Pendekar Mabuk 17 - Minyak Darah Malaikat(2)



Pukulan itu saling beradu, saling tangkis, cepat sekali kelebatan gerak tangan mereka, sehingga ketika keduanya sama-sama mendarat di tanah berpasir sungai itu, mereka sudah sama-sama menyelesaikan pertarungan satu jurus. Keduanya tak ada yang terluka. Keduanya sama-sama pandangi lawan masing-masing dengan mata tak berkedip.


Tetapi tiba-tiba tubuh Andini melesat lompat dan berputar cepat bagaikan pusaran angin beliung. Wuttt... plokk! Rupanya Andini mengirimkan tendangan kipasnya dengan sangat kuat dan tepat mengenai sasaran. Wajah Gayatri bagai tertampar kuat-kuat hingga ia terlempar ke samping dan berguling-guling. Kepalanya menjadi pusing, pandangan matanya gelap, ia berdiri dengan meraba-raba.

Serrt...! Pedang dihunus dari sarungnya, Andini segera lompatkan diri ke arah Gayatri yang buta sejenak itu dengan pedang siap ditebaskan. Tetapi pada saat pedang ditebas ke depan, tiba-tiba sebuah kilatan sinar hijau melesat cepat dari arah samping dan menghantam mata pedang itu. Trangng...! Pedang itu pun terpental jatuh ke air sungai. Andini terkejut bukan kepalang. Lalu, cepat-cepat ia melompat dan mengambil pedangnya di dasar air yang dangkal itu. Tinggi air hanya sebatas mata kaki lewat sedikit.

Gayatri sendiri buru-buru meraba permukaan air dan mencuci matanya dengan air bening tersebut. Kebutaan akibat jurus 'Tendangan Gelap Sampar' itu memang bisa membutakan lawan, tapi setelah mata dicuci dengan air biasa, maka pengaruh 'Tendangan Gelap Sampar' sirna seketika, dan mata bisa kembali melihat dengan terang.

Sementara Andini masih bingung mencari-cari pemilik sinar hijau, tiba-tiba datang serangan dari Gayatri yang mencabut trisula dari pinggangnya. Trisula itu cepat ditusukkan ke dada Andini. Trangng...!

Andini menahan trisula itu dengan pedangnya, Pedang masuk ke sela-sela trisula dan Gayatri mendorongnya lebih kuat lagi. Dalam kesempatan itu, Andini menggunakan kakinya untuk kembali menendang lawannya dengan sasaran ulu hati. Bukk...!

"Ehhg...!" Gayatri terpekik tertahan. Tubuhnya terbuang ke belakang dan jatuh terkapar dengan susah bernapas. Andini segera mengayunkan pedangnya untuk menusuk perut Gayatri. Tetapi tiba-tiba sebuah pukulan jarak jauh tanpa sinar menghantam kuat lengan kanan Andini.

Buggh...! Brusss...!

Andini jatuh terpental, bahkan sempat melayang dulu beberapa saat. Cukup jauh jatuhnya, antara tujuh langkah dari tempat semula. Bahkan sekarang tubuh itu membentur batu besar dengan kuat. Beggh!

"Uuh...!" Andini mengeluh, meringis kesakitan. Tulang punggungnya bagai terasa patah, ia tak bisa bangkit dalam waktu cepat, ia menggeliat-geliat dulu dalam keadaan duduk sambil masih memegangi pedangnya. Sementara itu, Gayatri memandangi Andini dengan dahi berkerut dan terheran-hefan.

"Pasti ada orang ketiga!" pikir Gayatri. Lalu, ia berpaling ke belakang tempat diperkirakan datangnya serangan itu. Dan ternyata di sana sudah berdiri seorang pemuda tampan berpakaian coklat dan putih celananya.

Gayatri buru-buru bangkit setelah merasakan kesesakan napasnya terkuasai. Suto Sinting sunggingkan senyum. Rambut Gayatri tersirat ke depan sebagian. Matanya jelas menatap tajam pada Suto dengan wajah sengit. Sedikit menyipit tanda bermusuhan.

Pendekar Mabuk melebarkan senyum dan berkata, "Maaf, aku tidak bermaksud mengganggu kegembiraan bertarungmu, tapi aku hanya menyelamatkan pedang itu jangan sampai melukai tubuhmu, Nona!"

"Manusia lancang! Hiaaat...!"

Gayatri bahkan menyerang Pendekar Mabuk dengan pukulan tenaga dalam yang bisa keluarkan cahaya ungu dari telapak tangannya itu. Suto menjadi kaget, dan cepat sentakkan bumbung tuaknya ke depan dada untuk menghadang sinar ungu yang tidak disangka-sangka itu.

Wuttt...! Trasss...! Zlubb...!

Sinar ungu itu bagai benda keras menghantam sebidang karet yang sangat lentur. Sinar itu berbalik ke arah semula dengan ukuran lebih besar dan lebih cepat gerakannya. Hal itu membuat Gayatri tercengang dalam sekejap, lalu cepat sentakkan kaki, tubuhnya tersentak terbang ke atas dan bersalto satu kali di udara. Sedangkan sinar ungu itu akhirnya menghantam sebuah batu besar. Blarrr...!

Batu itu pecah menjadi bongkahan-bongkahan sebesar genggaman tangan. Padahal sebelumnya batu itu berukuran sebesar kerbau gemuk. Hal itu membuat Gayatri makin melebarkan matanya, tercengang- cengang, karena ia tidak merasa punya pukulan sinar ungu yang bisa bikin batu besar pecah menjadi kecil- kecil seperti kepalan tangannya. Biasanya jika sinar ungu itu menghantam batu, yang terjadi kemudian batu itu pecah menjadi dua atau tiga bagian. Tapi mengapa sekarang sinar ungunya itu menjadi lebih dahsyat dari biasanya?

Hal yang makin membuat Gayatri tak bergeming dari tempatnya itu, ternyata pecahan batu sekepalan manusia itu telah menjadi arang yang kropos. Mudah diremas, bahkan hancur begitu terbentur batu lainnya. Gumpalan- gumpalan batu itu mengambang di permukaan air sungai dan satu demi satu hanyut terbawa air sungai, bagaikan benda tanpa mempunyai berat sedikit

Keadaan seperti itu membuat Andini juga mendelik, ia sama sekali tak menyangka bahwa Gayatri mempunyai ilmu sehebat itu. Sementara ilmu terhebatnya tidak bisa membuat batu besar pecah dan pecahannya menjadi arang yang terapung-apung di atas permukaan air. Melihat hal itu dalam hati Andini jadi bertanya, "Dari mana dia memiliki ilmu itu? Sejak kapan Gayatri memilikinya?!"

"Mengapa kau menyerangku, Nona Manis?!" tanya Pendekar Mabuk memecah kesunyian mereka bertiga. Gayatri tidak menjawab, hanya memandang dengan wajah cemberut manis. Lalu, tiba-tiba ia sentakkan kakinya ke samping dengan tinggi, arah tendangan kaki itu menuju ke wajah Suto. Maka, dengan kibasan dua jari Suto menangkis tendangan itu. Mata kaki si gadis terkena jari Suto. Takkk...!

"Auuhh...!" Gayatri pejamkan mata sambil meringis kesakitan.

Tiba-tiba sebelum Suto mendekat untuk menolongnya, Andini melompat tinggi-tinggi bagaikan terbang, dan pedangnya berkelebat untuk ditebaskan ke leher Suto Sinting. Wuttt...!

Pendekar Mabuk sentakkan bumbung tuaknya naik ke atas. Trang...! Pedang Andini bagai menebas sebatang besi baja. Bahkan pedang itu terpental jatuh dari tangan Andini, karena pada saat itu tangan Andini merasa seperti kesemutan. Seolah-olah pedangnya menyentuh benda yang mempunyai getaran petir melumpuhkan persendian dan urat-uratnya.

Andini jatuh, dengan buru-buru pedangnya diambil oleh Gayatri, dan sekarang pedang itu ditodongkan ke leher Suto Sinting seraya Gayatri berseru,

"Lepaskan bumbung keparat itu atau kurobek lehermu dengan pedang ini!"
"Sabar, Nona...!"
"Lepaskan bumbung keparat itu! Buang!" bentak Gayatri makin melotot matanya.
"Robeklah leherku kalau kau memang tega!"
Andini berseru, "Robek dia, Gayatri! Robek!"
"Diam...!" bentak Gayatri kepada Andini. Matanya mendelik kepada wanita berpakaian hijau muda. itu.

Pendekar Mabuk segera sentilkan jarinya dari bawah ke atas. Tass...! Itulah jurus 'Jari Guntur'. Sebuah sentilan bertenaga dalam mengenai pergelangan tangan Gayatri dan pedang itu pun terlepas jatuh ketika tangan itu tersentak kesakitan. Plukk...!

Pendekar Mabuk segera menendang pelan bagian ujung pedang, dan ternyata pedang melesat dengan cepat melewati atas kepala Andini yang masih terduduk lemas di tanah. Zlappp...! Crusss...!

Sekali lagi kedua perempuan itu saling membelalakkan matanya. Pedang itu menancap hampir separo bagian pada sebuah batu besar. Batu itu sepertinya sebatang pohon pisang yang empuk, bisa ditancap dengan mata pedang mudah sekali. Dalam tiga helaan napas, mata kedua gadis itu tak berkedip. Gayatri berkata dalam hatinya,

"Hebat sekali tendangannya! Atau, barangkali pedang Andini telah menjadi pedang sakti yang bisa membelah batu?"

Sementara itu, Andini segera pula berucap dalam hatinya, "Sejak kapan pedangku bisa dipakai menembus batu sekeras itu?!"

Suto Sinting menenggak tuaknya dengan santai. Pada saat itu, Andini mulai pulih kekuatannya, ia segera bangkit dan melompat ke samping batu besar, lalu mencabut pedangnya dengan mengerahkan tenaga cukup besar. Breusss...! Tak disangka seberat itu mencabut pedang dari dalam batu.

"Urus orang itu!" katanya kepada Gayatri, lalu Andini melesat pergi tinggalkan Gayatri.
"Andini! Tahan...!" seru Gayatri, tapi dianggap angin lalu saja.

Pendekar Mabuk menyahut, "Apakah kau mau aku mengejarnya?!"

Gayatri bimbang memberi jawaban, ia pandangi pemuda tampan berwajah bersih itu. Suto jadi kikuk dipandangi dalam jarak hanya dua langkah, ia cuma tersenyum-senyum sambil mengalihkan pandangan mata. Lalu, untuk menutup kekikukannya, Suto bertanya,

"Aku membelamu, tapi mengapa kau menyerangku?"
"Karena kau mau mencelakakan dia!" jawab Gayatri dengan ketus.
"Bukankah dia musuhmu?"
"Dia kakakku!"
"Ooo... pantas!" Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Lalu mengapa kau melarangnya pergi? Akan ke mana dia?"

Gayatri mendenguskan napas lewat hidungnya. Kejap berikutnya terdengar suaranya melemah, tak seketus tadi. Bahkan sekarang lebih bernada cemas.

"Aku tak ingin dia terluka! Aku sayang kepadanya, dan takut ia celaka di sana!"
"Di mana maksudmu?"
"Di Gua Sekat Sembilan!"

Suto kerutkan dahi. Agaknya nama Gua Sekat Sembilan pernah didengarnya, tapi entah dari siapa dan kapan saat mendengarnya. Maka, Suto pun ajukan tanya,

"Ada apa dengan Gua Sekat Sembilan?"
Gayatri berpaling memandang Suto, rambutnya sebagian meriap di wajari cantiknya, kemudian ia berkata,
"Kau masih hijau di rimba persilatan, rupanya!"
"Anggap saja begitu, Tapi aku butuh jawabanmu, ada apa dengan Gua Sekat Sembilan?"

"Para tokoh rimba persilatan sekarang pasti sedang menuju ke sana untuk mengambil minyak keramat yang bernama Minyak Darah Malaikat! Minyak itu jika dipakai mandi bisa membuat tubuh kita kebal senjata dan pukulan tenaga dalam apa pun! Bahkan minum racun pun tak akan mati, sekalipun racun berkadar tinggi! Kakakku ingin mendapatkan Minyak Darah Malaikat, tapi aku ingin mencegahnya. Sebab dengan begitu ia pasti akan bertarung dengan tokoh sakti dari berbagai penjuru dunia. Dan aku tak mau kakakku celaka!"

"O, begitu?!" Suto manggut manggut. "Lalu, mengapa kau tidak mendampinginya saja supaya dia tidak celaka oleh pertarungan di sana? Bukankah kau bisa menjadi pelindungnya secara diam-diam?"

