Pendekar Mabuk 18 - Manusia Penyebar Kutuk(2)



 Trangng...! Pedang itu terbuang jatuh karena hantaman sinar biru. Dan tiba-tiba pedang itu berasap lalu melelehkan logamnya. Pedang tersebut telah meleleh dan tak berwujud pedang lagi. Tinggal bagian gagangnya yang telah menjadi hangus bagaikan habis disambar petir tanpa ampun lagi.


Sumping Rengganis terkesiap melihat pedangnya bernasib malang. Matanya tak berkedip, mulutnya ternganga bengong, sementara itu kakinya masih belum bisa dipakai untuk berdiri, ia segera alihkan pandang kepada Ratu Teluh Bumi. Orang itu sunggingkan senyum sinis yang membakar amarah di dalam hati Sumping Rengganis, membuatnya semakin terengah- engah bagai orang habis melakukan pelarian jauh.

"Kau memang nakal, Bocah Kencur! Sudah lumpuh masih saja bandel dan berani menyerang!"
"Aku tak akan berhenti menyerangmu sebelum kau kembalikan kitab kakekku yang kau curi itu, Jahanam!"

"O, jadi kau ingin yang lebih parah lagi...?" Ratu Teluh Bumi melebarkan senyum dengan tenangnya. Lalu, ia segera tarik napas dan menahan napasnya sambil mengucapkan kata kutukan,

"Kalau begitu, jadilah kau seekor serigala!"

Blarrr...! Petir di langit menyambar bumi. Tak ada hujan tak ada mendung, petir itu seakan terkejut mendengar kutukan yang dilontarkan Ratu Teluh Bumi, karena dalam sekejap saja, tubuh Sumping Rengganis telah berubah menjadi seekor serigala berbulu hitam.

"Aaauuu...!" Serigala itu meraung panjang, sebagai tanda raung kesedihan Sumping Rengganis setelah melihat tubuhnya berbulu, mulutnya maju dan mempunyai ekor di belakang. Serigala itu mempunyai mata merah, taring yang runcing, dan tajam, serta kuku yang tajam-tajam juga.

Ratu Teluh Bumi tertawa terkekeh-kekeh kegirangan. Ternyata ia mampu mengubah manusia menjadi seekor serigala. Hatinya sangat bangga terhadap ilmu baru yang dimilikinya. Ilmu 'Sabda Iblis' itu digunakan untuk yang kedua kalinya, sebagai sasaran korban adalah Sumping Rengganis. Maka segeralah ia berkata,

"Kalau sudah begini mau apa kau, Sumping Rengganis?! Kau sudah bukan manusia lagi! Kau seekor serigala! Kau tak mungkin bisa menuntut kitab itu lagi! Sebaiknya segeralah kau pergi ke lereng bukit dan bergabunglah dengan kawanan serigala lainnya!"

"Gggrrr...!" serigala itu menggeram sambil menyeringai pamerkan gigi dan taringnya yang tajam- tajam itu. Ratu Teluh Bumi hanya tersenyum-senyum penuh kemenangan yang memuaskan hatinya.

Tetapi, tiba-tiba tubuhnya terpental dan jatuh terguling-guling ke samping. Sebuah pukulan jarak jauh bertenaga besar dilepaskan. Ratu Teluh Bumi sibuk mengagumi hasil kutukannya, sehingga tak tahu kalau ada serangan dari arah samping.

Jatuhnya Ratu Teluh Bumi membuat serigala itu segera melompat dan menerkamnya dengan raung geram kebuasannya. Ratu Teluh Bumi berusaha menghindari setiap cabikan kaki serigala dan gigitan binatang itu. Ia berguling-guling, sampai tubuhnya membentur pohon dan tak bisa bergerak lagi karena serigala itu sudah berada di depannya. Maka ia sentakkan pukulan tenaga dalam bercahaya kuning dari tangan kiri. Wuttt...! Behgg... !

"Aiiik...!" binatang itu memekik, kemudian tubuhnya tersentak melayang ke belakang, ia terkena pukulan kuat. Dan ketika bangkit lagi, binatang itu segera larikan diri tanpa berpaling ke belakang.

Ratu Teluh Bumi bangkit, ia segera ingat ada musuh yang menyerangnya dari samping. Ketika ia memandang ke arah barat, ternyata seorang pemuda sedang berdiri terlolong bengong pandangi kepergian Sumping Rengganis yang sudah berubah menjadi seekor serigala. Pemuda itu seakan ragu dengan apa yang dilihatnya.

Melihat ciri-ciri pemuda berambut panjang yang diikat ke belakang dengan tubuh yang tinggi, tegap, berpakaian hijau tua, dan menyandang empat pisau terbang di pinggangnya, Ratu Teluh Bumi segera kenali siapa pemuda itu.

"Jarum Lanang...!" ucap Ratu Teluh Bumi sebagai sebuah sapaan. Pemuda yang berjuluk Jarum Lanang itu cepat palingkan wajah dan pandangi Ratu Teluh Bumi. Sang Ratu Teluh Bumi sunggingkan senyum ketusnya dengan mata menatap tajam, menyembunyikan kemarahan akibat diserang secara tiba-tiba.

"Bb... benarkah... benarkah serigala itu adalah Sumping Rengganis yang bertarung denganmu tadi?!" tanya Jarum Lanang dengan wajah memerah semu. Itu tandanya ia pun menahan kemarahan yang menegangkan jiwa, membakar darahnya.

"Ya. Itu adalah Sumping Rengganis, kekasihmu!"
"Biadab kau, Ratu Teluh!" geram Jarum Lanang.
"Terpaksa aku lakukan hal itu, karena ia menyerangku tiada hentinya, seperti seekor serigala yang buas!"
"Tentu saja dia menyerangmu, karena kamu mencuri kitab pusaka milik kakeknya!"
"Kalau kau sudah tahu begitu, lantas mau apa?" tantang Ratu Teluh Bumi.

"Harus membunuhmu dan menjadikan kamu daging cincang makanan para serigala!" sentak Jarum Lanang tak lagi bisa menahan diri. Kemudian dengan serta-merta ia melepaskan dua pisau terbangnya ke arah Ratu Teluh Bumi.

Wuttt wuttt...!

Ratu Teluh Bumi sentakkan kaki dan melenting naik ke atas. Ketika bergerak turun, ia lepaskan satu pukulan tenaga dalam dari telapak tangannya, yaitu pukulan yang memercikkan sinar biru. Sinar itu melayang cepat ke arah Jarum Lanang, membuat si Jarum Lanang melompat ke kiri dan berguling satu kali di tanah, kejap berikutnya ia sudah berdiri lagi dengan tegap.

"Ratu Teluh! Aku harus melawanmu sampai mati untuk menuntut ucapanmu yang membuat Sumping Rengganis menjadi seekor serigala!" teriak Jarum Lanang dengan garangnya.

Ratu Teluh Bumi tenang-tenang saja. Tapi segera ia tarik napas dan menahan napasnya itu sambil berucap kata,

"Kalau begitu, kau pun layak menjadi seekor tikus sebagai calon santapan serigala itu, Jarum Lanang!" Blarrr... !

Petir kembali terkejut. Kilatan cahaya peraknya membakar langit. Dan seketika itu tubuh tegap Jarum Lanang pun lenyap. Yang ada hanyalah seekor tikus wirok berwarna abu-abu. Mencicit hendak menggigit kaki Ratu Teluh Bumi. Tapi dengan cepat kaki itu menendang dan tikus wirok itu pun terpental sambil serukan cicit yang menjerit. Kemudian tikus itu pun pergi dengan berlari bagai keberatan ekornya yang panjang. Gerakan tikus berlari ketakutan itu membuat Ratu Teluh Bumi menjadi tertawa kegelian untuk yang kedua kalinya.

Hati Ratu Teluh Bumi semakin besar, ia telah memiliki ilmu ampuh yang sangat jarang dimiliki oleh para tokoh di dunia persilatan baik dari kalangan tokoh tua maupun tokoh muda. Bahkan dalam hatinya Ratu Teluh Bumi berucap kata,

"Mana Dayang Kesumat? Mana Suto Sinting itu? Biar kukutuk mereka dengan ilmu 'Sabda Iblis'-ku untuk menjadi seekor cacing! Biar mudah bagi siapa saja yang ingin membunuhnyal Ha ha ha ha...I"

Sambil tertawa Ratu Teluh Bumi pun melanjutkan langkahnya. Arah tujuan tetap ke Kerajaan Jenggala yang sudah cukup lama ditinggalkan.

Ketika ia melintasi sebuh desa, dan menemukan kedai, Ratu Teluh Bumi sempatkan diri untuk mengisi perutnya dan membasahi tenggorokannya. Namun baru saja ia ingin masuk ke kedai itu, tiba-tiba ia melihat sosok Prahasto dan seorang lagi yang cukup dikenalnya, yaitu Rakawuni.

Tanpa setahu mereka, Ratu Teluh Bumi berada di balik tenda penutup panas dari bahan kain kumal. Dari balik tenda penutup itu Ratu Teluh Bumi mendengar percakapan Prahasto dengan Rakawuni,

"Jadi, Dayang Kesumat sudah bertemu denganmu dan mengatakan bahwa Ratu Teluh Bumi telah dibunuhnya?"

"Ya. Dayang Kesumat bilang, Ratu Teluh Bumi jatuh ke jurang dan bilamana perlu kita disuruh mencarinya sendiri! Maksudku, mencari bangkai si Ratu Teluh kampret itu! Ha ha ha ha...!"

"Bagus-bagus...! Rupanya kau layak menjadi prajurit sandi praja! Nanti akan kuusulkan kepada senopati untuk mengangkatmu menjadi prajurit sandi praja, dan akan kuceritakan kepada beliau, bagaimana kau punya akal untuk membunuh Ratu Teluh Bumi!"

"Aku tak keberatan, Rakawuni! Dan ceritakan pula kepada sang Senopati, bahwa Ratu Teluh Bumi yang berilmu tinggi itu akhirnya mati dalam tugasku. Kalau aku tidak melakukan adu domba begitu, aku tak akan sanggup membunuh Ratu Teluh Bumi. Ha ha ha...!"

Dari tempatnya berdiri, Ratu Teluh Bumi segera sadar bahwa ternyata selama ini ia telah diadu domba untuk bertarung melawan Dayang Kesumat. Dan ternyata pula Prahasto itu adalah orang Jenggala yang ditugaskan untuk membunuhnya. Maka, Ratu Teluh Bumi pun mengencangkan kedua tangannya, menggenggam kuat-kuat sambil menggeram lirih, "Jahanam! Licik dia!"

***6

SENGAJA Ratu Teluh Bumi menghadang di tikungan jalan sepi. Dadanya sudah megap-megap mau jebol menahan amarah kepada Prahasto. Yang membuatnya menyesal adalah kebodohannya sendiri. Ratu Teluh Bumi menjadi merasa sangat bodoh, karena sudah berusia lima puluh tahun tapi masih bisa diadu domba oleh anak berusia sekitar dua puluh lima tahun. Sungguh sangat memalukan dan menjengkelkan. Dan yang membuatnya lebih berang lagi adalah, bahwa ternyata Prahasto adalah orang Jenggala yang ditugaskan membunuhnya. Ini sungguh suatu tantangan yang mendidihkan darah Ratu Teluh Bumi.

Tak lama kemudian terlihatlah dua orang melangkah seiring sambil sesekali tertawa. Mereka itu adalah Rakawuni dan Prahasto. Melihat tawa Prahasto, jantung Ratu Teluh Bumi bagaikan dirogoh dengan paksa dan ingin meledak dalam remasan dendam. Sebetulnya sejak di kedai itu Ratu Teluh Bumi sudah ingin melampiaskan marahnya. Tapi ia tak ingin banyak orang tahu tentang kebodohannya yang telah berhasil diadu domba oleh Prahasto. Karenanya ia memilih menghadang mereka berdua di tikungan jalan sepi itu.

Sengaja Ratu Teluh Bumi tidak menegur mereka dan tetap berdiri di bawah pohon rindang dengan punggung bersandar pada batang pohon. Kedua tangannya bersidekap di dada, tapi matanya tetap mengawasi langkah kedua orang itu.

Tiba-tiba langkah Rakawuni terhenti setelah ia memandang ke arah samping. Maksudnya ingin bicara kepada Prahasto sambil memandang yang diajak bicara, tapi matanya menembus pemandangan seberang sehingga tertangkaplah sosok Ratu Teluh Bumi oleh pandangan mata Rakawuni.

Prahasto heran melihat Rakawuni berhenti dengan mata terbelalak. Kemudian ia bertanya, "Ada apa, Rakawuni? Kau seperti melihat setan saja?!"

