Pendekar Mabuk 123 - Pengawal Pilihan(2)







4

Udara panas membuat Suto Sinting mengikat rambutnya ke belakang
dengan akar menyerupai karet. Dalam keadaan rambut panjangnya diikat ke
belakang,  ketampanannya  tampak  sedikit  beda.  Tapi  tetap  saja
memancarkan pesona yang akan memikat , para gadis dan wanita separuh
baya.  Tubuhnya yang  kekar,  tegap, gagah dan  terkesan  jantan  itu  sering 
membuat  hati  para  janda  berdebar  penuh  harap  untuk  dapat  memeluk
kegagahan tersebut.
Dalam  langkahnya  mencari  tuak,  Suto  Sinting  tak  sempat  berpikir
tentang  gadis  lain.  Yang  ada  dalam  benaknya  adalah  wajah  cantik  Citra
Bisu. la terbayang kecupan hangat bibir si prajurit cantik itu. la juga ter-
bayang pelukan hangat tubuh tinggi, sekal dan sangat padat itu.
Tapi Suto segera ingat tentang kekasihnya; Dyah Sariningrum yang
berkuasa di negeri Puri Gerbang Surgawi. Bagaimanapun mantapnya tubuh
Citra Bisu, I menurutnya masih kalah menarik dibandingkan kecantikan dan
keelokan tubuh Dyah Sariningrum.
Untuk  itu,  Suto  segera  hilangkan  bayangan  Citra  Bisu.  la  segera
memikirkan bumbung tuaknya yang kosong dan mulutnya yang asam karena
lama  tak  meneguk  tuak.  Tubuhnya  pun  terasa  linu-linu,  urat-urat  terasa
kaku,  luka  memar  akibat  pertarungan  juga  masih  membekas  dan  terasa
sedikit sakit walau sudah diatasi dengan hawa murninya. Hanya tuak yang
mampu membuatnya segar kembali.
Sebuah kedai ditemukan di desa kaki bukit, agak jauh dari Lembah
Seram. Pendekar Mabuk langsung mengisi bumbung tuaknya. Pemilik kedai
sempat me rasa heran saat mengisi bumbung tuak tersebut.
"Apakah tuak ini akan kau jual lagi, Kisanak?"
"Tidak, Pak Tua. Aku bukan penjual tuak keliling."
"Lho, jadi kau akan minum semua tuak sebanyak ini?"
"Begitulah kebiasaanku, Pak Tua. Sehari tak minum tuak seperti tak
bisa  bernapas  sebulan,"  canda  Suto  Sinting.  Tapi  si  pemilik-kedai  itu
berkerut  dahi  dengan  mata  melirik  ke  arah  Suto  sebentar,  lalu
memperhatikan tuangan tuaknya lagi.
"Kisanak ini seperti mendiang Pendekar Mabuk saja. Dia juga doyan
minum tuak. Tapi sayang, pendekar sakti yang banyak menyelamatkan jiwa
orang-orang  lemah  itu  sekarang  sudah  tiada.  Kalau  saja  Pendekar  Mabuk
masih hidup, kurasa beliau akan merasa senang jika bersahabat dengsnmu,
Kisanak."
Hati pun seperti diiris sembilu.  Mendengar  namanya  dianggap  telah
mati,  bukan  main  risaunya  Pendekar  Mabuk.  Bahkan  ia  tak  berani
menyatakan  sikap dirinya di depan  pemilik  kedai.  ia  khawatir  justru  akan
membuat  pemilik  kedai  menertawakan  pengakuannya,  atau  mengecamnya
sebagai orang yang mengaku-aku Pendekar Mabuk.
Untuk  itu,  Suto  Sinting  mencoba  menahan  diri  dan  memaklumi
keadaan  yang  salah  kaprah  itu.  Napasnya  ditarik  dalam-dalam  sambil
merasakan  derasnya  darah  bercampur  tuak  yang  diminumnya  dari  cangkir
kedai.
"Kalau saja Pendekar Mabuk itu belum tewas," ujar pemilik kedai lagi
sambil serahkan bumbung tuak yang sudah terisi tuak hingga penuh itu."...
seandainya  Pendekar  Mabuk  masih  hidup  dan  singgah  di  desa  ini,  pasti
orang-orang Tanah Pasung itu akan dibabat habis oleh- nya."
"Orang-orang  Tanah  Pasung...?!"  Suto  Sinting  memandang  heran
kepada si pemilik kedai.
"Rupanya Kisanak memang bukan orang sekitar sini, ya?"
"Memang  bukan,  Pak  Tua.  Ada  apa  dengan  orang-  orang  Tanah
Pasung? Siapa mereka sebenarnya?" Suto berlagak bodoh.
"Mereka  para  pemburu  harta  karun  peninggalan  negeri
Hastamanyiana. Sudah dua malam mereka mengganggu kehidupan di desa ini,
Kisanak."
"Mengganggu dalam hal apa?"
"Ternak  kami  dicuri,  kadang  dirampok  secara  paksa.  Baik  itu  ayam,
kambing, sapi, atau kerbau. Bahkananjing pun disikatnya juga."
"Untuk apa mereka merampok ternak?"
"Untuk dibawa ke Pantai Bejat, dipakai pesta pora. Kabarnya mereka
tiap maiam berpesta pora di Pantai Bejat, sedangkan siang harinya mereka
mencari  harta  karun  tersebut.  Padahal  mereka  bukan  orang  Tanah  Jawa!
Dengar-dengar mereka berasal dari pulau seberang. Tapi mereka tidak mau
pulang  ke  pulau  seberang  sebelum  berhasil  merampok  harta  karun
peninggalan negeri Hastamanyiana."
Suto  Sinting  menggumam  sambil  manggut-mang-  gut.  Kemudian  ia
ajukan tanya kepada pemilik kedai yang ikut menemaninya duduk di situ.
"Apakah desa ini tidak jauh dari Pantai Bejat?"
"Kalau ditempuh jalan kaki biasa, tidak sampai setengah hari, Kisanak.
Hasil panen kami juga sering kami jual di Pantai Bejat, sebab di sana banyak
pendatang  dari  luardaerah  yang  sengaja  mencari  rempah-rempah  atau
palawija untuk dijual di negerinya masing-masing."
"Kalau begitu, mereka memang harus segera diusir dari Tanah Jawa,
Pak Tua."
"lya. Tapi siapa yang berani? Siapa yang mampu kalahkan ilmunya Ratu
Sinden,  ketua  mereka  itu?!  Seperti  kukatakan  tadi,  Kisanak...  kalau
Pendekar  Mabuk  masih  hidup  dan  ada  di  sekitar  desa  ini,  pasti  aku  akan
meminta  bantuannya  untuk  mengamankan  desa  ini.  Dan  menurutku,  hanya
Pendekar Mabuk yang mampu kalahkan ilmunya si Ratu Sinden itu, Kisanak!"
"Pendekar Mabuk belum mati, Pak Tua."
"Hahh...?!  Belum  mati?!"  pemilik  kedai  itu  terbeia-  lak,  tapi  segera
kendurkan ketegangan kagetnya. la terkekeh pelan.
"Ah, Kisanak ini ada-ada saja...."
"Pendekar Mabuk adalah aku sendiri, Pak Tua."
"Aah... Kisanak ini bereanda!" sambil Pak Tua ma- kin terkekeh geli
dan menepak pelan lengan Suto Sinting.
"Aku bersungguh-sungguh, PakTua. Pendekar Mabuk belum mati!"
"Sudah  mati!  Kisanak  ini  kurang  mengikuti  perkembangan  zaman
rupanya. Atau... terlambat mendengar kabar besar itu? Uuh... hampir semua
orang di muka bumi sudah mendengar kabar bahwa Pendekar Mabuk sudah
mati. Matinya menyedihkan sekali...."
"Pak Tua, akulah si Pendekar Mabuk itu!"
"Sebagai  pengagum  Pendekar  Mabuk,  aku  sangat  sedih  begitu
mendengar  kernatiannya,"  ujar  pemilik  kedai  itu,  seakantak  mautanggapi
kata-kata Suto lagi. Hal itu membuat Suto Sinting tarik napas menahan ke-
jengkelan.
"Seorang  tokoh  dari  Gunung  Gandul  yang  berjuluk  Dewa  Kubur,
ternyata gagal menyelamatkan Pendekar Mabuk. Pemuda gagah perkasa itu
tercebur masuk ke sumur tua, padahal sumur itu tanpa dasar. Artinya, ke-
dalaman  sumur  tak bisa  diduga.  Ditambah lagi, sumur itu sekarang sudah
tertimbun reruntuhan tebing. Tebing itu runtuh akibat pertarungan Dewa
Kubur  dengan  perempuan  dari  Mangol  yang  bernama  Laksamana  Tanduk
Naga.  Tapi  kabarnya  perempuan  itu  bisa  lolos  dari  ancaman  maut  Dewa
Kubur. Hanya saja, Lawannya Pendekar Mabuk yang kalau tak salah bernama
Perwira Tombala, orang Mangol juga, tewas  di  tangan Dewa Kubur.  Aah...
sayang sekali Dewa Kubur tak bisa selamatkan Pendekar Mabuk. Coba kalau
dia bisa selamatkan Pendekar Mabuk, pasti mereka dapat menggulung habis
orang-orang Tanah Pasung!"
"Cukup, cukup...! Aku sudah dengar cerita itu, Pak Tua!"
