Warok Ponorogo 4 - Pertikaian Kawula - Gusti(2)

4
MUSYAWARAH WARGA 


PAGI ini di Balai Kelurahan, Dukuh Sirah Keteng sedang 
diramaikan oleh berkumpulnya para penduduk yang atas un- 
dangan Pak Lurah Tunggul Anom, mereka diminta datang 
untuk mengadakan musyawarah warga pedukuhan. Sejak ter- 
dengar berita akan diambilalih daerah ini menjadi kawasan 
penyangga pangan penduduk Kadipaten Ponorogo, maka 
orang mulai ramai membicarakannya. 


"Bapak-bapak, ibu-ibu yang terhormat, sebagaimana telah di- 
jelaskan pada wusyawarah warga terdahulu. Pagi ini kita akan 
mengambil kemufakatan mengenai nasib desa pertanian kita 
ini. Untuk cepatnya jalannya musyawarah kita, kami mintakan 
pendapat- pendapat, usul-usul, pandangan-pandangan, apa 
saja yang sekiranya dapat menyelesaikan nasib kampung kita 
ini. Selanjutnya silakan. Siapa di antara bapak-bapak, atau 
ibu-ibu yang terlebih dahulu akan memberikan pendapatnya. 
Kami persilakan," kata Pak Lurah Tunggul Anom ketika mem- 
buka memimpin musyawarah warga Dukuh Sirah Keteng di 
pagi hari ini. 


"Saya, Pak Lurah. Mau bicara, "kata seseorang laki-laki ber- 
jampang lebat yang duduk paling depan itu tanpa basa-basi 
langsung berteriak lantang menyambut pengarahan Pak Lurah 
itu. 


"Ya. Silakan, Dimas." 


"Menurut pendapat saya, Pak Lurah. Apa pun yang bakal 
terjadi terhadap diri kita di sini. Semua warga penduduk harus 
mempertahankan tanah kita ini sampai darah yang peng- 
habisan.” 

"Akur." Sahut suara warga hampir serempak memenuhi 
ruangan balai kelurahan itu memberikan dukungan menyam- 
but pendapat laki- laki berjampang lebat itu. 

"Apa pun yang akan terjadi, kita tidak mau menyerahkan tanah 
kita ini. Biar hancur lebur menjadi bangkai, kita tetap harus 
berani berkubang darah di atas tanah leluhur kita ini. Kan 
begitu tho, konco-konco,” teriak yang lain yang kemudian 
disambut meriah oleh suara gemuruh orang-orang berteriak- 
teriak memenuhi ruangan balai kelurahan yang penuh sesak 
oleh berkumpulnya warga itu. 


"Kalau menurut pendapat saya, Pak Lurah. Kita berontak saja 
jika pihak penguasa kadipaten tetap akan memaksakan kehen- 
daknya merampas tanah pertanian kita. Apalagi kita punya 
orang kuat seperti Kangmas Wulunggeni ini yang saya tahu 
beliau juga mempunyai kekuatan kenalan-kenalan para jagoan 
lain yang kalau dikerahkan semua jumlahnya sangat banyak 
untuk membela kepentingan kita di sini. Jadi kalau kita semua 
mau bersatu dengan dukungan kekuatan dari para jagoan sa- 
hhabat-sahabat dekat Kangmas Wulunggeni, saya rasa kita akan 
mampu menanggulangi ancaman terhadap kampung kita di 
sini ini dari tangan-tangan kekuasaan yang ingin merampas- 
пуа. Akan tetapi sebaiknya, Pak Lurah, sebelum kita lanjutkan, 
kita harapkan agar didengar dulu pendapat Kangmas Wulung- 
geni mengenai perkara ini," kata laki-laki berkumis tebal yang 
duduk di sebelah pinggir kiri ruangan Balai Kelurahan itu 
kelihatan cukup berwibawa penampilannya. 


"Yah. Kita dengar dulu pendapat Kangmas Wulunggeni," 
komentar yang lain dari seorang laki-laki yang berperawakan 
kecil kurus mengenakan peci berwarna merah meron yang 
duduk di tengah ruangan itu sambil menyedot rokok kelinting 
kelobotnya itu. 


“Baiklah kalau demikian, kami persilakan Kangmas Wulung- 
geni untuk memberikan pendapatnya," kata Pak Lurah ke- 
mudian untuk memenuhi permintaan warga itu. 


“Terima Kasih, Pak Lurah," kata Warok Wulunggeni, "Menu- 
rut hemat saya. Kalau kita dipaksa untuk menyerahkan tanah 
yang telah menjadi hak milik kita ini secara sewenang-wenang. 
Jelas, aku lebih baik mati daripada harus diinjak-injak hak-hak 
kita seperti itu." 


“Setujuuuuu," tiba-tiba terdengar teriakan hampir berbarengan 
dari orang-orang yang hadir dalam musyawarah itu. 


“Namun, sebentar. Bapak-bapak dan ibu-ibu yang saya hor- 
mati," lanjut Warok Wulunggeni kemudian, "Kita sebaiknya 
berusaha mencoba berpikir jemih, berpikir gambyang, dan 
bersikap dewasa. Berpikir sebagai orang yang arif bijaksana. 
Apakah sesungguhnya yang menjadi maksud dan tujuan, serta 
yang melatar belakangi kejadian ini semua. Apakah yang akan 
diinginkan oleh penguasa kadipaten dengan cara mengambil 
alih tanah di daerah Sirah Keteng, tanah persawahan milik kita 
ini, semuanya harus jelas dulu. Menurut keterangan yang kita 
peroleh, karena tanah di daerah kita ini sangat subur. Panen 
berlimpah ruah. Kalan pertimbangannya lantaran kesuburan 
tanah ini, kemudian harus merampas tanah kita untuk penguasa 
Kadipaten, itu jelas tidak benar. Kita harus bela tanah kita ini 
mati-matian. Akan tetapi nampaknya di balik soal kesuburan 
tanah kita di sini ini, ada hal-hal lain yang disertakan. Menurut 
berita yang saya dengar, kini di seluruh pelosok daerah kadi- 
paten Ponorogo ini, sedang terkena musibah berat. Keadaan 
penduduk sedang dilanda kelaparan yang menghebat pada 
musim peceklik yang mengerikan pada tahun ini. Ada berita 
yang mengatakan bahwa banyak penduduk yang terjangkit 
penyakit kurang makan, dan kemudian mati kelaparan. Bahkan 
menurut beritanya, hampir sampai seluruh pulau Jawa ini 
menderita kekeringan yang menghebat sebagai akibat dari 
musim paceklik kali ini. Orang-orang susah mendapatkan 
pangan. Dan telah banyak yang mati karena kelaparan ini. 
Nah, masalah rakyat lapar dan kematian ini kemudian men- 
jadi penting. Agaknya saya termasuk orang yang rela menyerahkan
apa saja kalau hal itu menyangkut kepentingan kemanusiaan. Demi 
untuk kepentingan menolong sesama. Jadi kalau hasil penenan 
yang kita peroleh beberapa bulan belakangan ini, kita gunakan 
untuk menolong orang yang kekurangan, terkena mala petaka 
itu, apakah tindakan itu tidak baik. Tindakan itu tentu sangat 
teruji. Kalau yang demikian ini. Itu saya rasa, saya sangat 
setuju. Oleh karena itu apabila rencana penguasaan daerah 
pertanian Sirah Keteng ini dimaksudkan demi untuk tujuan 
menolong rakyat di daerah kadipaten yang sedang sengsara. 
Saya rasa kita justeru berkewajiban untuk memberikan 
pengorbanan sebesarnya kepada...," kata Warok Wulung- 
geni belum selesai. Tetapi tiba-tiba terdengar ada suara 
seorang laki-laki berperawakan tinggi besar yang berkulit 
hitam pekat itu menyela pendapat Warok Wulunggeni itu. la 
berdiri nampak geram sambil mengacungkan tangan kanannya 
yang kokoh itu. Minta bicara. 


