Pendekar Mabuk 114 - Kemunculan Iblis Merah(1)




 1
HUJAN turun bersama anak-anak petir yang jejing- krakan. Bahkan kabut ikut berkeliaran di sana- sinl, seakan Ingin menyeiubungi seiuruh alam dunia.
Puncak Gunung Buana manjadi lenyap. Bukan karana dicuri orang, tapi karena diselimuti oleh kabut tebal. Kabut itu merayap hingga ke pertengahan lereng gunung tersebut.
Di sela-sela derasnya hujan, tampak sesosok bayangan berkelebal menuju ke suatu tempat.
Entah bayangan setan. atau bayangan hantu, yang jelas bayangan ilu mempunyai kecepatan gerak cukup tinggi.
Ternyata bayangan itu menuju ke sebuah pondok.
Pondok yang dituju berpagar bebatuan tumpuk-menumpuk. Tinggi pagar batu itu sekitar tiga tombak. Sulit dilompati jika tidak menggunakan ilmu peringan tubuh.
Ternyata bayangan ilu berkelebai dengan ringan- nya melempari pagar batu tinggi itu. Seperil kapas di- hembus angin kencang, ia melayang melintasi bagian atas pagar batu.
bruuk. Ternyata dl balik pagar batu itu sl bayangan jaluh tersungkur. Orang iiu menyeringai sambil menggerutu memegangi kaki kirinya yang terkilir.
"Sial.. Sudah hebat-hebat bisa lompat setinggi itu, eeh... belakangannya jatuhi" gerutu orang itu dalam hati.
Tanpa pedulikan rasa sakit di kaki, tanpa peduiikan hujan tetap membuat tubuhnya basah kuyup, orang itu segera mendekati bangunan kayu beratap tinggi.
Bangunan itu model panggung dan mempunyai dua lantai, atas dan bawah.
Dengan menggunakan ilmu peringan tubuhnya, orang yang terkilir itu melesat ke atas untuk mencapai Ioteng.
Wuuut, weea... Tiba-tiba butiran hujan bagaikan menggumpal sebesar boia padat, lalu menghantam lambung orang itu dengan keras.
Bhook... "Aaakh...I" orang itu terpekik sambil tubuhnya terpenlal ke arah lain. la kehilangan keseimbangan badan, walau sudah berusaha meraih ranting pohon yang melengkung ke arahnya.
Breet... Prruua... Hanya beberapa daun ranting yang tertangkap dalam genggamannya. Mau tak mau orang itu pun jatuh terbanting dengan sangat menyedihkan.
Bruuuuk... "Uuuukh... i" orang itu mengerang sambil menahan rasa sakit.
sekelebat bayangan meiintas cepat.
Wuuasm. Bayangan Itu menyambar orang yang jatuh, tapi segera.
  dilemparkan ke bagian serambi berlantai papan setinggi empat jengkal dari permukaan tanah.
Gubrraak... "Wadooww... orang itu berteriak lebih kesakitan lagi, karena tubuhnya bagaikan dlbanting oleh si penyambar. Kepalanya lebih dulu membentur lantai papan, sehingga rasa sakitnya bertambah tinggi. Begitu tingginya rasa sakit itu. sampai sampai nyarls disambar petir.
Jedaaar... Kiatan cahaya patir berkerilap menerangi tempat itu sekejap. Orang yang menyeringai kesakitan itu sempat melihat sesosok tubuh berbetis indah dan seksi berdiri tak jauh darinya. Jelas orang itu adalah seorang perempuan, karana menurut si penyusup, orang itu berwajah cantik, menawan hati.
sambil duduk mengusap-usap kepalanya yang benjol, orang itu dongakkan wajah untuk memandang si wajah cantik. Ternyata yang dipandang adalah gadis cantik berusia sekitar dua puluh lima tahun dengan rambut sebahu potongan shaggy dengan ikat kepala kain benang emas.
Sebuah rompi ungu bertepian rumbai-rumbai dipakai menutup tubuhnya yang tinggi seksi berdada montok.
Rompi itu sangat pendek, sehingga pusarrlya yang terletak di perut berkulit mulus itu terlihat jelas. Kain bawahnya yang berwarna ungu juga itu dibentuk seperti cawat atau celana pendek, sehingga boleh dikata sebagian besar pahanya terpampang dengan gamblang.
Kuning mulus tanpa tato. Gadis b?rkaiung hitam dengan bandul batuan warna ungu itu tak iain adalah murid mendiang Nyai Gagar Mayang yang mempunyai nama asli Darlingga Prasti, atau lebih dikenal dengan nama julukannya: Perawan Sinting.
Orang yang dianggap sebagai panyusup itu juga tahu bahwa
gadis itu adalah Perawan sinting.
sahabat akrabnya Suta sinting, si Pendekar Mabuk iiu.
Orang yang dianggap penyusup itu juga tahu, bahwa iimu Perawan sinting cukup tinggi. perangainya berkesan galak dan konyol, oleh sebab itu orang tersebut tak berani banyak tingkah di depan gadis cantik yang sudah menentang pedang di tangan kirinya itu.
'Siapa yang menyuruhmu menyusup kemarit"'.
bentak Perawan sinting sambil mengarahkan ujung pedang yang masih bersarung ke dagu orang itu.
"Sab sabar... jangan meng-anu aku dulu Aku tidak barmaksud mau anu-anuan denganmu. Eh, maksudku...
hmmm... aku tidak bermaksud main-main denganmu.".
"Ngomong yang jelas" bentak Perawan sinting dengan mata melebar. Orang yang dibentak semakin grogi.
"Anu". jadi... anu, begini... anu....".
Perawan sinting menarik tubuh orang itu dengan mencengkeram baiu hitamnya. Seei, wuuut...
ia.   menentengnya dengan tangan kanan, sementara tangan kiri yang memegangi pedang bersarung masih diarahkan ke leher orang tersebut.
"Kalau kau tak rmu bicara dengan jelas, kurobek Iehermu dengan pedang ini, Sawung Kuntet" gertak, Perawan sinting.
Rupanya ia masih mengenali orang pendek berpakaian serba hitam iiu sebagai Sawung Kuntet, sahabat Pendekar Mabuk.
Hanya saja, karena kedatangan Sawung Kuntet dengan cara seperti orang menyusup, maka Perawan sinting pun bercuriga buruk padanya.
Ia tidak suka pondoknya didatangi tamu yang tidak permisi lebih dulu.
"Aku". di-anu oleh Eyang Cakraduya untuk menganu...
"Meng-anu bagaimana"i".
"Mak... maksudku, menghubungimu. Aku diutus Eyang Cakraduya untuk menghubungimu, dan memberi tahu bahwa kau harus berhati-hati sebab ada bahaya yang akan mengancammui" tutur Sawung Kuntet yang gemar menggunakan istilah anu untuk mengganti kata yang dimaksud.
