Pendekar Mabuk 21 - Titisan Ilmu Setan(2)



Perempuan itu tergolong tinggi, tapi badannya sekal dan kencang, sehingga tidak tampak canggung.
Ia mempunyai ketinggian tubuh sejajar dengan Pendekar Mabuk. Layak menjadi prajurit Srikandi. Jari-jarinya lentik berkuku panjang namun bukan runcing. Betisnya indah, dan sangat serasi mengenakan celana ketat bludru berhias benang perak.

"Aku tak pernah sekagum ini padamu, Perempuan," ucap Pendekar Mabuk tak sadarkan diri. "Aku tak pernah berdebar-debar seperti ini!" dalam hati Suto berkata, "Selamatkan aku dari godaan, ya Dewa...!"

Perempuan itu mulai berwajah manis. Tidak cemberut lagi. Suto makin berdesir-desir hatinya. Bahkan ketika perempuan itu tersenyum, jantung Suto berdetak cepat sekali. Namun di dalam hatinya Suto kembali berkata dengan mata tetap memandang kecantikan itu,

"Kurasa dia mempunyai ilmu pemikat hati lelaki! Tinggi juga ilmu pemikatnya itu, sehingga aku dibuat berdebar-debar begini!"

Perempuan itu tetap diam di tempat. Matanya memandang ke arah lain, bagai mencari sesuatu dengan sekejap, kemudian kembali menatap Suto Sinting lagi.

"Apakah kau sudah sejak tadi memperhatikan aku menghadang pemuda rusak wajah itu?!" tanya Pendekar Mabuk.

Perempuan itu hanya mengangguk. Kemudian memandangi tanaman liar yang berbunga. Sambil memunggungi Suto ia berkata,

"Telah kudengar percakapanmu dengan si Dogol tadi. Dan aku merasa aneh, mengapa kau bernada marah dan curiga ketika Dogol mengatakan menuang racun ke dalam sungai!"

"Karena sungai itu mengalir di samping kediaman sahabatku, Arum Kafan dan kedua adiknya. Jika air itu diminum, maka Arum Kafan dan kedua adiknya bisa mati!"

"Kekasihmukah Arum Kafan itu?" tanyanya masih sambil memetik-metik bunga. Seakan acuh tak acuh pada Suto.

Terdengar suara Suto menjawab di sela tawanya yang mirip orang menggumam panjang itu,

"Bukan. Dia bukan kekasihku. Tapi hubunganku cukup baik dengan ketiga saudara itu!"
"Cantikkah mereka itu menurutmu?"
"Lebih cantik kamu. Boleh kutahu siapa namamu?"

Gadis itu memandang. Bibirnya yang rapat menyunggingkan senyum kecil, membuat jantung
Pendekar Mabuk semakin bergemuruh lagi. Kemudian ia kembali memetik-metik bunga, memunggungi Suto dengan lagak acuh-acuh butuh, dan terdengar lagi ia bersuara lembut,

"Yang penting adalah namamu. Namaku tak seberapa penting bagi siapa saja!"
"Namaku Suto Sinting."

Cepat-cepat wajah itu memandang bagai orang terkejut. Bibirnya tetap terkatup rapat tanpa senyum. Matanya tak berkedip walau bukan berarti membelalak lebar. Mata itu menatap lurus menembus Pendekar Mabuk dan menggetarkan hati kembali. Suto menggerutu terus di dalam benaknya, karena getaran itu membahayakan jiwanya. Suto tahu, getaran itu adalah daya pikat yang sukar dihindari.

Untung perempuan itu kembali melangkah melemparkan pandangannya pada alam sekeliling, bersikap tak memandang Suto ketika Suto bertanya kepadanya,

"Kau sepertinya terkejut. Apakah kau pernah mendengar namaku?"

"Hanya mendengar," jawabnya sambil acuh tak acuh, tetap tak mau bicara memandang Pendekar Mabuk. Bahkan sekarang ia memperhatikan batang pohon yang tadi tertancap patahan ujung golok. Ia memegang, meraba-raba bagian yang ditancap patahan ujung golok itu sambil berkata,

"Namamu cukup kondang. Hampir semua tokoh dunia persilatan mengetahui, bahwa Suto Sinting itu adalah Pendekar Mabuk. Tapi orang seperti aku hanya tahu nama saja, dan baru sekarang berhadapan langsung dengan orangnya. Itu pun masih tak kutahu, mengapa ia berjuluk Pendekar Mabuk. Mabuk apakah dia? Aku tak tahu, mungkin mabuk tuak, mungkin mabuk cinta, atau mungkin mabuk gandung... entahlah!" bahunya berguncang satu kali tanda tak mengerti dengan pertanyaannya sendiri.

Pendekar Mabuk tertawa pelan, setelah itu meneguk tuaknya beberapa kali. Perempuan itu tiba-tiba menghantam pohon tersebut dengan telapak tangannya. Degg...! Zlubb...! Patahan ujung golok yang menancap ke dalam batang pohon itu melesat keluar dari tempatnya dan jatuh di depan kaki Pendekar Mabuk. Pluk...!

"Aih, unjuk ilmu juga dia rupanya?!" Suto membatin diam-diam. Lalu ia tersenyum ketika perempuan itu melangkah mendekatinya tanpa sunggingkan senyum lagi. Tapi wajahnya masih berkesan menawan.

Tiba di depan Suto, dalam jarak satu langkah, ia memandang dengan senyum tipis sengaja dibuat memikat dan mempercantik wajahnya. Suto tertegun memandangnya dalam sekejap. Ia tahu perempuan itu bukan sekadar mendekat untuk menatap wajahnya, namun juga ingin mengambil logam yang keluar dari batang pohon itu. Alasan tersebutlah yang digunakan untuk menatap wajah Suto dekat-dekat. Dan Suto sendiri segera sentakkan kakinya pelan ke tanah.

Dugg... !

Tiba-tiba logam yang keluar dari pohon dan jatuh di depannya itu melesat naik bagai tersentak dari bawah tanah. Tabb...! Logam itu langsung ditangkap oleh Suto. Digenggam, kemudian genggamannya disodorkan ke depan, dan tangan itu pun membuka seakan menyerahkan logam itu biar diambil oleh perempuan tersebut.

Suto tetap sunggingkan senyum, seakan puas membalas pamer ilmu kecil-kecilan itu. Perempuan tersebut juga semakin nyata dalam sunggingkan senyumnya, kemudian mengambil logam tersebut dari tangan Suto. Caranya mengambil bukan hanya menyentuh logam itu, namun juga menyentuh tangan Suto, seakan meremasnya lembut lalu menariknya lolos.

Dan kini logam berpindah ke tangannya, digenggam olehnya seakan ingin ditunjukkan, apa yang terjadi setelah logam itu dalam genggamannya.

Tetapi kejap berikutnya matanya sedikit terkesiap melihat telapak tangan Suto yang masih terbuka itu ternyata tidak kosong, melainkan masih terdapat logam tersebut di atasnya. Perempuan itu menatap mata Suto buru-buru, dan Suto berkata,

"Tak bisakah kau mengambilnya sekali lagi?"

Perempuan itu buru-buru pula membuka genggaman tangannya. Ternyata dalam genggaman tangannya itu kosong. Tak ada benda apa pun. Padahal dia tadi merasa telah mengambilnya dari tangan Suto.

"Ambillah seperti tadi lagi, rasa-rasanya begitu menyentuh sampai ke dasar kalbuku!" kata Suto Sinting dengan suara lembutnya.

Tapi kali ini perempuan itu mengambilnya pelan- pelan. Terlihat jelas jari-jemarinya yang lentik indah itu memungut benda tersebut. Hanya saja, secara tiba-tiba badannya bergerak memutar dan benda itu dilemparkan dalam satu kelebatan tangannya. Wuttt...!

"Aauh...!" terdengar suara dari balik kerimbunan semak. Kejap berikutnya seorang perempuan berpakaian kuning melompat dari semak itu dengan pundaknya berdarah karena terserempet lemparan benda logam itu.
Suto sempat terkejut melihat munculnya perempuan tak dikenal itu. Ia mengakui kehebatan indera perempuan cantik berjubah hijau muda itu yang cukup peka, sehingga mengetahui ada orang yang mengintipnya dari balik semak.

"Perempuan lacur! Bersiaplah menerima kematianmu untuk menebus nyawa kakakku yang kau cabut seenaknya itu!" teriak perempuan berpakaian kuning itu. "Kau boleh bangga bisa membunuh Pramana, tapi jangan harap kau bisa lolos dari tanganku! Hiaaat...!"

Settt...! Perempuan cantik berjubah hijau muda itu mencabut pedangnya, sementara lawannya yang berbaju kuning sudah menggenggam pedang sejak tadi. Kini mereka beradu pedang dalam satu lompatan udara.

Wrettt...!

Dan tiba-tiba lengan si baju kuning berdarah. Lengan itu koyak tertebas pedang si jubah hijau

"Hmm...! Tak seimbang!" kata Pendekar Mabuk dalam hati. "Bisa mampus itu si baju kuning! Jubah hijau bukan lawannya...! Dan... dan... oh, hampir aku lupa! Aku harus cepat-cepat memberitahukan Arum Kafan bahwa air sungai itu beracun! Aku harus segera mencegahnya supaya jangan ada yang minum atau memasak menggunakan air sungai itu!"

Suto memutuskan untuk meninggalkan pertarungan dua perempuan tersebut, ia segera melesat pergi dalam kecepatan tinggi, menuju ke rumah Arum Kafan. Tak peduli lagi ia dengan si wajah cantik yang mampu menggetarkan hatinya tadi.


REMBULAN bertengger di pucuk awan. Cahaya purnama menyiram bumi, membias di celah-celah dedaunan, menghadirkan bunga-bunga kemesraan yang tumbuh sendiri di dalam hati setiap manusia yang sedang dilanda damai.

Di sela-sela bias purnama itu, Suto Sinting berdiri memandang curahan air sungai dari ketinggian halaman rumah Arum Kafan. Hampir saja ia terlambat memberitahukan Arum Kafan tentang air sungai yang dicemari oleh racun si Dogol, utusan Tulang Neraka.

Untung pada waktu kemarin, Suto datang tepat ketika Arum Kafan mau mengambil air untuk mengisi tempayannya. Belum sempat air itu terambil, Pendekar Mabuk telah datang dan membawa kabar tentang racun tersebut.

Selamatnya mereka dari ancaman air sungai beracun, tidak menjadi bahan pembicaraan yang panjang. Sesuatu yang membuat lebih menarik dibicarakan adalah kemungkinan adanya kitab pusaka di tangan Cakra Wulung. Tetapi Arum Kafan dan kedua adiknya itu sependapat, bahwa Cakra Wulung telah mati di tangan kakak mereka, yaitu Dewi Taring Ayu. Dan sejak itu, Dewi Taring Ayu jarang sekali pulang ke rumah.

Apakah itu berarti Dewi Taring Ayu berhasil membawa lari dan menyembunyikan kitab tersebut dari tangan Cakra Wulung?

Hal inilah yang menjadi bahan renungan Suto, ketika ia memandangi gemericik air sungai dari pinggir halaman rumah tua tersebut. Jika memang benar Kitab Lontar Gegana ada di tangan Dewi Taring Ayu, lantas apa tindakan Suto selanjutnya? Merebut kitab itu, ataukah membiarkannya? Bukankah Dewi Taring Ayu berhak memiliki kitab tersebut ketimbang Suto atau orang lain?

Sementara Pendekar Mabuk di luar, ketiga gadis cantik itu berkumpul di ruang atas, tempat mereka bisa memandang keadaan di sekeliling kediamannya itu.

Arum Kafan memandang dari arah jendela ruang atas kediamannya. Ia memperhatikan Pendekar Mabuk yang merenung sendirian di sudut halaman rumah itu. Kembang Darah dan Delima Ungu sedang bicara pelan- pelan. Kembang Darah sedang memberi pengertian seluas-luasnya kepada adik bungsunya tentang perasaan hati, perbedaan cinta, dan kasih sayang, perbedaan kagum dan terkesan.

Tiba-tiba terdengar suara Arum Kafan agak datar berkata tanpa memandang ke arah kedua adiknya,

"Kembang, jemput Suto dan bawa masuk dia!"

