Trio Detektif - Misteri Bisikan Mumi

TRIO DETEKFIF
EPISODE
MISTERI BISIKAN MUMI



Pengantar singkat khusus untuk kawan-kawan baru

KATA pengantar ini khusus ditujukan pada teman-teman yang baru sekarang akan berkenalan dengan Trio Detektif. Sedang yang sudah kenal, dipersilakan langsung menikmati kisah petualangan mereka. Untung tidak perlu pergi jauh-jauh. Cukup dengan membalik ke halaman berikut. Dan kalau sudah mulai membaca, tanggung nanti segan berhenti sebelum buku ini selesai. Menyimak kembali kejadian yang mendului: Trio Detektif ini nama biro atau perusahaan penyelidik. Pendirinya tiga remaja yang berjiwa petualang. Perkenalkan: Jupiter Jones, Pete Crenshaw dan Bob Andrews.

Jupiter, menurut pengakuannya sendiri, merupakan otak dari usaha tiga serangkai itu. Bob, pencatat kasus dan petugas riset. Atau dengan perkataan lain, dialah yang diserahi tugas untuk melakukan penelitian. Sedang Pete, remaja tangkas bertubuh kekar, merupakan tangan yang selalu diandalkan Jupiter untuk melakukan tugas-tugas yang mengandung bahaya.
Ketiga remaja ini bertempat tinggal di Rocky Beach. Sebuah kota kecil di pesisir Samudera Pasifik, cuma beberapa mil saja dari kota pusat perfilman Hollywood. Jarak dari satu tempat ke tempat lain di California besar sekali. Jadi mobil merupakan kebutuhan hidup, bukan kemewahan. Ketiga remaja itu belum ada yang memiliki SIM, karena umur mereka masih terlalu muda. Tapi problem ini teratasi, ketika Jupiter memenangkan suatu sayembara. Hadiahnya berupa pemakaian sebuah mobil mewah - sebuah Rolls-Royce yang pegangan pintu, dashboard dan beberapa bagiannya lagi dilapisi emas. Ia diperbolehkan memakai mobil itu untuk waktu tertentu, lengkap dengan supir.
Markas Trio Detektif sebuah trailer tua yang ditaruh di kompleks penimbunan barang bekas, suatu perusahaan jual beli barang rombengan yang dikelola paman dan bibi Jupiter-Titus dan Mathilda Jones. Markas trailer itu biar tua, tapi isi di dalamnya serba lengkap. Kalau mau ke situ, harus lewat jalan rahasia.
Nah - itulah mereka Trio Detektif! Selanjutnya, nikmati saja sendiri.

ALFRED HITCHCOCK

Bab 1
SURAT MENARIK

"TOLONG! Selamatkan aku!" Terdengar jeritan ngeri. Suara itu aneh, melengking tinggi. "Toloong!"
Trio Detektif mendengar jeritan itu. Tapi mereka bekerja terus, tanpa mengacuhkannya. Mereka tahu, yang menjerit-jerit itu burung beo piaraan mereka. Namanya Blackbeard. Burung itu diperoleh dalam rangka menangani kasus yang belum lama lewat. Blackbeard benar-benar luar biasa. Cepat sekali menangkap kata-kata baru. Dan sangat suka meniru-nirukannya.
"Jupiter!" tukas Mrs. Mathilda Jones, bibi Jupiter. Ia melayangkan pandangan ke arah sangkar Blackbeard, yang tergantung di bawah selembar papan. "Burungmu itu terlalu banyak nonton televisi rupanya. Senangnya berteriak-teriak, seperti dalam film serial detektif."
"Ya. Bibi Mathilda," kata Jupiter. Ia mengangkat selembar daun pintu sambil mendengus-dengus. "Harus ditaruh di mana ini?"
"Di tempat pintu-pintu lainnya." jawab bibinya. "He -jangan enak-enakan terus," kata Bibi Mathilda lagi pada kedua teman Jupiter. "Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan, sedang waktu berlalu dengan cepat."
Trio Detektif tidak sependapat dengan dia. Menurut mereka, waktu rasanya seperti merayap! Di bawah petunjuk Mrs. Mathilda Jones, saat itu mereka sedang melakukan penyelidikan tertentu. Penyelidikan yang kalau mungkin, lebih baik tidak usah saja mereka kenakan. Soalnya, mereka - atau tepatnya Bibi Jones - hendak menyelidiki, berapa banyak pekerjaan yang bisa dilakukan tiga remaja pria apabila hari sedang panas sekali. Mrs. Jones yang sebetulnya mengelola perusahaan jual beli barang rombengan. Paman Titus, suaminya, cuma bertugas berbelanja, mencari barang-barang bekas yang hendak dijual. Untuk itu, ia sering sekali bepergian. Sedang Bibi Mathilda, ada hari-hari di mana ia merasa perlu melakukan pemberesan barang-barang. Dan hari itu termasuk salah satu di antaranya. Dan kalau Bibi Mathilda ingin membersihkan dan mengatur barang-barang bekas yang bertumpuk-tumpuk di pekarangan perusahaannya, selalu Jupiter dan siapa pun dari teman-teman remaja itu yang kebetulan ada di situ, langsung dikerahkan untuk bekerja.
Ketiga remaja itu bekerja keras. Dalam hati, mereka sudah kepingin sekali kembali ke Markas. Mereka ingin mulai bekerja, menyelidiki kejadian misterius yang mungkin akan datang. Keberhasilan mereka belum lama berselang, menimbulkan kepercayaan pada diri mereka tentang kemampuan selaku penyelidik. Bahkan ada kemungkinan, kepercayaan pada diri sendiri itu terlalu besar.
Tapi mereka tidak bisa menghindarkan diri dari tugas-tugas yang ditimpakan Bibi Mathilda pada mereka. Sampai saat tukang pos datang. Ia memasukkan setumpuk surat ke dalam kotak pos antik terbuat dari besi, yang terpasang di depan kantor perusahaan. Kemudian tukang pos itu pergi lagi.
"Astaga!" seru Bibi Mathilda. "Aku lupa mengeposkan surat tercatat yang dititipkan pamanmu tadi, Jupiter!"
Sambil bicara wanita gemuk itu merogoh rogoh kantong yang berukuran besar. Ia mengeluarkan sampul surat yang agak kusut kelihatannya. Bibi meratakannya dengan tangan, lalu menyodorkannya pada Jupiter.
"Kau pergi sekarang juga ke kantor pos untuk mengirimkannya sebagai surat tercatat," kata Bibi. "Ini uangnya. Usahakan agar bisa dikirim dengan pos pagi."
"Baiklah, Bibi Mathilda," kata remaja bertubuh gempal itu. "Sementara aku pergi, Pete dan Bob bisa menggantikan aku. Mereka selama ini mengeluh, katanya mereka kurang latihan jasmani."
Sementara Bob dan Pete cuma bisa menggerutu, Jupiter bergegas menaiki sepedanya lalu meluncur menuju ke kota. Mrs. Jones tertawa geli.
"Kalian boleh istirahat sekarang," katanya pada Bob dan Pete. "Untuk sisa pagi ini tidak perlu bekerja lagi. Kalian bisa mengadakan rapat, membuat sesuatu atau entah apa yang hendak kalian kerjakan di balik tumpukan barang rombengan itu."
Mrs. Jones melambaikan tangan ke arah tumpukan berbagai jenis barang tua yang menutupi bengkel luar Trio Detektif. Tapi wanita itu sama sekali tidak menduga bahwa di bawah tumpukan itu terletak Markas mereka yang tersembunyi.
"Kuperiksa saja surat-surat sekarang," kata Mrs. Jones sambil melangkah ke kantor perusahaan. "Barangkali saja ada untuk Jupiter. Akhir-akhir ini ia sering sekali menerima kiriman contoh-contoh barang yang aneh-aneh."
Kedua remaja itu merasa lega, karena tidak usah lagi bekerja berat. Mereka ikut dengan Mrs. Jones ke depan. Wanita itu mengambil surat-surat, lalu meneliti satu per satu.
"Kartu pos dari suatu perusahaan pelelangan," katanya. "Surat tagihan. Cek pembayaran ketel uap yang waktu itu. Hmm." Diselipkannya sepucuk surat ke bawah ketiak, lalu meneruskan pemeriksaannya. "Surat tagihan lagi. Kartu pos dari saudaraku, Susan. Surat reklame, mengajak tinggal di Florida." Ia terkekeh-kekeh karena surat itu. Lalu menggumam, "Hmmm," lagi sambil mengamat-amati sepucuk surat lagi, yang langsung dikepit di bawah ketiak.
Beberapa pucuk surat dialamatkan pada Titus Jones. Mungkin isinya pertanyaan tentang barang-barang tertentu. Perusahaan jual-beli barang bekas yang dikelola suami-isteri Jones tersohor namanya di mana-mana sebagai tempat yang tepat untuk memperoleh barang-barang aneh, atau yang sulit didapat. Misalnya saja, di situ dijual organ kuno yang masih utuh pipa-pipanya. Kadang-kadang Paman Titus malam-malam datang ke tempat alat musik itu disimpan, lalu memainkan lagu sendu Asleep in the Deep. Dan kalau Paman sudah asyik bermain, Hans dan Konrad pasti datang menggabung lalu melagukan kata-katanya. Melankolis sekali kedengarannya. Kedua orang itu abang-adik pemuda asal Jerman pembantu Paman Titus. Tugas mereka menyupiri kedua truk milik perusahaan, dan menyelesaikan pekerjaan yang berat-berat.
Mrs. Jones selesai menyortir surat-surat. Ia menggelengkan kepala.
"Tidak," katanya, "tidak ada untuk Jupiter."

Ia berbalik, hendak masuk ke kantor. Tapi langsung berpaling lagi. Dari sinar matanya yang berkilat-kilat lucu, Bob dan Pete langsung tahu bahwa Mrs. Jones cuma hendak mengganggu mereka saja.
"Tapi ini ada dua surat," katanya, "dialamatkan pada Trio Detektif. Kalau tidak salah, itu kan klub kalian yang baru?"
Beberapa waktu yang lalu, ketika remaja itu sedang gemar-gemarnya memecahkan segala macam teka-teki, mereka lantas mendirikan klub teka-teki. Bukan klub itu yang merupakan teka-teki, tapi mereka bergabung di dalamnya untuk bersama-sama memecahkan teka-teki apa pun juga. Dan karena minat itulah Jupiter mengikuti suatu sayembara. Sayembara itu disponsori "Rent-'n-Ride Auto Rental Company", sebuah perusahaan setempat yang usahanya menyewakan mobil. Dan hasil sayembara itu, Jupiter memenangkan sebuah mobil Rolls-Royce antik yang boleh dipakainya selama waktu tertentu. Lengkap dengan supir!
Begitu mobil sudah tersedia, ketiga remaja itu lantas mendirikan perusahaan Trio Detektif. Maksud mereka, hendak menyelidiki setiap teka-teki aneh yang mereka temukan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi bukan teka-teki dalam majalah lagi!
Tapi dasar Mrs. Jones agak linglung mengenai hal-hal yang tidak berhubungan dengan usahanya, ia masih selalu mengira, perusahaan ketiga remaja itu suatu klub. Sudah dicoba untuk menjelaskan kekeliruan itu beberapa kali. Tapi sia-sia saja! Jadi sekarang mereka membiarkan saja Bibi Mathilda keliru sangka.
Pete menerima kedua pucuk surat yang disodorkan sambil menahan rasa ingin tahunya. Sementara Mrs. Jones masuk ke kantor perusahaan, kedua remaja itu langsung menuju ke Markas mereka.
"Kita tunggu dulu sampai sudah berada di Markas, baru kita lihat dari siapa surat-surat ini," kata Pete. "Mungkin juga urusan bisnis."
"Betul," kata Bob setuju. "Mulai sekarang aku bisa mengatur arsip surat-menyurat kita. Selama ini sudah siap, cuma surat-surat yang belum datang."
Keduanya melangkah di sela-sela tumpukan barang bekas, sampai di bengkel yang dibangun sendiri oleh Jupiter. Di situ ada mesin bor, mesin bubut, gergaji listrik, mesin cetak dan berbagai alat lain yang berguna. Barang-barang itu mulanya sudah merupakan barang rongsokan, tapi dipulihkan oleh Jupiter serta kedua rekannya itu, sehingga kini bisa dipakai lagi.
Kompleks itu dikelilingi pagar papan yang tinggi. Di sisi sebelah dalam terpasang atap yang lebarnya hampir dua meter. Gunanya untuk menaungi barang-barang yang masih bermutu. Bengkel Trio Detektif juga dilindungi dengan atap itu. Kecuali itu ada pula tudung dari plastik, yang dipakai untuk menutupi apabila kebetulan hujan. Tapi di California Selatan tidak sering hujan.
Kedua remaja itu menggeserkan sesuatu, lalu menyusup ke dalam sebuah pipa dan merangkak-rangkak di dalamnya sejauh belasan meter. Akhirnya sampai di kolong trailer tersembunyi, yang merupakan Markas Besar. Trailer itu dihadiahkan oleh Paman Titus pada mereka, setelah beberapa waktu barang itu tidak laku-laku juga dijual.
Di dasar trailer ada tingkap, yang membuka ke atas. Bob dan Pete menyusup lewat tingkap itu. Mereka sampai di sebuah ruang kantor sempit. Di situ ada meja kantor yang agak hangus karena terbakar. Lalu lemari arsip. Dan sebuah pesawat telepon! Di atas meja terletak pesawat radio model kuno. Jupiter menyambungkan sebuah mikrofon ke alat pengeras suara radio. Dengan begitu mereka bisa serempak mengikuti pembicaraan telepon. Sedang ruang trailer yang masih tersisa dijadikan kamar gelap untuk mencuci film, merangkap ruang laboratorium kecil-kecilan, serta kamar mandi.
Ruangan itu gelap. Soalnya, trailer itu tertimbun di bawah tumpukan barang di luar. Pete menyalakan lampu yang tergantung di atas meja, lalu mereka duduk. Kedua surat yang diserahkan oleh Mrs. Jones tadi, kini mendapat giliran untuk diperhatikan.
"He!" pekik Pete bersemangat. "Yang ini dari kantor Alfred Hitchcock! Ini saja yang paling dulu kita buka!"
Bob langsung tertarik. Alfred Hitchcock menulis surat pada mereka? Pasti menyangkut urusan bisnis! Karena Mr. Hitchcock pernah berjanji, kalau ia mendengar ada kasus yang misterius dan rasanya perlu mereka selidiki, ia akan memberi kabar.
"Jangan - nanti saja," katanya, "karena mungkin itu yang paling menarik. Lagipula, apakah tidak sebaiknya kita tunggu Jupiter pulang dulu, sebelum kita membuka surat-surat ini?"
"Apa? Setelah dia tadi mencoba menjerumuskan kita?" tukas Pete. "Dia kan hendak memanaskan Mrs. Jones, supaya kita disuruh bekerja sampai ambruk? Lagipula, kan kau yang berwenang mengurus catatan dan penelitian? Surat-surat kan termasuk urusan itu!"
Dengan cepat Bob bisa diyakinkan. Ia pun mulai membuka sampul surat yang dinilai kurang penting. Tapi saat itu dilihatnya beberapa hal tertentu mengenai sampul itu. Timbul gagasan lagi pada dirinya.
"Sebelum surat ini kita baca," katanya, "kita coba dulu apakah kita sanggup menarik kesimpulan mengenainya. Istilah kerennya, deduksi! Kata Jupe, kita perlu melatih diri melakukan deduksi, setiap kali ada kesempatan."
"Apa yang bisa disimpulkan dari surat yang belum dibaca?" kata Pete sangsi. Tapi Bob sudah sibuk menelaah sampul yang ada di tangannya. Dibolak-baliknya beberapa kali. Warnanya ungu muda, seperti bunga lembayung. Baunya juga seperti bunga lembayung. Kini Bob melirik kertas terlipat yang ada di dalam sampul. Kertas itu warna dan baunya juga seperti bunga lembayung. Di sisi atas kertas terukir gambar dua ekor anak kucing sedang bercanda.
"Hmmm," kata Bob menggumam. Diletakkannya jari telunjuk ke kening. Aksinya seperti sedang sibuk berpikir. "Ya - aku mulai bisa membayangkannya. Penulis surat ini seorang wanita tua, berumur - yah, begitulah, sekitar lima puluhan. Tubuhnya pendek dan agak gemuk. Dia mengecat rambutnya, dan kelihatannya suka ngomong. Masih ada lagi - dia sangat sayang pada kucing. Wanita ini baik hati, tapi kadang-kadang ceroboh. Biasanya periang, tapi sewaktu menulis surat ini hatinya sedang risau sekali karena sesuatu."
Mata Pete membundar, diikuti mulutnya yang membentuk huruf "O".
"Duilah," katanya kemudian, "yang kaukatakan itu, semuanya kauketahui hanya dengan melihat sampul serta kertas surat itu saja? Tanpa membaca isinya?"

"Terang dong." Bob bersikap, seolah-olah itu soal biasa. "O ya - aku lupa menambahkan, wanita ini sangat kaya. Kemungkinannya aktif dalam berbagai kegiatan sosial."
Pete merebut sampul yang masih berisi surat, lalu mengamat-amati dengan kening berkerut. Tapi kemudian nampak tumbuh pengertian.
"Gambar kedua kucing sebagai kepala surat menunjukkan kemungkinan dia suka pada kucing," kata Pete. "Perangko robek sedikit pinggirnya karena diambil dengan terburu-buru. Juga ditempelkan agak miring. Ini indikasi, dia agak ceroboh. Tulisan pada suratnya mengarah ke atas. Ini sering merupakan tanda penulisnya periang. Tapi pada ujung surat, garis tulisannya menurun. Pertanda ia gelisah, atau sedih mengenai sesuatu."
"Itu dia jawabannya," kata Bob. "Deduksi sebetulnya pekerjaan gampang, asal kita mau sungguh-sungguh melakukannya."
"Apalagi jika punya guru kayak Jupe," tambah Pete. "Tapi aku ingin tahu, dari mana kau bisa menebak umur dan bentuk tubuhnya? Begitu pula bahwa ia suka ngomong, aktif dalam kegiatan sosial! Apalagi mengatakan wanita penulis surat ini mengecat rambutnya. Untuk membuat deduksi kayak begitu, orang harus jadi detektif ulung. Sherlock Holmes!"
"Yah," kata Bob sambil nyengir, "alamat yang tertera di belakang sampul itu satu daerah di Santa Monica, di mana terdapat rumah-rumah mewah. Wanita yang tinggalnya di situ biasanya kaya. Dan aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial, karena di rumah sendiri tidak banyak kerja. Ibuku yang bilang begitu."
"Oke, baiklah," kata Pete. Ia masih penasaran. "Lalu bagaimana tentang umur dan bentuk badan? Begitu pula soal banyak omong serta rambut yang dicat?"
"Lihatlah," kata Bob, "ia mempergunakan kertas ungu muda, warna bunga lembayung yang diberi wangi-wangian bunga lembayung. Tintanya hijau. Yang suka berbuat begitu, biasanya wanita yang sudah agak tua. Tapi terus-terang saja, aku punya bibi. Bibi Hilda. Ia kalau menulis surat, warnanya persis yang ini. Umurnya lima puluh. Orangnya kecil, cerewet dan mengecat rambutnya. Karena itu aku mengambil kesimpulan -" Bob meneliti surat di tangannya untuk membaca tanda tangan yang tertera di sebelah bawah - "Mrs. Banfry ini mungkin kayak dia juga."
Pete tertawa.
"Hebat, walau bagian yang terakhir kau cuma main tebak saja," katanya. "Sekarang kita lihat saja, apa isi surat ini." Lalu ia mulai membaca.
"Trio Detektif yang budiman," simaknya, "Kawan baik saya, Miss Waggoner yang tinggal di Hollywood bercerita bahwa kalian berhasil menemukan kembali Bo-Peep, burung nurinya yang hilang -"
Surat yang sedang dipegang Pete direbut oleh Bob. Rupanya Mrs. Banfry telah mendengar tentang petualangan mereka yang menarik, ketika sibuk menyelidiki misteri burung nuri gagap.
"Aku yang berwenang mengurus surat-menyurat," kata Bob mengingatkan. Sewaktu masih kecil, ia pernah jatuh dari bukit. Karena itu kakinya memerlukan penopang. Untuk melakukan tugas aktif, geraknya kurang cekatan. Jadi ia diserahi tugas mengurus data, melakukan penelitian ilmiah, serta mencatat perkembangan penyelidikan mereka.
"Surat-surat merupakan urusanku," tambahnya, "setidak-tidaknya kalau Jupe tidak ada. Jadi aku yang harus membaca surat ini."
Pete mengalah, walau sambil menggerutu. Sedang Bob langsung membaca dengan cepat. Ternyata persoalannya sederhana saja. Mrs. Banfry memelihara seekor kucing yang sangat disayangi olehnya. Seekor kucing Abesinia, namanya Sphinx. Dan kini Sphinx sudah satu minggu tidak pulang. Polisi tidak berhasil menemukannya kembali. Mrs. Banfry sudah memasang iklan dalam koran-koran setempat. Tapi hasilnya tetap nihil. Karena itu ia kini ingin minta tolong pada Trio Detektif, yang telah berjasa mengembalikan burung nuri Miss Waggoner yang hilang. Ia akan sangat berterima kasih apabila Trio Detektif mau menolong. Surat itu ditutup dengan ucapan, 'Disertai salam akrab, Mrs. Mildred Banfry'.
"Kucing hilang," kata Pete merenung. "Yah, setidak-tidaknya, ini kan juga tugas. Enteng dan tenang, tidak menegangkan syaraf. Kutelepon saja dia sekarang, untuk mengatakan bahwa kita menerima penugasannya."
"Nanti dulu." Bob cepat-cepat memegang tangan Pete yang sudah meraih gagang telepon. "Kita lihat dulu apa isi surat Mr. Hitchcock."
"Ya, betul juga," kata Pete menyetujui. Sementara itu Bob sudah membuka sampul surat yang berbentuk persegi panjang. Dikeluarkannya selembar kertas surat yang nampak mahal. Di sebelah atasnya nampak terukir nama Alfred Hitchcock. Bob membacakan isi surat itu keras-keras.
Tapi cuma kalimat yang pertama saja. Kemudian matanya saja yang melaju, menyusur baris demi baris. Ketika selesai membaca dalam hati, dipandangnya Pete dengan mata terbuka lebar.
"Wow!" ucap Bob. "Nih - baca saja sendiri! Kalau aku yang cerita, kau toh takkan mau percaya dan mengatakan aku cuma mengada-ada."
Rasa ingin tahu Pete semakin terangsang. Dibacanya isi surat itu cepat-cepat. Begitu selesai, dia yang berganti memandang Bob dengan mata terbelalak.
"Astaga!" bisiknya kagum. Kemudian terlontar pertanyaan, yang pasti dianggap aneh oleh siapa pun juga, yang tidak ikut membaca surat dari Alfred Hitchcock itu.
"Mumi yang sudah 3.000 tahun umurnya, mana mungkin bisa berbisik?" tanya Pete bingung.

Bab 2
MUMI YANG BERBISIK

SURAT dari Alfred Hitchcock didasari kejadian-kejadian tertentu, yang aneh dan mengerikan.
Sekitar dua puluh kilometer dari Rocky Beach, di tengah daerah perbukitan di luar Hollywood ada sebuah ngarai sempit. Di kedua sisinya yang terjal bertengger beberapa rumah besar dan mewah, dikelilingi pepohonan dan semak belukar. Satu di antaranya, sebuah gedung tua bergaya arsitektur Spanyol. Pemilik gedung itu Profesor Robert Yarborough, ahli sejarah Mesir Purba yang kenamaan. Olehnya, salah satu sisi gedung kediamannya itu dijadikan ruang museum pribadi.
Sederetan pintu angin yang tinggi dan menyentuh lantai, menghadap ke teras berlapis batu ubin. Tapi kesemua pintu itu tertutup, menyebabkan ruangan museum di baliknya sore itu terasa panas dan pengap. Dekat pintu yang berjejer-jejer itu diletakkan beberapa patung, yang berasal dari makam-makam kuno Mesir. Satu di antaranya terbuat dari kayu dan menggambarkan Anubis, salah satu dewa dalam kepercayaan Mesir Purba. Anubis bertubuh manusia, tapi berkepala ajak. Sinar matahari sore yang masuk ke dalam melemparkan bayangan kepala ajak itu ke lantai. Bayangan gelap dan menyeramkan!
Ruangan itu penuh-sesak dengan benda-benda kuno, yang semua berasal dari makam-makam kuno Mesir. Topeng-topeng logam terpasang di dinding, seolah-olah tersenyum penuh rahasia. Keping-keping tanah liat penuh dengan tulisan baji, benda-benda perhiasan dari emas, serta kumbang-kumbang suci dari batu giok hasil ukiran para empu yang sudah lama meninggal dunia, semua terkurung dalam kotak-kotak kaca.
Dekat jendela ada tempat yang agak lapang. Di situ ditegakkan sebuah peti mumi. Pada tutupnya terukir wajah mumi, yaitu mayat yang diawetkan, yang terdapat dalam peti itu. Peti mumi sangat sederhana, tanpa lapisan emas atau polesan warna supaya kelihatan mewah. Tapi peti itu menyimpan misteri tertentu. Profesor Robert Yarborough, yang bertubuh pendek agak gemuk dengan janggut yang anggun menghias dagu dan kaca mata berbingkai emas, bangga sekali memiliki peti mumi itu.
Ketika ia belum setua sekarang, Profesor Yarborough sering memimpin ekspedisi ilmiah ke Mesir. Ketika sedang mengadakan salah satu ekspedisi ini ia menemukan sejumlah makam tersembunyi. Makam-makam itu berupa liang-liang di lereng bukit berbatu. Isinya mumi beberapa Firaun atau raja Mesir Purba. Mumi-mumi itu tidak sendirian dimakamkan di situ, tapi disertai para permaisuri dan pelayan, lengkap dengan emas permata serta benda-benda lainnya lagi. Temuan-temuan itu disimpannya dalam museum pribadi di rumahnya, di mana ia menulis buku mengenai hasil-hasil ekspedisinya.
Peti mumi beserta isinya itu baru saja tiba seminggu yang lalu. Tapi Profesor Yarborough menemukannya di Mesir, sudah dua puluh lima tahun berselang. Namun karena waktu itu ia sibuk sekali menangani suatu tugas sulit dan memakan waktu lama, mumi itu dititipkannya di suatu museum di Kairo. Kemudian ketika ia sudah memasuki masa pensiun, ia meminta pada pemerintah Mesir agar mumi itu dikirimkan padanya guna penelitian lebih lanjut. Kini Profesor Yarborough sudah punya waktu. Ia ingin mencoba kemampuannya, membeberkan misteri yang menyelubungi mumi itu.
Pada hari itu - dua hari sebelum Trio Detektif menerima surat dari Alfred Hitchcock - Profesor Yarborough sedang berdiri dalam ruang museum pribadinya. Tangannya bergerak-gerak dengan gelisah, mengetuk-ngetuk tutup peti mumi dengan sebatang pinsil. Tutup itu bisa dibuka ke samping, seperti tutup peti biasa. Peti mayat kuno itu memang sebuah peti kayu biasa. Tapi keistimewaannya, peti itu berisi mumi!
Profesor Yarborough ditemani oleh Wilkins, pelayan pribadinya. Istilah sananya, butler. Seorang laki-laki bertubuh kurus tinggi. Wilkins sudah bertahun-tahun bekerja pada Profesor Yarborough.
"Anda sudah betul-betul yakin hendak melakukannya, Sir? Maksud saya, setelah kejutan kemarin?" tanya Wilkins.
"Aku harus tahu apakah kejadian itu berulang lagi atau tidak, Wilkins," kata Profesor dengan mantap. "Tapi tolong bukakan pintu-pintu angin itu dulu. Aku paling tidak suka ruang yang pengap."
"Baik, Sir." Dan Wilkins cepat-cepat membukakan beberapa pintu angin yang menghadap ke teras. Bertahun-tahun yang silam, Profesor Yarborough pernah terkurung selama dua hari dalam sebuah makam kuno. Dan sejak saat itu ia paling tidak tahan kalau berada dalam ruangan tertutup.
Setelah pintu-pintu angin dibuka, Wilkins lantas mengangkat tutup peti mumi ke samping. Kedua laki-laki setengah umur itu menjengukkan kepala ke dalam.
Mungkin saja ada orang yang tidak suka melihat mumi. Padahal sebetulnya kelihatan biasa saja. Mayat raja-raja dan kaum bangsawan Mesir Purba biasa diawetkan dengan bahan-bahan pengawet tertentu. Lalu dibungkus dengan kain, sampai tertutup seluruh tubuh. Ini merupakan kepercayaan jaman itu di sana. Mayat perlu diawetkan, supaya bisa pindah ke alam baka dalam wujud utuh. Karena itu pula keberangkatan mereka disertai dengan bekal pakaian, benda-benda perhiasan, peralatan. Bahkan segala emas permata yang merupakan milik mereka semasa hidup juga ikut dikuburkan - supaya bisa dipakai dalam kehidupan yang berikut.
Mumi dalam peti yang sedang dihadapi Profesor, bernama Ra-Orkon. Kain pembalutnya terbuka sedikit, sehingga sarjana itu bisa menatap wajah mumi itu. Wajah seorang tua yang halus rautnya. Berwarna coklat tua, seperti pahatan kayu berwarna gelap. Bibir mumi itu agak renggang, seolah-olah hendak bicara. Tapi kelopak matanya terpejam.
"Kelihatannya tenang sekali, Sir," ujar Wilkins kemudian. "Saya rasa hari ini ia tidak mau bicara."
"Mudah-mudahan saja," kata Profesor. Garis bibirnya menegang. "Mumi seseorang yang meninggal tiga ribu tahun yang lalu, tapi bisa bicara, bukan merupakan sesuatu yang wajar, Wilkins. Bahkan berbisik pun sudah tidak wajar!"
"Sangat tidak wajar, Sir," ucap Wilkins sependapat.
"Tapi walau begitu, kemarin mumi ini berbisik padaku," kata Profesor lagi. "Ketika aku sedang sendirian di sini, ia berbisik dalam bahasa yang tak kukenal. Tapi nadanya sangat mendesak. Seolah-olah minta padaku untuk berbuat sesuatu."

Profesor Yarborough mencondongkan tubuhnya lagi ke depan, lalu menyapa mumi itu.
"Ra-Orkon," katanya, "jika kau ingin bicara padaku, aku siap untuk mendengarkan. Aku akan berusaha memahami kata-katamu."
Setelah itu Profesor menunggu. Semenit. Dua menit. Tapi yang terdengar cuma bunyi dengung seekor lalat yang terbang di situ.
"Mungkin juga kejadian kemarin itu cuma khayalanku belaka," kata Profesor kemudian. "Ya - kurasa pasti aku saja yang mimpi dalam keadaan bangun, menyangka mumi ini berbisik padaku. Tolong ambilkan gergaji kecil dari bengkel, Wilkins. Aku hendak mengambil contoh kayu sedikit dari sudut peti ini. Kawanku Jennings dari Universitas California ingin mencoba menetapkan saat pemakaman Ra-Orkon, dengan jalan melakukan pengukuran karbon radioaktif terhadap kayu peti."
"Baik, Sir." Pelayan pribadinya keluar.
Profesor Yarborough mengitari peti sambil mengetuk-ngetuk ke sana-sini. Ia sedang memilih-milih, bagian mana yang sebaiknya dipotong untuk dijadikan bahan percobaan. Pada satu tempat yang diketuk, ia merasa seperti mendengar bunyi kosong. Dan di tempat lain, kelapukan.
Sementara ia sedang sibuk mengetuk-ngetuk. Profesor Yarborough seperti menangkap bunyi gumaman pelan. Datangnya dari dalam peti. Ia terkesiap sesaat. Tapi kemudian buru-buru menempelkan telinga ke bibir mumi.
Astaga! Mumi itu berbicara padanya! Terdengar suara bisikan pelan, keluar dari celah bibir yang renggang. Kata-kata. Diucapkan mayat bangsawan Mesir yang sudah meninggal dunia tiga ribu tahun yang lalu.
Profesor Yarborough tidak memahami kata-katanya. Mumi itu mendesiskan suku kata demi suku kata, dengan suara begitu lirih sehingga nyaris tak terdengar. Tapi nadanya naik-turun, makin lama semakin mendesak. Seolah-olah mumi itu berusaha agar sarjana yang merapatkan telinga ke bibirnya itu bisa mengerti.
Profesor Yarborough haru-biru perasaannya. Kemungkinannya, mumi itu bicara dalam bahasa Arab Kuno. Kadang-kadang ia merasa seperti nyaris bisa menangkap makna satu dua patah kata.
"Teruskan, Ra-Orkon!" desak Profesor. "Aku berusaha mengerti."
"Bagaimana, Sir?"
Profesor berpaling, ketika terdengar suara orang di balik punggungnya. Sementara itu Ra-Orkon membisu lagi. Profesor melihat Wilkins berdiri di belakangnya, memegang gergaji berukuran kecil tapi tajam.
"Wilkins!" seru Profesor Yarborough. "Mumi baru saja bicara lagi padaku! Ia mulai berbisik begitu kau tadi keluar, tapi membungkam lagi ketika Anda masuk kembali."
Kening Wilkins berkerut.
"Rupanya dia hanya mau bicara jika Anda sedang sendirian, Sir," katanya. "Anda tadi mengerti apa yang dikatakannya?"
"Tidak," keluh Profesor. "Aku tidak mengerti! Aku bukan ahli bahasa. Mungkin Ra-Orkon bicara dalam bahasa Arab Kuno, atau salah satu bahasa Hethit atau bahasa Kaldu."
Wilkins memandang ke luar. Ia menatap rumah yang terletak di seberang ngarai. Sebuah bangunan baru diplester putih, yang nampak seperti menempel di pinggir jurang.
"Teman Anda, Profesor Freeman, Sir, " katanya sambil menuding rumah di seberang. "Dia kan ahli kita yang paling hebat mengenai bahasa-bahasa Timur Tengah. Dalam waktu lima menit ia sudah bisa ada di sini. Jika Ra-Orkon juga mau bicara padanya, mungkin saja dia nanti bisa mengatakan apa yang diucapkan mumi ini."
"Ya - tentu saja!" seru Profesor Yarborough. "Kenapa tidak dari tadi aku berpikir ke situ. Ayahnya kan ada bersamaku, ketika aku menemukan Ra-Orkon! Tapi kasihan - seminggu kemudian ia tewas terbunuh di daerah pasar di sana. Ya, tolong teleponkan Freeman, Wilkins! Minta dia datang dengan segera."
"Yes, Sir." Tapi baru saja pelayan itu meninggalkan ruangan, terdengar lagi suara bisik-bisik aneh itu.
Profesor Yarborough memaksa diri memahami kata-katanya, tapi sia-sia belaka. Akhirnya ia menyerah. Ia melayangkan pandangan lewat pintu angin yang terbuka, memandang rumah Profesor Freeman yang nampak di seberang ngarai.
Dilihatnya rekan yang umurnya lebih muda itu keluar dari rumahnya lewat pintu samping. Mendaki tangga menuju garasi. Dan beberapa saat kemudian nampak mobil meluncur ke luar, mulai menyusur jalan sempit yang menyusur tepi jurang. Sementara mata Profesor Yarborough mengikuti keberangkatan temannya itu dengan gelisah, telinga terus terpasang untuk menangkap suara bisikan yang mungkin akan terdengar lagi.
Tapi mumi itu tetap membungkam. Sarjana itu mulai bingung. Jangan-jangan kini mumi itu tidak mau bicara lagi, padahal sebentar lagi ada kemungkinan bantuan untuk menafsirkan kata-katanya!
"Teruslah bicara. Ra-Orkon!" desak Profesor Yarborough. "Jangan berhenti. Aku masih mendengarkan. Aku berusaha memahami kata-katamu!"
Sejenak kemudian bisikan terdengar lagi. Lalu menyusul bunyi mobil berhenti di luar rumah. Tak lama kemudian pintu ruangan terbuka.
"Andakah itu, Freeman?" tanya Profesor Yarborough tanpa berpaling.
"Ya! Ada apa, Yarborough?" Terdengar suara lembut dan ramah menjawab.
"Kemarilah dengan hati-hati. Aku ingin Anda ikut mendengarkan sesuatu." Profesor Yarborough merasa orang yang baru datang itu berlutut di sisinya.
"Ra-Orkon!" seru Yarborough. "Terus! Jangan berhenti bicara."
Tapi mumi sudah bungkam lagi, sebungkam masa tiga ribu tahun sebelum ia dibawa ke ruangan itu.
"Aku kurang mengerti," kata Profesor Freeman, sementara rekannya yang lebih tua berpaling untuk menatapnya. Sarjana yang baru masuk itu tingginya biasa saja. Berpotongan langsing, raut muka ramah, sedang rambutnya sudah mulai beruban di sana-sini.
"Aku mendapat kesan, seolah-olah Anda baru saja mendengarkan mumi ini bicara," sambungnya.

"Memang begitu," kata Yarborough. "Dia berbisik padaku dalam bahasa yang tak kukenal! Aku tadi berharap Anda akan bisa menafsirkannya untukku. Tapi begitu Anda muncul, dia langsung berhenti. Atau -" Profesor Yarborough tertegun, karena menyadari rekannya itu memandangnya dengan aneh. "Anda tidak percaya, kan?" kata Yarborough. "Anda tidak percaya Ra-Orkon tadi berbisik padaku?" Profesor Freeman mengusap-usap dagunya.
"Memang sukar dipercaya," katanya setelah beberapa saat. "Tapi tentu saja, jika aku bisa mendengarnya sendiri
"Kita coba saja," kata Yarborough. "Ra-Orkon! Bicaralah lagi. Kami akan berusaha memahami." Kedua sarjana itu menunggu. Tapi mumi tetap membisu.
"Ah - percuma saja," desah Profesor Yarborough. "Tapi sungguh, dia tadi berbisik-bisik. Rupanya dia hanya mau bicara jika aku seorang diri di sini. Aduh - padahal aku tadi sudah berharap-harap, semoga Anda bisa mendengarnya lalu menafsirkan kata-katanya."
Profesor Freeman berusaha mengambil sikap seolah-olah percaya. Tapi nampak jelas, ia sulit sekali bisa menerima cerita itu sebagai hal yang masuk akal.
"Tentu saja aku bersedia membantu, jika aku bisa," katanya. Kemudian baru dilihatnya gergaji kecil yang ada dalam pegangan Profesor Yarborough. "Untuk apa gergaji itu?" tanyanya. "Anda kan tidak bermaksud hendak menggergaji mumi ini!"
"Bukan," jawab Yarborough. "Aku cuma hendak menggergaji kayu sedikit dari sudut peti. Untuk pemeriksaan radioaktivitas karbon, guna menentukan saat Ra-Orkon dimakamkan."
"Nanti rusak peninggalan kuno yang teramat berharga ini!" seru Freeman. "Mudah-mudahan saja itu tidak perlu dilakukan."
"Aku sangsi, apakah Ra-Orkon serta peti ini memang berharga," kata Profesor Yarborough. "Kurasa cuma misterius saja! Pokoknya, pemeriksaan umur dengan sistem pengukuran radio aktivitas karbon itu perlu dilakukan. Tapi akan kutangguhkan dulu untuk sementara, sampai berhasil kuketahui teka-teki bisikan aneh tadi. Terus-terang saja, saat ini aku bingung, Freeman! Mumi mustahil bisa berbisik. Tapi kenyataannya aku sendiri mendengar mumi yang ini berbisik-bisik padaku. Dan cuma padaku saja."
"Hmmm." Kening Profesor Freeman berkerut. Ia berusaha menyembunyikan rasa kasihan pada laki-laki yang lebih tua itu. "Yah - bagaimana jika Ra-Orkon dititipkan saja di tempatku untuk beberapa hari? Kalau nanti tinggal sendiri bersama aku, mungkin saja ia mau berkata-kata lagi. Saat itu ada kemungkinan aku bisa memahami kata-katanya, lalu meneruskannya pada Anda."
Profesor Yarborough menatap rekannya yang lebih muda.
"Terima kasih, Freeman," katanya dengan sikap tahu harga. "Aku merasa, Anda cuma hendak menyenangkan perasaanku saja. Padahal Anda beranggapan, kesemuanya ini cuma khayalanku belaka. Yah - mungkin saja memang begitu kenyataannya. Ra-Orkon akan kutahan di sini, sampai aku sendiri berhasil memastikan apakah kesemuanya benar-benar kualami. Atau cuma hasil khayalanku saja!"
Profesor Freeman mengangguk.
"Jika Anda ternyata berhasil menyuruh Ra-Orkon berbicara lagi, harap panggil aku dengan segera," katanya. "Aku akan langsung kemari. Tapi sekarang aku harus pergi lagi, karena ada rapat di universitas."
Setelah rekan yang lebih muda itu pergi, Profesor Yarborough mengalihkan perhatiannya kembali pada Ra-Orkon. Ia menunggu. Tapi mumi itu tetap membisu. Tak lama kemudian Wilkins masuk.
"Anda sudah mau makan sekarang, Sir?"
"Ya, baiklah," jawab Profesor Yarborough. "Dan harap ingat, Wilkins -jangan cerita pada siapa-siapa tentang kejadian ini."
"Saya mengerti, Sir. "
"Melihat sikap Freeman tadi, aku tahu apa yang akan dikatakan rekan-rekanku yang sarjana jika mereka mendengar bahwa aku mengatakan ada mumi berbisik-bisik padaku. Bayangkan, jika berita itu sampai masuk surat kabar! Bisa buyar nama baikku selaku ilmuwan!"
"Memang betul, Sir, " kata Wilkins sependapat.
"Tapi walau begitu, soal ini perlu kurundingkan dengan orang lain," kata Yarborough dengan bibir diruncingkan. "Seseorang yang bukan ilmuwan, tapi tahu di dunia kita ini banyak terdapat hal-hal yang misterius. Ya - aku tahu sekarang siapa! Malam ini juga aku akan menelepon kawan lamaku, Alfred Hitchcock! Akan kuceritakan segala-galanya pada dia. Setidak-tidaknya, dia takkan mencemoohkan!"
Ternyata Alfred Hitchcock memang tidak mencemoohkan. Sutradara kenamaan itu menulis surat pada Trio Detektif.

