Pendekar Mabuk 17 - Minyak Darah Malaikat(1)



CAHAYA rembulan jatuh ke bumi, menerpa seraut wajah tampan yang sedang telanjang dada. Wajah tampan itu tak lain adalah milik seorang tokoh muda yang sudah dikenal kehebatan ilmunya, yaitu murid si Gila Tuak yang bernama Suto Sinting; si Pendekar Mabuk.



Hembusan angin dingin tidak dihiraukan oleh Pendekar Mabuk. Wajahnya pun tetap dingin berpejam mata, ia duduk di atas sebuah batu datar, bersila dan bertegak dada. Kedua tangannya yang ada di paha tiba- tiba mengencang, urat-uratnya tampak bertonjolan, itu pertanda Suto Sinting sedang mengerahkan tenaganya dengan tarikan napas panjang perlahan-lahan.

Tangan itu bergerak naik ke dada keduanya. Gerakannya sangat pelan dan penuh getaran. Ketika kedua tangan itu sampai di dada, telapak tangannya saling merapat. Kedua telapak tangan itu seakan saling menekan kuat-kuat hingga getarannya bertambah nyata.

Lalu tiba-tiba kedua telapak tangan itu disentakkan ke depan hingga kedua lengannya menjadi lurus. Suttt...! Maka dari ujung perpaduan telapak tangan itu melesatlah selarik sinar sebesar lidi berwarna ungu. Zlappp...! Sinar itu menghantam sebatang pohon besar. Jrrubb...! Sinar itu tembus ke batang pohon besar, bahkan pada pohon di belakangnya juga tembus, jrubb...!

Dan hingga empat pohon dalam satu barisan tertembus semua oleh sinar ungu sebesar lidi itu. Clubb...! Sinar itu pun padam setelah Pendekar Mabuk hembuskan napas dan kendorkan urat-uratnya.

"Jurus 'Surya Dewata' ternyata masih kukuasai!" pikir Pendekar Mabuk. "Berarti tenagaku tidak berkurang selama ini! Mungkin kekuatan tuak saktiku inilah yang menjaga keutuhan kekuatan tenaga dalamku! Jurus 'Surya Dewata' pemberian Bibi Bidadari Jalang tak akan kugunakan bila keadaan tidak sangat memaksa! Sebab, pesan Bibi Guru Bidadari Jalang memang aku harus menggunakan jurus ini jika lawan sudah tak mempan lagi dihantam dengan jurus-jurus lainnya! Hmm... sebaiknya kucoba ilmu 'Ambang Bayu' pemberian Kakek Guru Gila Tuak. Apakah masih ada pada diriku atau sudah menipis karena jarang kulatih selama ini...!"

Suto gerakkan tangannya dari atas ke bawah sambil menghirup napas. Kemudian tangan itu melemas di samping, napas pun terlepas pelan-pelan. Kejap berikutnya, tangan sudah berada di dada. Yang kanan telapak tangannya berdiri tegak, yang kiri telapak tangannya menyangga pergelangan tangan kanan.

Jika jurus yang dilatihnya tadi menggunakan kekuatan otot dan menahan napas kuat-kuat, kali ini keadaan Suto Sinting lebih kelihatan santai. Napasnya terhela dengan biasa, uratnya tidak mengeras. Matanya memandang redup ke depan. Dan tiba-tiba tubuhnya bergerak sendiri naik. Kakinya masih bersila, dan tangannya tetap di posisi dada.

Dalam keadaan bersila itu, perlahan-lahan tubuh Pendekar Mabuk bergerak naik, sedikit demi sedikit. Dari jarak satu jari, dua jari, tiga jari... sampai akhirnya jarak antara batu dengan pantatnya mencapai satu jengkal.

Pelan-pelan tubuh itu bergerak turun dan kembali merapat di permukaan batu. Tapi Pendekar Mabuk masih pejamkan mata. Ia akan lakukan jurus 'Ambang Bayu' kedua yang dapat membawa dirinya melesat ke depan walau dalam keadaan duduk. Tetapi, tiba-tiba di depannya berkelebat sesosok bayangan yang melintas. Bayangan itu berhenti di kerimbunan semak, lalu kembali lagi dan berhenti di depan Suto.

Orang itu berpakaian biru tua, usianya sekitar empat puluh tahun, mengenakan rompi rangkap warna kuning. Orang itu berambut pendek dan mempunyai senjata, cambuk yang melilit di pinggang. Cambuk itu ujungnya tepat berada di pusar, berbentuk logam bintang segi enam.

Rupanya orang yang tadi berlari cepat itu tertarik melihat Suto sedang berlatih sendirian di tengah siraman cahaya sinar bulan purnama. Orang itu dekati Pendekar Mabuk, dengan bertolak pinggang satu tangan ia berkata,

"Apa yang kau lakukan di sini, Anak Muda?!"

"Saya sedang berlatih, Paman," jawab Suto Sinting dengan tetap duduk bersila, tapi melepaskan tangannya yang di dada.

"Berlatih apa? Lebih baik kau pergi ke Gua Sekat Sembilan sana! Tontonlah pertarungan hebat para tokoh sakti di sana!"

"Maaf, boleh saya tahu siapa Paman sebenarnya, sehingga berani menyuruh saya pergi ke gua itu?"

"Aku si Cambuk Guntur! Kalau aku menyuruhmu nonton pertarungan di sana, berarti aku ingin membagi pengalaman denganmu, Bodoh! Jangan merasa tersinggung!"

"Terima kasih atas niat Paman Cambuk Guntur untuk membagi pengalaman kepada saya. Tapi saya lebih suka duduk sendirian di sini menikmati malam terang bulan yang bermandikan kehangatan tersendiri di hati saya!"

"Kalau mau jadi pendekar, harus punya banyak pengalaman, melihat pertarungan para tokoh sakti! Jangan hanya belajar ilmu tapi tidak tahu seberapa tinggi ilmu yang sudah dimiliki para tokoh sakti itu! Kalau kau hanya perdalam ilmu sendiri, kau akan menjadi manusia yang pongah dan hanya mengenal ilmu sendiri!"

"Terima kasih lagi atas saran Paman Cambuk Guntur! Tetapi, bolehkah saya tahu, mengapa Paman bersemangat memberi saran pada saya?" Pendekar Mabuk tetap kalem dan tetap menghargai orang itu.

"Terus terang saja, aku tertarik dengan tubuh kekar dan gagah itu. Menurutku kau bisa menjadi seorang pendekar perkasa dan berilmu tinggi! Tapi, ah... sudahlah, itu urusanmu sendiri! Mau jadi pendekar atau jadi tukang jualan telur asin, itu bukan urusanku! Kenapa aku jadi bodoh sendiri?" gerusnya sambil melangkah meninggalkan Pendekar Mabuk. Dan tiba- tiba Cambuk Guntur berkelebat lari dengan cepat setelah ia memandang ke arah belakang, dan seperti melihat sesuatu yang menakutkan.

Pendekar Mabuk; Suto Sinting itu, hanya tersenyum memandangi kepergian Cambuk Guntur, ia kembali ingin berlatih jurus 'Ambang Bayu' kedua. Tetapi tak berapa lama kemudian, kembali ia didatangi seorang tokoh persilatan yang pernah dilihatnya dalam satu perjalanan pengembaraannya. Tokoh itu berhenti di depan Suto setelah menyadari bahwa ada orang duduk di atas batu dalam keadaan mengambang. Suto pun buru- buru menurunkan badannya, tak jadi melakukan latihan jurus ' Ambang Bayu' kedua.

Bau bangkai tercium, dan Suto Sinting menahannya, ia pernah mencium bau busuk seperti saat itu dan yang ditemuinya juga tokoh berpakaian kulit macan loreng. Rambutnya yang panjang diikat kain merah. Matanya lebar, alisnya tebal, kumisnya juga lebat. Orang bersenjata tombak trisula dan berbau busuk karena konon mandinya hanya setiap tanggal satu Suro itu, dikenal oleh para tokoh lainnya dengan nama si Macan Bangkai. Dia orang galak dan mudah tersinggung. Tapi Pendekar Mabuk belum pernah berselisih dengan orang bahkan baru sekarang Suto beradu muka untuk bicara.

"Hei, Bocah Hutan...!" sapanya kepada Suto dengan seenaknya. "Apakah kau melihat orang berpakaian biru lewat sini?"
"Ya. Dia tadi lewat di depanku," jawab Suto seenaknya juga.
"Ke mana arah tujuannya, apakah kau tahu?"
"Tidak. Yang kutahu dia ke arah depan! Dia menyuruhku ke gua! Nonton pertarungan orang sakti!"
"'Hmmm... pasti ke sana dia!" gumamnya. "Kalau begitu, kususul dia ke sana!" dan Macan Bangkai pun pergi secepatnya.

Suto merasa heran, "Sedang apa mereka sebenarnya? Saling kejar-kejaran atau saling dulu-duluan? Cambuk Guntur menyebutkan sebuah gua! Hmmm... gua apa tadi dia bilang? Aku, aku lupa! Tapi ada apa di gua itu? Mengapa mereka sepertinya saling berebut mencapai gua tersebut?! Ah, jadi tertarik juga aku! Sebaiknya aku segera ke sana juga untuk melihat apa yang terjadi sebenarnya! Tapi... ke mana arahnya?" Suto berkerut dahi, pertimbangkan langkah.
* * *

Langit malam tebarkan bintang dan rembulan di sudut mega. Warna cerahnya menggiurkan pasangan muda-mudi untuk taburkan kasih kemesraannya. Bahkan pasangan tua berhati muda pun tak segan-segan lepaskan rayu dan canda menggelitik di sela-sela hati mereka.

Mendadak kabut berjingkat dari celah bongkahan tanah perbukitan. Kabut tipis itu merayap makin menebal, lalu membungkus setiap celah tanah berdaun rumput. Bukit mulai diselimuti kabut. Langit sedikit dipulas rona hitam awan.

Rupanya tadi telah melesat cahaya hijau berekor. Cahaya hijau di langit itu bagaikan berudu terbang yang melintasi perbatasan langit bermega hitam. Warna hijaunya terang dan mencolok mata para penghuni bumi.

Wuuuttt... !

Angin mulai menunjukkan keperkasaannya, hembusannya tiba-tiba saja menjadi cepat dan berat. Warna hijau cerah berekor panjang di langit bagai semakin dilemparkan dari sisi satu ke sisi lainnya. Gerakannya mengikuti lengkung langit hingga menuju perbatasannya yang tak pasti.

Para tokoh tua saling berlompatan dari tempat mereka. Muncul dari setiap sudut rimba persilatan. Mata mereka memandang tak berkedip pada warna hijau di langit. Sebagian dari para tokoh tua berilmu tinggi itu terkesiap tak bicara saat mata mereka memandang warna hijau yang melesat panjang itu.

Seolah-olah para tokoh tua itu memberikan hormat menyambut datangnya sang dewa hijau. Wajah-wajah mereka terbagi dua antara tegang dan gembira. Sekalipun dari tempat yang berbeda dan berjauhan, namun hati mereka seakan serempak berkata,

"Saatnya telah tiba! Harus segera bertindak sebelum terlambat!"

Di sisi lain, pada lereng perbukitan bertebing curam, dua sosok tua saling bertaruh nyawa dari pagi hingga petang, bahkan malam yang melintas sepi itu dibiarkannya. Seakan tiada waktu untuk menghentikan pertarungan mereka. Seakan tiada saat yang mampu menciptakan perdamaian, walau untuk dua-tiga helaan napas.

Dendam pribadi telah mengarang keras di hati dan jiwa mereka. Yang ada dalam keputusan naluri mereka hanya membunuh atau dibunuh. Tak peduli usia tua, semangat untuk menjatuhkan lawan masih meluap-luap dalam jiwa mereka.

Blaarrr...! Brukk!

Sosok tua berjubah abu-abu sunggingkan senyum melihat lawannya jatuh akibat beradu telapak tangan bertenaga tinggi. Sekejap saja cahaya merah membara memercik dari adu telapak tangan tadi. Kejap berikut lawannya yang berkain merah itu tumbang dua tindak ke belakang. Tetapi orang yang tumbang itu cepat bangkit dari jatuhnya. Kini berdiri tegak dan tegar bagai tak pernah alami sentakan kuat sedikit pun.

Lelaki berkain merah yang menutup dada kanan dengan membiarkan sebagian dada dan pundak kiri terbuka itu, mempunyai rambut panjang bergulung ke atas, warnanya abu-abu. Ia berbadan kurus dan bermata cekung. Tangannya masih menggenggam sebatang kayu penumbuk padi yang lazim disebut alu. Warnanya hitam, tingginya sebatas ketiak. Kayu itu sering pula dijadikan tongkat olehnya, tapi sebetulnya alu itu adalah senjata andalannya. Itulah sebabnya orang bersenjata alu itu mempunyai julukan si Alu Amah.