Delima Ungu segera berkata, "Mengapa terus Kembang yang kau suruh?"

"Siapa saja di antara kalian berdua, jemput Suto dan bawa masuk secepatnya! Lekas!" nada itu sedikit membentak, berkesan tegang. Nada itu membuat Kembang Darah dan Delima Ungu saling memandang Arum Kafan dengan dahi berkerut. Kembang Darah segera bertanya,

"Ada apa?!"
"Lekas kataku!" bentak Arum Kafan bernada datar dan keras.

"Iya, tapi ada apa kau perintahkan kami begitu?!" Delima Ungu ikut membela pendapat Kembang Darah.

"Seseorang sedang menuju kemari! Lihatlah sendiri!"

Keduanya segera bergegas ke jendela. Keduanya sama-sama terperanjat dan menjadi sedikit tegang. Yang jelas, kecemasan mulai menyelimuti hati mereka! Delima Ungu yang bertanya tanpa memandang siapa- siapa, kecuali memandang orang yang sedang menuju ke tempatnya,

"Apa yang harus kita lakukan?"
"Sembunyikan Suto dan jangan bicara tentang Suto!"
"Bagaimana jika dia bertanya kepada kita tentang rencana menyembunyikannya?!" tanya Kembang Darah.
"Katakan saja ada bahaya!"
"Dia pasti ingin menghadapi bahaya itu!"
"Katakan ini bahaya yang tidak bisa dihadapinya!"
"Lalu dia minta dijelaskan! Bagaimana kalau begitu?"

Arum Kafan diam sebentar. Ia sembunyikan kegelisahan yang mencemaskan hatinya. Tapi akhirnya ia berkata,

"Bawalah dia kemari, aku yang akan menjelaskannya!"

Tiba-tiba Delima Ungu yang masih berdiri di jendela segera berkata,

"Terlambat!"

Kedua kakaknya berpaling menatapnya dengan mata terbuka tegang.

"Apa maksudmu?"
"Suto telah melihat kehadirannya! Ia sedang mendekati Suto!"

Kedua kakaknya segera ke jendela. Arum Kafan menggeram, "Sial! Kita terlalu banyak bicara! Kita turun semua! Hadapi dia!"

Pada saat itu Suto Sinting diliputi keheranan, tapi juga mempunyai kelegaan yang aneh di dalam hatinya. Ia memandang kehadiran seorang perempuan yang wajahnya tak asing lagi baginya. Perempuan itu berjubah hijau muda dan berpakaian ketat hitam. Perempuan itulah yang dilihat Suto mempunyai gerak jurus pedang cukup bagus, dan berhasil memotong tangan utusan Tulang Neraka.

Perempuan itu kali ini mendekati Pendekar Mabuk dalam curahan cahaya rembulan terang. Suto lebih dulu sunggingkan senyum melihat kedatangan perempuan itu, dan si perempuan membalasnya dengan senyuman tipis,tapi pandangan matanya menggoda.

"Dari mana kau tahu aku ada di sini?!" tanya Suto dengan kalem.

Perempuan itu tidak langsung menjawab, tapi ia semakin mendekati Pendekar Mabuk, hingga kini jaraknya tinggal dua langkah dari depan Suto. Hati Suto semakin berdebar-debar digeluti rasa tertarik kepada perempuan itu. Semakin lama ia dipandangi perempuan cantik yang punya bibir indah itu, semakin cepat detak jantungnya.

"Maaf, kala itu kutinggalkan dirimu dengan si baju kuning, karena aku harus memberitahukan sahabat- sahabatku tentang air sungai yang beracun itu! Dan... dan aku tak tahu di mana kau berada, sehingga aku tak sempat mendatangi tempat tinggalmu!"

Tiba-tiba terdengar suara dari belakang perempuan itu,

"Jauhi dia! Kali ini jangan ganggu dia! Kami akan, melawanmu kalau kau menggangu dia!"

Ucapan itu jelas terdengar dari mulut Arum Kafan. Ucapan itu merupakan sebuah larangan sekaligus ancaman untuk perempuan cantik berjubah hijau itu. Suto Sinting berkerut dahi melihat Arum Kafan mendekati perempuan itu dengan wajah bermusuhan, juga Kembang Darah yang sudah menenteng pedangnya, dan Delima Ungu sudah mencabut salah satu kipasnya yang dikembangkan.

Kembang Darah dan Delima Ungu segera mendampingi Suto, di sebelah kanan-kiri pemuda itu. Sementara Arum Kafan bicara dengan berdiri di samping perempuan berjubah hijau.

Perempuan itu diam saja. Kalem. Sepertinya ia anggap sepi ancaman Arum Kafan itu. Sepertinya ia anggap tak ada siapa-siapa di sekelilingnya, kecuali dirinya dan Suto Sinting.

"Suto, masuklah ke dalam! Jangan hadapi perempuan ini!"

'Kenapa? Dia tidak menggangguku!" kata Pendekar Mabuk setengah ngotot kepada Arum Kafan.

"Ikutlah kami, Suto! Nanti kami jelaskan," kata Kembang Darah.

Pendekar Mabuk agak bimbang karena bingung. Ia bahkan berkata kepada perempuan berjubah hijau itu,

"Haruskah aku mengikuti saran dan ajakan mereka?"

Perempuan itu tersenyum lebar, makin lebar, dan kini bahkan tertawa pelan dengan mulut terbuka. Mata Suto terperanjat kaget, karena ia melihat bahwa ternyata perempuan cantik itu bertaring di kedua sisi mulutnya.

"Wow...! Menyeramkan sekali?!" gumam Suto di dalam hatinya. Ia bagai tak bisa mengedipkan matanya saat itu, karena masih terpaku di tempat, melihat perempuan cantik, menarik hati, namun mempunyai taring tajam dan runcing, walau tak terlalu panjang, namun kelihatan menonjol karena tidak sejajar dengan gigi lainnya. Suto membatin,

"Pantas...! Pantas dia tak mau bicara berhadapan muka denganku! Pantas senyumnya mahal sekali. Rupanya dia menyembunyikan taringnya itu dariku! Tak kusangka cantik-cantik tapi begitu membuka mulut bisa
mendirikan bulu kuduk!"

"Kita bicara di dalam, Suto!" Delima Ungu sedikit memaksa sambil menarik lengan Pendekar Mabuk. Maka, tak ada pilihan lain buat Pendekar Mabuk kecuali mengikuti apa kata Delima Ungu itu.

Cahaya rembulan semakin menambah keseraman wajah perempuan itu, ketika si perempuan semakin keras melontarkan tawanya, memandangi Suto dibawa masuk oleh Delima Ungu dan Kembang Darah.

"Siapa dia?!" tanya Suto setelah berada atas.
"Kakak kami Dewi Taring Ayu!" jawab Delima Ungu.

"Ooo...!" Suto manggut-manggut. "Lalu, mengapa aku tak diizinkan menemuinya? Mengapa kalian kelihatannya mencemaskan diriku?"

Delima Ungu akhirnya menjelaskan permasalahan yang sejak tadi dicemaskan oleh ketiga gadis cantik itu,

"Dia penghisap darah lelaki!"
"Apa maksudnya?"

"Dia mempunyai aji 'Candra Pamikat'. Setiap lelaki yang dipandangnya akan tunduk kepadanya dan menjadi bergairah, jatuh cinta, terpikat, atau apa lagi.... Yang jelas lelaki itu akan pasrah jika diajaknya bercumbu di mana saja dan kapan saja! Tetapi, setelah Dewi Taring Ayu merasa puas menikmati lelaki itu, ia akan menggigit leher lelaki itu dan menghisap darahnya sebanyak mungkin!"

Kembang Darah menambahkan kata, "Selama hidupnya sejak kecil, ia tak pernah makan dan minum, kecuali mereguk darah. Kadang darah hewan, tapi yang paling digemari adalah darah manusia lelaki. Menurutnya lebih manis dan lebih mengenyangkan perut."

"Itulah sebabnya," kata Delima Ungu, "Kami tak pernah sempat punya kekasih, sebab selalu diganggu olehnya, selalu mati di dalam pelukannya! Dan kami tidak bisa melawan Dewi Taring Ayu, karena kami terikat wasiat dari mendiang Ayah kami."

"Apa bunyi wasiat itu?!" tanya Pendekar Mabuk dengan berkerut dahi.

"Kami tak boleh membunuh Dewi, apa pun yang dilakukan olehnya. Kami hanya boleh mengusir dia atau menghindari dia, tapi tak boleh membunuh dia!"

"Mengapa?" desak Pendekar Mabuk lagi.

"Karena, sewaktu kami masih kecil-kecil, Ayah dalam keadaan sakit berat, parah sekali! Pada waktu itu, Ibu sudah tiada, kami diserang oleh keluarga Loh Pati, termasuk Cakra Wulung yang masih muda dan kekar itu. Kami semua terancam maut, dan hanya dia yang bisa menyelamatkan dengan ilmu 'Candra Pamikat'-nya. Satu persatu dari lawan kami diajaknya masuk ke kamar dan dibunuh di sana...."

Kembang Darah menambahkan kata,

"Waktu itu, Dewi masih sangat remaja, masih berusia sekitar dua belas tahun, masih kelihatan segar dan cantik sekali, lebih cantik dari sekarang. Arum Kafan masih berusia sembilan tahun, dan belum bisa apa-apa! Kalau tidak ada dia, kami sekeluarga sudah dibantai habis oleh keluarga Loh Pati. Satu-satunya orang yang lolos dari maut Dewi Taring Ayu adalah Cakra Wulung!"

Suto manggut-manggut, sementara itu Delima Ungu kembali menambahkan kisahnya,

"Kata Ayah, kami berhutang nyawa padanya. Sebab itu, sebelum Ayah menghembuskan napas yang terakhir kalinya, beliau sempat berpesan agar kami tidak boleh membunuh Dewi Taring Ayu, dan Dewi pun tidak boleh membunuh kami. Memang selama ini dia tidak pernah menyakiti kami...."

"Tapi mengganggu kekasih kami," sahut Kembang Darah.

Delima Ungu berkata juga, "Itulah sebabnya, kami sepakat untuk pergi meninggalkan rumah ini jika kami mempunyai kekasih dan berusaha untuk tidak mempertemukan kekasih kami dengan Dewi!"

"Karenanya, semula kami ingin sembunyikan kamu, supaya kamu tidak jatuh dalam jeratan aji 'Candi Pamikat'-nya!"

Suto Sinting menyempatkan meneguk tuaknya berapa kali, setelah itu baru berkata,

"Sudah terlambat sebenarnya."
"Terlambat bagaimana?" tanya Kembang Darah.

"Aku sudah terpikat dengannya, sejak bertemu di hulu sungai, saat aku melihat Dogol menuangkan racun ke sungai itu!"

"Celaka...!" gumam Delima Ungu.

"Tapi seperti kau ketahui, aku tidak terbujuk dalam pelukan mesranya! Aku masih hidup dan tidak mengalami luka apa pun! Kuakui, dia mempunyai kekuatan hebat saat menatapku. Hatiku berdebar dan gairahku terbakar. Tapi ia tak tahu siapa diriku. Suto Sinting tak mudah ditundukkan oleh kekuatan seperti 'Candra Pamikat'. Justru yang kukhawatirkan kalau dia yang jatuh terpikat padaku dan memilih mati daripada tak menjadi kekasihku! Itu yang kutakutkan!"

Lalu Arum Kafan muncul, dan semua menjadi diam. Karena di belakang Arum Kafan muncul juga Dewi Taring Ayu yang melangkah dengan angker namun punya kesan wibawa tersendiri di mata adik-adiknya. Ia langsung menemui Suto, membuat Delima Ungu dan Kembang Darah cemas. Arum Kafan memberikan isyarat agar mereka tenang, dan berbisik kepada mereka.

"Sudah kubicarakan dengannya saat di bawah tadi! Dia tak akan mengganggu Suto! Tenang saja!"

Terdengar Pendekar Mabuk yang beradu pandang dengan Dewi Taring Ayu itu berkata di sela senyum ketenangannya,

"Tak kusangka kalau kau adalah kakak dari ketiga saudara ini!"

"Tak kusangka pula kau mencari Kitab Lontar Gegana!" kali ini Dewi Taring Ayu bicara dengan berhadapan muka dengan Pendekar Mabuk, tak malu lagi memperlihatkan giginya yang bertaring runcing itu.
"Rupanya Arum Kafan sudah bicara padamu siapa aku?"

