Pendekar Mabuk 123 - Pengawal Pilihan(1)





1
Siang itu matahari tampak malas-malasan menerangi bumi. Cahayanya
agak  redup,  karena  dibayang-bayangi  awan  tebal.  Sepertinya  sang  mata-
hari sengaja bersembunyi di balik gumpalan awan abur abu itu.
Bunga-bunga pun tampak malas mekar dengan bebas. Daun-daun tak
mau menampakkan kesegarannya. Bahkan ada yang terang-terangan menjadi
layu dengan mengubah warna kehijauannya menjadi kekuning-kuningan
Burung  enggan  berkicau.  Beberapa ekor  tampak bertengger  di  atas
pepohonan kering, tapi tak ada yang mau bercici-cuit.
Alam  diselimuti  duka.  Angin  gunung  menyebarkan  burita  duka  cita.
Katanya, Pendekar Mabuk telah meninggal dunia.
"Betul.  Aku  mendengar  sendiri  keterangan  itu  dari  tokoh  tua  yang
mirip  Semar  itu.  Dia  bilang,  Pendekar  Mabuk  telah  meninggalkan  dunia
dengan selamat."
"Hussy... meninggal dunia kok dengan selamat?!"
Maksudnya...  tewas!  Pendekar  Mabuk  sekarang  telah  tewas  dengan
sukses.  Artinya,  tidak  ada  halangan  apa-apa.  Eeh...  maksudnya...  aduh,
bagaimana  cara  menyampaikannya,  ya?!  Aku  sedih  sekali,  jadi  bicaraku
morat-marit begini...."
Orang-orang  kedai  termenung.  Pada  dasarnya  mereka  mendapat
kabar  bahwa  Suto  Sinting  tewas  karena  pertarungannya  dengan  Perwira
Tombala.  Orang yang mengabarkan  kematian  Pendekar  Mabuk  itu  adalah
tokoh  gemuk  berperawakan  seperti  Semar,  dengan  rambut  potih  yang
hanya tumbuh di ubun ubumiya saja. Tokoh yang berasal dari Gunung Gandul
iiu lain adalah si Dewa Kubur alias Ki Murcapana
Pada saat itu, Pendekar Mabuk bertarung malawan Perwira Tombala.
la  terluka  berbahaya.  Dewa  Kubur  muncul  dan  segera  menahan  tindakan
Perwira  Tombala  yang  ingin  menuntaskan  pertarungannya  dengan  mau
membunuh Suto Sinting. Dewa Kubur memang  berhasil menahan serangan
pamungkas dari Perwira Tombala ke arah Suto Sinting. Tapi murid si Gila
Tuak  Itu  justru  terperosok  masuk  ke  sumur  tua  yang  sukar  diukur
kedalamannya,  (Baca  serial  Pendekar  Mabuk  dalam  episode  'Kencan  di
Lorong Maut').
Merasa  gagal  menyelamatkan  Pendekar  Mabuk,  Dewa  Kubur
semakin  marah  kepada  Perwira  Tombala  Masalahnya  ia  tahu  bahwa
Pendekar  Mabuk  itu  adalah  murid  dari  si  Gila  Tuak,  dan  si  Gila  Tuak
adalah  sahabat  karibnya  semasa  muda.  Maka  dihabisinya  Perwira
Tombala, orang Mangol itu.
Perwira Tombala tewas di tangan Dewa Kubur, jenazahnya menempel
pada  sebatang  pohon  dalam  keadaan  tanpa  darah,  akibat  sebuah  pukulan
maut Dewa
Kubur.
Tindakan  itu  diketahui  oleh  atasan  Perwira  Tombala,  yaitu  seorang
perempuan  cantik  yang  dulunya  menjadi  pimpinan  dalam  kapal  layar
bertiang  figa.  Perempuan  itu  adalah  Laksamana  Maharani  yang  dikenal
dengan nama Laksamana Tanduk Naga.
Melihat satu-satunya sisa bawahannya dibuat kering oleh Dewa Kubur,
Maharani  mengamuk  dan  menyerang  Dewa  Kubur.  Tetapi  pada  waktu  itu,
ada  se-  orang  pemuda  yang  sedang  dalam  perjaianan  menuju  Bukit  Esa
untuk jumpai kakaknya. Perjaianan tersebut melalui Lembah Seram. Pemuda
itu  adalah  Dimas  Genggong,  murid  dari  si  Dewa  Kubur.Melihat  gurunya
diserang  oleh  Laksamana  Tanduk Naga,  Dimas Genggong  unjuk  kesaktian,
mengambil alih pertarungan tersebut. Tapi ia hampir saja tewas di tungan
Maharani.  Dewa  Kubur  menyingkirkan  muridnya  dan  melarijutkan
pertarungannya  dengan  Maharani.  Pertarungan  itu  memakan  waktu  tidak
hanya satu hari, tapi sampai dua hari lamanya, karena Maharani sebentar-
sebentar melarikan diri. Sebentar kemudian muncul dan menyerang iagi.
Adu  kesaktian  itu  menimbulkan  ledakan-ledakan  dahsyat  yang
menggelegar  bagai  memenuhi  bumi.  Gelegar  ledakan  tersebut
menggetarkan alam sekeliling- i iya, membuat langit-langit lorong di bawah
tebing men-
jadi  runtuh,  nyaris  mengubur  hidup-hidup  Pendekar  Mabuk  yang  kala  itu
diselamatkan oleh Gitra Bisu, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode:
"Kencan di Lorong Maut").
Akhimya,  Maharani  benar-benar  melarikan  diri  karena  terluka  parah
dalam  pertarungan  tersebut.  Dewa  Kubur  sembuhkan  muridnya,  lalu
ceritakan  tentang  Suto  Sinting  yang  masuk  ke  sumur  tak  terukur
kedalamannya. Dewa Kubur menyangka Suto Sinting telah tewas, sehingga
Dimas Genggong menyebarkan kabar itu dalam perjalanannya ke Bukit Esa.
Dewa  Kubur  sendiri  bermaksud  pergi  menemui  Gila  Tuak  dan  Bidn  dari
Jalang untuk sampaikan kabar tentang kematlnu Pendekar Mabuk.
Terdengar ratapan tangis di mana-mana. Orang-orang yang mengagumi
Pendekar  Mabuk,  yang  men  jadi  pengikut  Pendekar  Mabuk  dan  yang
menaruh sim pati kepada pemuda tampan berilmu tinggi itu, maslng masing
menitikkan air mata mendengar kabar kematian tersebut.
Pada umumnya, mereka yang menitikkan air mata dukanya adalah para
gadis  yang  menaruh  hati  kepada  Pendekar  Mabuk.  Sekali  pun  hasrat
mereka  dalam  mencintai  Suto  Sinting  tidak  terbalas  secara  mutlak,  tapi
rasa  persahabatan  mereka  tetap  ada.  Rasa  persahabatan  itulah  yang
membuat mereka merasa kehilangan seorang teman yang selama ini melekat
di hati merokn
Ada  yang  menangis  dengan  suara  keras,  ada  ang  menangis  dengan
terisak-isak  saja,  ada  pula  yang  menangis  secara  kebatinan.  Salah  satu
gadis yang mena- ngis secara kebatinan adalah murid mendiang Nyai Gagar
Mayang. Gadis yang tinggai di Lereng Buana itu mendengar kabar kematian
Suto  Sinting  dari  mulut  pemuda  mantan  pelayan  Adipati  Jayengrana.
Pemuda yang kesohor sebagai raja tipu itu tak lain adalah si Mahesa Gibas.
Aku bertemu sendiri dengan muridnya si Dewa Kubur yang bernama
Dimas Genggong itu! Aku mendengar sendiri ia bicara dengan orang-orang
kedai  tentang  kematian  Suto  Sinting.  Bocah  itu  menyampaikan  kabar
tersebut  dengan  kedua  mata  berkaca-kaca  seperti  mau  menangis.  Dia
sangat  sedih  dan  menyesai.  Bahkan  kndengar  dia  menggerutu  sendiri,
menyalahkan gurunya yang kurang tangkas dalam menyelamatkan Pendekar
Mabuk.  Dia  tahu bahwa Pendekar Mabuk  itu  murid sahabat  gurunya  yang
pernah didengar kisah-kisah kependekarannya. Dia sebenarnya punya rasa
kagum kepada kehebatan ilmu Suto Sinting, dan sangat kecewa menghadapi
kematian Suto Sinting!'' Mahesa Gibas bertutur dengan wajah duka. Bibir-
nya  melebar  ingin  menangis.  Matanya  berkedip-kedip  tapi  tak  sampai
mengucurkan  air  mata.  Tapi  gadis  yang  mendapat  laporan  tersebut  diam
tertunduk  dengan  wajah  sangat  sedih.  Matanya  merah  membendung  air
mata yang ingin meledak keluar. Gadis yang biasanya tegar dan konyol itu
tak lain adalah si Perawan Sinting.
“Di mana si murid Dewa Kubur itu sekarang berada?"
"Dia menuju ke Bukit Esa!"
"Lalu, di mana Dewa Kubur berada?!"
"Katanya, sedang menuju ke Jurang Lindu untuk menghubungi si Gila
Tuak dan Bidadari Jalang."
"Aku  harus  menemuinya  ke  Jurang  Lindu!  Aku  harus  mendapat
penjelasan  lebih  lengkap  lagi  tentang  kematian  Suto  Sinting!  Jika  benar
kematian  itu  disebabkan  oleh  pertarungannya  dengan  Perwira  Tombala,
akan  kurajang  sekujur  tubuh  Perwira  Tombala  dan  si  Laksamana  Tanduk
Naga itu!'' geram Perawan Sinting.
la tahu persis bahwa kedua orang Mangol itu memang mencari Suto
Sinting  untuk  dijadikan  tumbal  pembangunan  kuil  di  negeri  Mangol  sana.
Perawan Sinting pernah terlibat dalam peristiwa itu, dengan cara menyusup
dan  menyamar  sebagai  calon  peserta  sayembara  memburu  pemuda  tanpa
pusar itu, (Baca se rial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pemburu Tumbal").
Karenanya, ia percaya jika Suto Sinting telah ber tarung melawan Perwira
Tombala dan Laksamana Tanduk Naga, seperti yang dituturkan dalam kabar
tersebut.
"Perwira  Tombala  memang  jahanam  busuk  ynmj  harus  dikubur  di
jamban!" geram Perawan Sinting.
"Tombala sudah tewas!"
"Oh...?! Siapa yang membunuhnya?!"
"Hmmm,  jadi  begini...,"  Mahesa  Gibas  mulai  mau  unjuk  tipuannya.
"Waktu  itu,  aku  sedang  lewat  di  sekitar  Lembah  Seram.  Kulihat
pertarungan Dewa Kubur dengan seseorang. Aku tak tahu kalau dia adalah
Perwira  Tombala.  Maka  kulepaskan  pukulan  mautku  ke  punggung  Perwira
Tombala.  Orang  itu  terpental  dan  dihantam  lagi  oleh  Dewa  Kubur  hingga
tewas!  Jadi...  terus  terang  saja,  kematian  Perwira  Tombaia  akibat
kerjasamaku dengan Dewa Kubur!"
"Hmmm...!" Perawan Sinting mendengus tanda tak percaya. "Jadi kau
pernah bertemu dengan Dewa Kubur?!"
"O,  iya!  Dia  orang  yang  sakti.  Walaupun  tubuhnya  kurus,  ceking,
kerempeng, tua renta, tapi ilmunya lumayan tinggi!"
Perawan Sinting mencibir, sama sekali tak percaya. Sebab ia pernah
mendengar cerita dari mendiang guru- nya, bahwa Dewa Kubur itu bertubuh
gemuk  seperti  tokoh  dalam  pewayangan  yang  bernama  Semar.  Apa  yang
dikatakan  Mahesa  Gibas  sangat  berbeda  dengan  pcnjelasan  mendiang
gurunya,  sehingga  Perawan  Sinting  semakin  yakin  bahwa  Mahesa  Gibas
sedang membual di depannya.
Bagi gadis cantik berwajah berani itu, kabar kematian Suto Sinting
merupakan pukulan jiwa yang terberat selama ini. la sangat sayang kepada
Suto  Sinting.  In  suka  kepada  pemuda  itu.  Rasa  cintanya  tumbuh  di  hati
dengan suka rela. Walaupun ia tahu, Suto Sinting cenderung menaruh hati
kepada calon  istrinya  yang menjadi  ratu di  negeri  Puri  Gerbang  Surgawi,
yaitu  yang  bernama  Dyah  Sariningrum,  tetapi  Perawan  Sinting  tetap
menyimpan rasa cinta yang cukup dalam kepada pemuda konyol itu.
Rasa  cinta  tersebut  rela  dipendam  dalam  hati,  sambil  menunggu
perkembangan  lebih  lanjut.  Jika  sampai  Dyah  Sariningrum  tewas,  atau
rencana perkawinan  itu  gagal,  maka  Perawan  Sinting  sudah  siap  meloncat
masuk menggantikan kedudukan Dyah Sariningrum di hati Pendekar Mabuk.
Sebab  itulah,  kabar  kematian  Suto  merupakan  bencana  memilukan  bagi
hatinya.