"Tapi mengapa kau meiompati pagar podokku" Mengapa tidak lewat pintu masuk?" "Pintu masuk dl-anu... eeh, ditutup. Sedangkan aku sudah kehujanan sejak tadi. Dingin. Sekaligus kucoba menggunakan jurus peringan tubuh pemberian Eyang Cakraduya. Ternyata hebat juga iho. Bisa lompat ae....".
"Sekali lagi kau berbuat begitu, kubunuh kaui" sahut Perawan sinting seraya melepaskan cengkeramannya.
"Kita bicara di daiam" sentak Perawan sinting yang menandakan telah membuang kecurigaan buruknya terhadap kedatangan Sawung Kuntet.
Perawan sinting kenal nama Eyang Cakraduya yang tinggal di Bukit Sutera bersama kedua cucunya: Candu Asmara dan Mirah Cendani. Tapi hubungan itu tak terlalu akrab, karena Perawan sinting tahu bahwa Candu Asmara menaruh hati kepada Pendekar Mabuk.
Di luar urusan asmara, Perawan sinting juga tahu bahwa mereka berasal dari goiongn putih, "hingga Perawan sinting berusaha hindari bentrokan dengan Candu Asmara.
"Bahaya apa makaudmu tadi?" tanya Perawan Slnting setelah meraka berada di dalam pondok.
"seorang utusan dari kadipaten simpang Jagat mengincar anumu.".
mesum.. Mengincar anuku"i" Perawan sinting mendelik.
"Eh, maksudku... mengincar pedang pusaka milikmu yang bernama Pedang Galih Petir".
Perawan sinting makin terperanjat.
"siapa orang yang menghendaki pedang pusakaku"i".
  "Eyang cakraduya tidak sebutkan anu-nya, ehh...
tidak sebutkan orangnya. yang jelas, aku diutus untuk memberitahukan bahaya lnl kepadamu. sebab, menurut cerita Eyang Cakraduya, semasa mudanya beiiau bersahabat akrab dengan seorang wanita cantik yang tidak mau menikah. wanita cantik itu bernama Nyai Gagar Mayang. Wanita itu mempunyai anu keramat.
Hmmm... maksudku mempunyai pedang keramat yang bernama Pedang Galih Petir. Eyang Cakraduya mendengar kabar bahwa Nyai Gagar Mayang punya anu cantik, eeh.. punya murid cantik yang bernama Perawa n sinting. Muridnya itu anu~nya besar sekali...".
Plaak... Sawung Kuntet ditampar. "Kurang ajar Berani~beraninya kau bilang aku punya anu besar sekail, hah" Memangnya kau sudah pernah melihat anu-ku?".
"Mmm, mmm, mmm... maksudku, punya nama besar sekali. Artinya, nama Perawan Sinting adalah
nama yang cukup dikenai di kalangan rimba persiiatan, khususnya di sekitar Lereng Gunung Buana ini Jangan salah paham duiu" sentak Sawung Kuntet dengan bersungut-sungut karena pipinya merasa seperti diaengat pakai setrika akibat tamparan gadis cantik itu.
Kabar itu membuat Dariingga Prasti terdiam beberapa saat. Sesuatu yang direnungkan membuat dadanya berdegup-degup seperii mau pecah. Mendengar ada orang yang mengincar pedang puaakanya, darah.
  gadis itu bagaikan mendidih, seohh-olah bisa untuk menyeduh kopi.
Pedang Galih Petir memang bukan pedang sembarang pedang. Pada mulanya pedang itu milik Nyai Gagar Mayang, yaitu keturunan ketujuh dari Eyang Gusti Nyimas Pandewi, istrinya Eyang Agung Cipta Mangkurat.
Tokoh supertua yang bernama Cipta Mangkurat itu punya cucu bernama Wijayasura. yaitu tokoh sakti yang jika namanya disebutkan akan mendatangkan badai' petir mengerikan. Wijayasura menjelma menjadi bambu bumbung tuaknya Pendekar Mabuk.
Nyimas Pandewi menjelma menjadi Pedang Galih Petir yang cukup dahsyat, sedangkan suamlnya, yaitu Eyang Agung Cipta Mangkurat menjelma menjadi Pedang Kayu Petir yang merupakan pusaka maha sakti di rimba persiiatan.Pedang Galih Petir diwariskan kepada Perawan sinting, sebab Perawan sinting adalah murid tunggainya mendiang Nyai Gagar Mayang.
Sedangkan, Pedang Kayu Petir disimpan oleh Resi Wulung Gading yang kelak akan diserahkan kepada Suto sinting untuk membunuh musuh utamanya, si manusia paling terkutuk: Durmala Sanca alias Siluman Tujuh Nyawa, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Perawan sinting" dan "Pedang Kayu Petir').
"Apakah Eyang Cakraduya tidak sebutkan ciri-ciri orang yang mencari pedangku" tanya Perawan Sinting.
"Tidak," jawab Sawung Kuntet.
"Eyang hanya utus aku agar segera menuju ke Lereng Buana untuk meng-anu-mu, eh.-.. untuk manemuirnu.".
Perawan sinting menyelipkan pedang pusakanya di pinggang. Biasanya pedang itu ditaruh di punggungnya, tapi dalam keadaan darurat bisa saja diseiipkan di pinggangnya. Matanya pun diarahkan ke guyuran air hujan yang mulai mereda. Tak sederas tadi.
Bertepatan dengan itu, tampak olehnya sekeiebat bayangan melompati pagar batu yang mengelilingi pekarangan pondoknya.
Perawan Slntlng terkesiap dan Sedikit tegang. membuat Sawung Kuntet jadi curiga, lalu ikut memandang ke arah luar.
Tetapi sebeium Sawung Kuntet menemukan sesuatu yang mencurigakan itu, Perawan sinting sudah lebih dulu berkeiebat keluar dengan kecepatan tinggi.
Weesss... Plak... "Auuw...". Sawung Kuntet terpekik kesakitan karena kepalanya tak sengaja terkena terjangan kaki Perawan sinting. Orang pendek yang kumisnya seperti kelelawar itu terjungkal ke depan, menggeiinding di lantai dengan sangat manyedihkan.
"Dasar sinting" makinya tak keras sambil menyeringai mengusap-usap kepalanya yang terkena terjangan jempol kaki Perawan sinting itu.
Sawung Kuntet segera tak pedullkan penglihatannya yang kepyur-kepyur akibat pusing itu. la segera bangkit dan ikut keluar dari pondok.
Jegaaarrr... itu suara petir. Biaaarrr... Yang inl suara dua tenaga dalam beradu. Sawung Kuntet mencari dari mana datangnya ledakan menggelegar itu, sebab di depan pondok Ia tak melihat Perawan sinting. Maka ia pun bergegas ke samping pondok melalui emperan beratap pendek.