“Kangmas Wulunggeni. Maafkan saya menyela pembicaraan, 
Kangmas. Menurut pendapat saya. Kalau kita menyum- 
bangkan hasil penenan kita untuk menolong sesama penduduk 
yang sedang kekurangan pangan, bahkan ada yang sudah mati 
karena tidak bisa makan, maka aku rasa kita bisa menyetujui. 
Akan tetapi yang akan terjadi itu tidaklah demikian. Penguasa 
kadipaten akan mengambilalih kepemilikan dan pengelolaan 
tanah kita. Sekali lagi saya tegaskan mereka akan mengambil 
alih tanah kita, bukan kita disuruh memberikan sumbangan 
bahan pangan. Sama sekali bukan itu. Itulah saya rasa yang 
tidak bisa kita terima, Kita tidak bisa menerima keputusan 
Penguasa Kadipaten yang akan mengambil alih penguasaan 
daerah pertanian kita ini untuk beralih kepemilikannya menjadi 
di bawah penguasaan penguasa kadipaten . Aku terus terang 
tidak setuju menerapkan cara demikian itu. Ini namanya sama 
saja dengan praktek perampasan. Mengapa daerah kita ini saja 
yang diambil, sedangkan daerah lain tidak. Apakah tidak 
sebaiknya kita tetap sebagai pemilik, kita pertahankan sebagai 
yang mengelola daerah pertanian kita ini, dan apabila daerah 
lain, ada yang memerlukan bantuan dari daerah kita, maka kita 
dapat memberikan bantuannya. Cara ini yang saya kira yang 
terbaik. Tidak memindahkan kita seenak perutnya sendiri, lalu 
penguasa kadipaten yang akan menggarapnya. Akan memiliki 
tanah kita. Kita yang sudah bertahun- tahun, turun-temurun 
mengolah tanah-tanah ini yang dulunya masih hutan lebat ketika 
dibabat para leluhur kita dahulu. Oleh karena itu, terus terang 
saja, aku tidak setuju dengan cara demikian ini." 


“Benar. Kita dukung pendapat Pak Karmo Mendem itu," teriak 
seseorang yang disambut meriah oleh yang lainnya ikut 
mendukung pendapat Pak Karmo Mendem itu. 


"Maaf. Bapak-bapak dan ibu-ibu. Tenang dulu," terdengar 
kembali suara Warok Wulunggeni, "Saya belum menyelesaikan 
kalimat-kalimat saya tadi." 


"Yah. Yah, Mohon bapak-bapak dan ibu-ibu, harap diam sebentar. 
Harap bersabar, Kita tenang dulu. Silakan Kangmas Wulunggeni 
meneruskan bicaranya," teriak Pak Lurah Tunggul Anom yang 
berusaha menenangkan suasana yang nampak mulai begitu gaduh itu. 


"Aku pun sependapat dengan pendapat Pak Karmo Mendem 
ini," kata Warok Wulunggeni melanjutkan bicaranya setelah 
diselingi oleh orang tadi yang sebenarnya bernama Pak Karmo 
Winangun tetapi karena sering mabuk, maka oleh orang-orang 
kampung ia disebutnya sebagai Pak Karmo Mendem itu. 


“Hanya masalahnya," lanjut Warok Wulunggeni, "apakah kita 
semua ini mempunyai pengalaman untuk menyalurkan hasil 
panenan kita untuk ditujukan kepada daerah-daerah mana saja 
yang memerlukan bantuan kita. Siapa di antara kita yang 
mampu menangani pekerjaan ini.” 

"Aku mampu, Kangmas Wulung," kata seorang pemuda tegap 
yang duduk di belakang dengan nada penuh semangat. 
Kemudian disambut oleh para pemuda yang lain. 

"Aku juga mampu." 
“Aku juga bersedia." 

Pertemuan musyawarah warga Dukuh Sirah Keteng itu 
kemudian menjadi ramai lagi. Terjadi kegaduhan. Nampaknya 
mulai tidak akan menemui kesepakatan. Banyak yang 
menginginkan untuk tetap mempertahankan tanah milik « 
mereka іш. Namun, rupanya Pak Lurah Tunggul Anom justeru 
cenderung untuk menerimanya. Rupanya ada kersrangan lain 
yang masih terlupakan dan belum dicerna betul oleh penduduk 
warga. 


"Bapak-bapak dan ibu-ibu," kata Pak Luizh Tunggul Anom, 
kemudian, "Masih ada tambahan keterangan yang tadi 
terlupakan untuk saya sampaikan kepada bapak-bapak dan 
ibu-ibu. Bahwa mengenai rencana pemindahan tanah pertanian 
kita dari Dukuh Sirah Keteng ini. Penguasa Kadipaten telah 
menyediakan ganti rugi berupa tanah yang siap garap di daerah 
lain. Terserah kepada kita, tanah mana yang akan kita inginkan. 
Besarnya adalah tiga kali dari luas tanah yang kita miliki 
masing-masing di daerah kita di sini ini sekarang. Jadi kalau 
seandainya kita setuju. Kita masing-masing tinggal menunjuk 
daerah mana yang akan kita tuju untuk tempat kepindahan kita. 
Dimana saja di daerah pelosok kadipaten ini. Di tengah kota 
kadipaten pun bisa asal tanah yang kita inginkan itu masih ada 
di tengah kota dan belum dikuasai oleh warga yang 
memiliki. Tanah-tanah di tengah kota masih banyak yang 
menjadi penguasaan penguasa kadipaten. Jadi, terserah saja 
kita masing- masing mau kemana kita akan pindah. Semua itu 
katanya atas biaya dari penguasa kadipaten yang mendapatkan 
bantuan keuangan dari Kerajaan Majapahit di Trowulan. Tanah- 
tanah yang kita tunjuk sebagai pengganti tanah kita itu, akan 
dirapikan oleh penguasa Kadipaten, dan kita semua tinggal meng- 
garapnya saja. Atau kita yang merapikan dan kerja kita itu akan 
diganjar upah sesuai kebiasaan yang berlaku di adat kita." 


Mendengar tambahan keterangan dari Pak Lurah Tunggul 
“Anom ini, musyawarah penduduk warga Dukuh Sirah Keteng 
ini kemudian berubah suasana menjadi terang. Masing-masing 
penduduk yeng kadir kemudian membuat perhitungan sendiri- 
Sendiri. Di аата maeka banyak yeng mulai mereka-reka, 
berpikir-pikir, daerah-daerah mana saja yang sekiranya akan 
menarik untuk dijadikan kediaman dan sekaligus tempat usaha 
barunya. Tetapi di  antara mereka kemudian menjadi terdiam, 
tidak ada yang berani berkomentar, terutama bagi mereka yang 
tadi bersikap keras kini justeru tidak berani memberikan 
suaranya. Tiba-tiba terdengar suara Warok Wulunggeni 
memecahkan suasana keheningan itu. 


"Maaf, bapak-bapak dan ibu-ibu. Saya hanya ingin menyambung 
pembicaraan saya tadi setelah mendapatkan keterangan tambahan 
dari Pak Lurah kita. Jadi menurut hemat saya, penawaran rencana
ini merupakan langkah kebijaksanaan yang agаk lumayan dari 
penguasa Kadipaten. Kalau tujuzanya pengambi! alihan tanah 
pertanian kita ini untuk menyelamatkan kehidupan rakyat 
Ponorogo secara bersama, tujuan ini tentu baik. Kedua, kalau 
pengambilalihan tanah kita ini mendapatkan penggantian yang 
memadai dengan menaikkan jumlah luas pemilikan tanah 
sampai tiga kali lipat itu. Menurut saya, hal ini sudah cukup 
baik. Saya pribadi dapat menyetujui. Tetapi kalau nanti dalam 
praktek ternyata penguasa Kadipaten ingkar janji. Maka barulah 
pada kesempatan itu, kita semua wajib angkat senjata dan 
memberontak. Demikian kira-kira pendapat saya, Pak Lurah." 


“Bagus itu," komentar salah seorang ibu-ibu setengah umur 
yang duduk paling depan. 


"Ya, saya juga setuju. Sebaiknya Pak Lurah harus hati-hati 
dalam membuat perjanjian soal ganti rugi ini. Jangan sampai 
kita diperdaya. Tanah sudah diambil, penggantinya tidak 
kunjung datang,” komentar yang lainnya. 


"Akur. Kita sepakat dengan cara demikian," teriak beberapa 
orang lainnya di barisan samping kanan. 


Maka, sejak hari itu, Pak Lurah Tunggul Anom telah 
dapat menyampaikan laporan tertulis yang disiapkan ber- 
sama Warok Wulunggeni. Laporan tertulis mengenai ha- 
sil musyawarah warga Dukuh Sirah Keteng itu akan 
disampaikan kepada Penguasa Kadipaten pada keesokan 
harinya di kadipaten Ponorogo. 