Rakawuni memang tidak menjawab, tapi Prahasto segera palingkan wajah ke arah seberang dan ia pun menjadi terkejut melihat Ratu Teluh Bumi berdiri tenang di bawah pohon. Prahasto segera bergumam dengan nada penuh keheranan,

"Dayang Kesumat bilang dia sudah mati?!"
"Lalu, siapa yang di sana itu? Apakah arwahnya Ratu Teluh Bumi?"
"Hm...! Rakawuni, jagailah aku! Aku akan mendekatinya!"

"Baik! Aku pun sudah telanjur dipergoki olehnya sedang bersama kamu. Pasti dia tahu bahwa kamu adalah orang utusan dari Jenggala! Kita hadapi bersama saja apa yang ingin ia lakukan terhadap diri kita, Prahasto!"

Kemudian mereka berdua segera menghampiri Ratu Teluh Bumi. Perempuan itu tetap tenang saja. Sebab ia tahu, dalam sekejap ia bisa mengutuk mereka berdua sekehendak hatinya.

"Ratu Teluh...?!" Benarkah kau Ratu Teluh Bumi?" Prahasto berlagak heran dan cemas.
"Aku Ratu Teluh Bumi!" jawab perempuan itu.
"Oh, syukurlah kalau kau masih selamat! Bagaimana dengan Dayang Kesumat? Sudah berhasil kau bunuh?"

"Dayang Kesumat juga selamat. Sebentar lagi dia menemuimu, dia ingin kasih upah padamu, yaitu siksaan yang membuatmu menderita seumur hidup. Tapi sebelum itu, aku yang berhak menyiksamu lebih dulu!" Ratu Teluh Bumi bicara dengan tenang walau dadanya bergemuruh hebat. Sementara itu, Rakawuni memandang dengan penuh waspada. Bahkan kali ini dia ikut angkat bicara menegur Ratu Teluh Bumi,

"Lama kita tidak jumpa, Ajeng Prawesti!"
"Ya, dan sekali jumpa kita akan saling bunuh, Rakawuni!"
"Kenapa begitu? Kita dulu sahabat baik, Ajeng!"

"Dulu memang sahabat, tapi sejak kau ikut memberontak menggulingkan kekuasaan ayahku, kau sudah bukan lagi sahabat, melainkan musuh bagi diriku, Rakawuni!"

"Ah, itu urusan negara! Jangan campur adukkan urusan negara dengan persahabatan, Ratu Teluh Bumi!" kata Rakawuni berusaha untuk tidak tampakkan permusuhan. Tapi agaknya Ajeng Prawesti tak bisa menahan sikap permusuhan itu, bahkan dengan ketusnya ia berkata,

"Kalian mau maju bersama atau satu persatu?!"

Prahasto menyahut, "Hei, apa-apaan ini? Maksudmu bagaimana, Ratu Teluh Bumi?"

"Jangan berpura-pura bodoh, Prahasto!" geram Ratu Teluh, kini ia berdiri tegak, tanpa bersandar di pohon itu. Lanjutnya lagi,

"Aku sudah tahu semua kedok yang kau pakai! Kau orang Jenggala, prajurit sandi yang bertugas membunuhku! Tapi kau tak mampu tandingi ilmuku, sehingga kau mengadu domba antara aku dengan Dayang Kesumat!"

Prahasto ingin ajukan sanggahan tapi ia tak bisa melakukan, karena ia tak punya alasan lain untuk menutupi kenyataan dirinya. Akhirnya Prahasto pun berkata,

"Ya, memang aku orang Jenggala! Tapi aku cukup puas bisa mengadu domba kamu dengan Dayang Kesumat! Hanya saja aku tidak tahu, mengapa Dayang Kesumat mengatakan bahwa kau telah dibunuhnya dan dilemparkan ke jurang!"

"Dayang Kesumat tidak tahu kalau aku orang sakti yang melebihi dirinya! Bahkan dalam waktu sekejap akan kuhabisi orang-orang Jenggala, dan akan kurebut kembali takhta kerajaan yang menjadi warisan leluhurku itu!"

"Jaga bicaramu, Ratu Teluh!" geram Prahasto dengan nada mengancam, ia pun mundur dua tindak untuk bersiap melakukan serangan. Tapi pada saat itu, Ratu Teluh Bumi menarik napas dan menahannya, lalu ia berkata kepada Prahasto,

"Jangan berlagak pahlawan di depanku, Prahasto! Kau bukan seorang pahlawan, melainkan seekor ular berkepala dua!"
Zlappp...! Blarrr...!

Bukan Rakawuni saja yang terkejut, tapi sang petir juga ikut kaget. Tubuh Prahasto seketika itu berubah wujud menjadi seekor ular hitam berkepala dua. Rakawuni sempat melompat karena kagetnya, dan ular berkepala dua itu menggelosor-gelosor dengan lemas, bagai menangisi perubahan wujud dirinya. Ular itu sebesar jempol kaki orang dewasa. Panjangnya kira-kira satu tombak.

"Gila kau, Ajeng!" gumam Rakawuni bernada gemas. Setelah lama pandangi ular itu, ia segera menatap mata Ratu Teluh Bumi yang sering dipanggilnya Ajeng Prawesti. Rakawuni berkata,

"Kejam sekali kau, Ajeng! Ilmumu cukup tinggi, itu kuakui! Tapi kau menjadi manusia berhati binatang jika begini caranya!"

"Ya, daripada kamu binatang yang berpura-pura menjadi manusia! Bagaimanapun juga ia tetap binatang! Kau sama juga dengan Prahasto! Rupanya kau pun lebih bagus jika kukutuk menjad...."

Wuttt...! Prokk...!

Sebelum Ratu Teluh Bumi ucapkan kutuknya, kaki Rakawuni sudah lebih dulu menyerang dengan satu tendangan kuat. Tendangan itu berkelebat cepat dan tak disangka-sangka datangnya. Tepat mengenai mulut Ratu Teluh Bumi, membuat perempuan itu tersentak mundur dan menggeloyor hampir jatuh. Untung tangannya segera memegang batang pohon sehinggga tubuhnya tak sempat jatuh.

Sementara itu, ular berkepala dua jelmaan dari Prahasto itu seperti mengalami ketakutan. Ular itu bergerak cepat melarikan diri masuk ke semak-semak dan menghilang di sana.

"Ucapan Ajeng sangat berbahaya!" kata Rakawuni dalam hatinya. "Jadi sebaiknya yang kucecar adalah mulutnya, dan jangan kasih kesempatan dia untuk bicara!"

Wutt...! Tubuh Rakawuni cepat melompat dan dalam sekejap sudah berada di depan Ratu Teluh Bumi. Ia sedikit melompat dan menendang dalam satu putaran tubuh cepat. Wuesss...! Plokk...!

Ratu Teluh Bumi kembali terkena tendangan putar dari kaki Rakawuni. Wajah yang terkena tendangan itu tersentak ke samping kiri dan tubuhnya pun terlempar ke kiri. Ia jatuh tersungkur dalam keadaan berdarah mulutnya. Rakawuni masih mencecarnya lagi dengan sebuah pukulan bertenaga dalam dari jarak jauh. Wussttt..!

Segera tangan Ratu Teluh Bumi berkelebat melihat sinar putih terlepas dari telapak tangan Rakawuni. Kelebatan sebuah tangan Ratu Teluh Bumi itu memancarkan cahaya hijau terang, dan membentur cahaya putih tersebut. Blarrr...!

Gelombang ledakan terjadi dalam jarak dua jangkauan tangan dari depan Ratu Teluh Bumi. Akibatnya Ratu Teluh Bumi tersentak lagi dan terguling- guling di tanah, sementara Rakawuni hanya mundur dua tindak akibat hempasan angin gelombang panas itu.

"Aku harus kabur!" tiba-tiba hati Rakawuni berkata demikian. "Kalau aku tidak melarikan diri untuk pulang ke Jenggala, maka tak ada orang yang tahu bahwa Ratu Teluh Bumi atau Ajeng Prawesti akan menyerang istana dan merebut kekuasan sang Prabu! Aku yakin, Ajeng Prawesti akan berhasil memporak-porandakan Jenggala dengan ilmu kutuknya yang cukup tinggi dan berbahaya itu! Maka, selagi ia kesakitan, aku harus cepat-cepat melarikan diri pulang ke Jenggala...!"

Rakawuni bertindak penuh perhitungan, ia cepat melesat pergi tinggalkan Ratu Teluh Bumi. Sebenarnya bisa saja ia menyerang perempuan itu lagi. Tapi perhitungan dia, jika serangan itu meleset dan Ratu Teluh Bumi melepaskan kutuknya, maka tak akan ada orang yang melaporkan keadaan Ajeng Prawesti dan bahaya yang mengancam Jenggala.

Melihat Rakawuni kabur, Ratu Teluh Bumi segera tahan napas dan berseru keras-keras,

"Rakawuni...! Ingat, Jenggala akan hancur dalam waktu singkat!"

Rakawuni tidak melayani seruan itu. Ia terus saja melarikan diri. Tapi Ratu Teluh Bumi masih penasaran walau ia telah lepaskan kutukannya itu. Ia pun bergegas dan berkelebat mengejar Rakawuni. Ia pun punya perhitungan bahwa Rakawuni akan menyebar kabar tentang rencana penyerangannya. Jika rencana kedatangannya ke Jenggala sudah diketahui penguasa setempat, maka setidaknya Ratu Teluh Bumi akan menghadapi banyak perintang. Untuk memperlancar rencananya, Rakawuni harus dibunuh lebih dulu. Itulah sebabnya ia harus bisa mengejar dan menangkap Rakawuni.

Hanya beda beberapa saat saja, Siluman Tujuh Nyawa tiba di tempat itu setelah Ratu Teluh Bumi mengejar Rakawuni. Siluman Tujuh Nyawa datang dari semak belukar dan tidak tahu bahwa di bawah pohon itu beberapa saat yang lalu berdiri orang yang dikejarnya. Mata dingin itu memandang sekeliling sambil menggeram dalam hati. Lalu, batinnya pun mengucap kata,

"Ke mana aku harus mencarinya? Ingin rasanya aku segera menemukan dia dan membeset-beset kulit tubuhnya! Tapi perempuan itu termasuk licin seperti belut! Hmm...! Sebaiknya kucari dia ke utara sana, siapa tahu dia tinggal di perkampungan itu!"

Siluman Tujuh Nyawa mencari berlawanan arah lagi, ia justru menuju ke perkampungan, tempat di mana ada sebuah kedai besar yang tadi dipakai makan oleh Rakawuni dan Prahasto. Namun ketika ia tiba di perbatasan desa, mendadak langkahnya terhenti dan ia harus melesat ke suatu gugusan tanah untuk sembunyikan diri.

Ia melihat seorang pemuda berjalan tinggalkan desa itu. Pemuda tersebut berpakaian baju coklat tanpa lengan dan celana putih. Pemuda itu menyandang bumbung tuak di punggungnya dan rambutnya panjang meriap tanpa diikat. Siluman Tujuh Nyawa mengenali betul wajah tampan pemuda itu, yang tak lain adalah si Pendekar Mabuk, Suto Sinting. Pemuda itulah yang memburunya selama ini dan membuat Siluman Tujuh Nyawa bersembunyi di Jurang Petaka.

Agaknya Pendekar Mabuk baru saja mengisi perutnya di kedai tersebut, ia juga mengisi penuh bumbung tuaknya yang tak pernah ketinggalan selalu ada di sebelah kirinya itu. Tetapi ketika Suto melewati gugusan tanah yang membentuk gundukan bukit kecil itu, tiba- tiba langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang tak beres dirasakan oleh firasatnya, ia mencium darah amis. Bau amis darah itu sangat samar-samar, dan ia tandai sebagai keadaan yang tak seberapa jauh dari tokoh sesat yang tangannya berlumur darah orang tak berdosa itu.

"Sepertinya dia ada di sekitar sini?" pikir Suto. Kemudian ia mengusap keningnya dengan tangan kiri.

Slapp...! Keningnya itu mempunyai tanda merah kecil, pemberian Gusti Ratu Kartika Wangi dari alam gaib. Jika diusap memakai tangan kiri, maka Suto bisa melihat kehidupan di alam gaib. Apa yang tak tampak di mata orang awam akan tampak di mata Suto Sinting.

Tetapi Suto tetap tidak menemukan sosok manusia sesat yang diburunya. Hanya saja, sebuah cahaya terlihat membias dari balik gundukan tanah sebesar gajah bergandeng dua itu. Cahaya itu berwarna merah ber- pendar-pendar. Suto pandangi cukup lama gundukan tanah yang bagai menyembunyikan cahaya merah itu.