"Ya. Dan aku tahu kau mencurigai aku sebagai si pembawa Kitab Lontar Gegana dari tangan Cakra
Wulung!"

Suto tersenyum canggung jadinya. "Apakah kau merasa begitu?!"

"Aku hanya merasa dicurigai, tidak merasa memiliki kitab pusaka tersebut!" jawab Dewi Taring Ayu. "Yang ingin kutanyakan padamu, siapa yang menyuruhmu mengambil kitab pusaka itu?"

Rupanya saat itu Arum Kafan juga menunggu jawaban dari Suto Sinting. Demikian pula Kembang Darah dan Delima Ungu. Mereka sama-sama menunggu jawaban dan ingin tahu siapa yang mengutus Pendekar Mabuk melacak hilangnya jejak kitab pusaka tersebut.

Kejap berikutnya, Suto pun akhirnya menjawab, "Guruku!"

"Siapa gurumu?" desak Dewi Taring Ayu.
"Si Gila Tuak!"

Dewi Taring Ayu bergerak mundur bagai orang terkejut. Arum Kafan juga tersentak napasnya dengan mulut sedikit ternganga, sedangkan Kembang Darah dan Delima Ungu segera saling pandang dengan dahi berkerut.

"Mengapa kau terkejut mendengar nama guruku?" tanyanya kepada Dewi Taring Ayu.

"Ki Sabawana, atau si Gila Tuak, adalah kakak dari kakek buyut kami, yaitu Eyang Buyut Bayan Maruto alias Manusia Tembus Raga!"

"Kakak-beradik...? Tapi, Guru tidak pernah menceritakan hal itu padaku! Jangan-jangan kau salah menarik silsilah, Dewi!"

"Tidak. Cukup lama kupelajari silsilah itu, bahwa Eyang Buyut Manusia Tembus Raga itu adalah adik dari Ki Sabawana, tapi mereka hanya adik satu ayah lain ibu. Sekalipun hanya adik satu ayah dan lain ibu, namun persaudaraan beliau cukup erat dan baik. Jadi, aku memanggil gurumu dengan sebutan.... Eyang Buyut juga!"

Arum Kafan menambahkan kata, "Pantas kau punya tuak seampuh itu!"

Dewi Taring Ayu berkata, "Dan pantas pula kau mampu menahan aji 'Candra Pamikat'-ku! Pasti kau telah memiliki 'Sukma Pamikat' dari adik perguruan si Gila Tuak, yaitu Bidadari Jalang!"

Suto Sinting hanya tersenyum malu, tak berani memandang mereka. Ia melayangkan pandangannya melalui jendela, memandang malam bercahaya rembulan dan bertanya dalam hati, "Lalu, ke mana kitab itu? Siapa yang memilikinya?"
* * *
BAGAIMANA dengan Dogol yang buntung tangannya? Agaknya ia tidak ditanggapi oleh Tulang Neraka. Kehadirannya yang bermaksud ingin melaporkan keadaan dirinya, tertunda sampai beberapa waktu lamanya. Pintu gua ditutup dengan batu besar, Dogol tak bisa masuk, bahkan menggeser pintu itu pun tak berhasil. Berulang kali ia berteriak memanggil 'sang guru' Tulang Neraka, tapi tak pernah mendapat jawaban, sampai mulutnya terasa mau robek, tetap tak ada jawaban dari dalam gua.

Apa yang terjadi di dalam sebenarnya? Dogol hanya bisa memperkirakan, bahwa 'sang guru' sedang melakukan semadi. Tapi anehnya pada saat-saat tertentu, Dogol mendengar suara Tulang Neraka yang samar- samar seperti orang melagukan tembang. Tembang itu mempunyai irama kadang enak didengar, kadang tak teratur nadanya. Dogol hanya bisa membatin sambil menahan luka menyakitkan itu,

"Jangan-jangan Guru sedang kesurupan di dalam gua ini! Atau mungkin ada perempuan masuk, dan oleh Guru pintu gua segera ditutup dan Guru merayu perempuan itu dengan tembang? Apakah Guru tak mendengar teriakanku, keluh kesahku ini, dan rintihan sakitku ini? Atau mungkin Guru memang sudah menjadi tuli telinganya?!"

Sejak terluka oleh pukulan Pendekar Mabuk, saat bertarung dengan Arum Kafan, Tulang Neraka memang tak pernah keluar dari gua tersebut. Ada sesuatu yang dilakukan di dalam gua itu.

Seperti yang diduga Dogol, Tulang Neraka memang melakukan semadi alias bertapa dengan satu maksud yang amat rahasia. Dogol tak pernah tahu maksud itu, karena ia hanya sebagai pelayan yang merasa diangkat menjadi murid.

Sebuah kitab terbuka di depan Tulang Neraka yang duduk bersila di atas batu besar berpermukaan datar. Kitab itu mempunyai barisan-barisan kalimat yang mengandung makna sastra tinggi. Tidak semua orang bisa menerjemahkan makna kalimat-kalimat yang menyerupai tembang itu.

Di dalam kitab itu pun tertera keterangan bagaimana mengucapkan tiap kalimat bahkan tiap suku kata dari syair-syair yang ada. Juga dijelaskan bagaimana cara menarik napas pada kalimat tertentu, bagaimana menghembusan napas pada bait berikutnya, bagaimana menggerakkan jari tangan, mata, kepala, pundak, dan merasakan derasnya aliran darah yang terjadi akibat gerakan-gerakan tersebut.

Apa yang dipelajari oleh Tulang Neraka, sebenarnya merupakan sesuatu yang amat sulit. Selain dituntut suatu penghayatan gerak, juga pengertian menerjemahkan kata-kata keterangan di situ bisa menjadi salah arti. Jika cara menerjemahkannya sudah salah, saluran pada urat nadi bisa pecah di dalam kulit tubuhnya. Setidaknya akan membuat orang tersebut menjadi lumpuh seumur hidup.

Tetapi agaknya Tulang Neraka berkemauan keras untuk mempelajari isi kitab tersebut. Sekali ia gagal, sekali lagi ia mencoba. Gagal lagi, mencoba lagi, dan begitu seterusnya. Mungkin sudah seribu kali lebih ia gagal, namun masih tetap mencobanya terus. Tanpa makan, tanpa minum, tanpa tidur. Seluruh pikirannya dicurahkan kepada pelajaran tersebut. Bahkan buang air kecil maupun besar pun tak pernah dilakukan, sejak ia mengurung diri di dalam gua, di Pulau Dedemit itu.

Sebaris kidung dilagukan dalam ucapan seperti orang membaca mantera. Dari bait ke bait, baris ke baris, kata ke kata, semua mempunyai aturan pengucapannya, termasuk tekanan suaranya. Jika salah tekanannya, maka harus diulang dari awal lagi. Pengucapan dan tekanan harus sesuai dengan gerak yang diperintahkan dalam keterangan tersebut, jari melengkung, atau kepala miring, atau pundak berguncang ke depan atau apa lagi yang bersifat gerak.

Kelihatannya memang mudah, tapi sebenarnya sulit bukan main. Dan itulah yang dinamakan ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Tentu saja pelajaran ilmu tersebut diperoleh dari Kitab Lontar Gegana. Dan memang benar, kitab itu ada di tangan Tulang Neraka.

Tak seorang pun tahu, bahwa saat terjadi pencurian yang dilakukan oleh Loh Pati, Nyai Pancung Layon memanfaatkan kesempatan emas itu untuk mencuri Kitab Lontar Gegana. Tetapi ia sendiri berlagak mengamuk dan mencari kitab tersebut. Bahkan setiap saat ia selalu menyatakan kesedihannya atas hilangnya kitab yang sebenarnya dicurinya sendiri itu.

Hilangnya Kitab Lontar Gegana, merupakan alat juga buat Nyai Pancung Layon untuk menuduh Ki Panjar Pitu sebagai pencurinya, atau berlagak mencurigai keluarga Ki Panjar Pitu. Dengan alasan tersebut, Nyai Pancung Layon punya alasan menyerang keluarga Panjar Pitu yang memang bermaksud akan dimusnahkan dan tidak diberi kesempatan untuk berketurunan.

Bahkan dari kesekian cucu, hanya Tulang Neraka yang diberi tahu di mana letak Kitab Lontar Gegana disembunyikannya. Sebab Tulang Neraka adalah cucu kesayangan dari Nyai Pancung Layon. Kepada ketiga saudaranya pun Tulang Neraka tidak pernah menyebutkan tentang letak persembunyian kitab tersebut.

Karena sifat-sifat yang ada pada Tulang Neraka, sama persis dengan sifat-sifat yang ada pada Nyai Pancung Layon. Karena itu, Nyai Pancung Layon sangat sayang kepada Tulang Neraka dan berharap agar Tulang Neraka bisa mewarisi ilmu-ilmu yang ada di dalam kitab tersebut, terutama ilmu 'Kidung Mantera Gaib'.
Tulang Neraka berani membuka kitab pusaka itu setelah ketiga saudaranya meninggal. Dulu, ia mempelajari secara sepintas saja, sebab hanya punya kesempatan sebentar untuk membuka dan mengambil kitab tersebut dari penyimpanan yang rahasia itu.

Kini ia bebas membuka kitab itu dan menekuni ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Itulah sebabnya Dogol mendengar suara Tulang Neraka bagaikan menembang kadang berirama enak didengar, kadang berirama sama sekali tak enak didengar. Karena sebenarnya yang dipelajari atau yang diucapkan itu bukanlah sebuah tembang, melainkan kidung beraturan rumit di dalamnya. Kidung itu terdiri dari sembilan puluh sembilan bait. Yang menjadi repot, setiap bait punya peraturan sendiri, dan walau sudah mencapai bait ketujuh puluh, misalnya, jika melakukan kesalahan harus diulang dari awal lagi.

Godaan mempelajari 'Kidung Mantera Gaib' adalah mudah terserang rasa kantuk, mudah merasa bosan, mudah buram penglihatannya, mudah jengkel, dan pikiran sering tiba-tiba lenyap tak tahu ke mana, ketika sadar kembali harus mengulang dari bait pertama. Hal itulah yang membuat gagalnya orang mempelajari 'Kidung Mantera Gaib'. Bukan kecerdasan saja yang dibutuhkan, tapi juga kekuatan batin untuk melawan godaan-godaan tersebut.

Pada satu ketika, Tulang Neraka sudah mencapai delapan puluh sembilan bait yang bisa diucapkan dengan benar, sesuai dengan peraturan di dalamnya. Tiba-tiba rasa kantuknya datang lagi. Ia sudah melawannya mati- matian, namun rasa kantuk itu semakin lama semakin berat sekali. Sampai pada mantera kesembilan puluh, Tulang Neraka jatuh tertidur. Padahal ia telah mengganjal kelopak matanya dengan sebatang lidi agar tetap melek. Tapi toh dia tertidur juga dalam keadaan mata melek.

Ketika ia sadar, batu yang dipakainya duduk tertidur itu telah menjadi panas. Sebagian bagian bawahnya membara merah bagai terpanggang lahar panas gunung berapi. Tetapi, Tulang Neraka bertekad mengulang kidung tersebut dari bait pertama lagi. Rasa bosan telah lama menghuni batinnya, namun selalu dilawan dengan tekad. Apabila rasa bosan itu datang, pikirannya segera dilayangkan pada Arum Kafan sebentar, lalu semangat itu timbul lagi. Yaitu semangat untuk membalas kematian saudara-saudaranya kepada keluarga Arum Kafan yang dibencinya itu.

Tetapi kali ini usaha untuk mengulang dari bait pertama menjadi gagal. Hal itu disebabkan, karena Tulang Neraka merasakan panas yang amat menyengat pada pantatnya. Batu yang dipakainya duduk itu semakin membara dan menjadi merah sampai di permukaan yang dipakai duduk. Tulang Neraka berjuang keras mematikan rasa sakit dan panas pada pantatnya.

Tubuhnya gemetar menggigil bukan karena kedinginan, namun karena merasakan panas yang tak tertahan lagi. Dengan tubuh berkeringat deras, ia memusatkan perhatiannya dan menyadari bahwa batu membara itu hanya sebuah godaan belaka. Tulang Neraka berjuang keras mempertahankan sikap duduknya.