Sedangkan lawannya yang berjubah abu-abu itu bercelana kuning. Rambutnya abu-abu panjang sebatas punggung tak berikat kepala. Badannya agak gemuk, brewok dan kumisnya warna putih kelabu. Senjata kebanggaannya adalah tongkat berujung lengkung. Di dunia persilatan orang itu cukup dikenal, karena pernah menumbangkan tokoh sakti dari Mongolia. Orang itulah yang dikenal dengan nama Ki Cagar Nyawa.

Perselisihannya dengan si Alu Amah merupakan persoalan kuno yang sampai setua itu belum tuntas. Usia mereka seimbang, sekitar enam puluh tahun, sementara persoalan yang mereka sedang selesaikan dengan beradu nyawa itu adalah persoalan semasa mereka berusia dua puluh lima tahun.

Ki Cagar Nyawa pernah dituduh menghamili kekasih si Alu Amah. Sementara itu Ki Cagar Nyawa sendiri tidak merasa pernah berbuat tak senonoh dengan perempuan bernama Nyai Sukmi Gading. Repotnya perempuan itu tidak mau membuka rahasia tentang siapa lelaki yang telah menanamkan benih dalam rahimnya dan tak mau bertanggung jawab itu. Sampai akhirnya Nyai Sukmi Gading bunuh diri dan mati dengan sangat menyedihkan. Si Alu Amah tetap menuding Ki Cagar Nyawa sebagai penyebab kematian Nyai Sukmi Gading.

Buat si Alu Amah, Nyai Sukmi Gading bukan hanya sebagai perempuan yang dicintai, melainkan juga sebagai perempuan yang dipuja dan dikagumi semenjak mereka berada dalam satu naungan perguruan yang sirna. Sebab itulah si Alu Amah sangat benci kepada Ki Cagar Nyawa. Kapan saja dan di mana saja mereka bertemu, pertarungan tak dapat dihindari lagi. Dan agaknya kali ini pertarungan mereka adalah pertarungan terakhir, sebab keduanya sudah sama-sama bosan hadapi hidup penuh bayangan dendam.

Ki Cagar Nyawa sendiri sudah tak mau lagi diburu tuntutan berdarah. Kebenciannya kepada si Alu Amah membuatnya tak pernah merasakan ketenangan dalam hidup. Setiap mendengar nama si Alu, dada Ki Cagar Nyawa selalu merasakan sakit yang amat dalam. Karena pada saat ia mendengar nama si Alu Amah disebutkan orang, pada saat itulah terbayang wajah adik perempuannya yang dibunuh oleh si Alu Amah berdasarkan dendam salah alamat itu.

Kali ini agaknya si Alu Aman benar-benar ingin dihabisi nyawanya. Ki Cagar Nyawa melepaskan jurus pukulan 'Bangau Neraka'-nya yang jarang dipakai itu. Sebuah sentakan tangan yang menguncup mengeluarkan cahaya biru yang menyala sekejap, lalu padam. Tapi sebenarnya nyala biru itu tetap melesat cepat ke arah lawan dan tak terlihat gerakannya.

Jika si Alu Amah tidak menggunakan indera keenamnya, maka ia tak dapat melihat adanya sinar biru yang melesat ke arahnya. Cepat-cepat si Alu Amah putarkan alunya yang bergerak cepat bagaikan baling- baling di depan dadanya. Suara gerakan alu berputar cepat itu sempat bikin gendang telinga menjadi sakit. Wungngngng... !

Jika Ki Cagar Nyawa tidak tinggi ilmunya, maka gendang telinga itu akan pecah mendengar suara gaung yang keras dan berkekuatan tenaga dalam. Dan ternyata suara gaung yang keras itu mampu menahan gerakan sinar biru yang tak terlihat. Sinar dan suara bertemu, maka timbullah ledakan dahsyat yang menggelegar.

Blarrrr...!

Si Alu Amah bagai kapas yang dilemparkan ke samping, ia terpental dan jatuh di bawah pohon berakar saling bertonjolan. Sedangkah Ki Cagar Nyawa juga terlempar bagaikan daun kering, lebih tinggi tubuhnya melayang dan jatuh tanpa bisa menjaga keseimbangan badannya. Brukk...! Lalu cepat berdiri lagi. Kejap berikut Ki Cagar Nyawa sudah kembali siap hadapi lawan seolah-olah tidak mengalami sentakan apa pun. Sedangkan si Alu Amah sendiri sedikit lebih cepat berdiri tegap ketimbang Ki Cagar Nyawa.

Keduanya saling berhadapan dalam jarak delapan langkah.

"Rupanya kau pamer ilmu barumu, Cagar Nyawa?! Hm...! Belum ada sekuku hitamnya dibanding dengan ilmuku!" si Alu Amah mencibir sinis dan dingin. Tetapi dalam hatinya, si Alu Amah membatin, "Kurang ajar! Rupanya dia telah kuasai jurus 'Bangau Neraka'! Mestinya aku lebih dulu kuasai ilmu itu, tapi aku telat!"

Dari tempatnya berdiri memegang tongkat, si Cagar Nyawa ucapkan kata kepada si Alu Amah, juga dengan nada dingin dan sinis.

"Kalau kau punya ilmu lebih tinggi dariku, tentunya sudah sejak tadi siang kau bisa bunuh aku, Alu Amah! Tapi karena ilmumu masih di bawah telapak kakiku, maka sampai malam begini kau masih belum bisa tumbangkan aku!"

Padahal di dalam hati Ki Cagar Nyawa membatin, "Sial betul! Dia makin tua makin tambah kekuatannya! Jurus 'Bangau Neraka-ku bisa ditahannya dengan 'Alu Kipas Naga'-nya! Agaknya cukup sulit tumbangkan dia, tak seperti lawan-lawanku yang lainnya."

Kemudian terdengar suara si Alu Amah lebih lantang lagi,

"Cagar Nyawa! Jangan sangka hanya kau yang punya jurus andalan. Aku pun punya jurus andalan yang sudah waktunya kulepaskan untuk menjemput kematianmu! Terimalah jurus 'Siluman Kera Api' dariku! Heaaahh...!"

Pada saat itulah sesuatu yang telah membuat para tokoh dunia persilatan tertegun sambil dongakkan kepala ke langit, dialami pula oleh kedua tokoh sakti ini. Cahaya hijau berekor panjang melesat di langit atas kepala mereka. Ki Cagar Nyawa lebih dulu dongakkan kepala ke atas, disusul si Alu Amah yang juga ikut arahkan pandangan matanya ke langit. Mereka sama- sama diam, sama-sama bisu, sama-sama bagai terkesima melihat cahaya hijau tersebut. Bahkan setelah cahaya hijau lenyap dari pandang mata mereka, keduanya sama- sama saling pandang dengan curah perhatian mulai sama-sama kabur.

Kejap berikutnya terdengar suara si Alu Amah yang telah membatalkan memamerkan jurus baru andalannya,

"Cagar Nyawa! Malam ini kau patut bersyukur, karena aku masih punya tenggang rasa untuk tidak mencabut nyawamu secara terburu-buru! Kuberi kau kebebasan beberapa saat untuk menikmati sisa hidupmu yang sudah bau tanah ini! Karena aku harus segera pergi untuk selesaikan janji pertarunganku dengan tokoh lain yang lebih tinggi ilmunya dari ilmumu!"

"Jangan tinggalkan tempatmu, Alu Amah!" sentak Cagar Nyawa, ia merasa kecewa jika pertarungan itu terhenti, tanpa tahu siapa yang mati. Namun agaknya Alu Amah punya rencana tersendiri.

Tanpa ucapkan kata apa pun lagi kecuali janji, "Kita pasti bertemu di lain kesempatan!," maka Alu Amah pun sentakkan kakinya dan melesat pergi tinggalkan pertarungannya.

"Alu Amah! Selesaikah dulu urusan pribadi kita ini!" sentak Ki Cagar Nyawa yang ingin melepaskan pukulan jarak jauhnya. Tapi pukulan itu tak jadi dilepaskan karena si Alu Amah cepat berkelebat pergi dan tak terjangkau oleh pandangan mata lagi.

"Hiiiah!"

Ki Cagar Nyawa jengkel sendiri. Pukulannya akhirnya dilepaskan kepada sebatang pohon. Pukulan itu membuat pohon tersebut terpotong rapi menjadi lebih dari tiga puluh potongan dalam sekali gebrak. Kalau saja si Alu Amah melihat jurus yang terakhir ini, Ki Cagar Nyawa berani pastikan diri, si Alu Amah akan gentar dan takjub melihat kehebatan dan kedahsyatan jurus 'Belut Penebar Maut' itu.

"Kurang ajar! Dia lari begitu saja! Tapi aku yakin bukan karena takut padaku dia melarikan diri, tapi karena ada sesuatu yang dia ketahui dan harus dikerjakan! Ke mana larinya, aku tahu! Pasti menuju Gua Sekat Sembilan! Ya, pasti tikus busuk itu menuju ke sana, karena dia tahu perlambang jatuhnya bintang hijau tadi! Hmm...! Rupanya bukan aku saja yang mengetahui perlambang dari bintang hijau yang jatuh tadi! Ada baiknya kalau kususul dia ke Gua Sekat Sembilan dan bikin perhitungan baru di sana!"

***2

HUTAN bertanah kabut adalah tempat terdekat dengan Gua Sekat Sembilan. Sedekat-dekatnya tempat itu, punya waktu perjalanan setengah hari untuk mencapai Gua Sekat Sembilan. Tanah di hutan itu memang sering dibungkus kabut karena rembesan asap belerang sering muncul di sela-sela bongkahan tanahnya. Jadi bukan karena tempatnya tinggi, melainkan karena keadaan alam dari lapisan tanah tersebut.

Kabut belerang putih menurut beberapa tokoh tua punya khasiat menyegarkan tubuh. Barangkali, karena itulah, Ki Candak Sedo membangun persinggahannya di hutan kaki bukit tersebut. Mungkin karena belerang putih berbentuk kabut itu pula yang membuat Ki Candak Sedo tetap segar dan bagus tubuhnya walau sudah berusia delapan puluh lima tahun.

Ki Candak Sedo, pada masanya pernah merajai dunia persilatan untuk separo tanah Jawa. Ia bukan orang rakus, ia bukan tokoh sesat, ia sering mengadakan pertemuan dengan si Gila Tuak, guru dari Pendekar Mabuk, Suto Sinting, yang namanya terdaftar di urutan paling atas sebagai tokoh tua yang sukar ditumbangkan. Pada masanya dulu, Ki Candak Sedo sering bertukar ilmu 'Kaweruh Urip', yaitu sebuah ilmu pengetahuan tentang hidup dan kehidupan dengan si Gila Tuak.

Bagi Candak Sedo, si Gila Tuak dianggap seperti kakaknya sendiri. Dan ia mendengar kabar bahwa si Gila Tuak sudah turunkan ilmunya kepada seorang murid sinting yang diangkat dari bocah tanpa pusar sejak si bocah berusia delapan tahun. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar"). Candak Sedo pun kini telah mengangkat satu murid sejak berusia sepuluh tahun yang bernama Karang Wesi.

Di persinggahannya yang penuh damai tanpa pernah terjadi kericuhan itu, Ki Candak Sedo menurunkan ilmunya kepada Karang Wesi, sebagai sarana menuju hidup sempurna dalam penyerahan diri kepada Hyang Widi. Karena dulu, guru dari Ki Candak Sedo pernah berpesan kepadanya, bahwa hidupnya tidak akan menjadi damai sebelum semua ilmu diturunkan kepada seorang murid pilihannya. Dan bahwa hidupnya tak akan menjadi bersih, sebelum ia bermandikan Minyak Darah Malaikat.

Menurut keterangan dari gurunya Ki Candak Sedo, hidup bersih dan menjadi pertapa suci bisa dicapai melalui dua tahapan itu, setelah menurunkan ilmu seluruhnya sebagai bekal bagi pewarisnya, lalu mandi Minyak Darah Malaikat untuk melenyapkan ilmu-ilmu yang mengarang keras dalam jiwa raganya. Konon menurut sang Guru, setiap manusia mempunyai kotoran batin yang tak pernah disadari telah menjadi keras bagaikan batu karang. Dan kotoran batin itu tidak bisa dihilangkan sebelum mandi Minyak Darah Malaikat, untuk kemudian melakukan semadi menyepi sebagai langkah menuju pusat hubungan dengan Yang Maha Kuasa.