"Cahaya merah, jelas cahaya kemaksiatan dan kekuatan ilmu hitam," pikirnya. "Jika tidak dilihat dengan mata gaib, maka cahaya merah itu tidak akan kelihatan oleh mata biasa. Jika di balik gundukan tanah itu ada cahaya merah, berarti di sana ada kekuatan ilmu hitam yang cukup besar. Hmmm...! Apa yang ada di balik gundukan tanah itu sebaiknya kupaksa keluar saja dia...!" Maka serta-merta Pendekar Mabuk sentakkan tangannya ke depan dan melesatlah sinar hijau mirip piringan bergerigi. Sinar hijau itulah yang dinamakan sinar 'Pecah Raga' yang biasnya jika mengenai lawan, maka tubuh lawan bisa pecah menjadi serpihan-serpihan kecil. Kali ini sinar hijau itu dihantamkan pada gundukan tanah tersebut. Tanah cadas itu pun pecah dalam satu dentuman menggelegar. Blarrr...! Brrasss...!

Gundukan tanah cadas yang begitu besarnya pecah seketika, serpihan tanahnya menyembur ke segala arah. Bahkan sampai setinggi pohon kelapa tanah itu menyembur naik. Dan dari pecahan cadas itu muncul sekelebat bayangan hitam yang melompat tinggalkan tempat. Bayangan hitam itu berlari cepat bagaikan angin setan. Tapi Suto pun segera mengejarnya dengan kecepatan lebih tinggi lagi, sehingga dalam waktu singkat, Suto sudah menghadang di depan Siluman Tujuh Nyawa. Wujud Suto sudah bisa tampak di mata telanjang, karena ia sudah mengusap kembali keningnya dengan tangan kanan, itu artinya ia menampakkan diri.

Tujuh langkah sebelum mencapai Suto, orang berkerudung hitam yang menggenggam pusaka El Maut itu menghentikan langkahnya. Pendekar Mabuk memandang tajam wajah dingin itu, dan wajah dingin itu juga menatap lebih dingin lagi.

"Kau tak akan bisa lari lagi, Durmata Sanca!" kata Suto Sinting dengan suara tenang.

Durmala Sanca membalas, "Kau menyerahkan nyawa, Pendekar Mabuk! Jangan menyesal kalau saat ini adalah saat terakhirmu menghirup udara di permukaan bumi!"

"Aku tak akan menyesal! Tapi pastikanlah dirimu untuk tidak lari lagi dari hadapanku, Durmala Sanca!"
"Aku tak akan lari darimu! Ini pertemuan kita yang terakhir! Aku sudah cukup kuat dan bisa kalahkan luka yang kudapat darimu!"
"Bagus! Aku pun sudah lama menunggu saat-saat seperti ini, Durmala Sanca!"

Tangan Siluman Tujuh Nyawa mulai meremas tongkatnya sendiri. Pendekar Mabuk merasa ada yang meremas jantungnya. Mulai terasa sesak pernapasannya. Tetapi Suto tahu, gerakan tangan meremas tongkat itu adalah kekuatan tenaga dalam yang disalurkan lewat mata dan menembus ke mata Suto, lalu meremas kuat jantungnya agar pecah.

Suto pun kerahkan tenaga dalamnya, membuat jari tangannya berkuku terang. Kuku itu menyala merah membara, lalu Suto sentilkan jari tengah itu dengan satu sentakan pelan. Tess... Sentakan pelan itu melepaskan kekuatan tenaga dalam yang bernama jurus 'Lintang Kesumat'. Kekuatan dahsyat dari sentilan itu mengenai punggung tangan Durmala Sanca. Crasss...!

Punggung tangan yang memegangi tongkat itu pun robek dan berdarah, seperti habis terbacok ujung clurit. Maka genggaman tangan itu melemah, bahkan tongkat tersebut hampir terlepas jika tidak segera berpindah ke tangan yang kiri.

Siluman Tujuh Nyawa segera kibaskan tangan yang berdarah, ia merasakan sakit, tapi wajahnya tetap kaku dan dingin, tanpa menampakkan perubahan wajah yang kesakitan. Luka-luka itu segera dijilatnya. Slappp...!

Dalam waktu kurang dari satu helaan napas, luka di punggung tangannya itu telah merapat kembali, menjadi kering dan menjadi seperti semula.
Keduanya masih sama-sama berdiri dengan kedua kaki merenggang. Suto tampak lebih tegap karena dadanya terbusung kekar. Mereka sama-sama saling membungkam mulut, tapi sebenarnya saling melepaskan serangan dan saling tangkis.

Tiba-tiba dari mata Siluman Tujuh Nyawa pancarkan selarik sinar merah seperti lidi yang melesat ke dada Pendekar Mabuk. Tetapi sebelum sinar itu mengenai dadanya, Pendekar Mabuk telah lebih dulu menggerakkan bumbung tuaknya maju ke depan dada. Akibatnya sinar merah itu menghantam bumbung tuak dari bambu itu. Trass...! Clappp...!

Sinar itu membelok arah, membentuk sudut kecil dan membalik ke dada Siluman Tujuh Nyawa. Dengan cepat Siluman Tujuh Nyawa menghadang sinar yang membalik itu dengan tongkatnya. Gagang tongkat itu menjadi sasaran ujung sinar yang masih seperti lidi. Clapp...! Sinar itu juga membelok membentuk sudut kecil dan mengarah ke perut Pendekar Mabuk. Melihat gerakan sinar yang tidak bisa ditangkis lagi dengan bumbung tuak, karena bumbung tuak sedang menahan sinar pertama, maka Pendekar Mabuk cepat-cepat sentakkan tangannya ke perut. Sinar itu ditangkis dengan jari kuku tengahnya yang telah menyala hijau. Sinar sebesar lidi itu membentur kuku jari yang menyala hijau lalu membalik membentuk sudut sedikit lebar. Clappp...!

Kini keadaan sinar itu seperti rentangan benang ke sana-sini membentuk huruf 'M' dalam keadaan miring. Dan pembalikan sinar dari jari tangan Suto itu tidak sempat ditangkis lagi oleh Siluman Tujuh Nyawa. Sinar itu tepat mengenai pahanya. Crasss...!

"Ahg...!" Siluman Tujuh Nyawa terpekik. Sinar dari matanya padam seketika. Dengan begitu, padam pula semua sinar yang bersimpang siur tadi. Tapi keadaan paha Siluman Tujuh Nyawa cukup parah. Luka pada paha itu tembus ke belakang dihantam sinar merahnya sendiri. Paha itu berlubang dan mengucurkan darah. Lubang tembusan sinar merah itu sebesar tutup botol. Siluman Tujuh Nyawa menjadi samar-samar biru wajahnya. Matanya makin mendelik tak bisa berkedip.

Pendekar Mabuk segera lepaskan pukulan jurus 'Manggala'-nya. Tapi sebelum hal itu terjadi, zlappp...! Tubuh Siluman Tujuh Nyawa menghilang, ia lari melalui sisi alam gaib. Suto Sinting penasaran dan segera menghilang pula dengan mengusapkan tangannya ke kening. Zlapp...! Di alam gaib itu ia mengejar Siluman Tujuh Nyawa yang jelas sudah terluka cukup parah.


SATU keunggulan yang dimiliki Siluman Tujuh Nyawa adalah pandai melarikan diri dan bersembunyi. Pendekar Mabuk mengakui keunggulan itu. Karena setiap kali ia mengejar Siluman Tujuh Nyawa, ia selalu kehilangan jejak orang sesat itu. Padahal Suto sudah mengejarnya sampai ke alam gaib, tapi masih saja Siluman Tujuh Nyawa berhasil loloskan diri dari pengejaran tersebut.

"Sial! Lolos lagi dial" geram Pendekar Mabuk, yang segera meneguk tuaknya untuk mengobati kekecewaan hatinya itu.

Tiga teguk tuak ditelan Suto Sinting. Kepalanya yang mendongak untuk menerima tuangan air tuak itu kini kembali tegak. Dan ia sangat terkejut melihat tiba-tiba ada seorang perempuan cantik berdiri di depannya dalam jarak delapan langkah. Suto kerutkan dahi sebentar, mengingat-ingat seraut wajah cantik yang sepertinya pernah dijumpainya. Kemudian ingatannya kembali melayang pada peristiwa di Pulau Padang Peluh (Baca serial Pendekar Mabuk, dalam episode: "Cermin Pemburu Nyawa"). Dan Suto pun segera ingat, bahwa perempuan itu adalah Dayang Kesumat, tokoh sesat dari Pulau Hantu yang juga menjadi lawan bagi bibi gurunya, yaitu Bidadari Jalang.

Pendekar Mabuk tahu, bahwa Dayang Kesumat seperti orang yang baru lahir kembali ke dunia. Dulu, perempuan cantik itu adalah seorang nenek peot, bungkuk, dan bersenjatakan tongkat berkepala tengkorak kambing. Suto pernah adu kesaktian dengan Dayang Kesumat ketika perempuan itu menjadi nenek kempot, guru dari Peri Malam. (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Darah Asmara Gila").

Ketika itu, Dayang Kesumat memakai nama Mawar Hitam. Dan ia selalu saja menyelamatkan orang berilmu tinggi yang nyaris mati. Ia bawa ke Pulau Hantu, dan di sana rupanya ia melakukan sesuatu yang sangat luar biasa. Mawar Hitam berhasil menyerap semua ilmu orang-orang sakti itu dengan menggunakan Ilmu 'Serap Kawekas', sehingga seluruh kesaktian orang-orang yang ditolongnya dari suatu pertarungan itu menjadi miliknya.

Dan Mawar Hitam pun berhasil mempelajari ilmu 'Rias Renggana', yang bisa menyedot kecantikan beberapa orang, sehingga dirinya menjadi muda dan cantik. Dalam keadaan diri sudah berubah cantik dan muda itulah, si Mawar Hitam pun mengubah namanya menjadi Dayang Kesumat.

Satu hal yang membuat Suto selalu ingat dan bisa mengetahui bahwa perempuan cantik itu adalah Mawar Hitam, yaitu melalui percakapannya. Dayang Kesumat tidak bisa bilang 'R', dan hal itu terjadi sejak Dayang Kesumat masih menjadi sosok si Mawar Hitam. Dialah satu-satunya tokoh sakti yang cadel.

Kali ini Pendekar Mabuk merasa heran, mengapa Dayang Kesumat menemui dirinya seperti suatu pertemuan yang disengaja. Karena itu, setelah menghampiri perempuan cantik itu, Suto pun segera ajukan tanya,

"Sepertinya kau sengaja menemuiku, Dayang Kesumat? Ada apa?"
"Aku tidak sengaja menemuimu. Tapi begitu kulihat kau ada di sini, aku jadi punya gagasan lain, sehingga aku pun menemuimu, Suto!"
"Untuk apa?"
"Aku kehilangan pusaka Gelang Mata Setan, sehingga aku tidak bisa melihat di mana gulumu belada."
"O, kau ingin temui guruku si Gila Tuak?"
"Bukan si Gila Tuak! Aku ingin temui Bidadali Jalang!"
"O, kau ingin ketemu Bibi Guru Bidadari Jalang?"
"Ya! Tolong kasih tahu di mana dia belsinggah asingkan dili?"

Suto tidak mau sembarangan memberikan tempat tinggal Bidadari Jalang. Bagaimanapun juga, Bidadari Jalang adalah guru Suto juga (Baca serial Pendekar Mabuk dalam episode: "Bocah Tanpa Pusar"). Sekalipun dulu Bidadari Jalang bekas tokoh sesat, tapi sejak dia angkat murid Suto Sinting bersama-sama si Gila Tuak yang menjadi saudara seperguruan itu, Bidadari Jalang mulai insaf dan tak mau leburkan diri dalam kesesatan lagi. Ia ingin menjadi seorang pertapa untuk menebus dosa-dosanya yang selama ini dilakukan dengan sangat sengaja.

Si Gila Tuak, saudara seperguruan Bidadari Jalang itu, selalu membimbing dan mengawasi sikap Bidadari Jalang. Si Gila Tuak sengaja kasih kesibukan Bidadari Jalang untuk pelajari ilmu 'Kasampurnan Urip', sehingga Bidadari Jalang benar-benar meninggalkan segala tindak kemaksiatannya. Tekadnya adalah menjadi pertapa suci jika ia telah berhasil melebur dosa-dosanya selama ini.

Sebagai murid, Pendekar Mabuk perlu curigai maksud pertanyaan Dayang Kesumat itu, sehingga ia pun segera ajukan tanya,

"Apa maksudmu mencari bibi guruku, Dayang Kesumat?!"
"Sudah saatnya aku membalas dendamku kepada dia, Suto!"