"Hilang?" gumam hati si Sawung Kuntet. "Ke mana perginya Anu Siniing ilu"|".
Namun ketika pandangan matanya dilepas ke atas atap, Sawung Kuntet segera terperangah melihat dua orang yang sedang bertarung dengan tangan kosong.
Di tengah curahan air bulan, Perawan sinting tampak sedang menyerang seorang lawannya yang mengenakan tudung hitam. orang itu adalah seorang lelaki berpakalan serba abu-abu dengan senjata golok di pinggangnya. Seniata itu belum dicabut karena si pemakai tudung hitam masih ingin mengandalkan pukulan-pukulan tenaga dalamnya.
Dalam sekali lompat, orang bertudung hitam itu berhasil menjejak punggung Perawan sinting setelah la bersalto melintasi
kepala si gadis. Huuukh.. Jejakan itu membuat tubuh Perawan sinting tersentak ke depan dan nyaris menggelinding jatuh dari atap. Tapi ternyata Perawan sinting bukan gadis lemah tanpa kelincahan.
Begitu tubuhnya Ingin jatuh tersungkur, ujung telunjuk kanannya menyentuh atap dan membuat satu sentakan bertenaga dalam, sehingga dalam kejap berikutnya tubuh gadis iiu berhasil melenling di udara dan bersalto satu kali.
Wuuuut, jleeeg... ia berhasil berdiri kembali dengan kedua kaki tegak sedikit melenggang. Posisinya yang membelakangi lawannya membuat sang lawan merasa punya kesempatan lepeskan pukulan jarak jauh. Telapak tangan orang bertudung hitam iiu menyentak dengan keluarkan hawa padat yang cukup berbahaya.
Suuut... Perawan sinting merasa didekati hawa padat yang aneh, sehingga dengan sekail sentakkan kaki tubuhnyapun melenting dl udara cukup tinggi.
Wuuuus...l Wuuk, wuuuk...
Dua kali gerakan jungkir balik membuat hawa padat lawan lolos dan sasaran. Kini justru Perawan sinting yang melepaskan pukulan dalam keadaan tubuhnya melayang turun.
"Uuuuuaooww... Pekikan khas Perawan sinting membuat lawan menggeragap setengah kejap, sehingga ketika tenaga dalam yang keluar dari sentakan telapak tangan kanan Perawan Slnting mendekatinya, sang lawan terlambat menghindar dan akhirnya dadanya terhantam pukulan.
    hawa padat seperti batu sebesar kepala kerbau itu.
Bhaaak... "0uaaakh... si tudung hitam teriempar kuat-kuat, jatuh dari atap tepat di atas gerangan air.
Jrebrauaak... "Uuuuaoow..." pekik Perawan sinting dengan liar sambil melayang turun dekati lawannya. Kakinya jatuh tepat di perut lawan.
Buukh... "heeekh..."i".
orang bertudung hitam itu mendelik dalam keadaan tudungnya lepas dari kepala. Mulutnya semburkan darah, perutnya seperti dlgencei batu besar.
Sebenarnya orang bertuduhg hitam itu masih bisa tertolong jiwanya. Perawan Siming sengaja tidak bermaksud menghabisi nyawa orang itu, sebab ia ingin tahu siapa orang tersebut dan apa perlunya menyusup ke pondoknya.
Tetapi ketika Perawan sinting mencengkeram baju orang itu untuk berdiri, tiba~tiba tangan orang itu mengambil sesuatu dari balik ikat pinggangnya. Bukan golok yang diambilnya, tapi sesuatu yang tak jeias bentuknya.
Lalu, barang yang diambilnya iiu dimasukkan ke dalam mulut secara cepat.
Haaap.... Orang bertudung ilu tampak sedang menelan benda tersebut. Ketika Perawan sinting menyeretnya ke emperan pondok, orang itu tiba-tiba mengejang. Matanya mendeilk mulutnya ternganga seperti ingin berteriak. Kejap berikutnya, tubuh kejang itu menjadi terkulai lemas.
Mulutnya hamburkan napas panjang.
Kemudian orang itu pun tak bernyawa lagi. ia telah mati bunuh diri dengan cara menelan sesuatu yang diambil dan selipan ikat pinggangnya tadi.
 

2
HUJAN telah reda sejak kemarin. Perawan sinting meninggalkan pondoknya didampingi Sawung Kuntet. Mereka mencari Pendekar Mabuk yang sama-sama punya nama sinting juga itu.
Biasanya orang yang mendampingi Perawan sinting adalah sl raja tipu: Mahesa Gibas. Pemuda mantan pelayan kadlpaten itu memang lemah.
Tapi tipu musilhatnya sering dimanfaatkan oleh Perawan sinting untuk menundukkan lawan.
Hanya saja, pada saat Sawung Kuntet datang ke Lereng Buana, si jago tipu itu tidak ada di tempat. ia sedang kasmaran dengan seorang perempuan yang punya gelar 'janda asli'. dan ia sedang disekap dalam pondok sang janda yang dekat pantai.
"Jika nami kita bertemu dengan si sinting Suta, kita bawa sekalian dia untuk menghadap Eyang Cakraduya," ujar Perawan sinting kepada Sawung Kuntet.
"Bagaimana jika kita tidak melihat anu-ny a Suto?".
"Siapa yang mau melihat anu-nya Suto?" Sentak Perawan Slntlng bikin Sawung Kunlai sedikit menggeragap.
"Enrnmmm, eeeh... maksudku, bagaimana kalau kita tidak melihat batang hidungnya si sinting suto itu".
Apakah kita tetap menuju ke Bukit Sutera untuk menghadap Eyang- Cakraduya, atau harus mencari anu-nya suto dulu, eeh... maksudku, harus mencari batang hidungnya si sinting Suto ".
"Aku tetap ingin menghadap Eyang Cakraduyal" tegas Perawan sinting. "Tapi nanti tolong singkirkan kedua cucunya dulu; si Candu Asmara dan Mirah Cendani itu".
"Lho, kenapa meraka harus dianu-kan?".
"Aku tidak suka melihat tampang mereka yang menanti rasa cemburu tehadap dirlkul Bisa-bisa kupenggai kedua kepala gadis itu kalau mencemburuiku kelewat batasi" jawab Perawan sinting dengan suara bernada tegas.
Kalau saja orang bertudung hitam itu tidak bunuh diri, mungkin Perawan sinting tak perlu harus menghadap Eyang Cakraduya untuk menanyakan siapa plhak yang mengincar pedang pusakanya itu.
Setidaknya orang bertudung hitam itu dapat dipaksa sampai berikan penjeiasan siapa yang menyuruhnya menyusup ke pondok Lereng Buana.
Tapi karena orang tersebut sengaja menewaskan diri, mau tak mau petunjuk yang bisa didapatkan hanya dari Eyang Cakraduya.