Ki Candak Sedo kini telah turunkan semua ilmunya kepada Karang Wesi. Segala kebaikan dan hal-hal yang bersifat putih telah diberikan kepada sang murid tercinta. Tak heran jika Karang Wesi pun tumbuh sebagai pemuda yang dua tahun lebih tua dari Suto Sinting, si Pendekar Mabuk, dengan bekal ilmu sakti setingkat dengan gurunya. Barangkali hanya ilmu pelebur kotoran batin saja yang belum diturunkan kepada Karang Wesi, karena ilmu itu adalah akhir dari ilmu yang akan dimiliki Ki Candak Sedo.

Karang Wesi, seorang bocah yatim-piatu dalam peristiwa bencana alam yang ditemukan oleh Ki Candak Sedo. Ilmu-ilmu yang diturunkan kepada Karang Wesi dalam usia tiga puluh tahunan ini, telah membuat Karang Wesi merasa tak pernah gentar menghadapi angkara murka dari mana saja. Bahkan sekalipun ia sudah mempunyai ilmu cukup tinggi, namun ia adalah pemuda yang tak pernah merasa puas dalam menuntut ilmu. Ia selalu ingin mendapatkan ilmu apa pun dari gurunya, sehingga satu saat sang Guru pun terpaksa berkata,

"Karang Wesi, kalau kau ingin mendapatkan ilmu lagi dariku, itu tak mungkin bisa. Karena semua ilmuku telah kuturunkan padamu. Tak ada ilmu yang kumiliki lagi yang bisa kuturunkan kepadamu kecuali ilmu hidup sejati."

"Mengapa aku tidak mendapat ilmu hidup sejati, Eyang Guru?!" tanya Karang Wesi seakan menuntut.

"Batas usiamu belum sampai untuk memiliki ilmu hidup sejati, karena batas pemikiranmu tidak bisa sama denganku! Kelak jika kau sudah punya banyak pengalaman dalam hidup, sudah punya banyak perjalanan dalam hidup, sudah pernah merasakan hitam- putihnya suatu kehidupan, maka kau akan temukan sendiri bagaimana menggali ilmu hidup sejati!" dengan sabar dan bijaksana Ki Candak Sedo menuturkan penjelasan itu kepada muridnya. Lalu terdengar Karang Wesi berkata,

"Apakah setelah aku bisa miliki ilmu hidup sejati, aku akan bisa hidup selamanya dan tak akan pernah mati, Guru?"
Ki Candak Sedo sunggingkan senyum geli, kemudian kembali paparkan maksud ucapannya tadi,

"Hidup sejati bukan berarti hidup selamanya. Hidup sejati adalah hidup yang penuh pengabdian dan sujud kepada Hyang Widi Wasa. Selama ini hidup kita adalah hidup pengabdian, baik kepada diri sendiri, kepada sesama dan kepada Yang Maha Kuasa. Tetapi pengabdian kepada Yang Maha Kuasa adalah pengabdian yang harus lebih banyak kita lakukan daripada terhadap diri sendiri dan sesama manusia. Untuk mencapai titik tertinggi dari pengabdian kepada Yang Maha Kuasa, diperlukan ilmu hidup sejati, menemukan apa makna hidup dan kehidupan. Untuk menemukan makna itu sendiri dibutuhkan satu kesucian yang lebih putih dari busa-busa salju, yang lebih peka dari lapisan bola mata kita. Jadi tak bisa hal itu kau terima dalam usia mudamu yang masih butuh kehidupan dan pengabdian kepada diri sendiri!"

"Tapi aku ingin menjadi orang paling sakti, Guru! Apakah semua Ilmu yang Guru turunkan kepadaku ini bisa menjadikan aku sebagai manusia sakti?"

"Karang Wesi muridku!" kata Ki Candak Sedo dengan senyum kesabarannya, "Tidak ada orang paling sakti di dunia ini. Yang paling, sakti hanya Yang Maha Kuasa, pencipta langit dan bumi, serta seisinya! Kita hanya bisa menjadi orang berilmu, seberapa tinggi ilmu kita, tergantung seberapa rendah ilmu lawan kita! Jangan kamu merasa paling sakti, karena di atasnya yang paling sakti ada yang lebih paling sakti. Di atasnya yang lebih paling sakti ada yang sangat lebih paling sakti. Begitu dan begitu seterusnya! Merasa tidak puas dalam menempuh kesaktian pribadi itu tidak baik, tapi merasa tidak puas untuk berbuat baik terhadap sesama itu cukup terpuji di mata Hyang Widi Wasa!"

Karang Wesi diam-diam merasa heran melihat gurunya bicara sambil mengenakan pakaian kebesarannya, yaitu pakaian serba putih, dengan rambut putih digelung ke atas, kumis dan alis serta jenggotnya pun berwarna putih rata. Karang Wesi tahu, kebiasaan gurunya kenakan pakaian serba putih seperti itu pasti akan melakukan satu perjalanan jauh yang punya urusan penting. Maka Karang Wesi pun ajukan tanya,

"Kelihatannya Eyang Guru mau mengadakan perjalanan jauh?"
"Benar, Muridku!"
"Kalau boleh aku tahu, ke mana Guru mau pergi? Aku ingin mendampingi Guru!"

Ki Candak Sedo menatap muridnya dan sunggingkan senyum kasih sayang. Lalu dengan polos ia katakan,

"Sudah waktunya aku melakukan perjalanan terakhirku sebelum aku melakukan hidup sejati yang paling tinggi. Tentunya kau masih ingat peristiwa semalam, saat kau berlatih pukulan 'Angin Lahar'?"

Karang Wesi kerutkan kening, ia ingat-ingat peristiwa semalam saat ia melakukan latihan terakhir dari jurus pukulan 'Angin Lahar'. Pukulan itu memang dahsyat dan mengagumkan menurut Karang Wesi. Mula-mula ia hanya diperintahkan untuk menyalurkan pernapasannya melalui telapak tangan berulang kali. Ia tidak tahu apa maksud gurunya itu.

Setelah tenaga dalam bisa memantul balik dengan sendirinya dari ujung telapak tangan ke jantung, Karang Wesi diperintahkan untuk menguasai hawa murninya di dalam pertengahan dada. Getaran hawa murni itu disuruh rasakan sampai ujung kakinya. Lalu, Ki Candak Sedo perintahkan agar getaran tersebut dikuasai dan disalurkan melalui urat-urat nadi yang ada di pergelangan tangan hingga terasa pergelangan tangan mau pecah.

Karang Wesi melakukan semua itu dengan pemusatan batin cukup tinggi. Sampai akhirnya sang Guru perintahkan untuk melepaskan getaran hawa murni itu hingga menguasai telapak tangannya tapi jangan sampai keluar. Dan Karang Wesi telah melakukannya walau agak susah, sebab getaran itu seakan mendesak ingin keluar dari telapak tangannya.

"Tahan dan biarkan menguasai setiap urat nadi telapak tangan!" ujar Ki Candak Sedo.

Setelah melalui upaya yang susah payah, yang membuat telapak tangan bagaikan ingin terbakar pecah, Ki Candak Sedo perintahkan Karang Wesi untuk meraba sebatang pohon beringin.

"Usaplah pohon itu dengan lembut!" kata Ki Candak Sedo.

Karang Wesi melakukan apa yang diperintahkan gurunya. Tangannya mengusap pelan batang pohon beringin itu. Pertama-tama ditempelkan dengan pelan, lalu mengusapnya ke bawah dengan lembut. Setelah itu terjadi suatu keajaiban yang sungguh menakjubkan.

Terdengar suara aneh seperti bara api masuk ke dalam air kolam secara pelan-pelan. Zzzrreessss...! Kejap berikut mata Karang Wesi terkesiap, karena ia melihat pohon beringin yang begitu besar dengan akarnya bergelantungan bagai rambut-rambut raksasa itu, kini menjadi hangus seketika dari akar sampai daunnya.

Karang Wesi cepat mundurkan langkah tiga tindak. Ia pandangi pohon yang menghitam hangus seluruhnya, tapi belum tumbang dari tempatnya. Daun-daunnya hitam kaku bagaikan daun arang. Ketika tertiup angin pelan, daun-daun itu tak lagi bisa bergoyang karena kakunya. Tapi ketika kaki Ki Candak Sedo menendangnya dengan pelan, pohon itu rubuh dan pecah menjadi serpihan arang.

"Ajaib sekali!" gumam Karang Wesi dengan sangat kagumnya, ia pandangi telapak tangannya sendiri yang ternyata masih tetap bersih dan putih.

"Itu namanya pukulan 'Angin Lahar'," kata Ki Candak Sedo. "Jika kau sering berlatih kendalikan getar hawa murni ke telapak tanganmu, maka dengan sekali tahan napas saja, kau bisa usap lawanmu atau pegang tangannya, maka dalam sekejap lawanmu akan menjadi arang keropos, seperti pohon beringin besar itu!"

"Oh, alangkah hebatnya ilmu ini, Eyang Guru!" Karang Wesi berseri-seri tanda amat gembira hatinya.

"Hanya dalam keadaan sangat terpaksa, gunakan ilmu itu! Tapi jika belum terpaksa sekali, hindari penggunaan ilmu itu! Sangat berbahaya dan keji menurut pertimbanganku setelah setua ini!"

"Baik, Guru! Aku mengerti maksud Eyang Guru!"

"Itulah sebabnya aku dijuluki oleh beberapa tokoh tua di rimba persilatan ini sebagai Candak Sedo. Candak artinya pegang, Sedo artinya mati! Ketika aku masih gemar berkelana, setiap lawan yang kupegang pasti mati. Baru kupegang atau kuajak salaman, dia sudah menjadi hangus dan keropos seperti pohon itu! Tapi...."

Pada malam itu, ucapan Ki Candak Sedo terhenti dengan wajah segera mendongak ke atas. Ki Candak Sedo memandang gerakan bintang jatuh berwarna hijau pijar bening. Karang Wesi juga pandangi langit, bahkan sempat ucapkan kata,

"Bintang timur jatuh, Guru! Indah sekali warnanya!"

"Itu bukan bintang sembarang bintang," jawab Ki Candak Sedo. "Bagi para tokoh tua, itu suatu pertanda akan terjadinya suatu peristiwa yang sekian lama ditunggu-tunggu."

"Peristiwa apa Guru?"

Ki Candak Sedo sedikit ragu untuk menjelaskan kepada muridnya. Lalu, cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan ke jurus 'Angin Lahar' tadi.

"Jurus 'Angin Lahar', jangan sampai kau lepaskan kepada orang tak bersalah! Karena jika kau lepaskan kepada orang tak bersalah, maka perbuatanmu itu adalah perbuatan keji yang tak patut menjadi murid Candak Sedo. Pukulan 'Angin Lahar' kuciptakan sendiri untuk menghadapi tokoh sesat yang sulit dibunuh!"

"Ya. Aku mengerti. Guru! Semua pesan dan nasihat Guru, akan kujalankan!"
"Bagus. Karena kulihat kau sudah terlalu letih, sebaiknya segeralah beristirahat, Karang Wesi!"
"Baik, Guru!" Karang Wesi tunjukkan sikap penurut, sebagai murid patuh yang sangat menggembirakan hati gurunya.

Itulah peristiwa yang dikenang Karang Wesi sebelum sang Guru melakukan perjalanannya. Bungkamnya mulut Karang Wesi membuat sang Guru memandang dengan senyum kebanggaan, lalu ajukan tanya pelan,

"Sudah ingatkah kau dengan peristiwa tadi malam?"
"Sudah, Guru. Tadi malam saya mempelajari ilmu pukulan 'Angin Lahar'!"
"Bukan itu maksudku, Wesi! Kuingin kau mengingat tentang bintang jatuh warna hijau cerah berekor panjang itu."
"O, ya! Aku ingat, Guru! Lantas, apa hubungannya dengan rencana kepergian Guru ini?"

Ki Candak Sedo mendekati muridnya yang masih duduk, bahkan kini Candak Sedo ikut duduk di bangku sebelahnya, lalu ucapkan kata,

"Bintang jatuh seperti itu, ada sembilan warna. Saat aku mengangkatmu menjadi murid yang pertama kali, terjadi pula peristiwa bintang jatuh berwarna kuning terang. Dan itu adalah bintang yang ke tujuh!

Karang Wesi segera menjawab saat gurunya diam sejenak, "Seingatku, aku juga pernah melihat bintang jatuh tapi siang hari, warnanya hitam, seperti gugusan asap yang berkelebat cepat berekor panjang, Guru!"

"Ya. Waktu itu kau berusia dua puluh tahun. Dan bintang hitam yang jatuh di siang hari itu adalah bintang yang kedelapan. Sebelumnya ada bintang merah, biru, putih, ungu, jingga, dan nila. Sedangkan bintang hijau semalam itu adalah bintang jatuh yang kesembilan."

"Apa artinya, Guru?"

