Pendekar Mabuk 20 - Ladang Pertarungan(2)



 Mahendra Soca segara mendekati Yayi. Mata Mahendra Soca memandang dengan senyum mengembang tipis menawan. Yayi jadi salah tingkah, lalu kejap berikutnya Yayi tak tahan dan mengalihkan pandangan matanya ke tempat lain.


Sejak pertemuannya di Ladang Pertarungan, ketika Mahendra Soca menjaga kudanya, Yayi belum pernah bertemu Mahendra Soca lagi. Baru kali ini ia jumpa dengan pria yang menawan hatinya itu. Dan Yayi pun merasa bersalah, karena pada waktu itu meninggalkan Mahendra Soca sampai sekian lama, sampai mungkin Mahendra Soca bosan dan pergi begitu saja, membiarkan kuda putihnya ditambatkan di sebuah batang pohon.

Setelah hening tercipta beberapa kejap, terdengarlah suara Yayi yang bernada penuh sesal dan duka mengenang kematian adiknya,

"Maafkan aku ketika itu, Mahendra. Aku meninggalkan kamu sampai sekian lama, dan ketika aku kembali ke kudaku, kau sudah tiada!"

"Ya, aku memang sedikit jengkel waktu itu, Yayi. Tapi sekarang sudah kulupakan. Toh aku pun waktu itu telah pergi meninggalkan tempat itu tanpa mau mengurus kudamu lagi! Kalau kuda itu hilang dicuri orang, itu karena kesalahanmu yang tak mau menghiraukan aku lagi dan menelantarkan aku di bawah pohon sana! Tapi, sudahlah... kuanggap hal itu tak pernah terjadi, Yayi!"

"Aku panik pada saat itu! Sampai akhirnya aku menyaksikan sendiri kematian Abiyasa di tengah arena!"

"Oh, jadi...?"
"Benar, Mahendra. Abiyasa mati dibabat pedang Wajah Hitam!"

Mahendra Soca diam dengan wajah murung.

Bahkan ia tampak gelisah dan tak berani menatap Yayi. Sikapnya yang menunduk membuat Yayi mengerti bahwa Mahendra Soca ikut bersedih atas kematian Abiyasa. Kemudian, Yayi segera mendekati Mahendra Soca yang duduk di dahan pohon yang telah ditebangnya itu, di sana Yayi berkata,

"Seharusnya waktu itu aku mengajakmu melihat kehebatan adikku, Abiyasa itu, dan juga melihat gerakan ilmu pedang si Wajah Hitam yang memang cukup tinggi itu! Salah sekali aku, karena tidak mengajakmu ke sana!"

"Bukan itu yang kupikirkan saat ini, Yayi. Tapi... sekarang aku tahu mengapa kau belajar ilmu pedang tadi. Sepertinya... kau punya dendam dan ingin melawan si Wajah Hitam itu. Bukankah begitu maksudmu, Yayi?"

"Ya. Aku memang ingin membalas kematian Abiyasa! Aku bahkan sudah mengatakan kepada pengurus Ladang Pertarungan Itu, bahwa minggu depan aku akal hadir sebagai peserta di arena itu!"

Sambil berkata demikian, mata Yayi menyipit pancarkan cahaya dendam dari dalam hatinya. Mahendra Soca memandang sejenak, kemudian menunduk lagi memainkan sebatang rumput dan berkata pelan,

"Kalau bisa jangan, Yayi."
"Jangan apa maksudmu?"
"Jangan datang ke sana. Jangan ikut dalam pertarungan. Nanti kau mati di tangan mereka!"

"Mati demi membalas dendam atas kematian adikku adalah lebih baik daripada mati konyol hanya memperebutkan sejumlah hadiah!"

"Kalau kau mati," kata Mahendra Soca, "Aku tak bisa melihatmu lagi, Yayi! Lalu ke mana aku akan bisa melihatmu jika kau mati di sana?"

Kata-kata itu meluncur dengan polos, seakan terungkap secara apa adanya. Hati Yayi sempat dibuat guncang karena ucapan lugu itu. Debar-debar yang terjadi di dalam hatinya menjadi lebih sulit diterjemahkan dengan bahasa mulut. Apalagi ketika Mahendra Soca memandangnya dengan lembut, hati Yayi semakin gundah dan tak mengerti lagi apa yang berkecamuk di dalam pikirannya.

Hanya saja, waktu itu suasana indah berkelambu resah itu menjadi buyar seketika dengan kedatangan Ragajampi. Kini di hati Yayi mulai timbul perasaan baru, yaitu perasaan benci dan geram terhadap kehadiran Ragajampi yang dianggap mengganggu kebahagiaannya.

"Tak adakah pekerjaan lainnya yang bisa kau kerjakan sebagai pengawal?!" hardik Yayi kepada Ragajampi yang datang bersama satu prajurit, bukan Sulaya. Ragajampi memandang ke arah Mahendra dan bagaikan tak mendengar ucapan Yayi tadi. Mahendra Soca beradu pandang sebentar, lalu tundukkan kepala tak berani menatap Ragajampi.

"Apa maumu datang kemari menggangguku,hah?!" bentak Yayi.
"Diutus oleh Kanjeng untuk menjemputmu! Kanjeng dan Ki Argapura ingin bicara denganmu!"
"Alasan saja!" geram Yayi.

"Kalau tak percaya, tanyakan saja kepada Wikromo!" Ragajampi menunjuk orang berseragam keprajuritan itu.

"Pulanglah, Yayi. Jangan sampai ayahandamu marah," kata Mahendra Soca dengan pelan sambil tangannya memegang pundak Yayi. Dan tiba-tiba Ragajampi menarik napas dengan wajah menjadi merah. Yayi tahu hal itu, ia semakin menambah panas hati Ragajampi dengan merapatkan badan ke tubuh Mahendra Soca, lalu wajahnya memandang pemuda itu dan mulutnya mengucapkan kata,

"Jangan kecewa, Mahendra! Kita tetap akan bisa bertemu lagi!"

"Ya. Aku tidak kecewa. Aku memaklumi kesibukan mu sebagai putri seorang adipati. Kapan- kapan kita pasti jumpa lagi, Yayi."

Ragajampi meludah ke samping setelah menarik napas menahan cemburu di dada. Matanya menyipit memandang jauh ke arah lain, seakan tak mau memperhatikan suasana mesra antara Yayi dan Mahendra Soca.

Yayi pun segera pergi setelah Mahendra Soca membujuknya agar segera berangkat ke istana. Kepergian Yayi dipandangi oleh Mahendra Soca sampai ketepian sungai. Tetapi tiba-tiba seseorang
menyerang Mahendra Soca dari belakang.

Baaahg...!

"Aahg...!" Mahendra Soca tersentak ke depan dan jatuh. Sebuah pukulan tenaga dalam tanpa suara, tanpa sinar telah menghantam punggungnya. Tetapi hal itu tidak membuat Mahendra Soca diam terkulai, melainkan berusaha untuk bangkit walau dengan susah payah dan menahan rasa sakit sebegitu dalam.

Ketika ia bangkit, tampaklah seorang berpakaian hijau tua, bersenjata golok dengan wajah bulat dan rambut keriting. Orang itu tak lain adalah Sulaya. Begitu melihat Mahendra Soca bangkit, Sulaya segera tebaskan goloknya ke pundak Mahendra Soca. Wuttt...!

Brukk...! Bukan Mahendra Soca yang roboh, melainkan Sulaya sendiri. Orang itu belum sempat mencapai pundak Mahendra Soca dengan goloknya, tiba-tiba datang angin kencang bergelombang besar yang seolah-olah telah mendorong dan melemparkan tubuhnya hingga terpental jauh. Bahkan tubuh Sulaya pun membentur batang pohon tepat di bagian kepalanya, hingga ia mengaduh tertahan karena bagian pelipisnya sempat bocor dan berdarah.

Mahendra Soca sendiri kaget melihat Sulaya jatuh secara tiba-tiba. Padahal kalau Sulaya tidak jatuh terlempar, pasti Mahendra Soca mati atau setidaknya akan terpenggal pundaknya akibat bacokan golok tajamnya Sulaya. Untung ada seseorang yang menyerang Sulaya dari suatu tempat yang tersembunyi, sehingga Mahendra Soca masih tetap utuh dan terhuyung-huyung menahan rasa sakitnya dengan mata masih terpejam kuat-kuat. Sekujur dadanya merasa panas akibat pukulan tenaga dalam Sutaya tadi.

Melihat pelipisnya berdarah, Sulaya menjadi tambah bernafsu untuk membalas serangan. Tapi karena yang ada hanya Mahendra Soca, maka niatnya untuk mencelakai Mahendra Soca semakin bertambah besar lagi. Dengan satu lompatan bagai terbang, Sulaya menerjang Mahendra Soca dengan golok tajamnya siap dibabatkan ke wajah pemuda itu.

Tetapi tiba-tiba sekelebat bayangan melesat menabraknya, dan tubuh Sulaya pun kembali terpental tak tentu arah. Brusss...! Sulaya jatuh ke semak-semak, punggungnya membentur batu runcing. Batu itu mengoyakkan punggung hingga robek dan berdarah punggung tersebut. Sulaya pun mengerang kesakitan.

Tetapi sekelebat bayangan tadi kini sudah berdiri depannya. Bayangan yang menabraknya tadi adalah bayangan tubuh seorang pemuda berpakaian coklat dan celana putih, rambutnya panjang tanpa diikat, dan menyandang bumbung tuak di punggungnya. Siapa lagi dia kalau bukan Pendekar Mabuk yang dikenal dengan nama Suto Sinting.

Sulaya maupun Mahendra Soca sama-sama heran memandang kemunculan tokoh penyandang bumbung tuak itu. Apalagi ketika itu, Suto langsung mengambil bumbung tuak dan meneguk tuaknya beberapa kali mereka semakin merasa heran melihat sikap seenaknya saja itu.

"Siapa kau?! Mengapa kau campuri urusanku dengan orang itu?!" Sulaya mencoba menggertak Suto Sinting. Tapi Pendekar Mabuk yang tampan itu menyunggingkan senyum tipisnya dan berkata,

"Siapa aku, itu tak perlu kau ketahui! Yang perlu kau ketahui, aku bukan bermaksud memusuhimu, tapi hanya mencegah perbuatanmu yang hampir menewaskan nyawa orang yang bukan tandinganmu itu!"

"Kalau begitu, kaukah tandinganku?! Hiih...!" Sulaya segera kirimkan pukulan tenaga dalam dari telapak tangannya. Tenaga dalam itu segera dibalikkan oleh Suto dengan menggunakan sentilan jarinya yang bernama jurus 'Jari Guntur'. Wuttt...! Blauggh...! Dada Sulaya jadi sasaran balik tenaga dalamnya dan ia terpental lagi lebih jauh dari kedua sentakan tadi. Telinganya membentur pohon, dan daun telinga itu pun menjadi robek berdarah.

Sulaya merasa orang berbumbung tuak itu membahayakan jika dilawan. Melalui sentilan jari yang bisa menghantam balik pukulan tenaga dalam tersebut sudah bisa diduga oleh Sulaya, bahwa orang tersebut pasti berilmu tinggi. Maka ia lebih baik memilih pergi dari tempat itu.

Setelah Sulaya pergi terbirit-birit bagai tikus dikejar kucing, Suto pun segera mendekati Mahendra Soca dan memeriksa keadaan tubuh Mahendra Soca dengan pandangan aneh. Tapi Suto segera berkata,

"Bagaimana tubuhmu? Apa yang terasa di badanmu?"
"Panas! Bagian dalam terasa panas sekali!" jawab Mahendra Soca.

"Cobalah minum beberapa teguk tuakku ini! Mudah-mudahan bisa lekas sembuh...!" Pendekar Mabuk memberikan bumbung tuaknya dengan membantu memegangi bumbung tersebut, dan Mahendra Soca meneguk tuak beberapa teguk. Anehnya, perasaan panas di dalam dada dan perut itu mulai terasa dingin setelah meneguk tuak tersebut.

"Terima kasih atas pertolonganmu," kata Mahendra Soca. "Kau kuanggap telah menyambung nyawaku. Jika kau tidak datang, aku pasti sudah mati dibacok-bacok oleh anak buahnya Ragajampi. Aku yakin dia orang yang kau labrak tadi, pasti disuruh Ragajampi untuk membunuh atau mencelakaiku!"

"Mengapa sampai ada yang ingin membunuh kamu?"
"Ragajampi cemburu dan tak suka jika aku berhubungan dekat dengan Yayi, putri seorang
adipati itu!"

"Ooo...," Suto mengangguk-angguk sambil tersenyum geli. Kemudian ia segera bertanya,
"Jadi, kau jatuh cinta sama putri adipati?"