Sebenarnya untuk pergi ke Bukit sutera pun Perawan sinting tak perlu minta dikawal Pendekar Mabuk.
Tapi karena ia tahu Candu Asmara naksir berat pada Suto, dan jika bertemu dengannya bisa terjadi penarungan cukup sengit, maka keberadaan Suto diperlukan untuk melerai kecemburuan Candu Asmara nanti.
Sayangnya, si murid sintingnya Gila Tuak itu berada di tenpat agak jauh dari Lereng Buana. Karenanya, Ia suiit ditemukan oleh Perawan Sintlng.
Pendekar Mabuk kala itu baru saja selesai menghadiri pesta pengukuhan sahabatnya: Elang Samudera.
yang dikukuhkan menjadi penguasa Lembah Tayub.
Pengukuhan tersebut dilakukan oleh Sutan Jantrawindu yang wilayah kekuasaannya mencapai daerah Lembah Tayub.
Sebenarnya yang berhak menerima hadiah sebidang tanah dan wilayah Lembah Tayub itu bukan hanya Elang Samudera saja, melainkan juga Suto sinting dan Ranggina, dari Perguruan Lintang Yudha. Hadiah ilu diberikan kepada mereka karena mereka berhasil gagalkan ancaman maut si Malaikat Gantung yang akan menyerang Kesultanan Tanahinggil, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Persekutuan lblis").
Tetapi dalam hal pembagian hadiah tesebut, Suto Sinling tidak ingin mengambii bagian walau sedikit pun, karena la masih ingin berkelana memburu musuh utamanya: Siluman Tujuh Nyawa. untuk kemudian mengawini ratu dari negeri Puri Gerbang sugawi yang dikenal dengan nama Dyah Sariningrum.
Di pihak Ranggina juga tidak ingin mengambil hadiah tersebut walau seiengkai tanah pun, karena ia sudah memiiiki wilayah Bukit Parwa, peninggalan mendiang Eyang Sampurna. Dengan begitu maka wilayah Lembah- Tayub diserahkan mutlak kepada Elang Samudera. Itu pun atas persetujuan dari Ratu Hemasl?gl, di mana Elang Samudera mengabdi bersama kakak perempuannya: Dewi Cimahi, sebagai pengawal sang Ratu.
Pengukuhan itu berlangsung selama dua hari dua maiam. Hadir di dalam pesta itu beberapa tokoh muda maupun tua yang namanya Sudah cukup dikenal di rimba persiiatnn, antara lain: Arya Suaka, Mayangsita, Dewi Cimahi bersama Ratu Remaslega, ranggina, si Geledek Biru. Dewa Bandel, Resi Pakar Pantun serta beberapa tokoh golongan putih lainnya.
Selama pesta itu berlangsung, Mayangsita menyibukkan diri dengan Dewi Cimahi, tapi perhatiannya selalu tertuju pada Pendekar Mabuk.
Gadis berambut Pendek itu Sering gugup dan menjadi latah jika hatinya terpikat oieh seorang pemuda itu ternyata punya rencana sendiri untuk pribadinya.
Tak dapat dibohongi oieh kebiasaan gugupnya, Mayangslta sebenarnya tertarik kepada Suto sinting. Tapi ia tak pernah mengungkapkan hal hal yang sebenarnya, sebab ia tahu Pendekar Mabuk sudah mempunyai kekasih sendiri. Sekalipun demikian, hati Mayangsita masih ingin menikmati debar-debar keindahan manakala ia berjalan berdampingan dengan si pemuda berilmu gila-gilaan itu.
Ia berharap, usai pesta nanti suto sinting mau mengantarnya pulang ke rumah sang paman yang pada saat iu tak bisa hadir
dalam pesta pengukuhan karena asmaknya kambuh.
"Aku tak berani bilang terus terang padanya. Aku malu kalau minta dlantar pulang olehnya. Lalu. bagaimana caranya supaya ia tahu bahwa aku ingin diantarkan pulang olehnya?" pikir Mayangslta sambil berlagak bicara tentang ilmu kanuragan bersama Dewi Cintani, si perwira Pulau sangan itu.
Pepatah mengatakan: 'pucuk dicina ulam pun tiba'. Pada saat pesta usai, Pendekar Mabuk berpapasan dengan Mayangsita di depan gerbang.
Pandangan mata yang saling bertemu ilu membuat Mayangsita berubah gugup dan latah, sebab hatinya berdesir-desir manakala Suto Sinting sunggingkan senyumannya yang selalu mambuat hati para wanita menjadi heboh itu.
"Mayang, kau mau pulang sekarang atau nanti"|".
tegur Suto lebih dulu. "Hmmm, eeeeh... iya, nanti. Tapi... eh, sekarang.
Anu, hmmm... yah, begitulah," jawab Mayangslta dengan kacau. senyum tersipu-sipu di wajah cantiknya dibarengi pandangan mata yang tak tentu arah. Pendekar Mabuk sudah tak heran dengan kebiasaan seperti itu, sebab ia memang tahu persis 'cacat' si Mayangsita jika bertemu dengan pemuda tampan yang menarik hatinya.
suto sinting sudah lama kenal dengan gadis itu, Sejak ia memburu Perl Kayangan, (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : 'Rahasia Bayangan Setan).
"Kau pulang bersama siapa, Mayang".
"Bersama". bersama.. ya, bersama-sama. Eh, tapi anu... aku sendirian. Maksudku... sendirian berdua, eeeh... anu... bersama...
Suto langsung memotong, "Aku mau pulang sekarang. Kalau kau mau pulang sekarang juga, kita barengan saja. Bagaimana?".
"Ah, jangan, ah...l".
"Jangan apa maksudmu?".
"Jangan-u jangan diubah rencana iiu. Ehh, maksudku... kita... kita sendiri-sendirian saja bersamaan".
"Wih.. Parah sekali kaul" gumam Suto sambii tersenyum geli.
Tetapi dalam hati Mayangslta bersorak kegirsngan ketika ia berjaian bersama Pendekar Mabuk meninggalkan Lembah Tayub. Ungkapan rasa kegembiraannya itu dapa dilihat dari senyumnya yang mirip rembulan tak pernah padam.
Kegugupan dan kelatahannya Ini sebagai bukti bahwa hati Mayangslta senanliasa berdebar-debar bagaikan dihujani seribu bunga dari kayangan.
"Aku akan mengantarmu ke rumah pamanmu.".
"Ah, tidak usah perut-perot...".
"Perut..."l".
"Eh, anu... maksudku, tidak usah repot-repot, Sumo... eh. suto. Sebaiknya... sebaiknya sampai rumah pamanku saja. Ehh... bukan. Maksudku... maksudku...
rumah pamanku... sebaiknya memang begitu.".
sulo tertawa pendek. "Kadang aku tak mengerti maksud bicaramu, Mayangslta".