"Artinya, jika sudah ada sembilan bintang dengan sembilan warnanya masing-masing jatuh ke bumi, walau tak sampai menyentuh permukaan bumi, itu pertanda Gua Sekat Sembilan mulai terbuka dengan sendirinya. Pintu gua itu tidak akan bisa dibuka dan didobrak dengan senjata apa pun, selain menunggu jatuhnya kesembilan bintang."

Karang Wesi sangat memperhatikan tiap ucapan Guru karena ia sangat tertarik dengan misteri Gua Sekat Sembilan. Lalu, ia mendesak gurunya dengan pertanyaan.

"Apa yang terjadi jika pintu Gua Sekat Sembilan telah terbuka, Guru? Apakah akan muncul seekor ular naga?"

"Tidak," jawab Ki Candak Sedo sambil sunggingkan senyum. "Saat ini, para tokoh tua yang tahu rahasia sembilan bintang pasti akan saling berebut untuk temukan Gua Sekat Sembilan. Karena di dalam gua itu terdapat Minyak Darah Malaikat!"

"Minyak Darah Malaikat...?! Maksud Guru, minyak yang bisa meleburkan kotoran di batin kita yang selama ini telah menjadi karang pengganjal kesejatian hidup?"

"Benar! Tapi para tokoh itu bermaksud memiliki Minyak Darah Malaikat bukan untuk sekadar membersihkan kotoran batin, namun untuk menambah kesaktian dirinya. Karena barang siapa mandi minyak keramat itu, maka tubuhnya akan menjadi kebal senjata apa pun dan tak bisa dihantam dengan ilmu tenaga dalam setinggi apa pun!"

Karang Wesi manggut-manggut. "Ooo... begitu? Menurut dugaanmu, mereka pasti akan berebut minyak tersebut, Guru!"

"Benar! Tapi mereka belum tentu bisa temukan Gua Sekat Sembilan. Mereka hanya tahu arahnya, tapi tidak tahu di mana letak gua itu secara persis."

Ki Candak Sedo melangkahkan kaki sampai di depan gubuk persinggahannya, kemudian dari sana dia berkata sambil palingkan wajah kepada Karang Wesi,

"Hanya akulah yang tahu letak gua itu! Sebab dulu guruku pernah bertapa di depan pintu gua itu, dan aku pernah diajaknya ke sana! Karena itu aku memilih tempat persinggahan di hutan ini, supaya jika saatnya tiba, pintu gua terbuka, jarakku dengan gua itu tidaklah jauh!"

Karang Wesi bangkit dengan wajah ceria, lalu ucapkan kata,

"Kalau begitu kita berangkat sekarang ke sana, Guru! Saya akan dampingi Guru, sampai mendapatkan Minyak Darah Malaikat itu, Guru!"

Ki Candak Sedo kembali sunggingkan senyum bangga terhadap kesetiaan muridnya, kemudian ia ucapkan kata sambil mendekati Karang Wesi,

"Kesetiaan dan kepatuhanmu selama ini adalah sesuatu yang menghibur hati tuaku, Karang Wesi! Ternyata aku tak salah pilih murid!" sambil pundak Karang Wesi ditepuk-tepuknya.

"Guru, jangan sanjung saya nanti bisa lupa diri!" Tawa tua dari Candak Sedo terdengar pelan. Kemudian ia melangkah lebih dulu tinggalkan persinggahannya. Karang Wesi segera menyusul dan mendampingi gurunya. Langkahnya penuh semangat, bahkan berkesan tak sabar, ingin segera sampai di Gua Sekat Sembilan.

Sambil melangkah, Candak Sedo tuturkan kata kepada Karang Wesi,

"Genap sudah Gua Sekat Sembilan tertutup rapat tak dijamah makhluk apa pun selama sembilan puluh tahun. Karena jatuhnya bintang warna-warni itu hanya setiap sepuluh tahun sekali. Gua itu ada sebelum aku lahir, Karang Wesi!"

"Siapa yang menaruh Minyak Darah Malaikat di dalam gua itu, Guru?' tanya Karang Wesi.

"Goa Sekat Sembilan mempunyai kekuatan gaib yaitu dapat menyerap darah setiap pendekar sakti dari golongan putih. Walau hanya satu tetes darah, tapi pada saat tokoh sakti dari golongan putih mati, maka darahnya akan terserap ke dalam gua itu. Selama sembilan puluh tahun, gua itu menyerap satu tetes darah dari setiap pendekar golongan putih yang mati. Maka terkumpullah menjadi banyak. Dan konon, menurut cerita guruku sendiri darah itu sudah bukan merah lagi warnanya, sudah bukan amis lagi baunya. Darah itu berubah menjadi putih bening dan berbau harum. Darah itu ibarat zat kesaktian dari tokoh putih."

"Berarti Minyak Darah Malaikat itu adalah kumpulan zat kesaktian dari sekian banyak zat yang ada pada diri tokoh sakti, Guru?l"

"Benar! Sebab itulah Minyak Darah Malaikat bisa menolak senjata setajam apa pun, dan bisa menolak kekuatan tenaga dalam setinggi apa pun jika dipakai mandi oleh seseorang. Dan pesan guruku adalah menurunkan ilmuku kepada seorang murid hingga tuntas, lalu bermandi minyak itu sekujur tubuhku, setelah itu baru aku bisa menjadi pertapa yang hanya mengabdi kepada Hyang Widi Wasa, jauh dari duniawi, jauh dari keramaian, jauh dari nafsu angkara murka!"

"Saya akan dampingi Guru untuk mendapatkan minyak itu, kalau memang minyak itu adalah syarat yang dibutuhkan oleh Guru!"

"Terima kasih atas kesetiaanmu, Karang Wesi! Kuharap kau menjaga mulut gua selama aku masuk ke dalam dan mengambil Minyak Darah Malaikat itu!"

"Saya turut perintah, Guru!" jawab Karang Wesi dengan tegas dan penuh kepatuhan yang mengagumkan buat Ki Candak Sedo.
*
* *


PENDEKAR Mabuk tidak bisa menemukan tempat yang disebutkan oleh Cambuk Guntur. Melacak pelarian Cambuk Guntur dengan si Macan Bangkai pun mengalami salah arah. Dengan sedikit kecewa Suto akhirnya tidak mau peduli lagi terhadap keanehan kedua tokoh yang ditemuinya pada malam purnama itu.

Tetapi ketika pagi telah berlalu, Pendekar Mabuk menangkap suara pekik seseorang dan ledakan yang bergemuruh. Suara itu sepertinya datang dari balik bukit. Rasa ingin tahunya membawa Pendekar Mabuk mendekati tempat itu. Melalui celah pepohonan rapat mata Suto mengintai apa yang terjadi di seberang sana.

Ternyata di sana sedang terjadi pertarungan yang membuat jantung Suto Sinting berdebar-debar antara tegang dan kegirangan. Seorang nenek bungkuk berbadan kurus sedang menebaskan tongkat lengkungnya dari akar rotan kuning ke arah lawannya. Nenek itu berjubah biru dengan rambut abu-abu, berwajah kempot, mata cekung dan giginya tinggal tiga. Usianya diperkirakan sudah lebih dari enam puluh tahun. Tapi gerakannya, masih gesit.,

Hal yang membuat Pendekar Mabuk menjadi berdebar girang bukan nenek tersebut, melainkan lawan si nenek itu. Lawannya orang berjubah hitam dari atas sampai bawah berkerudung kain hitam, wajahnya putih berbibir biru, menggenggam senjata tongkat El Maut, yang ujungnya seperti sabit panjang. Orang berwajah dingin itulah yang diburu Pendekar Mabuk selama ini.Dia adalah tokoh sesat yang tidak bisa tua walau usianya sudah dua ratus tahun lebih. Dia adalah Durmala Sanca yang lebih dikenal dengan julukan Siluman Tujuh Nyawa.

Melihat musuh utamanya sedang bertarung dengan nenek tua itu, Pendekar Mabuk tidak langsung menyerangnya, ia justru memperhatikan pertarungan itu dari balik pepohonan. Di dalam hatinya, Suto Sinting berkata,

"Mungkinkah Durmala Sanca sudah mempunyai kemajuan baru dalam ilmunya? Aku harus mempelajari dulu sebentar dari sini! Jika aku langsung masuk ke pertarungan, barangkali hati nenek tua itu akan kecewa karena urusannya kucampuri! Hmmm...! Sebaiknya kutunggu saja bagaimana akhir pertarungan itu! Tapi yang jelas, kali ini Siluman Tujuh Nyawa tidak akan lolos dari incaranku!"

Nenek bungkuk berbadan kurus itu terpental saat ia melepaskan pukulan tenaga dalamnya bersinar kuning, karena oleh manusia berkerudung hitam itu pukulan kuningnya dihantam dengan sinar putih yang keluar dari ujung sabit panjangnya itu. Tapi agaknya si nenek masih bersemangat dan segera bangkit tanpa cedera apa pun. Kejap berikutnya terdengar suara Durmala Sanca berkata kepada nenek itu,

"Jangan harap kau bisa menang melawanku, Nyai Pungkur Maut! Sebaiknya urungkan saja niatmu membalas dendam atas kematian suamimu beberapa puluh tahun yang lalu!"

"Aku tidak akan biarkan kau lolos lagi, Manusia iblis! Apa pun yang terjadi, aku harus bisa membunuhmu sekarang juga. Karena baru sekarang kita bertemu lagi setelah sekian puluh tahun yang lalu kau membunuh suami dan anakku di depan mataku sendiri!" kala nenek yang ternyata bernama Nyai Pungkur Maut itu.

"Tidakkah kau sayang dengan sisa hidupmu yang tinggal beberapa hari ini? Sebaiknya jangan kau sia- siakan sisa hidupmu untuk memburuku, tapi gunakanlah untuk menyenangkan diri sebelum kau mati!"

"Tutup mulutmu, Iblis Keparat!" bentak Nyai Pungkur Maut. "Tak ada lagi kesenangan dalam hidupku sebelum aku bisa membalas kematian suami dan anakku! Tak ada lagi yang lebih berharga selain memenggal kepalamu dengan tongkatku ini! Hiaaah...!"

Nyai Pungkur Maut tampak menyentakkan tongkatnya ke depan dengan sentakan yang cukup kuat. Tangannya sampai lurus ke depan dan dari ujung tongkatnya itu keluar sekelebat sinar warna merah. Sinar itu menghantam dada Siluman Tujuh Nyawa. Wuttt...! Zlappp...!

Tapi tangan kiri Durmala Sanca yang tidak memegang tongkat El Maut itu menghadang di depan dada. Sinar merah itu membentur telapak tangan yang sudah membara kunipg kemerahan itu. Duarrr...! Meledaklah benturan sinar merahnya Nyai Pungkur Maut dengan telapak tangan Siluman Tujuh Nyawa.

Lalu dua jari tangan itu bergerak cepat menghentak ke depan dan keluarlah sinar merah berkelok-kelok bagai akar serabut dari percikan api yang membara.

Zrappp...! Kumpulan sinar merah berkelok-kelok itu menghantam dada Nyai Pungkur Maut dan tak dapat dihindari lagi karena kecepatan loncatnya luar biasa. Jrass...! Sinar merah itu masuk ke dalam dada dan membuat tubuh Nyai Pungkur Maut terpental hingga empat tombak j auhnya.

Tubuh Nyai Pungkur Maut tersandar di bawah pohon dalam keadaan berasap. Matanya yang cekung itu mendelik dan lehernya bergerak-gerak dengan kepala terdongak, sepertinya sukar bernapas. Siluman Tujuh Nyawa segera berkelebat mengayunkan tongkat bergagang panjang yang ujungnya mempunyai sabit lengkung panjang itu. Sabit itulah yang akan dihantamkan ke dada Nyai Pungkur Maut.

Tetapi ketika tubuh Durmala Sanca melompat, Pendekar Mabuk segera melepaskan pukulan jarak j auhnya dan tepat mengenai punggung Durmala Sanca dengan telak sekali. Wuttt...! Buhgg...!

Tubuh yang terbungkus kain hitam dari kepala sampai kaki itu terlempar ke samping dengan sangat kerasnya. Andai tidak ada pohon besar, maka tubuh itu akan terlempar sangat jauh dari tempat Nyai Pungkur Maut terkapar. Dengan gerak siluman yang cepatnya luar biasa itu, Pendekar Mabuk melesat ke arena pertempuran tersebut. Zlappp... !

Pendekar Mabuk segera mengambil bumbung tuaknya dari punggung. Melihat kepala Nyai Pungkur Maut terdongak dengan mulut ternganga mencari napas,

Suto segera mengucurkan tuaknya ke dalam mulut nenek itu. Tuak tertelan dan asap yang mengepul dari tubuh Nyai Pungkur Maut pun menjadi reda. Kejap berikutnya, Nyai Pungkur Maut kembali bisa bernapas dengan lega.