Kepergian  Perawan  Sinting  menuju  ke  Jurang  Lindu  hanya  semata-
mata ingin temui Dewa Kubur dan mengharap penjelasan lebih lengkap lagi
tentang ke matian Suto Sinting. Ia pergi bersama Mahesa Gibas, walau tak
pernah dipedulikan celoteh pemuda itu yang selalu menghamburkan bualan-
bualan  untuk  dapatkan  sanjungan.  Tapi  tak  satu  pun  sanjungan  meluncur
dari  mulut Dariingga Prasti, alias si Perawan Sinting.
Dalam perjaianan menuju Jurang Lindu itu, Perawan Sinting bertemu
dengan seorang tokoh tua yang amat dikenal olehnya. Tokoh tua bertubuh
kurus  do-  ngari  rambut  putih  dikonde  dan  berjubah  model  biksii  warna
hijau tua itu tak lain adalah si Raja Mantra dari Muara Angker.
Pertemuan  itu  kurang  manis  menurut  Perawan  Sinting,  sebab  ia
melihat  Raja  Mantra  sedang  beradu  ilmu  kesaktiannya  dengan  seorang
tokoh  yang  sekujur  tubuhnya  terbungkus  lumpur.  Mereka  bertarung  tak
jauh dari sebuah rawa yang ada dalam sebuah hutan liar.
Manusia  yang  sekujur  tubuhnya  penuh  lumpur  basah  itu  tak  lain
adalah Demit Rawa Lumpur, yang juga sering dinamakan Iblis Rawa Lumpur.
Permusuhan  antara  Raja  Mantra  dengan  Demit  Rawa  Lumpur  sudah
berlangsung  lama,  tapi  salah  satu  dari  mereka  tak  ada  yang  berhasil
membunuh  lawan.  Bahkan  ketika  Demit  Rawa  Lumpur  bertarung  melawan
Pendekar Mabuk untuk membela Tengkorak Liar, ia terpaksa kabur karena
Pendekar  Mabuk  dibela  oleh  Raja  Mantra,  (Baca  serial  Pendekar  Mabuk
dalam episode: "Dendam Penjilat Ayu".)
"Sampai kapan  pun  kau  tak  akan  bisa  menghancurkan aliran silatku,
Lagowo!" seru Raja Mantra dengan sikap kalem.
Mahesa  Gibas  berbisik  dari  balik  persembunyian-  nya,  "Perawan
Sinting, bukankah Raja Mantra adalah tokoh aliran putih?! Dia bersahabat
dengan Pendekar Mabuk."
"Ya, aku tahu!"
"Mengapa tidak kau bantu mengalahkan orang berlumpur itu?!"
Kurasa ini urusan orang tua, termasuk juga urusan antar perguruan.
Aku  tak  berani  campurtangan  kecuali  Eyang Raja  Mantra  terdesak  dalam
bahaya!" "Jadi, kita tonton saja pertarungan mereka?"
"Sementara  ini memang  hanya  begini  yang bisa kita  lakukan!"  tegas
Perawan Sinting dengan nada datar.
"Aku sudah bosan mendengar kejayaanmu, Wirambada! Hari ini juga,
kuakhiri  kejayaanmu  dengan  jurus  baruku!  Bersiaplah  untuk  mati!"  ujar
Demit Rawa Lumpur dengan suara menyeramkan.
"Ngomong-ngomong soal mati, sudah lama aku siap mati. Tapi bukan
oleh tanganmu, Lagowo!" jawab Raja Mantra. Masing-masing menyebut nama
aslinya.
"Nyawamu ditakdirkan mencelat dari tanganku, Keparat tua!"
Weesss...!  Demit  Rawa  Lumpur  melesat  cepat  menerjang  Raja
Mantra,  Kedua  tangannya  berkelebat  seperti  memercikkan air.  Tapi  yang
terpercik adalah lumpur-lumpur di tangannya itu. Craaat...!
Raja  Mantra  tahu-tahu  melambung  tinggi.  Suuut...!  Begitu  tingginya
sampai kepala Raja Mantra membentur dahan pohon. Duuuk...!
"Aduuh...!"
Tapi  ia  selamat  dari  kepretan  lumpur.  Sebab  lumpur-lumpur  yang
memercik  dari  kedua  tangan  Lagowo  itu  ternyata  membakar  pohon  dan
tanaman semak yang dikenainya. Buuulll...! Api berkobar di tempat-tempat
yang terkena kepretan lumpur. Raja Mantra segera sentakkan tongkatnya
ke  salah  satu  batang  pohon  terdekat.  Duuhk...!  Tubuhnya  yang  sedang
meluncur turun itu melesat ke arah lain bagaikan anah pannh,
Weess...!  Jleeg...!  Kini  ia  berdiri  di  belakang  Demit  Rawa  Lumpur
dalam jarak sekitar sepuluh langkah.
"Heeh,  heee,  heee,  heee,  heee!"  Raja  Mantra  terkekeh-kekeh
melihat  Demit  Rawa  Lumpur  kebingungan  mencari  lawannya.  Karena
mendengar suara tawa Raja Mantra, maka manusia terbungkus Iumpur itu
segera berbalik ke belakang menghadap ke arah lawannya.
"Jurus seperti itu kok dikatakan jurus baru?! Uuuh... kuno!" ejek Raja
Mantra dengan tengil.
"Edan!  Jurus  seperti  itu  dikatakan  kuno?!"  gumam  Mahesa  Gibas.
"Lumpurnya  bisa  membakar  pohon,  tanah  yang  dipijaknya  bisa  menjadi
hangus,  itu  sudah  merupakan  gabungan  ilmu  yang  cukup  tinggi.  Bukankah
begitu, Perawan Sinting?!"
Gadis yang ada di sebelahnya diam saja. Pandangan matanya tertuju
lurus ke arah pertarungan. Pedang di punggungnya siap dicabut kapan saja
jika ia terpaksa harus selamatkan si Raja Mantra.
Demit Rawa Lumpur pun berseru, "Itu memang bukan jurus baruku.
Tapi inilah jurus pamungkas untukmu, Wirambada! Heeaah...!"
Kaki  kanan  Demit  Rawa  Lumpur  menghentak  ke  tanah  satu  kali.
Duuhk...!  Glegaaar...!  Timbul  suara  ledakan  menggelegar,  mengguncangkan
alam sekitar- nya. Sentakan kaki ketanah itu membuat mata Mahesa Gibas
mendelik,  karena  ia  melihat  nyala  api  dari  sentakan  kaki  ke  tanah  itu
melesat  cepat ke  arah Raja  Mantra. Tahu-tahu  rumput  dan tanah  tempat
Raja Mantra berdiri itu terbakar seketika.
Bluuub...! Wuuuurrss...!
Raja Mantra terkurung api, bahkan tubuhnya terbungkus kobaran api
yang membentuk lingkaran bergaris tengah satu tombak.
"Gawat!  Eyang  Raja  Mantra  tak  sempat  loloskan  diri.  Sekarang  ia
sulit meloloskan diri karena terjebak api!" gumam Perawan Sinting dengan
tegang.
Gadis  itu  ingin  mencabut  pedang  pusakanya  yang  bernama  Pedang
Galih  Petir.  Tetapi  niatnya  menjadi  ragu-ragu,  sebab  Raja  Mantra  yang
tinggal tampak kepalanya saja dari bungkusan api itu tidak melakukan usaha
untuk meloloskan diri. Raja Mantra justru mengangkat tongkatnya dipegang
dengan dua tangan dan menyilang di atas kepala.
"Orang  tua  itu  gendeng!"  ujar  Mahesa  Gibas  dalam bisikan. "Sudah
tahu tubuhnya terbakar bukannya lari malah mainan tongkat?!"
Kejap berikutterdengar suara Raja Mantra serukan kalimat-kalimat
mantera saktinya dengan ucapan cepat.
"Acang kuruk, acang kirlk,
acang icik icik, gubras...!
Adem panas, sari rapet, sari udan,
bres, gubras, gabres.
Simulu kutuk kublung...!"
Mahesa Gibas berbisik kepada Perawan Sinting,
"Ngomong apa itu?! Apakah dia menguasai bahasa manusia purba?!"
"Itu mantera saktinya! Kita lihat saja apa yang terjadi setelah,..."
Belum selesai Perawan Sinting kasih penjelasan, tiba-tiba hujan turun
dengan  deras  di  daerah  itu.  Breessss...!  Hujan  yang  ajaib  itu  membuat
Demit  Rawa  Lumpur  terperanjat  kaget.  Tapi  karena  wajahnya  berlumur
lumpur, maka yang terlihat hanya kedua bola matanya terbelalak lebar.
"Keparat!  Dia  gunakan  ilmu  hujan  dan  salju?!"  geram  Demit  Rawa
Lumpur.
Mahesa Gibas juga memaki dalam nada gerutu dan hergegas mau ke
tempat teduh. Tapi tangannya dicekal Perawan Sinting hingga ia tak bisa ke
mana-mana.
"Tetaplah di tempat!" tegas Perawan Sinting dalam nada membisik.
"Apakah  kau  tak  sadar,  hujan  turun  dengan  seenak  udelnya  saja!
sepertinya ada dewa di langit sedang buang air dari ember!"
"Pasti tak akan lama! Kita...."
Sekali lagi ucapan si Perawan Sinting belum usai, hujan telah berhenti
total. Kobaran api padam sama sekali. Tinggal tanah yang hangus bersama
rumputnya  dan  masih  kepulkan  asap.  Tapi  tubuh  Raja  Mantra  dan
pakaiannya tak terbakar sedikit pun.
Lenyapnya  hujan  disertai  hembusan  angin  dinginyang  makin  lama
semakin mencekam. Raja Mantra memutar-mutar tongkatnya dl atas kepala
sambil melangkah ke samping untuk hadapi Demit Rawa Lumpur lagi.
Tapi  angin  yang  berhembus  makin  menggigilkan  siapa  saja,  kecuali
Raja Mantra sendiri. Angin itu mengandung busa-busa salju yang menempel
pada  deda  unan  dan  alam  sekitarnya.  Daun-daun  segera  menjadi  putih,
tanah segera menjadi berbusa-busa.
"Heeeaaaahhhh...!"
Demit  Rawa  Lumpur  kerahkan  tenaga  apinya.  Tubuh  yang  penuh
lumpur  itu  menjadi  merah  membara,    bagaikan  dibungkus  lahar  gunung
berapi.  Tubuhnya  melesat  menerjang Raja  Mantra.  Wuuuss...!  Suara  yang
terdengar adalah suara berdesis seperti bara api terkena air.
Wwooorrssss...!
Raja  Mantra  lepaskan  tongkatnya  yang  berujung  bentuk  tangan
menggenggam.  Tongkat  itu  menghantam  tubuh  Demit  Rawa  Lumpur  yang
sedang melayang di udara. Wuut, jedaaarr...!
Tongkat itu terpental ke arah Raja Mantra bagaikan bola memantul
balik  setelah  membentur  dinding.  Raja  Mantra  menangkap  tongkat
tersebut,  tapi  meleset.  Akibatnya,  ujung  tongkat  bagian  bawah  kenai
keningnya dengan telak. Tuuung...!
"Aooh...!"  Raja  Mantra  sendiri  terlempar  ke  belakang  dan  jatuh
dengan posisi terkapar. Brruuk..  Pakaiannya basah dan kotor akibat tanah
becek terkena hujan tadi. Busa-busa salju menempel pada tubuhnya. Tapi
ternyata hal itu tidak berbahaya bagi si Raja Mantra. la cepat bangkit dan
pandangi lawannya.
Ternyata sang lawan terlempar cukup jauh pada saat terjadi ledakan
keras tadi. Lumpur yang mengeras dan menjadi merah bara tadi padam dan
terkelupas  dengan  sendirinya.  Demit  Rawa  Lumpur  bagaikan  ditelanjangi.
Lumpur-lumpur  yang  membungkus  tubuhnya  terkelupas  mirip  gips  yang
copot dari tubuh penderita patah tulang.
Demit  Rawa  Lumpur  menyeringai  kesakitan.  Tubuhnya  bersih  dari
Iumpur. Tampak ia hanya mengenakan cawat tanpa selembar benang pun.
"lih  ..!"  Perawan  Sinting  melengos,  tak  mau  memandang  orang
setengah bugil itu. Mahesa Gibas tertawa sambil tubuhnya menggigil karena
hembusan hawa salju masih berlangsung terus.
Aaaah...! Aaaahh...!" Demit Rawa Lumpur bagaikan  orang yang dikuliti.
la tampak menderita sekaii. Tanpa banyak berpikir panjang lagi, ia segera
lari ting- tempat menuju ke rawa di sebelah kanannya. Jebruuub...! Demit
Rawa  Lumpur  segera  terjun  ke  rawa  berlumpur.  Kemudian  ia
menenggelamkandiri dan suara tcriakannya lenyap seketika. 
"Rupanya  orang  itu  tak  bisa  hidup  jika  tanpa  terbungkus  lumpur?!"
gumam Mahesa Gibas. Tapi kata- katanya itu tak mendapat sambutan dari
Perawan  Sin-  ting.  Gadis  itu  juga  melesat  keluar  dari  persembunyian.
Weess...!
Dalam waktu setengah kejap, ia sudah berada di tepian rawa. Tempat
tenggelamnya Demit Rawa Lumpur itu diperhatikan baik-baik. Yang tersisa
hanya ge lembung-gelembung lumpur menyerupai bubur men- didih.
Blekutuk, blekutuk, blekutuk...!