'Iya. Aku sendiri tak mengerti.
Eeeh... aku mengerti, tapi... tent...".
"Kau tampak lebih cantik kalau sedang gugup begitu," goda suto.
"Iya. Lebih cantrlk. eeh... lebih cantik. Aku juga herman, eeh... heran, kenapa aku jadi lebih cantik jika sedang gugur, eeh... gugup" Halpada... eeh... padahai kalau dlkiplr-kipir, aduh saiah laga... Maksudku, kalau ' diplklr-plklr....".
Sampai di situ ucapan Mayangslta terhenti. Bukan saja ucapannya, tapi juga langkahnya ikut terhenti.
Begitu pula halnya dengan langkah pemuda tampan berbaju coklat dan berceiana putih yang menggantungkan bunbung tuaknya di pundak kanan itu.
Mereka menghentikan langkah karena tiba-tiba dari arah depan meluncur dua sosok manusia berpakaian serba merah dengan kepala dibungkus kain merah.
Hanya bagian mata mereka saja yang bisa terlihat dari tempat suto dan mayangsila terhenti itu.
Dua sosok ninja merah itu meluncur dari atas pohon sambii masing-masing iemparkan logam pipih bergerigi runcing.
Ziling, zziin .. Pendekar Mabuk berk at melompat di depan Mayangsita, melindungi gadis itu dari serangan senjata rahasia tersebut. Bumbung tuaknya segera dikibaskan dari kanan ke kiri dalam keadaan tali tergenggam.
wuut. tring, tring... Dua senjata bergerigi iu berhasil kenai bumbung tuak yang timbulkan suara berdenting menandakan bambu bumbung tuak itu kerasnya menyerupai baja. Dua logam putih itu terpental ke arah berlawanan tapi menuju ke arah pemiliknya masing-masing.
Dengan gerakan cepat, kedua ninja merah itu sentakkan kakinya ke tanah begitu kaki mereka memijak bumi.
Tubuh mereka sama-sama melambung ke atas hindari logam bergerlgi itu. Salah satu dari senjata rahasia itu menancap pada sebatang pohon.
Jruuub... Yang satunya lagi hiiang di semak-semak di kejauhan sana.
Kini dua orang berpakaian serba merah yang kepalanya juga diselubungi kain merah sama-sama berdiri dengan kuda-kuda yang sama persis antara yang satu dengan yang satunya. Itu menandakan mereka adalah orang satu perguruan.
Pendekar Mabuk memandang dengan tajam dan sangat waspada. ia mundur seiangkah agar bisa berbisik kepada Mayangslta yang juga sudah siap mencabut pedangnya.
"Dilihat dari pakaiannya dan masing-masing berseniata samurai di punggung, aku yakln dla bukan orang perguruan Tanah Jawa.
bisik Suto kepada Mayangsita.
"Bulan, eeh... bukan Aku yakin, mereka memang bukan orang pergundulan, eeh... bukan orang perguruan dari Tanah Jawa," timpal Mayangsita dengan masih latah dan gugup.
"Biarkuhadapi mereka.".
"Ya, biar kuhadapi Eeeh... biar kau yang hadapi.".
"Munduriah, Mayang...
"Ye, mundur... Ayo, mundur" sambil Ia meiangkah mundur sendiri sampai tak sadar punggungnya menabrak pohon.
Brukm. "Aduh...l". "Kenapa, Mayang?".
"Kena aduh... eeh." kena pohon Tak apa. Tarunglah sana".
Pendekar Mabuk tak sempat berucap kata lagi, karena kedua ninja merah ilu sudah leblh dulu menyerang dengan jurus yang sama. Mereka bergerak bolak- balik dengan cepat sekali, tahu-tahu kaki meraka menendang ke wajah Sula.
Wut, wm...l. Piak... satu tendangan berhasil dltangkis dengan tangan kiri Suto. tapi satu lagi tendangan sempat melesat dari Iangkisan, sehingga wajah Suto terjejak seenaknya oleh kaki tersebut.
Plook... Gluyur. giuyur,_ gIuyur...
Pendekar Mabuk llmbung ke sana--sini seperti mau jatuh. Tapi sebenarnya ia segera memainkan jurus-jurus keseimbangan yang memang mirip orang mabuk berat ltu.
Melihat keadaan Suto sempoyongan, kedua lawannya segera mencabut samurai mereka dari punggung.
Sret, sreeet... Weess.. Tiba-tiba sesosok bayangan berkeiebat cepat menendang kepala saiah salu dari nlnja merah.
orang Itu terjungkai ke depan. Sl penendang yang berkelebat cepat itu tak lain adalah Mayangslta sendiri. la sempat menyambarkan pedangnya ke orang yang tidak tertendang. Tapl sambaran pedangnya dapat ditangkis oleh orang tersebut dengan berlutut satu kaki dan menyilangkan samurainya di atas kepala.
Traaang... Melihat orang itu sedang menangkis pedangnya Mayangsita, Suto sinting segera melepaskan sentilan Jan Guntur-nya dengan cepat.
Tess, tess.. orang yang menangkis pedangnya Mayangsita itu merasa ditendang kuda jantan pada bagian dadanya sebanyak dua kali.
Buuukh, buuuukh... "Uuuakh...l". satu pekikan membuat orang itu langsung terlempar ke belakang dan berguling-guling tanpa gaya indah sama sekail.
Sedangkan ninja merah yang kepalanya terkena tendangan kaki Mayangsita itu segera bangkit.
Tapi belum tegak berdiri sudah disambar oieh Pendekar Mabuk yang bergerak sangat cepat itu.
Zlaaap.. Traaak... Bruus... Samurai dl tangan orang itu patah menjadi dua bagian karena dihantam dengan bumbung saktinya Suto yang masih penuh tuak itu. Orang itu pun terlempar dan jatuh gubrak-gabruk tak karuan karena Suto tadi sempat menyodok iga orang tersebut.
orang yang terkena sentilan jurus 'Jari Guntur' itu memaksakan diri untuk bangkit sambil menahan sakit.
Suto sinting melihat tangan orang itu meraih sesuatu dari balik baju merahnya dan melemparkannya kearah Mayangsita.
Weeea... 'Mayang, awaassss... l".
'Awaass.. latah Meyangsita sambi meIompat naik dan bersaito satu kali di udara.
Wuukk... Duaaar... Benda bulat seperti bola bekel itu ternyata besi peledak yang berbahaya. Benda yang dilemparkan ke arah Mayangsita itu berhasil dihindari dan kenai Pohon langsung meledak. Pohon itu koyak hampir separo bagian.
Serpihan kayunya menyebar dan beberapa bagian kenal tubuh Mayangsiia.
Craaap... Aauh". pekik Mayangslta ketika tiga kayu runcing menancap di sekitar leher dan tengkuknya.