"Ilmu kami tak akan mampu mengalahkan para tokoh sakti. Sebab gua itu pasti akan dipenuhi orang berilmu tinggi, yang tidak tanggung-tanggung ilmunya."

"Hmmm...!" Pendekar Mabuk manggut-manggut. "Bagaimana kalau kuantarkan kau pergi ke Gua Sekat Sembilan, untuk melindungi kakakmu itu?"

Gayatri tertegun. Tak menyangka Suto akan tawarkan diri begitu.
*
* *

6

SEPERTI yang dikatakan Gayatri, para tokoh sakti pasti akan datang ke gua itu. Dan memang benar. Mereka datang silih berganti. Mati satu, muncul satunya lagi. Pergi satu, datang yang lainnya lagi. Sampai - sampai Karang Wesi merasa muak menghadapi mereka secara berganti-gantian. Hampir-hampir Karang Wesi tak punya waktu untuk beristirahat.

Berulangkali Karang Wesi melontarkan keluh, "Mengapa jadi aku yang kerepotan sendiri menghadapi mereka? Kalau hanya jumlahnya dua-tiga orang mungkin tak seberapa. Tapi ini... mungkin sudah ada dua puluh orang yang kukalahkan, baik mati di tanganku atau lari karena luka! Lantas sampai kapan serangan mereka akan berhenti?! Kapan aku akan beristirahat?"

Mereka yang mati, langsung dibuang oleh Karang Wesi ke jurang. Bahkan ada yang belum mati, tapi masuk jurang karena terpeleset. Kapak bermata tiga itu tak pernah kering oleh darah. Baru saja mau dikeringkan sudah datang mangsa lagi yang mendesaknya untuk berkelebat merobek bagian tubuh lawan atau memenggal kepala lawan. Pada umumnya mereka yang datang bukan berilmu rendah. Tapi beruntung sekali Karang Wesi, karena semua ilmu milik Ki Candak Sedo telah diturunkan kepadanya, sehingga mereka yang datang sama saja bertarung melawan kesaktian Ki Candak Sedo.

Bahkan kali ini kesaktian Ki Candak Sedo berada di tangan orang perkasa dan lebih kekar lagi dari pemilik aslinya.

"Lama sekali Guru berada di dalam? Jangan-jangan dia mati karena salah masuk ruang bercahaya sembilan itu?" pikir Karang Wesi. Maka, ia pun bergegas masuk ke dalam gua untuk menyusul gurunya.

Tapi baru saja ia melangkahkan kaki satu tindak, tiba- tiba sebuah pukulan jarak jauh telah melesat menghantam punggungnya. Wuttt...! Buhgg...!

Karang Wesi terpelanting dan membentur tepian mulut gua. Ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Tapi dengan menarik napas dalam-dalam rasa sakit itu terkuasai dengan segera. Itulah cara pengobatan yang dimiliki oleh Ki Candak Sedo.

Cepat-cepat Karang Wesi membalikkan badan dan memandang ke arah depan. Ternyata seorang berpakaian loreng macan dan memegang senjata tombak trisula telah berdiri dengan sikap menantang Karang Wesi. Sejenak hi dung Karang Wesi dienduskan karena mencium bau busuk yang tadi tak ada, tapi sejak kemunculan tokoh berpakaian macan loreng itu hawa busuk menjadi tercium. Itulah tanda bahwa si Macan Bangkai hadir di situ. Setiap kehadiran si Macan Bangkai selalu didului oleh bau busuk dari tubuhnya. Selalu ada udara tak sedap jika Macan Bangkai ada di suatu tempat. Dan hal itu menggelisahkan orang-orang, termasuk Karang Wesi sendiri sekarang menjadi gelisah karena terganggu bau busuk itu.

"Mayat dari mana kau, datang-datang menyerangku, hah?!" bentak Karang Wesi sambil maju empat tindak dari mulut gua.

"Tak perlu kau tanyakan dari mana aku dan siapa aku! Yang jelas aku tahu kau adalah penjaga gua itu dan tidak akan izinkan aku masuk, terbukti dari banyaknya mayat yang kau lemparkan ke jurang itu, serta tanah yang berubah menjadi lembab karena darah!"

"Lantas apa maumu?" Karang Wesi bersikap menantang, ia masih menggenggam kapaknya yang belum dibersihkan dari darah itu.
"Sama seperti mereka, aku ingin membunuhmu untuk masuk ke dalam gua itu! Karena aku ingin mendapatkan Minyak Darah Malaikat!"

Karang Wesi menghempaskan napas lagi, seperti orang kesal, namun juga seperti orang membuang bau tak sedap yang terhirup hidungnya.

"Sebenarnya aku sudah bosan membunuh orang," katanya. "Tapi kalau kau memaksaku, apa boleh buat! Mungkin terpaksa aku harus melakukannya demi kebanggaanmu!"

"Manusia sombong! Terimalah tombak 'Tiga Setan'- ku ini! Hiaah...!"

Wussst...!

Macan Bangkai melemparkan tombaknya dengan gerakan cepat. Tombak itu melayang dengan kecepatan sama dengan cepatnya anak panah yang melesat. Karang Wesi menghadangnya dengan kampak yang segera ditebaskan ke depan. Wuttt...! Trangng...! Kapak itu masuk di celah-celah tiga mata tombak. Tetapi tombak itu tak mau jatuh melainkan punya kekuatan dorong yang sangat besar.

Karang Wesi segera kerahkan tenaganya untuk menahan dorongan tombak tersebut. Tubuhnya sampai gemetar. Ketiga mata tombak tepat ada di depan lehernya. Meleset sedikit pasti habislah leher Karang Wesi diterobos mata tombak berkekuatan besar itu. Kaki Karang Wesi merendah dan salah satunya dikebelakangkan. Ini untuk menahan daya dorong dari tombak 'Tiga Setan' itu. Tapi daya dorong yang ada seolah-olah semakin besar saja. Tubuh Karang Wesi sedikit mulai tergeser ke belakang. Srekk... srekk...! Dengan kedua tangan ia bertahan memegangi gagang kapaknya. Tapi masih saja tombak itu makin berat dan makin kuat daya dorongnya. Sementara pemiliknya di seberang sana hanya terkekeh-kekeh menertawakan kepanikan Karang Wesi.

Bahkan sekarang Macan Bangkai sentakkan tangan kirinya, ia melepaskan pukulan jarak jauh ke perut Karang Wesi. Wuttt...! Buehgg!

"Ahg...!" Karang Wesi tersentak ke belakang, perutnya seperti ditendang banteng mengamuk. Akibatnya pegangan tangannya sedikit lemah. Tombak Tiga Setan makin mendesak dan sekarang ujungnya ada persis di depan dagu Karang Wesi. .

"Bangsaaat...!" Karang Wesi menggeram sambil kian kerahkan tenaganya, keringatnya membanjir di perlukaan wajah.

"Kau tak bisa menghindari Tombak Tiga Setan-ku, Kunyuk Bocah! Kau pasti mati, karena tombakku tak akan mau berhenti menyerang jika sudah lepas dari tanganku! He he he he...!" sambil berkata begitu, Macan Bangkai melangkahkan kaki mendekati Karang Wesi.

Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berkelebat melintas di depan Karang Wesi. Wuttt...! Sett!

Tahu-tahu tombak itu telah hilang dari depan Karang Wesi. Bahkan daya dorong Karang Wesi yang bertahan tadi kini membuat Karang Wesi tersungkur jatuh ke depan. Burkk...!

Sementara itu Karang Wesi segera mendengar suara orang memekik dengan suara tertahan. Jrubb...!

"Aaahg...!"

Cepat-cepat ia dongakkan kepala memandang ke depan dalam keadaan masih telungkup jatuh. Dan mata Karang Wesi pun terkesiap pandangi sesuatu yang di luar dugaan.

Tombak itu ada di tangan seseorang yang telah dikenal oleh Karang Wesi, yaitu Cambuk Guntur. Tombak tersebut diambil oleh Cambuk Guntur, lalu dihujamkan langsung ke dada Macan Bangkai. Tentu saja Macan Bangkai tak mampu menghindar lagi karena hal itu terjadi sangat di luar dugaan dan tak pernah terpikirkan sama sekali olehnya. Akibatnya, ia terpaksa menerima ajal di ujung tombak senjatanya sendiri. Dan itulah yang dikatakan senjata makan tuan.

Macan Bangkai sempat mengerang ketika napasnya belum lepas dari raga. Bahkan ia masih berusaha ingin mencabut tombak mata tiga yang menembus dadanya itu. Tapi oleh Cambuk Guntur ujung tombak itu makin dihantam dengan telapak tangannya, membuat tombak makin masuk ke dalam tubuh dan tembus ke belakang. Cambuk Guntur pandangi lawannya dengan bengis, sementara sang lawan mendelik sambil muntahkan darah dan tak bisa ucapkan kata lagi, lalu rubuh tanpa nyawa.

Dua kali Karang Wesi bertemu dengan Cambuk Guntur, yaitu pada saat ia diajak pergi oleh Ki Candak Sedo ke sebuah pertemuan orang-orang sakti di Bukit Jagal, dan ketika Cambuk Guntur datang sendiri untuk satu keperluan dengan Ki Candak Sedo di persemayamannya. Karang Wesi mengenal Cambuk Guntur sebagai pengelana tanpa tujuan yang pasti.

"Bagaimana keadaanmu, Karang Wesi?" tanya Cambuk Guntur ketika Karang Wesi telah berdiri kembali.
"Tak apa! Aku hanya tersungkur karena tenagaku sendiri!"
"Kau memang melawan tenagamu sendiri sejak tadi."
"Apa maksudmu?" Karang Wesi kerutkan dahi.

"Tombak Tiga Setan itu kalau semakin dilawan semakin punya kekuatan dorong semakin besar. Karena sebenarnya yang keluar dari tombak itu bukan kekuatan tenaga dalam si Macan Bangkai, melainkan kekuatan kita sendiri yang memutar balik ke arah kita melalui tombak tersebut. Kalau kau tadi tidak mendorongnya, maka tombak itu tidak akan sampai kepadamu."

"Setan Belang! Berarti tadi aku telah bergelut melawan tenagaku sendiri?!"

"Benar!" Cambuk Guntur tertawa dalam gumam. "Tapi sudahlah, dia sudah kulenyapkan! Kebetulan aku juga punya masalah pribadi dengan manusia busuk itu! Cuih...!" Cambuk Guntur meludah. Segera ia membuang mayat si Macan Bangkai ke jurang dengan cara menyeretnya memakai ujung tombak yang masih menancap kuat itu. Setelah membuangnya ke jurang, ia pun segera menemui Karang Wesi di depan pintu gua yang sedang membersihkan kapaknya dari darah lawan sebelumnya.

"Bagaimana kabar Eyang Guru Candak Sedo, Karang Wesi?"
"Beliau dalam keadaan baik-baik saja!"
"Apakah beliau sekarang ada di dalam gua?"
"Ya."
"Apakah aku bisa menemui beliau, Karang Wesi?"

Dahi pemuda itu berkerut dengan mata mulai curiga. Kemudian ia ajukan tanya,

"Untuk apa? Kau punya keperluan dengan guruku?"

"Ya. Ada kepentingan yang tak bisa kutunda karena sangat pentingnya! Aku pun tak mau berlama-lama menunggu di sini, aku harus segera pergi untuk selesaikan satu masalah lagi, Karang Wesi!"

Tertegun sejenak Karang Wesi mempertimbangkannya. Setelah itu ia bertanya dengan nada bimbang,

"Kalau boleh aku ingin tahu keperluan itu, supaya aku yakin kau bukan orang seperti si Macan Bangkai itu!"

"Hmm... begini," kata lelaki berpakaian biru dengan dirangkap rompi kuning itu, ia sangat rapi dalam berpenampilan, sehingga timbulkan kesan meyakinkan. Bicaranya pun tidak kasar, bahkan bersikap penuh persaudaraan.

"Aku bertemu dengan Nyai Sirih Wangsit beberapa hari yang lalu, dan beliau titip pesan padaku supaya disampaikan kepada Eyang Candak Sedo. Soal isi pesannya, tak bisa kusebutkan, karena memang Nyai Sirih Wangsit melarangku bicara kepada siapa pun kecuali kepada Ki Candak Sedo. Jadi..., maaf saja, aku tak bisa sebutkan kepadamu mengenai isi pesan itu! Yang jelas sangat penting dan berbahaya, jadi harus secepatnya aku bertemu dengan Ki Candak Sedo dan berbicara langsung dengan beliau!"

"Begitu?"