"Naaah...  sudah  dengar  toh?  Jadi  sekarang  Kisanak  percaya  kalau
Pendekar Mabuk sudah mati?!"
"Pak  Tua,  coba  hitung  berapa  harga  makanan  dan  minuman  tuakku.
Aku mau buru-buru pergi."
"Lho, sudah  sore begini  mau  pergi ke  mana,  Kisanak? Apakah  tidak
sebaiknya bermalam di sini saja?"
"Aku harus segera sampai ke Pantai Bejat!"
"Lho, mau apa ke sana? Cari mati juga?! Lebih baik bermalam saja di
sini. Kami menyediakan kamar sewaan kok."
"Aku  mau  bertemu  dengan  Ratu  Sinden  itu,  Pak  tua.  Dua  orang
kenalanku  ditawan  oleh  mereka.  Aku  harus  segera  membebaskan  mereka
dan  menghentikan  segala  tindakan  si  Ratu  Sinden  yang  merugikan  pen-
duduk Tanah Jawa ini!"
Aaah,  Kisanak  ini  selera  bercandanya  tinggi  sekali  rupanya.  Kok
seperti Pendekar Mabuk saja keberanian Kisanak."
"Aku titisan Pendekar Mabuk!"
"Oooo... titisan?! Ya, ampuuun... pantas Kisanak punya keberanian dan
penampilan seperti almarhum Pendekar Mabuk...?!"
Suto  Sinting  menggerutu  dalam  hati,  "Giliran  mengaku  titisan
Pendekar Mabuk dia percaya sekali! Uuh, dasar bodoh!"
Pendekar  Mabuk  memilih  cepat  pergi  dari  kedai  ketimbang  harus
mengalami tekanan batin terus-terusan. Yang penting, bumbung tuak sudah
terisi  penuh.  Ketenangan  terkuasai  sepenuhnya.  Walaupun  hati  sering
berdesir  pedih  jika  ingat  namanya  sudah  dianggap  mati,  tapi  dengan
menenggak  tuak  dari  bumbung  saktinya,  kepedihan  itu  pun  sirna  dalam
sekejap.
Seandainya  pemilik  kedai  itu  mau  percaya  bahwa  Pendekar  Mabuk
memang  masih  hidup,  mungkin  Suto  memilih  untuk  bermalam  di  desa  itu.
Hari memang sudah sore, sebentar lagi akan menjadi senja, lalu petang akan
datang.  Memang  seharusnya  beristirahat  di  suatu  tempat  sambil
mempertimbangkan,  pulang ke  Lembah  Seram untuk obati  luka  Citra Bisu
atau melabrak ke Pantai Bejat, bebaskan Kusir Hantu dan Pematang Hati.
Agaknya  sikap  pemilik  kedai  membuat  Suto  tak  punya  pilihan  untuk
lanjutkan  perjalanan.  Sampai  di  tengah  jalan  ia  berhenti  dan
mempertimbangkan langkah berikutnya. Rambutnya yang diikat ke belakang
itu ingin dilepas dari pengikatnya, tapi gerakan itu terhenti.
"Ooh,  mungkin  karena  rambutku  diikat  ke  belakang  begini  maka
pemilik kedai  itu tidak  mengenali bahwa  diriku  adalah Pendekar  Mabuk?!"
pikirnya, lalu tak jadi melepas ikatan rambut.
"Berarti  wajahku  sedikit  berubah  kalau  rambut  diikat  ke belakang.
Mungkin keadaan rambutku yang selalu terurai tanpa ikat kepala ini menjadi
ciri-ciri  yang  sangat  dikenali  oleh  mereka  sebagai  Pendekar  Mabuk.
Hmmm... jadi kalau baju coklatku ini kuganti, celana putihku juga kuganti,
mungkin  aku  semakin  tidak  dikenali  sebagai  Pendekar  Mabuk?!  Tapi
bagaimana dengan  bumbung tuakku?! Pasti  akan dikenali sebagai  bumbung
tuaknya  Pendekar  Mabuk!  Lalu,  bagaimana  jika  bumbung  tuak  kubalut
dengan  kain,  sehingga  tidak  semata-rnata  tampak  seperti  bumbung  tuak?
Ooh... penampilanku pasti akan berbeda lagi."
Pendekar  Mabuk  menetapkan  langkahnya  untuk  menuju  ke  Pantai
Bejat  dan  membebaskan  Kusir  Hantu  dan  Pematang  Hati.  Pekerjaan  itu
dirasakan lebih pen- ting daripada menyembuhkan luka Citra Bisu. Toh luka
gadis  itu  tidak  akan  merenggut  nyawa  kalau  sampai  dua  tiga  hari  baru
terobati.
Suto  memperhitungkan  untuk  membebaskan  Kusir  Hantu  dan
Pematang Hati bukan pekerjaan yang mu- iliih. Pasti mereka berdua dijaga
sangat ketat. Tapi jika In bisa tundukkan si Ratu Sinden, pasti anak buah
Ratu Sinden akan ketakutan dan membebaskan Kusir Hantu serta Pematang
Hati.
"Jika  mereka  menawan  Kusir  Hantu  dan  Pematang  Hati,  aku  harus
bisa  menawan  Ratu  Sinden!"  tegas  Suto  dalam  hati.  "Jika  Ratu  Sinden
berhasil menjadi  tawananku, maka  ia bisa kupaksa agar  memberi perintah
kepada  anak  buahnya  untuk  bebaskan  Kusir  Haritu  dan  Pematang  Hati.
Untuk  dapat  menawan  Ratu  Sinden,  sebaiknya  aku  tampil  beda.  Jangan
seperti Pendekar Mabuk, nanti belum-belum mereka sudah persiapkan ben-
teng pertahanan dan itu akan buang-buang waktu dan tenaga."
Baru  saja  Suto  Sinting  ingin  mencari  sarana  untuk  mengubah
penampilannya,  tiba-tiba  ia  melihat  sekelebat  bayangan  melintas  di  seia-
sela  pohon  seberang  arahnya.  Bayangan  hitam  itu  berlaritak  seberapa
cepat, masih bisa diikuti dengan pandangan mata. Suto ter- peranjat sebab
ia merasa kenal dengan orang yang beriari terbirit-birit bagai dikejar setan
itu.
"Kalau tak salah dia si Sawung Kuntet?!" gumam Suto Sinting dalam
hati.
Lalu ia melihat seseorang juga yang beriari menyusul Sawung Kuntet.
Orang  itu  berpakaian  kuning  kunyit  dan  menggenggam  kapak.  la  seorang
lelaki  bertubuh  lebih  tinggi  dari  Sawung  Kuntet.  Agaknya  lelaki  itu  beJ
usaha untuk membunuh Sawung Kuntet. Maka tak banyak pertimbangan lagi,
Suto Sinting segera bertinda selamatkan Sawung Kuntet, sahabatnya.
Zlaaap, ziaap...!
Dalam  sekejap  Suto  Sinting  sudah  tiba  di  depan  langkah  Sawung
Kuntet. Tapi orang pendek berkumis seperti kelelawar itu justru berteriak
kaget begitu melihat siapa yang menghadang di depan langkahnya.
"Huuaaaaa...! Setaaaaaan...!!"
Sawung  Kuntet  lari  ke arah  lain.  Pendekar  Mabuk  tertegun  sesaat,
merasa aneh melihat Sawung Kuntet ketakutan bertemu dengannya. Lalu, ia
segera ingat bahwa dirinya sudah dianggap mati, sehingga mungkin Sawung
Kuntet tak percaya bahwa ia bertemu dengan Pendekar Mabuk.
"Pantas dia bilang 'setan' sambil ngacir?!" gumam Suto Sinting sambil
bergegas mengejar Sawung Kuntet lagi.
Zlaaap, zlaaap...! Jurus Gerak Siluman1 yang mem- punyai kecepatan
sama dengan kecepatan cahaya itu membuat Suto Sinting dalam waktu dua
kejap  sudah  berada  di  depan  langkah  Sawung  Kuntet.  Orang  yang  
ambutnya terbelah seperti parit itu berteriak ketakutan lagi.
Huaaaaaa...! Seeee...!"
Wuuut...! Suto Sinting menyambarnya. la melesat keatas pohon sambil
membungkam mulut Sawung Kuntet dengan tangannya. Bleeb...!
Sampai  di  atas  pohon,  Suto  Sinting  berkata  pelan.  lauyan  berteriak  lagi,
Bodoh! Orang yang mengejarmu sedang kebingungan mencarimu!"
"Taap...  tapi...  tapi  kau  sudah  anu...  anu...,"  Sawung  Kuntet  gugup.
Kata-kata  'anu'  yang  selalu  digunakan  sebagai  pengganti  kata  yang
dimaksud, segera dapat dipahami oleh Suto.
"Kau menyangka aku sudah mati, bukan?!"
"liyy...  iya...!  Bukankah  memang  benar  kau  sudah  anu...?!  Kudengar
anumu hilang... di... di...."
"Anuku. masih ada, Tolol!"
"Maksudku, kudengar mayatmu hilang di suatu tempat dan tidak bisa
ditemukan lagi."
"Kau yakin aku benar-benar sudah mati?"
"Jus... jus... jus...."
"Apanya yang jas-jus-jas-jus...?!" hardik Suto dengan suara berbisik.
"Jus... tru... justru aku diutus Eyang Cakraduya untuk mencari anumu,
eeh... mencari mayatrnu yang...."
