Pendekar Mabuk 137 - Duel Asmara(2)




4
PULAU HAMZIA adalah salah satu nama pulau di antara gugusan kepulauan yang terletak di sebelah utara tanah Jawa. Pulau itu tidak terlalu besar, tapi mempunyai jumlah penduduk yang tergolong padat. Para penduduk pulau tersebut rata-rata tunduk kepada penguasanya. Sebuah istana dibangun di atas bukit yang tak seberapa tinggi. Istana itulah tempat kedudukan sang kalsar dalam memerintah negerinya. Tetapi sekarang kedudukan sang kaisar sudah digantikan oleh putrinya yang bernama si Bagandi Delia. Penggantian kekuasaan itu terjadi sejak beberapa tahun yang lalu, karena sang kaisar tewas dalam pertarungannya melawan pasukan armada dari tanah Tibet.
Beberapa waktu yang lalu, Pendekar Mabuk memang pernah bentrok dengan tiga perwira dari negeri Hoazing itu. Mereka punya maksud tak baik kepada Rara Ayu Kumata, putri Raja Gundalana dari negeri Badanesya. Hubungan suto dengan pihak Raja Gunda
tana cukup baik, sehingga rencana tiga perwira itu berhasil digagalkan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "TANTANGAN ANAK HARAM"). Dengsn alasan itu. Delia memburu Pendekar Mabuk dan bermaksud untuk membalas kakalahan tiga utusannya itu. Tetapi ketika ia melihat sosok pendekar
Mabuk secara sembunyi-sembunyi, rencana membalas kekalahan tiga utusan itu menjadi berubah.
"Menurutku kau tak pantas mati di tanganku, Pendekar Mabuk. Sungguh tindakan yang paling bodoh bagikujika aku sampai membunuh pemuda berwajahtampan dan bertubuh kekar seperti dirimu".
Pendekar Mabuk diam saja, duduk di sebuah kursi mewah tanpa pengikat apa pun. ia hanya memperhatikan Delia yang mengenakan jubah jingga transparan dengan kutang dan celana kecilnya berwarna hitam.
Delia memang mempunyai wajah cantik jelita. Rambutnya tak seberapa panjang, diurai lepas dengan penjepit berupa mahkota kecil. Ia bukan saja cantik, namun juga bertubuh sintal, seksi dan berdada montok. Bentuk dadanya itu sekalipun besar dan menonjol sekali, namun mempunyai bentuk yang indah, mendebarkan hati setiap lelaki.
Ratu Mahasihir itu berkulit putih mulus, dengan bu
lu-bulu kecil lembut tumbuh di lengannya. Ia bermata sedikit lebar tapi indah, bening dan penuh tantangan yang menggairahkan. Bibirnya sendiri juga sedikit tebal, namun sensual. Menggemaskan sekali bagi seOrang pemuda yang berjiwa romantis seperti Suto Sinting.
Tak heran jika Suto merasa betah walaupun statusnya sebagai tawanan bagi perempuan berusia sekitar dua puluh delapan tahun itu. Apalagi perempuan itu jika melangkah selalu membuat jubahnya tersingkap dan pahanya yang putih mulus tampak seperti lambaian tangan pengantin baru, betapa pun juga Suto tetap merasa lebih beruntung menjadi tawanan Ratu Mahasihir itu daripada menjadi tawanan musuh utamanya: Siluman Tujuh Nyawa.
Perlakuan yang diterima Suto juga periakuan yang baik dan manis. Tangan dan kakinya tidak dijerat dengan belenggu apa pun, justru ia lebih sering diusap dengan lembut oleh Delia dan sering menerima tatapan mata penuh pesona. Hanya tatapan mata dan senyum menggoda itulah satu-satunya penjerat bagi Suto sinting. -
Delia mengajaknya berkeliling ditaman istana. Bunga-bunga taman mekar berseri menyebarkan wewa
ngian yang menggugah birahi. Mau tak mau Suto nenahan gejolak batinnya itu untuk tidak melepaskan gairah di sembarang tempat. Sayangnya, bumbung tuak Suto ditahan oleh pengawai istana, sehingga ia sering merasa gelisah dan tak bisa menikmati keindahan yang ada dengan sepenuh hati.
"kuharap kau bisa memaafkan caraku membawamu kemari. Terusterang, sudah lama aku mengikutimu. Aku sering mencuri pandang padamu, saat kau berada di kedai, atau sedang berjalan di suatu tempat. Tetapi kau lebih sering menghilang dari pandangan mataku manakala aku sedang mengejar lawanmu. Aku sering merasa kehilangan dirimu, sehingga kuputuskan untuk menculikmu dan membawanya kemari."
"Mengapa kau harus menculikku" Seandainya kau bicara terus terang ingin menikmati wajahku, aku tidak akan melarangmu, Delia."
"Aku ingin memiliki ketampananmu selama-lamanya, Suto Sinting." -
Pendekar Mabuk tersenyum kaku.
"Rasa-rasanya itu tak mungkin, Delia."
"Harus mungkin. Segala apa yang kuinginkan harus menjadi kenyataan."
Delia berhenti melangkah di depan serumpun "
bunga warna merah jambu. Ia menatap Pendekar Mabuk dengan senyuman yang mendebarkan hati lawan jenisnya. -
"Aku ingin kau tetap tinggal di sini dan menjadi suamiku." -
"Bagaimana jika aku menolak?"
"Kau akan kehilangan nyawa."
"Bagaimana jika aku melawanmu?"
"Kau tetap akan kehilangan nyawa. Selama ini tak ada orang yang mampu menahan kekuatan sihirku." - Kata-kata yang diucapkan dengan kalem diiringi senyum menawan, ternyata merupakan pisau bagi hati PendekarMabuk. Hatinya marasa dilukai, merasa dapat tantangan yang tak boleh ditolak begitu saja. Ia paling lak suka dengan perempuan yang berani mengancamnya dengan bersungguh-sungguh. Ancaman dalam bentuk apa pun dapat membuat hati Pendekar Mabuk tertutup dan tak mau mengenai gairah cinta lagi. mereka melangkah lagi menyusuri taman. Pendekar Mabuk hanya menyimpan rasa tak sukanya tadi. Ia tetap tenang dan bersikap ramah. Senyumnya selalu menghiasi bibir walau hanya senyum tipis.
"sejujurnya kukatakan padamu, sudah beberapa
kali aku ganti-ganti suami. Tak satu pun suami yang bisa membahagiakan diriku sesuai dengan harapanku.
Pada umumnya mereka hanya bisa memberi keindahan pada malam-malam pertama saja, selebihnya mereka seperti binatang yang bercinta berdasarkan naluri semata."