Semakin lama rasa panas itu memang semakin reda, tapi batu makin merah bagai bongkahan lahar gunung yang memadat. Dan ketika rasa panas itu tak terasa lagi, ia melihat kedua kakinya yang bersila menjadi merah membara, menyala terang.

Tulang Neraka hampir saja menjerit kaget dan ketakutan melihat kakinya menjadi merah membara. Tetapi ia berhasil menahan napasnya hingga semakin mengucur keringat yang keluar dari tubuhnya, sampai pada kulit kepalanya juga berkeringat. Rambutnya menjadi basah kuyup bagaikan orang habis tercebur ke selokan besar.

Ternyata sekarang warna merah membara seperti besi terpanggang api itu bukan hanya di bagian kaki saja, melainkan sampai sebatas perutnya juga menyala merah membara. Makin lama semakin naik, dan semakin mendekati leher. Tulang Neraka masih diam saja; dan merasa pasrah kepada sang nasib. Pikirnya, biarlah ia mati sekalian di atas batu itu, ketimbang turun dari batu dan tidak mendapatkan ilmu 'Kidung Mantera Gaib' tersebut.

Kini, cahaya panas merah membara telah membungkus sekujur tubuhnya sampai ke bagian rambut. Anehnya rambut itu tidak terbakar sedikit pun. Kitab dari bahan kulit lontar itu juga tidak hangus sedikit pun.
Ketika sekujur tubuh telah membara bagai besi terpanggang api, tiba-tiba memerciklah sinar merah dari tubuh tersebut, membias dan menyebar sekeliling tubuh. Tulang Neraka bagai gumpalan api yang memancarkan sinar merah ke segala arah. Dan pada saat itulah ia mendengar suara tua yang bernada tegas, penuh wibawa dan kharisma,

"Kutitiskan ilmu ini kepadamu, Tulang Neraka! Karena kulihat kau sangat berkemauan keras untuk memilikinya. Jika kau mempelajarinya, tak akan berhasil sebelum mencapai seribu hari. Tetapi, batinmu terbaca olehku, betapa ingin kau memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib', karenanya kutitiskan kepadamu dengan tanggung jawab pada dirimu sendiri! Apa yang akan terjadi di dalam jiwamu, adalah bukan tanggung jawabku, Tulang Neraka! Kau mau jadi sesat atau baik, itu pilihan jiwamu dan merupakan bagian dari pribadimu! Mulai saat ini, kau telah memiliki ilmuku, yaitu 'Kidung Mantera Gaib'. Kau akan menjadi seperti aku dan bergelar Manusia Tembus Raga...!"

"Ttteett... tteet... terima... ttee... terima kasih, Eyang..,!"

"Tetapi ingatlah, setinggi-tinggi ilmu ini, masih ada yang lebih tinggi lagi! Jadi, rendahkan dirimu, tundukkan kepalamu, jadilah bijak dan jangan sombong, Cucuku!"

"Ttee... teriima... terima kasih, Eyang...! Ssa... saya akan patuhi pesan Eyang...!"

Setelah suara itu menghilang, Tulang Neraka seperti ditimpa sesuatu yang hitam pekat tak bisa untuk melihat. Blapp...! Gelap sekali. Matanya dibuka, tak ada yang dilihatnya selain warna hitam. Napasnya pun terasa semakin sesak, dan sesak sekali. Tulang Neraka berusaha menghirup udara, namun ia seperti tidak berada di dalam ruangan yang mempunyai udara. Entah ada di mana dia saat itu. Yang jelas, tubuhnya terasa semakin lemas, tak mampu lagi tulang punggungnya menyangga tubuh yang duduk. Ia pun jatuh ke belakang, terkapar dan tak sadarkan diri, alias pingsan!

Entah untuk berapa lama Tulang Neraka pingsan.

Ketika ia sadar, ia mendapatkan dirinya sudah berada di bawah batu tempatnya duduk semula. Ia terkapar di lantai gua yang kering itu. Kitab Lontar Gegana masih ada di atas batu tanpa berubah sedikit pun. Segera ia menyimpan kitab itu dengan mengangkat sebongkah batu.

"Hei, terasa enteng sekali batu ini kuangkat?" katanya dalam hati. "Seperti mengangkat tumpukan daun saja? Apakah ini akibat pengaruh ilmu titisan dari Eyang Buyut Bayan Maruto?" Di bawah batu besar itu ada ruang khusus untuk menyimpan kitab yang selama ini disembunyikan. Disanalah kitab ditaruh kembali dan batu ditutupkan lagi. Sewaktu ia berbalik dan ingin melangkah, kakinya menyandung batu berukuran sebesar kepalanya sendiri.! Wuttt...!

"Hai...?!" Tulang Neraka tertegun sekaligus terkejut melihat kakinya bisa menyampar batu itu. Tapi anehnya batu itu tidak bergerak. Tulang Neraka mengulangi menyampar batu dengan mata memperhatikan jelas-jelas pada kakinya. Ternyata kakinya bukan menyampar tapi menembus masuk ke dalam batu.

Berbinar-binar mata Tulang Neraka memperhatikan keadaannya yang berubah itu. Ceria girang wajahnya. Berulang-ulang ia melakukan gerakan yang sama, ternyata ia benar-benar bisa menembus melalui pertengahan batu. Debar-debar jantungnya kian cepat karena menyambut kegirangan yang amat besar itu.

"Bagaimana jika aku menembus batu tempat bersemadi itu? Apakah bisa juga?" pikirnya. Lalu ia mencoba pelan-pelan mendekati batu tersebut. Pertama- tama dijamahnya dengan tangan. Ia merasakan kepadatan batu tersebut. Tapi ketika tangannya makin menekan, ternyata ia seperti menekan air. Blesss...! Tangannya masuk ke dalam batu tersebut. Waktu ditarik kembali, tangannya masih utuh dan tidak kotor. Maka Tulang Neraka pun mencobanya dengan tubuh. Ia berjalan menembus batu itu. Blesss...! Ternyata ia hanya seperti menyentuh air. Ia bisa tembus batu itu bagaikan bayangan lewat.

"Ha ha ha ha...!" Tulang Neraka tertawa kegirangan. "Aku bisa menembus benda keras, berarti aku bisa menembus dinding! Ha ha ha ha...!"

Tulang Neraka berlari ke sana-sini menerabas bebatuan, apa saja yang ingin dilewati, diterabasnya begitu saja tanpa dihindari lagi. Blass...! Blasss...! Ploss...! Tulang Neraka berlari ke sana-sini sambil tertawa terbahak-bahak. Puasnya hati adalah bahagianya jiwa dan gembiranya batin. Ia masih memuaskan hatinya dengan berlari ke sana-sini, bahkan menembus dinding gua dan segera keluar kembali dengan kata,

"Gelap, ah!"

Dengan berlari pula, Tulang Neraka menerobos pintu penutup gua yang dari batu besar itu. Plooss...! Tahu- tahu ia ada di luar gua, pada saat pagi mulai tiba.

"Hua ha ha ha...! Segar sekali! Segaaar...!" teriaknya dengan amat kegirangan. "Siapa sekarang yang ingin melawanku! Tak akan ada yang bisa menjatuhkan diriku jika aku bisa lari sana-sini tanpa ada penghalang lagi. Ha ha ha...!"

Mendengar suara tawa Tulang Neraka, Dogol yang ada di pantai segera berlari-lari menemuinya. Luka di tangannya yang buntung telah kering, itu menandakan sudah cukup lama ia menunggu Tulang Neraka keluar dari dalam gua. Ketika ia sudah berhadap-hadapan dengan Tulang Neraka, ditunjukkanlah tangan kanannya yang terpenggal putus dengan kalimat mengadu kesedihan,

"Guru... putus...!"
"Lho, kenapa bisa putus?! Aku tak pernah menyuruhmu memutuskan tangan sendiri, Tolol!"
"Dewi Taring Ayu memenggalnya, Guru!"

"Taring Ayu...?!" geram Tulang Neraka. Matanya mulai mendelik menampakkan keganasannya. "Keparat dia itu! Di mana dia sekarang?!"

"Bersama seorang pemuda tampan seperti pemabuk, tak tahu namanya!"
"Orangnya menyandang bumbung tuak?!"
"Betul, Guru!"

"Keparat! Dia juga yang membuatku luka tempo hari! Kalau begitu aku harus mencari mereka sekarang juga!"

"Tapi, tunggu sebentar, Guru...!" Dogol mengejar dan Tulang Neraka terhenti, berpaling dan membentak dengan mata melotot.

"Ada apa lagi?!"
"Sebaiknya... sebaiknya silakan Guru mengenakan pakaian kembali, baru pergi mencari mereka!"

"Maksudmu...?! Hahh...?!" Tulang Neraka terbelalak begitu melihat tubuhnya sendiri yang ternyata masih polos, tanpa selembar benang pun. Ia lupa, bahwa saat semadi ia melakukannya tanpa mengenakan pakaian, dan ketika siuman ia juga belum berpakaian.

Karena itu, Tulang Neraka segera kembali masuk ke gua tanpa membuka batu penutup pintu gua itu. Plosss...! Ia tembus ke dalam bagaikan bayangan yang hilang entah ke mana.

Dogol membelalakkan matanya. Mengucak-ngucak sebentar dan memandang lagi ke arah pintu gua yang masih tertutup. Ia masih kurang percaya dengan penglihatannya sendiri. Maka didekatinya pintu gua itu. Dirabanya dengan tangan pelan-pelan. Didorongnya pintu gua dari batu itu, ia bergumam sendiri,

"Keras...?! Tapi kelihatannya tadi Guru masuk tanpa mendorong batu penutup ini?!" Dogol terheran-heran dan bimbang dengan keyakinan apa yang dilihatnya. Bluss...! Tulang Neraka keluar lagi dari dalam gua dalam keadaan sudah berpakaian lengkap. Caranya keluar juga dengan menerabas batu penutup gua. Dan tubuh Dogol yang ada di depan pintu itu diterabasnya tembus. Ploss... !

Dogol celingak-celinguk kebingungan. Ia merasa dilewati bayangan, namun merasa juga diterjang gurunya. Tapi ia tidak jatuh, tidak tumbang dan hanya rambutnya yang sedikit tersingkap karena angin bayangan itu. Tapi ia masih belum yakin juga dengan peristiwa aneh yang dialaminya itu. Ia ingin tanyakan hal itu kepada gurunya, tapi Tulang Neraka dalam keadaan diam tertegun bengong. Di dalam hati Tulang Neraka bertanya-tanya,

"Dogol kuterabas tidak jatuh?! Berarti aku tidak bisa menendang lawan? Aku seperti bayangan menendang benda keras, tentunya tak akan mengakibatkan kerusakan pada benda itu. Lalu, bagaimana jika aku ingin melawan mereka, sedangkan aku tidak bisa menyentuh mereka dan mereka tidak bisa menyentuhku?! Wah, lantas buat apa aku punya ilmu seperti ini jika tak bisa digunakan untuk menyerang lawan?!"

Kemudian, Tulang Neraka ingat kalimat penjelasan di dalam kitab pusaka itu yang mengatakan,

"Apabila hatimu berkehendak menjamah benda, maka terjamahlah benda itu. Apabila hatimu berkehendak tidak menjamah benda, maka benda itu pun bisa kau lalui dengan menembusnya. Dan untuk selamanya dirimu menjadi bayangan yang tidak bisa disentuh orang, tidak bisa dipegang orang, tapi kau bisa menyentuh dan memegangnya kapan saja kau punya keinginan di hatimu ..... "


Dogol kembali terbelalak kaget melihat Tulang Neraka berlari menerabas pepohonan berbatang keras dan besar. Plos plos plosss...! Dogol geleng-geleng kepala dan berkata sendirian,

"Gila! Rupanya Guru bisa menembus dinding sekarang ini?! Mungkinkah pengaruh suasana di sekitar gua ini, karena semalam datang kabut yang membungkus gua ini? Kalau begitu aku pun juga bisa menembus pohon itu?!" Kemudian Dogol berlari menerabas pohon terdekat. Duggh! Bruss...! Dogol memekik, wajahnya besot dan benjol keningnya, karena membentur pohon dengan keras.

