Trio Detektif - Misteri Kurcaci Gaib



Pendahuluan


­Buku ini berisi kisah petualangan terbaru yang dialami oleh tiga orang remaja. Mereka kawan-kawanku dan masing-masing bernama Jupiter Jones. Pete Crenshaw dan Bob Andrews, yang menyebut diri mereka "Trio Detektif". Dalam kisah ini mereka terlibat dalam kasus perampokan aneh, di sebuah museum. Mereka juga menolong seorang wanita yang pusing karena mengalami rongrongan kurcaci. Kalian tentunya pernah mendengar istilah tuyul, makhluk gaib bertubuh kecil yang katanya suka mengganggu dan bisa disuruh mencuri. Nah, kurcaci itu tuyul Barat...




Kejadian-kejadian itu saja rupanya masih belum cukup, nanti kalian juga akan membaca betapa mereka tahu-tahu berada dalam perjalanan ke Timur Tengah untuk dijadikan budak di sana. Pokoknya, macam-macamlah pengalaman mereka. sehingga bulu tengkukku merinding mendengarnya.


Kalian tentu sudah membaca kisah-kisah petualangan mereka yang sebelum ini. Jadi kalian sudah tahu siapa mereka. Kalian sudah tahu bahwa Jupiter Jones, Penyelidik Satu Trio Detektif bertubuh gempal- bahkan bisa dibilang gendut Pete Crenshaw anaknya jangkung dan kekar. Sedang Bob Andrews langsing. Anak Jakarta kalau melihat gerak-geriknya, pasti akan menyoraki dengan kata-kata. "Sok mikir lu!" Tapi itu anak Jakarta yang suka iseng. Kita tidak suka mengejek orang. karena itu mungkin lebih baik jika kita menyebutnya anak yang bergaya serius. Begitulah!


­Selanjutnya kalian pasti juga sudah tahu bahwa Markas Besar, jadi kantor perusahaan Trio Detektif tersembunyi dengan baik dalam sebuah trailer tua yang terdapat di lapangan tempat berjual beli barang-barang bekas. Tempat ini namanya "The Jones Salvage Yard". Pemiliknya paman dan bibi Jupiter Jones la tinggal bersama mereka. Memasuki Markas Besar harus melalui jalan-jalan tertentu yang dirahasiakan dan diketahui hanya oleh mereka bertiga saja. Semua diberi nama sandi, misalnya "Lorong Dua", "Tiga Enteng", "Gerbang Hijau Satu" dan "Kelana Gerbang Merah". Yang sudah membaca kisah "Misteri Nuri Gagap" pasti mengenalnya.


"Kalian sudah tahu bahwa mereka tinggal di California, di kota Rocky Beach yang letaknya di tepi Samudra Pasifik. tidak jauh dari Hollywood, kota film yang terkenal itu. Tapi kesemuanya ini kan sudah kalian ketahui. Aku juga hanya mengatakannya bagi sejumlah kecil di antara kalian yang belum mengenal mereka.


Sekarang, kita buka saja kasusnya.

­ALFRED HITCHCOCK


­Bab 1 Mencuri Permata Pelangi


­"Aku ingin tahu apakah kita mampu mencuri Permata Pelangi," kata Jupiter Jones. Kalimatnya itu mengagetkan kedua kawannya yang sedang sibuk bekerja. Pete Crenshaw nyaris menjatuhkan baut solder. Sedang Bob Andrews bahkan benar-benar menjatuhkan rangkaian huruf-huruf yang sudah diaturnya untuk dipasang pada mesin cetak mereka yang kuno.


"Apa katamu?" tanya Bob. Dengan sebal diperhatikannya huruf-huruf yang berserakan.


"Kataku tadi, aku ingin tahu apakah kita mampu mencuri Permata Pelangi," kata Jupiter mengulangi. "Tentu saja kalau kita ini pencuri."


"Tapi kita bukan pencuri," kata Pete dengan tegas. "Mencuri permata bukannya tidak berbahaya. Risikonya ditembak dan dikejar-kejar. Lagipula aku berpegang pada kata pepatah. 'Jujur itu pangkal selamat'!"


"Setuju!" kata Jupiter. Tapi pandangannya masih selalu tertatap ke surat kabar yang sedang dibaca.


­Ketiga remaja yang menamakan diri mereka Trio Detektif itu sedang berada di bengkel Jupiter, yang tempatnya agak terpisah di "The Jones Salvage Yard". Bengkel itu terbuka, hanya dinaungi atap yang panjangnya sekitar dua meter dan menempel ke pagar tinggi yang mengelilingi tempat penimbunan barang-barang bekas. Di bengkel itu mereka membetulkan barang-barang tua yang masih bisa dipakai untuk dijual kembali. Bagian dari keuntungan yang diterima dari Paman Titus merupakan uang saku mereka dan dimanfaatkan untuk membiayai berbagai kemewahan. Misalnya saja untuk membayar rekening telepon yang ada di Markas Besar mereka yang tersembunyi tempatnya.


Sudah beberapa hari keadaan tenang-tenang saja di sekitar situ. Tidak ada kejadian yang bisa diselidiki oleh Trio Detektif. Bahkan soal sepele seperti binatang piara­n yang hilang pun tidak. Karenanya tidak ada yang mereka pikirkan saat itu, kecuali niat membetulkan sebuah radio kecil model kuno yang ditemukan oleh Pete di antara tumpukan barang bekas yang paling baru datang. Tepatnya, Pete dan Bob yang saat itu sedang tidak punya pikiran lain. Kalau Jupiter, ia lebih suka bekerja dengan otak daripada sibuk dengan tangan. Kalau sedang tidak ada problem yang perlu dipikirkan, selalu ada saja yang ditemukan sendiri olehnya. Dan wujudnya bisa macam-macam!


­Bob mengalihkan perhatiannya dari kotak huruf dan berpindah pada Jupiter.


"Yang kaumaksudkan pasti permata yang di Museum Peterson, " katanya. karena teringat pada berita dalam surat kabar yang menjadi bahan pembicaraan di rumah malam sebelumnya.


"Museum Peterson ?" tanya Pete dengan alis terangkat. "Di mana itu?"


"Di Hollywood - di atas sebuah bukit," kata Bob menjelaskan. "Sebuah gedung tua yang dulunya milik Mr. Hiram Peterson. Raja Minyak! Ia mewariskan gedung itu untuk dijadikan museum yang terbuka untuk umum."


"Dan saat ini di sana sedang ada pameran khusus," sambung Jupiter. "Pameran permata-permata yang luar biasa. disponsori sebuah perusahaan permata dari Jepang, Nagasami Jewellery Company. Mereka menyelenggarakan pameran keliling Amerika Serikat dengan tujuan untuk memperkenalkan barang-barang produk mereka. yaitu mutiara hasil pembudidayaan. Tapi yang paling menarik bukan produk mutiara itu sendiri, melainkan dua perhiasan lain. Atraksi utama ialah Permata Pelangi, yang terdiri beberapa jenis batu mulia - Intan, jamrud, batu delima dan macam-macam lagi. Batu-batu ini dirangkum sedemikian rupa, sehingga kemilaunya mirip pelangi. Ukurannya ada yang besar sekali. Satu di antaranya bahkan bernilai ribuan dolar. Kesemuanya berharga jutaan!"


­"Lalu ada lagi sebuah pending yang terbuat dari kepingan emas yang besar-besar dan bertatahkan batu jamrud yang bentuknya persegi empat" sambung Bob. "Menurut pemberitaan dalam koran, pending itu beratnya sekitar tujuh setengah kilo. Dulu - jaman kuno, pemiliknya kaisar Jepang."


"Pikiran macam-macam saja, Jupe," kata Pete. "Mana ada yang mampu mencuri perhiasan seperti itu. Aku berani bertaruh, penjagaannya pasti seketat di bank."


"Bahkan sedikit lebih ketat lagi," kata Jupiter. "Dalam ruangan di mana perhiasan itu dipajang, selalu ada beberapa orang penjaga. Belum lagi kamera televisi yang diarahkan pada Permata Pelangi. sehingga bisa terus-menerus dilakukan pengamatan terhadapnya dari kantor pusat penjagaan. Kalau malam dinyalakan sinar yang tidak kelihatan dan yang jalurnya bersimpang siur di dalam ruangan. Kalau ada orang masuk dan melintasi jalur sehingga sinar terputus, dengan segera alarm berbunyi.


"Tapi itu saja belum cukup. Kotak kaca tempat permata itu dipajangkan, tidak terbuat dari kaca sembarangan saja. Kaca khusus, yang di dalamnya ada kisi-kisi kawat halus. Kawat itu dialiri listrik. Kalau kaca pecah, alarm langsung berbunyi. Sistem aliran listriknya tersendiri. Jadi kalau misalnya ada badai dan arus listrik terputus, alarm itu masih tetap bisa bekerja."


­"Takkan ada yang mampu mencuri perhiasan itu!" kata Pete dengan nada yakin.


"Tapi itu merupakan tantangan, kan?" tanya Jupiter.


"Kenapa harus merupakan tantangan?" balas Bob bertanya. "Kita ini kan pekerjaannya menyelidiki kejahatan, dan bukan memikirkan cara melakukannya."


"Tapi saat ini tidak ada yang perlu kita selidiki," kata Jupiter mengetengahkan alasan. "Mulanya aku mengharapkan Alfred Hitchcock akan menulisi kita, mengenai salah satu problem yang menarik. Tapi sampai sekarang belum ada kabar dari dia! Sedang seorang penyelidik harus bisa memanfaatkan waktu. Jika kita sekarang sudah memikirkan kemungkinan apakah permata Nagasami itu bisa dicuri atau tidak, kita akan memiliki pengalaman berharga kalau nanti menghadapi kasus perampokan permata. Dan kita juga bisa mengetahui jalan pikiran penjahat."


"Kita akan cuma membuang-buang waktu saja," tukas Pete. "Lebih baik jika kita sekarang melanjutkan latihan menyelam di laut Masih banyak yang perlu kita pelajari tentang cara pemakaian alat-alat selam."


"Aku sependapat dengan Pete," kata Bob. "Lebih baik kita berlatih menyelam. Ayahku sudah berjanji akan mengajak kita berkemah ke California Selatan. begitu kita sudah mahir menyelam. Di sana kita bisa menangkap udang besar yang hidupnya di sela-sela batu!"


­"Kau kalah suara, Jupe," kata Pete lagi. "perbandingannya dua lawan satu."


Tapi Jupiter bersakap seolah-olah tidak mendengar mereka.


"Dalam koran ini dikatakan, sekarang merupakan Hari Kanak-kanak di museum itu. Anak-anak di bawah delapan belas tahun boleh masuk dengan membayar setengah harga. Sedang pramuka berpakaian seragam serta kepala rombongan tidak perlu membayar."


"Kita tidak punya seragam pramuka," kata Pete. "Jadi percuma!"


"Tapi kita kan punya uang lebih hasil pekerjaan kita membantu Paman Titus seminggu penuh," kata Jupiter mengingatkan. "Kecuali itu aku juga perlu istirahat ini kesempatan baik bagi kita untuk pergi ke Hollywood dan menonton pameran Permata Pelangi di Museum Peterson. Setidak-tidaknya, kita perlu melihat wujud permata asli. Mungkin saja kapan-kapan kita mendapat tugas menemukan kembali permata yang hilang."


"Aku punya firasat bahwa biarpun satu lawan dua. kita masih tetap akan kalah suara," gumam Bob pada Pete.


"He! Aku punya akal!" Tiba-tiba Pete bangkit semangatnya. "Aku tahu salah satu cara merampok permata. Permata itu kan batu. Nah - batu itu bisa diapakan saja?"


"Diteliti dengan mikroskop," kata Jupiter.


"Dipakai untuk melempari kaleng," jawab Bob.


"Ya, betul," kata Pete. "Tapi masih ada lagi yang bisa dilakukan dengannya asal ukurannya tidak terlalu besar. Dilontarkan dengan ketapel! Nah - permata itu bisa dicuri dengan cara demikian. Kotak kaca tempat Permata Pelangi dipecahkan. Lalu batu-batu permata itu ditembakkan dengan ketapel lewat jendela terbuka, sementara seorang teman menyambut di luar dengan keranjang. Sesudah itu - cepat-cepat minggat!"


"Hebat!" kata Bob.


Jupiter merenung. Kemudian ia menggeleng- kan kepalanya lambat-lambat.


"Rencana itu ada dua kelemahannya," katanya. "Pertama: kawanan pencuri yang di luar mungkin bisa minggat dengan permata. tapi yang di dalam pasti akan tertangkap para penjaga. Sedang kelemahan yang kedua lebih menyolok," sambungnya. "Permata-permata itu tidak mungkin bisa ditembakkan ke luar lewat jendela, karena..." Jupiter berhenti sebentar.


"Nah - kenapa?" tanya Pete tidak sabar.


"Ya, kenapa?" kata Bob ikut bertanya. "Menurutku. akal itu bagus."


"Akal itu tidak bisa dilaksanakan, karena di Museum Peterson sama sekali tidak ada jendela," kata Jupiter menjelaskan.


­Bab 2 Keributan di Museum


­Sejam kemudian ketiga remaja itu tiba di kaki bukit kecil. di atas mana terletak Museum Peterson. Bukit itu berseberangan jalan dengan Griffith Park, sebuah tempat rekreasi yang sering didatangi Jupiter serta kedua kawannya untuk berpiknik di situ. Bukit kecil itu ditumbuhi rumput hijau. Di atasnya terdapat sebuah bangunan yang besar sekali dengan dinding berlapis plesteran. DI kiri kanannya ada bangunan tambahan. Masing-masing dengan atap berbentuk kubah. Sebuah jalan selebar dua jalur berkelok-kelok menuju ke sisi belakang gedung itu. sementara satu jalan lain menurun dan merupakan jalan ke luar.


Mobil-mobil besar dan kecil bergerak dengan lambat menyusur jalan masuk. Jupiter, Bob dan Pete berjalan kaki ke atas. Mereka berjalan di tepi sekali, supaya tidak mengganggu kelancaran laju lintas. Tempat parkir nampak sudah terisi mobil yang lumayan banyaknya. Sementara itu masih banyak lagi yang mengalir terus ke dalam. Tidak henti-hentinya nampak penumpang turun.


­Umumnya mereka itu anak-anak. Banyak di antaranya yang memakai seragam pramuka. Puluhan pramuka cilik berpakaian seragam biru dengan Ikat leher keemasan berlari kian kemari dengan berisik. sementara para pimpinan mereka berusaha menenangkan suasana. Rombongan pramuka putri yang berpenampilan anggun memperhatikan anak-anak itu dengan perasaan sebal. Beberapa pramuka remaja bertubuh jangkung nampak pula di situ. Mereka menyandang ransel, dengan kapak terselip di pinggang.


"Aku ingin mempelajari denah tempat ini," kata Jupiter pada kedua temannya. "Kita periksa dulu bagian luar museum."


Mereka berjalan lambat-lambat lewat bagian belakang gedung besar itu. Bob melihat bahwa keterangan Jupe mengenai jendela museum ternyata benar. Dulu di situ ada jendela, tetapi yang terdapat di tingkat dasar dan di kedua bangunan tambahan kini sudah ditutup dengan tembok. Ia begitu sibuk memperhatikan gedung itu, sehingga tidak melihat serombongan pramuka cilik beserta pimpinan mereka yang berjalan ke arahnya.


"Uhh! Maaf," kata Bob. Ia menubruk seorang pramuka cilik. sehingga anak itu terpelanting ke rumput Pramuka itu bergegas bangun kembali sambil tersenyum, menampakkan satu gigi emas yang berkilauan. Anak itu lari bergegas menyusul rombongannya.


"Wah, wah!" kata Jupiter. "Coba lihat itu!"


"Apa yang harus dilihat?" tanya Pete. "Aku tidak melihat apa-apa, kecuali tembok belakang gedung."


"itu - kawat itu!" kata Jupiter. "Kaulihat tidak? itu - kawat listrik itu. yang terbentang dari tiang ke sudut itu lalu masuk ke rumah. Kawat itu bisa diputuskan dengan gampang."


"Siapalah yang merasa perlu memutuskannya," kata Bob.


"Pencuri," jawab Jupiter. "Tentu saja itu sama sekali takkan mempengaruhi sistem pengaman di sini, yang kita ketahui bekerja dengan aliran listrik tersendiri. Tapi walau begitu. kemungkinan terputusnya aliran listrik ini saja sudah merupakan satu titik lemah."


Sementara itu mereka sudah selesai mengelilingi gedung, dan "ini menuju ke pintu masuk yang terdapat di depan. Mereka tidak memakai seragam pramuka. Karena itu mereka ditarik uang masuk masing-masing dua puluh lima sen.


Sesampai di dalam, seorang penjaga menyuruh mereka menuju ke kanan.


"Ikuti terus tanda panah," kala penjaga itu.


Ketiga remaja itu berjalan lewat sebuah serambi dalam dan sampai di bangunan sayap kanan Mereka memasuki sebuah ruangan besar dengan langit-langit berbentuk kubah. Tinggi puncaknya paling sedikit sama dengan bangunan bertingkat tiga. Semacam balkon terdapat pada setengah bagian ruangan itu. Di situ terpasang tulisan,


"Tutup".


­Di dinding tergantung lukisan yang besar-besar, berbingkai pigura berukir-ukir. Lukisan-lukisan itu merupakan bagian dari pameran tetap di museum itu. Tapi saat itu Trio Detektif tidak tertarik untuk melihat lukisan. Mereka datang untuk menonton pameran permata.


"Coba perhatikan, bagaimana cara lukisan-lukisan itu digantungkan," kata Jupiter, sementara mereka berjalan menyusur dinding yang penuh dengan lukisan. "Setiap lukisan tergantung di dinding dengan penggantung yang tidak kelihatan. Dulu lukisan digantungkan dengan kawat panjang, yang terjulur dan papan yang dipasang memanjang dekat langit-langit Sekarang pun kalian masih bisa melihat papan tempat pemasangan kawat-kawat itu, yang dulu dipergunakan ketika raja minyak Peterson masih tinggal di sini."


Pete mendongak. Tapi ia lebih tertarik memperhatikan cara jendela-jendela tinggi yang dulu ada di situ kemudian ditutup sehingga merupakan tembok utuh.


"Kenapa jendela di sini semuanya ditembok, ya?" tanyanya. "Kau benar, Jupe - tak mungkin permata bisa ditembakkan ke luar dengan ketapel dari tempat Ini. Tapi aku tidak mengerti, apa sebabnya jendela-jendela ditembok semuanya..."


"Alasannya, antara lain agar permukaan dinding menjadi lebih luas, sehingga lebih banyak lukisan yang bisa digantungkan di sini," kata Jupiter. "Tapi alasannya yang utama ialah agar bisa dipasang alat pengatur hawa di sini. Kalian rasakan betapa sejuknya hawa dalam ruangan ini? Untuk melindungi lukisan-lukisan berharga supaya jangan lekas rusak diperlukan suhu dan kelembaban yang selalu sama."


Sambil berjalan lambat-lambat mereka mengelilingi ruangan itu, lalu memasuki suatu lorong panjang di belakang gedung, mengikuti serombongan anak-anak yang berjalan sambil cekikikan dan bertolak-tolakan. Mereka tiba di bangunan sayap kiri museum itu, di mana perhiasan permata dipamerkan. Seperti di ruangan sebelumnya, di situ pun setengah ruangan dikitari balkon, tapi undak-undakan untuk naik ke situ dirintangi lengan tali.


Permata Pelangi dipamerkan tepat di tengah-tengah ruangan. Pagar tali yang terbuat dari bahan beludru terpasang mengelilinginya, agar orang tidak bisa terlalu mendekat dan menyentuh kotak kaca.


"Tindakan pencegah yang sangat baik," kata Jupiter sambil berjalan mendekatinya. "Dengan begitu pencuri tidak bisa memecah kaca, lalu lari."


Mereka berdiri agak lama di depannya, memperhatikan sebutir intan besar yang memancarkan sinar kemilau berwarna biru. Begitu pula jamrud bersinar hijau. ­buah batu delima yang nampak menyala seperti bara, serta sebuah mutiara besar yang mengkilat itu batu-batu permata yang paling berharga di antaranya. Tapi masih banyak lainnya yang berwarna-warni seperti pelangi, ditata sekeliling permata-permata yang paling besar. Kesemuanya berkilau-kilauan ditimpa cahaya.


Seorang penjaga di sudut kotak kaca itu mengatakan bahwa perhiasan itu dinilai berharga dua juta dolar. Kemudian mereka disuruhnya terus, dan serombongan pramuka putri yang tertawa-tawa menggantikan mereka berdiri di depan kotak kaca.


Jupiter beserta kedua temannya kini berada di depan sebuah kotak yang ditempatkan lebih dekat ke dinding. di bawah naungan balkon. Dalam kotak kaca itu dipamerkan sebuah pending emas yang mengesankan. Panjangnya sekitar satu meter dan terbuat dari keping-keping emas lebar yang bertatahkan jamrud yang besar-besar berbentuk persegi empat Pinggiran masing-masing keping dihiasi dengan butir-butir mutiara. sementara pada kepala pending terpasang sejumlah intan dan batu delima yang berkilau-kilauan. Melihat ukuran pending itu, pemakainya harus bertubuh besar.


"Ini dikenal dengan nama Pending Emas para Kaisar Kuno," kata seorang penjaga yang berdiri dekat situ pada mereka. "Umurnya sudah lebih dari seribu tahun. Berat seluruhnya hampir tujuh setengah kilogram. Tapi nilai sejarahnya jauh lebih tinggi daripada nilai batu-batu berharga yang terpasang di situ. Sekarang silakan terus, supaya yang lain juga mendapat giliran untuk melihatnya."


Ketiga remaja itu meneruskan langkah. melihat kotak-kotak lain yang berisi berbagai jenis benda menakjubkan yang terbuat dari mutiara Nagasami. Mereka melihat angsa, burung merpati, ikan, kijang dan bermacam-macam margasatwa lainnya - semua terbuat dari mutiara yang direkat saling berhimpitan, atau dipasang dalam bingkai kaca yang tembus pandangan. Para pramuka putri di belakang mereka teraduh-aduh karena kagum.


Sementara itu ruangan sudah lumayan penuhnya dengan pengunjung. Pete, Jupe dan Bob berdiri di suatu tempat yang letaknya agak ke pinggir, lalu bercakap-cakap sesama mereka.


"Ruangan ini penuh dengan penjaga," kata Jupiter. "Jadi rasanya takkan ada yang bisa merencanakan pencurian siang hari. Perbuatan itu harus dilakukan malam-malam. Tapi itu pun masih menghadapi kesulitan besar. Bagaimana caranya masuk lewat pintu depan, lalu bagaimana melumpuhkan kawat-kawat listrik yang terpasang dalam kotak kaca," Jupiter menggelengkan kepalanya. "Aku menarik kesimpulan bahwa perhiasan permata itu aman di sini, kecuali jika pencurinya terdiri dari sekelompok penjahat berpengalaman. Dan karena itu persoalannya..."


"Aduh - maaf!" kata seorang laki-laki yang saat itu menubruk Jupiter. Orang itu berjalan mundur sambil memperhatikan arlojinya, sehingga tidak melihat ketiga remaja itu.


"Eh - halo, Mr. Frank," sapa Jupiter.


"Kau mengenalku? Kau siapa?" tanya orang itu dengan ramah.


"Baby Fatso," kata Jupiter mengingatkan. Ia menyebutkan nama yang dulu diberikan padanya ­semasa masih kecil. ketika ia ikut bermain dalam satu serial kisah jenaka di televisi. "Anda sering tampil bersama kami dalam berbagai show waktu itu. Masih ingat? Anda selalu bermain sebagai pria malang yang harus menanggung akibat kenakalan-kenakalan yang kami lakukan."


"Baby Fatso! Ya, tentu saja!" seru orang itu. "Tapi nama itu sudah tidak cocok lagi untukmu. Aku sebetulnya masih ingin mengobrol agak lama denganmu, tapi sayang tidak bisa. Sudah saatnya aku beraksi."


"Beraksi?" tanya Jupe.


"Lihat saja nanti, pasti asyik!" kata Mr. Frank sambil terkekeh. "Nah, itu ada penjaga. Aku harus menarik perhatiannya."


Ia menyaringkan suaranya.


"Halo. Pak Penjaga!"


Penjaga yang berpakaian seragam itu berpaling. Orang itu kelihatannya kepanasan dan karenanya cepat jengkel.


"Ya, ada apa?" katanya menggerutu.


Mr. Frank pura-pura terhuyung


"Saya merasa agak lemas," katanya dengan suara berbisik. "Saya minta air."


Mr. Frank menarik selembar sapu tangan dari kantong atas jasnya, untuk mengelap kening. Bersamaan dengan sapu tangan itu tertarik pula sebuah benda, yang langsung terjatuh ke lantai.


Benda itu sebuah batu besar berwarna merah, mirip batu delima yang terdapat dalam kotak pameran.


"Astaga!" Mr. Frank nampak bingung. Kelihatannya seperti orang yang bersalah. Penjaga itu langsung timbul kecurigaannya.


"Apa ini!" sergahnya. "Di mana Anda mencurinya? Ayo jawab!"


Ia mengulurkan tangannya, hendak memegang bahu Mr. Frank. Mr. Frank berusaha memprotes. Seketika itu juga penjaga meniup peluitnya.


Bunyinya yang melengking menyebabkan semua yang ada dalam ruangan itu berdiri seperti terpaku di tempat masing-masing. Semua berpaling ke arah penjaga itu serta Mr. Frank. Detik berikutnya para penjaga lainnya sudah berdatangan dan mengepung Mr. Frank, yang kelihatan makin bingung dan takut


"Nah, sekarang -" kata kepala penjaga. Tapi ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. karena saat itu juga seluruh ruang museum menjadi gelap-gulita.


Sedetik keadaan sunyi senyap, disusul suara tegang yang berasal dari sejumlah kerongkongan.


"Lampu! Lampu! Hidupkan lampu!"


Tapi lampu-lampu tidak menyala. Kepala penjaga meniup peluitnya.


"Dua orang penjaga berdiri di samping kotak tengah!" serunya. "Yang lain-lain menjaga agar jangan sampai ada yang meninggalkan ruangan ini!"


Tiba-tiba ruangan menjadi kacau balau Anak-anak kecil bertangisan, para ibu memanggil-manggil anak-anak mereka. Orang-orang bergerak tak menentu dalam gelap.


­"ChIef!" seru seorang penjaga memanggil kepalanya. "Saya dikelilingi anak-anak. Saya tidak bisa menghampiri kolak tengah.


"Coba terus - harus bisa!" terdengar suara atasannya. "Ini perampokan!"


Saat itu terdengar bunyi kaca pecah. Bunyi dering alarm yang menyusul semakin mengacaukan suasana ruangan yang sudah hiruk-pikuk.


"Batu-batu permata itu!" desis Pete dekat telinga Jupiter. "Ada orang hendak mencurinya."


"Tentu saja," Dan nada suaranya terdapat kesan seolah-olah Jupiter menikmati kejadian itu. "Ini perampokan permata yang direncanakan masak-masak. Kita harus berusaha pergi ke pintu depan untuk melihat para penjahat pada saat mereka mencoba minggat dari sini."


"Mungkin ada jalan lain lewat belakang," seru Bob.


"Risiko itu harus kita ambil!" balas Jupiter. "Ayo, ikut aku!"


Jupiter berjalan seperti tank kecil yang merambah hutan yang terdiri dari tubuh anak-anak kecil.


Tapi ketika sudah sampai di pintu, mereka menyadari bahwa para penjaga di sebelah luar takkan mengizinkan siapa pun keluar. Ketegangan semakin memuncak, mendekati titik bahaya.


Ruangan pameran itu penuh dengan orang yang ketakutan, saling mendorong dan tolak-menolak untuk bisa keluar. Sebentar lagi pasti akan ada anak terjatuh. Kalau itu terjadi kemungkinan bahwa anak itu terinjak orang lain besar sekali.


­Saat itu terdengar seseorang berseru dengan lantang. Suaranya bahkan mengalahkan kebisingan dering alarm. Kemudian alarm dengan tiba-tiba berhenti berbunyi, seakan-akan ada yang memutar tombol darurat yang mengatur arus listriknya yang khusus. Suara yang berseru-seru itu kini terdengar dekat sekali. Suara pria, dan berlogat seperti orang Jepang.


"Penjaga di luar!" seru orang itu. "Bantu orang-orang keluar, tapi jangan izinkan mereka meninggalkan kompleks. Semua harus digeledah dulu sebelum diperbolehkan pergi!"


Mendengar perintah itu, para penjaga yang semula menghadang di luar pintu bergerak menepi. Orang-orang berdesak-desakan keluar. Jupiter, Pete dan Bob mengikuti arus orang ramai. Mereka melihat betapa para penjaga berusaha mengatur agar orang-orang tetap berkumpul di halaman rumput yang luas di depan, sambil menenangkan para wanita dan anak-anak. Sejenak kemudian datang beberapa mobil patroli polisi dengan sirene mengaung-ngaung, untuk mengambil alih tugas penanganan.


Di pintu depan terjadi kemacetan. Terlalu banyak yang berjejal-jejal hendak keluar, sehingga tidak ada yang bisa lewat


"Yuk, kita bantu," kata Jupiter. Mereka bertiga menahan serombongan pramuka putri, untuk memberi kesempatan pada sejumlah anak yang lebih kecil untuk keluar lebih dulu. Di antara orang-orang yang keluar paling akhir terdapat Mr. Frank. Dengan tampang bingung ia menghampiri Trio Detektif.


"Ada apa ini?" tanyanya. "Kelihatannya tadi terjadi perampokan. Tapi aku-"


Saat itu ia disergap seorang penjaga


"Anda saya tangkap!" seru penjaga itu lalu menyeret Mr. Frank yang ribut memprotes.


"Aku berani bertaruh, ia pasti tidak berbuat apa-apa," kata Jupiter. "Tapi tentu saja banyak sekali pertanyaan yang harus dijawab olehnya. Aku ingin tahu apa yang disambar para perampok itu, serta bagaimana cara mereka melarikan diri. Kecil sekali kemungkinannya mereka keluar lewat sini."


Pete memperhatikan orang banyak yang berkerumun di lapangan rumput.


"Kebanyakan wanita dan anak-anak," katanya sependapat


"Tentu saja polisi mungkin akan memeriksa setiap orang," kata Jupiter melanjutkan.


Saat itu seorang pria Jepang bertubuh kecil lewat dekat mereka, lalu masuk ke dalam ruangan museum yang gelap-gulita. Orang itu membawa senter yang besar. Kelihatannya ia yang mengepalai di situ. Semenit kemudian ia muncul kembali. Air mukanya menampakkan kebingungan.


"Mereka tidak mencuri Permata Pelangi!" serunya pada para penjaga yang masih sibuk mengatur agar semua pengunjung tetap berada di atas lapangan. "Mereka mencuri Pending Emas! Kotaknya pecah sisi atasnya, dan pending itu tidak ada lagi di situ! Setiap orang harus digeledah!"


Mata Jupiter bersinar-sinar.


"Astaga!" katanya. "Apa sebabnya justru pending besar yang kuno itu yang dicuri - sementara Permata Pelangi jauh lebih mudah dibawa minggat? Sulit sekali menyembunyikan pending itu di balik pakaian, karena terlalu panjang dan besar."


"Mereka itu!" kata Bob sambil menuding dua orang pramuka bertubuh jangkung. "Mereka bisa memecahkan kotak kaca dengan kapak mereka, lalu menaruh pending dalam salah satu ransel mereka. Mereka itu pencuri permata yang menyamar!"


"Terlalu menyolok." bantah Jupiter. "Pasti mereka yang pertama-tama digeledah nanti. Aku berani bertaruh -" ia agak terengah-engah karena tegang - aku berani taruhan, Pending Emas itu tidakkan bisa ditemukan."


Seperti sudah sering terjadi, ramalan Jupiter itu kemudian ternyata tepat. Kedua pramuka itu sedikit pun tidak menolak ketika mereka hendak digeledah. Ransel mereka hanya berisi bahan makanan. Ternyata mereka hendak pergi ke Griffith Park untuk mengadakan hiking di situ sambil masak di luar. Mereka diizinkan pergi. Para pengunjung lainnya diperiksa satu demi satu, dan setelah itu dibebaskan. Sedang Mr. Frank dibawa oleh polisi untuk ditanyai. Akhirnya yang tinggal di situ hanya Bob, Pete dan ,Jupiter.


­Para penjaga mengambil senter lalu masuk ke dalam museum. Tanpa banyak ribut ketiga remaja itu ikut masuk.


Sesampai di dalam nampak bahwa bagian atas kotak kaca tempat Pending Emas ditaruh pecah berantakan. Pending itu sendiri tidak ada lagi di situ. Sedang permata yang di kotak-kotak lain semua masih utuh.


Saat itu laki-laki Jepang yang tadi melihat Jupiter serta kedua temannya ada di dalam, lalu bergegas menghampiri mereka.


"He! Apa yang kalian lakukan di sini?" serunya. "Kenapa tidak pulang? Kalian tidak boleh di sini!"


"Maaf, Sir," kata Jupiter. Diambilnya selembar kartu nama Trio Detektif dari kantongnya. "Kami ini penyelidik. Memang. kami agak muda untuk itu, tapi mungkin kami bisa menolong Anda."


Laki-laki Jepang itu nampak heran ketika ia membaca kartu nama yang disodorkan. Di situ tertulis:


­"TRIO DETEKTlF


"Kami Menyelidiki Apa saja"


­???


Penyelidik Satu - Jupiter Jones


Penyelidik Dua - Peter Crenshaw


Catatan dan Penelitian - Bob Andrew­s


"Ketiga tanda tanya itu lambang kami," kata Jupiter menjelaskan. "Tanda pengenal kami. Artinya pertanyaan yang tak terjawab, teka-teki yang tak terpecahkan, misteri yang tak terjelaskan. Kami berusaha -"


"Omong kosong! Kalian anak-anak Amerika konyol!" teriak laki-laki bertubuh kecil itu sambil mencampakkan kartu nama Trio Detektif ke lantai. Aku, Saito Togati. kepala keamanan Perusahaan Permata Nagasami, tidak berdaya untuk mencegah pencurian Pending Emas para Kaisar Kuno. Aku kehilangan muka! Lalu sekarang tiga anak konyol ingin menambah kesulitanku, mau ikut-ikutan campur tangan. Pergi! Ini pekerjaan orang dewasa. bukan anak-anak!"


Bagi Pete dan Bob, ucapan laki-laki Jepang itu tidak bisa ditawar-tawar lagi. Mereka berpaling lalu pergi ke luar dengan lesu Sesaat kemudian Jupiter menyusul, sementara kartu nama mereka ditinggalkan tergeletak di lantai.


Sekali itu mereka menemukan kejadian yang takkan mereka usut.


Bab 3 Telepon dari Alfred Hitchcock


Koran-koran yang terbit keesokan paginya penuh dengan berita tentang teka-teki hilangnya Pending Emas. Bob yang bertugas mengumpulkan catatan untuk Trio Detektif. mengguntingi berita-berita tentang kasus itu dan menempelkannya dalam buku catatan perusahaan. Walau kasus itu tidak mereka tangani tapi Jupiter sangat menaruh minat terhadapnya. Dengan tekun dibacanya semua berita mengenainya.


Sebagian dari berita-berita itu memaparkan fakta-fakta yang sudah mereka ketahui sendiri. Tapi ada juga yang belum. Misalnya bahwa lampu-lampu Museum Peterson dipadamkan oleh seorang laki-laki yang berpakaian seperti tukang. Ada yang melihatnya sedang berjalan menuju sisi belakang museum, sambil membawa tang besar untuk menggunting kawat.


Beberapa menit kemudian ia kelihatan pergi lagi naik mobil barang berukuran kecil yang berwarna hitam. Saat itu tak ada yang merasa curiga terhadapnya. Tapi tidak lama kemudian alarm berbunyi, disusul oleh kejadian yang menggemparkan itu. Jelas bahwa orang itu bersekongkol dengan para pencuri yang ada di dalam museum. Mereka bekerja dengan jadwal waktu yang diatur rapi sekali. Kawan-kawan tukang gadungan itu langsung beraksi, begitu ruangan menjadi gelap-gulita.


Tapi yang menjadi teka-teki besar sekarang siapakah para pencuri itu? Tidak ada yang menyelinap ke luar lewat belakang, karena menurut pemberitaan surat kabar pintu belakang itu langsung dijaga ketat begitu alarm berbunyi. Tidak ada yang lari lewat jendela karena di situ memang sama sekali tidak ada jendela. Semua yang semula ada di dalam keluar lewat pintu depan. Dan semua sudah digeledah.


