kecil dekat lentera listrik.
"Intankah itu?" tanya Pete sambil berbisik.
"Kurasa ya," jawab Jupiter dengan suara yang sama lirihnya.
Ben Jackson begitu asyik menggali, sehingga kalau mereka berbicara dengan suara biasa pun ada kemungkinan ia tidak mendengarnya. Tapi kedua remaja itu tidak mau mengambil risiko.
"Kalau begitu, ia berhasil menemukan tambang intan," kata Pete.
Jupiter menatap runtuhan batu. Nampak jelas bahwa ia sibuk berpikir. "Kelihatannya begitu, Pete. Cuma "
"Cuma apa lagi?" tukas Pete pelan. "Ia menemukan tambang intan, dan ia tahu letaknya di tanah milik Crooked-Y Ranch. Jika ia sampai ketahuan, paling sedikit ia harus berbagi hasil dengan suami-istri Dalton - ya, kan? Bahkan mungkin saja menurut hukum, tambang ini milik Mr. dan Mrs. Dalton! Karenanya hanya malam saja ia berani menggali, dan semua yang datang kemari ditakut-takuti!"
Jupiter mengangguk lambat-lambat. "Kurasa kau memang benar, Pete. Dengan itu segala-galanya sudah jelas sekarang, kecuali-"
"Kecuali apa sebabnya gua ini meraung" potong Pete. "Dan kenapa langsung berhenti begitu ada orang datang."
"Bukan itu yang kupikirkan," kata Jupiter. "Tapi aku bisa menjelaskan, apa sebabnya bunyi itu berhenti. Kurasa sheriff beserta Mr. Dalton waktu itu menemukan liang tambang ini - api lubang tempat Ben Jackson bekerja ini, tidak!"
Pete sudah membuka mulutnya hendak bertanya. Tapi tahu-tahu terdengar deringan bel di dalam rongga. Ben Jac­son meletakkan sekopnya, lalu dengan gesit sekah menghampiri sebuah kotak kecil yang terdapat dekat lenteranya. Ia menyentuh sesuatu pada kotak itu. Dengan seketika bunyi deringan berhenti. Kemudian diambilnya lentera serta kantung kulit yang tergantung di dekat situ, lalu berjalan menuju lubang di dinding tempat Pete dan Jupiter mengintip.
"Cepat, Pete!" desak Jupiter berbisik.
Mereka bergegas menyembunyikan diri di balik tumpukan batu yang ada dalam lorong. Untung mereka masih sempat. Sesaat kemudian Ben keluar dari rongga. Laki-laki tua itu meletakkan lentera serta kantung kulitnya ke tanah, lalu mengambil sebatang besi panjang yang semula tidak nampak di lantai lorong. Saat itu suara raungan terdengar lagi.
"Aaaa-oooww"
Bunyi menyeramkan itu terputus dengan tiba-tiba. Ben Jackson menggulingkan sebuah batu besar penutup lubang, dengan menggunakan batang besi sebagai pengungkit. Kini lubang tadi tidak nampak lagi. Dan suara raungan juga berhenti dengan tiba-tiba!
"Ah, jadi itu maksudmu tadi, Jupe," kata Pete. "Tidak ada yang tahu bahwa di situ sebenarnya ada lubang."
Batu itu menutupi lubang, seolah-olah memang di situlah tempatnya semula.
"Betul," kata Jupiter," dan sumbat itu menyebabkan suara raungan terhenti. Bunyi bel tadi mestinya merupakan isyarat dari seseorang yang menjaga di puncak gunung ini. Kurasa itu berarti ada orang datang kemari."
"Mungkin Bob yang ketakutan, lalu pergi mengambil bantuan," kata Pete. "Mudah-mudahan saja begitu."
Ben Jackson berjalan mondar-mandir dalam liang tambang, sambil menggumam pada dirinya sendiri. Sekali pun ia tidak menoleh ke batu tempat Pete dan Jupiter bersembunyi. Kemudian Ben dengan tiba-tiba memadamkan lenteranya. Sesaat dalam liang gelap itu tak terdengar suara apa-apa. Tapi kemudian Pete dan Jupiter mendengar gumaman pelan, disertai bunyi langkah mondar-mandir. Mereka menunggu dengan tegang di balik batu tempat mereka bersembunyi.
Pete berusaha mengusut kembali segala hal yang sudah diketahuinya sampai saat itu. Masih ada beberapa pertanyaan yang ingin diajukannya pada Jupiter. Tapi menurut perasaan Pete, sebagian besar dari misteri yang menyelubungi Lembah Raungan sudah diketahui olehnya. Ben Jackson menggali dengan diam-diam dalam gua. Di atas ada seseorang yang bertugas menjaga. Bunyi raungan disebabkan oleh angin yang menghembus lewat lubang sempit di mulut rongga tempat Ben melakukan penggalian. Jika ada orang datang, penjaga yang di atas gunung memberi isyarat dengan deringan bel, lalu Ben Jackson cepat-cepat menutup lubang. Dengan begitu bunyi raungan terhenti, dan tidak ada lagi petunjuk yang bisa dipakai untuk menyelidiki asal-usul bunyi itu.
Pete merasa puas pada dirinya sendiri, karena berhasil mengusut semuanya itu. Ia sudah berhasil menemukan jawaban atas segala teka-teki... tapi benarkah itu? Lalu siapa sebenarnya El Diablo palsu yang tadi menyergap mereka? Apa hubungannya dalam teka-teki ini? Dan apa yang dimaksudkan oleh Jupiter, ketika ia mengatakan bahwa masih ada yang belum berhasil dijelaskan?
"Pete!" desis Jupiter dekat ke telinga Pete. "Ada orang datang!"
Pete kaget sekali, sehingga nyaris terbalik. Cepat-cepat disambarnya batu besar di depannya untuk berpegang ke situ. Sebutir batu kecil terguling ke lantai. Terdengarkah bunyi itu oleh Ben? Pete menahan napas. Sesaat kemudian nampak sinar bergerak-gerak menghampiri.
"Waldo?' Suara Ben Jackson terdengar tidak jauh dari situ.
"Yup," jawab seseorang di belakang sinar yang datang. "Yang datang dua orang, Ben. Kita cepat-cepat saja pergi dari sini."
Lentera Ben Jackson dinyalakan lagi. Kini Pete dan Jupiter melihat sosok tubuh Waldo Turner yang kurus tinggi. Mereka berdua merunduk serendah mungkin di balik batu. Kedua laki-laki tua itu berdiri tak sampai lima meter dari tempat mereka bersembunyi.
"Kau yakin mereka akan masuk?" tanya Ben.
"Yakin sekali! Dua hari belakangan ini terlalu banyak orang berkeliaran di sekitar sini," jawab Waldo.
"Astaga!" seru Ben Jackson kesal. "Padahal menurut perhitunganku, beberapa hari lagi pekerjaan kita akan sudah selesai Yah - tak ada gunanya berbuat sembrono sekarang. Memang sebaiknya kita keluar saja!"
"Ya, memang," kata Waldo. Kini sudah jelas bahwa Waldo Turner itulah orang yang menjaga di puncak Gunung Setan. Setelah memberi isyarat, ia bergegas turun lewat lorong rahasia. Pete dan Jupiter memperhatikan kedua laki-laki tua itu menyingkirkan batu besar tadi ke pinggir. Mereka masuk ke dalam rongga tempat Ben Jackson tadi bekerja. Sesudah berada di dalam, batu besar digeser lagi ke tempat semula dengan bantuan alat pengungkit. Setelah itu liang tambang yang gelap menjadi sunyi sepi.
