Pendekar Mabuk 122 - Kencan Di Lorong Maut(2)











 4

Mata Suto Sinting terbelalak ketika melihat sekeping logam tertancap di
punggung Belatung Gerhana. Benda itu tepatnya menancap di bawah tengkuk,
mengenai urat nadi yang sangat berbahaya.
Pendekar Mabuk buru-buru mencabut benda tersebut. Sleeb...! Ternyata
sekeping  logam  putih  berbentuk  segitiga.  Logam  putih  dengan  tepian  kehiru-
biruan  itu  jelas  mengandung  racun  yang  cukup  berbahaya.  Karena  menancap
pada urat nadi yang sangat rawan, maka Belatung Gerhana pun tumbang dalam
waktu tiga hitungan.
"Celaka! Kalau tidak segera kutolong dengan tuakku, bisa tewas si gendut
tolol ini!" gumarn Suto Sinting dalam hati. Lalu ia berusaha membalikkan tubuh
gemuk besar yang tengkurap itu. Terpaksa menggunakan tenaga dalam sedikit,
biar tidak terlalu berat. Wuut, gu- bruuk...!
Mata si gemuk besar itu mendelik dengan mulut tornganga.
"Untung  mulutnya  menganga  seperti  lubang  belut,  jadi  mudah  kutuangi
tuak."
Karena  sangat  gemuk,  badan  Belatung  Gerhana  tampak  membusung
tinggi.  Suto  Sinting  terpaksa  naik  ke  leher  dan  duduk  di  dada,  lalu
mengucurkan tuak ke mulut itu. Krucuk, krucuk, krucuk...!
Tuak  tinggal  sedikit.  Kurang  dari  separoh  bumbung.  Pendekar  Mabuk
segera  menutup  bumbung  tuak  dengan  tutupnya  yang  berupa  tempurung
bersejarah.  Baru  saja  ia  akan  turun  dari  atas  dada  si  Belatung,  tiba-tiba  dari
arah belakangnya meiuncur sekeping logam putih yang sama persis dengan yang
menancap di punggung Belatung Gerhana.
Ziiing...! Trraang...! Bumbung tuak yang masih digenggam di tangannya itu
segera dipakai menangkls benda tersebut. Benda itu memantul dengan gerakan
lebih  cepat  lagi.  Secara  tidak  sehgaja  pantulannya  mengarah  pada  sebatang
pohon. Jeeb...! Tampak oleh Suto benda itu menancap dalam bentuk segitiga
yang salah satu sudutnya tenggelam ke batang pohon.
Zlaap, zlaap...!
Pendekar  Mabuk  berpindah  tempat  dengan  cepat.  Arah  gerakannya
justru mendekati datangnya senjata rahasia tersebut.
Tampak  olehnya  seorang  lelaki  berdiri  di  balik  dua  pohon  yang  tumbuh
merapat.  Pohon  itu  dirimbuni  oleh  semak-semak  pada  bagian  bawahnya.  Suto
Sinting berada di beiakang orang tersebut dalam jarak sekitar tujuh  langkah.
"Eheem...!" Suto mendehem satu kali. Orang itu terkejut dan segera berpaling
ke belakang.
Suto Sinting menyapanya dengan tenang.
"Haai...! Sedang beternak apa di situ, Mbah.,.?!"
Tentu saja sapaan itu berkesan menghina bagi lelaki berusia sekitar lima
puluh tahun itu. la menggeram dengan mata melotot menampakkan kegalakan-
nya.  Tapi  pendekar  muda  itu  hanya  sunggingkan  senyum  dengan  sikap  berdiri
santai, pundak kirinya disandarkan pada  pohon, hingga tampak sedikit miring.
Kedua  tangannya  bersidekap  di  dada,  sedangkan  matanya  memandang  tajam
penuh waspada.
"Rupanya  kau  ingin  pamer  iimu  di  depanku,  hah?!"  gertak  orang  kurus
kerempeng berambut kucai sepundak.
"Bukankah  kau  yang  memamerkan  ilmu  di  depanku?  Kau  telah  melukas
temanku dan melemparkan senjata rahasiamu padaku. Apa maksudmu meiukai
teman gemukku itu, Mbah?!"
"Dia  pernah  menyerang  kapaiku  dengan  orang-  orangnya!  Hampir  saja
kapaiku hancur gara-gara ulahnya!"
"Ooo, begitu...?!" Suto Sinting manggut-manggut dengan santainya.
"Jadi kau punya dendam pada si Belatung Gerhana itu?!"
"Juga kepadamu, Pendekar Mabuk!"
"Lho...?!" Suto Sinting sedikit kaget. "Kau sudah mengenalku rupanya!"
"Sudah waktunya menangkapmu!"
"Aneh...?!"  gumam  Suto  pelan  sambil  memperhatikan  orang  tersebut.  la
merasa baru kali itu bertemu dengan orang yang mengenakan ikat kepala dari
lem-  pengan  emas  berhias  batu-batuan.  Sambil  melangkah  ke  samping  kiri,
mengimbangi  lawannya  yang  melangkah  ke  samping  kiri  juga,  Suto  Sinting
mencoba mengingat-ingat siapa tokoh berpedang bagus di pinggang- nya itu.
Dilihat  dari  kumisnya  yang  meiengkung  ke  dagu,  alisnya  yang  naik  dan
wajahnya  yang  berkesan  sadis,  Suto  Sinting  menduga  orang  tersebut  adalah
salah  satu  anak  buah  si  Bandar  Santet.  Tapi  jubah  birunya  yang  berlengan
panjang itu tampaknya terbuat dari kain berharga mahal.
"Padahal pakaian orang-orangnya Bandar Santet tak ada yang sebagus dia
punya?!" gumam Suto dalam hati.
"Mengapa kau ingin menangkapku?! Siapa kau sebenarnya, Mbah?!"
"Buka  matamu  yang  rabun  itu  lebar-lebar!  Akulah  yang  pernah  diserbu
oleh para pendukungmu di Pantai Karang Hantu."
"Pantai  Karang  Hantu...?!"  Suto  Sinting  menggumam  bernada  heran.
Dahinya berkerut cukup tajam.
"Akulah yang bernama Perwira Tombala!"
"Ooo... yaaa, yaaa, yaaa...! Kau orang Mangol yang mencari pemuda tanpa
pusar untuk dijadikan tumbal pembangunan kuil di negerimu sana, bukan?!"
"Biar sinting tapi kau punya otak lumayan cerdas, Bocah kunyuk!"
Pendekar  Mabuk  sunggingkan  senyum  makin  lebar.  la  sama  sekali  tak
menduga  bakal  bertemu  dengan  Perwira  Mangol  yang  diutus  oleh  kaisarnya
untuk  mencari  pemuda  tanpa  pusar.  Tapi  kedatangannya  ke  Tanah  Jawa
bersama  atasannya  yang  bemama  Laksamana  Tanduk  Naga  itu  disambut  oleh
para  pengikut  dan  pengagum  Pendekar  Mabuk  dengan  uluran  pedang.
Pertempuran  di  Pantai  Karang  Hantu  membuat  Perwira  Tombala  dan
Laksamana  Tanduk  Naga  yang  bernama  Maharani  itu  menghilang  setelah
kapainya hancur. Sejak itu, kedua orang tersebut tak diketahui berada di ma
na, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Pemburu Tumbal").
"Kudengar  kau  adalah  pengawal  kepercayaan  si  Laksamana  Tanduk
Naga?!"  ujar  Suto  menjadi  tenang  kembaii.  "Di  mana  atasanmu  itu  sekarang
berada?  Mengapa  tak  ikut  denganmu?  Apakah  dia  mati  di  laut  dan  dimakan
ikan-ikan cucut?! Begitukah, Cut?!" ejek Suto Sinting, semakin membuat Perwira
Tombala menyeringai penuh kebencian.
"Tugasku  hanya  menangkapmu!  Jika  kau  ingin  tahu  di  mana  Laksamana
Tanduk  Naga,  menyerahlah  padaku!  Kau  akan  kubawa  menghadap  beliau
sekarang juga!"
"Oh, jadi kau tidak mencari Goa Kembar seperti mereka?!"
"Kau mau menyerah secara halus atau memaksaku bertindak kasar?!"
bentak Perwira Tombala dengan garang.
Rupanya  orang  Mangol  itu  tidak  tahu  menahu  masalah  harta  karun
dan Goa Kembar. Secara kebetulan, ketika ia melewati tempat tak jauh dari
situ,  ia  mendengar  suara  ledakan.  Ledakan  itu  adalah  cahaya  merah  yang
datang dari tangan Juru Jagal tadi. Ledakan itu memancing minatnya untuk
melihat apa yang terjadi di tempat tersebut.
Tapi ketika ia tiba di situ, Juru Jagal dan dua anak  buahnya sedang
mendaki  untuk  larikan  diri.  la  tak  sempat  melihat  pertarungan  Pendekar
Mabuk dengan keenam lawannya tadi. Namun ia melihat Beiatung Gerhana
yang  diingatnya  pemah  mencoba-coba  menyerang  kapalnya  ketika  kapa!
bertiang layar tiga itu sedang menuju ke Tanah Jawa.
Kebenciannya kepada si Beiatung Gerhana dilam- piaskan dengan keji.
ia bermaksud membunuh manusia gemuk itu.
la baru sadar bahwa Belatung Gerhana ada bersama Pendekar Mabuk,
setelah Pendekar Mabuk tuangkan tuak ke mulut Belatung Gerhana. Tugas
menangkap pemuda tanpa pusar itu pun segera dilakukan dengan mencoba
melemparkan senjata rahasianya kearah Suto SInting.
"Perwira  Tombala...,"  ujar  Suto  Sinting,  "Sebelum  aku  menyerahkan  diri
padamu, dan mau kau jadikan tumbal demi pembangunan kuil keramat di negeri
Mangol  sana,  aku  ingin  mengetahui  sesuatu  dari  dulu.  Kuharap  kau  mau
menjelaskannya dengan benar dan jujur!"
"Keparat! Apa yang ingin kau ketahui, hah?!"
"Siapa  yang  menyuruhmu  mencari  tumbal  seorang  pemuda  tanpa  pusar
seperti  diriku  ini?!  Siapa  pula  yang  memberitahukan  pada  pihakmu,  bahwa  di
Tanah Jawa ini ada pemuda tanpa pusar yang bergelar Pendekar Mabuk alias
Suto Sinting, lengkap dengan ciri-cirinya!"
Tombala  berdiri  merenggang  kaki,  tegak  dan  berkesan  gagah  walaupun
kerempeng. Kedua jempol tangannya disangkutkan pada ikat pinggang di depan
perut. Matanya memandang penuh perhitungan.
"Apa perlumu kau mengetahuinya?!"
"Supaya aku ikhlas menjadi tumbal kuil keramatmu itu! Jika aku tak ikhlas
menjadi  tumbal,  maka  kuil  keramatmu  akan  runtuh.  Bahkan  arwahku  akan
menjungkir  balikkan  negerimu!"  jawab  Suto  Sinting  beralasan  cukup  kuat
menurut perhitungan Perwira Tombala.