***8

ANGIN pantai terasa kering di kulit. Kabut telah hilang dari keheningan pagi. Dan matahari mulai merayap naik menuju ketinggiannya. Dan saat itulah salah satu dari tiga orang yang sejak dini sudah mencapai pantai itu bergegas bangkit dari duduknya.

"Ada yang keluar dari Pulau Dedemit itu! Coba kalian perhatikan siapa orang itu?!" kata si baju kuning yang memakai nama Wadal, bertubuh sedang dan berkumis tipis. Pria yang lainnya berdiri juga dan memandang ke arah Pulau Dedemit ketika mereka tiba masih terbungkus kabut.

"Kurasa dialah yang akan kita susul ke Pulau Dedemit itu, Tambon! Perhatikanlah baik-baik, benar dia atau bukan?" kata yang berbaju serba putih, karenanya ia berjuluk Musang Putih. Sementara itu, Tambon pun segera kerutkan dahinya, sipitkan matanya untuk menangkap sebentuk penglihatan jarak jauh. Lelaki berpakaian hijau tua itu segera perdengarkan suaranya,

"Memang dia! Tak salah lagi, dialah si Tulang Neraka!"

"Aha, pucuk dicintai ulam pun tiba! Tak perlu kita susah-susah mencari perahu, yang dicari telah datang dengan sendirinya!"

Wadal pun tersenyum-senyum girang, "Sudah tak sabar golokku ini ingin memakannya habis-habisan!"
Wadal mencabut goloknya dari pinggang kiri. Srett...

"Biarkan dia merapat ke pantai, baru kita mencegat di depannya!" kata Tambon yang berbadan besar dan brewokan itu.

"Kalau begitu kita harus bergeser ke selatan, biar tidak terlalu jauh dari tempatnya mendarat nanti!" ujar Musang Putih.

Sambil mereka bergegas ke selatan, Musang Putih bertanya kepada Wadal, "Menurutmu, mengapa kali ini dia keluar sendirian? Bukankah mereka biasa ke mana- mana berempat sehingga orang cepat mengenali bahwa mereka adalah Empat Raja Sesat?"

"Mungkin dia punya tugas tersendiri dari ketiga saudaranya!" jawab Wadal. "Atau barangkali dia punya urusan pribadi!"

Kedua belah pihak sebenarnya sama-sama tak tahu apa yang terjadi nanti. Pihak Musang Putih dan kedua saudara perguruannya itu tidak tahu bahwa Tulang Neraka sudah mendapat titisan ilmu setan yang bernama ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Sedangkan pihak Tulang Neraka juga tidak tahu kalau kemunculannya kali ini sudah dihadang dan ditunggu-tunggu oleh Musang Putih dan yang lainnya.

Maka ketika Tulang Neraka melompat turun dari perahunya, cepat-cepat ketiga saudara seperguruan itu melesat menghadangnya. Serempak mereka bertiga mendaratkan kaki di pantai tepat berjarak tiga tombak dari tempat Tulang Neraka berdiri.

Tersentak Tulang Neraka, kaget melihat ketiga orang tahu-tahu sudah menghadang di depannya. Ketiganya sudah mencabut senjata masing-masing, sedangkan Tulang Neraka baru ingat bahwa ia tidak memegang senjata apa pun.

"Sial! Aku tidak punya senjata apa-apa!" gerutu Tulang Neraka di dalam hatinya. "Hmm... mereka bertiga, masing-masing memegang senjata! Aku harus bisa merebut senjata yang berbaju putih itu. Kurasa pedangnya itu cukup lumayan untuk menebas lehernya sendiri! Tapi, siapa mereka sebenarnya?"

Tulang Neraka masih diam, memandangi tiap wajah mereka. Segera terdengar suara Musang Putih berseru dari tempatnya,

"Tulang Neraka! Seharusnya kau muncul bersama ketiga saudaramu, jadi mempermudah pekerjaan kami membantai kalian berempat!"

"Ke mana saudaramu yang tiga lagi? Sedang mulas perutnya?!" Wadal tersenyum-senyum sinis mengejek Tulang Neraka. Tetapi orang berjubah abu-abu tanpa mengenakan baju dalaman itu masih diam saja dan mempelajari sifat ketiga lawannya melalui wajah mereka. Mana yang paling galak, itulah yang diserang
lebih dulu nantinya.

"Tulang Neraka! Kuizinkan kau pulang kembali ke pulau itu untuk memanggil ketiga saudaramu, setelah itu datanglah kemari dan kami tetap menunggu kalian! Kami siap mencabut nyawa kalian kapan saja!"

"Jangan membawa-bawa ketiga saudaraku yang telah tiada!" geram Tulang Neraka. Mereka menggumam dan manggut-manggut dengan senyum disertai tawa melecehkan. Tulang Neraka kembali memperdengarkan suaranya yang berkesan angker itu,

"Siapa kalian bertiga? Ada urusan apa menghadangku di sini?"

"Kami murid-murid dari Pendita Wilo yang kau bunuh dengan keji bersama ketiga saudaramu itu! Masih ingatkah kau dengan Pendita Wilo, yang tinggal di Lembah Berhala itu?!"

"Hah ha ha ha...!" Tulang Neraka tertawa keras begitu ingat Pendita Wilo.

Beberapa waktu lalu, ketika Urat Iblis dan kedua saudara lainnya masih hidup, mereka berempat pernah mendatangi Lembah Berhala dan bertemu dengan Pendita Wilo di kuilnya. Karena satu masalah, Empat Raja Sesat menyerang Pendita Wilo yang sedang melakukan semadi itu. Dan sang Pendita pun tewas di tangan mereka berempat secara mengenaskan.

Nasibnya serupa dengan nasib Nyai Tanduk Setan. Tapi pada waktu itu, ketiga murid Pendita Wilo itu tidak ada di tempat, sehingga tidak mengetahui perbuatan mereka secara persis. Hanya satu pelayan pendita itu yang melihatnya dan segera melarikan diri mencari ketiga murid Pendita Wilo.

"Kalian bertiga mau bertingkah bagaimana? Kalau guru kalian saja bisa kami bunuh dengan mudahnya, apalagi kalian yang hanya sebagai murid! Kurasa kalian kemari bermaksud menyerahkan nyawa kalian agar cepat menyusul arwah guru kalian!" kata Tulang Neraka tak mau kalah gertak.

Dan ucapannya itu membuat geram ketiga lawannya.

"Guru hanya satu orang dan kalian berempat pada waktu itu. Wajar kalau Guru kalah. Sekarang kau yang sendirian dan kami bertiga, tibalah saat pembalasan yang setimpal dengan perbuatan!" kata Musang Putih.

Kemudian Tulang Neraka berkata dengan tetap tenang,

"Majulah kalau begitu! Serang aku! Serang!"

"Jurus 'Sergap Lebah'...!" seru Musang Putih. Serentak Wadal dan Tambon bergerak ke kanan dan kiri Tulang Neraka. Musang Putih segera memekik sebagai isyarat bagi yang lain,

"Heaaah...!"

Tiga manusia itu melompat dan bersalto dalam satu arah, yaitu ke arah Tulang Neraka. Senjata mereka pun segera berkelebat. Tapi Tulang Neraka berhasil memukul dada Musang Putih dengan kedua telapak tangannya. Pukulan itu mengena telak dan cukup kuat, membuat Musang Putih terpental dan pedangnya terlepas dari tangannya.

Wuttt...! Wess...!

Golok Wadal dan Tambon berkelebat menebas punggung serta leher Tulang Neraka. Jelas-jelas benda tajam itu menembus masuk ke tubuh Tulang Neraka, namun segera lolos keluar tanpa menyentuh apa pun. Bahkan ketika keduanya kembali mendarat ke bumi dan menyentakkan kakinya dengan tendangan miring ke arah kepala Tulang Neraka, tendangan mereka tepat mengenai kepalanya, tapi yang terasa adalah perpaduan kaki mereka sendiri, sehingga keduanya pun sama-sama terpental ke sisi masing-masing.

Tulang Neraka tertawa terbahak-bahak, merasa bangga melihat tubuhnya tak bisa dilukai. Ia segera melompat dan memungut pedang Musang Putih yang tergeletak ke tanah. Pada waktu itu, Musang Putih sedang berusaha mencapai pedangnya dengan berguling- guling dua kali. Tapi pedang sudah telanjur berada di tangan Tulang Neraka. Menggelindingnya tubuh Musang Putih bagai ular menghampiri gebukan. Dengan enaknya Tulang Neraka menebaskan pedang ke arah tubuh Musang Putih. Crapp...!

"Aahg...!" Musang Putih memekik dalam keadaan mendekap luka di bagian pundaknya. Lalu ia segera sentakkan punggung dan berdiri cepat. Kakinya menendang ke samping, sasaran dada lawannya. Wuttt...! Ploss....! Kaki Musang Putih masuk dan menembus punggung Tulang Putih. Kejadian itu dilihat jelas-jelas oleh Wadal dan Tambon dengan mata melotot terheran-heran.

Tulang Neraka tertawa melihat kaki lawannya tembus dari dada sampai ke punggung. Musang Putih terperanjat kaget melihat keanehan tersebut. Karena ia tersentak kaget dan terpukau, maka ia tak menyadari datangnya bahaya dalam sekejap. Tulang Neraka segera kibaskan pedang ditangannya itu ke arah leher Musang Putih. Crass!

Tulang Neraka melompat mundur dua tindak, lalu memandangi lawannya dengan tertawa terbahak-bahak. Kepala lawannya itu tiba-tiba jatuh menggelinding disusul oleh bagian tubuhnya yang bergedebuk seperti karung beras dijatuhkan. Bluggh...!

"Musang Putih...!" teriak Tambon dengan segera mendekati tubuh dan kepala Musang Putih. Tetapi, tiba- tiba Wadal menyerang Tulang Neraka dengan melepaskan pukulan jarak jauh bertenaga dalam berbahaya. Sinar hijau menggumpal mirip gumpalan serabut kelapa itu melesat ke arah Tulang Neraka, keluar dari telapak tangan Wadal. Sinar hijau sebesar separo genggaman tangan itu dibiarkan oleh Tulang Neraka dan menghantam tepat di pinggang kirinya, namun sama dengan peristiwa tadi, sinar hijau itu bagai menembus bayang-bayang dan lolos melalui pinggang kanan. Plosss... !

Sedangkan pada waktu itu, Tambon sedang tersentak duka melihat kepala Musang Putih terpisah dari raganya. Ia tidak tahu bahwa sinar hijau yang lolos dari tubuh Tulang Neraka itu mengarah kepadanya.

Ketika ia terkejut dan ingin menghindar, ternyata sudah terlambat. Sinar hijau itu tepat mengenai lehernya dan leher itu pun pecah tak tertolong lagi. Blarrr...!

"Tambooon...!" teriak Wadal kaget dan menyesal, tapi juga bingung melakukan gerakan selanjutnya.

Sementara itu, Tulang Neraka makin keras tawanya, semakin terbahak-bahak gelaknya.

Penyesalan atas kematian Tambon membuat Wadal menjadi ciut nyali dan panik. Apalagi ketika itu Tulang Neraka segera berkata kepadanya di sela tawa kepuasannya,

"Kau lihat sendiri, Bocah Dungu! Aku tak akan bisa dibunuh oleh siapa pun! Tapi aku bisa membunuhmu sekarang juga! Kurasa memang kau harus dilenyapkan sekalian, biar tidak menjadikan ganjalan dalam hidupku selanjutnya. Hah ha ha ha...."

Wadal membatin dalam hatinya, "Celaka! Bagaimanapun tingginya ilmuku, tak mungkin aku bisa melawan dia! Dia seperti angin, tak bisa disentuh dan dilukai! Kalau begini caranya aku bisa mati di tangannya!

Sebaiknya aku melarikan diri saja sebelum kutemukan jurus maut untuk menandingi ilmunya itu!"

Blasss...! Wadal segera melompat meninggalkan tempat itu dengan cepatnya. Ia ditertawakan oleh Tulang Neraka. Bahkan ia mendengar suara Tulang Neraka berseru dari tempatnya,

"Ke mana pun larimu, kukejar kau sampai dapat, Tikus Busuk! Hah ha ha ha...!"