"Ke mana mereka, Jupe?" bisik Jupiter. "Mestinya dari rongga di dalam itu ada jalan ke luar gunung. Harus ada karena angin takkan menimbulkan bunyi meraung, apabila tidak menghembus masuk lewat jalan lain. Mungkin salah satu liang bekas tambang yang seharusnya sudah disumbat. Kurasa Ben dan Waldo mengenal letak liang-liang di sini, lalu membuka sumbat salah satu di antaranya."
"Kenapa tidak diketahui oleh sheriff dan Mr. Dalton?" tanya Pete lagi.
"Mungkin karena letaknya tersembunyi," kata Jupiter menebak. "Mestinya masih ada jalan masuk satu lagi kemari dari atas gunung. Karena kalau tidak, mana mungkin Waldo tadi bisa begitu lekas sampai di sini. Tapi kurasa sekarang sudah waktunya kita memanggil bala bantuan."
"Ayolah!" kata Pete cepat. Keduanya menyalakan senter, lalu bergegas kembali melalui liang tambang. Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di rongga lapang yang paling dulu mereka masuki kemarin malam. Ketika mereka sedang bergegas-gegas ke arah lorong yang menuju ke luar, tiba-tiba dua sosok tubuh meloncat dari tempat yang gelap. Pete dicengkeram sepasang tangan yang kekar.
"Tertangkap!" dengus orang yang memegangnya. Suaranya kasar.
Pete tersedak ketakutan, ketika nyala senternya menerangi muka orang yang mencengkeram dirinya. Dilihatnya goresan bekas luka di pipi serta penutup mata.
"Lari, Jupe!" teriak Pete.
Tapi saat itu juga ada senter dinyalakan. Cahayanya disorotkan ke muka Jupiter.
"Jangan bergerak," kata laki-laki dengan goresan bekas luka di pipi.

Bab 16 Kisah tentang Intan
"JANGAN lari, nanti jatuh," kata laki-laki itu lagi.
"Kurasa Anda takkan ambil pusing apakah aku jatuh atau tidak," kata Jupiter mencoba bersikap menantang. "Kusarankan, lebih baik Anda melepaskan kami. Teman-teman kami banyak di sini."
Laki-laki itu tertawa. "Tabah juga kau ini," katanya. "Coba kemari kita perlu berbicara sebentar."
"Jangan, Jupe!" seru Pete memperingatkan.
Saat itu terdengar suara yang mereka kenal sekali. Datangnya dari balik senter yang disorotkan sinarnya ke muka Jupiter.
"Jangan takut, Teman-teman. Mr. Reston ini detektif!"
Saat itu juga nampak tampang Bob muncul dari balik sinar senter. Ia nyengir lebar, melihat kedua temannya tercengang.
"Aku tadi lari kembali ke ranch untuk mengambil bantuan, setelah kulihat orang yang naik mobil berpelat nomor Nevada masuk ke dalam gua," kata Bob menjelaskan. Selanjutnya ia menceritakan dugaannya yang timbul dengan tiba-tiba, yaitu bahwa ada kemungkinan Ben Jackson dan Waldo Turner ikut terlibat dalam misteri Lembah Raungan.
"Aku ketakutan ketika mobil Nevada itu lewat dengan laju. Aku lari tanpa memperhatikan jalan. Tahu-tahu aku menubruk Mr. Reston ini."
"Sam Reston," kata laki-laki dengan penutup mata itu memperkenalkan diri. "Aku detektif, yang bekerja untuk suatu perusahaan asuransi. Ketika teman kalian ini menceritakan kecurigaannya yang menyangkut Ben, aku memutuskan untuk ikut ke gua bersamanya, sehingga ia tidak perlu jauh-jauh mencari pertolongan ke tempat pertanian."
"Mr. Reston merasa, kalian mungkin memerlukan bantuan dengan segera," kata Bob menjelaskan.
"Memang," kata Mr. Reston. "Soalnya, orang yang kukejar itu berbahaya sekali. Aku dan Bob tadi berusaha masuk ke dalam gua tanpa ketahuan. Tapi kurasa kita masih saja kelihatan."
"Betul, Mr. Reston," kata Jupiter, yang sementara itu sudah pulih dari kekagetannya. Kemudian diceritakannya segala-galanya yang dilihat olehnya bersama Pete di situ.
Mr. Reston mengangguk. "Itu sudah kukhawatirkan tadi. Tapi mereka pasti belum jauh - sedang kantung kulit yang dibawa lari itu kemungkinannya berisi intan-intan yang kukejar."
"Intan-intan apa?" tanya Pete dengan cepat.
"Itulah tugasku saat ini," kata Mr. Reston menjelaskan. "Aku sedang berusaha melacak jejak seorang pencuri permata yang licin sekali. Ia mencuri sejumlah besar harta, dalam wujud intan dan berlian. Namanya Laszlo Schmidt, pencuri yang terkenal sekali di Eropa. Aku sedang melacak jejaknya. Baru seminggu yang lalu kuketahui bahwa ia ada di sekitar Santa Carla. Aku dengan segera mengejarnya kemari. Kemudian aku mendengar tentang Lembah Raungan serta Gua EI Diablo. Aku langsung memperoleh firasat bahwa gua itu pasti merupakan tempat persembunyian yang baik bagi Schmidt. Cuma selama ini aku belum menemukan jejaknya."
"Eh, kenapa bisa begitu?" tanya Pete heran. "Jika Anda sudah berhasil mengikuti jejaknya sampai kemari, kenapa Anda tidak mengenalinya?"
"Karena aku tidak tahu bagaimana tampangnya sekarang," kata Mr. Reston. "Lima tahun yang lalu, Schmidt pergi bergegas-gegas meninggalkan Eropa. Interpol - kalian tahu kan, itu singkatan Polisi Internasional - nah, Interpol berhasil mengetahui bahwa orang itu ternyata pergi ke Amerika, dan di sini hidup menyamar. Tapi cuma itu saja yang berhasil mereka ketahui. Schmidt itu ahli sekali dalam soal menyamar dan meniru orang lain. Ia bisa tampil sebagai apa saja, tanpa menimbulkan kecurigaan sedikit pun."
Jupiter kelihatan merenung lagi. "Dan ia mencuri intan-intan yang diasuransikan pada perusahaan tempat Anda bekerja, Mr. Reston?"
"Ya, betul - kurang lebih setahun yang lalu. Sejak meninggalkan Eropa ia tidak pernah melakukan pencurian lagi, sehingga polisi mengira ia sudah tidak aktif lagi. Atau bahkan sudah mati! Tapi ketika intan permata yang diasuransikan pada perusahaan kami itu dicuri orang, kami langsung tahu bahwa pelakunya pasti Schmidt. Melihat cara kerjanya tidak mungkin orang lain."
"Ya, modus operandi - jadi cara kerja - memang merupakan petunjuk yang penting sekali," kata Jupiter sependapat. "Kebanyakan penjahat berhasil ditangkap karena hal itu, terutama pencuri-pencuri yang bukan amatir. Mereka jarang mengubah cara kerja saat melakukan pencurian. Paling-paling yang berbeda cuma hal-hal kecil saja."
"Itu betul, Jupiter," kata Mr. Reston mengakui. "Pencurian itu jelas merupakan perbuatan Laszlo Schmidt. Kami lantas menyadari bahwa selama itu ia hanya menunggu kesempatan baik saja, sambil meneguhkan identitasnya yang baru di Amerika sini. Jadi sekarang ia memiliki dua identitas. Schmidt yang pencuri, dan seorang lagi yang kelihatannya baik-baik dan sama sekali tidak mencurigakan. "
"Dan Anda tidak mengenal identitas yang satu lagi itu," kata Bob dengan cepat "Ia mungkin siapa saja yang ada di sekitar sini."