"Baik.  Kukatakan  yang  sesungguhnya,  saran  itu  datang  dari  seorang
pendita yang berkelana dan singgah di Mangol. Kami sangat menghargai beliau
karena beliau adalah sahabat ayah kaisar kami!"
"Siapa nama pendita itu?!"
"Pendita Amor...!"
"Ooo...,"  Suto  Sinting  menggumam  tenang.  Tapi  sebenarnya  hatinya
tersentak kaget.
Pendita  Amor  adalah  musuh  gurunya.  Musuh  si  Gila  Tuak,  Berkali-kali
Pendita  Amor  mencoba  membunuh  Gila  Tuak,  tapi  tak  berhasil.  Bahkan
percobaan yang terakhir dilakukan oleh Pendita Amor aliran sesat itu pada saat
si  Gila  Tuak  sedang  sakit  parah.  Namun  Pendekar  Mabuk  sebagai  murid
tunggalnya  berhasil  memukul  mundur  Pendita  Amor,  (Baca  serial  Pendekar
Mabuk dalam episode: "Misteri Tuak Dewata').
Pendita aliran hitam itu menaruh dendam bukan saja kepada Gila Tuak,
melainkan  juga  kepada  muridnya  si  Gila  Tuak.  la  merasa  malu,  sekaligus  sakit
hati,  sebab  kesaktian  ilmunya  bisa  dikalahkan  oleh  anak  kemarin  sore  seperti
Suto Sinting itu. Rupanya segala macam cara dipergunakan oleh Pendita Amor
untuk  membunuh  Pendekar  Mabuk  sekaligus  melenyapkan  kebesaran  nama  si
Gila  Tuak.  Salah  satu  cara  yang  ditempuhnya  adalah  dengan  mempengaruhi
Kaisar Mangol  agar memburu Pendekar  Mabuk dengan memberi saran  konyol
dan memuakkan bagi Suto Sinting sendiri.
"Perwira Tombala, perlu kau ketahui, bahwa Pendita Amor adalah
pendita sesat dari golongan hitam yang menyimpan dendam guruku, juga kepada
diriku. Pihakmu dan pihakku diadu domba oleh Pendita Amor. Berulang kali dia
gagal membunuh guruku karena aku selalu menggagalkan usahanya itu. Maka ia
menggunakan akal liciknya dengan meminjam kekuatan orang-orang Mangol."
"Simpan  saja  celotehmu  buat  dongeng  menjelang  tidur  kucingmu!
Sekarang aku harus menangkapmu dan membawamu pulang ke Mangol!"
Suto Sinting hembuskan napas panjang, membu- ang rasa kesal atas sikap
perwira kapal yang ngotot itu! Akhirnya ia pun berkata dengan nada tegas.
"Kalau aku menolak, bagaimana?!"
"Aku terpaksa menggunakan kekerasan!"
"Kalau aku mau melayani kekerasanmu, bagaimana?"
"Kau pasti akan mati dan yang kubawa pulang adalah mayatmu!"
"Kalau ternyata kau yang mati, bagaimana?!"
"Biadab! Makin lama kata-katamu makin memanaskan telingaku, Pendekar
Mabuk!" geram Perwira Mangol, tampak tak bisa bersabar lagi.
Sreet...  pedang  mewah  itu  dicabut  dari  sarungnya.  Cahaya  berkilauan
karena sinar matahari sesekali memantul melalui mengkilapnya pedang anti karat
itu. Perwira Tombala memainkannya pelan-pelan sambil bergerak lambat ke arah
kiri. Pendekar Mabuk tetap tenang, bergerak ke arah kiri membentuk lingkaran
dengan senyum tipis tetap menghias bibirnya.
"Agaknya  orang  ini  pandai  menggunakan  pedang.  Ilmu  pedangnya  pasti
cukup hebat. Aku harus hati-hati dengan jurus tipuan pedangnya," pikir Suto
Sinting sambil mata jelinya mengawasi tiap gerakan tangan dan kaki lawannya.
"Kau akan menyesal  berhadapan dengan Perwira Tombala, Bocah bebal!
Perlu kau ketahui, jika satu hari pedangkutak merenggut nyawa manusia, maka
ia akan berjalan sendiri mencari mangsa! Kali ini agaknya walaupun aku tak mau
melakukan  pertarungan  denganmu,  maka  pedangku  akan  berjalan  sendiri
merenggut nyawamu, Pendekar Mabuk!"
"Perlu  kau  ketahui  juga,  Tombala...  pedangmu  itu  terlalu  lamban.
Nyawaku  sudah  menunggu  terlalu  lama,  tapi  baru  sekarang  ia  muncul  di
depanku, seperti perawan tua menunggu pangeran tertampan di dunia!"
"Ghhhrrm...!"  Perwira  Tombala  bertambah  geram.  Matanya  memicing
penuh  kebencian.  Suaranya  pun  makin  merendah  tapi  bernada  berat,  seakan
terbebani nafsu untuk membunuh yang begitu besar.
"Buktikan sesumbar busukmu itu, Nak! Heeaaah...!"
Perwira  Tombala  berlari  menyeruduk  dengan  gerakan!  cepat.  Ujung
pedangnya  yang  runcing  itu  dihujamkan  ke  perut  Pendekar  Mabuk.  Wuuurt,
suuut...!
Zlaaap...! Pendekar Mabuk pindah tempat dalam waktu ter'amat singkat.
Gerakannya yang mengguna kan jurus Gerak Siluman' itu tak sempat dilihat oleh
Perwira Tombala, sehingga pedang sang perwira terpaksa hanya bisa menembus
udara kosong.
Dengan  wajah  angker  mata  sadis,  Perwira  Tombala  clingak-clinguk
sebentar.  Kemudian  segera  berpalirig  ke  belakang  dengan  cepat  setelah
mendengar suara lawannya bernada melecehkan.
"Cari apa, Tom...?!"
Seet...!  Begitu  ia  berpaling  menatap  ke  arah  Pendekar  Mabuk,  tiba-tiba
jurus  'Jari  Guntur'  dilepaskan  oleh  Suto.  Sentilan  jari  yang  keluarkan  hawa
padat seberat tendangan kuda jantan itu diarahkan ke dada Perwira Tombala.
Tees...!
Perwira Tombala tak kalah cepat. Telapak tangan kirinya disentakkan ke
depan. Deeb...! la terdorong mundur ketika tenaga dalamnya yang keiuar dari
telapak tangan itu terhantam hawa padatnya jurus Jari Guntur'.
Perwira kurus itu masih tetap berdiri dengan sedikit membungkuk, karena
sentakan  yang  mendorongnya  ke  belakang  tadi  tidak  membuatnya  jatuh.  la
justru  segera  memainkan  pedangnya  di  sekeliling  tubuh.  Tiba-tiba  kaki  kirinya
diangkat  dan,  blaas...!  Tubuhnya  melesat  dengan  cepat  menerjang  Pendekar
Mabuk.
Wuiiz,  wuiiz...!  Dua  kelebatan  pedang  itu  disabetkan  sebagai  penggoda
perhatian  Iawan.  Setelah  itu  pedang  tersebut  menyentak  ke  depan  dengan
sangat cepat. Suuut...!
Traang...! Bumbung tuak Suto menangkisnya. Ujung pedang memercikkan
bunga api ketika berben- turan dengan bumbung tuak.
Trang, trang, tring...! Wuiiz, trang, wuiiz...!
Crass...!
"Aahk...!"  Suto  Sinting  melompat  mundur  sambil  terpekik  peian.
Lengannya robek akibat tebasan pedang beruntun. Salah satu tebasan meleset
dari  tangkisan  bumbung  tuak  sehingga  merobekkan  kulit  dan  daging  lengan,
dekat pergelangan tangan.
"Gila! Sabetan pedangnya nyaris tak bisa kuterka ke mana arahnya!" geram
Suto  Sinting  dalam  hati  sambil  pandangi  lukanya  sebentar.  Luka  itu  cukup
dalam dan membuat darah menjadi berbusa.
"Celaka! Pedangnya ternyata beracun juga. Aku harus mengatasi racun ini
dulu sebelum menyebar ke seluruh tubuhku."
Tak ada kesempatan bagi Suto untuk menenggak tuaknya. Mau tak mau ia
mengatasi luka itu dengan salurkan hawa murninya melalui peredaran darah. la
sengaja mengulur waktu dengan memutar ke sana-sini untuk mengatasi lukanya
itu.
Sayang  sekali  waktu  itu  Pendekar  Mabuk  sudah  tidak  memegang
pedangnya Belatung Gerhana. Pedang itu digeletakkan di samping si gemuk saat
ingin  menuangkan  tuak.  Ketika  melesat  mencari  si  pelempar  senjata  rahasia,
pedang itu tidak ikut terbawa.
Kini  pedang  tersebut sudah  ada  di  tangan  si  Beiatung  Gerhana.  Nyawa
orang gemuk besar itu tertolong oleh tuak Suto. Tapi ketika ia melihat Suto
Sinting bertarung dengan Perwira Tombala, ia ingat siapa orang itu. la pun tahu
bahwa ilmunya tak akan bisa dipakai menggulingkan si tua bertubuh kerempeng.
"Gawat! Dia si pemilik kapal yang tempo hari mau kuganggu itu! Kurasa
dia tadi ingin membunuhku, tapi... tapi sepertinya Suto menyelamatkan nyawaku
dari sesuatu yang diiemparkan si kerempeng itu. Ooh, kalau begitu aku harus
segera lari jauh-jauh agar si kerempeng tak menemukan diriku lagi!"
Belatung  Gerhana  tak  segan-segan  melarikan  diri.  Sekali  pun  iarinya  tak
bisa  cepat,  tapi  ia  tetap  berusaha  menyembunyikan  tubuhnya  yang  besar  itu
sebelum pertarungan Suto dengan si kerempeng usai.
Belatung  Gerhana  tak  melihat  saat  Perwira  Tombala  kerahkan  ilmunya
dalam  melawan  Pendekar  Mabuk.  Sebuah  ilmu  langka  digunakan  Perwira
Tombala.  Pedangnya  yang  ditebaskan  ke  kanan-kiri  dengan  cepat  itu
memancarkan sinar merah pada bagian  ujungnya. Ketika tubuhnya  bermaksud
menerjang  Pendekar  Mabuk  dan  pedangnya  ditebaskan,  sinar  merah  di  ujung
pedang  itu  keluarkan  asap  tipis  dan  kecil  sebesar  lidi.  Asap  itu  adalah  asap
merah yang bergerak bagai- kan benang di ujung pedang.
WuUiz, wuiiz, wuuiz...!
 si perwira kapal bukan bermaksud menerjang Suto, tapi hanya bergerak
mendekat  dan  memutari  Pendekar  Mabuk  dengan  gerakan  sangat  cepat  dan
membingungkan.  Pendekar  Mabuk  ingin  lepaskan  pu-  kulan  tenaga  dalamnya,
tapi pukulan itu tak bisa diarahkan ke lawannya dengan tepat.