Terkesiap mata Pendekar Mabuk mendengar jawaban polos seenaknya itu. Terlalu sembrono Dayang Kesumat berkata menurut Suto. Karenanya Pendekar Mabuk pun segera berkata,

"Jadi kau ingin balas dendam dan membunuh bibi guruku?"
"Betul!"
"Itu sulit, Dayang Kesumat!" Suto sunggingkan senyum tipis.
"Mengapa sulit?"

"Seperti kau ketahui, Bidadari Jalang punya murid, tentunya muridnya tidak akan rela jika gurunya dibunuh orang seenaknya saja! Jadi sebaiknya kau harus bunuh dulu muridnya, baru kau temui gurunya dan lawanlah gurunya!"

Dayang Kesumat tertawa pelan bernada meremehkan. "Itu altinya aku halus membunuhmu dulu, Suto!"

"Kurasa memang sebaiknya begitu, Dayang Kesumat," jawab Suto dengan tenang, sepertinya tidak merasa dalam ancaman maut perempuan sakti itu.

"Sayang sekali kalau wajah tampanmu mati di tanganku, Suto!"
"Lebih sayang lagi kalau wajah cantikmu berubah menjadi tua dan kempot seperti saat kau dalam wujud si Mawar Hitam!"
"Suto...!" sentak Dayang Kesumat dengan mata tegas dan tajam. Rupanya ia mulai tersinggung jika ada yang membicarakan masa lalunya.
"Sekali lagi kau bicala sepelti itu, kuhabisi nyawamu saat itu juga!" ancamnya dengan sungguh-sungguh, tapi Suto menertawakannya.

"Kalau kau tersinggung, kau tak usah mengancamku segala, Dayang Kesumat! Kalau kau memang berani melabrak bibi guruku, kau harus berani menghadapiku!"

"Tak ada yang membuatku tak belani menghadapimu, Suto Sinting! Sekalipun dulu kau pelnah menolongku, menyelamatkan lukaku akibat setangan dali si Tua Lakus di Pulau Padang Peluh, tapi semua itu kuanggap tidak pelnah teljadi. Buatku tak ada balas budi. Sekali aku beltekad membunuh olang, tak peduli olang itu punya kebaikan padaku atau tidak, maka olang itu tetap halus kubunuh!"

"Aku tak menuntut balas jasa dari perbuatanku tempo hari! Aku pun sudah lupa, dan tak pernah ingat-ingat tentang kebaikanku! Yang kuingat hanyalah, pembelaan terhadap Guru!"

"Gulumu itu olang sesat dan jahat! Untuk apa kau bela?!"

"Kau sendiri apakah orang baik-baik, Dayang Kesumat?!" balas Suto Sinting sambil tersenyum kalem. "Membela orang yang ingin bertobat dari kesesatan hidupnya di masa lalu itu adalah hal yang baik, daripada membela orang sesat yang tidak pernah mau bertobat seperti dirimu, Dayang Kesumat!"

"Bocah kemalin sole sudah belani gului aku, kamu ya?! Lupanya kau memang pellu dikasih pelajalan bial tahu adat, Suto! Hihh...!"

Dayang Kesumat segera mencengkeram jari telunjuknya sendiri, itu pertanda Dayang Kesumat mencengkeram 'seekor burung' peliharaan Suto. Namun dengan cepat Pendekar Mabuk sentakkan napasnya dan tertahan beberapa saat, sehingga ia masih tetap bisa tersenyum dan berdiri dengan tenang, sementara itu Dayang Kesumat kerutkan dahi dengan wajah heran. Jari telunjuk itu diremas-remas, bahkan dipelintirnya sendiri dengan ibu jari. Tapi Dayang Kesumat seperti tidak menemukan apa-apa yang dicari.

Suto bahkan bertanya dengan nada geli, "Apa yang kau cari, Dayang Kesumat?!!"

Perempuan itu belum mau menjawab, tapi masih mencari-cari lewat jari telunjuknya yang diremas-remas. Kejap berikutnya Dayang Kesumat berucap kata pelan seperti bicara pada dirinya sendiri.

"Tak ada...?! Apakah... apakah kau memang tak punya?"

Semakin geli Suto Sinting menghadapi tingkah perempuan cantik yang agaknya punya kegemaran meremas-remas 'peliharaan' orang itu. Lalu, Pendekar Mabuk pun berkata,

"Kau tak akan temukan apa yang kau cari, Nyai Mawar Hitam! Aku telah menariknya ke dalam dan tak akan bisa dijamah oleh siapa pun!"
"Jahanam!" geram Dayang Kesumat antara malu dan jengkel. Maka, segera ia meremas jari kelingkingnya, itu pertanda Dayang Kesumat mencekik leher Pendekar Mabuk.

Segera Pendekar Mabuk menahan napasnya dan Dayang Kesumat bagai mencekik tempat kosong. Dalam bayangan batin tangannya menggapai-gapai leher Suto, namun tidak pernah sampai pada tujuan, karena ada hawa yang membatasi dan membuat tangan tak bisa menembusnya.

"Setan!" geram Dayang Kesumat, lalu cepat-cepat ia meremas jari tengahnya. Terasa ia meremas tempat kosong juga. Tak bisa menyentuh bagian perut Pendekar Mabuk. Dan ia meremas jempol tangannya sendiri. Itulah remasan untuk jantung. Tapi ia kembali tidak menemukan sesuatu dalam bayangan batinnya. Jantung itu seakan berpindah tempat. Padahal Suto Sinting melapisi tubuhnya dengan tahanan napas Tuak Setan yang membuat dirinya tidak bisa dijangkau oleh kekuatan batin siapa pun.

"Kau sungguh-sungguh membuatku mulka, Suto! Kau pamelkan kehebatan ilmumu di depanku! Sekalang telimalah julus 'Gempul Sukma'! Hiaaah...!"

Prokk...! Dayang Kesumat bertepuk tangan satu kali dengan sentakan kuat. Jurus 'Gempur Sukma' itu bisa membuat lawan pecah kepalanya dalam satu tepukan tangan yang membutuhkan kerahan tenaga dalam sangat besar. Tetapi ternyata Pendekar Mabuk segera menggenggamkan kedua tangannya kuat-kuat, sehingga kekuatan batin itu membalik dan tenaga dalam yang dikerahkan itu mengamuk dalam diri Dayang Kesumat sendiri.

Wengng...! Bruss...! Grusak...!

Tubuh Dayang Kesumat bagai terlempar tinggi-tinggi dan jatuh di sembarang tempat. Kali ini ia jatuh di semak-semak dalam keadaan punggung menyentuh tanah lebih dulu. Tubuh Dayang Kesumat dibanting oleh kekuatan batin dan hawa murninya sendiri. Terasa sakit sekujur tubuhnya, tak mampu ia memekik karena napas terasa menggumpal di ulu hati, kerongkongan terasa mau pecah akibat sentakan balik tenaga dalamnya itu.

Pendekar Mabuk tersenyum, ia cepat ambil bumbung tuaknya dari punggung, kemudian menenggaknya beberapa teguk dengan santai. Glek glek glek...!

Dayang Kesumat bergegas bangkit dengan menahan rasa sakit. Suto Sinting sedikit berkerut dahi melihat wajah Dayang Kesumat menjadi merah kebiru-biruan. Itu pertanda Dayang Kesumat dihajar oleh kekuatannya sendiri hingga babak belur begitu.

"Urungkanlah niatmu, Dayang! Karena jika kau nekat, maka kau akan mati di tanganku!"

Dayang Kesumat menggeram dengan napas terengah- engah. Tapi tiba-tiba Suto Sinting merasakan ada gerakan cepat meluncur dari arah belakangnya. Gerakan cepat itu adalah sesuatu yang akan mengancam bahaya jiwa Pendekar Mabuk. Maka dengan tanpa menoleh ke belakang, Pendekar Mabuk segera kelebatkan bumbung tuaknya ke punggung. Blehkk...!

Tak lama kemudian terdengar suara, crap crap...!

Suto Sinting tersenyum kepada Dayang Kesumat dan berkata,

"Rupanya kau tidak sendirian, Dayang Kesumat!"
"Aku sendilian!"
"Tapi ada yang menyerangku dari belakang!"
Pendekar Mabuk memperlihatkan bumbung tuaknya.

Di bumbung tuak itu terdapat senjata rahasia berbentuk lingkaran bergerigi, bentuknya pipih, menancap kuat di bumbung tuak itu. Warna benda tersebut hitam legam. Pasti dimaksudkan oleh pemiliknya agar benda itu tak terlihat mata jika dilemparkan dari kejauhan. Logam yang dipakainya adalah baja murni dengan mengandung kadar racun yang berbahaya.

"Lihat, temanmu menyerangku dari belakang dengan senjata rahasia ini!" kata Suto kepada Dayang Kesumat. "Rupanya, meskipun kau merasa orang sakti, kau masih suka main keroyokan, Dayang Kesumat!"

"Setan! Jangan melendahkan aku begitu, Suto! Aku bukan olang belwatak pengecut! Tak pelnah aku main keloyokan dalam peltalunganku! Jangan kau bicala seenaknya, Suto!"

"Kalau begitu ada orang lain yang membelamu!"
"Aku tak peduli! Yang penting hadapilah aku, sebagai jalan kematian buat gulumu!"
"Kau masih belum jela... eh, jera?!"
Tiba-tiba dari arah belakang Suto terdengar suara,
"Dayang Kesumat, biarkan aku yang menghadapi dia! Kau beristirahatlah!"

Baik Pendekar Mabuk maupun Dayang Kesumat sama-sama memandang ke arah orang yang berseru dalam jarak sepuluh langkah di belakang Suto itu. Keduanya sama-sama heran karena tidak kenal dengan orang itu. Maka ketika orang itu menghampiri Suto dan berhenti dalam jarak lima langkah, Suto segera bertanya,

"Siapa kau? Dan ada hubungan apa dengan Dayang Kesumat?"
Sedangkan Dayang Kesumat berseru, "Aku tak kenal siapa kamu, untuk apa kamu mau membelaku? Pelgilah sana!"

Orang berbadan tegap dan lumayan tampan itu berkata, "Aku teman dari Prahasto, Dayang. Namaku Rakawuni! Aku salah satu orang yang sering perhatikan dirimu, Dayang Kesumat. Dan aku memendam kebanggaan akan kecantikanmu, ketinggian ilmumu dan caramu bersikap tegas! Tak rela hatiku jika kau dilukai oleh siapa pun, Dayang Kesumat!

Hati Dayang Kesumat menjadi berdebar-debar mendapat pujian seperti itu. Ia tak jadi menggeram dan mengusir orang itu. Tapi Suto tertawa terkekeh-kekeh dengan mulut ditutup tangan.

"Wahai, rayuan yang begitu maut, sungguh melebihi sebilah pedang tajam! Dapat untuk memotong sehelai benang kasur!"

"Tutup mulutmu! Sudah bukan waktunya kau berhadapan dengan Dayang Kesumat, tapi hadapilah aku, Rakawuni dari Jenggala!" ujar Rakawuni dengan beraninya.

Rupanya dalam pelariannya menuju Jenggala, ia sempat bertemu Dayang Kesumat dan Suto Sinting. Sejak ia bertemu dan melihat Dayang Kesumat bertarung melawan Prahasto, hatinya mulai tertarik dengan kecantikan dan keindahan tubuh Dayang Kesumat. Bahkan sebelum itu, ia pernah bertemu dengan Dayang Kesumat dalam satu pertemuan tokoh sakti, tapi Dayang Kesumat tak pernah memperhatikan dirinya.

Semakin Rakawuni melihat dari dekat wajah itu, semakin hatinya tertarik. Lalu dia gunakan satu kesempatan baik saat itu untuk menunjukkan rasa bela patinya terhadap Dayang Kesumat, sekalipun ia tahu bahwa Dayang Kesumat sudah berusia banyak. Sikapnya ini mempunyai dua tujuan, pertama memiliki kecantikan Dayang Kesumat dan kedua berlindung dari kejaran Ratu Teluh Bumi di balik Dayang Kesumat. Rakawuni pun segera lepaskan serangan kepada Pendekar Mabuk berupa pukulan jarak jauh tanpa sinar. Wukk...! Suto Sinting segera melesat naik dengan satu sentakan kaki. Ia menghindari pukulan jarak jauh itu. Akibatnya, Dayang Kesumat yang di belakangnya menjadi terpental melayang ke belakang karena terkena pukulan yang dihindari Suto itu.

Buhgg...! Bruss...! Dayang Kesumat kembali terpelanting jatuh di semak-semak yang tadi. Ia menjadi geram kepada Rakawuni dan Rakawuni menjadi terbengong menyesal.