Raja  Mantra  hentakkan  tongkatnya  ke  tanah.  Dees...!  Angin  salju
berhenti seketika. Tapi busa-busa salju masih melekat pada daun, batang,
batu, tanah dan semua benda di sekitar tempat tersebut.
"Darlingga...?!" sapa Raja Mantra begitu mengenali gadis yang berdiri
di tepi rawa. Gadis itu segera temui Raja Mantra dan sedikit membungkuk
memberikan hormat kepada si tokoh tua itu.
"Maaf,  aku  tadi  melihat  pertarungan  Eyang  dengan  manusia  lumpur
itu.  Tapi  aku  tidak  berani  ikut  campur,  karena  agaknya  persoalan  yang
Eyang hadapi sangat pribadi."
"0, tak apa. Itu tadi hanya pemanasan saja. Sekedar menghilangkan
pegal-pegal pada tubuh. Maklum, aku sudah tua. Jarang berolah raga," ujar
Raja  Mantra  de  ngan  sengaja  berlagak  tengil,  karena  ia  termasuk  tokoh
yang gemar bercanda.
Perawan  Sinting  tersenyum  sangat  tipis,  nyaris  tak  terlihat.
Sementara  itu,  Mahesa  Gibas  menghamburknn  pujian  yang  tak  ditanggapi
oleh  Raja  Mantra.  Gurunya  Rinayi  dan  Utari  itu  segera  berkata  kepada
PerawanSinting, setelah ia memperhatikan wajah cantik itu dan menemukan
kejanggalan di sana.
"Ada duka di wajahmu, Darlingga. Boleh kutahu apa sebabnya?"
"Eyang,  apakah  Eyang  belum  dengar  bahwa  Pendekar  Mabuk,  Suto
Sinting, sekarang sudah... sudah...."
"Sudah tidak sinting lagi, maksudmu?"
Perawan Sinting gelengkan kepala dengan sedikit menunduk. Bibirnya
digigit sendiri, tidak menyuruh orang untuk menggigitnya. Itu menandakan
ia menahan tangis dan duka dalam hatinya.
"Lanjutkan bicaramu, Darlingga!"
"Suto Sinting... sekarang sudah tewas, Eyang...."
"Jabang  bayi...?!!"  Raja  Mantra  tersentak  kaget.  "Pendekar  Mabuk
sudah tiada...?! Ooh, mengerikan sekalil Padahal sebulan yang lalu aku habis
bertemu dengannya, tahu-tahu sekarang kudengar kabar kematiannya?!"
Mahesa  Gibas  menyahut,  "Lebih  mengerikan  lagi  jika  kematiannya
sebulan yang lalu, tahu-tahu sekarang Eyang bertemu dengannya."
"Semakin mengerikan jika kau ikut tewas juga, nak" ujar Raja Mantra
dengan  kesal  kepada  Mahesa  Gibas.  Pemuda  itu  hanya  bersungut-sungut
jengkel.
"Aku  mau  ke Jurang Lindu  untuk temui Dewa  Kubur, Eyang.  Sebab,
saksi  mata  yang  melihat  kematian  Suto  adalah  Eyang  Dewa  Kubur.  Dan
sekarang Eyang
Dewa Kubur sedang berada di Jurang Lindu!"
"Kalau begitu, aku ikut ke sana! Aku ingin temui si Gila Tuak. Jika dia
tak mau bikin perhitungan terbadap orang yang menewaskan Suto Sinting,
aku  sendiri  yang  akan  membalas  kematian  Suto  Sinting  itu!"  ujar  Raja
Mantra yang menganggap Suto sudah seperti cucunya sendiri.






2

Jurang  Lindu  berada  tak  jauh  dari  Lembah  Badai.  Daerah  yang
bernama Lembah Badai itu dikuasai oleh saudara seperguruan si Gila Tuak
yang  cantik rupawan.  Perempuan  yang  awet  muda itu dikenal dengan nama
Bidadari Jalang.
Dulu,  perempuan  ini  masuk  dalam  aliran  hitam.  Sering  terlibat
bentrokan keras dengan si Gila Tuak. Ilmunya sama-sama hebat. Tapi sejak
mereka mengangkat murid dari bocah tanpa pusar, Bidadari Jalang masuk
dalam aliran putih. Sekarang ia menjadi perempuan berilmu tinggi yang lebih
gemar tinggal di Lembah Badai.
Hubungannya  dengan  si  Gila  Tuak  sudah  seperti  kakak  beradik.
Bidadari Jalang menaruh rasa hormat kopada si Gila Tuak karena ilmunya di
bawah si Gila Tuak, juga faktor usianya sedikit lebih muda dari si Gila Tuak.
Mereka berdua itulah yang bertanggung jawab atas sepak terjang pemuda
tampan yang suka konyol, yaitu Pendekar Mabuk.
Oleh sebab itu, kedatangan Dewa Kubur yang mengabarkan kematian
Pendekar Mabuk membuat dua wajah  satu kakek guru itu menjadi tegang
dan diliputi rona duka yang samar-samar.
Si Gila Tuak tak mau percaya bahwa muridnya itu telah tewas masuk
ke  dalam  sumur  tua  tak  terukur  kedalamannya.  Bidadari  Jalang  menjadi
sangsi dengan sikapnya sendiri, sehingga dukanya menjadi duka yang ragu-
ragu.  Mengingat  yang  bicara  adalah  Dewa  Kubur,  mereka  beranggapan
bahwa  Dewa  Kubur  tak  mungkin  berdusta  kepada  mereka.  Tapi  Gila  Tuak
punya alasan sendiri untuk tidak mempercayai kata-kata Dewa Kubur.
"Dewa  Kubur,  jika  benar  muridku  tewas  di  sekitar  Lembah  Seram,
pasti  aku  akan  mendapat  firasat  ganjil  sebelumnya.  Setidaknya  hatiku
menjadi resah dan gundah memikirkan Suto Sinting. Tetapi sejak kemarin-
kemarin, aku tak mengalami keresahan apa pun. Tidurku nyenyak, makanku
enak!"
"Tapi  aku  melihatnya  sendiri  Kakang  Sabawana,"  ujar  Dewa  Kubur
menyebut  nama  asli  si  Gila Tuak. "Aku melihat  sendiri  saat  ia  terperosok
masuk ke dalam su... sumur!"
"Mengapa tak kau selamatkan murid kami itu?!" ujar Bidadari Jalang.
"Waktu  itu  aku  sedang  menerjang  lawannya,  si  Perwira  Tom...
Tombala! Jadi aku tidak sempat me nyambar mu...."
"Mulutmu!"
"Muridmu...!"  ralat  Dewa  Kubur  yang  selalu  bicara  menggantung
kalimat  akhir.  Nada  bicaranya  memang  seperti  seorang  guru  bicara  pada
muridnya, tak peduli siapa orang yang diajaknya bicara kala itu. Ki Sabawana
dan  Bidadari  Jalang  sudah  tak  aneh  lagi  dengan  ciri  bicara  Dewa  Kubur,
sehingga mereka tak merasa sedang digurui.
"Aku  tak  punya  kesempatan  untuk  melongok  sumur  itu,  Kakang!
Perwira  Tombaia  melancarkan  serang-  annya  dengan  gencar,  sehingga  aku
terpaksa mela- yani...? Melayaninya!"
"Berapa lama  kau  melawannya?" tanya Gila  Tuak  dengan nada  datar
dan berwibawa.
"Cukup lama! Karena semula aku tidak ingin membunuhnya. Hanya ingin
mengu...?"
"Mengusungnya."
"Mengusirnya!" tegas Dewa Kubur. "Tapi karena dia cukup alot, maka
terpaksa dia kubu...?"
"Kubuntingi."
"Kubunuh! Terpaksa dia kubunuh!" tandas Dewa Kubur. "Belum sampai
aku  melongok  ke  sumur,  si  laksamana  Tanduk  Naga  muncul  menyerangku.
Akibatnya pertarungan kami pun menjadi pan...?"
"Panjul."
Panjang...!" Dewa Kubur membetulkan maksudnya
Rupanya  kedatangan  Dewa  Kubur  ke  Jurang  Lindu  disusul  oleh
beberapa tokoh lain yang mendengar kabar kematian Pendekar Mabuk dari
mulut Dimas Genggong, murid si Dewa Kubur. Beberapa orang yang hadir di
.Jurang  Lindu  itu  antara  lain:  Sumbaruni,  mantan  istri  Jin  Kazmat  yang
kasmaran pada Suto Sinting. Selain Sumbaruni yang datang dengan wajah
sedih, tampak juga si Resi Parangkara, gurunya Puting Selaksa dan Manggar
Jingga,  (Baca  serial  Pendekar  Mabuk  dalam  episode:  "Wanrta  Keramat").
Hadir Juga di situ Sawung Kuntet dan Eyang Cakraduya dari Bukit Sutera,
Ki Dhar mapala alias si Burung Bengal dari Bukit Semayam. Arya Suaka dan
gurunya  yang  berjuluk  Geledek  Biru,  Batuk  Maragam  dari  Karang  Amuk,
Awan Setangkai dari Selat Bantai dan beberapa orang lainnya.
Mereka adalah orang-orang yang seeara kebetulan mendengar kabar
lebih  cepat  mendengar  kabar  kematian  Pendekar  Mabuk  ketimbang  yang
lainnya. Mereka datang selain ingin mendengar kepastian dari si Gila Tuak,
juga ingin menyampaikan rasa ikut berduka cita jika benar Pendekar Mabuk
telah tewas tak ditemukan jenazahnya.
Oleh  sebab  itu,  kehadiran  Perawan  Sinting  bersama  Raja  Mantra
yang diikuti oleh Mahesa Gibas, bukan hal yang aneh bagi si Gila Tuak dan
Bidadari Jalang.
Perawan Sinting langsung berlutut dan tundukkan kepala di depan si
Gila  Tuak.  Bidadari  Jalang  berdiri  dl  sampingnya  sambil  mengingat-ingat
wajah Perawan Sinting.
"Siapa gadis ini?" bisik Gila Tuak kepada Bidadari Jalang.
Dengan suara agak keras, Bidadari Jalang berkata, "Kalau tak salah,
gadis ini adalah Darlingga Prasti, murid mendiang Gagar Mayang."
"Ooo.../'  Gila  Tuak  yang mengenakan pakaian  serba hijau dan  jubah
kirning itu manggut-manggut sambil menggurnam iirih.
"Benarkah  kau  murid  mendiang  sahabatku;  si  Gagar  Mayang  dari
Lereng Buana itu, Nak?"
"Benar,  Eyang!  Aku  yang  bernama  Darlingga  Prasti  alias  Perawan
Sinting, murid mendiang guru Nyai Gagar Mayang," jawab Perawan Sinting
dengan sopan sekali.
Raja Mantra menyahut, "Aku mendengar kematian muridmu dari gadis
:ni,  Kakang  Gila  Tuak!  Aku  turut  bersedih  dan  kusampaikan  rasa
belasungkawaku sedalam-dalamnya."
"Jangan dalam-dalam dulu, Wirambada!" potong si Gila Tuak dengan
kalem.  "Aku  sendiri  tak  yakin  bahwa  muridku  bias  mati  semudah  itu.
Artinya,  tidak  mengirimkan  firasat  apa-apa  lebih  duiu  padaku.  Aku  tak
yakin”.
"Kudengar,..," ujar Raja Mantra lagi. "Dewa Kubur adalah.saksi hidup
yang melihat kematian Pendekar Mabuk?!"
Dewa Kubur menyahut, "Memang benar, aku yang melihat anak muda
itu  jatuh  ke  dalam  sumur  tua  itu!  Jelas  sekali  aku  melihatnya  masuk  ke
dalam su...?" "Suling," lanjut Raja Mantra.
"Sumur!"  raiat  Dewa  Kubur.  "Kulihat  jelas  sekali  dia  masuk  dalam
sumur, tapi... apa daya aku tak sempat menyam...?"
"Menyambitnya?"
"Menyambarnya!"
Batuk  Maragam,  tokoh  tua  yang  punya  kebiasaan  batuk  beraneka
nada itu segera menyahut.
"Masuk ke dalam sumur bukan berarti masuk ke alam kematian, Dewa
Kubur! Siapa tahu Suto Sinting tersangkut akar pohon yang tersumbul dari
dinding  sumur  itu?!  Kurasa,  kematian  Suto  Sinting  perlu  dicari  buktinya.
Harus  ada  yang  bisa  temukan  jenazah  Suto  Sinting  walaupun  hanya
kepalanya  saja.  Uuhuk,  uhuuk,  uhuuk,  iihik,  ihhik,  hook,  hoook,  hooekk...
cuih!"
Batuk Maragam berhenti bicara. Ucapannya yang bernada seenaknya
itu  membuat  Perawan  Sinting  tegakkan wajah.  Tapi  lebih dulu  si  Geledek
Biru ajukan tanya kepada Dewa Kubur.
"Di mana letak sumur itu, Dewa Kubur?"
"Di  Lembah  Seram.  Tapi  sekarang  tempat  itu  sudah  hancur.
Tebingnya  rubuh  dan alam  sekitarnya  rusak  akibat  pertarunganku  dengan
Laksamana Tanduk Naga. Dan kulihat sumur itu sudah tertimbun ta...?"
"Tape...?!" sahut Raja Mantra.
"Tanah!"