Berita koran juga mengatakan bahwa Mr. Edmund Frank, seorang aktor, dibebaskan oleh Polisi setelah diinterogasi.


"Aku ingin tahu, apa cerita Mr. Frank pada mereka," gumam Jupiter sambil mencubiti bibir bawahnya. "ia pura-pura tanpa sengaja menjatuhkan sebutir permata. yang oleh penjaga dikira merupakan barang curian. Mestinya itu hanya lelucon saja, mungkin untuk mencari nama - sedang permatanya tiruan dari kaca."


Kening Jupiter berkerut karena sibuknya berpikir.


"Ini pasti pekerjaan kawanan penjahat yang udah berpengalaman yang beraksi dengan rencana yang sangat rapi," kalanya. "itu bisa kita ketahui dari cara pelaksanaannya. Tapi siapa mereka - terus terang saja saat ini aku buta sama sekali! Begitu pula ke mana mereka pergi, serta bagaimana mereka bisa menyelundupkan Pending Emas keluar,"


"Jangan-jangan para pelakunya penjaga-penjaga museum itu sendiri!" kata Bob dengan tiba-tiba. "Mungkin mereka sengaja bekerja di situ, supaya bisa melakukan perampokan ini."


Pete dan Jupiter memandangnya dengan kagum.


"Boleh juga dugaanmu itu, Bob," kata Pete. "Tapi aku punya ide lain. Mungkin para penjahat bersembunyi dalam museum dan baru keluar ketika semua sudah pergi."


"Tidak," kata Jupiter sambil menggeleng. "Menurut koran, seluruh ruangan museum sudah diperiksa dengan cermat. Tapi tak ditemukan seorang pun yang tidak memang sudah seharusnya ada di situ."


"Gedung-gedung tua semacam itu, biasanya punya kamar-kamar tersembunyi," kata Pete.


"Kalian masih ingat, bilik rahasia yang kita lihat di Green Mansion?" Pete mengingatkan kedua temannya pada petualangan mereka. menghadapi Misteri Hantu Hijau.


"Tidak," sela Bob. "Kurasa para penjaga. Pasti mereka pelakunya."


Jupiter masih terus sibuk berpikir .


"Aku masih tetap belum mengerti, kenapa Justru Pending Emas yang dicuri," katanya "Benda itu sulit disembunyikan, karena ukurannya besar. ­Menjualnya juga tidak gampang. Sedang nilainya tidak setinggi Permata Pelangi. Kenapa bukan Permata Pelangi yang mereka curi? Kalau itu kan bisa dengan mudah dimasukkan ke dalam kantong. lalu kemudian dijual tanpa susah-susah. Aku berani bertaruh, jika jawaban atas keanehan ini bisa kita temukan, kita juga akan berhasil membongkar misteri perampokan itu."


Jupiter menyandarkan diri ke punggung kursi putarnya. Seperti sekian banyak benda yang terdapat dalam ruang kantor sempit di Markas Besar Trio Detektif, kursi putar itu barang rombengan yang dibetulkan sendiri oleh ketiga remaja itu.


Kelihatan sekali bahwa Jupiter sedang memeras otaknya. Kalau otak itu mesin pasti akan terdengar bunyi putaran roda-roda giginya.


"Coba kita urutkan saja hal-hal yang sudah kita ketahui saat ini," katanya kemudian. "Pertama-tama, lampu tiba-tiba mati. Itu dilakukan seorang dari kawanan penjahat yang berada di luar. Lalu para penjaga terhalang gerak-geriknya oleh para wanita dan anak-anak yang ketakutan. Bisa kita pastikan bahwa para penjahat dengan sengaja melakukan aksi mereka justru pada saat museum khusus dibuka untuk anak-anak Mereka tentu udah memperhitungkan bahwa hal itu akan terjadi."


"Betul," kata Pete.


"Nah! Kemudian, sementara para penjaga sibuk berjaga-jaga sekeliling tempat Permata Pelangi dipamerkan, seseorang memecah kaca sebelah atas kotak tempat Pending Emas ditaruh, lalu mengambil benda berharga itu. Pelakunya harus orang yang jangkung, karena tutup itu agak tinggi letaknya."


"Di antara para penjaga, ada juga yang jangkung," kata Bob mengingatkan.


"Betul," kata Jupiter. "Nah - ketika alarm berdering, semua bergegas menuju ke pintu sehingga terjadi kemacetan di situ. Ketika akhirnya semua sudah keluar mereka digeledah oleh Mr. Togati, detektif Jepang yang memimpin tugas pengamanan di situ dengan dibantu oleh para penjaga. Setelah itu kita diizinkan pulang-"


"Diizinkan? Kita disuruh pulang," kata Pete dengan sebal. "Padahal kau sudah menawarkan diri untuk membantu mereka mengadakan penyelidikan!"


Jupiter kelihatan agak Jengkel, tapi ia hanya berkata. "Mereka pasti beranggapan, kita ini masih terlalu muda - jadi takkan bisa banyak membantu. Sayang direktur museum itu bukan Mr. Hitchcock. Coba kalau dia, pasti kita akan diberi kesempatan untuk menangani kasus itu."


"Aku tidak begitu kepingin," kata Pete. "Sejauh ini kita sama tidak tahu apa-apa seperti polisi."


"Ada suatu hal yang sangat mencurigakan," kata Jupiter. "Mr. Frank mungkin tahu lebih banyak daripada yang diakuinya."


"Mr. Frank?" Bob dan Pete memandang Jupiter dengan heran. "Apa maksudmu?"


­"Ingat tidak apa yang terjadi waktu itu?" Jupiter memelankan suaranya sambil mencondongkan tubuh ke depan. "Mr. Frank mengatakan pada kita bahwa saatnya sudah tiba baginya untuk beraksi. Lalu ia menarik sapu tangan dan kantongnya. Ia sekaligus menjatuhkan permata palsu ke lantai. kejadian itu menarik perhatian ­orang penjaga yang berdirinya paling dekat. Penjaga itu meniup peluitnya. Lalu - apa yang terjadi sesudah itu?"


"Apa ya?" kata Bob sambil berusaha mengingat kembali. "0 ya - semua yang ada dalam ruangan itu memandang ke arahnya. Dan para penjaga dengan segera berdatangan untuk mengepung."


"Tepat'" kata Jupiter dengan nada puas. "Kejadian itu disengaja, untuk mengalihkan perhatian. Menurut perkiraanku, sementara perhatian setiap orang tertuju pada penjaga yang meniup peluit, penjahat yang sebenarnya cepat-cepat melakukan sesuatu tanpa ketahuan,"


"Sesuatu itu apa?" tanya Pete.


"Aku tidak tahu," kata Jupiter berterus terang. "Tapi walau begitu, pengaturan saatnya tepat sekali. Mr. Frank menjatuhkan permata palsu. Seorang penjaga meniup peluit. Para penjaga yang lain bergegas-gegas datang mengerubung. Sesaat kemudian lampu-lampu padam semua. Dan tepat pada saat itu kawanan perampok melakukan salah satu tindakan penting."


Bob tepekur memikirkannya.


"Kurasa jalan pikiranmu sudah benar, Jupe," katanya. "Tapi tindakan apa? Sampai sekarang ­belum ada yang tahu siapa para penjahat itu. dan bagaimana mereka sampai bisa menyelundupkan Pending Emas keluar. Jadi kita masih tetap saja seperti semula - tidak tahu apa-apa!"


Ketiga remaja itu terdiam, sibuk memikirkan hal itu.


Saat itu telepon berdering.


Pada deringan ketiga Jupiter meraih gagangnya sambil menyalakan radio kecil yang telah diubah menjadi alat pengeras suara telepon. Dengan begitu mereka semua bisa mengikuti pembicaraan.


"Jupiter Jones?" Dari alat pengeras suara terdengar suara seorang wanita. "Alfred Hitchcock ingin bicara."


"Mungkin ia punya kasus untuk kita!" seru Bob bersemangat Sejak Mr. Hitchcock sutradara kenamaan itu mulai tertarik pada kegiatan Trio Detektif, sudah beberapa kali ia menyalurkan kasus-kasus yang misterius untuk mereka tangani.


"Halo, Jupiter Jones!" Kini terdengar suara Alfred Hitchcock sendiri. "Kalian sedang sibuk saat ini?"


"Tidak, Sir!" kata Jupiter. "Tepatnya, kami sudah menawarkan diri untuk membantu Museum Peterson menyelidiki kasus perampokan Pending Emas. Tapi kami dikatakan masih terlalu muda,"


Mr. Hitchcock terkekeh.


"Mereka seharusnya memberi kesempatan pada kalian," katanya setelah itu. "Kalau melihat pemberitaan dalam koran, hasil kalian pasti takkan bisa lebih buruk daripada polisi. Tapi di pihak lain, untung saat ini kalian tidak sedang sibuk. Mungkin kalian bisa menolong seorang kawan lama ku. Seorang pengarang!"


"Tentu saja kami mau menolong, Mr. Hitchcock," kata Jupiter. "Kesulitan apa yang sedang dihadapi kawan Anda itu?"


Sesaat Mr. Hitchcock tidak menjawab. Ia seakan-akan sedang mencari-cari kata yang tepat. "Kesulitan apa? Terus terang saja, aku tidak tahu pasti," katanya kemudian. "Temanku itu seorang wanita. Ia menelepon, katanya ia mengalami gangguan kurcaci,"


"Apa. Sir? Kurcaci?" tanya Jupiter dengan bingung. Pete dan Bob yang mendengarkan juga ikut bingung.


"Itulah yang dikatakan olehnya. Kurcaci. Makhluk kecil sejenis peri, tapi berjenggot dan berpakaian kulit. Hidupnya dalam tanah di mana mereka menggali harta,"


"Ya, Sir," jawab Jupiter. "Maksud saya, kami tahu apa kurcaci itu - jika memang ada! Mereka kan cuma terdapat dalam dongeng. Hanya khayalan belaka."


"Betul! Tapi kawanku itu mengatakan. kurcaci-kurcaci yang mengganggunya itu benar-benar ada! Malam-malam mereka menyelinap masuk ke dalam rumahnya, lalu mengubah-ubah letak lukisan dan buku-buku miliknya. Ia pusing sekali menghadapi mereka. Karenanya ia menginginkan bantuan untuk mengusir mereka. Ia sudah ---


halaman 42 43 hilang ---


seperti memakai wig," kata Pe­e. "Mungkin,­ ia menyembunyikan pending itu di bawahnya."


Jupiter mengerang. Pete ini, gobloknya kadang-kadang keterlaluan, pikirnya. .


"Aku melihat seorang laki-laki tua yang berjalan dengan tongkat," kata Bob kemudian. "Mungkin pending itu disembunyikannya dalam rongga tongkat itu,"


"Kalian ini sama sekali tidak membantu," keluh Jupiter. "Wig - tongkat! Kalau yang dicuri Permata Pelangi, keduanya memang tempat penyembunyian yang baik. Tapi Pending Emas! Mana mungkin barangnya kan terlalu besar dan berat. Coba pikirkan kemungkinan lain,"


"Tidak ada," kata Pete. "pikiranku sudah buntu."


"Aku juga," sambung Bob. "Teka-teki Pending Emas terlalu sulit bagiku, lebih baik kalau membicarakan kasus kita sendiri saja sekarang. Aku sudah mencari keterangan mengenai kurcaci dalam buku ensiklopedi, dan – "


"Nanti saja dalam perjalanan kauceritakan," potong Jupiter. "Kulihat Hans sudah menunggu dalam truk."


Anak-anak bergegas ke luar, lalu naik beramai-ramai ke bangku duduk depan, di samping Hans.


Jupiter menyebutkan alamat tujuan mereka, yang letaknya di daerah perdagangan di kota Los Angeles. Truk langsung berangkat.


"Sekarang ceritakan apa yang berhasil kauketahui tentang kurcaci, Bob," kata Jupiter.


"Kurcaci itu sebangsa makhluk kecil, yang ternyata hidup dalam perut bumi dan menjaga harta mereka yang tersimpan di situ," kata Bob. "Jenis kurcaci ada bermacam-macam. Ada yang tampangnya buruk dan berwatak jahat. ada pula yang ahli bertukang. Mereka mengolah logam mulia, dijadikan perhiasan untuk ratu dan putri-putri kurcaci."


"Dan mereka hanya ada dalam dongeng," sela Pete. "Mereka bukan makhluk sungguhan, melainkan hasil khayalan belaka. Mereka itu makhluk mit - miti – "


"Mitologi," kata Jupiter, "Jadi makhluk dongeng!"


"Memang itulah yang hendak kukatakan," tukas Pete "lalu apa yang dilakukan kurcaci-kurcaci yang sebenarnya mitologi dan tidak benar-benar ada di rumah Miss Agawam?"


"Justru itulah yang akan kita selidiki sekarang," kata Jupiter.


"Tapi kurcaci itu sebenarnya kan tidak ada," ulang Pete.


"Kau keliru, Pete," sela Hans yang selama itu membisu. "Di daerah asal ku, di Schwarzwald -"


"Di mana, Hans?" potong Pete. "Sywar - apa?"


"Schwarzwald! Itu daerah hutan lebat. letaknya di belah selatan Jerman."


"Sulit sekali menyebutkan namanya!"


"Padahal artinya gampang saja. Hutan Hitam," kata Hans sambil tersenyum. "Nah - di Hutan hitam itu banyak sekali terdapat kurcaci. Setiap orang di sana tahu tentang mereka walau belum pernah ada yang melihat. Schw - maksudku Hutan Hitam itu tempatnya memang angker."


"Nah - kalian dengar sendiri. Hans percaya bahwa kurcaci benar-benar ada." kata Jupiter.


"Dan Miss Agawam juga begitu."


"Tapi sini kan bukan Hutan Hitam," jawab Pete. "Kita berada di Amerika. Di Los Angeles. California. Yang ingin kuketahui, mau apa kurcaci-kurcaci itu gentayangan di sini - itu jika mereka memang benar-benar ada."


"Mungkin hendak menggali emas," kata Bob sambil nyengir. "Di California sini kan pernah ditemukan emas, walau kejadiannya pada tahun 1849 - jadi sudah hampir satu setengah abad yang lalu. Mungkin kurcaci-kurcaci itu baru mendengar kabarnya sekarang dan karena itu datang untuk ikut mencari. Mereka kan penjaga harta bumi!"


"pokoknya apakah kurcaci itu ada atau tidak yang jelas kita menghadapi kejadian yang misterius," kata Jupiter. "Kita sudah hampir sampai. Sebentar lagi akan lebih banyak yang kita ketahui."


Sementara itu mereka sudah tiba di sudut bagian kota Los Angeles yang sudah tua dan kelihatan tidak terpelihara.


Hans memperlambat jalan truknya, mencari-cari alamat yang dituju. Akhirnya mereka berhenti di depan sebuah bangunan besar yang bagian depannya ditutup dengan papan. Dilihat dari luar kelihatannya seperti istana bergaya Arab, lengkap dengan sejumlah menara serta kubah yang dicat dengan warna keemasan yang sudah luntur dan terkelupas di sana sini. Tulisan yang sudah pudar pada sebuah papan menyebutkan bahwa bangunan itu bernama "Moorish Theatre’. Papan lain dengan tulisan yang nampak lebih baru menyebutkan bahwa di tempat itu sebentar lagi akan dibangun gedung perkantoran bertingkat dua belas.


Setelah itu mereka melewati pagar tinggi. Di belakangnya ada sebuah bangunan sempit dan gelap, yang nyaris tidak kelihatan dari jalan besar. Kemudian menyusul sebuah bangunan bank. Bentuknya model kuno, terbuat dari batu yang besar-besar. Tapi bagian depannya baru, sehingga kelihatannya jauh lebih modern.


Di blok berikutnya ada supermarket. disusul oleh sederet toko-toko yang agak lusuh. Jelas bahwa mereka berada di daerah perdagangan.


"Tempat yang kita cari sudah lewat," kata Jupiter sambil membaca nomor yang terpahat pada batu bagian depan gedung bank.


"Kurasa yang tadi itu - yang di belakang pagar," sela Bob. "itu satu-satunya bangunan yang mungkin tempat tinggal orang."


"Kita mundur sedikit, Hans," kata Jupiter


Hans mengundurkan truknya beberapa meter belakang. Kini mereka berada di seberang pagar semak yang tak terawat rapi. Tingginya hampir dua meter. Di balik pagar nampak samar sebuah rumah tua. yang seakan-akan menyembunyikan diri dari kesibukan di luar.


Pete yang melihat papan nama berukuran kecil yang terpasang pada pintu kayu berwarna putih di tengah pagar semak itu.


"A. Agawam," katanya sambil membaca. "Betul inilah tempatnya. Tapi aku tidak mengerti, kenapa ada yang mau tinggal di ­ini. Kalau malam, tempat ini pasti gelap dan angker,"


Ketiga remaja itu turun dari truk. Jupiter berjalan mendului, menuju pintu pagar. Pintu itu terkunci. Pada pintu itu terpasang sepotong kertas yang sudah menguning warnanya karena tua, ditaruh bawah kaca Di situ nampak tulisan tangan yang berukir-ukir.


"Harap tekan tombol bel. Kurcaci serta makhluk kecil lainnya, bersiul!"


"Astaga! Apa lagi artinya ini?" kata Pete dengan heran.


Jupiter mengerutkan keningnya.


"Kelihatannya Miss Agawam benar-benar percaya pada makhluk-makhluk dongeng itu. Kita bukan kurcaci Tapi tidak ada salahnya jika kita selidiki makna tulisan ini. Kau yang paling pintar bersiul di antara kita, Pete. Bersiullah!"


Pete melongo.


"Kenapa sih, segala-galanya harus kita lakukan dengan cara yang sulit?" gerutunya. Tapi memonyongkan bibirnya. lalu bersiul menirukan suara burung. Setelah itu mereka menunggu. Tapi mereka tetap terkejut juga, karena tiba-tiba terdengar suara seseorang dan dalam semak pagar.


"Ya - siapa itu?"


Tapi dengan segera Jupiter mengerti. Di dalam semak ada sebuah alat pengeras suara berukuran kecil. Lewat alat itu orang rumah bisa berbicara dengan orang yang berdiri di luar pintu, sebelum membukakannya. Alat begitu biasa dipakai di gedung-gedung apartemen, atau di rumah-rumah mewah berpekarangan luas.


Jupiter mengintip ke dalam semak. Di situ dilihatnya sebuah rumah burung. Pasti di dalamnya ada alat pengeras suara, yang dengan begitu terlindung dari gangguan cuaca.


"Selamat sore. Miss Agawam," kata Jupiter dengan hormat pada rumah burung itu. "Kami ini Trio Detektif yang diminta oleh Mr. Hitchcock untuk datang menemui Anda guna membicarakan masalah yang sedang Anda hadapi saat ini."


"Ah, ya - betul! Sebentar, akan kubukakan pintu," Suara yang terdengar itu lembut dan tinggi seperti kicauan burung.


Kemudian menyusul bunyi mendesum sementara alat pengunci pintu digerakkan terbuka melalui tekanan tombol yang ada di dalam rumah. Pintu pagar terbuka, dan ketiga anak itu masuk ke dalam.


Mereka tertegun sesaat. Mereka merasa seakan-akan dengan tiba-tiba saja sudah tidak berada lagi di tengah kota. Jalanan tidak nampak, terlindung oleh pagar semak yang tinggi. Pada satu sisi pekarangan di mana mereka saat itu berada, tembok batu bata gedung teater yang sudah tidak dipakai lagi nampak menjulang tinggi ke atas.


Sedang di sisi lainnya terdapat dinding gedung bank yang terbuat dari batu-batu besar. Kedua dinding tinggi itu mengapit rumah tua yang ada di tengah pekarangan. Rumah itu sendiri terdiri dari tiga tingkat dan sempit bentuknya. Dindingnya dari kayu merah yang sudah terkelupas kena panas matahari. Di bagian depan ada beranda sempit dengan beberapa kotak kayu berisi kembang. Hanya itu saja yang memberikan kesegaran sedikit di pekarangan itu. Selebihnya, suram semua.


Ketiga remaja yang sedang tertegun sejenak itu serempak mendapat pikiran yang serupa. Semua berpendapat rumah tua itu kelihatannya seperti berasal dari salah satu dongeng. Mirip rumah tempat tinggal seorang penyihir!


Tapi Miss Agawam yang membukakan pintu rumah ketika mereka naik ke beranda depan sama sekali tidak mirip penyihir. Orangnya bertubuh kurus tinggi, dengan tatapan mata riang. Rambutnya sudah putih semua, sedang suaranya ramah sekali.


"Masuklah, Anak-anak," katanya. "Kalian baik hati, mau datang untuk menolongku. Ayo, kita ke kamar kerjaku."


Miss Agawam mendahului berjalan melewati suatu gang yang panjang, masuk ke sebuah kamar yang luas dan penuh dengan rak-rak berisi buku bertumpuk-tumpuk. Dinding yang masih tersisa dipenuhi lukisan dan potret anak-anak.


"Silakan duduk," kata Miss Agawam sambil menunjuk ke liga buah kursi. "Kuceritakan saja dulu, apa sebabnya aku menghubungi kawan lamaku, Alfred Hitchcock. Sudah beberapa hari ini aku diganggu kurcaci. Beberapa hari yang lalu aku melaporkannya pada polisi yang bertugas di daerah ini. Tapi aku malah ditatapnya dengan pandangan aneh, sehingga aku - yah, pokoknya aku tidak mau bilang apa-apa lagi tentang kurcaci pada polisi itu!"


Miss Agawam berhenti sebentar. Saat itu Bob terpekik. Secara kebetulan saja ia memandang ke arah jendela, sementara hendak duduk. Ia terkejut sekali, karena di balik jendela ada makhluk kecil memandang ke dalam. Kelihatannya bukan manusia biasa. Makhluk itu memakai topi berujung runcing ke atas. Mukanya ditutupi janggut putih. Ia menyandang pangkur yang sebanding dengan ukuran tubuhnya. Makhluk itu memandang ke dalam dengan wajah masam.




­Bab 5 Kisah Mengenai Kurcaci


­"Ada kurcaci'" seru Bob. "Ia mengintip kita!"


Tapi makhluk kecil itu sudah menghilang, sebelum ada yang sempat berpaling ke arah jendela.


"Sudah pergi lagi," seru Bob sambil meloncat bangkit "Tapi mungkin masih ada di pekarangan."


Ia bergegas ke jendela, diikuti oleh Pete dan Jupiter. Jendela itu letaknya terjepit di antara dua buah rak buku. Bob berusaha membukanya. Tapi jari-jarinya menyentuh permukaan kaca yang licin.


Mata Bob terkejap karena kaget


"itu cermin, Bob," kata Jupiter. "Kau tadi melihat sesuatu dalam cermin."


Bob berpaling dengan bingung. Sementara itu Miss Agawam berdiri, sambil menuding ke arah berlawanan.


"Jendelanya di sebelah sana," katanya. "Bayangannya memang terpantul dalam cermin itu. Aku memang sengaja mengatur begitu, supaya ruangan ini kelihatan lebih luas."


­Anak-anak berlarian ke jendela terbuka yang letaknya di seberang ruangan. Jupiter menjulurkan badannya ke luar, lalu memandang ke pekarangan.


"Tidak ada siapa-siapa," katanya.


Pete ikut melihat.


"Pekarangan kosong sama sekali," katanya. "Kau yakin tadi melihat sesuatu, Bob?"


Bob merasa bingung. Diperhatikannya tanah yang keras di bawah Jendela. Diamat-amatinya


pekarangan yang kosong, lalu dinding batu bata yang tinggi dari gedung bioskop yang tidak lama lagi akan dibongkar. Tak ada sesuatu pun yang nampak bergerak. Ke mana pun ia memandang, kurcaci berjenggot tadi tetap tidak kelihatan.


"Mungkin cepat-cepat bersembunyi ke samping rumah," katanya. "Soalnya, aku yakin melihatnya tadi. Kita harus memeriksa seluruh pekarangan. Ia tidak mungkin bisa keluar, karena pintu pagar terkunci."


"Kalau tadi itu benar kurcaci, kalian takkan bisa menemukannya," kata Miss Agawam. "Mereka kan memiliki kekuatan gaib."


"Saya rasa kami perlu melakukan pencarian," kata Jupiter padanya. "Adakah pintu untuk keluar ke belakang dari sini?"


Miss Agawam membawa mereka lewat gang yang tadi, menuju sebuah pintu yang membuka ke sebuah beranda belakang yang sempit Jupiter dan kedua temannya bergegas keluar, lari ke pekarangan.


­"Kau ke kiri, Pete!" serunya. "Sedang aku ke kanan, bersama Bob."


Tidak banyak yang perlu diperiksa di pekarangan belakang. Di situ ada beberapa semak yang meranggas. Sisi belakang pekarangan itu dibatasi dengan pagar papan yang tinggi. Di belakangnya ada lorong. Tak ada lubang pada pagar papan itu. Pintunya hanya ada satu, dan pintu itu terkunci. Di tembok samping gedung bioskop ada sebuah pintu darurat yang terbuat dari besi. Tapi ketika diperiksa, ternyata bahwa pintu itu pun terkunci. Bukan itu saja. Pintu itu sudah berkarat Kelihatannya sudah bertahun-tahun tidak pernah dibuka lagi.


"Ia tidak keluar lewat sini," kata Bob.


Bob dan Jupiter mengintai ke dalam semak-semak. Setelah itu memperhatikan jendela-jendela kolong rumah. Semua tertutup rapat dan nampak kotor sekali. Kemudian mereka pergi ke pagar semak di depan. Semak-semak di situ rapat sekali tumbuhnya. Biar kurcaci bertubuh kecil pun takkan bisa menembusnya.


Jadi kelihatannya makhluk kecil yang dilihat Bob tadi menghilang dengan begitu saja!


Kemudian Pete datang menggabungkan diri. Hasil penyelidikannya sama seperti mereka. Tidak ada!


"Kita periksa saja, kalau ada tapak kaki," kata Jupiter. "Di bawah jendela tadi."


Mereka pergi ke sisi rumah di mana kamar kerja Miss Agawam terletak. Tanah di bawah jendela tadi kering dan keras. Jadi kecil sekali kemungkinannya telapak sepatu membekas di situ.


"Tidak ada tapak kaki," kata Jupiter dengan kecewa. "Tapi aku menemukan misteri lain."


"Misteri apa lagi?" tanya Bob.


Jupiter membungkuk untuk memungut sesuatu dari tanah.


"Lihatlah! Segumpal tanah lembab. Mungkin terlepas dari telapak sepatu seseorang."


"Atau terjatuh dan kotak kembang Miss Agawam," tukas Bob.


"Mungkin juga," sambut Jupiter. "Tapi coba pandang ke atas, ke jendela itu. Ambang bawahnya lebih tinggi dan kepala kita. Katamu tadi. kau melihat sesosok tubuh yang kecil sekali di balik jendela, Bob?"


"Ya, makhluk kerdil yang tingginya tidak sampai satu meter," jawab Bob. "Ia memakai topi runcing. Jenggotnya panjang dan dekil. Ia menyandang pangkur kecil. Aku hanya melihat tubuhnya dari pinggang ke atas. Ia memandang kita dengan air muka seperti marah."


"Mana mungkin kurcaci yang tingginya tidak sampai satu meter berdiri di luar sini dan memandang ke dalam lewat jendela yang letaknya hampir dua meter di atas tanah?" tanya Jupiter.


Mereka terdiam memikirkan pertanyaan itu.


Akhirnya Pete membuka mulut.


"Ah, tentu saja! Pakai tangga. Kurcaci itu berdiri di atas tangga!"


"Tangga? Yang bisa dilipat, ya?" tanya Jupiter dengan nada menyindir. "Dan tangga itu dikantonginya sebelum ia sendiri menghilang lewat lubang yang tidak kelihatan?"


Pete menggaruk-garuk kepala, sementara Bob merenung dengan kening berkerut.


"Kurcaci pandai menyihir," katanya kemudian. "Pasti ia melakukannya dengan salah satu ilmu sihir."


"Mungkin kau tadi sebetulnya tidak melihat apa-apa, Bob," kata Jupiter. "Khayalanmu kadang-kadang kan Suka melantur."


"Aku benar-benar melihatnya!" tukas Bob dengan panas. "Aku bahkan sempat melihat matanya yang merah berkilat-kilat."


"Kurcaci yang matanya merah berkilat-kilat," kata Pete sambil mengerang. "Aduh! Kau ini benar-benar tidak mau berganti pikiran dan mengatakan bahwa yang tadi itu hanya ada dalam khayalanmu saja, Bob?"


Bob mulai sangsi. Bagaimanapun ia tadi hanya sempat melihat sekilas saja.


"Entahlah," katanya. "Aku merasa melihatnya-tapi mungkin kau benar, Pete. Saat itu aku sedang melihat pada gambar yang kulihat dalam buku ensiklopedi, lalu - yah. kurasa penglihatan itu hanya ada dalam angan-anganku saja."


"Nah, kalau tadi itu hanya ada dalam bayangan pikiranmu, kita takkan mungkin bisa menemukannya," kata Jupiter. "Tapi jika kau sungguh-sungguh melihatnya. mestinya ia bisa menghilang - karena di pekarangan sini sekarang jelas tidak ada."


"Dan tidak ada jalan untuk keluar dari sini," sambung Pete.


"Lebih baik kita masuk saja lagi untuk mendengar apa yang hendak diceritakan Miss Agawam tadi pada kita," kata Jupiler mengusulkan. Mereka lantas kembali lewat beranda depan.


Miss Agawam membukakan pintu.


"Kalian tidak berhasil menemukannya, kan?" tanya wanita itu.


"Tidak," kata Bob. "Ia lenyap dengan begitu saja, ia tidak mungkin pergi dengan cara lain, kecuali melenyapkan diri."


"Dari tadi itu sudah kukhawatirkan," kata Miss Agawam. "Memang begitulah kebiasaan kurcaci. Tapi jarang sekali orang bisa melihatnya pada siang hari. Sudahlah - kita minum teh saja dulu. Setelah itu akan ku ceritakan pengalamanku selama ini."


Beberapa saat kemudian wanita itu menyambung pembicaraan lagi.


"Aku yakin, kalian pasti bisa membantuku menangani misteri aneh ini," katanya sambil menuangkan teh dari teko porselin. "Menurut cerita Mr. Hitchcock. kalian sudah beberapa kali berhasil mengusut kejadian-kejadian yang sangat aneh."


"Memang sudah beberapa kali kami menangani peristiwa yang sangat menarik," kata Pete sambil menerima cangkir teh yang disodorkan padanya. Ia menuangkan susu dan gula banyak-banyak ke dalamnya. "Tapi pengusutannya untuk sebagian besar dilakukan oleh Jupe. Ya kan, Bob?"


"Begitulah - sekitar delapan puluh persen," Kata Bob. "Tapi kurasa aku dan Pete ada juga membantu sedikit-sedikit. Betul kan, Jupe? - He, Jupe!"


Jupiter agak kaget, karena selama itu ia asyik melirik ke samping, membaca surat kabar yang terletak di sofa yang ada di dekatnya.


"Apa?" tanyanya. Bob mengulangi penjelasannya.


"Kami ini bekerja sama," kata Jupiter kemudian pada Miss Agawam. "Tanpa dibantu oleh Bob dan Pete, saya takkan bisa berbuat apa-apa."


"Kulihat kau tadi sedang asyik membaca berita tentang kejadian aneh di museum kemarin," kata Miss Agawam sambil menawarkan kue-kue, yang diambil sekaligus beberapa potong oleh Jupiter. "Banyak sekali hal-hal yang misterius di dunia ini, ya?"


Jupiter tidak langsung menjawab. karena masih terus menelan kue yang sedang dikunyah. Kemudian ia berkata, "Kami ada di museum itu ketika Pending Emas dicuri orang. Kami benar-benar bingung memikirkan kasus itu. Kami menawarkan diri untuk membantu, tapi – yah, orang yang berwenang di situ beranggapan bahwa kami masih terlalu muda."


"Kami bahkan disuruhnya pulang!" tukas Pete.


"Aku yakin, sikapnya itu keliru," kata Miss ­Agawam. "Tapi kalau kupikir kepentinganku sendiri, aku senang bahwa kalian tidak sibuk dengan urusan lain saat ini. Tapi sebelum kita membicarakan soal ku, kita minum teh saja dulu dengan tenang sambil makan kue. Aku tidak suka membicarakan hal-hal yang serius sambil makan. Ia menuangkan teh lagi untuk mereka, serta menyodorkan kue-kue. Bob dan Pete sebenarnya lebih suka jika diberi minuman segar. Tapi teh juga lumayan. jika diminum dengan susu dan gula banyak-banyak. Sedang kue-kuenya enak sekali.


"Ah - aku jadi teringat pada masa lalu," kata Miss Agawam dengan gembira sementara mereka asyik makan dan minum. "Dulu. boleh dibilang setiap minggu aku mengadakan jamuan teh untuk kurcaci-kurcaciku sendiri."


Bob tersedak mendengar kalimat yang terakhir itu.


"Maksud Anda, Anda dulu biasa mengundang anak-anak daerah sini untuk datang dan minum teh bersama Anda?" tanya Jupiter setelah beberapa saat "Mereka itu Anda sebut kurcaci- kurcaci Anda?"


"Ya. Betul!" kata Miss Agawam dengan wajah berseri-seri. "Kau pandai sekali menebak. Aku tidak mengerti, bagaimana kau bisa mengetahuinya."


"Dengan teknik deduksi."' kata Jupiter. Ia menuding foto-foto yang terpasang di dinding. "Di dinding banyak sekali terpajang foto anak-anak dengan pakaian mode puluhan tahun yang lalu. Kebanyakan foto-foto itu dibubuhi tulisan, 'Salam manis untuk Miss Agatha' atau kata-kata sejenis."


Lalu rak yang di sebelah pintu penuh dengan buku-buku karangan Anda sendiri. Menurut Mr. Hitchcock, Anda pengarang. Saya tadi sempat melihat beberapa judul buku Anda, seperti Liburan Kurcaci yang Menyenangkan, lalu Tujuh Kurcaci Cilik Karenanya saya lantas menarik kesimpulan bahwa Anda dulu suka menulis mengenai makhluk-makhluk khayalan seperti itu, dan bahwa Anda mungkin suka bercanda dan menyebut anak-anak teman Anda kurcaci atau peri."


Pete dan Bob memandang Jupiter sambil melongo. Mereka juga melihat foto-foto serta buku-buku itu. Tapi mereka tidak menaruh perhatian khusus ke situ.


"Keteranganmu tepat sekali!" n Miss Agawam bertepuk tangan dengan gembira. "Tapi ada satu hal yang keliru. Katamu tadi, kurcaci itu makhluk khayalan, itu keliru! Mereka makhluk yang benar-benar ada. Aku yakin sekali mengenainya.


"Dulu. ketika aku masih kecil ayahku termasuk orang berada, dan aku punya pengasuh khusus-seorang wanita yang berasal dari Bavaria. Ia tahu semua cerita yang asyik-asyik tentang kurcaci serta makhluk-makhluk cilik lainnya yang berdiam di hutan Hitam. Kemudian, ketika aku mulai menjadi pengarang, kutuliskan semua cerita yang pernah dikisahkan pengasuhku itu pada ku. Aku dihadiahinya sebuah buku besar yang dibawanya dari tempat asalnya. Buku itu dalam bahasa Jerman tapi ada gambar-gambarnya."


Miss Agawam bangkit untuk mengambil sebuah buku dari rak. Buku itu besar dan kelihatannya sudah tua. Sampulnya berlapis kulit.


"Buku ini dicetak seabad yang lalu di Jerman," kata Miss Agawam sambil membalik-balik halaman buku itu yang terbuat dari kertas tebal sementara anak-anak mengerubung. "Penulisnya seseorang yang pernah tinggal berbulan-bulan lamanya dalam Hutan Hitam. Sebagai ilustrasi, ia juga membuat gambar-gambar dari makhluk makhluk kecil itu. Coba kalian lihat gambar ini!" Miss Agawam menuding sebuah gambar yang mengisi satu halaman penuh. Gambar itu menampakkan seorang laki-laki bertubuh kecil sekali yang bertampang menyeramkan dan memakai topi runcing terbuat dari kulit. Telinga orang itu besar dan berbulu, begitu pula tangan dan kakinya. Ia menyandang pangkur bergagang pendek. Matanya terbelalak


"Seperti inilah tampang yang kulihat mengintip ke dalam dari balik jendela tadi - kalau aku tidak keliru," kata Bob.