"Jahanam kau, Iblis!" bentak Dayang Kesumat yang merasa seperti dipermainkan oleh Rakawuni.
"Maaf, maafkan aku...! Aku tak sengaja menyerangmu, Dayang!"

Rakawuni menjadi kebingungan sendiri. Tapi segera ia menyerang Suto kembali dengan jurus bersinar merah dari ujung kedua jarinya. Suitt...! Sinar itu melesat, panjangnya satu jengkal dan lebarnya seukuran jari kelingking. Sinar itu menghantam dada Pendekar Mabuk. Tapi dengan cepat bumbung tuak yang masih dengan kuat digenggam Pendekar Mabuk itu dihadangkan ke depan dada. Sinar merah yang mirip tongkat kecil itu menghantam bumbung tuak, dan membalik arah menjadi lebih besar dan lebih cepat bergeraknya. Wutt...!

Duarrr... !

Rakawuni terlempar ke samping dan berguling-guling ketika sinar merahnya dihindari dan menghantam sebongkah batu. Batu itu menjadi pecah, memercik lembut ke segala arah. Rambut Rakawuni menjadi kotor, sementara Pendekar Mabuk sendiri cepat menjauhi percikan yang sudah diperkirakan akan sampai ke dirinya.

"Keparat kau, Kunyuk! Pandai kau kembalikan seranganku! Tapi demi orang yang kukagumi, terimalah jurus 'Gentar Gundala' ini! Hiaaat...!"
Suto buru-buru menghentakkan tangannya memukul bumbung tuaknya. Bumbung tuak itu masih dipakai menancap dua senjata bergerigi. Dan ketika disentakkan, dua senjata bergerigi milik Rakawuni itu melesat cepat ke arah Rakawuni. Zingng, zingng...!

Crass...! Senjata itu dihindari oleh Rakawuni yang tak jadi melepaskan jurus 'Gentar Gundala'-nya. Tetapi gerakannya kurang cepat sehingga lengan kirinya terserempet senjata bergerigi itu, dan koyaklah lengan itu. Brett...! Kain pun robek, darah pun keluar, sedang senjata itu tetap melesat menghantam tempat kosong.

Rakawuni mengerang dengan mata memejam kuat. Lukanya itu kelihatan mengeluarkan busa. Itulah racun yang berbahaya, yang dipasang oleh Rakawuni sendiri pada senjata rahasianya. Suto Sinting tidak segera menyerang Rakawuni, karena dilihatnya Dayang Kesumat telah menghilang. Timbul kecemasan di hati Suto, takut kalau Dayang Kesumat pergi ke persinggahan gurunya, si Gila Tuak, dan memaksa si Gila Tuak untuk menunjukkan tempat pengasingan Bidadari Jalang. Suto tahu bahwa Dayang Kesumat pasti mengetahui tempat tinggal si Gila Tuak, karena dari dulu hingga sekarang, si Gila Tuak tidak pernah berpindah tempat tinggal, yaitu di sebuah gua di balik air terjun yang ada di Jurang Lindu.

"Rakawuni...! Perempuan yang kau bela itu pergi meninggalkanmu! Itu tandanya kamu tidak disukai dan tidak dianggap ada di bumi ini! Pembelaanmu hanya sesuatu yang sia-sia saja! Sebenarnya saat ini bisa saja aku membunuhmu dengan mudah! Tapi sengaja kubiarkan kau hidup, supaya kau bisa menarik hikmah dari peristiwa ini, agar bisa berguna untuk hidupmu di masa mendatang. Aku terpaksa harus pergi juga dan tak akan melayanimu lagi...!"

Zlapp...! Pendekar Mabuk pergi berkelebat. Rakawuni sempat tertegun melihat gerakan Pendekar Mabuk yang begitu cepat, mirip angin setan lewat. Tak sempat mata Rakawuni melihat ke mana dan sampai di mana gerakan lari Suto itu. Sehingga di dalam hati Rakawuni pun berkata,

"Manusia atau setan dia itu sebenarnya?! Melihat gerakan dan perlawanannya dalam menghadapi jurus jarinya Dayang Kesumat, dia pasti lebih tinggi ilmunya dari Dayang Kesumat! Hmm...! Bagaimana jika aku minta bantuan dia untuk menghadapi Ratu Teluh Bumi? Kira-kira apakah dia bersedia kujadikan pembunuh bayaran demi membela rakyat Jenggala?"
*
* * 8

SERAUT wajah bundar berhidung bulat dan mata besar itu tampak kebingungan menghadapi tebasan kapak panjang yang begitu cepatnya. Wajah bundar bertubuh sedikit gemuk dan agak pendek itu cepat melompat dengan satu kali sentakan kaki ke tanah. Wutt...! Dan kapak bergagang panjang itu melesat cepat di bawah kakinya. Andai si mata besar tidak cepat melompat, maka kakinya akan menjadi santapan lezat bagi kapak bergagang panjang.

Orang bersenjata kapak gagang panjang itu menggeram gemas karena pukulannya meleset terus. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam, ia berdiri dengan mata cekungnya yang memandang angker. Tubuhnya yang kurus dibiarkan dihempas angin lereng gunung, membuat rambutnya yang panjang terlepas disapu angin sampai meriap di depan matanya, ia masih menunggu kesempatan menyerang lagi. Orang itu dikenal dengan nama Campak Garang.

"Majulah kalau kau memang masih merasa tangguh di depanku, Mahesa Lola!" ujar Campak Garang kepada
si wajah bulat yang bernama Mahesa Lola itu.

"Jangan merasa menang dulu, Campak Garang! Aku sedang pelajari jurus-jurusmu!"
"Kalau kau mau bertarung, bertarunglah dengan ksatria. Kalau mau pelajari jurus-jurusku, datanglah sebagai muridku!"
"Mana aku sudi menjadi murid pencuri sebusuk kamu!"
"Hei, jaga bicaramu kalau tak ingin kubelah kepalamu, Mahesa!"

"Nyatanya sejak tadi kau tak bisa lakukan angan- anganmu! Mana kau bisa membelah kepala orang sakti seperti aku!" ejek Mahesa Lola semakin tampak masih berani, walau nyalinya sudah ciut sebenarnya.

"Hiaaat...!" Campak Garang melompat bagaikan terbang. Mahesa Lola hanya bersifat menunggu, untuk kemudian segera berguling ke samping dalam satu lompatan. Campak Garang kecele lagi. Kapaknya membelah udara kosong.

Satu kesempatan bagus pada saat itu karena Campak Garang dalam posisi membelakangi Mahesa Lola. Maka segera Mahesa Lola melepaskan pukulan tenaga dalamnya yang tak seberapa besar itu. Wutt...!

Beggh... !

Campak Garang tersentak, namun tak sampai jatuh. Hanya melengkung sedikit tubuhnya, kemudian segera berbalik dengan pandangan mata angkernya. Tiba-tiba tangannya berkelebat dan kapak panjangnya itu terbang dengan cepat ke arah kepala Mahesa Lola.

Mahesa Lola terkesiap melihat kapak begitu cepat melayang ke arahnya, ia baru akan menghindar dengan harapan tipis, tapi tiba-tiba kapak itu berbelok arah dan tahu-tahu menancap ke sebuah pohon. Beloknya arah kapak itu sungguh tidak masuk akal. Kapak yang terbang datar itu tahu-tahu melesat naik dengan sendirinya. Tinggi sekali sampai menancap pada dahan pohon. Dan keadaannya sekarang jelas tak terjangkau lagi oleh pemiliknya. Campak Garang hanya bisa terbengong memandangi kapaknya karena tak tahu bagaimana cara mengambilnya lagi.

Campak Garang yakin ada orang yang membela Mahesa Lola dalam pertarungannya itu. Pembela Mahesa Lola, pasti orang berilmu tinggi. Jika bukan karena kekuatan orang berilmu tinggi, tak mungkin kapak bisa melesat ke atas dan menancap di dahan pohon yang begitu tinggi.

Campak Garang segera menyusuri sekelilingnya dengan pandangan mata cekung yang angker itu. Lalu, ia temukan seraut wajah cantik yang berdiri di belakangnya dengan sikap tenang namun dingin. Campak Garang segera melompat ke samping, dan kini ia bisa memandang antara Mahesa Lola dan sang pembelanya yang berwajah dingin itu.

"Apa yang teljadi, Mahesa Lola?!" tanya orang itu yang agaknya sudah cukup kenal dengan Mahesa Lola.
"Dia pencuri! Dia yang bantu Ratu Teluh Bumi mencuri kitab pusaka milik pamanku, yaitu kakeknya Sumping Rengganis!"
"Aku hanya membantu menunjukkan arah rumah Ki Bayan saja! Bukan ikut mencuri kitab itu, Goblok!" sentak Campak Garang.

"Kalau tidak salah kau yang belnama Campak Galang!" kata Dayang Kesumat. "Aku kenal kau sebagai anggota kawanan Penculi Gua Maksiat! Kau teman Wilduto, bukan?!"

"Aku tidak punya urusan denganmu, Perempuan cadel!"

Terkesiap mata Dayang Kesumat. Marah hatinya dihina seperti itu. Maka dengan cepat ia meremas jari kelingkingnya. Srett...! Dan tiba-tiba Campak Garang mendelik. Kepalanya bergerak-gerak ke belakang dengan kedua tangan memegangi lehernya. Campak Garang tercekik kuat-kuat. Wajahnya menjadi merah. Mulutnya ternganga dengan lidah mulai terjulur keluar. Bahkan sekarang tubuhnya terangkat, kedua kakinya tidak menyentuh tanah lagi.

Mahesa Lola terbengong-bengong memandanginya, ia menatap Dayang Kesumat juga menatap Campak Garang, begitu terus bergantian karena ia bingung. Apa yang dilakukan Dayang Kesumat tak dapat dimengerti oleh Mahesa Lola. Ia hanya melihat Campak Garang terangkat tubuhnya dalam keadaan tercekik. Sampai akhirnya kaki Campak Garang tersentak-sentak beberapa saat, kemudian diam tak bergerak lagi. Dan tubuh Campak Garang pun segera roboh ke tanah, seakan dilepaskan oleh pencekiknya. Sementara itu, Dayang Kesumat tampak hembuskan napas lega dengan mengembangkan tangannya yang dari tadi menggenggam kuat-kuat.

Mahesa Lola semakin tertegun bingung melihat Campak Garang ternyata mati dalam keadaan mata mendelik dan mulut ternganga. Batin Mahesa pun berkata,

"Pasti Dayang Kesumat yang mencekiknya dengan ilmu tinggi yang dimiliki! Ck ck ck...! Benar-benar hebat ilmu perempuan itu!"

Dayang Kesumat menghampiri Mahesa Lola, lalu ucapkan kata, "Kulasa ulusanmu dengan olang itu sudah selesai, Mahesa! Pulanglah dan aku akan teluskan peljalananku membulu musuh lamaku!"

"Eh, hmm... tunggu sebentar, Dayang Kesumat! Kau masih punya janji padaku yang belum kau penuhi!"
"Janji apa?"

"Aku sudah membantumu membangun istana di Pulau Hantu. Aku ikut membangun istana itu tanpa upah. Tapi kau berjanji akan mengangkatku menjadi muridmu, Dayang Kesumat! Lupakah kau?"

Dayang Kesumat diam sebantar. Ia memang pernah keluarkan janji seperti itu kepada Mahesa Lola. Tapi setelah dipikir-pikir hatinya merasa berat jika ada orang yang memiliki ilmu sama dengannya. Karena itu, Dayang Kesumat bermaksud membatalkan janjinya. Dayang Kesumat pun segera berkata kepada Mahesa Lola,

"Aku belum punya waktu untuk angkat mulid, Mahesa!"

"Aku bersedia mendampingimu ke mana saja sambil kau menjadi guruku. Aku bersedia pelajari ilmu darimu sambil jalan ke mana saja, Dayang Kesumat"

"Tak bisa, Mahesa! Aku tak belsedia jadi gulumu sambil jalan ke mana-mana! Kalau aku tulunkan ilmu kepada mulidku, aku halus punya tempat dan diam di tempat itu, tanpa ada ulusan lain-lain!"

Mahesa Lola bersungut-sungut dengan nada kecewa. "Dari dulu kau selalu bilang belum ada waktu. Lantas kapan kau punya waktu untuk mengangkatku sebagai murid?"

"Aku tidak bisa pastikan, Mahesa!"

Mahesa Lola tundukkan kepala dengan wajah sedihnya, "Sudah lama aku mengagumi ilmu kesaktianmu. Sudah lama aku mengidam-idamkan untuk menjadi muridmu. Tapi sampai sekarang harapan itu bagaikan sebuah mimpi rakyat jelata saja!"

