Pendekar Mabuk 122 - Kencan Di Lorong Maut(1)











 1

  Sampai  kapan  pun,  yang  namanya  harta  karun  selalu  saja  akan  menjadi
bahan  buruan.  Meski  ia  berada  di  dasar  lautan,  para  pemburu  harta  karun
merasa  tak  pernah  putus  asa.  Bahkan  jika  harta  karun  itu  dinyatakan  lenyap
tanpa bekas, para pemburu justru menjadi penasaran. Perburuan pun semakin
ditingkatkan.
"Salah satu sifat manusia adaiah selalu ingin ta...?"
"Tahu.!"
"Terlebih  jika  sesuatu  yang  diketahuinya  itu  dinyatakan  lenyap  tak
berbekas, maka rasa penasarannya menjadi lebih be...?'1
"Lebih besar, Guru!"
"Ya, menjadi lebih  besar," ujar sang guru sambil munggut-manggut. Sang
murid  masih  bersifat  menunggu  kata-kata  gurunya  yang  mempunyai  kebiasaan
menggantung kata terakhir.
"Rasa penasaran dapat membuat orang menjadi tldak te...."
  "Tenang...." ' 
"Ya.  Tidak  tenang.  Oleh  sebab  itu,  janganlah  hatimu  dlperbudak  rasa
penasaran, supaya hidupmu tidak ge…?
"Geli banget, Guru!"
"Gelisah!" ralat sang guru.
Si  murid  segera  ajukan  tanya,  "tapi  kalau  hanya  ingin  tahu  sambil  lewat
saja tidak apa-apa, Guru?"
"Kalau sambil lewat saja memang tidak apa-apa. Asal jangan memaksakan
diri untuk dapat mengeta...?"
"Mengetahui...!"  lanjut  sang  murid.  Si  guru  mem  benarkan  dengan
anggukan.
"Maksudku,  sambil  menuju  ke  Bukit  Esa,  aku  mau  lewat  Lembah  Seram
untuk melihat kesibukan orang- orang yang memburu harta karun itu, Guru."
"Boleh saja. Tapi jangan mencampuri urusan mereka. Biarlah mereka yang
memburu harta karun bertinqkah dengan lagaknya sendiri-sendiri. Tujuanmu te-
tap menuju Bukit Esa, dan temui kakakmu dengan segera. Kalau rasa kangenmu
sudah terobati kau harus segera pu..,?"
"Pusing...!"
"Pulang!" sentak sang guru membetulkan maksudnya.
"O, iya... aku harus segera pulang. Aku mengerti guru!"
"Nah, berangkatlah sana! Ingat pesanku, jangan mencampuri urusan harta
ka...?"
"Kasur... eeh, karun!"
Sang  murid  yang  berusia  sekitar  dua  puluh  dua  tahun  itu  akhirnya
berangkat  ke  Bukit  Esa,  yang  menjadi  wilayah  kekuasaan  Nyimas  Gandrung
Arum. Perempuan itu semula adalah tokoh aliran hitam. Tapi sejak ditundukkan
oleh Pendekar Mabuk, ia justru berbalik menjadi pengikut sekaligus pengagum
Pendekar Mabuk. Kabar tentang Nyimas Gandrung Arum yang sudah bergabung
dengan aliran putih itu menyebar sampai akhirnya didengar oleh tokoh tua dari
Gunung Gandul.
Sang tokoh tua itulah guru dari si murid yang punya kakak di Bukit Esa.
Tokoh tua itu cukup lama tidak menampakkan diri di rimba persilatan karena
sibuk menurunkan ilmunya kepada sang murid tunggal.
Kini  agaknya  sang  murid  mulai  diizinkan  membaur  di  rimba  persilatan,
karena ilmu yang diturunkan kepada ariak muda itu sudah cukup banyak.
Tetapi  agaknya  sang  guru  masih  merasa  perlu  membayang-bayangi
muridnya. Maka ia pun segera turun gunung, mengikuti langkah muridnya dari
kejauhan.
"Bocah  itu  kalau  kulepas  begitu  saja,  bisa-bisa  tindakannya  jadi  ngawur!
Kalau sampai dia bikin ulah yang bukan-bukan, waah... nama baikku yang selama
ini terpendam di hati para tokoh rimba persilatan bisa hancur," ujar sang tokoh
tua dalam hatinya.
Sebenarnya  Pendekar  Mabuk  pernah  mendengar  nama  tokoh  tua  yang
tinggal di Gunung Gandul. Pada waktu itu, Pendekar Mabuk alias Suto Sinting
sedang  diwejang  oleh  gurunya  yang  terkenal  sebagai  tokoh  paling  disegani  di
rimba persilatan. Gila Tuak adalah na- ma yang tertera paling atas pada deretan
nama-nama tokoh berilmu tinggi. Nama nomor dua yang tergolong tokoh berilmu
tinggi adalah Bidadari Jalang. Tentu saja deretan nama-nama itu hanya berlaku
untuk golongan putih. Sedangkan dalam golongan hitam nama tokoh terkejam
dan  terkutuk  adalah  Siluman  Tujuh  Nyawa,  alias  Durmala  Sanca,  yang  kini
menjadi musuh utama Pendekar Mabuk.
Gila  Tuak  pernah  berkata  kepada  murid  tunggalnya  yang  tidak  punya
pusar itu. "Kelak, jika kau bertemu dengan tokoh tua dari Gunung Gandul yang
dikenal  dengan  nama  si  Dewa  Kubur,  alias  Ki  Murcapana,  berilah  salam  dan
horrnat  kepadanya.  Sebab  si  Dewa  Kubur  adalah  sahabatku  juga.  Semasa
muda,  kami  pernah  berpetualang  bersama,  saling  menolong  dan  saling
melihdungi. Jangan sekali-kali kau berani bertarung dengan Dewa Kubur, sebab
jika dia sudah marah dan benar-benar sakit hati, tanpa banyak bicara kau akan
dikirimnya ke liang kubur dalam waktu yang sesingkat-singkatnya."
Tapi selama pengembaraan Suto dalam mengejar Siluman Tujuh Nyawa, ia
belum pernah bertemu dengan tokoh dari Gunung Gandul. Padahal si Gila Tuak
dan Bidadari Jalang pernah menjelaskan ciri-ciri tokoh dari Gunung Gandul itu.
"Perawakannya gemuk seperti tokoh dalam pe-wayangan, yaitu Hanoman."
"Hanoman itu kera!" sahut Bidadari Jaiang. "Bukan seperti Hanoman, tapi
seperti Semar!"
"O, ya... seperti Semar. Maaf, aku salah sebut"
"Maklum, kakek gurumu sudah semakin tua. Jadi rada-rada pikun," bisik
Bidadari Jaiang kepada muridnya yang ganteng itu.
"Jangan  ngomong  soa!  tua.  Aku  tersinggung!"  tegas  si  Gila  Tuak.
"Pokoknya,  yang  namanya  Dewa  Kubur  itu  penampilannya  seperti  Semar.
Rambut  di  kepalanya  hanya  ada  di  bagian  ubun-ubun  dari  sekarang  kalau  tak
salcth berwarna putih rata, Betul begitu, Nawang Tresni?"
"Ya,  benar.  Sekarang  sudah  putih  rata,"  jawab  Bidadari  Jaiang  yang
bernama  asli  Nawang  Tresni.  "Beberapa  bulah  yang  laiu  aku  pernah  jumpa
dengannya. Sekarang ia pun mempunyai murid yang bernama Dimas Genggong."
"Nah,  ingat  nama  muridnya  itu.  Dimas  Genggong.  Jangan  sarnpai  kau
bentrok dengannya, karena jika kau bentrok dengan Dimas Genggong, sama saja
mengi- barkan bendera permusuhan antara aku dan Dewa Kubur. Mengerti?"
"Mengerti, Guru!"
"Dewa  Kubur  senang  memakai  jubah  coklat  bintik-  bintik  putih,  tapi
pakaian dalamnya berwarna hijau," tambah Bidadari Jaiang yang masih tampak
rnuda dan cantik jelita itu. Gila Tuak tambahkan kata, "Dewa Kubur Juga se~
ring tampak membawa tongkat besi putih berujung tri- sufa. Dan kalau bicara,
sering menggantung kalimat belakang. Paham?"
"Paham, Guru!" jawab Suto Sinting dengan tegas.
Keterangan seperti itu didengar oleh Suto Sinting beberapa waktu yang
lalu. Sudah lama sekali. Sebegitu lamanya ia tak pernah Jumpa dengan tokoh
bernama Dewa Kubur, akhimya ia lupa dengan ciri-ciri tersebut Yang ada dalam
ingatan Pendekar Mabuk hanyalah ciri-ciri Siluman Tujuh Nyawa. Sebab tokoh
paling terkutuk di dunia itu selalu dalam buruannya. Cita-cita Pendekar Mabuk
hanya satu: memenggal  kepala tokoh terkutuk itu  dan menghadiahkan kepala
tersebut kepada Dyah Sariningrum sebagai maskawin pinangannya.
Tapi sampai sekarang, pertarunga'nnya dengan tokoh tertinggi ilmunya di
kalangan  aliran  hitam  itu  seialu  draw  alias  seri.  Siluman  Tujuh  Nyawa  cepat-
cepat  iarikan  diri  jika  merasa  kekuatannya  mulai  sedikit  terlumpuhkan.
Akibatnya,  sampai  sekarang  Pendekar  Mabuk  belum  juga  bisa  melamar  ratu
cantik di negeri Puri Gerbang Surgawi yang ada di Pulau Serindu itu, (Baca se-
rial Pendekar Mabuk dalam episode: "Prahara Pulau Mayat"),
Ketika Suto bermaksud menemui si Kusir Hantu yang tinggal di Lembah
Seram, ia sempat bertemu dengan Siluman Tujuh Nyawa. Bahkan pada waktu
itu, si Kusir Hantu juga muncul membantu Nyai Jurik Wetan yang nyaris mati di
tangan Siluman Tujuh Nyawa. Kusir Hantu sendiri juga hampir mati di tangan
tokoh terkutuk seangkatan si Gila Tuak itu. Tetapi, Suto Sinting segera turun
tangan dan Siluman Tujuh Nyawa kabur sebelum berhasil dipenggal kepalanya
oleh  Suto  Sinting,  (Baca  serial  Pendekar  Mabuk  dalam  episode:  "Misteri
Lembah Seram").
Bagi tokoh tua yang dikenal dengan nama si Kusir Hantu, kabar tentang
adanya harta karun milik kerajaan Hastamanyiana yang disimpan di Goa Kembar
itu  bukan  hal  yang  mengejutkan  lagi.  Menurutnya,  kabar  itu  hanya  sebuah
dongeng  yang  direkayasa  oleh  sekelompok  orang  sehingga  seolah-olah  menjadi
seperti nyata. Sebab, beberapa waktu yang lalu, Lembah Seram pernah diserbu
para  pemburu  harta  karun.  Tapi  tak  satu  pun  dari  mereka  yang  menemukan
secuil emas dari harta karun.
