Trio Detektif - Misteri Puri setan



TRIO DETEKTIF
EPISODE
MISTERI PURI SETAN



CATATAN BAGI PEMBACA: Kalian tidak diharuskan membaca sepatah kata pun dari kata pengantar ini.

Alfred J. Hitchcock

­Kata Pengantar

Kelihatannya selalu ada saja yang harus saya beri kata pengantar. Saya sudah bertahun-tahun memberi kata pengantar pada programa televisi saya di Amerika Serikat. Berbagai film, yang menghidangkannya juga saya, Saya pun telah memperkenalkan bermacam'-macam buku kisah misteri, cerita hantu dan kisah tegang, yang menegakkan bulu roma orang yang membacanya.


Kini lagi-lagi saya harus menghidangkan kata pengantar. Saya akan memperkenalkan tiga sekawan remaja, Mereka ini menamakan diri mereka Trio Detektif. Kerja mereka keluyuran naik mobil Rolls-Royce mewah bersepuh emas, menyelidiki misteri, teka-teki, pokoknya kejadian-kejadian yang serba membingungkan. Dasar gila-gilaan!

Terus terang saja, saya sebetulnya lebih senang apabila tidak ada urusan dengan ketiga remaja itu. ­Tapi sudah terlanjur berjanji akan memperkenalkan mereka. Sedang saya ini selalu menepati janji – walau janji itu mereka peroleh dengan jalan licik. Nanti kalian akan tahu sendiri bagaimana cara mereka memperolehnya,

Saya perkenalkan saja mereka sekarang. Ketiga remaja yang menamakan diri mereka Trio Detektif terdiri dari Bob Andrews, Pete Crenshaw dan Jupiter Jones. Ketiga-tiganya tinggal di Rocky Beach, sebuah kota kecil di tepi Samudra Pasifik, tidak jauh dari Hollywood.

Bob Andrews bertubuh kecil tapi ulet. Potongan ilmuwan. tapi dengan semangat petualangan, Sedang Pete Crenshaw, bertubuh jangkung dan kekar. Lalu Jupiter Jones - Ah, lebih baik tidak saya katakan saja pendapat pribadi saya tentang remaja ini. Kalian sendiri sajalah yang nanti menarik kesimpulan mengenai dirinya, apabila telah selesai dengan buku ini. Sedang saya hanya akan mengemukakan fakta-fakta yang ada.

Karena itu, walau saya cenderung mengatakan Jupiter Jones itu gendut, tapi di sini saya mengatakan bahwa ia bertubuh gempal. Kawan-kawannya berpendapat begitu. Ketika masih kecil, Jupiter Jones pernah ikut dalam suatu serial televisi. mengenai segerombolan anak-anak yang kocak. Untung saja saya tidak pernah melihat serial itu. Tapi ketika masih bayi ia begitu gemuk dan lucu, sehingga dijuluki Baby Fatso - Bayi Gendut. Berjuta-juta pirsawan terpingkal-pingkal melihat dia saban kali tersandung pada apa saja yang ada di dekatnya.

Ini menyebabkan Jupiter kemudian benci sekali kalau ditertawakan. la lantas belajar dengan kerajinan luar biasa, supaya jangan sampai dianggap remeh oleh orang-orang. Mulai saat bisa membaca, segala macam bacaan ditelannya, Sains, ilmu jiwa, kriminologi - jadi ilmu pengetahuan tentang kejahatan - dan masih banyak lagi pengetahuan lainnya. Daya ingatnya sangat baik. Hal-hal yang pernah dibaca, sebagian besar diingat olehnya. Karena itu para guru di sekolah berpendapat, lebih baik menghindarkan perdebatan dengan dia mengenai persoalan yang menyangkut fakta. Soalnya, mereka sudah terlalu sering akhirnya harus mengaku salah.

Jika sampai di sini kalian menarik kesimpulan bahwa Jupiter Jones agak sok aksi - saya setuju dengan kalian. Tapi saya dengar, dia punya banyak kawan yang setia. Yah, begitulah anak muda selera mereka aneh!

­Sebetulnya masih banyak lagi yang bisa saya ceritakan mengenai dirinya, serta mengenai kedua remaja temannya. Saya bisa menceritakan bagaimana Jupiter memenangkan hak memakai mobil bersepuh emas dalam suatu sayembara. Saya juga bisa bercerita bagaimana ia menjadi terkenal di tempat kediamannya karena berhasil menemukan barang-barang hilang, termasuk binatang kesayangan yang minggat. Saya bisa –

Tapi saya rasa, saya sudah memenuhi kewajiban. Saya telah lebih dari sekedar memenuhi janji. Jika kata pengantar ini tidak kalian lampaui saja, kalian sekarang pasti lebih senang daripada saya bahwa kata pengantar ini selesai.

­Salam,

Alfred Hitchcock

­Bab 1 TRIO DETEKTIF

­Bob Andrews masuk ke rumah, setelah menyandarkan sepedanya di luar. Begitu ia menutup pintu, terdengar suara ibunya memanggil dari dapur.

"Kaukah itu, Robert?"

"Ya, Bu." Bob pergi ke pintu dapur. Ibunya, seorang wanita bertubuh langsing dan berambut coklat, sedang sibuk membuat kue donat.

"Bagaimana di perpustakaan tadi?" tanya Mrs. Andrews.

"Baik-baik saja," jawab Bob. Jawabannya selalu begitu, karena suasana di perpustakaan tidak pernah berubah. Selalu tenang. Bob di samping bersekolah, menyambi bekerja di situ. Tugasnya menyortir kembali buku-buku yang dikembalikan dan membantu penyusunan daftar buku.

"Tadi temanmu, Jupiter, menelepon," kata ibunya lagi, sambil terus menggiling adonan kue.

"Ia meninggalkan pesan untukmu."

"Apa katanya?" seru Bob bersemangat.

"Aku tadi mencatatnya. Ada dalam kantongku. Nanti sebentar, kuselesaikan dulu adonan ini."

"Masa tidak ingat apa yang dikatakannya! Mungkin ia memerlukan aku dengan segera.''

­"Kalau pesan biasa, bisa kuingat," jawab ibunya, "tapi Jupiter tadi tidak meninggalkan pesan yang biasa, Membingungkan!"

"Jupiter memang suka pada kata yang aneh-aneh," kata Bob, ia berusaha menekan rasa tidak sabarnya, "Ia banyak sekali membaca, dan kadang-kadang pembicaraannya agak sulit dimengerti."

"Huh! Bukan cuma kadang-kadang saja!" tukas ibunya. "Anak itu sangat luar biasa. Sampai sekarang aku masih belum bisa mengerti, bagaimana ia bisa menemukan cincin kawinku."

Mrs, Andrews menyinggung kejadian musim gugur sebelum itu, yaitu ketika cincin kawinnya hilang. Kebetulan Jupiter Jones datang. Pada Mrs. Andrews dimintanya agar menceritakan segala hal yang diperbuat pada hari cincin itu hilang. Setelah Mrs. Andrews selesai bercerita, Jupiter langsung pergi ke sepen, yaitu bilik tempat menyimpan bahan makanan. Ia meraihkan tangannya ke atas rak, meraba-raba di belakang sederet botol berisi acar tomat. Dan ketika tangannya itu ditarik kembali, ia sudah memegang cincin kawin yang hilang. Ternyata ibu Bob melepaskannya dan menaruh di situ, ketika mencuci botol-botol itu sebelum dipakai.

"Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana ia bisa menebak cincinku ada di tempat itu, " kata Mrs. Andrews.

"Kurasa ia tidak bisa menebak, tapi menarik kesimpulan," kata Bob menjelaskan. "Begitulah cara otaknya bekerja,.. Bu, tidak bisa sekarang juga Ibu mengambil pesannya?"

"Sebentar lagi," jawab ibunya, sambil menggiling terus adonan supaya semakin tipis, "0 ya - bagaimana persisnya kabar yang dimuat pada halaman depan koran kemarin, mengenai Jupiter memenangkan hak pemakaian sedan Rolls-Royce selama tiga puluh hari?"

"Ah - itu suatu sayembara yang diadakan sebuah perusahaan penyewaan mobil, yaitu Rent­ n-Ride Auto Rental Company," kata Bob menjelaskan. "Perusahaan itu meletakkan sebuah bejana besar yang penuh berisi kacang buncis di jendela etalase mereka. Mereka menjanjikan hadiah pemakaian Rolls-Royce lengkap dengan supir bagi siapa yang berhasil paling dekat menerka jumlah tepat kacang buncis dalam bejana itu, dan ternyata Jupiter menang....Aduh, Bu - tidak bisa sekarang saja catatan pesan itu ibu ambil dari kantong?"

"Baiklah," kata ibunya, lalu membersihkan tepung yang melekat di tangannya, "Tapi sekarang mau apa Jupiter dengan sedan Roll-Royce yang lengkap dengan supir, biarpun cuma untuk tiga puluh hari?"

"Begini, Bu. Kami berniat -"

Bob sebenarnya hendak menjelaskan, tapi Ibunya sama sekali tidak memperhatikan ia menyerocos sendiri.

"Sekarang ini segala macam barang bisa dimenangkan," katanya. "Aku bahkan membaca ­berita tentang seorang wanita yang memenangkan hadiah dalam suatu acara televisi, Hadiahnya rumah perahu, Padahal ia tinggal di gunung. Jelas saja wanita itu bingung, tidak tahu mau diapakan hadiah itu." Sambil bicara, Mrs. Andrews mengeluarkan secarik kertas dari kantongnya. .

"Ini dia pesannya," katanya. "Di sini kutulis: "Gerbang Hijau Satu, Mesin cetak sudah mulai bekerja. "

"Wah! Terima kasih, Bu," seru Bob sambil bergegas pergi. Di ambang pintu ia tertegun sesaat, karena dipanggil ibunya. .

"Robert! Apa lagi arti pesan itu? Jupiter memakai bahasa sandi, ya?"

"Ah, tidak. Itu bahasa Inggris yang biasa, Bu. Aku harus cepat-cepat pergi. Bu!"

Bob bergegas ke luar, menyambar sepedanya lalu cepat-cepat menuju ke ‘Jones Salvage Yard’.

Kalau sedang naik sepeda, penopang kakinya nyaris tak terasa mengganggu sama sekali. Alat itu dipasang ke kakinya oleh Dr. Alvarez sebagai akibat kecelakaan yang dialami olehnya ketika sedang mencoba seorang diri mendaki salah satu bukit dekat Rocky Beach. Kota itu sendiri terletak di daerah yang datar, diapit Samudra Pasifik pada satu sisi, dan Pegunungan Santa Monica pada sisi yang satu lagi.

Kalau dibilang gunung, mungkin ada yang menilai agak rendah. Tapi sebagai bukit, tinggi sekali! Ketika terjadi kecelakaan itu, Bob jatuh terguling-guling di lereng yang tingginya sekitar seratus lima puluh meter. Kakinya patah di berbagai tempat. Rekor baru dalam kasus patah kaki, kata orang di rumah sakit. Tapi walau begitu Dr. Alvarez mengatakan bahwa penopang kakinya tidak akan dipakai untuk selama-lamanya, apabila kakinya sudah sembuh sama sekali. Sekarang pun penopang itu pada umumnya tidak dirasakan terlalu mengganggu. Cuma kadang-kadang saja menjengkelkan.

Bob sampai di 'Jones Salvage Yard', yang letaknya sedikit di luar pusat kota. Tempat itu dulunya bernama 'Jones's Junkyard', sampai akhirnya Jupiter berhasil membujuk pamannya agar menukar nama itu. Lebih gengsi, katanya, Kalau Junkyard berarti 'Tempat Rombengan', 'Salvage Yard' artinya lebih mentereng, Bisa ditafsirkan sebagai Tempat Barang Bekas dan Antik'! Dan kini yang diperjualbelikan di situ bermacam-macam barang unik di samping barang bekas yang biasa. Orang biasa berdatangan ke situ, kalau memerlukan sesuatu yang tidak bisa diperoleh di tempat jauh. Kadang-kadang bahkan ada yang sengaja datang dari jauh untuk pergi ke situ.

Tempat itu mengasyikkan bagi setiap anak laki-laki, dan mungkin juga anak perempuan. Coraknya yang luar biasa sudah kelihatan dari jauh, yaitu dengan melihat pagar papan yang mengelilingi. Untuk mengecatnya, paman Jupiter memakai cat dengan bermacam-macam warna, yang diborongnya sebagai barang bekas yang tidak ­terpakai lagi. Beberapa seniman setempat membantu Mr. Jones mengecat pagar itu, karena paman Jupiter itu selalu menghadiahkan barang-barang bekas yang mereka perlukan, tanpa meminta bayaran.

Sebagai hasilnya, pagar papan itu nampak luar biasa sekali. Seluruh bagian depannya merupakan gambar pemandangan, Ada pepohonan dan bunga, danau yang hijau dengan angsa berenang-renang di situ. Ada pula pemandangan laut dengan ombak yang biru. Sedang sisi-sisi lainnya, dihiasi dengan gambar-gambar lainnya lagi. Rasanya tidak ada pagar tempat jual-beli barang rombengan yang kelihatannya begitu meriah seperti pagar itu.

­Bob melewati gerbang depan. yang dilengkapi dengan sepasang pintu besar dari besi, yang didapat dari pekarangan gedung yang terbakar habis. Bob bersepeda hampir seratus meter lebih jauh, lalu berhenti dekat pojok pekarangan. Pagar di situ dihiasi dengan gambar laut berombak hijau, serta kapal layar bertiang dua yang terombang-ambing dilanda badai. Bob turun dari sepedanya, tepat di depan dua lembar papan pagar yang dicat hijau. Tempat itulah yang dijadikan pintu masuk pribadi oleh Jupiter, dengan penamaan Gerbang Hijau Satu, Bob mencocok mata seekor ikan yang muncul dari air memandang perahu layar yang nyaris tenggelam. Kedua papan hijau langsung terangkat ke atas.

­Bob mendorong sepedanya melewati celah sempit di pagar. Setelah itu kedua papan diturunkannya kembali. Ia sudah berada dalam pekarangan tempat penjualan barang bekas, di sudut yang oleh Jupiter dijadikan bengkel. Tempat itu terbuka, kecuali atap selebar kira-kira dua meter yang terpasang sepanjang sisi dalam pagar, Mr. Jones menaruh barang-barang yang masih baik di bawah atap itu.

Ketika Bob masuk ke bengkel, Jupiter Jones sedang duduk di sebuah kursi putar yang sudah tua. Ia menggigit-gigit bibir, tanda otaknya sedang bekerja keras, Pete Crenshaw sibuk dengan sebuah mesin cetak kecil. Alat itu dulunya dibeli Mr. Jones dalam keadaan rusak. Jupiter kemudian mengutak-utiknya, sampai akhirnya bisa dipakai lagi.

Mesin cetak itu bergerak mundur-maju, berdentang-dentang. Pete yang jangkung dan berambut coklat sibuk meletakkan kartu-kartu berwarna putih, lalu mengambilnya lagi. Itulah arti pesan Jupiter yang disampaikan lewat Mrs. Andrews. Mesin cetak sudah mulai bekerja, dan ia memanggil Bob agar datang lewat Gerbang Hijau Satu.

Ketiga anak itu tidak bisa dilihat dari kantor perusahaan yang terletak di dekat gerbang utama. Bibi Mathilda juga tidak. Ia bibi Jupiter, istri Mr. Jones, Wanita itu bertubuh besar. Ialah yang sebenarnya menjalankan perusahaan itu. Orangnya baik hati dan peramah, Tapi begitu melihat ada anak di dekatnya, pikirannya selalu cuma satu. Suruh anak itu bekerja!

Dalam usahanya membela diri dari rongrongan bibinya, dari saat ke saat Jupiter mengatur tumpukan barang bekas, sehingga akhirnya tumpukan itu menutupi bengkelnya. Kini ia serta kedua kawannya bisa merasa aman, apabila tidak memang sedang benar-benar diperlukan untuk membantu bibi atau pamannya.

Sementara Bob menaruh sepeda, Pete menghentikan mesin cetak. Disodorkannya selembar kartu yang baru selesai dicetak pada Bob.

"Coba lihat ini!" katanya,

Kartu yang disodorkannya itu kartu nama perusahaan. Di atasnya tertera:

­TRIO DETEKTIF

"Kami menyelidiki segala-galanya"

? ? ?

Penyelidik Pertama - Jupiter Jones

Penyelidik Kedua - Peter Crenshaw

Catatan dan Riset - Bob Andrews

­"Wah - gaya mek!" kata Bob kagum, "Jadi kau sudah memutuskan untuk memulainya, Jupe?"

"Kita kan sudah lama ngomong ingin membuka biro penyelidikan," kata Jupiter. "Sekarang setelah aku memenangkan hak memakai mobil Rolls-Royce siang-malam selama tiga puluh hari, kita bisa bebas pergi ke mana saja mencari kejadian-kejadian misterius. Karena itu kuputuskan untuk mulai saja. Sekarang kita resmi menjadi Trio Detektif.

"Selaku Penyelidik Pertama, aku yang berwenang di bidang perencanaan. Lalu Peter sebagai Penyelidik Kedua, memimpin semua aktivitas yang memerlukan tenaga jasmani. Kau, Bob, karena ­saat ini agak terhalang kemampuanmu untuk mengikuti orang yang dicurigai atau memanjat pagar - pokoknya segala jenis pekerjaan yang memerlukan kelincahan - maka kau menangani tugas penelitian yang mungkin diperlukan dalam menghadapi kasus-kasus nanti. Kau juga bertugas mencatat segala-galanya yang kita lakukan."

"Aku sih setuju saja," kata Bob. "Pengalamanku di perpustakaan akan sangat membantu dalam tugasku itu,"

"Penyelidikan gaya modern memang banyak memerlukan kegiatan riset," kata Jupiter. ''Tapi kau kulihat memandang kartu perusahaan kita dengan cara yang begitu aneh. Kalau aku boleh bertanya, kenapa?"

"Ah, tidak apa-apa! Cuma ini - ketiga tanda tanya ini," kata Bob, "maunya untuk apa?"

"Sudah kutunggu pertanyaanmu itu," kata Pete, "Kata Jupe, kau pasti akan bertanya, Semua orang akan menanyakannya,"

"Tanda tanya merupakan tanda yang dikenal di mana-mana dan melambangkan sesuatu yang tidak diketahui," kata Jupiter dengan lagak sok tahu, "Kita siap-siaga menyelidiki dan memecahkan setiap teka-teki, misteri atau hal-hal membingungkan, yang diajukan siapa saja pada kita. Karenanya tanda tanya menjadi lambang usaha kita. Tiga tanda tanya yang bergabung, akan selalu berarti Trio Detektif."

Bob menyangka Jupiter sudah selesai dengan penjelasannya. Sesaat ia lupa macam apa temannya itu. Jupiter sebenarnya baru mulai.

"Tambahan pula, tanda tanya akan merangsang minat," sambungnya. "Ketiga tanda tanya itu akan menyebabkan orang bertanya apa artinya. Persis seperti yang baru saja kaulakukan! Dengan bantuan tanda tanya itu, orang akan ingat pada kita. Itu berarti publisitas! Setiap usaha memerlukan publisitas, supaya bisa menarik calon langganan."

"Hebat," kata Bob. Dikembalikannya kartu yang dipegangnya ke tumpukan kartu yang telah selesai dicetak oleh Pete. "Sekarang kita sudah punya perusahaan. Tinggal kasusnya saja yang harus datang, untuk diselidiki:'

Pete menatap Bob dengan sikap gagah,

"Bob," katanya, "kasus itu sudah ada!"

"Maaf, perlu kubetulkan," sela Jupiter, ia meluruskan sikap sambil merapatkan geraham. Kalau ia sudah begitu, tampangnya yang biasanya seperti bulan purnama karena bundarnya, langsung nampak lebih lonjong. Ia langsung kelihatan lebih dewasa. Jupiter bisa menimbulkan kesan agak gendut, apabila sikapnya tidak ditegakkan.

"Sayangnya, masih ada satu rintangan kecil," sambungnya. "Memang sudah ada satu kasus, yang rasanya bisa kita pecahkan dengan mudah. Tapi kita belum menerima order untuk menanganinya."

"Kasus apa itu?" tanya Bob bersemangat.

"Kau tahu kan, siapa Mr. Hitchcock?" tanya Pete. "Nah, Mr. Alfred Hitchcock saat ini sedang mencari sebuah rumah, yang benar-benar ada hantunya. "Ayahku yang mendengar kabar itu, di studio." Ayah

Pete, Mr. Crenshaw, ahli 'special-effects'. Ini istilah film, televisi dan radio, Seorang ahli 'special-effects', tugasnya membuat tiruan kejadian-kejadian alam dan fantasi dalam studio, Misalnya saja membuat hujan, kilat, derap kaki kuda dan lain-lainnya. Tentu juga menciptakan bayangan hantu! Mr. Crenshaw bekerja di salah satu studio film di Hollywood, beberapa mil dari Rocky Beach.

"Rumah berhantu?" tanya Bob dengan kening berkerut. "Bagaimana. caranya memecahkan rumah berhantu?"

"Bukan rumahnya yang kita pecahkan," kata Jupiter dengan nada agak kesal. "Rumah itu kita selidiki, apakah benar-benar berhantu atau tidak. Publisitas kasus itu akan menyebabkan nama kita dikenal orang, sehingga Trio Detektif setelah itu bisa mulai berkembang:'

"Cuma Mr. Hitchcock tidak menyuruh kita menyelidiki rumah berhantu untuk keperluannya itu," kata Bob. "Dan itu yang kausebut rintangan kecil?"

"Kita harus mendesaknya agar menugaskan kita," kata Jupiter, "Itu langkah berikut."

­"Ya, tentu saja," kata Bob dengan nada menyindir. "Kurasa menurutmu kita langsung saja memasuki ruangan kantor salah seorang sutradara yang paling termasyhur, lalu mengatakan padanya, 'Anda memanggil kami, Sir?'"

"Perinciannya agak meleset, tapi gagasannya kurang lebih begitulah," kata Jupiter. "Aku sudah menelepon Mr. Hitchcock, untuk bertemu dengan dia."

"Kau meneleponnya?" tanya Pete. Ia melongo, persis seperti Bob, "Dan dia bilang mau ketemu dengan kita?"

"Tidak," kata Jupiter mengaku. "Sekretarisnya tidak memberi kesempatan padaku untuk bicara sendiri dengan dia,"

"Bisa kubayangkan," kata Pete.

"Sekretaris itu bahkan mengatakan, jika kita berani mendekati Mr. Hitchcock, ia akan memanggil polisi supaya kita ditahan," sambung Jupiter.

"Ternyata musim panas ini sekretaris Mr. Hitchcock sedang cuti. Penggantinya untuk sementara seorang gadis yang pernah bersekolah di Rocky Beach sini. Ia beberapa kelas lebih tinggi dari kita. Tapi kalian pasti masih ingat pada dia, Namanya Henrietta Laron."

"Henrietta yang sok mengatur itu!" seru Pete. "Tentu .saja aku ingat padanya!"

"Ya, ya - aku juga ingat, ia dulu suka membantu-bantu guru, dan menyuruh-nyuruh anak-anak yang lebih kecil dari dia," kata Bob.

"Wah, kalau Henrietta Larson sekarang menjadi sekretaris Mr. Hitchcock, sudahlah - kita lupakan saja rencana itu! Biar tiga harimau pun, takkan mampu lewat kalau Henrietta yang menghalangi."

"Justru rintangan yang membuat hidup ini menarik," kata Jupiter. "Besok pagi kita semua berangkat dengan mobil baru kita ke Hollywood, untuk mengunjungi Mr. Hitchcock."

"Dan memberi kesempatan pada Henrietta untuk memanggil polisi supaya kita ditahan?" teriak Bob, "Aku tidak mau! Lagi pula, aku besok sibuk sehari penuh di perpustakaan."

"Kalau begitu aku dan Pete saja yang pergi. Nanti akan kutelepon perusahaan penyewaan mobil, untuk mengatakan bahwa mobil yang kumenangkan akan mulai kupakai besok pagi, jam sepuluh. Dan kau, Bob," kata Jupiter menambahkan, "karena kau toh akan terus berada di perpustakaan besok, coba kaucari keterangan mengenai ini dalam kumpulan surat kabar dan majalah-majalah tua."

Jupiter menuliskan dua patah kata di balik salah satu kartu nama perusahaan mereka, lalu menyodorkan kartu itu pada Bob. Bob membacanya, lalu menelan ludah beberapa kali. Matanya menatap kedua patah kata itu. ‘Terror Castle', Puri Kengerian, atau lebih enak kalau dikatakan: Puri Setan!

"Baiklah, Jupe - kalau kau menugaskan begitu," katanya.

"Trio Detektif mulai beraksi," kata Jupiter. Tampangnya kelihatan puas. "Jangan lupa, kalian harus selalu mengantongi beberapa lembar kartu perusahaan kita, sebagai tanda pengenal. Dan besok semua harus menunaikan tugas, biar apa pun tugas itu!"



Bab 2 WAWANCARA PENTING

­Keesokan paginya, Jupiter dan Pete sudah menunggu-nunggu di depan gerbang besi yang besar dari tempat pengumpulan barang-barang bekas, jauh sebelum. saat mobil Rolls-Royce direncanakan akan tiba di situ, Keduanya memakai pakaian mereka yang terbaik. Setelan necis dengan kemeja putih serta dasi. Rambut dibasahi dan disisir rapi. Muka mereka yang coklat terbakar sinar matahari, pagi itu nampak bersih berkilat-kilat karena digosok bersih-bersih dengan sabun. Bahkan kuku tangan mereka pun berkilauan karena disikat.

Tapi ketika mobil besar yang ditunggu-tunggu akhirnya datang, ternyata kilauannya mengalahkan mereka. Mobil itu Rolls-Royce model antik, dengan lampu sorot depan sebesar gendang serta kap yang panjang sekali. Karoserinya berbentuk persegi empat, mirip kotak Tapi semua bagian tambahan - termasuk pegangan pintu dan bumper - berlapis emas, berkilau-kilauan kena cahaya matahari. Karoseri yang dicat hitam nampak begitu mengkilat, mirip cermin licinnya.

"Astaga," bisik Pete dengan kagum, ketika mobil itu meluncur ke arah mereka. "Kelihatannya kayak mobil yang biasa dipakai miliarder berumur seratus sepuluh tahun!"

"Rolls-Royce itu mobil termahal di Dunia," kata Jupiter. "Dan yang ini spesial dibuat atas pesanan seorang Arab raja minyak yang tinggi seleranya. Sekarang dipakai oleh perusahaan penyewaan mobil untuk keperluan reklame."

Mobil itu berhenti di dekat mereka. Dengan tangkas pengemudinya keluar. Orang itu langsing dan jangkung, Tingginya lebih dari satu meter delapan puluh.. Mukanya lonjong, nampaknya ramah. Ia membuka topi seragamnya, lalu menyapa Jupiter.

"Master Jones?" katanya dengan logat Inggris yang kentara sekali. "Saya Worthington, supir Anda."

"Ah - eh, apa kabar. Mr. Worthington," kata Jupiter agak tergagap. "Harap panggil saya Jupiter saja, seperti biasa,"

"Wah, Sir - Anda harus menyapa saya dengan Worthington saja," kata laki-laki jangkung itu dengan paras agak kikuk. "Kebiasaannya begitu. Dan menurut kebiasaan pula, saya harus menyapa majikan dengan cara agak resmi. Anda sekarang majikan saya, dan saya ingin mempertahankan adat kebiasaan."

"Baiklah - kalau kebiasaannya memang begitu, Worthington," kata Jupiter.

"Terima kasih, Sir. Mulai sekarang saya serta mobil ini tersedia untuk Anda selama tiga puluh hari."

­"Tiga puluh hari, yang masing-masing terdiri dari dua puluh empat jam," kata Jupiter. "Begitulah perumusan hadiah sayembara:'

"Tepat, Sir," Worthington membukakan pintu belakang. "Silakan masuk, Sir"

"Terima kasih." kata Jupiter sambil masuk ke dalam mobil bersama Pete. "Tapi Anda tidak perlu membukakan pintu - kami kan masih muda, jadi bisa membuka pintu sendiri."

"Kalau Anda tidak keberatan, Sir," jawab Worthington, "saya ingin memberikan segala pelayanan seperti yang seharusnya saya lakukan. Sebab kalau tidak, saya khawatir saya akan teledor di masa depan."

"O, begitu." Jupiter merenung sesaat, sementara Worthington mengambil tempat di belakang setir. Lalu Jupiter berkata lagi. "Tapi adakalanya kami harus cepat-cepat masuk atau keluar, Worthington. Mungkin kami tidak sempat menunggu Anda membukakan pintu dulu. Bagaimana jika keluar-masuk sendiri, kecuali pada awal dan akhir perjalanan?"

''Baiklah, Sir." Lewat kaca spion kelihatan bahwa supir orang Inggris itu tersenyum. "Itu penyelesaian yang sangat baik."

"Eh, kami mungkin tidak sebegitu anggun seperti orang-orang yang pernah Anda supiri," kata Jupiter berterus terang. "Dan ada kemungkinan pula kapan-kapan kami harus pergi ke tempat-tempat yang agak aneh .... Barangkali ini bisa membantu menjelaskan maksudku." Jupiter menyodorkan kartu usaha Trio Detektif pada Worthington. Orang itu mempelajari kartu itu dengan serius.

"Saya rasa saya mengerti sekarang, Sir," katanya kemudian, "Dan saya merasa senang menghadapi tugas ini. Asyik, sekali-sekali menjadi supir anak muda yang berjiwa petualang. Tapi petualangan dalam arti kata baik, Sir," katanya buru-buru menambahkan, "Penumpang saya belakangan ini kebanyakan sudah agak tua, dan sangat hati-hati. Ke mana kita sekarang, Sir?"

Pete dan Jupiter senang sekali bergaul dengan supir yang ramah itu.

"Kami ingin pergi ke World Studios, di Hollywood," kata Jupiter. "Kami hendak mengunjungi Mr. Alfred Hitchcock. Saya - anu - saya kemarin sudah meneleponnya."

"Baik, Master Jones."

Sesaat kemudian mobil mewah itu sudah meluncur di jalan yang melintas bukit-bukit, menuju ke Hollywood. Worthington menoleh sebentar, untuk mengatakan, "Masih perlu saya katakan, di mobil ini tersedia pesawat telepon serta minuman untuk keperluan Anda."

''Terima kasih," kata Jupiter. Sikapnya sudah berubah, Bergaya, sesuai dengan sikap penumpang mobil yang begitu. Ia membuka sebuah kotak kecil yang ada di depannya, dan meraih pesawat telepon yang ada di situ. Alat komunikasi itu juga berlapis emas. Tapi tidak diperlengkapi dengan cakram nomor. Yang ada cuma tombol tekan.

"Ini telepon mobil," kata Jupiter pada Pete. Kalau mau bicara, tombol ini harus ditekan lalu minta pada operator agar disambungkan dengan nomor yang hendak kita hubungi. Tapi sekarang kita belum memerlukannya." Dengan agak menyesal, Jupiter mengembalikan pesawat telepon ke tempatnya, lalu duduk dengan santai. Kelihatan bahwa ia sebenarnya kepingin sekali bergaya, menelepon dari mobil.

Perjalanan itu menyenangkan, tapi tanpa ada kejadian apa-apa. Tidak lama kemudian sudah sampai di daerah perkantoran kota Hollywood. Ketika sudah hampir sampai ke tujuan, Pete mulai nampak gelisah.

"Jupe," katanya, "coba kauceritakan, bagaimana kita nanti bisa melewati gerbang studio. Kau kan tahu betul, studio-studio semuanya bertembok tinggi dengan penjaga, yang gunanya untuk mencegah supaya orang-orang seperti kita ini tidak bisa masuk. Kita takkan mungkin bisa menerobos ke dalam."

"Aku sudah punya siasat," kata Jupiter. "Mudah-mudahan saja bisa jalan, karena kelihatannya kita sudah sampai."

Rolls-Royce mewah itu meluncur di jalan yang dipagari tembok tinggi. Tembok itu sangat panjang, tempat dua blok disita semua dengannya. Di atas tembok terpasang papan nama dengan tulisan besar-besar. WORLD STUDIOS. Nampak jelas tembok itu ada di situ untuk satu tujuan saja. Untuk mencegah sembarang orang bisa masuk, seperti kata Pete.

Di bagian tengah tembok ada gerbang besi yang tinggi. Gerbang itu terbuka pintunya, Seorang laki-laki berpakaian seragam duduk dalam sebuah rumah kecil di sampingnya, Worthington membelokkan Rolls-Royce, masuk ke gerbang. Seketika itu juga penjaga yang di situ meloncat bangun.

"He, nanti dulu!" teriak orang itu. "Mau ke mana?"

Worthington menginjak rem.

"Anda punya kartu pas?" tanya penjaga.

"Kami tidak memerlukannya, karena Master Jones sudah menelepon Mr. Hitchcock," jawab Worthington.

Itu memang benar, Jupiter sudah menelepon Mr. Hitchcock, walau tidak dijawab.

"Oh."

­Penjaga gerbang menggaruk-garuk kepala dengan sikap sangsi. Saat itu Jupiter membuka jendela, lalu menjulurkan kepala ke luar.

" My good man," katanya menyapa penjaga gerbang. Pete menoleh dengan kaget, karena tahu-tahu Jupiter berbicara dengan logat asli Inggris. Pete belum pernah mendengar Jupiter berbicara dengan logat yang begitu. Rupanya selama itu ia berlatih secara sembunyi-sembunyi, la mengulangi sapaannya, "My good man, kenapa kita tertahan di sini?"

­"Astaga!" bisik Pete pada dirinya. Ia tahu, semasa kecilnya dulu Jupiter pernah menjadi aktor televisi. Ia pun tahu, Jupiter sangat berbakat dalam meniru gaya orang. Tapi yang ini belum pernah dipamerkannya.

Jupiter menggembungkan pipinya. Bibirnya dikerucutkan sedikit ke depan, sementara ia memandang penjaga itu dengan hidung agak terangkat. Saat itu Jupiter mirip sekali tampangnya dengan Alfred Hitchcock. Tentu saja Hitchcock yang masih muda dan agak kurang ajar, tapi walau begitu kemiripannya sangat menyolok.

"Anu - saya perlu tahu, siapa yang hendak mengunjungi Mr. Hitchcock," kata penjaga dengan gugup,

"Begitu," Sekali lagi Jupiter menatap dengan sikap angkuh, "Kurasa aku perlu menelepon pamanku."

Diambilnya pesawat telepon yang berlapis emas. Tombol penghubung ditekan, lalu ia meminta agar disambungkan pada nomor yang disebutkan olehnya. Jupiter menyebutkan nomor telepon di "Jones Salvage Yard". Ia memang benar-benar menelepon pamannya.

Penjaga gerbang melihat sekali lagi mobil mewah itu, Dilihatnya Jupiter memegang gagang telepon berlapis emas.

"Ah - tuan masuk sajalah," katanya dengan cepat. "Nanti saya teleponkan bahwa Anda dalam perjalanan,"

­"Terima kasih," kata Jupiter. "Kita terus, Worthington."

Mobil bergerak lagi. Jupiter duduk lagi dengan santai, sementara kendaraan yang ditumpangi membelok masuk ke suatu jalan kecil. Di kiri kanan jalan terbentang halaman rumput hijau dipagari pohon palem. Nampak rumah kecil-kecil tapi indah berjejer-jejer di situ. Lebih jauh lagi nampak atap melengkung dari studio-studio besar tempat membuat film dan rekaman televisi. Sejumlah pemain dengan kostum beraneka ragam berduyun-duyun ke arah salah satu studio itu.

Walau mereka kini sudah berada di dalam kompleks studio, Pete masih tetap belum membayangkan bagaimana rencana kawannya agar bisa ketemu dengan Mr. Hitchcock. Tapi ia tidak sempat lama gelisah, karena Worthington sudah menghentikan mobil di depan sebuah rumah besar. Seperti kebiasaannya di berbagai studio film, masing-masing sutradara diberi tempat tersendiri, di mana mereka bisa bekerja tanpa diganggu orang lain. Di depan rumah itu terpasang papan dengan tulisan rapi: ALFRED HITCHCOCK.

"Tunggu kami di sini, Worthington," kata Jupiter pada supir itu, yang bergegas membukakan pintu, "Aku belum tahu akan berapa lama kami di sini."

"Baik, Sir."

Jupiter berjalan mendului, menaiki jenjang yang cuma satu, melewati pintu dan masuk ke ruang penerimaan tamu yang sejuk karena ada alat pengatur hawa di situ. Seorang gadis berambut pirang duduk di belakang meja. Ia baru saja meletakkan gagang telepon kembali ke tempatnya. Pete semula tidak mengenali Henrietta Larson yang sudah dewasa. Tapi ia langsung ingat lagi, begitu gadis itu membuka mulut.

"Jadi ternyata kau berhasil juga masuk!" tukas Henrietta, ia menatap Jupiter Jones, sambil bercekak pinggang. "Kau pura-pura keponakan Mr. Hitchcock, ya! Nah, kita lihat saja sekarang, betapa cepatnya polisi studio menyingkirkan dirimu dari sini!"

Pete sudah lesu saja melihat gadis itu meraih gagang telepon lagi. Tapi Jupiter tidak secepat itu gentar.

''Tunggu!'' katanya.

"Tunggu apa lagi?" tanya Henrietta sambil mencibir. "Kau masuk ke mari karena menipu penjaga gerbang, mengaku keponakan Mr. Hitchcock -"

"Itu tidak benar," Pete merasa perlu membela teman, "Penjaga itu yang keliru menarik kesimpulan."