Mahendra Soca yang badannya kembali segar dalam waktu yang cukup singkat itu, kini sunggingkan senyumnya dan berkata,

"Aku tak tahu apakah aku jatuh cinta padanya atau sekadar mengagumi kecantikannya. Yang jelas, aku suka memandangi kecantikan yang ada pada Yayi."

Suto makin lepaskan tawa walau dalam suara seperti orang menggumam. Bahkan ia geleng- gelengkan kepala sambil memandangi Mahendra Soca, sampai akhirnya Pendekar Mabuk pun berkata,

"Benarkah kau tidak mencintainya? Bagaimana jika aku yang mencintai gadis itu?"

Mahendra Soca diam, bingung menjawabnya. Tapi ia nyengir dan sembunyikan wajah dengan cara memandangi ke pohon yang tadi habis ditumbangkannya. Bahkan ia bergegas mengambil kapak blandongnya, lalu membelah dan memotong- motong batang pohon yang ditebangnya itu.

"Hei, apa artinya dengan sikapmu yang tak berani menjawab pertanyaanku?" goda Suto Sinting sambil senyum-senyum.

Dan Mahendra Soca hanya berkata, "Carilah sendiri artinya di dalam hatimu!"

***6
PERTEMUAN itu membuat Pendekar Mabuk dan Mahendra Soca menjadi akrab. Mahendra Soca menceritakan tentang pertemuannya dengan Yayi. Pada waktu itu, Suto diajak ke gubuk persinggahan Mahendra Soca. Gubuk itu penuh dengan potongan-potongan kayu.

Tak ada barang lain kecuali potongan kayu ukuran sehasta untuk digunakan sebagai kayu bakar pemasak nasi. Ada sebuah balai- balai juga terbuat dari potongan-potongan dahan. Di sana mereka duduk, di sana pula biasanya Mahendra Soca tidur atau beristirahat.

" Sudah lama kau tinggal di tempat terpencil ini, Mahendra?"
" Yah, cukup lama!" jawab Mahendra Soca. "Di sini tempatnya tenang."
" Memang. Tapi apakah kau tak merasa sepi dan bosan hidup dengan tumpukan kayu ini?"

"Aku menyukai tempat sepi," jawab Mahendra Soca sambil membenahi kayu yang tadi tersenggol tubuhnya dan jadi berantakan dari tumpukannya. Suto Sinting hanya pandangi keadaan sekeliling. Gubuk itu ada di tengah hutan, namun bukan hutan ganas dan buas. Hutan itu dekat persawahan, dan di seberang persawahan ada desa yang luas dan kehidupannya cukup ramai.

Gubuk itu dikelilingi oleh tanaman pohon kelapa, yang menurut pengakuan Mahendra Soca, jika musim tuai kelapa telah tiba, ia pun berubah menjadi pedagang kelapa di pasar. Jika musim menuai kelapa belum tiba, ia menjadi pedagang kayu bakar di pasar. Bahkan ia mengaku mempunyai langganan tetap untuk kayu bakarnya, yaitu sebuah perusahaan batu bata dan genteng yang ada di seberang desa tersebut. Juga sebuah kedai makan berukuran besar menjadi pelanggan tetap kayu-kayu bakarnya.

Semalaman Pendekar Mabuk diajak ngobrol oleh Mahendra Soca yang bercerita tentang Ladang Pertarungan. Suto menjadi tertarik dan ingin melihat pertarungan di arena tersebut. Oleh karenanya, Mahendra Soca segera menyanggupi ingin mengajak Suto nonton pertarungan di sana empat hari lagi. Tetapi Suto segera berkata,

"Aku tak bisa bermalam sampai empat hari di gubukmu ini! Bukan karena di sini tidak ada apa- apa, tapi karena aku punya urusan dengan seorang tabib untuk menanyakan mengenai resep obat yang dibutuhkan oleh sahabatku yang sedang sakit aneh. Jadi sebaiknya empat hari lagi aku akan kembali ke sini dan menemuimu!"

"O, ya! Itu hal yang baik. Cuma, ada satu hal yang membuatku ragu-ragu untuk datang ke Ladang Pertarungan tersebut."

"Soal apa itu, Mahendra? Kalau bisa aku akan membantumu!"

"Minggu depan, kabarnya Yayi ingin tampil di arena untuk membalas dendam atas kematian adiknya di tangan si Wajah Hitam. Padahal, si Wajah Hitam tak pernah membiarkan lawannya hidup walau sang lawan sudah menyerah! Aku takut Yayi kalah dalam pertarungan itu! Kalau dia mati terbunuh di sana, aku tak lagi bisa melihat kecantikannya! Itu bisa membuatku sedih, Suto!"

Suto manggut-manggut sebentar, kemudian berkata, "Temukan aku dengan dia, dan aku akan cegah dia agar tak datang ke pertarungan itu. Bagaimana, kau setuju?"

"Baik. Akan kuusahakan bertemu dengan Yayi!"

Karena janjinya itu kepada Mahendra Soca, maka Pendekar Mabuk terpaksa datang kembali menemui Mahendra Soca sehari sebelum menyaksikan pertarungan di arena tersebut. Ketika Suto datang, ia langsung menuju gubuknya Mahendra Soca. Orang yang ingin ditemuinya belum kelihatan, tapi Suto yakin pasti Mahendra Soca akan datang ke gubuk itu. Dan ternyata benar juga dugaan Suto, kira-kira menjelang matahari tenggelam, Mahendra Soca kembali ke gubuknya itu dengan memanggul bongkahan-bongkahan kayu. la memanggul beban berat itu sambil berlari-lari pelan.

"Hai," sapa Mahendra Soca dengan tersenyum ceria melihat Suto sudah berada di gubuknya. "Kupikir besok kau akan datang!"

"Kusempatkan satu hari sebelumnya, supaya aku bisa kau temukan dengan Yayi!"

"O, ya! Aku sudah bertemu Yayi dua hari yang lalu. Dan dia bilang, besok dia tidak jadi turun ke arena. Persiapan ilmu pedangnya belum cukup matang. Tapi ia tetap ingin datang untuk saksikan pertarungan di sana, sekaligus mau mempelajari gerakan si Wajah Hitam!"

"Syukurlah kalau begitu!" kata Suto sambil bersiap menenggak tuaknya entah yang keberapa kalinya.

"Tetapi kemauannya tetap keras, ingin terjun ke arena dalam beberapa waktu lagi. Aku tak bisa mencegah keinginannya itu!" Mahendra Soca kelihatan prihatin membayangkan usahanya membujuk Yayi yang gagal itu. Maka, Suto pun berkata,

"Aku akan mempelajari gerakan si Wajah Hitam juga. Kalau kubilang orang itu berbahaya, maka aku akan berusaha sekuat tenaga dan dengan berbagai cara supaya Yayi tak jadi ikut turun ke Ladang Pertarungan itu!"

Setidaknya Pendekar Mabuk berharap kata- katanya dapat menenangkan hati Mahendra Soca. Tapi ternyata hati pemuda itu masih gelisah. Malahan dia bertanya,

"Bagaimana nanti kalau setelah kau melihat permainan si Wajah Hitam, dan menurutmu dia tidak berbahaya?"

"Kubiarkan Yayi masuk ke arena setelah terlebih dulu kucoba bagaimana ilmunya, setinggi apa jurus pedangnya. Kalau ternyata jurus pedangnya masih tingkat rendah-rendah saja, aku akan membawa lari dia ke kadipaten dan memaksa ayahandanya untuk memenjarakan anak itu biar tidak terjun ke Ladang Pertarungan."

Mahendra Soca sempat tertawa kecil mendengar gagasan yang diucapkan Pendekar Mabuk terakhir itu. Lalu, Mahendra Soca berkata, "Kalau begitu, besok kalau bisa kita datang agak awal sehingga punya waktu untuk temui dia agak lama."

Rencana itu ternyata sedikit meleset. Mahendra Soca dan Suto datang tepat waktunya pertandingan akan dimulai. Mahendra Soca segera membawa masuk Suto ke Rumah Busuk itu. Suto sempat kaget, karena dia ingat tentang Rumah Busuk itu yang dulu pernah dipakainya menyembunyikan Bunga Bernyawa. Tapi hal itu tidak diceritakannya kepada Mahendra Soca.

Para penonton telah bersiap di tempatnya masing-masing. Masih ada beberapa orang yang sibuk mendekati Rangkayon, bagian penerima uang- uang taruhan. Luhito pun masih sibuk mondar- mandir ke sana-sini untuk mengatur jadwal pertarungan. Sementara itu, Mahendra Soca sendiri sibuk membawa Suto menerobos orang-orang itu untuk mencari tempat yang terbaik untuk mereka berdua. Dan tempat itu pun segera diperolehnya.

"Kau sering nonton pertarungan di sini?" tanya Pendekar Mabuk agak keras untuk mengimbangi suara gaduh para penonton yang agaknya sudah mulai tak sabar itu. Mahendra Soca pun menjawab,

"Boleh dibilang sering, tapi bisa dibilang tidak! Karena biasanya aku kemari karena mengantar seseorang yang ingin berjudi dan aku mendapat upah. Sambil mengantar orang berjudi, biasanya kusempatkan untuk menyaksikan pertarungan itu, kadang sampai habis kadang tak sampai habis!"

Suto menggumam pendek, pandangannya dilayangkan ke arah sekeliling. Tiap sisi yang mengelilingi arena di bawah penonton itu diperhatikan baik-baik.

"Peraturan pertarungan di sini ialah, dilarang menggunakan tenaga dalam yang berbentuk sinar atau pukulan beracun, kecuali memang senjatanya sudah beracun, itu tak jadi soal."

"Mengapa mereka tak boleh memakai pukulan tenaga bersinar?"
"Takut kalau meleset mengenai korban tak bersalah."

"Ooo..., benar, benar!" Pendekar Mabuk manggut- manggut. Dalam hatinya ia merasa aneh melihat pertarungan seperti ini, karena biasanya yang dilihat adalah pertarungan di alam bebas.

"Para hadirin," seru Luhito mengawali acara tersebut. "Para tamu dan undangan terhormat, serta para sahabat sekalian yang kami hormati.... Hari ini, ada dua belas peserta yang ingin mengadu keberuntungan di tengah arena ini! Jadi, kami jamin kalian semua akan merasa puas melihat pertarungan di sini! Tak akan rugi seandainya pertarungan saudara-saudara menemui kekalahan. Dan baiklah... kita mulai pertarungan hari ini dengan memanggil dua pasangan yang akan bertarung dengan hebatnya di tengah arena kita, yaitu Cakar Bintara melawan si Cambuk Keramat...!"

Kedua peserta yang dipanggil itu segera keluar dari pintu utara. Para penonton bersorak-sorai sekejap, lalu terdengar suara gong ditabuh agak sember, Bongngrr...!

Cakar Bintara menggunakan tombak bergagang hitam dengan bagian atasnya adalah sebilah golok lebar sedikit melengkung. Sedangkan orang kurus yang disebut si Cambuk Keramat itu hanya menggunakan senjata cambuk panjang yang ujungnya diberi pisau kecil. Keduanya sekarang sedang saling bergerak memutar mencari kesempatan lawannya lengah untuk segera diserang.

"Hiaaat...!"

Tarrr...! Cambuk Keramat menyerang dengan melecutkan cambuknya, tapi Cakar Bintara segera melenting ke atas dan bersalto, untuk kemudian tebaskan tombak pedangnya ke punggung Cambuk Keramat. Wukkk...!

Crasss...! Punggung itu menjadi sasaran empuk bagi tombak pedang. Langsung punggung tersebut terkoyak lebar. Tapi Cambuk Keramat masih tangguh berdiri, dan dengan cepatnya melecutkan cambuk ke tubuh lawannya yang baru saja mendaratkan kaki di lantai.

Tarrr...! Tarrr...! Tar, trangngng...!

Cambuk Keramat bagai mengamuk. Pisau di ujung cambuknya memercikkan api biru ketika ditangkis oleh golok lebarnya Cakar Bintara. Namun kejap berikutnya, tombak berujung golok lebar itu berkelebat dari atas ke bawah, dan wess...! Crasss...!

Senjata itu mengenai tubuh lawannya dari pundak kanan ke perut sebelah kiri. Badan itu terbelah miring seolah-olah. Cambuk Keramat menjadi tersentak dengan kepala terdongak dan mata mendelik, kemudian rubuh ke lantai dengan tersentak-sentak beberapa saat, kemudian diam tak bergerak lagi karena telah kehilangan napasnya.