Gerakan memutar sernakin cepat. Perwira Tombala seperti ada sepuluh
orang lebih. Sekeliling Suto mulai dipenuhi asap merah. Wajah pemuda tampan
itu sempat menjadi tegang.
"Dia mengurungku dengan asap merah. Pasti asap berbahaya! Aku harus
keluar secepatnya!"
Zlaaap...! Craass...!
"Aaouh...!" Suto terpekik dengan suara tertahan.
Pada waktu ia melesat keluar dari asap merah yang mengurungnya, pedang
lawan  berhasil  menyabet  perut  dan  membuat  luka  cukup  panjang  di  bagian
perutnya. Luka itu segera keluarkan darah bercampur asap merah.
Pendekar  Mabuk  mengerang  dengan  tubuh  kejang,  karena  asap  merah
yang  mengepul  dari  luka  terhirup  dalam  pemapasanriya.  Paru-paru  terasa
terbakar.  Panas  sekali.  Dada  bagaikan  dipanggang  di  atas  kobaran  api.
Pandangan mata pun mulai buram. Urat-urat yang mengejang kaku dipaksakan
untuk melangkah dan jauhi lawan.
Tapi waktu itu Perwira Tombala sempat berseru dengan bangga.
"Kau  tak  akan  bisa  selamat  jika  sudah  tergores  oleh  pedangku,  Bocah
sinting! Asap merah dari 'Hawa Iblis'- ku sudah merasuk dalam pernapasanmu,
menyatu  pula  dengan  darahmu.  Tak  lama  lagi  Hawa  Iblis'  itu  akan  merenggut
nyawamu tanpa ada penangkalnya!"
Pendekar  Mabuk  kerahkan  tenaga  untuk  bisa  melangkah.  Tapi  sekujur
tubuhnya  bagaikan  terbuat  dari  besi.  Berat  dan  kaku  sekali.  Di  samping  itu,
hawa panas yang ada di dalam dada semakin menyengat, seakan mengeroposkan
bagian dalam tubuh sedikit demi sedikit.
Pendekar  Mabuk  ingin  menenggak  tuaknya.  Melihat  gelagat  demikian,
Perwira Tombala segera menerjang tangan Pendekar Mabuk agar bumbung tuak
terlepas dari genggamannya.
Wuuut...!
Bruuus...!
Perwira  Tombala  teriempar  ke  samping  kiri.  Rupanya  saat  tubuhnya
melayang mau menerjang Suto, ada sekelebat bayangan yang menerjangnya pula
dari  arah  kanan.  Terjangan  itulah  yang  membuat  Suto  Sinting  terpelanting,
sebab bayangan yang berkelebat menerjang Perwira Tombala itu keluarkan angin
yang menyentak dan membuat tubuh Suto Sinting terhempas limbung.
"Ooh, uuhk...! Siapa orang itu? Siapa dia yang menolongku?!" tanya Suto
dengan batinnya sendiri.
Suto  sempat  perhatikan  seorang  lelaki  gemuk  berjubah  coklat  bintik-
bintik putih. Orang yang kini berdiri berhadapan dengan Perwira Tombala itu
memang gemuk, tapi tidak sebesar Belatung Gerhana.
Melihat rambut orang itu hanya di bagian ubun- ubun saja dan berwarna
putih rata, ingatan Suto Sinting masih sempat melayang pada kata-kata gururiya
tentang  seorang  tokoh  yang  sosok  penampilannya  mirip  Semar,  dalam  cerlta
pewayangan. Seketika itu juga hati Suto Sinting menyebut nama si tokoh yang
baru datang itu.
"Eyang...  Dewa  Kubur...?!"  sambil  langkah  Suto  sernakin  kaku  dan
terhuyung-huyung  ke  belakang. Tangannya bagaikan tak kuat untuk membuka
tutup bumbung tuak. Matanya pun semakin buram dan mengecil.
"Awas, ada dua sumur di belakangmu, Nak!" seru si kakek berusia sekitar
delapan puluh tahun yang memegang tongkat besi dengan ujung trisula itu. la
memang si Dewa Kubur dari Gunung Gandul.
Dewa Kubur ingin menyambar Pendekar Mabuk yang sudah berada di tepi
lubang yang disebut sumur. Tapi si perwira dari Mango! itu menggeram murka
dan segera lakukan terjangan dengan pedang berasap merah.
"Heeaaat...!"
Weess...!
Dewa Kubur angkat tongkat trisulanya, lalu menyentakkan tongkat itu ke
depan dalam jarak pen- dek. Dees...!
Blaab,  blaab...!  Sinar  biru  menyebar  sekejap.  Ketika  sinar  itu  diterjang
Perwira  Tombala,  terjadilah  ledakan  yang  cukup  mengguncangkan  alam
sekitarnya.
Blegggaaarr...!
 Tombala terlempar ke belakang, melayang- layang kehiiangan keseimbangan
badan.  Sementara  itu,  Suto  Sinting  justru  jatuh  terpelanting  karena  gelom-
bang  ledakan  tadi  mengguncangkan  tanah  yang  dipijaknya.  la  pun  tak  bisa
menjaga keseimbangan badannya lagi, sehinga  akibatnya pemuda itu terlempar
masuk ke salah satu dari dua lubang besar yang disebut sumur tadi.
Brooossk...!
"Haah...?!  Ooh...?!  Aaaaaaa...!"  ia  hanya  bisa  memekik  sambil  tubuhnya
melayang masuk ke dalam salah satu sumur kering itu.
Wuuurrss...! Gema suaranya masih terdengar dari tempat si Dewa Kubur
sentakkan  tongkatnya  tadi.  Tokoh  tua  yang  terlambat  bergerak  itu  segera
melesat dalam satu sentakan. Tahu-tahu ia sudah berada di tepi lubang bergaris
tengah  sekitar  dua  tombak.  Ada  dua  lubang  yang  ukurannya  hamper  sama.
Jaraknya  hanya  satu  langkah.  Tapi  karena  rimbunnya  rumput  yang  tumbuh  di
sekitarnya, maka lubang tersebut tak sempat terlihat Pendekar Mabuk.
Dewa  Kubur  mengetahui  lubang  itu,  karena  waktu  ia  dekati  tempat
terjadinya ledakan besar tadi, ia hampir saja terjeblos masuk ke lubang tersebut.
Lubang  itu  sangat  dalam  dan  gelap.  Makin  ke  dalam  makin  tak  bisa
terlihat  isinya.  Lubang  itu  menyerupai  sumur  tanpa  dasar.  Bahkan  suara
terjakan Suto pun menghilang, suara jatuhnya tubuh Suto pun tak terdengar.
Dewa Kubur hanya  bisa tarik napas memendam rasa penyesalannya akibat tak
bisa  menyambar  tubuh  anak  muda  yang  tadi  didengarnya  dipanggii  Pendekar
Mabuk oleh Perwira Tombala.
Dewa  Kubur  ingat,  Pendekar  Mabuk  adalah  murid  sahabatnya.  Sebab
itulah ia bermaksud selamatkan Pendekar Mabuk.
Penyelamatan itu terlambat. Suto Sinting masuk ke dalam sumur tua yang
kedalamannya tak bisa diduga. Dengan begitu, maka nasib si Pendekar Mabuk
pun tak dapat diterka oleh Dewa Kubur. Satu-satunya anggapan yang ada dalam
benak  Dewa  Kubur,  murid  sahabatnya  itu  tewas  dan  mayatnya  tak  bisa
ditemukan.
 
5

Hawa  dingin  terasa  meresap  melalui  pori-pori,  bagaikann  rnenembus
sampai ke dasar tulang. Hawa dingin itu membuat kelopak mata sulit dibuka jika
tidak dipaksakan.
Pada  muianya  yang  dirasakan  Pendekar  Mabuk  adalah  sebentuk
keheningan  tanpa  suara  apa  pun.  Keheningan  yang  bercampur  hawa  dingin
membuat debar-debar ketegangan tersendiri di dalam hati anak muda itu. Batin
pun berbicara kepada sang jati diri,  bertanya dan bertanya dengan nada yang
sama.
"Di mana aku ini?"
"Di alam kematian."
"Mengapa begitu sunyi?"
"Tentu  saja.  Karena  kau  berada  di  alam  kematian.  Kalau  suasananya
ramai, pasti kau berada di tengah pasar malam."
"Jadi, sekarang aku sudah mati?" 
"Sudah.  Kau  bertarung  dengan  Perwira  Tombala,  lalu  terluka  dan
terperosok masuk ke sumur tua."
"Aku mau hidup lagi, ah!"
"Tidak bisa. Kau sudah waktunya mati."
"Tapi aku kan belum kawin?"
"Salahnya kenapa tidak mau kawin dari dulu?"
"Lalu, bagaimana nasib kekasihku; Dyah Sariningrum itu?"
"Menjadi janda kembung."
"Husy...!  Setahuku  yang  ada  hanya  istilah  janda  kembang.  Kalau  janda
kembung itu janda yang bagaimana?"
"Janda  kembang  itu  sudah  cerai  tapi  belum  punya  anak.  Kalau  janda
kembung sudah cerai tapi belum sempat menikah!"
"Ooo... kasihan, ya?"
"Kasihanilah dirimu sendiri sebelum kau dikasihani orang lain!"
lya,  maksudku  yang  kasihan  itu  diriku.  Belum  kawin  sudah  mati.
Mendingan belum mati tapi sudah kawin, ya?"
"lya...! Sudah, sekarang bersiaplah untuk menghadap pengadilan terakhir!"
"Lho, mati kok diadili?!"
"Mempertanggungjawabkan segala tingkah laku mu selama hidup di dunia.
Semua orang akan begitu!"
"Ooo... lalu, aku nanti dihukum?"
"Tergantung  budi  baikmu  selama  kau  hidup  di  dunia.  Kalau  kau  sering
berbuat jahat, ya dihukum. Kalau kau sering berbuat baik, ya tidak dihukum."
"Tapi... tapi aku mau minum tuakku dulu, ah!"
"Tidak  bisa.  Orang  mati  tidak  boleh  minum  tuak!  Kau  harus  jadi  orang
mati yang patuh."
"Ah, siapa bilang orang mati tidak boleh minum tuak?"
"ingatlah semasa hidupmu. Teman atau  kerabatmu yang sudah mati itu,
apakah mayatnya mau minum tuak?"
"Hmmm, yaa... memang belum pernah ada orang mati minum tuak."
"Nah, itu lantaran mereka patuh dengan tata tertib kematian. Salah satu
tata  tertib  itu  berbunyi:  'barang  siapa  telah  mati  dan  menjadi  mayat,  dilarang
minum  minuman  keras'.  Makanya  mereka  tidak  ada  yang  minum  tuak  atau
minum arak, bukan?"
"Waah... kok begitu ya...?"