Para Penggede Kadipaten Ponorogo merasa bersukacita ketika 
menerima keputusan musyawarah warga Dukuh Sirah Keteng 
itu. Mereka temyata orang-orang yang berjiwa besar. Bersedia 
dengan ikhlas menyerahkan tanah-tanah subur mereka demi 
kepentingan yang lebih luas. Untuk menolong saudara 
mereka, rakyat Ponorogo yang kelaparan. Disebabkan lantaran 
tanah-tanah pertanian penduduk banyak yang berubah tandus 
kekeringan. Semakin gersang sejak dilanda musim paceklik 
yang berkepanjangan akhir-akhir ini. Sikap arif penduduk 
warga Sirah Keteng itu dianggap telah berhasil membantu 
menyelesaikan suatu masalah besar, untuk menanggulangi 
sebagian keperluan penyediaan bahan pangan bagi rakyat 
Kadipaten Ponorogo. 


5
WAROK JABUNG 


SEJAK daerah Sirah Keteng dikuasai oleh Penguasa Kadipaten 
untuk dijadikan sebagai daerah penyangga penyediaan bahan 
pangan rakyat Kadipaten, Warok Wulunggeni sekeluarga ke- 
mudian menyingkir ke daerah Dukuh Jabung yang masih 
termasuk daerah Ponorogo selatan. Oleh karena itu lama-kela- 
maan, Warok Wulunggeni dijuluki sebagai Warok Jabung. 


Memang naas nasibnya bagi warok yang kalah adu tanding di 
gladi gelanggang yang disaksikan oleh banyak warga Kadi- 
paten waktu itu, ia kemudian nampak hidup terlunta-lunta tidak 
dihargai lagi oleh masyarakat dan penguasa Kadipaten. Seperti 
halnya nasib Warok Wulunggeni ini, ia tidak bisa dipakai di 
pemerintahan, sebab dianggap sebagai warok yang kurang bisa 
diandalkan lagi. Sebaliknya nasib Warok Surodilogo, sejak 
kemenangannya adu tanding melawan Warok Wulunggeni 
beberapa tahun yang lalu itu, kini kehidupan ekonominya 
makin sejahtera menanjak maju. Selain ia sekarang dapat 
menguasai usaha jasa pengawalan keamanan bagi para peda- 
gang-pedagang yang akan melewati daerah Dukuh Dawuan, ia 
oleh penguasa kadipaten kemudian diangkat menjadi penguasa 
pengamanan daerah di Dawuan itu. Hal inilah yang akhirnya 
membuat hidupnya enak, banyak uang, banyak harta, dan 
memiliki kekuasaan di daerah bersangkutan. 


Warok Wulunggeni ketika mendengar berita mengenai ke- 
makmuran Warok Surodilogo sekarang di Dukuh Dawuan, 
hatinya memang jadi kecut dibandingkan nasibnya yang me- 
nelangsa harus pindah-pindah tempat tinggal baru, dan selalu 
merintis usaha baru. Tetapi ia nampaknya tidak kehilangan 
semangat. Sebagai warok sejati, kalau kalah tarung yah harus 
mengakui keunggulan lawannya. Walaupun ia kini telah 
menguasai banyak ilmu kanuragan baru, dan juga memiliki 
ilmu macan loreng dari hasil bergurunya di Blitar selatan 
tempo hari, akan tetapi ia tidak hendak gegabah menggu- 
nakan ilmu-ilmunya itu secara sembarangan, termasuk 
menghindari pertemuan dengan musuh bebuyutnya si 
Warok Surodilogo yang dianggap telah merampas usahanya 
dahulu di daerah Dukuh Dawuan itu. 


Menurut pesan gurunya di Blitar selatan dahulu "Ilmu macan 
loreng yang telah kamu miliki itu tidak bisa kamu gunakan 
untuk menantang berkelahi orang. Ilmu itu hanya bisa kamu 
gunakan untuk membela diri kalau kamu diserang. Apabila 
kamu langgar ketentuan garis keilmuan ini, ketika engkau telah 
berubah menjadi macan jadian, otakmu akan ikut berubah 
menjadi macan. Tidak bisa lagi digunakan untuk berpikir, 
hanya naluri hewani yang tinggal dalam tubuhmu. Oleh karena 
itu kamu tidak akan bisa berpikir lagi seperti manusia, kamu 
tidak akan bisa mengingat lagi untuk melafalkan mantra agar 
kamu dapat berubah kembali menjadi manusia. Oleh karena 
mengingat bahayanya ilmu ini, kamu jangan sekali-kali  ber- 
tarung langsung secara bernafsu, gunakan hanya untuk perta-
hanan kalau diserang, maka kamu akan selamat kembali 
berubah menjadi manusia seperti sedia kala,” begitu tutur 
gurunya yang dinasehatkan berkali-kali kepada Warok Wu- 
lunggeni. Oleh karena itu Warok Wulunggeni tidak berani 
mengambil risiko untuk beradu atau mendatangi musuhnya, 
kecuali ada orang yang datang kepadanya mau bikin gara-gara, 
baru ia berani menghadapinya, dan kemudian dapat menggu- 
nakan ilmu-ilmu kanuragannya yang sangat berbahaya bagi 
orang lainnya yang mau membikin ulah kepadanya itu. 


Kesabaran yang memang harus diterapkan oleh Warok Wu- 
lunggeni yang kini terus-mencrus memperdalam ilmu 
ketabiban, ilmu penyembuhan luka akibat bacokan yang 
mengandung warang beracun, mengobati orang terkena 
tenung, teluh, guna-guna, terkena tenaga dalam, dan lain- 
lain berbagai penyakit yang diakibatkan oleh perkelahian 
kini mulai dikuasainya.

Setelah menempati rumah barunya yang dibangun dengan 
gotong royong dari sesama penduduk Dukuh Jabung, akhimya 
rumah joglo besar itu mulai kelihatan wujudnya dan layak 
untuk ditempati Warok Wulunggeni sekeluarga. 

Sekitar sebulan kemudian, anak perempuannya Sri Wigati ber-
sama suaminya Drajat Panuju yang menjabat sebagai senopati 
di pemerintahan Kadipaten Ponorogo, baru menjenguk rumah 
orang tuanya yang baru itu di Dukuh Jabung. 

"Bagaimana kabarmu, Nduk,” tanya Warok Wulunggeni 
ketika menerima sungkem dari putri satu-satunya yang sangat
disayangi itu yang diiringi oleh suaminya yang ganteng nam- 
pak gagah perkasa itu. 

“Baik-baik saja, Рак," jawab Sri Wigati nampak sangat hormat 
kepada kedua orang tuanya itu. 


Warok Wulunggeni sebenarnya tidak begitu senang mendapat- 
kan menantu yang bekerja sebagai senopati di Kadipaten. 
Tetapi karena nampaknya anak perempuannya itu bisa hidup 
rukun bahagia ya sebagai orang tua harus mau juga merelakan 
kepentingan dirinya. Tut Wuri handayani saja. 

Selama beberapa hari menantunya itu tinggal di rumahnya. 
Warok Wuhmpgeni jarang mengajak ngobrol panjang lebar. 
hanya ngomong seperlunya saja. Mbok Rukmini, isterinya yang 
malahan banyak ngobrol macam-macam dengan riang gembira. 
Ceriteranya ada saja sampai pada hal-hal yang lucu-lucu sehingga 
membuat ketawa terpingkal-pingkal anak dan menantunya itu. 


Diam-diam Warok Wulunggeni membuatkan ramuan jamu 
untuk diberikan kepada anak putrinya itu yang khasiatnya 
untuk mencegah kehamilan. Ia tidak menghendaki anak turun- 
nya yang berasal dari darah orang penggede Kadipaten. Na- 
mun mengenai khasiat jamu itu tidak diberitahukan kepada 
putrinya. Pesannya agar terus diminum untuk menjaga kese- 
hatan, supaya tetap awet muda, dan cantik. 

"Nduk, ini bapak membuatkan jamu ramuan khusus untuk 
kamu. Tiap tiga hari sekali kamu minum. Khasiatnya selain 
untuk kesehatan, juga supaya kamu tetap awet muda dan cantik 
agar suamimu itu tetap menyayangimu." 


"Matur nuwun. Terima kasih, Bapak. Saya akan mematuhi 
nasehat Bapak.” 


“Yah, jangan lupa untuk terus meminumnya. Dan kalau sudah 
habis, kamu datang kemari lagi, atau simbokmu yang akan 
antar ke rumahmu di kota." 


“Matur nuwun, Terima kasih, Bapak." 
"Belajar ilmu kanuraganmu kan masih terus to, Nduk." 
“Yah, Pak." 


"Nah, sana terus minta tambahan ilmu dari Kakangmasmu itu, 
yah begitu kan Angger Drajad." 


