Pendekar Mabuk 137 - Duel Asmara(1)





1
KETAMPANAN dan kekonyolan Suto Sinting sering menjadi daya tak tersendiri bagi iawan jenisnya. Bayi baru iahirpun mengakui bahwa Suto Sinting yang bergelar Penekar Mabuk itu memang punya wajah tampan.
Bentuk tubuhnya yang tinggi, tegap, gagah dan berkesan jantan itu sering dijadikan buah khayalan para wanita
Hanya wanita buta saja yang tidak pernah berkhayal tentang keperkasaan Pendekar Mabuk. - Meskipun muridnya si Gla Tuak dan Bidadari jalang itu sudah punya calon istri, yaitu dyah Sariningrum alias Gusti Mahkota Sejati, yang menjadi ratu di negeri Puri Gerbang Surgawi, tetapi kenyatannya masih banyak pula para gadis yang nekat jatuh cinta pada bocah sinting tanpa pusar itu.
Suto sendiri memang tergolong pemuda tengil dan suka iseng, tapi tak pernah jajan'. ia gemar membuat hati para gadis menjadi berdebardebar penuh harap kepadanya. Tapi seialu mempertaruhkan nyawanya untuk gadis-gadis yang jatuh hati
padanya. Ada yang jatuh hati secara terang-terangan, ada pula yang jatuh hati secara geiap-gelapan alias munafik, ada juga yang jatuh hati secara bertubi-tubi. Salah satu gadis yang jatuh cinta pada Suto Sinting secara terang-terangan adalah murid mendiang Nyai Gagar Mayang, tinggalnya di Lereng Buana. Gadis itu bernama Dariingga Prasti, tapi lebih dikenai dengan panggiian: Perawan Sinting.
walaupun sebenarnya dia bukan gadis panggilan. Sementara itu, gadis yang jatuh hati kepada Sute secara munafik di antaranya adalah murid Eyang Girimaya dari Biara Perak. Gadis itu dikenal Ratu Rimba,
"Perawan Sinting bukan gadis yang lemah. Lembut pun bukan. Dia gadis yang keras, penuh keberanian, dan ilmunya cuk|p tinggi," begitu tutur Mahesa Gibas jika sedang menyombongkan majikan-nya dari kedai ke kedai.
"Pedangnya saja Bisa buat mendatangkan hujan petir, sebab pedang itu adalah pedang pusaka maut. Boleh dibilang, pedang itu adalah pusaka terampuh nomor dua setelah P?dang Kayu Petir. Siapa berani
coiek Perawan Sinting, wees, hewees. heewes... babias
nyawanya. "Kudengar, Perawan Sinting itu gadis yang galak gitu .apa benar begitu?"
"Memang. Memang galak dan mernang kasar, tapi sebenarnya dia gadis berhati mesra. Kalau saja di dunia ini tidak ada Pendekar mabuk. pasti akuiah pria yang menjadi idaman Perawan Sinting. Sayangnya di dunia ini ada Pendekar Mabuk yang gantengnya hanya satu tingkat di atas nilai kegantenganku, jadi yaah... aku mengalah saja. Biarlah P?rawan Sinting menaruh hati pada Suto Sinting. Aku sih gampang saja.... Peribahasa mengatakan: tak ada rotar akar pun berguna... tak ada perawan, janda pun boleh juga."
"Haa, haa, haa, haa, h?a...!" Sementara itu, di antara para murid Eyang Girimaya" juga sering terjadi budaya gosip-menggosip, terutama jika mereka sedang ngerumpi.
Belakangan ini yang sering mereka bicarakan adalah si Ratu Rimba, karena diam-diam para murid di kalangan Biara Perak kagum terhadap Ratu Rimba yang dianggap berhasil mendekati Pendekar Mabuk,
"Si rambut ungu itu memang hebat. Dala m sekejap
saja ia sudah dapat gacoan setampan itu."
"Maklum dia memang cantik sih.pria mana yang
. tidak terpikat oleh senyumannya yang dikenal mendatangkan kiamat di hati para pia itu?"
"Ratu Rimba bukan hanya cantik, tapi juga berimu tinggi. Menurutku, iimunya si Ratu Rimba setingkat dengan ilmunya Pendekar Mabuk."
"Aah, terlalu berlebihan bagaimanapun juga si Ratu Rimba tetap tidak lebih tinggi ilmunya dari si Pendekar Mabuk!
"Anggap saja begitu. Tap/menurut penilaianku, dia memang pantas mendapatkah pria setampan Pendekar Mabuk."
"Cuma, sayang sekali Kadang aku kasihan kepada Pendekar Mabuk yang sering dibentak-bentak oleh Ratu R!mba."
"Biarpun dia berwatak keras, kasar, ringan tangan, mudah tersinggung, tapi hatinya peka terhadap kelembutan dan asmara. Sayangnya lagi.... Ratu Rimba tak berani terang-terangan mengharapkan kemesraan dari Pendekar Mabuk. sok berlagak cuek. Padahal butuh banget!" -
"itu memang wataknya. la selaiu menjaga diri agar tidak dianggap gadis murahan oleh setiap lelaki. Makanya jarang ada lelaki yang berani mendekatinya."
"Ooo, berani dekat-dekat dia, telaki itu bisa kehiiangan usus Berani menggoda dia, bisa jebol perut leiaki itu."
"iya. Tentu saja tak semua lelaki berani mendekati Ratu Rimba, sebab Ratu Rimba mempunyai jurus pedang maut yang dinamakan jurus 'Pedang Mata Bima!' itu."
"Hebatnya iagi, dia punya air liur yang bisa jadi obat jika dicampur air iiur lawan jenisnya. Tentu saja kalau Pendekar Mabuk terluka, dapat segera sembuh jika iangsung ciuman dengan Ratu Rimba."
"Aduh, enak sekali tuh si Ratu Rimba."
Memang begitulah Ratu Rimba. Sebagai keturunan Dewi Naga Ayu, nenek buyutnya, gadis itu rnemang mempunyai air iiur mujarab. Mendiang ibunya sendiri, Ratna Umbari aiias si Ratu Merak, juga mempunyai air liur yang bisa dijadikan obat bagi iawan jenisnya. Mendiang nenek buyutnya yang bernama Dewi Naga Ayu itu adalah bidadari asli dari Kahyangan. Karena melakukan kesalahan, bidadari asli itu dibuang kebumi dan belakangan diketahui bahwa Dewi Naga Ayu itu ternyata istri pertamanya si Glia Tuak. Belakangan juga baru diketahui bahwa Ratu Rimba ternyata cucu buyut
-.nya si Gila Tuak. Keturunan kelima dari Dewi Naga Ayu baru bisa diizinkan oleh para dewa untuk tinggal di Kahyangan.
Padahal Ratu Rimba itu adaiah keturunan keempat dari Dewi Naga Ayu. Maka anaknya Ratu Rimba itulah yang berhak masuk Kahyangan dan tinggal di sana bersama dewa-dewi, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "MUSTIKA GERBANG DEwA").
Cerita tentang Dewi Naga Ayu baru-baru ini telah menyebar ke mana-mana. Para tokoh rimba persilatan yang semula belum tahu tentang hal itu, sekarang menjadi tahu. Bahkan gosip hubungan gelapnya Ratu Rimba dengan Pendekar Mabuk juga menjadi buah bibir pada penggosip di rimba persilatan.
Gosip itulah yang membuat seorang gadis berpakaian rompi cekak warna ungu berdiri diatas bukit kecil tanpa pohon. Bukit itu hanya ditumbuhi rumput hijau yang mirip lapisan permadani.
Gadis cantik bertubuh tinggi. kekar. seksi dan montok itu tak lain adalah Perawan Sinting. - Di depan Perawan Sinting yang pedangnya ditaruh di punggung itu, ada seorang gadis berusia sebaya dengannya. Gadis itu mengenakan rompi cekak dan rok cekak dari kulit harimau loreng. Ia juga menyelipkan
pedang di punggungnya. Gadis berambut ungu itu tak iain adalah Ratu Rimba.
Kedua gadis yang sama-sama memakai rompi tak sampai menutup perut, sama-sama montok, sama-sama cantik dan sama-sama galak itu saling pandang penuh sikap hermusuhan. Mereka beradu pandang dengan tatapan mata sama-sama setajam ujung pedang masing-masing.
Perawan Sinting berhadapan dengan Ratu Rimba. Mereka siap melakukan pertarungan berdarah. Mereka sama-sama siap mati kapan saja.
Tak jauh dari bukit berumput hijau rapi itu, ada sebuah desa yang penduduknya cukup padat. Desa itu bernama Desa Narong, terdiri dari satu keiurahan, lima RW sebelas RT. Kepala desanya bernama Ki Lurah Wirasaba. Desa tersebut masih termasuk wilayah kekuasaan Kadipaten Rangon, yaitu sebuah kadipaten kecil yang pusat pemerintahannya dekat Pantai Lujalang.
Ki Lurah Wirasaba mempunyai seorang putri cantik berkulit hitam manis namun berhidung mancung, berbibir sensuai dan memiiki mata yang indah.
Putri sulungnya itu bernama Murtina. usianya masih tujuh belas tahun kurang tiga bulan. Tubuhnya yang iangsing dan tergolong tinggi untuk ukurangadis desa, membuat Murtina tampak sudah dewasa dan iayak menjadi ibu rumah tangga.