Bab 3
JUPITER MEMBACA PIKIRAN

"MANA mungkin mumi bisa berbisik?" kata Pete, mengulangi pertanyaannya. Sedang Bob cuma bisa menggeleng saja. Mereka membaca surat Alfred Hitchcock sampai dua kali. Kalau datangnya bukan dari sutradara terkenal itu, mereka pasti sudah menganggapnya lelucon belaka. Tapi Mr. Hitchcock menegaskan, kawannya yang bernama Profesor Yarborough benar-benar bingung menghadapi teka-teki mumi yang bisa berbisik itu. Lalu Mr. Hitchcock menanyakan, bersediakah Trio Detektif menangani kasus itu?
"Mumi mana bisa bicara," sambung Pete sambil mengerutkan kening. "Maksudku, mumi kan mumi - bukan manusia. Maksudku, dulunya memang manusia, tapi tidak - tidak..."
"Sudah tidak bernyawa lagi," sela Bob, menyelesaikan kalimat Pete. "Kau merasa tidak enak membayangkan mumi yang sudah mati, ternyata ada yang bisa bicara."
"Terang saja aku merasa tidak enak!" tukas Pete. Dipungutnya surat tadi, lalu dibacanya sekali lagi. "Profesor Yarborough," bacanya. "Seorang tokoh Egyp - Egypto -"
"Egyptolog!"
"Ya, betul- Egyptolog. Apa itu?"
"Ahli sejarah Mesir Purba," kata Bob menjelaskan.
"O, begitu," kata Pete. "Tinggalnya di pinggir ngarai Hunter Canyon, dekat Hollywood. Punya museum pribadi di rumahnya. Di situ ada mumi yang suka berbisik-bisik padanya, dalam bahasa yang tidak dipahami olehnya. Profesor menjadi gugup karenanya. Yah - tidak heran! Aku yang cuma membaca kabar itu saja sudah ikut-ikut gugup. Aku tidak mau terlibat urusan mumi yang bisa bicara. Sekarang saja sudah sering kita menghadapi perkara yang aneh-aneh. Kita perlu menenangkan syaraf sedikit. Lebih baik ke Santa Monica, dan membantu nyonya tua yang minta tolong dicarikan kucingnya yang hilang."
Bob Andrews mengambil surat yang satu lagi, yang datang dari Mrs. Banfry.
"Kau tentunya bisa menebak, perkara mana yang akan dipilih Jupe," kata Bob.
"Ya, tentu saja," jawab Pete sambil cemberut. "Begitu ia membaca surat Mr. Hitchcock, pasti ia akan meminta Worthington datang dengan Rolls-Royce untuk mengantar kita ke tempat Profesor Yarborough. Tapi suara kita berdua lebih banyak dari dia sendiri. Jadi lebih baik kita serempak mengusulkan agar lebih dulu menangani kasus kucing Abesinia yang hilang."
"Jupe sulit dikalahkan suaranya," kata Bob.
"Ya, memang," jawab Pete dengan nada lesu.
"Ke mana saja sih, anak itu?" tanya Bob. "Mestinya sekarang kan sudah kembali!" "Coba kita lihat saja," usul Pete. "Angkat periskop!"
Pete pergi ke pojok ruangan sempit itu, menghampiri sebuah tabung yang terdapat di situ. Kelihatannya seperti pipa pembuangan asap yang biasa. Ukuran garis-tengahnya tidak seberapa besar. Pipa itu berdiri tegak lurus ke atas, menembus atap trailer. Ujung bawahnya menyiku. Di kiri-kanannya mencuat ujung-ujung sebatang pipa kecil. Kelihatannya seperti tempat berpegang. Kesemuanya itu jika diperhatikan lebih teliti, mirip sekali dengan bagian bawah periskop kapal selam. Dugaan begitu tidak meleset, karena benda itu memang periskop. Jupiter yang membuatnya sendiri, minggu lalu.
Markas besar Trio Detektif masih tetap merupakan tempat rahasia. Letaknya tersembunyi di bawah tumpukan berbagai jenis barang rombengan. Tapi letak tersembunyi itu ternyata ada ruginya. Orang lain tidak bisa melihat trailer itu. Memang betul! Tapi begitu ketiga remaja itu sudah masuk ke dalam, mereka pun tidak bisa memandang ke luar.
Problem ini diselesaikan Jupiter. Dibuatnya sebuah periskop, seperti yang ada dalam kapal selam. Ia membuatnya dari pipa-pipa pembuang asap tungku pasak (EN: di buku tertulis pasak, bukan rusak, atau masak). Diperlengkapinya dengan cermin-cermin yang dipasang miring di sebelah dalamnya. Pipa itu menembus atap trailer, dekat lubang angin. Orang lain yang kebetulan melihatnya menonjol di luar, pasti mengira itu cuma pipa tungku biasa saja.
Pete menjunjung periskop itu pelan-pelan ke atas, sampai ujung atasnya mencuat dari tumpukan barang rombengan. Kemudian ia mulai menggerakkan gagang, sehingga pipa itu terputar. Ia memutar terus, sambil mengamat-amati pemandangan di luar.
"Mrs. Jones sedang menjual beberapa batang pipa pada seorang tukang," katanya melaporkan. "Hans menumpukkan kayu bekas di pojok. Nah - itu dia Jupe." Kini periskop tidak digerakkannya memutar lagi. "Ia datang dari arah kota, sambil menuntun sepeda. Rupanya tadi mengalami kesulitan - ya, betul, bannya kempis."
"Mungkin bocor kena paku," tebak Bob. "Karena itu baru sekarang ia kembali. Bagaimana tampangnya? Masam atau tidak?"
"Tidak. Ia tersenyum-senyum, sambil menempelkan radio transistor ke kuping," kata Pete sambil memperhatikan terus. "Aneh! Maksudku, Jupe kan paling benci kalau ada sesuatu yang tidak beres. Bahkan ban kempis saja sudah bisa membikin dia jengkel. Ia menilai kejadian begitu sebagai penghinaan terhadap kerapian kerjanya. Jupe senang sekali merencanakan dengan cermat, supaya kemudian segala-galanya bisa berjalan lancar."
"Jupe kalau disuruh merancang memang paling jago," kata Bob. "Cuma satu keinginanku - alangkah baiknya kalau dia bisa ngomong tanpa memakai kata yang panjang-panjang. Kadang-kadang aku sampai kerepotan, hanya untuk mengerti saja!"
"Siapa yang tidak kerepotan?" tukas Pete. Kini periskop digerakkannya sedikit, mengikuti pemandangan yang sedang diamati di luar. "Sekarang Jupe masuk, lewat gerbang besar. Ia menyerahkan sesuatu pada bibinya. Mrs. Jones menuding kemari sambil mengangguk. Rupanya bilang pada Jupe, kita ada di bengkel."
"Nah - sekarang dia masuk ke kantor," sambung Pete lagi. Ia menunggu beberapa saat. "Kenapa begitu lama di situ? Ah - itu dia muncul lagi."

"Yuk, kita mempermainkan Jupe," ajak Bob. "Surat dari Mr. Hitchcock ini kusembunyikan dalam kantong. Sedang yang dari Mrs. Banfry kita tunjukkan padanya. Biar timbul dulu semangatnya ingin menangani kasus itu. Kemudian baru kita tunjukkan surat mengenai Profesor Yarborough yang pusing menghadapi mumi berbisik."
"Lalu kita bilang, kasus itu tidak bisa kita tangani sebelum kucing Abesinia kita temukan!" Pete nyengir. "Aku dapat akal lain. Kau tinggal ikut saja nanti. Kini giliranku mengadakan deduksi."
Setelah itu mereka menunggu. Terdengar bunyi terali besi tergeser ke samping. Rupanya Jupiter masuk lewat Lorong Dua, yaitu pipa besi besar yang merupakan jalan masuk utama ke Markas Besar.
Dengan cepat Pete menurunkan periskop, lalu duduk menghadapi meja. Sementara itu terdengar bunyi orang merangkak-rangkak menyusur Lorong Dua, disusul ketukan tangan pada tingkap yang di lantai. Setelah itu tingkap terangkat ke atas, dan Jupiter tersembul masuk ke Markas Besar.
Jupiter Jones bertubuh gempal, agak pendek. Rambutnya hitam pekat, sedang matanya berwarna coklat tua. Mukanya bundar kemerah-merahan, nampak lebih muda daripada umur sebenarnya. Tapi kalau ia sudah mengambil sikap tegak dan dagunya ditegapkan, dia juga bisa kelihatan lebih tua. Jupiter juga bisa membiarkan sikap tubuhnya merosot. Kalau sudah begitu, tampangnya konyol sekali. Kelihatan gendut dan goblok! Kemampuannya ini sudah sering mengecoh orang lain, yang langsung meremehkan.
"Aduh," katanya sambil menghembuskan napas. "Panas sekali di luar!"
"Bukan saat yang baik untuk mengalami ban kempis," kata Pete.
Jupiter menatap temannya itu.
"Dari mana kau tahu ban sepedaku kempis?" tanyanya.
"Pakai deduksi, dong," jawab Pete. "Kami berdua tadi sibuk latihan deduksi, seperti yang kaukatakan. Ya kan, Bob?"
Bob terangguk-angguk.
"Betul," kata teman itu. "Jauh juga kau tadi menyorong sepeda, ya Jupe?" Jupiter memandang mereka silih-berganti dengan perasaan curiga.
"Ya, memang," jawabnya kemudian. "Sekarang aku kepingin mendengar penjelasan, bagaimana kalian sampai pada kesimpulan itu. Supaya aku bisa menilai perkembangan kemampuan benak masing-masing." "Apa kami yang kaunilai?" tanya Pete bingung.
"Dia mau menilai jalan pikiran kita," sela Bob. "Kau saja yang memberi penjelasan." "Boleh saja," kata Pete. "Perlihatkan tanganmu."
Jupiter menyodorkan kedua belah tangannya ke depan. Nampak kotor. Pada satu telapak nampak kotoran, kelihatannya seperti bekas memegang ban sepeda. "Baiklah! Lalu?" tanya Jupiter.
"Lututmu yang sebelah kanan berdebu," sambung Pete. "Rupanya kau tadi berlutut, untuk memeriksa sesuatu. Tanganmu kotor, dan pada satu telapaknya nampak bekas ban sepeda. Kesimpulanku, kau tadi berlutut untuk memeriksa ban sepeda. Itu berarti banmu kempis. Sepatumu juga berdebu. Jadi kau agak jauh juga berjalan kaki. Gampang saja, Jupe."
Deduksinya itu memang baik sekali - kalau sebelumnya ia tidak tahu bahwa Jupiter ban sepedanya bocor. Jupiter nampak kagum.
"Bagus sekali," katanya. "Kemampuan menarik kesimpulan yang begitu tidak boleh disia-siakan, hanya untuk mencari seekor kucing hilang."
"Apa katamu?" seru Pete dan Bob serempak.
"Kukatakan tadi, perkembangan yang sudah begitu maju dalam penalaran deduktif serta ilmu pertimbangan, sayang jika disia-siakan untuk menyelidiki jejak seekor kucing Abesinia yang menghilang dari tempat pemukimannya yang lazim," kata Jupiter. Ia sengaja memakai kata yang panjang-panjang, karena tahu Pete paling benci jika ia sudah begitu.
"Pada hakekatnya, penyelidik yang berkemampuan seperti kalian seharusnya menyelami perkara-perkara yang lebih besar, seperti -" Jupiter diam sejenak, seperti sedang berpikir, "- seperti misteri mumi berumur 3.000 tahun yang membisikkan pesan-pesan aneh dalam bahasa tak dikenal pada pemiliknya."
"Dari mana kau tahu tentang mumi yang bisa berbisik?" tanya Pete tercengang. Nyaris saja ia berteriak.
"Sementara kalian tadi melatih diri dalam ilmu deduksi," kata Jupiter, "aku berlatih membaca pikiran orang. Bob, dalam kantongmu ada surat di mana tertera alamat Profesor Yarborough. Aku tadi sudah menelepon, memesan pada Worthington supaya datang ke sini dengan mobil kita. Sepuluh menit lagi kita sudah bisa berangkat ke tempat profesor itu, dan menawarkan bantuan kita untuk memecahkan teka-teki mumi yang katanya bisa berbisik itu."
Pete dan Bob tidak sanggup mengatakan apa-apa lagi. Keduanya cuma bisa memandang Jupiter sambil melongo.

Bab 4
KUTUKAN MUMI

"BAGAIMANA kau bisa tahu ada surat dari Mr. Hitchcock, yang isinya mengenai Profesor Yarborough serta mumi yang berbisik?" tanya Pete setengah jam kemudian. Sudah kelima kalinya dengan itu ia mengajukan pertanyaan yang sama.
Jupiter Jones mendesah.
"Kalau kau tetap tidak mau percaya juga bahwa aku ini bisa membaca pikiran orang, yah - cari saja jawabannya sendiri," katanya. "Pakai kemampuanmu menarik kesimpulan. Ketika aku datang tadi, kau sudah memamerkan kehebatan mengadakan deduksi tentang ban sepedaku yang kempis. Sekarang teruskan usaha yang baik itu."
Pete terdiam. Dalam hati, ia jengkel. Sedang Bob Andrews nyengir, geli sendiri. Sekali lagi mereka dikalahkan oleh Jupe, si gendut. Nanti dia pasti akan bercerita sendiri, bagaimana caranya sampai ia bisa tahu. Untuk saat ini, Bob sudah merasa cukup puas. Trio Detektif sudah menginjakkan kaki ke ambang misteri baru, yang aneh dan menyeramkan.
Ketiga remaja itu duduk di jok belakang mobil Rolls-Royce antik yang besar. Dengan kendaraan itu mereka bisa mendatangi tempat-tempat lain. Di California Selatan, jarak dari satu tempat ke tempat lain tidak bisa dibilang dekat. Dan kini kendaraan itu meluncur dengan tenang, melintasi perbukitan yang memisahkan Rocky Beach dari kota Hollywood bagian utara.
"Jupe," kata Bob sambil menggeliat nikmat, "aku tidak tahu apa yang akan kita lakukan nanti, jika hak pemakaian mobil ini sudah habis. Kita sudah empat belas hari memakainya."
"Sudah lima belas hari, Master Andrews," kata Worthington yang menyetir mobil di depan, dengan gaya bicaranya yang khas Inggris. Sopan, tapi penuh wibawa. Sementara itu antara dirinya dengan ketiga remaja yang menjadi majikannya untuk sementara waktu, sudah terjalin tali persahabatan yang hangat. "Itu kalau hari ini ikut dihitung! Kalau saya nanti sudah tidak lagi menyupiri kalian, pasti saya akan merasa kehilangan, karena tidak bisa lagi ikut mengalami petualangan kalian."
"Jadi tinggal lima belas hari lagi," desah Pete.
"Dua tambah dua, tidak selalu menghasilkan empat," kata Jupiter. Lagi-lagi ia berlagak misterius. "Dan lima belas tambah lima belas, belum tentu tiga puluh jumlahnya. Ya - berhenti di sini, Worthington."
Mobil mewah itu berhenti beberapa meter di bawah puncak punggung salah satu bukit yang bertaburan mengelilingi kota Hollywood. Di pinggir jalan nampak jalan masuk ke pekarangan sebuah rumah. Di kiri-kanan jalan masuk itu terdapat dua tonggak batu berukuran besar. Pada satu di antaranya terpasang sebuah pelat nama. Di situ tertulis: " Yarborough".
Jalan masuk itu menuruni lereng tebing, menuju pekarangan luas yang rimbun ditumbuhi pepohonan. Di sela-sela dedaunan tersembul atap genting berwarna merah, menaungi sebuah gedung tua bergaya Spanyol. Di belakang gedung, tebing menurun semakin terjal, sampai di dasar ngarai. Lalu menanjak terjal lagi ke atas, membentuk sisi seberang ngarai. Dan di seberang nampak sejumlah rumah, dibangun pada ketinggian yang berbeda-beda.
"Mestinya inilah tempat tinggal Profesor Yarborough," kata Jupiter pada kedua rekannya. "Aku sudah menelepon dia. Jadi antarkan kami ke rumahnya, Worthington, supaya kami bisa memperkenalkan diri. Aku sudah kepingin sekali melihat mumi itu. Barangkali dia mau bicara dengan kita!"
"Mudah-mudahan tidak," gumam Pete. "Aku tak mau berada dalam satu ruangan dengan mumi yang bisa bicara. Terus-terang saja, profesor itu tidak bisa kusalahkan kalau dia merasa gelisah sekarang!"
Dan saat itu Profesor Yarborough memang sedang gelisah sekali. Sarjana itu sudah duduk di teras, sambil menghirup sup encer yang baru saja dihidangkan panas-panas oleh Wilkins.
"Wilkins," sapa Profesor dengan gugup, "Anda tadi malam masih mendengarkan, seperti yang sudah kupesankan?"
"Ya, Sir, "jawab pelayan itu. "Saya berada dalam ruangan tempat Ra-Orkon, sampai hari sudah betul-betul gelap. Sekali saya merasa seperti mendengar sesuatu-"
"Ya - terus?"
"Tapi akhirnya saya terpaksa menarik kesimpulan, bunyi itu cuma ada dalam sangkaan saya belaka." Wilkins mengambil cangkir yang sudah kosong, lalu menyodorkan serbet pada majikannya. Profesor Yarborough mengusap bibir.
"Ada sesuatu yang terjadi dengan diriku, Wilkins," keluhnya. "Malam-malam aku terbangun, dengan jantung berdebar keras. Misteri ini - mengganggu ketenangan syarafku." "Saya sendiri jadi ikut gugup, Sir, " balas Wilkins. "Mungkinkah -" "Mungkin apa, Wilkins? Ayo, katakan saja!"
"Saya cuma ingin mengatakan, Sir - mungkin Anda sudah berpikir-pikir, lebih baik Ra-Orkon dipulangkan saja ke Mesir. Dengan begitu, Sir - Anda akan bebas dari -"
"Tidak!" Bibir Profesor Yarborough merapat, menandakan kekerasan hatinya. "Di sini ada berbagai hal yang tidak kumengerti. Dan aku tidak mau menyerah, sebelum berhasil mengetahui apa yang ada di balik berbagai teka-teki itu. Kurasa tak lama lagi kita akan memperoleh bantuan."
"Bantuan detektif, Sir?" tanya Wilkins. "Tapi - saya kira Anda tidak mau urusan ini sampai terdengar polisi."
"Memang bukan polisi, tapi beberapa penyelidik yang dianjurkan sahabatku, Alfred Hitchcock."
Saat itu terdengar nada-nada merdu menggema dalam rumah. Bunyi bel pintu depan.
"Nah, mungkin itu mereka," kata Profesor. "Cepat, Wilkins - persilakan mereka langsung kemari."
Pelayan itu masuk ke dalam rumah. Tak lama berselang, kembali bersama tiga remaja. Seorang bertubuh gempal dan berambut hitam. Satu lagi jangkung dan kekar. Sedang remaja yang ketiga berbadan kecil, memakai kaca mata.

Jalannya agak timpang, dan tungkainya ditunjang dengan penopang. Profesor Yarborough memandang ketiga remaja yang melangkah ke teras itu sambil mengerutkan kening.
Jupiter langsung mengerti. Profesor Yarborough pasti mengira detektif yang akan membantunya sudah dewasa. Jupe menegakkan sikap. Dagunya ditegapkan. Seketika itu juga ia nampak lebih tua. Ia mengambil kartu nama dari dalam kantong, lalu menyodorkannya pada sarjana itu yang secara otomatis menerimanya. Pada kartu itu tertera:

TRIO DETEKTIF
"Kami Menyelidiki Apa Saja"
???

Penyelidik Satu: Jupiter Jones
Penyelidik Dua: Peter Crenshaw
Data dan Riset: Bob Andrews

Profesor Yarborough lantas menanyakan hal yang diajukan oleh hampir setiap orang yang melihat kartu nama itu. "Ketiga tanda tanya ini, apa artinya?" tanya sarjana itu. "Kelihatannya seolah-olah kalian menyangsikan kemampuan diri sendiri."
Pete dan Bob saling memandang sambil nyengir. Pembubuhan tanda tanya merupakan ide dari Jupiter. Tanda tanya yang tiga buah itu lambang rahasia mereka. Jika salah satu dari mereka hendak memberi tahu rekan-rekannya bahwa ia pernah berada di suatu tempat tertentu, maka ia membuat tanda tanya dengan kapur di situ. Masing-masing memakai warna tersendiri. Jupiter memakai kapur putih, Bob hijau, sedang Pete memakai yang berwarna biru. Dengan begitu langsung bisa diketahui, siapa yang membubuhkan tanda tanya.
"Tanda tanya," kata Jupiter dengan gaya dewasa, "merupakan tanda yang dikenal di mana-mana untuk pertanyaan yang belum terjawab, teka-teki yang belum terpecahkan, atau misteri yang belum menemukan penjelasan. Karena itulah kami memilih tanda tanya sebagai lambang perusahaan kami. Kami bersedia menyelidiki misteri apa pun yang Anda ajukan pada kami. Kami tidak bisa menjanjikan akan berhasil, tapi kami pasti akan berusaha keras!"
"Hmmm." Sarjana itu mempermainkan kartu nama yang ada di tangannya sambil berpikir-pikir. "Kalau kau tadi tidak mengucapkan kalimat yang paling akhir, saat ini pun sudah kuminta pada Wilkins agar kalian diantarkan ke luar. Aku juga tahu, tidak ada yang bisa menjanjikan keberhasilan dalam usaha yang mana juga. Tapi keberhasilan, biasanya merupakan buah usaha yang bersungguh-sungguh."
Ia berhenti sebentar, sambil meneliti ketiga remaja yang ada di depannya. Akhirnya ia mengangguk.
"Alfred Hitchcock yang menyuruh kalian datang padaku," kata sarjana itu. "Dan aku percaya pada kebijaksanaannya. Aku tidak bisa minta tolong pada polisi, karena alasan yang sudah jelas. Detektif swasta juga tidak bisa kuhubungi, karena pasti akan mengira aku ini sudah sinting! Rekan sesama sarjana, secara diam-diam hanya akan merasa kasihan padaku, lalu menyebarluaskan desas-desus bahwa aku sudah tua dan mulai pikun. Tapi tiga remaja yang cekatan, yang tidak dibebani prasangka apa-apa - Ya, kurasa jika ada yang bisa menolong aku dalam menyelidiki persoalan ini sampai tuntas, kalianlah orangnya!"
Profesor Yarborough bangkit dari kursinya, lalu berjalan menuju sayap kiri gedung kediamannya.
"Ayo ikut," ajaknya. "Kuperkenalkan kalian pada Ra-Orkon! Setelah itu kita bisa langsung mulai."
Jupiter langsung mengikuti. Pete dan Bob beranjak hendak menyusul. Tapi Wilkins mengangkat tangannya, menahan mereka. Tangan pelayan itu nampak gemetar. Wajahnya tegang. Cemas!
"Nanti dulu," katanya, "sebelum kalian terlibat dalam urusan Ra-Orkon, mumi itu, ada sesuatu yang perlu kalian ketahui terlebih dulu."
"Apa itu?" tanya Pete sambil mengerutkan kening.
"Ada kutukan yang menyelubunginya," kata Wilkins, sambil memelankan suara. "Kutukan yang menimpa setiap orang yang memasuki makam, atau mengganggu ketenangan Ra-Orkon. Sejak mumi itu ditemukan, kutukan itu sudah mencabut nyawa hampir seluruh anggota ekspedisi waktu itu. Semua tewas secara tiba-tiba, dan dengan menderita."
Wilkins menatap mereka dengan tatapan mata meminta, lalu melanjutkan kata-katanya, "Profesor tidak pernah mau menerima kenyataan itu. Semua yang tidak ilmiah, tidak mau diterimanya sebagai kenyataan. Dan ia juga tidak terpengaruh karenanya - sampai sekarang. Tapi kini mumi itu ada di sini - dan aku - aku takut. Takut mengingat

keselamatan Profesor. Tapi juga keselamatanku sendiri. Serta kalian pula, jika kalian sampai terlibat dalam urusan ini."
Bob dan Pete hanya bisa memandang orang itu dengan mata terbuka lebar. Mereka melihat wajah seseorang yang merot-merot karena menahan perasaan. Nampak jelas bahwa ia tidak membikin-bikin rasa takutnya. Saat itu Jupiter berpaling dan melihat keduanya masih berdiri di teras.
"Ayo - masih tunggu apa lagi di situ?" panggilnya.
Keduanya bergegas menyusul. Mereka masuk ke dalam ruang museum, lewat pintu angin yang terbuka. Profesor langsung menuju peti mumi yang terbuat dari kayu. Dibukanya tutup peti, lalu menuding ke dalam.
"Itu dia Ra-Orkon," katanya. "Mudah-mudahan - sungguh, aku berharap kalian bisa membantu aku dalam menyelidiki apa sebetulnya yang hendak dikatakannya padaku."
Mumi Ra-Orkon yang warna kulitnya coklat tua, nampak seperti sedang istirahat dengan tenang dalam petinya. Matanya masih tetap terpejam. Tapi kelihatannya seolah-olah setiap saat akan terbuka.
Jupiter memeriksa mumi itu dengan penuh perhatian. Rasa ingin tahunya selaku detektif terangsang. Tapi Bob dan Pete, merasa agak sulit menarik napas. Soalnya bukan karena tampang mumi itu menyeramkan. Tidak, mereka merasa agak ngeri karena membayangkan kata-kata Wilkins tadi. Mumi yang berbisik saja, sudah cukup seram. Apalagi mumi yang berbisik, dan juga mengandung kutukan -
Pandangan Bob dan Pete saling bertemu. Tampang Pete nampak seperti menderita.
"Aduh," gumamnya pelan, "sekali ini Jupe benar-benar akan menjerumuskan kita semua ke dalam bencana!"

Bab 5
BAHAYA MENDADAK

JUPITER mengamat-amati mumi Ra-Orkon dengan cermat, sementara Profesor Yarborough menotol-notol keningnya yang berkeringat dengan sapu tangan. Keningnya sendiri - bukan kening Jupiter!
"Wilkins," katanya pada pelayannya, "tolong bukakan semua pintu angin. Anda kan tahu, aku tak tahan berada dalam ruangan tertutup."
"Yes, Sir. " Wilkins membentangkan semua pintu angin lebar-lebar. Angin langsung menghembus ke dalam kamar, menyebabkan topeng-topeng di dinding bergerak-gerak. Terdengar bunyi mengelenting. Jupiter mengangkat kepala.
"Bukan itu bunyi yang Anda dengar, Profesor?" tanyanya. "Bunyi yang disebabkan oleh tiupan angin?"
"Bukan, bukan," jawab yang ditanya, "aku tahu beda antara bunyi begitu, dengan suara orang yang bicara! Mumi ini jelas kudengar berbisik-bisik."
"Kalau begitu kita coret kemungkinan bahwa Anda salah dengar," kata Jupiter lagi. "Kita lanjutkan penyelidikan dengan anggapan bahwa Anda benar-benar mendengar suara berbicara. Mungkin dalam bahasa Arab Kuno, tapi mungkin juga tidak."
"Masih ada lagi yang perlu saya lakukan, Sir?" tanya Wilkins. "Kalau tidak, saya ingin menyelesaikan pekerjaan yang lain."
Keempat orang yang ada dalam ruangan itu memandang Wilkins. Karena itu, semua melihat mata orang itu dengan tiba-tiba membelalak seperti kaget dan ketakutan. Saat itu juga Wilkins menerpa Profesor Yarborough. "Awas, Sir! " pekik Wilkins.
Keduanya terbanting ke lantai. Detik berikutnya, patung Anubis, dewa berkepala ajak yang terbuat dari kayu roboh ke depan. Tepat di tempat Profesor Yarborough berdiri satu detik sebelumnya. Kemudian patung itu terguling ke samping. Tampang ajak menghadap Profesor, seakan-akan menyeringai.
Profesor Yarborough bangkit, diikuti oleh Wilkins. Gemetar sekujur tubuh mereka. Keduanya menatap patung yang tergolek di lantai.
"Saya tadi melihatnya tergoyang-goyang, Sir," kata Wilkins dengan suara menggigil, "dan saya tahu, pasti detik berikut akan roboh. Kalau tadi sampai menimpa Anda, pasti akan mengakibatkan cedera berat." Wilkins menelan ludah. "Itu kutukan Ra-Orkon, Sir- yang menyusul muminya kemari."
"Omong kosong!" tukas sang profesor sambil mengibas-ngibaskan debu yang menempel ke pakaian. "Kutukan itu cuma isapan jempol wartawan surat kabar saja. Makna prasasti pada makamnya, sama sekali bukan seperti perkiraan Lord Carter semula. Tadi cuma kebetulan saja patung Anubis ini roboh terjungkal."
"Selama tiga ribu tahun patung ini tegak tanpa terjungkir," bisik Wilkins dengan suara parau. "Kenapa sekarang harus tiba-tiba jatuh? Anda tadi bisa mengalami cedera berat, Sir. Atau tewas seperti Lord Carter, ketika -"
"Lord Carter tewas dalam kecelakaan mobil!" tukas sang profesor. "Anda bisa pergi sekarang, Wilkins."
"Baik, Sir." Pelayan itu berbalik hendak pergi, tapi ditahan oleh Jupiter. Remaja itu tadinya membungkuk memperhatikan patung Anubis. Kini ia mendongak.
"Wilkins, Anda mengatakan tadi bahwa Anda melihat ketika patung ini hendak roboh," katanya. "Coba tolong ceritakan, bagaimana bergeraknya tadi."
"Mula-mulanya condong ke depan, Master Jones," kata Wilkins. "Ketika saya melihatnya, sudah condong sekali - tinggal roboh saja. Seolah-olah - seolah-olah sengaja hendak menimpa Profesor."
"Wilkins!" tukas majikannya dengan tajam.
"Memang sungguh-sungguh begitu terjadinya, Sir. Anubis condong ke depan, lalu - lalu jatuh. Saya bertindak secepat mungkin, Sir. Untung saja tepat pada waktunya."
"Ya, terima kasih untuk itu," tukas Profesor Yarborough. "Tapi sekarang aku tidak mau dengar apa-apa lagi tentang kutukan serta omong kosong lainnya."
Saat itu juga semua terlonjak karena kaget. Sebuah topeng emas yang tadinya tergantung di dinding, jatuh berdentang ke lantai.
"Tapi - tapi itu, Sir?" tanya Wilkins, sementara air mukanya semakin memucat.
"Angin," kata Profesor. Tapi nada bicaranya sudah tidak seyakin tadi lagi. "Angin yang merobohkan patung Anubis, dan meniup topeng sehingga jatuh."
Jupiter yang masih jongkok di sisi patung kayu yang tergeletak di lantai, meraba-raba dasar persegi empat tempat patung itu berdiri.
"Patung ini berat, Sir, " katanya. "Dan dasarnya juga tidak meliuk, atau rusak. Untuk merobohkan patung seberat ini, perlu ada angin ribut!"
"Anak muda," kata Profesor Yarborough pada Jupiter dengan nada berwibawa, "aku ini sarjana. Aku sama sekali tidak percaya pada omongan tentang kutukan, atau pada roh-roh jahat. Jika kalian bermaksud hendak membantu aku, hal itu perlu dicamkan benar-benar!"
Jupiter tegak kembali. Wajahnya serius.
"Saya juga tidak percaya pada hal-hal begitu, Sir, " katanya. "Tapi masih tetap merupakan fakta, dalam waktu lima menit terjadi dua peristiwa aneh, yang kelihatannya tanpa penyebab sedikit pun."
"Ah - itu kan cuma kebetulan saja," balas sang profesor. "Sekarang, Anak muda - katamu kau percaya mumi itu berbisik padaku, seperti yang kukatakan. Mungkin kau punya teori, kenapa mumi yang sudah lama mati bisa berbisik?"
Jupiter mencubit-cubit bibir bawahnya. Bob dan Pete sudah hafal gerakan itu. Tandanya, Jupiter sedang memeras otak!

"Saya punya teori mengenainya, Sir," katanya setelah berpikir beberapa saat.
"Teori dengan dasar ilmiah?" tanya Profesor Yarborough. Janggut kambingnya bergerak-gerak, karena sang profesor mengucapkan kata-katanya dengan nada mengentak-entak. "Bukan sihir?"
"Tidak, Sir. Teori yang benar-benar ilmiah." Jupe berpaling pada kedua rekannya. "Pete, coba kau dan Bob pergi ke mobil. Minta pada Worthington, agar diambilkan tas kulit yang ada dalam ruang bagasi. Di dalam tas itu ada peralatan yang ingin kucoba di sini."
"Beres, Jupe!" Pete setuju saja, karena dengan begitu ada peluang baginya untuk meninggalkan ruangan. "Yuk, Bob."
"Saya antarkan kalian ke luar," kata Wilkins.
Bob dan Pete meninggalkan Jupiter dalam ruang museum, bersama Profesor Yarborough. Mereka mengikuti Wilkins, menyusur gang panjang yang menuju pintu depan rumah. Mobil Rolls-Royce diparkir di depan pintu. Worthington sedang melakukan kesibukannya yang biasa, apabila tidak sedang menyetir. Ia mengelap bagian luar mobil antik itu, yang sebetulnya sudah berkilau-kilauan.
"Anak-anak," bisik Wilkins sementara ia membukakan pintu untuk Bob dan Pete, "Profesor orangnya keras kepala. Dia tidak mau mengakui bahwa kutukan itu memang ada. Tapi kalian sendiri tadi melihat apa yang terjadi. Lain kali, nyawanya bisa melayang. Atau mungkin juga seorang di antara kita. Tolonglah, bujuk Profesor agar dia mau mengembalikan Ra-Orkon ke Mesir!"
Setelah itu ia masuk lagi, meninggalkan kedua remaja itu termenung-menung.
"Mungkin Jupe memang tidak percaya pada kutukan," kata Pete. "Aku juga tidak mengatakan aku percaya! Tapi aku punya firasat, jika kita masih ingin selamat - kita harus cepat-cepat pergi dari sini!"
Bob Andrews tidak mampu memberi jawaban dengan segera. Ia pun tidak percaya pada kutukan kuno, sebetulnya. Tapi di pihak lain - kalau itu ternyata benar?
Worthington mendongak ketika kedua remaja itu menghampiri.
"Nah - sudah selesai?" sapanya.
"Baru saja mulai," kata Pete dengan nada murung. "Sekali ini kami tersangkut dalam kutukan Mesir Kuno. Jadi tidak bisa dibilang apa yang akan terjadi selanjutnya. Sekarang kami memerlukan tas kulit yang ditaruh oleh Jupe dalam tempat bagasi."
"Kalau menghadapi kutukan dari Mesir, setiap waktu aku siap mendukung Master Jones," kata Worthington, sambil berjalan mendului ke belakang mobil. Dibukanya tutup tempat bagasi, dan dikeluarkannya sebuah tas kulit yang pipih bentuknya.
"Mestinya ini yang diminta Master Jones," katanya. "Ia tadi meminta padaku agar menaruhnya di sini tanpa bilang pada siapa-siapa."
Pete menerima tas itu. Bersama Bob ia lantas kembali ke ruang museum.
"Apa isinya, ya?" katanya menebak-nebak, sambil menjunjung tas itu. "Rasanya berat juga! Pasti ada sesuatu yang direncanakan Jupe. Sesuatu yang sama sekali tidak kita duga."
"Rupanya ia membalas keisengan kita tadi, pura-pura melakukan deduksi tentang ban sepedanya yang bocor," kata Bob.
Mereka memasuki kembali ruang museum. Ternyata Jupe dan Profesor Yarborough sudah mengembalikan patung dewa berkepala ajak ke tempat semula. Jupiter menggeleng-geleng.
"Sungguh - kalau ada angin ribut baru patung ini mungkin roboh, Sir, " katanya, pada saat Bob dan Pete masuk. "Kalau angin sepoi-sepoi saja, mustahil!"
Kening Profesor berkerut, menyebabkan kedua alisnya yang tebal bertemu di tengah-tengah.
"Maksudmu, hal itu terjadi karena ada kekuatan gaib?"
"Saya tidak tahu apa yang menyebabkan patung ini tadi jatuh, Profesor," kata Jupiter dengan sopan. "Tapi akan saya tunjukkan, bagaimana caranya membuat mumi bisa berbisik-bisik."
Diambilnya tas yang disodorkan Pete, lalu dibukanya. Ternyata dalam tas itu ada tiga alat mirip radio transistor, tapi berukuran besar.
Jupiter memang tidak suka bicara panjang-lebar, jika ada kemungkinan menunjukkan maksudnya secara kongkret. Salah satu dari radio itu diserahkannya pada Pete. Lalu diambilnya ikat pinggang kulit dengan kawat tembaga terikat di situ. Ikat pinggang itu dibelitkannya ke pinggang Pete. Ujung kawat ditusukkannya ke sebuah lubang di radio. Kemudian pesawat itu diserahkannya pada Pete.
"Buka pintu angin, lalu pergi ke kebun lewat teras," kata Jupiter. "Dekatkan radio ke telingamu, dan bersikaplah pura-pura sedang mengikuti siaran tertentu. Tapi tekan kenop yang ada di sisi sini kalau mau bicara. Untuk mendengar, lepaskan kenop."
"Barang apa ini?" tanya Pete. Rasa-rasanya ia sudah pernah melihat alat seperti itu.
"Itu walkie-talkie," kata Jupiter. "Kawat tembaga yang melilit pinggangmu itu antenanya. Alat ini mampu menangkap dan memancarkan percakapan sampai sejauh setengah mil dengan menggunakan CB. Aku berpendapat kita perlu semacam alat untuk bisa saling berhubungan kalau kebetulan harus bekerja terpisah-pisah. Karenanya aku mulai membuat pesawat-pesawat ini, minggu lalu."
"Aku harus berjalan di kebun, sambil bicara," kata Pete mengingat-ingat. "Lalu apa yang harus kukatakan?"
"Apa saja, pokoknya bicara," jawab Jupiter. "Sekarang buka pintu angin, lalu berjalan lurus ke depan."
"Ya deh," kata Pete. Lalu ia melirik Jupiter. "Rupanya dengan cara begini kau bisa membaca pikiran!" tebaknya.
"Nanti saja kita bicarakan soal itu," jawab Jupiter sambil nyengir. "Sekarang aku ingin mengadakan peragaan untuk Pak Profesor. Kau nanti mulai bicara, kalau sudah sampai di -" Jupiter membuka pintu angin, lalu memandang ke luar. "Yah, kalau sudah mencapai tembok itu. Itu, di sana - yang ada bola besar dari batu, di atas tiang gerbang."
"Oke." Pete mulai menyeberangi teras, sambil melekatkan radio ke telinga.

