Jaka Sembung 13 - Pertarungan Terakhir(1)

1
Bukit yang gundul dan gersang itu kini mulai diselimuti kabut tebal. Malam merangkak semakin larut. Angin bertiup dari arah Selatan dengan kencangnya. Lolongan panjang srigala terdengar dari kejauhan merubah suasana hening jadi kian mencekam.

Langit gelap, dan rembulan pun menerangi mayapada dengan sinarnya yang timbul tenggelam karena tertutup awan hitam. Petir menggelegar dengan kerasnya. Kilat memberkas menerangi perbukitan.

Di dalam sebuah goa tampaklah samar-samar beberapa sosok tubuh manusia yang sedang tidur lelap dengan tangan terhimpit di ketiak, kaki terlipat karena tak kuasa menahan dingin malam yang menusuk sampai ke tulang sumsum.

Di antara mereka ada seorang pemuda berkulit coklat, berpakaian seorang pendekar. Pemuda kulit hitam tanpa pakaian dan hanya memakai semacam selongsong sebagai pembungkus alat keperkasaannya.

Paling kanan ada pula sepasang kulit putih, yang lelaki berpakaian compang camping, sedangkan yang wanitanya hanya menutupi tubuhnya dengan selembar kain sarung. Sedikit, demi sedikit rembulan meredup sinarnya. Bintang pun tak lagi berkelap-kelip menghiasai cakrawala yang luas.

Cuaca kian gelap. Hujan turun rintik-rintik membasahi bumi diiringi bunyi halilintar yang keras. Dengkuran nafas ke-empat orang itu bertambah keras. Mereka tak lagi memikirkan bahaya yang mengancam karena tak dapat lagi menahan rasa kantuk dan lelah yang teramat sangat.

Di antara mereka ada yang sedang diliputi perasaan gembira bercampur haru karena pertemuan bapak beranak yang telah beberapa lama terpisah.

Mereka tidur nyenyak sekali dibuai mimpi masing-masing hingga tak mendengar lolongan anjing hutan memecah udara disusul kilat halilintar yang menemani turunnya hujan, membentangkan cahayanya sehingga mengusik pemuda berkulit sawo matang yang tidur persis di mulut goa.

Perlahan-lahan pemuda itu membuka kelopak matanya, kemudian mengangkat badannya dan memandang ke seluruh penjuru goa yang menjadi tempat mereka berlindung untuk sementara.

Ia melihat si gadis kulit putih yang tersingkap kain penutup badannya. Kalau saja ada seorang lelaki hidung belang di antara mereka, tak tahulah apa yang akan terjadi.

Untunglah yang melihat pemandangan erotis di dalam goa itu adalah seorang pemuda tampan yang memiliki keimanan kuat dan berbudi luhur. Dialah Parmin si Jaka Sembung.

Seorang pemuda kulit hitam yang tidur meringkuk di samping Parmin adalah Awom panglima suku Kaimana. Adapun gadis kulit putih tersebut adalah Yulia yang selama ini dinobatkan sebagai kepala suku Kaimana. Sedangkan lelaki tua kulit putih yang tidur di sampingnya adalah Yan Van Boerman ayahnya sendiri

Parmin segera beranjak ke tempat Yulia membaringkan tubuh. Dia betulkan kain penutup tubuh mulus itu dengan hati-hati sekali

Kemudian Parmin berkelebat ke luar menuju sungai yang berada di kaki bukit. Dia bersihkan tubuh lalu berwudlu. Tak lama kemudian Parmin menghadap ke sesuatu tempat yang ia anggap sebagai kiblat, seraya mengangkat kedua tangan untuk bertakbir.

Parmin memejamkan kedua matanya agar bisa lebih berkonsentrasi dalam komunikasi kepada Sang Maha Pencipta. Di tengah malam yang dingin itu Jaka Sembung melakukan shalat tahajudnya dengan tafakur.

Selang beberapa lama kemudian, Parmin telah berada kembali di dalam goa. Dipandanginya tubuh-tubuh temannya yang lelap tidur dengan pandangan kasih sayang, Parmin tersenyum iba seraya berkata dalam hati.

“Kasihan, mereka begitu lelah menempuh perjalanan yang panjang dan penuh dengan bahaya.”

Parmin duduk sambil merenung sampai akhirnya matanya telah tertutup rapat-rapat. Dia pun tertidur lelap menghabiskan sisa malam yang dingin itu.

Malam telah pergi, mentari dari ufuk Timur mulai mengintip dan suara kicauan burung-burung bersahut-sahutan. Namun tubuh-tubuh yang lelah masih tertidur dengan lelapnya, kecuali Jaka Sembung yang terlihat duduk di mulut goa setelah melakukan sholat Subuhnya.

Semburat sinar matahari mulai memasuki goa itu. Berkas sinar yang menyilaukan jatuh ke wajah-wajah mereka yang masih tidur. Satu demi satu dari mereka membuka kelopak matanya perlahan-lahan.

“Uuuuh, hari sudah siang rupanya,” celetuk Awom sambil menggeliatkan tubuhnya yang tegap berotot itu.

“Ya, saking lelahnya, kalian tidur dengan nyenyak sekali tanpa memperhatikan di mana kalian sedang bermalam,” sambut Parmin yang kini sudah tampak bersih dan segar karena baru saja mandi di sungai itu.

Ketiga orang itu pun segera turun ke sungai untuk mencuci badan.

Setelah terasa segar, kembali mereka ke dalam goa, sementara Parmin dan Awom pergi mencari umbi-umbian untuk sarapan pagi. Beberapa saat kemudian, sambil membakar bahan makanan ala kadarnya itu, mereka berbincang-bincang.

“Bagaimanakah asal mulanya anda berada di pedalaman Papua ini?” tanya Parmin kepada Van Boerman yang masih saja belum mau lepas memeluk anak gadisnya.

“Tatkala kapal kami hancur di serang badai, aku terpisah dengan Yulia,” ujarnya seraya memulai ceritanya.