"Oo,  sudah  tertimbun  tanah?"  Raja  Mantra  menggumam dan  manggut-
manggut.
"Jika  begitu,  Eyang...,"  sahut  Perawan  Sinting,"...  aku  mohon  pamit
sekarang juga!"
"Mau ke mana kau?!"
"Mencari  mayat  Suto  Sinting  sampai  berhasil  kutemukan  bukti
kematiannya!"
Sumbaruni  yang  menyimpan  rasa  cemburu  kepada  Perawan  Sinting
segera berseru,
"Jangan bodoh kau, Gadis ingusan! Mayatnya pasti sudah tertimbun
reruntuhan tebing, seperti yang diceritakan si Dewa Kubur tadi!"
"Aku punya dua tangan. Bisa untuk menyingkirkan tebing itu!" ketus
Perawan Sinting, lalu melesat pergi tanpa bisa dicegah lags. Biaasss...!
"Konyol...!" geram Sumbaruni sambi! mendengus kesal.
Memang  konyoL  Bukan  hanya  Perawan  Sinting  saja  yang  konyol.
Ternyata yang namanya Suto Sinting |uga konyol. Bahkkan lebih konyol dari
kabar yang di- sampaikan Dewa Kubur stu.
Orang-orang  sibuk  membicarakan  kematiannya,  Tapi  Suto  Sinting
saat  itu  justru  sedang  merebah  di  atas  pangkuan  seorang  gadis  cantik
bertubuh tinggi, kekar dan sekal. Gadis itu adalah mantan prajurit Kerajaan
Hastamanyiana  yang  ditugaskan  menjaga  harta  karun  di  lorong  maut,
tempat mereka nyaris mati terkubur hidup-hidup.
Prajurit cantik berdada montok itu tak lain adalah si Citra Bisu alias
Citra  Mandagi.  la  dijuluki  Citra  Bisu,  karena  lebih  sering  tampak  diam
menutup  mulut  rapat-  rapat,  tapi  batinnya  bicara  dan  suara  batinnya  itu
mampu dikirimkan ketelinga lawan orang yang dituju. la memiliki ilmu 'Tutur
Selayang' yang merupakan ilmu langka dan hanya dimiliki oleh orang-orang
berkekuatan  batin  tinggi.  Dari  sekian  banyak  prajurit  Kerajaan
Hastamanyiana, hanya dia seorang yang mampu kuasai ilmu Tutur Selayang',
sehingga ia kelihatannya selalu membisu dalam kesehariannya.
Tetapi  lamanya  di  dalam  lorong  penyimpanan  harta  karun  membuat
Citra  Bisu  tak  tahu  bahwa  waktu  telah  berjalan  jauh  ke  depan.  Negeri
Hastamanyiana telah hancur dan tidak ada lagi. Salah satu orang Hastama-
nyiana  yang  masih  hidup  adalah  Nini  Desah  Bengi,  yang  kini  menjadi
penguasa Pulau Garong.
Seperti  apa  kata  Citra  Bisu,  suasana  di  dalam  lorong  itu  adalah
suasana mati. Waktu tidak bergerak, zaman tidak berganti, segalanya serba
abadi.  Oleh  karenanya,  walaupun  Suto  Sinting  merasa  tinggal  di  dalam
Sorong  itu  tak  lebih  dari  sehari,  tapi  kenyataannya  di  luar  lorong  waktu
telah berjalan sampai tiga hari. Tak heran juga jika Citra Bisu keluar dari
lorong  maut  itu  dalam  keadaan  masih  muda,  cantik,  seksi  dan
menggairahkan.
"Menurut  cerita  si  Kusir  Hantu,"  ujar  Pendekar  Mabuk  sambil
merebah  di  pangkuan  gadis  montok  iin"Hastamanyiana  hancur  pada waktu
empat puluh tahun yang lalu. Aku belum lahir."
"Sudah lama sekali?!"
"Karena itulah, jika saat kau masuk ke dalam lorong itu dengan usia
dua  puluh  lirna  tahun,  berarti  sekarang  usiamu  adalah  enam  puluh  lima
tahun."
"Ooh,  tua  sekali  aku  ini?!"  ujar  Citra  Bisu,  tapi  bibirnya  tetap
terkatup  rapat.  la  bicara  lewat  suara  batin,  dan  ucapan  batin  Pendekar
Mabuk bisa didengar olehnya.
Gadis  itu  termenung.  la  masih  sangsi  dengan  kenyataan  yang
didengarnya  dari  pemuda  tampan  berambut  panjang  tanpa  ikat  kepala.
Tetapi  pemuda  itu  tetap  dibiarkan  berbaring  di  pangkuannya,  la  sendiri
bersandar  pada  sebatang  pohon  rindang.  Mereka  sedang  menikmati  masa
istirahat, mengendurkan ketegangan dan kopanikan, karena merasa berhasil
lolos dari reruntuhan lorong maut itu.
Tangannya  yang  berlapis  perunggu  ukir  dari  pergelangan  tangan 
sampai batas siku, terkulai lemah didada Suto Sinting. Tangan yang satunya
sengaja  mengusap-usap    kening  Suto  sambil  bermainkan  anak  rambut  di
sekitar kening.
Pendekar  Mabuk  sengaja  membawa  gadis  itu  dalam  suasana  santai.
Karena setelah lolos dari lorong maut, jiwa mereka sedikit terguncang dan
perlu  diredakan.  Mereka  belum  tahu  harus  berbuat  apa  pada  saat  ini
sehingga  mereka  harus  merenungkanriya  setelah  jiwa  menjadi  tenang
kembali.
"Suto, maukah kau mengantarku ke Pulau Senida untuk membuktikan
kebenaran  kabar  tentang  hancurnya  Hastamanyiana?!"  ujar  Citra  Bisu
dengan bibir terkatup. Tapi Suto Sinting merasa mendapat bisikan jelas di
telinganya, sehingga ia pun segera menjawab dengan suara batinnya.
"Aku  tak  keberatan untuk pergi  ke  Pulau Senida.  Tetapi  bagaimana
dengan harta karun sebanyak itu?!"
"Sudah  terkubur  dalam  lorong  itu.  Reruntuhan  tebing  telah
menguburkan sejarah harta kekayaan negeri Hastamanyiana yang selama ini
kujaga. Kurasa, me mang sebaiknya harta itu terkubur dalam-daiam di dasar
bumi agar tak menjadi bencana bagi para pemburu serakah itu!"
"Kau rela menghadapi kenyataan ini?"
"Aku  harus  rela  jika  benar  Hastamanyiana  telah  hancur.  Tapi  jika
Hastamanyiana masih berdiri, ratu masih  hidup, maka dengan segala daya
upaya aku harus bisa mengambil kembali harta itu!"
"Baiklah jika kerelaan hatimu sudah begitu. Kapan kita berangkat ke
Pulau Senida?"
"Haruskah menunda waktu?' Citra Bisu ganti ber tanya. Suto Sinting
mengerti maksudnya,
"Baik. Kita berangkat sekarang juga!" Suto pun bangkit berdiri. Gadis
itu  berdiri  juga.  Tinggi  tubuhnya  sedikit  melebihi  ketinggian  tubuh  Suto
Sinting.  Batas  kepala  Suto  hanya  sampai  di  bawah  daun  telinganyayang
mengenakan giwang putih kecii dari jenis berlian tulen itu.
"Ke mana arah yang harus kita tuju pertama kali- nya?" tanya Suto
Sinting dengan suara batin.
"Ke Pantai Bejat! Karena dari sana kita bisa me- nyeberang dengan
perahu atau dengan apa saja menuju ke Pulau Senida!"
"Pantai  Bejat...?!"  Suto  Sinting  bergumam  dengan  suara  lirih.  la
berkerut dahi karena teringat sesuatu yang berkaitan dengan Pantai Bejat.
"Kenapa, Suto...?!" tanya Citra Bisu dengan suara batin.
Suto  menjawab  dengan  batin  pula,  "Di  sana  ada  orang-orang  Tanah
Pasung. Kudengar mereka mendarat di Pantai Bejat!"
"Siapa orang-orang Tanah Pasung itu?!"
"Mereka  adalah  para  pemburu  harta  karun  yang  kau  jaga  itu.
Kedatangan mereka kemari dipimpin oleh pe- nguasa Tanah Pasung sendiri,
yaitu Ratu Sinden. Dan... dan sebelum aku terperosok jatuh ke lorong maut,
dua kenalanku ditawan oleh mereka dan dibawa ke Tanah Pasung, yaitu si
Kusir Hantu dan Pematang Hati, cucunya. Mereka menangkap Kusir Hantu
dan  cucunya  pasti  untuk  dapatkan  keterangan  tentang  letak  Goa  Kembar
yang  ikabarkan  sebagai tempat  penyimpanan harta karun itu. Kusir  Hantu
tinggal  di  Lembah  Seram.  Ratu  Sinden  menyangka  si  Kusir  Hantu  pasti
mengetahui tempat itu."
"Apakah dia memang mengetahui lorong maut itu?"
"Kusir  Hantu justru tak percaya  kalau di Lembah Seram  tersimpan
harta  kekayaan  negeri  Hastamanyiana.  la  menganggapnya semua itu hanya
dongeng  belaka.  la  sama  sekali  tidak  tertarik  untuk  mencari  harta  ter-
sebut!"
"Apa  salahnya  jika  kita  bebaskan  mereka  dari  kerakusan  si  Ratu
Sinden?!"
"Aku sangat setuju!"
Kliik,..! Suto Sinting menjentikkan jarinya di depan hidung Citra Bisu.
Wajahnya tampak berseri-seri, pertanda sangat mendukung gagasan Citra
Bisu.
Tetapi sebelum merfcka bergegas pergi, tiba-tiba sebatang tombak
melesat dengan cepat ke arah punggung Pendekar Mabuk. Wuiiss...! Dengan
cepat  Citra  Bisu  menarik  lengan  Suto  ke  arahnya.  Suto  tersentak  dan
menabrak dada Citra Bisu. Gadis itu menangkap dalam pelukan sambil geser
satu langkah ke belakang. Seet….!
Jeeebs...!  Tombak  itu  menancap  pada  pohon  yang  tadi  dipakai
bersandar  Citra  Bisu.  Suto  Sinting  mendelik  tegang  melihat  tombak  itu
menancap pada pohon dan  tembus  ke sisi belakangnya.  Dapat  dibayangkan
alangkah  keras  dan  cepatnya  lemparan  tombak  tersebut.  Seandainya  tadi
tombak itu menancap di punggung Suto, maka tak heran jika akan tembus ke
pinggang kirl Citra Bisu, sebab kala itu mereka. berada dalam jarak sekitar
dua jengkal.
Hampir saja kita berdua menjadi sate tanpa bum- bu, Citra!"
Citra  Bisu  tidak  layani  ucapan  Suto  Sinting.  ia  segera  menyambar
tombak tersebut. Satu sentakan tangan kiri membuat tombak itu lolos dari
batang pohon. Siuub...! Citra Bisu meiemparkannya ke arah semak-se- mak
tempat munculnya tombak tersebut. Weess...! Jeebs...!
"Aaaaaaa...!" suara jeritan memanjang menandakan tombak itu dapat
jodoh di perut pemiliknya sendiri. Menancap tembus tanpa permisi lagi.
Kejap  berikutnya,  dari  semak-semak  lainnya  berloncatan  manusia-
manusia  berwajah  angker  bagaikan  kutu  loncat.  Bahkan  dari  semak  di
belakang Suto dan Citra Bisu juga muncul wajah-wajah angker yang sudah
menyiapkan senjata masing-masing.
Salah satu wajah angker itu mengenakan jubah ungu dan celana ungu
kusam.  Orang  kurus  bermata  cekung  dengan  rambut  abu-abu  itu  tak  lain
adalah si Bandar Santet yang tempo hari merampas peta harta karun dari
tangan Belatung Gerhana. Suto Sinting masih ingat betul dengan si wajah
angker yang menyelipkan keris gagang merah di sabuk depan perutnya itu.
"Siapa  mereka,  Suto?"  tanya  Citra  Bisu  dengan  suara  batin.  Suto
juga  menjawab  dengan  suara  batin,  sehingga  di  depan  lawannya  mereka
tampak hanya diam saja.
"Mereka  juga  para  pemburu  harta  karun  itu.  Mereka  orang-orang
Selat Neraka di bawah pimpinan Bandar Santet."
"Yang mana yang bernama Bandar Santet?"
"Yang kurus dan berjubah ungu itu."
"Jelek sekali wajahnya?"
"Menurut istrinya wajah seperti itu adalah wajah ganteng."
"Kalau begitu biar kutangani sendiri orang itu!"
"Hati-hati,  dia  jago  santet!  Aku  pernah  dilukai  dengan  ilmu  Pesona
Teluh'-nya."
"Kau  urus  saja  para  cecunguknya,  aku  akan  jajal  ilmu  santet  si
kepompong minder itu!"
Pendekar Mabuk tersenyum menahan tawa. Tentu saja mereka yang
mengepung taktahu apa sebab Pendekar Mabuk ingin tertawa geli. Mereka
melihat  kedua  mangsa  yang  dikepung  tetap  tenang,  saling  diam  dan  tidak
tampak berbisik-bisik.
"Tapi  kenapa  si  tampan  itu  sepertinya  mau  tertawa  geli?  Apa  yang
sebenarnya  yang  dilihatnya  di  wajah  ketua  kita  itu?"  bisik  salah  seorang
anak buah Bandar Santet.