"Kurasa aku pun demikian, tak jauh berbeda dari mereka. Kau tetap saja akan kecewa jika bersuamikan diriku, Delia." Perempuan itu tertawa kecil, tangannya menggandeng lengan Suto. Hal itu dibiarkan saja oleh Suto. Ia merasa harus bersikap dewasa dan tak menunjukkan kebrutalan. Sikap kasar dan brutal hanya akan membuatnya gagal mempelajari kekuatan Delia, sehingga ia tak dapat mengetahui titik kelemahan wanita itu.
"Kurasa kali ini akutak salah pilih lagi. Aku melihat dengan indera keenamku, kau mempunyai bentuk susunan tulang yang kokoh dan sangat bagus. Kau juga mempunyai aliran darah yang lancar dan setiap gerakan darahmu mengandung gelaran terserdiri. Yang paling utama adalah keistimewaan yang ada pada dirimu, yaitu sebagai lelaki tanpa pusar.'
"Itu cacatku sejak lahir."
"Oo, itu bukan cacat menurutku. Ketiadaanmu me
miliki pusar merupakan anugerah yang istimewa dan sangat kuharapkan."
"Aku tak mengerti maksudmu, Delia."
Perempuan itu melirik sambil tersenyum makal,
"Pria tanpa pusar adalah pria yang mampu bertahan dalam amukan badai asmara lawan jenisnya."
"Aah itu anggapan kuno yang tidak benar, Delia."
"Siapa bilang tidak benar" Terbukti kau pernah kulihat mampu berkelebat cepat dan sukar kukejar dengan jurus Sapuan Badai'-ku. Hanya pria tanpa pusar yang mempunyai kekuatan semacam itu."
Sebelum kata-katanya dilanjutkan, seorang pelayan datang menghadap.
"Gusti Bagandi, makanan sudah hamba siapkan dan...."
"Lancang sekali kau. Amaroki" tiba-tiba Delia membentak.
"Apakah kau tak melihat aku sedang bersama calon suamiku"! Akutak mau diganggu oleh siapa pun, tahu"!"
"Ampun, Gusti...," pelayan itu berlutut dan menyembahnya dengan penuh rasa takut.
"Kau patut mendapat hukuman, Amarok!"
Delia mengibaskan langan seperti memercikkan
air. Praat...! Wuuuubb...I Terjadi letusan kecil yang mengepulkan asap tebal. Kejap berikut, Amarok lenyap tanpa bekas, terbakar habis tanpa sisa. Yang tertinggal hanya bekas hitam dari telapak kaki Amarok.
"Sadisl"geram Suto daiam hati, tapi wajahnya tetap biasa-biasa saja. Pandangan mata Pendekar Mabuk yang tertuju pada bekas telapak kaki Amarok itu membuat Della menjadi tak enak hati sendiri. Ia buru-buru memberikan alasan atas tindakan kejinya tadi.
"Siapa pun yang membuatku kecewa akan mengalami nasib seperti itu. Karenanya, para pelayanku tak ada yang berani mengecewakan hatiku."
"Memang kau pantas melakukan begitu." Delia tersenyum.
"Kurasa kau perlu melihat ruang kesukaanku. Ruangan itu kunamakan Ladang Asmara."
"Nama yang indah tapi aneh menurutku."


Pendekar Mabuk 137. Duel Asmara di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ayolah, ikutlah aku...," Delia menarik tangan Suto, dan membawanya pergi dari taman.
Raja Mantra kehilangan jejak Perawan Sinting dan Ratu Rimba. Suasana malam yang gelap membuat pandangan mata tokoh tua itu kurang tajam. Ia menggunakan radar batinnya, tapi tetap tak menemukan siapasiapa di sekitar tempatnya berdiri. Ratu Rimba mengetahui diikuti oleh Raja Mantra. Ia segera menggunakan tipuan yang cukup unik.
Dari tangan kanannya yang disentakkan keluariah hawa padat yang bergulung-gulung. Hawa padat itu meluncur bagaikan bola tanpa wujud. Hawa padat itu menerabas semak dan dedaunan kering, menimbulkan suara gemerusuk seperti orang beriari. Suara gemerusuk itulah yang diikuti oleh Raja Mantra. Pak Tua itu kali ini berhasil dikelabui gadis semuda Ratu Rimba, Langkahnya memburu kearah timur, padahal waktu itu Ratu Rimba dan Perawan Sinting bergerak ke arah barat. Tentu saja jaraknya dengan kedua gadis itu semakin jauh karena berbeda arah.
"Boleh juga tipuanmu! Walau tergolong tipuan murah, tapi kadang-kadang berguna juga untuk mengecohkan lawan," ujar Perawan Sinting. Ratu Rimba menyambar rompi Perawan Sinting.
Breet...! Matanya mendelik berang penuh keberanian.
"Sekali lagi kau bilang tipuankutipuan murah, kurobek mulutmu!"
Plak..! Perawan SInting menepiskan tangan Ratu RImba dengan kibasan tangan kiri. Kini ia ganti mencengkeram rompi Ratu Rimba dan memandang tajam sekali.
"Jangan berlagak di depankul Bisa kurontokkan semua gigimu, tahu"!" Begitulah mereka. Cekcok terus sepanjang perjalanan menuju Pulau Hanzia. Sasaran pertama mereka adalah Pantai Giwang, karena di sana Perawan Sinting mempunyal seorang kenalan. Mereka bermaksud meminjam perahu teman Perawan Sinting itu untuk menuju ke Pulau Hamzia. Tetapi perjalanan ke Pantai Giwang ternyata menemui hambatan. Bukan hambatan cuaca malam saja, tapi ternyata pagi harinya mereka juga dihambat oleh munculnya dua orang yang menghadang langkah mereka Mula-mula langkah mereka terhenti karena Perawan Sinting nyaris celaka.
Sebilah pisau terbang melayang ke leher Perawan Sinting. Pisau itu berasal dari sisi kanan. Ratu Rimba yang berjalan satu langkah di belakang Perawan Sinting itu segera merunduk dan menyapu kaki Perawan Sinting dengan tendangan kaki
nya. Weet, brruk... Perawan Sinting terpelanting jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangan badannya. Sapuan cepat itu membuat Perawan Sinting berang dan bermaksud menghajar Ratu Rimba.
"Hel, tunggul" sentak Ratu Rimba masih tetap dalam posisi jongkok.
"Lihat pisau yang hampir menembus lehermu itu!" sambil Ratu Rimba menuding pisau yang menancap pada pohon setelah tak berhasil menancap di laher Perawan Sinting. Sadar bahwa dirinya baru saja diselamatkan Ratu Rimba dengan cara kasar, Perawan Sinting tak jadi marah. Kini ia bangkit dengan pandangan mata tajam penuh waspada, demikian pula halnya dengan Ratu Rimba. Pada saat itulah, segera muncul dua orang dari balikpepohonan rindang. Mereka adalah dua lelaki berkepala gundul, badannya kekar tanpa baju, tapi masing masing bercelana merah. Mereka menyilangkan sabuk didada.Sabuk itu penuh dengan pisau yang siap dilemparkan pada lawan mereka.