“Entah berapa lama tubuhku terombang-ambing gelombang laut yang luas itu. Dengan bergantung pada sebilah papan pecahan dinding kapal, aku mengadu nasib antara hidup dan mati. Tak henti-hentinya aku berdoa memohon pertolongan yang Maha Kuasa agar menyelamatkan jiwaku.

“Aku tak tahu di mana anakku Yulia, juga pendeta Yorgen yang selama ini menemaniku dalam tugas missionari dan aku juga tak tahu ke mana teman-temanku yang lain. Aku hanya berpikir tentang diriku bagaimana caranya agar selamat,” ungkapnya sambil mengerutkan kening.

“Cuaca saat itu dingin sekali dan angin laut bertiup sangat kencang. Aku tak dapat memandangi lautan di depanku, karena sebagian laut yang luas itu telah ditutupi kabut tebal hingga rembulan pun tak sanggup menembusnya.

“Hari mulai larut malam. Tubuhku terasa menggigil tak dapat menahan dingin yang menusuk-nusuk tulang sumsum. Perutku terasa perih karena lapar, aku tak dapat berbuat sesuatu untuk menangggulanginya. Aku hanya terus berharap dan berharap semoga Tuhan berkenan menyelamatkan jiwaku,” ujar Van Boerman sambil matanya menerawang seolah membayangkan kembali peristiwa yang mengerikan itu.

“Waktu terasa sangat lambat bergeser, suasana malam gelap gulita telah hilang diganti dengan cuaca pagi yang cerah dengan munculnya sang mentari. Burung-burung camar berterbangan di atas kepalaku.

“Mereka seakan merasa sedih melihat apa yang ku alami di tengah laut lepas seperti itu. Barulah ketika matahari bergeser ke Barat, tampak sebuah sekoci yang ditumpangi oleh kelasi kapal yang hancur itu, mendekat kepadaku,” ucapnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang berambut pirang.

“Atas persetujuan di antara mereka aku diangkat dan dimasukkan ke dalam perahu itu. Berhari-hari bahkan berbulan-bulan lamanya kami hanya melihat air tanpa tepi. Pada suatu hari kami melihat dataran, kami menemukan sebuah pulau yang sangat asing yang kemudian kami ketahui bernama Papua,” akunya sambil melototkan mata.

“Baru saja kami mendarat di pulau itu, mendadak kami disambut oleh pribumi yang masih primitif dengan sambutan yang tidak sebagaimana layaknya seorang tuan rumah. Mereka menyerang kami dengan tombak-tombak dan senjata tajam lainnya.

“Kami yang hanya berempat tak tahan mengimbangi keroyokan orang-orang primitif itu walau telah berusaha mengadakan perlawanan sedapat mungkin. Akhirnya dengan lari lintang pukang kami dapat menyelamatkan diri ke dalam hutan belantara.” Van Boerman berhenti sejenak, kemudian meneruskan ceritanya.

“Berhari-hari kami tersesat di dalam hutan belukar. Perut yang memang beberapa lama tak terisi mulai terasa perih dan berpilin-pilin. Di dalam ransel yang berhasil kami bawa terdapat beberapa potong roti yang sudah hancur terendam air laut sehingga sulit untuk dimanfaatkan sebagai pengganjal perut.

“Setelah secukupnya beristirahat, kami melanjutkan perjalanan melalui hutan belukar yang hanya ditumbuhi pohon-pohon sebatas bahu. Kami merayap dengan menyibak semak-semak pohon dengan kedua tangan, hingga tak terasa pakaian kami robek terkoyak patahan-patahan dahan pohon.

“Tepat pada saat matahari tenggelam, akhirnya kami sampai ke sebuah perbukitan, bukit batu ini! Kami beristirahat semalaman di bukit tandus ini. Suasananya persis sekarang ini, ada yang berbaring di sudut dan ada pula yang lelap tidur di dekat mulut goa ini,” kata Van Boerman sambil menunjuk-nunjuk.

“Pagi-pagi sekali kami sudah bangun dan membersihkan diri di sungai yang ternyata ada di kaki bukit berbatu ini. Sepanjang hari kami menikmati sekeliling bukit ini. Salah seorang dari kelasi kapal itu ternyata punya keahlian dalam bidang batu-batuan dan bertambangan. Ia menyatakan bahwa ternyata di bukit batu ini terdapat bijih emas.

Kemudian kami coba buktikan hasil penyelidikan Simon Van Derlang itu bersama-sama dengan jalan menggali batu-batuan di lembah bukit tandus dan gersang ini. Namun ternyata setelah berminggu-minggu kami menggali tanpa mengenal panas atau hujan, hasilnya tetap nihil.

“Lama-kelamaan kami yang menggali tanah mulai ragu-ragu. Tetapi Simon mulai berubah watak, mulai memaksa dan bersikap tangan besi.

“Bila ada yang membangkang, Simon tidak segan-segan menghajar kami, sampai akhirnya salah seorang dari kami ada yang nekad melarikan diri dengan membawa barang-barang seadanya, dan celakanya ranselku yang berisi al-kitab dan rosario itu ikut terbawa,” Van Boerman menghentikan kisahnya sejenak untuk bernafas kemudian melanjutkannya kembali.

“Entah bagaimana nasibnya dan aku heran bagaimana rosario itu sampai berada di tanganmu, Yulia?” Van Boerman bertanya pada anak gadisnya sambil mencium rosario yang kini ada di tangannya.

“Kami mendapatkannya dari seorang suku kanibal!” jawab Yulia.

Sementara itu Van Boerman tertunduk merenungkan nasib kawannya yang mungkin sudah menjadi santapan orang-orang suku pemakan daging manusia itu.

Tak terasa hari semakin tinggi. Sang mentari sudah mengeluarkan kekuatannya sehingga tak ayal lagi cuaca sudah berubah sangat panas memanggang bukit yang gersang dan tandus itu. Segeralah mereka menuruni puncak bukit menuju ke tempat yang agak teduh yang ditumbuhi pepohonan.