Sekaiipun Murtina menjadi bunga desa, namun ternyata tidak ada satu pun pemuda desa yang berani mendekati Murtina. Para pemuda, bahkan para duda yang gemar berkhayai jorok, hanya bisa menikmati kecantikan Murtina jika gadis itu sedang keluar rumah. -
Atau kadang mereka hanya berani mengkhayalkan Murtina agar hadir dalam mimpi. Rasa takut mendekati Murtina itu timbui di hati para pemuda desa, karena mereka tahu bahwa Murtina akan diambii istri oieh Pangeran Moya, putra sang adipati.
Pangeran Moya sudah 'pesan tempat lebih dulu kepada Ki Lurah Wirasaba pada saat Murtina masih berusia dua belas tahun. Pada usia semuda itu, kecantikan Murtina sudah tampak jelas di mata pria mana pun.
"Ki Lurah Wirasaba, kelak jika usia anakmu itu sudah mencapai tujuh belastahun, aku akan datang untuk meminangnya dan membawanya pulang ke istana. Jadi, tolong jaga baik-baik pertumbuhan Murtina, jangan
sampai ada pria lain yang berani menyentuhnya. Kalau sampai ada pria lain yang berani macam-macam kepada Murtina, maka pedangku akan memberi teguran lembut di lehernya. Mengerti?"
"Hamba mengerti, Gusti Pangeran!"jawab Ki Lurah Wirasaba penuh rasa hormat dan takut kepada Pangeran Moya yang terkenal mata keranjang dan mata buaya. -
Putra sulung sang adipati itu memang brengsek. Dia sudah punya istri, sudah punya deiapan selir, tapi masih rakus perempuan. Melihat ada peremp uan cantik sedikit, kerakusannya segera bangkit untuk ' mencicipi' perempuan itu.
Bagi Pangeran Moya, perempuan itu ibarat sandai jepit. Kaiau setelah dicoba ternyata enak dipakai ya dimiliki dan dijadikan koleksi. Tapi kalau setelah dicoba ternyata sandai itu tidak enak dipakai, ya dipuiangkan kepada pemiliknya dengan diberi ganti rugi sebagai uang uji coba alakadarnya.
Memang brengsek Pangeran Moya itu. Bayangkan saja, dengan adanya pesan tempat sang pangeran, akhirnya Murtina tak bisa bermain dengan bebas.
Apalagi sang pangeran menaruh mata-matanya di Desa Narong untuk mengawasi Murtina, semakin sempit saja pergaulan gadis cantik itu. Ayahnya selaiu melarang
Murtina bermain dengan teman-teman ieiaki. Jika ada teman pria yang datang ke rumahnya untuk sekedar bermain saja, Murtina tidak diizihkan menemui pria itu.
Hanya pelayannya yang bernama Genduk yang diizinkan menemui teman pria itu. |
"Kau hanya boieh bermain dengan sesama perempuan. Kaiau kau kelihatan bicara dengan seorang pemuda, pasti ayahmu ini akan kena teguran. Mungkin juga akan dihukum cambuk oleh Pangeran Moya," ujar sang ayah mewanti-wanti anaknya.
"Sudah bertahun-tahun aku selalu main dengan teman perempuan, Ayah. Alangkah piciknya pergauianku nanti," protes Murtina.
"Jangan bicara tentang pergauian, sebab setelah usia tujuh belas tahun nanti, kau akan digauli sendiri oleh seorang ieiaki berdarah biru, yaitu Pangeran Moya."
Lurah Wirasaba sendiri ternyata seorang ayah yang keterialuan. Terialu patuh, terlalu pengecut, terlaiu hatihati, akhirnya dia jadi orang yang terlaiu picik. Bertahun-tahun putrinya hanya diizinkan bermain dengan sesama perempuan, iama-lama Murtina bisa jadi gadis iesbian. Kalau sudah begitu, siapa yang malu" Kan dia-dia juga yang malu.
Penderitaan batin Murtina agaknya mulai berkurang sejak keda ngan Pendekar Mabuk di desa tersebut.
Kemunculan pemuda tampan itu bukan atas suatu prakarsa seseorang, tapi atas prakarsa para dewa. Artinya, Suto Sinting dalam pengembaraannya memburu Siiuman Tujuh Nyawa tiba di desa itu dan butuh tempat untuk beristirahat.
Bukan saja tempat untuk beristirahat, tapi juga mengisi bumbung tuaknya yang tinggai satu liter kurang itu.
Beberapa penduduk desa tersebut ada yang mengenai ciri-ciri pemuda tampan itu. Berbaju buntung - coklat dan berceiana putih kusam juga bersabuk kain merah. Rambut panjangnya tak mengenakan ikat kepaia dan membawa bumbung tempat tuak.
Mereka langsung tahu bahwa tamu desa mereka itu adalah Pendekar Mabuk. Yang pernah melihat Suto hanya beberapa orang, tapi yang senang mendengarkan cerita kependekaran Suto Sinting, hampir semua orang Desa Narong menyukainya. Suto sendiri kaget dan sama sekali tak menduga kaiau di desa itu ia punya banyak pengagum. Ketenaran Suto itulah yang membuat pihak keluarga Ki Lurah Wirasaba menyambutnya dengan murah
meriah. Ki Lurah Wirasaba berkenan kekali menerima kedatangan Pendekar Mabuk ke rumihnya untuk berbagi cerita dan pengalaman. Bahkan Suto diharapkan mau bermaiam di rumah Ki Lurah unjuk beberapa waktu. Terserah mau berapa lama, asai jangan numpang selamanya.
"Ki Lurah, sepertinya aku tadi melihat seorang gadis cantik yang punya rambut panjang dan senyum menawan hatl, Ki Lurah. Siapa gadis cantik "
"Ooh, itu anu... hmm... itu... calon istri pangeran Moya."
"Odo, calon istri pangeran" Kusangka dia anakmu, Ki Lurah."
"Hmm, anu... iya, dia memang caion menantunya kanjeng adipati. Tapi...." -
"Menawan sekali anak itu tadi, Ki Lurah. Enak dipandang mata. Aku yakin pasti bapaknya tidak enak dipandang mata seperti anaknya. Biasanya kaiau anak gadis punya wajah cantik, bapaknya pasti berwajah berantakan. Betul begitu kan, Ki Lurah?"
"Hmmm, iya, eeh...anu... bukan... bukan iya...." Ki Lurah Wirasaba salah tingkah. Tapi akhirnya Pendekar
Mabuk mendapat penjelasan yang sebenarnya, bahwa
gadis cantik itu adalah Murtina, anak Ki Lurah sendiri.
"Boieh aku bicara dengan Murtina, Ki Lurah?"
"Hmm, eeh...anu... ya sebetuinya... sebeluinya yaa begitulah...."
- Semakin curiga Suto dengan jawaban Ki Lurah Wirasaba yang serba kikuk itu.
"Ada yang tak beres pada diri Ki Lurah," piki Suto. Gelagat tak beres itulah yang membuat Suto Sihting semakin penasaran, semakin geregetan, dan akhirnya semakin nekat menemui Murtina yang sedang menumbuk padi di lumbung bersama teman-teman wanithnya. Murtina tersenyum malu, menyembunyikan wajah dengan menundukkan kepala.
Tapi jantungnya seperti mengaiami gempa Bumi. Bergemuruh cepat dan rnembuatnya berkeringat dingin.Pasalnya, ia sempat beradu pandangan mata dengan Suto sinting selama tujuh helaan napas.
Hati kecil Murtina menjerit. "Ya, ampuuun... orang kok gantengnya kayak Arjuna"! Hmm, hmm..." Gadis mana yang punya kekasih seganteng itu"! Kenapa bukan aku saja yang memilikin ya" Aduh, Dewa... mengapa nasibku harus dipesan oleh pangeran brengsek itu" Coba kalau ayahku tidak takut dengan pangeran celakaitu, pandangan mataku tadi tak akan kualihkan ke dalam lesung begini."
Teman-teman Murtina justru berani bertegur sapa dan bercanda dengan Pendekar Mabuk. Cuma Murtina sendiri yang diam ditempat dan tak berani mengangkat wajahnya. Tapi ia sempat bisik-bisik kepada Sularti, lalu Sularti tertawa cekikikan.
"Sularti, kenapa kau cekikkan berdua dengan Murtina" Mengapa tak ajak-ajak aku, Sillarti," tegur teman satunya. Sularti yang bermulut cablak dan ceplas-ceplos itu langsung saja berseru kepada tem?nnya itu.
"Kata Murtina. Pendekar Mabuk itu ternyata benarbenar tampan, seperti tokoh Arjun dalam wayang kulit yang kemarin digelar di balai desa itu." - Suto menyahut dengan geli.
"Ah, apa iya wajahku seperti Arjuna dalam wayang kulit" Wayang kulit kan hanya selembar. Apakah wajahku setipis wayang kulit, Sularti?" Canda dan gelak tawa makin berhamburan. Akhirnya Pendekar Mabuk mendengar kasus Murtina yang sebenarnya. Ia menjadi iba hati terhadap nasib Murtina.
"Kau tak perlu sedih, Murtina. Juga, tak perlu takut.
"Kalau memangkau tidak suka kepada Pangeran Moya,
biar nanti aku ng akan bicara pada Pangeran Moya."
"Beliau bisa marah besar padamu, Pendekar."
"Aku juga bisa marah lebih besar lagi darinya."
"Keluargaku bisa dijebloskan dalam penjara,Pendekar."
"Aku juga bisa menjebloskan dia dalam kuburan." jawab Suto meyakinkan sekali.
"Pokoknya kau tak perlu temui pangeran itu jika diadatang kemari. Biaraku yang menemuinya."
"Oooh; kau memang pantas jadi pelindungku, Pendekar mabuk tutur Murtina dengan senyum dan lirikan matanya yang menggoda.
kini jantung suo yang dibuat berantakan karena detakannya terlalu keras.