Mr. Reston mengangguk. "Tepat. Bob! Aku berhasil melacaknya karena penjualan dua di antara intan-intan curiannya. Yang pertama membawaku ke Reno di Nevada, lalu setelah itu kemari."
"Nevada!" seru Pete dan Bob serempak.
"Wah," kata Jupiter menambahkan, "kami sangka Anda pengendara mobil Nevada yang menyebabkan mereka berdua ini nyaris terpelanting ke dalam jurang."
"Itu bukan aku." kata Mr. Reston menjelaskan. "Saat itu aku sedang dalam perjalanan ke Lembah Raungan. Tahu-tahu kulihat sepeda-sepeda kalian bergelimpangan di pinggir jalan celah. Aku berhenti untuk melihat apa yang terjadi. Saat itu aku sudah hendak menolong kalian. Tapi ketika kulihat ada mobil lain datang, aku lantas beranggapan bahwa kalian pasti akan tertolong. Soal sebenarnya begini, Anak-anak! Saat itu aku belum mau kehadiranku di sini diketahui orang banyak sewaktu di Nevada, kurasa Schmidt sempat melihatku. Aku sudah berusaha mengecohnya waktu itu, yaitu dengan jalan memakai penutup mata dan memasang bekas luka palsu di pipiku sebelum kemari. Tapi aku tidak yakin apakah ia terkecoh karenanya."
"Karena itu Anda selalu bergerak secara sembunyi-sembunyi?" tanya Bob.
"Betul! Aku tidak ingin Schmidt tahu bahwa aku masih terus membuntuti dirinya."
Sementara detektif itu sedang menceritakan persoalannya, Jupiter diam saja sambil menggigit-gigit bibir. Kemudian matanya mulai bersinar-sinar.
"Tentang intan-intan yang dicurinya itu, Mr. Reston," katanya lambat-lambat, "ada yang istimewa mengenainya. Betul, kan?"
Detektif itu menatapnya dengan heran. "Ya, memang betul, Jupiter! Intan-intan itu tidak dicuri dari perusahaan atau toko permata, melainkan disambar ketika sedang dipamerkan dalam suatu museum di San Francisco. Intan-intan itu -"
" - intan kasar!" kata Jupiter menyelesaikan kalimat Mr. Reston. "Belum diasah - seperti keadaannya ketika datang dari tambang intan. Betul, kan? Intan-intan yang dicuri itu dari jenis yang dipakai di perindustrian."
"Aku tidak mengerti, bagaimana kau sampai bisa tahu," kata Mr. Reston, "tapi katamu itu benar. Intan-intan itu memang belum diasah. Tapi cuma beberapa buah saja yang intan industri. Pameran yang diadakan itu memperagakan intan-intan yang berasal dari seluruh dunia, dalam keadaan seperti ketika baru ditambang. Karena kelihatannya seperti batu-batu biasa, dan karena pamerannya di museum, penjagaannya tidak begitu ketat. Dengan gampang saja Schmidt kemudian bisa mencurinya. Kebanyakan di antara intan-intan itu sangat berharga, hanya tidak nampak saja karena masih dalam keadaan kasar. Tapi bagaimana kau bisa sampai tahu, Jupiter?"
"Karena aku menemukan intan kasar dalam gua ini," kata Jupiter, "dan karena menurut dugaanku, intan-intan lainnya ditemukan oleh Ben Jackson bersama rekannya, Waldo Turned"
"Kalau begitu intan-intan itu memang berada dalam gua ini!" seru Mr. Reston.
Jupiter mengangguk dengan sikap serius. "Menurut dugaanku, Laszlo Schmidt itu dulu menyembunyikannya di sini, langsung setelah ia mencurinya. Mungkin ia bermaksud membiarkannya dulu di tempat ini, sampai sudah tidak diributkan lagi. Tapi malang baginya, Ben dan Waldo yang sudah sejak bertahun-tahun melakukan penggalian dengan sembunyi-sembunyi dalam gua ini kemudian menemukan intan-intan yang disembunyikan itu, lalu mengira menemukan sumber intan!"
"Tapi di daerah sini kan sama sekali tidak ada tambang intan!" kata Mr. Reston. "Memang benar - tapi dari semula Ben dan Waldo sudah beranggapan bahwa di sini pasti ada intan. Aku ingat Mr. Dalton pernah mengatakan, keduanya selain mencari emas dan perak, juga berusaha menemukan intan. Sedang intan-intan yang dicuri orang bernama Schmidt itu kelihatannya persis batu mulia yang baru saja digali. Ya, kan?"
"Memang," kata Mr. Reston mengakui. "Tapi masakan Ben dan Waldo lantas tidak curiga, begitu menemukan intan sebanyak itu di suatu tempat?"
Jupiter mengangguk dengan cepat. "Ya, betul - tapi menurut dugaanku, Ben tidak menemukannya dengan cara demikian! Anda tentu juga tahu, kita di sini ini berada di atas Retakan San Andreas. Gua di sini penuh dengan batu-batu reruntuhan bekas gempa-gempa dahsyat yang terjadi dulu. Sejak itu sudah lama tidak ada gempa seperti itu lagi. Tapi kalau gempa kecil-kecilan, masih berlangsung terus-menerus."
"Maksudmu, belum lama ini di sini terjadi gempa?" tanya Pete.
"Ya, begitulah dugaanku. Kurasa gempa bumi pelan yang terjadi sebulan yang lalu di sini menyebabkan tempat penyembunyian intan-intan curian itu agak tergeser. Ben dan Waldo, yang seperti biasa melakukan penggalian di sini, kemudian .menemukan intan-intan itu terserak di antara batu-batu reruntuhan. Mereka langsung mengira menemukan tambang intan!"
"Wow!" seru Bob.
"Ya, itu mungkin saja," kata Mr. Reston sambil mengangguk. "Tapi jangan lupa, detektif harus mempertimbangkan segala kemungkinan yang ada. Dan memang masih ada kemungkinan lain. Mungkin juga Ben dan Waldo itu yang mencuri intan-intan ini, dan sekarang mengambilnya kembali karena tertimbun batu sebagai akibat gempa bumi."
"Ya, betul juga - aku tadi seharusnya juga memperhitungkan kemungkinan itu," kata Jupiter. Mukanya memerah.
"Tapi Ben dan Waldo sudah lama tinggal di sini, Mr. Reston," kata Bob membantah. "Mereka orang-orang yang terkenal sekali di daerah sini! Tidak mungkin mereka baru tiba lima tahun yang lalu dari Eropa."
Mr. Reston tersenyum saja. "Ingat kataku tadi, Bob! Laszlo Schmidt itu pandai sekali menyamar dan menirukan orang lain. Bisa saja ia menirukan Ben - atau Waldo!"
"Ya, itu mungkin saja," kata Bob.
"Tapi kurasa cuma ada satu jalan untuk mengetahui mana yang benar," sambung detektif itu. "Kita masuk ke rongga di mana mereka berdua melakukan penggalian, lalu di situ menyelidiki ke mana mereka pergi. Tapi kurasa seorang dari kalian sebaiknya kembali ke tempat pertanian keluarga Dalton, dan dari sana memanggil sheriff. Kita nanti akan punya bukti yang bisa ditunjukkan padanya!"
Jupiter mengangguk. "Kurasa sebaiknya Pete saja yang pergi."