"Ssst...! Soal itu dibahas nanti saja!" bisik Suto sambil membungkam
mulut  Sawung  Kuntet  lagi.  "Sekarang  aku  ingin  tahu,  siapa  orang  yang
mengejarmu itu?!"
"Dia...  dia  Lebak  Suram.  Musuh  lamaku.  Aku  sudah  hampir  lupa
dengannya,  tapi  dia  masih  ingat  bahwa  aku  pernah  membuntungi  kaki
adiknya. Sekarang dia man balas buntungi anuku.... Aku tak sudi. Kalau aku
t.i punya anu, lantas bagaimana kalau aku mau anu?!"
"Yaah, pakai anu palsu, kan bisa!"
"Husy...! Sembarangan saja usulmu!"
"Maksudku,  dia  mau buntungi  kakimu, yaah... untuk sementara kamu
pakai kaki palsu dulu."
"Dia bukan mau buntungi kakiku, tapi benar-benar anuku ini yang mau
dibuntungi!"
Suto menahan tawa geli dengan menutup mulut sendiri begitu melihat
tangan  Sawung  Kuntet  meme-  gangi  bagian  celananya.  Rupanya  yang
dimaksud  Sawung  Kuntet  memang  benar-benar  'anu'-nya  yang  ingin
dibuntungi orang Lebak Suram itu.
"Kalau  anuku  buntung,  mana  bisa  pakai  anu  palsu!"  gerutu  Sawung
Kuntet.
Mereka tak sadar, bahwa orang Lebak Suram itu sudah tiba di bawah
pohon  tempat  mereka  bersembunyi.  Suara  kasak-kusuk  Sawung  Kuntet
memancing perhatian orang tersebut, sehingga orang tersebut mengetahui
buronannya ada di atas pohon.
"Tikus  sawah...!  Turun  kau!"  sentak  orang  itu  membuat  Suto  dan
Sawung Kuntet diam serentak.
"Kalau tak mau turun, kuhancurkan pohon ini bernama badan busukmu
itu!" ancam orang tersebut.
"Kau di sini saja!" ujar Suto, lalu ia melompat turun dari atas pohon.
Wuuut...!  Jleeg...!  Kini  ia  berhadapan  dengan  orang  berperawakan  kekar
seperti potongan lubuhnya.
"Siapa kau?! Aku tak punya urusan denganmu!" nmitak orang itu.
Aku sahabatnya Sawung Kuntet!"
"Oo, jadi kau mau bela si tikus sawah itu?!"
"Tunggu, sabar dufu. Akan kujelaskan bahwa...."
"Keparat kau! Hiaaah...!"
Wees...! Orang itu menerjang Suto Sinting dengan kapak bergagang
panjang  dihantamkan  ke arah  kepala.  Suto  Sinting sangat  sigap.  Bumbung
tuak yang  sudah ada di  tangan kanannya itu segera diangkat ke  atas dan
menahan  hantaman  kapak  tersebut.  Traang...!  Wuuut...!  Tangan  orang  itu
terpentak kelar ke belakang, seperti menghantam sebongkah karet membal.
la sempat sempoyongan mau tumbang ke belakang.
".Jangan  menyerangku  dulu,  Sobat!  Aku  mau  bicara  secara  damai!"
ujar  Suto  Sinting.  Tapi  emosi  orang  itu  tampaknya  sukar  dibendung  lagi,
sehingga ia tak menghiraukan ucapan Suto sedikit pun.
Kubabat habis kau bersama tikus botak itu, heeaaah...!"
Tees,  tees...!  Suto  Sinting  kirimkan  jurus  Jari  Guntur  -nya.  Dua
sentilan  bertenaga  dalam  itu  dilepaskan  ke  arah  dada  orang  itu.  Gerakan
melayang orang itu tersentak dan menjadi oleng ke belakang karena dada
nya terkena sentilan jurus Jari Guntur'. la merasa seperti ditendang kuda
jantan dua kali di bagian dada.
Brruuk...!  Orang  itu  pun  tumbang.  Napasnya  ter  sengal-sengal  lima
kali,  kemudian  terkulai  lemas.  Ia  pingsan  tanpa  malu-malu  lagi.  Dadanya
tampak membiru akibat sentilan Jari Guntur' tadi.
"Bandel!  Kubilang  bicara  saja  secara  damai,  malah  ngotot!  Yah,
beginilah  akibatnya.  Rasakan  sendiri!"  gerutu  Suto  Sinting  sambil
memperhatikan  orang  tersebut.  Sementara  itu,  Sawung  Kuntet  melompat
turun dari atas pohon. Wuuut...! Gedebuk...!
"Adaaoow...!"  Sawung  Kuntet  dalam  posisi  pung-  gung  duluan.  Suto
Sinting hanya memandang dengan senyum geli.
Tapi  ketika  ia  kembali  memperhatikan  orang  ber-  pakaian  kuning
kunyit  itu,  tiba-tiba  terlintas  gagasan  untuk  mengambil  pakaian  orang
tersebut.
"Ukuran  badannya  sama  denganku.  Tingginya  juga  sama.  Hmmm...
kurasa  sebaiknya  aku  menukar pakaianku  dengan  pakaian orang ini  saja?!"
pikir Suto saat itu.
Melihat  Suto  Sinting  melepasi  pakaian  orang  tersebut,  Sawung
Kuntet  terbelalak  kaget.  la  buru-buru  dekati  Suto  dengan  sedikit
terpincang-pincang karena jatuh tadi.
"Gila kau, Suto. Sudah tak waras lagi apa? Kau mau anu-anukan orang
itu?!"
"Gundulmu! Aku bukan banci, Tolol!"
"Lalu... lalu kau mau apakan dia?! Mengapa kau copot anunya?"
"Anunya tidak kucopot! Hanya pakaiannya yang kulepasi!"
"lya, maksudku untuk apa kau copoti pakaiannya?!"
"Aku ingin bertukar pakaian dengannya."
"Maksudmu... kau bosan dengan warna pakaianmu itu?!"
Pendekar  Mabuk  akhirnya  menjelaskan  rencananya  secara  rinci.  la
juga menjelaskan nasibnya  yang masih  mujur  dan tidak  mati seperti  yang
dikabarkan dari mulut ke mulut itu.
"Jadi...  kau  ingin  anukan  si  Kusir  Hantu  dan  cucunya?!  Kau  ingin
menyamar dengan anu berbeda agar bisa dekati Ratu Sinden?"
Bukan dengan anu berbeda. Anuku tidak akan berbeda, yang berbeda
penampilanku."
"lya. Maksudku juga begitu!"
"Kuharap kau bisa membantuku, Sawung Kuntet."
"Baik. Akan kubantu, asal setelah itu kau harus temui Candu Asmara,
cucu Eyang Cakraduya itu."
"Ada apa dengan Candu Asmara?"
"Dia sakit begitu mendengar kabar kematianmu. Anunya panas."
"Husy...! Apa kau pegang anunya, kok tahu kalau panas?"
"Maksudku, badannya panas!" sentak Sawung Kuntet jengkel sendiri
jika yang diajak bicara tak me- ngerti maksudnya.
Tapi ia segera tertawa begitu melihat Suto Sinting mengenakan baju
lengan  panjang  dan  celana  longgar  warna  kuning  kunyit.  Menurutnya,
penampilan Suto lucu dan kaku. Tidak seperti biasanya.
"Lalu  bagaimana  dengan  orang  ini,  ya?"  gumam  Suto  Sinting  sambil
memperhatikan si pemilik pakaian kunyit. Beruntung orang itu mengenakan
celana kolor sebagai rangkapan pakaiannya, sehingga ketika baju dan celana
kuning  kunyitnya  diambil,  ia  tidak  teianjang  bulat-bulat.  Tapi  menurut
Sawung Kuntet, keadaan orang itu tidak perlu dipikirkan lagi.
"Orang-orang Lebak Suram itu pencuri semua! Mereka biasa mencuri
barang-barang penduduk mana saja. Biar sekarang dia merasakan bagaimana
sedihnya jika anunya dicuri orang. Maksudku, pakaiannya...!"
"Tapi kasihan dia. Pasti akan kebingungan kalau nanti dia pingsan dan
mendapatkan  pakaiannya  tak  ada.  Biarlah  kutinggalkan  saja  baju  dan
celanaku ini sebagai gantinya!"
Pendekar  Mabuk  pun  bergegas  pergi.  Sawung  Kuntet  mengikutinya.
Tapi tanpa setahu Suto, baju coklat dan celana putih kusam itu diambil lagi
oleh Sawung  Kuntet.  Digulung  sekecil  mungkin  dan diikat  dengan  tali  dari
akar lentur.
Setelah agak jauh melangkah, Suto baru menyadari bahwa baju dan
celananya dibawa oleh Sawung Kuntet.
"Pulangkan  ke  sana!  Kasihan orang  itu  nanti kalau  siuman tak punya
pakaian."
"Dia  sendiri  tak  pernah  kasihan  kepada  penduduk  desa  yang  selalu
dicuri barang-barangnya, masa' kita harus anu sama dia?!" bantah Sawung
Kuntet.  "Sudahlah,  urusan  itu  urusanku.  Kalau  memang  dia  mau  tuntut
pakaiannya yang hilang, biar dia yang menuntutku. Aku tidak takut dengan
anunya...."
"Anunya lagi, anunya lagi...."
"Maksudku, tidak takut dengan tuntutannya!"