Dari sini mereka menentukan langkah selanjutnya untuk mencari jejak pendeta Yorgen yang mungkin terdampar di pulau ini juga. Sore hari itu Parmin dan Awom mulai bekerja membuat rakit dari batang-batang pohon yang agak kecil. Dengan rakit itu mereka menuju ke hulu sungai agar perjalanan mereka lebih cepat dan aman.

Setelah hampir satu hari mereka menempuh perjalanan, Parmin melihat suatu dataran yang agak mudah untuk ditempuh dengan berjalan kaki.

“Kita mendarat di sini, Awom!”

Dengan cekatan Awom mendorong rakit tersebut dengan batang kayu panjang sampai ke dasar sungai hingga sampailah ke tempat yang dimaksudkan oleh Parmin.

“Kau tambatkan tali rakit pada tonggak itu. Awom! Sewaktu-waktu kita bisa menggunakan rakit ini kembali!” ujar Jaka Sembung.

Setelah mengamankan rakit tersebut mereka melanjutkan perjalanan dengan memasuki jalan setapak yang melintasi hutan belantara itu dengan formasi Parmin dan Awom sebagai pemandu jalan, sedangkan Yulia dan ayahnya, Van Boerman mengikuti dari belakang. Mereka terus berjalan tanpa menyadari kehadiran sesosok tubuh yang senantiasa membayangi langkah-langkah mereka.

Pada saat yang tepat sosok tubuh itu menyergap Yulia dan ayahnya ke dalam semak belukar dengan mulut terbekap. Parmin dan Awom segera mendengar suara gemerisik dedaunan semak dan segera membalikkan tubuh sehingga mereka melihat bahwa Yulia dan ayahnya sudah tidak mengikuti mereka lagi.

Baru saja Parmin akan melangkah untuk berbuat sesuatu, mendadak kaki kirinya tersandung akar pohon yang ternyata merupakan suatu perangkap. Tak ayal lagi setelah benda itu putus, pohon yang terletak di tanah tiba-tiba melesat ke udara bersamaan dengan itu kaki Parmin terjerat dan tubuhnya terlontar ke atas.

Melihat hal itu Awom bermaksud melabrak dengan bersenjatakan tombak, tetapi Parmin berteriak.

“Awon! Jangan melawan, menyerah saja!”

Awom mengikuti apa yang diinginkan Jaka Sembung karena dia yakin bahwa Parmin sedang merencanakan sesuatu yang paling baik. Selang beberapa lama kemudian tubuh Parmin, Awom, Yulia dan ayahnya Yan Van Boerman tak berkutik lagi dengan tubuh terikat kuat.

◄Y►

2

Beberapa jam kemudian setelah melewati jalan setapak, hutan belukar dan sungai kecil, kelompok suku Papua itu telah sampai di perkampungan mereka yang terdiri dari belasan rumah panggung berbentuk kerucut yang terbuat dari daun-daun kering, ijuk dan ilalang.

Letak rumah-rumah primitif itu berjajar melingkari sebuah halaman yang cukup luas. Di tengah halaman perkampungan itu terdapat kerangkeng-kerangkeng yang terbuat dari bambu berbentuk teralis yang memang telah dipersiapkan untuk para tawanan dan mangsa mereka.

Yulia dan ayahnya dijebloskan ke dalam kerangkeng sebelah Selatan dengan pengawalan ketat. Sedangkan Parmin dan Awom masing-masing di kerangkeng sebelah Timur dan Barat, sehingga dengan demikian secara kebetulan Parmin dan Awom dapat mengawasi kedua orang kulit putih itu dari perbuatan-perbuatan orang-orang suku pemangsa tersebut.

Parmin tersungkur dihempaskan dengan kasar ke lantai kerangkeng. Ketika ia mengangkat kepalanya, terlihatlah di hadapannya seorang kulit putih berjubah hitam sudah lebih dahulu berada di dalam kerangkeng tersebut.

“Uuuh! Siapakah anda?” tanya Parmin. Dengan penuh wibawa orang berjubah hitam dan berkalung salib menjawab sambil tersenyum.

“Aku adalah pendeta Yorgen!”

Betapa terkejut bercampur gembira Jaka Sembung mendengar pengakuan orang yang di hadapannya yang ternyata adalah orang yang selama ini dicarinya.

“Aku sangat gembira dapat berjumpa dengan anda!” kata Parmin.

Pendeta Yorgen seorang lelaki Belanda berusia enampuluhan, berwajah selalu cerah dengan dahi lebar bercahaya, kumisnya tipis dan bertaut dengan janggutnya yang lebat. Semua itu membuat penampilannya tampak anggun dan arif.

“Kulit anda sawo matang...... Kurasa anda bukanlah pribumi pulau ini!” pendeta Yorgen meneruskan perkataannya sambil menduga dari mana asal suku tawanan baru ini.

“Betul! Aku berasal dari pulau Jawa, sebuah pulau yang merupakan bagian kecil dari kepulauan Nusantara.” Parmin menimpalinya sambil terus bertanya. “Sudah berapa lamakah anda berada di sini?”

“Hampir setahun aku dikurung seperti ayam! Tapi anehnya mereka tidak membunuhku!” dengan nada sedikit heran.

Suasana hening sejenak. Mereka saling beradu pandang dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Parmin kemudian melanjutkan ucapannya.

“Aku membawa berita gembira untuk anda, pendeta......! Tuan Yan Van Boerman dan putrinya Yulia telah berada di sini juga. Jika tidak terhalang dinding kerangkeng ini, anda dapat melihat mereka di sebelah Barat kerangkeng kita.”

Malam mulai merambat dan dataran pantai Nabire yang terletak di teluk Sarera itu mulai redup tenggelam dalam buaian malam. Yang terdengar hanyalah suara deburan ombak membelah tepian pantai.