"Siapa mereka?" bisik Ratu Rimba.
"Aku pernah melihat mereka mengikuti bajingan
dari Selat Neraka. Kurasa meraka orangnya si Bandar Santet"
"Aku tak punya masalah dengan Bandar Santet. Kurasa, persoalan Ini persoalanmu. Silakan hadapi mereka" Ratu RImba mundur beberapa langkah.
"Setan juga kau rupanya! Kemarin aku sudah membantumu menyingkirkan orang-orang Danau Getih, sekarang kau menyingkirkan dari masalah ini."
"Aku tak terlibat dalam persoalan ini!"
"Ini bukan persoalanku, Toloi! Ini persoalan sibuaya kampung itu!" Salah satu dari orang gundul bertampang seram itu segera serukan kata.
"Heli, mana si kunyuk Pendekar Mabuk itu, han?" Perawan SInting dan Ratu Rimba memandang kedua orang gundul itu. Ratu RImba baru tahu bahwa persoalan itu sebenarnya persoalan si Pendekar Mabuk.
"Mengapa kau bertanya padaku"I Mengapa kau menyerangku, han?" seru Perawan Sinting dengan pandangan mata memancarkan permusuhan.
"Kau saudaranya, bukan" Kau yang bernama Perawan Sinting, bukan"!"
"Memang benar, aku Perawan Sinting!"
"Bukankah si kunyuk Itu punya nama asli Suto Sinting"! Dia kakakmu, bukan"!"
"Aku tidak punya kakak bertampang buaya kampung macam dia!"
"Haa, haa, haa, haa...! Rupanya kau takut mengaku saudara si kunyuk itu, hah"! Rupanya kau tahu kalau kami utusan dari Bandar Santet yang akan membantai habis seluruh keturunan suto sinting"
Ratu Rimba berseru dengan berang,
"Suto Sinting tidak ada di sini! Kalau kalian mau membantainya, temui dia di negeri Hoazing! Dia sedang bercumbu dengan Ratu Mahasihir!"
"Hahh.."! Ratu Mahasihir..."!" kedua orang itu terperanjat dan saling pandang.
Perawan Sinting mencengkeram lengan Ratu Rimba.
"Bodoh! Kenapa kau sebutkan di mana buaya kampung itu berada"!"
"Kau yang bodoh!" balas Ratu Rimba dengan ketus.
"Dengan menyebutkan di mana Pendekar Mabuk berada, maka mereka akan datang ke sana dan mereka akan dihabisi oleh pihak Ratu Mahasihirl Sementara si perempuan bejat itu sibuk menghadapi orang-orang
nya Bandar Santet, kita punya kesempatan membebaskan Pendekar Mabuk."
"Hmmm, boleh juga gagasan cetekmu itu," Perawan Sinting manggut-manggut dan melepaskan cengkeramannya. -
"Dasar otak dungu!"geram Ratu Rimba sambil melengos, dan segera memandang ke arah dua orang gundul itu. -
"Perawan busung!" seru yang sebelah kanan.
"Karena kakakmu tak ada di sini, maka kaulah yang terima giliran mati lebih dulu sebagai wakil dari keluarga Sinting Bersaudara!"
Orang itu segera melemparkan pisaunya dengan gerakan cepat, nyaris tak terlihat.
Wiiz, wiiz...!.Ternyata sekali lempar dua pisau mengarah ke dada Perawan Sinting. -
Dengan mengubah posisi ke samping, tangan Perawan Sinting berkelebat menangkap lemparan dua pisatu tersebut.
Zeeb.: Satu pisau tertangkap. satu pisau lagi lolos dan jatuh di semak-semak seberang sana.
- Melihat orang yang satu lagi ingin melemparkan pisau, Ratu Rimba segera melepaskan pukulan beruntun dari jarak jauh.
Baahk, baahk, baahk...! "Huhhkk...!" Orang itu melayang ke belakang sejauh lima tombak. Pukulan beruntun bertenaga dalam
tinggi itu tepat mengenal sekitar dada dan perut. Orang itu langsung muntah darah di kejauhan sana. .
Sementara itu, orang yang tadi melemparkan pisau kepada Perawan Sinting segera mengejang, karena pada saat itu Perawan Sinting mengembalikan. pisau yang terjepit di sela jari-jarinya, sambil merendahkan badan.
Wiiz...! Lemparan itu lebih cepat dari lemparan si pemiliknya. Karena sulit dihindari, maka pisau itupun akhirnya menancap di lambung orang tersebut.
Jruub...I "Aahhkk..." - Orang Itu terbungkuk sambil menyeringai. Ratu
Rimba melompat dan kakinya menendang dari bawah ke atas. Beet...! Prook...!
"Ouuht...!" Orangitu terdongak dan menyemburkan darah.
"Badulah... cepat lari!" seru orang yang memuntahkandarah akibat pukulan jarak jauhnya Ratu Rimba itu. Maka dengan terhuyung-huyung, orang yang terkena pisau itu berhasil mencabut pisaunya dan berusaha melarikan diri walau terjatuh berkali-kali. Perawan SIn
ting dan Ratu Rimba sama-sama mencibir sambil memandangi kedua orang tersebut.
Mereka membiarkan lawannya pergi. Tapi di luar dugaan, ada pihak lain yang sengaja ingin menghentikan langkah mereka.


5
TIDAK setiap orang bisa memasuki ruangan yang dinamakan ruang Ladang Asmara. Ruangan itu dibangun dengan dinding tebal dan keras, tak mudah digempur, tak mudah dirobohkan. Pendekar Mabuk berkerut dahi, karena merasa heran melihat bangunan tersebut tanpa pintu masuk, tanpa lubang sebesar jarum pun. -
Namun bagi Delia, si Ratu Mahasinir, memasuki ruangan tersebut bukan merupakan hal yang sulit. Tangannya berkelebat seperti menaburkan bunga.
Wees...! Gerakannya pun lemah gemulai bak orang menari. Tetapi seketika itu juga dinding ruangan tersebut berkaca-kaca, lalu berubah membentuk jalan masuk selebar satu tombak. Tak ada debu reruntuhan sebutir pun di sekitar jalan masuk tersebut. Pendekar Mabuk yang agak terbengong itu segera dibawa masuk keruangan itu.