Bumbung tuak pun dibungkus rapi dengan lembaran-lembaran batang
pisang kering. Sepintas tak terlihat bahwa benda itu adalah bumbung tuak.
Rambut  Suto  dirapikan  ke  belakang,  diikat  mode!  ekor  kuda.  Bain  kuning
kunyit lengan panjang sedikit digulung le- ngannya sampai mendekati siku.
"Aku  punya  gagasan  baru!"  ujar  Sawung  Kuntet.  "Bagaimana  jika
kubuatkan anu dari getah pohon Sing- kalang?!"
"Aku sudah punya anu, kenapa mau kau buatkan anu lagi?"
"Maksudku,  dibuatkan  tato  dengan  getah  pohon  Singkalang.  Bisa
dipakai untuk mempertebal alismu juga."
"Bisa hilang?"
"Jika kena air memang lama-lama akan anu. Tapi setelah empat-iima
hari baru bisa luntur dan anu sendiri.""
"Boleh  juga,"  jawab  Suto  sambil  tertawa  geli  mom  bayangkan  usul
Sawung Kuntet itu.
Salah satu kepandaian Sawung Kuntet, selain llmu
kanuragan setengah matang, ia juga pandai melukis. ia bisa membuat tato
dengan gambar bagus di dada Suto Sinting.
"Tatonya  gambar  perkutut  saja,  ya?"  ujar  Suto  mengusuikan  pada
Sawung Kuntet.
"Perkutut...?! Uuuh, tato kok gambar perkutut! Ku- rang sangar!"
"Kalau begitu... gambar kuburan saja."
"Uuh... norak!"
"Hmmm, bagaimana kalau gambar ketupat rebus?!"
"Haah,  haa,  haa,  haa...,"  Sawung  Kuntet  tertawa  geli.  "Ketupat  dan
sambal gorengnya, begitu?!"
Suto pun geli juga membayangkannya.
"Gambar  tato  harus  berkesan  angker.  Misalnya  kepala  macan,  atau
kapala... kepala... anu... maksudku, kepala..."
"Kepala nenekmu saja, bagaimana?!" sela Suto dengan konyol. Sawung
Kuntet  bersungut-sungut  menggerutu.  Akhirnya,  soal  gambar  tato
diserahkan  kepada  Sawung  Kuntet.  Suto  ikut  saja  dengan  gagasan  lelaki
yang berpakaian serba hitam itu.
Agaknya  Suto  Sinting  tidak  kecewa  setelah  Sawung  Kuntet  selesai
kerjakan  gambar  tato  dari  getah  pohon  Singkalang.  Tato  itu  bergambar
seekor kuda jantan mengangkat kedua kaki depannya. Tidak terlalu besar,
tapi cukup jelas jika belahan baju Suto tidak dirapatkan.
Alis  Suto  pun  dipertebal  dengan  getah  pohon  Singkalang  yang
berwarna biru, lama-lama menjadi berwarna kehitaman. Alis itu selain tebal
juga  sedikit  naik,  sehingga  wajah  Suto  Sinting  tampak  lebih  beda  dari
biasanya.
"Kumis bagaimana?"
"Jangan, nanti kelihatan palsu," tolak Suto.
"Diberi bintik-bintik saja, jadi seperti kumis dan cambang habis di-
anu... maksudku, habis dikerok."
"Boleh, boleh...!" ujar Suto dengan semangat. la tertawa geli lagi.
la sempat bercermin lewat genangan air di sawah-sawah. Semakin geli
melihat perubahan wajahnya. Tampan tapi berkesan agak liar sedikit. Tak
mudah orang mengenalinya sebagai Pendekar Mabuk. Apalagi ia mengenakan
akar bahar sebesar kelingking yang melingkar di lengan kirinya. la tampak
lebih perkasa lagi, walau berkesan ganas.














5

Sawung  Kuntet  membayang-bayangi  dari  kejauhan.  Mereka  tiba  di
Pantai Bejat pada hari berikutnya, sebab malam itu Suto Sinting bertemu
dengan  Ki  Partolo,  paman  dari  Mayangsita.  Mereka  sempat  berbincang-
bincang di rumah sahabatnya Ki Partolo tentang kekuatan si Ratu Sinden.
Waktu  itu,  Mayangsita  berada  di  kediaman  gurunya.  Jadi  gadis
penggugup dan latah itu tidak sempat bertemu Suto Sinting. Esoknya Suto
berangkat berdua dengan Sawung Kuntet. Tetapi jarak mereka berjauhan.
Sawung Kuntet  ditemani oleh Ki Partolo, di mana keduanya  akan berlagak
tidak kenal dengan pemuda berpakaian kuning kunyit, alias Suto Sinting.
Pantai  Bejat  memang  tempat  berlabuhnya kapal-  kapal  dagang  dari
berbagai  daerah.  Mereka  datang  ke  Pantai  Bejat  karena  hutan  wilayah
Pantai Bejat banyak ditumbuhi rempah-rempah. Desa-desa di sekitar Pantai
Bejat adalah desa subur-makmur, banyak petani palawija yang menjual hasil
pertaniannya kepada para pedagang dari seberang.
Tetapi Pantai Bejat juga mempunyai sisi lain. Tempat yang sepi dan
berhutan  liar  itu  terletak  agak  jauh  dari  bandar  pelabuhan  yang
sebenarnya.  Tempat  itu  berada  di  ujung  teluk  yang  membelok  ke  arah
barat. Di sanalah orang-orang Tanah Pasung melabuhkan kapal mereka. Satu
kapal  besar  dan  empat  perahu  berlayar  tunggal  ditambatkan  di  pantai
berdinding  karang  tak  terlaiu  tinggi.  Mereka  bisa  melompat  dari  tepian
karang ke tepian kapal atau perahu.
Gubuk-gubuk  darurat didirikan  oleh  mereka  di  tepian  hutan  pantai.
Mereka menggunakan rumbia sebagai dinding dan atap gubuk. Agaknya tak
satu  pun  orang  bandar  pelabuhan  yang  berani  mendekati  ke  pe-  mukiman
orang-orang Tanah Pasung itu. Bahkan jika orang Tanah Pasung datang ke
bandar pelabuhan yang ramai itu, orang-orang yang tinggal di sekitar situ
diliputi rasa was-was dan cemas.
"Mereka  seperti  iblis!  Sering  bikin  keonaran,  dan  tak  segan-segan
membunuh orang tak bersalah!" ujar seorang pemilik kedai yang berbadan
gemuk itu.
Sebelum  mendekati  daerah  gubuk-gubuk  liar  orang  Tanah  Pasung,
Suto sengaja sempatkan singgah di sebuah kedai yang tergolong bersih dan
tempatnya  cukup  lebar.  Selain  makan  dan  minum,  Suto  juga  bermaksud
mencari kabar tentang keadaan di pantai ujung sana.
"Jika siang begini, iblis-iblis itu pergi mencari harta karun. Menjelang
sore mereka pulang."
"Berhasilkah mereka mendapatkan harta karun itu?"
"Setahuku tak pernah berhasil. Tapi mereka agaknya juga tak mudah
menyerah."
"Kudengar  mereka  menangkap  dua  orang  yang  dapat  dijadikan
pemandu jalan menuju goa penyim- panan harta karun itu?" pancing Suto.
"Ya,  kudengar  memang begitu, Nak.  Tapi entah  bagaimana hasiinya.
Mungkin mereka tangkap orang yang salah. Toh nyatanya sampai sekarang
tak  ada  kabar  bahwa  mereka  telah  dapatkan  harta  karun  itu,"'  ujar  si
pemilik kedai yang berusia sekitar empat puluh lima tahun.
"Beberapa hari yang lalu...," sambung si pemilik kedai. "... ada seorang
pemuda  yang  mau  coba-coba  membebaskan  kedua  tawanan  itu.  Dari  sini
terdengar  ledakan  beberapa  kali  dan  pekik  pertarungan.  Tapi...  entah
bagaimana  nasib  pemuda  itu.  Mungkin  mati,  mungkin  juga  meiarikan  diri,
karena si Ratu Sinden itu ilmunya memang hebat!"
Pendekar Mabuk termenung sesaat. Lalu ia ingat dengan sahabatnya
yang tunanetra.
"Mangku Randa...?! Ya, kurasa yang dimaksud pemilik kedai ini adalah
si Mangku Randa. Sebab waktu berpisah denganku, dia bertekad mengejar
orang-  orang  Tanah  Pasung.  Selain  ingin  bebaskan  Kusir  Hantu  dan
Pematang  Hati,  ia  juga  ingin  balas  dendam  atas  kematian  ibunya  yang
dibunuh Ratu Sinden. Tapi... bagaimana nasib anak itu sekarang?"
Suto Sinting agak mencemaskan keselamatanMangku Randa. Pemuda
anak mendiang Nyai Sindang Rumi itu sangat berapi-api mencari pembunuh
ibunya.  Setelah  diketahui  si  pembunuh  adalah  Ratu  Sinden,  ia  bertekad
membalas kematian ibunya dengan berusaha membunuh Ratu Sinden, (Baca
serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Misteri Lembah Seram"). Tapi hati
kecil Suto sangsi dengan kemampuan Mangku Randa untuk kalahkan si Ratu
Sinden.  Lebih-lebih  sampai  saat  Suto  lolos  dari  lorong  maut,  ia  belum
bertemu  dengan  pemuda  itu,  atau  mendengar  kabar  yang  pasti  tentang
Mangku Randa.