Hubungan jarak dekat itu diketahui oleh mata-matanya Pangeran Moya. Sang mata-mata pun melaporkannya. Maka datanglah Pangeran Moya dengan lima orang pengawal bersenjata tombak.
Sang pangeran berseru kepada Ki Lurah Wirasaba.
"Ki Lurah...1 Kudengar ada seorang pemuda yang berani mendekati Murtina! Mana pemuda itu! Suruh dia menghadapku sekarang juga!"
"Aku di sini!" tiba-tiba terdengar suara Suto me
nyahut dari belakang. Pangeran Moya berbalik ke belakang, demikian puia lima pengawai kini mereka berhadapan dengan Pendekar Mabuk yang tampak tenang
"Nah, sekarang kaiian sendiri yang menghadapku! Bukan aku yang menghadap padamu, Pangeran Moya"
"Keparat buntung!"geram Pangeran Moya.
"Berani beraninya kau mendekati Murtina" Apakah kau belum dengar bahwa Murtina adalah 'Pesanan'-ku sejak dulu
"Murtina itu manusia, bukan kursi goyang. Jadi tak ada istilah pesan-pesanan segala"
"Biadab: Bicaramu kelewat iantang di depanku. Apakah kau tidak tahu siapa diriku?"
"Tentu saja aku tahu, kau adalah pangeran brengsek, putra adipati yang tidak pernah makan bangku sekolah! Makanya tingkahmu tak pernah beres di mata rakyat!" '.
"Biadab iagi!" bentak Pangeran Moya.
"Pengawal, hajar dial" - Lima pengawal maju dengan tombak siap dihujamkan ke tubuh Pendekar Mabuk. Namun si pemuda tampan itu menghentakkan kaki ke bumi dan berteriak de
ngan suara keras sampai urat lehernya bertonjolan. Bruuuk...!
"Heeeeeaaaaaaaahhh...!!!"
Lima pengawal itu berhamburan ke mana-mana. Ada yang langsung pingsan karena memang punya penyakit jantun yang tak boleh mendengar suara mengagetkan, ada yang langsung menggigil dan kencing di celana karena memang berjiwa pengecut, ada pula yang langsung pingsan karena saat berlari menabrak pohon keras keras, ada juga yang matanya menjadi buta sebelah karena kecolok gagang tombak temannya.
Kini tinggai P ngeran Moya sendirian yang menggigil di depan Suto dengan mata lebar dan mulut terbengong. ia seger? memanggii mata-mata yang memberi pengaduan padanya itu.
"Siapa pemuda itu sebenarnya?"
"Dia adaiah Pendekar Mabuk, Gusti Pangeran."
"Siapa..."!"
"Pendekar Mabuk, Gusti Pangeran!"
plaak sang mata mata ditampar keras oleh Pangeran Moya. Tentu saja orang itu melintir sambil memutar tubuh seperti gangsing, lalu jatuh terpuruk,
dan segera bangkit lagi dengan kaki merapat wajah memandang ke depan.
"Lain kali kalau memberi laporan yang lengkap, ya"!" hardik Pangeran Moya, ialu bicara kepada para pengawal yang beium pingsan.
"Kita kembali ke kadipaten!"
"Bag.-- bag... bagaimana dengan pemuda yang mendekati Murtina itu, Gusti Pang?ran?" Pengawal yang bertanya itu segera dicengkeram bajunya, ditarik mendekatinya dengan kasar
"Bodoh kaul Begitu saja bertanya! Kalau kutahu yang mendekati Murtina Pendekar Mabuk, tak sudiaku datang kemari, Toioi! Nyawaku cuma satu. Tak ada cadangannya!" -
"Ja... jadi kita biarkan Murtiha didekati pemuda itu, Gusti Pangeran?"
"Pendekar Mabuk itu kalau ngamuk bisa meruntuhkan langit, Gobloook...! Begitu saja kok masih ditanyakaaaan...! Hiiiihhh...!" Pangeran Moya meremas mulut pengawai itu dengan jengkel. Jantungnya makin berdetak cepat dan keringat dinginnya bercucuran ketika Pendekar Mabuk mendekatinya.
Akhirnya si pangeran dan pengawalnya cepat-ce
pat meiompat kepunggung kuda dan memacu kudanya dengan sangat cepat. Pangeran Moya sering mendengar cerita tentang kehebatan dan kedahsyatan ilmu
Pendekar Mabuk Karenanya, ia menjadi sangat takut setelah tahu yang mendekati Murtina adaiah pendekar berimu maut itu,
Dan sejak peristiwa itu membuat orang-orang Desa Narong bersorak girang, Pangeran Moya tak pernah mau singgah ke Desa Narong lagi. Bahkan kabarnyalselama empat puluh hari ia seialu mengaiami mimpi buruk, baik tidur di siang hari maupun pada malam hari. | Padahai setelah Pangeran Moya dan pengawalnya iari terbirit-birit, beberapa saat kemudian ada seorang pencari kayu berlari-jari mendekati Pendekar Mabuk. Orang itu berwajah tegang dan bicaranya penuh semangat.
"Pendekar... di... dibukit sana ada orang berkeiahi!"
"Berkelahi"i Jotos-jotosan, maksudmu?"
"Bukan hanya jotos-jotosan, tapi juga pedang-pedangan segaia!" Suto paham dengan maksud orang itu. Ada pertarungan di bukit. Menurut bahasa penduduk desa setempat, bertarung sama dengan berkelahi dan samajuga artinya dengan jotos-jotosan, alias tonjok-tonjokan.
"Siapa yang berkelahi di sana?"
"Entah. Aku tak sempat berkenalan dengan mereka. Tapi mereka cantik-cantik."
Biasss...! Mendengar kata cantik-cantik, Pendekar Mabuk langsung pergi tanpa pamit siapa-siapa lagi. Kecepatannya yang menyamai kecepatan cahaya membuat orang-orang terbengong melompong, merasa seperti sedang mimpi melihat jin ganteng lenyap secara gaib.


2
SIAPA lagi yang dimaksud pencari kayu tentang pertarungan dua wajah cantik itu kalau bukan Perawan Sinting dan Ratu Rimba" Kedua gadis itu tadi sudah sempat saling melepaskan pukulanjarak jauh.
Kedua pukulan beradu di pertengahan jarak, menimbulkan gelombang ledakan tanpa bunyi, namun membuat keduanya sama-sama terhempas mundur. Ratu Rimba sempat jatuh berlutut karena kehilangan keseimbangan badan,
Perawan Sinting tak sampai berlutut, namun dadanya terasa seperti ditusuki jarum karena menahan gelombang ledakan tanpa suara tadi. Merasa cukup saling menjajai ilmu masing-masing.
Perawan Sinting segera berseru dengan suara garangnya. "Kau akan mati di sini jika masih mendekati Pendekar Mabuk, Gadis busuk!"
"Kau tak punya hak melarangku, Perempuan binal" balas Ratu Rimba tak kalah ketus.
"Aku berhak melarangmu, karena Pendekar Mabuk
adalah kekasihkui Kami sudah merencanakan untuk melangsungkan pernikahan bulan depan. Semua tokoh persilatan sudah banyak yang tahu, bahwa Perawan sinting akan menikah dengan suto Sinting pada malam terang bulan purnama nanti."
"Hmmh...!" Ratu Rimba mencibir.
"Tidakkah kau bayangkan, apa jadinya jika Perawan Sinting menikah dengan Suto Sinting, pasti punya anak sinting semua. Apakah kau berniat membuka usaha petemakan bayi sinting"!" -
"Tutup mulutmu" bentak Perawan Sinting, tapi Ratu Rimba justru membuka mulut dengan tertawa angkuh.
"Haak, haak. haak. haak. haak...i"
"Sekali lagi kau berani berkata begitu, kuhancurkan perguruanmu!"
"Itu hanya sesumbarmu, Perawan Edan! Sesungguhnya nyalimutelah ciut didepanku. Kaumenjadi marah karena pasti kau telah mendengar kabar bahwa Suiosinting telah menitipkan benih dalam rahimku. Kau pasti sudah mendengar kabar bahwa Ratu Rimba sekarang sedang hamil akibat menjalin hubungan dengan Suto Sinting. Bukankah begitu, Perawan Edan"!"
"Apa..."! Kau telah hami"!" Perawan Sinting mendelik kaget. Ratu Rimba semakin tersenyum sinis Merasa senang dapat membuat lawannya terkejut.
Perawan Sinting makin menggeram marah.
"Kalau begitu sudah selayaknya kau kukirim ke neraka sebelum bayi harammu itu lahir!"
"Bayiku menghendaki kau dulu yang ke neraka, Perawan Edan!"
"keparat: Wuuaaaaww..." Perawan Sinting memekik panjang sambil tubuhnya melambung ke atas dan bersalto menyerang Ratu Rimba. Tendangan yang diarahkan kewajah Ratu Rimba berhasil ditahan dengan cara menyentakkan telapak tangan ke depan.
Telapak tangan Ratu Rimba mengeluarkan tenaga dalam cukup besar, sehingga Perawan Sinting seperti menendang dinding dari baja.
Duuurrr...! Ia melambung balik dan buru-buru bersalto lagi. Kejap berikutnya, Perawan Sinting sudah mendaratkan kaki dengan slgap dan tegak.
jleeg...! Diam-diam Perawan sinting membatin,
"Kurang ajar Tulang kakiku seperti dipatah -patah dengan tangan raksasa, Uuht...! Sakitnya bukan main"i Sebaiknya aku jangan bergerak dulu sebelum h awa murniku
kusalurkan ke kaki kanan ini!"