Penonton bersorak-sorai mengelu-elukan Cakar Bintara. Pendekar Mabuk yang menyaksikan adegan itu menarik napas dengan maksud menahan diri untuk tidak berbuat apa pun di tempat itu. Karena melihat pertarungan tadi, Suto merasa gatal dan ingin ikut turun ke arena melawan si Cakar Bintara.

"Kapan mereka melawan si Wajah Hitam?" tanyanya kepada Mahendra Soca.

"Nanti, kalau sudah terakhir dan tinggal satu peserta yang hidup dari pertarungan-pertarungan ini."
Mahendra Soca semakin dekatkan wajah kepada Suto dan berkata lagi,

"Biasanya si Wajah Hitam ada di kamar berpintu sebelah selatan sana!" ia menuding arah dimaksud.

"Tapi mungkin sekarang dia sedang mengenakan selubung kepala dari kain hitamnya itu. Biasanya kalau dia sudah mempersiapkan diri, dia duduk atau berdiri di balik pintu selatan itu guna mempelajari jurus-jurus orang yang bakal melawannya!" "Oo...," Suto hanya manggut-manggut. "Apakah kau berminat untuk ikut turun ke arena, Suto?"

Pendekar Mabuk tertawa kecil. "Aku tak berani! Kecuali aku dan para peserta itu punya hutang nyawa pribadi, tapi untuk itu pun pasti akan kutempuh jalan damai lebih dulu!"

"Kurasa kalau kau ikut turun di arena...." "Belum tentu menang!" sahut Pendekar Mabuk sambil tertawa kecil. Mahendra Soca pun tertawa pelan, tapi tawa itu segera bungkam sama sekali, karena mata Mahendra Soca menemukan seraut wajah cantik di seberang sana. la berkata kepada Suto Sinting,

"Suto, kau lihat perempuan muda yang di sebelah orang berpakaian loreng macan tutul itu?" Mahendra Soca menuding ke arah perempuan muda tersebut. Setelah mencari sejenak, Suto pun menjawab,

"Iya! Aku melihatnya. Siapa perempuan muda itu?"
"Itu yang namanya Yayi!"

"Itu...?! Wow... cantik nian dia itu, Mahendra! Rugi kalau gadis secantik dia kau tinggalkan! Kejar terus dia sampai dapat!"

Mahendra Soca tertawa sebentar, lalu berkata, "Temuilah dia di sana! Katakan kau kenal dia dari Mahendra Soca. Lalu, ajaklah bicara tentang pertarungan ini gagalkan niatnya jika ingin bertarung melawan si Wajah Hitam. Karena...."

"Iya, iya.! Aku mengerti maksudmu!" potong Suto "Cuma aku merasa agak heran, mengapa kamu menyuruhku? Mengapa kita tidak pergi temui dia bersama!

"Kalau dia melihat aku bersamamu, dia akan sangka aku yang mendesakmu untuk pengaruhi pikirannya. Jadi, supaya kelihatannya kau punya gagasan sendiri tentang dirinya yang tak baik masuk ke arena ini, aku harus tidak boleh kelihatan berada bersamamu."

"O, begitu?! Baiklah! Akan kutemui dia dan kau tetaplah di sini. Jangan pulang dulu, supaya nanti kita bisa membicarakan tentang usahaku membujuk Yayi!"

"Baik, baik...! Aku tahu maksudmu! Aku tak akan pulang duluan!"

Suto pun menerobos di antara penonton. Yayi didekatinya dengan sikap ramah. Pendekar Mabuk berhasil berada di samping kiri Yayi, kemudian Suto berlagak mau jatuh dan menyenggol Yayi hingga gadis itu sedikit tersentak badannya. Pendekar Mabuk buru-buru berkata,

"Maaf, aku tidak sengaja!" Suto tersenyum menawan, mata Yayi menjadi tak berkedip begitu melihat ketampanan dan kegagahan Pendekar Mabuk yang belum dikenalnya itu.

"Hai, rupanya ada yang lebih ganteng dari Mahendra?!" pikir Yayi dengan hati mulai berdebar- debar.

Tapi di mulutnya Yayi berkata, "Tak apa, suasananya memang penuh," sambil ia memberikan tempat untuk Suto Sinting.

"Kau suka dengan pertarungan seperti tadi?"
"Terpaksa harus suka," jawabnya sambil tetap pandangi Suto.

Sambil lalu saja Suto memandang Yayi, karena memang begitu caranya untuk membuat seorang gadis penasaran padanya. Bahkan ia sempat meneguk tuaknya walau sedikit susah dan hampir saja bumbung tuak itu membentur kepala orang lain.

"Kau sendiri suka dengan pertarungan?" tanya Yayi.
"Tidak," jawab Pendekar Mabuk. "Hanya orang bodoh yang mau bertarung di tempat seperti ini!"
"Tapi mengapa kau hadir di sini?"

"Seorang teman mengajakku nonton sekumpulan orang bodoh di sini. Bahkan temanku itu mengatakan, mungkin minggu depan akan ada perempuan cantik yang bodoh ikut dalam pertarungan di arena bawah sana! Aku jadi tertarik, ingin melihat perempuan yang bodoh itu!"

Hati Yayi merasa tak enak. Walau belum jelas ucapan itu ditujukan kepadanya, tapi Yayi merasa sudah dinilai bodoh oleh seseorang yang belum dikenalnya itu.

"Kalau seorang perempuan terjun ke arena pertarungan di sini, pasti dia punya alasan pribadi yang tak bisa dimengerti orang lain," kata Yayi membela diri. Sikapnya jadi sedikit kaku.

"Alasan apa? Dendam? Kalau memang dendam kepada seseorang, lebih baik ditantang di luar arena! Kalau dia dendam dengan seseorang dan akan membalasnya melalui pertarungan di sini, itu namanya bodoh. Karena ia harus kalahkan dulu orang yang semestinya tidak punya masalah dengan dirinya, baru mengalahkan orang yang memang diincarnya. Nah, itu jelas pemikiran yang bodoh!"

Yayi merasa tersindir. la diam saja dan mulai kurang suka bicara dengan Suto. Pandangannya dilemparkan ke arah Luhito yang sedang mempersiapkan diri untuk tampil di tengah arena, mengumumkan pertarungan berikutnya.

Suto berkata lagi dengan mata mengarah ke arena yang masih kosong itu,

"Temanku bilang, gadis yang minggu depan akan tampil sebagai peserta bodoh itu sedang tekun mempelajari ilmu pedang untuk kalahkan si Wajah Hitam! Dalam hati aku tertawa geli mendengar cerita temanku itu. Mengapa baru sekarang mempelajari ilmu pedang? Mengapa tidak dari dulu saja? Bukankah setiap pelajaran punya manfaat sendiri bagi kehidupan kita mendatang? Hanya karena punya dendam kepada si Wajah Hitam, gadis itu mau belajar ilmu pedang. Lalu bagaimana jika ia tidak punya dendam kepada si Wajah Hitam, apakah selamanya dia jadi gadis bodoh yang tak bisa memainkan pedang?"

Semakin jelas hati Yayi, bahwa ia sedang dibicarakan oleh pemuda ganteng berperawakan tinggi, tegap, dan menawan itu. Maka, segeralah Yayi mengajukan pertanyaan pelan,

"Siapa kau sebenarnya?"

"Tak terlalu penting namaku dan siapa aku. Tapi, beberapa temanku sering memanggilku Suto Sinting!"

"O, pantas omonganmu seperti orang sinting alias gila!"

Pendekar Mabuk cuma tertawa kecil. "Yang gila sebenarnya orang yang punya rencana turun ke pertarungan ini! Temanku bilang...,"

"Siapa temanmu itu, Suto?" potong Yayi dengan peasaran sekali.

"Mahendra," jawab Suto, membuat Yayi tarik napas menahan kaget. "Dia ingin agar aku membujukmu supaya kamu tidak ikut dalam pertarungan di sini."

"Kenapa dia menyuruhmu?"

"Karena dia sayang sama kamu," jawab Suto pelan tapi jelas untuk telinga Yayi. Dan wajah Yayi
semburat merah tanda gundah.


DENDAM Yayi kepada si Wajah Hitam tak bisa ditawar-tawar lagi rupanya. Bujukan Pendekar Mabuk tak berhasil. Tetapi Yayi pun tidak tergesa- gesa melampiaskan dendam itu. Sebelum ia menguasai jurus-jurus yang diajarkan oleh Ki Argapura, ia belum mau turun ke arena pertarungan.

Pendekar Mabuk merasa harus mengendurkan bujukannya untuk beberapa saat. Tak baik mendesakkan bujukan terus-menerus, bisa membuat Yayi justru semakin berkobar dendamnya dan semakin besar niatnya untuk turun ke arena pertarungan.

Menurut dugaan Suto, ilmu pedang Yayi tidak begitu tinggi. Terbukti ia terlepas kata bernada mengagumi dan heran terhadap gerakan pedang si Wajah Hitam, ketika ia menonton bersama Suto waktu itu. Sedangkan menurut Suto, gerakan jurus pedang si Wajah Hitam kala itu dianggapnya hal yang biasa dan tidak menimbulkan keheranan baginya.

Karena itu, Pendekar Mabuk jadi ingin mencoba bikin perkara dengan Yayi, kemudian memancingnya bertarung dengan pedang. Suto ingin kalahkan Yayi, supaya Yayi sadar bahwa dia hanya akan mengantar nyawa jika masih nekat mau turun ke pertarungan tersebut. Tetapi agar tidak terjadi kesalah-pahaman, Suto harus membicarakan dulu hal itu kepada Mahendra Soca. Maka, segeralah ia mencari Mahendra Soca di hutan, disekitar gubuknya yang penuh dengan potongan kayu itu.

Duggh...! Duggh...! Dugggh...! Terdengar suara pohon ditebang di kejauhan sana, Suto pun segera pergi ke arah tersebut. Siapa lagi si penebang pohon itu kalau bukan Mahendra Soca?

Tetapi pada waktu itu Suto tidak menyangka akan datangnya rombongan berkuda dari arah barat. Suto kerutkan dahi ketika melihat rombongan kuda itu berlari menuju suara tebangan pohon. Suto mengenali wajah orang berbaju hijau yang bertubuh agak pendek dan berwajah bulat itu. la adalah Sulaya, yang tempo hari pernah dihajar Suto sebelum Sulaya sempat mencelakai Mahendra Soca.

Sekarang Sulaya datang dengan tiga orang berkuda lainnya. Satu di antara mereka adalah Ragajampi. Sasaran mereka jelas ke arah di mana Mahendra Soca berada. Suto jadi ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Sulaya dan orang-orang itu terhadap Mahendra Soca. Segera Suto Sinting melesat melompat tinggi ke dahan pohon, dan ia mengintai apa yang terjadi di sekitar tempat penebangan pohon itu.

Mahendra Soca terkejut melihat Ragajampi datang dengan dua orang berwajah bengis itu, ditambah lagi dengan Sulaya yang wajahnya memuakkan Mahendra Soca itu. Kedatangan mereka sudah diawali dengan sikap bermusuhan yang dalam. Ragajampi tahu-tahu melepaskan pukulan jarak jauhnya ke dada Mahendra Soca. Beggh...! Mahendra Soca terpental mundur dan jatuh dengan wajah menyeringai.

"Hajar dia!" kata Ragajampi kepada dua orang bertampang keji itu. Maka keduanya segera menyeret Mahendra Soca dan mengikat pemuda yang sedang kesakitan akibat pukulan jarak jauh Ragajampi. Mahendra Soca diikat disebuah pohon tanpa bisa berkutik lagi. Tapi ia tak pernah ucapkan kata 'ampun' sedikit pun kepada Ragajampi. Seakan ia siap menerima akibat dari hubungannya dengan Yayi.

Tarrr...! Sebuah cambuk melecut di tubuh Mahendra Soca, dan membuat Mahendra Soca memekik kesakitan dengan suara tertahan. Ragajampi tetap duduk di atas kudanya, demikian juga Sulaya. Dari punggung kuda, Ragajampi berseru kepada Mahendra Soca,

"Sudah kuingatkan berapa kali padamu, Mahendra, jauhi Yayi! Jangan dekati gadis itu! Tapi mengapa kau masih nekat, Mahendra?!"

"Karena aku suka pada dia!" jawab Mahendra Soca polos dan dengan berani ia melontarkan hal itu.

Tar...! Tarr...!

Dua orang mencambuk Mahendra Soca, membuat bilur-bilur di tubuh Mahendra Soca. Untung Mahendra Soca diikat dalam keadaan masih memakai baju putihnya. Tapi baju itu tidak berlengan sehingga lengannya itulah yang banyak menjadi sasaran cambuk dua orang berwajah bengis.