Kasihan wajah Mahesa Lola sebenarnya. Tapi Dayang Kesumat segera ingat pengalaman pahitnya, ia pernah punya murid tunggal, yaitu Peri Malam. Tetapi akhirnya sang murid menjadi murtad hanya gara-gara jatuh cinta kepada Pendekar Mabuk. Peri Malam menjadi memberontak dan menentang segala keputusan gurunya. Hal itu sungguh menyakitkan buat Dayang Kesumat, ketika ia masih menjadi perempuan bungkuk bernama Mawar Hitam, ia tak ingin mengulangi pengalaman pahitnya itu, sehingga ia tak pernah punya niat untuk mempunyai seorang murid lagi.

"Kalau waktunya telah tiba aku akan cali kamu dan akan angkat kamu sebagai mulidku, Mahesal"
"Nanti aku keburu mati, Dayang Kesumat!"
"Belalti memang bukan jodoh kita menjadi gulu dan mulid!"

Mahesa Lola berdecak dan semakin tampakkan rasa kekecewaannya. "Harapanku siang dan malam hanya ingin menjadi muridmu, Dayang Kesumat. Tapi sekarang harapan itu rasa-rasanya pudar dan meninggalkan luka di hatiku, Dayang Kesumat...!"

Wusss... !

Tiba-tiba melesat sinar merah membara berbentuk bola kecil. Sinar itu melesat dan menghantam punggung Dayang Kesumat. Jrubb!

"Ahhg...!"

"Dayang...?!" pekik Mahesa Lola dengan kaget, ia terbelalak melihat Dayang Kesumat mendelik dengan tubuh melengkung ke depan dan akhirnya rubuh. Punggungnya menjadi hangus dan kepulan asap tampak jelas dari luka hangus sebesar buah duku itu.

Mahesa Lola ingin membantu Dayang Kesumat, tapi perempuan itu mengibaskan tangan Mahesa Lola. Ia berdiri dengan sempoyongan. Lalu berbalik memandang ke belakang. Wajahnya telah pucat pasi, menandakan ia dalam keadaan luka berat.

Dengan geram Dayang Kesumat sentakkan dua tangannya berturut-turut yang memancarkan sinar biru dan merah secara bergantian. Yang jadi sasaran adalah semak-semak, kerimbunan pohon, dan gundukan batu atau tanah yang bisa dipakai untuk bersembunyi.

Blarr.. blarrr... blarrr... blarrr..!

Lebih dari sepuluh pukulan hebat dilepaskan oleh Dayang Kesumat, ia bagaikan melepaskan serangan secara membabi buta. Pohon tumbang dan batu pecah terjadi beberapa kali, sehingga bumi bagai mengalami gempa yang begitu mengerikan. Sebagian tanaman semak terbakar dengan kobarkan api yang cukup besar.

Apa yang dicarinya ternyata berhasil ditemukan. Seseorang melesat dari salah satu pohon terakhir yang mau dihantam dengan sinar biru. Orang itu berkelebat dalam gerakan salto yang ringan dan cepat. Tahu-tahu ia sudah berdiri di depan Dayang Kesumat dalam jarak antara lima tombak.

"Ratu Teluh Bumi...!" geram Dayang Kesumat dengan mata menyipit.
Mahesa Lola berseru, "Itu dia pencuri kitab pamanku yang dibantu oleh Campak Garang!"

Tapi Dayang Kesumat tidak melayani ucapan itu. Matanya menyipit dan sedikit cemas, karena Ratu Teluh Bumi yang dianggapnya telah mati di dasar Jurang Petaka itu, ternyata masih hidup dan segar bugar. Dayang Kesumat berpendapat, kalau bukan orang berilmu tinggi sekali, tak mungkin dapat lolos dari kematian Jurang Petaka.

Wajah Dayang Kesumat makin pucat karena luka dalamnya itu. Mahesa Lola memandang cemas kepada Dayang Kesumat, ia berbisik,

"Kau makin pucat, Dayang! Pasti lukamu parah!"

"Hadapi dia, Mahesa. Aku akan menjauh untuk sementala. Aku pellu waktu untuk mengobati luka dalam ini! Kau akan segela kuangkat jadi mulidku setelah hadapi dia!"

"Sungguh?"
"Aku beljanji!"
"Baik. Pergilah sana! Biar kuhadapi dia, Dayang Kesumat!"

Zlapp...! Dayang Kesumat pergi dengan gerakan cepat. Ratu Teluh Bumi segera mengejarnya. Tapi Mahesa Lola cepat cabut pisaunya dan melemparkan pisau itu ke arah Ratu Teluh Bumi. Zingng...! Jrubb...!

Langkah Ratu Teluh Bumi terhambat oleh pisau yang menancap di betisnya. Ratu Teluh Bumi pun jatuh tersungkur. Pisau itu segera dicabut dengan cepat, kemudian dilemparkan kembali ke arah Mahesa Loia. Zingng... !

Mahesa Lola melompat tinggi-tinggi, dan pisau itu melesat di bawah kakinya dalam jarak kurang dari sejengkal. Kemudian pisau itu menancap kuat di dahan sebuah pohon yang rubuh akibat amukan Dayang Kesumat. Jrabb... !

"Keparat kau, Mahesa Lola!" geram Ratu Teluh Bumi dengan mata memandang angker. Mahesa Lola justru merasa bangga karena bisa menghambat pengejaran Ratu Teluh Bumi, juga bisa melukai perempuan itu dengan senjatanya yang kini tinggal dua di pinggang.

"Sakit?" ejek Mahesa Lola dengan sikap seakan sudah memperoleh kemenangan.

Ratu Teluh Bumi menggeram sebentar memandangi Mahesa Lola. Lalu ia menahan napas dan memandangi lukanya di betis sambil berkata,

"Sembuh...!"

Blarrr...! Petir menyahut dengan satu sentakan kuat. Mahesa Lola kerutkan dahi dan matanya memandang luka di betis Ratu Teluh Bumi tanpa berkedip sedikit pun. Mahesa Lola hampir tak percaya melihat luka itu bergerak-gerak dan darahnya menyebar hilang, lalu dalam kejap berikutnya luka tersebut sudah kembali mengatup, dan hilang bagai tak pernah ada luka sedikit pun. Bekas sebesar jarum pun tak terlihat lagi. Rasa sakit di betis pun tidak lagi terasa oleh Ratu Teluh Bumi.

Mahesa Lola melangkah mundur tiga tindak sambil masih termangu-mangu melihat keajaiban yang di luar dugaan sama sekali itu. Ratu Teluh Bumi berdiri tegak dengan mata tertuju tajam kepada Mahesa Lola.

"Berani kau melukaiku, Mahesa? Apakah kau sudah bosan hidup menjadi manusia terburuk sejagat ini, hah?!"

Mahesa Lola tak berani menyahut atau menjawab apa pun. Ia ketakutan dan merasa sedang berhadapan dengan seorang siluman.

"Jangan kamu, Mahesa..., Dayang Kesumat pun lari terbirit-birit melihat kemunculankul Karena dia tahu, aku mempunyai kesaktian yang lebih tinggi dari dirinya!"

Kemudian, Ratu Teluh Bumi memperlihatkan kesaktiannya, ia pamerkan kehebatan ilmu barunya yang bisa menyebar kutuk ke mana-mana, dengan cara menuding sebatang pohon besar yang masih berdiri dengan kokohnya, kemudian dengan menahan napas ia ucapkan kata,

"Rubuh...!"

Blarrr...! Petir menyambar di siang hari. Angin besar datang, dan pohon yang kokoh itu bagaikan diguncang gempa yang hebat pada bagian tanah di bawahnya. Lalu, tiba-tiba pohon itu pun rubuh dengan tidak tanggung- tanggung lagi. Brrukkk...! Akarnya terangkat naik, tanahnya memercik ke satu arah. Pohon itu kini dalam keadaan rebah di tanah bagai seorang ksatria tangguh yang lumpuh secara mendadak.

Mahesa Lola mulutnya ternganga bengong dengan mata besarnya yang melotot, lupa untuk berkedip. Ia berdiri di tempatnya tanpa bergerak sedikit pun, menjadi patung hidup yang tak punya seni keindahan sedikit pun.

Plakk...! Tangan Ratu Teluh Bumi menampar kuat wajah Mahesa Lola. Menggeragap Mahesa Lola dibuatnya sambil terlempar jatuh ke samping karena kerasnya tamparan itu. Di pipi Mahesa Lola membekas empat jari Ratu Teluh Bumi yang habis menamparnya. Tentu saja tamparan itu disertai kekuatan tenaga dalam sehingga bisa membekas memar cap telapak tangan. Wajah Mahesa Lola bagai dibakar api dalam sekejap, terasa sangat panas dan perih di sekujur kepalanya.

"Ingat, kalau kumau, sekarang juga kau bisa kubunuh seperti aku menumbangkan pohon itu, Mahesa! Tapi terlalu murah ilmuku jika membunuhmu! Tanpa kubunuh pun kau sebentar lagi akan mati sendiri!"

Napas ditariknya, lalu ditahan di dada, Ratu Teluh Bumi pun ucapkan kata kutukan kepada Mahesa Lola.

"Ingat, setelah kepergianku, kau akan mati bunuh diri!"

Blarrr...! Kembali sang petir terkejut mendengar kutukan itu. Kemudian tanpa berkata apa-apa lagi, Ratu Teluh Bumi segera tinggalkan tempat itu, mengejar ke arah kepergian Dayang Kesumat. Kebetulan arah itu adalah arah yang akan ditempuhnya menuju ke Jenggala.

Mahesa Lola hanya diam saja pandangi kepergian Ratu Teluh Bumi. Ia merasa sedih, sebagai manusia tak berilmu tinggi, sehingga dapat dikalahkan dengan mudah oleh orang-orang seperti Ratu Teluh Bumi. Ia pun segera membatin dalam hatinya,

"Beginilah nasibnya jadi orang berwajah buruk. Tak pernah ada yang mau perhatikan aku. Untuk mengangkat murid saja tak ada yang mau. Bahkan pamanku sendiri menolak untuk mengangkat murid. Sampai kubela-bela mengabdi jadi pelayannya, mencuri-curi ilmunya mengejar pencuri kitabnya, tapi sampai sekarang paman tak mau mengangkatku sebagai muridnya! Ia lebih sayang kepada cucunya Sumping Rengganis! Mengapa aku dilahirkan jika menjadi bahan bencian manusia lain. Dayang Kesumat yang sudah kubantu sedemikian banyak, masih saja tak berminat menurunkan separo ilmunya untuk diriku. Sepertinya Dayang Kesumat malu mempunyai murid seburuk aku! Oh, apakah setiap orang pandai dan sakti selalu malu mempunyai murid seperti aku?"

Mahesa Lola melangkah pelan-pelan mendekati pohon berakar seperti rambut-rambut raksasa itu. Jenis pohon beringin tapi bercabang renggang dan mempunyai dahan yang besar, serta akar yang alot. Di sana Mahesa Lola diam, pandangi pohon itu dengan mata berkaca- kaca ingin menangis, dan hati terus berucap kata,

"Rupanya aku memang tak pantas hidup! Memalukan bagi orang lain! Jadi ada baiknya kalau aku mati saja, biar tak jadi beban orang lain. Karena memang sudah tak ada lagi orang yang punya rasa kasihan kepadaku selain kedua orangtuaku, Sedangkan kedua orang-tuaku telah meninggal dunia sejak dulu. Ada baiknya kalau aku menyusul mereka dan menemukan kasih sayang di sana! Aku yakin, mereka tak akan merasa malu hidup bersamaku...!"

Mahesa Lola segera memanjat pohon itu. Ia menarik satu akar gantung yang tidak terlalu besar, kemudian membuat jerat ia mengikat lehernya sendiri dengan akar itu. Dengan air mata meleleh di pipi, segera Mahesa Lola melompat dari dahan pohon itu, jregg...! Kkkrrrk...!

Tergantunglah Mahesa Lola dengan kaki berkelejotan meregang nyawa. Matanya terbeliak-beliak, mulutnya ternganga dengan lidah menjulur. Untuk beberapa saat kemudian, tubuh itu pun menjadi lemas. Diam tak bergerak. Tergantung-gantung tanpa napas sedikit pun. Biru wajahnya karena darah terputus di bagian leher.

Maka, seperti apa yang dilontarkan Ratu Teluh Bumi dalam kutukannya, Mahesa Lola pun mati bunuh diri setelah Ratu Teluh Bumi pergi tinggalkan tempat itu. Sang petir di langit tertegun bengong memandangi mayat Mahesa Lola yang tergantung bukan akibat keinginannya sendiri.