Goa Kembar terletak di sebuah tebing dari sebuah bukit yang ada di Lembah
Seram. Tebing itu mempunyai dinding terjal dan keras. Jaraknya antara bagian
alas  tebing  dengan  dasar  tebing  tidak  seberapa  tinggi.  Maaih  memungkinkan
untuk  didaki.  Tetapi  kerasnya  dinding  tebing  yang  menyerupai  lapisan  batu
granit itu Membuat orang menjadi sangsi apakah benar Goa Kembar terletak di
situ.
"Para pemburu harta karun yang dulu mengacak- acak Lembah Seram juga
berhenti sampai di tebing ini!" ujar si Kusir Hantu kepada Pendekar Mabuk yang
kala itu minta diantar ke Goa Kembar.
 "Tetapi  seperti  kau  lihat  sendiri,  Goa  Kembar  sudah  tidak  ada.  Atau
memang  tidak  pernah  ada  di  tebing  ini.  Yang  ada  hanya  dua  cekungan  besar
bersebelahan  itu.  Aku  sendiri  tak  tahu  dengan  persis,  apakah  dua  cekungan
besar  itu  dulunya  bekas  goa  yang  berlorong  dalam  lalu  tertimbun  bebatuan
sekeras itu, atau memang hanya sepasang cekungan yang terjadi akibat ki- kisan
air  hujan  dan  angin  dari  masa  ke  masa.  Yang  jelas  para  pemburu  harta  karun
yang  du!u  kemari  merasa  kecewa  dan  jengkel  sendiri,  karena  tak  memperoleh
apa-apa  selama  berbulan-bulan  rnenyelidiki  tempat  ini.  Pepatah  mengatakan:
'gajah  mati  meninggaikan  gading,  harimau  mati  meninggalkan  belang,  manusia
mati meninggalkan gajah dan harimau'."
Peribahasa  yang  diucapkan  si  Kusir  Hantu  terasa  janggal  dan  tak  ada
hubungannya  dengan  apa  yang  sedang  dibicarakan.  Tapi  memang  begitulah
penampilan  si  Kusir  Hantu,  gemar  bermain  peribahasa  dalam  tiap  ucapannya
walaupun  artinya  berbeda  dengan  masalah  yang  dibicarakan.  Di  situlah  letak
daya  tarik  si  Kusir  Hantu  bagi  Pendekar  Mabuk  dan  beberapa  tokoh  muda
lainnya.
"Banyak orang sebutkan tempat ini adalah tempat Goa Kembar berada. Tapi
aku sendiri tak tahu apakah sepasang rongga mirip mulut singa raksasa itu yang
dimaksud Goa Kembar, atau bukanl" ujar gadis cantik berbaju lengan panjang
warna  hijau  garis-garis  benang  emas.  Gadis  itu  salab  satu  dari  kedua  cucu
cantiknya si Kusir Hantu. ia bernama Pematang Hati, sedangkn adiknya bernama
Mahligai Sukma.
Kala  itu  Mahligai  Sukma  tidak  ikut  ke  tanah  datar  depan  tebing.
Keberadaan  si  Pematang  Hati  di  situ  lantaran  ia  habis  diculik  oleh  Berhala
Murka tapi berhasil dibebaskan oieh Pendekar Mabuk. Sebagai imbal baliknya,
Pematang Hati tak keberatan mengantar Pendekar Mabuk ke tempat yang oleh
orang- orang tempo dulu disebut sebagai Goa Kembar.
Selain  Kusir  Hantu,  Pematang  Hati  dan  Pendekar  Mabuk,  ada  juga
seorang pemuda berambut cepak yang kedua matanya ditutup kain merah tebal
seperti  memakai  ikat  kepala.  Kedua  mata  pemuda  itu  sebenarnya  buta,  tapi
untuk  menutupi  cacat  di  matanya  itu,  ia  berlagak  mengenakan  ikat  kepala
sampai  menutup  kedua  matanya,  Pemuda  itu  adalah  si  Mangku  Randa,  dari
teluk Borok, yang sedang memburu pembunuh ibunya.
Menurut  keterangan  dari  Kelambu  Petang,  orang  yang  membunuh  Nyai
Sindang  Rumi,  ibu  si  Mangku  Randa,  adalah  Ayundani  alias  si  Ratu  Sinden.
Perempuan  itu  menjadi  penguasa  Tanah  Pasung.  Sedangkan  dalam    peristiwa
misteri harta karun di Lembah Seram itu, orang-orang Tanah Pasung ikut ambil
bagian  juga.  Diduga  si  Ratu  Sinden  sudah  sampai  di  Goa  Kembar,  sehingga
Mangku  Randa  bernafsu  untuk  ikut  ke  Goa  Kembar  agar  dapat  bikin
perhitungan pribadi dengan si Ratu SInden
Tapi  ternyata  tempat  itu  sepi-sepi  saja.  Hanya  ada  empat  orang  itulah
yang  berdiri  di  sekitar  dua  cekungan  besar  mirip  mulut  singa  itu.  Pendekar
Mabuk  sendiri  penasaran  dan  memeriksa  dua  cekungan  tersebut  Ternyata
berdinding sangat keras. Tak ada tanda-tanda bekas sebuah goa. Cekungan itu
hanya bisa untuk meneduh satu orang jika daiam keadaan hujan.
"Menurutku  di  sini  du!u  ada  sepasang  batu  besar.  Lalu  entah  karena
gempa  atau  karena  apa,  batu  besar  itu  menggelinding  atau  terbang  entah  ke
mana.  Dan  dua  cekungan  inilah  bekasnya,"  ujar  Pendekar  Mabuk  kepa-  da
Mangku Randa.
"Tapi  aku  rnencium  bau  wangi  rempah-rempah,  Suto!"  bisik  Mangku
Randa  yang  seiafu  rnengandalkan  ketajaman  indera  penciuman  dan
pendengarannya.
"Maksudmu... bau wewangian yang dipakai oleh si pemhunuh ibumu?"
"Ya. Apakah kau tidak menium wewangian itu?"
Suto  berbisik,  "Aku  justru  mencium  bau  keringatnya  si  Kusir  Hantu.
Agak apek!"
"Yang kau cium itu mungkin bau keringatku sendiri, Suto."
Pendekar  Mabuk  justru  tertawa  geli,  tapi  hanya  se  perti  orang
raenggumam.  Sementara  itu,  Pematang  Hati  tampak  sedang  bicara  serius
dengan kakeknya yang berbaju biru dan bercelana hitam. Tokoh tua berusia se-
kitar  enam  puluh  tahun  yang  mempunyai  rambut  merah  jagung  itu  tampak
sedang memarahi Pematang Hati yang waktu itu ribut dengan adiknya.
Suto  Sinting  sendiri  sengaja  membiarkan  Pematang  Hati  kena  marah
kakeknya. Ia jjustru tertarsk memeriksa keadaan di sekitar dua cekungan yang
disebut sebagai Goa Kembar itu. Sesekali tuaknya  dalam bumbung bambu itu
diteguknya, sehingga ia selalu tetap bersemangat dan berbadan segar.
"Suto,  bau  aroma  wangi  rempah-rempah  itu  kadang  tercium  tajam,  tapi
sesekali bagaikan menjauh?!"
"Tapi di sini tak kulihat ada orang lain kecuali kita berempat?!"
"Tolong  periksa  bagian  atas  tebing,  Suto.  Siapa  tahu  si  Ratu  Sinden
sedang mengawasi kita dari atas nana."
Pendekar  Mabuk  memandangi  permukaan  tebing  dari  depan  dua
cekungan  itu.  Taps  ia  tak  melihat  sesu-  atu  yang  mencurigakan  di  atas  sana.
Tentu saja si Mangku Randa tak mau ikut memandang ke atas, sebab pekerjaan
seperti itu dianggap pekerjaan yang sia-sia bagi orang buta seperti dirinya.
Hanya  saja,  beberapa  kejap  setelah  ia  diam  dan  menelengkan  kepalanya  ke
sana-sini untuk mende- ngarkan suara mencurigakan, tiba-tiba tubuhnya mela-
yang naik dalam satu ayunantubuh yang cukup ringan. Weesss...!
"Gila! Mau ke mana si buta itu?" set u Pematang Hati kepada Pendekar
Mabuk.
"Ada sesuatu yang dicurigainya di atas sanaS"
Pematang  Hati  bukan  hanya  heran  melihat  jurus  peringan  tubuh  yang
digunakan  Mangku  Randa,  namun  Juga  merasa  kagum  rnelihat  pennuda
bermata buta itu dalam sekejap sudah  berada di atas tebing dengan dua  kali
sentakan  kaki.  Pertama  pada  tanah  ternpatnya  berpijak,  kedua  pada  dindijng
tebing yang sedikit menonjol.
"llmunya boieh juga itu anak...," gumam Kusir Hantu sambil manggut-manggut
pandangi Mangku Randa yang mulai melangkah dengan meraba-raba.
.  "Awas  tergetincir  kau!"  seru  Pendekar  Mabuk.  Rasa  khawatirnya  itu
membuat Pendekar Mabuk terpaksa menyusul Mangku Randa.
Ziaaap, weess...!
Satu  kali  sentakan  kaki,  Suto  Sinting  bagaikan  lenyap  setengah  kejap.
Tahu-tahu ia sudah berada dekat Mangku Randa. Kecepatan dari jurus 'Gerak
Siluman' dipadu dengan jurus 'Layang Raga' membuat Kusir Hantu dan cucunya
makin terbengong.
"Yang satu ini lebih gila lagi!" gumam Kusir Hantu.
"Kalau yang itu memang sinting, Kek!" timpal Pematang Hati.
"Anak muda zaman sekarang ilmunya memang gila-gilaan. Seperti pepatah
mengatakan: 'setinggi-tinggi bangau terbang... dia tetap saja bangau'...."
"Uhh...  siapa  bilang  bisa  berubah  jadi  gajah?!"  gerutu  sang  cucu  sambil
bersungut-sungut. Si kakek cuek saja.
Ternyata  kecurigaan  Mangku  Randa  ada  benarnya  dan  ada  tidak
benarnya. Belum sampai sepuluh hitungan ia dan Suto berada di  atas tebing,
tiba-tiba  sebatang  tombak  rrjelesat  ke  arahnya  dari  belakang.  Wuuut...!
Pendekar  Mabuk  melihat  gerakan  aneh  melaiui  ekor  matanya.  la  cepat
berpaling,  dan  tangannya  segera  mendorong  iengan  Mangku  Randa.  Wuut...!
Brrukk...! Mangku Randa pun terhempas jatuh.
Tapi ia lolos dari maut. Tombak itu segera disarmbar oleh tangan Suto
yang  habis  mendorong  tubuh  Mangku  Randa.  Wuut,  teeb,..!  Tombak
tergenggam erat di tangan Pendekar Mabuk.
"Suto,  ada  apa...?!"  Mangku  Randa  tidak  marah,  lapi  firasatnya
mengatakan ada bahaya yang sedang dihadapi Pendekar Mabuk. Suara tangan
Suto  menangkap  sesuatu  didengarnya  dengan  jelas  dan  dijadikan  pertanyaan
dalam hatinya.
Mangku Randa cepat berdiri, ia mendengar suara langkah kaki orang yang
jumlahnya lebih dari dua pasang kaki. Mangku Randa iangsung berbisik kepada
Suto Sinting.
"Siapa mereka?!"
"Empat orang berseragam kuning."