"Kau terlalu bodoh, Mahendra! Kau belum tahu siapa Yayi!"
"Aku tahu, dia putri seorang adipati!" jawab Mahendra Soca sambil napasnya terengah-engah.
"Bukan itu saja!" bentak Ragajampi. "Yayi adalah kekasihku!"
"Dia tidak suka padamu, Ragajampi!"

"Karena ada kamu, maka dia jadi tidak suka padaku! Kaulah penghalang cintaku kepada Yayi, karena itu kau pun harus kulenyapkan, jika kau tidak mau menjauhi Yayi!"

"Aku rindu padanya jika tidak bertemu dia!" ucap Mahendra Soca.
Tarrr....!

"Auh...!" Mahendra Soca memekik kesakitan karena kali ini yang dicambuk adalah wajahnya.

Ragajampi tampak semakin geram, hingga ia turun dari punggung kuda dan mencambuki sendiri tubuh Mahendra Soca.

Tebb...! Dugggh...!

Suto mengirimkan pukulan jarak jauh melalui sentilan jemarinya. Pukulan itu mengenai punggung sebelah kiri Ragajampi. Orang itu tiba-tiba jatuh tersungkur dan sudah berdiri lagi. Tubuhnya menjadi kaku, tak bisa bergerak. Tapi ia bisa bicara dan kepalanya saja yang bisa berpaling ke kanan-kiri.

"Apa yang terjadi ini?! Sulaya...! Cepat bantu aku, tubuhku tak bisa bergerak!" seru Ragajampi.

Sulaya mencabut goloknya. Dengan cepat ia melemparkan golok itu dan gagangnya menghantam punggung Ragajampi. Duggh...! Keras dan kuat hantaman gagang golok tersebut, tapi membuat tubuh Ragajampi menjadi lemas dan bisa bergerak lagi.
"Ada yang menotok peredaran darahku tadi!" kata Ragajampi.
"Ya. Tapi aku sudah bebaskan totokan itu!"
"Yang kupikirkan, siapa orang yang mengirim totokan padaku?"
Mahendra Soca ikut bicara, "Yayi pasti tak rela melihat aku diikat begini, Ragajampi! Wajar jika Yayi kirimkan totokan padamu!"
Cemas juga Ragajampi mendengar hal itu, walau sendiri belum yakin betul apakah memang Yayi yang menotoknya atau orang lain. la mendengus kesal sambil memandangi wajah Mahendra Soca penuh kebencian. Lalu ia menggeram dalam berkata,
"Ingat... peristiwa saat ini adalah peringatan terakhir dariku! Kalau kau masih tetap mendekati Yayi, kulihat kau masih berduaan dengannya, tak kuberi tahu bagaimana caraku membunuhmu, yang jelas kau pasti mati!"

Merasa takut perbuatannya kepergok Yayi, maka Ragajampi pun segera lompat ke atas punggung kuda dan memerintahkan orang-orangnya untuk segera pergi. Sebelumnya, Ragajampi menyuruh satu dari dua orang berwajah bengis itu untuk melepas tali pengikat Mahendra Soca.

Mahendra Soca segera mengambil blandong dan mau dihantamkan ke orang yang tadi melepaskan tali pengikatnya itu. Tapi tiba-tiba sebuah pukulan jarak jauh datang lagi menghantam dadanya. Buhgg...!

Tubuh Mahendra Soca terpental ke belakang membentur pohon yang tadi dipakai mengikatnya. Mahendra Soca menyeringai kesakitan dan tak berani menyerang dengan blandongnya lagi. Tapi dari tempatnya berdiri bersandar di pohon itu, ia sempat berseru,

"Ragajampi...! Kalau kau memang ingin berebut cinta Yayi denganku, kita bertarung di arena pertarungan dua minggu mendatang!"

Ragajampi kaget, ia buru-buru berpaling memandang Mahendra Soca.

"Kau menantangku, Mahendra?"

"Ya. Tapi di arena sana! Kalau kau memang jago dan seorang pengawal istana, kita bertarung di arena resmi itu! Kalau kau tidak berani, lebih baik kau jadi penjaga kuburan saja! Jangan berharap mendapatkan Yayi! Sebab Yayi benci laki-laki yang banci!"

Ragajampi merasa terhina dengan ucapan itu. Tapi la berusaha tersenyum sesinis mungkin dan berkata,

"Ilmumu belum cukup untuk melawanku di arena seperti itu, Mahendra! Kalau memang kau berani, kita tentukan di sini saja! Siapa yang mati, kau atau aku!"

"Maksudmu, kalau kita bertarung di sini, kalau kamu kalah denganku, maka kamu bisa kabur tanpa menderita malu terhadap orang banyak? Oh, alangkah rendahnya nyalimu sebenarnya, Ragajampi! Aku berani bertarung denganmu di arena, disaksikan orang banyak, supaya orang banyak juga tahu, siapa di antara kita yang pantas mendapatkan Yayi! Walaupun aku pasti akan kalah padamu, tapi siapa tahu kamu punya kelemahan di situ dan aku bisa manfaatkan kelemahanmu?! Kau takut?"

" Setan!" geram Ragajampi.
" Kalau takut jangan kejar-kejar Yayi!"
" Aku tidak takut! Kusanggupi tantanganmu! Kita bertemu di arena dua minggu lagi!"

Mahendra Soca tertawa pendek, "Mudah- mudahan kau selamat, Ragajampi!"

Sulaya ingin turun dan sudah mencabut goloknya, tapi ditahan oleh Ragajampi. Mereka segera pergi setelah Ragajampi memacu kudanya lebih dulu dengan hati panas dan dada mau pecah rasanya. Mahendra Soca sempat berteriak keras-keras,

"Beritahukan hal ini kepada Yayi, biar dia melihat siapa yang kuat di antara kita berdua, Ragajampi...! Suruh dia nonton pertarungan kita!"

Setelah berseru begitu, Mahendra Soca menjatuhkan diri ke rerumputan. la terengah-engah sambil pandangi luka cambuk di lengannya. la menggerutu tak jelas, namun segera tersentak kaget setelah mendengar suara orang meluncur turun dari atas pohon dan menapak di tanah yang ada di depannya. Jlegg...!

"Suto...?!" ia sedikit terpekik. la pun bangkit dan menghampiri Pendekar Mabuk, namun Pendekar Mabuk sudah lebih dulu mendekat.

" Minumlah tuakku ini! Lukamu bisa memborok jika tak segera terobati!" kata Pendekar Mabuk.
" Ragajampi yang melakukan semua ini!" ujar Mahendra Soca setelah dia meneguk tuak Suto.
" Ya, aku melihatnya sejak tadi!"
" Edan! Kau melihatnya sejak tadi? Mengapa kau tidak mau segera menolongku?"

"Karena kau selalu menolak saranku untuk belajar ilmu silat! Dengan begini kau tentunya akan sadar, bahwa kau membutuhkan ilmu silat yang bisa untuk mempertahankan diri dari serangan lawan!"

Mahendra Soca hempaskan napas. la diam beberapa saat dan duduk di atas sebuah batu setinggi betis.

"Setiap aku menganjurkan agar kau mempelajari ilmu silat, kau selalu keberatan! Mengapa, Mahendra?"

"Aku bukan seorang pendekar," jawabnya agak ketus.
"Tapi kau perlu jaga diri!"
"Aku bisa jaga diri."
"Dengan babak belur begini kau namakan jaga diri?"
"Yang penting aku tidak mati, dan bisa membunuh Ragajampi di pertarungan nanti!"

Pendekar Mabuk tertawa. "Bagaimana mungkin kau bisa kalahkan Ragajampi kalau menghadapi serangan sekecil tadi pun kau sudah dibuat babak belur begitu?"

Tawa Pendekar Mabuk diteruskan sebentar, kemudian ia geleng-geleng kepala. Sambungnya lagi,

"Mahendra, terus terang saja, aku kagum sama keberanianmu. Kau memang siap menderita sakit, modal badan besar, dan berotot. Tapi kau tidak bisa menyerang lawan dan menumbangkannya! Apalagi kau menantang Ragajampi bertarung di arena, itu sungguh tantangan yang amat bodoh!"

Mahendra Soca tersenyum. "Kau tidak tahu jalan pikiranku, Suto!"

Berkerut dahi Suto menatap Mahendra, dan bertanyalah ia,

"Jalan pikiran yang bagaimana, maksudmu?"

"Kupancing Ragajampi untuk masuk ke arena itu. Karena aku yakin, dia tidak akan bisa mengalahkan si Wajah Hitam."

"Tapi dia bisa mengalahkan kamu, Mahendra! Dia bisa membunuh kamu!"
"Aku tak akan hadiri"
"Apa...?!"

Mahendra Soca tertawa. "Aku hanya melemparkan Ragajampi ke tengah arena, tapi aku tidak akan muncul pada saat itu. Mau tak mau dia harus menghadapi para peserta lainnya. Kalau toh dia bisa kalahkan para pesei ta, maka ia tidak akan bisa kalahkan si Wajah Hitam."

"Kalau dia bisa kalahkan si Wajah Hitam, bagaimana?"
"Aku kabur. Dan tak akan muncul lagi!"

Suto termenung sebentar, lalu dia tertawa sendiri, "Ha ha ha...! Ternyata otakmu tak sebodoh dugaanku, Mahendra! Ha ha ha...!"

"Dan kalau Ragajampi mati, orang-orang kadipaten tidak bisa menuntutku, tapi Yayi bisa menjadi milikku!"

"Ha ha ha...! Edan betul otakmu, Mahendra! Aku suka, aku suka dengan caramu berpikir," kata Suto
Sinting sambil manggut-manggut.

***

DALAM taman keputren, biasanya Yayi duduk menikmati bunga-bunga warna-warni dan curahan air kolam yang segar. Tapi sudah beberapa hari belakangan ini, Yayi tidak pernah berada di taman keputren, bahkan pagi ini ternyata ia sudah berada di hutan tepi sungai. Di sana ia berlatih ilmu pedang pemberian Ki Argapura. Si Penggal Jagat agaknya sangat sayang kepada Yayi. Dengan tekun dan penuh kesabaran, Ki Argapura menunggui gadis cantik itu berlatih pedang. Yayi sudah dianggap seperti cucu sendiri, sehingga diam-diam Ki Argapura punya kecemasan terhadap niat Yayi yang ingin maju ke pertarungan itu.

Dalam satu kesempatan, ketika mereka beristirahat, Ki Argapura sempat berkata kepada Yayi,

"Beberapa jurus pedang maut telah kau pelajari, Yayi. Dan perkembanganmu cukup pesat. Kau cepat menyerap ilmu yang kuajarkan padamu. Sungguh kau satu-satunya murid yang bisa menerima jurus- jurusku dengan waktu sesingkat ini! Tapi aku yakin, itu semua karena kemauan kerasmu yang ingin melawan si Wajah Hitam."

"Agaknya memang begitu, Ki. Tak ada pikiran lain dalam benakku kecuali ingin membalas kematian adikku di arena itu!"

"Aku mengerti jiwamu, Yayi. Tapi alangkah baiknya jika kau tak perlu turun ke arena."Yayi memandang Ki Argapura dengan wajah cemberut. "Dulu, Ki Arga setuju aku turun ke arena, sekarang Ki Arga kelihatannya melarangku untuk ke sana!"

"Dulu aku hanya memberi semangat padamu agar kau cepat kuasai ilmu pedangku. Sekarang setelah kau menguasai ilmu pedangku, aku takut kehilangan dirimu, Yayi. Aku bisa mengamuk kepada si Wajah Hitam dan pengelola Ladang Pertarungan itu jika kau sampai celaka. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak turun lagi di rimba persilatan!"

"Jadi, kalau begitu, Ki Arga tidak yakin kalau ilmu pedang yang diturunkan padaku bisa kalahkan ilmu pedangnya si Wajah Hitam?!"

"Yang kukhawatirkan bukan kekuatan jurus pedangku, tapi dendam yang ada dalam hatimu, Yayi."
Ki Argapura pandangi keadaan sekeliling sambil berkata, "Dendam adalah pedang yang paling tajam buat diri kita! Dendam yang tidak terkuasai akan membuat kelemahan seseorang, sekalipun orang itu mempunyai ilmu setinggi apa pun. Buat lawan yang pandai, dia akan memanfaatkan dendam orang lain kepadanya sebagai pembunuh naluri orang itu sendiri. Ingat, Yayi... kalau kau bertarung berdasarkan dendam, maka nalurimu akan kurang peka. Indera keenammu akan dikalahkan oleh sang nafsu. Tapi kalau kau bertarung demi suatu pertahanan diri, maka nalurimu akan menjadi setajam pedang, dan indera keenammu akan menjadi setajam silet cukur."