"Kau jangan ikut campur:" kata Henrietta memperingatkan Pete. "Jupiter Jones ini pengganggu ketenteraman umum, dan aku bermaksud menyingkirkannya dari sini."

Sekali lagi Henrietta siap untuk berbicara lewat telepon, Dan sekali lagi Jupiter Jones membuka mulut.

­"Tidak baik jika tergesa-gesa bertindak, Miss Larson," katanya. Pete kaget, karena Jupiter kembali berbicara dengan logat Inggris yang tadi. Dan sesaat tampangnya juga berubah, nampak seperti yang tadi menyebabkan penjaga gerbang terkesan, ia nampak mirip Alfred Hitchcock yang masih muda belia.

"Saya rasa Mr. Hitchcock pasti berminat untuk melihat peragaan bakat akting saya," kata Jupiter. Gagang telepon terlepas dari pegangan Henrietta, gadis itu mendongak dengan cepat.

"Kau -" katanya terbata-bata, seakan-akan kehabisan perkataan, Tampangnya nampak berrtambah galak. "Ya, Jupiter Jones, aku yakin Mr. Hitchcock ingin melihat peragaanmu itu."

"Ehem! Miss Larson -"

Jupiter dan Pete berpaling dengan cepat, mendengar suara itu yang datangnya dari belakang mereka. Bahkan Henrietta pun kelihatan kaget. Mereka menatap Alfred Hitchcock yang berdiri di ambang pintu kantor.

"Ada apa, Miss Larson?" tanya Mr. Hitchcock, "Dari tadi saya menekan bel, memanggil Anda."

"Ini - pemuda ini punya sesuatu, yang menurutnya pasti menarik minat Anda," kata Henrietta Larson.

"Maaf, hari ini saya tidak bisa. menerima siapa-siapa," jawab Mr. Hitchcock. "Suruh dia pergi."

"Saya yakin Anda pasti mau melihat ini, Mr. Hitchcock." kata Henrietta mendesak. Ada sesuatu
dalam nada suara gadis itu yang menimbulkan perasaan tidak enak, pada diri Pete. Dan Mr. Hitchcock juga menangkap nada itu rupanya, karena ia memandang Pete dan Jupiter dengan heran, Kemudian ia mengangkat bahu.

"Baiklah. Kalian ikut aku."

Sambil berkata begitu ia berpaling, lalu menuju ke sebuah meja kerja yang lebar sekali. Kalau dibilang sebesar lapangan tenis, rasanya tidak terlalu berlebih-lebihan! Sesampai di situ, ia lantas duduk di sebuah kursi putar. Jupiter dan Pete tegak di depannya, sementara Henrietta menutup pintu.

"Nah - sekarang apa yang harus kulihat? Aku cuma bisa memberikan waktu lima menit," kata Mr. Hitchcock,

"Ini yang hendak saya perlihatkan pada Anda. Sir," kata Jupiter dengan sopan, sambil menyodorkan selembar kartu nama Trio Detektif.

Saat itu Pete baru sadar bahwa Jupiter sedang melaksanakan rencana aksi yang sudah disiapkan olehnya. Dan kelihatannya siasat itu kena. ,Mr. Hitchcock menerima kartu yang disodorkan, lalu mengamat-amatinya,

"Hmm, jadi kalian ini penyelidik rupanya," kata sutradara tenar itu, "Kalau aku boleh bertanya, apa artinya ketiga tanda tanya ini? Apakah artinya kalian menyangsikan kemampuan kalian sendiri?"

"Bukan begitu, Sir," jawab Jupiter. "Itu tanda pengenal kami, dan merupakan lambang pertanyaan yang perlu dijawab, serta misteri yang harus dipecahkan. Kecuali itu juga untuk menimbulkan keinginan tahu, sehingga orang-orang ingat pada kami."

"Ah, begitu." Mr. Hitchcock mendehem. "Kalian gemar publisitas."

"Usaha takkan bisa maju, jika tidak dikenal orang," kata Jupiter menerangkan pertimbangannya.

"Ucapan yang tidak bisa dibantah," kata Mr. Hitchcock sependapat. "Tapi bicara tentang usaha, kau belum menyebutkan kalian mau apa kemari."

"Kami ingin mencarikan rumah berhantu bagi Anda, Sir."

"Rumah hantu?" Alis Alfred Hitchcock terangkat ke atas, menunjukkan keheranannya. "Apa yang menyebabkan kau mengira aku mencari rumah hantu?"

"Kalau tidak salah, Anda memerlukan sebuah rumah yang benar-benar ada hantunya, untuk dipakai sebagai lokasi dalam film tegang yang hendak Anda buat, Sir," kata Jupiter. "Dan Trio Detektif ingin membantu mencarikannya untuk Anda."

­Alfred Hitchcock terkekeh pelan.

"Saat ini dua orangku sedang mencari-cari tempat yang cocok untuk keperluan itu," katanya kemudian, "Seorang mencari di timur, tepatnya di kota Salem, Massachusetts, Dan seorang lagi di Charleston, South Carolina. Kedua tempat itu banyak tempat angkernya. Besok kedua orang itu akan pergi ke Boston dan New Orleans. Aku yakin salah seorang dari mereka pasti akan berhasil mencarikan lokasi yang cocok bagiku."

"Tapi jika kami bisa menemukan rumah yang cocok di sini, Sir, di California, bagi Anda akan lebih mudah," kata Jupiter,

"Wah, sayang, tapi aku tidak bisa menerima tawaran itu, Nak," kata Mr. Hitchcock.

"Kami tidak meminta pembayaran untuk itu, Sir," kata Jupiter lagi. "Tapi detektif-detektif yang kenamaan, semuanya ada orang yang menuliskan kisah pengalaman mereka. Sherlock Holmes, Ellery Queen, Hercule Poirot - semuanya, Sir! Saya menarik kesimpulan, itulah sebabnya mereka bisa menjadi terkenal. Jadi agar para calon nasabah bisa tahu tentang Trio Detektif, semua kasus kami akan dijadikan cerita oleh ayah patner kami yang satu lagi, Bob Andrews. Ia bekerja di salah satu surat kabar."

"Lalu?" Alfred Hitchcock melirik arlojinya,

"Begini, Mr. Hitchcock - menurut saya, jika Anda bersedia menulis kata pengantar untuk kisah kasus kami yang pertama -"

"Tidak bisa! Nanti pada saat kalian ke luar, tolong katakan pada Miss Larson agar datang."

"Baik, Sir." Dengan tampang lesu, Jupiter berpaling lalu menuju ke pintu, diikuti oleh Pete.

Tapi sebelum sampai di pintu, Alfred Hitchcock memanggil.

"Nanti dulu."

"Ya, Sir?"

Keduanya berpaling, Mr. Hitchcock menatap keduanya dengan kening berkerut.

­"Tiba-tiba aku teringat lagi, kalian belum lengkap menjelaskan keperluan kalian kemari. Apa tepatnya yang kata Miss Larson tadi pasti perlu kulihat? Sudah jelas bukan kartu nama perusahaan kalian."

"Begini, Sir," kata Jupiter segan-segan, "saya bisa menirukan bermacam-macam orang dan ia berpendapat Anda tentu ingin melihat saya menirukan Anda sebagai remaja."

"Menirukan diriku semasa remaja dulu?" Suara sutradara tenar itu memberat. Air mukanya menjadi suram, "Apa tepatnya yang kaumaksudkan?"

"Ini, Sir." Sekali lagi muka Jupiter seakan-akan berubah. Suaranya memberat dan bicaranya berlogat Inggris,ia sudah menjelma menjadi orang lain.

''Terpikir olehku," katanya dengan nada suara yang sudah berubah itu, "pada suatu ketika nanti Anda mungkin memerlukan seseorang yang memainkan diri Anda semasa remaja untuk salah satu film, dan jika begitu -"

Kening Mr. Hitchcock berkerut. Tampangnya masam,

"Jelek! Hentikan dengan segera!" tukasnya,

Tampang Jupiter kembali ke aslinya lagi, "Menurut Anda, tidak mirip?" tanyanya. "Maksud saya, mirip Anda sewaktu remaja dulu?"

"Sudah jelas tidak! Aku dulu remaja biasa yang baik-baik, sama sekali tidak seperti karikatur kasar yang baru saja kautampilkan!"

­"Kalau begitu saya harus lebih banyak berlatih lagi," kata Jupiter sambil mengeluh. "Menurut kawan-kawan, yang tadi itu bagus sekali."

"Aku tidak mau kau meniru-nirukan diriku!" bentak Alfred Hitchcock, "Aku sama sekali tidak mau kautirukan! Jika kau berjanji takkan pernah melakukannya lagi, aku...hhh, sialan, sialan!...aku akan menuliskan kata pengantar kisah apa pun yang ditulis mengenai kasus kalian!"

"Terima kasih, Mr. Hitchcock!" kata Jupiter "Jadi Anda mengehendaki kami menyelidiki rumah-rumah hantu untuk Anda?"

"Ya, ya, ya, - carilah, kalau kalian begitu kepingin! Tapi aku tidak berjanji akan memakainya, juga apabila kalian nanti berhasil. Sekarang keluar, sebelum aku kehilangan kesabaranku, Aku tidak senang melihat remaja seperti dirimu. Kau ini terlalu banyak akal, Anak muda!"

Jupiter dan Pete bergegas ke luar meninggalkan Alfred Hitchcock yang tetap duduk sambil merenung.

Bab 3 DATA TENTANG TERROR CASTLE

­Bob Andrews mendorong sepedanya menghampiri Gerbang Hijau Satu. Napasnya terengah-engah. Saat itu sudah agak sore. Sialan, kenapa harus pada saat begitu bannya bocor, umpatnya dalam hati.

Bob mendorong sepedanya masuk ke dalam pekarangan tempat penimbunan barang bekas itu. Di kejauhan terdengar suara Mrs. Jones berbicara dengan lantang. Rupanya ia sedang mengawasi pekerjaan Hans dan Konrad, kedua pembantu suaminya,

Jupiter dan Pete tidak ada di bengkel. Tapi itu udah diduga oleh Bob. Ia pergi ke belakang mesin cetak. Di situ digeserkannya oleh sepotong kisi-kisi besi yang sudah tua, yang kelihatannya seperti kebetulan saja disandarkan pada kaki sebuah meja bubut. Di belakang kisi-kisi itu ada pipa seng yang besar dan panjang, Bob menyusup masuk ke dalam pipa itu, lalu mengembalikan kisi-kisi tadi ke tempat semula, Setelah itu ia merangkak-rangkak secepat dimungkinkan kakinya yang cedera menyusur dalam pipa. Jalan yang dilaluinya itu "Terowongan Dua", salah satu jalan rahasia untuk masuk ke "Markas Besar". Jalan itu berujung pada sebuah panel dari kayu. Bob mendorong panel itu ke atas. Ia sudah sampai dalam Markas Besar.

Yang disebut Markas Besar itu sebetulnya sebuah karavan yang panjangnya sepuluh meter. Titus Jones membelinya tahun sebelumnya dalam keadaan rusak berat karena kecelakaan. Kemudian ternyata karavan itu tidak bisa dijual olehnya, karena karoserinya penyok-penyok. Karenanya ia mengizinkan Jupiter memakainya, untuk dijadikan kantor.

Sejak itu sudah banyak sekali berbagai jenis barang bekas yang ditumpukkan oleh ketiga remaja itu di luarnya, dengan bantuan Hans dan Konrad. Kini karavan itu sudah tidak kelihatan lagi, karena tersembunyi di balik tumpukan batang baja, sepotong tangga besi begitu pula kayu dan bahan lain yang bertumpuk-tumpuk.

Mr. Jones rupa-rupanya sudah tidak ingat lagi pada karavan itu. Dan hanya Jupiter, Pete dan Bob saja yang tahu bahwa karavan yang tersembunyi dengan baik itu kini sudah menjadi sebuah kantor yang serba lengkap, dengan laboratorium kecil serta kamar gelap, begitu pula berbagai jalan masuk yang tersembunyi.

Ketika Bob muncul dari pipa seng, Jupiter sedang duduk di sebuah kursi putar bekas yang sudah diperbaiki, di belakang meja yang ujungnya hangus karena terbakar. Semua peralatan yang ada di Markas Besar merupakan barang bekas yang telah diperbaiki sehingga bisa dipakai kembali. Pete Crenshaw duduk menghadapi Jupiter di seberang meja.

"Kau agak lambat datang," kata Jupiter, seolah-olah Bob sendiri tidak menyadarinya.

"Banku tiba-tiba kempes." Napas Bob masih terengah-engah. "Tertusuk paku besar, ketika baru saja keluar dari perpustakaan."

"Ada yang berhasil kautemukan?"

"Tentu saja! Aku bahkan terlalu banyak menemukan data tentang rumah berhantu itu. Namanya Terror Castle!"

"Terror Castle!" seru Pete, la bergidik, "Tak enak rasanya mendengar namanya."

"Tunggu dulu," potong Bob, "kau sama sekali belum mendengar tentang keluarga yang terdiri dari lima orang, yang pernah mencoba tidur di sana semalam, Sejak saat itu mereka tidak -"

"Mulai dari awal," pinta Jupiter. "Sebutkan fakta-faktanya secara berurutan."

"Oke".

­Bob membuka sebuah sampul besar berwarna coklat yang dibawanya. "Tapi sebelumnya perlu kuceritakan, Skinny Morris sepanjang pagi tadi tidak bosan-bosannya mondar-mandir di belakangku, berusaha mengintip apa yang sedang kulakukan waktu itu."

"Mudah-mudahan kau tidak memberi kesempatan pada si konyol itu untuk mengetahui apa pun juga," tukas Pete. "Dia itu, selalu saja mau tahu apa yang kita lakukan."

­"Sudah jelas aku tak mengatakan apa-apa padanya. Tapi anak itu ngototnya ampunan! Ketika aku tiba di perpustakaan, ia mencegat aku karena ingin menanyakan tentang mobil yang dimenangkan hak pemakaiannya selama tiga puluh hari oleh Jupe. Ia menanyakan pendapatku, apa yang hendak kaulakukan dengannya, Jupe."

"Ah, Skinny kan cuma kesal, karena ingin menjadi satu-satunya di sekolah yang punya mobil." kata Jupiter. "Coba ayahnya tidak terdaftar sebagai penduduk negara bagian yang sudah mau memberikan surat izin mengemudi pada anak-anak yang masih ingusan, Skinny takkan bisa menyupir mobilnya sendiri - jadi sama saja kayak kita semua! Mulai sekarang ia tidak bisa sok aksi lagi terhadap kita."

"Pokoknya selama aku tadi sibuk di perpustakaan, ia terus saja memperhatikan aku mengambil segala majalah dan koran tua yang kuperlukan guna mengumpulkan informasi bagimu, Jupe," kata Bob dengan kening berkerut. "aku tidak memberi kesempatan padanya untuk ikut melihat apa yang sedang kubaca, tapi -"

"Ya?" desak Jupiter, Penyelidik Pertama.

"Kau masih ingat kan, kartu perusahaan kita yang kautulisi perkataan 'Terror Castle', ketika kau menyuruhku menyelidiki segala-galanya yang bisa kuketahui tentang tempat itu?"

"Lalu kau menggeletakkan kartu itu sementara kau sedang sibuk meneliti daftar majalah dan koran, dan kemudian tidak bisa menemukannya kembali," kata Jupiter.

Mata Bob terkejap beberapa kali,

"Dari mana kau tahu?" tanyanya heran,

"Kalau kartu itu tidak hilang, kau takkan menyinggung-nyinggungnya," kata Jupiter. "Dan tempat paling wajar di mana kau bisa kehilangan kartu itu, tentunya di perpustakaan, sewaktu kau sedang menilik kartu daftar majalah."

"Ya, memang begitulah kejadiannya," kata Bob. "Kurasa aku pasti meninggalkannya di atas meja waktu itu. Aku tidak yakin apakah Skinny Norris yang mengambil, tapi sewaktu ia pergi kemudian, cengirannya mencurigakan!"

"Saat ini kita tidak punya waktu dengan Skinny Norris, karena ada urusan lain yang penting," kata Jupiter, "Ceritakan apa saja yang berhasil kauselidiki."

"Beres." Bob mengeluarkan sejumlah kertas dari sampul yang dibawanya.

"Pertama-tama, Terror Castle terletak dalam sebuah ngarai kecil yang sempit di atas Hollywood, di Black Canyon," katanya, "Nama sebenarnya Terrill's Castle, karena yang membangun seorang bintang film bernama Stephen Terrill. Semasa film bisu, ia bintang yang terkenal sekali. Ia biasa main dalam film-film seram, tentang hantu pengisap darah, jadi-jadian dan sebangsanya, Rumahnya dibangun seperti puri angker yang pernah dibangun sebagai lokasi salah satu filmnya. Puri itu diisinya penuh dengan pakaian zirah kuno, peti-peti mumi dari Mesir serta macam-macam lagi barang menyeramkan yang pernah dipakai dalam berbagai film di mana ia main sebagal peran utama. "

"Hmm, menarik," sela Jupiter.

"Tergantung dari apa yang menarik," kata Pete, "Lalu apa yang kemudian terjadi dengan Stephen Terrill?"

"Aku justru hendak menceritakannya sekarang," kata Bob. "Stephen Terrill dulu tersohor dengan julukan 'Manusia dengan Sejuta Wajah'. Tapi kemudian film bicara tercipta. Dan ketahuan, Terrill suaranya tinggi dan cempreng. Kecuali itu lidahnya juga pelat."

"Hebat!" sela Pete. "Tokoh hantu yang mendesis-desis kalau bicara dengan suara tinggi. Para penonton pasti setengah mati, bukan karena takut - tapi geli!"

"Persis itulah yang terjadi," kata Bob Andrews. "Akhirnya Stephen Terrill patah semangatnya. la berhenti main film. Semua pelayannya diberhentikan. Bahkan sahabat karibnya, seseorang bernama Jonathan Rex, yang juga merangkap sebagai managernya, disuruhnya pergi, Stephen Terrill mengasingkan diri. Surat-surat dan telepon dari teman-teman dibiarkannya tak terbalas. Ia bertapa seorang diri dalam purinya. Lambat laun ia dilupakan orang.

"Nah! Pada suatu hari ditemukan rongsokan mobil di suatu tempat, sekitar dua puluh lima mil di sebelah utara Hollywood. Mobil itu rupanya jatuh dari jalan raya, terbanting ke dasar tebing. Nyaris masuk ke laut."

"Tapi apa hubungannya dengan Stephen Terrill?" sela Pete.

"Berdasarkan penyelidikan polisi terhadap nomor mobil yang mengalami kecelakaan itu, ternyata pemiliknya Terrill," kata Bob menjelaskan. "Mereka tidak berhasil menemukan tubuhnya, tapi itu tidak mengherankan. Mungkin terseret ombak pada saat pasang naik."

"Aduh!" Tampang Pete nampak serius. "Apakah ia sengaja menjatuhkan diri dengan mobilnya ke bawah?"

"Itu tidak bisa diketahui dengan pasti," kata Bob. "Tapi ketika polisi pergi ke Black Canyon untuk memeriksa di sekitar puri, mereka menemukan pintunya terpentang lebar. Tapi tidak ada siapa-siapa di situ. Ketika mereka memeriksa tempat itu, ditemukan surat tertancap di meja di perpustakaan. Pada surat itu tertulis -" Bob melihat catatannya sebentar, "'Walau dunia takkan melihat diriku lagi dalam keadaan hidup, tapi arwahku akan tetap berada di tempat ini. Tempat ini terkutuk untuk selama-lamanya'. Dan surat itu bertanda tangan 'Stephen Terrill'."

"Huhh!" desah Pete, Keringat dingin mulai membasahi keningnya. "Semakin banyak kudengar tentang tempat itu, semakin tidak enak ­aja - perasaanku terhadapnya."

"Malah sebaliknya, makin lama semakin menarik," tukas Jupiter. "Teruskan, Bob."

­"Yah, polisi memeriksa sampai ke segala sudut puri, tapi dari Terrill sama sekali tidak ditemukan jejak selain surat itu. Tapi kemudian ternyata orang itu banyak sekali utangnya pada bank, dengan jaminan rumah. Kemudian bank mengirimkan beberapa orang untuk mengumpulkan milik Terrill yang ada di rumah itu. Tapi entah kenapa - orang-orang itu sendiri juga tidak mengerti - mereka makin lama semakin gelisah, Akhirnya mereka menolak menyelesaikan tugas itu. Kata mereka, mereka mendengar dan melihat beberapa hal yang sangat aneh. Tapi mereka tidak bisa melukiskannya dengan kata-kata. Akhirnya bank berusaha menjual puri dalam keadaannya saat itu beserta seluruh isinya. Tapi tidak bisa ditemukan orang yang mau tinggal di tempat itu, Apalagi membelinya! Semua yang masuk ke situ, setelah beberapa saat menjadi sangat gelisah.

"Seorang agen penjual rumah pernah mencoba menginap di situ semalam, Maksudnya hendak membuktikan bahwa semuanya hanya khayalan semata-mata. Tapi tengah malam ia lari pontang-panting meninggalkan tempat itu. Ia begitu ketakutan, dan lari terus sepanjang ngarai."

Jupiter mendengarkan dengan asyik. Mukanya yang bundar nampak berseri-seri. Tapi Pete berkali-kali meneguk ludah,

"Teruskan laporanmu," kata Jupiter pada Bob, "Ini malah lebih baik dari sangkaanku semula."

"Setelah itu masih ada beberapa orang lagi yang mencoba menginap dalam puri itu," kata Bob. "seorang orang gadis yang ingin menjadi bintang film pernah mencobanya, sebagai reklame untuk dirinya sendiri. Tapi belum lagi tengah malam ia sudah minggat lagi. Giginya gemeletuk ketakutan, sampai nyaris tidak bisa bicara. Ia hanya bisa terputus-putus mengatakan ada bayangan biru dan kabut kengerian."

"Bayangan biru? Kabut kengerian?" Pete menjilat bibirnya yang terasa kering. "Cuma itu saja? Tidak ada penunggang kuda tanpa kepala, atau hantu dengan rantai kemerincing, atau -"

"Kalau kaubiarkan Bob menyelesaikan laporannya, kerja kita akan bisa lebih lancar." tukas Jupiter.

"Kalau untukku, ia sudah selesai," gumam Pete. "Aku tidak mau mendengar kelanjutannya."

Jupiter tidak mengacuhkan kawan yang gagah berani itu,

­"Masih ada lagi, Bob?" tanyanya.

''Yah,'' kata Bob, "cuma kejadian-kejadian sejenis. Misalnya saja keluarga terdiri dari lima orang yang baru datang dari Timur. Bank menawarkan, mereka boleh tinggal di situ selama setahun tanpa membayar sewa, apabila berhasil menyingkirkan hal yang menyeramkan itu. Tapi keluarga itu tak pernah terdengar lagi kabar beritanya. Mereka ,.. yah ,.. mereka langsung lenyap tidak berbekas, pada malam pertama."

"Ada penjelmaan yang terjadi atau tidak?" tanya Jupiter. "Barangkali suara mengerang, berkeluh-kesah, bayangan menakutkan atau sebangsanya?"

­"Tidak, pada mulanya," jawab Bob, "Tapi kemudian banyak! Suara mengerang di kejauhan, kadang-kadang nampak sosok tubuh samar menaiki tangga, dan sekali-sekali suara mendesah. Dari waktu ke waktu terdengar teriakan yang tidak jelas, kedengarannya kayak datang dari bawah puri. Banyak orang yang menceritakan bahwa mereka mendengar bunyi musik aneh dari sebuah orgel yang sudah rusak, di kamar musik, Lalu ada sejumlah orang yang berani bersumpah, mereka melihat sesosok tubuh menyeramkan bermain orgel. Mereka menamakannya Hantu Biru, karena menyerupai gumpalan kabut biru yang bersinar pendar."

"Tentunya segala penjelmaan aneh itu sudah diselidiki," kata Jupiter.

"Memang ada beberapa profesor datang ke situ untuk mengadakan penelitian," kata Bob, setelah memeriksa catatannya sebentar, "Tapi mereka tidak mendengar atau melihat apa-apa. Cuma selama ada di tempat itu, mereka terus-menerus merasa gelisah. Cemas, Lalu setelah para profesor itu pergi, bank putus asa, Menurut pendapat mereka, puri itu takkan bisa dijual. Karenanya jalan ke situ ditutup, dan puri dibiarkan begitu saja,

"Selama lebih dari dua puluh tahun, tak tercatat seorang pun yang tahan berada di tempat itu sepanjang malam. Ada artikel dalam majalah yang menceritakan, dulu kaum gelandangan pernah hendak memanfaatkan puri itu menjadi tempat penginapan, Tapi mereka pun tidak tahan lama-lama di situ. Cerita mereka macam-macam mengenainya, sehingga kini tak ada gelandangan yang berani mendekati tempat itu.

"Tahun-tahun belakangan ini sama sekali tidak ada berita tentang Terror Castle, baik dalam majalah maupun surat kabar," kata Bob Andrews. Tempat itu tetap kosong sampai sekarang. Bank tidak bisa menjualnya, dan tak ada yang pernah ke sana - karena untuk apa?"

"Memang betul," kata Pete, "Aku biar dibayar pun, tidak mau datang ke tempat seram itu."

"Walau begitu, kita akan ke sana - malam ini juga," kata Jupiter. "Kita berdua akan mendatangi Terror Castle dengan membawa kamera dan tape recorder, untuk melihat apakah tempat itu masih ada hantunya atau tidak. Hasil penelitian kita akan kita jadikan dasar penyelidikan yang lebih lengkap. Tapi besar harapanku tempat itu masih tetap ada hantunya. Kalau benar begitu, tempat itu benar-benar cocok bagi Mr. Hitchcock untuk dijadikan lokasi pembuatan film seramnya yang berikut!"





Bab 4 MASUK KE PURI SETAN

­Masih banyak lagi catatan Bob Andrews tentang Terror Castle. Semua dibaca Jupiter dengan teliti. Pete berulang kali mengatakan, biar dipaksa setengah mati pun ia tetap tidak mau pergi ke tempat seram itu. Tapi kenyataannya, ia sudah siap ketika tiba saatnya berangkat ke sana. Ia memakai pakaian yang sudah usang, Di bahunya tersandang alat perekam suara, yang diperolehnya dari seorang teman sekolah, ditukar dengan kumpulan prangkonya.

Bob membawa buku catatan, lengkap dengan pensil, Jupiter menyandang kamera lengkap dengan lampunya. Pete dan Bob mengatakan pada orang tua masing-masing bahwa mereka hendak pesiar ikut Jupiter dengan Rolls-Royce yang dimenangkannya untuk tiga puluh hari Orang tua kedua remaja itu kelihatannya berpendapat, asal Jupiter ada bersama anak mereka pasti semua beres. Kecuali itu mereka juga tahu bahwa di samping itu masih ada pula Worthington, supir mobil mewah itu.

Begitu hari sudah gelap, mobil Rolls-Royce yang besar datang menjemput mereka. Jupiter membawa peta lokasi Black Canyon. Worthington melihat peta itu sebentar.

"Baiklah, Master Jones," katanya singkat, dan mobil itu meluncur pergi. Sementara kendaraan menyusur jalan yang berkelok-kelok di perbukitan. Jupiter memberikan instruksi terakhir pada kedua rekannya.

"Kunjungan ini gunanya untuk mendapat kesan pertama," katanya, "Tapi apabila nanti ada sesuatu yang luar biasa, aku akan memotretnya. Dan kalau terdengar bunyi apa saja, kau harus langsung merekamnya, Pete,"

"Paling-paling yang kedengaran nanti cuma suara gigi gemeletuk ketakutan," kata Pete, sementara Worthington membelokkan mobil, memasuki jalan sempit yang diapit tebing bukit yang curam,

"Kau, Bob," kata Jupiter melanjutkan, "kau menunggu dalam mobil sampai kami kembali."

"Nah - tugas begitu yang kusenangi," kata Bob lega. "Aduh, gelap sekali jalan ini!"

mobil terus menyusur jalan sempit berkelok-kelok, makin lama makin tinggi. Satu rumah pun tidak kelihatan di situ.

"Nama Black Canyon memang cocok untuk tempat ini," kata Pete. "Gelapnya bukan main!"

"Di depan ada halangan rupanya," kata Jupiter.

Jalan sempit itu terhalang tumpukan batu besar dan kecil. Bukit-bukit di daerah situ tidak banyak ditumbuhi rumput. Yang ada cuma semak belukar. Jadi gampang sekali terjadi tanah longsor. Dan
batu-batu yang berjatuhan ke jalan, menimpa palang yang rupanya dipasang di situ sebagai penghalang supaya jangan ada orang lewat.

Worthington menghentikan mobil di tepi jalan.

"Saya rasa kita tidak bisa terus," katanya, "Tapi melihat peta tadi, rasanya ngarai ini sudah hampir berakhir, Cuma beberapa ratus meter lagi di balik tikungan itu,"

"Terima kasih, Worthington. Yuk, Pete - dari sini kita jalan kaki,"

Kedua remaja itu turun dari mobil.

"Sejam lagi kami kembali!" seru Jupiter pada Worthington, yang sementara itu sudah sibuk memutar Rolls-Royce yang besar itu dengan hati-hati,

­***

­"Huh, tempat ini menyeramkan," kata Pete Crenshaw, Suaranya terdengar agak gugup.

Jupiter diam saja. Sambil merunduk di samping Pete, ia mengamat-amati keadaan di depan. Di ujung ngarai gelap dan sempit itu nampak samar bentuk suatu bangunan yang luar biasa, Bentuk menara beratap lancip nampak jelas, dengan latar belakang langit penuh bintang, Tapi yang kelihatan cuma itu saja. Selebihnya, puri yang katanya berhantu itu sama sekali tidak nampak. Bangunan itu terletak di ujung ngarai sempit, dibangun menempel pada tebing.

­"Sebetulnya lebih baik jika kita siang-siang saja ke sini," kata Pete dengan tiba-tiba, "Supaya bisa melihat jalan dengan lebih jelas."

Jupiter menggeleng.

"Kalau siang, di sini tidak pernah terjadi apa-apa," katanya. "Hanya kalau malam saja tempat ini menyeramkan. Orang-orang yang datang ke sini, selalu kalau sudah malam rasanya seperti gila karena ketakutan."

"Kau lupa orang-orang dari bank itu," kata Pete mengingatkan. "Lagipula, aku tidak kepingin menjadi gila karena ketakutan. Sekarang pun rasanya sudah setengah gila."

"Perasaanku juga begitu," kata Jupiter berterus terang, "Rasanya perutku seperti ada yang mengaduk-aduk."

"Kalau begitu lebih baik kita kembali saja," kata Pete dengan perasaan lega. "Untuk malam ini udah cukup banyak yang kita lakukan. Kita harus kembali ke Markas Besar, menyusun rencana selanjutnya."

"Itu sudah kulakukan," kata temannya sambil bangkit. "Rencanaku, malam ini kita tinggal selama sejam dalam Puri Setan."

Sambil berkata begitu ia melangkah maju. Sorotan senternya membantu menerangi jalan di sela-sela batu besar kecil yang berserakan jatuh dari tebing ngarai terjal. Alas jalanan dari beton yang sudah retak-retak penuh dengan batu-batu. Setelah sangsi sesaat, Pete bergegas menyusul.

­"Kalau dari semula aku tahu akan begini jadinya, aku tidak mau menjadi penyelidik," gerutunya,

"Perasaanmu pasti akan lebih senang nanti, jika misteri ini sudah selesai kita selidiki," kata Jupiter padanya, "Bayangkan, betapa hebat reklame ini ini biro penyelidik kita'"

"Tapi bagaimana jika nanti benar-benar berjumpa dengan hantu yang gentayangan di tempat ini - ketemu Hantu Biru, Setan Edan atau entah apa namanya yang menghantui tempat ini?"

"Justru itu yang kuingini," kata Jupiter. Ditepuknya kamera yang tergantung pada bahunya. "Jika berhasil memotretnya, pasti nama kita akan termasyhur!"

"Tapi bagaimana jika kita tertangkap olehnya?" tukas Pete,

"Sssst!'" desis Jupiter. Anak itu berhenti berjalan. Senter pun dipadamkannya dengan segera. Pete tidak berani berkutik sedikit pun. Kini kegelapan menyelubungi kedua remaja itu.

Mereka melihat seseorang - atau sesuatu! – menuruni lereng bukit, menuju ke arah mereka,

Pete cepat-cepat membungkuk. Sementara itu Jupiter bergegas menyiapkan kamera.

Bunyi batu-batu menggelinding tertendang kaki yang melangkah sudah dekat sekali, ketika tiba-tiba kegelapan dipecahkan pancaran lampu kamera yang dipegang Jupiter, Diterangi cahaya silau yang hanya sekejap itu. Pete melihat sepasang mata besar dan merah bergerak dengan cepat - meloncat ke arah mereka. Disusul angin sesuatu yang lewat, jatuh di atas beton jalanan lalu melesat pergi sambil meloncat-loncat. Batu-batu kecil bergulingan, menyentuh kaki kedua remaja itu.

"Aduh! Rupanya cuma kelinci!" kata Jupiter. Dari nada suaranya terdengar bahwa ia kecewa. "Ia takut karena kita!"

"Ia takut?" tukas Pete. "Kaukira perasaanku sekarang ini bagaimana?"

"Itu wajar - apabila syaraf yang sudah tegang menghadapi bunyi misterius dan gerakan mengejut dalam gelap," kata Jupiter. "Yuk, kita terus!" Ditariknya tangan Pete, supaya ikut dengan dia. "Kita tidak perlu berhati-hati lagi sekarang. Nyala lampu kameraku tadi pasti telah membuat hantu waspada - kalau di sini memang benar ada hantu."

"Bagaimana jika kita nyanyi sambil berjalan?" kata Pete, sementara ia berjalan dengan segan-segan di samping temannya. "Kalau nyanyian kita cukup lantang, pasti takkan terdengar hantu itu mengerang dan berkeluh-kesah."

"Kita tidak usah bertindak keterlaluan," kata Jupiter tegas. "Kita ke sini karena memang hendak mendengar segala bunyi, yang katanya selalu mengiringi kemunculan makhluk gaib. Misalnya saja, hantu!"

Pete sebetulnya hendak mengatakan, ia tidak kepingin mendengar segala bunyi itu, Tapi ia diam saja, karena tahu bahwa takkan ada gunanya. Jika Jupiter sudah menghendaki sesuatu, tekatnya pasti sudah bulat. Mencoba membujuknya supaya mengubah pikiran, sulitnya sama seperti mencoba menggeser batu sebesar rumah!

Semakin dekat mereka menghampiri rumah besar yang sudah tua itu, semakin tidak enak saja perasaan melihatnya. Nampak semakin besar, suram. Pokoknya menyeramkan. Pete berusaha mengusir ingatan pada laporan Bob tentang rumah tua itu.

­Setelah agak lama menyusur tembok tinggi yang terbuat dari batu dan di sana-sini sudah runtuh, akhirnya kedua remaja itu memasuki pekarangan sebenarnya dari Terror Castle,

"Kita sudah sampai." kata Jupiter, ia berhenti, lalu mendongak.

Sebuah menara menjulang tinggi. Satu lagi, agak lebih pendek dari yang pertama, kelihatan seakan menatap mereka dengan pandangan masam. Jendela-jendela memberi kesan seolah-olah mata yang buta, menatap langit dan mencerminkan kelipan bintang.

Tiba-tiba ada sesuatu melayang, menyambar dekat kepala mereka. Dengan cepat Pete menunduk.

"Hii - kelelawar!" teriaknya kaget.

"Kelelawar tidak makan manusia," kata Jupitermengingatkan. "Makanannya hanya serangga."

''Tapi siapa tahu, yang ini ingin mencicipi makanan lain? Kenapa kita harus mengambil resiko?"

­Jupiter menuding ke arah gerbang besar dengan daun pintu penuh ukiran yang berada tepat di depan mereka.

"Itu pintunya," katanya. "Sekarang kita tinggal masuk, lewat situ."

"Coba aku bisa membujuk kakiku untuk melakukannya," kata Pete, "Soalnya kakiku ingin kembali ke bawah."

"Kakiku juga begitu," kata Jupiter mengaku. "Tapi kakiku mematuhi perintah otakku, Yuk!"

Jupiter langsung melangkah maju. Pete ikut, karena ia tidak mau membiarkan temannya itu masuk ke Puri Setan seorang diri. Mereka menaiki jenjang yang terbuat dari batu pualam,lalu berjalan di atas teras. Tapi ketika Jupiter sudah mengulurkan tangan untuk meraih tombol pintu, tiba-tiba Pete menyambar lengannya.

"Tunggu!" desisnya. "Kau dengar tidak? Itu - ada suara, seperti musik seram!"

­Keduanya memasang telinga. Sesaat mereka mendapat kesan seperti mendengar beberapa nada aneh. Kedengarannya seperti datang dari tempat yang sangat jauh, Tapi hanya sekejap saja terdengar. Kemudian telinga mereka hanya menangkap suara-suara jangkrik, serta bunyi batu-batu yang sekali-kali jatuh ke ngarai,

"Ah - mungkin cuma ada dalam khayalan kita," kata Jupiter. Padahal, dalam hati ia sama sekali tidak yakin, "Atau mungkin yang kita dengar itu berasal dari pesawat televisi dalam rumah yang mungkin ada di ngarai berikut. Bunyi itu sampai di sini karena terbawa angin, Barangkali begitu!"