Percakapan  batin  dan  sang  jati  diri  berhenti  sesaat.  Hawa  dingin  mulai
terasa melonggarkan dada. Seakan ada semacam kabut dingin yang menggumpal-
gumpal  di  ulu  hati,  lalu  menyebar  ke  segala  penjuru,  mencip-  takan  kelegaan
tersendiri.
"Aku mau buka mata, ah!"
"Husy! Orang mati tidak boleh melek!"
"Memangnya kalau melek, kenapa?"
"Kelilipan tanah, Goblok!"
"O, iya, ya...?!"
"Sudah, merem saja!"
"Tapi aku ingin tahu pemandangan di alam kubur Ini. Ngintip sedikit tidak
apa-apa, kan?"
"Ya, sudah. Tapi sedikit saja ngintipnya, ya? Jangan buka mata lebar lebar.'
"Kalau lebar-iebar, kenapa?"
"Dicolok setan, Iho...!"
"O, iya, ya...? Kalau begitu aku mau buka mata sedikit saja, ah!"
Bulu mata yang tergolong lebat untuk ukuran seorang lelaki itu bergerak-
gerak pelan. Sedikit demi sedikit garis kelopak mata Suto Sinting dibuka. Seet...!
Pemandangan  masih  buram,  mungkin  terlalu  lama  memejam,  masih  perlu
menyesuaikan  jarak  pandang.  Lama  kelamaan  tampaklah  oleh  sang  mata  kiri
sebentuk cahaya yang berpijar-pijar.
Cahaya apa itu, ya?"
 jati  diri  menjawab,  "Itu  cahaya  kehidupanmu  yang  kini  telah  kau
tinggalkan."
"Ooo... kok seperti lilin?"
"Karena semasa hidup kau rela berkorban demi menolong orang lain. Lilin
kan begitu. Berani meleleh demi menerangi orang lain."
"Ooo...  kalau  selama  hidupku  aku  tak  mau  berkorban  untuk  menolong
orang lain, cahaya kehidupanku seperti apa?"
"Seperti  kunang-kunang.  Cahayanya  mana  bisa  dipakai  untuk  cari  uang
jatuh di tempat gelap? Tidak bisa, kan?!"
Kelopak  mata  terbuka  semakin  lebar  lagi.  Cahaya  yang  dilihatnya
bertambah  jelas.  Lebih  lebar  lagi  kelopak  mata  dibuka,  lebih  jelas  lagi  bahwa
yang dipandang itu adalah memang sebatang lilin.
Byaak...! Kedua mata Suto Sinting terbuka semua.
"Lhoo... kenapa aku berada di antara lilin-lilin? Di mana aku ini?! Oooh...
kedua tanganku terikat?! Kedua kakiku juga terikat? Siapa yang merentangkan
tangan dan kakiku sebegini rupa?!"
Pendekar  Mabuk  memandang  sekeliling.  Ternyata  ia  berada  di  sebuah
ruangan  besar  berdinding  batu.  Tubuhnya  direntangkan  pada  sebidang  batu
rata yang berposisi miring, agak merebah setengah berdiri. Tangan dan kaki yang
direntangkan itu diikat dengan rantai putih. Rantai itu disentakkan, ternyata
tak  mudah  le  pas.  Hanya  suara  gemericiknya  yang  membuat  Suto  menjadi
jengkel sendiri.
"Benarkah aku di alam kematian?" batin Suto menjadi sangsi.
Dipandangnya  lilin-lilin  yang  ada  di  sekitarnya.  Nyala  api  lilin  itu  menari-
nari dengan gemulai lembut menandakan hembusan angin sangat pelan. Jumiah
lilin yang ada di ruangan itu tak bisa dihitung. Yang paling banyak menggerombol
di sudut kanan-kiri tempat Suto terikat rantai.
Aneh…!  Lilin-lilin  merah  itu  tidak  ada  yang  meleleh?!  Ooh,  mungkin  lilin
itu adalah lilin abadi. Dulu aku pernah mendengar cerita tentang lilin abadi dari
Bibi  Guru  Bidadari  Jaiang.  Lilin  itu  dibungkus  dengan  sejenis  kayu  yang
keluarkan getah terus-menerus walau sudah dipotong, Lalu kayu itu dibungkus
dengan lilin. Maka jadilah lilin abadi. Jika meleleh, ia bersatu dengan getah kayu
itu dan terjaga keutuhannya."
Pendekar Mabuk hembuskan napas panjang. la sedikit kaget.
"Lho, kok aku masih ada napasnya?!"
la menyentakkan napas lewat mulut beberapa kali.
"Hahh,  hahh,  hahh,  hahh...!  Oh,  aku  masih  punya  napas.  Berarti  aku
belum mati?! Berarti ini bukan di alam kematian. Lalu... di alam apa? Mengapa
sepi sekali? Ruangan apa ini?!"
Setelah  diperhatikan  lebih  cermat  lagi,  ternyata  ruangan  itu  berdinding
batu. Batu tak halus tapi membentuk permukaan dinding. Di sela-sela batu itu
tampak tumbuh lumut berwarna putih, seperti salju.
Ruangan itu sendiri berlangit-langit agak tinggi. Permukaan langitlangitnya
juga tak rata. Ukuran ruangan itu cukup lebar. Bisa untuk berlatih jurus-jurus
siiat yang tidak keluarkan tenaga dalam bersinar. Di sudut seberang ada lorong
membelok  ke  kanan,  ada  juga  yang  membelok  ke  kiri.  Pada  kedua  lorong  itu
masing-masing diterangi nyala api lilin berjumlah sekitar dua puluh batang.
Udara di ruangan itu sedikit lembab. Mungkin jika tanpa nyala api lilin-lilin
itu, udaranya sangat lembab dan tak bagus untuk pernapasan.
"Sepertinya aku berada di ruang bawah tanah," gum am Suto dalam hati.
"Hmmm... siapa yang membawaku kemari?! Bukankah... bukankah aku jatuh  ke
dalam  sumur  saat  bertarung  melawan  Perwira  Tombala?  Oh,  ya...  aku  juga
sempat melihat tokoh tua yang.. ."
Kata-kata  hati  itu  terhenti  seketika,  karena  dari  arah  lorong  yang
membelok ke kanan tampak sesosok bayangan muncul  dari sana. Bayangan itu
melangkah  dengan  tegap  dan  menghampiri  Pendekar  Mabuk.  Pada  saat  itu
pandangan  mata  Suto  Sinting  terkesip  karena  hatinya  kaget  menatap  sosok
wujud orang yang mendekatinya.
Temyata  ia  seorang  wanita  muda  berusia  sekitar  dua  puluh  lima  tahun.
Tubuhnya selain tinggi juga sekal dan berisi. Rambutnya pendek sepundak lewat
sedikit. Bagian depannya diponi tanpa ikat kepala.
Gadis itu mempunyai wajah yang cantik walau sedikit seperti anak lelaki.
Hidungnya  mancung,  matanya  bundar  bening  dan  terkesan  tajam.  Bibimya
sedikit tebal tapi terkesan mungil. la berkulit kuning bersih.
Ia  mengenakan  baju  buntung  tanpa  lengan  dari  kain  berserat  tembaga.
Warnanya coklat kehitam-hitaman.
Kain  bawahnya  seperti  rok  tapi  mini  sekali,  bagaikan  mempunyai  rempel
bersusun  yang  membuatnya  menjadi  tebal.  Kain  itu  juga  berserat  tembaga,
coklat  kohitam-hitaman.  la  mengenakan  sabuk  lebar  warna  hitam.  Pada
sabuknya  itu  terdapat  kantong  kantong  pisau  sejumlah  enam  buah,  lengkap
dengan pisaunya yang bergagang hitam.
Seiain itu, sebilah pedang dari kristai. Baik gagang- nya, mata pedangnya
dan  sarung  pedangnya  terbuat  dari  kristai.  Pada  gagang  dan  sarung  pedang
diberi hiasan batu-batuan merah dan hijau.
Si gadis bertubuh sekal dan tampak kekar itu mengenakan lapisan lengan
dari  lempengan  logam  seperti  perunggu.  Lempengan  berukir  itu  membungkus
perge- langan tangannya sampai mendekati siku. Jadi yang terlihat mulus hanya
batas pundak sampai siku dan batas paha sampai kaki. Alas kaki yang dikenakan
mempunyai tali melilit-lilit rapat di sepanjang betisnya.
Melihat  sosok  penampilan  seperti  itu,  Pendekar  Mabuk  teringat
penampilan  seorang  gadis  yang  dikenalnya  dengan  nama  Pandawi,  mantan
pengawal  Istana  Kematian  yang  sudah  menjadi  sahabatnya  itu.  Agaknya  gadis
yang tinggi tubuhnya sedikit melebihi tinggi badan Suto itu juga seorang prajurit
dari sebuah negeri. Mungkin saja dia penjaga bawah tanah itu.
Wajah cantiknya yang berkesan angkuh dan galak itu sengaja dipamerkan di
depan Pendekar Mabuk, menunjukkan sikap permusuhannya. Tetapi wajah Pen-
dekar  Mabuk  tetap  menampakkan  sikap  bersahabat,  ramah,  tenang,  tapi  juga
punya kesan sedikit wibawa.
Sriing...! Pedang kristai dicabut dari sarungnya. Ujungnya sangat runcing.
Sepertinya  mudah  pecah,  tapi  sebenarnya  keras  dan  kuat  seperti  baja.
Ketajaman  kedua  sisinya  tak  terlihat  nyata.  Sepertinya  tidak  tajam,  tapi
sebenarnya melebihi ketajaman samurai.
Ujung pedang runcing itu diacungkan di depan leher Suto Sinting. Mata
gadis itu memandang dengan tajam dan berkesan gaiak. Pada saat itu, Pendekar
Mabuk mendengar suara yang menyapanya dengan nada tak ramah.
"Jawab pertanyaanku dengan jujur jika ingin selamatkan nyawamu sendiri!
Berapa orang temanmu yang masuk kemari?!"
Pendekar Mabuk diam saja, matanya memandang heran ke wajah cantik
itu.  Sangat  heran.  Sebab  ia  mendengar  gadis  cantik  itu  bicara,  tapi  ia  tak
melihat  bibir  gadis  itu  bergerak-gerak  saat  mengucapkan  kata.  Bibir  indah
menggemaskan itu tetap terkatup rapat, tapi sua- ranya terdengar jelas.
Sengaja  Suto  tak  menjawab  karena  ia  sempat  sang-  si,  benarkah  ia
mendengar suara gadis itu atau hanya halusinasi saja. Maka dipandanginya terus
bibir si gadis saat suara kedua terdengar menyentak dengan ujung pedang terasa
menempel dingin di tengah Ieher.
"Jawab pertanyaanku, Tuli!"
Pendekar Mabuk hanya berujar dalam batinnya, "Luar biasa gadis ini! Dia
bicara tanpa membuka mulut. Dia merigirimkan suara batinnya padaku hingga
tertangkap oleh indera pendengaranku! Baru sekarang kutemukan seorang gadis
cantik yang mampu mengirimkan suara batinnya."