"Kalau kau mau menyewa kamar di atas, masih ada tiga kamar yang
kosong, Nak," bisik si pemilik kedai.
"Kupertimbangkan dulu, Paman. Jika memang aku butuh bermalam di
sini, aku akan bilang padamu!"
"Untuk  sementara  Jangan  bicara  dulu  tentang  orang-orang  Tanah
Pasung."
"Mengapa begitu, Paman?"
"Dua  orang  Tanah  Pasung baru  saja masuk  kemari,"  bisik  si  pemilik
kedai sambil melirik ke arah pintu masuk. la pun bergegas pergi, berlagak
menyambut  kedua  tamu  itu  dengan  ramah.  Suto  Sinting  memperhatikan
kedua  orang  tersebut. Satu di antaranya pernah dilihat wajahnya  saat  ia
dan Mangku Randa dikepung oleh mereka.
Suto Sinting berlagak tak peduiikan kemunculan dua orang itu. Tapi
diam-diam  ia  gunakan  ilmu  'Sadap  Suara  yang  membuatnya  dapat
mendengarkan percakapan dari jarak jauh.
"Apakah kau percaya dengan pengakuan tawanan kita itu?!"
"Kurasa dia sudah bicara apa adanya. Dia memang tidak tahu tentang
Goa  Kembar. Tapi  dia  kenal  orang  yang  rnengetahui  goa  itu.  Dia  tak  mau
terlibat  urusan  ini,  sehingga  menyebutkan  nama  Pendekar  Mabuk  sebagai
orang yang menjadi kunci di mana harta karun itu tersimpan."
Hati Suto pun kaget mendengar namanya disebut- kan. Tapi ia tetap
bersikap tenang. Meneguk tuak dari cangkir dan menikmati pisang goreng
dengan santai sekali.
"Tapi menurut teman kita yang kemarin ditugaskan memeriksa tebing
itu,  ternyata  tebing  itu  sudah  runtuh.  Mestinya  pintu  masuk  ke  goa
tersebut juga sudah ter- himpit reruntuhan."
"Bukankah  tawanan kita  bilang, masih  ada pintu rahasia  yang hanya
diketahui  oleh  Pendekar  Mabuk?!  Jadi,  kurasa  Nyai  Ratu  Sinden  berikan
perintah yang benar. Menangkap Pendekar Mabuk dan memaksanya bicara
adalah langkah yang paling tepat."
"Tapi  kudengar  Pendekar  Mabuk  ilmunya  cukup  tinggi.  Kurasa  kalau
yang ditugaskan menangkap Pendekar Mabuk adalah diriku, maka aku lebih
baik  berpu-  ra  pura  gagal  walaupun  sudah  adu  muka  dengan  Pendekar
Mabuk."
"Dasar pengecut!"
"Masalahnya... aku belum kawin, masa' aku harus mati muda di tangan
Pendekar  Mabuk.  Aku  yakin  ilmuku  tak  ada  sekuku  hitamnya  dengan
Pendekar Mabuk!"
"Makanya, Nyai Ratu sendiri turun tangan mencari Pendekar Mabuk!
Tidak hanya mengandalkan kita-kita orang!"
Diam-diam  Suto  sunggingkan  senyum  tipis  mendengar  percakapan
kedua orang itu.
"Kurasa  ini  akal-akalannya  Kusir  Hantu,"  ujar  Suto  membatin,  "Dia
punya  siasat  menjebak  Ratu  Sinden  agar  berhadapan  denganku.  Hmmm...
boleh  juga siasatnya  itu.  Tapi,  mengapa  bukan dia  sendiri  yang  bertarung
menghadapi  Ratu  Sinden?  Mengapa  Kusir  Hantu  tidak  memberontak,
setidaknya  mengadakan  perlawan-  an  atas  penangkapannya  itu?!  Jangan-
jangan dia me- nyimpan rahasia yang membuatnya tak berani melawan Ratu
Sinden?!"
Tiba-tiba  dua  orang  Tanah  Pasung  itu  tampak  terburu-buru  ingin
segera pergi. Bahkan mereka tak meninggalkan uang sebagai biaya makan-
minum mereka  di  kedai  itu. Tiga  pemuda  pelayan kedai melihat  kepergian
mereka. Salah satu ingin mengejar dua orang tersebut, tapi pemilik kedai
yang  gemuk  segera  membe-  rikan  isyarat  dengan  kepala  menggeleng.
Pelayan tersebut tak jadi mengejar dua orang Tanah Pasung.
"Hmm...  enak  sekali  mereka.  Makan  tinggal  makan  minum  tinggal
minum,  tahu-tahu  pergi  begitu  saja.  Tanpa  ucapan  terima  kasih  sedikit
pun,'' gumam hati Suto Sinting. "Rasa-rasanya perlu diberi pelajaran biar
mereka tahu aturan sedikit!"
Suto  Sinting  ingin  lepaskan  sentilan  Jari  Guntur'-  nya.  Tetapi
perhatiannya  segera  tersita  oleh  kemunculan  seorang  perempuan  cantik
berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Perempuan itu muncul dari pintu te-
ngah, sedangkan dua orang tadi keluar dari pintu samping.
"Edan! Dewi apa ini yang turun ke kedai?! Dewi nasi liwet atau dewi
teh tubruk?!" puji Suto dalam hatinya, karena perempuan berpakaian ketat
mengkilap berwar- na merah muda itu memang berparas cantik sekali. Be-
berapa  lelaki  yang ada di  kedai itu menatapnya tidak berkedip, termasuk
Suto Sinting.
Pancaran pesona dari wajah dan tubuhnya yang sirital itu mempunyai
daya  tarik  sekuat  magnet  kutub  utara.  Semerbak  wangi  rempah-rempah
bercampur  melati  menyebar  di  seluruh  ruangan  makan  kedai  tersebut.
Karenanya, niat Suto memberi pelajaran kepada dua orang Tanah Pasung itu
menjadi batal total. Pandangan matanya bagai lengket tertuju pada langkah
perempuan  cantik  berhidung  mancung  dan  berbibir  sedikit  tebal  tapi
berbentuk indah menantang gairah.
Gaun ketatnya yang berwarna merah jambu itu berpotonganterusan.
Mempunyai belahan panjang dari bawah sampai ke pertengahan paha. Saat
ia  melang-kah,  belahan  gauri  ketatnya  itu  tersingkap-singkap,  membuat
paha dan betisnya yang putih mulus  itu  menjadi  incaran  mata  para lelaki,
termasuk Suto Sinting.
"Sayang  lagaknya  kelihatan  angkuh  dan  sombong,  mengurangi  nilai
daya  tariknya,"  ujar  Suto  dalam  hati.  "Tapi... bentuk  matanya  yang  indah
dan  sedikit  sayu  itu  seakan  mampu  menyingkirkan  kesan  angkuhnya.
Hmmm... siapa perempuan ini?!"
Rambut  disanggu!  rapi,  giwang  berkeriiap  beriian,  kalung  berbandul
batu permata, gelang pun berhias permata, ditambah jubah perangkap gauh
berwarna  ungu  muda,  maka  tampaklah  ia  sebagai  perempuan  kaya  yang
gemar  pamer  kekayaannya.  Jubah  ungu  mudanya  dihiasi  bulu-bulu  iembut
pada tepiannya. Bulu- bulu iembut dan tampaknya haius itu berwarna ungu
tua.  Jubah  tipisnya  yang  beriengan  panjang  seakan  hanya  sebagai  hiasan
pelengkap  busana  saja.  Sebab  tipisnya  kain  jubah  membuat  bentuk
tubuhnya yang berda- da montok dan berpinggul meliuk sekal itu tetap tam-
pak jelas dari luaran.
Hanya  saja,  tidak  semua  lelaki  di  dalam  kedai  itu  berani
memandangnya secara terang-terangan. Kebanyakan mereka melirik dengan
sembunyi-sembunyi, ada yang berpura-pura sambil mengambil kerupuk, ada
yang  berlagak  sambil  meneguk  minumannya,  ada  pula  yang  seolah-olah
sedang  mengamati  cincin  di  jarinya  sendiri.  Hanya  satu-dua  yang  berani
memandang terang-terangan termasuk Suto.
Pandangan mata Suto terpaksa terang-terangan sebab perempuan itu
berjalan  melintas  di  depan meja-  nya,  lalu  menemui si  pemilik  kedai  yang
gemuk  itu.  Saat  perempuan  itu  melintas  di  depan  Suto,  matanya  yang
sedikit  sayu  melirik  nakal  kepada  Suto  Sinting.  Senyum  tampak  mekar
dengan tipis. Hampir tak terlihat. Tetapi Pendekar Mabuk terang-terangan
sunggingkan senyum tanpa canggung-canggung.
Saat lirikan nakal perempuan itu belum berakhir, Suto sudah buang
pandangan ke arah pisang goreng yang tersaji di depannya. Dengan cuek ia
menyantap  pisang goreng,  tanpa  melirik  ke  arah perempuan  itu  lagi.  Tapi
telinganya masih mendengar suara si perempuan saat bicara kepada pemilik
kedai.
"Kudengar kedaimu ini juga penginapan, Pak Gemuk?"
"Oh,  hmm,  iya...  benar.  Kami  menyewakan  kamar-  kamar  di  Soteng
atas! Apakah... apakah...."
"Apakah tempat ini aman?" sahut perempuan itu.
"O, iya.,. tentu aman!"
"Aku ingin menyewa satu kamar untuk bermalam beberapa hari."