­"Penulis buku ini menyebut dia ini 'Raja Kurcaci yang Jahat'," kata Miss Agawam. "Kurcaci-kurcaci ada yang Jahat dan suka iseng, tapi ada juga yang baik hati. Menurut penulisnya, kurcaci yang jahat matanya merah berkilat-kilat."


"Uhh!" Bob kaget karena teringat pada mata merah yang dilihatnya sekilas tadi. Atau tepatnya-yang menurut perasaannya dilihat tadi.


Miss Agawam membalik-balik halaman buku itu lebih lanjut lalu menunjukkan gambar-gambar kurcaci biasa yang pakaiannya sama seperti yang tadi, tapi tampangnya tidak sejahat Raja Kurcaci.


"Kurcaci-kurcaci yang kulihat, kelihatannya persis seperti gambar-gambar ini," katanya kemudian sambil menutup buku itu kembali. "Karena itulah aku lantas tahu bahwa mereka kurcaci dan memang benar-benar ada. Nanti akan kuceritakan apa yang kualami. Tapi sebelumnya aku masih ingin bercerita dulu tentang masa lalu, ketika aku ini pengarang buku-buku tentang Makhluk-makhluk Kecil yang Terkenal."


Miss Agawam mendesah. Jelas sekali bahwa ia senang mengenangkan masa lalunya itu.


"Setelah orang tuaku meninggal, kisah-kisahku kemudian menjadi populer sekali. Banyak penghasilan yang kuterima dari penjualan buku-bukuku itu. Tentu saja itu sudah lama berlalu - lama sebelum kalian dilahirkan. Tapi anak-anak dulu sering datang ke sini untuk meminta agar aku menandatangani buku-buku ku yang mereka beli. Aku sangat suka pada anak-anak. Anak-anak di daerah sini semuanya kawanku.


"Tapi kemudian segala-galanya berubah di sekitar sini. Rumah-rumah tua dan pohon-pohon dirobohkan semua, diganti dengan toko-toko dan kantor-kantor. Teman-temanku yang dulu menjadi besar lalu pindah ke tempat lain. Banyak yang berusaha membujukku agar mau menjual rumah ini dan ikut pindah. Tapi aku tidak mau. Dan dulu aku selalu tinggal di sini dan aku berniat akan tetap tinggal di sini - biar apa pun perubahan yang terjadi. Kalian bisa memahami aku bahwa aku tidak ingin pergi dan rumah tuaku ini?" tanyanya


Ketiga remaja itu mengangguk.


"Keadaan berubah-ubah terus," kata Mis Agawam sambil mengeluh. "Gedung bioskop sebelah ini pun akhirnya terpaksa ditutup beberapa tahun yang lalu karena kekurangan penonton. Soalnya, tidak banyak lagi orang tinggal di sekitar sini. Aku memasang kartu di pintu depan untuk kurcaci-kurcaciku, supaya mereka bersiul apabila ingin datang berkunjung dan mengobrol tentang masa silam dengan aku. Kadang-kadang ada juga yang datang berkunjung. Tapi mereka sudah besar-besar semuanya sekarang. Sudah dewasa beranak dan bahkan ada yang sudah bercucu! Jadi bisa kaubayangkan sudah berapa lama masa itu berlalu."


Miss Agawam berhenti sebentar. Anak-anak bisa membayangkan dengan jelas, bagaimana riwayat wanita tua itu.


"Mungkin memang sebaiknya aku pindah sekarang," kata Miss Agawam kemudian. "Miss Jordan, orang yang akan membongkar gedung bioskop di sebetah ini dan membangun gedung perkantoran di tempatnya, sudah meminta agar aku mau menjual padanya sehingga ia bisa membangun gedung yang lebih besar ukurannya. Tapi, tidak! Aku dilahirkan di sini dan aku bertekad akan tetap tinggal di sini - tak peduli berapa banyak gedung perkantoran yang nanti dibangun di sekeliling tempatku ini!"


Saat ia berbicara begitu, Miss Agawam kelihatan bersemangat sekali. Jupiter, Bob dan Pete bisa membayangkan wanita tua itu menantang siapa saja yang berani mencoba membujuknya agar mau menjual rumahnya. Sementara itu Miss Agawam menuangkan sisa teh dalam teko ke dalam cangkirnya sendiri.


"Nah - sekarang aku sudah cukup bercerita tentang masa lalu. Kini tiba waktunya untuk membicarakan persoalan sekarang. Sebetulnya aku sama sekali tidak menyangka akan melihat kurcaci yang sebenarnya, biarpun sudah bertahun-tahun mengarang kisah-kisah mengenai mereka. Tapi beberapa malam yang lalu aku melihat mereka."


"Coba Anda ceritakan," kata Jupiter. "Bob, jangan lupa mencatat."


Bob mengeluarkan buku catatannya. Ia sangat mahir mengetik dan menulis steno, karena mengambil keduanya sebagai mata pelajaran keterampilan di sekolah. Ia juga ingin menjadi wartawan seperti ayahnya, apabila sudah dewasa nanti.


"Tidurku biasanya selalu nyenyak," kata Miss Agawam, "tapi beberapa malam yang lalu aku terbangun sekitar tengah malam. Aku merasa seperti mendengar bunyi asing. Kedengarannya ­seperti ada yang mencangkul, jauh di dalam tanah!"


"Mencangkul? Tengah malam?" tanya Jupiter.


"Ya, betul! Mula-mula kusangka aku saja yang salah dengar. Mana mungkin ada orang mencangkul saat tengah malam. Tidak mungkin, kecuali-"


"Kurcaci," kala Pete menyelesaikan kalimat itu.


"Ya, kurcaci,n kata Miss Agawam. "Aku bangun dari tempat tidurku. lalu pergi ke jendela. Saat itu aku melihat pemandangan aneh di pekarangan. Ada empat sosok tubuh kecil-kecil sedang bermain-main di situ. Empat laki-laki bertubuh kecil sekali, dengan pakaian yang nampaknya terbuat dari kulit, sedang bermain loncat-loncatan dan berjungkir balik di pekaranganku. Tentu saja saat itu aku tidak bisa melihat mereka dengan jelas. Aku membuka jendela dan berseru menyapa mereka. Tapi saat itu juga mereka menghilang!"


Ia memandang ketiga remaja itu dengan kening berkerut.


"Aku yakin bahwa aku saat itu tidak sedang bermimpi. Keesokan harinya aku melapor pada polisi yang bertugas patroli di daerah sini. Officer Horowitz! Sayang kalian tidak ikut melihat bagaimana caranya ia memandangku waktu aku menyampaikan laporan itu. Huh!"


Mata wanita tua berkilat-kilat karena jengkelnya


"Ia kemudian mengatakan, aku harus hati-hati merawat diri. Ditanyakannya pula apakah tidak sebaiknya aku cepat-cepat pergi berlibur saja. Saat itu juga aku bersumpah tak mau mengatakan apa-apa lagi tentang kurcaci pada polisi!"


Setelah beberapa saat Miss Agawam tertawa


"Aku tersinggung saat itu karena disangka sinting," katanya. "Tapi dua malam berikutnya aku terbangun dan mendengar kurcaci-kurcaci itu lagi. Tapi aku berpura-pura hanya mendengarnya dalam khayalanku sendiri saja dan tidak menceritakannya pada siapa-siapa. Tapi malam ketiga, akhirnya aku tahu pasti bahwa mereka memang ada.


"Aku menelepon keponakanku dulu, Roger. Ia tinggal di sebuah apartemen. Beberapa mil dari sini. Ia bujangan dan satu-satunya kerabatku. Aku memintanya agar segera datang. Ia menyanggupi akan datang dengan segera, begitu ia selesai berpakaian.


"Sambil menunggu kedatangan Roger, aku memutuskan untuk melihat ke dalam ruang bawah tanah dari mana suara-suara itu kedengarannya berasal. Tanpa menyalakan lampu sama sekali, aku menyelinap menuruni tangga yang menuju ke kolong. Sementara bunyi mencangkul itu semakin nyaring kedengarannya. Dengan tiba-tiba aku menyalakan senter yang kubawa – dan – kalian tahu, apa yang kulihat saat itu?"


Anak-anak mengikuti kisah Miss Agawam dengan tegang.


"Apa?" tanya Bob.


Miss Agawam menatap ketiga remaja itu

ganti-berganti. Kemudian ia berkata dengan suara dilirihkan,


"Aku tidak melihat apa-apa."


Bob mendesah karena kecewa. Semula ia sudah merasa pasti bahwa Miss Agawam melihat - ah ia tidak bisa menebak apa yang dilihat Miss Agawam saat itu Tapi pasti sesuatu!


"Tidak, aku tidak melihat apa-apa," ulang wanita tua itu. "Aku berpaling. Maksudku hendak kembali ke atas dan menunggu kedatangan Roger. Nah - saat itulah aku melihat sesuatu!"


Mata Bob membesar kembali.


"Aku melihat sesosok tubuh kecil. Tingginya sekitar satu meter. Ia memakai topi yang meruncing ke atas, baju dan celana dari kulit serta sepatu berujung lancip. Mukanya ditutupi jenggot putih yang dekil, sedang satu tangannya memegang pangkur kecil. Di tangannya yang satu ada lilin menyala. Diterangi cahaya lilin. aku melihat matanya terbelalak memandang ke arahku. Matanya merah menyala-nyala!"


"Persis seperti mata yang kulihat menatap dari balik jendela tadi!" seru Bob.


"Ya, tadi itu pasti kurcaci," kata Miss Agawam sependapat.


Jupiter mencubiti bibir bawahnya. Ia kelihatannya sedang sibuk berpikir.


"Lalu, apa yang terjadi setelah itu?" tanyanya.


Miss Agawam meneguk tehnya. Nampak bahwa tangannya agak gemetar.


"Kurcaci itu menggeram, sambil mengangkat pangkurnya dengan sikap mengancam. Tapi tiba-tiba ia memadamkan lilin yang dipegangnya. Detik berikutnya kudengar bunyi pintu di ujung atas tangga dibanting. Ketika aku akhirnya sudah cukup berani untuk mendaki tangga dan membuka pintu, ternyata aku tidak bisa. Pintu itu terkunci dari luar. Aku terjebak di kolong rumah!"


Ketiga remaja itu mendengarnya dengan mata terbuka lebar. Tiba-tiba mereka semua – juga Miss Agawam – terlonjak kaget, karena tahu-tahu terdengar suara berdebam di seberang kamar itu.


­Bab 6 Pembicaraan Aneh


"Astaga!" kata Miss Agawam. "Apa itu tadi?"


Tapi pertanyaan itu dijawab sendiri olehnya.


"Wah, rupanya lukisan diriku yang jatuh dari dinding!"


Jupiter serta kedua lemannya lari menghampiri sebuah lukisan besar berpigura keemasan yang tergeletak menelungkup di lantai. Pete dan Jupiter menegakkannya kembali. Ternyata itu lukisan Miss Agawam ketika ia masih muda.


"Pelukis yang membuatnya dulu juga membuat ilustrasi buku-bukuku," kata Miss Agawam menjelaskan.


Lukisan itu menampakkan wanita tua itu ketika masih muda, duduk di atas rumput sambil membaca buku, sementara berbagai makhluk aneh-aneh yang semua bertubuh kecil mengerubunginya untuk ikut mendengarkan.


Lukisan itu digantungkan dengan selembar kawat ke papan gantungan yang terpasang di tepi langit-langit kamar. Dan kawat itu rupanya yang putus. Jupiter memeriksa bagian kawat yang putus itu.


­"Kawat ini ternyata tidak secara kebetulan saja putus, Miss Agawam," katanya dengan wajah serius. "Ada yang mengikirnya sampai tipis sekali. hingga pasti putus pada suatu saat."


"Aduh!" Miss Agawam menyentuhkan sapu tangan ke mukanya. "Pasti kurcaci-kurcaci itu lagi yang melakukannya. Malam itu, ketika - ah, cerita ku tadi belum sampai ke situ."


"Sa­ya rasa kami bisa membetulkan kawat ini untuk Anda, Miss Agawam," kata Jupiter. "Lalu setelah itu kami gantungkan kembali lukisan ini ke dinding. Sementara kami bekerja. Anda bisa meneruskan cerita tadi."


Dengan hati-hati sekali lukisan itu dibalikkan. Pete yang paling terampil di antara mereka bertiga, mengikat kedua ujung kawat yang putus itu.


Bob sibuk mencatat sementara Miss Agawam melanjutkan ceritanya. Ia hanya sebentar saja terkurung dalam ruangan di bawah tanah itu. Karena tidak lama kemudian Roger sudah datang. Ia bisa masuk sendiri, karena memiliki kunci. Begitu mendengar ada orang di atas, Miss Agawam menggedor-gedor pintu sambil berteriak-teriak. Roger membebaskannya dari kurungan gelap itu. Roger mendengarkan dengan sopan, sementara bibinya menceritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Tapi dari air mukanya. Miss Agawam tahu bahwa Roger sama sekali tidak percaya. Mi­s Agawam merasa yakin bahwa Roger pasti mengira bibinya berjalan dalam tidur. dan pengalamannya itu hanya ada dalam mimpinya belaka.


"Sebentar, Miss Agawam," kata Jupiter menyela "kami hendak menggantungkan lukisan ini dulu."


Pete berdiri di atas sebuah kursi, dan Jupiter menyodorkan lukisan itu padanya. Tiba-tiba Bob melihat mata Jupiter bersinar-sinar. Dan Bob langsung tahu maksudnya.


Jupiter mendapat ilham!


"Ada apa, Jupe?" bisik Bob, sementara Pete turun lagi dan kursi. Air muka Jupiter menampakkan kepuasan terhadap dirinya sendiri.


"Kurasa aku sudah berhasil menemukan jawaban atas teka-teki hilangnya Pending Emas!" bisiknya.


"0 ya? lalu - bagaimana jawabannya?" Bob harus menahan diri benar-benar, agar jangan sampai meneriakkan kata-katanya. "Lagipula bagaimana kau sampai bisa menemukannya sekarang di tempat ini?"


"Petunjuk tetap merupakan petunjuk, di mana pun hal itu ditemukan," kata Jupiter dengan suara pelan. "Nanti saja kita membicarakannya. Sekarang kita masih punya tugas lain, menolong Miss Agawam."


Bob mendesah. Ia tahu, Jupiter takkan mengatakan apa-apa lagi sebelum ia beranggapan bahwa waktunya sudah tiba untuk itu. Bob berusaha membayangkan petunjuk macam apa yang mungkin ditemukan Jupiter. Tapi ia tak berhasil. Karenanya ia kembali mengarahkan perhatian ­penuhnya pada Miss Agawam, yang sementara itu sudah melanjutkan kisahnya lagi.


"Roger mengajakku menginap di apartemennya, tapi aku tidak mau," kata wanita tua itu. "Ia masih menunggu beberapa lama lagi. Tapi kami tidak mendengar apa-apa. Karenanya ia lantas pulang.


"Malam itu tidak terjadi apa-apa lagi. Tapi malam besoknya, aku kembali mendengar suara-suara aneh itu. Aku sadar bahwa seharusnya aku menelepon Roger lagi. Tapi sikapnya pada malam pertama - aku dikatakannya pasti mimpi buruk- yah, pokoknya aku tidak mau meneleponnya saat itu. Aku tidak mau ia menyangka aku mendengar dan melihat yang bukan-bukan.


"Aku menyelinap turun dengan hati-hati sekali. Aku masih sempat mendengar bunyi pintu belakang ditutup. Dalam ruang perpustakaanku ini kulihat sejumlah lukisanku dicampakkan ke lantai. Buku-bukuku diturunkan semua dari atas rak. Ada di antaranya yang disobek-sobek halamannya. Aku mendapat kesan, seolah-olah para kurcaci itu memang sengaja hendak berbuat jahat. Rupanya, saat itulah kawat penggantung lukisan itu dikikir sampai hampir putus.


"Hatiku benar-benar tidak enak. Keesokan harinya aku menelepon Roger. Ia datang dengan segera. Tapi ia tidak mau percaya bahwa segala-galanya itu perbuatan kurcaci. Dengan hati-hati sekali ia mengatakan bahwa mestinya aku sendirilah yang melakukannya. Ia juga mengatakan, mungkin ada baiknya jika aku bepergian selama beberapa waktu, untuk menenangkan pikiran. Aku marah sekali, sehingga keponakankan itu bisa dibilang kuusir pergi! Soalnya, aku tahu bahwa yang kualami itu benar-benar terjadi. Aku sama sekali tidak gentayangan dalam tidur dan mengigau! Tapi di pihak lain - apa sebetulnya yang sedang terjadi?" tanya Miss Agawam dengan nada bingung, sambil meremas-remas tangannya. "Aku benar-benar tak mengerti - semuanya begitu misterius!"


Pete dan Bob juga sama ­saja, tidak mengerti. Kalau melihat Miss Agawam, sukar sekali untuk tidak mempercayai kebenaran ceritanya. Tapi pihak lain, ceritanya itu tidak masuk akal!


"Yang pertama-tama perlu dilakukan," kata Jupiter kemudian, "kita harus menemukan bukti bahwa kurcaci-kurcaci itu benar-benar ada dan mengganggu Anda, Miss Agawam."


Ternyata remaja itu biasanya berakal panjang itu kali ini tidak berhasil menemukan jawaban yang bisa memuaskan.


"Ya, tentu saja!" kata Miss Agawam sambil mendekapkan kedua tangannya. "Kalau bukti itu sudah kita temukan, kemudian kita akan bisa mengetahui sebab-sebabnya."


"Sekarang kita harus memasang jebakan," kata Jupiter padanya.


"Jebakan macam apa?" tanya Pete.


"Jebakan berupa manusia," jawab Jupiter. "Satu di antara kita harus menginap di sini dan nanti berusaha menangkap salah satu kurcaci itu."


"Menangkapnya, ya? Lalu siapa di antara kita yang harus melakukannya?"


"Kau Pete. Menurut rencanaku, kaulah orangnya."


"He! Nanti dulu!" seru Pete memprotes. "Aku tidak mau dijadikan jebakan untuk menangkap kurcaci. Pekerjaan macam begitu sama sekali tak kusenangi. Biarpun aku tidak percaya kurcaci itu benar-benar ada, tapi aku juga tidak kepingin mengambil risiko."


"Orang yang ditempatkan di sini harus kuat, gesit dan tabah," kata Jupiter. "Aku cukup kuat dan keberanianku juga lumayan, tapi kalau soal gesit - nanti dulu. Bob cukup gesit, karena kakinya sudah sembuh dari cedera, sedang keberaniannya bisa dibandingkan dengan singa. Tapi tenaganya, kalah kalau dibandingkan dengan kita. Jadi tidak ada pilihan lain, Pete. Hanya kau saja di antara kita bertiga yang kuat gesit dan juga berani."


Pete meneguk liurnya. Mau bilang apa lagi, jika orang lain mengatakan dirimu tabah, padahal kau sendiri sama sekali tidak merasa begitu?


"Kenapa kita tidak beramai-ramai saja tinggal di sini nanti malam?" tanyanya. "Tiga kan lebih baik daripada hanya satu. Dengan begitu kita bisa silih berganti menjaga."


"Malam ini aku harus ikut orang tuaku bertamu ke rumah bibiku," kata Bob. "Jadi aku tidak bisa."


"Tapi kau kan tidak ada tugas apa-apa. Jupe," kata Pete. "Besok hari Minggu, jadi perusahaan paman dan bibimu tentu tutup. Bagaimana jika kau berdua yang menjaga di sini nanti?"


Jupiter mencubit-cubit bibir bawahnya.


"Ya. baiklah," katanya kemudian. "Mungkin itu lebih baik. Jelas kita berdua akan lebih mampu menangani situasi yang mungkin timbul, daripada seorang saja. Bagaimana, Miss Agawam - Anda kan tidak keberatan jika saya dan Pete menemani Anda malam ini di sini?"


"Aku malah senang sekali!" kata Miss Agawam "Di depan ujung tangga ini ada kamar yang bisa kalian pakai. Tapi kalian sungguh-sungguh mau? Aku tidak ingin melibatkan kalian ke dalam bahaya."


"Para kurcaci itu tidak mengapa-apakan Anda Miss Agawam," kata Jupiter. "Saya rasa mereka itu tidak bermaksud jahat Tapi kita harus melihat mereka dan kalau bisa meringkus satu di antaranya, supaya bisa tahu ada apa sebetulnya di sini. Nanti kalau sudah gelap kami akan datang lagi dan menunggu kemunculan mereka. Kami akan menyelinap masuk, supaya tidak ada yang tahu bahwa di sini ada orang lain kecuali Anda."


"Baguslah kalau begitu," kata Miss Agawam "Aku akan menunggu kedatangan kalian. Kalian tekan saja tombol di luar, nanti akan kubukakan pintu dari sini."


Ketika mereka sudah berada di jalan lagi Pete langsung bertanya, "Nah, apakah kesemuanya itu hanya ada dalam khayalannya saja, Jupe? Itulah yang sedari tadi ingin kuketahui!"


­"Entahlah - mungkin saja begitu," kata Jupiter sambil merenung. "Tapi tingkah lakunya tidak persis orang yang biasa diganggu bayangan khayal yang bukan-bukan. Mungkin saja ia benar-benar melihat kurcaci."


"Ah, kau ini!" kata Pete dengan nada mengejek. "Zaman sekarang ini, siapa sih yang masih percaya pada kurcaci?"


"Ada juga beberapa orang," kata Jupiter. "Seperti halnya ada yang masih percaya akan adanya hantu."


Saat itu Bob menyela.


"Tahun 1938 kalangan ilmuwan gempar karena ada yang menemukan ikan aneh. Ikan itu mulanya disangka sudah punah sejak jutaan tahun yang lalu. Ikan itu namanya coeldcanth. Dan kini diketahui bahwa ikan itu masih ada dalam jumlah ribuan atau bahkan jutaan di laut.


"Nah -," Bob semakm bersemangat sekarang. "katakanlah memang benar-benar ada ras manusia kerdil yang disebut kurcaci itu. Katakanlah pada zaman purbakala mereka terpaksa menyembunyikan diri di bawah tanah, karena ras manusia yang bertubuh lebih besar hendak membunuh dan memakan mereka. Kalau itu yang terjadi, kan mungkin saja mereka benar-benar ada! Sama saja halnya dengan ikan coelacanth. Bedanya cuma sampai sekarang belum ada yang pernah menangkap kurcaci."


"Pemikiran yang baik sekali," kata Jupiter. "Penyelidik yang bermutu memang perlu memikirkan setiap kemungkinan yang ada. Nanti malam kita akan datang, siap menghadapi segala kemungkinan."


Ia berdiri sambil melayangkan pandangannya ke jalan. Pete sudah tidak sabar lagi.


"Ayolah - kita masuk saja ke truk sekarang. lalu pulang," ajaknya. "Sekarang sudah saatnya maka malam. Aku sudah lapar."


"Kurasa kita perlu berjalan sebentar mengelilingi blok ini dulu," kata Jupiter. "Kita sudah memeriksa pagar sebelah depan dan belakang dari dalam, tapi dari luar belum."


"Maksudmu untuk melihat apakah ada satu tempat lewat mana kurcaci-kurcaci itu bisa keluar?" tanya Bob.


"Tepat," jawab Jupiter. "Mungkin jika kita memeriksa dengan lebih teliti lagi nanti kita akan melihat sesuatu yang tidak nampak tadi."


Mereka langsung berjalan menuju gedung bioskop tua yang terletak di pojok jalan, sementara Pete masih terus mengomel bahwa ia sudah lapar.


Pintu-pintu gedung itu ditutupi dengan papan dan penuh dengan gambar-gambar reklame yang sudah robek-robek. Ketiga remaja itu meneruskan langkah ke balik sudut jalan. lalu menyusur ke bangunan itu. Akhirnya mereka tiba di mulut sebuah lorong.


"Lorong ini yang di belakang rumah Miss Agawam," kata Jupiter. "Kita masuk saja ke sini lalu memeriksa pagar belakang rumahnya."


Masuk beberapa meter dalam lorong itu, mereka melewati sebuah pintu besi yang terdapat di sisi belakang gedung bioskop tua itu. Pada pintu itu ada tulisan yang sudah memudar. Tulisan itu berbunyi, "PINTU PANGGUNG". Pintu itu ternganga sedikt. Tahu-tahu mereka mendengar gumam suara-suara orang berbicara di dalam.


"Aneh," kata Jupiter. "Di depan kan ada tulisan ‘Tutup' dan 'Dilarang Masuk'."


"Aku ingin tahu, seperti apa keadaannya di dalam," kata Pete. Rasa ingin tahunya mulai timbul. "Pasti menyeramkan."


Jupiter duduk di undak-undakan yang terdapat di depan pintu. Ia pura-pura mengikat tali sepatunya sambil berusaha menangkap pembicaraan di dalam. Tapi ia hanya bisa mendengar gumam suara-suara, seperti yang berbicara itu dua orang.


"Itu – dengar!" kata Pete


"Ssst!" desis Jupiter. "Baru saja kutangkap kata-kata Pending Emas."


"Pending Emas? Wah! Jangan-jangan -" bisik Bob.


­"Diam dong!" Jupiter mendengarkan dengan penuh minat "Sekarang aku menangkap kata museum .


"Astaga! Jangan-jangan ini tempat persembunyian para pencuri itu'" bisik Pete. Matanya makin membesar. "Kalau benar begitu, bukan main!"


"Kita harus berusaha mendengarkan lebih banyak lagi. sebelum melapor pada polisi," gumam Jupiter. .


Ketiga remaja itu datang lebih dekat ke pintu. Sekali lagi mereka mendengar kata museum diucapkan dengan jelas. Mereka semakin merapat ke pintu. karena ingin mendengar lebih banyak Pintu yang agak ternganga itu membuka ke dalam karena terdorong tubuh mereka. Ketiga remaja itu terjerembab ke dalam.


Mereka berusaha bangun. Tahu-tahu kerah baju mereka dicengkeram orang.


"Mr. Jordan!" seru orang yang menyergap mereka itu. "Panggil polisi! Ini - ada beberapa orang anak masuk tanpa ijin!"


­Bab 7 Dalam Gedung Teater


­Seorang laki-laki bertubuh gempal dengan alis lebat dan air muka galak menyentakkan Pete dan Bob ke atas sehingga keduanya berdiri lagi.


"Jangan coba-coba lari!" sergah orang itu. "Mr. Jordan! Ini - masih ada satu lagi! Tangkap dia'"


"Lari, Jupe!" seru Pete. "Panggil Hans!"


Tapi Jupiter tidak beranjak dari tempatnya.


"Anda salah duga!" katanya dengan gaya orang dewasa. "Karena mendengar suara-suara dalam bangunan kosong yang akan digusur, kami tadi lantas mendapat kesan bahwa di dalam ada orang-orang yang tak berkepentingan. Kami masuk karena ingin mengetahui itikad mereka dulu, sebelum menghubungi pihak berwajib."


"Hah?" laki-laki bertubuh gempal itu menatapnya sambil melongo. "Apa katamu?"


Jupiter kadang-kadang mengambil siasat berbicara dengan kalimat yang sulit-sulit dalam keadaan terjepit. Gayanya itu hampir selalu mengagetkan orang-orang dewasa yang berhadapan dengannya.


­Saat itu seorang laki-laki lagi muncul di belakang yang pertama Orang yang baru datang itu nampak lebih muda, sedikit lebih kurus dan berambut pirang.


"Tenang. Rawley," katanya sambil tersenyum geli. "Anak ini hanya mengatakan bahwa ia mendengar kita berdua berbicara, lalu menyangka bahwa kita masuk tanpa izin. Mereka hendak meyakinkan dugaan itu dulu, sebelum memanggil polisi."


"Kalau itu maksudnya tadi, kenapa tidak bilang begitu?" tukas Rawly. Rupanya ia orang yang cepat marah. "Aku benci pada anak sok pintar yang kalau bicara seperti kamus."


"Aku Frank Jordan. pemilik bioskop ini," kata laki-laki yang lebih muda pada ketiga remaja itu. "Tepatnya, aku membeli bangunan tua ini dengan maksud menggusurnya. lalu membangun gedung perkantoran di sini. Aku tadi sedang mengecek keadaan dengan Rawley. Dia ini pegawaiku, penjaga malam di sini Apa sebabnya kalian mendapat kesan bahwa adanya kami di sini mencurigakan?"


"Sepanjang pengetahuan kami tak ada orang yang diperbolehkan masuk kemari," kata Jupiter. Tapi Pete yang merasa kesal karena tadi diringkus dengan kasar cepat-cepat memotong.


"Kami mendengar kalian tadi berbicara tentang Pending Emas! Itulah sebabnya kami menjadi curiga. Apalagi setelah mendengar kalian menyebut-nyebut museum pula!"


­Tampang Raw­ley mulai masam kembali.


"Mr. Jordan," katanya. "Anak-anak ini sinting! Pengacau! Panggil polisi, kataku!"


"Aku yang berwenang mengambil tindakan di sini, Rawley," kata Nr. Jordan. Tapi ia kelihatannya heran mendengar ucapan Pete. "Pending Emas?" katanya. "Seingatku, aku sama sekali tidak menyebutkan kata-kata itu."


Tapi saat berikutnya ia tersenyum


"Ah! Sekarang aku mengerti!" katanya dengan nada lega. "Seperti sudah kukatakan tadi aku bermaksud hendak menggusur bangunan tua ini. Aku tadi mengatakan pada Rawley, bagian dalam bangunan ini begitu mewah warna-warnanya penuh dengan emas - sehingga kelihatannya seperti museum, lalu kukatakan pula, sebetulnya aku merasa sayang untuk menggusurnya. Nah-rupanya kalian hanya menangkap kata-kata ‘penuh dengan emas’. Maksudku, penuh dengan warna-warna keemasan. Kalian tidak menangkap kata-kataku itu dengan jelas. 'Penuh dengan emas' kalian kira Pending Emas!' Rupanya kalian bertiga ini terlalu banyak membaca berita sensasi mengenai perampokan di museum itu."


"Mr. Jordan tertawa geli. Tapi Rawley masih tetap masam.


"Mereka terlalu banyak berkhayal," gerutunya.


"Untung kau sendiri sama sekali tidak bisa berkhayal " kata majikannya. "Kau sama sekali tidak merasa terganggu oleh bunyi-bunyi aneh, yang menyebabkan dua penjaga malam sebelumnya minta berhenti."


"Bunyi-bunyi aneh?" sela Jupiter. Minatnya


mulai bangkit "Bunyi-bunyi apa itu?"


"Ketukan-ketukan misterius dan suara mengerang dan entah dari mana datangnya," kata Mr. Jordan. "Tapi penjelasan yang masuk akal pasti ada. Walau harus kuakui bahwa ruangan gedung ini memang terasa menyeramkan, karena begitu luas dan gelap. Padahal dulu sewaktu masih baru, gedung bioskop ini indah sekali. Mungkin kalian ingin melihat-lihat sebentar di sini. Nanti kalian akan melihat sendiri hiasan ruangan serba indah dan penuh dengan warna emas. yang kukatakan tadi," kata Mr. Jordan sambil tersenyum.


Ketiga remaja itu menyambut tawaran itu dengan gembira.


"Nyalakan lampu, Rawiey!" kata Mr. Jordan pada pegawainya, lalu mengajak anak-anak menyusur gang yang panjang dan sempit yang diterangi oleh sebuah bola lampu saja.


Semakin jauh mereka masuk ke dalam gang itu, semakin gelap pula keadaan sekeliling mereka.


Tiba-tiba Bob terpekik karena ada sesuatu lewat dekat mukanya.


"Kelelawar!" serunya.


"Betul," kata Mr. Jordan di tempat gelap itu. "Gedung ini sudah lama sekali kosong, sehingga sekarang banyak kelelawar di sini. Dan tikus. Tikus yang besar-besar!"


Bob meneguk liur karena merasa seram Tapi ia diam saja, sementara di atas kepalanya terdengar bunyi kelepak sayap. Namun bulu tengkuknya kemudian terasa seperti berdiri semua, ketika mendengar bunyi berderak-derik aneh di ujung gang yang sedang mereka telusuri. Bunyi itu diselingi suara-suara seperti orang mengerang.


"Jangan takut," kata Mr. Jordan. "Bunyi yang kalian dengar itu disebabkan oleh tali-temali serta katrol-katrol yang dulu dipakai untuk menggantungkan dekor di panggung. Ini bukan hanya gedung bioskop saja. tapi dulu juga sering dipakai untuk pertunjukan musik, tari-tarian dan juga sulap. Ah - rupanya Rawley sudah menyalakan lampu panggung."


Cahaya remang-remang agak mengurangi kegelapan di dalam, sementara mereka berempat muncul di atas panggung teater itu. Dari tempat mereka berada nampak kursi-kursi kosong, berjejer-jejer sampai jauh ke belakang. Di atas kepala. seperangkat lampu hias yang terbuat dan kaca berwarna-warni memancarkan cahaya suram. karena permukaannya penuh debu.


Kedua sisi samping panggung dibatasi dengan tirai merah yang nampak antik, penuh dengan hiasan rumbai-rumbai berwarna keemasan. Dinding-dindingnya penuh dengan gambar-gambar adegan pertempuran para ksatria. semua dengan baju perang berwarna keemasan. Seperti dikatakan Mr. Jordan, dalam ruangan itu begitu banyak sepuhan warna emas, sehingga menimbulkan kesan seakan-akan tempat ini suatu museum.


­"Gedung teater ini dibangun pada tahun-tahun dua puluhan," kata Mr. Jordan. "Waktu itu orang beranggapan, gedung bioskop gayanya harus seperti istana atau puri. Gedung ini dibangun seperti mesjid gaya Arab-Spanyol. Kalian tahu kan, berabad-abad lamanya Spanyol berada di bawah kekuasaan orang Arab yang datang menyerbu dari Afrika Utara. Semuanya di sini dibuat meniru-niru gaya itu. Tangga-tangganya, lalu menara-menara yang ada di atas atap. Tapi begitulah - kesenangan orang berubah mengikuti perkembangan jaman."


Setelah itu ia berbalik dan mengajak anak-anak kembali. Saat itu sesuatu yang gelap nampak melintas di panggung, di depan mereka.


"Tikus," kata Mr. Jordan. "Selama bertahun-tahun, mereka hidup bebas di tempat ini Pasti binatang-binatang itu tidak senang jika bangunan ini nanti digusur. Nah - sekarang kalian sudah tahu seperti apa rupanya gedung teater tua ini. Datanglah beberapa minggu lagi kemari, untuk menonton kami merobohkannya!"


Anak-anak diantarkannya ke luar. Begitu mereka sudah kembali berada di lorong belakang, pintu ditutup olehnya. Rapat-rapat.


"Huh!" kata Pete. "Kelelawar! Tikus-tikus besar! Pantas penjaga malam tidak ada yang tahan."


"Mestinya binatang-binatang itulah yang menyebabkan timbulnya bunyi-bunyi aneh di sini," kata Jupiter. "Terus terang saja, ketika aku tadi mendengar gumaman suara yang bunyinya seperti 'Pending Emas', aku langsung merasa yakin bahwa secara kebetulan kita menemukan petunjuk penting untuk kasus perampokan di museum itu. Tapi penjelasan Mr. Jordan sangat masuk akal. Aku bisa menerimanya."


"Sebetulnya asyik juga ya kalau kita berhasil menangkap para perampok itu, setelah dilarang ikut serta dalam pengusutannya," kata Pete sambil mendesah. "Tapi kurasa kemungkinan untuk itu kecil sekali."


"Memang," kata Jupiter membenarkan. "Jangan lupa, saat ini kita kan hendak menolong Miss Agawam. Jadi ayolah - kita lanjutkan pemeriksaan ke lorong ini."


Mereka berjalan dalam lorong itu. lalu memeriksa papan-papan pagar tinggi yang membatasi bagian belakang pekarangan Miss Agawam. Tapi ternyata bahwa tidak ada satu pun papan yang lepas. Pintu pagar terkunci rapat.


:Tidak mungkin ada yang bisa masuk atau keluar lewat sini,"' kala Jupiter. Ia mencubiti bibir bawahnya. "Aneh! Benar-benar aneh."


"Aku sudah lapar sekali," sela Pete. "Kita pulang saja yuk!"


"Ya, kurasa saat ini tidak ada lagi yang bisa kita perbuat," kata Jupiter.


Mereka kembali ke truk, di mana Hans menunggu dengan sabar sambil membaca koran.