"Nuwun, Pak. Inggih,” jawab Drajad menantunya itu yang 
duduk bersebelahan dengan isterinya Sri Wigati yang malam 
itu nampak cantik jelita dengan memakai kebaya warna 
ungu, hanya tersenyum- senyum ramah dihadapan kedua 
mertuanya. 

"Ilmu kehidupan ini kalau digali tidak ada habis-habisnya. Kita semua
berkewajiban terus-menerus tiap hari mengembangkan ilmu. 
Mencari ilmu baru agar membuat langgeng jalannya hidup. Tidak 
ada ruginya kita menguasai banyak ilmu. Ilmu apa saja kita wajib 
mempelajarinya," nasehat Warok Wulunggeni di suatu sore di- 
hadapan putri dan menantunya itu. Menantunya hanya bisa terus- 
menerus memanggut-manggutkan kepalanya untuk memberi 
rasa hormat kepada mertuanya yang disegani itu. 


Seminggu setelah putri dan menantunya itu kembali ke kota 
Kadipaten, Warok Wulunggeni mempunyai gagasan untuk 
membuka usaha meracik jamu godogan yang diambilkan dari 
ramuan bahan-bahan dedaunan di daerah Dukuh Jabung terse- 
but. Selain itu, ia juga berusaha meneliti khasiat pengobatan 
dari unsur-unsur tiap binatang-binatang yang mungkin dapat 
dikembangan sebagai bahan- bahan yang berguna untuk 
penyembuhan orang sakit. 


Usaha jamu godogan itu nampaknya makin digemari orang. 
Lama-lama banyak orang yang tahu kemudian datang untuk 
berobat dan membelinya untuk digodog di rumah. Untuk 
mengembangkan usahanya itu, Warok Wulunggeni akhirnya 
membuka warung jamu di jalan besar yang mudah terjangkau 
oleh calon pembelinya. 


Demikian juga usaha penyembuhan orang-orang sakit itu 
ternyata banyak orang yang merasa cocok berobat kepada 
Warok Wulunggeni, baik yang terkena luka, terkena 
guna-guna, penyakit-penyakit menahun lainnya dengan 
menggunakan tenaga bathin dan ramuan dedaunan sering 
dapat diatasi oleh Warok Wulunggeni. Untuk memberi- 
kan pelayanan kepada para pengantar orang sakit, sambil 
menunggu orang sakit yang sedang ditangani Warok 
Wulunggeni di dalam rumah bilik sebagai tempat praktek 
pengobatannya, Mbok Rukmini membuka warung minu- 
man dawet dan makanan kecil berupa ketela, rempeyek, 
singkong rebus, agar para pengantar yang kehausan dan 
kelaparan dapat dengan mudah membeli di warungnya itu 
sambil menunggu orang yang sedang diobati di dalam. 


Dukuh Jabung lama-lama menjadi ramai dikunjungi orang. 
Banyak orang yang sakit diantar ke tempat pengobatan Warok 
Wulunggeni yang tidak pernah memungut bayaran secara 
khusus. Kalau ada yang memberi yah diterima, tetapi kalau 
tidak memberi juga tidak apa- apa, dianggapnya sebagai 
sekadar menolong sesama. Mereka yang tidak punya uang, 
membayar dengan membawakan makanan, bahan pangan, ter- 
nak, kayu, atau apa saja, dan banyak juga yang secara cuma- 
cuma lantaran tidak kuat bayar dengan apa pun. Semua orang 
yang sakit, baik yang bayar maupun gratisan, mendapatkan 
perlakuan yang sama dari Warok Wulunggeni. 


Begitu makin banyaknya orang yang berkunjung untuk bero- 
bat yang rata-rata membawa pengantar, mereka berasal dari 
latar belakang macam-macam, mempunyai pekerjaan macam- 
macam, pada umumnya adalah para pedagang, maka lama- 
lama antar para pengantar itu terjadi transaksi tukar menukar 
barang atau jual beli barang di tempat menunggu itu. Dalam 
waktu singkat halaman luas rumah Warok Wulunggeni pun 
menjadi berkembang seperti layaknya sebuah pasar. 


Begitu ramainya "pasar kaget" itu tiap harinya. Bahkan sampai 
malam hari pun masih kelihatan ramai. Mereka, para pengantar 
itu, harus menunggu orang yang sakit, lagi diobati, atau masih 
dalam perawatan, maka siang-malam pun mereka yang saling 
jual-beli itu seperti menyerupai suasana pasar. Kalau siang 
seperti pasar siang. dan kalau malam seperti pasar malam. 


Kemudian muncul gagasan-gagasan dari para penduduk setem- 
pat sehingga melahirkan banyak usaha-usaha baru, ada jasa 
penginapan yang ditawarkan oleh para penduduk setempat 
kepada para pengantar yang kemalaman ingin bermalam di situ. 
rumah-rumah mereka disulap menjadi tempat penginapan yang 
mendatangkan keuntungan bagi para penduduk di Dukuh 
Jabung itu. Demikian juga makin semarak berkembang usaha 
warung-warung makanan, sampai usaha hiburan tanggapan 
gamelan yang mau memesan tembang lagu membayar kepada 
kelompok penabuh gamelan keliling itu. 


Suasana ramai siang malam itu, akhirnya memancing perha- 
tian pihak penguasa Kadipaten untuk menertibkan. Para peda- 
gang diminta membayar upeti dari hasil keuntungannya, para 
penyewaan rumah yang mendapatkan penghasilan dari usaha 
membuka penginapan itu juga tidak terlepas dari tarikan pem- 
bayaran upeti, demikian juga usaha pengobatan dan penjualan 
jamu godog yang dikelola langsung oleh Warok Wulunggeni 
itu juga harus bayar upeti. 


Terakhir sekali malahan Warok Wulunggeni mendapat 
peringatan keras dari penguasa kadipaten bahwa kegiatan 
pengobatan tradisionainya itu dianggap sebagai usaha 
bisnis dan kemudian dinyatakan sebagai usaha liar yang 
perlu ditertibkan lantaran tidak dibekali oleh kelengkapan 
surat ijin usaha dari penguasa Kadipaten. Beberapa kali 
Warok Wulunggeni dipanggil ke Kadipaten untuk memper- 
tanggungjawabkan kegiatan membuka usaha praktek pengo- 
batan itu, akan tetapi ia sekali pun tidak pernah mau datang 
memenuhi panggilan penguasa kadipaten itu. 


"Pengobatan ini bukan usaha bisnis. Kegiatan pengobatan ini 
bertujuan untuk menolong orang yang sedang kesusahan. 
Memberikan bantuan kepada sesama warga yang membu- 
tuhkan pengobatan karena menderita sakit. Aku hanya 
menolong, tidak untuk mencari keuntungan. Kalau kebetulan 
dari mereka itu ada yang berhasil aku sembuhkan dan 
berterima kasih kepadaku dengan memberikan macam- ma- 
cam itu, apa tega aku tolak pemberiannya itu, wong itu semua 
dilakukan hanya sekedar sebagai sarana untuk menyambung 
persaudaraan antar sesama," kata Warok Wulunggeni suatu 
hari kepada para petugas perijinan penguasa kadipaten yang 
datang ke rumah praktek Warok Wulunggeni di Dukuh Jabung 
itu. 


“Kami hanya menjalankan perintah atasan, Pak. Jadi kalau 
Bapak masih ingin terus berpraktek pengobatan di sini, Bapak 
harus mengurus ijin tertulis yang dikeluarkan oleh penguasa 
Kadipaten. Bapak harus datang sendiri ke sana menerangkan 
usaha prakteknya ini, baru kemungkinan akan diberikan ijin 
praktek. Kalau sekarang Bapak tidak mempunyai ijin, kami diberi 
kewenangan untuk menutup usaha Bapak ini," kata petugas 
masalah perijinan dari penguasa Kadipaten itu mengancam 
Warok Wulunggeni akan menutup tempat pengobatan ini. 


"Kalau kalian mau tutup, silahkan. Apanya yang mau ditutup. 
Wong saya tidak ada usaha apa-apa, hanya tinggal di rumah 
begini, dan kalau ada orang sakit datang dari jauh-jauh kemari 
mau minta tolong apa tega aku biarkan begitu saja dengan 
alasan aku tidak ada ijin untuk menangani orang sakit. Kalau 
mau ditutup, boleh saja, aku tidak bertanggungjawab kepada 
mereka yang jauh-jauh datang kemari untuk mencari kesem- 
buhan penyakitnya, apa tidak kasihan merekakita biarkan tetap 
sakit." 