"Ya. Kalau bukan pesan penting, aku tak akan mampir kemari! Karena aku harus segera temui seseorang di pesisir!" jawab Cambuk Guntur dengan bersungguh-sungguh. Bahkan ia tambahkan kata,

"Kalau memang sekiranya aku tak bisa temui beliau, ya sudahlah, aku pergi saja sekarang dan tak perlu sampaikan pesan itu!"

Bingung juga Karang Wesi mengambil keputusan. Nyai Sirih Wangsit adalah bekas kekasih Ki Candak Sedo semasa mudanya. Mereka berpisah karena Nyai Sirih Wangsit mempunyai penyakit yang sangat menular, dan perempuan itu tak mau Ki Candak Sedo menjadi tertular penyakit itu. Tetapi sampai sekarang, sebenarnya mereka masih saling mencintai, hanya saja Nyai Sirih Wangsit sudah tidak mau bertemu dengan Ki Candak Sedo, takut tersiksa batinnya. Tentang di mana persembunyian atau tempat tinggal Nyai Sirih Wangsit, tak seorang pun tahu, sehingga Ki Candak Sedo tak pernah bisa berkunjung menemui kekasihnya itu.

Mungkin saja sekarang keadaan sudah lain. Mungkin Nyai Sirih Wangsit ingin memberitahukan kepada Ki Candak Sedo tentang tempat tinggalnya melalui mulut Cambuk Guntur. Atau mungkin saja Nyai Sirih Wangsit rindu ingin berjumpa Ki Candak Sedo di suatu tempat, dan beliau menyuruh Cambuk Guntur merahasiakan pertemuan tersebut. Atau mungkin ada urusan pribadi lainnya yang tak bisa diduga siapa pun, kecuali Cambuk Guntur sebagai si pembawa dan penyampai berita itu.

Karang Wesi benar-benar dalam kebimbangan. Jika ia izinkan Cambuk Guntur masuk ke gua dan temui gurunya, nanti Karang Wesi disalahkan oleh sang Guru, mungkin kehadiran Cambuk Guntur justru mengganggu upayanya menemukan Minyak Darah Malaikat itu. Tapi jika tidak diizinkan, jangan-jangan Karang Wesi juga yang dimarahi oleh Ki Candak Sedo karena menahan pesan dari Nyai Sirih Wangsit? Sedangkan pesan itu tidak bisa disampaikan melalui murid Ki Candak Sedp, sehingga mau tak mau Cambuk Guntur harus bertemu langsung dengan Ki Candak Sedo dan bicara empat mata.

Dalam kebimbangannya itu, Cambuk Guntur segera memberi keputusan kepada Karang Wesi,

"Begini saja! Aku akan segera tinggalkan tempat ini untuk mengurus kepentinganku sendiri! Tapi kuminta jangan sampai Ki Candak Sedo marah padaku karena pesan dari kekasihnya ini tidak kusampaikan! Kau harus bertanggung j awab, Karang Wesi!"

"Eh, jangan begitu!" sergah Karang Wesi. "Jangan kau limpahkan kesalahan kepadaku!"

"Habis kelihatannya kau keberatan jika aku masuk untuk temui Ki Candak Sedo! Sedangkan urusanku bukan soal pesan ini! Kalau toh tidak kusampaikan, bukan aku yang rugi!"

"Baiklah," Karang Wesi menghembuskan napas kesal "Masuklah dan temui dia. Tapi kalau dia merasa terganggu dan marah, kau yang bertanggung jawab! Jangan aku yang menjadi pelampiasan kemarahan Guru!"

"Baik. Aku yang bertanggung jawab!"

"Masuklah!" Karang Wesi menyingkir dan mengizinkan Cambuk Guntur masuk ke dalam gua untuk menemui Ki Candak Sedo.

Tetapi tiba-tiba ada sesuatu yang membuat Karang Wesi tersentak kaget. Lekas-lekas ia menahan lengan Cambuk Guntur seraya berkata dengan nada pelan,

"Cambuk Guntur, aku mau bicara sebentar tentang seseorang, kuharap kau tidak keberatan!"
"Tentang seseorang siapa maksudmu?" Cambuk Guntur kerutkan dahi.

Sambil menuntun lengan Cambuk Guntur, Karang Wesi berkata,

"Kapan kau bertemu Nyai Sirih Wangsit?"
"Kira-kira satu bulan yang lalu, di Lembah Cupu Hasta?"

Keadaan Cambuk Guntur sudah berada di luar gua, bahkan mereka bicara di bawah pohon berwarna kuning dari batang sampai daunnya.

"Apakah kau bisa temukan tempat tinggal Nyai Sirih Wangsit?"
"Tidak. Aku bertemu beliau di jalan."
"Benar satu bulan yang lalu?"
"Ya. Benar! Kira-kira satu bulan yang lalu. Ada apa?"
"Tak apa-apa. Aku hanya ingin tahu tempat tinggal beliau."
"Pesan ini tidak menyangkut masalah tempat tinggal beliau."
"Oo...!" Karang Wesi manggut-manggut. "Ya sudah, masuklah sana!"

Cambuk Guntur mulai melangkahkan kaki menuju pintu mulut gua., Tapi tiba-tiba Karang Wesi mencabut kapaknya dan ditebaskan ke punggung Cambuk Guntur. Crasss... !

"Heggh...!"

Terhenti dan terpekik Cambuk Guntur seketika itu juga. Punggungnya menjadi sasaran empuk bagi kapak tiga mata itu. Salah satu sisi mata kapak menancap masuk hampir seluruh bagian. Karang Wesi segera mencabutnya dengan satu sentakan kaki menjejak. Brukk..!! Tubuh Cambuk Guntur rubuh dengan mulut ternganga-nganga,

"Modarlah kau, Penipu! Hampir saja aku terkena tipu muslihatmu! Untung aku segera ingat bahwa Nyai Sirih Wangsit sudah meninggal enam bulan yang lalu!" geram Karang Wesi sambil pandangi wajah sekarat Cambuk Guntur.

Di sela napas terakhirnya Cambuk Guntur sempat ucapkan kata pelan, "Hampir saja kudapatkan minyak itu tapi sayang... kau cerdas dan... dan....

"Dan tak mudah kau kelabuhi dengan bualanmu!" sentak Karang Wesi. Tapi pada saat itu Cambuk Guntur telah menghembuskan napas yang terakhir. Untuk selanjutnya ia diam tak berkutik sampai selama-lamanya.

***7

DUA hari dua malam, Karang Wesi menjaga mulut gua itu dengan melayani pertarungan setiap orang yang datang kepadanya. Sementara dalam hatinya sendiri penuh kesangsian, apakah gurunya masih ada di dalam atau sudah pergi lewat jalan lain? Apakah sang Guru masih hidup atau mati terkena jebakan? Kesangsian itu toh tetap dipendamnya karena tak berani mengambil keputusan sendiri. Setiap Karang Wesi ingin menengok masuk ke dalam gua, selalu saja ada tamu yang mengancam jiwanya. Mau tak mau Karang Wesi harus melayani mereka.

Lebih dari tujuh kali nyawa Karang Wesi hampir saja melayang karena menghadapi musuh yang tangguh. Empat kali sudah, Karang Wesi menghadapi tipuan yang nyaris membuatnya kebobolan. Anehnya dari mereka tak ada yang bersatu menyerangnya. Seandainya ada yang bersatu menyerangnya, Karang Wesi sendiri sudah perkirakan bahwa dirinya tidak akan mampu membendung kekuatan yang bersatu. Karena selama dua hari dua malam ia bertarung terus, kerahkan tenaga terus, sehingga ia merasakan kekuatannya mulai menurun. Apalagi selama dua malam ia tak tidur, rasa kantuknya mulai menyerang mata secara bertubi-tubi. Namun Karang Wesi tetap berusaha agar tidak jatuh tertidur.

Tapi pagi itu, wajah lesu dan kuyu yang ada pada Karang Wesi menjadi segar kembali. Rasa kantuknya pun menjadi hilang. Malahan hati Karang Wesi pun menjadi lega bercampur gembira, sebab Ki Candak Sedo sudah keluar dari dalam gua. Orang itu keluar sambil membawa sebuah guci hitam tak terlalu besar.

"Karang Wesi, lihatlah apa yang kubawa ini?!" katanya dengan tersenyum bangga.
"Guru...?! Bagaimana? Jadi Guru sudah mendapatkan minyak itu?"
"Sudah! Di dalam guci inilah Minyak Darah Malaikat tertampung."
"Oh, syukurlah...! Saya khawatirkan keadaan Guru di dalam sana. Mengapa sampai selama ini, Guru?"

"Aku harus menundukkan seekor ular sebesar pahamu! Ular itu tak bisa ditembus dengan pukulan tenaga dalamku. Bahkan kugunakan pukulan 'Angin Lahar', tapi ular itu tidak bisa hangus dan menjadi arang seperti yang lainnya."

"Lantas bagaimana cara Guru mengalahkannya?"

"Dengan kekuatan batin aku menundukkan dia, dan ternyata ular itu lenyap begitu saja. Kemudian aku dihadapkan pada pilihan yang membuatku bimbang."

"Pilihan apa itu, Guru?" desak Karang Wesi ingin tahu banyak tentang pengalaman memperoleh Minyak Darah Malaikat itu.

"Sebelumnya aku sudah tahu bahwa dari kesembilan ruang bersekat itu, hanya ruang yang memiliki cahaya hijau yang menyimpan minyak ini! Tetapi ternyata sembilan ruang itu memancarkan sinar hijau semuanya. Mau tak mau aku harus memilih mana yang punya sinar hijau asli. Aku hampir saja mati terjebak gas beracun yang ternyata ruangan itu adalah ruangan bersinar gelap alias tanpa sinar. Aku juga hampir mati dihujam seratus tombak, dan ternyata ruangan itu bersinar kuning. Sampai empat kali aku hampir mati di dalam sana, lalu akhirnya kutemukan ruangan hijau yang asli, maka aku harus melakukan semadi beberapa waktu sampai guci ini muncul sendiri di depanku!"

"Hebat sekali! Kalau bukan Guru yang mengambil minyak itu, tak mungkin orang lain bisa melakukan seperti apa yang dilakukan Guru!" ujar Karang Wesi dengan pujian yang membanggakan hatinya sendiri.

"Mari kita pulang, Muridku! Aku akan mandi minyak ini!"

Belum lagi mereka sempat melangkahkan kaki, tiba- tiba sekelebat bayangan menyambar tangan Ki Candak Sedo dengan cepat. Wutt! Guci Minyak Darah Malaikat hampir saja berpindah tangan. Untung dengan cepat Ki Candak Sedo segera kelebatkan tangannya yang memegang guci itu, sehingga terhindar dari sambaran 'maling' tak disangka-sangka.

"Bangsat!" suara besar terdengar dari arah bawah pohon jati merah itu. Suara tersebut milik orang berkumis tebal, bermata lebar, rambutnya panjang dibungkus kain merah, wajahnya angker dan hidungnya tergolong besar. Orang itu tidak memakai baju, celananya hitam dengan sabuk hitam besar mempunyai tempat keris sendiri. Orang itu berkulit hitam, dan kulitnya tampak tebal. Badannya tinggi, kekar dengan kuku jarinya runcing-runcing.

"O, kau rupanya, Warok Kober?!" ucap Ki Candak Sedo.
"Syukur kalau kau masih mengenaliku, Candak Sedo!" katanya dengan suara besar.
"Aku memang mengenalmu, tapi tak menyangka kau ingin merebut minyak ini dariku, Warok Kober!"

"Ha ha ha ha... ! Kau memang perlu memperhitungkan kehadiranku, Candak Sedo. Memang selama ini kita berhubungan baik, tak pernah ada perselisihan apa pun. Tapi untuk kali ini, demi minyak yang sudah hampir seratus tahun itu, aku terpaksa buka perkara denganmu, Candak Sedo!"

Karang Wesi bergegas maju, tapi dicegah oleh Ki Candak Sedo. Karang Wesi menggeram. Setahu dia, Warok Kober memang tidak pernah berselisih dengan gurunya. Tapi sekarang Warok Kober merusak hubungan baik hanya gara-gara ingin memperebutkan pusaka Minyak Darah Malaikat itu. Karang Wesi jadi berpikir, alangkah amat berharganya minyak tersebut, sehingga seseorang sampai berani mengorbankan persahabatan demi mendapatkan minyak keramat itu. Jelas ini sebuah pengorbanan yang amat luar biasa.

"Candak Sedo! Kalau kau masih ingin menjaga persahabatan denganku, sebaiknya, serahkan saja minyak itu padaku. Jujur saja, aku ingin memiliki minyak itu! Aku ingin mandi minyak itu, Candak Sedo! Kuharap kau tidak keberatan menyerahkannya padaku, daripada persahabatan kita menjadi hancur karena berebut minyak!"