"Nah - sekarang, jika Anda tidak keberatan saya menyentuh mumi -" kata Jupiter. "Silakan, Nak," kata Profesor Yarborough. "Asal jangan kasar."
Jupiter membungkuk di atas peti mumi. Sesaat kemudian sudah tegak kembali. Di tangannya tinggal satu walkie-talkie. Pesawat yang ketiga lenyap - entah ke mana.
"Beres," ucapnya sambil mendekatkan mulut ke pesawat yang ada di tangannya, "kau bisa mulai bicara sekarang, Pete. Profesor, harap dengarkan baik-baik. Kau juga, Bob."
Semuanya memasang telinga. Terdengar suara menggumam lirih, memecah kesunyian dalam ruangan itu.
"Sekarang bungkukkan badan di atas peti mumi," kata Jupiter. Ia sendiri masih tetap melekatkan pesawat walkie-talkienya ke telinga.
Profesor Yarborough mengerutkan kening. Tapi diturutinya permintaan Jupiter. Ia membungkukkan badan ke dekat peti mumi. Bob ikut membungkuk.
Saat itu juga terdengar mumi berbisik-bisik!
Tapi dengan segera mereka mengenali suara itu. Mumi Ra-Orkon memang berbisik, tapi dengan suara Pete. "Aku sekarang sudah melewati tembok," kata Pete. "Aku berjalan terus menuruni lereng, menuju serumpun semak yang lebat."
"Jalan terus, Pete," kata Jupiter ke pesawatnya. Pada Bob dan Profesor ia menambahkan, "Kan gampang saja menyuruh mumi berbisik-bisik. Lihatlah!"
Disingkapkannya kain penutup muka mumi yang sebelumnya sudah dibuka oleh Profesor Yarborough. Ternyata di balik kain itu tersembunyi walkie-talkie yang satu lagi. Dari situlah datang suara Pete. Tapi tadi terdapat kesan yang sangat meyakinkan, bahwa mumi itu sendiri yang berbisik-bisik. Tentu saja - apabila mereka tidak mengetahui bahwa yang terdengar itu suara Pete!
"Ini kan penjelasan secara ilmiah, Sir, " kata Jupiter pada sang profesor. "Pesawat radio ukuran mini disembunyikan dalam peti mumi, lalu seseorang yang berbicara dengan walkie-talkie di luar rumah, dengan mudah menimbulkan kesan -"
Ia tidak melanjutkan kalimatnya, karena saat itu terdengar lagi suara Pete. Kedengarannya seperti kaget. "Wah!" katanya. "Ada orang bersembunyi dalam semak, di depanku. Kelihatannya anak laki-laki. Ia tidak tahu bahwa aku sudah melihatnya. Aku akan menyergap anak itu." "Tunggu dulu!" seru Jupiter. "Kami akan membantu."
"Kalau menunggu kalian datang dulu, pasti dia akan sudah lari," jawab Pete lewat pesawat radio. "Aku pura-pura keluyuran saja di sini. Lalu dengan tiba-tiba dia kusergap. Begitu terdengar aku nanti berteriak, kalian cepat-cepat datang."
"Oke, Pete," kata Jupiter. "Kautangkap dia - nanti kami akan datang membantu." Ia berpaling pada Profesor Yarborough. "Ada seorang mengintip-intip di luar," katanya. "Mungkin teka-teki ini akan segera bisa dijelaskan jika kami berhasil menangkap orang itu."
"Apa sebetulnya yang sedang terjadi di luar?" Bob sudah gelisah saja. "Pete tidak kedengaran lagi suaranya. Aku kepingin bisa melihat ke tempatnya."
Mereka menunggu lagi. Tapi keadaan tetap sunyi.
Sementara itu Pete berkeliaran dalam kebun yang sangat miring di bawah rumah Profesor Yarborough. Radio ditekankan terus ke telinga, seolah-olah sedang mengikuti siaran yang menarik. Ia pura-pura tidak melihat sosok tubuh yang bersembunyi dalam semak. Dengan sikap tak menyolok, ia bergerak ke arah situ. Kemudian, ketika menurut taksirannya anak laki-laki yang bersembunyi itu pasti tidak bisa melarikan diri lagi, ia memburu ke tempat itu. Seorang anak laki-laki bertubuh langsing, tingginya kira-kira sepantar dengan Bob, kaget melihat kedatangannya secara tiba-tiba itu, lalu meloncat hendak melarikan diri. Tapi Pete lebih cepat. Diterpanya anak yang warna kulitnya sawo matang dan bermata hitam legam itu, sehingga keduanya jatuh berguling-guling.
"Kena!" seru Pete ke pesawat walkie-talkie, sekejap sebelum ia meloncat. Anak laki-laki yang ditubruknya meneriakkan serentetan kata-kata, tapi dalam bahasa asing. Pesawat walkie-talkie terpental dari tangan Pete dan rusak tertindih kedua remaja itu, ketika mereka terguling-guling ke bawah. Anak asing itu berusaha sekuat tenaga supaya bisa membebaskan diri.
Anak itu bertubuh langsing. Tapi ulet dan licin seperti belut. Begitu Pete mencengkeram, anak itu sudah berhasil melepaskan diri lagi. Nyaris saja ia berhasil lari! Tapi Pete menerpa kembali, dan keduanya terguling-guling lagi ke bawah, akhirnya terhenyak ke sebuah tembok batu.
Sekali lagi anak asing itu meneriakkan serentetan kata dalam bahasa yang tak dikenal oleh Pete. Sedang Pete sendiri tidak mau berteriak, takut membuang-buang napas. Mudah-mudahan saja Jupe dan Bob cepat datang menyusul!
Dan kedua rekannya itu memang datang, bersama Profesor Yarborough. Begitu terdengar teriakan Pete lewat walkie-talkie, dengan segera Bob lari ke pintu. Biar kakinya timpang, tapi ia paling dulu tiba di sana, disusul oleh Jupe dan Profesor.
Jauh di bawah nampak dua sosok tubuh bergulat. Tapi sebelum mereka sempat melintasi teras, sudah muncul lagi orang lain. Orang itu kelihatannya pekerja, karena mengenakan pakaian kerja berwarna biru. Ia berlari-lari menghampiri kedua sosok tubuh yang sedang bergulat. Sekop yang sedang dipegang, dicampakkannya begitu saja ke tanah.
"Itu salah satu dari keluarga Magasay, yang merawat kebunku," kata Profesor menjelaskan dengan buru-buru. "Mereka orang Filipina. Ada tujuh bersaudara! Aku tidak bisa membeda-bedakan satu dari lainnya. Tapi semua jago judo. Tubuh mereka kecil - tapi ulet. Dia lebih bisa memberikan bantuan, daripada kita."
Mereka memperlambat lari. Sementara itu laki-laki yang muncul kemudian sudah sampai di tembok, lalu membungkuk. Dipitingnya leher anak laki-laki asing yang tak dikenal itu, lalu diangkatnya. Anak itu meronta-ronta.
"Orang tak dikenal sudah kupegang," seru tukang kebun itu dengan logat asingnya yang kentara sekali.

Pete bangkit lambat-lambat. Tubuh tukang kebun terputar membelakanginya, karena kerepotan mengendalikan anak asing yang masih meronta-ronta terus hendak membebaskan diri. "Awas - dia galak sekali!" seru Pete memperingatkan.
Anak yang berada dalam pitingan mendengus-dengus, mengucapkan sesuatu dalam bahasanya sendiri.
"Jangan melawan. Nanti kau sendiri yang cedera," teriak tukang kebun, yang menurut Profesor bernama keluarga Magasay. Saking sibuknya, orang Filipina itu lantas melontarkan serentetan kata dalam bahasa asing. Tiba-tiba ia berteriak. Anak yang dipitingnya terlepas, lalu langsung lari, melompati tembok yang tidak seberapa tinggi, terus menuruni lereng dan hilang di balik semak-belukar. Segalanya terjadi sebelum Pete sempat bergerak maju.
Saat itu pula Jupiter sudah tiba di situ bersama Profesor Yarborough, sementara Bob agak ketinggalan sedikit.
"Apa yang terjadi?" seru Profesor kaget. "Kenapa dia sampai bisa melarikan diri?"
Tukang kebun itu berpaling, menghadap mereka.
"Saya tadi tolol," katanya. "Menggigit tidak ada dalam kamus judo. Jadi tak terpikir ke situ."
Ditunjukkannya punggung tangan kanannya. Nampak bekas gigitan berdarah di situ. Ternyata tidak setengah-setengah anak tadi menggigit, dalam usahanya untuk membebaskan diri.
"Anda sudah berusaha sebisa-bisa Anda," kata Profesor Yarborough. "Sekarang pergi saja ke dokter, supaya tangan Anda dirawat. Jangan sampai terjadi infeksi."
"Maaf tadi tolol," kata tukang kebun. Ia mundur, lalu pergi ke balik rumah di mana mobil truknya diparkir. Seperti sekian banyak tukang kebun di daerah California Selatan, ia beserta keenam saudaranya merupakan tenaga kerja lepas yang sekaligus mengurus kebun beberapa rumah. Mereka biasa mondar-mandir naik mobil dari rumah yang satu ke rumah lainnya.
Sementara itu Pete masih sibuk mengatur napasnya yang tersengal-sengal. "Aduh," keluhnya kecewa, "kusangka dia sudah berhasil kubekuk tadi." "Siapa anak itu?" tanya Bob. "Cari apa dia di sini?"
"Kelihatannya sedang mengintip ke arah rumah," kata Pete. "Kulihat dia bergerak-gerak dalam semak. Ketika aku sedang bicara dengan kalian tadi."
"Kalau berhasil diringkus, pasti akan banyak yang bisa diceritakannya pada kita," kata Jupiter, sambil menjepit bibir bawahnya dengan telunjuk dan jempol tangannya.
"Anak-anak," kata Profesor Yarborough, yang selama itu berdiri di belakang mereka, "aku tidak tahu apa hubungannya dengan urusan kita -"
Trio Detektif menatapnya dengan penuh minat.
"- tapi tadi, sesaat setelah Pete menerpa, terdengar lewat radio anak asing itu menyerukan sesuatu. Kedengaran jelas sekali, sebelum pesawat radio rusak terbanting." "Ya - dalam bahasa asing," kata Pete.
"Bahasa Arab modern," kata Profesor Yarborough menjelaskan. "Anak itu berteriak, 'Kuserukan pada roh Ra-Orkon yang agung untuk datang menolongku'!"
Jupiter hendak mengatakan sesuatu, tapi didului teriakan Pete.
"Awas!" teriaknya sambil menuding. Semuanya berpaling dengan cepat ke arah sebelah atas lereng. Mata mereka terbelalak karena kaget dan ngeri.
Sebuah bola besar terbuat dari batu granit yang beratnya paling sedikit satu ton, yang semula terletak di atas salah satu tiang gerbang yang ada dua, sudah tidak ada lagi di tempat semula.
Bola itu menggelinding ke arah mereka. Makin lama makin cepat!

Bab 6
TAMU TAK TERDUGA

BOB dan Pete sudah bersiap-siap hendak lari, sementara bola batu besar itu menggelinding terus ke arah mereka. Tapi saat itu juga terdengar Profesor Yarborough berseru dengan nada tajam. "Tetap di tempat!" serunya. "Jangan bergerak sedikit pun!"
Respek Jupiter terhadap sang profesor semakin bertambah. Ternyata sarjana itu sudah lebih dulu melihat bahwa batu itu takkan mengenai mereka di tempat itu, karena bentuk lereng.
Dan ternyata benar! Batu itu kemudian melenceng ke samping menggelinding terbanting-banting sekitar tiga meter dari tempat mereka. Lalu membentur sekelompok pohon ekaliptus, agak jauh di sebelah bawah lereng.
"Aduh!" kata Bob kaget, sambil mengusap keningnya yang basah berkeringat. "Padahal aku tadi sudah hampir mengelak ke arah situ."
"Aku sih tidak," kata Pete, "aku sudah siap minggat dari sini. Beratnya pasti ada satu ton."
"Lebih berat lagi," kata Profesor Yarborough. "Bola batu granit sebesar itu, dengan volume sekitar - nanti dulu...."
"Profesor!"
Semua memandang ke atas lereng. Nampak Wilkins datang bergegas-gegas dari arah rumah.
"Saya tadi melihat kejadiannya dari jendela dapur," katanya dengan napas tersengal-sengal. "Anda tidak apa-apa?"
"Ya, ya," kata sang profesor dengan sikap kurang sabar. "Kan bisa Anda lihat sendiri! Dan aku juga tahu, apa yang hendak Anda katakan. Tapi kularang Anda mengatakannya!"
"Saya harus mengatakannya, Sir," jawab Wilkins nekat. "Itu tadi akibat kutukan Ra-Orkon, Sir. Karena kutukannya, kecelakaan itu terjadi. Ra-Orkon hendak mencabut nyawa Anda, Sir. Mungkin akhirnya kita semua tewas!"
"Kutukan Ra-Orkon?" Mata Jupiter mulai berkilat-kilat. "Mumi itu dibayangi kutukan, Profesor?"
"Tentu saja tidak," jawab Profesor Yarborough. "Kau masih muda, jadi tidak mungkin ingat - tapi ketika aku menemukan makamnya di Lembah Raja-Raja di Mesir, surat kabar ramai memuat dongeng-dongeng konyol mengenai prasasti tertentu...."
"Pada prasasti itu tertulis, 'Malanglah semua insan yang mengganggu ketenangan Ra-Orkon yang adil, yang bersemayam di dalam'," sela Wilkins dengan suara bergetar. "Dan satu demi satu, hampir seluruh anggota ekspedisi waktu itu meninggal dunia atau mengalami cedera berat, sebab...."
"Wilkins!" bentak sang profesor dengan suara keras. "Jangan lancang mulut!"
"Ya, Sir, " kata pelayan itu buru-buru. "Maaf, Sir. "
"Bunyi prasasti itu sebetulnya begini," sambung Profesor. "Ra-Orkon yang adil disemayamkan di dalam. Akan malanglah apabila tidurnya terganggu. Di sini yang dimaksudkan akan mengalami kemalangan, ialah Ra-Orkon sendiri. Memang, aku dan Lord Carter berbeda pendapat tentang makna yang tepat dari tulisan pada prasasti itu. Tapi aku tahu, akulah yang benar."
Profesor Yarborough berhenti sebentar, lalu menambahkan, "Juga benar, mumi Ra-Orkon diselubungi teka-teki. Aku secara kebetulan saja menemukan makamnya, bersama Lord Carter. Makam itu letaknya tersembunyi dalam liang pada sebuah tebing batu. Di situ tidak ada benda-benda yang biasanya ditemukan dalam makam raja-raja jaman purba. Yang ada cuma peti mati berisi mumi Ra-Orkon, didampingi kucing kesayangannya yang juga dibalsem. Tak ada tulisan sama sekali yang menerangkan siapa dia, atau apa yang dilakukannya semasa hidup, seperti kebiasaan jaman dulu. Seolah-olah dia dimakamkan dengan cara begitu supaya jangan sampai menarik perhatian. Atau mungkin juga kerabatnya waktu itu berniat memakamkannya lagi di kemudian hari dengan cara yang lebih megah. Jika para perampok makam masa itu menemukan makam Ra-Orkon, mereka pasti akan keluar lagi dengan tangan hampa!
"Pokoknya, dilihat dari kecermatan pekerjaan pembalseman, yaitu pengolahan mayat supaya bisa awet, jelaslah bahwa dia bukan rakyat biasa saja. Tapi kami tak berhasil menyelidiki kapan dia mati. Namanya pun membingungkan! Kata Ra, menghubungkannya dengan nama-nama raja wangsa Firaun yang pertama-tama. Tapi Orkon menunjukkan adanya pengaruh Libia. Bangsa Libia, kira-kira tiga ribu tahun yang lalu mulai memasuki wilayah Mesir, dan kemudian menguasai negeri itu. Aku ingin mengetahui dengan tepat saat pemakamannya. Setelah itu aku juga ingin mengadakan penelitian cermat, untuk mengetahui apa sebabnya dia dimakamkan secara begitu sederhana dan tersembunyi tempatnya.
"Mengenai kata Wilkins tadi, yaitu para anggota ekspedisi kami kemudian mengalami kemalangan - yah, kalian jangan sampai terpengaruh oleh Wilkins. Lord Carter, ia meninggal karena kecelakaan mobil. Aleph Freeman, sekretarisku yang cerdas sekali walau bukan sarjana, ayah rekanku Profesor Freeman yang tinggalnya di sana -" Profesor Yarborough menuding ke seberang ngarai, "dia tewas terbunuh dalam pasar lama di Kairo. Juru potret dan sekretaris pribadi Lord Carter mengalami cedera dalam kecelakaan yang menewaskan Lord Carter. Tapi umurnya masih cukup panjang sesudah peristiwa itu. Mandor kami, orang Mesir, mati kena gigitan ular berbisa.
"Sudah sewajarnya jika dalam waktu seperempat abad sekelompok manusia yang mana pun akan mengalami beberapa peristiwa kecelakaan. Dan beberapa di antaranya meninggal dunia. Percayalah - kutukan itu sebetulnya sama sekali tidak ada!"
Pete dan Bob saling berpandangan. Keduanya ingin sekali meyakini ucapan Profesor Yarborough yang terakhir. Tapi rasanya agak sulit. Mereka masih merasa ngeri.
"O ya, masih ada satu hal lagi," sambung sang profesor. "Sebetulnya tak mungkin ada sangkut-pautnya dengan bisik-bisik itu - tapi minggu lalu, pada hari mumi Ra-Orkon tiba di sini, seorang pedagang permadani asal Libia bernama Ahmed dan entah apa lagi di belakangnya datang kemari. Ia berusaha membujuk-bujuk, agar aku mau menyerahkan Ra-Orkon padanya. Katanya, dia mewakili Keluarga Hamid di Libia. Dan Ra-Orkon adalah nenek moyang majikannya. Katanya lagi, hal itu diketahui lewat wangsit yang datang pada seorang dukun. Semuanya omong kosong belaka! Orang itu cepat-cepat kusuruh pergi lagi dari sini. Tapi sebelum pergi, pedagang itu masih sempat memperingatkan diriku. Katanya roh Ra-Orkon akan terus mengganggu ketenteraman hidupku, selama aku tidak mau mengijinkan pedagang itu membawa pulang Ra-Orkon, supaya mumi itu bisa dimakamkan secara sepatutnya oleh kaum kerabatnya."
Sekali lagi Pete dan Bob berpandang-pandangan. Keduanya merasa kasus itu menjadi semakin menyeramkan saja. Jupiter kelihatannya santai-santai saja menghadapi misteri menyeramkan itu. Anak gendut itu bahkan bersemangat nampaknya!
"Nah," kata Profesor Yarborough, "sekarang kita lupakan saja takhayul konyol itu, dan memeriksa apa sebabnya bola granit penghias gerbang itu sampai bisa terguling dari tempatnya."
Profesor mendului berjalan mendaki lereng, menuju tiang gerbang di mana bola batu itu semula berada. Sesampai di situ langsung kelihatan bahwa letak bola itu diperkokoh oleh gelang semen yang dibubuhkan mengelilinginya pada bagian atas tiang. Tapi rupanya semen itu sudah rapuh karena pengaruh cuaca. Pada satu sisi semennya rontok. Kecuali itu tiang gerbangnya sendiri agak condong ke arah tebing, disebabkan tanah di sebelah bawahnya agak merosot sedikit.
"Jelas bisa dilihat apa yang sebetulnya terjadi," kata Profesor Yarborough mengomentari. "Gelang semen ini sudah rapuh dimakan cuaca. Sedang kecondongan tiang, menyebabkan bola tadi dengan mudah terguling apabila bergerak sedikit saja. Dan kemungkinan besar, tadi ada gempa ringan yang menggetarkan tiang. Di daerah California sini kan setiap tahun terjadi gempa ringan sampai belasan kali. Karena kita berada di atas retakan besar pada kerak bumi."
Wilkins pergi meninggalkan mereka, sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Rupanya masih belum bisa diyakinkan, kejadian itu bukan karena kutukan Ra-Orkon. Sementara itu yang lain-lain kembali ke teras, langsung masuk ke ruang museum. Di situ mereka berkerumun, mengelilingi peti mumi Ra-Orkon.
"Akalmu tadi hebat sekali, dalam membuat mumi ini berbisik-bisik," kata sang Profesor pada Jupiter. "Tapi sayang penjelasanmu itu tidak mungkin benar. Soalnya, dalam peti mumi ini tidak ada radio yang disembunyikan."
"Anda sudah memeriksa sendiri, Sir?" tanya Jupiter dengan sopan. Profesor Yarborough terkejap-kejap matanya sesaat.
"Tidak," katanya. "Sebetulnya memang harus kulakukan."
Diambilnya pesawat walkie-talkie yang diselipkan Jupiter di balik kain pembalut wajah Ra-Orkon. Lalu ia meraba-raba, kalau-kalau ada benda lain tersembunyi di situ. Tapi ia tidak menemukan apa-apa. Kemudian diangkatnya mumi dengan hati-hati. Tidak - di bawah mayat kering itu juga tidak nampak ada apa-apa.
Sekarang giliran Jupiter yang bingung. Diperiksanya sendiri peti mumi. Mula-mula tutupnya. Lalu peti itu sendiri. Ia bahkan menjunjungnya sedikit, untuk memeriksa sebelah bawahnya.
"Tidak ada kawat di sini," katanya. "Tidak ada pesawat radio. Tidak ada apa-apa. Maaf, Profesor, ternyata teori saya yang pertama keliru."
"Memang begitu biasanya teori awal," jawab Profesor. "Tapi moga-moga kau punya teori berikut, yang bisa dipakai untuk menjelaskan kenapa mumi ini berbisik-bisik."
"Saat ini saya sama sekali belum punya teori baru, Sir, "jawab Jupiter. "Kata Anda, mumi hanya berbisik apabila Anda sedang sendirian di sini?"
"Betul," kata Profesor sambil mengangguk. "Dan selama ini, hanya pada waktu sore."
Jupiter memijit bibir bawahnya.
"Ada orang lain tinggal di rumah ini bersama Anda?" tanyanya.
"Cuma Wilkins saja," jawab Profesor Yarborough. "Dia sudah sepuluh tahun bekerja padaku. Dulunya dia itu artis. Kalau tidak salah, dalam salah-satu rombongan teater keliling. Lalu ada pula seorang wanita, yang datang kemari tiga kali seminggu untuk membersihkan rumah. Tapi pembantuku cuma Wilkins saja. Di sini tugasnya macam-macam. Tukang masak, supir - dan juga pelayan pribadi."
"Lalu bagaimana dengan tukang kebun tadi?" tanya Jupiter. "Dia itu belum lama bekerja di sini?"
"Wah, tidak!" Profesor Yarborough menggeleng. "Ketujuh saudara Magasay sudah delapan tahun bekerja untukku. Yang datang silih berganti. Tapi belum ada yang pernah masuk ke rumah."
"Hmmm," gumam Jupiter dengan kening berkerut. Kemudian ia mengangguk. "Ya," katanya, "aku harus mendengar sendiri mumi ini berbisik."
"Tapi kelihatannya dia hanya mau berbisik padaku seorang diri saja," bantah sang profesor. "Pada Wilkins atau Profesor Freeman, tidak mau!"
"Ya," sela Bob, "kenapa dia harus mau berbisik padamu, Jupe? Bagi dia, kau kan sama sekali asing!"
"He - tunggu dulu! Tunggu dulu," kata Pete cepat-cepat. "Aku tak suka omongan begini. Seolah-olah mumi ini - yah, seolah-olah dia tahu apa yang terjadi di sekelilingnya."
"Itu memang tidak ilmiah," kata Profesor Yarborough mengakui. "Tapi walau begitu, entah bagaimana kelihatannya dia memang tahu."
Jupiter menunjukkan sikap yakin.
"Saya rasa mumi ini pasti mau berbisik padaku," katanya. "Lalu kalau dia sudah berbisik, kita akan mendapat tambahan informasi guna penyelidikan selanjutnya. Kami akan kembali petang ini, Profesor. Saat itu kita akan mencobanya."
* * *
"Ke mana sih Jupe tadi?" tanya Pete. Untuk kesekian kalinya ia memandang jam listrik yang terpasang di dinding Markas Besar. "Sekarang sudah pukul enam lewat seperempat. Padahal dia tadi menyuruh kita datang pukul enam tepat."

"Dia tidak bilang pada bibinya ke mana dia pergi?" tanya Bob. Ia berhenti menulis. Bob sedang sibuk mencatat perincian kejadian tadi pagi. Siangnya ia bekerja terus di perpustakaan. Bob bekerja pada waktu luangnya di situ. Baru petang itu ia sempat menangani tugasnya selaku anggota Trio Detektif.
"Tidak, ia tidak bilang apa-apa," jawab Pete. "Tapi ia pergi naik mobil, dengan Worthington. Kita periksa saja, mungkin mobil kita sudah kelihatan lagi."
Sambil bicara ia pergi ke periskop di sudut ruangan, lalu menjunjung alat pengintip itu ke atas.
"Nah - itu dia!" serunya sambil memicingkan mata menatap ke dalam pipa pelihat. "Datang dari arah kota. Jupe kelihatan menjulurkan badan dari jendela mobil. Mungkin hendak menghubungi kita dengan walkie-talkie."
Pete dan Bob bergegas menghampiri meja. Di situ terletak kotak pengeras suara berukuran kecil yang biasanya dipakai supaya mereka bisa bersama-sama mengikuti pembicaraan telepon. Tapi tanpa diketahui oleh Pete maupun Bob, minggu lalu pesawat itu dirombak oleh Jupiter. Sekarang kecuali alat pengeras suara, pesawat itu kini juga sudah menjelma menjadi alat walkie-talkie. Semua pembicaraan yang terjadi dalam ruangan itu bisa diikuti dari tempat lain, jika pesawat itu tidak dimatikan.
"Jupe - sok bisa membaca pikiran orang!" gerutu Pete sambil duduk di kursinya. "Padahal pagi ini ketika ia jalan kaki pulang sambil menuntun sepeda, ia asyik mendengarkan pembicaraan kita tentang surat-surat dari Mr. Hitchcock dan Mrs. Banfry."
Dicondongkannya tubuh mendekati alat pengeras suara, lalu menekan sebuah tombol di situ. "Di sini Markas Besar," katanya, "memanggil Penyelidik Satu. Masuk, Penyelidik Satu!"
Letak tombol dipindahkan, disusul bunyi mendengung keluar dari alat pengeras suara. Kemudian terdengar suara Jupiter.
"Di sini Penyelidik Satu. Aku akan menggabungkan diri begitu aku bisa. Kelihatannya kalian tadi memakai periskop. Turunkan, jika sudah tidak dipakai lagi. Selesai."
"Oke, mengerti," kata Pete, lalu menekan tombol untuk mematikan pesawat. Sementara itu Bob pergi ke periskop.
"Sedikit sekali yang tidak diketahui oleh Jupe," katanya. "Sekarang mobil memasuki gerbang depan. Jupe turun. Ia menenteng tas kecil berkancing tarik. Ia menuju ke sini. Sebentar lagi pasti sudah masuk ke mari. Worthington menunggu di luar, dengan mobil."
Periskop diturunkan lagi, dan Bob kembali ke tempatnya.
"Aku ingin tahu, ke mana dia tadi," katanya, setengah pada diri sendiri. Beberapa menit kemudian, ketika ternyata rekan mereka itu belum masuk-masuk juga ia menambahkan, "Dan aku ingin tahu, ke mana lagi dia sekarang? Jangan-jangan macet dalam Lorong Dua!"
Tapi saat itu juga terdengar ketukan khusus di lantai trailer. Itu tanda salah seorang dari mereka datang. Tingkap di lantai terangkat ke atas, disusul kepala dan bahu seseorang tersembul masuk ke dalam ruangan.
Pete dan Bob memandang ke lantai dengan mata terbelalak. Mereka melihat tubuh bagian atas dari seorang laki-laki tua. Rambut gondrong beruban, berkaca mata dengan bingkai emas, serta janggut putih menghias dagu.
"Profesor Yarborough!" seru Pete kaget. "Bagaimana Anda bisa sampai di sini? Apa yang terjadi dengan Jupe?"
"Dia terkena kutukan Ra-Orkon." Laki-laki tua itu mengangkat tubuhnya dengan kelincahan yang mengagumkan, masuk ke dalam ruangan Markas Besar yang sempit. "Ra-Orkon menjelmakan dirinya - menjadi aku."
Sambil berkata begitu dilepaskannya rambut palsu putih, kaca mata serta janggut yang menempel ke dagu. Di depan Bob dan Pete berdiri seorang remaja yang menatap mereka sambil nyengir.
"Jupe!" seru Bob.
"Jika kalian saja bisa tertipu," kata remaja itu, "kurasa aku pasti akan bisa mengelabui mumi. Apalagi mumi yang matanya terpejam."
"Astaga, Jupe!" kata Pete sambil melongo. "Kau memang sungguh-sungguh berhasil menipu kami tadi. Tapi untuk apa kau menyamar jadi Profesor Yarborough?"
"Sebagai percobaan," kata Jupiter. Benda-benda yang dipakainya tadi untuk menyamar, dimasukkannya semua ke dalam tas kecil yang masih dijinjingnya. Diterangi lampu yang tergantung di atas meja, kini nampak bahwa di kening dan di sekeliling matanya dibuat guratan-guratan dengan pinsil rias, untuk membuat wajah remajanya nampak jauh lebih tua.
"Aku tadi pergi ke tempat Mr. Grant," katanya menjelaskan. "Ia yang merias mukaku, setelah kukatakan padanya bagaimana tampang Profesor Yarborough."
Orang yang disebutnya itu spesialis tata rias, dengan siapa mereka berkenalan dalam menangani suatu kasus. Mr. Grant benar-benar ahli dalam bidangnya. Dia sanggup mengubah wajah hampir setiap orang.
"Tapi untuk apa?" tanya Bob ingin tahu.
"Untuk mengelabui mumi," jawab Jupe.
"Mengelabui mumi?" seru Pete. "Apa maksudmu?"
"Jika mumi itu mengira aku ini Profesor Yarborough, mungkin saja dia lantas mau berbisik padaku," kata Jupe menjelaskan maksudnya. "Karena rupa-rupanya ia tidak mau berbisik pada siapa pun juga, kecuali Profesor."
"Tunggu dulu!" Sekarang Pete berteriak. "Dari kata-katamu, seakan-akan kau beranggapan mumi itu bukan cuma bisa ngomong, tapi juga melihat dan mendengar. Itu kan cuma mumi, Jupe! Mayat kering, yang sudah sejak tiga ribu tahun mati. Kalau aku ikut menangani kasus di mana ada seseorang harus menyamar untuk menipu mumi yang sudah begitu lama mati - nah, aku tidak mau terlibat di dalamnya. Kuusulkan, kita lupakan saja urusan mumi, dan sebagai gantinya mencari kucing hilang."
Bob hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Ia cuma menelan ludah. Sementara itu Jupe merenung, sambil mencubit-cubit bibir.
"Kalau begitu kau tidak mau ikut dengan kami sekarang, untuk melihat bisa tidaknya aku memancing mumi supaya mau bicara?" tanyanya kemudian.

Pete nampak ragu. Ia menyesali ledakan perasaannya tadi. Tapi ia sudah terlanjur bicara. Karena dia keras kepala, malu rasanya menarik perkataan itu kembali. Akhirnya ia mengangguk dengan singkat.
"Begitulah kataku tadi," gerutunya. "Nanti jangan-jangan atap rumah yang ambruk. Kutukan itu tadi pagi sudah berusaha keras untuk mencelakakan kita."
"Baiklah," kata Jupiter. "Karena kita bertiga, tidak ada alasan yang melarang kita untuk menangani lebih dari satu kasus sekaligus. Pete - kau mendatangi Mrs. Banfry yang punya kucing yang hilang itu, untuk mengumpulkan informasi. Sementara itu aku dan Bob pergi untuk bicara dengan mumi, seperti rencana semula. Setuju, Bob?"
Bob tahu, sebenarnya Pete menyangka Jupe takkan menanggapi omelannya dengan serius. Tapi Jupe kepala perusahaan. Dan seperti dikatakannya, tidak ada alasan yang melarang mereka menangani lebih dari satu kasus sekaligus. Karena itu Bob mengangguk.
"Baiklah," kata Jupe lagi. "Kau masih sempat mengadakan pembicaraan pertama sebelum gelap, Pete. Kami akan memakai Rolls-Royce, jadi minta saja pada Hans apakah dia mau mengantar ke Santa Monica dengan truk yang kecil."
Pete ragu-ragu sesaat.
"Ya deh," katanya kemudian sambil cemberut. Ia pun mengangkat tutup tingkap, menyelusup ke bawah lalu merangkak lewat Lorong Dua menuju pintu rahasia yang terdapat di belakang mesin cetak dalam bengkel mereka. Sesampai di luar, ia berjalan di sela-sela tumpukan barang rombengan, menuju kantor perusahaan. Kebetulan saat itu Hans hendak pulang. Tapi pemuda itu mau saja, ketika diminta oleh Pete untuk mengantarkannya sebentar ke Santa Monica.
Ya deh, pikir Pete dengan geram. Akan ditunjukkannya kemampuannya pada Jupe. Ia akan berhasil menemukan kembali kucing yang hilang, sementara Jupe dan Bob mungkin akan terlindas kutukan Ra-Orkon dengan cara yang mengerikan. Kalau itu yang mereka inginkan, silakan!

Bab 7
DEWA AJAK MUNCUL

TAK sampai setengah jam kemudian, Pete sudah sibuk menanyai Mrs. Banfry di Santa Monica mengenai kucingnya yang hilang.
Kurang-lebih pada waktu sama, Jupiter Jones masuk seorang diri ke ruang museum di rumah Profesor Yarborough. Dinyalakannya lampu-lampu atas. Di luar saat itu masih terang. Tapi karena matahari sudah menghilang di balik punggung ngarai, rumah besar itu terselubung keremangan.
Jupiter masuk dengan langkah lambat, menirukan gerak-gerik laki-laki tua. Ia langsung menuju pintu-pintu angin, yang dipentangkannya lebar-lebar. Kemudian ia melangkah ke peti kayu yang berisi mumi Ra-Orkon. Diangkatnya tutup peti itu. Lalu ia membungkuk, menatap wajah mumi yang kaku.
"Ra-Orkon," sapa Jupiter dengan suara jelas. "Bicaralah! Aku mendengarkan, dan akan berusaha memahamimu."
Jupiter tidak bicara dengan suaranya yang biasa. Ia menirukan nada bicara Profesor Yarborough. Cukup mirip. Ia mengenakan rambut palsu, kaca mata, serta janggut yang dipinjamkan Mr. Grant padanya. Ia juga memakai jas panjang putih serta dasi kepunyaan Profesor Yarborough. Sang profesor berpotongan pendek gemuk, sedang Jupiter tidak begitu tinggi serta gempal. Jadi tidak begitu sulit bagi remaja itu untuk menjelmakan dirinya menjadi sarjana yang sudah tua itu.
Bob Andrews ada di kamar sebelah, bersama Profesor. Keduanya gelisah menunggu-nunggu hasil percobaan Jupiter. Sedang Wilkins ada di dapur. Ia tidak tahu-menahu tentang penyamaran itu.
"Ra-Orkon yang agung, bicaralah padaku," kata Jupiter sekali lagi. "Bikinlah supaya aku mengerti."
Eh! Rasa-rasanya ia seperti mendengar suara menggumam. Dimiringkannya kepala supaya bisa lebih jelas mendengar. Dan benarlah - kini didengarnya serentetan kata lirih. Kata-kata asing bernada tandas, dalam bahasa yang belum pernah didengar olehnya. Suara itu berbisik mendesis-desis.
Jupiter kaget, lalu mendongak. Ia memandang ke sekeliling ruangan. Tidak - ia benar-benar seorang diri saja di situ. Pintu menuju ruangan tempat Bob menunggu bersama sang profesor, tertutup rapat.
Jupiter merapatkan telinganya ke bibir mumi yang agak merenggang. Bisikan itu masih tetap terdengar. Bernada mendesak. Penuh wibawa. Seperti memerintah! Memerintah dirinya - tapi untuk berbuat apa?
Setidak-tidaknya Jupiter kini tahu, Profesor Yarborough ternyata tidak menjadi korban khayalannya sendiri. Mumi ternyata memang berbisik-bisik!
Saat itu Jupiter membawa sebuah tape-recorder. Alat perekam suara itu terpasang pada ikat pinggang, ditutupi jas panjang. Penyelidikan secara modern memerlukan peralatan ilmiah. Begitu kata Jupiter, ketika ia memulai biro detektifnya bersama kedua rekannya yang sama-sama remaja. Pelan-pelan mereka sudah berhasil memiliki peralatan yang cukup lengkap. Semua buatan sendiri. Atau kalau tidak, berasal dari tumpukan barang bekas yang kemudian mereka betulkan. Sedang tape-recorder itu sumbangan Pete, yang memperolehnya dari seorang teman sekolah sebagai penukar kumpulan perangkonya.
Sementara masih membungkuk di atas peti, sekarang Jupiter menjepitkan mikrofon alat perekam suara itu ke kain pembalut mumi, cuma beberapa senti saja dari bibir yang merenggang. Mikrofon itu biar kecil ukurannya, tapi sangat peka.
"Aku tidak mengerti, Ra-Orkon," ucap Jupiter dengan lantang. "Bicaralah lagi."
Bisikan yang terputus sebentar, mulai terdengar kembali. Serentetan kata yang panjang, diucapkan dengan suara berbisik-bisik. Dalam hati Jupiter cuma bisa berdoa, semoga mikrofon yang peka itu mampu menangkap suara yang begitu lirih.
Bisikan terdengar lebih dari satu menit. Tapi kemudian terjadi sesuatu yang tidak direncanakan. Jupiter memalingkan kepala. Maksudnya, supaya bisa mendengar lebih jelas. Tapi janggut palsunya tersangkut ke tepi peti yang agak pecah sedikit. Gerakan kepalanya menyebabkan janggut palsu terlepas.
"Aduh!" teriak Jupiter - dengan suaranya sendiri. Sakit juga rasanya, karena janggut palsu itu dilekatkan ke dagunya dengan perekat. Ia masih berusaha menahan janggut. Tapi karena geraknya mengejut, ia kehilangan keseimbangan lalu terjatuh. Kaca matanya terpental, sedang rambut palsunya merosot ke depan menutupi mata.
Jupiter buru-buru bangun lagi. Tangannya menggerapai-gerapai, berusaha mengembalikan segala perlengkapan samaran ke tempat semula. Saat itu juga terdengar pintu dibuka dengan keras. Profesor Yarborough bergegas-gegas masuk, diikuti oleh Bob.
"Ada apa, Jupe?" tanya Bob.
"Kami mendengar suaramu berteriak," kata Profesor menjelaskan. "Ada terjadi sesuatu di sini?" "Cuma saya saja yang ceroboh," jawab Jupiter agak malu. "Sekarang semuanya sia-sia. Padahal tadi mumi sudah berbisik-bisik pada saya...."
"Jadi kau berhasil mengelabuinya!" seru Bob.
"Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi," kata Jupiter dengan nada jengkel. "Tapi kucoba saja lagi, barangkali dia masih mau berbisik padaku."
Dipungutnya mikrofon yang terenggut lepas ketika ia terpeleset lalu jatuh ke lantai di sampingnya. Lalu ia membungkuk kembali di atas peti mumi.
"Bicaralah, Ra-Orkon," pintanya. "Bicaralah lagi."
Semua menunggu sambil menahan napas. Tapi hanya kesunyian yang ada setelah itu.
"Ah, percuma," kata Jupiter kemudian, "dia tidak mau berbisik lagi. Coba kita periksa, barangkali saja tape-recorder kita menangkap bisikannya tadi."