Pelarian Wadal semakin kencang dan cepat. Api saja diterabasnya selagi masih bisa dipakai untuk lewat. Ia benar-benar ketakutan sekali, ketika dilihatnya ke belakang, ternyata Tulang Neraka benar-benar mengejarnya.

Kecepatan lari mereka seimbang, sehingga jarak mereka pun selalu sama. Tapi ketika Wadal tersungkur jatuh dan segera bangkit lagi, jarak mereka menjadi lebih pendek. Ini membuat Wadal makin mempercepat larinya. Bahkan ia meleset naik ke atas pohon dan berlari dengan melompati dahan-dahan pohon. Rupanya hal itu pun dilakukan oleh Tulang Neraka yang masih menggenggam pedangnya Musang Putih.

Melihat Tulang Neraka ikut mengejar melalui dahan demi dahan, Wadal semakin ngeri dan panik.

Hal yang membuat Wadal menjadi lebih panik adalah melihat Tulang Neraka berlari menerabas pohon besar atau gugusan batu. Tulang Neraka benar-benar seperti bayangan yang tak bisa terbentur dan terhalang benda sekeras apa pun. Sementara Wadal harus menghindari benda-benda keras, sehingga pelariannya makin lama semakin lemah. Srott...!

"Hahh...?!" Wadal terpekik, ia jatuh terpeleset pada kemiringan sebuah lereng. Tubuhnya menggelinding dan terbentur-bentur batu maupun semak berduri. Ia tak bisa menghindari keadaan itu dan hanya mengikuti ke mana arah menggelindingnya tubuh.

Brukk...!

Akhirnya Wadal jatuh di tanah cadas yang rata. Sekujur tubuhnya penuh luka. Tapi luka itu tak dihiraukan, karena ia melihat Tulang Neraka berdiri di ujung tebing itu, siap mengejarnya lagi sambil menghamburkan tawa di sana. Mau tak mau Wadal pun cepat melarikan diri ke arah utara.

Ya. Ia memilih arah utara, karena di sana ia punya seorang sahabat yang dikenalnya dengan baik. Di sana ada rumah sahabatnya dan Wadal berharap bisa mendapat pertolongan dari sahabatnya itu. Orang yang dimaksud Wadal adalah Kembang Darah, yang selama ini membina hubungan baik sebatas seorang sahabat.
Dengan cepat, Wadal berhasil menemukan kediaman Kembang Darah yang tampak berbangunan kuno itu. Dari kejauhan ia sudah berteriak,

"Kembang...! Kembang Darah, tolong akuuu...!"

Pada saat itu, di rumah kuno berlantai dua itu, penghuninya sedang bersiap-siap untuk melakukan suatu penyerangan ke Pulau Dedemit. Karena menurut penyelidikan yang dilakukan oleh Dewi Taring Ayu, ia sering melihat Tulang Neraka dan ketiga saudaranya keluar masuk Pulau Dedemit.

Mereka ingin memeriksa apakah Kitab Lontar Gegana itu disembunyikan oleh kelompoknya Tulang Neraka di Pulau Dedemit itu, atau mungkin dari sana mereka bisa memperoleh petunjuk ke tempat lain. Yang jelas mereka harus berangkat bersama, karena mereka menyangka Nyai Tanduk Setan juga bermukim di sana dan menghimpun beberapa kekuatan baru bersama Tulang Neraka.

Pendekar Mabuk pun disarankan turut serta oleh Dewi Taring Ayu, dan Suto Sinting tak bisa menolak tawaran itu. Karena firasatnya mengatakan, bahwa keempat perempuan cantik itu dapat mudah dikalahkan jika menyerang ke sarang orang - orang sesat itu.

"Kembang Daraaah...!" suara itu jelas sekali didengar orang-orang penghuni rumahtua tersebut. Mereka terkejut dan semakin kaget setelah Wadal memasuki halaman rumah dalam keadaan sekujur tubuhnya penuh luka.

"Wadal...!" teriak Kembang Darah. Ia bergegas keluar dari rumah lebih dulu dan segera menolong Wadal.
"Apa yang terjadi...?! Katakan, apa yang terjadi pada dirimu, Wadal...?!" desak Kembang Darah mulai panik.

Wadal tak bisa menjawab untuk beberapa saat. Pendekar Mabuk segera menolong, memberikan minum tuaknya beberapa teguk. Kejap berikutnya, Wadal mulai menarik napasnya, dan ia mencoba menjelaskan!

"Tulang Neraka mengej arku...!"

"Apa...?!" Delima Ungu dan Kembang Darah sama- sama terkejut. Arum Kafan saling pandang dengan Dewi Taring Ayu. Suto hanya diam saja dan memperhatikan ke arah luar lewat jendela yang masih terbuka. "Dia muncul dari Pulau Dedemit. Aku menyerangnya bersama Musang Putih dan Tambon. Tetapi, mereka berdua mati dan... dan...!"

"Mengapa kalian menghadang dan menyerangnya?!" tanya Arum Kafan.
"Kami menuntut balas atas kematian Guru kami Pendita Wilo!"

"Oh, jadi beliau telah dibunuh oleh Tulang Neraka?" sahut Kembang Darah yang pernah bertemu Pendita Wilo beberapa kali.

"Ya. Dan... dan kami tak bisa melawan Tulang Neraka! Dia tidak bisa dibacok ataupun dipukul!"
Suto menyahut, "Maksudmu, dia kebal senjata apa pun?!"

"Bukan hanya kebal tapi... tapi dia seperti bayangan. Golokku seperti membabat angin ketika memenggal lehernya. Pukulan tenaga dalamku seperti menembus kabut ketika menghantam lambungnya! Ia mengej arku dengan menembus pohon besar dan batuan besar. Ia benar-benar seperti angin yang bisa menembus benda sekeras apa pun, Kembang! Aku... aku tak sanggup menghadapinya!"

Hening tercipta sejurus. Keempat perempuan cantik itu saling beradu pandang satu dengan lainnya. Pendekar Mabuk masih kelihatan tenang-tenang saja, sesekali matanya memandang keluar melalui jendela yang terbuka itu. Dan tiba-tiba terdengar Dewi Taring Ayu keluarkan geramannya, lalu menggebrak meja dengan keras. Brakk...! Semua terkejut, termasuk Pendekar Mabuk. Semua memandang ke arah wanita cantik bertaring runcing itu.

"'Kidung Mantera Gaib'!" katanya dengan tegas. "Dia sudah menguasai ilmu 'Kidung Mantera Gaib', dan menjadi Manusia Tembus Raga!"

Sekali lagi ketiga adiknya itu terperanjat, tapi Suto hanya kerutkan dahinya menatap Dewi Taring Ayu. Kemudian Suto ajukan tanya kepada Dewi,

"Kau tidak salah duga, Dewi?!"

"Tidak! Ciri-ciri orang yang memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib' adalah bisa menembus benda apa pun tapi tak bisa dilukai karena tubuhnya bagaikan angin atau bayangan!"

Arum Kafan terdengar berkata, "Tak mungkin semudah itu ia bisa mempelajari ilmu tersebut?! Belum lama dia bertarung denganku, dia masih bisa kupukul dan kutendang! Jarak antara pertarunganku dengan sekarang hanya sekitar satu bulan. Mana mungkin dia bisa selesaikan pelajaran ilmu itu dalam satu bulan?!"

Dewi Taring Ayu diam, seakan membenarkan kesimpulan adiknya. Tetapi Pendekar Mabuk segera berkata,
"Ki Darma Paksi pernah mengatakan padaku, bahwa eyang buyut kalian pernah mengeluarkan semacam wasiat, bahwa kelak pada suatu saat, ia akan menitiskan ilmu itu kepada salah satu keturunannya."

"Menitiskan...?" gumam Arum Kafan sambil memandang Pendekar Mabuk dengan dahi berkerut.
"Ya. Itu yang kudengar dari mulut Ki Darma Paksi."

Dewi Taring Ayu segera berkata, "Jelas sudah sekarang! Kitab itu pasti ada pada Tulang Neraka, mungkin disimpan di Pulau Dedemit. Selama ini ia mendekam di sana hanya dengan alasan mencari titisan ilmu setan itu, jelas tak mungkin! Dari mana dia tahu bahwa Eyang Buyut Bayan Maruto ingin menitiskan ilmunya kepada dia? Pasti ia tekuni ilmu itu, sampai tiba ilmu itu menitis dengan sendirinya di luar rencana sebenarnya."

Delima Ungu segera berkata, "Yang perlu kita pikirkan sekarang, apa yang harus kita lakukan?! Menyerangnya dengan cara bagaimana?""Aku yang akan menghadapinya!" kata Pendekar Mabuk.

Tapi Arum Kafan segera menyergah, "Jangan, Suto! Dia sangat berbahaya!" Wadal mengajukan usul dari tempatnya terkulai di sebuah kursi bersandar dinding,

"Kalau boleh kuusulkan agar mencari tempat berlindung yang aman saja! Aku yakin dari kalian tak akan ada yang bisa melawannya, tapi mati karenanya malah bisa terjadi!"

"Sembunyi...?!" gumam Kembang Darah. "Sembunyi ke mana?"

Suto tiba-tiba ajukan usul, "Bagaimana jika ke pondoknya Ki Darma Paksi?"

Baru saja selesai bicara begitu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara dan tawa Tulang Neraka di kejauhan. Wajah-wajah mereka menjadi tegang. Tulang Neraka keluarkan ancaman,

"Arum Kafan... ! Habis sudah riwayat keturunan leluhurmu hari ini juga, Arum...! Ha ha ha ha...!"

Dewi Taring Ayu berkata, "Suto, bawa mereka pondok Ki Darma Paksi! Aku akan hadapi dia!" "Kau jangan gila, Dewi!" sentak Arum Kafan. "Aku hanya menghambatnya supaya tidak mengej ar kalian!"

* * *

SEKALIPUN Dewi Taring Ayu adalah manusia penghisap darah dan telah menewaskan kekasih kedua adiknya, yaitu Arum Kafan dan Kembang Darah, tapi sikapnya sebagai kakak masih terlihat jelas. Ia tetap melindungi adik-adiknya dan siap mengorbankan diri, menentang bahaya demi keselamatan adik-adiknya.

Sekalipun menghambat adalah tugasnya, tapi punya bahaya tinggi bagi keselamatan Dewi Taring Ayu sendiri. Agaknya perempuan bertaring itu tidak menghiraukan lagi keselamatan dirinya dan ia berani keluar lebih dulu untuk mencegat Tulang Neraka sebelum memasuki halaman rumah tanpa pagar tinggi itu.

Mereka yang di dalam rumah masih bimbang untuk lari atau membantu Dewi Taring Ayu. Sementara itu, Wadal segera keluar setelah berseru kepada Kembang Darah,

"Cepat kau pergi, Kembang! Aku akan membantu kakakmu menghambat Tulang Neraka agar tak mengejar kalian!"

Arum Kafan masih tak bisa meninggalkan tempat. Delima Ungu bahkan mulai merah matanya karena bimbang untuk meninggalkan Dewi Taring Ayu atau membantunya. Sementara itu, Suto memandang dari jendela ke arah pertemuan antara Dewi Taring Ayu dengan Tulang Neraka.

Dewi Taring Ayu tampak telah mencabut pedangnya, membuat langkah Tulang Neraka terhenti dan bertolak pinggang menertawakan sikap Dewi Taring Ayu.

"Kau yang paling sulung, memang layak mati lebih awal!" kata Tulang Neraka. Dewi Taring Ayu hanya menjawab,

"Lakukan!"

Tulang Neraka tidak main-main dengan ancamannya. Ia segara melompat dan menyerang Dewi Taring Ayu dengan pedangnya. Tapi gerakan Dewi Taring Ayu begitu cepat dan lincah. Pedang yang ditebaskan Tulang Neraka meleset dari sasaran. Sementara itu, Dewi Taring Ayu sudah berhasil menebaskan pedangnya beberapa kali dengan cepat ke tubuh Tulang Neraka.

Wut wut wut wesss...!

Pendekar Mabuk terkesiap matanya melihat pedang Dewi Taring Ayu tak bisa memotong tubuh lawannya. Padahal mata Suto melihat jelas pedang itu memenggal pundak, pinggang, dan bagian punggung Tulang Neraka. Namun si jubah abu-abu itu masih tegar berdiri tak mampu terpotong sedikit pun. Pedang Dewi Taring Ayu benar-benar seperti menebas bayangan.