"Angin, katamu?" gerutu Pete dengan suara pelan. "Bagaimana kalau tadi itu bunyi orgel, dimainkan Hantu Biru?"

"Kalau benar begitu, kita perlu mendengarnya lebih jelas," kata Jupiter. "Yuk, kita masuk!"

Diraihnya tombol pintu, lalu ditariknya. Pintu terbuka, teriring bunyi berdecit memanjang. Darah Pete terasa seperti membeku dalam jantung, mendengar bunyi itu. Tanpa menunggu sampai seluruh keberanian mereka lenyap sama sekali, kedua remaja itu langsung menuju ke lorong dalam yang panjang dan gelap, sambil menyorotkan cahaya senter ke depan,

Mereka melewati jajaran pintu yang terbuka, melewati berbagai ruangan gelap yang seakan-akan menghembuskan udara pengap ke arah mereka. Akhirnya sampai di sebuah serambi luas, yang langit-langitnya tinggi. Setinggi dua tingkat rumah biasa. Jupiter berhenti.

"Kita sudah sampai," katanya. "Ini serambi utama puri. Kita satu jam di sini, lalu sesudah itu pergi."

"Pergi!"

Telinga mereka menangkap bisikan pelan dan menyeramkan, Bulu tengkuk mereka meremang.





Bab 5 GEMA GAIB

­"Kaudengar itu?" kata Pete sambil meremas lengan Jupiter. "Kita disuruh pergi! Yuk, aku tidak mau menunggu sampai disuruh untuk kedua kalinya." Ia sudah mulai melangkah. hendak lari.

"Tunggu!" kata Jupiter sambil menahan.

"Tunggu!" kata suara gaib itu. Kini terdengar agak nyaring.

"Ya - seperti sudah kukira, itu cuma gema," kata Jupiter, "Kau lihat sendiri, langit-langit ruangan ini tinggi. Dan bentuknya melingkar. Dinding melingkar memantulkan gema dengan sangat baik. Pembangunnya, Mr. Terrill, memang sengaja membangun ruangan ini begini. Ia memberinya nama Serambi atau Bilik Gema,"

­Benar juga, kata-kata Jupiter langsung terpantul dengan cara yang menyeramkan di situ, Tapi untuk apa takut pada gema?

"Ah, aku tadi kan cuma main-main saja," kata Pete pura-pura tak acuh. "Dari semula aku sudah tahu, itu cuma gema. Ia lantas tertawa keras, untuk membuktikan bahwa ia tidak takut. Seketika itu juga suara tertawanya terpantul, seakan-akan dinding tinggi itu sendiri yang tertawa geli. Makin ­lama makin pelan, diakhiri kekehan seperti berbisik, Pete menelan ludah beberapa kali.

"Itu tertawaku?" bisiknya seram.

"Ya, itu suaramu," balas temannya dengan berbisik pula. "Jangan kau ulangi lagi!"

"Jangan khawatir, biar diupah berapa pun takkan kulakukan," bisik Pete.

"Coba ke sini sebentar," kata Jupiter, sambil menariknya agak ke samping. "Sekarang kita bisa bicara dengan aman! Gema hanya terjadi, apabila kita berada di tengah ruangan. Aku tadi hendak menguji, barangkali itu salah satu sumber penjelmaan seram yang diceritakan beberapa orang di masa silam."

"Kenapa kau tidak bilang tadi?" keluh Pete.

"Serambi Gema jelas tertulis dalam catatan laporan Bob," kata Jupiter. "Cuma kau yang kurang teliti membacanya."

"Perhatianku lebih terarah pada cerita tentang keluarga yang datang dari Timur dan menginap di sini semalam, lalu setelah itu tidak pernah lagi terdengar kabar beritanya," kata Pete.

"Bisa saja mereka kembali lagi ke Timur," kata Jupiter, "Tapi memang benar, nampaknya selama paling sedikit dua puluh tahun belakangan ini tidak ada seorang pun yang sanggup bertahan menginap di sini sepanjang malam. Tugas kita sekarang, menyelidiki apa yang menyebabkan orang-orang itu takut. Kalau ternyata memang benar-benar hantu - arwah Stephen Terrill, pemiliknya yang dulu - itu berarti kita berhasil membuat penemuan ilmiah yang sangat penting."

"Kalau bukan hantu, apa lagi?" tukas Pete. Ia menyorotkan senternya berkeliling, menerangi dinding ruangan yang melingkar sekeliling mereka. Di situ ada tangga putar, menuju ke tingkat atas. Tapi Pete sama sekali tidak bermaksud menginjakkan kaki di tangga itu. Di dinding permadani hiasan dinding yang sudah rapuh, dengan bangku-bangku kayu yang berukir di bawahnya. Di beberapa relung yang tidak begitu dalam, dipajang pakaian zirah,

Di dinding tergantung pula sejumlah lukisan berukuran besar. Pete memainkan cahaya senternya, berpindah-pindah dari lukisan yang satu ke lukisan yang berikut. Semua lukisan itu menggambarkan orang yang sama, tapi mengenakan pakaian yang berlainan. Pada satu lukisan ia tampil sebagai bangsawan Inggris. Pada lukisan lain menjelma sebagai laki-laki berpunggung bongkok, Ada pula yang menggambarkannya sebagai manusia aneh dari sirkus, Begitu pula bajak laut bermata satu.

Pete menarik kesimpulan, lukisan-lukisan itu semua menggambarkan Stephen Terrill, bekas pemilik puri itu, dalam berbagai peranannya yang termasyhur semasa film bisu jaman dulu.

"Aku baru saja menilik perasaanku saat ini," kata Jupiter, memotong kesibukan Pete memperhatikan ruangan itu, "ternyata aku tidak merasa takut. Cuma agak tegang."

­"Aku pun begitu juga," kata Pete. "Sejak gema tadi lenyap, tempat ini rasanya seperti rumah tua yang biasa saja."

"Biasanya pengaruh seram Terror Castle mulai terasa beberapa waktu setelah orang masuk ke sini," kata Jupiter sambil merenung. "Pada mulanya. hanya terasa kegelisahan sedikit, tanpa mengetahui penyebabnya, Kegelisahan itu semakin bertambah, makin lama makin menjelma menjadi rasa ngeri yang luar biasa."

Perkataannya hanya setengah-setengah saja terdengar Pete, karena saat itu ia sudah kembali mengarah kan sorotan senternya ke lukisan-lukisan yang terpajang di dinding. Tiba-tiba remaja itu melihat sesuatu yang menggelisahkan, langsung disusul rasa gugup yang luar biasa,

Mata bajak laut yang cuma satu, nampak menatap langsung pada dirinya. Mata bajak laut itu, yang satu tertutup kain hitam. Tapi yang satu lagi - nampak jelas, mata yang satu itu menatap ke arahnya! Mata itu kemerah-merahan. Sementara Pete membalas tatapannya tanpa berkedip, dilihatnya mata itu terkejap sekali.

"Jupe!" Suara Pete serak, nyaris tak terdengar. "Gambar itu - ia memandang kita!" .

"Gambar apa?"

"Itu - yang itu!" Pete menyorotkan senternya ke gambar bajak laut. "Ia memandang kita. Aku melihatnya tadi."

"Ah, cuma kelihatannya saja begitu." kata lemannya, "Lukisan, kalau dibuat dengan mata menatap ke depan, kelihatannya seperti langsung menatap, di mana pun kita sedang berada di depannya,

"Tapi itu bukan mata yang dilukis!" bantah Pete. "Mata sungguhan! Itu gambar yang dilukis, tapi matanya mata asli!"

"Kurasa kau salah lihat," kata Jupiter. "Sudah jelas itu lukisan. Tapi kita periksa saja lebih dekat."

Jupiter menghampiri lukisan itu. Setelah ragu sejenak, Pete membuntuti. Kini keduanya menyorotkan senter mereka ke lukisan itu. Pete melihat sekarang bahwa memang Jupiter yang benar. Mata yang dilihatnya tadi memang lukisan. Kelihatannya seperti hidup - tapi tidak berkilat seperti mata sebenarnya,

"Kurasa aku tadi salah lihat," katanya, "Tapi aku benar-benar merasa seperti melihat mata itu terkedip ... He!" Napasnya tersentak. "Kau Juga merasakannya?"

"Aku tiba-tiba merasa dingin," kata Jupiter heran, "Kita memasuki daerah berhawa dingin. Dalam rumah yang ada hantunya, sering terdapat tempat-tempat begini,"

"Kalau begitu, di sini pasti ada hantu," kata Pete Crenshaw. Giginya mulai gemeletuk. "Aku merasakan hembusan angin dingin, seolah-olah ada barisan hantu melintas di depanku. Lihatlah, bulu romaku merinding, Aku takut! Ya, betul- aku takut!"

Ia masih tegak di situ sesaat, sambil berusaha menahan agar giginya berhenti gemeletuk. Entah dari arah mana, ada hembusan angin dingin ke arahnya, Kemudian dilihatnya kabut tipis mulai bergerak-gerak di udara, seolah-olah ada hantu yang akan menjelma di depannya. Saat itu juga perasaan tidak enak berubah menjadi kegugupan yang luar biasa, dan berlarut menjadi rasa ngeri yang tidak bisa ditahan lagi,

Pete berpaling. Ia sama sekali tidak bermaksud lari. Tapi kakinya sudah melakukannya, tanpa menunggu diperintah lagi. Kedua kakinya membawa dirinya ke luar lewat gerbang besar Terror Castle, menuruni jalan masuk, Pete lari segesit kijang,

Dan Jupiter ikut lari di sampingnya. Baru sekali itu Pete melihat temannya itu begitu cepat melarikan diri.

"Kusangka kakimu hanya menuruti perintah otakmu," seru Pete,

"Memang begitu!" jawab Jupiter. "Dan otakku memerintahkan untuk melarikan diri."

Keduanya terus lari dengan langkah panjang-panjang, Cahaya senter mereka terayun-ayun menerangi jalanan di depan, sementara keduanya meninggalkan Terror Castle yang sunyi dan seram, Meninggalkan rasa ngeri yang serasa melumpuhkan syaraf.





Bab 6 HANTU MENELEPON

­Walau kakinya lebih panjang, tapi Pete merasa sulit mengikuti kecepatan temannya berlari. Jantungnya yang sudah bekerja keras, tiba-tiba seperti berhenti berdetak. Ia mendengar langkah orang lain di belakang mereka!

"Ada orang ...." katanya tersengal-sengal, "ada orang...mengejar...kita!"

Sambil lari, Jupiter masih sempat menggeleng.

"Itu cuma..,gema...langkah kita...pada tembok," katanya terputus-putus,

Tapi menurut Pete, bunyi langkah itu tidak kedengaran seperti gema ­ bahkan sama sekali tidak seperti langkah manusia! Tapi begitu mereka sudah melewati tembok, langkah itu juga lenyap. Ternyata sekali lagi Jupiter benar. Tadi itu cuma bunyi gema.

Tapi sama sekali bukan gema yang menyebabkan Pete tercengkam rasa ngeri yang luar biasa, ketika masih berada dalam serambi bundar di Terror Castle. Itu diketahuinya dengan pasti!

Langkah lari mereka mulai diperlambat, untuk melewati batu-batu besar yang menyebabkan jalar yang dilalui menyempit. Tapi mereka tetap lari ­karena tidak ada alasan untuk berhenti di tempat ini.



­Kini mereka melewati tikungan jalan, Bangunan seram yang besar sudah tidak kelihatan lagi di belakang mereka. Jauh di depan, dalam lembah nampak kelap kelip cahaya lampu-lampu kota Los Angeles, Dan tak sampai seratus meter di depan mereka, masih menunggu mobil Rolls-Royce, dengan Worthington dan Bob di dalamnya.

Pete dan Jupiter berlari-lari kecil, menghampiri mobil. Tahu-tahu terdengar jeritan melengking, jauh di belakang mereka. Bunyinya aneh, diakhiri dengan suara tercekik, seakan-akan yang menjerit pilu - Pete tidak mau membayangkan apa yang terjadi pada yang berteriak itu, sehingga akhirnya kedengaran begitu aneh.

Mereka sampai di samping Rolls-Royce, yang lapisan emasnya berkilauan kena sinar bintang. Pintu dibukakan dari dalam, dan Pete menjatuhkan diri ke jok belakang, di mana Bob sudah duduk. Bob meluruskan sikap Pete, sementara Jupiter bergegas ikut masuk.

"Worthington!" seru Jupiter. "Kita pulang!"

"Baiklah, Master Jones," kata supir jangkung yang selalu sopan itu, lalu menghidupkan mesin mobil. Sesaat kemudian mobil itu sudah meluncur, makin lama makin cepat menyusur tikungan demi tikungan, menuju lembah yang di bawah.

"Apa yang terjadi tadi?" tanya Bob, sementara kedua temannya menghenyakkan diri ke sandaran dengan napas masih tersengal-sengal. "Teriakan apa itu?"

"Kami tidak tahu," jawab Jupiter.

"Aku tidak mau tahu," kata Pete menegaskan. "Dan kalau ada yang tahu, kuharap dia tak mengatakannya padaku, "

"Tapi apa sebetulnya yang terjadi?" tanya Bob lagi. "Kalian berhasil melihat Hantu Biru?"

Jupiter menggeleng,



"Kami sama sekali tidak melihat apa-apa. Tapi walau begitu, ada sesuatu yang menyebabkan kami takut setengah mati."

"Sorry - kalau takut setengah mati, dari semula aku sudah begitu," kata Pete. "Ada sesuatu yang membuat kami takut lebih setengah mati lagi."

"Jadi kalau begitu puri itu betul-betul ada hantunya?" tanya Bob bergairah. "Jadi kisah-kisah selama ini memang benar?"

"Kalau buat aku, itu markas besar perserikatan hantu, momok, dan jadi-jadian dari seluruh Amerika Serikat," kata Pete. Napasnya mulai tenang kembali, sementara mobil besar itu membawa mereka semakin menjauhi tempo menyeramkan itu. "Ke situ kita pasti takkan kembali. Ya, kan?"

Ia menoleh pada Jupiter. Temannya itu duduk menyandar, sambil menekan-nekan bibir bawahnya dengan ibu jari dan telunjuk. Itu merupakan tanda bahwa ia sedang berpikir.

"Kita kan tidak kembali lagi ke situ?" ulang Pete, dengan penuh harap. Tapi Jupiter Jones seolah-olah tidak mendengarnya. Ia diam saja. Matanya menatap ke luar, sementara bibirnya ditekan-tekan terus.

Sesampai mereka di "Jones Salvage Yard", Jupiter mengucapkan terima kasih pada Worthington, sambil mengatakan bahwa lain kali ia akan menelepon lagi apabila memerlukan kendaraan.

"Mudah-mudahan lain kali lebih berhasil Master Jones," kata Worthington. "Saya senang mendapat tugas begini. Lumayan, sebagai selingan tugas biasanya, mengantarkan direktur bank berperut gendut, atau nyonya-nyonya tua yang kaya raya."

Setelah Rolls-Royce itu pergi, Jupiter mengajak kedua temannya masuk. Paman Titus dan Bibi Mathilda sudah kembali ke rumah mereka yang kecil, di sebelah tempat perusahaan. Keduanya nampak dari balik jendela, sedang menonton televisi.

"Sekarang belum begitu malam," kata Jupiter, "ternyata kita lebih cepat kembali daripada rencanaku semula."

"Tapi bagiku masih kurang cepat," kata Pete.

Mukanya masih agak pucat. Muka Jupiter juga pucat. Tapi anak itu kadang-kadang keras kepalanya luar biasa. Dan salah satu yang bisa membuatnya sangat keras kepala, ialah tidak mau mengaku takut.

"Mudah-mudahan kau sempat merekam suara jeritan tadi," katanya sekarang. "Dengan begitu kita bisa mendengarkannya kembali untuk mengenal suara apa itu."

"Kau mengharapkan aku sempat merekamnya?" teriak Pete. "Aku tadi lari! Mana sempat merekam. Atau kau tidak melihat aku lari?"

"Instruksiku, semua bunyi aneh harus direkam," kata Jupiter. "Tapi dalam hal ini, kurasa kau tidak bisa dipersalahkan."

Jupiter mendului masuk lewat "Tiga Gampang" nama Sandi untuk jalan termudah memasuk Markas Besar. Wujudnya pintu besar terbuat dari kayu yang kokoh. Pintu itu masih berbingkai, dan tampaknya seperti tersandar begitu saja pada setumpuk batu granit yang berasal dari sebuah bangunan yang dirobohkan.

Jupiter mengambil sebuah anak kunci yang besar dan sudah berkarat dari peti yang penuh berisi barang tua. Peti itu sama sekali tidak menarik perhatian. Dengan anak kunci itu dibukanya pintu dan sambil merunduk mereka masuk ke dalam.

Kini mereka sampai dalam sebuah ketel tua yang berasal dari mesin uap yang sangat besar. Sambil membungkuk sedikit mereka menuju ke sisi belakang ketel. Di situ mereka menyusup ke dalam sebuah lubang, dan langsung masuk ke Markas Besar. Jupiter langsung menyalakan lampu, lalu duduk di belakang meja.

"Nah - sekarang kita perlu mengusut kembali segala kejadian tadi," katanya. "Pete, apa yang menyebabkan kau tadi lari meninggalkan tempat itu?"

­"Tidak ada," kata Pete, "Aku lari karena kemauanku sendiri."

"Baiklah, kuajukan pertanyaan itu dengan cara lain. Apa yang menyebabkan timbulnya keinginanmu untuk lari ­ari sana?"

"Begini," kata Pete, "Sewaktu masih dalam serambi Gema, aku mula-mula merasa gelisah. Cuma gelisah saja, Tapi setelah beberapa saat di situ, kegelisahanku semakin bertambah. Tiba-tiba perasaanku itu berubah menjadi kengerian yang luar biasa. Dan saat itulah aku lantas merasa ingin lari."

"Hmm." Jupiter memijit-mijit bibir bawahnya. "Pengalamanku persis begitu pula. Mula-mula gelisah. Lalu gugup, yang makin lama makin meenjadi-jadi. Disusul kengerian yang luar biasa, padahal, apalah yang sebetulnya terjadi? Kita mendengar gema lalu terasa hembusan angin dingin -"

"Sedingin es!" kata Pete menambahkan. "Lalu bagaimana dengan lukisan yang menatapku dengan matanya yang berkilat-kilat?"

"Itu mungkin cuma perasaanmu saja," kata Jupiter, "Sebenarnya tidak ada satu pun yang kita mendengar atau lihat di sana, yang benar-benar menakutkan. Walau begitu kita ketakutan pertanyaannya sekarang - apa sebabnya?"

"Apa maksudmu, apa sebabnya?" tanya Pete heran. "Setiap rumah tua yang kosong selalu agak menyeramkan kelihatannya, dan puri itu begitu menyeramkan - hantu pun mungkin takut tinggal di situ!"

"Mungkin itu jawabnya," kata Jupiter. "Kita perlu mendatangi Terror Castle sekali lagi, lalu-"

Lalu telepon berdering.

Ketiga remaja itu menatap benda tersebut tanpa berkutik. Selama itu, pesawat telepon itu belum sekali pun pernah berdering. Baru sekitar satu minggu yang lalu Jupiter memasangnya, ketika mereka mengambil keputusan untuk membuka usaha berupa biro detektif. Menurut rencana mereka, sewanya akan dibayar dengan uang pembayaran yang diterima dari Paman Titus, upah pekerjaan membetulkan barang-barang bekas yang rusak. Telepon itu terdaftar atas nama Jupiter tapi tentu saja namanya belum tertera dalam buku telepon. Selama itu hanya mereka bertiga saja yang tahu bahwa mereka sudah punya telepon.

Tapi, kenyataannya kini pesawat itu berdering-dering!

Dan berdering lagi. Pete meneguk ludah, untuk melenyapkan rasa kagetnya. .

"Jawab dong," katanya serak.

"Memang begitu maksudku," jawab Jupiter, lalu meraih gagang pesawat. "Halo? Halo?"

Didekatkannya pesawat itu ke loudspeaker yang dibuatnya dari bekas-bekas sebuah radio yang tak terpakai lagi. Dengan begitu semua bisa mengikuti pembicaraan. Tapi yang terdengar hanya bunyi mendengung pelan.

­"Halo!" kata Jupiter sekali lagi. Tapi tetap tak ada yang menjawab. Karena itu dikembalikannya gagang pesawat telepon ke tempatnya,

"Mungkin salah sambung," katanya, "Apa yang hendak kukatakan tadi?" O ya -"

Dan telepon berdering lagi.

Tiga pasang mata menatap benda itu, Jupiter meraihnya dengan lambat dan berat, seolah-olah ada yang menahan lengannya.

"Ha-halo?" katanya terbata,

Terdengar lagi dengungan yang tadi. Kedengarannya seperti jauh sekali, di tempat yang sunyi. Kemudian menyusul suara seperti tergagap, seolah-olah yang sedang berbicara itu sudah lama tidak biasa berbicara lagi - tapi ingin sekali mengatakan sesuatu,

"Jangan -" kata suara itu, lalu setelah terdiam sebentar, seperti mengumpulkan tenaga, disambung dengan sepatah kata lagi.

"'- datang," kata suara itu. "Jangan... datang!"

Kalimat itu berakhir dengan desahan panjang. Terdengar lagi dengungan aneh yang tadi,

"Jangan datang ke mana?" tanya Jupiter pada suara itu,

Tapi pesawat telepon tetap membisu. Hanya dengungan saja yang terdengar.

Jupiter mengembalikan pesawat itu ke tempat semula. Lama sekali, tidak seorang pun membuka mulut. Akhirnya Pete bangkit.

­"Aku harus pulang," katanya, "Baru ingat aku sekarang, masih ada tugas yang perlu diselesaikan di rumah."

"Aku juga," kata Bob sambil melompat bangun. "Kita sama-sama pergi."

"Mungkin Bibi Mathilda memerlukan tenagaku," kata,Jupiter. Ia pun ikut berdiri. Ketiga remaja itu nyaris bertubrukan, begitu tergesa-gesa mereka hendak meninggalkan ruangan itu,

Suara yang berbicara tadi belum menyelesaikan kalimatnya, Tapi begitupun mereka sudah bisa menebak, apa sebetulnya yang dimaksudkan.

Jangan datang ke Terror Castle!


Edit by: zheraf
http://www.zheraf.net


Bab 7 TERPERANGKAP

­"Ada suatu problem yang kita hadapi saat ini," kata Jupiter keesokan sorenya. Ia sedang duduk-duduk di Markas Besar, Pete. Saat itu Bob masih sibuk di perpustakaan. Jupiter menghadapi selembar kertas dengan kening berkerut.

"Bukan cuma satu, tapi dua problem yang kita hadapi," tambahnya setelah beberapa saat.

"Bisa kukatakan bagaimana problem kita itu bisa diselesaikan," kata Pete, "Telepon saja Mr. Hitchcock dan katakan padanya, kita berubah pikiran. Kita tidak jadi mencarikan rumah berhantu untuknya. Bilang padanya, setiap kali kita menghampiri rumah itu, bulu roma kita langsung meremang. Kaki kita goyah, lalu lari tanpa menunggu diperintah lagi."

Jupiter berlagak tidak mendengarnya.

"Problem kita yang pertama," katanya. "menyelidiki siapa yang menelepon kemarin malam."

"Bukan siapa," kata Pete, "Apa yang menelepon! Mungkin hantu, momok, setan, jadi-jadian, atau barangkali arwah gentayangan yang biasa saja?"

­"Arwah tidak mungkin bisa menelepon," tukas temannya, "begitu pula hantu, momok, atau jadi-jadian!"

"Itu kan jaman dulu!" kata Pete nekat. "Kenapa mereka tidak mungkin bisa mengikuti perkembangan jaman pula? Pokoknya, suara yang kita dengar kemarin malam itu, rasanya bukan suara manusia bagiku."

Kening Jupiter berkerut, Air mukanya menunjukkan keheranan,

"Memang betul." katanya. "Problem ini menjadi semakin rumit, karena di samping kita sendiri serta Worthington, tidak ada lagi yang tahu bahwa kita sebelumnya mendatangi Terror Castle."

"Kalau manusia memang tidak ada - tapi bagaimana dengan makhluk halus?" tanya Pete,

"Jika Puri Setan itu benar-benar ada hantunya, kita harus berusaha membuktikannya," kata Jupiter. "Kalau kita berhasil, kan nama kita akan menjadi tenar! Kita perlu lebih banyak melakukan penyelidikan tentang diri Stephen Terrill Jika ia yang mengutuk puri itu, maka kemungkinannya arwah dirinyalah yang menghantui tempat itu sekarang. "

"Yah - itu memang masuk akal," kata Pete,

"Jadi tindakan kita yang pertama-tama, mencari seseorang yang mengenal Stephen Terrill ketika ia masih bintang film bisu. Orang itu pasti bisa bercerita lebih banyak mengenai dia."

"Tapi itu kan sudah lama berlalu," kata Pete. "Siapa yang masih bisa kita temukan sekarang?"

­"Kita merasa seperti sudah lama berselang, karena kita masih muda Tapi pasti masih banyak orang di Hollywood yang mengenal Mr. Terrill."

"Ah, masa! Coba sebutkan dua orang."

"Orang yang paling tahu, tentunya manajer Mr. Terrill," kata Jupiter. "Pembisik!"

"Pembisik?" seru Pete kaget. "Nama macam apa itu?"

"Itu julukannya, Nama sebenarnya Jonathan Rex, ini dia fotonya."

Jupiter menyodorkan fotokopi berita koran yang ada fotonya. Bob Andrews yang membuat fotokopi itu, di perpustakaan. Pada foto yang difotokopi nampak seorang laki-laki yang lumayan tingginya, dengan kepala botak serta bekas luka yang menyeramkan di lehernya. Orang itu bersalaman dengan seorang laki-laki yang sedikit lebih pendek, bertampang ramah, berambut coklat serta dengan senyuman yang agak murung kelihatannya. Sedang laki-laki yang lebih tinggi matanya terpicing, Potongannya galak!

"Huh!" seru Pete. "Jadi beginilah aslinya tampang Stephen Terrill! Ia tidak perlu menyamar lagi, begini saja pun tampangnya sudah menakutkan, Siapa tidak ngeri, melihat bekas luka serta tatapan mata kejam itu!"

"Kau keliru Mr. Terrill yang lebih kecil, yang kelihatannya begitu ramah dan lemah lembut."

"Dia itu Mr. Terrill?" tanya Pete kaget. "Dia yang memainkan peran hantu-hantu seram? Laki-laki bertampang ramah itu?"

­"Tampang aslinya biasa saja, tapi ia sanggup menarik air muka yang macam-macam, sesuai dengan peran jahat yang kayak apa pun," kata Jupiter menjelaskan. "Dalam berita itu tertulis apa bila kau belum membacanya -"

"Aku cuma tertarik pada yang ada hantunya saja­­," kata Pete berterus terang.

"Nah, menurut berita itu, dalam kehidupan sehari-hari Stephen Terrill sangat pemalu. Ia hampir tidak pernah bicara dengan orang lain karena lidahnya yang pelat. Karena itu ia mengontrak Pembisik untuk menangani segala urusan bisnis. Manajernya itu sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk menggolkan persyaratan yang diinginkannya."

"Itu bisa kubayangkan'" kata Pete. "Kalau melihat tampangnya, aku tidak heran apabila ia langsung main pisau, jika ada orang berani membantah."

"Kalau kita bisa menemukan dia, kurasa pasti ia akan bisa menceritakan segala hal yang ingin kita ketahui."

"Ya, betul - kalau bisa! Kau punya akal?"

"Pakal buku telepon. Mungkin ia masih tinggal di daerah sini."

Pete berhasil menemukan nama itu.

"Ini dia!" serunya setelah beberapa saat. "Jon­than Rex, Winding Valley Road, nomor sembilan ratus lima belas. Kita menelepon dia sekarang?"

­"Kurasa lebih baik kita datang saja, tanpa menelepon dulu. Tapi kita perlu menelepon mobil untuk menjemput." .

"Memang dasar nasib sedang mujur, memenangkan hak memakai mobil itu," kata Pete, sementara Jupiter sibuk memutar nomor telepon.

"Aku tak tahu bagaimana nanti, jika masa tiga puluh hari sudah lewat."

"Aku sudah punya rencana." kata patnernya. "Tapi itu soal nanti. Sebaiknya kita bilang dulu pada Bibi Mathilda, kita tidak bisa pulang tepat saat makan malam."

Mrs. Jones menyimpankan makan malam untuk mereka. Tapi kemudian ia menggeleng-geleng, ketika melihat mobil Rolls-Royce yang berkilat-kilat memasuki pintu gerbang, ,

"Astaga!" katanya, "Aku bingung, bagaimana seterusnya dengan dirimu, Jupiter. Petantang-petenteng naik mobil bekas raja minyak. Lama-kelamaan kau bisa menjadi manja karenanya. Percayalah kataku!"

Tapi Mrs. Jones tidak mengatakan, apa yang menurut dugaannya menyebabkan Jupiter bisa menjadi manja. Dan keponakannya itu sendiri kelihatannya tidak khawatir membayangkan kemungkinan itu. Dengan santai ia menyandarkan punggungnya ke jok belakang.

Worthington terpaksa meneliti beberapa lembar peta dulu, sebelum akhirnya mengatakan bahwa ia sudah tahu di mana letak jalan yang bernama Winding Valley Road itu. Rupanya berawal agak jauh di luar kota, di seberang bukit -bukit. Ketika mobil sudah meluncur ke arah itu, tiba-tiba Jupiter mendapat ilham mendadak.

"Worthington," katanya, "kalau tidak salah, jalan ini pada salah satu tempat jaraknya cukup dekat dari mulut ngarai Black Canyon. Jaraknya cuma sekitar satu mil dari situ."

"Betul, Master Jones," jawab Worthington. "tidak jauh sebelum kita mendaki bukit menuju ke lembah."

"Kalau begitu dalam perjalanan ke sana, kita mampir sebentar di Black Canyon, Ada sesuatu yang ingin kuperiksa di sana,"

­Dalam waktu singkat mereka sudah sampai di mulut ngarai sempit yang mereka datangi malam belumnya - dan yang kemudian mereka tinggalkan lagi dengan tergesa-gesa. Siang hari, keadaan di situ kelihatannya agak lumayan sedikit. Tapi cuma sedikit! Ketika mobil sudah sampai di mana jalan tertutup palang yang rusak tertimpa batu longsor, tiba-tiba Worthington berseru kaget.

"Lihatlah!" katanya, "Ada jejak roda mobil lain memotong bekas kita! Saat itu saya agak ragu untuk mengatakannya, Master Jones - tapi kemarin saya mendapat kesan bahwa ada yang membuntuti kita. Tapi waktu itu saya tidak yakin betul. "

­Ada yang membuntuti? Pete dan Jupiter saling berpandangan,

­"Ada lagi misteri yang perlu dipikirkan," kata Jupiter. "Tapi itu nanti saja. Saat ini aku ingin memeriksa lokasi di luar Puri Setan."

"Beres!'" kata Penyelidik Dua, alias Pete Crenshaw. "Aku setuju saja, selama kita tetap berada di luar."

­Karena tempat itu terang, mereka bisa maju dengan cukup lancar, mendaki jalan sempit yang penuh dengan batu-batu bertaburan, Akhirnya Terror Castle nampak menjulang tinggi di depan.

"Bayangkan - kita memasuki tempat itu malam-malam!" seru Pete. "Huh!"

Jupiter mendului berjalan, mengeliling bangunan tua itu. Semua tempat diteliti olehnya termasuk bagian belakang serta lereng terjal di atasnya.

"Kita mencari tanda-tanda adanya manusia yang mungkin memakai tempat ini sebagai persembunyian," katanya. "Jika benar ada, pasti mereka meninggalkan bekas-bekas! Jejak kaki di lumpur - puntung rokok yang dibuang sembarangan ,..."

Tapi mereka tidak menemukan apa-apa, walau sudah mencari dengan sangat teliti. Akhirnya kedua remaja itu beristirahat sebentar di sisi puri

"Jelas di sini tidak ada jejak kaki orang yang datang atau pergi," kata Jupiter dengan nada puas "Jika puri ini ada penghuninya, penghuni itu mungkin hantu. Dan itulah yang hendak kita buktikan!"

­"Aku mau saja percaya, tanpa perlu bukti-bukti lagi," kata Pete.

­Saat itu mereka dikagetkan suara orang berteriak. Itu jelas suara manusia biasa! Keduanya berpaling dengan cepat, memandang ke arah gerbang depan Terror Castle. Mereka melihat dua orang lari ke luar sambil menjerit-jerit ketakutan. Kedua orang itu lari pontang-panting, menuju ke arah mulut ngarai. Tapi tiba-tiba seorang dari mereka tersandung lalu tersungkur. Sesuatu benda berkilat terlepas dari pegangannya, jatuh ke tepi jalan. Orang itu tidak mempedulikan barang yang jatuh. Ia bergegas bangun, lalu lari lagi menyusul temannya yang sudah agak jauh berlari.

"Cepat!" seru Jupiter. Ia sudah lari menuruni lereng. Walau tubuhnya gen - eh, gempal, larinya cukup kencang. "Kita harus berusaha melihat siapa mereka!"

­"Yang jelas, bukan hantu," kata Pete sambil ikut lari mengejar, "Tapi dari kelakuan mereka, mungkin baru saja melihat hantu!"

Kedua orang yang lari itu sudah tidak kelihatan lagi. Jupiter sampai di tempat salah seorang dari keduanya tersungkur tadi. Dipungutnya senter dari tepi jalan. Itulah benda yang tadi terjatuh. Barang itu nampak mahal, dan ada pelat nama pada tabungnya, Pada pelat itu terukir tiga huruf. E.S.N.

"E.S,N.,.. kata Jupiter sambil membaca, "Kau lantas ingat pada siapa?"

­"E. Skinner Norris!" tukas Pete. "Skinny Norris - si ceking itu! Tapi mana mungkin? Bagaimana ia tahu-tahu ada di sini?"

"Kau ingat cerita Bob, bahwa Skinny bolak-balik terus di dekatnya ketika Bob sedang sibuk mengumpulkan informasi? Lalu Bob kehilangan kartu nama kita yang ada tulisannya, ‘Terror Castle'? Dan bagaimana dengan kata Worthington tadi, bahwa kemarin malam ia merasa ada orang membuntuti kita? Cocok kalau anak kayak Skinny mau setengah mati berusaha menyelidiki apa yang sedang kita lakukan! Mungkin ia berniat mendului kita, atau kalau tidak, mengacau pekerjaan itu!"

"Ya," kata Pete setelah berpikir sebentar. "Skinny memang tidak segan berbuat apa saja, asal bisa sekali saja mengalahkanmu. Tapi jika memang dia serta salah seorang pengikutnya yang masuk ke Terror Castle, keluarnya cepat sekali!" '

Pete terkekeh-kekeh. Tapi tampang Jupiter serius, sementara ia mengantongi senter yang baru saja dipungutnya.

"Kita kemarin malam juga lari terbirit-birit," katanya mengingatkan. "Cuma bedanya, kita akan masuk lagi - sedang aku yakin, Skinny tak mungkin berani! Aku bahkan sudah memutuskan, kita masuk sekarang juga. Kita memeriksa tempat ini, sementara hari masih siang!"

Sebelum Pete sempat membantah, terdengar bunyi berdebam-debam, jauh di atas mereka. Keduanya cepat-cepat mendongak.

­Sebongkah batu besar terbanting-banting di lereng ngarai, jatuh tepat ke arah mereka.

Pete sudah cepat-cepat lari, tapi dicegah oleh Jupiter.

"Tunggu!" katanya. "Jatuhnya jauh dari kita."

Dugaannya tepat. Batu itu membentur jalanan sekitar sepuluh meter dari tempat mereka berdiri. beton alas jalan pecah beserpihan, sementara batu besar itu menggelinding terus ke bawah.

"Kalau kita tadi kena, malam ini Terror Castle mendapat tambahan dua hantu lagi!" kata Pete dengan wajah pucat pasi."

"Lihatlah!" kata Jupiter dengan tiba-tiba, sambil menarik lengan Pete "Di atas sana ada orang! Itu, bersembunyi di balik semak. Pasti Skinny Norris lagi. Mestinya ia menyelinap naik ke atas, lalu menggulingkan batu tadi ke arah kita."

"Kalau benar dia, anak itu perlu diajar sopan santun," kata Pete dengan marah. "Yuk, Jupe - kita kejar dia!"

Kedua remaja itu bergegas mendaki lereng berbatu-batu. Gerak mereka disulitkan batu-batu longgar serta semak belukar. Sedang orang yang ada di atas mereka, dengan cepat menjauhkan diri. Jupiter dan Pete berhenti sebentar untuk mengatur napas. sesudah melewati batu besar yang menonjol. Di depan mereka nampak suatu celah sempit berdinding batu serba runcing. Celah itu menjorok masuk ke dalam bukit. Rupanya dulu pernah terjadi gempa di situ, dan membelah bukit batu itu.

­Sementara mereka sedang memperhatikan celah yang dalam itu, tiba-tiba mereka dikejutkan bunyi menggeresek keras di atas kepala. Keduanya cepat-cepat mendongak. Dari tempat yang lebih tinggi di atas lereng, batu-batu bergulingan jatuh, meluncur tepat ke arah mereka. Pete terpaku karena kagetnya. Tapi Jupiter langsung bertindak tanpa ayal sedetik juga. Diseretnya Pete maju, masuk sedalam mungkin ke celah. Sesaat kemudian, dengan bunyi gemuruh batu-batu dan tanah menggelincir lewat mulut celah di mana kedua remaja itu berlindung, Beberapa bongkah batu berjatuhan ke dalam. Beberapa bongkah lagi bertumpukan di tempat datar yang ada diluar celah itu, sehingga terbentuk semacam tembok yang padat. Kini Pete dan Jupiter terkurung dalam celah yang menyelamatkan jiwa mereka.