"Tak semudah itu, Warok Kober!" Ki Candak Sedo menggeleng-gelengkan kepala sambil sunggingkan senyum tipis, ia masih kelihatan tenang, tapi muridnya sudah gusar sejak tadi. Sambung Ki Candak Sedo lagi,

"Ingat-ingatlah, Warok... perkara minyak ini tetap akan menjadi perkara panjang selama manusia masih dikuasai oleh nafsu angkara murka. Perkara minyak tetap akan menjadi bahan pertarungan antara kedua belah pihak atau lebih. Tentunya minyak seperti yang kubawa ini jauh lebih berharga dari segala minyak, dan aku pun siap mati untuk minyak ini, Warok Kober!"

"Ggrrr." Warok Kober menggeram bagaikan seekor singa. Matanya melotot lebar menyeramkan. Kemudian ia berkata,

"Jadi kau siap bertarung denganku untuk beradu nyawa, Candak Sedo?! Kau siap bela pati demi minyak?!"
"Aku yang siap!" sahut Karang Wesi.

"Ha ha ha ha...!" Warok Kober tertawa terbahak- bahak. Ini membuat Karang Wesi semakin panas hati, karena merasa diremehkan. Apalagi Warok Kober segera ucapkan kata,

"Kamu bocah yang masih hijau, Karang Wesi! Perkara ini bukan perkara bocah ingusan seperti kamu! Pergilah main sana, tak perlu ikut campur urusan orang tua!"

"Kalau kau menghadapiku sama saja dengan menghadapi guruku, Ki Warok! Kalau kau bisa menggulingkan aku, sama saja bisa menggulingkan Eyang Guru Candak Sedo ini! Tapi kalau melawanku saja kau lari terbirit-birit, bagaimana mungkin kau bisa kalahkan eyang guruku?!"

"Grrr...! Kurobek mulutmu jika sekali lagi omong besar, Karang Wesi!" mata Warok Kober semakin angker memandang.
"Sebelum merobek mulutku, tentunya aku lebih dulu merobek dadamu, Ki Warok!"

"Bangsat! Aku jadi bernafsu untuk memecahkan kepala sombongmu itu, Bocah Gendeng!" Warok Kober mulai mengangkat kedua tangannya untuk melakukan satu pukulan.

'"Guru, sebaiknya Guru agak menjauh, biar saya hadapi orang ini!"
"Baiklah. Hati-hati, dia punya jurus maut pada kerisnya!"

"Terima kasih, Guru! Keris itu akan saya patahkan dengan kapak saya ini!" kata Karang Wesi dengan angkuhnya. Kemudian ia segera mencabut kapaknya dan berseru kepada Warok Kober,

"Majulah kalau kau memang bisa merobek mulutku!"
"Setan! Hiaaah...!"

Warok Kober tiba-tiba melesat tanpa terlihat sentakan kakinya ke tanah. Tubuhnya yang besar itu siap melepaskan pukulan dalam keadaan terbang, sedangkan Karang Wesi melakukan hal yang sama. Tapi ia melompat tinggi menyerang maju sambil siap-siap menghantamkan kapak bermata tiga itu.

"Hiaaat...!' pekik Karang Wesi.

Dess...! Tiba-tiba belum sempat mereka saling berbenturan, tangan Warok Kober telah menyentak ke depan dan sebuah pukulan bertenaga dalam cukup tinggi dilepaskan. Wuttt...! Nyala sinarnya biru kekuning- kuningan. Berpendar-pendar dalam bentuk seperti bunga atau bintang yang pecah. Sinar itu menghantam dada Karang Wesi, tapi dengan cepat kapak yang ingin dihantamkan itu menutup bagian dadanya, menangkis sinar biru kekuning-kuningan itu.

Zrang...! Sinar itu padam seketika membentur mata kapak. Tapi pada saat itu kaki Warok Kober menendang dengan sentakan kuat.

Dugg... !

"Uuah...!" Karang Wesi bagai diseruduk kerbau tujuh. Tubuhnya terlempar seketika, bahkan kapaknya pun jatuh sebelum kakinya berpijak pada bumi.

Brukk...! Karang Wesi jatuh tersungkur setelah bersalto dua kali dan kehilangan keseimbangan badan. Buru-buru Warok Kober pijakkan kakinya ke tanah, dan mencabut kerisnya dengan ganas. Sratt!

Keris itu bagai dikelilingi oleh kilatan petir. Cahaya biru memercik-mercik ke sekeliling keris. Segera Warok Kober menghujamkan keris ke dada Karang Wesi yang baru saja berdiri. Tapi oleh Karang Wesi, pergelangan tangan Warok Kober lebih dulu mendapat tendangan kuat dari bawah ke atas. Plokk...! Wuttt...!

Tangan itu tersentak kuat sekali, dan keris tersebut terlempar ke belakang dan masuk ke jurang. Dan tiba- tiba terdengar suatu ledakan dahsyat dari dalam jurang.

Jlegarrr... !

Rupanya keris itu telah timbulkan ledakan pada saat menyentuh bangkai manusia yang dikalahkan Karang Wesi sebelum peristiwa itu. Mayat orang tersebut tersangkut pada sebuah dahan pohon, lalu keris itu jatuh menancap di mayat tersebut dan timbulkan ledakan maut.

"Hiaaah...!"
Wuttt... ! Plakkk... !

Zerrbb...! Kedua telapak tangan itu beradu. Karang Wesi telah menggunakan pukulan 'Angin Lahar'-nya. Maka ketika beradu dengan telapak tangan Warok Kober, terjadilah percikan api sekejap berwarna merah.

Beberapa saat kemudian, tubuh Warok Kober berdiri mematung tak bergeming lagi. Ia telah berubah menjadi seonggok arang keras. Semua yang ada padanya jadi terbakar dan membentuk onggokan karang. Tentu saja Warok Kober tak lagi bisa ucapkan sepatah kata pun karena sudah tak bernyawa lagi.

"Hiih...!"

Prasss...! Tubuh yang berubah menjadi arang itu ditendang oleh Karang Wesi, lalu tubuh itu terlempar ke jurang dalam keadaan sudah pecah tak karuan. Cepat- cepat Karang Wesi menghadap gurunya dan berucap kata,

"Maaf, Guru! Terpaksa jurus itu kugunakan, karena ia sangat tangguh menurut ukuranku!"''

"Seharusnya kau bisa menggunakan jurus 'Salju Hitam' saja! Tak perlu menggunakan jurus itu! Dengan kamu lepaskan jurus 'Salju Hitam', Warok Kober tidak akan mampu menahan seranganmu!"

Karang Wesi berkata, "Maaf, saya tak sempat menggunakan jurus 'Salju Hitam', karena dia mendesak terus, Guru!"
"Seharusnya tak perlu membunuh, biar dia cedera dan lari sendiri, Karang Wesi!"
Karang Wesi diam menunduk, ia takut kena murka sang Guru. Tapi dalam hati Karang Wesi menggerutu berkepanjangan,

"Dia memang enak, tinggal ngomong saja bisa! Aku ini yang merasakan tendangannya dan hampir mati, bisa lebih tahu bagaimana seharusnya mengalahkan dia!

Sudah capek-capek melawan dan mengalahkan lawan, eh... masih saja dikecam salah! Uuh, sepertinya Guru tidak suka aku menggunakan ilmu andalan untuk mempercepat kerjaku!"

Kemudian, Ki Candak Sedo segera perintahkan Karang Wesi untuk cepat tinggalkan tempat tersebut. Karang Wesi pun melompat dengan gerakan jurus peringan tubuh, ia menyusul gurunya yang sudah melesat lebih dulu.

Tak seberapa jauh dari gua itu, mereka sudah harus menghentikan langkah karena kemunculan seorang lelaki botak berpakaian longgar. Lelaki botak ini berpakaian hitam dan menggenggam pedang besar. Ki Candak Sedo mengenal lelaki itu berjuluk Setan Gunung. Badannya juga besar, bahkan lebih besar lagi dari Warok Kober. Ki Candak Sedo dan muridnya sudah bisa menduga apa yang diinginkan oleh Setan Gunung. Maka dengan cepat Karang Wesi berdiri di depan gurunya dan segera hadapi Setan Gunung.

"Sebelum kau sebutkan niatmu, aku dan Guru sudah mengetahui maksudmu menghadang kami, Setan Gunung!" kata Karang Wesi.
"Ha ha ha ha...! Bagus, bagus! Itu berarti kalian akan serahkan minyak itu padaku, bukan?!"
"Ya, tapi dengan satu syarat, Setan Gunung!"
"Apa syaratnya?"
"Cabut dulu nyawaku, jika kau bisa, kau berhak mendapatkan minyak dalam guci yang dibawa Eyang Guruku!"
"Setan kurap kau! Hiaaah...!"

Wuuut... !

Pedang besar itu menebas leher Karang Wesi. Tapi kepala Karang Wesi seketika itu menunduk, dan ia berguling di rerumputan. Lalu betis Setan Gunung ditepak dengan tangannya. Plakk...!

Sekali lagi jurus 'Angin Lahar' digunakan oleh Karang Wesi. Maka tak dapat disangkal lagi, Setan Gunung segera terbakar tanpa api dan tahu-tahu berubah menjadi arang hitam bersama-sama pedang besarnya itu. Zerrb...! Seluruh tubuhnya tak tertolong lagi. Hitam dan kaku. Namun jika ditendang pelan, tubuh itu akan rubuh sebagai onggokan arang yang hitam keling.

"Karang Wesi!" sentak Ki Candak Sedo, "Mengapa kau gunakan lagi jurus itu, sedangkan kulihat kau belum terdesak sekali!"
"Untuk mempercepat pekerjaan harus begitu, Guru!"

"Tidak! Aku tidak suka dengan caramu seperti itu! Kau terlalu mengumbar ilmu andalan! Nantinya kau akan celaka sendiri karena ulah seperti itu! Lain kali, jika belum terdesak jangan menggunakan jurus pukulan itu, tahu?!" .

"Baik. Saya tahu, Guru!" Karang Wesi anggukkan kepala.
"Teruskan perjalanan pulang kita!" Ki Candak Sedo bersungut-sungut.

Karang Wesi membatin, "Orang tua ini memang banyak mulut tanpa bisa meresapi beratnya menjadi seorang penjaga keselamatan jiwa! Sudah dibela, tapi masih mengecam! Uuh...!"

Selain rasa jengkel yang bermukim di hati Karang Wesi, ada pula nafsu serakahnya yang sejak hari-hari kemarin disembunyikan rapat-rapat di dasar hatinya. Maka, dengan serta-merta Karang Wesi mencabut kapaknya dan menghantam kuat-kuat tubuh gurunya sendiri dari belakang. Crasss... !

Ki Candak Sedo tak sempat terpekik. Bahkan untuk terkejut pun tak punya kesempatan. Tahu-tahu kepalanya tergelinding jatuh dari leher yang ditebas memakai kapak tiga mata oleh muridnya sendiri.

"Kalau tak begini, tak kudapatkan minyak itu! Aku hanya akan mendapatkan amarah dan hukuman darinya!"

Sekejap Karang Wesi terkesiap, mulutnya ternganga. Sekalipun hatinya pada saat itu juga timbul rasa sesal yang amat besar, karena ia telah membunuh gurunya sendiri dengan keji, tapi rasa sesal itu berusaha dilenyapkan dari lubuk hatinya. Namun hal yang membuat Karang Wesi terkesiap dan mematung di tempat setelah berhasil mengambil alih guci Minyak Darah Malaikat itu, adalah sesuatu yang sangat tidak disangka-sangka sebelumnya.

Tubuh Ki Candak Sedo tiba-tiba lenyap. Mengepul asap putih di bagian kepalanya yang terpenggal dan raganya yang rubuh tengkurap itu. Asap tersebut bagai membakar habis jasad sang Guru, tapi darahnya masih membekas dan membanjir di tanah itu. Darah tersebut bergerak-gerak bagaikan mendidih, kemudian Karang Wesi mendengar suara dari darah itu yang berkata,

"Muridku, sayang sekali kau dikuasai oleh nafsu setanmu. Tapi ketahuilah, tak sampai satu minggu, walau kau mandi minyak itu, kau tetap akan mati dan menyusulku ke alam kelanggengan! Kau tetap akan mati, Karang Wesi, muridku tersayang...!"

Tertegun Karang Wesi, gemetar sekujur tubuhnya mendengar kutuk yang keluar dari darah gurunya sendiri itu.