Ia mendului masuk ke ruang sebelah. Di situ ia menanggalkan samarannya, termasuk jas panjang milik Profesor Yarborough. Diletakkannya tape-recorder di atas meja. Pita rekaman digulung kembali sampai awal. Kemudian ditekannya tombol 'Play'.
Sesaat hanya terdengar bunyi mendesis. Tapi jika disimak baik-baik, ternyata kedengaran bunyi yang menyerupai ucapan kata-kata. Kata-kata yang diucapkan mumi dengan berbisik-bisik, tertindih bunyi desisan yang berasal dari alat itu sendiri.
"Anda bisa memahaminya, Profesor?" tanya Jupiter, ketika rekaman itu berakhir dengan suara Jupiter yang meneriakkan kata 'Aduh!'
Profesor Yarborough menggeleng. Kelihatannya bingung sekali.
"Kadang-kadang aku merasa seperti menangkap makna salah-satu kata, tapi tidak jelas," katanya. "Jika yang diucapkan itu salah satu bahasa daerah Timur Tengah - baik bahasa modern atau kuno - di California sini cuma satu orang saja yang mungkin bisa memahaminya. Maksudku Profesor Freeman, rekanku yang pernah kusebut namanya pada kalian." Sambil berkata begitu, sang profesor melambaikan tangan ke arah pintu angin yang terbuka. Dari sini nampak sedikit rumah Profesor Freeman.
"Tinggalnya tidak sebegitu jauh dari sini," sambung Profesor Yarborough, "tapi kalau mau ke sana, kita terpaksa mengitari tepi ngarai. Naik mobil kalian, dalam waktu lima sampai sepuluh menit kita akan sudah bisa ada di sana. Kuusulkan, segera saja kita ke sana dan minta padanya agar mendengarkan rekaman ini. Aku sudah bercerita padanya bahwa mumi berbisik-bisik padaku. Dan dia juga menawarkan bantuannya, walau saat itu aku merasa sebetulnya dia tidak percaya pada omonganku."
Jupiter menyetujui usul itu. Profesor memanggil Wilkins.
"Wilkins," katanya, "aku akan pergi bersama kedua remaja ini, ke tempat Profesor Freeman. Anda tinggal di sini menjaga rumah. Kalau terjadi sesuatu, Anda menelepon aku dengan segera." "Baik, Sir, " kata Wilkins patuh.
Lima menit kemudian Profesor Yarborough sudah berangkat dengan Rolls-Royce, bersama Jupiter dan Bob. Sementara itu di luar sudah remang-remang gelap. Setelah mereka pergi, Wilkins kembali ke dapur meneruskan kesibukannya. Ia sedang menggosok beberapa benda kuningan yang berasal dari daerah Timur Tengah. Tapi beberapa saat kemudian ia tertegun. Ia merasa seperti mendengar bunyi pelan di luar.
Wilkins memasang telinga. Tapi bunyi itu tidak berulang. Wilkins mengambil sebuah pedang kuno yang termasuk koleksi sang profesor. Dengan senjata itu ia menuju ke ruang museum. Tapi di situ semuanya kelihatan beres. Peti mumi sudah tertutup kembali. Pintu-pintu angin semuanya tertutup. Ia sendiri yang menutup, setelah Profesor berangkat tadi.
Wilkins membuka salah satu pintu angin, lalu melangkah ke teras. Begitu ia keluar, didengarnya suara seseorang. Suara asing dan galak, menyuarakan suatu perintah tertentu. Wilkins yang memang sudah dari semula gugup, memandang berkeliling dengan mata jelalatan.
Dilihatnya ada sesuatu bergerak-gerak di tengah semak. Cepat-cepat diangkatnya pedang, seperti hendak membela diri. Kemudian, di tengah keremangan senja nampak sesosok tubuh datang menghampiri. Sosok tubuh manusia - tapi berkepala ajak. Matanya kemilau menatap Wilkins.
Wilkins langsung pucat seperti mayat.
"Anubis!" serunya dengan suara seperti tercekik. "Dewa ajak!"
Anubis, dewa maut Mesir Purba maju selangkah lagi. Tangannya diangkat, menuding Wilkins dengan sikap garang. Pedang terlepas dari tangan pelayan itu, sedang dia sendiri roboh ke lantai teras. Pingsan, karena ketakutan!

Bab 8
TERJEBAK!

WORTHINGTON memutar kendaraannya di depan garasi Profesor Freeman. Sebuah jembatan pendek menghubungkan garasi itu dengan jalan raya. Sedang rumah Profesor Freeman terletak agak di bawahnya, di lereng yang terjal. Baru saja Worthington menurunkan Profesor Yarborough beserta kedua remaja pengiringnya di situ.
"Jalan di sini terlalu sempit untuk dipakai memarkir mobil," kata Worthington pada Bob dan Jupiter. "Aku khawatir nanti ada mobil lain masuk tikungan itu dengan kecepatan terlalu tinggi, lalu menyerempet Rolls-Royce ini."
Worthington sangat bangga pada mobil antik itu, seolah-olah miliknya sendiri. Ia merawatnya dengan penuh kasih-sayang.
"Di sebelah sana ada tempat parkir," katanya lagi. "Di situ jalan agak diperlebar, supaya orang yang lewat bisa berhenti untuk menikmati pemandangan. Kutunggu kalian di sana."
Setelah itu ketiga penumpangnya menuruni tangga batu, melewati garasi dan menuju ke samping rumah Profesor Freeman yang terdapat di bawah. Profesor itu langsung membukakan pintu, begitu mereka membunyikan bel.
"Ah - Anda rupanya yang datang, Yarborough," sapa sarjana itu dengan ramah. "Sama sekali tak kuduga. Tapi masuklah! Aku sedang menyusun kamus kata-kata asal dari bahasa-bahasa Timur Tengah. Anda datang kemari, tentunya ada urusan tertentu?"
Profesor Yarborough menjelaskan, ia membawa rekaman suara bisikan Ra-Orkon. Profesor Freeman nampak langsung bangkit semangatnya.
"Luar biasa!" katanya. "Kita harus memutarnya dengan segera. Nanti akan ketahuan, bisa atau tidak kita memahami kata-kata pak tua itu."
Ia mendului masuk ke kamar kerjanya. Sebuah ruangan, penuh dengan buku, alat pemutar piringan hitam serta tape-recorder beberapa buah. Dengan gerakan terlatih dipasangnya pita rekaman yang dibawa Profesor Yarborough ke salah satu tape-recorder, lalu dijalankan.
Semua mengikuti dengan penuh perhatian, sementara bisikan Ra-Orkon yang mendesis-desis mengisi seluruh ruangan, dipernyaring sampai beberapa kali lipat. Tapi semangat dan kegairahan Profesor Freeman yang semula nampak, dengan segera telah berubah menjadi sikap kecewa bercampur bingung.
"Sayang, Yarborough," katanya kemudian, "sepatah kata pun tak ada yang kumengerti. Tapi rekaman ini sangat terganggu bunyi desis. Tunggu - kuambilkan alat baruku yang baru saja kuterima. Dengannya bisa dikurangi gangguan bunyi-bunyi lain. Kita coba saja dengan tape-recorder yang lain. Mungkin nasib kita lebih baik dengannya."
Ia pergi sebentar. Lalu kembali membawa sebuah alat tambahan berukuran kecil. Pita rekaman dipasang ke tape-recorder lain beserta alat yang diambilnya. Mereka bersiap-siap untuk mendengarkan bisikan Ra-Orkon sekali lagi.
* * *
Kurang-lebih pada saat itu juga, tapi di seberang ngarai, truk kecil dari perusahaan paman dan bibi Jupiter berhenti di depan rumah Profesor Yarborough. Rumah itu kelihatan gelap. Hanya dalam satu ruangan saja nampak lampu menyala.
"Kelihatannya tidak ada siapa-siapa di sini, Pete," kata Hans, pengemudi truk yang berasal dari Jerman, sementara Pete meloncat turun.
"Tapi Wilkins mestinya ada di sini," kata Pete. "Tadi ketika aku menelepon pesawat yang ada dalam Rolls-Royce, Worthington yang menerimanya mengatakan bahwa dia mengantarkan Profesor, Bob dan Jupe ke suatu alamat di seberang ngarai. Katanya, mereka hendak menanyakan sesuatu pada orang yang tinggal di situ. Mereka hanya sebentar saja ke sana. Setelah itu kembali lagi kemari. Lalu kukatakan, aku akan minta tolong pada Anda untuk mengantar aku ke sini. Aku menunggu saja di sini sambil menemani Wilkins, sampai mereka kembali."
"Oke," kata Hans, "tapi aku pulang sekarang. Aku mau nonton film di drive-in, dengan Konrad."
Setelah itu Hans pergi lagi. Pete berjalan menuju pintu depan rumah, lalu membunyikan bel. Ia menunggu pintu dibukakan. Sementara itu ia berpikir-pikir tentang kasus yang ditanganinya, serta pembicaraannya tadi dengan Mrs. Banfry.
Banyak sekali yang dikatakan oleh wanita itu, yang bicaranya seperti senapan mesin cepatnya. Tapi kalau kata-katanya disaring, sebetulnya tidak banyak informasi yang bisa didapat. Pokoknya, kucing piaraannya yang bagus, trah Abesinia yang jarang sekali ada di Amerika, sudah sejak seminggu tidak pulang. Menurut Mrs. Banfry, kucing Abesinia biasanya tidak jinak dan juga tidak ramah. Tapi kucingnya yang bagus, yang diberi nama Sphinx, dia lain! Sphinx wataknya lembut kayak domba, dan mau saja dibelai siapa pun juga. Mrs. Banfry khawatir, jangan-jangan ada orang yang mengambilnya lalu dibawa pergi. Atau, dia tersesat - tidak tahu jalan pulang!
Mrs. Banfry yakin sekali Trio Detektif akan sanggup mencarikan kucingnya itu. Bukankah mereka hebat sekali, berhasil menemukan kembali burung nuri sahabatnya Miss Waggoner yang hilang beberapa waktu yang lalu!
Pete agak kewalahan. Sulit sekali mengarahkan pembicaraan pada pokok persoalan saja. Tapi akhirnya ia berhasil juga mengetahui tanda-tanda pengenal kucing itu. Warnanya kuning coklat, dengan ujung kaki depan belang putih. Tapi Pete takkan bisa keliru apabila menjumpainya, kata Mrs. Banfry. Soalnya, kucing itu memiliki kekhasan yang sangat luar biasa. Warna kedua matanya tidak sama. Kucing Abesinia umumnya mempunyai mata berwarna kuning atau jingga. Tapi Sphinx, matanya yang satu jingga. Sedang yang satu lagi biru.
Hal begitu walau jarang terdapat, tapi bukannya tidak ada, kata Mrs. Banfry. Tentu saja dengan mata yang begitu Sphinx tidak mungkin bisa memenangkan hadiah dalam peragaan kucing. Tapi dengan begitu ia nampak aneh dan bijaksana. Seolah-olah bisa mengerti apa saja yang dikatakan orang. Dan kalau mau, juga bisa memberikan jawaban.
Gambar Sphinx sudah sering dimuat dalam koran dan majalah karena matanya itu. Mrs. Banfry menunjukkan foto berwarna seekor kucing pada Pete, yang enam bulan sebelumnya dimuat dalam suatu majalah setempat. Pete melihat

seekor kucing yang bagus berwarna kuning kecoklatan dengan ujung kaki berwarna putih, serta mata berlainan warna yang menyebabkannya kelihatan aneh.
Setelah mengumpulkan semua informasi yang bisa diperoleh di situ, Pete cepat-cepat minta diri. Ia ingin menggabungkan diri dengan kedua rekannya. Sementara sibuk menanyai Mrs. Banfry, dalam hatinya ia membulatkan tekat. Ia berkewajiban mendampingi Bob dan Jupiter, pada saat mereka berdua menghadapi kutukan mumi yang berbisik.
Ia masih menunggu terus di depan pintu rumah Profesor Yarborough. Tapi setelah beberapa saat tidak ada yang datang, akhirnya ia membuka sendiri pintu lalu masuk ke dalam. "Halo!" serunya. "Wilkins! Anda di mana? Ada orang di rumah?"
Tapi tak ada yang menjawab. Pete memandang berkeliling. Semua kelihatan seperti biasa. Ia berseru-seru lagi. Lalu berjalan menyusur gang yang panjang, menuju ruang museum. Pintu ruangan itu ternganga. Lampu sebelah atas menyala. Kelihatannya semua beres di situ. Peti mumi tertutup. Dekat pintu angin, patung dewa Anubis tegak di tempatnya.
Walau begitu Pete gelisah. Ia mendapat firasat, ada sesuatu yang tidak beres di situ. Entah apa - tapi dirasakannya bulu tengkuknya meremang.
Dengan lambat, Pete menyelinap memasuki ruangan museum. Tangannya sudah gatal, ingin membuka peti mumi dan memandang Ra-Orkon yang terbaring di dalamnya. Tapi hati kecilnya melarang. Bagaimana jika mumi itu tiba-tiba berbisik padanya?
Kini ia menuju pintu angin yang terbuka, lalu memandang ke luar. Langit masih agak terang. Tapi kebun sudah gelap. Saat itu tak ada angin sedikit pun. Pete merasa bulu romanya semakin meremang. Sialan - kenapa Jupe dan yang lain-lainnya belum datang-datang juga?
Akhirnya Pete memutuskan untuk masuk lagi ke dalam. Maksudnya hendak menghubungi Worthington, lewat pesawat telepon yang ada dalam Rolls-Royce. Tapi saat itu perhatiannya tertarik pada sesuatu yang ada di teras. Ia melangkah lagi ke luar, untuk bisa melihat benda itu dengan lebih jelas. Ternyata yang tergeletak di ubin teras sebilah pedang. Pete heran, lalu memungut senjata tajam itu. Pedang itu kelihatannya barang antik, terbuat dari tembaga. Ia menarik kesimpulan, pasti termasuk koleksi Profesor Yarborough. Sementara Pete masih memegang senjata itu, terdengar bunyi berkeresek di belakangnya. Dengan cepat ia berpaling.
Hatinya berdebar-debar. Dilihatnya semak bergerak-gerak. Kemudian muncul seekor binatang yang tidak besar, melompat ke luar lalu lari mendatanginya. Binatang itu berhenti, menghampirinya lambat-lambat lalu menggeser-geserkan punggung ke betisnya sambil mendengkur-dengkur.
"Aduh! Kucing!" Pete tertawa sendiri mengingat ketakutannya tadi. "Ternyata cuma kucing!"
Diletakkannya pedang ke lantai, lalu diangkatnya kucing itu. Seekor kucing jantan berbulu kuning kecoklatan. Kelihatannya ramah. Binatang itu mendengkur-dengkur terus dalam gendongannya. Pete memperhatikannya sesaat. Nyaris saja kucing itu terjatuh dari pegangan.
Mata kucing itu berlainan warnanya. Satu jingga, sedang yang satu lagi biru!
"Uahh!" seru Pete. "Ini kan Sphinx! Kucing Mrs. Banfry! Ternyata aku menemukannya di sini. Sekarang aku bisa menertawakan Jupe apabila ia kembali di sini dan melihat bahwa kasus kucing hilang berhasil kuselesaikan seorang diri!"
Pete senang sekali membayangkan betapa kagetnya Jupiter nanti. Sebagai akibatnya, ia tidak sempat heran, kenapa Sphinx tahu-tahu muncul di tempat itu. Kalau kebetulan - itu kebetulan yang aneh! Tapi saat itu Pete tidak memikirkan persoalan itu. Ia berpaling, hendak masuk ke rumah dengan membawa Sphinx.
Tapi tepat pada saat ia membalikkan tubuh, ada sesuatu yang menerpa kakinya dari belakang. Rasanya seperti seekor macan cilik. Pete jatuh tertelungkup di teras. Kucing terpental dari tangannya, lalu lari masuk ke semak.
Detik berikutnya Pete sudah berjuang mati-matian untuk membebaskan diri dari serangan makhluk yang tidak besar, tapi tangkas sekali.
Baru beberapa saat kemudian Pete sadar bahwa yang menyerang dari belakang itu seorang anak laki-laki. Pete memutar tubuh, memiting pinggang lawannya. Saat itu barulah dia bisa melihat tampang anak itu.
Ternyata remaja yang hendak dibekuknya dalam kebun tadi pagi. Pete begitu kaget, sehingga pitingannya mengendor. Nyaris saja lawannya berhasil membebaskan diri. Tapi Pete cepat-cepat memilin lengan anak itu dan menekannya ke ubin. Ia menduduki punggungnya, sehingga anak itu tidak bisa berkutik lagi.
"Kau siapa?" tanya Pete dengan galak. "Kenapa kau berkeliaran terus di sini? Dan kenapa aku kauserang?"
Anak laki-laki yang menjadi lawannya, yang berkulit sawo matang dan bermata hitam legam, kelihatannya saat itu berusaha keras supaya jangan menangis.
"Kau mencuri Ra-Orkon moyangku!" teriaknya. "Lalu kau mau mencuri kucingku. Tapi aku, Hamid bani Hamid, aku akan menghalang-halangi tindakanmu."
Pete cuma bisa terkejap-kejap. Ia bingung.
"Apa maksudmu - aku mencuri moyangmu, Ra-Orkon?" tanyanya. "Dan juga kucingmu? Itu tadi bukan kucingmu, tapi milik Mrs. Banfry. Lalu aku bukan hendak mencurinya. Dia yang datang sendiri, ingin berteman dengan aku."
Anak yang diduduki oleh Pete menatapnya dengan muka masam.
"Kau tidak tahu apa-apa tentang Kakek Ra-Orkon?" tanya anak itu. "Bukan kau yang mengambilnya?" "Aku tidak mengerti apa maksudmu," balas Pete. "Jika kau bicara tentang mumi, kenapa kausebut dia kakek? Dia kan sudah mati sejak tiga ribu tahun yang lalu. Lagipula, mumi itu kan terbaring dalam petinya, di dalam." Anak asing itu masih bisa menggeleng.
"Sudah tidak ada lagi," katanya. "Tadi ketika di sini tidak ada siapa-siapa, datang dua orang laki-laki dan mencurinya."
"Ra-Orkon dicuri?!" seru Pete kaget. "Ah, masa!"

"Betul," kata anak asing itu. "Hamid bani Hamid dari Libia tidak berbohong."
Pete berpaling, memandang ke arah ruang museum. Peti mumi kelihatannya masih seperti biasa. Tapi jika anak yang menyebut dirinya Hamid ini mengatakan yang sebenarnya dan mumi itu sudah tidak ada lagi dalam petinya - wah! Urusannya dengan tiba-tiba mengalami perkembangan yang mengejutkan.
"Sekarang dengar dulu," kata Pete pada anak yang masih diduduki olehnya. "Aku cuma tahu mumi itu pernah berbisik pada Profesor Yarborough, dan kami sedang membantu dia memecahkan teka-teki itu. Barangkali kau bisa menjelaskan, bagaimana dia bisa berbisik-bisik?"
Tapi anak asing itu malah melongo.
"Kakek Ra-Orkon berbisik?" katanya heran. "Aku tidak mengerti. Teka-teki apa lagi ini?"
"Justru itulah yang ingin kami ketahui," kata Pete dengan serius. "Kau kelihatannya banyak mengetahui tentang mumi itu. Tapi bisa saja aku tahu beberapa hal yang tidak kauketahui. Jika kau mau mengatakan kenapa kau tadi pagi berkeliaran di sini dan apa sebetulnya yang kaukehendaki, mungkin kita bersama-sama nanti bisa menemukan penjelasan misteri ini."
Dalam hati, Pete sudah mengatur rencana. Jika ia berhasil mengorek beberapa petunjuk penting lagi mengenai misteri mumi yang berbisik dari Hamid, ada kemungkinan dia bisa menyelesaikan kasus mumi dan kasus kucing Mrs. Banfry yang hilang, sebelum Jupe dan Bob kembali. Ia ingin sekali ini saja bisa membuat Jupe merasa kecil! Biasanya selalu rekannya itu yang menonjol.
Anak berkulit sawo matang itu ragu-ragu sesaat. Tapi kemudian ia mengangguk.
"Baiklah," katanya. "Hamid bani Hamid menyodorkan kepercayaannya ke tanganmu. Beri kesempatan aku bangun, supaya kita bisa berunding."
Pete berdiri, lalu membersihkan pakaiannya. Hamid melakukan hal yang serupa. Kemudian ia berpaling dan berseru ke arah kegelapan dalam bahasa asing.
"Aku memanggil kucingku," katanya menjelaskan. "Roh Ra-Orkon hidup dalam tubuhnya, dan karenanya dia akan membantu kita menemukan mumi itu."
Keduanya menunggu beberapa saat. Tapi kucing yang ditunggu-tunggu, tetap tidak mau datang lagi.
"Kan sudah kubilang tadi," kata Pete, "itu kucing Mrs. Banfry. Namanya Sphinx. Kedua matanya berlainan warna, bulu kuning kecoklatan, kaki depan berwarna putih. Cocok dengan keterangan yang diberikan pemiliknya."
"Tidak," bantah Hamid dengan tegas, "kaki depannya hitam, bukan putih. Hitam seperti kucing kesayangan Ra-Orkon, yang juga ikut dibalsem dan muminya dibaringkan di samping mumi tuannya dalam liang makam rahasia, berpuluh abad yang lampau."
Pete menggaruk-garuk kepala. Memang betul - tadi ia tidak sempat meneliti kaki depan kucing itu. Jadi mungkin saja ia keliru mengenainya. Tapi walau begitu, rasanya aneh berjumpa dengan kucing lain yang warna kedua matanya tidak sama, tepat pada saat ia sedang mencari-cari kucing hilang dengan tanda-tanda serupa.
"Nanti saja soal itu kita bereskan," kata Pete. "Sekarang kulihat dulu, betulkah mumi sudah tidak ada lagi di tempatnya."
Ia mendului masuk ke ruang museum. Bersama Hamid, dijunjungnya tutup peti mumi. Ternyata kata Hamid tadi benar. Peti itu kosong melompong.
"Hilang!" serunya. "Apa yang terjadi dengan dia?"
"Kalian, anak-anak Amerika yang mengambilnya!" teriak Hamid. "Kalian mencuri kakekku!"
"Tunggu! Tunggu dulu, Hamid," kata Pete. Ia berpikir-pikir. "Aku tidak tahu apa-apa tentang soal ini. Begitu pula rekan-rekanku. Kami cuma berusaha menyelidiki misteri, apa sebabnya mumi itu bisa berbisik. Yah - seperti kukatakan tadi, kalau kau mau mengatakan apa yang kauketahui lalu aku menceritakan segala-galanya yang kuketahui, barangkali saja kita bisa mencapai salah satu hasil."
Anak asing itu mula-mula mengerutkan kening. Tapi kemudian mengangguk.
"Baiklah," katanya. "Apa yang ingin kauketahui?"
"Pertama-tama, apa sebabnya Ra-Orkon kausebut Kakek? Umurnya kan sudah lebih dari tiga ribu tahun!"
"Ra-Orkon itu cikal-bakal bani Hamid," kata anak asing itu dengan sikap bangga. "Tiga ribu tahun yang lalu, raja-raja dari Libia datang ke Mesir untuk memerintah di sana. Ra-Orkon itu seorang bangsawan tinggi. Ia tewas terbunuh karena ingin bertindak adil dan bijaksana. Ia dimakamkan secara sembunyi-sembunyi, supaya muminya tidak ditemukan lawan-lawannya. Sedang sanak-keluarganya kembali ke Libia. Kamilah keturunan mereka. Bani Hamid!
"Semuanya ini didengar ayahku dari seorang pengemis yang juga dukun. Namanya Sardon. Sardon dikaruniai kemampuan meramal. Ia bisa mengetahui kejadian masa silam, masa sekarang, dan masa depan. Katanya pada ayahku, Ra-Orkon dibawa pergi ke negeri bangsa biadab yang jauh dari Libia. Ra-Orkon takkan bisa tidur tenang, apabila tidak diambil kembali dan dimakamkan dengan cara sepatutnya. Ayahku waktu itu sedang sakit. Karenanya aku, Hamid, putranya yang tertua diutusnya untuk mengusahakan kembalinya Ra-Orkon, dengan ditemani Ahmed Bey. Dia ini tangan kanan ayahku."
Hamid berhenti sebentar untuk mengatur napas. Pada kesempatan lain, Pete pasti merasa tersinggung karena disebut bangsa biadab. Tapi saat itu ia sedang sibuk dengan urusan lain. Ia merasa sudah mulai mengerti sekarang. Profesor Yarborough pernah bercerita, ada seorang pedagang permadani dari Libia bernama Ahmed yang membujuk-bujuk agar dia mau menyerahkan Ra-Orkon padanya. Pedagang itu kemudian disuruh pergi oleh sang profesor. Rupanya karena siasat bujukan tidak berhasil, kini kelihatannya Ahmed bersama Hamid merencanakan untuk memperoleh mumi itu dengan jalan lain.
"Jadi begitu rupanya," kata Pete. "Kau berkeliaran di sini, menunggu-nunggu kesempatan baik untuk mencuri Ra-Orkon."
"Mahaguru biadab tidak mau mengembalikan moyangku," kata Hamid dengan mata menyala-nyala. "Karenanya aku bersama Ahmed bermaksud akan mencurinya jika ada kesempatan. Kami berkewajiban untuk memulihkan ketenangan arwahnya. Ahmed lantas menyamar jadi tukang kebun. Dibayarnya ketujuh saudara yang biasa merawat

tempat ini, asal dia bisa berbuat pura-pura jadi seorang di antara mereka. Dengan begitu, ia bisa selalu ada di dekat sini. Profesor sama sekali tidak menyadari penyamaran itu. Seperti dikatakan oleh Ahmed, tukang kebun tidak pernah diperhatikan orang. Kecuali itu, Ahmed kan menyamar!"
"Jadi yang memitingmu tadi pagi itu Ahmed, dan bukan tukang kebun yang asli!" seru Pete. "Pengawalmu sendiri menangkapmu!"
"Ya, betul," kata Hamid. "Ia berseru dalam bahasa Arab, menyuruh aku menggigitnya. Aku lantas menggigit, dan dia melepaskan pitingannya. Kalian semua dikelabui olehnya. Ahmed memang sangat cerdik!"
Pete memerlukan waktu sesaat untuk memahaminya. Ternyata tukang kebun yang setia itu sebenarnya bukan dia, tapi seorang Libia bernama Ahmed yang menirukannya. Sedang Ahmed bermaksud mencuri Ra-Orkon, untuk ayah Hamid. Sementara Pete sedang berusaha mengerti, tiba-tiba Hamid berpaling.
"Ada orang datang!" kata anak itu. "Kudengar truk berhenti di luar."
Hamid bergegas ke jendela yang menghadap ke jalan masuk menuju rumah. Pete datang ke sebelahnya. Mereka melihat sebuah truk bobrok berwarna biru diparkir dijalan masuk. Dua laki-laki bertubuh kekar turun dari kendaraan itu. Melihat gelagatnya, rupa-rupanya mereka hendak langsung menuju ke teras sebelah luar ruang museum.
"Itu orang-orang yang tadi!" desis Hamid. "Merekalah yang mencuri Ra-Orkon. Aku melihat mereka meletakkan sesuatu yang terbungkus ke dalam truk beberapa saat yang lalu. Kemudian kulihat di rumah ini tidak ada siapa-siapa. Aku masuk kemari. Peti mumi kutemukan, tapi Ra-Orkon sudah tidak ada lagi di dalamnya."
"Mereka kemari," gumam Pete. Kedua laki-laki itu, melihat potongan mereka tidak bisa diajak bercanda. "Mau apa mereka?"
"Kita harus sembunyi," kata Hamid buru-buru. "Mungkin mereka datang karena hendak mencuri barang lain. Jika kita bersembunyi, nanti bisa kita dengar percakapan mereka. Barangkali saja akan kita ketahui, ke mana Ra-Orkon mereka bawa."
"Setuju - tapi kita bersembunyi di mana?" tanya Pete. Ia memandang berkeliling. "Tak ada tempat bersembunyi di sini. Dalam ruangan ini pasti tidak ada. Tapi jika kita lari ke luar, lalu bersembunyi dalam semak-"
"Di situ kita tidak bisa mendengar percakapan mereka!" bantah Hamid. "Cepat! Peti mumi! Tempat itu kan kosong. Kita pasti bisa muat di sini. Kedua laki-laki itu takkan menduga di situ ada orang."
"Betul juga," kata Pete. Tapi anak asing yang tubuhnya lebih kecil daripadanya itu sudah melesat melintasi ruangan, menuju peti mumi dan langsung merebahkan diri di dalamnya.
"Cepat!" panggilnya sambil berbisik. "Di sini masih ada tempat."
Anak itu mengecilkan tubuhnya ke samping. Kedua laki-laki itu sudah terdengar di luar. Pete tidak ragu-ragu lagi, cepat-cepat ia merebahkan diri di sisi Hamid. Keduanya lantas menarik tutup peti sehingga tertutup. Pete masih sempat menyelipkan puntungan pinsil yang pendek ke satu sudut. Dengan begitu ada celah antara tutup dan peti, sehingga keduanya bisa bernapas dan juga mendengarkan percakapan kedua laki-laki tak dikenal itu.
Begitu peti tertutup, pintu ruang museum terbuka. Terdengar langkah-langkah berat mendekat.
"Kaubawa tali pengikat, Joe?" tanya seseorang.
"Ya," jawab temannya. Orang itu bersuara serak dan kasar, "Terus-terang, Harry - aku jengkel sekali pada orang yang memberi tugas ini! Kenapa tidak dari semula ia menegaskan apa yang diingininya? Masa kita disuruh kembali, hanya untuk mengambil peti tua ini! Aku kepingin menuntut pembayaran lebih tinggi sekarang."
"Niatku juga begitu, Joe," kata orang yang pertama. "Kita paksa dia membayar seperti yang kita minta. Kalau tidak mau, tahu sendiri akibatnya! Yah - belitkan saja tali itu ke peti."
Sementara Pete dan Hamid kaget dan cemas setengah mati, tiba-tiba terasa peti itu terangkat sedikit ujungnya yang satu. Rupanya saat itu tali pengikat sedang dibelitkan, lalu ditarik kencang-kencang supaya tutup peti tidak bisa terlepas. Untung Pete tadi sempat menyelipkan batang pinsil ke pojoknya. Coba kalau tidak! Pasti mereka akan lemas, tidak bisa bernapas.
"Rupanya mereka kembali untuk mencuri peti ini sekaligus!" bisik Hamid pada Pete dalam peti yang gelap-gulita. "Sekarang bagaimana?"
"Aku tidak mau cari perkara dengan penjahat-penjahat itu," bisik Pete sebagai jawaban. "Sebaiknya kita diam-diam saja di sini dulu. Mungkin saja nanti kita bisa mengetahui, siapa sebenarnya yang menyuruh mereka kemari. Kedua laki-laki itu akan mengangkut kita ke tempat orang itu. Lalu begitu dia membuka tutup peti, kita meloncat ke luar dan langsung lari!"
"Hamid tidak takut," kata anak Libia dengan gagah.
"Aku juga tidak," balas Pete. Tapi ia toh merasa sangat gugup ketika tahu-tahu peti terangkat. Peti itu diangkut kedua laki-laki tadi ke luar.
"Peti sialan ini berat sekali," kata laki-laki yang bernama Joe menggerutu.
"Ya - kayak besi saja beratnya," jawab temannya, Harry. "Ayo, tolong aku menaikkannya ke atas truk." Terasa peti dijunjungkan, lalu dilemparkan naik ke atas bak di belakang truk.
"Beres," gerutu suara yang serak. "Kita berangkat saja sekarang. Aku kepingin tahu, untuk apa sebetulnya mumi dan peti kuno dari kayu?"
"Ada orang yang kegemarannya mengumpulkan apa saja," jawab kawannya. "Pokoknya, dia harus bayar lebih, karena kita disuruhnya mondar-mandir dua kali. Sebelum membayar, dia takkan menerima barangnya. Kita taruh dulu di tempat penyembunyian yang biasa, sampai dia setuju menambah pembayaran. Yuk - kita berangkat!"
Terdengar bunyi pintu truk ditutup keras-keras. Sesaat kemudian kendaraan itu sudah mulai mendaki lereng, meninggalkan rumah Profesor Yarborough, membawa Hamid dan Pete yang terkurung dalam peti mumi. Tapi ke mana?

Bab 9
BEBERAPA HAL MENGEJUTKAN

SEMENTARA itu Jupiter, Bob, dan Profesor Yarborough masih selalu menunggu di kamar kerja Profesor Freeman, sementara sarjana itu untuk kesekian kalinya menyimak bisikan mumi Ra-Orkon yang berhasil terekam pada pita.
"Saban kali aku merasa seperti bisa memahami bisikannya," kata Profesor Freeman. "Di sana-sini kutangkap beberapa patah kata yang rasanya seperti kumengerti maknanya."
Dihentikannya tape-recorder, lalu menawarkan sebatang cerutu pada rekannya.
"Tolong katakan," katanya, "bagaimana cara kalian sampai bisa memperoleh rekaman ini? Aku juga ingin mendengar bagaimana patung Anubis tadi nyaris menimpa Anda. Begitu pula tentang bola granit yang terlepas dari tempatnya."
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, sementara Profesor Yarborough menuturkan pengalamannya. Tiba-tiba ceritanya terputus, terganggu bunyi bel.
"Maaf sebentar," kata Profesor Freeman, "ada orang di atas, dijalan masuk lewat garasi. Kulihat saja dulu, siapa itu. Silakan bersantai-santai sejenak, sampai aku kembali lagi. Kita memang perlu istirahat sebentar. Nanti kita coba lagi."
Sementara Profesor Freeman pergi, Profesor Yarborough berhasil memulihkan sikapnya yang tenang. "Sudah kukatakan tadi, kalau ada yang bisa memahami bisikan Ra-Orkon, orang itu pasti sahabatku Freeman," katanya. "Ayahnya dulu sekretarisku, ketika aku menemukan makam Ra-Orkon." "Dia itu yang tewas terbunuh satu minggu setelah makam dibuka?" tanya Bob. Profesor Yarborough nampak gugup mendengar pertanyaan itu.
"Betul," jawabnya, "tapi jangan hubungkan kematiannya dengan kutukan yang mana pun juga. Aleph Freeman orangnya gemar bertualang. Kurasa ia mengalami bencana yang menyebabkan kematiannya ketika sedang keluyuran seorang diri malam-malam di daerah kota lama Kairo. Tapi kemudian putranya tertarik pada kebudayaan Mesir. Kini dia termasuk salah satu tokoh ilmuwan terkemuka mengenai bahasa-bahasa Timur Tengah."
Tak lama kemudian Profesor Freeman kembali, menenteng baki. Di atasnya beberapa gelas berisi ginger ale.
"Tadi itu cuma seorang tetangga yang mengumpulkan derma untuk keperluan sosial," katanya. "Saat ini panas sekali-jadi kurasa kalian pasti tidak menolak jika ditawari minuman segar. Nah - sekarang kita dengarkan rekaman itu lagi, sementara aku membuat beberapa catatan. Ini ada kamus khusus dari koleksiku. Mungkin bisa menolong kita nanti."
Diputarnya lagi pita rekaman. Sedang Profesor Freeman mengikuti dengan seksama, sambil sekali-sekali mencatat satu dua patah kata dengan bantuan kamusnya. Bob, dan bahkan juga Jupe sudah mulai gelisah. Keduanya tidak sabar, disuruh menunggu begitu lama. Tapi akhirnya Profesor Freeman menghentikan tape-recorder. Ia menggeliat, pergi ke jendela lalu menarik napas dalam-dalam. Kemudian kembali ke tempat semula.
"Kurasa sudah kulakukan apa yang bisa kubuat," katanya. "Terus-terang saja, Profesor, bisikan ini diucapkan dalam satu jenis bahasa Arab yang sudah tua sekali. Kata-katanya lain sekali pengucapannya, dibandingkan dengan bahasa Arab Modern. Tapi aku merasa mulai memahami maksudnya. Hanya aku segan mengulanginya -"
"Bilang saja," kata Profesor Yarborough memaksa. "Apa pun juga yang dikatakan, aku ingin mendengarnya."
"Yah -" Profesor Freeman kelihatan masih agak ragu, "jika penafsiranku memang tepat - ingat, aku cuma bisa menduga-duga saja - singkatnya bisikan itu artinya begini. 'Ra-Orkon jauh dari rumahnya. Ketenangan tidurnya diganggu. Malanglah semua yang mengganggu tidurnya. Mereka takkan mengalami ketenangan, selama Ra-Orkon masih belum bisa tenang. Mereka akan menyertainya ke dalam kematian, apabila Ra-Orkon tidak dikembalikan ke tempat asalnya'."
Bob Andrews merinding. Bahkan Jupiter pun agak memucat mukanya. Sedang Profesor Yarborough kelihatan merasa tidak enak.
"Kalian kan tahu, dari semula aku tidak mau percaya omong kosong mengenai kutukan itu," katanya. Dagunya didorong ke depan, menunjukkan kekerasan hatinya. "Sekarang pun aku tidak mau." "Ya, tentu saja," kata rekannya. "Itu kan tidak ilmiah." "Jelas tidak ilmiah," tukas Profesor Yarborough.
"Walau begitu, mungkin aku bisa membantu," kata Profesor Freeman mengusulkan. "Bagaimana jika Ra-Orkon dipindahkan ke sini untuk beberapa hari? Hanya untuk melihat, mau tidak dia berbisik padaku! Jika urusan bisik-bisik ini bisa kita selidiki lebih jauh, hal mana terus-terang saja terasa membingungkan dan juga menggelisahkan diriku -"
"Sama saja seperti yang kurasakan," sambung Profesor Yarborough. "Terima kasih atas usul Anda. Tapi aku tidak bersedia dibikin bingung oleh mumi. Para remaja ini sudah membantu aku." Ia melambaikan tangan ke arah Bob dan Jupiter. "Entah dengan cara bagaimana, tapi kami pasti akan berhasil menyibakkan teka-teki ini."
Mereka pamitan dari sarjana yang masih agak muda itu, lalu mendaki tangga yang menuju jalan raya di sebelah atas. Worthington masih menunggu dalam mobil Rolls-Royce antik, yang diparkir di tepi bagian jalan yang agak diperlebar, sekitar tiga puluh meter ke sebelah bawah jalan sempit itu.
"Kusangka Freeman yang paling besar kemungkinannya bisa menafsirkan pesan Ra-Orkon," kata Profesor Yarborough, ketika mereka sudah duduk dalam mobil yang meluncur ke arah rumahnya. "Bagaimana, Jupiter Jones? Kau sudah punya teori lagi sekarang, tentang bagaimana Ra-Orkon bisa berbisik-bisik? Terus-terang saja, soal itu lebih menarik bagiku, daripada segala macam ancaman ataupun kutukan."
"Belum ada, Sir, " kata Jupiter berterus-terang. "Sampai sekarang, perkara ini masih benar-benar gelap bagi saya."
"Pusing kepala dibuatnya," gumam Bob, meminjam istilah yang sering dipergunakan Pete.
"Kita sudah sampai," kata Worthington, sambil mengemudikan mobil besar itu ke depan rumah sang profesor.