Bab 8 LAKI-LAKI DENGAN BEKAS LUKA DJ LEHER

­Deru batu longsor sudah lenyap. Sekeliling mereka gelap gulita. Debu beterbangan, kering dan mengandung pasir halus,

"Kita tidak bisa keluar lagi, Jupe," kata Pete sambil terbatuk-batuk, "Kita terjebak di sini. Kita akan mati tercekik!"

"Tutup mulut dan hidung dengan sapu tangan, sampai udara sudah bersih dari debu," kata Jupiter menasihatkan. Ia meraba-raba dalam gelap mencari temannya. Setelah ketemu, diletakkannya tangan ke bahu Pete, untuk menenangkannya.

"Mengenai udara, jangan khawatir! Celah ini kurasa cukup dalam, jadi untuk sementara kita bisa bernapas dengan bebas. Kecuali itu berkat Skinny Norris, kita juga punya senter."

"Berkat Skinny Norris kita terjebak di sini!" tukas Pete dengan marah, "Awas kalau sampai ketemu, Akan kuputar lehernya yang ceking itu!"

"Sayangnya kita tidak bisa membuktikan, betul-betul dia yang menyebabkan batu-batu tadi merosot," kata Jupiter.

Sambil bicara, ia menyalakan senter. Seketika itu juga sinar terang memecah kegelapan dalam celah. Jupiter meneliti tempat itu dengan seksama. Ternyata merupakan semacam gua. Tingginya hampir dua meter, sedang lebarnya satu meter lebih sedikit. Ke arah belakang celah itu sangat menyempit. Jadi tidak bisa dimasuki, walau nampaknya dalam sekali.

Sebongkah batu besar terselip dalam mulut celah itu, menyumbat bagian bawahnya. Di atasnya bertumpuk-tumpuk lagi batu-batu. Sedang celah-celah di antara batu terisi penuh dengan tanah.

"Jalan ke luar tersumpal sama sekali karena batu-batu longsor tadi," kata Jupiter.

"Dalam keadaan begini pun, kau masih saja suka bicara panjang lebar," keluh Pete. "Kenapa tidak bilang saja, 'kita tidak bisa keluar'? Kita terperangkap!"

"Aku tidak mau bilang begitu, karena belum terbukti," kata Jupiter. "Tolong aku mendorong batu-batu itu ... kalau bisa didorong –"

Ternyata tidak bisa. Walau sudah dicoba sekuat tenaga, tapi sia-sia belaka. Keduanya menghentikan usaha itu, Napas mereka tersengal-sengal.

"'Worthington nanti pasti mencari kita," kata Pete dengan suram, "Tapi mana mungkin bisa ketemu! Lalu ia minta pertolongan polisi dan pramuka, Mereka lantas sibuk, ikut mencari. Tapi takkan mungkin ada yang bisa mendengar kita berteriak-teriak di sini. Kalau akhirnya kita bisa juga akhirnya ditemukan, jangan-jangan baru minggu depan. Dan itu pun kita sudah - He! Apa yang kaulakukan di situ?"

Dilihatnya Jupiter berlutut sambil menatap ke arah sebelah belakang celah. Senternya disorotkan ke situ untuk menerangi.

"Aku melihat abu bekas api unggun di bawah debu," katanya. "Kelihatannya pernah ada pengembara berlindung di sini."

Jupiter meraihkan tangannya ke depan. Ia menepis-nepiskan debu sebentar, lalu menarik sebatang dahan yang panjangnya kira-kira semeter, sedang besarnya lima senti. Salah satu ujungnya nampak diruncingkan. Dahan itu sebagian hangus menjadi arang, sedang ujungnya yang runcing patah.

"Dan ini," katanya, "ini dahan yang dipakainya untuk memanggang makanannya di atas api. Kita bernasib baik, menemukan dahan ini."

Pete memperhatikan dahan itu dengan perasaan sangsi, Kelihatannya sudah tua dan rapuh,

"Masa kuat untuk mencongkel batu," katanya. "Itu jika kau bermaksud begitu!"

"Tidak," kata Jupiter singkat.

Jupiter kalau punya niat, biasanya tidak suka repot-repot menjelaskannya lebih dulu. Ia lebih senang melihat bagaimana niatnya itu terlaksana dulu. Jadi Pete tidak bertanya-tanya lagi, sementara temannya yang gempal itu mengambil pisau saku buatan Swiss yang bermata delapan, yang tergantung di ikat pinggangnya.

­Dengan pisau itu diruncingkannya kembali bagian dahan yang hangus. Setelah runcing, ia lantas menghampiri dinding batu dan tanah yang menyebabkan mereka terkurung dalam celah. Mula-mula diteranginya seluruh permukaan dinding itu dengan cahaya senter. Dipilihnya suatu tempat di dekat pojok, lalu ditusukkannya ujung dahan ke tanah yang menyumpal di situ. Dengan segera tusukannya menemui rintangan, Dahan dicabut lagi, lalu ditusukkan beberapa senti lebih jauh.

Jupiter mendorong dahan sambil memutarnya dengan pelan, mencari-cari celah di antara batu-batu yang menyumbat. Setelah semenit dua begitu, dahan bisa ditusukkan maju dengan gampang, Jupiter menarik dahan itu kembali ke dalam. Tanah berguguran sedikit. Kini nampak cahaya terang dari luar, masuk lewat lubang yang dibuat Jupiter.

Remaja itu kembali menusuk-nusuk dinding tanah dan batu longsor itu. Berulang kali ia menjumpai rintangan, Tapi ia tidak putus asa. Beberapa waktu kemudian sudah cukup banyak tanah yang terdorong, sehingga nampak batu kecil berbentuk agak lonjong di sebelah teratas tembok.

"Sekarang," kata Jupiter dengan nada puas, "jika kau mendorong sisi kiri bawah batu itu agak ke arah kanan, kurasa rencanaku bisa berhasil. Tapi hati-hati, dorong agak ke kanan - jangan lurus ke depan."

­Pete berdiri di atas sebongkah batu yang terletak di tanah, lalu mendorong seperti disuruh Jupiter. Mula-mula tidak bisa. Tapi tahu-tahu batu yang didorongnya bergerak, lalu terjatuh ke luar. Langsung berguling-guling di lereng, menyeret batu-batu lain. Dan di depan kedua remaja itu nampak lubang yang besarnya sekitar setengah meter, di ujung atas tembok batu longsor itu,

"Kau memang jenius, Jupe!" seru Pete dengan gembira,

"Aduh - jangan bilang aku jenius," kata Jupiter sambil mengernyit. "Aku cuma berusaha memanfaatkan kecerdasanku dengan sebaik-baiknya."

"Ya deh," kata Pete, "Tapi kau berhasil mengeluarkan kita dari sini - nanti, kalau kita sudah berhasil merangkak lewat lubang yang di atas itu."

Tapi ketika akhirnya mereka berhasil dan sudah berdiri di luar sambil membersihkan tanah dan debu yang melekat pada pakaian, Pete mulai bingung lagi.

"Aduh - coba lihat kotornya diri kita!" katanya cemas,

"Kita bisa mencuci badan dan membersihkan pakaian sebisa-bisa kita di pompa bensin," kata Jupiter. "Setelah itu kita melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal Mr. Rex,"

"Kita masih mau ke Mr. Rex?" tanya Pete, sementara Jupiter sudah mendului berjalan menuruni lereng yang semakin banyak diliputi batu berhamburan. Mereka kembali ke tempat Rolls-Royce tadi diparkir.

"Ya," kata Jupiter pada Pete, "sekarang sudah terlalu sore, tidak bisa lagi memeriksa Terror Castle dalam keadaan terang, Tapi kita masih sempat mendatangi Mr. Rex."

Worthington berseru lega, ketika melihat kedua remaja itu muncul. Sebelumnya ia mondar-mandir terus dengan gelisah di samping mobil.

"Master Jones!" katanya. "Saya sudah mulai cemas, Anda mengalami kecelakaan?" sambungnya, begitu melihat keadaan Jupiter dan Pete.

"Cuma kecelakaan kecil saja," kata Jupiter.

"Anda sekitar empat puluh menit yang lalu melihat dua orang pemuda keluar dari Black Canyon, atau tidak?"

"Waktunya agak lama sedikit dari itu," jawab Worthington, sementara mereka masuk ke mobil.

"Dua orang pemuda berlari-lari ke arah sini, tapi dengan segera melesat ke samping begitu melihat saya. Mereka menyusup masuk ke semak di sebelah sana, Rupanya mereka menyembunyikan mobil di situ, karena sesaat kemudian sebuah mobil sport biru nampak meluncur pergi."

Pete dan Jupiter saling berpandangan sejenak. Kedua-duanya mengangguk, mobil Skinny Norris berwarna biru.

"Kemudian saya mendengar bunyi batu longsor," kata Worthington meneruskan laporannya, "Ketika Anda berdua tidak muncul-muncul setelah itu, saya lantas mulai khawatir. Soalnya diinstruksikan tidak boleh meninggalkan mobil ini tanpa penjaga - tapi jika Anda tadi belum muncul juga, saya sudah bermaksud mencari."

"Jadi bunyi batu-batu longsor Anda dengar setelah kedua pemuda itu pergi dari sini?" tanya Jupiter.

"Ya, jelas sesudah itu," kata Worthington. "Ke mana kita sekarang, Sir?"

"Ke Winding Valley Road, rumah nomor 915," kata Jupiter sambil lalu. Jelas remaja itu sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Dan Pete tahu apa yang sedang dipikirkannya. Jika Skinny Norris beserta temannya sudah pergi sebelum batu-batu tadi longsor, lalu siapa yang menyebabkannya?

Pete melirik Jupiter. Dilihatnya teman itu sedang menekan-nekan bibir bawah, tanda ia sedang berpikir.

"Rasanya misteri jejak roda yang satu lagi sudah terpecahkan," kata Jupiter, "rupanya itu jejak mobil Skinny.. Tapi kalau begitu, siapa yang kita lihat dalam ngarai, setelah Skinny serta temannya lari?"

"Mungkin orang yang sebetulnya tidak ada," kata Pete. "Pokoknya bukan hantu, setan atau roh halus."

"Memang, yang kita lihat itu manusia," kata Jupiter sependapat. "Worthington, nanti kalau ada pompa bensin kita mampir sebentar, ya. Kami Ingin membersihkan badan, "

Setelah selesai mencuci badan dan membersihkan pakaian di suatu pompa bensin, mobil meluncur lagi, Mereka menyusur jalan berkelok-kelok, mendaki punggung gunung, lalu menurun lagi ke lembah yang ada di belakangnya.

Mobil membelok ke kanan, dan setelah berjalan satu mil sampai di awal jalan yang bernama Winding Valley Road. Jalan itu pada bagian awalnya lebar dan bagus, di kiri kanannya diapit rumah-rumah yang kelihatan mahal. Tapi kemudian makin sempit dan berkelok-kelok, sementara arahnya kembali mendaki punggung gunung yang baru saja diseberangi. Di kiri kanan menjulang tebing terjal, pada beberapa bagian nyaris tegak lurus. Di sana sini ada bidang yang agak datar, hanya cukup untuk sebuah rumah kecil atau pondok,

Tapi Winding Valley Road masih belum berakhir. Jalan itu menanjak terus, makin lama semakin sempit. Dan berakhir di depan lereng terjal berbatu-batu. Di situ ada tempat memutar yang sempit.

Worthington menghentikan mobil. Kelihatannya ia agak bingung,

"Kita sudah sampai di ujung jalan," katanya, "Tapi saya tidak melihat tanda-tanda tempat ini didiami orang."

"Itu ada kotak surat!" seru Pete sambil menuding. "Dan ada tulisannya - Rex 915. Mestinya rumah itu letaknya di sekitar sini!"

Pete turun dari mobil, bersama Jupiter. Kotak surat yang dilihatnya, terpasang miring di samping semak yang tak terawat. Di belakang semak ada
jenjang batu mendaki sisi bukit, di sela semak dan pepohonan yang tidak begitu tinggi. Kedua remaja itu mulai mendaki meninggalkan mobil serta Worthington di bawah.

Mereka mengitari rumpun semak. Kemudian mereka melihat sebuah rumah bergaya Spanyol dengan atap genteng merah, dekat sekali ke sisi bukit. Di sisinya yang dekat ke dinding ngarai terdapat sejumlah kandang yang besar -besar, berisi burung parkit beratus-ratus,. Burung-burung itu beterbangan dari satu tempat bertengger ke tempat lain, sambil berteriak-teriak membisingkan telinga.

Pete dan Jupiter berhenti melangkah. Mereka memandang kandang yang penuh dengan burung itu. Tiba-tiba terdengar langkah orang di belakang mereka, Keduanya terkejut. lalu cepat-cepat berpaling.

Mereka menatap seorang laki-laki, yang saat itu datang menghampiri. Orang itu jangkung dan berkepala botak. Matanya tidak kelihatan di balik kaca mata hitam besar. Di lehernya nampak bekas luka memanjang, dari telinga memanjang ke bawah, hampir sampai di tulang dada.

Laki-laki itu membuka mulut. Terdengar suara parau, nyaris berbisik.

"Jangan bergerak! Berdiri di tempat!"

Kedua remaja itu tegak seperti terpaku. Sementara itu laki-laki tadi terus mendekat, sambil menggenggam parang, Benda tajam itu berkilat-kilat matanya, kena cahaya matahari.





Bab 9 ARWAH-ARWAH GENTAYANGAN

­Laki-laki jangkung botak itu datang bergegas, "Kalian jangan bergerak!" bisiknya. "Jangan bergerak, jika masih ingin hidup!"

Pete tidak perlu diperingatkan lagi, ia memang sudah tidak mampu berkutik. Parang berkelebat, mengiris udara antara dia dan Jupiter. Lalu menghunjam ke tanah dekat kaki mereka. Laki-laki yang melontarkannya berseru kecewa.

"Meleset!"

Setelah itu ia melepaskan kaca mata hitamnya. Ia terkejap-kejap sesaat. Ternyata matanya bersinar ramah, Karenanya tampangnya juga tidak begitu menyeramkan, seperti semula.

"Tadi ada ular dalam rumput, di belakang kalian," katanya. "Di sini kadang-kadang berkeliaran ular berbisa. Aku mencoba mengenainya dengan lemparan parang tadi, tapi rupanya aku terlampau terburu-buru."

Laki-laki itu mengambil selembar sapu tangan berwarna merah putih, lalu menyeka kening.

"Aku tadi sedang membersihkan semak di atas bukit," katanya lagi. "Semak yang kering cepat sekali terbakar, jadi perlu disingkirkan. Tapi pekerjaan begitu sangat memeras keringat. Bagaimana - kalian mau minum limun bersamaku?"

Sementara itu Pete dan Jupiter sudah mulai terbiasa mendengar suaranya yang berbisik-bisik Menurut dugaan mereka, penyebabnya pasti luka yang bekasnya nampak jelas di leher orang itu

Jonathan Rex berjalan mendului ke bungalonya. Dalam sebuah ruangan yang satu sisinya berdinding kawat nyamuk, nampak kursi-kursi santai serta sebuah meja. Di atas meja terletak kendi gelas berisi minuman dengan bongkah-bongkah es di atasnya. Kandang-kandang burung yang berisik bunyinya terdapat di balik kawat nyamuk.

"Aku hidup dari usaha mengembangbiakkan burung parkit," kata Mr. Rex, sementara ia menuangkan limun ke dalam gelas. Setelah menyuguhkan pada Pete dan Jupiter, ia pergi sebentar ke kamar sebelah.

Jupiter meneguk limunnya sambil termenung. "Bagaimana pendapatmu tentang Mr. Rex?' tanyanya setelah beberapa saat pada Pete.

"Kelihatannya ia ramah," jawab Pete "Maksudku, apabila sudah terbiasa mendengar suaranya. "

"Ya, ia memang sangat ramah. Cuma aku agak heran, apa sebabnya ia mengatakan baru saja merambah semak dengan parang? Padahal kelihatan jelas, tangan dan lengannya bersih. Kalau ia tadi benar-benar habis memotong semak kering, tentunya ada ranting-ranting kecil tersangkut ke tangannya"

"Tapi untuk apa ia repot -repot tidak mengatakan yang sebenarnya pada dua remaja yang baru sekali ini dilihatnya? Untuk apa ia bohong pada kita?"

Jupiter menggeleng.

"Aku juga tidak mengerti sebabnya, Tapi jika ia tadi cukup lama sibuk merambah belukar, bagaimana mungkin di sini sudah tersedia kendi berisi limun, dan es di dalamnya boleh dibilang masih utuh?"

"Aduh, kau ini!" tukas Pete, "Mungkin jawabannya gampang saja. Mungkin ia memang senang limun."

"Jawaban selalu gampang, apabila sudah diketahui. Hanya apabila belum diketahui, itu yang sulit!"

Jupiter langsung membungkam, karena saat itu Mr. Rex datang lagi. Ia sudah berganti baju, Kini memakai baju sport berkerah, sementara lehernya terlihat syal.

"Ada orang yang merasa kurang enak melihat bekas lukaku," bisiknya. "Karenanya aku biasa menutupinya dengan syal. kalau ada tamu. Luka ini tanda mata perlawatanku ke Indonesia, ketika aku masih muda. Aku terlibat dalam perkelahian di sana, Tapi ngomong-ngomong, ada perlu apa sebetulnya kalian kemari?"

Jupiter menyodorkan kartu nama Trio Detektif. Jonathan Rex menerima kartu itu dan mengamat-amatinya sesaat.

­"Trio Detektif. Hm," katanya. "Lalu kalian sedang menyelidiki apa sekarang?"

Jupiter lantas menjelaskan bahwa kedatangan mereka untuk meminta keterangan tentang Stephen Terrill, Sementara itu Mr. Rex memakai lagi kaca mata hitamnya.

"Mataku tidak tahan kena cahaya terang," bisiknya. "Aku paling awas melihat kalau malam. Dalam hal apa perhatian kalian terhadap Stephen Terrill, sahabat lamaku itu?"

"Kami ingin tahu," kata Jupiter, "apakah Mr. Terrill mungkin menjelma menjadi hantu jahat yang mengusir setiap orang yang berani memasuki rumah tempat ia tinggal semasa hidupnya, "

Di balik kaca mata hitam, mata laki-laki jangkung itu seakan-akan sedang meneliti kedua remaja itu dengan waspada.

"Pertanyaanmu itu bagus sekali," katanya kemudian, "Sebaiknya kujawab begini saja. Temanku Stephen, sebetulnya sangat pemalu dan berhati lembut - walau dalam film ia selalu memainkan peranan hantu dan monster, baja, laut dan macam-macam makhluk aneh. Karena wataknya yang pemalu itulah aku dikontraknya menjadi pengelola bisnisnya. Ia sendiri tidak sanggup menghadapi orang lain dalam hubungan dengan bisnis. Coba lihat saja foto ini."

Mr. Rex meraih ke belakang, mengambil sebuah foto besar yang dipajang di atas meja. Foto itu menampakkan dua orang laki-laki yang sedang berdiri di ambang pintu sambil bersalaman. Yang satu jelas Pembisik. Sedang yang satu lagi tidak begitu tinggi, dan kelihatannya lebih muda. Rupanya itulah foto asli dari foto dalam koran yang disertakan dalam berkas laporan Bob Andrews.

Foto itu dibubuhi tulisan: Untuk sahabat karibku, J.R., dari Steve.

"Dari ini bisa kalian lihat, akulah yang menangani segala urusan bisnisnya," kata Mr. Rex. "Aku bisa menghadapi orang-orang! Mereka segan berbantah dengan aku. Dengan begitu Steve bisa mencurahkan seluruh tenaga dan bakatnya untuk bermain film. Steve sangat serius mengenainya. Ia senang bisa mengasyikkan penonton dan menakut-nakuti mereka. Tapi ketika dalam filmnya yang terakhir para penonton terpingkal-pingkal mendengar suaranya yang melengking, ia patah semangat. Satu-satunya yang paling tidak disukainya, ialah ditertawakan orang. Kurasa kalian tentu bisa memahami hal itu."

"Ya., Sir," kata Jupiter. "Saya bisa membayangkan perasaannya. Saya juga tidak senang ditertawakan."

"Ya, begitulah," kata Mr. Rex dengan suaranya yang berbisik-bisik. "Berminggu-minggu lamanya setelah film itu beredar, Steve tidak mau keluar rumah, Semua pelayannya diberhentikan olehnya. Aku yang selalu berbelanja untuknya. Laporan tidak henti-hentinya mengalir masuk, memberitakan bahwa penonton selalu terpingkal-pingkal, di mana saja filmnya dipertunjukkan, Aku mendesaknya agar melupakan saja kejadian itu. Tapi ia tetap saja murung.

"Akhirnya aku disuruhnya menarik semua copy film-film lamanya yang masih ada, Steve bertekad film-film itu tidak boleh dilihat siapa pun lagi. Aku berhasil mengumpulkan film-film itu, dengan biaya, tidak sedikit Dan semua film itu kubawa ke tempatnya. Kemudian aku terpaksa melaporkan padanya, bahwa bank yang membiayai pembangunan rumahnya sudah mengancam hendak menyita puri itu, Soalnya, waktu itu masih muda dan mengharapkan masih bisa lebih banyak membuat film lagi Karenanya ia boleh dibilang tidak punya uang tabungan.

"Saat itu hanya kami berdua saja yang ada di ruang utama puri, Aku ditatapnya dengan mata bernyala-nyala, 'Mereka takkan bisa mengusir aku dari sini,' katanya. Tak peduli apa yang terjadi dengan jasadku, tapi arwahku tetap akan ada di sini untuk selama-lamanya."

Suara berbisik-bisik itu terdiam. Kaca mata gelap menghadap ke arah Jupiter dan Pete, seperti tatapan mata makhluk asing. Pete bergidik.

"Hii," katanya seram. "Dari cerita Anda kedengarannya seperti ia sudah berniat hendak menjadi hantu!"

"Ya, betul," sambut Jupiter. "Tapi Mr. Rex - Anda tadi mengatakan Mr. Terrill lemah lembut wataknya. Orang seperti itu sulit bisa dibayangkan akan menjelma menjadi roh jahat, yang menimbulkan kengerian luar biasa dalam hati setiap orang yang memasuki puri itu."

"Kau benar, Nak," kata laki-laki botak itu. "Tapi makhluk-makhluk gaib yang menimbulkan kengerian orang-orang itu, mungkin bukan arwah kawanku. Barangkali saja yang menakut-nakuti itu hantu lain yang lebih menyeramkan. Keras sekali dugaanku, tempat itu kini dihuni hantu-hantu lain."

"Hantu-hantu lain - yang lebih jahat?" Pete meneguk ludah beberapa kali,

"Ya, betul," jawab Mr. Rex. "Sebetulnya, kemungkinannya ada dua! Kalian tentunya tahu, waktu itu mobil Stephen Terrill ditemukan hancur di kaki tebing karang?"

­Pete dan Jupiter mengangguk.

"Dan kalian juga mendengar tentang pesan tertulis yang ditinggalkan dalam puri, dalam pesan di mana dikatakan bahwa tempat itu terkutuk untuk selama-lamanya?"

Kedua remaja itu sekali lagi mengangguk, sementara mata mereka tertatap terus ke wajah Jo­nathan Rex.

"Polisi merasa pasti, kawanku itu membunuh diri dengan jalan menjatuhkan mobilnya ke kaki tebing," kata orang itu. "Dan kurasa dugaan mereka tepat. Tapi aku sendiri tidak pernah lagi melihat Steve sejak pembicaraan terakhir kami yang sudah kuceritakan tadi. Aku disuruhnya pergi setelah diminta berjanji tidak menginjak tempat itu lagi.

­"Aku ingin tahu, apa yang dipikirkannya pada saat ia menulis surat itu. Ingat, semasa hidupnya ia kerjanya membuat orang takut. Lalu kemudian orang-orang menertawakan dirinya, Mungkin saja kan, ia bertekat setelah mati melanjutkan kerjanya menakut-nakuti, untuk menunjukkan bahwa dirinya tidak bisa seenaknya saja dijadikan bahan tertawaan?"

"Anda tadi mengatakan, ada dua kemungkinan," kata Jupiter mengingat, ketika laki-laki berkepala botak itu kelihatannya termenung. "Anda juga bicara tentang hantu-hantu lain, yang lebih menyeramkan."

"O ya, betul," kata Mr. Rex. "Ketika Steve membangun purinya, dari segala penjuru dunia didatangkannya bahan-bahan yang berasal dari bangunan-bangunan yang kabarnya berhantu. Dari Jepang didatangkan balok-balok kayu dari sebuah kuil kuno yang penuh hantu, di mana pernah ada sekeluarga kaum bangsawan tumpas ketika terjadi gempa bumi.

"Ia juga memberi bahan bangunan dari puing-puing gedung tua di Inggris, di mana seorang gadis cantik mati menggantung diri karena tidak mau dinikahkan dengan laki-laki pilihan orang tuanya. Ia mengimpor batu yang berasal dari sebuah puri di tepi Sungai Rhein di Jerman, yang kabarnya berpenghuni hantu seorang pemain musik yang mati di situ setelah dikurung selama bertahun-tahun dalam sel bawah tanah di situ, Menurut riwayatnya, pemain musik itu dihukum bangsawan yang berkuasa di situ, karena memainkan musik yang tidak sesuai dengan seleranya. Setelah pemain musik itu meninggal, lagu yang menyebabkan kebinasaannya sering terdengar mengalun dari dalam kamar musik yang selalu terkunci."

"Aduh!" seru Pete. "Apabila segala arwah itu kini gentayangan dalam Terror Castle, tidak mengherankan jika tempat itu tidak bisa ditinggali lagi dengan aman."

"Itu mungkin benar, tapi mungkin juga tidak," kata Jonathan Rex dengan suaranya yang nyaris berbisik. "Yang kuketahui dengan pasti cuma bahwa bahkan kaum gelandangan dan pencuri pun tidak ada yang berani mendekati Terror Castle. Sekali sebulan aku datang ke sana lalu berdiri di depannya, untuk melihat keadaan satu-satunya peninggalan kawan karibku. Dan selama bertahun-tahun, belum pernah kulihat ada tanda-tanda orang pernah ke situ."

­Jupiter mengangguk. Keterangan Mr. Rex sesuai dlengan pengamatannya sendiri bersama Pete. Tapi ia tidak menyebutkan orang tak dikenal yang menggelindingkan batu sehingga nyaris mencelakakan mereka.

"Lalu bagaimana dengan kabar dalam koran-koran yang memberitakan tentang musik aneh yang kedengarannya seperti berasal alat orgel kepunyaan Mr. Terrill? Dan juga tentang Hantu Biru?" tanya Jupiter.

­"Aku tidak bisa mengatakan apa-apa tentang itu Aku belum pernah melihat Hantu Biru. Yang kuketahui, sewaktu ia masih hidup Steve pernah mengatakan bahwa ia beberapa kali mendengar bunyi musik aneh dari orgel yang terdapat dalam ruangan proyeksi film, Sekali ia pernah mencoba untuk memeriksa. Ruangan itu dikunci dari luar. Semua peralatan listrik orgel itu dilepaskan. Tapi musik masih tetap saja terdengar. Namun langsung berhenti, begitu ia memasuki ruangan."

Pete meneguk ludah karena merasa ngeri. Mr Rex melepaskan kaca mata hitamnya, sementara matanya terkejap-kejap.

"Aku tidak bisa mengatakan dengan pasti Terror Castle dihantui arwah sahabatku, atau arwah orang lain," bisiknya, "tapi aku sendiri, biar diupah sepuluh ribu dollar pun, tetap tidak mau menginap di tempat itu semalam."





Bab 10 ­TERPELESET

­"Jupiter!" suara Mathilda Jones berkumandang lantang pada hari yang cerah itu. "Tumpukkan batang-batang besi itu ke pagar. Peter! Kau membantu Jupiter mengangkut batang-batang Itu, Dan kau, Bob - semua sudah kaucatat?"

Suasana di Jones Salvage Yard hari itu sibuk sekali. Bob Andrews duduk di atas bak mandi yang ditelungkupkan. Sambil mencatat jumlah bermacam-macam barang, ia berpikir apakah mereka sempat menyelinap pergi sebentar ke Markas Besar, untuk mengadakan pertemuan. Sudah dua hari berlalu sejak Pete dan Jupiter mengunjungi Pembisik. Tapi sejak itu mereka belum sempat mengadakan pertemuan. Mrs. Jones tidak henti-hentinya menyuruh mereka bekerja. Dan kalau tidak, Bob masih ada tugas pula di perpustakaan, sedang Pete ada kesibukannya sendiri di rumah.

Mr. Jones baru saja habis memborong barang-barang. Karenanya banyak sekali barang dagangan baru mengalir ke tempat penimbunannya. Melihat gejala-gejalanya, mungkin baru seminggu lagi ketiga remaja itu agak luang sedikit waktu mereka sehingga sempat membicarakan hal-hal misterius yang sedang mereka hadapi.

Menjelang tengah hari terjadi selingan, Mrs. Jones menoleh, ketika untuk kesekian kalinya truk besar perusahaannya masuk lewat gerbang besar. Titus Jones, paman Jupiter duduk di atas sebuah kursi kayu berukir indah. Laki-laki kecil berhidung besar dan berkumis melintang itu duduk seperti bertakhta di atas tumpukan barang yang baru dibeli. Mr. Jones kalau pergi berbelanja barang bekas, apa saja yang menarik perhatiannya selalu langsung dibeli. Istrinya terpekik truk itu berhenti di dekatnya.

"Masya Allah!" teriaknya. "Titus Andronicus Jones! Apa lagi yang kaubeli kali ini? Lama-lama kita bisa bangkrut, kalau begini terus!"

Mr. Jones melambai dengan pipanya ke arah mereka, sambil berpegang erat pada sejumlah tabung logam besar yang menjulur berbentuk kipas, Tabung-tabung itu merupakan bagian dari suatu orgel, yang tingginya sekitar dua setengah meter.

"Aku membeli orgel, Mathilda," seru Mr. Jones. Walau tubuhnya kecil, suaranya berat sekali. "Aku hendak belajar main orgel. Ayo, Hans... Konrad! Alat musik antik yang berharga ini harus kita turunkan dengan hati-hati sekali, supaya jangan rusak."

Mr. Jones meloncat turun dengan gembira, disusul oleh Hans. Konrad menggeser orgel itu ke landasan lift yang terpasang di sebelah belakang truk. Ketika letaknya sudah beres, Hans menggerakkan kendali, dan dengan pelan landasan dengan muatannya turun ke tanah.

"Kau membeli orgel!" Mathilda Jones begitu tercengang, sampai lupa menyuruh Jupiter serta kedua sahabatnya bekerja terus. Wanita bertubuh besar itu menyumpah-nyumpah. "Mau apa kau dengan orgel?"

Titus Jones menyedot pipanya, lalu mengepulkan asap tembakau,

"Mau apa? Belajar memainkannya, Sayang," katanya. "Aku dulu pernah menjadi pemain alat semacam itu di sirkus."

Dipimpin Mr. Jones, Hans dan Konrad menurunkan bagian-bagian selebihnya dari orgel itu. Kedua laki-laki itu orang Jerman yang berasal dari daerah Bayern. Keduanya bertubuh kekar dan langsing sekali, nyaris dua meter. Mereka sangat kuat. Apa saja bisa mereka angkat. Kecuali gunung, tentunya!

Mr. Jones memutuskan, orgel harus ditaruh di sisi pagar yang terdekat ke rumah. Hans dan Konrad sibuk mengangkut, sampai akhirnya semua bagian orgel sudah dipindahkan ke situ, tinggal dipasang saja lagi.

"Ini orgel asli, yang dibunyikan dengan jalan menghembuskan udara ke dalam pipa," kata Mr. Jones dengan bangga pada Jupiter serta kedua temannya. "Aku menemukannya dalam sebuah teater kecil yang akan digusur, di jalan menuju Los Angeles."

"Masya Allah," desah Mrs. Jones. "Untung saja tempat ini jauh dari tetangga."

"Kalau orgel yang benar-benar besar." kata Mr. Jones menyambung ceritanya, "bisa dipasang pipa yang ukurannya begitu rupa besarnya, sehingga bunyinya berat sekali, tidak bisa ditangkap lagi oleh telinga manusia."

"Kalau tidak bisa didengar, masa masih disebut bunyi, Paman?" tanya Jupiter.

"Masih ada yang bisa mendengarnya - mungkin gajah, karena mereka bertelinga besar," jawab Mr. Jones sambil terkekeh.

"Apa gunanya orgel yang bunyinya tidak bisa didengar?" tanya Pete, "Maksudku, mana ada orgel yang spesial dibangun untuk dinikmati gajah."

"Entahlah, Nak - aku juga tidak tahu," jawab Titus Jones, "'Kurasa ada saja gunanya bagi ilmu pengetahuan."

"Ya - misalnya saja ada peluit untuk anjing, yang bunyinya tidak bisa kita dengar, karena nadanya tinggi sekali," sela Bob.

"Ya, betul," kata Mr. Jones. "Mungkin sirkus bisa membuat peluit untuk gajah, dengan nada rendah - kebalikan dari nada tinggi untuk anjing."

"Subsonik," sela Jupiter, "Bunyi, atau tepatnya getaran bunyi yang sangat rendah disebut getaran subsonik. Sedang yang terlalu tinggi untuk telinga manusia, namanya getaran ultrasonik."

Perhatian mereka terpusat pada orgel, sehingga tidak ada yang melihat sebuah mobil sport berwarna biru memasuki pekarangan lalu berhenti ­dengan mengejut di belakang mereka. Pengemudinya, seorang remaja bertubuh kurus jangkung dengan hidung seperti Petruk, menekan tuter. Bunyinya mengejutkan ketiga remaja yang sedang asyik dengan orgel. Ketiga-tiganya berpaling dengan cepat, disambut suara tertawa terbahak-bahak. Remaja kurus jangkung itu yang tertawa, ditimpali kedua temannya yang duduk di sampingnya.

"Skinny Norris!" seru Pete, sementara remaja kurus jangkung itu menggeser tubuhnya ke samping, keluar dari mobil.

"Mau apa ia ke sini?" tanya Bob.

Skinny Norris beserta keluarganya hanya beberapa bulan saja dalam setahun tinggal di Rocky Beach. Tapi bagi Jupiter serta kedua temannya, waktu beberapa bulan itu pun sudah terlalu lama rasanya. Skinny merasa dirinya cerdas sekali. Ditambah keuntungan sudah bisa menyetir mobilnya sendiri, ia yang nama lengkapnya E, Skin­er Norris berusaha keras untuk menjadi kepala kaum remaja yang sebaya dengan dia. Tapi kaum remaja Rocky Beach, pada umumnya tidak peduli terhadapnya. Hanya beberapa anak tanggung saja yang karena terpikat keroyalannya serta pesta-pesta yang diadakan olehnya, lantas mau menjadi pengikutnya. Dan pengikut yang sedikit itu, bagi Skinny sudah CUKUP untuk merasa dirinya hebat.

Skinny Norris menghampiri Trio Detektif sambil tertawa-tawa geli, sementara kedua kawannya memperhatikan dari dalam mobil. Ia menjinjing sebuah kotak sepatu yang tertutup, Ketika sudah hampir sampai di tempat Jupiter berdiri, dengan cepat diambilnya alat pembesar yang besar dari kantongnya, lalu pura-pura memeriksa keadaan sekitarnya dengan alat itu. Sementara itu Paman Jones sudah pergi dengan bagian-bagian orgel, dibantu Hans dan Konrad,

"Ah, yes. " Skinny menirukan gaya bicara orang Inggris, tapi sama sekali tidak kena. "Kurasa inilah tempatnya. Ciri khas barang rombengan yang hanya bisa ditemukan di tempat jual beli barang rombengan milik keluarga Jones."

Ucapan sok lucu itu disambut tertawa terkekeh-kekeh dari kedua remaja yang ada di mobil. Pete mengepalkan tinjunya.

"Kau mau apa kemari, Skinny?" tanyanya dengan geram. Tapi E. Skinner Norris berbuat seperti tidak mendengar. Dengan lensa pembesarnya ia pura-pura meneliti Jupiter. Setelah itu dikembalikannya ke kantong.

"Jelas, tidak salah lagi - Andalah Jupiter MacSherlock, detektif yang kenamaan itu,' katanya. Ia masih terus sok berlogat Inggris, walau kedengarannya payah. "Ini saat yang sangat menyenangkan bagiku. Aku datang dengan suatu kasus, yang membingungkan seluruh Scotland Yard. Pembunuhan keji terhadap korban yang tidak bersalah, Aku yakin, Anda pasti bisa menyingkapkan rahasia ini."

­Sambil berkata begitu, disodorkannya kotak sepatu tertutup pada Jupiter. Tanpa membukanya pun, ia serta kedua temannya sudah bisa menebak isinya. Penciuman mereka yang memberitahukan. Tapi walau begitu Jupiter masih juga membuka kotak itu dan melihat isinya, sementara Skinny Norris memperhatikan dengan cengiran lebar.