Ratu Rimba melihat kaki kanan lawannya bergetar. Ia tahu kaki itu dalam keadaan lemah, maka ia pun maju menyerangnya dengan tendangan samping ke arah dagu lawan, - -
Wuuut...! Plak, plak..,! Perawan Sinting menangkis tendangan beruntun itu dengan kibasan kedua tangannya. Ratu himba cepat melompat mundur dan pasang kuda-kuda kembali.
"Bedebah!" geram Ratu Rimba dalam hati.
"Panas sekali sekujur tubuhku gara-gara tangkisannya tadil Rupanya dia punya kekuatan gelombang hawa panas yang dapat membuat kering darahku. Aku harus segera menyalurkan hawa saljuku sebelum darahku menjadi kering!" Ratu Rimba berusaha untuk tidak kentara dalam menyalurkan hawa saljunya. Tetapi tubuhnya yang bergetar dan mulai berkeringat itu membuat Perawan Sinting tahu bahwa lawannya sedang dalam keadaan lemah. Tak heran jika ia segera melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah Ratu Rimba. Perawan SInting merapatkan kakinya.
Seert...! Kedua tangan segera menyentak ke samping.
Blaab...! Seberkas sinar kuning keluar dari kedua tangan, melengkung ke atas dan menjadi satu. Lalu sinar kuning itu melesat ke dada Ratu Rimba dengan cepat.
Weessss...! Melihat sinar kuning mendekatinya, Ratu Rimba segera meliukkan pergelangan tangan kanannya. Kedua jaritangan kanan itu berdiritegak dan kaku. Tangan kirinya menyangga pergelangan tangan kanan, lalu tangan kanan itu disentakkan kedepan.
Claaap...! Selarik sinar merah keluar dari kedua jari tangan itu, langsung menghantam sinar kuning lawannya. -
Blegaaaarrrrr...!! - Bukit rumput hijau itu bergetar. Rasa-rasanya seperti mau amblas ke bawah. Di beberapa tempat terjadi keretakan tanah, tapi tak sampai membentuk celah lebar. Ledakan dahsyat itu membahara kemana-mana. Daun-daun pohon yang ada di kaki bukit berguguran. Warnanya yang hijau berubah menjadi kuning layu. Bahkan ada beberapa pohon yang menjadi retak garagara dihantam gelombang ledakan yang cukup dahsyat itu. -
Ratu Rimba terkapar dalam jarak sepuluh langkah dari tempatnya. Hidungnya mengeluarkan darah hitam
kental, demikian pula mulutnya. Wajah gadis itu menjadi pucat pasi, seperti mayat. Tapi ia tetap berusaha bangkit wataupun dadanya terasa seperti jebol.
"Jahanam busuk orang itu.. Pedangku harus bicara juga rupanya!" geram Ratu Rimba, ialu mencabut pedangnya yang runcing dan tajam dua sisi itu.
Sraaang...! Ledakan besar itu membuat Perawan Sinting terhempas dan jatuh duduk di rerumputan sejauh lima. langkah. Dadanya terasa sesak, seperti ditekan batu besar. Kulit tubuhnya terasa perih, seperti disilei-silet. Tapi ia dapat aegera menguasai rasa sakit itu, sehingga dalam sekejap sudah berdiri lagi. Ia sempat memandang Ratu Rimba yang kala itu belum bardiri. Baru saja Perawan Sinting mau menerjang lawannya, tahu-tahu lawan sudah mencabut pedang, sehingga niatnya perlu ditahan sebentar.
"haruskah kugunakan pedang pusakaku untuk melawannya?"pikir Perawan sinting penuh pertimbangan.
"Sebaiknya kulihat dulu sejauh mana ilmu pedangnya dapat dipakai melawanku. Kalau memang terpaksa sekali, apa boleh buat, pedang pusakaku pun harus ikut ambil bagian"
Perawan Slnting melangkah maju mendekati lawannya tanpa mencabut pedang. Ratu Riimbapun maju dengan pedang ditebas-tebaskan. Gerakan pedangnya sangat cepat dan mengeluarkan angin tebasan yang cukup berbahaya. Terbukti rumput-rumput di bawah kaklnye menjadi layu dan berhamburan kemana-mana, padahal tak sampai terkena ujung pedang sedikit pun.
"Bersiaplah pergi ke neraka, Jahanam!" teriak Ratu
Rimba dengan ganas. Perawan Sinting hanya mencibir dan diam ditempat dengan kedua kaki sedikit merenggang.
"Keluarkan semua ilmu pedangmu. akan kulemparkan pedang itu keakherat bersama nyawamu juga, Ratu Bangkai!"
"Haaaat...!!" "Tahaaaan..." Seruan panjang itu datang bersama berkelebatnya bayangan yang menghadang langkah Ratu Rimba. Pada saat itu, pedang Ratu Rimba berkelebat cepat dan membentur sesuatu yang kerasnya seperti baja.
Traaang...! Sedangkan kaki Perawan Sinting yang tadi bernaksud melepaskan tendangan cepatnya kearah Ratu Rim
ba, tiba-tiba tersapu sesuatu yang membuatnya jatuh terpeianting.
Beet, bruuuk...! - "Aow..." Perawan Sinting terpekik. Kakinya seperti disambar sebatang kayu balok dengan cepat. Rasa nyeri merayap cepat ke sekujur tubuhnya.
Perawan Sinting dan Ratu Rimba sama-sama pandangi si pendatang yang langsung ikut campur dalam pertarungan itu. Ternyata orang tersebut adalah pemuda tampan yang sedang diperebutkan oleh kedua gadis tersebut.
"Apa-apaan ini"i Mengapa kalian lakukan pertarungan ini?"
"Menyingkirlah, Suto!" sentak Perawan Sinting dengan wajah berang.
"Tidak. Aku tidak ingin kalian saling bermusuhan!" tegas Pendekar Mabuk. Matanya memandang kedua gadis itu secara bergantian. Wajah Suto sendiri sebenarnya ikut tegang juga.
"Beri kesempatan padaku untuk merobek perut si jalang itu, Asmaraku.. kata Ratu Rimba dengan ketus. Perawan Sinting mencibir mendengar Ratu Rimba memanggil Suto dengan panggilan 'Asmaraku'. Makin muak hatinya kepada Ratu Rimba. Namun agaknya ia
pandai menyembunyikan perasaannya itu sehinggatak diketahui oleh Pendekar Mabuk.
Suto sendiri jadi tak enak kepada Perawan Sinting atas panggilan Ratu Rimba. Tapi ia tak bisa melarangnya, sebab dari mula pertama si Ratu Rimba memang memanggilnya 'Asmaraku'. Ini gara-gara Ratu Rimba. ditipu oleh Suto, sehingga lahirlah panggilan tengil itu.
"Ratu Rimba, apa persoalan sebenarnya" Jelaskan padaku!" Ratu Rimba melirik Perawan Sinting dengan tajam. Ia mendengus sambil menegakkan bada nnya yang tadi merenggang dalam posisi rendah.
"Perempuan jalang itu memihak orang-orang Danau Getih! Dia pantas untuk dipenggal, Asmaraku!"
"Benarkah begitu, Darling?"tanya Suto kepada Perawan Sinting yang punya panggilan khas 'Darling', yang merupakan kependekan dari Daringga Prasti.
"Aku bukan orang Danau Getih. Dia salah paham. Tapi dia memang tengil dan pantas untuk kubedah perutnya!" Rupanya kedua gadis itu secara tak langsung sama-sama sepakat untuk merahasiakan persoalan yang sebenarnya. Dengan begitu, Pendekar Mabuk tak akan
merasa besar kepala, dan tetap menyangka perselisihan itu terjadi hanya karena kesalahpahaman.
"Ratu Rimba, Perawan sinting ini memang bukan Orang Danau Getih, bukan anak buahnya si Barong Geni. Aku kenal baik dengannya. Dia berasal dari Lereng Buana" - -
"Hmmh...!" Ratu Rimba mencibir sinis. Tentu saja kau membelanya, karena dia pandai pamer dada di depanmu!" -
"Hei, tutup bacotmu, Jahanam!" sentak Perawan Sinting dengan nada tinggi. Pendekar Mabuk buru-buru menghadang di tengah sambil merentangkan kedua tangannya.
"Tahan amarahmu, Darling! Ratu Rimba memang bermusuhan dengan pihak perkampungan penyamun, yaitu orang-orang Danau Getih. Kuharap kau tidak memperpanjang perselisihan salah paham ini, Darling"
"Kau memang pengacau, Buaya kampung!" perawan Sinting mendekati Suto dengan wajah bengis dan suara menggeram. Ratu Rimba buru-buru ikut mendekat sambil mengangkat pedangnya.
"Lain kali kau akan menemukan gundik busuk itu dalam keadaan terbelah:
Suara Perawan Sinting itu didengar oleh Ratu Rimba. Maka gadis itu pun ikut menggeram ditelinga Suto.
"Suruh siayam petelur itu untuk belajar membelah langit dulu, baru bisa membelah tubuhku!" Perawan Sinting menyentak sambil tangannya mulai meraih gagang pedangnya.
"Jadi kau ingin kubuktikan sekarang juga, hah?"
"Cabut pedangmu!" teriak Ratu Rimba sambil ingin menyerang. Pendekar Mabuk melepaskan dua sentilan dari tangan kanan-kiri.