Yayi diam merenungi kata-kata Ki Argapura. la beri pikir, apakah ia harus membuang dendamnya kepada si Wajah Hitam? Jika dendamnya telah terbuang, maka ia tak punya keinginan bertarung dengan orang itu. Jika ia tidak punya keinginan bertarung dengan orang itu, maka sia-sia saja ia pelajari ilmu pedang Ki Argapura dengan tekun, hingga dilakukan siang-malam tanpa mengenal lelah.

Kalau ia berhasil berhadapan dengan si Wajah Hitam, apakah ia bisa menghilangkan dendamnya, jika kematian Abiyasa selalu membayang di pelupuk matanya? Rasa-rasanya Yayi tak akan sanggup membuang dendamnya kepada si Wajah Hitam. Kecuali jika orang itu telah mati di tangan orang lain, maka dendam Yayi pun akan hilang dengan sendirinya.

Saat itu, datang tiga ekor kuda yang berlari tak terlalu cepat ke arah tepian sungai. Mereka tak lain adalah Ragajampi, Sulaya, dan seorang berwajah bengis yang mencambuki Mahendra Soca beberapa waktu yang lalu. Melihat kehadiran mereka, Yayi mendengus kesal, wajahnya makin cemberut. Ki Argapura hanya meliriknya sekejap dan berlagak tidak tahu-menahu tentang sikap Yayi.

"Selamat pagi, Ki Arga," sapa Ragajampi dengan keramahan yang kaku. Senyumnya pun terlihat kurang enak dipandang mata. Namun Ki Argapura membalasnya dengan keramahan sejati.

"Yayi aman dalam pengawalanku, Ragajampi! Rasa-rasanya tak perlu kau mencemaskannya!" kata Ki Argapura tetap tersenyum.

"Aku percaya, Ki Arga. Aku hanya ingin melihat sejauh mana Yayi sudah kuasai ilmu pedangmu!"
"Tidak terlalu jauh. Masih pelajaran dasar saja," sahut Ki Argapura.

Tapi Yayi segera menyahut dengan ketus, "Apakah kau ingin mencobanya, Ragajampi?! Turunlah dari kudamu jika kau ingin mencobanya!"

Ragajampi sunggingkan senyum sinis dan berkata, "Tidak kepadamu ilmu pedangku harus kucoba, tapi mungkin kepada Mahendra!"

Terkesiap mata Yayi mendengar ucapan itu. Mata itu pun kini kembali menatap dengan tajam dan penuh keberanian.

"Jika kau sentuh dia, kucabut nyawamu kapan saja, Ragajampi!" geram Yayi mengancam.

"Dia yang membuka tantangan!" sanggah Ragajampi. "Dia yang menantangku agar bertarung di arena pertarungan itu, dua minggu lagi!"

"Apa...?!" Yayi terkejut dan mulai berdebar-debar. "Dia menantangmu? Oh, tak mungkin! Tak mungkin hal itu ia lakukan! la tidak mempunyai ilmu pedang sedikit pun. la tidak bisa berkelahi!"

"Tapi ia punya kesombongan, Yayi!" kata Ragajampi menyahut. "Kesombongan itu akan dipamerkan di depanmu! Kuakui, dia memang punya keberanian! Tapi dia juga punya kebodohan!"

Yayi mendekat dan berkata lebih geram lagi, "Kuharap kau tidak melayani tantangannya, Ragajampi!"

"O, harus! Aku harus melayani tantangannya supaya dia tidak menjadi orang sombong dan orang bodoh lagi! Dia yang menghendaki hal itu untuk menentukan siapa orang yang berhak menjadi kekasihmu, Yayi!"

"Gila!" sentak Yayi jengkel sendiri.

"Dia memang gila! Tapi untuk mempertahankan rasa hatiku kepadamu aku akan lebih gila lagi dari dia, Yayi!"

Ragajampi tertawa pelan tapi panjang, kemudian kudanya dipacu pelan hingga kuda itu melangkah meninggalkan Yayi yang tertegun dalam cekaman berbagai rasa.

"Ki Arga, aku pamit dulu dan tolong tetap jaga dia dengan baik!"

Ki Argapura hanya sunggingkan senyum dan mengangguk. Sikapnya tetap tenang, tidak menunjukkan sikap permusuhan sedikit pun. Lalu, Ragajampi masih sempat bicara kepada Yayi yang terakhir,

"Jangan lupa, Yayi.... Dua minggu lagi datanglah ke Ladang Pertarungan dan tontonlah pertarungan yang sangat mengagumkan nanti!"

Ragajampi pun pergi tinggalkan Yayi bersama tawanya yang makin lama makin menghilang. Sementara itu, Yayi semakin menggeletakkan gigi menahan kebencian terhadap Ragajampi. Matanya memandang dengan menyipit, pertanda tumbuh dendam lain di hati Yayi, yaitu dendam kepada Ragajampi.

"Siapa Mahendra itu, Yayi?" tanya Ki Argapura dengan suara pelan dan tampak hati-hati sekali, ada rasa takut menyinggung perasaan Yayi. Tapi Yayi menerima pertanyaan itu dengan baik-baik dan berkata,

"Mahendra adalah penebang kayu yang polos, tapi punya keberanian tinggi, la pernah menyelamatkan aku dari serangan Nyai Gayung Demit, walau untuk itu ia hanya pasang badan sebagai perisai yang melindungiku. Tapi ia sendiri mengalami luka dan sakit yang ditahannya."

"Apakah kau menaruh hati padanya?"

Yayi bimbang menjawabnya, akhirnya ia hanya berkata, "Mungkin begitulah maksud hatiku, tapi... tapi aku tak berani memastikan apakah dia menaruh hati padaku atau tidak!"

"Kalau benar apa yang dikatakan Ragajampi tadi, berarti Mahendra bukan saja menaruh hati padamu, tapi sudah jatuh cinta padamu. Buktinya dia berani menantang Ragajampi di arena pertarungan itu!"

"Dia memang orang bodoh!" gerutu Yayi.
"Biarkan dia membuktikan cintanya padamu,Yayi!"

"Tapi dia hanya akan mati konyol jika harus bertarung di arena itu? Yang akan dihadapi bukan hanya Ragajampi! Uuh...! Benar-benar tolol otak si Mahendra Soca itu! Apakah dia tak berpikir bahwa seandainya dia bisa menang dengan Ragajampi, toh dia akan berhadapan dengan sang pembantai si Wajah Hitam itu!"

Yayi tampak gemas sekali membayangkan kelancangan mulut Mahendra Soca, sehingga pada akhirnya ia berkata kepada Ki Argapura,

"Bisakah Ki Arga menolongku sekali lagi?"
"Apa maksudmu?"

"Tolong, ajarkan ilmu pedang pada Mahendra Soca sebelum ia nekat tampil ke arena itu, Ki! Tolonglah bekali dia!"

Ki Argapura hanya menjawab, "Lanjutkan dulu latihanmu. Sementara kau berlatih, aku akan mempertimbangkan permohonanmu itu, dan mencari cara terbaik untuk semua ini!"

Pada waktu itu, Ragajampi bersama Sulaya dan satu orang berwajah bengis sedang menuju ke sebuah desa. Karena ia mendengar kabar bahwa Nyai Gayung Demit bikin onar di desa yang masih dalam wilayah kekuasaan kedipaten itu. Kabar itu diterima mereka semalam, dan sang Adipati mengutus Ragajampi untuk membunuh Nyai Gayung Demit agar rakyat yang berada dalam wilayah kekuasaan kadipaten merasa tenteram.

Tanpa mereka sadari, saat mereka beristirahat sebentar di bawah pohon rindang, karena kuda Sulaya mengalami gangguan pada bagian kakinya, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka dan mencuri dengar percakapan mereka dari atas pohon. Orang itu tak lain adalah Suto Sinting si Pendekar Mabuk.

Dari tempatnya bersembunyi, Suto mendengar Sulaya berkata,

"Kenapa kita tidak manfaatkan Nyai Gayung Demit untuk membunuh Mahendra saja, Ragajampi?"

"Aku ingin Mahendra mati di tanganku sendiri! Karenanya aku sangat bersyukur dia berani menantangku bertarung di arena itu!"

"Bagaimana jika pada saatnya ternyata dia tidak muncul di arena pertarungan?"
"Kau yang menjalankan tugas!"
Sulaya memandang Ragajampi, "Jalankan tugas bagaimana?"

"Kalau Mahendra Soca menjebakku di arena, dan dia tidak datang ke pertarungan itu, sementara aku sendiri mati di tangan si Wajah Hitam, maka tugasmu adalah membunuh Yayi dengan jarum beracun!"

"Aku harus membunuh Yayi?"
"Ya. Supaya Mahendra Soca sendiri tidak mendapatkan Yayi setelah kematianku!"

"Tetapi orang akan tahu kalau Yayi mati karena jarum beracunku! Aku bisa dicurigai sang Adipati, Ragajampi!"

"Pakailah jarum beracun milikku, toh aku sudah mati! Maka orang akan menduga akulah pembunuh nona manis itu, sedangkan aku sendiri sudah mati di pertarungan! Kau akan bebas, Sulaya!"

"Begitukah maumu?"

"Ya. Karena itu siapkan jarum beracunku dan incar terus Yayi, jangan sampai terhadang oleh siapa pun! Pilih lima orang yang membantumu untuk melepaskan jarum beracun itu, untuk menjaga kalau-kalau kau gagal, maka satu dari kelima orang itu akan berhasil membunuh Yayi. Tapi ingat, kalau keadaanku menang terus sampai pertarunganku dengan si Wajah Hitam juga menang, jangan kau bunuh Yayi. Nanti kau sendiri yang bisa kubunuh! Mengerti?"

"Ya. Mengerti! Akan kusiapkan lima orang sesuai rencanamu itu!" kata Sulaya dengan tegas dan patuh.

Pendekar Mabuk memegang kunci adanya sebuah persekongkolan untuk membunuh Yayi. Kunci ini sangat berharga. Karena itu, Suto sangat berhati-hati dalam persembunyiannya, agar jangan sampai diketahui oleh mereka. Sampai akhirnya Suto berhasil tetap dalam persembunyiannya ketika mereka meneruskan langkah ke sebuah desa untuk memburu Nyai Gayung Demit.

"Nyawa Yayi terancam!" pikir Suto. "Mahendra Soca harus tahu hal ini, supaya dia membatalkan tantangannya kepada Ragajampi. Sebab jika Mahendra Soca tetap menggunakan tipu muslihatnya itu untuk menjebak Ragajampi, maka nyawa Yayi yang akan jadi sasaran berikutnya. Barangkali kalau hanya Sulaya yang harus kulenyapkan demi menyelamatkan nyawa Yayi, itu mudah saja. Tapi bagaimana dengan lima orang pilihan Sulaya yang akan diberi tugas membunuh Yayi? Aku tidak tahu siapa-siapa mereka. Tak mungkin aku mengawal Yayi sampai ke dalam istananya! Jadi langkah yang terbaik adalah membatalkan tantangan Mahendra Soca! Aku harus bisa segera menemui Mahendra Soca sebelum tiba saat pertarungan!"

Sayangnya Suto tidak berhasil menemui Mahendra Soca hari itu juga. la bahkan bertemu dengan Yayi yang sedang melakukan latihan dengan tekun di tepi sungai, dengan dibantu oleh Ki Argapura yang bertindak sebagai lawan berlatih. Suto diam beberapa saat memandangi gerakan pedang Ki Argapura yang selalu dapat ditangkis dan dihindari oleh Yayi. Dalam hati Suto berkata,

"Cukup lincah juga Yayi rupanya. Tebasan- tebasannya tak pernah goyah sedikit pun. Andai bukan gurunya yang menjadi lawan berlatih, mungkin orang itu sudah cedera sejak tadi. Tapi kurasa, si Wajah Hitam masih dapat mematahkan jurus-jurus Yayi dengan jurus simpanannya. Aku yakin, si Wajah Hitam pasti punya jurus simpanan yang belum digunakan jika tidak dalam keadaan sangat mendesak!"

Tiba-tiba Ki Argapura berhenti dari semua gerakannya. Matanya melirik ke samping. Yayi memandang dengan heran. Kemudian bertanya kepada Ki Argapura,

"Ada apa, Ki Arga? Mengapa berhenti?"
"Ada yang mencuri jurus-jurus kita!"

"Hahh...?!" Yayi kaget. Segera ia putarkan pandangan matanya menyusuri tiap semak, batu, dan pohon yang bisa dipakai untuk bersembunyi.

Mendengar ucapan Ki Argapura, Pendekar Mabuk menjadi tak enak hati. Dia tak mau dikatakan sebagai pencuri jurus. Karena itu ia segera keluar dari tempat persembunyiannya. Tapi bersamaan itu ia sempat menangkap sekelebat bayangan yang melesat melarikan diri dari tempat persembunyian di seberang sungai. Suto curiga dan ingin mengejar untuk mengetahui siapa orang itu.