Angin bertiup sepoi-sepoi dan bintang pun bertaburan menghiasi cakrawala yang sunyi senyap. Perlahan-lahan bintang-bintang penghias cakrawala itu mulai hilang karena pergeseran waktu menuju dini hari. Pergantian itu mulai terasa setelah terdengar kokok ayam hutan serta kicauan burung di atas ranting-ranting pohon.

Parmin masih asyik berbincang-bincang panjang lebar dengan pendeta Yorgen karena mereka berdua tak dapat memejamkan mata. Mendadak mereka dikagetkan oleh beberapa orang anggota suku primitif yang mendorong dengan kasar pintu kerangkeng.

Kemudian menarik tubuh Parmin keluar kerangkeng dengan todongan tombak-tombak mengancam. Melihat perlakuan tersebut terhadap Parmin tak henti-hentinya pendeta Yorgen berdoa demi keselamatan Pendekar Gunung Sembung itu. Dengan suara gemetar dia memberikan semangat kepada Parmin.

“Semoga kau selamat, Nak!”

Parmin dengan pasrah mengikuti makhluk-makhluk buas itu membawanya pergi sambil berkata dalam hati, “Mau dibawa ke mana lagi aku ini?”

Parmin terus digiring menuju halaman yang telah banyak dipadati orang-orang suku papua pemakan daging manusia yang menawannya. Ada yang duduk bersila mengitari api unggun yang berada di tengah-tengah mereka. Ada yang menari-nari dan ada pula yang menabuh gendang dengan irama yang menyentak-nyentak sehingga membuat suasana menjadi hiruk pikuk.

Sesaat kemudian suasana bising itu berubah menjadi hening seakan mereka sedang memanjatkan doa dalam upacara tradisionil suku. Mereka berdiri membungkuk kemudian duduk kembali.

Ketika Parmin sampai di arena upacara, laksana ada yang mengkomandoi suasana hening itu serentak berubah seperti semula, pecah dengan sorak sorai. Parmin terkejut ketika melihat siapa yang duduk di singgasana kepala suku di tengah-tengah kerumunan makhluk-makhluk buas dan ganas itu.

“Astagfirullah, dia lagi!” desisnya dalam hati.

Manusia bertopeng tengkorak yang sudah lama dikenalnya itu bangkit dari singgasananya sambil mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi menyambut kedatangan seorang tawanan besarnya. Parmin digiring dengan perlakuan yang sangat kasar.

“Makhluk iblis itu sungguh berbahaya kalau dibiarkan hidup! Aku harus dapat mengenyahkannya walaupun aku tahu ia mempunyai ilmu silat yang lebih tinggi dariku!” tekad Jaka Sembung dalam hati.

Atas perintah manusia bertopeng itu, Parmin digiring ke dalam sebuah arena yang berbentuk lingkaran tonggak-tonggak kayu rapat berjajar setinggi bahu.

“Mau diapakan aku ini?” pikir Parmin.

Setelah masuk di pintu masuk arena tersebut, Parmin dihempaskan mereka sambil mengancamnya dengan ujung-ujung tombak. Kemudian mereka bergegas meninggalkan Parmin seorang diri.

Tak berselang beberapa lama dari arah hadapan Parmin berdiri, dibukalah sebuah pintu kandang. Serta merta penghuni di dalamnya, yang tak lain seekor babi hutan yang ganas dan buas dengan taring melengkung runcing di moncongnya, menghentak-hentakkan kakinya hingga menimbulkan kepulan debu dan kerikil, siap untuk mencabik-cabik tubuh pendekar kita.

Bersamaan dengan itu pula para penonton hiburan maut itu bersorak-sorai dengan suara penuh nafsu membunuh, seakan hendak meruntuhkan tebing-tebing bukit Serera. Memang, seandainya saja yang menjadi mangsanya itu manusia tolol yang tak menguasai ilmu silat sudah menjadi santapan babi hutan yang garang itu.

Tapi lain halnya dengan Parmin si Pendekar Gunung Sembung. Sebelum binatang itu mendekatinya, maka dengan gerakan yang sangat manis dia meloncat bersalto berkali-kali di udara sambil berusaha melepaskan tali ikatannya.

Tatkala tali pengikat tangannya putus. Para penonton itu kaget bukan kepalang apalagi ketika tiba-tiba Jaka Sembung melompat sambil merampas tombak pataka upacara yang berhias tengkorak kepala manusia dan bulu-bulu burung yang dipegang oleh seorang tokoh agama suku Papua kanibal. Dengan tombak pataka tersebut Parmin kembali memasuki gelanggang untuk siap-siap.

Para penonton yang sedikit terkejut kini gembira sekali dengan sorak sorainya melihat tawanan mereka meneruskan pertandingan. Tapi apa yang terjadi selanjutnya mereka lebih terkejut lagi, karena Parmin menggunakan tombak itu bukan untuk menghantam babi hutan, melainkan untuk loncat melewati kalangan bambu dan penonton dan langsung melesat menuju singgasana kepala suku dengan lentikan yang sangat mempesona.

◄Y►

3

Manusia bertopeng menyeramkan yang sedang asyik menyaksikan pertandingan maut antara Parmin dan babi hutan, dengan gesit melesat dan menghindar meninggalkan tempat duduknya selagi Parmin meluncur di udara dengan batu loncatan pada kepala-kepala para pengawalnya.

Tapi Parmin si Jaka Sembung tak kalah gesit dan cepatnya. Dia menginjakkan kakinya pada ujung-ujung tombak yang runcing, para pengawal yang berderet itu untuk mengejar buronannya sambil berteriak mengancam lawannya.

“Jangan lari! Aku akan membuka topengmu itu hari ini!”

Namun orang bertopeng dan berjubah merah itu terus berlari menuju puncak bukit berbatu.

“Jangan coba-coba menghindar! Aku kini semakin yakin bahwa kaulah orangnya! Ku akui juga bahwa kau benar-benar luar biasa!” ujar Jaka Sembung mulai mengetahui siapa lawan gelap yang selalu membayangi setiap langkahnya di Papua ini.