Setelah ada di dalam, tangan Delia berkelebat lagi
seperti orang menari. Jalan masuk tadi berkaca-kaca
kembali, kejap berikut menjadi tertutup rapat sebagai dinding tahan gempuran. -
"Menakjubkan sekali"!" gumam Suto lirih. Delia tersenyum bangga.
"sengaja tak kuberi pintu sebagaimana mestinya, biar tidak setiap orang bisa masuk ke Ladang Asmara ini!" -
"Juga tak bisa keluar dari ruangan ini," tambah Suto.
"Kau cerdas sekali, Pendekar Mabuk." sambil dagu Suto dicubitnya pelan. Ladang Asmara adalah sebuah ruangan yang dilengkapi dengan ranjang lebar berkasur empuk. Ranjang itu ada ditengah ruangan, di atas lantai yang tingginya tiga jengkal dari lantai sekelilingnya. - Delia menyentiikan jarinya ke arah langit-langit ruangan. Sentilan itu dilakukan beberapa kali di beberapa tempat.
Tees, tees, tees,tees...! Setiap sentilan memancarkan cahaya putih. Cahaya putih itu mengambang di udara dalam ketinggian tertentu. Cahaya tersebut selain membuat terang suasana dalam ruangan Ladang Asmara, juga menyebarkan angin harum yang dapat
menyejukkan seluruh ruangan tersebut.
"Wow...! Udaranya jadi sejuk sekali."
"Blar nyaman dan bikin betah. Aku bisa betah selama tujuh hari berada di Ladang Asmara asal bersamamu, Pendekar Mabuk." Delia melingkarkan tangannya ke pinggang Suto. Rasa risi membuat Suto berusaha melepaskan diri secara halus. -
"Bunga apa yang ada di sudut itu, Delia?"tanyanya sambil bergegas ke sudut. Dengan begitu ia bisa melepaskan diri dari rangkulan tangan Ratu Mahasihir. tubunga Rikmala, bunga kesukaanku. Bunga itulah yang menyebarkan aroma wangi inl. Apakah kau Suka, Pendekar Mabuk?" -
"Ya, aku suka sekali dengan warnanya yang merah lembayung tapi mampu memberi keharuman pada ruangan selebar ini."
"Aku sengaja membangun tempat ini untuk menikmati kepuasan bercinta. Di sini kita bebas berbuat apa saja, kita bebas berteriak, dan tak perlu takut dilntip orang. Hik, hik, hik, hik...!"
"Aku terkesan sekali dengan tata ruangnya!"
"Ooh, kau pasti akan menjadi semakin terkesan jika
dalam keadaan begini...."
Della melayangkan tangannya sejajar dengan dada. Tangan itu berkelebat memutar, memercikkan cahayaputih semacam bintang kecil-kecil. Percikan cahaya itu membentur dinding.
Triiliing...! Dalam sekejap saja dinding seluruh ruangan itu berubah menjadi cermin bening.
"Wow..."I Mengagumkan sekali"!" Suto berseri-seri. Kemanapun arah pandangannya ditujukan, ia dapat melihat bayangan dirinya dalam cermin. -
"Kekuatan sihirku dapat menciptakan khayalan menjadi kenyataan," ujar Delia dengan semakin bangga.
"Kau memang hebat," puji Suto sebagai pancingan. - Della tak sadar akan pancingan tersebut.
Ia melangkah mendekati ranjang, lalu melepaskan jubah jingganya. Kini la hanya mengenakan kutang hitam dan kain penutup bagian bawahnya yang seolaholah hanya secuil itu. Pendekar Mabuk memandang kagum melalui pantulan cermin di sampingnya.
"Apakah dengan keadaan begini aku lebih tampak hebat?"
"Luar biasa hebatnya. Aku lebih terkesan."
"Tentu saja, karena kata Delia punya arti tersendiri."
"Apa arti kata Delia?"
"Delia artinya... selalu di hati. Pria mana pun tak
akan bisa melupakan diriku, karena aku selalu di hati mereka."
Ia mengulurkan tangan, "Datanglah kemari, Suto.... Sambutlah tanganku ini, Pendekar...." Dalam hati Suto bergumam,
"Kalau aku nekat menyerangnya, pasti aku akan celaka, karena aku belum menemukan rahasia kelemahannya. Ilmu sihirnya tinggi sekali. Salah-salah aku bisa mampus karena murkanya. Belum tentu sekalipukul dia akan tumbang. Kalau seranganku gagal, dia bisa membuat nasibku seperti Amarok tadi." Pertimbangan itulah yang membuat Pendekar Mabuk melangkah pelan-pelan mendekati ranjang. Wajah cantik Delia sudah semakin sendu. Pandangan matanya menjadi sayu. Bibirnya sedikit merekah bagaikan mengharap kecupan yang paling hangat dari Pendekar Mabuk. Namun sebelum naik ke lantai tinggi. Pendekar Mabuk sengaja menghenuh langkahnya.
"Delia, hmmm... barangkali kau perlu tahu, bahwa aku adalah satu-satunya pria yang paling payah."
"Ooh, Suto... jangan coba-coba membohongiku.
Aku tahu kau bukan pria yang tak sanggup melayani wanita. Kau pria yang penuh kejantanan, Suto. Aku dapat merasakan getaran jiwa asmaramu dari sini."
"Hmm, maksudku... maksudku, gairahku tidak mudah terbakar di depan wanita yang tidak kucintai."
"Kalau begitu aku akan membuat hatimu segera jatuh cinta padaku. Aku bisa menggunakan kekuatan sihirku. Pandanglah mataka. Suto!"
"Tapi Delia... jika kekuatan sihirmu kau gunakan untuk membius asmaraku, sama saja kau mendapat kepalsuan dariku, Delia." Wanita berkulit mulus itu mulai menarik napas. Ia mulai jengkel. tapi rasa jengkel itu berusaha dipendamnya kuat-kuat.
"Suto, apalah arti kepalsuan cinta bagi seorang perempuan sepertiku" Aku hanya membutuhkan kepuasan bercumbu dengan lawan jenisku. Dan aku yakin hanya kaulah yang bisa memuaskan gairah cintaku, Suto."
"Kepuasan batin seperti itu tidak akan membekas ingatanmu. tidak akan berkesan dalam sejarah hidupmu, Della. Hmm, eehh... ada baiknya kalau...."
"Suto...!" suaranya mulai meninggi.
"Apakah kau bermaksud menelantarkan gairahku yang sudah membara ini?" Dengan senyum kalem Suto Sinting menjawab,
"Terus terang saja. akutak punya gairah padamu, Delia.
Aku hanya punya rasa kagum pada kecantikanmu. keelokan tubuhmu dan...."