***8

KARANG Wesi kembali masuk ke gua tersebut. Kali ini ia masuk ke dalam gua bukan untuk mencari siapa- siapa, melainkan untuk melepas seluruh pakaiannya dan bermandi Minyak Darah Malaikat yang diidam-idamkan itu.

Untuk melepas seluruh pakaiannya, Karang Wesi terpaksa memilih tempat yang lebih dalam sedikit, supaya jika ada yang datang sewaktu-waktu tidak melihat keberadaannya di situ. Seperti yang pernah dikatakan Ki Candak Sedo, sebuah lorong yang menuju ke ruang sekat sembilan punya cahaya penerang dari sinar kesembilan sekat itu. Memang tak terlalu terang, tapi cukup untuk menjadi penuntun langkah manusia. Dan lorong itu kini ditemukan oleh Karang Wesi. Di lorong itulah Karang Wesi melepaskan seluruh pakaiannya, sampai pada cincin, perak penghias jari pun dilepaskan.


Setelah Karang Wesi berhasil polos seperti bayi baru lahir, ia segera membuka penutup guci. Guci hitam itu disumpal lubangnya memakai sepotong kayu randu. Karang Wesi pun mencabut kayu penyumbat mulut guci. Tetapi ternyata tidak semudah mencabut penyumbat tutup guci seperti biasanya. Penyumbat itu sangat kuat, seakan menjadi satu dengan mulut gucinya. Dengan kerahkan tenaga Karang Wesi mencabut penyumbat itu, namun tetap tidak bisa terlepas. Bahkan kali ini dengan kerahkan tenaga dalamnya Karang Wesi mencabut kayu penutup itu, namun sampai tubuhnya gemetar dan menjadi merah, masih saja tutup itu tak bisa dilepaskan.

Sementara itu, di luar gua terdengar suara percakapan dua-tiga orang yang agaknya mau masuk ke dalam gua namun merasa sangsi. Karang Wesi sedikit gugup karena keadaannya masih telanjang, sedangkan tutup guci masih belum bisa dibuka.

Terdengar suara gemuruh dari kedalaman lorong. Bias cahaya yang sampai di tempat Karang Wesi mulai surut. Terkesiap Karang Wesi memandang ke dalam. Mengapa bias cahaya menjadi surut, dan terdengar suara gemuruh? Apakah ada sesuatu yang terjadi di lorong bersekat sembilan itu?

Suara gemuruh kini disusul dengan guncangan kecil. Gempa kecil itu membuat batuan dan pasir di atap gua mulai berhamburan. Sementara itu, Karang Wesi masih belum berhasil mencabut penutup guci walau sudah mengerahkan tenaga dalamnya sebesar mungkin. Dari luar gua makin jelas percakapan yang dilakukan oleh dua-tiga orang yang bertekad mau masuk ke dalam gua itu.

"Celaka! Sulit sekali membuka penutup guci ini! Bagaimana kalau mereka masuk bersama dalam keadaan aku masih telanjang begini? Setidaknya aku harus melarikan diri untuk menghindarkan guci ini dari tangan mereka! Haruskah aku lari dalam keadaan telanjang begini! Hmm... barangkali cara membuka guci ini tidak melalui kayu penutupnya. Mungkin dari bagian pantat guci...?"

Karang Wesi memeriksa bagian guci itu dengan mata menyipit karena kurang mendapat cahaya, ia meraba- raba guci tersebut dan tidak menemukan lubang apa pun yang memungkinkan untuk keluarnya minyak tersebut

"O, ya...! Kenapa tidak kulubangi saja bagian bawah guci ini, biar bisa mengucur minyak di dalamnya, dan kurasa memang harus dengan cara begitu?!"

Karang Wesi segera mencari alat untuk melubangi guci. Disodok dengan gagang kapak, terlalu besar. Guci bisa pecah berantakan. Tak ada kayu, juga tak ada besi yang pas untuk melobangi guci tersebut.

"Ah, mengapa tidak kugunakan jurus 'Jari Baja'- ku?!"pikirnya. Kemudian Karang Wesi mengeraskan jari tangannya yang tengah. Jari itu menjadi tegak keras dan membara merah bagian kukunya. Lalu dengan satu sentakan pelan, jari itu menyodok guci tersebut pada bagian bawahnya. Tres...! Crubb...!

Gemuruh dari dalam gua semakin kuat, tanah berguncang bagai dilanda gempa. Guci itu bolong dan memancarkan cahaya terang, lalu mengalirlah cairan bening dari dalam guci. Cairan bening itu membuat suasana lorong menjadi semakin terang. Baunya harum menyertakan ke seluruh lorong.

Dengan tawa kegembiraan, Karang Wesi mengucurkan minyak bening itu ke sekujur tubuhnya. Dari atas kepala sampai kaki dimandikan dengan Minyak Darah Malaikat. Semua tempat, semua tekuk tubuhnya mendapat guyuran minyak tersebut. Tak ketinggalan bagian telapak kakinya juga diusapi dengan minyak tersebut.

Suara percakapan orang semakin terdengar jelas. Makin lama makin mendekati lorong tempat Karang Wesi bermandi Minyak Darah Malaikat. Sedangkan cahaya di ruangan itu semakin menjadi terang. Seolah- olah keharuman minyak tersebut pancarkan cahaya terang ke mana-mana. Hal ini membuat mata Karang Wesi semakin bisa melihat dengan jelas, bagian tubuh yang mana yang belum dimandikan dengan minyak tersebut.

Pada saat Karang Wesi sudah yakin semua tubuhnya sudah basah oleh Minyak Darah Malaikat itu, maka muncullah seseorang berpakaian serba putih dari arah mulut gua. Orang tersebut memandangi Karang Wesi dengan wajah dingin mata memandang datar. Karang Wesi tersentak kaget dan bingung dengan keadaannya yang masih telanjang, ia hanya menyapa dengan mulut gemetar,

"Hmm... oh... eh... Guru...?!" Karang Wesi menyapa orang itu dengan sebutan Guru, karena memang yang dilihatnya adalah Ki Candak Sedo. Pakaiannya, putih dalam bentuk jubah dari atas kepala sampai kaki. Bersih tanpa luka dan darah sedikit pun.

Kemudian muncul pula orang lain yang berpakaian seperti itu, kerudung jubah dari atas kepala sampai kaki, warnanya putih bersih tanpa kotoran sedikit pun. Wajah itu juga membuat Karang Wesi terperanjat kaget. Ia kenal betul wajah angker itu, yang tak lain adalah wajah Warok Kober.

"Ki Warok...?!" gumam Karang Wesi masih tertegun di tempat.

Setelah itu muncul dua sosok berpakaian kerudung putih dari kepala sampai kaki hingga kelihatan wajahnya saja. Di wajah mereka juga terbentang kebekuan dan sorot pandangan mata yang datar. Dan Karang Wesi pun mengenali wajah mereka itu, hingga tak sadar ia sebutkan kata,

"Setan Gunung...?! Cambuk Guntur...?! Oh, ada pula di belakangnya si Macan Bangkai...?! Oh, apa yang terjadi sebenarnya?"

Ternyata bukan hanya mereka yang muncul, melainkan semua korban yang mati dibunuh oleh Karang Wesi bermunculan dengan mengenakan kain kerudung dari kepala sampai kaki warna putih bersih. Mereka memenuhi lorong itu hingga Karang Wesi tak punya jalan untuk lari keluar dari gua tersebut.

Ia segera berpaling ke belakang untuk mencari jalan menuju Sekat Sembilan. Tetapi dari arah sana pun muncul sosok berpakaian putih dari kepala sampai kaki. Jumlah mereka pun cukup banyak. Satu di antara wajah yang .sempat dikenali oleh Karang Wesi adalah wajah Nyai Sirih Wangsit, Kidung Sentanu, dan Eyang Danujaya, Talang Sukma, serta Permeswari Bayangan, yang semua itu adalah teman baik dari Ki Candak Sedo. Juga tokoh-tokoh lain yang tidak dikenali oleh Karang Wesi.

Tetapi anehnya, Ki Candak Sedo juga ada di rombongan orang-orang golongan putih yang telah tiada, jadi bukan hanya ada pada rombongan orang-orang yang menjadi korban pembunuhan Karang Wesi saja. Wajah Ki Candak Sedo yang ada dalam rombongan para tokoh putih itu dalam keadaan tersenyum berseri, bagai mencerminkan suatu keramahan dan keceriaan. Sama dengan wajah mereka yang berada di golongan tersebut.

Mereka mendekati Karang Wesi dengan langkah pelan. Karang Wesi jadi terkurung antara dua rombongan aneh berpakaian sama semua.

Sedangkan suasana menegangkan itu membuat Karang Wesi tak sempat mengenakan pakaiannya. Belum lagi getaran tanah gua yang masih terus berguncang bagai mau runtuh atapnya itu, makin membuat Karang Wesi tak sempat berpikir lain kecuali meloloskan diri dari kepungan mereka, yang menurut hati Karang Wesi mereka bermaksud tak baik kepadanya, terutama rombongan si Macan Bangkai, Warok Kober dan yang lainnya itu. Anehnya mereka tak ada yang bersuara satu pun.

Mereka melangkah pelan juga tanpa timbulkan suara gaduh di lantai gua. Hanya pancaran mata dari rombongan Warok Kober saja yang seolah-olah berkesan menuntut balas atas kematiannya, sedangkan pandangan mata yang ada dalam rombongan Nyai Sirih Wangsit tidak berkesan menuntut apa-apa selain berkesan keramahan yang damai.

"Kalau aku tidak segera keluar dari gua ini, aku bisa mati terkubur di sini!" pikir Karang Wesi. "Aku harus cepat-cepat keluar dengan menerobos jalan yang ditutup oleh rombongan Warok Kober itu! Tapi mungkinkah akan bisa kuterobos?!"

Gemuruh dari dalam gua bertambah jelas suaranya, jelas pula guncangannya. Reruntuhan pasir dan kerikil makin berjatuhan dari langit-langit gua tersebut. Karang Wesi bertambah tegang. Maka, dengan segera ia sentakkan kedua tangannya ke depan. Wussst...!

Sebuah pukulan tenaga dalam yang bernama 'Sapu Jagat' itu dilepaskan oleh Karang Wesi. Gulungan angin bagai topan menghempas lepas, membuat rombongan Warok Kober terhempas tanpa suara, masing-masing bagai terbawa arus angin kencang ke luar gua. Tak ada suara sakit, mengeluh, mencaci atau bahkan suara bergedebuk dari kaki dan tubuh mereka yang saling bersentuhan juga tak terdengar.

Karang Wesi tertegun di tempat. Orang-orang yang terkena sapuan jurus 'Sapu Jagat" itu bagai menembus dinding gua dan menghilang di sana, sebagian juga tampak ada yang terlempar membelok lorong menuju mulut gua. Sedangkan rombongan Nyai Sirih Wangsit itu diam tak bergerak maju lagi, namun juga tak segera lenyap. Wajah-wajah mereka tetap ramah berseri tanpa suara apa pun. Glurrr...!

Terdengar suara menggelegar kecil di bagian dalam lorong ruang Sekat Sembilan itu. Tampak mulai ada debu di sana, seperti atap gua mulai runtuh. Suara itu semakin bertambah keras dan mengguncangkan tanah dengan kuat. Tubuh Karang Wesi pun terlempar di dinding kanan-kiri. Sementara orang-orang rombongan Nyai Sirih Wangsit segera terlihat melambaikan tangan kepada Karang Wesi. Mereka tokoh-tokoh sakti dari golongan putih yang darahnya dipakai mandi oleh Karang Wesi.

Sedangkan Karang Wesi sendiri tak mengerti apa maksud lambaian tangan mereka yang berkesan mengucapkan selamat tinggal itu. Karang Wesi hanya tahu, atap sebelah sana mulai runtuh, ia tak boleh terpaku di tempat, ia cepat melarikan diri ke arah luar dengan suara gemuruh tambah keras, guncangan tambah hebat, seakan suara gemuruh runtuhnya langit-langit gua itu semakin mengejar ke arahnya. Karang Wesi pun tak perlu memandang ke belakang lagi, ia percepat langkahnya hingga dalam waktu singkat sudah sampai di luar gua.

Gemuruh suara runtuhnya atap gua semakin jelas. Guncangan tanahnya kian memburu ke luar juga. Dan ketika Karang Wesi mulai melarikan diri menjauhi gua tersebut, keadaan pintu gua pun tertutup oleh runtuhnya atap gua. Debu asap, dan bebatuan kecil tersembur keluar bagai mulut seekor naga semburkan racun dari dalam badannya. Semburan itu cukup kuat dan keras sentakannya, hingga timbulkan suara yang merindingkan bulu kuduk manusia.