"Kalau  kau  sudah  tahu  tentang  suara  batin  itu,  Sekarang  jawablah
pertanyaanku tadi!" ujar si gadis. Suto semakin terperanjat heran dalam hatinya.
Ternyata gadis itu juga mampu mendengarkan ucapan batin seseorang. Mungkin
bisa dilakukan dalam jarak tertentu, mungkin juga bisa dilakukan dalam jarak
sejauh apa pun. Yang jelas, hal itu sangat menarik bagi Pendekar Mabuk.
"Kau  mendengar  suara  batinku?"  tanya  Suto  dalam  hati.  Tapi  ia
mendengar si gadis menjawab tanpa gerak- an bibir.
"Kudengar dengan jelas sekali!"
"Baiklah, akan kujawab pertanyaanmu tadi. Aku tidak punya teman."
"Bohong!"  bentak  si  gadis  dengan  mata  sedikit  melebar  tapi  bibir  tetap
terkatup rapat.
"Kalau kau tak mau menjawab dengan benar, ku~ tembus lehermu dengan
pedang ini! Ayo, jawab...!"
"Kau  boleh  membunuhku  sekarang  juga,  sebab  aku  tak  punya  jawaban
lain.  Aku  sendiri  masih  bingung,  di  mana  aku  sekarang  ini.  Kau  bisa  jelaskan,
Nona cantik?!"
Kali  ini  Suto  bicara  dengan  suara.  la  merasa  lebih  enak  bicara  dengan
suara daripada dengan batin. Si gadis memandanginya tanpa kedip, seakan ingin
melihat raut kejujuran di wajah tampan Pendekar Mabuk itu. Sekitar sepuluh
hitungan  kemudian,  ujung  pedang  sedikit  ditarik  ke  belakang.  Ketegangannya
agak mengendur.
"Kau  berada  di  wilayahku!"  gadis  itu  pun  bicara  dengan  suara  mulut.
Bibirnya bergerak-gerak, nada suaranya terdengar sedikit besar dan agak parau.
Tidak sejernih suara gadis keraton.
"Di  wilayah  mana  aku  sekarang,  Nona?!  Tolong  jelaskan  padaku.  Sebab,
seingatku aku sedang bertarung dengan Perwira Tombala, dan terperosok jatuh
ke lubang. Setelah itu aku tak ingat lagi. Begitu aku sadar, aku sudah terikat
begini!"
"Siapa namamu?!"
"Suto  Sinting...!"  sebut  Suto  dengan  jelas  dan  tegas.  Si  gadis  tampak
tenang, seperti tak mau peduli dengan nama itu. Rupanya ia belum tahu bahwa
Suto Sinting itu adalah nama asli Pendekar Mabuk.
"Nama asliku Suto Sinting, tapi gelarku adalah Pendekar Mabuk!" tambah
Suto  untuk  memancing  tanggapan  si  gadis.  Ternyata  gadis  itu  hanya
menggumam pelan dan pendek. Tak merasa heran dan kagum sedikit pun. Hanya
saja, pedangnya semakin ditarik mundur dan turun ke bawah.
"Kau orang Dataran Salju?!"
"Dataran  Salju...?!"  Suto  Sinting  menggumam  bernada  heran.  Dahinya
berkerut tajam, menandakan masih merasa asing dengan nama Dataran Salju.
"Aku baru sekarang mendengar nama Dataran Salju. Maukah kau jelaskan
di mana letak Dataran Salju itu?!"
Si gadis tidak langsung menjawab. la melangkah mundur satu kali. Mata
masih  menatap  penuh  curiga.  Rupanya  ia  sedang  menyimak  suara  batin  Suto
yang  terheran  heran  disangka  sebagai  orang  Dataran  Saiju.  Suara  batin  Suto
itulah yang dijadikan modal kepercayaan atas jawaban-jawaban tawanannya.
"Nona, apakah kau bermusuhan dengan orang Dataran Salju?!"
"Akan  kujelaskan  nanti  jika  kau  mau  sebutkan  dari  mana  asalmu,  siapa
rajamu dan apa jabatanmu?!"
Suto Sinting sunggingkan senyum geli.
"Aku berasal dari Jurang Lindu dan Lembah Badai. Aku tidak punya raja.
Aku  bukan  prajurit,  oleh  karenanya  aku  tidak  punya  jabatan.  Satu-satunya
jabatan yang kumiliki, mungkin... gelar kependekaranku saja! Pendekar Mabuk!"
"Terserah, kau mau mabuk atau mau teler itu urusanmu! Tapi aku ingin
tahu kau ada di pihak mana?'
"Ak...  aku  semakin  bingung  menjawab  pertanyaanmu.  Aku  tidak  punya
pihak. Aku orang bebas! Termasuk bebas tanyakan siapa namamu, Nona?"
Si gadis masih memandang sedikit angkuh. Setelah diam beberapa saat, ia
pun sebutkan namanya dengan jelas.
"Citra Bisu...."
"Itu... itu namamu?"
"Nama  asiiku  Citra  Mandagi.  Tapi  karena  aku  jarang  bicara  melalui
mulutku,  maka  beberapa  temanku,  termasuk  Gusti  Ratu,  menjulukiku:  Citra
Bisu."
"Sebuah nama yang cantik, secantik orangnya, gumam Suto Sinting dalam
hati. la lupa bahwa suara batinnya bisa didengar oleh Citra Bisu.
Tiba-tiba saja Citra Bisu tebaskan pedangnya empat kali ke arah Pendekar
Mabuk.  Wiiz,  wiiz,  wiiz,  wiiz...!  Tentu  saja  tebasan  pedang  itu  sangat
mengejutkan Pendekar Mabuk. Pemuda itu dibuat menggeragap dan terheran-
heran.  Tak  ada  bagian  tubuhnya  yang  terluka  atau  tergores  seujung  rambut
pun. Pendekar  Mabuk  hanya merasakan  angin tebasan tadi sangat dingin dan
mendengar suara aneh empat kali.
Triik, triik, triik, trrik...!
Brruk...!  Tiba-tiba  Suto  Sinting  jatuh  berlutut  dalam  sentakan  kaget.
Kejap  berikut  ia  baru  sadar  bahwa  tebasan  pedang  tadi  telah  memutuskan
rantai pengikat pada kaki dan tangannya. Citra Bisu mundur dua langkah, lalu
memasukkan pedang ke sarungnya.
"Getaran  batinmu  kutangkap  bukan  sebagai  getaran  musuh,  melainkan
memang  sebagai  getaran  batin  orang  yang  tersesat!"  ujar  Citra  Bisu,  tapi
diucapkan  melalui  batin.  Suara  batin  itu  sengaja  dikirimkan  kepada  Suto,
sehingga telinga Suto bagai mendengar bisikan jelas suara tersebut.
Terima kasih kau telah mempercayaiku," jawab Suto menggunakan suara
batin juga. la segera bangkit dan menghembuskan napas lega.
"Aku haus sekali. Apakah kau melihat bumbung tuakku?"
"Kusimpan di Ruang Penangkal."
"Ruang Penangkal.?! Ruangan untuk apa itu?!"
"Ikut aku!" tegas Citra Bisu tetap gurtakan suara batin.
Gadis  itu  melangkah  lebih  dulu.  Langkahnya  sangat  tegap  dan
menampakkan  ketegarannya  sebagai  gadis  yang  berjiwa  pemberani.  Pendekar
Mabuk  ikuli  langkah  yang  membelok  ke  kanan,  ke  lorong  tempat  kemunculari
Citra  Bisu  tadi.  Tapi  Suto  sempatkan  berhenti  dan  memandang  ke  lorong
sebeiah kiri. Lorong itu cukup dalam dan ujungnya membelok ke kiri. Tampak
ada sinar merah pijar di ujung lorong tersebut, seperti cahaya api merabara yang
membuat lorong tersebut menjadi temaram.
"ikut  aku,  Suto  Sinting!  Jangan  coba-coba  jalan  ke  lorong  merah  itu!"
tegur Citra Bisu tanpa gerakan bibir.
"Mengapa aku tak boleh ke sana?"
"Maut ada di sana. Kutemukan dirimu di sana, hampir saja menggetsndsng
masuk ke kuburan lahar."
"Kuburan lahar?!"
"Kubangan besar yang penuh dengan lahar panas!"
"Kau... kau temukan aku di sana?!"
"Saat  aku  lakukan  pengawasan  keliling,  kuiihat  tubuhmu  melayang  dan
jatuh di bibir kuburan lahar. Sebelum kau masuk ke kuburan lahar, kusambar
dirimu  dan  kuperiksa  keadaanmu.  Ternyata  kau  bukan  temanku.  Oleh
karenanya kau kesembuhkan dari lukamu dan kurantai sampai aku tahu dengan
jelas siapa dirimu."
"Oor jadi kau telah menyelamatkan nyawaku?!"
ikuti iangkahku sekarang juga, Suto!" Citra Bisu melangkah lagi tanpa
peduli pemuda itu masih tertegun bengong merenungi ceritanya. Pendekar
Mabuk segera menyusul langkah Citra Bisu karena ada yang ingin ditanyakan
dengan segera.
“Apakah... apakah kita berada di penjara bawah tanah?" 
“Anggap saja begitu"
“Di.. di mana tepatnya?”
“Mendekati dasar bumi."
“Ooh...?! Ja... jadi kau siapa? Maksudku... mehgapa kau ada di sini dan
rnenyangkaku sebagai orang Dataran Salju?!”
Citra Bisu tidak langsung menjawab. la justru membawa Suto membelok
ke kanan lagi, lalu kekiri. Mereka sampai di sebuah ruagan bercahaya biru.
Pendekar Mabuk terkesima melihat semua batu dan dinding yang ada di
ruahgan tersebut memancarkan oahaya biru pijar.
  Ruangan itu juga penuh dengan senjata aneka jenis, dari tombak, perisai,
golok,  kapak,  dan  lain-lainnya.  Senjata-senjata  itu  diietakkah  dalam  keadaan
berdiri diatas tanah tanpa penyangga apa pun. Bahkan sebagian senjata tampak
ada yahg melayang- layang di udara tanpa menyentuh tanah atau bebatuan yang
ada di situ, Salah satu benda yang melayang di udara adalah bumbung tuaknya
Pendekar Mabuk; "Oh, itu dia bumbungku!" sentak Suto girang.
"Ambillah...!"  perintah  Citra  Bisu  dengan  suara  batin.  Setelah  Suto
Sinting dapatkan bumbung tuaknya, Citra Bisu menyambung ucapannya lagi.
"Ternyata benda itu tak pernah kau gunakan untuk kejahatan."
"Dari mana kau tahu?"
"Semua senjata yang ada di sini akan mengambang di udara jika tak pernah
dipakai untuk kejahatan. Tapi jika benda tersebut punya kekuatan gaib hitam,
sering  dipakai  membunuh  demi  kejahatan,  maka  senjata  itu  tak  bisa
mengambang, melainkan menempel pada tanah. Kekuatan gaibnya tersedot habis
oleh tanah dan bebatuan di sini. Termasuk dirimu...."