"Yaa - padahal kasus ini sudah hampir selesai," katanya dengan nada kecewa.
"Pendapat Jupiter benar, Pete," kata Mr. Reston. "Bob tidak bisa berjalan cepat karena kakinya yang cedera, sedang aku menginginkan Jupiter ada di sini. Kecuali itu, kulihat kau yang paling tangkas di antara kalian bertiga. Dalam regu, masing-masing ­anggota harus melakukan tugas yang bisa paling baik dikerjakan olehnya."
Pete menurut. Ia sebenarnya masih tetap enggan, tapi di pihak lain senang juga hatinya mendengar ketangkasannya dipuji. Ia menyelinap keluar dari dalam gua, lalu mulai berlari dengan langkah teratur menuju ke pertanian.
***
Di dalam gua, Jupiter dan Bob bergegas-gegas mendului Sam Reston menyusur lorong demi lorong, sampai akhirnya tiba di depan rongga rahasia tempat Ben Jackson melakukan penggalian. Mr. Reston menggeser batu besar ke tepi,lalu masuk bersama kedua remaja yang mengikutinya ke dalam. Rongga sempit itu ternyata kosong. Tapi pada dinding seberang nampak lorong lewat mana Ben dan Waldo tadi pasti keluar. Lorong itu juga buatan manusia. Arahnya terjal ke atas. Kini Mr. Reston yang berjalan paling depan, dengan pistol siap di tangan. Jupiter membuat tanda tanya dengan kapur putih di dinding mulut lorong itu.
"Kita mengarah ke punggung gunung sebelah utara," kata Bob sambil berjalan.
"Menurut uraian dalam buku yang kubaca, di situlah letak gubuk Ben dan Waldo."
"Itu memang sudah bisa diduga, Bob," kata Jupiter. "Mereka membuka kembali liang tambang yang tua di dekat tempat mereka itu, supaya lebih kecil kemungkinannya mereka terlihat orang lain."
Tiba-tiba Mr. Reston berhenti berjalan. Di depan mereka lorong itu buntu, tertutup tumpukan batu. Bob melihat jejak tapak sepatu di tanah, yang kelihatannya menuju ke tembok batu yang menghalangi. Mr. Reston memeriksa jejak itu dengan cermat. Ia bersandar pada sebuah batu besar, lalu mendorongnya ke samping. Setelah itu digesernya pula dua batu besar lagi, sampai terdapat jalan lewat yang sempit. Detektif itu merangkak masuk. Sesaat kakinya masih kelihatan. Tapi tahu-tahu lenyap. Bob dan Jupiter mengintip ke dalam lubang itu sejenak, lalu cepat-cepat merangkak masuk. Ternyata mereka kini sudah berada di luar gunung. Mereka berdiri di belakang rumpun pepohonan dan semak di punggung utara Gunung Setan yang diliputi kegelapan malam.
"Takkan ada yang bisa melihat lubang sempit di lereng gunung itu," kata Mr. Reston sambil memperhatikan. Kemudian ia berpaling. "Yuk, kita terus - tapi kalian tetap di belakangku."
Detektif itu berjalan dengan hati-hati, menyelinap menyusur punggung gunung yang memisahkan lembah dari laut. Tidak lama kemudian nampak sinar lampu di balik jendela sebuah pondok kecil. Ketiga penyelidik itu bergerak tanpa menimbulkan bunyi. Mereka mendekati jendela itu, lalu mengintip ke dalam. Mereka melihat Ben Jackson dan Waldo Turner. Kedua laki-laki tua itu menghadapi meja kayu. Di atasnya ada batu-batu setumpukan kecil!

Bab 17 Dugaan Jupiter Terjawab
SAM Reston membuka pintu pondok, dengan pistol tergenggam.
"Penyerobot!" teriak Ben dengan suara seraknya melengking tinggi. "Serbu mereka, Waldo!"
Sam Reston mengarahkan pistolnya pada laki-laki tua itu. "Duduk saja di tempatmu, Waldo."
Pencari intan bertubuh kurus jangkung yang sudah mulai berdiri dari kursinya itu, dengan pelan-pelan duduk lagi.
"Dia lebih cepat, Ben," katanya.
"Kita biarkan saja dia merampas tambang kita?" tanya Ben sengit.
"Sekarang ini tidak ada lagi yang bersaing secara bersih, Ben," keluh Waldo.
Kedua laki-laki tua itu menatap Sam Reston dengan sengit. Kemudian mata Ben yang merah terarah lurus pada Bob dan Jupiter.
"Anak-anak itu lagi," teriaknya. "Kan sudah kukatakan, mereka berniat menimbulkan kesulitan, Waldo! Seharusnya kita langsung membereskan mereka!"
"Kelihatannya kau benar," kata Waldo sependapat.
Ben Jackson mengayun-ayunkan kedua lengannya dengan gerakan liar. "Kalian takkan bisa berhasil! Perampas tambang orang takkan bisa menang. Kami gantung mereka tinggi-tinggi! Ya - itulah yang biasanya kami lakukan dengan mereka!"
"Tambang itu milik kami," kata Waldo berkeras, sambil menyentuh tumpukan kecil intan kasar yang terletak di meja.
"Itukah sebabnya kenapa kalian harus masuk ke dalam tambang secara sembunyi-sembunyi?" tanya Sam Reston. "Itukah sebabnya kalian menggali malam-malam dan menutup rongga setiap kali ada orang datang?"
Sinar mata Ben yang tuas itu berubah, nampak licik. "Sumber yang kaya, yes sir. Tidak boleh ribut-ribut! Begitu kabarnya tersiar, orang pasti datang membanjir. Tidak, kami diam-diam saja."
"Kalian diam-diam karena tanah ini milik Mr. dan Mrs. Dalton!" tukas Bob dengan sengit. "Intan-intan itu milik mereka!"
"Sudah hampir dua puluh tahun kami mencari dalam gua itu," bantah Waldo. "Kami yang menemukan intan-intan ini. Kami yang menggalinya. Jadi milik kami, mengerti?"
Selama itu Jupiter diam saja. Ia memperhatikan pondok itu dengan seksama. Ia tertarik melihat bahwa di situ ada pesawat radio, sebuah rak penuh buku, serta setumpuk surat kabar. Ia menyibukkan diri dengan selembar surat kabar yang diambilnya dari tumpukan itu. Sementara itu tatapan mata Ben nampak menjadi semakin penuh perhitungan.
"Begini sajalah - ini kan cukup banyak untuk kita semua," katanya dengan suara melengking. "Ya, cukup banyak untuk dibagi-bagi. Kami sama sekali tidak tamak. Begini sajalah. Kita saling berbagi. Seperempat dari intan-intan ini, dan kalian boleh ikut menggali bersama kami. Nah - bagaimana? Masih banyak lagi intan di sana. Harta terpendam yang luar biasa banyaknya!"
Tiba-tiba Jupiter berbicara, "Di sana tidak ada intan lagi, Mr. Jackson - atau paling-paling tinggal beberapa butir, dan itu Anda ketahui dengan baik."
Semua berpaling, memandang ke arah Jupiter. "Keadaan pondok ini tidak seluruhnya sesuai dengan tingkah laku Anda berdua, yang berlagak menjadi dua orang tua pencari harta dalam tanah, yang pikirannya masih di masa silam."
"Apa maksudmu, Jupe?" seru Bob heran.
"Maksudnya, kedua orang tua ini untuk sebagian palsu," kata Sam Reston, "dan kurasa dugaannya itu benar. Tapi bagaimana kau bisa sampai pada kesimpulan itu, Jupiter?"