Tes, tes...! Sentilan dari jurus 'Jari Guntur'-nya itu membuat kedua gadis itu terpentai berbeda arah. Tentu saja sentilan itu tidak menggunakan tenaga sepenuhnya. Hanya seperempat dari tenaga jurus 'Jari Guntur yang digunakan dalam jarak masingmasing satu langkah. Seandainya kekuatan jurus itu digunakan sepenuhnya, kedua gadisitu dapat kelenger sampai beberapa waktu tak sadarkan diri. Ratu Rimba segera bangkit sambil menyeringai. Perutnya merasa sakit dan sesak napas. Perawan Sinting juga segera bangkit, tapi tidak memakai acara menyeringai segala, karena ia tadi sempat menahan tenaga dalamnya suto dengan menyalurkan hawa sakti
nya ke perut. Perut itu hanya merasa perih sekali, seperti orang belum sarapan. -
"Kalau kaian tak mau berdamai...," seru Suto mulai ingin melontarkan anceman. Tetapi seruan itu tak dilanjutkan, karena tiba-tiba ia merasakan datangnya angin aneh dari selatan. Semilir angin yang datang sepoi-sepoi dari selatan itu terasa mengandung getaran hawa maut. Mau tak mau hawa saktinya pun mulai dikerahkan dan mengalir ke setiap peredaran darahnya.
Perawan Sinting juga tampaknya curiga dengan hembusan angin aneh itu. Dahinya berkerut dan matanya melirik kearah selatan. Kedua tangannya mengeras perlahan-lahan pertanda ia pun sedang mengerahkan hawa saktinya lagi.
Ratu Rimba justru terang-terangan menghadap ke selatan, seolah-olah ia menanti datangnya bahaya dari selatan, Pedang tetap digenggam dan diarahkan ke selatan. Matanya melirik Suto, ternyata Suto juga sedang meliriknya. Suto melirik Perawan Sinting, ternyata Perawan Sinting juga sedang meliriknya. Ketika mereka main lirik-lirikan tanpa suara, bumbung tuak Suto segera diayunkan ke depan secara tba-tiba.
wuuut...! Ratu Rimba dan Perawan Sinting
g juga melakukan tindakan periawanan, karena mereka merasakan getaran angin semakin kuat. Itu menandakan ada serangan yang diarahkan kepada mereka bertiga.
Wuuubb, ddeeb. deeb, buuubb...!. Perawan Sinting dan Ratu Rimba terjungkal dan berguling-guling menuruni bukit. Mereka merasa diterjang badai panas yang kekuatannya menyamai kekuatan dua ekor banteng. Sementara itu, Pendekar Mabuk memang sempat terpental mundur, namun tak sampai jatuh. Bumbung tuaknya yang diayunkan berhasil mengurangi kekuatan daya terjang angin panas itu.
Namun kejap berikutnya, tubuh Suto memutar cepat bagaikan hanyut dalam pusaran angin.
Wuuurrs...! Ia sempat berseru kepada kedua gadis itu.
"Lari kaliaaan...! Lariiii...!"
"Hahh..."!" Perawan Sinting yang sudah bangkit lebih dulu terkejut sekali melihat Pendekar Mabuk tahu tahu lenyap tanpa bekas. Ratu Rimba yang masih merangkak juga melihat kejadian aneh itu,
"Asmarakuuuu...!!" teriaknya dengan beran g. . Kedua gadis itu segera lari mendekati tempat Suto l enyap. Wajah mereka sangat tegang. Perawan sinting
mencabut pedangnya yang memancarkan cahaya hijau
pijar. Namun mereka tetap tak menemukan siapa-siapa
ditempat itu. Suara Suto pun tak terdengar lagi.
"Dia hilang!" "Jahanam! Siapa yang mengambilnya"!"geram Perawan Sinting dengan murka.
. . . ,


3
JEJAK yang tertinggal di atas rumput hanya garis kuning samar-samar. Garis kuning itu seperti daun-daun rumput yang menjadilayu secara mendadak. Garis itu diikuti oleh Perawan Sinting dan Ratu Rimba.
Tapi semakin ke utara semakin tipis warna kuningnya. Bahkan sampai di kaki bukit garis kuning itu hilang sama sekali.
"Mungkin si buaya kampung itu masuk ke alam gaib, sebab dia memang bisa keluar-masuk alam gaib," ujar Perawan Sinting masih dengan nada tak ramah.
"Aku tak melihat dia mengusap keningnya. Setahuku, dia akan lenyap dan akan berada dialam gaib jika mengusap keningnya dengan tangan kanan!" Perawan Sinting menarik napas dalam-dalam dan memandangi sekelilingnya. Kini ia menggunakan kekuatan batin dengan memejamkan mata. Hal itu sudah dilakukan tiga kali, sekarang yang keempat kalinya. Namun ternyata kekuatan batinnya tidak bisa menemukan jejak hilangnya Pendekar Mabuk.
"Seseorang telah menculiknya!" gumam Perawan
sinting dengan suara bergetar karena masih diliputi kemarahan besar.
"Pasti penculiknya berilmu inggi Kau tak akan mampu melacaknya dengan kedangkalan Ilmumu!" Pandangan mata Darlingga Prasti mengecil. Tajam dan menampakkan amarah yang ditahan mati-matian. Ketajaman mata itu diarahkan kepada Ratu Rimba atas penghinaannya tadi. Namun gadis berambut ungu itu tidak membalas dengan lirikan tajam, justru berlagak cuek, seolah-olah tak tahukalau lawannya tersinggung.
"Haruskah kita teruskan pertarungan kita sekarang juga"!" geram Perawan Sinting pada akhirnya. Sambil memandang ke sana-sini, Ratu Rimba menjawab dengan sikap seenaknya..
"Nanti saja. Untuk apa kita bertarung jika orang yang kita perebutkan tidak ada"1 Menemukan dia kembali belum tentu semudah mencabut nyawamu!" - -
Wuuut...! Perawan Sinting melepaskan tendangan. menyamping. Tetapi gadis berompi loreng itu cukup awas dan menampakkan kegesitannya. Dengan menyentakkan tubuh.ke belakang, tendangan itu meleset satu jengkal didepan hidungnya. Ia ingin menghantam
kaki tersebut, namun Perawan Sinting lebih dulu menarik kaki dengan gerakan sangat cepat.
Seet... Anak rambut Ratu Rimba terhempas karena tarikan kaki berangin kencang itu. Ratu Rimba tak membalas. Hanya sunggingkan senyum sinis, seakan merermehkan serangan tadi. Perawan sinting pun tak mengumbar kemarahannya. la hanya melontarkan ancaman dengan tangan menuding tajam.
"Sekali lagi bicaramu memerahkan telingaku, tak ada ampun lagi bagimu"
"Jangan harap aku mengemis pengampunan darimu!" cibir Ratu Rimba.
"Aku yakin justrukaulah yang...." Tiba-tiba tangan Ratu Rimba mencabut pedang yang sudah telanjur dimasukkan ke dalam sarung pedang. Kecepatan mencabut pedangnya itu sempat membuat Perawan Sinting terperanjat. Ia melompat mundur karena pedang Ratu Rimba berkelebat menebas ke arah pundaknya.
Wilz...! Triing...! Rupanya pedang itu dipakai untuk menangkis datangnya sekeping logam putih. Benda tersebut melesat dari semak-semak yang ada di belakang Perawan Sinting. Benda itu terpental dan menancap pada sebatang
pohon. Jruub...! Perawan sinting segera pasang kuda-kuda setelah tahu bahwa Ratu Rimba tidak bermaksud melukainya, namun justru membelokkan arah benda tersebut. Tanpa banyak pertimbangan lagi, Perawan Sinting segera melepaskan pukulan jarak jauhnya ke arah semaksemak tersebut.
Beet...! CIaap...1 Blaarr...! Semak-semak pun hancur menyebar ke mana-mana. Sekelebat bayangan melompat tinggalkan semaksemak itu sebelum cahaya kuning dari tangan Perawan sinting menerjang tempat peraembunyiannya. Melihat ada orang yang keluar dari semak-semak teraebut, Ratu Rimba segera berkelebat dengan cepat.
Baas...! Ia mengejar orang itu dan beberapa saat kemudian berhasil menendangnya dari belakang.
Buuhkk...! "Aaahk..." orang itu terlempar ke depan dan jatuh tersungkur sambil mulutnya menyemburkan darah segar. - Perawan Sinting menyempatkan diri mencabut benda yang menancap dipohon. Ternyata sebilah pisau tanpa gagang. Ia segera mendekati Ratu Rimba yang sedang mengarahkan pedangnya kedada seorang lela
ki berpakaian abu-abu, berusia sekitar tiga puluh tahun. Lelaki itu dalam keadaan terpakar di tanah dan tak berani bergerak karena dadanya terancam pedang. Perawan Sinting berkerut dahi memandangi orang tersebut: ia merasa tak kenal dengan si pelempar pisau tanpa gagang itu. Akhirnya ia berkata kepada Ratu Rimba.
"Aku tak kenal siapa dia! Kau boleh kirim dia ke nerakal Tapi lain kali tak periu menyelamatkan nyawaku, aku dapat rasakan sendiri kedatangan pisau itu!"
Perawan Sinting bergegas meninggalkannya. Tetapi orang itu tiba-tiba memekik.
"Unhk..." Perawan Sinting cepat berpaling kembali dan menghentikan langkahnya. Orang berpakaian abu-abu itu sudah mengejang dengan mata mendelik. Pedang si rambut ungu telah menancap di jantung orang tersebut.
"Keji sekali kau"!" kecam Perawan Sinting.