Tetapi suara Yayi telah memanggilnya lebih dulu, sehingga Suto mau tak mau menghampiri Yayi dan membatalkan niat mengejar sesosok bayangan, yang menurut Suto adalah seseorang yang sedang mencuri jurus pedang, seperti yang dikatakan Ki Argapura. Jadi mungkin bukan Suto Sinting yang dimaksud oleh Ki Argapura tadi, melainkan orang lain yang memang sengaja mencuri jurus pedang Ki Argapura.

Dalam hati Suto berkata, "Melihat kelebatan warna putihnya, aku curiga, jangan-jangan pencuri jurus tadi adalah Mahendra Soca sendiri?! Warna pakaiannya yang putih, seperti pakaian sehari-hari Mahendra kelihatannya, tapi aah... sebaiknya kubicarakan nanti saja!"

Yayi menyambut kedatangan Suto dalam senyum keramahan. Tapi Ki Argapura terkesiap melihat Pendekar Mabuk dan diam di tempat.

"Kau memang nakal, Suto! Mengapa harus mencuri jurus-jurus kami? Datang saja dan bergabung dengan kami, kurasa Ki Argapura tidak keberatan melatih jurus pedangnya kepadamu. Bukankah begitu, Ki Arga?"

Buru-buru Ki Argapura tersadar dari tertegunnya dan segera tersenyum menutupi kekakuannya tadi. Kemudian, Yayi memperkenalkan Suto kepada Ki Argapura dengan berkata,

"Ini temannya Mahendra, Ki. Namanya...."
Ki Arga menyahut, "Suto Sinting, murid si Gila Tuak dan punya gelar Pendekar Mabuk!"

Suto tertegun mendengar Ki Argapura menyebutkan dirinya secara lengkap. Suto juga memandang Yayi yang ternyata sama-sama terbengong mendengar apa yang dikatakan Ki Argapura.

"Dari mana Ki Arga bisa tahu namaku dan nama guruku?"

"Namamu sudah cukup kondang. Ciri-cirimu sudah banyak dikenali oleh para tokoh di dunia persilatan. Jadi tak sulit lagi bagiku untuk mengenalimu dengan hanya memandang bumbung tuakmu itu!"

Yayi mendekati Ki Argapura saat Pendekar Mabuk tersenyum malu. Yayi berkata dengan suara pelan, tapi didengar oleh Suto,

"Apakah dia orang hebat, Ki?"

"Jangan bertanya begitu, Yayi! Yang perlu kau ketahui adalah, dia juga punya guru yang bernama Bidadari Jalang. Dan yang bernama Bidadari Jalang itu jago pedang! Ilmunya jauh di atas ilmuku. Jadi kau bisa terka sendiri apakah Suto itu bisa memainkan pedang atau tidak! Tapi jangan kau mencobanya dengan pedang sungguhan, kau bisa kehilangan kelima jari tanganmu dalam satu kejap saja!"

"Ki Arga terlalu berlebihan," sahut Suto semakin tersipu malu. "Kedatanganku kemari bukan untuk membicarakan soal itu, Ki. Aku hanya ingin ingatkan sekali lagi kepada Yayi, supaya ia melupakan arena pertarungan itu. Karena ada bahaya yang menunggunya di sana jika ia nekat ingin turun ke pertarungan."

"Aku sudah ingatkan dia, Suto. Tapi agaknya hati Yayi semakin keras dan dendamnya tambah membaja. Aku bingung mengatasi dendam yang sudah membaja itu!"

"Usahakanlah, Ki. Kasihan dia! Hanya itu yang ingin kusampaikan kepada Yayi sebenarnya, tapi karena di sini ada gurunya, maka kusampaikan kepada gurunya! Aku harus pergi sekarang juga, Ki!"
Sebenarnya Yayi kecewa karena kedatangan Pendekar Mabuk hanya sebentar. la mencoba menahan Pendekar Mabuk, tapi Suto tak bisa ditahan. la terburu-buru harus pergi, karena ia sudah tak sabar ingin segerai temui Mahendra Soca yang tadi menurut dugaannya sedang mengintip Yayi.

Gubuk dikelilingi pohon kelapa itu disambangi oleh Suto dan ternyata Mahendra Soca ada di sana sedang telentang di atas balai-balai. la agaknya sedang melepas lelah dalam renungan panjangnya. Ketika Suto datang, ia sedikit terkejut, lalu tersenyum kepada Suto.

Suto pun segera berkata nyeplos. "Kau tadi mencuri jurus pedang Ki Argapura dan Yayi! Betulkah begitu, Mahendra?"

Tertawa nyengir orang muda berikat kepala putih itu. Lalu ia berkata, "Memang. Habis aku malu jika ingin ikut belajar dengan Yayi. Padahal, setelah aku merenung beberapa saat, rasa-rasanya memang aku perlu mempelajari jurus pedang, untuk sewaktu- waktu jika kepergok Ragajampi, aku sudah siap menghadapinya dengan jurus pedang yang mematikan!"

"Mengapa tidak bilang padaku saja? Aku bersedia mengajarkan ilmu pedang padamu!"

"Aku malu. Karena aku sudah pernah menolak tawaranmu berulang kali. Takut kau menertawakan aku jika aku minta diajarkan jurus-jurus pedang padamu. Dan... jujur saja kukatakan padamu, aku agak ragu apakah kau bisa jurus pedang seperti Ki Argapura itu, karena aku tak melihatmu membawa pedang. Yang kau bawa selalu bumbung tuak, jadi kupikir kau hanya menguasai jurus-jurus minum tuak agar tak sampai mabuk!"

Pendekar Mabuk tertawa geli mendengar kepolosan berpikir Mahendra Soca. Kejap berikutnya ia berkata,

"Apakah kau punya pedang? Jika kau punya, akan kuajarkan beberapa jurus pedang yang mematikan saja!"

"Aku tidak punya pedang," jawab Mahendra Soca. "Bagaimana kalau kita pakai pedang-pedangan dari kayu saja?" Mahendra Soca tersenyum dan Pendekar Mabuk semakin geli dibuatnya.


ORANG-ORANG kadipaten bersorak girang ketika Ragajampi pulang dengan menenteng kepala Nyai Gayung Demit. Keberhasilan Ragajampi membuat ia semakin dipuji-puji oleh orang-orang kadipaten. Pujian itu pun membuat Ragajampi merasa bangga dan selalu busungkan dada. Bahkan di depan Yayi, pada saat mereka bertemu berdua di samping taman keputren, Ragajampi sempat berkata,

"Kelak yang kubawa bukan kepala Nyai Gayung Demit lagi, tapi kepala Mahendra sendiri!"

Yayi hanya menggeram dan mendengus kesal. Kemudian cepat-cepat masuk ke taman keputren dan tak mau melayani kata-kata Ragajampi. Di dalam benaknya, Yayi hanya punya satu pilihan, yaitu berusaha mencegah Mahendra Soca agar tidak datang ke arena pertarungan. Tetapi sudah beberapa hari ini, Yayi tidak pernah bertemu dengan Mahendra Soca. la tidak tahu pondok Mahendra Soca, sehingga ia hanya bisa menyusuri hutan untuk mencari pemuda itu.

Kalau saja Yayi menemukan pondok Mahendra Soca yang penuh dengan tumpukan kayu itu, maka ia akan tercengang girang melihat Mahendra Soca mau mempelajari ilmu silat, terutama ilmu pedang. Dan semakin girang jika Yayi tahu, Pendekar Mabuk- lah orang yang mengajarkan ilmu pedang kepada Mahendra Soca.

Pemuda berlengan kekar itu tampak dengan tekun mengikuti latihan yang diberikan Suto Sinting memakai pedang-pedangan dari kayu. Suto yang mencarikan berat kayu sesuai dengan berat pedang pada umumnya. Sayangnya, Mahendra Soca termasuk lamban dalam perkembangannya. la masih sering salah melakukan gerakan tebas, dan kuda-kudanya sering terlihat lemah.

Sering sekali kakinya diserampang oleh kaki Pendekar Mabuk karena lemahnya kuda-kuda, sehingga Mahendra Soca terpelanting jatuh dan mengaduh. Pendekar Mabuk membentak tak sabar,

"Kalau kuda-kudamu lemah, maka nyawamu tidak akan betah tinggal di ragamu! Lawan dapat dengan mudah mencabut nyawamu pakai pedangnya! Tolol amat kau ini!"

Mahendra Soca terengah-engah, kejap berikut dia berkata, "Sudahlah, kuputuskan tak perlu belajar ilmu silat lagi! Ternyata mempelajari ilmu silat justru membuat badan jadi bonyok sendiri!"

"Jangan patah semangat, Mahendra! Ingat, kau harus berhadapan dengan Ragajampi di arena nanti! Kau...."

"Eh, itu kan hanya muslihatku saja! Aku tidak benar-benar akan hadir di tengah arena pertarungan, Suto! Apa kau lupa?"

"Kau harus hadir!" kata Suto dengan tegas. "Kalau kau tak hadir, maka Ragajampi merasa tertipu. Kalau dia mati di tangan si Wajah Hitam, maka Yayi akan dibunuh oleh orang-orangnya Ragajampi!
Dengan begitu, kau tetap tidak akan mendapatkan Yayi!"

Terkejut Mahendra Soca mendengar hal itu. "Yayi akan dibunuh...?"

Suto menceritakan apa yang didengarnya dari hasil mencuri percakapan Ragajampi di sebuah pohon. Mahendra Soca menjadi tertegun bengong mendengar cerita tersebut. Suto segera berkata,

"Ada satu jalan lain yang bisa kau tempuh untuk selamatkan Yayi dari ancaman maut jarum beracun itu."

Mahendra Soca menatap Suto Sinting, tapi Pendekar Mabuk justru menenggak tuaknya sebentar, setelah itu baru berkata lagi,

"Temui Ragajampi dan mintalah maaf, lalu batalkan pertarunganmu dengannya, dan tinggalkan pula Yayi!"

"Tinggalkan Yayi...?! Rasa-rasanya itu sulit kulakui kan, Suto!"

"Kalau memang sulit, yah... kamu harus bertarung dengan Ragajampi di Ladang Pertarungan itu!"

"Ak... aku... aku... aku tak mungkin kalahkan dia, Suto!"

"Karena itu, pelajarilah tiga jurus pedang yang mematikan ini! Jangan patah semangat! Pelajari terus buat bekalmu menghadapi Ragajampi dan si Wajah Hitam nanti!"

Ya. Memang hanya tiga jurus pedang yang diajarkan pada Mahendra Soca oleh Suto Sinting si
Pendekar Mabuk itu. Tiga jurus pedang itu konon sukar dicari tandingannya, dan sulit ditangkis ataupun dilawan. Tiga jurus pedang itu adalah, jurus 'Cakra Maut', jurus 'Ekor Petir', dan jurus 'Pedang Buta'. Tapi untuk mempelajari tiga jurus pedang itu susahnya setengah mati buat Mahendra Soca. Ini mungkin disebabkan karena Mahendra Soca tidak memiliki jurus dasarnya, atau karena batin Mahendra Soca menolak.

Sementara itu, Mahendra Soca menolak untuk mendapatkan satu lagi jurus pedang maha dahsyat yang dinamakan jurus 'Pedang Siluman'. Alasan Mahendra Soca, mempelajari tiga jurus pedang saja sudah kewalahan, apalagi ditambah satu lagi 'Pedang Siluman', jelas Mahendra Soca tak akan mampu melakukannya dengan baik.

Sampai pada batas waktu yang sudah ditentukan untuk dimulainya pertarungan, Mahendra Soca masih tidak menampakkan kemajuannya sedikit pun. Suto sendiri merasa cemas akan keselamatan jiwa Mahendra Soca. Satu-satunya jalan ia harus menemui Ragajampi dan mengatakan bahwa Mahendra Soca tidak sanggup melakukan pertarungan dan tentangan itu dibatalkan. la harus segera ke istana menemui Ragajampi.

Tetapi di pertengahan jalan ia berpapasan dengan Ki Argapura yang kelihatan menyimpan ketegangan. Ki Argapura menyapa lebih dulu dan mengatakan kepada Suto,

"Sangat kebetulan sekali aku bisa bertemu denganmu di pagi ini!"
"Mengapa begitu, Ki Arga?"

"Tunjukkan padaku di mana tempat pertarungan itu. Kau mau menolongku, Suto?"

"Itu hal yang mudah, Ki. Tapi mengapa Ki Arga ingin ke sana dan tampaknya menyimpan kegundahan hati?" tanya Pendekar Mabuk.