Jupiter menunjuk ke pesawat radio. "Radio transistor itu tidak cocok dengan citra dua laki-laki tua yang tidak waras, yang pikiran mereka selalu tentang masa silam saja. Dan, buku-buku di rak ini menandakan perhatian pada dunia modern, hal mana seharusnya tidak boleh ada pada diri mereka. Menurutku, mereka berdua ini berhasil menemukan siasat untuk memperoleh belas kasihan dari penduduk sini. sehingga mereka menyumbangkan perbekalan tanpa banyak bertanya-tanya. Aku juga yakin, mereka tahu betul, bahwa mereka tidak menemukan tambang intan."
"Kenapa kau bisa berkata begitu, Jupiter?" tanya Sam Reston. Jupiter menunjuk ke rak buku.
"Empat dari buku-buku itu mengenai intan. Dan keempat-empatnya masih baru. Di samping itu, dalam koran ini ada berita panjang-lebar tentang perampokan intan di museum San Francisco! Ini koran setahun yang lalu, dan berita itu diberi tanda dengan lingkaran yang dibuat dengan pensil. Ini koran terbitan San Francisco - jadi mereka sengaja membelinya."
"Nah - apa kata kalian sekarang?" kata Sam Reston sambil berpaling, menatap kedua laki-laki tua itu. Ben dan Waldo berpandang-pandangan
. Akhirnya Ben Jackson mengangkat bahu. Ketika ia berbicara lagi, suara biasa saja. Tidak melengking tinggi seperti tadi.
"Anak itu benar," katanya singkat. "Kami tahu gua itu bukan tambang intan. Di sekitar sini sama sekali tidak ada intan."
"Ketika menemukan beberapa intan pada saat permulaan, kami memang menyangka begitu," ­kata Waldo menyambung. "Tapi kami juga tahu, di sini tidak ada intan. Karenanya Ben lantas mengusahakan buku-buku itu. Intan-intan yang kami temukan ternyata kebanyakan jenis Afrika. Kemudian aku pergi ke perpustakaan. Di sana kutemukan berita singkat dalam koran setempat tentang pencurian itu. Kami lantas membeli selembar koran terbitan San Francisco. Di dalamnya ada keterangan mengenai batu-batu itu, sehingga dengan begitu kami tahu bahwa itu intan-intan yang dicuri."
Kini Ben menyambung lagi, "Intan-intan yang kami temukan itu berasal dari pencurian - karena itu kami memutuskan untuk menguasainya. Tidak ada orang lain yang tahu, kecuali pencuri itu. Kami mulai menggali, dan ternyata banyak sekali intan yang kami temukan di tempat itu!"
"Cuma susahnya, liang-liang yang kami buka menyebabkan gua mulai meraung lagi," kata Waldo melanjutkan. "Mula-mula kami malah senang, karena itu menyebabkan tidak ada yang berani datang ke sana. Kemudian Mr. Dalton datang memeriksa, bersama sheriff. Karena itu aku lantas naik ke puncak gunung. Setiap kali ada orang menghampiri gua, aku memberi isyarat pada Ben untuk menutup gua sampai orang itu pergi lagi."
Ben Jackson tertawa terkekeh. "Semuanya termakan oleh siasat kami. Aku pernah berhasil menyebabkan kalian lari dari sana sekali," katanya sambil memandang Bob dan Jupiter. "Cuma yang tidak kumengerti bagaimana kalian sekarang bisa masuk tanpa dilihat oleh Waldo."
Jupiter bercerita tentang siasatnya, dengan Bob serta boneka yang dua buah, sementara kedua laki-laki tua mendengarkan dengan kagum. Ben Jackson tertawa geli setelah Jupiter selesai dengan ceritanya.
"Bukan main! Aku kan sudah mengatakan, kalian pintar-pintar. Betul! Kau berhasil menipu kami."
"Ini bukan urusan yang jenaka, Mr. Jackson," kata Sam Reston dengan galak. "Menyimpan barang curian merupakan kejahatan serius."
Ben tertawa nyengir, agak malu-malu. "Aku tidak tahu pasti, apakah kami memang benar-benar hendak menahannya terus. Cuma selama ini kami belum pernah sungguh-sungguh berhasil - dan rasanya asyik sekali menggalinya. Kami merasa kembali menjadi pencari harta yang sungguhan. Kurasa perbuatan kami itu tidak benar, tapi kami beranggapan bahwa yang rugi karenanya cuma pencuri itu saja. Setidak-tidaknya selama kami belum memutuskan apa yang akan kami lakukan dengan intan-intan itu."
"Lalu bagaimana dengan kecelakaan-kecelakaan itu?" tanya Bob sengit. "Dan batu besar yang nyaris menimpa kami?"
"Itu kebanyakan memang benar-benar kecelakaan," kata Waldo menjelaskan. "Biasa terjadi di ­sekitar sini. Orang menjadi gugup karena bunyi raungan, sehingga tambah tidak berhati-hati. Tapi batu yang hampir mengenai kalian itu kesalahanku. Saat aku sedang mengamat-amati kalian, kakiku menyenggol batu sehingga jatuh terguling ke bawah. Aku sama sekali tidak berniat mencederai siapa-siapa."
Sam Reston menatap kedua laki-laki tua itu dengan galak. "Tentang kalian, akan kuputuskan nanti," katanya sambil meraup intan yang bertumpuk di meja lalu memasukkan semuanya kembali ke dalam kantung kulit, diikuti pandangan Ben dan Waldo yang menampakkan rasa sesal dan kecewa.
"Kalian bertindak konyol," sambung Mr. Reston, "tapi di pihak lain, karena kalian intan-intan curian ini bisa ditemukan kembali. Mungkin kalian berniat akan mengembalikannya, kapan-kapan. Siapa tahu? Saat ini aku masih harus mencari pencuri."
"Aku sempat berpikir-pikir tentang Schmidt itu, Mr. Reston," kata Jupiter setelah diam saja selama beberapa saat. "Aku yakin, ia tahu bahwa Ben dan Waldo ini melakukan penggalian dalam gua. Ia juga pasti tahu bahwa mereka menemukan intan-intan curiannya. Aku yakin bahwa ia akan datang lagi untuk mengambil intan-intan itu kembali. Ini menimbulkan gagasan pada diriku. Anda bisa memasang jebakan untuk menangkapnya."
Saat itu terdengar suara yang tidak begitu jelas di belakang mereka.
"Kau pintar. Aku memang kembali!" Semua yang ada dalam pondok itu kaget, lalu berpaling ke arah datangnya suara. Mereka melihat orang berdiri di ambang pintu. El Diablo palsu! Topeng mukanya menampakkan wajah remaja dan kaku, sekaku ketika menyergap Pete dan Jupiter dalam gua. Tangan kirinya menggenggam pistol yang sama seperti saat itu.
"Jangan bergerak," kata Mr. Reston pada Bob dan Jupiter. "Jika ini Schmidt, dia berbahaya."
Sambil berbicara detektif itu melirik ke pistolnya yang tadi digeletakkan di atas meja.
"Nasihat yang baik sekali," sergah El Diablo palsu dengan suara tak terdengar jelas. "Aku memang Schmidt," Ia menggerak-gerakkan pistolnya, menyuruh semuanya berdiri menghadap dinding. "Jangan coba-coba mengambil pistolmu, Reston!"
Mr. Reston, Bob, dan Jupiter, begitu pula Ben Jackson dan Waldo Turner - semua berdiri menghadap dinding.