"Gawat keadaannya!" kata Suto di dalam hati. "Tulang Neraka benar-benar tak bisa dilukai sedikit pun! Tak ada cara lain untuk mengalahkannya kecuali bersembunyi dan memikirkannya beberapa waktu! Tuakku pun kalau kusemburkan hanya seperti menyembur bayangan dan angin saja! Kalau kupakai Napas Tuak Setan, ia hanya bisa melayang pergi, tapi tak akan bisa mati! Karena ia tidak akan terbentur-bentur benda sekeras apa pun! Hmmm...! Pasti ada caranya untuk mengalahkan dia, tapi sekarang belum kutemukan cara itu! Dan... sebaiknya aku memang harus membawa mereka bertiga ke pondok Ki Darma Paksi untuk bersembunyi, jika tidak maka akan habislah keluarga Arum Kafan ini!"

Sempat dilihat oleh Pendekar Mabuk, Wadal mengirimkan pukulan jarak jauhnya berupa sinar Jingga melesat dari dua jarinya. Tapi ketika sinar itu tembus di kepala Tulang Neraka, bagaikan lewat begitu saja tanpa terasa sakit sedikit pun bagi si Tulang Neraka. Sementara itu, Dewi Taring Ayu berusaha memancing kemarahan dan serangan lawannya dengan mengandalkan kegesitannya menghindari.

"Cepat kita tinggalkan tempat ini!" kata Suto kepada Arum Kafan.

"Bagaimana dengan kakakku itu?!" Delima Ungu tampak sedih sekali.

"Dewi sedang mengulur waktu dan mengandalkan kegesitan gerak menghindarnya. Kurasa Dewi Taring Ayu akan menyusul setelah kita terlihat selamat dari incaran Tulang Neraka!"

Tak ada pilihan lain bagi ketiga gadis cantik itu. Maka dengan melalui pintu belakang, mereka pun segera bergegas pergi meninggalkan rumah kediaman mereka, yang termasuk rumah warisan leluhur mereka itu. Suto Sinting yang menuntun langkah mereka menuju ke pondok Ki Darma Paksi sambil menjaga mereka dari bahaya yang sewaktu-waktu datang.

Sementara itu, Dewi Taring Ayu sendiri memperhitungkan gerakannya agar tak mengalami nasib seperti Wadal. Karena tadi, Wadal mencoba menyerang Tulang Neraka dari belakang. Serangannya itu hampir saja mengenai diri Dewi Taring Ayu, seperti yang dialami oleh Tambon di pantai. Untung Dewi Taring Ayu segera berkelit dan mampu menghindari sinar hijau dari tangan Wadal.

Tetapi sejurus kemudian, Wadal memekik dengan kepala terdongak. Dewi Taring Ayu tak sempat menarik gerakan serang Tulang Neraka karena ia sibuk menghindari sinar hijau itu. Tubuh Wadal mengej ang kaku setelah tersabet pedang dari dada sampai di permukaan wajahnya.

"Ahg...!" cukup pendek pekikan Wadal, setelah itu ia roboh tak bernyawa lagi.

Dewi Taring Ayu sempat berpikir untuk memancing gerakan lawan agar semakin menjauhi rumahnya.

Walaupun Dewi Taring Ayu tadi sempat melihat kelebatan ketiga adiknya lewat pintu belakang, tapi ia khawatir Tulang Neraka mengetahui dan segera mengejarnya. Karena itu, Dewi Taring Ayu pun segera berlagak menyerangnya dengan jurus pukulan jarak jauhnya. Sekalipun ia tahu tak akan mengenai sasaran tapi pancingan menjauhnya itu membuat Tulang Neraka semakin geram semakin penasaran untuk membunuh Dewi Taring Ayu.

"Percuma kau mempunyai ilmu 'Kidung Mantei Gaib' jika membunuhku saja tak mampu!" seru Dewi Taring Ayu. "Mana kehebatanmu sebagai Manusia Tembus Raga, hah?! Mana...?!"

"Bangsat kau, Dewi! Ke mana pun kau lari akan ku buru nyawamu!" teriak Tulang Neraka yang merasa terhina oleh ucapan Dewi Taring Ayu. Maka ia pun mengejar perempuan itu. Bertarung mengalahkan kegesitan gerakan Dewi Taring Ayu. Kemudian Dewi berlari lagi, dan berhenti untuk bertarung kembali, saling serang dan saling kejar terus-menerus. Semakin menjauh jarak mereka dari arah kediaman Ki Darma Paksi.

Padahal di tempat kediaman Ki Darma Paksi, sudah tersusun rencana untuk mengalahkan Tulang Neraka setelah antara Suto dan Ki Darma Paksi terjalin pembicaraan mengenai ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Ki Darma Paksi pada mulanya berkata,

"Pada masa kejayaan Ki Bayan Maruto, tidak ada seorang pun yang bisa mengalahkan kesaktiannya itu. Mereka memandang Ki Bayan Maruto sebagai seorang tokoh yang bermegah atas kesaktiannya. Namun Ki Bayan Maruto atau si Manusia Tembus Raga itu, tetap tundukkan kepala dan merendahkan diri di depan siapa saja. Tak ada kesombongan yang terlontar dari mulutnya maupun sikapnya, bagai padi di hamparan sawah yang menguning, menunduk ia walau seekor kerbau pun mampu di robohkannya!"

"Apakah memang begitu kodratnya manusia memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib', Ki Darma?" tanya Suto.

"Bicara soal kodrat, adalah bicara tentang garis kekuasaan yang mencipta langit, bumi, dan seisinya. Tak dapat orang menentukan kapan sang kodrat melangkah melintasi bayang-bayang kehidupan kita. Tetapi, begitulah kenyataan yang pernah terjadi pada diri seseorang yang memiliki ilmu 'Kidung Mantera Gaib'. Seperti mendiang Ki Bayan Maruto, beliau wafat bukan karena serangan musuh, melainkan karena ketuaannya dan jemputan kodrat ataupun takdir tadi."

"Mengapa ilmu itu bisa membuat orang bagaikan bayangan, Ki?" tanya Arum Kafan yang saat itu ikut mendengarkan percakapan antara Ki Darma Paksi dan Suto Sinting.

Ki Darma Paksi diam sebentar, memandang hampa ke arah depan. Sepertinya ada sesuatu yang dipertimbangkan dalam benak orang tua berkumis dan berjenggot putih halus itu. Mereka menunggu dengan sabar, lalu kejap berikutnya terdengar Ki Darma Paksi menjawab pertanyaan Arum Kafan tadi,

"Alam ini terbagi menjadi dua, nyata dan tidak nyata. Yang nyata kita namakan kehidupan di muka bumi, yang tidak nyata dinyatakan sebagai alam gaib. Ilmu 'Kidung Mantera Gaib' adalah ilmu yang datangnya dari alam gaib. Manusia yang memiliki ilmu seperti itu, raganya telah masuk ke alam gaib. Raga di alam gaib, tapi bayangan dan kekuatan tenaganya ada di alam nyata. Jadi yang kita tebas dengan pedang adalah bayangan si Tulang Neraka, yang menghantam kita adalah tenaga Tulang Neraka, tapi sumber tenaga dan kekuatannya ada di dalam raga, dan raga itu ada di alam gaib. Tentu saja sangat sukar bagi seseorang melawan pemilik ilmu 'Kidung Mantera Gaib'! Tapi baru saja tadi ketika aku diam sejenak, kurasakan datangnya firasat aneh yang mengatakan, Tulang Neraka akan mati terbunuh walau ia mendapat titisan ilmu setan itu!"

Arum Kafan dan kedua adiknya saling berpandangan. Di dalam hati mereka timbul pertanyaan, "Mungkin kah Dewi Taring Ayu berhasil membunuh Tulang Neraka?!"

Pendekar Mabuk diam dengan dahi berkerut dan matanya memandang ke arah luar. Batinnya pun berkecamuk sendiri kala itu,

"Jika ia benar berada di alam gaib, maka untuk membunuhnya harus masuk ke alam gaib juga! Dari sana aku bisa melukainya dan membunuhnya! Kalau begitu, agaknya aku harus segera mencari Tulang Neraka dan menantangnya bertarung! Aku harus bergerak cepat sebelum Dewi Taring Ayu terbunuh oleh kesaktiannya!"
Secara diam-diam dalam keadaan terpisah, Ki Darma Paksi berkata kepada ketiga gadis cantik itu,

"Murid si Gila Tuak, bukan sembarang murid! Mata batinku melihat tubuhnya bercahaya, memancarkan kesaktian putih yang mengagumkan! Dialah orang yang bisa menandingi Tulang Neraka!"

"Tapi... tapi saya takut dia terluka, Ki Darma!" kata Delima Ungu dengan wajah sedih, penuh kecemasan. Agaknya ia menyimpan perasaan kasih dan sayang kepada Suto Sinting, sehingga merasa tak rela jika Suto terluka kulitnya. Hal itu membuat Ki Darma Paksi tertawa seperti orang menggumam dan berkata,

"Kalau aku boleh katakan kepadamu, Cah Ayu, kau menyimpan cinta kepadanya, dan lebih besar daripada
cinta yang tersimpan di kedua kakakmu ini!"

Arum Kafan tersipu, sementara Kembang Darah mengalihkan pandang menutupi senyum malunya. Delima Ungu hanya memandangi kedua kakaknya itu dan segera berkata,

"Tapi saya hanya bisa menyimpannya saja, Ki. Tak bisa mencurahkan cinta ini untuk Suto!"

"Menyimpan segenggam cinta adalah lebih abadi daripada mencurahkannya, Cah Ayu. Barangkali kalian belum mengetahui, bahwa Pendekar Mabuk itu telah terikat hatinya oleh perempuan lain yang anggun dai bijaksana."

"Siapa perempuan itu, Ki Darma?" sergah Kembang Darah ingin tahu.

Tersenyum Ki Darma Paksi memandangi Kembang Darah, lalu ia menjawab,

"Aku tak punya wewenang untuk menyebutkan nya, sekalipun aku tahu siapa orangnya! Jadi menurut naluri tuaku ini, sebaiknya simpan saja cinta kalian kepada Pendekar Mabuk itu, karena Suto tak akan jatuh hati lagi kepada perempuan lain. Cintanya telah menjadi karang abadi dan hanya perempuan itulah yang merasuk dalam jiwa, darah, dan sukmanya. Tetapi sebagai seorang sahabat, Suto Sinting bisa lebih hangat dari seorang kekasih dalam batas-batas tertentu. Tak ada ruginya kalian bersahabat dengan murid si Gila Tuak yang sebenarnya adalah kakak dari eyang buyutmu itu!"

"Barangkali memang kita harus begitu, Delima," kata Kembang Darah kepada adiknya yang bungsu. Delima
Ungu hanya diam, tundukkan kepala.

Suto mendekati Ki Darma Paksi dan ketiga gadis itu. Dengan tegasnya ia berkata,

"Ki Darma, saya harus menyusul Dewi Taring Ayu sebelum ia terbunuh oleh kekuatan Tulang Neraka!"

"Itu lebih baik, Suto! Karena pertolongan kita hanya akan menjadi tinggi nilainya jika kita datang tepat pada saat orang itu membutuhkannya!"

"Saya titip mereka bertiga, Ki Darma!"

"Sebagai bekas pelayan kakeknya, aku berkewajiban melindungi mereka, karena mereka adalah cucu-cucuku juga dalam anggapan batinku. Jangan cemaskan mereka, Suto. Dan... tunggu!"

Ki Darma Paksi diam sebentar, seperti sedang merasakan sesuatu yang membuatnya terpatung, memandang lurus ke depan dengan dada tegak. Sementara itu Arum Kafan sempat membisikkan kata,

"Hati-hati, Suto...! Jangan sampai kau menjadi korban ilmu setan itu! Ingatlah akan tugasmu, yaitu membawa Kitab Lontar Gegana kepada gurumu. Jadi kau harus bisa selamatkan diri dari kekuatan ilmu setan itu, Suto! Kami tak ingin kecewa dengan sikap ksatriaanmu!"

Kembang Darah ikut berbisik, "Jika terdesak lebih baik mundur untuk menyusun siasat baru, Suto. Jangan memaksakan diri hanya karena menjaga harga diri."