Wooosss...! Wooourrsss..!

Glegarrr...! Suara itu menggema bagai terbawa angin ke seluruh penjuru dunia. Karang Wesi sudah cukup jauh dalam pelariannya. Ketika ia berpaling sebentar ke belakang, ternyata ada batu putih sebesar seekor banteng yang menggelinding mengejarnya. Semakin lama batu itu menggelinding semakin bertambah besar wujudnya. Agaknya batu itu menggelinding mengikuti arah pelarian Karang Wesi.

"Batu setan! Pohon-pun diterjang habis! Aku harus lebih cepat melarikan diri agar tak bernasib seperti pohon itu!" pikir Karang Wesi. Ia menjadi ngeri karena melihat pepohonan besar diterjang habis oleh batu yang makin lama makin menjadi sebesar rumah itu. Tak ada tanaman yang selamat dan bisa menahan gulungan batu besar tersebut.

Karena panik, Karang Wesi tak pikirkan arah larinya, tak pikirkan keadaan dirinya, hingga akhirnya ia terjebak di mulut jurang, ia terhenti di sana tak bisa lari lagi, sementara batu itu menggelinding cepat ke arahnya dalam ukuran lebih besar dari sebuah rumah. Sedangkan untuk melompat ke jurang sudah tak mungkin bisa selamat, karena jurang itu bertebing licin tanpa tanaman apa pun selain rumput lumut.

"Mati aku kalau begini?! Kutukan darah Eyang Guru agaknya menjadi kenyataan!" pikir Karang Wesi.

Batu semakin dekat. Karang Wesi tak punya kesempatan lolos, akhirnya ia menggunakan pukulan tenaga dalam yang bersifat sebagai pukulan penghancur. Sinar merah, hijau, kuning melesat berulang kali silih berganti, menghantam batu yang masih menggelinding dalam jarak sepuluh langkah itu. Tapi batu tidak bisa hancur.

Akhirnya, ketika batu itu hampir menggilas tubuhnya, Karang Wesi segera kerahkan pukulan 'Angin Lahar'. Tepat pada saat batu besar mendekatinya, kedua tangannya yang telah mengandung pukulan 'Angin Lahar' itu digunakan untuk menahan gerakan batu.

Gluduk gluduk gluduk...! Plakk...! Gluduk gluduk..!

Ternyata batu tetap menggelinding dan menggilas tubuh Karang Wesi yang tak mampu menghindar lagi itu.

"Aaaa...!" suara jerit ketakutannya hilang seketika sewaktu batu menggilasnya tanpa ampun lagi. Kemu dian alam pun menjadi sepi, bumi bagaikan mati. Hening tercipta panjang tanpa suara hembusan angin sekalipun.

Matikah murid keji Ki Candak Sedo itu?

Tidak, ia tidak mati. Ia masih hidup dan membuka matanya pelan-pelan. Mengerjap-ngerjap sebentar sambil pulihkan kesadaran dan keyakinan dalam hatinya bahwa ia belum mati. Ia memang terkapar, namun masih bisa bernapas dan bergerak.

"Oh, di mana aku? Sepertinya aku tidak mati! Aku masih bisa bernapas dan... tulangku tidak remuk! Oh, tak ada luka sedikit pun pada tubuhku, padahal batu besar itu menggilas aku tanpa ampun lagi! Aneh...! Apakah ini semua akibat aku sudah mandi Minyak Darah Malaikat?!" Karang Wesi memeriksa tubuhnya, ia sudah berdiri, dan ia mulai tersenyum gembira setelah yakin betul tak ada luka di tubuhnya. Goresan sekecil jarum pun tak ada. Tubuhnya masih berkilauan minyak, rambutnya pun masih basah, dan Karang Wesi tersentak sangat kaget setelah ia sadar, bahwa dirinya masih belum kenakan pakaian apa pun. Buru-buru ia menangkap seekor burung untuk melindungi rasa malu jika ada yang melihatnya. Kekhawatirannya itu ternyata menjadi kenyataan, ada yang melihatnya telanjang.

Seorang gadis berpakaian hijau muda sebatas dada, berdiri di balik pohon. Gadis itu menyandang pedang di punggung, matanya yang cantik berkesan nakal. Sesekali sengaja melirik Karang Wesi sambil menahan senyum dikulum. Gadis itu tak lain adalah Andini, yang lebih dulu tiba di pelataran gua sebelum Gayatri menyusulnya.

"Jangan memandangku! Pandang arah lain!" kata Karang Wesi membentak karena panik, tak ada pakaian siapa pun yang bisa dipinjamnya, tak ada kain apa pun yang bisa dipakai sebagai penutup tubuh. Mata Karang Wesi memandang jelalatan ke sana-sini, mencari sesuatu yang bisa dimanfaatkan untuk menutupi tubuhnya.

Lalu ia melangkah pada semak berdaun kecil sambil tetap menangkap seekor burung hingga jalannya mirip seekor bebek yang pantatnya melenggak-lenggok demi selamatkan rasa malunya. Daun-daun semak diambilnya beberapa helai dan dijadikan alat penutup sementara untuk bagian tertentu saja. Sedangkan dari balik pohon itu terdengar suara Andini berseru di sela tawa yang mengikik geli,

"Sayang sekali aku tidak mengenakan jubah. Kalau aku kenakan jubah akan kusembunyikan kau di dalam jubahku!"

"Diam!" bentak Karang Wesi marah sendiri karena kepergok bugil begitu dan tak mampu menghadapi rasa malu.
"Kalau kau mau, akan kucarikan selembar daun pisang untuk menutupi tongkat wasiatmu itu!" goda Andini.
"Tinggalkan aku! Pergi sana! Tak ada yang perlu kau tunggu dariku, Perempuan Nakal!"

"Ada yang kuharap darimu, Pendekar Cabul!" ejek Andini dengan menyebut Karang Wesi sebagai Pendekar Cabul. "Aku akan berdiri memandangmu terus di sini jika kau tidak serahkan Minyak Darah Malaikat padaku!"

Terkesiap mata Karang Wesi memandangi perempuan bandel itu keluar dari balik pohon. Matanya terang-terangan memandang ke arah Karang Wesi, membuat Karang Wesi bertambah gusar.

"Pergilah! Aku tak memiliki Minyak Darah Malaikat!"

"Tak mungkin!" Andini sunggingkan senyum menggoda. "Kulihat kau keluar dari gua itu dalam keadaan bugil begitu! Kau berlari-lari seperti menggenggam sesuatu di bagian depanmu. Mungkin Minyak Darah Malaikat yang kau genggam sejak tadi!"

"Bukan! Aku menggenggam burung rajawali, dan bukan guci Minyak Darah Malaikat!"

"Ha ha ha ha...!" Andini tertawa lepas. "Jadi kau bukan menggenggam guci Minyak Rajawali, eh... guci Minyak Darah Malaikat?"

"Sudah kukatakan aku tidak tahu soal itu! Pergilah sana!"

"Aku tak akan pergi sebelum kau memberikan minyak itu. Aku yakin kau telah mendapatkan minyak itu. Jika kau belum mendapatkannya, tak mungkin kau lari sampai secepat itu tanpa ada yang mengejarmu!"

"Apakah kau tak melihat sebongkah batu menggelinding mengejarku sampai di sini?!"

"Tak ada batu, tak ada daun yang mengejarmu, Pendekar Cabul!" Andini memandang sambil geleng- geleng kepala, tetap sunggingkan senyum menggoda.

Karang Wesi kerutkan dahi. "Benarkah tak ada yang mengejarku?"
"Kau lari seperti pencuri yang kepergok, Pendekar Cabul!"

"Aneh...?!" lalu mata Karang Wesi memandang keadaan sekeliling, ternyata tak ada pohon tumbang sepanjang jalur pelariannya tadi, rumput rusak tergilas batu besar pun tak ada. Karang Wesi benar-benar bingung dan segera bertanya kepada Andini.

"Apakah... apakah kau melihat gua itu semburkan reruntuhannya?"
"Reruntuhan apa?! Gua itu masih utuh tapi aku yakin minyaknya ada pada dirimu, Pendekar Cabul!"

"Masih utuh?! Lantas... apa yang kualami tadi?!" Karang Wesi terbengong-bengong semakin bingung. "Aneh semuanya! Dan... aduh, daun ini rupanya punya getah yang bikin gatal! Uuh... tak tahan aku dengan rasa gatalnya! Mau digaruk, malu. Tidak digaruk, gatal sekali?! Aduh, bagaimana ini!" Karang Wesi semakin salah tingkah, Andini bertambah nakal memandang.

***9
KARANG Wesi penasaran, ia ingin membuktikan kata-kata gadis yang belum dikenalnya itu. Menurut pengakuan Andini, ia hanya melihat Karang Wesi keluar dari gua dengan berlari terbirit-birit dengan sangat ketakutan. Andini mengikuti larinya Karang Wesi dari tempat tersembunyi. Dan ia melihat Karang Wesi sering berpaling ke belakang dengan wajah makin cemas.

Andini hanya melihat keadaan Karang Wesi yang lari sendirian tanpa melihat batu besar mengejar pria itu. Bahkan Andini sempat merasa heran melihat Karang Wesi tiba di bibir jurang, lalu sentakkan tangannya melepas pukulan tenaga dalam, dan akhirnya menjatuhkan diri sampai beberapa saat baru bangkit, Andini menyangka orang yang telanjang itu adalah orang gila.

Pengakuan Andini itu didukung dengan keadaan pohon yang pernah dilewati Karang Wesi dalam keadaan utuh. Padahal tadi Karang Wesi melihat pohon itu tumbang lebih dari tiga puluh pohon jumlahnya yang terhantam batu besar. Ternyata pohon-pohon itu tetap utuh, dan yang lebih mengherankan, ternyata mulut gua itu pun tetap utuh, terbuka tanpa ada bekas reruntuhan sedikit pun. Maka timbullah pertanyaan-pertanyaan di dalam hati Karang Wesi tentang apa yang dialaminya sebenarnya.

"Suatu khayalan atau gangguan penglihatan karena aku mandi Minyak Darah Malaikat? Barangkali Minyak Darah Malaikat ingin membuktikan padaku, bahwa tubuhku telah menjadi kebal dan tak mampu digilas batu sebesar itu! Atau mungkin semua yang kualami ini hanya impian mata melek saja? Tapi bagaimana dengan wajah-wajah berkerudung kain putih dari kepala sampai kaki itu? Apakah itu juga mimpi?"

Karang Wesi termangu-mangu di depan gua, memikirkan keanehan itu sambil tak sadar menggaruk- garuk bagian yang ditutup daun itu. Ia juga tak sadar kalau daun itu rontok satu persatu akibat garukan tangannya. Sementara itu, Andini menunggu di belakang Karang Wesi di balik sebatang pohon jati merah. Perempuan yang kenakan pakaian pinjung hijau sebatas dada itu bukan menunggu untuk melihat kepolosan tubuh Karang Wesi, tapi menunggu untuk mendapatkan janjinya. Janji dari Karang Wesi, yang ingin membagi dua minyak tersebut, jika Andini mau palingkan wajah dan tidak sering memandangnya selama Karang Wesi berjalan kembali ke gua tersebut. Andini setuju untuk syarat ringan itu. Bahkan sekarang Karang Wesi berkata,

"Tunggulah di sini, aku akan masuk ke dalam gua!"
"Kau mau main licik?!"

"Bukan! Bukan itu maksudku! Pakaianku tertinggal di dalam gua! Minyak itu memang sudah kudapatkan, dan ingin kupakai untuk mandi, tapi kejadian-kejadian aneh itu terjadi menakutkan sekali, sehingga minyak dan pakaian tertinggal di dalam sana! Aku harus mengambilnya, lalu kita bagi dua!" "

"Harus kuantar kau masuk untuk mengambil minyaknya!"
"Baiklah. Tapi jangan terlalu dekat, aku tak enak dengan pandangan matamu! Aku belum pernah dalam keadaan seperti ini di depan seorang perempuan!"

"Masuklah! Aku mengawalmu dari kejauhan. Kalau kau licik dan curang, aku menyerangmu untuk satu jurus saja, dan kau tak akan bisa bernapas lagi!"

Andini sengaja tidak mau masuk gua sendiri, ia bisa menduga di dalam gua banyak jebakan. Menurutnya lebih baik membiarkan Karang Wesi masuk dan mengambil minyak itu, sambil Andini memberi umpan kepada jebakan melalui diri pemuda itu. Jika terjadi sesuatu yang berbahaya, maka Karang Wesi-lah yang mati. Andini bisa mempelajari kelemahan jebakan tersebut, ia belum tahu bahwa minyak itu sebenarnya sudah dipakai mandi oleh Karang Wesi.