Ratu Rimba sedikit setakkan kaki menendang tangan orang itu. Ternyata tangan tersebut sudah menggenggam pisau. Rupanya orang itu nekat ingin melawan dengan mencabut pisau yang disimpan di betis
nya Namun sebelum ia sempat bergerak lebih cepat lagi, ujung pedang Ratu Rimba terpaksa dibenamkan kuat-kuat. Tentu saja orang itu kehilangan nyawa. Seandainya ia menyerah dan tak senekat itu, mungkin usianya masih panjang. Ratu Rimba tak akan benar-benar membenamkan ujung pedang ke jantung orang tersebut.
Akhirnya Perawan Sinting memakiumi mengapa Ratu Rimba membenamkan pedangnya ke dada lawan.
"Jangan menganggap aku telah menyelamatkan nyawamu, Perawan Edan!"
"Lalu kenapa kau singkirkan senjata rahasia orang itu dari ku?"
"Dia orang Danau Getih, musuhku! Akuiah sasarannya!" - hmmn: Perawan Sinting mendengus kesal. Hatinya pun menggerutu jengkei.
"Siaian! Kukira dia menyelamatkan nyawaku"! Tak ubahnya dia menyelamatkan nyawanya sendiri!" Darlingga Prasti segera melanjutkan langkahnya. Ratu Rimba sempat berserutanpa bergegas menyusuinya.
"Mau ke mana kau?"
- "Mencari si buaya kampung itu!"
"Ke mana kau akan mencarinya?"
"Ke ujung dunia!"
Ratu Rimba mendengus kesai, tapi akhirnya ia bergegas menyusul Perawan Sinting dengan gerakan berjungkir baik di udara, iaiu mendarat di jalanan depan Perawan Sinting.
"Kuingatkan padamu, jangan teruskan iangkah!" geram Ratu Rimba dengan suara pelan.
"Kau tak punya alasan melarangku melangkah, Ratu Gendeng!" -
"Ada beberapa orang yang sedang mengintai kitai" bisik Ratu Rimba semakin pelan, tapi nadanya ditegaskan penuh geram.
"Aku tahu Di pohon sebelah kanan ada dua orang yang memperhatikan kita."
"Diatas pohon belakangku juga ada dua orang!" Perawan Sinting sengaja beradu tatapan mata dengan Ratu Rimba, tapi getaran batinnya bekerja dengan cepat memeriksa keadaan sekeiiiingnya. ia kembali menggeram dengan wajah makin mendekati Ratu Rimba.
"Memang. Satu orang iagi ada di pohon sebelah
kiri. Dua orang ada di balik pohon belakangku. Tapi aku - yakin, itu bukan urusanku, melainkan urusanmu! Selesaikan sendiri. Tak parlu meminta bantuanku."
"kau akan jadi sasaran mereka juga, karena kau dianggap temankui"
"Slaii"geram Perawan Sinting setelah menurut pertimbangannya, apa yang dikatakan Ratu Rimba itu memang benar, bahwa ia akan ikut diserang oleh para pengepung itu.
"Kau memang biadab, Ratu Rimbal Siapa mereka sebenarnya?"
"Siapa lagi kalau bukan orangnya si Barong Geni dari perkampungan penyamun: Danau Getih"!"
"Keparat! Aku benci dengan urusan inil Tapi jika nyawaku terancam juga, apa boleh buet!" Periarungan tak bisa dihindari. Perawan Sinting terpaksa ikut berjumpalitan menghindari serangan tujuh orang Danau Getih itu. Dalam beberapa gebrakan saja, ia berhasil meiumpuhkan tiga orang lawan yang bersenjata golok. - Ratu Rimba sibuk dengan tebasan pedangnya. Kecepatan jurus pedangnya membuat dua lawannya tak bernyawa dalam waktu singkat. Kini tinggal dua orang
lagi yang belum ditumpuhkan oleh kedua gadis itu.
Perawan Sinting tetap belum mau mencabut pedangnya. ia merasa masih mampu menghadapi tawan tanpa menggunakan pedang. Jurus-jurus tendangan mautnya masih bisa diandaikan. Terbukti dalam beberapa kejap saja, satu lawan berhasil dibuat terpuruk tanpa daya dengan memuntahkan darah segar dari mulut dan hidungnya.
Pada dasarnya Ratu Rimba tak mau membuangbuang waktu. Karenanya, ia tetap menggunakan pedang untuk membabat habis lawan terakhirnya. Empat orang Danau Getih terkapar tanpa nyawa, dua lainnya dalam keadaan sekarat, satu orang lagi luka parah walaupun masih punya kesempatan untuk melarikan diri.
Ketika Ratu Rimba berkelebat mengejar orang yang melarikan diri, tiba-tiba dari arah depannya muncul bayangan yang menerjangnya dengan cepat. Bayangan hitam itu berkelebat nekat, bagaikan tak mempedulikan pedang yang siap diayunkan gadis berambut ungu itu.
Weesss...! Kecepatan bayangan hitam itu sungguh luar biasa, sehingga Ratu Rimba tak sempat mengayunkan pedangnya. Tahu-tahu gadis berambut u ngu itu telah teriempar ke belakang dan jatuh terbantin g di samping "
- Perawan Sinting. Bruuuk...! "Aaahkk...!" Ratu Rimba mengerang kesakitan. Kuiit wajahnya menjadi merah matang, dadanya membekas biru seukuran telapak kaki orang dewasa. Darah segar meleleh dari sudut bibirnya. Perawan Sinting terperanjat melihat keadaan Ratu Rimba. Tapi ia tetap mengecam gadis itu dengan katakatanya yang sinis.
"Buta sekali matamu. Buat apa punya wajah cantik kalau matanya buta, tak bisa melihat bayangan datang dari arah depan!"
"Ak... aku melihatnya, Kunyuk Tap...tapi aku gagai membendung terjangannya!"
"Hmhh...! Makanya banyak-banyaklah berpuasa!"
"Maksudmu... maksudmu biar tambah sakti, begitu?" -
"Biar tambah lapar, Gobloki" geram Perawan Sinting, lalu ia buru-buru memandang ke arah datangnya bayangan hitam tadi. - Ternyata di sana sudah berdiri seorang ieiaki berwajah angker dengan rambut panjang meriap-riap berwarna abu-abu. Leiaki itu membungkus tubuhnya yang kurus dengan jubah hitam dan celana hitam. Matanya
cekung, pandangannya dingin sekali, bagaikan ingin membekukan darah iawannya. Sebuah Cambuk warna putih terselip di pinggangnya dalam keadaan melingkar. Namun cambuk itu belum dicabut dari tempatnya. Leiaki berwajah angker itu masih mengandalkan tangan kosongnya, ia mempunyai jari-jari berkuku panjang warna abu-abu. -
Ratu Rimba berusaha menyalurkan hawa murninya ke dada, karena bagian dadanya terasa sangat panas dan seperti sedang disayat-sayat dengan pisau tajam. Sementara itu, Perawan Sinting terpaksa maju menghadapi si wajah angker, karena pandangan mata siwajah angker tertuju tajam kepadanya.
"Jangan-jangan dialah orangnya yang membawa pergi si buaya kampung itu"!" geram Perawan Sinting dalam hati. Semangatnya untuk menghadapi orang tersebut semakin besar, kobaran api murka klan membakar jiwanya.
"Edanl Pandangan matanya membuat jantungku menjadi lemah. Simmm, aku harus menghindari tatapan matanya itu!" pikir Perawan Sinting seraya meiangkah ke samping mencari tempat yang iebih lega. -
Orang berambut acak-acakan sepanjang pung
gung itu mulai perdengarkan suaranya yang serak dan bernada datar. Pada saat itu, Perawan Sinting memandang bagian mulut orang itu, dan ternyata kelemahan jantungnya mulai pulih kembaii. Dugaannya memang benar, tatapan mata orang itu mengandung getaran tenaga dalam yang mampu membuat detak jantung iawannya menjadi semakin lemah. Tanpa bergerak pun orang itu lama-iama dapat membuat iawannya jatuh sendiri seperti terkena serangan jantung.
"Setan jalang dari mana kau, sehingga anak buahku bisa kau lumpuhkan dalam waktu singkat"!" -
"oo. merekatadianak buahmu" Berarti kau adalah si Barong Geni, ketua perkampungan penyamun itu"!"
"Pandang mataku jelas-jelas jika kau ingin tahu rupa si Barong Geni!"
"Rupamu jelek begitu, buat apa dipandang jelasjelas"!" ejek Perawan Sinting dengan kekonyolan ciri khasnya. Barong Geni menggeram dengan jari-jari tangan mengeras, seperti mau menggenggam,
pelacur busuk macam kau memang patut dihancurkan mulutnya!"
Wuuubbb...! Barong Geni menyodokkan tangan
kanannya. Dari telapak tangannya tersembur api yang cukup besar ke arah Perawan Sinting. Tanpa berpikir panjang lagi, Perawan Sinting segera memutar tubuh sangat cepat seperti gangsing. Tubuh itu diputar dengan posisi berdiri di atas ibu jari kaki kanannya, sementara kaki kiri sedikit dilipat ke atas.
Wuuuurrs...! Begitu berhenti mendadak, kedua tangannya menyodok ke depan.
Wuuuss...! Angin kencang berbusa saju menghempas dari kedua tangannya. Api yang menuju ke arahnya dari jarak delapan iangkah itu menjadi padam seketika dengan menimbulkan letupan pendek.
Biuubb...! Wuuus...! Asap hitam mengepul ke atas ba- gaikan solar yang terbakar. Barong Geni tampak terkejut melihat pukuian 'Naga Berang"-nya dipadamkan dengan mudah oieh iawan. Geram kemarahannya semakin menyesak didada. Tapi ia tak mau meiakukan tindakan gegabah. ia masih bisa mengekang emosinya untuk melangkah ke samping sambii mempelajari kelemahan iawan. Ratu Rimba sudah bisa berdiri lagi. Hawa murni yang disalurkan di dada membuat dadanya sedikit lega dan bisa bernapas dengan ringan. Tapi memar di kulit dada bawah leher masih beium bisa hilang, rasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum itu masih tetap ada.