Delima Ungu tak mau ketinggalan, juga membisikkan kata yang hanya pendek tapi bermakna dalam, "Kalau kau mati, aku ikut mati melawan dia!"

Pendekar Mabuk sunggingkan senyum ketika matanya beradu pandang dengan Delima Ungu. Gadis itu tak henti-hentinya menatap, bagai memuaskan diri menikmati sebentuk ketampanan yang mengagumkan hati.
Dan tiba-tiba terdengar suara Ki Darma Paksi berkata,

"Aku mendengar tangis tertahan. Aku merasakan luka terpendam. Aku juga mendengar langkah-langkah gontai sedang menuju kemari! Kusarankan padamu, Pendekar Mabuk, jangan pergi sebelum datang si langkah gontai itu. Jangan pergi, Suto!"

Apa maksud kata-kata itu, tak begitu jelas bagi mereka bertiga. Tapi Pendekar Mabuk cepat tanggap dan bisa mengartikannya. Itu tandanya akan datang seseorang dalam keadaan terluka, menahan tangis, dan menahan sakit. Siapa orang itu? Tak jelas jawabnya.

Tapi mereka segera terkesiap melihat Ki Darma Paksi melompat keluar dan tahu-tahu sudah berada di halaman pondoknya. Seakan ia berdiri di sana untuk menunggu seseorang yang akan datang. Dan sikap itu membuat mereka berempat segera keluar juga dan berada di pelataran.

Kejap berikutnya, sesosok tubuh melangkah dengan gontai, terhuyung-huyung dalam keadaan berlumur darah. Mata mereka sama-sama terperanjat memandang ke arah orang yang terhuyung-huyung itu, dan mulut Arum Kafan lebih dulu memekik,

"Dewi...!"

Dengan tenang Ki Darma Paksi berkata, "Sambutlah awal keturunan kalian itu! Bawalah berlindung di pondokku untuk menyelamatkan jiwanya. Ia terluka parah pada bagian punggungnya!"

Apa yang diucapkan oleh Ki Darma Paksi memang benar. Hanya selintas memandang Dewi Taring Ayu yang terhuyung-huyung gontai itu, Ki Darma Paksi sudah bisa mengetahui bahwa luka parah itu ada di bagian punggung. Luka parah itu akibat sabetan sebuah pedang tajam, sementara pedangnya sendiri masih digenggam dengan tangan kanan.

"Dewi, apa yang terjadi?! Oh, lukamu besar sekali, Dewi...!" Arum Kafan sedikit panik menghadapi kakaknya terluka parah begitu.

"Tulang Neraka mengej arku...! Dia tahu aku terluka parah, sekarang masih memburuku...!" tutur Dewi Taring Ayu sambil terengah-engah, wajahnya pucat pasi karena kekurangan darah.

"Minumlah tuakku dulu, baru kau bercerita banyak- banyak," kata Suto yang tadi sempat tegang sebentar, tapi sekarang sudah bisa tenang kembali. Ia membantu Dewi Taring Ayu untuk menenggak tuaknya beberapa teguk. Tuak itu mempercepat keringnya luka dan lenyapnya rasa sakit.

"Dewi Taring Ayu...!" terdengar suara berteriak kasar dan keras dari pekarangan. "Aku tahu kau lari kemari, karena darahmu yang menetes di bumi menunjukkan kepadaku! Kau tak akan bisa lari dari kematianmu, Dewi Taring Ayu! Ha ha ha ha...!"

"Keparat si Tulang Neraka itu!" Delima Ungu menggeram, lalu segera bergegas keluar. Tapi tangan Ki Darma Paksi menghadang, menghalanginya dan berkata, "Bukan dia tandinganmu, dan bukan kamu tandingannya, Delima Manis! Biarkan Suto yang menghadapi angkara murka, si setan sesat berjiwa laknat itu!"

Suto selesai menutup bumbung tuaknya. Saat itu terdengar suara Ki Darma Paksi,

"Saat inilah kejahatan akan dikalahkan oleh kebaikan, yang hitam akan dihancurkan oleh yang putih, dan sudah saatnya kau turun tangan mengatasi kesesatan jiwa ini sebagai murid si Gila Tuak!"

"Jangan, Suto! Jangan menghadapi dia!" kata Dewi Taring Ayu.

"Dia benar-benar tak bisa dilawan!" tambah Dewi Taring Ayu setelah Suto menyunggingkan senyum. Dan dengan pelan ia berkata,

"Boleh aku meminjam pedangmu, Dewi?" Perempuan bertaring itu tidak menjawab, Pendekar Mabuk pelan-pelan mengambil pedang itu dengan mata tetap menatap Dewi Taring Ayu. Ia berkata pelan setelah menggenggam pedang itu,

"Kau cantik, Dewi...!" setelah itu Pendekar Mabuk pun melesat keluar diikuti oleh ketiga adik Dewi Taring Ayu. Tapi mereka hanya sampai di batas serambi saja, tak berani ikut ke pelataran. Ki Darma Paksi membantu Dewi Taring Ayu untuk ikut ke serambi melihat pertarungan Pendekar Mabuk dengan Tulang Neraka. "Aha, rupanya kau juga ada di sini, Pemuda Tampan ! Kau yang mengalahkan aku tempo hari, dan sekarang mau serahkan nyawa padaku? Bagus sekali! Bagus sekali!"

Sett... ! Suto Sinting menggenggam pedang kuat-kuat dengan kedua tangannya. Pedang ada di depan ketiak kanan, kedua kaki rapat merendah. Matanya tajam melirik gerakan Tulang Neraka.

"Hiaaat...!" Tulang Neraka maju menyerang dengan mengibaskan pedangnya dari atas ke bawah.

Zlapp...!

Pendekar Mabuk tiba-tiba sudah berada di belakang Tulang Neraka dan menebaskan pedangnya dua kali. Wuttt, wwuttt...! Pedang bagai mengenai bayangan. Suto sendiri ditertawakan oleh Tulang Neraka.

Tetapi, segera Suto mengusap dahinya memakai tangan kanan. Clapp...! Pendekar Mabuk menghilang, masuk ke alam gaib. Hanya Pendekar Mabuk dan Ki Darma Paksi yang tahu, bahwa Suto berada di alam gaib, tak bisa terlihat oleh mata Arum Kafan, Dewi Taring Ayu, dan kedua adik mereka itu. Tetapi buat Tulang Neraka, ia tetap melihat gerakan Suto, bahkan tak tahu bahwa Suto ada di alam gaib, sejajar dengan raganya.

"Ke mana dia...?!" gumam Delima Ungu dengan tegang. Mereka hanya memandang Tulang Neraka bagai sedang bertarung dengan tempat kosong. Kadang ia melompat sendiri, kadang ia menebas sendiri.

Trang, trang... !

Mereka terkejut mendengar suara benturan pedang dua kali, sedangkan di mata mereka tetap tidak melihat Suto bersama pedangnya. Arum Kafan berkata seperti bicara pada dirinya sendiri,

"Dia ada! Dia ada di sana, tapi tidak terlihat oleh kita!"
"Luar biasa kesaktian si tampan itu," gumam Dewi Taring Ayu.

Ki Darma Paksi berkata, "Suto masuk ke alam gaib dan menemui raga Tulang Neraka! Matilah orang sesat itu sebentar lagi!"

Ucapan itu memang benar. Baru saja berhenti ucapan Ki Darma Paksi, tiba-tiba ia dan yang lainnya melihat Tulang Neraka tersentak mundur dan terpekik tertahan,

"Ahk...!" Ia mulai tampak kebingungan, dadanya sempat digores oleh pedang Pendekar Mabuk.

Ia benar- benar heran dan tak menyangka akan bisa dilukai. Ia memegang luka itu, memandang darah di tangannya.

"Kau bisa melukaiku, Jahanam...?!" geram Tulang Neraka. Ia tampak semakin bengis dan buas.
Wuttt wuttt wuttt...!

Pedang Suto berkelebat cepat saat melompat menyerang. Tapi Tulang Neraka tidak melihat gerakan Suto karena cepatnya. Hanya tahu-tahu ia tersentak bagai terpaku di tempat. Mereka yang menyaksikan juga melihat Tulang Neraka terpaku di tempat. Tangan kanannya tiba-tiba putus, jatuh ke tanah.

Pluk...!

Disusul kemudian daun telinganya jatuh karena terpotong. Pluk...! Kejap berikutnya, mata yang membelalak dan mulut yang ternganga itu jatuh menggelinding bersama kepalanya, sedangkan raganya masih berdiri bagai tertancap di tanah. Diam tak bergerak.

Mata mereka yang menyaksikan pertarungan itu menjadi terbelalak dengan mulut melongo tanpa bisa berkata apa-apa. Ternyata Suto Sinting-lah orang yang bisa mengalahkan ilmu 'Kidung Mantera Gaib' itu. Rasa kagum dan takjub mereka terhadap kesaktian Suto sampai membuat mereka sulit bicara, bahkan ketika Suto sudah menampakkan diri lagi dengan cara mengusap kembali keningnya memakai tangan kiri, perempuan- perempuan cantik itu masih terpaku tak bisa bicara.

Kepala, tubuh, dan bagian tubuh dari manusia sesat Tulang Neraka itu segera mengeluarkan cahaya merah membara seperti besi terpanggang api. Cahaya itu makin memancar menyilaukan, lalu redup dalam seketika.

Blapp...!

Dan Ki Darma Paksi berkata, "Lenyap sudah ilmu titisan itu!" Ucapan itu memang benar. Tubuh dan kepala Tulang Neraka kembali dapat disentuh walau dengan kaki. Itu berarti ia bukan lagi menjadi bayangan seperti saat ilmu setan itu menitis dalam dirinya.

Pendekar Mabuk mendekati Dewi Tarung Ayu, menyerahkan pedang Dewi Taring Ayu dengan kedua tangan. Dewi Taring Ayu tersenyum, lalu pedang diangkatnya ke atas oleh Dewi Taring Ayu.

Tapi ternyata di tangan Suto masih ada pedang, dan di tangan Dewi Taring Ayu yang terangkat ke atas itu tidak memegang pedang. Dewi Taring Ayu tertawa, ingat masa pertemuannya dengan Suto ketika mereka pamer ilmu dengan logam ujung golok yang menancap di pohon.

"Jangan melecehkan aku lagi. Aku hormat pada ilmumu yang tinggi itu, Suto! Tak akan kupamerkan ilmuku di depanmu lagi," kata Dewi Taring Ayu yang mulai mengering lukanya.

Pendekar Mabuk hanya memandangi Dewi Taring Ayu dengan senyum menawan setiap mata yang memandangnya kala itu. Dan Suto berucap kata kepada Dewi,

"Kau cantik, Dewi...!"

Perempuan bertaring itu tersipu malu. Cepat-cepat Delima Ungu mendekat dengan cemberut dan berkata,

"Aku...?!"

"Kau... lebih cantik dari yang tercantik," jawab Suto Sinting, membuat Delima Ungu merah wajahnya, dikulum senyumnya, dan ia biarkan Dewi Taring Ayu merangkulnya.

"Kita geledah Pulau Dedemit untuk mendapatkan kitab itu dan harus segera kuserahkan kepada guruku!" kata Suto.

"Aku setuju," jawab Dewi Taring Ayu mewakili adik- adiknya. Kemudian mereka pun pergi ke Pulau Dedemit, dan berhasil menemukan kitab pusaka tersebut dalam gua setelah mengalahkan Dogol lebih dulu.

Dogol dibuat kabur terbirit-birit oleh Delima Ungu.

Maka, Suto pun terpaksa harus meninggalkan mereka, karena ia harus segera menemui gurunya untuk menyerahkan kitab tersebut. Mereka terpaksa harus rela melepas kepergian Pendekar Mabuk, walau Dewi Taring Ayu sempat membisikkan kata kepada Suto Sinting,

"Baru sekarang aku menelan cairan lain yang bukan darah, yaitu tuak Suto! Rasa-rasanya, lebih nikmat dari darah manusia!"

"Tuak lain pun lebih nikmat! Percayalah, Dewi!" Pendekar Mabuk menepuk pundak Dewi dengan mantap, lalu melangkah pergi dalam gerakan secepat angin badai. Zlappp...!

SELESAI
PENDEKAR MABUK
Segera menyusul: LENTERA KEMATIAN