Tetapi pada saat itu, Siluman Tujuh Nyawa sudah siap melepaskan serangannya ke arah Pendekar Mabuk. Dengan cepat Pendekar Mabuk balikkan badan dan menghadap ke arah Durmala Sanca. Matanya memandang tajam ketika Durmala Sanca berkata dengan nada datar dan dingin, sedingin wajahnya yang tak pernah tersenyum ataupun menyeringai kesakitan itu,

"Apa urusanmu mencampuri urusanku, Pendekar Mabuk!"

"Kita punya urusan pribadi yang harus segera dituntaskan!" kata Suto sambil melangkah ke samping dan memegangi tali bumbung tuaknya.

"Dan jangan coba-coba melarikan diri lagi kau, Durmala Sanca!"

"Aku tak pernah lari dari jiwamu! Kalau aku lari itu lantaran aku harus menunda pertarungan kita untuk sesaat, karena banyaknya urusan yang harus kulakukan!"

"Baik. Kuterima alasan apa pun yang kau ucapkan, Durmala Sanca! Tetapi kali ini kau tak akan bisa lari lagi dari hadapanku! Sudah waktunya kematianmu tiba, dan orang sesat masuk neraka!"

"Tak keberatan aku melayanimu, Suto! Tapi minggirlah dulu, biar kuselesaikan dulu urusanku dengan Nyai Pungkur Maut itu! Aku tak ingin seseorang menjadi gila karena tak bisa membunuhku!"

"Urusan nenek itu akan kuwakili!"
"O, baik kalau begitu!"

Wuttt...! Tiba-tiba Durmala Sanca sentakkan telapak tangannya ke depan, dan Suto Sinting pun juga sentakkan telapak tangannya ke depan. Mereka saling adu kekuatan tenaga dalam dengan badan sedikit merendah.

Tratt tratt tarr... tarr...! Brarr... tam...!

Dua sinar berkelok-kelok bagaikan petir saling sambar di pertengahan jarak. Dari tangan Durmala Sanca keluar sinar hijau, dari tangan Pendekar Mabuk keluar sinar merahnya. Dua sinar yang berkelok-kelok itu bagaikan sepasang naga yang beradu saling lilit di pertengahan jarak mereka. Loncatan bunga api dan ledakan kecil terjadi beberapa kali.

Agaknya keduanya sama kuat. Durmala Sanca gemetar sekujur tubuhnya, dan keadaan berdirinya semakin merendah. Sedangkan Pendekar Mabuk masih tampak tegak dan tegar walau tangannya itu mulai mengucurkan keringat dan gemetar. Sinar merahnya masih berlompatan dari telapak tangannya, menghantam sinar hijau dari telapak tangan lawan.

Nyai Pungkur Maut merasa heran melihat penampilan anak muda yang menggenggam tali bumbung tuak itu. Ia merasa belum pernah mengenal anak muda yang berwajah tampan itu. Tetapi ia sudah merasakan kehebatan ilmunya, terutama ilmu Tuak Sakti-nya itu yang dapat membuat tubuh Nyai Pungkur Maut menjadi segar. Padahal menurut perkiraannya, ia akan mati karena terkena pukulan maut dari Durmala Sanca.

Melihat keadaan Siluman Tujuh Nyawa terdesak dan sedikit kewalahan menahan serangan tenaga dalam Pendekar Mabuk, Nyai Pungkur Maut menggunakan kesempatan untuk menyerang Siluman Tujuh Nyawa, ia segera melompat dengan tongkatnya ditebaskan ke leher Siluman Tujuh Nyawa dalam gerakan cepat.

"Heeeaaah...!"
Wuttt...! Trakk! Duarrr...!

Tongkat itu ditangkis dengan ujung tongkatnya Siluman Tujuh Nyawa, sementara tangannya masih menahan pukulan tenaga dalam Suto. Tongkat Nyai Pungkur Maut terpental lepas dari tangannya, dan tiba- tiba tubuhnya tersodok bagian bawah dari tongkat El Maut itu. Duhggg...!

"Uuhg....!" Nyai Nyai Pungkur Maut tersentak dan terpekik, tubuhnya kembali terlempar dalam jarak antara tiga tombak.

Pendekar Mabuk segera kibaskan bumbung tuaknya ke arah Siluman Tujuh Nyawa. Bumbung tuak yang berkelebat itu ditangkis dengan tongkat El Maut. Blarrr...!

Ledakan dahsyat terjadi akibat benturan dua benda tersebut dan mereka berdua sama-sama terpental. Sinar dari telapak tangan padam. Pendekar Mabuk tersentak mundur tiga langkah, sedangkan Siluman Tujuh Nyawa terpental ke belakang kira-kira empat tombak jauhnya, ia hampir saja jatuh terkapar. Untung masih bisa menggunakan tongkatnya sebagai alat penahan tubuhnya agar tak sampai jatuh.

"Nyai," kata Suto, "Jangan ikut menyerang dulu! Biar kuhabisi nyawa si keparat itu!"

"Baiklah! Aku pun punya urusan sendiri yang harus kukerjakan sebelum orang lain mengerjakannya! Kuserahkan dia, Anak Muda. Bunuh dia dan jangan biarkan lolos darimu!"

Wusss...! Rupanya Nyai Pungkur Maut benar-benar punya urusan penting tersendiri, sehingga ia rela menyerahkan lawannya kepada Suto. Melihat kecepatan geraknya yang tampak terburu-buru itu, Suto dapat menduga bahwa Nyai Pungkur Maut merasa takut ketinggalan waktu. Dan jika bukan sesuatu yang teramat penting, tidak mungkin ia lepaskan musuhnya yang telah membunuh suami dan anaknya itu.

Kini, di situ tinggal Suto Sinting berhadapan dengan Durmala Sanca. Dua tokoh sama kuat dan sama berilmu tinggi saling mengadu kesaktian. Siluman Tujuh Nyawa bergerak sangat cepat bagai anak panah dilepaskan, ia menebas kepala Pendekar Mabuk dengan sabit panjangnya. Tapi, Pendekar Mabuk juga mempunyai jurus gerak siluman yang mampu membuatnya seperti menghilang. Gerakan cepatnya yang melebihi hembusan badai mengamuk itu membuat Siluman Tujuh Nyawa selalu meleset menyabetkan senjatanya.

"Sudah kubilang, kau tak akan bisa mengalahkan aku, Pendekar Mabuk! Kau bukan lawanku! Mestinya kau melawan anak buahku, Suto!"
"Anak buahmu sudah kubabat habis semua! Tinggal kamu yang belum kulenyapkan!" kata Suto masih
dengan penuh keberanian.

Dalam jarak empat tombak itu, Siluman Tujuh Nyawa segera memutar-mutar tongkatnya di atas kepala. Wukkk... wuukkk wukkk... ! Lalu lompatan sinar biru bagaikan petir itu menyambar tubuh Pendekar Mabuk. Clappp...! Blarrr...!

Pendekar Mabuk bersalto ke atas dua kali. Wuttt...! Dengan begitu sinar biru petir itu mengenai tempat kosong. Dan kini Pendekar Mabuk pun ganti memutar- mutarkan bumbung tuaknya di atas kepala. Wungngng... wungng... wungngng... ! Dua sinar ungu melesat dari putaran bumbung tuak tersebut.

Clap... clapp...! Blarr...! Blarrr....!

Satu sinar ungu bisa dihindari Siluman Tujuh Nyawa, tapi yang satu hanya sempat ditangkis dengan kilatan sinar putih dari ujung tongkatnya. Akibat benturan sinar putih itu, tubuh Siluman Tujuh Nyawa terpental terbang, bagaikan daun kering dihempaskan badai. Cukup jauh ia terpental, sehingga Suto Sinting segera memburunya dengan berlari cepat. Ilmu gerak siluman-nya digunakan. Sehingga sebelum tubuh Siluman Tujuh Nyawa mendarat, ia sudah berada di belakang orang berkerudung hitam itu. Brukk...! Siluman Tujuh Nyawa jatuh terduduk dan cepat berdiri. Tapi ternyata Suto sudah ada di belakangnya dan cepat sodokkan bumbung tuaknya ke punggung dengan kuat. Baahggg...!

"Eeehgg...!" Sodokan bumbung bertenaga dalam cukup hebat membuat tubuh Siluman Tujuh Nyawa terhempas ke depan dengan darah menyembur dari mulutnya. Keadaan tubuh yang terhempas itu hampir sama cepatnya dengan yang tadi, sehingga Pendekar Mabuk kembali gunakan gerak silumannya dengan melesat cepat melebihi gerakan anak panah. Zlapp!

Tahu-tahu Pendekar Mabuk sudah ada di depan Siluman Tujuh Nyawa yang jatuh berlutut. Kaki Pendekar Mabuk bertenaga dalam tinggi itu dihempaskan ke depan menendang wajah lawan. Wuttt...! Blakkk...! Terdongak kepala Siluman Tujuh Nyawa, terlempar kembali tubuh itu.

Darah kembali tersembur dari mulut Siluman Tujuh Nyawa. Pendekar Mabuk mengejarnya. Tapi tiba-tiba tubuh lawannya itu menghilang dengan menggerakkan tangannya bagai membanting sesuatu di tanah dan letupan kecil pun terjadi saat itu juga. Blupp...! Asap tebal membungkusnya. Ketika asap itu hilang, tubuh Siluman Tujuh Nyawa itu telah lenyap dari pandangan mata Suto Sinting.

"Jahanam! Jangan lari kau! Hadapi aku!" teriak Pendekar Mabuk dengan mata memandang ke sana- kemari. Dan tiba-tiba pandangan matanya tertuju pada seraut wajah kurus, tulang-tulangnya bertonjolan, ia seorang lelaki berpakaian hitam, mengenakah ikat kepala merah dengan rambutnya yang putih rata. Kumisnya juga berwarna-putih, serupa dengan jenggotnya yang panjang, ia membawa tongkat pula sebagai pemandu, langkahnya yang sudah terbungkuk-bungkuk dan gemetaran jika berjalan. Usianya sekitar hampir seratus tahun. Matanya sipit, seakan sudah tak mampu lagi untuk dibuka kelopaknya.

Kakek tua yang kulitnya sudah keriting dan tinggal tulang dibungkus kulit, itu berjalan mau melintasi Pendekar Mabuk. Tentu saja mata Suto menjadi memandang penuh keheranan. "Orang ini agaknya orang sakti!" katanya dalam hati, sebab memang tahu-tahu dia muncul di situ dan memandangi Suto dalam langkahnya yang terhuyung-huyung itu.

Bahkan ketika ia sudah berada dalam jarak dekat, kakek tua itu segera menyapa Pendekar Mabuk dengan suaranya yang gemetar,
"Mau cari burung ya, Nak?"
"Burung?!"
"Atau... mau cari madu hutan?"
"Tidak! Saya tidak cari burung atau madu hutan, Kek!"
"Kok bawa-bawa bumbung begitu?"
"Ini tempat tuak, Kek!"
"Ooo... kamu jualan tuak, ya?"

Pendekar Mabuk tersenyum setelah menghembuskan napas panjang, ia terpaksa melayani orang tua renta itu, karena merasa iba melihat keadaan serenta itu berjalan sendirian dengan susah payah.

"Saya bukan jualan tuak, Kek. Saya memang senang minum tuak! Jadi ke mana-mana saya membawa bumbung tempat tuak ini!"
"Ooo...!" kakek itu manggut-manggut. "Maaf saja, ya? Maklum Kakek sudah tua, sudah tidak bisa membedakan mana penjual tuak, dan mana
peminumnya! He he he...!"

Suto Sinting pun ikut tertawa walau tidak terlalu keras. Kemudian, Suto Sinting bertanya kepada kakek itu,

"Kakek mAu ke mana? Sudah jalannya susah kok bepergian?''
"Aku mau cari kekasih!" jawabnya polos, seperti tidak merasa ganjil terhadap perbandingan usianya. Itu yang membuat Pendekar Mabuk akhirnya terkikik geli sendiri.

"Sudah tua kok mau cari kekasih, Kek?"
"Habis semasa mudanya aku sibuk tarung ke sana- sini!"
"O, kakek bekas pendekar?"
"Ya. Dulu, sebelum usiaku dua ratus tahun lebih seperti sekarang ini!"
"Hah...?! Jadi usia kakek sudah dua ratus tahun lebih?'
"Ya. Tapi semasa mudaku, aku menjadi pendekar yang gagah seperti kamu, tapi lebih sakti dari kamu!"
"Sekarang apa masih sakti, Kek?" pancing Suto yang tertarik dengan percakapan itu.

"O, masih! Masih sakti! Benda apapun yang kupegang bisa dipakai untuk membunuh lawan! Seperti bumbung tuakmu itu, kalau aku yang memegangnya bisa menjadi sebuah pedang pusaka yang amat hebat!"