Namun orang bertopeng itu semakin tak memperdulikan ucapan-ucapan Parmin yang pedas, bahkan dia sebaliknya tertawa terpingkal-pingkal sambil mengejek.

“Jika kau belum puas karena dendammu belum terbalas, maka di sinilah kita bertempur habis-habisan! Buka topengmu!!” Parmin tak henti-hentinya memaki untuk memancing kemarahan lawan, namun dengan santai insan bertopeng itu menjawab.

“He...... he...... he......! Memang sekarang saatnya satu lawan satu! Kau kira aku telah mampus oleh senjata-senjata tahi kucing itu? Buahh! Jangan bertepuk tangan dulu, monyet!

“Walau nasibku agak sial dalam pengejaran mencabut nyawamu, tapi hari ini ajalmu akan tiba, monyet Sembung! Selain terbalas dendam keluargaku, namaku akan menggemparkan dunia persilatan karena kematianmu!”

“Jangan takabur! Kekuatanmu sudah mulai berkurang! Walaupun kau punya andalan pukulan maut yang bisa membakar itu, namun aku tahu kau telah kehilangan sebelah tanganmu!” ejek Parmin sambil memasang kuda-kuda dan mempersiapkan tenaga dalamnya.

Dengan gerakan yang indah dia melesat ke arah lawannya yang telah siap menyambut serangan itu dengan mengerahkan seluruh ilmunya.

“Sekarang bukalah topeng iblis mu, hiyaaaatt......!!”

Tak ayal lagi tenaga dalam dua tokoh silat, itu kini bertemu. Laksana besi berani kedua tangan mereka saling bertumpu seakan tak bisa lepas sampai menimbulkan suatu reaksi berupa kepulan asap.

Matahari yang menyaksikan pertarungan akbar itu kian kemilau mengeluarkan panasnya yang membakar kulit. Sinarnya berbias-bias karena cepatnya gerakan mereka berdua.

Tak terasa mereka sudah bertarung lebih dari seratus jurus. Butir-butir keringat telah bercucuran dari seluruh pori-pori tubuh mereka, sehingga membuat seluruh pakaian mereka basah kuyup. Siang berganti malam, suasana di atas bukit berbatu itu kini sedikit diterangi oleh sinar rembulan yang hampir menyabit.

Tubuh mereka tak nampak, hanya bayang-bayang hitam yang berkelebat kian ke mari bagaikan dua ekor burung malam yang sedang bertarung habis-habisan. Orang-orang suku Papua yang buas tercekam menyaksikan kehebatan ilmu mereka berdua memandang tanpa berkedip. Dalam hati mereka berdoa agar kepala sukunya yang keluar sebagai pemenang dalam pertarungan maut itu.

Dua hari dua malam pertarungan itu berlanjut sudah. Pada suatu saat, tubuh Parmin tergedor oleh serangan lawan sehingga kakinya tergelincir dan tak ampun lagi tubuhnya jatuh terperosok dengan deras ke lereng bukit itu.

Tetapi belum lagi lawan bertopeng itu melontarkan serangan berikutnya Parmin telah siap siaga dengan mengerahkan tenaga dalam tingkat tinggi. Dua tenaga dalam kini saling bertubrukan di udara, menimbulkan getaran hebat menyebabkan bukit batu itu terasa bergetar.

Keringat kian deras mengucur seperti biji-biji jagung. Beberapa saat kemudian mata, Parmin mulai memerah dan dari sudut-sudutnya mulai meleleh cairan berwarna merah.

Cairan itu terus mengalir seperti anak sungai. Beberapa saat sesudah itu darah hitam mulai meleleh, kali ini dari lobang hidung, telinga dan mulut. Tubuh Jaka Sembung kini mulai condong dan oleng pertanda kekuatannya mulai habis untuk selanjutnya tentu menuju kematian!

Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada Parmin mencoba bertahan, namun tubuhnya bertambah condong dan akhirnya roboh ke tanah. Sedangkan lawannya masih tetap tegak tak tergoyahkan.

Laskar suku kanibal yang sejak tadi menyaksikan pertarungan dahsyat itu kini menyerbu dengan rasa tak sabar ingin mencincang tubuh Parmin yang sudah tergeletak tak berdaya. Namun di saat yang gawat itu suara teriakan terdengar dari arah belakang mereka.

“Tahaaann!!”

Pasukan itu berbalik dan apa yang dilihatnya ternyata suara itu datangnya dari kepala suku mereka.

Sambil keheranan mereka saling beradu pandang dan bertanya-tanya. Tubuh yang sudah tak berdaya dan sudah semestinya harus mereka cincang, kenapa kini dicegahnya?

“Biarkan dia hidup!! Aku tak ingin dia mati begitu cepat! Aku akan membuatnya mati perlahan-lahan!” ucapnya dengan penuh nafsu untuk menyiksa lawannya, sambil mengarahkan telunjuknya ke suatu tempat.

“Masukkan kembali dia ke dalam kerangkeng! Besok kita akan mengiris dagingnya sedikit demi sedikit!”

Tubuh Parmin yang sudah tak berdaya dan babak belur itu kembali diusung, diiringi sorak sorai kemenangan, kemudian mereka menghempaskannya dengan kasar ke dalam kerangkeng.

Pendeta Yorgen yang sedang menanti Parmin dengan cemas, segera bergegas menghampiri tubuh yang sudah tak berdaya itu.

“Ya, Tuhan! Apa yang mereka telah lakukan? Siksaan yang kejam! Dia tak sadarkan diri!” keluh pendeta itu sambil membuat gerakan tangan yang membentuk salib di dada.

Berjam-jam lamanya Parmin tak sadarkan diri. Selama itu pula pendeta Yorgen terus mendampinginya sambil berdoa dengan khusuk.

“Oh, Bapa yang di surga ampunilah hamba-Mu ini. Dia sedang berjuang antara hidup dan mati. Tapi aku yakin Bapa akan memberinya pertolongan. Karena aku yakin dia berada di jalan-Mu, Ya Allah!”