"Memang kasihan, Pak. Tetapi ini menyangkut uger-uger,
undang- undang dari penguasa kadipaten yang harus dipatuhi. 
Usaha pengobatan bapak ini dianggap sebagai usaha vang 
mendatangkan keuntungan bagi Bapak." 


“Sebenarnya anggapan itu salah. Kalau usaha yang memang 
mendatangkan untung bagi keluarga saya, memang ada, tetapi 
yang menyangkut usaha jualan dawet Mbok Rukmini, isteri 
saya itu. Memang itu selain untuk menolong orang yang butuh 
makan-minum juga untuk membantu asap dapur keluarga 
saya," kata Warok Wulunggeni menghadapi para petugas dari 
penguasa Kadipaten itu dengan berusaha bijaksana. 


"Jadi, Bapak, tetap tidak mau mengurus ijin praktek pengo- 
batan ini ke Kadipaten". 


"Yah. Saya tidak mau. Saya tidak mau dikatakan bahwa orang 
mau menolong mengobati orang sakit yang lagi kesusahan ini 
dianggap sebagai usaha bisnis. Itu saja pendirian saya. Kalau 
memang harus perlu ijin, yaitu ijin jualan dawet itu saja. Besuk, 
isteri saya biar mengurus ijin usahanya ke Kadipaten. Khusus 
mengurus ijin membuka usaha dawet, Tetapi apa pentas, jualan 
dawet kecil- kecilan begini saja perlu mendapat ijin terlebih 
dulu dari penguasa kadipaten. Coba tolong pikirkan." 


Sejak mulai hari itu oleh para petugas dari Kadipaten, Warok 
Wulunggeni dilarang untuk membuka praktek pengobatan. 
Dan Warok Wulunggeni pun mematuhinya untuk menutup 
tempat praktek pengobatannya itu. 


"Pakne. Apa kita tidak sebaiknya minta tolong kepada Angger 
Drajad, menantu kita. Ia kan pangkatnya sudah senopati. 
Apakah ia tidak bisa membantu mengusahakan ijin praktek 
pengobatanmu itu di Kadipaten di kantornya dia juga," kata 
Mbok Rukmini suatu malam. 


“Coba saja kamu temui menantumu yang senopati itu. Apakah 
ia akan bisa menggunakan wibawanya sebagai senopati untuk 
menolong mertuanya yang lagi sekarat ini." 


"Yah, besuk pagi-pagi aku mau berangkat ke kota biar diantar 
Si Tarjo, kusir dokar kita itu." 


"Yah. Coba saja usahakan. Aku sudah tidak mau lihat Kadi- 
paten. Kamu saja yang tidak punya persoalan dengan orang- 
orang Kadipaten." 

Pagi-pagi sekali Mbok Rukmini sudah sampai di rumah menan- 
tunya Senopati Drajad Panuju yang masih berada di dalam 
lingkungan keraton kadipaten di tengah kota Ponorogo. 


“Bagaimana Nak Drajad, apa bisa mengusahakan ijin praktek 
pengobatan Bapak ini, di kantormu," tanya Mbok Rukmini 
kepada menantunya Senopati Drajad Panuju itu. 


"Drajad ini hanya seorang senopati, Buk. Tugas Drajad ber- 
perang, menjaga keamanan. Soal ijin pengobatan itu sudah ada 
yang mengurusnya yaitu penggede kesehatan masyarakat. Jadi 
apa bisa Drajad ikut-ikutan memberikan pendapatnya. Drajad 
belum yakin. Akan tetapi Drajad akan usahakan sebisanya 
untuk menemui pejabat- pejabat yang berwenang,” 


“Tetapi kan sama-sama orang dari pemerintahan Kadipaten. 
Barangkali suara Angger Drajad lebih bisa didengar daripada 
Bapakmu sendiri yang harus datang kemari." 


"Yah. Akan Drajad usahakan, Buk." 


Malamnya Mbok Rukmini bermalam di rumah menantunya itu 
karena sampai larut malam Senopati Drajad Panuju menan- 
tunya itu belum pulang. 


"Bagaimana ya Nduk, usaha suamimu apakah bisa berhasil 
atau tidak yah." tanyanya kepada anak perempuannya Sri 
Wigati itu. 

"Ya, berdoa saja, Buk," jawab anak perempuannya itu sambil 
membawakan secangkir wedang kopi dan secobek gorengan 
jadah ketan hitam. 


“Buk, wedangnya di minum." 
"Ya." 


"Ibu, kok kelihatan gelisah terus sejak tadi. Ada apa Buk," 
tanya Sri Wigati putrinya itu. 


"Biasanya suamimu tiap hari pulangnya apa malam begini." 


“Yaaaa, tidak tentu. Tetapi yang biasa tiap sore ia sudah ada di 
rumah. Mungkin kali ini ia sedang mengusahakan ijin Bapak 
itu, Buk." 


Tengah malam pintu depan rumah ada yang mengetok, ternyata 
Senopati Drajad Panuju yang datang baru pulang kerja. 
“Bagaimana Nak Drajad. Apakah berhasil,” langsung Mbok 
Rukmini minta beritanya mengenai usaha mengurus ijin prak- 
tek pengobatan suaminya itu. 

"Drajad sudah usahakan sebisanya untuk menemui pejabat-pe- 
jabat yang berwenang soal perijinan usaha pengobatan itu. 
Hasilnya, menurut keterangan mereka, hal ini menjadi 
wewenang langsung Patih Brojosento." 

Dengan rasa sedih akhirnya paginya, Mbok Rukmini pulang 
ke kampungnya di Jabung. 


“Bagaimana Mbokne hasilnya kepergianmu ke kota Kadi- 
paten," tanya Warok Wulunggeni setelah mereka berdua 
duduk di serambi depan rumahnya itu. 


"Sudah ketemu Drajad, dan dia sudah usahakan sampai larut 
malam untuk menemui pejabat-pejabat yang berwenang. Ha- 
silnya semua tidak bisa memberikan keputusan, sebab katanya 
ini wewenang langsung Patih Brojosento." 


"Ha...ha...ha...," Warok Wulunggeni tertawa terbahak-bahak 
begitu mendengar ceritera isterinya soal gagalnya mendapat- 
kan ijin usaha pengobatan itu. 

"Lho, kenapa kamu tertawa senang begitu. Bukannya tambah 
sedih, malahan kelihatan gembira begitu. Ada apa." 


"Bagaimana tidak ketawa, soal kesehatan masyarakat begini 
saja harus ijin Patih. Lalu orang-orang macam Drajad yang 
berpangkat Senopati saja tidak digubris apalagi kita ini yang 
tidak punya pangkat apa-apa mau dianggap apa. Apakah cerita- 
cerita begini ini tidak bikin ketawa saya, Mbokne, mbokne." 


"Drajad, menantu kita itu pangkatnya senopati. Tugasnya ber- 
perang, menjaga keamanan, begitu kata dia tadi. Jadi tidak 
mempunyai wewenang untuk mengurusi soal perijinan pengo- 
batan begini ini." 


"Ha...ha...ha.. biar jaga keamanan, tugas perang, apa tidak ada 
pertimbangan sama sekali dia itu kan orang dalam Kadipaten, 
Pejabat tinggi. Pangkatnya saja senopati. Masak sama sekali 
tidak ada wibawanya. Itulah menantumu, Mbokne. Pangkat- 
nya saja senopati, tetapi kekuasaanya tetap saja di tangan Ki 
Patih dan langsung ke Kanjeng Adipati." 


“Lalu, bagaimana usaha kita yang lain, Pakne." 


"Tenang saja, Mbokne. Aku akan jalan dengan caraku sendiri. 
Sudahlah sekarang Mbokne tidur yang enak, tidak usah 
dipikirkan soal ijin-ijin ini. Aku yang akan mengatasi segalanya. 
Kamu tidak usah memikirkan. Itu semua urusanku. Sudah 
tenanglah tidak usah dibuat susah." 


Sejak peristiwa kegagalan Mbok Rukmini mengusahakan 
surat ijin lewat menantunya yang berpangkat senopati itu ga- 
gal, Warok Wulunggeni memasang papan pengumuman besar 
di depan pintu rumahnya yang bertuliskan : 


“Bagi yang ingin berobat. Harus membawa surat ijin dahulu 
dari penguasa Kadipaten. Kalau tidak membawa surat ijin 
tidak bisa dilayani. Karena akan mendapatkan tegoran keras 
dari penguasa Kadipaten. Silahkan datang terlebih dahulu ke 
kantor Kadipaten untuk mendapatkan surat ijin tertulis." 