Karena itu di dalam hati Karang Wesi tertawa kegelian sendiri. Andini mudah ditipu, ia segera kenakan pakaian secepatnya dan ia mengambil guci kosong itu dengan menutup lubangnya agar tidak dilihat Andini. Semua yang dilakukan Karang Wesi itu dalam pengawasan Andini dari jarak jauh. Ketika Karang Wesi mengangkat tangan yang memegang guci dengan tersenyum, Andini pun sunggingkan senyum kegembiraan. Setidaknya ia bisa mendapatkan separo bagian dari minyak itu. Tetapi dalam hatinya ia berkata,

"Kalau perlu kutebas batang lehernya biar minyak itu menjadi milikku semua! Tapi kalau kelihatannya tidak memungkinkan, jangan kulakukan, karena itu akan membuat aku tak memiliki minyak sedikit pun nantinya!?"

Tetapi tiba-tiba hati Andini kembali bertanya-tanya tentang beberapa kejanggalan yang ditemuinya, dan hal itu membuatnya semakin curiga kepada Karang Wesi.

"Mengapa ia lari dalam keadaan telanjang? Tubuhnya basah oleh cairan, dan cairan keringatkah itu? Mengapa sampai pada rambutnya juga basah? Mengapa dia berbau harum mempesona? Bukankah menurut cerita mendiang Guru, siapa pun yang memakai atau mandi Minyak Darah Malaikat, tubuhnya akan selalu berbau harum? Dan mengapa ia dengan mudah sepakati perjanjian untuk menyerahkan separo minyak padaku? Jangan-jangan dia sudah pakai itu minyak untuk mandi? Oh, celaka kalau begitu! Bisa kutebas tanpa ampun dia kalau benar telah menggunakan minyak itu dan mengelabuiku?"

Karang Wesi melangkah keluar dari gua tersebut sambil menggenggam guci tempat minyak yang tak seberapa besar itu. Sampai di depan gua, tiba-tiba suaranya dibuat menyentak kaget,

"Wah, guci ini bocor berlubang...! Lihatlah...?!"
Andini diam memandang dengan dada semakin cemas.

"Celaka! Minyaknya habis dan tak ada setetes pun di sini! Periksalah sendiri...! Periksalah...!" sambil Karang Wesi menunggingkan guci, menunjukkan bahwa tak ada setetes minyak yang keluar dari lubang dibawah guci itu.

"Bagaimana ini? Tak ada minyak dalam guci ini. Andini?"
"Tentu saja, karena minyak itu telah kau pakai untuk mandi, Karang Wesi!"

Tak sadar tangan Karang Wesi menggaruk-garuk lagi tempat yang tadi dibungkus daun bagai lontong tanpa isi. Getah daun atau bulu daun itu timbulkan rasa gatal melebihi daun talas. Sambil menggaruk-garuk tempat yang gatal, Karang Wesi sunggingkan senyum dan berkata,

"Syukurlah kalau kau sudah tahu semua itu! Tapi kau masih beruntung, karena kau bisa menikmati keadaanku tanpa selembar benang pun, dan kau bisa mendapatkan guci bekas tempat Minyak Darah Malaikat ini. Kuberikan padamu, siapa tahu suatu saat berguna untuk satu keperluan! Mungkin bisa kau gunakan sebagai celengan?!"

"Setan kau, Karang Wesi...!" geram Andini tak sabar lagi. Kemudian ia tebaskan pedangnya ke leher Karang Wesi dengan satu sentakan kebencian, "Heahh...!"

Bettt...! Wuttt...!

Pedang itu meleset dari sasaran. Kepala Karang Wesi lebih cepat bergerak merendah dan segera tegak lagi. Ia belum berani mengambil sikap untung-untungan dan mencoba-coba terhadap keampuhan minyak yang dipakainya mandi. Sebab jika ternyata keampuhan minyak itu cuma bohong, tidak memberikan kekebalan, maka lehernya pun pastikan putus jika ditebas oleh pedang Andini. Maka, Karang Wesi masih berusaha menghindar, namun belum lepaskan satu serangan pun.

"Hiaaat...!" Andini makin penasaran, dua kali serangannya meleset. Kali ini ia kibaskan pedangnya untuk memenggal lengan Karang Wesi. Kibasan itu sangat cepat dan kencang.

Bettt...! Trangngng...!

Mata Karang Wesi terkesiap melihat tangannya tetap utuh tanpa luka dan lecet sedikit pun. Ketika pedang tadi memenggal tangan, terjadi percikan api sekejap, seolah- olah pedang itu membentur besi baja yang amat keras.

Berdebar bangga dan girang hati Karang Wesi melihatnya. Untuk selanjutnya, Karang Wesi sengaja tidak menghindari serangan jurus pedang Andini yang makin membabi buta itu;

Trang trang trang... sreng...! Trangngng...!

Andini semakin jengkel dan penasaran. Jurus pedangnya bukan sekadar jurus biasa, tapi mempunyai saluran tenaga dalam yang cukup tinggi. Bukan hanya percikan api saja yang keluar dari penggalan dan tebasan pedangnya, tapi sinar bertenaga dalam itu pun ikut keluar bersama tebasan pedangnya. Hanya saja, sinar- sinar itu pun tak bisa melukai kulit tubuh Karang Wesi. Bagian tangan, kaki, kepala, perut, punggung, semuanya sudah dicoba oleh Andini untuk dilukai, tapi tak berhasil. Bahkan untuk memotong daun telinga pun pedang itu tak mampu melakukannya.

"Ha ha ha ha...!" Karang Wesi tertawa kegirangan terbahak-bahak. Sementara itu, Andini melesat mundur empat tindak.
"Jangan merasa bangga dulu, Karang Wesi! Terimalah jurus 'Pedang Langit Pitu' ini! Hiaaah...!"

Pedang itu dibabatkan ke samping kanan-kiri dengan cepat, lalu tiba-tiba disentakkan ke depan dengan tangan kiri Andini ke atas lurus dan satu kakinya ke belakang lurus, kaki satunya sedikit merendah. Maka, zlappp...! Seberkas sinar biru tanpa putus melesat cepat menembus dada Karang Wesi. Sinar itu jelas-jelas menghantam pertengahan dada, namun dada itu tak bisa bolong. Sinar itu hanya melesat mengitari tubuh Karang Wesi, berlarian ke sana-sini, tanpa bisa melukai. Padahal cukup lama sinar biru tanpa putus itu menerpa dada lawannya, bahkan berpindah ke pusar segala, tapi tetap tak bisa menembus atau membakar tubuh Karang Wesi. Bahkan pakaiannya pun tak bisa robek atau terbakar.

"'Pedang Sukma Matahari'! Hiaaah...!"
Zllubb...!

Sinar merah melesat dari ujung pedang yang dipegang dua tangan itu. Sinar merah tersebut sedikit lebih besar ukurannya dari sinar biru tadi. Gerakannya juga lurus tanpa putus membentur tengah kening Karang Wesi. Tapi kepala itu tak merasakan panas sedikit pun, karena memang sinar merah hanya bisa berloncatan ke sana-sini tanpa bisa melukai sedikit saja.

"Ha ha ha ha ha...!'' makin terbahak-bahak Karang Wesi melihat kenyataan yang dialaminya. Semakin bangga dia akan dirinya sendiri yang tak mempan di tembus sinar bertenaga dalam ataupun senjata setajam pedangnya Andini.

"Aahg...!" Andini terpental jatuh terguling-guling. Pedangnya sendiri sampai lepas dari tangan dan terpisah jauh dari dirinya. Mata Andini terbeliak-beliak ketika dihampiri Karang Wesi. Mulutnya keluarkan darah kental, juga dari lubang hidungnya. Wajah Andini menjadi pucat pasi dalam waktu singkat.

"Ini hukuman bagi perempuan yang suka pandangi tubuhku dalam keadaan polos! Kau harusnya tahu, Andini, aku paling benci dipandangi perempuan dalam keadaan polos, sebab itu sama saja perempuan tersebut telah tahu seluruh rahasia hidupku! Kau layak untuk mati, Andini! Dan barangkali aku harus mempercepat kematianmu, sebelum aku meninggalkan kau untuk memburu Siluman Tujuh Nyawa! Heaaah...!"

Karang Wesi mengangkat kakinya untuk dihentakkan ke dada Andini. Hentakan kaki itu diperhitungkan akan mempercepat kematian Andini, karena Karang Wesi menyalurkan tenaga dalamnya ke telapak kaki. Tapi sebelum hal itu-terjadi, tiba-tiba tubuhnya tersentak ke depan dan jatuh melompati tubuh Andini. Karang Wesi merasa mendapat dorongan tenaga yang cukup kuat dari belakang, sehingga kekokohan kakinya yang saat itu hanya satu yang dipakai berdiri itu menjadi berkurang. Maka ia pun terlempar ke depan.

Tenaga besar yang menyentaknya dari belakang itu tak lain adalah pukulan jarak jauh Gayatri yang datang tepat pada waktunya. Gayatri segera menghampiri kakaknya sambil berseru cemas,

"Andini...?!"

Ia ingin merunduk untuk menolong kakaknya, tapi tiba-tiba Karang Wesi menghampirinya dengan langkah cepat, lalu menendang wajah perempuan yang rambutnya meriap ke depan itu. Plokk...! Wutt!

Tubuh Gayatri terlempar ke belakang dan jatuh berguling. Tapi ia segera bangkit walaupun merasa sakit pada bagian dagunya, ia segera mencabut senjata trisulanya sambil menggeram,

"Kau telah melukai kakakku, kau harus tebus dengan nyawamu!"

"Ha ha ha ha...! Kakakmu pakai pedang tadi! Dia tebas seluruh tubuhku, tapi tak ada yang bisa melukai tubuhku! Apalagi kau, hanya bersenjata trisula seperti itu, aah... pulang sajalah! Ambil pusaka milik bapakmu biar kau bisa melukai tubuhku, atau pusaka itu sendiri yang nantinya akan hancur?!"

"Setan jahanam kau! Hiaaah...!"

Gayatri sentakkan trisulanya ke perut Karang Wesi dengan kuat. Wuttt...! Trakk...! Trisula itu patah seketika, kulit dan baju Karang Wesi tidak luka atau robek sedikit pun. Gayatri makin panas hatinya. Kemudian ia menggunakah pukulan dari jurus 'Tapak Gledek'. Tangan kanannya menggenggam kuat-kuat dan disentakkan ke depan, begitu hampir tiba di dada lawan genggaman itu terbuka dan cahaya biru pendar-pendar melesat bersama hantaman telapak tangan di dada, lawan. Blarrr... !

belakang, jatuh berguling-guling membentur pohon di belakangnya, ia sendiri yang segera muntahkan darah dari mulutnya walau tak banyak. Sedangkan Karang Wesi hanya tertawa terbahak-bahak, lalu menghampiri Gayatri.

Rambut Gayatri dijambaknya, diangkat ke atas sehingga tubuh itu terpaksa ikut berdiri. Terdengar suara Andini berseru dengan tertahan, "Lepaskan dia! Jangan lukai dia dan jangan sentuh dia lagi! Lawanlah aku...!"

Plakkk...! Karang Wesi menampar keras wajah Gayatri hingga gadis itu terlempar dengan sebagian rambut berodol di tangan Karang Wesi. Kemudian Karang Wesi membalikkan badan dan melihat Andini sedang berusaha untuk bangkit namun tak bisa.

"Kalau dia adikmu, maka sepantasnya dia menerima pelajaran itu, supaya dia tahu bahwa aku orang yang tidak boleh diremehkan! Dia dan kamu harus tunduk padaku!"

"Hiaaat...!" Gayatri bangkit dan menyerang dengan satu lompatan ke arah Karang Wesi. Dengan cepat pula Karang Wesi melepaskan pukulan dalam sinar kuning. Sinar kuning itu melesat cepat sebelum Gayatri mendekatinya, tapi tiba-tiba sinar kuning itu pecah di udara karena berbenturan dengan sinar hijau yang datang dari arah samping.

Blarrr...! Gayatri terpental lagi akibat gelombang ledakan dan angin kencang yang ditimbulkannya dari benturan dua sinar itu. Gayatri jatuh terpuruk dengan napas terengah-engah, sedangkan Karang Wesi hanya mundur satu tindak, sedikit guncang. Tapi ia segera palingkan pandang ke arah datangnya sinar hijau tadi. Dan ia terkesiap memandang seorang pemuda sebayanya sedang meneguk tuak dengan santainya tanpa hiraukan pandangan mata orang lain.