Sementara truk itu kemudian meluncur sela-sela keramaian lalu lintas kota, Bob berpaling pada Jupiter. Ia hendak menanyakan petunjuk apa yang secara ,tiba-tiba ditemukan, atau diingatnya waktu masih berada di rumah Miss Agawam tadi sehingga Jupiter mengatakan bahwa ia sudah berhasil menemukan jawaban atas teka-teki Pending Emas.


Tapi dilihatnya Jupiter duduk bersandar dengan air muka yang menunjukkan bahwa ia sedang sibuk berpikir. Bob tahu, kalau temannya itu sudah begitu, ia tidak suka diganggu dengan berbagai pertanyaan.


Karena itu Bob tidak jadi bertanya.


­Bab 8 Tamu Tak Dikenal


Pete cepat-cepat turun begitu truk sudah sampai di tempat penimbunan barang-barang bekas di mana Jupiter tinggal bersama paman dan bibinya.


"Aku harus cepat-cepat pulang," kata Pete. "Baru teringat sekarang - hari ini hari ulang tahun ayahku. Ibu membuat hidangan istimewa untuk merayakannya. Nanti aku kembali lagi, selekas mungkin."


"Usahakan agar sudah ada di sini pukul delapan," kata Jupiter. "Dan jangan lupa minta izin untuk menginap bersama aku di rumah salah seorang kawan Mr. Hitchcock. Bilang besok pagi kita mungkin sudah kembali lagi."


"Beres," Pete melompat ke atas sadel sepedanya lalu pergi. sementara Bob dan Jupiter turun dari truk. Saat itu bibi Jupiter muncul dari bangunan kecil tapi rapi yang dipakai sebagai kantor perusahaan jual beli barang bekas itu.


"Ada tamu. Jupiter," katanya. "Sudah setengah jam la menunggumu."


­"Tamu?" kata Jupiter dengan perasaan heran. "Siapa orangnya?"


"Namanya Taro Togati. Anak Jepang - tapi bahasa Inggrisnya lancar. Sambil menunggu tadi bercerita tentang cara membuat mutiara. Untuk itu dipakai tiram yang sudah dilatih. Pokoknya semacam begitulah!"


Wanita itu tertawa. Orangnya periang dan baik hati walau ia paling senang menyuruh-nyuruh Jupiter serta kedua kawannya bekerja keras.


"Sebentar lagi akan kutemui dia, Bibi Mathilda," kata Jupiter. "Sebelumnya aku Ingin minta izin dulu. Bolehkah aku malam ini menginap di rumah kawan Mr. Hitchcock, bersama Pete? Dia itu orang pengarang yang diganggu bunyi-bunyi aneh pada malam hari."


"Bunyi-bunyi aneh? Yah, kurasa boleh saja -


Jika ia merasa lebih enak ditemani dua anak yang besar-besar dan kuat," Mrs. Jones tertawa lagi. "Baiklah, Jupiter. Kau bisa ke sana naik truk, dan beso­k pagi minta pada Hans untuk menjemputmu lagi."


Bibi Jupiter itu melantangkan suaranya.


"Jupiter dan Bob sudah datang, Taro," serunya. Sambil menambahkan pada kedua remaja itu, "Setengah jam lagi kita makan malam," ia pergi ke rumah.


Seorang remaja yang besarnya kira-kira sepantar dengan Bob, muncul dari dalam kantor. Pakaiannya rapi sekali. Setelan biru tua, lengkap dengan dasi. Ia memakai kaca mata berbingkai emas. Rambutnya disisir lurus.


"Senang sekali saya bisa berkenalan denganmu. Jupiter-san," katanya. Bahasa Inggrisnya sedikit terdengar berlogat Jepang. Tambahan kata ­san di belakang nama itu juga merupakan kebiasaan orang Jepang. "Dan denganmu juga, Bob-san. Saya Taro, putra Saito Togati, detektif kepala dari Perusahaan Permata Nagasami."


"Halo, Taro," kata Jupiter sambil menyalami anak itu. "Kami sudah berjumpa dengan ayahmu kemarin."


Air muka Taro Togati berubah, kelihatannya agak kurang enak. Ia mengeluarkan selembar kartu nama yang agak lusuh dari kantongnya.


"Ya, saya tahu," katanya. "Maaf, jika ay­ah saya saat itu bersikap kasar. Tapi saat itu ia sangat gelisah. Sangat bingung! Saya memungut kartu nama kalian. Dari situ saya mengetahui nama kalian. Saya melihat kalian menolong orang-orang keluar di pintu. Hal itu saya laporkan pada ayah saya. Ia menyuruh saya ke mari untuk mengucapkan terima kasih dan sekaligus meminta maaf."


"Ah itu sama sekali tidak perlu Taro," sela Bob "Kami tahu, ayahmu saat itu sedang bingung. ­Dan kurasa untuk mengejar pencuri permata, kami ini memang agak terlalu muda. Saat ini kami sedang menangani kasus kurcaci yang misterius."


"Kurcaci?" Mata Taro yang sipit agak membesar. "Ah, saya tahu maksudmu. Itu kan makhluk-makhluk kecil yang kerjanya menggali harta di bawah tanah. Aku belum pernah melihat mereka. Tapi di tanah air saya, di Jepang, banyak sekali cerita mengenai mereka. Mereka itu berbahaya sekali. Kalian jangan sampai tertangkap oleh mereka."


"Kami kalau bisa malah ingin menangkap satu dari mereka," kata Jupiter. "Untuk meyakinkan apakah mereka benar-benar ada, seperti kata hikayat."


Sementara mengobrol, Jupiter mengambilkan beberapa kursi kebun yang terbuat dari besi yang sudah karatan. Mereka lantas duduk.


"Ayahmu sudah berhasil menemukan kembali Pending Emas atau belum, Taro?" tanya Jupiter sambil lalu untuk menyembunyikan rasa ingin tahunya yang menyala-nyala.


"Sayang, Jupiter-san," keluh Tara Togati. "baik ayahku, maupun para penjaga dan juga polisi sampai sekarang belum berhasil menangkap para pencuri itu, atau menemukan Pending Emas. Sama sekali tidak ada - anu - tidak ada petunjuk sedikit pun. Ayah saya malu sekali karenanya. Pending Emas dicuri di depan hidungnya! Jika ia tidak berhasil memperolehnya kembali nama baiknya akan rusak dan ia akan terpaksa minta berhenti."


­"Gawat kalau begitu, Taro," kata Bob ikut prihatin.


Jupiter mencubiti bibir bawahnya tanda bahwa ia sibuk berpikir.


"Coba ceritakan apa saja yang sudah berhasil diketahui sampai sekarang, Taro." katanya.


Taro memaparkan hasil pemeriksaan cermat yang dilakukan oleh kepolisian terhadap setiap orang yang dianggap mencurigakan. Tapi dari pemeriksaan itu tidak diperoleh satu tersangka pun yang mungkin melakukan pencurian itu. Juga tidak berhasil diketahui cara mengeluarkan pending itu dari museum. Ayah Taro dan juga polisi menarik kesimpulan bahwa para pencuri mengambil Pending Emas dan bukan Permata Pelangi karena letak kotaknya di samping. Sedang Permata Pelangi dipamerkan di tengah ruangan dan langsung dijaga ketat begitu alarm berbunyi. Tentu saja pending antik itu nilainya lebih rendah daripada Permata Pelangi dan mengeluarkannya dari museum juga lebih sulit Tapi mencuri lebih gampang.


"Tapi siapa pencuri itu dan bagaimana cara mereka membawa pending kuno itu keluar, tidak ada yang bisa menebak," kata Taro dengan sedih.


"Para penjaga!" kata Bob dengan Tiba-tiba. "Seorang dari mereka mungkin saja pencurinya. Pending itu bisa disembunyikannya dengan gampang, yaitu dengan jalan menggantungkannya dalam kaki celana."


"Para penjaga itu orang pilihan semuanya," kata Taro. "Ayahku sendiri menanyai mereka satu-satu sebelum mereka diterima. Kecuali jika ia tertipu. Itu mungkin saja. Aku akan mengatakan padanya."


"Bagaimana dengan Mr. Frank. aktor itu?" tanya Jupiter. "Maksud ku, yang menjatuhkan permata palsu itu."


Taro bercerita bahwa polisi mulanya sudah yakin sekali. Mr. Frank pasti terlibat dalam rencana perampokan itu. Tapi Mr. Frank membeberkan kisah yang sederhana sekali dan bisa diterima akal sehat. Kata aktor itu, ia disewa seorang wanita lewat telepon. Ia disuruh datang ke museum dan tepat tengah hari harus menjatuhkan sebutir batu permata imitasi berukuran besar dan kantongnya, dan sesudah itu harus bersikap seolah-olah takut karena bersalah.


Kata wanita itu, tindakan itu merupakan siasat untuk mendapat publisitas. Setiap orang di Hollywood sudah biasa menghadapi perbuatan untuk menarik perhatian seperti begitu. Perbuatan yang bagaimanapun anehnya, kalau untuk mendapatkan publisitas dianggap biasa saja. Wanita itu berjanji pada Mr. Frdnk, apabila ia berhasil membuat namanya tercantum dalam surat kabar, bersamaan dengan fakta bahwa ia sebentar lagi akan ikut main dalam film "Perampokan Besar di Museum" ia benar-benar akan kebagian peran penting dalam film itu.


Mr. Frank setuJu saja. Lewat pos diterimanya sebutir permata palsu berukuran besar serta uang kertas lima puluh dolar satu lembar. Setelah itu ia hanya melakukan tugasnya. Jelas bahwa kawanan pencuri menyewa Mr. Frank untuk menimbulkan keributan sebagai pengalih perhatian, sesaat sebelum perampokan terjadi Tapi rupanya ia sama sekali tidak tahu bahwa ia merupakan bagian dari suatu aksi perampokan."


Tampang Jupiter saat itu memancarkan rasa puas yang kadang-kadang muncul apabila ia mendapat akal.


"Seperti sudah kusangka dari semula." Aku mengangguk. "Dan polisi serta ayahmu tentu saja menarik kesimpulan bahwa para perampok sengaja memilih hari itu sebagai saat terbaik untuk melakukan aksi perampokan mereka, ya?"


"Betul," Taro mengangguk. "Tapi ayahku masih tetap bingung, bagaimana caranya sampai pending itu bisa diselundupkan keluar."


Kini Jupiter mengambil sikap sok penting.


"Siapa bilang dibawa keluar?" katanya. Taro dan Bob memandangnya dengan heran. "Pending itu masih ada dalam museum!"


"Masih dalam museum!" seru Bob.


"Tapi tempat itu kan sudah diperiksa dengan teliti sekali, dari ujung atas sampai ke bawah sekali!"' bantah Taro. "Pending itu tidak ditemukan. Dicari dalam ruang-ruang kantor, dalam kamar kecil - pokoknya di mana-mana diperiksa! Coba kaujelaskan maksudmu itu, Jupiter-san."


"Hari ini," kata Jupiter. "ketika sedang sibuk dengan kasus lain, aku tiba-tiba melihat suatu petunjuk yang kurasa bisa menjelaskan teka-teki hilangnya Pending Emas. Dihubungkan dengan fakta-fakta yang sudah diketahui, kurasa jawabannya haruslah –"


­Ia berhenti berbicara. sementara Bob dan Taro menunggu dengan napas tertahan.


"Bob," sambung Jupiter. "kau ingat tidak, ketika lukisan Miss Agawam jatuh tadi? Aku menggantungkannya kembali bersama Pete."


Bob mengangguk.


"Betul." katanya. "Lalu?"


"Ketika aku sedang memegang kan lukisan itu yang ukurannya lumayan besanya," kata Jupiter. "Aku melihat bahwa pada bagian belakangnya antara kain kanvas dan pinggiran pigura terdapat ruangan yang dalamnya beberapa sentimeter. Nah! Di Museum Peterson kan banyak tergantung lukisan yang besar-besar. Aku lantas menarik kesimpulan -"


Bob meneruskan kalimat itu. karena sudah mengerti apa yang dimaksudkan oleh kawannya itu.


"Di bagian belakang beberapa lukisan itu mungkin terdapat ruang yang cukup besar, antara kain lukisannya sendiri dengan piguranya yang berukir-ukir!" katanya. "Bisa saja pending kuno itu cepat-cepat diselipkan ke dalam salah satu rongga itu sementara keadaan dalam museum sedang gelap dan kacau balau!"


"Ini mungkin saja merupakan perbuatan suatu kawanan pencuri," kata Jupiter. "Kita tahu, ada seorang wanita menelepon Mr. Frank. Mungkin saja wanita itu bekerja sama dengan pencuri yang sebenarnya."


­Taro cepat-cepat bangun dari tempat duduknya. Kelihatannya bersemangat sekali.


"Aku yakin sewaktu seluruh museum diperiksa. tidak ada yang melihat ke balik lukisan!" katanya. "Ini akan segera kulaporkan pada ayahku."


"Orang yang menyembunyikannya itu barang kali berniat hendak datang lagi mengambilnya apabila keadaan sudah mereda," kata Jupiter. "Tapi karena museum sejak itu ditutup, takkan mungkin sudah diambil. Katakan ­ada ayahmu balkon pun jangan lupa diperiksa.


"Tapi balkon kan ditutup," bantah Taro.


"Cuma dengan tali saja, jadi siapa pun bisa melewatinya. Lukisan di balkon merupakan tempa persembunyian yang sangat baik, karena takkan ada yang terpikir sampai ke situ."


"Terima kasih, Jupit­r-san!" seru Taro dengan mata bersinar-sinar. "Kurasa idemu itu hebat sekali! Maaf, aku ingin segera kembali untuk menyampaikannya pada ayah ku."


Taro bergegas lari ke luar menuju sebuah mobil yang menunggu. Sementara itu Bob memandang Jupiter dengan kagum.


"Wah - hebat sekali kesimpulanmu itu, Jupe," katanya. "Mungkin kau berhasil membongkar rahasia pencurian Pending Emas, walau Mr. Togati tidak mengizinkan kita ikut menangani kasus itu."


Sesaat Jupiter kelihatan agak sangsi.


"Barangkali masih ada lagi kemungkinan lainnya," katanya. "Tapi tidak – dengan segala fakta yang sudah diketahui, hanya yang tadi itu saja satu-satunya jawaban yang cocok. Mengingat tidak mungkin pending itu sudah dibawa keluar, jadi tentunya masih ada di dalam museum. Sedang satu-satunya tempat yang belum diperiksa cuma di belakang lukisan saja. Aku tidak bisa menemukan cacat dalam jalan pikiranku itu."


"Untukku itu sudah hebat sekali!" kata Bob.


"Yah, besok akan kita ketahui juga benar tidaknya," kata Jupiter. "Sekarang aku masih harus membenahi peralatan menangkap kurcaci, untuk dibawa ke rumah Miss Agawam. Besok pagi aku akan menelepon ke rumahmu. Kau bisa ikut dengan Hans untuk menjemput kami."


Bob menggeleng-gelengkan kepala dengan heran.


"Kau sungguh-sungguh beranggapan akan bisa menangkap kurcaci, Jupe?'" tanyanya. "Atau apakah menurutmu keponakan Miss Agawam benar, bahwa bibinya itu gentayangan di dalam tidurnya, sedang segala yang dialaminya itu hanya ada dalam angan-angannya saja?""


"Untuk sementara aku tidak menarik kesimpulan apa-apa," jawab Jupiter. "Orang bisa saja berbuat yang aneh-aneh di dalam keadaan tidur. Aku pernah mendengar kejadian tentang seseorang yang begitu cemas memikirkan perhiasan yang ada dalam lemari besinya. Dalam tidurnya ia pergi ke situ. membuka pintunya, lalu mengambil perhiasan dan menyembunyikannya di salah satu tempat yang begitu sulit. sehingga ketika ia terbangun keesokan paginya perhiasan itu tidak bisa lagi ditemukan olehnya. Nah! Kalau Miss Agawam ternyata berbuat seperti itu, aku dan Pete nanti malam akan bisa menjadi saksi. Kami berdua ­ akan berhasil meyakinkan dirinya mengenai kenyataan itu. Tapi –" kini mata Jupiter bersinar-sinar. "jika benar-benar melihat kurcaci atau sesuatu yang sejenis dengannya, kami akan sudah siap untuk menangkap satu di antaranya."


Edit by: zheraf

http://www.zheraf.net


­Bab 9 Menyiapkan Diri


­Kurcaci-kurcaci itu sibuk menggali. Bob melihat sejumlah sosok tubuh yang kecil-kecil mengayunkan pangkur mereka, jauh di ujung lorong bawah tanah yang berbatu-batu itu.


Ia maju terus, sambil merangkak-rangkak. Dalam hati ia menyesal, apa sebabnya Pete dan Jupiter tidak ada bersamanya saat itu. Ia sebetulnya tidak ingin masuk lebih jauh ke dalam terowongan itu, karena sekelilingnya sudah gelap sekali. Tapi karena sudah begitu dekat, ia merasa tak boleh sampai menjatuhkan nama Trio Detektif.


Dengan hati berdebar keras, ia bergerak semakin mendekat. Akhirnya ia sudah merunduk di sebelah luar sebuah rongga yang mirip gua, di sana para kurcaci itu sibuk bekerja. Tiba-tiba ia bersin, karena banyak sekali debu beterbangan.


Saat itu juga semua kurcaci berhenti bekerja, ada yang dengan pangkur terangkat ke atas. Dengan pelan- pelan sekali mereka berpaling ke arahnya.


Bob sudah bersiap-siap hendak lari. Tapi begitu sekian pasang mata kurcaci tertatap ke arahnya. ia tidak bisa bergerak lagi. Seolah-olah terpaku di tempatnya. Ia merasa seperti disihir. Sedikit pun tidak keluar bunyi dari mulutnya.


Kurcaci-kurcaci itu memandangnya, tanpa bergerak Kemudian didengarnya bunyi langkah di belakangnya. Sesuatu yang sangat asing dan menakutkan datang menyelinap mendekatinya. Bob mencoba berpaling untuk melihat – tapi sedikit pun ia tidak mampu bergerak.


Sebuah tangan besar seperti cakar mencengkeram, lalu menggoncang-goncang dirinya.­


"Bob!" Terdengar suara menggaung, bergema dalam ruang gua itu. "Bob! Bangun!"


Suara itu melenyapkan pesona yang menguasai dirinya. Bob menggeliat-geliat.


"Lepaskan aku!" teriaknya. "Lepaskan!"


Kemudian ia mengejapkan mata. Ia berbaring di tempat tidurnya sendiri, sedang Ibunya berdiri di sisi sambil memandang dirinya.


"Kau mimpi, Bob?" tanya ibunya. "Kulihat kau menggeliat-geliat sambil mengoceh dalam tidurmu. Karena itu kubangunkan."


"Astaga – betul, rupanya aku mimpi," kata Bob dengan perasaan lega. "Jupiter tadi menelepon atau tidak?"


"Menelepon? Untuk apa ia menelepon malam-malam begini? Baru saja beberapa menit kau terlelap. Sekarang tidur sajalah lagi. Dan jangan mimpi yang aneh-aneh!"


"Ya deh, Bu!"


Bob memejamkan matanya lagi. Terpikir sebentar olehnya, bagaimana keadaan Jupiter dan Pete saat itu.


Saat itu keduanya sedang berada dalam truk yang disupiri oleh Hans, menuju ke rumah Miss Agawam. Jupiter menunjukkan segala peralatan yang dikumpulkannya untuk menangkap kurcaci.


"Yang paling penting, kamera ini," katanya pada Pete. Alat itu merupakan kebanggaan Jupiter, yang bisa dalam waktu sepuluh detik menghasilkan foto yang sudah selesai. Harga aslinya agak mahal. Tapi Jupiter memperolehnya dalam keadaan rusak dari seorang teman di sekolah, ditukar dengan sebuah sepeda yang dibetulkan olehnya.


"Ini gunanya untuk membuat foto kurcaci atau apa saja yang kita jumpai nanti," kata Jupiter menjelaskan. "Dan ini lampunya."


Kamera foto itu diletakkannya kembali ke tempat semula. Kini diambilnya dua pasang sarung tangan kerja dengan telapak terbuat dari kulit.


"Khusus untuk menghadapi kurcaci," katanya. "Kata orang, gigi kurcaci tajam-tajam. Begitu pula kuku mereka. Dengan ini tangan kita terlindung."


"Astaga!" kata Pete. "Kau ini seperti benar-benar memperkirakan nanti akan menangkap kurcaci."


"Kan lebih baik sedia payung sebelum hujan," kata Jupiter. "Sekarang, tali. Dari bahan nilon yang ringan, tapi kuat sekali. Tidak mungkin bisa putus. Panjangnya kurasa cukup untuk mengikat kurcaci yang mungkin kita tangkap nanti."


Setelah itu dikeluarkannya sepasang walkie-talkie buatan mereka sendiri. Walau jangkauannya tidak jauh, namun dengan peralatan itu mereka bisa saling berhubungan apabila sedang menangani salah satu kasus. Mereka sangat membanggakan keistimewaan itu, yang membuat mereka merasa seperti detektif yang sebenarnya.


"Senter," kata Jupiter, sambil mengeluarkan dua buah senter yang terang sekali sinarnya. "dan yang terakhir, tape recorder. Untuk merekam bunyi galian," kalanya. Diamat-amatinya kotak peralatan itu. Kemudian ia mengangguk-angguk.


"Rasanya semua sudah lengkap," katanya. "Kau kan tidak lupa membawa kapur khususmu, Pete?"


Pete mengeluarkan sebatang kapur biru dari kantongnya, sementara Jupiter memperlihatkan kapur putih. Bob memiliki kapur berwarna hijau. Dengan membuat tanda tanya di mana saja dengan kapur mereka, ketiga remaja itu bisa saling memberitahukan bahwa mereka pernah ada di tempat itu, atau menemukan sesuatu di situ yang mungkin perlu diselidiki. Orang lain takkan menaruh perhatian pada tanda tanya yang dibuat. dengan kapur, karena mengira itu perbuatan anak iseng belaka. Itu salah satu ide Jupiter yang paling bagus.


"Kurasa kita benar-benar sudah siap sekarang," kata Jupiter. "Kau membawa sikat gigimu?"


Pete mengacungkan sebuah tas kecil. "Sikat gigi dan piyama," kalanya.


"Kurasa kalau piyama tidak perlu," kata Jupiter


­"Kita nanti tetap seperti sekarang ini siap untuk menyergap kurcaci."


Hans menoleh sesaat ke arah kedua remaja yang sedang asyik berunding itu.


"Kalian masih juga sibuk mengejar kurcaci, Jupe?" tanya Hans "Aku dan Konrad berpendapat bahwa kalian sebaiknya jangan berurusan dengan makhluk-makhluk itu. Banyak sekali cerita-cerita seram mengenal mereka di Hutan Hitam, di Jerman. Konrad selalu mengatakan, kurcaci perlu dijauhi. Pendapatku juga begitu. Kami berdua berpendapat begitu. Kalau kalian masih nekat juga ada kemungkinannya nanti disihir menjadi batu!"


Hans kedengarannya begitu bersungguh-sungguh, sehingga Pete merasa agak kurang enak. Tentu saja kurcaci sebenarnya tidak ada! Tapi di pihak lain, Hans dan Konrad yakin makhluk-makhluk itu ada. Miss Agawam juga percaya. Dan siapa tahu, mungkin saja -


Pikiran Pete terputus, karena saat itu Jupiter mengatakan sesuatu.


"Kami sudah berjanji akan membantu Miss Agawam yang sedang dalam kesulitan" kata Jupiter. "Aku tidak tahu apakah ia betul-betul diganggu kurcaci atau tidak. Tapi pokoknya, kita harus menjunjung tinggi semboyan Trio Detektif."


"Kami menyelidiki Apa Saja," gumam Pete. Dalam hati ia agak menyesali pilihan kedua kata terakhir itu. Apa saja! Rasanya itu agal terlalu luas baginya.


Bab 10 Terjebak!


­Keadaannya gelap dan sepi sekali di daerah lingkungan tempat tinggal Miss Agawam. Bank yang sudah tutup dan gedung bioskop yang sebentar lagi akan digusur, nampak gelap gulita. Hanya satu lampu saja yang menyala di rumah sebelah bank. Dari situ mereka tahu bahwa Miss Agawam menunggu kedatangan mereka.


Hans memandang Pete dan Jupiter dengan sikap prihatin, ketika kedua remaja itu turun dan truk.


"Aku masih tetap berpendapat, lebih baik kalian jangan mencoba-coba menangkap kurcaci, Jupe," kata pemuda Jerman itu. "Di tempat asalku Hutan Hitam, banyak sekali batu dan tunggul pohon berbentuk aneh, yang dulunya manusia seperti kita. Mereka tersihir, hanya karena bertatapan muka dengan kurcaci. Lebih baik kali berhati-hati!"


Pete merasa tidak enak mendengarnya. Hans berbicara dengan nada begitu yakin. Perasaan Pete mula gelisah kembali. Ia mendapat firasat seakan-akan nanti akan terjadi berbagai hal yang tidak disangka-sangka.


Jupe buru-buru mengucapkan selamat berpisah pada Hans, sambil berjanji akan menelepon besok pagi untuk minta dijemput. Setelah itu truk berangkat lagi.


Sambil bergerak menyelinap di tempat gelap menyusur pagar semak, kedua remaja itu menuju ke pintu pekarangan rumah Miss Agawam. Sejauh pengetahuan mereka tidak ada orang yang mengamat-amati.


Jupiter menekan bel di pintu tiga kali. Pendek-pendek. Dengan segera terdengar bunyi mendesum, dan pintu langsung terbuka. Kedua remaja itu cepat-cepat masuk ke dalam. Jupiter berhenti sebentar sambil memasang telinga. Pete heran melihatnya. Melihat gerak-gerik Jupe, orang pasti akan menduga anak itu sedang menjalankan tugas rahasia yang menyangkut nasib pasukan-pasukan yang besar sekali. Tapi Jupiter memang begitu sifatnya. Ia tidak pernah ceroboh kalau kerja.


Dan Jupiter juga senang menambah-nambah ketegangan.


Pekarangan di balik pagar gelap sekali. Kedua remaja itu berjalan merunduk-runduk naik ke beranda. Pintu rumah dibuka dari dalam, dan mereka menyelinap masuk.


Miss Agawam menyambut mereka di balik pintu. Wajah wanita tua itu agak pucat.


"Untung kalian sudah ada di sini sekarang," katanya. "Terus terang saja, baru sekali ini seumur hidupku aku merasa gelisah sekali. Kurasa jika nanti terjadi lagi sesuatu aku pasti akan lari pontang-panting dan takkan mau kembali lagi! Akan kujual rumah ini pada Mr. Jordan, yang ingin sekali membelinya."


"Tapi kami sekarang sudah ada di sini, Miss Agawam," kata Jupiter. "Urusannya kami ambil alih sekarang."


Miss Agawam mencoba tersenyum.


"Sekarang masih belum begitu malam," katanya. "Aku tidak pernah mendengar bunyi galian atau kejadian-kejadian lainnya sebelum saat tengah malam. Kalian mau nonton televisi dulu?"


"Kami ingin tidur sebentar, sampai pukul setengah dua belas," kata Jupiter. "Dengan begitu kami akan merasa segar dalam melakukan penjagaan sepanjang malam. Anda punya jam weker, Miss Agawam?"


Wanita tua itu mengangguk. Diantarkannya Pete dan Jupiter ke tingkat atas, ke kamar sempit yang terdapat di seberang ujung atas tangga. Di situ terdapat dua buah tempat tidur yang sudah dibenahi. Pete dan Jupiter membuka sepatu masing-masing. Sesudah memeriksa apakah semua peralatan sudah berada dalam keadaan siap pakai, mereka lantas merebahkan diri ke pembaringan masing-masing.


Walau merasa gelisah, tapi dengan cepat Pete sudah tertidur. Ia memang tidak pernah mengalami. kesulitan dalam hal tidur. Rasanya ia baru sekejap terlelap, ketika sudah terbangun lagi karena bunyi dering lonceng.


"Ada apa?" gumamnya dalam keadaan setengah tidur.


"Pukul setengah dua belas," bisik Jupiter. "Miss Aqawam sudah masuk ke kamar tidurnya. Kau juga tidur saja lagi. Biar aku yang menjaga."


"Jaga," gumam Pete. Detik berikutnya ia sudah terlelap kembali.


Lain dengan Bob, Pete boleh dibilang hampir tidak pernah bermimpi. Tapi saat itu ia memimpikan hujan es, dan butir-butirnya berketuk-ketuk menimpa kaca jendela.


Pete terjaga. Sekali ini langsung dalam keadaan waspada. Tapi sesaat ia tetap berbaring tanpa bergerak di tempat tidur. Bunyi mengetuk-ngetuk masih terdengar terus. Kemudian ia sadar bahwa memang ada seseorang yang mengetuk-ngetuk kaca jendela. Iramanya aneh. Satu kali - tiga kali - dua kali - tiga kali - lalu kembali satu kali.


Kedengarannya seperti isyarat sandi. Atau mungkin juga rumus sihir.


Begitu kemungkinan itu melintas dalam pikirannya, Pete langsung duduk lurus-lurus sambil memandang ke arah jendela. Jantungnya seakan-akan terloncat ke atas dan menyumbat tenggorokannya.


Ia melihat seseorang mengintip ke dalam dari balik jendela! Seseorang bermuka kecil dengan mata kecil melotot, telinga berbulu dan hidung panjang lancip ke depan. Sepasang bibir menyeringai, menampakkan gigi-gigi seperti taring.


Pete terlonjak karena tiba-tiba ruangan kamar menjadi terang benderang seperti ada kilat menyambar.


Tapi ia sama sekali tidak mendengar bunyinya. Muka di balik jendela menghilang dengan seketika. Saat itu barulah Pete menyadari bahwa cahaya yang menyamar tadi berasal dari lampu alat foto,


"Kena!" seru Jupiter dalam gelap. "Kau sudah bangun, Pete?"


"Terang saja aku sudah bangun!" kata Pete. "Tadi ada kurcaci memandang kita dari balik jendela!"


"Dan aku berhasil memotretnya. Sekarang kita lihat saja, apakah kita bisa menangkapnya,"


Mereka cepat-cepat lari ke jendela. Di situ mereka sambil mengejap-ngejapkan mata, berusaha melihat lebih jelas ke dalam gelap. Mereka melihat empat sosok tubuh yang kecil-kecil di pekarangan. Keempat-empatnya memakai topi yang meruncing ke atas. Mereka menandak-nandak dan berjungkir balik. Satu di antaranya berdiri di atas bahu temannya, lalu meloncat ke belakang sambil membalikkan tubuh. Mereka bermain lompat kodok. Kelihatannya seperti anak-anak yang sedang bermain dengan asyik.


Ketika sudah terbiasa melihat ke dalam gelap, Pete bahkan bisa melihat muka mereka yang putih, sepatu yang runcing ke depan serta pakaian mereka yang terbuat dari kulit.


­"Astaga. Jupe!" bisik Pete. "Mereka berempat! Tapi kenapa berbuat gila-gilaan seperti begitu di pekarangan?"


"Kurasa jawabannya sudah jelas," jawab Jupiter sambil mengenakan sepatunya. "Mereka hendak menakut-nakuti kita dan juga Mis­ Agawam."


"Menakut-nakuti kita?" kata Pete. "Yah-mereka memang berhasil membuat aku gugup. Jika itu yang mereka kehendaki. Tapi untuk apa mereka menakut-nakuti kita serta Miss Agawam? Lalu bagaimana dengan penggalian yang mereka lakukan?"


"itu hanya tambahan belaka," jawab Jupiter. "Kesimpulanku, mereka itu disewa oleh Roger keponakan Miss Agawam."


"Disewa Roger!" ulang Pete yang saat itu sedang mengikat tali sepatunya. "Untuk apa?"


"Untuk menakut-nakuti bibinya supaya mau menjual rumah ini, lalu pindah dari sini. Kau ingat tidak, Miss Agawam kan bercerita bahwa Roger ingin sekali agar ia menjual rumah ini lalu pindah ke sebuah apartemen kecil. Menurut Miss Agawam, Roger itu satu-satunya kerabatnya. Itu berarti bahwa Roger akan mewarisi hartanya, apabila ia sudah tidak ada lagi."


Saat itu Pete merasa dalam benaknya dengan tiba-tiba menyala lampu yang terang sekali.


"Aku mengerti sekarang!" katanya. "Jika Miss Agawam menjual rumahnya sekarang, ia akan mendapat uang yang banyak sekali. Dan uang itu suatu waktu nanti akan diwarisi oleh Roger. Ia ingin ­agar bibinya menjual rumah ini pada Mr. Jordan – ya, tentu saja! Karena itu ia menyewa kurcaci-kurcaci itu, untuk menakut-nakuti bibinya! Kau ini benar-benar jenius, Jupe!"


"Untuk membuktikannya, kita perlu menangkap paling sedikit satu dari makhluk-makhluk itu dan menyuruhnya mengaku," kata Jupiter.


Diambilnya tali dari kotak perlengkapan, lalu dibelitkannya ke pinggang. Ia mengenakan sepasang sarung tangan kerja dan melemparkan sepasangan lainnya pada Pete. Pesawat kameranya disandangkan ke bahu. Senter mereka gantungkan ke ikat pinggang, supaya tangan mereka bisa tetap bebas.


"Bagaimana kurcaci tadi itu bisa memandang dari balik jendela? Kamar ini letaknya kan di tingkat atas," kala Pete sementara mereka bergegas-gegas.


"Pikirkan sendiri, Pete. Kau perlu berlatih mengambil kesimpulan sederhana," kata Jupiter. "Ayolah. Miss Agawam pasti masih tidur Untunglah! Jangan sampai ia kaget karena kita."


Sambil menyelinap mereka menuruni tangga lalu keluar lewat pintu depan. Tanpa menimbulkan bunyi sedikit pun mereka meninggalkan beranda menuju sudut rumah. Mereka berlutut di situ, lalu mengintip ke samping.


Keempat manusia cilik yang aneh itu masih tetap berbuat gila-gilaan di pekarangan samping. Mereka berjungkir balik dan bermain loncat kodok.


"Nih!" bisik Jupiter sambil menyodorkan ujung tali yang satu pada Pete. Ujung lainnya diikatkan ke pergelangan tangannya. "Kita serbu mereka sekarang, lilitkan tali pada satu dari mereka lalu tarik kencang-kencang. Ayo!"


Kedua remaja itu bergerak maju dengan cepat Tahu-tahu tali gantungan pesawat kamera Jupiter tersangkut ke ranting semak, sehingga alat itu tertarik dan bahunya, Tapi Jupiter tidak berhenti berlari.


Kurcaci-kurcaci itu melihat kedua remaja itu datang memburu. Dengan siulan melengking mereka memencar lalu lari menuju tempat yang lebih gelap lagi dekat dinding tembok.


"Kejar mereka!" seru Jupiter dengan napas tersengal-sengal. "Setidak-tidaknya satu harus bisa kita tangkap!"


"Akan kucoba!" jawab Pete dengan napas memburu. Jari-jarinya sudah hampir saja berhasil menjangkau bahu salah satu makhluk kecil itu. Tapi kurcaci itu mengendap dengan tangkas, sehingga Pete jatuh terjerembab ke tanah. Jupiter langsung ikut terjatuh dan menimpanya. Keduanya bangun lagi. Mereka sempat melihat keempat sosok tubuh kecil itu menghilang ke dalam sebuah lubang gelap di tembok samping gedung bioskop.


"pintu itu terbuka sekarang!" kata Jupiter dengan napas putus-putus.


"Mereka masuk ke dalam. Sekarang kita bisa menyergap mereka!" seru Pete. "Ayo, Jupe!"


Pete langsung lari menuju pintu yang terbuka itu.


­

"Tunggu. Pete!"' seru Jupiter sambil berusaha menahan temannya. "Aku selama ini ­sempat berpikir dan sampai pada kesimpulan-"


Tapi Pete tidak sempat mendengarnya karena sudah memasuki pintu darurat yang terbuka itu. Tali yang satu ujungnya terikat ke pinggang Jupiter dipegangnya erat-erat sehingga temannya itu terseret-seret mengikutinya.


Jupiter ­harus lari secepat-cepatnya agar jangan sampai jatuh terjerembab. Pintu yang terbuka dilewatinya dan ia masuk ke dalam gedung besar yang gelap-gulita.


Begitu keduanya berada di dalam pintu darurat itu tertutup dengan bantingan keras. Mereka terjebak!


Detik berikutnya mereka diserang makhluk-makhluk kecil berkuku tajam!


­Bab II Dikejar-kejar


"Tolong!" seru Pete. "Aku diserang kurcaci!"


"Aku juga!" dengus Jupiter, yang saat itu sibuk berusaha mengelakkan diri dari serangan makhluk-makhluk kecil yang seakan-akan bermunculan dari segala penjuru. "Kita terjebak!"