Adanya pengumuman Warok Wulunggeni itu telah membuat 
penguasa Kadipaten kalang-kabut. Hampir tiap hari orang- 
orang yang sedang menderita sakit diantar oleh para pengantar 
yang jumlahnya kadang banyak itu mendatangi kantor Kadi- 
paten untuk meminta ijin berobat ke rumah Warok Wulung- 
geni. 


Hari itu juga, Kadipaten Ponorogo jadi ribut ketika mendengar 
adanya laporan mengenai makin membanjimya orang-orang 
sakit yang dibawa datang ke kantor Kadipaten. 


"Wah...wah...bagaimana ini maunya si Wulunggeni ini. 
Kantor Kadipaten bisa jadi rumah sakit ini. Ada saja pokal- 
nya si Wulunggeni ini. Coba laporkan masalah ini kepada 
Paman Patih Brojosento untuk diteruskan kepada Kanjeng 
Adipati," kata Warok Sawung Guntur ketika mendengar 
laporan dari anak buahnya mengenai makin ramainya orang 
yang datang ke kantor Kadipaten pada tiap harinya. Makin 
banyak orang sakit yang berduyun-duyun dibawa ngantre ke 
kantor Kadipaten perlunya hanya mau minta surat ijin untuk 
berobat ke rumah Warok Wulunggeni. 


Akhirnya penguasa Kadipaten mengirim petugasnya kem- 
bali untuk menemui Warok Wulungggeni, mengenai kepu- 
tusan larangan berpraktek pengobatan tanpa dilengkapi 
surat-surat perijinan itu, dibatalkan. Artinya Warok Wu- 
lunggeni sekarang boleh berpraktek lagi tanpa perlu mengu- 
rus ijin. dan orang-orang yang sakit tidak perlu datang lagi 
ke kantor Kadipaten untuk meminta surat ijin tersebut. 


Ada ketentuan tambahan yang ditetapkan pihak penguasa Kadi- 
paten kepada Warok Wulunggeni, kalau seandainya saja ada 
penduduk yang celaka karena salah pengobatan yang dilakukan 
Warok Wulunggeni, ia harus mempertanggungjawabkan keke- 
liruan itu di kemudian hari. Warok Wulunggeni menyanggupi 
ketentuan yang digariskan dalam undang-undang pengobatan 
yang dikeluarkan oleh penguasa Kadipaten itu. 


Selanjutnya, tidak lama kemudian, Dukuh Jabung menjadi 
ramai kembali dikunjungi oleh banyak orang yang mau 
berobat. Para penjual dawet pun makin ramai berjajar di 
pinggir-pinggir jalan yang banyak dikerumuni orang yang 
mau membeli, dan kehidupan penduduk Dukuh Jabung pun 
nampak kesejahteraannya makin meningkat. 


6
ILMU SEMAR 


MALAM itu, Warok Wulunggeni yang sedang ditemani Mbok 
Rukmini isteri setianya, duduk-duduk di kursi dipan bambu di 
serambi depan rumahnya, sedang asyik menikmati kopi nas- 
gitel (panas, legi, kentel), mencicipi jadah putih bakar yang 
masih hangat, sinambi menghisap rokok kelobot Tingwe, 
mengelinting dewe dari daun jagung kering dan tembakau apek 
yang dilapisi klembak dan kemenyan siong, asapnya terus 
mengepui mengeluarkan bau sesajen yang menyengat turut 
tusuk. Dalam keadaan demikian itu, tampak terasa bahagia ` 

pasangan suami-isteri, Warok Wulunggeni dan Mbok Rukmini 
yang sudah menginjak usia setengah baya ini. 


"Рак, Pakne," suara Mbok Rukmini memecahkan kesunyian. 


"Ya, apa," jawab suaminya sambil menyedot rokok kelobotnya 
itu dalam-dalam terasa nikmat. 


"Belakangan ini aku sedang mikir-mikir. Apa kira-kira 
salahmu selama ini terhadap Kanjeng Gusti Adipati. 
Kenapa sepertinya setiap langkahmu selalu mendapat ha- 
langan dari penguasa Kadipaten. Tiap kali kamu mem- 
buat usaha baru selalu saja berhadapan dengan penguasa 
Kadipaten. Sejak di Dukuh Dawuan dahulu, kamu justeru 
yang dipersalahkan. Kamu dituduh bersekongkol dengan 
para begal Dawuan. Malahan si Surodilogo yang jelas- 
jelas merebut usaha yang kamu rintis, justeru dia yang 
mendapatkan kedudukan enak sekarang. Usaha jasa yang 
pernah kamu rintis dulu, sekarang ia yang enak-enak menda- 
patkan hasilnya. Kemudian kita pindah ke Dukuh Sirah 
Keteng, kamu masih juga disingkang-singkang. Bahkan diusir 
dari sana, walaupun istilahnya diberi pesangon. Lalu kamu 
membuka usaha di sini. Masih juga di kejar-kejar lagi, katanya 
tidak ada ijin, dan segala rupa alasan. Jadi menurutku, kamu 
ini dimusuhi karena salah apa. Sepertinya kamu tidak punya 
salah apa-apa sama penguasa Kadipaten. Tetapi kenapa keli- 
hatannya penguasa Kadipaten itu selalu menjegal usahamu 
terus-menerus begitu, Pakne,” kata Mbok Rukmini dengan 
mimik muka yang serius. 


"Pengin tahu salahku,” sahut Warok Wulunggeni dengan 
senyum- senyum dikulum, acuh tak acuh seperti tidak ada 
beban mental apa pun. 


"Ya. Coba apa." 


"Aku bersalah karena aku selalu memulai sesuatu yang 
baru. Sesuatu yang belum pernah dipikirkan oleh para 
perencana Kadipaten. Seharusnya kalau aku mau 
melakukan usaha baru harus dimusyawarahkan terlebih 
dahulu kepada pihak penguasa Kadipaten, katanya su- 
paya tertib. Tidak liar seperti aku. Oleh karena itu aku 
bisa dianggap kurang tata krama. Kurang unggah-ung- 
guh. Tidak tahu adat kesopanan, Bahkan bisa dianggap 
sebagai ancaman yang mengganggu tatanan hidup masyarakat. 
Nah itu banyak sekali salahku yang menyangkut tetek bengek 
yang dapat menurunkan kewibawaan penguasa kadipaten 
karena aku dianggap 'sak kepenake dewe”. Jelas, Mbokne," kata 
Warok Wulunggeni tak acuh sambil mengangkat cangkir kopinya 
"Tadi kamu memang juga merasa bersalah tho, Pakne,” kata Mbok 
"Mungkin." 

"Lho, yang benar yang mana. Mengaku salah atau mengaku 
benar." 


"Menurutku, aku benar. Tetapi menurut penguasa Kadipaten, 
aku yang salah. Jadi harus ngomong apa." 


"Tapi, Pakne, Aku belum yakin benar. Apa semua hal yang 
menyangkut keputusan penguasa kadipaten terhadap dirimu 
itu, apakah semuanya itu atas kehendak Kanjeng Gusti Adipati, 
atau ada orang lain yang merekadaya. Jangan-jangan ini hanya 
ulah beberapa penggede saja yang tidak senang sama kamu. 
Lalu mereka memberikan usulan macam-macam kepada Kanjeng 
Gusti Adipati yang akhimya merugikan Каmu. Apa benar 
pendapatku ini, Pakne," kata Mbok Rukmini, 


"Mungkin juga ada benarnya dugaanmu itu, Mbokne. Aku 
mempunyai firasat, orang yang paling cilaka dalam 
persoalanku dengan penguasa kadipaten itu, perkiraanku, ini 
semua pokalnya si Durno Tembem itu." 

"Lho. Si Durno Tembem itu siapa ?." 

"Itu Ihooooo, si Durno Tonggreng." 


"Empu Tonggreng, kok kamu bilang Durno." 


"Lha iya tho. Dia itu yang aku rasa banyak mempengaruhi 
pemikiran tiap kali para penggede mengadakan musyawarah 
di kadipaten. Aku pernah tanya kepada menantumu si Drajad 
Panuju itu. Katanya orang yang paling banyak bicara pada tiap 
kali ada pertemuan para penggede di kadipaten, yah si Durno 
Tonggreng itu. Jadi termasuk menyangkut nasib diriku ini tidak 
jauh-jauh juga si Durno Tonggreng itu yang punya pokal. 
Punya pikiran jahat terhadap rakyat. Bukan saja termasuk 
terhadapku, tetapi terhadap semua orang yang tidak ia sukai 
selalu ia terapkan ilmu jahatnya itu. la memang gurunya para 
Adipati, para satria, punya kesaktian, punya kewibawaan, 
punya pengaruh terhadap Adipati, kedudukannya menjadi 
orang penting sebagai penasehat spiritual penguasa Kadipaten. 
Akan tetapi ia sering punya rencana jahat yang tidak sesuai 
dengan akal sehat, dan kehendak rakyat banyak. Itu tadi ya si 
Durno Tonggreng itu, Mbokne." 