Karena kekuatan dan tenaganya mulai pulih, Ratu Rimba segera ambil bagian dalam pertarungan itu. ia melepaskan jurus Pedang Mata Binai'-nya. Pedang itu
disentakkan ke depan, dari ujung pedang keluar sinar hijau seperti mata tombak.
Ciaap...! Barong Geni menyambar cambuknya, langsung dilecutkan ke depan.
Taaar...i Lecutan cambuk mengeluarkan sinar merah seperti cakram. Sinar merah itu menghentam sinar hijau dan terjadilah ledakan besar di pertengahan jarak mereka.
Jegaaaarrrr...! Krraaaakk... bruuukk...! Sebatang pohon patah, iangsung tumbang tanpa mau-malu lagi. Daun dan ranting pohon lainnya berguguran. Gelombang ledakan tadi menyebarkan angin hangat bertenaga besar. -
Perawan Sinting dan Ratu Rimba sama-sama terdorong ke beiakang, namun tak sampai jatuh. Sementara itu, Barong Geni sendiri terpelanting menabrak pohon di belakangnya, tapi tak seberapa keras, ia buruburu melompat bagaikan burung gagak menyerang lawan. Cambuknya dilecutkan kembali ke arah dua gadis yang perut dan pusarnya sarna-sama tidak tertutup
rompi itu. Wuuut...| Ctaaar...! Cambuk itu seperti terbelah menjadi tiga. Masingmasing ujung cambuk mengeluarkan sinar merah ke langit. Sinar merah itu saling berbenturan dengan suara ledakan tak seberapa keras.
Biaammm...! Tetapi iangit bagaikan terbakar. Hujan api turun ditempat itu dalam radius tertentu.
"Celakai Cepat lari dari tempat ini!" seru Perawan Sinting.
Biaass... ia melesat lebih duiu. Ratu Rimba mengikuti dengangerak cepatnya.
Biaass...! Hutan pun terbakar. -
- Barong Geni mengejar dua gadis yang melarikan
diri itu. Sesekali cambuknya disabetkan ke depan.
Ctaaarr... Hujan api kembali turun membakar hutan. Tetapi Perawan sinting dan Ratu Rimba masih bisa menghindari hujan api waiau satu- tetesan api sempat menyengat kulit tubuh mereka.
"kenapa tidak kita hadapi saja?" seru Ratu Rimba sambil beriari di samping Perawan Sinting.
"Kita butuh tempat dan waktu untuk menghancurkan cambuknya, Tolol"
"Kau yang toioi!" balas Ratu Rimba membentak.
"Aku bisa menggunakan lapisan hawa salju untuk menahan hujan api itu!"
"Katau begitu, kenapa kau ikut iari"!"
"Brengseki Gara-gara kau lari akujadi panik!" Ratu Rimba berhenti, Perawan Sinting pun ikut berhenti.
"satukan lapisan hawa saljumu dengan pukulan "Gunung Es-ku" ujar Perawan Sinting. Pukulan Gunung Es' adalah pukuian yang dipakai memadamkan semburan api Barong Geni tadi. Perawan sinting dan Ratu Rimba bersiap melepaskan imu salju mereka. Tapi ketika Barong Genitiba di tempat itu, sebelum tangannya yang terangkat ke atas itu melecutkan cambuk iagi, tiba-tiba sekeiebat sinar putih melesat menghantam Berong Geni dari samping.
Wuuutt...! Barong Geni merasa dihampiri hawa aneh, ia tak jadi melecutkan cambuknya kearah kedua gadisitu, melainkan menyentakkan tangan kirinya untuk menghantam sinar putih berbintik-bintik seperti serpihan permata itu. Dari tangan tersebut keluar gumpaian api sebesar boia kasti yang segera menyebar membentengi dirinya.
Ciaaarrip...! - Biaaaaarrr...! Biegaaaaarrr...i
Bumi bergetar bagaikan dilanda gempa. Beberapa tanah menjadi retak panjang membentuk celah selebar dua jengkal. Lebih dari lima pohon patah dan tumbang. Batu-batu besar mengalami keretakan, sebagian ada yang menggelinding dari ketinggian dan pecah menjadi beberapa bongkah. - Ledakan dahsyat itu juga membuat Perawan Sinting dan Ratu Rimba teriempar ke belakang dan jatuh saing tindih dalam jarak jima tombak iebih. Mereka berdua saing maki dan cekcok sendiri.
Tapi suara mereka segera dihentikan karena melihat Barong Geni terlempartak seberapa jauh dari mereka. Barong Geni bangkit setelah Perawan Sinting dan Ratu Rimba berdiri pasang kuda-kuda. Wajah Barong Geni menjadi hitam kemerah-merahan, seperti habis dipanggang api. Sekalipun berdirinya agak limbung, tapi ia tampak masih punya kekuatan untuk melawan kedua gadis itu.
Ciap, ciap...! Tiba-tiba dua berkas sinar muncul iagi dari balik pohon yang akarnya mencuat ke atas namun beium sampai tumbang itu. Dua sinar biru satu di tanah belakang dan satu iagi di depan si Barong Geni. Kedua sinar biru itu bagaikan membakartanah tersebut membentuk tingkaran yang mengurung Barong Geni.
Zuuuubb...! "Bangsaaat...!" geram Barong Geni ketika menyadari telah terkurung sinar biru dalam jarak lima langkah dari tempatnya. Sinar biru itu memancar keatas, seperti dipancarkan dari dalam tanah. Barong Geni mencoba melayangkan cambuknya, namun yang terjadi adalah ietupan kecii yang membuatnya seperti tersengat aliran istrik bertegangan tinggi.
Traaarr. Barong Geni terlonjak mundur dua langkah. ia tak berani menyentuhkan cambuknya lagi pada sinar biru yang mengurungnya. Kini ia kebingungan mencari jalan keiuar dari lingkaran tersebut. Wajahnya tampak gusar sekali.
"Siapa orang yang telah mengurungnya dengan sinar biru itu?" bisik Ratu Rimba.
"Mungkin kau sudah kenal dengan orang yang ada di baik pohon mau tumbang itu!" Ratu Rimba mengarahkan pandangannya ke sana. Kejap berikutnya, orang yang ada di baik pohon mau tumbang itu muncui dengan lompatan cepat. Tahu-tahu sudah berada daiam jarak tujuh langkah dari Barong Geni, lima langkah dari Ratu Rimba dan Perawan sinting. Ternyata dia adaiah tokoh tua berusia sekitar dela
pan puluh tahun, tapi masih bersemangat muda dan gemar cengar-cengir. Tubuhnya yang agak kurus itu dibungkus dengan kain hijau tua model pakaian biksu. Namun kepalanya tidak gundui. ia mempunyai rambut putih yang dikonde dan jenggot serta kumisnya juga berwarna putih. Tangannya menggenggam tongkat kayu coklat dengan ujung tongkat berbentuk tangan menggenggam. Ratu Rimba ingat dengan tokoh tua yang gigi depannya tinggai dua itu, karena ia. pernah bertemu dengan orang tersebut. Perawan Sinting sendiri sangat kenal baik dengan tokoh tua itu, dan ia selaiu memanggil nama asli sang tokoh aliran putih itu dengan sebutan: Eyang Wirambada alias si Raja Mantra dari Muara Angker.
"Heeh, heeeh, heeeh, heeeh... terkurung nih yee...," ledek Raja Mantra yang memang gemar tampil konyoi. Perawan Sinting dan Ratu Rimba memberi hormat sekedarnya. Tapi si Barong Geni mendeiik marah kepada tokoh yang sering bersikap cuek terhadap iawannya itu.
"Bangsat kau, Raja Mantral Kau mulai ikut campur
iagi dengan urusanku Mau minta mati sekarang juga kau, hah"!"
"Minta kok minta mati. Mendingan minta duit daripada minta mati. Hee, hee, hee, hee...."
"Eyang Wirambada... dia menculik Suto Sinting, Eyang!" seru Perawan Sinting.
"Bukan dia!" sangkal Ratu Rimba.
"Dia tak akan mampu menyentuh tubuh si pendekar sakti itu!"
Perawan Sinting saling berkasak-kusuk dengan Ratu Rimba, ribut sendiri. Sementara itu, Barong Geni berteriak dengan suaranya yang serak.
"Raja Mantra, singkirkan sinar birumu ini dan hadapiah aku secara jantan!"
"Hee, hee, hee, hee... kau sendiri belum jadi manusia jantan, kenapa aku harus menghadapimu secara
jantan" Kalau kau merasa menjadi manusia jantan, mestinya kau tidak menyerang dua gadis cantik ini: Hanya orang-orang pengecut berilmu pas-pasan saja yang keberaniannya hanya bisa dipakai menyerang perempuan!"
"Jahanam busuk kau!"
"Sudah lama aku menjadi jahanam busuk. Kenapa baru sekarang kau ingatkan, Barong Geni" Hee, hee, hee, hee...."
"Eyang...," bisik Perawan Sinting. "Suto hilang se
cara gaib, Eyang. Tolong cari dia, ada dimana sekarang ini, Eyang."
"Aku sendiri mencari muridku, si Rinayi, sudah tiga hari tidak kutemukan, bagaimana aku bisa mencari bocah sinting itu"i"
Ratu Rimba berbisik pula dari arah kiri Raja Mantra.