Jupiter mengayunkan lengannya. Tali masih terikat ke pergelangan tangannya. Sedang ujungnya yang satu lagi masih dipegang oleh Pete. Ayunan itu menyebabkan tali menyambar tengkuk salah satu makhluk kecil itu yang langsung terpental sambil menjerit dengan suara melengking tinggi.


Jupiter sudah bebas kembali. Tapi kurcaci-kurcaci itu pasti akan menyerang lagi. Jupiter mendengar suara Pete mendengus-dengus sambil meronta-ronta di dekatnya. Jupiter meraihkan tangannya. Ia berhasil mencengkeram selembar baju kulit dan langsung menyentakkannya. Makhluk kecil itu diputar-putarnya di udara lalu dilepaskannya dengan tiba-tiba.


Kurcaci itu terbanting dengan keras di lantai. Ia menjerit.


­Dengan bantuan Jupiter. Pete berhasil membebaskan diri dari penyerangnya yang satu lagi. Kedua remaja itu saling merapatkan diri dalam ­ gelap. Napas mereka tersengal-sengal. Jupiter melepaskan tali yang terikat ke pergelangan tangannya, lalu mengantonginya.


"Apa yang kita lakukan sekarang. Jupe?" tanya Pete tersengal-sengal.


"Kita harus mencari pintu yang tadi, lalu berusaha keluar," kata Jupiter. "Letaknya di belakang kita - lewat sini, kalau tidak salah."


Keduanya berjalan mundur, sampai punggung mereka membentur dinding. Jupiter meraba-raba sepanjang dinding. Akhirnya ia menyentuh pegangan pintu besi itu. Ia menggoncang-goncangnya. Tapi pintu itu sedikit pun tidak bergerak. Mereka terkurung di dalam!


"Kita ternyata benar-benar terjebak," kata Jupiter dengan lesu. "Kenapa kau tadi buru-buru masuk Pete? Mestinya kau kan harus menyadari bahwa memang itulah yang mereka kehendaki"


"Kusangka aku sudah berhasil menyergap mereka," kata Pete berterus terang. "Dan karena tali itu kau Ikut terseret. ya?"


"Betul," Jawab Jupiter. "Dan memang itu yang mereka kehendaki. Mereka sengaja memancing kita agar masuk kemari Dan sekarang - itu dengar!"


Dalam gelap terdengar siulan-siulan melengking dari arah kiri dan kanan mereka.


"Mereka bersiap-siap untuk menyerang lagi!" kata Pete dengan gelisah.


"Kita harus keluar dari sini!" kata Jupiter. "Mungkin kita bisa mendobrak keluar lewat bagian depan teater."


"Bagaimana bisa menemukannya dalam keadaan segelap begini?"


"Dengan senter dong! Tadi kita lupa, karena terlalu sibuk itu memang salah satu efek rasa takut - jalan pikiran menjadi kabur,"


Pete menepuk pahanya. Senternya memang masih tergantung di pinggangnya. Dengan segera ia menyalakannya. Seketika itu juga nampak jalur sinar terang merobek kegelapan. Sedetik kemudian senter Jupiter juga sudah dinyalakan.


Sosok-sosok tubuh kecil berpencar lari ketika cahaya terang menyoroti, mereka. Terdengar suara-suara halus berceloteh dalam bahasa yang tak dikenal. Rupanya kurcaci-kurcaci itu kini lebih berhati-hati. Mereka menyadari bahwa Pete dan Jupiter bukan lawan yang dapat dianggap enteng.


Kedua remaja itu berada di bagian belakang panggung dari gedung bioskop itu. Di tempat itu terdapat dekor-dekor yang terbuat dari kanvas yang besar-besar dan berukuran empat persegi. Dekor-dekor disusun berjejer-jejer. peninggalan masa lalu ketika di teater itu masih suka diadakan show dan juga sandiwara sekali-sekali. Sebuah sofa yang tempat duduknya sudah melengkung ke bawah, sebuah jentera pemintal yang sudah usang serta sebuah jenjang juga nampak di situ Kelihatannya ditinggal begitu saja ketika gedung itu ditutup bertahun-tahun yang lalu.


Tiba-tiba terdengar bunyi mengelepak di udara. Sesuatu yang gelap melintas dengan cepat dekat kepala mereka, lalu menghilang.


"Kelelawar!" teriak Pete.


"Itu tak usah kaupedulikan. Kita akan diserang," kata Jupiter. Makhluk-makhluk kecil yang tadi sudah mulai bergerak mendekat lagi, sekarang dengan bersenjatakan pentungan kayu. "Kemana kita?"


"Ke sini. Ikut aku!"


Pete langsung lari. Ia paling ahli mencari jalan, juga di lingkungan yang asing baginya. Ia memiliki naluri yang tajam sekali untuk menemukan arah yang benar. Seakan-akan di kepalanya adalah kompas!


Pete lari di sela dua jajaran dekor yang ditumpukkan dalam keadaan berdiri. Jupiter menyusul sambil menendang jenjang kayu hingga terguling.


Dari teriakan-teriakan melengking yang segera terdengar, diketahuinya bahwa para pengejar tersandung jenjang itu. Tapi saat berikutnya Pete berhenti lari dengan tiba-tiba, sehingga Jupiter menubruknya dari belakang. Ternyata di ujung lorong sempit itu dua makhluk kecil sudah menunggu dengan pentungan teracung.


"Kita terkepung," kata Pete ia menelan liur karena kaget "Mereka ada di belakang dan di depan kita."


­"Kalau begitu kita harus lari ke samping," kata Jupiter. "Kita tembus saja kanvas ini."


Sambil berkata begitu ia menendang. Kain kanvas yang sudah lapuk itu langsung robek. Pete dan Jupiter menerobos masuk ke dalam lubang yang terjadi. Dengan kepala ditundukkan, mereka menembus dekor-dekor selanjutnya, meninggalkan kanvas yang robek-robek di belakang mereka.


Dengan segera mereka sudah berhasil meninggalkan para pengejar yang kebingungan di tengah kain kanvas yang robek-robek itu. Pete dan Jupiter terus berlari. Akhirnya mereka muncul di atas panggung yang berlantai ­kayu.


Mereka menyorotkan sinar senter mereka ke arah depan. Di kejauhan, di belakang kursi-kursi kosong berdebu yang berderet-deret nampak sejumlah pintu. Mungkin lewat Situ mereka akan bisa keluar itu pun jika mereka berhasil mendobrak rintangan berupa papan-papan yang dipakukan ke pintu-pintu luar.


Sementara mereka sedang menilai keadaan yang dihadapi dari arah belakang terdengar bunyi langkah-langkah ringan mendekat. Pete mengayunkan senternya, sehingga sinarnya memancar ke belakang. Ternyata kurcaci itu datang menghampiri dengan mengendap-ngendap.


"Lari!" seru Pete. "Lewat gang sebelah tengah!"


Sambil berkata begitu ia lari menuju jenjang yang mengarah ke lantai utama teater itu. Tepat pada saat itu lampu-lampu di atas menyala semua. Rupanya ada yang menekan sakelar utama.


Lampu hias besar memancarkan cahaya remang. karena kacanya yang merah dan hijau diselubungi debu bertahun-tahun. Sementara lari menyusul Pete yang sudah menuruni jenjang, Jupiter melihat dua makhluk kecil datang mengejarnya. Satu di antaranya meraih tali yang terjulur dari langit-langit panggung. Dengan gaya akrobat makhluk kecil itu melayang sambil bergantung pada tali, lalu menjatuhkan diri - tepat menimpa bahu Jupiter. Anak itu terjerembab jatuh. Senternya terlempar dari tangannya. Jupiter berjuang sekuat tenaga, berusaha membebaskan diri dari kurcaci yang kini bertengger di bahunya.


Pete kembali untuk membantu Jupiter. Dipeluknya pinggang kurcaci dan disentakkannya sehingga terangkat dari bahu Jupiter. Makhluk kecil itu disungsangkannya di antara dua deretan kursi paling depan. Kurcaci itu tersangkut di situ. Ia menjerit-jerit minta tolong.


Kawan-kawannya berhenti mengejar sebentar, untuk membantu teman yang terjepit di antara kursi-kursi itu, Jupiter dan Pete tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Mereka cepat-cepat lari menyusur gang sebelah tengah menuju ke serambi depan.


Dengan sekuat tenaga mereka menghantamkan bahu ke daun pintu utama yang besar. Tapi pintu itu sedikit pun tidak bergerak.


"Pintu ini sebelah luarnya ditutup dengan papan-papan yang dipakukan," kata Pete dengan napas putus-putus. "Kita harus mencari jalan lain lewat jendela misalnya. Yuk, Jupe!"


Pete lari menyusur sebuah lorong samping, lalu menaiki tangga yang gelap. Dengan diterangi sinar senter Pete sebagai satu-satunya sumber cahaya mereka melewati tangga itu, lalu satu tangga lagi.


Mereka berhenti sebentar untuk mengatur napas. Pete memadamkan senternya. lalu keduanya mengintip lewat sela-sela tirai beledu yang sudah lapuk.


Ternyata mereka telah naik sampai ke tingkat balkon. Jauh di bawah nampak empat sosok tubuh kecil-kecil berkerumun. Tampaknya kurcaci-kurcaci itu sedang berunding.


Sementara kedua remaja itu masih mengintip sesosok tubuh lain nampak menuruni tangga panggung. menuju ke tempat penonton. Yang datang itu manusia biasa yang berbadan kekar.


Biar pun redup, tapi penerangan lampu masih cukup untuk bisa mengenali wajah orang yang baru datang itu.


"Itu kan Rawley!" kata Pete kaget. "Ia bekerja sama dengan mereka!"


"Ya," Suara Jupiter terdengar lesu. "Aku telah melakukan kekeliruan besar, Pete. Tapi sekarang tidak ada waktu untuk membicarakannya. Ssst!"


"Hei Kate!" Rawley berteriak pada keempat kurcaci itu. "Ayo berpencar - cari anak-anak itu. Kita harus berhasil meringkus mereka. Mengerti? Mereka tidak mungkin minggat - karena semua pintu terpaku rapat!"


­Keempat manusia kecil yang di bawah dengan segera berpencar ke segala arah.


"Saat ini mereka kehilangan jejak kita," kata Jupiter. "Jika kita bisa menemukan tempat bersembunyi, suatu saat nanti Miss Agawam pasti kan terbangun. lalu -"


"Wah, betul juga! Begitu menyadari bahwa kita hilang ia pasti akan memanggil polisi. Dan polisi akan mencari kita ke sini," kata Pete. Semangatnya bangkit kembali.


"Polisi pasti akan menemukan kameraku yang tersangkut ke semak di luar," kata Jupiter. "Mereka akan menarik foto yang sudah jadi, lantas dengan segera tahu bahwa ada sesuatu yang aneh di sini. Jika kita bisa bersembunyi terus sampai Miss Agawam melaporkan hilangnya kita, kita pasti selamat"


"Kalau begitu cepat-cepat saja kita cari tempat bersembunyi!" kata. Pete. "Aku mendengar suara-suara naik di tangga."


­Bab 12 Pete Berusaha Lari


­Miss Agawam terbangun karena merasa seperti mendengar bunyi orang sedang menggali. Ia berbaring tanpa bergerak di tempat tidurnya sesaat. Ya, betul - memang ada yang sedang menggali. Bunyinya seperti datang dari dalam tanah. jauh di bawah rumahnya. Rupanya kurcaci-kurcaci sudah mulai sibuk lagi. Apakah kedua remaja itu juga mendengarnya? Mereka benar-benar baik hati menawarkan diri untuk menemaninya. Dari kamar mereka tidak terdengar suara apa-apa. Mungkin mereka belum bangun. Barangkali mereka tidur terus, walau jam weker sudah berdering membangunkan.


"Anak-anak!" panggil Miss Agawam. "Jupiter! Pete!"


Tidak terdengar jawaban. Terpaksa mereka harus dibangunkan supaya juga bisa mendengar kesibukan kurcaci-kurcaci itu.


Miss Agawam turun dari tempat tidurnya, lalu mengenakan mantel kamar yang tebal. Ia bergegas menuju ke pintu kamar di mana kedua remaja itu tidur.


­"Anak-anak'" panggilnya sekali lagi. Tapi masih tetap tidak ada yang menjawab. Miss Agawam membuka pintu, lalu menekan tombol lampu. Napas wanita tua itu tersentak, ketika cahaya lampu menerangi ruangan sebelah dalam.


Tempat tidur kedua remaja itu kosong!


Miss Agawam memandang berkeliling dengan hati berdebar-debar. Piyama Jupiter dan juga Pete masih terlipat rapi di atas kursi. Kotak kulit yang mereka bawa juga ada di situ.


Miss Agawam langsung mengambil kesimpulan bahwa Pete dan Jupiter mendengar kurcaci-kurcaci itu lalu lari pulang karena ketakutan. Mereka meninggalkannya seorang diri di situ.


"Aduh - apa yang harus kulakukan sekarang?" bisik Miss Agawam pada dirinya sendiri.


Ia tidak tahan berada lebih lama lagi di rumah itu. Ia merasa tidak mampu lagi setelah anak-anak yang hebat seperti Jupiter Jones dan Pete Crenshaw pun begitu ketakutan, sehingga minggat tanpa permisi lagi.


Lebih baik ia pergi ke apartemen keponakannya. Roger sudah menawarkan tempat itu. Ia boleh datang kapan saja ia mau.


Miss Agawam turun ke tingkat bawah untuk menelepon. Jari-jarinya begitu gemetar, sehingga tiga kali ia harus memutar nomor-nomor sebelum berhasil. Begitu terdengar suara Roger, wanita tua itu langsung berkata sambil terbata-bata, "Kurcaci-kurcaci itu muncul lagi. Aku bisa mendengar mereka dengan jelas sekali. Roger, aku tak tahan lebih lama lagi di tempat ini. Aku ingin ke tempatmu malam ini juga. Besok - ya, besok akan kujual rumah ini pada Mr. Jordan!"


"Bibiku sayang," kata Roger, "aku memang berpendapat bahwa sebaiknya kaujual saja rumahmu itu. Tapi kita masih bisa bicara mengenainya besok. Sekarang cepatlah berpakaian dan kemaskan sebuah koper kecil. Sekarang ini juga aku akan datang menjemputmu dengan mobilku. Sepuluh menit lagi aku akan sudah ada di sana."


"Baiklah, Roger. Saat itu aku pasti sudah siap," kata Miss Agawam. Ia pun mulai berpakaian.


Perasaannya saat itu sudah lebih enak. walau hatinya masih tetap berdebar-debar. Kegelisahannya itu belum lenyap sampai saat ia sudah meninggalkan rumah dan berada dalam mobil Roger. Miss Agawam bahkan sama sekali tidak memeriksa pintu, apakah sudah terkunci atau belum.


Sementara itu kegelisahan Pete dan Jupiter semakin memuncak.


Mereka masih sibuk mencari tempat persembunyian di bagian atas gedung bioskop. Senter hanya dinyalakan kalau benar-benar perlu saja. Umumnya mereka bergerak sambil meraba-raba sepanjang gang-gang gelap yang berbau usang dan pengap.


Sekali-sekali mereka mendengar suara-suara para pengejar di belakang. Suara Rawley yang membentak-bentak kedengarannya makin lama makin mendekat


­Kedua remaja itu sampai di sebuah pintu lalu mendorongnya sehingga terbuka. Jupiter menyorotkan senternya berkeliling. Dua buah proyektor film berbentuk kuno nampak di tengah-tengah sebuah ruangan sempit yang berdebu.


"Ini ruang proyeksi," kata Pete dengan napas putus-putus. "Di sini saja kita bersembunyi,"


"Terlalu gampang ditemukan," Jupiter mulai nampak khawatir. "Kita harus mencari tempat lain. Jika Miss Agawam tidak cepat-cepat bangun dan memanggil polisi mungkin bisa gawat keadaan kita nanti!"


"Mungkin? Nanti?" kata Pete. "Sekarang pun sudah gawat! Cuma akan bertambah parah, jika Miss Agawam tidak segera bangun dan melihat kita sudah tidak ada lagi,"


"Kita harus terus," kata Jupiter.


Mereka keluar lagi, lalu menyusur gang dan kemudian mendaki sebuah tangga lagi. Tangga itu berujung di sebuah landasan sempit Pada satu sisinya ada pintu yang tertutup. Di pintu itu terpasang tulisan yang berbunyi ‘Menara. Dilarang masuk!’"


"Kita coba saja membukanya," kata Jupiter. "Aku punya akal"


Pintu itu sudah berkarat. Tapi rupanya tidak dikunci, karena setelah didorong kuat-kuat, ternyata terbuka juga. Di belakangnya terdapat tangga yang sempit dan terjal menuju ke atas. Pintu mereka tutup kembali. Mereka agak menyesal karena tidak bisa dikunci. Kemudian mereka mulai mendaki tangga yang sangat terjal itu.


Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di atas. Mereka berada di puncak menara kecil yang berbentuk persegi empat. Keempat sisinya terbuka. Menara itu ternyata menjulang tinggi di atas jalanan. Di bawah semuanya gelap dan lengang. Yang nampak hanya cahaya remang lampu jalanan saja.


"Nah. kita ternyata berhasil mencapai menara," kata Pete. "Kita tidak bisa ke mana-mana dari sini. Menurut pendapatku, sekarang kita benar-benar terjebak!"


"Tapi setidak-tidaknya. kita tidak terkurung," kata Jupiter. "Di bawah itu jalan di mana kita akan aman. Sekarang kita tinggal turun ke sana. Jaraknya cuma sekitar dua puluh lima meter."


"Cuma dua puluh lima meter - tapi lurus ke bawah!" Pete tertawa hambar.


"Kita kan punya tali," Jupiter mengeluarkan gulungan tali dan kantongnya. "Tali ini panjangnya tiga puluh meter lebih. Dan kuat sekali! Beban dua kali lipat berat tubuhmu pun masih belum apa-apa."


"Kenapa dua kali lipat tubuhku?" bantah Pete. "Kenapa bukan tubuhmu?"


"Karena aku bukan ahli dalam soal panjat-memanjat. Kalau kau, ya!" kata Jupiter. "Kita ikatkan tali ini pada tiang sudut ini,lalu kau merosot turun ke jalan dan langsung lari ke tempat polisi. Kita tidak bisa menunggu sampai Miss Agawam bangun dulu. Para pengejar kita sudah semakin dekat"


Pete merentangkan tali itu dengan kedua tangannya.


"Terlalu tipis, dan terlalu licin," katanya. "Aku takkan mungkin bisa berpegangan pada tali ini. Telapak tanganku pasti luka teriris nanti."


"Kau kan memakai sarung tangan yang telapaknya dari kulit," kata Jupiter. "Dengannya, kau pasti bisa. Kaubelitkan tali sekeliling kedua tanganmu, lalu kauulur pelan-pelan sambil meluncur turun."


Pete mencoba saran Jupiter. Ternyata dengan sarung tangan itu ia memang bisa memegang dengan teguh. Akhirnya ia mengangguk.


"Baiklah, aku akan melakukannya," katanya. "Tapi ada satu hal Ingin kuketahui."


"Apa?" tanya Jupiter, yang sibuk mengikatkan satu ujung tali ke tiang pojok menara.


"Kita menjumpai kurcaci sungguhan, kan?"


"Manusia kerdil yang sungguhan, ya!" kata Jupiter. "Tapi aku keliru ketika mengatakan bahwa tujuan utama mereka menakut-nakuti Miss Agawam, agar ia mau menjual rumahnya. Ternyata mereka itu memang benar-benar menggali untuk mengambil harta. Aku benar-benar goblok tidak menyadarinya dari semula."


"Menyadarinya?n kata Pete. "Mana mungkin? Maksudku, kenapa justru di bawah rumah Miss Agawam dilakukan penggalian untuk mencari harta."


­"Bukan begitu maksudku. "Mereka menggali itu sebenarnya bukan di bawah rumah Miss Agawam," cara Jupiter berbicara seolah-olah ia berpendapat bahwa seharusnya Pete sendiri sudah bisa memikirkannya. "Di mana terdapat harta yang paling dekat dari sini?"


"Yah - kurasa di salah satu tempat, di gunungan tentunya,"


"Kau tidak memakai otakmu. Harta terdekat ada di dalam bank, di sisi lain pekarangan rumah Miss Agawam."


"Dalam bank?" Pete menatap Jupiter dengan heran. "Apa maksudmu?"


"Sebaiknya kau cepat-cepat saja turun. Nanti kita terlanjur ketahuan," kata Jupiter dengan nada tidak sabar. "Meluncurlah secepat mungkin. Tapi Jangan terlalu nekat."


"Jangan khawatir," kata Pete, lalu mulai menuruni sisi menara langsing itu. Ia memakai teknik pendaki gunung. Sementara kedua tangannya memegang tali erat-erat. kedua kakinya ditumpukan ke sisi menara dengan rubuh dicondongkan. Kemudian la berjalan turun selangkah demi selangkah. sementara tali di tangannya diulurkan pelan-pelan.


Ditahannya agar tidak memandang ke bawah ke arah trotoar yang gelap di bawahnya. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada gerak kakinya yang menapak dengan lambat pada permukaan dinding yang kasar. ­Ia semakin menurun, setapak demi setapak.


Ketika sudah setengah jalan ke bawah, didengarnya suara-suara berteriak di atas. Didengarnya teriakan Jupiter serta dengusan seseorang. Sesudah itu, sepi. Jantung Pete berdetak keras. Jangan-jangan Jupiter sudah ketahuan oleh para pengejarnya! Kalau begitu ia harus buru-buru turun. Ia -


Tiba-tiba tali yang dipegangnya tergetar keras sehingga nyaris saja terlepas dari tangannya. Saat itu terdengar suara Rawley yang berat berseru dari atas.


"He _ kau yang di bawah itu! He!"


Pete kaget Tali bergoyang-goyang lagi. Pete berpegang kuat-kuat agar tidak jatuh.


"Y-ya?" kata Pete gugup. "Aku ada di sini."


"Ayo, kembali ke atas."


"Aku mau turun," kata Pete nekat


"Kalau nekat ingin turun, nanti kutolong," gertak Rawley. "Kuputuskan tali ini, jika kau tidak mau kembali."


Pete memandang ke bawah. Jarak dari tempatnya saat itu masih sekitar sepuluh meter lagi. Jika di bawah itu rumput tebal. mungkin ia akan memberanikan diri untuk meloncat. Tapi trotoar dari semen! Pete sadar kalau cuma patah kaki saja ia sudah boleh mengucap syukur.


"Baiklah!" kata laki-laki yang di atas menara itu lagi. "Aku akan menghitung sampai tiga. Sesudah itu, tali ini akan kuputuskan."


­"Tunggu, tunggul," kata Pete berteriak. "Aku naik. Beri aku kesempatan untuk melibatkan tali ini dulu ke tanganku. licin sekali sih, sehingga aku merosot terus."


"Baiklah! Tapi jangan coba-coba menipu."


Sebetulnya Pete baru saja mendapat akal. Mungkin saja tidak ada gunanya tapi hanya itu saja yang terpikir olehnya saat itu. Sambil bergelantung dengan tangan kirinya. ia melepaskan sarung tangan dari tangan kanannya dengan gigi. Setelah itu ia merogoh kantong, mengambil kapurnya yang berwarna biru.


Dengan cepat dibuatnya tanda tanya yang besarnya sekitar satu meter pada permukaan dinding teater yang berwarna putih kusam. Begitu selesai dengannya, kapur dijatuhkan dan dipakainya kembali sarung tangannya.


"Ayo!" Suara di atas kepalanya terdengar sudah tidak sabar lagi. "Kau naik sekarang - atau kau terbanting ke bawah!"


"Aku naik! Aku naik!"


Dengan cepat Pete bergerak, memanjat ke atas lagi. Ketika sudah sampai setinggi lubang dalam menara, beberapa tangan kekar terjulur ke luar dan menariknya masuk.


Ternyata di situ ada tiga orang laki-laki bersama Jupiter. Dua di antaranya memegang temannya itu erat-erat Jupiter kelihatan takut bercampur marah dan jengkel. Pete bisa membayangkan perasaan temannya itu karena ia juga merasa begitu.


­Tapi ada apa sebetulnya? Mula-mula para kurcaci, lalu ketiga orang ini -


Pete hendak mengajukan pertanyaan, tapi tidak sempat karena didorong maju oleh Rawley.


"Ayo jalan," kata laki-laki itu. "Chuck, Driller - giring anak-anak ini masuk ke kolong. Kita harus bekerja kembali. Mereka boleh menonton kita."


Ketiga laki-laki itu mendorong-dorong Pete dan Jupiter menuruni tangga sempit lalu menyusul sejumlah jenjang lagi. Akhirnya mereka tiba di sebuah ruang kolong yang luas dan berdinding beton. Di kolong itu terdapat sepasang ketel besar yang sudah karatan. Menurut perkiraan Pete, ketel-ketel itu dulu dipergunakan untuk sistem pemanasan ruang teater.


Pada satu dinding kolong itu ada beberapa pintu yang tertutup. Masing-masing pintu itu ada tulisannya yang sudah memudar. Bunyinya, "Gudang Arang I", "Gudang Arang II" dan "Gudang Arang IIII"


Rawley membuka pintu Gudang Arang I, lalu mendorong kedua remaja itu ke dalam, Pete terdengus karena kaget. Keempat manusia kate yang mengejar-ngejar mereka tadi duduk di pojok seberang ruangan itu. Mereka sedang asyik main kartu. Ketika Pete dan Jupiter didorong masuk, keempat-empatnya hanya melihat sebentar lalu meneruskan kesibukan mereka lagi.


Mereka tidak begitu menaruh perhatian lagi pada kedua remaja itu. Beberapa buah gerobak sorong beroda satu, begitu pula beberapa pangkur, sekop serta lentera listrik yang besar-besar berserakan di lantai. Tapi yang paling menyebabkan Pete kaget adalah sebuah lubang di dinding beton, yang mestinya merupakan pondasi teater itu. Di balik lubang itu menganga sebuah lorong panjang yang gelap.


Pete mereka-reka dengan cepat. Lorong bawah tanah itu kelihatannya mengarah ke rumah Miss Agawam. Tidak - lebih tepat kalau dikatakan melintas di bawah rumah Miss Agawam, menuju salah satu tempat yang lebih jauh lagi. Saat itu akhirnya Pete menyadari maksud Jupiter, ketika temannya itu mengatakan bahwa harta terdekat ada di dalam bank. Ketiga laki-laki itu rupanya perampok bank yang bekerja dengan dibantu makhluk-makhluk kecil yang aneh itu. Tanpa sengaja, ia dan Jupiter masuk ke tengah-tengah persiapan perampokan bank yang sangat berani!


­Bab 13 Rencana Jahat


­Pete dan Jupiter duduk di atas setumpuk karung goni. sambil bersandar ke dinding beton. Tangan dan kaki mereka terikat. Tapi mereka masih bisa bercakap-cakap. Hanya saat itu Jupiter tidak begitu kepingin bicara.


Pete melihat bahwa temannya itu sedang jengkel pada dirinya sendiri, karena tidak dari semula sudah menduga apa yang sedang terjadi. Tapi siapalah yang bisa menyangka akan berjumpa dengan penjahat-penjahat yang hendak membongkar sebuah bank, apabila saat itu yang dicari cuma beberapa kurcaci yang dilaporkan oleh seorang wanita tua, yang mungkin hanya melihat mereka dalam angan-angannya saja?


Sambil duduk di situ Pete sibuk berpikir, mengusut duduk perkaranya.


Para penjahat itu kelihatannya dipimpin oleh Rawley. Ialah yang mengepalai laki-laki yang dua lagi. Yang pendek gempal bernama Chuck. sedang yang kurus tapi liat julukannya Driller. Driller berkumis tipis dan gigi depannya satu dari emas. Ia memandang Pete dan Jupiter dengan sikap menakutkan.


"Jupe," bisik Pete. "Rawley itu sebetulnya perampok bank. kan? Ia melamar pekerjaan sebagai penjaga malam di sini supaya mendapat kesempatan untuk merampok Bank Dagang."


"Tepat," jawab Jupiter dengan suara lirih. "Aku seharusnya sudah dari semula menduga kemungkinan yang begini. Aku sudah mengetahui dua kenyataan penting. Sebuah bank di pojok jalan - dan ada orang menggali di dekatnya. Mestinya dengan kedua fakta itu. aku sudah bisa menarik kesimpulan tepat. Tapi tidak! Pikiran ku malah melantur ke kurcaci segala."


"Bahkan Sherlock Holmes pun mungkin tidak terpikir ke situ," kata Pete untuk menghibur hati temannya. "Kurcaci-kurcaci itu benar-benar menyebabkan kemungkinan adanya perampokan bank sampai tak terpikir oleh kita. Tapi ada satu hal yang tidak ku mengerti, Jupe! Apa sebabnya para kurcaci hanya duduk-duduk saja dan tidak ikut membantu?"


"Karena mereka bukan benar-benar termasuk kawanan penjahat," gumam Jupiter. Nada suaranya masih tetap terdengar lesu. "Rupanya mereka disewa untuk menakut-nakuti Miss Agawam supaya tidak ada yang sampai berbicara secara serius mengenai bunyi galian."


"Ah - kurasa aku sudah mengerti sekarang," kata Pete setelah berpikir-pikir sebentar. "Tapi bagaimana caranya Rawley mendapatkan kurcaci-kurcaci itu? Apakah mereka datang dari Hutan Hitam di Jerman Selatan?"


"Pete," kata Jupiter sambil mengeluh. "aku kecewa melihatmu. Kurcaci-kurcaci ini seumur hidup mereka belum pernah melihat Hutan Hitam. Mereka langsung muncul dari buku cerita kanak-kanak yang dulu banyak dikarang oleh Miss Agawam. Aku sudah langsung menarik kesimpulan itu, begitu aku melihat mereka tadi di pekarangan."


Jupiter kelihatannya mengharapkan bahwa Pete bisa memahaminya. Karena itu Pete lantas sibuk berpikir mengenainya. Kurcaci-kurcaci itu berasal dari buku-buku Miss Agawam? Mungkin kalimat itu gampang dimengerti bagi Jupiter. Tapi bagi Pete, kedengarannya seperti teka-teki yang tak terpecahkan.


Sementara itu persiapan untuk merampok bank diteruskan. Ketiga penjahat sibuk menggali di ujung lorong dan mengangkut tanah galian keluar dengan gerobak-gerobak sorong. Tanah itu ditumpahkan di luar lorong - mungkin di salah satu gudang arang yang sudah tidak dipakai lagi. Setelah itu mereka kembali lagi ke tempat penggalian.


"Tinggal tiga meter lagi, Driller!" Pete mendengar Chuck berkata begitu ketika kedua laki-laki itu lewat di depannya.


"Setelah itu aku bisa mulai beraksi dengan peralatanku," sambut Driller. Orang itu menggosok-gosokkan kedua belah tangannya dengan sikap senang. "Dinding brankas yang dan beton itu akan kubor, seperti dokter gigi mengebor gigi yang sakit."


Ketiga penjahat itu bekerja terus. memperpanjang lorong sampai tinggal sedikit lagi jaraknya dari dinding brankas. Sementara itu orang-orang kerdil yang berempat itu sekarang bersantai-santai, karena tugas mereka sudah selesai.


Kemudian timbul lagi pertanyaan lain dalam ingatan Pete. Ia berpaling pada Jupiter.


"Jupe -" katanya. Tapi pertanyaan itu tidak jadi diajukan. karena dilihatnya Jupiter sudah terbujur di atas karung-karung goni. Temannya itu sudah terlelap!


Nyaris saja Pete membangunkannya. Mana mungkin Penyelidik Satu Trio Detektif pada saat seperti itu malah tidur! Otaknya sangat diperlukan untuk mencari jalan keluar dari kesulitan yang sedang dihadapi.


Kemudian Pete sadar bahwa malam masih panjang. Sedang mereka berdua perlu menyimpan tenaga guna menghadapi saat kritis apabila bank sudah dirampok dan para penjahat hendak minggat. Jadi Jupiter ternyata telah mengambil keputusan yang paling baik. Ia tidur!


Baru memikirkan hal itu saja telah membuat Pete merasa mengantuk. Bagaimanapun, hari sudah larut malam. Dan karena tidak ada hal lain yang masih bisa dilakukannya.


Pete tertidur.


Ia tidak tahu berapa lama la tidur. Tapi ketika ­bangun kembali, ia merasa sudah cukup beristirahat. Badannya terasa pegal, sedang pergelangan tangan dan kakinya sakit pada bagian yang terikat. Tapi pikirannya sudah siap untuk bekerja lagi. Saat itu ia mendengar suara-suara di dekatnya.


Pete beringsut-ingsut memutar tubuh. Dilihatnya Jupiter sudah duduk sambil memegang sebuah mangkuk berisi sup dengan kedua tangannya yang terikat. Di sampingnya duduk laki-laki yang bernama Rawley. Orang itu duduk di atas peti. Ia kelihatannya sedang merasa senang. Penggalian rupanya sudah dihentikan Para kurcaci duduk berkumpul di suatu pojok sambil makan sandwich. Baik Chuck maupun Driller tidak nampak di situ Kemudian Pete melihat kabel listrik terjulur masuk ke dalam lorong. Samar-samar didengarnya bunyi menggeretak Mestinya itu Driller yang sedang mengebor dinding brankas di bank yang terbuat dari beton.


Jupiter melihat Pete sudah bangun lalu menyapa.


"Selamat pagi. Pete. Mudah-mudahan tidurmu enak tadi."


"Tentu, sedap sekali," kata Pete menggerutu. Ia berusaha menggeliat. untuk melenturkan punggung yang terasa kaku. "Kasurnya di sini hebat. Tidak ada yang bisa mengalahkan."


Rawley mendongakkan kepalanya sambil tertawa keras.


"Kalian ini benar-benar kocak'" katanya. "Aku mulanya sangat kesal pada kalian karena mencampuri urusan ku. Tapi yang sudah itu sudahlah, karena kalian sudah kuamankan di sini di mana kalian tidak bisa merepotkan lagi."


"Kau memang berhasil menipu kami," kata Jupiter pada orang itu. "Ketika aku melihat kurcaci-kurcacimu bermain-main di pekarangan, aku menyangka Roger Agawam yang menyewa mereka untuk menakut-nakuti bibinya. Kemudian, ketika aku menyadari bahwa mereka dengan sengaja memancing kami supaya masuk ke gedung tua ini, akhirnya aku tahu apa sebetulnya yang sedang terjadi di sini:.


"Memang," kata Rawley. "Jika kalian tidak lebih mujur sedikit saja kalian tentu sudah berhasil menggerakkan polisi untuk menyergap kami sekarang."


Ia berpaling pada Pete.


"Temanmu ini cerdas sekali," katanya. "walau tampangnya hampir selalu nampak goblok. Tapi itu malah bagus, karena banyak gunanya dalam bisnis ini. Orang takkan merasa curiga padanya. Kalau ia mau ikut dengan aku, nanti dia akan kulatih. Dalam waktu sepuluh tahun lagi, ia akan menjadi penjahat yang paling pintar di daerah sini."


"Terima kasih tapi lebih baik tidak," kata Jupiter dengan sopan. "Hidup bergelimang kejahatan berarti menantang mara bahaya dan akan berakhir dalam bencana."


"Wow!" kata Rawley. "Bukan main, gayanya! Kau sebetulnya saat ini juga bisa bekerja dengan otak yang paling pintar di negeri ini. Yang penting adalah untuk menyiapkan segala rancangan dengan cermat seperti yang kulakukan pada aksi ini. Nanti seumur hidupku aku akan hidup seperti orang kaya raya. dan kau – yah, karena kau tidak mau menggabungkan diri dengan aku, lebih baik tidak kukatakan saja di mana kau akan berada."


Bulu tengkuk Pete merinding mendengar kata-kata Rawley yang terakhir itu.


"Pete sebenarnya ingin sekali menanyakan berbagai hal," kata Jupiter dengan cepat. "Kenapa tidak kauceritakan saja padanya bagaimana kau sampai merencanakan perampokan ini?"


"Boleh saja, kenapa tidak," kata Rawley. "Nih makan sup dulu."


Rawley mengambil mangkuk aluminium yang tadi dipakai Jupiter. Diisinya dengan sup panas dan botol termos. lalu disodorkannya pada Pete.


"Ceritanya begini," kata Rawtey. "Aku lahir dan dibesarkan di blok yang bersebelahan dengan bioskop ini. Empat puluh tahun yang lalu, aku ini salah satu kurcaci Miss Agawam."