Pendekar Mabuk segera kejar orang yang lemparkan bola besi kecil itu. Tapi orang tersebut justru membanting sesuatu ke tanah.
Des, busss. Asap tebal mengepul membungkusnya. sulo sinting tak jadi menyerang karena khawatir uap itu adaiah uap beracun.
Ketika asap tebai itu hiiang, ternyata orang tersebut juga ikut hilang. Tak diketahui ke mana arah pelariannya.
"tangkap dia. Setan... eeh, Suta" seru Mayangslta sambil menuding orang yang samurainya patah.
Pendekar Mabuk segera iepaskan jurus 'Jari Guntur' lagi untuk ninja patah samurai itu.
Teess... Duuuk. Gumpalan hawa padat yang mirip tendangan kuda jantan itu tepat kenai ulu hati orang tersebut.
tak sampai satu hitungan, orang itu langsung tumbang dan terkapar tanpa gerakan lagi.
"Mati dia..."i".
Mayang sita berseru tak jelas maksudnya.
Pendekar Mabuk memeriksa orang tersebut.
"Denyut nadinya masig ada".
"Harus ada Eeeh... maksudku... maksudku...
aduuh". Mayangsita kesakiian. Rupa nya kayu-kayu runcing yang menancap di sekitar lehernya membawa akibat buruk bagi gadis berbaju tanpa lengan warna hitam dengan ceiananya yang warna hitam juga itu.
la melangkah mendekati Suto dalam keadaan limbung.
"Oouh". Suto keluhnya makin lirih dan makin Iimbung.
"Mayang...?". Suto sinting menjadi tegang, lalu buru-buru menyambar tubuh Mayangsita yang saat itu nyaris terpelantlng ke samping.
Rupanya bola besi kecli berdaya iedak cukup berbahaya itu mengandung uap beracun. Racun itu menempel pada kayu yang pecah. Pecahan kayu tersebut jika terkena darah manusia akan menyebarkan racun yang membuat orang menjadi lemas dan tak sadarkan diri.
Sekarang pendekar tampan itu menjadi kebingungan sendiri, karena ia menghadapi dua orang yang sama-sama pingsan dan sama-sama punya kepentingan sendki-sendlri.
Si ninja merah perlu disadarkan dengan segera supaya suto dapat mengatahui apa maksud penyerangan mereka dan dari mana asal mereka. Mayangsita sendiri juga perlu segera disadarkan dari pingsannya, agar racun yang menyatu dalam darahnya tidak semakin membahayakan jiwa gadis itu.
"Gendengl". gerutu Suta sendiri dengan kesal.
"Pingsan saja dua-duaanl Salah satu kek ! Jadi aku tidak kebingungan begini".
 

3
SEBELUM Pendekar Mabuk berbuat sesuatu terhadap dua orAng yang pingsan itu, tiba-tiba ia harus melompat dengan cepat karena merasa ada hawa hangat menghampiri punggungnya.
Z|aap... Duuar... Hawa panas itu menghantam pohon. Pohon berguncang, sebagian daun berguguran, penanda pukuian tenaga dalam itu diiepaskan tidak dengan serius.
Maka suto pun cepat berpaiing memandang ke arah datangnya hawa hangat itu.
"Hieh, hehh, heeh, hehh...l".
orang yang dipandang justru terkekeh konyol.
Orang itu berusia sekitar delapan puluh tahun.
Rambutnya yang putih dikonde tengah seperti perempuan, tapi sebenarnya ia adalah ielaki tua berkumis dan berjenggot putih asli tanpa semiran. ia mengenakan pakaian model biksu berwarna hijau tua. Gigi depannya tinggai dua di bagian gusi bawah.
Tokoh tua bertongkat kayu coklat dengan ujung kepala tongkat berbentuk ukiran tangan menggenggam itu tak lain adaiah si Raja Mantra alias Ki Alirambada dari Muara Angker. Tentu saja Suta sinting sangat kenal dengan orang tersebut, sebab orang tersebut adalah gurunya Utarl dan Rinayi, sahabat karibnya.
Suta Sintlng pernah dua kaii diselamatkan oleh si tokoh tua berkesan cuek-cuek konyol itu.
(Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode : "Pengawal Pilihan" dan "Tabib Sesat).
Oleh karenanya, Suto sinting langsung sedikit bungkukkan badan sebagai tanda memberi hormat, dan menyapanya lebih dulu dengan kesan akrab tapi sopan.
"Terima kasih atas kiriman usil dari Eyang Raja Mantra tadi. Sayang aku tidak berminat
menerimanya, Eyang.".
"Hieeeh, hehh, hehh, heeh. Kalau seranganku tadl bersungguh-sungguh, kau tak akan bisa menghindarinya, Pendekar Mabuk".
"Mungkin Eyang masih mau coba usil-usiian lagi denganku?".
"Ah, males sudah tua masa' masih mau main usli-usilan terus. Sekali tempo saja. Itu pun kalau kebetulan tenaga dalamku sedang nganggur," jawab Raja Mantra yang selalu berkesan konyol dan cuek itu.
"Siapa orang berbaju merah itu, suto?" tanya Raja Mantra setelah meiirik ke arah tubuh yang terbujur tanpa gerak itu.
"Aku tidak tahu, Eyang. Orang iiu tadl berdua. Pakaiannya sama-sarna merah dan potongannya juga sama persis. Tapl yang satu sampai kabur. Yang ini...
agaknya merasa iebih baik pingsan darlpada kaku.
Tapi... Mayangsita juga pingsan, Eyang.".
"Lho, muridnya Panujum dari Lembah Randu kok ada di sana" Pingsan juga" Ee, alaaa... orang kok pada doyan pingsan?".
Raja Mantra geIeng-geleng kepala Sambil hampiri Mayangslpa. Suto Sinting jelaskan secara ringkas' penyebab Pingsannya Mayangsita itu.
suto Periksa secara cermat, apakah racun pada serpihan kayu runcing itu sangal berbahaya bagi nyawanya atau tidak, Eyang.".
Raja Mantra berjalan pelan kelllingi Mayangslta yang masih dlrebahkan di rerumputan bawah pohon teduh itu. Sambil melangkah mengayunkan tongkat, ia perdengarkan suara tuanya yang ucapkan sebaris mantra aneh entah dengan maksud apa, suto sendiri tak jeias.
"Celepot, celepot... kenyal-kenyal.
Borok copot, racmo kempol, berkarya-kenyal, Gembrat gembrot hidup si kenyat-kenyol.
Simulu kutuk kublung".
Serpihan kayu runcing yang menancap dl sekitar leher Mayangsila tiba-tiba copot sendiri, meloncat bagaikan seekor kutu loncat.
Clup, clup, clup... Serpihan kayu Itu memang belum sampai dicabut oieh MayangSita sendiri. juga belum semua disingkirkan oleh Suto.