"Baa... baik, akan kusuruh pelayan menyiapkan lebih rapi lagi Nona...
eh, Nyai... eeh, Ibu... eh...," Pak Gemuk serba saiah memberi sebutan pada
perempuan  itu.  Kemudian  ia  memanggil  peiayannya  dan  menyuruh  peiayan
mengantar perempuan itu ke kamar sambil merapikan kamar tersebut.
Sebelum  pergi  ikuti  pelayan,  perempuan  itu  terde-  ngar  berkata
kepada Pak Gemuk.
"Apakah kau menyewakan tenaga keamanan?"
"Mak... maksudnya... maksudnya pengawal pribadi?"
"Betul.  Aku  butuh  pengawal  pribadi  yang  berani  menjamin
keselamatan jiwaku selama bermalam di penginapanmu!"
"Hmm, eeeh... nanti akan kucarikan. Segera akan  kukirim seseorang
sebagai pengawal pribadimu, Nyo- nya, eeh... Nona... eeh, Nyai... eeh, hmm,
anu...,'
"Kirim  pengawal  secepatnya  ke  kamarku!  Cari  yang  tangguh  dan
berilmu tinggi!"
"Baa., baik!" Pak Gemuk membungkuk-bungkuk penuh hormat.
Perempuan  itu  naik  ke  tangga  kayu  berukir  yang  ada  di  sisi  kiri
ruangan. Tepat berhadapan dengan tempat duduk Suto. Tetapi Suto Sinting
acuh  tak  acuh,  me-  nyantap  pisang  gorengnya  sambil  mencuil-cuil  tepung
yang membungkus pisang tersebut.
Namun  sebenarnya  ekor  mata  Suto  masih  memper  hatikan  langkah
perempuan cantik itu saat menaiki tangga menuju ke loteng atas. Suto pun
tahu  perempuan  itu  sempat  memperhatikan  ke  arahnya  lagi  sebelum
menghilang di ketinggian loteng. Namun pemuda konyol itu tetap berlagak
tak merasa dipandangi.
Lenyapnya  perempuan  itu,  membuat  orang-orang  yang  ada  di  kedai
saiing  berkasak-kusuk.  Masing-masing  memberikan  pujian,  penilaian,
pendapat  dan  sebagainya.  Bahkan  ada  yang  bicara  tentang  khayalan  me-
sumnya hingga timbulkan gelak tawa di antara teman semeja.
Suto  hanya  diam,  membatin  dalam  hatinya,  "Cantik  sekali  dia.  Daya
pikatriya sangat tinggi. Jantungku sam- pai berdetak-detak kencang begini,
pertanda ia mempunyai daya pikat yang memang tinggi. Seperti sebongkah
besi  semberani  yang  ingin  menarik  sebatang  jarum.  Sukar  sekali  dilawan
atau dihindari."
Pendekar Mabuk segera tuangkan tuak dari dalam bumbungnya. Padahal
tuak  dalam  cangkir  masih  ada  sedikit.  Tapi  dengan  meminum  tuak  dari
dalam bumbung saktinya, waiau dituang ke daiam cangkir lebih dulu, tetap
saja akan mempunyai khasiat tersendiri.
Debar-debar dalam dadanya mulai reda. Detak jantung menjadi normal
kembali.  Daya  pikat  yang  tadi  seperti  besi  semberani  itu  bisa  diatasi
dengan  ketenang-  an.  Tuak  itulah  yang  menenangkan  jiwa  dan  batin  Pen-
dekar Mabuk.
Beberapa saat setelah itu, pelayan yang mengan- tarkan perempuan
cantik  tadi  turun  dari  loteng.  la  lang-  sung  menemui  Pak  Gemuk  dan
berbisik-bisik sebentar. Kemudian Pak Gemuk datang menemui Suto Sinting
dan bicara dengan suara membisik pula.
"Perempuan tadi ingin bicara denganmu, Nak."
Tentu saja kabar itu mengejutkan Suto walau tak sampai tersentak
kaget. ^
"Aku tidak kenal dengannya."
"Dia ingin menyewamu sebagai pengawal pribadi,Nak."
"Menyewaku...?!  Ooh,  dia  pikir  aku  berilmu  tinggi  seperti  yang
diharapkannya?!" Suto Sinting tertawa pendek seperti orang menggumarn.
"Paman,  katakan  kepada  dia,  aku  tidak  sanggup  menjadi  pengawal
pribadinya. Aku takut mati!"
"Oh,  tolonglah,  Nak...  temui  saja  dia  dan  katakan  sendiri
penolakanmu. Jangan kami yang mengatakan- nya, nanti dia kecewa dengan
pelayanan kami dan pin- dah ke penginapan lain, Nak."
Suto  menghembuskan  napas  panjang.  "Baiklah  kalau  semua  ini  demi
pelayanan  usahamu,  Paman.  Akan  kutemui  dia  dan  kukatakan  sendiri
penolakanku!"
"Ooh, terima kasih... terima kasih...!" Pak Gemuk tampak girang sekali.
Rupanya  ia  benar-benar  takut  tamu  kaya  itu  kecewa  karena  menganggap
pelayanan- nya kurang memuaskan. Hanya disuruh memanggilkan seseorang
saja  tak  mampu,  tentu  saja  hal  itu  akan  rne-  ngecewakan  si  tamu  kaya
tersebut.
"Kasihan si Paman Gemuk itu. Kalau tamu kaya itu kecewa, lalu pindah
penginapan,  jelas  si  Paman  Gemuk  akan  merasa  kurugikan,"  pikir  Suto
Sinting sambil  me- naiki  tangga  menuju  loteng,  diantar oleh pelayan  yang
tadi membawa perintah dari perempuan cantik itu.
Kamar perempuan cantik  itu terletak di ujung  tang-  ga.  Hanya lima
iangkah dari ujung tangga. Si pelayan mengetuk pintu, lalu terdengar seruan
suara wanita dari dalam kamar.
"Masuuuk...!"
Pelayan pun pergi. Suto Sinting membuka pintu itu sendiri dan berdiri
di  ambangnya.  Si  perempuan  sudah  tak  mengenakan  jubah,  hanya  gaun
terusan tanpa le- ngan warna merah jambu mengkilap, seperti terbuat dari
kain  satin  bermotif  bunga  kecil-kecil.  Senyumnya  tipis  dan  dingin  saat
menyambut  kemunculan  wajah  Suto  Sinting  dari  balik  pintu.  la  berdiri  di
dekat jendeia yang menghadap ke barat. Rupanya ia tadi sedang menikmati
pemandangan pantai barat melalui jendeia kamar tersebut.
"Masuklah,  jangan  di  pintu  saja!"  ujarnya  bernada  perintah.  Kesan
ramahnya tak ada. Suto Sinting sedikit kikuk karena hati kecilnya merasa
tak suka diperintah demikian. Tapi rasa ingin tahu siapa perempuan cantik
itu membuat hati kecilnya mengalah dan tak mau peduii dengan sikap kurang
ramah itu.
"Tutup pintunya!" perintah perempuan itu lagi. Suto Sinting menutup
pintu  dengan  menyimpan  rasa  dong-  kol  dalam  hatinya.  Rasa  dongkol  itu
segera  lenyap  setelah  perempuan  itu  duduk  di  tepian  ranjang  berkasur
lebar.  Dari  sana  matanya  yang  sayu  pandangi  Suto  tak  berkedip.  Suto
Sinting menelan napas untuk mene- nangkan kegundahan dalam hatinya.
"Mengapa kau memanggilku, Nona?! Kurasa, kita tidak saling kenal,"
ujar Suto sedikit kaku.
"Namaku Yunda. Kau boleh memanggilku Yunda saja. Tak perlu embel-
embel Nona, atau Nyai atau seje- nisnya. Yunda saja cukup!"
"Yunda...?!"  gumam  Suto  Sinting  mengulang,  seakan  mencatat  nama
itu dalam ingatannya.
"Duduklah...!"  Yunda  menyilakan  Suto  duduk.  Tak  jauh  dari  ranjang
ada kursi ukir berbantalkan busa merah. Tapi Suto Sinting tidak duduk di
situ, la berjalan de- kati jendela, memandang ke arah luar. Dari tempatnya
tampak suasana Pantai Bejat sebelah barat yang dihuni oleh gubuk-gubuk
orang  Tanah  Pasung.  Tapi  perhatian  Suto  tidak  sedang  ke  arah  sana
sepenuhnya. Separoh perhatiannya tertuju pada Yunda.
"Kau punya nama?"
"Tentu saja punya," jawab Suto sambil berpaling menatap Yunda.
"Siapa namamu?"
Suto tak langsung menjawab. la ingat sedang laku- kan penyamaran,
sehingga ia harus mengubah namanya juga agar tak dikenali orang.
"Namaku... Kanda. Hmm, lengkapnya... lengkapnya Panji Kanda," Suto
ingat Panji Klobot.
la  tambahkan  lagi,  "Tapi  orang  sering  memanggilku  dengan  nama
Kanda. Dan memang di antara para pe ngembara, aku dikena! dengan nama
Kanda."
"Yunda  dan  Kanda...?!  Aneh  sekali?!''  perempuan  itu  sunggingkan
senyum  kecil.  "Sepertinya  kita  sudah dijodohkan  untuk  saling bertemu  di
sini."
"Ah, tidak juga!" sangkal Suto Sinting. "Sebelum hari menjadi sore,
aku sudah harus tinggalkan pantai ini."