Orang itu tertawa geli.


"Bayangkan - aku sebagai kurcaci!" katanya. "Tapi begitulah kami dinamakan olehnya. Sekali seminggu ia mengadakan pesta untuk semua anak-anak yang tinggal di daerah sini. Kami disuguhi es krim dan kue-kue, serta dibacakan cerita-cerita dari salah satu bukunya."


Rawley melanjutkan ceritanya. Ketika ia masih anak-anak. ayahnya yang dulu bekerja sebagai buruh konstruksi ikut membangun gedung bioskop itu, serta gedung Bank Dagang.


Pada suatu hari secara sambil lalu ayahnya bercerita tentang ruangan besar di bawah lantai dasar bank di mana disimpan uang dan barang-barang berharga. Ruangan itu berpintu tebal yang terbuat dari besi. Tapi dindingnya sama sekali bukan dari besi - melainkan hanya dari beton. Sama sekali tidak diperkokoh karena ruangan itu letaknya terlalu jauh di bawah tanah, hingga dianggap tidak mungkin ada perampok bisa sampai ke situ.


"Tapi aku," kata Rawley, "selama bertahun-tahun ini aku selalu memikirkan kata-kata ayahku itu. Aku mengambil kesimpulan bahwa jika ada yang mulai menggali dari kamar bawah tanah di rumah Miss Agawam, dari situ akan bisa dicapai bagian luar ruangan bank yang di bawah tanah. Lalu dinding betonnya ditembus dengan alat pembor.


Tapi Miss Agawam ternyata tidak mau pindah. Lalu aku mendapat akal baru ketika gedung bioskop ditutup. Menurutku penggalian bisa dimulai dari gedung ini. melintas di bawah rumah Miss Agawam dan akhirnya mencapai kamar harta bank. itu bisa dilakukan dengan sedikit lebih repot daripada rencana semula.


"Tapi kemudian aku berurusan dengan polisi dan dipenjarakan. Begitu aku sudah lepas lagi aku langsung melaksanakan rencanaku. Aku mengumpulkan tenaga-tenaga yang kuperlukan. ­Setelah itu aku harus berusaha agar bisa masuk ke gedung ini. Dua penjaga malam sebelum aku kutakut-takuti dengan bunyi-bunyi aneh, sampai mereka minta berhenti. Akhirnya Mr. Jordan mengambil aku sebagai penjaga malam. Aku sudah siap untuk beraksi."


Rawley bercerita bagaimana ia bersama Driller dan Chuck mengebor dinding pondasi gedung yang terbuat dari beton lalu mulai mengeduk terowongan menembus tanah, langsung di bawah rumah Miss Agawam. Tanah galian ditimbun dalam gudang-gudang arang yang kosong. Dengan begitu apabila pemilik gedung yang baru, Mr. Jordan memeriksa, ia takkan menemukan sesuatu yang mencurigakan.


"Jadi dia tidak ikut dalam rencana ini?" tanya Jupiter. "Kusangka ia terlibat."


"Tidak. Aku menipu dia, seperti yang kulakukan dengan semua orang. Misalnya saja Miss Agdwam. Aku tahu, jika ia mendengar suara galian. ia pasti akan melaporkannya pada polisi. Tapi Miss Agawam ada keanehannya. Ia percaya bahwa kurcaci benar-benar ada. Karenanya aku mengumpulkan beberapa kurcaci yang kemudian kusuruh menyelinap malam-malam masuk ke rumah wanita tua itu lalu mengacak-acak buku dan barang-barang lainnya di sana. Mereka kusuruh berpakaian supaya persis dengan gambar-gambar yang ada dalam salah satu bukunya.


"Aku sebetulnya mengharapkan ia akan ketakutan, lalu pindah dari sini. Tapi jika ia melapor pada ­polisi bahwa ada kurcaci mengganggunya dan mereka itu menggali di bawah rumahnya, pasti ia akan langsung diangkut ke rumah sakit jiwa Apa pun yang terjadi aku sama sekali tidak usah merasa khawatir."


Rawley tertawa terbahak-bahak.


"Ternyala ia memang ketakutan, tapi lalu menghubungi kalian," katanya melanjutkan. "Kalian bagiku lebih merepotkan. Untung saja kami berhasil meringkus kalian sebelum terlambat"


"Tapi bagaimana jika Roger, itu keponakan Miss Agawam, bagaimana jika ia mempercayai cerita bibinya?n tanya Jupiter. "Coba jika ia tinggal di rumah itu malam-malam, lalu ikut mendengar bunyi galian! Ada kemungkinannya polisi mau percaya, jika ia yang melapor."


Rawley mengedipkan mata ke arah Jupiter dengan gerakan yang pelan sekali.


"Tadi kan sudah kukatakan, semuanya kutipu. Aku mendapat pekerjaan di sini dari Jordan. Aku juga menipu Miss Agawam. Nah, kalau dengan Roger, dia kuatur."


"Dia kauatur?" kata Pete dengan heran.


"Betul! Aku mengatakan padanya bahwa aku ditugaskan oleh Jordan untuk membuat bibinya merasa agak gugup, sehingga mau menjual rumah miliknya. Kukatakan padanya bahwa aku tidak bermaksud mengapa-apakan bibinya - hanya akan membuatnya melihat beberapa kurcaci dan mendengar bunyi galian. Dengan begitu besar kemungkinannya ia akan mau cepat-cepat menjual miliknya pada Jordan.


"Roger memang menginginkan agar bibinya menjual miliknya sementara masih ada yang mau. Karenanya ia langsung setuju, asal aku mau berjanji takkan menyakitinya. Jadi tentu saja ketika Miss Agawam bercerita tentang melihat kurcaci dan mendengar suara galian, Roger bersikap pura-pura tidak percaya."


Rawley nampaknya puas dengan dirinya sendiri.


"Wah. Jupe!" kata Pete. "Rupanya kau benar juga, setidak-tidaknya tentang Roger. Ia ternyata dari semula memang sudah terlibat."


"Kau berhasil mengetahuinya?" tanya Rawley pada Jupiter. "Wah, kau ternyata bahkan lebih pintar daripada kataku tadi. Ikutlah dengan aku pasti kita akan membuat polisi di sini jungkir balik karena bingung. Kau punya otak untuk itu."


"Yah-" Jupiter kelihatannya seperti berpikir-pikir. Pete merasa bahwa bayangan menjadi penjahat ulung agak menarik juga bagi Jupiter.


Temannya itu menyambung, "Beri kesempatan padaku untuk memikirkannya dulu,"


"Boleh saja! Nah, sekarang aku ingin memeriksa sebentar, apakah Chuck dan Driller telah berhasil menembus dinding beton dan masuk ke kamar harta bank."


Pete mengajukan pertanyaan ketika Rawley berpaling hendak pergi.


"Kurasa rencana itu sudah kumengerti sekarang. Memang pintar sekali," katanya. "Tapi ­bagaimana kau sampai bisa memperoleh kurcaci-kurcaci itu, dan bagaimana caramu menyuruh mereka membantu?"


Rawley nyengir mendengar pertanyaan itu.


"Biar mereka sendiri saja yang bercerita," katanya. Ia berseru pada kelompok manusia kerdil yang sedang duduk di pojok. "He, Kate!" katanya. "Kemarilah, ajak mereka berdua ini mengobrol," Setelah itu ia menghilang, masuk ke dalam lorong. Seorang kurcaci dengan mata merah menyala dan berjanggut putih dekil datang menghampiri lalu berjongkok sambil menatap Pete dan Jupiter.


"Kalian sangat merepotkan kami," katanya dengan suara tinggi. "Nyaris saja lengan ku patah. Tapi aku ini bukan pendendam, karena begitu pekerjaan ini selesai kalian akan mengadakan pelayaran yang jauh sekali tanpa mungkin kembali ke sini."


­Makhluk kecil itu berbicara dalam bahasa Inggris yang lancar, walau dengan logat Eropa. Pete mengamat-amatinya. diterangi cahaya samar. Mata merah, telinga runcing ke atas, tangan yang besar dan berbulu - tidak bisa dibayangkannya ada makhluk seperti itu tapi tidak menarik perhatian orang banyak. Kecuali jika tinggalnya di bawah tanah!


"He," kata Pete. "Kau Ini apakah betul-betul seorang kurcaci? Kau ini sebetulnya apa?"


Orang bertubuh kerdil itu terkekeh.


­"Hah! Kalian benar-benar bingung karena kami rupanya," katanya. "Perhatikan!"


Dengan gerakan lambat ditariknya salah satu telinganya yang panjang dan berbulu. Sesaat Pete kaget setengah mati, melihat telinga itu terlepas dari kepala. Tapi dengan segera disadarinya bahwa itu telinga palsu. yang menyelubungi telinga sebenarnya yang kelihatan biasa-biasa saja. Kemudian ‘kurcaci’ itu menarik sebuah tangan besar dan berbulu, menampakkan tangan yang kecil sekali ukurannya. Bahkan lebih kecil lagi dari tangan anak-anak. Ia juga mencabut sepasang taring palsu dari mulutnya. Akhirnya ia merogoh rongga matanya, memutar sesuatu lalu menatap Pete sambil menyeringai.


"Lihat sekarang - satu mata merah dan tanpa taring!" katanya. Memang, kini tinggal satu saja matanya yang nampak merah. Mata yang satunya lagi nampak biasa, berwarna biru.


"Aku memakai lensa khusus yang berwarna merah," katanya. Ia menyentuh hidungnya. "Dari plastik." katanya. "Janggutku juga palsu. Semuanya dibuat persis seperti gambar-gambar dalam buku-buku nyonya tua itu. Aku ini sebetulnya orang cebol! Kalau kau sekali lagi mengatakan aku kurcaci. nanti kau akan kusihir menjadi lobak."


"Ketika aku melihat orang-orang cebol itu bertemperasan lari masuk lewat pintu terbuka tadi," kata Jupiter, "secara tiba-tiba saja semuanya kumengerti. Bank - penggalian- para kurcaci - akhirnya semua kulihat hubungannya."


­"Tapi terlambat," kata orang cebol itu dengan sikap puas pada dirinya sendiri. "Soalnya, kami hanya bertugas untuk menguasai keadaan di sini sampai hari ini saja. Hari ini kami akan menyambar harta itu lalu minggat. Sekarang hari Minggu, jadi takkan ada orang yang tahu apa yang terjadi sampai besok,"


"Miss Agawam pasti kehilangan kita," kata Jupiter. Ia bersikap seolah-olah yakin. "Pasti ia akan memanggil polisi,"


"Tidak mungkin. Ia sudah lari, naik mobil keponakannya. Mungkin mengira kalian minggat atau begitu. Kami sudah mengatur segala-galanya dengan baik sekali. Kami punya waktu dua puluh empat jam sampai bank bisa tahu bahwa mereka dirampok. ..


Pete merasa kecut mendengarnya. Jupiter hendak mengatakan sesuatu. Tapi saat itu Rawley muncul lagi dari lorong.


"Driller sudah berhasil menembus sampai ke kamar harta," kalanya. "Kami perlu bantuan untuk mengangkut uang ke luar. Beberapa dari kalian ikut untuk membantu," sambungnya. diarahkan pada orang-orang cebol.


"Bolehkah aku juga ikut?" tanya Jupiter. "Aku ingin melihat cara kerjamu."


"Boleh saja," kata Rawtey. "Aku masih berharap kau mau menggabungkan diri apabila kau sudah melihat betapa lancarnya kami bekerja."


Dipotongnya tali pengikat kaki Jupiter, sedang tangan anak itu dibiarkannya tetap terikat. Jupiter bangkit lalu mengikuti Rawley yang sudah mendului masuk ke lorong bersama tiga orang cebol. Pete ditinggal sendiri dengan kurcaci palsu yang berbicara dengannya tadi.


"Kalian benar-benar kami permainkan!" kata orang cebol itu sambil terkekeh. "Kami membuat menara dengan jalan berdiri di bahu teman supaya kalian bisa melihat kami di jendela, lalu mengetuk-ngetuknya. Berjingkrak-jingkrak di pekarangan sampai kalian datang mengejar - lalu memancing sehingga kalian memburu masuk lewat pintu, setelah mana kalian terjebak. Tapi harus kuakui bahwa kau hebat. Hampir saja kau berhasil minggat."


"Kau tidak perlu memuji-muji," jawab Pete dengan ketus. "Tapi apa sebabnya kalian perlu meringkus kami?"


"Karena ini malam yang menentukan seperti kataku tadi. Jika kalian mendengar suara galian, ada kemungkinannya kalian lantas cepat-cepat memanggil polisi. Kami perlu menyingkirkan kalian sampai uang itu sudah diambil dan kami sudah pergi dari sini."


Pete agak bingung.


"Tapi bagaimana kalian bisa berharap akan bisa menghindar dari kejaran polisi?" katanya. "Orang cebol kan gampang ditemukan. Begitu kami melapor, polisi pasti akan langsung mendatangi kalian."


"itu kalau kalian bisa melapor!" tukas manusia cebol itu. "Kalian takkan ada di sini lagi, sehingga ­tidak mungkin bisa mengoceh. Tapi katakanlah kalian berhasil menyampaikan laporan, lalu polisi mencari kami. Jangan lupa - ini Hollywood, pusat pembuatan film!"


"lalu kenapa?" tanya Pete.


"Orang cebol yang ada di Hollywood, kurasa sama banyaknya dengan yang ada di tempat-tempat lain di seluruh dunia. Kami yang di sini semua berharap bisa mendapat lapangan kerja dalam film, atau TV, atau di Disneyland. Sekitar tiga puluh dari kami tinggal bersama-sama di suatu perumahan khusus. Di antara kami ada yang punya pekerjaan sambilan - seperti masuk ke rumah orang lewat lubang loteng, jendela, lubang lift dan sebangsanya. Atau kami membantu dalam pekerjaan seperti begini. Tubuh kami yang kecil membuat kami dengan mudah melakukan hal-hal yang sulit bagi manusia yang berukuran biasa.


"Tapi kami orang-orang cebol rukun sekali, seperti keluarga besar. Takkan ada di antara kami yang mau mengkhianati teman. Jika ada yang bertanya tentang salah seorang di antara kami, yang lain-lainnya selalu bersikap seperti tidak tahu apa-apa."


"Di samping itu," sambung manusia cebol itu, sambil memasang telinga palsunya lagi, "kalian walau mendapat kesempatan pun, takkan mungkin bisa mengenali kami dengan pasti. Sedang kemungkinan untuk itu pun kecil sekali."


Setelah mengucapkan kalimat terakhir yang

mengandung ancaman itu ia berdiri, lalu menghilang masuk lorong.


Sementara itu Jupiter berdiri di sebuah rongga yang agak luas, di luar tembok yang terbuat dari beton. Pada tembok itu menganga sebuah lubang bekas pemboran. Lubang itu cukup lebar untuk dilewati seorang anak kecil. Chuck dan Driller mengusap kening mereka yang berkeringat. Keduanya kelihatan capek, sehabis bekerja keras.


"Lubang ini bisa saja kami lebarkan lagi," kata Chuck pada Rawley. "Tapi itu makan waktu! Orang-orang cebol ini bisa masuk lalu menyodorkan uang dan barang-barang berharga lainnya pada kita."


"Betul." Satu demi satu orang-orang cebol itu dijunjung Rawley memasuki lubang yang sudah dibor dengan rapi. Di dalam mereka menyalakan senter, menerangi suatu ruangan luas berbentuk persegi empat. Uang kertas dan kertas-kertas berharga diatur rapi di atas rak yang berjejer-jejer. Sedang berkarung-karung uang perak terletak di lantai.


"Seperempat juta!" kata Rawley dengan puas. "Senin besok akhir bulan - saat para karyawan menerima gaji. Pabrik pesawat terbang yang besar di dekat sini selalu menitipkan gaji karyawan mereka di bank ini."


Dengan penuh minat Jupiter memperhatikan betapa orang-orang cebol menyodorkan uang kertas dan kertas-kertas berharga setumpuk demi setumpuk ke luar, lewat lubang di dinding beton. Di ­luar Rawley beserta kedua kawannya sibuk memasukkan semuanya ke dalam karung-karung goni. Akhirnya segala-galanya yang berharga sudah diambil, kecuali karung-karung yang berisi uang perak.


"Yang itu biarkan saja," usul Chuck. "Terlalu berat. Ini saja kan sudah cukup."


"Betul," kata Rawley. "Ah, tidak! Tolong keluarkan uang perak itu dua karung."


Sambil mendengus-dengus kepayahan, orang-orang cebol itu berhasil juga menyorong dua karung yang berat-berat lewat lubang. Setelah itu mereka memanjat ke luar. Kemudian semuanya diangkut dengan gerobak-gerobak sorong, kembali ke gudang arang.


Setelah semua terangkut, Rawley membuka satu bungkus uang kertas lalu membagi-bagikannya pada kawannya yang cebol. Masing-masing menerima satu tumpuk.


"Ini! Masing-masing sepuluh ribu dollar," katanya. "Hati-hati membelanjakannya nanti. Sekarang lepaskan pakaian kurcaci kalian. Sebentar lagi kita akan pergi dari sini."


"Memang sudah waktunya," gumam Driller. "Sekarang pun kita sudah mengalami kelambatan."


Tapi Rawley tidak mengacuhkannya. Ia berpaling pada Jupiter.


"Nah, bagaimana?" tanyanya. "Setelah melihat bagaimana cara kami bekerja, maukah kau menggabungkan diri dengan kami? Kau bisa jadi kaya raya nanti - kecerdasanmu bisa membuatmu menjadi penjahat kelas kakap."


Pete sangat ingin mengetahui jawaban Jupiter. Ia tidak bisa membayangkan bahwa Jupiter akan menerima ajakan itu, tapi –


"Aku masih ingin berpikir sedikit lebih lama lagi mengenainya," kata Jupiter. "Nanti, setelah aku melihat bagaimana kau mengatur pelarian dari sini. Bagaimanapun, ini baru setengah dari seluruh rencana. Pengaturan cara pergi juga sama pentingnya, dan di situlah para penjahat pada umumnya menemui kegagalan."


Rawley tertawa.


"Apa kubilang - anak ini berotak," katanya pada kawan-kawannya. "Baiklah! Kalian akan kami bawa pergi dari sini. Tapi kalian perlu disamarkan. Chuck - Driller - dandani mereka!"


Saat itu juga kedua orang yang dipanggil menyergap Pete dan Jupiter. Kedua remaja itu diselubungi dengan karung-karung goni sampai ke kaki, setelah mana karung-karung itu diikat ujung-ujungnya dengan cermat.


"Naikkan mereka ke atas truk, lalu kita bawa pergi," kata Rawley. "Ayo kita mulai."


Driller mencoba membantah. Anak-anak itu hanya akan merepotkan saja, katanya. Kenapa tidak ditinggal saja di sini dan... Suaranya dilirihkan sehingga Pete yang meringkuk dalam karung tidak bisa mendengar kata-kata selanjutnya. Kemudian didengarnya Rawley tertawa.


"itu sama sekali tidak perlu," jawab orang itu.


­"Menurutmu, untuk apa aku mengambil kedua karung berisi uang perak itu, hah? Kapan pun kita ingin menyingkirkan mereka. kita tinggal mengikatkan karung-karung itu ke kaki mereka, lalu kita lemparkan ke laut dari kapal. Mereka akan menjadi anak-anak yang paling kaya di dasar samudra!"



­Bab 14 Bob Mencari Kawan-kawannya


­Ketika Bob Andrews bangun Minggu pagi itu, sinar matahari memancar masuk ke dalam kamarnya lewat jendela. Sesaat ia masih tetap berbaring di tempat tidurnya. bermalas-malasan. Ia menikmati saat antara tidur dan bangun, ketika pikiran masih kosong.


Tapi tiba-tiba ia terloncat turun dari pembaringannya karena ada sesuatu yang melintas dalam ingatannya. Pete dan Jupe! Apakah yang terjadi malam itu? Apakah kedua temannya itu berhasil menemukan sesuatu? Apakah mereka meninggalkan pesan untuknya?


Bob bergegas-gegas mengenakan pakaian. Secara otomatis diselipkannya pesawat walkie-talkie ke kantongnya lalu turun ke tingkat bawah. Ibunya sedang sibuk membuat kue dadar di dapur. Bau harum sirup maple menggelitik hidung Bob.


"Ada pesan dari Jupiter Bu?" tanyanya pada ibunya.


"Tidak ia sama sekali tidak menelepon tentang Gerbang Hijau Satu, atau Gerbang Ungu Delapan atau kata-kata aneh seperti begitu. Jadi duduk sajalah dulu dan makan kue dadar yang sudah kubuatkan untukmu. Kau tidak perlu bergegas-gegas pergi ke tempat timbunan barang loak itu."


"itu tempat berjual beli barang bekas, Bu! Dan kami sama sekali tidak punya Gerbang Ungu Delapan," kata Bob membetulkan, sambil menumpukkan kue dadar beberapa lapis ke piringnya.


Kalau Jupiter belum menelepon itu berarti semua beres. Mungkin malam tadi sama sekali tidak terjadi apa-apa, dan kini kedua temannya masih tidur. Atau bisa Juga mereka meninggalkan pesan di rumah Jupiter.


Bob sarapan dengan tenang. Kemudian ia naik sepeda. menuju "Jones Salvage Yard". Gerbang utama tempat itu terbuka. Dilihatnya Hans sedang mencuci truknya yang kecil di pekarangan.


"Sudah ada telepon dari Jupe?" tanya Bob pada orang Jerman itu


"Belum! Kurasa semuanya tenang," jawab Hans. "Mestinya ia kan sudah bangun sekarang,"


Kening Bob berkerut. "Sebaiknya kutelepon saja, lalu kita ke sana untuk menjemput mereka. Hari ini kami akan berlatih lagi menyelam dengan alat pernapasan."


Bob masuk ke kantor tempat penjualan itu. lalu memutar nomor telepon Miss Agawam. Terdengar deringan berulang-ulang di ujung sambungan, tapi tidak ada yang mengangkat pesawat. Bob mulai heran. Ia mencoba sekali lagi. Tapi tetap tidak ada yang menerima. Kini Bob mulai merasa cemas.


­"Tidak ada yang menjawab," katanya pada Hans. "Di mana mereka? Maksudku, Miss Agawam mestinya ada di rumah. Jika ia juga pergi -"


Tiba-tiba air muka Hans berubah, kelihatan sangat serius.


"Mereka ke sana untuk menangkap kurcaci. Kurasa mereka ditangkap kurcaci!" katanya dengan nada kecut.


"Kurasa sebaiknya kita ke sana saja untuk memeriksa apa yang terjadi," kata Bob. "Kita harus berangkat selekas mungkin!"


"Betul!" kata Hans sependapat


Saat itu telepon berdering.


"Mungkin itu Jupiter!" seru Bob. Ia lari ke dalam lalu menyambar gagang telepon.


"Halo," katanya. "Di sini Jones Salvage Yard,"


"Maaf, apakah Jupiter-san ada di rumah?" tanya yang menelpon. Bob langsung mengenali suaranya, itu Taro Togati.


"Tidak, ia sedang ada tugas di tempat lain. Di sini Bob Andrews."


"Tolong sampaikan pesan pada Jupiter-san Pesannya begini bunyinya. Ayahku bersama para penjaga kemarin sepanjang malam memeriksa museum. untuk mencari Pending Emas. Mereka memeriksa dibalik lukisan-lukisan, serta di segala tempat lainnya."


"Lalu - berhasilkah mereka menemukannya?" tanya Bob bergairah.


"Sayangnya tidak. Mereka sama sekali tidak menemukan apa-apa. Sekarang ayahku marah lagi pada dirinya sendiri karena mau mendengar omongan konyol anak-anak. Aku pun ikut diomeli. Tapi aku masih tetap berpendapat ide Jupiter-san itu bagus sekali. Walau begitu tolong katakan juga padanya, pending antik itu tidak berhasil ditemukan."


"Akan kusampaikan begitu aku berjumpa nanti," kata Bob. Ia ke luar lagi lalu langsung naik ke atas truk. Kabar baru itu pasti takkan menyenangkan Jupiter. Yah - ide itu sebetulnya baik, bahwa pending itu masih disembunyikan dalam museum. Jupiter tidak sering keliru. Tapi jelas bahwa kali ini dugaannya meleset.


Truk menderu, lalu meluncur ke arah pusat kota. Lalu lintas di jalan bebas hambatan menuju Los Angeles hari Minggu itu tidak sepadat biasanya.


Mereka meluncur dengan laju, sehingga tubuh truk tua itu berderak-derik. Tiga perempat jam kemudian mereka berhenti di depan rumah Miss Agawam.


Sebelum mesin truk dimatikan, Bob sudah buru-buru meloncat turun dan langsung menekan bel rumah. Lama sekali ia menekan. Tapi tidak terdengar bunyi desuman di pintu sebagai jawaban.


Kini Bob benar-benar panik.


Dipanggilnya Hans. Sementara Hans turun dari truk, Bob melihat bahwa pintu pagar agak menganga sedikit ia mendorongnya sehingga terbuka, lalu bergegas-gegas menuju ke serambi depan rumah bersama Hans.


­Bel di pintu rumah ditekan lama-lama. Tapi tidak terdengar jawaban dari dalam.


"Coba pintunya," kata Hans. "Mungkin mereka sudah berubah menjadi batu."


Hans rupanya tidak bisa melenyapkan kekhawatirannya bahwa Pete dan Jupiter sudah disihir kurcaci menjadi batu. Ketika diperiksa di dalam rumah, ternyata kedua remaja itu tidak ada di situ. Dalam wujud batu juga tidak! Begitu pula Miss Agawam. Wanita tua itu tidak mereka temukan dalam rumah. Yang ada hanya tas-tas kecil serta kotak peralatan Trio Detektif yang berada dalam keadaan terbuka di kamar tingkat atas.


"Rupanya Jupe dan Pete melihat sesuatu, lalu pergi menyelidikinya," kata Bob. Ia memutar otak sekarang, "Mungkin Miss Agawam mengikuti mereka, lalu ikut tertangkap! Kita harus mencari mereka!"


"Mereka semua ditangkap kurcaci," kata Hans. Nada suaranya sangat suram. Jelas sekali bahwa pemuda Jerman itu sangat takut pada kurcaci serta tenaga gaib mereka.


"Kita harus mencari mereka!" kata Bob dengan cemas. Ia tidak percaya bahwa Pete dan Jupiter telah disihir menjadi batu. Tapi di pihak lain pasti ada sesuatu yang serius terjadi terhadap diri mereka. "Pertama-tama kita periksa pekarangan di luar."


Mulanya mereka tidak menemukan apa-apa di situ. Tapi kemudian Bob melihat pesawat kamera Jupiter tersangkut ke sebuah semak di sudut rumah. Dengan segera benda itu disambarnya.


"Jupe pernah ada di sini!" katanya. "ia memotret sesuatu. Coba kita lihat saja, apa yang dipotretnya!"


Dengan cepat dilariknya foto yang sudah jadi itu keluar. Keduanya kaget sekali ketika melihat apa yang nampak di situ. Seorang kurcaci bermata liar, dengan telinga berbulu serta taring yang panjang. Sedang memandang dari balik jendela!


"Astaga!" kata Hans. "Nah - apa kataku, Bob? Pete dan Jupe pasti sudah jatuh ke tangan para kurcaci."


"Mungkin," kata Bob. Ia benar-benar bingung sekarang, tidak tahu apa yang harus dipikirkan. "Walau begitu kita harus mencari terus. Kita panggil polis;, dan -"


Ia tidak jadi melanjutkan kata-katanya. karena membayangkan reaksi polisi jika foto itu ditunjukkan pada mereka. Tidak! lebih baik ia mencari dulu sendiri, bersama Hans.


"Mereka tidak ada di rumah, Hans," katanya dengan cepat "Di pekarangan sini juga tidak. Tapi tadi malam mereka keluar untuk menangkap sesuatu, lalu tidak kembali. Mungkin mereka meninggalkan salah satu petunjuk. Atau mungkin ada orang melihat mereka. Sekarang mula-mula kita mencari sekeliling blok ini. Setelah itu blok berikutnya. Kita tanyakan pada siapa saja yang berpapasan dengan kita nanti. apakah mereka melihat atau mendengar sesuatu tadi malam."


Bob mendului pergi ke jalan. Pojok blok di mana gedung bioskop berada. paling dekat dari situ Karenanya Bob menuju ke sana. Jalanan sepi saat itu. Tidak banyak kelihatan orang berkeliaran yang bisa dimintai keterangan. Begitu pula tidak nampak tanda-tanda yang bisa dijadikan petunjuk.


Ketika mereka sampai di depan sisi muka gedung bioskop yang sudah ditutup. Bob menginjak sesuatu yang menimbulkan bunyi berderak.


Bob memandang ke trotoar di bawah kakinya, lalu langsung berseru kaget. Ternyata ia menginjak sepotong kapur berwarna biru!


"Ini kapur Pete!" katanya pada Hans. "Jadi tadi malam Pete ada di sekitar sini,"


Saat berikutnya Hans yang berseru sambil menunjuk. Dekat dinding terletak sepotong kapur biru lagi.


"Mulanya masih utuh, lalu kemudian patah dua," kata Bob. "Coba lihat ini, Hans! Di trotoar ini ada bekas di mana kapur ini jatuh lalu patah!"


"Jatuh? Jatuh dari mana?" kata Hans.


Sementara itu Bob sudah mundur beberapa langkah sambil memandang ke atas. Ia tidak melihat jendela terbuka, atau salah satu tempat di mana anak sebesar Pete bisa bersembunyi.


Kemudian ia melihatnya. Nyaris tidak kelihatan, karena kedekilan dinding yang dulunya putih. Tapi ia masih bisa mengenalinya. Ia melihat sebuah tanda tanya yang besar sekali, di buat dengan kapur berwarna biru. Tanda khusus dari Pete itu berarti bahwa pada suatu saat tadi malam Pete pernah ada di tempat itu. Di bagian tengah dinding muka gedung bioskop yang sudah tidak dipakai lagi!


Bob tidak bisa membayangkan bagaimana hal itu mungkin terjadi. Tapi walau demikian tanda itu banyak sekali artinya itu berarti bahwa ada kemungkinan Pete dan Jupiter saat itu ada di dalam teater!


"Hans! Kita harus berusaha masuk ke dalam!" kata Bob dengan perasaan tegang.


"Baik! Akan kucabut papan-papan itu. lalu pintu kudobrak," kata Hans lalu mulai menarik papan-papan yang dipakukan ke ambang pintu besar. Tapi Bob menahannya


"Kalau mereka ada di dalam. mestinya ada salah satu pintu yang terbuka," katanya. "Kurasa aku tahu, pintu yang mana."


Diajaknya Hans mengitari gedung tua itu menuju ke lorong yang melintang di belakangnya yang merupakan batas pekarangan belakang rumah Miss Agawam.


"Ssst!" desisnya. "Sekarang kita harus hati-hati."


Bob mengambil sebuah cermin bundar berukuran kecil dari kantong atas jaketnya. Cermin itu merupakan perlengkapan Trio Detektif yang baru. Jupiter baru membagi-bagikannya pada kedua temannya minggu itu.


Bob merebahkan diri ke trotoar. lalu beringsut-ingsut maju sampai ke sudut gedung di mana lorong belakang berpangkal. Dengan hati-hati sekali ia mengulurkan tangannya yang memegang cermin ke depan. Cermin dimiringkan pegangannya sehingga ia bisa melihat ke dalam lorong.


Bob melihat sesuatu di situ. Sebuah mobil pengangkut barang yang bercat hijau diparkir di depan pintu panggung yang kemarin dimasuki olehnya bersama Pete dan Jupiter!


Bob memperhatikan terus lewat cermin, dengan ketegangan yang semakin meningkat ia heran ketika melihat seorang laki-laki bertubuh besar keluar dari pintu, sambil menggotong sebuah karung besar yang kelihatannya berat. Orang itu Rawley!


"Apa yang kaulihat, Bob?" bisik Hans.


"Aku melihat penjaga malam tempat ini melakukan sesuatu yang sangat mencurigakan. Kurasa ia mencuri sesuatu," bisik Bob yang masih tetap berbaring di trotoar. "Kecuali itu, aku yakin bahwa Pete dan Jupiter ada di dalam."


"Kalau begitu tunggu apa lagi? Kita langsung saja masuk untuk menjemput mereka," Hans menggerak-gerakkan otot-ototnya yang kekar.


"Tidak, kita perlu bantuan polisi. Mungkin mereka banyak jumlahnya di dalam - nah, itu muncul dua orang lagi membawa karung-karung goni. Cari polisi. Hans - lalu cepat-cepat kembali lagi ke sini. Aku tinggal untuk mengamat-amati."


"Oke," kata Hans dengan menggerutu. Rupanya ia berpendapat urusan itu bisa diselesaikan dengan lebih baik olehnya sendiri. Ia bergegas pergi. sementara Bob mengamat-amati terus.


Ketiga orang yang sibuk bolak-balik ke truk, sekali-sekali memperhatikan keadaan sepanjang lorong dengan pandangan menyelidik. Tapi mereka tidak melihat cermin kecil yang dipegang dekat sekali ke permukaan trotoar. Ketiga orang itu - yang seorang kurus tapi ulet, temannya pendek gempal dan Rawley yang tinggi besar - terus saja bolak-balik dari dalam teater ke truk sambil membawa karung-karung goni ke kendaraan itu.


Bob mulai gelisah. Kenapa Hans belum kembali juga dengan polisi? Sementara itu orang-orang yang mengangkut karung-karung ke truk kelihatannya sudah selesai dengan pekerjaan itu. Mereka berembuk sebentar. Setelah itu mereka masuk ke dalam gedung dan beberapa saat kemudian muncul lagi di ambang pintu. Dua dan mereka menggotong sebuah karung goni yang ukurannya lebih besar daripada yang sudah-sudah.


Karung itu bergerak-gerak! Seolah-olah di dalamnya ada sesuatu yang berusaha membebas kan diri.


Kedua orang yang menggotong mendorong karung itu masuk ke dalam truk. Lalu masuk lagi ke dalam gedung, untuk mengambil karung yang nampaknya lebih penuh dan lebih berat dari karung pertama. Karung itu juga bergerak-gerak ketika disorongkan ke dalam truk.


Bob merasa putus asa. Ia yakin kedua karung terakhir itu berisi Pete dan Jupiter. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong mereka. Coba Hans ada di situ, mereka berdua pasti akan maju menerjang ketiga laki-laki itu dan mungkin bisa berhasil membebaskan kedua temannya. Tapi Hans tidak ada di situ, karena tadi disuruhnya pergi memanggil polisi. Bob tahu bahwa jika ia seorang diri mencoba bertindak, ia pasti akan ikut tertangkap.


Salah seorang laki-laki itu menutup pintu belakang truk. lalu ketiga-tiganya naik ke kabin kemudi. Sesaat kemudian truk hijau itu sudah bergerak keluar dari lorong.


Jupiter dan Pete ada di dalam truk itu. Bob kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan mereka.


­Bab 15 Kehilangan Jejak


­Keadaan Pete dan Jupiter sama sekali tidak bisa dibilang enak. Kaki dan tangan terikat. muka gatal kena bagian dalam karung goni yang kasar. Mereka berbaring di atas tumpukan uang dan kertas-kertas berharga yang dirampok dari Bank Dagang.


Pete merasa bahwa Jupe bergerak-gerak dalam karung di sampingnya. Rupanya Jupe sedang berusaha melepaskan tali yang mengikatnya.


"Jupe," bisik Pete dari dalam karung. "Menurutmu, kita ini diangkut ke mana sekarang?"


"Mereka menyebut-nyebut kapal," balas Jupiter sambil berbisik pula. "Mungkin mereka hendak melarikan diri lewdt jalan laut."


"Kaudengar tadi kata Rawley, tentang mengikat karung berisi uang perak ke kaki kita lalu mencemplungkan kita ke dalam laut."


"Ya, aku juga mendengarnya," jawab Jupiter. "Tapi ingat - Harry Houdini, tukang sulap termasyhur itu sering mengadakan pertunjukan dalam mana ia diringkus dengan borgol, lalu dimasukkan ke dalam tong yang ditutup rapat dan yang kemudian dilemparkan ke dalam air. Houdini selalu berhasil membebaskan dirinya,"


"Kata-katamu itu pasti akan melegakan hatiku, jika aku ini Hany Houdini," kata Pete dengan geram. "Tapi aku ini aku - Pete Crenshaw -yang sama sekali tidak punya pengalaman dalam hal-hal yang begitu. Aku tidak kepingin menjadi anak terkaya di dasar samudra!"