"Aku tidak melihat truk kita, tapi Pete tentunya ada di sini," kata Jupiter, sementara mereka turun dari mobil. "Tadi ia menelepon Worthington untuk mengatakan dia akan menunggu kita di sini."
Mereka masuk ke rumah. Lampu-lampu menyala. Tapi tak ada orang yang kelihatan.
"Wilkins biasanya selalu menyambut aku," kata Profesor Yarborough. Keningnya berkerut. Kemudian ia memanggil-manggil. "Wilkins! Wilkins!"
"Pete!" Jupiter ikut memanggil. "Kau ada di sini?" Hanya kesunyian yang ada sebagai jawaban.
"Aneh sekali," gumam Profesor. Sedang Jupiter mulai nampak tidak enak. "Bagaimana jika kita cari saja, Sir, " katanya mengusulkan. "Ide bagus! Mungkin mereka sedang berada di museum."
Ia mendului berjalan menyusur gang menuju ruang museum. Sesaat mereka tidak melihat ada sesuatu yang lain di situ. Tapi kemudian disadari, peti mumi tidak ada di tempatnya. "Ra-Orkon hilang!" seru Bob kaget.
Profesor Yarborough bergegas menghampiri tempat di mana peti mumi semula terletak. Yang nampak kini cuma beberapa goresan saja di lantai, serta sehelai sapu tangan biru yang biasa dipakai terlilit ke leher. Dengan cepat Jupiter menyambar lembaran kain yang terletak di lantai, di belakang sebuah kotak kaca.
"Ra-Orkon dicuri orang!" kata Profesor dengan nada heran. "Dari goresan ini bisa dilihat bahwa peti itu tadi digeser-geser. Tapi siapa yang mau mencuri mumi Mesir Purba? Kan sama sekali tidak berharga untuk dijual."
Tapi kemudian keningnya berkerut.
"Pedagang permadani, si Ahmed Anu itu!" serunya. "Dia kan menginginkan Ra-Orkon. Pasti dia yang melakukan perbuatan ini! Akan kupanggil polisi untuk mengejarnya. Cuma -" Ia tertegun, lalu memandang berkeliling. "Kalau polisi kuhubungi, aku akan terpaksa melaporkan tentang mumi yang berbisik-bisik. Berita itu pasti akan sampai di telinga wartawan, lalu dimuat dalam koran. Nanti aku ditertawakan orang. Tidak! Kurasa aku lebih baik jangan menghubungi polisi."
Profesor Yarborough menggigit-gigit bibir. Kelihatannya bingung bercampur sedih.
"Apa yang harus kuperbuat sekarang?" keluhnya. "Bagiku, nama baikku selaku ilmuwan lebih penting daripada mumi itu."
Bob tidak punya usul apa-apa. Jupiter memperlihatkan sapu tangan biru yang ada dalam tangannya.
"Untuk mengangkat Ra-Orkon dengan petinya sekaligus, paling sedikit diperlukan tenaga dua orang, Sir, " katanya. "Jadi kalau betul orang bernama Ahmed itu yang mengambil, tidak mungkin ia melakukannya seorang diri. Sedang sapu tangan kayak begini, biasanya dipakai pekerja. Mungkin ini petunjuk bagi kita. Mungkin sapu tangan ini terjatuh dari saku salah seorang kawanannya. Atau mungkin juga orang yang bernama Ahmed itu sama sekali tidak bersalah. Mungkin orang lain yang mencuri Ra-Orkon."
Profesor Yarborough mengusap kening dengan tangannya.
"Semuanya serba membingungkan bagiku," katanya. "Mula-mula ada mumi yang berbisik-bisik padaku - lalu dia menghilang! Aku benar-benar tidak tahu -" Profesor Yarborough tertegun, lalu berseru kaget. "Wilkins! Kita sama sekali lupa tentang Wilkins! Dia tadi ada di sini. Jangan-jangan dia cedera diserang penjahat-penjahat itu. Kita harus mencarinya sampai ketemu."
"Tidak ada kemungkinan dia bersekongkol dengan mereka?" tanya Bob. Dia sering membaca kisah-kisah detektif, dalam mana pada akhirnya ternyata pelayan yang dikira setia sebenarnya melakukan kejahatan yang diselidiki. "Mustahil! Wilkins sudah sepuluh tahun bekerja padaku! Ayo - tolong aku mencari dia."
Profesor Yarborough bergegas menuju teras. Sesampai di luar, perhatiannya tertarik pada pedang yang tergeletak di lantai. Dipungutnya senjata tajam itu.
"Ini pedang koleksiku!" katanya. "Rupanya Wilkins tadi mengambil senjata ini untuk membela diri. Ternyata dia juga ikut diculik. Sekarang kita terpaksa melapor pada polisi."
Ia sudah hendak berpaling untuk masuk ke rumah, ketika terdengar olehnya suara mengerang pelan. Datangnya dari balik semak yang tidak jauh dari teras. Jupiter juga mendengar erangan itu. Ia yang paling dulu tiba di tempat itu.
"Wilkins!" serunya.
Wilkins terbaring di atas rumput. Tangannya terdekap ke dada. Tempatnya itu terlindung di balik semak. Karena itulah Pete dan Hamid tidak melihatnya tadi.
"Ia tidak roboh di sini, tapi sengaja diletakkan," kata sang profesor sambil membungkuk dan memperhatikan pelayan pribadinya itu. "Kurasa sebentar lagi dia siuman." Ia memperkeras suaranya. Memanggil-manggil. "Wilkins! Bisa kaudengar tidak?"
Kelopak mata Wilkins bergerak-gerak sebentar. Lalu terpejam kembali.
"Lihatlah!" seru Bob. Ia melihat bayangan binatang bertubuh kecil dalam gelap. "Ada kucing!" "Sini, Manis," panggilnya sambil mengulurkan tangan. "Sini, kemarilah!"
Kucing itu menghentikan kesibukannya menjilati tubuhnya sendiri, lalu mendatangi Bob yang langsung mengangkatnya.
"Lihatlah," katanya, "matanya yang satu biru, tapi satunya lagi jingga. Belum pernah kulihat kucing kayak begini." "Masya Allah!" Tahu-tahu Profesor Yarborough seperti disengat tawon. "Warna matanya tidak sama? Coba kulihat!"
Bob menyodorkan kucing itu, supaya bisa lebih jelas dilihat Profesor. Sarjana itu memandangnya dengan kening berkerut.
"Kucing Abesinia, dengan mata yang tidak sama warnanya!" katanya. "Aku semakin bingung sekarang. Segala-galanya menjadi terlalu - terlalu ajaib! Tidak bisa diterima akal sehat! Kan sudah kuceritakan, ketika Ra-Orkon dimakamkan, satu-satunya yang disertakan cuma kucing kesayangannya saja. Nah, kucing itu termasuk jenis Abesinia.

Pada jaman dulu, di Mesir kucing jenis itu dianggap mulia. Mata kucing itu tidak sama warnanya, sedang ujung kedua kaki depannya berbulu hitam. Coba lihat kucing ini! Matanya juga tidak serupa warnanya - sedang ujung kaki depannya hitam!"
Jupe dan Bob mengamat-amati kucing itu. Astaga - betul! Ujung kaki depannya hitam kedua-duanya. "Wilkins mungkin bisa memberi keterangan, jika kita menyadarkannya kembali," kata Profesor. Digosok-gosoknya pergelangan tangan pelayannya.
"Wilkins, sahabatku - bicaralah," katanya. "Katakan padaku apa yang tadi terjadi di sini."
Wilkins membuka matanya. Ia menatap Profesor Yarborough, tapi seakan-akan tidak melihatnya. Matanya menatap kosong.
"Wilkins! Ada apa?" tanya Profesor Yarborough. "Siapa yang mencuri Ra-Orkon? Pedagang permadani, ya?"
Wilkins berusaha bicara.
"Anubis!" desisnya ketakutan. "Anubis!"
"Anubis?" tanya Profesor Yarborough kebingungan. "Maksud Anda, Anubis dewa ajak yang mencuri mumi Ra-Orkon?"
"Anubis!" ulang Wilkins. Matanya dipejamkan kembali. Profesor Yarborough meraba kening pelayannya.
"Dia demam," katanya kemudian. "Anak-anak, dia harus segera kuangkut ke rumah sakit. Kurasa belum perlu kita hubungi polisi. Koran-koran nanti paling-paling akan membesar-besarkannya menjadi berita sensasi. Tadi Wilkins seolah-olah mengatakan ada dewa Mesir Purba yang mencuri mumi Ra-Orkon. Dan di sini ada kucing yang tampangnya seperti titisan kucing kesayangan Ra-Orkon tiga ribu tahun yang silam. Sekarang aku benar-benar bingung. Tapi keselamatan Wilkins harus didulukan. Kalau kalian tidak berkeberatan, kita membawanya ke rumah sakit dengan mobil kalian. Nanti jika dia sudah bisa menceritakan apa yang tadi terjadi di sini, kita akan bisa lebih tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya."
Jupe dan Bob mengangguk tanda setuju.
"Untuk sementara kalian sajalah yang memegang kucing ini," sambung sang profesor, "lalu besok hubungi aku lewat telepon. Kita lihat saat itu, apa yang kita hadapi. Sekarang tolong aku dulu mengangkat Wilkins. Kita harus menggotongnya ke mobil dengan segera."
Worthington membawa mereka ke sebuah rumah sakit swasta kecil, yang dipimpin seorang teman Profesor Yarborough. Setelah Wilkins diurus, Bob dan Jupiter kembali ke Markas Besar. Bob memangku kucing yang mendengkur-dengkur senang.
"Wah, Jupe," kata Bob, "menurut pendapatmu, mungkinkah kucing ini ada hubungan dengan lenyapnya Ra-Orkon?"
Kening Jupiter Jones berkerut.
"Tentu saja ada," jawabnya, "tapi aku tak tahu, hubungan yang bagaimana."
Bob tahu, Jupiter paling tidak suka bingung. Tapi saat itu ia benar-benar bingung. Bob belum pernah melihat rekannya sebingung saat itu. Jupiter begitu bingung, sampai lupa bahwa mereka belum mendengar kabar dari Pete. Sampai Bob menanyakannya.
"He - di mana Pete sekarang, ya?" katanya. "Masa sampai sekarang belum menghubungi."
Jupiter kaget.
"Betul katamu," ujarnya. "Coba kita telepon saja. Mungkin masih di tempat Mrs. Banfry."
Ia mengangkat gagang pesawat yang merupakan perlengkapan mobil mewah itu. Sementara mobil berjalan pun, pemakainya bisa berhubungan dengan pesawat telepon yang mana saja. Mula-mula ia menelepon Mrs. Banfry. Tapi wanita itu mengatakan, Pete sudah lama pergi lagi. Lalu diputarnya nomor pesawat yang ada di Markas Besar. Tapi tak ada yang mengangkat. Kemudian diteleponnya Paman Titus di rumah. Kata pamannya itu, Hans dan Konrad pergi nonton di teater drive-in, naik truk yang kecil. Setelah melihat sebentar ke luar, ia menambahkan bahwa sepeda Pete masih ada di pekarangan.
"Di mana anak itu?" tanya Bob. Ia merasa cemas.
"Aku juga tidak tahu," kata Jupiter sambil menggeleng. "Yang jelas dia tadi menuju ke rumah Profesor Yarborough. Tapi aku tidak bisa membayangkan, di mana dia sekarang. Kita terpaksa menunggu sampai dia muncul. Kalau tentang Pete, aku tidak khawatir."
Tapi ada kemungkinan sikap yakinnya itu goyah, apabila ia tahu bahwa saat itu Pete terkurung dalam peti mumi Ra-Orkon, bersama Hamid, remaja dari Libia. Sementara itu truk yang mengangkut peti meluncur ke suatu alamat yang tidak diketahui, di Los Angeles.

Edit by: zhe (zheraf.wapamp.com)
http://www.zheraf.net

Bab 10
TAK ADA KEMUNGKINAN LARI

JAUH juga perjalanan mereka. Tubuh truk tergoncang-goncang ketika melewati bagian jalan yang sangat buruk keadaannya. Tapi Pete dan Hamid tidak begitu merasakannya, karena mereka bersesak-sesak dalam peti.
Hawa di situ mulai pengap. Untung celah yang dibuat oleh Pete dengan jalan menyelipkan sebatang pinsil antara peti dengan tutupnya dekat letaknya ke kepala mereka. Dengan begitu mereka masih bisa menghirup udara yang lumayan segar.
Hamid sama sekali tidak menunjukkan sikap takut. Dalam hati, Pete harus mengakui bahwa anak itu memang tabah.
"Kita ini mau dibawa ke mana?" bisik Hamid. Padahal ia sama sekali tidak perlu berbisik. Biar mereka berteriak-teriak sekuat-kuatnya saat itu, takkan ada orang yang bisa mendengar. Mereka berada dalam peti tertutup, yang terletak di belakang truk yang sedang berjalan.
"Dari pembicaraan mereka tadi, kelihatannya peti ini tidak akan langsung diserahkan pada pemesannya, tapi disembunyikan dulu," jawab Pete. "Kalau benar itu yang mereka lakukan, ada kesempatan bagi kita untuk melarikan diri." Ia bicara dengan nada yakin. Padahal perasaannya saat itu tidak begitu! Bagaimana jika kedua orang tadi tidak melepaskan tali pengikat peti sebelum pergi?
"Mereka tadi bicara tentang mondar-mandir dua kali," bisik Hamid lagi, "dan juga jengkel pada seseorang. Apa maksudnya?"
"Rupanya mereka disuruh seseorang untuk mencuri mumi Ra-Orkon," kata Pete menjelaskan. "Mumi mereka ambil, tapi tanpa peti karena terlalu berat. Lalu ketika mumi diserahkan, pemesannya marah-marah karena peti tidak diikutsertakan. Lalu ia menyuruh mereka mengambil peti ini. Ini menyebabkan mereka marah, lalu mengambil keputusan untuk menyembunyikan peti dan menuntut pembayaran tambahan sebagai imbalan penyerahannya."
"Ya, kurasa kau benar," kata Hamid sependapat. "Tapi aku masih tetap belum mengerti, siapa yang ingin mencuri mumi Ra-Orkon? Dia moyangku, dan bukan moyang orang lain."
"Soal itu memang misterius," kata Pete menyetujui. "Dan kurasa begitulah sebutan yang dipakai Bob Andrews untuk perkara ini. Misteri Bisikan Mumi."
"Bob Andrews?" tanya Hamid. "Siapa itu?"
"Dia salah seorang anggota Trio Detektif," jawab Pete.
"Trio Detektif? Apa itu?" Remaja berkulit sawo matang malah bertambah bingung diberi penjelasan. Pete lantas bercerita dari awal mula. Diceritakannya mengenai Trio Detektif. Hamid mengikuti penuturannya dengan penuh minat.
"Kalian, remaja Amerika - kalian begitu - ah, aku tak tahu sebutannya, pokoknya kalian gemar berbuat macam-macam," katanya kemudian dengan agak iri. "Kalau di Libia, lain sekali. Keluargaku berdagang permadani. Tentang barang itu banyak sekali yang kuketahui. Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang sidik jari, tentang tape-recorder, periskop, tentang walkie-talkie."
"Walkie-talkie!" seru Pete bersemangat. "Kenapa tidak ke situ pikiranku selama ini! Kita bisa minta tolong dengannya!"
Pete sementara itu sudah memperbaiki kembali walkie-talkie yang rusak ketika ia bergulat dengan Hamid pagi itu. Dan Jupe menginstruksikan bahwa alat itu harus selalu dibawa ke mana pun mereka pergi.
Pete beringsut-ingsut, sampai akhirnya bisa mengambil walkie-talkie yang ada di kantongnya. Lalu dilepaskannya antena yang terlilit ke pinggang, dan disodorkannya ujungnya ke celah yang ada antara peti dengan tutupnya. Sedikit demi sedikit kawat tembaga itu didorongnya ke luar. Ketika semuanya sudah berada di luar, ditekannya tombol untuk bicara.
"Halo, Penyelidik Satu!" ucapnya ke alat komunikasi yang ada di tangannya. "Di sini Penyelidik Dua. Masuk, Penyelidik Satu. Penting. Over!"
Sekarang gilirannya mendengar. Setelah sunyi sesaat, didengarnya suara seseorang. Jantung Pete berdebar. "Halo, Tom," kata suara itu. "Kaudengar itu tadi? Ada yang memotong kita."
"Ya, Jack," jawab suara yang lain. "Kayaknya anak-anak. He, siapa itu! Jangan ganggu kami. Ini urusan bisnis. Nah, Jack - seperti kukatakan tadi, trukku macet dijalan raya. Ban kempis. Kalau kau bisa-"
"Tolong!" kata Pete dengan nada memelas. "Namaku Pete Crenshaw. Aku minta tolong Anda untuk menelepon Jupiter Jones, di Rocky Beach. Ini penting sekali!"
"Menelepon siapa?" tanya orang yang bernama Tom. "Apa katamu tadi?"
"Tolong teleponkan Jupiter Jones, di Rocky Beach," kata Pete sekali lagi. "Bilang Pete sangat memerlukan bantuan. Keadaan gawat!"
"Apanya yang gawat, Nak?" tanya orang yang satu lagi, yang namanya Jack.
"Aku terkurung dalam peti mumi, yang kini sedang diangkut dengan truk oleh orang-orang yang mencuri mumi Ra-Orkon!" kata Pete. "Jupiter pasti mengerti. Tolong saja menelepon dia."
"Kaudengar itu?" kata orang yang bernama Jack sambil tertawa. "Ada anak yang mengatakan dia terkurung dalam peti mumi, dan kini diculik dengan mobil! Macam-macam saja remaja jaman sekarang! Apa lagi ide mereka yang berikut?!"
"Tolonglah - aku tidak main-main!" seru Pete. "Hubungi Jupiter Jones."
"He, Tom," kata orang yang satu lagi. "Kau sudah tahu sekarang aku di mana. Tolong panggilkan bantuan untukku. Dan kau, Nak -jangan ganggu kami lagi. Mestinya ada peraturan yang melarang anak-anak memakai jalur CB untuk iseng-iseng saja!"
Setelah itu hubungan terputus. Walkie-talkie bungkam. Berkali-kali Pete mencoba lagi, tapi sia-sia.

"Percuma, Hamid," katanya kemudian dengan lesu. "Sebetulnya aku tadi harus mengatakan, aku kehilangan uang. Atau apa saja. Soalnya begitu aku berterus-terang bahwa kita terkurung dalam peti mumi, mereka lantas beranggapan aku ini anak iseng yang hendak mengganggu pembicaraan mereka."
"Apa boleh buat! Pokoknya kau sudah berusaha. Memang bukan kejadian lumrah terkurung dalam peti mumi. Karena itu mereka sukar bisa percaya."
"Ya, kejadian begini ini mungkin cuma sekali saja dalam tiga ribu tahun. Dan begitu terjadi, justru aku yang harus mengalaminya," kata Pete menggerutu.
Setelah itu keduanya terdiam. Sementara truk berjalan terus sambil tergoncang-goncang. Pete mulai memikirkan hal-hal yang masih perlu diketahui. Kalau Jupe yang saat itu berada di situ, pasti dia akan memanfaatkan waktu yang ada. Karenanya Pete lantas mulai mengajukan pertanyaan.
"Hamid," katanya, "kalau kau memang dari Libia, dari mana kau sampai bisa berbahasa Inggris begitu baik?"
"Aku senang mendengar bahwa bahasa Inggrisku baik," kata Hamid. Pete tidak bisa melihat tampangnya - dalam peti yang gelap. Tapi kedengarannya Hamid memang senang. "Aku punya pelatih bahasa, orang Amerika. Ayahku, kepala Keluarga Besar Hamid, menginginkan aku bisa pergi ke mana-mana untuk menjual permadani kami. Karenanya aku belajar bahasa-bahasa Inggris, Perancis dan Spanyol. Di Libia keluarga kami - Keluarga Besar Hamid - sudah sejak berabad-abad merupakan keluarga terpandang. Kami membuat permadani yang halus sekali. Kami juga memperdagangkannya. Tapi ayahku sekarang sakit-sakitan. Karena itu walau aku masih remaja, aku dibimbingnya untuk mengambil-alih kedudukan selaku kepala Keluarga Besar Hamid."
"Tapi semuanya itu, apa hubungannya dengan Ra-Orkon?" tanya Pete. "Katamu, dia itu moyangmu. Tapi menurut Profesor Yarborough, tidak ada yang diketahui mengenai dia kecuali namanya. Tidak ada yang tahu dia itu dulu siapa, dan apa kedudukannya. Pokoknya, tidak sedikit pun yang diketahui mengenai dirinya."
"Profesor itu cuma tahu apa yang ada dalam buku saja," kata Hamid dengan nada merendahkan. "Banyak pengetahuan yang tidak ada dalam buku! Cukup banyak orang pandai yang mengetahui hal-hal yang dirahasiakan."
Kemudian Hamid mulai bercerita.
"Enam bulan yang lewat, seorang peminta-minta bernama Sardon datang ke rumah kami. Ternyata dia itu dukun. Katanya pada ayahku, dia menerima wangsit. Ada suara gaib menyuruhnya datang ke rumah Keluarga Hamid. Ayahku memberi dia makan dan minum. Setelah itu Sardon kemasukan roh. Ia bicara dalam berbagai bahasa asing, dengan suara orang-orang lain. Kemudian arwah Ra-Orkon menyusup ke dalam tubuhnya.
"Ra-Orkon berbicara. Katanya, tak lama lagi dia akan dikirim ke negeri orang biadab berkulit bule. Ia takkan bisa tenang lagi, selama belum dikembalikan ke tanah asalnya. Ra Orkon mengatakan dia cikal-bakal Keluarga Besar Hamid. Diserukannya pada ayahku untuk menyelamatkan dirinya, dan memulihkan ketenangan arwahnya.
"Lalu Ra-Orkon mengatakan, jika ayahku mau pergi ke negeri orang biadab untuk mengambilnya kembali, maka dia - Ra-Orkon - kemudian akan muncul dalam wujud kucing bangsawan kesayangannya. Kucing yang warna kedua matanya tidak sama, serta ujung kaki depannya belang hitam. Itu akan menjadi tanda bahwa ia mengatakan yang sebenarnya, dengan mana ayahku akan yakin bahwa mumi Ra Orkon perlu diselamatkan dan dikembalikan ke Libia.
"Sehabis Ra-Orkon bicara, Sardon sadar kembali. Ia sama sekali tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Peminta-minta itu sudah tua-renta. Rambutnya putih tergerai. Matanya tinggal satu. Jalannya terpincang-pincang, ditopang tongkat. Sebelum pergi ia masih meramalkan berbagai hal dengan bantuan bola sihir. Macam-macam yang dikatakannya pada ayahku, baik tentang masa silam maupun masa depan."
"Wah!" kata Pete kagum. "Lalu, apa yang dilakukan ayahmu kemudian?"
"Dia mengutus Ahmed, tangan kanannya, ke Kairo untuk menyelidik. Menurut Ahmed, kata-kata Ra-Orkon ternyata benar. Di museum purbakala di kota itu ada mumi Ra-Orkon. Mumi itu akan dikirim ke suatu negara yang jauh, ke Amerika Serikat. Ke alamat Profesor Yarborough di California.
"Ahmed melaporkan pada ayahku, Sardon si peminta-minta itu tidak bohong. Ayahku, karena dia sendiri sakit-sakitan, lantas mengutus aku kemari, sebagai putranya yang paling tua. Ahmed disuruh ikut, selaku pengawalku. Aku ditugaskan mengambil kembali mumi moyangku. Sebelum ini Ahmed sudah berusaha membujuk Profesor secara baik-baik agar mumi moyangku dikembalikan. Tapi sia-sia belaka."
"Ya, dia disuruh pergi oleh Profesor Yarborough," kata Pete mengomentari.
"Saat itulah Ahmed mendapat akal. Ia akan menyamar jadi salah seorang tukang kebun sarjana itu, supaya bisa terus ada di dekat mumi. Lalu begitu ada kesempatan baik, mengambilnya! Aku juga selalu ada di sekitar tempat itu, untuk membantunya. Tapi kemudian secara kebetulan kau memergoki aku tadi pagi. Kami orang asing di sini -jadi tidak berani bertindak cepat-cepat. Kami perlu mengatur rencana dengan hati-hati."
"Bukan main!" desah Pete yang terkesan mendengar penuturan Hamid. "Tapi kenapa harus dengan jalan mencuri? Ada kemungkinan Profesor mau menjualnya padamu, jika pembayaran kautawarkan cukup tinggi."
"Masa moyang sendiri harus dibeli!" tukas Hamid sengit. "Harapan kami satu-satunya cuma itu. Mencurinya! Kami tahu kata-kata Sardon ternyata semuanya benar, karena pada suatu malam arwah Ra-Orkon dengan tiba-tiba muncul di kamarku. Persis seperti diramalkan oleh Sardon. Tentu saja bukan dia sendiri yang datang, tapi dalam penjelmaannya sebagai kucing Abesinia yang kedua matanya berlainan warna serta kaki depan belang hitam. Ternyata Ra-Orkon memang moyangku, sebab ramalan Sardon menjadi kenyataan semuanya. Tapi sekarang-" Hamid tertegun sejenak, "sekarang ada orang lain mencuri Ra-Orkon. Aku bingung jadinya."
Pete merasa haru-biru pikirannya. Tapi kemudian timbul dugaan tertentu dalam dirinya.
"Mungkin Ahmed yang menugaskan Joe dan Harry, kedua penjahat yang di depan itu untuk mencuri Ra-Orkon," katanya. "Mungkin ia melakukannya tanpa bilang lebih dulu padamu."
"Mustahil!" seru Hamid kaget. "Aku pasti tahu kalau begitu. Ahmed pasti selalu merundingkan segala-galanya dengan aku. Aku ini calon kepala Keluarga Besar Hamid."

"Yah, mungkin juga," kata Pete. Padahal dalam hati ia tidak begitu yakin, apakah Ahmed benar-benar akan melaporkan segala-galanya pada Hamid. Ahmed kelihatannya cerdik orangnya. Mungkin saja ia punya beberapa niat tertentu. "Tapi sekarang soal lain. Bagaimana sampai Ra-Orkon tahu-tahu bisa berbisik?"
"Aku tidak tahu. Mungkin Ra-Orkon murka. Mungkin moyangku itu marah padaku dan pada Ahmed. Dan juga marah pada Profesor itu. Semuanya kayak teka-teki saja bagiku." Hamid kedengarannya seperti orang yang sedang susah.
"Aku sependapat dengan ucapanmu yang paling akhir," kata Pete. "He! Kayaknya kita berhenti sekarang."
Truk itu memang tidak berjalan lagi. Terdengar bunyi barang berat digeser. Kedengarannya seperti pintu garasi, atau gudang. Lalu truk maju lagi sedikit. Berhenti lagi. Sesaat kemudian terdengar bunyi pintu bergeser kembali. Kini Pete dan Hamid tahu, mereka sudah berada dalam sebuah gudang. Atau bisa juga garasi.
Tutup bak truk dibuka. Sesaat kemudian terasa peti mumi diangkat dengan kasar. Pete dan Hamid tergoncang-goncang di dalamnya, sementara peti itu dijunjung beberapa langkah, lalu dijatuhkan dengan begitu saja ke lantai.
"Yuk, Joe," terdengar suara orang yang bernama Harry. "Barang ini pasti aman di sini."
"Betul," jawab Joe. "Besok pagi kita menelepon pemesannya. Kita bilang padanya, kita minta pembayaran lipat dua sekarang. Sementara itu dia boleh bingung malam ini."
"Besok kita sibuk," kata temannya. "Rupanya kau lupa, kita sudah berjanji akan melakukan pekerjaan yang di Long Beach."
"O ya, betul juga! Kalau begitu, biar saja dia juga bingung sepanjang hari besok. Petangnya, keringat dinginnya pasti sudah mengucur terus. Nah - saat itu barulah kita menelepon dia, lalu mengatakan barang akan kita serahkan - asal dia mau membayar harga yang kita minta."
"Tidak ada salahnya jika kita minta pembayaran lipat tiga," usul Harry. "Habis, kelihatannya dia sangat ingin peti ini disertakan dengan muminya. Tapi itu nanti saja. Kita pergi sekarang!"
Terdengar lagi pintu terbuka, disusul bunyi mesin mobil dihidupkan. Truk mulai dimundurkan.
Dengan jantung berdebar-debar, kedua remaja yang ada dalam peti berusaha mendorong tutupnya ke atas. Tapi percuma, sedikit pun tak bergerak. Rupanya Joe dan Harry tadi mengikatnya erat sekali.

Bab 11
BOB DAN JUPITER GELISAH

BOB ANDREWS sibuk mengetik di Markas Besar. Ia sedang menyusun catatan tentang kasus itu. Ia pandai mengetik, karena ayahnya - penulis untuk suatu surat kabar yang terbit di Los Angeles - menyuruhnya mengikuti kursus mengetik ketika ia berumur dua belas tahun.
Sedang Jupiter Jones duduk sambil memangku kucing tak dikenal yang tahu-tahu muncul di rumah Profesor Yarborough. Ia mengelus-elus kucing itu sambil mencubiti bibir bawahnya sendiri. Jupiter sedang memeras otak.
"Wah," kata Bob setelah beberapa saat, "sudah pukul sepuluh kurang lima. Tapi Pete masih belum muncul. Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya."
"Mungkin sedang menyelidiki petunjuk tertentu," tebak Jupiter.
"Tapi dia harus pulang paling lambat pukul sepuluh," kata Bob, "dan aku juga! Sebentar lagi aku harus pulang, supaya orang tuaku tidak khawatir."
"Bagaimana jika kautelepon mereka, untuk mengatakan kau sekali ini pulang agak lambat," kata Jupiter mengusulkan. "Sementara itu mungkin Pete sudah kembali."
Dengan segera Bob menelepon. Yang menerima ibunya. Begitu Mrs. Andrews mendengar bahwa Bob ada di tempat Jupiter, ia langsung memberi ijin. Bob boleh pulang setengah jam lebih lambat dari biasa.
Jupiter meletakkan kucing Abesinia itu ke lantai. Dihampirinya periskop, lalu dipakainya alat itu untuk mengamat-amati keadaan di luar, yang sebagian diterangi lampu di gerbang masuk ke kompleks perusahaan dan juga oleh lampu jalan. Di luar tenang. Di rumah kecil dekat kompleks itu, di mana Jupiter tinggal bersama paman dan bibinya, ruang duduk masih kelihatan terang. Rupanya Titus dan Mathilda Jones masih nonton TV. Tapi pondok kecil di belakang rumah itu sudah gelap. Di situ tempat tinggal Hans dan Konrad, kedua bersaudara pembantu pamannya. Sebetulnya Jupiter ingin menanyakan pada Hans, kapan pemuda itu terakhir kalinya melihat Pete. Tapi ia tahu, saat itu Hans sedang nonton bersama saudaranya di teater drive-in.
Jupiter memutar arah periskop. Kini dilihatnya sebuah mobil meluncur di jalan raya, datang ke arah kompleks. Kendaraan itu melambat sebentar, lalu berjalan cepat lagi. Ketika lewat di bawah lampu jalan, dilihatnya kendaraan itu sebuah mobil sport biru yang menyolok. Pengemudinya seorang remaja bertubuh kurus jangkung.
Jupiter kembali lagi ke meja.
"Pete belum kelihatan," katanya. "Tapi baru saja Skinny Norris lewat dengan mobilnya." "O ya?" kata Bob. "Mau apa dia kemari?"
"Mungkin karena ingin tahu saja," kata Jupiter menebak. "Mungkin ia bertanya-tanya, apa lagi yang kita lakukan sekarang. Barangkali ia menduga, pasti kita menangani kasus baru, lalu dia ingin mengacaukannya lagi."
"Bisa mengucur darah dari hidungnya nanti, kalau anak itu tidak hati-hati!" tukas Bob. "Dia itu selalu saja ingin campur tangan dalam urusan orang lain!"
Skinny Norris potongannya kurus tinggi, berhidung panjang. Umurnya sedikit lebih tua dari mereka. Ia kepingin sekali menunjukkan bahwa dia lebih pintar daripada Jupiter. Selama ini segala usahanya ke arah itu selalu gagal. Tapi itu bukan membuatnya jera. Tidak! Malah ia semakin ngotot, ingin mengalahkan Trio Detektif.
Tapi Jupiter tidak mau lama-lama menyibukkan diri dengan Skinny Norris. Ia lebih gelisah memikirkan Pete yang masih tetap belum kembali. Ia bahkan mulai berperasaan, jangan-jangan sekali ini misteri yang dihadapi ternyata terlalu berat untuk ditangani Trio Detektif. Mungkin ia nanti terpaksa menghubungi pihak berwenang untuk menyelesaikannya.
Tapi Jupiter anaknya keras kepala. Ia tidak mau mengaku kalah dengan gampang. Kecuali itu Profesor Yarborough juga segan kejadian itu masuk koran. Setelah mempertimbangkan berbagai faktor, akhirnya Jupiter mengambil keputusan.
"Kita beri waktu setengah jam lagi padanya untuk muncul," katanya. "Setelah itu kita harus bertindak."
Bob berhenti mengetik. Pikirannya dipenuhi bermacam-macam kejadian yang serba memusingkan kepala. Mumi yang berbisik lalu menghilang, patung yang hampir menimbulkan bencana, bola granit yang bisa lari sendiri, kucing yang matanya berlainan warna, kutukan yang berasal dari jaman Mesir Purba. Pusing kepala Bob memikirkan segala hal itu.
"Jupe," katanya, "aku pulang saja sekarang. Capek!" Jupiter mengangguk.
"Kita semua perlu tidur malam ini," katanya. "Tapi aku masih ingin menunggu sebentar lagi. Siapa tahu Pete muncul, atau menghubungi lewat telepon."
"Kenapa tidak kaucoba saja dengan walkie-talkie?" kata Bob menyarankan. "Mungkin Pete saat ini mencoba menghubungi kita dengan alat itu!"
"Kenapa waktu kubuat dulu, jarak jangkaunya tidak kuatur supaya bisa lebih jauh," kata Jupe menggerutu sendiri. "Nantilah kurombak lagi. Tapi sekarang kita coba saja."
Ditekannya tombol alat pengeras suara yang sekaligus merupakan pesawat walkie-talkie.
"Markas Besar memanggil Penyelidik Kedua," katanya. "Masuk, Kedua. Masuk, apabila bisa menangkapku."
Pengeras suara itu mendengung. Tapi tak ada jawaban masuk.
"Rupanya dia tidak menghubungi," kata Jupiter, "atau mungkin pula jaraknya terlalu jauh dari sini. Kau pulang saja sekarang. Aku masih akan menunggu di sini."
Walau agak segan, akhirnya Bob pulang juga naik sepeda. Ia begitu sibuk dengan pikirannya sendiri, sehingga ketika masuk ke rumahnya ayahnya harus menyapa dua kali sebelum dijawab. Ayahnya bekerja malam hari, untuk sebuah surat kabar besar yang terbit pagi. Tapi malam itu ia pulang agak lebih cepat dari biasanya.
"Apa yang sedang kaupikirkan, Bob?" tanya ayahnya. "Sekolah kan libur -jadi pasti bukan soal ujian."

"Aku memikirkan kasus kami, Yah." Bob duduk di lengan kursi ayahnya. "Misterius sekali." "Coba ceritakan!"
"Yah - pokoknya ada urusannya dengan seekor kucing yang matanya satu biru dan satu lagi Jingga," kata Bob. "Hmm," kata ayahnya sambil memasukkan tembakau ke dalam pipanya yang sudah padam.
"Tapi urusannya terutama mengenai mumi yang bisa berbisik-bisik. Mana mungkin - mumi yang umurnya sudah tiga ribu tahun masih bisa bicara?"
"Itu kan gampang saja." Ayahnya tertawa kecil. "Sama saja caranya, apabila hendak membuat boneka kayu bisa mengoceh."
"Dengan cara bagaimana, Yah?" tanya Bob penuh minat.
"Seorang ventrilokuis bisa melakukannya," kata ayahnya lagi sambil menyalakan pipa. "Maksudku, orang yang bisa bicara dengan suara perut. Kita hadapi saja persoalan ini secara logis. Mumi, mustahil bisa bicara - walau cuma berbisik-bisik. Jadi mesti ada orang yang membuatnya seperti berbisik. Ini dilakukan dengan suara perut. Kesimpulannya - jika ada mumi berumur 3.000 tahun berbisik, carilah ahli bicara dengan suara perut di daerah sekitar situ."
"Aduh, mungkin itu dia jawaban yang dicari-cari," kata Bob. "Sebentar, Yah - aku hendak menelepon Jupiter."
"Silakan," kata ayahnya. Mr. Andrews memandang anaknya yang pergi ke gang sambil tersenyum. Ia terkenang pada masa mudanya. Banyak sekali hal-hal aneh yang menarik perhatiannya waktu itu. Karenanya ia bisa memahami segala kegiatan anaknya. Ia sendiri juga begitu dulu. Kalau tidak, belum tentu pengertiannya bisa begitu besar.
Bob bergegas-gegas menelepon Markas Besar. Tapi ketika Jupiter menjawab, nada suaranya kecewa.
"Kukira Pete," kata Jupiter. "Ada apa, Bob?"
"Aku baru saja membicarakan kasus kita dengan ayahku," kata Bob. "Kata Ayah, satu cara untuk membuat mumi berbisik yaitu dengan suara perut. Dia menyarankan agar kita menyelidiki ada tidaknya seorang ventrilokuis yang tinggal di dekat rumah Profesor Yarborough."
"Kemungkinan ini juga sudah kupikirkan," kata Jupiter. "Tapi ia toh harus memakai radio, jika hendak bekerja dari jarak jauh. Sedang kita sudah melihat sendiri, dalam peti tidak ada radio. Lalu ketika aku datang dengan samaran sebagai Profesor Yarborough, mumi berbisik padaku. Kau tentunya juga tahu, aku tidak memakai suara perut waktu itu. Jadi kurasa bukan itu penjelasannya."
"Pokoknya, itu kan satu kemungkinan," kata Bob. "Mungkin waktu itu ada seseorang yang bersembunyi di luar, dekat pintu. Dan dia yang bicara dengan suara perut, sehingga timbul kesan mumi yang berbisik-bisik. He - kau sudah menelepon rumah Profesor, untuk melihat mungkin Pete ada di sana?"
"Akan kulakukan dengan segera," jawab Jupiter. "Sementara itu akan kupikirkan lebih lanjut kemungkinan digunakannya suara perut. Rasanya mustahil! Tapi Sherlock Holmes pernah berkata, begitu segala kemungkinan lain sudah terbukti keliru, maka yang tinggal itulah jawaban yang dicari."
Sehabis menelepon Jupiter, Bob langsung ke tempat tidur. Ia merasa gelisah memikirkan Pete. Tapi ia tidak sanggup lagi memikirkan tindakan yang bisa diambil. Sementara itu Jupiter sudah sibuk memutar nomor pesawat telepon di rumah Profesor Yarborough. Tapi di sana pesawat tidak diangkat-angkat. Rupanya Profesor Yarborough masih ada di rumah sakit, menemani pelayannya.
* * *
Pete dan Hamid berusaha sekuat tenaga mendorong-dorong tutup peti yang mengurung mereka. Tapi dengan segera mereka berhenti, ketika terdengar bunyi di luar. Truk tadi datang lagi. Terdengar bunyi pintu digeser.
Mobil masuk ke dalam, dan kedua orang yang tadi turun.
"Baik juga idemu menutup peti ini," kata seorang di antaranya. "Memang yang kemari cuma kita berdua. Tapi kalau toh ada orang lain muncul, tak perlu perhatiannya tertarik ke barang ini."
Pete dan Hamid mendengar suara menggeser, ketika kain terpal diselubungkan ke atas peti.
"Lubang udara tertutup!" desis Pete pada Hamid. "Aku mau berteriak sekarang! Jangan sampai kita terkurung lebih lama di sini."
Ia menarik napas dalam-dalam. Maksudnya hendak berteriak sekuat-kuatnya. Tapi tidak jadi, karena sempat mendengar ucapan kedua laki-laki yang di luar. Pete diam, sedikit pun tak terdengar suaranya.