"Termasuk diriku bagaimana?"
"Kalau  kau  berhati  jahat,  penuh  dengan  ilmu  hitam,  maka  tanah  dan
bebatuan  di  sini  akan  menghisap  tubuhmu,  menyerap  habis  seluruh  ilmu
kejahatanmu melalui telapak kakimu. Tapi jika kau berhati baik, maka kau akan
mengambang di ruangan ini."
"Oh, kalau begitu aku berhati jahat, karena ..."
"Lihat telapak kakimu!"
Pendekar Mabuk memandang telapak kakinya. la sangat terkejut melihat
kedua telapak kakinya tak menyentuh tanah.
"Ooh,  ternyata  telapak  kakiku  tak  menyentuh  tanah?!  Dan...  dan  kau
juga...?!"
Telapak kaki Citra Bisu juga tidak menyentuh ta nah. Kedua telapak kaki
itu  mengambang  sekitar  sete-  ngah  jengkai  dari  permukaan  tanah.  Tapi  Suto
Sinting merasa kakinya seperti menginjak tempat yang padat.
"Ajaib  sekali  ruangan  ini?!"  gumam  hati  Pendekar  Mabuk  yang  didengar
oleh tetinga batin Citra Bisu.
"Memang  ajaib  sekali  ruangan  ini.  Karenanya  kunamakan  sebagai  Ruang
Penangkal."
Pendekar  Mabuk  rnenggumam  dan  manggut-manggut.  Hasratnya  ingin
meminum tuak jadi lupa karena memandangi senjata-senjata yang mengambang
di  sana-sini.  Sekitar  lima  puluh  senjata  ada  di  ruangan  tersebut.  Delapan  di
antaranya  mengambang  di  udara,  sisanya  berdiri  tegak  di  tanah.  Tidak
menancap, tidak bersandar pada benda apa pun.
Citra  Bisu  yang  sejak  tadi  pandangi  Suto  Sinting,  kali  ini  melolos
pedangnya. Pedang diambil bersama sarungnya, lalu dslemparkan ke arah Suto.
Pemuda itu sempat kaget karena tak mengerti maksud Citra Bisu. la berusaha
menangkap  pedang  kristai  tersebut.  Tetapi  sebelum  tersentuh  tangannya,
pedang itu ternyata melayang diam di udara setinggi perut.
Suto  segera  paham  arti  tindakan  itu.  Citra  Bisu  ingin  tunjukkan  pada
Suto bahwa pedangnya juga bukan pedang untuk kejahatan. Dengan lain kata,
Citra Bisu ingin tunjukkan pada Suto bahwa ia bukan orang jahat yang patut
dicurigai.
"Ada beberapa orang yang datang kemari dengan membawa senjata, dan
senjata mereka memang tidak pernah dipakai untuk kejahatan. Tetapi pada saat
mereka  masuk  kemari,  hati  mereka  diliputi  kejahatan  dan  keserakahan.  Maka
ketika ia berada di ruangan ini, kedua kakinya menapak di tanah dan kekuatan
iimu  hitamnya  tersedot  habis.  Saat  itulah  aku  segera  lenyapkan  nyawa  orang
tersebut sebelum ia mencabut nyawaku," ujar Citra Bisu dengan suara batin.
  Sambungnya  lagi,  "Dan..,  baru  sekarang  ada  orang  yang  masuk  kemari
dengan kaki bisa mengambang di atas permukaan tanah ruangan ini. Orang itu
adalah kau!" 
"Apakah  itu  berarti  aku  adalah  orang  baik-baik?"  pancing  Suto  dalam
senyum.
"Tidak  menutup  kemungkinan  hatimu  akan  berubah  mehjadi  jahat  jika
kau sudah melihat isi ruangan «sebefah kanal'1''-
"Ikuti  aku  lagi!”  tegas  Citra  Bisu  sambil  menyambar  fjedangnya,  lalti
melangkah menuju sebuah lorong yang jalan masuknya harus mendaki tiga baris
anak tangga dari batu bercahaya biru.
Lorong  yang  akan  dilewati  mempiinyai  bias  cahaya  kuning.  Lorong  itu-
juga akan membelok ke arah kiri pa da bagiaan ujuhgnya. Bias cahaya kuning
itu datang dari lorong yang membelok ke kiri.
"Kau berada di sini bernama siapa, Citra?" tanya Suto Sinting rnencoha
bicara  batin  sambil  melangkah  di  belakang  Citra  Bisu.  Ternyata  pertanyaan
batin mendapat jawaban batin pula dari Citra Bisu.
"Pada mulanya aku berdua dengan temanku, sesama prajurit, Tapi ia tak
kembali  lagi  sejak  kusuruh  melihat  keadaan  di  sekitar  istana.  Aku  sendiri  tak
tahu bagaimana kabar temanku yang bernama Desah Bengi itu."
"Desah Bengi...?!" Suto bernada kaget, sebab ia ingat nama Desah Bengi
adafah nama dari ibunya si Beiatung Gerhana.
"Maksudmu...  Nini  Desah  Bengi,  si  Penguasa  Pulau  Garong  yang  kedua
kakinya buntung itu?!"
Citra  Bisu  hentikan  langkahnya  secara  mendadak.  Menatap  Suto  juga
secara mendadak. Hal itu membuat Suto menjadi kikuk dan safah tingkah.
"Hmm,  eeh...  kudapatkan  keterangan  tentang  kedua  kaki  Nini  Desah
Bengi  yang  buntung  itu  dari  anaknya  yang  bertubuh  sangat  gemuk  itu.  Aku
kenal dengan anaknya Nini Desah Bengi yang dikenal dengan nama si Belatung
Gerhana itu. Bukan... bukan aku yang membuat kedua kakinya menjadi buntung.
Sumpah!"
"Sejak kapan Desah Bengi menjadi penguasa sebuah pulau?"
"Ak...  aku  tidak  tahu!  Aku  juga  belum  kenal  dengan  Nini  Desah  Bengi,
sebab...."
"Dia sudah punya anak?!"
"Aku tak tahu secara pasti, tapi si Belatung Gerhana merigaku sebagai
anak Nini Desah Bengi, Aku tak tahu apakah Belatung Gerhana menipuku atau
memang ber-kata yang sebenarnya."
Citra Bisu merenung dan berkerut dahi. Suto sengaja  biarkan gadis itu
diam  beberapa  saat,  memberi  kesempatan  berpikir.  Sesaat  kemudian,  tanpa
bicara melalui bibir atau batin, Citra Bisu teruskan langkahnya dan Suto Sinting
mengikuti dari belakang.
Ketika lorong berbelok ke kiri, Pendekar Mabuk terpaksa kecilkan kedua
kelopak matanya dan menadahkan tangan di atas mata karena merasa silau de-
ngan cahaya kuning yang membias sampai di tempatnya. Namun si cantik yang
meiangkah dengan tegar dan tegap itu tak merasa silau sedikit pun.
Cahaya  kuning  itu  ternyata  berasal  dari  sebuah  ruangan  sama  besarnya
dengan ruangan berlilin banyak tadi. Tetapi kali ini Suto Sinting sudah mulai ter-
biasa dengan cahaya kuning kemilau itu. Bahkan matanya terbelalak lebar sekali
saat mengetahui dari mana asal cahaya kuning kemilau.
Ternyata di depan Suto Sinting terdapat tumpukan emas yang membukit
dan  dikeliling  dengan  liiin-iilin  kecil  di  bagian  tepi  onggokannya  itu.  Selain
setumpuk  emas  yang  memantulkan  cahaya  kuning  menyilaukan  itu,  di  sisi  lain
terdapat  tumpukan  permata  aneka  jenis  dan  aneka  warna.  Bias  cahayanya
memancar bergaris- garis ke sana-sini, sampai membuat mulut Pendekar Mabuk
tak bisa berucap sepatah pun. Mulut itu hanya bisa terperangah bengong dan
bola mata seakan sullt dipakai berkedip.
"Harta  karun...?!!"  hanya  dalam  hati  Suto  Sinting  bisa  berkata  demikian,
itu pun tak bisa serentak keras karena jantungnya berdetak-detak sangat cepat.
"Kuharap  pikiranmu  tak  berubah  menjadi  manusia  serakah  seperti
beberapa  orang  yang  terpaksa  kuhan-  curkan  itu,"  ujar  Citra  Bisu  seraya
menatap Suto Sinting.
"Aap...  apa...  apakah  ini...  ini  harta  karun  yang...  yyaaang  diburu  oleh
meerr... merreka itu...?!" Suto sampai suiit bicara lisan karena gugupnya melihat
emas permata sebanyak itu.
"Aku  tak  tahu  siapa  'mereka'  yang  kau  maksud  itu.  Aku  juga  tak  tahu
apakah mereka masih berusaha mencari  pintu kedua goa yang sudah kututup
dan  kubeukan  hingga  menjadi  batu  sekeras  baja  itu.  Yang  jelas,  tugasku
bersama Desabh Bengi adalah menjaga harta kekayaan negeri  kami!"
"Ja.,..  ja...  janda,  eeh...  jadi,  kau  adalah  prajurit  dari  kerajaan
Hastamanyiana?!"
"Kurasa  kau  bisa  dapatkan  penjelasan  dari  Desah  Bengi,  bahwa  kami
berdua  adalah  pengawal  kepercayan  Ratu  yang  ditugaskan  menjaga  harta  di
persembunyian  ini!  Kami  berdua  harus  rela  pertaruhkan  nyawa  demi  menjaga
agar harta ini tidak dijarah oleh orang- orang Dataran Salju maupun dari pihak
mana pun!"
"Kalau  begitu  aku  sudah  masuk  ke  Goa  Kembar...?!"  ujar  Suto  dalam
hatinya. "Apa yang dikatakan Kusir Hantu ternyata salah. Harta karun ini bukan
sebuah  khayalan  dari  sebuah  dongeng,  melainkan  kenyataan  yang  dijadikan
sebuah dongeng oleh anggap- an orang-orang seperti si Kusir Hantu?!"
Citra  Bisu  mendengar  ucapan  batin  Pendekar  Mabuk.  la  pun  segera
berkata dengan ucapan batin yang dikirirnkan ke telinga hati Pendekar Mabuk.
"Lorong  ini  memang  lorong  dari  Goa  Kembar.  Tapi  pintu  kedua  goa  itu
sudah kututup mati sejak Oesah Bengi tak kembali lagi kemari dan aku hampir
kewalahan  menghadapi  para  pemburu  harta.  Entah  sudah  berapa  lama  aku
berada  di  goa  ini.  Yang  jelas,  goa  ini  tidak  ikut  mengalami  perubahan  waktu
seperti  yang  ada  di  luar  goa.  Lilin-lilin  itu  sejak  kunyalakan  sampai  sekarang
masih  dalam  keadaan  hidup  dan  tidak  berkurang.  Ini  menandakan  goa  ini
mempunyai geiombang pengikat waktu, yang membuat segala sesuatunya menjadi
abadi. Termasuk beberapa cadangan makanan yang kusimpan di ruang gudang,
sampai sekarang masih segar dan tidak menjadi basi."