Maka begitu serpihan kayu itu melompat keluar dari leher Mayangsila, lubang bekas luka itu menutup dengan sendirinya. Kurang dari lima hitungan, Mayangsita mulai siuman.
Ia segera terkejut mendapatkan dirinya terkapar di rerumputan.
"Aduh, jangan-jangan aku habis diperkosa Pendekar Mabuk?" pikinya.
"Siali Kenapa tidak dalam keadaan sadar saja, ya?".
Tapi setelah la melihat disitu ada sl Raja Mantra, sahabat gurunya: Eyang Panujum, maka Mayangsita pun segera bersikap sopan dan memberi hormat dengan kegugupannya. Suta sinting pun mengingatkan Mayangsita tentang musibah pingsan yang ,baru saja melanda dirinya itu.
Si gadis segera ingat dengan apa yang tadi terjadi setelah meihat ninja merah terkapar di rerumputan seberang sana.
"Oh, dia juga ikut sluman"l".
gumam Suta sinting dengan nada heran. Matanya memandang ke arah ninja merah yang pingsan. Ternyata sudah bergerak-gerak dan mulai menampakkan tanda-tanda siuman.
"Ee, alaaae.. rupanya dia ikut kecipratan mantraku tadi tah?".
ujar Raja Mantra sambil mlangkah kalem mendekati si ninja merah. suto sinting dan Mayangslta juga segera bergerak membentuk penghadangan dari dua arah. Mereka tak ingin kehilangan si ninja merah, sebelum orang itu jelaskan beberapa hal yang diperlukan oleh mereka.
Tapi begitu sadar bahwa dirinya merasa dikepung tiga orang, sl ninja merah muiai mengambi sesuatu dari balik sellpan bajunya dan dihantingkan ke tanah. Tapi sebelum benda ilu menyentuh tanah, tongkat sl Raja Mantra lebih dulu menyambarnya dengan angin kibasan yang mementalkan benda itu.
wuuus... Weeer... Pluk... Benda itu tepat jatuh di depan kaki Pendekar Mabuk. Kaki kanan Suto menendang benda yang mirip kelereng berwarna merah itu. Deeer...l Wuuut..
bluuub... Letupan kecil yang menyebarkan kepulan asap tebal itu terjadi di sebatang pohon berjarak lima belas langkah dari tempat mereka, sebab benda merah itu membentur pohon tersebut.
si ninja merah menggeragap tegang. Mungkin karena ia merasa gagal melarikan diri melalui kepulan asap tebal seperti yang dilakukan temannya itu. Maka dengan cepat ia keluarkan sepaseng pisau yang diambil dari sellpan Ikat pinggang belakang.
Set, set... Dengan hanya terbengong saling pandang di depan
mayat ninja merah. "Bunuh diri...'ll" gumam Mayangsita bernada tak
percaya dengan apa yang diihatnya.
Raja Mantra berujar, "Dia menggigit iidahnya sendiri. Gigitan itu tepat pada bagian urat penting yang
dapat menghentikan detak jantung apabia urat ter-sebut putus.".
"Baru sekarang kulihat orang bunuh diri dengan
cara menggigit lidah sendiri," gumam suto sinting seakan ditujukan pada dirinya sendlri.
"ini memang cara bunuh diri yang aneh Biasanya
dilakukan oleh orang-orang yang paham betul tentang
tata ietak urat urat. Dan biasanya yang berani
lakukan bunuh diri semacam itu hanya orang yang benar-
benar siap mati dalam menjalankan tugas rahasia.".
mayangsita masih terbengong di tempatnya ketika
Suto sinting akhirnya membuka kain penutup wajah sl
ninja merah. Ternyata wajah orang itu tidak dikenali
oleh mereka. Wajah ilu bermata kecil dengan alis
sedikit naik. Rambutnyl pendek lurus berkesan kaku.
"Dia bukan orang Tanah Jawa," ujar Suto sinting
menyimpulkan dengn pasti.
'Ninja memang bukan dari Tanah Jawa," ujar Raja
Mantra sambil mencari tempat untuk duduk. Ia mendapatkan tempat duduk sebuah batu sebesar punggung anak sapi yang tingginya sebatas lutut. Dengan
menopang diri memakai tongkainya ia duduk
dengan santai, seenaknya saja.
ia melaniutkan bicara- nya dengan pandangen mata ke sana-sini, seakan
tidak jelas kepada siapa ia bicara.
"Kaum ninja adalah orang-orang sewaan yang selalu menjaga rahasia tugasnya. Mereka berasal dekat pulau sojiyama jauh dari Tanah Jawa. Lebih
dekat dengan pegunungan Tibet. Tetapi seorang ninja tak
pernah diperhitungkan jauh-dekat suatu tempat yang
harus ditujunya. Mereka punya cara sendiri urttuk
mencapai suatu tempat yang dituju walau sesulit ape pun.
mereka juga punya seribu care untuk datang. seribu
cara untuk meloloskan diri, seribu cara untuk menyerang lawan, dari juga mempunyai cara sendiri
bunuh diri. Jika seorang nlnja gagal jalankan
tugasnya, berarti dia berangkat ke liang kubur. Artinya,
siap mati kapan saja daripada harus beritakan rahasia
tugasnya.". "Pantas dia bunuh diri, supaya kita tak tahu siapa
yang sebenarnya ingin dibunuh" ujar.,suto sinting, Mayangsita masih diam tertegun.
"Biasanya para ninja bekerja untuk seorang raja
atau para bangsawan yang berani mengupahnya
dengan bayaran tinggi," sambung Raja mantra.
'Sojiyama..."i" gumam Suto Sinting dengan dahi
berkerut. Pada saat itu ia teringat tentang seorang
tokoh yang pernah berguru di dataran Sojiyama.
"Melihat cara ninja yang satu tadi meloloskan diri.
aku jadi ingat pada sebuah jurus yang bernama
'Kelana Indera' milik Paman Batuk Maragam'.
"Dia, maksudmu si Braiamusti" l" sambar Raia Mantra.
"Benar, Eyang. Nama asli Paman Batuk Maragam
adalah Brajamusti. Eyang Raja Mantra mengenalnya".
'Hieh, hehh, heeh, hehhmi" Ralat Mantra terkekeh
seperti meremehkan anggapan suto.
"Brajamusti temanku main kelereng semasa kecil.
Tentu saia aku kenal dengannya. Dan kuingat, dia memang mempunyai ilmu 'Kelana indera', yang dapat
membuatnya pindah tempat sejauh mata
memandang dalam waktu sangat singkat.".
"Bukankah Paman Batuk Maragam berguru di dataran Sojiyama, Eyang?".
"Memang benar. Tapi aku yakin, nlnja ini bukan
anak buahnya atau muridnya. sama sekali bukan".