Dalam kotak itu tergeletak bangkai seekor tikus putih yang besar. Dari baunya bisa diketahui bahwa binatang itu sudah lama mati,

"Anda merasa bisa berhasil mengusut kejahatan keji ini, MacSherlock?" tanya E, Skinner Norris. "Aku menyediakan hadiah besar bagi barang siapa yang berhasil membekuk pelakunya. Lima puluh kupon toko serba ada!"

Teman-temannya yang di mobil tertawa terkekeh-kekeh mendengarnya. Rupanya mereka menganggap ucapan itu lucu. Tapi air muka Jupiter Jones sedikit pun tidak kelihatan berubah. Ia hanya mengangguk dengan pelan, dengan sikap berwibawa.

"Aku bisa mengerti bahwa kau ingin menuntut keadilan, Skinny," katanya, "karena kulihat korban ini salah satu teman karibmu."

Begitu kalimat itu terdengar, kedua remaja yang ada . dalam mobil langsung berhenti tertawa. Sedang anak jangkung kurus yang tadi meringis, kini merah padam mukanya.

"Menurut pengamatanku secara sambil lalu," kata Jupiter melanjutkan, "kurasa sahabatmu ini mati karena sakit perut. Mungkin karena terus-menerus terpaksa menelan omongan besar seseorang yang identitasnya untuk sementari masih tersembunyi di belakang huruf-huruf E.S.N."

"Kau mau kocak, ya?" tukas Skinny Norris.

Sayangnya remaja itu selalu lenyap kemampuannya bersilat lidah, justru pada saat yang paling diperlukan.

"Aku lantas teringat, ada sesuatu padaku yang harus kuserahkan padamu," kata Jupiter. Kotak sepatu berisi tikus mati digeletakkannya di atas tumpukan besi itu, lalu ia bergegas ke kantor perusahaan yang letaknya hanya beberapa langkah dari situ. Ia kembali ia membawa senter yang dipungutnya di Black Canyon.

"Di sini terukir huruf-huruf E.S.N.," katanya. "Mungkin singkatan E. Skinner Norris?"

"Atau mungkin pula singkatan, Ee, Skinny Ngabur," sambung Pete sambil nyengir. "Kau sempat latihan lari belakangan ini, Skinny?"

"Kemarikan senter itu!" tukas Skinny, sambil menyambarnya dari tangan Jupiter, lalu berbalik kembali ke mobilnya.

"Detektif!" ejeknya kemudian, "Uahh, detektif konyol. Anak-anak pasti tertawa setengah mati membayangkan kalian sebagai penyelidik."

Ia mengundurkan mobilnya dengan kasar. Kendaraan itu melesat ke luar lewat gerbang besar, diperhatikan oleh Jupiter, Pete dan Bob.

"Sudah kusangka dialah yang mengambil kartu itu di perpustakaan," kata Bob. "Kenyataannya, ia tahu bahwa kita mendirikan biro Trio Detektif."

"Memang kita menginginkan semua orang tahu," kata Jupiter. "Sekarang kita harus semakin berusaha agar jangan gagal dalam menangani kasus pertama ini."

Ia memandang berkeliling, Dilihatnya pamannya sedang sibuk memasang orgel dekat pagar, dibantu oleh Hans dan Konrad. Sedang bibinya sudah masuk ke rumah, menyiapkan makanan siang,

"Saat ini tidak ada yang memperhatikan kita," katanya. "Jika kita bergegas sedikit, kita sempat mengadakan rapat sebentar sebelum disuruh makan siang."

Ia mendului berjalan menuju ke Terowongan Dua.

Dan tepat pada saat itu terjadi kesialan. Tanpa disengaja, Jupiter menginjak sebatang pipa yang langsung tergulir ke samping. Jupiter terpeleset dan. terbanting keras ke tanah. Pete dan Bob melihat teman mereka itu menggeretakkan geraham karena kesakitan, ketika mencoba bangkit.

"Pergelangan kakiku terkilir," katanya. Ditariknya kaki celananya ke atas untuk memeriksa. Ternyata pergelangan kakinya nampak mulai bengkak.

"Kurasa aku perlu ke dokter," katanya kesal.





Bab 11 PERINGATAN WANITA PENGEMBARA

­Dua hari berlalu sejak Jupiter mengalami kecelakaan. Waktu itu ia cepat-cepat diantarkan Paman Titus ke rumah sakit, di mana sehari penuh Jupiter sibuk diperiksa pergelangan kakinya. Setelah ternyata tidak patah, kakinya lantas direndam dalam semacam larutan. Ia diperbolehkan pulang. Menurut Dokter Alvarez yang memeriksa, sebentar lagi Jupiter sudah boleh berjalan lagi, walau untuk sementara masih pincang. Dokter itu malah menyarankan agar ia dengan segera mencoba berjalan,

Tapi untuk sementara Jupiter masih terkapar di tempat,tidur, dengan kaki terbalut.

Sedang sementara itu ada kemungkinan Mr. Hitchcock sudah berhasil menemukan rumah berhantu yang diperlukan untuk lokasi pembuatan filmnya. Kelihatannya Trio Detektif akan terhenti usahanya, sebelum sempat benar-benar memulainya,

Pete dan Bob duduk di sisi tempat tidur Jupiter. Keduanya merasa agak lesu.

"Sakit, ya?" tanya Pete, ketika dilihatnya muka Jupiter mengernyit sewaktu bergeser sedikit di tempat tidur,

­"Ini salahku sendiri, kenapa tidak hati-hati," katanya, "Tapi kita lanjutkan saja rapat yang tidak jadi di waktu itu. Pembahasan pertama mengenai suara misterius yang menelepon, segera setelah kita pergi ke Terror Castle. Kata Worthington, ia merasa malam itu ada yang membuntuti kita. Besar kemungkinannya, orang itu Skinny Norris."

"Memang," kata Bob. "Ia tahu, kita tertarik pada tempat itu."

"Tapi Skinny mana mungkin bisa mengubah suaranya, sehingga kedengarannya kayak begitu," bantah Pete. "Berat, seperti suara dari dalam kubur! Padahal Skinny suaranya kan lebih mirip suara kuda meringkik."

"Memang benar - tapi cuma itu satu-satunya kemungkinan yang bisa kubayangkan," kata Jupiter. Ia mengernyit kesakitan, sementara memindahkan letak kaki. "Sampai ada bukti-bukti nyata, aku tidak mau percaya bahwa makhluk halus bisa menelepon."

"Ya, baiklah," kata Bob, "Lalu seterusnya, bagaimana? Siapa orang misterius yang menyebabkan batu-batu longsor?'

"Ya, siapa?" tukas Pete, "Aku kepingin sekali bisa membekuk leher orang itu!"

"Untuk sementara, kuanggap saja persoalan itu tidak ada," kata Jupiter. "Kita sekarang tahu pasti, dia bukan Skinny Norris, Mungkin saja orang itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan kita. Mungkin cuma seseorang yang sedang berjalan-jalan di tepi ngarai, dan ia menyebabkan batu longsor itu secara tidak sengaja."

"Kalau tidak sengaja, bidikannya hebat sekali," gumam Pete tidak percaya.

"Untuk sementara ia harus tetap misterius, sampai sudah ada fakta-fakta lebih jauh mengenai dirinya. Saat ini aku lebih tertarik pada hal-hal tidak benar yang dikatakan Mr. Rex pada kami, ketika aku bersama Pete datang ke tempatnya. Kenapa ia mengatakan habis merambah semak kering, padahal kelihatannya jelas bahwa hal itu tidak benar? Dan apa sebabnya sudah tersedia kendi berisi limun dingin di rumahnya, seakan-akan ia sudah menyangka kita akan datang?"

Kedua pertanyaan itu menyibukkan mereka, tanpa ditemukan jawabannya. Jupiter menggaruk-garuk kepala.

"Aduh, semakin dalam kita mengusut perkara ini, semakin banyak misteri yang muncul," katanya.

Saat itu Bibi Mathilda masuk bergegas-gegas, "Hampir saja aku lupa memberi tahu kalian," katanya, "kemarin pagi ada kejadian aneh, sebelum kau kembali dari rumah sakit, Jupiter! Tapi saat itu begitu repot, sampai aku lupa lagi."

"Kejadian aneh? Apa, Bibi?" tanya Jupiter.

Kedua temannya ikut tertarik.

"Ada seorang wanita tua datang, kelihatannya dia dari kaum pengembara. Tapi aku tak tahu, perlu atau tidak kukatakan pada kalian."

­Kini perhatian Trio Detektif benar-benar tergugah,

"Aku ingin sekali tahu, Bibi Mathilda."

"Ah, sebetulnya apa yang dikatakan toh omong kosong belaka. Pokoknya, saat itu datang seorang wanita tua berpakaian seperti kaum pengembara. Ia mengetuk pintu, lalu dalam logat mereka yang aneh mengatakan bahwa ia mendapat firasat bahwa kau mengalami kecelakaan, Jupiter. Karena itu ia datang untuk menyampaikan peringatan."

Peringatan - dari seorang wanita pengembara! Ketiga remaja itu saling melirik.

"Pokoknya," sambung Mrs. Jones, "akhirnya aku mengerti bahwa ketika ia sedang membaca nasib lewat kartu, tiga kali berturut-turut datang pesan untuk memperingatkan dirimu. Kau disuruhnya menghindarkan diri dari huruf-huruf T.C., atau orang-orang yang singkatan namanya begitu, Kata wanita itu, kecelakaan yang kaualami disebabkan oleh T.C., dan T.C. akan terus membawa bencana bagi dirimu jika kau tidak menghindarinya. Aku cuma tertawa saja. Kukatakan pada wanita tua itu, ia benar. Kukatakan, T.C. itu singkatan dari Terlalu Ceroboh. Setelah itu ia pergi lagi. Kasihan - orangnya sudah tua sekali dan serampangan, sampai timbul dugaanku ia tidak begitu beres otaknya."

Setelah itu Mrs. Jones pergi lagi, meninggalkan ketiga remaja itu saling berpandangan.

"T.C.," kata Bob dengan suara serak, "singkatan dari Terror Castle."

­"Mungkin wanita itu sengaja disewa Skinny Norris untuk menakut-nakuti kita," kata Jupiter, dengan muka agak pucat "Cuma kurasa akal si ceking itu tidak begitu panjang, Membawa tikus mati kemari - itu sudah merupakan keisengannya yang paling hebat."

"Ada orang -" kata Pete, "keliru, ada sesuatu yang tidak suka kita datang ke Terror Castle. Mula-mula kita mendapat peringatan lewat telepon. Lalu sesuatu itu memakai perantaraan kartu-kartu ramalan wanita pengembara itu, untuk menyampaikan peringatan lagi pada kita. Kurasa sesuatu itu tidak main-main! Karenanya aku menyarankan kita sekarang mengadakan pemungutan suara, apakah kita menjauhi Terror Castle atau tidak. Siapa setuju, bilang ya!"

"Ya," kata Bob Andrews.

"Ya," kata Pete. "Jadi mayoritas mengatakan setuju!"

Jupiter menatap kedua temannya.

"Jadi kalian mau saja ditertawakan Skinny Norris?" katanya. "Sekarang pun ia sudah menganggap kita gagal menjadi detektif, Dan ia sudah menunggu-nunggu kesempatan untuk menyebarluaskan kegagalan kita. Karena itu kita terus bertindak cepat, menduluinya. Kecuali itu," tambahnya, "kan jelas bahwa kedua peringatan itu menambah misteri kasus yang sedang kita hadapi?"

"Apa maksudmu?" tanya Pete.

"Orang-orang lain yang juga mengusut rahasia Terror Castle, tidak seorang pun mendapat peringatan. Baru kita yang diperingatkan agar menghindari tempat itu. Ini menyebabkan timbul dugaanku bahwa tanpa kita sadari, kita saat ini sudah hampir berhasil menyibakkan misteri kengerian aneh yang menyelubungi Puri Setan."

"Katakanlah kau benar - apa gunanya bagi kita?" kata Pete, "Kau terkapar di tempat tidur! Kita tidak bisa berbuat apa-apa, selama kakimu masih sakit."

"Itu tidak seluruhnya benar,'" bantah Jupiter. "Kemarin malam, karena tidak bisa tidur menahan sakit, aku lantas mengatur rencana lain. Kalian berdua harus meneruskan kegiatan kita memeriksa Terror Castle, sementara aku di sini memikirkan misteri-misteri selebihnya?"

"Aku kausuruh memeriksa Terror Castle? Puri Setan itu?" teriak Bob kaget. "Membaca kasusnya aja aku sudah setengah mati ketakutan!"

"Menurut dugaanku, takkan banyak yang bisa kaujumpai di tempat itu," kata Jupiter, "Tapi mudah-mudahan kalian juga akan mengalami perasaan gelisah tak menentu, yang lambat laun melarut menjadi kengerian yang luar biasa. Lalu kalau perasaan itu telah kalian rasakan, aku ingin agar kalian menguji sampai sejauh mana kalian merasakannya."

"Sejauh mana?" kata Pete terpekik. "Waktu itu aku merasakannya dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki, Dari dalam ke luar, dan dari luar ke dalam. Pokoknya, seluruh tubuhku merasakannya. Kau ini bagaimana - kausangka sementara tangan kananku merasa ngeri, tangan kiriku bisa tenang-tenang saja?"

"Bukan begitu maksudku," kata Jupiter menjelaskan, "Maksudku tadi, sampai seberapa jauh dari Terror Castle rasa ngeri itu masih kalian rasakan. Itulah yang ingin kuketahui."

"Waktu itu, sekitar lima belas mil, sampai aku sudah berbaring di tempat tidur," kata Pete.

"Sekali ini apabila mulai terasa kengerian, rasa takut seperti akan terjadi bencana, kuinginkan kalian pergi dengan tenang, Sekali-kali berhenti, untuk merasakan apakah rasa ngeri itu berkurang atau tidak"

"Ah, begitu - kau menginginkan agar kami pergi dengan tenang. Sudah ketakutan setengah mati, tapi pergi dengan tenang. Enak saja kau ngomong!" Pete tertawa hambar.

"Mungkin juga kalian sama sekali tidak merasakan apa-apa," sambung Jupiter, "karena kalian besok harus pergi siang hari. Kalian harus memeriksa tempat itu sementara hari masih terang, Kalau kalian mau, kalian juga bisa berdiri dekat pintu pada saat senja, untuk memeriksa apakah kalian juga merasakan kengerian itu di situ."

"Dia ini memang baik hati," kata Pete pada Bob, "Kita cuma dimintanya berdiri di dalam, dekat pintu."

Bob Andrews mendesah lega.

"Aku tidak bisa ikut, karena besok sehari penuh sibuk terus di perpustakaan," katanya, "Dan lusa juga!"

"Ngomong-ngomong, aku baru ingat sekarang - aku pun besok sibuk sekali," kata Pete. "Apa boleh buat, tugas itu tidak bisa kita laksanakan."

Jupiter mencubiti bibir bawahnya, pertanda otaknya sedang bekerja keras. Kemudian ia mengangguk

"Kalau begitu, rencana perlu kita ubah," katanya.

"Itulah yang selama ini ingin kami tegaskan padamu," tukas Pete.

"Sekarang kan masih siang, Masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum gelap," katanya. "Kalian cepat-cepat saja makan malam, lalu pergi ke Terror Castle. Hari ini juga ­ karena kata kalian sendiri, besok dan lusa tidak sempat."

Kedua temannya hanya bisa melongo.


Edit by: zheraf
http://www.zheraf.net


­Bab 12 HANTU BIRU

­Pete mengumpat-umpat.

"Sialan!" katanya, "Kenapa kalau kita berdebat, selalu Jupiter terus yang akhirnya menang?"

"Sekali ini memang dia yang menang," kata Bob sependapat. Terror Castle tegak di depan mereka, kelihatannya seperti bertengger di tebing ngarai, Menara-menaranya, jendela-jendela yang sudah pecah kacanya, begitu pula tanaman menjalar yang menyelubungi, semua nampak jelas diterangi sinar matahari sore.

­Bob agak bergidik.

"Kurasa sekarang saja kita masuk," katanya, "Tinggal dua jam lagi, matahari terbenam, Nanti tahu-tahu sudah gelap."

Pete menoleh ke belakang, ke arah jalanan yang penuh dengan batu-batu bertaburan. Worthington menunggu dalam mobil, di balik tikungan. Tadi ia membantu Bob melewati tempat-tempat yang paling parah keadaannya. Setelah itu ia harus kembali menjaga mobil, menaati instruksi majikannya.

"Bagaimana - apakah rasanya Skinny Norris membuntuti kita lagi kali ini?" tanya Pete,

­"Tidak, aku dari tadi menengok terus ke belakang," kata Bob, "Lagipula, Jupe merasa yakin bahwa mulai sekarang Skinny pasti tidak berani datang lagi ke Puri Setan ini."

"Tapi kita - kita disuruh membuktikan lebih tabah daripada Skinny," kata Pete sambil menarik napas panjang.

Bob berbekal kamera, sedang tape recorder disandang oleh Pete. Kedua remaja itu membawa senter, yang digantungkan pada ikat pinggang masing-masing, Keduanya melangkah serempak, menaiki jenjang yang menuju ke pintu depan yang besar. Ternyata pintu itu tertutup.

"Aneh," kata Pete dengan kening berkerut. "Aku yakin Skinny tidak menutup pintu, ketika kami melihat dia lari tunggang-langgang keluar waktu itu."

"Mungkin tertutup karena angin," kata Bob.

Pete memutar tombol pintu. Dan pintu terbuka, diiringi bunyi berderit menyeramkan. Kedua remaja itu agak kaget karenanya.

"Itu kan cuma bunyi engsel yang sudah karatan," kata Bob. "Tidak perlu kita gugup karenanya. "

"Siapa bilang aku gugup?" kata Pete. "Aku cuma takut!"

Mereka masuk ke serambi besar, sementara pintu depan dibiarkan terbuka, Di satu sisi serambi itu terdapat sebuah ruangan luas, penuh dengan barang-barang kuno. Kursi serta meja besar dari kayu penuh ukiran, serta pediangan yang besar sekali. Jupiter menugaskan untuk memeriksa tempat itu, serta membuat foto di situ, Bob tidak melihat keistimewaan ruangan itu. Walau demikian dibuatnya juga beberapa foto dengan memakai lampu blitz.

­Kemudian mereka menuju ke serambi bundar, di mana Jupiter dan Pete mendengar gema. Tempat itu rasanya aneh dan suram, terisi pakaian zirah serta lukisan-lukisan Mr. Terrill dengan berbagai jenis kostum yang dipakainya dalam film-filmnya. Tapi kesuraman tempat itu agak dikurangi cahaya matahari yang masuk lewat jendela berdebu yang terdapat dekat tangga menuju ke atas, kira-kira pada pertengahannya.

"Kita pura-pura saja tempat ini museum," kata Bob pada Pete. "Kau kan tahu, bagaimana rasanya apabila sedang berada dalam museum. Suram, tapi sama sekali tidak menakutkan."

"Betul," kata Pete. "Tempat ini rasanya memang mirip museum! Berdebu, kuno dan mati."

"Mati-mati-mati-mati!"

Kata Pete yang terakhir menggema dari segala arah.

"Aduh - gema!" kata Bob.

"Gema-gema-gema-gema!" berulang-ulang kata itu terpantul pada dinding.

Pete menarik temannya agak ke pinggir.

"Kita ke sini," katanya. "Gema itu hanya kedengaran kalau kita berdiri di tempat tadi itu saja."

­Bob biasanya senang mendengar gema. Ia paling senang meneriakkan kata, "halo", lalu mendengarkan gemanya sayup sampai. Tapi dalam Ruang Gema, ia sama sekali tidak ingin mencobanya.

"Kita periksa saja lukisan-lukisan sekarang," katanya. "Yang mana yang katamu menatap dengan mata yang nampaknya hidup?'"

"Itu - di sebelah sana." Pete menuding ke seberang ruangan, menunjuk lukisan bajak laut bermata satu. "Sesaat mata itu nampak hidup, lalu detik berikutnya merupakan lukisan belaka."

"Itu sesuatu yang bisa kita periksa," kata Bob. "Coba berdiri di alas kursi. mungkin kau bisa meraihnya."

Pete mendorong sebuah kursi ke bawah lukisan itu, lalu berdiri di atasnya. Tapi walau dengan berjingkat sekalipun, ternyata ia tidak bisa meraihnya.

"Di atas ada semacam balkon," katanya. "Lukisan-lukisan ini digantungkan dari sana, dengan kawat panjang. Mungkin jika kita naik ke sana, nanti lukisan ini bisa kita tarik ke atas."

Sementara Pete turun dari kursi. Bob berpaling hendak menuju ke tangga. Tepat saat itu dirasakannya ada yang memegang tali penggantung kamera yang tersandang di bahunya. Sekilas dilihatnya sesosok tubuh tinggi berdiri dalam relung gelap yang ada di belakangnya. Bob terpekik karena kaget dan ngeri, lalu bergegas hendak lari ke pintu.

­Tapi larinya tidak jauh. Tali kamera yang terpegang menyebabkan geraknya tertahan. Bob kehilangan keseimbangannya, lalu jatuh ke lantai yang berubin batu pualam. Sementara jatuh, ia masih sempat melihat sesosok tubuh yang kekar bergerak, seperti hendak menyambar ke arahnya. Sosok itu berbaju zirah, dan mengayunkan pedang besar tepat ke arah kepalanya.

Sekali lagi Bob menjerit, sambil cepat-cepat menggeser tubuh ke samping. Pedang panjang itu mengenai lantai disertai bunyi berdentang, tepat di mana Bob tadi terkapar. Dan sosok tubuh berbaju zirah menyusul, ambruk ke lantai diiringi bunyi berisik Kedengarannya seperti tong yang penuh berisi kaleng jatuh ke dalam jurang.

Sementara itu tali kamera sudah terlepas dari bahu Bob. Karenanya Bob tergelincir terus ke lantai yang licin, sampai akhirnya terhenti karena membentur dinding. Ia cepat-cepat berpaling. Menurut perkiraannya, orang berbaju zirah itu pasti mengejarnya. Tapi apa yang dilihatnya saat itu jauh lebih menyeramkan lagi.

Kepala orang yang berbaju zirah, jadi ketopongnya, copot dari leher, dan terguling-guling di lantai. Nyaris saja Bob terpekik untuk ketiga kalinya. Tapi ia sempat memandang lebih jelas. Dengan segera dilihatnya, baju zirah itu ternyata kosong. Tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Dan topi ketopong itu terlepas ketika terbanting ke lantai, lalu terguling-guling ke arahnya.

­Bob berdiri sambil mengibas-ngibaskan debu dari bajunya. Kameranya tergeletak di samping baju zirah, dan talinya masih tetap tersangkut ke situ. Itulah rupanya yang terasa seperti menariknya tadi, ketika Bob bergerak mundur dan agak masuk ke relung.

Bob memungut kamera lalu memotret Pete yang sedang tertawa terpingkal-pingkal.

"Sekarang aku sudah membuat foto Hantu Tertawa dari Puri Setan," katanya. "Mudah-mudahan Jupiter senang melihatnya."

"Sorry, Bob," Pete menyeka air matanya yang mengalir karena terlalu banyak tertawa. "Tapi kau tadi lucu sekali. menyeret-nyeret baju zirah karatan itu sambil berteriak-teriak!"

Bob memperhatikan baju zirah yang tergeletak di lantai. Pakaian perang jaman kuno itu tadinya tegak di atas semacam panggung kecil yang terdapat dalam relung. Dan kini tentunya berantakan di lantai, Baju zirah itu memang agak berkarat, tapi selebihnya masih dalam keadaan lumayan. Bob memotretnya. Setelah itu dipotretnya pula lukisan bajak laut bermata satu yang terpanjang di dinding, serta lukisan-lukisan lainnya.

"Kalau kau sudah selesai tertawa." katanya pada Pete, "ini ada pintu yang tidak kita lihat tadi, Dan ini ada tulisan -" Bob memicingkan mata, supaya bisa membaca tulisan yang terukir pada pelat kuningan yang terpasang pada daun pintu itu, "Ruang proyeksi."

­Pete datang menghampiri.

"Menurut cerita ayahku, jaman dulu bintang-bintang film yang top, semuanya punya ruang proyeksi sendiri di rumah mereka. Di situlah mereka mempertunjukkan film mereka yang terbaru pada para sahabat. Yuk, kita periksa kayak apa ruangan itu."

Bob menarik tombol pintu. Ia harus mengerahkan tenaga, barulah pintu terbuka dengan pelan. Seolah-olah ada yang menahan dari balik pintu. Begitu pintu terbuka, tercium bau udara pengap. Kedua remaja itu menatap sebuah ruangan yang gelap, segelap dalam perut buaya. Pokoknya, sama-sama menyeramkan.

Pete mengambil senter yang tergantung pada ikat pinggang, lalu menyorotkannya ke dalam ruangan itu; Ternyata yang bernama ruang proyeksi itu sebuah kamar yang luas, dengan sekitar seratus kursi beralas empuk di dalamnya, Di seberang ruangan nampak samar bentuk sebuah orgel yang berukuran besar.

"Ruangan ini perlengkapannya persis sama kayak bioskop jaman dulu," kata Pete, "Lihat saja orgel itu, ukurannya ada sepuluh kali lebih besar daripada orgel yang dibeli Mr. Jones. Yuk, kita memeriksanya sebentar,"

Bob mencoba menyalakan senternya, Tapi tidak menyala. Rupanya rusak ketika ia terjatuh tadi. Untung saja senter yang dipegang Pete terang sekali sinarnya.

­Kedua remaja itu menghampiri orgel kuno yang terdapat di seberang ruangan. Keduanya sudah tidak gugup lagi, Semangat mereka sudah bangkit kembali, setelah mengalami kejadian Bob bergulat melawan baju zirah,

Orgel kuno itu, yang pipa-pipanya menjulang tinggi sampai ke langit-langit ruangan, nampak penuh debu serta jaring laba-laba. Bob memotretnya sekali, untuk dipertunjukkan pada Jupiter.

Setelah itu mereka meneruskan pemeriksaan. Alas kursi yang nampaknya empuk, ternyata sudah lapuk semuanya. Kain yang robek-robek tergantung di tempat yang dulunya merupakan layar putih. Semakin lama Bob dan Pete berada dalam ruangan itu, hawa rasanya semakin pengap.

"Di sini tidak ada apa-apa," kata Pete. "Sekarang kita periksa apa yang ada di atas,"

Mereka kembali ke Bilik Gema, lalu menaiki tangga yang melengkung ke atas pada satu sisi bilik itu, Setelah sampai setengah jalan, di tempat yang ada jendelanya yang berdebu, mereka berhenti untuk melihat sebentar ke luar. Mereka melihat bahwa dinding puri letaknya bersebelahan dengan tebing curam Black Canyon.

"Masih cukup banyak waktu sebelum gelap," kata Bob,

"Kalau begitu, kita periksa lukisan-lukisan itu dengan lebih seksama," usul Pete. "Kita tarik ke atas, lalu kita periksa kalau-kalau ada sesuatu yang aneh."

­Sesampai di balkon, mereka melihat bahwa lukisan-lukisan itu semuanya tergantung pada sebuah papan yang terpasang di bawah balkon.

Bersama-sama mereka menarik kawat penggantung lukisan bajak laut. Bingkai lukisan itu berat. Tapi akhirnya mereka berhasil juga menariknya ke atas. Lalu mereka memeriksanya dengan bantuan sinar senter.

Lukisan itu sebenarnya biasa saja. Permukaannya agak mengkilat, karena lukisan itu dibuat dengan cat minyak. Menurut Bob, mungkin kilatan cat itu yang menyebabkan Pete mengira mata yang menatapnya hidup, Tapi Pete masih agak sangsi,

"Aku sungguh-sungguh mendapat kesan bahwa mata yang menatapku itu hidup," katanya, "Tapi rupanya aku salah lihat. Sudahlah, kita kembalikan saja lukisan ini ke tempatnya semula."

Setelah lukisan diturunkan kembali, mereka melanjutkan langkah, menaiki tangga, Mereka bermaksud hendak mulai memeriksa dari tingkat paling atas, lalu pelan-pelan turun ke tingkat bawah.

Mereka mendaki tangga putar itu terus, sampai akhirnya tiba dalam sebuah menara kecil berbentuk bulat. Menara itu letaknya tinggi di puncak puri. Jendelanya kecil-kecil, persis puri yang sebenarnya, Bedanya cuma bahwa jendela-jendela itu berkaca.

Bob dan Pete memandang ke bawah. Mereka berada di tempat yang lebih tinggi daripada sisi atas tebing ngarai, Di kejauhan nampak bukit berderet-deret, bukit di balik bukit sejauh mata memandang, Tiba-tiba Pete berseru kaget.

"Lihat - ada antena televisi," katanya, Di atas tebing yang paling dekat dengan tempat mereka nampak tiang antena televisi. Rupanya dipasang di situ oleh seseorang yang tinggal dalam ngarai berikutnya, dan yang dari situ penerimaan pesawat televisinya kurang baik.

'Ternyata di dekat sini ada ngarai lagi," kata Pete. "Rupanya tempat ini tidak begitu terpencil seperti sangkaan kita."

"Pegunungan sini banyak sekali ngarainya," kata Bob. "Tapi coba kauperhatikan, tebingnya terjal sekali, Cuma kambing gunung saja yang bisa mendakinya sampai ke puncak Kalau manusia hendak ke ngarai seberang, terpaksa mengambil jalan memutar."

"Betul juga," kata Pete. "Yah, di sini tidak ada apa-apa, Yuk, kita mulai turun saja sekarang, sambil memeriksa kalau-kalau ada sesuatu yang mungkin ingin diketahui oleh Jupiter,"

Di lantai berikut sebelah bawah mereka sampai di sebuah serambi. Di ujung serambi ada pintu terbuka. Pete dan Bob menjenguk sebentar ke dalam. Rupanya kamar di sebelah serambi itu ruang perpustakaan Stephen Terrill, di mana ia meninggalkan surat sebelum menjatuhkan diri dengan mobilnya ke bawah tebing. Soalnya, dalam kamar itu nampak buku-buku berjejer-jejer di atas rak. Sedang di salah satu dindingnya tergantung lukisan-lukisan yang sejenis dengan yang dipajang dalam Bilik Gema, tapi berukuran lebih kecil.

"Sebaiknya kita periksa tempat ini," kata Pete. Mereka lantas masuk ke ruang perpustakaan itu, Lukisan-lukisan yang terpajang, semua menampakkan Stephen Terrill yang berpose menurut berbagai peranan filmnya. Setiap lukisan menunjukkan dirinya dalam wujud lain. Ada Terrill sebagai bajak laut, pembegal, jadi-jadian, mayat hidup, vampir pengisap darah, makhluk seram dari dasar laut. Melihat segala lukisan itu. Bob lantas merasa ingin bisa melihat segala film itu.

"Ia dijuluki 'Orang dengan Sejuta wajah'," katanya pada Pete, sementara kedua remaja itu memperhatikan lukisan-lukisan itu satu per satu,

"Astaga - coba lihat itu!"

Mereka sampai di depan sebuah relung yang tidak dalam, Di situ terpajang peti mumi. Sebuah peti mayat asli Mesir, seperti yang ada di museum-museum, Peti itu tertutup, dan di atasnya terpasang sebuah pelat dari perak, Pete menyorotkan senternya ke pelat itu, Dengan mata terpicing, Bob membaca tulisan yang terukir di situ,

­ISI PETI INI DIWARISKAN PEMILlKNYA, MR. HUGH WILSON,

KEPADA ORANG YANG TELAH BEGITU SERING MENYAJIKAN HIBURAN MENARIK BAGINYA

­MR. STEPHEN TERRILL

­"Astaga!" kata Pete, "Menurutmu, apa kira-kiranya isi peti ini?"

"Mungkin mumi," tebak Bob, "Atau mungkin pula sesuatu yang berharga. Yuk, kita lihat sebentar."

Berdua mereka berusaha mengangkat tutup peti mumi itu, Tidak begitu mudah, karena tutup itu berat. Ketika sudah terangkat sampai separuh, tiba-tiba Pete menjerit. Tutup peti itu dilepaskannya, sehingga terbanting dan menutup peti kembali.

"Kau juga melihatnya tadi?" kata Pete.

Bob mereguk ludah dulu beberapa kali sebelum bisa menjawab.

"Ya, aku juga melihatnya, isinya kerangka manusia," katanya, "Kerangka putih bersih, dengan tengkorak yang menyeringai."

"Kurasa itulah yang diwariskan orang yang bernama Hugh Wilson itu pada Stephen Terrill sebagai tanda terima kasih karena merasa sering terhibur dengan film-filmnya," kata Bob. "Ia mewariskan kerangkanya sendiri! Kita buka saja lagi peti itu, supaya kubuat fotonya - untuk Jupe,"

Pete sebetulnya segan, Tapi Bob mengingatkannya, kerangka kan cuma tulang-belulang yang tidak bisa apa-apa. Akhirnya peti itu mereka buka lagi. Bob memotret kerangka dengan tengkorak yang meringis. la yakin, Jupiter pasti berminat.

Sementara Bob sibuk memutar rol film dan memasang lampu blitz baru, Pete menghampiri jendela. Begitu memandang ke luar, ia langsung berseru dengan nada kaget.

"He! Kita perlu cepat-cepat sedikit!" katanya, "Di luar sudah mulai gelap,"

Bob memandang jarum arlojinya, "Tidak mungkin," katanya, "masih ada waktu satu jam lagi sebelum matahari terbenam."

"Mungkin matahari tidak tahu melihat jam - pokoknya sekarang sudah mulai gelap, Lihat saja sendiri."

Bob menghampiri jendela, Benar juga, di luar mulai gelap. Matahari mulai menghilang di balik tebing ngarai. Tapi cahayanya masih kelihatan dari jendela, karena Terror Castle tinggi letaknya di lereng tebing.

"Aku lupa bahwa dalam ngarai cepat gelap," kata Bob,

"Yuk, kita pergi sekarang," kata Pete. "Ini satu-satunya tempat di mana aku tidak kepingin berada setelah gelap."

Mereka bergegas ke serambi yang tadi. Sesampai di situ mereka memandang ke kiri dan ke kanan, ke gang yang menjulur ke dua arah di situ. Di kedua ujung gang nampak tangga. Mereka tidak ingat lagi, tangga mana yang mereka pakai tadi. Akhirnya Pete memilih tangga yang paling dekat saja.

Cahaya matahari sudah semakin remang-remang ketika mereka sampai di tingkat berikut yang sebelah bawah lagi, Mereka tidak bisa menemukan tangga lagi di situ, yang menuju ke bawah, Setelah mencari-cari, akhirnya mereka sampai di pangkal jenjang yang sempit. Jenjang itu letaknya di ujung serambi, di belakang sebuah pintu,

"Kita tadi naik tidak lewat sini," kata Bob, "Lebih baik kembali saja ke tempat semula."

"Ah, tangga ini kan juga menuju ke bawah," jawab Pete, "Dan kita kan maunya ke bawah - selekas mungkin! Ayolah, tunggu apa lagi?"

Mereka menginjakkan kaki ke anak tangga pertama. Tapi begitu daun pintu dilepaskan, pintu itu langsung tertutup kembali. Tempat jenjang itu kini gelap gulita,

"Sebaiknya kita cari saja tangga yang kita lewati tadi sewaktu naik," kata Bob gelisah. "Tidak enak perasaanku di tempat gelap ini. Kau saja tidak bisa kulihat, padahal kau ada di dekatku,"

"Perasaanmu tidak enak Perasaanku juga tidak enak. Jadi cocok," kata Pete. "Kau di mana, Bob?"

Tangannya menggapai-gapai mencari Bob. Akhirnya ketemu, "Oke, jangan sampai kita terpisah. Kita kembali ke atas sekarang, lalu kita buka lagi pintu tadi."

Keduanya merayap kembali ke atas, langkah demi langkah. Mereka tiba di belakang pintu. Tapi pintu itu tidak bisa dibuka.

"Rupanya dari dalam tidak bisa dibuka," kata Bob Andrews. Dipaksanya dirinya agar tidak terdengar gugup. "Jadi mau tidak mau, kita harus turun lewat jenjang ini."

­"Kita perlu lampu!" kata Pete. "Jika kita bisa menemukan -Aduh, aku ini bagaimana sih? Kan ada senter! Masih baru lagi,"

"Kalau begitu cepatlah nyalakan," kata Bob. "Kegelapan ini rasanya menyesakkan. Dan juga semakin bertambah pekat."

'Ternyata aku tidak punya senter." Suara Pete terdengar agak bergetar. "Masih ingat, ketika kita tadi menutup kembali peti mumi? Rupanya senterku tertinggal di tempat itu."

"Hebat!" tukas Bob. "Bagus! Sedang senterku rusak, ketika aku tadi terjatuh karena baju zirah keparat itu!"

"Ah, mungkin tidak rusak - cuma agak longgar," kata Pete, "Kadang-kadang itu bisa terjadi."

Diraihnya senter yang tergantung pada ikat pinggang Bob Andrews. Terdengar bunyi tangan Pete menepuk-nepuk alat itu. Lama tidak terjadi apa-apa. Tapi kemudian senter itu bisa menyala juga. Tapi tidak terang, melainkan remang-remang saja,

"Hubungannya tidak baik," kata Pete. "Terangnya sama seperti cahaya lilin. Ah, pokoknya tidak segelap tadi. Yuk, kita terus!"

Keduanya melanjutkan langkah, menuruni jenjang sempit yang berputar-putar. Bob sama sekali tidak menyangka ia bisa berjalan begitu cepat, dengan kakinya yang belum sembuh betul.