"Ajaib sekali!"
Banyak para penjarah harta bermaksud memasuki goa ini dari dua lubang
yang  menyerupai  cerobong  asap  itu,  tapi  aku  telah  memasang  jebakan  di
dasarnya, termasuk membelokkan arah lorong ke kuburan lahar. Siapa pun yang
masuk melaiui lubang itu akan terperosok ke kuburan lahar atau mati dirajang
jebakan mautku!"
"Maksudmu... sumur tua yang membuatku terperosok kemari itu?!"
"Aku tak tahu apakah itu sumur tua atau bukan. Tapi yang jelas saat aku
memeriksa  di  sana,  kudengar  suara  jeritan  seseorang.  Kuhadang  dirinya  dan
kusambar ke tempat yang aman. Ternyata orang itu adalah pemuda tampan yang
punya hati bersih!" seraya pandangan matanya semakin tajam, mendekat pelan-
pelan bagaikan ingin semakin melekatkan hatinya ke hati Suto Sinting.
Yang  dipandang  dan  yang  didekati  semakin  deg-degan.  Gadis  itu  lebih
tinggi  darinya,  tapi  punya  pesona  kecantikan  yang  berdaya  tarik  sangat  kuat.
Suto  Sinting  nyaris  kehilangan  seluruh  bahasanya  saat  Citra  Bisu  membelai
rambutnya.
"Kau  jantan  sekali  kelihatannya,"  ujar  Citra  Bisu  dengan  bahasa  batin.
"Kurasa  sang  Ratu  tak  akan  keberatan  jika  menerimamu  sebagai  pengawal
istana. Maukah kau melamar menjadi panglima Kerajaan Hastamanyiana?!"
"Ker... kerajaanmu itu sudah lama hancur, Citra."
"Hahh...?!"  Citra  Bisu  terperanjat,  tampak  kaget  sekali.  Sentakan  rasa
kagetnya membuatnya mundur satu langkah.
"Kau mendustaiku, Suto?!"
"Aku hanya mendengarnya dari penjelasan seorang kenalanku yang sudah
lama  hidup  di  Lembah  Seram.  Belatung  Gerhana  sendiri  juga  mengatakan  be-
gitu. Tapi... jika kau tak  keberatan,  aku  akan coba menyelidiki sendiri apakah
benar negerimu sudah lama hancur dan siapa yang menghancurkannya!"
"Memang harus dibuktikan. Tapi kita mau keiuar lewat mana?!" keluh gadis
itu sangat pelan.
"Jadi... goa ini tidak punya jalan keiuar lagi?!"
"Jalan itu sudah kututup, seperti yang kukatakan tadi."
"Celaka! Lalu.. . lalu bagaimana caranya keiuar dari sii)i?l Haruskah aku di sini
selamanya, bersama harta karun ini?!"
"Sedang kupikirkan jalan keluarnya. Tapi dari dulu hingga sekarang hanya bisa
menjadi buah pertanyaan saja. Aku tak pernah mendapatkan jawaban yang tepat
mengenai jalan keiuar dari tempat ini!"
Pendekar Mabuk pun tertegun bengong menyadari berada dalam lorong goa
yang buntu.
 
6

Ruang penyimpanan harta karun itu ternyata mempunyai beberapa lorong
sempit dan tak terlalu dalam. Lorong-lorong kecil itu digunakan oleh Citra Bisu
sebagai tempat untuk tidur, bersemedi dan tempat pemujaan terhadap Hyang
Maha  Dewa.  Salah  satu  lorong  lainnya  mempunyai  rembasan  mata  air  yang
menggenang menjadi seperti telaga kecil.
Di  bagian  sisi  telaga  kecil  beratr  bening  itu  terdapat  lubang  yang
mengaiirkan air entah ke mana. Lubang itu digunakan sebagai pengganti parit.
Citra  Bisu  membangun  parit  dengan  batu-batu  yang  ada  di  sekitar  tempat
tersebut.
Citra Bisu juga membentuk kamar tidurnya sendiri dengan batu-batu yang
dipotong  sedemikian  rupa  sehingga  berbentuk  tata  seni  ruang  tersendiri.
Bahkan di dalam ruang tidur itu juga terdapat ranjang batu dilapisi kain tebal
menyerupai permadani. Berbulu  lembut dan hangat. Tentu saja barang-barang
seperti  permadani  dibawanya  dari  Kerajaan  Hastamanyiana  pada  saat  harta
karun itu disembunyikan di goa tersebut.
Satu  hal  yang  mengherankan  lagi  bagi  Pendekar  Mabuk  adalah  bentuk
potongan batu-batu yang menjadi tata letak ruang tidur itu selalu berpotongan
rata. Seperti agar-agar dipotong dengan benang. Halus sekaii potongannya.
"Dengan  alat  apa  dia  memotong  batu-batu  ini  se-  hingga  sampai  bisa
sebegini rapi dan halus?" tanya Suto dalam batin. Ternyata gadis itu ada di pintu
ruang tersebut dan mendengar pertanyaan batin Suto.
"Bagiku  bukan  hal  sulit  memotong  baja  atau  batu  sdrata  itu  selama
pedangku ada di tangan."
"O, jadi kau memotongnya dengan pedang kaca itu?!"
Citra Bisu tersenyum dan mendekati Suto Sinting.
"Tak  ada  senjata  lain  yang  bisa  memotong  batu  sebegini  rapi  kecuali
Pedang  Lidah  Dewa-ku,"  sambil  pedang  itu  dilolos  dari  pinggang  bersama
sarungnya.  la  memamerkan  di  depan  Pendekar  Mabuk  dengan  penuh  rasa
bangga.
"Karenanya,  kuharap  kau  jangan  coba-coba  bermaksud  jahat  padaku.
Dalam  sekejap  pedang  ini  dapat  memenggal  lehermu  dengan  sangat  mudah,"
tambahnya pelan tanpa gerakan bibir. Bibir itu tetap sunggingkan senyum tipis,
namun terkesan lembut dan indah sekaii.
"Mengagumkan  sekaii!"  gumam  Suto  Sinting  membatin,  tapi  mata  nya
memandang  ke  arah  wajah  Citra  Bisu  yang  sedang  memperhatikan  pedangnya
dengan bangga.
"Siapa pun yang mengetahui kesaktian pedang ini, pasti akan
mengaguminya."
 "Bukan pedang itu saja maksudku."
Citra Bisu meiirik ke wajah Suto. Mata mereka saling beradu pandang.
"Jika bukan pedang, lalu apa lagi yang mengagumkan dirirnu?" tanya Citra
Bisu.
"Kecantikanmu, senyummu, mata indahmu, bibirmu, ooh... semua yang ada
padamu sungguh mengagumkan bagiku, Citra!"
Gadis  itu  meletakkan  pedang  di  atas  meja  batu  di  sampingnya,  lalu
bertolak  pinggang  dengan  penuh  keberanian,  sikapnya  bagaikan  orang  yang
tersinggung. Suto Sinting menjadi grogi lagi rnenghadapi sikap seperti itu.
"Bicaramu mulai melantur, Suto!"
"Oh, hmmm, hmmm... maaf. Tapi apakah bicaraku termasuk sesuatu yang
kau anggap jahat?"
"Bisa menjadi jahat apabila kau tidak membuktikan rasa kagummu itu."
Dahi pemuda tampan itu berkerut. "Mak... maksud- mu...?!"
"Pujianmu  membangkitkan  macan  betina  yang  selama  ini  tidur  dengan
nyenyak."
"Ma... macan...?! Di... di mana ada macan betina?!"
"Di  dalam  dadaku!"  jawab  Citra  Bisu  dengan  tegas  walau  tanpa  ucapan
bibir.
"Aku... aku tidak mengerti maksudmu,  Citra Bisu!" "Jika kau ingin tahu
maksudku, dengarkan degub jantungnya di balik dada ini."
Citra Bisu sedikit sodorkan dadanya. "Dengarkan dengan cara menempeikan
telingamu ke dadaku ini! Dengarkan, Suto...."
Suara  gadis  itu  makin  lirih,  sedikit  membisik.  Pendekar  Mabuk  hanya
tertegun memandang sambil menerka-nerka maksud hati si prajurit cantik itu.
Tempelkan  telingamu...!"  sambil  tangan  Citra  Bisu  meraih  kepala  Suto
dengan  gerakan  lembut.  Suto  Sinting  menurut,  menempelkan  telinga  di
permukaan  dada  si  gadis.  Terasa  hangat  permukaan  dada  yang  masih
berpenutup dari kain serat tembaga itu.
"Kau dengar detak jantungku, Suto?"
"Ku... kurang... kurang jelas."
Citra Bisu segera melepaskan pinjung penutup dada itu dengan menarik
pengait di punggungnya. Bahkan bajunya pun ikut dilepaskan pula. Kini telinga
Suto menjadi lebih lekat lagi dengan kulit dada yang halus dan berwarna kuning
langsat itu.
Dub, dub, dub, dub, dub....
"Kau dengar detakannya yang keras, Suto?"
"Ya.  Tapi...  tapi  detak  jantung  keras  yang  kudengar  ini  adalah  detak
jantungku sendiri, Citra."
Pruuk...!  Kain  penutup  dada  dilepas  total,  jatuh  terpuruk  di  lantai
bersama  kain  bajunya.  Kini  gadis  itu  tak  mengenakan  pelapis  sedikit  pun  di
bagian dada hingga perut. Kepala Suto justru dipeluk, ditekan lebih merapatlagi
dengan  dadanya.  Suto  Sinting  justru  bingung  mengatasi  gemuruh  dadanya
sendiri, karena di depan matanya persis tersumbul salah satu dari kedua bukit
sekal berujung tegak menantang siap mengarungi samudera.
Tapi  sebelum  mereka  berlayar  mengarungi  samudera  kenikmatan  yang
sebenarnya, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara gemuruh yang menggetarkan
lorong  goa  tersebut.  Duuuuunrrrr...!!  Citra  Bisu  cepat  bangkit  tak  jadi
menerima pelukan Suto Sinting yang ingin tengkurap di atasnya. Wajah gadis itu
tampak tegang sekaii. la buru-buru menyambar pakaiannya.
"Cepat kenakan pakaianmu! Cepat, Suto...!"
"Hei, tenang saja! Itu hanya getaran kecil!"
"Kau  belum  tahu,  Suto....  Goa  ini  tidak  boleh  terkena  getaran  sedikit
pun. Jika sampai terjadi getaran, maka langit-langlt goa akan runtuh. Lorong-
idrong di sini akan tersumbat oleh keruntuhan langit-langitnya."
"O, ya...?! Dari mana kau tahu ha! itu?!"
"Sudah lama hal itu kupelajari dan aku tahu persis kelemahan lorong ini!
Cepat kenakan pakaianmu!"
Suara gemuruh itu terdengar untuk yang kedua kalinya.