"Sst...! Jangan ngobrol sendiri, nanti ketua marah padamu!" temannya
mengingatkan.
Bandar Santet maju dua langkah dengan dingin. Matanya memandang
ke arah Suto Sinting yang bersebelahan dengan Citra Bisu dalam jarak tiga
langkah.
"Kita  bertemu  lagi,  Bocah  sinting!"  ujar  Bandar  Santet  dengan
suaranya yang datar dan dingin.
"Aku  tak  punya  peta  menuju  liang  kubur,  Bandar  Santet.  Kuharap
jangan bikin perkara lagi denganku!"
"Ada  yang  perlu  kusampaikan  padamu!  Pertama....  Peta  dari  si
gembrot busuk itu adalah peta palsu! Kedua.... Juru Jagal akhirnya tewas
setelah menderita luka parah dan tak bisa disembuhkan."
"Aku turut berduka cita," ujar Suto Sinting kalem.
"Ketiga...,"  sambung  Bandar  Santet,  ....  Aku  ingin  menagih  nyawa
orang-orangku yang kau bunuh!"
"Aku tidak membunuhnya. Orang-orangmu sendiri yang saling bunuh,
Bandar Santet!"
"Keempat.... Kau harus tunjukkan di mana harta karun itu berada. Aku
yakin kau dan Belatung Gerhana tahu di mana tempat itu."
"Kau salah duga, Bandar Santet. Aku dan...."
"Kelima...  hutang  nyawamu  kuanggap  lunas  jika  kau  bantu  aku
dapatkan harta karun itu."
"Keenam...,"  sahut  Suto  Sinting,  "....  Aku  tak  tahu  menahu  tentang
harta karun dan siap adu nyawa denganmu, Bandar Santet!"
"Sebuah tantangan yang bagus, Suto," bisik Citra Bisu dengan suara
batin. "Awas, sebelah kananmu ada yang mau lemparkan pisau."
"Aku melihatnya. Tenang saja, Citra!" balas Suto dengan suara batin
juga.
Bandar  Santet  bersuara  geram.  "Kau  memang  sudah  bosan  hidup,
Anak kucing!"
Wiiiz...!  Pisau  metayang  ke  arah  leher  Suto  Sinting  dari  arah  kanan.
Tubuh Suto segera disentakkan ke belakang sambil berseru dalam batinnya.
"Citra, tangkap pisau ini!"
Wees...! Pisau lewat depan mulut Suto. Tangan Citra Bisu berkelebat
dengan tubuh sedikit memutar. Taab...! Pisau tertahgkap di tangan gadis itu,
tangsung dilemparkan ke arah kiri, sebab di arah kiri ada orang yang ingin
melemparkan tombaknya. Wuut...! Jrebb...!
"Aaaaahkk...!"
Pisau  itu  tepat  menancap di  ulu  hati  orang  tersebut.  Tombak  yang
sudah diangkat pun jatuh ke tanah, menyusul kemudian orang itu tumbang
dengan tersengal- senga! beberapa saat sampai akhirnya tak mau bernyawa
lagi. Mati.
Anak  buah  Bandar  Santet  menjadi  tegang.  Tapi  si  kurus  Bandar
Santet  tetap  tenang.  la  hanya  melirik  anak  buahnya  yang  tewas  tanpa
tindakan  apa  pun.  Namun  ia  bicara  kepada  Citra  Bisu  dengan  nada  lebih
dingin lagi.
"Terlalu berani kau ikut campur urusan ini, Nona cantik! Apakah kau
tak takut mati dengan raga membusuk dan berbelatung?!"
Citra  Bisu  diam  saja,  hanya  menatap  Bandar  Santet  penuh
keberanian.  Tapi  ia  mulai  bicara  dalam  batinnya,  dan  suara  batinnya
dikirimkan kepada Suto Sinting
"Dia mulai menggunakan ilmu teluhnya, Suto."
"Celaka! Lekaslah menyingkir biar kuhadapi orang itu!"
"Aku  mendengar  batinnya  mengucapkan  beberapa  mantera.  Dadaku
mulai panas! Sebaiknya  kuserang dia agar tak sempat melanjutkan  bacaan
manteranya!"
"Tapi...,"  Suto  Sinting  tak  sempat  ianjutkan  ucapan  batin,  karena
tiba-tiba  tangan  kiri  Citra  Bisu  menyentak  ke  depan  dengan  dua  jari
mengerang  kejang.  Suuut...!  Claap...!  Selarik  sinar  biru  melesat  dari  ujung
kedua jari itu. Sinar tersebut menghantam dada Bandar Santet.
Sinar  biru  itu  hanya  dipandang  oleh  Bandar  Santet.  Tahu-tahu
berhenti  sendiri  dalam  jarak  satu  jengkal  di  depan  dada.  Tapi  ucapan
mantera di batin Bandar Santet terhenti mendadak, karena kekuatan dan
perhatiannya tertuju ke arah sinar biru itu.
Citra  Bisu  segera  menangkap  tangan  kirinya  sendiri  dengan  tangan
kanan. Bagian yang ditangkap adalah bagian siku. Kemudian kedua tangan itu
lebih menyentak maju lagi hingga tubuh Citra Bisu meliuk ke samping. Plak,
wuuut...!
Sinar  biru  yang  terhenti  iiu  menyentak  maju.  Bandar  Santet  kaget
dan segera menghadangkan tangan kanannya. Dees...! Blaaarrr...!
Ledakan yang terjadi tlmbulkan gelombang sentak yang sangat kuat.
Bandar  Santet  terlempar  ke  atas,  rnelayang  ke  belakang,  kepalanya
membentur lekukan cabang pohon. Duuk...! Bruuk...! la jatuhterbanting tanpa
ampun lagi.
Melihat  ketuanya  dilemparkan  begitu  saja,  para  anak  buah  pun
melabrak  Citra  Bisu  dan  Pendekar  Mabuk  secara  serentak.  Mereka  mulai
menyerang dari ber- bagai arah dengan teriakan liarnya.
"Heeeaaaah...!!"
Citra  Bisu  mencabut  pedangnya  yang  terbuat  dari  kristal  bening.
Pendekar  Mabuk  segera  menyambar  bumbung  tuaknya  yang  sejak  tadi
menggantung  di  pundak  kanan.  Seet...!  Bumbung  tuak  itu  segera  dipakai
menangkis  senjata-senjata  yang  diarahkan  kepadanya.  Trang,  trang,
duaar...! Bumbung bambu itu se- perti besi baja, ketika berbenturan dengan
senjata lawan memancarkan cahaya bunga api ke rnana-mana.
Citra  Bisu  bergerak  dengan  lincah,  menangkis  pedang  dan  tombak
lawan  dengan  pedang  kristalnya.  Sa-  betan  pedang  beling  itu  ternyata
mampu mematahkan tombak lawan serta beberapa senjata lainnya. Bahkan
seseorang  yang  menggunakan  rantai  bola  berduri  mencoba  menyambar
kepala Citra Bisu dari belakang.
Gadis  itu  merendahkan  badan  dengan  kepala  sedikit  dirundukkan.
Pedangnya berkelebat menyambar rantai bola berduri itu. Craang...! Bluuk...!
Bola berduri itu jatuh ke tanah, putus dari rantainya.
"Hiaaat...!"  Citra  Bisu  menebaskan  pedangnya  ke  kanan  dan  ke  kiri,
menyambar  perut  lawan  yang  ingin  mendekatinya.  Breet,  craas,  breet,
wreek...!
"Aaaah...! Aaooww...! Aaahk...!"
Enam  orang  sekali  tebas  jatuh  terkapar  dalam  keadaan  luka  robek
pada  bagian  tubuhnya.  Sementara  itu,  Pendekar  Mabuk  berhasil
menumbangkan delapan  orang dalam  sekali  sambar  bumbung  tuaknya  yang
diputar  ke  atas  kepala.  Wuuurs...!  Putaran  bumbung  tuak  itu  datangkan
angin kencang dan melemparkan mereka yang mengelilinginya.
Terdengar  suara  batin  Citra  Bisu  berujar  kepada  Suto,  "Aku
melompat ke atas pohon. Mau kejar si Bandar Santet itu. Urus yang iainnya,
Suto!"
"Lakukan saja, Manis!" sahut batin Suto Sinting.
Wuuut...! Tubuh gadis yang tinggi sekal itu tahu- tahu sudah ada di
atas  pohon.  la  melompat  dari  pohon  yang  satu  ke  pohon  yang  lain.  Dalam
sekejap sudah berada di depan Bandar Santet.
Pendekar Mabuk segera pergunakan jurus 'Garuda Mudik'. Bumbung
tuak diputar di atas kepala, lalu dilepaskan. Wuuuung...! Bumbung tuak itu
melayang sendiri dalam gerakan memutar. Tiap benda yang dilaluinya selalu
terhantam dan menjadi berantakan. Beberapa kepala lawannya mengucurkan
darah akibat ter- sambar gerakan cepat bumbung terbang itu. Sementara
tombak dan golok yang coba-coba menghalanginya torpaksa patah menjadi
berkeping-keping setelah bertabrakan dengan bumbung tuak itu.
Trak, taang, prook, traak, prook, wuung...!
Teeb...! Bumbung tuak kembali ke arah pemiliknya. Berhasil ditangkap
dengan  tangkas  dan  siap  diputar  kembali.  Taps  beberapa  lawan  segera
undurkan  diri  begitu  melihat  jurus  Garuda  Mudik'  yang  telah  membuat
empat  kepala  retak  berlumur  darah.  Mereka  yang  terluka  tak  punya
harapan untuk hidup lebih seratus hitungan lagi.
Di sisi lain, Citra Bisu berhadapan dengan Bandar Santet. Kali ini ia
menggunakan suara mulut.
"Jika kau ingin dapatkan harta itu, kau harus berhadapan denganku.
Akulah si penjaga harta itu dari Kerajaan Hastamanyiana!"
"Perempuan keparat! Kau menjadi busuk sekarang ju...."
Prook...! Belum selesai Bandar Santet mengucapkan kutukannya, kaki
panjang  Citra  Bisu  fcudah  lebih  dulu  menendang  mulut  orang  tersebut.
Tendangan  ber-  tenaga  dalam  dilakukan  sangat  kerasdan  cepat.  Dalam
sekejap  saja  mulut  Bandar  Santet  menjadi  remuk.  Gigi  depannya  rontok
semua. Bandar Santet tak bisa bicara karena gusinya ikut pecah.
"Grrrrrh...!"
Bandar  Santet  hanya bisa menggerarn dengan seri- ngai kesakitan.
Kerisnya  dicabut  dari  tempatnya.  Seet...!  Claap,  claap...!  Keris  itu
memancarkan  sinar  merah  berkerilap,  menandakan  keris  itu  mempunyai
kesaktian tersendiri.
'  Haaaggrr...!"  Bandar  Santet  menyentakkan  keris-nya  ke  depan.  Sinar
merah seperti ekor naga menyarn bar tubuh Citra Bisu. Craiaap...!
Wiiz, wiiiz, wiiz...!
Suuut...!  Pedang  kristal  itu  pun  segera  disentakkan  lurus  ke  depan
seteiah ditebaskan dengan cepat beberapa kali. Pedang bening itu menyala
biru,  dan  sinar  birunya  bagai  bertumpuk  di  ujung  pedang,  ialu  melesat
keiuar berupa sinar biru berbentuk mata pedang. Ctaaap...!
Jegaaarrr.:.!
Ledakan dahsyat terjadi akibat tabrakan sinar biru pedang dan sinar
dari keris. Ledakan itu membuat tubuh Citra Bisu teriempar dalam keadaan
separoh wajah menjadi memar membiru, tersambar gelombang angin panas
dari ledakan tadi.
Bandar  Santet  juga  teriempar  ke  beiakang  dan  melayang-layang
dalam keadaan hilang keseimbangan. ia terbanting di atas sebongkah batu
sebesar anak sapi. Brook...! Krrak….!
"Aaahk...!"  Bandar  Santet  mengerang  karena  tulang  punggungnya
bagaikan  patah.  Sementara  kepalanya  sendiri  menjadi  bocor  akibat
.membentur batu tersebut.
Melihat Bandar Santet terluka cukup parah, para anak buah segera
bertindak cepat. Bandar Santet disambar oleh salah seorang anak buahnya
yang berbadan besar. Wees...!
"Lari...!" seru orang itu mernberi aba-aba kepada yang lain. Maka yang
lain pun berhamburan pergi tinggalkan tempat itu. Citra Bisu ingin mengejar
dalam ke- adaan luka, tapi Suto Sinting berseru dengan suara batinnya.
"Tahan! Jangan kejar mereka!"
"Keparat!  Kenapa  kau  melarangku?!"  Citra  Bisu  berpaling  cepat  ke
arah Suto dengan mulut tetap terkatup.
"Kau terluka, Citra! Aku tak ingin lukamu menjadi makin berbahaya jika
dipakai untuk mengejar mereka!"
"Lalu apa maumu?"
"Minumlah tuakku yang...."
Suto Sinting diam, tertegun dengan hati kecewa. la baru sadar bahwa
bumbung tuaknya ternyata telah kosong. Tuaknya habis, tinggal empat-lima
tetes. Wajah pemuda tampan itu pun menjadi tegang.