Pete berada di depan, menuruni jenjang dengan bantuan cahaya senter yang cuma remang-remang. Akhirnya mereka sampai di kaki tangga. Menurut dugaan mereka, pasti mereka sudah sampai di lantai dasar. Senter disorotkan berkeliling. Dengan cahayanya yang lemah, mereka masih bisa mengenali bahwa saat itu mereka berada dalam sebuah bilik kecil berbentuk persegi empat. Dalam bilik itu terdapat dua buah pintu. Sementara mereka masih bimbang pintu mana yang dipilih, tiba-tiba Pete menyambar lengan Bob.

"He! Kaudengar tidak?" katanya,

Bob Andrews menajamkan pendengarannya, Didengarnya bunyi musik orgel. Samar-samar. Aneh bunyinya! Ada orang yang sedang memainkan orgel tua yang terdapat dalam ruang proyeksi. Tiba-tiba Bob merasakan kegelisahan luar biasa, yang diceritakan Jupiter.

"Bunyinya datang dari sana," bisik Pete, sambil menuding salah satu pintu.

"Kalau begitu kita ke sana." Bob menuding pintu yang satu lagi.

"Tidak! Ke sini," kata Pete. "Karena lewat sini, kita akan sampai di ruang proyeksi. Dan kita tahu, pintu depan letaknya di luar ruangan itu. Kalau kita lewat pintu itu yang satu lagi, jangan-jangan nanti tersesat. Lebih baik merasa seram, daripada tidak bisa keluar."

Pete membuka pintu yang dimaksudkan olehnya, lalu melangkah dengan tegas memasuki sebuah serambi gelap, sambil terus memegang tangan Bob. Semakin jauh mereka melangkah, semakin nyaring pula bunyi musik orgel. Tapi walau begitu tetap terdengar seperti jauh sekali, diselingi bunyi geresek dan lengkingan. Persis musik hantu!

Bob melangkah terus, karena Pete tidak mau melepaskan tangannya. Tapi semakin dekat mereka ke sumber bunyi musik, semakin gelisah saja perasaannya. Akhirnya Pete mendorong sebuah pintu. Mereka sudah sampai di ruang proyeksi.

Mereka mengetahuinya, karena sinar senter yang redup menerangi punggung deretan kursi paling belakang, Jauh di depan, dekat orgel, nampak semacam cahaya pendar berwarna biru.

Cahaya itu tergantung kira-kira semeter dari lantai. Kelihatannya seperti gumpalan bercahaya. Sementara itu orgel terus terdengar dimainkan, disertai bunyi desah dan pekikan.

"Hantu Biru!" kata Bob dengan suara tercekik.

Tepat pada saat itu kegelisahannya yang semakin memuncak, beralih menjadi kengerian yang luar biasa, Persis seperti yang diharapkan Jupiter akan terjadi.

Pete dan Bob cepat-cepat lari menuju pintu. Pete bergegas mendorongnya, dan mereka berdua sampai di Bilik Gema, Mereka tidak berhenti di situ, tapi langsung menuju ke pintu besar di depan yang masih terbuka seperti tadi. Sesampai di teras pun mereka tidak berhenti. Keduanya lari terus. Tapi kaki Bob yang bekas patah agak terseret-seret. Tiba-tiba ia tersandung dan jatuh. Pete lari begitu cepat, sehingga tidak tahu bahwa temannya tertinggal. Bob terjungkir dan jatuh di atas setumpuk daun kering yang terdapat di sudut teras. Remaja itu langsung menyusup masuk ke dalam tumpukan itu, seperti seekor tikus yang hendak menyelamatkan diri.

Dengan hati berdebar, ditunggunya Hantu Biru tadi datang mengejar. Ia tidak bisa mendengar apa-apa, karena dikalahkan napasnya yang tersengal-sengal. Ketika hal itu disadarinya, ia lantas menahan napas. Di tengah kesunyian yang tiba-tiba mencekam, didengarnya makhluk gaib itu mencari-cari dirinya. Terdengar bunyi langkahnya menggeleser di atas ubin teras, makin lama makin dekat. Napasnya tersentak-sentak, Menyeramkan!

Tiba-tiba bunyi langkah itu terhenti. Makhluk itu tegak tepat di depan Bob bersembunyi. Lama sekali ia berdiri di situ, sementara napasnya masih tersengal-sengal. Tapi kemudian ia meraih bahu Bob, Begitu Bob merasa bahunya dipegang, seketika itu juga terpekik. Suaranya melengking tinggi, membahana dalam ngarai dan terpantul pada lereng bukit terdekat.





Bab 13 TANDA SANDI

­"Lalu apa yang terjadi setelah Hantu Biru menyentuh bahumu, Bob?"

­Pertanyaan itu diajukan oleh Jupiter. Saat itu Trio Detektif sedang mengadakan rapat mereka yang pertama sejak tiga hari, dalam Markas Besar. Selama itu Pete bepergian ikut orang tuanya, mengunjungi keluarga di San Francisco. Sedang Bob sibuk sekali di perpustakaan, menyusun kembali daftar buku-buku. Kebetulan salah seorang pembantu lainnya sakit, jadi Bob terpaksa bekerja terus sampai malam, Jupiter berbaring di tempat tidur, memberi kesempatan agar pergelangan kakinya betul-betul sembuh, Untuk melewatkan waktu, ia membaca buku. Dan setelah tiga hari, barulah mereka sempat berkumpul kembali dan berunding dengan tenang,

­"Nah?" tanya Jupiter lagi. "Setelah itu, apa yang terjadi?".

"Maksudmu, setelah aku menjerit?" Bob Andrews kelihatannya akan segan membicarakan hal itu.

"Tepat... sesudah kau berteriak."

­"Kenapa tidak tanya saja pada Pete?" kata Bob. mengelakkan pemberian jawaban, "Ia kan juga mengalaminya, "

"Baiklah! Kau saja yang menceritakan apa yang terjadi, Pete."

Pete kelihatan agak malu-malu. Tapi ia menjawab juga.

"Aku jatuh," katanya. "Bob menjerit begitu keras ketika aku menjamah bahunya, sampai aku kaget dan menimpanya. Ia meronta-ronta sambil menjerit-jerit. Ia berteriak, 'Lepaskan aku, Hantu! Ayo, kembali ke tempatmu di dalam, kalau tidak ingin menyesal nanti." Lenganku sampai sakit rasanya karena berusaha menahannya! Akhirnya aku berhasil juga menyadarkan bahwa akulah yang datang kembali untuk melihat apa yang terjadi dengan dirinya."

"Bob, biar anaknya kecil, tapi berhati singa," kata Jupiter. Ia berkata lagi pada Pete, "Jadi setelah kau sadar bahwa ia tidak ada lagi di sampingmu, kau lantas kembali untuk mencari. Sedang dia mendengar napasmu yang tersengal-sengal, mengira kau Hantu Biru ketika kau membungkuk menjamahnya. Betul begitu?"

Bob mengangguk, tanpa mengatakan apa-apa. Ia merasa agak konyol ketika itu, setelah akhirnya menyadari bahwa yang datang itu Peter. Selama beberapa saat Bob benar-benar menyangka sedang bergulat melawan Hantu Biru.

Jupiter menekan-nekan bibir bawahnya. Ia kelihatannya puas.

­"Lalu setelah kalian tidak bergulat lagi, kalian menyadari sesuatu," katanya, "Kalian kan menyadari bahwa rasa ngeri yang luar biasa itu tahu-tahu sudah lenyap?"

Pete dan Bob saling berpandang-pandangan. Dari mana lagi Jupiter mengetahuinya? Padahal mereka sendiri tadi sudah berniat untuk menyimpan informasi itu sampai saat terakhir.

"Betul," kata Pete, "Perasaan itu tahu-tahu lenyap."

"Jadi hanya terasa dalam batas-batas dinding Terror Castle," kata Jupiter, "Itu penemuan penting, "

"Penting?" tanya Bob tidak mengerti.

"Aku yakin," kata Jupiter, "Kurasa foto-foto sudah siap untuk diteliti sekarang, ToIong ambilkan dari kamar gelap, Pete - sementara lubang hawa kututup, Paman Titus berisik sekali di luar!"

Mr. Jones memang berisik sekali. Akhirnya ia berhasil memasang bagian-bagian orgel yang dibelinya, Ketika Jupiter masih terbaring di tempat tidur, ia menyibukkan diri dengan membaca buku tentang orgel, yang dipinjam dari perpustakaan. Karenanya ia bisa membantu Paman Titus dengan saran-saran mengenai pemasangan alat musik itu. Dan kini pamannya itu sedang menguji coba orgel yang telah dipasang. Ia memainkan sebuah lagu pelaut, yang sangat disenangi Hans dan Konrad. Nada-nada yang paling rendah dimainkannya dengan hembusan angin sebanyak mungkin, disertai nada-nada iringan yang bergetar.

Lubang hawa di atas Markas Besar dibiarkan terbuka oleh ketiga remaja yang sedang berembuk. Jadi bunyi musik terdengar jelas sekali di dalam ruangan itu. Pada saat Mr. Jones memainkan nada-nada rendah, segala benda yang ada di dalam ikut bergetar. Bob sampai merasa seakan-akan musik itu hendak menjunjungnya ke atas.

Sementara Jupiter menutup lubang hawa, Pete sudah kembali dari kamar gelap. Ia membawa foto-foto yang dibuat oleh Bob di Puri Setan. Foto-foto itu masih belum kering benar, tapi sudah bisa dilihat.

Jupiter meneliti foto-foto itu dengan bantuan kaca pembesar. Setelah itu diteruskannya pada Bob dan Pete. Ia paling lama meneliti foto-foto yang diambil dalam ruangan perpustakaan Mr. TerrilI, begitu pula baju zirah yang menguber Bob.

"Bagus sekali, Bob," katanya kemudian. "Dengan satu kekecualian. Kau tidak membuat foto Hantu Biru, yang sedang memainkan orgel kuno itu,"

"Maksudmu, kau mengharapkan aku menghampiri gumpalan cahaya biru itu, yang sedang memainkan orgel yang sebetulnya sudah rusak?" tukas Bob Andrews.

"Siapa pun juga, takkan sempat berhenti sebentar untuk memotret," sela Pete. "Saat itu suasana di situ penuh kengerian. Kurasa kau pun takkan mampu, Jupe."

"Ya, kurasa betul juga katamu," kata Jupiter. "Memang sulit bertindak tenang, jika hati tercengkam rasa takut. Tapi walau begitu, jika kita punya fotonya, akan jauh lebih gampang bagi kita untuk memecahkan misteri itu,"

Pete dan Bob diam saja. Mereka menunggu, Jupiter selama tiga hari itu banyak waktunya untuk berpikir-pikir. Dan kelihatannya banyak hal yang dipikirkannya, yang belum diceritakan.

"Begini," kata Jupiter menjelaskan, "pengalaman kalian di sana itu dalam satu hal lain dari biasanya. Hantu Biru Puri Setan muncul ketika hari masih siang."

"Tapi di dalam sudah gelap," kata Pete. "Liang tambang batubara pun masih kalah gelap."

"Walau begitu, di luar matahari masih bersinar. Selama ini belum pernah ada laporan tentang hantu itu muncul sebelum malam. Yah, kita periksa saja apa yang bisa disimpulkan dari foto-foto lainnya."

Dipungutnya foto salah satu baju zirah.

"Pakaian perang kuno ini kelihatannya masih baik," katanya. "Belum begitu berkarat."

"Ya - karatnya cuma di sana-sini saja," kata Bob.

"Lalu buku-buku di perpustakaan ini, juga tidak terlalu berdebu."

"Ada juga debu di situ, tapi tidak terlalu tebal," kata Pete.

­"Hmm," Jupiter kini mengamat-amati kerangka manusia yang terbaring dalam peti mumi,

"Kerangka ini! Warisan yang lain sekali dari kelaziman, "

Saat ini seluruh karavan terasa bergetar keras, Sepotong besi yang tersandar di dinding luar bergeser dan memukul-mukul sisinya. Ketiga remaja itu merasa seolah-olah terangkat ke atas dengan tiba-tiba. Penyebabnya? Hembusan orgel yang sedang di mainkan oleh Mr. Jones, yang rupanya menghembuskan udara sebanyak-banyaknya ke dalam pipa bunyi.

"Wow! Kusangka ada gempa!" kata Pete kaget.

"Paman Titus kalau main orgel tidak setengah-setengah," kata Jupiter, "Kalau begini terus, percuma saja kita melanjutkan rapat ini. Tapi sebelum bubar, ini ada sesuatu untuk kalian."

Jupiter mengambil dua batang kapur panjang, lalu menyerahkannya masing-masing satu pada Bob dan Pete. Kapur itu sama seperti yang biasa dipakai di sekolah, Hanya warna yang diserahkan pada Pete biru, sedang yang diterima Bob berwarna hijau.

"Ini untuk apa?" tanya Pete,

"Untuk menandai jejak dengan lambang Trio Detektif." Jupiter mengambil sepotong kapur putih, lalu membuat tanda tanya yang besar di dinding karavan.

"Tanda ini berarti salah seorang anggota Trio Detektif pernah lewat di sini," katanya. "Dari warnanya yang putih bisa diketahui bahwa yang membuatnya Penyelidik Pertama. Tanda tanya berwarna biru berarti yang membuatnya kau, Pete. Jadi Penyelidik Kedua. Sedang hijau berarti kau, Bob. Coba ide ini sudah kuperoleh lebih dulu, kalian takkan tersesat dalam Terror Castle.

Soalnya, dengan tanda ini kalian bisa menandai jalan yang dilewati, sehingga sewaktu kembali tinggal menyusurnya saja ke tempat awal."

"Wah! Betul juga," kata Pete,

"Perhatikan saja kesederhanaannya," kata Jupiter lebih lanjut. "Tanda tanya kan merupakan tanda yang paling tidak aneh. Kalau ada orang melihat tanda tanya dibuat dengan kapur di dinding atau ambang pintu, pasti dikira yang membuatnya anak-anak yang lupa menghapusnya sehabis bermain-main. Tapi bagi kita, tanda tanya merupakan pesan yang berarti. Kita bisa memakainya untuk menandai jalan yang dilewati, begitu pula tanda persembunyian, atau menandai tempat tinggal orang yang dicurigai. Mulai saat ini, kalian harus selalu membawa kapur khusus ini."

Bob dan Pete berjanji tidak akan pernah melupakannya. Setelah itu Jupiter mengemukakan pokok persoalan utama,

"Aku sudah menelepon kantor Mr. Alfred Hitchcock," katanya, "Kata Henrietta, besok pagi Mr. Hitchcock akan mengadakan rapat dengan stafnya, guna memutuskan apakah mereka akan ke Inggris atau tidak, untuk membuat filmnya di lokasi rumah berhantu di sana. Itu berarti. besok pagi laporan kita sudah harus masuk. Dan itu berarti pula bahwa -"

'Tidak! Aku tidak mau!" teriak Pete. "Bagiku, Terror Castle sudah pasti ada hantunya. Tidak perlu dibuktikan lagi!"

"Ketika aku masih terbaring di tempat tidur, aku menarik beberapa kesimpulan yang masih perlu diuji kebenarannya," kata Jupiter, tanpa mengacuhkan protes temannya, "Dan kita harus bertindak cepat, supaya tidak terlambat menyampaikan laporan pada Mr. Hitchcock. Karena itu kalian harus minta ijin pada orang tua masing-masing, agar diperbolehkan keluar sampai larut malam ini. Malam ini kita melakukan gebrakan terakhir untuk menyibakkan rahasia Puri Setan!"


Edit by: zheraf
http://www.zheraf.net


Bab 14 HANTU DALAM CERMIN

­Terror Castle menjulang dalam gelap, di hadapan Pete dan Jupiter, Malam itu tidak ada bulan, Hanya beberapa bintang saja kemerlip, memecah kegelapan ngarai.

"Malam tidak akan lebih gelap lagi dari sekarang," kata Jupiter dengan suara tertahan, "Jadi kita masuk sajalah."

Pete menenteng senternya yang baru dan bercahaya terang, Senter itu dibelinya dengan uang sakunya. Sedang senternya yang lama masih tertinggal dalam perpustakaan,

Kedua remaja itu mendaki jenjang yang sudah retak-retak, lalu melintasi teras. Jupiter agak pincang jalannya, karena ia belum berani terlalu membebani pergelangan kaki yang baru sembuh dan masih dibalut erat.

Langkah kaki mereka terdengar nyaring dalam gelap. Di salah satu tempat seekor binatang kecil kaget karena kedatangan mereka. Binatang itu melesat pergi dari persembunyiannya, melarikan diri dari cahaya senter yang terang.

"Apa pun juga binatang itu, pokoknya dia pintar," kata Pete, "Dia lari dari sini."

­Jupiter diam saja, Tangannya meraih tombol pintu depan, lalu menarik-narik, Tapi daun pintu tidak bisa dibuka,

"Agak macet rupanya," katanya. "Coba tolong sebentar. "

Pete ikut menarik, Tahu-tahu tombol yang terbuat dari kuningan itu terlepas. Pete dan Jupiter terjungkir ke belakang, jatuh bergelimpangan di ubin.

"Uuu!" desah Pete dengan napas sesak. "Kau berbaring di atas perutku. Aku tidak bisa bergerak - tidak bisa bemapas,"

Jupiter berguling ke samping, lalu berdiri lagi, Pete ikut bangkit. Dipegang-pegangnya seluruh tubuhnya, untuk memeriksa kalau-kalau ada yang patah atau terkilir.

"Rupanya semua beres," katanya kemudian,

"Kecuali akal sehatku, yang rupanya ketinggalan di rumah."

­Jupiter tidak mengacuhkan sindiran temannya itu, la memperhatikan tombol pintu dengan bantuan cahaya senternya,

"Lihatlah," katanya. "rupanya sekrup yang menahan tombol ini ke batang itu terlepas."

"Mungkin aus," gumam Pete. "Habis, belakangan ini banyak sekali orang lalu-lalang lewat pintu ini."

"Hmm." Jupiter nampak sedang berpikir. Keningnya berkerut. "Jangan-jangan ada yang sengaja melepaskannya."

­"Siapa sih yang mau berbuat begitu?" tanya Pete. "Pokoknya, sekarang kita tidak bisa masuk! Jadi lebih baik kita kembali saja."

"Kurasa kita akan bisa berhasil masuk lewat jalan lain," kata Jupiter. "Kita coba saja lewat pintu angin yang di sana itu."

Ia langsung menyusur dinding depan bangunan itu. Berseberangan dengan teras, terdapat enam pintu angin yang tinggi. Pintu angin sebenarnya jendela, tapi ambang bawahnya rendah sekali sehingga lebih tepat disebut pintu,

Lima di antaranya ternyata terkunci dari dalam. Tapi yang keenam ternganga sedikit. Jupiter menariknya. Ternyata bisa dibuka dengan gampang. Ruangan di belakangnya gelap gulita.

Kegelapan itu sesaat kemudian ditembus cahaya senter Jupiter yang masih berdiri di luar. Diterangi cahayanya, nampak sebuah meja panjang dengan kursi-kursi di sekelilingnya. Di satu ujung meja nampak samar tumpukan piring.

"Ini kamar makan," kata Jupiter dengan suara pelan. "Kita bisa masuk lewat sini,"

Sesampai di dalam, kedua remaja itu menyorotkan senter mereka ke sana kemari. Mereka melihat kursi-kursi bagus penuh ukiran meja panjang dari kayu mahoni, sebuah bufet besar serta dinding kamar berlapis papan berukir-ukir.

"Kelihatannya di sini ada beberapa pintu," kata Jupiter. "Lalu kita masuk lewat mana?"

­"Bagiku sih sama - Huhh!" Pete berseru dengan suara tercekik, Ketika ia hendak menjawab pertanyaan Jupiter, ia menoleh sedikit ke samping. Saat itu dilihatnya seorang wanita memakai gaun panjang terjela-jela, datang ke arah mereka. Gaun yang dipakai berpotongan kuno. Pete pernah melihat lukisan yang dibuat sekitar tiga abad yang lalu, menampakkan seorang wanita memakai gaun semacam itu.

Seutas tali terbelit di leher wanita itu. Ujungnya tergantung ke depan, terulur menyentuh kaki. Tangannya terselip ke dalam gaun yang lebar. Wanita itu menatap kedua remaja itu dengan pandangan pilu.

Pete menarik lengan jaket Jupiter.

"Ada apa?" tanya Jupiter.

"Li-li-lihatlah," kata Pete gugup, "Kita tidak sendiri di sini."

Dengan cepat Jupiter berpaling. Pete merasa tubuh temannya itu mengejang. Itu berarti Jupiter juga melihatnya - melihat wanita yang menatap mereka tanpa bergerak-gerak. Wanita itu tidak kelihatan seperti bernapas. Ia hanya berdiri saja, sambil menatap. Pete merasa tahu siapa wanita itu. Pasti hantu gadis yang menurut cerita Mr. Rex menggantung dirinya sendiri, karena tidak mau dipaksa menikah dengan pria pilihan ayahnya.

Sesaat kedua remaja itu berdiri seperti terpaku di tempat masing-masing. Sedang bayangan mengerikan itu juga tidak bergerak atau pun berbicara.

­"Sorotkan sentermu ke arahnya," bisik Jupiter, Tunggu sampai aku memberi aba-aba... ya!"

Keduanya serempak mengarahkan sorotan senter mereka pada wanita itu, Tapi seketika itu juga bayangan itu lenyap. Mereka hanya menatap sebuah cermin, yang memantulkan sinar senter ke mata mereka.

"Cermin!" seru Pete kaget. "Kalau begitu, selama ini ia ada di belakang kita."

Dengan cepat ia berbalik, sambil mengarahkan sinar senternya ke belakang, Tapi di situ pun tidak ada apa-apa, Hanya mereka berdua saja yang ada dalam ruangan itu.

"Dia sudah pergi," kata Pete. "Dan aku juga mau pergi! Itu tadi hantu!"

"Tunggu!" Jupiter menggenggam pergelangan tangan Pete, "Kelihatannya kita tadi melihat bayangan hantu dalam cermin, tadi mungkin juga kita keliru. Aku menyesal tadi bertindak terlalu tergesa-gesa. Padahal seharusnya kejadian tadi perlu kita selidiki dengan lebih tenang,"

"Lebih tenang?" teriak Pete, "Tapi kenapa kau tadi tidak memotretnya? Kan kau yang membawa kamera."

"Ya, betul juga!" Dari suaranya, terdengar bahwa Jupiter agak menyesal. "Aku lupa!"

"Kalau kaupotret pun, pasti takkan kelihatan apa-apa. Hantu tidak bisa dipotret."

"Dan juga tidak kelihatan bayangannya dalam cermin," balas Jupiter, "Dan yang tadi itu kelihatan bayangannya pada cermin itu! Atau kalau tidak, ia berada dalam cermin itu sendiri. Tapi aku belum pernah mendengar ada hantu cermin. Coba dia muncul lagi sekarang."

"Itu kemauanmu, Jupe - kalau aku sih lebih baik jangan," tukas Pete, "Sudahlah, kita sudah membuktikannya bahwa Terror Castle ini benar-benar berhantu. Kita laporkan saja pada Mr. Hitchcock. "

"Kita kan baru saja mulai," balas Jupiter. "Masih banyak lagi yang perlu diselidiki. Dan mulai sekarang, aku takkan lupa memotret. Aku kepingin memotret Hantu Biru sedang memainkan orgel rusak."

­Sikapnya yang tetap tenang meredakan kegugupan Pete, la mengangkat bahu.

"Ya deh," katanya pasrah, "Tapi apa tidak perlu kita membuat tanda dengan kapur, supaya jangan tersesat nanti?"

Jupiter berseru dengan nada kesal.

"Lagi-lagi aku lupa!" katanya, "Tapi masih belum terlambat."

­Dihampirinya pintu angin tempat mereka masuk tadi, lalu dibubuhkannya tanda tanya yang besar dengan kapur di situ. Lalu dibubuhkannya pula tanda yang sama di atas meja makan yang besar. Ia melakukannya dengan hati-hati, supaya permukaan daun meja yang mengkilat itu tidak rusak. Kemudian ia mendekati cermin besar yang terpasang di dinding, untuk membubuhkan tanda Trio Detektif di situ.

­"Jadi kalau Worthington dan Bob nanti mencari kita, mereka akan melihatnya," kata Jupiter pada Pete, sementara ia menekankan kapur keras-keras ke permukaan cermin supaya tandanya nampak jelas di situ.

"Maksudmu, apabila kita berdua lenyap tanpa bekas?" tanya Pete,

Jupiter tidak menjawab.

Ketika tangannya menekan, tahu-tahu cermin tinggi itu bergerak ke belakang, seperti pintu, Dan di belakangnya menganga sebuah gang gelap.





Bab 15 KABUT KENGERIAN

­Pete dan Jupiter menatap lubang gelap itu sambil melongo,

"Astaga!" kata Pete. "Lorong rahasia!"

"Tersembunyi di balik cermin," Kening Jupiter berkerut. "Kita perlu memeriksanya."

Sebelum Pete sempat membantah, Jupiter sudah melangkah masuk sambil menyorotkan senternya ke depan - ke dalam lorong yang sempit dan kelihatannya panjang. Kelihatannya hanya sebuah gang saja, Dindingnya dari batu kasar. Di kiri kanannya tidak ada pintu, kecuali di ujung.

"Yuk," kata Jupiter, "Kita harus memeriksa, ke mana arah gang ini."

Pete mengikuti dari belakang. Ia sebenarnya enggan masuk ke lorong rahasia itu. Tapi ditinggal sendiri, juga tidak mau! Lebih baik berdua daripada seorang diri, pikirnya.

Sementara itu Jupiter sibuk meneliti dinding batu lorong itu dengan bantuan senternya. Kemudian ia berpaling, memeriksa ambang pintu yang berupa cermin. Cerminnya sendiri nampak biasa saja, terpasang pada daun pintu kayu. Padanya tidak terpasang tombol atau gerendel.

­"Aneh," gumamnya. "Mestinya ada satu cara tertentu untuk membuka pintu ini."

Sambil berkata begitu, pintu didorongnya sampai tertutup. Terdengar bunyi detakan yang agak keras, Mereka terkurung dalam gang yang gelap.

"Nah, sekarang kau mengurung kita di sini," seru Pete cemas.

"Hmm." Jupiter berusaha mencari pegangan, supaya bisa membuka pintu kembali. Tapi tidak ada yang bisa dijadikan pegangan. Sisi belakang daun pintu rata dan persis sekali menutup lubang masuk tadi. Sedikit pun tak ada celah, ke dalam mana bisa diselipkan jari, Jangankan jari, kuku saja pun tidak bisa masuk!

"Pasti ada salah satu jalan untuk membuka pintu ini," kata Jupiter, "Tadi kenapa begitu gampang terbuka? Padahal cuma kusentuh saja!"

"Sudahlah, jangan pakai heran-heran segala," tukas Pete, "Pokoknya sekarang kaubuka lagi. Aku ingin ke luar!"

"Aku yakin jika keadaan betul-betul mendesak, kita bisa memecahkan daun pintu ini serta cermin yang ada di sebelah depannya," kata Jupiter sambil meraba-raba kayu daun pintu, "Tapi itu tidak perlu, karena kita sekarang pergi ke arah sana."

­Pete sudah hendak mengatakan bahwa ia tidak sependapat. Tapi Jupiter sudah pergi menyusur gang sempit itu, sambil mengetuk-ngetuk dinding.

"Seluruhnya dari batu," katanya sambil berjalan. "Tapi ada kesan bahwa di belakangnya kosong. Coba kaudengarkan."

Jupiter mengetuk-ngetuk dinding lagi, sementara Pete mendengarkan. Kemudian terdengar olehnya bunyi lain.

Ia mendengar bunyi orgel tua yang rusak. Bunyinya seperti jauh sekali. Nada-nadanya yang aneh dan menghembus-hembus rasanya seperti mengisi lorong sempit itu, datang dari segala arah sekaligus.

"Dengar!" seru Pete, "Hantu Biru mulai main musik lagi!"

"Aku juga mendengarnya," kata Jupiter. Anak itu mendekatkan telinga ke dinding lorong selama beberapa waktu.

"Musiknya seperti merembes lewat dinding ini," katanya kemudian. "Kuduga kita saat ini berada langsung di belakang orgel yang di ruangan proyeksi itu,"

"Maksudmu, Hantu Biru ada di balik dinding ini?" kata Pete. Napasnya tersentak karena kaget.

"Mudah-mudahan saja begitu," kata Jupiter. "Karena tujuan kita kemari malam-malam ini kan untuk mencari dia dan memotretnya. Dan kalau bisa juga mengajaknya bicara."

"Bicara dengan dia?" Pete mengeluh, "Maksudmu, kita benar-benar akan bicara dengan dia?"

"Kalau kita bisa memergokinya,"

"Bagaimana kalau kita yang dipergoki olehnya?" tanya Pete. "Itu yang kukhawatirkan selama ini."

­"Perlu kukatakan sekali lagi -" nada suara Jupiter terdengar agak galak, "- berdasarkan catatan yang ada pada kita, Hantu Biru belum pernah mengapa-apakan siapa pun juga. Seluruh rencana tindakanku berdasarkan pada kenyataan itu. Ketika aku terpaksa berbaring di tempat tidur, aku menarik beberapa kesimpulan mengenai kasus ini. Selama ini belum pernah kuceritakan, karena masih memerlukan bukti, Dan kurasa sebentar lagi kita akan tahu, segala kesimpulanku itu benar atau tidak."

"Tapi bagaimana jika kau ternyata keliru?" tanya Pete cemas. "Bagaimana jika kesimpulanmu salah, dan Hantu Biru ingin agar kita turut menjadi bala hantu di sini? Kalau begitu, bagaimana?"

"Kalau itu yang terjadi, aku akan mengaku salah," kata Jupiter, ''Tapi saat ini aku akan meramalkan sesuatu. Sebentar lagi kita akan merasakan kengerian yang luar biasa."

"Sebentar lagi?" Nyaris saja Pete berteriak. "Kaukira perasaanku sekarang ini bagaimana?"

"Kau baru merasakan kegelisahan yang sangat. Tapi sebentar lagi kau akan merasakan kengerian yang luar biasa."

"Kalau begitu sudah waktunya aku pergi dari sini. Ayo, kita pecahkan saja cermin tadi, lalu cepat-cepat lari dari sini."

''Tunggu!'' Jupiter menggenggam pergelangan tangan Pete, "Kuingatkan padamu, takut ngeri itu cuma perasaan belaka. Kau memang akan merasa ngeri - tapi kecuali itu kau takkan mengalami apa-apa lagi."

Sementara Pete menjawab, tahu-tahu dirasakannya perubahan aneh dalam lorong rahasia itu, Tanpa disadari, sementara mereka sedang mendengarkan musik yang datang dari balik dinding, secara tiba-tiba saja ada kabut tipis bergerak-gerak di situ. Di segala penjuru lorong nampak kabut. Di lantai, sepanjang dinding, merayapi sisi atasnya.

Pete menggerakkan senternya ke atas dan ke bawah. Diterangi cahaya senter, nampak kabut berputar-putar pelan-pelan, bergabung dan terurai lagi, bergulung-gulung dan melingkar. Sementara Pete menatap terus, ia mendapat kesan seperti melihat berbagai wujud aneh dan menyeramkan.

"Lihat!" katanya dengan suara gemetar, "Aku merasa . seperti melihat muka-muka menyeramkan, Dan itu ada naga - harimau - dan bajak laut bertubuh gendut......

"Tenang!" kata Jupiter, "Aku juga melihat berbagai bayangan - tapi itu cuma khayalan kita sendiri. Ini kan sama saja seperti sedang berbaring di luar sambil menatap awan, Lama-kelamaan kita mendapat kesan, seolah-olah awan yang bertumpuk-tumpuk menjelma menjadi berbagai makhluk. Kabut ini tidak apa-apa, Tapi kurasa kita sudah mulai merasakan kengerian yang luar biasa."

Jupiter dan Pete saling bergenggaman tangan. Ternyata ramalan Jupiter tepat. Tahu-tahu Pete merasakan kengerian merambati seluruh tubuhnya. mulai dari ubun-ubun sampai ke ujung kaki. Bulu romanya meremang. Tapi karena Jupiter mestinya juga merasakannya tapi tetap teguh. Pete lantas menahan dengan kuat keinginannya untuk lari kembali dan memecahkan cermin yang merintangi jalannya menuju ke luar.

Sementara rasa ngeri menyelubungi, kabut semakin tebal, berputar-putar dalam lorong yang sempit.

"Kabut Kengerian," kata Jupiter. Suaranya agak gemetar. Tapi walau begitu ia maju terus.

"Mengenainya pernah ada laporan. beberapa tahun yang lalu. Penjelmaan yang paling menyeramkan di Puri Setan. Sekarang kita harus berusaha memergoki Hantu Biru, sementara ia mengira kita lumpuh karena ketakutan."

"Aku tidak bisa," desis Pete di sela giginya yang dirapatkan supaya jangan gemeletuk, "aku memang lumpuh. Aku tidak bisa menyuruh kakiku melangkah."

Jupiter berhenti.

"Sudah waktunya sekarang untuk menceritakan kesimpulan yang kuambil sewaktu masih berbaring di tempat tidur, Pete," katanya. "Waktu itu aku menarik kesimpulan bahwa Terror Castle ini memang dihantui -"

"Itulah yang selama ini selalu kukatakan!"

"- benar-benar dihantui, tapi bukan oleh hantu. Tempat ini dihantui seseorang yang masih hidup. Menurut hasil pemikiranku, hantu Puri Setan itu sebenarnya Stephen Terrill sendiri, yang dianggap sudah mati."

"Apa?" Pete begitu terperanjat, sampai lupa pada rasa takutnya, "Maksudmu, selama ini ia masih hidup?"

"Tepat! Hantu yang sebenarnya masih hidup. Menakut-nakuti supaya tidak ada yang berani ke sini, sehingga rumah ini bisa tetap dimilikinya."

"Tapi mana mungkin?" tanya Pete, "Maksudku, kita kan sama-sama tahu, di sini sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang yang keluar-masuk. Bagaimana caranya memperoleh makanan serta perbekalan lainnya?"

"Entahlah, aku juga tidak tahu. Dan justru itulah yang ingin kutanyakan padanya. Tapi pokoknya sekarang kau mengerti - ia memang sengaja menakut-nakuti kita, supaya jangan datang ke sini. Ia sama sekali tidak bermaksud mencelakakan siapa pun juga, Nah - sudah lebih enak perasaanmu sekarang?"

"Ya, lumayanlah." kata Pete, "walau aku masih tetap merasa kakiku ingin pergi ke tempat lain."

"Kalau begitu kita sempurnakan saja penyelidikan ini, dengan menyingkapkan tabir rahasia hantu itu," kata Jupiter.

Dengan segera ia menuju ke pintu yang terdapat di ujung lorong, Tahu-tahu tanpa ia sendiri menyadarinya, Pete sudah menyusul. Pete merasa semua bisa dimengerti, setelah dijelaskan oleh Jupiter. Jadi rupanya Stephen Terrill, Raja Kengerian itu sendiri yang selama itu tinggal dalam purinya, menakut-nakuti orang supaya tidak ada yang berani datang!

Kedua remaja itu sampai di depan pintu di ujung lorong. Berlawanan dengan sangkaan mereka, pintu itu ternyata bisa dibuka dengan gampang. Mereka melewati ambangnya, memasuki tempat yang benar-benar gelap gulita. Bunyi musik orgel semakin nyaring. Dari gemanya mereka tahu, saat itu mereka berada dalam ruangan yang jauh lebih luas dari lorong tadi.

"Ini ruang proyeksi." bisik Jupiter. "Jangan nyalakan sentermu. Kita akan menyergap Bayangan Biru."

Mereka seiring, beringsut-ingsut sepanjang dinding, lalu menikung di pojok ruangan. Tiba-tiba Pete terpekik. Ia merasa ada sesuatu yang lembut dan licin mengayun ke bawah lalu menyelubungi muka dan kepalanya. Tapi ternyata itu cuma potongan tirai beludru yang sudah lapuk, yang robek ketika tersentuh sedikit. Tanpa bersuara lagi Pete membebaskan diri dari tirai tua itu.

Sekali lagi mereka menikung. Dan di depan mereka kira-kira di pertengahan ruangan besar itu mereka melihat gumpalan kabut bercahaya biru di dekat orgel besar yang sudah rusak. Langkah mereka tertegun. Dalam gelap, Pete merasa bahwa temannya sedang menyiapkan kamera untuk memotret.

"Kita akan menyelinap dan menghampirinya." bisik Jupiter, "lalu memotretnya."

­Pete memandang sinar biru pendar itu. Tiba-tiba ia merasa kasihan pada Mr. Terrill. Setelah bertahun-tahun sendiri terus dalam puri seram itu, pasti akan sangat mengejutkan bagi dirinya apabila rahasianya terbongkar secara tiba-tiba,

"Nanti dia malah takut lari," bisik Pete pada Jupiter. "Kenapa tidak kita panggil saja dia, supaya tahu bahwa kita ada di sini, dan ia sempat mengerti bahwa kita sama sekali tidak bermaksud jahat."

"Idemu bagus sekali....Kita berjalan pelan-pelan menghampirinya, sementara aku memanggil-manggil."

Keduanya lantas melangkah maju, menghampiri gumpalan cahaya biru di dekat orgel.

"Mr. Terrill!" seru Jupiter. "Mr. Terrill, kami cuma ingin bicara dengan Anda. Kami tidak bermaksud jahat."