Bab 12
LARI!

"HE, JOE!" kata orang yang bernama Harry. "Mungkin besok kita memerlukan tali ini." "Betul juga," kata joe. "Kita bawa saja sekarang."
Pete dan Hamid menunggu sambil menahan napas. Terdengar bunyi terpal ditarik. Kemudian mereka tergoncang-goncang dalam peti, sementara kedua laki-laki yang di luar menarik tali yang tadi dipakai untuk mengikat. Sesaat kemudian terpal sudah diselubungkan kembali di atas peti. Terdengar bunyi mesin truk dihidupkan. Kendaraan itu mundur, disusul bunyi pintu tergeser menutup kembali.
Sejenak kemudian Pete dan Hamid sudah serempak mendesakkan tubuh mereka ke atas. Tutup peti sekarang terjunjung dengan mudah. Kedua remaja itu bergegas keluar, merangkak dari terpal yang menyelubungi.
Ruangan itu gelap. Jadi tidak banyak yang bisa dilihat. Tapi lewat jendela loteng, masuk sedikit cahaya dari lampu jalan di luar. Dan berkat sinar remang itu mereka bisa mengenali, saat itu mereka ada dalam sebuah ruangan gudang. Ruangan itu berlangit-langit tinggi dan berdinding beton. Tanpa jendela!
Keduanya mulai berkeliling memeriksa keadaan. Pertama-tama menuju ke pintu. Pintu itu besar, gerbangnya bisa dilewati truk. Tapi sayangnya terkunci dari luar. Mereka hanya bisa menggoyang-goyangnya sedikit. Tapi cuma itu saja. Pintu tetap tidak terbuka.
Kemudian mereka memeriksa isi gudang itu. Bermacam-macam benda ada di situ. Yang paling dulu menarik perhatian mereka adalah sebuah mobil antik. Dengan jalan meraba-raba serta dibantu cahaya remang-remang, ditarik kesimpulan bahwa kendaraan itu sebuah Pierce-Arrow kuno. Antik dan anggun.
"Mobil tua," kata Hamid agak heran. "Kenapa ada di sini?"
"Ini mobil antik. Mungkin buatan tahun 1920. Mobil macam begini nilainya tinggi sekali bagi para penggemarnya," kata Pete menjelaskan.
Berikutnya mereka menemukan sejumlah mebel. Barang-barang itu berat dan penuh ukiran. Mereka mengetahuinya dengan jalan meraba-raba. Mebel itu semua ditaruh di atas landasan yang terbuat dari kayu.
"Supaya tetap kering," kata Pete. "Rupanya memang disimpan di sini. Tapi yang ini apa? Di sini ada tumpukan besar."
Hamid meraba-raba tumpukan itu, yang terdiri dari berlusin-lusin silinder panjang dan gemuk, yang ditumpukkan membentuk piramida.
"Ini permadani!" seru remaja itu bergairah. "Permadani daerah Timur Tengah. Halus sekali buatannya. Sangat berharga!"
"Dari mana kau bisa tahu, di tempat gelap begini?" tanya Pete heran. "Aku cuma mampu mengenali ini permadani yang ditumpuk-tumpuk. Cuma itu saja!"
"Jari-jariku sudah terlatih! Ketika aku berumur delapan tahun, aku diajari ayahku membeda-bedakan setiap jenis permadani dari kawasan Timur Tengah dengan jalan merabanya saja. Yang menentukan tenunannya, serta jenis wol yang dipakai. Serta macam-macam lagi - soal yang kecil-kecil. Di tumpukan ini tidak ada yang berasal dari Keluarga Hamid. Tapi jelas sangat berharga. Masing-masing dua -tiga ribu dollar!"
"Wah - mungkin ini barang curian," kata Pete. "Tanggung yang ada dalam ruangan ini semuanya barang curian! Dan kedua laki-laki tadi, Joe dan Harry, kedua-duanya pencuri profesional. Mungkin karena itu mereka disewa untuk mencurikan Ra-Orkon beserta petinya."
"Ya," kata Hamid. "kurasa kau benar. Tapi sekarang - bagaimana caranya kita keluar dari sini?"
"Itu ada pintu," kata Pete. Samar-samar dilihatnya pintu kecil di tempat yang gelap. Pintu itu terpasang pada dinding bata tebal yang kelihatannya memisahkan ruangan gudang itu dari bangunan selebihnya.
Pete memegang kenop pintu dan berusaha memutarnya. Bisa. Tapi pintu tak bergerak sedikit pun. Kemudian mereka melihat satu pintu lagi. Tapi ternyata cuma pintu ke kamar kecil.
"Kurasa ini tempat persembunyian rahasia untuk menyimpan barang-barang curian," kata Pete kemudian, "dan cuma Joe dan Harry tadi saja yang bisa masuk ke sini. Tapi bagi kita masih ada satu jalan ke luar."
"Lewat mana?" tanya Hamid. "Aku tak melihatnya. Yang ada cuma tembok kokoh, tanpa jendela."
"Itu - di atas," kata Pete sambil menuding. Hamid mendongak. Jendela loteng yang memasukkan cahaya remang dari luar, ternyata menganga sedikit. Tapi letaknya jauh di atas kepala mereka.
"Kalau kita bisa terbang," kata Hamid, "baru mungkin kita lari lewat situ."
"Kita lihat saja dulu," kata Pete. "Mobil antik itu, letaknya hampir persis di bawahnya."
"Betul," jawab Hamid bersemangat "Cepat, kita coba. Mungkin jika kita berdiri di atas kapnya, bisa tercapai jendela itu."
"Tenang, Hamid." Pete menyabarkan remaja yang lebih muda dari dirinya itu, yang sudah hendak cepat-cepat naik ke kap sedan Pierce-Arrow antik. "Sepatumu nanti menggores catnya. Kan sayang, jika mobil yang sepantasnya ditaruh dalam museum sampai rusak karenanya."
Kedua remaja itu membuka sepatu masing-masing, menyambung talinya lalu menggantungkannya melilit leher. Sesudah itu baru mereka naik ke atas kap mobil. Tapi ternyata walau Pete sudah menjulurkan tubuh setinggi-tingginya, jendela loteng masih terlalu jauh dari jangkauan. Sekitar tiga puluh senti dari ujung tangan, dan lebih dari itu ke samping.
"Aku akan mencoba melompat ke situ, Hamid," kata Pete. "Kita tidak bisa terus di sini!"
Pete meloncat. Jarinya mencengkeram ambang jendela. Dengan cepat didorongnya daun jendela sampai terpentang lebar. Lalu ia menjunjung dirinya sendiri, naik ke atap yang berlapis kerikil. Dengan segera ia berbalik. Dijulurkannya tubuh ke bawah lewat lubang jendela, sambil mengulurkan tangan.
"Hamid!" panggilnya. "Lompat saja, nanti kutangkap! Pegang pergelanganku."

Remaja yang lebih kecil itu ragu-ragu sesaat. Ditatapnya lantai yang terbuat dari beton. Tapi dengan segera ia membulatkan hati. Ia mendongak. Lengan dijulurkan ke atas, lalu melompat.
Nyaris saja tak terpegang olehnya pergelangan tangan Pete. Tapi Pete cukup sigap. Disambarnya pergelangan tangan Hamid, lalu ditarik ke atas. Sejenak kemudian remaja itu sudah ada di sisinya. Di atas atap.
"Kau bukan saja tabah, Pete," kata Hamid memuji, "tapi juga kuat sekali."
Hidung Pete mekar mendengarnya.
"Kami setiap hari di ruang senam berlatih lebih berat lagi," katanya seolah-olah sambil lalu. "Nah - sekarang sepatu kita pakai lagi. Lalu mencari jalan turun dari sini."
Pada bagian depannya, atap itu dibatasi tembok bata yang tinggi. Itu bagian depan bangunan. Mereka tidak bisa turun lewat situ. Tapi di sebelah belakang ada tangga besi. Tangga itu dipakai untuk naik ke atap, jika di situ ada yang perlu diperbaiki. Dengan cepat mereka menuruni tangga, sampai di lorong gelap yang ada di bawah. Mereka berhenti sejenak di situ. Mereka hendak mengetahui di mana mereka berada.
Sambil melihat-lihat berkeliling, Pete mengambil sepotong kapur biru dari kantongnya. Lalu dibuatnya beberapa tanda tanya yang besar-besar di pojok kiri bawah daun pintu tempat truk tadi keluar-masuk.
"Ini tanda rahasia kami," katanya menjelaskan pada Hamid. "Dengannya kita bisa menemukan kembali tempat ini. Sekarang kita keluar dari sini, ke jalan besar. Kita harus mengetahui alamat tempat - wah, ada orang datang! Mungkin gelandangan. Tapi bisa juga penjahat! Kita berbalik saja menuju jalan yang ada di belakang."
Keduanya bergegas menyusur lorong gelap, melewati pintu demi pintu yang tertutup semua. Akhirnya sampai di sebuah jalan yang tidak terawat baik. Penerangan di situ remang-remang. Pete tidak mengenali apa-apa di situ. Ia lantas tahu bahwa ia belum pernah datang ke daerah situ.
"Tapi kita perlu mengetahui di mana kita sekarang," katanya pada Hamid. "Yuk - kita ke pojok jalan berikut. Kita lihat papan nama jalan di situ. Kita perlu mencatatnya, supaya bisa kembali ke sini."
Tapi sesampai di pojok jalan, ternyata papan nama jalan yang terpasang di situ sudah rusak sekali. Jadi mereka tidak bisa membaca tulisannya. Papan itu penyok-penyok, rupanya karena dilempari batu.
"Sialan!" cerca Pete. "Kenapa sih orang -"
Saat itu terdengar bunyi kaca pecah. Datangnya dari salah-satu jalan samping. Kemudian muncul dua orang laki-laki. Keduanya lari melewati Pete dan Hamid, menuju sebuah mobil yang langsung melesat pergi. Kedua remaja itu cuma bisa melongo saja memandang mereka. Mereka dikagetkan oleh suara yang berteriak-teriak dengan marah di belakang mereka.
"Tahan, maling!" seru seorang laki-laki. "He - kalian yang memecahkan jendela tokoku! Kalian mencuri arloji-arlojiku! Jangan lari!"
Seorang laki-laki bertubuh besar datang berlari-lari, sambil mengacung-acungkan kepalan tinju. Kelihatannya ia yakin, kedua remaja itulah yang baru saja melakukan kejahatan itu.
Tanpa berpikir lagi Pete langsung menyambar tangan Hamid, lalu diseretnya. "Lari!" serunya.
Keduanya lari. Masuk jalan yang satu, melintas jalan lain, memintas lewat lorong-lorong. Pengejar mereka bertambah banyak. Bukan itu saja - beberapa ekor anjing juga ikut memburu sambil menggonggong-gonggong. Pete dan Hamid lari terus, sampai kehabisan napas. Mereka sudah tak peduli arah lagi. Keduanya berhenti lari. Para pengejar tidak kelihatan lagi.
"Sebetulnya kita tadi harus mengatakan pada orang itu, bukan kita yang memecahkan kaca jendela tokonya," kata Pete tersengal-sengal. "Tapi terus-terang saja, aku tadi langsung lari tanpa sempat berpikir lagi."
"Kalau ada orang berteriak, 'Maling' sambil mengejar, wajar jika kita lari," kata Hamid. "Jangan persalahkan dirimu."
"Tapi konyolnya," kata Pete dengan masam, "tadi aku tidak tahu di mana kita berada, sebelum lari! Yang kuingat cuma tempat itu beberapa blok dari sini. Kita sama sekali tidak tahu di mana letak gudang itu." "Betul," kata Hamid serius. "Sekarang ada tambahan satu problem lagi. Ya kan, Pete?"
"Ya," jawab Pete. "Bagaimana cara kita menemukannya kembali? Dan bagaimana kita sekarang pulang? Tempat ini letaknya pasti sekitar dua puluh sampai dua puluh lima kilo dari Rocky Beach, dan lima belas dari Hollywood. Di tengah kota Los Angeles."
"Kan bisa naik taksi," kata Hamid.
"Uangnya dari mana?" tukas Pete.
"Aku punya uang," jawab Hamid menenangkan. "Aku diberi oleh Ahmed, untuk keperluan-keperluan mendadak. Cukup banyak uang dollar Amerika di kantongku."
Ditunjukkannya sebuah dompet penuh berisi lembaran uang dollar.
"Syukur," kata Pete. "Itu - di depan ada cahaya terang. Mungkin di sana kita bisa menemukan taksi."
Mereka bergegas ke tempat itu. Di pojok jalan ada tempat perhentian taksi. Mereka menemukan taksi yang pengemudinya bersedia menempuh jarak yang jauh ke rumah mereka di Rocky Beach. Tentu saja setelah Hamid menunjukkan bahwa mereka punya uang untuk membayar ongkos perjalanan itu!
Sebelum berangkat, Pete cepat-cepat mencatat nama tempat itu. Setidak-tidaknya sekarang ia tahu, sekitar lima belas sampai dua puluh blok dari situ terletak gudang tempat peti Ra-Orkon disembunyikan. Pete juga sempat menelepon Jupiter sebentar, lewat telepon umum.
"Aku tidak apa-apa," katanya melaporkan, "dan sekarang dalam perjalanan pulang. Banyak yang perlu dilaporkan. Terlalu banyak untuk diceritakan lewat telepon sekarang! Sesampai di rumah nanti, aku akan langsung menelepon lagi."
"Pakai walkie-talkie saja," kata Jupe. "Aku menunggu di kamarku. Hah - lega rasanya menerima kabar darimu, Kedua!"

Nada suara Jupiter saat itu benar-benar lega. Karenanya Pete lantas mengetahui, tadi rekannya itu pasti sudah khawatir mengingat nasibnya. Tapi tunggu saja - sampai Jupe mendengar bahwa dia, Pete, tadi ada di tempat peti mumi disembunyikan - tapi sekarang jejak itu hilang lagi!
Taksi berangkat membawa mereka kembali ke Rocky Beach. Di tengah jalan tidak ada kejadian yang luar biasa. Hamid memaksa mengantar Pete terlebih dulu ke rumah. Setelah itu baru dia sendiri menuju ke rumah yang disewa Ahmed untuk mereka berdua, tidak jauh dari tempat tinggal Profesor Yarborough.
Sesampai di rumah Pete, remaja itu sudah hendak buru-buru turun. Tapi ditahan sebentar oleh Hamid.
"Pete," kata anak Libia itu, "maukah kau serta teman-temanmu membantu aku menemukan kembali Ra-Orkon serta petinya? Aku, Hamid bani Hamid ingin menyewa tenaga kalian."
"Yah," jawab Pete agak ragu, "mumi itu sebenarnya milik Profesor Yarborough. Dan kami bekerja untuk dia."
"Bekerjalah juga untuk Hamid," desak anak itu. "Hanya untuk menemukan Ra-Orkon beserta petinya. Kembalikan kedua-duanya pada Profesor. Setelah itu aku dan Ahmed akan berusaha membujuknya lagi, supaya dia mau mengembalikan pada kami."
"Kurasa itu bisa kami lakukan," kata Pete. "Baiklah! Tapi kau perlu bicara dulu dengan Jupe. Datanglah besok pagi di Perusahaan Jones, tempat jual-beli barang bekas. Pukul sepuluh."
Hamid menyetujui usul itu. Setelah bersalaman, Pete bergegas masuk ke rumah. Ia sadar bahwa ia terlambat pulang. Di dalam, orang tuanya masih nonton siaran TV. Ayahnya tenaga ahli untuk teknik khusus di salah satu perusahaan film Hollywood. Orangnya bertubuh kekar.
"Kau terlambat, Pete," kata ayahnya itu. "Kami sudah mulai khawatir."
"Yes, Sir, " kata Pete mengakui. "Soalnya begini. Aku tadi mencari seekor kucing hilang, lalu tahu-tahu - yah, kemudian timbul urusan lain."
Ia sudah hendak membeberkan seluruh pengalamannya. Tapi ibunya buru-buru menggeleng.
"Sekarang mandi saja dulu, Nak - lalu langsung masuk ke tempat tidur," kata ibunya. "Aku heran, kenapa anak laki-laki selalu kotor kalau pulang!"
"Ya, Bu," kata Pete lalu cepat-cepat menaiki tangga menuju ke kamarnya. Sesampai di situ, ia membuka jendela. Antena yang terbuat dari kawat tembaga diulurkannya ke luar, lalu ditekannya tombol walkie-talkie-nya.
"Penyelidik Dua memanggil Markas Besar," katanya di depan alat itu. "Penyelidik Dua memanggil Markas Besar. Masuk, Markas Besar."
Dilepaskannya jari yang menekan tombol, lalu menunggu. Begitu tombol dilepaskan, langsung terdengar suara Jupiter menjawab.
"Di sini Penyelidik Satu," katanya. "Aku sudah di tempat tidur, tapi pesawat kunyalakan terus. Kau baik-baik saja? Apa yang terjadi tadi?"
Secara singkat Pete menuturkan pengalamannya sejak petang. Diakhiri dengan pengakuan, ia tidak tahu ke mana ia tadi diangkut bersama Hamid, dalam peti mumi.
Beberapa saat Jupiter tidak menjawab. Lalu terdengar lagi suaranya.
"Kau tidak bisa dipersalahkan, Penyelidik Dua," katanya. "Kau sudah berusaha sebisa-bisamu! Dengan salah satu cara, peti mumi pasti akan kita temukan kembali. Kita perlu mengadakan rapat besok pagi. Ada beberapa hal yang baru sekarang ketahuan. Semuanya menyebabkan teka-teki yang kita hadapi menjadi semakin rumit. Pertama-tama padaku di sini ada kucing yang pernah kausebut-sebut. Itu - yang menurut kata Hamid titisan Ra-Orkon! Padahal bukan. Aku merasa pasti, kau tentu akan bisa mengatakan bahwa kucing ini sebenarnya kucing Mrs. Banfry. Tapi sedang menyamar."
Setelah itu Jupiter memutuskan hubungan. Dibiarkannya Pete masuk ke tempat tidur, tapi tidak bisa terlelap. Dirongrong perasaan ingin tahu yang tidak bisa ditahan-tahan. Mana mungkin - kucing bisa menyamar?

Bab 13
DUGAAN JUPITER

KEESOKAN paginya Trio Detektif mengadakan rapat dalam markas besar mereka. Melihat air muka Jupiter, Pete dan Bob segera tahu bahwa rekan mereka itu sejak kemarin malam sibuk berpikir terus. Tentu saja keduanya lantas ingin tahu, ide-ide apa lagi yang berkecambah dalam benak Jupiter. Tapi Jupiter membiarkan mereka menduga-duga dulu.
"Aku tidak suka main tebak," katanya. "Pertama-tama kita harus mengadakan rapat dulu. Tapi rapat tidak bisa dimulai, sebelum anak bernama Hamid itu ada di sini."
Lewat periskop, Pete melihat sebuah taksi masuk ke pekarangan. Dilihatnya Hamid turun dari kendaraan umum itu. Ia lantas bergegas ke luar lewat Lorong Dua. Ia hendak mengajak remaja itu masuk lewat lorong yang sama. Karena Hamid nasabah mereka, lagipula sebentar lagi toh pulang lagi ke Libia, maka Trio Detektif tidak merasa keberatan jika remaja itu mengetahui letak Markas Besar.
"Hamid," kata Pete setelah masuk lagi ke dalam trailer, "perkenalkan dulu - ini Bob Andrews, yang berwenang mengurus catatan dan menangani tugas-tugas riset. Dan ini Jupiter Jones, Penyelidik Pertama."
"Aku gembira sekali bisa berkenalan dengan Bob dan Penyelidik Pertama Jupiter," kata anak Libia bertubuh kecil itu dengan bahasa Inggris sekolahannya.
"Nah," kata Jupiter kemudian. "Sekarang aku ingin mendengar laporan selengkapnya tentang pengalamanmu kemarin malam, Pete. Mulai dari saat kau meninggalkan kami. Jangan lupa mencatat, Bob."
Pete mulai bercerita. Dari pembicaraannya dengan Mrs. Banfry mengenai kucing wanita itu yang hilang, bernama Sphinx, lalu kedatangannya di tempat kediaman Profesor Yarborough, dan selanjutnya mengenai pengalamannya yang menegangkan sampai pulang naik taksi. Bob sibuk sekali mencatat. Untung waktu mengikuti kursus mengetik dulu, ia juga belajar steno.
"Bukan main," katanya, ketika Pete selesai bercerita. "Jadi kau berada dalam gudang di mana kedua pencuri itu menyembunyikan peti mumi? Dan kau sama sekali tidak tahu alamat tempat itu?"
"Kan sudah kukatakan tadi, kami lari pontang-panting." jawab Pete. "Mana sempat berhenti sebentar untuk membaca nama-nama jalan! Tapi aku tahu daerahnya, yang mencakup sekitar dua puluh blok."
"Dua puluh blok!" seru Bob. "Jadi ada empat ratus potongan jalan yang perlu diperiksa. Belum lagi lorong-lorong kecil. Kalau setengah saja dari jalan-jalan itu di bagian tengahnya dihubungkan dengan lorong -"
"Jangan lupa, Pete membubuhkan tanda rahasia kita di daun pintu gudang itu," sela Jupiter. "Kalau tanda tanya itu kita temukan, kita akan langsung tahu bahwa itulah tempat yang dicari."
"Tapi waktu kita cuma sampai nanti malam," keluh Bob. "Sedang untuk memeriksa lorong yang begitu banyak -"
"Aku punya rencana," kata Jupiter. "Tapi untuk itu, kita memerlukan waktu sedikit. Untuk sementara kita pikirkan dulu soal mumi yang berbisik-bisik pada Profesor Yarborough."
"Mumi Ra-Orkon, moyang bani Hamid!" seru Hamid. "Kau tahu cara menemukannya?"
Jupiter mencubit-cubit bibir bawahnya.
"Belum," katanya. "Tapi aku perlu mengoreksi sedikit, Hamid. Kurasa Ra-Orkon bukan cikal-bakal keluargamu." Mula-mula Hamid kelihatan marah. Tapi kemudian bingung.
"Tapi kata Sardon, dia moyangku," katanya berkeras. "Dan Sardon itu dukun yang memiliki bakat meramal. Ketika ia kemasukan roh, roh-roh itu kemudian bicara. Sardon memiliki kekuatan batin yang besar, dan ayahku tahu dia mengatakan yang sebenarnya. Aku juga tahu, dia tidak bohong."
"Memang betul," kata Jupiter, "raja-raja dari Libia menguasai Mesir pada masa Dinasti ke-20. Sekitar tiga ribu tahun yang lalu."
"Dan Ra-Orkon itu bangsawan Libia," kata Hamid nekat. "Sardon bilang begitu."
"Mungkin saja," kata Jupiter mengalah. "Bahkan Profesor Yarborough juga tidak tahu pasti siapa Ra-Orkon sebenarnya, dan kapan dia dimakamkan. Mungkin saja dia seorang bangsawan dari Libia. Tapi itu kan belum berarti bahwa dia moyangmu, Hamid."
"Sardon yang bilang begitu!" Hamid tidak mau mengalah sedikit pun. "Sardon, sang Dukun - dia takkan bohong."
"Bukan bohong maksudku," kata Jupiter. "Tapi mengenai kucing, ternyata dia keliru. Dan jika ia bisa keliru tentang satu hal, kan bisa saja dia juga keliru tentang lain-lainnya."
"Aku tidak mengerti," kata Hamid sambil cemberut.
"Yah," sambung Jupiter, "menurut penuturanmu, dukun yang bernama Sardon itu mengatakan bahwa setibamu di Amerika sini, arwah Ra-Orkon yang menjelma dalam wujud kucing kesayangannya, seekor kucing Abesinia yang warna matanya berlain-lainan dengan kaki depan belang hitam, nanti akan muncul di depanmu. Itu tanda bahwa kata-katanya benar."
"Memang begitu," tukas Hamid, "dan ramalannya benar-benar menjadi kenyataan. Arwah Ra-Orkon dalam titisannya sebagai kucing, minggu lalu pada suatu malam tahu-tahu muncul dalam kamarku." "Justru itulah -" Jupiter hendak mengatakan sesuatu, tapi langsung dipotong oleh Pete. "Titisan itu apa?" tanyanya. "Rasanya aku tahu - tapi jangan-jangan keliru."
"Di belahan bumi sebelah timur," kata Jupiter menjelaskan, "terdapat kepercayaan bahwa orang mati akan datang lagi ke bumi, kadang-kadang dalam wujud binatang. Bahkan bisa juga serangga. Itulah yang disebut titisan." "Ya, betul," tambah Bob, "sampai mereka dilahirkan kembali sebagai manusia."
"Dan arwah Ra-Orkon dilahirkan kembali sebagai kucing Abesinia, yang persis seperti kucing kesayangannya yang dulu dikuburkan bersama dia," kata Hamid. "Dan seperti kaukatakan tadi, Penyelidik Pertama Jupiter, matanya berlainan warna dan kaki depannya belang hitam."
"Justru itulah persoalannya," kata Jupiter. "Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu. Sesuatu yang penting."

Ia masuk sebentar ke ruang sebelah, lalu kembali menggendong seekor kucing.
"Ra-Orkon!" seru Hamid. "Moyangku yang mulia, aku merasa berbahagia melihat kau berada dalam keadaan selamat."
"Tahu-tahu dia muncul kemarin malam di rumah Profesor Yarborough," kata Jupiter, "keluar dari semak-semak. Aku membawanya pulang untuk merawatnya. Tapi sekarang perhatikan baik-baik."
Jupiter mengambil selembar sapu tangan dan membasahinya dengan semacam larutan. Lalu digosok-gosoknya kaki depan kucing itu yang hitam. Saat itu juga sapu tangan menampakkan bercak-bercak hitam. Sedang kaki depan kucing menjadi putih.
"Kaki depan kucing ini sebenarnya putih," kata Jupiter pada Hamid. "Kau lihat, kan? Sebetulnya ini kucing Mrs. Banfry yang hilang. Sphinx! Kaki depannya dicat hitam, supaya kelihatan kayak kucing yang menurut ramalan Sardon akan menjelma di depanmu."
Sekarang barulah Pete mengerti apa yang dimaksudkan Jupiter ketika mengatakan kucing itu menyamar.
"Astaga," katanya, "tapi untuk apa kucing disuruh menyamar?"
Hamid meraih kucing itu. Ditelitinya kaki depannya yang sekarang nampak putih.
"Betul," serunya. "Ini kucing palsu! Bukan titisan Ra-Orkon. Padahal Sardon dukun peramal itu jelas-jelas mengatakan, akan ada kucing muncul di depanku. Kucing itu berkaki depan belang hitam, seperti kucing kesayangan Ra-Orkon."
"Hal itu berarti Sphinx," kata Jupiter sambil duduk kembali di kursinya, "kucing kepunyaan Mrs. Banfry ini sengaja diubah wujudnya supaya kau meyakini ramalan peminta-minta itu." "Tapi untuk apa?" tanya Hamid. Pete tidak mau kalah bingung. "Untuk apa?" tanyanya menyusul.
"Supaya ayah Hamid dan juga Ahmed mau percaya pada kisah selebihnya, yaitu bahwa Ra-Orkon cikal-bakal bani Hamid, sehingga kemudian mau berusaha mengambil kembali muminya dari tangan Profesor Yarborough," kata Jupiter. "Sekarang aku yakin, Ra-Orkon sebenarnya sama sekali bukan moyangmu, Hamid."
"Ra-Orkon moyang kami!" tukas Hamid dengan mata berkilat-kilat. Kelihatannya dia sudah hampir menangis, tapi ditahan sekuat-kuatnya. Jupiter cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.
"Kebenaran akan diketahui nanti apabila kita berhasil menyelidiki siapa yang mencuri Ra-Orkon," katanya, "dan untuk apa. Pete sudah mengisahkan pengalamannya. Sekarang kau, Hamid! Bagaimana jika kau menceritakan kembali segala-galanya yang kaututurkan kemarin malam pada Pete, supaya bisa dicatat oleh Bob."
Hamid mau saja. Diceritakannya kedatangan seorang dukun pengembara yang pincang dan bermata satu di rumahnya, di Libia. Dukun itu bernama Sardon. Diceritakannya bagaimana Sardon kemasukan roh Ra-Orkon, yang berbicara lewat mulut dukun itu. Ra-Orkon yang meminta pada ayah Hamid agar diselamatkan dari negeri orang biadab.
Dilanjutkannya cerita, bahwa dia datang di Amerika bersama Ahmed sebagai pengawal, lalu menyewa rumah dekat tempat kediaman Profesor Yarborough. Kemudian, setelah Ahmed ditolak oleh Profesor sewaktu meminta dengan baik-baik agar mumi Ra-Orkon dipulangkan, Ahmed lantas menyogok kakak-beradik Magasay agar ia bisa menggantikan salah seorang di antara mereka sebagai tukang kebun sarjana itu. Dengan demikian Ahmed bisa selalu ada di dekat mumi, menunggu kesempatan baik untuk mencurinya. Ketika cerita Hamid sampai di situ, Bob lantas berseru.
"Astaga -jadi rupanya Ahmed yang selalu berkeliaran di sana," katanya. "Ahmed yang menangkapmu, ketika kau ketahuan oleh Pete. Pantas kau kemudian bisa minggat!"
"Ahmed menyuruh aku supaya menggigit tangannya," kata Hamid bangga, "lalu kugigit. Ahmed cerdik sekali!"
"Coba katakan padaku, Hamid," pinta Jupiter, "tahukah kau dan Ahmed tentang kutukan yang menyertai mumi?"
"Tentu saja," jawab Hamid. "Sardon mengatakannya pada kami. Katanya, Ra-Orkon akan gentayangan terus, selama kami belum berhasil memulihkan ketenangannya."
"Kemudian terjadi beberapa peristiwa misterius," kata Jupiter lagi. "Patung Anubis, tahu-tahu roboh - kayak dengan sendirinya. Sebuah topeng logam terjatuh dari dinding. Aku menarik kesimpulan, pasti Ahmed yang menyebabkan kejadian-kejadian itu."
"Betul." Hamid nyengir, memamerkan sederet gigi putih. "Sebagai tukang kebun berpakaian kerja, tak ada yang memperhatikan dirinya. Saat itu dia berdiri di sebelah luar pintu tinggi. Ia menyelipkan sebatang tongkat yang panjang ke celah yang ada di antara pintu dan dinding, lalu mendorong patung Anubis sehingga terjungkir. Lalu didorongnya pula topeng yang tergantung di dinding sampai terjatuh. Semen penahan bola besar dicungkil-cungkilnya, supaya bola itu jatuh dan menggelinding. Ia hendak menakut-nakuti Profesor, supaya akhirnya mau menyerahkan Ra-Orkon kembali."
"Seperti yang sudah kukira," kata Jupiter. "Begitu gampangnya membuat kutukan kuno terlaksana. Lewat seorang tukang kebun yang kelihatannya setia, padahal sebenarnya lawan yang menyamar."
"Ya deh," kata Pete. "Tapi pencurian Ra-Orkon, bagaimana penjelasanmu? Hamid berani bersumpah, Ahmed tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan itu. Dan siapa yang mencuri kucing Mrs. Banfry? Bagiku, ini masih tetap merupakan beberapa misteri yang misterius."
"Ya, betul," kata Bob menimbrung. "Kita juga belum membicarakan bisikan mumi pada Profesor. Hamid tidak tahu-menahu tentang kejadian itu. Bagaimana penjelasanmu mengenainya."
"Satu per satu dong," kata Jupiter dengan sikap serba tahu. "Hamid-kau benar-benar melihat sendiri kedua laki-laki itu mencuri Ra-Orkon? Maksudku, Joe dan Harry."
"Ya, aku melihatnya sendiri," jawab Hamid. "Kemarin malam Ahmed mengatakan ingin istirahat, karena tangannya terasa nyeri kena gigitanku. Karena itu setelah gelap aku menyelinap ke luar untuk mengawasi rumah Profesor. Kucing mengikuti aku. Setibaku di sana kulihat dua laki-laki menggotong Ra-Orkon ke luar, lalu memasukkannya ke dalam truk."

"Itu terjadi setelah kita semua pergi ke rumah Profesor Freeman," kata Bob mengomentari.
"Aku menunggu di sana, karena tidak tahu harus berbuat apa," sambung Hamid. "Kemudian Pete datang. Aku masih tetap menunggu dalam semak. Pete mondar-mandir dalam rumah, lalu pergi ke teras. Ia mengambil kucingku. Saat itu aku mengira dialah yang mencuri Ra-Orkon, dan hendak mencuri kucingku pula. Aku langsung marah dari menyerang. Maaf, Pete."
"Tak apalah," jawab Pete bermurah hati. "Kan justru itu yang mempertemukan kita, sehingga bisa bersatu menghadapi misteri ini."
"Hmmm." Jupiter mencubiti bibir bawahnya sambil berpikir-pikir. "Sampai di sini gambaran jelas, walau rumit."
"Ucapanmu repot dan kabur," sela Pete. "Bagiku, misteri ini sungguh-sungguh bisa membuat kepala pusing."
"Maksudku tadi," kata Jupiter menjelaskan maksudnya, "kelihatannya semua fakta sudah kita ketahui. Sekarang tinggal mengaturnya supaya logis."
Bob ingin sekali bisa melihat hubungan logis antara segala fakta yang sudah dicatat olehnya. Tapi semakin dipikir, semakin pusing rasanya kepala.
"Kurasa jika kita bisa menemukan tempat penyembunyian peti mumi itu," kata Jupiter, "kita akan sudah berada di jalan yang tepat menuju pemecahan misteri. Kuusulkan agar kita mencari tempat gudang rahasia itu sampai ketemu. Kemudian menunggu di sana. Pasti pada suatu saat malam ini Harry dan Joe akan datang lagi untuk mengantarkan peti mumi ke pemesannya, di mana muminya sendiri sudah berada. Kita membuntuti Harry dan Joe ke sana. Dengan begitu kita akan bisa mengetahui siapa pemesan itu. Dialah yang mendalangi misteri yang berbelit-belit ini. Lalu kita ambil kembali mumi Ra-Orkon dari tangannya."
Nampak jelas, Jupiter merasa senang membayangkan akan bisa menangkap seseorang yang tergolong dalang peristiwa kejahatan. Memang, menangkap "otak" kejahatan bukan soal kecil!
"Dengan begitu," sambungnya, "kita sekaligus akan menemukan penjahat, mumi dan juga petinya. Kalau itu sudah berhasil, yang lain-lainnya menyusul dengan segera."
"Hebat," kata Pete menyindir. "Benar-benar hebat. Yah - mengingat begitu banyak lorong yang harus kita periksa untuk mencari tanda rahasia yang kubuat di ambang pintu, lebih baik kita berangkat saja sekarang. Mungkin setelah seminggu dua minggu kita akan menemukannya. Sedang waktu yang ada, cuma delapan sampai sembilan jam!"
"Bukan begitu rencanaku," kata Jupiter. "Sama sekali tidak! Tadi pagi aku sudah melakukan langkah-langkah tertentu. Kalian masih ingat hubungan hantu ke hantu, yang kita pakai sewaktu menangani kasus nuri gagap?"
Bob dan Pete masih ingat. Yang dimaksudkan Jupiter itu suatu ilhamnya, yang menyebabkan akhirnya mereka berhasil menyelesaikan kasus yang disebutnya. Tapi Hamid melongo.
"Apa itu - hubungan hantu ke hantu?" tanyanya.
"Yang dimaksudkan dengan sebutan itu ialah hubungan telepon dengan beberapa teman, untuk menanyakan sesuatu," kata Jupiter menjelaskan. "Lalu teman-teman itu kami minta menghubungi beberapa teman mereka lagi. Begitu seterusnya, sampai beratus-ratus - bahkan mungkin beribu-ribu remaja di segala penjuru kota Los Angeles ikut mencari informasi yang ingin diketahui Trio Detektif. Barang siapa berhasil mengetahui keterangan yang dicari, menelepon kami kemari. Lalu, dengan informasi yang baru masuk itu, kami bisa melanjutkan penyelidikan. Dalam kasus nuri gagap, hubungan hantu ke hantu menyebabkan datangnya seorang anak laki-laki bernama Carlos. Paman anak itu yang menjual beberapa ekor burung nuri, yang merupakan petunjuk utama dalam kasus yang menarik itu."
Hamid mengikuti keterangan Jupiter dengan penuh minat.
"Nah," sambung Jupiter, "pagi ini aku menelepon lima teman, yang ayah mereka masing-masing bekerja di tengah kota Los Angeles. Aku meminta mereka agar menelepon teman-teman lain, yang ayah mereka juga bekerja di kawasan sama. Setiap anak harus minta pada ayah masing-masing, agar mau memperhatikan kalau ada tanda tanya yang dituliskan dengan kapur biru di ambang pintu sebuah gudang tertentu. Dan kalau melihatnya, alamat gudang itu harus dicatat, lalu disampaikan pada anaknya. Sebagai penjelasan, itu semacam permainan. Mencari harta karun! Anak yang paling dulu menelepon ke sini untuk menyampaikan informasi, akan menerima hadiah. Soal hadiahnya - nanti saja kupikirkan. Sekarang kita lihat saja - bagaimana kelangsungan rencana itu."
Diangkatnya gagang pesawat telepon, lalu diputarnya nomor tertentu. Ia bicara sebentar dengan seorang teman, sambil mendekatkan gagang pesawat ke mikrofon. Dengan begitu anak-anak yang ada dalam trailer itu bisa mengikuti pembicaraan lewat alat pengeras suara.
Anak yang ditelepon menyampaikan laporannya. Ia sudah menelepon lima teman, seperti diminta. Mereka itu semua meminta ayah masing-masing supaya mau membuka mata dan mencari kalau-kalau ada tanda tanya berwarna biru di sekitar tempat mereka bekerja. Tapi tentu saja jawaban ada tidaknya baru bisa diketahui, apabila para ayah sudah kembali ke rumah lagi. Jadi sekitar pukul enam petang nanti.
"Hubungan hantu ke hantu sudah mulai bekerja," kata Jupiter, setelah pembicaraan telepon selesai. "Sayangnya, paling cepat baru petang nanti kita bisa mengharapkan akan ada informasi masuk. Tidak banyak waktu tersisa! Tapi jika kita bernasib baik, kita akan bisa langsung menuju ke tempat itu. Sekarang sebaiknya kita pergi ke tempat Profesor Yarborough, untuk berunding lagi dengan dia."
"Tapi kau pasti tidak boleh pergi dari sini," kata Pete mengingatkan. "Aku tadi mendengar bibimu mengatakan kau harus membantu bekerja, begitu rapat kita selesai."
"Hmm- betul juga." Jupiter mengangguk. "Kalau begitu kutelepon saja dia sekarang. Sementara itu kauantarkan Hamid ke luar, Bob. Carikan taksi untuk dia."
"Beres," kata Bob, lalu berdiri. Hamid ikut bangkit.
"Kapan-kapan aku ingin memperkenalkan Ahmed padamu, Jupiter," kata anak Libia itu. "Menurut pendapatnya, anak Amerika semuanya brengsek! Berisik, tidak tahu aturan dan menjengkelkan orang tua mereka. Akan kutunjukkan padanya beberapa remaja Amerika yang cerdas sekali."
"Terima kasih, Hamid," kata Jupiter. Ia nampak senang mendengar pujian itu. "Tapi ngomong-ngomong, kau kan tidak bercerita pada Ahmed tentang segala kejadian ini?"