Pendekar Mabuk tak bisa bicara lagi. Delia melepaskan totokan dari jarak jauh menggunakan pandangan matanya. Totokan itu sama sekali tak disangka-sangka oleh Suto. Tahu-tahu lehernya terasa seperti disengat lebah dan ia menjadi sulit bicara. Deiia segera mengulurkan tangannya ke depan, tangan itu bergerak pelan-pelan keatas, dan tubuh Suto yang kekar itu terangkat melayang sendiri mendekati ranjang. Dengan kekuatan sihirnya, Suto pun dibaringkan pelan-pelan di atas ranjang itu. Pendekar Mabuk bergegas bangkit, tapi ada semacam kekuatan yang mendorongnya untuk tetap berbaring. Kekuatan itu sangat besar. sehingga tenaga dalam Suto tak mampu menyingkirkannya. Ratu Mahasihir naik keranjang dan mendudukiperut Suto dengan kedua kaki di kanan-kiri. Tangannya
mencengkeram baju dan matanya memandang penuh katajaman, namun juga punya getaran lembut yang mendebarkan hati Suto. Saat itu terdengar suaranya berkata dengan nada geram samar-samar.
"Ingat, Suto... aku sudah membebaskan kau dari hukuman atas kelancanganmu yang telah menggagalkan utusanku menculik Rara Ayu Kumala. Semestinya dia menjadi tumbal kekuatan sihirku. Tapi karena kau gagalkan rencana itu, terpaksa aku mengambil tumbal dari tempat lain. Sekarang aku berbaik hati padamu, Suto. Kau kuizinkan tetap hidup asal mau melayani gairahku yang sangat mendambakan pria seperti dirimu, Pendekar Jantan...." Di akhir kata Delia tersenyum nakal. Cengkeraman tangannya mengendur, kini berganti mengusap lembut dada Suto. Merapatkan tangannya di kulit dada yang kekar itu. Sambil meraba pelan, pinggulnya mulai bergeser nakai. Pendekar Mabuk merasakan desiran hatinya menjadi indah. Tapi hati kecilnya menolak keindahan tersebut. Hanya saja, ada semacam kekuatan gaib yang membuat Suto sulit menghindari api gairahnya. Setiap sentuhan tangan nakal Deiia selalu membuat jiwanya bagaikan hanyut di langit-langit kemesraan. Bahkan
ketika perempuan itu menunduk, lalu mencium piplnya,
Suto justru bergeseragar dapat mengecup bibir perempuan itu. Ketika bibir mereka bertemu, seolah-olah bibir Suto bergerak sendiri, lidahnya menari sendiri, dan dilumatnya bibir Delia dengan penuh gairah. Lumatan bibir itu dibalas oleh Delia lebih ganas lagi.
"Uuhk, huuk... een, eehk...!" Suto berusaha bicara tapi suaranya tak bisa keluar selain nada-nada serak. Delia tertawa cekikikan sambil memandangi wajah jantan yang sedang kasmaran itu.
"Aku yakin dia telah menggunakan kekuatan sihirnya untuk membangkitkan gairahkui Och, aku sulit menghindari hal ini," ujar Suto dalam hati.
"Aku harus mencari cara untuk melepaskannya. Tapi... tapi... oh, slall Dia pandai sekali membakar hasratku hingga berapi-api. Padahal sebenarnya aku jijik padanya. Aku tak suka padanya dan... dan... ooooh, kenapa kenikmatan ini kurasakan begitu indah sekali"! Lebih indah dari yang pernah kurasakan sebelumnya." Pertentangan batin dan naluri membuat Suto Sinting akhirnya menemukan langkah. Ia harus bisa bicara. Delia harus melepaskan totokan penyumbat suara
nya. Dengan bahasa Isyarat Suto meminta Delia melepaskan totokan itu. -
"Kau benar. Aku akan semakin bergairah jika mendengar suaramu mengerang, mendesah, dan menjerit. Kulepaskan totokanrnu, tapi berjanjilah akan menjerit jika kau merasakan nikmat. Setuju?" Pendekar Mabuk mengangguk. Kemudian kedua mata Delia menatap dan Suto merasakan sentakan halus di tenggorokannya.
"Ooh... terima kasih. Aku... aku sudah bisa bicara. Aku... oodoh, aku ingin meminum tuakku dulu, Delia."
"Tuakmu..."!"
"Gairahku hanya bisa berkobar dan menjadi ganas jika minum tuak dari bumbungku. Aku butuh tuak itu buat menandingi gairahmu, Delia."
"Oho, itu bagus sekali. Hmm, baikiah. Tunggu sebentar, kuambilkan bumbung tuakmu." Ratu Mahasihir menyentakkan tangan kanannya ke arah cermin dalam posisi kedua jari lurus kedepan. Tiba-tiba dinding cermin itu pecah tanpa suara. Dari dalam dinding cermin itu ada sesuatu yang melesat ke arah wanita itu.
Wuuut...! Dinding cermin itu utuh kembali, tak ada keretakan sedikit pun. Tetapi benda yang
keluar dari sana segera ditangkap oleh Della dengan tangkas. Teeb...!
Suto Sinting tersenyum kagum dan girang. Ternyata benda yang melesat dari dalam dinding cermin itu adalah bumbung tuaknya sendiri. Delia memberikan bumbung itu kepada Suto.
"Minumlah tuakmu, bangkitkan galrahmu sebesarbesarnya!"
Tuak itu tinggal separoh bumbung. Suto buru-buru menenggaknya, sementara Della mulai melepaskan penutup dadanya. Dua pasang bukit yang putih mulus dan menonjol ke depan dengan kencang itu kini bebas dari hambatan. Siap menerima pagutan.
Pengaruh kekuatan sihir yang membuat gairah Suto Sinting meledak-ledak kini menjadi reda setelah meminum tuak saktinya. Kesaktian sihir Delia ternyata dapat dikalahkan dengan kesaktian tuak dari bumbung keramat itu.
"Aku harus segera mencari kesempatan untuk pergi. Kurasa jalan terbaik untuk lolos dari sini bukan dengan mengadu kesaktian, tapi dengan cara menerobos jalur gaib," pikir Pendekar Mabuk sambil berlagak masih tersenyum-senyum di depan Delia, tangannya ma
sih dipaksakan untuk meremas-remas bukit kembar wanita itu.
"O, ooh... tunggu sebentar," sela Delia.
"Aku punya minyak khusus untuk membuat asmara kita lebih indah lagi."
Ia segera menghampiri meja rias yang berada dalam jarak lima langkah dari ranjang. Di sana ada beberapa peralatan rias dan cawan keramik. -
Pada saat Della mengambil cawan keramik itulah Suto merasa punya kesempatan untuk masuk ke alam gaib. la buru-buru mengencangkan ikat plnggangnya yang tadi sudah kendor karena kenakalan Delia. Kemudian dengan masih berlutut di atas ranjang, tangan kanan suto mengusap keningnya satu kali.