Tapi musik masih terus saja terdengar, sementara gumpalan cahaya biru masih terus berpendar-pendar. Mereka maju lagi beberapa langkah. Jupiter mencoba sekali lagi,

"Mr. Terrill," serunya, "saya Jupiter Jones. Saya ditemani Pete Crenshaw. Kami cuma ingin bicara sebentar dengan Anda."

Saat itu dengan tiba-tiba musik terhenti. Gumpalan kabut bercahaya biru nampak bergerak. Menjulang ke atas, ke arah langit-langit, lalu tergantung di situ.

Sementara Jupiter dan Pete masih ternganga melihat wujud aneh yang tadinya bermain orgel itu tanpa disangka-sangka melayang ke atas, tiba-tiba mereka merasakan ada orang lain di dekat mereka. Jupiter sungguh-sungguh kaget saat itu. Sedang Pete masih sempat memencet tombol senter untuk menyalakannya. Cahayanya menerangi sosok tubuh dua orang laki-laki. Yang satu berukuran sedang, sedang temannya pendek. Keduanya memakai jubah panjang, pakaian orang Arab. Keduanya melemparkan sesuatu berwarna putih ke udara.

­Tahu-tahu kepala Pete sudah terselubung jala yang lebar. Senter yang dipegangnya terpental, lalu padam. Dan jala menyelubungi seluruh tubuhnya. Ia masih berusaha lari. Tapi kakinya tersangkut ke jala, dan ia jatuh terjerembab ke lantai yang berlapis permadani. Ia meronta-ronta, tapi sementara itu ia juga sadar bahwa tubuhnya teringkus jala yang makin merapat. Ia terperangkap, persis seekor ikan.

­"Jupe!" teriaknya. "Tolong!"

Tapi temannya itu tidak menjawab. Pete memutar tubuh lalu berpaling untuk menengok. Saat itu juga ia melihat, apa sebabnya Jupiter tidak memberikan jawaban.

Kedua laki-laki yang tahu-tahu muncul tadi menjunjung Jupiter, seperti mengangkat karung kentang. Jupiter juga terbungkus rapat dalam jala yang menjerat tubuhnya. Dengan bantuan sinar lentera kecil, kedua orang itu menggotong Jupiter, dibawa pergi lewat sebuah pintu. Mereka kelihatannya agak kewalahan. Maklumlah, Jupiter tidak bisa dibilang enteng tubuhnya.

Peter tergeletak di lantai. Ia nyaris tidak bisa berkutik sedikit pun dalam jala. Ia juga tidak bisa melihat apa-apa di tempat gelap itu, kecuali gumpalan cahaya biru yang melayang di atas, seperti menempel ke langit-langit ruangan.

Gumpalan itu nampak seperti berdenyut-denyut. Kadang-kadang membesar, lalu menciut lagi. Seolah-olah Bayangan Biru sedang menertawakan dirinya.





Bab 16 TERTAWAN DJ BAWAH TANAH

­Kemudian cahaya biru itu lenyap. Kegelapan menyelimuti Pete. Ia berusaha kembali membebaskan diri. Tapi sebagai akibatnya, ia malah semakin terlibat dalam jala.

Gawat! Begitulah pikirnya. Bukannya mereka yang menangkap laki-laki tua tak berbahaya yang memainkan peranan sebagai hantu, kini malah mereka sendiri yang tertangkap. Kedua laki-laki yang menjala mereka tadi, kelihatannya galak-galak. Dan rupanya mereka memang sudah siap untuk menyergap.

Pete teringat pada Bob dan Worthington yang menunggu dalam ngarai. Masih bisakah dia bertemu kembali dengan mereka? Masih bisakah dia berjumpa lagi dengan ayah ibunya?

Saat itu Pete benar-benar merasa dirinya sengsara. Dalam keadaan begitu, kemudian dilihatnya ada cahaya bergerak-gerak menghampirinya. Setelah dekat, barulah nampak bahwa cahaya itu berasal dari lentera yang dipegang seorang laki-laki jangkung. Laki-laki itu juga memakai jubah. Tapi jubahnya terbuat dari sutra, seperti yang dipakai bangsawan Cina jaman dulu.

­Orang itu membungkuk di depan Pete lalu menjamahnya. Sinar lentera menerangi mukanya. Pete melihat mata sipit yang menatap bengis, serta bergigi emas berderet-deret.

"Anak-anak konyol," kata orang itu, "Kenapa kalian tidak menjauhi tempat ini, seperti dilakukan yang lain-lainnya? Sekarang kalian terpaksa kami bereskan."

­Sambil berkata begitu ia menggerakkan jarinya seperti mengiris leher teriring suara menakutkan. Pete langsung merasa darahnya seperti membeku. Ia mengerti maksud orang itu.

"Kau siapa?" tanya Pete tergagap. "Kalian mau apa?"

'''Hah!'' sergah laki-laki itu. "Kau kubawa ke kolong puri ini!" Pete dijunjungnya dengan seenaknya, seperti memikul karung kentang. lalu kembali ke arah datangnya tadi.

Pete yang dipanggul orang itu, tidak bisa banyak melihat karena mereka terus berada dalam keadaan gelap gulita. Ia hanya tahu bahwa mereka melewati pintu, menyusur lorong, lalu menuruni tangga putar. Rasanya tinggi sekali tangga itu.

Akhirnya sampai di suatu lorong. Lorong yang lembab dan dingin itu ditelusuri lewat beberapa pintu, sambil di sebuah bilik kecil seperti sel. Sel bawah tanah. Di dindingnya tertancap gelang-gelang besi yang sudah karatan.

Sesuatu yang putih seperti kepompong tergeletak di salah satu pojok bilik itu. Laki-laki Arab ­yang kecil duduk di samping benda putih itu, sibuk mengasah belati.

"Mana Abdul?" tanya laki-laki berpakaian Cina. Pete dijatuhkannya ke lantai di samping kepompong putih, yang ternyata Jupiter. Wujudnya yang seperti kepompong disebabkan karena tubuhnya masih terbalut jala yang meringkusnya tadi.

"Ia pergi menjemput Zelda," kata si Arab dengan suara berat dan serak. "Zelda sedang menyembunyikan mutiara, bersama Gypsy Kate. Kami bermaksud hendak memutuskan, akan kita apakan kedua bocah yang tertangkap ini."

"Aku setuju jika kita tinggalkan saja mereka di sini, sedang pintunya kita kunci dari luar," kata laki-laki yang bermata sipit. "Takkan ada yang datang ke sini, dan tak lama lagi puri ini akan benar-benar ada hantunya. Sekaligus dua!"

"Bagus juga idemu," kata si Arab dengan suara serak. "Tapi supaya aman, tidak ada salahnya jika ada darah mengalir."

Pete meneguk ludah dengan susah-payah, melihat laki-laki berjubah itu menggeserkan jempolnya ke mata pisau yang tajam. Ia sebenarnya ingin membisikkan sesuatu pada Jupiter. Tapi temannya itu tidak berkutik sedikit pun di sisinya. Pete lantas takut. Jangan-jangan Jupiter mengalami cedera.

"Kulihat sebentar, di mana Zelda sekarang." Laki-laki Arab itu memasukkan belati ke sarungnya, lalu berdiri, Ia melirik Pete dan Jupiter ­yang tergeletak di lantai, lalu berkata pada temannya, "Tolong aku menghapuskan jejak kita. Ikan-ikan ini takkan bisa membebaskan diri dari jeratan jala."

"Ya, betul - kita harus cepat-cepat." laki-laki jangkung yang kelihatannya orang Cina itu menggantungkan lenteranya ke dinding, sehingga cahayanya menerangi Pete dan Jupiter. Kemudian kedua laki-laki itu bergegas. Pete mendengar langkah mereka semakin menjauh. Lalu didengarnya bunyi menggeresek berat, seperti bunyi batu besar digeserkan. Setelah itu senyap. Sampai Jupiter membuka mulut.

"Kau baik-baik saja, Pete?" tanyanya

"Tergantung apa yang kaumaksudkan," jawab Pete. "Kalau maksudmu tidak ada tulang patah, ya - aku baik-baik saja, Sehat, segar bugar."

"Syukurlah kalau begitu." Dari nada suaranya, Pete mendapat kesan bahwa Jupiter menyesal.

Temannya itu berkata lagi, "Aku harus minta maaf karena mengajakmu ke dalam marabahaya yang tidak disangka-sangka. Aku semula begitu yakin pada kesimpulan yang kutarik."

"Ah, itu kan bisa saja terjadi pada siapa saja," jawab Pete. "Maksudku. pertimbanganmu masuk akal. Siapa mengira kita akan berhadapan dengan suatu gerombolan yang mungkin penjahat? Apalagi di luar kita sama sekali tidak menemukan tanda-tanda bahwa ada yang memakai puri ini sebagai sarang."

­"Ya, dan aku begitu yakin bahwa segala hal yang terjadi di sini disebabkan oleh Mr. Terrill - sampai tak terbayang sedikit pun adanya kemungkinan lain," kata Jupiter. "He, kau bisa menggerakkan tanganmu atau tidak?"

"Aku terjerat dalam jala ini," kata Pete. "Tapi jari-jariku masih bisa kugerak-gerakkan, apabila itu ada gunanya bagimu."

"Untung tangan kananku masih bisa kugerakkan dengan cukup leluasa," kata Jupiter. "Saat ini aku sedang berusaha membebaskan diriku sendiri. Mungkin kau bisa membantu dengan jalan mengatakan mana selanjutnya yang harus kupotong."

Pete merebahkan diri ke samping. Jupiter juga melakukan hal yang sama, sehingga punggungnya berada di depan Pete. Saat itu barulah Pete melihat bahwa temannya itu berhasil mengambil pisau lipatnya yang tergantung pada ikat pinggang. Pisau lipat Jupiter itu ada delapan perlengkapannya, termasuk obeng serta gunting kecil. Dengan gunting itu Jupiter menggunting tali jala, sehingga tangannya bisa dikeluarkan.

"Sekarang potong yang sebelah kiri, supaya tangan kirimu bebas," bisik Pete. "Ya, begitu!"

Gunting yang dipakai kecil, sedang jala kelihatannya terbuat dari benang nylon yang kokoh, Tapi dengan bantuan petunjuk Pete, tidak lama kemudian Jupiter sudah berhasil membebaskan kedua tangannya. Setelah itu semua berjalan lebih lancar. Ketika Jupiter masih sibuk memotong seluruh bagian bawah jala, tiba-tiba terdengar langkah orang yang datang.

Sesaat mereka tertegun, karena kaget dan ngeri. Tapi dengan segera otak Jupiter sudah bekerja kembali. Ia bergegas menelentangkan tubuh, menutupi bagian jala yang sudah tergunting, Sekarang tinggal menunggu perkembangan selanjutnya, dengan jantung berdebar-debar karena gugup.

Sesaat kemudian seorang wanita tua berpunggung bungkuk masuk sambil menjunjung lentera tinggi-tinggi. Ia memakai pakaian kaum pengembara yang sudah lusuh. Di kedua telinganya tergantung sepasang anting-anting berupa cincin emas yang besar-besar.

"Nah, Anak-anak manis, enak rasanya istirahat di sini?" katanya sambil terkekeh-kekeh. "Kalian tidak mengindahkan peringatan Gypsy Kate, yang telah begitu baik hati terhadap kalian! Nah, sekarang lihatlah apa yang terjadi! Peringatan kaum pengembara perlu diperhatikan dan dituruti anak-anak manis, apabila ingin selamat!"

Tiba-tiba perhatian wanita tua bangka itu tertarik pada sikap Pete dan Jupiter yang nampak kaku. Ia bergegas-gegas pergi ke dekat mereka.

"Kalian mau main-main. Anak-anak manis?" katanya sambil terkekeh terus. Dengan sigap Jupiter dibalikkannya dengan segera dilihatnya bagian jala yang sudah putus tergunting,

"Ah, begitu ya! Bocah-bocah ini ingin melarikan diri," Wanita tua itu menggenggam pergelangan tangan Jupiter lalu memutarnya, sehingga pisau lipat terlepas dari pegangan dan jatuh ke lantai.

Dengan segera wanita tua itu memungutnya. "Sekarang kalian terpaksa dihajar, Anak-anak manis," katanya. "Zelda!" Wanita tua itu berseru, memanggil-manggil. "Zelda! Bawa tali kemari! Burung-burung kita mau minggat!"

"Ya, ya, aku datang!" Seseorang menjawab dari luar. Dari logatnya, Pete menebak orang itu pasti seorang wanita Inggris. Sesaat kemudian seorang wanita bertubuh tinggi dan berpakaian, apik muncul di ambang pintu. Ia membawa seutas tali.

"Mereka ini ternyata cerdik sekali," kata wanita tua dengan suara seperti bernyanyi. "Kita harus mengikat mereka erat-erat. Tolong pegangkan yang seorang ini dulu, sementara aku mengikatnya."

Pete hanya bisa melihat saja, sementara kedua wanita itu dengan gerak-gerik cekatan mengikat temannya kembali. Mula-mula jala dipotong dulu sampai terlepas. Setelah itu tangan Jupiter diikatkan di belakang punggung, disusul dengan kedua kakinya. Dan akhirnya pergelangan tangan anak itu yang sudah terikat, ditambatkan pula ke sebuah gelang besi karatan yang terpasang ke dinding bilik.

Karena jala yang menjerat Pete masih utuh, tali cuma dibebatkan beberapa kali melilit tubuhnya, lalu disimpulkan kuat-kuat.

"Sekarang mereka pasti tidak bisa membebaskan diri lagi., Zelda." Wanita pengembara yang sudah tua bangka itu terkekeh-kekeh. "Aku sudah meyakinkan kedua kawan kita bahwa mereka tidak boleh bertindak kejam. Tidak, kita tidak boleh kejam, jangan sampai menumpahkan darah. Kita tinggal saja kedua bocah ini di sini, sedang pintu kita kunci dari luar. Mereka tidak akan bisa bercerita pada siapa-siapa tentang kejadian yang mereka alami di sini."

"Sayang," kata wanita yang logatnya seperti orang Inggris. "Kelihatannya mereka anak-anak yang baik."

"Kau tidak boleh lemah, Zelda," pekik wanita pengembara. "Kita sudah menjatuhkan pilihan, dan kau tidak boleh melawan keputusan bersama itu. Sekarang cepatlah sedikit - kita masih harus menghapus jejak lalu pergi dari sini,"

Sambil berkata begitu diambilnya lentera yang tergantung di dinding, lalu pergi ke luar. Wanita yang orang Inggris memegang lentera yang satu lagi. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi, menerangi kedua remaja yang terkapar di lantai dalam keadaan terikat erat.

"Kenapa kalian harus keras kepala, anak-anak?" tanyanya. "Orang lain semuanya ketakutan lalu tidak berani datang lagi, Sekali saja mendengar bunyi orgel hantu, langsung tak ada yang berani kembali. Tapi kalian - kenapa harus keras kepala dan datang lagi?"

"Trio Detektif tidak mengenal kata menyerah," kata Jupiter,

­"Kadang-kadang lebih baik tidak terus nekat," jawab wanita itu, "Yah, sudah waktunya bagiku untuk mengucapkan selamat tinggal pada kalian. Mudah-mudahan kalian tidak takut berada dalam gelap. Aku harus pergi sekarang,"

"Sebelum Anda pergi, bolehkah saya bertanya sedikit?" kata Jupiter. Pete merasa kagum, karena temannya itu terdengar tenang saja suaranya,

"Ya, tentu saja, Nak," jawab wanita Inggris itu.

"Anda serta sekutu-sekutu Anda, tergabung dalam organisasi kejahatan yang mana?" tanya Jupiter.

Wanita Inggris itu tertawa.

"Aduh, panjangnya kalimatmu," katanya. "Kalau mau tahu, kami ini penyelundup. Kami menyelundupkan barang-barang berharga dari Asia, kebanyakan berupa mutiara. Bangunan tua ini kami pergunakan sebagai markas. Bertahun-tahun kami berhasil menjauhkan orang dari sini, dengan membuatnya seakan-akan ada hantunya. Selama itu, tempat ini merupakan persembunyian yang bagus sekali."

­"Tapi kenapa Anda semuanya mengenakan pakaian yang begitu menyolok?" tanya Jupiter lagi. "Siapa pun yang melihat Anda, pasti akan langsung tertarik perhatiannya."

"Tidak ada yang melihat kami, Anak muda," kata wanita itu, "Aku sebaiknya jangan menjawab segala pertanyaanmu - karena nanti tidak ada lagi yang bisa dipikirkan untuk mengisi waktumu. Nah, selamat berpisah - jika kita tidak bertemu lagi. Dan kurasa kita takkan pernah bertemu lagi."

Wanita itu bergegas pergi, sambil membawa lentera. Begitu pintu ditutup, bilik sempit itu langsung gelap gulita. Kerongkongan Pete terasa kering.

"Jupe! Ngomong dong!" katanya, "Seram rasanya kalau sunyi terus."

"Maaf - aku tadi sedang berpikir," jawab Jupiter dengan nada agak linglung.

"Berpikir! Dalam keadaan begini, kau masih berpikir?"

"Ya, memang," kata Jupiter. "Kau memperhatikan atau tidak tadi - ketika Gypsy Kate meninggalkan kita beberapa saat yang lalu, ia membelok ke kanan dan menyusur gang ke arah itu."

"Tidak, aku tidak memperhatikannya. Lagipula, apa bedanya pergi ke kanan atau ke kiri?"

"Ke kanan kan berarti arah yang berlawanan dengan dari mana kita datang tadi. Jadi ia tidak kembali ke tangga, untuk naik ke puri. Ia menuju ke tempat yang semakin jauh ke bawah tanah. Itu berarti di sebelah sana ada jalan masuk yang tersembunyi. Dan itu juga menjelaskan, apa sebabnya selama ini tidak pernah kelihatan ada orang keluar-masuk puri,"

Bukan main! Bahkan dalam keadaan terikat dan ditinggal dalam sel bawah tanah supaya mati kelaparan, ternyata Jupiter masih tetap mampu berpikir secara cerdas.

­"Sementara kau memikirkan hal-hal itu, kurasa kau tentunya tidak sempat memikirkan jalan keluar bagi kita," kata Pete.

"Memang tidak," kata Jupiter. "Aku sama sekali tidak bisa menemukan jalan keluar dari sini, tanpa bantuan orang lain, Maafkan aku, Pete. Dalam hal ini, aku benar-benar telah salah duga."

Pete tidak bisa mengatakan apa-apa lagi. Sambil membisu, kedua remaja itu hanya bisa mendengarkan bunyi-bunyi yang tertangkap dalam gelap. Terdengar langkah kaki seekor tikus berlari-lari. Di suatu tempat ada air menetes. Bunyi tetesannya yang pelan, seolah-olah menakar menit-menit yang masih tersisa.





Bab 17 JEJAK TANDA TANYA

­Worthington sudah semakin gelisah saja, Begitu pula halnya dengan Bob Andrews. Sudah sejam mereka menunggu dalam Rolls-Royce, menunggu Jupiter dan Pete kembali. Tapi selama itu keduanya masih belum kelihatan juga, Setiap lima menit, Bob meloncat keluar dari mobil, lalu menatap ke arah ngarai, Dan setiap sepuluh menit Worthington ikut keluar dan mengamat-amati Black Canyon, Rasanya seperti menatap tenggorokkan naga raksasa,

"Master Andrews," kata Worthington pada akhirnya, "saya rasa lebih baik saya menyusul mereka saja sekarang,"

"Tapi Anda kan tidak boleh meninggalkan mobil," kata Bob mengingatkan, "Anda harus selalu berada di dekatnya,"

"Keselamatan Master Jones dan Master Crenshaw lebih penting daripada mobil," jawab Worthington. "Saya akan mencari mereka sekarang."

Ia keluar dari mobil, lalu membuka tempat bagasi di belakang. Ia mengambil sebuah lampu darurat yang besar dari situ. Sementara itu Bob sudah ada di sampingnya.

­"Aku ikut, Worthington," kata Bob, "Mereka sahabatku, "

"Baiklah, kalau begitu kita pergi bersama-sama." Worthington masih mengambil pula sebuah palu besar untuk senjata apabila diperlukan.

Setelah itu mereka masuk ke ngarai, Karena kakinya yang belum pulih sama sekali, Bob agak kewalahan mengikuti langkah supir yang jangkung itu. Tapi pada bagian-bagian yang sangat berbatu-batu, Worthington besar sekali gunanya. Bob setengah dijunjungnya untuk melewati tempat-tempat sulit itu. Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di Puri Setan.

Dengan segera mereka melihat bahwa tombol pintu depan sudah tidak ada lagi, dan pintu itu tidak bisa dibuka dari luar, Worthington kemudian melihat tombol itu tergeletak di atas ubin.

"Rupanya mereka tadi tidak masuk lewat pintu," katanya, "Kita harus mencari jalan masuk lainnya."

Mereka mondar-mandir di depan puri, sambil menyorot lampu ke jendela-jendela. Tiba-tiba Bob melihat tanda tanya besar yang dibuat dengan kapur putih, pada pintu angin yang ternganga sedikit.

­"Rupanya mereka masuk lewat sini!" serunya. Dijelaskannya pada Worthington tentang tanda sandi Trio Detektif, Pintu angin itu dibuka, lalu mereka masuk ke dalam. Sesampai di dalam, Worthington menyorotkan lampu berkeliling. Nampak bahwa saat itu mereka berada dalam kamar makan.

"Entah ke mana mereka dari sini," kata Worthington gelisah. "Saya lihat ada beberapa pintu, tapi tak ada yang dibubuhi tanda."

Saat itu Bob melihat cermin yang besar. Pada bagian tengahnya nampak sebuah tanda tanya.

"Masa mereka masuk ke dalam cermin," kata Worthington, "Tapi walau begitu, kita periksa sajalah!"

Sambil berkata begitu, dipegangnya bingkai cermin, ia melongo, ketika cermin itu langsung bergerak ke belakang, seperti pintu. Bob tidak kalah heran. Ternyata di balik cermin itu ada sebuah lorong sempit.

"Pintu rahasia!" kata Worthington. "Rupanya 'mereka masuk ke sini. Kita harus mengikuti mereka."

Bob tahu pasti, kalau seorang diri ia takkan berani masuk ke lorong yang gelap gulita itu. Tapi karena Worthington langsung dengan langkah pasti, tidak ada pilihan lain bagi Bob kecuali mengikuti. Keduanya menemukan tanda tanya yang dibuat oleh Jupiter di pintu yang terdapat di ujung lorong itu. Mereka memasukinya, dan sampai di ruang proyeksi film. Worthington menerangi tempat itu dengan sorotan lampunya. Nampak tirai beludru yang sudah lapuk, kursi-kursi usang, serta orgel tua berselubung debu, Tapi baik Jupiter maupun Pete tidak ada di situ.

Kemudian Bob Andrews melihat sesuatu yang berkilat di bawah salah satu kursi, lalu memungut benda itu.

"Worthington!" serunya. "Ini senter Pete yang baru dibelinya."

"Tak mungkin Master Crenshaw meninggalkannya di sini dengan sengaja," kata supir itu. "Jadi tentunya tadi terjadi sesuatu di sini. Kita harus mencari kalau ada tanda-tanda."

Bob dan Worthington merangkak-rangkak di gang antara deretan kursi-kursi, sementara Worthington menyorotkan lampunya dekat ke lantai.

"Lihatlah! Di sini debu berserakan!"

Ucapan Worthington memang benar. Dan di tengah debu yang seperti terhapus itu nampak tanda tanya yang dibuat secara tergesa-gesa. Worthington kelihatannya gelisah menemukan tanda tanya itu. Tapi ia tidak mengatakan apa yang dipikirkannya pada Bob. Ia tegak lagi, sambil mencari-cari. Akhirnya ditemukan jejak kaki di atas debu, menuju ke depan, lalu mengitar ke belakang kain layar yang sudah robek-robek, melewati sebuah pintu yang terdapat di belakangnya.

Mereka sampai di sebuah serambi. Di situ ada tangga putar yang menurun, ke dalam lubang yang gelap gulita. Tapi di serambi itu ada pula sebuah lorong, yang menuju entah ke mana.

Bob dan Worthington ragu-ragu sesaat, tidak tahu mereka harus menyusul ke mana. Menuruni tangga,atau menyusur lorong. Kemudian Worthington melihat tanda tanya yang samar-samar pada pangkal tangga.

"Kita harus lewat tangga," katanya. "Master Jones sangat panjang akalnya - ia meninggalkan jejak yang harus kita ikuti."

"Tapi apa kiranya yang terjadi dengan mereka, Worthington?" tanya Bob, sementara mereka menuruni tangga yang berputar-putar terus ke arah bawah, Bob agak pusing kepalanya karena tak henti-hentinya berjalan memutar ke arah sama.

"Kita hanya bisa menduga-duga," kata Worthington. Ia berhenti sebentar, memperhatikan tanda tanya yang nampak pada suatu landasan tangga. "Jika Master Jones tadi berjalan sambil menuruni tangga, tanda ini pasti dibuatnya di dinding, kira-kira setinggi mata. Jadi saya terpaksa menarik kesimpulan bahwa ia membuatnya sementara dirinya digendong - dan ia melakukannya pada setiap kesempatan orang atau orang yang menggendongnya berhenti sebentar untuk beristirahat. Mungkin saat itu ia sempat menyentuh lantai tanpa ketahuan."

"Tapi siapa yang menggendongnya ke sini?" tanya Bob cemas. "Ini kelihatannya kayak penjara di bawah tanah."

"Ya - persis seperti yang ada di sebuah puri kuno di Inggris, di mana saya pernah bekerja," kata Worthington, "Tempat itu tidak enak! Mengenai siapa yang menggendong Master Jones ke sini, saya tidak tahu. Sayangnya - kita sekarang kelihatannya kehilangan jejak."

­Sementara itu mereka sudah sampai di kaki tangga. Dari tempat itu ada tiga lorong yang menuju ke berbagai arah. Semuanya sama gelapnya. Dan di mana-mana tidak nampak tanda tanya yang dibuat dengan kapur.

"Kita padamkan saja lampu sebentar, lalu memasang telinga," kata Worthington. "Dalam gelap, mungkin akan terdengar sesuatu."

Begitu lampu dipadamkan, kegelapan langsung menyelubungi mereka. Tercium bau udara pengap dan lembab. Tiba-tiba terdengar bunyi yang asing, kedengarannya seperti batu bergeser di atas batu. Sesaat kemudian nampak sinar cahaya remang. Datangnya dari ujung lorong sebelah tengah.

"Master Jones!" seru Worthington. "Andakah itu?"

Sekilas mereka melihat seorang wanita membawa lentera. Tapi dengan segera lentera itu dipadamkan. Terdengar lagi bunyi batu tergeser. Sedang sekeliling mereka sudah gelap gulita lagi,

"Kejar dia!" seru Worthington sambil lari memasuki lorong. Bob menyusul dengan langkah terpincang-pincang. Ketika akhirnya tersusul, Worthington sudah sibuk memukul-mukul dinding batu. Rupanya lorong itu berakhir di situ.

"Wanita tadi masuk ke sini!" kata Worthington, "Saya tahu pasti. Saya terpaksa menggunakan kekerasan sekarang." Diambilnya palu besar yang terselip di pinggang, lalu memukul-mukulkannya ke dinding itu. Ternyata pada satu bagian, terdengar bunyi seakan-akan di belakangnya kosong,

Worthington menghantam palunya beberapa kali ke bagian itu. Semen berguguran. Dengan cepat ia sudah berhasil melubangi dinding, yang ternyata tebalnya cuma lima belas senti di situ. Dan dinding itu hanya terbuat dari semen yang dilapiskan pada dasar kawat. Dinding itu sebenarnya pintu-pintu rahasia! Worthington menggoncang-goncangnya. Akhirnya lepas terenggut. Di belakangnya ada lorong lagi, yang nampaknya menuju ke perut bukit karena seluruh sisinya dari batu,

"Ini terowongan!" seru Worthington. "Orang yang menyekap Master Jones dan Master Crenshaw, pergi lewat terowongan ini. Wanita tadi rupanya seorang dari mereka. Cepat - sebelum ia berhasil melarikan diri."

­Worthington membimbing Bob, agar mereka bisa lebih cepat berjalan. Setelah beberapa langkah, dasar terowongan itu terasa kasar sekali. Langit-langitnya rendah, sehingga Worthington terpaksa berjalan terbungkuk-bungkuk di situ.

Tahu-tahu lampunya jatuh karena terantuk dinding, lalu padam. Sementara Bob menggerayangi lantai mencari lampu itu, didengarnya bunyi kelepak sayap serta suara mencicit-cicit. Tiba-tiba sesuatu yang lembut membentur dirinya dalam gelap, disusul sambaran dekat kepala.

­"Kelelawar!" seru Bob ketakutan. "Worthington! Kita diserang kawanan kelelawar raksasa."

"Tenang. Nak! Jangan panik," kata Worthington. la berlutut lalu mencari-cari lampunya yang jatuh tadi, sementara Bob menutupi kepalanya dengan lengan. Di sekelilingnya beterbangan makhluk-makhluk besar bertubuh lembut. Seekor di antaranya hendak hinggap di kepala Bob. Ia menjerit ngeri, sambil buru-buru mengibaskan binatang itu.

"Worthington!" teriaknya. "Mereka bukan kelelawar biasa, tapi vampir raksasa! Badannya sebesar burung dara!"

"Ah, saya rasa bukan, Master Andrews," kata Worthington. Ia sudah menemukan lampunya, yang langsung disorotkan ke atas. Nampak berlusin-lusin binatang bersayap beterbangan di atas kepala mereka, Tapi bukan kelelawar, melainkan burung, Begitu melihat ada cahaya bersinar, burung-burung itu dengan segera datang menghampiri sambil menciap-ciap. Worthington cepat-cepat memadamkan lampu lagi.

"Mereka tertarik cahaya terang,'" serunya pada Bob. "Kita harus berusaha kembali dalam gelap ini. Sini, pegang tangan saya."

Bob memegang tangan Worthington, dan orang Inggris itu berjalan mendului, sambil meraba-raba sepanjang dinding batu yang kasar. Burung burung tadi tidak kedengaran lagi. Bob dan Worthington berhasil kembali ke ruang bawah tanah Terror Castle, tanpa ada yang merintangi. Pintu rahasia ditutup kembali, supaya burung-burung itu tidak bisa ikut masuk.

"Saya rasa Master Jones dan Master Crenshaw tidak dibawa lewat terowongan itu," kata Worthington. "Soalnya, kalau mereka digotong lewat situ orang-orang yang membawa tentunya harus meletakkan mereka sebentar ke tanah sewaktu hendak membuka pintu. Dan saat itu Master Jones tentunya sempat meninggalkan tanda di sini. Tapi kenyataannya, di sini sama sekali tidak ada tanda."

Di situ memang tidak ada tanda. Tapi tahu-tahu ada yang berteriak-teriak. Dan tidak salah lagi, itu suara Jupiter, yang segera diikuti oleh Pete. Suara mereka kedengarannya datang dari lorong gelap yang baru saja ditinggalkan oleh Bob dan Worthington. Supir Rolls-Royce itu bergegas masuk kembali ke lorong itu. Di situ ditemukannya sebuah pintu yang tadi tidak nampak, karena terburu-buru mengejar wanita yang membawa lentera. Ketika pintu itu dibuka, di dalamnya nampak sebuah sel sempit, lengkap dengan gelang-gelang besi terpasang di dinding, Pete dan Jupiter ada dalam sel itu, terikat erat seperti bingkisan Natal. Keduanya sama sekali kelihatan senang karena ditolong, Mereka malah jengkel, karena teriakan-teriakan mereka tidak sudah didengar dari tadi.

Sambil membebaskan keduanya dari ikatan, Worthington menjelaskan bahwa ia tidak bisa mendengar teriakan mereka, sebab sibuk mengejar wanita misterius tadi, serta ribut menghantam pintu terowongan supaya bisa masuk.

"Kita h,arus segera keluar dari sini lalu memberitahukan pihak berwajib," kata Worthington, sementara Jupiter dan Pete sibuk membersihkan diri dari debu. "Mereka itu berbahaya. Kalian ditinggalkan di sini, supaya mati kelaparan."

Jupiter tidak begitu memperdulikannya.

Perhatiannya lebih tertarik pada kisah Bob yang mengatakan tadi diserang burung-burung dalam terowongan.

"Burung-burung jenis apa?" tanyanya.

"Jenis apa?" seru Bob dengan kesal. "Aku tak sempat menanyakannya tadi pada mereka. Pokoknya cara mereka menyerang, kayak garuda ukuran mini."

­"Mereka sebetulnya tidak berbahaya," kata Worthington. "Mereka tadi hanya tertarik pada cahaya terang. Menurut perasaan saya, burung-burung tadi itu parkit, Master Jones."

"Parkit?" Jupiter terlonjak, seperti disengat kalajengking, "Ayo, ikut aku! Kita harus bertindak cepat!"

Sambi mengambil senter yang tergantung pada ikat pinggang, ia bergegas ke luar.

"Kenapa dia?" tanya Pete heran, sementara Bob menyodorkan senter kepadanya.

­"Kurasa ia menemukan jejak," jawab Bob. "Pokoknya, ia tidak bisa kita biarkan pergi sendiri."

"Sudah jelas tidak," kata Worthington sependapat. "Kita harus menyusulnya!"

Mereka bergegas menyusul Jupiter, yang walau pergelangan kakinya masih dibalut, sementara itu sudah sekitar lima puluh meter jauhnya di depan mereka. Dengan cepat Pete meninggalkan Worthington, karena ia masih harus membantu Bob. Ketika keduanya masuk ke terowongan, nampak cahaya senter Jupiter dan Pete bergerak-gerak di depan. Mula-mula menanjak, lalu turun, kemudian menikung.

Mereka berjalan secepat yang mungkin dilakukan, tanpa mengacuhkan burung-burung parkit yang beterbangan sekeliling mereka. Di beberapa tempat Worthington harus berjalan terbungkuk-bungkuk, karena sisi atas terowongan di situ sangat rendah. Akhirnya mereka sampai di bagian yang lurus. Nampak di kejauhan kedua senter tidak bergerak lagi. Worthington dan Bob bergegas menyusul. Sesampai di tempat kedua senter tadi berhenti bergerak, ternyata di situ ada pintu dari kayu. Pintu itu terpentang lebar. Mereka melewatinya, menggabungkan diri dengan Jupiter serta Pete yang sudah lebih dulu keluar, Ternyata mereka berada dalam sebuah kandang kawat yang besar, dikerubungi sejumlah besar burung parkit yang menggelepar-gelepar ketakutan,

"Kita berada dalam kandang besar tempat Mr. Rex memelihara burung-burung parkit!" seru ­Jupiter, mengalahkan kebisingan suara burung,

"Ujung Black Canyon rupanya tepat sejajar dengan ujung Winding Valley Road, hanya dipisahkan oleh bukit batu yang tidak seberapa lebar. Aku sama sekali tidak menduga kemungkinan itu - karena awalnya terpisah begitu jauh, pada sisi gunung yang berlawanan,"

Jupiter mendorong pintu kawat kandang itu sampai terbuka. Mereka berempat bergegas ke luar. Ternyata mereka dekat sekali dengan bungalo Mr. Rex. Lewat jendela rumah itu, mereka melihat Mr. Rex sedang bermain kartu dengan seorang laki-laki berbadan kecil dan berambut gondrong. Mereka nampaknya santai sekali.

"Kita akan mengagetkan mereka," bisik Jupiter. "Padamkan senter."

Jupiter menyelinap ke pintu depan, diikuti yang lainnya. Sesampai di situ, ia menekan bel. Dengan segera pintu terbuka. Mr. Rex muncul di ambangnya, sambil menatap mereka dengan kening berkerut. Baru sekali itu Bob melihat tampang orang itu. Ia ngeri melihat keseramannya, dengan kepalanya yang botak serta bekas luka memanjang di leher.

"Ada apa?" bisik Mr. Rex dengan nada menakutkan,

"Kami ingin bicara sebentar dengan Anda, Mr. Rex," kata Jupiter.

"Bagaimana jika aku saat ini tidak mau diganggu?"

"Kalau begitu -" kini Worthington yang berbicara, "kami terpaksa minta pihak berwajib untuk mengadakan pengusutan."

Mr. Rex nampak kaget.

"Itu tidak perlu!" katanya terburu-buru. "Ayo, masuklah!"

Jupiter, Pete, Bob. dan Worthington mengikutinya, masuk ke dalam ruangan di mana laki-laki yang bertubuh kecil masih duduk menghadap meja. Orang itu kecil sekali, tingginya paling-paling satu setengah meter.

"Ini teman lamaku, Charles Grant," kata Jonathan Rex. "Charlie, ini mereka, para remaja yang mengadakan penyelidikan di Terror Castle. Nah, sudah berhasilkah kalian menjumpai hantu-hantu di situ?"

"Ya, sudah," kata Jupiter. "Kami sudah berhasil mengetahui rahasia puri itu." Nadanya begitu yakin, sampai Bob dan Pete tercengang mendengarnya. Baru saat itu mereka tahu bahwa mereka berhasil dengan penyelidikan mereka.

"O ya?" kata Pembisik, alias Mr. Rex. "Lalu apa rahasianya?"

"Anda berdualah hantu yang selama ini menghantui puri, sehingga tidak ada yang berani datang ke sana," kata Jupiter. "Dan beberapa saat yang lalu, Anda berdua pula yang meringkus diriku serta temanku, Pete Crenshaw lalu meninggalkan kami berdua dalam sel bawah tanah."

Muka pembisik begitu masam, sehingga secara otomatis Worthington menggenggam palunya lebih erat.