"Oo... pasti orang Tanah Pasung!" gumam Mangku Randa. "Biar kuhadapi
mereka!"
"Jangan...!"
"Biar mereka panggil ketuanya dan menemuiku disini juga!"
"Tampaknya mereka berilmu tinggi, Mangku Randa!"
"Kau pikir ilmuku rendah?"
"Baiklah. Kau hadapi dua orang, dan aku hadapi sisanya."
Sebenarnya  yang  datang  ke  arah  mereka  adalah  tujuh  orang.  Tapi  Suto
Sinting  sengaja  mengatakan  empat  orang,  sebab  ia  sudah  menduga  Mangku
Randa  akan  menghadapi  mereka.  Dengan  membagi  jatah  lawan  dua  kepada
Mangku Randa, maka Suto akan menghadapi lima orang lainnya.
Tujuh  orang  itu  mengepung  Suto  Sinting  dan  Mangku  Randa.  Posisi
kedua  pemuda  itu  membelakangi  bibir  tebing,  sementara  ketujuh  lawannya
berjajar di depan mereka.
Pendekar Mabuk perdengarkan suaranya bernada tenang.
  "Apa maksud kalian melemparkan tombak ke arah kami?!" 
Yang mengenakan ikat kepala biru berseru dengan suara berat.
"Daerah ini sudah kami kuasai!"
"Siapa  bilang??  Ini  wilayahnya  Kusir  Hantu!  Kalian  orang-orang  Tanah
Pasung hanya sebagai pendatang!"
"Bocah bodoh! Tengok ke bawah sana!"
Pendekar  Mabuk  berpaling  ke  belakang,  memandang  keadaan  di  tanah
bawah  tebing.  la  sempat  terkesiap  rnelihat  Kusir  Hantu  dan  Pematang  Hati
telah dikurung oleh sekitar sepuluh orang berpakaian serba kuning. Bahkan di
punggungnya  Kusir  Hantu  telah  menempel  sebatang  tombak  runcing,  siap
tembus.  Sernentara  itu,  ieher  Pematang  Hati  telah  dikalungi  sabit  bergagang
panjang.  SeJkali  tarik,  kress...!  Leher  terpotong,  kepala  gadis  itu  akan
menggelinding seenak nya.
"Apa yang terjadi di bawah sana, Suto?" bisik Mangku Randa dengan tatap
penuh waspada.
"Kusir Hantu dan Pematang Hati tertangkap mereka!"
"Jahanam  busuk!"  geram  Mangku  Randa,  lalu  segera  melolos  pedangnya
dengan  kalem.  "Kau  membohongiku,  Suto!  Aku  mendengar  napas  terhempas
dari sekitar tujuh hidung yang ada di depan kita."
"Ingat, kita baru saja sepakat bahwa jatahmu hanya dua orang, Mangku
Randa!"
"Kau curang!"
"Hei,  tak  perlu  berkasak-kusuk  lagi!"  sentak  yang  berikat  kepala  biru.
Orang itu bertubuh kekar dan berkumis melintang.
"Buang senjata kalian!" tambahnya dalam bentakan.
"Aku tidak bersenjata. Temanku ini yang bersenjata," ujar Suto. "Tapi aku
tak tahu apakah temanku tahu cara membuang senjata atau tidak?!"
Bangsat! Masih berlagak juga kau, hah...?!"
Si  ikat  biru  rnaju  hampiri  Suto.  Mangku  Randa  menghadang  dengan
pedang diacungkan ke depan. Maksudnya diarahkan ke dada si ikat biru, tapi
karena ia buta, maka arah pedangnya sedikit meleset ke kiri.
"Hentikan langkahmu atau kutembus lehermu dengan pedangku ini!"
"Arah  pedangmu  meleset  ke  kiri.  Geser  sedikit  ke  kanan,"  bisik  Suto
Sinting seperti orang menggerutu tak jelas. Tapi bagi Mangku Randa bisikan itu
sangat jelas, karena ketajaman telinganya setajam mata pedangnya. Hanya saja,
Mangku Randa masih diam, tak mau menggeser pedangnya ke kanan.
Si ikat kepala biru menggeram dengan tetap me langkah hampiri Suto.
"Aku  tahu  kedua  matamu  buta,  Bocah  gendeng!  Kau  tak  akan  bisa
melukaiku!  Justru  kau  yang  akan  kubantai  lebih  dulu,  karena  kau  telah
menantang ketua kami melalui tiga orang kami yang kau lukai itu! Hiaaat...!"
Wees, breet...!
"Aaauh...!" si ikat kepala biru memekik.
Beeet, piook...!
"Ookkhhrr...!"  si  ikat  kepala  biru  terlempar  ke  bela-  kang,  menerjang
teman yang hendak bergerak maju. Mereka jatuh saiing tindih.
Rupanya  pedang  Mangku  Randa  tidak  ditusukkan  ke  depan,  melainkan
disabetkan  ke  kanan  dengan  gerakan  cepat  sekali.  Setelah  itu,  ia  putar
tubuhnya  secepat  gangsing  dan  kakinya  berhasil  menjejak  dada  lawannya  itu.
Akibatnya, lengan dan dada si ikat kepala biru robek seketika tersabet ujung
pedang Mangku Randa. Tubuhnya terlernpar sejauh enam langkah lebih.
"Gila! Tak kusangka dia ingin sabetkan pedangnya ke kanan?! Pantas dia
diam saja, tak mau geserkan pedangnya sejak tadi?!" gurnam hati Suto Sinting
sambil matanya memandang secara cepat wajah lawan-lawan yang bergegas maju
untuk menyerang.
"Heeaaaah...!!"
Salah  seorang  berseru,  yang  lainnya  ikut  berteriak  dan  bergegas  maju
menyerang Pendekar Mabuk dan Mangku Randa. Hanya saja, sebelum mereka
sempat menyerang, sebuah suara berseru lebih keras lagi hing ga menggema di
udara bagaikan memenuhi alam seki- tar tebing tersebut.
"Tahaaaannn...!!"
Semua diam di tempat secara serempak. Si pemilik suara tak teriihat di
mana ia berada. Tapi suaranya terasa mempunyai getaran yang menurunkan nyali
setiap  orang.  Keberanian  dan  kernarahan  seseorang  dapat  menjadi  kendor
begitu mendengar suara tersebut.
"Bawa  si  tua  itu  dengan  cucunya  ke  tempat  kita!  Hiarkan  dua  pemuda
ingusan itu kutangani sendiri! Kerjakaaan...!!"
Suara  menggema  itu  menyentakkan  orang-orang  horseragam  kuning.
Mereka segera pergi tinggalkan
Suto  Sinting  dan  Mangku  Randa,  sementara  yang  ada  di  bawah  tebing
segera  membawa  Kusir  Hantu  dan  Pematang  Hati  yang  sudah  terlebih  dulu
sudah mereka lumpuhkan dengan totokan pada saat Mangku Randa menyerang
si ikat kepala biru tadi. Suto Sinting tak mengetahui keadaan Kusir Hantu dan
Pematang Hati sudah dilumpuhkan.
"Mereka  mau  membawa  kabur  Kusir  Hantu  dan  cucunya!"  sentak  Suto
Sinting.
"Kita  dalam  bahaya  besar,  Suto!"  ujar  Mangku  Randa  terkesan  mulai
susut keberaniannya.
Tiba-tiba ia memekik pendek dengan tubuh tersentak. "Uuhk...!!"
"Mangku  Randa...?!  Kenapa  kau...  uuuhk!"  Suto  Sinting  juga  tersentak.
Tubuh mengejang sebentar, lalu jatuh terpuruk seperti Mangku Randa.
Bruuuk...! Bruusk...!
Seseorang telah menotoknya dari jarak jauh. Hawa padat yang meluncur
mernbentuk  totokan  yang  sangat  tidak  diketahui  datangnya.  Tahu-tahu  Suto
dan  Mangku  Randa  merasa  seperti  ditusuk  lidi  tengkuknya.  Mereka  masih
sadar, tapi tak bisa berbuat apa-apa.
 
2
Seekor  capung  merah  terbang  di  depan  wajah  Suto  Sinting,  memutar-
mutar sebentar, menungging-nunggingkan ekornya, lalu melesat entah ke mana.
Seolah-olah capung merah itu jejingkrakan melihat Suto Sinting terpuruk tanpa
tenaga sedikit pun di samping Mangku Randa.
"Capung gendeng! Minggat kau!" geram Suto Sinting dengan jengkel.
Posisinya yang tersangga batu di punggung membuat Suto Sinting seperti
duduk melonjor sedikit rebah. Mangku Randa justru terbaring dengan kepala
terganjal  sebongkah  tanah  keras  tanpa  rumput.  Mereka  masih  bisa  berpikir,
masih bisa bicara, tapi tak bisa gerakkan miggota badannya.
"Sutoo...! Suto, kau masih hidup, Suto?!"
"Sepertinya masih, Mangku Randa."
"Aku  mencium  bau  wangi  rempah-rempah,  Suto.  Apakah  ada  orang  di
sekitar kita?"
"Hanya  kita  berdua  yang  ada.  Mungkin  bau  rempah-  rempah  yang  kau
maksud  adalah  bau  kakimu  sendiri,  Mangku  Randa,"  jawab  Suto  agak  kesal.
"Dalam keadaan begini masih saja ingat bau rempah-rempah terus?!" gerutunya
dalam hati.
"Setan  kucir!  Apa  yang  terjadi  pada  diriku  ini,  Suto?"  suara  Mangku
Randa terdengar pelan, bagai tanpa tenaga. Suto Sinting pun begitu juga.
"Jangan  tanya  padaku,  Mangku  Randa.  Tanyakan  pada  batu  yang
menyangga punggungku ini. Mungkin dia tahu apa yang membuat kita jadi orang-
orang  jompo  begini.  Uuuhkk..,!"  Suto  Sinting  ingin  gerakkan  kakinya,  namun
tetap tak bisa bergerak sedikit pun.
"Apakah napasku masih ada, Suto?"
"Kelihatannya sebentar lagi habis, seperti napasku juga."
Anehnya, mereka masih bisa terengah-engah. Te- naga yang tersisa seolah-
olah hanya khusus untuk ber- napas saja. Itu pun tak bisa bebas. Napas mereka
ba- gaikan dibanduli batu sebesar anak sapi. Berat sekali.
"Seseorang telah menotok kita dari jauh, Suto. Apakah kau melihat orang
yang menotok kita tadi?l"
"Aku  hanya  melihat  seekor  semut  lewat  di  depan  kakiku,'  jawab  Suto
masih bernada konyol untuk menghibur kedongkolannya sendiri.
Mereka diam beberapa saat, saling mencoba menggunakan akalnya untuk
mengatasi keadaan seperti itu. Tapi tak satu pun yang mendapat gagasan untuk
melepaskan  diri  dari  totokan  tersebut.  Pendekar  Mabuk  justru  menggumam
bernada gerutu.
"Mengapa  yang  mereka  bawa  pergi  Kusir  Hantu  dan  Pematang  Hati?
Mengapa  bukan  kita  orang,  ya?!"  "Mungkin...  mungkin  Kusir  Hantu  dianggap
sebagai kunci  untuk dapat masuk  ke Goa Kembar, sedangkan Pematang Hati
adalalh kunci juga untuk membuka mulut si Kusir Hantu.1'
"Kalau begini caranya, aku bisa...."