"Yang kukatakan padanya cuma bahwa aku meminta kalian membantu dalam usaha menemukan Ra-Orkon serta peti muminya," kata Hamid. "Mendengar kata-kataku, ia cuma mendengus. Aku dikatakannya tolol, meminta anak-anak untuk melakukan tugas orang dewasa. Karenanya setelah itu aku diam saja."
"Bagus," kata Jupiter. "Eh - maksudku bagus, kau tidak menceritakan apa-apa lagi padanya. Menurut pengalamanku, orang dewasa selalu merasa perlu membantu apabila tahu ada seorang anak sedang sibuk melakukan sesuatu yang penting. Dan sering mereka malah mengacaukan segala-galanya. Dalam urusan ini kita perlu menjaga rahasia. Soalnya, baik Profesor Yarborough maupun Keluarga Besar Hamid tidak ingin urusan ini tersebar ke mana-mana."
"Betul," kata Hamid. "Kapan kita berkumpul lagi?"
"Datang saja kemari nanti petang, sekitar pukul enam," kata Jupiter. "Kalau nasib kita sedang baik, saat itu akan sudah ada kabar dari hubungan hantu yang menyebutkan di mana letak gudang tempat peti mumi disembunyikan."
"Aku akan kembali," kata Hamid, "naik taksi. Ahmed hari ini sibuk sekali. Katanya banyak calon pembeli permadani yang perlu didatangi."
Hamid membungkuk dengan sikap resmi, lalu menyusul Bob masuk ke Lorong Dua.
"Hamid itu baik anaknya," kata Pete, setelah kedua anak itu lenyap dari penglihatan. "Tapi aku tadi sempat memperhatikan mukamu, Jupe. Kelihatannya ada hal baru yang kaupikirkan sejak kita mulai berunding. Kau merasa tahu sekarang, siapa yang mencuri Ra-Orkon?"
"Kalau dugaan - memang ada," kata Jupiter. "Katamu tadi, kucing Mrs. Banfry gambarnya pernah dimuat dalam sejumlah koran dan majalah."
"Betul," kata Pete. "Mrs. Banfry memperlihatkan majalah-majalah itu padaku. Kelihatan jelas kedua mata kucing itu berlainan warna."
"Sekarang, apabila ada seseorang yang memerlukan seekor kucing Abesinia dengan mata yang berlainan warna," kata Jupiter lagi. "tentunya dengan mudah dia bisa tahu tentang Sphinx, kucing Mrs. Banfry. Mengingat Sphinx wataknya lemah-lembut, lain dengan kucing Abesinia pada umumnya, maka gampang sekali menangkap dia lalu mengecat kaki depannya. Sekarang - siapa yang sangat ingin memperoleh Ra-Orkon? Siapa yang paling gampang bisa menyelundupkan Sphinx malam-malam ke kamar Hamid? Siapa yang tahu segala-galanya tentang kutukan yang katanya ada itu, serta berusaha keras untuk mengambil Ra-Orkon yang waktu itu ada di tempat Profesor Yarborough?"
Pete berpikir sebentar.
"Tukang kebun," katanya kemudian. "Eh - maksudku, Ahmed, yang menyamar jadi tukang kebun."
"Tepat," kata Jupiter. "Dan baginya juga penting sekali untuk mendapatkan kembali peti mumi, sebagai tempat menaruh mumi Ra-Orkon. Ya kan?"
"Tentu saja!" kata Pete bergairah. "Tapi Hamid berani sumpah, katanya Ahmed tidak tahu apa-apa tentang pencurian mumi. Dia tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan itu."
"Dan Hamid percaya bahwa itu memang begitu," kata Jupiter. "Tapi menurut pengalamanmu sendiri, kan orang dewasa tidak selalu membeberkan segala rencananya pada anak-anak. Juga apabila anak itu kebetulan putra majikannya. Mungkin saja Ahmed mempunyai rencananya sendiri. Ia hendak menguasai mumi, lalu melaporkan pada ayah si Hamid bahwa untuk memperolehnya kembali dia harus membayar uang tebusan yang sangat mahal. Pasti ayah si Hamid akan mau percaya. Dengan rencana begitu, Ahmed bisa menjadi kaya-raya!"
"Huiii!" kata Pete kagum. "Memang bisa! Dan Ahmed kan bisa berbahasa Arab. Jadi bisa saja mengarang-ngarang kalimat yang kedengarannya kayak bahasa Arab Kuno. Dalam penyamarannya sebagai tukang kebun, lalu bersembunyi di balik pintu, dengan gampang ia memakai suara perut untuk membikin seakan-akan mumi yang berbisik-bisik."
Jupiter mengangguk.
"Tapi," katanya kemudian, "jika sedikit saja terlontar kecurigaan kita ini di depan Hamid, sebelum kita bisa membuktikan apa-apa, ada kemungkinan anak itu akan melaporkannya pada Ahmed. Dengan begitu orang itu akan waspada, lalu mengaburkan jejaknya. Karena itulah kita tidak boleh bilang apa-apa pada Hamid."
"Setuju," kata Pete dengan tandas. "Lalu apa kerja kita sekarang, Jupe? Banyak sekali waktu terluang sesiang ini, sampai saat ada kemungkinan kabar dari hubungan hantu. Tapi kurasa bibimu punya berbagai cara untuk menyibukkan kita," tambahnya dengan nada suram.
"Betul! Karena itu sekarang saja kutelepon Profesor Yarborough, untuk menanyakan perkembangan terbaru," kata Jupiter, "dan sekaligus menanyakan keadaan Wilkins."
Tak lama kemudian ia sudah mengobrol dengan Profesor Yarborough.
"Wilkins sudah kembali dari rumah sakit," kata sarjana itu melaporkan. "Ternyata dia cuma kaget saja. Katanya, kemarin malam ia melihat sesuatu yang sangat mengejutkan. Dewa Anubis, makhluk bertubuh manusia tapi berkepala anjing ajak, tiba-tiba muncul dari balik semak lalu membentakkan kata-kata kasar padanya, dalam bahasa yang tak dikenalnya. Wilkins langsung pingsan, karena kaget dan ketakutan. Setelah itu Anubis membawa pergi mumi Ra-Orkon."
Pete dan Jupiter saling berpandangan.
"Tapi kita kan kini tahu, yang mencuri Ra-Orkon dua orang penjahat yang bernama Joe dan Harry," kata Pete, agak bingung.
"Profesor," kata Jupiter pada sarjana dengan siapa ia bicara lewat telepon, "kami merasa yakin, Wilkins pasti ditakut-takuti seseorang yang mungkin memakai topeng kepala ajak yang terbuat dari karet. Seseorang yang menyamar sebagai Anubis."
Lalu diceritakannya pengalaman Pete pada malam sebelumnya. Ia memaparkan yang penting-penting saja.
"Ya, mungkin itu penjelasannya," kata Profesor kemudian. "Bagaimana - kira-kira bisakah kalian menemukan kembali peti mumi itu? Apakah kalian punya dugaan, siapa yang mendalangi kesemuanya ini? Menurutmu, mungkinkah laki-laki yang bernama Ahmed itu orangnya?"

"Saya punya beberapa dugaan tertentu, Sir," jawab Jupiter. "Tapi bukti-buktinya sampai sekarang belum ada. Mengenai urusan mumi, malam ini kami akan mencarinya. Begitu ada perkembangan baru, Anda akan segera kami hubungi."
Selesai pembicaraan. Jupiter mendongak - menatap awang-awang. Pete sudah gelisah saja. "Nah?" tanyanya tidak sabar. "Apa lagi yang kaupikirkan sekarang?"
"Aku cuma ingat lagi sekarang," kata Jupiter, "kemarin Profesor Yarborough kan bercerita pada kita, Wilkins dulunya artis yang ikut rombongan teater keliling. Sebelum menjadi pelayan Profesor." "Lalu kenapa?"
"Seorang artis, dengan gampang saja bisa pura-pura pingsan," kata Jupiter menjelaskan pikirannya. "Lalu, anggaplah dalam pertunjukan teater keliling itu Wilkins muncul sebagai artis yang pintar bicara dengan suara perut." "Memangnya begitu?"
"Aku tidak tahu. Tapi anggap saja begitu. Kesimpulan mana yang bisa ditarik daripadanya?"
"Huiii!" seru Pete. "Itu berarti, orang yang kita cari-cari selama ini ternyata toh Wilkins. Atau bisa juga dia bekerja sama dengan Ahmed. Atau dengan orang lain. Bagaimana pendapatmu, Jupe?"
"Kita lihat saja nanti," jawab Jupiter dengan bijak. Setelah itu sampai sore ia tidak mau lagi diajak bicara tentang kasus itu. Pete cuma bisa memendam rasa jengkel.

Bab 14
KEBANYAKAN TANDA TANYA

PETANG itu juga nampak sebuah truk kecil berjalan tergoncang-goncang menyusur jalan-jalan tengah kota Los Angeles, di bagian yang termasuk agak tua. Konrad, pemuda Jerman itu duduk di belakang kemudi, dengan ijin khusus dari Mrs. Jones.
Jupiter sebelumnya sudah memutuskan, sebaiknya mereka menemukan dulu tempat peti mumi disembunyikan. Lalu mereka bersembunyi, sampai kelihatan Harry dan Joe datang untuk mengambilnya dari dalam gudang. Begitu keduanya pergi lagi dengan peti mumi, mereka dibuntuti dari belakang. Dengan begitu mereka bisa tertangkap basah pada saat menyerahkan peti itu pada pemesannya. Dialah otak yang mendalangi segala kejadian misterius selama itu. Menurut Jupiter, hanya dengan jalan begitu bisa diperoleh bukti nyata.
Rolls-Royce yang serba mewah, terlalu menyolok untuk dipakai dalam tugas seperti itu. Pasti akan langsung ketahuan. Tapi truk tua, takkan ada yang memperhatikan!
Sebelumnya, Hamid sudah kembali ke kompleks penimbunan barang bekas yang merupakan perusahaan paman dan bibi Jupiter. Ia datang naik taksi. Kini ia duduk bersama Jupiter di depan, bersebelahan dengan Konrad. Pete dan Bob nongkrong di atas tumpukan terpal yang ada di bak belakang. Truk itu berjalan terus, menelusuri jalan-jalan daerah yang kelihatan suram, penuh dengan gudang serta toko-toko kecil yang kumal. Sepanjang perjalanan, Bob dan Pete berdebat terus. Mereka berbantahan tentang kemungkinan siapa dalang itu sebenarnya. Ahmed atau Wilkins? Paling sedikit dua kali kedua-duanya berubah pikiran.
Akhirnya truk berhenti. Pete dan Bob melemparkan pandangan ke samping. Mereka berada di depan sebuah gedung teater yang sudah tua. Pintunya tertutup rapat. Sebuah papan nama yang sudah rusak menyatakan bahwa dulu di situ tempat CHAMELOT THEATER. Pada papan-papan lain yang juga ada di situ, tertera tulisan: TUTUP. DILARANG MASUK.
Ketika melihat Jupiter dan Hamid keluar dari truk, Pete dan Bob meloncat turun untuk menyusul. Bob agak hati-hati, mengingat kakinya yang cedera.
"Beginikah kelihatannya bangunan di mana kalian kemarin malam berada, Pete?" tanya Jupiter. Dipandangnya gedung teater yang sudah tua dan tak terawat itu dengan kening berkerut.
"Bagian depannya tidak kulihat," kata Pete sambil merengut. "Tapi rasanya tidak begini tinggi."
"Rasanya bukan yang ini." Hamid menggeleng-geleng.
"Walau begitu, inilah alamat yang disampaikan 'Hantu' kita." Jupiter mengamat-amati kertas yang ada di tangannya. Satu jam sebelumnya, salah seorang 'Hantu' - yaitu seorang remaja yang dihubungi lewat hubungan hantu ke hantu - menelepon ke Markas Besar. Ia melaporkan, ayahnya melihat beberapa tanda tanya yang dibuat dengan kapur biru di ambang pintu sebelah belakang bangunan yang terletak di Chamelot Street, nomor 10853. Dengan segera Trio Detektif berangkat ke situ, bersama Hamid dan Konrad. Dan gedung di depan mereka sudah jelas bernomor 10853. Chamelot Street.
"Kita lihat sebelah belakangnya," kata Jupiter mengusulkan, lalu mendului berjalan lewat lorong yang ada di samping. Di belakang mereka sampai ke suatu pekarangan. Ternyata di situ memang ada pintu gudang yang besar dan membuka ke atas. Pada salah satu pojoknya nampak beberapa tanda tanya, dibuat dengan kapur biru.
"Itu tanda yang kaubuat, Pete," kata Jupiter. "Jadi memang inilah tempatnya."
"Tapi rasanya bukan," jawab Pete ragu. "Kalau kau bagaimana, Hamid?"
"Kurasa bukan ini," kata anak Libia itu. "Tapi waktu itu gelap. Mungkin saja kita salah lihat."
"Kalian kan terburu-buru," kata Jupiter. "Lihatlah - ini ada pintu kecil tempat orang lewat, di samping pintu besar. Eh - terbuka sedikit rupanya. Barangkali kita bisa mengintip untuk melihat ada tidaknya peti mumi di dalam."
Mereka menghampiri pintu sempit itu, lalu mengintip beramai-ramai. Tapi tahu-tahu pintu terpentang lebar. Tiga wajah remaja muncul sambil nyengir.
"Lihatlah, Jupiter McSherlock beserta para kaki tangannya!" Yang bicara begitu Skinny Norris, sambil tertawa keras-keras.
"Mencari jejak, Sherlock Holmes?" ejek seorang remaja lagi, teman dekat Skinny.
"Kalau yang dicari tanda tanya, lihat saja ke segala arah." Remaja yang ketiga meringis. Anaknya gemuk, berambut merah. "Seluruh kota penuh dengan tanda tanya."
"Kurasa kita tidak perlu ada di tempat ini lagi," kata Skinny. "Sherlock serta anak buahnya sudah berhasil mengendalikan situasi."
Sambil cekikikan, ketiga remaja itu berlenggang pergi. Menuju mobil sport biru milik Skinny yang diparkir tidak jauh dari situ. Sesaat kemudian mobil itu sudah menderu pergi. Bob yang paling dulu menyadari makna kata-kata Skinny tadi.
"Lihatlah!" Ia menuding ke beberapa pintu yang ada di kiri-kanan lorong. Semua dihiasi dengan tanda tanya. "Mungkin semua pintu yang ada dalam lorong-lorong sekitar sini juga begitu," katanya lagi. "Semua diberi tanda tanya palsu."
Tampang Jupiter pucat karena marah.
"Skinny Norris!" serapahnya. "Rupanya satu di antara hantu kita tadi pagi menelepon dia, sehingga dia tahu kita mencari tanda tanya yang dibuat dengan kapur. Lalu bersama teman-temannya ia kemari, menuliskan tanda-tanda tanya di pintu dan pintu-pintu lainnya - hanya supaya kita bingung. Setelah itu seorang dari mereka menelepon ke Markas Besar. Mereka menunggu sampai kita datang di sini, supaya bisa mengejek."
"Mereka memang berhasil membikin kita bingung," kata Pete menggerutu. "Lalu ketawa kayak orang gila! Tanggung mereka sudah membubuhkan tanda tanya di mana-mana, di bagian kota sini. Cuma Skinny saja yang bisa

mendapat ide tipuan kayak begini. Hhh- kalau dia sampai berhasil kubekuk nanti, akan kuhajar dia sampai badannya tinggal sebesar paku!"
Perbuatan jahil Skinny Norris itu nampaknya memustahilkan mereka masih bisa menemukan pintu yang dicari. Di sekitar situ terlalu banyak tanda tanya!
"Yah - bagaimana sekarang?" tanya Bob putus asa. "Kita kembali ke Markas?"
"Tentu saja tidak!" tukas Jupiter. "Pertama-tama kita lihat dulu, berapa banyak tanda tanya yang dibuat Skinny serta kedua temannya tadi di sekeliling sini. Setelah itu barulah kita menentukan langkah berikut. Lain kali kita perlu ingat - seperti sekian banyak ide yang baik, hubungan hantu ke hantu ternyata ada juga beberapa kelemahannya."
Setelah itu mereka menyebar, memeriksa jalan dan lorong yang ada di sekitar situ. Sebelumnya buru-buru dijelaskan pada Hamid, anak yang menertawakan mereka tadi bernama Skinny Norris. Seorang saingan yang selalu berdaya upaya untuk mengacaukan usaha penyelidikan mereka.
Sampai beberapa blok dari tempat semula, mereka menemukan tanda tanya di sana-sini. Dengan lesu mereka berkumpul lagi di truk untuk berunding lebih lanjut.
"Kita berputar-putar naik truk," kata Jupiter nekat. "Barangkali saja Pete atau Hamid nanti melihat sesuatu yang masih diingat dari kemarin malam. Kita tidak boleh menyerah sekarang. Ini kesempatan kita yang terakhir. Jika Harry dan Joe berhasil menyerahkan peti mumi itu tanpa ketahuan, lenyap harapan kita."
Dengan perasaan berat mereka naik lagi ke truk. Konrad menjalankan kendaraan itu lambat-lambat, menyusur Chamelot Street.
"Kita kalah," kata Pete muram. "Kenapa tidak mengaku saja?"
"Dan membiarkan Skinny mengejek kita?" Jupiter merapatkan bibir. "Kita akan berusaha terus. Misalnya gereja tua di pojok sana - mungkin kalian sempat melihatnya ketika sedang lari kemarin malam?"
Pete memandang gereja tua itu, yang bergaya arsitektur biara Spanyol di California pada abad kesembilan belas. Ia menggeleng.
"Kurasa kami bahkan sama sekali tidak lewat jalan ini," katanya. "Jalan-jalan yang kami lalui lebih sempit, dan lebih tidak terawat. Dan lebih gelap."
"Kalau begitu kita coba jalan yang lain. Kita belok ke kanan, Konrad."
"Beres," kata pemuda Jerman yang menyetir, lalu membelokkan truk ke kanan. Baru saja dilalui tiga blok, ketika tiba-tiba Pete menyambar lengan Jupiter.
"Kios es krim itu!" katanya. "Kurasa kami melewatinya, ketika kami belum lama lari meninggalkan gudang."
Ia menuding bangunan yang bentuknya seperti es krim yang biasa dijual di pinggir jalan daerah pertokoan. Tapi berukuran raksasa. Kios itu sudah ditutup dan kelihatan mulai ambruk. Daerah situ terlalu miskin. Tidak banyak kelebihan uang, sehingga tidak bisa sering mampir dan membeli es krim.
"Kita berhenti, Konrad," pinta Jupiter. Konrad menurut saja. Truk dihentikan. Keempat remaja yang ikut dengannya buru-buru turun. Mereka berdiri di kaki lima, sambil memperhatikan bangunan berbentuk kerucut yang terletak di seberang jalan.
"Hamid - kau ingat melihatnya kemarin malam?" tanya Pete.
"O ya," jawab anak Libia itu sambil mengangguk. "Waktu itu kukira semacam kuil kecil. Kelihatannya aneh, di tengah bangunan-bangunan yang lain." Bob meringis.
"Di California sini," katanya, "ada kios tempat menjual sari jeruk yang bentuknya kayak jeruk, dan macam-macam lagi. Bangunan yang bentuknya kayak kerucut es krim bisa dibilang lumrah."
Jupiter merasa lebih baik jangan membuang-buang waktu dengan obrolan begitu. Ia mengajukan beberapa pertanyaan beruntun-runtun. Ternyata baik Pete maupun Hamid tidak ingat lagi ke arah mana mereka lari sewaktu melewati kios itu. Ia lantas mengambil keputusan dengan cepat.
"Bob, kau tinggal di sini dengan Hamid," katanya. "Biarkan walkie-talkie-mu menyala, karena siapa tahu ada perkembangan baru. Pete, kau pergi ke arah sana! Periksa setiap lorong. Barangkali saja kau menemukan lorong yang kemarin malam. Aku sendiri ke arah sini dan memeriksa semua lorong yang ada di situ. Jika lorong yang benar kita temukan, tanda-tanda rahasia yang ada di situ akan bisa mengarahkan kita ke tujuan yang dicari; Bagaimanapun, Skinny dan kedua sobatnya tadi takkan mungkin bisa membubuhkan tanda kapur di seluruh kota Los Angeles."
"Yah, kita coba saja," kata Pete menyetujui.
"Konrad menunggu di sini, dan kita berdua nanti kembali kemari. Tempat ini kita jadikan pangkalan operasi. Sambil mencari, kita terus berhubungan lewat walkie-talkie."
Saat itu sudah remang-remang gelap. Sebentar lagi malam. Pete dan Jupiter bergegas menuju arah yang saling berlawanan. Sedang Bob dan Hamid menunggu dalam truk.
"Mungkin mereka tidak akan berhasil menemukan kembali peti mumi," kata Hamid. "Barangkali mumi Ra-Orkon hilang untuk selama-lamanya. Aku dan Ahmed akan malu sekali, kalau terpaksa melapor pada ayahku bahwa kami kehilangan jejak moyang kami yang mulia."
Dari perkataan itu Bob menarik kesimpulan, Hamid masih tetap berpegang pada pendapat bahwa Ra-Orkon itu moyangnya. Walau Jupiter sudah mengemukakan pertimbangan yang menyangsikan!
"Di mana Ahmed malam ini?" tanya Bob.
"Aku tidak tahu," jawab Hamid. "Katanya ada urusan yang harus diselesaikannya untuk ayahku. Sementara di sini ia mendatangi berbagai perusahaan penjual permadani, untuk menawarkan barang-barang dari Keluarga Hamid."
Bob merasa lebih mungkin Ahmed berniat menemui Harry dan Joe, kedua pencuri yang mengambil peti mumi. Tapi ia diam saja. Anak Libia itu sudah cukup sedih.
Sementara itu Pete dan Jupiter sudah berjalan sejauh beberapa blok, sambil menjenguk memperhatikan lorong-lorong kecil yang biasanya memotong di tengah-tengah satu blok. Lewat walkie-talkie, mereka saling melaporkan ketidakberhasilan masing-masing. Akhirnya dengan lesu Jupiter memberi instruksi.

"Periksa satu lorong lagi di bagianmu, Dua," katanya. "Setelah itu kembali ke truk. Di sana nanti kita bicarakan siasat selanjutnya."
"Mengerti dan selesai," balas Pete.
Jupiter memasuki lorong berikut. Kelihatannya sama saja dengan lorong-lorong yang lain. Lorong-lorong itu merupakan sisi belakang toko-toko, di mana barang-barang diturunkan dari truk. Jauh di ujung dilihatnya sebuah bangunan besar. Ia menuju ke situ. Di sisi belakang bangunan yang menghadap lorong ada sebuah pintu besar. Sebuah truk diparkir di depan pintu itu. Kendaraan itu kelihatan biasa saja, berwarna biru. Ketika Jupiter datang menghampiri, seorang laki-laki mengangkat daun pintu itu ke atas. Jadi apabila di situ ada tanda tanya yang dibuat dengan kapur oleh Pete, dengan sendirinya tidak bisa kelihatan. Dan mungkin saja di situ tidak ada tulisan tanda tanya.
Jupiter berhenti melangkah. Ia mengeluh, lalu berbalik. Maksudnya hendak kembali ke mobil.
Tiba-tiba ia tertegun. Telinganya yang tajam mendengar suara seseorang.
"Oke - bawa truk itu masuk, Harry."
"Beres! Minggir sedikit, Joe," jawab suara seseorang lagi.
Harry! Joe! Itu kan nama kedua penjahat yang melarikan peti mumi!

Bab 15
JUPITER BERAKSI SENDIRI

JUPITER berbalik lagi dengan cepat, lalu lari mengejar truk yang dengan pelan-pelan masuk ke dalam gudang yang gelap.
Bagi remaja itu cuma ada satu kemungkinan supaya tidak ketahuan. Jupiter melesat ke sisi kanan truk. Sekarang ia ada di tempat yang berlawanan dengan Joe, yang tadi membuka pintu gudang. Sementara truk bergerak pelan ke dalam, Jupiter ikut beringsut masuk. Menyelip di celah sempit yang ada di antara tubuh truk dengan ambang pintu.
Truk berhenti. Dan Jupiter sudah ada di dalam. Ia tetap berdiri di sisi kendaraan itu.
"Kututup pintu dulu." Terdengar Joe berseru. "Lalu kaunyalakan lampu-lampu besar, supaya kita bisa melihat."
Sambil meringkuk di samping truk, Jupiter memutar otak. Ia tidak bisa melihat apa-apa. Tapi jika menunggu lampu-lampu truk dinyalakan, nanti ia akan terlihat oleh kedua laki-laki itu. Cuma ada satu tempat baginya, di mana ada harapan dia tidak akan ketahuan.
Jupiter merebahkan diri, lalu menyusup ke bawah truk. Bunyi pintu menutup menyamarkan suara pelan yang terjadi ketika ia menggeser tubuh. Sesaat kemudian lampu-lampu besar truk dinyalakan, menerangi ruangan gudang. Penglihatan Jupiter terbatas di bawah truk. Tapi ia masih bisa melihat roda-roda sebuah mobil antik. Dan benda memanjang terselubung terpal di belakang mobil antik, pasti itulah peti mumi yang dicari.
Jupiter telah berhasil menemukan tempat yang tepat. Tapi ia tidak bisa memanggil bantuan. Untuk menghubungi lewat walkie-talkie, ia perlu berbicara dengan suara lantang dan mantap. Kedua laki-laki itu pasti akan mendengar, lalu meringkusnya.
Jadi Jupiter menunggu saja, dengan hati berdebar-debar.
Orang yang bernama Harry sekarang turun dari truk. Jupiter bisa melihat kaki kedua laki-laki itu, tidak sampai dua meter dari tempatnya. Keduanya berdiri di samping truk.
"Jadi langganan kita itu mau menerima, ya?" kata Harry terkekeh-kekeh. "Sudah kukira dari semula, karena dia kepingin sekali memperoleh peti mumi itu. Tapi untuk apa, aku tidak tahu."
"Ya, dia mau mengabulkan permintaan kita," jawab temannya. "Tapi sekarang dengar baik-baik. Kita harus mengantarkannya ke tempat lain. Di luar Hollywood. Katanya tempat itu sebuah garasi yang kosong. Jadi kita bisa langsung masuk."
"Boleh saja."
"Itu baru sebagian. Ia khawatir ada orang membuntuti kita. Kita dimintanya berjaga-jaga. Jika merasa ada yang mengikuti dari belakang, kita dilarangnya datang ke tempat itu."
"Siapa yang akan membuntuti kita?" tanya temannya. "Kan tidak ada yang tahu tempat kita ini. Kita antarkan barang itu. Aku ingin mengambil uang yang dijanjikan."
"Ya, ya - tentu saja, tapi aku belum selesai. Di tengah jalan, apabila kita sudah yakin tak ada yang membuntuti, kita disuruh berhenti lalu meneleponnya. Karena mungkin saja ia nanti minta agar barang diantarkan ke alamat semula. Pokoknya tergantung."
"Tergantung dari apa?"
"Itu tidak dikatakan olehnya. Tapi kau masih belum mendengar yang paling edan." "Katakan saja! Aku mendengarkan."
"Sehabis peti kita antarkan, langganan kita itu akan memasukkan mumi ke dalamnya. Setelah itu kita dimintanya mengangkut kedua-duanya ke suatu tempat dan membakarnya di sana sampai habis. Tidak boleh masih ada yang tersisa! Untuk itu ia menjanjikan tambahan pembayaran, seribu dollar!"
"Seribu dollar! Kenapa dia minta supaya kita mencurikan barang itu, kalau ternyata cuma mau dibakarnya saja?"
"Mana aku tahu! Mungkin dia sekarang ketakutan, dan ingin memusnahkan bukti-bukti. Kita kan akan mendapat apa yang kita tuntut dari dia -jadi biar saja kita berlagak goblok. Kita ikuti saja kemauannya. Yuk - kita naikkan peti itu ke truk. Setelah itu berangkat ke arah Hollywood."
Kedua pasang kaki itu bergerak menjauh. Diterangi cahaya lampu-lampu besar, Jupiter melihat kedua laki-laki itu menghampiri peti mumi, lalu membungkuk.
"He - sebaiknya kita periksa dulu kalau ada isinya," kata laki-laki yang lebih pendek. Dari suaranya, dialah yang bernama Joe. "Mungkin langganan kita itu hendak memiliki sesuatu yang berharga."
Mereka mengangkat tutup peti, lalu melongok ke dalamnya. Joe meraba-raba sisi dalam peti yang kosong.
"Tidak ada apa-apa di sini," katanya. "Sudahlah, kita naikkan saja ke truk."
Peti mumi didorong sampai ke tempat yang gelap di belakang truk. Tapi kemudian ternyata pantat truk terlalu dekat ke pintu. Jadi tidak ada tempat untuk mengangkat peti, sebelum memasukkannya ke bak belakang. "Truk harus dimajukan sedikit," kata Joe. "Kau saja yang melakukannya. Aku ingin minum sebentar."
Joe naik ke truk. Mesin dihidupkan, dan truk maju sedikit. Jupiter tertinggal di belakang, dan kini sudah tidak lagi terlindung di bawahnya. Sementara itu Harry menghilang, lewat sebuah pintu kecil.
Kini Jupiter menghadapi problem rumit. Jika ia mencoba menghubungi Pete serta kawan-kawan yang lain lewat walkie-talkie, suaranya pasti akan terdengar. Jika ia merangkak ke pojok gudang lalu bersembunyi di balik beberapa tong yang dilihatnya ada di situ, ada kemungkinan truk itu berangkat. Dan dia tidak bisa mengikutinya. Tapi jika ia naik ke bak kendaraan itu, pasti akan ketahuan pada saat peti mumi dinaikkan.
Sesaat Jupiter bingung. Ia sama sekali tidak melihat kemungkinan untuk tidak ketahuan, tapi sekaligus tidak kehilangan jejak truk. Setidak-tidaknya sampai dia bisa menghubungi yang lain-lain, dan menginstruksikan mereka untuk membuntuti truk itu sampai ke tempat tujuan.

Harry masih di kamar kecil. Joe masih duduk di belakang setir. Jupiter buru-buru menyelinap ke peti mumi yang terletak di lantai. Diangkatnya tutupnya, lalu menyusup ke dalam. Geraknya saat itu seperti belut gendut. Begitu sudah berbaring di dalam, dilepaskannya tutup dengan hati-hati. Ia menyelipkan sebatang pinsil, sehingga di ujung peti ada celah dengan tutup. Dengan begitu ada udara segar untuk dia bernapas.
Setelah itu ia hanya bisa menunggu.
Sementara itu Pete, Bob dan Hamid duduk-duduk di kaki lima dekat truk. Semua agak gelisah. Sudah agak lama juga tak terdengar suara Jupiter lewat walkie-talkie. Mereka sudah beberapa kali mencoba menghubungi, tapi alat itu tetap membungkam. Jangan-jangan anak itu tertimpa mara bahaya, pikir mereka.
Tiba-tiba pesawat walkie-talkie di tangan Pete menggeretak.
"Penyelidik Satu memanggil Dua. Harap masuk, Dua!"
"Di sini Penyelidik Dua. Ya, aku mendengarmu, Satu. Apa yang terjadi?"
"Truk yang kita cari menuju Hollywood." Terdengar suara Jupiter. "Truk biru, ukuran dua ton. Catnya agak terkelupas di sana-sini. Nomornya PX 1043. Saat ini mengarah ke barat, di Painter Street."
"Ya!" kata Pete lantang. Menurut pesan Jupiter itu, ternyata truk yang dicari sedang berada dijalan tempat mereka menunggu, tapi bergerak menjauh. Jaraknya dari tempat mereka saat itu paling-paling cuma beberapa blok saja, karena suara Jupiter terdengar jelas sekali.
"Kami akan berputar dulu lalu langsung membuntutinya, Satu!" kata Pete lagi. "Kau sendiri, di mana sekarang?"
"Aku dalam tempatmu kemarin malam," jawab Jupiter.
"Dalam peti mumi?" teriak Pete kaget.
"Ya - dan sayangnya peti terikat sehingga aku tidak bisa keluar lagi," jawab Jupiter. "Tapi cuma dengan jalan begini aku bisa menghubungi. Jangan sampai kalian kehilangan jejak truk. Aku nanti perlu bantuan, apabila kami sudah ketemu dengan orang yang memesan peti."
"Kami akan terus di belakangmu," kata Pete mengakhiri. Detik berikut, semua bertindak cepat. Anak-anak meloncat naik ke dalam truk. Pete mengatakan pada Konrad, apa yang harus dilakukan. Pemuda Jerman berbadan kekar itu memutar truk. Lalu pedal gas ditekan dalam-dalam. Dengan laju truk meluncur, melewati beberapa blok. Tak lama kemudian sudah nampak pantat truk biru bobrok, dengan nomor seperti yang disebutkan Jupiter tadi. Konrad memperlambat jalan truknya, sampai terdapat jarak sekitar setengah blok dengan kendaraan yang di depan.
Sementara itu mereka sudah sampai dijalan besar. Lampu-lampu penerangan di situ besar-besar. Untung saja - karena dengan begitu dari jarak agak jauh pun truk yang ada di depan masih kelihatan.
"Kami setengah blok di belakangmu, Satu," kata Pete lewat walkie-talkie-nya. "Kau tahu tujuannya ke mana?"
"Sama sekali tidak," balas Jupiter. "Joe menerima instruksi mengenai alamat yang harus dituju lewat telepon."
"Wah, seperti dalam film saja!" kata Hamid bergairah. "Cuma lebih seru yang ini. Tapi aku khawatir tentang nasib Penyelidik Pertama jika kita sampai kehilangan jejak truk, sehingga tidak bisa datang membantu jika dia nanti ketahuan."
"Perasaan kami juga begitu," gumam Bob.
Jupiter sendiri juga sedang gelisah. Sambil mendekatkan hidung ke celah untuk menghirup udara segar, ia mulai menyangsikan ketepatan keputusannya tadi. Tapi satu-satunya jalan supaya tahu peti mumi akan dibawa ke mana, ialah dengan menyembunyikan diri di dalamnya.
Namun sampai saat itu, semuanya berjalan lancar. Sudah beberapa kilometer jarak yang ditempuh. Truk yang dikemudikan Konrad masih terus membuntuti truk biru. Kelihatannya Harry dan Joe masih belum tahu. Ketegangan Jupiter mulai mengendor. Tapi tahu-tahu truk itu dipercepat jalannya. Tergoncang-goncang, seperti sedang melintasi rel kereta api. Sesaat kemudian terdengar bunyi lonceng berdentang-dentang, serta auman peluit kereta diesel. Disusul deru kereta lewat. Rasanya dekat sekali di belakang truk. Tak sampai sepuluh meter!
Kemudian terdengar panggilan dari Pete. Nadanya gugup.
"Satu! Kami terhalang kereta barang yang lewat. Kelihatannya panjang sekali. Kalau jalan sudah bebas lagi, kau pasti sudah jauh. Takkan bisa kami susul lagi. Masuk, Satu!"
"Ya, mengerti!" teriak Jupiter. Ia menelan ludah. Ketika sedang memikirkan instruksi berikut, tiba-tiba truk menikung tajam, menuju arah lain.
"Dua!" panggil Jupiter dengan segera. "Truk berganti arah. Aku tidak tahu masuk ke jalan apa. Tapi aku punya usul. Kau masih bisa menangkap?"
"Satu!" Suara Pete mulai terdengar kabur dan lemah. "Aku tidak bisa menangkap kata-katamu. Suaramu tahu-tahu menghilang. Bisakah kau -"
Suara Pete lenyap ditelan gangguan atmosfer. Dengan segera Jupiter menarik kesimpulan, jarak yang memisahkan mereka sudah besar. Tidak bisa lagi dijangkau dengan walkie-talkie mereka yang berukuran kecil. Sekarang tidak ada kemungkinan lagi bagi Konrad untuk menemukan kembali jejak truk yang dibuntuti. Jupiter harus beraksi sendiri sekarang!

Bab 16
SIAPA YANG TERJEBAK?

BEBERAPA menit lamanya Jupiter menunggu, sambil berharap akan masuk lagi suara Pete lewat alat walkie-talkie. Tapi harapan itu sia-sia belaka. Rupanya ketika kereta barang yang panjang akhirnya berlalu, truk yang di depan sudah tidak nampak lagi. Bisa dibayangkannya Konrad mondar-mandir memasuki jalan-jalan samping, sambil mencari-cari truk yang dibuntuti tadi. Tapi dalam gelap, ditambah lagi dengan bersimpang-siurnya jalan di kota Los Angeles, kemungkinan bisa menemukan kembali teramat kecil.
Dicobanya lagi memancarkan berita.
"Halo, Penyelidik Dua," katanya. "Di sini Penyelidik Satu. Kau menangkapku? Harap masuk, Dua!" Tapi yang menjawab bukan Pete. Terdengar suara yang tidak dikenal. Kedengarannya sebaya dengan dirinya sendiri.
"Halo," kata remaja itu. "Siapa di sana? Apa itu - Penyelidik Satu, Penyelidik Dua? Kalian sedang melakukan semacam permainan, ya? Aku ikut, dong!"
"Aku bukan sedang bermain-main," kata Jupiter dengan nada tegang. "Tolong panggilkan polisi untukku!" "Panggil polisi? Untuk apa?" tanya suara tak dikenal itu.
Jupiter berpikir dengan cepat. Kalau dikatakan berterus-terang, nanti anak itu tidak mau percaya. Karena memang terlalu sulit dipercaya!
"Aku terkurung di bak belakang truk," kata Jupiter kemudian. "Pengendaranya tidak tahu aku ada di sini. Aku ingin turun. Tolong panggilkan polisi - suruh mereka menghentikan truk ini supaya aku bisa keluar."
Jupiter memutuskan, kini sudah tiba saatnya untuk minta bantuan pihak lain. Dan hanya polisi yang bisa mencari truk itu, lalu menyelamatkan dirinya sebelum terlambat.
"Ya deh - akan kulakukan," jawab remaja tadi. "Rupanya kau tadi membonceng, lalu terkurung di situ! He - kau harus cepat-cepat bicara! Hubungan melemah."
"Baiklah," kata Jupiter gugup. "Dengar baik-baik. Aku ada dalam truk biru ukuran dua ton, dengan nomor PX 1043. Sekarang menuju Hollywood. Sepuluh menit lagi akan lewat di sana. Truk ini sudah bobrok dan -"
Tapi suara yang tak dikenal itu memotongnya.
"Ada apa?" tanya anak itu. "Aku cuma mendengar beberapa patah kata saja, lalu hilang. Rupanya kau sekarang menjauh dari tempatku. Kau masih bisa menangkap? Halo, masih bisa menangkap?" "Aku masih bisa menangkap," jawab Jupiter. "Kau masih bisa menangkap?"
"Halo! Halo!" seru anak itu. "Aku sama sekali tidak bisa menangkapmu. Rupanya sudah lewat dari jangkauan pemancarmu. Sayang."
Sekarang Jupiter mulai putus asa. Ia bingung, tidak tahu apa lagi yang bisa dilakukan. Pesawat walkie-talkie dimasukkannya kembali ke balik bajunya. Setelah itu ia mencari-cari, tindakan apa yang masih bisa dicoba. Tapi sekali ini ia menghadapi jalan buntu. Harry dan Joe tadi mengikat tutup peti dengan tali, sebelum peti itu dinaikkan ke atas truk. Jadi sekarang Jupiter tidak bisa keluar.
Tapi bukan itu yang digelisahkannya. Cukup banyak udara segar yang masuk lewat celah antara tutup dan peti. Ia mencemaskan hal yang akan datang nanti. Ia menelan ludah karena gugup, ketika membayangkan apa yang akan terjadi apabila truk berhenti. Harry dan Joe turun, mengambil peti, membuka tali pengikat - lalu membuka tutupnya.
Dalam peti akan mereka lihat Jupiter Jones, tak berdaya seperti kerang setelah kulitnya dicongkel sehingga terbuka.
Keringat dingin membasahi tubuh Jupiter.
Pasti nanti Harry, Joe dan orang yang memberi tugas akan berkerumun mengelilingi peti. Menatap dirinya yang terkapar di dalam. Dan mereka jelas tiga penjahat berbahaya. Sedang dia sendiri saksi yang bisa menjerumuskan mereka ke dalam penjara.
Jupiter berusaha untuk tidak memikirkan apa yang dilakukan penjahat besar terhadap orang yang bisa berbahaya sebagai saksi. Dicobanya mengatur siasat bertindak. Bagaimana jika ia langsung meloncat keluar lalu lari, begitu tutup peti diangkat? Barangkali saja ketiganya akan begitu kaget, sehingga tidak sempat berbuat apa-apa. Barangkali saja dia bisa melarikan diri dari mereka.
Tapi saat berikutnya, ia sendiri menyangsikan kemungkinan itu. Mereka bertiga. Tak peduli ke arah mana dia meloncat nanti, seorang dari mereka pasti berdirinya cukup dekat sehingga bisa cepat-cepat menyambar. Ia bertanya-tanya pada diri sendiri, apakah paman dan bibinya akan merasa kehilangan. Lalu Bob dan Pete - bagaimana jika keduanya tidak pernah bisa tahu apa yang terjadi dengan dirinya? Ada kemungkinan seumur hidup akan merupakan teka-teki bagi mereka.
Pikiran ke situ membuat Jupiter terharu sendiri. Tapi tiba-tiba truk berhenti. Syaraf Jupiter menegang. Menurut pikirannya, kini tibalah saat penentuan. Tapi tidak terjadi apa-apa. Sekitar lima menit kemudian, truk berangkat lagi. Ketika itu barulah Jupiter ingat lagi. Joe tadi mengatakan, sebelum mengantar peti ke alamat yang harus didatangi, ia harus menelepon pemesannya dulu. Mungkin itulah yang dilakukannya selama truk berhenti. Jupiter tidak bisa membayangkan, bagaimana hasil pembicaraan itu.
Sementara truk bergerak lagi, pikiran suram mulai merasuk ke dalam diri Jupiter kembali. Beberapa kali ia mengucapkan tekat dalam hati, apa yang akan dilakukannya lain kali. Kalau baginya masih ada lain kali! Tiba-tiba kewaspadaannya timbul kembali. Truk berhenti lagi. Jupiter mendengar bunyi sesuatu. Kedengarannya seperti pintu garasi yang dibuka. Ia langsung tahu, mereka sudah sampai di tujuan. Seketika itu juga seluruh ototnya menegang. Siap beraksi! Pikiran suram lenyap saat itu juga. Ia tidak mau tetap berbaring tanpa daya, apabila tutup peti dibuka nanti. Bagaimana jika yang dihadapinya tiga orang? Akan ditabraknya yang paling kecil, lalu minggat. Jupiter akan mempertahankan diri habis-habisan!