­"Itu tuduhan berat, Nak," bisik Mr. Rex. "Dan aku berani bertaruh, kau tidak mungkin bisa membuktikannya. "

Pete juga berpendapat begitu, walau tidak dikatakan olehnya. Jangan-jangan Jupiter sudah sinting! Mereka tadi kan diikat dua orang wanita. Seorang Inggris. serta seorang wanita tua kaum pengembara.

"Lihat saja ujung sepatu Anda," kata Jupiter. "Aku menandai sepatu-sepatu Anda berdua dengan tanda rahasia kami, sementara Anda berdiri di dekat kami ketika sedang mengikat kami dengan tali."

Kedua orang itu memandang sepatu mereka. Di ujung sepatu kanan keduanya yang hitam mengkilat, nampak tulisan yang dibuat dengan kapur. Sepasang tanda tanya!





Bab 18 WAWANCARA DENGAN HANTU

­Kedua laki-laki itu kelihatannya kaget. Begitu pula halnya dengan Pete, Bob dan Worthington.

"Tapi -" kata Pete, namun Jupiter langsung memotong.

"Mereka memakai pakaian wanita serta rambut palsu," katanya. "Aku menyadari hal itu ketika teraba olehku sepatu mereka, Mana ada wanita memakai sepatu pria! Saat itu aku langsung sadar, kelima anggota komplotan yang meringkus kita, sebenarnya hanya dua orang saja yang berganti-ganti pakaian."

"Maksudmu, kedua orang Arab, laki-laki bangsa Cina serta kedua wanita tadi - sebenarnya mereka itu semua cuma Mr. Rex dan Mr. Grant saja?" tanya Pete tercengang,

"Ya, dia benar," kata Mr. Rex dengan nada lesu. "Kami memainkan peranan suatu komplotan besar, supaya kalian berdua benar-benar ketakutan. Kami mengenakan kostum jubah dan gaun, karena dengan begitu kami bisa menukar peranan dengan cepat. Tapi jangan kalian menyangka, kami benar-benar bermaksud hendak mencelakakan kalian. Aku tadi datang kembali hendak membebaskan kalian, ketika mereka berdua ini melihat aku." Sambil berkata begitu ia, ia menuding Bob dan Worthington.

"Kami bukan pembunuh," kata Mr. Grant. teman Jonathan Rex yang bertubuh kecil. "Juga bukan benar-benar penyelundup. Kami cuma hantu."

Ia tertawa geli. Tapi Jonathan Rex tetap kelihatan serius.

"Kalau aku, aku pembunuh," katanya. "Aku menewaskan Stephen Terrill.'

"O ya, betul juga," Mr. Grant mengatakannya dengan sambil lalu, seolah-olah melupakan sesuatu hal yang sepele. "Kau menyingkirkan dia. Tapi itu kan soal kecil."

"Mungkin polisi lain pendapatnya," kata Worthington. "Saya rasa lebih baik kita menghubungi pihak berwajib saja."

"Jangan! Tunggu." Pembisik mengangkat tangannya. "Tunggu sebentar - nanti kalian bisa berbicara sendiri dengan Stephen Terrill."

"Maksud Anda, dengan arwahnya?" seru Pete.

"Tepat - dengan hantunya. Ia akan menjelaskan nanti, apa sebabnya aku menyingkirkannya. "

Sebelum ada yang sempat menghalang-halangi, Mr. Rex sudah menyelinap lewat sebuah pintu ke kamar sebelah.

"Jangan khawatir," kata Mr. Grant. "Ia bukannya hendak melarikan diri. Sebentar lagi ia sudah kembali. O ya, ini pisaumu, Jupiter Jones."

"Terima kasih," kata Jupiter, ia merasa ­ senang karena ia sayang pada pisau lipat yang bagus itu.

­Tak sampai semenit kemudian, pintu yang dimasuki Mr. Rex tadi terbuka lagi. Seorang laki-laki muncul dari situ. Tapi bukan Pembisik!

"Orang yang baru muncul itu lebih pendek, dan kelihatannya lebih muda. Rambutnya yang berwarna coklat sudah beruban, tersisir rapi. Ia memandang orang-orang yang berkumpul sambil tersenyum ramah.

"Selamat malam," sapanya. "Aku Stephen Terrill. Kalian ingin bicara dengan aku?"

Semua menatapnya dengan mulut ternganga. Bahkan Jupiter pun sekali itu tidak tahu akal. Akhirnya Mr. Grant yang membuka mulut.

"Dia memang Stephen Terrill," katanya.

Tampang Jupiter masam. Ia jengkel terhadap dirinya sendiri.

"Mr. Terrill," katanya, "Anda juga Jonathan Rex, alias Pembisik. Betul, kan?"

"Dia - Pembisik?" seru Pete kaget. "Dia kan kalah tinggi, rambutnya masih ada, dan -"

"Itu soal gampang," kata Stephen Terrill.

Dengan tiba-tiba ia menyentakkan rambutnya, menunjukkan kepala botak di bawahnya. Ia juga meluruskan tegaknya, sehingga langsung nampak bertambah tinggi. Matanya dipicingkan, sedang bibirnya dirapatkan. Ia mendesis, "Jangan bergerak, jika masih sayang nyawa!"

Nadanya begitu meyakinkan, sehingga semua kaget dibuatnya. Ia memang Pembisik! Tapi ia juga bintang film yang dikabarkan- sudah lama meninggal dunia. Setidak-tidaknya itu masih bisa disimpulkan sendiri oleh Bob dan Pete.

Mr. Terrill alias Jonathan Rex mengambil suatu benda aneh dari kantongnya. Tiruan bekas luka, terbuat dari plastik.

"Kalau ini kutempelkan ke leherku, lalu rambut palsuku ini tidak kupakai dan dalam sepatu kupasang alas tumit, Stephen Terrill langsung lenyap," katanya. "Dengan suara berbisik-bisik kalau bicara, aku menjelma menjadi laki-laki menyeramkan, yang dikenal dengan julukan Pembisik."

Mr. Terrill mengenakan rambut palsunya kembali. Langsung tampangnya berubah lagi, kelihatan seperti manusia biasa.

Anak-anak berebut-rebut mengajukan pertanyaan, Tapi Mr. Terrill mengangkat tangannya, menyuruh mereka tenang,

"Lebih baik kita duduk dulu," katanya, "nanti kujelaskan semuanya. Kalian lihat foto itu?" Ia menuding foto di atas meja, yang menunjukkan dirinya bersalaman dengan Pembisik. Padahal ia bersalaman dengan dirinya sendiri.

"Kalian tentu tahu juga, itu dibuat dengan teknik tipuan, untuk menambah kesan bahwa Terrill dan Rex itu memang dua orang yang berlainan. Soalnya, ketika aku dulu baru saja menjadi bintang film, aku merasa kewalahan dalam menangani urusan bisnisku, karena kecuali pemalu aku ini juga berlidah pelat. Aku paling tidak senang bicara dengan orang lain. Aku tidak bisa menangani segala urusanku dengan sebaik-baiknya.

"Karena itu lantas kuciptakan tokoh Pembisik, lalu kujadikan pengelola urusan bisnisku. Pembisik kalau bicara selalu sambil berbisik-bisik dengan nada menyeramkan. Itu gunanya supaya lidahku yang pelat tidak kentara. Tampangnya begitu galak, sehingga aku sama sekali tidak pernah mengalami kesulitan dalam menghadapi orang-orang yang ada urusan dengan aku. Tak ada yang tahu bahwa Terrill dan Rex sebenarnya cuma aku sendiri - kecuali temanku ini, Charlie Grant. Charlie dulu periasku. Dialah yang selalu membantu aku menjelma dari Stephen Terrill menjadi Pembisik.

"Siasat itu berhasil baik, sampai aku membuat film bicaraku yang pertama. Saat itu aku menjadi tertawaan orang! Harga diriku terpukul. Aku menarik diri dari dunia ramai, mengunci diriku dalam puriku. Ketika kemudian aku mendapat kabar bahwa rumah itu akan . disita bank, aku bertambah bingung.

"Pada saat puriku sedang dibangun, para pekerja menemukan celah dalam batu tebing Black Canyon. Celah itu memanjang menembus punggung bukit sampai ke sisi seberang, sampai di ujung Winding Valley Road. Para pekerja kusuruh menembok terowongan alam itu. Tapi secara diam-diam kupasang sebuah pintu rahasia di situ. Kemudian, selaku Jonathan Rex aku membeli tanah yang letaknya di ujung seberang lorong alam itu, lalu membangun rumah kecil di situ. Ini dia rumahnya," katanya sambil melambaikan tangan ke sekelilingnya. "Dengan begitu aku bisa mondar-mandir dengan bebas, tanpa ada yang mencurigai identitas gandaku.

"Waktu itu aku sering berkeliaran naik mobil sendiri, untuk melenyapkan perasaan murung yang menghinggapi diriku. Suatu hari, ketika aku sedang naik mobil menyusur tebing jauh di atas pantai, aku mendapat akal yang hebat. Timbul pikiranku untuk membuat kecelakaan pura-pura."

"Anda sendiri kan, yang menjatuhkan mobil Anda ke bawah tebing?" sela Jupiter.

Mr. Terrill mengangguk

"Ya, betul," katanya. "Mula-mula aku menulis surat dan meninggalkannya di tempat yang menyolok sehingga pasti kemudian ditemukan orang. Lalu pada suatu malam yang gelap, pada saat hujan deras, aku melaksanakan rencanaku itu. Mobilku kujatuhkan ke kaki tebing - tentu saja tanpa diriku. Bagi kalangan umum, dengan kecelakaan itu tamatlah riwayat Stephen Terrill. Juga bagiku, sejak saat itu Terrill tidak ada lagi. Bagiku ia sudah mati, dan harus tetap mati. Kecuali itu aku ingin tetap memiliki puriku. Tak enak rasanya membayangkan ada orang lain memilikinya, atau tinggal di situ.

"Walau sejak kecelakaan palsu itu puri kosong, tapi aku bisa setiap saat ke sana lewat terowongan dalam batu. Karenanya aku bisa hadir dalam keadaan tersembunyi di sana ketika polisi datang memeriksa, sehingga mereka kubuat lari terbirit-birit. Dulu, ketika puri itu kubangun, aku memasang berbagai perlengkapan di situ, untuk mengagetkan kawan-kawanku dengan berbagai tipuan teknik. Dan segala perlengkapan itu kemudian besar sekali manfaatnya untuk menimbulkan kesan bahwa tempat itu berhantu,

"Setelah berhasil mengusir polisi, aku melakukan pengacauan lagi dengan bayangan hantu, ketika bank menyuruh orang-orang mereka untuk mengangkut barang-barang milikku untuk dilelang, Dengan segera aku tidak perlu berbuat apa-apa lagi, untuk menakut-nakuti orang-orang yang masuk ke puri. Mereka takut sendiri. Tapi walau begitu aku selalu waspada, jangan sampai kengerian orang pada tempat itu berkurang. Sekali-kali aku menggulingkan batu-batu ke dalam ngarai, supaya orang semakin tidak ingin membeli Terror Castle,

"Siasatku berhasil. Bank tidak bisa menjual puriku, Sementara itu aku rajin menabung, supaya bisa menebusnya. Sebagai Jonathan Rex, pedagang burung-burung eksotik, aku berhasil mengumpulkan cukup banyak uang untuk cicilan pertama ... Tapi kemudian muncul..."

Aktor itu menarik napas panjang,

"Kalian ternyata jauh lebih nekat dari semua orang sebelum kalian," katanya,

"Mr. Terrill," kata Jupiter, yang selama itu mendengarkan dengan penuh perhatian, "Anda menelepon kami setelah kunjungan kami yang pertama, lalu menirukan suara hantu untuk menakut-nakuti kami?"

Mr. Terrill mengangguk.

"Kusangka dengan begitu kalian pasti bertambah takut."

"Tapi dari mana Anda bisa tahu bahwa kami akan datang malam itu, dan dari mana Anda tahu kami ini siapa?" tanya Jupiter lagi.

Mr. Terrill tersenyum sekilas,

"Temanku inilah yang menjadi pengawas untukku," katanya, Charles Grant mengangguk.

"Di mulut Black Canyon ada sebuah bungalo kecil, yang tidak begitu nampak dari jalanan. Charlie tinggal di situ. Setiap ia melihat orang memasuki ngarai, dengan segera ia menelepon aku. Dan aku bergegas ke puri lewat lorong rahasia, untuk menyambut tamu tak diundang itu.

"Hari itu, ketika ia melihat ada mobil Rolls-Royce memasuki jalan ngarai lalu melaporkannya padaku, aku langsung teringat pada berita surat kabar mengenai seorang remaja yang memenangkan hak memakai mobil itu.

"Malam itu kalian terpaksa lari tunggang-langgang dari puri. Harap jangan kecil hati, karena orang lain masih lebih takut lagi! Setelah kalian pergi, aku kembali ke sini, Kucari nama kalian dalam buku telepon, tapi tidak ada, Aku lantas menghubungi bagian penerangan kantor telepon. Ternyata kau baru saja memasang telepon, Jupiter Jones, Aku lantas meneleponmu."

­"Oh, begitu," kata Jupiter. Pete menggaruk garuk kepala. Ia teringat pada ucapan Jupiter yang menyatakan bahwa misteri-misteri jawabannya sederhana saja - apabila sudah diketahui. Tapi sebelumnya - repot!

"Itu rupanya sebabnya kenapa Skinny Norris -- maksudku kedua remaja yang juga datang ke puri - lari lagi terburu-buru, ketika aku datang bersama Pete untuk menemui Anda," kata Jupiter.

"Ya aku diberi tahu oleh Charlie, dan aku sudah menunggu mereka. Tapi kedatangan kalian yang nyaris serempak, membuat kami agak bingung." Tampang Mr. Grant kelihatan malu.

"Aku ingin menjelaskan sedikit tentang kejadian itu," katanya. "Ketika kalian datang, aku tidak sempat lagi memberi tahu Steve - maksudku Mr. Terrill. Karenanya aku lantas masuk ke ngarai jalan samping, untuk mengawasi kalian.. Aku melihat kedua remaja yang datang lebih dulu lari meninggalkan puri, lalu kalian mengejar mereka. Saat itu dengan tidak kusengaja aku menginjak batu sehingga batu itu terguling-guling ke bawah, Kalian berdua mendongak dan melihat aku."

"Jadi Anda rupanya yang kami kejar waktu itu!" tukas Pete, "Dan Anda yang menyebabkan batu-batu longsor. Nyaris kami mati tertimbun."

"Itu benar-benar tak kusengaja," kata Mr. Grant dengan nada menyesal. "Batu-batu itu memang ditumpukkan di situ. Gunanya untuk digulingkan ke bawah, untuk menggetarkan orang yang datang hendak membeli puri. Waktu itu aku cemas sekali. Aku khawatir kalau-kalau kalian cedera parah, walau aku melihat kalian cepat-cepat berlindung ke dalam celah di tebing. Ketika kemudian kulihat dahan kayu tersembul dari tengah-tengah tanah yang tertimbun menutupi mulut celah itu, aku lantas menarik kesimpulan bahwa kalian selamat. Aku bersembunyi sambil menunggu sampai kalian sudah berhasil ke luar. Kalau saat itu kalian nampaknya mengalami kesulitan, aku pasti datang membantu."

Kening Jupiter Jones masih tetap berkerut. "Kurasa aku bisa memahami sebagian besar dari kejadian itu," katanya, "Tapi ada beberapa hal yang masih belum jelas."

"Tanya saja semaumu," kata Mr. Terrill. "Kau berhak mengetahui semua jawabannya."

"Sore itu, ketika kami mendatangi Anda sebagai Jonathan Rex," kata Jupiter, "di sini sudah tersedia limun dengan es. Seolah-olah Anda memang memperkirakan kami akan datang, Anda juga mengatakan waktu itu bahwa Anda habis merambah semak kering, Padahal itu tidak benar. Ini memang soal kecil, tapi aku ingin mengetahui kejelasannya."

Mr. Terrill tertawa pelan,

"Setelah kalian berhasil membebaskan diri dari timbunan batu dan tanah, kalian begitu sibuk sehingga tidak melihat Charlie membuntuti kalian kembali ke mobil," katanya, "Saat itu persembunyiannya cukup dekat, sehingga ia mendengar ucapanmu menyebutkan alamatku ­pada supir. Dan begitu kalian pergi, Charlie lantas menelepon ke sini.

"Dengan segera aku bersiap-siap. Dari jendela sini aku bisa melayangkan pandangan jauh menyusur WindingValley Ras. Dan mobil kalian yang antik itu gampang sekali dikenali. Begitu aku melihatnya datang, aku cepat-cepat menyiapkan minuman, lalu pergi ke semak. Parang kubawa, supaya ada alasan kenapa aku ke sana. Padahal aku memperhatikan kalian, sementara kalian menuju kemari.

"Saat itu aku belum pasti, apa tindakanku terhadap kalian. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk bersikap ramah, tapi juga menambahkan kesan bahwa Terror Castle memang ada hantunya. Dengan begitu aku berharap, kalian dengan sendirinya akan menjauhi tempat itu. Aku waktu itu kan tidak banyak berdusta, kan? Memang, aku memang mengatakan bahwa Stephen Terrill sudah mati. Bagiku, dia memang sudah mati.

"Waktu itu aku juga mengatakan, aku tidak pernah lagi melangkahkan kaki melewati ambang pintu gerbang puri. Kenyataannya memang begitu! Aku selalu datang dan pergi lewat terowongan rahasia. Jalan masuk ke situ letaknya dalam kandang burung, jadi tidak ada orang lain yang bisa melihat apabila aku pergi ke sana. Tapi malam ini aku begitu terburu-buru ke luar, sehingga lupa menutup pintu kembali. Sebagai akibatnya, burung-burungku masuk ke dalam terowongan."

­Jupiter mencubit-cubit bibir bawahnya,

"Lalu wanita pengembara yang datang untuk memperingatkan kami - itu kan Mr. Grant sebenarnya, Mr. Terrill?" katanya,

"Tepat! Ketika kuketahui bahwa kalian detektif, aku lantas merasa bahwa kalian tidak gampang mundur. Karena itu Charlie lantas menyamar sebagai wanita tua, lalu datang ke tempatmu untuk memperingatkan kalian. Kusangka kalian pasti takkan berani datang lagi setelah itu."

"Aku malah ingin tahu karenanya, Mr. Terrill," kata Jupiter. "Orang-orang lain, tak ada yang pernah diperingatkan. Aku menjadi heran, kenapa justru kami diberi tahu, jangan datang lagi. Hantu mana mungkin mau repot-repot memperingatkan manusia! Karenanya aku menarik kesimpulan, pasti manusia yang tidak ingin kami datang ke Terror Castle.

"Lalu dari foto-foto yang dibuat oleh Bob, kulihat bahwa baju zirah yang ada dalam Ruang Gema tidak begitu berkarat. Begitu pula perpustakaan tidak begitu banyak debu di tempat itu. Padahal rumah yang sudah lama kosong, tentunya banyak debu, Aku mendapat kesan, Terror Castle biarpun kosong, tapi ada yang merawatnya.

"Dan satu-satunya orang yang paling berkepentingan merawat tempat itu, tentu saja pemiliknya sendiri. Stephen Terrill! Karenanya aku menarik kesimpulan, Anda pasti masih hidup, Sir. Harus kuakui, malam ini Anda nyaris menipu diriku, ketika Anda berperan sebagai kawanan penyelundup internasional. Waktu itu aku tertipu sesaat. Kurasa Anda yang menjadi orang Arab yang tingginya sedang, lalu orang Cina dan wanita Inggris. Sedang Mr. Grant menjadi Arab yang pendek serta wanita tua."

"Betul," kata Stephen Terrill berkilat-kilat jenaka. "Kami memakai koleksi rambut palsu dan kostum milikku. Kami ingin menakut-nakuti kalian, biar benar-benar kapok kemari. Menurut pendapatku, jika diancam pembalasan dendam kawanan penyelundup, besar kemungkinannya kalian takkan mau lagi datang ke puri. Soalnya, aku sudah kewalahan menghadapi kenekatan kalian. Nah, begitulah ceritanya. Masih ada lagi yang ingin kalian ketahui?"

"Wah - masih banyak!" sekarang barulah Pete membuka mulut lagi. "Misalnya saja, mata yang menatap dari lukisan bajak bermata satu."

"Itu mataku," kata Stephen Terrill. "Di belakang lukisan-lukisan itu ada lorong rahasia, dan tepat pada bagian mata lukisan itu terdapat sebuah lubang untuk mengintip."

"Tapi ketika aku bersama Bob kemudian datang dan memeriksa lukisan itu, kami sama sekali tidak menemukan lubang di situ," kata Pete.

"Setelah kalian lari pada malam pertama, lukisan itu kuganti dengan lukisan lain yang sama," kata Stephen Terrill. "Aku berjaga-jaga, karena menduga kalian pasti kembali memeriksanya."

"Lalu bagaimana dengan Hantu Biru?" tanya Pete. "Dan orgel tua yang memperdengarkan musik aneh itu? Lalu kabut kengerian? Hantu dalam cermin? Hembusan angin dingin dalam Ruang Gema?"

"Aku segan memaparkannya," kata Mr. Terrill. "Itu sama saja seperti tukang sulap, yang disuruh menceritakan bagaimana caranya bermain sulap! Kalau diceritakan, tidak asyik lagi menontonnya. Tapi kalian berhak mengetahuinya, dan apabila kalian benar-benar ingin -"

"Kurasa beberapa metode yang Anda pakai, sudah bisa kuketahui sendiri, Sir," sela Jupiter. "Hembusan hawa dingin, sebetulnya gas yang mengalir dari es kering yang meleleh, dan datangnya dari lubang di dinding. Musik aneh itu rekaman yang dimainkan terbalik, dengan pengeras suara. Hantu Biru, mungkin kain kelambu yang dilumuri cat yang bercahaya. Kabut Kengerian, sudah jelas asap dari semacam bahan kimia yang dimasukkan ke dalam lorong tersembunyi lewat lubang-lubang kecil."

"Kau benar, Nak," kata Stephen Terrill. "Dan tentunya begitu kau menyadari bahwa segala penjelmaan aneh itu disebabkan oleh manusia, kau lantas bisa menarik kesimpulan sendiri tentang cara-cara menciptakan segala efek itu."

"Betul, Sir," kata Jupiter, "Sedang hantu dalam cermin, mungkin merupakan proyeksi gambar. Tapi mengenai satu hal, saya tidak begitu pasti. Bagaimana cara Anda menimbulkan perasaan gelisah dan ngeri pada diri orang yang berada dalam puri?"

­"Janganlah kau minta aku menceritakan segala-galanya padamu," pinta Mr. Terrill, "Aku ingin menyimpan sebagian dari rahasiaku. Begini saja pun, rencanaku sudah berantakan." Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu, Lihatlah!"

Sambil berkata begitu, dibukanya pintu dari mana ia. tadi muncul, setelah bersalin rupa dari Pembisik yang menyeramkan, menjelma menjadi Stephen Terrill. Ternyata di balik pintu itu ada sebuah ruangan besar yang merupakan kamar pakaian. Nampak berbagai kostum bergantungan di dinding. Rambut palsu bertumpuk-tumpuk. Dan di satu sudut terdapat tumpukan kaleng-kaleng bundar, yang biasanya dipakai sebagai tempat menaruh film.

"Di situ, dalam kamar itu .., di situlah Stephen Terrill yang sejati. Segala kostum itu, rambut palsu, segala film yang disimpan dalam kaleng-kaleng - itulah diriku yang sejati. Sedang diriku ini cuma alat belaka, yang menjelmakan segala kostum dan rambut palsu itu menjadi tokoh-tokoh aneh yang menghidangkan keasyikan menonton bagi berjuta-juta orang di seluruh dunia.

"Bertahun-tahun Terror Castle merupakan kebanggaanku yang terakhir. Di situ aku masih bisa menakut-nakuti orang, dan bukan menjadi bahan tertawaan. Dan selama itu aku berlatih keras, menghilangkan ucapan kata-kata dengan lidah pelat. Aku juga sudah berbicara dengan suara lebih berat. Aku melatih diri bersuara sebagai hantu, wanita, bajak laut, orang Arab, orang Cina - dan macam-macam lagi. Aku mengidam-idamkan akan tampil kembali dan membuat film baru.

"Tapi ternyata film-film seperti yang kubuat dulu, sekarang sudah tidak digemari lagi. Sekarang film-film hantu malah sering dibuat sebagai lelucon. Film-film hantu lama yang dihidangkan di televisi diberi suara kocak serta ditambah suara-suara lucu, supaya orang tertawa. Aku tidak mau jika bakatku dijadikan tertawaan!"

Mr. Terrill nampak bergejolak perasaannya. Dipukulkannya tinjunya ke telapak tangan. Napasnya memburu. "Sekarang aku tidak punya apa-apa lagi. Aku tidak bisa lagi menjadi hantu Puri Setan. Bahkan puri akan terlepas dari tanganku. Aku tidak lagi bisa menjadi Pembisik! Aku tidak tahu, apa yang harus kulakukan sekarang!"

Ia berhenti berbicara, untuk menenangkan perasaannya. Saat itu Jupiter menyela. Selama itu ia nampak berpikir keras.

"Mr. Terrill." katanya, "kaleng-kaleng itu, isinya segala film seram yang pernah Anda perani dan yang sejak bertahun-tahun tidak pernah dilihat orang lain?"

Mr. Terrill mengangguk.

"Kenapa kau bertanya begitu?" katanya.

"Kurasa aku tahu akal, bagaimana Anda bi­sa memperoleh puri Anda kembali, serta hal mengasyikkan orang lain dengan jalan menakut-nakuti mereka," kata Jupiter, "Begini maksudku.."

­Dan seperti biasa, ternyata Jupiter Jones mendapat ide gemilang.



Bab 19 MR. HITCHCOCK MENGADAKAN KOMPROMI

­Keesokan paginya, ketika mobil Rolls-Royce sedang meluncur membawa mereka ke Hollywood untuk mengunjungi Alfred Hitchcock. Jupiter kelihatannya tidak begitu bahagia. Pete tahu kenapa kawannya itu begitu, Jupiter masih jengkel terhadap dirinya sendiri, karena tidak bisa menarik kesimpulan bahwa Pembisik dan Stephen Terrill sebenarnya orangnya itu-itu juga.

Bob Andrews tidak ikut sekali itu, karena masih ada pekerjaan lain,

"Begitu Worthington mengatakan bahwa dalam lorong rahasia di bawah puri banyak burung parkit beterbangan," kata Jupiter setelah agak lama diam saja, "aku langsung menyadari, burung-burung itu pasti kepunyaan Mr. Rex - dan terowongan bawah tanah itu tentu ujungnya dalam kandang di mana ia memelihara burung-burung itu. Dan Mr. Rex lupa menutup pintunya! Tapi aku sama sekali belum menduga, Mr. Rex itu sebenarnya Mr. Terrill."

"Tapi yang lain-lainnya, kan berhasil kauketahui semuanya," kata Pete, "Sampai dengan kenyataan bahwa Stephen Terrill masih hidup - walau selama beberapa waktu kau sempat terkecoh. Kau bisa bangga terhadap dirimu."

­Tapi Jupiter- hanya menggelengkan kepala.

­***

­Kali ini mereka tidak mengalami kesulitan untuk berjumpa dengan Mr. Hitchcock. Penjaga di gerbang besar melambai sebagai tanda bahwa mereka boleh terus. Beberapa saat kemudian, kedua remaja itu sudah duduk dalam kantor sutradara kenamaan itu

"Nah," kata Mr. Hitchcock dengan suara yang berat. "ada yang hendak kalian laporkan?"'

"Kami berhasil menemukan rumah yang ada hantunya, Sir," kata Jupiter.

"Ah - begitu?" Alis sutradara itu naik ke atas, seakan-akan heran. "Lalu hantu yang ada di situ seperti apa jenisnya?"'

"Itulah repotnya," kata Jupiter berterus terang. "Hantunya seseorang yang masih hidup, bukan arwah orang mati."

"Hmm - menarik juga kedengarannya," kata Mr. Hitchcock. Ia menyandarkan diri ke punggung kursinya. "Coba ceritakan."

Mr. Hitchcock mendengarkan dengan tekun, sementara Jupiter bercerita dengan asyik Ketika remaja itu selesai memaparkan pengalamannya bersama kedua temannya, sutradara itu mengatakan, "Aku senang mendengar bahwa Stephen Terrill ternyata masih hidup. Ia pemain film yang ternama pada jamannya. Tapi terus terang saja, aku ingin tahu bagaimana caranya ­menimbulkan suasana ngeri dalam purinya, sehingga perasaan itu menghinggapi setiap orang yang masuk ke situ."

"Katanya, ia segan menceritakan pada kami, Sir," jawab Jupiter. "Tapi saya rasa, saya tahu bagaimana caranya. Saya mempelajari sebuah buku tentang orgel, karena ingin membantu paman saya yang sibuk memasang orgel tua yang dibeli olehnya. Saat itu saya menemukan keterangan bahwa getaran sub-sonik- - jadi getaran bunyi rendah yang tak tertangkap lagi oleh telinga manusia - menimbulkan pengaruh aneh terhadap sistem syaraf kita.

"Menurut dugaan saya, Sir, di antara pipa-pipa suara orgel Mr. Terrill yang katanya rusak itu ada beberapa yang menimbulkan getaran tak terdengar, yang mempengaruhi syaraf manusia. Kalau orang yang merasakannya masih agak jauh, ia menjadi gelisah, Tapi semakin dekat ke sumber getaran itu, ia menjadi semakin gelisah, dan akhirnya merasa ngeri yang makin lama semakin memuncak. Tapi tentu saja perasaan itu lenyap apabila kita berada di luar puri. Itu sudah diuji teman-teman saya pada suatu malam."

Pete melirik Jupiter. Jadi itu rupanya sebabnya, kenapa Jupiter berkeras menyuruhnya beserta Bob datang ke Terror Castle pada hari itu! Pete hendak mengucapkan kata-kata pedas. Tapi tidak sempat, karena Mr. Hitchcock sudah lebih dulu berbicara lagi.

­"Anak muda," katanya pada Jupiter, "kalian kelihatannya berhasil baik dalam menyibakkan rahasia Terror Castle, Tapi kini, bagaimana dengan Steve Terrill? Menurut pendapatku, kalian tidak menolong dia dengan penyingkapan rahasianya itu."

Jupiter nampak agak tidak enak mendengar kecaman itu.

"Mr. Terrill punya gagasan, yang nampaknya sangat digandrunginya," katanya berusaha menjelaskan, "Ia bermaksud hendak menyerahkan uang yang selama ini ditabungnya dari hasil penjualan burung-burung parkit ke bank, sebagai cicilan pertama pembayaran harga purinya. Ia hendak membeli kembali puri itu dari bank. Ia mempunyai rencana tertentu, dan saya yakin bank pasti bersedia memberi kredit lagi padanya apabila mendengar penjelasannya mengenai rencananya itu.

"Begini, Sir - mula-mula ia hendak muncul kembali sebagai Stephen Terrill, bintang film yang lama dikira sudah mati, dan bertempat tinggal lagi di purinya. Pasti akan banyak berita sensasi mengenai dirinya dalam koran-koran."

''Tentu saja," kata Mr. Hitchcock sambil melirik Jupiter dengan hidung terangkat. "Lalu setelah itu?"

"Ia bermaksud akan membuka purinya sebagai tempat tontonan. Tentu saja dengan menarik uang masuk. Ia hendak mempertunjukkan film-film seramnya dalam ruang proyeksi. Ia juga akan mengizinkan para pengunjung berkeliaran dalam purinya, yang dibiarkan keadaannya seperti sekarang. Para turis pasti akan datang berduyun-duyun untuk menonton film-filmnya, dan untuk menikmati rasa ngeri yang ditimbulkan oleh Kabut Kengerian serta perlengkapan lainnya yang ada dalam puri itu.

"Mr. Terrill juga akan mendemonstrasikan peranannya sebagai berbagai tokoh seram yang pernah dimainkannya dalam berbagai film, dengan memakai berbagai kostum yang masih disimpan olehnya. Saya merasa pasti, rencananya itu akan sangat sukses."

"Hmm." Mr. Hitchcock mengamat-amati remaja bertubuh gempal yang duduk di depannya,

"Kurasa rencana yang baru saja kaupaparkan itu berasal dari gagasanmu, pemuda Jones. Tapi biarlah! Trio Detektif telah menunaikan tugasnya dengan, sangat baik, walau tidak berhasil menemukan rumah yang sungguh-sungguh berhantu bagiku. Walau begitu aku akan menepati janji. Aku akan menuliskan kata pengantar untuk kisah pengalaman kalian ini, apabila sudah dibukukan kelak."

"Terima kasih, Sir," kata Jupiter. "Bagi kami, itu besar sekali artinya,"

"Mungkin ini bisa menghibur perasaan kalian," kata Mr. Hitchcock. "Ternyata menemukan rumah yang benar-benar berhantu sulit sekali, sehingga akhirnya aku terpaksa melepaskan rencanaku itu, Sekarang, apa rencana kalian selanjutnya?"

­Mulut Pete sudah gatal saja, ingin mengatakan bahwa rencana mereka sekarang hidup tenang dan santai. untuk melupakan berbagai pengalaman seram yang dialami ketika sedang mengusut misteri Puri Setan, Tapi lagi-lagi Jupiter lebih dulu membuka mulut.

"Kami ini penyelidik, Mr. Hitchcock. Karenanya kami akan langsung mencari kasus lain yang perlu diusut rahasianya."

Mr. Hitchcock melirik ke arahnya. Rupanya sutradara itu menyimpan maksud tertentu, "Kalian kan tidak bermaksud hendak meminta padaku agar mau menuliskan kata pendahuluan untuk kisah kalian yang berikut, jika itu ada?" katanya

'Tidak. Sir," kata Jupiter. Ia menjaga gengsi. "Saya sama sekali tidak bermaksud begitu. Tapi jika Anda sendiri yang mau -"

"Nanti dulu!" bentak Mr. Hitchcock, sehingga Jupiter langsung terdiam. "Aku sama sekali tidak mengatakan begitu. Sama sekali tidak!"

"Memang tidak, Sir," kata Jupiter lirih.

Sutradara itu menatapnya selama beberapa saat, lalu meneruskan kata-katanya.

"Aku sebetulnya hendak mengajukan kasus satu lagi pada kalian," katanya, "Seorang kawan lamaku, dia dulunya biasa memainkan peran dalam pementasan karya-karya Shakespeare, kawanku itu mempunyai seekor burung nuri. Burung itu sekarang hilang, entah ke mana. Kawanku sedih sekali, karena ia sangat sayang pada nuri itu. Polisi kelihatannya tidak bisa banyak membantu. Harus kuakui, kalian telah menunjukkan kecerdikan dalam mengusut misteri yang kalian hadapi selama ini. Jadi mungkin saja kalian bisa berhasil menemukan nuri yang lenyap itu. Kecuali -" sambil berkata begitu ia memandang Pete dan Jupiter dengan kening berkerut, "kecuali jika kalian menganggap mencari burung nuri yang hilang merupakan tugas yang terlalu gampang bagi Trio Detektif!"

"Wah, sama sekali tidak, Sir!" Sekali ini Pete berhasil lebih dulu menyerobot. Bagi dirinya, mencari seekor nuri merupakan tugas yang paling cocok untuk saat itu. Tugas santai! "Semboyan kami kan, 'Kami menyelidiki apa saja!'".

"Dengan senang hati kami mau membantu kawan Anda itu, Sir," kata Jupiter.

Mr. Hitchcock tersenyum. Senyumnya agak aneh. Seakan-akan menyembunyikan sesuatu. Tapi mungkin juga, itu cuma perasaan Pete dan Jupiter saja.

"Kalau begitu, aku mau memperkenalkan kisah kasus itu pula."

"Terima kasih, Sir!" kata Pete dan Jupiter serempak.

"Tapi dengan satu syarat!" kata Mr. Hitchcock dengan tegas. "Kasus itu harus menarik untuk diceritakan. Menurut pendapatku, kalau cuma menemukan burung nuri, biarpun nuri itu yang tidak cukup menarik untuk diceritakan. Kalau kasus itu ternyata gampang dan biasa saja ­persoalannya, dengan sendirinya aku akan lepas tangan."

"Anda mengatakan tadi, burung itu gagap, Sir?" tanya Jupiter, Matanya bersinar, menandakan bahwa minatnya mulai timbul.

"Betul, begitulah kataku," jawab sutradara itu, "Kau juga mendengar kata-kataku yang selanjutnya?"

"Ya, Sir!" jawab Jupiter, "Selama ini saya belum pernah mendengar ada nuri gagap. Yuk, Pete - kita sudah mendapat kasus baru!"

"Tunggu sebentar!" kata Mr. Hitchcock. Kedua remaja itu tertegun di kursi masing-masing, sementara sutradara kenamaan itu melanjutkan kata-katanya, "Kurasa kalian perlu mengetahui nama dan alamat kawan lamaku itu." Ia menuliskannya pada secarik kertas. "Ini dia!"

"Terima kasih, Sir," kata Jupiter, Dimasukkannya kertas itu ke dalam kantong, lalu menuju ke luar bersama Pete, "Kami akan memberi kabar nanti, bagaimana hasil pengusutan kami, Sir."

Mr. Hitchcock memperhatikan mereka pergi. Ia tersenyum simpul. Hebat juga kisah pengalaman para remaja itu, pikirnya. Rahasia Puri Setan. Hm!

TAMAT

Edit by: zheraf
http://www.zheraf.net