"Kalau melihat kemampuan Kanjeng Gusti Adipati, aku 
rasa beliau ini adalah orang yang sangat bijaksana. Dan 
tidak mungkin penguasa kerajaan Majapahit gegabah 
mengangkat seorang pejabat tingginya dengan cara 
ngawur saja. Mesti dipilih dari orang-orang yang 
terbaiknya. Termasuk pengangkatan kedudukan Kanjeng 
Gusti Adipati ini tentu dipilihkan dari orang yang terbaik 
di kalangan penggede kerajaan Majapahit," kata Mbok 
Rukmini masih dengan muka serius. 


"Jadi pasti saja ada orang lain yang mengutak-atik di keraton 
Kadipaten itu yang mengambil keuntungan bagi dirinya dan 
merugikan nama baik Kanjeng Adipati tho, Mbokne. Mungkin. 
benar juga si Durno Tonggreng itu yang banyak bikin ulah. 


Tetapi selain si Durno itu, aku juga Curiga sama si Sawung 
Guntur. Kalau si Sawung itu tidak menyetujui pertimbangan- 
nya si Durno. Pasti para punggawa lain juga tidak akan men- 
jalankan tugas. Sebab pengaruh si Sawung di keraton 
Kadipaten itu juga sangat besar. Ia oleh Kanjeng Adipati dapat 
dianggap sebagai mewakili suara para warok di daerah Kadi- 
paten ini. Oleh karena itu, kalau si Sawung punya sirik terhadap 
aku, maka mudah saja ia ikut-ikut mencelakakan aku atas 
bujukan si Durno Tonggreng itu." 


"Jadi, kalau demikian terus. Apa kita ini akan bisa hidup 
tenteram, Pakne. Selama si Empu Tonggreng itu masih men- 
jadi penasehat Kanjeng Gusti Adipati di sana. Selalu saja kita 
ini diusik terus oleh dia dengan mengatasnamakan sebagai 
penguasa kadipaten.” 


"Biar saja. Sampai mati kerjanya bikin perkara. Bukan aku 
yang dosa. Dosanya biar dia tanggung sendiri. Jadi, soal 
tenteram atau tidak tenteram itu kan adanya dibathin kita 
masing-masing tho, Mbokne. Bukan penguasa Kadipaten 
yang ngatur urusan kebahagian kita. Mungkin mereka keli- 
hatannya selalu berkuasa. Selalu dapat mengusik kita. 
Tetapi mereka malahan tidak pernah bisa tidur. Hatinya 
tidak tenteram, kan enakan kita yang selalu diusik tetapi 
hidup tenteram, karena hati kita pasrah. Sumeleh saja. Be- 
gitu kan Mbokne." 


"Lho, maksudku, kalau diusik-usik begini terus. Kapan kita 
bisa tenteram. Bikin ini. tidak boleh. Bikin yang lain tagi, juga 
selalu dipersalahkan. Harus ada ijin. Terkena daerah penyang- 
gah pangan, dan macam-macam acara yang merugikan kita 
terussssss," kata Mbok Rukmini nampak bersungut-sungut 
menunjukan emosinya. 


"jangan khawatir, Mbokne. Kita terapkan ilmu Semar saja. 
Kamu tahu tho, itu nama Semar tokoh punakawan dalam 
pewayangan yang selalu mengabdi kepada pandawa. Sen- 
jatanya apa. Coba. Kamu tahu tidak ?." 


"Tidak tahu." 

“Senjata semar itu. Kentut." 

“Kentut. Jadi apa maksudmu, Pakne." 

"Ya, kita kentuti saja itu orang-orang yang sok berkuasa." 


"Mana bisa kentutmu nyampai ke sana, wong sampai halaman 
depan rumah saja sudah kabur kebawa angin lesus enggak ada 
sisanya." 


"Ini perumpamaan tho, Mbokne. Pribahasa. “Paribasan”. 
Semar itu orang sakti mandraguna, memihak kepada ke- 
benaran. Tetapi kalau ia marah apa senjatanya, ya itu tadi, 
kentut. Kentut semar itu berbahaya. Begitu keluar, seluruh 
penghuni jagat raya ini akan dibikin pusing tujuh keliling. 
Tidak ada orang yang tahan sama bau busuk kentutnya 
semar yang menyengat itu. Semua tatanan kehidupan beran- 
takan begitu kentut semar itu terbang kemana-mana. Itu 
diibaratkan sebagai kekuatan yang kelihatannya sepele 
tetapi sungguh luar biasa memberikan pengaruhnya. 
Sekarang siapa bisa melarang orang kentut. Kalau ada 
orang yang kentut dan tidak tahu siapa yang kentut itu. 
Orang yang bersangkutan tidak mengaku. Bagaimana 
akan membuktikan. Tetapi pengaruh kentut itu sudah 
meracuni udara lingkungan. Ini seperti orang menyebar 
isue macam- macam yang tidak jelas sumbernya tetapi 
isue itu dipercaya orang dan menimbulkan kegaduhan. 
Siapa yang bisa mengusut. Nah, ini seperti perumpamaan 
kentut Semar tadi," 


"Lalu, apa bisa kamu mau meniru ilmu Semar. Bisa kentut 
sampai dibawa angin kabur kemana-mana begitu." 


"Lho, ini perumpamaan tadi. Paribasan tadi, Mbokne. Kentut 
Semar di situ dimaksudkan sebagai perlambang timbulnya 
huru-hara. Bisa mendatangkan kekacauan tatanan hidup. Jadi 
aku akan bikin kekacauan hidup seperti kentutnya Semar itu. 
Aku tidak pertu terjun langsung bikin gara-gara, akan tetapi 
cukup berdiri di belakang tiap kali terjadi peristiwa yang meng- 
goyahkan kewibawaan penguasa kadipaten. Jelasnya saja, 
Mobokne, aku ini yang akan mengotak-atik laku orang. Saat 
kekacauan itu tiba, maka kekuasaan Kadipaten akan goyah. 
Nah pada saat yang demikian ini peranan yang menjalankan 
kekuasaan itu kemudian akan pindah berada di tanganku. 
Kamu tahu tidak, apa itu punakawan. Terdiri dari Semar, 
Gareng, Petruk, dan Bagong itu. Semuanya itu mempunyai 
makna simbolis. Perlambang. Semar itu melambangkan 
Karsa. Gareng itu melambangkan Cipta. Petruk itu melam- 
bangkan Rasa. Bagong itu melambangkan Karya. Keempatnya 
ini merupakan satuan tindak dari diri manusia sejati. Karsa 
itu menunjukkan cita-cita, keinginan untuk mencapai 
kepada sesuatu. Cipta itu merupakan wahana buah pikir, 
ilmu-ilmu, keluasan pengetahuan. Rasa itu memberikan 
keindahan, kehadiran jiwa seninya. Hidup ini harus memiliki 
seninya. Karya itu merupakan perwujudan tindakan, gerakan, 
untuk mencapai cita-cita dalam perlambang Semar itu tadi. 
Nah, ini semua ingin aku kembangkan dalam diri pribadiku. 
Aku mempunyai cita-cita, aku harus menguasai ilmu-ilmu, aku 
harus mempunyai rasa seni, dan aku harus mampu melakukan 
tindakan. Cita-citaku, aku ingin daerah Ponorogo ini kembali 
menjadi kerajaan yang berdiri sendiri secara mandiri. Tidak 
lagi diperintah oleh kerajaan lain seperti 
Majapahit. Harus dibubarkan keberadaan Kadipaten Ponorogo 
ini diubah menjadi kerajaan kembali. Maka untuk mencapai 
cita-citaku itu, aku harus berilmu. Kepergianku ke Blitar itu 
tidak lain juga untuk mencari si “Gareng” atau Cipta itu. Selain 
itu sebelumnya aku juga sudi berteman baik dengan para ahli 
keturunan Cina, dan aku terus belajar macam-macam ilmu 
sampai soal ketabiban, pertanian dengan Raden Mas Poerboyo 
di Trenggalek, dan segala rupa itu, semuanya adalah tidak lain 
untuk mengembangkan daya kemampuan Cipta itu. Kemudian 
aku harus mengembangkan rasa seni, mampu mengolah 
rasa, mengotak-atik laku orang termasuk seni itu tadi. 
Kemudian yang terakhir, pada saatnya nanti, aku akan 
melakukan tindakan yaitu membangun kembali kerajaan 
Wengker di tengah-tengah kemakmuran rakyat Ponorogo 
ini. Piye, Mbokne, оро ora elok tenan tho, Mbokne. Nah, 
sekarang bagaimana menurut pendapatmu mengenai ini 
semua yang aku jelaskan tadi." 