Parmin mulai siuman dari pingsannya sambil mengucap dua kalimat syahadat, “Lailaha Ilallah Wa-Ashadu Anna Muhammadar Rosulullah.”

Pendeta Yorgen yang melihat Parmin sudah siuman, dia gembira dan terus memandangi wajah pendekar muda yang penuh semangat dalam menentang segala keangkara-murkaan di muka bumi itu.

“Dia sudah mulai sadar...... Kepalanya bergerak dan mulutnya komat kamit!” ucapnya dalam hati.

Tubuh Parmin tiba-tiba bangun perlahan-lahan dan duduk tegap bersila sambil mengatur pernafasannya. Kemudian dia menggerakkan tangannya serta matanya perlahan-lahan dipejamkan seraya berucap, “Bismillahir Rahmanir Rahim......?” Setelah itu kepulan asap keluar dari segenap puri-pori tubuhnya.

Pendeta Yorgen yang menyaksikan pemandangan itu terbelalak kagum. “Ya, Tuhan! Apa yang sedang terjadi? Mukjizat?!”

Belum lagi rasa kagum terlepas dari benaknya, kini dikagetkan dengan sesuatu yang lebih dahsyat lagi? Oh, kaki balai-balai yang didudukinya itu menembusi lantai kerangkeng!”

Pada puncak semadhi itu Parmin tiba-tiba melihat dengan jelas bayangan almarhum gurunya Ki Sapu Angin yang berambut panjang putih hingga bahu dan kumis serta jenggot yang lebat warna putih pula yang berkata dengan penuh wibawa.

“Parmin, muridku! Jurus ‘Wahyu Taqwa’ adalah jurus larangan yang sangat dahsyat! Sebagaimana kau ketahui ilmu silat Gunung Sembung adalah warisan dari Sunan Gunung Jati, seorang Wali Kutub yang bersemayam di Gunung Jati Cirebon......

“Dengan jurus ‘Wahyu Taqwa’ itu pula beliau berhasil menghalau kebathilan yang datang dari orang-orang kaum syirik dan murtad yang coba-coba menghalangi penyebaran agama Islam, di tanah Jawa. Jika jurus itu sudah kau gunakan dan ternyata belum mampu mendobrak pertahanan musuh, harus kau sempurnakan dengan semadi sampai puncaknya.

“Di saat itu kau berada dalam titik pertemuan antara hidup dan mati. Di saat itu pasrahkan dirimu kepada Yang Maha Kuasa dan kau lancarkan pukulan yang terakhir, pukulan pamungkas! Sesudah itu akan terjadi dua kemungkinan.

“Tubuh musuhmu atau tubuhmu sendiri yang akan hancur! Tetapi kau harus berani mengambil jalan terakhir itu, Parmin! Percayalah bahwa Allah Subhanahu Wata’ala pencipta alam semesta melindungi hamba-Nya yang berjuang dan berada di jalan yang hak!”

Setelah berucap, tubuh orang tua berambut putih dan memakai busana serba putih itu lenyap dari pandangan Parmin.

Sementara itu pendeta Yorgen yang sejak tadi memperhatikan peristiwa menakjubkan itu kian menajamkan matanya seraya berucap, “Ya, Tuhan! Kaki balai-balai itu kini telah amblas seluruhnya menembus lantai kerangkeng, sungguh hebat!”

Benar, kini balai-balai kayu itu sudah tak tampak berkaki lagi.

“Allahu Akbar......!” ucap Jaka Sembung sambil mengusap wajahnya dan sesaat kemudian tubuh Parmin rebah kembali.

Pendeta Yorgen terkejut melihat tubuh Parmin yang tergolek pingsan tak sadarkan diri lagi. “Ya, Tuhan! Ia pingsan lagi! Agaknya telah terjadi sesuatu terhadap dirinya!”

◄Y►

4

Malam berikutnya telah tiba. Rembulan semakin menyabit dan tertutup awan hitam. Bintang pun tak menampakkan cahayanya. Mengapakah? Seakan mereka tahu sesuatu akan terjadi pada kerangkeng tempat Yulia dan ayahnya meringkuk.

“Aku sangat mengkhawatirkan nasib Awom dan Parmin, Ayah!”

“Ya, betul! Inlander yang bernama Parmin itu, sangat berjasa bagi kita! Ia menolong sesamanya tanpa memandang warna kulit atau agama!” Ayahnya menimpali dengan rasa simpati yang dalam.

“Apakah mungkin pendeta Yorgen masih hidup, Ayah! Tipis harapan kita untuk bertemu dengannya!”

Belum lagi ayahnya sempat menjawab, mendadak Yulia menyambung perkataannya dengan melihat orang-orang suku primitif itu menuju ke arahnya. Suku Nabire yang selama ini memenjarakan mereka.

“Lihat, Ayah! Mereka datang! Mungkin giliran kita untuk dijagal!” kata Yulia kepada ayahnya yang juga melihat kedatangan anggota suku itu dengan wajah pucat pasi.

“Walau kita memang ditakdirkan Tuhan mati di sini, tak apalah. Aku masih bisa tersenyum, asalkan kita tetap berkumpul, Anakku!” jawab Van Boerman sambil memeluk erat anak gadisnya itu.

Namun betapa terkejutnya Yan Van Boerman, ternyata yang dibawa hanya anak gadisnya, sedangkan ia tetap ditinggalkan. Sambil berteriak-teriak ia mencoba untuk protes.

“Tidak! Mau dibawa ke mana Anakku, he! Kalau kalian hendak membunuhnya, bunuhlah aku sekalian!! Jangan pisahkan aku dengan Anakku!! Bunuhlah aku juga!!” teriaknya memelas.

Namun orang-orang buas itu tak menghiraukan ratapan ayah Yulia.