"Kau, yang kecil," kata Schmidt pada Bob, "ambil tali yang di pojok itu. Ikat Reston. Cepat!"
"Ikuti katanya, Bob," kata Sam Reston. Dengan perasaan gugup, Bob pergi mengambil tali lalu mengikat tangan dan kaki detektif itu. Kemudian Schmidt menggerak-gerakkan pistolnya lagi, menyuruh Bob menjauh, lalu diperiksanya keteguhan ikatan yang meringkus Mr. Reston. Rupanya ia puas. Ia melangkah mundur.
"Sekarang kalian ikat kedua laki-laki tua itu," katanya. Bob dan Jupiter mengikat Ben dan Waldo.
Setelah itu Bob mengikat Jupiter, sedang ia sendiri diikat oleh Schmidt. Akhirnya semua terbaring di lantai dalam keadaan terikat erat. Penjahat yang menyergap mereka menghampiri meja, lalu mengambil kantung kulit yang terletak di atasnya.
"Aku harus mengucapkan terima kasih pada kalian karena sudah menyiapkan intan-intan ini untuk kuambil," katanya dengan nada mengejek. "Jadi aku tidak perlu lagi repot-repot menggali dari bawah timbunan batu bekas gempa bumi. Tapi selama ini pun aku mengawasi terus. Aku tidak mau kehilangan begitu saja, setelah repot-repot mencurinya."
Penjahat itu tertawa kecil. "Kalian berdua agak bandel dan merepotkan," katanya pada Bob. dan Jupiter, "tapi begitu aku melihat tangki-tangki udara kalian, aku langsung bisa menebak niat kalian. Aku sebenarnya agak gugup ketika menyadari bahwa Reston sudah dekat lagi dalam usahanya mengejar diriku. Tapi akhirnya semua beres."
Penjahat itu membungkuk, berlagak memberi hormat pada kelima korbannya yang terikat di lantai, lalu pergi meninggalkan pondok. "Seharusnya aku menyadari bahwa ia mengamat-amati kita," kata Jupiter sambil mengeluh. "Ketika ia menyergap kita dalam gua tadi, sudah jelas bahwa ia tahu tentang penggalian yang dilakukan oleh Ben - karena kita bisa mendengar bunyinya di tempat ia menyergap kita."
"Jangan persalahkan dirimu, Jupiter," kata Sam Reston. "Kau sudah berhasil menyelidiki seluruh kasus ini. Aku seharusnya menyadari bahwa Ben dan Waldo sebenarnya hanya dijadikan alat saja oleh Schmidt."
"Yah - setidak-tidaknya dugaan Jupe tadi benar," kata Bob. "Pencuri itu ternyata memang datang lagi."
"Apa gunanya berhasil menyelidiki misteri, apabila bahkan melihat muka penjahatnya saja tidak bisa?" kata Jupiter dengan nada tidak puas. Keningnya berkerut. "Sekarang ia pasti akan melarikan diri, sedang kita tetap tidak tahu bagaimana tampangnya. Mr. Reston terpaksa mulai lagi dari -"
Jupiter tidak menyelesaikan kalimatnya. Mulutnya ternganga, sedang matanya menatap jauh seperti kena sihir.
"Jupe?" sapa Bob kaget.
"Ada apa, Jupe?" kata Sam Reston Jupiter terkejap-kejap matanya, seakan-akan baru bangun.
"Kita harus bisa membebaskan diri!" serunya sambil meronta-ronta, berusaha melepaskan tali yang mengikat tangan dan kakinya. "Kita harus cepat-cepat mengejarnya!"
Sam Reston hanya menggeleng saja dengan suram. "Ia pasti sudah jauh sekarang, Jupiter. Tidak mungkin ia masih ada di sini."
"Belum tentu," kata Jupiter. "Apanya yang belum tentu, Jupe?" tanya Bob. Jupiter tidak sempat menjawab, karena saat itu terdengar bunyi langkah kuda mendekat. Sesaat kemudian pintu pondok dibuka dengan tiba-tiba. Seorang laki-laki berbadan besar yang belum pernah dilihat oleh Bob dan Jupiter masuk, lalu memandang kelima orang yang terikat di lantai dengan mata melotot.
"Ada apa di sini?" katanya dengan suara berat, lalu menatap Bob dan Jupiter. "Kalian ini macam-macam saja!"
Kedua remaja itu memandang laki-laki yang menyapa mereka, lalu tertawa nyengir dengan perasaan lega. Di belakang laki-laki itu tersembul muka Pete dan Mrs. Dalton.

Bab 18 Topeng El Diablo Tersingkap
LAKI-LAKI bertubuh besar itu ternyata sheriff. Petugas keamanan daerah Santa Carla itu mula-mula marah sekali pada Jupiter beserta kedua temannya, karena berusaha menyelidiki misteri itu sendiri saja.
"Anak-anak tidak ada urusannya, menguber pencuri permata yang berbahaya!" bentaknya.
"Kalian kan bisa celaka dalam gua itu," kata Mrs. Dalton menambahkan. "Coba Pete tidak melihat tanda-tanda tanya itu lalu menduga bahwa kalian mungkin pergi ke pondok Ben, aku tidak tahu apakah kalian bisa ditemukan!"
Bob nampak merasa kurang enak diomeli begitu. Tapi Jupiter langsung bereaksi. "Kami minta maaf, Sir," katanya dengan sopan pada sheriff, "tapi kami sama sekali tidak melakukan sesuatu yang berbahaya dalam gua itu. Tahu-tahu kami disergap lalu ditawan oleh pencuri yang dikejar-kejar Mr. Reston ini."
"Itu betul, Sheriff," ujar Sam Reston menyela. "Mereka sama sekali tidak mungkin tahu bahwa di dalam situ ada penjahat yang berbahaya. Mereka menyangka bahwa mereka hanya sedang menyelidiki misteri bunyi raungan saja. Mungkin ditambah dengan kasus yang menyangkut dua laki-laki tua yang agak aneh tapi sebenarnya tidak apa-apa. Mereka sama sekali tidak berniat hendak menangkap pencuri permata, sampai aku kemudian muncul. Akulah yang mengajak mereka mengejar Ben dan Waldo."
"Itu soal yang ingin kubicarakan dengan Anda nanti," kata sheriff. "Tapi Anda Mungkin benar. Kurasa para remaja ini sudah bertindak dengan tidak sembarangan."
"Betul - bahkan melebihi kebanyakan orang dewasa," kata Sam Reston. "Dan kelihatannya mereka berhasil menyelidiki misteri ini sampai tuntas, walau si pencuri berhasil melarikan diri."
"Menurut pendapatku, mereka telah membuktikan kemampuannya sebagai penyelidik yang tangguh," kata Mrs. Dalton sambil tersenyum.
"Mereka memang berhasil membongkar kasus ini," kata sheriff. "Sayang pencuri itu berhasil minggat. Tapi kita lambat laun pasti berhasil juga menangkapnya."
Saat itu Jupiter berseru memotong. Semua memandang ke arahnya dengan heran. "Belum tentu ia sudah pergi, Sir," kata Jupiter bersemangat. "Bahkan mungkin pula ia sama sekali tidak berniat begitu."
"Apa maksudmu?" tanya petugas keamanan itu.
"Tahukah Anda di mana yang lain-lainnya, Sir?" balas Jupiter bertanya dengan tenang.
"Yang lain? Maksudmu, orang-orang dari ranch? Mereka sedang sibuk mencari kalian ke mana-mana," kata sheriff. "Dalton beserta anak buahnya ke pantai, sedang Luke Hardin, Profesor Walsh, dan beberapa orang lagi ke sisi seberang Gunung Setan."