"Ssst...!" potong Mangku Randa dalam desah. "Ada orang datang kemari,
Suto."
"Hahh...?! Siapa orang itu?"
"Mataku buta, mana bisa melihat?!"
"O, iya... maaf!" Suto Sinting coba pandangi keadaan di depannya dengan
gerakan mata lamban.
"Dia bertubuh besar dan... dan makin mendekat ke arah sini."
Pendekar Mabuk percaya dengan kata-kata Mangku Randa walau ia tak
melihat  sepotong  hidung  pun  yang  mendekat  ke  arahnya.  la  tahu  ketajaman
telinga  Mangku  Randa  memang  sangat  hebat,  jarang  dimiliki  setiap  orang.
Mungkin karena kedua mata Mangku Randa buta, maka ia mempunyai kelebihan
pada indera pondengaran dan penciumannya, serta sering bermain flrasat.
"Berteriaklah minta tolong, Suto. Suaraku tak bisa koras. Napasku lemah
sekali."
"Kau pikir aku sehat-sehat saja?" gerutu Suto dengan lirih.
Sekitar  lima  belas  hitungan  kemudian,  orang  yang  dimaksud  Mangku
Randa  memang  muncul  dari  arah  kanan  Suto  Sinting.  Orang  itu  bertubuh
sangat  gemuk,  lemak  tubuhnya  sampai  bergelantungan  seperti  balon  diisi  air.
Kegemukannya  yang  mirip  empat  pemain  sumo  dijadikan  satu  itu  membuat
langkah kakinya yang besar menggetarkan tanah. Getaran itu lah yang sejak tadi
sudah ditangkap oieh indera pendengaran Mangku Randa.
Orang tersebut terperanjat setelah melihat Suto Sinting dan Mangku Randa
terkulai tak bergerak.
"Suto...?!  Kenapa  kau  santai-santai  saja  di  situ?!  Huaa,  haaa,  haaa,  haaa,
haaa...."
Orang  gemuk  itu  berbaju  tanpa  lengan  warna  hitam  dengan  celananya
yang  hitam  puia.  Kancing  bajunya  dari  logam  emas.  Gelang  kanan-kiri  dari
lempengan  emas  berukir.  Si  gemuk  itu  tampak  sekaii  sebagai  orang  kaya
berwajah  lucu-lucu  sadis.  Bibirnya  tebal  dan  lebar,  seperti  babat  belum
dipotong-potongi Suto Sinting mengenal orang itu ketika ditantang kuat-kuatan
minum arak di sebuah kedai. la tak lain adalah si Belatung Gerhana dari Pulau
Garong, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Lembah Seram").
"Apa yang kalian lakukan di sini?! Kalian pikir di sini tempat untuk berjemur?
Kalian mau mandi matahari? Oohoo, hoo, hoo, hoo...! Bukan di sini tempatnya
ber- mandi matahari. Di pantai sana! Biar disangka ikan pada jemur diri. Haaa,
haaa, haaa, haaa...!"
"Hei,  mulut  ember!"  ujar  Mangku  Randa.  "Kalau  tak  bisa  menolong  kami,
minggatlah  yang  jauh  sana!  Na-pasku  makin  sesak  mendengar  suara  besarrnu
itu!"
"Hooo,  hoo,  hooo,  hooo...  si  buta  ini  marah  padaku?!  Ngomong  jangan
sembarang, Kucing rebus! Bisa kulemparkan ke dasar tebing sana baru tahu
rasa kau!"
"Beiatung  Gerhana...,"  sahut  Suto  Sinting  sebelum  pertengkaran  itu
menjadi semakin panas. ".... Kami terkena totokan dari jarak jauh. Entah siapa
yang  menotok  kami  hingga  begini.  Yang  penting  bagi  kami  adalah  lepas  dari
pengaruh  totokan  ini.  Dapatkah  kau  melepaskan  totokan  ini,  Beiatung
Gerhana?!"
"Haaah, haaa, haaa, haaa... tentu saja itu hal yang amat mudah bagiku,
Suto! Tapi kau harus berjanji akan melayaniku sampai tumbang lagi! Setuju?!"
"Baik.  Akan  kulayani  kau  minum  arak  ataupun  tuak  sampai  perutmu
busung lagi!"
"Bagus, bagus, bagus...! Haa, haa, haa, haa..,."
"Berisik, Bebek!" sentak Mangku Randa tapi dengan suara tetap Hrih.
Belatung  Gerhana  segera  dekati  Suto.  Kedua  tangannya  berjari
menguncup. Lalu tangan kanannya menotok ubun ubun Suto seperti seekor
bangau mematuk ikan sepat. Truuk...!
"Nah,  sekarang  totokanmu  sudah  bebas!  Berdirilah…!"  ujar  Beiatung
Gerhana.
"Bebas dengkulmu! Aku masih belum bisa gerak- kan jempol kakiku!"
"Lho,  belum  bebas...?!  Ohho,  hoo,  hoo...!  Harus  kuulangi  lagi  kalau
begitu."  Trrok...  trrok...  trrok...!  "Oh,  masih  belum  bisa  bebas  juga?!"  geram
Belatung Gerhana, lalu tangannya menggenggam, sisi genggaman itu digebukkan
ke ubun-ubunnya Suto Sinting. Duuhk, duuhk, duuhk, duuhk, duuhk...!
Suto  Sinting  tersentak-sentak,  kepalanya  terangguk-angguk,  wajahnya
menyeringai  kesakitan.  Pukulan  menggunakan  sisi  bawah  genggaman  itu
membuat pandangan mata Suto Sinting lama-lama menjadi kabur, kepala terasa
pusing, dan telinga terasa jadi budek.
"Cukup, cukup...! Cukup, Belatung Gerhana...!"
"Cukup...?! Naah... sekarang kau sudah bebas dari totokan! Berdirilah!"
Suto Sinting terengah-engah dulu, baru memaki dengan suara pelan.
"Setan  gembrot!  Kau  mau  bebaskan  totokanku  apa  mau  memantek
kepalaku?!"
"Lho, belum bebas juga?!"
"Udelmu  bodong  itu  yang  bebas!"  jawab  Suto  jengkel  sekali.  "Ubun-
ubunku sampai mau jebol, tetap saja tak bisa bebas dari totokan ini?!"
Kaiau  saja  tidak  dalam  keadaan  tertotok  begitu,  Mangku  Randa  akan
tertawa  keras-keras  mendengar  gerutuan  Suto  Sinting  dan  membayangkan
keadaan Suto dipukul-pukul kepalanya oleh si gemuk itu. Tapi karena keadaan
yang amat lemah, Mangku Randa hanya bisa tertawa pelan seperti orang bisik-
bisik. Suto Sinting tambah dongkol mendengar tawa Mangku Randa.
"Akan kuulangi satu kali iagi, Suto," ujar Beiatung Gerhana.
"Sudah, sudah...! Cukup begini saja." "Satu kali lagi pasti kau bebas dari
totokan,  Suto!"  "Tidak.  Terima  kasih  atas  bantuanmu,  Beiatung  Gerhana.
Kepataku  bukan  ceiengan  dari  tanah  yang  perlu  digepuk-gepuk  seperti  tadi!
Rontok semua otakku kalau mengikuti caramu beg itu."
Tawa si Mangku Randa makin berkepanjangan. "Kau kurang yakin dengan
ilmuku, Suto," gerutu Belatung Gerhana dengan nada kecewa.
"Aku  sangat  yakin  dengan  ilmumu.  Maksudku,  yakin  bakalan  membuat
otakku  jadi  kopyor  kalau  kelamaan  kau  gepuk  seperti  tadi.  Jadi  menurutku,
sebaiknya kau bantu aku untuk hal lain."
"Apa maksudmu?!"
"Kau iihat bumbung bambu di samping kananku Ini?"
"Ya,  mau  apa  dengan  bumbung  bambu  tempat  jangkrik  itu?"  tanya
Beiatung  Gerhana  dengan  nada  horan,  sebab  pada  saat  mereka  bertemu
pertama kali di kodai, Suto mengaku sebagai penjual jangkrik aduan. Namanya
pun tidak disebutkan secara lengkap, sehing- U« Beiatung Gerhana tidak tahu
bahwa yang ditantangminum waktu itu adalah Pendekar Mabuk.
"Di dalam bambu itu ada tuak. Tolong...."
"Tuak...?!" sahut Belatung Gerhana. "Katamu dulu bambu itu tempat jangkrik
buruanmu?"
"Aku  bercanda  waktu  itu.  Bumbung  bambu  itu  sebenarnya  berisi  tuak.
Tolong tuangkan tuak itu ke mulutku. Aku haus sekali, Belatung Gerhana."
"Tuak...?!"  gumam  Belatung  Gerhana  antara  percaya  dan  tidak.  Lalu
bambu panjang sedepa itu diambilnya, dibuka tutupnya, diintip sebentar.
"Oh,  iya...?!  Benar-benar  berisi  tuak?!"  ujarnya  dengan  girang.  "Kalau
begitu kita pesta mabuk-mabukan sekarang juga, Suto! Setuju...?!"
"Sebelas!" jawab Suto sekenanya. "Yang penting tuangkan dulu tuak itu ke
mulutku. Aku benar-benar kehausan, Belatung Gerhana!"
"Baik! Tapi habis ini kita pesta minum-minum lagi, ya?!"
Belatung Gerhana masih beium sadar siapa orang yang dihadapinya itu. la
menuangkan tuak ke mulut Suto. Tuak mengalir pelan-pelan dan menyatu
dengan darah di dalam tubuh. * Bruuusss...!
"Hup,  hap,  huaah...!  Kurangajar!  Kenapa  kau  sembur  mukaku?!"  sentak
Belatung Gerhana.
"Aku kehabisan napas, tapi tuak masih kau tuang saja ke mulut! Bisa mati
tenggelam air tuak kalau kutu- ruti terus!" sentak Suto juga. Kali ini suaranya
mulai agak keras.
"Kau  kuanggap  tidak  sopan,  Suto!  Sudah  kutolong  tapi  balasanmu
menyembur tuak ke mukaku! Kau kan bisa katakan kapan aku harus berhenti
menuang tuak?!"
"Mana bisa orang minum sambil ngomong, Tolol!"
"Hei, hei... suaramu sudah agak keras daripada yang tadi," ujar Belatung
Gerhana  dengan  nada  rendah,  tak  peduli  wajahnya  basah  dan  air  tuak  masih
menetes dari dagunya.
Mangku Randa yang tahu persis siapa Suto Sinting mulai merasa lega. la
yakin  keadaan  Suto  akan  secepat-  nya  pulih  seperti  sediakala  setelah  minum
tuak itu.
"Suto... sudah bereskah keadaanmu?!" tanya Mangku Randa.
Wuut...!  Suto  Sinting  bangun  dan  duduk  dengan  togak.  "Ya,  sepertinya
aku sudah cukup beres, Mangku Randa!"
Belatung Gerhana heran. "Aduuh... cucuku sudah bisa berdiri?!"