Yulia digiring ke rumah kepala suku, ke suatu tempat yang tidak jauh dari pondok-pondok laskar suku primitif itu. Tatkala Yulia hendak masuk, seorang berjubah dan bertopeng tengkorak telah berada di dalamnya, duduk santai dengan tangan bersedekap.

“Masuk......!!” perintahnya kepada laskar suku yang membawa Yulia, selanjutnya memerintahkan anak buahnya tersebut untuk meninggalkan mereka berdua.

“Lepaskan belenggu tangannya! Kemudian kalian cepat pergi dari ruangan ini!” katanya dengan sorot mata penuh arti.

Setelah anak buahnya beranjak dari hadapannya, dia berbicara kepada Yulia dengan bahasa Melayu. “Sebetulnya aku tak punya sangkut paut dengan kalian orang-orang kulit putih!”

Betapa terkejutnya Yulia mendengar ucapan orang bertopeng menyeramkan itu dengan bahasa Melayu yang sangat fasih.

“Huh! Anda bukan suku Papua rupanya! Kalau begitu siapakah Anda?” tanya Yulia dengan serius.

“Nona tak perlu tahu siapa aku! Tapi dengan jelas aku hanya punya urusan dengan tuan penolongmu yang bernama Parmin itu! Aku terpaksa menculik kau dari Kaimana untuk memancing Parmin agar berhadapan denganku!” Suara si Topeng Tengkorak itu terdengar bergetar menahan gejolak dendam.

“Syukurlah kalau anda tidak bermaksud memusuhi kami! Kami sangat berterima kasih! Tapi apakah anda pernah melihat orang kulit putih selain kami?” tanya Yulia sekali lagi dengan penuh harap.

“He...... he...... he......he......!! Apakah yang kau maksud adalah Pendeta Katholik itu?” tanya si Topeng Tengkorak dengan santai sambil tersenyum menyeringai.

“Betul! Apakah anda juga menahan dia di sini? Ya, Tuhan! Syukurlah kalau dia selamat! Kami sangat gembira dapat berkumpul kembali dengannya!” pekik Yulia dengan luapan rasa gembira karena pendeta Yorgen yang selama ini dicarinya ternyata telah berada di tempat yang sama.

“Oh, tentu! Tentu! Kalian akan menjadi tamu-tamuku di sini! Kalian akan bebas. Tapi ada syaratnya! Dalam hal ini keputusannya mutlak terletak di tangan anda, Nona!”

“Apa maksud Anda?” tanya Yulia dengan tak sabar untuk mengetahui arah pembicaraan orang yang bertopeng tengkorak itu.

“Kukira syaratnya setimpal dengan harga nyawa kalian bertiga, yaitu kau harus menjadi istriku untuk sementara!” jawabnya sambil coba mengelus tubuh Yulia.

Betapa kagetnya Yulia, ternyata omongan manis kepala suku itu ada udang di balik batunya. Ia ingin menikmati tubuhnya. Apalagi di usianya sekarang, sebagai gadis dewasa dengan pesona yang betul-betul membuat lelaki menjadi mabok kepayang.

“Oh, tidak! Jangan sentuh aku!” teriaknya dengan cemas.

“Kuda macam apapun sudah aku tunggangi! Kuda coklat, kuda hitam, kuda kuning hanya kuda putih yang belum aku coba!” kata si Topeng Tengkorak dengan dengusan nafsu yang menggebu.

“Tidaaaaak! Aku lebih baik mati daripada harus menyerahkan kehormatanku!” teriak Yulia sambil meronta-ronta untuk melepaskan dekapan orang itu.

Namun tubuh gadis Belanda itu tak kuasa menggoyahkan, apalagi melepaskan cengkeraman orang yang sudah kemasukan iblis. Dia bahkan terus menggumuli Yulia.

“He...... he...... he.......! Kau tak bisa berbuat apa-apa! Di sini aku yang berkuasa! Sudah lama aku menginginkan engkau! Merontalah sekuat tenagamu, Nona!” kata si Topeng Tengkorak.

“Auuuu!!! Lepaskan aku! Lepaskaaaaaaaann!! Bajingan kau!” jerit Yulia yang sudah berada pada saat-saat yang kritis. Kain sarung pemberian Jaka Sembung itu kini sudah lepas direnggut tangan kasar sang durjana bertopeng tengkorak itu.

“Auu! Bangsat! Jahanam! Iblis!!!”

Sudah berapa banyak makian yang dilontarkan Yulia, namun si Topeng Tengkorak tak menghiraukannya, bahkan tatapan matanya semakin liar. Nafasnya terdengar menggeros-geros dengan segenap otot tubuh yang kian menegang tak tertahankan lagi.

“Oh, jangan!! Helk.......!” pekik Yulia.

Dengan kasar dan tak sabar sang durjana itu menggumuli tubuh Yulia, membuat gadis kulit putih itu meronta dan berteriak-teriak sekuat tenaga. Namun apalah arti daya upaya seorang perempuan dibandingkan dengan tenaga seorang lelaki yang memiliki ilmu silat tingkat tinggi dan dalam kekuasaan nafsu birahi yang memuncak.

Maka pecahlah tirai kesucian gadis Belanda itu diiringi jerit tangis yang menggeletar. Sekilas dalam ingatannya terbayang wajah Jaka Sembung, seseorang yang pada detik itu ia harapkan kehadirannya.

“Oh, Parmin! Parmin!!” jeritnya dalam tangis yang menyayat. Namun jangankan Parmin, seekor cecak pun tak bisa menyahut atas tragedi yang sedang berlangsung terhadap gadis Belanda yang malang itu.

◄Y►

5

Angin gemuruh bertiup menerpa pantai dan perbukitan Nabire. Ombak-ombak laut teluk Sarera bergejolak seakan-akan tak rela ada kesucian yang direnggut oleh tangan yang tak berhak.

Pada saat yang sama di lain pondok nampak seorang pemuda kulit hitam yang tak lain adalah panglima suku Kaimana, Awom sedang termenung dan menengadah ke atap kerangkeng sambil mengerutkan kening seakan ada yang sedang dipikirkannya.