"Yayi nekat ke sana, dan ada kabar yang mengatakan, Yayi sudah mendaftarkan diri sebagai peserta!"

"Celaka!" gumam Suto menjadi tegang juga.
"Padahal Ragajampi sendiri sudah mendaftarkan diri sebagai peserta sejak kemarin sore!"
"Gawat itu berarti Ragajampi akan bertemu Yayi juga! Sekarang di mana Yayi berada, Ki?"

"Hilang. Tak tahu di mana dan sedang dalam pencarian beberapa orang! Sejak kemarin sore dia sudah tinggalkan istana tanpa pengawalan. Pedang milik Abiyasa yang dibawanya, sedangkan pedangnya sendiri ditinggalkan."

Pantas jika Ki Argapura cemas. Suto sendiri jadi gelisah memikirkan nasib gadis keras kepala itu. Terbayang dalam ingatan Suto jika sampai Yayi berhadapan dengan si Wajah Hitam, orang yang berbadan kekar, berotot, tak pernah pakai baju, mempunyai tato pedang dililit ular di sepanjang punggungnya, mengenakan selubung dari kain hitam dan semua itu membuat Suto semakin cemas, sebab ia pun masih ingat gerakan cepat si Wajah Hitam dalam menebas lawannya. Suto yakin, Yayi tidak bisa mengimbangi gerakan cepat itu.

"Lalu, apa yang ingin Ki Arga lakukan di sana nanti?" kata Pendekar Mabuk.
"Aku akan mendaftarkan diri untuk menjadi peserta. Aku akan lindungi Yayi dari belakang!"
"Itu berarti Ki Arga akan berhadapan dengan Yayi sendiri, Ragajampi, dan Mahendra!"
"Aku bisa bikin Yayi kalah tanpa mati!"

"Kalau begitu, tak perlu Ki Arga yang lakukan, saya pun bisa! Kalau boleh, saya pinjam pedangnya Yayi. Saya sendiri yang akan turun dan menggantikan nama Mahendra!"

"Apakah aku harus menuruti saranmu jika begini?"

"Kurasa memang ada baiknya begitu, Ki Arga. Sebab, pertarungan ini sudah tidak hanya berdasarkan dendam saja, namun juga berdasarkan cemburu dan cinta."

Ki Argapura manggut-manggut. "Kalau begitu, kupinjamkan pedang Yayi kepadamu, tapi kau yang harus bertanggung jawab akan keselamatannya!"

Setelah mendapat pinjaman pedang Yayi melalui Ki Argapura, Suto pun segera melesat ke gubuk Mahendra Soca. Ada sesuatu yang ingin dilakukan Suto secara diam-diam. Tetapi sayang sekali Mahendra Soca tidak ada di tempat. Sampai lama Suto menunggu, Mahendra Soca tidak muncul juga.
Maka, Suto pun melesat pergi ke Rumah Busuk untuk mencari Mahendra Soca di sana. Sebab menurut dugaannya, Mahendra Soca pasti sudah pergi ke sana untuk mendaftarkan diri.

Suto teringat kata-kata Mahendra Soca yang terakhir yang diucapkan kemarin lusa. Mahendra Soca berkata di sela napasnya yang ngos-ngosan.

"Apa pun yang terjadi, aku tetap harus hadir di pertarungan itu, supaya Yayi tahu siapa aku sebenarnya, dan bagaimana cintaku kepadanya. Aku tak mau dikatakan sebagai laki-laki pengecut lagi!"

Tekad itu dilihat Pendekar Mabuk telah menjadi bulat di hati dan jiwa Mahendra Soca. Padahal Pendekar Mabuk tahu Mahendra Soca sama sekali belum menguasai betul tiga jurus pedang yang diberikan padanya itu.

Tiba-tiba dalam perjalanan menuju Ladang Pertarungan, Suto melewati sebuah sungai yang mempunyai gua di bagian tebingnya. Gua itu cukup rindang karena di bagian depannya tumbuh pohon berjajar. Di sela-sela kerindangan pohon itu, ia melihat Mahendra Soca sedang berlatih jurus tiga pedang pemberian Suto. Gerakannya masih lamban juga, namun kesungguhan belajarnya terlihat cukup tinggi.

Pendekar Mabuk segera melompat dan tahu-tahu mendarat di depan Mahendra Soca. Pada waktu itu Mahendra Soca sudah berkeringat, bajunya tidak dilepas dan rambutnya diikat dengan kain putih.
Mahendra Soca sempat kaget sebentar melihat Pendekar Mabuk tahu-tahu muncul di depannya. la masih memegangi pedang-pedangan. Sebelum berkata sepatah kata pun, Suto sudah lebih dulu bergerak maju dengan cepat dan... dess dess...!

Dua totokan tangan Suto mengenai bawah ketiak kanan-kiri. Totokan itu membuat Mahendra Soca seperti patung seketika. Bahkan berkedip pun tak bisa. Bicara juga tak bisa. Tapi telinganya masih mendengar ucapan Suto yang berkata,

"Maaf, Mahendra...! Karena Yayi ternyata sudah mendaftarkan diri sebagai peserta, maka aku harus menggantikan dirimu untuk melindunginya dari dalam. Sebab aku tahu, ilmu pedangnya belum seberapa dibandingkan gerakan pedang si Wajah Hitam. Aku tidak mau ia mati di tangan si Wajah Hitam. Semoga kau tidak sakit hati dengan tindakanku ini, Mahendra! Sampai jumpa setelah pertarungan selesai...!"

Wuttt...! Suto pun cepat menghilang dan membiarkan Mahendra Soca tetap menjadi patung hidup. Ketika tiba di rumah kuno yang sekarang menjadi Ladang Pertarungan itu, Suto mendaftarkan diri dengan nama Mahendra Soca. Tetapi beberapa tokoh persilatan ada yang tahu dan menegurnya,

"Bukankah kau bernama Suto Sinting, si Pendekar Mabuk itu?"
"Bukan. Aku hanya mirip dengan Suto Sinting; Namaku Mahendra Soca!"
"Apakah kau turut dalam pertarungan kali ini?"

Tapi orang itu masih memandang dengan curiga. Suto bergegas pergi dengan tetap menyandang bumbung tuak di punggungnya, sementara itu pedang milik Yayi diselipkan di pinggang kiri. la segera dibawa masuk ke ruang peserta. Dan ternyata Yayi sudah ada di sana, Ragajampi juga sudah ada di sana sedang mendekati Yayi. Ragajampi pun kaget ketika melihat Yayi ada di ruang peserta. la jadi menyesal mendaftarkan diri di situ jika toh akhirnya ia pun harus berhadapan dengan Yayi.

"Kalau tahu begini aku tidak mau menuruti tantangan Mahendra!" kata Ragajampi. "Bangsat kurap orang itu! Dia memancingku masuk kemari sementara dia sendiri tidak hadir di sini!"

"Tak perlu berang, Ragajampi!" kata Yayi dengan tenang. "Aku lebih senang jika kita bisa saling berhadapan, sehingga aku bisa membunuhmu dan melampiaskan kebencianku kepadamu!"

"Bagaimana jika kau yang mati?"
"Kuterima dengan senang hati juga!" jawab Yayi tersenyum sinis.
"Oh, tapi buatku itu tak bisa, Yayi!"

Kemudian Yayi tersentak kaget ketika Suto Sinting pun datang mendekatinya. Ragajampi curiga dan menjadi cemburu melihat Yayi bangkit dari duduknya dan berlari menyambut Suto dengan akrab. "Suto, kau datang juga?!"

"Ya," jawab Suto tersenyum tipis. "Aku mencarimu, Yayi!"
"Aku menghilang dari kemarin. Kalau tidak begitu,! Ki Argapura pasti menghalangiku. Hmmm... eh, kau ke sini untuk apa? Ikut sebagai peserta juga atau...? Hei, kau membawa pedangku?!"

"Ki Argapura yang meminjamkannya!"

"Ja... ja... jadi kau sebagai seorang peserta juga? Kau... kau nanti tampil di arena itu?"

Suto menganggukkan kepala dengan kalem. "Aku terpaksa menggantikan Mahendra."

Terperangah Yayi memandangi Suto. Kejap berikutnya, Ragajampi ikut bicara dengan ketusnya,

"Kebetulan kau sebagai peserta. Aku berharap kita bisa saling jumpa di arena, supaya Yayi bisa tahu bahwa tak sepantasnya dia bersikap ramah dan akrab denganmu seperti itu!"

Suto hanya tersenyum mendengar nada cemburu itu. Lalu, terdengar Yayi bicara sambil menggenggam tangan Suto,

"Kau... akan bertarung denganku nantinya, Suto...!"

"Sudah kuperhitungkan segalanya, Yayi. Percayalah, ini pertarungan terakhir. Ladang Pertarungan ini akan kuhancurkan dan tak akan ada lagi perjudian nyawa seperti ini!" bisik Pendekar Mabuk semakin pelan.

Terdengar suara Luhito berteriak keras membuka pertarungan hari itu. Sorak-sorai penonton memenuhi ruangan tersebut. Hati Yayi berdebar- debar sambil ia tetap duduk di samping Suto, membuat Ragajampi semakin iri dan cemburu. Namun ia terpaksa harus menahannya sampai nanti di arena akan dilepaskan habis-habisan.

Ragajampi mendapat giliran maju ke arena setelah tiga peserta ditumbangkan oleh seorang berbadan kurus yang menamakan dirinya si Golok Tengkorak. Pertarungan menjadi seru. Sorak-sorai penonton lebih menggelegar bagai ingin meruntuhkan gedung. Entah apa yang membuat mereka bagai tak sabar menyaksikan pertarungan Ragajampi dengan si Golok Tengkorak.

Golok Tengkorak akhirnya kalah. Mati di tangan pedang Ragajampi. Sejak itu, Ragajampi menguasai arena. Tiap lawan yang maju selalu berhasil ditumbangkan. Sampai akhirnya, tinggal dua peserta di dalam ruangan itu, yakni Suto Sinting dan Yayi. Wajah Yayi sempat berubah menjadi murung sekali. la berkata kepada Suto,

"Kau menggantikan Mahendra Soca untuk menyelamatkan dia dari Ragajampi, tapi tak kau pikir bahwa kita pun akhirnya akan bertarung dan saling membunuh, Suto!"

"Semuanya sudah kuatur. Jangan sedih!"

Ragajampi berhasil menumbangkan lawannya lagi. Ketika ia masuk ke ruang peserta, wajahnya berseri-seri walau bermandi keringat.

"Sekarang tinggal kita bertiga!" katanya, lalu memandang Suto, "Kuharap setelah ini aku berhadapan denganmu! Dan akan kucincang tubuhmu karena berani-beraninya menggantikan Mahendra Soca!"

"Tidak," kata Yayi menyahut, "Setelah ini kau berhadapan denganku dulu, dan aku akan membunuh mu Ragajampi!"

Ragajampi diam. Mengusap keringatnya dengan kain yang ada di situ, entah milik siapa. la pun berpikir jika habis ini dia berhadapan dengan Yayi, berarti dia harus membunuh Yayi. Jika Yayi yang berhasil membunuhnya, berarti dia tak bisa membunuh orang yang menggantikan Mahendra Soca.

Terdengar suara Luhito berseru dari arena, "Pertarungan berikutnya adalah Ragajampi melawan Maaa... hennn... draaa...!"

Ragajampi tersenyum lega. Yayi tegang, tapi Suto tetap kalem. Hanya saja, Suto segera berkerut dahi karena heran mendengar seruan para penonton yang meneriakkan nama secara bersama-sama:

"Suto, Suto, Suto, Suto, Suto...!"

Dalam hati Suto menggerutu, "Sial! Rupanya orang yang tadi bertanya namaku itu tak yakin kalau aku bernama Mahendra Soca. Dia yakin bahwa aku adalah Suto, lalu dia sebarkan kepada penonton lainnya?! Gila orang itu!"

Ketika Suto muncul setelah Ragajampi muncul lebih dulu, Suto mendapat sambutan sangat meriah dan suasana menjadi lebih menggelegar lagi. Mereka saling berdesak maju ke tepi pagar batas lantai penonton. Bahkan Brahmana Gada sempat berdiri dengan tegang tapi berwajah ceria, sebab ia tahu siapa orang yang bernama Suto Sinting itu.

Dan satu hal yang mengejutkan Suto maupun Ragajampi adalah, orang-orang kadipaten ternyata ada di sana, di antara penonton biasa. Wajah Ki Argapura pun tampak jelas tanpa suara memandang ke arah arena. Bahkan seorang berpakaian kerudung merah pun kelihatan di sana. Hanya Ragajampi yang tahu siapa wajah orang berkerudung merah itu. Tak lain adalah sang Adipati sendiri yang menyamar menjadi rakyat jelata.