Duuuurrrrrrrr...!
Krutuk, krutuk, krutuk, krutuk...!
Langit-langit  muiai  meruntuhkan  serpihan  batu  dan  cadas.  Pendekar
Mabuk menjadi percaya dengan ucap-an Citra Bisu itu. ia pun segera kenakan
pakaiannya  kembali,  tanpa  pedulikan  kemesraan  yang  tertunda.  Lorong  yang
penuh kehangatan cinta itu dapat berubah menjadi lorong maut dalam waktu
singkat jika getaran yang timbul semakin kuat.
Ternyata getaran yang timbul akibat suara gemuruh tadi sampai sepuluh
hitungan  lebih  belum  berhenti  juga.  Langit-langit  lorong  mulai  banyak
meruntuhkan sorpihannya. Citra Bisu membawa Suto Sinting keluar dari ruang
tidur, dan berlari ke arah ruangan bercahaya biru tadi.
Deeuuurrrr...!
Suara gemuruh semakin kuat. Ketika mereka tiba di ruangan bercahaya
biru,  ternyata  keadaannya  sudah  menjadi  parah.  Ruangan  itu  sudah  penuh
dengan rerun- tuhan langit-langitnya. Bahkan lorong yang menuju ruang tempat
Suto  dirantai  pertama  kalinya  itu  tertutup  oleh  bongkahan  batu  besar.
Semeritara  itu,  guncangan  yang  timbul  semakin  kuat.  Dinding-dinding  lorong
mulai  retak  dan  membentuk  iapisan-lapisan  yang  mudah  rubuh  menutup  jalan
lorong.
"Citra  ..!  Bagaimana  caranya  supaya  sampai  ke  lorong  tempat  aku  jatuh
pertama kali itu?!"
"Jalannya sudah tertutup batu!" seru Citra Bisu dengan suara paraunya,
Gleeerrr...!  Suara  menggelegar  itu  timbul  dari  langit-langit  lorong  yang
runtuh  seluruhnya.  Bagian  langit-langit  yang  runtuh  seluruhnya  adalah  langit-
langit yang menuju ruang penyimpanan harta karun itu. Mereka menjadi semakin
panik, karena tak punya jalan untuk meiangkah ke tempat lain.
"Lorong maut ini akhirnya akan membuatku terkubur hidup-hidup di sini!"
geram  Suto  Sinting  dalam  hati.  "Sebaiknya  kugunakan  jurus  'Pukulan  Guntur
Perkasa' untuk hancurkan batu-batu besar yang menutupi lorong sebelah sana!"
"Jangan!" suara menyentak itu didengar  oleh telinga batin Suto Sinting.
Rupanya  gadis  itu  mendengar  rencana  batin  Suto,  sehingga  ia  buru-buru
mencegah- nya.
"Jika  kau  gunakan  jurus  macam  itu,  maka  ledakannya  akan  semakin
meruntuhkan langit-langit di atas kita!"
"Celaka!  Lalu  bagaimana  ini...?!  Semua  lorong  sudah  tertimbun  batu.
Atau... bagaimana jika kau gunakan pedangmu untuk membelah batu-batu itu?!"
"Sia-sia!  Geterannya  akan  mempercepat  langit-langit  di  atas  kita  runtuh
semua!"
"Lalu, apakah kita harus diam saja?!"
Citra  Bisu  mendekat,  kemudian  memeluk  Suto  Sinting  tanpa  canggung-
canggung lagi.
"Mungkin memang benar apa yang sering kude- ngar dalam mimpiku," bisik
Citra Bisu.
"Tentang apa, Citra?!"
"Bahwa aku akan mati di sini bersama seorangteman yang masih asing
bagiku!"
"Aah...!  Itu  mimpi  ngaco!  Jangan  percaya  dengan  suara  mimpi!  Lawan
dengan  kenyataan!  Kita  harus  bisa  keluar  dari  sini!  Aku  tak  mau  mati  di  sini,
Citra!"
"Tak ada jalan keiuar, Suto. Jalan utama sudah kututup dan kupadatkan
dengan batu baja. Sukar untuk dihancurkan."
"Di mana...?! Di mana jalan utama itu?!"
 "Kita sedang bersandar pada batu baja buatanku itu, Suto!"
Pendekar  Mabuk  segera  berpaling  ke  belakang.  Dinding  lorong  yang
menjebaknya itu ternyata memang halus dan rata, seperti bikinan manusia. Citra
Bisu  mengaku  telah  menutupnya  dengan  sebuah  iimu  yang  dapat  membuat
bebatuan menjadi lumer dan mengeras sekeras baja. Tapi ketika Suto mendesak
agar  Citra  Bisu  melumerkan  dinding  itu  kembali,  ternyata  ilmunya  tak  bisa
melumerkan  kembali  sesuatu  yang  semula  sudah  dilumerkan.  Sampai  gadis  itu
bercucuran keringat, benda yang sudah  mengeras seperti baja itu tak mampu
dilumerkan kembali.
"Minggirlah, biar kuhancurkan sekaiian!"
"Tapi langit-langitnya akan runtuh dan kita akan mati terkubur, Suto!"
"Apa  bedanya  dengan  diam  saja,  toh  kita  tetap  akan  mati  terkubur  di
sini!" ujar Suto Sinting sambii mundur beberapa langkah. Sementara itu, suara
gemuruh  dari  reruntuhan  langit  sisi  lain  terdengar  kembali,  membuat  bagian
atas  ruangan  yang  membuat  Suto  terperangkap  itu  semakin  menaburkan
bebatuan. Duuurrr...! Gruuuutuk, grutuk, grutuk, grutuuk...!
"Citra,  jika  dinding  ini  berhasil  kujebol,  cepatlah  melompat.  Tak  perlu
tunggu perintah dariku. Paham?"
"Ya, aku paham!" seru Citra Bisu dengan suara keras untuk mengimbangi
suara gaduh yang membisingkan itu.
Sebuah  jurus  yang  jarang  dipergunakan,  kali  ini  sengaja  dipakai  oleh
Pendekar Mabuk. Jurus itu bernama jurus 'Lintang Kesumat'. Dengan kedua
tangan  bergerak  mengeras  di  atas,  lalu  turun  perlahan-lahan  dengan  otot
mengeras  bertonjolan  di  lengan,  maka  jari-jari  Pendekar  Mabuk  mulai  tampak
menyala  merah  membara  di  bagian  kuku-kukunya.  Kedua  tangan  itu  segera
menyiiang di dada, lalu diangkat pelan-pelan ke atas kepala dalam keadaan tetap
menyiiang.
Kejap  kemudian,  kedua  tangan  itu  mengibas  ke  samping  bagaikan
memercikkan air dari jari-jari tangan- nya. Wuuut...! Yang memercik bukan air,
melainkan  kilatan  cahaya  merah  dari  tiap  kuku  jari-jari  tersebut.  Cralaap...!
Sepuluh kilatan cahaya merah itu menghan- tam dinding tersebut.
Jegaaaarrrrr...!
Binding itu jebol dan menjadi berlubang besar.
"Lompat keluar!" teriak Suto Sinting, dan Citra Bisu pun melompat keluar
dengan gunakan kekuatan tenaga dalamnya.
Blaasss...!
Zlaaap...!
Pendekar Mabuk pun menggunakan jurus 'Gerak Siluman', sehingga dalam
sekejap ia sudah sampai di luar lorong. Berdiri di depan langkah Citra Bisu yang
segera terperanjat melihat Suto sudah ada di depannya.
"Tebing akan runtuh!" seru Suto Sinting dengan tegang.
Tanpa  memikirkan  bahwa  ia  sudah  berada  di  luar  goa,  tempatnya
bertarung  me  Iawan  Juru  Jagal  dan  orang-orangnya,  Suto  Sinting  segera
menyambar  tubuh  Citra  Bisu  dengan  jurus  'Gerak  Siluman'~nya  juga.  Zlaaap,
wuuut...!
Zlaap, zlaap, zlaap...!
Gleeerrrrr...!
Tebing itu runtuh ke bawah. Tentu saja lorong goa itu tertimbun padat
oleh bebatuan tebing dan sukar digali lagi. Tapi pada saat itu, Pendekar Mabuk
dan  Citra  Bisu  sudah  berada  di  tempat  yang  jauh.  Dari  ketinggian  tempat
mereka berada, Citra Bisu hanya bisa memandang runtuhnya tebing itu hingga
beberapa  saat  lamanya.  Suto  Sinting  pun  segera  menyadarkan  keterpakuan
Citra Bisu dengan ucapan lirih ditelinga gadis itu.
"Pasti ada orang yang mengadu iimu dan membuat ledakan dahsyat hingga
mengakibatkan getaran hebat sampai ke lorong maut itu!"
"Ooh, Suto...!" Citra Bisu memeluk Suto Sinting. "Untung aku bersamamu.
Jika saat itu aku tak bersamamu, maka aku akan terkubur hidup-hidup di dalam
lorong maut itu!"
"Jangan  anggap  aku  berjasa  padamu,  tapi  anggaplah  aku  terlibat  dalam
petualanganmu."
"Petualangan...?!"
"Ya,  petualangan  kencan  di  dalam  lorong  maut  itu!  Hampir  saja  kita
berdua mati bersama, Citra!"
"Apakah seiamanya kita akan berdua sampai mati?"
Suto  Sinting  tarik  napas  panjang-panjang  dan  tak  tahu  harus  memberi
jawaban apa kepada prajurit cantik itu. Kini yang terpikir olehnya, siapa orang
yang  bertarung  hingga  timbuikan  ledakan  dahsyat  itu?  Dan  bagaimana  nasib
orang-orang yang memburu harta karun tersebut.
Satu  hal  yang  tiba-tiba  menjadi  buah  pikiran  Suto  adalah  bau  wangi
rempah-rempah yang sejak tadi tercium olehnya. Bau wangi rempah-rempah itu
sebenarnya  berasal  dari  tubuh  Citra  Bisu.  Tetapi  Suto  baru  menemukan
pertanyaan batinnya setelah lolos dari lorong maut.
"Gadis  ini  berbau  wangi  rempah-rempah.  Mungkin  bau  wanginya  dia  itulah
yang  tercium  oleh  Mangku  Randa  saat  aku  dan  Mangku  Randa  memeriksa
cekungan kembar itu? Atau... atau jangan-jangan Citra Bisu ini malah si Ratu
Sinden?!  Ooh,  celaka  betul  nasibku  kalau  sampai  ternyata  gadis  ini  adalah  si
Ratu Sinden."
Tiba-tiba  Citra  Bisu  bertanya  dengan  suara  batinnya,  "Siapa  si  Ratu
Sinden itu?!"
Suto Sinting terbengong dan tak bisa menjawab lagi. ia baru sadar bahwa
ia  tak  boleh  bicara  sembarangan  dalam  batinnya,  terutama  tentang  gadis  itu.
Sebab  suara  batinnya  bisa  didengar  oleh  si  gadis  yang  sempat  membuat  Suto
menaruh cunga itu.

                               SELESAI
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com