"Cucu  dengkulmu!"  gerutu  Suto  Sinting,  lalu  ia  moncoba  berdiri  dan
ternyata  memang  bisa  tegak  seperti  biasanya.  Pengaruh  totokan  yang
melumpuhkan noluruh urat-uratnya telah dikalahkan oleh tuak sakti dari dalam
bumbung  tersebut.  Belatung  Gerhana  masih  terbengong-bengong,  memegang
bumbung tuak yang tetap terbuka. Bumbung itu segera diambil alih oleh Suto
Sinting.
"Kau... kau sudah sehat?! Aneh sekali?! Tadi kau lumpuh begitu, sekarang
setelah minum tuak, tak sampai seratus hitungan, kau sudah sehat kembali?!"
"Terima kasih atas bantuanmu, Belatung!"
Plok,  plok,  plok...!  Suto  tepuk-tepuk  pipi  tebal  Beiatung  Gerhana.
Kemudian  ia  meminumkan  tuak  itu  ke  mulut  Mangku  Randa.  Beberapa  kejap
kemudian  Mangku  Randa  pun  pulih  kembali.  Beiatung  Gerhana  semakin
terbengong dengan mulut melongo mirip lubang tikus.
"Hei, minumlah tuak ini! Katamu kau ingin minum sampai mabuk?!"
"Ooh,  iiy...  iya.J"  Beiatung  Gerhana  menggeragap.  la  menenggaktuak
tersebut beberapa teguk. Suto Sinting buru-buru hentikan tenggakan tersebut,
khawatir tuaknya habis disedot manusia seperti sumur itu.
"Uuaaahh...!  Segar  sekali?!"  sambil  mata  si  Beiatung  Gerhana  terbelalak
berbinar-binar bersama se- nyuman yang sangat menakutkan dan bisa bikin bayi
mati mendadak.
"Segar sekali badanku?!" ujarnya lagi. "Kurasa tuakmu tak akan kalah jika
dibandingkan dengan tuaknya Pendekar Mabuk, Suto! Ibuku pernah bercerita
tentang  Pendekar  Mabuk  yang  ke  mana-mana  membawa  bumbung  tuak  dan
tuaknya itu mempunyai kesaktian tersendiri. Selain bisa untuk sembuhkan orang
sakit juga bisa untuk...."
"Untuk  menyembur  mukamu  tadi!"  sahut  Mangku  Randa  agak  kesal
mendengar  kebodohan  si  Beiatung  Gerhana.  Suto  Sinting  tenang-tenang  saja,
seakan  tak  pedulikan  celoteh  si  gendut  bodoh  itu.  Mata  Suto  me-  mandang
keadaan di bawah tebing.
Beiatung  Gerhana  berkata  peian  kepada  Mangku  Randa,  "Tuaknya
memang  seperti  milik  Pendekar  Mabuk!  Kau  belum  pernah  dengar  ceritanya,
ya?! Begini... Pendekar Mabuk itu...."
Tangan Mangku Randa mendorong wajah Belatung Gerhana hingga kepala
orang gemuk itu tersentak ke belakang.
"Dia memang Pendekar Mabuk, Tolol!" sentak Mangku Randa.
"Beraninya  kau  mengobok-obok  mukaku,  haah?!  Aku  hajar  kau
sekarang...," Beiatung Gerhana hentikan  ucapannya secara mendadak. Lalu ia
mendekatkan wajah kepada Mangku Randa.
"Apa katamu tadi?! Dia memang Pendekar Mabuk?!"
Makanya punya badan jangan gemuk-gemuk. Selalu bikin otak jadi tumpul,
juga bikin kuping jadi budeg"
Belatung Gerhana dekati Suto yang berjarak tujuh langkah darinya itu.
"Suto... Suto, dia bilang kau Pendekar Mabuk. Apa benar kau Pendekar
Mabuk yang kata ibuku bernama SutO Sin...." (
Pendekar  Mabuk  berpaling  memandang  Belatung  Gerhana  dengan
tersenyum  ramah.  Belatung  Gerhana  hentikan  ucapannya,  sambil  tertegun
bengong, seakan baru ingat nama depan Suto.
"Oooh, celaka...!" gumamnya pelan. "Kalau begitu kau memang Pendekar
Mabuk! Ibuku bilang, nama Pendekar Mabuk adalah Suto Sinting dan saat di
kedai  kau  perkenalkan  dirimu  dengan  nama  Suto.  Maksudmu  adalah  Suto
Sinting, bukan?"
"Benar. Aku memang Suto Sinting. Aku memang Pendekar Mabuk. Kau
mau menantangku minum arak lagi?"
"Biar mampus tak akan sudi lagi aku minum denganmu!" Belatung Gerhana
bersungut-sungut menjauh. "Pantas kau menang! Pantas kau tak sampai mabuk
dan  tumbang  sepertiku.  Rupanya  kau  si  Pendekar  Mabuk  yang  kondang  kuat
minum tanpa mabuk sedikit pun itu?! Congor wedus kau...!"
Pendekar Mabuk tertawa pelan seperti orang menggumam.
"Sekarang lupakan saja persoalan adu kuat-kuatan minum di kedai waktu
itu. Yang sedang kupikirkan adalah menyelamatkan si Kusir Hantu dan cucunya
dari tangan orang-orang Tanah Pasung! Aku harus segera mengejar mereka!"
"Aku ikut!" tegas Mangku Randa.
"Oo,  jadi  orang  Tanah  Pasung  sudah  sampai  sini?!  Apakah  mereka
temukan Goa Kembar itu, Suto?!"
"Mereka  menawan  sahabatku;  Pematang  Hati  dankakeknya!  Tak  kulihat
mereka membawa secuil emas pun dari sini!"
"Pasti  mereka  belum  menemukan  Goa  Kembar!"  ujar  iBelatung  Gerhana
dengan girang. "Goa Kembar ada di bawah tebing ini, Suto!"
"Tidak  ada!"  sambil  kepala  Suto  menggeleng  tegas-  tegas.  "Yang  ada  di
bawah tebing ini hanya dua cekungan mirip mulutmu itu, Belatung Gerhana."
"Jangan  menyinggung  soal  mulut!  Aku  bisa  marah!"  geram  Belatung
Gerhana. "Aku akan memeriksa bagian bawah tebing ini!"
Belatung  Gerhana  bergegas  menuruni  tanah  di  samping  tebing.  Sedikit
jauh dan agak memutar untuk mencapai tanah depan tebing itu.
"Perlukah kita buktikan ucapannya itu, Suto?"
"Sepertinya dia lebih tahu dari yang lain. Tapi... apakah yang diketahuinya
itu membawa hasil yang benar?!"
"Tapi Pematang Hati akan semakin jauh dibawa mereka jika kita rnelihat
dulu hasil ucapannya itu, Suto."
"Aku tahu. Tapi aku juga tahu ke mana mereka membawa Pematang Hati
dan Kusir Hantu. Pasti ke Pantai Bejat. Kudengar mereka mendarat di sana.
Mungkin si Kusir Hantu dan cucunya dibawa ke kapal mereka!"
"Kalau begitu, Ratu Sinden pasti ada di Pantai Bejat! Aku akan segera ke
sana, Suto!" Mangku Randa mulai berapi-api ingin lampiaskan dendamnya.
"Berangkatlah  dulu.  Nanti  akan  kususul.  Aku  hanya  ingin  lihat  bukti
ucapan si Belatung Gerhana itu. Sebelum melihat hasilnya,  hatiku tak tenang
diburu rasa penasaran!"
"Baiklah!  Kita  berpisah  dulu  untuki  sementara!  Susul  aku  secepatnya,
Suto!"
Pendekar  Mabuk  mengangkat  tangan,  sebagai  isyarat  akan  menyetujui
langkah Mangku Randa untuk menuju Pantai Bejat lebih dulu.
Setelah pemuda tunanetra itu pergi, Pendekar Ma buk melompat turun
dari  atas  tebing  ke  dasar  tebing,  tempat  Kusir  Hantu  dan  Pematang  Hati
tertangkap  tadi.  Wuuut….!  Suuuuut...!  Tubuhnya  bergerak  turun  dalam
posisitetaptegak. Deeb...! Kedua telapak kaki menepak di tanah tanpa suara.
Pendekar  Mabuk  memandang  ke  arah  Beiatung  Gerhana  yang  sudah
mencapai kaki tebing sebelah sana. Orang gemuk itu keluarkan peta dari seiipan
ikat pinggangnya. la melangkah sambil memperhatikan petunjuk pada selembar
peta dari kain putih kusam. Tak sadar langkah kakinya dekati Suto Sinting, dan
ia tersentak kaget melihat Suto sudah ada di depannya.
"Lho...?! Sudah sampai di sini kau?! Lewat mana?!"
Pendekar Mabuk hanya tersenyum tipis sambil me- lirik ke atas, menunjuk
jalan yang dilewatinya.
"Gila! Kau melompat dari atas kernari?!"
"Rasa-rasanya memang itulah jalan tersingkat, ketimbang harus lewat
jalanan menurun yang kau lewati tadi."
  Belatung Gerhana perhatikan kedua kaki Suto Sinting.,
"Ada apa...?!" tanya Suto heran.
"Kakimu  masih  utuh?!  Tidak  patah?!  Padaha!  kau  melompat  turun
dari atas sana. Tinggi sekali tebing ini, kan?!"
"Lebih tinggi langit dari tebing ini!"
"Nenek jompo juga tahu kalau langit itu lebih tinggi dari tebing ini!"
gerutu Belatung Gerhana sambil ber- sungut-sungut.
"Rupanya kau membawa peta pemandu jalan, Belatung Gerhana?"
"Ya. Ibu hanya membekaliku peta ini. Ibu tahu per sis di maria harta
karun itu berada. Tapi beliau tak dapat jalan kemari."
"Kenapa...?!"
"Kedua kakinya buntung."
"Ooh,  maaf...!"  Suto  Sinting  tampakkan  rasa  sesalnya.  Pertanyaan
tadi membuat raut wajah Belatung Gerhana menjadi sedih.
"Waktu di kedai, seingatku kau hanya disuruh membuktikan apakah
benar  di  Lembah  Seram  ada  harta  karun  atau  tidak.  Tapi  sekarang  kau
tampak  sangat  yakin,  bahwa  di  Lembah  Seram  ada  harta  karun  terpen-
dam. Bahkan kau tahu tentang Goa Kembar segala?!”
"Aku harus berpura-pura begitu. Tapi sesungguhnya, aku ditugaskan oleh
ibuku untuk merneriksa apakah harta karun itu masih ada atau sudah diambil
orang. Jika masih ada, aku harus segera kembali dan mengabarkannya pada Ibu.
Lalu,  aku  akan  datarig  kemari  bersama  sejumlah  pengawal  untuk  ambil  harta
karun itu dan membawanya pulang ke Pulau Garong."
Suto Sinting manggut-manggut.
"Suto, kalau kau mau bantu aku, kau akan dapat bagian tersendiri dari
harta karun itu! Ibuku tidak akan serakah. Pasti memberi bagian padamu."
"Aku  tidak  berminat  untuk  memiliki  harta  karun  itu.  Aku  hanya  ingin
membuktikan apakah harta karun itu ada atau hanya sebuah dongeng saja."
"Pasti  ada!"  sahut  Belatung  Gerhana,  lalu  memperhatikan  ke  arah  peta
lagi.
"Agaknya  ibumu  sangat  yakin  kalau  harta  karun  itu  memang  ada.  Siapa
ibumu sebenarnya, Belatung Gerhana."