PENDEKAR Mabuk berhenti dari langkahnya ketika melihat seorang lelaki pendek tergantung di pohon. Dihampirinya mayat Mahesa Lola yang tergantung itu, ia perhatikan dari bawah, sambil pandangi keadaan sekeliling di mana batuan hancur, semak terbakar, pohon-pohon tumbang.

"Jelas habis ada pertempuran hebat di tempat ini," pikir Suto Sinting. "Tapi siapa yang melakukan pertempuran hebat itu? Apa Dayang Kesumat? Siapa lawannya. Apa orang yang tergantung ini...?"

Suto hanya menduga apa yang terjadi di situ. Tapi yang menjadi sasaran pemikirannya adalah arah kepergian Dayang Kesumat, ia harus bisa menahan perempuan itu agar jangan sampai datang ke Jurang Lindu dan berhadapan dengan si Gila Tuak. Suto tak mau gurunya kerepotan menghadapi Dayang Kesumat.

Ketika Suto sedang tertegun, tiba-tiba seekor serigala berbulu hitam melompat ke arahnya. Suto terkejut dan ingin melepas serangan bertenaga dalam ke arah serigala bertelinga panjang itu. Tapi binatang tersebut segera rendahkan kepala, kakinya terlipat, kepalanya merapat dengan tanah, satu kaki depannya bagai menutup kepala. Serigala itu sepertinya merasa takut, bahkan seakan ia berkata,

"Jangan serang saya, Tuan...!"

Pendekar Mabuk tak jadi lepaskan pukulan yang mematikan untuk serigala itu. Ia bahkan menaruh rasa iba hati ketika serigala itu menggeram-geram dengan suaranya yang kecil bagai menangis. Dan satu hal lagi yang membuat Suto terkejut, ternyata binatang itu memang melelehkan air mata. Mulanya binatang itu memandang mayat Mahesa Lola sebentar, lalu pandangi wajah Suto, setelah itu merendahkan kepala lagi hingga menempel di tanah, dan melelehkan air matanya.

"Serigala aneh," gumam Pendekar Mabuk. "Biasanya jenis serigala bertelinga panjang begini sangat buas dan galak, ia punya keberanian menyerang manusia, apalagi jika bersama rombongannya! Tapi serigala yang ini justru kelihatannya jinak, ia bisa melelehkan air mata! Mungkinkah dia mengalami kesedihan yang dalam? Atau merasa kasihan melihat orang yang digantung itu?"

Pendekar Mabuk meneguk tuaknya sejenak. Kemudian membatin lagi, "Kalau serigala saja tahu belas kasihan melihat orang digantung, mengapa sesama manusia tak punya belas kasihan, sehingga tega menggantung sesamanya?!"

"Aauuuu....!" Serigala itu meraung. Raut wajahnya terlihat memelas. Suara raungannya mengiris hati. Setelah ia melolong, ia kembali merundukkan kepala dan melelehkan air mata lagi.

"Apa maksud binatang ini?" pikir Suto mencoba menerka-nerka kemauan binatang tersebut. Suto pun jongkok dan memberanikan diri mengusap-usap kepala binatang itu. Ternyata tangan Suto tidak digigit atau dicakarnya. Binatang itu justru melelehkan air mata semakin banyak. Semakin sering tengkuknya diusap- usap oleh Suto sepertinya semakin terharu hati binatang itu.

Tiba-tiba terdengar derap suara langkah kuda yang berlari dengan cepat. Suto Sinting segera berpaling ke belakang. Ternyata seekor kuda tanpa penunggang sedang berlari ke arah sekitar tempat itu. Suto agak heran melihat kuda lari sendiri tanpa penunggang. Sementara tali kekang kuda juga tak kelihatan. Mungkinkah kuda liar itu sedang mengamuk mencari betinanya?

"Oh, sepertinya kuda itu... kuda itu...," Suto menjadi ragu meneruskan ucapannya, ia bergegas meninggalkan bawah pohon itu untuk melihat lebih jelas lagi kuda yang akan lewat. Sebab Suto mengalami penglihatan yang meragukan dirinya sendiri.

Derap kaki kuda makin mendekat. Suto Sinting makin terperangah melihat keanehan pada kuda tersebut. Bahkan batinnya pun tak mampu ucapkan satu kata untuk keanehan yang dilihatnya itu.

Kuda itu berhenti di depan Suto. Makin jelas lagi apa yang membuatnya terpaku di tempat. Kuda itu ternyata berkepala manusia. Dan manusia itu dikenal oleh Suto. Tanpa sadar mulut Suto Sinting segera berucap kata menyebut nama orang itu,

"Rakawuni...?!"
Ya. Kuda berkepala manusia itu adalah Rakawuni.

Orang yang hampir membunuh Suto karena membela Dayang Kesumat. Segera Rakawuni menunduk sedih ketika sudah beradu pandang dengan Suto beberapa helaan napas. Suto pun segera mendekati kuda berbadan coklat dan berekor hitam itu. "Kaukah Rakawuni...?"

"Ya, aku Rakawuni...!" jawab kuda berkepala manusia itu. Suaranya sangat lirih, seakan bercampur dengan segumpal tangis yang dipendamnya kuat-kuat di dalam dadanya.

"Mengapa kau menjadi begini, Rakawuni? Bukankah saat kutinggalkan kau dalam keadaan luka oleh senjata rahasiamu sendiri?"
"Luka itu bisa kuatasi. Karena aku punya penawar racun tersebut. Tapi... aku segera bertemu dengan Ratu Teluh Bumi."

"Siapa? Ratu Teluh Bumi...?!" Suto segera teringat peristiwa di Kuil Swanalingga. Terbayang wajah tua yang masih cantik dan tampak kencang kulitnya itu. Ratu Teluh Bumi sempat dikenal Suto pada saat perempuan itu berhadapan dengan Raja Nujum almarhum. Itulah saat pertama Pendekar Mabuk mengenal Ratu Teluh Bumi. Tapi ia tidak tahu kalau perempuan itu bisa membuat seseorang berubah wujud menjadi seperti Rakawuni saat itu. Ia tak sangka kalau perempuan itu mempunyai ilmu teluh yang sebegitu tingginya, sehingga Rakawuni yang gagah dan tegap itu bisa menjadi Rakawuni yang berbadan kuda.

"Apa yang dilakukan oleh Ratu Teluh Bumi?"

"Dia sengaja menyiksaku dengan ilmu kutuknya! Dia bermaksud menyerang Jenggala. Padahal aku prajurit sandi praja dari Jenggala. Ia punya maksud, jika aku kembali ke Jenggala, maka orang-orang Jenggala akan jatuh nyalinya lebih dulu sebelum ia datang dengan melihat perubahanku seperti ini."

"Aku benar-benar tak sangka kalau dia bisa mengubah wujudmu menjadi seperti ini, Rakawuni!"
"Dia mempunyai ilmu kutuk, yang sekali diucapkan bisa menjadi kenyataan!"
"Setahuku dia mempunyai ilmu teluh saja!"

"Tidak. Dia juga mempunyai ilmu kutuk yang aku sendiri baru mengetahui belakangan ini! Entah belajar dari siapa, dia bisa mempunyai ilmu kutukan sedahsyat itu!"

Kemudian Rakawuni pun menceritakan bagaimana ia melihat Prahasto temannya berubah menjadi seekor ular berkepala dua. Karena ia menceritakan Prahasto, maka ia pun menuturkan kisah adu dombanya Prahasto antara Ratu Teluh Bumi dengan Dayang Kesumat, ia juga membeberkan siapa sebenarnya Ratu Teluh Bumi dan hubungannya dengan Kerajaan Jenggala.

"Maksudmu, Jenggala di tanah Jawa Wetan itu?"

"Bukan. Yang kumaksud Kerajaan Jenggala Medang! Dulu ayahnya Ajeng Prawesti adalah Raja Jenggala, yang terlalu banyak memeras keringat rakyat dengan meninggikan pajak dan terlalu menekan kehidupan rakyat jelata. Karena itu, ia ditumbangkan oleh kelompok kami. Sekarang ia sedang berusaha menuju ke Jenggala untuk menyerang dengan ilmu kutukannya itu.

Aku merasa, Jenggala tidak bisa berbuat banyak jika diserang oleh kutukan itu. Karenanya, terus terang saja aku butuh pertolongan darimu, Suto!"

"Apa yang bisa kubantu, sehingga kau minta pertolongan padaku?"

"Aku tahu kau bukan orang sembarangan. Saat kau berhadapan dengan Dayang Kesumat, aku bisa mengukur ilmumu dan kudengar semua percakapanmu. Aku percaya, kau punya kesaktian yang bisa kalahkan Ajeng Prawesti, Pendekar Mabuk!"

"Jangan terlalu berharap padaku, Rakawuni!"

"Sebagai prajurit sandi praja, aku sangat bertanggung jawab atas segala serangan dari pihak luar istana, Suto! Aku harus bisa menahan serangan itu. Tapi aku merasa tidak bisa mengalahkan Ratu Teluh Bumi, sehingga usaha yang kulakukan adalah mencari bantuan dari pihak yang mau membantuku!"

Pendekar Mabuk kembali menenggak tuaknya beberapa teguk. Kemudian ia diam termenung mempertimbangkan langkahnya, ia bayangkan kekuatan dahsyat dari ilmu kutukan yang dimiliki Ratu Teluh Bumi itu. Dalam waktu sekejap, perempuan itu bisa menjadi orang paling kejam di seluruh permukaan bumi. Bahkan dengan sekali ucap bisa jadi kenyataan, berarti Ratu Teluh Bumi bisa menjadi seorang pembunuh yang mendatangkan bencana alam dan malapetaka lainnya dari satu ucapannya saja. Sungguh membahayakan ilmu kutukan yang dimilikinya. Sebab itu, Suto Sinting pun akhirnya berkata,

"Kau tahu ke mana arah perginya Ratu Teluh Bumi itu?!"
"Pasti ke arah Jenggala!"
"Baiklah, Raka, kita kejar dia!"
"Naiklah ke punggungku, Pendekar Mabuk!"
"Apakah tak terlalu memberatkan dirimu?"

"Tidak. Aku mempunyai kekuatan sebagaimana seekor kuda biasa! Yang membuat berat adalah hatiku. Tapi demi membawamu ke Jenggala, hatiku tak merasa keberatan jika kau menunggang ke punggungku!"

Rakawuni rendahkan kaki belakangnya, seakan mempersilakan Suto untuk menunggang ke atas punggungnya. Maka, Suto pun segera menunggang kuda tersebut tanpa berpegangan tali kekang kuda yang memang tidak ada itu. Suto mampu duduk di atas kuda tanpa merasa terganggu walau kuda berlari cepat dan ia tidak memegang tali kekang kuda sebagai keseimbangan. Dengan memegangi bumbung tuaknya, ia merasa sudah seperti mempunyai keseimbangan sendiri dalam menunggang kuda.

Seekor serigala yang tadi melelehkan air mata ternyata mengikuti lari kuda tersebut. Suto memandang ke belakang, memperhatikan serigala itu, ia merasa aneh dan tak enak hati diikuti serigala itu. Tapi akhirnya ia biarkan binatang tersebut mengikutinya selama tidak mengganggu kuda berkepala Rakawuni itu.

"Rakawuni!" seru Suto. "Cobalah membelok ke arah kanan, kulihat di sana ada seseorang yang sedang berkelebat bersembunyi di balik gundukan tanah!"

"Aku juga melihatnya. Tapi kurasa dia bukan Ratu Teluh Bumi, karena kelebatan sosok bayangannya bukan berwarna hitam!"
"Kita tengok dulu saja, Rakawuni!"
"Baik!"

Kuda berkepala Rakawuni membelokkan arah ke kanan. Kecepatan larinya dikurangi. Dan apa yang dikatakan Suto memang benar, ada seseorang yang tergolek di bawah pohon rindang, di balik gugusan tanah. Orang itu dalam keadaan pucat membiru wajahnya. Rakawuni tersentak kaget dan buru-buru palingkan wajah, tak berani memandang orang itu. Ia merasa malu dan makin sedih hatinya, karena orang itu adalah Dayang Kesumat.

Perempuan tersebut dalam keadaan terengah-engah, matanya terpejam karena merasakan sakit yang hebat di sekujur tubuhnya akibat serangan Ratu Teluh Bumi tadi.

"Suto, kalau bisa tak usah menghampiri orang itu."
"Kenapa?"
"Aku malu, keadaanku seperti ini! Sebaiknya kita teruskan perjalanan kita memburu Ajeng Prawesti!"