"Ke mana...?"
"Lanjutkan  pengembaraanku!"  jawab  Suto  berlagak  sebagai
pengembara.
Yunda  bangkit  dan  dekati  Suto.  "Kuharap  tak  perMu  buru-buru
lanjutkan perjalanan. Aku butuh seorang pe- ngawal pribadi."
"Aku bukan seorang pengawal," ujar Suto sambil beradu pandang.
"Tapi  aku  yakin  kau  mampu  menjadi  seorang  pengawal  pribadi  bagi
perempuan seperti diriku!"
Kepala menggeleng, bibir sunggingkan senyum kalem. Mata perempuan
itu  makin sayu, bagaikan  terbius  oleh  senyum Suto.  Padahal  senyuman itu
wajar-  wajar  saja.  Tak  menggunakan  jurus  'Senyuman  Iblis'  pemberian
Bidadari Jalang. Jurus senyuman itu dapat membuat perempuan mana pun
menggelepar-gelepar dihujani gairah ingin bercumbu dengan Pendekar Ma-
buk.
"Kau  keliru,  Yunda.  Aku  bukan  orang  berilmu  tinggi.  Menjamin
keselamatanku  sendiri  belum  tentu  mampu,  apalagi  menjamin  keselamatan
orang lain!"
Pintu  diketuk,  pelayan  masuk  membawakan  mi-  numan.  Setelah  itu
pergi  lagi.  Yunda  menuangkan  minuman  teh  ke  dua  cangkir.  Suto  Sinting
masih pandangi ombak di lautan jauh yang bergulung-gulung.
Yunda  menawarkan  minuman  itu.  Suto  mendekati  meja  dan
memaksakan  diri  untuk  meneguk  teh  hangat.  Padahal  sebenarnya  ia  tak
doyan  air  teh,  karena  sudah  terbiasa  dengan  tuak.  Tapi  demi  melengkapi
penyamarannya,  ia  harus  paksakan  diri  untuk  seolah-olah  terbiasa  minum
teh.
"Benda apa yang kau bawa-bawa itu?" tanya Yunda menatap bumbung
tuak yang dibungkus gedebong pisang kering dan diikat kuat-kuat serta rapi
itu.
"Perbekalanku dalam pengembaraan,"
"Apa isinya?"
"Madu...!" jawab Suto Sinting.
"Madu...?!  Ooh,  pantas  badanmu  kelihatan  kekar,  rupanya  kau  suka
minum madu?"
"Aku  juga  suka  makan  sarang  lebah  madu.  Aku  masih  menyimpan
sarang lebah itu, lengkap dengan lebahnya. Kau mau?"
"O, tidak! Jangan kau buka di sini! Aku paling takut dengan lebah!"
tolak  Yunda  sambil  sembunyikan  se-  nyum  geli.  la  agak  jauhi  Suto,  lalu
duduk di kursi ukur berbantalan busa merah.
"Kanda,  sesungguhnya  aku  benar-benar  butuh  seorang  pengawal
pribadi. Dan saat di bawah tadi, hatiku
mengatakan bahwa kauiah orang yang pantas menjadi pengawal pribadiku."
"Sekali lagi kukatakan, aku tidak bisa menjamin nyawaku sendiri!"
"Seorang pengawal pribadi tidak harus bertarung melawan bahaya."
Pendekar  Mabuk mendekat. Bumbung  tuaknya  di- letakkan tak jauh
dari ranjang, bersandar dinding. la du- duk di tepian ranjang, karena posisi
duduk Yunda mulai bertumpang kaki. Belahan gaunnya tersingkap, kemulusan
pahanya  terpampang  jelas.  Mata  Suto  ingin  memandang  lebih  jelas  lagi.
Karenanya ia duduk di tepian ranjang.
"Lalu  apa  tugas  seorang  pengawal  pribadi,  jika  bukan  bertarung
melawan bahaya?"
Dengan wajah  sedikit  terangkat  berkesan angkuh,  Yunda  menjawab
dengan nada datar.
"Menyelamatkan  hati  yang  sedang  kesepian,  mene-  mani  jiwa  yang
sendirian,  dan  banyak  lagi  yang  bisa  dilakukan  oleh  seorang  pengawal
pribadi."
Suto Sinting tersenyum lebar, tak memberi komentar.
"Kusediakan  upah  besar  untukmu,  jika  kau  mau  mengawal  hatiku,
Kanda!"
Suto makin lebarkan senyum, lalu gelengkan kepala.
"Tawaranmu memang sangat menantang danmenggoda, Yunda. Tapi aku
tak  bisa  menerimanya.  Aku  tak  bersedia  menjadi  pengawal  hatimu.  Aku
bukan pria yang bisa dibeli, Yunda!"
Suto meneguk teh hangatnya, karena Yunda juga meneguknya pula.
"Maaf,  aku  tidak  bermaksud  membelimu,  Kanda.  Aku  mencoba
memberikan sesuatu agar kau tak mera- sa kurugikan. Jika upah membuat
kau  merasa  kubeli,  bagaimana  kalau...  kau  menjadi  temanku  saja?  Mene-
maniku selama beberapa hari."
Si pemuda diam dan berpikir sesaat. Yunda merasa punya kesempatan
mempengaruhi pikiran tersebut.
"Di sini aku tidak punya teman, Kanda. Setidaknya aku butuh seorang
teman untuk bertimbang rasa."
"Sebenarnya kau datang dari mana, Yunda?"
"Dari...," Yunda diam sejenak, berjalan ke meja, meletakkan cangkir
minumnya.  Lalu  ia  duduk di  samping  Suto.  Kaki  kiri  ditumpangkan  di  kaki
kanan.  Sema-  kin  jelas  kulit  pahanya  di  depan  Suto  Sinting,  semakin
berdebar hati Suto dibuatnya.
"Terus  terang  saja,  Kanda...  sebenarnya  aku  dari  Pegunungan  Gobi.
Aku mencari ayahku yang kabarnya berada di Tanah Jawa ini. Ayahku, yang
tentunya  sekarang  sudah  lanjut  usia  itu,  dulunya  ia  seorang  panglima  di
negeri Hastamanyiana...."
Suto Sinting tersentak mendengar nama Hastamanyiana disebutkan.
Tapi  ia  dapat  meredam  rasa  kagetnya  itu  dalam  hati,  sehingga  mimik
wajahnya tampak biasa-biasa saja.
"Tapi kudengar," lanjut Yunda. "... Hastamanyiana telah lama hancur.
Seorang  kenalan  ibuku  belum  lama  ini  mengatakan,  ia  melihat  bertemu
dengan ayahku di Tanah Jawa dalam keadaan tua sekali."
"Siapa nama ayahmu?"
Setelah  diam  dua  helaan  napas  dan  sedikit  tunduk-  kan  kepala,
seakan  membendung  rasa  dukanya,  Yunda  pun  sebutkan  nama  ayahnya
dengan suara pelan.
"Ayahku bernama... Gila Tuak!"
"Hahh...?!"
Kali  ini  Suto  Sinting  tak  bisa  menahan  rasa  kaget-  nya.  Matanya
tlrbelalak  lebar  dan  wajahnya  semburat  merah.  la  nyaris  tak  percaya
dengan pendengarannya sendiri saat Yunda menyebutkan nama gurunya: si
Gila  Tuak  alias  Ki  Sabawana  itu.  Namun  ia  buru-buru  sadar  akan
penyamarannya sehingga rasa kagetnya cepat dikuasai.
"Mengapa kau terkejut, Kanda? Apakah kau kenal dengan nama Gila
Tuak?"
"Hmmm,  yaah...  aku  memang  pernah  mendengar  nama  itu.  Kurasa
semua orang di rimba persilatan pasti pernah mendengar nama si Gila Tuak,
tokoh tertinggi di rimba persilatan itu."
"Kau  pernah  bertemu  dengannya?  Kau  tahu  di  mana  tempat
tinggalnya?"
Suto Sinting gelengkan kepala. "Aku tidak tahu. Aku hanya mengena!
namanya saja. Belum pernah bertatap muka dengan beliau."
"Kudengar  kabar  terakhir  dari  seorang  tokoh  tua,  Gila  Tuak
mempunyai  murid  tunggal  yang  bergelar  Pendekar  Mabuk  alias  Suto
Sinting."
Suto  kuasai  kembali  rasa kagetnya dengan  tank  napas  panjarig dan
manggut-manggut.
"Aku mencari muridnya itu. Kabarnya, si Pendekar Mabuk lebih sering
berkeliaran  ketimbang  Gila  Tuak,"  ujar  Yunda  lagi.  "Menurutku,  dengan
mencari Pendekar Mabuk dan menemukannya, aku bisa minta diantar untuk
bertemu dengan ayahku di tempat kediamannya yang sukar dicari itu."
Suto menggumam dalam hati dengan jantung berdebar-debar.
"Mengapa  guru  tak  pernah  ceritakan  tentang  anaknya  ini?
Mungkinkah  karena  guru  merasa  malu  mempunyai  hubungan  cinta  dengan
seseorang yang sampai menghasiikan satu keturunan secantik ini? Mengapa
pula  guru  tak  pernah  bilang  kalau  dulu  pernah  menjadi  panglima
Hastamanyiana?  Apakah  ada  guru  menganggap  hal  itu  tidak  penting
diceritakan di depanku? Atau... mungkinkah ada rahasia tersendiri di balik
masa lalu guru  yang  pernah punya  hubungan  cinta dengan perempuan dari
Pegunungan Gobi?!"