"Begitukah?"
"Ya! Kalau tidak percaya, coba kupinjam sebentar bumbung tuakmu itu! Kau akan melihat sendiri hasilnya!"

Lalu, Pendekar mabuk menyerahkan bumbung tuaknya kepada sang kakek. Setelah bumbung tuak diterima oleh sang kakek, tiba-tiba kakek itu bergerak cepat. Berlari meninggalkan Pendekar Mabuk dengan langkah tak selemah tadi. Suto terkejut dan segera mengejarnya.

"Hei, Kek...! Mau dibawa ke mana bumbung tuakku itu!"
"Tanpa bumbung ini kau tidak mempunyai kekuatan, Suto!"
"Hah...?! Suaranya seperti suara Siluman Tujuh Nyawa? Celaka! Berarti dia jelmaan Siluman Tujuh Nyawa!"

Zlappp...! Pendekar Mabuk kembali gunakan gerak silumannya yang begitu cepatnya hingga tak bisa terlihat oleh mata orang biasa. Tahu-tahu dia sudah menghadang di depan langkah sang kakek, dan pada saat itu sang kakek sudah berubah menjadi Siluman Tujuh Nyawa.
"Hiaat...!"

Pendekar Mabuk hentakkan kedua tangannya dan melesatlah dua sinar merah dan biru ke dada Siluman Tujuh Nyawa. Blarrr...! Meledaklah sinar yang menghantam dada itu. Bumbung tuak terpental jatuh di tanah. Suto segera melompat dan meraihnya.

Blabb...! Kembali asap putih mengepul membungkus tubuh Siluman Tujuh Nyawa. Pendekar Mabuk tidak bisa memandang dengan jelas keadaan di dalam kepulan asap tebal itu. Tapi secara untung-untungan saja ia lepaskan kembali pukulan badai yang mampu menghembuskan angin kencang dari telapak tangannya.

Wuttt...! Wosssss...!

Kabut berupa asap tebal itu lenyap seketika, Tapi Siluman Tujuh Nyawa tidak ada di situ. Hanya saja, mata Suto sempat melihat sosok bayangan hitam lari mendaki bukit di seberang jauh sana.

"Setan kurap! Dia kabur ke bukit itu! Akan kukejar dia!"

Zlappp...! Pendekar Mabuk pun mengejar lawannya kembali dengan geram kemarahan atas dirinya yang hampir saja tertipu dan kehilangan bumbung tuaknya.
*
* * 4
LETAK Gua Sekat Sembilan ada di balik kerimbunan tanaman rambat yang melekat pada dinding tebing tak seberapa tinggi. Di depan gua itu mempunyai tanah datar kira-kira dua puluh langkah lebarnya dan tiga puluh langkah panjang ke depannya, lewat dari itu adalah jurang yang amat dalam. Mirip sebuah jurang tanpa dasar.

Di tanah datar bertanaman rumput pendek itu terdapat banyak pohon menjulang tinggi, menyerupai tanaman pohon pinus yang mempunyai cabang dan dahan besar- besar. Jarak dahan satu dengan yang lainnya jauh-jauh. Ada juga pohon sejenis mahoni yang tumbuh di situ
dengan daunnya yang berwarna kuning rata itu.

Pohon jati merah adalah sebagai ciri atau tanda adanya Gua Sekat Sembilan. Hanya ada satu pohon jati berdaun merah menyala itu. Konon, guru dari Ki Candak Sedo yang menanam pohon tersebut ketika pintu gua belum tertutup, ketika baru satu bintang yang jatuh ke bumi, yaitu bintang yang berwarna merah.

Ki Candak Sedo diam sebentar di bawah pohon jati berdaun merah terang itu. Agaknya ia sempat mengenang tanaman itu kala ia datang bersama gurunya ke situ, di mana tanaman pohon jati merah masih belum setinggi dan sebesar sekarang. Ia sempat berkata kepada muridnya,

"Di sini, banyak tanaman aneh yang langka terdapat di hutan lainnya. Seperti pohon beringin biru yang ada di sebelah sana!"
Karang Wesi memandang ke arah yang ditunjuk gurunya. Ternyata memang benar, di sebelah sana terdapat pohon beringin biru dari daun sampai kulit kayunya. Bahkan Karang Wesi juga melihat pohon kenari kuning seluruh daun dan batangnya. Tak heran jika hutan di situ disimpulkan sebagai hutan hias yang punya keindahan tersendiri.

"Sebenarnya pemandangan di sini menyenangkan, Guru!"
"Ya. Tapi lebih menyenangkan kalau kita berada di dalam Gua Sekat Sembilan itu."

Sambil berkata begitu, Ki Candak Sedo menunjuk ke satu arah yang diikuti pandangan mata muridnya.

Karang Wesi melihat sebuah mulut gua yang tak seberapa tinggi dan tak seberapa lebar. Tingginya hanya dua tombak lebih sedikit, lebarnya tak sampai dua tombak. Sebuah lempengan batu seperti cadas putih melekat di samping mulut gua dalam keadaan berlumut. Lempengan batu itulah yang menurut Ki Candak Sedo adalah pintu penutup gua.

"Batu ini tadi malam bergeser membuka sendiri," tambah Ki Candak Sedo. "Tak seorang pun bisa melihat pergeseran batu ini saat membuka pintu gua. Batu ini akan bergeser menutup sendiri apabila telah satu purnama dalam keadaan membuka begini."

Karang Wesi manggut-manggut. Ia segera pandangi keadaan di dalam gua yang gelap itu. Sepertinya sebuah lorong yang sempit dan tak berpenerangan sedikit pun itu mengundang gairah siapa pun untuk masuk ke dalamnya. Sekalipun terbayang kengerian di dalam sana karena gelapnya, tapi hati Karang Wesi sendiri berhasrat untuk masuk, sekadar ingin tahu keadaan di dalam gua.

"Karang Wesi, sepintas memang kelihatan keadaan di dalam gua ini menyeramkan dan gelap, tapi menurut guruku dulu, gua ini mempunyai lorong yang membelok ke kiri dan membawa kita ke arah sebuah ruangan. Ruangan itu sangat terang karena banyaknya tanaman lumut yang menyerap sinar matahari dan menampungnya dalam tiap dinding batu gua selama berpuluh-puluh tahun. Di sanalah terdapat sebuah tempat pertapaan yang damai dan teduh. Di sana pula terdapat guci Darah Malaikat. Tapi tidak setiap orang bisa menggunakan kesempatan yang sembilan puluh tahun sekali adanya ini."

"Mengapa tidak setiap orang bisa mendapatkan Minyak Darah Malaikat, Guru?"

"Karena di sana banyak jebakan yang mematikan, baik berbentuk senjata rahasia maupun semburan gas beracun. Gua ini mempunyai sembilan ruangan yang berbeda-beda jebakan mautnya. Sebab itulah, dikatakan Gua Sekat Sembilan, karena dinding gua dari masing- masing sekat pembatas bisa mengeluarkan jebakan maut yang sulit diatasi. Salah memasuki lorong ruangan satu kali, orang tak akan bisa keluar lagi. Semua lorong ruangan mempunyai cahaya yang berbeda, yaitu sembilan warna cahaya dari sembilan bintang yang telah jatuh ke bumi."

"Lalu di ruangan yang bercahaya warna apa yang menyimpan Minyak Darah Malaikat, Guru?"

Ki Candak Sedo cepat memandang ke belakang, seperti merasa curiga terhadap hembusan angin yang baru saja dirasakan aneh itu. Maka ia pun segera berkata kepada muridnya.

"Karang Wesi, aku akan segera masuk untuk mengambil Minyak Darah Malaikat itu sebelum orang lain mendahului kita!"

"Baik. Silakan, Guru! Saya akan menjaga di luar gua!" jawab Karang Wesi, walau hatinya sedikit kecewa karena tidak mendapat jawaban dari gurunya atas pertanyaan yang diajukan tadi.

Angin memang berhembus agak kencang. Dedaunan kering berjatuhan bagai menjauh dari depan gua tersebut. Karang Wesi memandang sekelilingnya dengan mata sedikit menyipit menahan hembusan angin.

Hanya deru angin itu yang ada di sekeliling gua. Hanya deru angin itu yang meresap masuk di telinga Karang Wesi. Pemuda bersenjata kapak tiga mata itu kini duduk di atas sebuah batu yang melekat di bawah pohon samping gua. Pandang matanya yang mengitari keadaan sekeliling itu makin lama makin kosong. Akhirnya mata itu memancang ke arah mulut gua dalam terawang khayal batinnya. Terucap pula kecamuk di dalam hati Karang Wesi yang ternyata punya bayangan kasih terpendam sekian lama.

"Kalau saja aku bisa mandi Minyak Darah Malaikat, alangkah hebatnya aku bisa kebal senjata apa pun, tak bisa ditembus oleh pukulan tenaga dalam dari jenis ilmu apa pun! Dan itu berarti aku bisa kalahkan Siluman Tujuh Nyawa! Orang terkutuk itu memang sudah patut mati di tanganku. Sayang sekali Guru tak memberikan Minyak Darah Malaikat itu kepadaku, sehingga ilmuku masih belum seimbang dan tak bisa menandingi ilmunya Siluman Tujuh Nyawa! Ah...! Andai aku bisa membunuh Siluman Tujuh Nyawa, maka Gusti Mahkota Sejati yang bernama Dyah Sariningrum itu pasti akan mau kupersunting menjadi istriku! Oh, betapa cantik dan mempesonanya perempuan itu! Sungguh tak pernah akan bosan aku memandanginya sepanjang hari sambil memangkunya dengan mesra...! Hmmm...! Rasa-rasanya tak ada ruginya aku mengabdikan hidup dan matiku untuk perempuan secantik Dyah Sariningrum itu!"

Seraut wajah wanita cantik yang anggun dan bijaksana serta berkharisma tinggi itu menyelinap di relung hati Karang Wesi. Perempuan itu adalah seorang ratu, penguasa Pulau Serindu, di mana di pulau itu terdapat negeri yang bernama Puri Gerbang Surgawi. Dyah Sariningrum adalah putri dari Gusti Ratu Kartika Wangi, yang menjadi penguasa di negeri alam gaib, yang bernama Puri Gerbang Surgawi pula.

Karang Wesi mendapat kesempatan bertatap muka dengan perempuan anggun dan sangat menawan hati itu, ketika ia ikut Ki Candak Sedo berkunjung ke Pulau Serindu. Kunjungan Ki Candak Sedo ke negeri Puri Gerbang Surgawi di Pulau Serindu itu bukan sekadar bertandang atau tersesat dalam perjalanan, tetapi karena dimintai bantuan oleh kakak dari Dyah Sariningrum, yaitu Betari Ayu, yang sekarang menjadi bertapa di Gunung Kundalini. Pada waktu itu, Dyah Sariningrum menderita sakit akibat pukulan 'Candra Badar' dari Siluman Tujuh Nyawa (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Manusia Seribu Wajah" dan "Prahara Pulau Mayat").

Ki Candak Sedo datang ke sana dengan maksud mengobati pukulan 'Candra Badar'. Tetapi ia tak berhasil. Bahkan sampai saat ini, Ki Candak Sedo maupun Karang Wesi belum mengetahui bahwa seseorang telah sembuhkan penyakit ratu ayu itu. Orang yang berhasil menyembuhkan dan melenyapkan pukulan 'Candra Badar' adalah murid si Gila Tuak dari Jurang Lindu, yaitu Suto Sinting, si Pendekar Mabuk.

Bahkan Ki Candak Sedo maupun Karang Wesi agaknya juga belum tahu, bahwa Dyah Sariningrum adalah kekasih dan calon istrinya Suto. Hanya saja pernikahan mereka belum sempat terjadi karena Pendekar Mabuk masih harus memburu musuh besarnya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, ia harus memenggal kepala Siluman Tujuh Nyawa sebagai mas kawin untuk melamar Dyah Sariningrum. Padahal tanpa penggalan kepala tokoh sesat yang amat jahat itu, sebenarnya Dyah Sariningrum tidak keberatan melangsungkan perkawinannya dengan Suto Sinting. Namun penggalan kepala siluman itu bagaikan sebuah ikrar dan janji Suto untuk selamatkan kehidupan di permukaan bumi sebelum ia menginjak ke masa perkawinannya. Sebab jika Siluman Tujuh Nyawa masih berkeliaran di mana-mana, maka permukaan bumi ini akan menjadi bara api neraka, kehidupan menjadi saling baku hantam tak ada perdamaian. Dan kehidupan seperti itu jelas akan mengancam kelangsungan hidup keturunan Pendekar Mabuk dan Dyah Sariningrum nantinya.