"Tuak habis. Citra terluka separah itu. Oh, bagaimana ini?!" keluhnya
dalam hati, dan keluhan itu didengar oleh Citra Bisu.
Suto  Sinting  menjadi  lebih  tegang  lagi  begitu  ia  sadari  luka  memar
membiru itu makin lama makin menghitam. Separoh wajah Citra Bisu mulai
membusuk, dan gadis itu menggigit bibir pertanda menahan rasa sakit yang
bukan kepalang tanggung itu.










3

  Dengan hawa sakti gaburtgan antara milik Pendekar SVIabuk dengan
milik  Citra  Bisu  sendiri,  akhirnya  luka  di  wajah  gadis  itu  bisa  terobati.
Memang tak bisa sembuh dengan cepat seperti jika meminum tuak saktinya
Suto,  tapi  setidaknya  luka  hangus  itu  dapat  segera  mengering  dan  tidak
menjadi lebih parah lagi.  4;
"Aku  malu  dalam  keadaan  seperti  ini,  Suto.  Wajahku  tampak  buruk
sekali," ujar Citra Bisu.
"Jika  begitu,  sebaiknya  kau  kubawa  ke  pondoknya  si  Kusir  Hantu.
Tinggallah di sana dulu, sementara aku pergi mencari tuak. Jika kau minum
tuak  dari  bumbung  saktiku  ini,  maka  luka-lukanmu  tidak  akan  membekas
sedikit pun, Citra. Kau dapat kembali cantik seperti sediakala dalam waktu
singkat."
"Sesakti itukah tuak dari bumbungmu?"
"Aku tak bisa menjawab. Tapi kau bisa buktikan sendiri jika bumbung
ini sudah kuisi dengan tuak dari mana saja."
Baiklah. Aku menurut dengan saranmu, Suto."
Mereka bergegas menuju pondoknya si Kusir Hantu. Suto Sinting juga
jelaskan,  bahwa  di  pondok  itu  CitraBisu  tidak  akan  sendirian.  Sekali  pun
Kusir  Hantu  dan  Pematang  Hati  ditawan  oleh  orang-orang  Tanah  Pasung,
tapi  di  pondok  masih  ada  Mahligai  Sukma,  yaitu  adiknya  Pematang  Hati.
Juga, ada Tenda Biru dan Panji Klobot, sahabat Suto yang tinggal bersama
Kusir  Hantu  sejak  si  Tenda Biru  lolos  dari  kutukan  maut  berkat  bantuan
Suto  Sinting,  (Baca  serial  Pendekar  Mabuk  dalam  episode:  "Gadis  Tanpa
Raga").
Sudah tentu tempat yang paling dekat dari daerah itu adalah pondok
si Kusir Hantu, sebab memang Kusir Hantu tinggal di Lembah Seram. Untuk
mencapai  pondok  tersebut  tidak  membutuhkan  waktu  lama.  Suto  Sinting
masih hafal jalan-jalan yang harus diialuinya dalam menuju pondok tersebut.
Dengan melingkari bukit rmelalui jalur selatan, mereka akan lebih cepat lagi
tiba di pondok.
Tetapi perjalanan mereka terhalang kembali oleh satu kejadian yang
membuat  langkah  mereka  terhenti.  Sebuah  pertarungan  cukup  menarik
perhatian  Suto  ter-  jadi  di  kaki  bukit.  Pertarungan  itu  dilakukan  oleh
seorang  gadis  berambut  pendek  dengan  mengenakan  jubah  tanpa  lengan
warna  biru.  Pakaian  dalamnya  juga  berwarna  biru  tipis.  Gadis  cantik  itu
bermata membelalak indah dengan hidung mancung dan bibir sensual.
"Kau  kenal  dengan  gadis  itu?"  tanya  Citra  Bisu  menggunakan  suara
batinnya.
"Ya, aku kenal. Dia adalah si Tenda Biru yang kuceritakan tadi."
"Lalu, pernuda yang berpakaian biru garis-garis putih itu siapa?"
"Itu  murid  Nyai  Jurik  Wetan.  Setahuku  dia  bernama  Ragadenta.
Sedangkan  perempuan  yang  bersembunyi  di  balik  pohon  seberang  sana
adalah Laras Wulung. Ragadehta dan Larang Wulung punya hubungan gelap.
Laras  Wulung  bersedia  menjadi  budak  suruhan  Ragadenta  dalam  mencari
harta karun itu, asalkan ia dapatkan darah kemesraan dari Ragadenta...."
Suto  rnenjelaskan  panjang  iebartentang  siapa  mereka,  sebab  ia
memang  pernah  mengintip  kencan  Ragadenta  dengan  Laras  Wulung  di
sebuah  rumah  gubuk.  Saaf  itu  ia  bersama  Mangku  Randa,  dan  menyadap
persekongkolan  mereka dalam  mendapatkan harta karun. Keterangan yang
didapat Laras Wulung dari Panji Klobot adalah letak goa di sebelah seiatan
bukit.
Rupanya  usaha  mereka  temukan  Goa  Kembar  itu  gagal.  Di  selatan
bukit  tak  ada  goa.  Panji  Klobot  jadi  tumpuan  kekecewaan  Ragadenta  dan
Laras Wulung. Tapi Tenda Biru yang selama ini secara tak langsung menjadi
guru si Panji Klobot merasa tak rela. Ia lakukan pembelaan terhadap sang
murid, sehingga terjadilah pertarungan di tempat itu.
Agaknya Laras Wulung tak mau ikut campur dalam pertarungan itu. la
berada  di  tempat  jauh,  di  balik  pohon.  Tetapi  dari  tempat  Suto  berada,
sosoknya  tampak  jelas  sekali.  Suto  Sinting  sengaja  tidak  menggubris
keberadaan  Laras  Wulung.  Tapi  perhatiannya  lebih  ditujukan  pada  Panji
Klobot yang babak belur dan terkulai lemas di bawab pobon. Sementara itu;
Tenda Biru berusaha melukai Ragadenta dengan pedangnya yang ditebaskan
beberapa  kali  ke  arah  pemuda  tersebut.  Tapi  dengan  lincah  Ragadenta
selalu berhasil hindari tebasan pedang.
Pada  satu  kesempatan, Ragadenta berhasil  lepaskan pukulan  tenaga
dalamnya dari jarak lima langkah di depan Tenda Biru. Beet...! Claap...! Sinar
merah kecil melesat dari telapak tangan Ragadenta.
Tenda  Biru  menghindarinya  dengan  sebuah  lompatan  ke  atas  dan
bersalto dua kali di udara. Wuuk, wuuk...! Ketika ia daratkan kakinya, sinar
merah itu sudah melesat di udara belakangriya. Namun tanpa didu ga-duga,
ekor  sinar  merah  itu tiba-tiba  menyebar menjadi  lebar dan panjang. Bias
cahayanya kenai punggung Tenda Biru. Plaass.,.!
"Aaahk...!"  Tenda  Biru  tersentak  ke  depan  dan  jatuh  terjungkal.
Kejap  kemudian  ia  terpuruk  di  tanah  dan  tak  berdaya  lagi.  Sekujur
tulangnya  bagaikan  menjadi  .lunak,  tak  sedikit  pun  bisa  dipakai  untuk
berdiri.  Setiap  ia  mencoba  bangkit  berdiri  selalu  jatuh  kembali  dengan
lemas. Brruuk...!
"Uuuhkk...!"  Tenda  Biru  mengerang  dengan  berusaha  mengangkat
kepalanya, namun segera terkulai kembali.
Hemmh  ..!  Itulah  akibatnya  bagi  orang  yang  coba-  coba  melawan
Ragadenta!"  ujar  Ragadenta  dengan  sinis  dan  ketus.  "Kau  akan  mati
kelaparan tanpa bisa memiliki kekuatan lagi, Gadis tolol! Pemuda penipu itu
pun akan kubuat sama seperti dirimu!"
"Jahanam! Jangan berani lagi sentuh muridku itu! Aku masih mampu
melawanmu!"  seru  Tenda  Biru.  Rupanya  ia  masih  punya  tenaga  untuk
bersuara.  Hanya  itu  yang  dimiliki  Tenda  Biru.  Tapi  kekuatan  untuk
melepaskan pukulan jarak jauh pun sudah tak ada.
"Jika mereka  temanmu,  mengapa  kau diam  saja, Suto?" tegur Citra
Bisu melalui suara batinnya.
"Ini persoalan guru membela murid. Kalau kucam- puri, aku takut akan
membuat Tenda Biru tersinggung."
"Kurasa keadaan Tenda Biru sudah sebegitu lemah. la butuh bantuan!
Ini  bukan  lagi soal guru membela  muridnya,  tapi soal hidup dan mati  dari
perkara salah dan benar."
Suto Sinting diam sejenak, kemudian menggumam lirih dengan suara
mulut,  "Pendapatmu  benar  juga,  Citra.  Tunggulah  di  sini!  Aku  akan  maksa
Ragadenta untuk pulihkan keadaan Tenda Biru!"
Zlaaap...!  Jurus  'Gerak  Siluman'  membuat  rambut  Citra  Bisu
terhempas  karena  gerakan  cepat  Suto  Sinting.  Dalam  sekejap  pemuda
tampan  berbaju  buntung  warna  coklat  dan  celana  putih  kusam  itu  sudah
berada di depan Ragadenta yang hendak hampiri Panji Klobot. Kemunculan
Suto  Sinting  itu  jelas-jelas  bersikap  menghadang  langkah  Ragadenta,
sehingga  pemuda  bertubuh  tegap,  gagah  dan  kekar  itu  terkejut,  lalu
hentikan langkah dengan penuh waspada.
"Suutooo...!"  seru  Panji  Klobot  dari  tempatnya.  Seruan  itu  bagai
sebuah ratapan yang menghiba, minta pertolongan. Tapi seruan itu membuat
Ragadenta berkerut dahi semakin tajam, karena ia mendengar Panji Klobot
menyebut  nama  'Suto'.  Sementara  itu,  Laras  Wulung  menjadi  gusar  dan
gelisah  karena  ia  tahu  betul  siapa  pemuda  yang  menghadang  langkah
Ragadenta itu.
"Apakah  kau  yang  bernama  Suto  Sinting  dengan  gelar  Pendekar
Mabuk?!" tegur Ragadenta.
"Benar! Dan kau adalah Ragadenta, murid Nyai Jurik Wetan."
"Dari mana kau tahu?"
"Kurasa itu tak perlu dijawab. Hanya basa-basi saja dan buang-buang
waktu. Yang perlu kau lakukan adalah pulihkan kembali keadaan Tenda Biru,
sahabatku!"
"Hmmh….!"  Ragadenta  mencibir,  lalu tertawa. "Hah, haa, haa, haa...!
Sangkamu siapa dirimu sehingga berani memerintahku dengan cara seperti
itu, ha?!"
"Aku  tak  mau  bikin  masalah  denganmu,  Ragadenta.  Aku  tahu  kau
murid  Nyai  Jurik  Wetan!  Aku  pernah  selamatkan  nyawa  gurumu  dari
ancaman  maut  Siluman  Tujuh  Nyawa,"  ujar  Suto  dengan  kalem  sambil  ia
membayangkan peristiwa pertarungan Nyai Jurik Wetan dengan si manusia
terkutuk;  Siluman  Tujuh  Nyawa,  (Baca  serial  Pendekar  Mabuk  dalam
episode: "Misteri Lembah Seram").
"Jangan  bawa-bawa  guruku!"  sentak  Ragadenta.  "Urusan  guruku
adalah  urusan  guruku.  Urusanku  adalah  urusanku!  Jelasnya,  dengan  cara
halus ataupun cara kasar, kuharap kau menyingkir dari sini sekarang juga!"
"Jika kau tak mau pulihkan keadaan Tenda Biru, aku tak akan pergi
dari sini, Ragadenta!"
"O, keparat kalau begitu! Rasakan paksaanku ini, heeeaah...!!"
Wuuut,  claap...!  Sinar  merah  seperti  tadi  melesat  ke  arah  Suto
Sinting  dari  telapak  tangan  Ragadenta.  Jarak  pukulan  hanya  sekitar  lima
langkah. Sinar itu melesat dengan sangat cepat.
Tapi  bumbung  tuak  yang  sudah  di  tangan  Suto  Sinting  mampu
menangkis  datangnya  sinar  tersebut.  Begitu  sinar  merah  itu  menghantam
bumbung tuak, ternyata sinar itu memantul balik dalam ukuran lebih besar
dan lebih cepat dari aslinya. Zlaass...!
Deeb, bluub...!
Blaaaarrr...!
Ragadenta kebingungan begitu melihat sinarnya memantul balik dalam
ukuran  lebih  besar.  Gerak  nalu-  rinya  segera  bertindak.  Kedua  tangan
menyentak  ke  depan  keluarkan  sinar  hijau  lebar. Sinar  hijau  lebar  itulah
yang menghantam sinar merah hingga timbulkan ledakan cukup dahsyat.
Ragadenta  terlempar  bagaikan  boneka  isi  kapukditendang  pemain
bola. Wees...! Melayang begitu saja dan jatuh terbanting tanpa malu-malu
lagi. Bruuuk...!