“Penguasa Pulau Garong," sambil Belatung Gerhana melangkah mengikuti
petunjuk dalam peta.
"Bukankah  waktu  di  kedai  sudah  kusebutkan  bahwa  ibuku  seorang
penguasa di Pulau Garong?"
"Kau  belum  sebutkan  namanya,  jadi  yang  kutanyakan  tadi  adalah
namanya!"
"Oo... namanya Nini Desah Bengi."
"Nini Desah Bengi?!"
"Cantik Iho. Sudah janda lagi."
"Husyy...!"
"Sumpah...!"  sambil  Belatung  Gerhana  tetap  melangkah  ikuti  petunjuk
pada peta, Suto Sinting mengiringinya.
Langkah  itu  berhenti  di  depan  dua  cekungan  yang  tadi  diperiksa  Suto
dan Mangku Randa.
"Nah, di sini!" ujar Belatung Gerhana. "Menurut petunjuk dalam peta, di
tempat kita berdiri inilah ter- dapat Goa Kembar!"
"Mana buktinya...?!"
Belatung Gerhana memandangi dua cekungan itu dengan mulut melongo
heran. Rasa penasaran mendorong tubuhnya yang gemuk sekali itu lebih mende-
kati dua cekungan itu. la meraba dinding cekungan yang keras bagaikan  batu
granit.
"Kenapa hanya dua cekungan seperti ini yang ada di sini?! Mestinya dua
goa bersebelahan!" gumam Belatung Gerhana.
Pendekar  Mabuk  sengaja  pamerkan  senyum  dingin.  Seakan  mencibir
kesalahan  keyakinan  Belatung  Gerhana  dan  ibunya.  Belatung  Gerhana  garuk-
garuk kepala sambil memandang sekelilingnya, mencari kemungkinan tempat lain
yang dimaksud dalam peta tersebut.
Tak jauh dari dua cekungan itu ada batu besar, tingginya hanya sebatas
paha. Belatung Gerhana duduk di sana sambil sesekali memperhatikan peta. Wa-
jahnya tampak murung pertanda memendam rasa kecewa.
Kurasa  kau  dan  ibumu  telah  terbuai  oleh  dongeng  kuno  tentang  harta
karun itu, Belatung Gerhana."
"Tidak.  Ibuku  bukan  tukang  dongeng.  Menurut  Ibu,  harta  karun  itu
memang  benar-benar  disimpan  di  salah  satu  dari  dua  goa  kembar  yang
bersebelahan. Goa yang satu berisi jebakan-jebakan maut, goa yang satunya lagi
berisi harta karun itu!"
"Dari mana ibumu tahu hal itu?"
"Semasa  mudanya,  ibuku  adalah  prajurit  wanita  dari  Kerajaan
Hastamanyiana!  Harta  karun  itu  adalah  kekayaan  dari  negeri  Hastamanyiana
yang disembunyikan di sini agar tak dirampas oleh musuh yang waktu itu sudah
diduga akan menyerang negeri tersebut! Jadi...."
Wuiiz, teeb...!
Ucapan  si  gemuk  terhenti  seketika,  karena  tiba-tiba  tangan  Pendekar
Mabuk berkelebat ke punggungnya. Sesuatu telah berhasil ditangkap oleh Suto
Sinting. Sesuatu yang terjepit di sela jemarinya itu tak lain adalah sebilah pisau
beracun. Sasarannya punggung Belatung Gerhana. Ujung pisau tampak kebiru-
biruan sampai di bagian pertengahan mata pisaunya. Gagang pisau terbuat dari
gading berukir.
"Pisau...?!" mata 'si gemuk mendelik lebar. "Wow... keren!"
"Apanya yang keren?! Pisau ini hampir merenggut nyawamu, Goblok!"
"Tapi gagang pisaunya keren, dari gading ukir dan...."
Wuiiz...!  Sekeiebat  benda  muncul  kembali  dari  arah  yang  berlawanan
dengan  kemunculan  pisau  tadi.  Pendekar  Mabuk  kelebatkan  tangan  lagi.
Wees...!  Meleset.  la  gagal  menangkap  benda  tersebut.  Untung  usaha  me-
nangkap benda itu disertai gerakan badan melintir ke kanan, sehingga benda itu
yang  kali  ini  diarahkan  ke  lehernya  itu  lolos  dan  menancap  pada  salah  satu
pohon tak jauh dari mereka. Benda itu ternyata juga pisau beracun. Bentuk dan
ukurannya sama dengan pisau pertama.
Belatung  Gerhana  makin  terperangah  bengong  memandangi  pisau  yang
menancap  di  pohon.  Kulit  pohon  itu  bergerak-gerak  melipat.  Daun-daunnya
segera  berubah  menjadi  kuning,makin  lama  makin  coklat  dan  kering.  Dalam
waktu sangat singat, pohon itu menjadi kering tanpa air setetes pun.
"Gila!  Ganas  sekali  racun  pada  pisau  itu?!"  gumam  Belatung  Gerhana,
sementara  itu  Pendekar  Mabuk  si  buk  mencari  si  pelempar  pisau  dengan
pandangan matanya yang tajam dan jeli.
 
3

Hati  kecil  Suto  mengatakan,  sasaran  utama  penyerang  geiap  itu  adalah
Belatung Gerhana. Mungkin orang tersebut ingin dapatkan rahasia harta karun
dalam  peta  yang  dibawa  si  gemuk.  Tetapi  karena  Suto  selamatkan  nyawa
Beiatung Gerhana dari lemparan pisau pertama, maka dia pun menjadi sasaran
lemparan pisau kedua.
"Ada orang yang ingin membunuhmu, Beiatung Gerhana?"
"Bangsat  kurap!"  geram  Beiatung  Gerhana,  seolah  baru  sadar  bahwa
nyawanya diincar orang. la bangkit dari duduknya dan segera mencabut pedang
bersarung perak ukir itu. Dengan suara besarnya ia berteriak memandang kedua
arah datangnya pisau tersebut.
"Heei,  pengecut...!  Keluarlah  dari  persembunyian  kalian!  Jika  kalian
berdua  ingtnkan  nyawaku,  hadapilah  kami  berdua  di  sini!  Keluar  kalian
semuaaa...!!"
Dari  arah  datangnya  pisau  pertama  muncul  dua  orang  berpakaian  biru.
Dari arah datangnya pisau kedua muncul juga dua orang berpakaian hijau. Dari
arah  lain  muncul  lagi  dua  orang.  Muncul  juga  tiga  orang.  Dari  atas  tebing
meluncur  lima  orang  berpakaian  warna-warni  yang  melompat  turun  dengan
gunakan ilmu peringan tubuhnya. Dari sisi lagi, muncul juga empat orang. Juga
dari  sana-sini.  Jumlah  keseluruhan  sekitar  lima  belas  orang  lebih  mengepung
tempat itu.
"Walaaah... banyaksekali?!" ujar Belatung Gerhana dengan mata mendelik
dan wajah menjadi tegang.
"Kau yang menyuruh mereka muncul, bukan?"
"Yaaa, tapi yang kuminta tidak sebanyak ini...," ujarnya bernada keluh.
"Kau kenal dengan mereka?"
"Mereka yang mengikutiku sejak berangkat dari Pulau Garong!"
"Jadi, siapa mereka?"
"Orang-orangnya  Bandar  Santet,  dari  Selat  Neraka,"  jawaban  itu  masih
bernada keluh. "Waah... mati aku kalau begini, Suto. Mereka banyak sekalil"
Suto  Sinting  sunggingkan  senyum  tipis.  Pisau  yang  tadi  ditangkapnya
masih  dimainkan  dengan  tangan  kiri,  sementara  itu  tali  bumbung  tuak
tergantung di pundak. Satu persatu wajah-wajah angker mereka pandangi Suto
Sinting dengan tatapan mata tajam.
"Yang mana yang bernama Bandar Santet?!"
"Yang pakai jubah ungu itu!" bisik Belatung Gerhana dengan gigi berusaha
tetap rapat, biar tampak tak berbisik.
Orang berjubah ungu itu memang pantas mempunyai nama Bandar Santet.
Rambutnya tipis panjang selewat pundak.Tanpa ikat kepala. Wamanya abu-abu.
Alisnya  lebat  agak  naik.  Kumisnya  turun  ke  bawah  sampai  dagu.  Wajahnya
lonjong dengan sepasang mata cekung sadis.
Wajah  angker  itu  bertubuh  kurus  sehingga  tulang  di  wajahnya  saling
bertonjolan.  Tangannya  berkuku  hitam,  tidak  panjang  tapi  runcing.  Kulit
tubuhnya  tampak  kusam,  sekusam  celananya  yang  berwarna  ungu  juga  itu.  la
mengeriakan sabuk hitam dan menyelipkan sebilah keris bergagang merah tua.
Wajah  angker  berusia  sekitar  enam  puluh  tahun  itu  perdengarkan
suaranya setelah melangkah lebih dekati Suto dan Beiatung Gerhana. Dua anak
buahnya ikut maju dari sisi kanan-kiri Suto. Tapi mereka berhenti dalam jarak
sekitar sepuiuh langkah, sedangkan si wajah angker yang punya codet di bawah
mata  kirinya  itu  hen-  tikan  langkah  setelah  berjarak  sekitar  dua  tombak  dari
Suto dan Beiatung Gerhana.
"Serahkan peta itu padaku, Beiatung Gerhana!"
Suara serak itu makin membuat wajah Belatung Gerhana menjadi pucat.
la  memandang  Suto  Sinting,  seakan  minta  pendapat  atas  ucapan  si  Bandar
Santet itu. Suto Sinting tetap kalem, seakan tak merasa dipandangi Beiatung
Gerhana. la justru menenggak tuaknya dengan santai.
"Serahkan  peta  itu!  Cepaat...!"  bentak  Bandar  Santet  yang  membuat
jantung Beiatung Gerhana terasa merosot sampai ke lutut. Seeerrr...!
"Suto,  bagaimana  ini?!"  bisik  Beiatung  Gerhana.  Pendekar  Mabuk  yang
sudah menutup bumbung tuaknya lagi itu hanya menjawab pelan sambil terse-
nyum menampakkan ketenangannya.
"Serahkan saja! Peta itu tidak ada gunanya bagimu!"
"Tapi ibuku berpesan agar peta ini tak boleh jatuh ke tangan orang lain!"
"Kalau ibumu tahu  keadaan di sini, dia  pasti tak akan  berpesan  begitu.
Mungkin akan pesan nasi pecel buat oleh-oiehmu nanti!"
"Ah, gila kau! Aku tetap akan pertahankan. Kau bantu aku, ya?"
"Keluarkan galakmu, seperti waktu di kedai itu!"
"Mereka  cukup  banyak.  Kegalakanku  tak  akan  mempan  buat  mereka.
Apalagi si Bandar Santet sudah pernah mati tiga kali dan hidup lagi, pasti dia
tak akan takut dengan kegalakanku!"
Bandar  Santet  tak  sabar  rnelihat  orang  kasak-kusuk  begitu.  la  segera
berseru, perintahkan pada anak buahnya yang ada di seberang kiri Suto Sinting.
"Gentopati….!  Habisi mereka!"