Seet...! Noda merah di keningnya yang hanya bisa dilihat oleh orang berilmu tinggi itu telah membuat Suto sinting lenyap dari atas ranjang.
Laaap...! Ia masuk ke alam gaib dan bergegas pergi rneninggalkan Pulau Hamzia.
Sri Bagandi Delia terperanjat bengong melihat Pendekar Mabuk sudah tidak ada ditempat.
"Keparat! Dia melarikan diri"! Tapi... tapi bagaimana mungkin dia bisa keluar dari ruangan ini?"
Delia mencoba mencarinya dengan pandangan
mata. Bahkan ia berdiri diatas ranjang dan memandang ke sana-sini. Yang dilihat hanya beberapa sosok dirinya yang memantul melalui dinding kaca.
"Pendekar Mabuk...."! Sutooo..."! Keluarlah dari persembunyianmu! Kau mengecewakan hatiku, Suto! Ayolah, jangan membuat aku benar-benar kecewa karema ulahmu ini. Keluarlah sekarang juga sutooo... Cepat keluar! Aku sudah tidak sabar menunggu kemesraanmu, Kekasihku!" - Setelah beberapa saat Delia mencari, bahkan dengan kekuatan mata batinnya ia mencari Suto tapi ternyata pemuda itu tidak ada di ruangan tersebut, maka mengamuklah wanita itu. Kedua tangannya menyentak ke samping dengan teriakan marahnya. "
"Kuhancurkan kau, Sutooo...! Heeaah...!" Praaaang...! Duuuurrr...! Semua dinding kaca pecah dalam sekejap. Tapi serpihan belingnya lenyap begitu menyentuh lantai. Bangunan itu sendiri bergetar bagaikan akan roboh. Salah satu sisi dinding dijebolnya dengan satu sentakan tangan ke depan.
Bruuuil...! Delia segera ke
luar dari ruang Ladang Asmara setelah mengenakan jubahnya.
"Pengawal...! Cari Pendekar Mabuk di sekitar sini dan seret dia ke hadapanku!" perintahnya dengan berseru keras-keras.

6
NODA merah di kening Suto adalah tanda kehormatan yang didapat dari Ratu Kartika Wangi, calon ibu mertuanya sendiri. Noda merah itu selaln sebagai tanda bahwa Suto Sinting adalah Manggala Yudha Kinasih dari negeri Puri Gerbang surgawi yang ada di alarn gaib, juga sebagai kunci untuk keluar-masuk ke alam gaib. Dengan mengusap moda merah itu, dalam sekejap saja Suto akan pindah dari alam nyata ke alam gaib. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode manusia seRibu wajah"). Tapi rupanya Sri Bagandi Delia alias si Ratu Mahasihir lambat laun mengetahui ke mana arah kepergian Pendekar Mabuk. Maka dengan kekuatan sihirnya ia mencoba mencarinya ke alam gaib. Delia juga dapat keluar-masuk alam gaib dengan bantuan kekuatan sihirnya.
"Jika dia benar-benar masuk kealam gaib. ini merupakan kesaktian yang tidak kusangka-sangka dimiliki olehnya, pikir Delia.
"Jika kutahu dia mempunyai ke
saktian seperti itu, maka jauh-jauh hari sudah kutotok
dulu jalur gaibnya itu biar tidak bisa digunakan untuk sementara waktu." - Pendekar Mabuk benar-benar tak pedull lagi dengan perasaan Della. Walaupun ia dapat menduga betapa besar kekecewaan si Ratu Mahasihir itu, betapa sedih hati wanita cantik itu atas kehilangannya, betapa murka sang Sri Bagandi menerima kenyataan sepahit itu, tapi kepedulian Suto sudah tak ada lagi. Kini ia melangkah di alam yang aneh. Hutan yang dilaluinya adalah hutan cemara berdaun putih.
Batang batang pohonnya juga berwarna putih. Cemara-cemara itu menyebarkan aroma wangi segar, seperti wangi minyak kayu putih. Pohon-pohonnya yang tumbuh dalam jarak renggang mempunyai tanah berumput seperti permadani. Rumput itu juga berwarna putih lembut seperti bulu angsa. Tak ada matahari, tak ada rembulan. Tetapi suasananya tetap terang, walau terang-terang redup, seperti cuaca di waktu mendung. Langkah menyusuri alam gaib itu tiba-tiba terhenti oleh kemunculan seraut wajah cantik anggun berjubah tipis warna merah jambu. Wanita berperawakan tinggi, sekal, dan montok itu tiba-tiba saja muncul di depan
Suto sinting seperti keluar dari dalam pohon. Rambutnya yang panjang meriap tanpa ikat kepala itu bergerak- gerak ditlup angin sepoi-sepoi sejuk. Aromawangi cendana bercampur mawar menyebar kuat bagaikan ingin memenuhi seluruh hutan cemara putih itu.
Pendakar Mabuk terperanjat sekali begitu melihat wanita cantik bergiwang putih berlian itu. Rasa kagetnya bukan timbul karena wanita cantik itu tidak mengenakan kain penutup dada, sehingga kedua bukitnya tampak membayang di balik jubah tiplsnya itu, tapi karena ia sangat kenal dengan wanita cantik tersebut. Suto tahu persis, wanita itu mempunyai tato gambar bunga indah di bagian punggungnya. Siapa lagi wanita berlato itu kalau bukan si Bidadari Maut, alias Ramita Mawangi, penjaga petilasan Candi Bismara. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "RATU PAKAR SELINGKUH").
"Ramita..."!" sapa Pendekar Mabuk sambil sunggingkan senyum ceria dan hatipun berdebar-debar. Karena selama ini hanya Ramita Mawangi yang dapat membuat Pendekar Mabuk sering disiksa rasa rindu dengan kemesraan asmara. Baginya, Ramita Mawangi adalah obat penawar rindunya kepada Dyah Sarining rum, karena kecantikan Ramita Mawangi hampir senilai
dengan kecantikan dan daya tarik Dyah Sariningrum.
Tak heran jika Pendekar Mabuk segera memeluk
Ramita Mawangi dan mengecup bibir perempuan itu dengan lembut. Suto tak berani membiarkansi Bidadari Maut itu tersenyum lebih lama, sebab iapernah pingsan gara-gara mendapat senyuman Sungging Kahyangan' dari wanita bertubuh menggairahkan itu.
"Mengapa kau ada di sini, Ramita?"