Suto mempertimbangkan keputusan sejenak. Agaknya usul Rakawuni memang benar. Toh seandainya ia datang dan menolong Dayang Kesumat, maka keselamatan bibi gurunya akan terancam. Setidaknya tempat tinggal gurunya si Gila Tuak, akan disambanginya dengan ketidaksopanan. Dengan menderita sakit begitu, setidaknya Pendekar Mabuk punya waktu luang untuk ke Jenggala dan tidak perlu
cemaskan keadaan kedua gurunya.

Kuda berkepala Rakawuni pun kembali berlari dengan derap kakinya yang perkasa. Rakawuni membawa Pendekar Mabuk menyusuri jalan menuju Kerajaan Jenggala dengan harapan dapat temui Ratu Teluh Bumi di perjalanan.

Tetapi keadaan justru sebaliknya. Ratu Teluh Bumi berpapasan dengan rombongan berkuda yang membawa panji-panji Kerajaan Jenggala Medang. Rombongan berkuda itu dipimpin oleh dua orang perwira istana yang usianya sama-sama sekitar lima puluh tahun. Dua orang perwira itu adalah Rumakso dan si Tangan Syiwa.

Rumakso berpakaian biru dengan rompi putih. Rambutnya pendek, berikat lempengan logam kuning emas sebagai tanda keperwiraannya. Badannya besar, kumisnya tebal.

Tangan Syiwa juga mengenakan ikat kepala logam kuning emas seperti yang dikenakan Rumakso. Rambutnya panjang, berpakaian abu-abu tanpa rompi. Tangan Syiwa berbadan kurus, matanya cekung berkesan angker, kumisnya melengkung ke bawah, ia bersenjata pedang di punggung, sedangkan Rumakso bersenjata pedang di pinggangnya. Sementara itu, sejumlah lebih dari tiga puluh orang lainnya mengenakan pakaian campur-baur, karena mereka ada yang menjabat sebagai prajurit istana, ada yang menjadi masyarakat biasa.

Tangan Rumakso diangkat ke atas ketika melihat seorang perempuan berdiri menghadang di depan langkah mereka. Sekalipun jaraknya masih cukup jauh, tapi Rumakso menangkap adanya gelagat tak beres dengan perempuan itu.

Melihat tangan Rumakso diangkat, kuda mereka pun diperlambat larinya, kemudian mereka berhenti tepat dalam jarak tujuh tombak dari tempat perempuan berpakaian hitam itu berdiri.

"Kalau tak salah lihat, dia adalah Ajeng Prawesti, Tangan Syiwa!"
"Ya. Kau tak salah lihat! Tapi apa maksudnya menghadang langkah kita! Coba kau yang ajukan tanya pada perempuan itu!"

Rumakso tetap di atas punggung kuda. Kudanya bergerak dua langkah, lalu terdengar suaranya berseru lantang dan besar,

"Kaukah itu, Ajeng Prawesti...?!"
Ratu Teluh Bumi menjawab, "Kau tak salah lihat, Rumakso! Apa pangkatmu sekarang?!"

"Aku seorang perwira!"
"Hmm...!" Ratu Teluh Bumi mencibir. "Perwira penjilat, maksudmu?!"

"Hei, Perempuan Iblis...! Hati-hati kau bicara di depan kami!" seru Tangan Syiwa. Kemudian ia segera melompat turun dari kudanya dan menghampiri Ratu Teluh Bumi dengan nafsu untuk menghajar. Rumakso menyusulnya untuk menahan temannya yang tak bisa tersinggung sedikit pun. Tangan Syiwa adalah perwira istana yang paling galak dan kejam terhadap musuh. Tak boleh tersentuh sedikit perasaannya.

"Tahan, Tangan Syiwa...!" ucap Rumakso sambil tangannya sendiri memegang pundak Tangan Syiwa.
"Aku akan hancurkan mulut perempuan itu, Rumakso!"

"Tahanlah! Ingat, kita sedang dalam keadaan berkabung, Tangan Syiwa. Jangan mengumbar nafsu murkamu!"

Ratu Teluh Bumi mendengar percakapan itu, maka segera ia ajukan tanya dengan nada tetap sinis,

"Apa yang terjadi, Rumakso? Mengapa kau pergi secara rombongan begitu?! Apakah ada bencana alam di Kerajaan Jenggala?"

"Ya. Ada bencana di negeri kami! Orang-orang Atas Angin menyerang. Raja tertawan, dan rakyat dibantai habis! Istana dikuasai oleh orang-orang Atas Angin! Kami melarikan diri untuk cari bantuan. Mungkin kau bisa membantu kami untuk mengusir orang-oraang Atas Angin itu, Ajeng Prawesti!"

Ratu Teluh Bumi lepaskan tawa terkikik-kikik. Lalu katanya, "Kalian dan orang-orang Atas Angin adalah sama. Artinya, sama-sama pihak yang akan kumusnahkan!"

"Keparat kau, Ajeng!" geram Tangan Syiwa. Srett...! Ia mencabut pedangnya dari punggung. Tapi tangan Rumakso menghadang, pertanda tidak izinkan Tangan Syiwa menyerang Ajeng Prawesti.

"Tahan dulu, Tangan Syiwa...!" kata Rumakso. "Ajeng, kau adalah orang Jenggala juga. Seharusnya kau tidak bicara begitu kepada kami!"

"Dalam keadaan terdesak lawan begini kalian mengakui aku sebagai orang Jenggala! Tapi ingatkah kalian saat mengusirku dari Jenggala, mengejar-ngejarku untuk dibunuh, hah?! Tidak! Aku bukan orang Jenggala yang ada dalam kekuasaan kalian! Aku orang Jenggala asli yang tidak mengenal kalian! Karena itu, kalian datang kemari adalah suatu hal yang sangat kebetulan, karena aku memang akan menyerang ke sana untuk melenyapkan kalian semua!"

"Kau seorang diri, kami cukup banyak, Ajeng! Kau cari mati kalau menentang kami!"

"Majulah semua, aku tak akan mundur setindak pun!" tantang Ratu Teluh Bumi. Maka dengan geram Tangan Syiwa segera maju dengan memainkan pedangnya. Begitu cepat ia memainkan jurus pedang hingga tangannya seperti terlihat ada empat, dan suara gerakan pedangnya menggaung mengerikan. Kapan ia menebas lawan, tak bisa dipastikan. Karena dengan memainkan kibasan-kibasan cepat pedangnya yang berpindah tangan terus-terusan itu, lawan dibuat bingung dan tak bisa melihat gerakan pedang yang menyerang secara tiba-tiba itu.

Tetapi Ratu Teluh Bumi hanya diam, pandangi gerakan pedang Tangan Syiwa yang melangkah mengelilinginya. Napas segera ditarik dan ditahan di dada oleh Ratu Teluh Bumi, kemudian ia ucapkan kata,

"Buntung tanganmu, Tangan Syiwa!"

Blarr...! Petir memekik mengagetkan mereka. Dan semakin kaget lagi setelah mereka melihat Tangan Syiwa tahu-tahu kehilangan tangannya. Kedua tangan itu bagai terpotong oleh kibasan pedangnya sendiri dan jatuh ke tanah tanpa darah sedikit pun.

"Tanganku...?! Tanganku?! Gggrrr...!" Tangan Syiwa menggeram dengan mata melotot tegang.

"Ilmu setan apa yang kau pakai, Jahanam!" geram Rumakso yang segera mendidih darahnya melihat Tangan Syiwa buntung kedua tangannya, ia segera mencabut pedang dari pinggangnya, lalu menyerang Ratu Teluh Bumi dengan satu lompatan murka. "Heaaah...!"

Ratu Teluh Bumi melompatkan diri, melenting di udara dan bersalto dua kali untuk jauhi lawan. Jleggg...! Ia mendaratkan kakinya di atas sebuah batu besar. Dari sana ia sebarkan kutuk kepada Rumakso dengan berseru,

"Buntung pula tanganmu, Rumakso!"

Blarr...! Petir menjerit. Tangan Rumakso pun terpotong keduanya tinggal bagian pundaknya saja. Tangan itu tergeletak di sana dengan sangat menyedihkan. Lalu, mata liar Ratu Teluh Bumi memandang ke arah para prajurit yang menggarang geram sambil cabut senjata masing-masing. Ratu Teluh sebarkan kutukannya,

"Hancur semua kepala kalian!"
Blarrr...!

Kejap berikutnya, suatu pemandangan mengerikan terjadi. Kepala mereka, para prajurit dan orang-orang pengungsi, pecah secara bersamaan. Memercikkan darah ke mana-mana, sehingga jalanan itu menjadi kuburan masal yang amat mendirikan bulu roma. Hanya Tangan Syiwa dan Rumakso yang masih kelihatan berkepala utuh, tapi sudah tidak mempunyai tangan lagi. Mereka hanya tertegun bengong melihat apa yang terjadi di depan mata.

"Tangan Syiwa dan Rumakso...! Kalianlah yang dulu memerintahkan orang-orangmu untuk mengejarku dan membunuhku. Tapi aku bisa melarikan diri dengan cepat. Dan sekarang, kalian tak akan bisa melarikan diri seperti aku dulu!" Ratu Teluh Bumi menarik napas dan berkata,

"Sekarang, buntung semua kaki kalian, dan kalian akan mati dimakan anjing!"

Blarrr...! Terdengar bunyi petir menggelegar, dan saat itu pula Rumakso dan Tangan Syiwa kehilangan kaki masing-masing. Makin terkejut mereka melihat keadaan diri yang begitu mengenaskan. Namun toh mereka tak bisa berbuat apa-apa.

Derap suara kuda datang dari arah munculnya Ratu Teluh Bumi tadi. Dari kejauhan sana, seberkas sinar hijau telah melesat dengan cepatnya. Sinar hijau itu bukan hanya satu bias, namun memancar menjadi lebih dari sepuluh larik yang membentuk seperti kipas raksasa. Sinar hijau yang dahsyat itu keluar dari lengan kanan Suto yang ada di atas punggung kuda Rakawuni.

Brrrasss...! Melesatlah percikan sinar membentuk kipas besar itu, dan Ratu Teluh Bumi tak sanggup menghindarinya. Tiga sinar hijau mengenai tubuhnya. Menghantamnya dengan telak, membuat tubuh itu terlempar tinggi dan jauh sekali, membentur sebuah pohon di tepi mulut jurang, lalu tubuh itu pun jatuh ke jurang dengan suara jerit yang menggema panjang.

"Aaaa...!"

Kuda Rakawuni segera mendekati Rumakso dan Tangan Syiwa. Keduanya terkejut melihat kuda berkepala Rakawuni.

"Rakawuni...! Tolonglah aku dan Tangan Syiwa ini!" kata Rumakso.

"Bagaimana aku mau menolong kalian. Aku sendiri dalam keadaan seperti ini! Perempuan itu telah mengutukku. Tapi aku telah membawa seorang penolong. Pendekar Mabuk, Suto Sinting namanya...! Dia orang berilmu tinggi!"

"Aku melihat serangannya yang dahsyat tadi, tapi... apakah dia bisa pulihkan keadaan kita ini?!"

Saat itu, Pendekar Mabuk sedang memeriksa ke tepian jurang. Dari sana dia berseru, "Rakawuni...! Aku akan turun ke jurang untuk pastikan apakah Ajeng Prawesti mati atau melarikan diri!"

"Hati-hati, Suto...!" teriak kepala kuda itu.

Suto Sinting melesat turun ke jurang dengan lompatan tenaga peringan tubuhnya. Hilangnya Suto, muncul seekor serigala berbulu hitam. Serigala itu meraung, melolong panjang di tepi jurang, seakan mengkhawatirkan keadaan Pendekar Mabuk. Lalu, serigala itu nekat turun ke jurang dengan merayapi tanaman di tebingnya.

Tetapi lolongan serigala itu telah mendatangkan rombongan serigala lainnya. Jumlahnya lebih dari sepuluh serigala. Mereka tampak buas, rakus, dan ganas. Rombongan serigala itu langsung menyerang Rumakso dan Tangan Syiwa, sedangkan Rakawuni segera melarikan diri setelah ia tak herhasil menghalau rombongan serigala lapar itu.

Maka habislah Rumakso dan Tangan Syiwa dimakan dan dicabik-cabik oleh serigala liar dengan tanpa ampun lagi. Dengan begitu, genap sudah kutukan Ratu Teluh Bumi, bahwa mereka mati dimakan anjing.

Sungguh berbahaya mulut perempuan itu. Banyak orang yang akan bersyukur jika perempuan itu mati.

Tapi apakah benar Ratu Teluh Bumi mati di dasar jurang ?
Bagaimana jika ia belum mati ?
Bagaimana jika Suto yang terkena kutukan seperti mereka ?
Apakah Suto mampu menghindari atau melawan ilmu 'Sabda Iblis' ?

SELESAI

PENDEKAR MABUK selanjutnya !!!