"Haaaaat...!"  Gentopati  yang  berpakaian  hijau  itu  langsung  melompat
dengan golok terhunus. Sasaran pertama kali adalah kepala Pendekar Mabuk,
karena  menurutnya  pemuda  itu  lebih  berbahaya  daripada  Belatung  Gerhana.
Ketenangan Suto membuat mereka ber- kesimpulan bahwa pemuda itu memiiiki
nyali yang patut  ditumpas lebih dulu.
Belatung  Gerhana  justru  terkejut  dan  pedangnya  lepas  dari  genggaman.
Tapi Pendekar Mabuk segera menyambar bumbung tuaknya dan mengibaskan ke
samping  dengan  cepat.  Wuuut...!  Traang...!  Bumbung  bambu  itu  berhenti
menangkis tebasan golok si Gentopati.
Tapi  kaki  orang  itu  menyodok  wajah  Suto  Sinting  dengan  tenaga  kuat.
Wuuut...!  Tangan  kiri  Suto  yang  masih  pegangi  pisau  bergagang  gading  tadi
dihadang- kan tepat di depan hidung dengan ujung pisau meng- arah ke depan.
Akibatnya, telapak kaki Gentopati tertancap pisau itu tersebut. Jruub...! Tapi
gagang pisau menyodok mulut Suto. Prook...!
"Aaaow...!"  Gentopati  berteriak  keras-keras  dan  jatuh  dengan  kaki
terluka,  sedangkan  Pendekar  Mabuk  terhuyung-huyung  ke  belakang  dengan
mulut berdarah. Bibir atasnya robek akibat sodokan gagang pisau tadi.
Gentopati berkelojotan di tanah. Tubuhnya yang terkapar berputar-putar,
dan akhirnya mengejang kaku tak bergerak selama-lamanya. Racun pada  ujung
pisau itu telah merenggut nyawanya dalam waktu cukup singkat.
"Edan!  Mati  dalam  waktu  singkat?!  Ganas  sekali  racun  pada  pisau  itu?"
gumam Beiatung Gerhana sema- kin tegang.
Bandar Santet tetap tenang melihat anak buahnya tewas. Tapi pandangan
matanya semakin tajam dandingin, persuh dendarn terhadap Pendekar Mabuk.
Anak  buah  lainnya  tak  ada  yang  bergerak  maju.  Mereka  menunggu  perintah
dengan  patuh  sekali.  Tapi  senjata  mereka  sudah  dihunus  semua,  siap  serang
kapan saja perintah serbu terlontar dari mulut Bandar Santet.
"Su... Su... Suto, apa yang harus kulakukan. Bicara lah padaku, Suto!"
"Mau  bicara  apa?!  Bibirku  robek  begini?!"  sentak  Suto  dengan  hati
dongkol.
Bandar Santet berseru sambil sentakkan kepala sedikit. "Bangorpati...!"
Rupanya  sentakan  kepala  itu  isyarat  agar  si  Bangorpati,  adiknya
Gentopati, ganti menyerang Pendekar Mabuk. Tapi baru saja ia mau menerjang
dengan  sabit  kembarnya,  tangan  kiri  Suto  lebih  dulu  berkelebat  membuang
pisau itu.
Wuut...! Jeebs...!
"Ahkk...!"  Bangorpati  mendelik,  terbungkuk  di  samping  Bandar  Santet.
Melihat  keadaan  Bangorpati  tak  memungkinkan  hidup  lagi,  Bandar  Santet
menendangnya dengan kuat. Beet, wuus, bruuk...!
"Kejam...! Bukannya ditolong malah percepat ke liang kubur?!" gumam hati
Pendekar Mabuk yang simpan penyesalan atas lemparan pisaunya tadi. Padahal
lemparan  pisau  tadi  sudah  sengaja  dimelesetkan,  tapi  dasar  apes,  akhirnya
bertengger juga di dada Bangorpati.
Bandar  Santet  masih  memandang  dingin  ke  arahPendekar  Mabuk.
Beberapa  anak  buahnya  tampak  sudah  tak  sabar  lagi.  Sedangkan  si  Belatung
Gerhana  dicekam rasa takut yang membuat wajahnya menjadi berantakan tak
karuan bentuknya.
"Kurasa dua nyawa anak buahku sudah cukup untuk menebus peta harta
karun itu!" ujar Bandar Santet, matanya mulai melirik Belatung Gerhana.
"Aku  tidak  berkuasa  memberikannya.  Peta  itu  bukan  milikku,  Bandar
Santet!" ujar Suto Sinting.
"Tapi aku sudah ikut campur dalam perkara ini, Bocah tolol! Kau hutang
nyawa denganku!"
"Aku  membela  diri!"  sanggah  Suto.  "Daripada  aku  yang  mati  lebih  baik
anak buahmu. Sebab aku belum kawin, jadi masih malas untuk mati muda!"
Mata sadis itu menatap dingin sekaii. Pendekar Mabuk rasakan getaran
jantungnya makin cepat. Bahkan bertambah Sama dipandang, bertambah sesak
na- pasnya.
"Ada apa ini?" pikirnya dengan bingung.
Detak jantung bertambah kuat lagi. Sentakannya membuat dada seperti
ingin  jebol  ke  depan.  Pendekar  Mabuk  tarik  napas  dalam-dalam  dan  kuasai
keadaan itu dengan hawa murninya. Tapi napas yang dihirupnya terasa panas.
Bahkan sekarang hidung dan tenggorokannya menjadi perih untuk lewat napas.
Tiba-tiba  Suto  Sinting  tersentak  ke  depan  dengan  tubuh  terbungkuk.
"Huuhk...!!"  Ada  sesuatu  yang  terasa  mendorong  dari  dalam  ulu  hatinya.  Ada
sesuatu pula yang terasa meremat jantung dan teman-temannya.
"Uuhhueek...!"
Pyuuk...!
Hahh...?! Darah...?!" Belatung Gerhana terbelaiak kaget lagi melihat Suto
Sinting  tahu-tahu  memuntahkan  darah  kental.  Bahkan  pemuda  tegap  itu  kini
berlutut satu kaki karena sentakan yang kedua cukup keras.
"Uuhueeek...!"
Darah  kentai  keluar  lagi  dari  mulut  Pendekar  Mabuk.  Sekujur  badan
menjadi terasa panas. Nyata betul rasa panas itu, sehingga Suto Sinting segera
membuka  bumbung  tuaknya  sebelum  sentakan  ketiga  terasa  mendesak  dari
dalam ulu hatinya.
Melihat seorang pendekar kondang saja bisa rnemuntahkan darah kentai
hanya  dengan  dipandang  saja,  Belatung  Gerhana  semakin  ngeri  dan  khawatir
akan  keselamatan  nyawanya.  Maka  ia  pun  buru-buru  menyerahkan  peta
tersebut. Peta itu dilemparkan begitu saja dan jatuh di depan kaki si Bandar
Santet.
"Ambillah...!" sentak si gemuk dengan wajah ngeri- ngeri dongkol.
Bandar Santet menyuruh anak buahnya mengambil peta itu dengan isyarat
mata.  Pendekar  Mabuk  selesai  menenggak  tuak.  Rasa  panasnya  berkurang.
Detak jantungnya mendekati normal kembali.
"Brengsek! Kenapa baru sekarang kau serahkan peta itu?! Mestinya sejak
tadi, sebelum aku muntah darah!"
"Kusangka  dia  tak  akan  menggunakan  jurus  'Pesona  Teluhnya,"  bisik  si
gemuk. "Ternyata di telah menggunakan ilmu itu untuk menyerang!"
"Menyerangku...?!"
"Yang namanya jurus 'Pesona Teluh'  adalah melukai  bagian dalam tubuh
lawan melalui pandangan mata!" si gembrot semakin berbisik pelan„
Setelah memeriksa peta, Bandar Santet berikan perintah tegas.
"Bedagul,  bawa  anak  buahmu  melacak  harta  itu  sesuai  petunjuk  dalam
peta!  Dan  kau,  Juru  Jagal...  habisi  kedua  tikus  itu!  Kalau  perlu  suruh  anak
buahmu turun tangan!"
Blaas...! Bandar Santet melesat dengan cepat. Tahu-tahu ia sudah ada di
atas tebing, beberapa orangnya ikut naik ke atas tebing, sementara orang yang
dijuluki Juru Jagal segera mengangkat pedang lebarnya. Juru Jagal mempunyai
lima anak buah yang masing-masing berikat kepala merah, seperti pasukan berani
mati.
Juru  Jagal  yang  bertubuh  tinggi,  kekar  dan  berkulit  hitam  tanpa
mengenakan baju kecuali celana hitam itu mulai memberi isyarat kepada kelima
anak  buahnya  yang  rata-rata  juga  tidak  memakai  baju  dan  bercelana  hitam.
Mereka  segera  melingkari  Suto  Sinting  dan  Belatung  Gerhana  dengan  pedang
dimainkan pelan-pelan. Pedang mereka lebar-lebar dan anti karat semua. Pada
ujung gagangnya terdapat hiasan dari rumbai-rumbai benang merah.
Belatung Gerhana memungut pedangnya yang tadi jatuh karena terkejut.
ia sedikit punya nyali karena yang dihadapi hanya enam orang. la yakin mereka
tidak berilmu tinggi seperti si Bandar Santet. Terlebih ia ada bersama Pendekar
Mabuk, rasa terlindungnya lebih besar daripada ia sendirian menghadapi Juru
Jagal dan anak buahnya.
"Letakkan saja pedangmu," bisik Suto Sinting.
"Aku masih sanggup melawan mereka, Suto!"
"Kalau begitu kutinggalkan kau sendirian di sini, ya? Aku akan mengejar si
Bandar Santet!"
"Walaah... jangan begitu!" sergah Beiatung Gerhana dengan nada cemas.
"Kau bilang masih sanggup menghadapi mereka?!"
"Maksudku...  maksudku  sanggup  menemanimu  menghadapi  mereka
berenam!"
"Memang payah kau!"
"Kalau sakit gigiku sedang kambuh memang suka payah begini."
Seet...! Pedang si Belatung Gerhana direbut Suto dengan cepat. Sebelum
si gemuk itu protes, Suto Sinting sudah berseru lebih dulu kepada Juru Jagal
yang hergerak mengelilingi lawan bersama kelima anak buahnya.
"Aku  akan  melawan  kalian  berenam  dengan  pedang  di  tangan  kiri.  Tapi
izinkan temanku ini untuk keluar dari kepungan!"
"Kalian tak akan bisa lolos, Keparat!" geram Juru Jagal.
“Selain menggunakan pedang ini dengan tangan kiri, aku berjanji tak akan
menyerang  selain  hanya  menghindar  dan  bertahan  dari  serangan  kalian.  Kalau
memang kalian bisa memenggal kepalaku, itu namanya apes bagiku. Tapi kalau
kalian  tak  bisa  lakukan  hal  itu,  kalian  hanya  akan  kehabisan  tenaga.  Tapi  aku
tetap  tak  akan  mencabut  nyawa  kalian.  Bagaimana?  Kalian  se~  tuju  dengan
perjanjian ini?!"
Juru  Jagal  diam  beberapa  saat  sambil  tetap  ber-  gerak  pelan-pelan
mengelilingi  kedua  lawannya,  demi-  kian  pula  halnya  dengan  kelima  orangnya.