"Aku mendapat kabar dari Perawan Sinting dan Ratu Rimba, tentang si Ratu Mahasihir yang telah menculikmu dan membawamukeistananya. Mereka berdua ingin menyerang ke negeri Hoazing. Kuingatkan pada mereka, bahwa ilmu mereka tak akan cukup buat melawan Ratu Mahasihir, tapi mereka nekat pergi ke sana. Aku terpaksa menotok mereka hinggatak berkutik. Aku pun segera bergegas ke negeri itu dengan menggunakan jalurgaib ini. Tapiternyata kau justruada di sini."
"Aku melarikan diri dari ratu sihir itu."
"Syukurlah jika kau sudah bisa meloloskan diri dari cengkeraman wanita binal itu!"
"Tapi bagaimana dengan Perawan Sinting dan Ratu Rimba?"
"Kutinggalkan di pantai. Sebaiknya kita segera ke
sana membebaskan mereka. Tak ada orang yang bisa membebaskan totokan mereka jika bukan diriku sendiri." Tiba-tiba sebuah suara menyahut dari belakang Pendekar Mabuk.
"Lagakmu seperti orang yang hebat saja, Bidadari - Maut!" suara itu membuat Suto sinting tersentak kaget, lalu buru-buru berpaling ke belakang. Ramita Mawangi tetap tenang, tanpa rasa kaget sedikit pun. Pendekar Mabuk memandang dengan dahi berkerut dan suara bergumam pelan. -
"Delia..."!"
"Kalau tahu kau punya kesaktian seperti ini, sudah kulumpuhkan lebih dulu sebelumkau masuk ke Ladang Asmaraku, Pendekar Mabuk!"
'ah, ini hanya kesaktian kecil-kecilan saja, jawab Suto Sinting seenaknya. Senyumnya pun terkesan tenang, tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Rupanya kau punya hubungan dekat dengan si keparat Bidadari Maut itu, suto?"
"Oh, iya! Dekat sekali. Aku merasa lebih baik bercinta dengan Bidadari Maut daripada bercumbu de
nganmu, Wanita kejl!"
Delia semakin menggeram. Wajahnya menjadi merah menahan marah. Sorot matanya penuh kebenclan, sedangkan Suto Sinting justru semakin melebarkan senyum dan kian merapat di samping Bidadari Maut.
"Agaknya kau memang tak pantas diajak menikmati kemesraan, Suto. Kau lebih pantas dikirim ke neraka jahanam, dan bercintalah dengan mayat-mayat terkutuk di sana: Ramita Mawangi segera angkat bicara. Suaranya tetap tenang dan mengandung wibawa tersendiri. -
"Kau tak akan bisa berbuat apa-apa terhadap diri Pendekar Mabuk selama Bidadari Maut masih berdiri di sampingnya, Delial"
"Hmmh...!" Delia mencibir,
"Rupanya kau ingiri membangkitkan borok lama kita, Bidadari Maut. Aku jadi teringat dengan pengkhianatanmu yang memihak orang-orang Tibet dalam penyerangan ke negeriku!"
"Tak ada salahnya jika kita tuntaskan sekarang juga!" tegas Ramila Mawangisambil sedikitmendorong Suto agar menjauhinya.
"Ramita, biar aku yang menanganinya," bisik Suto. .
"Jangan... Aku dan dia masih punya persoalan yang
belum selesai." "Sekarang kau tambah dengan persoalan baru!" sahut Delia.
"Kau telah merusak asmaraku, Bidadari busuk! Kita jadikan pertarungan ini sebagai pertarungan asmara. Biar jelas, siapa yang berhak membawa pergi Pendekar Mabuk!"
"Aku keberatan, Delia. Pertarungan ini adalah kelanjutan masa lalu kita. Bukan karena asmara!"
"Terserah apa katamu! Tapi kau memang sudah waktunya kukirim ke neraka!" Delia semakin menggeram penuh dendam.
Delia membelalakkan mata, seperti menyentakkan pandangan. Ramita Mawangi terdorong mundur, tapi hanya dua langkah. Dadanya merasa dihantam dengan palu godam. Untung ia cepat mengendalikan tenaga dalamnya, sehingga yang dirasakan hanya dorongan besar tanpa nyeri. pendekar Mabuk sengaja mundur, memberi kesempatan kepada Ramita Mawangi untuk melakukan pertarungan secara ksatria. Ramita Mawangi justru bangga dan pertarungannya merasa dihargai. sehingga semangatnya untuk menjatuhkan Ratu Mahasihir se
makin besar. Delia menyerang lagi dengan mengayunkan kedua
tangannya ke depan seperti orang mengusir ayam.
Wuuut...! Dari dalam tanah timbul letusan beruntun.
Letusan itu merayap cepat dari tempatnya berdiri sambil ke tempat Bidadari Maut berdiri.
Tar, tar, tar, tar, tar. tar, tar, traarr...!
Weerrr...! Bidadari Maut melambung di udara dalam gerakan berjungkir balik cepat. Tak satu pun letusain itu mengenai dirinya.
Ketika mendarat ke tanah berumput putih kedua tangannya menyentak ke samping.
Beet...! Tanah berguncang sesaat. Tiba-tiba pohon cemara yang ada di sekitar Della bergerak-gerak meliuk, dahan-dahannya menyambar cepat ke tubuh Delia.
Wuuurt...! Bruuus...! Delia terkapar ke arah kiri. Dari arah kiri ada lagi dahan cemara yang menyabetnya seperti ekor naga.
Buuhkk...! Suto terperangah kagum melihat ilmu Ramita Mawangi. Delia dibuat bulan-bulanan oleh pohon-pohon cemara yang bisa bergerak seperti manusia. Tentu saja. hal itu terjadi karena Ramita Mawangi menggunakan kekuatan sihirnya pula.
Berkali-kali Delia terlempar ke sana-sini dalam keadaan babak belur, akhirnya ia menghantamkantangan kanannya ke tanah. Buuhk...! /
Tiba-tiba pohon cemara di sekelilingnya itu lenyap tanpa bekas sedikit pun kecuali kerontokan daunnya tadi.
Zaab...! Tanah menjadi lapang. Seolah-olah tak pernah tumbuh pohon di sekeliling Delia. Pohon-pohon yang masih utuh berada dalam jarak sekitar dua puluh langkah dari tempat itu. -
Delia bangkit dengan wajah makin beringas. Memar di kulit tubuhnya bergerak-gerak menipis, lamalama hilang seperti disapu angin. Tangan Delia dikibaskan. jubahnya ikut berkibar.
wuursss...! Hawa panas datang dan berhembus ke arah Bidadar! Maut.
"Jauhi aku!" seru Bidadari Maut kepada Pendekar Mabuk,
"Udara ini beracun!"
Zlaap, zlaap...! Suto bergerak secepat bayangan. Tahu-tahu ia ada di belakang Delia, dengan begitu ia tak terkena hembusan angin beracun.