Pendekar Mabuk terlambat muncul. Ini karena ia sempat mengejar Siluman Tujuh Nyawa yang dilihatnya melesat dalam satu jarak pandang saat bersama Gayatri di perjalanan. Suto mencoba mengejar Siluman Tujuh Nyawa, sementara Gayatri tak mau menunggu, ia langsung menuju ke Gua Sekat Sembilan. Andai ia mau menunggu Suto Sinting, maka kehadirannya akan membuat Andini terlambat mendapat pertolongan darinya, tapi ia sendiri tak akan lama terluka dalam akibat pukulannya sendiri tadi.

"Siapa kau?! Mengapa turut campur urusan kami, hah?!" gertak Karang Wesi dengan mata tajam memandang.

"Namaku Suto Sinting! Aku tidak ikut campur urusanmu yang sedang memperebutkan Minyak Darah Malaikat itu! Aku hanya ingin mengambil dua gadis itu untuk kubawa pulang! Mereka terluka!"

"Suto!" seru Gayatri. "Pergilah, tinggalkan kami! Minyak itu telah dibuat mandi oleh bangsat itu! Pergilah, jangan hadapi dia, Suto!"

Karang Wesi tertawa pelan kepada Suto, dengan angkuhnya ia berkata, "Kau dengar apa katanya? Kurasa ada baiknya kau pergi secepatnya dari sini, sebelum murkaku jatuh untukmu, Suto! Jangan coba-coba melawanku! Siluman Tujuh Nyawa saja akan lari kalau kuburu apa lagi kau! Kau kenal Siluman Tujuh Nyawa?"

"Sangat kenal," jawab Pendekar Mabuk kalem. "Dia tokoh sesat yang sakti dan berilmu sangat tinggi!"

"Itu pun akan kuhancurkan! Dia tak akan bisa melukaiku dengan senjata El Maut-nya atau tenaga dalamnya setinggi apa pun! Tak akan bisa! Tapi aku akan dengan mudah menghancurkan kepalanya!"

"Bagus!" ucap Suto sambil sunggingkan senyum tipis. "Tapi apa sebab kau ingin membunuh dia? Kau punya dendam?"
"Dendam pribadi, tidak! Tapi aku harus bisa membunuh dia, supaya lamaranku diterima oleh Dyah Sariningrum!"

Srappp... ! Darah Pendekar Mabuk naik ke kepala dengan cepat dan dalam keadaan panas mendidih, karena ia mendengar nama kekasihnya disebut-sebut. Suto masih berusaha untuk tenang walaupun wajahnya menjadi merah.

"Apakah kau ingin mempersunting Dyah Sariningrum?"

"Ya! Siapa pun yang menghalangi niatku akan kubunuh dan mereka tak akan bisa mengalahkan aku, karena aku sudah mandi Minyak Darah Malaikat! Siluman Tujuh Nyawa itu musuh utamaku, karena dia yang ber-ulang kali ingin memperistri Dyah Sariningrum dengan berbagai cara kelicikannya! Jadi dialah musuh utamaku!"

"Bukan dia musuh utamamu, tapi aku!" kata Pendekar Mabuk dengan jelas dan tegas, membuat Karang Wesi terkesiap dengan mulut terbengong.

"Apakah kau murid Siluman Tujuh Nyawa?"

"Bukan. Tapi akulah calon suami Dyah Sariningrum, Gusti Mahkota Sejati yang berkuasa di negeri Puri Gerbang Surgawi, di Pulau Serindu! Jelas?! Nah, sekarang bersiaplah menghadapi musuh utamamu!"

"Edan!" geram Karang Wesi sambil melangkah pelan mengikuti gerakan kaki Suto Sinting. "Kau akan mati, dan harus mati kalau begitu. Hiaah...!"

Sinar kuning melesat, Suto menangkisnya dengan kibasan tabung bumbung tuaknya. Wuttt...! Tubuhnya menggeloyor bagai orang mabuk, tapi sebenarnya dia sedang memainkan jurus tipuan gerak.

Trass...! Wosss...!

Sinar kuning membalik, lebih besar dan lebih cepat. Dada Karang Wesi terhantam sinar kuning, ia hanya tersentak ke belakang tiga tindak, tapi tidak merasakan sakit sedikit pun. Ia hanya tersenyum dari membuat Suto mengakui bahwa kali ini ia berhadapan dengan lawan
yang kebal senjata.

Maka, Pendekar Mabuk pun mencoba dengan melepaskan 'Guntur Perkasa' yang membuat lawan menjadi memar dan cepat membusuk. Class...! Sinar hijau melesat dari tangan kiri Pendekar Mabuk. Tapi ketika sinar membentur tubuh Karang Wesi, tubuh itu tetap utuh tanpa luka. Karang Wesi tersenyum menantang.

Pendekar Mabuk cepat menenggak tuaknya, lalu melompat ke arah Karang Wesi dan semburkan tuak itu ke badan Karang Wesi. Brusss..."! Semburan tuak menjadi percikan bunga api keluar dari mulut Pendekar Mabuk. Percikan itu biasanya langsung membakar benda atau orang yang terkena percikan walau setetes. Tapi nyatanya tubuh Karang Wesi tetap berdiri tegak tanpa terbakar sedikit pun. Bahkan ia melepaskan pukulan dari kedua telapak tangannya yang berwarna hijau pula dan menghantam bumbung tuak yang dikibaskan Pendekar Mabuk ke depan. Bagggh...! Pendekar Mabuk terpental jatuh sedangkan sinar hijau itu memantul balik dan mengenai tubuh Karang Wesi. Tapi tubuh itu tidak hancur sedikit pun.

"Ha ha ha ha...! Keluarkan semua ilmumu, Suto Sinting! Aku siap menerimanya dengan dada terbuka!" ledek Karang Wesi.

Suto justru diam. Hatinya berucap kata, "Tidak! Tidak semua ilmuku harus kulepaskan untuk membunuhnya! Akan sia-sia saja rupanya, karena dia dilapisi kemukjizatan tersendiri! Agaknya aku harus menggunakan otot dan otak. Jika ia mandi Minyak Darah Malaikat, tentunya sampai ke bagian telapak kaki segala, Lalu, bagian mana yang tidak terkena minyak...?!"

Pendekar Mabuk melintangkan tali bumbung tuak ke dada, kini ia bertangan kosong. Masih bergerak memutar pelan-pelan membentuk lingkaran, untuk mencari kelengahan lawan yang juga ikut memutar itu.

Tiba-tiba kaki Suto menyambar pedang milik Andini. Pedang itu segera diambilnya dengan satu gerakan kaki cepat, dan tiba-tiba pedang melayang lalu ditangkap tangan.

"Ha ha ha ha...! Pedang itu lagi?! Percuma, Suto! Itu bukan pedang pusaka! Buang saja!" ledek Karang Wesi, ia sempatkan diri untuk menggaruk-garuk bagian yang gatal itu. Mata Suto memandang ke sana ke bagian yang digaruk itu, lalu timbul gagasan untuk menyerang bagian yang gatal itu. Suto tak tahu bahwa bagian yang gatal itu pun terkena minyak juga.

"Sebaiknya kita adu senjata!" kata Karang Wesi, lalu cepat ia mencabut kapaknya. Dan serta-merta ia melompat bagaikan terbang dengan kapak siap dihantamkan ke depan. Pendekar Mabuk pun berkelebat secepat kilat, tahu-tahu sudah melesat menyerang dengan pedang dikibaskan. Wusss...! Trangng...!

Jlegg...! Pendekar Mabuk sudah berdiri di tanah dengan memunggungi lawannya. Gerakan secepat setan itu membuat Gayatri dan Andini yang hanya jadi penonton menjadi kian bengong. Tak menyangka Suto mampu bergerak secepat setan. Kalau saja Karang Wesi tidak kebal, pasti sudah terpenggal oleh jurus pedang Suto. Karang Wesi pun mengakui hal itu.

Pendekar Mabuk menggenggam pedang itu dengan dua tangan, tubuhnya sedikit merunduk, matanya tajam memandang dengan lincah. Dan tiba-tiba Karang Wesi melepaskan jurus maut dari kapaknya, Kapak itu ditebaskan dari kanan ke kiri, tapi mendadak berhenti di depan. Lalu kapak itu keluarkan cahaya merah seperti mata kapak itu sendiri. Wussst...!

Zlappp...! Suto pun melepaskan cahaya ungu berbintik-bintik putih dari ujung pedangnya. Cahaya ungu itu membentur cahaya merah dan terjadi ledakan yang amat dahsyat.

Jlegarrr...! Pendekar Mabuk terpental jatuh karena gelombang hawa ledakan tadi. Karang Wesi hanya tersentak mundur tiga tindak. Sedangkan Andini yang tak begitu jauh dari Pendekar Mabuk terguling-guling hampir masuk ke jurang.

"Hieaat...!" Karang Wesi melompat untuk menghantamkan kapaknya, karena ia melihat Pendekar Mabuk masih terkapar. Karang Wesi punya kesempatan emas untuk menebaskan kapaknya di kepala Suto. Tetapi ketika tubuhnya sampai di atas Suto, si Pendekar Mabuk itu cepat berguling ke samping. Wuttt...!

Jrabb... ! Kapak menghantam tanah dengan kuat. Secepatnya Suto sentakkan pinggulnya dan bangkit setengah berdiri, lalu ia sentakkan pedang di tangannya ke arah depan. Jrusss... !

"Aahhk...!" Karang Wesi memekik keras dengan mata mendelik.

Pendekar Mabuk telah menemukan titik rawan Karang Wesi sejak ia melihat tangan Karang Wesi sering menggaruk-garuk tempat di mana ia pelihara seekor burung perkutut itu. Di sekitar itulah pasti terdapat titik kerawanan Karang Wesi. Di sekitar itulah pasti tak terkena Minyak Darah Malaikat. Dan ternyata dugaan Suto memang benar, ia sengaja memancing agar diserang dalam keadaan terbaring begitu. Karena tanpa pancingan tersebut, Pendekar Mabuk sulit menusukkan pedang ke bagian dubur lawannya.

Pedang itu kini melesak masuk separo bagian di lubang dubur. Karang Wesi menggeliat ingin berbalik menghantamkan kapaknya. Tapi telapak tangan Suto. menyentak ke depan, menghantam ujung gagang pedang itu dengan makin kuat. Jrubbb...!

"Uhg...!" Karang Wesi terkulai, pedang itu masuk seluruhnya, hingga bagian gagangnya yang terlihat dari luar. Tak ayal lagi Karang Wesi pun rubuh dan tak bernyawa sedikit pun. Maka terbuktilah bahwa apa yang diserukan oleh darah Ki Candak Sedo adalah benar. Kutukan itu mengatakan, sebelum purnama, Karang Wesi akan mati walau sudah mandi Minyak Darah Malaikat.

Pendekar Mabuk segera menolong Andani dan Gayatri dengan meminumkan tuak kepada mereka. Tuak itulah obat mujarab yang sering digunakan Pendekar Mabuk untuk menolong mereka yang terluka. Bahkan juga sebagai penolong racun yang cukup hebat.

"Terima kasih atas pertolonganmu, Suto," ucap Andini yang mulai terasa segar setelah minum tuaknya Suto. "Kalau kau tak datang, aku pasti mati lebih dulu, setelah itu Gayatri, adikku, juga akan mati di tangan Karang Wesi!"

"Aku juga berterima kasih padamu," kata Suto. "Karena kau biarkan aku menggunakan pedangmu untuk membunuhnya. Apakah kau mau mengambil pedangmu itu untuk digunakan lagi?"

"Biar saja mendekam hangat di tempatnya sana!" jawab Andini sambil tertawa cekikikan. Gayatri hanya tersenyum-senyum.

"Jurus pedangmu sungguh hebat dan semuanya di luar dugaan!" kata Gayatri memuji Suto. Pendekar Mabuk hanya tersenyum. Lalu Andani menyahut,

"Memang benar. Tapi..., apakah benar kau calon suami Dyah Sariningrum, orang yang diincar Karang Wesi itu?"

"Ya. Benar. Kenapa?" jawab Suto sambil sunggingkan senyum.
"Tak apa-apa. Kalau saja kau bukan calon suaminya, mungkin...!"
"Kau pikir hanya kau yang bisa bilang mungkin?!" sahut Gayatri.

Pendekar Mabuk jadi tertawa melihat keduanya saling bersungut cemberut.

Kemudian ia meninggalkan keduanya untuk melanjutkan petualangannya.

SELESAI
Selanjutnya dalam episode: MANUSIA PENYEBAR KUTUK