"Aaahhkk...!"  Ragadenta  mengerang  sambii  menggeliat.  Tubuhnya
menjadi  merah  seperti  kepiting  rebus.  Tentu  saja  rasa  sakit  dan  perih
bergumul  menjadi satu  seperti  pengantin baru bercengkerama. Ragadenta
nyaris tak bisa bicara karena menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya.
"Bocah Sinting...,11 seru Tenda Biru dengan panggilan khas. Hanya dia
yang sering memanggil Suto dengan sebutan 'Bocah Sinting', dan ia memang
selalu memanggil Suto dengan nama tersebut.
Sambungnya  dengan  suara  berat,  "Jangan  bunuh  dia!  Paksa  terus
agar dia mau pulihkan keadaanku, Bocah Sinting!"
"Tenang saja, Tenda Biru. Ada pepatah yang mengatakan: Kutahu apa
yang  kumau!"  ujar  Suto  menirukan  Kusir  Hantu  yang  senang  menggunakan
pepatah atau peribahasa walau tak pernah nyambung.
Pendekar  Mabuk  dekati  Ragadenta.  Pemuda  berkumis  tipis  yang
mengenakan pakaian biru garis-garis putih itu mencoba bangkit, tapi baru
bisa  sampai  duduk  di  tempat  saja.  la  masih  menyeringai  menahan  rasa
sakitnya.
"Bangunlah, Ragadenta! Paksaanku belum selesai!" ejek Suto Sinting
seenaknya saja. Tiba-tiba ia mendengar suara batin Citra Bisu yang berada
agak jauh darinya. Citra Bisu tetap tak tampakkan diri, tapi Suto Sinting
mulai hafal dengan nada suara sedikit serak milik Citra Bisu itu.
Suto,  awas  ada  bayangan  berkelebat  menuju  tempatmu.  Dia  akan
muncui dari arah belakangmu!"
Pendekar Mabuk cepat berlari ke belakang. Tepat ia memandang ke
belakang,  sekelebat  bayangan  itu  sudah  hadir  di depan  hidungnya.  Wees,
bruuuss...!  Pendekar  Mabuk  diterjangnya  dan  terpental  hingga  jatuh
berguling-guling.
"Kampret! Rahangku seperti mau pecah rasanya!" gerutu Suto Sinting
sambil  bergegas  bangkit,  mencoba  berdiri  tegak  walau  sedikit  agak
menggeloyor.
Orang  yang  menerjang  Suto  Sinting  sudah  berdiri  dengan  mata
memandang  sangat  tajam.  Orang  itu  ternyata  seorang  nenek  bertubuh
kurus,  rambutnya  putih  dilepas  tanpa  konde.  la  mengenakan  jubah  hijau
lengan  panjang  dengan  menggenggam  tongkat  warna  hitam.  Suto  Sinting
segera menyapa si nenek rada bungkuk itu dengan nada jengkel.
"Hebat juga terjanganmu, Nyai Jurik Wetan!"
"Sudah  selayaknya  seorang  guru  membela  muridnya,  Pendekar
Mabuk!" geram Nyai Jurik Wetan yang merasa tak rela melihat muridnya
dibuat seperti kepiting rebus oleh lawannya.
"Jika  kau  berani  melukai  muridku,  berarti  kau  menantang
pertarungan  denganku,  Pendekar  Mabuk!  Untuk  sementara  lupakan  dulu
jasamu yang pernah selamatkan nyawaku dan nyawa si keropos Kusir Hantu
dari keganasan manusia terkutuk itu!"
"Kau seorang guru yang kurang bijaksana, Nyai Jurik Wetan."
"Mungkin ini yang kau anggap iebih bijaksana lagi, heeah...!"
Nyai  Jurik  Wetan  melompat  kembali  ke  arah  Suto  Sinting.
Tongkatnya  dihantamkan  ke  arah  kepala  Suto.  Wuuut...!  Pendekar  Mabuk
angkat bumbung tuak menghadang tongkat. Traang...! Daaar...! Ledakan kecil
terjadi  menandakan  beradunya  kekuatan  tenaga  daiam  dari  kedua  benda
tersebut.  Tapi  Nyai  Jurik  Wetan  tak  sampai  terpental  mundur.  la  justru
cepat  putarkan  ba-  dan  sambil  kakinya  melayang  menyambar  wajah  Suto
Sinting.
Wuut, plaak...! Suto menangkis dengan tangan kiri. Tapi kulit lengan
yang  menangkis  tendangan  itu  menjadi memar  membiru bagaikan menahan
hantaman besi baja.
Suto  agak  limbung  ke  kanan  akibat  tendangan  itu.  Tapi  buru-buru
rendahkan badan karena harus hindari sodokan kepala tongkat Nyai Jurik
Wetan. Suut...! Wuus...!
Pendekar Mabuk terpaksa cepat gulingkan badan ke tanah di depannya.
Wuut,  seet...!  Dalam  sekejap  ia  sudah  separoh  berdiri.  Bumbung  tuaknya
segera  di-  silangkan  di  atas  kepala  dengan  dipegang  dua  tangan,  karena
pada  saat  itu  ia  tahu  Nyai  Jurik  Wetan  menghantamkan  tongkatnya  dari
atas ke bawah, sasarannya adalah kepala lawan.
"Modar kau...! Hiaaah...!"
Jedaar...! Ledakan itu membuat tongkat Nyai Jurik Wetan terpental
ke  atas  tapi  masih  dalam  genggaman-  nya,  sehingga  tangannya  ikut
tersentak  kuat  hingga  nyaris  melintir  ke  belakang  badannya.  Melihat
keadaan seperti itu, Suto Sinting segera menjejakkan kakinya ke belakang.
Wuuut, buuhk...! Jejakan itu tepat kenai dada Nyai Jurik Wetan.
"Heehkk...!"  Nyai  Jurik  Wetan  terpekik  dengan  suara  berat.
Tubuhnya terpental mundur dan jatuh terduduk di samping muridnya yang
masih belum bisa berdiri. Brruuk...!
Suto Sinting tarik napas dalam-dalam untuk meredam rasa sakitnya.
la berdiri dengan tegak kembali. Tali bumbung tuak melilit dalam genggaman
tangan ka- nannya kuat-kuat.
"Maaf  kalau  kakiku  sedikit.tak  sopan,  Nyai.  Kau  mendesakku  untuk
bertindak tak menghormat padamu!"
"Keparat! Kau memang ingin cepat mati, Pendekar Mabuk! Hiaaahh...!"
"Tahaaan...!"  sentak  Suto  Sinting.  Sentakan  itu  bagai  mempunyai
getaran aneh yang membuat Nyai Jurik Wetan terpaksa hentikan niatnya
menyerang lagi.
"Ini persoalan yang tak perlu harus terjadi banjir darah atau korban nyawa,
Nyai  Jurik Wetan!  Boleh  saja  kau  membela muridmu, tapi kau harus tahu
bahwa  tin-  dakan  muridmu  itu  salah!"  sambil  Suto  menuding  Ragadenta
tegas-tegas.
Tenda Biru berusaha ikut bicara. "Dia menyiksa Panji Klobot, karena
menganggap  Panji  Klobot  memberi  petunjuk  palsu  tentang  Goa  Kembar.
Padahal  anak  itu  memang  tidak  tahu-menahu  tentang  harta  karun  yang
terdapat di Goa Kembar! Dia memberikan petunjuk palsu karena didesak dan
takut dipukuli oleh muridmu, Nyai!"
Mendengar tentang harta karun dan Goa Kembar, Nyai Jurik Wetan
bangkit  perlahan-lahan.  Kemarahannya  semakin  diredakan.  la  memandangi
muridnya  yang  masih  duduk  di  tanah.  Sang  murid  tampak  gusar  sambil
menahan rasa sakitnya.
"Bangun kau!" geram Nyai Jurik Wetan sambil men- cengkeram baju
Ragadenta dan menarik tubuh pemuda itu seperti menjinjing tas belanjaan.
Wuuut...!
"Ouuh...! Guru... Guru, aku menghajar pemuda yang di bawah pohon itu
karena  dia  ingin  membuat  kita  terkecoh  dalam  mendapatkan  letak  Goa
Kembar Itu! Pad... padahal... padahal kalau Goa Kembar itu bisa kutemukan,
maka aku akan menghubungi Guru dan mencari harta orang Hastamanyiana
itu! Tapi dia ku- rangajar, Guru! Dia melecehkan kita!"
"Kami  tidak  tahu  menahu  tentang  Goa  Kembar,  Nyai!"  sahut  Tenda
Biru sambil tetap terpuruk me-nyedihkan.
"Bohong!  Mereka  tahu,  Guru...'  Mereka  sengaja  menganggap  kita
remeh  dan  melakukan  penghinaan  terhadap  dirimu  secara  tak  langsung,
Guru!  Jelas  mereka  lakukan  penghinaan  itu  karena  mereka  adalah  orang-
orangnya si Kusir Hantu, musuh Guru itu!" sahut Ragadenta membakar emosi
gurunya.  Sang  guru  tampak  memandang  Tenda  Biru  dengan  nada  penuh
kemarahan. Suto Sinting segera angkat bicara.
"Jangan mudah percaya dengan hasutan muridmu, Nyai."
"Diam kau!" bentak Nyai Jurik  Wetan. "Agaknya  aku  harus  kembali
berurusan dengan si keropos Kusir Hantu!"
Dengan kalem dan senyum tipis Suto mencoba meredakan kegusaran
Nyai Jurik Wetan yang dulu bekas kekasihnya si Kusir Hantu.
"Nyai,  kumohon  jangan  sangkut  pautkan  urusan  ini  dengan
permusuhan  pribadimu  dengan  Kusir  Hantu.  Muridmu  rnemang  bermaksud
mengambil  harta  karun  itu  untuk  kepentingan  dirinya  sendiri.  ia
bersekongkol  dengan  seorang  perempuan,  janda  mantan  pengawalnya
mendiang Ratu Cendana Sutera. Perempuan itu adalah kekasih gelapnya yang
bersedia diperintah apa saja asalkan mendapat kehangatan dari Ragadenta."
"Bohong,  Guru!"  potong  Ragadenta  dengan  gusar  dan  penuh
ketegangan.  "Aku  tidak  punya  kekasih,  Gu-  n  i!  Aku  tidak  punya  teman
wanita yang...." 
"Apakah kau tak kenal dengan Laras Wulung?!"
"Tidak! Kurobek rnulutmu Pendekar Mabuk! Jangan menghasut diriku
di depan Guru!" Ragadenta semakin gusar, seakan lupa dengan sakitnya, lupa
dengan  kulit  wajah  dan  tangannya  yang  menjadi  merah  seperti  kepiting
rebus.
"Aku hanya bertanya padamu, Ragadenta...," ujar Suto tetap kalem. 
"Apakah kau tak kenal dengan Laras Wulung, perempuan yang gemar
mengenakan pakaian biru tua dan beriubuh sekal menggairahkan, berwajah
cantik  mempesona,  yang  selalu  menemuimu  di  sebuah  gubuk  di  tengah
hutan?!"
"Tutup mulutmu, Pendekar Mabuk! Fitnahmu bisa membuat kepalamu
kupenggal dengan sabitku ini!"
Ragadenta mau mencabut sabit yang dibungkus sarung kulit dan sejak
tadi  masih  terselip  di  pinggangnya.  Tapi  gerakan  tangannya  ditahan  oleh
tangan Nyai Jurik Wetan yang mencekal kuat-kuat.
"Mulut pemuda sinting itu beracun, Guru! Jangan dengarkan celoteh
orang  mabuk!  Aku  tak  kenal  dengan  perempuan  yang  bernama  Laras
Wulung!"
"Kau kenal, Ragadenta!" sahut Pendekar Mabuk. "Kalian bersekongkol
untuk  merampok  harta  karun  itu  dan  membawanya  kabur  berdua  tanpa
memberitahu  gurumu!  Kalian  berkhayal  untuk  hidup  mewah  dengan  harta
karun itu!"
"Bangsat! Aku tidak serendah itu!" teriak Ragadenta semakin gusar
karena takut rahasianya diketahui sang guru.
"Kau dan Laras Wulung bersepakat untuk tinggalkan gurumu setelah
kalian  berhasil  merampok  harta  karun  itu.  Karenanya,  kau  suruh  Laras
Wulung mencari keterangan dari pihak Kusir Hantu. Laras Wulung berhasil
temukan  Panji  Klobot,  dan  tentunya  berhasil  mendesak  Panji  Klobot  agar
katakan di mana Goa Kembar itu berada. Mungkin karena Panji Klobot yang
rendah ilmunya itu takut dengan ancaman Laras Wulung, maka ia memberi
petunjuk palsu, bahwa Goa Kembar ada di sebelah selatan bukit. Lalu kau
memeriksanya dan ternyata tak mendapatkan goa tersebut. Kau marah dan
menyalahkan Panji Klobot!"
"Mulut ular busuk!" geram Ragadenta.
Nyai Jurik Wetan menggeram datar kepada muridnya.
"Di mana perempuan yang bernarna Laras Wulung itu sekarang?!"
"Mana kutahu. Aku tidak kenal dengan Laras Wulung, Guru!"
Tiba-tiba terdengar  suara  berseru  dari  kejauhan.  Suara  itu adalah
suara batin dari Citra Bisu yang sengaja dikirimkan ke setiap orang di situ,
sehingga mereka bagaikan mendengar seruan keras dari arah timur.
"Dia ada di sini...!!"