Perempuan  cantik  itu  bergeser  lebih  mendekat  lagi.  Suaranya
menjadi pelan, seperti membisik. Pandangan matanya tertuju lekat-lekat ke
wajah Sujo dengan bola
mata kian sayu.
"Maukah kau menemaniku, Kanda?"
Suto  Sinting  bingung  menjawab,  tapi  matanya  memandang  wajah
cantik berbibir menggairahkan itu.
"Maukah  kau  membantuku  mencari  Pendekar  Mabuk,  lalu  pergi
menemui ayahku si Gila Tuak itu?"
"Aku... aku... aku akan coba," jawab Suto terkesan ragu-ragu.
Belahan  gaun  semakin  lebar.  Paha  putih  mulus  semakin  nenantang
untuk dielus. Pendekar Mabuk mencoba belahan diri untuk tidak bertindak
nakal.  Tapi  tatapan  mata  Yunda  yang  beradu  dengan  pandangan  matanya
sejerti menghadirkan kekuatan aneh yang menggetarkanjiwa.
Getaan jiwa itu rnakin lama makin menyentuh hasrat dan nenyalakan
api  gairah.  Suto  merasa  dituntut  oleh  batimya  sendiri.  Dituntut  untuk
dapatkan sebentuk kehanKanda, kau sudah punya kekasih?"
"Hrnm,eeh,  hmmh...  su...  sudah,"  Suto  mencoba  melawan  tuntutan
batinnya walau terasa sangat sukar dan berat skali.
"Kau pernah mencium kekasihmu?"
"Hmmmeehmm.. ya, pernah."
Aku  belm  pernah,"  ujar  Yunda  dengan  suara  mulai  bernada  desah.
Aku  ingin  sekali  dicium  oleh  seorang  lelaki  perkasa  sepertimu.  Aku
merindukan  kehangatan  dari  pria  yang  sesuai  seleraku,  Kaulah  pria  yang
sesuai seleraku, Kanda. Kecuplah aku walau sekali saja."
"Hmm, eehh, eehh, hmmm...."
"Kecuplah  walau  sebentar  saja,  Kanda,"  suara  itu  makin  mendesah,
makin  mendekat,  hembusan  napasnya  menghangat  di  wajah  Suto.  Sebagai
pemuda  yang  waras,  kehangatan  napas  itu  semakin  membakar  jairah
bercumbunya dan membuat dadanya tersentak-sentak bagai ingin jebol jika
tak dituruti kemauan batiniya itu.
"Kanda...  peluklah  aku...,"  desah  Yunda  semakin  lebih  mendekatkan
bibirnya ke bibir Suto.
Pria mana yang tahan menerima tantangan seperti itu? Sekali pun ia
seorang  pendekar,  jika  sudalrasakan  hembusan  napas  hangat  dan
mendengar  desahan  se  lembut  itu,  tak  ayal  lagi  ketangguhannya  da&m
berta- han akan runtuh juga. Lebih-lebih pandatgan mata Yunda mempunyai
kekuatan  yang  mengobanan  api  asmara  lawan  jenisnya,  tak  ada  lagi  yang
bis.dilakukan  Suto  Sinting  kecuali  menempelkan  bibirnya  ke  bibir
perempuan itu. Cuup...!
Bibir  itu  dikecupnya  dengan  lembut.  "tapi  kecupan  itu  dibalas  oleh
Yunda  dengan  menyodorkan  lidahnya,  sehingga  mau  tak  mau  lidah  itu
terpagut  oleh  bibir  Suto.  Lidah  mereka  saling  bertemu,  saling  memilin,
dalam deburan api asmara yang kian bergolak. Tak heran jika Suto Sinting
pun  akhirnya melumat bibir prempuan  cantik  itu.  Si perempuan  membalas
luman bibir dengan lebih berapi-api lagi, bahkan berkesan ganas.
Kedua  tangannya  memeluk  Suto,  meremas-remas  punggung  dengan
remasan  yang  menggelitik.  Sampai  akhirnya  perempuan  itu  justru  lebih
ganas  menyerang  dengan  kecupan  yang  merayap  di  seluruh  permukaan
wajah  Suto,  lalu  turun  ke  leher  dan  mengecup  leher  Suto  sesekali.
Lidahnya menyapu leher itu dengan gerakan liar.
Sesaat  kemudian,  serangan  mesra  itu  berhenti.  Mereka  saling
hempaskan  napas  panjang.  Yunda  segera  baigkit,  berdiri  di  depan  Suto
Sinting.  Tali  pengi-  kat  gaun  yang  ada  di  samping  mulai  dilepaskan.  Tiga
simpui  tali  yang  merapatkan  gaun  merah  jambunya  itu  ditarik  satu-satu,
Tees, tees, tees..,!!
Kini  gaun  itu  terbuka  lebar.  Sesosok  tubuh  mulus  berdada  montok
dan  kencang  terpampang  jelas  di  depan  mata  Suto  Sinting.  Tubuh  putih
mulus itu tidak mengenakan pelapis apa pun di balik gaun merah jambunya.
Bahkan perempuan itu menanggalkan gaun itu dengan pandangan mata sayu
yang makin memberikan tantangan untuk bercumbu.
Jiwa yaag melayang-layang di langit asmara membuat mereka berdua
tak  pedulikan  lagi  suasana  saat  itu.  Mereka  juga  lupa  menutup  jendela
kamar yang  tetap  terbuka. Mereka  sangka  tak  ada orang  yang  mengintip
dari jendela itu.
Tetapi  di  itas  pohon  seberang  sana,  ternyata  ada  orang  yang
betengger  memperhatikan  ke  arah  dalamkamar.  Orang  itu  bukan  ingin
menikmati  kemesraan  yang  berlangsung  di  dalam  kamar,  melainkan  punya
tujuan lain dari pengintaiannya.
Sebatang  anak  panah  dilepaskan  dari  atas  pohon.  Zeeeb,  wiiizzz...!
Api  asmara  membuat  Suto  Sinting  lengah.  Tiba-tiba  Suto  tersentak  dan
terpekik  dengan  suara  tertahan,  karena  anak  panah  yang  melesat  itu
menancap di lengan kirinya. Juuub..,.!
"Aahk...!"
"Kanda...?!  Ooh...?!"  Yunda  terkejut  dengan  mata  membelalak  lebar
melihat  anak  panah  menancap  di  lengan  kiri  Suto.  Seandainya  Suto  pada
saat itu tidak sedang merayapkan lidahnya mendekati pundak Yunda, maka
lehernya  yang  akan  tertancap  anak  panah  tersebut.  Beruntung  ia  sedang
merayapkan  lidahnya  mendekati  pundak  Yunda,  bermaksud  akan  ke  leher
perempuan itu, sehingga lengannya sedikit naik dan panah itu menancap di
lengannya.
"Uuhkk...!" Suto Sinting mengerang, sekujur tubuhnya cepat menjadi
panas. Panah itu beracun ganas.
Yunda  menjadi  murka  karena  merasa  kemesraannya  diganggu  oleh
datangnya  anak  panah  tersebut.  la  cepat  menyambar  pakaiannya  sambil
berguling ke lantai menghindari anak panah yang kedua Suto Sinting sendiri
jatuh berlutut di lantai sambil mendekap lengan kirinya.
Dengan gerakan sangat cepat, Yunda kenakan pakaiannya kembali tak
terlalu  rapi.  Jubah  disambarnya  sambil  memandang  ke  arah  pohon.  la
melihat di pohon sana seseorang sedang menyiapkan anak panah yang kedua.
Tanpa  banyak  bicara  lagi,  perempuan  itu  meiompat  keluar  jendeia
bagaikan terbang. Atap-atap rumah pen duduk dipakainya berpijak sesaat.
Tubuhnya  melesat  begitu  cepatnya,  sehingga  Suto  Sinting  tak  sempat
melihat ke mana arah kepergian perempuan itu.
Yang dilihatnya adalah pohon berguncang, daun nya berguguran. Pasti
habis diterjang sesuatu.
Yunda itulah si penerjang pohon. la memburu orang yang melepaskan
anak panah tadi. Orang tersebut beriari menghindari kejaran Yunda.
"Ternyata dia berilmu tinggi juga?" ujar Suto dalam hati. Tapi ia tak
bisa  lanjutkan  komentarnya  tentang  perempuan  cantik  itu.  Sekujur
tubuhnya bagaikan di- aliri darah yang rnendidih,
la  buru-buru  menenggak  tuaknya  setelah  mencabut  anak  panah
dengan  erangan  memanjang.  Beberapa  saat  setelah  tuak  ditenggak,  luka
bolong itu mulai merapat kembali. Rasa panas berangsur-angsur hilang. Suto
Sinting kenakan pakaiannya kembali, kemudian melesat lewat jendeia dengan
gunakan jurus 'Gerak Si- luman'-nya.
Zlaaap, zlaaap...!
Suto  Sinting m.engejar Yunda,  lantaran  ia merasa  harus  meiindungi
perempuan yang mengaku sebagai anak si Gila Tuak. Tapi benarkah Gila Tuak
mempunyai  seorang  anak  secantik  Yunda?  Benarkah  Gila  Tuak  pernah
terlibat skandal dengan perempuan dari Pegunungan Gobi?
Jawabannya ada dalam kisah mendatang. Ikuti terus kelanjutan kisah
ini.
SELESAI
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com