Percakapan itu terputus oleh suara seseorang yang tertawa cekikikan. Keempat orang cebol sudah berganti pakaian. Kini mereka mengenakan pakaian anak-anak. Mereka naik truk di bagian belakang, bersama Pete dan Jupiter yang terkurung dalam karung. Salah satu dari keempat orang cebol itu berbicara.


"Mungkin saja nasib kalian nanti mujur," katanya dengan suara tinggi seperti suara anak-anak. "Mungkin Mr. Rawley akan menjual kalian di salah satu tempat di Asia. untuk dijadikan budak di sana. Di daerah gurun pasir negeri Arab orang masih memelihara budak belian."


Pete membisu, mempertimbangkan kemungkinan itu. Maukah ia dijadikan budak seorang bangsawan Arab? Atau apakah ia lebih suka kalau dijadikan umpan ikan? Kedua kemungkinan itu sama-sama tidak menyenangkan hatinya.


Kini orang-orang cebol itu membisu lagi. Mobil yang penuh dengan uang curian itu meluncur terus di jajan yang tidak rata. Kemudian jalannya diperlambat.


­"Ya. Kate - sekarang turun! Teruskan perjalanan kalian naik bis!" Rawley berseru dengan suaranya yang berat dari depan, dari kabin pengemudi. "Kalian sudah menerima pembayaran tadi. Ingat - hati-hati membelanjakannya. Jangan dihambur-hamburkan dengan segera. Nanti menarik perhatian orang!"


"Jangan khawatir, kami akan menyembunyikannya baik-baik!" jawab salah seorang dari keempat orang cebol itu.


"Dan jangan bicara! Kunci bibir kalian rapat-rapat!" bentak Chuck.


"Kami tidak pernah bilang apa-apa pada polisi!" kata orang cebol itu. "Kami selalu bersatu padu. Mereka pasti kebingungan nanti, berusaha membuktikan bahwa kami terlibat dalam urusan ini.


Sementara itu truk semakin diperlambat jalannya. Pintu belakang dibuka. dan orang-orang cebol itu meloncat turun satu demi satu. Pintu ditutup lagi dengan keras. dan truk dipercepat kembali.


Tidak lama kemudian terasa bahwa kendaraan itu agak mendaki lalu masuk ke jalan lain yang lebih mulus. Di situ jalannya semakin laju. Rupa-rupanya sudah berada di jalan bebas hambatan, dan mungkin menuju ke pantai Samudra Pasifik yang letaknya beberapa mil dari situ. Dan di tempat itu pasti sudah ada kapal yang menunggu para perampok bank itu.


"Dijadikan budak atau menjadi umpan ikan," keluh Pete. "Habis riwayat kita sekarang, Jupe. Aduh. kenapa kita sampai melakukan usaha pengusutan ini?"


"Untuk mencari keasyikan," kata Jupiter. Suaranya tidak begitu jelas terdengar. "Dan untuk mengasah otak,"


"Asyik? Apanya yang asyik? Dan kalau soal mengasah otak, otakku saat ini rasanya seperti membeku," keluh Pete. "Para perampok bank berhasil melarikan diri. Mulanya aku masih berharap bahwa Bob akan bisa melihat satu-satunya petunjuk yang bisa kutinggalkan - tapi harapan itu tipis sekali. He! Ngomong dong!" katanya. Ia merasa kesal, karena Jupiter diam saja.


"Setidak-tidaknya katakan bahwa kita masih punya harapan!"


"Tidak mungkin," kata Jupiter berterus terang. "Baru saja aku sampai pada kesimpulan bahwa Rawley memang cerdik sekali."


Saat itu Bob Andrews sedang membuntuti mereka bersama Hans yang mengemudikan truknya dengan jarak satu mobil dari kendaraan para perampok.


Tadi Hans kembali tanpa berhasil menemukan polisi. Ia datang tepat pada saat Bob melihat mobil barang berwarna hijau itu berangkat meninggalkan lorong. Bob hendak mengatakan pada Hans bahwa ia seharusnya mencari telepon lalu menghubungi polisi. Tapi kemudian ia teringat bahwa itu hari Minggu. Semuanya tutup pada hari itu. Di daerah yang begitu sepi, mencari telepon pada hari Minggu pasti sama sulitnya seperti mencari polisi.


Karenanya ia langsung menarik tangan Hans, mengajaknya ke truk mereka yang diparkir dekat situ. Mereka cepat-cepat naik. dan truk itu dengan segera mulai dijalankan.


Mobil pengangkut berwarna hijau itu pintu belakangnya bercat biru. Rupanya pintu lama rusak karena kecelakaan lalu diganti dengan yang itu. Kombinasi kedua warna itu menyebabkan Hans bisa membuntutinya dengan mudah. Lalu lintas pada hari Minggu tidak padat dan wujud truk pengangkut barang bekas yang dikemudikan Hans sama sekali tidak menimbulkan kecurigaan.


"Jangan sampai mereka lenyap, Hans!" desak Bob. "Pete dan Jupiter ada dalam mobil itu."


"Aku bisa saja menubruknya," kata Hans, dengan harapan akan disetujui "Kudorong keluar dari jalan. Dengan begitu pasti berhenti."


"Dan mungkin mencelakakan Jupe dan Pete!" kata Bob. "Kau tahu sendiri, cara begitu tidak bisa kita lakukan. Tidak! Ikuti terus sampai berhenti."


Karenanya mereka terus bergerak dengan lambat. mengikuti mobil yang di depan. Lima menit kemudian kendaraan itu diperlambat jalannya. Bob dan Hans sudah mengira bahwa mobil pengangkut itu akan berhenti Tapi ternyata tidak. Pintu belakang kendaraan itu tiba-tiba terbuka. Empat orang anak kecil meloncat turun lalu berjalan menuju perhentian bis.


­"Astaga!" gumam Hans dengan geram. "Anak-anak yang mau berbuat nakal. Apa yang harus aku lakukan, Bob? Menangkap mereka dan menyuruh mereka bicara?"'


"Jangan. jangan!" kata Bob. "Nanti kita kehilangan jejak."


Sesaat kemudian mobil pengangkut berwarna hijau itu memasuki jalan bebas hambatan lalu mulai melaju ke barat ke arah laut.


Hans kaget. Nyaris saja ia terlambat bereaksi.


Sementara itu mobil yang di depan sudah berjalan dengan begitu laju, sehingga Hans mengalami kesulitan untuk mengikutinya.


"Aku ingin melihat, apakah Pete atau Jupe bisa memakai walkie-talkle mereka atau tidak," kata Bob. Ia teringat pada salah satu kejadian sebelum itu saat mana pesawat itu ternyata sangat menolong mereka. "Kuhidupkan saja pesawatku, karena siapa tahu ­ mungkin saat ini mereka sedang berusaha menghubungi diriku."


Dikeluarkannya pesawat walkie-talkie dari kantongnya. Lalu dihidupkan dan didekatkan ke telinga. Sesaat hanya desuman saja yang didengarnya.


Bukan main kagetnya ketika kemudian terdengar suara laki-laki yang jelas sekali Bob mengenalnya. itu suara Rawley! Rupanya orang itu memakai walkie-talkie yang berkekuatan besar dan bekerja pada gelombang CB, seperti pesawat yang ada pada Bob.


­"Halo. Pelabuhan!" Terdengar jelas suara Rawley memanggil-manggil. "Halo, Pelabuhan. Di sini Operasi Lorong. Bisa dikopi tidak? Ganti!"


Bob mendengarkan dengan penuh perhatian. Sesaat kemudian terdengar suara yang samar sekali menjawab.


"Halo. Operasi Lorong. Di sini Pelabuhan. stand by. Bagaimana. Operasi Lorong - berhasil tidak? Ganti!"


"Roger. Pelabuhan!" Kini terdengar lagi suara Rawley. "Semua beres. Cuma kita mendapat dua penumpang tambahan. Nanti kita tentukan akan kita apakan mereka kalau kami sudah naik. Cuma itu saja. Nanti sesampai di dermaga akan menghubungi lagi. Over and out!"


Pembicaraan putus setelah itu.


Dan saat itu juga terdengar bunyi letusan keras. Bob langsung menunduk dengan cepat Para penjahat yang di depan rupanya tahu bahwa mereka dibuntuti, lalu menembak.


Mobil yang dinaiki Bob dan Hans tiba-tiba oleng jalannya. Hans menyetirnya ke jalur pengaman di tepi.


"Kita tadi terlalu laju, Bob," katanya. "Ban kita pecah. Kita terpaksa berhenti,"


Sesaat kemudian mobil pengangkut berwarna hijau yang di depan sudah menghilang di kejauhan. Dan dengannya. lenyaplah jejak Pete dan Jupiter!


­Bab 16 Nekat!


­Hans buru-buru melepaskan ban yang pecah, lalu memasang ban serap sebagai gantinya. Ia bekerja secepat-cepatnya. Tapi walau begitu masih juga memakan waktu sepuluh menit Dan selama waktu itu mobil para perampok tentu saja sudah jauh sekali.


Jejak Pete dan Jupiter lenyap! Tiba-tiba Bob merasa lesu. Ia mendapat perasaan takkan berjumpa lagi dengan kedua temannya itu.


"Sekarang bagaimana, Bob?" tanya Hans. ketika mereka sudah naik lagi ke atas truk. "Memanggil polisi?"


"Aku tadi lupa mencatat nomor truk itu," kata Bob dengan agak malu. "Habis, kita terlalu sibuk membuntutinya. Kalau sekarang melapor pada polisi, takkan banyak yang bisa kita sampaikan pada mereka."


"Yah - mereka tadi menuju ke sana jadi kita juga harus ke sana pula," kata Hans. Truknya dijalankan lagi di atas jalan bebas hambatan, menuju ke barat.


Bob sibuk berpikir. Jalan yang sedang mereka lewati menuju ke arah Samudera Pasifik. Agak jauh dari situ jalan itu bercabang menuju ke kota Long Beach yang cantik di tepi pantai. Sedang cabang lainnya akan membawa mereka ke Pelabuhan San Pedro, pelabuhan yang resmi untuk kota Los Angeles.


Suara yang berbicara lewat walkie-talkie tadi menyebutkan pelabuhan, Long Beach bukan pelabuhan. Kalau San Pedro, Ya. Hanya itu satu-satunya pelabuhan di jalan itu.


"Hans. kita ke San Pedro," kata Bob.


"Oke, Bob," kata Hans.


Truk tua itu melaju terus dengan kecepatan tertinggi yang mungkin dicapainya. Sementara itu Bob tidak henti-hentinya memeras otak. Ia berusaha mengusut, apa sebetulnya yang sudah terjadi.


Kemarin malam Pete dan Jupiter pergi mengintai kurcaci. Tahu-tahu mereka sudah meringkuk dalam karung-karung goni yang diangkut dengan truk. Sedang truk itu dikendarai Rawley, penjaga malam "Moorish Theatre". Rasanya mustahil bisa membayangkan rangkaian peristiwa apa saja yang menjadi penyebabnya.


Bob hanya tahu bahwa saat itu kedua kawannya sedang berada dalam kesulitan besar. Dan hanya ia sendiri yang mungkin bisa menyelamatkan mereka. Pikiran itu menyebabkan Bob merasa sangat tak berdaya


Tidak lama kemudian mereka sampai di pinggiran San Pedro. Di mana-mana nampak menara-menara besar yang memompa minyak dari perut bumi. Truk meluncur dengan cepat melintasi kota menuju ke pelabuhan. Pemandangan yang nampak tidak bisa dibilang indah.


Kapal-kapal barang bersesak-sesakan di dermaga dan berlabuh di perairan kotor yang berwarna kelabu. Di pelabuhan terdapat pula sejumlah kapal penangkap ikan. Beberapa sekoci bermotor nampak sibuk berlayar hilir-mudik.


Hans menghentikan truknya, lalu memandang berkeliling dengan sikap bingung. Sikap Bob tidak jauh berbeda.


Pete dan Jupiter saat itu sedang diangkut untuk dinaikkan ke salah satu kapal yang ada di situ. Dan kalau sudah ada di alas kapal. mereka akan dibawa berlayar dan takkan bisa kembali lagi. Alangkah baiknya jika ada cara untuk mengetahui. kapal mana yang dituju para penjahat!


"Kurasa kita harus mengaku gagal, Bob," kata Hans. "Kita tidak mungkin bisa menemukan truk itu lagi. Setiap jalan sudah kuperiksa. Tapi sampai sekarang belum kelihatan."


"Tujuannya salah satu dermaga, di sini," kata Bob. "itu kita ketahui dari pembicaraan mereka lewat walkle-talkie tadi. Tapi begitu banyak dermaga di San Pedro. Sebelum kita selesai menelusuri semuanya -" Tiba-tiba Bob terlonjak seperti disengat lebah


"Walkie-talkie!" katanya. "Tadi mereka mengatakan akan mengadakan hubungan lagi jika sudah sampai sini!"


Ia begitu gugup hendak cepat-cepat, sehingga malah memerlukan waktu beberapa detik lebih lama untuk menghidupkan pesawat itu. Mula-mula tidak terdengar apa-apa. Dengan napas memburu karena tegang, dirapatkannya pesawat itu ke telinganya. Kemudian didengarnya suara seseorang berbicara.


"Operasi Lorong! Sekoci sudah diturunkan. Lima menit lagi kalian kami jemput di Dermaga 37. Harap siapkan muatan untuk dipunggah dengan segera - termasuk kedua penumpang. Over!"


"Copy! Di sini Operasi Lorong." Kini terdengar suara Rawley. "Kalian sudah kelihatan. Muatan dan penumpang ada dalam truk siap untuk dipunggah dengan segera. Over."


"Bagus," kata suara yang satu lagi. "Tidak ada kabar lagi sesudah ini. Nanti kalau kami sudah dekat lambaikan sapu tangan putih tiga kali tanda semua beres. Over and Out!"


Setelah itu tidak terdengar apa-apa lagi. Pembicaraan antara Rawley dengan penjemputnya selesai. Bob mematikan pesawat walki-talkie-nya. Tubuhnya gemetar karena tegang.


"Truk itu ada di Dermaga 37," kalanya pada Hans. "Kita hanya punya waktu lima menit saja. Dermaga 37 itu di mana?"


"Aku tidak tahu." jawab Hans. "Aku asing di San Pedro ini."


"Kita harus mencari orang yang bisa dimintai keterangan," kata Bob dengan napas memburu. "Kalau bisa, sebaiknya petugas kepolisian. Kita jalan lagi. Hans - dan buka mata baik-baik!"


Hans menghidupkan mesin truknya. Dengan lambat mereka meluncur di jalan mencari-cari seseorang yang bisa ditanyai di mana Dermaga 37. Tapi saat itu Minggu pagi. Pejalan kaki hanya sedikit sekali yang nampak. Namun kemudian mereka melihat mobil patroli polisi muncul dari jalan lain. Membelok masuk ke jalan yang akan mereka lalui.


"Kejar mobil polisi yang di depan itu, Hans!" seru Bob. "Bunyikan tuter sekeras mungkin!"


Hans menekan pedal gas dalam-dalam. Dengan suara menderu truk melaju ke depan, mendampingi mobil patroli. sementara tuter dibunyikan terus.


"Maaf, saya ingin bertanya sedikit!" seru Bob. "Di mana Dermaga 37. Ini penting sekali, urusan hidup atau mati!" .


"Dennaga 37?" Polisi yang mengemudikan mobil patroli itu menunjuk ke belakang. "Ke belakang sejauh tiga blok dari sini, lalu ambil jalan yang menuju pelabuhan. Ah, tidak bisa - itu jalan satu arah! Kembali empat blok, lalu belok menuju pelabuhan, kembali lagi satu blok lalu -"


"Terima kasih!" seru Bob. "Ikuti kami! Dua orang remaja sedang terancam keselamatannya!"


Sementara polisi itu masih hendak mengatakan sesuatu lagi, truk yang dikendarai Hans sudah menderu pergi. Polisi itu terkejap karena kaget ­ketika truk itu berputar arah secara tiba-tiba di tengah jalan lalu melesat pergi ke arah yang berlawanan.


"He! Mereka melanggar peraturan!" kata polisi tadi pada rekannya yang duduk di sebelahnya. Dengan cepat mobil melesat maju, memutar arah lalu meluncur dengan lalu mengejar truk.


Hans membalapkan truknya. Tiga blok sudah dilewati.


"Belok sini!" seru Bob. "Ini jalan satu arah. tapi lewat sini paling cepat - sedang waktu kita hampir tidak ada lagi!"


Pada sebuah papan kecil tertulis "Dermaga 37", dengan panah menunjuk ke arah yang dimaksudkan. Truk meluncur satu blok lagi. Tapi kemudian dengan suara mengerang untuk melampiaskan kejengkelan, Hans menginjak rem sehingga truk berhenti dengan tiba-tiba.


Dermaga 37 memang terdapat di hadapan mereka. Tapi jalan masuk ke situ terhalang oleh pagar kokoh dari besi dan kawat Sedang pintunya dikunci dengan gembok.


Di belakang pagar nampak mobil pengangkut hijau tadi, yang pintu belakangnya bercat biru.


Seorang laki-laki bertubuh gempal bersandar pada bemper depan kendaraan itu, sambil melambai-lambaikan selembar sapu tangan putih dengan gerakan santai. Di perairan pelabuhan, tidak sampai seratus meter dari tepi nampak sebuah sekoci motor yang sudah bobrok bergerak menuju dermaga


­"Kita tidak bisa masuk Bob!" kata Hans. "Pete dan Jupe pasti ada di tangan mereka!"


Saat itu mobil patroli polisi datang dengan cepat lalu dihentikan di sisi truk.


"Kalian kami tahan sekarang!" teriak polisi yang duduk di belakang setir. "Kalian tadi memutar haluan di tengah jalan, lalu berjalan terlalu cepat dan setelah itu memasuki jalan satu arah dari arah yang salahi Coba lihat SIM Anda!"


"Tidak ada waktu sekarang!" teriak Hans. "Kita harus cepat-cepat masuk ke Dermaga 37!"


"Hari ini di situ tidak dilakukan pemunggahan," kata polisi tadi. "Sedang Anda melanggar peraturan lalu lintas. Sekarang tunjukkan SIM Anda."


"Anda tidak mengerti! Orang-orang yang ada di truk depan itu menculik dua orang anak!" kata Bob, sambil menjulurkan kepala ke jendela melewati Hans. "Tolong kami menahan mereka!"


"Percuma saja mengarang-ngarang alasan!" geram polisi itu. "Aku ingin melihat SIM Anda sekarang juga. Mister!'


Sementara itu sekoci motor bobrok sudah semakin menghampiri dermaga. Tiba-tiba Bob mendapat akal.


"Hans!" serunya. "Jalankan truk kita - dobrak pintu pagar itu!"


"Setuju!" dengus Hans. Diinjaknya pedal gas dalam-dalam. Truk melompat maju, meninggalkan kedua polisi yang berteriak-teriak di belakang mereka.


­Terdengar bunyi menyakitkan telinga ketika bemper truk yang kokoh itu menghantam bagian tengah pagar dermaga yang terkunci. Truk masih terdorong maju beberapa meter lagi. Tapi kemudian macet karena roda-rodanya terbelit kawat pagar. Jaraknya dari mobil hijau masih sekitar lima belas meter lebih.


"Cepat, Bob!" seru Hans. Ia meloncat keluar dari mobil lalu melesat maju diikuti oleh Bob.


Hans berlari langsung menuju Rawley, seperti banteng sedang mengamuk. Rawley kaget melihat orang Jerman itu datang ke arahnya. Ia merogoh sesuatu dalam kantongnya - mungkin hendak mengambil pistol. Tapi sebelum sempat mengeluarkannya ia sudah diringkus oleh Hans. Dengan gampang sekali tubuhnya diangkat ke atas, lalu dicampakkan ke air. Rawley muncul lagi di permukaan air sambil menyemburkan air yang masuk ke mulut Sekoci motor yang datang berhenti. Awaknya membantu Rawley naik..


Sementara itu Chuck dan Driller meloncat turun dari kendaraan mereka. Dengan bersenjatakan kunci sekrup yang besar serta besi pembuka ban mereka menyerang Hans. Dengan sigap Hans mengelakkan pukulan mereka. Kedua penjahat itu diputarnya, lalu disambar kerah baju masing-masing. Dalam keadaan begitu mereka digiring ke tepi dermaga. lalu dicemplungkan ke air.


Sementara itu Bob berusaha membuka pintu belakang kendaraan. Begitu terbuka, ia berseru ke dalam, "Jupe! Pete! Kalian ada di dalam?"


­"Bob?" Suara Jupiter terdengar agak samar. "Tolong kami keluar dan karung-karung ini!"


"Hidup Bob!" Suara Pete lebih pelan lagi kedengarannya karena ia agak tertindih di bawah Jupiter.


Sementara itu Chuck dan Driller sudah ditolong naik ke sekoci motor yang kini berputar haluan lalu meluncur dengan laju menuju sebuah kapal penangkap ikan yang nampak menunggu di tengah perairan pelabuhan.


Kedua polisi tadi datang menghampiri. Mereka bergerak dengan hati-hati sambil mengacungkan pistol. Mereka sudah melihat bukti kekuatan Hans.


"Jangan bergerak! Kalian kami tangkap!" seru seorang dari mereka. "Aku tidak tahu berapa peraturan yang kalian langgar - tapi pokoknya banyak sekali!"


"Hah!" dengus Hans, sambil menuding ke sekoci motor yang semakin menjauh. "Tahan sekoci itu. Mereka itu yang perlu ditangkap!"


Kedua polisi itu sibuk menghadapi Hans. Karenanya mereka tidak melihat Bob yang dengan pisau membuka tali pengikat karung-karung goni yang menyelubungi tubuh kedua temannya.


Setelah itu diputuskannya tali-tali yang mengikat pergelangan tangan dan kaki mereka. Setelah terlepas, kedua remaja itu berdiri sambil menggeliat Tampang mereka nampak kusut sekali. Mereka mengejap-ngejapkan mata, karena sudah lama tidak melihat cahaya terang.


Polisi yang satu lagi melihat mereka muncul ­satu-satu dari dalam karung. Ia datang menghampiri dengan heran.


"He! Ada apa sebetulnya di sini?" tanyanya. "Apa yang kalian lakukan dalam karung-karung itu? Ini untuk mencari publisitas lagi ya?"


Jupiter meluruskan tegaknya, mengambil sikap berwibawa. Ia meraihkan tangan ke dalam truk, mengambil salah satu karung yang tergeletak di situ. Dipinjamnya pisau Bob. lalu dirobeknya karung itu. Beberapa berkas uang kertas tumpah ke lantai dermaga. Setelah itu diambilnya kartu nama Trio Detektif dari kantongnya, lalu disodorkannya pada polisi yang memandang sambil melongo.


"Trio Detektif baru saja selesai mengusut kasus gangguan kurcaci," katanya dengan gaya gagah. "Di samping itu kami juga menyelamatkan uang yang dirampok secara nekat dari sebuah bank. Para perampoknya sekarang sedang mencoba melarikan diri," sambungnya. "karenanya kasus ini kami serahkan pada pihak yang berwenang. Kurasa keterangan ini sudah lengkap!"


Pete, Bob dan juga Hans memandangnya dengan perasaan kagum. Belum pernah mereka melihat sikap Jupe begitu mengesankan. Memang - kalau soal pasang aksi. Jupiter Jones tidak ada duanya!


­Bab 17 Serangan Mendadak


Sudah enam hari berlalu sejak Minggu yang menegangkan itu. Walau Jupiter sudah mengatakan. "Keterangan ini sudah lengkap", ketiga remaja itu tetap masih diharuskan menjawab pertanyaan yang hampir segudang banyaknya.


Polisi akhirnya berhasil diyakinkan bahwa Trio Detektif memang telah berhasil menggagalkan usaha para perampok melarikan diri dengan uang yang dirampok dari Bank Dagang. Mula-mula masih ada kesangsian mengenal peranan "kurcaci-kurcaci" dalam kejahatan itu. Tapi akhirnya polisi mau percaya. setelah Miss Agawam datang untuk mendukung kebenaran laporan itu. Tapi polisi tidak berhasil dalam usaha mereka menangkap para penjahat Rawley. Chuck dan Driller berhasil melarikan diri dengan kapal menghilang dalam kabut tipis yang datang.


Sementara polisi masih sibuk memeriksa Jupiter beserta kedua temannya. Sedang keempat orang cebol yang menyamar sebagai kurcaci mereka itu ternyata licin sekali. Mereka memungkiri segala tuduhan yang dilemparkan pada diri mereka. Polisi mendatangi tempat penginapan orang-orang teater, di mana hampir semua orang cebol yang ada di Hollywood bertempat tinggal. Keempat kurcaci palsu itu didukung oleh sejumlah teman mereka, yang berani bersumpah bahwa keempat-empatnya tidak pergi dan rumah penginapan itu saat perampokan terjadi. Keterangan itu tidak bisa digoyahkan sama sekali, sehingga polisi tidak bisa melakukan penangkapan.


Selama enam hari setelah itu, Jupiter kelihatan selalu termenung saja dan sering marah-marah. Sebetulnya ia jengkel pada dirinya sendiri. Ia memang akhirnya berhasil menarik kesimpulan bahwa para kurcaci sebenarnya orang-orang cebol yang menyamar. Ia juga berhasil mengetahui dan petunjuk-petunjuk yang ada. bahwa saat itu sedang berlangsung perampokan. Tapi kesadaran itu baru datang sesaat sebelum ia sendiri diringkus penjahat


Pete yang meninggalkan tanda petunjuk di dinding luar gedung bioskop. Dan Bob yang menemukan tanda petunjuk itu. Lalu Bob dan Hans yang menyelamatkan dirinya serta Pete. Harus diakui olehnya, Jupiter Jones yang berkedudukan sebagai Penyelidik Satu, dalam menangani kasus "kurcaci" yang merongrong Miss Agawam tidak bisa dibilang tampil secara gemilang. Begitulah perasaannya saat itu. Dan yang lebih parah lagi, kesimpulannya mengenai ke mana lenyapnya Pending Emas ternyata keliru - walau logikanya hebat sekali. Kenyataan itu sulit sekali bisa diterima oleh Jupiter. Bahkan kata-kata pujian yang dicurahkan Miss Agawam ­pada mereka bertiga, hanya sedikit saja mampu melipur perasaan Jupiter yang suram. Jadi harus terjadi sesuatu agar Jupiter bisa seperti biasa kembali. Bob dan Pete berharap, moga-moga kejadian itu lekas datang.


Sabtu sore itu Bob. Pete dan Jupiter sedang bersantai-santai di bengkel mereka yang letaknya agak tersembunyi dalam kompleks penimbunan barang bekas. Sepanjang pagi mereka sudah bekerja keras memperbaiki sejumlah barang bekas yang rusak. Jupiter agak senang, karena pekerjaan dengan tangan sempat mengalihkan pikirannya. Bersama-sama dengan Pete. Ia bercerita pada Bob mengenai pengalaman dalam gedung bioskop tua.


"Aku heran, kenapa polisi sampai sekarang belum berhasil menemukan jejak Rawtey," kata Pete mengomentari "Atau setidak-tidaknya. Driller. Tapi pihak kepolisian internasional kapan-kapan pasti akan menemukannya. Bagaimana pun juga, Driller gampang ketahuan - karena gigi emasnya."


"Orang yang memakai gigi emas tidak sedikit jumlahnya," kata Bob. "Bahkan pramuka cilik dengan siapa aku bertubrukan di museum waktu itu pun memakai gigi emas. Eh - ada apa. Jupe."


Bob memandang Jupiter dengan heran. Temannya itu tiba-tiba melompat berdiri sambil memandang Bob dengan sikap seperti bingung.


­"Kau melihat pramuka cilik yang bergigi emas?" tanya Jupiter dengan muka merah. Ia menghantamkan kepalan tinjunya ke mesin cetak "Bob!" katanya sambil mengerang. "Kenapa waktu itu tidak langsung kau katakan padaku? Kenapa tidak bilang?"


"Aku harus bilang melihat pramuka cilik bergigi emas?" tanya Bob bingung. "Kusangka itu sama sekali tidak penting baru sekarang aku ingat lagi mengenainya."


"Masakan kau tidak mengerti?" tukas Jupiter. "Kalau kau mengatakannya padaku waktu itu, aku pasti akan – "


Kalimatnya tidak diteruskan karena saat itu terdengar seruan lantang. Mrs. Mathilda Jones, bibi Jupiter. memberi tahu bahwa ada tamu datang.


Ternyata tamu itu Taro Togati. Anak Jepang itu kelihatan sedih sekali.


"Jupiter-­an-," katanya, sambil membungkukkan badan untuk memberi hormat. "Bob-san, Pete-san. Aku datang untuk pamit Ayahku sangat menderita karena malu. Kami akan kembali ke Jepang,"


"Kenapa Taro?" tanya Jupiter. "Apakah pameran perhiasan itu dihentikan?"


"Bukan begitu," kata anak Jepang itu sambil menggeleng. "Tapi kalian kan tahu. Pending Emas sampai sekarang tidak berhasil ditemukan. Ternyata barang itu tidak ada dalam museum, seperti yang kausimpulkan dengan begitu cerdas, Jupiter-san. Para penjaga ternyata telah dibuktikan tidak terlibat sama sekali dalam pencurian itu Sedang para tersangka yang baru tidak ada. Oleh sebab itu perusahaan perhiasan Nagasami memberhentikan ayahku dari kedudukannya sebagai detektif. Ayahku malu sekali. Semangat hidupnya tidak ada lagi."


Para anggota Trio Detektif Ikut sedih mendengar berita itu. Mereka suka pada Taro. Mereka tahu, ayah anak itu sudah berusaha sebisa-bisanya. Tapi kawanan yang merampok di Museum Peterson ternyata terlalu cerdik baginya.


Tapi Jupiter agak aneh sikapnya. Ia mencubit-cubit bibir bawahnya, tanda bahwa ia sedang asyik berpikir. Matanya bersinar-sinar. Kelesuan yang menghinggapi dirinya selama seminggu, saat itu tahu-tahu tidak nampak lagi.


"Taro," katanya. "Besok kan hari terakhir pameran itu di sini, ya?"


"Betul," jawab Taro sambil mengangguk.


"Minggu malam akan ditutup, Minggu malam aku akan terbang kembali ke Jepang ikut ayahku. Jadi aku datang hari ini untuk meminta diri pada kawan-kawan Amerika-ku."


"Kalau tidak salah, aku pernah membaca dalam koran bahwa besok akan diadakan lagi hari khusus untuk anak-anak," kata Jupiter. "Anak-anak di bawah dua belas tahun tidak usah membayar, sedang sisanya dikenakan tarif setengah harga."


"Betul," kata Taro lagi. "Acara yang waktu itu gagal total Karenanya lantas diputuskan untuk ­mengadakan hari khusus sekali lagi untuk anak-anak."


"Kalau begitu, kita tidak boleh membuang-buang waktu lebih lama! Aku punya akal. Taro. Masih maukah ayahmu memberi kesempatan padaku untuk membantu?"


"O ya!" Taro menganggukkan kepalanya dengan bersemangat "Ayahku sudah bingung sekali. Katanya polisi tidak berhasil mengusut perkara sekarang ia mau mencoba detektif anak-anak."


"Kalau begitu, ayolah!" kata Jupiter sambil buru-buru berdiri. "Kau ada mobil?"


"Ayahku menyuruh supir mengantarku kemari."


"BaguS! Bob, Pete - kalian di sini saja. Aku mungkin satu sore ini pergi. Bob, kauteruskan membuat catatan supaya nanti kalau sudah selesai kasus ini bisa kita serahkan pada Mr. Hitchcock untuk dibaca olehnya. Pete, mesin potong rumput yang berkarat itu kaubersihkan terus. Kita bisa mendapat sepuluh dolar untuk itu. Kalau perlu, minta izin pada orang tuamu untuk menginap di sini malam ini."


Sementara Pete dan Bob masih ternganga, Jupiter sudah cepat-cepat pergi sambil menyeret Taro Togab. Baru beberapa menit kemudian Pete dan Bob pulih dari keheranan mereka.


"Wah - ada apa sebetulnya tadi itu?" kata Pete.


"Aku juga tidak tahu," jawab Bob. "Pokoknya, tahu-tahu Jupiter begitu bersemangat. Kurasa kita hanya bisa menunggu saja sampai ia pulang nanti."


Keheranan mereka semakin bertambah, ketika mereka sore-sore menerima telepon dari Jupiter.


"Kalian coba semua jalan rahasia kita, kecuali Darurat Satu dan Nomor Empat," kata Jupiter. Kedua jalan yang dikecualikannya itu menurut ketentuan hanya boleh dipakai kalau keadaan betul-betul sangat mendesak. "Periksa baik-baik apakah semua masih dapat dilewati tanpa hambatan."


Hanya itu saja yang mau dikatakannya. Ia sudah memutuskan hubungan, sebelum kedua teman-temannya sempat bertanya apa-apa.


Pete dan Bob sama sekali tidak bisa memahami niat yang ada dalam pikiran Jupiter. Tapi walau begitu mereka patuh. Mereka masuk lewat Gerbang Hijau Satu, yang merupakan dua papan pagar yang dicat hijau. Kemudian mereka merangkak ke dalam lagi melalui Lorong Dua, sebuah pipa seng.


Setelah itu mereka mencoba pintu rahasia berikut Kelana Gerbang Merah yang terdiri dan tiga lembar papan bercat merah, sebagai bagian dari suatu lukisan peristiwa kebakaran besar tahun 1906 di San Francisco. Seekor anjing kecil duduk sambil memperhatikan kebakaran itu. Apabila mata anjing itu ditekan. ketiga papan yang berwarna merah terayun ke atas. Setelah masuk lewat sini, Pete dan Bob merangkak-rangkak seperti tanpa tujuan tertentu di antara tumpukan barang-barang bekas. Akhirnya mereka sampai di sisi samping Markas Besar. Di situ ada sebuah panel, lewat mana mereka masuk ke dalam. Jalan masuk yang paling gampang namanya juga sesuai. yaitu Tiga Enteng. Sebuah pintu kayu yang besar dan masih terpasang pada engselnya, tersandar pada setumpuk kayu di pekarangan itu. Dengan anak kunci besar yang sudah berkarat. yang diambil dari tempat penyembunyiannya dalam sebuah tong yang penuh dengan besi berkarat, pintu itu dibuka. Di belakang pintu itu terdapat lorong pendek yang menuju ke pintu trailer yang sudah diubah menjadi Markas Besar Trio Detektif. Tiga Enteng hanya dipakai pada saat di sekitar situ tidak ada orang.


Baik Bob maupun Pete melakukan tugas mereka dengan perasaan kurang senang. Tapi Jupiter kepala Trio Detektif, jadi apa katanya perlu dituruti. Masing-masing jalan masuk dicoba tiga kali. Setelah itu Pete dan Bob menunggu lagi.


Jupiter ternyata baru kembali satu jam lebih lambat dari waktu makan malam. Ia kelihatan terburu-buru, tapi puas. Anehnya, ia datang dengan taksi. Kendaraan itu berhenti tepat di depan rumah tinggal keluarga Jones. Jupiter turun, lalu membayar ongkos perjalanan dengan bergaya. Bob dan Pete semakin kaget ketika melihat taksi itu kemudian berhenti lagi di sudut jalan. Mereka melihat Taro menyelinap keluar dari kendaraan itu, lalu buru-buru masuk ke rumah lewat pintu belakang.


­"Astaga aduh ampun kursemangat!" seru Mrs. Jones ketika melihat Jupiter masuk. "Kau sedang mengapa lagi sekarang. Jupiter? Kau memakai jasmu yang paling bagus! Tapi kelihatannya sesak sekali pada bagian pinggang. Kau benar-benar sudah gendut sekarang."


Satu hal yang sangat tidak disukai Jupiter. ialah disebut gendut la tidak berkeberatan kalau dikatakan gempal atau kekar. Tapi gendut? Ia pasti akan marah. Tapi sekali itu ia cuma nyengir saja.


"Kalau kau melibatkan diri kembali dalam aksi perampokan bank, Nak - kukatakan dengan tegas saat ini juga bahwa aku menentangnya dengan tandas," kata Mr. Jones. Paman Jupiter itu seorang laki-laki bertubuh kecil dengan kumis hitam yang panjang melintang. Ia senang sekali berbicara dengan kalimat yang berbelit-belit.


"Dengan perkataan lain, aku tidak setuju dengan kegiatanmu itu. Secara singkat aku melarangmu!"