Tanpa mau tahu siapa kekasih Dyah Sariningrum, pemuda tampan berkumis tipis ini makin jauh melantur dalam khayalannya tentang perasaan cinta dan kagumnya terhadap perempuan itu. Bahkan dalam hatinya ia membatin kata,

"Harus kutundukkan Siluman Tujuh Nyawa itu agar aku bisa memiliki Dyah Sariningrum! Siapa pun akan kubunuh jika ingin merebut Dyah Sariningrum dari hatiku! Dan untuk menundukkan mereka, sudah tentu tidak cukup dengan ilmu yang kumiliki sekarang ini! Siluman Tujuh Nyawa dapat mengalahkan aku dengan kehebatan gerak tongkat El Maut-itu. Jadi, kurasa ada baiknya jika aku merebut Minyak Darah Malaikat dari Eyang Guru. Kalau aku hanya memintanya saja, biar sampai merengek-rengek pasti tak akan diberikannya. Jadi aku harus merebutnya dari tangan Guru dengan cara apa pun!"

Mendadak Karang Wesi sentakkan kaki ke tanah dan melesat terbang, karena sekilas cahaya putih mengkilap terlihat oleh ekor matanya sedang menyerang ke arahnya.

Wuttt...! Crakkk...!

Sebuah senjata kecil berbentuk tusuk konde menancap di batu tempat Karang Wesi duduk. Batu itu kepulkan asap putih kebiruan dan menjadi serbuk sedikit demi sedikit. Serbuk itu dihembus angin sehingga makin lama batu itu menjadi habis bagai terkikis waktu. Kilatan tusuk konde putih mengkilap dari bahan baja itu datang dari arah kanan Karang Wesi. Maka secepatnya Karang Wesi pandangi keadaan sekeliling hutan di sebelah kanannya. Ternyata tak jauh dari pohon beringin biru itu telah berdiri seorang nenek bongkok berjubah biru. Rambutnya abu- abu, usianya sepertinya lebih tua dari Ki Candak Sedo. Selain bongkok juga berbadan kurus, mata cekung dan giginya tinggal tiga. Ia bersenjata tongkat pendek lengkung dari rotan kuning.

Karang Wesi segera dapat mengenali perempuan kempot itu, yang dulu pernah tiga kali bertandang ke persinggahan Ki Candak Sedo, untuk membicarakan satu masalah yang tak diketahui Karang Wesi. Nenek itulah yang bernama Nyai Pungkur Maut. Kali ini bukan Karang Wesi yang menghampiri Nyai Pungkur Maut, tapi nenek itu yang mendekati Karang Wesi, sebab Karang Wesi sekarang sudah berdiri di depan pintu masuk gua. Nyai Pungkur Maut segera ucapkan kata dengan suara tuanya yang kecil dan serak itu,

"Apa yang kau lakukan di sini, Karang Wesi?"

"Apa pun yang kulakukan itu bukan urusanmu, Nyai Pungkur Maut!" jawab Karang Wesi sengaja tak ramah, karena ia merasa nenek yang baru datang itu bermaksud tidak baik. Serangannya yang dapat dihindari Karang Wesi itu bukan sapaan yang ramah. Jelas nenek itu punya maksud ingin membunuh Karang Wesi. Sebab itulah Karang Wesi tidak mau bersikap ramah kepada Nyai Pungkur Maut.

"Heh heh heh heh...! Aku tahu, pasti Ki Candak Sedo sudah masuk ke dalam gua itu, Karang Wesi!"

"Itu pun bukan urusanmu, Nyai Pungkur Maut! Tak sepatutnya kau datang dan menyerangku dengan cara begitu!" kata pemuda tampan berkumis tipis itu.

"Jika kau ingin selamat, minggir dari tempatmu! Aku akan masuk ke dalam gua untuk mengambil Minyak Darah Malaikat!"

Berdebar hati Karang Wesi ketika Nyai Pungkur Maut menyebutkan minyak itu. Karang Wesi segera pandangi nenek bungkuk itu dengan mata tajam. Tiap gerakannya tak lepas dari pandangan mata Karang Wesi.

"Orang ini sangat membahayakan," pikir Karang Wesi. "Dia termasuk tokoh tua yang berilmu tinggi. Guru pernah menceritakan tentang Nyai Pungkur Maut padaku, yang konon jika bertarung selalu membelakangi lawannya! Dan jika ia sudah membelakangi lawannya, itu pertanda jurus-jurus mautnya siap dilepaskan! Aku harus hati-hati dalam berhadapan dengannya!"

Suara Nyai Pungkur Maut memekik keras, "Bocah budek! Kubilang minggirlah dari tempatmu, aku akan masuk!"
"Tak seorang pun kuizinkan masuk gua ini, Nyai!"

"Apa ini gua milik nenek moyangmu?! Sejak kapan nenek moyangmu membeli gua ini, sehingga kau berani- beraninya melarangku masuk ke dalamnya, hah?! Cepat menyingkir dari tempatmu!''

"Kau yang harus tinggalkan tempat ini!"
"Bocah Goblok! Jangan bikin kesabaranku habis, Nak. Nanti kau bisa kehilangan nyawamu!" geram Nyai Pungkur Maut.
"Kurasa akan terjadi kebalikannya, Nyai! Nyawamu sendiri yang akan hilang jika tidak segera pergi dari hadapanku, Nyai!"
"Bocah Bangsat! Hiaaat...!"

Serta-merta Nyai Nyai Pungkur Maut sentakkan tongkat rotannya lurus ke depan. Dari ujung tongkat itu melesat jarum hitam lebih dari lima puluh jumlahnya. Karang Wesi segera sentakkan tangannya, dan keluarlah asap merah bergulung-gulung. Asap merah itu membungkus puluhan jarum beracun. Lalu terdengar ledakan teredam, blapp...! Jarum-jarum itu pecah, asap merah seperti yang dimiliki Ki Candak Sedo itu mulai menipis dan hilang dihembus angin.

"Kau benar-benar menantangku jika sudah berani menggunakan jurus 'Kabut Berdarah' itu, Karang Wesi! Heaaah...!"

Nyai Pungkur Maut tak kelihatan sentakkan kakinya ke tanah, tapi tahu-tahu tubuhnya telah melayang cepat ke arah Karang Wesi. Tongkatnya dikibaskan ke leher Karang Wesi. Wuttt...! Karang Wesi merundukkan kepala, dan tongkat itu mengenai sebongkah batu. Prakk... !

Batu pecah menjadi puluhan bagian kecil-kecil. Karang Wesi cepat mencabut kapaknya, lalu dengan satu pekikan keras ia pun menyerang Nyai Pungkur Maut.

"Hiaaat...!"

Wuttt wuttt wuttt... ! Tiga kali Karang Wesi mengibaskan kapaknya ke arah dada dan pundak Nyai Pungkur Maut. Tapi kibasan itu selalu ditangkis dengan ringan menggunakan tongkat rotan tersebut,

Tak tak tak...! Beggk...!" Tangan kiri Nyai Pungkur Maut menghentak ke dada Karang Wesi. Terpental seketika tubuh Karang Wesi hingga lima langkah dari tempatnya berdiri tadi. Ia berguling-guling sebentar, lalu segera berdiri dengan napas ditarik dalam-dalam. Suatu penyembuhan terhadap luka dalam telah dilakukan dengan cepat oleh Karang Wesi, caranya dengan hanya menarik napas dalam-dalam, menyalurkan hawa murninya ke bagian yang terasa sakit.

Dalam sekejap Karang Wesi siap menghadapi Nyai Pungkur Maut. Tapi nenek bungkuk itu tiba-tiba membalikkan diri, memunggungi Karang Wesi. Seketika itu dari punggungnya yang bungkuk itu keluar sinar biru di luar dugaan Karang Wesi. Sinar biru itu sebesar genggaman tangan melesat cepat ke arah Karang Wesi. Jelas ini jurus yang berbahaya dan tak mungkin bisa dihadang dengan jurus tenaga dalam lainnya. Maka, Karang Wesi pun segera lompatkan diri menghindari sinar biru itu..

Zlapp zlapp zlapp zlapp zlappp...! Sinar biru sebesar genggaman tangan itu menerjang lebih dari sepuluh pohon di belakang Karang Wesi. Pohon itu lenyap tak berbekas sedikit pun bagai ditelan bumi. Kurang dari dua kejap lebih dari sepuluh pohon yang lenyap dihantam sinar biru besar dari punggung Nyai Pungkur Maut. Barangkali karena jurus dahsyat yang keluar dari punggungnya itulah maka nenek kempot itu bergelar Nyai Pungkur Maut. Memang maut yang terjadi jika ia telah memunggungi lawan dan melepaskan sinar birunya itu.

Kepala Nyai Pungkur Maut berpaling sebentar ke belakang. Agaknya ia ingin melepaskan kembali sinar birunya. Karang Wesi segera berguling ke tanah menuju ke arahnya. Lalu, dengan cepat kapaknya dikibaskan ke betis Nyai Pungkur Maut. Wutt...! Sattt...!

Dengan lincah Nyai Pungkur Maut mengangkat kakinya itu dan menendang wajah Karang Wesi dengan cepat. Wusss...! Tabb...! Karang Wesi berhasil menepak telapak kaki lawannya yang hampir mengenai wajah.

"Uhg...!" Nyai Pungkur Maut tersentak dengan suara tertahan. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah sekejap lalu hitam kelam. Sekujur tubuhnya menjadi hitam, juga pakaiannya yang mengeras hitam, dan rambutnya pun keras berwarna hitam bagaikan kawat.

Karang Wesi menendangnya dengan pelan. Wuttt...! Brusss...! Tubuh Nyai Pungkur Maut ternyata sudah menjadi arang karena Karang Wesi menggunakan pukulan 'Angin Lahar' yang cukup dahsyat itu. Hanya dengan menepak telapak kaki, maka tubuh lawannya bisa menjadi hangus dan menjadi arang, seperti pohon yang dipakai berlatih pada malam kemarinnya itu.

Karang Wesi segera menendang tumpukan arang itu hingga melayang jatuh ke jurang. Tetapi sisa rambut dan pakaiannya masih tertinggal sebagian di tempat pertarungan. Karang Wesi lalu menginjaknya menjadikan arang itu hancur lebur sambil ia menggeram gemas,
"Habislah riwayat kesaktianmu, Nenek kempot! Hih...!"

Tapi tiba-tiba punggung Karang Wesi bagai dilempar dengan sebongkah batu besar dari belakang. Bukk....! Wrutt...! Karang Wesi hampir tersungkur dengan menyakitkan jika tidak segera menggulingkan diri cepat-cepat.

"Uh, punggungku seperti jebol rasanya. Siapa yang menyerangku? Mungkinkah arwahnya Nyai Pungkur Maut yang kubuang ke jurang?"
Karang Wesi berdiri tegak kembali, ia segera mencabut kapaknya. Matanya melirik sekeliling. Ternyata sepi tak ada orang. Buru-buru ia melompatkan badan tinggi-tinggi dan bersalto satu kali. Jlegg! Ia berada di depan pintu mulut gua. Siap melepaskan serangan kepada siapa saja yang muncul di depannya.

Serta-merta Karang Wesi sentakkan kapaknya ke samping kiri. Wuttt...! Tring...! Sebuah sinar merah sebesar uang logam melesat ke arahnya dan tertangkis oleh mata kapak itu, lalu sinar tersebut memantul balik ke arahnya semula. Blarr...! Brusss...!

Dahan sebuah pohon yang jadi sasarannya langsung pecah. Dari pohon itu pula sesosok tubuh berkain merah melompat turun dengan sebatang kayu penumbuk padi di tangannya. Jlegg...! Alu Amah telah berdiri di depan Karang Wesi.

"Kuakui, hebat pula serangan tangkismu itu, Nak!"
"Siapa kau?!" Karang Wesi memandang dingin.
"Aku si Alu Amah. Gurumu pasti kenal aku! Kau murid Ki Candak Sedo, bukan?!"
"Apa perlumu datang kemari? Dan apa maksudmu menyerangku?!"
"Kau penjaga gua ini! Aku yakin, Ki Candak Sedo ada di dalam sana! Aku harus masuk ke dalam juga!"
"Boleh. Asal kau bisa bikin aku bersujud di hadapanmu!"
"Aih, kurang ajar betul kau. Anak Muda! Tak kau dengarkah kesaktian si Alu Amah yang begitu ganas itu?!"
''Tak ada orang sakti kecuali Karang Wesi!" Ia menepuk dadanya.

Panas hati si Alu Amah dikatakan begitu. Merasa disepelekan oleh anak semuda itu, Alu Amah pun segera menggeram dengan matanya yang cekung memandang penuh kemarahan.

"Rupanya kau bocah yang patut diberi pelajaran, supaya tidak mudah tepuk dada di depan orang tua! Hiaaah...!"