"Lalu di mana akan berkumpul lagi?" tanya Jupiter. "Di ranch," jawab sheriff. "Kalau begitu kita harus lekas-lekas ke sana," kata Jupiter tegas.
Kening petugas keamanan itu berkerut. "Kalau ada sesuatu yang kauniati, ayo katakan dulu!"
"Tidak ada waktu sekarang, Sir," kata Jupiter sambil menggelengkan kepala. "Kalau harus saya jelaskan dulu, nanti terlalu lama - sedang kita harus sudah menyergapnya, sebelum ia sempat menyingkirkan bukti-bukti yang memberatkan."
"Lebih baik ikuti saja katanya, Sheriff,.' kata Sam Reston mencampuri. "Berdasarkan pengalaman selama ini, aku sekarang tahu bahwa dia tidak asal bicara saja."
"Baiklah, kalau begitu," kata sheriff. "Ayo kita berangkat. "
Jupiter naik ke pelana di belakang sheriff, sedang Bob dan Pete ikut dengan dua orang pembantu petugas keamanan itu, yang selama itu menunggu di luar di atas kuda masing-masing. Kemudian mereka berpacu merintis tanah pertanian yang kasar dan berat medannya. Jupiter, Bob, dan Pete berpegangan kuat-kuat, terombang-ambing, dan terantuk-antuk di atas pelana tanpa bisa melihat arah yang dituju. Ketika rombongan itu menghampiri bangunan utama tempat pertanian, mereka tidak melihat orang di situ. Suasana sunyi sepi. Hanya jendela dapur saja nampak agak terang, seperti ada sinar samar di dalam.
"Nah - siapa yang kauharapkan akan kita jumpai di sini?" tanya sheriff pada Jupiter, yang duduk dengan sikap setengah menggelantung di belakangnya.
Jupiter menggigit bibir. "Aku tahu, ia pasti akan kembali. Rupanya kita lebih dulu sampai. Ia memang harus pura-pura ikut mencari kami dulu. Sebaiknya kita turun saja semua, lalu menunggu di tempat gelap."
Sheriff meloncat ke tanah, lalu membantu Jupiter turun. Sesaat kemudian Sam Reston tiba naik mobilnya.
"Nah," kata sheriff pada Jupiter, "sekarang ceritakan untuk apa kita semua kau suruh bergegas-gegas tadi."
"Begini, Sir," kata Jupiter memulai penjelasannya. "Saya teringat pada beberapa hal yang dikatakan penjahat itu ketika di pondok tadi. Informasi itu saya hubungkan dengan beberapa fakta yang ada, lalu..."
Saat itu muncul seseorang dari samping rumah. Jalannya terpincang-pincang "Wah, rupanya Anda sudah berhasil menemukan mereka, Sheriff," kata Profesor Walsh, karena dialah orang yang baru muncul itu.
"Hebat! Kalian rupanya sibuk sekali tadi, ya?" sambungnya sambil menoleh pada anak-anak. Ia tersenyum. Matanya nampak ramah, di balik lensa kaca mata yang tebal. Ia menjamah kaki kirinya. "Aku tadi terjatuh, sehingga kakiku robek. Besar juga lukanya," katanya menyambung. "Aku terpaksa pulang dulu untuk membalutnya."
"Tepat sekali Anda datang, Profesor," kata sheriff. "Jupiter Jones baru saja hendak memberi penjelasan tentang sesuatu hal."
"Sekarang itu tidak perlu lagi, Sheriff," kata Jupiter tenang. "Saya sarankan Anda menggeledah Profesor Walsh, untuk mencari intan-intan itu. Pasti ia tidak mau berpisah lagi dari barang-barang itu sekarang - apalagi mengingat bahwa ia yakin sekali kita tidak menduga bahwa ia sebenarnya Laszlo Schmidt."
"Schmidt? - Schmidt!" seru Sam Reston, sambil menatap Profesor Walsh dengan mata terbelalak.
"Kemungkinannya intan-intan itu disembunyikan di bawah pembalut kakinya yang katanya luka itu," kata Jupiter lagi.
Profesor Walsh berteriak. Ia berbalik dengan cepat, lalu lari. Seketika itu juga semua mengejarnya, kecuali Bob, Pete, dan Mrs. Dalton. Mereka ini berpaling, memandang Jupiter dengan sikap bingung. Penyelidik Pertama Trio Detektif hanya berdiri saja sambil tertawa-tawa nyengir.

Bab 19 Laporan pada Alfred Hitchcock
"JADI intan-intan itu kemudian ternyata memang ditemukan di bawah pembalut kaki Profesor Walsh, Jones?" tanya Alfred Hitchcock.
"Betul, Sir," kata Jupiter. "Profesor itu berhasil dikejar ketika ia sampai di mobilnya, yang berpelat nomor Nevada itu. Kemudian ternyata bahwa mobilnya ada dua buah. Mobil yang memakai pelat nomor Nevada disembunyikannya dalam suatu jurang sempit di Lembah Raungan. Kostum El Diablo dan topeng plastik disimpannya di situ. Tidak dibuang, karena ia merasa yakin takkan ada yang mengira bahwa ia sebenarnya Laszlo Schmidt."
"Ya, ya - perasaan penjahat ulung yang terlalu yakin pada dirinya sendiri," kata sutradara termasyhur itu dengan sikap serius. "Kalian telah bekerja dengan baik sekali, Anak-anak!"
Saat itu satu minggu sesudah Profesor Walsh alias Laszlo Schmidt berhasil ditangkap. Anak-anak baru saja kembali dari liburan selama satu minggu di tempat pertanian Mr. dan Mrs. Dalton. Selama itu mereka asyik berenang-renang, menunggang kuda, serta ikut mendalami pekerjaan di ranch. Kini mereka berada di dalam kantor Alfred Hitchcock, untuk menyampaikan laporan tentang Misteri Gua Raungan pada sutradara film yang terkenal itu, berdasarkan catatan yang dibuat oleh Bob.
"Rasanya aku sekarang sudah cukup mengerti, tentang rahasia raungan gua itu," sambung Mr. Hitchcock. "Begitu pula tentang apa yang dilakukan oleh Ben dan Waldo. Lalu apa yang akhirnya terjadi dengan kedua laki-laki tua itu?"
Bob tertawa nyengir mendengar pertanyaan itu. "Sheriff akhirnya menarik kesimpulan bahwa mereka sama sekali tidak sempat melakukan kejahatan. Ia lebih cenderung berpendapat bahwa akhirnya mereka pasti akan menyerahkan intan-intan curian itu pada pihak yang berwenang. Mr. dan Mrs. Dalton bahkan memaafkan perbuatan mereka, menakut-nakuti orang supaya jangan berani datang ke Gua Raungan."
Mr. Hitchcock mengangguk-angguk. "Jadi akhirnya begitu! Ya - kurasa mereka hanya tergiur saja sebentar karena membayangkan berhasil menemukan harta tambangan."
"Kalau begitu Anda bersedia menulis kata pengantar untuk laporan kami ini, Sir?" sela Pete cepat -cepat.
"He, tunggu dulu!" kata Mr. Hitchcock dengan suara keras. "Aku belum mengatakan apa-apa. Aku memang sudah berjanji akan menulis kata pengantar untuk tiap kisah petualangan kalian yang kunilai cukup menarik - dan aku juga sudah memahami seluk-beluk raungan serta kedua pencari harta tambangan itu. Tapi aku belum mendengar keterangan, bagaimana Jupiter tahu-tahu bisa menarik kesimpulan bahwa El Diablo dan Profesor Walsh sebenarnya satu orang - yaitu Laszlo Schmidt."