Semua mata memandang ke arah timur. Rupanya tanpa setahu Suto
Sinting,  Citra  Bisu  berhasil  menawan  Laras  Wulung  dan  memaksa
perempuan Itu keluar dari persembunyian. Pedang kristalnya diarahkan ke
leher Laras Wulung. Ujung pedang sudah menempel di leher si janda mantan
istrinya  Badra  Sanjaya  itu,  sementara  pedang  Laras  Wulung  berhasif
dilucuti oleh Citra Bisu. Laras Wulung dipaksa berjalan dekati mereka.
"Itu yang bernama Laras Wulung, Nyai!" ujar Suto Sinting.
"Hmmm...  berpakaian  biru  tua,  wajah  mempesona,  tubuh  memang
tampak menggairahkan...,' gumam Nyai Jurik Wetan.
"Aku  tak  tahu siapa  perempuan  itu,  Guru! Kumohon jangan  percayai
kata-kata  si  bocah  sinting  itu!  Sebaiknya kita  tinggalkan  saja  tempat  ini,
Guru!" bujuk Ragadenta dengan wajah tegang dan salah tingkah.
Nyai Jurik Wetan, Ragadenta, dan Tenda Biru sendiri merasa asing
dengan  wajah  cantik  si  Citra  Bisu.  Tapi  rasa  ingin  tahu  mereka  tertunda
untuk  sesaat.  Nyai  Jurik  Wetan  pandangi  Laras  Wulung  yang  sudah
hentikan langkah dalam jarak dua tombak darinya. Pedang kristal Citra Bisu
tetap  mengancam  leher  Laras  Wulung.  Kapan  saja  dapat  disentakkan
menghujam  leher itu  hingga  tembus. Karenanya,  Laras  Wulung tak berani
lakukan tindakan bodoh demi keselamatan jiwanya.
"Benarkah  kau  bernama  Laras  Wulung?!"  tegur  Nyai  Jurik  Wetan
dengan nada tak ramah.
Tapi janda bahenol itu tidak menjawab pertanyaan Nyai Jurik Wetan.
la justru bicara kepada Ragadenta yang segera melengos ke arah lain.
"Ragadenta, maafkan aku... aku tak tahu kalau perempuan laknat ini
ada di belakangku dan tahu-tahu mengancamku dengan pedangnya."
"Aku  tak  kenal  siapa  dirimu.  Jangan  panggil  namaku!"  sentak
Ragadenta sambil tak mau memandang Laras Wuiung.
"Kita memang gagal, Ragadenta. Tapi masih banyak kesempatan lain
yang dapat kita raih bersama!"
"Aku tidak kenal dengan dirimu, Keparat!" bentak Ragadenta semakin
dongkol.
"Apakah kau lupa, aku adalah Laras Wulung, Ragadenta! Ooh... jangan
begitu,  Ragadenta.  Sekali  pun  kita  telah  gagal  menemukan  tempat
penyimpanan harta karun itu, tapi kita bisa...."
"Diam kau, Bangsat!" Ragadenta berteriak rnurka. la ingin mencabut
sabitnya  untuk  menyerang  Laras  Wulung.  Tapi  tangannya  kembali  dicekal
oleh sang guru. Teeb...!
"Ternyata muridku sudah menjadi seorang pengkhianat!" geram Nyai
Jurik Wetan.
"Guru,  jangan  mudah  terhasut  oleh  wajah-wajah  iblis  ini!  Kita  cari
harta itu bersama-sama, Guru!"
"Setelah  kupertimbangkan,  aku  tak  mau  diperbudak  oleh  harta!
Kulihat  banyak  perampok  yang  berke-  llaran  di  sekitar  sini  untuk  dapat
merampok  harta  karun  llu!  Aku  tak  mau  jadi  korban  kerakusan  mereka!
Maka
kubatalkan niatku untuk memiliki harta tersebut, karena aku merasa bukan
perampok!" tegas Nyai Jurik Wetan.
"Tapi, Guru... harta itu kalau...."
"Tutup  mulutmu  pengkhianat!"  sentak  sang  guru.  "Kau  sudah  punya
niat berkomplot dengan perempuan haram jadah itu untuk mengkhianatiku!
Aku harus me- nerima hukumannya, Ragadenta!"'
"Aku hanya...."
Deess...!
"Ahhk...!" Ragadenta mengejang seketika setelah dua jari sang guru
menotok bagian tengkuknya. Tubuh kejang itu akhirnya terkulai lemas dan
jatuh di kaki gurunya. Brruuk...!
"Nyai,  jangan  perlakukan  dia  dengan  kasar!"  sergah  Laras  Wulung
tampak tak rela melihat 'kuda jantan'nya dilumpuhkann oleh sang guru. Tapi
Nyai Jurik Wetan berucap lebih tajam lagi kepada Laras Wulung.
"Gara-gara rayuanmu,  muridku tega  mau  mengkhianati gurunya! Kau
masih  punya  urusan  denganku  dan  akan  kita  selesaikan  setelah  aku
menghukum anak ini, Perempuan busukl"
Wuuut...! Kaki Nyai Jurik Wetan menyentak naik. Tubuh Ragadenta yang
jatuh  di  kakinya  itu  meiayang  dan  ditangkap  dengan  tangan  kiri,
kemudiandijatuhkan ke pundak kirinya. Seet...! Nyai Jurik Wetan menatap
Suto Sinting dengan tajam pula.
"Kalau  bukan  muridku  yang  salah,  sudah  kuhan-curkan  kepalamu,
Pendekar Mabuk! Lain kali kita bisa buktikan semua omonganku ini!"
Nyai Jurik Wetan bergegas pergi membawa pulang muridnya. Tetapi
Suto Sinting segera menahannya dengan suara cepat.
"Tunggu, Nyai...!"
Tubuh sang nenek yang sudah mau membalik itu terpaksa berputar ke
arah semula lagi.
"Nyai... bagaimana dengan sahabatku ini. Tenda Biru terluka oleh ilmu
muridmu.  Kumohon  kau  mau  pulihkan  keadaan  dia,  juga  pulihkan  keadaan
Panji Klobot di sana! Mereka berdua korban kepicikan muridmu, Nyai!"
,"Hhhrrhm...!"  Nyai  Jurik  Wetan  menggeram  kesal.  Tapi  ia  segera
sentakkan ujung kepala tongkatnya ke arah Tenda Biru. Claap...! Sinar putih
tipis  seperti  perak  melesat  dari  kepala  tongkat  dan  menghantam  pundak
Tenda Biru. Tongkat itu disentakkan lagi ke arah Panji Klobot yang ada di
kejauhan  sana.  Claap...!  Sinar  putih  perak  melesat  dan  menghantam  dada
Panji Klobot.
"Jangan menuntut apa-apa lagi dariku!" geram Nyai Jurik Wetan, lalu
dengan cepat ia melesat tinggalkan tempat tersebut. Blaasss...!
"Nyai,  tunggu...!  Jangan  bawa  Ragadenta,  Nyai!  Aku  harus
bersamanya...!" seru Laras Wulung dengan gusar. 
Tapi  ketika  ia  ingin  mengejar  Nyai  Jurik  Wetan,  lohernya  terasa
ditekan  oleh  benda  runcing.  la  ingat  dengan  pedang  kristal  yang
mengancamnya.  Maka  ia  pun  urungkan  langkah  dan  menarik  napas  dalam-
dalam memendam perasaan dongkolnya. Citra, lepaskan dia!" perintah Suto
Sinting  dengan  suara  batin.  Citra  Bisu  masih  mendengarnya.  "Apakah  tak
berbahaya Jika kulepaskan?" "Kurasa ia tak akan berani bertindak macam-
ma- cam jika ada aku di sini!""Baiklah!" jawab Citra Bisu dengan suara batin
pula. Pedang Kristal ditarik mundur, tapi masih digenggam oleh Citra Bisu.
Suto Sinting berujar kepada Laras Wulung.
"Pergilah,  Laras...!  Carilah  lelaki  mana  saja  asal  jangan  ganggu
sahabat-sahabatku. Jika hal itu kau lakukan, kau akan berhadapan denganku
dan aku tak akan beri pengampunan sedikit pun padamu!"
Laras Wulung tank napas lagi. Jengkel tapi tak berani melampiaskan
kejengkelannya. Sebab ia tahu persis seberapa tinggi ilmu Pendekar Mabuk.
la merasa tak akan mampu menandinginya.
"Kuharap  lain  kali  kau  juga  tidak  mengganggu  pasanganku,  Suto!"
ujarnya dengan ketus.
"Kita  tidak  akan  saling  mengganggu  tentunya,"  sambil  Suto  berikan
senyum rarnah pada Laras Wulung.
Citra Bisu lemparkan  pedang  milik  Laras  Wulung. Janda  montok itu
menangkapnya. la sempat pandangi Citra Bisu dengan tatapan memancarkan
dendam.  Tapiyang  dipandang  balas  menatap  lebih  berani  lagi.  Akhirnya
janda bahenol itu segera melesat pergi tanpa pamit pada siapa pun. la pergi
ke  arah  yang  sama  dengan  kepergian  Nyai  Jurik  Wetan.  Mungkin  saja  ia
akan  mengejar  Nyai  Jurik  Wetan  untuk  merebut  Ragadenta,  si  'kuda
jantan'-nya yang sedang digandrungi itu.
Sinar  putih dari Nyai  Jurik  Wetan tadi ternyata  hawa sakti untuk
memulihkan keadaan Tenda Biru. Dalam beberapa hitungan saja, Tenda Biru
mulai  rasakan  memperoleh  tulang-tulangnya  kembali.  la  bisa berdiri  walau
masih  sedikit  sempoyongan.  Sementara  itu,  Panji  Klobot  pun  sudah  bisa
berjalan dekati mereka.
"Kudengar  kau  telah  tewas,  Bocah  Sinting,"  ujar  Tenda  Biru  yang
menatap Suto dengan tatapan sangat pribadi.
"Kata siapa aku sudah mati?"
"Kudengar ledakan dahsyat sekali dua hari yang lalu. Kulihat tebing di
sebelah sana runtuh. Ternyata ada tokoh tua yang mengaku bernama Dewa
Kubur  sedang  bertarung  melawan  seorang  perempuan  yang  mengaku
bernama Laksamana Tanduk Naga...."
"Siapa...?!"  Suto  terkejut  karena  ingat  nama  orang  Mangol  yang
memburunya untuk dijadikan tumbal, (Bacai di serial Pendekar Mabuk dalam
episode: "Pemburu Tumbal").
Selanjutnya,  Tenda  Biru  menceritakan  tentang  kematian  Perwira
Tombala  dalam  pertarungannya  melawan  Dewa  Kubur.  la  mendapat
penjelasan panjang-lebar dari Dewa Kubur, termasuk kabar kematian Suto
Sinting. Pemuda  itu  terbengong beberapa saat  setelah  tahu dirinya  telah
dikabarkan meninggal.
"Tak perlu sedih, Suto,"' ujar Citra Bisu dengan suara batin. "Akan
kubantu menjelaskan pada siapa saja bahwa Pendekar Mabuk masih hidup,"
Suto  Sinting  menatap  luka  di  wajah  Citra  Bisu.  Rasa  iba  hinggap
sesaat di hatinya. Kemudian ia menyuruh Tenda Biru membawa pulang Citra
Bisu, sementara ia akan pergi mencari kedai untuk mengisi bumbung tuak-
nya yang telah kosong itu.
"Tapi  kudengar  Kusir  Hantu  dan  Pematang  Hati  ditangkap  orang-
orang Tanah Pasung!" ujar Tenda Biru.
"Dari mana kau tahu?"
"Kami  kedatangan  orang  gemuk  sekali  yang  meng-  aku  bernama
Belatung Gerhana. Dia sekarang ada di pondok kami dalam keadaan kakinya
patah karena terkena reruntuhan tebing. la ada di pondok bersama Mahligai
Sukma. Sedangkan aku dan Panji Klobot ingin * membebaskan Kusir Hantu
dan  Pematang  Hati,  yang  menurut  penjelasan  Belatung  Gerhana,  mereka
dibawa ke Pantai Bejat!"
"Itu akan kuurus secepatnya, Tenda Biru! Sekarang bawa pulang dulu
Citra Bisu ini!"
Tenda Biru berbisik, "Siapa dia sebenarnya, Bocah Sinting?"
"Kau bisa tanyakan sendiri di pondok nanti!" 
Citra Bisu berbisik lewat suara batinnya, "Kuharap kau tidak pergi ke
Pantai Bejat sebelum datang menjemputku, Suto! Aku akan marah jika kau
pergi ke sana sendiri setelah dapatkan tuak untuk bumbungmu."
"Mengapa kau ingin ikut ke sana?"
"Aku harus ikut membereskan sisa-sisa perampok harta yang kujaga
selama ini! Itu memang tugasku. Jangan kau ambil alih!"
Setelah pergi lebih dulu, barulah Pendekar Mabuk berani membatin
sebuah pertanyaan untuk dirinya sendiri.
"Haruskah aku patuh kepada aturan Citra Bisu?!"
Suto  tak  tahu  jawaban  yang  pasti.  Tapi  ia  punya  pertimbangan
sendiri, "Mana yang lebih penting, mem- hebaskan Kusir Hantu dan cucunya
atau mengobati luka Citra Bisu lebih dulu?!"
Ternyata pertimbangan batin itu pun belum diketahui jawaban pastinya.