Pendekar Mabuk segera terbayang sosok tua berambut model rambutnya tapi berwarna abu-abu.
Sosok tua si Batuk Maragam terpampang jelas dalam
ingatan Suto dengan pakaian jubahnya yang berwarna kuning
tak penuh dikancingkan dan celana biru yang warnanya sudah mulai kusam. Pendekar Mabuk mengenal
Batuk Maragam bukan saja lantaran tokoh tua itu
adalah sahabat gurunya, tapi juga karena si tukang
batuk-batuk itu adalah paman dari seorang gadis yang
pemah menuduh Suto sebagai orang yang menodainya. Gadis
itu bemama Dewi Angora. Kadang suto memanggil
Batuk Maragam dengan sebutan 'eyang', tapi kadang
juga menggunakan sebutan 'paman', menirukan
panggilan Dewi Angora kepada si tokoh tua yang punya
lagak cuek seperti Raja Mantra itu, (Baca serial Pendekar
Mabuk dalam episode : "Peri Sendang Keramat).
Mendengar nama Batuk Maragam disebutkan, Mayangsita pun mulai angkat bicara kembali dengan
tetap gagap dan latah, karena hatinya masih berdebar-
debar indah selama masih berada tak jauh dari pendekar
tampan itu. "Aak... aku pernah dengar nama Batu Seragam,
eeh... Batuk Maragam. Guruku kenal dengan orang itu,
Suto. Sebaiknya kita nyatakan, eehh... sebaiknya kita
tanyakan pada beliau tentang orang ini. Siapa tahu
belinya, eeh... beliau mengenalnya.".
Raja Mantra menyahut, "Memang ada baiknya kalia? temui si Brajamusti, karena dia pasti bisa jelaskan
lebih banyak lagi tentang maksud penyerangan ninja
ini terhadap kalian. Tapi aku tak mau ikut ke sana. Aku
punya urusan sendiri.".
Raja Mantra berdiri dari duduknya, berkesan siap-siap untuk pergi.
"Eyang mau ke mana" Pulang ke Muara Angker?".
"Hmmm". kurasa aku harus ke Lereng Buana untuk....".
"Lereng Buana ?" potong suto agak terkejut karena
dia tahu Lereng Buana adalah tempat tinggal sahabat
dekatnya: si Perawan sinting.
"Apakah Eyang mau temui Daningga Prasti alias si
Perawan sinting?". "Sepertinya". ya, aku mau temui dia. Sebab... aku
tadi habis mengantarkan Utari boyongan.".
"Boyongan itu... borongan, ya Eyang?" sela Mayangsita.
"Kau pikir jeruk, mau dibeli secara borongan?" gerutu Raja Mantra. "Boyongan itu pindahan.".
plnangan, eeh... pindahan," Mayangsita manggut-manggut.
"Utari sekarang sudah resmi menjadi pengawal utama di istananya Putri Merak, di Bukit Caraka.
Sekarang aku hanya tinggal bersama kakaknya Utari; si Hinayi.
Dari Bukit Caraka aku sempat singgah ke Bukit Sutera
untuk menemui Cakraduya, karena sudah lama kami
tak saling jumpa.". "Kakaknya si Candu Asmara itu, Eyang?" sela Suta
menunjukkan bahwa ia pun kenal dengan Eyang
Cakraduya. Raja Mantra menggumam pendek penanda
membenarkan kata-kata Suto.
'dari sana aku dengar kabar bahwa ada pihak yang
mencari pedang pusaka bernama Pedang Galih Petir.
Pedarg itu....". "Pedang itu milik Perawan sinting" sahut Suto cepat, wajahnya sedikit tampak tegang karena kaget
mendengar ada pihak yang mencari Pedang Galih Petir.
"Sebab itulah aku mau temui si Perawan Sinting.
supaya ia sembunyikan dulu pedang itu. Karena katanya pihak yang mencari pedang tersebut adalah
pihak dari golongan hitam.".
"siapa sebenarnya orang yang memburu pedang _itu, Eyang"desak Suto.
"Kalau kutahu namanya sudah kusebutkan dari
tadi' gerutu Raja Mantra.
"Apa". apakah... apakah ada hubungannya dengan
tinja , eehh... dengan ninja ini, makaudku...," pertanyaan Mayangsita jadi ngambang karena selalu salah
ucap .Tapi Raja Mantr menanggapi dengan suara pelan berkesan bimbang.
'Mungkin saja ada hubungannya dengan' ninja ini"
sambil matanya melirik ke mayat si ninja merah.
"Tapi mengapa dia dan temannya tadi menyerang
kami Eyang" Mengapa bukan menyerang Perawan
Sinting?". Mayangsita menimpali, "lya- Seharusnya yang mereka serang adalah Perawan Melenting eh---
sinting". sinting Serang saja. Eyang".
"Husyl Siapa yang diserang maksudmu?".
"Eh, hmmm... anu, maksudku... selidiki saja siapa
orang yang menyuruh ninja ini menyerang kita, Suto.
Siapa tahu... tahu siapa, eeh... siapa tahu orang ituiah
yang menghendaki Pedang Galih Kucir....".
"Pedang Galih Petir' ralat suto.
"Lha, iya... Pedang Galih Petir kataku tadi, kan"'^.
Mayangsita malu, tak mau disalahkan.
Raja Mantra yang rupanya tahu persis tentang pusaka Pedang Gallh Petir itu merasa ikut bertanggung
jawab akan keselamatan pusaka 'tersebut, jangan
sampai jatuh di pihak golongan hitam. Mengingat dulu
nyawanya pemah dlseiamatkan oleh mendiang gurunya
Perawan sinting, maka Raja Mantra pun berkeras hati
untuk Ingin mendampingi Perawan Sinting dari
ancaman pihak golongan hitam itu.
"iya begitu," ujar Mayangsita sambil melirik Suto.
".... Kita berpisah arah dengan Eyang Raja Singa, eeh...
hmmm, maaf. Maksudku, kita berpisah arah dengan
Eyang Raja Mantra. Beliau ke Lereng Buana dan kita ke
lerengnya siapa, ya?" Mayangsita jadi seperti gadis
linglung. Bicaranya tak jelas karena debar-debar hati
membuatnya selalu gugup. Pendekar Mabuk justru berpikir tentang langkahnya. Kemiripan nama membuat Perawan sinting bagai
seorang saudara bagi sulo sinting. Tak tega hati Suta
membiarkan Perawan sinting terancam bahaya tanpa
perlindungannya. Tapi di satu sisi, Suto ingin tahu tentang si ninja
merah iiu, sehingga ia harus menemui Batuk
Maragam. Haruskah ia meninggalkan Perawan Sinting dalam ancaman bahaya" Atau, haruskah ia meninggalkan rasa
penasarannya terhadap serangan ninja itu
dengan menunda niatnya untuk bertemu Batuk Maragam".