Bongngng...!

Pertarungan dimulai. Ragajampi mencabut pedangnya, tapi Suto masih tenang dan belum mencabut pedang. Justru ia berdiri di tengah dan menenggak tuaknya beberapa teguk ketika Ragajampi mencari kesempatan untuk menyerang. Pada saat Suto meneguk tuaknya itulah kesempatan emas buat Ragajampi. Maka ia pun segera maju satu langkah dan menebaskan pedangnya. Wuttt...!

Suto tiba-tiba berkelebat berputar dengan cepat. Bumbung tuaknya menangkis tebasan pedang Ragajampi hingga pedang itu terpental jauh sampai ke depan pintu peserta. Lalu, bumbung itu ditarik dalam genggaman tangan kanan, dan tangan kiri Suto menghantam dada Ragajampi dengan
sentakan cepat tak terlihat mata. Plasss...! Debb...!

Brusss...! Darah menyembur dari mulut Ragajampi yang terdongak itu. Bahkan dari lubang hidung, telinga, dan mata, mengeluarkan darah kental akibat pukulan tak terlihat tadi.

Brukk...! Ragajampi jatuh terkapar, tubuhnya kejang-kejang sebentar, kemudian tersentak satu kali dan diam untuk selamanya.

"Horeeee...!" teriak penonton bersorak dengan keras dan kegirangan. Mereka mengacung-acungkan tangan yang mengepal tanda sangat puas melihat pertarungan orang yang dikenal oleh mereka sebagai Pendekar Mabuk alias Suto Sinting itu.

Ketika pintu peserta dibuka, Yayi memandang tegang, siapa yang masuk. Ternyata Suto Sinting yang masuk, itu berarti Suto yang menang. Yayi menjadi lega, namun segera murung dan tertunduk sedih.

"Jangan sedih. Serang aku dengan sungguh- sungguh, supaya mereka tidak kecewa dengan permainanmu!" kata Suto. "Aku tidak akan mempergunakan pedangmu!"

"Gunakanlah," kata Yayi dengan wajah memandang sedih. "Aku sudah siap mati di ujung pedangku sendiri!"

"Baiklah!" jawab Suto tegas.

Kejap berikutnya terdengar lagi suara Luhito yang mengumumkan pertarungan berikutnya. Penonton tetap bersorak mendukung Suto Sinting ketika Pendekar Mabuk dan Yayi masuk ke arena pertarungan itu. Wajah Ki Argapura terlihat tegang, demikian pula wajah sang Adipati. Namun mereka sama-sama diam tak memberi suara apa pun.

Bongngng...! Pertarungan dimulai. Yayi siap dengan pedangnya. Suto belum mau mencabut pedang walaupun Yayi berkata, "Cabut pedangmu, atau aku tega menebas kepalamu?!"

"Seranglah aku!"

Maka, dengan satu sentakan cepat, Yayi menggunakan jurus pedang pemberian Ki Argapura yang bernama 'Rembulan Menebas Bintang'. Tapi Suto cepat membalikkan badannya, sehingga tebasan itu mengenai bumbung tuak di punggung. Trangngng...! Suaranya nyaring sekali. Padahal seharusnya bumbung itu patah terpotong beberapa kejap berikutnya, tapi ternyata tidak. Juga ketika Yayi menggunakan jurus 'Mata Malaikat'.

Seharusnya dada Suto bolong dalam satu tusukan pedang dengan kecepatan tinggi. Tapi nyatanya ujung pedang itu justru dijepit dengan dua jari Pendekar Mabuk tepat di depan dada. Tabb...! Pedang itu bagaikan terkunci, lalu dengan satu kekuatan tenaga dalamnya, Suto sentakkan jepitan pedang itu ke samping, dan pedang itu pun terpental lepas dari tangan Yayi. Trangng...! Jatuh di lantai, jauh dari jangkauan Yayi.

"Hiaaat...!" Yayi nekat menyerang dengan pukulan tangannya.

Tapi Suto segera jongkok dengan kaki lebar dan kedua tangannya mematuk pinggang Yayi dari kanan-kiri, bagaikan dua ular kobra menyerang satu lawan. Dess, dess...!

Brukkk...! Yayi langsung jatuh bagai kain sutera dilepas dari pegangannya. Ternyata totokan itu membuat lumpuh kedua kaki Yayi untuk beberapa saat. Sementara kedua tangan Yayi masih bisa digunakan untuk menyerang, tapi kekuatannya sudah tak ada. Yayi akhirnya tertunduk bagaikan pasrah dalam kematiannya.

"Bunuh...! Bunuuuh...!" teriak Brahmana Gada dengan berapi-api. Suto memandangi penonton sekelilingnya. Mereka saling berteriak kata 'bunuh' menirukan Brahmana Gada. Sedangkan wajah Ki Argapura terlihat tegang, sama seperti wajah sang Adipati. Lalu, Suto berseru,

"Tidak ada keharusan membunuh lawan! Yang ada peraturan mengalahkan lawan!"

Brahmana Gada berseru, "Kau bisa dibunuhnya dari belakang jika tak mau membunuh dia!"

"Aku tidak mau membunuh dia, karena dia perempuan! Aku pantang membunuh perempuan yang sudah tak berdaya!" seru Suto. Rupanya Brahmana Gada pengelola arena tersebut menjadi berang dan jengkel sendiri kepada Suto, akhirnya ia berseru kepada Luhito,

"Luhito...! Panggil sekarang juga si Wajah Hitam! Tak ada masa istirahat! Panggil Wajah Hitam...!"

Pintu selatan masih kosong. Si Wajah Hitam sejak tadi belum kelihatan. Namun ketika Luhito memanggil nama si Wajah Hitam dan pintu selatan dibuka, tahu-tahu muncullah sang pembantai yang selama ini belum pernah terkalahkan.

Pendekar Mabuk sempat meminumkan tuak sebentar kepada Yayi, lalu Yayi dibawa oleh petugas keluar arena. la memperhatikan si Wajah Hitam dari sela-sela jeruji pintu sebentar, lalu maju ke tengah arena.

Si Wajah Hitam pun maju melangkah mendekati Pendekar Mabuk. Badannya berminyak karena memang diberi minyak supaya licin bila dipegang lawan. Wajahnya masih tertutup selubung hitam, hanya bagian kedua mata dan mulut saja yang tampak. Punggungnya tampak bertato pedang dililit ular. Punggung itu kekar dan kokoh kelihatannya, sama dengan urat-urat lengannya yang bertonjolan keras itu.

Jarak mereka hanya dua langkah. Pendekar Mabuk berkerut dahi ketika memandang mata si Wajah Hitam. Dan tiba-tiba gong pun berbunyi dengan keras, bongngng...!

Wuttt...! Wajah Hitam menarik selubung penutup kepalanya, dan Suto menjadi terperanjat kaget, karena wajah itu adalah wajah Mahendra Soca.

"Kaaau...!" teriak Yayi yang terpekik dari pintu utara.

Suto diam tanpa senyum, Mahendra Soca pun diam tanpa senyum. Bahkan Mahendra Soca lebih dingin menatap Suto, sementara itu Suto hanya diam dalam kebimbangan. Hatinya berkata,

"Ini benar-benar gila! Luar biasa gilanya! Aku menggantikan dia tampil di sini untuk menyelamatkan dirinya, ternyata justru dialah orang yang selama ini digelari sang pembantai!"

Terdengar Mahendra Soca berkata, "Cabut pedangmu, Suto!"

"Aku tak bisa."

"Lupakan Mahendra Soca penebang kayu. Itu hanya sebagai latihan pengumpulan tenagaku saja! Aku mencintai Yayi, tapi aku tetap harus penuhi tugasku di sini! Tugasku di luar sudah kupenuhi, yaitu memancing orang untuk masuk dalam pertarungan ini!"

"Berhentilah hidup begini, Mahendra! Yayi menunggumu!"

"Dia menunggu membalas dendam padaku! Sekarang, kau yang ada! Serang aku dan cabut pedangmu, Guru!"

Terharu hati Pendekar Mabuk mendengar Mahendra Soca memanggilnya guru. Dan hal itu hanya diatasi oleh Suto dengan menelan ludah menahan haru. Terbayang saat ia memberi pelajaran jurus tiga pedang mematikan menggunakan pedang- pedangan dari kayu. Sungguh tak bisa terbayangkan sebelumnya, mengapa akhirnya ia harus berhadapan dengan orang yang menerima pelajaran tiga pedang mematikan itu.

"Jurus tiga pedang telah kugabungkan khusus untuk melayani tokoh-tokoh sakti. Ternyata kaulah tokoh sakti yang pertama kali kulayani demi tugasku ini!"

"Kenapa kau mau lakukan tugas begini, Mahendra?!"

"Adikku tertawan di tangan Brahmana Gada! Kalau tak mau, aku akan kehilangan adikku! Dia adik perempuanku satu-satunya!"

"Kubantu kau melepaskan adikmu!" bisik Suto.

"Terlambat. Dia sudah mati saat aku menolak pertarungan ini, beberapa waktu yang lalu! Aku tak menyesal jika harus mati di tanganmu, karena aku akan menyusul adikku!"

"Baiklah, Mahendra! Kau membuatku tak punya pilihan...!" kata Pendekar Mabuk dengan lemah. Lalu, Mahendra Soca mengangkat pedangnya ke pertengahan dada lurus ke atas, siap ditebaskan dengan gerakan cepat dan menggunakan kedua tangan.

Suto hanya diam tak bergerak dengan kaki merenggang ke belakang, tangan memegang gagang pedang yang belum dicabut dari sarungnya. Lama mereka saling diam. Lama suasana menjadi sepi menegangkan! Sampai pada kejap berikutnya, Mahendra Soca bergerak maju dengan cepat sekali, dan Suto menggunakan jurus 'Pedang Siluman'-nya yang dapat bergerak cepat. Wusss... wusss...!

Zrattt...! Mereka saling memunggungi. Sama- sama diam tak bergerak. Posisi mereka tetap dalam kuda-kuda kokoh. Semua mata memandang tak berkedip. Tak bersuara. Dan tiba-tiba terdengar suara tetes air menggema di ruangan yang sunyi itu. Tes... tes... tes...!

Mata mereka pertama-tama memandang ke arah pedang yang tahu-tahu sudah dicabut Suto dan tak ada yang melihat kapan Suto mencabut pedang tersebut. Pedang itu berlumur darah. Tapi tidak menetes ke lantai darahnya.

Mata mereka segera memandang ke arah bagian kaki Mahendra Soca. Ternyata di sanalah darah menetes dari kain celana bagian tengah. Dan mereka semakin terbelalak setelah menyadari, ternyata tubuh Mahendra Soca terbelah dari pusar sampai dada, terus ke leher dan mencapai pertengahan wajah Mahendra Soca. Tepat di kening, belahan pedang itu berhenti dan sekarang merembeskan darah.

Blakkk...! Mahendra Soca jatuh terkapar dengan mata mendelik, mulut ternganga, dan tubuh terbelah rapi.

Suasana masih hening, masih sunyi, seakan mereka masih tak percaya bahwa si Wajah Hitam itu telah mati dalam keadaan terbelah bagian tengahnya. Tapi mereka tidak melihat seperti apa dan bagaimana jurus Pendekar Mabuk sehingga dapat membelah tubuh si Wajah Hitam itu.

Suto menghadap Brahmana Gada dan berseru, "Bubarkan tempat ini, atau kuhancurkan seluruh kepala anak buahmu! Sekarang juga akan kulakukan, Brahmana Gada!"

Orang gemuk itu pucat wajahnya, bingung menjawabnya. Lalu, sesosok tubuh kurus berwajah tua melompat turun ke arena dari tempat penonton. Orang itu adalah Ki Argapura yang segera berseru,

"Aku akan ikut menghancurkan orang-orangmu, Brahmana Gada! Kecuali jika kau bubarkan perkumpulan ini dan jangan ada lagi perjudian nyawa yang tidak manusiawi ini!"

Sekelebat orang berpakaian kerudung merah itu melompat pula dari atas lantai penonton. Jlegg...! Kerudungnya dibuka, dan Brahmana Gada terpekik, "Sang... sang Adipati...?!"

"Bubarkan tempat ini atau kugulung habis sampai tujuh turunanmu?!"

Hening tercipta mencekam sekali. Dan akhirnya Brahmana Gada menyerah. Ladang Pertarungannya pun tak pernah ada lagi sejak saat itu.

SELESAI

Segera Terbit!!! serial Pendekar Mabuk Suto Sinting dalam episode: TITISAN ILMU SETAN