Alu Amah melesat terbang dengan senjata alunya meluncur cepat bagai ingin menggempur wajah Karang Wesi. Dengan gerakan berputar cepat, Karang Wesi membabatkan kapaknya ke atas, tepat membelah kayu penumbuk padi itu. Crakkk...! Kapak tiga mata menyala merah, dalam gerakan cepat telah membelah kayu itu sampai ke bagian yang dipegang tangan Alu Amah.

"Auh...!" Alu Amah terpekik karena pergelangan tangannya terpotong oleh kapak Karang Wesi. Dengan cepat Karang Wesi sentakkan telapak tangan kirinya ke telinga Alu Amah. Dess...! Prakk...!

Terdengar tulang kepala patah bagai tempurung buah kelapa yang dikeprak memakai senjata be si. Darah pun mengalir dari telinga dan hidung Alu Amah. Dalam keadaan limbung begitu, kapak Karang Wesi ditebaskan dari bawah ke atas dalam satu ayunan tangan yang kuat.

"Hiattt..!"

Crasss...! Kapak menebas leher dan leher itu pun putus. Kepala Alu Amah menggelinding di tanah. Pluk...! Dan raganya pun menyusul rubuh dalam kejap berikutnya.

Kembali tubuh lawannya yang sudah tak berkepala itu ditendang dalam satu sentakan kuat dan menggelinding jatuh ke jurang depan gua. Sementara itu kepalanya pun diangkat rambutnya dan dilemparkan begitu saja sambil Karang Wesi menggeram,

"Jangan coba-coba melawan Karang Wesi jika ilmumu tak melebihi ilmu guruku!"

Wusss...! Kepala Alu Amah dilemparkan ke jurang. Tapi sebelum Karang Wesi membersihkan kapaknya, tiba-tiba kepala Alu Amah kembali menggelinding di depan kaki Karang Wesi. Pluk... !

"Hahh...?!" Karang Wesi terkesiap dengan mulut terlongong. Segera ia lemparkan pandangan ke arah jurang depan, dan ia makin terkesiap lagi, karena di sana sudah berdiri seorang berjubah abu-abu yang menutup pakaian serba kuningnya itu. Orang itu sedikit agak gemuk, berkumis, brewok dan berjanggut putih.

Karang Wesi menggumam, "Setan mana lagi yang muncul ini?!"

Dengan kalem orang brewok putih yang tak lain adalah Ki Cagar Nyawa maju tiga tindak. Kemudian dengan suaranya yang masih cukup lantang untuk orang seusia dia, berserulah Ki Cagar Nyawa dari tempatnya yang berjarak antara tujuh langkah dari Karang Wesi.

"Kau telah memenggal musuh bebuyutanku, Anak Muda!"

"Apakah itu salahku?"

"Memang tidak. Dan aku berterima kasih padamu. Tapi aku sangsi apakah kau juga akan memenggalku jika
aku ingin masuk ke dalam gua itu, Anak Muda?"

"Pandangilah kepala musuhmu ini, Pak Tua. Nasibmu akan seperti dia jika kau nekat mau masuk ke dalam gua ini!"

"O, ya?! Kau penjaga gua yang sakti tentunya! Tapi belum tentu kau bisa menahan pukulan tongkatku yang bernama 'Belut Penyebar Maut'! Hiaaah...!"

Wuttt...! Sinar merah melesat dari tongkat lengkung itu. Sinar merah ini yang dilepaskan untuk menyerang si Alu Amah kemarin malam, tapi akhirnya menghantam pohon, dan pohon itu menjadi terpotong-potong menjadi tiga puluh bagian lebih. Kali ini sinar merah dari jurus 'Belut Penyebar Maut' itu dilepaskan untuk menghantam tubuh Karang Wesi. Tetapi dengan cepat Karang Wesi menghadangkah kapak tiga mata itu ke depan, dan sinar merah tersebut menghantam kapak tiga mata, Trangngng... ! Zrrrubb... !

Sinar merah padam seketika. Hilang entah ke mana. Sedangkan kapak tiga mata masih utuh dengan kilauan cahaya logamnya yang terkena pantulan sinar matahari.

"Edan bocah ini!" Ki Cagar Nyawa terbelalak matanya. "Kapaknya bisa menahan jurus 'Belut Penyebar Maut'-ku! Ini sungguh-sungguh mengagumkan bagiku! Tak pernah ada yang bisa menahan sinar merah itu, selain hanya menghindarinya! Tapi sekarang apa yang ku lihat ini bukanlah mimpi!" ucap Ki Cagar Nyawa dalam hatinya.

Kapak itu terbagi tiga mata, kanan-kiri dan tengah. Yang tengah sama lebarnya dengan mata kampak kanan- kiri. Dan sekarang Karang Wesi menebaskan kapaknya dari kanan ke kiri, tapi mendadak berhenti di depan dada. Zlappp...! Sinar hijau pijar melesat dari mata kapak yang tengah dan menyerang Ki Cagar Nyawa dengan cepatnya.

"Hiaaat...!" Ki Cagar Nyawa sentakkan kaki dan menghindari sinar hijau itu dengan tubuh melompat ke atas. Tapi ia sedikit terlambat sehingga, crass...! Sinar itu menyerempet bagian betisnya. Ki Cagar Nyawa segera memekik.

"Aaahg...!" matanya terpejam kuat dan ia pun rubuh tak bisa berdiri. Betisnya koyak tanpa keluarkan darah merah, melainkan mengeluarkan lendir hitam yang berbau busuk.

"Sebaiknya kau minggat secepatnya dari sini, Pak Tua! Kuberi waktu kau tiga helaan napas, jika tidak kubunuh kau seperti si Alu Amah itu! Mengerti?!"

"Baiklah! Kau unggul sekarang, Anak Muda! Tapi sepergiku nanti, ingatlah... kau tak akan aman! Karena banyak tokoh sakti yang sedang menuju kemari untuk perebutkan Minyak Darah Malaikat di dalam gua itu! Ingatlah, lebih dari ratusan tokoh mungkin akan datang, .dan kau tak akan sanggup menghadapi mereka satu persatu!"

Wuttt...! Setelah berkata demikian, Ki Cagar Nyawa berkelebat pergi, tanpa pedulikan diri Karang Wesi yang tertegun dan menggumam,

"Seratus tokoh sakti harus kuhadapi...?!"
*
* * 5
SUNGAI yang mengalir melewati relung celah dua tebing tinggi itu, konon berasal dari mata air di lereng Gunung Kundalini. Air itu bening dan menyegarkan. Kesegaran airnya sungguh menggiurkan para pengelana yang dipanggang terik matahari siang itu. Bebatuan yang timbul di sana-sini dalam ukuran besar, merupakan tempat nyaman untuk beristirahat. Karena di pinggiran sungai bening itu banyak terdapat pohon berdaun rindang yang meliuk ke arah sungai. Bila angin datang menebarkan dedaunan, seakan angin telah mengaturnya agar dedaunan tidak jatuh di air sungai, melainkan di tepiannya. Bahkan lebih sering daun jatuh di dataran yang menyerupai tanggul berhutan itu.

Di atas salah satu batu hitam yang ada di pinggiran sungai, tampaklah seorang pemuda yang sedang mencuci wajahnya dengan air tersebut. Pemuda itu berambut panjang tanpa ikat kepala, wajahnya tampan mengagumkan setiap lawan jenisnya, ia menyandang bumbung tuak di punggung, dengan mengenakan baju tanpa lengan warna coklat dan celana putih. Pemuda itu bertubuh tinggi, tegap dan tampak gagah jika berjalan.

Buat kalangan tokoh wanita di rimba persilatan, pemuda itu sudah tak asing lagi bagi mereka, karena daya pikatnya yang luar biasa sering membuat mereka terbuai oleh khayalan sendiri. Pemuda tampan itu tak lain adalah murid sinting si Gila Tuak, yaitu Pendekar Mabuk, yang punya nama panggilan Suto Sinting.

Dalam perjalanan pengejarannya terhadap musuh utamanya, yaitu Siluman Tujuh Nyawa, Suto agaknya merasa lelah dan butuh istirahat beberapa waktu. Tepian sungai yang teduh menjadi pilihannya, ia menenggak tuaknya beberapa kali. Lalu sandarkan duduknya ke batu datar. Hatinya pun membatin.

"Siluman Tujuh Nyawa kurasa tak jauh dari tempat ini! Kulihat ia tadi menghilang di ujung sungai sana. Mungkinkah di sekitar sini tempat persembunyiannya?! Ah, tak perlu terlalu memburu, nanti dia akan muncul sendiri atau akan kutemukan tempat persembunyian manusia terkutuk itu! Aku butuh istirahat dulu, menyegarkan diri agar tak terlalu tegang dalam pengejaranku nantinya!"

Tetapi tiba-tiba Suto memiringkan kepalanya, ia seperti mendengar suara orang membentak. Dahinya berkerut untuk menangkap suara itu. Hatinya kembali membatin,

"Sepertinya ada suara orang di sekitar sini. Tak jauh dari tempat ini! Hmmm... seperti suara dua orang perempuan bertengkar saling debat dan saling bentak! Di sebelah mana kira-kira? O, di sebelah kiriku! Berarti arah menuju ke hulu sungai?! Sebaiknya aku ke sana untuk melihat kejadian itu! Apa yang sedang mereka pertengkarkan?"

Pendekar Mabuk memang sering punya keusilan kecil yang tak merugikan orang lain. Kadang ia sering menguping pertengkaran orang, lalu mengambil hikmahnya bagi hidupnya sendiri. Kadang ia juga menggoda hati perempuan dengan senyumnya, lalu menyadarkan perempuan itu agar tak mudah tergoda oleh ketampanan yang tidak semuanya mendatangkan bahagia di hati mereka. Seperti halnya kali ini, Suto bermaksud mencuri dengar pertengkaran dua perempuan yang sedang dicari sumbernya itu.

Kedua perempuan itu sebenarnya baru saja tiba di tepian sungai, arah ke hulu. Bahkan tak seberapa jauh dari Suto beristirahat. Tapi karena mereka berada di balik gugusan cadas tebing rendah, maka Pendekar Mabuk tak sempat melihat kedatangan mereka di tempat itu. Andai dinding tebing cadas itu tak ada, maka Suto bisa menyaksikan pertengkaran dua gadis itu dari tempat duduk semula.

Dua gadis itu agaknya berselisih dengan tegang. Yang berbaju ungu melepaskan serangan melalui pukulan jarak jauhnya. Tetapi pukulan itu bisa dihindari dengan kelincahan gerak salto gadis berpakaian hijau muda. Pakaian pinjung sebatas dada yang menampakkan kemontokan buah dadanya itu tanpa dilapisi jubah apa pun. Dengan berpakaian pinjung hijau sebatas dada dan celana ketat hijau bersabuk merah, gadis bersanggul tinggi itu tampak lebih ramping dan menantang lekuk- lekuk tubuhnya. Ia menyandang pedang di punggungnya. Usianya sekitar tiga puluh tahun, sedangkan yang berbaju ungu longgar itu berusia dua tahun lebih muda.

Kali ini yang berbaju ungu serukan kata, "Andini! Kalau kau nekat berangkat ke sana, terpaksa aku bertindak lebih kasar lagi padanku! Jangan kau salahkan aku jika aku lebih kasar bertindak padamu, Andini!"

"Apa hakmu melarangku pergi, Gayatri?! Kita sudah dewasa dan punya urusan masing-masing!"

Gayatri, si gadis berbaju ungu itu, memandang dengan wajah cemberut marah kepada Andini, yang menyandang pedang di punggungnya. Gayatri berambut panjang sebatas lewat punggung sedikit dan dilepas meriap begitu saja, sehingga sesekali rambut itu meriap di depan wajahnya, membuat kecantikannya tampak samar-samar. Gayatri mempunyai kecantikan lembut, berbeda dengan Andini yang berkesan cantik-cantik genit. Yang jelas ia tidak kelihatan lembut seperti Gayatri. Tetapi melihat gerak saltonya yang tadi menghindari pukulan lawan dapat dilihat bahwa ia berilmu tinggi.

"Ingat, Gayatri! Sekali lagi kau masih mengejarku, kuhabisi nyawamu di mana saja kita bertemu!"
"Aku tak takut dengan gertakanmu!"
"Kau akan menyesal kalau aku sudah melepaskan pukulan mautku!"
"Tak seberapa hebat pukulanmu itu, Andini! Lakukanlah kalau memang kau mampu melukaiku!"

"Anak tak tahu diuntung kau! Hiaaat...!" Andini melesat terbang ke arah Gayatri. Dengan satu sentakan Gayatri melambung tinggi dan menyambut pukulan telapak tangan Andini dengan cepat.

Plak plak plak plak...!
Lanjut ke Bagian 2

****