Sekarang terdengar bunyi pintu truk terbuka. Lewat pendengaran diikutinya perkembangan di luar. Bunyi menggeresek itu Joe dan Harry, yang naik ke bak belakang truk. Betul, karena sekarang mereka mengangkat peti. Sekali hampir terlepas pegangan yang satu.
"Ada yang aneh dengan peti mumi ini," terdengar suara Joe berkata. "Tadi di gudang, sewaktu kita mendorongnya, rasanya cukup enteng. Tapi ketika kita mengangkat untuk menggotongnya ke dalam truk, terasa jauh lebih berat. Sekarang juga masih berat."
Kalau ia mendengar kata-kata itu pada kesempatan lain, Jupiter pasti nyengir. Bisa dibayangkannya bagaimana tampang Joe saat itu. Heran. Bingung. Soalnya, setelah dia masuk ke situ, peti bertambah berat dengan lebih dari lima puluh kilo. Dan tentu saja berat yang berubah-ubah itu membingungkan kedua penjahat itu.
Tapi Jupiter tidak nyengir. Tidak bisa!
Ia menopangkan diri supaya jangan tergoncang, ketika peti diturunkan ke tanah dengan jalan setengah mengangkat dan setengah menggesernya. Kemudian didengarnya suara orang lain.
"Cepat- masukkan ke garasi!" Suara itu tidak jelas. Tapi peti mumi lantas diangkat, lalu dihempaskan ke lantai.
"Baiklah," kata suara orang yang ketiga. "Sekarang biarkan aku di sini dengannya selama sepuluh menit. Setelah itu kalian bisa mengambil peti ini serta muminya sekaligus, lalu membakarnya di salah satu tempat."
"Tapi sebelumnya kami minta pembayarannya dulu." Itu suara Joe. "Sebelum kami tinggal Anda sendiri dengannya. Kesinikan uang itu, atau peti kami bawa pergi lagi."
"Ya, ya, baiklah - ini uangnya, dalam kantongku. Dua ribu dollar. Tutup pintu! Nanti kubayar di luar - setengahnya sekarang, dan yang setengah lagi nanti pada saat kalian akan membawanya pergi untuk dibakar."
"Kuambil dulu taliku, sebelum aku lupa," kata Harry. "Pasti akan kuperlukan lagi."
Peti mumi tergoncang-goncang pada saat tali pengikat dilonggarkan. Kemudian terdengar suara Joe.
"Goblok! Biar saja di situ!" bentaknya. "Nanti kita perlukan lagi, pada saat mengangkutnya dari sini."
"Oke, oke," jawab Harry sambil menggerutu. "Nanti kueratkan kembali. Kita ambil saja uang kita dulu sekarang."
"Ayo keluar - di situ saja kubayar kalian." Pemesan yang tak dikenal Jupiter itu kedengarannya gugup. Seolah-olah ingin cepat-cepat menyuruh kedua penjahat itu keluar, pergi menjauhi peti mumi.
Jupiter mendengar bunyi pintu garasi digeser menutup. Setelah itu sunyi. Dengan hati-hati sekali ditolakkannya tutup peti ke atas. Ia mengintip ke luar. Ia berada dalam sebuah garasi. Tempat itu gelap. Tapi bisa diketahuinya bahwa ia seorang diri di situ. Dengan cepat didorongnya tutup peti ke samping, lalu ia melangkah ke luar. Tutup peti dikembalikan ke posisi semula. Setelah itu Jupiter memandang berkeliling. Mencari-cari pintu biasa yang mestinya juga ada di situ. Ia mencari pintu tempat lewat, jika masuk ke situ bukan dengan mobil. Sesaat kemudian ia berhasil mengenali pintu itu dari cahaya yang memancar masuk lewat kaca sebelah atas. Dengan segera ia melangkah ke situ. Tapi tepat saat itu pula pintu terbuka. Dengan cepat Jupiter merapatkan diri ke dinding garasi, di balik daun pintu.
Nampak remang-remang sosok tubuh orang yang masuk. Orang itu menutup pintu kembali, lalu menguncinya. Jupiter terkesiap kaget. Tapi orang itu tidak melihat dia yang meringkuk di pojok. Orang itu buru-buru membalik, lalu menuju ke peti mumi yang terletak di lantai. Ia menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan sikap puas.
"Akhirnya berhasil juga aku menguasaimu," katanya dengan suara agak keras. "Setelah sekian tahun berharap-harap. Dua puluh lima tahun aku menunggu. Tapi tak apa - setiap menit daripadanya ada harganya."
Orang itu mengeluarkan sebuah senter dari kantongnya, lalu disorotkan cahayanya ke tutup peti mumi. Rupanya ia tidak ingin diganggu di situ. Lampu garasi tidak dinyalakan, karena khawatir Joe atau Harry nanti mengintip untuk melihat apa yang dilakukannya di dalam.
Setelah meneliti peti beberapa saat, diangkatnya tutupnya dan digeletakkan ke lantai. Kemudian ia membungkuk, lalu meraba-raba sepanjang sisi dalam peti. Seolah-olah mencari sesuatu di situ.
Detik itu juga Jupiter beraksi. Begitu mendapat ide, dia langsung bergerak.
Dengan cepat dihampirinya orang itu, lalu didorongnya. Orang itu yang sudah membungkukkan tubuh jauh ke dalam peti, sambil terjerit kaget jatuh terjungkir ke dalamnya. Tinggal kakinya yang menggapai-gapai ke luar. Jupiter menyorong kaki itu, sehingga kini seluruh tubuh orang itu ada di dalam peti. Jupiter bergegas-gegas, didorong rasa cemas. Diangkatnya tutup peti, lalu dikembalikannya ke tempat semestinya.
Kini pemesan peti mumi, dalang yang mengatur segala siasat pencurian mumi serta petinya, terkurung dalam peti itu!
Tapi untuk berapa lama?
Jupiter cepat-cepat duduk di atas tutup peti, sebelum orang tadi pulih dari kagetnya dan mulai berusaha mengangkat tutup itu ke atas. Jupiter memberatkan tubuh. Di bawahnya tutup seperti berdansa, sementara orang yang terkurung di bawahnya berusaha keras hendak keluar. Tapi bobot tubuh Jupiter tidak bisa dianggap enteng, karena memang tidak enteng. Jupiter bertahan terus di atas. Keringatnya mengucur deras.
Orang yang terkurung dalam peti itu menggedor-gedor sisi dalam tutup peti, sambil berteriak-teriak.
"Joe! Harry! Kalian ini apa-apaan?"
Tapi suara yang terdengar dalam garasi cuma berupa gumaman tak jelas. Peti itu tertutup rapat, karena tidak ada benda yang terselip membentuk celah. Joe dan Harry yang ada di luar, pasti tak mendengar teriakannya itu.
Tapi Jupiter sadar, sebentar lagi kedua penjahat itu tidak bisa menahan kesabaran mereka lagi. Mereka pasti akan memeriksa ke dalam. Saat itu ia akan ketahuan. Lalu apa yang akan terjadi dengan dirinya?

Bab 17
PENGAKUAN MENAKJUBKAN

JUPITER tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Ia cuma bisa duduk terus di atas peti, supaya orang tadi tidak kuat mengangkat tutupnya. Apabila Joe dan Harry membuka pintu garasi lalu melihat dirinya di situ -
Jupiter mendengar suara ribut-ribut di luar. Ada orang berteriak-teriak. Teriakan kaget berbaur cemas. Bunyi tuter mobil memekakkan telinga. Lalu teriakan lagi bercampur-aduk. Suara orang berkelahi.
Jupiter tidak sempat bertanya-tanya dalam hati, apa sebetulnya yang sedang terjadi. Karena sementara itu tawanannya sudah berhasil membalikkan tubuh, ke sikap menelungkup. Kini orang itu mendorong dengan punggung. Dengan pelan tapi pasti, tutup peti mumi mulai terangkat ke atas. Walau Jupiter bertahan sekuat tenaga, tapi sebentar lagi tutup itu akan terguling. Dan Jupiter terbanting ke lantai.
Saat itu pintu garasi terbanting dengan keras, sehingga terbuka. Terdengar seseorang berseru, "Siapa di situ?" Disusul tangan menggerapai sakelar lampu di samping pintu. Detik berikutnya, ruang garasi menjadi terang benderang. Lampu yang terpasang di langit-langit menyala. Dengan tiba-tiba saja orang yang di dalam peti berhenti mendorong. Seolah-olah tahu ada sesuatu yang terjadi.
Sambil mengejap-ngejapkan mata, Jupiter berusaha menatap kerumunan yang berdiri agak di luar garasi. Kerumunan itu terdiri dari Pete dan Bob serta Hamid, ditemani oleh Profesor Yarborough serta Ahmed. Ya, betul Ahmed! Sesaat kemudian Konrad menggabungkan diri. Pemuda Jerman itu menggosok-gosokkan telapak tangannya dengan sikap puas.
"Keduanya sudah diikat dengan tali dari truk," ujar Konrad. Kemudian baru dilihatnya Jupiter yang basah berkeringat.
"Jupe!" serunya. "Kau tidak apa-apa?"
"Beres," Jupe berusaha bicara secara normal. "Bagaimana kalian bisa tahu-tahu ada di sini?"
Bob yang menjawab pertanyaan itu, karena yang lain-lainnya kelihatan masih bingung menghadapi pemandangan aneh yang ada di depan mereka.
"Ketika kami kehilangan jejak truk, kami -" Ia tertegun. Soalnya, Jupiter nyaris saja terpelanting jatuh, ketika dengan tiba-tiba orang yang ada di dalam peti memberontak lagi. "Siapa itu yang di situ?" tanya Bob dengan mata membelalak heran.
"Ya," sambung Profesor Yarborough, yang matanya terkejap-kejap di balik kaca mata tebalnya. "Siapa yang di dalam peti mumi itu?"
Jupiter menyeka mukanya dengan sapu tangan.
"Orang yang menyebabkan segala kejadian ini, enam bulan yang lalu," katanya. "Sardon, dukun peminta-minta yang mendatangi ayah Hamid, lalu meyakinkan dirinya bahwa Ra-Orkon itu moyangnya. Sardon, yang menghendaki agar ayah Hamid berusaha mencuri mumi. Maksudnya supaya apabila Sardon kemudian mencurinya, Keluarga Hamid akan dituduh melakukan perbuatan itu."
"Sardon! Sardon ada di sini?" seru Hamid bingung. "Aku tidak mengerti!"
"Tidak mungkin!" seru Ahmed, pengawal Hamid. "Sardon ada di Libia!"
"Nanti kutunjukkan," kata Jupiter. "Kurasa kita akan mampu menahannya, jika ia berusaha melarikan diri."
Jupiter merosot turun dari atas tutup peti mumi. Seketika itu juga tutup peti terpental ke lantai. Seorang laki-laki yang pakaiannya acak-acakan bangkit dari dalam peti, lalu menatap orang-orang yang ada di situ dengan pandangan liar.
"Dia bukan Sardon!" seru Hamid. "Sardon bermata satu, berambut gondrong beruban dan jalannya timpang ditopang tongkat."
"Itu samaran," jawab Jupiter. "Kucing Ra-Orkon, dalam kenyataannya kucing milik Mrs. Banfry yang disamarkan. Tukang kebun adalah Ahmed yang juga menyamar. Dewa Anubis itu Harry si maling yang juga menyamar. Sedang selama ini yang bernama Sardon sebenarnya juga seseorang yang menyamar. Orang ini."
Jupiter menuding orang yang baru bangkit dari peti mumi.
"Freeman!" Profesor Yarborough tersentak napasnya. Ia menatap orang itu dengan bingung. "Apa-apaan ini? Anda yang mencuri Ra-Orkon? Mencuri peti mumi? Maksudku, menyuruh orang untuk mencurinya?" Profesor Freeman nampak lesu. Disadarinya bahwa ia toh tidak bisa melarikan diri.
"Betul, Yarborough," katanya. "Aku sudah menunggu selama dua puluh lima tahun. Menunggu kesempatan bisa menguasai mumi beserta petinya -sejak saat mumi ditemukan. Sekarang, berkat sekawanan remaja yang terlalu ingin tahu, aku kehilangan satu juta dollar. Mungkin dua juta!"
"Betul!" Sekarang Ahmed yang berbicara. Ia melangkah ke depan, lalu menatap wajah Profesor Freeman. "Dia memang Sardon! Tampangnya sama, cuma kulitnya bule. Tapi suaranya persis! Inilah orang yang datang ke rumah majikanku, lalu membeberkan dongeng bahwa mumi Ra-Orkon itu moyang majikanku. Inilah orangnya, yang membujuk majikanku agar aku diutus ke sini. Aku harus berusaha mengambil kembali Ra-Orkon, supaya arwahnya bisa ditenangkan kembali. Pendusta!"
Diludahinya muka Profesor Freeman. Sarjana itu mengusap mukanya dengan gerakan lesu.
"Kurasa sudah selayaknya aku dihina begitu," katanya. "Akan kujelaskan segala-galanya. Kalian sekarang tentunya ingin tahu, apa sebabnya aku begitu keranjingan hendak memiliki Ra-Orkon."
"Ya, aku ingin tahu!" seru Profesor Yarborough. "Anda kan bisa dengan mudah datang untuk menelitinya di rumahku, kapan saja Anda mau!"
"Sebetulnya sama sekali bukan Ra-Orkon yang kukehendaki," kata Profesor Freeman, sambil melangkah keluar dari peti. "Aku mengingini peti kayu tempat muminya dibaringkan. Ayahku kan waktu itu ada bersama Anda, ketika Anda menemukan Ra-Orkon, Yarborough."

"Tentu saja," seru Profesor Yarborough. "Tenaga yang sangat baik. Aku sedih sekali ketika ia tewas terbunuh di dalam pasar kota lama Kairo."
"Yah," kata Profesor Freeman melanjutkan, "waktu itu ayahku menemukan sesuatu, mengenai mana Anda sama sekali tidak tahu-menahu. Suatu saat ketika ia sedang sendirian, ia sempat memeriksa keadaan peti ini. Waktu itulah ia menemukan sebuah rongga tersembunyi pada sisinya, disumbat dengan kayu. Dan dalam rongga itu - baiklah, kutunjukkan saja."
Profesor Freeman mengambil sebuah gergaji kecil yang tergantung di dinding garasi. Peti mumi direbahkannya ke satu sisi. Ketika melihat dia hendak menggergaji salah satu sudutnya, Profesor Yarborough buru-buru mencegah. "Jangan!" serunya. "Kata Anda ini benda yang tak ternilai harganya."
"Tapi masih kalah, dibandingkan dengan isinya yang di dalam." Profesor Freeman masih bisa tersenyum, walau senyuman lesu. "Kecuali itu, Anda kan memerlukan sepotong kayu dari peti ini, untuk melakukan pengukuran radioaktivitas karbon sebagai cara menentukan umurnya. Terus-terang saja, aku sebenarnya takkan perlu repot-repot mencuri peti mumi ini, jika ayahku waktu itu tidak merekatkan tutup rongga tersembunyi itu begitu kuat, sehingga untuk membukanya lagi diperlukan gergaji. Kalau itu dulu tidak dilakukannya, kapan-kapan saja aku bisa membukanya dengan santai. Di rumah Anda, Profesor Yarborough. Tapi ayahku tidak mau mengambil risiko yang tidak perlu. Ia sendiri berharap pada suatu waktu akan bisa memiliki peti mumi ini. Dia tidak mau ada orang lain mengetahui rahasianya."
Sementara itu Profesor Freeman sudah mulai menggergaji.
"Segala-galanya diceritakan ayahku lewat surat yang harus dikirimkan padaku, jika ada sesuatu yang terjadi dengan dirinya sebelum ia bisa memperoleh peti ini. Suratnya itu tiba di tanganku sesudah ia meninggal. Waktu itu aku masih mahasiswa jurusan sastra. Begitu suratnya kuterima, dengan segera aku memilih spesialisasi bahasa-bahasa Timur Tengah. Dengan begitu di kemudian hari aku bisa melawat ke Mesir, dan berusaha memperoleh mumi Ra-Orkon dari museum yang menyimpannya. Tapi aku tidak sampai berhasil. Tapi kemudian, enam bulan yang lalu, Anda sendiri bercerita padaku, Yarborough. Kata Anda waktu itu, mumi Ra-Orkon akan dikirimkan museum yang menyimpannya pada Anda.
"Aku langsung terbang ke Mesir. Tapi sesampai di sana ternyata peti mumi tidak bisa kuminta. Aku lantas menyusun rencana. Aku akan membujuk seorang Libia yang kaya. Kuyakinkan padanya, Ra-Orkon itu moyangnya. Aku menyamar jadi Sardon, dukun peminta-minta. Lalu kudatangi Hamid yang tua, seorang Libia pedagang permadani yang kaya. Berkat pengetahuan bahasaku, aku sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk bicara dalam berbagai bahasa asing, ketika aku pura-pura kemasukan roh. Aku benar-benar berhasil meyakinkan Hamid yang tua, sehingga ia mengutus anaknya yang dikawal oleh tangan kanannya ke sini, untuk mengusahakan agar mumi dikembalikan padanya. Kalau perlu dengan jalan mencuri. Dan justru itulah yang kukehendaki.
"Tentu saja, dari semula aku sendiri sudah berniat untuk mencuri mumi beserta petinya, jika jalan lain tidak ada yang berhasil. Dan aku bermaksud mengalihkan kecurigaan pada keluarga Hamid. Aku tahu bahwa utusan Hamid yang tua tentunya memerlukan waktu untuk mengatur persiapan. Aku juga yakin, dia tentu mula-mula akan mendatangi Anda untuk meminta mumi dengan baik-baik. Dan Anda pasti akan menolak.
"Dengan begitu, apabila aku kemudian terpaksa mencuri mumi, kecurigaan akan terarah pada Keluarga Hamid, dan bukan padaku. Tapi aku masih berharap takkan terpaksa mencurinya. Aku harus bisa menakut-nakuti Anda, dengan jalan membikin mumi berbisik. Kusangka Anda akan begitu gugup, sehingga ingin secepat-cepatnya menyingkirkan mumi beserta petinya dari rumah Anda. Aku berharap Anda akan menitipkannya padaku, supaya aku bisa berusaha menafsirkan makna bisikan misterius itu. Dengan begitu secara santai aku akan bisa membuka peti mumi. Setelah itu Ra-Orkon akan kukembalikan, setelah kusembuhkan dari kebiasaan buruknya, berbisik-bisik.
"Tapi Anda keras kepala. Kecuali itu Anda juga mengatakan. Anda bermaksud menggergaji sudut peti sedikit untuk keperluan pengujian. Aku sudah khawatir saja, jangan-jangan Anda nanti secara kebetulan menemukan barang yang tersembunyi di dalamnya. Jika aku masih ingin mendapat barang itu, aku harus bertindak cepat! Karenanya kusewa tenaga dua orang pencuri profesional, untuk mengambilnya. Lalu - nah! Selesai."
Sudut peti yang digergajinya terlepas. Nampak rongga gelap di tengah kayu dasar peti mumi.
"Sudah kusangka dari semula, bunyinya di situ seperti kosong." gumam Profesor Yarborough, sementara Profesor Freeman menarik-narik kertas kulit yang menyumbat rongga itu.
"Aku tahu," kata Profesor Freeman. "Karena itulah aku perlu bertindak cepat - sebelum Anda menjadi terlalu ingin tahu lalu menyelidiki. Sekarang kita lihat saja apa yang ditemukan ayahku dalam makam gelap di Mesir, dua puluh lima tahun yang silam."
Disentakkannya kertas kulit itu ke luar. Ternyata itu sebuah bungkusan yang lumayan besarnya. Dengan hati-hati Profesor Freeman meletakkannya ke lantai, lalu membukanya. Saat berikutnya, napas hadirin di situ tersentak semua. Tanpa kecuali! Di mana bungkusan terbuka, lantai seakan-akan menjelma menjadi lautan api mini. Cahaya kemilau bagaikan pelangi, menyilaukan mata.
"Permata!" desah Profesor Yarborough. "Permata kuno dari jaman Firaun! Sebagai permata saja nilainya sudah teramat tinggi - apalagi kalau mengingat antiknya!"
"Sekarang Anda tentu mengerti, apa sebabnya peti mumi ini begitu penting artinya untukku. Dan apa sebabnya aku menggunakan berbagai jalan untuk memperolehnya." Profesor Freeman mengeluh. "Ayahku dulu tidak berani membawa harta ini semuanya sekaligus. Cuma dua tiga butir saja yang diambilnya, sedang yang selebihnya disimpan untuk lain kali. Menurut dugaanku, pembunuhan terhadap dirinya di Kairo itu disebabkan karena adanya batu-batu permata itu pada dirinya. Rupanya saat itu ia hendak menjualnya."
Profesor mengejap-ngejapkan mata.
"Mulai terbentuk suatu teori dalam pikiranku," katanya. "Maksudku, tentang Ra-Orkon. Mana mumi itu?"
"Di sana." Profesor Freeman menuding ke arah belakang garasi. "Kututup di bawah beberapa lembar kain goni."
"Syukurlah!" desah Profesor Yarborough. "Teoriku itu -"

Tiba-tiba ia tertegun.
"Tapi itu bisa menunggu," katanya lagi. "Masih banyak yang harus Anda jelaskan, Freeman. Pertama-tama, bagaimana cara Anda membuat mumi itu bisa berbisik-bisik padaku."
Sikap Profesor Freeman menjadi semakin lesu. Kelihatannya seperti seseorang yang sudah putus harapan. "Bawa batu-batu permata itu ke dalam rumah," katanya, "di situ nanti aku akan membeberkan segala-galanya."

Bab 18
PEREMBUKAN DENGAN MR. HITCHCOCK

ALFRED HITCHCOCK, sutradara kenamaan, duduk di belakang meja kerjanya di kantor. Diletakkannya lembar terakhir laporan pengalaman Trio Detektif, yang sekali ini berhasil membongkar rahasia mumi yang bisa berbisik-bisik. Ia memandang ke seberang meja. Ditatapnya Jupiter, Bob dan Pete yang duduk dengan sikap tegang.
"Bagus," kata Mr. Hitchcock dengan suaranya yang berat. "Tapi rupanya beberapa kali terjadi saat-saat menegangkan, sebelum akhirnya kalian berhasil."
Saat-saat tegang? Pete menelan ludah, karena terkenang pengalamannya terkurung dalam peti mumi. Tapi wajah Jupiter yang seperti bulan purnama memancarkan sinar kepuasan.
"Ya, Sir, " katanya. "Jadi Anda bersedia memberi kata pendahuluan pada kisah pengalaman kami ini?"
"Tentu saja aku mau," kata Mr. Hitchcock. "Tapi sebelum itu, masih ada beberapa persoalan sepele yang ingin kuperoleh penjelasannya."
"Ada yang kelupaan, Sir?" tanya Bob cemas. Dialah yang bertanggung jawab menuliskan segala catatan. "Ah - satu atau dua penjelasan," kata Alfred Hitchcock menenangkan. "Aku tidak mempersalahkan dirimu. Memang, penjelasan terasa kering apabila dibaca. Tapi walau begitu, aku tetap ingin mengetahuinya." "Yes, Sir!" kata Bob sambil bersiap-siap.
"Nanti dulu -" Mr. Hitchcock menyusun jari-jarinya membentuk sudut lancip, "- kurasa latar belakang segala kejadian ini sudah jelas. Dua puluh lima tahun yang lalu, sahabatku Profesor Yarborough menemukan mumi Ra-Orkon. Waktu itu Aleph Freeman, ayah Profesor Freeman, juga menemukan bahwa dalam peti mumi Ra-Orkon tersembunyi harta berupa batu-batu permata. Timbul niatnya untuk memiliki harta itu. Tapi sebelum niatnya terlaksana, ia telah tewas terbunuh. Namun rahasianya sempat diteruskan pada anak laki-lakinya. Dan anak laki-lakinya itu kemudian mencurahkan seluruh kehidupannya untuk menemukan harta itu."
"Betul, Sir," sela Bob. "Kini Profesor Yarborough punya teori mengenai sebabnya mumi Ra-Orkon dimakamkan dengan begitu sederhana, hanya ditemani kucing kesayangannya saja. Dan dalam makam yang tersembunyi letaknya. Pada jaman itu sering terjadi perampokan makam. Makam raja-raja dibongkar, untuk diambil harta yang ada di dalamnya. Sanak kerabat Ra-Orkon mengharapkan para perampok itu bisa dikelabui dan mengira makamnya tak ada nilainya. Padahal seluruh hartanya ikut terkubur bersama muminya."
"Masuk akal," kata Mr. Hitchcock. "Tapi sekarang biar aku yang melanjutkan. Profesor Freeman menyamar sebagai Sardon, si dukun. Ia mengarang kisah yang fantastis, supaya Keluarga Hamid ikut terlibat dalam urusan itu. Ia bermaksud memakai mereka sebagai alat untuk menutupi jejaknya sendiri. Freeman pernah melihat gambar kucing Mrs. Banfry. Dilihatnya, kucing itu ada miripnya dengan kucing Ra-Orkon. Kenyataan itu dijalinnya ke dalam dongengnya, supaya bisa lebih diterima. Setelah itu dicurinya kucing milik Mrs. Banfry. Sesudah kedua kaki depannya dicat hitam, kucing itu diselundupkannya ke tempat tinggal Hamid di sini."
"Ya, Sir, "kata Jupiter sambil mengangguk. "Profesor Freeman sudah mengakuinya."
"Jadi," sambung Mr. Hitchcock, "Ahmed dan Hamid sebenarnya hanya melaksanakan rencana Freeman, ketika mereka berusaha memperoleh mumi itu dari Profesor Yarborough. Freeman yang membikin mumi berbisik. Maksudnya, supaya Yarborough mau meminjamkan mumi itu padanya. Tapi ketika niat itu ternyata gagal, dikontraknya Joe dan Harry untuk mencurinya. Ia kaget dan kecewa ketika yang diambil ternyata cuma muminya saja. Karena sebetulnya dari semula yang diingininya adalah peti mumi."
"Betul, Sir, " kata Bob. "Dan ternyata kedua penjahat itu mengantarkan mumi Ra-Orkon ke tempatnya, ketika Jupe, Profesor Yarborough dan saya sendiri sedang ada di situ. Saat itu kami sedang mendengarkan rekaman suara bisikan yang katanya diucapkan mumi Ra-Orkon. Kalau Worthington waktu itu tidak memarkir mobil agak jauh ke bawah, pasti dia bisa melihat mereka. Karena itu pula ketika Profesor Freeman kembali, dia membawa hidangan minuman ginger ale. Maksudnya untuk menutupi kenyataan bahwa ia pergi agak lama. Dan saat itu pula ia menyuruh Joe dan Harry kembali lagi untuk mengambil peti mumi. Kami ditahannya berlama-lama sambil mendengarkan rekaman suara mumi, supaya cukup waktu bagi kedua penjahat itu untuk melakukan pencurian. Dialah yang mengusulkan pemakaian topeng ajak sebagai samaran, apabila mereka kebetulan terlihat oleh Wilkins."
"Dia memang sangat cerdik," kata Alfred Hitchcock. "Tapi Pete - kau dan Hamid mengikuti jejak peti mumi itu. Caranya benar-benar luar biasa, karena kalian masuk ke dalamnya. Dan aku juga sudah tahu bagaimana kau sampai berhasil menemukan peti itu kembali, Jones. Tapi sekarang kita sampai ke bagian yang tidak kumengerti."
Sambil berkata begitu Mr. Hitchcock menatap mereka dengan kening berkerut. Ketiga remaja di depannya merasa agak gelisah.
"Ya, Sir?" tanya Jupiter dengan suara pelan, berlainan dengan kebiasaannya.
"Setelah kawan-kawanmu kehilangan jejakmu dalam truk biru," kata sutradara kenamaan itu dengan suara menggelegar, "bagaimana mereka tahu-tahu sudah berada di tempat kau berhasil mengurung Profesor Freeman? Dan tepat pada saat kau memerlukan bantuan mereka?"
"Sebaiknya kau saja yang memberi jawaban, Pete," kata Jupiter pada temannya itu.
"Beres," kata Pete santai, lalu buru-buru membetulkan, "Eh - maksud saya - ya, Sir. Begini, Mr. Hitchcock. Setelah kami kehilangan jejak truk biru itu, kami lantas menegaskan kecurigaan yang memang sudah ada. Pasti Ahmed yang menjadi dalang pencurian itu. Kami lantas menjemput Profesor Yarborough di rumahnya. Lalu beramai-ramai berangkat ke tempat tinggal Ahmed. Tapi saat itu Ahmed sedang ada tamu, beberapa orang yang berminat membeli permadani. Orang-orang itu sedang minta diri ketika kami datang. Ahmed, ketika kami lontarkan tuduhan padanya, kagetnya bukan main, Sir! Ternyata dia tidak bersalah sama sekali. Akhirnya kami memutuskan, lebih baik menghubungi polisi saja. Tapi sebelum itu Profesor Yarborough masih hendak minta nasihat dari Profesor Freeman, sahabatnya. Yaitu apa yang harus dikatakan pada polisi. Lalu -"

"Jangan teruskan," gerutu Alfred Hitchcock. "Sekarang aku mengerti. Kalian bergegas berangkat ke rumah Freeman. Begitu sampai, kalian melihat ada truk biru diparkir di depan garasinya. Rupanya ketika kedua penjahat yang hendak mengantarkan peti mumi meneleponnya dari tengah jalan, ia mengatakan agar peti itu diantarkan ke alamat semula, karena ternyata tidak ada yang membuntuti truk. Begitu perkiraannya. Sedang keinginan Yarborough untuk menemui sahabatnya itu dulu, menyebabkan kalian tiba di situ pada saat yang tepat."
"Betul, Sir, " kata Jupiter setuju. "Harry dan Joe langsung ditangkap polisi. Ternyata mereka itu residivis yang sudah sering melakukan kejahatan. Tapi Profesor Yarborough hendak berusaha agar Freeman bisa dibebaskan. Katanya Freeman pada dasarnya bukan penjahat. Dan besar kemungkinannya kini jera. Profesor Freeman minta berhenti dari pekerjaannya di universitas. Kalau ia bisa dibebaskan dari segala tuntutan, ia bermaksud hendak pergi ke Timur Tengah. Di sana ia hendak memanfaatkan pengetahuan bahasanya untuk kepentingan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedang Profesor Yarborough hendak mengembalikan harta Ra-Orkon ke Mesir. Sphinx sudah kami serahkan pada Mrs. Banfry. Hamid dan Ahmed sudah kembali ke Libia. Keduanya merasa lega, karena penipuan sudah terbongkar sebelum terlambat. Hamid sudah berjanji pada kami, dia akan mengirimkan permadani dari Timur Tengah khusus untuk ditaruh dalam markas besar kami. Permadani itu akan dibuatkan berpola tanda tanya kami. Yah - itulah semuanya!"
"Belum!" tukas Alfred Hitchcock, sambil menatap Jupiter dengan tajam. "Kalian belum menceritakan misteri yang paling besar dalam kasus ini. Bagaimana mumi itu sampai bisa berbisik?"
"O, itu." Air muka Jupiter tidak berubah. Padahal mungkin saja remaja itu tersenyum. "Dengan teknik suara perut, Sir. Persis seperti yang dikatakan semula oleh ayah Bob."
"Anak muda," kata Alfred Hitchcock lambat-lambat, "aku sudah bertahun-tahun berkecimpung dalam dunia hiburan. Aku tahu betul, ventrilokuis tidak melemparkan suara mereka ke tempat lain, seperti dugaan kebanyakan orang. Mereka berbuat, seolah-olah sebuah boneka yang bicara. Tapi untuk itu, mereka harus berada di dekat boneka itu. Mereka tidak bisa memindahkan suara dari kejauhan!"
Bob dan Pete berpandang-pandangan. Soalnya, mereka menyangka para artis suara perut memang bisa memindahkan suara mereka ke mana saja. Tapi Jupiter mengangguk.
"Betul, Sir," katanya tenang, "tapi Profesor Freeman bisa! Soalnya, ia selalu berada di tempat yang jauh dari lokasi kejadian, sehingga awal-mulanya saya sama sekali tidak mencurigai dirinya. Padahal kecurigaan itu seharusnya timbul. Karena dia kan menguasai beberapa bahasa Timur. Jadi Profesor Freeman yang paling mungkin membikin mumi berbisik-bisik dalam bahasa Arab Kuno.
"Tapi saya belum mencurigai dirinya, sampai saya mengetahui bahwa kucing itu palsu. Lalu timbul perasaan yang mengatakan, ada sesuatu yang aneh dalam cerita Sardon. Saya lantas bertanya-tanya dalam hati, betulkah Sardon itu pengemis - atau cuma seseorang yang menyamar jadi pengemis. Jika ternyata seseorang yang menyamar, maka orang itu tentunya Profesor Freeman. Soalnya, ayah sarjana itu yang semasa hidupnya bekerja pada Profesor Yarborough, banyak mengetahui tentang mumi itu. Lagipula Freeman satu-satunya orang dalam kasus ini yang bisa bercakap-cakap dengan lancar dengan ayah Hamid. Lalu kemudian ketika katanya kemasukan roh, berbicara dalam berbagai bahasa asing."
"Deduksi yang baik sekali." Mr. Hitchcock mengangguk-angguk. "Tapi pertanyaanku tadi belum kaujawab."
"Memang belum, Sir. Sebentar lagi," kata Jupiter. "Sebagai ahli bahasa yang sering mengadakan penyelidikan, Profesor Freeman sudah bisa bergaul dengan berbagai jenis mikrofon serta alat-alat perekam suara. Saya rasa Anda juga tahu, kini ada semacam mikrofon khusus, yang jika difokuskan dengan tepat memiliki kemampuan menangkap pembicaraan yang dilakukan di tempat yang agak jauh dari mikrofon itu sendiri."
Dari air muka Mr. Hitchcock nampak bahwa sutradara itu kini mulai mengerti.
"Ya, aku tahu," katanya. "Teruskan, Jones."
"Lalu, Sir-ada pula pengeras suara terarah, yang bisa memancarkan suara secara lurus sampai lebih dari seratus meter, dan cuma bisa ditangkap di satu tempat saja. Profesor Freeman punya alat pengeras suara seperti itu di balkonnya. Tempat tinggalnya terletak di lereng ngarai, tepat berseberangan dengan rumah Profesor Yarborough. Jarak yang memisahkan kedua rumah itu sekitar dua ratus lima puluh meter.
"Profesor Freeman merekam serangkaian kalimat, yang kedengarannya seperti bahasa Arab Kuno. Lewat teleskop, diperhatikannya Profesor Yarborough yang sedang bekerja dalam ruang museumnya, dengan pintu-pintu angin terpentang lebar. Ia tahu, profesor sahabatnya itu paling tidak suka berada dalam ruangan yang tertutup. Jadi ia tinggal menghidupkan tape-recorder, lalu mengarahkan suara yang direkam ke seberang ngarai. Arahnya ke suatu tempat tertentu, yang cuma bisa terdengar apabila telinga didekatkan ke mulut mumi.
"Biasanya ia melakukannya pada waktu sore, sekembalinya dari bekerja. Dan juga hanya jika Profesor Yarborough sedang sendirian dalam ruang museum. Kekecualiannya hanya ketika saya menyamar menjadi profesor itu. Dengan begitu timbul kesan, seolah-olah mumi bisa mengenali Profesor Yarborough, Sir, - dan tidak mau bicara dengan orang lain kecuali dia.
"Ketika Profesor Freeman menyatakan mau datang untuk memeriksa mumi, tape-recorder sudah dihidupkan terlebih dulu sebelum ia meninggalkan rumah. Rekaman pada pita sudah diatur begitu rupa, sehingga bagian awalnya tak berisi suara sama sekali. Setelah itu suara bisikan mulai lagi sementara ia dalam perjalanan. Lalu berhenti, pada saat ia tiba di rumah Profesor Yarborough. Semua sudah diatur, supaya tidak timbul kecurigaan terhadap dirinya.
"Pada malam Harry dan Joe memakai topeng ajak dan mencuri mumi, Profesor Freeman sempat naik ke tingkat atas rumahnya untuk berbisik-bisik ke dalam lorong suara yang terarah ke tempat Wilkins. Ia tahu, suara itu pasti akan membuat laki-laki tua itu kaget, lalu pingsan. Jadi itu kan bisa dibilang teknik yang dipakai artis ventrilokuis juga. Tapi dengan bantuan peralatan ilmiah."
"Menakjubkan," kata Alfred Hitchcock lambat-lambat. "Jadi Sphinx sudah dikembalikan pada Mrs. Banfry, mumi sudah tidak berbisik-bisik lagi, permata akan dipulangkan ke Mesir, dan kasus kalian selesai. Aku ingin tahu, petualangan apa lagi yang akan kalian hadapi berikutnya."

"Ada beberapa kemungkinan untuk itu, Sir, " kata Bob sambil mengambil secarik kertas dari kantongnya, "misalnya saja -"
"Jangan!" Sutradara itu mengangkat tangannya. "Jangan bilang sekarang! Jangan-jangan aku nanti sibuk berpikir-pikir mengenainya. Padahal masih ada pekerjaanku yang lebih penting. Biar saja aku nanti mendengarnya dari kalian, kalau sudah ada hasilnya. Sekarang maafkan, tapi kalian terpaksa kupersilakan pergi. Soalnya, aku betul-betul sedang banyak kerja."
Sementara ketiga remaja itu berbondong-bondong keluar, sutradara itu melirik tumpukan kertas yang ditinggalkan di atas meja kerjanya. Walau tadi mengatakan tidak mau, tapi akhirnya ia berpikir-pikir juga. Apa lagi petualangan berikut, yang akan dihadapi Trio Detektif? Tapi satu hal sudah jelas. Kasusnya pasti luar biasa!
Alfred Hitchcock tidak sangsi sedikit pun mengenainya.

TAMAT