Mereka masih memainkan pedang lebar yang biasa untuk meman- cung kepala
musuh.  Permainan  pedang  dilakukan  dengan  pelan  sambil  menunggu  saatnya
menyerang.
"Kalian boleh membunuhku, tapi aku tidak boleh membunuh dan melukai
kalian.  Ini  perjanjianku!  Pertimbangkan,  apakah  kalian  setuju  atau  tidak.  Jika
tidak, tak satu pun nyawa kalian yang akan kusisakan! Semua kepala kalian akan
kukirim kepada Bandar Santet!"
Setelah  mereka  saling  melirik  Juru  Jagal,  orang  berkumis  lebat  dan
berdada kekar itu berseru tegas.
"Baik! Kuizinkan si gembrot itu keluar dari kepungan! Lekas...!"
"Tunggulah  aku  di  pohon  besar  depan  sana!"  bisik  Pendekar  Mabuk
kepada si gemuk besar.
"Tapi... tapi...."
"Lekas ke sana! Aku punya cara sendiri untuk hadapi mereka!" desak Suto
Sinting sambil menyilangkan bumbung tuak ke punggung.
"Hat... hat...."
"lya,  aku  tahu  kau  mau  bilang  hati-hati!  Aku  akan  hati-hati.  Sudah,
sana...!"
Si  gendut  berlari  keluar  dari  kepungan.  Lemak  di  sekujur  tubuhnya
berombak-ombak seperti karung ba sah dibawa lari. Langkah kakinya berdebam
di tanah. Bluuk, bluuk, bluuk, bluuk...!
Sampai  di  bawah  pohon  ia  melambaikan  tangan  seakan  mengucapkan
selamat  berpisah.  Suto  Sinting  tak  sempat  membalas  karena  salah  satu  anak
buah  Juru  Jagal  sudah  menyerang  lebih  dulu.  Serangan  itu  datang  dari  arah
samping  kiri.  Sebuah  lompatan  yang  disertai  tebasan  pedang  membuat  Suto
Sinting  terpak  sa  harus  cepat  berlutut  dan  menadahkan  pedangnya  ke  atas.
Traang...!
Pendekar  Mabuk  berguling  ke  depan.  Di  depan  ia  disambut  tendangan
kaki  Juru  Jagal.  Beet...!  Plaak...!  Tangan  kanan  menahan  tendangan  itu  saat
Suto baru saja selesai berguling. Gerakan cepatnya membuat Juru Jagal nyaris
kecolongan  langkah.  la  menyangka  Suto  bergerak  ke  sisi  kanannya,  ternyata
Pendekar Mabuk bergerak ke sisi kiri.
Wuut,  jleeg...!  Baru  saja  berdiri  tegak,  dua  penye-  rang  datang  dari
belakang.  Mereka  sama-sama  iakukan  lompatan  sejajar  dan  pedang  mereka
diayunkan dari atas ke bawah, sasarannya pundak kanan-kiri Suto Sinting.
"Heeaaat...!"
Wuut, wuuut...!
Crass, craas...!
"Aaaahk...!"
Kedua pundak Pendekar Mabuk jelas-jelas terkena tebasan pedang iawan.
Walaupun  ia  segera  melompat  ke  depan  dan  berguiing  dengan  punggung  tak
menyen-  tuh  tanah,  tapi  semua  mata  rnelihat  bahwa  tebasan  kedua  pedang
Iawan tepat kenai kedua pundak Suto.
Tetapi  anehnya  yang  memekik  keras  tadi  adalah  si  Juru  Jagal  sendiri.
Bahkan orang tinggi berbadan kekar itu rubuh ke depan dalam keadaan kedua
pundak nyaris putus secara mengerikan. Darah menyembur dari luka bacokan
yang amat dalam dan panjang itu.
"Hahh...?!  Kenapa  yang  terluka  si  Juru  Jagal?!"  gumam  hati  kelima  anak
buahnya itu.
Mereka tak tahu bahwa sejak tadi Suto Sinting sudah pergunakan jurus
'Alih Raga'. Jurus itu membuat Suto Sinting tak akan terasa sakit walau dipukul
beberapa  kali.  Tapi  justru  teman  Iawan  yang  akan  merasakan  sakit  karena
pukulan tersebut.
Demikian pula yang terjadi dengan si Juru JagaL Ketika kedua pundak
Suto terkena bacokan maut dua pedang lawan, Pendekar Mabuk tak terluka
sedikit pun. Rasa sakit dan luka sudah dialihkan ke raga si Juru Jagal. Tak
heran jika kedua pundak Juru Jagal sekarang terluka parah dan tak mampu
dipakai lanjutkan per-tarungan.
"Bangsaat! Habis sudah riwayatmu! Heeeaah...!" salah seorang menyerang
dengan  murka.  la  lakukan  serangan  dari  belakang  lagi.  Tapi  Pendekar  Mabuk
cepat berputar tubuh dan pedangnya berkelebat dengan sangat cepat. Traang,
taaang...!
Pedang  itu  berhasil  ditangkis.  Taps  si  penyerang  menyalurkan  tenaga
dalamnya melalui pedang tersebut, sehingga pedang itu tak bisa bergeser dari
arahnya kecuaii hanya tertangkis. Ketika pedang dihujamkan ke depan, srring...
jruub...!
"Aaahkk...!"
Ujung pedang masuk sebagian ke tengah leher Suto Sinting. Pemuda itu
segera berjungkir balik ke belakang. Kakinya berhasil menendang tangan lawan
yang memegangi pedang. Beet...! Weerr...! Pedang di tangan lawan kini terlepas
dan  terpental  melambung  ke  atas.  Tendangan  kaki  yang  dilakukan  sambil
berjungkir balik itu rupanya juga berkekuatan tenaga dalam pe- nuh, sehingga
tulang  lengan  si  pemegang  pedang  terasa  patah  seketika.  Genggamannya
menjadi terlepas.
Wuuuk, jleeg...!
Pendekar Mabuk berhasil tapakkan kedua kakinya di tanah dengan tegak
dan  kokoh  sekali.  Tapi  salah  seorang  dari  anak  buah  Juru  Jagal  terkapar
dengan  leher  berlumur  darah.  Orang  tersebut  mengerang  serak  dan  kejang-
kejang, untuk kemudian diam tanpa gerakan bersama napasnya yang terhembus
lepas untuk seIama~!amanya.
Sekali  lagi,  jurus  Alih  Raga'  telah  merenggut  nyawa  salah  seorang  anak
buah Juru Jagal. Melihat kenyataan seperti itu, Juru Jagal yang terluka parah
memaksakan  diri  untuk  berdiri  dan  lepaskan  pukulan  bersinar  merah  dari
telapak tangan kanannya.
"Hiiiaaah.,.!"
Claap„.J Jegaaarr..,!
Sinar merah itu tepat kenai dada Suto Sinting dan sinarnya menyebar ke
mana-mana  bersama  bunyi  ledakan  cukup  keras.  Tetapi  ledakan  itu  hanya
membuat  Pendekar  Mabuk  terlempar  mundur  tiga  langkah.  Tubuhnya  tetap
utuh walau berselimut asap sepintas.
Namun  di  sisi  lain,  salah  satu  dari  Orang  yang  tadi  menyerang  pundak
Suto kini dalam keadaan hangus. la tetap berdiri daiani kebisuan tanpa suara
dan gerak. Sekujur tubuhnya menjadi hitam, termasuk rambutnya yang menjadi
keriting bagai habis disambar petir.
Kejap  berikut  orang  itu  tumbang  tak  bernyawa  lagi.  Brruuk...!  Empat
orang yang masih hidup, termasuk Juru Jagal sendiri, menjadi tercengang tak
berkedip. Mereka mulai mundur satu persatu.
Tapi  salah  seorang  yang  ada  di  belakang  Pendekar  Mabuk  masih
penasaran. la nekad menyerang secara tiba-tiba dengan lompatan sangat cepat.
Pedangnya disabetkan dari kiri ke kanan. Wuut, craas...!
Leher  Suto  jadi  sasaran  telak.  Begitu  terasa  teng-  kuknya  disambar
sesuatu,  Suto  Sinting  melompat  danberjungkir  balik  di  tanah.  Wuut,  wuuk.J
Seet..J  Dalam  sekejap  Pendekar  Mabuk  sudah  berdiri  tegak  dengan  tangan
mengangkat pedang di atas kepala.
"Mestinya kepalanya terpenggal! Kenapa  dia masih bisa  berdiri?!" gumam
salah  seorang.  Yang  diajak  bicara  diam  saja.  Tahu  tahu  ketika  pundaknya
disentuh  temannya,  kepala  orang  itu  jatuh  bagaikan  kelapa  sawit  dan  darah
muncrat  ke  atas  dari  lehernya.  Tentu  saja  hal  itu  tidak  hanya  mengejutkan
orang yang tadi menyenggol lengan si korban, taps juga membuatnya berteriak
kaget tanpa sadar.
"Huaaaaaaww...!!" ia berlari buru-buru menjauhi korban.
"Lariii...!" teriak Juru Jagal yang merasa tak mampu lag! menghadapi iimu
pemuda konyol itu. Tiga orang termasuk Juru Jagal sendiri segera melarikan diri
menyusul Bandar Santet.
"Hoii...!  Aku  hanya  bertahan!  Tidak  menyerang  kalian  sesuai  perjanjian!
Mengapa kalian lari?!" seru Suto Sinting dengan berlagak bingung, tapi bibirnya
mulai  sunggingkan  senyum  geli  melihat  mereka  lari  tunggang  langgang.  Juru
Jagal diseret dua anah buahnya ketika berusaha mendaki tanah yang meouju ke
atas tebing.
Belatung Gerhana berseru kegirangan sambil melompat-lompat.
"Mampus kalian! Mampus semua! Ayo, turun kalian  kemari! Ayo, hadapi
pedangku  itu!  Suruh  si  Bandar  Santet  kemari!  Lawan  pedang  pusakaku  itu!
Huaa,
haaa, haaa, haaa, haaa...!"
Jeebb...!
"Haakkh...!" Belatung Gerhana tersentak dengan mata mendelik. Sesuatu
telah menancap di punggungnya.
Suara  pekikan  tertahan  dan  tawa  terputus  si  Belatung  Gerhana
memancing  perhatian  Suto  Sinting  untuk  menengok  ke  arah  si  gemuk.  Pelan-
pelan  kepalanya  memutar  ke  belakang  bersama  tubuhnya  yang  ikut  memutar juga.  Kejap  berikut  mata  Suto  Sinting  terbelalak  melihat  Belatung  Gerhana
jatuh tengkurap di rerumputan. Bluuumb...!
"Belatung...?!!"  pekik  Suto  begitu  kagetnya.  Zlaaap...!  Dalam  sekejap  ia
sudah berada di samping tubuh gemuk yang kali ini tengkurap di tanah seperti
prasasti tanpa sejarah.
"Belatung...!  Belatung  Gerhana!  Hooi...  hoooi...!"  Suto  Sinting
mengguncang-guncang badan gemuk besar itu dengan dua tangan. Satu tangan
tanpa tenaga dalam tak cukup mengguncang tubuh besar si Belatung Gerhana.
Tapi guncangan itu tidak membuat si Belatung menjawab sepatah kata pun.