Jupiter duduk sambil mencondongkan dirinya ke depan. "Begini, Sir," katanya menjelaskan. "Waktu itu saya mulai bertanya-tanya dalam hati, mungkinkah El Diablo palsu itu sebenarnya Profesor Walsh. Kemudian saya sampai pada kesimpulan, bahwa ia juga yang paling mungkin Laszlo Schmidt. Ia satu-satunya pendatang baru di Crooked- Y Ranch. Sedang riwayat hidupnya sebagai guru besar, dengan gampang saja bisa dipalsukan."
Mr. Hitchcock mengangguk. "Ya, itu bisa kubayangkan. Ia baru setahun berada di daerah situ, dan lebih mudah menyatakan diri sebagai guru besar, daripada bekas jago menunggang kuda liar di rodeo, atau mandor di tempat pertanian. Tapi apa sebabnya kau lantas mencurigainya?"
Kening Jupiter berkerut. "Sebetulnya saya harus lebih cepat memperhitungkan dirinya sebagai orang yang layak dicurigai. Tapi terus terang saja, saya baru sadar ketika kami disergap dalam Pondok Ben Jackson. Semua baru tersingkap bagi saya, setelah mendengar ucapannya sehabis mengikat kami."
Mr. Hitchcock membalik kertas-kertas catatan Bob. . "Tidak banyak yang dikatakannya saat itu," kata sutradara itu setelah membaca sebentar.
"Memang tidak banyak tapi cukup," balas Jupiter. "pertama - ia menyebut tangki-tangki udara kami. Hanya orang yang ada di tempat pertanian saja yang mungkin sempat melihat barang-barang itu. Lalu kedua, suaranya. Walau ia menyamarkannya di balik topeng, tapi ia tidak bisa menyembunyikan cara bicaranya. Lalu ketika saya berpikir-pikir tentang petunjuk-petunjuk lainnya, saya tiba-tiba menyadari bahwa itu cara Profesor Walsh berbicara."
Mata Mr. Hitchcock berbinar-binar. "Begitu," katanya. "Ya, memang - pola bicara seseorang bisa merupakan petunjuk yang sangat jelas."
"Kemudian ia juga mengatakan bahwa ia menjadi gugup ketika menyadari bahwa Mr. Reston sudah menemukan jejaknya kembali. Ucapan itu memberikan dua petunjuk bagi saya. Pertama, El Diablo palsu itu mengenal Mr. Reston. Dan kedua - ia tahu bahwa Mr. Reston sudah dekat sekali dalam melacak jejaknya."
"Ya, tentu saja!" ujar Mr. Hitchcock. "Reston mengatakan pada kalian bahwa Laszlo Schmidt mengenal tampangnya. Sedang selama ini hanya kalian saja yang pernah melihat detektif itu. Kalian bercerita tentang tampangnya sekarang pada orang-orang di tempat pertanian. Jadi jelas bahwa El Diablo palsu itu orang yang mengenal tampang Reston dari cerita kalian!"
"Tepat, Sir," kata Jupiter sependapat.
"Tapi semuanya itu terjadi secara kebetulan saja, Anak muda," kata Mr. Hitchcock sambil mengerutkan kening. "Memang cocok dengan Profesor Walsh - tapi dicocokkan dengan yang lain-lainnya di tempat pertanian, juga bisa. Apa yang menyebabkan kecurigaanmu semakin mengarah pada Profesor Walsh?"
"Karena pistolnya, Sir," kata Jupiter dengan nada puas.
"Pistol?" ulang sutradara kenamaan itu, sambil menyimak catatan Bob yang ada di tangannya.
"Aku tidak membaca apa-apa di sini mengenainya - maksudku, yang istimewa."
"Bukan pistol itu sendiri, melainkan cara dia memegangnya," kata Jupiter dengan cepat. "Begini soalnya, Sir. El Diablo palsu yang menyergap kami menggenggam pistol dengan tangan kiri. Sarung pistol juga tergantung di pinggang sebelah kiri. Tapi semua buku dan gambar yang ada menunjukkan bahwa El Diablo tidak kidal. Kerangka El Diablo sejati yang kami temukan dalam gua, juga menggenggam pistol dengan tangan kanan. Jadi-"
"Astaga!n seru Mr. Hitchcock. "Keterlaluan - petunjuk begitu penting sampai tak kusadari! Tentu saja, Jones - hanya profesor gadungan itu saja yang menganut teori bahwa El Diablo itu kidal! Ia terperangkap oleh teorinya sendiri!"
"Memang. Sir," kata Jupiter sambil nyengir gembira. "Ia ternyata memang benar-benar profesor, di samping pencuri ulung. Seperti dikatakan oleh Mr. Reston, lima tahun lamanya orang itu membangun identitas baru. Ia memang benar-benar Profesor Walsh, dan ia juga benar-benar ahli tentang sejarah California. Ia sedang menulis buku tentang El Diablo, dan ketika ia menirukan bandit itu secara otomatis ia menyesuaikan diri dengan teorinya sendiri!"
Mr. Hitchcock tertawa terbahak-bahak. "Prestasi kalian kali ini benar-benar gemilang, Jones. Dengan senang hati aku bersedia menuliskan kata pengantar untuk kisah petualangan kalian ini. Bukan main! Terjebak sendiri - karena memakai tangan kiri!"
Anak-anak berseri-seri mendengar pujian itu. Kemudian Jupiter menyodorkan pistol kuno yang ditemukannya bersama Pete dalam genggaman kerangka El Diablo yang asli.
"Mungkin Anda mau menerima ini, Sir - kenang-kenangan dari Misteri Gua Raungan," kata Jupiter.
"Wah! Pistol El Diablo yang sejati." Mr. Hitchcock mengamat-amati senjata api itu dengan kagum. "Tentu saja aku mau. Pasti akan kusimpan baik-baik. Pada hakikatnya kalian bukan hanya berhasil menjelaskan teka-teki yang menyelubungi gua yang meraung, serta pencurian intan itu - tapi juga menamatkan riwayat takhyul mengenai diri El Diablo."
"Wah,"' kata Pete kagum. "Betul juga!"
"Kini tinggal satu pertanyaan lagi yang ingin kuketahui jawabannya dari kalian," kata Mr. Hitchcock dengan mata bersinar jenaka. "Betulkah dalam telaga gua itu ada Si Tua? Mungkinkah makhluk itu yang membinasakan El Diablo?"
Jupiter nampak merenung lagi. "Yah - legenda tentang Si Tua sudah lama dikenal orang di sana - sejak zaman dulu. Mungkin saja ada dasar kebenarannya. Menarik juga, kembali ke sana untuk memeriksa apakah benar-benar ada sesuatu dalam telaga itu."
"Aduh, jangan," keluh Bob dan Pete serempak.
Tapi Jupiter tidak mengacuhkan mereka. Ia hanya menggumam. "Hmm - ingin tahu juga aku ...."
Alfred Hitchcock memandang pistol yang tergeletak di mejanya, setelah Jupiter beserta kedua temannya pergi. Sutradara itu tersenyum. Ternyata, sekali lagi Trio Detektif berhasil menyingkapkan misteri yang membingungkan kalangan orang dewasa. Ia bertanya-tanya dalam hati, teka-teki apa lagi yang akan menyibukkan ketiganya sesudah ini. Mungkin saja Si Tua yang ada dalam gua. Tapi kalau tidak, yang jelas pasti urusan yang sama misteriusnya!

Selesai