"Aku cuma berusaha membantu si Taro ini," Jawab Jupiter, sambil meletakkan tangannya di atas bahu anak Jepang yang masuk dari pintu belakang itu. "Ayahnya saat ini agak mengalami kesulitan, Ada pending yang salah taruh dan aku ingin menolong mencarinya."


"Hmm," Mr. Jones merenungkan ucapan Jupiter itu sambil membagi-bagikan daging panggang dan kentang tumbuk. Setelah selesai, ia menyambung lagi, "Salah menaruh pending. Kalimat itu sudah kuteliti dalam pikiranku sampai beberapa kali, tetapi aku tidak menemukan kemungkinan adanya bahaya di dalamnya. Jadi kau boleh melanjutkannya."


Setelah itu semua makan cepat-cepat karena perut sudah lapar sekali. Baik Jupiter maupun Taro nampaknya sibuk memikirkan sesuatu. Tapi Jupiter tidak mau mengatakan apa-apa pada Pete dan Bob. Ia Juga tetap memakai jasnya yang dikancingkan sampai ke atas. Padahal hawa malam itu panas.


Ketika di luar sudah gelap. Jupiter bangkit dari kursinya.


"Kami boleh berdiri dulu ya," katanya meminta izin pada paman dan bibinya. "Kami hendak mengadakan rapat di tempat kami,"


"Ah ya - klub kalian," kata bibinya samar-samar. Mrs. Jones masih tetap beranggapan bahwa Trio Detektif itu suatu klub biasa. "Sana-pergilah. Biar aku dan Paman Titus saja yang mencuci piring."


"Mudah-mudahan kalian bisa membantu ayah anak ini menemukan pendingnya yang hilang," kata Titus Jones sambil memegang bahu Taro. "Sekarang pergilah!"


"O ya - karena alasan tertentu kami tidak ingin orang lain tahu saat ini kami ada tamu," kata Jupiter. "Karena itu aku hendak minta tolong pada Hans dan Konrad untuk membawa Taro ke tempat kami dalam kotak kardus."


Hal itu mengherankan Bob dan Pete. Tapi paman dan bibi Jupiter hanya mengangguk saja. Rupanya mereka sudah biasa menghadapi keanehan yang kadang-kadang dilakukan oleh Jupiter.


Tidak lama kemudian Bob, Pete dan Jupiter berjalan menuju bengkel mereka yang terletak di sisi dalam pagar kompleks itu. diikuti oleh Hans dan Konrad yang membawa sebuah kotak kardus besar. Kotak itu diletakkan ke tanah, dan Taro merangkak ke luar.


Setelah kedua pembantu pamannya pergi lagi.


Jupiter mengajak anak-anak yang lain masuk ke Markas Besar lewat Lorong Dua. Begitu sampai di dalam, Jupiter bertanya.


"Kalian sudah melakukan perintahku tadi?"


Pete dan Bob mengiakan pertanyaan itu.


"Tapi kami sebetulnya tidak mau," kata Pete menggerutu. "Soalnya, beberapa orang anak-anak saat itu sedang bermain layangan di seberang Jalan. Kami khawatir mereka melihat kami keluar masuk jajan rahasia kita."


"Mungkin mereka itu anggota kawanan Skinny Norris yang Ingin memata-matai kita," kata Bob. "Tapi kau menyuruh kami melakukannya - jadi kami menurut saja."


"Bagus!" Jupiter kelihatannya senang. "Perintah perlu dituruti. Hanya dengan begitu segala sesuatunya bisa beres. Pengalamanku sore ini menarik sekali. Tapi lain kali saja kuceritakan. Sekarang kita bercerita saja pada Taro tentang pengalaman kita yang sudah-sudah."


Perintah Jupiter makin membingungkan saja. Tapi Pete dan Bob menuruti saja, lalu mulai ­bercerita. Taro Togati duduk sambil mendengarkan kisah mereka tentang berbagai kasus yang berhasil diusut sampai tuntas. Ia paling tertarik mendengar cerita Misteri Nuri Gagap. Katanya, di rumah ia juga mempunyai seekor burung nuri.


Sementara itu di luar hari sudah semakin gelap. Lewat jendela kaca yang terdapat di langit-langit, langit kelihatan sudah hitam sekali.


Baru saat itulah Jupiter membuka kancing jasnya. Kini Pete dan Bob melihat apa yang menyebabkan perut teman mereka itu nampak gendut. Ternyata Jupiter memakai Pending Emas para Kaisar Jaman Dulu!


Sambil menghembuskan napas lega Jupiter melepaskan ikat pinggang yang besar itu, lalu meletakkannya ke atas meja. Emas dan jamrud berkilauan kena cahaya lampu.


"Seharian aku memakainya," kata Jupiter. "Beratnya lumayan juga."


Pete dan Bob menghujaninya dengan pertanyaan. Di manakah ia menemukannya? Kenapa ia kemudian memakainya? Kenapa tidak langsung dikembalikan?


Sebelum Jupiter sempat memberikan jawaban, tiba-tiba pintu yang terdapat di lantai terangkat ke atas. Pintu itu merupakan ujung jalan rahasia yang dikenai dengan nama Lorong Dua. Seorang laki-laki bertubuh kecil muncul di situ, dengan wajah menyeringai seram dan sebilah pisau di tangan. Saat itu juga panel di sisi kamar terbuka dengan keras. Seorang cebol lagi masuk ke dalam. Ia pun bersenjatakan pisau.


Tapi ternyata itu belum semuanya. Pintu utama dua Tiqa Enteng terbanting membuka ke dalam. Dua laki-laki bertubuh cebol masuk. lalu mengacungkan pisau ke arah anak-anak. Biar tubuh mereka kecil, tapi tampang mereka galak dan kelihatan penuh tekad.


Orang dewasa takkan bisa masuk ke Markas Besar lewat jalan-jalan rahasia. Artinya, orang dewasa yang berukuran normal. Tapi mereka yang masuk itu bukan orang dewasa biasa, melainkan orang cebol


Sementara keempat-empatnya bergerak maju dengan sikap mengancam, Jupiter langsung beraksi.


"Siaga Utama! Langsung ke luar!" serunya.


Sambil berkata begitu disambarnya Pending Emas yang terletak di atas meja. Jendela kaca yang ada di atas kepala didorongnya sehingga terbuka. Dan sebelah luar ditariknya seutas tali yang ada jeratnya sepasang. Gunanya sebagai tempat pijakan kaki. Dengan cepat Taro naik ke atas lewat tali itu. Lalu Jupiter menyodorkan Pending Emas padanya. Pete dan Bob sebenarnya agak bingung menghadapi perkembangan yang datang dengan tiba-tiba itu. Tapi berkat latihan yang sering mereka lakukan kini mereka bertindak tanpa berpikir panjang lagi. Dengan cepat mereka memanjat ke atap trailer, menyusul Taro. Ketika keempat orang cebol yang nampak marah itu bergerak menghampiri meja. Jupiter sudah lebih dulu sampai ke atas atap.


Tapi kini mereka kelihatannya terjebak di situ. Orang-orang cebol yang biasa bermain akrobat itu bergegas menyusul ke atas. Mereka berteriak-teriak dengan gembira karena kelihatannya sama sekali tidak ada jalan bagi anak-anak untuk turun ke bawah. Padahal Jupiter sudah bersiap-siap menghadapi keadaan darurat seperti saat itu.


Sebuah tempat peluncuran yang sudah usang, yang berasal dari pekarangan sebuah sekolah tersandar ke sisi karavan. Jalan turun lewat situ kelihatannya terhalang batang-batang besi. Tapi anak-anak satu demi satu merebahkan diri ke tempat peluncuran itu. Dengan posisi menelungkup. mereka meluncur turun, sampai ke tanah yang dilapisi serbuk gergaji. Setelah itu mereka berlari di sela-sela tumpukan barang bekas menuju pintu keluar.


Di atap Markas Besar, seorang cebol mencoba menyusul lewat tempat peluncuran. Tapi ia meluncur turun sambil duduk! Sebagai akibatnya, kepalanya terbentur sebatang besi yang menonjol. Teriakan marahnya memecah kesunyian malam.


"Kembali!" teriaknya pada kawan-kawannya. "Masuk lagi ke dalam lalu keluar lewat jalan tadi! Kita harus berhasil mengejar mereka!"


Orang-orang cebol yang masih ada di atas atap berebut-rebut masuk lewat lubang jendela. Lalu keluar lagi lewat Tiga Enteng.


"Kita harus mencari mereka sampai dapat!" pekik salah seorang di antara mereka. "Pending itu masih ada pada mereka!"


Jupiter beserta teman-temannya yang bersembunyi di tempat gelap di belakang tumpukan kayu merinding ketakutan. sementara empat bayangan kecil datang menghampiri. dengan pisau yang berkilat-kilat.


Kemudian Bob dan Pete sekali lagi kaget. Tiba-tiba terdengar bunyi peluit yang ditiup dengan nyaring dari salah satu tempat. Sesaat kemudian sekitar enam sosok tubuh yang besar-besar datang berlari-lari memasuki gerbang utama, lalu langsung menyergap orang-orang cebol yang juga ikut kaget. Manusia-manusia bertubuh kecil itu menggeliat-geliat hendak melepaskan diri sambil berteriak-teriak. Tapi mereka bukan tandingan polisi dan Mr. Saito Togati yang ternyata sedari tadi sudah menunggu di luar.


Pergulatan berlangsung dengan seru, tapi hanya sebentar. Keempat orang cebol itu diringkus, lalu digiring dalam keadaan terikat ke mobil polisi yang menunggu di luar. Bob, Pete. Jupiter dan Taro muncul dari tempat persembunyian mereka Taro gembira sekali


"Nah! Betul kan, Ayah!" serunya. "Rencana Jupiter-San berjalan dengan sempurna. Pending berhasil ditemukan kembali dan para penjahat diringkus!"


"Ah, so!" kata Mr. Togati. "Ternyata buku kecil juga mengandung kata-kata mutiara. Jupiter-san. ­dengan ini saya meminta maaf atas kekasaran pada awal perjumpaan kita."


"Ah, itu kan tidak apa-apa," kata Jupiter. Ia agak terbata-bata, karena gembira sekali melihat hasil rencananya. "Dengan sendirinya Anda berpendapat bahwa polisi akan bisa mencapai hasil yang lebih baik."


"Kalau menghadapi penjahat yang biasa, memang betul," kata Mr. Togati mengakui. "Tapi tidak kalau menghadapi penjahat luar biasa seperti yang tadi itu," Kini ia berpaling pada Taro. "Nak, aku senang sekali sekarang bahwa kau mendesakku agar mau mendengarkan teman-teman Amerika-mu ini."


Taro kelihatannya bangga sekali dipuji ayahnya.


"Sekarang pending ini akan kujaga baik-baik," kata Mr. Togati sambil menyentuh pending antik itu dengan penuh hormat. "Nilainya besar sekali. Kalian telah menyelamatkan kehormatanku. Aku takkan melupakannya. Sekali lagi, terima kasih. Ayo. Taro! Kita harus pergi sekarang. Tapi kalian akan tetap kami kenang."


Mr. Togati membungkuk dalam-dalam, diikuti oleh putranya. Setelah itu mereka pergi. membawa Pending Emas. Kepala polisi Rocky Beach, Chief Reynolds, masih tinggal sebentar, karena masih ingin mengajukan beberapa pertanyaan pada Jupiter.


Bob dan Pete hanya bisa melongo saja. Mereka bingung memikirkan apa sebetulnya yang terjadi. Tindakan-tindakan Jupiter yang serba misterius, ­lalu pengakuannya secara tiba-tiba bahwa Pending Emas ada padanya, disusul oleh penyerbuan keempat orang cebol serta pelarian mereka, lalu munculnya Chief Reynolds bersama Detektif Togati - kesemuanya itu tidak basa segera dipahami oleh Bob maupun Pete. Tapa akhirnya Bob mengerti Juga!


"Jupe!" katanya, setelah kepala polisi kota pergi. "orang-orang cebol yang datang tadi hendak merampas Pending Emas! Pasti mereka itu juga yang membantu Rawley merampok bank Betul, kan?"


"Ya, betul!" kata Jupiter. "Mereka ternyata benar-benar penjahat, dan sudah waktunya mereka tertangkap. Mereka sudah terlalu sering melakukan kejahatan dengan menyamar sebagai anak-anak."


"Tapi-" sekarang Pete mulai mengerti. "Tapi – he, nanti dulu! lalu mereka itu pula yang semula mencuri Pending Emas?"


"Tentu saja! Waktu itu sudah kukatakan, para pelakunya pasti kawanan yang teratur rapi. Orang-orang cebol itu orang dewasa - hanya badan mereka saja yang kecil. Waktu itu mereka menyamar sebagai pramuka cilik. Karena itu mereka tidak dicurigai. Siapa yang akan menyangka anak-anak akan melakukan kejahatan? Aku mestinya sudah lebih cepat tahu, apabila dari semula Bob sudah melaporkan soal gigi emas itu. Tapi tak apalah karena akhirnya aku berhasil juga ­menemukan kembali Pending Emas dan keempat orang cebol itu tertangkap."


Sebetulnya masih banyak lagi yang belum dimengerti oleh Bob dan Pete. Tapi mereka tahu, kapan-kapan Jupiter pasti akan menjelaskan pada waktunya yang tepat. Saat itu Jupiter kelihatannya sedang merasa puas terhadap dirinya sendiri, seperti yang kadang-kadang nampak apabila semuanya berlangsung sesuai dengan rencananya.


Bab 18


Mr. Hitchcock Menuntut Jawaban


­Alfred Hitchcock duduk sambil menyandar ke punggung kursi putarnya. Di seberang meja dalam kantor mewah itu Bob, Pete dan Jupiter duduk menghadapi sutradara Hollywood yang kenamaan itu. Ketiga remaja itu necis sekali nampaknya saat itu. Semua memakai pakaian yang terbagus.


Mr. Hitchcock duduk sambil membaca berkas kisah teka-teki Pending Emas serta para kurcaci pengganggu Miss Agawam. Bob yang menyusun laporan itu. Kini ketiga remaja itu nampak gelisah menunggu reaksi Mr. Hitchcock apabila sudah selesai membaca kisah itu.


"Bagus," kata Mr. Hitchcock dengan suaranya yang berat ketika ia selesai. "Betul-betul baik hasil pekerjaan kalian. Rupanya kalian berhasil membebaskan kawanku Agatha dari rongrongan para kurcaci. Dan sekaligus kalian juga masih harus mengusut peristiwa perampokan bank menyelamatkan uang yang dirampok, menemukan kembali Pending Emas berharga yang hilang. serta menyodorkan para pencurinya ke tangan polisi. Tapi kesemuanya itu tambahan belaka. Aku sudah memperkirakan hal-hal seperti itu akan terjadi apabila Trio Detektif menangani kasus, tidak peduli bagaimana sepelenya pun kelihatannya perkara yang dihadapi."


Bob dan Pete mendengarkan kata-kata itu sambil nyengir. Sedang Jupiter memerah mukanya karena bangga.


"Jadi kurcaci-kurcaci yang merongrong Agatha ternyata orang-orang cebol yang menyamar," gumam Mr. Hitchcock. "Memang itu satu-satunya jawaban yang masuk akal. Tapi coba kalian ceritakan bagaimana perasaan Agatha, ketika mendengar bahwa keponakannya tahu mengenai rencana Rawley untuk menakut-nakutinya dengan kurcaci-kurcaci gadungan?"


"Mula-mula Miss Agawam marah," kata Jupiter. "Tapi Roger sebetulnya tidak tahu bahwa perbuatan itu merupakan bagian dari rencana jahat untuk merampok bank. Ia malu sekali karenanya. Melihat keadaannya itu akhirnya Miss Agawam mau memaafkannya. Miss Agawam bahkan kemudian mengambil keputusan untuk menjual rumahnya lalu pindah ke sebuah apartemen kecil dekat laut. Katanya, di situ ia bisa hidup lebih nyaman."


"Aku senang sekali mendengarnya," kata Mr. Hitchcock. "Agatha orangnya sangat baik. Yah - dengan begitu kurasa segala teka-teki yang berhubungan dengan perampokan bank itu kini sudah terpecahkan. Betul-betul rencana yang cerdik sekali - menjadi penjaga malam di sebuah gedung bioskop yang sudah tidak dipakai lagi, ­supaya bisa menggali terowongan menuju kamar harta bank yang terletak di bawah tanah. Mungkin siasat ini bisa kupakai dalam salah satu filmku yang akan datang.


"Tapi sekarang-" sambil berkata begitu Mr. Hitchcock menepuk-nepuk naskah kisah yang masih dipegangnya – "sekarang kita sampai ke bagian yang benar-benar merupakan teka-teki bagiku. Terus terang saja, aku benar-benar merasa bingung membaca kasus Pending Emas. Bagaimana perhiasan antik itu sampai bisa dicuri, lalu di mana barang itu disembunyikan. Lalu bagaimana kau, Jupiter. bisa memancing penjahat-penjahat cebol itu untuk menyerang kalian, sehingga polisi mendapat peluang untuk meringkus mereka dengan bukti-bukti nyata. Tolong paparkan padaku dengan sejelas-jelasnya segala persoalan yang misterius bagiku ini."


"Yah, Sir -" Jupiter menarik napas panjang- karena banyak yang hendak diceritakannya - "saya sebetulnya harus sudah jauh lebih dulu mengetahuinya. Seharusnya segera begitu kami menyadari bahwa kurcaci-kurcaci yang merongrong Miss Agawam sebetulnya orang-orang cebol yang menyamar. Saya sebetulnya harus sadar bahwa jika mereka bisa kelihatan seperti kurcaci. mereka pun bisa saja menyamar menjadi anak-anak Tapi reaksi saya terlalu lamban. Saya baru sadar ketika Bob bercerita melihat seorang pramuka cilik bergigi emas di museum."


­"Ah!" Mr. Hitchcock mencondongkan tubuhnya ke depan tanda bahwa ia tertarik. "Gigi emas. ya? itu yang kutunggu-tunggu. Tolong katakan apa yang bisa disimpulkan seorang detektif ulung dan fakta bahwa ada pramuka cilik bergigi emas?"


"Begini, Sir," kata Jupiter. "Anak-anak yang masih kecil giginya kemudian kan lepas. diganti dengan gigi tetap. Semua orang mengetahuinya. Jadi tidak mungkin anak kecil diberi bergigi emas. Soalnya nanti terlepas. apabila gigi tetap tumbuh."


"Ya, tentu saja!" Dari air mukanya nampak bahwa Mr. Hitchcock kini mengerti. "Hanya remaja yang sudah besar atau orang dewasa saja yang mungkin memakai gigi emas. Tepat! Jadi karena itu kau lantas sadar, pramuka cilik itu pasti sebetulnya orang dewasa!"


"Ya - seorang dewasa bertubuh cebol, memakai seragam pramuka cilik," kata Jupiter. "Di tengah kerumunan pramuka asli yang begitu ramainya waktu itu, ia beserta kawanannya bisa bergerak dengan leluasa tanpa sedikit pun meninggalkan kecurigaan."


"Menakjubkan," kata Mr. Hitchcock. "Sayang, akal secerdik itu tidak dimanfaatkan untuk tujuan baik."


"Keempat orang cebol itu ternyata pemain akrobat. yang berasal dari Eropa Tengah," kata Jupiter menyambung ceritanya. "Akhir-akhir ini di Hollywood sini pekerjaan untuk orang cebol kebetulan sedang langka. Karena itu mereka berempat lantas mengadakan rencana untuk melakukan perampokan. Kebetulan pameran keliling perhiasan Nagasami datang kemari. Pihak penyelenggara mengumumkan bahwa akan diadakan hari kunjungan khusus untuk anak-anak. Yang memakai pakaian seragam pramuka bisa masuk tanpa membayar itu merupakan peluang yang bagus sekali bagi keempat penjahat cebol itu, karena mereka memang biasa tampil sebagai anak-anak. Jadi situasi itu cocok sekali dengan siasat mereka.


"Pada saat itu pula Rawley muncul. Ia mencari orang-orang cebol yang mau disuruh menyamar menjadi kurcaci untuk membantu pelaksanaan rencananya merampok bank.


"Keempat orang cebol itu lantas berkompromi dengan Rawley. Rawley diminta menyediakan seorang kawan wanita yang harus berdandan sebagai pimpinan pramuka, lalu mengantar keempat orang cebol yang menyamar sebagai pramuka masuk ke museum. Wanita itu juga menyewa seorang aktor, Mr. Frank. Ia ini ditugaskan untuk menimbulkan keributan dalam museum, supaya perhatian orang Semua terarah padanya. Ketika hal itu terjadi keempat penjahat cebol cepat-cepat menaiki tangga yang menuju ke balkon. Tidak ada orang yang melihat mereka naik ke atas.


"Nah - sesaat kemudian lampu-lampu padam semua. Saya yakin bahwa itu perbuatan Rawley, sebagai imbalan atas bantuan para cebol padanya. Ia memutuskan semua saluran listrik lalu pergi lagi. ­Sementara itu keempat orang cebol sudah berada di atas balkon, sedang di lantai bawah keadaan kacau-balau. Anak-anak kecil kebingungan. lari kian kemari. Pokoknya keadaan benar-benar kacau saat itu."


"Memang!" sela Pete.


"Keempat orang cebol itu berbekal tali nilon," sambung Jupiter. "Mungkin sebelumnya dibawa oleh wanita pengiring mereka, dililitkan ke pinggang di bawah blusnya. Nah! Tiga orang cebol tetap berdiri di balkon sambil memegangi tali, sedang yang keempat meluncur turun lewat tali itu, memecahkan bagian atas kotak kaca dengan tendangan kakinya menyambar Pending Emas, lalu ditarik kembali ke atas,"


Mr. Hitchcock nampak berpikir-pikir. "Mmm - ya, itu bisa," katanya. "Karena mereka pemain akrobat itu memang bisa mereka lakukan dalam waktu tak sampai setengah menit saja. Sekarang aku baru mengerti, apa sebabnya Pending Emas yang dicuri - dan bukan Permata Pelangi. Kotak tempat Permata Pelangi dipamerkan letaknya di tengah-tengah ruangan museum. Tempat itu tidak bisa mereka capai dari balkon. Jadi mereka mengambil apa yang bisa mereka ambil. Pasti mereka berniat menjual pending antik itu kembali pada perusahaan Nagasami. Katakanlah - minta uang tebusan!"


"Para penjahat cebol itu tetap membungkam sampai sekarang," kata Jupiter. "Tapi Mr. Togati, detektif perusahaan itu juga berpendapat demikian. Nah - setelah pending antik berhasil dicuri, mereka masih harus menyembunyikannya dulu. Soalnya, saat itu tidak mungkin bisa dibawa keluar tanpa ketahuan. Jadi mereka cepat-cepat menyembunyikannya di salah satu tempat Setelah itu mereka buru-buru turun lagi ke lantai utama, saat ruangan masih gelap. Lalu mereka ikut keluar di tengah anak-anak yang sedang panik. Tidak ada kecurigaan yang timbul terhadap samaran mereka. Dan mereka tentu saja tidak bisa tertangkap tangan membawa pending itu, karena memang tidak mereka bawa saat itu."


"Hmmm!" kata Mr. Hitchcock. "Katamu, pending itu mereka sembunyikan dalam museum. Tapi kemudian atas saranmu sendiri, museum itu digeledah sampai ke sudut-sudut terpencil - bahkan rongga antara kain lukisan dan dinding pun ikut diperiksa. Tapi pending itu tetap tidak ditemukan. Kenapa begitu?"


"Soalnya mereka mencari ke mana-mana, kecuali ke tempat yang benar," kata Jupiter. "Orang-orang cebol itu sudah merencanakan tempat persembunyian untuknya dengan matang sekali. Mereka yakin pending itu takkan bisa ditemukan sehingga mereka kapan-kapan bisa kembali untuk mengambilnya dengan leluasa. Kebetulan saat itu mereka sedang sibuk membantu aksi perampokan bank. Karenanya mereka bermaksud akan kembali pada Hari Kanak-kanak yang berikut di mana mereka bisa datang lagi dengan seragam pramuka yang tidak mencurigakan.


"Tepat," kata Mr. Hitchcock sependapat.


"polisi tidak bisa menahan mereka, sehubungan dengan perampokan bank. Mereka dilindungi kawan-kawan mereka yang memberikan alibi yang teguh. Mereka dikatakan sama sekali tidak pergi dari tempat penginapan ketika perampokan bank berlangsung. Kemudian saya mendapat akal. Apabila saya bisa memancing agar mereka datang menyerang dan sementara itu sudah mempersiapkan polisi sehingga bisa campur tangan ketika mereka sedang menyerang, mereka dengan begitu akan tertangkap tangan."


"Kau waktu itu setidak-tidaknya kan bisa mengatakan rencanamu itu pada kami!" tukas Bob sambil menyela. "Aku dan Pete ketakutan setengah mati ketika keempat orang cebol itu tahu-tahu menyerbu kantor kita sambil mengayun-ayunkan belati!"


"Jalan keluar kita dalam keadaan darurat, seperti sudah kuyakini dari semula ternyata berfungsi dengan baik sekali," kata Jupiter mengingatkannya. "Jadi kan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kejadian sebelumnya begini. Mr. Hitchcock. Saya saat itu cepat-cepat pergi ke museum bersama Taro Togati. anak detektif Jepang yang mengepalai pengamanan pameran itu. Bersama ayahnya kami menemukan Pending Emas di tempat penyembunyiannya, lalu saya lilitkan ke pinggang dan ditutup dengan jas."


­"Nanti dulu! Nanti dulu," sela Pete terburu-buru. "Di mana kau menemukannya?"


"Nanti kukatakan," jawab Jupiter. "Pokoknya, pending itu saya pakai di balik jas. Setelah itu saya mendatangi rumah penginapan tempat orang-orang cebol itu tinggal. Orang lain yang melihat pasti mendapat kesan bahwa saya seorang diri ke situ. Padahal saya diikuti detektif-detektif berpakaian biasa. Soalnya, Pending Emas ini nilainya mungkin sejuta dolar!


"Di sana saya berbicara dengan orang cebol yang bergigi emas, karena saya tahu dia pasti anggota kawanan. Ia berpura-pura tidak mengerti apa yang saya katakan. Tapi sebenarnya ia tahu persis saya ikut menggagalkan aksi perampokan bank yang dilakukan oleh Rawley.


"Saya mengatakan padanya, saya sekarang menyesal tidak mau menerima ajakan Rawley untuk menjadi anggota kawanannya. Saya mengatakan juga bahwa saya ingin cepat menjadi kaya. Nah - kalau itu langsung dimengerti olehnya."


"Para penjahat memang semua berpendapat begitu," kata Mr. Hitchcock. "Jadi tentu saja mereka mengira orang semua begitu."


"Saya mengatakan padanya bahwa Pending Emas saat itu ada pada saya. Tapi saya tidak tahu bagaimana cara menjualnya. Karena itu saya bersedia untuk melepaskannya dengan harga yang sama yang dibayarkan Rawley pada mereka berempat. Jadi empat puluh ribu dolar. Saya lantas membuka jas, untuk memperlihatkan pending antik itu padanya. Ia terbelalak melihatnya, sampai hampir saja matanya copot. Ia tahu itu memang pending yang asli. Ia pasti merasa saya ini mesti penjahat. Karena kalau bukan, tentunya saja sudah cepat-cepat melaporkan penemuan itu pada pihak museum."


Jupiter kelihatannya senang karena mengetahui dirinya di kira penjahat ulung.


"Saya lantas mengatakan padanya, ia beserta kawan-kawannya saya beri waktu sampai tengah malam untuk mempertimbangkan tawaran saya itu. Selama itu saya akan menunggu di Markas Besar di tempat penimbunan barang bekas, bersama kawan-kawan saya. Jika mereka menerima penawaran saya, mereka boleh datang dengan membawa uangnya. Saya tahu di tempat penginapan itu mereka takkan berani berbuat yang bukan-bukan, karena terlalu banyak orang di situ."


"Aha!" kata Alfred Hitchcock. "Karena tahu mereka itu penjahat kau lantas merasa mereka pasti akan mencoba merampas pending itu darimu, dan bukan menebusnya."


"Ya Sir. Tapi andaikata mereka datang untuk menebus dengan uang hasil perampokan bank, itu pun bisa dijadikan bukti yang memberatkan mereka."


"Jadi itu rupanya sebabnya kau menyuruh kami begitu sering keluar masuk lewat jalan-jalan rahasia kita!" seru Bob. "Anak-anak yang sedang main layangan itu orang-orang cebol yang menyamar, untuk mengintai. Kau memang sengaja memberi kesempatan pada mereka untuk mencari jalan sebaik-baiknya untuk menyerang kita!"


"Tapi lain kali kalau kau mempertaruhkan nyawa kami lagi, tolong bilang dulu dong!" kata Pete.


Jupiter nampak merasa agak kurang enak. Duduknya menjadi sedikit gelisah.


"Kepercayaanku pada Darurat Satu benar-benar seratus persen," katanya. "Dan memang saat itu perlu menunjukkan pada orang-orang cebol bagaimana caranya masuk ke Markas Besar. Taro kuajak, supaya bisa membujuk ayahnya agar mau menerima saranku. Tapi orang-orang cebol itu tidak boleh sampai tahu. Karena kalau tahu aku datang bersama anak itu. pasti mereka akan langsung curiga.


"Yah - pokoknya aku memberi tahu Detektif Togati dan juga Chief Reynolds agar bersiap-siap. Mereka menunggu di luar, di tempat tersembunyi. Orang-orang cebol itu ternyata datang menyerang, tepat seperti rencana ku. Kita lari sedang mereka diringkus polisi. Kasus selesai dengan memuaskan."


"Betul. betul!" sambut Mr. Hitchcock. "Tapi-" Jupiter ditatapnya dengan sikap galak - "kau tadi mengelakkan pertanyaanku. Jadi kutanyakan saja sekali lagi. Di manakah Pending Emas itu disembunyikan, sehingga tidak bisa ditemukan orang lain?"


"Mereka menyembunyikannya di tempat yang tidak mungkin akan diperiksa orang," kata Jupiter menjelaskan "Saya bingung juga memikirkannya sampai saya teringat bahwa orang-orang cebol itu pemain akrobat Di rumah Miss Agawam mereka membentuk menara dengan jalan berdiri di atas bahu teman. sehingga dengan begitu bisa mengetuk kaca jendela di tingkat satu. Hal itu menyebabkan saya berpikir mungkin mereka di museum pun-"


"Tunggu sebentar. Jupiter," kata Mr. Hitchcock. "Aku mulai mengerti sekarang. Kucoba saja, apakah aku bisa menarik kesimpulan sama seperti yang kaulakukan."


Setelah itu ia kembali menekuni kertas-kertas catatan yang terletak di alas meja. Dibalik-baliknya naskah itu sampai ditemukan halaman yang dicari. Dibacanya sebentar. Kemudian ia mengangguk.


"Ya, betul." katanya. "Petunjuk-petunjuknya ada semuanya di sini," Mr. Hitchcock menyebutkan halaman yang baru saja dibacanya. "Kini semua sudah jelas."


Bob berusaha mengingat-ingat, apa saja yang tertulis pada halaman yang disebutkan sutradara kenamaan itu. Yang jelas, mengenai keadaan dalam museum serta cara lukisan-lukisan digantungkan di situ. Hanya itu saja yang bisa mereka ingat.


"Ya. betul," kata Mr. Hitchcock sekali lagi. "Dalam pemaparan lokasi di sini. Jelaslah bahwa dalam kedua ruangan yang langit-langitnya ­berbentuk kubah terdapat semacam bingkai yang lebar dekat pinggir langit-langit. Jaman dulu bingkai semacam itu dipergunakan untuk menggantungkan lukisan. Di rumah-rumah besar gaya kuno, bingkai begitu dipasang sebagai dekorasi, supaya dinding tidak kelihatan tinggi sekali.


"Bingkai begitu kalau ukurannya cukup lebar. mungkin saja bagian tengahnya ada relungnya. Atau bisa juga sisi atasnya datar. Bisa kubayangkan, orang-orang cebol itu melihat di museum ada bingkai itu. Mereka tahu. takkan ada orang menduga tempat itu bisa dipakai untuk menyembunyikan sesuatu. Jadi setelah pending dicuri, mereka lantas membentuk menara hidup. Orang cebol yang berdiri paling atas menaruh pending antik itu dalam relung yang ada dalam bingkai itu, atau di sisi atasnya. Pokoknya di tempat yang tidak bisa kelihatan dari bawah.


"Pekerjaan itu memakan waktu sebentar saja. Sesaat kemudian mereka sudah kembali berperan sebagai pramuka cilik yang ingin buru-buru keluar karena takut gelap. Dalam pemeriksaan yang menyusul kemudian, tak seorang pun memperhatikan bingkai itu. Soalnya, untuk mencapai tempat setinggi itu diperlukan tangga. Sedang saat terjadi perampokan, dalam ruangan itu sama sekali tidak ada tangga. Betulkah kesimpulanku ini, Jupiter?"


Dalam hati mereka Bob dan Pete memaki-maki diri sendiri karena tidak berpikir sampai ke sana. Padahal mereka juga melihat bingkai yang dimaksudkan oleh Mr. Hltchcock. Tapi tentu saja tempat dekat langit-langit di museum gelap sekali, karena jendela sama sekali tidak ada. Mereka kagum pada Mr. Hitchcock, karena sutradara itu berhasil memperoleh kesimpulan itu dengan jalan membaca saja.


Karena itu mereka kaget sekali ketika mendengar jawaban Jupiter.


"Tidak betul, Sir," kata kawan mereka itu "Jawaban Anda tidak sepenuhnya benar."


Pipi Mr. Hitchcock menggembung. Jupiter ditatapnya dengan kening berkerut


"Ah, masa salah!" katanya dengan suara berat "Jika aku membuat film mengenai kasus ini. Itulah tempat penyembunyian yang akan kupilih. Kalau begitu di mana pending emas itu disembunyikan?"


"Saya terus terang saja juga menarik kesimpulan yang sama seperti Anda. Sir," kata Jupiter. "Tapi ketika saya sampai di museum lalu naik tangga untuk memeriksa, ternyata bingkai itu bentuknya melengkung. Di situ sama sekali tidak ada permukaan yang datar. di mana pending bisa ditaruh. Saya bingung saat itu."


"Bisa kubayangkan," kata Mr. Hitchcock.


"Lalu ketika saya masih berdiri di atas tangga dengan perasaan konyol, saya merasakan ada angin sejuk menghembus di depan muka saya. Saat itu juga saya menyadari duduk perkara sebenarnya -"


"Aha!" kata Mr. Hitchcock. "Alat pengatur hawa!"


­"Betul, Sir," kata Jupiter. "Persis di bawah bingkai itu ada lubang untuk alat pengatur hawa khusus yang dipasang di museum itu. Saya mencoba menarik kisi-kisi yang terpasang di sebelah depan lubang itu. Ternyata bisa dilepaskan dengan mudah. Pending Emas rupanya digantungkan di bagian dalam saluran pengatur hawa dengan seutas tali hitam. Tapi seperti Anda katakan tadi, lubang itu letaknya begitu tinggi sehingga untuk mencapainya diperlukan tangga. Karenanya selama itu tidak ikut diperiksa!"


"Hebat!" kata Mr. Hitchcock "Sekarang segala-galanya sudah jelas. Kalian pada hakikatnya berhasil mengusut dua kasus sampai selesai. Kedua kasus itu saling berhubungan karena peranan empat penjahat cebol di dalamnya. Ini merupakan prestasi yang benar-benar hebat - juga untuk Trio Detektif."


Ketiga remaja yang duduk di depannya saling berpandangan sambil nyengir. Ketika mereka hendak pergi, Mr. Hitchcock masih mengajukan pertanyaan susulan.


"Lalu apa yang akan kalian lakukan sekarang?"


"Berlatih menyelam di laut, Sir," kata Pete dengan segera. Bob mengangguk, tanda setuju. Tapi Jupiter masih berpikir-pikir.


"Menurut perasaanku berlatih menarik kesimpulan dari petunjuk-petunjuk yang diketahui mungkin lebih penting," gumamnya seperti pada diri sendiri.


Mr. Hitchcock tertawa.


­"Yah - apa pun yang akhirnya akan kalian lakukan. satu hal kuketahui dengan pasti. Kesibukan itu pasti akan menarik." katanya. "Aku menunggu laporan kalian yang selanjutnya."


Ketiga remaja itu pergi sementara sutradara film itu kembali menghampiri naskah catatan Bob yang terletak di atas meja.


"Kurcaci dan perhiasan hilang," katanya sambil tertawa geli. "Kalau dibikin film, pasti asyik jadinya!"


TAMAT