"Eyang, singkirkan sinar birumu itu. Biar kuhadapi diai Akulah yang berurusan secara pribadi dengan iblis busuk itu!"
"Wahai murid Girimaya yang cantik...."
Perawan Sinting mencibir sinis mendengar sanjungan Raja Mantra kepada Ratu Rimba.
"... ketahuilah, Anak manis.... Barong Geni itu bukan tandinganmu. Biar aku sendiri yang akan menundukkannya!" Tokoh dari Muara Angker itu menang terkenal dengan ilmu mantra saktinya. la mempunyai seribu macam mantra yang dapat mengatasi dua ribu macam persoalan. Jangankan mantra yang mendatangkan maut, mantra yang mendatangkan nasitumpeng pun dimilikinya. Mantra sakti itu pun segera diucapkan. Bahasanya
susah ditulis, karena menggunakan huruf mati semua,
Ratu Rimba dan Perawan Sinting bersungut-sungut heran, mereka juga tak bisa mengartikan ucapan mantra tersebut. Satu-satunya mantra yang bisa didengar dengan enak hanya kaiimat terakhir saja.
"Simulu kutuk kublung...!"
Banyak mantra yeng selaiu ditutup dengan kalimat aneh itu, tapi ada pula yang tidak mernakai kaiimat tersebut. Namun yang jelas, kekuatan mantra itu sungguh luar biasa dan membuat siapa pun orangnya akan terkagum-kagum terhadap kesaktian si Raja Mantra. Sinar biru yang mengelilingi Barong Geni itu pecah menjadi berlarik-larik, menyembur ke arah Barong Geni. Kira-kira satu helaan napas kemudian, sinar itu padam. Barong Geni terpuruk tanpa daya. Sekujurtubishnya menjadi memar. Pakaiannya menjadi rusak, compang-camping seperti pengemis tanpa tempurung. Napasnya pun tersengai-sengal, seakan diganjal oleh batu sebesar kepalanya.
Delapan kaii lebih Barong Geni mencoba bangkit, tapi selalu saja jatuh terpuruk kembali. Cambuknya justru lengket dengan kulit tangannya, sepertiada perekat yang sukar memisahkan cambuk dengan kulit tela
pak tangan. "Aneh sekali mantra tadi," gumam Ratu Rimba.
"Mantra apa itu tadi, Eyang?" bisiknya kepada Raja Mantra.
"Aku sendiri lupa namanya," jawab Raja Mantra.
"Maksudku ingin menyedot semua kekuatannya, tapi
kok malah jadi memar kayak gitu, ya?" Raja Mantra garuk-garuk kepala, bingung sendiri.
"Dasarr si pikun"gumam Perawan Sinting lirih sekali.
"Coo... ya, iya, iyal Sekarang baru kuingat, mantra tadi adalah mantra Hantu Pikun Muara'. Bikin orang pikun dan lupa menggunakan tenaga. Waah... kalaubegitu aku tadi salah ucapkan mantra."
"Tapi biar saja, Eyang. Biar dia tahu rasal" geram Ratu Rimba dengan nada sengit.
"Kalau kehilangan tenaga dan jadi pikun begitu, dia tak mau pergi dari sini!"
"Biar saja mati di sini!"
"Husy, jangan begitu. Nanti anak-istrinya kebingungan kaiau dia tak pulang. Sebaiknya kuberi sedikit tenaga agar dia bisa pulang ke Danau Getih! Kujamin dia tak akan berani mengganggumu lagi, Ratu Rimba!"
Raja Mantra sentakkan tongkatnya ke depan.
Ciaap...! Sinar putih kecil seperti lidi keiuar dari kepaia tongkat yang berbentuk tangan menggenggam itu. Sinar tersebut bagaikan lidi menancap di dada Barong Geni.
Zuubb...! Kejap berikut Barong Geni bisa berdiri dengan terengah-engah, tapi dia tak bisa bicara, Bahkan merasa bingung melihat tiga orang di depannya. Dia sepertinya belum pernah kenal dengan ketiga orang itu. Maka tanpa pamit lagi, Barong Geni pun pergi meninggalkan mereka, tak memberi lambaian tangan atau ucapan kata selamat tinggal'. Kini yang jadi persoaian mereka adaiah hilangnya Pendekar Mabuk yang secara misterius itu. Ratu Rimba yakin bukan Barong Geni yang menculik Pendekar Mabuk, tapi ia tak bisa memperkirakan siapa orang iain yang layak dicurigai.
Raja Mantra pun akhirnya berkata,
"Baik. Kalau begitu coba kita cari dia dengan menggunakan mantra Cermin Udara'. Kuharap kalian berdua ikut membaca mantra cermin Udara' biar keadaan cermin menjadi lebih bening lagi, sehingga kita bisa lebih jelas lagi melihatnya."
"Aku tidek punya bacaan mantra seperti itu, Eyang."
ujar Ratu Rimba. "Kalian berdua ikuti saja apa yang kuucapkan. Mengerti?"
"Mengerti, Eyang...," jawab kedua gadis itu secara tak sengaja bisa kedengaran kompak.
"Dulkopat, dulkapit...."
"Dulkopat, dulkapit...," kedua gadis itu menirukannya.
"Sikopat, sikuput. semaput...."
"Sikopat, sikuput, semaput...."
"Sembur udud kaca perut...."
"Sembur udud kaca perut...," Perawan Sinting melirik perutnya, ternyata tidak ada kacanya. "Bodong molor jelma wujud...."
"Bodong molor jelma wujud...," Ratu Rimba buru buru menutupi pusarnya yang tak kebagian kain penutup itu, karena Perawan Sinting melirik pusar tersebut.
"Wujud sira Suto Sinting...."
"Wujud sira Suto Sinting...."
"Ting, ting melenting, perutnya bunting...."
"Perutnya siapa yang bunting?" Ratu Rimba tersinggung.
Perawan Sinting menyahut,
"Aku belum sempat bunting, Eyang.
"Ini mantra, Tololi Kalian tinggal ikut mengucapkan saja!"
"Ooo, ya, ya. ya...." -
Ratu Rimba dan Perawan Sinting segera mengikuti kata-kata Raja Mantra. Setelah mereka sama-sama mengucapkan,
"Simulu kutuk kublung...," maka Raja Mantra pun melayangkan tangannya, berkelebat pelan di depan mata.
Weess...! Pada saat itu juga, lapisan udara di depan mereka berubah menjadi sebuah cermin besar. Cermin itu bagaikan memantulkan kehidupan di suatu tempat. Dan di dalam cermin tersebut, tampaklah Pendekar Mabuk yang sedang terkapar di atas hatu datar berlapis permadani merah.
"Dia sedang pingsan?" sentak Ratu Rimba dengan
wajah tegang. Perawan Sinting menggeram penuh amarah. | Seorang perempuan cantik jelita berdiri disamping batu datar itu. Perempuan cantik tersebut membakar api cemburu Ratu Rimba dan Perawan SInting. Namun
kecemburuan itu tidak ditampakkan oleh mereka.
Hanya saja, Perawan sinting segera bertanya kepada Raja Mantra dengan nada menggeram.
"Siapa perempuan itu, Eyang?"
"Hmmm, kalau tak salah lihat dan tidak salah ingat, dia adalah Sri Bagandi Delia, alias Ratu Mahasihir."
"Orang mana dia?" sergah Perawan Sinting.
"Dia putri kaisar negeri Hoazing, letaknya di Pulau Hamzia."
"Kalau begitu aku harus ke sana sekarang juga!"
"Sabar, Darlingga...!" cegah Raja Mantra.
"Delia bukan orang sembarangan. Dia mewarisi segala ilmu sihir dari mendiang neneknya. Kekuatan sihirnya dapat menjerat nyawamu menjadi budakiblisi"
"Aku tak peduli!" sahut Perawan Sinting.
"Berani menahan Pendekar Mabuk sama saja berani bertaruh nyawa denganku."
Ratu Rimba menyahut, "Aku akan menghancurkan Pulau Hamzia"
"Napas kalian menghembuskan hawa panas"I Rupanya kalian sama-sama menaruh rasa cemburu terhadap Sri Bagandi delia itu, ya?" -
Eyang Perawan Sinting buru-buru mengalihkan pembicaraan, agar perasaan hatinya tidak kecolongan
Raja Mantra. ".... Aku pernah mendengar cerita Pendekar Mabuk bentrok dengan tiga orang perwira dari negeri Hoazing. Barangkali karena bentrokan itulah perempuan laknat itu menculik Pendekar Mabuki"
"Hmmm, yaa... aku juga pernah mendengar cerita darinya tentang tiga perwira Hoazing itu," ujar Raja Mantra sambil manggut-inanggut, terngiang ditelinganya saat Suto menceritakan tentang bentrokan yang terjadi antara dirinya dengan tiga perwira Hoazing itu,
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:"RAHASIA SENDANG PERAWAN").
Bagaimanapun juga Raja Mantra tetap mengkhawatirkan keselamatan Perawan Sinting dan Ratu Rimba jika mereka berdua nekat menyerang ke negeri Hoazing. Tetapi agaknya kedua gadis itu sudah gelap mata, takpeduli resiko kehilangan nyawa, mereka tetap nekat berangkat ke Pulau Hamzia, untuk melabrak si Ratu Mahasihir itu.
Langit sore menjadi semakin redup. Kepergian dua , gadis cantik yang saling menyimpan rasa cemburu itu
membuat Raja Mantra cemas. Akhirnya ia bergegas menyusul mereka.
"Mereka harus kucegah dengan cara apapun juga!" pikir Raja Mantra sambil berkelebat tanpa bisa dilihat mata orang biasa.