“Oh, para dewa bagaimana nasib kepala suku Kaimana dan ayahnya? Lalu bagaimana nasib Parmin?”

Belum lagi Awom sempat membayangkan nasib ketiga kawannya, mendadak di luar kerangkeng tampaklah seorang wanita kulit hitam, berpakaian hanya berupa untaian kulit pohon.

“Sssssst!! Apakah kau mengerti bahasa Nabire?” tanya gadis hitam manis itu.

“Oh, ya bisa sedikit-sedikit! Siapakah anda?” jawab Awom sambil bertanya.

Sementara itu dalam hati dia mengagumi keindahan tubuh wanita muda kulit hitam itu. Tubuhnya padat berisi dan berada pada usia yang sedang mekar sebagai seorang gadis. Sepasang matanya besar dan selalu berbinar-binar.

Sambil memperkenalkan diri wanita itu merapatkan diri ke dinding kerangkeng agar lebih dekat dengan Awom.

“Namaku Da-Fan putri kepala suku yang telah tewas ketika terjadi perang suku. Ayahku mati dibunuh oleh kepala suku yang sekarang berkuasa di perkampungan ini.

“Aku bermaksud membebaskanmu dan mengajakmu lari!! Jangan kawatir. Kawan-kawanku yang setia telah membereskan para penjaga.

“Kita bisa lari dengan sampan menuju pulau Ro-on! Di sana pamanku bersama laskarnya yang melarikan diri sedang menunggu aku! Kita bisa kawin di sana!” ujar gadis manis yang bernama Da-Fan itu sambil mengagumi otot-otot tubuh Awom sang panglima suku Kaimana.

Namun pemuda Papua yang satu ini tak terburu nafsu menerima tawaran itu. Dia masih mengkhawatirkan nasib kawan-kawannya.

“Aku tak bisa mengikutimu, Da-Fan! Kepala sukuku dan kawan-kawanku ada di sana!”

“Siapakah kawan-kawanmu yang kau maksud?” tanya Da-Fan dengan nada penasaran.

“Dua orang kulit putih dan satu orang berkulit coklat!, Wanita kulit putih itu adalah kepala suku Kaimana, dan aku sebagai panglima perang wajib melindunginya!” jawab Awom tegas.

Sementara itu di sudut-sudut pondok yang gelap, kawan-kawan wanita Da-Fan sedang mengelabui penjaga.

“Sssst, hati-hati Awom!”

Dengan berjalan berjingkat-jingkat Da-Fan membawa Awom ke luar dari kerangkengnya. Ketika melewati sebuah pondok, Awom mengambil salah sebuah tombak yang sedang disandarkan di dinding.

“Aku memerlukan tombak ini! Sekarang kau tunjukkan aku, di mana letak pondok kepala suku?” pinta Awom kepada teman barunya yang dengan cepat telah merebut hatinya itu.

“Jangan!! Jangan Awom! Nanti kau dikutuknya seperti ayahku! Tubuh ayahku hangus olehnya!” pinta Da-Fan dengan harapan agar Awom menuruti sarannya.

Namun panglima perang suku Kaimana yang mempunyai watak kesatria itu tak gentar dengan segala kemungkinan yang menghadang. Kini yang ada di benaknya hanya bagaimana cara membebaskan kepala suku beserta yang lainnya.

“Awom tidak takut kepada siapapun!” kata pemuda Kaimana menantang.

“Tapi Da-Fan takut, Awomku sayang!” bujuk gadis manis itu dengan penuh harap.

Awom berpikir sejenak, kemudian berucap; “Baiklah! Kau tunjukkan saja padaku di mana tawanan-tawanan itu berada?”

“Mari!” jawab Da-Fan singkat sambil menarik tangan Awom untuk bergegas menuju ke suatu tempat.

Sementara itu di tempat kediaman si Topeng Tengkorak kepala suku Nabire sekarang, tampak gadis berambut pirang bergolek lemas. Dia tak kuasa bangkit. Dia masih merasakan seakan seluruh tulang belulangnya remuk dan seluruh persendiannya seperti lolos tak berfungsi.

Si Topeng Tengkorak tampak dengan senyum penuh kepuasan setelah mendapatkan seorang gadis idaman.

Yulia terus menangis dengan ratapan keputus-asaannya. Kini dia merasa tak berguna lagi. Baginya dunia ini telah kiamat. Siapa sudi menerima kehadiran seorang gadis yang tidak suci lagi.

“Mulai sekarang kau bisa berbuat apa saja di Nabire ini! Bebas sesuka hatimu!!” ujar si Tengkorak dengan bangga kemudian melompat ke luar dan menghilang di kegelapan malam, dengan suara tawa yang membahana.

Dalam pada itu Awom dan Da-Fan mengendap-endap menuju tempat tinggal kepala suku Nabire. Pondok besar itu tinggal beberapa langkah lagi di depan mereka.

“Di mana?” tanya Awom kepada Da-Fan dengan tak sabar.

“Tunggu dulu, Awom! Jangan tergesa-gesa!” pinta Da-Fan.

“Ada apa?” tanya Awom sambil menatap bola mata gadis itu.

“Aku ingin membicarakan sesuatu di tempat yang sunyi!” pinta Da-Fan sekali lagi.

“Apa yang hendak kau bicarakan? Asal jangan terlalu lama, Da-Fan!”

Dengan tergopoh-gopoh Da-Fan membimbing tangan Awom menuju ke pantai yang sunyi yang hanya terdengar deburan ombak dan tiupan angin pantai yang sepoi-sepoi.

Setelah terasa agak jauh dari keramaian, Da-Fan mengajak Awom duduk-duduk di pinggiran pantai yang bertabur pasir halus.

“Duduklah Awom! Di atas pasir ini kita bebas dan aman!” ajak Da-Fan sambil merebahkan tubuh Awom yang seakan tenggelam dalam bisikan suaranya yang lembut.