“Apa itu, tidak mimpi, Pakne.” 

“Lho, jelas tidak. Sama sekali tidak ada mimpi-mimpian. Itu 
ilmu kentut Semar yang akan memberi makna yang mendalam 
dalam upaya perebutan pengaruh dalam masyarakat kadipaten 
ini. Orang macam Tanggorwereng itu, perumpamaannya bisa 
aku jadikan kentutku." 

“Ach, kamu ini ngomong yang benar, Pakne. Orang gagah 
seperti Kangmas Tanggorwereng begitu dibilang kentut. Itu 
saru." 


“Bukan begitu maksudku. Itu tadi namanya perumpamaan tadi, 
Mbokne. Jangan disalah tafsirkan. Jangan terlalu dianggap 
beneran. Apalagi jangan sampai terdengar orangnya. Tang- 
gorwereng dibilang kentutku bisa marah dia nanti." 


“Lha, iya, kamu sekarang pakai tangan Kangmas Tang- 
gorwereng. Lalu, menantumu sendiri saja menjadi orang 
pemerintahan Kadipaten yang tugasnya menguber orang- 
Orang seperti Kangmas Tanggorwereng itu. Apakah tidak 
mutar saja jadinya nanti." 

"Soal Drajad Penuju itu urusan dia sendiri. Walaupun ia itu 
suami anak kita Sri Wigati. Kalau terpaksanya si Drajad 
mengalami cilaka ditangan Tanggorwereng. Itu sudah nasib- 
nya. Jalan hidupnya sendiri-sendiri. Nanti mengenai Sri 
Wigati, kita bisa atur lagi. Soal gampang itu, Mbokne.” 


"Jangan ngomong gampang-gampang begitu. Sri Wigati nanti 
yang akan kehilangan suami. Anak kita sendiri yang akan 
menderita. Kita sebagai Orang tua, apa tidak akan ikut sedih 
melihat anak sendiri menderita ditinggal suami. Pikirkan jauh- 
jauh itu, Pakne. Jangan keburu nafsu saja. Menggunakan ken- 
tut Semar lagi." 


“Lho. Ini sudah aku pikirkan panjang-lebar. Sudah dipikirkan 
masak-masak. Aku renungkan siang dan malam. Dalam 
benakku ini sudah terpenuhi oleh rencana besar ini, 
Mbokne. Kamu tinggal mendoakan dan mendukung upayaku ini. 
Soal anak kita si genduk Sri Wigati itu nanti, sedihnya akan 
sebentar. Biarkan saja. Kalan anak kita Sri Wigati kehilangan 
suami. Tidak akan apa-apa. Nanti aku yang atur. Sudah pasti beres." 


"Beres. Beres bagaimana. Lho. Kamu ini orang tua, kok ngo- 
mong ngawur saja. Anak ditinggal pergi suami kok tidak 
apa-apa. Anak mau sengsara, tidak apa-apa. Bagaimana kamu 
ini, Pakne," 


"Maksudku, kalau sewaktu-waktu terjadi nasib yang kurang
baik menimpa Drajad si menantu kita itu, Sri Wigati tidak perlu 
susah- susah wong suaminya memang pekerjaannya perang. 
Jadi sudah menjadi resikonya soal hidup mati itu sebagai
senopati perang. Mulai sekarang hatinya sudah harus diper- 
siapkan. Harus ditata untuk berjaga-jaga apabila sewaktu- 
waktu memang nasib hidup akan berubah. Jadi, soal Drajad 
karena sudah terlanjur jadi menantu kita yah sudah, aku tidak 
ributkan karena aku juga ikut salah tidak segera pulang waktu 
itu. Tetapi soal nanti ada apa-apa umpamanya yang menimpa 
diri si Drajad. Jangan dipikirkan. Soal nanti kita selesaikan 
nanti. Jangan khawatirkan soal putri kita, Sri Wigati. Aku yang 
akan membereskan supaya jadi baiknya saja, Mbokne,” kata 
Warok Wulunggeni berusaha menenangkan isterinya yang 
mulai mengkhawatirkan tekad suaminya yang akan merenca- 
nakan pengacauan besar-besaran dimana-mana dengan meng- 
gunakan tangan Warok Tanggorwereng yang memang sudah 
terkenal sebagai orang yang ganas kalau sudah 'tandang gawe'
itu. 


"Pakne, kalau kamu akan menggunakan ilmu kentut temuanmu 
itu. Apa kata orang nanti kalau sampai ketahuan orang lain. 
Temyata dibalik semua kekacauan itu ada kamu. Kamu yang 
sudah terlanjur menyandang gelar warok, apa masih ada lagi 
penduduk yang mau menghormati kamu. Apakah akan masih 
ada orang yang mau mengakui kamu sebagai warok sebagai 
gelar kehormatan di masyarakat kita ini." 


"Lho, kenapa ?." 

"Warok, kok kerjanya bikin keributan. Warok cap apa itu. 
Apalagi tidak berani berhadapan muka, beraninya main di 
belakang orang. Tidak menunjukkan kejantanannya di depan 
umum. Beraninya main belakang. Tidak berani terus terang. 
Tetapi malahan ngumpet dan orang lain yang dijadikan 
tameng." 


"Lho. Lho, lho, jangan salah tafsir dulu, Mbokne. Siapa yang 
ngumpet. Siapa yang tidak berani. Apa, Aku ini, vang kamu 
anggap ngumpet." 

"Iуаh," 


"Jelas keliru penilaianmu itu, Mbokne. Ini soal cara me- 
menangkan peperangan, Mbokne. 'Perang tanpo bolo, menang 
tanpo ngasorake’. Sekarang ini keadaanya serba tidak jelas. 
Siapa musuh, siapa kawan tidak ketahuan. Kalan aku tiba-tiba 
tanpa sebab-musabab, menantang Kanjeng Adipati berperang, 
atau para lelabuhannya yang menjaga kedudukan 
kewibawaannya Kanjeng Gusti Adipati, tiba-tiba aku ajak 
bertarung, apa itu namanya jantan. Itu namanya baru ngawur. 
Aku baru akan menghadapi kalau memang lawan itu datang 
dihadapanku. Tetapi sekarang ini keadaannya lain. Kita ber- 
musuhan dengan сага kucing-kucingan, yah kita lawan dengan 
cara kucing- kucingan juga. Kalau ada orang yang datang 
menantang aku dihadapanku, siapa saja tidak perduli itu Kan- 
jeng Adipati sendiri, aku tidak mundur. Tetapi orangnya tidak 
muncul. Tidak pernah menantang dimuka hidungku yang 
datang hanya berbentuk cara-cara, bagaimana menjatuhkan 
martabatku, kesejahteraanku, lha mau dilawan bagai- 
mana. Oleh karena itu, aku pun juga harus meng- 
hadapi dengan cara-caraku sendiri. Begitu Iho, Mbokne. 
Supaya kamu juga mengerti, apa yang menjadi dasar 
pertimbanganku dengan perumpamaannya mengem- 
bangkan ilmu kentut semar tadi lho...ha...ha...," kata 
Warok Wulunggeni dengan diakhiri ketawanya yang ber- 
nada canda ria itu. 


Mbok Rukmini kanya senyum-senyum saja melihat akal 
bulus yang keluar dari benak suaminya itu. Walaupun se- 
benarnya ia tidak menyetujui sepenuhnya rencana yang 
akan dilakukan oleh Warok Wulunggeni, suaminya itu. Akan 
tetapi lantaran kecintaannya yang mendalam kepada suaminya 
itu, ia pun kemudian hanya bisa diam saja apa pun yang mau 
diperbuat suaminya itu.

Malam pun bertambah kelam, udara dingin malam daerah 
Dukuh Jabung mulai menyengat kulit. Nampak kedua 
pasangan suami-isteri itu telah masuk rumahnya, dan pintu 
tengahnya sudah nampak terkunci rapat. Mereka berdua itu 
nampaknya baru bisa tidur pulas kalau semua uneg-uneg itu 
telah dikeluarkan bersama. 


BERSAMBUNG