Bidadari Maut tetap berdiri di tempatnya'la melawan angin beracun itu walau kulit wajahnya mulai tampak merah. Ia tetap merapatkan kedua tangannya di de
pan dada. Rambutnya meriap-riap dihembus angin beracun. Satu demi satu rambut itu pun rontok. - Sebelum kerontokan itu berjumlah banyak, Ramita Mawangi sudah lebih dulu menyentakkan satu tangannya ke langit.
Beet...! seketika itu juga tubuh Delia terlempar melambung ke atas cukup tinggi.
Wuuuuss...!la seperti roket yang diluncurkan dari bumi. Begitu tingginya sampai-sampai yang bisa dilihat Suto hanya satu titik jingga sedang melayang dilangit tinggi. . Namun dari ketinggiannya itu, Della masih bisa mengirimkan sinar merah berlarik-larik.
Cralaap...! Sinar merah itu menyebar bagaikan kerangka sebuah payung. Setiap larik sinar menyebarkan hawa panas yang membuat pucuk-pucuk cemara menjadi layu. Bahkan beberapa cemara di seberang sana mulai berasap, akhirnya terbakar. . Delia melayang turun. Bidadari Maut kembali mengibaskan tangannya dalam posisi datar, dari kanan ke kiri.
Wuuuurrss...! Angin 'kencang datang. Angin itu mengandung hawa dingin yang amat menggigiilkan badan. Pucuk-pucuk cemara yang terbakar menjadi padam seketika. Cahaya merah dan angin panas lenyap dalam sekejap. Kini yang ada hanya udara dingin serta busa-busa salju yang bertaburan seperti serpihan te
pung terigu. - Sebelum kedua kaki Delia menyentuh tanah, ia sudah lebih dulu menyentakkan tangannya ke depan, ke arah lawannya. Sentakan tangan itu mengeluarkan puluhan ekor lebah. Lebah-lebah warna merah itu menyebar menyerang Bidadari Maut dengan liar. Suaranya menggaung keras, membuat Pendekar Mabuk semakin terperangah tak berkedip. Tetapi agaknya Bidadari Maut juga tak mau kalah hebat. Kedua tangannya ditarik dari atas ke bawah sampai pundak, mulutnya dilebarkan dengan napas menyentak.
"Hahh...!" Dari dalam rnulut itu tersembur kobaran lidah api
- yang dengan cepat membakar habis lebah-lebah merah itu. Setiap lebah yang terbakar menimbulkan letusan kecil, sehingga suara yang timbul seperti suara petasan berondong dibakar.
Trarr, taar, taar, toor, taar, toor, tooor, daar. daar. toor...!
"Hmmmrrrhm...!" Delia mengeram iengkel. Setiap serangannya dapat dilumpuhkan lawan.
"Kali ini kau tak akan bisa melawanku lagi, Bidadari
Maut Hiaaah...!" Delia merenggangkan kaki dan sedikit membung.
kuk. Tangannya disabetkan seperti kapak membelah tanah. seketika itu juga tanah menjadi retak dan Bidadari Maut terperosok ke dalam celah tanah itu.
Bruus...! Begitu melihat lawannya terperosok, tangan Delia segera disentakkan naik dalam keadaan menggenggam.
Wuuut...! "HIaaahh..." Tanah merapat lagi menggencet tubuh Bidadari Maut.
Zrrek...! - - - "Aahk...!" Bidadari Maut menyeringai. Lambungnya terasa mau pecah. Gencetan itu semakin kuat, seakan ingin memotong tubuhnya menjadi dua bagian. - Delia semakin memperkuat genggaman tangannya. Tangan itu sampai bergetar, giginya menggeletuk kuat-kuat sementara keringatnya mulai bercucuran. Ia mengerahkan kekuatan sihir yang dipadukan dengan kekuatan tenaga dalamnya.
"Celaka Mampus dia sekarang" Aku harus segera bertindak!" pikir Pendekar Mabuk. Namun sebelum murid Gila Tuak itu bertindak. Bidadari Maut menghantam kedua telapak tangannya
ketanah. Buuummm...! Tubuhnya terpental ke atas dengan keras.
Bwweerss...! Pada saat Bidadari Maut melambung dengan rambut meriap dan jubah beterbangan, tangan kanannya segera berkelebat ke depan seperti melemparkan pisau dari punggung.
Wuuut...! Empat jari tangannya yang lurus dan kaku itu mengeluarkan sinar hijau kecil sekali, sekecil benang. Empat sinar hijau itu melesat cepat menghantam dada Ratu Mahasihir. Kedua tangan Delia ingin menghadang sinar tersebut, tapi teriambat bergerak. -
Blaaaarr...! Delia terkapar sejauh delapan tombak. Tubuhnya berasap, rambutnya terbakar, nyaris bondol. Kulit tubuhnya menjadi merah kehitam-hitaman. Ia terluka parah. Terbukti mulutnya menyemburkan darah kental berwarna hitam.
"Bangsat!" makinya dengan suara berat.
"Tunggu pembalasanku, Jahanam!"
Blaasss...! Delia melompat, tahu-tahu lenyap bagaikan ditelan bumi. Ia melarikan diri, karena merasa berbahaya sekali jika melanjutkan pertarungan dalam keadaan luka parah seperti itu.
Suto ingin mengejarnya, tapi Bidadari Maut melarangnya. Perempuan itu terengah-engah dengan wajah pucat seperti mayat.
"Bagaimana keadaanmu. Ramita?"tanya Suto dengan cemas.
"Aku butuh tuakmu. Racun ini semakin mengganas , dalam darahku?"
"oh, ya... baik. Baik..." -
Ramita Mawangi alias si Bidadari Maut itu berhasil menangkal keganasan racun tersebut dengan menenggak tuak sakti Pendekar Mabuk, wajahnya yang pucat mulai tampak segar kembali. Pendekar Mabuk tersenyum lega.
"Mau tuak lagi" Mau kutuangkan dari mulutku ke mulutmu?"
Ramita Mawangi tersenyum anggun.
"Simpan saja acara itu buat nanti. Sekarang kita harus temui Perawan Sinting dan Ratu Rimba, Kalau terlalu lama mereka bisa mati membeku karena totokan 'Gurun Salju'-ku."
Mereka segera keluar dari alam gaib dan menemui Perawan Sinting serta Ratu Rimba. Namun apakah kedua gadis itu akan melanjutkan pertarungan duel asmaranya jika mereka tahu Pendekar Mabuk telah be
bas" Ataukah mereka justru akan menyerang Ramita Mawangi, karena Suto tampak akrab sekali dengan Bidadari Maut itu"
SELESAI Segera terbit MASKAWIN MAUT Edit Teks : Saiful B